Rakyat yang Berjuang, Elite Politik yang Memanen Web Warouw | Senin, 27 Mei 2013 - 13:17:48 WIB
(dok/antara) Sejumlah mahasiswa Universitas Nasional berunjuk rasa untuk memperingati 15 tahun reformasi di depan gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (22/5). Kapitalisme internasional mendukung penuh elitereformis melakukan perubahan drastis konstitusi. Setelah 15 tahun akhirnya rakyat sadar bahwa reformasi bukanlah jalan keluar bagi Indonesia. Justru reformasilah yang memperpanjang penderitaan dan kesengsaraan rakyat di kaki penguasa-penguasa baru yang korup dan antirakyat. Namun sebagian orang masih berharap. Sepertinya Pemilu 2014 akan memberikan jalan keluar. Untuk itu Sinar Harapan menurunkan laporan khusus tentang reformasi yang lahir di tengah puncak perlawanan rakyat Indonesia menjelang jatuhnya Orde Baru dan Soeharto, 21 Mei 1998.
Mei 1998, kebangkitan aksi-aksi gerakan rakyat terjadi di berbagai daerah, khususnya di Ibu Kota. Diikuti oleh penjarahan yang semakin meluas terjadi di beberapa kota besar. Belakangan lewat penyelidikan Komnas HAM, baru diketahui ada sekelompok aparat militer yang tidak dikenal ikut mendorong aksi-aksi kekerasan pada etnis Tionghoa. Sejumlah elite politik menyiapkan konsep reformasi untuk menghentikan gerakan rakyat anti-Orde Baru-Soeharto agar tidak berujung pada revolusi. Elite politik yang tadinya sangat akomodatif terhadap Orde Baru, tiba-tiba tampil di panggung politik atas nama gerakan reformasi. Mereka mencuri kesempatan di tengah kekosongan figur perlawanan pada Soeharto. Mereka sempat dikenal sebagai kelompok Ciganjur yang terdiri dari KH Abdurrachman Wahid, Amin Rais, Megawati Sukarno Putri, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X. Dalam perhitungan, Soeharto akan bertahan. Tak ada yang menyangka Soeharto akan mundur. Namun setelah Panglima ABRI Jenderal Wiranto monolak perintah Soeharto
1
"mengambil kekuasaan ala Supersemar 1966", jenderal tua berbintang lima itu menyatakan diri mundur. Setelah Soeharto mengumumkan pengunduran diri pada 21 Mei 1998, raksasa yang bernama "massa rakyat" yang sedang belajar melawan berhasil dijinakkan atas nama kemenangan reformasi. Padahal Kedaulatan rakyat telah gagal ditegakkan. Inilah puncak dari badai besar gerakan rakyat yang menggelora semenjak 14-21 Mei 1998. Bagaimana gerakan yang semula sporadis bisa menjadi gerakan umum (general movement) pada Mei 1998? Gerakan rakyat bangkit lagi sejak 1980-an dipelopori oleh beberapa pemuda dan mahasiswa revolusioner. Berbeda dengan gerakan sebelumnya pada 1974 dan 1978, dalam gerakan rakyat ini semenjak awal tidak mengenal konsep figur. Itu karena semua kelompok tahu persis Soeharto akan segera akan menangkap dan menghabisi setiap figur yang akan memimpin rakyat secara terbuka untuk mematikan perlawanan. Dalam gerakan hanya ada pelopor dan penggerak. Beberapa dari mereka berhasil dikenal karena ditangkap dan dipenjara seperti Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho, dan Bambang Subono pada 1989. Mereka bertiga ditangkap dengan delik subversif setelah menyebarkan nasionalisme dan kesadaran rakyat untuk melawan Orde Baru dan imperialisme yang diinspirasikan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam tetraloginya. Penangkapan dan penjara pada mereka justru membakar semangat yang membara ke semua lini perjuangan di berbagai kampus. Ratusan mahasiswa melancarkan gerakan advokasi di desa-desa dan pabrik bersama kaum tani dan buruh. Berbagai perampasan tanah rakyat dan pelanggaran hak-hak buruh mulai menjadi bara api baru yang dikobarkan pemuda dan mahasiswa. Penyatuan antara penderitaan rakyat dan gagasan revolusi menghasilkan aksi-aksi rakyat yang berhasil menjebol tembok Dwi Fungsi ABRI dan lima Paket Undang-Undang Politik yang menjadi benteng kekuasaan Soeharto dan Orde Baru dalam menindas rakyat. Dengan demikian, panji-panji perlawanan terhadap Soeharto dan Orde Baru berhasil dikibarkan di kalangan mahasiswa, pemuda, tani, buruh, dan belakangan kaum miskin kota. Tentu Soeharto tidak diam. Namun penangkapan justru semakin memperluas perlawanan. Seorang dosen yang berani dan revolusioner dari Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Beathor Suryadi, ditangkap masih pada 1989, berikut beberapa aktivis PIJAR yang tertangkap tangan berkali-kali saat aksi rakyat seperti kelompok Yenny Rosa Damayanti.
