VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG KAWASAN KONSERVASI LAUT KEPULAUAN SERIBU
INTAN ADHI PERDANA PUTRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Valuasi Ekonomi Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Seribu adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2009
Intan Adhi Perdana Putri NRP H352060041
ABSTRACT
INTAN ADHI PERDANA PUTRI. Economic Valuation of Coral Reefs in the Seribu Islands Marine Protected Area. Under direction of AKHMAD FAUZI and ZUZY ANNA. Seribu Islands National Park (TNKpS) is a Marine Protected Area (MPA) which protects a number of the ecosystem such as coral reef, mangrove, seagrass and so on. Coral reefs is one of the most important ecosystems in this area which provides various benefits such as goods and services. These benefits are of high value and critical importance to the local economies in Seribu islands. These value were frequently overlooked or underappreciated by the local communities. In other words, the coral reefs ecosystem true value is still undervalued by the local communities. As a consequence the degradation and many other environmental damages were occurred. Economic valuation is an instrument that can be used to assess how much the communities appreciate goods and services from the ecosystem by giving ‘price tag’ and compared with its ecosystem true value. The main purpose of this research was to assess coral reef’s economic value which consist of use value and non use value. The use values derived from fisheries and tourism, meanwhile the non use values were derived from enviromental protection value and option value. The economic values were assessed using several approaches, namely change in productivity method, market prices, CVM, and Von Neumann-Morgenstern (option price). The results of the study showed that use value of tourism and fishery was 106.49 billion rupiah, and non-use value, included environmental protection value and option value, was 316.85 billion rupiah. Hence, the total economic value was 423.34 billion rupiah for total area 4,397.06 hectare or 96.28 million rupiah per hectare per year. However, the estimation for long-term (50 years) economic value in terms of Present Value (PV) to the local population will be much higher than the existing value. The estimated value will be of 5,162.23 billion rupiah on average or 1.18 billion rupiah per hectare. To secure these values, There are several policies can be implemented, such as increasing public awareness, rentcapture mechanism, institutional mechanism, ‘localized economic scale’ policy, and knowledge-based economic strenghtening. Keywords : economic value, coral reefs, CVM, option value, von NeumannMorgenstern.
RINGKASAN INTAN ADHI PERDANA PUTRI. Valuasi Ekonomi Terumbu Karang Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan ZUZY ANNA. Taman Nasional Kepulauan Seribu merupakan suatu kawasan konservasi laut yang melindungi beberapa ekosistem seperti terumbu karang, mangrove,padang lamun dsb. Salah satu ekosistem yang penting di kawasan ini adalah terumbu karang yang menyediakan berbagai macam manfaat seperti goods barang dan jasa yang mana memiliki nilai yang tinggi dan penting bagi masyarakat Kepulauan Seribu. Nilai yang terdapat pada ekosistem terumbu karang seringkali diabaikan dan dinilai rendah oleh masyarakat lokal. Dengan kata lain masyarakat Kepulauan Seribu masih undervalue terhadap nilai sesungguhnya yang dihasilkan ekosistem terumbu karang. Akibatnya adalah terjadinya degradasi ekosistem terumbu karang dan kerusakan lingkungan lainnya. Valuasi ekonomi merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur seberapa besar apresiasi masyarakat memberikan price tag terhadap layanan barang dan jasa dari ekosistem tersebut dibandingkan dengan nilai seutuhnya dari ekosistem tersebut. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui kondisi pemanfaatan dan persepsi masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang; 2) Mengetahui nilai pemanfaatan ekosistem terumbu karang yang berasal dari sektor perikanan dan pariwisata; 3) Mengetahui nilai non pemanfaatan ekosistem terumbu karang berupa nilai proteksi terumbu karang dan nilai pilihan (option value). Terumbu karang memberikan manfaat baik manfaat yang bersifat ekonomi maupun manfaat non ekonomi baik bagi masyarakat dan biota yang ada di dalamnya. Manfaat ini ada yang bersifat tangible (terukur) maupun intangible (tidak terukur). Manfaat yang dapat terukur biasanya digolongkan ke dalam manfaat kegunaan (use value) baik yang dapat dikonsumsi maupun tidak dikonsumsi. Sedangkan manfaat yang tidak terukur atau intangible digolongkan ke dalam manfaat non kegunaan (non use value), manfaat ini lebih ke arah pemeliharaan ekosistem terumbu karang dalam jangka panjang. Ketika pemanfaatan terumbu karang terlalu berlebihan yang bersifat destruktif dan tidak mengindahkan keberlanjutan dari ekosistem terumbu karang yang ada adalah terjadinya degradasi terumbu karang. Penurunan kualitas ekosistem terumbu karang akan menimbulkan gangguan terhadap terumbu karang itu sendiri, kerusakan yang dapat dilihat dan dirasakan secara nyata adalah kerusakan fisik terumbu karang, penurunan tutupan kawasan terumbu karang dan penurunan jumlah pengunjung, atau gangguan lain yang tidak langsung terasa akibatnya seperti pemanenan terumbu karang. Gangguan terhadap terumbu karang ini kemudian akan menyebabkan paling tidak empat hal yaitu terjadinya penurunan produktifitas perikanan (use value), penurunan kawasan perlindungan pantai (non use value, option value), penurunan nilai pariwisata (use value) dan bahkan terjadinya penurunan habitat sumber daya alam yang lain (option value). Keseluruhan dampak ini kemudian diukur dengan berbagai teknik, untuk penurunan produksi ikan karang menggunakan pendekatan Change in Productivity, penurunan kawasan perlindungan menggunakan teknik Option Price dan Contingent Valuation Method (CVM), selanjutnya nilai rekreasi yang dilihat dari jumlah wisatawan diukur menggunakan pendekatan market price, sedangkan untuk melihat nilai habitat lain dapat dilihat dengan menggunakan Contingent Valuation Method
(CVM) dimana responden akan diberi pilihan apakah sanggup membayar atau tidak agar ekosistem terumbu karang kualitasnya menjadi baik. Keempat pendekatan ini digunakan untuk menghitung Total Economic Value (TEV) dari terumbu karang. Luasan ekosistem terumbu karang yang dihitung untuk mendapatkan TEV adalah 4.397,06 hektar yang berada di zona inti I, II dan III. Hasil penelitian menunjukaan bahwa di kawasan konservasi kepulauan seribu, kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan ekosistem terumbu karang adalah perikanan dan pariwisata. Kegiatan perikanan yang berhubungan dengan terumbu karang diantaranya penangkapan ikan konsumsi dengan menggunakan alat tangkap muroami, bubu dan pancing, dan penangkapan ikan hias. Kegiatan ekonomi lainnya adalah pariwisata. Kawasan ini dengan suasana eksotis, pulaupulau kecil yang dikelilingi oleh ekosistem terumbu karang yang indah merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Wisatawan yang berkunjung ke kawasan ini berdasarkan survey biasanya melakukan kegiatan berupa diving, snorkling, memancing atau hanya berenang dan bermain di pantai. Nilai pemanfaatan yang didapatkan dari kegiatan perikanan adalah sebesar Rp. 9.252.667.729,04 yang berasal dari perikanan tangkap yaitu sebesar Rp. 7.768.088.580,93 dan penangkapan ikan hias sebesar Rp. 1.484.579.148,10. Nilai pemanfaatan yang berasal dari kegiatan pariwisata adalah sebesar Rp. 97.241.142.846,00. Nilai ini terdiri dari nilai langsung yaitu pengeluaran wisatawan selama berada di kawasan konservasi dan juga nilai tidak langsung berupa multiplier effect yang berasal dari pengeluaran untuk makanan dan gaji pegawai. Total nilai pemanfaatan yang berasal dari kegiatan perikanan dan pariwisata adalah sebesar Rp. 106.493.810.575,04,85 nilai ini 1 % dari total PAD DKI Jakarta dan nilai ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan PAD Kepulauan Seribu yang hanya 1,5 milyar, artinya pengelolaan kawasan konservasi ini bernilai (worth it) karena memberikan manfaat yang begitu besar kepada masyarakatnya. Nilai non pemanfaatan berupa nilai keberadaan terumbu karang sebagai proteksi kawasan pesisir diperoleh dari WTP masyarakat kawasan konservasi laut TNKpS. WTP individu perkapita adalah sebesar Rp. 49.044,00. Nilai proteksi terumbu karang didapatkan dengan mengagregasi nilai tersebut dengan jumlah penduduk yaitu sebesar Rp. 541.005.661,00. Analisis selanjutnya yaitu analisis WTP melalui pendekatan regresi LIMDEP dengan model LOGIT. Berdasarkan analisis tersebut variabel pendidikan dan pendapatan berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata 10 %. Selanjutnya untuk menguji hipotesis nul apakah semua variabel sosial ekonomi secara bersama-sama tidak mempengaruhi variabel keputusan membayar maka digunakan uji statistik Likelihood Ratio (LR). Nilai LR mengikuti distribusi chi square (X2), dari hasil estimasi didapatkan nilai LR sebesar 13,02, sedangkan nilai tabel X2 pada selang kepercayaan 95% adalah sebesar 0,2. Karena nilai hitung lebih besar daripada nilai kritis maka kita menolak H0, artinya semua variabel sosial ekonomi (umur, pengalaman, pendidikan, dan pendapatan) sebagai variabel penjelas secara bersama-sama mempengaruhi keputusan responden untuk membayar atau tidak yang merupakan variabel independen. Nilai non pemanfaatan berupa nilai pilihan (option value) diperoleh dengan menggunakan model von neumann-morgenstern. Metode ini memasukan unsur ketidakpastian, dan unsur ketidakpastian yang dimasukan dalam penelitian ini adalah produksi perikanan yang mengalami fluktuasi yang mempengaruhi pendapatan nelayan dalam menangkap ikan baik di dalam maupun di luar Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu sehingga akan diperoleh nilai pilihan. Nilai pilihan yang diperoleh adalah sebesar Rp.316.305.109.100,00. Nilai tersebut merupakan nilai pilihan atau opsi, apabila
kawasan TNKpS tidak ada maka nelayan yang tinggal di kawasan ini akan kehilangan produktifitas sebesar setara dengan nilai moneter yaitu Rp.316,31 milyar setiap tahunnya. Nilai ekonomi total yang berasal dari nilai pemanfaatan (perikanan dan pariwisata) dan nilai non pemanfaatan (nilai proteksi terumbu karang dan nilai pilihan) adalah sebesar Rp. 423.339.925.336,04 per tahun untuk luasan 4.397,06 hektar atau Rp. 96.277.950,57 per hektar per tahun. Sumber daya terumbu karang di kawasan konservasi laut TNKpS merupakan natural capital dimana akan memberikan konstribusi terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya. Oleh karena itu nilai ekonomi total tersebut perlu dihitung long run capitalized selama 50 tahun, karena 50 tahun merupakan waktu yang diperlukan terumbu karang untuk tumbuh akibat adanya kerusakan (peledakan) untuk bisa mengembalikan 50% dari kondisi semula dan bisa berproduksi lagi (Burke et al 2002). Perhitungan manfaat ekonomi dalam periode waktu tertentu, maka perlu digambarkan stream benefit, yaitu penjumlahan nilai rupiah masa mendatang dinilai dengan waktu kini (present value/PV) dalam kurun waktu 50 tahun. PV diperoleh dengan menggunakan interest rate sebesar 8,75% yaitu sebesar 5,19 trilyun rupiah atau 1,18 milyar per hektar. Beberapa kebijakan yang bisa diimplementasikan diantaranya adalah: pertama, meningkatkan public awareness mengenai pentingnya terumbu karang secara ekonomi dan sosial di kawasan konservasi laut TNKpS. Kedua, melakukan mekanisme rent capture untuk ‘menangkap’ nilai ekonomi yang potensial dari kawasan KKL baik melalui instrumen ekonomi seperti melalui kebijakan fiskal, user fee, entry fee maupun instrumen pengelolaan lain yang disepakati bersama masyarakat antara masyarakat lokal dengan pengelola kawasan konservasi dalam hal ini Balai TNKpS. Ketiga, untuk mengelola kawasan konservasi laut diperlukan mekanisme institusi yang disisi lain dapat mengakomodasi fungsi konservasi, namun di sisi lain masyarakat lokal dapat memperoleh manfaat ekonomi dari kawasan tersebut. Keempat, Mekanisme pengenalan atau familiarity dengan cara mengenalkan masyarakat dengan opsiopsi ekstrem yaitu jika ekosistem terumbu karang rusak melalui tayangan visual (pamflet, billboard, poster dan lain sebagainya) diharapkan akan membantu meningkatkan bid WTP masyarakat terhadap ekosistem tersebut. Kelima, kebijakan “localized economic scale” yaitu mengembangkan ekonomi lokal yang berbasis sumber daya terumbu karang perlu dilakukan. Keenam, kebijakan pengembangan ekonomi lokal yang berbasis sumber daya terumbu karang akan efektif jika bersama-sama dilakukan dengan program pengentasan kemiskinan bagi masyarakat lokal melalui penguatan kapasitas ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy) sehingga masyarakat bisa terlibat aktif dalam kegiatan non-ekstraktif yang juga mampu meningkatkan pendapatan mereka. Kata Kunci : valuasi ekonomi, terumbu karang, CVM, nilai pilihan, von NeumannMorgenstern.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penulisan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa ijin IPB
VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG KAWASAN KONSERVASI LAUT KEPULAUAN SERIBU
INTAN ADHI PERDANA PUTRI
Tesis Salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si
Judul Tesis Nama NRP
: Valuasi Ekonomi Terumbu Karang Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Seribu : Intan Adhi Perdana Putri : H352060041
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Ketua
Dr. Zuzy Anna, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 20 Mei 2009
Tanggal Pengesahan :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Valuasi Ekonomi Terumbu Karang Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Seribu”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada Program Studi Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropika, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menghaturkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada Bapak Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc dan Dr. Zuzy Anna, M.Si selaku pembimbing yang selalu memberikan arahan, bimbingan, dan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk selalu berusaha menjalankan dan menyelesaikan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor dengan sebaik-baiknya. Tidak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, terutama kepada Ir. Sahat Simanjutak, M.Sc, Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto,MS selaku Ketua Program Studi ESK-IPB Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku penguji luar komisi, Dosen dan staf program studi ESKIPB, Departemen ESL. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada orang tua tercinta Aan Setiawan dan Siti Ati Rokayah, Adiku Zhein Adhi Mahendra, serta seluruh teman-teman atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Mei 2009
Intan Adhi Perdana Putri
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 5 Desember 1981 sebagai anak sulung dari pasangan Aan Setiawan dan Siti Ati Rokayah. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara. Tahun 2000 penulis lulus dari SMA Negeri 5 Bandung dan pada tahun yang sama penulis diterima pada Program Studi Manajemen Sumber Daya Perikanan, Fakultas Pertanian UNPAD melalui UMPTN. Penulis mendapatkan gelar Sarjana Perikanan pada tahun 2005. Pada tahun 2006, penulis diterima di Program Studi Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropika pada Program Pascasarjana IPB.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Valuasi Ekonomi Terumbu Karang Kawasan Konservasi Laut Kepulauan Seribu”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada Program Studi Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropika, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menghaturkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada Bapak Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc dan Dr. Zuzy Anna, M.Si selaku pembimbing yang selalu memberikan arahan, bimbingan, dan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk selalu berusaha menjalankan dan menyelesaikan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor dengan sebaik-baiknya. Tidak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, terutama kepada :
1. Ir. Sahat Simanjutak, M.Sc, Dosen yang penulis hormati atas segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis. 2. Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto,MS selaku Ketua Program Studi ESK-IPB serta seluruh jajaran dosen dan staf program studi ESK Departemen ESL atas bantuannya selama penulis bersekolah. 3. Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku penguji luar komisi untuk saran dan masukan untuk penyempurnaan Thesis ini. 4. Kepala Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) beserta staf atas izin,bantuan, fasilitas dan kemudahan yang diberikan ketika penulis melakukan penellitian di Kepulauan Seribu. 5. Orang tua tercinta dan yang saya hormati Aan Setiawan dan Siti Ati Rokayah serta Adiku Zhein Adhi Mahendra untuk segala doa dan kasih sayangnya. 6. Teman-teman penulis Pitri Yandri, Fazri, Kang Angki, Pak Asep, Kusumasari, Andriani, Teh Imas, Khalid, Ferry, Mba Arti, teman-teman kos wisma Riza dan Dewi Sartika atas bantuannya yang diberikan kepada penulis.
7. Teman-teman ESK 2006 untuk kebersamaan yang dibangun selama ini. Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi masyarakat dan pemerintah yang berada di Taman Nasional Kepulauan Seribu, dan juga bagi masyarakat pada umumnya.
Bogor, Mei 2009
Intan Adhi Perdana Putri
DAFTAR ISI Halaman Daftar Tabel ................................................................................................... xii Daftar Gambar ............................................................................................... xii Daftar Lampiran ............................................................................................. xiv I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 2 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................... 5 1.4 Kerangka Pemikiran ......................................................................... 6 II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 9 2.1 Ekosistem Terumbu Karang ............................................................. 9 2.2 Kawasan Konservasi Laut ................................................................ 11 2.3 Konsep Nilai Ekonomi ...................................................................... 15 2.4 Valuasi Ekonomi ............................................................................... 20 2.5 Model Valuasi Ekonomi untuk Kawasan Konservasi Laut ............... 24 2.5.1 Perubahan Produktifitas .................................................................26 2.5.2 Market Price ................................................................................... 27 2.5.3 Von Neumann – Morgenstern Utility (VNM) ................................... 27 2.5.4 Contingent Valuation Method (CVM) ............................................. 30 2.5.5 Analisis WTP Model Regresi dengan Respon Kualitatif ................ 32 III METODE PENELITIAN .......................................................................... 35 3.1 Metode Penelitian ............................................................................. 35 3.2 Jenis dan Sumber Data..................................................................... 35 3.3 Metode Pengambilan Data ............................................................... 36 3.4 Metode Analisis Data ........................................................................37 3.4.1 Valuasi Ekonomi ............................................................................ 37 3.4.2 Perubahan Produktifitas ................................................................ 37 3.4.3 Market Price .................................................................................. 39 3.4.4 Perhitungan Option Price dengan Metode Von NeumannMorgenstern................................................................................... 40 3.4.5 Willingness To Pay (WTP) .............................................................40 3.5 Pemetaan Penelitian ........................................................................ 41 3.6 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 42 IV KEADAAN UMUM WILAYAH KAWASAN KONSERVASI LAUT KEPULAUAN SERIBU …........................................................................ 44 4.1 Keadaan Umum Wilayah Studi ......................................................... 44 4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi Kawasan Konservasi Kepulauan Seribu ......................................................................... 44 4.1.2 Topografi, Iklim dan Keadaan Angin ............................................ 46 4.1.3 Oseanografi .................................................................................. 47 4.2 Kondisi Sosio – Demografi ............................................................... 48 4.3 Kegiatan Ekonomi ............................................................................ 52 4.4 Ekosistem (Habitat) …....................................................................... 54 4.4.1 Terumbu Karang ...........................................................................54 4.4.2 Padang Lamun ............................................................................. 55 4.4.3 Mangrove ......................................................................................56 V HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................57 5.1 Karakteristik Responden .................................................................. 57 5.2 Presepsi Respoden terhadap Ekosistem Terumbu Karang ............. 61 5.3 Analisis Valuasi Ekonomi Nilai Pemanfaatan .................................. 63
x
VI
5.3.1 Valuasi Perikanan yang Berasosiasi dengan Terumbu Karang ... 63 5.3.2 Valuasi Pariwisata yang Berasosiasi dengan Terumbu Karang ... 67 5.4 Analisis Valuasi Ekonomi Nilai Non Pemanfaatan ........................... 68 5.4.1 Analisis Kualitatif Willingness To Pay (WTP) ............................... 68 5.4.2 Analisis WTP melalui Limdep Model ............................................ 70 5.4.3 Analisis Nilai Pilihan (Option Value) ............................................. 72 5.4.4 Nilai Ekonomi Pemanfaatan dan Non Pemanfaatan .................... 75 5.4.5 Nilai Ekonomi Total Terumbu Karang di Kawasan TNKpS .......... 77 5.5 Implikasi Kebijakan ........................................................................... 79 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 82 6.1 Kesimpulan ....................................................................................... 82 6.2 Saran ................................................................................................ 83 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 84 LAMPIRAN ........................................................................................... 87
xi
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Halaman Barang dan Jasa Ekosistem Terumbu Karang ........................................ 11 Jenis - Jenis Nilai Ekonomi KKL .............................................................. 14 Keadaan Demografi di Kawasan TNKpS Tahun 2008 ............................ 49 Tingkat Pendidikan Formal di Kawasan TNKpS tahun 2006 ................... 49 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian di Kawasan TNKpS Tahun 2006 ................................................................................. 50 Sarana Penangkapan Ikan di Kawasan TNKpS tahun 2006 ................... 51 Jenis alat penangkapan ikan di Kawasan TNKpS tahun 2006 ................ 51 Jumlah Wisatawan di Kepulauan Seribu Tahun 1995-2006 .................... 52 Jenis dan Harga Ikan yang Tertangkap oleh Pancing ............................. 57 Jenis dan Harga Ikan yang Tertangkap oleh Bubu .................................. 58 Jenis dan Harga Ikan yang Tertangkap oleh Muroami ............................ 59 Jenis dan Harga Ikan yang Tertangkap oleh Payang .............................. 60 Nilai Pemanfaatan yang berasal dari Perikanan ...................................... 66 Hasil Regresi Willingness To Pay: Model Logit ....................................... 71 Kemungkinan Harga Pilihan .................................................................... 73 Nilai Pemanfaatan dan Non Pemanfaatan Kawasan TNKpS .................. 76 Nilai Ekonomi Terumbu Karang di berbagai Lokasi ................................. 76
xii
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Halaman Kerangka Pemikiran Penelitian................................................................. 8 Prinsip Spill Over dari KKL ……............................................................... 13 Consumer surplus dan producer surplus.................................................. 21 Tipologi Nilai Ekonomi Total (TEV) .......................................................... 23 Prinsip Manfaat Ekonomi MPA ................................................................ 24 High WTP dan Low WTP ........................................................................ 29 Teknik Pendekatan Perhitungan Nilai Ekonomi Total ….......................... 37 Pemetaan Proses Penelitian ………..................................................... 43 Jumlah Wisatawan yang Berkunjung Ke Lokasi Wisata di Kepulauan Seribu Tahun 1995-2006 ........................................................................ 53 Persepsi Responden Mengenai Terumbu Karang dibandingkan 5 tahun yang lalu ...................................................................................................62 Produktifitas Alat Tangkap Muroami ........................................................ 64 Produktifitas Alat Tangkap Pancing ......................................................... 64 Produktifitas Alat Tangkap Bubu ..............................................................65 Grafik WTP Responden ........................................................................... 69
xiii
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Halaman Peta Lokasi Penelitian ............................................................................. 89 Kuesioner Penelitian................................................................................. 90 Pandangan Masyarakat Kawasan TNKpS terhadap Sumber Daya Terumbu Karang ……………………......................................................... 94 Produktifitas Alat Tangkap ....................................................................... 96 Tabulasi Data Responden ....................................................................... 98 Deskriptif Kualitatif Responden Nelayan dan Non Nelayan ..................... 103 Analisis Logit ............................................................................................ 105 Analisis Option Price dengan menggunakan Von Neumann Morgernstern ............................................................................................106 BI Rate 1 Tahun Terakhir .........................................................................107 Present Value Terumbu Karang .............................................................. 108 Dokumentasi Penelitian ........................................................................... 110
xiv
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kawasan konservasi laut atau Marine Protected Area (MPA) merupakan
salah satu bentuk pengelolaan yang menjadi perhatian dunia, karena MPA dipercaya
dapat
menyelesaikan
masalah
perikanan,
terutama
masalah
berkurangnya stok ikan karena overfishing dan terdegradasinya lingkungan tempat ikan berkembang biak. MPA didesain untuk melindungi keanakeragaman hayati laut sehingga dapat memberikan kontribusi ekonomi seperti perikanan dan pariwisata (Fauzi 2007). Indonesia memiliki 40 kawasan konservasi laut yang tersebar di perairan laut dari Sabang sampai Merauke, salah satu lokasi MPA yang cukup menjadi perhatian adalah Kawasan Konservasi Laut yang berada di Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS). Kawasan konservasi laut di TNKpS melilndungi ekosistem perairan seperti sumber daya ikan, terumbu karang, mangrove dan lamun sebagai tempat ikan mencari makan, bertelur dan berkembang biak. Terumbu karang merupakan salah satu sumber daya yang memegang peranan penting di kawasan ini, karena terumbu karang memiliki manfaat sebagai habitat bagi ikan konsumsi yang bernilai tinggi, magnet untuk sektor pariwisata, melindungi daerah pesisir dari ombak, mengurangi intrusi air laut ke daratan dan juga mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh badai dan angin topan (Burke et al. 2008). Kondisi saat ini menunjukkan bahwa terumbu karang di kawasan TNKpS mengalami dan menghadapi degradasi yang disebabkan oleh fenomena alam seperti perubahan iklim (climate change) dan juga diakibatkan juga oleh kegiatan yang berasal dari aktivitas manusia, seperti penangkapan ikan yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah lingkungan (peracunan, peledakan dan alat tangkap yang merusak terumbu karang), penambangan terumbu karang, pencemaran yang berasal dari daratan (land-based pollution) dan lain sebagainya. Kerusakan ekosistem seperti terumbu karang merupakan salah satu indikasi rendahnya apresiasi masyarakat terhadap layanan dan jasa dari suatu ekosistem. Dengan kata lain, masyarakat masih ‘undervalue’ terhadap nilai sesungguhnya yang dihasilkan ekosistem terumbu karang. Akibatnya adalah
2
terjadinya degradasi dan kerusakan lingkungan lainnya. Valuasi ekonomi merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur seberapa besar apresiasi masyarakat memberikan price tag terhadap layanan barang dan jasa dari ekosistem terumbu karang dibandingkan dengan nilai seutuhnya dari ekosistem tersebut.
