VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Fungsi Produksi PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung Fungsi produksi yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi produksi pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, adalah fungsi produksi Cobb-Douglas. Faktor-faktor produksi yang digunakan dalam model adalah sapi bakalan (X1) yang dihitung berdasarkan bobot badan saat awal pemeliharaan, pakan konsentrat (X2), dan pakan hijauan (X3) yang diharapkan dapat memberikan penjelasan terhadap hasil produksi yaitu sapi potong (Y) yang dihitung berdasarkan bobot badan akhir. Pengujian model fungsi produksi dilakukan dengan menganalisis nilai koefisien determinasi (R2-adjusted), uji statistik parsial (uji-t), uji statistik simultan (uji-F), serta uji asumsi pada regresi linear yaitu normalitas, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas. Model fungsi produksi linear pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, adalah sebagai berikut : Ln Y = -2,18 + 0,890 lnX1 + 0,139 lnX2 + 0,371 lnX3 Apabila model linear tersebut ditransformasi kembali menjadi fungsi CobbDouglas, maka persamaannya adalah sebagai berikut : Y = 0,113 X10,890 X20,139 X30,371 Keterangan : Y
= hasil produksi sapi potong (kg/ekor)
X1
= sapi bakalan (kg/ekor)
X2
= pakan konsentrat (kg/ekor/periode)
X3
= pakan hijauan (kg/ekor/periode)
Hasil estimasi fungsi produksi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Estimasi Faktor-Faktor Produksi Variabel Koefisien T-hit P-value Konstanta -2,1765 -7,96 0,000 Ln X1 0,88981 30,82 0,000 Ln X2 0,13867 2,96 0,003 Ln X3 0,37079 5,09 0,000 Keterangan : R-sq = 73,9 % R-sq (adj) = 73,8 %
VIF 1,4 5,7 4,8
Sumber : Data Primer, diolah (2010)
Berdasarkan hasil regresi dari program Minitab 14 tersebut diketahui bahwa tiap-tiap faktor produksi yang digunakan berpengaruh nyata terhadap hasil produksi pada α = 1 % (0,01). Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan pengujian berikut : H0 : b1 = 0 faktor produksi tidak berpengaruh nyata terhadap hasil produksi H1 : b1 ≠ 0 faktor produksi berpengaruh nyata terhadap hasil produksi. Keputusannya adalah tolak H0 jika : P-value dari masing-masing faktor produksi nilainya kurang dari α = 1 % (0,01) atau nilai |t-hit| lebih besar dari ttabel dimana ttabel = tα/2(DFgalat) = t 0,005(442) = 2,576. Jika dilihat hasil regresi pada Tabel 8, p-value dari masing-masing faktor produksi nilainya kurang dari α = 0,01 serta nilai |t-hit| dari faktor-faktor produksi yang digunakan lebih besar dari ttabel = 2,576. Maka keputusannya adalah tolak H0, sehingga dapat disimpulkan bahwa sapi bakalan, pakan konsentrat, dan pakan hijauan berpengaruh nyata terhadap sapi potong pada α = 0,01. Hasil analisis regresi juga menunjukkan nilai R2 dan R2(adj) yang menyatakan kekuatan pengaruh variabel independen secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Nilai yang digunakan adalah R2(adj) karena jumlah variabel independen yaitu faktor produksi yang ada dalam model lebih dari satu. Adanya penambahan variabel independen akan menyebabkan nilai R2 selalu naik,
namun nilai R2 (adj) dapat naik atau turun sehingga lebih mencerminkan nilai yang sebenarnya. Nilai R2 (adj) sebesar 73,8 persen artinya 73,8 persen keragaman dari hasil produksi mampu dijelaskan oleh faktor-faktor produksi yang terdapat dalam model, sedangkan sisanya sebesar 26,2 persen mampu dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model. Berdasarkan Tabel 8 juga dapat dilihat hubungan linear antar variabel independen dalam model. Pada hasil regresi tersebut, nilai VIF dari faktor-faktor produksi
menunjukkan
angka
kurang
dari
10.
Menurut
uji
asumsi
multikolinearitas, hal ini menunjukkan bahwa antar variabel independen tersebut tidak terjadi korelasi atau tidak mengalami multikolinearitas. Tabel 9. Hasil Analysis of Variance Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat (DF) (SS) Regresi 3 0,32908 Galat 442 0,11598 Total 445 0,44506
Kuadrat F-hit P-value Tengah (MS) 0,10969 418,03 0,000 0,00026
Sumber : Data Primer, diolah (2010)
Hasil analysis of variance tersebut dapat digunakan untuk uji simultan pada model. Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa faktor-faktor produksi secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap hasil produksi pada α = 1 % (0,01). Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan pengujian berikut : H0 : b1 = b2 = b3 = 0 faktor-faktor produksi secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap hasil produksi. H1 : minimal satu b1, b2, b3 ≠ 0 faktor-faktor produksi secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap hasil produksi. Keputusannya adalah tolak H0 jika :
P-value kurang dari α = 0,01 atau nilai F-hit lebih besar dari Ftabel dimana Ftabel = Fα(DFregresi,DFgalat) = F 0,01(3,442) = 3,78. Hasil regresi pada Tabel 9 menunjukkan p-value sebesar 0,000 yang artinya nilai tersebut kurang dari α = 0,01. Nilai F-hit sebesar 418,03 menunjukkan angka yang lebih besar dari Ftabel = 3,78. Maka sudah cukup bukti untuk menolak H0, sehingga dapat disimpulkan bahwa sapi bakalan, pakan konsentrat, dan pakan hijauan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap sapi potong pada α = 0,01. Mengenai asumsi yang harus dipenuhi pada analisis regresi linear agar hasil analisis yang didapat tidak bias, maka dilakukan beberapa pengujian juga pada model regresi untuk normalitas dan heteroskedastisitas. Berdasarkan hasil yang didapat, diketahui bahwa pada model regresi nilai galat menyebar normal, namun terjadi heteroskedastisitas (lampiran 3). Hal ini berarti ragam sisaan tidak sama (heterogen) untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi. Hal ini terjadi karena dalam mengkaji data mengenai hubungan peubah-peubah bebas (sapi bakalan, konsumsi pakan konsentrat dan hijauan) dan peubah tak bebas (sapi potong), umumnya semakin banyak sapi bakalan, konsumsi pakan konsentrat dan hijauan yang digunakan maka produksi sapi potong akan semakin bervariasi. Jika semua asumsi klasik dalam model regresi linear dipenuhi, kecuali masalah heteroskedastisitas, maka dugaan parameter koefisien regresi dengan metode OLS tetap tidak bias dan masih konsisten, hanya saja standar errornya bias ke bawah (Juanda, 2009).
