Ibu Mengantarku Pergi Berjuang Pengalaman Saya Mengikuti M. Natsir Saat Bergolak Oleh: Masri St. Sinaro Pendahuluan. Alhamdulillah, dengan izin Allah Swt, akhirnya semangat saya untuk menyusun pengalaman ini terkabul juga. Tanggal 13 Maret 2014, saya diantar oleh anak-anak saya ke rumah sakit Ibnu Sina Bukittinggi. Ketika itu kondisi badan semakin melemah, tidak mau makan dan tidur, disertai perut terasa perih. Sampai di rumah sakit saya dibawa ke Instalasi Gawat Darurat. Setelah diperiksa oleh dokter, langsung saya dirawat inap. Untuk pertama kalinya seumur-umur saya di rawat di rumah sakit. Selama dirawat, saya banyak dalam kondisi antara sadar dan tidak sadar. Kadang-kadang melihat orang datang mengunjungi, tapi itu tidak begitu jelas. Ketika orang itu datang, saya tahu siapa yang datang, tapi setelah itu, saya tidak ingat lagi siapa saja orang itu. Ketika agak sadar, saya bertanya kepada anak-anak, kenapa banyak orang yang datang. Anak saya menjawab bahwa hal tersebut diberitahu melalui telepon dan SMS oleh sdr. Akmal Thulas. Selain itu diposting oleh Khairis dalam statusnya di Facebook dengan judul: “Mohon doa dari kita semua untuk kesembuhan Pak Masri, sahabat dari alm. Bapak M. Natsir. Usia lebih kurang 76 tahun, saat ini sedang dirawat di RSI Ibnu Sina Bukittinggi.” Dari simpati berbagai teman seperjuangan dalam gerakan Islam, saya perlu memberi tahu sekelumit sejarah seorang tokoh Islam yang pernah saya dampingi dalam perjuangan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), yaitu Bapak Muhammad Natsir. Sekaligus memberikan penjelasan kedekatan saya dengan Pak Natsir secara proporsional dan berdasarkan fakta-fakta yang saya alami bersama beliau di masa pergolakan PRRI dan setelah itu. Alhamdulillah, tulisan ini dapat saya susun dalam proses kesembuhan setelah rawat jalan. Saya langsung dibantu menuliskannya dalam komputer milik anak saya, Uswatun Hasanah SE, serta kesediaan Akmal Thulas dan Abraham Ilyas untuk menjadi editor. Semoga bacaan ini bermafaat bagi kita semua dalam menambah khazanah melengkapi sejarah bangsa, khususnya perjuangan tokoh-tokoh Islam. Bergabung Dengan PRRI Saya mengikuti pendidikan di Sekolah Guru Bawah (SGB) Bonjol dan tamat bulan Juli 1956, lalu diangkat sebagai guru Sekolah Rakyat no. 1 di nagari Kapau pada bulan Februari 1957. Kini Sekolah Rakyat disebut sebagai Sekolah Dasar. Pengumuman PRRI terjadi 15 Februari 1958. Pengumuman PRRI tersebut dijawab oleh pemerintah Pusat dengan menembaki studio RRI Padang dan Bukittinggi. Hal itu menyebabkan penduduk Bukittinggi mulai mengungsi ke luar kota. Saya masih tetap bertahan sebagai guru sampai Juni 1959, meskipun gaji sudah tidak dibayarkan lagi oleh pemerintah.
Untuk kebutuhan hidup sehari hari dipenuhi oleh ibu kos yang telah menganggap saya sebagai anak. Oleh sebab itu saya merasa nyaman untuk tetap mengajar. Ketika tentara Pusat telah menduduki Bukittinggi, saya mendapat kabar dari orang yang masih tinggal di kota bahwa tentara Pusat itu baik-baik saja. Karena ingin tahu sikap tentara Pusat tersebut, maka saya berjalan kaki masuk kota. Saya bertemu dengan tentara Pusat. Memang dia menegur saya dengan baik walaupun saya seorang pemuda. Dia bertanya, “Mau kemana dik”, saya jawab, ”Jalan-jalan.” “Hati-hati ya dik”, katanya lagi. Sampai kembali ke rumah, saya merasa aman. Tentara yang baik tersebut berasal dari divisi Brawijaya Jawa Timur. Peristiwa ini meneguhkan hati untuk tetap mengajar di Kapau. Pada bulan Mei 1959 terjadi operasi besar-besaran ke daerah sekitar kota Bukittinggi dan sampai ke Kapau di sekolah saya. Ketika itu masyarakat kalangkabut. Ada yang lari dan bersembunyi untuk menyelamatkan diri. Saya terkepung di sekolah dan bersembunyi di WC. Ketika situasi sudah tenang, saya kembali ke rumah orang tua angkat. Sorenya saya dapat kabar bahwa beberapa laki-laki di kampung ini telah ditembak. Ternyata tentara yang beroperasi itu bukan lagi tentara yang pernah bertemu dengan saya di Bukittinggi, akan tetapi berasal dari divisi Diponegoro, Jawa Tengah. Besoknya ada kawan-kawan saya sesama guru yang ditangkap. Setelah peristiwa ini orang tua angkat menyuruh saya untuk pulang kampung ke Aie Kijang. Ketika operasi tentara Soekarno, sebutan lain untuk tentara Pusat, sampai di nagari Aie Kijang, di Kecamatan Palupuah, saya bersama dengan seorang kawan, melarikan diri dari kampung kami. Dalam pelarian ini kami sampai di nagari Sitalang, lalu bergabung dengan pasukan Gempita Petir. Pasukan ini adalah para sukarelawan PRRI yang anggotanya terdiri dari pemuda dan pelajar yang belum terlatih secara baik. Di sini kami beberapa hari menghadapi gempuran Tentara Soekarno. Akhirnya pasukan Gempita Petir mundur ke Padang Kandi di lembah Bawan. Pasukan Gempita Petir dipimpin oleh Letnan Satu Udin Karayau berkekuatan satu kompi. Setelah beberapa hari di Padang Kandi, saya dengan seorang kawan diperintahkan ke Sitalang untuk memantau musuh dan memastikan apakah mereka sudah meninggalkan Sitalang dan Batu Kambiang. Ternyata musuh sudah pergi. Hal tersebut kami laporkan kepada komandan sambil minta pamit untuk pulang ke kampung di Aie Kijang guna merayakan Idul Fitri yang tinggal beberapa hari lagi. Ibu Mengantarkan Saya Pergi Berjuang Kepulangan saya diketahui oleh orang orang di kampung Aie Kijang. Mereka banyak yang datang ke rumah. Orang orang berkumpul di rumah saya.
