Hasil ketik ulang dari dokumen asli (dokumen asli terlampir di bawah) : SUMBER : KOMPAS, 10 April 1972
PERTEMUAN SEPINTAS
ARIFIN C NOER Kambing, pisau, sate, darah (tanpa mengenal rak buku, diskusi ilmiah, suasana artistik dan dan sebagainya). Tinggal di daerah Cirebon. Dalam lingkungan agama yang ketat. Dalam keluarga yang beragama. Lalu seorang Arifin C Noer muncul kepermukaan. Lahir sebagai yang kurang bernasib baik masa kecil diliputi penderitaan seorang penderitaan kencing batu dan pada akhirnya diharuskan menerima sebuah operasi besar. Jadilah lemah tubuh yang memang belum mungkin untuk kuat dan perkasa. Beberapa tahun Arifin tinggal di Jakarta. Lalu lahir “Teater Kecil”, yakni sebuah kumpulan manusia yang belajar dan mendalami kehidupan teater. Sebuah teater yang oleh beberapa orang dianggap sebagai teater avantgard. Teater yang menggarap (kata orang) “suara bawah sadar manusia Indonesia” Di dadanya ada kemelut “Mungkin saja memang tidak sebesar JP Sartre, sehingga saja tidak (belum) memberikan keputusan yang final terhadap semua kegelisahan saya dengan Tuhan, masyarakat dan nasib saya sendiri”. Demikian dalam sebuah kesempatan dia bicara. Dan ketika sore itu saya coba menemuinya di Teater Arena ketika dia sedang menunggui latihan rutin anak-anak buahnya disambungnya apa yang pernah dikatakan itu bahwa “beberapa orang memang jadi jijik terhadap saya, disebabkan oleh pementasan “Lalat-lalat” yang lalu”. + Apa yang kau harapkan dari publik dengan pementasan-pementasan drama-drama yang “muram”itu? - Mungkin tema-tema dan suasana drama yang saya pilih itu memang sesuai dengan watak dan cita-selera saya sendiri. Dan jika itu dipertunjukkan didepan publik, maka adalah tak lebih “agar mereka melihat sesuatu yang mungkin berlainan dari apa yang biasanya terjadi dalam masyarakat”. Kegelisahan seorang manusia yang lengkap! Tentang agamanya, dirinya sendiri, keluarganya, sejarah … Dan diapun kemudian menyebutkan bahwa Arifin memang tidak bahagia. + Apakah Arifin memang tidak bahagia? - Apakah kebahagiaan? Bukan manipulasi perasaan?! Saya tidak bahagia (happy), tapi saya bisa gembira (glad). + Banyak Humor? Saya teruskan. - Ya, itu watak saya. Kebiasaan yang sudah hidup dalam darah daging. Kemudian terdengar monolog Arifin C. Noer (memang banyak pula naskahnaskahmonolog yang sudah ditulisnya!) “Aku memerlukan Tuhan karena aku memerlukan kawan bicara dalam kesunyian. Aku memang tidak berani untuk tinggal sendirian secara mutlak. Saya memerlukan seseorang, seseorang yang bisa diajak bicara. Dan secara asasi siapakah “seseorang” ini? Tuhan. Agama… Islam. Tapi saya tidak bisa lagi “masuk” dan krasan dalam agama ini. Dan sudah ada orang yang mulai mengatakan bahwa saya sudah kafir, atheis, tak ber-Tuhan”.