2
Pelajaran penting bagi pemuda dan mahasiswa di setiap kota yang melawan adalah belajar menghidari penangkapan, menghadapi interogasi, serta siksaan sambil memperluas dan meradikalisasi gerakan rakyat. Beberapa figur yang lolos dari penangkapan militer Orde Baru, dengan cara masingmasing, berupaya melanjutkan memperluas gerakan mahasiswa di berbagai kota menjadi gerakan mahasiswa-pemuda dan rakyat. Tidak banyak yang mengetahui peran penting dan rahasia dari Danial Indra Kusuma dan Agus “Lenon” Edy Santoso dalam mengonsolidasikan gerakan secara nasional. Dengan sabar semua kelompok perlawanan dijalin. Di Jakarta ada kelompok mahasiswa, kelompok lingkungan hidup yang dipimpin Indro Tjahjono, kelompok LBH yang dipimpin, Mulyana W Kusuma dan kelompok Pijar di bawah Amir Hussain Daulay. Di Yogyakarta, ada Kelompok Rode yang dipimpin M Yamin dan Atha Mahmud dan Kelompok UGM yang dibangun oleh M Thoriq dan John Tobing. Di Solo ada WJ Thukul dan kawan-kawannya. Di Bandung ada kelompok Bambang Hari, Deddy Triawan dan Satya Dharma. Di Semarang ada kelompok Hari “Gombloh” Sutanta, di Salatiga ada kelompok Stanley, serta di Surabaya dan Malang ada kelompok Kacik dan Agung Putri. Pada tahap selanjutnya, gerakan meluas ke Kalimantan, Sumatra, Sulawesi, Bali, NTB, dan NTT. Gagal Membendung Gerakan pemuda, mahasiswa dan rakyat berhasil menjebol kesadaran palsu kelas menengah yang selama ini membenarkan Soeharto. Setiap pukulan dan penangkapan dari semua perlawanan membangkitkan kemarahan kelas menengah. Soeharto gagal membendung dukungan kelas menengah sejak awal 1980-an. Tidak banyak elite kelas menengah yang punya keberanian saat itu. Mereka adalah HJ Princen, Buyung Nasution, Yap Thiam Hien, Aristides Katoppo, Yoppie Lasut, dan Gunawan Muhamad yang memiliki latar belakang sosialis demokrat. Mereka, walaupun sebelumnya ikut dalam mendongkel Soekarno dan mendukung Soeharto pada kudeta 1965, belakangan diam-diam ikut menyemai benih perlawanan lewat pendidikan pers mahasiswa dan hak asasi manusia di kalangan pemuda dan mahasiswa sejak 1980-an. Dalam sebuah konsolidasi pelopor dan penggerak pada awal 1990-an disimpulkan kebutuhan untuk membangun kekuatan persatuan nasional untuk menjadi lokomotif semua perjuangan. Kebutuhan ini yang mendorong berdirikan Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dipimpin oleh Budiman Sudjatmiko dan Petrus Harjanto yang di deklarasikan 22 Juli 1996. 3
Partai yang berisikan generasi keempat dari gerakan anti-Soeharto ini secara intern berhasil menyimpulkan beberapa resolusi penting, yaitu PRD sebagai partai pelopor yang berbasiskan massa dan revolusi demokratis sebagai jalan keluar bagi Indonesia. Platform yang diusung adalah platform sosial-demokrasi-kerakyatan dengan slogan utama “Satu Perlawanan, Satu Perubahan” yang diusulkan oleh Fransisca Ria Susanti dalam Kongres pendirian PRD. Kongres PRD memperkuat metode perlawanan rakyat semakin sistematis didukung rakyat dan kelompok-kelompok pergerakan secara