Kami bercengkerama tentang berbagai masalah dan sekaligus saling memberi maaf dan salam lebaran. Salah seorang yang datang adalah Penilik Sekolah. Beliau meminta saya untuk kembali mengajar di Sekolah Rakyat yang ada di kampung sendiri. Ia tahu bahwa saya adalah seorang guru Sekolah Rakyat di Kapau. Dia mengatakan bisa mengurus administrasi kepindahan. Akan tetapi, tanpa setahu saya, ibu lebih arif memikirkan nasib saya. Ibu saya bernama Jaimin, saat itu berumur lk. 45 tahun mempersiapkan perbekalan yang akan saya bawa untuk pergi berjuang. Ketika malam semakin larut, dan cengkerama kami belum juga usai, akhirnya Ibu bertanya kepada saya. “Banyo, yo ka pai juo ang? Bialah den anta waang bisuak pagi!” (apakah kamu akan pergi, kalau pergi biar saya antarkan kamu besok pagi). Besoknya pukul 9 pagi saya pamit kepada seluruh orang kampung. Ibu turun dari rumah membawa bekal yang dimasukkan ke dalam ketiding (bakul dari anyaman bambu). Ketiding berisi tas yang dijahit sendiri, terbuat dari kain marekan. Isi tas berupa dua stel pakaian, satu kain sarung, beras satu gantang, rendang, garam dan satu bungkus nasi untuk makan dalam perjalanan hari itu. Saya hanya melengkapi diri dengan sebilah pisau cap Garpu yang disisipkan di pinggang dan sebuah pemantik api. Untuk memudahkan nyala api, disiapkan satu botol kapas yang telah dibasahi dengan minyak tanah dan ditutup rapat. Minyak tak akan segera habis tertumpah atau menguap seandainya sumbat botol terlepas. Ibu mengantar saya sambil menjunjung ketiding di atas kepalanya menuju kampung Rasam; sekitar setengah jam perjalanan dari Aie Kijang. Sampai di Rasam beliau berkata, “Sampai di siko ang den antanyo.” (sampai di sini saya mengantarkan kamu). Saya menyalami ibu dan setelah itu, ibu langsung meninggalkan saya tanpa menoleh lagi ke belakang. Begitu besarnya jiwa orang tua di kampung melepas anaknya untuk pergi berjuang. Peristiwa ini terjadi kira-kira bulan April tahun 1960. Kembali ke Sitalang dan Mendapat Tugas Sebagai Informan Pak Natsir Saya melanjutkan perjalanan sendirian memasuki hutan belantara dan menyeberang beberapa sungai. Akhirnya perjalanan selama dua hari dua malam itu sampailah di Sitalang pada sore hari dalam kondisi hujan lebat. Daerahnya sepi, penduduk terkesan menghindar dan suasana mencekam. Hal semacam ini terjadi setelah jalan raya Maninjau sampai ke Tiku dikuasai oleh patroli tentara Soekarno. Saya berteduh di dangau kebun yang ditinggal pemiliknya sambil menunggu hujan reda. Tiba tiba muncul seorang yang telah berumur dari arah hutan, berpayung pelepah daun pisang. Tanpa curiga, dia menegur dan mengajak saya untuk bersama-sama berjalan menuju kampung sambil menawarkan pelepah daun pisang. Kami berdialog dan dia memperkenalkan dirinya sebagai Wali Jorong di Sitalang, Kecamatan Tigo Nagari, Agam. Barangkali ini adalah skenario Allah untuk melaksanakan niat saya selanjutnya. Beliau tidak sedikitpun curiga kepada saya. Dia mengajak saya bermalam dan tidur di rumahnya.
Ajakan itu saya sambut dengan baik. Ketika dia tahu maksud dan tujuan kedatangan saya, akhirnya hati kami menjadi semakin dekat. Saya menceritakan kepadanya, bahwa saya pernah ikut pelatihan kader Masjumi dan ternyata beliau juga pernah ikut pelatihan tersebut. Kami berdiskusi sampai pukul 2 malam. Beliau menanyakan kepada saya, apa lagi yang mau saya kerjakan. Saya mengatakan bahwa saya ingin melanjutkan perjuangan bersama PRRI, karena saya pernah melihat dan merasakan kezaliman tentara Soekarno. Malam itu adalah awal keterlibatan saya dengan tugas membantu Pak Natsir secara tak langsung maupun langsung. Saya belum pernah bertemu dengan pak Natsir, apalagi berdialog. Besoknya saya diajak menemui seorang tokoh PRRI yaitu Darwis Dt. Malano Kayo atau Dt. Parpatiah nan Sabatang yang bertugas sebagai informan Pak Natsir, berasal dari Maninjau. Markasnya berada Balai Badak di perbukitan di tepi sawah, agak jauh dari pemukiman penduduk Batu Kambiang dan Pak Natsir berada di Bukik Bulek. Rupanya mereka sudah lama mencari seorang pemuda yang akan ditugaskan menembus blokade musuh untuk menyeberang ke arah Padang Pariaman menemui komandan resimen, kol. Syarief Usman. Maksudnya untuk meminta agar kol. Syarief Usman menyeberangkan sebagian pasukan ke arah Sitalang. Di Sitalang dan Batu Kambiang ketika itu tidak ada lagi pasukan pengaman dari PRRI, padahal di situ bermukim dua orang pemimpin penting PRRI yaitu Pak Natsir dan Dahlan Djambek. Alhamdulillah tugas itu dapat saya selesaikan. Pergi pulang melewati hutan belantara dan perkampungan yang belum pernah saya kenal selama ini. Dalam suasana perang, orang asing yang tak dikenal apabila melewati suatu kampung akan dicurigai sebagai lawan atau mata mata musuh. Guna menghindari kecurigaan seperti itu, saya harus mengetahui betul nama daerah yang akan dilalui dan paling sedikit nama seorang penduduk di satu kampung yang telah dilewati dan di kampung yang akan dituju. Apabila ada orang yang bertanya, maka saya akan menjawab dengan mantap, saya sedang menemui si Fulan di kampung B. Saya membawa secarik kertas yang merupakan surat rahasia dilipat kecil. Lipatan surat ini diselipkan dipinggang dan siap untuk ditelan apabila diperiksa musuh seandainya tertangkap. Saya bertemu dengan Kolonel Syarief Usman di Marunggai, Sungai Geringging. Melihat saya datang sendirian, secara spontan Kolonel Syarief Usman mengatakan “Sapleton kekuatan ang.” (satu pleton kekuatanmu), sambil menjabat erat tangan saya. Bapak Sjarief Usman berulang kali mengirim satu pleton untuk menembus Sitalang, tetapi gagal. Hari ke 16 saya tiba kembali di Sitalang. Berita ini menggemparkan Sitalang, bahwa ada seorang pemuda pemberani. Setelah itu saya disembunyikan untuk menghindari sabotase. Sampai saat itu saya belum bisa bertemu langsung dengan pak Natsir. Saya hanya mendapat kiriman baju dari beliau. Ditugaskan Kembali ke Pariaman dan Selanjutnya ke Koto Tinggi Saya ditugaskan untuk kedua kalinya dengan tugas yang sama yaitu menemui kolonel Syarief Usman di daerah Pariaman. Alhamdulillah dapat diselesaikan lagi dengan baik.
Ketika akan pulang, saya masih ingat diberi uang kertas cetakan PRRI. Nilai uang sebungkus rokok merek City yang sangat disukai ketika itu adalah sekitar Rp. 50,-. Selanjutnya sekembali ke Sitalang, saya ditugaskan menuju Koto Tinggi menemui perwakilan menteri pertahanan Saad Datuk Rajo Ameh (sepupu buya Hamka) serta Mazni Salam dan Jufri Sulthani. Dua orang ini merupakan staf menteri Pertahanan. Saya diperintahkan mengantarkan surat kepada beliau beliau itu. Saat dalam perjalanan menuju ke Koto Tinggi, Pak Natsir pindah ke arah Maur yang terletak di kecamatan Palembayan. Oleh sebab itu ketika kembali ke Sitalang, saya belum juga bisa langsung bertemu dengan beliau. Selanjutnya ke Kototinggi untuk kedua kalinya, saya ditugaskan mencari Bapak Sjafruddin Prawiranegara. Sebelum berangkat, saya diminta mampir di kantor Senat PRRI yang diketuai oleh Bapak Kolonel Dahlan Djambek. Saya bertemu dengan Buya Tasman Mansyur, sekretaris Senat. Sesampainya di Koto Tinggi, ternyata daerah tersebut telah dikuasai tentara Soekarno. Tentara PRRI telah mundur ke arah utara. Saya hanya menemui bangunan bangunan kosong. Kembali ke Sitalang dan melaporkan, bahwa Koto Tinggi telah dikuasai musuh dan titip pesan agar hal ini disampaikan kepada Pak Natsir. Kembali lagi ke daerah Koto Tinggi, dengan tekad tetap mencari Bapak Sjafruddin Prawiranegara sampai ketemu. Di hutan Aie Angek bertemu kembali dengan Bapak Saad Datuk Rajo Ameh, Jufri Sulthani dan Mazni Salam. Ternyata mereka setelah melarikan diri, tidak mendapatkan pedoman arah tujuan yang jelas. Selanjutnya dalam perjalanan ini Bapak Mazni Salam ikut bergabung dengan saya. Di hutan kami bertemu dengan Buya Zamzami Kimin. Setelah menceritakan maksud dan tujuan, akhirnya Buya Zamzami Kimin pun ikut bergabung dengan kami mencari Pak Sjafruddin Prawiranegara. Dalam perjalanan ini saya juga bertemu dengan seorang pembantu Pak Sjafruddin yang bernama Darwis, asli Jakarta. Saat itu kondisi tubuhnya lemah karena kelaparan. Saat perjalanan di rimba belantara yang masih asing itu, saya mempunyai prinsip; bahwa setiap anggota rombongan wajib patuh kepada pemimpin rombongan. Tidak boleh ada debat saling menyalahkan apabila arah yang dituju belum dikenal atau salah. Di hutan Baruahgunuang, rombongan kami bertemu dengan seseorang yang bernama Jusar berpangkat Letnan. Dia anggota Phb dari Pak Sjafruddin Prawiranegara dan berniat untuk menyerah karena tak tahan lagi hidup di rimba. Dia membawa senjata Garrand yang masih bagus. Kami memintanya, namun tidak diberikan. Dengan menyerahkan senjata moderen itu kepada Apri, tentunya dia berharap akan diterima baik tanpa banyak interogasi. Jusar hanya memberikan peta hutan Sumatera Tengah bagian utara. Kami sangat beruntung karena diberi peta tersebut. Peta itu berukuran kira kira 40 x 40 sentimeter. Dari Jusar kami mendapat informasi bahwa Bapak Sjafruddin berada di sekitar Koto Tangah Galugua; sedangkan Pak Burhanudin Harahap dan menteri yang lain yaitu Buya Malik Ahmad menteri Sosial, Buya H. Mukhtar Ja’far atau yang lebih dikenal dengan Buya Hamuja, menteri Perhubungan berada di Pintu Kuari Rokan. Saya memilih menemui yang lebih jauh jaraknya dulu yaitu rombongan pak Burhanuddin Harahap di Pintu Kuari Rokan. Sesampai di Pintu Kuari, bapak-bapak tersebut telah mempersiapkan untuk pindah ke daerah Tapanuli Selatan. Semua barang sudah dipak.