6.2. Analisis Efisiensi Produksi PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung Tingkat efisiensi produksi dilihat secara teknis dan ekonomis. Kedua efisiensi ini saling berhubungan satu sama lain karena dapat menunjukkan kombinasi faktor produksi yang bisa memberikan tingkat produksi optimum sehingga dapat menghasilkan keuntungan maksimum pada suatu usaha. Apabila suatu faktor produksi mencapai tingkat efisien secara teknis, belum tentu faktor produksi tersebut efisien secara ekonomis. Namun apabila faktor produksi efisien secara ekonomis, sudah pasti faktor produksi akan efisien secara teknis. 6.2.1. Efisiensi Teknis Efisiensi teknis dapat diketahui berdasarkan nilai elastisitas produksi dari tiap-tiap variabel independen dalam model fungsi produksi. Nilai elastisitas produksi pada fungsi produksi Cobb-Douglas dapat dilihat melalui nilai koefisien regresi masing-masing variabel independen yang merupakan faktor produksi yang digunakan dalam penelitian. Nilai elastisitas dari seluruh faktor produksi juga digunakan untuk menunjukkan returns to scale atau skala usaha pada peternakan. Nilai elastisitas produksi untuk masing-masing faktor produksi pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai Elastisitas Produksi Setiap Faktor Produksi pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, Selama Satu Periode Pemeliharaan, Tahun 2010 Faktor Produksi Elastisitas Produksi Sapi bakalan (X1) 0,890 Pakan konsentrat (X2) 0,139 Pakan hijauan (X3) 0,371 Jumlah 1,4 Sumber : Data Primer, diolah (2010)
Berdasarkan Tabel 10, jumlah elastisitas produksi dari seluruh faktor produksi pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, sebesar 1,4.
Angka ini menunjukkan bahwa skala usaha penggemukan sapi potong ini adalah increasing return to scale yang berarti bahwa proporsi penambahan produksi lebih besar dari proporsi penambahan faktor produksi atau bisa dikatakan juga bahwa setiap penambahan faktor produksi sebesar 1 persen akan menghasilkan tambahan produksi sebesar 1,4 persen. Pernyataan ini dapat dikatakan sesuai dengan yang umum terjadi di pasar dimana setiap pengusaha pastinya mengharapkan agar memperoleh tambahan hasil yang lebih besar dari input yang ditambahnya. Namun, hasil produksi yang besar belum tentu menghasilkan keuntungan yang maksimum. Jika dilihat dari pembagian daerah produksi, nilai total elastisitas produksi tersebut berada pada daerah produksi I dengan EP > 1. Pada daerah ini, setiap penambahan faktor produksi sebesar 1 persen akan menghasilkan tambahan produksi lebih dari 1 persen. Daerah produksi I disebut juga daerah irrasional karena pada daerah ini pendapatan maksimum pada perusahaan belum tercapai, pendapatan masih dapat diperbesar apabila penggunaan faktor produksi ditingkatkan. Elastisitas sebesar 1,4 menunjukkan bahwa belum tercapainya efisiensi teknis pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung. Hal ini dikarenakan adanya spesifikasi usaha baru pada perusahaan yaitu full fattening yang baru dijalankan beberapa bulan. Pada kondisi ini perusahaan masih beradaptasi dengan penerapan spesifikasi usaha yang baru serta berupaya untuk mengembangkan
usaha
hingga
mencapai
kondisi
efisien
yang
dapat
memaksimumkan keuntungan. Perusahaan masih dapat terus menambah faktor produksi untuk meningkatkan hasil yang diperoleh hingga keuntungan maksimum tercapai.
Pada penelitian ini efisiensi ekonomi tidak dapat dilakukan. Hal ini terjadi karena produksi yang dilakukan tidak efisien secara teknis, sehingga efisiensi ekonomis tidak dapat diketahui. Kondisi sebenarnya berada pada tingkat keuntungan maksimum yang belum tercapai, sehingga tidak dapat dihitung berapa besar keuntungan maksimumnya dan berapa kombinasi faktor produksi yang dapat memberikan keuntungan maksimum tersebut. Diluar hal tersebut, pengaruh dari masing-masing faktor produksi terhadap hasil produksi akan dijelaskan sebagai berikut. 1.
Sapi Bakalan (X1) Sapi bakalan merupakan input utama dalam usaha ini, karena tujuan akhir
dari kegiatan penggemukan sapi potong adalah mendapatkan bobot akhir sapi yang lebih tinggi dari bobot awal pada sapi bakalan. Berdasarkan hasil analisis fungsi produksi Cobb-Douglas, elastisitas sapi bakalan sebesar 0,890. Nilai tersebut berarti bahwa apabila bobot sapi bakalan ditingkatkan jumlahnya sebesar 1 persen, maka hasil produksi (bobot) sapi potong akan meningkat sebesar 0,890 persen, ceteris paribus. Elastisitas sapi bakalan ini berada antara 0 < EP < 1 yang menunjukkan bahwa penggunaan sapi bakalan berada pada daerah produksi II atau daerah rasional dimana perubahan faktor produksi sebesar 1 persen akan menyebabkan perubahan hasil produksi minimal diatas 0 persen dan maksimal dibawah 1 persen. Elastisitas sapi bakalan sebesar 0,890 menunjukkan bahwa penggunaan sapi bakalan pada peternakan sudah efisien secara teknis. Berdasarkan uji-t pada α = 0,01 sapi bakalan berpengaruh nyata terhadap produksi sapi potong sehingga adanya penambahan pada sapi bakalan dapat memberikan perubahan yang nyata pada produksi sapi potong, ceteris paribus.
2. Pakan konsentrat (X2) Konsentrat merupakan pakan utama yang diberikan pada ternak. Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa nilai elastisitas pakan konsentrat adalah 0,139. Nilai elastisitas ini juga berada pada daerah II atau daerah rasional yang menunjukkan bahwa efisiensi teknis penggunaan pakan konsentrat pada peternakan sudah tercapai. Elastisitas pakan konsentrat sebesar 0,139 dapat diartikan bahwa dengan penambahan 1 persen pakan konsentrat akan menyebabkan terjadinya pertambahan produksi bobot sapi potong sebesar 0,139 persen, ceteris paribus. Berdasarkan uji-t pada α = 0,01 pakan konsentrat berpengaruh nyata terhadap produksi sapi potong sehingga adanya penambahan pakan konsentrat dapat mengakibatkan perubahan nyata terhadap produksi sapi potong, ceteris paribus. 3. Pakan Hijauan (X3) Pakan hijauan yang digunakan pada peternakan juga menunjukkan bahwa faktor produksi tersebut telah efisiensi secara teknis. Nilai elastisitas pakan hijauan sebesar 0,371 mengandung arti bahwa adanya penambahan pakan hijauan sebesar 1 persen akan meningkatkan produksi sapi potong sebesar 0,371 persen, ceteris paribus. Menurut kurva produksi, nilai tersebut berada pada daerah II atau daerah rasional yang mempunyai nilai elastisitas antara 0 sampai 1. Berdasarkan uji-t pada α = 0,01 pakan hijauan berpengaruh nyata terhadap produksi sapi potong sehingga adanya tambahan pakan hijauan dapat memberikan perubahan yang nyata pada produksi sapi potong, ceteris paribus.