1.2
Perumusan Masalah Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu/ TNKpS (Lampiran 1)
merupakan suatu kawasan konservasi laut yang di dalamnya dibagi beberapa zona untuk melindungi ekosistem seperti terumbu karang, mangrove, padang lamun, dan lain sebagainya. Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem dengan produktifitas tinggi, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan juga merupakan tempat yang disukai komunitas biotik untuk berkembang biak, mencari makan dan lain-lain. Ekosistem terumbu karang di kawasan ini dillindungi di zona inti dimana pada zona ini tidak boleh ada aktivitas apapun dan luasan total zona inti ini adalah sebesar 4.397,06 hektar. Kawasan ini memiliki jenis karang yang beranekaragam, terdapat 267 jenis karang yang memberikan manfaat baik terhadap ekosistem yang berasosiasi dengan terumbu karang maupun bagi kehidupan manusia. Walaupun kawasan ini merupakan kawasan perlindungan (protected area), dimana input dan output diatur dengan menutup sebagian kawasan yaitu zona inti sebagai sebagai daerah perlindungan yang memberikan dampak limpahan (spill over effect) bagi masyarakat sekitar, namun deplesi dan degradasi terumbu karang di kawasan ini tetap tidak bisa dihindari. Menurut Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (BTNKpS) (2008) terumbu karang di kawasan ini sudah dalam kondisi rusak, dimana tutupan terumbu karang rata-rata sebesar sebesar 36,48 % (4 % di zona pemukiman, 40 % di zona inti I dan II, dan 9,35 % di zona inti III). Kerusakan terumbu karang terjadi di kawasan TNKpS diantaranya disebabkan oleh (1) penangkapan ikan yang bersifat destruktif (destructive fishing) seperti menggunakan bahan peledak dan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan; (2) penangkapan ikan dengan pembiusan dan menggunakan potasium atau sianida; (3) penambangan karang dan pasir laut yang berlebihan untuk pembangunan rumah penduduk, resor dan bahkan untuk bisnis; (4) limbah sampah organik dan non organik yang berasal dari daratan;
3
(5) kegiatan turisme dan pariwisata yang tidak mengindahkan lingkungan seperti menginjak karang, mengambil karang dan lain sebagainya. Akibat dari kegiatankegiatan tersebut biota-biota yang berasosiasi dengan terumbu karang seperti ikan-ikan konsumsi, ikan hias, maupun endangered species kehilangan tempat mencari makan (feeding ground), tempat bermain (nursery ground), dan tempat memijah (spawning ground) yang mengarah pada degradasi sumber daya ikan dan bahkan hilangnya spesies-spesies penting di kawasan ini. Permintaan produk-produk perikanan yang meningkat seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, juga merupakan tekanan (pressure) bagi sumber daya laut tidak terkecuali sumber daya terumbu karang yang ada di kawasan konservasi kepulauan seribu. Konsekuensinya
adalah
peningkatan
“quick
yielding
production”
yaitu
mengeksploitasi sumber daya ikan secara tidak bertanggung jawab dan tidak mengikuti kaidah-kaidah pemanfaatan sumber daya yang memperhatikan kelestarian lingkungan dan berkelanjutan (Fauzi dan Anna 2005). Terlebih lagi keadaan ekonomi masyarakat daerah pesisir yang bisa dikatakan miskin dengan pendapatan perkapita yang jauh dibawah standar world bank juga memberikan pressure terhadap sumber daya terumbu karang. Kenyataan juga menunjukkan bahwa wilayah dengan kondisi kekayaan alam yang relatif tinggi ternyata memiliki tingkat pertumbuhan yang rendah (Fauzi dan Anna 2005). Tekanan terhadap terumbu karang lainnya adalah kurangnya pengawasan (surveillance), kondisi ini juga dikarenakan kurangnya sumber daya manusia, sarana dan prasarana yang mendukung dalam membatasi pressure terhadap sumber daya terumbu karang yang ada di TNKpS yang merupakan Kawasan Konservasi Laut (Marine Protected Area). Terumbu karang di Kawasan Konservasi Taman Nasional Kepulauan Seribu memberikan manfaat kepada masyarakat maupun ekosistem lainnya. Manfaat-manfaat tersebut sebagian merupakan manfaat langsung yang bisa dihitung secara moneter, sebagian lagi merupakan manfaat tidak langsung yang sering tidak bisa dikuantifikasi secara moneter. Namun demikian, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa terumbu karang yang ada di kawasan konservasi laut memiliki nilai ekonomi yang tinggi yang tidak hanya bersifat terukur (tangible) namun juga manfaat ekonomi yang tidak terukur (intangible). Manfaat yang terukur biasanya digolongkan ke dalam manfaat kegunaan baik
4
yang dikonsumsi maupun tidak, seperti perikanan dan pariwisata, sementara manfaat yang tidak terukur berupa manfaat non-kegunaan yang lebih bersifat pemeliharaan ekosistem dalam jangka panjang. Metode valuasi ekonomi merupakan metode yang dapat digunakan dalam menghitung
manfaat
ekonomi
dari
pengelolaan
terumbu
karang
yang
berbasiskan MPA (Fauzi dan Anna 2005). Pendekatan valuasi ekonomi sering digunakan karena merupakan cara yang sangat berguna untuk memasukan konsep
‘nilai’
ekosistem
sebagai
dasar
dalam
penentuan
kebijakan
(Burke et al 2008). Menurut Fauzi dan Anna (2003), metode valuasi ekonomi selain untuk mengevaluasi MPA dan sumber daya yang ada di dalamnya, juga digunakan
untuk
perencanaan
pembangunan
kawasan
konservasi
laut,
diantaranya adalah: 1) Untuk mengetahui bagaimana sebenarnya value/ nilai dari sumber daya alam yang ada di lokasi tersebut sebagai justifikasi bagi pembangunan Kawasan Konservasi Laut tersebut. 2) Sebagai bahan masukan bagi stakeholders apakah membangun suatu KKL di kawasan tersebut bernilai. 3) Sebagai bahan advokasi kepada masyarakat mengenai pentingnya MPA. Kawasan ini memiliki ekosistem terumbu karang dengan kekayaan biodiversity yang tinggi, namun karena kawasan ini dimanfaatkan secara multi use, dikhawatirkan dapat memberikan dampak negatif berupa penurunan baik kualiltas maupun kuantitas ekosistem terumbu karang dan juga hilangnya biotabiota penting yang berasosiasi dengan terumbu karang. Kondisi ini mendorong kita untuk melakukan sesuatu hal demi perlindungan terumbu karang di kawasan ini melalui pengelolaan kawasan konservasi laut. Studi valuasi ekonomi sangat dibutuhkan sebagai salah satu ‘alat’ perhitungan untuk dasar pengelolaan terumbu karang di kawasan konservasi laut dan untuk mengetahui sejauh mana terumbu karang yang berada di kawasan konservasi laut TNKpS memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung dan juga manfaat ekonomi dan non ekonomi.
5
Berdasarkan uraian mengenai permasalahan terumbu karang yang terjadi di kawasan konservasi laut TNKpS, memunculkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana kondisi pemanfaatan dan persepsi masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang di kawasan konservasi laut TNKpS? 2. Berapa nilai pemanfaatan ekosistem terumbu karang yang berasal dari sektor perikanan dan pariwisata kawasan konservasi laut TNKpS? 3. Berapa nilai non pemanfaatan ekosistem terumbu karang berupa nilai proteksi terumbu karang dan nilai pilihan (option value) di kawasan konservasi laut TNKpS? 4. Berapa nilai ekonomi total yang berasal dari nilai pemanfaatan dan non pemanfaatan sumber daya terumbu karang di kawasan konservasi laut TNKpS?
1.3
Tujuan dan Kegunaan penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai ekonomi
total ekosistem terumbu karang yang berada di kawasan konservasi laut TNKpS. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui kondisi pemanfaatan dan persepsi masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut TNKpS. 2. Menghitung nilai pemanfaatan ekosistem terumbu karang yang berasal dari sektor perikanan dan pariwisata kawasan konservasi laut TNKpS. 3. Menghitung nilai non pemanfaatan ekosistem terumbu karang berupa nilai proteksi terumbu karang dan nilai pilihan (option value) di kawasan konservasi laut TNKpS. Penelitian ini mempunyai kegunaan untuk memberikan informasi mengenai kondisi pemanfaatan dan non pemanfaatan terumbu karang dan nilai ekonomi dari terumbu karang yang ada di kawasan konservasi laut Taman Nasional Kepulauan Seribu dan diharapkan dapat memberi masukan kepada pembuat kebijakan dalam meningkatkan perencanaan dalam pengelolaan sumber daya terumbu karang di kawasan ini.
6
1.4
Kerangka Pemikiran Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 6310/Kpts-01/2002,
Kepulauan Seribu dengan luas 107.489 ha ditetapkan sebagai Taman Nasional Kepulauan Seribu/ TNKpS. Kawasan TNKpS ini hanya 15 % dari luas Kabupaten Kepulauan Seribu, namun kawasan ini sangat berperan dalam pembangunan Kepulauan Seribu. Potensi yang dimiliki oleh kawasan ini sangar besar yaitu sekitar 66% potensi yang ada di Kepulauan Seribu ada di TNKpS, dan 73% dari seluruh potensi yang ada di Kepulauan Seribu ada di TNKpS. Kawasan ini mempunyai sumber daya kelautan yang beranekaragam yaitu sumber daya ikan, terumbu karang, mangrove, padang lamun dan sebagainya. Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem penting di kawasan konservasi laut Taman Nasional Kepulauan Seribu. Ekosistem ini dilindungi terutama di kawasan zona inti, dimana daerah ini tertutup untuk segala bentuk eksploitasi, kegiatan pariwisata dan lain sebagainya, kecuali untuk penelitian. Terumbu karang memberikan manfaat baik manfaat yang bersifat ekonomi maupun manfaat non ekonomi baik bagi masyarakat dan biota yang ada di dalamnya. Manfaat ini ada yang bersifat tangible (terukur) maupun intangible (tidak terukur). Manfaat yang dapat terukur biasanya digolongkan ke dalam manfaat kegunaan (use value) baik yang dapat dikonsumsi maupun tidak dikonsumsi. Sedangkan manfaat yang tidak terukur atau intangible digolongkan ke dalam manfaat non kegunaan (non use value), manfaat ini lebih ke arah pemeliharaan ekosistem dalam hal ini terumbu karang dalam jangka panjang. Ketika pemanfaatan terumbu karang terlalu berlebihan yang bersifat destruktif dan tidak mengindahkan keberlanjutan dari ekosistem terumbu karang yang ada adalah terjadinya degradasi terumbu karang. Penurunan kualitas ekosistem terumbu karang akan menimbulkan gangguan terhadap terumbu karang itu sendiri,
kerusakan yang dapat dilihat dan dirasakan secara nyata adalah
kerusakan fisik terumbu karang, penurunan tutupan kawasan terumbu karang dan penurunan jumlah pengunjung, atau gangguan lain yang tidak langsung terasa akibatnya seperti pemanenan terumbu karang. Gangguan terhadap terumbu karang ini kemudian akan menyebabkan paling tidak empat hal, yaitu terjadinya penurunan produktifitas perikanan (use value), penurunan kawasan perlindungan pantai (non use value, option value), penurunan nilai pariwisata (use value) dan bahkan terjadinya penurunan habitat
7
/sumber daya alam yang lain (option value). Keseluruhan dampak ini kemudian diukur dengan berbagai teknik, untuk penurunan produksi ikan karang menggunakan
pendekatan
Change
in
Productivity,
penurunan
kawasan
perlindungan menggunakan teknik Option Price dan Contingent Valuation Method (CVM), selanjutnya nilai rekreasi yang dilihat jumlah wisatawan diukur menggunakan pendekatan market price, sedangkan untuk nilai habitat lain dapat dilihat dengan menggunakan Contingent Valuation Method (CVM) dimana responden akan diberi pilihan apakah sanggup membayar atau tidak agar ekosistem terumbu karang kualitasnya menjadi baik. Keempat pendekatan ini digunakan untuk menghitung Total Economic Value (TEV) dari terumbu karang (Gambar 1).
8
Sumber Daya Terumbu Karang
Manfaat non-ekonomi
Manfaat Ekonomi Degradasi Gangguan Terumbu Karang
Kerusakan Fisik Terumbu Karang dan Penurunan Tutupan
Pemanenan Terumbu Karang
Nilai Produksi Ikan Karang
Nilai Kawasan Perlindungan
Nilai Rekreasi
Nilai Habitat Sumber Daya Lain
Tangkapan
Loss in Land Value
Jumlah Kunjungan
Penurunan Non ikan
Change in Productivity (market)
Option Price
Market Price
CVM
NILAI EKONOMI TOTAL TERUMBU KARANG Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang merupakan salah satu sumber daya perikanan yang
mempunyai keunikan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologi. Terumbu adalah endapan-endapan masif penting dari kalsium karbonat yang dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Antozoa, ordo Madreporia = Scleractinia) dengan tambahan sedikit dari alga yang berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1992). Terumbu karang sudah ada sejak jaman Ordovician dan sepanjang 450 juta tahun hidup berbagi lautan dengan ikan (Sale 2002). Terumbu karang sebenarnya dapat juga ditemukan di berbagai laut di belahan dunia seperti di kutub utara maupun perairan Ugahari, namun terumbu karang hanya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di daerah tropis. Tumbuhnya terumbu karang ini disebabkan karena adanya dua kelompok karang yang berbeda yaitu hermatipik dan ahermatipik. Karang ahermatipik tersebar diseluruh dunia sedangkan karang hermatipik hanya tersebar di daerah tropis. Karang ahermatipik tidak dapat menghasilkan terumbu sedangkan
hermatipik yang
dapat
menghasilkan
terumbu
dari
kalsium
kaborbonat (CaCo3) sehingga sering disebut reef building corals. Hal ini disebabkan karena dalam jaringan karang hermatipik terdapat sel-sel tumbuhan sejenis algae (zooxantellae) yang hidup di jaringan-jaringan polyp karang yang dapat bersimbiosis dan melakukan fotosintesa (Nybakken 1992; Supriharyono 2007). Berdasarkan geomorfologinya, terumbu karang dapat dibagi menjadi tiga tipe (Nybakken 1992; Murdiyanto 2003; Supriharyono 2007), yaitu : 1. Terumbu karang tepi (fringing reef) Terumbu karang tipe ini sesuai dengan namanya tumbuh dari mulai dari tepian pantai, cenderung untuk saling menyusun dan tidak terpisahkan. Terumbu karang tepi ini terdapat di daerah continental shelf di laut dengan kedalaman air yang dangkal. 2. Terumbu karang penghalang (barrier reef) Sama seperti terumbu karang tepi, terumbu karang penghalang juga cenderung untuk saling menyusun dan tidak terpisahkan. Terumbu karang penghalang tumbuh sejajar garis pantai akan tetapi terletak jauh ke tengah
10
laut, biasanya terpisah dari daratan dengan laguna (lagoon), bagian laut dalam. Terumbu karang ini disebut barrier karena membentuk batas antara laguna dan laut lepas. Terumbu karang terbesar adalah Great Barrier Reef di Australia, dengan panjang kurang lebih mencapai 2.000 km di sepanjang pantai timur Australia, dimulai dari dekat nugini sampai di utara Brisbane. 3. Terumbu karang cincin (atoll) Atol merupakan terumbu karang yang berbentuk cincin atau berbentuk ouval dan mengelilingi gobah yang tumbuh di atas gunung berapi tua dan tenggelam di laut. Menurut teori Darwin dalam proses pembentukan karang atol mula-mula karang tumbuh sebagai fringing reef dibagian yang dangkal mengelilingi suatu pulau vulkanik. Kemudian secara alamiah perlahan-lahan pulau
tersebut
tenggelam
dan
terumbu
karang
tetap
meneruskan
pertumbuhannya makin ke atas, sel baru tumbuh di atas sel yang mati, sampai akhirnya hanya terumbu karangnya saja yang tersisa.
Bila pulau
vulkaniknya tenggelam seluruhnya maka yang akan tersisa atol melingkar mengelilingi laguna. Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang khas yang ada di daerah perairan yang memiliki temperatur tropis atau subtropis dan terletak antara 30 derajat lintang utara dan 30 derajat lintang selatan. Karang dapat tumbuh berkembang dengan baik di laut tropis karena perairan ini relatif hangat, dangkal dan umumnya dekat pantai. Karang tumbuh pada temperatur air laut 15-30
O
C, bersalinitas antara 30-35 o/oo (Murdiyanto 2003). Terumbu karang
tumbuh pada kedalaman kurang dari 20 m dan tidak dapat berkembang di perairan yang lebih dalam dari 50-70 m (Nybakken 1992). Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi pertumbuhan terumbu karang. Cahayanya yang cukup harus tersedia agar fotosintesis oleh zooxanthele simbiotik dalam jaringan karang dapat terlaksana. Tanpa cahaya yang cukup maka laju fotosintesis akan berkurang sehingga kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat untuk membentuk terumbu karang akan berkurang pula. Toleransi terumbu karang terhadap cahaya yaitu sebesar 15-20 persen dari intensitas cahaya di permukaan.
11
Terumbu karang memiliki manfaat yang beragam berupa barang dan jasa bagi kehidupan biota yang berasosiasi maupun bagi manusia. Millennium Ecosystem Assessment (MA) (2003) diacu dalam Burke (2008), mengidentifikasi bahwa barang dan jasa ekosistem terumbu karang terbagi ke dalam empat kategori berdasarkan jasa yang disediakan oleh ekosistem terumbu karang yaitu: jasa penyedia (provisioning services), jasa pengontrol (regulating services), jasa kebudayaan (cultural services) and jasa pendukung (supporting services) (Tabel 1).
Tabel 1. Barang dan Jasa Ekosistem Terumbu Karang a
Jasa Penyedia -
Sumber makanan (ikan dan kerang-kerangan) Sumber genetik Pengobatan alami dan bahan obat-obatan.
Jasa Pengontrol
b
Penahan erosi Proteksi badai
c
Jasa Kebudayaan -
Nilai spiritual dan keagamaan Nilai pendidikan dan pengetahuan Inspirasi Nilai estetika Tradisi Rekreasi dan Ekoturisme
Jasa Pendukungd - Pembentuk pasir laut - Produksi Primer Sumber : MA (2003) diacu dalam Burke et al (2008) a Produk-produk yang diperoleh dari ekosistem terumbu karang. b Manfaat- manfaat yang diperoleh dari terkontrolnya proses ekosistem di alam. c Manfaat-manfat non-material diperoleh dari ekosistem terumbu karang. d Proses alami
Mengidentifikasi barang dan jasa yang disediakan oleh ekosistem terumbu karang merupakan langkah awal dalam pengelolaan ekosistem yang baik terutama ekosistem daya terumbu karang yang berada di kawasan konservasi laut (marine protected area).
2.2
Kawasan Konservasi Laut Kawasan Konservasi Laut atau Marine Protected Area (MPA) adalah
kawasan yang ada di laut diperuntukkan khusus agar keanekaragaman hayati (biodiversity) dan sumber daya yang berhubungan dengan kebudayaan dan di dalamnya dilindungi, dipelihara serta dikelola melalui cara/ alat yang legal dan efektif (Kenchington et al 2003). Sedangkan menurut Sumaila dan Charles
12
(2002), MPA merupakan kawasan di laut dimana kawasan tersebut dibentuk supaya aktivitas manusia diatur lebih ketat dibandingkan dengan kawasan lain, dan biasanya dibuat untuk tujuan konservasi. Instrumen MPA merupakan salah satu alat kebijakan yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah perikanan seperti overexploitation, dan banyak ahli yang percaya bahwa MPA akan memberikan manfaat yang berlimpah (Sanchirico 2000). Teknologi modern yang terus berkembang meningkatkan penggunaan dan akses terhadap sumber daya ikan semakin mudah dan luas. Namun, apabila sumber daya tersebut tidak dikelola secara berkelanjutan akan mengakibatkan kondisi sumber daya ikan menjadi terancam, berubah atau bahkan hilang. Menurut Kenchington et al (2003) berbagai macam instrumen pengelolaan sumber daya ikan yang digunakan saat ini gagal dalam menjaga produktivitas, keanekaragaman hayati dan ekositem laut. Konsekuensi dari kegagalan instrumen-instrumen tersebut sangat serius dan mempunyai efek yang luas, salah satunya adalah tangkapan ikan secara global telah mengalami penurunan semenjak tahun 1989 dan diperkirakan akan terus berlanjut. Instrumen KKL mulai diperkenalkan pada awal tahun 1990-an, instrumen ini didesain langsung pada pengendalian sumber daya alam, yaitu berupa penentuan suatu kawasan sebagai kawasan konservasi laut atau marine reserve atau marine protected area (MPA). Pada kawasan ini input dan output pada produksi perikanan diatur dengan menutup sebagian kawasan untuk daerah perlindungan. Walaupun mulai berkembang pada tahun 1990-an, sebenarnya pemerintah Finlandia telah membangun kawasan seperti ini pada tahun 1800-an (Fauzi dan Anna 2005). Penentuan kawasan konservasi laut (MPA) sampai saat ini menjadi perdebatan baik dikalangan ahli maupun pihak-pihak yang terkait. Ada dua pendapat yang berbeda mengenai keberadaan MPA, di satu sisi MPA dipandang hanya dari segi manfaat (benefit) yang sangat berlimpah, namun disisi lain ada pendapat yang beranggapan bahwa MPA juga akan menimbulkan ‘biaya’. Jadi MPA akan memberikan manfaat dan juga menimbulkan biaya, akan tetapi manfaat dan biaya akan berbeda bagi setiap pihak yang terkait (Sumaila dan Charles 2002).
13
Sepertti
dijelaska an
dalam
Fauzi
da an
Anna
(2005),
prinsip
dari
K KKL adalah spill over effect (Gam mbar 2) atau u dampak limpahan dim mana pada k kawasan yang dilindung gi, stok ikan akan tumbu uh dengan b baik dan limp pahan (spill o over) dari p pertumbuhan ini akan mengalir ke e wilayah d di luar kawa asan yang k kemudian dapat dimanffaatkan seccara berkelanjutan tanpa a menguran ngi sumber p pertumbuha an di daerah yang dilind dungi. Menurut Kenching gton et al (2 2003) MPA m memberikan n manfaat yang signiifikan bagi perikanan, ekonomi lokal dan l lingkungan at-manfaat ttersebut ada alah konserrvasi keanekkaragaman laut. Manfaa h hayati dan ekosistem; menjaga agar tidak terjadi pen nurunan pro oduksi dan p populasi ika an secara lo okal dan glo obal; menam mbah produ uksi dan pop pulasi ikan d dengan carra menjaga tempat be erkembang biak, daera ah asuh da an tempat m mencari makan; men ningkatkan profil kawa asan sebag gai wisata laut dan m memperluas s pilihan eko onomi lokal; MPA sebagai penyedia pendidikan,, pelatihan, w warisan dan n budaya; dan d menyed diakan manfaat yang lu uas sebaga ai referensi p penelitian ja angka panjan ng.
S Sumber :Fauzi dan Anna (2005) dimodifkasi dari White (2000)
Gambar 2 Prinsip Spill over o dari KK KL
14
Manfaat-manfaat tersebut sebagian merupakan manfaat langsung yang bisa dihitung secara moneter, sebagian lagi merupakan manfaat tidak langsung yang sering tidak bisa dikuantifikasi secara moneter. Namun demikian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kawasan konservasi laut memiliki nilai ekonomi yang tinggi yang tidak hanya bersifat tangible (terukur), juga manfaat ekonomi yang tidak intangible (terukur). Manfaat yang terukur biasanya digolongkan ke dalam manfaat kegunaan baik yang dikonsumsi maupun tidak, sementara manfaat yang tidak terukur berupa manfaat non-kegunaan yang lebih bersifat pemeliharaan ekosistem dalam jangka panjang (Fauzi dan Anna 2005). Secara keseluruhan, dapat dikatakan bahwa KKL memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Tabel 2) yang tidak hanya bersifat terukur (tangible) namun juga yang tidak terukur (intangible). Manfaat yang terukur biasanya digolongkan dalam manfaat kegunaan baik yang dikonsumsi maupun tidak, sementara manfaat yang intangible berupa manfaat non-kegunaan yang lebih bersifat jangka panjang. Berikut ini adalah berbagai jenis manfaat dari KKL (Fauzi dan Anna 2003). Tabel 2. Jenis - Jenis Nilai Ekonomi KKL Jenis manfaat
Nilai Kegunaan (Use Value) NonTidak Konsumsi konsumsi langsung
Peningkatan kelimpahan
X
Peningkatan ukuran ikan
X
Dampak limpahan ke fishing ground
X
Eksport larva
X
Peningkatan daya tahan ekosistem Peningkatan keanekaragaman hayati Sumber :Fauzi dan Anna (2003)
X
Nilai non-kegunaan pilihan
keberadaan
Pewarisan
X
X
X
15
Kawasan konservasi menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.17/MEN/2008 adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan dan/atau dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Sedangkan kawasan konservasi perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungan yang berkelanjutan. Menurut Peraturan Pemerintah No.60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, kawasan konservasi perairan ini terdiri atas taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan. Taman Nasional Kepulauan Seribu termasuk ke dalam taman nasional perairan, namun karena saat ini pengelolaannya masih di bawah Departemen Kehutanan belum dipindah tangankan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan, maka kawasan ini tetap masuk ke dalam kategori kawasan konservasi Laut menurut Departemen Kehutanan yaitu sebagai Taman Nasional Laut. Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu mempunyai suatu kawasan konservasi ekosistem terumbu karang yang terletak di zona inti (I, II dan III) yaitu yang meliputi Gosong Rengat, P. Penjaliran Barat, P. Penjaliran Timur, Gosong Penjaliran, P.Peteloran Timur, P. Peteloran Barat, P. Kayu Angin Bira dan P.Belanda. Luas total zona inti ini adalah 4397,06 ha. Kawasan zona inti ini merupakan kawasan yang tertutup bagi segala bentuk aktivitas (no-take zone).
2.3
Konsep Nilai Ekonomi Ekosistem terumbu karang memberikan manfaat dengan menghasilkan
barang dan jasa yang dapat dikonsumsi baik secara langsung (direct) maupun tidak langsung (indirect), selain itu menghasilkan juga jasa-jasa yang manfaatnya baru dapat dirasakan di masa mendatang atau dalam jangka panjang (Fauzi dan Anna 2005). Pengertian ‘nilai’ dalam ilmu ekonomi adalah ‘harga’ yang setiap individu bersedia bayarkan untuk memperoleh barang dan jasa (Lipton et al 1995). Konsep nilai ekonomi bukan hanya menyangkut nilai pemanfaatan langsung dan tidak langsung semata, namun lebih luas dari itu. Value atau nilai bisa diartikan sebagai importance atau desirability (Fauzi 2003). Pengertian nilai atau value khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan jika dipahami lebih lanjut bisa saja berbeda
16
jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu (Anna 2007). Konsep nilai akan berhubungan dengan kesejahteraan manusia jika dipandang dari sisi ekonomi. Dengan demikian, nilai ekonomi dari sumber daya alam dan lingkungan adalah jasa dan fungsi sumber daya alam dan lingkungan yang memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan manusia, dimana kesejahteraan ini diukur berdasarkan setiap individual assessment terhadap dirinya sendiri. Sedangkan jika dipandang dari sisi ekologi misalnya, nilai dari terumbu karang bisa berarti pentingnya terumbu karang sebagai tempat produksi berbagai spesies ikan tertentu, ataupun fungsi ekologis lainnya. Demikian juga dari sisi teknik, nilai terumbu karang bisa saja sebagai pencegah abrasi atau banjir, pemecah ombak dan sebagainya. Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan dalam memahami pentingnya suatu ekosistem. Oleh karena itu, diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Salah satu tolok ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama antara berbagai disiplin ilmu tersebut adalah dengan memberikan “price tag” (harga) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya dan lingkungan. Dengan demikian kita menggunakan apa yang disebut sebagai nilai ekonomi dari sumber daya alam (Fauzi 2004). Nilai ekonomi secara umum didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal konsep ini disebut sebagai keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumber daya alam dan lingkungan. Nilai ekologis dari ekosistem dengan menggunakan pengukuran ini bisa di”terjemahkan” ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barang dan jasa. Sebagai contoh jika ekosistem pantai mengalami kerusakan akibat polusi, maka nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya (Anna 2007). Pengukuran keinginan membayar atau WTP ini menurut Haab dan McConnel (2002) dapat diterima jika memenuhi syarat : 1. WTP tidak memiliki batas bawah yang negatif 2. Batas atas WTP tidak boleh melebihi pendapatan
17
3. Adanya
konsistensi
antara
keacakan
(randomness)
pendugaan
dan
keacakan perhitungannya. Syarat WTP 1 dan 2 secara matematis dapat ditulis :
0 ≤ WTPj ≤ M j Pengukuran keinginan membayar ini memang diakui ada kelemahannya. Misalnya, meskipun sebagian barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam dapat diukur nilainya karena diperdagangkan di pasar, namun sebagian lagi seperti
keindahan
pantai
atau
laut,
kebersihan,
keaslian
alam
tidak
diperdagangkan sehingga tidak atau sulit diketahui nilainya karena masyarakat tidak membayarnya secara langsung. Selain itu, karena masyarakat kurang akrab dengan cara pembayaran jasa seperti itu, keinginan membayar mereka juga sulit diketahui. Walaupun demikian, dalam pengukuran nilai sumber daya alam tidak selalu bahwa nilai tersebut harus diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya. Suatu hal yang diperlukan disini adalah pengukuran seberapa besar keinginan kemampuan membayar (purchasing power) masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa dari sumber daya. Sebaliknya bisa pula kita ukur dari sisi lain yakni seberapa besar masyarakat harus diberikan kompensasi untuk menerima pengorbanan atas hilangnya barang dan jasa dari sumber daya dan lingkungan. Anna (2007) mengemukakan sumber daya alam dan lingkungan (SDAL) patut mendapatkan perhatian dan pemberian label value yang tepat dan dengan dua alasan: pertama adalah SDAL menyediakan manfaat tidak langsung dalam batasan yang luas, kedua aktivitas manusia telah menyumbangkan, dan masih menyumbangkan laju hilangnya keanekaragaman hayati yang akan mengancam stabilitas dan keberlanjutan dari ekosistem sebagaimana juga penyediaan barang dan jasa yang dihasilkannya bagi kesejahteraan manusia itu sendiri (Pimm et al 1995; Simon dan Wildavsky 1995). Hal ini yang menyebabkan semakin banyaknya studi mengenai rusak, hilang atau berkurangnya baik kualitas maupun kuantitas SDAL dan kaitannya dengan besaran kerugian secara moneter. Values/nilai sumber daya alam pada setiap pemanfaatan akan sangat tergantung pada kondisi dan distribusi dari property right dan tingkat kesejahteraan/ income masyarakatnya. Anna (2007) mengintepretasikan nilai dalam berbagai cara diantaranya adalah :
18
1. Instrumental Vs Intrinsic Values Nilai instrumental dimaksudkan sebagai nilai SDAL yang berkaitan dengan pemanfaatan
produksi dan konsumsi (Fromm, 2000). Sedangkan Intrinsic
Values adalah nilai selain nilai pemanfaatan tadi (instrumental) yaitu nilai yang melekat pada SDAL tersebut, seperti misalnya nilainya sebagai stabilisator dalam rantai makanan, dll. 2. Monetary Vs Biological Indicators Penilaian secara moneter dari SDAL biasanya merupakan dasar dalam perspektif ekonomi, berdasarkan pada indikator biologi dari dampak SDAL terhadap kesejaheraan manusia. Valuasi ekonomi SDAL dilakukan untuk mendapatkan indikator moneter yang akan menjadi suatu bahan perbandingan dan ranking alternatif kebijakan pengelolaannya. Sebaliknya Analisis biologi nilai SDAL memberikan hasil pada indikator non-monetary. Hal ini menyangkut sebagai contoh : keragaan/kekayaan
spesies dan ekosistem yang ada
(Whittaker 1960; 1972 diacu dalam Anna 2007). Bagaimanapun tidak dapat dipastikan bahwa indikator biologi dan moneter memberikan pemahaman yang sama. Sebaiknya memang keduanya dapat dijadikan metode yang saling melengkapi
untuk
menganalisis
perubahan
atau
kerusakan
SDAL.