Karena kedatangan saya membawa pesan dari Pak Natsir, maka keberangkatan mereka ditunda sampai keesokan harinya. Malam harinya Pak Burhanuddin Harahap mempersiapkan balasan surat yang akan saya bawa. Sebelum surat selesai ditulis, minyak habis dan lampu padam. Besok pagi barulah surat diselesaikan. Saat bertemu dengan Pak Bur pertama kali, saya sangat terkesima. Seorang bekas Perdana Menteri, masih muda, gagah, saya dapati memakai kaus oblong putih, celana batik dan tinggal di pondok yang pakai lampu togok. Selesai urusan dengan Pak Bur, saya melanjutkan perjalanan sendirian karena Buya Zamzami Kimin dan Mazni Salam ikut rombongan Pak Burhanuddin Harahap. Saya melanjutkan perjalanan ke Koto Tangah mencari Pak Sjafruddin Prawiranegara, tapi tidak melewati jalan sebelumnya. Dilihat dari peta, Koto Tangah agak dekat dengan Muaro Sungai Lolo, di daerah Pasaman. Dari Pintu Kuari ke Sungai Lolo tidak ada jalan, hanya melewati hutan belantara. Nagari Sungai Lolo terletak di sebelah barat dari Pintu Kuari. Saya melakukan potong kompas. Karena di nagari Sungai Lolo ada sungai besar, maka saya pilih jalan melalui lurah lurah yang memiliki anak air. Keyakinan saya, dengan mengikuti aliran anak air di lurah, maka aliran itu akan sampai di sungai besar. Dan betul perkiraan saya, bertemu pemukiman di dekat sungai. Ketika saya bertanya kepada orang yang ditemui, ternyata nama kampung itu adalah Sungai Lolo. Syukur alhamdulillah dalam perjalanan yang lebih dari setengah hari itu saya tidak menemui binatang liar. Cuma kadang kadang tegak bulu kuduk, entah ada makhluk halus penunggu hutan yang menegur, he, he; maklum seorang diri berjalan di dalam rimba yang tidak dikenal sama sekali dan mungkin belum pernah diinjak kaki manusia. Saya istirahat satu malam, diberi tumpangan menginap dan makan oleh penduduk di nagari Sungai Lolo dan saya merasa berada di rumah saudara sendiri. Besoknya baru melanjutkan perjalanan menuju Koto Tangah Galugua. Galugua terletak di tepi sungai Rokan. Sebelum sampai di Galugua saya harus menyeberangi Sungai Rokan; sungainya lebar. Tidak ada jembatan penghubung ataupun perahu, dan saya yakin orang menyeberang hanya dengan cara masuk ke dalam sungai yang kelihatannya tidak dalam. Di Aie Kijang, kampung saya tidak ada sungai besar maka saya tak bisa berenang samasekali. Saya sudah nekat, harus menyeberang. Kalau hanyut tidak ada orang yang akan menolong. Saya mulai menyeberang dengan mengikuti aliran menyerong ke hilir, akhirnya selamat juga sampai di seberang. Tidak terlalu jauh dari tepi sungai saya dapati rumah yang ditempati pak Amelz. Rumah rumah di kampung ini berkelompok kelompok dan tidak banyak jumlahnya. Kampung ini akan kosong ketika penduduknya pergi ke peladangan mereka yang jauh letaknya. Rumah yang ditempati Pak Sjafruddin berada di kampuang lain. Saya beristirahat semalam di rumah pak Amelz. Saya tidak sampai bertemu dengan pak Sjafruddin Prawiranegara karena sudah terlalu letih. Selanjutnya urusan/pesan untuk pak Sjafruddin, saya serahkan kepada pak Amelz. Pak Sjafruddin Prawiranegara memberikan sejumlah uang melalui Pak Amelz. Saat itu uang keluaran PRRI yang dicetak di hutan dan uang RI yang telah diberi cap stempel (nama nama nagari ) masih bisa menjadi alat tukar jual beli di daerah Pariaman, Sitalang, Palembayan. Nilainya tidak berbeda dengan uang resmi pemerintah RI.
Sebelum saya kembali pulang, pak Amelz bercerita mengenai istri dan anak beliau yang sudah lama tidak bertemu, yaitu sejak proklamasi RPI. Tidak ada kabar berita, entah di mana keberadaannya. Setelah selesai semua urusan maka saya kembali berombongan bersama empat orang. Satu diantaranya anggota sandi Pak Sjafruddin Ali Unar Ali dan yang dua orang lainnya yang akan menuju Pariaman, lupa namanya. Sesampai kami di hutan Aia Angek Koto Tinggi, kami bertemu lagi dengan Dt. Rajo Ameh dan Jufri Sulthani. Beliau ikut rombongan kami. Pak Jufri saya tinggalkan di Lariang. Dt. Rajo Ameh ikut dengan saya ke Maninjau dan bertemu dengan istrinya di Bukit Leter ”W”. Perjalanan dilanjutkan dan alhamdulillah saya bertemu dengan istri Pak Amelz di rimba Koto Kaciak Maninjau dan amanah beliau saya sampaikan. Akhir dari perjalanan yang telah menghabiskan waktu satu setengah bulan itu, saya bertemu dengan semua menteri. Bapak Burhanudin Harahap menteri Pertahanan, Buya Malik Ahmad menteri Sosial, Buya Haji Mukhtar Ja'far atau yang dikenal dengan Buya Hamuja menteri Perhubungan, bapak Amelz menteri Penerangan. Singkat cerita, ketika pulang kembali, saya membawa uang pemberian Pak Sjafruddin Prawiranegara, walaupun akhirnya uang yang saya bawa itu tidak terpakai karena tidak laku lagi. Bertemu Langsung untuk Pertama Kali dengan M. Natsir Sekembali menemui Bapak Sjafruddin Prawiranegara, dan sesampai di Pagadih, Palupuah, Agam, saya bertemu dengan komandan pasukan Kaluang Raider. Dia mengatakan bahwa seluruh Agam Barat sudah jatuh ke tangan musuh. Tentunya Tantaman, Palembayan sudah dikuasai pula oleh musuh. Menurut perkiraan saya, Kolonel Dahlan Djambek dan Pak Natsir telah menghilang di hutan Masang. Saya terus mencari ke hutan Masang. Sesampai di daerah itu, tidak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Sambil beristirahat, saya berharap ada orang yang datang dan bisa bertanya. Saya beristirahat di dangau peladangan orang Silungkang, Tantaman. Mula-mula bertemu dengan seorang komandan PDD (Pasukan Dahlan Djambek) yang sudah saya kenal di kampung dulu. Ketika saya tanya, dia angkat bahu. Tidak tahu di mana bapak-bapak itu sekarang. Dia berkata kalau ada barang titipan, biar dia yang menyampaikan kepada bapak-bapak tersebut kalau bertemu. Saya tidak bersedia memberikan karena taruhannya adalah nyawa saya selama berbulan-bulan. Pukul 4 sore, ketika sedang tidur-tiduran di dangau, datang seseorang yang saya kenal dan dia juga mengenal saya. Dia adalah pembantu Pak Natsir namanya Makmur. Bersamanya, saya pergi menuju ke dangau Pak Natsir. Inilah pertama kalinya saya bertemu dengan Pak Natsir setelah penugasan berkali-kali dan berbulan-bulan yang selama itu hanya disampaikan melalui orang lain secara bertingkat. Waktu itu menjelang magrib. Di situ saya bertemu dengan Lahmudin, Ridwan, Matsih Suweli, serta para pembantu Pak Natsir lainnya. Matsih Suweli, orang Sunda usianya sekitar sekitar 35 tahun, kelak menjemput saya di pelabuhan Tanjung Priok, beliau diutus oleh Djanamar Adjam ketika itu. Dia bertugas