6.3. Analisis Pendapatan Usaha Penggemukan Sapi Potong PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung Analisis pendapatan usaha pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, dilakukan untuk mengetahui tingkat pendapatan yang diterima perusahaan. Pendapatan usaha penggemukan sapi potong diperoleh dari selisih antara total penerimaan dengan total biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Apabila selisih tersebut bernilai positif, hal itu berarti bahwa usaha penggemukan sapi potong memperoleh keuntungan. Namun apabila selisihnya negatif, maka usaha dikatakan menderita kerugian. Biaya dan penerimaan pada perusahaan juga terkait dengan koefisien teknis dari masing-masing tipe sex sapi. Misalnya rataan bobot badan awal sapi untuk perhitungan biaya pembelian bakalan dan rataan bobot badan akhir untuk perhitungan penerimaan. Koefisien teknis dari masing-masing tipe sex sapi dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Koefisien Teknis Sapi Bulls, Steers, dan Heifers pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, Selama Satu Periode Pemeliharaan, Tahun 2010 Uraian Bulls Steers Heifers Rataan bobot awal (kg) 288,043 293,8 287,081 Rataan konsumsi pakan konsentrat (kg/periode) 709,095 692,963 693,830 Rataan konsumsi pakan hijauan (kg/periode) 397,564 392,880 391,822 Rataan bobot akhir (kg) 404,166 401,667 388,103 Pertambahan bobot badan (kg/hari) 1,42 1,35 1,23 Sumber : Data Primer, diolah (2010)
6.3.1. Biaya Usaha Penggemukan Sapi Potong PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung Biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk melakukan produksi terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya-biaya tersebut dihitung dalam periode satu masa pemeliharaan pada peternakan. Total biaya tetap dan biaya variabel pada perusahaan masing-masing adalah Rp 405.675.000 dan Rp 10.226.962.614.
Berdasarkan nilai tersebut, biaya tetap yang dikeluarkan hanya sebesar 3,815 persen dari keseluruhan biaya total, sedangkan biaya variabel yang dikeluarkan sebesar 96,185 persen. Biaya tetap merupakan biaya yang harus tetap dibayarkan berapapun jumlah produksi yang dihasilkan dan tidak terkait langsung dengan ternak. Dalam biaya tetap ini terdapat juga biaya penyusutan yang berasal dari investasi awal usaha yang mengalami penyusutan nilai seiring dengan penggunaannya selama produksi dilakukan. Nilai penyusutan dihitung menggunakan metode garis lurus, yaitu nilai awal investasi dikurangi nilai sisa, kemudian dibagi dengan umur ekonomis dari investasi tersebut. Nilai sisa dalam penelitian ini mengacu pada contoh yang terdapat dalam buku Gittinger (1986) yaitu sebesar 10 persen dari jumlah investasi awal untuk investasi seperti bangunan dan jembatan atau mesinmesin seperti mesin pompa atau traktor. Sedangkan nilai sisa untuk peralatan dianggap sangat kecil dan diabaikan. Biaya penyusutan dalam penelitian ini terdiri atas berbagai peralatan, bangunan, dan mesin yang memiliki umur ekonomis lebih dari satu tahun. Jenis dan biaya penyusutan tersebut dapat dilihat secara lebih rinci pada Tabel 12, 13, dan 14. Tabel 12. Biaya Penyusutan Bangunan pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, Selama Satu Periode Pemeliharaan, Tahun 2010 Jenis
Kandang Gudang hijauan Gudang konsentrat Kantor Mushola Mess Total
Jumlah (unit) 7 1
1 1 1 1
Umur Ekonomis (bulan) 120
Nilai Awal (Rp)
Nilai Sisa (Rp)
Penyusutan (Rp/periode)
(%)
10.752.000.000
1.075.200.000
241.920.000
87,120
120
32.400.000
3.240.000
729.000
0,263
180 240 240 240
145.600.000 240.000.000 50.000.000 122.400.000 11.342.400.000
14.560.000 24.000.000 5.000.000 12.240.000 1.134.240.000
2.184.000 2.700.000 562.500 1.377.000 249.472.500
0,786 0,972 0,203 0,496 89,840
Sumber : Data Primer, diolah (2010)
Total biaya penyusutan bangunan merupakan yang terbesar dari keseluruhan biaya penyusutan yang ada yaitu sebesar 89,84 persen. Berdasarkan Tabel 12 biaya penyusutan bangunan terbesar jika dilihat dari persentasenya adalah penyusutan kandang yaitu sebesar Rp 241.920.000 atau 87,12 persen dari keseluruhan biaya penyusutan. Biaya penyusutan kandang ini juga merupakan yang terbesar dari keseluruhan biaya penyusutan yang terdapat pada peternakan. Peternakan memiliki 7 buah kandang dan masing-masing kandang terdapat 8 pen berukuran 8 x 16 meter. Pembuatan kandang sendiri mengeluarkan biaya sebesar Rp 1.500.000 per m2-nya. Jadi untuk pembuatan satu buah kandang memerlukan biaya sebesar Rp 1.536.000.000. Biaya tersebut sudah termasuk pembuatan jalan dalam kandang, saluran air dan pembuangan, serta tenaga kerja pembangunnya. Biaya penyusutan bangunan terbesar kedua adalah penyusutan kantor yaitu sebesar Rp 2.700.000 dengan persentase 0,972 persen dari keseluruhan biaya penyusutan. Kantor tersebut berukuran 8 x 12 meter dengan biaya pembuatan sebesar Rp 2.500.000 per m2. Biaya pembuatan kantor lebih mahal dari biaya pembuatan gudang konsentrat yaitu sebesar Rp 1.300.000 per m2. Hal ini dikarenakan kualitas bangunan kantor dibuat lebih baik dari bangunan gudang konsentrat. Umur ekonomis kantor pun lebih lama daripada gudang konsentrat. Gudang konsentrat ini berukuran 8 x 14 meter. Biaya penyusutan gudang konsentrat sendiri menempati urutan ketiga berdasarkan biaya penyusutan bangunan yaitu sebesar Rp 2.184.000 atau 0,786 persen dari keseluruhan biaya penyusutan pada peternakan.
