“Melintas yang Sepintas, Meski Bias”
Komunitas Embun Pagi : Abdul Haris Fitrianto, Ahmad Fahmi Mubarok, Awaludin Marwan, Edi Subkhan, Giyanto, Muhammad Taufiqurrohman, Muhtar Said, Yogas Ardiansyah
Daftar Isi Melintas yang Sepintas ; Filsafat dan Basis Epistemologis Menggugat Epistemologi Ilmu Sosial....................................... 6 Giyanto Logis Saja Sudah Cukup? ......................................................... 17 Ahmad Fahmi Mubarok Psikologi, Lagi dan Lagi ........................................................... 20 Ahmad Fahmi Mubarok Motivator & Humanity ............................................................. 24 Abdul haris Fitrianto Psikososiofisiomikrobioantropogeoteknologi......................... 29 Ahmad Fahmi Mubarok Beberapa Tanggapan................................................................ 32 Muhammad Taufiqurrohman “Pertarungan” Kaum “Liberal”: Kontradiksi Berfikir Bryan Caplan .......................................... 37 Giyanto Setelah Postmodernisme ......................................................... 40 Edi Subkhan
Melintas yang Sepintas ; Pendidikan Matinya Para Filsuf ................................................................. 47 Edi Subkhan SPL dan Disorientasi Tujuan Pendidikan ................................ 53 Muhammad Taufiqurrohman Warung Pecel .......................................................................... 57 Yogas Ardiansyah
2
Pendidikan Politik Bagi Kaum Tertindas ................................ 62 Awaludin Marwan Ruang Publik Pendidikan......................................................... 67 Edi Subkhan Menengok Diri Serta Pendidikan Kita ..................................... 73 Giyanto Semarang Kota Pendidikan, Mungkinkah? ............................. 77 Edi Subkhan Nafas Neoliberalisme RUU BHP ............................................. 82 Edi Subkhan
Melintas yang Sepintas ; Intelektualitas Proyek Masyarakat Intelektual ............................................... 92 Muhammad Taufiqurrohman Nilai Politik dan Mimbar Akademik ........................................ 95 Giyanto Aktivis Asli Tapi Palsu.............................................................. 97 Muhtar Said
Melintas yang Sepintas ; Demokrasi Otonomi Daerah: Sebuah Taruhan Menuju Good Governance Lokal .................. 100 Awaludin Marwan Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Malaysia ...................... 104 Awaludin Marwan Potret Demokrasi Lokal .......................................................... 109 Awaludin Marwan
3
Melintas yang Sepintas ; Budaya Mas Goen, Jawablah Pertanyaan-Pertanyaanku Jika Kau Mencintaku .... 115 (Surat buat Goenawan Mohamad) Muhammad Taufiqurrohman Sudahlah... Mari bersahabat ................................................... 122 Yogas Ardiansyah Memoir : Apa Budaya Kita?...................................................... 128 Ahmad Fahmi Mubarok Solo vs Sragen .......................................................................... 132 Ahmad Fahmi Mubarok Hegemoni British English dan American English Di Indonesia ............................................................................. 136 Muhammad Taufiqurrohman
Melintas yang Sepintas ; Mahasiswa Meneguhkan Gerakan Intelektual Mahasiswa......................... 152 Edi Subkhan Post Power Syndrome Di Lembaga Kemahasiswaan ............... 156 Abdul Haris Fitrianto Antara Iklan dan Lomba Karya Tulis Mahasiswa .................... 159 Ahmad Fahmi Mubarok
Melintas yang Sepintas ; Refleksi Kedirian Dilema Eksistensi Manusia (tinjauan psikologi marxian) ....... 163 Abdul Haris Fitrianto MEMOIR .................................................................................. 165 Muhammad Taufiqurrohman
4
PRINSIP ................................................................................... 169 Giyanto Sekedar Meminta Izin ............................................................. 173 Ahmad Fahmi Mubarok Sebuah Pesan ........................................................................... 175 Yogas Ardiansyah Selamat Tinggal Sayangku ....................................................... 178 Giyanto Cerita Tentang Itu .................................................................... 181 Ahmad Fahmi Mubarok
5
Melintas yang Sepintas ; Filsafat dan Basis Epistemologis Menggugat Epistemologi Ilmu Sosial Oleh : Giyanto Tulisan ini mencoba merefleksikan, dan bukan untuk menemukan hal-hal baru. Kali ini, kita akan membahas Epistemologi Ilmu Sosial. Setelah tertatih-tatih dalam memahami karya von Mises, yang diterjemahkan di Jurnal Akal dan Kehendak oleh Sukasah Syahdan, akhirnya saya berani untuk menulis hal ini. Selain frustasi memahami arti sifat statistik induktif dalam setiap metode kajian ilmu sosial, ini adalah bentuk kekecewaan dan frustasi atas ilmu yang saya pelajari, yaitu Ilmu Sosial. Bertahun-tahun mempelajari Ilmu Sosial, seolah saya belum mendapatkan apa-apa. Setiap jurnal penelitian yang saya baca dari penelitian yang ada, hampir semuanya merekomendasikan hal yang sama ; kurang adanya koordinasi antar lembaga/institusi sosial, jadi diharapkan setiap lembaga pemerintah melakukan koordinasi. Setidaknya hasil itu, yang sering saya temukan dalam rekomendasi kajian ilmu sosial dalam mencoba memecahkan permasalahan sosial. Tidak ada solusi lain. Terlepas dari teori-teori besar Kuhn, Capra, dan lain sebagainya dalam usaha menjelaskan berbagai proses perkembangan ilmu pengetahuan, dengan kacamata yang sangat sederhana sebenarnya kita dapat melihat adanya ketidaksesuaian antara teori-teori Ilmu Sosial dan realitas sosial itu sendiri. Faktor lain, yang saya kira lebih penting, ialah paradigma positivistik yang sudah bertahun-tahun menjangkiti pemikir-pemikir Ilmu Sosial. Ke-kurang 6
percaya diri-an dalam menggunakan kajian deskriptif ataupun analisis non statistik sudah lama tumbuh dalam pikiran para ahli Ilmu Sosial. Ejekan-ejekan yang sering saya baca di buku-buku Filsafat Ilmu –misal Filsafat Ilmu karya Jujun Suryasumantri- oleh para pakar, saya kira telah memicu penyakit “kurang percaya diri” tersebut. Ejekan bahwa tanpa Matematika ataupun Statistik, Ilmu Sosial menjadi kurang sahih, menurut saya sangat tidak beralasan. Logika Ilmu sosial sangat berbeda. Obyek kajian Ilmu Sosial tidak seperti obyek Ilmu Alam yang cenderung tetap. Obyek ilmu alam tidak memiliki relasi yang dinamis dengan variabel di luarnya, relasi yang ada cenderung tetap. Berbeda dengan kajian Ilmu Sosial yang mempunyai relasi yang tidak tetap terhadap variabel-variabel di luarnya. Seandainya manusia hanya dipengaruhi oleh variabelvariabel tetap diluarnya dan tidak berusaha untuk membalikkan stimulus yang ada, yang barangkali kemudian balik menanggapinya dengan respon secara timbal balik, saya kira itu bukan manusia, tapi lebih dekat dengan robot. Manusia yang harus menunggu stimuli sehingga memberikan respon, sekali lagi, saya kira itu bukan manusia. Sependapat dengan Einstein ketika ditanya mengenai persoalan-persoalan epistemologis ilmu tentang tindakan manusia: Bagaimana mungkin matematika, sebagai produk pikiran manusia yang tidak bergantung pada pengalaman apapun, dapat begitu pas dengan obyek-obyek realitas? Apakah akal manusia mampu menemukan, tanpa bantuan pengalaman, melalui akal semata ciri-ciri benda-benda yang nyata? Dan jawabannya adalah: ”Sejauh teorema-teorema matematika mengacu pada realitas, maka tidaklah pasti, dan sejauh mereka pasti, mereka tidak mengacu pada realitas”. 7
Kecenderungan epistemologis yang muncul barubaru ini merupakan reaksi ketidakpuasan dari patron metodologi yang ada. Keberanian para ahli Antropologi untuk memakai metode grounded search merupakan cikal bakal "pemberontakan” tersebut, walaupun ada sedikit "malu-malu" untuk menggunakannya. Yang juga-dan masih- menyerang akut saat ini, adalah virus yang sama, yang merasuk dalam Ilmu Ekonomi. Dan saya memprediksi virus-virus ketidakpuasan terhadap ketidakmampuan Ilmu Ekonomi dalam usaha memprediksi setiap permasalahan ekonomi, akan membawa kita (kembali) mengakui kesahihan metode yang barangkali dianggap purba, yaitu praksiologi. Anjloknya bursa saham di Amerika Serikat telah membuat Negara-negara di seluruh dunia menjadi waswas. Berbagai analisis ekonomi yang saya baca masih cenderung dangkal. Padahal permasalahan tersebut sebenarnya hanya membutuhkan solusi sederhana yang telah seringkali disampaikan orang tua kita, yang secara ilmiah bukan "pakarnya”-setidaknya menurut pakar Ilmu Ekonomi. Atau, solusi tersebut dapat diungkap dari nilainilai klasik Cina maupun Jawa Kuno. Tidak bermaksud menjadi kiri. Tulisan ini sebenarnya ingin mengatakan bahwa apa yang kita yakini dalam epistemologi yang dipakai secara umum oleh ahli Ilmu Sosial sebenarnya semakin menjauhi kebenaran atau realitas itu sendiri. Dengan kata lain, saya sebenarnya lebih mengiyakan pandangan subyektfivitas a la Thomas Kuhn, atau yang lebih kontemporer barangkalai Fritjof Capra. Entitas sosial, apabila dianalogikan ibarat sebuah sistem tubuh dalam logika biologi, atau jaring laba-laba dalam analogi Rothbard. Jadi, seandainya paradigma yang ada sekarang memakai paradigma empiris “obyektif” dengan kacamata ilmu pengetahuan alam, bukan tidak 8
mungkin, para ahli ilmu sosial yang sekarang “menjabat” atau meneliti dan menulis di jurnal ilmiah telah melakukan sesuatu yang sia-sia dan menghabiskan waktu. Ini berarti terdapat satu generasi yang hilang-atau buta-terhadap pencerahan ilmu tentang manusia. Saya menyadari konsekuensi mengatakan yang demikian. Apabila benar-benar diterapkan mengenai paradigma yang saya yakini, bukan tidak mungkin, semua struktur kelembagaan yang ada di dunia akademis berubah total. Dan ini, menurut saya, tidak akan mungkin dilakukan karena para akademisi akan lebih mementingkan kepentingannya sendiri atau hak mereka untuk ber-status quo, karena terkait dengan profesi, daripada benar-benar melakukan tanggungjawab ilmiah dalam memperjuangkan kebenaran secara ilmiah pula. (apalagi ide-ide tersebut hanya dikatakan oleh “anak kecil”, seperti kita) Akan tetapi, seperti yang dikatakan Hayek, bukankah tugas intelektual untuk “memasarkan ide” dan selalu mengingatkan setiap penyimpangan yang ada di masyarakat, termasuk dunia akademis? Mengenai peran untuk mendebatkannya, secara filosofis sudah dilakukan oleh orang-orang, yang setidaknya sudah saya sebut dalam tulisan ini. Begitu banyak bukti-bukti mengenai subyektvitas Ilmu Sosial. Sejarah perjuangan Ideologi, ataupun sejarah penemuan teori-teori di bidang Ilmu Alam telah dapat menjadi bukti bagi seringnya ketersesatan perjalanan penegakan Ilmu Pengetahuan pada jalurnya. Nasib tragis yang dialami oleh Wegener dalam memperjuangkan teori continental drift bisa dijadikan kasus, atau nasib Galileo, Copernicus, dan begitu banyak teoritikus lainnya yang bernasib sama. Dan dalam bidang ekonomi, saya memprediksi pandangan-pandan Ludwig von Mises akan berdengung keras di dunia akademik Ekonomi setelah 9
tersia-siakan oleh masyarakat akademis, yang tidak lepas dari pengaruh kepentingan-kepentingan politis. Dalam hal ini, saya yakin kebenaran akan berbicara dengan sendirinya entah suatu saat nanti. Namun demikian, sebuah fakta sejarah kurang lengkap apabila dipergunakan sebagai bukti ilmiah. Bukti yang ada di depan mata, ialah mandulnya peran ilmuwan sosial di masyarakat umum. Bahkan seringkali orang-orang yang memiliki pengaruh ilmiah dalam ilmu sosial, biasanya adalah orang-orang “terpinggirkan” dalam dunia akademik. Bukankah ini merupakan bukti kecil dari fenomena tersebut? Contoh lain barangkali bisa dilihat dari produktivitas karya-karya sosial. Dari pengalaman saya sebagai pembaca, pandangan-pandangan sosial malah sering muncul dari mulut-mulut yang bukan ahlinya. Semisal yang sering menjadi kasus di Indonesia ialah profesi wartawan, sastrawan, peneliti lepas, pebisnis dan lain sebagainya. Sebagai tambahan, hasrat untuk menyerukan kebenaran ilmiah sebenarnya sudah menjadi bawaan bagi setiap manusia yang berfikir. Dan apabila ada yang sebagian, atau bahkan kebanyakan diam, itu disebabkan keberadaan mereka di struktur internal organisasi, yang menerapkan paradigma yang cenderung represif terhadap orang-orang semacam itu. Toh apabila orang-orang yang “berfikir” tersebut mengetahui, mereka akan memilih diam daripada memilih melakukan “keributan” yang barangkali akan dicap “berisik” dan membikin onar -barangkali dalam bentuk ekstrim dituduh mencari popularitas. Analisa lain yang saya tuduhkan, kalau bisa dikatakan sebagai gugatan, terkait keberadaan bangsa Indonesia yang dalam “kelahirannya” berbarengan, atau bisa dikatakan “disebabkan” oleh pertarungan ideologiideologi besar. Pengaruh sosialisme dari tahun 1945-1965, 10
dan selanjutnya pengaruh liberalisme a la Anglo Saxon dari tahun 1966 sampai sekarang, masih menjadi landasan “darimana” gagasan itu seharusnya muncul, sehingga bisa dikatakan sahih. Apakah kesahihan sebuah ilmu hanya didasarkan pada latar belakang geografis, budaya, peradaban, atau apapun itu? Saya kira pandangan tersebut menandakan kesempitan befikir. Sebuah paradigma seharusnya bisa diterima apabila dia dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada, dalam hal ini permasalahan sosial. Dan sekarang kita malah menjauhi dari idealisme tersebut. Hal-hal di atas sebenarnya merupakan idealisme dari seorang yang frustasi. Lebih parahnya, bila melihat seretnya penerbitan berkala di dunia akademik, bisa dikatakan dunia akademik kita sebenarnya telah mati suri. Dari kasus yang sekarang saya temui, penerbitanpenerbitan jurnal malah lebih banyak dilakukan oleh pihakpihak yang berada si luar lingkaran akademik. Mereka sebagian berdiri disebabkan oleh berbagai motif. Namun, tanpa menyelidiki motif tersebut, seharusnya kita patut mengapresiasinya dengan pikiran terbuka. Beberapa kasus tersebut, seharusnya menjadi refleksi semua pihak, termasuk intelektual, bahwa tanggungjawab ilmiah sebenarnya dapat diperankan oleh berbagai macam profesi, dan tidak harus sebagai filsuf yang seringkali diimpikan oleh para intelektual, jika hanya ingin meninggikan strata ilmiahnya. Dari fakta tersebut, terlihat begitu jelas, sehingga mempengaruhi keyakinan saya pribadi untuk mengambil posisi, walaupun harus tertatih-tatih dengan cara berputarputar berpindah profesi, hanya sekedar mencari dan terus mencari apa yang harus dan patut diperjuangkan. Selain ketersesatan penggunaan paradigma, kita juga telah kurang 11
sesuai dalam menggunakan alur berfikir logis dalam upaya menelaah sumber permasalahan ilmu sosial. Cerita singkat mengenai perjalanan panjang diakuinya teori continental drift barangkali bisa dijadikan inspirasi. Dari perspektif historis Ilmu Alam, saat Alfred Lothar Wegener menemukan teori continental drift, mulamula dia hanya sekilas melihat gambaran peta Amerika Selatan dengan garis pantai barat Afrika yang begitu identik. Wegener membayangkan bahwa kedua benua tersebut pernah menyatu. Baru kemudian dia mengumpulkan detail-detail penemuan yang ada, untuk mendukung teorinya. Padahal, penelitian geologis telah lama dilakukan oleh para geolog yang hanya memfokuskan detail-detail geologi tanpa membayangkan gambaran muka bumi secara keseluruhan. Akhirnya argumen Wegener mendapat bantahan tanpa pengujian terlebih dahulu dari para ahli geologi yang merasa paling tahu pada bidang tersebut. Namun demikian, Wegener bersikap tak acuh dan menikmati bidangnya dalam Klimatologi. Hingga 60 tahun kemudian kebenaran ilmiah terungkap dan bukti-bukti yang mengarah bahwa benua itu bergerak semakin banyak. Barangkali sejarah tersebut bisa terulang dengan cerita terbalik. Para ahli ilmu sosial, termasuk para ekonom, selama ini telah terlalu menyederhanakan dan terlalu menggeneralisasikan manusia melalui sederet angka-angka. Sekumpulan data administrasi yang belum tentu kesahihannya telah menjadi agregat-agregat yang dianggap mewakili manusia, tanpa menyelidiki pada tingkat mikro apa yang sebenarnya dilakukan manusia, apa alasan mereka melakukan sesuatu, dan bagaimana mereka bertindak untuk mencapai tujuan tersebut. Sehingga, hanya orang-orang jalanan atau praktisi yang mengetahui dengan jelas tapi-sangat disayangkan-mereka kurang mampu menyatakannya secara argumentatif, tertulis, dan 12
mendasarkan pada teori yang sahih, untuk menjelaskan permasalahan yang dihadapinya. Sebagai contoh, petani sering mendapati nilai harga beras mereka lebih rendah, jika dibandingkan dengan barang kebutuhan konsumsi yang lain. Apabila sekarang harga beras ditingkat dasar mencapai Rp. 4000,- bisa jadi harga di tingkat konsumen mencapai Rp. 5.000,-. Walaupun begitu, dalam mekanisme pasar hal tersebut dapat diterima, karena jalur distribusi yang terlalu panjang. Namun, yang lebih memprihatinkan, dengan harga dasar Rp. 4000,- seandainya dibandingkan dengan harga komoditas lain serta ditambah faktor-faktor produksi yang dibutuhkan dalam pertanian yang harganya terus naik, maka nilai beras dengan nominal yang demikian sangat tidak berarti. Akibatnya, dalam istilah ekonomi, akan terjadi defisit anggaran yang dialami petani. Tindakan yang sering ditempuh petani, dengan menyewakan salah satu sawahnya untuk menyokong biaya produksi pada tiap awal musim tanam. Dan hal tersebut terus berlarut-larut sehingga para petani tidak pernah mengalami keuntungan sama sekali disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang sifatnya inflasif (semakin membuat rendah nilai barang, dalam hal ini beras). Belum lagi biayabiaya keluarga seperti pendidikan, listrik, pajak dan lain sebagainya. Permasalahan tindakan-tindakan manusia berdasarkan pilihan-pilihan yang demikian sulit, apakah ilmuwan sosial atau ahli ekonomi mengetahuinya? Saya masih ragu hal demikian diketahui oleh ilmuwan yang duduk manis di mimbar akademik yang sangat terhormat. Dan apakah data-data yang dianggap subyektif tersebut bisa digunakan oleh pemerintah untuk mengambil kebijakan? Paling-paling yang digencarkan malah iklan 13
pembayaran pajak agar tepat waktu. Suatu paradoks yang sering terjadi di hadapan kita. Fenomena-fenomena pemiskinan secara sistematis tersebut sering dianggap sebagai hal yang remeh-temeh. Bahwa permasalahan sosial yang demikian, dianggap terjadi secara kasuistik dan parsial. Bukti yang bisa dianggap sahih ialah pertumbuhan ekonomi yang tinggi melalui angka-angka. Dengan demikian laporan pertanggungjawaban pemerintahan dapat diterima oleh rakyat yang diwakili oleh anggota legislatif melalui “datadata” yang telah dianalisis oleh kementrian ekonomi. Sebuah sandiwara yang selalu terulang setiap lima tahun sekali. Memang tidak mudah menerapkan paradigma Individualisme Metodis dalam epistemologis Ilmu Sosial. Mises telah memperingatkan: Meyakini bahwa keseluruhan kolektif itu dapat divisualisasikan adalah suatu ilusi. Keseleruhan kolektif tidak pernah dapat dilihat; kognisinya selalu merupakan hasil dari pemahaman atas makna yang diberikan manusia pada tindakannya. Kita memang dapat melihat keramaian, misalnya kerumunan manusia. Apakah kerumunan itu hanya sekedar pertemuan, ataukah sebuah badan teorganisasi, atau jenis lain dari entitas sosial, merupakan sebuah pertanyaan yang hanya dapat dijawab oleh pemahaman akan makna yang mereka berikan terhadap keberadaan tersebut. Dan makna ini selalu merupakan makna dari individunya. Bukankah indera kita, melainkan pemahaman kita, sebagai sebuah proses mental, yang membuat kita memahami entitas sosial. 14
Mises menambahkan : Siapa saja yang bermaksud memulai kajian tentang tindakan manusia dari unit-unit kolektif, akan mendapati rintangan tak terperi berupa kenyataan bahwa setiap individu pada saat yang sama juga dapat merupakan bagian nyata dari beragam entitas kolektif. Persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh mulitiplisitas unit-unit sosial yang berkoeksistensi dan antagonismeantagonisme mutual mereka dapat diatasi hanya melalui individualisme metodologi. Singkat kata, sekarang kita tidak hanya melakukan kesalahan terbesar abad ini, namun dengan menyengaja, kita, masyarakat ilmiah, telah membodohi masyarakat umum yang seharusnya tercerahkan oleh keberadaan ilmu pengetahuan. Salah satu dosen pernah mengatakan dengan enteng; “bahwa abad dua puluh ialah abad kuantitatif”. Namun dalam hati saya mengatakan “abad dua puluh ialah abad kegelapan”. Memang sangat mudah melupakan sebuah kesalahan yang tidak merugikan diri sendiri. Saat mengetahui fakta yang demikian, terasa sulit menerima bahwa yang selama ini kita lakukan sia-sia. Namun, setidaknya tumbuhnya kesadaran lebih awal akan menjadikannya lebih baik. Walaupun mengetahui bahwa kita keliru dalam melakukan permulaan, setidaknya satu hal penting adalah ahli ilmu sosial, termasuk ekonomi, sudah melakukan sesuatu dengan niat yang tulus. Harapan dari penulisan ini bukan bermaksud meniadakan arti penting Ilmu Sosial maupun Ekonomi, tapi lebih pada pencarian dalam upaya mendekati kebenaran, sehinga Ilmu sosial menjadi lebih bermanfaat bagi 15
kehidupan riil yang dapat membentuk kesadaran bagi umat manusia. Dari ulasan di atas, suatu keharusan bagi ahli Ilmu Sosial untuk dapat memulai berusaha mengetahui dan menyelidiki tatanan sosial yang ada, dengan apa adanya, melalui penelitian-penelitian lanjut yang dilakukan peneliti atau penulis lain, sehingga dapat mendiagnosis permasalahan-permasalahan sosial dengan kacamata yang tepat. Dengan demikian, sedikit demi sedikit kita dapat mengetahui serta memanfaatkan modal sosial yang selama ini belum terurai jelas, agar dapat digunakan sebagai fondasi dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
16
Logis Saja Sudah Cukup? Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok Orang muda menghormati yang lebih tua, orang tua menyayangi yang lebih muda Adagium yang akrab terdengar, mengingat takdir geografis yang senantiasa menuntut alam bawah sadar kita, bangsa Indonesia, untuk menerapkannya dalam setiap sudut kehidupan. Penerapan adagium tersebut terlihat dan sangat terasa mengiringi nuansa kehidupan bangsa Indonesia pada umumnya, dan sivitas akademika Unnes pada khususnya. Sedemikian indah ungkapan tersebut, tetapi simpang empat Unnes tak pernah tidak semrawut pada jam-jam peak, suara knalpot yang mengekor aliran musik Slipknot, pun kuliah yang tidak bisa serutin kartun Naruto -secara periodik seminggu sekali- karena alasan kesibukan staf pengajar. Lalu apakah ada yang salah dengan ungkapan tersebut? Semua ilmu bersifat netral, dan praksis manusialah yang memberikannya kesan baik ataupun buruk. Merujuk pada kalimat di atas, adagium “Orang muda menghormati yang lebih tua, orang tua menyayangi yang lebih muda” tentu tidak ada yang salah di dalamnya, dan justru lebih condong ke arah baik. Bersoal-jawab mengenai fenomena tersebut, dimana terdapat kesenjangan das sein dengan das sollen, ada kemungkinan kekeliruan terletak dalam ranah praktiknya. Perlu diketahui, bahwa sebagai tuntunan norma, dua kalimat tersebut bersifat dwitunggal jika memang diinginkan untuk diterapkan dalam keseharian. Tetapi kenyataannya, terdapat pemenggalan kalimat, dan celakanya masing-masing pihak (muda dan tua) memegang erat kalimat yang seharusnya menjadi pegangan pihak lainnya. Kalimat “orang muda menghormati yang lebih tua”, yang seharusnya menjadi kunci bagi si muda, justru 17
dipegang oleh mereka yang tua. Dan begitu sebaliknya. Demikian yang terjadi, sehingga Si muda terlebih dahulu menuntut agar disayangi oleh Si tua, dan Si tua tak hentihentinya mengingatkan keharusan dan pentingnya penghormatan kepada dirinya. Saling menuntut berlanjut hingga saling menyalahkan tak lagi terhindarkan, melupakan bahwa yang terjadi hanyalah “kunci” yang tertukar. Senada dengan fenomena ”kunci tertukar” di atas, kritik sebagai kontrol sosial pun bernasib sama jika dilihat dari prinsip ”semua ilmu berawal dari logika, dan berakhir dengan seni melalui tingkatan logis (benar-salah), etis (pantas-tidak pantas), dan estetis (indah-tidak indah) yang berlaku secara hierarkis. Selayaknya sebuah keluarga dimana orangtua mendidik anak-anaknya, maka keluarga besar Indonesia -dan Unnes- juga mempunyai tujuan mengupayakan pendidikan bagi rakyat. Dalam mengupayakan proses pendidikan yang dilakukan, tak jarang orangtua melakukan kesalahan yang menuai protes dari Si anak. Sampai disitu semua berjalan sebagai fenomena yang wajar-wajar saja bukan? Namun ada sesuatu yang tertangkap dan tergolong tidak wajar ketika melihat cara penyampaian kritik -sebagai bentuk protes- dan penyampaian tanggapan yang diberikan. Terkait dengan hierarki yang disebutkan sebelumnya, taraf logis menilai apa yang dilakukan orangtua dianggap salah, sehingga mendapatkan kritik. Seharusnya, hal ini sudah masuk dalam ranah etis, yang mempertimbangkan bagaimana cara penyampaian kritik yang pantas dan tidak menentang etika, agar selaras dengan prinsip hirarki logis-etis-estetis, mengingat status sivitas akademika yang disandang bersama. Jika hal itu bisa dilaksanakan dengan penuh kesadaran, bukan tidak 18
mungkin akan terjalin hubungan yang indah (estetis) dan tidak terkesan urakan. Sedikit menggeser kursi agar didapat angle yang berbeda, apa yang terjadi mungkin bukan lagi permasalahan salah pegang kunci maupun hirarki logisetis-estetis. Namun sebagaimana prinsip probabilitas dalam dunia ilmiah, ada kemungkinan yang terjadi hanyalah saling menunjukkan eksistensi baik individu maupun golongan. Secara psikologis pengakuan dan penerimaan sebagai tujuan dari pertunjukan eksistensi merupakan kebutuhan setiap manusia. Hanya saja sebagai makhluk yang berbudaya, manusia lebih suka jalan berliku untuk mencapai tujuan sekedar menghindari pertentangan dengan norma, nilai-nilai, dan hukum yang berlaku. Karena tuntutan sebagai makhluk yang berbudaya adalah dasar pembedaan manusia dan hewan, tak sepantasnyalah manusia memilih mengabaikan norma, aturan, dan hukum yang berlaku untuk mencapai tujuannya. Menunjukkan eksistensi dengan tetap memberikan jalan pada eksistensi lain, sebagaimana diungkapkan Voltaire dengan indah, ”aku tidak setuju denganmu, bukan berarti melarangmu untuk mengatakannya”.
19
Psikologi, Lagi dan Lagi Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok Pada pukul 00:00, tengah malam, manusia menemukan bahasa sebagai alat komunikasi. Beberapa jam selanjutnya, tidak terlacak kejadian berarti, sampai kirakira pukul 08:00 pagi, moyang manusia diketahui telah melukis di dinding-dinding gua. Setelah itu pun keadaan kembali lengang. 12 jam setelah itu, pada pukul 08:00 malam, orang Sumeria menemukan tulisan, dan Hieroglyph muncul 40 menit kemudian. Sementara itu, abjad hadir pada pukul 09:28, dan tulisan filsuf Yunani kuno diketahui pada beberapa menit selepas pukul 10:00 malam. Sampai pada jam ini, bisa dilihat bahwa 22 jam (dari 24 jam) telah berlalu, dengan biasa saja. Selanjutnya, menjelang tengah malam Gutenberg menemukan mesin cetak. Dan momentum ini menjadi titik awal meningginya percepatan perkembangan teknologi. Telegraf, telepon, fonograf, ditemukan hampir pada menit yang sama. Tak lebih dari 2 menit berjalan, berturut-turut muncul inovasi berupa radio, film suara, komputer, xerografi, televisi berwarna. Dan pada menit-menit akhir sebelum tengah malam, ditemukan siaran FM stereofonik, satelit, gabungan telekomunikasi dengan computer (WEB), hanphone, laptop, robot yang mampu menangis, dan sebagainya. Inilah, tengah malam itu. Barangkali demikian, yang ingin diungkapkan oleh Jalaludin Rahmat. Runtutan yang dimulai pada zaman Homo Cromagnon sampai pada tahun-tahun sekarang ini, yang kurang lebih berjarak 36000 tahun. Lepas dari tepat atau tidaknya skala yang digunakan pada ringkasan tersebut, setidaknya ada 3 fenomena yang bisa ditangkap darinya. Yang pertama, berkaitan dengan percepatan (akselerasi). Kembali melihat ringkasan, selama 20
22 jam awal berlalu dengan biasa saja. Justru hanya dalam kurun 2 jam (akhir) itulah, “semuanya” ditemukan hingga seperti sekarang ini. Betapa terjadi kesenjangan kemajuan manusia (atau teknologi?) yang terjadi dalam kurun tersebut. Manusia menjadi sedemikian kreatif dan inovatif. Yang kedua, adalah perubahan yang terjadi dengan akselerasi tinggi tersebut ternyata berkecenderungan untuk melipat realita. Jaringan WEB, handphone, laptop, MTV, dunia dalam berita, miniatur Negara (TMII), hanyalah beberapa dari sekian banyak penampakan dari kecenderungan tersebut. Adalah “ringkas dan mudah” yang menjadi zikir harian-atau mungkin bisa disebut “ideologi” jika dikaitkan dengan konsepsi Althusser. Fenomena selanjutnya, adalah keberlanjutan dari fenomena pertama. Jika sebelumnya dikatakan bahwa manusia menjadi sedemikian kreatif dan inovatif, maka fenomena yang ketiga ini adalah kikisnya sifat kritis. Kritis yang hilang bukanlah kritis dalam arti “sekedar sinis”, melainkan kritis yang bersifat reflektif. Karena percepatan yang seperti ini telah tidak mengijinkan manusia untuk sekedar berpaling dari teknologi. Telah terjadi perubahan dalam sebuah percepatan, dan percepatan itu pun (yang berarti perubahan kecepatan) mengalami perubahan. Dan perpaduan antara dua hal tersebut lah (hilangnya sifat kritis dan larut dalam teknologi), yang menjadi unsur evolusi masyarakat pendiam dan tak peka. Seperti yang telah terkatakan sebelumnya, yang menjadi orientasi di sini adalah percepatan itu sendiri, bukan lagi kreativitas atau melipat. Yang terjadi bukan lagi pembalap yang ingin memacu motornya secepat mungkin untuk menaiki podium, melainkan meng-nol-kan gaya gesek antara ban dan aspal, meng-nol-kan pengaruh gaya gravitasi, mendesain bentuk se-aerodinamis mungkin untuk meng-nol-kan tekanan udara. Keadaan yang 21
mencerminkan sebuah kegilaan akan kecepatan dan percepatan maksimal; ekstase akan percepatan, sekaligus kegandrungan akan ke-nol-an; nihilitas. Perpaduan “sempurna” antara optimisitas, pesimisitas, nihilitas, fetishitas, sakralitas, profanitas, eksistensi, dan banalitas. Teknopsikologi-psikoteknologi Mungkin berawal dari sebuah pengandaian adanya garis korelasi antara fenomena-fenomena tersebut dengan psikologi, yang dilihat melalui kacamata analisis Alvin Toffler. Toffler menyatakan bahwa setiap jenis teknologi menghasilkan lingkungan teknologi (teknosfer) yang khas. Teknologi menjadi penyedia akses bagi mengalir dan bertukarnya informasi, yang mewarnai budaya informasi (infosfer). Infosfer yang terbentuk, pada akhirnya juga akan membentuk, atau setidaknya mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial (sosiosfer). Dan karena “keterlanjuran” kodrat manusia sebagai makhluk sosial, maka perubahan sosiosfer juga berpengaruh masingmasing individu secara personal dalam ranah psikologis. Dan inilah, yang disebut lapisan psikosfer. Sambil lalu, analisis Toffler terlihat mantap dan seolah-olah mendeskripsikan fenomena global yang dihadapi oleh manusia sekarang ini. Tetapi, benarkah semua manusia? Apa yang dianalisis oleh Toffler, tentu saja berasal dari berbagai informasi diadapatkan dan dia ketahui, adalah apa yang bersentuhan dengannya, baik melalui pikir, rasa, maupun indra. Tetapi, tesis tentang Global village, istilah yang dipinjam dari Marshal McLuhan, bukanlah “tesis paska fenomena”. Tesis tersebut adalah sebuah prognosis (prediksi), dan tentu saja berdasarkan indikasi dan diagnosis yang dia temukan. Global Village, bukanlah 22
sesuatu yang telah terjadi, dalam arti tidak semua rentang geografis yang berkelok-terjal bisa teratasi oleh jejaring teknologi. Toffler mungkin lupa, masih ada kata “kesenjangan” di antara jutaan kata dalam kamus. Kata tersebut tetap menjadi lubang hitam dalam perbincangan kali ini. Akselerasi, justru bersesuaian dengan peribahasa Jawa kebat klewat gancang pincang. Berjalan begitu cepat, tetapi juga banyak yang terserak-tercecer olehnya. Agaknya Toffler terlalu meyakini keberlakuan konsep Mcluhan, dan menariknya terlalu jauh ke dalam ranah psikologi. Dia yang sama sekali tidak menyentuh tentang dirinya, mencoba meraba apa yang dia lihat, tetapi mengatakan telah memegang dirinya. Meskipun dunia telah dilipat dalam televisi, tetapi lipatan itu tetap merupakan keadaan yang “seolah-olah”. Semua manusia tak pernah hidup dalam satu desa, yang global sekalipun. Kecepatan dan percepatan memang bisa “mereduksi” waktu, tetapi tak bisa mereduksi ruang (bahkan “mereduksi” pun tidak), sedangkan manusia hidup dalam dimensi ruang sekaligus waktu. Manusia, tetap berkeringat dan sesekali menghela nafas meski menaiki pesawat super untuk mengelilingi dunia. Dan larismanisnya psikologi saat ini, justru memperlihatkan secara gamblang bergesernya refleksi, yang telah tergantikan oleh ucapan ”mari bersenang-senang”
23
Motivator & Humanity Oleh : Abdul haris Fitrianto Siapa yang tidak kenal Andrie Wongso? Siapa tidak kenal John C. Maxwell? Mereka adalah beberapa dari tokoh–tokoh motivasi papan atas nasional bahkan internasional. Tugas mereka (antara lain), dengan kapasitas intelektual yang dimiliki, memandang gap yang ada pada relita dan system untuk kemudian memotivasi, memompa sumber daya manusia (SDM) agar mampu berfungsi optimal. Kata–kata seperti ”Siap..”, ”Sukses..”, ”Luar biasa..”, ”Berhasil..”, ”Semangat..” dikemas menjadi sesuatu yang istimewa untuk menyadarkan potensi setiap orang. Sungguh profesi yang sangat mulia, bermanfaat bagi banyak orang dan institusi. Mungkin juga menjadi motivator tidak hanya sekedar profesi, tetapi menuntut suatu bakat yang berakar dari berbagai soft skill dan hard skill. Tak ayal pada konteks kekinian bisnis motivasi telah menjadi lahan kerja prospektif. Hampir setiap hari kita dijumpai para motivator amatir yang belum lulus kuliah S1, hingga motivator yang kelas wahid dengan reputasi internasional melalui hasil karya, atau bahkan orangnya. Jika memperhatikan momentum zaman, motivator memang telah lama ada seiring modernitas. Ketika memotivasi khalayak, semula banyak motivator menyajikan metode ceramah yang semi-indoktrinasi dalam ruang yang terbatas. Seiring perkembangannya, kini metode motivasi telah berkembang sedemikian rupa dalam bentuk latihan dan pengembangan (training and development); Sang motivator (trainer) hadir di ruangan dengan bersenjatakan laptop dan materi yang disajikan melalui slideshow powerpoint. Dan materi tersebut ditransformasikan pada trainee (peserta pelatihan) melalui layar yang ditembakkan 24
dari sinar LCD. Tentu saja yang utama disamping perangkat tersebut adalah cara dan gaya penyampaian dari sang trainer. Selain metode tersebut, berbagai variasi motivasi banyak disajikan melalui metode outdoor games/ activity. Ada yang menyebutnya Outbond. Tujuan dari berbagai metode pelatihan tersebut sama; Memotivasi trainee dengan benar, agar dapat menyadari dan memanfaatkan potensinya dengan optimal. Dengan kata lain ’kira – kira’ menjadikan manusia ’seutuhnya’ manusia. Seperti yang telah tertulis di akhir alenia I, bahwa motivator (disini diperketat khusus pada trainer) di jaman modern ini semakin dibutuhkan oleh perusahaan (semakin besar dan semakin bonafide perusahaan, maka profesi motivator semakin dibutuhkan). Tugas motivator dalam perusahaan jelas; membangkitkan motivasi karyawan, menguak potensi SDM-nya, dan diaktualisasikan dengan optimal untuk bekerja bagi kepentingan perusahaan. Dalam bahasa kiasan, mungkin profesi ini mirip dengan ’suplemen’, yang dipercaya mampu memompa semangat serta kebugaran otot–otot altet agar tampil dalam kondisi maksimal. Atau bisa juga diibaratkan bensin dan pelumas yang membuat mesin kendaraan bekerja optimal. Dengan didukung manajemen strategis perusahaan, rumusannya menjadi jelas, karyawan mendapat motivasi eksternal berupa gaji, dan mendapat motivasi internal yang diperoleh dari pelatihan dan pengembangan. Ketika karyawan dari berbagai lini dalam perusahaan bekerja optimal, maka hal ini akan berdampak positif; peningkatan pada grafik produksi dan pemasaran. Industrialisasi-konsumerisme-motivator Modernitas dengan industrialisasinya telah melahirkan konsumerisme. Berbagai perusahaan, dengan menggunakan perusahaan penyiaran dan iklan telah 25
meninggalkan ’residu’ ingatan tentang berbagai produk dalam alam prasadar setiap individu berupa image atau brand. Tanpa disadari, ini menjadi suatu sublimal conditioning pengkondisian kognitif yang berlangsung dalam alam prasadar, setingkat di bawah kesadaran) personal. Jika dikaitkan dengan kebutuhan pada setiap orang. Selain itu berbagai metode pemasaran yang dianggap ’bebas nilai’ didorong sehingga dapat diterima oleh berbagai masyarakat dengan latar belakang kelas, budaya, dan primordialisme yang berbeda-beda. Dari sinilah paradigma konsumerisme di ditanamkan. Konsumerisme ini seakan menemukan daur-nya dalam hasil–hasil produksi perusahaan (karena memang itu yang diharapkan). Layaknya hukum permintaanpenawaran, gaya hidup konsumis ini membutuhkan respon dari perusahaan dengan cara menggenjot produksi. Menggenjot produksi, berarti menyusun strategi agar volume produksi ajeg dalam kisaran tertentu. Dan agar ajeg dalam kisaran tersebut, maka dibutuhkan strategi kerja yang optimal dari seluruh lini departemen dan karyawan. Berarti, agar kinerja karyawan selalu optimal, (selain keputusan pemegang kebijakan strategis perusahaan) maka tugas motivator-dan kebijakan direksi melalui HRD- adalah memotivasi, membentuk karakter, dan mengembangkan potensi. Hal ini menjadi ’nutrisi’ wajib agar kepentingan perusahaan tercapai. Maka dari itu dalam konteks industrialisasi atau sistem ekonomi kapitalistik, peran motivator menjadi vital. Dehumanisasi? Pelatihan dan pengembangan SDM dalam konteks industri telah berkembang menjadi bisnis yang menjanjikan. Semakin Padat industri, semakin banyak trainer, motivator, dan konsultan SDM yang dibutuhkan. 26
Semakin banyak job dari perusahaan, semakin melambung pula ’nilai tukar’ para ’pebisnis mental’ tersebut. Dari kondisi inilah para motivator saling berkomptetisi mendapatkan job dari perusahaan. Suatu kondisi keseimbangan menuju kemanusiaan menjadi rentan apabila; Perusahaan hendak membeli program pelatihan dan pengembangan dengan harga murah, sementara para motivator (dengan lembaga pelatihan dan pengembangannya) harus berjibaku dengan sesamanya untuk mendapatkan project tersebut. Maka kondisi ini potensial memunculkan dilema; mempertahankan kualitas ideal program pelatihan dan pengembangan, atau mengukur kualitasnya berdasarkan harga yang diberikan perusahaan. Dengan bahasa lain, pelatihan dan pengembangan tidak lagi dihadapkan pada tujuan mengoptimalkan seluruh potensi pada setiap individu, tetapi ’disunat’ seperlunya untuk mengaktifkan potensi individu (karyawan) yang sesuai kebutuhan perusahaan saja. Potensi manusia ditukar berdasarkan ’nilai dan guna’. Lebih lanjut, dengan kondisi seperti di atas, maka pengembangan SDM diarahkan untuk memenuhi target perusahaan. Sedikit mengingat cita–cita luhur humanis yang ”memanusiakan manusia”, maka setiap orang mempunyai hak memperoleh kesempatan untuk mengaktualisasikan segala potensinya. Apapun potensinya, sekecil apapun potensi itu. Bertolak dari pandangan tersebut, maka sebagai salah satu profesi yang bergerak dalam bidang pengembangan SDM, sudah semestinya para motivator menyadari dan mempraktikkannya. Jika pengembangan SDM tidak di dasarkan pada tujuan humanisme, maka dalam batasan yang luas hal itu menjurus pada dikategori dehumanisasi. 27
Terakhir, ketika objek pengembangan SDM itu adalah manusia, kenapa praktiknya tidak disandarkan utuh pada prinsip–prinsip kemanusiaan? Atau disandarkan pada prinsip kemanusiaan, tetapi hanya setengah hati? Prinsip kemanusiaan yang ’disunat’?