sebagai juru tulis atau tukang ketik dari surat surat pak Natsir. Ridwan biasanya bertugas sebagai imam sholat karena suaranya bagus. Malam itu saya tidur di dekat Pak Natsir. Saya lihat di sinilah kehidupan Pak Natsir yang paling rendah. Merokok dengan tembakau Payakumbuh dan pucuk daun Enau, makan dengan nasi dan cabe yang tidak pakai garam. Pak Natsir meminta agar saya tetap tinggal bersama beliau. Banyak tugas yang akan diberikan kepada saya, terutama untuk pergi menemui Kapten Murni, komandan KKO pengawal Katiagan. Namun tawaran tersebut tidak dapat saya laksanakan. Pada bulan Desember 1960, saya bersama Usman, pemuda Lariang mencari Kolonel Syarief Usman di daerah Pariaman untuk menyampaikan surat-surat yang saya bawa dari Menteri Pertahanan, Bapak Burhanuddin Harahap di Pintu Kuari Rokan. Lebih satu bulan, kami mencari Kolonel Syarief Usman di hutan Pariaman, tapi tidak bertemu karena daerah itu telah dikuasai musuh. Kolonel Syarief Usman telah pindah ke daerah baru yang belum kami kenal. Saya kembali dengan tangan hampa. Rimbo Masang Saya bukanlah orang yang tinggal menetap bersama Pak Natsir di dangau Perjuangan, tetapi saya tinggal di Aie Kijang sendirian. Saya mencari dan menyediakan apa yang diperlukan oleh Pak Natsir, terutama barang barang kebutuhan yang berasal dari kota misalnya obat obatan, kertas, tinta, sabun, pakaian dsb. Bila sudah tersedia, maka saya antarkan ke tempat beliau. Bulan Januari 1961 saya kembali ke tempat Pak Natsir, lokasi sebelum saya berangkat mencari Kolonel Syarief Usman. Sesampai di sana dangau-dangau sudah kosong. Dengan firasat dan pengalaman perjalanan di hutan berbulan-bulan, akhirnya saya dapat menemukan dangau Pak Natsir yang baru di Rimbo Masang. Ketika kota kota diduduki tentara Pusat, penguasa membentuk koperasi guna mengawasi pendistribusian barang barang kebutuhan sehari hari yang bersumber dari kota. Pengurus koperasi inilah yang keluar masuk kota. Orang orang ini saya bina sebagai kurir, sekaligus informan untuk mengirimkan surat surat ke Jakarta. Dia adalah Rahiman Kari Mudo dan Munir Dt Majo Batuah yang secara periodik pergi ke Bukittinggi. Sumber bahan kebutuhan hidup lainnya berasal dari sumbangan masyarakat Tantaman yang dikumpulkan oleh Dt. Illangik. Sumbangan dari masyarakat Lungguak Batu oleh wali nagari yang bernama Nani, sedangkan penghubung di Kumpulan namanya Kodoh. Suatu kali pak Natsir minta tolong menjualkan emas milik Ummi seberat 15 omeh (37,5 gram) serta satu keping bintang emas lambang Masjumi, pemberian orang Manna Bengkulu melalui koperasi Sandang Pangan. Bintang emas terpaksa dilebur dulu. Pada bulan Mei 1961 terjadi peristiwa naas di tepi batang Masang, tak jauh dari dangau Pak Natsir. Rombongan kami berlima, diantaranya ada yang memiliki senjata, basirobok dengan patroli musuh. Salah seorang teman saya, Kunar jadi korban ketika itu. Tiga orang kawan lainnya berjalan agak jauh di belakang sehingga mereka dapat segera menyelamatkan diri. Saya berjalan sendirian paling depan.
Di luar pemikiran akal sehat, saya terlidungi oleh sebatang pohon besar di tikungan jalan, untuk selanjutnya melarikan diri. Sementara itu musuh terpecah perhatiannya kepada Kunar yang membawa senjata. Peristiwa itu terjadi kira-kira pukul 11 siang pada hari Kamis. Dalam pelarian, saya tersesat ke dangau seregu mobrig tentara PRRI. Mereka hampir saja menembak saya, untung ada salah seorang anggota pasukan yang mengenal saya dan berteriak “kawan.” Malam itu, saya bergabung dengan pasukan mobrig. Kami mendekat ke tepi kampung Lungguak Batu di Kumpulan. Kami tidur di lembah pinggir sawah. Tidak ada makanan karena kondisi di sekeliling belum diketahui. Kami hanya makan umbuik batang pisang. Besok paginya salah seorang kawan yang berasal dari Lungguak Batu, pulang ke kampung untuk mencari makanan. Ketika kawan ini mencoba naik ke tempat yang lebih tinggi, rupanya tentara musuh tidur di dangau sawah di sebelah atas kami. Akhirnya kawan tadi turun lagi dan kami lari menyelamatkan diri. Sekitar pukul 11 siang kawan tadi berusaha masuk ke kampung dan kembali membawa makanan. Hari itu, sesudah waktu Jum'at, saya sudah gelisah. Bagaimana dengan nasib teman saya yang tiga orang tadi? Saya mau mencari tempat Pak Natsir, tapi kawan-kawan mobrig menahan saya sampai keadaan reda. Saya baru diizinkan berangkat pada Sabtu malam ditemani salah seorang mobrig. Kami berjalan dalam gelap gulita. Kadang-kadang kami bakar getah karet untuk membantu penerangan. Kami berjalan sampai pukul 3 dini hari. Akhirnya bertemu dengan anak sungai yang airnya hilang timbul dan terdapat batu besar yang datar. Kami duduk di sana sampai subuh. Kami mencari air untuk berwuduk. Kami menemukan pancuran air dari bambu. Pancuran tersebut menandakan pasti ada orang yang tinggal di sekitar ini. Selesai shalat kami berjalan mencari-cari kemungkinan apakah ada dangau-dangau orang PRRI. Akhirnya dugaan kami benar. Tidak berapa lama, tampak orang menyongsong kami dan langsung menghampiri. Rupanya orang itu sudah mengenal saya. Dia adalah pak Nani, wali nagari Kumpulan. Dia langsung memeluk saya. Beliau mendengar bahwa saya kena tembak di tepi batang Masang. Pagi itu rencana beliau akan mengantarkan surat takziah kepada Pak Natsir. Akhirnya beliau menjadi penunjuk jalan menuju ke tempat Pak Natsir. Setelah dangau Pak Natsir tampak, anggota mobrig, Rakimun menyuruh saya dan pak wali untuk berjalan pelan, sementara dia berjalan duluan sendiri menemui Pak Natsir. Sesampai di dangau Pak Natsir, beliau diberi tahu bahwa yang kena tembak di tepi batang Masang adalah Kunar. Kami melanjutkan perjalanan ke dangau Pak Natsir. Sesampainya di dangau orang sangat ramai. Pak Natsir menguak keramaian itu dan langsung menyambut saya. Pak Natsir meminta saya tetap berada di tempatnya selama seminggu. Ini terjadi awal Agustus 1961. Beliau meminta supaya saya mempersiapkan tempat yang dekat ke Aie Kijang guna pemindahan beliau dan keluarga.