Tabel 13. Biaya Penyusutan Mesin pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, Selama Satu Periode Pemeliharaan, Tahun 2010 Jenis
Jumlah (unit)
Umur Ekonomis (bulan) 60 60 60 60 60 60 60
Truk 1 Pick up 1 Mini bus 1 Motor 3 Chopper besar 1 Chopper kecil 1 Jet pump 1 Total Sumber : Data Primer, diolah (2010)
Nilai Awal (Rp)
Nilai Sisa (Rp)
180.000.000 80.000.000 120.000.000 30.000.000 100.000.000 5.000.000 7.000.000 522.000.000
18.000.000 8.000.000 12.000.000 3.000.000 10.000.000 500.000 700.000 52.200.000
Penyusutan (Rp/periode) 8.100.000 3.600.000 5.400.000 1.350.000 4.500.000 225.000 315.000 23.490.000
(%)
2,917 1,296 1,945 0,486 1,621 0,081 0,113 8,459
Biaya penyusutan mesin terbesar berdasarkan tabel di atas adalah penyusutan truk. Truk pada peternakan digunakan untuk mengangkut hijauan serta untuk transportasi ternak. Besarnya biaya penyusutan truk ini adalah Rp 8.100.000 atau sebesar 2,917 persen dari keseluruhan biaya penyusutan. Biaya penyusutan mesin terbesar kedua adalah penyusutan mini bus yaitu sebesar 1,945 persen dari keseluruhan biaya penyusutan atau tepatnya sebesar Rp 5.400.000. Mini bus ini digunakan untuk mobilitas bagi keperluan operasional perusahaan seperti mengurus surat-surat, dan sebagainya. Biaya penyusutan mesin terbesar ketiga adalah mesin chopper besar. Mesin chopper yang digunakan untuk mencacah hijauan ini bentuk dan ukurannya hampir seperti mobil pick-up. Mesinnya menggunakan mesin mobil, cara menyalakan dan bahan bakarnya pun sama dengan mobil. Oleh karena itu harganya juga tidak jauh beda dengan harga mobil pada umumnya. Biaya penyusutan mesin chopper besar ini adalah sebesar Rp 4.500.000 atau 1,621 persen dari keseluruhan biaya penyusutan.
Tabel 14. Biaya Penyusutan Peralatan pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, Selama Satu Periode Pemeliharaan, Tahun 2010 Jenis
Jumlah (unit)
Umur Ekonomis (bulan) 60 60 60 60 60 60 60 60
Timbangan sapi 2 Tangki air 4 Komputer 4 TV 1 Meja kursi 5 Sofa 2 Air cooler 1 Audio 1 Total Sumber : Data Primer, diolah (2010)
Nilai Awal (Rp) 44.000.000 20.000.000 18.000.000 2.000.000 1.500.000 6.000.000 1.500.000 1.500.000 94.500.000
Nilai Sisa (Rp) 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Penyusutan (Rp/periode) 2.200.000 1.000.000 900.000 100.000 75.000 300.000 75.000 75.000 4.725.000
(%)
0,792 0,360 0,324 0,036 0,027 0,108 0,027 0,027 1,701
Biaya penyusutan peralatan merupakan yang terkecil bila dibandingkan dengan penyusutan bangunan dan kendaraan, yaitu hanya sebesar 1,701 persen dari total biaya penyusutan yang ada. Biaya penyusutan peralatan terbesar adalah timbangan sapi yaitu sebesar Rp 2.200.000 dengan persentase 0,792 persen dari keseluruhan biaya penyusutan. Penyusutan peralatan terbesar selanjutnya adalah tangki air yang jumlah penyusutannya sebesar Rp 1.000.000 atau 0,36 persen dari keseluruhan biaya penyusutan. Kemudian diurutan ketiga adalah penyusutan komputer dengan biaya penyusutan sebesar Rp 900.000 atau 0,324 persen dari keseluruhan biaya penyusutan. Total biaya penyusutan pada peternakan adalah sebesar Rp 277.687.500. Dalam keseluruhan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk berproduksi, biaya tetap memiliki persentase yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan persentase biaya variabel yaitu hanya sebesar 3,815 persen. Biaya tetap terbesar yang harus dikeluarkan perusahaan adalah biaya penyusutan yaitu sebesar Rp 277.687.500 per periode pemeliharaannya atau jika dilihat berdasarkan persentase dari biaya total adalah sebesar 2,612 persen.
Biaya tetap terbesar selanjutnya adalah gaji karyawan tetap sebesar Rp 72.000.000 dan listrik sebesar Rp 13.500.000. Persentase masing-masing biaya tersebut adalah 0,677 dan 0,127 dari total biaya. Biaya tenaga kerja tersebut sudah termasuk
tunjangan
kesehatan.
Untuk
konsumsi
karyawan,
perusahaan
menyediakan makanan yang dipesan dari catering dengan biaya Rp 100.000 per harinya. Komponen biaya tetap secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Biaya Tetap pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, Selama Satu Periode Pemeliharaan, Tahun 2010 Jenis
Satuan
Gaji TK tetap Rp/bln Catering kantor Rp/hr Alat tulis kantor Rp/bln Listrik Rp/bln Telepon Rp/bln Internet Rp/bln Pajak Bumi Bangunan Rp/thn BBM operasional Rp/bln Lingkungan Rp/bln Dinas Rp/bln Pemeliharaan bangunan Rp/bln Penyusutan Rp/periode Pajak kendaraan Rp/periode Total Sumber : Data Primer, diolah (2010)
Jumlah (unit)
Jumlah (periode)
8 1 1 1 1 1
24 90 3 3 3 3
1 1 1 1 1 1 1
Biaya Satuan 3.000.000 100.000 700.000 4.500.000 1.500.000 300.000
Total Biaya Tetap (periode) 72.000.000 9.000.000 2.100.000 13.500.000 4.500.000 900.000
(%)
0,677 0,085 0,020 0,127 0,042 0,009
0,25 3 3 3
1.800.000 3.000.000 1.500.000 2.000.000
450.000 9.000.000 4.500.000 6.000.000
0,004 0,085 0,042 0,056
3 1 1
1.500.000 277.687.500 1.537.500 299.125.000
4.500.000 277.687.500 1.537.500 405.675.000
0,042 2,612 0,014 3,815
Bahan bakar minyak diatas digunakan sebagai bahan bakar untuk keperluan transportasi operasional kantor seperti mengurus surat-surat perizinan, keperluan ke bank, keperluan ke pelabuhan, dan sebagainya. Biaya yang dikeluarkan untuk BBM operasional ini sebesar Rp 3.000.000 per bulannya atau sebesar 0,085 dari keseluruhan biaya. Biaya lingkungan yang dimaksud adalah biaya yang dikeluarkan secara rutin oleh perusahaan untuk instansi sekitar lingkungan peternakan seperti polsek, rukun tetangga, dan lain-lain. Sedangkan biaya dinas adalah biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk instansi peternakan seperti dinas peternakan dan
dinas kesehatan hewan yang melakukan kunjungan dan monitoring ke lokasi peternakan. Dalam satu bulan, dinas-dinas tersebut melakukan kunjungan dan monitoring 1 sampai 3 kali. Perusahaan mengeluarkan biaya sebesar Rp 1.500.000 dan Rp 2.000.000 per bulannya untuk biaya lingkungan dan dinas tersebut atau sebesar 0,042 dan 0,056 persen dari keseluruhan biaya. Biaya pemeliharaan bangunan dikeluarkan perusahaan untuk memperbaiki atau mengganti apabila ada kerusakan pada bangunan di peternakan seperti adanya
kebocoran
pada
atap
kandang,
dan
sebagainya.