Bagaimanapun indikator ekonomi seharusnya jika mungkin secara tidak langsung berdasarkan pada indikator biologi yang akurat. 3. Direct vs Indirect values Direct value (nilai langsung) dari SDAL biasanya digunakan untuk menunjuk pada pemanfaatan manusia berkaitan dengan konsumsi dan produksi. Sedangkan Indirect value (nilai tidak langsung) biasanya berhubungan dengan minimum level dari infrastruktur ekosistem, yang tanpa hal itu tidak akan tersedia barang dan jasa (Farnworth et al. 1981 diacu dalam Anna 2007). Barbier (1994) mendeskripsikan indirect value dari SDAL sebagai pendukung dan proteksi yang disediakan untuk aktivitas ekonomi dari jasa yang dihasilkannya. Istilah lain dari indirect value adalah diantaranya contributory value, primary value dan infrastructure value yang pengertiannya pada dasarnya sama saja. (Norton 1986; Gren et al. 1994; Constanza et al. 1998 diacu dalam Anna 2007). Seluruh peneliti ini menyatakan bahwa opini untuk menguangkan manfaat SDAL adalah memungkinkan, tetapi hal itu seringkali berujung pada penilaian yang under-estimate dari nilai yang sebenarnya,
19
karena primary value dari SDAL sulit untuk diterjemahkan dalam bentuk moneter. Gowdy (1997) diacu dalam Anna 2007 menambahkan bahwa “Walaupun nilai dari jasa lingkungan dapat digunakan untuk menjustifikasi pengukuran nilai proteksi SDAL, harus ditekankan bahwa nilai ini hanyalah merupakan porsi yang sedikit saja dari nilai total SDAL. 4. Biodiversity vs Biological Resources Nilai biodiversity mengacu pada berbagai kehidupan pada berbagai level; sementara biological resources mengacu pada manifestasi dari keragaman tersebut. Menurut Pearce (1999) “Hampir semua literatur mengenai valuasi ekonomi dari biodiversity biasanya adalah mengenai nilai biological resources dan hubungannya pada nilai biodiversity. Perbedaan antara kedua nilai ini memang tidak begitu jelas, bahkan kadang overlapping. 5. Value of Level vs Perubahan Biodiversity Para ahli ekonomi berpendapat bahwa valuasi seharusnya lebih difokuskan pada perubahan daripada hanya tingkat biodiversity. Non-ekonom seringkali mencoba mengukur tingkat biodiversity, misalnya analisis nilai dari jasa ekosistem dan natural capital untuk seluruh level biosphere (Constanza et al. 1998). 6. Local vs Global diversity Desain dari konteks valuasi melibatkan keputusan penting mengenai kerangka spasial dari analisis (Norton dan Ulanowicz 1992 diacu dalam Anna 2007). Hal ini karena bagaimanapun rusak atau berkurangnya SDAL biasanya dibahas dalam kerangka konteks global atau dunia. Hasil studi valuasi SDAL biasanya ditujukan bagi perubahan kebijakan baik tingkat lokal, regional, nasional atau bahkan internasional. 7. Genetic vs other life organization level Para ahli menghadapi keputusan penting ketika melakukan valuasi SDAL yaitu yang menyangkut level dari keragaman yang menjadi perhatian. Beberapa ahli biasanya dari ilmu alam, cenderung untuk fokus pada tingkat genetik dan spesies, sedangkan yang lainnya cenderung pada tingkat spesies dan ekosistem. Beberapa permasalahan yang menjadi isu adalah apakah studi SDAL pada berbagai level akan menyebabkan adanya double counting, dan
20
apakah informasi yang cukup bisa didapat pada setiap tingkat SDAL untuk meningkatkan kualitas studi valuasi. 8. Holistic vs. Reductionist Approaches Menurut perspektif holistik, SDAL merupakan hal yang abstrak, berhubungan dengan suatu kesatuan, stabilitas dan ketahanan dari suatu sistem yang kompleks, dan oleh karena itu akan sulit untuk diukur (Faber et al. 1996). Lebih jauh lagi pengetahuan dan pemahaman yang terbatas dari manusia dan signifikasi ekonomi dari hampir setiap bentuk kehidupan yang beragam, akan menjadikan
kompleksitas penerjemahan inditator fisik dan biologi menjadi
indikator moneter. Sebaliknya, pendekatan perspektif reductionist dilakukan berdasarkan ide bahwa SDAL dapat dipisahkan dari nilai total biodiversity menjadi kategori nilai ekonomi yang berbeda, yaitu melalui direct use dan passive use atau nonuse values (Pearce dan Moran 1994). 9. Expert vs General Public Assessment Pendekatan public valuation umum, biasanya sangat tergantung pada premise individual yang berasal dari berbagai level pendidikan, dan pengalaman yang diharapkan untuk berpartisipasi dalam valuasi SDAL. Pendapat lainnya mengasumsikan bahwa masyarakat yang ada tidak dapat menentukan relevansi dan kompleksitas dari fungsi sistem hubungan biodiversityekosistem. Dengan demikian penetapan dan valuasi SDAL hanya boleh dikerjakan oleh ahlinya.
2.4
Valuasi Ekonomi Fauzi (2004) mengatakan bahwa pemikiran mengenai valuasi ekonomi
sudah dimulai sejak tahun 1902 ketika Amerika melahirkan undang-undang River and Harbour Act of 1902 yang mewajibkan para ahli untuk melaporkan seluruh manfaat dan biaya yang ditimbulkan oleh proyek-proyek yang dilakukan di sungai dan pelabuhan. Konsep ini kemudian lebih berkembang setelah PD II, dimana konsep manfaat dan biaya lebih diperluas ke pengukuran yang sekunder atau tidak langsung dan yang tidak nampak (intangible). Dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan pada tahun 1980-an, konsep valuasi ekonomi sumber daya dan lingkungan kemudian menjadi lebih luas dan mampu menjembatani kelemahan-kelemahan yang terdapat pada metode Benefit-Cost Analisis yang
21
konvensional karena sering tidak memasukan manfaat ekologis di dalam analisisnya. Konsep dasar dari valuasi ekonomi adalah konsep surplus yang berasal dari kurva permintaan dan penawaran. Pada dasarnya konsep surplus menempatkan
nilai
moneter
terhadap
kesejahteraan
masyarakat
dalam
mengekstraksi dan mengkonsumsi sumber daya alam. Surplus juga merupakan manfaat ekonomi yang tidak lain adalah selisih antara manfaat kotor (gross benefit) dan biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk mengekstraksi sumber daya alam (Fauzi 2004). Green (1992) diacu dalam dalam Fauzi (2004) memandang bahwa menggunakan pendekatan surplus untuk mengukur manfaat sumber daya alam merupakan pengukuran yang tepat karena sumber daya dinilai berdasarkan alternatif penggunaan terbaiknya (best alternative use). Surplus ekonomi dibedakan ke dalam surplus konsumen, surplus produsen dan resource rent (rente sumber daya). Surplus konsumen sama dengan manfaat yang diperoleh mayarakat dari mengkonsumsi sumber daya alam U(x) dikurangi dengan jumlah yang dibayarkan untuk mengkonsumsi barang tersebut xp(x). Sedangkan surplus produsen adalah tidak lain adalah pembayaran yang paling minimum yang bisa diterima oleh produsen untuk memproduksi barang x. Grafik suplus konsumen dan surplus produsen dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber : Tietenberg (2001)
Gambar 3. Consumer’s surplus dan Producer’s surplus Pengukuran surplus yang ketiga adalah resource rent (RR) atau rente sumber daya. Rente sumber daya ini merupakan surplus yang bisa dinikmati oleh
22
oleh pemilik sumber daya (pemerintah) yang merupakan selisih antara jumlah yang terima dari pemanfaatan sumber daya dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengekstraksinya (Fauzi 2004). Valuasi ekonomi merupakan analisis non-market (non-pasar) karena didasarkan pada mekanisme pemberian nilai moneter pada produk barang dan jasa yang tidak terpasarkan. Jika produk yang terpasarkan dapat digambarkan dalam kurva permintaan dengan kemiringan negatif (downward slopping) maka kurva
permintaan
menggambarkan
marginal
valuation
yang
merupakan
gambaran keinginan membayar (Willingness to Pay = WTP) seseorang untuk memperoleh barang daripada tidak sama sekali. Pada barang yang tidak terpasarkan seperti keanekaragaman hayati, nilai estetika dan sebagainya, kurva permintaan lebih menggambarkan trade off antara kualitas satu produk dengan karakteristik lainnya (Fauzi 2004). Nilai ekonomi suatu komoditas (good) atau jasa (service) lebih diartikan sebagai ”berapa yang harus dibayar” dibanding ”berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan barang/jasa tersebut”. Dengan demikian, apabila ekosistem dan sumber dayanya eksis dan menyediakan barang dan jasa bagi kita, maka ”kemampuan membayar” (willingness to pay) merupakan proxy bagi nilai sumber daya tersebut, tanpa mempermasalahkan apakah kita secara nyata melakukan proses pembayaran (payment) atau tidak (Barbier et.al 1997). Tergantung keadaannya kita perlu tempatkan value sumber daya tersebut apakah flow (dapat diperbaharui) atau stock (tidak dapat terbarukan atau terhabiskan) (Tietenberg 2001). Dengan mengetahui nilai sumber daya tersebut, seharusnya kita dapat memanfaatkan sumber daya secara efisien. Oleh karena itu, perlu diketahui Nilai Ekonomi Total atau Total Economic Value (TEV) dari sumber daya tersebut. Menurut Tietenberg (2001) Nilai Ekonomi Total (TEV) di bagi ke dalam 3 komponen utama : (1) Use Value (UV) (2) Option (OV) Value dan (3) Non Use Value (NUV) (Gambar 4).
23
Total Economic Value
Use Value
Direct Use Value
Indirect Use Value
Non Use Value
Option Value
Bequest Value
Existence Value
Gambar 4. Tipologi Nilai Ekonomi Total (TEV) Pearce dan Moran (1994) menjelaskan Use Value
adalah nilai yang
timbul dari penggunaan sebenarnya dari sumber daya tersebut. Use Value ini dibagi lagi menjadi Direct Use Value (DUV) yaitu yang secara langsung dapat digunakan seperti perikanan dan ekstraksi kayu dan lain-lain serta Indirect Use Value (IUV) yaitu manfaat dari fungsi ekosistem seperti fungsi hutan sebagai penahan air. Option Value adalah nilai yang ditempatkan orang sebagai kemampuan kegunaan masa depan dari lingkungan atau sumber daya tersebut (Tietenberg 2001). Ada yang memasukan Option Value (OV) ke dalam Use Value dan ada juga yang memasukan OV ke dalam non use value. Nilai yang ketiga adalah Non Use Value (NUV), menurut Pearce dan Moran (1994), NUV lebih problematik dalam definisi dan perhitungannya, tapi biasanya dibagi lagi menjadi Bequest Value (BV) yaitu nilai pewarisan dan Existence atau ‘passive’ Use Value (XV) yaitu nilai keberadaan. Sehingga secara matematis Total Economic value dapat ditulis sebagai berikut : TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + 0V) + (XV + BV) ........................................(2.1) Nilai ekonomi total sesuai dengan persamaan (2.1) merupakan penjumlahan nilai kegunaan (use value) dan nilai non kegunaan (non use value), dimana nilai kegunaan merupakan penjumlahan dari direct use value, indirect use value dan option value dan nilai non kegunaan terdiri dari existence value dan bequest value.
24
2.5
Model Valuasi Ekonomi untuk Kawasan Konservasi Laut Menghitung manfaat ekonomi sumber daya yang berada di kawasan
konservasi laut berbeda dengan perhitungan di luar kawasan konservasi laut. Menurut Fauzi dan Anna (2005), secara ekonomi, MPA dapat diibaratkan sebagai investasi sumber daya di masa mendatang (Gambar 5).
Wilayah dan sumber daya laut s
(1-s) Kawasan Konservasi
Kawasan Pemanfaatan
t+1
t
Investasi t+2 Manfaat Ekonomi Sumber : Fauzi dan Anna (2005)
Gambar 5. Prinsip Manfaat Ekonomi MPA Pada Gambar 5 terlihat bahwa suatu wilayah laut dengan sumber daya yang ada dapat dibagi ke dalam dua wilayah, wilayah non konservasi sebesar s merupakan wilayah pemanfaatan yang dapat memberikan manfaat ekonomi dalam jangka pendek (periode t). Kawasan konservasi, dilain pihak, merupakan kawasan dengan luas (1-s) yang pada periode menengah mungkin tidak atau belum memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat. Alasannnya, kawasan tersebut pada periode t+1 merupakan kawasan yang dilindungi dan merupakan investasi di masa mendatang. Pada periode jangka panjang (t+2), kawasan tersebut akan memberikan dampak limpahan (spill over) yang kemudian dapat menjadi manfaat ekonomi yang berkelanjutan. Lebih jauh lagi Fauzi dan Anna (2003) mengemukakan bahwa untuk menghitung manfaat ekonomi dari pengelolaan berbasiskan MPA ada beberapa metode, diantaranya adalah model valuasi ekonomi dan model bioekonomi.
25
Kedua model tersebut bisa dilakukan penyesuaian-penyesuaian jika kondisi data tidak memadai. Selain untuk mengevaluasi MPA, model valuasi ekonomi penting digunakan dalam perencanaan pembangunan kawasan konservasi laut, diantaranya adalah untuk mengetahui bagaimana sebenarnya nilai (value) dari sumber daya alam yang ada di lokasi tersebut sebagai justifikasi bagi pembangunan kawasan konservasi tersebut dan juga sebagai bahan masukan bagi stakeholders apakah worth it (bernilai) membangun suatu KKL di kawasan tersebut. Dalam penentuan valuasi ekonomi ada dua pendekatan umum yang biasa digunakan yaitu pendekatan langsung atau “Stated Preference” dan pendekatan tidak langsung atau “Revealed Preference”. Kedua pendekatan tersebut pada prinsipnya berupaya untuk melakukan “proxy” terhadap nilai sesungguhnya dari sumber daya alam dan lingkungan yang cenderung infinite (tak terhingga). Pendekatan Revealed Preference (RP) berdasarkan perilaku konsumen dan produsen yang aktual dan mengidentifikasi apakah barang non-market berpengaruh terhadap beberapa barang lain (Beukering et al 2007), metode yang termasuk ke dalam pendekatan Revealed Preferance adalah : •
Market Price
•
Replacement Cost
•
Damage Cost Avoided
•
Mitigating Expenditure
•
Net Factor Income
•
Production Function Method
•
Hedonic Pricing Method
•
Travel Cost Method Sedangkan pendekatan Stated Preference (SP) menggunakan survai
untuk bertanya kepada orang untuk menyatakan preferensi mereka mengenai perubahan ketersediaan barang dan jasa lingkungan (Beukering et al 2007), metode yang termasuk ke dalam Stated Preference (SP) adalah Contingent Valuation dan Choice modelling.
26
Fauzi (2007) mengemukakan bahwa dalam melakukan valuasi ekonomi kawasan konservasi diperlukan pendekatan tersendiri mengingat sifat dari kawasan
tersebut
mempunyai
fungsi
konservasi
dan
fungsi
ekonomi.
Pendekatan lain selain yang telah disebutkan adalah melakukan ‘option price’ yaitu memberikan pilihan antara melakukan konservasi dengan tidak melakukan konservasi. Penilaian dari pendekatan option price ini didasarkan pada utilitas harapan (expected utility) yang didasarkan pada teori Von NeumannMorgenstern. Pendekatan option price ini akan menghasilkan nilai non kegunaan berupa nilai pilihan (option value). Pearce dan Moran (1994) menganalogikan bahwa option value ini seperti nilai Insurance, dimana unsur ketidakpastian (uncertainty) dipertimbangkan di dalam perhitungannya. Nilai sumber daya terumbu karang yang dihitung dalam penelitian ini adalah nilai kegunaan yang berasal dari perikanan dan pariwisata serta nilai non kegunaan yaitu nilai pilihan (option value) dan nilai proteksi kawasan dan habitat. Nilai kegunaan yang berasal dari kegiatan perikanan dihitung dengan menggunakan metode perubahan produktifitas, sedangkan nilai kegunaan yang berasal dari kegiatan pariwisata dihitung dengan pendekatan market price. Nilai non kegunaan berupa nilai pilihan dihitung dengan menggunakan pendekatan option price berdasarkan teori Von Neumann-Morgenstern, sedangkan nilai non kegunaan berupa proteksi terhadap kawasan dan habitat dihitung dengan menggunakan pendektan CVM yang dianalisis dengan menggunakan LIMDEP model.
2.5.1
Perubahan Produktifitas Boquiren (2006) mengatakan bahwa pendekatan perubahan produktifitas
merupakan teknik valuasi berdasarkan hubungan fisik antara lingkungan dengan produksi barang dan jasa dari pasar (market good and services). Teknik ini digunakan untuk melihat perbedaan output (produksi) sebagai dasar perhitungan jasa dari terumbu karang (Cesar dan Chong 2004). Perubahan produktifitas sering digunakan untuk mengukur nilai dari sektor perikanan dan pariwisata (surplus produsen) dan juga untuk menilai perubahan nilai dari output sebelum dan sesudah adanya suatu kejadian atau ancaman atau intervensi pengelolaan (seperti
MPA).
Perubahan
produksi
dalam
perikanan
digunakan
untuk
mengkalkulasi hilangnya nilai dari sektor perikanan karena adanya ancaman dan gangguan terhadap terumbu karang seperti penambangan karang, atau
27
bertambahnya nilai perikanan karena adanya intervensi pengelolaan seperti diberlakukannya kawasan konservasi laut. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan menghitung perubahan produktifitas dalam kondisi fisik antara skenario ‘before’ dan ‘after’.
2.5.2
Market Price Beukering et al (2007) menyatakan bahwa salah satu metode yang paling
mudah dan sering digunakan dalam menilai barang dan jasa dari suatu sumber daya dan lingkungan adalah dengan melihat dari harga pasarnya yaitu berapakah harganya jika kita membeli atau menjual barang dan jasa tersebut pada pasar kompetitif tanpa adanya distorsi harga (pajak dan subsidi). Market price digunakan untuk menghitung barang dan jasa yang secara langsung diperdagangkan di pasar, contohnya adalah kayu, kayu bakar, ikan, dan lain sebagainya. Keuntungan dari pendekatan ini menurut Beukering et al (2007) adalah relatif mudah untuk diaplikasikan, karena data yang diperlukan secara umum tersedia seperti informasi harga dan model matematiknya pun sederhana. Akan tetapi, kerugian dari metode ini adalah banyak barang dan jasa yang tidak secara langsung diperdagangkan di dalam pasar sehingga harga yang observable tidak tersedia. Apabila pasar untuk barang dan jasa dari sumber daya dan lingkungan tersebut ada namun sangat terdistorsi, maka harga yang tersedia tidak akan mencerminkan nilai sosial dan ekonominya dan harga tersebut tidak dapat digunakan. Oleh karena itu, kita harus mengetahui penyebab terjadinya distorsi pasar (market distortion) untuk mengenali apakah harga yang kita dapatkan tersebut dapat dipercaya atau tidak. Penyebab utama terjadinya distorsi pasar adalah pajak dan subsidi, non-competitive markets, informasi yang tidak sempurna (imperfect information) dan juga harga yang dikontrol oleh pemerintah.
2.5.3
Von Neumann- Morgenstern Utility (VNM) Hipotesis expected utilty (EU) dalam ilmu ekonomi berkaitan dengan
manfaat harapan yang diperoleh dalam kondisi ketidakpastian. EU biasanya dihitung dengan mempertimbangkan utilitas pada setiap kondisi yang ada dan masing-masing memiliki nilai bobotnya sendiri-sendiri. Jadi EU dapat dikatakan sebagai harapan atau ekspektasi dalam teori probabiliti. Dalam teori probabiliti,
28
untuk menentukan utilitas dengan metode EU, terlebih dahulu kita harus membuat rangking preferensi dari sampling responden yang berbeda (Wikipedia 2008). Jika diketahui fungsi utilitas seseorang adalah U ( x, π ) , dimana x merupakan vektor hasil dan
π
adalah vektor probabilitas, maka diasumsikan
bahwa fungsi utilitas tersebut memiliki bentuk sebagai berikut (Hands 1991) :
U ( x1 , x2 , π1 ) = π 1v ( x1 ) + (1 − π 1 ) v ( x2 ) …………………………………………(2.2) Dimana :
π1
= Peluang terjadi kondisi baik
v(x1)
= Utilitas dari kondisi baik
v(x2)
= Utilitas dari kondisi buruk
atau jika dalam kasus lain ada kemungkinan keluaran lebih dari dua, sebanyak n, maka fungsi utilitas pada persamaan (2.2) menjadi: n
U ( x, π ) = ∑ π i vi ( xi ) ……………………………………………………………….(2.3) i =1
Fungsi utilitas pada persamaan (2.3) disebut dengan expected-utility function atau disebut dengan fungsi utilitas von Neumann-Morgenstern yang menjelaskan bahwa utilitas U ditulis sebagai penjumlahan dari fungsi v lainnya dari beberapa kemungkinan hasil yang diperoleh, dengan pembobotan yang relevan dengan probabilitasnya. Cara lain adalah dengan menganggap bahwa fungsi v sebagai fungsi utilitas dan penjumlahannya dianggap sebagai utilitas harapan (Expected Utility atau EU). Sehingga dengan merubah v ( ⋅) menjadi U ( ⋅) , sedangkan U ( ⋅) menjadi EU ( ⋅) , maka persamaan (2.3) menjadi : n
EU ( x, π ) = ∑ π iU ( xi ) ……………………………………………………………(2.4) i =1
Pada intinya kedua fungsi expected-utility pada persamaan (2.3) dan (2.4) terdapat pada beberapa pada literatur ekonomi, walaupun ada sedikit perbedaan secara konseptual. Hasil matematik kedua persamaan tersebut pada dasarnya akan sama.
29
Salah satu konstribusi besar Von Neumann dan Morgenstern terhadap ekonomi adalah fungsi utilitas yang diperoleh dari preferensi seseorang dalam menetapkan pilihan. Fauzi dan Anna (2008) menggunakan teori Von NeumannMorgenstern untuk menghitung nilai Option Price yang berdasarkan utilitas harapan. Pendekatan Von Neumann-Morgenstern tersebut mengukur opsi masyarakat atas resiko ada tidaknya kawasan konservasi. Ada dua tipe utama perilaku masyarakat yang dapat dilihat dari WTP dan nilai utilitas mereka. WTP Tinggi menggambarkan masyarakat yang bersifat risk averse sementara WTP rendah menggambarkan masyarakat yang risk prone terhadap konservasi (Gambar 6).
U (EV) EU EU U (EV)
Sumber : Fauzi dan Anna (2008)
Gambar 6. High WTP dan Low WTP Pada masyarakat yang bersifat risk averse, nilai utility expected value ( U ( EV ) ) dari kawasan konservasi lebih tinggi dari nilai expected utility (EU) yakni outcomes gambling tanpa konservasi ( U ( EV ) > EU ). Pada masyarakat dengan nilai WTP yang rendah yang terjadi adalah sebaliknya (Fauzi 2007). Menurut Fauzi dan Anna (2008) penggunaan metode Option Value/ Option Price ini tentu saja tidak terlepas dari berbagai asumsi yang menjadi dasar perhitungan nilai ekonomi. Asumsi-asumsi tersebut meliputi:
30
1. Ketidakpastian diasumsikan terdistribusi secara normal. 2. Keragaman (variance) dalam nilai dalam situasi “bad” dan “good” terdistribusi secara normal. 3. Probability (peluang) terjadi kontingensi “bad” dan “good” memiliki peluang yang sama ( π b = π g = 0.5 ). 4. Masyarakat diasumsikan memiliki karakteristik “risk-averse” yang bisa α
diformulasikan melalui fungsi utilitas U = ln x atau u = x dimana α > 1 . 5. Nilai harapan manfaat (expected benefits) diasumsikan merupakan fungsi dari peluang terjadi kejadian (kontingensi). 6. Masyarakat “a-priory” tidak mengetahui kontingensi mana yang akan terjadi sehingga option price merupakan pengukuran ex-ante yang tepat untuk mewakili perubahan kesejahteraan masyarakat.