Tempat yang sekarang dirasa sudah tidak aman. Samia'na wa atha'na. Beliau berkata, “Masri, komandan-komandan tentara PRRI Ahmad Husein, Simbolon, Vence Sumual, Kawilarang sudah menyerah. Praktis secara militer PRRI tidak ada lagi. Pak Sjafruddin Prawiranegara dan menteri-menteri juga sudah turun di Padang Sidempuan. Kalau umpamanya Pak Syaf dan Pak Bur (Burhanudin Harahap) yang menyerah, maka yang kalah itu adalah Masjumi dan PRRI. Sebab Pak Syaf adalah orang Masjumi dan PRRI. Begitu pula dengan Mr. Assa'at, kalau dia yang turun berarti PRRI yang kalah, karena beliau bukan orang Masjumi. Bapak sedikit berbeda, di samping tokoh Masjumi dan PRRI, bapak diamanahi oleh Bapak Salim (H. Agus Salim) sebagai jurubicara Islam di Indonesia. Jika bapak turun berarti Islam menyerah kepada Soekarno. Oleh sebab itu Masri, cobalah persiapkan tempat di Aie Kijang. Kalau perlu seluruh keluarga dan seluruh staf, termasuk Bapak Bukhari Tamam, juga Masri boleh turun. Biar Bapak bisa berhubungan langsung dengan masyarakat.” Dari kalimat tersebut, tampak keputusan beliau tidak akan menyerah atau menerima amnesti, abolisi dari rezim Soekarno. Besoknya saya berangkat ke Aie Kijang mencari kawan dan lokasi dangau yang cocok. Dangau kami siapkan, tapi dalam pembuatannya saya mendapat musibah. Ketika pemasangan paran, kayunya jatuh menimpa kepala saya. Saya tidak dapat bekerja lagi dan kawan-kawanlah yang menyelesaikan dangau tersebut dan saya beristirahat. Firasat saya bahwa dangau tersebut tidak akan jadi dihuni. Setelah beristirahat memulihkan kesehatan, saya pergi ke dangau Pak Natsir di Batang Masang. Tenyata tempatnya sudah kosong. Saya kembali kehilangan jejak lagi. Namun saya tidak putus asa. Saya tetap mencari tanpa ada penunjuk jalan. Alhamdulillah tempat Pak Natsir berhasil saya temukan kembali. Waktu itu saya membawa senjata jenggel1. Sesampainya di dangau Pak Natsir, saya langsung disongsong oleh Dt. Rajo Illangik dan meminjam senjata saya. Katanya ada Kambing yang mau ditembak. Setelah saya berikan senjata kepada Dt. Rajo Illangik, beliau langsung lari. Tidak lama kemudian terdengar suara tembakan. Semua kaget, dalam suasana mencekam ada suara letusan. Rupanya Dt. Rajo Illangik tidak main-main, beliau menjemput kawan untuk membawa Kambing hutan yang telah beliau sembelih. Ternyata ini adalah jamuan dari Allah untuk kami sebelum meninggalkan Batang Masang menuju Aie Kijang. Kini tahun 2016, Bapak Masri St. Sinaro, bekas pendamping/kurir M. Natsir sedang membangun Surau Museum Perjuangan M. Natsir di rimba Masang. Surau ini direncanakan akan diisi dengan benda benda peninggalan M. Natsir ketika beliau ijok. Lokasinya di dusun Rasam, lk. 3 km dari jalan raya menuju Tapanuli, di Kampuang Aie Kijang….. dan lk 20 km dari kota Bukittinggi. Bagi yang ingin berkontribusi untuk ikut membangun Surau Musium M. Natsir, silakan hubungi 0853 6411 4830 (M. Masri St. Sinaro, 80 th)
1
Jungle gun, senapan otomatis laras pendek
Peringatan 17 Agustus di Hutan Batang Masang Pada tanggal 17 Agustus 1961, kami mengadakan peringatan hari kemerdekaan RI di dangau Pak Natsir. Dalam peringatan itu, kami minta Pak Natsir berceramah. Beliau memberi judul ceramahnya dengan “Proklamasi Bajariang Lawah” 2. Maksudnya proklamasi negara Republik Indonesia yang disepakati itu hanya berumur satu hari saja yaitu tanggal 17 Agustus 1945. Undang-undang Dasar 1945 yang semula telah disepakati, ternyata dilakukan perubahan yang sangat mendasar. Tujuh kata di dalam Pancasila pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya”, dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945. Pada peringatan hari kemerdekaan RI itu, disampaikan kepada hadirin bahwa Bapak Sjafruddin Prawiranegara dan para menteri telah turun di Padang Sidempuan. Bapak Kombes Sabiruddin, kepala polisi PRRI yang tinggalnya dekat dengan Pak Natsir, juga sudah turun. Mengatur Perjalanan Djanamar Adjam Menemui M. Natsir Selanjutnya, beliau menyuruh saya untuk mencari Kolonel Dahlan Djambek dengan membawa surat. Keberadaan pak Dahlan di Lariang, saya dapat dari teman-teman pemuda Lariang. Merekalah yang menyembunyikan pak Dahlan. Jika mau berhubungan dengan pak Dahlan harus melalui mereka, kerena merekalah yang mengetahui dangaunya.
2
Sarang Labah labah untuk menangkap mangsanya, serangga serangga.
Ketika bertemu, pak Dahlan berkata, “lai iduik juo ang mah, sabanta ko den suruah Zadel Berg (komadan batalion) mancari ang hiduik atau alah mati” (ternyata kamu masih hidup, baru sebentar ini saya perintahkan Zadel Berg untuk mencari kamu hidup atau sudah mati). Di sini saya mendapat informasi dari staf Bapak Kolonel Dahlan Djambek bahwa di Bukittinggi ada Bapak Djanamar Adjam, Kepala Biro Ekonomi Kementrian Luar Negeri RI yang ingin bertemu dengan Pak Natsir. Rupanya Bapak Djanamar Adjam ini adalah salah seorang kepercayaan Pak Natsir yang tidak pulang ke Sumatera ketika PRRI diumumkan. Ketika kembali ke dangau pak Natsir, saya sampaikan berita itu kepada beliau. “Ada orang yang bernama Djanamar Adjam di Bukittinggi dan dia ingin bertemu bapak.” Pak Natsir langsung berkata, “Dia itu orang kita.” “Pak, ka dibaok urang tu kamari?” (Pak, apakah orang itu mau dibawa ke sini?) kata saya. Pak Natsir menanyakan kepada saya, apakah mungkin membawa Bapak Djanamar Adjam ke hutan. Saya jawab, “dicoba dulu pak.” Selanjutnya saya berunding dengan Syahidan Dt. Illangik. Beliau memberitahu bahwa ada seorang pelajar SMP di Bukittinggi bernama si Man yang berambut putih, orang Tantaman. Dia mengetahui orang yang tahu di mana Bapak Djanamar Adjam tinggal di Bukittinggi. Pak Djanamar ke Bukittinggi menghadiri pemakaman ayahnya yang meninggal beberapa waktu yl. Sebelum hari yang ditetapkan untuk pertemuan antara si Man dengan kurir dari Aie Kijang, saya mempersiapkan cara untuk menghubungi Pak Djanamar Adjam di Bukittinggi. Saya membuat tanda tangan besar di atas kertas putih dan kertas itu dibagi dua. Satu potong digulung, lalu diberikan kepada Dt. Rajo Illangik untuk disampaikan kepada si Man. Potongan yang satu lagi diberikan kepada kurir saya dari Aie Kijang. Pertemuan diatur, yaitu di Kepala Jenjang 40 Bukittinggi pada waktu yang telah dijanjikan. Di situ si Man akan bertemu dengan kurir dari Aie Kijang. Mereka akan mencocokkan potongan kertas tanda tangan. Saya selalu memonitor kurir-kurir penghubung yang bisa menemukan Pak Djanamar Adjam. Diantara orang kepercayaan saya di Bukittinggi ialah St. Prapatiah atau biasa dipanggil Mak Patiah. Mak Patiah ini seorang pedagang sayur yang memiliki truk pengangkut barang dagangan sampai ke Pakanbaru dan Padang. Surat surat dari Pak Natsir dikirim melalui beliau dan selanjutnya dengan kurir lainnya dikirim ke Jakarta. Kelak rumah beliau di Jambu Aie menjadi tempat keluarga Pak Natsir ditempatkan. Tanggal 10 September 1961, Pak Djanamar Adjam bertemu dengan Pak Natsir. Dua hari Pak Djanamar Adjam berada di dangau Jihad. Beliau mengadakan perundingan dan membujuk Pak Natsir supaya mau diselinapkan ke luar negeri. Tapi Pak Natsir menolak. Setelah lama berbincang-bincang di dangau Jihad, bapak Djanamar Adjam sangat kagum dan mengguncang-guncang bahu saya. Ternyata pelindung dan penyelamat Pak Natsir adalah seorang pemuda yang baru berumur 23 tahun. Seorang pemuda kampung yang bertanggung jawab terhadap pemimpin besar Islam. Pada awalnya beliau mengira pelindung Pak Natsir adalah pasukan khusus. Beliau menjanjikan kepada saya, setelah turun ke kota nanti, maka saya akan disekolahkan di Jakarta.