28
Psikososiofisiomikrobioantropogeoteknologi Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok Menyebut kata sosiologi, antropologi, mikrobiologi, psikologi, dan logi-logi yang lain, pada akhirnya tak bisa dilepaskan dari disiplin, metode, obyektivitas, intersubyektivitas, dan ilmiah. Hal ini sedikit paralel, seperti ketika (saya lebih suka) menyebut sosiokapitalkomunisliberal-dan lain(-lain)isme. Berbagai perihal di atas, yang selalu digosipkan dalam bangku sekolah, merupakan standarisasi kepandaian seseorang. Dengan mengetahui, dan mengerti definisi dari masing-masing kata tersebut, maka diandaikan pondasi masa depan telah terbangun. Dan secara tidak langsung, juga terdengar, bahwa hal-hal tersebutlah yang menjadi pondasi dari kehidupan manusia. Setidaknya, akan ada banyak jempol teracungkan jika dengan lancar bisa menuturkan bahwa sosiologi adalah ilmu tentang interaksi antar manusia dalam kehidupan sosial, dengan sedikit bumbu Weber, Durkheim, Comte ; atau mendongeng struktur psike (jiwa) manusia dalam perspektif Maslow, Lewin, Watson, ataupun Darmanto Jatman. Barangkali, akan dianggap sangat kreatif jika mampu melakukan sebuah penelitian dengan disiplin dan metode ilmiah dengan berlembar-lembar daftar pustaka, meski hanya akan memperbanyak tempat debu di rak-rak perpustakaan tanpa pernah terbuka kembali, bahkan oleh si peneliti sendiri. Tetapi, ada beberapa kerancuan terkait dengan perihal tersebut. Logos, jika itu dimaknai sebagai ilmu, maka harus bersesuaian dengan apa yang dihadapi oleh si pelajar logos. Seringkali barisan rapi manusia, diperdengarkan dongeng tentang cara menanggulangi erosi di pegunungan, sementara lingkungan yang dihadapinya 29
adalah pantai yang lebih berdekatan dengan abrasi. Logos dihadirkan sebagai sesuatu yang sangat jauh, sebagai perbincangan yang bersifat elite. Selanjutnya, jika logos dimaknai sebagai sebuah kebenaran, justru yang terjadi adalah semakin memperlebar jarak antar kebenaran, sekaligus mempersempit jarak antara kebenaran dan kebohongan. Ketika baru membiasakan diri untuk membaca koran (dan tentu saja belum belajar merefleksikannya), kita (dipaksa) meninggalkannya demi melihat dan mendengar video klip dalam tayangan televisi. Alih-alih menghadirkan logos adalah sesuatu yang bermakna luas, banyak, dan spesifik, tetapi justru tak saling terkoneksi dan kontradiktif satu sama lain. Sehingga secara tidak langsung, telah terjadi pemaksaan untuk mengagungkan sekeping dan menafikan kepingan yang lain. Menyebut kata sosiologi, antropologi, mikrobiologi, psikologi, dan logi-logi yang lain, seharusnya membawa alur nalar kepada realitas. Tentang bagaimana melihat realitas dari kacamata “kata sebelum logi” (--logi), juga tentang sisi “kata sebelum logi” dari realitas. Tetapi, pengandaian ini juga tak bisa diandaikan dengan mengambil jarak tertentu dengan realitas, sehingga bisa dengan leluasa mengamati realitas dan melihat detildetilnya. Realitas, tak bisa diandaikan seperti televisi, yang bisa di lihat dari jarak minimal 3 meter, sesuai dengan anjuran kesehatan mata. Pun cara tersebut juga hanya akan memperlihatkan gambaran yang tersaji di layer televisi, tanpa bisa mengetahui kabel, dioda, lampu led, speaker, resistor, yang terangkai di dalamnya. Dan sampai di situ, juga tidak akan diketahui bagaimana koneksi yang terjalin mesra, antara televise dengan satellite, sampai dengan artis-artis yang terlihat di layarnya. 30
Bahkan, untuk keluar dari ruang untuk melihat ruang, atau keluar dari rentang waktu untuk melihat jalannya waktu, juga sebuah kemustahilan. Sedangkan keduanya, waktu dan ruang adalah anasir dari realitas. Satu-satunya yang bisa dipahami dari realitas adalah sesuatu yang bersentuhan langsung, baik melalui pikir, rasa, maupun indra. Maka, logos, paling tidak harus bersesuaian dengan hal tersebut. Baik logos dimaknai ilmu maupun kebenaran, ataupun logos yang di-sebagai-kan ilmu maupun kebenaran. Dan logos itu sendiri, selalu didahului oleh pembacaan, yang merupakan keseluruhan dari sensasi, persepsi, dan interpretasi. Atau, haruskah terjadi penambahan “logologi” dalam daftar mata pelajaran? Semoga saja tidak.
31
Beberapa Tanggapan Oleh: Muhammad Taufiqurrohman Pertama, soal “titik” (untuk selanjutnya saya tidak akan menggunakan tanda “...“ lagi karena saya anggap sudah mafhum). Titik yang saya maksud memanglah sebuah titik yang terbatas. Titik yang sebenarnya bukan titik. Dia hanyalah bayangan dari titik yang sejati. Titik yang sejati itu menurut saya tidak ”ada”. Saya percaya bahwa tidak ada ”sesuatu”pun yang paling akhir, juga titik itu. Oleh karenanya, yang sanggup kita bisa bicarakan adalah titik-titik yang sementara itu. Jadi, akhirnya titik itu ada itu bukanlah dikarenakan ia ingin ada. Tidak, sesungguhnya dia terpaksa menjadi ada karena keterbatasan eksistensial. Tanpa ia ada, tanpa di tulis menjadi tanda (.) pun sesungguhnya ia ada. Titik selalu ada, tetapi titik yang selalu sementara. Tapi, bukan ”koma”. Kira-kira, titik yang saya anggap selalu ada bahkan tanpa kita minta dan kita sadari- tersebut adalah titik yang benar-benar ada. Ia tidak koma, ia benar-benar titik dalam sebuah eksistensi yang ”terakhir”tapi terakhir yang tak benar-benar akhir. Oleh karenanya, ia tidak pernah ”melampaui kapasitas definitifnya” karena memang ruang yang bisa dijangkaunya sudah penuh, tapi juga penuh yang sementara. Dia tidak melampaui tetapi dia membentuk ruang lagi yang baru yang selalu sama sekali lain. Dengan demikian, sejauh yang bisa saya pahami, sesungguhnya suatu titik pada saat yang sama adalah akhir sekaligus mula. Ia akhir bagi suatu eksistensi yang lama. Pada saat yang sama ia menjadi mula bagi eksistensi yang baru. Dengan cara pandang inilah,menurut saya, esensialisme dan eksistensialisme lebih mudah untuk dilihat sebagai sesuatu yang tidak kontradiktif melainkan 32
saling meng”ada”kan. Esensialisme adalah mula sekaligus akhir eksistensi, dan begitu pula sebaliknya. Ketegangan antara keduanya yang entah sampai kapan inilah yang menurut saya membedakan kita yang ”terbatas” dengan yang ”tak terbatas” itu. Selanjutnya, soal epistemologi dan positivisme. Sejauh yang saya tahu, para pendukung ”post-post” itu tidaklah pernah mempermasalahkan epistemologi. Apa yang ingin mereka gugat dari positivisme adalah ketika hanya epistemologi ilmu alam yang digunakan untuk ”menemukan” semua ilmu pengetahuan, juga terhadap ilmu pengetahuan sosial/humaniora. Anarkisme epistemologi (epistemic violence) inilah yang ingin digugat oleh para ”post-post” tersebut terhadap positivisme. Para pendukung ”post-post” ini sesungguhnya memang tidak pernah mempersoalkan epistemologi. Sebab, sebagai sebuah jalan menemukan apa yang sejati, epistemologi tidaklah berwajah tunggal (dalam hal inilah saya menyebut batas yang samar antara ontologi dan epistemologi). Setiap hal memiliki epistemologinya sendiri-sendiri. Pencarian Ilmu Pengetahuan Alam memerlukan epistemologi yang tidak selalu sama dengan epistemologi Ilmu Pengetahuan Sosial. Demikianlah, jika dalam wajah epistemologi saja tidak tunggal apalagi wajah ilmu yang dihasilkannya. Oleh karena itu, kehadiran para pendukung ”post-post” itu sama sekali tidak berpretensi untuk mempersoalkan epistemologi melainkan justru dalam rangka merayakan pluralisme epistemologi. Mereka menggugat positivisme bukan epistemologi. Dengan demikian, menurut saya, positivisme tidak hanya ”tidak dapat disebut sebagai” epistemologi melainkan ia memang benar-benar bukan epistemologi. Keempat, tentang sosialis. Sebenarnya saya lebih suka memandang ”sosialis” ini dalam perspektif moral. 33
Menurut saya, dalam perspektif inilah kata atau pengertian ”sosialis” ini lebih mendapatkan maknanya ketimbang jika dilihat dari perspektif sosial (sosiologi, antropologi apalagi sejarah). Dengan demikian, ia menjadi sesuatu yang jauh melampaui batas-batas apapun. Mungkin filsafat ”sosialisme” Bambu dan Pisang ala Cak Nur dapat membantu menjelaskan konsep ”sosialis” yang saya maksudkan. Kira-kira begini (tentu saja dalam keterbatasan analoginya) , bambu adalah pohon yang merelakan daun-daunnya lepas agar ”yang lain” (others/liyan) dapat juga menikmati cahaya yang jatuh dari langit dan apa saja yang menimpanya. Others itu bisa jadi tetangga-tetangganya (bambu di sampingnya), bisa jadi anak-anaknya (rebung yang ingusan), atau bahkan bisa jadi others yang bener-bener others (misalnya, pohon singkong di sampingnya. Pisang, sebaliknya, adalah pohon yang tidak rela membagi cahaya yang datang menimpa dengan ”yang lain” tadi. Lihatlah daun pisang, ia menjulur panjang ke segala arah mata angin. Sampai sejauh mana panjang daun itulah wilayah kekayaannya. Ia merasa segala tanah---bahkan yang di luar tempat berdirinya sejauh tanah itu ada di bawah kekuasaan daun-daunnya yang menjulur itu--adalah miliknya. Tidak demikian dengan bambu. Kekayaan bambu hanyalah tanah dimana dia berdiri. Dia sadar bahwa semua tanah di luar tempat ia berdiri bukanlah tanahnya. Dia bahkan tak pernah ”merelakan”nya, ia memang ”membiarkan”nya demikian. Ia sudah merasa cukup dengan tanah tempat ia ada. Karena memang semua tanah yang di luar dirinya bukanlah miliknya. Bahkan tanah tempat ia berdiri yang ia rasa sebagai ”milik”nya, juga mungkin bukanlah tanah yang benar-benar miliknya. Demikianlah, bambu yang tidak meniatkan untuk memberi kebebasan justru memberikan kebebasan bagi 34
”yang lain” itu untuk turut hidup dan berkembang. Sebaliknya, pisang yang tampaknya mengayomi dan membebaskan itu justru akhirnya tidak memberikan kebebasan pada ”yang lain”. Sebatang bambu bahkan tidak pernah menunggu ”tua” dan ”roboh” untuk melihat anaknya tumbuh. Tidak demikian halnya dengan pisang yang menunggu dirinya dirobohkan (saking serakahnya) untuk memberikan kebebasan berkembang bagi yang lain yang sama sekali baru. Demikianlah kisah bambu dan pisang. Demikianlah saya memahami “sosialis”. Kenyataan bahwa pernah ada dalam sejarah manusia seperti Muhammad, Gandhi, Hatta, Nelson Mandela, Sukarno, (Edi Subkhan Muda juga mungkin bisa dimasukkan dalam golongan ini) dll, bagi saya, adalah harapan optimisme akan tetap adanya orang-orang ”sosialis” di dunia ini. Orangorang yang sesungguhnya mempunyai peluang sangat besar untuk menumpuk kekayaan pribadi (karena mempunyai kompetensi-kompetensi pribadi yang luar biasa untuk itu) tetapi memilih untuk merasa cukup sekadarnya saja untuk hidupnya agar ”yang lain” dapat juga berkembang bebas seperti dirinya. Dan disinilah mungkin saya menyebutnya sebagai pilihan intuitif-kategoris (untuk tidak menyebutnya imperatif). Dari sinilah, saya tetap berpendapat bahwa filantropis bukanlah sosialis. Filantropis (khususnya filantropis-filantropis super-konglomerat) adalah memberikan harta ”curian” kepada orang yang yang hartanya mereka ”curi”. Pun tidak mengembalikan sepenuhnya hasil curian itu. Bahkan hasil curian yang dikembalikan itu mungkin hanyalah nol koma sekian persen. Sedang sosialis bukanlah pencuri. Sosialis adalah ia yang memberikan harta kepada ”yang lain” dengan cara ”tidak mempunyai harta” atau ia mempunyai harta tetapi 35
bukanlah harta hasil curian. Jika ia hidup cukup hanya dengan nol koma satu persen dari jumlah hartanya maka akan ia berikan 99,9 persennya kepada ”yang lain”. Demikianlah pengertian saya tentang ”sosialis”. Saya tidak tahu apakah Muhammad, Gandhi dan temantemannya tadi adalah benar-benar sosialis dalam pengertian saya. Saya juga tidak tahu adakah orang yang benar-benar ”sosialis” seperti itu di negeri ini (juga Edi Subkhan Muda) sekarang ini. Tetapi paling tidak mereka adalah orang yang paling mendekati definisi saya tentang siapakah ”sosialis”, si bambu itu. Celakanya, menurut saya the very example of sang pisang di negeri ini sekarang ini tak lain adalah orang macam Abu Rizal Bakrie.
36
“Pertarungan” Kaum Berfikir Bryan Caplan Oleh: Giyanto
“Liberal”:
Kontradiksi
Akhir minggu ini, di mises institute blog terjadi 'pertarungan' sengit antar pendukung Perbank-an Bebas Baku emas dengan pendukung Per-bank-an bebas Fractional Reserve Bank (FRB). Saya kira diskusi sengit seperti ini tidak akan kita lihat di negari kita. Karena intelektual di negeri kita memang kebanyakan keturunan beo. Terlepas penilaian kasar saya tersebut. Dalam ocehan kali saya akan sedikit mengomentari tentang makna filsafat kebebasan. Dalam hal ini tentang bagaimana seharusnya dunia per-bank-an dijalankan. Ketika seseorang mendeklarasikan dirinya sebagai pengusung ideologi pasar bebas, seharusnya dirinya tidak terjebak dalam alur logika yang kontradiktif dengan filsafat yang diusungnya. Semisal argumen Bryan Caplan yang mendukung sistem FRB. Konon Caplan adalah seorang anarkis pasar bebas yang mendukung hak milik individu, tapi dalam argumennya membela sistem FRB. Dia secara gegabah mendukung bahwa 'tabungan' seseorang boleh saja dibagibagi kemudian diutangkan ke beberapa orang dengan nilai yang berlipat ganda. Artinya, Ketika sebuah bank memiliki 'cadangan dana' 10 milyar maka dia boleh saja memberi pinjaman kepada pengusaha senilai 100 milyar. Pertanyaannya, darimanakah uang 90 milyar tersebut didapat? Menurut pendukung Caplan yang mengaku 'liberal' tersebut, uang 90 milyar merupakan hasil nilai jaminan yang diberikan pengusaha kepada per-bank-an dengan nilai yang setara diberi oleh nilai agunan sang pengusaha. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sebuah Bank tidak 37
dapat dikatakan mencuri hak milik penabung dengan back up agunan aset sang pengusaha—menurut pendapat Caplan. Berbeda dengan paham penganut sistem Perbankan Deposit dengan cadangan emas. Mereka, Mises-Rothbard dkk-dengan prinsip hak milik, mengatakan bahwa seharusnya jumlah deposit bank harus setara dengan jumlah 'nota uang' yang beredar di pasar, ataupun setara dengan jumlah uang yang dipinjamkan kepada pengusaha. Jadi tidak ada 'perlipatan' nilai uang di Per-bank-an. Terlepas efek buruk sistem FRB yang dapat memicu terjadinya krisis. Saya akan mencoba menyoroti dari sisi prinsip filsafat pasar bebas yang saya pahami. Salah satu prinsip dasar paham pasar bebas adalah adanya pengakuan hak milik pribadi. Dalam sistem ini, apabila diterapkan dalam konsep sistem perbankan kita, maka sang penabung memiliki hak penuh terhadap tabungannya. Seorang Banker harus secara penuh menjamin keamanan simpanan sang nasabah. Adapun resiko apabila terjadi kehilangan, perampokan, ataupun kredit macet adalah resiko yang memang seharusnya ditanggung oleh Banker. Ini adalah sesuatu yang wajar dalam berbisnis. Kalaupun ada gagal bayar kredit dari seorang pengusaha, seharusnya yang dikorbankan bukanlah sang nasabah yang menabung di Bank. Tanggungjawab tersebut sepenuhnya harus dipikul bersama oleh Banker yang meminjamkan dana dan juga pengusaha yang meminjam uang di bank tersebut. Bukan sebaliknya, harus dipikul oleh nasabah dengan kehilangan dananya-hal ini yang pernah kita lihat ketika terjadi “rush” tahun 2007, nasabah dibatasi pengambilan dananya cuma Rp. 20 juta. Bukankah ini namanya disebut keadilan? Ketika orang mengambil hak miliknya tapi dilarang pemerintah melalui pembatasan jaminan. 38
Kembali ke argumen Caplan. Menurut saya, Bryan Caplan-tokoh idola para ekonom 'liberal' kita-tidak dapat membedakan antara menabung dan berinvestasi. Ketika seseorang berniat menabung, apa yang diharapkannya adalah mengurangi ketidakpastian masa depan. Sehingga dirinya menyimpan sebagian dananya untuk mengurangi resiko masa depan. Berbeda dengan berinvestasi. Seorang investor dengan sengaja mengambil resiko untuk mendapat keuntungan. Jadi dalam benak sang investor, dia akan siap menanggung segala apapun resiko asalkan dia mendapat keuntungan. Apabila suatu saat sang investor tidak dapat mendapakan kembali dananya, dia akan siap dengan konsekwensi tersebut. Dan apabila dia mendapatkan keuntungan berdasarkan resiko yang dia ambil, itu juga merupakan balasan yang setimpal atas pilihannya. Jadi menurut saya, Bryan Caplan, melalui sistem FRB yang didukungnya, menumpangtindihkan antara tujuan menabung dengan investasi. Dengan kata lain, dengan sistem FRB, sang penabung harus ikut menanggung segala resiko yang menjadi pilihan sengaja sang 'investor'. Jadi disini, menurut saya, sistem FRB yang mengklaim diri bahwa dirinya adalah penganut pasar bebas yang menjamin kepemilikan individu, tidak dapat dikatakan sebagai liberal sejati. Barangkali benar apa yang dikatan oleh seorang teman bahwa: musuh terbesar bagi gerakan liberalisme adalah kaum liberal itu sendiri!
39
Setelah Postmodernisme Oleh : Edi Subkhan Sebuah karya besar yang patut kita apresiasi dan menjadi bahan rujukan dalam cultural studies adalah Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan oleh Yasraf Amir Piliang (2004), terutama terbitan paling akhir oleh Jalasutra. Dalam pengantarnya, penerbit Jalasutra menyatakan bahwa, “...banyak pemikir kontemporer yang diulas cukup panjang dan ‘cair’ pemikirannya oleh Yasraf, ternyata nyaris ‘tak tersentuh’ dan ‘tak diulas detail’ oleh penulis kebudayaan lainnya” (2004: 34). Dunia yang Dilipat berangkat dari realitas baru, yang tercipta akibat pemadatan, pemampatan, peringkasan, pengecilan, dan percepatan dunia. Betapa tidak, merunut pada logika Yasraf, berjilid-jilid buku yang dulu memenuhi satu lemari, sekarang dimampatkan dalam sebuah flash disk seukuran jari kelingking kita; mengirim surat dari Demak ke Denmark tak perlu menunggu berhari-hari, dalam hitungan detik lewat e-mail, surat kita sudah sampai; kita pun tak perlu berdesak-desakan mengantre tiket film di bioskop, karena film-film bermutu telah dimampatkan dalam bentuk home theatre (VCD, televisi). Dengan kata lain batas-batas kebudayaan itu kini seakan runtuh, dan kita sekarang hidup dalam dunia yang telah kehilangan batas. Tidak ada lagi batas antara realitas dan fantasi, antara asli dan tiruan, antara kenyataan dan simulakrum, antara seni dan kitch, antara normalitas dan abnormalitas, antara feminin dan maskulin. Batas-batas tersebut telah didekonstruksi, dan meninggalkan sebuah dunia dengan segala hal yang berada di dalamnya tumpang tindih, campur aduk, bahkan seakan-akan kemampuan untuk 40
membuat kategori, klasifikasi, dan taksonomi hilang (2004: 37). Realitas baru tersebut, dengan mengambil perspektif budaya, disebut Yasraf sebagai panorama kebudayaan yang seakan-akan bagaikan tubuh tanpa organ, atau setidaktidaknya tubuh yang mengalami kekacauan organisme. Fenomena ini telah meninggalkan berbagai enigma (tekateki, misteri) yang harus dicari jawabannya, berbagai ketidakpastian harus dicarikan tafsirannya, dan berbagai indeterminasi harus dicarikan maknanya. Realitas baru ini tiada lain adalah produk dari modernitas yang meyakini manusia dan kesadaran sebagai sentrum dan motor penggerak kemajuan peradaban. Yasraf menyatakan, bahwa para pemikir posmodern seperti Lyotard, Jameson, Hyssen pada umumnya melihat perspektif yang sama mengenai peralihan dari modernitas menuju posmodernitas. Mereka rata-rata sepakat bahwa sifat-sifat kemajuan, rasionalitas, dan universalitas yang mencirikan modernitas dianggap telah berakhir. Dan konon kita kemudian memasuki wacana posmodernitas yang dicirikan oleh titik balik kemajuan, irasionalitas, dan pluralitas, dan perjalanan ke masa lalu. Peralihan dari Narasi Besar (metanarasi) seperti komunisme, imperalisme, feminisme etnosentrisme, eurosentrisme ke arah narasi-narasi kecil seperti kebudayaan, lokal, dan etnik merupakan ciri dari kondisi posmodernitas seperti yang digambarkan oleh Lyotard, sebetulnya masih belum dibuktikan oleh pelbagai realitas yang ada. Yasraf menyatakan bahwa yang terjadi di negaranegara Eropa Timur adalah disintegrasi menjadi negaranegara kecil yang merdeka, yang justru berkembang pesat adalah kebudayaan kapitalisme global beserta ekses prostitusi, diskotik, McDonald, komodifikasi olahraga, industrialisasi budaya, dan sebagainya. 41
Di titik inilah Yasraf bergerak melewati posmodernitas menuju ke arah ekstrimitas, yakni suatu kondisi ketika segala sesuatu berkembang melampaui batas ilmiahnya, ketika segala sesuatu bergerak melewati maksimumnya, ketika segala sesuatu meloncat meninggalkan titik terjauhnya. Yasraf mencontohkan operasi plastik, misalnya, adalah kondisi ketika rekayasa tubuh telah berkembang melampaui sifat alamiah dari tubuh itu sendiri; kloning (reproduksi organis lewat rekayasa genetika) adalah kondisi ketika rekayasa reproduksi telah melewati sifat alamiahnya dari reproduksi itu sendiri; teledildonik, yaitu ketika seks melalui dan/atau terhadap jaringan komputer adalah kondisi ketika kegiatan seks tidak lagi berada di dalam seksualitas yang alamiah; lagi, perkembangan Super Mall misalnya, adalah suatu kondisi ketika pasar bukan lagi sekadar transaksi jual-beli, tetapi telah berkembang menjadi arena difusi kebudayaan, penanaman nilai-nilai, dan transaksi gaya hidup. Di titik inilah Yasraf menyatakan, bahwa yang dihadapi sekarang bukanlah berhentinya pergerakan sosialbudaya sebagaimana dicirikan oleh diskursus seni posmodern, melainkan semakin meningkatnya percepatan sosial dan kebudayaan, sehingga ia berkembang ke arah titik melampaui sosial dan kebudayaan itu sendiri. Memang sifat-sifat modernitas seperti kemajuan, rasionalitas, dan universalitas sebenarnya belum berakhir. Dengan menyitir Jean Badrillard, semuanya berkembang ke arah hyper, yaitu kondisi ketika setiap sifat atau aktivitas sosial berkembang ke arah titik ekstrim, ke arah kondisi melampaui batas-batas alamiahnya. Wacana sosial dan kebudayaan sekarang menuju pada kondisi hipermodernitas (hypermodernity), yaitu kondisi ketika segala sesuatu bertumbuh lebih cepat, ketika tempo 42
kehidupan menjadi semakin tinggi, ketika setiap wacana bertumbuh ke arah ekstrim. Globalisasi telah menggiring ke arah berakhirnya sosial atau lenyapnya batas-batas sosial. Konsep seperti integrasi, nasionalisme, persatuan, kesatuan, dan solidaritas, tampak semakin kehilangan realitasnya, dan pada akhirnya menjadi mitos. Proses akhir sosial ini dipercepat dan mencapai keadaan maksimalnya di tangan media dan informasi seperti televisi dan internet yang menciptakan berbagai simulasi relasi sosial. Sekarang yang ada bukanlah komunitas yang diikat oleh satu ideologi tertentu, melainkan individu-individu yang satu sama lain saling berlomba dalam sebuah arena duel, kontes tantangan, rayuan, dan godaan masyarakat konsumer (bukan konflik sosial sebagaimana yang dikatakan Marx). Batas antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa tak dapat dipilah lagi ketika majalah porno, video biru, atau disket cyberporn yang dapat dibaca baik oleh anak-anak maupun orang dewasa; batas antara proletariat dan borjuis lenyap dalam arena konsumerisme; batas antara penguasa dan teroris lenyap di tangan simulasi teroris sebagaimana teror yang direkayasa oleh penguasa sendiri; dan batas antara kebenaran dan kepalsuan lenyap di tangan hiperealitas media dan informasi. Di era hipermodernitas ini, salah satunya adalah, realitas kebudayaan sarat oleh citraan (image) yang datang dan pergi silih berganti dengan kecepatan tinggi. Sebagaimana gejala obesitas atau kegemukan yang melanda masyarakat kontemporer, kita pun kini berada di dalam semacam obesitas citraan dan informasi, yakni semacam kelimpahruahan informasi dan citraan. Dengan kata lain, kita dikepung oleh informasi dan citraan dari segala penjuru. Tak hanya citraan di dalam media, tetapi dunia sehari-hari kita pun sudah berubah menjadi citraan-citraan. 43
Segala sesuatu tampak berada di atas panggung, di atas arena, di dalam layar; segala sesuatu berlomba-lomba di dalam satu duel citraan, setiap citraan menantang citraancitraan lainnya dalam sebuah kontes, di dalam sebuah rekayasa citraan. Kesegaran informasi dan kecepatan citraan telah menembus batas-batas teritorial, sehingga tidak ada lagi batas-batas teritorial atau ruang yang dapat menahan agresivitas informasi dan fantasmogoria citraan yang datang dan pergi dalam kecepatan tinggi. Orang yang merasa aman di dalam rumahnya yang dilindungi oleh alarm system modern dan pintu otomatis, ternyata tidak aman dari agresi televisi yang mengubah, meringkas, mengemas, dan merepdoduksi bencana alam, pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, kekerasan, kebrutalan, kesadisan, keserakahan, kecabulan, ketidakacuhan yang berada di mana-mana dan secara simultan membawa dan menghadirkannya di atas panggung tontonan rumah. Bagi Yasraf, berakhirnya berakhir karena pertumbuhan, kemajuan, dan kebaruan sebagai ciri modernitas telah kehilangan spirit. Dengan kata lain, modernitas telah kehilangan tujuan teleologisnya, dan kini menjadi bagian rutin dari masyarakat konsumer yang bergantung pada produksi secara terus menerus yang dengan demikian sangat bergantung pada kemajuan rutin semata. Intinya, modernitas telah bergerak melewati batas tujuan teleologisnya (misalnya masyarakat adil makmur atau masyarakat tanpa kelas) dan kini menghamba pada masyarakat konsumer atau kapitalisme global, yang disebut Yasraf sebagai masyarakat fatalistik yang telah kehilangan arah tujuan, dan semata menggantungkan serta menghanyutkan diri di dalam irama produksi dan konsumsi, pergantian gaya dan gaya hidup, dalam penampakan dan prestise. Yang diinginkan oleh 44
masyarakat konsumer dan kapitalisme adalah perkembangbiakan kapital, percepatan produksi dan konsumsi, dan pergantian seperti image, produk, kebaruan yang tanpa henti-hentinya. Setiap kategori tidak saja berkembang biak dalam tempo yang tinggi, akan tetapi mereka juga rentan terkena kontaminasi. Dalam ranah sosial dan kebudayaan, seks tidak lagi berada di dalam seks itu sendiri, tetapi di mana-mana. Politik tidak lagi terbatas pada jagad politik itu sendiri, tetapi di mana-mana. Semuanya telah mengkontaminasi ranah kehidupan lainnya, seperti ekonomi, sains, seni, dan olahraga. Dengan penjelasan tersebut, Yasraf menyatakan bahwa sangat tidak memadai dan sulit rasanya untuk berpijak pada penjelasan mengenai kondisi sosial setelah berakhirnya modernitas sebagai satu kondisi titik balik sejarah dan pluralisme radikal, sebagaimana diklaim oleh para pendukung posmodernitas. Yasraf menyatakan bahwa dalam millenium ketiga tersebut, terdapat realitas baru kebudayaan. Pertama, dari abad teknologi ke abad citraan; kedua, dari era mekanik ke era mikroelektronik; ketiga, dari realitas ke hiperealitas; keempat, dari order menuju chaos; dan kelima, dari space menuju hyperspace. Dalam membahas itu semua, Yasraf mengemukakan beberapa indikator untuk membahas kondisi tersebut; pertama, bahwa perkembangan sistem teknologi tampaknya akan terus berlanjut dan akan memengaruhi keputusankeputusan estetik. Ia bahkan berkembang ke arah complex system bahkan ke arah chaos, bersamaan dengan itu akan tercipta pula semacam kompleksitas kebudayaan, baik dalam objek, teknologi, metodologi, dan idiom. Kedua, tekanan ekonomi pasar bebas telah merubah konsep manusia posmodern tentang waktu, diri, individu, keluarga, masyarakat, ruang, waktu, bangsa, dan negara. Ekonomi pasar bebas menuntut bahwa cara-cara fragmentasi budaya, 45
kelenyapan batas, pastiche, kolase yang mencirikan posmodernisme tampaknya akan terus berlanjut pada abad ke-21. Namun, sekali lagi ia akan berhadapan dan dipengaruhi oleh batasan-batasan moral. Ketiga, tekanan moral menyangkut kemanusiaan dan lingkungan yang terus meningkat, termasuk tekanan-tekanan pada objek kebudayaan. Dengan tiga indikator tersebut, maka Yasraf merasa diperlukan pendekatan baru kebudayaan harus diterapkan menghadapi perkembangan tersebut. Metodologi baru harus dikembangkan, yang mampu menangani data yang kompleks, halusinatif, kontradiktif, serta terus berubah. Dengan agak memberanikan diri, Yasraf menyatakan bahwa realitas kebudayaan abad ke-21 merupakan perkawinan yang harmonis antara faktor ekonomi, teknologi, dan etika, menggantikan perkawinan yang meriah antara teknologi simulasi dan libido yang menandai kebudayaan posmodernisme. Yang mungkin terjadi adalah semacam titik balik dari kondisi yang sebelumnya diciptakan oleh posmodernisme, yaitu dari kondisi abnormalitas ke arah normalitas etika, dari vulgaritas ke arah italitas bentuk, dari amoral ke arah revitalisasi moral, dari despiritualisasi ke arah respiritualisasi kebudayaan. Tanda-tanda ke arah ini semakin tampak akhir-akhir ini, dengan berpalingnya kembali masyarakat pada kearifankearifan masa lalu, pada kekuatan-kekuatan supranatural, pada keputusan-keputusan irasional, pada agama.
