Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
TIADA SEMPURNA IMANKU TANPA RASA MALU [caption id="attachment_332" align="alignleft" width="150"]
Malu adalah bagian dari iman[/caption] Oleh: Tian Wahyudi, S.Pd.I* ????????? ?? ??????????? ??????? ????????? ???????? ?????? ??????????? ??????
Muqaddimah Bila kita menyimak hadits Rasûlullâh e di atas, maka kita mendapati bahwa betapa pentingnya rasa malu ada pada diri setiap mukmin, bahkan kehadirannya merupakan hal yang wajib, sehingga bila rasa malu lenyap, maka lenyap-pulalah gelar kemukminan seseorang. Melalui hadits tersebut, Rasûlullâh e juga mengingatkan kita untuk senantiasa menumbuhkan dan menjaga rasa malu agar terus hidup dalam diri kita. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari kita akan lebih berhati-hati dalam bertingkah dan berprilaku. Dalam riwayat lain beliau juga mengisyaratkan kepada umatnya, bahwa bila rasa malu telah hilang dalam hati seseorang, maka dia telah terjerumus menjadi manusia yang hilang akalnya, sehingga berbuat sesuka hatinya tanpa mengindahkan lagi aturan Allâh U maupun kehormatan dirinya. Apakah sebenarnnya definisi malu? Apa ukuran/kadarnya? Sebesar itukah pengaruh malu dalam diri seseorang, sehingga Rasûlullâh e menyatakan bahwa keberadaanya tidak dapat dipisahkan dengan iman dalam jiwa seorang mukmin? Malu, sebagaimana dikatakan Amru Khalid,[1] berarti terkendalinya jiwa, yakni ia tidak dapat melakukan perbuatan tercela atau sesuatu yang buruk. Jadi, seorang pemalu tidak bisa melihat dirinya hina di hadapan Allâh U, di hadapan manusia, atau di hadapan dirinya sendiri. Sedangkan Imam al-Nawâwi mengatakan bahwa malu merupakan akhlak terpuji yang mendorong seseorang untuk meninggalkan sesuatu yang buruk dan mencegahnya dari kelalaian (meremehkan) dalam memenuhi hak para pemiliknya. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, al-hayâ’ (malu) berasal dari kata al-hayât (kehidupan). Hujan dinamakan hayâ - diakhiri dengan huruf alif maqshûrah - karena ia merupakan sumber
1/7
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
kehidupan bagi bumi, tanaman dan hewan ternak. Kehidupan dunia dan akhirat juga dinamakan al-hayâ'. Oleh sebab itu, siapa yang tidak memiliki rasa malu ibarat mayat di dunia ini dan sungguh, dia akan celaka di akhirat. Dalam konteks ini, bisa juga berarti hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna. Bila merujuk pengertian di atas, dapat dipahami bahwa malu adalah perangai yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalanginya dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain. Dengan demikian, bila seseorang memiliki rasa malu, maka sungguh hatinya dalam kondisi hidup menyala, sehingga matanya terbuka untuk melihat mana yang hitam dan mana yang putih.