2.5.4
Contingent Valuation Method (CVM) Metode ini disebut contingent (tergantung) karena pada prakteknya
informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun, misalnya seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayaran, dan sebagainya (Fauzi 2004). Davis (1963) merupakan ahli ekonomi pertama yang menerapkan pendekatan CVM dalam disertasinya yang berjudul “The Value of Outdoor Recreation: an Economic Study of Maine Woods (Carson dan Hanemann 2005) dan menurut Fauzi (2004) metode ini mulai populer sekitar pertengahan tahun 1970-an untuk studi-studi sumber daya alam yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat. Fauzi (2004) juga menjelaskan bahwa secara teknis, pendekatan CVM ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan. Kedua, dengan teknik survey. Menurut Carson dan Hanemann (2005) tujuan dari pendekatan ini adalah untuk menghitung nilai moneter yang diberikan seseorang untuk suatu layanan barang dan jasa. Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (non-pemanfaatan) sumber daya alam atau sering dikenal dengan nilai keberadaan. Penggunaan CVM pada dasarnya merupakan jawaban dari pertanyaan mengenai hak kepemilikan atau property right. Apabila seseorang atau individu tidak memiliki hak kepemilikan suatu barang atau jasa, maka perhitungan yang relevan untuk mengetahui kegunaan barang tersebut
31
bagi mereka adalah dengan mengetahui pembayaran maksimal yang mereka bersedia bayarkan untuk mendapatkan barang tersebut (Garrod dan Willis 1999). Menurut Fauzi (2004), CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar (WTP) dari masyarakat, misalnya perbaikan kualitas lingkungan (air, udara, dan sebagainya) dan keinginan menerima (Willingness to Accept atau WTA) kerusakan suatu lingkungan. Fauzi (2004) menjelaskan bahwa ada 5 tahapan dalam penerapan CVM, yaitu : 1. Membuat hipotesis pasar 2. Mendapatkan nilai lelang (bids) 3. Menghitung rataan WTP 4. Memperkirakan kurva lelang (bid curve) 5. Mengaggregatkan data Meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk mengukur WTP, namun ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang paling utama adalah timbulnya bias. Hal ini terjadi jika menimbulkan nilai ekonomi yang overvalue maupun under value. Sumber-sumber bias terutama ditimbulkan oleh (Fauzi 2004): •
Design bias (rancangan kuesioner seperti struktur, open bid, referendum, dan lain sebagainya akan mempengaruhi jawaban WTP.
•
Kompleksitas ekosistem, semakin kompleks interaksi ekosistem, semakin mungkin terjadinya under value karena sulit menentukan “the true value” dari ekosistem.
•
“time bias”. Survai yang dilaksanakan pada waktu tertentu bisa mempengaruhi jawaban WTP (misalnya musim paceklik).
•
Perbandingan antara nilai ekosistem dari satu daerah dengan daerah lain tidak “comparable”.
Masalah lain yang sering timbul adalah terjadinya fenomena warm glow (Becker 1974 diacu dalam Fauzi 2004) yang sebetulnya terkait dengan masalah alturisme. Warm glow pada konstes CVM, bisa terjadi karena responden berusaha membuat senang pewawancara dengan memberikan jawaban setuju untuk pembayaran sesuatu, meskipun pada dasarnya dia tidak setuju. Secara sosiologis hal ini menimbulkan contering bias yaitu responden menyetujui apa yang ditanyakan oleh pewawancara.
32
2.5.5
Analisis WTP Model Regresi dengan Respon Kualitatif Banyak hal dalam kehidupan sehari-hari kita berhadapan variabel yang
tidak selalu bersifat kuantitatif, seperti jenis kelamin, warna kulit, tingkat pendidikan, status perkawinan dan lain sebagainnya kita berbicara variabel yang sifatnya kualitatif. Seperti halnya keputusan-keputusan yang bersifat kualitatif misalnya dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, kadang-kadang kita menghadapi respon masyarakat apakah sumber daya alam dan lingkungan tersebut dikonservasi ataupun tidak atau keputusan pelaku dibidang perikanan yaitu nelayan untuk menangkap ikan di dalam kawasan konservasi atau di luar kawasan konservasi. Dengan kata lain, respon masyarakat tersebut bersifat dikotomis atau binari (Widarjono 2005). Dalam melakukan analisis regeresi pada variabel yang bersifat kualitatif dapat dilakukan dengan memberikan nilai 1 pada variabel yang mempunyai atribut dan nilai nol jika tidak mengandung atribut. Tujuan dari model kualitatif pilihan (qulitative choice model) ini adalah untuk menentukan probabilitas dari individu dengan set atribut yang diberikan kepada mereka dan memilih satu pilihan daripada alternatif yang lainnya (Pyndyck dan Rubinfeld 1998). Pertanyaannya adalah bagaimana model regeresi dengan sifat dikotomis ini? Model yang dapat digunakan adalah model yang termasuk dalam kategori Limited Dependent Variable (Limdep Model) yaitu Model Probabilitas Linear, Model Logit, Probit dan Tobit. Model Probit berkaitan dengan fungsi probabilitas distribusi normal (normal distribution function), sementara model Logit berkaitan dengan fungsi probabilitas distribusi logistik (logistic distribution function) (Widarjono 2005). Model Tobit biasanya digunakan ketika kita tidak mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi variabel dependen. Salah satu model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Logit. Model ini disebut Logit yang berasal dari nama jenis distribusi probabilitas logistik untuk menjelaskan respon kualitatif variabel dependen dan dapat ditulis dengan :
Pi = F ( Z i ) = F (α + β X i ) =
1 1 ..............................(2.5) = − Zi − (α + β X i )i 1+ e 1+ e
e merupakan logaritma natural dengan nilai 2,718 dan Pi adalah probabilitas seseorang dalam memilih pilihan pertama pada tingkat variabel x tertentu. Nilai Z
33
terletak antara -∞ dan +∞ sedangkan nilai Pi terletak diantara 0 dan 1, dengan demikian model ini memenuhi kriteria CDF. Perbedaan antara model probit dan logit ini adalah nilai probabilitas Pi model logit yang mendekati 0 atau 1 mempunyai tingkat penurunan yang lebih lambat daripada model Probit. Persamaan (2.5) dapat diestimasi dengan mengalikan persamaan (2.5) dengan 1+e-z pada kedua sisinya sehingga akan menghasilkan
(1 + e ) P = 1 ..................................................................................................(2.6) − Zi
i
Persamaan (2.6) tersebut kemudian dibagi dengan Pi dan kemudian dikurangi dengan 1 sehingga menghasilkan persamaan :
e − Zi =
1 − Pi 1 .........................................................................................(2.7) −1 = Pi Pi
1 (1 − Pi ) = ..................................................................................................(2.8) e Zi Pi Persamaan (2.8) dapat juga ditulis dengan :
eZi =
Pi ....................................................................................................(2.9) (1 − Pi )
Persamaan (2.9) kemudian ditransformasi menjadi model logaritma natural sehingga menghasilkan persamaan :
Zi = ln
Pi ...............................................................................................(2.10) (1 − Pi ) Z
Ingat bahwa ln e i =Zi .Persamaan (2.10) dapat ditulis menjadi persamaan :
ln
Pi = Z = α + β X i ..............................................................................(2.11) (1 − Pi ) i
Persamaan (2.11) di kenal sebagai model Logit (Logistic distribution function) Nilai Zi terletak antara -∞ dan +∞, Pi terletak antara 0 dan1 dan Pi adalah nonlinier terhadap Zi. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana mengestimasi persamaan (2.8) tersebut karena Pi tidak hanya non linear terhadap X tetapi juga terhadap parameternya (βi). Estimasi model Logit tergantung dari jenis datanya yaitu jika data nya berupa grup dapat diestimasi dengan OLS namun jika datanya individu maka dapat diestimasi dengan metode maximum likelihood. Pada persamaan (2.5) individual
Pi
tidak teramati, malahan kita
mempunyai informasi dari setiap observasi baik pilihan satu atau dua yang
34
terpilih. Variabel dependen Yi = 1 jika pilihan pertama yang dipilih dan 0 jika pilihan kedua yang dipilih. Tujuan kita adalah untuk mencari estimator parameter untuk α dan β , jika diasumsikan alternatif pertama yang dipilih sebanyak n1 kali dan pilihan kedua dipilih sebanyak n2 kali. (n1 + n2= N) dan jika data tersebut diurut, maka observasi n1 yang pertama berhubungan dengan alternatif pertama, fungsi Likelihood mempunyai bentuk :
L = Prob (Y1 ,.........., YN ) = Prob (Y1 ) ....Prob (YN ) .............................................(2.12) Sekarang dengan fakta perhitungan bahwa probabilitas dari alternatif kedua yang dipilih dan menggunakan Π untuk mewakili produk faktor bilangan maka fungsi Likelihood menjadi :
(
)
n1
L = Pi ....Pn1 1 − Pn1 +1 ... (1 − PN ) = ∏ Pi i =1
N
N
∏ (1 − P ) = ∏ P (1 − P )
i = n1 +1
i
i =1
i
Yi
i
(1−Yi )
........(2.13)
Sehingga akan diperoleh nilai WTP rataan (mean WTP) dari pendugaan koefisien (2.13) yang menggambarkan nilai non-use dari ekosistem terumbu karang di kawasan konservasi laut kepulauan seribu.
35
III. METODE PENELITIAN
3.1
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan metode
deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk menuturkan dan menafsirkan data yang berkenaan dengan situasi yang terjadi sekarang secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta serta hubungan antar variabel untuk mendapatkan kebenaran (Subana dan Sudrajat 2001). 3.2
Jenis dan Sumber Data Berdasarkan sumber data, data yang diambil dalam penelitian ini terdiri
dari data sekunder dan data primer, data sekunder berasal data-data statistik yang berasal dari instansi-instansi yang berkaitan seperti Dinas Perikanan dan Kelautan Jakarta, Suku Dinas Perikanan Kepulauan Seribu, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu, Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, jurnaljurnal, sedangkan data primer didapatkan dengan kuesioner kepada nelayan yang menangkap ikan di wilayah Taman Nasional Kepulauan Seribu dan non nelayan yang tinggal di kawasan ini (Lampiran 2). Berdasarkan waktu, diambil dalam penelitian ini terdiri dari data time series dan cross section. 1. Data time series atau berkala adalah data yang menjelaskan pergerakan variabel antar waktu Pyndick dan Rubindfeld (1998). Data time series yang diperlukan diantaranya adalah produksi perikanan, alat tangkap, effort dan lain sebagainya. 2. Data cross section merupakan data yang dikumpulkan pada suatu waktu tertentu (at point of time) yang bisa menggambarkan segenap aktivitas pada satu waktu tertentu. Data cross section yang dibutuhkan adalah seperti harga, struktur biaya dan lain sebagainya
36
3.3
Metode Pengambilan Data Pengambilan
sampel
dalam
penelitian
ini
menggunakan
metode
purposive sampling, dimana untuk setiap pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu (Singarimbun dan Effendi 1989). Pertimbangan peneliti dalam pemilihan responden diantaranya adalah keberadaan responden yang tidak pasti dan letak responden yang tersebar di beberapa pulau yang berjauhan. Jumlah sampel yang diambil berdasarkan dari teknik pengambilan contoh penelitian sosial ekonomi yang dikembangkan oleh Fauzi (2001) yaitu :
n=
NZ 2 × 0,25 .........................................................................(3.1) d 2 × ( N − 1) + Z 2 × 0,25
(
(
))
Dimana : n
= Jumlah sampel yang diambil
N
= Jumlah populasi (yang diketahui dan diperkirakan)
Z
= Standar deviasi yang berhubungan dengan tingkat kepercayaan (lihat tabel Z statistik)
d
= Tingkat akurasi/presisi (biasanya antara 0,05 atau 0,01) Kawasan Konservasi Laut atau Taman Nasional Kepulauan Seribu
berada di dua kelurahan yaitu Kelurahan Pulau Panggang dan Kelurahan Pulau Kelapa. Jumlah penduduk yang berada di Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah 11.031 jiwa (Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Wilayah Kepulauan Seribu 2008), sehingga berdasarkan rumus Fauzi (2001) dengan tingkat presisi 10% (0,1) dan dengan tingkat kepercayaan 95% maka nilai Z = 1,65 sehingga akan didapatkan sampel sebesar :
11.031× (1, 65 ) × 0, 25 2
n=
( (0,1) × (11.030 − 1) + ( (1, 65) × 0, 25) ) 2
2
= 67, 65 ≈ 68
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 68 responden, karena proporsi jumlah penduduk yang bermatapencaharian nelayan dan non nelayan adalah 80% dan 20 %, maka diperoleh sampel yang terdiri dari 55 responden nelayan dan 13 responden non nelayan.
37
3.4
Metode Analisis Data
3.4.1
Valuasi Ekonomi Pendekatan yang digunakan untuk menghitung nilai total ekonomi
terumbu
karang
di
kawasan
konservasi
laut
TNKpS
adalah
dengan
menggunakan perubahan produktifitas, market price, option price dan contingent valuation method (Gambar. 7 )
TEV
USE VALUE
Perubahan Produktifitas
NON USE VALUE
Market Price
Option Price
CVM
Gambar 7. Teknik Pendekatan Perhitungan Nilai Ekonomi Total Berdasarkan Gambar 7 bahwa nilai ekonomi total dari terumbu kawasan konservasi laut Taman Nasional Kepulauan Seribu menggunakan rumus :
TEV=UV+NUV ...............................................................................................(3.2) TEV UV NUV
= Total Economic Value/ Nilai ekonomi total = Use Value/ Nilai kegunaan = Non Use Value/ Nilai non kegunaan
3.4.2
Perubahan Produktifitas Perhitungan manfaat ekonomi kawasan konservasi laut (MPA) dapat di
lakukan dengan salah satu metode yang paling sederhana yaitu melalui pendekatan valuasi ekonomi statik, dengan cara menghitung perubahan produktifitas kawasan tersebut (Fauzi dan Anna 2005). Pendekatan produktifitas
38
nilai
ekonomi
dari
kawasan
konservasi
laut
didekati
dengan
cara
membandingkan nilai kawasan akibat berkurang atau meningkatnya produktifitas kawasan konservasi laut. Perubahan atau perbedaan yang terjadi di kawasan tersebut pada nilai produktifitas maupun nilai sumber daya secara komprehensif menggambarkan nilai ekonomi kawasan konservasi laut secara proxy. Formulasi perhitungan perubahan produktifitas dari suatu kawasan konservasi dapat ditulis dengan rumus (3.3) berikut :
⎛ NO ⎞ ΔNPt = ⎜⎜ t ⎟⎟⎟ ×ΔΩ ......................................................................................(3.3) ⎜⎝ xt ⎠⎟ ΔNPt
= Perubahan Nilai Produksi pada periode t (Rp)
NOt xt ΔΏ
= Nilai Output pada Periode t (Rp) = Output pada periode t (Kg) = Perubahan Produktifitas (Kg)
Perubahan produktifitas diukur berdasarkan rumus (3.4) dan (3.5) berikut:
ΔΩ = x − xt ....................................................................................................(3.4) x =
1 n
Tb
∑x
t
....................................................................................................(3.5)
t =1
x adalah produktifitas rata-rata dari tahun ke 1 sampai tahun basis (Tb ), tahun basis adalah tahun dimana perubahan produktifitas terjadi. Rumus (3.4) dan (3.5) dapat dimodifikasi untuk menentukan nilai kawasan ekosistem terumbu karang dengan mengukur perubahan nilai moneternya. Untuk itu diperlukan konversi nilai moneter melalui rumus berikut:
φt =
GRt ........................................................................................................(3.6) NOt
GRt adalah Gross Return atau keuntungan kotor dari usaha di kawasan (misalnya keuntungan dari usaha perikanan). Dengan demikian perubahan nilai ekonomi dari kawasan terumbu karang dapat dihitung sebagai:
39
ΔNSt = φt ×ΔΩt ............................................................................................(3.7) Pengukuran perubahan nilai sumber daya dapat diukur berdasarkan rente sumber daya atau keuntungan melalui rumus (3.8) berikut :
Δ π = η1 p1 (x 0 − x 1 ) .........................................................................................(3.8) Δπ η1 p1 x0 x1
= Perubahan Rente (profit) = Rasio rente setelah terjadi perubahan produktifitas = Harga rata-rata setelah terjadi produktifitas = Output (produksi) sebelum terjadi perubahan produktifitas = Output (produksi) setelah terjadi perubahan produktifitas
3.4.3
Market Price Pendekatan dalam menghitung nilai rekreasi yang ada di daerah kawasan
konservasi TNKpS adalah dengan menggunakan market price. Penurunan nilai rekreasi dilihat dari jumlah wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional Kepulauan Seribu setiap tahunnya. Metode market price yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan berdasakan pengeluaran (expenditurebased method) dengan mekanisme pasar dari wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional Kepulauan Seribu. Sehingga nilai ekonomi yang berasal dari pariwisata dapat ditulis dengan menggunakan rumus sederhana yaitu :
Nilai Pariwisata = c × N …………………………………………………………….(3.9) dimana C
= Biaya rata-rata yang dikeluarkan turis
N
= Jumlah turis yang berkunjung selama setahun
Pada persamaan 3.9 terlihat bahwa nilai yang berasal dari pariwisata merupakan perkalian antara rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh turis selama berada di daerah pariwisata di daerah kawasan konservasi laut TNKpS dengan rata-rata jumlah turis yang berkunjung.
40
3.4.4
Perhitungan Morgenstern
Option
Price
dengan
Metode
Von
Neumann-
Pendekatan dalam valuasi ekonomi yang dikemukakan oleh Fauzi (2007) adalah dengan melakukan ‘Option Price’ yaitu memberikan pilihan antara melakukan penangkapan ikan dalam kawasan konservasi dengan di luar kawasan konservasi. Metode Von-Neumann Morgenstern ini digunakan untuk menghitung option price sebagai proxy dari nilai pilihan dimana harga pilihan merupakan solusi dari persamaan (3.10) :
π 1U ( x1 − OP ) + π 2U ( x2 − OP ) = EU ..............................................................(3.10) Dimana :
π1
= Peluang terjadi kondisi baik (0,5)
π2
= Peluang terjadi kondisi buruk (1 − π 1 )
U(x1)
= Utilitas dari kondisi baik/ musim panen
U(x2)
= Utilitas dari kondisi buruk/musim paceklik
OP
= Harga pilihan
EU
= Expected Utility
Dimana Expected Utility mengikuti rumus (3.11) :
EU = π 1U ( x1 ) + (1 − π 1 ) U ( x2 ) .......................................................................(3.11)
3.4.5
Willingness To Pay (WTP) Perhitungan nilai Willingness To Pay (WTP) dengan menggunakan
Contingent Valuation Method digunakan pendekatan metode LIMDEP model diestimasi
dengan
menggunakan
Maximum
Likelihood
dimana
peluang
seseorang untuk membayar terhadap perbaikan ekosistem terumbu karang diasumsikan merupakan fungsi dari variabel sosial ekonomi lainnya yaitu pendidikan, pendapatan, dan pengalaman. Peluang menjawab ya = 1 (sanggup membayar) atau tidak = 0, ditentukan oleh persamaan regresi linier berikut ini :
⎛ −α − β X n P (Yn = 1) = P ( ui > −α − β X n ) = 1 − F ⎜ σ ⎝
⎞ ⎟ .......................................(3.12) ⎠
41
⎛ −α − β X n P (Yn = 0 ) = P ( ui ≤ −α − β X n ) = 1 − F ⎜ σ ⎝
⎞ ⎟ .......................................(3.13) ⎠
Dimana koefisien α dan β adalah koefisien regresi dengan X adalah vektor variable
sosial
ekonomi
(pendidikan,
pendapatan,
umur,
pengalaman).
Sedangkan σ adalah standar deviasi. Pendugaan koefisien dilakukan dengan teknik maximum likelihood dengan fungsi sebagai berikut:
⎡ ⎛ −α − β X n ⎞ ⎛ −α − β X n 1− F ⎜ L=∏F⎜ ∏ ⎟ ⎢ σ σ ⎝ ⎠ Yn =1 ⎣ ⎝ Yn = 0
⎞⎤ ⎟ ⎥ …………………………….(3.14) ⎠⎦
Pendugaan koefisien pada persamaan (3.14) kemudian akan diperoleh nilai rataan Willingness To Pay (mean WTP) yang menggambarkan nilai non-use dari ekosistem terumbu karang.
3.5
Pemetaan Penelitian Keseluruhan proses penelitian ini secara ringkas dapat dipetakan berupa
diagram sebagaimana ditampilkan pada Gambar 8. Secara umum penelitian valuasi ekonomi terumbu karang di kawasan konservasi laut ini mempunyai tujuan untuk mengetahui nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang yang berada di kawasan konservasi laut TNKpS. Secara khusus penelitian ini mempunyai 3 tujuan. Setiap tujuan membutuhkan data sebagai bahan untuk perhitungan pada metode analisis. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diantaranya adalah data kualitatif mengenai kondisi pemanfaatan sumber daya terumbu karang di kawasan konservasi laut TNKpS, data kualitatif lainnya berupa persepsi masyarakat data yang diperlukan adalah data primer yang didapatkan langsung dari responden (nelayan dan non nelayan) mengenai sumber daya terumbu karang yang diperoleh dengan teknik wawancara sehingga didapatkan keinginan membayar (WTP) dan informasi lainnya. Data-data yang dibutuhkan untuk analisis adalah data yang bersifat urut waktu (time series) dan cross section berupa produksi ikan, harga ikan, jumlah kapal, jumlah pengunjunng, struktur pengeluaran turis, produksi kapal yang beroperasi di dalam KKL, produksi kapal yang beroperasi di luar KKL,dan jumlah penduduk di kawasan konservasi laut TNKpS.
42
Proses selanjutnya setelah diperoleh data-data yang dibutuhkan adalah analisis data melalui beberapa pendekatan seperti perubahan produktifitas (change in productivity), market price, option price dengan menggunakan teori Von Neumann-Morgenstern, dan Contingent Valuation Method (CVM) yang selanjutnya dianalisis dengan limdep model untuk mengetahui kebaikan model tersebut. Pada akhirnya keseluruhan proses ini akan menghasilkan nilai kegunaan (use value) dan nilai non kegunaan (non use value) sehingga akan menghasilan nilai ekonomi total sumber daya terumbu karang di kawasan konservasi laut TNKpS.
3.6
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian Valuasi Ekonomi Terumbu Karang ini telah dilaksanakan di
Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) yang terletak di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Kepulauan Seribu Jakarta. Lokasi responden yang dijadikan sampel adalah Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Harapan dan Pulau Kelapa. Lokasi ekosistem terumbu karang yang dinilai adalah yang berada di zona inti I, II dan III seluas 4.397,06 hektar. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2008 sampai dengan Oktober 2008.
43
TUJUAN UMUM
TUJUAN KHUSUS Mengetahui kondisi pemanfaatan dan persepsi masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut TNKpS
Menghitung nilai ekonomi total ekosistem terumbu karang yang berada di kawasan konservasi laut TNKpS
Menghitung nilai pemanfaatan ekosistem terumbu karang yang berasal dari sektor perikanan dan pariwisata di kawasan konservasi laut TNKpS.
Menghitung nilai non pemanfaatan ekosistem terumbu karang berupa nilai proteksi terumbu karang dan nilai pilihan (option value) di kawasan konservasi laut TNKpS
DATA
METODE VALUASI
OUTCOMES
Primer dan sekunder Nilai Kegunaan
Time Series ,Harga, produksi, jumlah kapal/ Alat Tangkap, efffort
Change in Productivity
Time series, jumlah pengunjung, struktur pengeluaran
Market Price
Produksi kapal (KKL dan non KKL), Harga, musim
Option Price
Teridentifikasinya persepsi, kondisi pemanfaatan dan non pemanfaatan, serta nilai non kegunaan dan non kegunaan sumber daya terumbu karang di kawasan konservasi laut TNKpS Von Neuman‐ Morgernstern Nilai non Kegunaan
CVM
LOGIT MODEL
WTP, Jumlah Penduduk Agregat dari teknik valuasi
Gambar 8. Pemetaan Proses Penelitian
44
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH KAWASAN KONSERVASI LAUT KEPULAUAN SERIBU
4.1
Keadaan Umum Wilayah Studi
4.1.1
Letak Geografis dan Administrasi Kawasan Konservasi Kepulauan Seribu Kawasan Konservasi Kepulauan Seribu atau dikenal dengan Taman
Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) terletak di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Secara geografis TNKpS terletak antara 5o24’ - 5o45’ LS dan 106o25’ – 106o40’ BT. Secara fisik berbatasan dengan laut Jawa dan selat Sunda di sebelah utara, Kecamatan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan di sebelah selatan, sedangkan sebelah Timur dan Barat berbatasan dengan laut Jawa dan selat Sunda. Kawasan TNKpS terbentang pada dua wilayah yaitu wilayah Kelurahan Pulau Panggang dan wilayah Kelurahan Pulau Kelapa. Kawasan konservasi ekosistem terumbu karang di kepulauan seribu terdapat di kawasan zona inti yang berdasarkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor. SK.05/IV-KK/2004. Selain itu, ada juga kawasan konservasi ekosistem terumbu karang yang melibatkan masyarakat atau yang biasa disebut Area Perlindungan Laut (APL) atau Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang terletak di dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu sesuai dengan SK Bupati Kepulauan Seribu nomor 375/2004. APL/DPL yang terletak di dalam TNKpS adalah DPL-BM Gosong Pramuka seluas 16 ha, dan DPL-BM Kelapa seluas 7 ha. Kawasan konservasi ekosistem terumbu karang di zona I, II dan III berada di
bawah
kewenangan
Departemen
Kehutanan,
sedangkan
DPL/APL
pengelolaannya oleh masyarakat. Ekosistem terumbu karang yang dinilai pada penelitian adalah terumbu karang yang berada di zona I, II dan III, atau sesuai dengan SK yang dikeluarkan oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Pembagian zona di Taman Nasional Kepulauan Seribu berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor. SK.05/IV-KK/2004 adalah sebagai berikut :
45
1. Zona Inti, diperuntukan bagi upaya pelestarian sumber genetik dan perlindungan proses ekologis. Zona ini merupakan daerah tertutup bagi segala bentuk eksploitasi, kegiatan pariwisata dan kegiatan lain, kecuali penelitian. Zona inti ini terbagi menjadi 3 lokasi yang terletak pada : -
Zona inti I, terletak pada koordinat 5027′ - 5029′ LS dan 106026′ - 106028′ BT mempunyai luas ± 1.386 hektar, meliputi Gosong Rengat dan Perairannya yang diperuntukkan bagi perlindungan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan ekosistem terumbu karang.
-
Zona Inti II, terletak pada koordinat 5026′36′′ - 5029′ LS dan 106032′ 106035′ BT mempunyai luas ± 2.398 hektar, zona ini peruntukan perlindungan ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang dan tempat peneluran penyu yang meliputi perairan :
-
P. Penjaliran Barat
Gosong Penjaliran
P. Peteloran Timur
P. Peteloran Barat
P. Penjaliran Timur
Zona Inti III, terletak pada koordinat 5036′ - 5036′45′′ LS dan 106033′36′′ 106035′42′′ BT mempunyai luas sekitar 613,06 hektar, zona ini meliputi perairan P. Kayu Angin Bira dan P. Belanda yang merupakan perlindungan ekosistem terumbu karang dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata).
2. Zona Perlindungan, terletak pada 5024′ - 5030′ LS dan 106025′ - 106040′ BT, dengan luas sekitar 26.284,50 hektar. Zona ini diperuntukan untuk melindungi zona inti, dan tidak diperkenankan segala bentuk eksploitasi dan kegiatan yang mengganggu keseimbangan ekosistem, kecuali kegiatan observasi, penelitian, pendidikan, kegiatan penunjang budidaya dan wisata alam terbatas.
Pulau – pulau
yang termasuk ke dalam zona ini adalah
P. Buton, P. Jagung, P. Karang Mayang, P. Rengit, P. Nyamplung, P. Sebaru Besar, P. Sebaru Kecil.
46
3. Zona Pemanfaatan Wisata, terletak pada 5030′ - 5038′ - 5045′ LS dan 106025′ - 106033′ - 106040′ BT, dengan luas sekitar 59.634,50 hektar. Pada zona ini dapat dibangun sarana dan prasarana rekreasi dan pariwisata alam yang dikembangkan untuk mengakomodir kegiatan wisata bahari. 4. Zona Pemukiman, terletak pada 5038′ - 5045′ LS dan 106033′ - 106040′ BT, dengan luas sekitar 17.121 hektar. Zona ini diperuntukan mengakomodir kepentingan masyarakat, tetapi harus memperhatikan aspek konservasi dari Taman Nasional Kepulauan Seribu.