46
Melintas yang Sepintas ; Pendidikan Matinya Para Filsuf Oleh : Edi Subkhan Di tengah dunia yang berlari (runaway world – Giddens) sekarang ini, hanya sedikit orang yang berminat pada filsafat. Mahasiswa filsafat makin lama makin berkurang; jurusan, program studi pusat kajian filsafat pun hanya satu-dua yang dapat bertahan. Perguruan tinggi yang dulu terdapat studi filsafat banyak yang dihapus. Dan barubaru ini pemerintah menyatakan akan “meninjau ulang” jurusan-jurusan yang sudah “jenuh”, termasuk filsafat, karena dianggap filsafat sudah tidak ada peminatnya lagi, dan tak ada lapangan kerja yang mau memekerjakan lulusan filsafat. Konon jurusan-jurusan yang “jenuh” tersebut akan digabung atau dihapus, dan mahasiswa yang masih tersisa akan coba dicarikan pekerjaan (Seputar Indonesia, 13/2/08; Kompas, 13/2/08). Sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik adalah, lalu filsuf atau minimal lulusan program studi filsafat akan dicarikan pekerjaan apa? Inilah yang tidak tepat bagi pemerintah dalam memahami keberadaan filsafat, filsuf, dan pusat-pusat belajar filsafat, utamanya di perguruan tinggi. Pemerintah selalu memahami secara salah, bahwa lulusan pendidikan formal mesti bekerja pada sektor riil, yang nantinya akan menghasilkan materi untuk perputaran ekonomi, dan ujung-ujungnya adalah kesejahteraan masyarakat dan negara. Terlebih dalam pendidikan yang sudah menghamba pada kapitalisme sekarang ini, maka seseorang yang belajar pada bidang studi apa saja, adalah untuk bekerja dan menghasilkan uang, tak lebih. Seakan tidak tersisa ruang untuk memandang bahwa pendidikan pada hakikatnya justru adalah untuk menjadikan seseorang 47
lebih bijak dalam memahami hidup dan kehidupan; dewasa dalam berpikir, bersikap dan bertindak; lebih manusiawi, serta untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Dan ketika filsafat memang lebih berat dan menitikberatkan kajian dan pembelajarannya pada hidup dan kehidupan serta ilmu pengetahuan, maka ia menjadi tidak dianggap dalam paradigma pendidikan kapitalis. Filsafat dapat dipahami sebagai sebuah bidang kajian akademik dan jalan hidup. Sebagai sebuah disiplin keilmuan yang dinyatakan sebagai the mother of science (induk segala ilmu pengetahuan), filsafat menjadi hidup ketika dilestarikan dan dikembangkan secara akademik, yakni dengan dikaji dan dikritisi, serta ditransfromasikan dalam kehidupan sosial masyarakat. Sedangkan sebagai jalan hidup, laku hidup, maka ia cukup telah menjadi mulia sebagai pandangan hidup saja. Dengan begitu, menjadi filsuf sebenarnya bukan obsesi intelektual, ketika dimaknai sebagai cara pandang tentang kehidupan yang akan menjadikan seseorang yang mempelajarinya menjadi lebih bijak. Oleh karena itu, pada akhirnya timbul pendapat bahwa jika dengan lelaku keseharian seseorang sudah dapat memahami kehidupan dan menjadi bijak, maka untuk apa belajar filsafat secara akademik? Justru ketika filsafat dinyatakan telah melingkupi segenap kehidupan iniwalaupun ini mungkin tidak disadari oleh orang-orang yang tidak mencoba memahami kehidupan secara hakikat- maka ia menjadi bagian tak terpisahkan dari ruang privat dan publik sehari-hari, dan oleh karena itu secara tidak langsung, pada hakikatnya dalam keseharian kita telah berfilsafat. Inilah alasan substansial mengapa seseorang enggan belajar filsafat sebagai sebuah kajian keilmuan yang “diklaim” mempengaruhi segala hal. 48
Jadi, perlunya filsuf untuk menjaga dan mengembangkan filsafat yang kemudian menjaga dan mengembangkan disiplin keilmuan “anak-anaknya” seperti psikologi, sosiologi, pendidikan dan lainnya. Dalam kerangka Darwinian maka ranah intelektual adalah “habitat” (bedakan dengan “habitus” Bourdieu) para filsuf, namun filsuf tidak seperti manusia dalam pengertian Darwinian yang menyesuaikan dengan habitat tersebut, justru filsuf dalam habitat intelektualnya selalu membentuk habitat tersebut, tidak sekadar pre-determinisme atau ditentukan oleh taqdir sosial ala August Comte dengan sosiologi positivis. Maka permasalahannya adalah ketika habitat intelektual tersebut juga berubah, seiring berubahnya ranah sosial di luar ranah intelektual. Persoalannya kemudian bukan pada bagaimana agar para filsuf dapat bertahan dalam ranah intelektual yang telah berubah, karena ranah sosial yang lebih luas tersebut. Ranah sosial yang lebih luas bukannya menganggap tidak perlu ranah intelektual, tapi lebih jauh adalah menganggap tidak perlu adanya para filsuf yang hidup dan menghidupi ranah intelektual tadi. Dus, matinya filsuf karena dikehendaki oleh ranah sosial yang lebih luas dan sekarang kapitalistik, adalah matinya ranah intelektual. Dan matinya ranah intelektual adalah matinya ranah sosial yang lebih luas, karena ranah intelektual menopang secara epistemologis-ideologis kehidupan sosial. Kecuali ketika ranah intelektual didefinisikan lain, ada redefinisi ranah intelektual yang “tidak terlalu” memerlukan pemikiran-pemikiran falsafi. Jadi, bagi saya, problem filsuf sekarang dengan konteks di Indonesia, bukanlah problem eksistensial-dan harus survive. Filsuf tidak harus survive, tidak ada keharusan, tapi keniscayaan adanya filsuf bagi dunia intelektual dan sosial adalah bagaikan kemestian 49
sebagaimana adanya api untuk panas, “lele” untuk pecel lele, “ayam” untuk mie ayam; tidak mungkin ada panas tanpa api, kalaupun ada tidak dapat membakar (intelektual, nalar, dan lainnya), menjadi aneh pecel lele tanpa ikan lele, pun aneh mie ayam tanpa ayam, sebagaimana anehnya intelektual tanpa para filsuf. Yang penting bukan person filsufnya, tapi adanya filsuf yang niscaya bagi adanya intelektualisme. Pun jika dipandang dari konsepsi evolusi filsuf yang diandaikan Abdul Haris Fitrianto, maka bagi saya “evolusi” filsuf tidak dalam rangka menyesuaikan alam sekitar, tapi sebaliknya, yakni membangun alam sekitar, membangun peradaban manusia, dan “alam sekitar” yang mesti “menyesuaikan” kehendak filsuf. Beberapa filsuf “tersebut” sebagian pemikirannya telah digunakan untuk membangun konsepsi dalam bidang pendidikan, idealisme Plato misalnya, mengilhami paradigma pendidikan idealis yang diterapkan secara letterlijk di Indonesia pada awal kemerdekaan sampai tahun 90-an. Tentu pemikiran Plato tidak secara langsung, tapi sebagaimana dikonsep ulang oleh aliran pendidik idealis, dan lainnya. Driyarkara pun sama dengan “memanusiakan manusia” dan pendidikan sebagai “proses pembudayaan”. Tapi sayang semuanya itu sekadar jargon saja, dan masalahnya sebagaimana saya singgung dulu, basis filosofis Driyarkara, Ki Hadjar Dewantara, tidak sama dengan para pelaksana filsafat itu sekarang ini. Jika demikian, apakah filsuf Indonesia dangkalkah? Bukan dangkal, tetapi terdapat missmatch, beda komitmen, dedikasi, dan kemampuan memegang kebenaran dan hakikat filosofi antara filsuf terdahulu dengan orang-orang yang mengimplementasikannya sekarang dalam ranah praksis. Bagi saya tidak ada filsuf yang dangkal, filsuf yang 50
dangkal adalah bukan filsuf, melainkan hanya mengaku filsuf. Ada sebuah pameo yang menyatakan bahwa seseorang belajar filsafat untuk menjadi dosen filsafat, yang nantinya akan mengajar filsafat kepada mahasiswanya, dan mahasiswa ini pun akan menjadi dosen filsafat yang kelak akan mengajar filsafat pada mahasiswa generasi selanjutnya, begitu seterusnya. Jadilah berputar terus menjadi semacam lingkaran setan yang tak terputus. Pun selama ini filsuf dipandang hanya berproduk buku, artikel ilmiah untuk jurnal-jurnal filsafat; selebihnya secara immateri adalah konsep dan teori filsafat, pemikiran, gagasan, ide-ide, dan semacamnya. Filsuf pada akhirnya dianggap sebagai individu idealis, nyentrik, tertutup, asyik dengan dunianya sendiri, beberapa di antaranya sering memantik kontroversi. Dan ini sama sekali tidak menarik bagi dunia kapitalis yang selalu berlari untuk memupuk modal materi. Selama ini belum banyak institusi sosial yang memerlukan filsuf. Bahkan institusi intelektual seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian, departemendepartemen di pemerintahan, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) serasa tidak melihat filsuf sebagai sebuah modal atau investasi yang layak dilirik dan ditarik masuk dalam institusi mereka. Satu kasus paling ironis dan secara tepat menohok dunia pendidikan adalah perguruan tinggi eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang sekarang menjadi universitas. Hampir semua IKIP dulu memiliki program studi filsafat pendidikan, namun lambat laun peminat berkurang, dan pada akhirnya semua program studi tersebut dihapus secara perlahan sampai kemudian hilang sama sekali. Ironisnya pula, ternyata dapat dikatakan minim sekali dosen yang berlatarbelakang 51
filsafat pada universitas-universitas “mantan” IKIP tersebut. Pada masa penerimaan dosen yang dicari selalu latarbelakang sesuai dengan program studi saja, dan tak pernah mencari lulusan filsafat-atau filsuf-untuk menjadi dosen di program studi bersangkutan. Sebagai misal, program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Unnes, tak ada dosen yang khusus berlatarbelakang filsafat, apalagi filsafat pendidikan. Yang terjadi kemudian adalah, program studi, jurusan, fakultas, universitas, dan disiplin keilmuan tersebut menjadi kering, tak ada gairah intelektual, dan sekadar menjalankan rutinitas akademik yang sudah tersubordinasi sistem pendidikan kapitalis, yakni rutinitas memproduksi guru-guru SD yang kemudian disalurkan ke pasaran. Hasilnya dapat kita lihat, bagaimanakah pemahaman hakikat keilmuan guru-guru kita sekarang, pengetahuan tentang analisis ideologi, wacana, dan diskursus keilmuan kontemporer, termasuk gairah untuk terus belajar dan menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuannya; tiada! Pada akhirnya ketika institusi intelektual dan sosial, termasuk institusi pendidikan, sudah tak merasa memerlukan filsafat dan filsuf, menghamba pada kapitalisme, maka kian lama para peminat filsafat, para filsuf, akan menjadi makhluk langka yang kian puah, dan pada akhirnya akan mati seiring matinya ilmu pengetahuan tanpa adanya filsuf.
52
SPL dan Disorientasi Tujuan Pendidikan Oleh : Muhammad Taufiqurrohman Sumbangan Pengembangan Lembaga (SPL) Universitas Negeri Semarang 2008 cukup membuat masyarakat luas terhenyak khususnya masyarakat Jawa Tengah. Lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, Unnes menetapkan anggaran SPL tahun akademik 2008/2009 sebesar minimal 5 juta rupiah dan maksimal 35 juta rupiah bagi calon mahasiswa baru. Peningkatan sumbangan tersebut cukup fantastis di tengah keadaan ekonomi masyarakat yang kian terpuruk. Apalagi kita tahu ‘pangsa pasar’ Unnes selama ini adalah mereka yang berasal dari golongan ekonomi kelas menengah ke bawah. Oleh karena itu, cukup beralasan kiranya jika kita mengajukan beberapa pertanyaan terkait hal tersebut. Bagaimanakah alur logika para birokrat Unnes dalam persoalan yang cukup ‘gawat’ ini? Masyarakat sangat mengharap ada transparansi informasi tentang alur logika tersebut. Sehingga misunderstanding terhadap fakta SPL ini dapat diminimalkan dan dapat memicu dialog yang lebih jernih dan komunikatif. Sayangnya, sepengetahuan penulis sejauh ini belum ada semacam press conference yang digelar oleh Unnes sebagai sebuah pertanggungjawaban publik atas kebijakan ini. Sejauh yang penulis tahu, satu-satunya alasan adalah pernyataan petinggi Unnes yang menyatakan bahwa SPL 2008/2009 sudah disepakati oleh Senat Unnes, seperti yang dilansir beberapa media massa. Apakah hubungan antara alasan-alasan keputusan tentang SPL dengan disepakatinya alasan-alasan tersebut oleh Senat? Jawaban yang diharapkan masyarakat mestinya adalah jawaban yang lebih ideologis, filosofis dan relevan dengan keadaan masyarakat. 53
Pertanyaan lain yang datang adalah soal aturan hukum yang memayungi keputusan tersebut. Kita Unnes tahu belum menjadi Badan Hukum Pendidikan (penulis berharap semoga tidak). Itu artinya, memang tidak ada aturan hukum baru lagi yang bisa dijadikan paying, selain persetujuan senat universitas sebagai legislator utama keputusan-keputusan publik universitas selama ini. Lalu mengapa, dengan status yang masih sama sebagai Perguruan Tinggi Negeri, dan itu artinya dengan kebutuhan-kebutuhan yang tidak terlalu berbeda seperti tahun-tahun sebelumnya, SPL Unnes dinaikkan begitu dramatis? Mencoba meraba-raba inti persoalan, penulis menyimpulkan beberapa hal. Pertama, SPL Unnes tahun ini sangat erat kaitannya dengan isu BHP. Kebijakan tentang SPL ini bisa jadi merupakan sebuah persiapan sebelum di-BHPkan-nya Unnes. Sebab, lazim kita tahu bahwa persoalan BHP adalah persoalan sensitif dan multikompleks. BHP merupakan proyek besar pemerintah pusat dengan segala undang-undang yang hampir pasti akan ditetapkannya. Apalagi kita tahu, entah dengan keterbatasan daya untuk melawan atau memang secara ideologis sepaham, hampir semua petinggi PTN di Indonesia tak terkecuali petinggi Unnes dapat menerima kebijakan publik yang dirancang petinggi negara tersebut tanpa reserve dan gejolak sebagai ciri utama masyarakat akademis dalam menanggapi wacana-wacana baru dan sensitif secara sosial semacam wacana BHP. Sebagai pendukung BHP, dilemparkannya bola api SPL oleh Unnes ini merupakan sebuah uji coba sebelum dilemparkannya bola api yang lebih panas lagi bernama BHP. Oleh karena itu, seberapa jauh upaya mengkritisi SPL bahkan perlawanan terhadapnya merupakan tolak ukur terhadap mulus atau tidaknya jalan Unnes menjadi BHP. 54
Jika terhadap isu ‘kecil’ SPL saja masyarakat luas (yang berhak untuk menggugat keputusan publik yang merugikan kehidupannya) dan khususnya masyarakat akademis Unnes (senat universitas, BEM Universitas, BEM Fakultas, dosen dan karyawan) sebagai kekuatan kontrol pembuat kebijakan ‘lemah syahwat’ untuk mengkritisinya maka bagaimana dengan isu sebesar BHP? Disorientasi Tujuan Pendidikan Kedua, lalu apa yang hendak dikritisi? SPL Unnes hanyalah merupakan batu loncatan kecil untuk merefleksikan persoalan pendidikan nasional kita. Bagi penulis membicarakan SPL dan BHP adalah membicarakan satu persoalan, yaitu disorientasi tujuan pendidikan yang berujung pada komersialisasi pendidikan. Pemahaman bahwa tujuan pendidikan hanya bisa tercapai dengan mengkomersialkan pendidikan (menjadikan pendidikan sebagai suatu komersial atau barang dagangan) seperti yang terjadi di Indonesia tidaklah sepenuhnya benar. Maka sepaham dengan Romo Mangunwijaya, tujuan pendidikan bukanlah menjadikan manusia sebagai ‘sarana’ seperti mesin, cangkul, dan sedan seturut dengan menggemuknya kebutuhan masyarakat komersial kapitalisme modern. Pendidikan hanya dimaknai sebagai bekal mencari kerja. Negara melalui Direktorat Jendral Perguruan Tinggi tampaknya mengamini hal ini. Sebagai contoh simak saja rencana Dikti baru-baru ini yang akan menutup program studi-program studi yang dianggap tidak ‘marketable’ alias yang justru menambah pengangguran semacam ilmu politik, ilmu sejarah, dan lain-lain. Begitulah jika pendidikan diperdagangkan maka mahasiswa pun direduksi menjadi hanya semacam asongan. 55
Melampaui hal itu, tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia sebagai ‘tujuan’, yaitu menjadi manusia seutuhnya. Lalu, apakah mengkomersialkan pendidikan yang membuat rakyat kecil semakin tidak bisa menjangkau ‘harga’ atas pendidikan adalah manusiawi? Apakah sebuah kebijakan yang menyakiti perasaan kemanusiaan rakyat yang tidak mampu untuk mendapatkan hak-haknya sendiri untuk mendapatkan pendidikan adalah manusiawi? Mengapa justru yang tidak memanusiakan manusia adalah sesuatu yang mengatasnamakan pendidikan yang justru bertujuan untuk memanusiakan manusia? Mungkin disinilah letak persoalannya bahwa SPL dan BHP sebagai bentuk komersialisasi pendidikan hanyalah efek-efek kecil turunan dari sesuatu yang jauh lebih mencekam, yaitu disorientasi tujuan pendidikan nasional kita.
56
Warung Pecel Oleh : Yogas Ardiansyah Hari ini, mbok Ti tampak cerah wajahnya, lebih cerah daripada hari-hari sebelumnya. Tangannya begitu ringan mempersiapkan berbagai macam sayuran dan bumbu sebagai bahan utama pembuatan pecel, yang memang menjadi menu utama kedainya. Keceriaan mbok Ti ini menular juga pada kang Kus, suaminya. Sang suami ini dengan sigap membantu istrinya menimba air dari sumur dan menata piring-gelas di rak. Menjadi sesuatu yang lazim memang, di pelosok timur desa di Jawa Tengah ini, seorang suami berperan seolah-olah menjadi karyawan istrinya. Ini didasari keadaan sosial ekonomi yang memang tak bisa di hindari. Ladang dan sawah yang dikerjakannya tiap hari tidak mampu menyangga konsumsi harian keluarga karena hanya bisa dipanen tiga bulan sekali, bahkan lebih lama jika tidak dibantu dengan turunnya hujan. Hal ini menyebabkan kang Kus rela menjadi karyawan istrinya, karena hasil dari warunglah yang memang menjadi andalan penghidupan sehari-hari. Sedangkan nanti bila masa panen tiba, hasilnya digunakan untuk membeli kambing atau anak sapi yang dirawat sendiri, sebagai fungsi tabungan dan investasi. Mungkin akan timbul gejolak jika yang mengalami pola ekonomi seperti ini adalah keluarga yang tinggal di kota, karena budaya patrilinial melekat erat di sebagian besar wilayah Indonesia. Hanya kesadaran dan saling pengertian antara mbok Ti dan kang Kus sajalah yang membuat pola rumah tangga ini berjalan lancar. Gerangan apakah yang membuat mbok Ti dan kang Kus bersuka cita? Alasannya cukup sederhana dan biasabiasa saja : omzet penjualan kedai pecel miliknya meningkat dan dipastikan akan terus meningkat. Puluhan 57
orang setiap hari antri untuk mendapatkan seporsi nasi pecel buatannya. Seluruh warga kampung bahkan para pegawai kantor yang terletak di seberang jalan raya sana tiba-tiba memburu pecelnya. Minggu kemarin, pak Camat memerintahkan seluruh warga dan jajaran pegawainya, mulai sejak dibacakannya instruksi, agar gemar mengkonsumsi makanan tradisional daerah setempat, terutama pecel. Bukan itu saja, merekapun diminta untuk ikut mempelajari cara mengolah sayuran dan bumbu menjadi pecel yang nikmat. Dengan bangga pak Camat mengeluarkan perintah itu disertai katakata seperti yang tertera pada spanduk-spanduk sebelum tahun 1998 “Dengan Mengkonsumsi Dan Melestarikan Pecel, Kita Jaga Aset Dan Budaya Daerah”. Pak Camat juga memerintahkan sekolah dan tempat kursus untuk menambah mata pelajaran “membuat pecel” untuk para siswanya. Bahkan ide itu berkembang menjadi proposal pada sebuah universitas agar menambahkan mata kuliah tentang perpecelan, agar mahasiswa tahu dan mengenal pecel tidak hanya sebagai makanan pinggir jalan, tetapi juga merupakan bidang penelitian ilmiah yang dapat dikaji dari sisi ekonomi, sosial-budaya bahkan politik. Hidangan yang disajikan setiap ada rapat atau tamu penting yang berkunjung ke kecamatan itupun tak lepas dari pecel. Sontak saja kebijakan ini membuat warung mbok Ti kebanjiran pembeli. Semua orang berlomba membeli pecelnya dan tak jarang bahkan meminta izin untuk belajar membuat pecel darinya. Warung pecelnya mendapat peringkat terlaris paling tinggi di banding warung yang menjual makanan lain. Bahkan mbok Ti berencana membuka kedai baru sebagai perluasan agar dapat menampung semua peminat. Tak lupa, mbok Ti juga menambah jumlah belanjaan agar mampu memenuhi permintaan yang kian tinggi karena kebijakan pak Camat 58
tersebut. Hal ini dilakukan karena mbok Ti khawatir pembeli akan mencari warung lain yang tiba-tiba saja menjual pecel karena iri melihat potensi pasar yang begitu besar. Warung–warung baru tersebut tentu belum terjamin mutunya dan berpotensi merusak citra pecel yang sedang naik daun. Rencana memperluas kedai dan menambah produksi tentu menimbulkan kerepotan tersendiri untuk mbok Ti dan kang Kus. Mereka harus memperlebar warung, menambah bumbu dan sayuran, menambah jumlah piring dan sendok hingga sampai harus merekrut beberapa karyawan baru untuk membantunya. Merekapun harus melatih karyawan baru tersebut agar memenuhi kualifikasi dalam membuat pecel sesuai dengan standar rasa yang digariskan, dan sesekali melayani permintaan semacam wawancara dari pembeli yang ingin mengetahui perkembangan program pak Camat ini. Belum lagi biaya untuk memperbesar bisnis ini ternyata lumayan besar juga. Merekapun harus bekerja ekstra keras dan mulai menggunakan teori efektivitas dan memperhitungkan besaran modal yang mereka keluarkan apakah sebanding dengan potensi pendapatannya. Tapi toh, mereka rela melakukan kerja ekstra itu karena sadar peluang ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Peluang ini bisa jadi takkan pernah ada lagi karena, kata orang, keberuntungan macam ini tidak akan datang dua kali. Di balik semua itu, ternyata memang karakter suami-istri penjual pecel itu, yang orang jawa tulen, tak mudah hilang begitu saja. Sebagai orang jawa, mereka dididik untuk selalu ingat dan waspada akan setiap perubahan yang dibawa oleh sang waktu. Mereka, sekalipun disibukkan dengan kerja keras melayani pembeli, tetap selalu bersyukur atas limpahan anugrah ini sembari tetap tidak lupa diri. Entah berfikir secara modern tentang teori 59
peluang pasar ataukah berpikir tradisional yang berdasarkan sikap nrimo ing pandum, mbok Ti dan kang Kus sepertinya sadar bahwa perubahan ini tidaklah kekal dan akan disusul dengan perubahan-perubahan yang lain. Mbok Ti dan kang Kus juga sadar, bahwa mereka tidak tahu sampai kapan kebijakan pak Camat ini akan terus berjalan dan efektif dilaksanakan. Mereka juga tidak tahu motif apa yang membuat pak Camat memerintahkan hal ini (mendekati pemilu yang sebentar lagi tiba, perilaku pemerintah memang sukar di tebak. Dan semua orang tahu, sekalipun pegawai negeri dilarang berpolitik, pak Camat adalah simpatisan golongan tertentu). Mbok Ti dan kang Kus juga sadar bahwa seenak apapun pecelnya, tentu lidah orang akan jengah juga jika setiap hari disuguhi pecel melulu. Semua itu membuat suami-istri ini tidak membabi buta dalam mengembangkan institusi warung pecelnya. Mereka tidak mau kapiran karena termakan oleh perubahan zaman. Jika sewaktu-waktu kebijakan ini dicabut karena diganti dengan kebijakan lain atau karena dianggap sudah tidak relevan lagi atau karena didemo penjual lain yang iri, mbok Ti dan kang Kus tetap akan bertahan dan tidak terlalu merugi atau bahkan mengalami post power syndrome. Mereka tetap melandaskan kemajuan warung mereka berdasarkan naluri kerendahhatian sembari takut untuk membayangkan berapa kerugian yang harus mereka tanggung karena telah membelanjakan dengan tanpa pertimbangan seluruh modal dan tabungan mereka untuk memperluas warung, membeli piring dan sendok dan menrekrut karyawan serta melatihnya. Siang yang panas ini, saya berkesempatan mencicipi pecel mereka. Lantas entah mengapa, tiba-tiba saja saya teringat jajaran pimpinan sekolah tinggi nun jauh disin(i) 60
yang sedang getol mencoba membuka lapak-lapak baru untuk didatangi para calon mahasiswa dan para guru yang sedang bersukahati menanti-nanti berkah sertifikasi.
61
Pendidikan Politik Bagi Kaum Tertindas Oleh : Awaludin Marwan Potensi besarnya angka Golput Jawa Tengah dalam konteks perilaku pemilih tidak bisa disalahkan. Refleksi sangat dibutuhkan tentang persoalan taraf pendidikan politik mereka. Karena dengan pendidikan politiklah, kontruksi sadar dan cerdas memilih bisa terwujud. Konsepsi pendidikan kaum tertindas, yang pernah menggemparkan Amerika saat dikumandangkan oleh Paulo Freire pada abad ke -19, mengandung sejumlah orientasi filosofis dari pendidikan. Bahwa pendidikan menjadi lebih manusiawi (memanusiakan manusia), demokratis, pragmatis, dialogis, dan membebaskan. Konsepsi ini bisa di pakai untuk memotret dan memberikan solusi bagi peningkatan kualitas pendidikan politik khalayak pemilih. Pendidikan politik sebagaimana yang dapat kita lihat dalam sosialisasi dan kampanye pilgub, ternyata tidak secara holistik memperhatikan eksistensi kaum tertindas. Kaum tertindas yang memiliki keterbelakangan hanya bisa berpasrah diri dengan keadaan. Dimana kampanye kandidat dan sosialisasi pemilu yang terbatas, sehingga tidak mendukung terbentuknya kecerdasan dan kesadaran politik mereka. Sosialisasi dan kampanye hanya berniat untuk menggiring mereka untuk mencoblos, bukan mencerdaskan dan membebaskan. Tak banyak diharapkan dari sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu jika hanya menganjurkan kepada pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Agenda sosialisasi menjadi sebuah tahapan yang terkesan rutinitas semata. Apalagi pola komunikasi yang disediakan bagi kaum tertindas hanya dalam format penyuluhan dan menyalurkan informasi lewat media. Metode ini menutup dialog dan memberangus kesadaran, 62
layaknya sistem pendidikan politik otoriter. Meminjam ungkapan Freire, seperti banking education tanpa kurikulum dan target yang jelas. Sedangkan kampanye hanya akan membangun skeptisisme terhadap bangunan pendidikan politik yang ada. Pada kenyataannya, kampanye terbuka –sebagai alternatif bentuk kampanye yang banyak dipilih kandidat– yang mengutamakan penggiringan massa, hanya berefek memangkas ruang dialog. Padahal dialog itulah, yang merupakan hal esensial pada proses penyadaran. Dengan terjalinnya dialog kritis, secara otomatis akan mendorong tranformasi sosial dan pembebasan, serta mencerdaskansecara politis-khalayak pemilih. Bentuk sosialisasi dan kampanye yang popular saat ini mengharuskan prakondisi yang memerlukan karakteristik pemilih rasional. Untuk menuju pemilih rasional, paling tidak diperlukan energi yang cukup besar, baik taraf pendidikan formal maupun tingkat kesejahteraan yang mencukupi. Kaum tertindas yang jauh dari faktor tersebut perlu diberikan pendidikan politik yang meletakkan dasar humanisasi dan menyejajarkannya dalam bentuk kesadaran kritis. Kaum tertindas bisa diartikan pemilih yang termasuk golongan miskin. Sebanyak 21, 11 % penduduk Jawa Tengah berada dalam status masyarakat miskin (BPS, 2007: hal 185). Daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak adalah Kabupaten Brebes, dengan persentase 51, 60 %. Sedangkan jumlah penduduk miskin terkecil di Kota Magelang, yakni 17, 70 %. Mereka inilah, yang menjadi sasaran pembangunan kesadaran dan kecerdasan politiknya. Dilema ketidaksadaran dan ketidakcerdasan kaum tertindas memang persoalan fundamental. Maka cukup rasional jika persoalan fundamental ini di sandingkan 63
dengan fenomena golput dalam setiap pemilihan (umum). Kurangnya pendidikan politik pemilih serasa cukup signifikan dalam melahirkan bertambahnya angka golput. Prihatmoko (2008) menyatakan, pada pemilu DPRD Jateng tahun 2004 lalu, angka golput mencapai 22,06 %. Berada dibawah partai pemenang pemilu (PDI-P) dengan prosentase perolehan sebanyak 23,09 %. Dalam pilpres putaran pertama, angka golput (23,44 %) juga dibawah Mega-Hasyim sebagai pemenang (24,90 %). Dalam pilpres putaran kedua, dukungan SBY-JK sebagai pemenang (38,48 %) masih mengalahkan golput (28 %). Namun untuk pemilu DPD, akumulasi seluruh suara 4 anggota terpilih (20,59 %) dikalahkan golput (31,14 %). Selanjutnya, sepanjang 2005-2007, golput memenangi 11 dari 26 pilkada kabupaten/kota (42,31 %). Kesebelas daerah tersebut adalah Kota Pekalongan, Kota Surakarta, Kabupaten Kendal, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Semarang, Kabupaten Klaten, Kabupaten Pemalang (2005), Kota Salatiga, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Pati (2006), serta Kabupaten Jepara (2007). Dengan demikian, presentase pilkada yang dimenangkan golput meningkat. Dari 41,18 % daerah pada tahun 2005 dan 42,86 % pada tahun 2006, menjadi 50 % pada tahun 2007. Dari sebelas pilkada tersebut, rata-rata golput sebesar 36,74 %, dan ini jauh diatas suara bupati/walikota terpilih yang hanya sebesar 26,10 %. Selisih perbandingan itu di rata-rata 26 pilkada kabupaten/kota sangat tipis, yakni golput 31,38 % dan bupati/walikota terpiliih 35,12 %. Data itu menunjukan besarnya potensi golput dan bahkan kemenangan golput dalam pilgub. Dengan potensi golput sebesar ini, maka perhatian serius perlu ditujukan untuk membangun kembali kesadaran dan kecerdasan politik warga, terutama kaum tertindas. Sekali lagi, dalam Pedagogy of The Oppresed, 64
Freire menekankan pentingnya pendidikan berkesadaran menuju ketiadaan penindasan. Dalam konteks yang lebih operasional, hal ini bisa dilakukan melalui sosialisasi yang harus diposisikan sebagai agen demitologisasi dalam menghadapi masalah. Dan juga dialog sebagai instrumen terpenting, yang akan memberikan motivasi pemilih menjadi pemikir kritis dan merangsang kreatifitas aksi dalam menghadapi persoalan politik. Kalaupun perlu, sosialisasi ke depan haruslah diatur sedemikian rupa, sehingga menyerupai sarana pendidikan politik non formal yang mencerdaskan. Tidak hanya sekadar mengajak pemilih untuk menggunakan hak pilihnya saja, akan tetapi mampu mengajak pemilih mampu ”berpikir”, membongkar profil, visi, misi, program, dan arah kebijakan kandidat. Sehingga, pada akhinya pemilih tidak hanya pandai memilih dengan benar, tapi mampu mendampingi 5 (lima) tahun ke depan dengan kritisisme dari kontruksi kesadaran dan kecerdasan politik yang dimilikinya.
65
Ruang Publik Pendidikan Oleh : Edi Subkhan Secara filosofis dapat dikatakan bahwa kedirian kita di dunia ini, adanya diri kita sekarang ini, sebagaimana diungkapkan oleh Heidegger bahwa, “Manusia sudah selalu terlempar ke dunia”; manusia bukanlah subyek yang dapat melepaskan diri dari dunia. Charles Taylor (1993) menyatakan bahwa manusia adalah enggaged agency, pelaku yang telah selalu terlibat dalam dunia tertentu. Dalam pengertian yang lebih sederhana, manusia selalu terlahir sudah dalam berada dalam komunitas masyarakat tertentu, dalam ruang kehidupan tertentu, baik secara geografis, etnis, keyakinan, dan lainnya. Takdir kedirian, fitrah kemanusiaan, atau “kutukan” kehidupan manusia ia selalu sudah mendapati dirinya berada di dunia ini dengan ketentuan-ketentuan tertentu, seperti etnis, bahasa, budaya, dan keyakinan. Kenyataan tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa manusia berada dalam “ruang” tertentu secara sosial, dan ini adalah keniscayaan abadi yang tak dapat dielakkan oleh manusia. Pun ketika seseorang itu menjadi eksistensialis, seperti Kierkegaard, Nietzsche, Gabriel Marcel, Fyodor Dostoevsky, Jean Paul Sartre, Muhammad Iqbal alPakistani, dan lainnya, maka mereka tak dapat mengelakkan kenyataan bahwa mereka telah eksis terlebih dahulu dalam “ruang” tertentu sebelum berupaya mengeksistensi-kan dirinya secara “sadar”. Eksistensialis yang lebih mengedepankan “eksistensi” daripada “essensi” terlepas dari penafian mereka akan “ruang” sosial justru memberikan pemahaman bahwa mereka memiliki “ruang” privat tersendiri, yang memisahkan diri dari “ruang publik”. Secara distingtif-oposisi biner, maka ketika terdapat “ruang publik” maka sebaliknya pasti ada “ruang privat”. Di 66
sini kita agaknya sudah mendapatkan basis filosofis yang memadai mengenai adanya ruang publik dan privat, walaupun tidak terlalu epistemologis, apalagi “etis-estetis” yang merupakan bagian dari dimensi aksiologi dari filsafat. Dengan terpaksa melampaui bahasan historis ruang publik –dan privat- mulai dari Yunani kuno sampai pada alam modernitas dan posmodernitas sekarang (bagi yang percaya “mitos-mitos” tersebut), maka sekarang dapat dikatakan bahwa hidup dan kehidupan kita, sampai ruang privat kita tidak dapat menolak keberadaan ruang publik; ia selalu berhadapan dengan ruang privat, dan pada akhirnya melahirkan banyak perspektif seiring banyak masalah yang terlahir dari persetubuhan ruang publik dan privat tersebut. Secara singkat ruang publik bicara soal kebebasan, kesetaraan, egalitarianisme, demokrasi, kesejahteraan bersama, di sisi lain ruang privat bicara soal hak asasi, kekhasan tertentu, privelege tertentu, keyakinan tertentu, yang seakan-akan berada di balik tirai yang sewaktu-waktu dapat keluar, mendesakkan “kekhasan” tersebut pada ruang publik, menghegemoni, mendominasi wacana, dan pada akhirnya –sebagaimana yang terjadi pada metanarasi besar terdahulu (modernisme, posmodernisme, dialektika roh [Hegel] dan mitos-mitos besar lainnya)- mendesak ruang privat lain. Sebenarnya, berkaitan dengan latar pendidikan saya di FIP Unnes, banyak masalah pendidikan yang mau tidak mau mesti mengantarkan kita untuk mendekatinya dari perspektif ruang publik. Dan hal itu merupakan keniscayaan untuk mengambil ruang publik sebagai pendekatan dalam memahami masalah sosial terlihat dalam banyak ranah kehidupan. Misalnya, soal moralitas guru sebagai manusia biasa, sebagai bagian dari ruang privatnya ketika berhadapan dengan ruang publik yang menuntut keselarasan antara apa yang ia ajarkan pada siswa dengan ruang privatnya secara 67
betul-betul personal. Kasus yang nyata adalah soal guru yang berbuat mesum, selingkuh, bertindak asusila. Guru sebagai personal dan guru sebagai bagian dari ruang publik menjadi problematik, bagaimana mesti menempatkan diri dalam hak privasi untuk menjadi manusia biasa yang bisa amoral dan menjadi manusia “agung” yang mesti selalu baik di mata siswa dan masyarakat. Ruang publik telah menjadikan posisi guru di situ tidak boleh memiliki ruang privat karena tidak disepakati oleh mayoritas pendapat ruang publik, yang nota bene pendapat mayoritas ruang publik pun sebenarnya merupakan desakan dari ruang privat moral dan etika yang sudah menjadi “sewajarnya”. Ruang privat berupaya, dalam hal ini, pendapat atas moral dan etika tertentu pada akhirnya menjadi dominan di ruang publik ketika ‘semuanya’ atau katakanlah sebagian besar berpendapat sama. Bagi saya, dalam ruang publik pendidikan terdapat bahasan sensitif sebagai bahasan yang belum tuntas melibatkan ruang publik dan ruang privat, yakni ruang privat keyakinan teologis dan ideologis yang niscaya merengsek masuk dalam ruang publik pendidikan. Pendidikan sebagai ruang publik ketika diperbandingkan dengan ruang publik sebaga civil society, mungkin akan lebih tepat disebut sebagai ‘ruang publik perantara’. Ungkapan-ungkapan para pendidik kritis seperti Freire, Illich, Postman, dan Apple, juga teoritis kritis seperti Bourdieu, Foucault, dan Habermas yang menyatakan bahwa pendidikan penuh dengan kepentingan ideologis, politis, dan lainnya sebetulnya telah meneguhkan pendapat, bahwa ketika pendidikan didefinisikan sebagai ruang publik perantara maka memang betul ia menjadi ruang kontestasi ideologi dan berbagai kepentingan lain termasuk keyakinan teologi untuk menghegemoni, mendominasi, dan mereifikasi nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama 68
dalam ruang publik pendidikan tersebut. Keyakinan ideologis dan teologis memang niscaya keluar dari bilik ruang privat menuju ruang publik untuk memenangi kontestasi di antara ruang privat ideologis dan teologis lainnya, yang juga sama-sama merengsek keluar menuju ruang publik pendidikan. Hal itu karena ideologi dan teologi lebih terkodifikasi, baku, masuk dalam kotak-kotak terdapat kekhasan yang tak ada pada ruang yang lain. Mirip prinsipnya Thomas Hobes, maka saya berpendapat tidak boleh mendesak ruang privat lain apalagi merusaknya dan lebih berupaya menjaga ruang privat sendiri, oleh karena tindak amoral itu sebenarnya telah merusak atau mendesakkan persepsi bahwa amoralitas itu benar kepada ruang privat lain yang tidak sepaham, maka amoral tidak diterima di ruang publik. Tapi bukankah keyakinan dari ruang privat yang dominan di ruang publik dan menjadi sebuah konsenses kemanusiaan dan kelaziman moral, bahwa amoral itu tidak boleh, juga sebentuk pemaksaan dan “pengrusakan” atas ruang privat lain yang meyakini bahwa amoral itu boleh? Bagaimana Anda menjawab ini? Ini baru pemanasan, posting selanjutnya sedikit menginjak soal intelektual kampus. Belenggu Idealisme Ubermensch Dunia pendidikan kita sekarang tak hanya dimaknai sebagai sarana untuk memanusiakan manusia sebagaimana dikatakan Driyarkara. Lebih dari itu sekarang dengan berbasis pada paradigma education as human investment, maka dunia pendidikan telah menjelma menjadi pabrikpabrik yang siap memproduksi manusia-manusia pesanan pasar. Konsekuensinya, dengan harga tertentu maka akan didapat produk dengan kualitas sebatas harga yang diberikan. Dengan kata lain, dalam logika ekonomi, 69
semakin tinggi kita berani membayar -atau berinvestasi pada sebuah lembaga pendidikan- maka semakin tinggi pula kualitas produknya. Tampaknya semua lembaga pendidikan menyadari hal itu, hingga yang terjadi selanjutnya adalah persaingan antarlembaga. Mereka semua berupaya untuk menunjukkan bahwa lembaga mereka lebih berkualitas dari yang lain. Ketika tantangan globalisasi sekarang menghendaki penguasaan soft skill dan hard skill competence bahasa Inggris, IT, keuletan, kreativitas, profesionalisme, dan lainnya, maka lembaga pendidikan beramai-ramai mengakomodasinya. Nah, ketika persaingan kian ketat antarlembaga, maka inovasi-inovasi pendidikan dilontarkan agar tak sekadar keunggulan kompetitif yang didapat tetapi juga keunggulan komparatif. Dari sini lahirlah lembaga-lembaga pendidikan semacam full day school (sekolah sehari penuh) yang bersaing dengan lembaga pendidikan lain yang bermodel imersi, akselerasi, boarding school, sekolah alam, dan lainlainnya. Karena sudah bernalar bisnis, maka promosi digencarkan bahwa konsep-konsep inovatif tersebut lebih unggul dibandingkan dengan sekolah-sekolah biasa dengan tujuan agar orang tua dan calon peserta didik kian tertarik, hingga akhirnya memilih sekolah mereka, dan ketika mereka bersekolah di lembaga tersebut tentu semakin banyak “investasi” yang masuk, dan semakin sejahteralah lembaga tersebut. Jika ditelisik secara lebih filosofis, maka sebenarnya masalah tersebut terjadi karena dunia pendidikan kita tak mempunyai landasan filsafat dan ideologi pendidikan yang kuat. Visi pendidikan kita pada kurikulum 1994 dan sebelumnya telah mengandaikan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia Indonesia yang sempurna lahir & batin, mampu menguasai segalanya, bisa apa saja, intinya 70
adalah sebentuk ubermensch (superman) yang digadanggadang oleh Hitler ketika mengklaim rasnya sebagai yang terunggul di dunia. Intinya pendidikan kita ditujukan untuk membentuk manusia super (superman) yang serba unggul yang ternyata hal itu pun masih dalam kontroversi secara filsafati dan mengabaikan realitas sosial-budaya bangsa Indonesia. Akhirnya yang dirujuk adalah filsafat idealisme dalam pendidikan. Filsafat idealisme ini mencoba memberikan semua materi yang penting bagi siswa, celakanya semua materi dianggap penting, karena memang tujuannya menciptakan manusia super tadi. Yang terjadi adalah, banyak materi dijejalkan pada siswa walaupun ternyata dangkal. Mulai dari hal sederhana sampai teori yang sebenarnya belum perlu diberikan pada siswa SMP – misalnyaakhirnya diberikan juga. Selanjutnya pembelajaran lebih bersifat teoritis karena banyaknya materi yang harus dipelajari, waktu belajar terbatas, hingga tak mendalam dan minim prakteknya. Walaupun paradigma tersebut sudah mulai ditinggalkan dengan mensinergikan idealisme dan realita dalam pendidikan kita, ternyata mimpi ubermensch tidaklah tamat riwayatnya. Dengan disulut api nalar bisnis yang penuh persaingan untuk mendapatkan hati pasar (masyarakat dan dunia kerja) maka ia berganti baju dan menjelma menjadi –salah satunya-konsep full day school. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa full day school tak sekadar “memaksa” siswa belajar dari pagi sampai sore, tapi tentu materinya lebih banyak, lebih variatif, dan kemungkinan lebih mendalam. Tak hanya itu, yang pasti full day school tentu lebih mahal biayanya daripada sekolah biasa. Yang dikhawatirkan adalah, siswa menjadi jenuh belajar seharian. Tak hanya karena dibatasi dalam lingkup 71
sekolah yang seringkali menjauhkan dari realita kehidupan, tetapi ketika materi yang diberikan terlalu banyak, apalagi dengan konsep yang tak lagi menarik hati, maka siswa akan kian jenuh. Padahal kejenuhan dalam belajar adalah awal resistensi pada materi yang diberikan. Perlu disadari kiranya bahwa siswa-siswa tak semuanya tahan dalam “penjara” sekolah, karena ada yang berkarakter pemberontak, tak semua siswa mampu mencerap bejibun materi, karena berbedanya kecerdasan, tak semua siswa mau mempelajari semua, karena bervariasinya potensi dan bakat sebagaimana dikemukakan Howard Gardner dalam konsep multiple intelligence-nya. Ini adalah sebentuk eksploitasi siswa oleh lembaga pendidikan bersangkutan. Padahal siswa mempunyai hak untuk mengaktualisasikan diri, berekspresi, termasuk bermain-main terutama pada usia anak-anak. Dengan konsep sekolah sehari penuh, anak juga menjadi korban idealisme visi pendidikan dan juga arogansi orang tua yang “memaksa” anaknya jadi yang terbaik. Bukankah ketika ingin memberi yang terbaik tak perlu dengan memaksa, tapi dengan menyesuaikan potensi, bakat, dan kemampuan? Begitu pula dengan sekolah, tak perlu “memaksa” siswa belajar seharian, yang perlu dilakukan adalah bagaimana caranya agar siswa menjadi senang belajar, hingga saat yang paling dibencinya justru ketika waktu belajar usai dan liburan tiba. Bisakah?
