DESAIN PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG SECARA BERKELANJUTAN DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH BINTAN TIMUR KEPULAUAN RIAU
ADRIMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Desain Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau, adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Oktober 2012
Adriman NRP. P062080051
ABSTRACT ADRIMAN. 2012. Design for Sustainable Management of Coral Reef Ecosystem in the Regional Marine Conservation Area of East Bintan Riau Islands. Under the Supervision of ARI PURBAYANTO, SUGENG BUDIHARSONO, dan ARIO DAMAR. The purpose of this study are: (1) to analyze the condition of coral reefs and the factors that influence it, (2) to analyze the index and sustainability status of coral reef ecosystem management, (3) to identify management existing and to build strategies scenarios of sustainable management of coral reef ecosystems; and (4) to build management strategies of coral reef ecosystems in a sustainable manner. A survey method was used, data were collected by using questionnaires and field surveys. Some analysis tools used were Principal Component Analysis (PCA), Method of Multi Dimensional Scaling Approach (MDS), and prospective analysis. The results showed that the condition of coral reef in the Regional Marine Conservation Areas of East Bintan considered moderate to good. Management of coral reef ecosystems currently showed imbalance between the dimension of economic, ecological, social cultural, and technological infrastructure, and law and institutions. There were ten key factors that influence to the sustainability, namely the condition of coral reefs, protected area, the public revenue, tourism employment, human resource availability, government policies, coordination among stakeholders, community compliance, environmental legal counseling, and surveillance infrastructure. Design an implementation strategy of coral reef management in the Regional Marine Conservation Area of East Bintan using an integrative approach by improving and increasing the dominant factor among others: (a) improving coordination among stakeholders; (b) increasing monitoring, supervision and enforcement of the law consistently, (c) empowering coastal communities through the development of alternative livelihoods; (d) improving the quality of coastal human resources, and (e) conducting rehabilitation of coral reef ecosystems and pollution control and prevention. Keywords : Design, management, conservation, coral reef, sustainability, East Bintan
ecosystems,
RINGKASAN ADRIMAN. 2012. Desain Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO, SUGENG BUDIHARSONO, dan ARIO DAMAR. Kawasan pesisir Bintan Timur Kabupaten Bintan yang ditetapkan sebagai salah satu Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan memiliki sumberdaya pesisir dan laut yang sangat potensial termasuk terumbu karang. Ekosistem terumbu karang di pesisir Bintan Timur ini telah sejak lama dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan ekonomi, seperti lokasi penangkapan ikan dan wisata bahari dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholders). Meningkatnya kegiatan pembangunan di wilayah pesisir Bintan Timur telah meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya perairan pesisir termasuk ekosistem terumbu karang. Untuk itu perlu pengelolaan yang komprehensif dengan pendekatan yang bersifat multidimensi sehingga konsep pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan. Tujuan utama penelitian ini adalah membangun desain pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepuluan Riau. Tujuan khusus penelitian ini adalah : (1) menganalisis kondisi terumbu karang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya; (2) menganalisis indeks dan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang; (3) mengidentifikasi pengelolaan saat ini dan menyusun skenario strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan; dan (4) membangun strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Untuk mengkaji permasalahan akibat beragamnya kegiatan masyarakat pesisir di Bintan Timur yang memiliki potensi ekosistem terumbu karang cukup tinggi, maka dilakukan pendekatan komprehensif dan multidimensi. Beberapa alat analisis yang digunakan adalah Analisis Komponen Utama (PCA), Metode Pendekatan Multi Dimensional Scaling (MDS), dan analisis prospektif. Hasil penggunaan analisis tersebut diharapkan dapat memberikan telaah secara komprehensif tentang keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Kondisi terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur tergolong sedang sampai baik. Kondisi ini disebabkan oleh tekanan dari aktivitas penduduk pada masa silam (penambangan pasir laut, pembuangan limbah tailing pencucian bauksit, tailing penambangan pasir darat, dan penangkapan ikan dengan bom) yang dampaknya masih berlanjut sampai saat penelitian dilakukan. Dengan adanya Program Coremap II di Kabupaten Bintan, maka secara berangsur kondisi terumbu karang semakin baik. Disamping itu, penggunaan alat tangkap seperti bubu, bagan tancap juga dapat merusak terumbu karang. Hasil analisis korelasi antara faktor kondisi lingkungan perairan dengan tutupan karang hidup menunjukkan bahwa tutupan karang hidup berkorelasi negatif dengan sebagian besar variabel parameter lingkungan seperti kecepatan arus, salinitas, TSS, DO, BOD5, nitrat, sedimentasi dan alga. kecuali suhu, kecerahan, dan kedalaman serta posfat berkorelasi positif. Pengelolaan ekosistem terumbu karang saat ini belum menunjukkan seimbangnya antar dimensi ekonomi, ekologi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan di KKLD Bintan Timur. Nilai indeks
keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang untuk dimensi ekologi 63,00 (cukup berkelanjutan), dimensi ekonomi 57,48 (cukup berkelanjutan), dimensi sosial budaya 52,03 (cukup berkelanjutan), dimensi infrastruktur dan teknologi 51,18 (cukup berkelanjutan) serta hukum dan kelembagaan sebesar 49,91 (kurang berkelanjutan). Dengan demikian pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur berada pada tingkat katagori kurang berkelanjutan sampai cukup berkelanjutan. Ada sepuluh atribut utama atau faktor kunci yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur, yaitu kondisi terumbu karang, luas area dilindungi, pendapatan masyarakat, penyerapan tenaga kerja pariwisata, ketersediaan SDM, kebijakan pemerintah, koordinasi antar stakeholders, kepatuhan masyarakat, penyuluhan hukum lingkungan, serta sarana dan prasarana pengawasan. Strategi implementasi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur menggunakan pendekatan integratif dengan melakukan perbaikan dan peningkatan pada faktor dominan antara lain: (a) peningkatan koordinasi antar stakeholders; (b) peningkatan pemantauan, pengawasan dan penegakan hukum secara konsisten; (c) pemberdayaan masyarakat pesisir melalui pengembangan mata pencaharian alternatif; (d) meningkatkan kualitas SDM pesisir; dan (e) melakukan rehabilitasi ekosistem terumbu karang dan pengendalian serta penanggulangan pencemaran. Kata kunci: Desain, pengelolaan, konservasi, ekosistem, terumbu karang, berkelanjutan, Bintan Timur
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
DESAIN PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG SECARA BERKELANJUTAN DI KAWASAN KONSERVASI LAUT DAERAH BINTAN TIMUR KEPULAUAN RIAU
ADRIMAN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi: Pada Ujian Tertutup
: Jumat/10 Agustus 2012 : 1. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Ketua Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor 2. Dr. Ir. Etty Riani, MS Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Pada Ujian Terbuka
: Rabu/17 Oktober 2012 : 1. Dr. Ir. T. Efrizal, M.Si Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Tanjung Pinang 2. Prof (R). Dr. Suharsono Peneliti Senior pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta
Judul Disertasi
Nama NRP
: Desain Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau : Adriman : P062080051
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Anggota
Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.ScAgr
Tanggal Ujian : 17 Oktober 2012
Tanggal Lulus :
ix
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya, sehingga disertasi dengan judul “Desain Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau” di bawah bimbingan dan arahan Komisi Pembimbing telah dapat diselesaikan. Dalam menyelesaikan disertasi ini, berbagai pihak telah banyak membantu. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, MSc, selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Sugeng Budiharsono, dan Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berharga dalam penyusunan disertasi ini. 2. Ketua Program Studi PSL-IPB, Sekretaris Program beserta staf yang senantiasa memberikan motivasi dan layanan administrasi yang baik. 3. Bapak Prof. Dr. Anshaluddin Jalil, M.S. Rektor Universitas Riau yang telah memberikanan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan program doktor. 4. Bapak Prof. Dr. Ir. Bustari Hasan, M.Sc. Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau yang selalu memberi motivasi penulis dalam menempuh pendidikan program doktor ini. 5. Semua pihak yang telah berkontribusi baik langsung maupun tidak langsung sejak penyusunan proposal, pengambilan data lapangan hingga tersusunnya disertasi ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan masukan yang konstruktif sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini nermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Oktober 2012
Adriman
x
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sawah Air Tiris pada tanggal 01 Januari 1964 dari pasangan H. Ilyas (Alm) dan Halimah (Almh), merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan Hj. Hidayati dan telah dikaruniai empat orang anak, yaitu Putri Adriyati, Hairatunnisa’, Muhammad Adriyan Putra dan Widya Adriyati Putri. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Program Studi Teknologi Penangkapan Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau pada tahun 1990. Pada tahun 1991 penulis mulai bekerja sebagai Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Selanjutnya pada tahun 1993 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana Program Magister (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar Magister Sains (M.Si) pada tahun 1995. Pada tahun 2008 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana Program Doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan S3 telah diterbitkan dua artikel, yaitu: (1) Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau di Jurnal Berkala Perikanan Terubuk, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Volume 41 No. 1 Februari 2012; (2) Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau di Jurnal Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Volume 17 No. 1 Juni 2012. Karya-karya tersebut merupakan bagian dari disertasi ini.
xi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xviii
I.