Perusahaan
menganggarkan biaya pemeliharaan bangunan sebesar Rp 1.500.000 per bulannya atau sebesar 0,042 persen dari total biaya yang dikeluarkan. Pajak kendaraan mencakup pajak untuk keseluruhan kendaraan yang dimiliki perusahaan yaitu truk, pick-up, mini bus, dan motor yang sudah dikonversikan ke dalam satu periode pemeliharaan. Pajak kendaraan tersebut sebesar Rp 1.537.500 atau 0,015 persen dari keseluruhan biaya yang dikeluarkan perusahaan. Komponen biaya terakhir dan juga merupakan biaya terbesar yang dikeluarkan perusahaan dalam produksi adalah biaya variabel yaitu sebesar 96,185 persen dari keseluruhan biaya. Biaya variabel terbesar adalah pembelian sapi bakalan sebesar Rp 8.506.092.960 atau mencapai 80 persen dari total biaya yang dikeluarkan perusahaan. Biaya yang sangat besar ini dikarenakan sapi bakalan merupakan input utama dari produksi. Komponen biaya variabel secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Biaya Variabel pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, Selama Satu Periode Pemeliharaan, Tahun 2010 Jenis
Satuan
Bakalan Bulls Rp/kg/ekor Bakalan Steers Rp/kg/ekor Bakalan Heifers Rp/kg/ekor Biaya bakalan Pakan konsentrat Rp/kg/ekor Pakan hijauan Rp/kg/ekor Transport pakan Rp/ekor Biaya pakan Elektrolit Rp/ekor/hr Vitamin Rp/ekor/hr Obat cacing Rp/ekor Starbio Rp/ekor/hr Urea Rp/ekor/hr Biaya obat Gaji TK harian Rp/mggu Perlengkapan Rp/bln Transport ternak Rp/kg/ekor Biaya teknis Total Sumber : Data Primer, diolah (2010)
Jumla h (unit) 703 224 407
Jumlah diberikan
Biaya Satuan
288,04 293,8 287,08
22.000 22.500 22.000
1334 1334 1334
698,981 393,905 1
1.500 250 2.000
1334 1334 1334 1334 1334
41,25 4 1 82,5 82,5
26,667 1.500 3.437,5 120 16,8
10 1 1334
120 3 398,848
300.000 1.000.000 225,65 75.350,967
Total Biaya Variabel (periode) 4.454.826.640 1.480.752.000 2.570.514.320 8.506.092.960 1.398.661.557 131.367.480,3 2.668.000 1.532.697.037 1.467.400 8.004.000 4.585.625 13.206.600 1.848.924 29.112.549 36.000.000 3.000.000 120.060.068,3 159.060.068,3 10.067.902.546
(%)
80,000
14,415
0,274
1,496 96,185
Biaya variabel terbesar kedua adalah biaya pembelian pakan sebesar 14,415 persen dari total biaya. Biaya yang dikeluarkan untuk pakan ini sebesar Rp 1.532.697.037 per periode pemeliharaannya. Pakan juga merupakan input penting dalam kegiatan usaha penggemukan sapi potong. Biaya variabel terbesar selanjutnya adalah biaya teknis yang turut menunjang kegiatan usaha dan berkaitan langsung dengan ternak. Biaya teknis disini meliputi gaji tenaga kerja harian, biaya perlengkapan, dan transportasi ternak ke tempat pembeli. Biaya perlengkapan mencakup alat-alat yang digunakan untuk keperluan pada peternakan yang memiliki umur ekonomis kurang dari satu tahun. Perlengkapan tersebut diantaranya terdiri dari sepatu boot, sikat, sapu lidi, lap, sekop, sabit, ember, perlengkapan kesehatan seperti desinfektan, dan sebagainya. Perusahaan menganggarkan biaya perlengkapan sebesar Rp 1.000.000
setiap bulannya. Biaya teknis ini sebesar Rp 159.060.068,3 atau sebesar 1,496 persen dari total biaya. Biaya variabel terakhir adalah biaya pembelian obat-obatan yang mencakup vitamin, elektrolit, obat cacing, dan pakan penguat untuk sapi. Biaya obat-obatan sebesar Rp 29.112.549 per periode pemeliharaan atau sebesar 0,274 persen dari total biaya. Biaya obat terbesar dikeluarkan untuk pembelian pakan penguat berupa starbio. Starbio ini digunakan bersama-sama dengan urea sebagai bahan fermentasi jerami untuk meningkatkan daya cerna sapi. Biaya starbio sebesar Rp 120 per ekor per harinya. Masa pemeliharaan berkisar antara 75 - 90 hari sehingga rata-rata masa pemeliharaan adalah 82,5 hari. Total keseluruhan biaya yang dikeluarkan perusahaan dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Total Biaya pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, Selama Satu Periode Pemeliharaan, Tahun 2010 Komponen Biaya Jumlah Persentase Biaya Tetap 405.675.000 3,815 Biaya Variabel 10.226.962.614 96,185 Total 10.632.637.614 100 Sumber : Data Primer, diolah (2010)
6.3.2. Penerimaan Usaha Penggemukan Sapi Potong PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung Penerimaan perusahaan meliputi penjualan dari sapi potong yang telah melalui proses penggemukan. Total penerimaan PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, selama satu periode pemeliharaan adalah Rp 12.582.671.750. Penerimaan tersebut dibedakan berdasarkan penjualan dari masing-masing tipe sex sapi. Adanya pembedaan dikarenakan harga jual per kilogram bobot badan dari masing-masing tipe sex sapi juga berbeda-beda. Komponen penerimaan perusahaan dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Total Penerimaan pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, Selama Satu Periode Pemeliharaan, Tahun 2010 Komponen Jumlah Bobot Harga Satuan Total (%) Penerimaan (ekor) (kg/ekor) (Rp/kg) Penerimaan (Rp/periode) Bulls 703 404,92 24000 6831810240 54,296 Steers 224 403,52 23500 2124129280 16,881 Heifers 407 387,43 23000 3626732230 28,823 Total 1334 12582671750 100 Sumber : Data Primer, diolah (2010)
Penjualan sapi potong pada satu periode pemeliharaan selama penelitian dilakukan di PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, sebanyak 1334 ekor sapi yang terdiri atas 703 ekor bulls, 224 ekor steers, dan 407 heifers. Sapisapi tersebut dibedakan karena harga beli dan harga jual per kilogram bobot badan dari masing-masing tipe sex sapi berbeda-beda. Penerimaan terbesar berasal dari penjualan sapi bulls yaitu sebesar Rp 6.831.810.240 atau 54,296 persen dari total penerimaan. Besarnya penerimaan dari sapi bulls tersebut karena jumlah sapi bulls yang dijual juga banyak. Sapi bulls menjadi favorit peternakan karena selain harga jualnya yang tinggi, ADG dari sapi bulls juga yang paling tinggi dibanding sapi tipe lain. 6.3.3. Pendapatan dan R/C ratio Usaha Penggemukan Sapi Potong PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pendapatan diperoleh dari selisih antara total penerimaan dan total biaya. Total pendapatan PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, selama satu periode pemeliharaan sebesar Rp 1.950.034.136. Pendapatan tersebut bernilai positif sehingga dapat diartikan juga bahwa selama satu periode pemeliharaan, perusahaan memperoleh keuntungan sebesar Rp 1.950.034.136. Penjelasan tersebut dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Pendapatan dan R/C ratio pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, Selama Satu Periode Pemeliharaan, Tahun 2010 Uraian Jumlah Total Penerimaan 12.582.671.750 Total Biaya 10.632.637.614 Pendapatan 1.950.034.136 R/C ratio 1,183 Sumber : Data Primer, diolah (2010)