72
Menengok Diri Serta Pendidikan Kita Oleh : Giyanto Kita dikelilingi oleh praktik-praktik pendidikan yang tidak memberikan pilihan-pilihan bebas serta ketidakjelasan sasaran dari apa yang ingin dicapai, yaitu sebagai sarana penegak kebenaran ilmu atau menjadi salah satu sekrup kepentingan masyarakat kapitalis industri. Untuk praktik pertama, kita tidak pernah benar-benar serius mendiskusikan dunia ilmiah seperti apa yang akan diperjuangkan oleh pendidikan kita. Sedangkan untuk praktik kedua, kita selalu dililit masalah dan bayang-bayang pengangguran. Determinasi (dalam konteks psikologis, bukan dalam konteks aliran falsafah), setidaknya saya artikan sebagai suatu kesadaran yang ada pada setiap manusia untuk menggali kehendak bebasnya dalam menciptakan (to create), diiringi dengan perenungan-perenungan mendalam untuk menciptakan pilihannya sendiri. Kesadaran ini muncul karena adanya hasrat dinamis manusia untuk maju, disertai dengan refleksi-refleksi, sehingga tercipta suatu kondisi kesadaran mengenai apa yang dia kerjakan. Memang benar bahwa manusia memang tidak dapat benar-benar bebas. Apa yang dilihat, didengar, dirasa, serta dimodelkan oleh lingkungan terhadapnya akan memengaruhi cara berfikirnya. Buku apa yang kita baca, apa yang kita bicarakan, gambaran ideal yang ada di kepala kita, setidaknya memberikan cerminan bahwa kita tidak benar-benar bebas dalam menciptakan apa yang kita pikirkan dan kita lakukan. Oleh karena itu pada fase perkembangan dewasa, hal ini menjadi sangat relevan untuk dibahas, karena pada fase ini, setidaknya menurut ahli psikologi perkembangan, merupakan fase peneguhan 73
siapa diri kita sebenarnya. Masa inilah, akan seperti apa kita kelak, dapat sangat mudah dilihat. Kembali kepada permasalahan tingkat kesadaran yang diperlukan bagi manusia “bebas”. Kebebasan dalam arti kesadaran menentukan pilihan, tanpa ketakutan dan kekhawatiran yang bersumber dari harapan lingkungan sosial kepada masing-masing subyek. Dari keluarga, guru, ulama, pacar, istri, anak dan teman, yang kesemuanya memiliki kepentingan masing-masing bagi pembentukan nilai masyarakat yang sudah mereka tentukan menjadi apa yang “baik” dan “benar” menurut versi kepentingan masyarakat “saat ini”. Dengan demikian, walaupun sangat halus, harapanharapan itu secara tidak langsung memasung kebebasan yang seharusnya sudah menjadi kodrat manusia. Semisal, mimpi status sosial bagi para bekas aktivis yang biasanya terpasung, bahwa menjadi dosen atau politisi ialah berada pada strata tertinggi. Bukan berarti saya menganggap rendah impian tersebut. Akan tetapi, kesempitan berfikir seperti itu, akhirnya “membunuh” proses alami yang seharusnya diperankan secara “ideal” dari status dosen maupun politisi, yang dalam sistem masyarakat mengemban tanggung jawab sebagai “khalifah”. Dengan kata lain, kesempitan visi pribadi yang terjebak dalam “status” atau “simbol”, bukan pada peran ideal dalam kepentingan seluruh sistem masyarakat atau peradaban modern, akhirnya memperlambat gerakan sistem perkembangan diri untuk tumbuh secara sehat. Seandainya secara normal orang disuruh memilih antara hak dan kewajiban, maka orang secara normal akan memilih hak secara dominan. Karena (misalnya) mereka memiliki anak istri yang harus dipikirkan. Walaupun secara mikro hal tersebut juga merupakan kewajibannya-untuk 74
menafkahi anak dan istri- dalam sistem sosial “kewajiban” itu bisa dikategorikan hak. Dengan demikian, suatu status yang dalam proporsi keseluruhan sistem sebenarnya mempunyai kewajiban atau tanggung jawab yang besar, tetapi dalam praktiknya, hak lah yang dipentingkan. Maka, secara tidak langsung peran ideal status tersebut akan terbunuh. Bagaimana bisa orang mau memberi tapi dirinya sendiri bergantung secara mutlak pada sistem yang menopangnya. Saya kira akan muncul alasan-alasan klise bagi pembelaan status quo mereka. Akibatnya, tanggung jawab bagi peran-peran yang dalam keseluruhan sistem seharusnya dapat memberi kontribusi yang besar tidak dapat mereka laksanakan dengan seharusnya. Semisal, peran politisi, sebagai agen pembuka kran demokrasi, akhirnya membunuh demokrasi itu sendiri karena alokasi proporsi tuntutan hak mereka yang terlalu besar, sehingga memilih untuk melanggengkan kekuasaan yang ada [karena secara politis-ekonomisfinansial, kelanggengan kekuasaan tersebut akan memberikan keuntungan lebih besar kepada politisi terkait]. Ada banyak penyebab mengapa kerumitan sistem sosial yang ada dalam masyarakat kita sulit untuk dikaji secara sistematis dengan bahasa yang bebas, dan mudah dipahami oleh akademisi kita. Pertama, dominasi yang besar akan warisan teori-teori pengetahuan yang selalu kita impor, yang lebih banyak dipengaruhi oleh logika Cartesian. Kedua, dalam melihat ilmu, kita terlalu takut untuk mengatakan bahwa pengalaman empiris yang kita alami juga merupakan sebuah ’ilmu’. Lebih lanjut, hal ini disebabkan oleh sistem pendidikan yang hanya memberikan batasan definitif yang baku. Kita tidak pernah 75
diberi kesempatan untuk membahasakannya sendiri secara sistematis, tentang apa yang kita lihat dan alami. Kebiasaan dalam praktik pendidikan kita memang tidak bisa dibahas dalam satu artikel. Namun saya harap wacana ini dapat menjadi perdebatan dari sudut pandang pribadi dengan bahasa ilmunya masing-masing, sehingga kita akan dapat berbagi mengenai apa yang kita resahkan untuk menjadi perenungan lebih lanjut.
76
Semarang Kota Pendidikan, Mungkinkah? Oleh : Edi Subkhan Perkembangan dunia pendidikan begitu pesatnya di Semarang. Memang sebagai Ibu Kota provinsi Jawa Tengah, Semarang adalah pusatnya segala aktivitas warga Jawa Tengah. Tak sekadar pusat bisnis yang cukup prospektif, Semarang juga merupakan pusat pendidikan masa depan. Semarang sudah beken dengan Unnes, IKIP PGRI, IKIP Veteran, Undip, Unika Sugijapranata, Unissula, IAIN, dan perguruan tinggi lainnya, sebagai pencetak para praktisi dan akademisi, pendidik, ilmuwan, dan tenaga profesional yang handal. Pendidikan dasar dan menengahnya pun tak kalah dari daerah lain dengan segudang prestasi akademik dan nonakademik yang disandangnya. Ada satu fenomena yang patut dicermati, yaitu pada tiap sebuah lembaga pendidikan berdiri, di situlah ia berkembang menjadi sentrum atau pusat aktivitas masyarakat. Ambillah contoh Unnes yang berlokasi di Gunungpati. Sejak keberadaannya dan sampai sekarang di daerah sekitar kompleks kampus Unnes, yaitu Sekaran, Banaran, Patemon, bahkan Trangkil dan lainnya mulai dilirik oleh para pengembang perumahan. Sejumlah perumahan pun bermunculan di beberapa daerah lereng bukit yang sebenarnya tak layak sebagai daerah hunian yang aman. Warga sekitar kampus juga mulai melirik adanya lahan usaha baru, mulai dari kost-kostan untuk mahasiswa, warung makan dengan harga mahasiswa, dan toko keperluan mahasiswa. Ada juga sebagian yang merelakan diri dan sekeluarga menyingkir dari “peradaban” ke daerah pinggiran, hanya agar rumahnya yang di dekat kampus 77
digunakan untuk kos mahasiswa. Tak hanya itu, bahkan ada yang menjual tanah dan rumahnya untuk para pendatang yang lebih pandai melihat peluang bisnis, dan “terpaksa” warga membangun rumah di persawahan. Warung lesehan menjamur, baik yang bongkar pasang, semi permanen, maupun permanen. Berbagai fasilitas kemudahan bagi warga kampus dan masyarakat sekitar mulai lengkap. Jadilah kampung yang tadinya sepi itu menjadi kota kecil yang hidup. Ya, kota baru itu mulai tumbuh dilengkapi dengan minimarket, rental komputer, rental CD dan film, kafe dan resto, warung lesehan yang cukup prestise, dan warung internet. Bahkan di beberapa tempat mulai muncul juga rumah-rumah kebugaran, diskotik kecil-kecilan, perpustakaan plus, persewaan balai pertemuan, penginapan, dan kantor-kantor kecil. Memang setiap perkembangan masyarakat selalu ada lubang hitamnya. Pun demikian juga dengan perkembangan kota-kota kecil itu. Hingga beberapa waktu lalu sempat warga Tembalang memprotes rencana Undip untuk membangun asrama mahasiswa, karena khawatir mengurangi lahan usaha warga untuk kost-kostan. Namun semakin lama semakin tampak kesemrawutan “tata kota”nya. Pedagang kaki lima mulai berjejal di “trotoartrotoar” jalan sekitar kampus, permukiman warga pun mulai berhimpit tak teratur, gang-gang sempit bermunculan, karena semakin banyak warga maupun pendatang membangun pertokoan dan kost-kostan. Mereka membangun ternyata tak terlebih dahulu menganalisis dampak sosial dan lingkungannya, hal itu wajar saja kerena memang mereka bukan ahli tata ruang. Tapi jika dibiarkan terus menerus maka tak lama lagi embrio kota baru itu akan menjadi pusat kekumuhan baru dengan kompleksitas masalah sosial dan lingkungan. Jika 78
sudah begitu bagaimana mungkin mencita-citakan kampus sebagai pusat pengembangan komunitas pembelajar, yakni komunitas yang berbudaya, humanis, ekologis, dan sekaligus intelektual. Mengacu pada paradigma rekonstruksionisme sebagai kelanjutan dari proyek progresivisme pendidikan, idealnya institusi pendidikan adalah pusat perubahan sosial masyarakat. Mahasiswa dan segenap sivitas akademika kampus adalah agent of social change. Pusat pendidikan yang tengah berkembang tersebut adalah pusat-pusat baru masyarakat yang memiliki kesadaran sosial dan rasa memiliki tinggi, posisi tersebut menjadikannya sebagai penyangga kota Semarang dalam skup yang lebih besar agar dapat menjadi lebih kokoh berkarekter, berbudaya, dan beradab. Pembenahan “Kota Baru”. Kita dapat berharap banyak dari embrio kota baru tersebut, karena mereka adalah gambaran ideal dari komunitas pembelajar yang dicita-citakan. Komunitas pembelajar pada kota baru inilah yang mempunyai pengaruh dan peran besar bagi rekonstruksi sosial masyarakat, baik secara kultural maupun struktural menuju masyarakat yang tinggi sensitivitas sosial dan rasa memilikinya atas lingkungan. Semarang bawah sudah penuh sesak dan berjejal bangunan padat yang seringkali tak beraturan, macet, banjir, rob, polusi, panas, dan sekian banyak ketidaknyamanan lainnya. Sampai sekarang pun penanganan masalah rob dan banjir tak begitu berhasil, tak hanya karena political will pemerintah yang lemah, tapi masyarakatnya pun tak punya rasa memiliki terhadap fasilitas kota yang telah dibangun. Dan ini sudah menjadi semacam mentalitas yang sulit diubah. Sulit rasanya mengubah Semarang bawah menjadi lebih “manusiawi” dan berbudaya. Demikian juga ketika mau melakukan 79
konservasi lahan hijau, karena semua sudah diincar pengembang usaha. Jika kita mau realistis, maka pengembangan kota Semarang menuju kota baru ideal sebagaimana kota-kota besar dunia hanya mungkin ketika ke arah selatan, yakni di Kabupaten Semarang, Ungaran, dan sekitarnya. Tak mungkin ke utara, karena berbatas laut, lagipula pusatpusat industri di Semarang utara ibarat sakit-sakitan terkena banjir dan rob. Pusat pendidikannya pun tak banyak, barangkali hanya Unissula yang masih berdiri menantang rob dan banjir. Berbeda ketika kita melirik ke selatan. Daerah pegunungan yang sejuk dan masih dapat ditata dengan perencanaan yang berbudaya, humanis, dan ekologis, niscaya kota baru Semarang akan terwujud. Di samping itu Semarang selatan terdapat banyak institusi perguruan tinggi yang tengah berkembang sebagai embrio kota-kota kecil. Unnes di Gunungpati, Undip dan Polines di Tembalang, IAIN Walisongo di Ngaliyan, Unika Sugijapranoto di Bendan, Undaris di Ungaran, merupakan potensi besar bagi berkembangnya embrio kota-kota kecil yang berbudaya, humanis, ekologis, sekaligus intelektual. Begitu besarnya magnitude kampus-kampus di Semarang selatan itu sekarang telah menjadikan daerah setempat berkembang begitu pesat. Itu adalah potensi dan kekuatan tersendiri untuk membentuk kota baru Semarang yang lebih kokoh, berkarakter dan berbudaya, sebagaimana diidam-idamkan. Potensi kampus sebagai pusat berkembangnya komunitas intelektual yang tentunya lebih mempunya sense of belonging terhadap lingkungan tepat betul jika disandingkan dengan potensi geografis Semarang selatan yang relatif belum terjamah tangan-tangan jahil. Pantas jika kemudian digagas sebuah pengembangan kota baru Semarang dengan berporos pada keberadaan 80
institusi perguruan tinggi tersebut. Namun ketika melihat betapa kian semrawutnya penataan pada masing-masing daerah sekitar kampus itu sekarang, maka layak dipikirkan bersama bagaimana agar mulai berbenah dari tampilan fisik dulu. Yakni dengan menata pedagang kaki lima, pertokoan-pertokoan baru, kost-kostan, dan jalur hijau. Di samping itu juga perlu menertibkan proyek pembangunan perumahan di daerah rawan di lereng-lereng bukit yang sekaligus mengurangi lahan resapan. Jika itu tak dilakukan maka beberapa waktu mendatang, Semarang bawah akan menjadi Jakarta yang menjadi langganan banjir dengan Semarang atas adalah daerah Puncaknya. Selama ini memang tampak betapa kampus-kampus tersebut belum terlalu melibatkan masyarakat sekitar untuk proses pengembangan daerah menuju sebuah embrio kota kecil yang ideal, dan warga pun seolah acuh tak acuh, karena merasa sudah mendapatkan keuntungan finansial dari bisnis kecil-kecilan mereka. Menggagas keberadaan institusi pendidikan tersebut sebagai poros pengembangan kota baru Semarang artinya merumuskan penataan yang lebih melibatkan masyarakat hingga akhirnya masyarakat tak hanya menjadi lebih intelek, berbudaya, memiliki rasa memiliki dan sensitivitas sosial tinggi, tapi juga tercipta lingkungan yang berbudaya, humanis, dan ekologis. Di sisi lain, dalam jangka panjang ini adalah peluang bagi potensi wisata edukatif yang tak ternilai harganya, sekaligus sebagai pelengkap aset wisata Semarang menuju the beauty of Asia. Hal ini perlu dipikirkan mulai sekarang, agar kotakota kecil yang sedang lucu-lucunya itu tak telanjur tumbuh menjadi seperti Semarang bawah yang penuh sesak, panas, berpolusi, dan tak nyaman lagi.
81
Nafas Neoliberalisme RUU BHP Oleh : Edi Subkhan ”Lunturnya rasa nasionalisme itu antara lain disebabkan lahirnya perdagangan bebas yang merontokkan batasbatas negara serta kemajuan teknologi informasi yang tidak mengenal batas-batas waktu dan tempat” –H.A.R. Tilaar (2005) Neoliberalisme Pendidikan Sofian Effendi (2007) menyatakan, bahwa para ekonom membagi kegiatan usaha menjadi tiga sektor. Sektor primer adalah semua usaha ekstraksi hasil tambang dan pertanian. Sektor sekunder mencakup bidang usaha untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities. Sektor tersier adalah industri-industri untuk mengubah benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services). Berdasarkan pada tipologi tersebut, maka World Trade Organization (WTO) sebagai organisasi dunia yang mengatur perdagangan multilateral memasukkan bidang pendidikan sebagai salah satu bidang usaha sektor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang tidak punya keterampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang yang punya keterampilan. Inilah awal mula neoliberalisasi pendidikan secara sistematis dalam skala luas dunia internasional. Prinsip dan peraturan dari WTO adalah adanya jaminan atas perdagangan bebas, sehingga semua bentuk kebijakan dan tindakan yang menghalangi atau mengurangi persaingan bebas harus dihilangkan. General Agreement on Trade in Services (GATS) sebagai salah satu kesepakatan 82
WTO menyatakan bahwa semua transaksi perdagangan dapat diperjual belikan dalam pasar global. Indonesia termasuk salah satu negara yang menandatangani pembentukan WTO dan GATS dengan konsekuensi mesti tunduk pada ketentuannya, termasuk dunia pendidikan. Menurut WTO, lingkup pendidikan mencakup: (1) pendidikan dasar, (2) pendidikan menengah, (3) pendidikan tinggi, (4) pendidikan orang dewasa, dan (5) pendidikan lainnya. WTO pun telah menyediakan empat mode penyediaan jasa pendidikan, yaitu: (1) Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet seperti on-line degree program, distance learning, dan tele course. (2) Consumption abroad, penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, yaitu pengiriman mahasiswa ke luar negeri. (3) Commercial presence, lembaga pendidikan luar negeri hadir secara fisik di Indonesia dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan lembaga pendidikan tinggi dalam negeri. (4) Presence of natural persons, yaitu dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal. Dari beberapa mode layanan pendidikan tersebut, maka sudah beberapa lama Indonesia menerapkannya, hanya saja belum diatur legalitas hukumnya. Neoliberalisme RUU BHP Setelah menandatangani GATS, maka pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden RI (Perpres) No. 76 tahun 2007 dan Perpres 77 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa pendidikan termasuk sektor yang terbuka bagi penanaman modal asing, maksimal sampai dengan 49 persen di “bidang usaha” pendidikan dasar, menengah, tinggi, dan nonformal. Oleh karena itu, sebelum lahir UU Sisdiknas tahun 2003, menjelang tahun 2000 83
hingga sekarang perguruan tinggi pun sudah melakukan transformasi dari institusi yang tadinya bergantung pada pemerintah menuju badan hukum yang mandiri lepas dari birokrasi pemerintah. Otonomi tersebut diwujudkan dengan dibentuknya badan hukum perguruan tinggi di Indonesia dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 tahun 1999 dan disusul dengan PP No. 155/2000 yang menjadikan empat perguruan tinggi, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), jejak tersebut kemudian diikuti oleh USU dan UPI. Setelah itu pemerintah kemudian menginisiasi RUU BHP karena telah terikat oleh amanat UU No. 20/2003 pasal 53 ayat (4). RUU inilah yang dipandang sebagai jalan pembuka kapitalisme pendidikan, menempatkan pendidikan subordinat dari sistem ekonomi neoliberalisme, dan menjadikannya sekadar komoditas dagang. Hal ini karena dalam draft awal RUU BHP juga menyinggung tentang modal asing dalam bidang pendidikan sampai 49 persen. WTO dengan GATS-nya memang tidak secara eksplisit menyatakan penarikan tanggungjawab pemerintah atas dunia pendidikan, namun pola dan strategi implementasi, juga globalisasi dan ideologi neoliberalisme yang berada di baliknya meniscayakan ditariknya peran negara dalam memenuhi tanggungjawabnya atas dunia pendidikan. Banyak pihak mengkhawatirkan keberadaan lembaga pendidikan dalam negeri yang masih kembang kempis jika mesti berkompetisi dengan lembaga pendidikan asing di Indonesia. Di sisi lain ketika asing boleh menanamkan modalnya sampai 49 persen, dikhawatirkan lembaga pendidikan tersebut akan banyak disetir oleh 84
asing, baik orientasi belajar, pemahaman keilmuan, sampai pada budaya dan filosofi pendidikannya. Walaupun pada draft RUU BHP versi April 2008 pasal 12 telah dihapuskan, namun kontroversi tetap berlanjut ketika ketentuan pendirian lembaga pendidikan asing dan kepemilikan modal tersebut masuk dalam RPP pengelolaan dan pelayanan pendidikan yang dikeluarkan pada Juni 2008. Di situ ditegaskan bahwa pihak asing boleh investasi di lembaga pendidikan sebanyak 49 persen. Menangapi hal itu Mendiknas Bambang Sudibyo menyatakan kepada anggota DPR mengenai Perpres No. 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Terbuka dan Tertutup dalam rapat kerja Komisi X, bahwa penanaman modal asing di bidang pendidikan akan dilakukan terbatas pada lima kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan. Selain itu, saat ini hanya berlaku pada bidang pendidikan politeknik dan pendidikan luar sekolah seperti kursus. Dinyatakan juga bahwa dasar hukum adanya penanaman modal asing di bidang pendidikan tidak hanya berdasarkan pada Perpres saja, tetapi juga adanya tawaran dari Departemen Perdagangan mengenai kesepakatan pemerintah Indonesia dalam perundangan WTO di Jenewa, Swiss, pada 2002. Dalam tawaran itu, pendidikan menjadi bagian yang ditawarkan dalam arus globalisasi, namun Depdiknas meminta tidak dibuka secara liberal, tetap harus ada persyaratan yang mesti dipenuhi jika modal asing masuk ke Indonesia di bidang pendidikan. Prihatin dengan kebijakan tersebut, Mantan Rektor UGM, Sofian Effendi menyatakan, dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 77/2007 maka dunia pendidikan di Indonesia akan menjadi ladang bisnis luar biasa bagi pemodal asing, karena dalam PP tersebut dunia pendidikan dimasukkan sebagai bidang 85
usaha terbuka yang menjadi pintu masuk kekuatan asing di dunia pendidikan (Media Indonesia, 18/9/07). Adanya modal asing pada institusi pendidikan menjadikan adanya intervensi sang pemilik modal atas institusi tersebut. Lagipula investasi sebagai sebuah termilogi ekonomi memang bernalar materialistik, bukan nalar intelektual, karena sudah pasti orang yang investasi tidak lain tujuannya kecuali ingin mendapatkan untung, baik materiil maupun dalam bentuk lain, ini sudah lazim dalam konsepsi ekonomi. Oleh karena itu, ruh dinamika dan berjalannya agenda program institusi akan selalu berorientasi pada mencari untung. Selain keuntungan finansial yang sudah pasti dituju oleh pihak investor, tidak menutup kemungkinan adanya keuntungan lain yang dituju, dan nalar materialis biasanya akan melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuannya itu. Dengan neoliberalisasi yang mendasarinya maka patut dicurigai bahwa salah satu intervensi yang akan dilakukan adalah dalam rangka menanamkan ideologi neoliberal tersebut pada peserta didik, baik melalui konstruk ilmu pengetahuan maupun kultur yang dibangun di sekolah atau perguruan tinggi tersebut. Sekarang saja dalam perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN glamor kehidupan dari kultur modernitas sudah terasa dengan nalar mencari keuntungan ekonomi yang sangat besar, hal yang sama juga terjadi di PTS-PTS favorit. lebih rawan lagi adalah pada fakultas atau jurusan yang telah menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri dalam bentuk dual degree. Lepas Tanggungjawab Pemerintah Pemerintah mengaburkan tanggungjawabnya atas pendanaan pendidikan pada RUU BHP versi Juni 2008, bab VI tentang pendanaan pada pasal 33 ayat (2) dengan 86
menyatakan bahwa pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan (pada RUU BHP versi 24 Januari 2008 terdapat pada pasal 32 ayat [2]). Di sini kata-kata ‘tanggungjawab bersama’ selama ini menjadi dalih pemerintah untuk tidak memenuhi pendanaan pendidikan. Pada draft usulan RUU BHP versi Juni 2008 pasal 34 ayat (1) dinyatakan, bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah hanya menanggung biaya pendidikan dasar berdasarkan standar minimal saja, ayat (2) menyatakan pemerintah daerah dan masyarakat ‘dapat’ memberikan bantuan sumberdaya pendidikan pada badan hukum pendidikan. Sementara untuk pendidikan menengah dan tinggi Pemerintah dan pemerintah daerah hanya menanggung ‘sekurang-kurangnya’ 2/3 biaya pendidikan untuk biaya operasional, investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik berdasarkan ‘standar pelayanan minimal’ (pasal 34 ayat [3] & [4]). Dengan demikian acuannya sekadar standar minimal saja dan obsesi untuk wajib belajar 12 tahun yang sempat dilontarkan pemerintah tak lagi menjadi pertimbangan, dan jelas dengan demikian minim komitmen pemerintah pada upaya meningkatkan pendidikan untuk menciptakan kader bangsa yang berkualitas. Banyak obsesi pemerintah yang dipaksakan pada pendidikan menengah dan tinggi dengan sekolah berstandar internasional dan world class university akan kian menekan masing-masing lembaga pendidikan menengah dan tinggi dengan minimnya alokasi dana untuk mereka. Pun dalam klausul tersebut badan hukum yang dimaksud tersebut adalah BHPP yang didirikan pemerintah pusat dan BHPPD yang didirikan 87
pemerintah daerah. Agaknya pihak swasta tidak mendapat perhatian di sini. Pengaburan kewajiban juga terdapat pada draft RUU BHP versi Juni 2008 pasal 34 ayat (5) yang menyatakan bahwa peserta didik ‘dapat’ ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan kemampuannya, orangtua, atau pihak yang bertanggungjawab membiayai. Tanggungjawab tersebut sebanyak-banyaknya adalah 1/3 dari seluruh biaya operasional (pasal 34 ayat [6]). Sebelumnya, pada pasal 33 ayat (3) sudah dinyatakan pula bahwa pungutan oleh badan hukum pendidikan kepada peserta didik atau orangtua/wali dilakukan dengan subsidi silang, dengan demikian sudah terlebih dahulu ‘pungutan’ disahkan oleh RUU BHP ini. Pada pasal 38 ayat (1) tentang alokasi dana 20 persen untuk beasiswa atau bantuan biaya pendidikan dirasa akan membebani BHP bersangkutan, hingga kebijakan ini akan memaksa mereka untuk terus mencari dana besar-besaran dalam memenuhi pendanaan operasional dan pemberian beasiswa. Sementara pada pasal 38 ayat (2) yang menyatakan bahwa beasiswa tersebut ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah belum disepakati oleh pemerintah. Dalam pasal itu pun belum jelas antara BHPP dan BHPM. Mestinya dalam draft tersebut terdapat ketegasan dan kejelasan peran dan fungsi pemerintah, dan pemerintah betul-betul bertanggungjawab atas dunia pendidikan. Dengan demikian terlihat betapa jelas bahwa pemerintah justru membebankan kewajiban memberi beasiswa pada badan hukum pendidikan. Oleh karena itu, untuk pemenuhan pendanaan, badan hukum pendidikan dibolehkan mendirikan badan usaha berbadan hukum (pada pasal 35 draft RUU BHP versi Juni 2008), sebelumnya pada RUU BHP versi 24 Januari 2008 pasal 37 badan hukum tersebut jelas disebut 88
perseroan terbatas, sementara dalam draft terakhir ini justru masih ‘tanda tanya’. Kenyataannya di UI, PT Makara yang telah menjalankan fungsi tersebut (karena UI telah menjadi BHMN) selama delapan tahun tidak pernah untung, namun justru merugi terus, dan ironisnya tidak ada transparansi berkaitan dengan berbagai pemasukan dana dari luar sampai pengalokasian dan realisasi kontribusinya bagi kampus. Selain itu Timus dalam draft terbaru versi Juni 2008 pasal 34A (pasal 39 versi Pemerintah) mengusulkan bahwa badan hukum dapat melakukan investasi dalam bentuk portofolio, padahal investasi ini pasti berasal dari anggaran badan hukum pendidikan, ini tentu akan mengganggu jalannya operasional badan hukum pendidikan. Orientasinya menjadi sangat berbau mencari keuntungan sekali dengan adanya badan usaha dan investasi. Mestinya terdapat ketentuan tentang batasan-batasan etika intelektual yang orientasi pada intelektualisme, atau keberpihakan pada pencarian kebenaran –kata Bung Hatta, hingga tidak akan terjebak pada bisnis kepakaran, atau bahkan pelacuran intelektual. Hal ini mungkin sulit dilakukan karena paradigma RUU BHP ini sepenuhnya berorientasi ekonomi, maka semuanya akan . Sampai pada draft terakhir RUU BHP versi hasil Timus 20, 22—23 Juni 2008, tidak banyak terdapat perubahan substansial, hanya penambahan dan pengurangan di sana-sini, ironisnya sekadar dalam hal redaksional saja. Sampai draft versi Juni 2008 tersebut, pemerintah belum menyepakati tentang tanggungjawab persentase pendanaan yang mesti ditanggungnya. Di samping itu, masih terdapat banyak inkonsistensi penggunaan istilah ‘penyelenggara’ dan ‘pengelola’ yang dipermasalahkan oleh banyak PTS. Yang tak kalah mengerikan adalah hilangnya istilah ‘guru’, ‘sekolah’, ‘siswa’ 89
atau ‘murid’, berganti dengan istilah ‘pendidik’, ‘tenaga didik’, ‘satuan pendidikan’, dan ‘peserta didik’. Padahal dalam istilah-istilah tersebut terkandung filosofi yang lebih luas dan dalam. Misalnya adalah konsepsi ‘guru’ yang memiliki wibawa, panggilan hati, keluasan dan kedalaman ilmu serta pengabdian, tentu lebih luas ketimbang istilah pendidik yang sekadar berdimensi teknik dan profesi. Darwin SN (Suara Pembaruan, 7/6/08) menyatakan, bahwa proses liberalisasi pada sektor pendidikan di Indonesia sama seperti pada liberalisasi sektor migas, yakni mengharuskan pemerintah melepaskan diri dari tanggungjawab sektor pendidikan. Untuk memuluskan liberalisasi migas, seluruh rakyat Indonesia “menikmati” kenaikan harga BBM dengan legalisasi UU Migas. Begitu juga bidang pendidikan dengan RUU BHP nantinya. PP No. 60/1999 tentang perubahan administrasi institusi perguruan tinggi dan PP No. 61/1999 tentang penetapan perguruan tinggi sebagai BHMN, bagi Darwin merupakan tindak lanjut pertemuan Unesco di Paris. Sejak tahun 1980-an, negara-negara maju mendapatkan income besar dari sektor jasa. Ender & Fulton (2002: 104-105) menyebutkan tiga negara yang mendapatkan keuntungan paling besar dari liberalisasi adalah Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Pada 2000, ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau Rp. 126 triliun. Di Inggris, sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 persen dari penerimaan sektor jasa negara tersebut. Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia berjudul Intelligent Export mengungkapkan, bahwa pada tahun 1993 sektor jasa telah mengumbang 20 persen dari PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan merupakan 20 persen dari ekspor total Australia. Sebuah survei pada 1993 menunjukkan, industri jasa yang paling 90
menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan, dan pelatihan. Ekspor jasa pendidikan dan pelatihan tersebut telah menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa ketiga negara tersebut amat getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO. Lebih kurang sampai sekarang enam negara telah meminta Indonesia membuka sektor jasa pendidikan, yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea, dan Selandia Baru.