Sore tanggal 12 September 1961, bapak Djanamar Adjam beserta bapak Bukhari Tamam dan saya menuju dangau di ladang orang tua saya di Aie Kijang. Di situ beliau bermalam agar lebih dekat ke jalan raya untuk kembali ke Bukittinggi besok pagi. Jarak dangau ini dari dangau Jihad lebih kurang 2 jam perjalanan. Di sana kami diantarkan nasi oleh orang tua saya dengan menyediakan piring, tapi Pak Djanamar Adjam memilih makan dengan alas daun pisang. Pak Djanamar lah yang mendokumentasikan foto foto di dangau perjuangan. Kalau Pak Djanamar tidak membuat dan menyimpan foto foto maka tak akan ada dokumentasi Pak Natsir saat berada di rimba tersebut. Pagi hari Rabu tanggal 13 September Pak Djanamar Adjam dikirim kembali ke Bukittinggi. Pagi itu juga terjadi peristiwa naas dimana Pak Dahlan Djambek ditembak. Sikap Kolonel Dahlan Djambek Menolak Amnesti Sebelum Pak Djanamar datang di dangau Jihad, saya bertemu dengan Bapak Kolonel Dahlan Djambek yang sudah berada di Lariang. Beliau bercerita bahwa dia sudah mengirim surat kepada Panglima Kodam III 17 Agustus, dan menyatakan menolak amnesti dan abolisi yang diberikan kepada orang PRRI. Dia hanya mau di tangkap. Amnesti dan abolisi yang diumumkan Soekarno tanggal 17 Agustus 1961 itu untuk orang politik, kata beliau. Beliau berjuang bukan karena karena politik, tapi karena menegakkan agama yang dirongrong oleh kaum Komunis. Presiden Soekarno sudah banyak melanggar prinsip-prinsip agama di dalam Pancasila. Ketika saya tanya apakah surat tersebut sudah dikirim, Pak Dahlan menjawab, “Sudah, suratnya sudah dikirim.” Saya meminta selembar salinannya yang akan diberikan kepada bapak Natsir. Ketika disampaikan kepada Pak Natsir, beliau bertanya apakah surat sudah dikirim. Saya menjawab sudah. Pak Natsir menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian saya menawarkan kepada Pak Natsir, untuk membawa Pak Dahlan ke dangau Jihad. “Bisakah?” kata Pak Natsir. “Insya Allah akan saya coba Pak”, jawab saya. Hari Jum'at tanggal 8 September 1961, pukul 11 malam bapak Dahlan Djambek sudah berada di dangau Jihad. Saya tidak memahami apa yang mereka perbincangkan karena memakai bahasa asing yang bercampur-campur. Namun saya melihat air mata Pak Dahlan bercucuran sambil berkata “nasi sudah jadi bubur.” Pembicaraan berlangsung sampai pukul 3 dini hari. Saya menawarkan kepada Pak Dahlan Djambek untuk menginap di dangau Jihad sampai Pak Djanamar Adjam datang. Kurir saya sudah bertemu dengan pak Djanamar Adjam, tinggal mengatur keberangkatan dari Bukittinggi. Sayang Pak Dahlan tidak bersedia. Malam itu juga beliau kembali ke Lariang diantar oleh informan-informan saya bersama pengawal beliau bernama Yusaki. Sebelum terjadi peristiwa penembakan terhadap Bapak Kolonel Dahlan Djambek ini, sudah ada pembicaraan dengan pihak Kodam 17 Agustus melalui Korem Bukittinggi bahwa Pak Dahlan Djambek akan ditangkap. Harinya ditetapkan Rabu tanggal 13 September, tapi jamnya masih dirahasiakan.
Karena beliau sudah tinggal di perkampungan, maka beliau berpesan kepada pemuda Lariang. Isi pesannya, “kalau ada tentara Pusat yang datang siang atau malam, tunjukkan saja tempat saya. Jika terdengar suara letusan, jangan ragu. Mereka bukan mau menembak saya. Mereka hanya mau menangkap saya. Kalau sudah tidak terdengar letusan, pergilah salah seorang pemuda ke masjid dan azanlah. Sebaiknya disahuti di rumah-rumah penduduk. Itu tandanya keberangkatan seorang pemimpin Islam.” Ternyata yang datang itu bukan tentara (CPM), tapi peleton Combet yang dipimpin oleh Ancok Gandi dan Bujang Sakban. Pemuda Lariang menunjukkan tempat Pak Dahlan Djambek. Tidak lama kemudian terdengar letusan, “innaalillahi wa inna ilaihi raajiuun.” pak Dahlan Djambek syahid memenuhi janjinya. Saya mendapat kepastian dari kurir yang diutus ke sana, bahwa Pak Dahlan Djambek telah dibunuh. Mendengar berita tersebut kami kebingungan, bagaimana cara menyampaikan kepada Pak Natsir. Ketika peristiwa itu terjadi, saya dan Pak Bukhari Tamam berada di dangau orang tua saya. Berita syahidnya Pak Dahlan Djambek diberitahukan kepada Pak Natsir setelah magrib dan sesudah makan malam. Alhamdulillah Pak Natsir menyambut dengan tenang dan kemudian baru bertanya-tanya, lalu langsung menulis surat kepada Jenderal Nasution. Besok pagi surat tersebut saya kirimkan ke Bukittinggi melalui kurir, supaya diteruskan kepada Jenderal Nasution di Jakarta. Satu minggu kemudian didapat jawaban dari Jenderal Nasution. Dia mengirim ajudannya Kapten Sitompul untuk mencari Pak Natsir yang akan dibawa ke Padang Sidempuan. Ketika saya beritahukan kepada Pak Natsir, beliau menolak, beliau tidak ingin dielu-elukan. Beliau ingin turun sebagai rakyat biasa. Oleh sebab itu terpaksa saya membuat kamuflase dengan mengirim berita kepada surat kabar bahwa Pak Natsir menuju Padang Sidempuan. Maka perhatian orang terfokus ke Padang Sidempuan. Kami Pulang, Ummi dan Rombongan Turun Akhirnya Pak Natsir mengambil keputusan bahwa Ummi (istri Pak Natsir) dan anak-anak beserta rombongan yang dipimpin oleh Dt. Rajo Illangik sebanyak 16 orang akan turun di kampung Tantaman. Rombongan Pak Natsir sebanyak 7 orang diantaranya saya sendiri, Bukhari Tamam, Tasman Mansyur, Ridwan, Lahmuddin, Dt. Said Tan Kabasaran pindah ke dangau di Aie Kijang. Ketika Pak Natsir mengatakan besok kita turun, magribnya saya dipanggil oleh Bapak Bukhari Tamam dan beliau memberi amanah kepada saya. “Masri, ambo ketua umum Masjumi Sumatera Tengah. Mulai hari ini menyerahkan Bapak Muhammad Natsir, ketua Masjumi Indonesia ke tangan Masri. Mulai hari ini keselamatan pak Natsir berada di tangan Masri.” “InsyaAllah akan saya laksanakan, selanjutnya tawakkal kepada Allah.” jawab saya. Pada hari H meninggalkan Batang Masang, datang kurir dari Lungguak Batu yang membawa surat perintah dari Bapak Sjafruddin Prawiranegara untuk menghentikan segala perlawanan terhadap pemerintah RI. Kami menyeberang Batang Masang dengan menggunakan tali (gerondong). Selesai penyeberangan kami berjalan bersama-sama sampai di anak Aie Lubuak Gadang, sungai yang berasal dari Tantaman. Kami makan bersama di sana. Setelah makan rombongan dipecah jadi dua.