PENDAHULUAN ........................................................................... 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6
1
Latar Belakang ........................................................................ Perumusan Masalah ................................................................ Tujuan Penelitian .................................................................... Kerangka Pemikiran ............................................................... Manfaat Penelitian .................................................................. Kebaruan (Novelti) .................................................................
1 1 5 8 11 11
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
13
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8
Batasan Wilayah Pesisir ......................................................... Ekosistem Terumbu Karang .................................................. Pembangunan Berkelanjutan .................................................. Daya Dukung .......................................................................... Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang .......... Kawasan Konservasi Laut ...................................................... Sistem dan Pendekatan Sistem .............................................. Penelitian Terdahulu ...............................................................
13 15 23 25 26 30 31 33
III. METODE PENELITIAN ................................................................
37
II.
3.1 3.2 3.3 3.4 3.5
Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. Pendekatan Penelitian ............................................................. Jenis dan Sumber Data............................................................ Metode Pengumpulan Data..................................................... Metode Analisis Data .............................................................
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ........................ 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6
Kondisi Geografis dan Administrasi ...................................... Topografi dan Iklim ................................................................ Hidrooseanografi .................................................................... Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya..................................... Sarana dan Prasarana Pariwisata ............................................ Potensi Kelautan dan Perikanan .............................................
37 37 39 41 44 60 60 61 63 64 70 70
xii
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................
80
5.1 Kondisi Terumbu Karang dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya ..................................................................
80
5.1.1 5.1.2 5.1.3 5.1.4 5.1.5
Kondisi Terumbu Karang............................................ Karakteristik Lingkungan Perairan ............................. Sedimentasi ................................................................. Beban Pencemaran ..................................................... Korelasi Antara Karakteristik Biofisik-Kima Lingkungan Perairan dengan Masing-masing Lokasi ......
5.2 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang .................................................................................... 5.2.1 Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur .......................................... 5.3 Pengelolaan Saat ini dan Skenario Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan ........................................... 5.3.1 Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Saat Ini ..... 5.3.2 Skenario Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan................................................. 5.4 Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan .......................................................................... 5.4.1 Arahan Strategi dan Implementasi Program................ 5.4.2 Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang..........................................................................
80 84 86 88 89 98
99 118 118 131 147 147 166
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
171
6.1 Kesimpulan ............................................................................ 6.2 Saran........................................................................................
171 172
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. LAMPIRAN .............................................................................................
173 185
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian........
40
2.
Faktor konstanta beban limbah organik ..................................
44
3.
Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan Persentase penutupan karang (Gomez and Yap, 1988)........................ ...............................................................
45
Dimensi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur..................................
47
Kategori status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan nilai indeks hasil analisis RapInsus-COREMAG ...................................................................
52
6.
Pedoman penilaian analisis prospektif ....................................
55
7.
Pengaruh langsung antar faktor dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan .....................................
55
Faktor-faktor kunci dan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang ...........................................
57
Hasil analisis skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur ..............................................
57
Tujuan, peubah, metode analisis data dan output yang diharapkan ...............................................................................
58
Luas wilayah administratif kecamatan di KKLD Bintan Timur .......................................................................................
61
Statistik pendapatan rumah tangga responden dari kegiatan kenelayanan menurut musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan Kepulauan Riau..........................................................................................
65
Persentase jumlah penduduk Kabupaten Bintan menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun 2008.................
67
Volume dan nilai pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan tahun 2008 ………………………..............................
72
Sebaran lokasi dan jenis obyek wisata yang dapat di kembangkan di Gugus Pulau Bintan .......................................
74
Data kualitas perairan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau tahun 2010.......................................................................
85
Beban sedimen melayang yang masuk ke laut dari masingmasing sungai di KKLD Bintan Timur tahun 2010 ………..
86
4. 5.
8. 9. 10. 11. 12.
13. 14. 15. 16. 17.
xiv
18.
Hasil perhitungan beban pencemaran yang berasal dari sungai yang bermuara ke perairan pesisir Bintan Timur .........
88
Estimasi beban pencemaran pencemaran yang berasal dari kegiatan penduduk …...............................................................
89
Matriks korelasi parameter karakteristik lingkungan perairan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan.............
90
Nilai indeks multidimensi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur...............................................
115
22.
Nilai stress dan koefisien determinasi multidimensi................
116
23.
Hasil analisis Monte Carlo multidimensi ................................
117
24.
Landasan hukum kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang ......................................................................................
119
Tutupan karang hidup dalam pengamatan 2007-2009 di perairan Bintan Timur Kepulauan Riau...................................
127
Atribut multidimensi yang sensitif terhadap keberlanjutan sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang dari hasil analisis MDS ...........................................................................