91
Melintas yang Intelektualitas
Sepintas
;
Proyek Masyarakat Intelektual Oleh : Muhammad Taufiqurrohman Selama ini ada semacam kesepakatan tentang dikotomi intelektual dan non-intelektual. Kesepakatan ini tumbuh begitu saja di masyarakat. Bahkan obrolan di kalangan ‘intelektual’ sendiri, kesepakatan tersebut mendapatkan legitimasinya. Ada semacam kesepakatan opini, bahwa kalangan masyarakat tertentu bisa dianggap intelek, tidak intelek -atau setidaknya kurang intelek. Ada banyak pengertian tentang intelektual. Pengertian lama tentang intelektual mestinya bisa kita bongkar. Seperti yang dipahami oleh masyarakat tentang mitos intelektual, misalnya intelektual adalah mereka yang lulus dari pergguruan tinggi. Hanya mereka yang bergelar sarjanalah yang dianggap intelek. Mereka yang berada diluar lingkaran itu, seberapapun hebat produksi pengetahuan dan kontribusi nyatanya pada masyarakat sekitar, tidak dianggap kaum intelektual. Seorang petani yang turut mempelopori penghijauan di desanya tidak kita anggap intelektual, begitu juga seorang seniman tamatan SMP yang menulis puisi dan kerap mewarnai kegiatan kesenian di daerahnya. Alangkah naifnya jika alasannya hanya karena mereka tidak menyandang gelar sarjana. Bertolak dari kesadaran yang dibawa oleh posmodernisme, bahwa ilmu pengetahuan tidak berhak dihegemoni oleh satu pihak saja (dalam hal ini kaum sarjana), atau Falsafah Jawa menyebutnya ’lintas tutur’. Seorang intelektual bisa seorang guru, seniman, petani, nelayan, dosen, professor hingga pensiunan. Dengan ini 92
definisi intelektual adalah siapa saja yang masuk menyelam ke dalam realitas kehidupan masyarakatnya dan kemudian memproduksi pengetahuan dari lokus keberadaannya dan memberikan kontribusi nyata berdasarkan pengetahuannya tersebut di bidangnya masing-masing tadi. Kata-kata ”di bidangnya masing-masing” hanya menekankan pada segi fokus atau orientasi kerja masing-masing person, bukan pada tertutupnya kemungkinan adanya fusi dengan bidang lain. Justru, karena lintas tuturlah maka produksi pengetahuan memungkinkan fusi antarbidang (cross-field understanding). Seorang seniman, misalnya, bisa bekerjasama dengan seorang dosen seni lukis dalam upaya mengembangkan kesenian di desanya. Aktivis politik yang berfusi dengan para sastrawan dalam rangka melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat. Dan masih banyak contoh yang bisa diusahakan sesuai kepentingannya masing-masing. Demikianlah, maka orientasi utama proyek masyarakat intelektual adalah pengetahuan dan masyarakat. Pengetahuan merupakan suatu dambaan tentang apa yang sejati. Apa yang sesungguhnya ada. Dambaan tersebut hampir selalu lahir di setiap masyarakat. Entah di kota ataupun di desa. Sedangkan masyarakat merupakan sekelompok manusia yang tinggal di suatu wilayah dengan realitasnya sendiri. Satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya tentu saja mempunyai realitas yang tidak sama (meskipun tidak selalu berbeda). Realitas yang mungkin berbeda inilah yang melahirkan pengetahuan yang juga mungkin berbeda. Pengetahuan tentang ilmu pertanian di daerah Jepara, misalnya, pasti tidak sama persis dengan di daerah Kalimantan. Hal ini dikarenakan realitas iklim, realitas tanah dan alam yang berbeda. Atau contoh sederhananya, bagaimana cara kita mengajar seorang anak berumur enam dan tujuh belas 93
tahun pastilah tidak sama karena realitas masing-masing anak yang berbeda. Lalu bagaimanakah implementasi kongkret proyek masyarakat intektual? Adalah jika setiap kita, pada bidangnya masing-masing kembali menyelami realitas masyarakat di mana dan kapan kita berada, yaitu di ruang kita berada, disini (here) dan sekarang (now).
94
Nilai Politik dan Mimbar Akademik Oleh : Giyanto Kurang lebih dua minggu blog Komunitas Embun Pagi terbit, terhitung dari ketika tulisan ini diketik, tetapi saya masih merasa kesepian. Tidak seperti ketika saat diskusi rutin yang selama ini kita lakukan bersama anggota komunitas lainnya (seminggu sekali) sepertinya kita lebih bersemangat. Pikiran saya sedikit was-was mengenai produktivitas teman-teman di Embun Pagi. Dua hal agaknya yang mungkin menjadi alasan kuat minimnya produktifitas menulis di Komunitas Embun Pagi selama ini, adalah kendala teknis dan rasa kurang percaya diri untuk mengungkapkan gagasan kita. Yakni ketika pada kenyataannya kita mesti berhadapan dengan ’para pemilik kebenaran’, orang-orang yang memiliki otoritas intelektual, yakni yang diakui secara akademik dengan sederet gelar di depan dan belakang nama mereka, yang seolah-olah apapun yang keluar dari mulutnya adalah ’kebenaran’ tak terbantahkan. Kambing hitam yang bisa saya salahkan sementara ini, mungkin budaya kita, entah itu budaya apa. Atau nilainilai tertinggi dalam hidup kita, dan itu pun nilai apa, dan yang tahu tak lain ialah pribadi kita masing-masing. Begini saja, kita dalam mengungkapkan gagasan di sini setidaknya adalah sebuah proses mencari kebenaran, bukan pembenaran. Di blog Embun Pagi setidaknya kita memiliki cukup banyak kesempatan untuk saling belajar, berbagi, bertinteraksi, ataupun berkorespondensi, dan harapan sangat tinggi saya pertaruhkan di pundak teman-teman untuk mengeluarkan semua gagasan-gagasannya demi mewarnai kehidupan sosial dan pribadi kita. Menarik untuk mengomentari hasil poling bulan ini [Januari], tentang perlunya membuat partai mahasiswa 95
sebagai penyalur aspirasi di Parlemen. Dari pilihan pertanyaan, sangat jelas bahwa kita memang lebih banyak tertarik dengan kajian politik, walaupun dalam setiap tulisan tidak semuanya mengkaji politik. Akan tetapi wacana-wacana yang sering kita lontarkan lebih banyak didominasi “wacana kritik kuasa”. Artinya, dalam frame berfikir, kita selalu mengacu pada persoalan politik. Seolaholah setiap situasi, kesalahan terletak pada interaksi antara yang kuasa dan yang dikuasai. Saya tidak bermaksud menyalahkan kerangka berfikir yang demikian, akan tetapi apakah tidak ada alternatif cara berfikir yang lain? Kedua, barangkali kita memang hidup di kampus yang memelihara budaya bahwa nilai politik lebih tinggi daripada nilai-nilai ilmiah-semisal kebebasan berpendapat yang menghargai inovasi-inovasi atau gagasan-gagasan kritis. Patut disayangkan, banyak guru besar yang duduk di ruang senat tidak memiliki patokan-patokan yang jelas mengenai seorang rektor yang “ideal”. Yang menurut kriteria saya minimal bisa baca tulis. Hal ini menyebabkan rektor terpilih, yang bukan hasil pilihan elemen dasar universitas-seperti representasi mahasiswa dan segenap sivitas akademika lainnya- menjadi kurang peka terhadap realitas kampus. Singkatnya, nilai tertinggi dari lingkungan dimana kita belajar menurut saya sangat berpengaruh. Dengan kata lain, lingkungan kita menjadikan pikiran kita tidak sehat. Ironisnya, itu merupakan kampus kita, dimana seharusnya kebebasan mimbar akademik ditegakkan.
96
Aktivis Asli Tapi Palsu Oleh : Muhtar Said "Apakah selamanya politik itu kejam, apakah selamanya ia datang untuk menghantam atau memang itu yang sudah digariskan, menjillat, menghasut, menindas memperkosa hak-hak sewajarnya" ( Iwan Fals) Kata aktivis sangat popular dikalangan mahasiswa pasca reformasi. Dan karenanya, bargaining position aktivis menjadi tinggi saat mereka bersatu menumbangkan rezim orde baru di tahun 1998. Sampai sekarang aktivis dianggap bak seorang pahlawan yang telah mengusir penjajah di Negeri ini. Mereka selau dikenal dan disambut dengan hormat jika berjalan disepanjang jalan. Diawali dengan sejarah itu, sekarang banyak orang yang ingin menjadi aktivis, terlepas dengan perasaan ketulusan hati mereka untuk memperjuangkan hak-hak kaum tertindas. Melaikan dengan dasar agar mempermudahkan mereka untuk mendapatkan jaringan demi kepentingan dirinya sendiri, atau yang lebih parahnya mereka yang ingin jadi aktivis agar mereka terkenal dimana-mana. Ini tidak ubahnya seperti artis. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) merupakan lembaga yang dikenal sebagai lembaga yang didalamnya bercokol sekumpulan aktivis. Dan banyak mahasiswa yang ingin masuk ke organisasi tersebut. Penulis tidak tahu alasan mengapa mereka ingin masuk BEM. Apakah mereka ingin mendapatkan beasiswa, ataukah mereka ingin namanya dikenal dimana-mana. Penulis tidak tahu alasan mereka sebenarnya. Di sini, penulis hanya mencoba meraba-raba, dan sedikit melihat ”sejarah”, sejauh yang penulis ketahui. 97
Kebanyakan mahasiswa yang duduk di jabatan BEM mempunyai wibawa yang dahsyat untuk mempengaruhi teman-temannya untuk ikut bergerak dalam perjuangannya, karena BEM identik dengan organisasi Inteletual-, setidaknya,itu dulu-. Sekarang BEM hanyalah sekumpulan orang-orang yang oportunis, kebanyakan mahasiswa yang menduduki jabatan BEM hanya untuk mendapatkan sebuah biasiswa, ingin dirinya dianggap jago berpolitik atau bahkan ingin dirinya dikenal bagai artis, jika dia sedang berjalan orang akan menyapanya dengan rasa hormat, bagai Pejabat pemerintahan yang mengobral senyum dengan dihiasi wibawa palsu. Parahnya lagi, aktivis mahasiswa yang ingin masuk BEM dengan niaatan untuk memburu posisi struktural, misalnya hanya memburu jabatan ketua BEM, ini hanya akan menjadi sia-sia belaka. Mereka sudah mengorbankan waktu, harta, dan pikiranya hanya untuk sebuah jabatan. Jika seandainya kalah maka akan tercipta ilklim kebencian pada salah satu lawannya, dan akhirnya akan tercipta permusuhan, bisa jadi mereka akan selalu mempunyai perasaan saling curiga. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak tenang dalam kehidupan mereka. Penulis selalu berharap semoga BEM selalu di duduki kaum intelektual yang disana selau terjadi iklim diskusi yang bisa mengasah intlektual mereka, bukan sekedar sekumpulan mahasiswa yang hanya rapat dan menggosip untuk membuat setrategi-setrategi agar bisa mengalahkan musuh dan akhirnya muncullah black campaigne ( Kampanye hitam). Tapi penulis mengharapkan yang duduk di posisi BEM adalah orang yang selau berdialektika, membaca, diskusi dan kemudian menulis, tentunya dengan ketulusan hati yang paling dalam tanpa ada unsur kepentingan untuk menjatuhkan. Setidaknya, dalam bayangan penulis, adalah seperti yang 98
diungkaapkan oleh Richardo Mathopat“ aktivis adalah orang yang bisa mengukur kekuatannya dan saling percaya terhadap sesama”.
99
Melintas yang Sepintas ; Demokrasi Otonomi Daerah: Sebuah Taruhan Menuju Good Governance Lokal Oleh : Awaludin Marwan Kelayakan kinerja pemerintahan daerah di masa otonomi daerah harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan prinsip-pinsip pemerintahan yang baik. Kita mengenal asas umum penyelenggaraan pemeritahan negara yang dapat dijadikan pedoman bagi terselenggaranya kinerja pemerintahan daerah yang profesional. Asas umum penyelenggaraan pemerintahan negara dirinci antara lain menjadi : asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektivitas. Di era Otonomi Daerah, pelayanan publik seharusnya menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik dimana paradigmanya beralih ke pelayanan yang lebih fokus pada berbagai kegiatan yang manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat dan sekaligus mengedepankan aspek pemberdayaan masyarakat sehingga publik mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama. Suksesnya pelaksanaan pemerintahan termasuk di dalamnya sukses pelaksanaan otonomi daerah ditandai dengan berhasilnya tugas-tugas di bidang pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Hal tersebut akan sangat ditentukan oleh peranan dan kemampuan lembaga pemerintah baik di pusat maupun daerah dalam menangani tugas-tugasnya berdasarkan prinsip pengelolaan yang baik dan benar menuju 100
terciptanya suatu pemerintahan bersih dan berwibawa (clean government). Pemberian kewenangan otonomi kepada daerah (Kabupaten dan Kota) didasarkan pada asas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Dengan demikian diharapkan berimplikasi pada : pertama, adanya keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan semua bidang pemerintahan yang diserahkan dengan kewenangan yang utuh mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Kedua, adanya perwujudan tanggungjawab sebagai konsekuensi logis dari pemberian hak dan kewenangan tersebut berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, berjalannya proses demokrasi dan mengupayakan terwujudnya keadilan dan pemerataan. Di sisi lain, kewibawaan pemerintah akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan menyelenggarakan pelayanan publik yang dapat memuaskan masyarakat serta memfasilitasi masyarakat dan dialog publik dalam pembentukan kebijakan negara, sehingga pelayanan pemerintah kepada publik harus transparan, terpercaya, serta terjangkau oleh masyarakat luas. Dewasa ini bangsa Indonesia sedang mengalami perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara secara mendasar, yaitu : pertama, transformasi menuju era masyarakat informasi, dimana kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang demikian pesat serta pemanfaatannya secara luas, membuka peluang bagi pengaksesan, pengelolaan dan pendayagunaan informasi dalam volume yang besar secara cepat dan akurat. Panggunaan media elektonik merupakan faktor yang sangat penting dalam berbagai transaski baik nasional maupun internasional. Kedua, perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah dari sistem 101
sentralistik menjadi desentralistik yaitu penyelenggaraan otonomi daerah untuk memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap pembaharuan dan perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, dimaksudkan dalam rangka menuju terwujudnya pemerintahan yang demokratis guna terwujudnya sistem pemerintahan yang lebih baik (good governance) dan bertanggungjawab. Sasaran yang akan dicapai dari good governance adalah diperolehnya birokrasi yang handal dan profesional, efisien, produktif serta memberikan pelayanan berkualitas kepada masyarakat. Untuk mewujudkan hal sebagaimana dimaksud di atas, maka pembinaan dan pengawasan perlu dilakukan secara berlapis terhadap penyelenggaraan otonomi daerah, baik pemerintah pusat yang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan di tingkat provinsi maupun pemerintahan provinsi yang melakukan pengawasan terhadap penyelanggaraan urusan pemerintahan pada level kabupaten/ kota. Pembinaan dalam upaya meningkatkan penyelenggaraan otonomi daerah, untuk mewujudkan kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat, perlu dilakukan dengan tindakan yang meliputi: koordinasi pemerintahan antarurusan pemerintahan; pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan; pemberian bimbingan, supervise dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; pendidikan dan pelatihan; perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan. Sedangkan pengawasan bertujuan agar 102
pelaksanaan berbagai urusan di daerah dapat berjalan sesuai dengan standard an kebijakan pemerintah pusat, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian pembinaan, pengawasan dan konsultasi dilakukan secara berkala dan atau sewaktu-waktu baik secara keseluruhan daerah maupun kepada daerah sesuai dengan kebutuhan. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan profesionaisme kepala daerah/ wakil kepala daerah dan pejabat atau pegawai dalam lingkup aparatur pemerintahan daerah. Sehingga pada akhirnya, penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah bisa berjalan dengan baik, dan aparatur pemerintah daerah bisa memiliki paradigma kepemimpinan yang professional dan aspiratif dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah secara luas. Paradigma kepemimpinan aparatur pemerintah daerah berpengaruh cukup signifikan terhadap baik-buruk jalannya organisasi pemerintahan pada semua tingkatan. Paradigma kepemimpinan daerah dalam dunia yang turbulen adalah sebuah organisasi yang cenderung mengembangkan nilai-nilai : legitimasi kekuasaan (legitimacy of power), kredibilitas dan sistem (credibility of system), kesejahteraan ekonomi (economic prosperity) dan harmoni sosial (social harmony). Kecenderungan selanjutnya akan mengarahkan pada organisasi dengan karakter seperti: ber-visi, sederhana, fokus dan efesien dan produktif. Seiring dengan kecenderungan tuntutan organisasi, tuntutan kepemimpinan akan mengarahkan pada perkembangan kualitas kepemimpinan yang demokratis, kuat dan efektif.
103
Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Malaysia Oleh: Awaludin Marwan Akankah Pemilihan Umum Malaysia pada tanggal 8 Maret 2008 kemarin membawa perubahan signifikan bagi kehidupan tata negara dan demokrasi di negara tersebut? Sekitar 10.920.000 jiwa pemilih terdaftar memberikan suaranya untuk 222 kursi parlemen dan 505 kursi negara bagian. Para pemilih terdaftar itu mendatangi 7.950 TPS. Memang, dalam penghitungan suara, Barisan Nasional koalisi yang memerintah saat ini- ”hanya” meraih 139 dari 222 kursi parlemen. Jumlah tersebut kurang dari dua per tiga total yang diperlukan untuk dapat mengontrol parlemen dan mengubah undang-undang. Aliansi oposisi menganggap 82 kursi yang diraihnya sebagai sebuah kemenangan. Aliansi yang menamakan diri barisan alternatif terdiri dari Partai Keadilan Rakyat, Partai Aksi Demokrasi dan Partai Islam se-Malaysia ini memperoleh mayoritas kursi di lima negara bagian. Hasil pemilu ini disambut baik rakyat Malaysia dengan harapan oposisi akan mampu berbuat banyak untuk kebaikan rakyat. Babak baru bagi kehidupan demokrasi Malaysia pun lahir. Demokrasi yang menekankan sebuah metodologi untuk menghasilkan rotasi kekuasaan dan fungsi recruitment politik tercermin dalam pemilu kali ini. Barisan Nasional menjalankan fungsi alat politik yang cukup superior dalam memimpin Malaysia. Barisan Nasional sebagai koalisi yang memerintah Malaysia sejak merdeka pada 1957 akhirnya akan mengalami kesulitan karena akan berhadapan dengan kelompok oposan di parlemen. Artinya terbuka keran lebar bagi kelompok oposan untuk masuk dalam jabatan politik dan menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Terbongkarlah tirani koalisi partai penguasa negara yang pada awalnya menyerupai keberadaan Golkar 104
di era orde baru yang sulit digoyang. Kini ada secercah harapan yang menyediakan ruang bagi keinginan minoritas untuk bersuara dalam struktur kelembagaan negara di parlemen. Keberadaan Barisan Nasional dalam lingkaran kehidupan politik negara memang sebelumnya cukup dominan. Barisan nasional (National Front) adalah sebuah gabungan partai-partai politik yang dibentuk pada 1973, yang kelanjutan Partai Perikatan (Alliance). Partai ini telah memerintah Malaysia sejak kemerdekaan tanpa terputus. Pada Desember 2003, partai anggota Barisan Nasional adalah: United Malays National Organization Organization (UMNO), Malaysia Chinese Association (MIC), Gerakan Rakyat Malaysia, People’s Progressive Party, Parti Pesaka Bumiputera Bersatu, Sarawak United People’s Party, Parti Bersatu Sabah, Liberal Democratic Party, Parti Bersatu Rakyat Sabah, United Pasokmomogun Kadazandusun Murut Organization, Sarawak Progressive Democratic Party. Partai ini melanggengkan kekuasaannya hingga saat ini. Kekalahan Barisan Nasional banyak dinilai tidak hanya berasal dari kekecewaan warga terhadap kinerja dan kebijakan pemerintah yang berkuasa saat ini – Pemerintahan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi. Bahkan tokoh Barisan Nasional Mahattir Muhammad mengklaim ini sebagai bentuk kesalahan tunggal penjabat Perdana Menteri saat ini. Akan tetapi, kekalahan tersebut juga disebabkan oleh penerapan strategi politik yang tidak efektif dalam mendapat simpati khalayak pemilih oleh mesin politik partai. Partai Keadilan Rakyat (PKR) tampak lebih bersuara dan mendominasi wilayahwilayah kampanye dengan kehadiran para tokohnya ke titik-titik atau kantong-kantong kuat yang dapat mempengaruhi hasil akhir perhitungan suara. Partai 105
UMNO, sementara itu, memilih strategi dengan lebih menguasai dan mendominasi media massa sebagai alat untuk menyuarakan kehadiran mereka ke masyarakat luas. Dengan demikian, khalayak pemilih lebih memilih dan bersimpatik pada tatap muka langsung dengan komunikator terpercaya, yakni tokoh-tokoh di Barisan Alternatif, ketimbang mereka terbawa oleh opini yang di bangun oleh Barisan Nasional melalui saluran kampanye media massa yang justru kurang massif. Namun, kabar mengembirakan peluang keseimbangan kekuatan di Malaysia ini–yang di tandai dengan kegagalan Barisan Nasional memperoleh suara penuh- tidak dibarengi dengan isu-isu yang masih bergulat pada persoalan etnisisme. Isu-isu etnis membanjiri bursa opini dalam pentas demokrasi negeri jiran itu. Memang dulu pernah terdapat catatan sejarah kelam konflik antar etnis di Malaysia. Lima orang tewas dan 37 cedera dalam konflik antar-etnis Melayu dan India pada 11 Maret 2001 di daerah Petaling Jaya. Konflik ditengarai disebabkan oleh arak-arakan pemakaman masyarakat keturunan India melewati tempat perayaan pesta pernikahan warga melayu. Peristiwa ini merupakan yang pertama sejak Maret 1998 sejak terjadi protes kelompok Hindu Malaysia yang memprotes rencana pemindahan kuil Hindu di bagian utara nagara bagian Penang. Dalam peristiwa tersebut, 9 orang cedera. Namun wacana etnisisme ini harusnya tidak terdapat di dalam pentas demokrasi yang sehat semasa ini. Demokrasi yang menempatkan persamaan dan kebebasan hak, bukan kemudian disalah artikan ke dalam kebebasan untuk mengumpat etnis lain dan memunculkan jurang pemisah pada perbedaan yang telah ada. Melayu merupakan mayoritas dalam penduduk Malaysia (55 persen). Cina sebanyak 30 persen dan India 106
sebanyak 10 persen. Penduduk keturunan India kebanyakan bekerja sebagai profesional, sementara banyak juga yang terpinggirkan dalam masyarakat Malaysia. Banyak yang mengkhawatirkan konflik antar-etnis ini akan mengulangi peristiwa konflik etnis Cina-Melayu pada 1969. Dan sialnya, Barisan Nasional melalui stigma yang melekat pada Badawi, memperoleh predikat menganakemaskan etnis melayu ini. Sistem Pemerintahan Pascapemilu Dengan adanya perubahan komposisi di parlemen Malaysia, tentu banyak harapan untuk sebuah perubahan. Perubahan dalam skala besar ataupun kecil memiliki peluang yang sama. Perubahan skala besar diperoleh dari pembaharuan sistem ketatanegaraan, sedangkan skala kecil ditandai dengan perubahan norma-norma dan nilai-nilai sosial politik hukum dalam kehidupan bernegara. Sistem ketatanegaraan Malaysia merupakan sistem parlementer walaupun masih melestarikan pola feodal berupa eksistensi raja (kerajaan) dalam struktur negara. Demokrasi parlementer merupakan suatu hal yang dapat dikenal dalam pola organisasi antara eksekutif dan legislatif yang selalu berhadapan dan berjalan berirama. Namun keberadaan kerajaan sebagai simbol negara masih dapat dipandang elemen struktural yang absolut dan otoritarian. Sebuah pandangan yang lazim manakala kedudukan dan peran Yang Dipertuan Agung di Malaysia masih mencerminkan kesetengahhatian negara itu menjalankan sistem demokrasi subtansial –meskipun dalam praktik pemilihan raja menganut sistem “pergiliran kekuasaan” yang berasal dari 9 kerajaan yakni: Yang di Pertuan Besar dari Negeri Sembilan; Sultan Selangor, Raja Perlis, Sultan Terengganu, Sultan Kedah, Sultan Kelantan, Sultan Pahang, Sultan Johor dan Sultan Perak. Beberapa negara juga masih 107
melestarikan budaya dan sistem kerajaan ini, seperti Kerajaan Inggris Raya dengan Negara kesatuan (unitary state) berbaur dengan kerajaan (unitary kingdom) yang memiliki dua kamar terpisah : House of Commons (diketuai oleh PM) dan House of Lord (merupakan warisan keluarga kerajaan). Kemudian, Jepang dengan Kaisar, Parlemen (kokkai), majelis tinggi (sangiin), majelis rendahnya (shugiin) ataupun kerajaan Arab Saudi dengan dinasti Ibnu Saud-nya dan masih banyak negara lain yang melestarikan kebudayaan dan sistem kerajaan ini. Kendatipun demikian, kita masih berharap bahwa perubahan akan terjadi pascapemilu terhadap keberadaan, peran dan kedudukan kerajaan di Malaysia untuk pembaharuan kehidupan demokrasi sejati. Satu catatan akhir untuk perubahan pascapemilu ini adalah akan lahirnya check and balances yang berjalan dengan baik. Perubahan komposisi di tubuh parlemen – banyaknya kubu oposisi dalam struktur- hendaknya mengarahkan pada hubungan eksekutif dan legislatif dimana legislatif terus proaktif menjalankan fungsi pengawasan dan kontrolnya dengan baik dan efektif.
108
Potret Demokrasi Lokal Oleh : Awaludin Marwan Demokrasi sebagai sebuah institusi inklusif yang sesuai dengan kodrat manusia yang menyenangi kebebasan, dilahirkan dengan kondisi persamaan, dan berdaulat. Keyakinan rasional inilah yang terpakai oleh Indonesia dalam rangka melaksanakan kehidupan sosio-politik, sosiofilosofik, dan sosio-yuridis berbangsa. Sehingga ekuivalensi cukup signifikan ini, dengan dukungan demokrasi melahirkan suatu bentuk bangsa yang lebih beradab, bermartabat, dan berdaulat. Demokrasi hendaknya dibangun dari lokal menuju ke nasional. Asumsi ini senyata dengan konsepsi demokrasi pertama di Negara-Kota zaman Yunani Kuno. Oleh Miriam Budiardjo,1 rakyat berkuasa, sebuah hakekat kelahiran demokrasi, government or rule by the people, dari peristilahan kata Yunani demos berarti rakyat, kratein/ kratos berarti kekuasaan/ berkuasa. Sistem Negara-Kota (city-state) Yunani Kuno dengan penduduk tak kurang lebih dari 300.000-an orang (abad ke-6 sampai abad ke-3 s.M) merupakan demokasi langsung (direct democracy) seperti bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga Negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Keterbatasan jumlah partisipasipan dan ruang di dalam pelaksanaan konsep demokrasi di awal kelahirannya merupakan cermin yang tak bisa di pandang secara parsial. Konsep demokrasi lokal cukup cocok dikembangkan terlebih dahulu manakala bangunan demokrasi bangsa secara total akan di ciptakan. Dengan kata lain, demokrasi nasional secara otomatis akan terbangun dengan sendirinya semisal demokrasi lokal antara satu daerah dengan daerah 109
lain, satu demi satu telah memiliki kemapanan demokrasi. Pendeknya, demokrasi lokal merupakan pondasi bagi terciptanya demokrasi nasional, bukan sebaliknya. Terlihat dengan jelas, pondasi demokrasi yang rapuh ditandai dengan pemilu langsung nasional dilaksanakan terlebih dahulu dengan pilkada langsung di tingkat daerah. Demokrasi lokal belum terbangun, namun intervensi politik skala nasional dipaksakan untuk dilaksanakannya demokrasi langsung (direct democracy), bias jadi keberhasilan pemilu terdahulu berkat faktor kebetulan saja, bukan hasil dari sistem dan kontemplasi yang kuat. Pembangunan demokrasi lokal menghadapi banyak problematika, tidak hanya berkisar pada persoalan pemilihan langsung saja. Tiga masalah dasar pembagian peran pemerintahan, sentralisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi membuka dialelktika yang tidak habishabisnya dibahas. Desiran arus demokrasi bersama dengan otonomi daerah yang bermutana desentralisasi dan dekonsentrasi tak semulus yang di bayangkan. Penulis memandang terdapat empat masalah paling menonjol dari pelbagai persoalan yang muncul dari problematika demokrasi otonomi daerah. Mereka adalah : uforianis pemekaran; perihal keuangan daerah; perbedaan tradisi dan kultur lokal; lemahnya pengelolaan sumber daya daerah, di samping persoalan politik pemilu yang terus mengalami fase pendewasaan politis elit dan masyarakatnya. Uforianis pemekaran merupakan persoalan yang bersamaan dengan implemantasi otonomi daerah. Sebuah studi kasus yang di lakukan oleh Larraine V. Aragon di Kabupaten bentukan baru seperti Kabupaten Marowali (pusat suku bungku) dan Kabupaten Tojo Una Una (terpusat khusus untuk suku Tojo). Menyebut-nyebutkan bahwa pemekaran yang paling banyak diusulkan setelah di 110
implementasikannya otonomi daerah menyisakan banyak persoalan. Ada banyak masalah sepele yang harus dirundingkan, misalnya kota-kota mana yang akan menjadi ibukota baru, dan kelompok-kelompok yang mana anggotanya menduduki posisi sebagai bupati, orang-orang mana yang akan menerima pegawai negeri baru. Kabupaten baru di Sulawesi Tengah ini dampak dari desentralisasi yang tidak bias meredam persoalan pengerahan kekerasan dan polarisasi keagamaan yang tupang tindih dengan kelompok-kelompok yang semakin di pisahkan oleh sebagian besar rencana kabupaten baru. Sementara persoalan keuangan daerah membawa pada satu titik di mana kemandirian daerah dan ketergantungan daerah pada pusat menjadi dualisme yang tak tipis. Tujuannya sebenarnya tidak lain adalah kemandirian daerah, namun pengelolaan keuangan daerah yang lepas dari pantauan pusat akan menimbulkan tragedi beberapa tahun silam di mana banyak DPRD dan Pemerintah terlibat skandal korupsi legal, salah kaprah dalam menginterpretasikan kebebasan daerah dalam menentukan pengelolaan keuangan daerah secara ideal. Di samping itu, beberapa pendapatan Negara masih harus di bagi dengan Pusat dan Provinsi, seperti Pajak Bumi dan Bangunan, salah satu pendapatan Negara dari sector pajak yang peruntukannya harus dibagi Pusat, Provinsi, dan Kabupaten. Beberapa sektor penting masih dalam kendali pemerintahan pusat, membuat satu sisi mematikan kreatifitas daerah di sisi lain check and balances berjalan baik dan di mungkinkan pola distribusi ke daerah lain yang tertinggal. Dengan konsepsi pengelolaan keuangan, dikenal automoney. Artinya, kemandirian daerah dalam menyelenggarakan kewenangannya diukur dengan kemampuannya menggali sumber-sumber pendapatan 111
sendiri.3 Memaksimalkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta pembangunan menjadi prioritas yang tak terpisahkan selain menambah jumlah peluang pajak dan retribusi daerah. Implikasi lain dari pengelolaan berbasis demokrasi otonomi daerah, penyelenggara pemerintahan dituntut menjunjung prinsip pemerintahan yang bersih dan tranparan, jauh dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas penggunaan anggaran,4 Selanjutnya, pembangunan dan pengembangan demokrasi lokal berbenturan dengan perbedaan tradisi dan kultur lokal. Suatu contoh pengenalan struktur pemerintahan desa pada tahun 1983 di Sumatera Barat yang bertolak belakang dengan konsepsi nagari yang luasnya lebih besar daripada konsepsi desa yang di adopsi dari Jawa. Untuk mengindari kerugian financial dagi daerahnya, maka nagari di pecah-pecah menjadi unit administrasi lebih kecil menyamakan dengan desa. Sejak lahirnya, system desa dan pemecahan nagari ini dikritik habis-habisan di Sumatera Barat dan beberapa reunifikasi desa terjadi pada tahun 1990-an. Nagari adalah unit-unit territorial yang sangat otonom. Kepemimpinan, afiliasi kelompok, dan hubungan properti di dasarkan di dasarkan atas struktur kekerabatan matrilineal, sangat berbeda dengan desa.5 Uraian ini menandakan bahwa unifikasi dan distribusi perubahan yang tertranformasikan ke tingkatan lokal tidak selamanya sesuai dengan akar kultur masyarakat lokal setempat. Maka pembaharuan dan pembauran perlu dilakukan, agar perubahan pada satu tujuan yang hendak di capai juga tidak merusak apa-apa yang sudah mapan di masyarakat dari sudut budaya. Sementara pada sektor yang lain demokrasi lokal dan otonomi daerah menghadapi sulitnya daerah untuk pengelolaan sumber daya. Daerah yang maju semakin maju 112
sementara yang lain tertinggal, tidak terjadi keselarasan, melainkan ketimpangan. Seperti halnya pengelolaan timah di kepulauan Bangka, yang memperlihatkan betapa rumitnya masalah penyelundupan pasir timah Bangka ke Singapura, yang seharusnya lebih bisa bermanfaat untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah Daerah tak bisa mengolah sumber dayanya, potensi itu ditangkap oleh oknum pebisnis untuk dikelola dan diseleundupkan.6 Bersamaan dengan ha tersebut, otonomi daerah ternyata menimbulkan konflik baru yang pada dasarnya merupakan pertentangan bisnis dan kekuasaan daripada pertentangan budaya atau politik. Konflik mengenai uang dan kekuasaan yang merupakan hasil dari otonomi daerah nyatanya adalah konflik bisnis. Itulah sebabnya, perkembangan demokrasi tidak mengalami kesejajaran dengan pertumbuhan ekonomi, karena ketidakberdayaan perangkat pengelola yang mampu menangkap potensi menjadi aksi konkret ekonomis. Dilema arus pengembangan demokrasi lokal memang cukup banyak, sekurang-kurangnya seperti yang dikemukakan pada uraian diatas. Memang perlu meletakan keseriusan diatas bangunan pendukung demokrasi, sebagai contoh penguatan institusi yang berupa pemilihan langsung. Dengan pemilihan langsung yang mencerminkan prinsip dan semangat demokrasi, maka pada saat yang bersamaan pembangunan basis politik daerah yang demokratis telah di mulai. Sebab, minimal dengan pemilihan langsung, secara bersama-sama : recuitmen politik, yang mendorong lahirnya pemimpin yang lebih kompeten dan professional; kemudian sosialisasi politik dan pendidikan politik pun telah banyak memulai pembangunan konkret yang hasilnya akan bisa dirasakan mendatang atau saat ini. Sosialisasi politik dan pendidikan politik mampu memotivasi masyarakat dan meningkatkan 113
kritisisme masyarakat untuk ikut serta membangun secara kolektif komunal daerah setempat.