nasional. Pukulan telak bagi Soeharto yang menentukan adalah dukungan PRD pada perjuangan rakyat Timor-timur secara terbuka. PRD dan beberapa aktivis Timor-timor dipimpin oleh Budiman Sudjatmiko, Petrus Harjanto, Garda Sembiring, Jakobus Eko Kurniawan, dan Wilson pada awal 1995 melakukan aksi menerobos beberapa kedutaan besar di Jakarta. Tuntutannya adalah agar dunia internasional mendukung referendum di Timortimur dan tidak lagi mendukung Soeharto. Beberapa pemogokan buruh diorganisasi oleh Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) di Bogor, Tengerang, Bekasi, dan Surabaya. Aksi-aksi tani dipelopori oleh Serikat Tani Nasional (STN). Di perkotaan, Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID) menggalang aksi-aksi dukungan terhadap perjuangan rakyat. Ketua Umum PPBI, Dita Indah Sari dan Ketua Umum STN, Coen Hussein Pontoh tertangkap bersama puluhan aktivis di Surabaya pada awal 1996. Tidak sampai seminggu setelah deklarasi PRD, dengan cepat Soeharto menunjuk Jenderal Faisal Tanjung dan Jenderal Syarwan Hamid menjadi corong dan pelaksana keinginan Soeharto untuk menghabisi PRD yang dicurigai jelmaan “hantu” Partai Komunis Indonesia (PKI). Lewat operasi 27 Juli 1996 yang berdarah di Markas Partai Demokrasi Indonesia (PDIP), ABRI punya alasan untuk untuk mengejar dan menangkap kelompok pemimpinpemimpin PRD baik di Jakarta, Semarang, Solo, Yogyakarta, sampai Surabaya, Palu, dan Manado. Namun PRD berhasil membangun kepemimpinan baru yang dipimpin oleh Andi Arief yang melanjutkan perlawanan pada Soeharto dari bawah tanah. Belakangan pada 1997 Soeharto memerintahkan Kopassus yang dipimpin Jenderal Prabowo Subijanto untuk membentuk tim mawar menculik Andi Arief, Faisol Reza, Rahardjo Waluyo Jati, Agus Jabo Priono, Nezar Patria, Mugianto, Aan Rusdiyanto, Suyat, WJ Thukul, Herman, dan Bimo Petrus. Empat nama terakhir bersama puluhan
4
aktivis lainnya hilang sampai hari ini. Tujuan Soeharto adalah agar tidak ada figur yang populer dari PRD yang akan bisa memimpin perlawanan. Namun Soeharto sudah tidak mampu membendung kebangkitan rakyat yang sudah siap mencongkelnya dari kekuasaan. Dari bawah tanah, PRD mendorong lahirnya berbagai organisasi mahasiswa, pemuda, dan kaum miskin perkotaan yang melanjutkan perjuangan menggalang dukungan rakyat untuk menjatuhkan Soeharto. Perlawanan kembali membara di semua kota besar di seluruh Indonesia. Bedil dan peluru tidak membuat rakyat takut. Puncaknya pada 21 Mei 1998, karena ketakutan, Soeharto mengundurkan diri, setelah seluruh gedung-gedung DPRD dan DPR di duduki oleh rakyat dengan satu tuntutan menjatuhkan Soeharto. Beberapa kaki tangan Soeharto termasuk Menteri Penerangan, Harmoko lari terbirit-birit dikejar mahasiswa di DPR. Agar tidak menjadi revolusi, politikus elite reformis memanfaatkan kejatuhan Soeharto untuk mengakomodasi penunjukan presiden BJ Habibie. Timbal baliknya kaum reformis mendapat posisi memimpin DPR dan MPR dan mulai menjalankan skenario tuantuan Eropa