Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah)
SUMBER : KOMPAS, 25 Januari 1996
Wim Umboh Telah Tiada Jakarta, Kompas Salah satu dari sedikit sutradara besar film Indonesia, William Umboh Acmad Salim (63) hari Rabu (24/1) sekitar pukul 04.45 WIB meninggal dunia di RS Husada Jakarta. Dibawah payungan langit yang mendung sejak pagi, sang pembaharu dan pelopor pertama film cinemascope, film berwarna dan film 70 mm di Indonesia itu bersemayam di peristirahatan terakhirnya di TPU Jerukpurut Jakarta Selatan. Puluhan insan perfilman hadir di pekuburan, seperti Slamet Rahardjo, Amoroso Katamsi, El Manik, Turino Djunaidi, Sophan Sophiaan, Rano Karno, Chaerul Umam, Idris Sardi, Gusti Randa, Jimmy Gideon, Nani Wijaya, Rima Melati, Widyawati, Marini Sardi. Selain itu juga wartawan gaek, Rosihan Anwar, Wakil Ketua DPR/MPR Suryadi, mantan Wakil Perdana Menteri/Dubes RI di Vietnam, Hardi SH. Sebagian sudah menyampaikan rasa duka kerumah almarhum, seperti Mathias Muchus, Lydia Kandouw, dan Ray Sahetapi beserta isterinya Dewi Yull. Almarhum meninggal dunia setelah menderita komplikasi diabetes dan sempat dirawat di rumah sakit sejak hari pertama puasa. “Habis sahur kita bermaksud tidur. Tapi Oom Wim (sapaan sang isteri pada Wim Umboh) gelisah terus. Saya Tanya, tetapi dia bilang cuma sakit di dada. Saya selimuti. Kepalanya terasa panas, tetapi sewaktu tangannya saya sentuh rasanya dingin sekali. Disitu saya sudah curiga..,” kata Ny. Inne Ermina Chomid, isteri ketiga almarhum Wim Umboh yang dinikahinya tahun 1984. Kehilangan besar Ketua Organisasi Karyawan Film Televisi (KFT), Slamet Rahardjo Djarot, ketika memberi sambutan pada pemakaman Wim Umboh mengatakan sangat tegas, “Tanpa keterlibatan almarhum, dunia film Indonesia bukanlah apa-apa”, untuk mnggambarkan sumbangsih Wim bagi perfilman di tanah air. Namun menurut Roy Marten, gambaran kehidupan Wim Umboh, yang bagai memudar di hari tua tanpa penghargaan apa-apa ketika namanya tidak lagi “besar” merupakan pelajaran bagi mereka. “Saya kira dia pantas mendapat penghargaan yang tinggi. Namun saya tidak tahu wujudnya seperti apa”, katanya. “Satyalencana Kebudayaan? Saya kira pantas untuknya, meskipun saya yakin Wim bukan tipe orang yang mengharapkan penghargaan”, kata Rima Melati. Sophan Sophiaan, Roy Marten, Rima Melati, yang sempat menjadi bintang dalam film arahan wim Umboh, semuanya mengakui almarhum salah
satu dari sedikit orang yang terpandang di dunia perfilman. Sejajar dengan Usmar Ismail, bapak perfilman Indonesia. Hal senada disampaikan sutradara muda, Garin Nugroho. “Dia itu genius”, kata Sophan, yang bersama Widyawati bermain dalam film ‘Perkawinan Remaja’. “Kepergiannya merupakan kehilangan besar bagi dunia perfilman kita. Dia itu sineas besar, seorang tokoh dan sutradara pelopor”. “Dia banyak memberi pembaharuan bagi perfilman Indonesia seperti melakukan pengambilan lokasi shooting di luar negeri, jadi sutradara pertama yang menggunakan kamera panavision, film berwarna, film 70 mm dan sebagainya. Salah satu penyebab tingginya apresiasi film nasional di tahun 1970-an adalah karena kreativitas dari Wim Umboh”, tambah Sophan Sophiaan. “Dia itu sutradara yang lebih populer dari bintang filmnya. Saya sangat sering dimarahi. Dia itu otoriter, tidak demokratis. Tetapi juga editor yang sangat brilyan. Dia genius sekali. Dia hafal dialog A sampai Z. Pemain-pemain jangan coba-coba mengakali dia, dia akan tahu”, ujar Roy Marten. “Lebih daripada semua itu, yang patut dikenang dari Wim adalah kemampuan editingnya. Secara awam, dapat saya katakan bahwa di tangan Wim periode tahunan dalam lakon bisa menjadi sejam dua jam dan