114
Melintas yang Sepintas ; Budaya Mas Goen, Jawablah Pertanyaan-Pertanyaanku Jika Kau Mencintaku (Surat buat Goenawan Mohamad) Oleh : Muhammad Taufiqurrohman Mas Goen, Akhir-akhir ini aku meresahkan sesuatu. Di zaman yang sulit ini aku masih berharap sastra dapat berfungsi membantu menghadapi krisis. Yah, sastra dapat membantu orang mendapatkan makan, harga BBM yang terjangkau, pendidikan yang baik, angkot yang murah, dan kesehatan yang terjangkau. Atau paling tidak ia dapat menjadi tumpahan batin mereka yang tertindas. Intinya sastra dapat berfungsi bagi sebanyak-banyak manusia, bukan hanya pada mereka yang rajin mengunjungi gedung kesenian dan kolom puisi akhir pekan di koran-koran itu. Mengapa tibatiba aku menginginkannya? Mungkin kamu mengganggap keresahanku ini sebagai keresahan yang terlalu mengharap, kekanak-kanakan. Kukira-kira jawabanmu, sastra mesti universal. Sastra tidak bertendens. Sastra adalah tempat dimana daun-daun yang bergugurun layak dirayakan dan juga kesepian malam yang tak bertepi. Aku membayangkan kamu menulis puisi liris itu dengan begitu romantis di temani buku-buku dan lampu itu. Tetapi bayangan akan anak-anak di gerbong kereta Bogor-Jakarta itu tak mau pergi dariku. Ia tak mau pergi. Lalu mas Goen, Aku teringat bayangan-bayangan masa laluku. Yah, aku adalah seorang pembaca setia Pram. Tentu kau tidak 115
akan pernah lupa orang ini bukan? Dengan mata tanpa pejam, tiga hari tiga malam aku khatamkan tetralogi buru di masa SMA dulu. Di pesantren, malam harinya dini harinya, di sebelah deretan kitab-kitab kuning itu kubaca habis Pram. Aku terbawa oleh semangat kemanusiaannya. Sebagai seorang anak desa dari kampung yang jauh, yang tak akan pernah mendapatkan bacaan macam ini di desanya, aku adalah orang rakus. Yah, aku masih ingat buku itu kupinjam tidak dari perpustakaan sekolah atau kabupaten. Sebab, disana tak ada karya-karya Pram dipajang. Aku pinjam dari mas-nya temenku yang kebetulan datang jauh dari sekolah di UI, beli di Kwitang katanya. Masa-masa itu harus kuakui aku tidak mengenalmu. Meski puisi-puisimulah yang diajarkan di buku-buku resmi sastra Indonesia yang baik dan benar. Sebagai seorang bocah, kami diajari untuk menafsirkan puisi-puisi surealis yang abstrak. Tahukah kamu, itu adalah pelajaran termuak selama karirku sebagai seorang siswa. Melebihi kemuakanku pada matematika. Sebab, matematika masih bisa kumengerti alasan tentang logika, dan lain-lain. Tetapi, menafsirkan kata-kata yang tidak jelas maksud tujuannya ditulis. Pekerjaan yang aneh. Pertanyaan itu selalu meliputiku; mengapa aku harus mengerti kata-kata yang disimpan oleh penulisnya sendiri dengan sengaja? Mengapa sebuah puisi yang hanya ingin merayakan sesuatu (yang kelak aku tahu Alain Badiaou mengatakannya sebagai event atau peristiwa dalam bahasamu) harus kami baca dan tafsirkan? Dan setelah aku belajar sastra, hingga sekaranag aku masih tidak mengerti mengapa kami harus bersusah payah menafsirkan kata-kata yang begitu tersembunyi maknanya? Sebab, bukankah kau dan aku ada di ruang yang begitu berjarak. Sebab, bukankah puisi sudah tidak berada lagi di dalam kamar sehingga kau bisa menikmati sendiri sambil mendengarkan 116
John Lennon. Aku tambah tidak mengerti kemudian ketika kulongok puisi-puisi di koran-koran. Mengapa macam puisi sepertimu yang hanya ditampilkan di koran-koran? Sebagai anak SMA dan kini setelah lulus dari sebuah perguruan tinggi jurusan sastra, aku tidak mengerti. Kecuali bahwa ini adalah urusan hegemoni. Kekuasaan sebuah rezim sastra. Mengapa bukan puisi yang bisa dimengerti oleh kebanyakan orang yang menyuarakan hati nurani yang ditampilkan? Mengapa puisi temanku yang lugas-yang bercerita tentang bapaknya yang seorang petani yang tidak pernah bahagia karena harga beras yang dipanennya tidak pernah membalikkan modal-tidak pernah dimuat di korankoran? Mengapa puisi yang hanya dibaca oleh segelintir orang-dan aku menduga mereka juga menduga-duga apa maknanya-dianggap sebagai sebuah produk peradaban umat manuisa yang gemilang? Manusia yang mana? Yang rajin datang ke pentas-pentas teater dan pembacaan puisi yang digelar setahun dua kali itu? Bahwa aku juga bisa menikmati puisi itu, iya aku bisa, tanpa harus kumengerti maknanya. Bahasamu dan bahasa-bahasa puisi itu yang begitu liris dan romantis. Mudah bagiku mendapatkan feelnya. Bahkan aku bisa menuliskan yang demikian berlembar-lembar, berbuku-buku. Lirih dan romantis adalah kesukaanku. Hanya saja, aku ada rasa tidak berterima dengan banyak kenyataan bahwa yang diajarkan di sekolah-sekolah ditampilkan di koran-koran di gedunggedung kesenian seakan-akan ingin menyatakan, bahwa hanya yang seperti inilah yang dianggap sah sebagai sebuah puisi, sebuah karya seni. Puisi-puisi yang tidak sesuai dengan selera redaktur sastra, yang tak lain juga pastilah dia penggemarmu dan juga orang dekatmu itu, bukanlah puisi. Yah, kalaupun puisi pastilah dia puisi nomor dua puluh tujuh, puisi yang tidak baik. Tidak baik? Bukankah kau adalah penganjur ulung tentang relativisme dan 117
kedaifan diri dan terbatasnya tafsir di Indonesia ini? Atau kau telah lupa apa yang kau tulis di Catatan Pinggirmu itu. Atau kau lupa ajaranmu sendiri tentang harus manunggalnya tutur lan lampah, kata dan laku itu. Terus terang aku tidak berterima dengan ini. Tiba-tiba lintasan bayanganku ingin kembali pada masa lalu. Tiba-tiba aku membayangkan bagaimana jadinya jika yang berkuasa bukan Soeharto yang di backup Amerika melainkan Soekarno. Mas Goen, Kadang-kadang aku pikir kamu adalah seorang munafik, oportunis. Dulu ketika Soekarno berobsesi menjadikan seni dan sastra untuk revolusi kau melawannnya dengan Polemik Kebudayaan itu. Kau melawan penindasan. Dengan teman-temanmu itu kau bak pahlawan melawan sang proklamator [sungguh aku tidak enak menyebutnya sebagai diktator. Dia adalah sastrawan yang sebenarnya menurut pengertianku. Sebab, bagiku jasanya bagi lebih banyak manusia di Indonesia ini, masih lebih tak terhingga dari pada jasamu]. Yah, kau memang seperti orang bermuka dua. Atau memang demikian seperti yang kau akui dengan etika kedaifanmu itu. Yah, itu dulu. Ketika kau masih berumur dua puluh tiga tahun. Ketika kau masih muda dan belum mempunyai pengaruh, kekuasaan intelektual, jaringan, dan uang yang banyak tentu saja. Dan kini dengan segala kepentingan dan jejaringmu yang sudah menggajah kau tak berdaya. Meringkuk sendiri di bawah kasur. Dan sejarah memang rada berpihak padamu. Soekarno tumbang Soeharto naik. Betapa bencinya Soeharto terhadap puisi-puisi pembertontakan, puisi perlawanan revolusi yang masa Soekarno dulu digalakkan bahkan diharuskan. Kau datang menawarkan sastra universal, sastra yang tidak bertendens, sastra yang tidak berpolitik. Dalam puisi dia menjadi puisi liris yang 118
menurutmu mengakui kedaifan sebagai manusia. Atau kadang, aku pikir adalah hanya pelarian, karena ketakutan dan tidak punya keberanian melawan. Dalam novel cerpen dia adalah bahasa-bahasa yang tidak bisa dimengerti oleh orang awam, bahkan oleh siapapun saja kecuali oleh penulisnya sendiri. Atau mungkin juga tidak, sebab si penulis juga menulis sambil ngantuk atau sambil mabuk. Tetapi karena kelihatan surealis, puisi itu di muat di korankoran. Yah, di masa orde baru itu, kamulah yang menjadi model penyair yang baik. Yah, kamu dan orang-orang di lingkaranmu. Bukan Pram. Bukan Pram. Lalu, berikan aku satu alasan mengapa kau bukan seorang munafik. Sebab, kau dan teman-temanmu telah menjadi penguasa rezim sastra Indonesia yang baru. Yang menampik liyan dengan tidak memberikan ruang bagi puisi-puisi yang kau anggap tak bermutu. Yang menguasai pusat-pusat kebudayaan. Yang menguasai sastra di koran-koran. Bukankah ini juga sebuah bentuk penindasan? Bukankah ini juga sebuah penjajahan bahkan secara nyata? Belum lagi jika ini harus kuhubungkan dengan agenda-agenda besar ideologi di belakangnya. Siapakah di belakangmu di belakang Utan Kayumu itu? Mengapa kau tidak pernah berbicara tentang Ford, Taff, CIA, Amerika, dan lain-lain. Seperti minggu lalu aku masih ingat kau menulis di Bentara, tentang Seni, Politik dan Emansipasi. Semuanya kau tulis, dari Lekra sampai Polemik Kebudayaan, hampir satu halaman penuh. Satu halaman hampir penuh. Tetapi, yang tidak kau tulis adalah alasan mengapa kau bisa menulis satu halaman hampir penuh di sebuah harian besar dan oleh karenanya bisa dibaca berjuta-juta orang, dan mengapa tidak puisipuisi Wiji Tukul di halaman itu, yang karena puisi pembelaannya pada mereka yang tertindas, dia hilang entah dimana? Mas Goen, jawablah pertanyaanpertanyaanku ini jika kau mencintaiku. 119
Mas Goen, Di kamar sambil lengang-lengang dengar John Lennon, aku bisa menangis sesenggukan sendirian membaca puisi-puisimu. Tapi ketika tiba-tiba aku berada di gerbong kereta itu, di stasiun, di jalan-jalan, di metromini, di trotoar, puisimu tiba-tiba menjadi suara yang sama sekali jauh. Di udara. Ketika di depan mata kita ada orang berteriak lapar apakah puisimu dapat membantu, paling tidak sebagai cermin yang memantulkan kegelisahan dan kesedihan suara hati mereka yang miskin, yang tidak dapat makan, yang tidak bisa membayar uang sekolah, yang bunuh diri karena malu tak bisa memberi uang jajan anaknya, yang yang yang yang..... Aku tidak akan menyalahkanmu sepanjang kau juga memberi ruang bagi puisi-puisi yang lain. Menghargai yang lain. Merayakan perbedaan yang katanya rahmat itu. Kukirimkan surat ini sebab aku mencintaimu. Sebab, apakah berpikir merupakan sebuah tindak kriminal? Mas Goen, Aku memang seorang utopis yang buruk. Aku memimpikan di koran-koran itu, di pusat-pusat kebudayaan itu, juga terpampang puisi-puisi yang lain, semacam puisi realisme sosialis itu, atau apapun itu namanya, segala yang bernama 'lain' dari mainstream. Ingatkah kau pada Habermas yang juga pasti sudah kau katamkan, bahwa represi atas sebuah kepentingan juga merupakan sebuah kepentingan. Juga kau. Juga aku yang menulis surat ini. Namun, mas Goen. Jika kepentingan itu hanya didasarkan (aku khawatir) hanya karena kepentingan eksistensi personal masing-masing dan mungkin juga eksistensi sebuah rezim sastra yang ingin menghegemoni semua ruang kebudayaan, dan bukanlah disandarkan pada 120
sebuah kepentingan yang didasarkan pada nilai-nilai yang lebih transenden, yang lebih tinggi, semisal kemanusiaan, kesederajatan, keilahian, dan lain sebagainya, dan oleh karenanya kita berharap untuk tidak mengharapkan apaapa kecuali yang abadi, di luar hal-hal yang fana semisal pengaruh, popularitas, kekayaan, pengakuan dan lain sebagainya. Mas Goen, jika kau mencintaiku maka jawablah pertanyaan-pertanyaanku ini. Tapi aku sadar mas Goen, kita lahir di zaman yang berbeda. Kau lahir di zaman ketika puisi-puisi banyak dibakar tanpa alasan yang kau mengerti. Sedang aku lahir di zaman ketika di trotoar orang meronta-ronta minta makan karena sudah berhari-hari lapar. Tetapi di sebelahnya sedan-sedan termahal di dunia melaju seperti tanpa perasaan. Mengerikan. Sepi. Seperti tidak manusia. Juga dengan alasan yang tidak aku mengerti.
121
Sudahlah... Mari bersahabat Oleh : Yogas Ardiansyah “Mah, lho kok itu temboknya yang sana ditulisi Jawa Pribumi kenapa tho, Mah?” “Ya karena mereka memang orang Jawa” “Lha trus kita ini orang apa, Mah? Kita orang Cina ya, Mah? Kemaren aku pas lewat di Pandanaran dikatain ci…ci…ci…cina..., gitu ik mah?” ”Nek kamu dikatain begitu, bilang saja aku orang Indonesia!!!, gitu” Percakapan disekitar bulan Nopember 1980 ini terjadi antara Conny dan anaknya, Ivan yang berusia enam tahun. Kerusuhan rasial yang terjadi di Semarang pada tahun tersebut membuat keluarga ini menjadi serasa sedang tidak berada di negeri sendiri. Beberapa hari sebelum pecah kerusuhan, para karyawan suami Conny, yang kebanyakan suku jawa, ikut membantu “membentengi” rumah Conny dengan tripleks tebal, agar, jika memang nanti ada huru-hara, rumah ini dapat selamat dari lemparan batu. Entah jika kerusuhan menjalar menjadi pembakaran…. Hari ini, senin 11 Pebruari 2008 pukul 15.10, langit kota Semarang diselimuti mendung yang cukup tebal disertai angin kencang. Conny Handayani (61) dengan semangat menceritakan apa yang pernah ia dan keluarganya alami sejak kerusuhan berbau rasial pada masa pasca 1965 hingga yang terakhir (semoga saja memang menjadi yang terakhir) pada tahun 1998. Di ruang kerjanya, di Jurusan Bahasa dan Sastra Asing Universitas Negeri Semarang, ia dengan antusias menceritakan kejadiankejadian yang mendeskreditkan ia dan keluarganya hanya karena memang mereka keturunan Cina. Conny mengaku, 122
sejak muda ia telah terbiasa mengalami sikap-sikap tidak simpatik yang diperlakukan kepadanya oleh pihak-pihak yang belum bersedia menghargai keragaman. Kita akui atau tidak, sentimen rasial di Indonesia masih terus terjadi. Ini menjadi ancaman terbesar disintegrasi bangsa ini, disamping keinginan beberapa daerah untuk merdeka. Sentimen rasial yang paling kentara dan paling sering terjadi sejak berabad-abad silam menimpa warga negara non-pribumi, yang lantas secara otomatis dipahami sebagai warga negara keturunan Cina. Benny G. Setiono dalam buku “Tionghoa Dalam Pusaran Politik” memulai kerusuhan rasial ini dengan pembunuhan etnis Tionghoa pada tahun 1740. VOC yang mulai merasa terancam kekuatan ekonomi dan solidaritas etnis Tionghoa menerapkan aturan yang intinya membatasi gerak dan mobilitas mereka. Aturan permissiebriefje (25 Juli 1740) ini tentu saja ditolak oleh masyarakat etnis Tionghoa karena selain mengikat, aturan ini ternyata lebih mirip sebuah aturan untuk memeras etnis Tionghoa. Karena tak tahan dengan kekangan tersebut, sekelompok masyarakat Tionghoa melakukan protes dan segera disambut dengan tanggapan represif tentara VOC. Tanggal 7 Oktober 1740, atas perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier dan anggota Dewan Hindia William van Imhoff, seluruh serdadu kompeni di Batavia berkekuatan 1800 orang ditambah schutterij (centeng) dan 11 batalyon wajib militer melakukan operasi pembersihan terhadap etnis Tionghoa. Puncak kekerasan ini terjadi pada 9 Oktober 1740, dimana sekitar 10.000 orang etnis Tionghoa beserta seluruh rumah dan harta bendanya di seluruh kota Batavia dibakar dan dimusnahkan (laporan Domine Wolter Robert Baron von Hoevell, Tijdschrift voor Nederland’s Indie, pertengahan abad XIX). Sastrawan Remy Sylado mengabadikan 123
peristiwa ini dengan nasakah drama sejarah berjudul 9 Oktober 1740. Pasca kejadian itu, kompeni sangat berhati-hati menghadapi etnis Tionghoa. Kompeni membuat wilayah khusus yang lantas terkenal disebut Pecinan (Chinatown) dimana hampir sebagian besar keluarga Tionghoa tinggal di dalamnya. Etnis Tionghoa menerima saja keputusan ini karena dianggap lebih aman tinggal secara berkelompok dan bersama-sama tanpa menyadari bahwa sebenarnya maksud VOC adalah agar mereka lebih mudah mengawasi dan mengontrol etnis Tionghoa karena bermukim dalam satu wilayah. VOC juga mulai mendekati etni Tionghoa agar melupakan kejadian pembantaian tersebut, dengan memberikan hak dagang dan perlakuan istimewa dengan jalinan kerjasama. Perlakuan istimewa ini merupakan pancingan agar masyarakat pribumi merasa iri karena dengan perlakuan istimewa dalam perdagangan, tentu saja etnis Tionghoa menjadi kaya sedangkan pedagang dan masyarakat pribumi pada umumnya tetap terjajah dan miskin. Perbedaan ini segera berubah menjadi perbedaan strata sosial : etnis Tionghoa yang kaya dan dekat dengan kompeni dihadapkan dengan masyarakat pribumi yang miskin dan terjajah. Kemudian segera timbul pertentanganpertentangan horisontal antara Tionghoa dan Pribumi. Dengan konflik ini, VOC berharap agar etnis Tionghoa tidak lagi teringat kejadian masa silam dan menganggapnya sebagai “sejarah kelam” belaka. Kemudian muncul sistem hukum yang sangat diskriminatif, dimana VOC menggolongkan masyarakat menjadi kelompok berdasarkan suku dan warna kulit. Kelompok pertama adalah orang Belanda dan orang Eropa lainnya. Kelompok kedua adalah orang kulit berwarna dimana bangsa Tionghoa bersama orang Arab dan Jepang ada didalamnya. Kelompok ketiga adalah para bangsawan keraton dan 124
pribumi yang menjadi pegawai Belanda serta yang terakhir adalah pribumi jelata. Hukum memperlakukan kelompokkelompok masyarakat ini sangat diskriminatif sehingga rasa benci karena merasa ditindas tumbuh subur, khususnya dalam masyarakat Pribumi. Konflik ini terus berkembang, mendarah-daging, dan terus saja bergulir dari masa ke masa (disamping karena memang taktik VOC yang jitu, juga karena mudahnya masyarakat Indonesia diadu dan ketidaktahuan sejarah). Tercatat, sejak kejadian Oktober 1740, terjadi peristiwa besar dalam konteks hubungan etnis Tionghoa dan Pribumi : konoflik Jawa-Cina selama Perang Jawa 1825-1830, anti-Tionghoa di Kudus tahun 1918, kerusuhan rasial pasca kemerdekaan tahun 1946, pemberlakuan PP No. 10 tahun 1959, peristiwa rasialis di Cianjur 1963, anti-Tionghoa pasca september 1965, kerusuhan rasial di bandung 5 Agustus 1973, anti-Tionghoa di Solo dan Semarang tahun 1980, kerusuhan pasca reformasi tahun 1998 serta penerapan standar ganda Orde Baru kepada masyarakat Tionghoa selama 1966-1998. Maka berhasillah strategi VOC untuk mengadu domba etnis Tionghoa dan pribumi. Secara garis besar, pokok masalah sentimen antara etnis Tionghoa dan pribumi bersumber pada masalah ekonomi, yang kemudian meluas menjadi sentimen suku, ideologi budaya bahkan agama. Kekayaan harta, yang masih menjadi acuan utama penduduk Indonesia dalam menentukan status sosial tampaknya menjadi sekat yang paling ampuh untuk mendikotomi dua kelompok masyarakat ini. Kondisi tersebut masih ditambah dengan pola pikir dua kelompok ini yang secara mendasar memangsangat berbeda dalam mencari dan mengelola kekayaan. Penduduk pribumi, secara khusus suku jawa, menganggap kekayaan memang harus dicari tetapi dengan tetap dialasi sikap trimo, nriman ing pandum, sak titahe 125
(tetap menerima dan mensyukuri rizki walau hanya sedikit). Sedangkan penduduk Tionghoa dari “sono”nya memang sudah membawa jiwa dagang yang ulet, penuh perhitungan, pekerja keras dan cenderung selalu mencari untung. Nah, bayangkan, jika dua karakter yang memang sejak mula berbeda budaya dan pola pikir ini mempunyai sentimen negatif ditambah pula dengan “dikompori” kompeni, berlangsung pula sejak berabad-abad silam pula. Maka potensi konflik ini akan sangat sulit dihilangkan dan ibarat api dalam sekam, tidak terlihat apinya tetapi terus saja mengeluarkan asap. Konflik-konflik horisontal seperti ini sepertinya hanya bisa dieliminir dengan cara pendekatan kemanusiaan dan budaya, seperti yang telah terjadi di Semarang. Etnis Cina di kota ini, dengan bekerjasama dan meragkul berbagai pihak, setiap tahun mengagendakan acara-acara yang tidak hanya bisa dinikmati oleh orang Cina saja tetapi juga oleh masyarakat Semarang secara luas. Kopi Semawis atau Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata merancang kegiatan pasar tradisional, pertunjukan budaya, festival-festival dan berbagai agenda rutin tahunan lain yang secara nyata mampu mempersatukan dan membaurkan semua lapisan masyarakat. Kedekatan-kedekatan semacam ini yang diharapkan mampu mengurangi potensi konflik di masyarakat. Acara seperti ini juga dapat dijumpai di festival kya-kya di Surabaya serta di beberapa dari Medan, Deli Serdang, Palembang hingga di Pontianak. Selain pendekatan budaya tersebut, dalam bidang perdagangan dan segala hal yang menyangkut dengan uang dan keuntungan (karena ini hal yang paling sensitif), pemerintah harus menerapkan hukum yang fair dan berlaku untuk semua pihak, serta aturan main yang jelas hingga tidak ada lagi pihak yang merasa dianaktirikan dan merasa pihak lain lebih dilindungi. 126
Menjelang pukul 17.30, Conny mulai mengemasi berkas-berkasnya dan mematikan komputer setelah membalas e-mail dari familinya yang menyebar dari Seattle hingga Canberra. Kepada penulis ia berpesan agar pemuda Indonesia, dari suku dan etnis manapun, untuk menjadikan serentetan peristiwa rasial yang pernah terjadi sebagai pelajaran berharga yang sekaligus mahal : bahwa kebencian satu sama lain tidak akan memberi manfaat apapun pada bangsa dan negara, kecuali kehancuran dan menumbuhkan kebencian-kebencian baru yang siap membakar apasaja dikemudian hari : membuyarkan persahabatan tulus antara Joko dan A Cong. Di akhir pertemuan, diperlihatkannya sebuah tulisan harian nasional yang memuat betapa ia dulu mahir menarikan tari jawa klasik dan menganggapnya sebagi budayanya sendiri.
127
Memoir : Apa Budaya Kita? Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok Budaya adalah produk masyarakat dalam konteks ruang dan waktu tertentu. Sekumpulan orang-orang dalam masyarakat, yang berinteraksi dalam kajian sosiologi menghasilkan sesuatu, yang disebut budaya. Maka, budaya adalah hasil interaksi manusia, baik dengan sesamanya, maupun dengan alam sekitar. Budaya itu sendiri hadir dalam dua bentuk yang secara dasariah berbeda. Konstruk gagasan di satu sisi, dan hasil budaya di sisi yang lain. Konstruk gagasan budaya tidak bisa ditangkap secara audiovisual karena bersifat abstrak. Meskipun demikian, hal ini menjadi penting karena sebagai dasar dari masyarakat untuk menghadapi tantangan zamannya. Masyarakat palaeolithikum, dengan konstruk gagasannya menghasilkan kapak batu, untuk menghadapi lingkungan. Karena memang konstruk gagasan yang ada masih sederhana. Sedangkan hasil budaya, adalah budaya sebagaimana yang terlihat. Hasil budaya sebenarnya selalu mengikuti dan hadir kemudian, seiring dengan konstruk gagasan dari masyarakat. Hasil budaya diantaranya hadir berupa makanan, mode, karya seni, juga ilmu pengetahuan dan teknologi, disamping hal-hal yang bersifat ritualistic. Pada kasus masyarakat Palaeolithikum tersebut, kapak batu adalah bentuk nyata perbenturan gagasan-gagasan yang ada dengan alam sekitar. Sehingga kapak batu bisa disebut sebagai hasil budaya-pada saat itu. Sebagaimana dikatakan bahwa budaya adalah hasil dari interaksi manusia, maka budaya tidak bisa lepas sepenuhnya dari manusia itu sendiri, sebagai penghasil 128
sekaligus pelaku budaya, yang berada dalam ruang dan waktu tertentu. Maka, sebagai konsekuensi logisnya, budaya pun tidak bisa dilepaskan dari konteks ruang dan waktu. Mencoba melihat keterkaitannya dengan konteks ruang, manusia sebagai individu tentu mempunyai ruang tertentu di mana ia hidup untuk bersosialisasi, sekaligus mempunyai banyak ruang dalam kehidupan sosialnya. Maksudnya, setiap individu mempunyai keluarga, tetangga, desa, negara, ruang pekerjaan, komunitas-komunitas, ruang dalam kaitannya dengan status sosial, belum lagi kaitan secara personal dengan individu lain. Semua bentuk ruang terdapat interaksi di dalamnya, yang menghasilkan kebiasaan-kebiasaan tertentu, sebutlah itu ”kebudayaan kecil”. Teranglah, bahwa manusia tidak hidup hanya dalam satu ruang tertentu dalam hidupnya, tak seorangpun yang semata-mata hanya satu hal. Budaya Sebagai Sejarah Dalam keterkaitannya dengan waktu, manusia menjadi tahu tentang tentang adanya batas waktu, tentang adanya masa lalu. Masa lalu hadir sebagai sejarah, yang diketahui melalui cerita. Sebuah cerita, tentu saja sangat tergantung dari siapa yang menceritakannya. Maka dari itu sejarah selalu hadir dengan wajah yang tidak pernah utuh. Jawa Tengah (sebagai konteks ruang), apa yang ada sekarang tentu berbeda dengan apa yang ada pada beberapa abad lalu (konteks waktu). Masyarakat Jawa Tengah sekarang bukanlah orang yang sama dengan masyarakat Jawa Tengah pada beberapa abad lalu. Baik dari heterogenitas, secara personal, juga apa yang dihadapi. Hal ini membuat budaya yang dihasilkan juga berbeda. Mungkin masyarakat Jawa Tengah pada saat itu menghasilkan Tari Gambyong, sebagai salah satu cara 129
untuk mengekspresikan gagasannya, dan secara kebetulan masyarakat sekarang tidak. Di sisi lain, Tari Gambyong yang hadir pada saat ini juga menjadi bagian dari sejarah, yang selalu tidak lengkap. Mugkinkah, Jawa Tengah yang begitu luas, dengan individu yang juga begitu banyak hanya menghasilkan satu tarian? Jelas tidak. Begitu juga dengan hasil budaya Jawa Tengah lainnya. Bagi saya, ada yang janggal di sini, ketika menyebutkan Tari Gambyong sebagai hasil budaya Jawa Tengah. Karena Tari Gambyong itu sendiri, bahkan keberadaannya jauh lebih dulu (baca : tua) dari sekedar Jawa Tengah. Jawa Tengah sebagai pembatasan wilayah propinsi, baru ada pada zaman pemerintahan Indonesia. Sedangkan Tari Gambyong jauh lebih tua, bahkan sama sekali tidak mengenal Indonesia. Maka yang terjadi adalah peng-aku-an Tari Gambyong oleh Jawa Tengah, dan buka sebaliknya. Bisa dikatakan bahwa tari gambyong bukanlah kebudayaan Jawa Tengah, tetapi berasal dari salah satu tempat-yang kemudian-termasuk dalam pengkotakan Jawa Tengah. Poin kejanggalan lain, ada kerancuan tentang siapa yang berhak me-resmi-kan hal tersebut. Apakah mereka adalah perwakilan Jawa Tengah, bagian dari Jawa Tengah, sebagian Kecil dari Jawa Tengah, atau bahkan yang sama sekali bukan dari Jawa Tengah. Dari sini, baik Jawa Tengah maupun Tari Gambyong, sebagai cerita sejarah telah dihadirkan dengan wajah yang tidak utuh. Budaya Kita? Dalam konteks kekinian, masyarakat mejadi sangat kompleks, sehingga sulit untuk menggambarkannya secara utuh dan komperhensif. Seperti yang kita tahu, perkembangan teknologi (juga sebagai hasil perkembangan 130
budaya) sekarang ini telah menghadirkan alat-alat pertukaran informasi yang sangat beragam dan canggih. Handphone, jaringan internet, televisi, radio, berbagai media cetak, selain sebagai media informasi, ternyata juga membawa serta nilai-nilai dari budaya tertentu, yang secara geografis terbentang jarak yang sangat jauh. Orang indonesia bisa tahu, telah terjadi inflasi yang luar biasa di daratan afrika, juga melalui medium tersebut. Lalu lintas informasi dan pertukaran nilai terjadi sedemikian cepat dan (lagi-lagi) kompleks. Informasi ”saling-silang” antar manusia dalam setiap belahan dunia, dengan percepatan yang berbeda. Sebagai contoh, informasi yang didapat oleh seseorang gemar mengakses internet, akan berbeda dengan orang lain yang jarang bersentuhan dengan jaringan internet. Terjadi kesenjangan informasi yang didapat, antara manusia satu dengan lainnya. Heterogenisitas menjadi sangat tinggi, bahkan manusia tak bisa lagi mengerti ”apa, bagaimana, dan dari mana” hal-hal yang mempengaruhi dirinya. Jika dikembalikan pada konsep budaya sebagai hasil interaksi antar manusia, agaknya usaha untuk menyebutkan ”budaya murni” menjadi hal yang sulit, kalau tidak mustahil. Budaya sebagai hasil interaksi manusia tidak bisa dilepaskan dari manusia itu sendiri yang kewalahan menghadapi perubahan. Dengan apa yang terjadi sekarang ini, konstruk gagasan yang terbentuk juga menjadi semakin ”carut-marut”, sebagai akibat lalulintas informasi yang sedemikian cepat dan ”timpang”. Selanjutnya, dengan sisi sejarah yang selalu tidak utuh, peng-aku-an sebuah budaya yang tidak berdasarkan pertimbangan logis, kesenjangan informasi yang tinggi, saya rasa budaya ”resmi” Jawa Tengah perlu ditinjau kembali. 131
Solo vs Sragen Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok Tentu saja, potret tak bisa menghadirkan tafsir, dari selain momen yang terjepret. Seperti halnya kata yang tak bisa menghadirkan dialektika dan realita. Namun apa, yang tersisa selain potret, juga kata? Adalah sepetak ruang berbatas geografis, yang memiliki anasir sejarah, sehingga beberapa manusia bisa berteriak lantang : “Kami orang Sragen!”. Atau kemudian beberapa mahasiswa kreatif me-mlesetkannya dengan sebutan “Sragen-tina”, yang langsung mengingatkan pecinta sepak bola kepada Lionel Messi. Memang, kemudian kota yang berbatas langsung dengan Jawa Timur itu, dinamai Sragen. Pemda setempat, melalui Perda Nomor : 4 Tahun 1987, menetapkan hari Selasa Pon, tanggal 27 Mei 1746, sebagai hari jadi kota. Dari hasil penelitian serta kajian pada fakta sejarah, tanggal dan waktu tersebut (dianggap) adalah ketika Pangeran Mangkubumi -yang kelak menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono (ke-) I- menancapkan tonggak pertama melakukan perlawanan terhadap Belanda, demi maujudnya sebuah bangsa yang berdaulat dengan membentuk suatu Pemerintahan lokal di Desa Pandak, Karangnongko masuk tlatah Sukowati sebelah timur. Waktu itu mungkin Sragen belum mengenal akses internet, apalagi hotspot. Tetapi, lebih kurang 3 abad terlalui kemudian, Sragen telah terbiasa menggunakan istilah “one stop service”. Ketika kemudian Sragen harus berkelindan dengan dinamika Demografi, yang selalu identik dengan peningkatan jumlah, tetapi dalam satuan waktu yang tak bisa mulur-mungkret. Maka dari itu, 132
kecepatan dan percepatan adalah sesuatu yang kemudian didepankan. Ya, memasuki gedung layanan publik Pemkab Sragen, mengesankan suasana kantor Bank. Sragen menyediakan layanan singkat waktu, juga singkat jarak, seperti pil APC-nya Andrea Hirata, yang oleh warga Belitong, dipercaya bisa menyembuhkan segala penyakit. Sragen membasiskan dirinya dengan IT [Informatical Technology}, yang masih mempesonakan, melalui kecepatan dan percepatan yang disediakannya. Sragen, dalam hal ini, mengedepankan rasionalitas tujuan, yang ditolak oleh Jurgen Habermas. Sementara itu, tak begitu jauh dari Sragen, terbentang batas geografis lain, yang ternamai Solo [Surakarta]. Kota yang mem-brand-kan dirinya “The Spirit of Java”, merupakan kota dengan sejarah yang masih mengakar sebagai modal budaya, dan masih tersisa sampai kurun waktu sekarang ini. Sejarah solo, adalah cerita tentang kerajaan, yang katanya feodalistik. Dan tanggal 16 Juni, merupakan hari jadi Pemerintah Kota Surakarta. Menurut cerita, pada 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus kekuasaan Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran. Meskipun demikikan, ritual-ritual warisan keraton, yang melibatkan begitu banyak manusia, masih diikuti dengan antusias dan belum dianggap profan [terlihat disini, bahwa legitimasi kekuasaan tak bisa menyentuh keimanan. Karena keimanan tak bisa dilepaskan dari subjeknya, manusia. Dan tak ada manusia tanpa archetype, tanpa keterlanjuran sejarah dan budaya]. Beberapa waktu yang lalu, Solo menggelar pemindahan sekitar 989 Pedagang Kaki Lima [PKL] Monjari ke pasar Klithikan Notoharjo Semanggi. 133
Pemindahan PKL dari tempat lama ke tempat baru itu, diarak dengan kirab prajurit keraton, diiringi kereta keraton ditonton oleh–kurang lebih-400.000 pasang mata. Dengan membawa tumpeng masing-masing, banyak bibir PKL menyunggingkan senyum. Arak-arakan itu, mengidentikkan dirinya dengan Sekatenan. Mungkin Solo, melalui Joko Widodo, begitu menghargai ketertanaman warisan nilai-nilai yang masih menyisakan bianglala keimanan. Pun Solo, dalam hal ini mengedepankan rasionalitas komunikasi a la Jurgen Habermas. Karena sebelum Sekatenan dadakan itu digelar, telah 54 kali Joko Widodo mengajak para PKL makan bersama di kediaman dinasnya. Meskipun, tidak ada jaminan apa-apa, bahwa Joko Widodo, setidaknya, pernah membaca pemaparan tentang Habermas, oleh Fransisco Budi Hardiman. Sebagaimana Martin Heidegger mengatakan bahwa manusia sudah selalu terlempar ke dunia, sehingga manusia tak bisa menghindari keterkutukannya sebagai subyek yang tak dapat melepaskan diri dari dunia, bahwa manusia adalah enggaged agency, pelaku yang telah selalu terlibat dalam dunia tertentu. Terkait dengan tesis Heidegger tersebut, maka manusia tak bisa menghindar dari kebutuhan-kebutuhan, baik yang bersifat alamiah maupun yang “terpaksa”. Dalam ilustrasi kecil, sesaat setelah terlahir, manusia harus segera disusukan kepada ibunya, dan baru beberapa hari kemudian dimintakan akta kelahiran. Dalam potret Solo, terlihat bahwa regulasi yang diajukan lebih kepada pem-fasilitasan pemenuhan kebutuhan manusia sebagai makhluk hidup. Manusia (sebagai makhluk hidup) yang membutuhkan pemenuhan atas rasa laparnya, atas kebutuhannya akan nutrisi, gizi, dan sebagainya, di manapun dia berada. 134
Sedangkan di Sragen, bertolak dari adanya kebutuhan manusia sebagai konsekuensi atas keterlemparannya di dunia. Manusia yang selalu terlahir dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dan secara kebetulan, konteks tersebut mewajibkan beberapa kebutuhan kepadanya. Manusia sebagai warga negara, penduduk. Sragen sebagai pihak yang “memaksakan” kebutuhan terhadap penduduknya, menyadari posisinya, sehingga terkesan segan untuk menyita lebih banyak, yang akan mengganggu upaya penduduk untuk memenuhi kebutuhan yang lebih “dibutuhkan”. Dengan demikian, apa yang terjadi di Solo bisa dikatakan berbeda, dengan apa yang terjadi di Sragen. Kedua regulasi tersebut berbeda, karena memang bertolak dari masalah yang berbeda, meskipun di sisi lain berkaitan dengan hal yang sama. Kedua regulasi tersebut berkaitan dengan orang banya, tetapi dalam perannya yang berbeda. Manusia yang satu, tetapi satu yang terdiri dari beberapa, yang terikat oleh seutas tali ruang dan waktu. Setidaknya menurut saya, belum ada kalimat yang lebih tepat untuk menyebut kedua hal tersebut sebagai hasrat untuk melipat kebutuhan, rentang jarak, ruang dan waktu; melipat dunia, dan juga hasrat akan sebuah kondisi keteraturan. Di sinilah, yang semakin memantapkan saya, bahwa menentukan sebuah policy, harus pertama kali mempertanyakan “apa”, tanpa meringkasnya menjadi sekedar “bagaimana”.