Nilai rasio penerimaan dan biaya pada PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, adalah 1,183. Rasio penerimaan dan biaya atau R/C ratio ini digunakan untuk mengukur efisiensi suatu usaha terhadap satu unit input yang digunakan. Nilai R/C ratio sebesar 1,183 dapat diartikan bahwa untuk setiap 1 rupiah yang dikeluarkan perusahaan untuk kegiatan produksinya, perusahaan akan menghasilkan penerimaan sebesar 1,183 rupiah. Penerimaan tersebut jumlahnya lebih besar dari jumlah biaya yang dikeluarkan perusahaan, namun perbedaannya tidak terlalu besar. Hal ini dapat terjadi karena harga pembelian sapi bakalan dan harga jual sapi potongnya tidak terlalu jauh. Padahal seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa biaya pembelian sapi bakalan merupakan biaya terbesar yang dikeluarkan oleh perusahaan. Perusahaan juga belum mengelola limbah kotoran sapi yang dijadikan pupuk organik sebagai sumber penerimaan. Disamping itu, pada kondisi saat ini yaitu adanya penerapan kegiatan usaha baru pada perusahaan, pendapatan perusahaan masih dapat diperbesar apabila pemakaian faktor produksi juga ditingkatkan. Meskipun demikian, berdasarkan keuntungan yang diperoleh perusahaan dan nilai R/C ratio yang lebih besar dari 1, maka dapat dikatakan bahwa PT Andini Persada Sejahtera, Cikalong Bandung, menguntungkan untuk dijalankan.
Perusahaan memiliki cukup modal untuk tetap menjalankan dan bahkan mengembangkan usahanya. 6.4. Analisis Keberlanjutan Usaha Penggemukan Sapi Potong PT Andini Persada Sejahtera Keberhasilan usaha secara finansial merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai setiap perusahaan. Pengusaha yang rasional secara ekonomi pada dasarnya pasti akan menanamkan modal pada usaha yang dapat memberikan keuntungan tertinggi baginya. Kelayakan finansial ini juga terkait dengan bagaimana keberlanjutan usaha dimasa mendatang. Keberlanjutan usaha merupakan upaya perusahaan untuk memenuhi kebutuhan produksi dengan memanfaatkan segala kemampuan, pengetahuan, akses, serta modal yang dimiliki, serta melakukan kerjasama dengan pihak lain, berinovasi, bahkan berkompetisi agar dapat bertahan dalam berbagai kondisi dan perubahan. Namun disamping keberhasilan secara finansial, berbagai upaya lain juga harus dilakukan perusahaan untuk tetap mempertahankan keberlanjutan usahanya seperti upaya-upaya yang berkaitan dengan bahan baku produksi yaitu penyediaan sapi bakalan dan pakan, serta menciptakan lingkungan usaha yang baik dan sehat yaitu dengan penanganan limbah ternak. 6.4.1. Penyediaan Sapi Bakalan Pada dasarnya bagaimana penyediaan sapi bakalan dan pakan dimasa yang akan datang tidak terlepas dari bagaimana penyediaan bahan baku produksi tersebut dimasa lalu sampai saat ini. Apa saja kendala atau kesulitan berarti yang dialami perusahaan dalam penyediaan bahan baku tersebut sejauh ini dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan untuk perkiraan penyediaan sapi bakalan dan pakan kedepannya.
Sapi bakalan pada PT Andini Persada Sejahtera mayoritas merupakan sapi impor yang didatangkan dari Fremantle, Coral, Blum, Darwin, dan Brisbane di Australia. Sedangkan sapi lokal didatangkan dari Bali dan Nusa Tenggara dengan proporsi yang sedikit jumlahnya. Berdasarkan pengalaman perusahaan dalam penyediaan sapi bakalan selama ini tidak pernah mengalami kendala yang berarti. Perusahaan juga telah memperkirakan dalam waktu mendatang perusahaan akan tetap bisa melakukan impor sapi dengan baik. Sejauh ini letak kesinambungan usaha penggemukan sapi potong PT Andini Persada Sejahtera bertumpu pada kebijakan pemerintah dalam hal regulasi kuota izin masuk sapi bakalan. Saat ini regulasi tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 07/Permentan/OT.140/1/2008 tentang syarat dan tata cara pemasukan dan pengeluaran benih, bibit ternak, dan ternak potong. Fokus dari peraturan tersebut adalah mengontrol masuknya sapi bakalan ke dalam negeri untuk menjaga kelangsungan
pengembangan
populasi
ternak
dalam
negeri,
mencegah
kemungkinan timbul dan menyebarnya penyakit hewan, serta melindungi konsumen dari benih, bibit ternak, dan ternak potong yang tidak memenuhi persyaratan teknis. Permentan ini menggantikan peraturan sebelumnya yaitu SK Menteri Pertanian No. 750/Kpts/Um/10/1982 tentang syarat-syarat pemasukan bibit ternak dari luar negeri yang bertujuan untuk meningkatkan produksi, populasi dan mutu ternak serta meningkatkan pendapatan peternak. Kebijakan ini sebagai upaya pemerintah untuk mendorong pengembangan peternakan di Indonesia agar dapat
meningkatkan produksi, populasi dan mutu ternak sehingga dapat meningkatkan pendapatan peternak. Tentunya melalui peraturan yang baru pemasukan ternak potong menjadi lebih selektif dan ketat. Masuknya sapi bakalan impor juga dibatasi maksimal hanya yang berbobot 350 kg/ekor. Padahal bobot ideal siap jual untuk sapi impor adalah 360 kg/ekor sehingga sapi-sapi tersebut harus melalui proses pemeliharaan terlebih dahulu. Namun demikian perusahaan masih dapat mengelola pemasukan sapi bakalan tersebut dengan baik tanpa mengurangi kuantitas dari sapi potong yang mampu dipelihara perusahaan. Dalam hal ketersediaan sapi bakalan dari negara asalnya, sejauh ini hal tersebut juga tidak pernah menjadi kendala dalam penyediaan sapi bakalan pada perusahaan. Dari 4 musim yang ada di Australia, pengaruh pada sapi bakalan adalah hanya pada harga jual dan belinya saja, sehingga prospek perusahaan kedepan dalam penyediaan sapi bakalan akan terjamin. Sebagai tambahan informasi, di Australia jumlah penduduk ± 22 juta dan jumlah sapinya ± 200 juta, sedangkan di Indonesia jumlah penduduk ± 230 juta dan jumlah sapi hanya ± 10 juta. Tentunya dengan jumlah sapi ± 10 juta tidak mampu memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri untuk ± 230 juta penduduk. Berdasarkan informasi tersebut, maka ketersediaan sapi bakalan impor dimasa mendatang tidak perlu dikhawatirkan. Sumber utama penyediaan sapi bakalan lokal tergantung pada usaha pembibitan di dalam negeri yang umumnya masih diusahakan oleh peternakan rakyat. Hadi dan Ilham (2002) memaparkan beberapa masalah dalam pengembangan usaha pembibitan adalah :