Problematika Masyarakat yang Meninggalkan Rasa Malu Dalam Islam, rasa malu termasuk dalam kategori al-akhlâq al-mahmûdah (akhlaq terpuji). Karena itulah Rasûlullâh e mengatakan, “Seseorang tidak akan mencuri bila ia beriman, tidak akan berzina bila ia beriman.” Bahkan Rasûlullâhjuga menjelaskan qalîl al-hayâ’ (sedikit dan kurangnya malu) akan menyebabkan nilai ibadah menjadi hilang. Saat ini, bila kita cermati di berbagai media, baik itu elektronik maupun cetak, kita akan dapati bahwa realitas kehidupan masyarakat Indonesia sudah mulai kehilangan rasa malu, bahkan malu sudah menjadi barang langka di negeri ini. Rasa malu tidak hanya terkikis, bahkan habis pada semua level masyarakat Indonesia. Seorang anak tidak punya rasa malu berkata-kata kasar dan tidak sopan kepada orang tuanya. Seorang bapak yang semestinya menjadi teladan, tidak malu mempertontonkan pertengkaran besar di hadapan anaknya. Kasus seorang ayah memperkosa anaknya, anak membunuh orang tuannya, pelajar tidak malu mencontek untuk meningkatkan nilai ujiannya atau polisi yang mau disogok, adalah karena hilangnya rasa malu. Perempuan dengan bangganya mempertontonkan auratnya dihadapan publik juga akibat telah hilangnya rasa malu. Seorang hakim yang sepatutnya menegakkan keadilan, tidak punya rasa malu lagi menerima titipan uang dari terdakwa untuk menghapus dakwaan atau mengurangi kadar hukumannya di pengadilan, seorang anggota dewan yang seharusnya memikirkan dan menyuarakan aspirasi rakyat ternyata dengan tanpa rasa malu malah sibuk untuk memikirkan kepentingan pribadi dan memenuhi kebutuhan dan kepuasan hawa nafsunya yang tidak berujung, serta masih banyak lagi sederetan peristiwa yang serupa. Beginilah kondisi yang terjadi di negeri kita, dari rakyat kecil sampai kaum elit, dari komunitas keluarga sampai negara, dari anak-anak sampai orang dewasa, dari aparatur di tingkat desa sampai pemerintahan pusat, sudah mulai luntur budaya malu yang seharusnya menjadi tameng yang dapat menjaga kemuliaan pribadi seseorang. Sebab, akibat tiadanya rasa malu, individu, kelompok, bahkan suatu bangsa akan hancur, sebagaimana sabda Rasûlullâh, "Jika Allâh
2/7
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
hendak menghancurkan suatu kaum (negeri), maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu" (HR. Bukhâri dan Muslim). Manusia sebagai makhluk Allâh yang paling sempurna, selain memiliki bentuk fisik yang baik, ia pun dianugerahi Allâh kemampuan berpikir melalui akal. Dengan modal akal ini, manusia dapat mempertahankan predikat kemuliaan dan kesucian fitrahnya. Tanpa memanfaatkan akal yang sehat, manusia akan terjerembab ke jurang kehinaan. Malu merupakan salah satu akhlak yang menghiasi perilaku manusia dengan cahaya dan keagungan yang ada padanya. Inilah akhlak terpuji yang ada pada diri seorang lelaki dan fitrah yang menghiasi diri setiap wanita. Sehingga, menjadi sangat tidak masuk akal bila ada wanita yang tidak ada rasa malu sedikit pun dalam dirinya. Oleh karenanya, beruntunglah orang yang punya rasa malu. Alî bin Abî Thâlib, berkata, “Orang yang menjadikan sifat malu sebagai pakaiannya, niscaya orang-orang tidak akan melihat aib dan cela pada dirinya.” Amru Khalid dalam bukunya Akhlâq al-Mu’mîn[2] menceritakan kisah seorang lelaki yang datang kepada Ibrâhim ibn Âdam untuk meminta nasehat karena kesulitannya untuk meninggalkan dosa dan maksiat. Berikut percakapan mereka: orang itu berkata, “wahai imam, aku ingin bertobat dan meninggalkan dosa. Tetapi tiba-tiba aku kembali berbuat dosa. Tunjukkan padaku sesuatu yang bisa melindungiku hingga aku tidak lagi bermaksiat kepada Allâh.” Ibrâhîm ibn Âdam berkata, “jika engkau ingin bermaksiat kepada Allâh, jangan bermaksiat di bumi-Nya.” Orang itu bertanya, lalu di mana aku bisa bermaksiat?” “Di luar buminya”, jawab Ibrâhim. Orang itu berkata lagi, “Bagaimana mungkin, sebab seluruh bumi ini milik Allâh?” Maka, Ibrâhim berkata, “tidakkah engkau malu bahwa seluruh bumi ini milik Allâh tetapi engkau masih berbuat maksiat di atasnya?” Lalu Ibrâhîm melanjutkan, jika engkau ingin bermaksiat, jangan