135
Hegemoni British English dan American English Di Indonesia Oleh : Muhammad Taufiqurrohman Bahasa Inggris diakui oleh dunia sebagai bahasa internasional. Hal ini menjadikan bahasa Inggris sebagai alat komunikasi yang paling memungkinkan dalam relasi internasional. Modernismelah yang memungkinkan hal ini terjadi. Perkembangan teknologi telah mempermudah umat manusia untuk saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi tersebut bisa terjadi antar berbagai latar belakang suku , negara, bahkan benua yang sangat berjauhan secara geografis dan berbeda dalam penggunaan bahasa. Konsekuensi modernisme tersebut juga membuat bahasa Inggris menjadi bahasa yang paling populer di dunia. Hal ini dikarenakan bahasa inilah yang paling banyak digunakan oleh penduduk bumi. Sejarah Inggris sebagai negara penjajah terbesar di dunia menjadi faktor dominan perkembangan tersebut. Di negara-negara bekas jajahan Inggris kita bisa melihat penggunaan bahasa Inggris sebagai second language setelah bahasa resmi mereka seperti bisa kita lihat di India, Malaysia, dan Singapura (Singlish). Lain halnya Indonesia yang tidak pernah mengalami penjajahan Inggris. Hal inilah mungkin yang menjadi faktor utama mengapa bahasa Inggris tidak bisa menjadi second language seperti di ketiga negara tetangga kita tersebut. Faktor historis ini juga mungkin yang menjadi faktor mengapa perkembangan penggunaan bahasa Inggris di Indonesia berbeda dengan di ketiga negara tersebut. Bahasa Inggris sebagai bahasa dunia dengan demikian telah menjadikannya sebagai milik warga dunia. Dengan kata lain, bahasa Inggris tidak hanya monopoli 136
Inggris atau Amerika saja. Implikasi jauh dari perkembangan ini adalah tidak ada otoritas (juga termasuk Inggris dan Amerika) yang paling berhak mengatakan bahwa bahasa Inggris di negara X bukanlah bahasa Inggris karena berbeda dengan bahasa Inggris versi Inggris atau Inggris versi Amerika. Dengan demikian, perkembangan bahasa Inggris yang menemukan berbagai macam bentuknya hasil dari perkawinan dengan masyarakat dunia yang beragam tidaklah bisa dielakkan lagi. Model perkembangan bahasa Inggris di India, Malaysia dan Singapura sangatlah menarik untuk dijadikan model perkembangan tersebut. Dalam perspektif kajian subaltern, perkembangan bahasa Inggris di ketiga negara tersebut telah berhasil menemukan bentuk baru bahasa Inggris yang telah berubah dari bentuk pakem (resmi) bahasa Inggris yang dibawa oleh bekas penjajah (colonizer) mereka (Inggris). Meskipun tidak berubah seratus persen, perubahan tersebut mengindikasikan penciptaan yang baru dalam arti mengadakan suatu bentuk yang sebelumnya belum pernah ada. Bentuk baru tersebut sangat identik dengan masing-masing kekhasan dari kekayaan lokalitas masyarakat mereka. Bentuk-bentuk baru tersebut belumlah pernah ada dalam tradisi bahasa apapun. Di India misalnya, bahasa Inggris telah menjadi sangat India dengan pemertahanan terhadap dialek India yang sangat kental. Hal yang serupa juga terjadi di Singapura dan Malaysia meski dengan bentuk yang berbeda. Pertanyaan yang jarang sekali diajukan adalah mengapa di Indonesia bahasa Inggris tidak (atau mungkin belum) menemukan bentuk barunya. Mengapa Inggris versi Inggris (British English) dan versi Amerika (American English) masih dapat bertahan dengan sangat baik bahkan telah menjadi semacam ukuran berbahasa Inggris yang paling baik (“standard English”) di Indonesia? Padahal kita 137
tahu kekhasan berbahasa dalam ranah fonologi (intonasi, aksen, dialek, dll) masyarakat Indonesia sangat berbeda dengan masyarakat Inggris dan Amerika. Apalagi jika kita melihat beragamnya kekhasan berbahasa masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dalam ranah fonologi tersebut. Perbedaan dialek orang Padang sangat berbeda dengan orang Batak, misalnya. Bahkan dalam satu suku bisa terjadi perbedaan dialek yang sangat tajam. Pada suku jawa misalnya, dialek orang Jawa Tegal akan sangat berbeda dengan dialek orang Jawa Jepara apalagi Jawa Solo. Demikianlah di negara yang sangat kaya akan keberagaman kekhasan berbahasa inilah mengapa bahasa Inggris tidak menemukan bentuk barunya? Hal yang tidak kalah penting dari alasan penemuan bentuk baru bahasa Inggris versi Indoneisa tersebut adalah kenyataan bahwa terdapat korelasi positif antara pemakaian bahasa Iggris masyarakat dengan produksi bacaan dan pengetahuan masyarakat. Contoh yang menarik kita bisa lihat dari produksi film-film India yang mampu menembus pasar internasional karena kemampuan bahasa Inggris pemain film India yang sangat baik. Hal serupa juga bisa kita lihat di Singapura dan Malaysia. Salah satu faktor kemajuan Singapura dan Malaysia disinyalir adalah penggunaan bahasa Inggris sebagai second language. Faktor historis Indonesia yang tidak pernah dijajah Inggris mungkin bisa menjadi alasan mengapa hal ini bisa terjadi. Tetapi, apakah dengan demikian kemungkinan penemuan bentuk baru (hybrid) dari perkawinan bahasa Inggris asli dengan konteks lokalitas masyarakat Indonesia tidak bisa terjadi? Jika India, Malaysia dan Singapura bisa mengapa kita tidak? Untuk memulai usaha pembongkaran ini bolehlah kita curiga dengan memulai memeriksa apakah benar British English dan American English telah melakukan apa yang disebut Gramsci sebagai hegemoni 138
atas cara berbahasa Inggris di Indonesia? Jika memang benar ada, bagaimanakah mekanisme hegemoni ini bekerja dalam masyarakat kita? Teori Hegemoni Gramsci Teori hegemoni pertama kali disampaikan oleh Antonio Gramsci. Pria yang lahir di Sardinia, Italia, pada 22 Januari 1881 ini menyelasikan studinya di Universitas Turin di Fakultas Sastra. Penulis Letters From Prison ini adalah seorang Marxian sejati. Oleh karenanya, sebelum membicarakan Gramsci kita tidak bisa melewatkan pembicaraan mengenai pandangan-pandangan Karl Marx. Dengan memasuki pandangan Marx kita akan lebih mudah memahami pandangan Gramsci, khususnya mengenai teori hegemoni. Marx tersohor dengan teori determinisme ekonominya. Teori ini menyatakan bahwa segala hal yang melingkupi proses sosial tidak bisa terlepas dari ekonomi sebagai determinan utamanya. Dengan ini Marx menyatakan bahwa kapital sebagai struktur ekonomi adalah faktor utama perubahan-perubahan dan cara pandang masyarakat terhadap sesuatu. Marx membagi struktur masyarakat menjadi dua, yakni base-structure dan superstructure. Base-structure adalah hal-hal yang kasat mata yang bersifat materiil yang bisa kita panca indrai, seperti uang, modal dan produksi yang melingkupinya. Kapital di bawah struktur ekonomi merupakan salah satu wujud base-structure yang paling nyata. Sedangkan superstructure adalah hal-hal yang bersifat abstrak seperti nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan dan ideologi. Tesis utama Marx atas pembedaan ini adalah bahwa base-structure membentuk superstructure. Oleh karenanya, Marx menganggap ekonomi-tempat perkembangan kapital- sebagai faktor 139
utama yang membentuk politik dan kebudayaan sebagai tempat bersemainya nilai-nilai, pandangan hidup dan ideologi. Kapital menentukan nilai-nilai dan ideologi. Konsekuensi pandangan Marx ini adalah bahwa kapitalisme yang dikuasai oleh kaum borjuasi akan berusaha terus melanggengkan kekuasaannya. Satu-satunya cara pertahanan mereka adalah eksploitasi kaum buruh (proletariat) yang semakin kuat. Dari titik inilah Marx percaya bahwa eksploitasi yang semakin hari semakin keras akan melahirkan perlawanan atau revolusi proletariat dalam bahasa Marx. Jadi, pandangan Marx adalah bahwa revolusi proletariat ini akan terjadi dengan sendirinya seperti hukum alam lainnya. Oleh karena itu, tidak diperlukan usaha apapun untuk mewujudkan revolusi proletariat. Sebab, menurut Marx perlawanan oleh kaum proletariat dengan wujud perjuangan kelas pastilah terjadi dengan sendirinya. Hal ini seperti yang diungkapkannya dalam Manifesto Komunis-nya yang terkenal: “The history of all hitherto existing society is the history of class struggles.”- (The Communist Manifesto, Chapter 1) Benarkah ramalan Marx dengan teorinya ini? Hal inilah yang menjadi pertanyaan mendasar Gramsci atas teori Marx. Konteks pemikiran Gramsci lahir saat menyaksikan revolusi proletariat yang tak kunjung tiba di masyarakat Eropa yang semakin kapitalis. Mestinya jika mengikuti alur pandangan Marx semakin kapitalis masyarakat semakin kuatlah gerak menuju revolusi proletariat. Tetapi kenyataan yang dilihat Gramsci adalah kaum proletariat justru semakin terintegrasi dengan kelas yang memeras mereka yaitu kaum kapitalis borjuis. Gramsci memandang kekuatan kaum proletariat semakin hari justru semakin melemah dan patuh kepada kaum borjuis walaupun kaum borjuis tidak menggunakan caracara kekerasan (coersive) dalam memeras tenaga mereka. 140
Kepatuhan tanpa kekerasan kaum proletariat kepada kaum borjuis yang luput dari ramalan Marx inilah yang oleh Gramsci dinamakan sebagai hegemoni. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh During (2005:21) bahwa: For Gramsci, hegemony helped to explain why class conflict was not endemic despite the fact that power and capital were so unevenly distributed and the working class (in Italy, particularly the southern peasantry) led such confined lives. Gramsci argued that the poor partly consented to their oppression because they shared certain cultural dispositions with the rich. Hegemoni adalah konsep terpenting Gramsci. Berbicara tentang hegemoni berarti berbicara tentang kekuasaan dan pengaruh, pihak yang menguasai (dominant) dan pihak yang dikuasai (subordinate). Hal ini seperti yang disampaikan oleh Strinati: “…Dominant groups in society, including fundamentally but not exclusively the ruling class, maintain their dominance by securing the ’spontaneous consent’ of subordinate groups, including the working class, through the negotiated construction of a political and ideological consensus which incorporates both dominant and dominated groups.” (Strinati, 1995: 165) Pada mulanya ketika kita berbicara tentang kekuasaan akan diidentikkan dengan ranah kekuasaan militer, negara dan kerajaan. Era globalisasi yang melahirkan kapitalisme telah menggeser pengertian tersebut. Kapitalisme, dalam hal ini para kapitalis dan sistem itu sendiri, telah menjadi sebuah institusi kekuasaan tersendiri. Perkembangan selanjutnya adalah ketika kekuasaan telah beroperasi dalam ranah kebudayaan yang biasa disebut sebagai imperialisme budaya. Institusiinstitusi kebudayaan semacam gereja, ulama, dan pakar141
pakar bidang keilmuan tertentu adalah contoh kekuasaan dalam ranah budaya di sekitar kita. Roger Simon menyebut hegemoni sebagai: “…the practices of a capitalist class or its representatives to gain state power and maintain it later.” (Simon, 1982: 23) Lalu bagaimanakah kekuasaan dan pengaruh diperoleh? Ada dua cara memperoleh kekuasaan, yaitu melalui kekerasan (coercive) dan melalui kesepakatan (consent). Cara yang pertama adalah cara klasik merebut kekuasaan yang sering dipakai dalam ranah militer, negara dan kerajaan pada zaman dulu. Sedangkan cara yang kedua lebih banyak dipakai dalam ranah ekonomi dan budaya. Meskipun perkembangan terkini tidak bisa disederhanakan mempunyai alur yang selalu demikian. Negara-negara modern saat ini juga menggunakan cara-cara kesepakatan sebagai senjata mereka dalam merebut kekuasaan dan pengaruh negara lain, misalnya Amerika. Sedangkan institusi-institusi budaya terkadang justru menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperebutkan pengaruhnya. Hal ini bisa kita lihat dari berbagai macam gerakan separatis yang mengarah pada tindakan terorisme yang terjadi beberapa dasawarsa ini. Inti konsep hegemoni Gramsci adalah penekanannya terhadap consent dari pada coercive. Gramsci mengidentifikasi hegemoni dengan kekuasaan yang dijalankan tanpa paksaan dan menekankan kesepakatan terhadap kehidupan intelektual masyarakat melalui saranasarana kebudayaan seperti yang disampaikan Strinati: “It can be argued that Gramsci’s theory suggests that subordinated groups accept the ideas, values and leadership of the dominant group not because they are physically or mentally induced to do so, nor because they are ideologically indoctrinated, but because they have reason of their own.” (Strinati, 1995: 166) 142
Mekanisme hegemoni bekerja dengan cara membujuk kelas-kelas sosial lain untuk menerima nilainilai budaya, politik, dan moral dari kelas itu. Oleh karena itu, definisi hegemoni lebih dekat sebagai upaya mencapai kekuasaan, apakah politik, ekonomi atau budaya, melalui konsensus antar kelas daripada melalui kekerasan. Bahkan dalam suatu hegemoni yang berhasil, kekuatan koersif sudah tidak dibutuhkan lagi oleh kelas berkuasa. Konsekuensi logis dari konsep hegemoni Gramsci ini adalah penekanannya pada peran kebudayaan dalam revolusi sosialis, suatu faktor yang terabaikan dalam analisis Marxisme ortodoks yang terlalu dibutakan oleh kerangka “base-superstructur”. Kerangka ini menyimpan kekonyolan pengertian ekonomistik, dimana perubahan dalam basis struktur ekonomi menentukan perubahan dalam level suprastruktur politik, ideologi dan kebudayaan. Revolusi sosialis dianggap tergantung seratus persen dari perkembangan perekonomian kapitalistik. Gramsci melihat kekuatan kaum borjuasi di negaranegara barat sudah mencakup seluruh bidang kehidupan masyarakat: ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain. Kesatuan kekuatan borjuasi dalam masyarakat ini oleh Gramsci disebut sebagai “blok historis (historical bloc)”, yaitu semacam konstalasi utuh di mana semua dimensi kehidupan kelas-kelas sosial dalam masyarakat telah menyatu dan saling mendukung di bawah hegemoni sebuah kelas, yaitu kelas borjuasi. Inilah alasan yang dilihat Gramsci mengapa revolusi sosialis tidak jua terjadi. Kelas borjuasi telah berhasil menghegemoni kelas-kelas lain dalam masyarakat. Sehingga masyarakat (khususnya kelas proletariat) menganggap situasi kekuasaan hegemoni kelas borjuis tersebut sebagai sesuatu yang memang demikian adanya. Oleh karena itu, rekomendasi Gramsci adalah 143
konsep ’blok historis’ inilah yang harus digunakan sebagai strategi perebutan dan pertahanan hegemoni. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah cara mewujudkan konsensus (consent) dalam wujud ’blok historis’ ini? Ada dua cara yang ditawarkan oleh Gramsci yaitu, melalui “war of position” (perang posisi) dan “war of movement”(perang pergerakan). Perang posisi dilakukan dengan merebut posisi-posisi kepemimpinan intelektual, moral, buadaya, agama dan ideologi. Perang ini dilakukan dengan cara menguasai semua institusi-institusi yang berperan dalam membentuk kekuasaan budaya. Sekolahsekolah, kampus, institusi agama, rumah sakit, lembagalembaga kebudayaan dan institusi-institusi sosial lainnya harus dikuasai. Sebab, di ruang-ruang inilah kebudayaan (nilai-nilai, pandangan hidup dan ideologi) terbentuk. Oleh karenanya karakteristik perang posisi adalah jangka waktu lama yang membutuhkan kesabaran, kesetiaannya terhadap perjuangan dalam sistem, dan selalu diarahkan pada dominasi budaya (imperialisme kultural). Sedangkan perang pergerakan lebih mengarah pada perang secara frontal (langsung) dengan melakukan aksi-aksi pengerahan seperti demonstrasi. Biasanya perang pergerakan dilakukan setelah perang posisi berlangsung sesuai rencana. Setelah merasa siap dengan posisi-posisi yang sudah direbut melalui perang posisi barulah perang pergerakan dilakukun walaupun tidak selalu demikian dalam praktiknya. Dialek Dan Etnisitas Dalam Language and Etnicity, Fought memberikan penekanan bahwa terjadinya perkawinan dua dialek dari dua etnis yang berbeda sangatlah sah. Bahkan terkadang memang tidak bisa dihindarkan. Semakin banyak pertemuan antar dialek dari berbagai macam etnis justru 144
semakin memperkaya konvergensi dialek yang terbentuk. Fought (2006:133) menyatakan: One issue that has frequently been raised in research on dialect contact is the question of convergence or divergence. That is, are the varieties in an area influencing each other in such a way that they become more alike, are they influencing each other in such a way that they become more different, or do they develop and change as two (or more) completely independent entities? Banyak sekali penelitian yang sudah dilakukan terhadap konvergensi atau divergensi dialek ini. Salah satunya dalah penelitian tentang isu American Speech oleh Fasold (1987) dan Baily dan Mayor (1989). Pertanyaan yang diajukan adalah apakah ada konvergensi dialek antara waraga European America dengan African America. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan terjadi adanya kontak dialek yang memunculkan konvergensi yang sangat beragam antar dua dialek tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pertemuan antar dialek hingga akhirnya menemukan bentuk-bentuk baru dialek sangatlah mungkin terjadi. Dari penelitian ini kita juga bisa bertanya, jika di Amerika sendiri sudah terjadi berbagai macam dialek (tidak hanya “standard American”) mengapa justru di Indonesia kita mempertahankan American English sebagai salah satu “standard English”. Hal yang sama juga terjadi dalam British English dengan adanya dialek Scotish, Irish, dll. Hegemoni British English Dan American English Demikianlah sekilas tentang teori hegemoni Gramsci, mulai dari inspirasi, konteks yang melatabelakangi kelahirannya, perkembangan yang menyertainya dan juga konsep dialek yang meneguhkan 145
bahwa pembentukan sebuah entitas dialek baru sangatlah wajar bahkan sesuatu yang mestinya tak dapat dihindarkan. Dalam konteks perkembangannya sekarang yang sudah memasuki ranah budaya (yang sering disebut sebagai "imperialisme budaya"), konsep hegemoni seringkali digunakan sebagai pisau analisis. Ranah kebudayaan yang sangat luas justru semakin memperlihatkan urgensi konsep hegemoni Gramsci, terlebih jika dikaitkan dengan globalisasi. Salah satu aspek budaya yang sangat terkait dengan globalisasi seperti yang diuraikan di pengantar di atas adalah bahasa. Dalam konteks globalisasi inilah, bahasa Inggris sebagai bahasa internasional mau tidak mau tidak bisa melepaskan dirinya dari relasi kuasa dan hegemoni yang berada di dalamnya. Namun, tulisan ini tidak ingin mempersoalkan terlalu jauh tentang hegemoni bahasa Inggris di dunia internasional (dan khusunya di Indonesia) karena relavansinya sudah tidak dianggap begitu penting lagi. Hal ini dikarenakan konsekuensi logis penerimaan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional telah menemukan perkembangan yang tak terduga sebelumnya. Mengikuti teori subaltern, lahirnya bahasa Inggris versi India, versi Malaysia, versi Singapura dan versi-versi yang lainnya telah meruntuhkan hegemoni bahasa Inggris versi Inggris dan versi Amerika di dunia. Artinya, sebagai bahasa milik dunia semua versi bahasa Inggris di seluruh dunia dianggap sama, sederajat dan sah untuk digunakan sebagai alat komunikasi. Terlebih jika kita memang benar bahwa terdapat korelasi positif antara penguasaan bahasa Inggris dengan produksi bacaan dan pengetahuan suatu masyarakat, juga tingkat daya saing dalam pergaulan internasional. Bertolak dari pandangan tersebut, tulisan ini ingin memfokuskan pada hegemoni British English dan 146
American English di Indonesia. Bagaimanakah pisau analisis hegemoni membedah kerja kekuasaan British English dan American English di Indonesia Sebagaimana kita ketahui bahasa mempunyai berbagai macam struktur; grammar, lexical, fonologi, morfologi, dialek, aksen, intonasi, dsb. Kajian dalam tulisan ini tidak akan membahas bidang grammar dan lexical dalam British English dan American English. Kajian akan difokuskan pada fonologi, khususnya dalam dialek yang meliputi aksen dan intonasi. Hal ini dikarenakan dalam wilayah grammar dan lexical tidak terdapat banyak perbedaan dalam berbagai macam varian bahasa Inggris di dunia. Lain halnya dalam ranah fonologi, bentuk bahasa Inggris versi India, Malaysia dan Singapura bisa menjadi contoh betapa perbedaan dalam ranah fonologi bahasa Inggris--ketika berhadapan dengan kekayaan kekhasan lokalitas masing-masing masyarakat atau etnis-- bisa menjadi demikian beragam. Jadi, fokus kajian tulisan ini adalah membedah hegemoni British English dan American English dalam wilayah fonologinya di Indonesia. Menurut teori hegemoni Gramsi, kekuasaan adalah sesuatu yang dapat memproduksi kepatuhan atau pengaruh dalam wujud konsensus (consent) bersama. Oleh karenanya, sifat kekuasaan bukanlah semata-mata sesuatu yang harus dimiliki di tangan tetapi sifatnya dapat diketahui dari bentuk-bentuk kepatuhan atau kesepakatan pihak-pihak yang terkena efek kekuasaan tersebut. Kekuasaan dalam pengertian ini adalah sesuatu yang netral yang dapat diperebutkan oleh pihak-pihak yang menginginkannya. Dalam konteks pembicaraan kita, sesuatu yang diperebutkan tersebut bernama cara atau versi bahasa Inggris. Sedangkan pihak-pihak yang memperebutkan adalah British English, American English dan (semestinya) 147
Indonesian English (bahasa Inggris versi Indonesia). Bahkan mungkin juga peserta yang turut berkompetisi adalah bahasa Inggris versi Jawa, versi Padang, versi Batak, bersi Sunda atau bahkan mungkin versi Irian. Hal ini dikarenakan oleh aksentuasi berbahasa dalam ranah fonologi yang sangat beragam di masyarakat kita. Keragaman aksentuasi inilah yang berpengaruh dalam pembentukan versi berbahasa Inggris di masing-masing wilayah. Mengikuti perspektif hegemoni Gramsci, British English dan American English mestinya adalah peserta biasa yang harus berkompetisi untuk memeperebutkan kekuasaan yang bernama versi bahasa Iggris tersebut. Jadi, British English dan American English mestinya tidak secara otomatis menjadi pemenang atau pemegang kekuasaan tersebut. Satu-satunya yang bisa menyebabkan perolehan kekuasaan tanpa kompetisi adalah tidak adanya lawan yang mestinya adalah bentuk baru bahasa Inggris versi Indonesia. Pentingnya konsep hegemoni adalah membongkar keadaan tanpa persaingan yang menjadikan British English dan American English dengan mudah menghegemoni cara berbahasa Inggris di Indonesia. Penggunaan versi berbahasa Inggris bukanlah sesuatu yang memang begitu adanya (taken for granted) melainkan sesuatu yang terkonstruksi oleh struktur-struktur hegemoni tersebut. Kekuasaan dalam perspektif hegemoni selalu mempunyai dua unsur, yaitu dominan (penguasa) dan subordinat/subaltern (pihak yang dikuasai). Kekuasaan dalam wujud cara berbahasa Inggris di Indonesia dengan demikian dipegang oleh British English dan American English sebagai dominan dan Indonesian English (kita andaikan dia ada) sebagai subordionat. Mungkin bisa dimasukkan dalam versi Indonesia adalah cara berbahasa 148
Inggris dengan dialek jawa yang masih sangat kental. Kita bisa melihatnya pada bahasa Inggris beberapa tokoh nasional kita, seperti Gus Dur dan Amin Rais. Cara berbahasa Inggris kedua tokoh ini oleh pemegang “standard English” di Indonesia dianggap sebagai tidak layak (subordinate). Meskipun tanpa adanya subordinat pun posisi British English dan American English sebagai dominan tetap sah bahkan justru semakin legitimate. Kesadaran akan konstruksi tersebutlah yang menjadi obsesi terbesar teori hegemoni. Bahwa penggunaan bahasa Inggris versi Inggris dan versi Amerika bukanlah sesuatu yang memang seharusnya diterima tetapi masih bisa dipertanyakan bahkan bisa dilawan dengan bahasa Inggris versi baru, yakni versi Indonesia. Dalam pengertian ini, fonologi British English dan American English telah memegang kekuasaan karena dia dipatuhi dan disepakati oleh pihak-pihak yang terkena efeknya. Dalam pembahasan kita, pihak yang terkena efek kekuasaan hegemoni British English dan American English tersebut adalah masyarakat pengguna bahasa Inggris di Indonesia. Bagaimanakah mekanisme hegemoni British English dan American English bekerja di Indonesia? Hegemoni British English dan American English dipertahankan setidaknya melalui beberapa institusi. Pertama dan yang paling utama adalah sekolah dan perguruan tinggi. Acuan yang dipakai oleh kurikulum bahasa Inggris adalah British English dan American English. Hal ini bisa kita lihat dari pakar-pakar pembuat kurikulum yang hampir semuanya adalah lulusan Amerika atau Inggris. Juga, secara otomatis melalui kewajiban memakai kamus versi British English dan American English yang masih sangat resmi semacam Oxford Dictionary. Kedua, kelas menengah dan atas masyarakat Indonesia. Yang termasuk kelas ini adalah 149
mereka yang seringkali berkunjung ke luar negeri. Terakhir adalah melalui media, khususnya media elektronik. Hal ini bisa kita lihat dari British English atau American English yang wajib digunakan oleh para pembawa berita atau presenter musik seperti VJ di beberapa media elektronik Indonesia. Beberapa institusi inilah, yang disadari atau tidak, telah mengukuhkan hegemoni British English dan American English. Pemertahanan hegemoni “standard English” semacam ini juga terjadi di beberapa negara Amerika Latin yang menggunakan bahasa Inggris. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Fought (2006:74), bahkan dia menyangsikan konsep “standard” tersebut: “Standard English”. I put the word “standard” in quotes because the concept itself is so difficult to define; entire books are available on this topic (e.g., Bex and Watts 1999). However, it is definitely the case that, for example, middle-class Latinos in the communities that have been studied often use a variety that contains few or no vernacular grammatical structures. Also, there is pressure to use a standard variety in the school setting, and at least some children will use a different variety there than they do at home. Demikianlah fakta akan hegemoni British English dan American English di Indonesia sudah kita ungkap beserta bagaimanakah hegemoni tersebut dipertahankan. Di sisi lain, kita tahu bahwa kemampuan berbahasa Inggris juga berhubungan dengan tingkat produksi bacaan dan pengetahuan sebuah masyarakat. Oleh karena itu, mestinya hegemoni British English dan American English di Indonesia harus segera diimbangi (untuk tidak menyebutnya ditumbangkan) dengan penemuan bahasa Inggris versi Indonesia. Apakah mungkin terbentuk bahasa 150
Inggris versi Indonesia tersebut? Jawabannya ada di tangan intelektual Indonesia. Penulis sadar akan keterbatasan tulisan ini. Banyak sekali bahan yang belum digali, terutama yang paling penting adalah (1) sejarah perkembangan hegemoni British English dan American English di Indonesia, (2) detail penjelasan mengenai bentuk-bentuk dialek di negaranegara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai second language, khususnya negara yang tidak pernah dijajah Inggris tetapi menemukan versi bahasa Inggris baru sebagai second language, dan (3) teori dan data tentang korelasi positif antara penguasaan bahasa Inggris dan produksi bacaan dan pengetahuan masyarakat. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dan bahan untuk sebuah tema yang sangat besar dan luas ini. Penulis berharap dapat mengembangkan penelitian ini secara lebih ketat di lain kesempatan.
151
Melintas yang Sepintas ; Mahasiswa Meneguhkan Gerakan Intelektual Mahasiswa Oleh : Edi Subkhan Semua manusia adalah intelektual, namun tidak semua manusia menjalankan fungsi intelektualnya dalam masyarakat. Antonio Gramsci (1891-1937). Mahasiswa baru memasuki dunia kampus dengan motivasi dan orientasi awal yang berbeda, ada yang menganggap kuliah sekadar prestise, ajang cari jodoh, mengasah intelektual, dan –sebagian besar- sekadar sebagai tempat mendapatkan ijazah agar mudah dapat kerja. Salah satu orientasi mahasiswa adalah intelektualisme yang biasanya baru disadari dan terbentuk ketika mahasiswa bersangkutan berinteraksi dengan segenap literatur ilmiah yang diramu dengan nalar kritis dan dibenturkan pada realitas sosial masyarakat. Namun sayang orientasi yang relatif strategis dalam menjalankan posisi sebagai pioner perubahan di masyarakat ini mulai redup, tergadaikan, dan ditinggalkan. Aktivis mahasiswa banyak yang sekadar jago manajemen organisasi tapi minim kapasitas intelektual, dan sebaliknya banyak “intelektual” yang menahbiskan diri sebagai “intelektual bebas” merasa lebih nyaman bertengger dalam puncak-puncak intelektual yang tak membumi dan elitis. Bukankah mestinya mahasiswa sebagai aktivis dalam arti luas dapat membumi dan memancarkan sisi intelektualitasnya untuk semua, tak hanya berguna untuk komunitasnya saja. Aktivis yang bergerak pada ranah ini sebenarnya lebih mendekati apa yang disebut Antonio Gramsci (1891-1937) sebagai intelektual organik yang 152
mampu mempertautkan teori dan praksis sebagaimana dituju oleh Mazhab Frakfurt agar lebih berguna bagi kehidupan dan memecahkan problem sosial. George A. Theodorson & Achilles G. Theodorson (1979) mengatakan bahwa kaum intelektual adalah anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya pada pengembangan ide-ide orisinal dan terikat dalam pencarian pemikiranpemikiran kreatif. Dengan demikian terdapat karakteristik kaum intelektual, yaitu pada penggunaan intelek dan akal pikiran, bukan untuk hal-hal yang bersifat praktis, tapi lebih berorientasi pada pengembangan ide-ide (Azyumardi Azra, 2003). Hal itu memperkuat tesis bahwa kaum intelektual pada dasarnya bersifat progresif revolusioner, meskipun lebih diwujudkan dalam revolusi pemikiran bukan revolusi fisik. Hal inilah yang menjadikan intelektual sebagai berperilaku, bersikap, dan berkarakter kritis. Dan sebagai kritikus, kaum intelektual menyatakan pikiran dan kritiknya secara jelas dan bijak. Sejatinya insan intelektual dengan beberapa kualifikasi seperti di atas bukanlah monopoli pendidikan formal, terutama perguruan tinggi. Bahkan banyak kaum intelektual lahir dari luar benteng menara gading kampus. Mereka mampu mengembangkan pemikiran sendiri hingga mencapai kemampuan pemikiran dan perilaku intelektual. Sebaliknya banyak jebolan perguruan tinggi yang lebih tepat digolongkan sebagai intelegensia daripada intelektual. Intelegensia menurut Gouldner (1979) adalah mereka yang minat intelektualnya secara fundamental bersifat teknis. Hal ini karena sebagai produk perguruan tinggi mereka telah menerima pendidikan yang membuat mereka mampu memegang pekerjaan sesuai dengan bidang dan profesi ilmunya (Bottomore, 1964). 153
Donald Wilhelm (1979) menambahkan, bahwa banyak tamatan perguruan tinggi mengalami kemandegan atau kehilangan kapasitas intelektualnya ketika mereka masuk ke dalam birokrasi dan rutinitas akademis di perguruan tinggi atau di manapun mereka bekerja. Perguruan tinggi yang diharapkan dapat berperan sebagai avant garde, inovator dan pembaharu masyarakat kemudian terjebak dalam mekanisme birokrasi dan spesialisasi atau profesinya di mana mereka terus menerus mengolah dan menghasilkan informasi serta pikiran dalam bidang mereka masing-masing yang relatif sempit. Hal itu tentu bertentangan dengan kenyataan bahwa masalah yang dihadapi masyarakat sekarang tak dapat dipecahkan dengan pendekatan sempit semacam itu; pemecahan masalah sekarang membutuhkan pendekatan menyeluruh, interdisipliner dan berwawasan luas. Berkaitan dengan atmosfer intelektual akademik di kampus kita sekarang, di mana kualitas mahasiswanya tergolong biasa-biasa saja, baik-baik saja, padahal – sebagaimana kata Tanadi Santoso (motivator marketing terkemuka)- biasa dan baik saja sekarang tak cukup. Yang dibutuhkan sekarang adalah sangat baik, atau buuuaik sekali! (mengikuti kebiasaan orang Jawa ketika mengatakan sesuatu dengan nada ‘sangat’, biasanya ditambah dengan vokal “u”, misal dari kata baik menjadi buuaik, dari enak menjadi uuuenak). Maka momen orientasi mahasiswa baru sekarang layak kita dengungkan kembali, bahwa mahasiswa mesti kembali pada khittah-nya di jalur intelektual dengan meneguhkan gerakan intelektual mahasiswa. Pertanyaan menggelitik yang layak diajukan adalah, apakah kita termasuk intelektual atau sekadar intelegensia? Kita mahasiswa biasa atau luar biasa? Atau dalam perenungan yang lebih dalam lagi, “Selama hidup kita di kampus ini, kita akan menghargai waktu yang diberikan 154
oleh Tuhan tersebut dengan karya apa?” Kita ingin menjadi mahasiswa yang seperti apa? Dan semuanya kembali pada diri kita sendiri untuk menjawab itu semua. Wallahu a’lam bishsawab.
155
Post Power Syndrome Di Lembaga Kemahasiswaan Oleh : Abdul Haris Fitrianto Banyak keuntungan dan kemudahan ketika seseorang mempunyai Power (kekuasaan) di lembaga kemahasiswaan. Karena posisi strategis ini menunjukkan eksistensi, menjanjikan status sosial, gengsi, pengaruh, kolega, sampai fasilitas. Tidak mengherankan banyak calon-baik perseorangan maupun dari kelompok tertentuberebut untuk meraih posisi strategis ini saat pemilihan Ketua Lembaga Kemahasiswaan. Hal ini merupakan perilaku yang lumrah manakala masing-masing calon dipahami terikat dalam sistem dimana will to power menjadi motivasi yang dominan. Selama mempunyai posisi strategis dalam lembaga kemahasiswaan mungkin memang menyenangkan, selain dapat meningkatkan status sosial, menancapkan pengaruhnya, juga dapat memberikan nilai kebanggaan pada diri sendiri karena dapat berprestasi atau menuangkan kreativitas. Status sosial ini berpengaruh terhadap sikap dalam menghadapi berakhirnya periode jabatan. Jika semasa kerja ia mempunyai status sosial tinggi sebagai hasil dari prestasi dan kerja keras (sehingga mendapatkan penghargaan dan pengakuan dari civitas akademia atau organisasi), maka ia cenderung memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik (karena konsep diri yang positif dan hubungan sosial yang baik). Namun jika status sosial itu didapat bukan murni dari hasil jerih payah prestasi, misalnya lebih karena politis, maka orang atau pergerakan ini justru cenderung mengalami kesulitan saat menghadapi masa akhir periode jabatan, karena begitu pensiun, maka kebanggaan akan lenyap sejalan dengan hilangnya atribut dan fasilitas yang melekat selama masih menjabat. 156
Kecemasan akan kehilangan atribut dan fasilitas ini bisa berperan kuat menimbulkan gangguan psikis. Bila subyek memiliki pengaruh cukup besar ketika menjabat, berbagai gangguan psikis yang semestinya tidak perlu akan muncul begitu jabatan itu harus dilepaskan. Hal ini berdampak negatif terhadap dirinya, mereka mendadak bisa menjadi sangat sensitif dan merasa eksistensi yang telah dibangun akan punah hanya karena masa kejayaannya telah berlalu. Periode ini disebut sebagai Post Power Syndrome. Umumnya, post power syndrome adalah gejala yang muncul dimana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karir, jabatan, status sosial, kecantikan, ketampanan, kecerdasan, atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa menerima realita dihadapannya. Pada mulanya Post Power Syndrome adalah issue pada mereka yang akan-atau telah melewati masa produktif . Tetapi dewasa ini, post power syndrome mengalami perluasan kajian. Dalam lingkup lembaga kemahasiswaan dapat diartikan post power syndrome adalah keadaan dimana subjek merasa masih mempunyai atribut kekuasaan, hak, wewenang seperti pada saat menjabat. Perilaku yang ditampilkan subjek antara lain berusaha sebisa mungkin untuk dapat mempertahankan sisa–sisa pengaruhnya selama mungkin. Dalam kajian Kesehatan Mental, yang mengalami post power syndrome biasanya justru mereka yang pada dasarnya sudah memiliki kondisi mental yang tidak stabil, konsep diri yang negatif dan rasa kurang percaya diri terutama berkaitan dengan kompetensi diri. Selain masalah harga diri yang memang sering menjadi akar depresi setelah lengser, orang-orang dengan harga diri rendah semasa produktif cenderung akan jadi overachiever. Semata-mata untuk membuktikan diri sehingga mereka 157
berusaha maksimal dalam bekerja dan mengabaikan sosialisasi dengan sesamanya pula. Pada saat lepas jabatan hanya merasa kehilangan harga diri, kehilangan pengaruh, dan eksistensi. Seperti kita ketahui bersama, Pemilihan umum raya Keluarga Mahasiswa Unnes baru saja berakhir, baik di Tingkat Universitas, Fakultas dan Jurusan. Para calon terpilih di setiap lembaga tentu saja mulai menyiapkan program kerja untuk satu periode mendatang. Artinya, masa kerja lembaga kemahasiswaan periode 2007 ini sebentar lagi selesai. Nah, bertolak dari semua ini, patut kita cermati, mungkinkah ada yang mengalami Post Power Syndrome? Semoga saja tidak.
158
Antara Iklan dan Lomba Karya Tulis Mahasiswa Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok Mahasiswa sebagai status sosial menjadi moncer di Indonesia dengan gelar non-formal yang dilekatkan kepadanya. Jika Clifford Geertz berbicara mengenai pemetaan “kasta” masyarakat jawa menjadi priyayi dan non-priyayi, maka mahasiswa bukan hanya dalam satu konstruks budaya saja, tetapi lebih meluas dan lintasbudaya. Menjadi suatu kebanggaan bagi seseorang ketika memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswa, agent of change yang intelek. Sebagian rasan-rasan bahkan menyiratkan mahasiswa sebagai status sosial tertinggi, dan wisuda merupakan terjun bebas dari puncak tertinggi menjadi seorang pengangguran “beban negara”. Sehubungan dengan stereotype yang melekat itu, belakangan justru terlontar kritik yang cukup menggelitik (dari Edi Subkhan dalam “meneguhkan gerakan intelektual mahasiswa” di blog “komunitas embun pagi”), mengatakan bahwa banyak mahasiswa menahbiskan diri sebagai “intelektual bebas” merasa lebih nyaman bertengger dalam puncak-puncak intelektual yang tak membumi dan elitis. Sebagian lain jago manajemen organisasi tetapi minim kapasitas intelektual, demikian halnya dengan sekelumit cerita tentang mahasiswa yang kuliah terkesan hanya sekedar prestise ataupun ajang mencari jodoh. Berbagai “dekonstruksi” terhadap status sosial mahasiswa ini tentu saja menjadi hal yang problematis dan cukup menggelitik kita sebagai mahasiswa. Konsep ideal yang sering dikedepankan dalam permasalahan ini adalah menjadi “intelektual organik” seperti kata Antonia Gramsci, mampu memadukan teori dan praksis agar berguna bagi kehidupan dan memecahkan problem sosial. Jika dianalisis lebih lanjut, tawaran tersebut seperti jalan tengah yang terkesan 159
mencari aman. Tetapi bagaimanapun juga, bukankah jalan terbaik adalah ditengah-tengah? LKTM ; Ajang Pembumian Intelektual Lomba Karya Tulis Mahasiswa yang secara rutin dilaksanakan setiap tahun, menjadi suatu ajang yang memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk lebih berperan dalam masyarakat. Dengan berbagai pengetahuan yang telah didapatkan, mereka berusaha mensintesakannya sebagai praksis untuk mengatasi permasalahanpermasalahan sosial. Selain sebagai bentuk kompetisi antar mahasiswa, secara tidak langsung juga berpretensi menjawab berbagai kritik yang dialamatkan kepadanya. Seiring dengan itu, partisipasi mahasiswa dalam LKTM pun semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, seperti yang terjadi di lingkup FIP UNNES, tahun 2007 lalu peserta LKTM tercatat 24 judul, sedangkan kali ini (2008) meningkat tajam menjadi 41 judul. Fakta ini meski bukan satu-satunya indikator dalam menentukan kepedulian mahasiswa terhadap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, kiranya dapat digunakan sebagai “monitor” bahwa ternyata mahasiswa semakin antusias untuk mencari lebih, dalam identitas ke-mahasiswa-annya. Ide kreatif sebagai alternatif solusi pemecahan masalah dilahirkan, baik dalam bidang sosial kemasyarakatan maupun dalam bidang pendidikan. Berbagai ide kreatif seperti pendidikan seks anak melalui drama, pementasan wayang kulit dalam bentuk animasi sebagai sarana pembelajaran moral sekaligus pelestarian budaya-budaya adiluhung, pembelajaran berbasis internet dengan menggunakan layanan blogger, penggunaan media komik dalam mata pelajaran sejarah di sekolah dasar, dan banyak ide-ide lain yang terkadang sama sekali belum 160
terpikirkan. Suatu bentuk kreatifitas dengan kapasitas intelektual yang patut diberi penghargaan. LKTM dan Belenggu Strategi Iklan Dalam telaah psikologi kognitif, segala hal yang berbeda, meliputi bentuk, warna, ataupun suara, pasti akan lebih menarik perhatian. Kecenderungan manusia untuk memberikan perhatian lebih kepada hal yang berbeda ini kemudian dimanfaatkan sebagai strategi iklan. Hal ini dapat dengan mudah dilihat deretan iklan dalam suatu surat kabar. Warna tulisan yang lazim digunakan dalam iklan tersebut adalah hitam, namun ada beberapa warna lain dalam sedikit deretan iklan yang akan langsung menarik perhatian pembaca (hal-hal semacam ini justru bisa dikatakan sebagai pembumian teori yang sesungguhnya). Berkaitan dengan LKTM yang kali ini menjadi lakon, strategi ini banyak digunakan dalam presentasi ide-ide kreatif tersebut. Perkembangan teknologi memudahkan presentasi dengan penayangan slide show untuk mempermudah penyampaian gagasan. Selain kreatifitas gagasan, kreatifitas pembuatan tayangan ini pun beragam. Bentuk jawaban melalui LKTM terhadap kritik di atas ternyata juga kembali menjadi suatu hal yang dilematis. Tayangan slide show semestinya hanya sebagai sarana penyampaian ide ternyata berbelok arah menjadi semacam “pamer” animasi dan gambar background dengan warna dan keunikan bentuk, yang justru lebih menyita perhatian dibanding apa yang seharusnya disampaikan. Presentasi ilmiah menjadi semacam kemasan iklan yang mengabaikan isi (bersifat substantif) tanpa memperhatikan prinsip konsumen yang dikatakan oleh Idi Subandy Ibrahim dalam kata pengantar “lifestyle” karangan David 161
Chaney, bahwa kemasan bukanlah segalanya, meskipun itu penting. Benturan lain dalam hal ini adalah kesan elitis yang akan semakin berkembang jika “prinsip iklan” tersebut masih saja digunakan. Selain LKTM, ajang lain sebagai bentuk pembumian intelektual mahasiswa adalah KKN. Bisa dibayangkan ketika seorang mahasiswa dengan jas almamater, potongan celana hippies, rambut hasil rebonding, aksesoris MP4 player lengkap dengan headset, dan tak lupa telepon selular fitur 3G dalam genggaman, yang datang ke sebuah dusun untuk KKN. Hallo effect eksklusif akan semakin menguat pada mahasiswa yang dilekatkan oleh warga setempat. Melihat dari uraian di atas, kita sebagai mahasiswa ternyata masih harus banyak belajar dari berbagai hal yang sering dianggap common sense (klise) dalam dunia ilmiah.
