Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah) : SUMBER : KOMPAS, 29 Mei 1995
Arifin C Noer Telah Tiada Jakarta, Kompas Arifin C Noer (54), salah satu tokoh terpenting dalam dunia teater Indonesia, meniggal dunia di RS Medistra Jakarta karena penyakit kanker hati, Minggu (28/5) pagi pukul 06.25 WIB. Sebelum dirawat di rumah sakit Medistra sejak 23 Mei 1995, Arifin telah menjalani operasi kanker di Singapura. Jenazah sutradara kelahiran Cirebon, Jawa Barat 10 Maret 1941 yang dari jalan kesenimanannya telah menjadi budayawan dengan pemikiranapemikiran yang sangat luas lebih dari dunia yang digelutinya itu dimakamkan di pemakaman Jeruk Purut Jakarta Selatan, Minggu sore kemarin. Didampingi terus-menerus oleh istrinya, Jajang Pamontjak yang dinikahinya tahun 1979 (mereka tidak pernah bercerai seperti ditulis Kompas, Minggu (28/5) Red), rumah duka mereka di bilangan Kebayoran Baru Jakarta Selatan kemarin dipenuhi pelayat dari berbagai kalangan dari seniman, politisi, sampai diplomatik. Bersama Jajang, Arifin dikaruniai dua anak, Nita Nazira dan Marah Laut. Sedang bersama istri pertama, Nurul Aini, ia juga dikaruniai dua anak, Vita Ariavita dan Veda Amritha. Hampir semua nama didunia teater, film, tumpah di rumah duka, bercampur dengan nama-nama dari dunia profesi yang lain. Beragamnya latar belakang pelayat seperti menggambarkan bukan saja signifikansi posisi Arifin C Noer dalam dunia teater di mana dia pantas disebut sebagai “perintis teater Indonesia”, tetapi juga keluwesan, kehangatan, keakraban pribadi Arifin C Noer. Ladang Baru Perintis teater Indonesia, titik. Begitulah barangkali untuk menggambarkan sekaligus menghormati posisi kesenimanan Arifin C Noer. Berbagai pendapat yang dihimpun Kompas sebenarnya menegaskan itu. Nama Arifin tidak bisa dipisahkan dengan Teater Ketjil yang didirikannya sekitar tahun 1967 dan melakukan pentas perdana Februari 1968 di Balai Budaya Jakarta. Ikranagara yang tengah melakukan penelitian mengenai teater Indonesia dan ikut merintis berdirinya Teater Ketjil mengatakan, Arifin dan Rendra adalah pendobrak stagnasi dunia teater di tahun 60-an. “Sebelum itu patokannya adalah realisme. Arifin melakukan pendobrakan dalam hal pengadeganan, akting, penulisan naskah – hal-hal yang menjadi pilar utama teater”, kata Ikranagara. Setelah itu, mengutip perkataan dramawan Wahyu Sihombing (alm), Ikra mengatakan, “Mereka (maksudnya Arifin dan Rendra) telah membuka ladang baru untuk kita eksplorasi”. Ketua Dewan Kesenian Jakarta Salim Said yang juga ikut merintis Teater Ketjil, mengenang saat permulaan Arifin di Jakarta dan saat-saat awal Teater Ketjil. Waktu itu, katanya Arifin menumpang di tempat tinggal Salim di bilangan Tegalan, Jakarta. Nama Teater Ketjil itu sendiri kata Salim mengingat sebelum itu ada kelompok orang asing di Jakarta yang memiliki grup Little Theater. “Kelompok orang asing itu waktu itu tak aktif lagi, lalu saya katakan pada Arifin mengapa tidak menggunakan nama itu”, kata Salim.
Arifin sendiri dalam acara ulang tahun ke-25 Teater Ketjil di kediamannya dua tahun lalu, mengatakan nama “Ketjil” yang dipakai teater ini dipilih dengan sebuah semangat “tahu diri”. “Kelompok ini kan mengandalkan pada eksperimentasi. Kami tahu, penonton akan terbatas, hanya jumlah kecil saja”, ucap Arifin waktu itu. Tradisi Gaya merendah dan bersahaja itu memang bagian dari Arifin. Padahal, sumbangan Arifin bersama Teater Ketjil-nya terhadap dunia teater di Indonesia sungguh bukan mainmain. Waktu itu, ada tiga kelompok teater yang boleh dikatakan penting, yakni Bengkel Teater pimpinan Rendra, Teater Ketjil pimpinan Arifin C Noer, dan Teater Populer pimpinan Teguh Karya. Kalau mau disederhanakan, Arifin-lah yang pertama-tama melakukan pengucapan masalah-masalah modern dalam teater Indonesia lewat kekayaan tradisi yang ada, lewat pengungkapan teater rakyat. Karyanya yang sangat penting adalah Kapai-Kapai dan MegaMega. Dua naskah itu bukan saja terus dimainkan di Indonesia sampai kini oleh berbagai kelompok, tetapi juga dimainkan oleh beberapa kelompok teater di luar negeri dalam berbagai bahasa. Dalam dunia penulisan naskah itu, Arifin memang lagi-lagi harus disebut salah satu yang terpenting. Pasti ini tak melupakan Rendra dan juga Putu wijaya yang sangat produktif menghasilkan naskah drama dan juga melahirkan mazhab tersendiri yang diikuti banyak orang. Mengenai naskah drama itu, barangkali juga tak bisa dipisahkan dari pergulatan Arifin untuk