132
Atribut multidimensi yang sensitif terhadap keberlanjutan sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang dari hasil analisis kebutuhan ...................................................................
136
Faktor-faktor kunci multidimensi yang berpengaruh terhadap sistem pengelolaan terumbu karang di KKLD Bintan Timur ..................................................................................................
138
Perubahan keadaan (state) faktor-faktor kunci/penentu dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepri .................
139
Hasil analisis skenario strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Kabupaten Bintan Kepri ........................................................................................
140
Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 1 terhadap peningkatan status pengelolaan ekosistem terumbu karang .......................................................
141
Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario 1 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Kabupaten Bintan Kepri ........................................................................................
141
Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 2 terhadap peningkatan status pengelolaan ekosistem terumbu karang ......................................................
142
19. 20. 21.
25. 26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
xv
34. 35.
36. 37.
38.
39.
Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario 2 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri.....
143
Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 3 terhadap peningkatan status pengelolaan ekosistem terumbu karang ..............................................
144
Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario 3 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri......
144
Nilai indeks keberlanjutan kondisi eksisting dan skenario 1, 2, 3 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri .............................................................................
145
Perubahan kenaikan skala atribut pada masing-masing dimensi dan indikator keberhasilan pada skenario 2 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri .............................................................................
149
Strategi dan implementasi program kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri ......
163
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka pemikiran penelitian model pengelolaan ekosistem Terumbu karang berkelanjutan di KKLD Kabupaten Bintan Kepulauan Riau .......................................................................
10
Peta lokasi penelitian di KKLD Bintan Timur Propinsi Kepulauan Riau .......................................................................
38
3.
Tahapan penelitian yang dilakukan .........................................
39
4.
Tahapan analisis Rap-Insus-COREMAG menggunakan MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish ...............................
53
Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem .......................................................................................
56
Distribusi persentase rumah tangga responden menurut kelompok pendapatan dan musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan...........................
66
7.
Peta potensi ekosistem utama pesisir di Kabupaten Bintan.....
76
8.
Jumlah genera karang batu yang ditemukan di KKLD Bintan Timur ..........................................................................
80
Kondisi tutupan karang hidup di beberapa stasiun pengamatan pada KKLD Bintan Timur tahun 2010 ...............
81
Persentase tutupan karang dari kategori benthic lifeform di KKLD Bintan Timur Tahun 2010 ..........................................
82
11.
Laju sedimentasi di KKLD Bintan Timur................................
87
12.
Grafik analisis komponen utama parameter fisika kimia perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen utama kedua (F2). A: Korelasi antar parameter, dan B : Penyebaran lokasi pengamatan ................................... Grafik analisis komponen utama parameter fisika kimia perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen utama kedua (F3). A: Korelasi antar parameter, dan B : Penyebaran lokasi pengamatan ...................................
2.
5. 6.
9. 10.
13.
14.
92
93
Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun pengamatan berdasarkan parameter karakteristik biofisik-kimia lingkungan perairan .................................................................
98
15.
Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekologi ...........
100
16.
Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100 ..............................................................
101
Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekonomi .........
103
17.
xvii
18.
19. 20.
21. 22.
23. 24.
25.
26.
27. 28. 29.
30. 31. 32.
Nilai sensitivitas atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam erubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100 ..............................................................
104
Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi sosial budaya ..................................................................................................
106
Nilai sensitivitas atribut dimensi sosial budaya yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100 .....................................................
107
Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi teknologi dan infrastruktur .............................................................................
109
Nilai sensitivitas atribut dimensi teknologi dan infrastruktur yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100 .........................................
110
Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan ............................................................................
111
Nilai sensitivitas atribut dimensi hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100 .........................................
112
Diagram layang (kite diagram) keberlanjutan multidimensi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur .......................................................................................
114
Persentase rata-rata tutupan karang hidup di KKLD Bintan Timur dari tahun 2007 sampai 2010 (Coremap II – LIPI, 2010) ........................................................................................
128
Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja sistem yang dikaji (tahap pertama) ...............
134
Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja sistem yang dikaji (tahap kedua)...................
137
Nilai indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan pada kondisi eksisting, skenario 1, 2 dan 3 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri ......................
146
Kedudukan UPTD KKLD Bintan pada struktur organisasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan...................
166
Struktur kemitraan pengelolaan KKLD antara UPTD KKLD dengan FP-TKB........................................................................
168
Usulan struktur organisasi FP-TKB mitra pengelolaan KKLD Bintan ..........................................................................
170
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11. 12.
Persentase tutupan dari kategori benthic lifeform di Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2010........
185
Data Kualitas Perairan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Tahun 2010 .....................
186
Akar ciri dan persentase kontribusi setiap sumbu faktorial terhadap total variansi ............................................................