162
Melintas yang Kedirian
Sepintas ; Refleksi
Dilema Eksistensi Manusia (tinjauan psikologi marxian) Oleh : Abdul Haris Fitrianto Seperti triade dialektika yang selalu mempertentangkan tesa, antitesa, memunculkan sintesa yang kemudian dipandang sebagai tesa baru dan seterusnya, Konflik eksistensi hadir bersama manusia sejak dilahirkan hingga manusia tersebut meninggal. Ini disebut dilema eksistensi manusia yangg selalu bergerak menuju kesempurnaan sebagai antitesa bahwasannya manusia adalah tidak sempurna. Sebagai kompensasinya, manusia berusaha menutupi kekurangan – kekurangannya dengan prestasi dan semacamnya . Teringat epos Mahabarata, yang menggambarkan Prabu Kresna sebagai seorang ksatria sejati. Manusia setengah dewa, sakti mandraguna, perancang strategi perang yang ulung, mempunyai falsafah hidup yang luar biasa, menjadi guru dan penasihat dari para ksatria Pandawa dan berbagai wujud pencapaian kesempuarnaan. Eksistensi Kresna yang sedemikian hebat ternyata meninggalkan kompensasi yang luar biasa pula. Kresna dipandang gagal mendidik anak- anaknya. Beliau tidak cukup dekat dengan anak-anaknya, Waktu Kresna lebih banyak digunakan untuk membimbing Pandawa. Belum lagi energi untuk membagi kasih sayang dan keadilan pada empat istri yang dimilikinya. Pencitraan kresna sebagai tokoh luar biasa dalam perjalanan Pandawa ternyata meninggalkan kompensasi kehidupan internal; rumah tangga yang rapuh. 163
Kehidupan terus berjalan seakan manusia akan hidup abadi, padahal Setiap orang menyadari suatu saat dia akan mati. Dilema keniscayaan mati dan perjuangan eksistensi di dunia fana ini menimbulkan kompensasi pada benak seseorang untuk tetap ingin dikenang walaupun telah tiada. Sintesa ini mendorong individu tersebut terus berprestasi dan meninggalkan karya yang akan tetap dikenang, bahkan digunakan, walaupun empunya telah mati. Karya atau prestasi yang ditorehkan tersebut tidak lain adalah kompensasi terhadap kepastian kematian dan juga perwakilan eksistensinya di dunia. Pada orang lain, juga sadar bahwasannya kematian adalah keniscayaan, Tetapi coba mengingkarinya dengan mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit agar menjauh bahkan menunda kematian. Dilema ini, dalam lingkup sosio-pikologis juga pernah dikatakan Erich Fromm bahwa selama ini manusia disepanjang sejarahnya hampir tidak pernah hidup di ”habitat alami”-nya, kecuali suku – suku pemburu dan pengumpul makanan serta manusia agraris pertama yang hidup 5000 SM. Manusia ”beradab” harus selalu hidup dalam ”kerangkeng”, maksudnya hidup dalam berbagai macam pengekangan dan ketidakbebasan – dan ini masih saja dialami oleh masyarakat yang katanya paling maju. Karena itu kebebasan selalu menjadi salah satu dambaan manusia. Kemudian, Manusia mungkin bisa bebas, tetapi untuk apa?
164
MEMOIR Oleh : Muhammad Taufiqurrohman Teman-temanku yang aku cintai, Betapa aku bahagia memiliki teman seperti kalian. Meski mungkin perjumpaan kita terasa telat. Yah, baru setelah aku dan kalian hampir selesai belajar di perguruan tinggi itu. Perguruan tinggi yang benar-benar mengajari kita bahwa memang kita harus benar-benar belajar. Mungkin benar kata orang, cinta datang sering di akhir halaman. Tapi tidak, sebab itulah baru mula dari perjalanan cinta kita. Percintaan dalam mencari perayaan nikmatnya ilmu pengetahuan. Jalan mencari kebenaran. Teman-teman, Kemudian kita sepakat untuk sering bertemu. Yah, jagongan. Setiap minggu itu. Di Anomaly, Graha Sunyi, Transformatif. Kos-kosan itu. Kalian datang dengan membawa jajanan sendiri, kopi, makalah yang kalian copy sendiri. Dan tak lupa tentu saja berbatang-batang rokok yang menemani malam-malam yang terasa cepat itu. Dan datanglah fajar. Subuh. Embun Pagi. Matahari. Kalian tahu betapa bahagianya aku saat itu. Dalam kesepian yang mencekam ini aku merasa mendapatkan teman. Teman yang menemaniku merayakan kesepian itu. Dari sorot mata kalian, aku tahu, kalian juga merasakan hal yang tidak jauh berbeda dariku. Teman-teman, Kemudian percintaan itu sayangnya semakin mekar. Diluar jagongan itu aku dan kalian diam-diam saling bertemu. Gelisah, takut, bimbang, mempertanyakan, ngomel, protes, mengumpat, dan segala hal yang bernada ketidakmapanan. Politik, budaya, ekonomi, pendidikan, sastra, agama, sex, bahkan tuhan. Kita seperti orang-orang gila di tengah sebuah masyarakat yang sangat waras. Kita165
maaf jika kau tak berkenan kugunakan kata ini-seperti berada di tengah kerumunan yang asing tapi akrab, akrab tapi asing. Aku bahagia ada kalian di sampingku. Aku mendengar. Aku belajar. Aku bercermin pada kalian. Kalian tahu sebenarnya aku malu pada kalian. Betapa sedikit yang aku tahu. Setiap kali jagongan itu hendak dimulai dan bahkan ketika jagongan itu sedang berlangsung, sungguh aku malu. Aku malu. Sebab, banyak yang tak kumengerti dari apa yang kalian bicarakan. Kata-kata. Definisi yang sangat elementer. Nama-nama. Istilah-istilah. Aku diam. Aku diam. Seperti tertampar betapa aku tak mengerti apaapa. Betapa sedikit sekali yang aku mengerti. Kadang, rasa maluku itu kubawa sampai ke mimpi-mimpiku. Aku bermimpi suatu saat aku bisa mendengarkan kalian dengan baik, memahami apa yang ingin kalian katakan padaku. Jujur, bahkan hingga saat kutulis surat ini perasaan malu itu masih menggelayutiku. Harus kuakui betapa terkadang aku malu bertanya tentang banyak istilah yang kalian sampaikan dan tuliskan, juga di blog ini. Maka sesungguhnya aku malu pada diriku sendiri karena tidak mengakui kebodohanku. Namun, terimakasih temanteman. Kalian telah mengajariku banyak tentang hal-hal, menemaniku dari jauh. Kalianlah yang selalu mengingatkanku menamparku sekali waktu untuk belajar dan belajar… Teman-teman, Hingga suatu waktu aku harus pergi meninggalkan kota itu. Aku memutuskan pergi. Keluar. Berjalan. Entah untuk apa… Di sepanjang perjalanan itu kutahan tangis yang semakin lama tak bisa kutahan. Aku harus pergi meninggalkan sebuah kota yang telah memberikanku banyak hal. Pelajaran, teman-teman, keluarga, mimpi, pengkhianatan, kegagalan, harapan, ketakutan, sakit hati, ketulusan dan tentu saja cinta. Sampai pada suatu waktu166
mungkin hingga saat ini-aku tak tahu mengapa perpisahan ini terjadi. Aku pergi ke suatu tempat yang tak pernah aku tahu mengapa aku disitu. Aku kesepian lagi. Untunglah, ada Guru itu-yang dengan sabar dan setia menemaniku pelanpelan untuk belajar berjalan- dan kalian tentu saja. Meski hanya lewat layar, diam-diam sambil mengintip kukirimkan rinduku yang semakin berat ini. Teman-teman, Di kota baru itu kutemukan kesepian sekaligus pesta. Sepi sebab tak ada kalian disitu. Pesta sebab hampir tiap hari harus kudatangi seminar, diskusi, pentas, kursus filsafat ilegal, kelas ilegal dan banyak lain hal. Hal-hal yang sangat aku sukai. Aku adalah seorang amatir. Itu kalian tahu. Baru beberapa bulan ini setelah bertemu kalian itu aku merasa benar-benar belajar. Aku adalah seorang anak TK di wilayah ini. Segala kuikuti. Segala kudengarkan. Hingga terkadang aku bingung sendiri di tengah pesta itu. Sebagai seorang anak TK, aku merasa terjebak. Aku tidak tahu apa yang orang-orang dewasa itu perbincangkan di seminar-seminar itu. Tapi, aku terus melangkah. Entah untuk apa.. Kubaca kembali handout-handout diskusi siang tadi di kamar itu. Tetap saja sulit kupahami. Apalagi jika setelah itu kubuka blog ini melihat kalian saling menulis, berargumen. Aku iri. Aku iri. Aku ingin menulis seperti kalian. Aku kesulitan memahami apa yang sesungguhnya terjadi padaku. Hingga sampai saat kuposting tulisan ini. Teman-teman, Betapa beratnya mempertahankan diri di zaman ini. Itu yang sering kalian wejangkan padaku. Yah, betapa sulit menjadi manusia yang utuh di republik ini. Kita berbicara tentang banyak hal. Rakyat, demokrasi, kesejahteraan, kemiskinan, BBM, birokrasi, BHP, BLT, korupsi, teror, kitab suci dan banyak hal lain yang tak mungkin kutuliskan dilembar yang sangat terbatas ini untuk hal yang sangat tak 167
terbatas yang sudah, sedang, dan akan kita perbincangkan. Sungguh, teman-teman. Pada suatu waktu kadang aku frustasi. Mempertanyakan kembali untuk apakah semua kegelisahan ini? Untuk siapakah segala kesepian ini? Dan yang paling membuatku malu, siapakah kita ini? Berhak apa kita memikirkan segala hal yang berhubungan dengan kebenaran, kebahagiaan, nasib banyak manusia? Siapakah kita ini? Siapa? Namun, teman-teman, terima kasih. Kalian selalu datang mengusik nuraniku lewat blog ini sering-sering, mengingatkanku bahwa perjalanan (perjuangan atau dolanan?) ini masih sangat panjang. Terimakasih untuk hal-hal yang tak bisa kukatakan. Semoga kita bahagia. Amin.
168
PRINSIP Giyanto “Kita harus berhadapan dengan penyesalan. Menjadi dewasa berarti belajar menerima segala hal yang tidak dapat kita ubah, menghadapi penderitaan yang tidak putus, dan belajar mencintai hidup seperti adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki”. Barbara Sher Saya sudah jenuh beragumen. Tapi tak apalah, ini demi sesuatu yang terlanjur saya komitmen-kan. Tulisan ini agak filosofis terkait yang ada dalam perangkat pikiran saya, yang diantara sistem neuron-neuron saling terhubung sedemikian rupa sehingga membentuk pandanganpandangan yang telah saya tulis ini. Pikiran-pikiran ini juga yang membuat saya dalam satu bulan ini (Maret, 2008) tidak enak tidur dan juga tidak enak makan. Sampaisampai proposal skripsi yang sudah saya ajukan belum saya urus. Konon ada tiga hal yang tidak bisa dihindari manusia. Pertama pilihan, kedua prinsip dan yang terakhir perubahan. Masalah pilihan tidak akan saya bahas di tulisan ini karena Edi sudah sering mendiskusikannya, terkait dengan eksistensi manusia itu sendiri. Karena manusia sebagai makhluk yang hidup, maka manusia tidak bisa mengihindar untuk tidak memilih. Begitu juga masalah perubahan. Semenjak kita aktif dalam berbagai organisasi, saya kira temen-temen sering menggunakan kata perubahan sebagai alat yang paling efektif untuk melakukan gerakan. Tanpa memperhatikan apakah perubahan itu lebih baik ataupun lebih buruk dan kadang-kadang malah membunuh diri sendiri, sekali lagi, perubahan tidak dapat dihindari. Dan tiap pribadi pasti 169
pernah dalam masa transisi, seperti yang sekarang dialami Taufiq, maka sangat jelas peran perubahan dalam hidup setiap manusia. Yang terakhir, yaitu prinsip. Sudah hampir dua tahun ini saya mencari-cari apa itu sebenarnya prinsip. Prinsip, dari yang saya ketahui belakangan ialah sebuah hukum alam yang sudah ada sebelum kita ada. Artinya, dia diciptakan oleh Sang Khalik agar kita tunduk pada prinsipprinsip atau hukum-hukum yang telah diciptakan-Nya. Dan yang membuat saya gelisah saat ini ialah terkait masalah ini. Dari kecenderungan-kecenderungan perilaku manusia yang saya lihat, sebagian besar politisi, prinsip-prinsip itu mereka tentang. Saya ingat apa yang pernah ditulis Cak Nun: Iblis dan Malaikat itu makhluk kepastian, sedangkan manusia adalah makhluk kemungkinan. Ini juga mirip dengan kata Ludwig von Mises, bahwa setelah para filsuf meninggalkan pencarian mereka akan hal yang absolut, para utopian meneruskannya. Jika seandainya sekarang masih ada manusia yang masih terkurung otaknya untuk mengejarngejar kepastian, ini berarti dia menentang kodratnya sendiri. Begitulah cerita singkat seperti yang sering diungkapkan dalam berbagai filsafat, baik agama maupun ilmu pengetahuan. Dan sekarang, kita sering terkecoh oleh ilusi-ilusi yang selalu mengejar kepastian serta kesempurnaan. Salah satu email dari Sukasah Syahdan (pengelola dan editor Jurnal Akal dan Kehendak), terkait pandangan epistemologis yang saya geluti sekarang ini. Dia mengatakan: “jika teori digagas tanpa kekeliruan logis, maka realitas hanya akan terjadi sesuai dengannya! Ini terdengar sulit diterima; tetapi begitu memang adanya”, tegasnya. Mendengar hal itu terasa agak aneh. Tapi 170
akhirnya saya menyimpulkan bahwa itulah bentuk-bentuk prinsip sebenarnya. Jadi, prinsip ada sebelum kita ada. Dari gambaran diatas, yang membuat saya marah adalah perilaku politisi-politisi yang sekarang lagi main parodi di panggun politik. Menurut saya, tindakan-tindakan mereka berlawanan dengan hukum-hukum alam. Dalam hal kegiatan ekonomi, blunder ini sering terjadi. Yang dikatakan Kang Edi saya sepakat---kalau dilihat dari kacamata niat baik. Akan tetapi niat baik saja tidak cukup, dari prinsip-prinsip atau hukum-hukum ekonomi yang sementara saya pelajari. Tindakan mereka ternyata merusak kegiatan ekologis ekonomi manusia. Hukum penawaran dan permintaan tidak dapat dibantah. Dia bekerja sesuai tindakan-tindakan manusia. Jadi kalau ada yang mengitervensi, berarti ada pihak yang dirugikan. Di sini, posisi saya pas berada melihat dari pihak tersebut: bapak saya. Dan saya yakin Bapak tidak mengetahui hal tersebut. Dia hanya kecewa dengan kondisi, dan saya tidak tahan melihat hal tersebut. Jadi kalau saya sekarang banyak menulis, ini terkait apa yang sudah bapak berikan secara pribadi kepada mental saya, yang ternyata sekarang sangat bermanfaat untuk saya pribadi. Dari kecil, saya di-didik untuk bekerja. Kalau tidak bekerja, maka saya tidak mendapat uang saku untuk sekolah. Katanya, itu ialah keadilan untuk diri sendiri dan orang lain. Sudah sejak kecil prinsip-prinsip sederhana itu ditanamkan pada semua anaknya, termasuk saya. Tapi setelah saya besar, dan sekarang bisa menulis, prinsipprinsip yang sederhana itu ternyata tidak dilakukan oleh orang-orang yang malah sering kita idolakan. Anehnya, kita malah menjadikan mereka ikon-ikon demokrasi yang sering kita dukung setiap ucapannya. Pengalaman saya ketika di Sumatera Barat, menurut penglihatan saya pribadi, di sana malah lebih demokratis. Ninik mamak (kepala suku), cerdik 171
pandai (intelektual) dan alim ulama ialah elemen-elemen representasi konsep demokrasi yang sebenarnya sudah ada di budaya lokal. Parahnya, konsep itu telah “dirusak” oleh pemaksaan konsep-konsep yang mempunyai niat baik tetapi menentang “hukum” yang sudah ada di sana sejak lama. Terkait yang sering saya kritik dan hujat saat ini adalah sistem yang telah terstruktur. Jadi kalau dulu orang memperjuangkan kebebasan dalam bentuk kemerdekaan. Saat ini saya melihat, sistem struktur itu menjadi sangat kropos dan rawan runtuh, sehingga keadilan tidak hanya menjauh tapi malah terancam. Kalau Yogas Ardiansyah pernah menawarkan untuk menentang sistem, maka yang sekarang saya wacanakan adalah menentang sistem-sistem yang terstruktur. Dalam kata yang sederhana, sistem terstruktur itu adalah: “Negara dan elemen-elemennya yang sangat gemuk”. Kalau yang menjalankan tidak segera membenahi diri ataupun berefleksi, maka dalam waktu dekat “bencana itu akan terjadi”. Saya tidak dapat membayangkan, korban itu akan seberapa besar? Tapi tak apalah, bukankah perubahan itu suatu yang tidak dapat dihindari? Agar manusia selalu mengingat. Barangkali kata-kata Bharbara Sher benar adanya...
172
Sekedar Meminta Izin Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok Terkait dengan sebuah komitmen yang beberapa waktu lalu telah tersepakati, dan juga telah tercicil bersama. Ya, “mainan” itu (selanjutnya tanpa tanda petik), adalah mainan yang kita buat bersama. Mainan kita ini memang tak se-kualitas dengan supertoy, seperti yang diidamkan Pak Saratri, untuk menjadi mainan para superboy, yang akhirnya sebagai peng-counter sang superpower. Mainan kita ini, yang kita baca dengan mengeja, yang kita obrolkan sembari menghisap asap, yang kita ketik dengan amarah membuncah, juga yang kita posting dengan meretas cemas, sekali lagi bukanlah mainan mewah. Mainan kita ini mainan sederhana, yang kita buat dengan cara sederhana, dengan anasir yang sederhana, di tempat-tempat yang sederhana, dengan tekhnik yang sederhana, dan jika saya adalah Sapardi Djoko, maka juga akan saya katakan mainan ini adalah mainan yang kita cintai dengan sederhana pula. Sederhana, tetapi menyimpan sesuatu yang tidak ringkas. Ataukah mainan kita ini bukanlah mainan? Mungkinkah mainan ini adalah sebuah perjuangan? Saya tak begitu peduli dengan perjuangan. Tetapi mainan yang telah merajut komitmen itu tentu tak bisa lepas dari kata, sementara Rendra mengatakan bahwa perjuangan adalah me-laku-kan kata. Maka, baik perjuangan heroik ataupun mainan yang mengasyikkan, mainan ini tetap menyisipkan “perjuangan” di sela-sela partikelnya. Tetapi entah, jika kita tak sepakat dengan Rendra. Mainan kita ini, telah menjalani beberapa persen proses pem-benda-annya. Kita semua tahu, mainan kita tak bisa terwakili oleh sekedar himpitan cover depan dan belakang. Kita semua tau itu. Tetapi bukankah salah satu 173
rule of game dari mainan ini, adalah mengajak siapapun untuk ikut bermain bersama kita? Siapapun. Maka dengan benda yang masih embrio itulah, salah satu ketaatan kita pada rule of game dari mainan kita ini. Mainan kita ini, telah beberapa persen dalam proses menjadi “potret dari potret”. Mainan kita ini telah terbiasa terpotret dalam blog itukomunitasembunpagi,blogspot.com itu- memang akan kita potret lagi dalam beberapa lembar kertas yang terhimpit cover. Sekali lagi, kita tau, dan saya selalu berharap bahwa mainan kita, yang me-metafisi-kan kehadirannya dalam potret-potret tersebut, semoga akan terus bertambah, baik secara jumlah huruf, kedalaman analisis, maupun kemekaran pembahasan. Dan sejak semula, saya telah beberapa kali disentil oleh beberapa dari kita, untuk ikut menurunkan tangan dalam pembuatan mainan ini. Maka dari itulah, perkenankan saya, melalui ini, untuk meminta surat perizinan. Dalam “mal” yang telah di buat oleh Mas Edi, juga di-iya-kan oleh Mas Yogas, saya akan mencoba menyusun puzzle. Saya, yang hanya mempunyai sebilah pisau lipat nan tumpul, mungkin hanya mampu memungut daun dan ranting kering dalam mainan kita ini, jika mainan kita ini diibaratkan sebagai pohon. Itupun daun dan ranting sejauh yang bisa saya gapai. Ah… Beberapa puzzle terlalu kecil, beberapa yang lain terpotong dengan kurang rapi. Ingin sekali saya merapikan puzzle-puzzle itu. Tetapi ternyata puzzle-puzzle itu bukan dari pabrik yang sama. Bisakah, masing-masing pabrik melengkapi puzzlenya?
174
Sebuah Pesan Oleh : Yogas Ardiansyah Selain sering sekali terlibat dalam dialektika dengan Emha Ainun Nadjib, sampai sekarang pun, Cak Sudrun ternyata sering datang dalam Jama’ah Ma’iyah di beberapa tempat. Tidak seperti pak Kanjeng yang lebih kalem dan bijaksana, ia tampil lebih slengekan dan nggapleki. Kadang ia tampil dengan sarung kumal dan jas tebal, padahal cuaca malam sungguh gerah minta ampun. Sesekali ia tampil sok casual dengan kaos dan jelana jins yang warnamya bertabrakan di sana-sini. Tetapi bisa juga ia datang mengenakan kostum ala pria mapan dan metroseksual yang ternyata juga banyak menjadi jama’ah Emha. Dan malam itu, beberapa bulan yang lalu di Gambang Syafa’at, ia memilih hem warna hijau menyala dan sarung motif batik yang sepertinya sudah hampir setengah lusin bulan tidak dicuci apalagi disetrika. Setelah lantang mengajukan pertanyaan yang kemudian menjadi bahan tertawaan seluruh hadirin yang datang karena berkata “sing penting wareg!!” untuk menjawab pertanyaan Emha “milih segoné opo milih sambelé?”, dengan senyum puas seakan telah berhasil mengerjai Emha dan jama’ahnya ia bergeser ke belakang agak serong ke barat daya di pojok pintu keluar ruangan yang biasa digunakan acara Gambang Syafa’at. Senyumya terlihat bermakna puas sekali, padahal ia baru saja diolok-olok dan ditertawakan sekitar 500-an orang. Sungguh sebuah metode pembelajaran yang berat dan dalam sekali. Kemudian ia duduk bersila di samping orang-orang yang malam menjelang dini hari itu masih setia dengan syawab-syawab berkah Emha dan Kiai Budi Harjono. Kemudian tanpa diminta ia tiba-tiba nyerocos kepada orang yang ada di kanan-kirinya soal pengalamannya nyantri di 175
padepokan Sunan Kudus. Dari ngumpet di jumbleng hingga terjun bebas dari pucuk pohon kelapa menggunakan kepala sebagai tumpuan mendarat, yang kesemuanya telah diceritakan Emha dalam buku-bukunya. Lantas cerita Cak Sudrun sampai pada masa betapa ia sangat ngebet ingin menikah, ingin kawin. Ia, entah dari mana datangnya, tibatiba mempunyai keinginan yang luar biasa untuk menjadi suami. Mulai dari hasrat dorongan biologis hingga psikologis seorang lelaki yang memang ingin melindungi dan bertanggungjawab. Tetapi masalah ini tidak bisa mudah begitu saja karena ternyata Sunan Kudus belum merestuinya untuk menikah. Segala daya upaya diplomasi dan lobbying sudah ia ungkapkan untuk mendapat restu sang Sunan, tetapi hatinya tidak bergeming jua. Hingga suatu malam, setelah selesai mengaji di pendopo, ia memberanikan diri sekali lagi mengungkapkan keinginannya kepada Sang Sunan. Bukan dengan cara bergaining yang halus, tetapi sudah dengan ancaman. “Mohon ampun, Kanjeng Sunan. Kalau Kanjeng Sunan tidak memberi restu kepada hamba untuk menikah, atau paling tidak ta’aruf dan yang-yangan, maka dengan terpaksa hamba akan melampiaskan hasrat dengan cara yang tidak-tidak dan akan menggoncangkan padepokan ini, Kanjeng Sunan”. Sunan Kudus langsung naik pitam. “Hah? Kau mau mengancamku? Sehebat apa kau? Kau tidak sehebat Aryo Penangsang, orang Jipang yang tidak bias membaca sasmitoku itu. Berani sekali kau, Sudrun”. “Hamba tidak hendak melawan Kanjeng Sunan. Ini hanya metode, Kanjeng Sunan”. “Kau pikir aku takut? Terserah kau. Berbuatlah sesukamu!”
176
“Saestu, Kanjeng Sunan? Betul begitu? Apakah Kanjeng Sunan sudah siap menyaksikan peristiwa yang belum pernah Kanjeng Sunan saksikan sebelumnya?” Rona di wajah Sunan Kudus semakin merah menyala. “Kurang ajar!!! Siapa yang mengajarimu berkata seperti itu kepadaku?!” Dengan enteng Cak Sudrun menjawab : “Gus Dur dan Emha Ainun Nadjib, Kanjeng Sunan”. Seketika raut muka Sunan Kudus berubah. “Pilihlah wanita yang ingin kau nikahi, lantas bawa kemari”. Sambil mengumpat dalam hati “Assu!!!” Tanpa menunggu lama, “Sendiko dhawuh, Kanjeng Sunan!” Setelah menghaturkan sembah, Cak Sudrun segera melompat keluar pendopo menemui kekasihnya untuk diajak menghadap Sunan Kudus. Kelak Sunan Kudus akan semakin terperanjat melihat siapa yang dibawa Cak Sudrun kepadanya. *** Sepertinya siasat Cak Sudrun boleh juga ditiru. Fahmi? Haris? Mas Taufik? Guru Ed? Giyanto? Hhmm…, Luluk
177
Selamat Tinggal Sayangku Oleh : Giyanto Selamat tinggal sayangku. Setelah sekian lama kita berpisah, ingin sekali ku ucapkan rasa terima kasihku padamu. Dulu saat pertama mengenalmu, aku memang sangat tergila-gila kepadamu. Kau kubawa ke mana-mana, karena aku takut semua orang akan mengenalmu. Kau begitu menginspirasi. Kau ajarkan aku bahwa kita harus memperjuangkan keadilan. Kau ajarkan aku bahwa ’eksploitasi’ harus kita hentikan. Bahwa perbedaan kelas harus ditiadakan. Bahwa pabrik-pabrik bangsat itu harus kita kuasai untuk kepentingan bersama. Tapi sayangku. Sebelum aku menemui dirimu yang ’asli’. Di saat banyak orang membicarakanmu, dan ketika Lenin, Stalin, Mao dan Castro telah menggunakanmu untuk memuluskan jalan mereka dalam meraih kepentingannya sendiri. Dirimu sudah tidak menarik lagi. Kau kukenal lewat ”Madilog”, walaupun sekarang aku belum menemukan versi aslimu, tapi aku telah banyak melihat dirimu telah mempengaruhi banyak orang. Dirimu sekarang telah berganti wajah dengan berbagai versi. Dari Neo-Neo hingga Isme-isme yang baru. Entah berapa versi wajahmu telah membuatku begitu muak. Ya sayangku. Sekarang aku telah mengenal gadisgadis cantik yang lain. Aku sekarang tergila-gila pada orang-orang yang dulu kau musuhi. Ingatkah kau di saat Kau menuduh Bastiat sebagai ”klasik” dan menuduh orangorang yang bekerja keras sebagai ”kapitalis”. Dan generasi terbarumu menuduh ilmuwan yang lain sebagai 'positivis' dan pendukung 'borjuis'. Tapi aku tidak peduli sayangku. Di saat dirimu telah menguasai jagad raya gagasan. Dengan tidak sengaja aku menemukan ’gadis kecil’ yang begitu sederhana. Dia mempesona, walaupun dia tidak 178
berjilid-jilid sepertimu, tapi menurutku ’gadis kecil’ tersebut telah berhasil menunjukkan dan mengenalkan ku pada orang-orang hebat yang dulu belum pernah aku kenal. Setelah mengenal mereka semua, Aku begitu terhentak dan panas dingin. Tubuhku lemas, hingga tiga hari tubuhku terasa merinding. Aku melihat dunia dengan kaca mata lain. Ketika kau dulu memperkanalkan aku bahwa keadilan adalah ketika aku mendapatkan seratus rupiah sedangkan tetanggaku mendapat seribu rupiah, seharusnya aku dapat memperjuangkannya dengan ’menuduh’ tetanggaku sebagai tidak adil. Atau ketika kau mengatakan bahwa ’kesetaraan’ atau ’kesamaan’ harus diperjuangkan dengan cara apapun, menurutku itu adalah gagasan yang tolol sayangku. Tapi mereka mengatakan lain sayangku. Mereka mengatakan bahwa, kalau aku ’hanya’ mampu menciptakan seratus rupiah, maka seharusnya aku memang harus dapat seratus rupiah. Atau kalau seandainya aku dapat seribu rupiah adalah karena aku memang layak mendapatkannya. Dan dalam mengajari ketidakadilan, mereka menunjukkan jalan yang lain sayangku. Mereka mengatakan bahwa, ’pemalas’ dan ’perampok’ adalah bentuk ketidakadilan. Tidak layaknyalah apabila kita menolong orang lain dengan cara mengambil alih barang orang lain kemudian kita-kita bagikan sayangku. Mereka mengatakan, ketika kita mampu memberi, seharusnya kita melakukan sendiri menurut kemampuan kita masingmasing sayangku. Sekarang saya sedang belajar banyak dari mereka sayangku, dan mereka pun mengajarkan hal yang lain sayangku. Mereka mengajarkan bahwa kegiatan merampok bukanlah sebuah keadilan. Keadilan menurut mereka adalah ketika orang-orang itu mendapatkan nilai sesuai 179
kemampuan orang-orang tersebut sehingga mereka tidak diganggu oleh hal-hal rigid yang sering kau permasalahkan. Keadilan adalah sebuah konsep gagasan sayangku. Dia, keadilan, adalah sebuah cakrawala yang memiliki banyak tafsir. Sekarang, keadilan bagiku lain artinya dengan pengertian kita yang dahalu pernah kita yakini. Selamat tinggal sayangku... Salam
180
Cerita Tentang Itu Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok Pagi agak mendung ketika aku beranjak dari depan komputer untuk pergi mandi, sebentar saja. Dengan pakaian seadanya, berjalan kaki yang akhir-akhir ini sudah jarang aku lakukan akhirnya sampai di kampus. Beberapa saat bertegur sapa dengan beberapa kenalan, basa-basi identitas kesukuanku yang masih saja etnosentris, lalu kuarahkan kaki menuju warnet yang ternyata penuh sesak seperti biasanya. Rencana membuka site “komunitas embun pagi” belum menjadi rejeki, tak apalah, tak harus dipikirkan seperti membaca “lifestyle”nya David Chaney pikirku. Tak seberapa lama setelah kembali berbincang dengan seorang teman, mataku menangkap jarum jam yang menyatu pada angka 11, kok bisa pas sekali? Bergegas jalanku menuju gedung sebelah, ada kuliah Psikologi Belajar seperti tertulis di jadwal. Jadwal yang katanya menutup ruang kebebasan, ah ada-ada saja. Sebentar lagi kuliah, dan presentasi, wiridanku saat itu. Wiridan itu putus, memang tak pandai saja konsentrasiku. Kerumunan teman-teman yang seperti ngerumpi, membicarakan semuanya tanpa bekas, tanpa tujuan tetapi menyenangkan. Mungkin itu yang banyak dilupakan orang sekarang, semuanya harus praktis dan bertujuan. Ini mungkin gara-gara teleologi para filsuf itu.. Oh, tidak. Ternyata mereka sedang saling berempati. Seseorang ditengah kerumunan matanya berkaca-kaca, bahkan basah tak beda dengan rutinitas Kaligawe yang membuat rantai sepeda motorku jadi kendur selain karena jarang servis di bengkel. Sayup-sayup terdengar “tadi dia dapet telpon, ayahnya meninggal”. Aku puaskan diriku dengan informasi itu, dan berjalan lagi. Maaf teman, bukan 181
maksudku tidak berempati, tapi empatiku agaknya hanya semakin menambah kesedihanmu yang datang tiba-tiba. Sambil berjalan, kuraba diriku. Aneh, aku biasa saja, pun dalam kuliah. Hanya saja terus terpikirkan. Bagaimana jika itu tiba-tiba teralamatkan kepadaku? Bagaimana jika aku yang itu? Adakah yang mau menangis demi aku dan kesedihan itu? Egois sekali memang, tapi semua orang harus egois setidaknya jika saat tujuan dari semua kehidupan itu tiba. Sempat tersungging senyum di bibir, kekagumanku pada ayah temanku. Dalam awal dunia barunya, ada yang menangisi kepergiannya. Rupanya ia masih sangat dibutuhkan oleh orang lain, dia berguna bagi yang lain, dia orang baik. Dari sisi lain, pastinya seorang teman itu tak menyangka, ketika tadi mandi, berangkat kuliah, sampai akhirnya mendapatkan kabar telpon. Bukan lagi telegram yang boros segalanya, si Marx sekarang bukan lagi kiri! Mungkin saja dari awal dia mengira hari-harinya akan seperti hari-hari sebelumnya. Pikiranku telah kembali pada jalannya kuliah. Pak dosen menjelaskan teori behavioristik, setiap perilaku adalah baru, tidak ada hal yang sama persis! Semua stimuli itu baru, sehingga responnya juga baru. Senin lalu, di ruang yang sama juga kuliah dengan mata kuliah yang sama. Tetapi materinya berbeda, suhu udara, pakaian yang kami kenakan, cuaca, dan lain-lain yang berbeda. Semuanya itu baru dan menimbulkan respon yang baru. Katanya perilaku manusia suatu “lingkaran setan” stimulus-respon. Sederhana sekali memang, seperti rumusan persamaan kuadrat atau segitiga Phytagoras. Phyitagoras juga berkata “semesta adalah suatu keseluruhan yang teratur” semua bisa dirumuskan baginya. Wajar saja, Cak Nun yang mengatakan “dunia adalah tempat ketidak pastian, dan 182
manusia adalah makhluk ketidak pastian” memang belum lahir. Tapi berbeda bukan dosa, tak apalah. Pak dosen juga bercerita masa mudanya, yang pernah menuliskan sesuatu tentang malam. Malam yang datang kala mentari mohon diri. Mengutip syair lagu Pas Band “malam hari tetaplah malam, tak pernah dia menghilang..” ya, dalam gemerlap bintang ataupun kelabunya mendung, malam tak akan dibahasakan siang. Mungkin si teoris (behavioristik) itu terlupa dengan satu pepatah klasik inggris “there is nothing new under the sun” dan belum pernah mendengar lagu Scorpion “and we are live under the same sun..” Semoga ini tidak dimaknai menari di atas kesedihan orang lain. Tapi kata Derrida, tidak ada selain distorsi sebagai akibat dari penafsiran yang berbeda. Sudahlah, terserah saja.. Embun pagi ini, segar dan bening, lembut dan dingin, Seperti embun kemarin. Usia terlalu singkat, untuk terus berharap. Jiwa terlalu lemah, untuk selalu pasrah. Innalillahi wainnailaihi roji’un..
183