Tetap Bersemangat Meski Cacat Fisik
Dengan lincah, Amirizal (33 tahun) mengangkat saringan pembuat kopi. Gerakannya gesit dan penuh semangat. Meskipun, pada saat tsunami terjadi di Aceh di penghujung 2004, kaki kiri Amirizal terkena hantaman benda keras ketika terseret arus hingga lelaki tegar ini harus merelakan kakinya untuk diamputasi. “Pagi mengajak
itu
saya
main
sedang
keponakan,
Muhammad Hafidz yang berumur empat tahun.” Amirizal memulai kisahnya. “Sewaktu terjadi gempa, saya dan Hafidz sedang berjalan kaki
menuju
Pantai
Uleelheue.
Orang-orang
yang
sedang
berenang naik semua ke darat. Kami pun langsung berbalik arah dan
pulang
ke
menyerahkan Ibunya.”
rumah. Hafidz
Tuturnya
Saya pada
menceritakan
saat-saat terjadinya tsunami. Pada belum tentang
saat
pernah tsunami.
itu,
Amirizal
mendengar Dia
sungguh
heran melihat pohon-pohon yang
1
terangkat laksana terbang. Padahal saat itu belum ada air. ”Saya berniat lari dengan sepeda motor. Tapi tidak sempat lagi. Kira-kira satu meter lagi dari sepeda motor, saya keburu diterjang air,” ujar penduduk kampung Pie, Uleelheue ini. Cukup
lama
Amirizal
diseret
air.
Kakinya sempat menghantam benda-benda keras.
Dia
menduga
mungkin
pondasi
sebuah rumah. “Kaki saya rasanya sakit sekali. Perut pun seperti ditusuk-tusuk. Namun, akhirnya saya tersangkut di pohon mangga. Di pohon itu banyak kayu-kayu dan juga batu bata. Di
“Entah bagaimana caranya, tahu-tahu saya sudah ada di boncengan motor laki-laki itu. Saya juga nggak bisa menjelaskan,” sambung lelaki yang punya hobi menyelam dan menembak ikan ini. Lelaki bersepeda motor itu membawa Amirizal ke Rumah Sakit Fakinah. Namun sayangnya selama tiga hari tiga malam Amirizal tidak mendapatkan pertolongan yang berarti.
akar pohon mangga itulah saya mencoba bertahan hidup,” ungkapnya menerawang. “Alhamdulillah, saya masih diberi umur panjang. Kalau tidak tersangkut, mungkin saya akan terus terbawa ke laut lepas. Entah apa jadinya,” desah lelaki kelahiran 21 April 1974 ini. “Waktu itu saya merasa haus sekali. Terus saya lihat ada buah kelapa yang mengapung. Saya mencoba berenang untuk mengambilnya. Tapi nggak bisa, sementara dulunya saya termasuk salah satu yang jago berenang. Lalu saya mencoba berdiri. Nggak bisa juga. Saat itulah saya baru sadar kalau kaki kiri saya sudah tak berbentuk lagi.” Amirizal berusaha mencari pertolongan. Dia memanggil-manggil orang yang lewat. Namun sayangnya, tidak ada yang peduli. Mereka berlalu begitu saja, tanpa ada keinginan menolong. ”Saya sedih sekali. Mengapa orang-orang itu tidak mau menolong saya? Padahal saat itu, kondisi kaki saya sangat parah. Selain robek, hancur, tulangnya juga keluar.” tuturnya sedih. Setelah sekian lama, akhirnya ada juga yang mau menolong Amirizal. Seorang lelaki bersepeda motor lewat. Ketika Amirizal memanggilnya, lelaki itu pun berhenti.