187
Kualitas representasi kosinus kuadrat dari fisika-kimia perairan pada 3 sumbu utama pada Analisis Komponen Utama (PCA) ...........................................................................
187
Kualitas representasi kosinus kuadrat lokasi pengamatan pada 3 sumbu utama pada Analisis Komponen Utama (PCA) ..................................................................................................
187
Dimensi ekologi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau........................................................................
188
Dimensi ekonomi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau........................................................................
189
Dimensi sosial budaya dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau........................................................................
190
Dimensi teknologi dan infrastruktur serta atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau....................................
191
Dimensi hukum dan kelembagaan serta atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau.............................................................
192
Perhitungan beban pencemaran dari penduduk, hotel dan restoran serta peternakan .........................................................
193
Matrik strategi dan implementasi program, capaian program menurut waktu serta indikator kinerja utama (IKU), pelaksanaan kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau..........................................................................................
194
xi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
xviii
I.
PENDAHULUAN ........................................................................... 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6
1
Latar Belakang ........................................................................ Perumusan Masalah ................................................................ Tujuan Penelitian .................................................................... Kerangka Pemikiran ............................................................... Manfaat Penelitian .................................................................. Kebaruan (Novelti) .................................................................
1 1 5 8 11 11
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
13
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8
Batasan Wilayah Pesisir ......................................................... Ekosistem Terumbu Karang .................................................. Pembangunan Berkelanjutan .................................................. Daya Dukung .......................................................................... Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang .......... Kawasan Konservasi Laut ...................................................... Sistem dan Pendekatan Sistem .............................................. Penelitian Terdahulu ...............................................................
13 15 23 25 26 30 31 33
III. METODE PENELITIAN ................................................................
37
II.
3.1 3.2 3.3 3.4 3.5
Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................... Pendekatan Penelitian ........................................................... Jenis dan Sumber Data............................................................ Metode Pengumpulan Data................................................... Metode Analisis Data ...........................................................
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ..................... 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6
Kondisi Geografis dan Administrasi .................................... Topografi dan Iklim .............................................................. Hidrooseanografi .................................................................. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya................................... Sarana dan Prasarana Pariwisata .......................................... Potensi Kelautan dan Perikanan .........................................
37 37 39 41 44 59 59 60 62 63 69 70
xii
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................
80
5.1 Kondisi Terumbu Karang dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya .................................................................
80
5.1.1 5.1.2 5.1.3 5.1.4 5.1.5
Kondisi Terumbu Karang............................................ Karakteristik Lingkungan Perairan ............................. Sedimentasi ................................................................. Beban Pencemaran ..................................................... Korelasi Antara Karakteristik Biofisik-Kima Lingkungan Perairan dengan Masing-masing Lokasi ......
5.2 Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang .................................................................................... 5.2.1 Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur .......................................... 5.3 Pengelolaan Saat ini dan Skenario Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan ........................................... 5.3.1 Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Saat Ini ..... 5.3.2 Skenario Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan................................................. 5.4 Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan .......................................................................... 5.4.1 Arahan Strategi dan Implementasi Program................ 5.4.2 Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang..........................................................................
80 84 86 88 89 98
99 118 118 131 147 147 166
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
171
6.1 Kesimpulan ............................................................................ 6.2 Saran........................................................................................
171 172
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. LAMPIRAN .............................................................................................
173 185
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman 1.
Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian........
40
2.
Faktor konstanta beban limbah organik ..................................
44
3.
Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan Persentase penutupan karang (Gomez and Yap, 1988)........................ ...............................................................
45
Dimensi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur..................................
47
Kategori status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan nilai indeks hasil analisis RapInsus-COREMAG ...................................................................
52
6.
Pedoman penilaian analisis prospektif ....................................
55
7.
Pengaruh langsung antar faktor dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan .....................................
55
Faktor-faktor kunci dan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang ...........................................
57
Hasil analisis skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur ..............................................
57
Tujuan, peubah, metode analisis data dan output yang diharapkan ...............................................................................
58
Luas wilayah administratif kecamatan di KKLD Bintan Timur .......................................................................................
60
Statistik pendapatan rumah tangga responden dari kegiatan kenelayanan menurut musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan Kepulauan Riau..........................................................................................
61
Persentase jumlah penduduk Kabupaten Bintan menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun 2008.................
66
Volume dan nilai pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan tahun 2008 ………………………..............................
73
Sebaran lokasi dan jenis obyek wisata yang dapat di kembangkan di Gugus Pulau Bintan .......................................
74
Data kualitas perairan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau tahun 2010.......................................................................
85
Beban sedimen melayang yang masuk ke laut dari masingmasing sungai di KKLD Bintan Timur tahun 2010 ………..