dan Amerika-nya agar menggantikan kediktaktoran dengan liberalisasai ekonomi dan politik. Secara cepat atas nama reformasi politik, kapitalisme internasional mendukung penuh elite reformis melakukan perubahan drastis dalam konstitusi. Amien Rais sebagai ketua MPR memimpin amendemen UUD 1945 sesuai dengan kepentingan pemilik modal asing. Dengan demikian, sistem penindasan dan penghisapan pada bangsa ini masih tetap bisa dilanjutkan dalam demokrasi liberal yang dikuasai oleh kaki tangan imperialisme di Indonesia. Sempat, ketika KH Abdurahman Wahid berhasil mengambil alih kursi kepresidenan pada 1999, ia mencoba menghentikan upaya amendemen, namun berujung pada pemakzulan yang memberikan kesempatan Megawati Sukarnoputri mengambil kekuasaan pada 2002. Atas nama menyelamatkan reformasi, terjadi perebutan kekuasaan dikalangan elite reformis. Amendemen UUD 1945 terus dilanjutkan diikuti dengan terbitnya ratusan undangundang pendukung liberalisasi politik dan ekonomi di semua bidang. Reformasi politik membuka pemilihan presiden secara langsung pada 2004 dan 2009 menugaskan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pelanjut serta penjaga reformasi politik dan ekonomi. Rakyat yang berjuang, elite politik dan kapitalisme internasional yang memanen hasilnya. Sumber : Sinar Harapan
5
Demokrasi Jangan Dimonopoli Orang Berduit Created on Tuesday, 28 May 2013 08:07 Jakarta, GATRAnews - Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa mengatakan bahwa biaya politik menjadi anggota eksekutif dan legislatif sangatlah tinggi, sehingga hanya kandidat yang memiliki uang atau dekat dengan pemilik modal lah yang mampu mencapai kekuasaan. "Ini tidak boleh terjadi. Sebagai ketum (ketua umum, Red.) partai, saya melihat di Pilkada yang pada akhirnya akan berujung pada money poitics (politik uang, Red.), membuat praktek korupsi dan KKN sulit kita berantas," tegas Hatta, dalam diskusi "Dari Reformasi Politik ke Reformasi Ekonomi", di kantor DPP PAN, Jakarta Selatan, Senin malam (27/5). Menurut Menko Perekonomian ini, bersihnya negara dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merupakan esensi dari tujuan Reformasi yang belum tercapai pada tahun ke-15 Reformasi ini dicanangkan. Selain itu, demokrasi juga tidak boleh hanya diakses bagi orang yang berkantong tebal. "Persoalan ini merupakan esensi persoalan reformasi yang kita lakukan, yakni berantas KKN, tidak boleh terjadi tirani. Demokrasi tidak boleh terkooptasi dan proses demokrasi tidak boleh terjadi hanya bagi pemilik modal," paparnya. Senada dengan Hatta, Wakil Ketua DPD RI Laode Ida mengatakan, untuk mengubah demokrasi, negeri ini memerlukan satu sistem yang mengedepankan sistem nilai agar para pengambil kebijakan tidak hanya memikirkan diri dan kelompoknya. "Jadi, pemikir, praktisi politik, pengambil kebijakan yang hanya memikirkan dirinya dan kelompok harus dikikis secara perlahan. Jika perlu, harus ada revolusi transisi politik kita dalam jangka pendek," tandasnya. (IS)
6