2
“Entah bagaimana caranya, tahu-tahu saya sudah ada di boncengan motor laki-laki itu. Keanehan itu sangat sulit untuk dijelaskan,” sambung lelaki yang punya hobi menyelam dan menembak ikan. Lelaki bersepeda motor itu kemudian membawa Amirizal ke Rumah Sakit Fakinah. Namun sayangnya selama tiga hari tiga malam Amirizal tidak mendapatkan pertolongan yang berarti. “Di hari keempat saya ketemu dengan saudara sepupu. Saya minta dipindahkan ke rumah sakit lain. Dia menurut, lalu saya dipindahkan ke Rumah Sakit Fakinah. Di sini pun saya nggak mendapat pengobatan yang memadai. Hari kelima saya ketemu dengan Bang Marwan. Dari kami bersembilan, hanya tinggal kami berdua yang selamat.” Amirizal sangat bersyukur bahwa ada anggota keluarganya yang selamat. Oleh abangnya, dia dipindahkan ke Rumah Sakit Kesdam. Keesokan hari, kaki kirinya diamputasi.
3
“Selama saya di Kesdam, Bang Marwanlah yang merawat saya. Kalau siang beliau ke desa Gue Gajah, sedangkan malamnya beliau menemani saya di sini,” ujar Amirizal tentang abangnya. Amirizal dirawat di Rumah Sakit Kesdam selama satu setengah bulan. Setelah itu dia dipulangkan dan bergabung dengan warga Kampung Pie yang sudah lebih dulu mengungsi ke desa Gue Gajah. “Teman-teman di sana banyak membantu saya. Perasaan senasib sepenanggungan antara sesama pengungsi memberikan saya pelajaran yang berharga. Ternyata bukan Malah,
ada
orang
lain
saya. Jika mereka mampu tidak?” Amirizal pun
mengaku sebelum
saya
rasakan,
malam
hening sekali. Tidak ada datang ke warung saya. Di ujar ayah dari Muhammad Sebelum
tsunami,
usaha warung kopi di dekat semuanya hancur diterjang “Syukurlah
kami
dari Appling Jerman. Tapi modal
untuk
sepupu,
saya
warung.
saya saja yang susah.
Meski cacat fisik, semangatnya tidak pernah luntur. “Saya ingin punya warung sendiri. Sudah pernah mengajukan permohonan, tapi belum dikabulkan. Saya hanya mendapat bantuan sebesar satu juta dari BRR.”
cuma
yang lebih berat
dari
bertahan, kenapa saya tidak punya firasat apa tsunami. ”Cuma yang sebelum
tsunami
pelanggan jalan-jalan
itu yang
pun
sepi,”
Haikal ini. lelaki pendiam ini punya rumahnya.
Namun,
tsunami. dapat rumah bantuan saya Tempat
belum ini
milik
punya adik
mengelola saja,” jelas
suami dari Juniar Rangkuti ini. Amirizal adalah lelaki yang tegar. Ini terlihat lewat kesehariannya. Meskipun fisiknya tidak lagi sesempurna dulu akibat tiga kali proses amputasi yang harus dijalaninya, semangatnya tidak pernah luntur. “Saya ingin punya warung sendiri. Sudah pernah mengajukan permohonan, tapi belum dikabulkan. Saya hanya mendapat bantuan sebesar satu juta dari BRR.” Ia pernah mendapat bantuan kaki palsu dari Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dengan alasan itulah, Amirizal sempat dirawat di Rumah Sakit Pertamina Jakarta. Namun, akibat terjatuh ketika di kamar mandi, Amirizal menjadi trauma dan tidak 4
berani lagi memakai kaki palsu tersebut. Sekarang, lelaki itu hanya menggunakan kruk. Meskipun demikian,
kegiatan menyelam dan menembak ikan masih
sering dilakukannya hingga saat ini. Kecintaannya pada laut telah menyatu dengan dirinya. Itulah sosok Amirizal, lelaki bersemangat baja. Cacat fisik tidak menjadikannya minder dan patah semangat. Sebaliknya, dia tetap tegar dan tabah menghadapi semua cobaan yang menderanya.
5