86
4. 5.
8. 9. 10. 11. 12.
13. 14. 15. 16. 17.
xiv
18.
Hasil perhitungan beban pencemaran yang berasal dari sungai yang bermuara ke perairan pesisir Bintan Timur .........
88
Estimasi beban pencemaran pencemaran yang berasal dari kegiatan penduduk ...................................................................
89
Matriks korelasi parameter karakteristik lingkungan perairan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan.............
90
Akar ciri dan persentase kontribusi setiap sumbu faktorial terhadap total variansi .............................................................
91
Nilai indeks multidimensi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur...............................................
115
23.
Nilai stress dan koefisien determinasi multidimensi................
116
24.
Hasil analisis Monte Carlo multidimensi ................................
117
25.
Landasan hukum kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang ......................................................................................
119
Tutupan karang hidup dalam pengamatan 2007-2009 di perairan Bintan Timur Kepulauan Riau...................................
127
Atribut multidimensi yang sensitif terhadap keberlanjutan sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang dari hasil analisis MDS ...........................................................................
132
Atribut multidimensi yang sensitif terhadap keberlanjutan sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang dari hasil analisis kebutuhan ...................................................................
136
Faktor-faktor kunci multidimensi yang berpengaruh terhadap sistem pengelolaan terumbu karang di KKLD Bintan Timur ..................................................................................................
138
Perubahan keadaan (state) faktor-faktor kunci/penentu dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepri .................
139
Hasil analisis skenario strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Kabupaten Bintan Kepri ........................................................................................
140
Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 1 terhadap peningkatan status pengelolaan ekosistem terumbu karang .......................................................
141
Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario 1 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Kabupaten Bintan Kepri ........................................................................................
141
19. 20. 21. 22.
26. 27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
xv
34.
35. 36.
37. 38.
39.
40.
Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 2 terhadap peningkatan status pengelolaan ekosistem terumbu karang ......................................................
142
Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario 2 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri.....
143
Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 3 terhadap peningkatan status pengelolaan ekosistem terumbu karang .....................................................
144
Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario 3 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri......
144
Nilai indeks keberlanjutan kondisi eksisting dan skenario 1, 2, 3 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri .............................................................................
145
Perubahan kenaikan skala atribut pada masing-masing dimensi dan indikator keberhasilan pada skenario 2 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri .............................................................................
149
Strategi dan implementasi program kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri ......
163
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Kerangka pemikiran penelitian model pengelolaan ekosistem Terumbu karang berkelanjutan di KKLD Kabupaten Bintan Kepulauan Riau .......................................................................
10
Peta lokasi penelitian di KKLD Bintan Timur Propinsi Kepulauan Riau .......................................................................
38
3.
Tahapan penelitian yang dilakukan .........................................
39
4.
Tahapan analisis Rap-Insus-COREMAG menggunakan MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish ...............................
53
Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem .......................................................................................
56
Distribusi persentase rumah tangga responden menurut kelompok pendapatan dan musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan...........................
66
7.
Peta potensi ekosistem utama pesisir di Kabupaten Bintan.....
76
8.
Jumlah genera karang batu yang ditemukan di KKLD Bintan Timur ..........................................................................
80
Kondisi tutupan karang hidup di beberapa stasiun pengamatan pada KKLD Bintan Timur tahun 2010 ...............
81
Persentase tutupan karang dari kategori benthic lifeform di KKLD Bintan Timur Tahun 2010 ..........................................
82
11.
Laju sedimentasi di KKLD Bintan Timur................................
87
12.
Grafik analisis komponen utama parameter fisika kimia perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen utama kedua (F2). A: Korelasi antar parameter, dan B : Penyebaran lokasi pengamatan ................................... Grafik analisis komponen utama parameter fisika kimia perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen utama kedua (F3). A: Korelasi antar parameter, dan B : Penyebaran lokasi pengamatan ...................................
2.
5. 6.
9. 10.
13.
14.
92
93
Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun pengamatan berdasarkan parameter karakteristik biofisik-kimia lingkungan perairan .................................................................
98
15.
Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekologi ...........
100
16.
Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100 ..............................................................
101
Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekonomi .........
103
17.
xvii
18.
19. 20.
21. 22.
23. 24.
25.
26.
27. 28. 29.
30. 31. 32.
Nilai sensitivitas atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam erubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100 ..............................................................
104
Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi sosial budaya ..................................................................................................
106
Nilai sensitivitas atribut dimensi sosial budaya yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100 .....................................................
107
Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi teknologi dan infrastruktur .............................................................................
109
Nilai sensitivitas atribut dimensi teknologi dan infrastruktur yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100 .........................................