4.1.2
Topografi , Iklim dan Keadaan Angin Kawasan TNKpS rata-rata memiliki topografi yang mendatar dan
ketinggian dari permukaan laut antara 1 sampai dengan 2 meter, keadaan tanah di kawasan ini adalah tanah berpasir dan memiliki tingkat kesuburan yang relatif rendah. Kawasan TNKpS terdiri dari gugus pulau 78 pulau yang sangat kecil, 86 gosong pulau dan hamparan laut dangkal pasir karang pulau sekitar 2.136 hektar (reef flat seluas 1.994 ha, laguna seluas 119 ha, selat seluas 18 ha dan teluk seluas 5 ha), terumbu karang dengan tipe karang fringing reef, mangrove dan lamun bermedia tumbuh sangat miskin hara/ lumpur, dan kedalaman dangkal sekitar 20-40 m. Seperti daerah tropis pada umumnya, daerah TNKpS terdiri dari dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan terjadi antara bulan Nopember sampai dengan bulan April dengan jumlah hari hujan berkisar antara 10-20 hari per bulan. Sedangkan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Mei sampai dengan bulan Oktober, walaupun musim kemarau akan tetapi kadang-kadang terjadi hujan dengan jumlah hari jatuh hujan berkisar antara 4 – 10 hari perbulan. Curah hujan tertinggi biasanya terjadi pada bulan Januari sedangkan curah hujan terendah biasanya terjadi pada bulan Agustus. Peralihan musim terjadi pada bulan April – Mei dan bulan Oktober – Nopember. Namun dengan adanya global warming yang mengakibatkan perubahan iklim (climate change) sehingga iklim dan musim sulit untuk diprediksi.
47
Suhu udara rata-rata antara 26,5 oC – 28,5 oC dengan nilai maksimum tahunan 29,5 oC- 32,9 oC dan minimum 23,0 oC – 23,8 oC. Kelembaban nisbi berkisar antara 75 % - 99 %, sedangkan tekanan udara rata-rata 1009,0 – 1011,00 mb. Pasang surut permukaan air laut di Kepulauan Seribu bersifat harian tunggal. Level air tertinggi 0,6 m di atas duduk tengan dan terendah 0,5 m di bawah duduk tengah. Keadaan angin di TNKpS dipengaruhi oleh musim angin barat dan musim angin timur. Biasanya musim angin barat terjadi pada bulan Desember sampai dengan bulan Maret, kecepatan angin yang bertiup dari arah barat daya sampai dengan barat laut adalah sebesar 7 – 20 knot/ jam. Pada bulan Desember sampai dengan Februari biasanya angin bertiup dengan kecepatan diatas 20 knot/ jam. Pada musim angin timur, kecepatan angin yang bertiup dari arah timur laut sampai tenggara berkisar antara 7 – 15 knot/jam, biasanya terjadi pada bulan Juli sampai dengan September. Sementara itu, pada musim peralihan yang terjadi pada bulan Juni sampai dengan bulan Mei, dan antara bulan Oktober dan Nopember, angin bertiup dengan kecepatan relatif rendah.
4.1.3 Oseanografi A. Batimetri Wilayah Kepulauan Seribu mempunyai kedalaman perairan yang bervariasi yaitu berkisar antara kurang dari 5 m hingga lebih dari 75 m. Setiap pulau umumnya dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau tersebut dengan kedalaman laut kurang dari 5 m. Selain paparan pulau, setiap pulau juga memiliki daerah rataan karang (reef flat) yang luas dengan kedalaman 0,5 m – 1,0 m pada saat air surut dengan jarak 60 – 80 m dari garis pantai.
B. Pasang Surut Pasang surut adalah fenomena naik turunnya permukaan air laut. Setiap daerah memiliki tipe pasang surut yang berbeda, tergantung letak geografis, kontur kedalaman dan morfologi pantai. Tipe pasang surut ditentukan oleh frekuensi air pasang dan surut perhari. Jika suatu wilayah mengalami sekali pasang dan sekali surut per hari maka disebut mengalami Tipe pasang tunggal, sedang jika dua kali pasang dan dua kali surut disebut mengalami tipe pasang surut ganda.
48
Kondisi pasang surut di Kepulauan Seribu dapat dikategorikan sebagai pasang harian tunggal. Tinggi rata-rata pasang
perbanu sekitar 0,9 m dan
pasang mati sekitar 0,2 m.
C. Arus Arus yang ditemui di suatu perairan dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti angin, pasang surut, densitas yang disebabkan oleh perbedaan suhu maupun salinitas, perbedaan tekanan hidrositas ataupun gaya koroalis. Arus disepanjang perairan Pulau Seribu merupakan kombinasi dari arus pasang surut dan arus yang ditimbulkan faktor meteorologis, terutama angin baik di perairan pantai barat maupun timur, namun untuk arus permukaan dipengaruhi oleh perubahan musim baik musim barat, musim timur maupun peralihan dari dua musim tersebut. Beberapa pengukuran arus di kawasan telah banyak dilakukan, diantaranya oleh Effendi (1993) kecepatan arus 2 – 19 cm/dt, Dinas Perikanan DKI Jakarta (1997) 4 – 10 cm/dt, Seawatch-BPPT (1998) 0,6 – 77,3 cm/dt dengan rata-rata 23,6 cm/dt, dan jurusan Geoteknik ITB (1999) 5 – 48 cm/dt. Kecepatan arus yang tinggi umumnya terjadi pada pasang tertinggi yaitu pasang purnama.
4.2
Kondisi Sosio - Demografi Menurut data demografi Kabupaten Kepulauan Seribu tahun 2008,
jumlah penduduk di kawasan TNKpS yang terdiri dari dua Kelurahan adalah sebesar 11.031 jiwa, dengan komposisi penduduk yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 5.661 jiwa dan perempuan sebanyak 5.370 jiwa sehingga sex ratio dari kawasan ini adalah sebesar 105 yang artinya dalam 100 perempuan terdapat 105 laki-laki. Luas kelurahan yang paling besar adalah Kelurahan Pulau Kelapa yang memiliki luas sebesar 258,47 ha dengan kepadatan penduduk ratarata sekitar 21 orang/ha. Sedangkan Kelurahan Pulau Panggang memiliki luas sebesar 62,10 ha dan dengan kepadatan penduduk sebesar 88 orang/ha. Keadaan demografi kawasan TNKpS ini dapat dilihat pada Tabel 3.
49
Tabel 3. Keadaan Demografi di Kawasan TNKpS Tahun 2008 No 1 2
Penduduk
Kelurahan Pulau Kelapa Pulau Panggang Jumlah
Lk
Pr
2853 2808 5661
2698 2672 5370
Jumlah 5551 5480 11031
KK
Luas (ha)
Sex Ratio
1197 1248 2766
258.47 62.10 320.57
106.00 105.00
Kepadatan (orang/ha) 21 88
Sumber : Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Wilayah Kepulauan Seribu (2008)
Sebagian besar penduduk di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu beragama islam dan penduduk yang tinggal di pulau-pulau tersebut merupakan pendatang yang berasal dari berbagai suku di Indonesia diantaranya suku Betawi, Banten, Bugis dan Madura. Mayoritas rumah yang dibangun di kawasan ini adalah permanen dan semi permanen dan rata-rata setiap rumah mempunyai fasilitas MCK. Aliran listrik di kawasan ini bergantung pada PLTD yang masingmasing tiap Kelurahan berjumlah 2 buah, sehingga listrik di kawasan ini tidak selalu menyala. Listrik mulai menyala dari pukul 5 sore hingga 7 pagi. Tingkat pendidikan di kawasan ini secara umum masih bisa dikatakan rendah, hal ini dapat terlihat dari Tabel 4 dengan mayoritas tamat SD sebanyak 3.149 orang (67,10 %). Jumlah tamatan SMP sebanyak 910 orang (19,39 %). Sedangkan yang sempat menamatkan SMU sebesar 511 orang dan jumlah yang menamatkan jenjang Perguruan Tinggi atau Akedemi sebanyak 123 orang.
Tabel 4. Tingkat Pendidikan Formal di Kawasan TNKpS tahun 2006 Tingkat Pendidikan No
Kelurahan
1
Pulau Kelapa
2
SD
SMP
SMU
PT/ Akademik
688
310
285
103
Pulau Panggang
2,461
600
226
20
Jumlah
3,149
910
511
123
Sumber : Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Wilayah Kepulauan Seribu (2006)
Fasilitas pendidikan di kawasan ini masih kurang memadai, jumlah SMU dan SLTP Negeri saja hanya ada satu yang terletak di Pulau Pramuka. Siswasiswa yang berasal dari pulau-pulau yang jauh dari pulau Pramuka tinggal di asrama dan biasanya mereka pulang pada hari sabtu. Sedangkan bagi siswa yang tinggal di pulau sekitar Pulau Pramuka disediakan angkutan berupa kapal untuk mengantar jemput siswa tersebut dan tidak dipungut biaya. Sedangkan
50
Sekolah Dasar Negeri ada di setiap kelurahan, Kelurahan Panggang mempunyai SD sebanyak 3 dan kelurahan Pulau Kelapa memiliki 2 SD. Mata pencaharian yang ada di Kepulauan Seribu meliputi bidang perikanan, perdagangan, PNS, ABRI, Karyawan, buruh dan lain-lain. Data mengenai mata pencaharian ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian di Kawasan TNKpS Tahun 2006 No
Mata Pencaharian
1 2 3 4 5 6 7
TNI/ POLRI PNS Karyawan/ buruh Nelayan Wiraswasta Dagang Pensiunan
Kelurahan P. Kelapa P.Panggang 10 9 58 92 119 21 1142 1667 55 22 162 102 3 31
Jumlah
1,549
Jumlah
1,944
Persentase (%)
19 150 140 2,809 77 264 34
0.54% 4.29% 4.01% 80.42% 2.20% 7.56% 0.97%
3,493
100.00%
Sumber : Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Wilayah Kepulauan Seribu (2006)
Mata pencaharian di wilayah TNKpS, berdasarkan kondisi wilayahnya yang
terletak
di
pulau-pulau
kecil
dan
dikelilingi
laut
ini,
mayoritas
berpencaharian sebagai nelayan dengan jumlah 2.809 orang atau 80,42 % dari jumlah penduduk. Selanjutnya yang bermata pencaharian sebagai pedagang sebanyak 264 orang diikuti oleh PNS dan Karyawan/ buruh yang jumlahnya masing – masing sebanyak 150 orang dan 140 orang. Sisanya adalah yang memiliki mata pencaharian sebagai TNI/POLRI, wiraswasta dan pensiunan. Selain itu, seperti yang terlihat pada Tabel 6 Sarana Penangkapan Ikan di TNKpS, seperti dermaga tersedia sebanyak 11 buah, namun sarana lainnya seperti pabrik es belum ada. Usaha perikanan di Kawasan TNKpS masih didominasi oleh perahu motor sebanyak 706 unit, lalu kapal motor sebanyak 151 unit. Di kawasan TNKpS masih ada yang menggunakan perahu layar untuk menangkap ikan, namun tentunya jarak yang di tempuh relatif tidak jauh, mereka hanya menangkap sekitar pulau saja.
51
Tabel 6. Sarana Penangkapan Ikan di Kawasan TNKpS tahun 2006 No
Kelurahan
Sarana Penangkapan Ikan
1
Kapal Motor
2
P. Kelapa
P.Panggang
Jumlah
31
120
151
Perahu Motor
231
475
706
3
Perahu Layar
27
17
44
4
Speed Boat
1
17
18
5
Dermaga
6
5
11
296
634
930
Jumlah
Sumber : Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Wilayah Kepulauan Seribu tahun 2006
Kondisi eksisting jenis alat tangkap yang ada di Kawasan TNKpS di dominasi oleh pancing yaitu sebesar 502 unit (Tabel 7). Biasanya ikan yang tertangkap adalah ikan ekor kuning, lodi, kerapu, baronang, mogong, kakap, layang, pisangpisang dan lain-lain
Tabel 7 Jenis alat penangkapan ikan di Kawasan TNKpS tahun 2006 No
Kelurahan
Jenis Alat Penangkapan Ikan
P. Kelapa
P.Panggang
Jumlah
1
Pancing
58
444
502
2
Jaring Payang
82
11
93
3
Jaring Gebur
12
10
22
4
Jaring Muroami Besar
-
5
5
5
Jaring Muroami Mini
5
5
10
6
Bubu Tambur/ Besar
19
21
40
7
Bagan
10
-
10
186
496
682
Jumlah
Sumber : Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Wilayah Kepulauan Seribu tahun 2006
Saat ini jenis alat tangkap yang menjadi perhatian adalah jaring muroami karena selain alat tangkap ini tidak ramah lingkungan, nelayan dengan alat tangkap jaring muroami menggunakan alat bantu compresor untuk menyelam dan hal tersebut membahayakan kesehatan bahkan jiwa nelayan.
52
4.3
Kegiatan Ekonomi Perekonomian di Kawasan TNKpS seperti telah diuraikan sebelumnya
didominasi oleh perikanan. Kegiatan perekonomian lainnya yang tidak bisa diabaikan adalah pariwisata, dengan suasana yang eksotis, pulau-pulau kecil yang dikelilingi oleh ekosistem yang indah seperti terumbu karang, ikan-ikan hias, pantai berpasir putih dan lain-lain merupakan daya tarik tersendiri. Akan tetapi dengan keindahan alam tersebut, menurut data Suku Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Seribu (2007), rata-rata jumlah pengunjung ke lokasi wisata di Kepulauan Seribu mengalami penurunan setiap tahunnya (Tabel 8 dan Gambar 9)
Tabel 8. Jumlah Wisatawan di Kepulauan Seribu Tahun 1995-2006 Wisatawan
Wisatawan
Mancanegara
Nusantara
1995
12,991
143,772
156,763
1996
12,799
133,219
146,018
1997
10,252
105,683
115,935
1998
16,215
81,125
97,340
1999
15,918
80,105
96,023
2000
14,901
81,887
96,788
2001
15,038
82,011
97,049
2002
20,274
58,050
78,324
2003
16,775
67,467
84,242
2004
19,889
56,947
76,836
2005
20,012
42,063
62,075
2006
18,784
39,484
58,268
Tahun
Jumlah
Sumber : Suku Dinas Pariwisata Kabupaten administrasi Kepulauan Seribu tahun 2007
53
Wisatawan Mancan negara
W Wisatawan Nus antara
Gambar G 9. Jumlah Wisatawan ya ang Berkunjjung ke Lok kasi Wisata di Kepulauan Seribu Ta ahun 1995-2 2006.
Berd dasarkan ha asil survai, wisatawan yang berrkunjung ke e kawasan TNKpS T
bia asanya
me elakukan
ke egiatan
wisata
pa berup
diving,
snorkling,
memancing atau hanya berenang d dan bermain di pantai se ekitar pulau--pulau atau resort. r Reso ort yang sa aat ini masih bertahan diantaranya a adalah Se epa Island Resort, Alam m Kotok Isla and Resort dan d Putri Re esort. Kolapssnya resort lain l adalah karena jumlah pengunjjung yang kian k menuru un akibat krisis k monete er, apalagi dengan d Passca Tsunamii Aceh yang mengakibatkan orang ttakut ada dissekitar laut sehingga s
r resort-resort t
tersebut
tidak
a bisa
menutupi
biaya
op perasional.
Wisatawan W yang berkunjung biasa anya mengin nap selama satu malam m dua hari dan d biasany ya penuh pada p saat hari libur dan akhir pekkan. Pengun njung yang datang d ke kawasan k ini mayoritas berasal dari DKI D Jakarta, wisatawan n asing pun mayoritas ya ang bekerja di DKI Jaka arta. Biaya yang dikeluarkan oleh pengunjjung untuk penginapan n di resort 8.000,00 – Rp. R 1.100.000,00 belum termasuk pe engeluaran berkisar antara Rp. 688 seperti s hibu uran, makan n, cinderamata dan lain sebagainya. Sedang gkan untuk wisatawan w yang y berlibu ur dengan an nggaran yan ng lebih rend dah, tempatt menginap yang y dituju adalah a pulau Pramuka. Di pulau ini terdapat pe enginapan dengan tarif
54
yang lebih murah.Tarif per kamar untuk penginapan “Villa Merah” adalah sebesar 300 ribu per malam, dengan kapasitas 4 orang dan 2 tempat tidur, jika ada penambahan tempat tidur maka akan dikenai biaya tambahan sebesar 25 ribu per satu tampat tidur. Sedangkan penginapan lainnya adalah yang biasa disebut Guest House dengan tarif menginap antara 300 – 350 per malam. Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu juga memiliki paket-paket wisata yang ditawarkan kepada wisatawan sesuai dengan keinginan para wisatawan.
4.4
Ekosistem (Habitat)
4.4.1
Terumbu Karang Terumbu karang tepian (fringing reef) merupakan terumbu karang yang
mengelilingi pulau-pulau di kawasan TNKpS, mempunyai kedalaman 0,5 – 5 m yang merupakan habitat bagi berbagai jenis biota laut. Jenis-jenis karang yang dapat di temukan di sekitar Kepulauan Seribu adalah jenis karang keras (hard coral) seperti karang batu (masive reef), karang meja (table coral), karang kipas (gorgnian), karang daun (leaf coral), karang jamur (mushroom coral) dan jenis karang lunak (soft coral). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa di kawasan Kepulauan Seribu terdapat 267 jenis karang bercabang. Menurut Renstra Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu tahun 2005 - 2009, terumbu karang yang ada di kawasan TNKpS mengalami kerusakan, kerusakan yang terjadi adalah coral bleaching yaitu pemutihan terumbu karang yang diakibatkan oleh sedimentasi yang tinggi dan juga fenomena fluktuasi suhu dan juga karena zat sianida yang biasanya digunakan oleh nelayan ikan hias dalam menangkap ikan. Selain itu kerusakan yang terjadi juga dikarenakan oleh aktifitas manusia terhadap coral reef seperti penambangan karang, buangan jangkar dan juga karena diinjak oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti muroami dan juga karena wisatawan yang melakukan aktifitas seperti snorkling atau diving yang secara tidak sengaja menginjak karang-karang tersebut. Selain fringing reef, terdapat juga gosong-gosong yaitu komunitas terumbu karang pada tepian gosong pasir yang berkembang dan secara lambat akan menjadi pulau gosong. Pulau gosong tersebut antara lain Karang Congkak dan gosong-gosong lainnya yang berkembang berdekatan dengan pulau-pulau kecil. Fungsi dari gosong-gosong tersebut kadang seperti atol, sehingga disebut pseudo attol seperti karang di gugusan Pulau Pari. Menurut Dinas Peternakan,
55
Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta (2003), paling tidak di kawasan ini hidup 113
jenis
ikan
hias
yang
diantaranya
termasuk
ke
dalam
family
Chaetodonthidaer, Diodonthidae, dan Pamancaaanthidae. Kawasan Kepulauan Seribu juga dikenal sebagai salah satu kawasan yang mempunyai keragaman jenis terumbu karang dan ikan hias tertinggi di Asia Tenggara. Selan itu, ikanikan dengan nilai ekonomis tinggi banyak ditemukan di kawasan ini seperti ikan baronang, ekor kuning, tenggiri dan tongkol. Jenis-jenis Echinodermata juga banyak ditemukan di daerah ini diantaranya bintang laut, teripang dan bulu babi. Blooming bulu babi disekitar terumbu karang merupakan indikator terjadinya perusakan terumbu karang, seperti yang terjadi pada daerah pulau-pulau yang dijadikan permukiman. Sedangkan jenis crustacea yang ada di daerah ini dan banyak dikonsumsi antara lain kepiting, rajungan dan udang karang (spinny lobster). Jenis Molusca yang ditemukan di kawasan ini antara lain jenis Gastropoda yang terdiri dari 295 jenis dan Pelecyposa sebanyak 97 jenis termasuk yang dilindungi diantaranya Kima Raksasa dan Kima Sisik.
4.4.2
Padang Lamun Kadang-kadang orang salah mengartikan bahwa seagrass adalah rumput
laut. Seagrass yang dalam bahasa Indonesia berarti lamun adalah tumbuhan air berbunga (Angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup terendam dalam laut. Usaha untuk rehabilitasi di kawasan ini masih jarang dilakukan karena menurut renstra BTNKpS 2005-2009 keberadaan dari padang lamun ini masih belum bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat seperti keberadaan coral reef. Namun, ekosistem padang lamun secara ekologi merupakan daerah asuhan (nursery ground), spawning ground dan feeding ground bagi berbagai biota. Biota yang khas adalah Dugong dan Penyu, namun di daerah Kepulauan Seribu saat ini jarang bahkan tidak ditemukan dugong yang sedang bermain di daerah tersebut. Ekosistem padang lamun bukan merupakan entitas yang berdiri sendiri, akan tetapi juga berinteraksi dengan ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Ada 12 jenis lamun yang tersebar di perairan Indonesia, di Kepulauan Seribu terdapat 6 jenis lamun yang terdiri dari 4 jenis
yang
termasuk
Potamogetoceae.
famili
Hydrocharitaceae
dan
2
jenis
dari
famili
56
4.4.3
Mangrove Kondisi daerah pantai di TNKpS tanahnya mengandung pasir dan sedikit
lumpur
mengakibatkan
ekosistem
mangrove
di
kawasan
ini
kurang
keberadaanya, karena kondisi tersebut kurang dalam mendukung sebagai media tempat mangrove tumbuh. Pada beberapa pulau yang terdapat di Kawasan Kepulauan Seribu, terutama zona inti I dan II terdapat mangrove yang hidup di atas hamparan pasir laut. Jenis mangrove yang dapat dijumpai di daerah ini diantaranya jenis bakau (Rhozophora marina), Tancana (Sonneratia alba), Butabuta (Exoecaria agal-locha) dan Jangkar (Bruguiera sp.) Ekosistem mangrove, seperti ekosistem-ekosistem lainnya mempunyai kegunaan sebagai spawning ground, feeding ground, nursery ground berbagai jenis ikan, dan mempunyai fungsi ekologis dalam hal ini melindungi pulau dari abrasi, intursi air laut, dan lain sebaginya. Untuk itu, Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu melakukan kegaiatan konservasi dengan menanam pohon mangrove di sekitar pulau-pulau. Pada tahun 2006 tercatat 1,9 juta pohon mangrove sudah di tanam di kawasan TNKpS.
57
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Karakteristik Responden Responden yang dipilih dalam penelitian ini adalah responden yang
berprofesi sebagai nelayan dan non-nelayan. Nelayan yang dijadikan responden merupakan nelayan yang tinggal dan menangkap ikan di dalam kawasan TNKpS serta nelayan yang tinggal di kawasan TNKpS tetapi menangkap ikan di luar kawasan TNKpS. Total responden adalah sebanyak 68 responden yang terdiri dari 55 responden yang berprofesi sebagai nelayan, dan 13 responden yang berprofesi diluar nelayan (non nelayan). Responden nelayan terdiri dari nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing, bubu, muroami dan payang Nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing merupakan nelayan harian (one day fishing) dengan jumlah trip tiap bulan rata-rata 26 hari. Nelayan di kawasan TNKpS rata-rata tidak melaut pada hari Jumat, karena mayoritas nelayan beragama Islam sehingga pada hari tersebut para nelayan melakukan Sholat Jumat. Selain itu mereka memanfaatkan hari Jumat untuk memperbaiki jaring
yang rusak. Wilayah penangkapannya relatif tidak jauh yaitu masih di
sekitar pulau-pulau di kawasan TNKpS. Jenis ikan yang ditangkap oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap pancing beranekaragam seperti yang disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Jenis dan Harga Ikan yang Tertangkap oleh Pancing Harga Jenis Ikan (Rp/Kg) Ekor kuning
15.000
Kerapu Lodi
100.000
Kerapu
30.000
Baronang
22.000
Mogong
1.500
Kakap
20.000
Layang
5.000
Pisang-pisang
4.000
Sulir
1.500
Sumber : data primer diolah (2008)
58
Pada Tabel 9 terlihat bahwa jenis ikan yang di tangkap rata-rata merupakan ikan demersal yang juga memiliki nilai ekonomis tinggi. Kisaran harga ikan yang tertangkap oleh pancing adalah Rp. 1.500,00 – Rp. 100.000,00 yang termurah adalah ikan sulir dan mogong, sedangkan ikan paling mahal adalah ikan kerapu Lodi. Berdasarkan wawancara, rata-rata jumlah tangkapan per trip nelayan pancing adalah 10 Kg. Alat tangkap bubu seperti nelayan pancing merupakan nelayan harian (one day fishing), trip rata-rata setiap bulan sebanyak 26 trip. Wilayah penangkapannya juga relatif tidak jauh hanya sekitar Kawasan TNKpS. Jenis ikan yang ditangkap oleh bubu dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Jenis dan Harga Ikan yang Tertangkap oleh Bubu Harga Jenis Ikan (Rp/Kg) Selar 3000 Kembung 6000 Lodi 25000 Kerapu 30000 Tenggiri 18000 Mogong 1500 Lape bata 6000 Layang 5000 Tongkol 18000 raragang 5000 Serak 5000 Kakap 15000 Lencam 10000 Sumber : data primer diolah (2008)
Pada Tabel 10 terlihat bahwa kisaran harga ikan yang tertangkap oleh bubu adalah sebesar Rp. 1.500,00 - Rp. 30.000,00. Harga ikan yang paling mahal adalah ikan kerapu sedangkan harga ikan paling murah adalah ikan mogong. Jumlah produksi rata-rata nelayan bubu per satu kali trip adalah sebesar 10 kg. Alat tangkap lainnya adalah muroami, hari melaut muroami bervariasi ada yang satu hari melaut (one day fishing) atau ada yang melaut 3-7 hari. Jenisjenis ikan yang ditangkap muroami dapat dilihat pada Tabel 11.
59
Tabel 11. Jenis dan Harga Ikan yang Tertangkap oleh Muroami Jenis Ikan Ekor Kuning
Harga (Rp/Kg) 18000
Selar
4000
Pisang-pisang
8000
Bula
7500
Uyer
3000
Lodi
25000
Sulir
1500
Tenggiri
18000
Baronang
22000
Alu-Alu
4000
Budun
3000
Tengkek
8000
Kuniran
3000
Layang
5000
Sumber : data primer diolah (2008)
Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa ikan dengan nilai ekonomis yang tertangkap oleh jaring muroami adalah ikan lodi dan baronang, sedangkan ikan yang harganya paling rendah adalah ikan sulir. Produksi rata-rata jaring muroami dengan hari melaut 4-7 hari adalah 315 kg, sedangkan nelayan harian rata-rata memperoleh ikan sebanyak 28 Kg. Wilayah penangkapan jaring muroami adalah sekitar kawasan TNKpS dan juga sampai keluar kawasan TNKpS. Wilayah penangkapan jaring payang rata-rata di luar kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu, mereka menangkap ikan sampai ke daerah pabelokan, lampu putih dan lampu hitam. Jenis ikan yang tertangkap dengan menggunakan alat tangkap payang dapat dilihat pada Tabel 12.