berjalan mulus didalam film. Tangannya seperti mempunyai mata sendiri ketika bekerja di meja editing. Satu lagi, barang kali dia satu-satunya sutradara yang hafal seluruh dialog. Sehingga waktu dubbing, dia bisa memandu kalimat para pengisi suara”, kata Teguh Karya, yang seangkatan dengan Wim Umboh. Menurut sutradara dan tokoh teater Putu Wijaya, Wim Umboh adalah tokoh “langkah” dalam dunia perfilman nasional. Meski mengaku belum terlalu banyak mengenal almarhum – mengingat keterlibatannya di dunia film belum begitu lama – namun Putu Wijaya mengakui hasil kerja Wim Umboh dalam
melahirkan tokoh-tokoh perfilman. Dalam konteks berkesenian, Wim Umboh juga dinilaikan memiliki kelebihan yang tak banyak dimiliki sutradara lain. “Dunia film tidak jugamenjadi wahana ekspresi, tetapi juga sarana penuangan estetika. Hasilnya bisa kita lihat, film-film karya almarhum sangat komunikatif sehingga banyak diminati. Di sini Wim mampu mengkombinasikan antara kebutuhan berekspresi tanpa harus menghilangkan unsur seni. Dengan kata lain, Wim Umboh tidak hanya melihat film sebagai komoditi”, kata putu Wijaya. Informasi berantai Di kalangan insan perfilman, berita meninggalnya Wim disampaikan secara berantai lewat telepon. Sekitar pukul 11.30 WIB, para pelayat yang sebagian besar terdiri dari aktor dan aktris serta kalangan perfilman lainnya mulai terlihat di rumah duka Jalan Cengkeh 93, Depok Utara. Namun jauh sebelum itu Wim Umboh sudah kerap keluar masuk rumah sakit. Bahkan diawal tahun 1980-an, sutradara yang telah melahirkan sekitar 50 buah film dan penerima 10 Piala Citra untuk berbagai kategori ini pernah mengalami semacam kelumpuhan. Dalam kondisi sakit, menurut para sahabatnya, Wim tetap bekerja. “Pernah sekali waktu, saat saya besuk ke rumah sakit, saya malah disodori skenario. Ia memang pekerja keras, dalam keadaan sakitpun masih terus bekerja”, kata Ray Sahetapi. Ny Inne Ermina Chomid tampak berusaha tabah setiap menyambut ungkapan duka para pelayat. “Saya sedih sekali. Hari Minggu (21/1) lalu Oom wim (sapaan mesra sang istri pada Wim Umboh) bilang mau bikin riwayat hidupnya. Saya disuruh ngetik, karena katanya ada orang mau memfilmkan tentang Oom Wim. Tetapi karena hari itu saya harus nyekar, saya tidak bisa mengetikkannya. Saya sedih sekali tidak memenuhi permintaan terakhir almarhum itu”, kata Ny Inne Ermita Chomid. Ketua KFT Slamet Rahardjo Djarot yang dipercaya memberi sambutan dan membacakan riwayat hidup singkat dan perjalanan karir almarhum mengatakan, kalanga perfilman akan berusaha meneruskan sebagian cita-cita Wim Umboh. Lahir di Watuliney (Minahasa Selatan) pada 26 Maret 1933, sejak usia tujuh tahun Wim sudah ditinggal ibunya. Setahun kemudian sang ayah pun berpulang ke rahmatullah, sehingga Wim kecil pun yatim piatu. Sepeninggal kedua orang tuanya Wim diangkat anak oleh dr. Liem. Dokter ini pula yang menyekolahkannya hingga Wim Umboh bisa mandiri. Wim kecil mengenal dunia seni peran ketika duduk di SMP. Ketika sudah di SMA Wim sudah berani membuat lakon sandiwara, yang hasilnya ia gunakan untuk membangun jembatan yang menghubungkan desa Watuliney dengan Tababo. Tahun 1952 Wim pindah ke Jakarta dan bekerja di Golden Arrow Studio. Tiga tahun kemudian menikahi RO Unarsih Sastrawiata dan menghasilkan anak perempuan bernama Lisa Maria. Bercerai tahun 1957, Wim menikah untuk kedua kalinya dengan artis Paula Rumokoy (1974). Bulan Oktober 1982 mereka bercerai, dan Wim kawin lagi dengan Inne Ermina Chomid dua tahun kemudian.
Dalam riwayat hidup yang dibuat sendiri oleh almarhum, pernikahannya ini mempunyai satu anak laki-laki yang diberi nama William Umboh Ikhsan Salim.