110
Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan ............................................................................
111
Nilai sensitivitas atribut dimensi hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100 .........................................
112
Diagram layang (kite diagram) keberlanjutan multidimensi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur .......................................................................................
114
Persentase rata-rata tutupan karang hidup di KKLD Bintan Timur dari tahun 2007 sampai 2010 (Coremap II – LIPI, 2010) ........................................................................................
128
Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja sistem yang dikaji (tahap pertama) ...............
134
Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja sistem yang dikaji (tahap kedua)...................
137
Nilai indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan pada kondisi eksisting, skenario 1, 2 dan 3 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri ......................
146
Kedudukan UPTD KKLD Bintan pada struktur organisasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan...................
166
Struktur kemitraan pengelolaan KKLD antara UPTD KKLD dengan FP-TKB........................................................................
168
Usulan struktur organisasi FP-TKB mitra pengelolaan KKLD Bintan ..........................................................................
170
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10. 11.
Persentase tutupan dari kategori benthic lifeform di Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan Tahun 2010........
185
Data Kualitas Perairan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Tahun 2010 .....................
186
Kualitas representasi kosinus kuadrat dari fisika-kimia perairan pada 3 sumbu utama pada Analisis Komponen Utama (PCA) ...........................................................................
187
Kualitas representasi kosinus kuadrat lokasi pengamatan pada 3 sumbu utama pada Analisis Komponen Utama (PCA) ..................................................................................................
187
Dimensi ekologi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau........................................................................
188
Dimensi ekonomi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau........................................................................
189
Dimensi sosial budaya dan atribut keberlanjutan pengelolaan Bintan Timur ekosistem terumbu karang di KKLD Kepulauan Riau........................................................................
190
Dimensi teknologi dan infrastruktur serta atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau....................................
191
Dimensi hukum dan kelembagaan serta atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau.............................................................
192
Perhitungan beban pencemaran dari penduduk, hotel dan restoran serta peternakan .........................................................
193
Matrik strategi dan implementasi program, pelaksana, kelompok sasaran seta waktu pelaksanaan kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau.....................................
194
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang. Indonesia memiliki sekitar 50.000 km2 ekosistem terumbu karang yang tersebar di seluruh wilayah pesisir dan lautan nusantara. Potensi lestari sumberdaya perikanan yang terkandung di dalamnya diperkirakan sebesar 80.802 ton/km2/tahun, meliputi berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Terumbu karang yang masih utuh juga memberikan nilai pemandangan yang sangat indah. Keindahan tersebut merupakan potensi wisata bahari yang belum dimanfaatkan secara optimal (Dahuri et al., 1996). Indonesia memiliki keanekaragaman terumbu karang yang sangat tinggi, dimana ditemukan 75 genera yang terdiri dari 350 spesies (Borel-Best et al., 1989 diacu dalam Supriharyono, 2007). Ekosistem terumbu karang sebagai salah satu ekosistem utama pesisir dan laut memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat, terumbu karang juga mempunyai nilai ekologis antara lain sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan dan tumbuh besar serta tempat pemijahan bagi berbagai biota laut. Nilai ekonomis terumbu karang yang menonjol adalah sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi dan berbagai jenis ikan hias, bahan konstruksi dan perhiasan, bahan baku farmasi dan sebagai daerah wisata serta rekreasi yang menarik. Nilai ekonomi terumbu karang yang terdapat di Indonesia dari kegiatan perikanan, perlindungan pantai, pariwisata sekitar 1,6 milyar dolar AS (Burke et al., 2002). Disisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa pemanfaatan ekosistem terumbu karang di beberapa wilayah perairan telah berlangsung secara berlebihan, sehingga cenderung mengalami kerusakan yang parah (Edwards dan Gomez, 2007; Dahuri et al., 1996). Secara umum kerusakan terumbu karang disebabkan oleh