60
Tabel 12. Jenis dan Harga Ikan yang Tertangkap oleh Payang Harga Jenis Ikan (Rp/Kg) Selar
6000
Bawal putih
22000
Bawal hitam
20000
Kembung
8000
layang
6000
Tongkol
11000
Lemuru
4500
Temban
2500
Kuwe
14000
Sumber : data primer diolah (2008)
Pada Tabel 12 terlihat bahwa ikan yang paling mahal adalah ikan bawal dan paling murah adalah ikan temban, jenis ikan yang paling sering tertangkap dalam jumlah banyak adalah selar dan bawal. Jumlah tangkapan terbanyak ikan bawal dalam satu kali trip adalah 100 kg sedangkan ikan selar mencapai 500 kg. Waktu yang digunakan dalam menangkap ikan berkisar dari 8 sampai 24 jam. Nelayan jaring payang menggunakan rumpon untuk membantu agar jumlah tangkapan mereka menjadi lebih banyak. Rumpon yang digunakan terbuat dari daun kelapa yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai tempat bermain ikan. Berdasarkan hasil survey, umur responden yang diwawancara rata-rata 37 tahun dan berkisar antara 19 – 65 tahun. Pengalaman responden dalam bekerja rata-rata 18 tahun dengan kisaran 3 – 49 tahun. Rata-rata responden mengenyam pendidikan selama 8 tahun, dengan kisaran 1 – 16 tahun, artinya ada responden yang hanya mengenyam pendidikan hanya satu tahun bahkan ada responden yang sampai lulus bangku kuliah. Pendidikan paling tinggi responden nelayan hanyalah sampai lulus SMA, rata-rata pendidikan nelayan yang dijadikan responden adalah sampai tamat Sekolah Dasar. Sedangkan ratarata pendidikan responden non-nelayan adalah tamat Sekolah Menengah Pertama. Jika dilihat dari pendapatan, kisaran pendapatan responden nelayan adalah Rp.100.000,00 – Rp. 2.000.000,00 setiap bulannya dengan rata-rata pendapatan per bulan sebesar Rp. 804.00,00. Sedangkan responden nonnelayan
mempunyai
kisaran
pendapatan
antara
Rp.1.000.000,00
–
61
Rp.
3.000.000,00
dengan
rata-rata
pendapatan
per
bulan
sebesar
Rp. 1.584.615,00
5.2
Persepsi Responden Terhadap Ekositem Terumbu Karang Responden di kawasan konservasi laut TNKpS memandang bahwa
tujuan melindungi dan mencegah perusakan sumber daya terumbu karang adalah penting untuk dilakukan, 82 % responden memandang penting, 13 % memandang biasa saja sedangkan 4 % responden memandang bahwa upaya untuk melindungi dan mencegah perusakan terumbu karang tidaklah penting. Pentingnya sumber daya terumbu karang bagi masyarakat adalah sebagai daerah penangkapan ikan (93 %), daerah untuk diambil terumbu karangnya (6%), sebagai daerah wisata (15 %), cadangan ekosistem yang menyediakan sumber daya di masa kini dan masa mendatang (18 %), dan pelindung bagi di daerah pesisir untuk menjaga kestabilan alam (35 %). Manfaat-manfaat yang diperoleh responden dari sumber daya terumbu karang di kawasan konservasi laut TNKpS bervariasi, 85 % responden mendapatkan manfaat dari pengambilan ikan karang untuk dipasarkan, sedangkan 3 % responden merasakan manfaatnya dari menambang pasir, 9 % mengatakan bahwa manfaat yang mereka peroleh adalah sebagai objek wisata, manfaat lainnya yang dirasakan oleh responden adalah pengambilan ikan hias, transplantasi terumbu karang, ikan untuk dikonsumsi, dan untuk kegiatan menyelam (diving). Selama 12 bulan (satu tahun) terakhir responden (termasuk anggota keluarga) yang memanfaatan dengan menangkap ikan ada 82 %, sedangkan 3 % memanfaatkan dengan mengambil karang, sedangkan yang memanfaatkannya sebagai daerah wisata sebanyak 4 %. Jumlah produksi ratarata yang diperoleh nelayan dari pemanfaatan berkisar 10 – 1.000 Kg per trip untuk ikan konsumsi dan 15 ekor per trip untuk ikan hias. Lama tinggal responden di wilayah konservasi laut kepulauan seribu berkisar antara 19 – 65 tahun, artinya mayoritas responden merasakan keadaan sebelum dan sesudah adanya kawasan konservasi laut. Persepsi masyarakat mengenai kualitas sumber daya terumbu karang dibandingkan 5 tahun yang lalu bervariasi (Gambar 10), namun tidak ada satupun responden yang mengatakan bahwa kondisi sumber daya terumbu karang di kawasan ini dalam keadaan sangat baik, sebanyak 46 % responden menyatakan bahwa kondisi terumbu karang saat ini dalam keadaan baik walaupun masih ada beberapa kerusakan, 23 % responden
62
menganggap kondisi terumbu karang masih cukup baik, sedangkan 30% menyatakan bahwa terumbu karang di kawasan konservasi dalam kondisi buruk. Walaupun pada kenyataannya kondisi terumbu karang di zona inti tidak dalam keadaan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari tutupan terumbu karang yang semakin berkurang, tutupan terumbu karang yang berada di zona inti rata-rata hanya 40 % di zona inti I dan II, sedangkan di zona inti III hanya 9,35 %.
30%
Buruk
23%
Cukup
46%
Baik
Sangat baik
0%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
Gambar 10. Persepsi Responden Mengenai Kondisi Terumbu Karang dibandingkan 5 Tahun yang Lalu
Persepsi responden mengenai produksi ikan yang didapatkan yaitu 88 % mengatakan bahwa hasil produksi yang didapatkan saat ini menurun dibandingkan dahulu, sedangkan sisanya tidak merasakan karena mereka tidak memanfaatkan secara langsung. Penurunan produksi ini juga berkorelasi dengan penurunan pendapatan dari responden, 74 % respoden mengatakan bahwa pendapatan mereka per bulan menurun sekitar Rp. 500.000,00 dibandingkan dahulu, sedangkan 13 % responden mengatakan bahwa pendapatan mereka tetap atau stabil. Terakhir, responden diminta pendapatnya mengenai dampak yang akan timbul apabila terumbu karang rusak, 87 % menyadari bahwa habitat ikan hidup akan hilang, 12 % menyatakan bahwa akan menghilangnya daerah pelindung pantai, 31 % menyatakan bahwa pendapatan nelayan akan berkurang
63
sedangkan 15 % menyatakan bahwa keindahan alam akan hilang, ada juga yang menyatakan bahwa perairan akan rusak dan daerah pariwisata akan hilang. Persepsi responden terhadap terumbu karang di kawasan konservasi laut TNKpS yang berbeda-beda (Lampiran 3) disebabkan oleh latar belakang sosialekonomi dan pengetahuan responden mengenai terumbu karang yang berbedabeda antara responden yang satu dengan responden lainnya.
5.3
Analisis Valuasi Ekonomi Nilai Pemanfaatan
5.3.1
Valuasi Perikanan yang Berasosiasi dengan Terumbu Karang Perikanan memberikan kontribusi bagi ekonomi lokal di kawasan TNKpS,
hal ini tercermin dari jumlah penduduk yang berprofesi sebagai nelayan yaitu sebesar 80 % dari jumlah penduduk menurut mata pencaharian di kawasan TNKpS.
Jenis ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang yang banyak
ditangkap di kawasan ini adalah ikan konsumsi yang benilai ekonomis tinggi seperti ikan baronang, ekor kuning, kerapu, kakap dan tongkol. Produksi perikanan yang berasosiasi dengan terumbu karang ini dihitung berdasarkan data produksi alat tangkap yang beroperasi di dalam kawasan TNKpS seperti jaring muroami, pancing dan bubu selama 10 tahun yang kemudian diolah sehingga mendapatkan surplus dari sektor perikanan tangkap (Tabel 13). Produksi perikanan tangkap dengan menggunakan alat tangkap Muroami dapat dilihat pada Gambar 11. Produksi alat tangkap muroami mengalami penurunan pada tahun 1998, kemudian mencapai puncaknya pada tahun 2002. Perubahan produktifitas dihitung dengan mencari selisih nilai pada saat sebelum dan sesudah ditetapkannya zonasi atau sebelum dan sesudah tahun 2004. Nilai yang didapatkan dari alat tangkap muroami berdasarkan data urut waktu pada Lampiran 4 adalah sebesar Rp. 619.943.809,53.
64
800.00 700.00
Produksi (ton)
600.00 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 ‐ 1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Tahun
Gambar 11. Produktifitas Alat Tangkap Muroami Produksi perikanan yang berasal dari alat tangkap pancing seperti yang ditampilkan pada Gambar 12, mengalami kenaikan sampai tahun 2003 menjadi sekitar 1.008,64 ton, namun pada tahun 2004 bersamaan dengan ditetapkannya zonasi di kawasan ini, produksinya mengalami penurunan sampai setengahnya yaitu sebesar 536,63 ton. Nilai perubahan produktifitas yang didapatkan dari alat tangkap pancing adalah sebesar Rp. 5.419.579.287,49.
1,200.00
Produksi (ton)
1,000.00 800.00 600.00 400.00 200.00 ‐ 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
Gambar 12. Produktifitas Alat Tangkap Pancing
65
Produksi alat tangkap lainnya yaitu bubu (Gambar 13), pada tahun 2002 merupakan puncaknya produksi yaitu mencapai 333,42 ton. Namun mengalami penurunan yang signifikan yaitu pada tahun 2006 mencapai 13,77 ton. Hal ini dikarenakan jumlah alat tangkap ini yang berkurang cukup signifikan yaitu hampir 95 %, sehingga berdampak terhadap produksi. Nilai perubahan yang berasal dari alat tangkap bubu Rp. 1.728.565.483,91. 400.00 350.00
Produksi (ton)
300.00 250.00 200.00 150.00 100.00 50.00 0.00 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun
Gambar 13. Produktifitas Alat Tangkap Bubu
Sektor perikanan lainnya berasal dari ikan hias, di kawasan TNKpS ikan hias mempunyai jenis yang beragam dan dimanfaatkan oleh nelayan untuk ditangkap yang kemudian dijual. Saat ini penangkapan ikan hias di kawasan TNKpS sudah mulai dengan kaidah-kaidah yang benar, misalnya nelayan harus mempunyai sertifikat sehingga tidak akan menimbulkan kerusakan karang seperti penangkapan sebelumnya dengan menggunakan Sianida. Walaupun masih ada beberapa yang menggunakan Sianida secara sembunyi-sembunyi, namun apabila tertangkap basah akan ditertibkan dan diberi pengarahan. Ikan hias yang berasal dari kawasan TNKpS di pasarkan ke daerah-daerah di Indonesia seperti Jakarta, Jawa Barat, Sumatera dan bahkan di ekspor ke luar negeri. Nilai pemanfaatan ikan hias dihitung berdasarkan data produksi ikan hias yang berasal dari kelompok-kelompok ikan hias yang ada di kawasan TNKpS yang kemudian dihitung berdasarkan harga pasarnya (Tabel 13).
66
Ikan hias yang tertangkap di daerah kawasan TNKpS diantaranya adalah botana (genus Acantharus), Ikan badut (genus Amphiprion), ikan angel (genus Centropyge, Pygoptiles, Genicanthus, Chaetodontoplus, Pomacanthus), ikan capungan (genus Apogon, Archamia) ikan kambingan (genus Heniochus), ikan kepe (genus Chaetodon, Hemitaurichthys, Forcipiger, Chelmon, Parachaetodon), kuda laut (genus Hippocampus), ikan barong (genus Dendrochirus, Inimicus, Thysanophrys,
Gobiodon,
Taenianotus,
Ablabys,
Antennarius,
Histrio,
Halophryne, Batrachomoeus, Pterois, Eurypegasus, Rhinopias, Synanceia), ikan kerapu (genus Chromileptes, Epinephelus, Cephalopholis), ikan betok (genus Chrysiptera, Chromis, Pomacentrus, Amblyglyphidodon, Plectroglyphidodon, Neopomacentrus, Hemiglyphidodon, Stegastes, Cheiloprion, Dischistodus), ikan dokter (genus Labroides, Malacanthus, Pseudodax, Labroides), Bicolor Parrotfish (genus Cetoscarus), ikan layaran (genus Heniochus), udang-udangan (genus Panulirus, Enoplometopus, Lysamata, Odontodactylus), ikan triger (genus Melichthys) dan lain sebagainya. Ada beberapa yang berupakan ikan konsumsi yang bernilai ekonomis tinggi seperti kerapu, ikan jenis ini dijadikan ikan hias ketika ikan tersebut masih kecil. Apabila pengambilan ikan konsumsi yang dijadikan ikan hias ini berlebihan maka akan mengakibatkan hilangnya ikan jenis tersebut. Pengambilan ikan hias di kawasan TNKpS perlu diawasi dari jumlah nelayan. Tabel 13. Nilai Pemanfaatan yang berasal dari Perikanan Perikanan
Nilai (Rupiah)
Perikanan Tangkap Muroami
619.943.809,52
Pancing
5.419.579.287,49
Bubu
1.728.565.483,91
Ikan Hias Ikan Hias
1.484.579.148,10
Jumlah
9.252.667.729,04
Sumber : data primer dan sekunder diolah (2008)
Tabel 13 memperlihatkan bahwa nilai pemanfaatan/ surplus yang didapatkan dari perikanan tangkap saja sebesar Rp. 7.768.088.580,93 setiap tahunnya yang berasal dari 3 alat tangkap yaitu muroami, pancing dan bubu
67
masing masing bernilai Rp. 619.943.809,53, Rp. 5.419.579.287,49 dan Rp. 1.728.565.483,91. Sedangkan nilai yang didapat dari ikan hias di kawasan TNKpS adalah sebesar Rp. 1.484.579.148,10.
5.3.2
Valuasi Pariwisata yang Berasosiasi dengan Terumbu Karang Aktivitas ekonomi yang berasal dari pariwisata dan rekreasi memberikan
kontribusi yang berarti bagi ekonomi lokal di kawasan TNKpS. Kegiatan pariwisata yang berasosiasi dengan terumbu karang di kawasan ini diantaranya adalah diving dan snorkling. Penduduk lokal di kawasan ini ada yang bekerja di resort dan juga bekerja sebagai pemandu untuk kegiatan snorkling dan diving. Walaupun tidak semua wisatawan datang ke tempat ini untuk menikmati keindahan terumbu karang. Akan tetapi, terumbu karang merupakan komponen yang penting dalam menarik turis untuk datang ke kawasan TNKpS. Hunian di resort akan penuh pada saat liburan sekolah dan akhir pekan. Sedangkan pada hari biasa penginapan-penginapan yang ada di kawasan ini akan sepi dari pengunjung, apalagi dengan kenaikan harga-harga yang mengakibatkan biaya meningkat. Selain itu faktor cuaca dan isu keamanan transportasi laut menjadi pertimbangan pengunjung untuk berekreasi ke kawasan TNKpS. Nilai
ekonomi
pemanfaatan
yang
berasal
dari
pariwisata
yang
berhubungan dengan terumbu karang dihitung berdasarkan jumlah pengeluaran rata-rata (expenditure based) dan jumlah wisatawan yang berkunjung ke wilayah TNKpS pertahunnya. Pengeluaran rata-rata wistawan untuk berada di kawasan ini selama dua hari satu malam adalah sebesar Rp. 937.000,00 per orang belum termasuk membeli cenderamata, makan, rekreasi dan lain sebagainya. Rata rata pengunjung selama 12 tahun adalah 98.050 orang sehingga didapatkan nilai langsung pemanfaatan yang berasal dari pariwisata yang berkaitan dengan terumbu karang adalah sebesar Rp. 91.873.642.846,00. Nilai langsung (direct value) yang berasal dari pariwisata ini jika dibandingkan dengan PDRB Kabupaten Kepulauan Seribu adalah sebesar 84% dari Total PDRB tahun 2006 (Kepulauan Seribu dalam Angka 2007).
Fauzi (2007) mengatakan bahwa
kegiatan pariwisata di Kawasan Konservasi Laut TNKpS juga menciptakan dampak ekonomi secara tidak langsung berupa upah masyarakat lokal dan juga pengeluaran terhadap makanan untuk keperluan sehari-hari. Saat ini, resor yang
68
beroperasi di TNKpS ada 5 dengan jumlah pegawai rata-rata setiap resor adalah 50 orang. Rata-rata gaji yang diterima adalah Rp. 250.000,00 per bulan sehingga akan memberikan kontribusi terhadap kawasan ini sebesar Rp. 617.000.000,00 setiap tahunnya. Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa sektor pariwisata juga memberikan multiplier effect yang berasal dari uang yang dikeluarkan oleh turis untuk makanan ketika tinggal di resor. Multiplier effect dari sektor ini terhadap makanan yang dikalkulasikan dari pengeluaran total yang mereka keluarkan adalah sebesar Rp. 4.750.000.000,00 per tahun. Nilai pariwisata keseluruhan yang didapatkan dari nilai langsung (direct value) dan nilai tidak langsung (indirect value) adalah sebesar Rp. 97.241.142.846,00
5.4
Analisis Valuasi Ekonomi Nilai Non Pemanfaatan
5.4.1
Analisis Kualitatif Willingness To Pay (WTP) Nilai
ekonomi
non
pemanfaatan,
pertama
diperoleh
dengan
menggunakan analisis kualitatif terhadap respon mengenai Willingness to pay (WTP) penduduk baik nelayan maupun non nelayan bagi pemeliharaan ekosistem terumbu karang yang baik. Nilai WTP didapatkan melalui wawancara yang dilakukan melaui pendekatan dichotomus choice, dalam pendekatan ini responden diberi pertanyaan untuk menjawab ‘ya’ dan ‘tidak’ terhadap keinginan mereka untuk membayar sejumlah nilai tertentu. Penentuan nilai yang ingin dibayarkan
responden
dilakukan
secara
sistematik
sampai
responden
menyatakan tidak untuk membayar. Selain itu, responden diberikan gambar visual mengenai kondisi ekosistem terumbu karang yang baik dan kondisi yang buruk/rusak, kemudian mereka diberi pilihan untuk melakukan ‘bid’ atau lelang dari sejumlah Rp. 20.000,00 per kepala keluarga sampai dengan Rp. 100.000,00 per kepala keluarga untuk mempertahankan keadaan ekosistem terumbu karang dalam keadaan baik. Analisis kualitatif dengan WTP ini dilakukan untuk menangkap “passive use value” atau biaya korbanan yang hilang jika ekosistem terumbu karang rusak dan tidak mampu memberkan jasa kepada penduduk kawasan TNKpS (Fauzi 2007) Nilai WTP yang berasal dari responden disajikan pada Gambar 14 dan Lampiran 5.
Bid (Rupiah)
69
Orang Gambar 14. Grafik WTP Responden Grafik pada Gambar 14 menunjukkan bahwa nilai WTP maksimum responden adalah diatas Rp. 100.000,00, dan modus nilai WTP berada pada kisaran 0 – Rp. 20.000,00. Mean WTP untuk responden nelayan adalah sebesar Rp. 35.272, 73 dengan modusnya sebesar Rp. 20.000,00. Nilai minimum WTP nelayan adalah Rp.0,00 atau tidak mau membayar, sedangkan nilai maksimum WTP nelayan adalah sebesar Rp. 100.000,00. Jumlah nelayan yang tidak mau membayar ada 5 orang. Responden non nelayan mempunyai rataan WTP sebesar Rp. 110.769,23, sedangkan modus nilai WTP non nelayan adalah sebesar Rp. 100.000,00. Nilai minimum WTP non nelayan adalah sebesar Rp. 20.000,00, sedangkan nilai maksimumnya sebesar Rp. 500.000,00. Nilai mean WTP responden cukup rendah jika dibandingkan dengan pendapatan mereka, untuk responden yang berprofesi nelayan saja nilai mean WTP hanya 0,35 % dari pendapatan mereka per tahun, untuk responden yang berprofesi non-nelayan mempunyai nilai mean WTP yang lebih tinggi yaitu 0,63 % dari pendapatan mereka. Nilai mean WTP nelayan lebih kecil daripada non nelayan, hal ini mengindikasikan bahwa apresiasi nelayan terhadap jasa lingkungan yang dihasilkan terumbu karang masih kurang dibandingkan dengan responden non nelayan. Padahal nelayan mempunyai keterkaitan yang lebih erat terhadap ekosistem terumbu karang dibandingkan dengan non nelayan, karena mereka mengambil atau mengekstraksi langsung sumber daya ikan yang
70
berasosiasi langsung dengan ekosistem tersebut. Jika dilihat dari latar belakang pendidikan, rata-rata nelayan mengenyam pendidikan selama 7 tahun, lebih rendah dari pada responden non nelayan yang rata-rata menuntaskan pendidikan selama 11 tahun. WTP minimum adalah Rp. 0,0 yaitu dari responden adalah berasal dari nelayan, artinya mereka tidak mau membayar, alasan mereka adalah karena permasalahan, kerusakan dari ekosistem terumbu karang bukanlah masalah yang harus diperhatikan nelayan, akan tetapi harus diperhatikan oleh pemerintah. WTP maksimum berdasarkan hasil survai adalah sebesar Rp.500.000,00 per tahunnya, responden berasal dari non-nelayan hal ini dikarenakan hubungan responden dengan terumbu karang sangat erat, sebagai polisi hutan dan juga diver, responden memiliki pengetahuan tentang terumbu karang yang baik. Sedangkan dari responden nelayan, nilai WTP tertinggi adalah Rp. 100.000,00, yaitu 1 orang yang menyatakan ingin membayar sejumlah uang tersebut. Tampilan WTP dari responden berupa descriptive statistic yang diolah dengan menggunakan perangkat lunak excel dapat dilhat pada Lampiran 6. Pada analisis tahap ini didapatkan nilai pengguna pasif (passive use value) bagi kawasan konservasi laut. Nilai tersebut didapatkan dari penjumlahaan rataan WTP responden nelayan dan non nelayan. Nilai mean WTP individu per kapita adalah sebesar Rp. 49.044,00. Selanjutnya dilakukan agregasi untuk seluruh penduduk yang ada kawasan TNKpS, sehingga akan didapatkan nilai sebesar Rp. 541.005.661,00 pertahun.
5.4.2
Analisis WTP melalui Limdep Model Analisis selanjutnya adalah analisis WTP melalui pendekatan regresi
LIMDEP (limited dependent variable) dengan model LOGIT. Regresi ini disebut dengan LIMDEP dikarenakan nilai dependent variable bergerak diantara nilai biner yaitu 0 dan 1. Asumsi ini diperlukan untuk menyatakan keputusan responden untuk membayar (1) atau tidak membayar pemeliharaan terumbu karang di Kawasan TNKpS setiap tahunnya. Keinginan membayar atau tidak membayar responden diasumsikan dipengaruhi oleh variabel sosial ekonomi seperti umur, pendidikan, pengalaman, dan pendapatan. Karena data yang digunakan merupakan data individual, maka metode OLS tidak dapat diaplikasikan karena model Logit ini merupakan model yang non linier. Oleh karena itu, prosedur yang digunakan dalam mengestimasi model Logit ini adalah
71
melalui metode maximum likelihood. Estimasi model ini dilakukan dengan menggunakan software Eviews (Lampiran 7), sehingga didapatkan hasil regresi antara WTP dan variabel sosial-ekonomi seperti pada Tabel 14.
Tabel 14.Hasil Regresi Willingness To Pay: Model Logit Variabel
Koefisien
Standar Error
Z-Statistic
Probability
Konstanta
-0,383106
3,253733
-0,117744
0,9063
Umur
-0,191290
0,150070
-1,274670
0,2024
Pendidikan
0,325258*
0,172031
1,890692
0,0587
Pengalaman
0,223034
0,157791
1,413471
0,1575
Pendapatan
0,00000519*
0,00000280
1,852262
0,0640
LR statistic (4df)
13,01859
Probability (LR stat)
0,011185
Mc Faden R-Squared 0,320756
* Signifikan pada α=10% Sumber : data primer diolah (2008)
Pada Tabel 14 terlihat bahwa keputusan responden untuk membayar dan tidak membayar dipengaruhi secara signifikan pada α=10% oleh variabel pendidikan dan pendapatan. Koefisien kedua variabel yang positif tersebut menunjukkan semakin tinggi pendidikan dan pendapatan responden, maka kesadaran mereka untuk membayar untuk pengelolaan sumber daya terumbu karang akan semakin tinggi. Sedangkan dua variabel lainnya yaitu umur dan pengalaman, tidak signifikan pada
α=10%. Namun nilai koefisien umur yang
negatif dapat berarti kencenderungan responden yang lebih muda memilih untuk membayar dibandingkan responden yang lebih tua ( α = 20% ). Responden yang lebih muda, berdasarkan hasil survai, terlihat lebih terbuka dalam menerima informasi baik yang berasal dari LSM-LSM lokal, pemerintah, media dan lain sebagainya. Sedangkan responden yang lebih tua relatif kurang mau menerima masukan-masukan pemerintah.
ataupun
sosialisasi-sosialisasi
yang
diberikan
oleh
72
Pengalaman responden berdasarkan estimasi cukup mempengaruhi keputusan membayar, semakin lama pengalaman responden maka apresiasi mereka terhadap sumber daya terumbu karang semakin tinggi pula. Selanjutnya untuk menguji hipotesis nul apakah semua variabel sosial ekonomi secara bersama-sama tidak mempengaruhi variabel keputusan membayar maka digunakan uji statistik Likelihood Ratio (LR). Nilai LR mengikuti distribusi chi square (X2), dari hasil estimasi didapatkan nilai LR sebesar 13,02, sedangkan nilai tabel X2 pada selang kepercayaan 95% adalah sebesar 0,2. Karena nilai hitung lebih besar daripada nilai kritis maka kita menolak H0, artinya semua variabel sosial ekonomi (umur, pengalaman, pendidikan, dan pendapatan) sebagai variabel penjelas secara bersama-sama mempengaruhi keputusan responden untuk membayar atau tidak yang merupakan variabel independen. Kebaikan regresi model logit diestimasi tidak bisa diukur dengan koefisien determinasi yang konvensional tetapi bisa dengan koefisien regresi yang 2 dikembangkan oleh McFadden atau disingkat RMcF (Widarjono 2005), Jika dilihat
2 dari estimasi yang didapat nilai koefisien determinasi RMcF adalah sebesar 0,321
artinya kebaikan dari regresi logit ini hanya 32,1 % bisa dijelaskan oleh variabel penjelas yang ada. Namun jika kita melihat penelitian-penelitian yang 2 menggunakan choice modelling yaitu dengan model logit, hasil RMcF yang
didapatkan juga relatif kecil. Seperti peneliltian yang dilakukan oleh Chan et al 2 (2006), nilai RMcF hanya sebesar 0,098 dan hasil penelitian Gazzani dan
Marinova yang mendapatkan nilai
ρ 2 (pseudo R2) sebesar 14,7 %. Nilai ρ 2 juga
bias digunakan untuk melihat kebaikan regresi model logit (Henser dan Johnson 1981 diacu dalam Wielgus et al 2003).
5.4.3
Analisis Nilai Pilihan (Option Value) Nilai pilihan diperoleh dengan menggunakan pendekatan Von Neumann
Morgenstern.
Metode
ini
memasukan
unsur
ketidakpastian,
dan
unsur
ketidakpastian yang dimasukan dalam penelitian ini adalah produksi perikanan yang mengalami fluktuasi yang mempengaruhi pendapatan nelayan dalam menangkap ikan baik di dalam maupun di luar Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu sehingga akan diperoleh nilai pilihan. Nilai pilihan menurut
73
Fauzi dan Anna (2008) pada hakekatnya merupakan pilihan yang dihadapi masyarakat jika dihadapkan pada ketidakpastian. Langkah pertama yang dilakukan dalam menghitung nilai pilihan adalah menghitung option price atau harga pilihan. Option Price dalam perspektif Von Neumann Morgensten Theory, pertama-tama harus diketahui nilai harapan (Expected Value), nilai utilitas harapan (Expected Utility) dan utilitas dari nilai harapan. Nilai-nilai tersebut dalam hal ini dihitung berdasarkan data produktivitas perikanan yang kemudian di proxy menjadi pendapatan nelayan yang merupakan penduduk TNKpS dengan situasi pengelolaan dengan dan tanpa KKL serta dengan kemungkinan musim panen dan musim paceklik (Tabel 15). Penetapan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut atau KKL merupakan wujud sikap terhadap ketidakpastian, hal ini juga mencerminkan sikap risk averse (menghindari resiko) dari masyarakat dan pemerintah.