memakan rizki-Nya.” Orang itu menjawab, “bagaimana aku bisa hidup?” Ibrahim berkata, “tidakkah engkau malu memakan rizki-Nya sementara engkau bermaksiat kepada-Nya?” Ibrâhim melanjutkan, “jika engkau ingin bermaksiat kepada Allâh lakukanlah di tempat yang tidak dilihat oleh-Nya.” Orang itu menjawab, “bagaimana mungkin sementara Dia terus bersama kita di mana saja kita berada.” Ibrâhim berkata, “tidakkah engkau malu bermaksiat kepada-Nya sementara Dia bersamamu dan dekat denganmu?” Lalu Ibrâhim melanjutkan, “jika engkau masih tetap ingin bermaksiat, maka apabila malaikat maut datang kepadamu guna mengambil ruhmu, katakan padanya, “tunggu sampai aku bertobat!” Orang itu berkata, “bagaimana mungkin wahai imam, itu mustahil.” Ibrâhim berkata, “tidakkah engkau malu malaikat maut datang kepadamu dan mengambil ruhmu sementara engkau dalam kondisi bermaksiat?!” Ibrâhim melanjutkan, “jika engkau tetap ingin bermaksiat, maka ketika para Malaikat Zabaniyah
3/7
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
yang menjaga neraka Jahannam datang untuk mengantarkanmu menuju neraka, katakan kepada mereka, ‘aku tidak akan pergi bersamamu.’” Orang itu menjawab, “bagaimana mungkin wahai imam?!” Ibrâhim akhirnya mengatakan, “setelah ini semua, apakah engkau tidak malu kepada Allâh?” Atas apa yang telah dikisahkan di atas, masihkah kita mencari-cari alasan untuk tidak bersyukur kepadaNya? Masihkah kita menghabiskan waktu kita untuk bermaksiat kepada-Nya? Masihkah kita gunakan nikmat dan karuniaNya untuk justru mengerjakan sesuatu yang dilarangNya. Tidakkah kita merasa malu ketika akal pikiran, mata, telinga, lidah, tangan, atau seluruh tubuh kita, digunakan untuk melakukan perbuatan yang tidak Dia kehendaki? Masihkah kita belum menyadarinya atau kita memang tidak mau tau atas ini semua? Manusia dijadikan oleh Allâh sebagai sebaik-baik ciptaanNya (ahsanu taqwîm). Dengan akalnya manusia berbeda dari makhluk lain. Manusia dapat menciptakan dan menemukan teknologi cangih untuk mempermudah hidupnya. Dengan akalnya manusia juga mampu menciptakan peradaban. Tetapi semua karunia itu adalah dari dan milik Allâh U. Kasih sayang Allâh U kepada manusia memang tidak pernah putus, namun seringkali kasih sayangNya oleh manusia dibalas dengan pengingkaran dan kemaksiatan. Walaupun demikian, karena sifat Allâh Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Dia tidak pernah berhenti untuk memberikan nikmat dan karunianya. Lewat makhlukNya yang lain kita tetap diajarkanNya, lewat hambaNya yang lain kita juga tetap diingatkanNya. Dalam sebuah hadits qudsiy yang juga dikutip oleh Amr Khalid, Allâh U berfirman, “aku yang mencipta tetapi selainKu yang disembah. Aku yang memberi rezeki tetapi selainKu yang disyukuri. KebaikanKu turun kepada hamba sementara keburukan mereka naik kepadaKu. Aku berbaik hati kepada mereka dengan memberi berbagai nikmat padahal Aku tidak butuh pada mereka. Tetapi mereka justru memperlihatkan kebencian padaKu dengan bermaksiat padahal mereka makhluk yang paling butuh kepadaKu. Orang yang berdzikir mengingatKu adalah teman dudukKu. Siapa yang ingin menjadi teman dudukKu hendaknya ia berdzikir mengingatKu. Orang yang taat padaKu adalah para pencintaKu. Sementara orang yang bermaksiat kepadaKu tidak kubuat mereka putus asa dari rahmatKu. Jika mereka bertobat padaKu niscaya Aku menjadi kekasih mereka. Jika menolak maka Aku yang akan mengobati mereka. Kuuji mereka dengan berbagai musibah agar mereka suci dari noda. Siapapun diantara mereka yang datang bertobat kepadaKu, Kusambut dari jauh. Siapa yang menentangKu Kupanggil dari dekat. Aku akan berkata kepadanya, ‘Kemana engkau hendak pergi?‘ Kebaikan di sisiKu dibalas dengan sepuluh kali lipat dan bisa Kutambah. Sementara kejahatan di sisiKu dibalas semisalnya dan bisa Kuampuni. Demi kemuliaan dan keagunganKu, seandainya mereka meminta ampunan kepadaKu pasti Kuampuni.” Demikianlah rahmat dan cinta kasih Allâh tercurah tiada henti kepada hamba-hambanya. Namun, memang masih saja kebanyakan manusia tidak mau tau dan bersikap acuh tak acuh tehadap semua ini.