Rombongan Ummi menuju Tantaman, sedangkan rombongan saya beserta Pak Natsir menuju dangau Jihad di Aie Kijang. Sebelum sampai di dangau Jihad di Aie Kijang, kami harus menyeberang Batang Sianok yang airnya deras. Kami menyeberang pakai tali yang sudah saya persiapkan sebelumnya. Besoknya sampailah kami di dangau di Aie Kijang. Kami tidak lama berada di dangau Aie Kijang. Selama di sini banyak terjadi peristiwa-peristiwa besar, yang akhirnya Pak Natsir menentukan sikap untuk turun. Pak Natsir merasa nyaman karena saya bisa mengatur segala keperluan serta hubungan dengan masyarakat cukup dekat. Banyak juga surat-surat yang masuk dari keluarga besar Masjumi supaya Pak Natsir mengambil sikap untuk turun. Akhirnya pada suatu hari melalui saya, Pak Natsir mengatakan “cobalah kita masing-masing shalat istikharoh, nanti hasilnya kita diskusikan.” Setelah shalat istikharoh selama 3 hari, maka diambillah kesimpulan bersama dan sikap yang sama bahwa kita memang harus turun, karena hanya 7 orang ini saja lagi yang belum turun. Sesudah itu barulah ditetapkan kapan hari H nya kami akan turun. Begitulah cara Pak Natsir menentukan bawa kita harus turun gunung, bukan dengan cara memerintahkan, suatu perkataan yang sangat mudah untuk diucapkan oleh seorang pemimpin. Pak Natsir mengubah/membatalkan keputusannya untuk turun di Aie Kijang, walaupun dekat ke jalan raya. Dari dangau Jihad ke jalan raya hanya lebih kurang 1-2 jam perjalanan. Oleh sebab itu rombongan kami kembali ke Tantaman. Dari dangau Jihad di Aie Kijang ke Tantaman memakan waktu satu hari lebih. Sebelum hari H, saya meminta kepada Pak Natsir untuk mengadakan pertemuan dengan para pemuda yang telah banyak membantu selama berada di dangau Jihad di Aie Kijang. Pak Natsir balik bertanya, “bagaimana soal keamanan?” Saya menjawab, “InsyaAllah aman Pak, semua masyarakat tak ada yang berkhianat.” Pada hari Selasa tanggal 24 September 1961 diadakanlah acara perpisahan dengan beberapa perwakilan pemuda dan tokoh masyarakat di dangau Aie Kijang lk. 20 orang. Acaranya berupa makan bersama, dimana Amai Sarah membuat gulai ayam untuk dimakan bersama-sama. Setelah makan bersama, kami mengadakan dendang saluang, kesenian tradisional MinangKabau. Tukang saluangnya adalah Iskandar (Kandan), yang masih hidup sampai sekarang, sementara tukang dendangnya adalah almarhum Mawardi (Mawan). Ada salah satu pantun yang didendangkan waktu itu, yang sangat berkesan bagi Buya Tasman Mansyur dan membuat beliau sangat antusias, bunyi sebagai berikut: Payokumbuah Koto Nan Ampek Basimpang jalan ka Limbanang Jalo lusuah ikan tak dapek Badan lah pasi dek baranang Payakumbuh Koto Nan Empat Bersimpang jalan ke Limbanang Jala lusuh ikan tak dapat Badan sudah pucat karena berenang Keesokan harinya barulah kami berangkat menuju Tantaman dengan menyeberangi Batang Sianok.
Dalam penyeberangan tersebut, pegangannya Pak Natsir terlepas, beliau hanyut dibawa arus. Sepertinya beliau pandai berenang. Beliau berenang terus melawan arus untuk menggapai tali. Saya langsung melompat dan menarik Pak Natsir ke tepi seberang. Akhirnya Pak Natsir dapat diselamatkan. Lama beliau duduk dipinggir batang Sianok melepas lelah dan mempersiapkan tenaga. Perjalanan berikutnya mendaki selama lebih kurang 1 jam. Saya melihat Pak Natsir memang sangat kelelahan.Dalam buku yang ditulis oleh Dt. Tan Kabasaran “Kami Pulang “ (salah seorang dari 7 orang turun bersama Pak Natsir ), saya sependapat dengan beliau. Beliau lebih memahami tempat-tempat di Tantaman. Menurut Dt. Tan Kabasaran: “dari bukit itu (maksudnya pendakian setelah batang Sianok) kami berangkat menuju Patamuan. Tempat yang selama ini dijadikan tempat pertemuan bila ada hal-hal penting diantara kami yang bertempat tinggal berbeda-beda di hutan Silungkang. Dinamai tempat ini Patamuan karena di sini pertemuan 2 anak sungai.” Sesudah shalat Zuhur dan makan siang, kami barangkat lagi menuju Lubuak Gadang, suatu dusun peladangan di Tantaman. Kami sampai di sana pukul 4 sore dan berjumpa dengan orang yang habis shalat sesudah bekerja di sawah. Orang itu kami mintai tolong untuk mengantarkan surat kami kepada komandan pos Apri di Pakan Kamih, Tantaman dan kepada Dt. Rajo Illangik di Tantaman.” Malam itu juga dengan mobil tentara, kami langsung diantar ke Bukittinggi oleh komandan kompi. Kami sampai di Bukittinggi pukul 11.30 malam dan ditempatkan di ruang kantin kantor batalyon. Satu-persatu kami diperiksa, termasuk barang bawaan. Saya kasihan melihat obat obat milik Pak Natsir ditaburkan ke lantai. Rupanya beliau banyak membawa obat-obatan. Ketika giliran Pak Natsir ditanya siapa nama dan apa pekerjaan, Pak Natsir menjawab, “Nama saya Muhammad Natsir, pekerjaan Menteri Agama & PDK PRRI.” Mendengar jawaban itu, si penanya, sersan Haris Nurdin terkejut, kemudian keluar. Dia kembali dan berkata, “Pak hari sudah malam, sudah pukul 12, kantin sudah tutup, saya tidak bisa menyediakan apa-apa. Saya tahu rumah ibuk (istri Pak Natsir).” Selanjutnya, dia berkata kepada Pak Natsir, “kalau bapak izinkan, maka saya akan ke sana, mudah-mudahan ada makanan.” “Kalau tahu silahkan ke sana.” jawab Pak Natsir. Setengah jam kemudian sersan Haris Nurdin datang lagi membawa kasur untuk Pak Natsir disertai seceret air, 7 potong roti dan sesisir pisang. Itulah makan malam untuk kami saat itu. Pagi harinya pintu kantin sudah terbuka. Kami sudah boleh minum. Saya dipanggil Pak Natsir. “Masri kamari, ko pitih saratauih, kok a nan tampak barang urang nan katuju, bali, jan sarupo di rimbo juo, baia!” (Masri kesini, ini uang seratus, kalau ada yang suka beli, jangan seperti di hutan, bayar) Pak Natsir ketawa. Setelah hari siang, kami diizinkan pulang ke rumah Ummi di Jambu Aie. Dalam perjalanan pulang itu, orang sangat ramai, sampai pengawal repot dibuatnya “Ketika dulu ditanya, dibilang tidak ada famili di luar. Sekarang semua mengaku yang pulang ini adalah famili.” Karena mereka sangat rindu untuk bertemu Pak Natsir, sampai ada mengatakan kepada tentara pengawal “itu famili saya.”