Kemungkinan Musim Panen
Tabel 15. Kemungkinan Harga Pilihan Dengan KKL Tanpa KKL (Juta Rupiah) (Juta Rupiah) 327.360 278.256
Musim Paceklik
20.460
17.391
Nilai harapan
173.910
147.283
Peluang ( π ) 0,5 0,5
Sumber : data primer diolah (2008)
Dengan menggunakan data pada Tabel 15 didapatkan nilai Expected surplus (ES) atau surplus harapan yang didapatkan dari kawasan TNKpS adalah sebesar Rp.49.104.000.000,00 untuk musim panen ( ESh ) dan surplus harapan pada saat musim paceklik ( ESL ) adalah sebesar Rp. 3.069.000.000,00. Utilitas harapan atau Expected Utility
( EU ) tanpa adanya kawasan TNKpS adalah
sebesar :
EU nokkl = 0, 5 ( 278.256 ) + 0, 5 (17.391) = 11,15 ……………………………………(5.1) Dengan mengetahui nilai EU nokkl tersebut, maka akan di dapatkan nilai pilihan (Option Price) yang dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :
74
0,5ln( xh − OP) + 0,5ln( xL − OP) = Eunokkl ……………….…...……………..(5.2) 0,5ln(327.360 − OP) + 0,5ln(278.256 − OP) = 11.15 ……………………...…(5.3) Atau dapat ditulis : 11,15
( 327.360 − OP ) (278.256 − OP) = e 0,5 ……………………….………………(5.4) Persamaan (5.4) akan menghasilkan persamaan kuadratik dalam OP dan hasil solusi yang didapatkan adalah solusi ganda dimana nilai yang didapatkan merupakan bilangan yang bertanda positif dan negatif. Nilai Option Price harus bertanda positif, oleh karena itu hanya bilangan yang bertanda positif yang digunakan. Solusi yang diperoleh dengan menggunakan software Mapple 10 (Lampiran 8) adalah nilai Option Price (OP) sebesar Rp. 342.391.609.100,00 dan Surplus Harapan atau Expected Surplus ( ES ) keseluruhan adalah sebesar Rp. 26.086.500.000,00. Setelah OP dan ES diketahui, maka dapat diketahui nilai pilihan atau Option Value (OV) yang merupakan selisih antara OP dan ES, atau dapat ditulis dengan :
OV = OP − ES ……………………………………………………………………...(5.5) Sehingga dengan memasukan nilai OP dan ES, akan didapatkan OV sebesar :
OV = Rp.342.391.609.100,00 − Rp.26.086.500.000,00
OV = Rp.316.305.109.100,00 ……………....……………………………….…..(5.6) Nilai pilihan (Option Value) dari Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu adalah sebesar Rp.316.305.109.100,00, nilai tersebut merupakan nilai pilihan atau opsi, apabila kawasan TNKpS tidak ada maka nelayan yang tinggal di kawasan ini akan kehilangan produktifitas sebesar setara dengan nilai moneter yaitu Rp.316,31 milyar setiap tahunnya. Menurut Leveque (1997) nilai pilihan ini dapat dianalogikan seperti nilai asuransi (insurance value) atau sebagai premi asuransi yang dibayarkan saat ini untuk menghindari adanya ketidakpastiaan pada masa mendatang (David et al 2007), sepertinya terjadinya kerusakan terumbu karang yang masif, bencana alam dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan pada hakekatnya kawasan konservasi laut (KKL) hedging terhadap
75
ketidakpastian tersebut yang mencerminkan sikap pemerintah dan masyarakat untuk menghindari resiko.
5.4.4
Nilai Ekonomi Pemanfaatan dan Non Pemanfaatan Nilai-nilai yang diperoleh dari penelitian ini adalah nilai pemanfaatan dan
non pemanfaatan kawasan TNKpS, nilai pemanfaatan diestimasi berdasarkan persamaan yang diperoleh dari dari sektor perikanan dan sektor pariwisata, dimana kedua sektor tersebut merupakan sektor-sektor yang berasosiasi dengan sumber daya terumbu karang secara langsung maupun tidak langsung. Nilai pemanfaatan yang berasal dari sektor perikanan dihitung berdasarkan surplus yang diperoleh dari pemanfaatan sumber daya ikan di kawasan TNKpS, produktivitas dari alat tangkap yang menangkap ikan yang berasosiasi dengan terumbu karang, seperti alat tangkap muroami, pancing dan bubu yang dihitung berdasarkan data 10 tahun terakhir dan juga data cross-section. Sementara itu, nilai pemanfaatan yang berasal dari sektor pariwisata diperoleh dari jumlah ratarata yang dikeluarkan wisatawan yang berkunjung ke Taman Kepulauan Seribu untuk berekreasi dan juga multiplier effect yang ditimbulkan dari sektor pariwisata seperti pengeluaran pada makanan dan gaji. Nilai non pemanfaatan yang didapatkan diperoleh dari total WTP penduduk kawasan TNKpS dan nilai pilihan. Nilai WTP diperoleh dengan menggunakan teknik Contingent Valuation Method (CVM), yaitu kesedian penduduk kawasan TNKpS untuk membayar terhadap perbaikan ekosistem terumbu karang. Nilai pilihan disis lain diperoleh dengan menggunakan teknik Von Neumann-Morgenstern (VNM). Nilai pemanfaatan dan non pemanfaatan tersebut secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 16.
76
Tabel 16. Nilai Pemanfaatan dan Non Pemanfaatan Kawasan TNKpS Jenis Pemanfaatan Nilai Pemanfaatan
Nilai (Rp)
Teknik
Nilai Non Pemanfaatan
Perikanan Pariwisata Proteksi Kawasan TNKpS Nilai Pilihan
Produktivitas
9.252.667.729,04
Market Price
97.241.142.846,00 541.005.661,00 WTP 49.044,00/org/th 316.305.109.100,00
CVM VNM
Sumber : data primer diolah (2008)
Pada Tabel 16 terlihat bahwa nilai pemanfaatan pariwisata merupakan nilai tertinggi yaitu sebesar Rp. 97.241.142.846,00 dibandingkan nilai-nilai lain yang diperoleh di kawasan TNKpS. Secara global nilai terumbu karang yang berasal dari pariwisata adalah mencapai US$ 2,9 milyar (Cesar et al 2003). Nilai ekonomi kawasan konservasi laut memang variatif, hal ini dapat dilihat dari nilai ekonomi terumbu karang yang ada di kawasan konservasi laut yang berbedabeda di setiap negara dan daerah. Beberapa penelitian mengenai nilai ekonomi terumbu karang dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Nilai Ekonomi Terumbu Karang di berbagai Lokasi Lokasi Laut Andaman, Thailand1 Taman Nasional Pulau Payar, Malaysia2
Nilai
Jenis Nilai
US$ 497,8 Juta Nilai Total US$ 390.000
Nilai Turisme dan Rekreasi
Pulau Tobago dan St Lucia3
US$ 0,8 – 1 Juta Nilai Pemanfaatan US$ 0,2 – 0,8 juta
Cagar Alam Laut Pulau Mactan, Filipina 4
US$ 0,85 – 1 juta
Kepulauan Hawaii5 Eilat, Laut Merah, Israel6
Nilai Turisme dan Rekreasi
US$ 363,5 Juta Nilai Total US$ 2,8 Juta
Nilai Turisme dan Rekreasi
Keterangan : ,1. Seenpratchawong (2003). 2. Yeo BH (1998). 3 Burke et al (2008). 4. Arin dan Kramer (2002) 5.Cesar dan Van Beukering (2004).6. Wielgus et al (2003)
77
Pada Tabel 17 terlihat nilai-nilai ekonomi, secara parsial maupun nilai ekonomi total dari berbagai kawasan konservasi laut yang ada di negara lain. Nilai-nilai ekonomi terumbu karang di berbagai lokasi tersebut beragam, hal ini dikarenakan setiap lokasi mempunyai karakteristik sumber daya terumbu karang, sosial ekonomi, pemanfaatan yang berbeda-beda. Laut Andaman yang berada di Thailand misalnya, mempunyai nilai ekonomi total sebesr US$ 497,8 Juta yang terdiri dari nilai pemanfaatan dan non pemanfaatan. Sedangkan di Pulau Payar Malaysia Nilai ekonomi terumbu karang yang berasal dari pariwisata dan rekreasi adalah sebesar US$ 390.000, nilai ini didapatkan dengan metode contingent valution. Daerah konservasi laut di Karibia yaitu pulau Tobago dan ST Lucia, berdasarkan penelitian Burke et al (2008) memiliki nilai pemanfatan (use value) yang berasal dari perikanan dan pariwisata adalah sebesar US$ 0.2 – 0,8 juta untuk pulau Tobago dan US$ 0,85 – 1 juta untuk pulau St. Lucia. Terumbu karang yang berada di Cagar Alam Laut Pulau Mactan Filipina mempunyai nilai turisme dan rekreasi sebesar US$ 0,85 – 1 juta atau setara dengan WTP US$ 5 per individu. Nilai total terumbu karang di Hawaii yang merupakan agregasi dari nilai rekreasi, amenity, biodiversity, dan perikanan mencapai US$ 363,5 Juta. Nilai pariwisata dan rekreasi yang diperoleh Welgus et al (2003) di Eliat, Laut Merah, Israel adalah sebesar US$ 2,86 Juta atau WTP per individu sebesar US$ 2,6. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dilihat penilaian yang dilakukan rata-rata bersifat sebagian saja atau parsial, namun ada juga yang melakukan penilaian secara total (nilai ekonomi total) dengan mengagregasikan direct value (perikanan, pariwisata), indirect value (feeding ground, nursering ground, pelindung pantai), nilai warisan, nilai keberadaan dan nilai pilihan (spesies dilindungi dan unik dan lain lain). Metodologi yang banyak digunakan dalam penelitian-penelitian tersebut adalah TCM, effect on production, dan CVM yang diperoleh dari WTP per individu maupun per rumah tangga.
5.4.5
Nilai Ekonomi Total Terumbu Karang di Kawasan TNKpS Nilai Ekonomi Total (TEV) terumbu karang di kawasan TNKpS dihitung
dengan mengagregasi nilai pemanfaatan dan nilai non pemanfaatan. Secara agregat nilai ekonomi terumbu karang di kawasan konservasi berdasarkan nilainilai
tersebut
adalah
sekitar
Rp.423.339.925.336,04
per
tahun
atau
78
Rp. 96.277.950,57 per ha per tahun. Jika dikonversi dalam dolar adalah US$ 44,56 juta1 per tahun atau US$ 10.134,52 per ha per tahun . Sumber daya terumbu karang di kawasan konservasi laut TNKpS merupakan natural capital dimana akan memberikan konstribusi terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya. Oleh karena itu nilai ekonomi total tersebut perlu dihitung long run capitalized selama 50 tahun, karena 50 tahun merupakan waktu yang diperlukan terumbu karang untuk tumbuh akibat adanya kerusakan (peledakan) untuk bisa mengembalikan 50 % dari kondisi semula dan bisa berproduksi lagi (Burke et al 2002). Perhitungan manfaat ekonomi dalam periode waktu tertentu, maka perlu digambarkan stream benefit, yaitu penjumlahan nilai rupiah masa mendatang dinilai dengan waktu kini (present value) dalam kurun waktu 50 tahun dengan rumus : T
V
t =1
(1 + i )
PV = ∑
t
………………………………………..…………………………(5.7)
Dimana : PV
= Present Value (Nilai Kini)
V
= Nilai terumbu karang
i
= interest rate Interest rate yang digunakan diperoleh dari rata-rata BI rate selama satu
tahun terakhir yaitu sebesar 8,75 % (Lampiran 9). Sehingga dengan memasukan nilai ekonomi total dari terumbu karang di kawasan konservasi laut TNKpS dan interset rate sebesar 8,75 % ke dalam persamaan (5.7) selama 50 tahun (Lampiran 10), akan didapatkan nilai ekonomi terumbu karang saat ini sebesar Rp.5.188.528.142.006,69 atau Rp.1.179.999.395,51 per ha. Jika dikonversi ke dalam dolar adalah sebesar US$ 546,16 juta1 atau US$ 124.210,46 per ha. Menurut Fauzi (2007) nilai ekonomi total yang diperoleh dari hasil perhitungan valuasi ekonomi dapat diartikan sebagai nilai korbanan (opportunity cost), dalam hal ini adalah sejumlah nilai moneter yang dikorbankan apabila kawasan TNKpS mengalami kerusakan. Nilai tersebut merupakan nilai minimum yang harus ditanggung oleh masyarakat TNKpS apabila terumbu karang yang ada di kawasan ini mengalami kerusakan yang mengakibatkan nelayan tidak bisa mencari ikan, dan sektor pariwisata tidak berkembang. 1
Nilai Tukar 1 $ = Rp. 9500,00
79
5.5
Implikasi Kebijakan Pentingnya terumbu karang sebagai pendukung ekonomi lokal seringkali
dinilai rendah, padahal besaran nilai ini akan berpengaruh terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan stakeholders dalam alokasi sumber daya yang efisien dan optimal. Studi valuasi ekonomi terumbu karang membantu para pembuat kebijakan untuk menentukan kebijakan yang sesuai, baik untuk pembangunan maupun konservasi. Penilaian yang rendah (under value) terhadap sumber daya alam akan memberikan sinyal pasar yang salah, sehingga alokasi sumber daya tidak akan efisien dan optimal. Beberapa kebijakan yang dapat diimplikasikan dalam pengelolaan kawasan konservasi laut TNKpS adalah sebagai berikut: 1. Melihat nilai WTP rata-rata pertahun yang hanya 0,4 % dari rata-rata pendapatan responden selama satu tahun mengindikasikan bahwa apresiasi mereka terhadap layanan dan jasa dari terumbu karang sangat rendah. Kebijakan yang bisa diambil adalah dengan meningkatkan public awareness mengenai pentingnya terumbu karang secara ekonomi dan sosial di kawasan konservasi laut TNKpS. Caranya adalah sosialisasi melalui media campaign sehingga dapat menjadi acuan masyarakat khususnya di kawasan ini dan masyarakat luas pada umumnya dalam melakukan kegiatan perikanan dan pariwisata.
Pada
kegiatan
perikanan,
mendorong
nelayan
untuk
menggunakan alat yang tidak merusak terumbu karang, dan juga penangkapan ikan yang belum dewasa. Sedangkan dari sektor pariwisata, menyadarkan turis untuk menjaga tidak merusak terumbu karang seperti menginjak terumbu karang, mengambil karang, tidak membuang sampah sembarangan dalam melakukan aktivitasnya. 2. Berdasarkan nilai ekonomi kegunaan yang diperoleh dari sektor pariwisata dan perikanan yaitu Rp. 106.493.810.575,04 nilai ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan PAD kepulauan seribu tahun 2007 sekitar 1,5 milyar, artinya pengelolaan kawasan konservasi ini worth it (bernilai) karena memberikan manfaat kepada masyarakatnya. Nilai ini juga sebesar 1 % jika dibandingkan dengan PAD DKI Jakarta yang sebesar Rp. 10,381 trilyun pada tahun 2008. Sehingga diperlukan mekanisme rent capture untuk ‘menangkap’ nilai ekonomi yang potensial dari kawasan KKL baik melalui instrumen ekonomi seperti melalui kebijakan fiskal, user fee, entry fee maupun instrumen pengelolaan lain yang disepakati bersama masyarakat antara
80
masyarakat lokal dengan pengelola kawasan konservasi dalam hal ini Balai TNKpS. 3. Pengelolaan kawasan konservasi laut memang memerlukan perhatian yang khusus, pemerintah sebagai pengelola kawasan konservasi laut dirasakan kurang maksimal, masih saja terjadi kerusakan terumbu karang baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun akibat adanya pengaruh dari daratan. Masyarakat pun kurang merasakan dampak spill over dari kawasan konservasi laut, karena kondisi terumbu karang yang semakin memburuk. Selain itu masyarakat tidak mampu untuk memelihara terumbu karang agar kondisinya tetap terjaga. Pengelolaan kawasan konservasi laut memerlukan pembiayaan dan sendiri yang tidak bergantung kepada pemerintah maupun masyarakat. Untuk itu dalam mengelola kawasan konservasi laut diperlukan mekanisme institusi yang disisi lain dapat mengakomodasi fungsi konservasi, namun di sisi lain masyarakat lokal dapat memperoleh manfaat ekonomi dari kawasan tersebut. Contoh institusi yang dapat mengakomodir fungsi-fungsi ini adalah “David Suzuki Foundation” yaitu sebuah institusi non-profit yang bergerak
dalam
bidang
lingkungan
dan
donaturnya
berasal
dari
perseorangan (orang biasa) dan perusahan bukan berasal dari pemerintah. Institusi semacam ini perlu dipikirkan sehingga institusi pengelolaan lepas dari kepentingan ego sektoral mereka. 4. Besar keinginan membayar (WTP) yang rendah belum sepenuhnya mencerminkan persepesi yang utuh dari masyarakat terhadap nilai ekonomi kawasan konservasi laut TNKpS karena masih mungkin timbulnya warm glows sebagai konsekuensi dari CVM. Oleh karena itu, nilai non pemanfaatan yang diperoleh hanya dapat dijadikan referensi relatif sebagai nilai pasif, bukan sebagai referensi absolut terhadap nilai terumbu karang kawasan konservasi.
Mekanisme
pengenalan
atau
familiarity
dengan
cara
mengenalkan masyarakat dengan opsi-opsi ekstrem yaitu jika ekosistem terumbu karang rusak melalui tayangan visual (pamflet, billboard, poster dan lain sebagainya) diharapkan akan membantu meningkatkan bid terhadp WTP masyarakat terhadap ekosistem tersebut. 5. Kebijakan “localized economic scale” yaitu mengembangkan ekonomi lokal yang berbasis sumber daya terumbu karang perlu dilakukan. Kebijakan ini bertujuan agar masyarakat lokal mendapatkan nilai tambah (added value) dari sumber daya terumbu karang. Dengan demikian, pengembangan ini
81
lebih kepada kualitas daripada kuantitas sehingga keberadaan kawasan konservasi laut TNKpS akan bisa lebih ditingkatkan. 6. Kebijakan pengembangan ekonomi lokal yang berbasis sumber daya terumbu karang akan efektif jika bersama-sama dilakukan dengan program pengentasan kemiskinan bagi masyarakat lokal melalui penguatan kapasitas ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy) sehingga masyarakat bisa terlibat aktif dalam kegiatan non-ekstraktif yang juga mampu meningkatkan pendapatan mereka.
82
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1. Sumber daya terumbu karang di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) dimanfaatkan pada sektor perikanan terutama perikanan tangkap (muroami, bubu, dan pancing) dan juga pariwisata (rekreasi pantai, snorkling dan diving). 2. Persepsi masyarakat Kawasan TNKpS terhadap sumber daya terumbu karang sangat beragam. Sebagian responden merasakan manfaatnya secara langsung maupun tidak langsung, namun ada juga sebagian responden masih
belum
merasakan
manfaatnya
terutama
dalam
peningkatan
produktifitas mereka khususnya untuk penangkapan. 3. Besarnya WTP masyarakat terhadap pengeloaan terumbu karang berkisar antara Rp. 20.000,00 sampai di atas Rp.100.000,00 atau mean WTP di kawasan ini sebesar Rp. 49.044,00. Namun, masih ada beberapa responden yang tidak mau membayar. Nilai tersebut merupakan nilai proxy yang kemudian digunakan untuk perhitungan nilai use value sumber daya terumbu karang di kawasan TNKpS. 4. Nilai pemanfaatan (use value) terumbu karang ada yang berupa ekstraktif yaitu yang berasal dari sektor perikanan sebesar Rp 9.252.667.729,04. Sedangkan nilai pemanfaatan non-ekstraktif berasal dari sektor pariwisata yaitu sebesar Rp. 97.241.142.846,00. 5. Nilai non pemanfaatan terumbu karang yang berupa nilai penggunaan pasif (pasive use value) yang diperoleh dari teknik CVM adalah sebesar Rp. 541.005.661,00. Sedangkan nilai non pemanfaatan berupa nilai pillihan (option value) adalah sebesar Rp. 316.305.109.100,00. 6. Total nilai ekonomi terumbu karang yang didapatkan dari nilai-nilai tersebut adalah sebesar Rp. 423.339.925.336,04 per tahun atau Rp.96.277.950,57 per hektar per tahun, potensi hilangnya manfaat dari terumbu karang dari kawasan
ini
selama
50
tahun
mendatang
adalah
Rp.5.188.528.142.006,69 atau Rp. 1.179.999.395,51 per ha.
sebesar
83
6.2
Saran
1. Pengetahuan dan apresiasi masyarakat mengenai manfaat tidak langsung ekosistem terumbu karang masih perlu ditingkatkan lagi dengan cara sosialisasi. 2. Pemerintah Daerah perlu melakukan monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan mengenai dampak spill over
terhadap stok ikan,
sehingga dapat diperoleh data yang dapat dipercaya (reliable) mengenai dampak positif dari KKL. 3. Pengendalian terhadap alat tangkap di kawasan zona pemanfaatan perlu dilakukan secara lebih tegas dan berkesinambungan agar pemulihan stok ikan di kawasan KKL dapat dilakukan lebih cepat. 4. Pemerintah Daerah perlu memikirkan mekanisme yang tepat mengenai ‘transfer payment’ di sektor pariwisata untuk biaya pengelolaan KKL, sehingga dapat diperoleh sustainable funding bagi pengelola KKL.
DAFTAR PUSTAKA
Anna S. 2003. Model Embedded Dinamik Ekonomi Interaksi PerikananPencemaran.[Disertasi].: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Anna, S. 2007. Nilai Ekonomi Sumber Daya. Modul Pelatihan Valuasi Ekonomi Sumber Daya Alam. Departemen Ekonomi Sumber Daya, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor. Arin, T and Kramer RA. 2002. Divers’ Willingness to Pay to Visit Marine Sanctuaries: an Exploratory Study. Ocean and Coastal Management (45): 171-183. Barbier EB, Acreman M, Knowler D. 1997. Economic Valuation of Wetlands: a guide for Policymakers and Planners”. Ramsar Convention Burau, IUCN. Geneva. Beukering PV,. Brander L, Tompkins E , McKenzie. E 2007. Valuing Environment in Small Islands : an Environmental Economics Toolkit.): Peterborough.OTEP. 125pp Boquiren, AC. 2006. Towards a Framework for Valuation or Environmental Resources : Monetization and Intangibles. Artikel. Department of Economics and Political Science. College of Social Science. University of the Philipines-Baguio. 11pp Brander, LM, Beukering PV, and Cesar HSJ. 2007. The Recreation of Coral Reef: a meta-analysis. Ecological Economics 63:209-218 [BTNKpS] Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. 2008. Kondisi Aktual. [terhubung berkala].http://www.tnlkepulauanseribu.net/kondisi_aktual.php
[1 April 2008]. Burke L, Selig E, Spalding M. 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia . World Resource Institut.44 hal. Burke L, Greenhalgh S, Prager D, Copper E. 2008. Coastal Capital- Economic Valuation of Coral Reefs in Tobago and St Lucia. World Resource Institute. 76p Carson RT, Hanemann WM. 2005. Contingent Valuation. Di Dalam: Mäler K-G, Vincent JR, editor. Handbook of Environmental Economics. Volume ke-2. Stockholm. Elsevier BV. hlm 822-920.
84
Cesar H. 1996. Economic Analysis of Indonesian Coral Reef. Environment Departemen in Progress.103 p Cesar H, Burke L, Pet-Soede. 2003. The Economics of Worldwide Coral Reef Degradation. Cesar Environmental Economics Consulting, Arnhem and WWF-Netherlands, eist, The Netherland.23pp Cesar H, Van Beukering PJH. 2004. Economic Valuation of Coral Reef Of Hawaii. Pacific Science 58 (2):231-242 Cesar H, Chong CK. 2004. Economic Valuation and Socioeconomics of Coral Reef : Methodological Issues and Three Case Studies. Worldfish Center Contribution No. 1721. 27pp Chan NWW, Bennet J, Johnston B. 2006. Consumer Demand for Sustainable Wild-Caught and Cultured Live Reef Food Fish in Hongkong. Crawford School of Economics and Government. The Australian National University. Unpubilshed 30pp. Constanza R, d’Arge R, de Groot R, Farber S, Grasso M, Hannon B, Limburg K, Naeem S, O’Neil R V, Paruelo J, Raskin R G, Sutton P. 1997. The Value of World’s Ecosystem Services and Natural Capital. Nature Vol 387 P: 253-260. Dahuri R. 1999. Kebijakan dan Strategi Terumbu Karang Indonesia.Di dalam: Subagjo S, M. Kasim M, Sukarno, Wahyoe H, Suharsono. Prosidings Lokakarya Pengelolaan dan Iptek Terumbu Karang Indonesia. Jakarta 2223 November 1999.Jakarta:LIPI dan COREMAP. Hal 1-16. David G, Herrenschmidt JB, Mirault E, and Thomassin A. 2007. Social and Economic Values of Pacific Coral Reef. CRISP. New Caledonia. 46pp Davis RK. 1963. The Value of Outdoor Recreation: an Economic Study of Maine Woods. Dissertation.Harvad University. Faber M, Manstetten R, Proops J. 1996. Ecological Economics, Consepts and Methods. Edwar Elgar, Cheltenham, Brookfield. Fauzi A. 2001. Prinsip-prinsip Penelitian Sosial Ekonomi: Panduan Singkat Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi. Jakarta. Gramedia.
85
Fauzi A. 2007. Valuing the Socioeconomic Contribution of Protected Are to Human Well-being in Indonesia. Submitted to The Nature Conservacy Indonesia. Jakarta. Fauzi A, Anna S. 2003. Pedoman Valuasi Ekonomi Kawasan Konservasi Laut (KKL). Disampaikan Kepada Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Konservasi, Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan. Jakarta. Gramedia. Fauzi A, Anna S. 2008. Valuasi Ekonomi Kawasan Konservasi Laut : Penilaian Option Price dengan Model Von Neumann-Morgenstern. Jurnal KLH, in press Haab TC, McConnell Kenneth E. 2002. Valuing Environmental and Natural Resources: the econometrics of non-market valuation. Cheltenham UK. Edward Elgar. Hands DW.1991. Introductory Mathematical Economics. D.C Heath and Company. Canada. Kenchington R, Ward T and Hegerl E. 2003.The Benefits of Marine Protected Areas. Commonwealth Department of Environment and Heritage.Australia Leveque C. 1997. Biodiversity dynamics on conservation The Freshwater Fish of Tropical Africa. Cambridge University. New York Li EA. 2000. Optimum Harvesting with Marine Reserves. North American Journal of Fisheries Management 20: 882-896. Lipton, DW., W Katherine, Isobel C S and Rodney F W. 1995. Economic Valuation of Natural Resources- A Handbook for Coastal Resources Policymakers. NOAA Coastal Program Decision Analysis Series No.5. NOAA Coastal Ocean Office. Silver Spring, MD. 131 pp. Murdiyanto B. 2003. Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta.COFISH Project. 78 halaman. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta : Gramedia Jakarta. 445 hal. Pearce D. 1999. Valuing Biological Diversity: Issues and Overview. Paper presented at OECD Workshop on Benefit Valuation for Biodiversity Resources.