memberi warna Indonesia pada teater Indonesia. “Tak ada teater Indonesia tanpa karya asli Indonesia”, kata arifin C Noer suatu saat seperti dikutip Ikranagara. Di dunia teater itu, Arifin menghasilkan tak kurang dari 20 naskah, dari Bulan Pada Suatu Malam (1961) sampai Orkes Madun IV (1989). Terjun ke film Yang harus ditulis mengenai Arifin yang juga dikenal sebagai penyair ini, termasuk terjuny dia ke dunia film. Pada dunia film, dia pernah menyentak dengan karyanya Suci Sang Primadona (1977) di mana dia menjadi sutradara dan penulis skenario. “Itu adalah film dia yang terbagus. Semangat pembaruan Arifin terasa di situ. Dulu saya bahkan pernah berharap akan lahirnya Felini Indonesia, tetapi kemudian dia mencoba mendekati pasar, meski usaha dia untuk tetap otentik selalu kelihatan”, kata Salim said, dokter ilmu politik yang banyak bicara mengenai masalah film. Pandangan Salim Said tak terlalu meleset. Selain karya-karya yang banyak dikenang orang seperti Suci tadi, Arifin terlibat sedikitnya dalam 44 film, baik sebagai sutradara maupun yang terbanyak dalam penulisan skenario. Begitu beragam skenario yang pernah ditulis Arifin, untuk menyebut beberapa saja, dari Badai Pasti Berlalu (1977), sampai misalnya Akibat Godaan (1978). Dia sudah ikut berputar bersama film Indonesia saat film Indonesia mengalami masa emasnya di awal tahun 70-an, misalnya dengan menulis skenario Sanrego, Bengawan Solo, Senyum Dipagi Bulan Desember, dan lain-lain. Pergulatan Arifin untuk “mengkompromikan” berbagai kepentingan film, baik kepentingan pasar, politik dan lain-lain, betapapun telah menghasilkan beberapa karya yang terbukti selain cukup bermutu juga laku di pasar. Sebutlah misalnya selain Suci sendiri, juga Harmonikaku (1979) dan Taksi (1990). Sate kambing
Perjalanan karier kesenimannya, jalin-menjalin dengan hidup pribadinya yang cukup unik. Lahir dari keluarga penjual sate kambing di Cirebon, sebelum hijrah ke Jakarta, Arifin pernah menjadi sutradara Teater Muslim di Solo dan anggota Studi grup Drama Yogyakarta. Ketika memperingati 25 tahun Teater Ketjil dua tahun lalu, Arifin bercerita antara lain bagaimana dia menyelenggarakan pentas Teater Ketjil pertama kali. Pentas di Balai Budaya itu, katanya, dibiayai dengan ongkos Rp. 1.500, berasal dari honor Arifin yang diperoleh dari tulisannya yang di muat di Harian KAMI. Katanya, uang itu diserahkan Arifin kepada penyair LK Ara yang bertugas mencetak undangan. “Untuk mengedarkan undangan, kita mengerahkan semua pemain, sebagian dengan berjalan kaki. Boleh pilih, apa mau berjalan kaki dengan minum es”, cerita Arifin waktu itu. Lalu, ketika Taman Ismail Marzuki (TIM) dibuka tahun 1968, Arifin dan beberapa temannya sering tidur di TIM, yang dilakukannya dengan mengendap-endap agar tak ketahuan petugas keamanan dan badan pengelola TIM. “Kami tidur berpindah-pindah, kadang-kadang di ruang pameran, terkadang di Teater Tertutup atau Teater Arena”. Dari pribadi semacam inilah kemudian publik teater Indonesia mengenal lingkaran Arifin yang terdiri dari para anak buahnya seperti Ratna Riantiarno, Cini Goenarwan, Lucy Andalusia, Dorman Borisman, Jajang yang kemudian diperistrikannya dan lain-lain. Banyak orang bisa mengenangkan apa yang telah diberikan Arifin. Misalnya pimpinan Teater Koma, N. Riantiarno, yang beberapa saat sebelum bergabung dengan Teater Populer pimpinan Teguh Karya dulu, pernah bergabung dengan Arifin C Noer. Melalui Riantiarno itulah terjadi “pertalian keluarga” antara Teater Populer dengan Teater Ketjil. “Besanan Teater Populer dan Teater Ketjil sebenarnya bukan hanya fisik, antara saya dengan Ratna, tetapi juga antara gagasan-gagasan teater itu sendiri. Lewat Teguh Karya saya belajar hal-hal teknis, masalah-masalah artistik, lewat Arifin saya belajar pemikiran”, kata Riantiarno mengenai Teater Koma yang kemudian didirikannya. Arifin yang sangat luas pergaulannya dan sikapnya yang supel, menjadikan dia nara sumber pertama kalau ada hal-hal khusus terjadi pada seniman di Indonesia. Arifin yang bersuara serak itu, sangat artikulatif dan bisa menjelaskan posisi beberapa seniman Indonesia dalam peta kesenian di Indonesia. Itulah sebabnya, beberapa kali Kompas memintanya untuk menulis obituary beberapa tokoh yang meninggal dunia. Dia pernah membikin tulisan yang mengesankan ketika Tuti Indra Malaon meninggal tahun 1990, dengan tulisan Tuti Itu Indah. Kini, Arifin C Noer sendiri telah berpulang. Kehilangan ini, benar-benar terasa.