Kira kira pukul 10 pagi kami semua dinterogasi di beranda rumah Ummi oleh kapten Harmono dari CPM. Ketika menanya Pak Natsir dia bertanya, “nama Bapak, M. Nazir atau M. Nasir, mana yang benar.” Pak Natsir menjawab “nama saya Muhammad Natsir, hanya satu di Indonesia.” Ketika saya yang ditanya: Kapten: “Nama adik siapa?” Saya: “Masri” Kapten: “Pangkat?” Saya: “Saya tidak punya pangkat.” Kapten: “Saya tidak percaya, kenapa adik turun dari hutan?” Saya: “Saya turun atas perintah presiden RPI.” Kapten: “Siapa presiden RPI?” Saya: “Mr. Sjafruddin Prawiranegara.” Kapten: “Apa perintahnya?” Saya: “Untuk menghentikan segala bentuk perlawanan terhadap pemerintah RI.” Kapten menggeleng-gelengkan kepala sambil memegang bahu saya. Karena di Sumatera Barat keselamatan Pak Natsir tidak terjamin maka Pak Natsir bersama dengan Bukhari Tamam, Buya Tasman Mansyur dan Ridwan dipindahkan ke Padang Sidempuan. Rombongan mereka dikawal oleh Kapten Sitompul dan H. Damanik atas perintah Jenderal Nasution. Lahmuddin, Dt. Tan Kabasaran dan saya disuruh tinggal di rumah Ummi. Skenario Ilahi: Dokumen Syahrul Aini Sepuluh hari saya berada di rumah Ummi terjadi peristiwa yang merupakan skenario Illahi yang tidak terduga sama sekali. Jauh sebelum mengenal Pak Natsir, sudah ada benang halus antara saya dan keluarga Pak Natsir. Di awal pergolakan, saya masih bertahan sebagai guru SR di Kapau. Saya menganggap bahwa guru adalah pekerjaan yang netral. Di Padang dan Pekanbaru sudah terjadi pertempuran. Kebetulan salah seorang tentara yang berpihak kepada PRRI, berpangkat sersan, bernama Buyuang Sutan Sidi, berasal dari Kapau pulang ke kampung dari front Pekanbaru. Beliau memanggil ibu kos saya dengan sebutan “etek.” Beliau menitipkan kepada saya satu berkas ijazah mulai dari SR sampai Peguruan Tinggi. Ijazah seorang mahasiswa ITB yang bernama Syahrul Aini. Titipan itu saya terima dan saya simpan dengan baik. Ketika saya mengambil keputusan untuk bergabung dengan PRRI di Aie Kijang, dokumen tersebut saya titipkan kepada ibu kos itu. Saya mendengar Ummi bercerita kepada anak-anaknya yang lain tentang ijazah seorang anaknya bernama Syahrul yang syahid di hutan. Rupanya Ummi mendapat kabar bahwa ijazah tersebut dititipkan kepada seorang sersan dan sersan tersebut menitipkan kepada seorang guru. Ummi tidak tahu siapa guru itu. Ketika mendengar Ummi menyebut nama Syahrul, saya bertanya kepada beliau: “Syahrul apa namanya? “ “Syahrul Aini” Jawab ummi. “Siapa dia” kata saya. Ummi menjawab: “anak ummi yang meninggal di hutan.”
“Masya Allah, kalau itu, barangnya ada di tangan saya.” Saya langsung pamit dan pergi ke Kapau untuk mengambil ijazah tersebut. Setelah saya kembali dan memberikan ijazah tersebut kepada ummi ternyata benar. Dokumen yang saya simpan itu adalah milik Syahrul Aini, anak Ummi. Saya ingat kembali ketika ditugaskan ke Koto Tinggi dulu. Ketika itu saya mendapat informasi dari wakil Departemen Pertahanan, bahwa Syahrul sudah syahid. Saya sampaikan kepada Pak Natsir, tapi beliau berkata kepada saya, jangan beritahu Ummi dan anak-anak. Biar bapak yang menyampaikannya. Kini barulah ketahuan setelah saya berada di rumah Ummi seiring dengan terungkapnya misteri ijazah. Bahwa Syahrul yang ijazahnya saya simpan itu, adalah Syahrul yang berita kesyahidannya dulu pernah saya laporkan kepada Pak Natsir. Hijrah Ke Jakarta Setelah 15 hari di Bukittinggi, saya merasa tidak betah, walaupun sudah dikirimi banyak buku oleh Pak Natsir sebagai penghibur. Saya pergi menemui Pak Jufri yang sudah saya kenal di hutan. Saya bilang: “Pak, saya tidak betah tinggal di Bukittinggi, saya mau pergi.” “Kemana Masri mau pergi”, kata Pak Jufri. Saya menjawab: “Kalau saya dikasih uang, saya beritahu kemana saya pergi. Jika tidak dikasih uang, saya tetap pergi, tapi saya tidak akan memberi tahu kemana saya pergi.” Pak Jufri coba membujuk saya “selesaikanlah dulu surat-surat.” Saya menjawab: “bagi saya yang perlu uang.” Akhirnya Pak Jufri mengalah dan berkata “kama ka pai, den agiah seo oto” (mau pergi kemana, biar saya kasih ongkos). Saya menjawab,”Aden ka pai ka Sidempuan ka tampek Pak Natsir.” (saya mau pergi ke tempat Pak Natsir di Padang Sidempuan ) Kemudian Pak Jufri memberikan uang Rp 400,- sebagai ongkos. Saya naik bus P.O Sibualbuali dan sampai di Padang Sidempuan menjelang subuh. Selesai shalat subuh, saya mencari tempat minum dan sarapan di restoran di samping pool bus Sibualbuali. Di sana saya bertemu dengan Mr. Eziddin, yang nantinya menjadi ketua Yarsi pertama; beliau langsung memeluk saya. Saya juga bertemu dengan Buya Zamzami Kimin. Saya langsung dibawa ke rumah Pak Natsir di komplek Korem. Selama di Padang Sidempuan saya diberi tugas oleh Pak Natsir menulis Surat Takziah untuk keluarga anggota tentara PRRI yang syahid di medan juang. Surat Takziah, berisi ucapan terima kasih dan penghargaan atas nama ummat yang ditandatangani oleh Bapak Natsir. Formulir yang diisi adalah nama tentara sukarela PRRI yang syahid atau hilang dalam pertempuran. Saya masih ingat data yang berasal dari Dt. Tan Basa, nagari Padang Tarok, komandan Pasukan Panah Beracun. Tapi tugas mengisi surat Takziah ini hanya sebentar saya lakukan karena Pak Djanamar Adjam memenuhi janjinya. Saya dipanggil ke Jakarta untuk disekolahkan.
Beliau megirim uang untuk membeli tiket kapal. Ketika tiket telah dibeli dan tanggal keberangkatan dari Belawan telah ditetapkan, saya mendapat kabar dari Pak Natsir bahwa pak Djanamar Adjam ditangkap oleh presiden Soekarno. Sampai di Jakarta Pak Djanamar Adjam tak dapat saya temui lagi. Beliau mengutus pembantunya menjemput saya di pelabuhan Tanjung Priok. Kalau tak ada orang yang menjemput di pelabuhan maka saya akan terlunta lunta di “hutan belantara Jakarta” tanpa sanak famili dan tanpa uang. Pembantu ini orang Sunda bernama Matsih Suweli yang dulu mendampingi pak Natsir di rimba. Dialog antar Generasi Sebelum saya berangkat ke Jakarta Pak Natsir menulis sebuah puisi, sebagai jawaban atas puisi saya ketika masih di hutan. Puisi saya, Masri Lembaga Kecil mungil Bertaburan Di tanah tandus Mengharapkan Serpihan kasih Nan bakal terbuang Layu terkulai Menanti setitik air Limpahan kasih kerahimanmu O, orang yang lalu... Siram-siramlah lembaga yang kecil ini Kiranya jadi pohon rindang Tempat bernaung di waktu panas Tak ada pohon besar Kalau tak ada lembaga kecil Rimba di sekitar nagari Sitalang, 8 juli 1960 Jawaban Pak Natsir: Pelepah Dengarkan daku wahai pelepah Jangan kau hendak bergayut juga
Ingin abadi bermain angin Tak kau tau tampuk tua mu Kering mersik rintang menyempit Si umbut muda mengurai kelopak Padang Sidempauan Desember 1961