Memupuk Rasa Malu Pada Jiwa Sebagai Upaya Membangun Kualitas Diri
4/7
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
Sebaik-baik rasa malu adalah malu kepada Allâh U, dan itu adalah malu yang sebenarbenarnya. Perasaan malu terhadap Allâh U merupakan bentuk kesadaran seseorang bahwa Allâh U mengetahui semua perbuatan manusia, baik perbuatannya diketahui oleh orang lain ataupun tidak. Dari hal sekecil apapun dia tetap meyakini dan merasakan bahwa Allâh selalu berada di dekatnya, melihat dan mengawasinya, sehingga dia merasa malu kepadaNya jika melakukan hal yang tidak diridhoiNya. Orang yang malu kepada Allâh U selalu ikhlas karena Allâh U, bukan karena ingin dipuji manusia. Karena dia menyadari bahwa yang dapat memberi rahmat dan keberkahan hanyalah Allâh U bukan selainNya. Seorang mukmin yang malu kepada Allâh U akan lebih banyak bersyukur daripada mengeluh. Dia menjadikan apa yang diberikan Allâh U kepadanya sebagai sarana untuk menjalankan perintahNya. Dia juga menjaga seluruh anggota tubuhnya dari melakukan sesuatu yang dimurkaiNya. Karena pada dasarnya dia mengetahui mana yang menjadi tujuan dan mana yang sekedar sarana. Hal ini senada dengan apa yang disabdakan Nabi Muhammad e ketika menjelasakannya kepada para shahabat. Dari Abdullâh bin Mas’ud bahwa Rasûlullâh e bersabda, ???????????? ???? ????? ????? ?????????. ?????: ???????: ??? ???????? ?????? ?????? ?????????? ?????????? ?????? ?????: ?????? ?????? ??????? ??????????????? ???? ????? ????? ????????? ???? ???????? ???????? ????? ?????? ?????????? ????? ?????? ???????????? ???????? ?????????? ?????? ??????? ????????? ?????? ???????? ?????????? ?????? ?????? ????? ??????????? ???? ????? ????? ????????? “Malulah kepada Allâh dengan malu yang sebenar-benarnya.” Kami berkata, “Ya Rasulullah, alhamdulillah, kami sesungguhnya malu.” Beliau bersabda, “Bukan itu yang aku maksudkan. Tetapi malu kepada Allâh dengan malu yang sesungguhnya; yaitu menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya, menjaga perut dari apa yang dikehendakinya. Ingatlah kematian dan ujian, dan barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan alam akhirat, maka ia akan tinggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang melakukan hal itu, maka ia memiliki sifat malu yang sesungguhnya kepada Allâh.” (HR Tirmidzi). Sungguh, memang tidak mudah untuk menghadirkan rasa malu kepada Allâh U. Diperlukan kemauan dan kesungguhan untuk mencapainya. Selain itu, kesadaran bahwa Allâh U senantiasa melihat, dan mengetahui sekecil apapun perbuatan manusia, bahkan apa yang ada dalam hati dan pikirannya, juga merupakan sesuatu yang tidak bisa dikesampingkan untuk memunculkan rasa malu itu. Kesadaran akan rasa malu pada Allâh U merupakan hal penting yang harus dimiliki setiap orang. Karena rasa malu akan menjaga kualitas diri seseorang dan melindunginya dari perbuatan yang dapat merusak dirinya. Tanpa rasa malu, orang akan dengan mudah berbuat dosa dan maksiat tanpa canggung dan merasa bersalah. Sehingga akan menimbulkan terjadinya kemaksiatan. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk senantiasa memupuk dan menumbuhkan rasa malu dalam diri. Sehingga kita bisa menghindarkan diri kita dari perbuatanperbuatan yang merusak diri, orang lain dan agama serta mendatangkan murka Allah. Dalam