a) Pada daerah sentra produksi pertanian usaha pembibitan menurun karena berkurangnya permintaan tenaga kerja ternak untuk mengolah tanah sebagai akibat dari makin tingginya intensitas tanam terutama padi. b) Upaya inseminasi buatan (IB) masih kekurangan tenaga inseminator, semen bangsa sapi unggul dan fasilitas IB. c) Skala usaha kecil karena tenaga kerja keluarga terbatas. d) Areal padang penggembalaan makin sempit karena terjadi konversi ke penggunaan lain. e) Adanya penyakit reproduksi pada sistem pembibitan ekstensif. f) Unit Pelaksana Teknis (UPT) terkait belum mampu memproduksi dan mendistribusikan ternak dalam jumlah yang memadai, serta kurang responsif terhadap meningkatnya minat peternak akan semen sapi unggul jenis tertentu. g) Pihak swasta belum ada yang tertarik pada usaha pembibitan karena kurang menguntungkan dibanding usaha penggemukan. Mengenai pemeliharaan sapi lokal, sedikitnya jumlah sapi lokal yang dipelihara perusahaan disebabkan oleh beberapa hal. Selain karena jumlah ketersediaan sapi lokal sendiri sangat sedikit seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hampir semua perusahaan penggemukan sapi potong juga telah melakukan kajian secara ekonomis bahwa ADG sapi lokal maksimal hanya mencapai 0,6 kilogram/hari sedangkan untuk bakalan impor bisa mencapai 1,6 kilogram/hari. Dari sisi harga bakalan, harga sapi bakalan lokal juga lebih mahal dari sapi bakalan impor yaitu mencapai Rp 28.500 /kg dan sapi bakalan impor hanya Rp 22.500 /kg.
Disamping itu, Hadi dan Ilham (2002) menambahkan untuk memperoleh sapi bakalan dalam jumlah besar cara impor lebih cepat dibanding pengadaan dari dalam negeri, biaya transportasi dari Australia (Darwin) juga lebih murah daripada dari Nusa Tenggara (Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat). Dalam hal sapi yang dijual oleh perusahaan, jumlah sapi impor mencapai 99 persen dan sisa 1 persen untuk sapi lokal karena walaupun sapi lokal sendiri diminati masyarakat, namun pemeliharaan sapi lokal dapat menyebabkan kerugian. Strategi perusahaan sendiri dalam pengembangan usaha penggemukan sapi potong adalah terus meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia (SDM) dengan terus mengkaji dan mengadopsi teknologi penggemukan sapi potong dari pemerintah maupun swasta atau perusahaan sejenis, meningkatkan kapasitas dan kenyamanan sapi di kandang dalam satu kesatuan dengan kualitas pakannya, serta menghasilkan produk sapi potong yang diminati oleh pasar. Dalam upaya keberlanjutan penyediaan sapi bakalan ini perusahaan akan terus menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan pihak eksportir. 6.4.2. Penyediaan Bahan Baku Pakan Pakan merupakan salah satu unsur terpenting dalam usaha pemeliharaan ternak. Keberhasilan dan kegagalan usaha ternak juga dapat ditentukan oleh pakan yang diberikan. Agustini (2010) menyatakan produktivitas ternak 70 persen dipengaruhi faktor lingkungan dan 30 persen dipengaruhi faktor genetik. Faktor lingkungan pakan memiliki pengaruh paling besar sekitar 60 persen. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi, namun apabila
pemberian pakan tidak memenuhi persyaratan potensi genetik yang dimiliki, maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai. Beberapa informasi yang perlu diketahui dalam memilih bahan pakan adalah (Santosa, 1995) : 1. Bahan pakan harus mudah diperoleh dan sedapat mungkin terdapat di daerah sekitar sehingga tidak menimbulkan masalah biaya transportasi dan kesulitan mencarinya. 2. Bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dan dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan. 3. Bahan pakan harus mempunyai harga yang layak dan sedapat mungkin mempunyai fluktuasi harga yang tidak besar. 4. Bahan pakan harus diusahakan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia yang sangat utama. Seandainya harus menggunakan bahan pakan yang demikian, usahakan agar bahan pakan tersebut hanya satu macam saja. 5. Bahan pakan harus dapat diganti oleh bahan pakan lain yang kandungan zat-zat makanannya hampir setara. 6. Bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau tidak menampakkan perbedaan warna, bau, atau rasa dari keadaan normalnya. Bahan baku pakan ternak pada dasarnya berasal dari limbah atau hasil ikutan pertanian, perkebunan, dan industri kecil sehingga penggunaannya tidak bersaing dengan kebutuhan pangan manusia. Peternakan PT Andini Persada Sejahtera juga menggunakan limbah dan hasil ikutan tersebut dalam mengolah pakan konsentratnya.
Bahan baku pakan konsentrat yang digunakan adalah bungkil sawit, bungkil biji kapuk, ampas kopi, ampas cokelat, bungkil kedelai, ampas tahu, onggok, katul, pollard, dan tumpi jagung dimana seluruh bahan-bahan tersebut memang biasa digunakan untuk pakan ternak dan tidak digunakan sebagai pangan manusia. Hijauan kering berupa jerami yang digunakan juga merupakan limbah pertanian. Sejauh ini, kendala dalam kuantitas penyediaan bahan baku pakan konsentrat dan hijauan belum pernah terjadi. Masalah yang biasanya terjadi hanyalah kenaikan harga-harga bahan baku karena biaya transportasi. Perubahan cuaca ekstrim yang terjadi serta hal-hal lain yang dapat menyebabkan kesulitan dalam penyediaan bahan baku pakan tersebut membuat perusahaan harus mendatangkan bahan pakan dari tempat yang lebih jauh sehingga biaya transportasi pun meningkat. Namun hal itu tidak banyak mempengaruhi kontinuitas produksi pakan dan kebutuhan pakan ternak masih tercukupi dengan baik. Untuk memenuhi kebutuhan pakan konsentrat, proses produksi pakan konsentrat yang digunakan peternakan dilakukan oleh management group sendiri, hal tersebut merupakan salah satu strategi perusahaan dalam pemenuhan kebutuhan pakan konsentrat jangka panjang. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan pakan hijauan, peternakan memiliki koordinator hijauan sendiri yang mengetahui wilayah-wilayah disekitar peternakan atau wilayah lain dimana terdapat hijauan yang dapat digunakan sebagai pakan ternak bahkan ketika musim kemarau sedang berlangsung.