86
Pearce D, Moran D. 1994. The Economic Value of Biodiversity. Earthscan Publications Limited. London, UK. Pimm SGR, Gittleman J, Brooks T. 1995. The Future of Biodiversity. Science 269:347-350. Pyndik R, Rubinfeld DL. 1998. Econometric Model and Economic Forecast. Third Edition. New York : McGraw-Hill Book Company, Inc. 634 p. Sale PF. 2002. Coral Reef Fishes: Dynamics and Diversity in a complex Ecosystem. USA Elsevier Science.549 p Seenprachawong U. 2003. An Economic Analysis of Coral Reef in Andaman Sea of Thailand. School of Development Economics National Institute of Development Administration Bangkapi, Bangkok. Thailand Simon H, Wildavsky A. 1995. Species Lost Revisited. In: Simon, J. (Ed). The State of Humanity. Blackwell. Oxford. Pp.346-362. Singarimbun M, Effendi S. 2000. Metode Penelitian Survai. Jakarta : [LP3S] Lembaga Penyelidikan, Penelitian Pengembangan Ekonomi dan Sosial. Subana M, Sudrajat. 2001. Dasar-dasar Penelitian Ilmiah. Pustaka setia. Bandung .240 halaman. Sumaila UR, Charles AT. 2002. Economic Models of Marine Protected Areas: an Introduction. Natural Resources Modeling (16) no.3 : 261-271 Supriharyono. 2007. Pengelolaan Djambatan.118 Hal
Ekosistem
Terumbu
Karang.
Jakarta
Tietenberg, T. 2001. Enivronmental Economics Policy 3rd edition.Addison wesley.498 p Van Beukering PJH, Brander L, Tompkins E, McKenzie E. 2007. Valuing Environment in Small Islands : an Environmental Economics Toolkit.): Peterborough.OTEP. 125 p Wielgus J, Chadwik-Furman NE, Zeitouni N, Shechter M. 2003. Effect on Coral Reef Atribute Damage on Recreational Welfare.Marine Resource Economics (18):225-237. Wikipedia. 2007. The Von Neumann-Morgenstern Expected Utility Theory. [terhubung berkala]. http://www.wikipedia.com [24 Pebruari 2008]
87
Whittaker RH. 1960. Vegetation of the Siskiyou Mountains, Oregon and California. Ecological Monographs 30:279-338. Whittaker RH. 1972. Evolution and Measurement of Species Diversity. Taxon 21:1-67. Widarjono A. 2005. Ekonometrika Teori dan Aplikasi, untuk ekonomi dan bisnis, Ekonisia, Yogyakarta
88
89
Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian 05 040’ BT
05 0 40’ LS
Sumber : Peta Zonasi Taman Nasional Kepulauan Seribu SK Dirjen PHKA SK. 05/IV-KK/2004
90
Lampiran 2. Kuesioner Penelitian LEMBAR KUESIONER PENELITIAN Valuasi Ekonomi Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Taman Nasional Kepulauan Seribu, Jakarta (RAHASIA) Contingent Valuation Method Untuk nelayan pemanfaat kawasan terumbu karang Pewawancara:...................................... Tanggal:............................................ Lama wawancara:................................ No. Responden:................................ Responden Nama :........................................... Umur :.............................................. Pekerjaan :........................................ Alamat :......................................... RT/RW :........................................ Kelurahan :.................................... Kecamatan :.................................... Kodya/Kabupaten:........................ Perlu diketahui bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia dalam kondisi sangat baik 6,2%, kondisi baik 23,72%, kondisi sedang 28,3% dan dalam kondisi rusak 41,78% berdasarkan laporan Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Departemen Kelautan dan Perikanan (2003). Tanya jawab ini di susun berkaitan dengan semakin rusaknya ekosistem terumbu karang. pandangan anda sangat diperlukan dalam rangka menyelamatkan ekosistem terumbu karang. Perlu diketahui, bahwa pertanyaan ini disusus berkaitan dengan tingkah laku dan pandangan anda. Tidak ada jawaban yang salah atau benar, dan wawancara ini adalah rahasia. BAGIAN I: Pandangan Umum tentang terumbu karang 1. Peran alam dan lingkungan sangatlah penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Menurut anda, seberapa penting adanya tujuan untuk melindungi dan mencegah pengrusakan sumber daya alam, dalam hal ini adalah terumbu karang. a. penting b.biasa c.tidak penting
91
2. Mengapa keberadaan terumbu karang sangat penting bagi anda? (jawaban boleh lebih dari satu) a. Sebagai daerah penangkapan ikan b. Sebagai daerah untuk menambang karang c. Sebagai daerah wisata d. Merupakan cadangan ekosistem yang menyediakan sumberdaya saat ini dan di masa datang e. Fungsinya sebagai pelindung bagi daerah disekitar pesisir sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan alam f. Lain-lain, sebutkan...................
BAGIAN II: Kegiatan Pemanfaatan Terumbu Karang 1. Apa manfaat terumbu karang yang anda didapatkan selama ini? a. Diambil ikan karang untuk dipasarkan b. Menambang terumbu karang untuk akarium laut dan atau material bahan bangunan c. Penambang pasir d. Sebagai objek wisata e. Lain-lain, sebutkan.............. 2. Dalam 12 bulan terakhir (termasuk anggota keluarga), bagaimana anda memanfaatkan terumbu karang? KEGIATAN Menangkap ikan Mengambil karang Daerah wisata Lainya (sebutkan)
Ya
Tidak
3. Berapa jumlah produksi yang dapat anda hasilkan dari pemanfaatan ekosistem terumbu karang? 4. Sudah berapa lama tinggal di daerah ini?........................ 5. Bagaimana kondisi terumbu karang dulu dan sekarang? a.masih sangat baik (masih lengkap struktur komoditas terumbu karang, mulai dari hard coral hingga soft coral serta spesies yang tinggal disana juga masih lengkap dan tidak ada bentuk kerusakan karang) b.baik (ada kerusakan namun tidak banyak) c.Cukup (jumlah kerusakan dengan yang masih dalam kondisi baik seimbang) d.sangat buruk (kerusakan banyak ditemukan di areal) 6. Bagaimana hasil produksi yang anda dapatkan dulu dan sekarang? a. Semakin meningkat b.stabil c.Semakin menurun
92
Perbandingan Jumlah produksi dahulu dengan sekarang ..................kg/bulan (dulu) ..................kg/bulan (sekarang) 7. Bagaimana pendapatan yang diperoleh dahulu dengan sekarang tiap bulan dari pemanfaatan terumbu karang? a. semakin meningkat b.stabil c.semakin menurun berapa pendapatan yang diperoleh tiap bulan dari pemanfaatan karang? Rp................../bulan (dulu) Rp................../bulan (sekarang) 8. Menurut anda dampak apa yang timbul bila terumbu karang rusak? (boleh lebih dari satu) a. Hilangnya habitat ikan hidup b. Hilangnya daerah pelindung pantai c. Pendapatan nelayan berkurang d. Keindahan alam menjadi hilang e. Lain-lain (sebutkan).................
Bagian III Gambar yang saya tunjukkan kepada anda adalah gambar dua kondisis terumbu karang yang berbeda. Gambar A menunjukkan terumbu karang yang masih baik dengan stok ikan yang banyak. Gambar B menunjukkan terumbu karang yang sudah rusak
Baik Buruk Jika pemerintah ingin memperbaiki kondisi terumbu karang yang rusak tererbut, maukah anda berkontribusi menyisakan sebagian pendapatan rumah tangga per bulan atau per tahun untuk program perbaikan tersebut. 1. Ya 2. Tidak, alasan____________________________________________(WTP 0)
93
Jika ya beri 2 alternatif di bawah ini manakah yang anda pilih Pembayaran/ Kualitas Alternatif Atribut tahun lingkungan 1 Rp. 50 ribu Buruk Ikan Sedikit 2 Rp 75 ribu Baik Ikan banyak
Pilih
Jika anda pilih alternative 2 manakah diantara dua pilihan ini yang akan anda pilih Pembayaran/ Kualitas Alternatif Atribut Pilih tahun lingkungan 3 Rp. 50 ribu Buruk Ikan Sedikit 4 Rp 100 ribu Baik Ikan banyak Kalau pilihan kepada bapak diberikan secara bebas berapakah bapak sanggup membayar untuk program di atas :
Pembayaran/ tahun Rp. 10 Ribu Rp. 20 Ribu Rp. 30 Ribu Rp. 50 Ribu Rp. 75 Ribu Rp. 100 Ribu > Rp. 100 Ribu
Pilih
94 Lampiran 3. Pandangan Masyarakat Kawasan TNKpS terhadap Sumber Daya Terumbu karang Terumbu Karang Pandangan Umum Tentang Terumbu Karang Seberapa penting adanya tujuan melindungi dan mencegah perusakan Sumber Daya 1 a. Penting b. Biasa c. Tidak Penting Mengapa keberadan sumberdaya tersebut sangat penting bagi anda a. Sebagai daerah penangkap ikan b. Sebagai daerah untuk menambang karang c. Sebagai daerah wisata
Nelayan
Non Nelayan
43 9 3
13 0 0
55 3 5
8 1 5
6
6
20
4 warisan, diving, spawning ground
I
d. Merupakan cadangan ekosistem yang 2 menyediakan sumberdaya di masa kini dan masa mendatang e. Fungsinya sebgai pelindung bagi daerah sekitar pesisir sangat diperlukan untuk menjaga kestabilan alam f. Lain-lain II Kegiatan Pemanfaatan Terumbu Karang Apa Manfaat Terumbu Karang yang anda 1 dapatkan selama ini? a. Diambil Ikan karang untuk dipasarkan b. Menambang terumbu karang untuk akuarium laut dan atau material bahan bangunan c. Penambang Pasir d. Sebagai objek wisata
Warisan, karang hias
55
3
0 2 2
0 0 4 ikan hias, ikan konsumsi,diving, tranplantasi
e.lain-lain Dalam 12 bulan terakhir (termasuk anggota keluarga) bagaimana anda memanfaatkan 2 terumbu karang? - menangkap ikan - Mengambil karang - Daerah wisata 3
Berapa jumlah produksi yang dapat anda hasilkan dari pemanfaatan ekosistem terumbu karang?
4 Sudah berapa lama tinggal disini? Bagaimana Kondisi terumbu karang dulu dan 5 sekarang? a. Masih sangat baik (masih lengkap struktur Komoditas terumbu karang, mulai dari hard coral hingga soft coral serta spesies yang tinggal disana juga masih lengkap dan tidak ada bentuk kerusakan karang)
55 2 0 10-1000 kg (Ikan konsumsi), 15 e (Ikan Hias) 19-65 tahun
1 0 3
28-60 Tahun
95 Terumbu Karang b Baik (ada kerusakan namun tidak banyak) c. Cukup (jumlah kerusakan dengan yang masih dalam kondisi seimbang) buruk Bagaimana hasil produksi yang anda dapatkan 6 dulu dan sekarang? a. Semakin meningkat b. Stabil c. Semakin menurun Perbandingan jumlah produksi dulu dan sekarang dulu (kg/bulan) sekarang (kg/bulan) Bagaimana pendapatan yang diperoleh dahulu dengan sekarang tiap bulan dari pemanfaatan 7 terumbu karang? a. Semakin meningkat b. Stabil c. Semakin menurun Perbandingan jumlah produksi dulu dan sekarang dulu (Rp/bulan) sekarang (Rp/bulan) Menurut anda dampak apa yang timbul bila 8 terumbu karang rusak a. Hilangnya habitat ikan hidup b. Hilangnya daerah pelindung pantai c. Pendapatan nelayan berkurang d. Keindahan alam menjadi hilang e. lain-lain
Nelayan
Non Nelayan
29
3
15 11
1 10
55
5
2000-10000kg 8000-5000 kg,
0 8 47
0 1 3
Rp.1.000.000 Rp.7.000.000 Rp. 500.000 Rp. 8.000.000
48 2 18 4 Perairan Rusak
11 6 3 6 daerah wisata hilang
96 Lampiran 4. Produktifitas Alat Tangkap MUROAMI Tahun
Produksi (ton)
Nilai (Rp.1000)
ΔΏ
NPt
668.87 6,210,914.29 (333.46) (3,096,390.95) 1998 208.35 1,934,656.19 127.06 1,179,867.14 1999 277.16 2,573,650.48 58.25 540,872.86 2000 176.44 1,638,340.95 158.97 1,476,182.38 2001 250.27 2,323,928.57 85.14 790,594.76 2002 511.49 4,749,536.19 (176.08) (1,635,012.86) 2003 366.34 3,401,772.38 (30.93) (287,249.05) 2004 224.36 2,083,387.62 111.05 1,031,135.71 2005 284.26 2,639,523.81 51.15 474,999.52 2006 319.80 2,969,579.05 15.61 144,944.29 Perubahan nilai Produktifitas sesudah dan sebelum ditetapkan zonasi : Rp. 619.943.809,52 1997
PANCING Tahun
Produksi (ton)
Nilai (Rp.1000)
ΔΏ
NPt
98.01 1,749,102.48 272.77 4,867,843.05 1999 113.41 2,023,971.02 257.36 4,592,974.51 2000 47.43 846,441.41 323.35 5,770,504.12 2001 222.53 3,971,245.76 148.25 2,645,699.77 2002 568.79 10,150,731.79 (198.01) (3,533,786.26) 2003 1,008.64 18,000,304.11 (637.86) (11,383,358.58) 2004 536.63 9,576,822.14 (165.86) (2,959,876.61) 2005 216.61 3,865,590.23 154.17 2,751,355.30 2006 221.26 3,948,721.54 149.51 2,668,223.99 Perubahan nilai Produktifitas sesudah dan sebelum ditetapkan zonasi : Rp. 5.419.579.287,49 1998
97 BUBU Tahun
Produksi
1997
195.94
1998
27.76
1999
80.62
2000
117.89
2001
163.53
2002
333.42
2003
229.04
2004
263.60
2005
186.84
2006
13.77
Nilai (Rp.1000) 2,223,195.72 314,963.33 914,729.87 1,337,607.91 1,855,420.36 3,783,078.61 2,598,733.82 2,990,815.45 2,119,862.30 156,208.49
ΔΏ
(19.47) 148.72 95.86 58.58 12.95 (156.95) (52.57) (87.12) (10.36) 162.71
NPt (220,877.59) 1,687,354.80 1,087,588.26 664,710.22 146,897.78 (1,780,760.47) (596,415.69) (988,497.31) (117,544.16) 1,846,109.65
Perubahan nilai Produktifitas sesudah dan sebelum ditetapkan zonasi : Rp. 1.728.565.483,91 IKAN HIAS TAHUN 2007 Bulan
Jumlah Ikan hias (ekor)
Nilai
January
42,941.00 127,899,163.95
February
56,786.00 169,136,301.53
March
35,320.00 105,200,122.74
April
45,015.67 134,078,529.40
May
48,104.00 143,277,086.76
June
45,500.00 135,521,109.42
July
41,094.00 122,397,900.45
August
25,135.00 74,864,243.63
September
41,480.00 123,547,596.01
October
42,375.00 126,213,340.91
November
33,114.50 98,631,072.04
December
41,569.00 123,812,681.26 Total
1,484,579,148.10
98
Lampiran 5. Tabulasi Data Responden No
Nama
Pekerjaan
WTP
Umur
Pendidikan
Pengalaman
Pendapatan
50,000
42
9
22
3,000,000
1
Tarbi
Dewan Kelurahan
1
2
Untung
Manajer Vila
1
100,000
28
12
5
1,500,000
3
Nelson
Pegawai TNKpS
1
500,000
34
16
10
1,500,000
4
Veni
Pegawai TNKpS
1
100,000
28
16
3
1,600,000
5
Bisri
Pengumpul
1
100,000
31
12
4
3,000,000
6
Hakim
Pengumpul
1
100,000
32
12
6
1,000,000
7
Simin
Pengumpul
1
20,000
60
9
35
1,000,000
8
Iswan
Pengumpul
1
50,000
39
12
16
1,000,000
9
Kamid
Pengumpul
1
20,000
56
5
32
1,000,000
10
Nurdin
Pengumpul
1
100,000
40
12
20
1,500,000
11
Eko
Pengumpul
1
100,000
35
12
12
1,000,000
12
Idris
Pengumpul
1
100,000
38
12
17
2,000,000
13
Alwani
Pengumpul
1
100,000
40
9
17
1,500,000
14
Sanggo
Nelayan
1
75,000
42
1
25
500,000
15
Marhali
Nelayan
1
20,000
25
6
15
1,000,000
16
Muhadi
Nelayan
1
75,000
30
9
13
1,000,000
99
No
Nama
Pekerjaan
WTP
Umur
Pendidikan
Pengalaman
Pendapatan
30,000
34
6
14
600,000
17
Hasan
Nelayan
1
18
Leo
Nelayan
0
0
40
6
24
800,000
19
Mujahar
Nelayan
1
75,000
49
1
28
1,500,000
20
Dedi
Nelayan
1
20,000
32
9
14
1,000,000
21
Yusuf
Nelayan
1
20,000
40
6
23
1,000,000
22
Adi
Nelayan
1
20,000
31
9
15
1,000,000
23
Khairudin
Nelayan
1
50,000
36
9
18
500,000
24
Abdul
Nelayan
1
100,000
39
6
20
1,500,000
25
Rajingur
Nelayan
1
50,000
51
6
33
1,000,000
26
Hamdani
Nelayan
1
30,000
45
6
18
800,000
27
Marullah
Nelayan
1
20,000
23
9
10
800,000
28
Suhandi
Nelayan
1
20,000
28
6
15
1,200,000
29
Ishak
Nelayan
1
20,000
38
9
16
600,000
30
Sutarno
Nelayan
1
75,000
38
6
9
1,000,000
31
Hasim
Nelayan
1
20,000
54
6
29
800000
32
Mualim
Nelayan
1
75,000
38
6
9
1,000,000
33
Misan
Nelayan
1
20,000
25
6
10
1,000,000
100
No
Nama
Pekerjaan
WTP
Umur
Pendidikan
Pengalaman
Pendapatan
20,000
32
9
17
1,000,000
34
Saipul
Nelayan
1
35
Tajeli
Nelayan
1
20,000
47
6
26
1,500,000
36
Jamhari
Nelayan
1
20,000
43
6
20
1,000,000
37
Oni
Nelayan
0
0
45
6
18
1,200,000
38
Mat
Nelayan
1
40,000
38
9
15
600,000
39
Ali Imran
Nelayan
1
50,000
25
6
10
1,000,000
40
Muhidin
Nelayan
1
50,000
33
12
18
900,000
41
Abdul Murad Nelayan
1
30,000
40
6
25
500,000
42
Agus Rakasiwi Nelayan
1
20,000
30
12
14
1,000,000
43
Adi Sujatno
Nelayan
1
20,000
32
9
16
800,000
44
Hermanto
Nelayan
1
50,000
25
6
9
720,000
45
Jamaludin
Nelayan
0
0
51
6
30
300,000
46
Samsuri
Nelayan
1
50,000
51
9
34
300,000
47
Abidin
Nelayan
1
50,000
39
9
20
300,000
48
Dedi Irawan
Nelayan
1
50,000
40
9
23
720,000
49
Buhari
Nelayan
1
50,000
48
6
31
480,000
50
Jayadi
Nelayan
0
0
35
6
18
240,000
101
No
Nama
Pekerjaan
WTP
Umur
Pendidikan
Pengalaman
Pendapatan
50,000
24
9
8
800,000
51
Ahmad husein Nelayan
1
52
Nur yadi
Nelayan
1
20,000
25
6
9
2,000,000
53
Eros Sanjaya
Nelayan
1
20,000
35
12
19
800,000
54
Juhari
Nelayan
1
30,000
65
6
49
300,000
55
Akhmad
Nelayan
1
20,000
37
9
21
1,000,000
56
Salam
Nelayan
1
20,000
42
6
24
300,000
57
Hanafi
Nelayan
1
20,000
59
6
41
600,000
58
Maliki
Nelayan
1
20,000
19
12
4
300,000
59
Kasin
Nelayan
1
50,000
42
6
25
720,000
60
Makmud
Nelayan
0
0
35
6
18
100,000
61
M. Bujuk
Nelayan
1
50,000
20
9
4
500,000
62
M. Syirad
Nelayan
1
40,000
43
9
25
1,440,000
63
Tomi
Nelayan
1
50,000
23
9
9
720,000
64
Ahmad Kopek Nelayan
1
50,000
20
9
4
720,000
65
Sarkawi
Nelayan
1
50,000
30
6
16
720,000
66
Perlan
Nelayan
0
0
35
9
17
100,000
67
Ramli
Nelayan
1
50,000
40
12
21
500,000
102
No
Nama
68
Syahrudin
Pekerjaan Nelayan
1
WTP 20,000
Umur
Pendidikan
Pengalaman
37
12
19
Pendapatan 1,440,000
Rata‐rata
49,044
37
8
18
953,235
Max
500,000
65
16
49
3,000,000
Min
0
19
1
3
100,000
103
Lampiran 6. Deskriptif Kuallitatif Respoden Nelayan dan Non Nelayan Nelayan
Non Nelayan WTP
Mean Standard Error Median Mode Standard Deviation Sample Variance Kurtosis Skewness Range Minimum Maximum Sum Count
35,272.73 2,861.62 20,000.00 20,000.00 21222.32799 450387205.4 0.425758197 0.912234857 100,000.00 0 100000 1940000 55
Pendapatan Mean Standard Error Median Mode Standard Deviation Sample Variance Kurtosis Skewness Range Minimum Maximum Sum Count
Mean Standard Error Median Mode Standard Deviation Sample Variance Kurtosis Skewness Range Minimum Maximum Sum Count
110,769.23 33,616.65 100,000.00 100,000.00 121206.5412 14691025641 10.83991994 3.153363377 480,000.00 20000 500000 1440000 13
Pendapatan
804000 52425.09487 800,000.00 1,000,000.00 388794.9093 1.51161E+11 0.618803031 0.526409518 1,900,000.00 100000 2000000 44220000 55
Pendidikan Mean Standard Error Median Mode Standard Deviation Sample Variance Kurtosis Skewness Range Minimum Maximum Sum Count
WTP
Mean Standard Error Median Mode Standard Deviation Sample Variance Kurtosis Skewness Range Minimum Maximum Sum Count
1469230.769 156641.2754 1,500,000.00 1,500,000.00 564778.1502 3.18974E+11 4.097597847 1.700023141 2,200,000.00 800000 3000000 19100000 13
Pendidikan 7.509090909 0.323982715 6 6 2.40272012 5.773063973 0.719134166 ‐0.057325058 11 1 12 413 55
Mean Standard Error Median Mode Standard Deviation Sample Variance Kurtosis Skewness Range Minimum Maximum Sum Count
11.38461538 0.812864999 12 12 2.930826435 8.58974359 1.056872436 ‐0.401663118 11 5 16 148 13
104
Nelayan
Non Nelayan Pengalaman
Mean Standard Error Median Mode Standard Deviation Sample Variance Kurtosis Skewness Range Minimum Maximum Sum Count
Pengalaman 18.81818182 1.201875893 18 18 8.913350181 79.44781145 1.607536087 0.892998888 45 4 49 1035 55
Umur Mean Standard Error Median Mode Standard Deviation Sample Variance Kurtosis Skewness Range Minimum Maximum Sum Count
Mean Standard Error Median Mode Standard Deviation Sample Variance Kurtosis Skewness Range Minimum Maximum Sum Count
15.30769231 2.831563434 16 17 10.20934715 104.2307692 ‐0.252828663 0.675897248 32 3 35 199 13
Umur 36.78181818 1.348821885 37 25 10.00313082 100.0626263 0.176923512 0.400714764 46 19 65 2023 55
Mean Standard Error Median Mode Standard Deviation Sample Variance Kurtosis Skewness Range Minimum Maximum Sum Count
38.69230769 2.699441099 38 28 9.732973299 94.73076923 1.11701395 1.233256036 32 28 60 503 13
105
Lampiran 7. Analisis Logit Tampilan Analisis Logit dengan menggunakan software Eviews Dependent Variable: Y Method: ML - Binary Logit (Newton-Raphson) Date: 01/18/09 Time: 21:54 Sample: 1 68 Included observations: 68 Convergence achieved after 6 iterations QML (Huber/White) standard errors & covariance Variable
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
AGE EDU EXPRNC INCOME C
-0.191290 0.325258 0.223034 5.19E-06 -0.383106
0.150070 0.172031 0.157791 2.80E-06 3.253733
-1.274671 1.890691 1.413472 1.852262 -0.117744
0.2024 0.0587 0.1575 0.0640 0.9063
Mean dependent var S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Restr. log likelihood LR statistic (4 df) Probability(LR stat) Obs with Dep=0 Obs with Dep=1
0.911765 0.240167 3.633855 -13.78434 -20.29364 13.01859 0.011185 6 62
S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Avg. log likelihood McFadden R-squared Total obs
0.285746 0.552481 0.715680 0.617145 -0.202711 0.320756 68
106
Lampiran 8. Analisis Option Price dengan Von Neumann Morgernstern
Ouput Maple 11 OPTION PRICE, Seribu Marine Park's coral reef Model Von Neumann Morgernstern Expected Utility MPA or No MPA > >
>
>
>
>
107
Lampiran 9. BI rate 1 tahun Terakhir
BI Rate (Berdasarkan hasil dari Rapat Dewan Gubernur)
Tanggal
BI Rate
4 Feb 2009
8.25%
7 Jan 2009
8.75%
4 Dec 2008
9.25%
6 Nov 2008
9.50%
7 Oct 2008
9.50%
4 Sept 2008
9.25%
5 Aug 2008
9.00%
3 July 2008
8.75%
5 June 2008
8.50%
6 May 2008
8.25%
3 April 2008
8.00%
6 March 2008
8.00%
Rata-rata
8.75%
Sumber : www.bi.go.id
108
Lampiran 10. Present Value Terumbu Karang
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
TEV (Rp) 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04
PV (Rp) 423,339,925,336.04 389,278,092,263.02 357,956,866,448.76 329,155,739,263.22 302,671,944,150.09 278,319,029,103.53 255,925,544,003.25 235,333,833,566.21 216,398,927,417.20 198,987,519,464.09 182,977,029,392.27
11 12
423,339,925,336.04 423,339,925,336.04
168,254,739,671.05 154,717,001,996.37
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04
142,268,507,582.87 130,821,616,168.16 120,295,739,005.20 110,616,771,499.03 101,716,571,493.37 93,532,479,534.13 86,006,877,732.53 79,086,784,121.87 72,723,479,652.29 66,872,165,197.51 61,491,646,158.63 56,544,042,444.72 51,994,521,788.25 47,811,054,517.93 43,964,188,062.46 40,426,839,597.67 37,174,105,377.16 34,183,085,404.29 31,432,722,210.84 28,903,652,607.67 26,578,071,363.37 24,439,605,851.38 22,473,200,782.88 20,665,012,214.14 19,002,310,081.97
Tahun
109
Tahun 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
TEV (Rp) 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 423,339,925,336.04 JUMLAH
PV (Rp) 17,473,388,581.12 16,067,483,752.75 14,774,697,703.68 13,585,928,922.93 12,492,808,204.99 11,487,639,728.73 10,563,346,876.99 9,713,422,415.62 8,931,882,681.03 8,213,225,453.82 7,552,391,221.91 6,944,727,560.37 6,385,956,377.35 5,188,528,142,006.69
110
Lampiran 11. Dokumentasi Penelitian
Nelayan Pulau Kelapa
Wawancara dengan Nelayan
Nelayan yang sedang membuat jaring
Resort Pulau Kotok
Pulau-Pulau di Kepulauan Seribu
Nelayan sedang memperbaiki kapal