5/7
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
konteks ini, Ummu Fadhilah dalam sebuah artikel bebas yang ditulisnya, menjelaskan bahwa ada beberapa cara untuk menumbuhkan dan memupuk rasa malu kepada Allâh U, antara lain: 1. selalu menyadari apa yang hendak dikatakan dan dilakukan, sehingga terhindar dari melakukan hal-hal yang akan mengakibatkan rasa malu. Misalnya: berkata-kata kotor, berbohong, atau mengingkari janji. 2. Senantiasa meningkatkan kualitas diri, dengan terus memperluas wawasan dan pengetahuan, terutama tentang pengetahuan agama. Sehingga akan bertambah keimanan dan ketakwaan kita. 3. Jika melihat orang lain melakukan hal yang tidak terpuji yang bertentangan dengan aturan Islam, hendaknya kita mengingatkan dan menasehatinya dengan cara yang baik. Ingatkan bahwa Allâh U melihat apa yang dia kerjakan. 4. Jika melihat orang merasa malu dan bertobat setelah melakukan kemaksiatan, hendaknya kita memuji bahwa apa yang dia lakukan itu adalah benar. Kita juga hendaknya memberi semangat kepada mereka untuk mempertahakan rasa malunya pada Allâh U. 5. Bagi para orangtua, hendaklah menanamkan rasa malu pada Allâh U pada anak-anak sejak kecil. Misalnya membiasakan menutup aurat jika keluar rumah, berkata sopan dan sebagainya. Gunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah dimengerti anak-anak. Upaya untuk selalu memupuk dan menumbuhkan rasa malu ini hakikatnya adalah untuk meneguhkan keimanan dan meningkatkan ketakwaan. Sebab, malu sebagaimana dijelaskan di muka merupakan perisai seseorang yang membentenginya dari perbuatan-perbuatan yang dapat menghinakannya. Oleh karenanya, malu perlu untuk dibudayakan melalui lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat. Tentu semua ini harus dimulai dari contoh dan keteladan yang baik dari para orangtua, guru, tokoh masyarakat dan semua elemen yang menginginkan terwujudnya kehidupan muslim yang dilandasi oleh keteguhan dan kesempurnaan iman. Wallâhu’alam bi al-showâb.
MARÂJI’ Amru Khalid. 2010. Akhlâq al-Mu’min (Terj.) Buku Pintar Akhlaq, Memandu Anda Berkepribadian Muslim dengan Lebih Asyik, Lebih Otentik. Cet.Ke-2. Jakarta: Zaman
* Alumnus Tarbiyah FIAI UII
6/7
Buletin Al-Islamiyah Media Kajian dan Dakwah Universitas Islam Indonesia http://alislamiyah.uii.ac.id
[1] Amru Khalid, Akhlâq al-Mu’min (Terj.) Buku Pintar Akhlaq, Memandu Anda Berkepribadian Muslim dengan Lebih Asyik, Lebih Otentik. Cet.Ke-2. (Jakarta: Zaman, 2010), 169
[2] Amru Khalid, Akhlâq al-Mu’min., hlm. 177-179
7/7 Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)