Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah)
SUMBER : REPUBLIKA, 25 Januari 1996
Telah Pergi Seorang Wim Umboh
S
utradara kawakan spesialis film cinta itu pergi. Wim Umboh yang belakangan lebih suka dipanggil Achmad Salim tutup usia di RS Husada Jakarta Pusat, Rabu (24/1) pukul 04.45, karena menderita diabetes. Ia meninggal pada usia 63 tahun. Diabetes dan tekanan darah tinggi adalah penyakit kronis yang telah lama diidapnya. Ketika menggarap film “Pengemis dan Tukang Becak”, tahun 1976, selama tujuh hari tujuh malam ia coma, terserang penyakit lain, komplikasi liver, ginjal dan maag. “Dua malam mas Wim dirawat di RS Husada”, kata Ny Elly, adik ipar Wim. Dan subuh hari kedua bulan suci Ramadhan menjadi saat-saat terakhir hidpnya. Keinginannya untuk terus bisa mengaji di rumahnya Jalan Cengkeh 93 Perumnas Depok Utara, menjadi hasrat terakhirnya yang tak mungkin ia nikmati. Wim meninggalkan Inne, istri ketiganya, yang memberinya seorang anak William (9), dua orang cucu dari anak istri pertamanya RO Unasih, rumah sederhana di Perumnas Depok Utara dan gairah berkarya yang harus terpangkas oleh berbagai penyakit yang dideritanya. “Wim adalah pekerja film yang ulet”, kata Slamet Rahardjo, dalam upacara pemakamannya di TPU Jerukpurut Jakarta. Keputusan Wim untuk turun kedunia film, dilewatinya mulai dari pekerjaan kasar. “Saya mulai terjun di film sebagai tukang sapu studio”, kata lelaki kelahiran Wtulinei Sulut itu, seperti dikutip dari Apa Siapa Tempo. Ia meniti karir film pertama kali, 1953, di Studio Film Golden Arrow, milik Chok Chin Hsin. Studio itulah yang kemudian disebutnya sebagai Akademi Sinematografi yang meloloskannya sebagai sutradara, meski ia pernah belajar sinematografi di Akademi International Sinematografi di Paris (1961-1962). “Guru saya adalah Mr. Chok”, katanya. Kefasihan Wim berbahasa Cina mempermudah ia menggali pengetahuan dari Chok dan Hu, sutradara utama Golden Arrow, yang banyak menghasilkan film jenis 1001 malam. Dari tukang sapu, karirnya beranjak ke tukang lampu, penata suara, hingga asisten sutradara. Pada tahun 1955, Wim muncul sebagai sutradara lewat film “Sepiring Nasi”, “Di Balik Dinding dan Terang Bulan Terang Di Kali”, berdasarkan tulisan SM Ardan. Sejak itu namanya diperhitungkan. Tahun 1961 ia mulai mendirikan studio sendiri, yang diberi nama Aries Film. Produksinya “Bintang Kecil” (1963), “Macan Kemayoran” (1965), dan yang sangat mengangkat namanya di era Orde Baru “Pengantin Remaja” (1971).
Lewat film yang terakhir ini, Wim mengorbankan Sophan Sophiaan dan Widyawati. Wim memang dikenal sebagai pencari bakat bertangan dingin. Berturut-turut kemudian nama seperti Roy Marten, Tanti Yosepha, Marini, dan Yenny Rachman mengkilat berkat tangannya. “Ia sutradara penuh ide, tak pernah lamban, dan sangat memperhatikan penghayatan pemain”, kata Widyawati, yang memainkan tiga film Wim, “Pengantin Remaja”, “Perkawinan”, dan “Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi”. Karena jasa Wim pula, kata Widya, ia dekat dan kemudian menikah dengan Sophan Sophiaan. “Ia terus membujuk saya untuk bisa main dengan Sophan dalam ‘Pengantin Remaja’. Saya disuruhnya lebih dekat agar penghayatan saya bisa intens. Eh, akhirnya keterusan”. Kenangnya. Wim tak hanya piawai membesut bintang-bintang baru. Ia juga berhasil membuat cap laris pada film-film cintanya. Film-film seperti “Perkawinan”, “Pengantin Remaja”, “Sesuatu Yang Indah”, “Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi”, “dan “Cinta”, adalah film-film cinta yang diproduksi, dan laris. Lewat “Cinta” (1976), Wim bahkan meraih Piala Citra sekaligus Piala Antemas sebagai film terlaris. Tapi, kata SM Ardan, sahabat dekatnya, sebenarnya Wim lebih suka menggarap film-film pinggiran. Pengalamannya bertahun-tahun sebagai orang bawah, kata Ardan, membuat Wim merasa lebih berarti ketika membuat jenis film pinggiran. Film “Pengemis dan Tukang Becak” (1976) yang dibintangi Christine Hakim, adalah salah satu yang disebut Wim karya puncaknya. Lewat film ini ia meraih tiga Piala Citra tahun 1979. Dalam film inilah Wim jatuh sakit dan sempat coma. Penyelesaian film kemudian diteruskan oleh rekannya, Lukman Hakim Nain. Di tahun-tahun akhir keidupannya, ia tak lagi bergemilang dalam gemerlapan dunia artis. Biaya rawat inap selama satu setengah bulan dirawat di RS Husada yang mencapai Rp 10 juta sempat membuatnya panik, karena biaya itu hampir meludeskan kekayaannya. Ia juga tak bisa melunasi tunggakan pajak sebesar Rp 1,75 juta untuk tahun 1978-1980. Rumahnya nyaris disita petugas pajak “Bagaimana bisa membayar? Sejak sakit hidup saya dari belas kasihan orang”, ujarnya memberi alasan pada petugas pajak. Ia lalu menerima pembebasan pajak. Untunglah, kiprahnya dalam dunia film tak sepi dari penghargaan, sesuatu yang selalu diakuinya sebagai kekayaan terbesarnya. Piala Citra pertama ia raih lewat film “Perkawinan” (1973), sebagai sutradara dan editor terbaik. Dan selama 37 tahun terjun didunia film layar lebar, dari tahun 1953 dan terakhir film “Ayu Genit” (1990), Wim mengumpulkan 49 Piala Citra, sembilan diantaranya atas karyanya di bidang penyutradaraan dan skenario. Satu hal lain yang patut dicatat dari Wim adalah keberaniannya. Ia, kata Widyawati, memelopori pembuatan film berwarna untuk pertama kali di Indonesia. Pada saat orang belum percaya bahwa film Indonesia mampu mengembalikan biaya produksi kalau dibuat dalam tata warna, Wim dengan berani membuat film warna berjudul “Sembilan” (1967).
Wim juga dikenal sebagai sutradara Indonesia pertama yang menggunakan kamera Panavision, yakni saat membuat film “Mama” (1972) dalam ukuran 70 mm dengan suara stereo. Keberaniannya itu diikuti banyak produser dan pekerja film. Wim Umboh adalah pejuang perfilman Indonesia, demikian orang-orang film yang ditinggalkan menyebutnya. Begitulah. Dunia sinema menjadi monumen abadinya. Di tengah badan yang hampir rapuh, terakhir Wim hampir sempat menggarap serial “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, dibintangi oleh Lenny Marlina dan ditayangkan TPI sekitar dua tahun lalu. Ini, katanya suatu kali, menjadi bukti bahwa ia masih bersemangat membuat film. “Kami kehilangan Wim”, kata Widyawati.