Perusahaan juga telah menyiapkan strategi lain untuk pengembangan pengelolaan pakan ternak dimasa mendatang diantaranya adalah telah mempersiapkan dan menginventarisir bahan baku pokok dan bahan baku pengganti dalam kebutuhan jangka panjang, telah mempersiapkan lahan milik sendiri untuk mencukupi kebutuhan hijauan, serta secara substitusi dan selektif melakukan kemitraan dengan petani di daerah sentra-sentra tanaman padi. Hingga saat ini pemenuhan kebutuhan pakan ternak baik konsentrat maupun hijauan dapat terpenuhi dengan baik. Melalui berbagai upaya dan strategi yang dilakukan perusahaan, kedepannya pemenuhan kebutuhan pakan ternak tidak akan mengalami masalah yang berarti. 6.4.3. Pengelolaan Limbah Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam memulai suatu usaha peternakan adalah aspek pelestarian lingkungan, terutama mengenai pengelolaan limbah. Limbah peternakan dapat menimbulkan masalah bagi pelestarian lingkungan bila tidak ditangani dengan benar, terlebih jika jumlahnya sangat banyak. Hal ini dikarenakan limbah peternakan merupakan sumber pencemaran paling dominan pada peternakan. Tindakan utama yang dilakukan perusahaan untuk menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan, serta mengurangi dampak yang ditimbulkan dari limbah yang dihasilkan oleh ternak adalah dengan menjaga kebersihan kandang secara intensif. Limbah yang dihasilkan oleh ternak sebenarnya dapat memberikan keuntungan tambahan bagi peternak apabila dikelola dengan baik. Tujuan dari pengelolaan limbah sendiri, selain dapat meningkatkan kesehatan ternak sehingga lebih efisien dalam mengubah pakan dan menambah bobot badan, adalah untuk
mencegah polusi lingkungan baik polusi udara, air, maupun tanah, serta dapat menggunakan nutrisi yang tertinggal dalam limbah kotoran dengan mengolahnya menjadi bahan pakan. Beberapa alternatif pemanfaatan limbah ternak sapi adalah dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak, sumber pupuk, dan substrat produksi biogas. Penanganan limbah pada PT Andini Persada Sejahtera sendiri, baik limbah padat maupun limbah cair, tidak menggunakan cara khusus atau teknologi tertentu. Limbah cair disalurkan melalui drainase menuju selokan pengaliran. Lantai kandang dibuat agak miring untuk memudahkan pengaliran. Sedangkan untuk limbah padat, dilakukan pengerukan (pengumpulan) kotoran setiap hari. Kotoran tersebut kemudian dijemur untuk dijadikan pupuk organik. Walaupun tidak dilakukan perlakuan khusus pada limbah peternakan, namun PT Andini Persada Sejahtera tetap memprioritaskan kepentingan lingkungan terlebih masyarakat sekitar. Perusahaan menjaga kesinambungan dengan lingkungan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Bandung, Nomor 660.1/Kep.214-BPLH/2010 yang telah memberikan persetujuan atas dokumen pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas limbah dari peternakan sapi potong. Beberapa hal yang dipantau dalam penanganan limbah cair dan padat atas operasional peternakan sapi potong adalah penurunan kualitas udara, peningkatan intensitas kebisingan, penurunan kualitas air tanah dan air permukaan, penurunan kualitas air bersih yang digunakan, peningkatan air larian, peningkatan volume lalu lintas, timbulan limbah padat ternak dan sampah domestik, penurunan kualitas kesehatan ternak, kerusakan saluran drainase, kerusakan prasarana
persampahan (TPSS), peningkatan keanekaragaman flora darat, serta persepsi masyarakat. Melalui SK tersebut sekaligus menjelaskan bahwa limbah peternakan pada PT Andini Persada Sejahtera ditangani dengan baik sehingga tidak menimbulkan masalah bagi lingkungan. Meskipun demikian, pastinya ada kekhawatiran mengenai pertambahan penduduk di sekitar lokasi peternakan yang akan semakin padat. Pada awal pendirian usaha saja, usaha ini berdiri di daerah lereng gunung tanpa ada pemukiman atau bangunan lain disekitarnya. Namun seiring berjalannya waktu mulai ada masyarakat yang membangun rumah di sekitar lokasi peternakan, bahkan saat ini berdiri pabrik konveksi di depan lokasi peternakan. Pertumbuhan penduduk itu sendiri tidak dapat dihindari, terlebih jika pada wilayah tersebut terdapat lahan yang subur untuk melakukan usaha pertanian. Dimasa
mendatang,
perusahaan
sendiri
belum
berencana
untuk
menggunakan teknologi tertentu seperti biogas untuk mengelola limbah ternaknya. Perusahaan telah mencoba melakukan kajian ekonomis mengenai pemanfaatan biogas ini, namun bila dikaitkan antara biaya investasi dengan jumlah ternak dan limbah yang dihasilkannya, secara ekonomi hasilnya belum memadai sehingga penerapan teknologi ini belum dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, perusahaan akan terus berusaha untuk tetap menjaga lingkungan serta memberikan kenyamanan bagi masyarakat sekitar lokasi peternakan. Sejauh ini belum pernah ada masyarakat yang komplain atau merasa terganggu atas pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah peternakan, terutama pencemaran udara, karena jarak antara kandang dengan lokasi pemukiman sendiri
cukup jauh yaitu 500 – 1000 meter. Berdasarkan pengalaman penulis, pada jarak ± 100 meter saja bau dari ternak dan limbahnya tidak tercium. Bentuk kerjasama perusahaan dengan masyarakat dalam rangka menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar diantaranya adalah dengan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar lokasi peternakan. Pupuk yang dihasilkan peternakan juga akan dibagikan secara cuma-cuma kepada lingkungan sekitar dengan radius 500 – 1000 meter. Jika ada sisa produk pupuk setelah dibagikan kepada masyarakat, baru pupuk akan dijual secara komersil. Disamping itu perusahaan juga rutin membayar retribusi yang dapat digunakan masyarakat untuk pembangunan desa.