Ruangan ini pengab. Anak-anak sudah selesai berlatih. “Mari kita cari udara segar, diluar. Kita lanjutkan omong-omong”. Dan seperti terbebas dari sebuah mimpi buruk, kami berjalan keluar dari Teater Arena, menuju ruang terbuka lapangan dalam Taman Ismail Marzuki. Wajah anaknya membayangkan eksplosi penduduk “Saya membayangkan mereka sedang makan bersama-sama nasib bersama kita. Dan aku memang tak bisa membayangkan bahwa ada harapan panjang berlebih dengan nasib seluruh sejarah kita”, dia memulai lagi kisahnya. +Tapi, kau pernah mengatakan bahwa anak pertamamu menyumbang kebahagiaan bagi kamu. Kau melihat sebuah dunia baru dengan hidupnya. Dunia yang masih serba berkemungkinan?. - Anakku membayangkan eksplosi penduduk. Kelaparan, penderitaan. + Kau orang pesimis? - Ya. Mungkin kau masih ingat sebuah kritik atas puisi-puisiku di “Basis” beberapa tahun yang lalu. Aku adalah lalat yang terbang memukul-mukul dinding gelas. Sepi didalamnya dan pengap!. + Pesimisme mungkin bukan saja dikarenakan pandangan masa depan yang suram, tapi juga disebabkan atau dihasilkan oleh masa lampauyang tidak bahagia. Begitu? - Mungkin!? Tapi masih belum jelas untuk saya apakah memang begitu. Baik, akan akan coba menggali masa lampau itu. + Kau ingat bagaimana salah seorang dalam “Lalat-lalat” selalu mengatakan masa sialnya dalam usia 5 atau 7 tahun? - Sukar untuk diingat dan digali….. + Saya kira itu memang agak Freudian… - Dari kecil saya memang pemurung. Aku amat mencintai ibuku. Fisikku lemah. Dan ibu selalu mengatakan bahwa “aku tak bisa akan berbuatatau bertindak sesuatu”. Itulah yang kemudian melahirkan sikap pemberontakan dalam diriku. Aku jadi pemberontak dan mencoba mengatakan bahwa aku bisa berbuat sesuatu. “Bisa diambil sebuah contoh”, sambungnya “pernah saya di hajar ayah. Lalu saya minggat dari rumah. Beberapa bulan tak ngomong apa-apa. Suatu hari, saya makan diwarung sate ayah dan ayah datang dengan sebuah mangkok untuk cuci tangan. .. Apa yang terlihat dalamnya?... darah! Darah ayah saya.. Tapi kemudian setelah ibu saya meninggal, ganti aku sangat mencintai ayah. Disekolah pernah aku buat seorang guru sampai menangis kena debat dengan saya. Dan waktu SMA saya terusir dari sekolah. Entah karena apa”. + Dari kecil rumah (keluarga) sudah bukan “home”, sekolah, masyarakat, agama juga bukan “tempat tinggal”?! - Masa lampau yang memberontak. Masa depan yang tidak cerah. Meskipun setting hidup tidak seluas dan semanis settingnya Albert Camus. Dia lihat Eropa yang sakit dari lingkaran laut tengah yang romantis. Lalat-lalat yang sulit + Kau terlalu banyak lelucon dalam teater seriusnya JP Sartre !, saya ajukan kritik untuk pementasan yang baru lalu. Dan kemudian muncul “teori” Arifin tentang lelucon tersebut sebagai berikut: “Lelucon itu untuk mengendorkan ketegangan publik yang sudah lama harus tekun mengikuti lakon. Diapun masih lelah. Dia harus istirahat. Dan tertawa dalam ruang teater adalah sebuah istirahat. Sesudahnya dilanjutkan lagi dengan “klimaks”, dan orang sudah dalam keadaan yang lebih segar kembali dan mampu untuk menangkap apa yang mau ditampilkan”.
+ Apakah anak buah juga menangkap problem sesungguhnya yang mau dikatakan oleh JP Sartre dalam “Lalat-lalat”? - Tergantung pada kekayaan pengalaman batin mereka. Dan memang tidak bisa dituntut yang tidak mungkin dan belum mereka alami dalam pementasan drama. Mereka sudah menangkap sejarah intelektual. Tepi yang menentukan adalah pengalaman batin! + Bukankah latihan itu merupakan intensifikasi pengalaman? - Ya! Dalam latihan mereka banyak berdiskusi. Dan melatih keyakinan akan kekuatan fantasi bahwa imaginasi dan seluruh tindak teatral itu bermakna dan penonton menangkap apa yang sesungguhnya hidup dalam diri aktor. + Penonton, bagaimana? - Mereka bisa menafsir sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dan tidak perlu seragam! + Tangkapan publik yang bagaimana yang kau harap?! - Bahwa mereka melihat “ada cara berfikir dan bertindak lain”. Itu saja. ! “Bahwa ada cara berfikir dan bertindak lain” kiranya itulah bisa dinamakan dengan istilah tingginya “kreativitas”. Baik untuk seniman maupun untuk publik. Kesediaan untuk menerima “yang lain” itulah yang positif bisa mendukung teater absurd macam “Lalat-lalat” dan type-type semua lakon yang diambil oleh Arifin C Noer. Lalu dalam akhir pertemuan itu tak lupa ducapkan “mungkin saya akan pergi ke Amerika. Berfikir, belajar. Dan dalam lima tahunan yang akan datang, moga-moga semua kegelisahan dan ketidak tentuan ini bisa mencapai tarafnya yang tetap dan stabil”. Arifin yakin akan “kepastian dalam jangka lima tahun yang akan datang itu”. dan pertemuan itu semula membayangkan kemuraman, kemudian diakhiri dengan harapan, tertawa dan malam semakin dingin juga.