gangguan alam dan kegiatan manusia. Kegiatan manusia yang dapat
mengancam terumbu karang antara lain kegiatan penangkapan ikan dan
2
pariwisata. Kunzmann (2001) mengatakan bahwa lebih dari 60% ekosistem terumbu karang dunia terancam oleh kegiatan penangkapan ikan dan pariwisata. Hasil pengamatan terhadap 324 lokasi terumbu karang di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 43% terumbu karang rusak atau bahkan dapat dianggap berada diambang kepunahan, sedangkan yang masih sangat baik hanya sekitar 6,48% (Soekarno, 1995). Selanjutnya Sjafrie (2011) melaporkan bahwa berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Oseanografi LIPI dari 985 stasiun yang tercatat sampai dengan tahun 2008 menunjukkan hanya 5,48% terumbu karang di Indonesia dalam keadaan sangat baik. Secara garis besar kerusakan ekosistem terumbu karang di Indonesia disebabkan oleh enam faktor utama, yaitu (1) penambangan karang (coral mining) untuk keperluan bahan bangunan, pembuatan jalan, dan bahan hiasan; (2) penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak (bom), bahan beracun, dan cara-cara lainnya yang merusak; (3) kegiatan wisata bahari yang kurang memperhatikan pelestarian sumberdaya laut; (4) pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan-kegiatan ekonomi (pembangunan) di darat dan di laut; (5) kekeruhan dan sedimentasi akibat pengelolaan lahan atas (upland areas) yang tidak
atau
kurang
mengindahkan
kaedah-kaedah
ekologis
(pelestarian
lingkungan); dan (6) sebab-sebab alamiah, termasuk pemanasan global yang telah mengakibatkan ”coral bleaching”(Dahuri et al., 1996). Selanjutnya Burke et al. (2002) melaporkan, bahwa 25% terumbu karang di di Asia Tenggara termasuk Indonesia terancam akibat pembangunan di wilayah pesisir, 7% terancam akibat pencemaran laut, 21% terancam akibat sedimentasi dan pencemaran dari darat, 64% terancam akibat penangkapan berlebihan, 56% terancam akibat penangkapan ikan dengan cara yang merusak. Kabupaten Bintan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau yang terdiri dari 240 pulau-pulau kecil serta memiliki sumberdaya pesisir dan laut yang sangat potensial. Luas wilayah Kabupaten Bintan sekitar 87.777,84 km² yang sebagian besar wilayahnya (98,51%) merupakan perairan laut serta memiliki garis pantai sepanjang 728 km. Jumlah penduduk Kabupaten Bintan pada tahun 2008 tercatat sebanyak 122.677 jiwa. Sektor perikanan merupakan mata pencaharian utama bagi sebagian masyarakat, dimana pada tahun 2007
3
tercatat sebanyak 8.243 RTP, sebagian besar (96,3%) bergerak di bidang penangkapan ikan (BPS Kabupaten Bintan, 2007). Wilayah pesisir Kabupaten Bintan memiliki ekosistem terumbu karang seluas 17.394,83 ha, mangrove 6.774,86 ha, padang lamun 1.334, 327 ha dan rumput laut 1.156,11 ha yang tersebar hampir merata di sepanjang pesisir Pulau Bintan dan pulau-pulau kecil (DKP, 2007). Luas ekosistem terumbu karang Kabupaten Bintan ini meliputi 43,5% dari luas ekosistem terumbu karang di Provinsi Kepulauan Riau, yaitu 39.978 ha (Zieren et al., 1997). CRITCCOREMAP II - LIPI (2007) melaporkan bahwa di perairan Pulau Bintan dan sekitarnya ditemukan 14 famili dan 78 jenis karang dengan kondisi buruk sampai sedang. Ekosistem perairan laut dan sumberdaya yang dikandungnya harus dijaga kelestarian dan harus dimanfaatkan secara berkelanjutan, untuk itu perlu ada usaha melalui konservasi. Menurut Dight et al. (1999), bahwa Kawasan Konservasi Laut mempunyai potensi untuk berperan jauh lebih besar terhadap keberhasilan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan di wilayah terumbu karang dan ekosistem-ekosistem lain yang berhubungan. Selanjutnya Halim (1998) mengatakan bahwa pengelolaan kawasan konservasi laut diperlukan zonasi tertentu untuk menunjang mata pencaharian masyarakat, maupun kegiatan lainnya sesuai dengan azas kelestarian. Pengelolaan yang dilakukan harus didasari pada tiga aspek konservasi, yaitu perlindungan ekosistem penyangga kehidupan, pengawetan plasma nutfah dan pelestarian ekosistem. Menurut Statistik Ditjen PHPA 1997/91998 Indonesia memiliki 374 unit kawasan konservasi dengan luas total 21.711.464,25 ha. Kawasan-kawasan tersebut terdiri dari 347 unit kawasan konservasi daratan dengan luas 17.170.856,90 ha dan 27 unit kawasan konservasi laut seluas 4.54.607,35 ha. Kawasan konservasi darat terdiri dari Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya, Taman Buru, Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, sedangkan kawasan konservasi laut terdiri dari Taman Nasional Laut, Taman Wisata Laut, Cagar Alam Laut dan Suaka Margasatwa Laut (Manulang, 1999). Sebagai upaya untuk menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang dan pemanfaatan
sumberdaya
hayati
yang
terkandung
di
dalamnya
secara
4
berkelanjutan di Kabupaten Bintan, pemerintah pada tahun 2006 telah menetapkan kawasan pesisir timur Pulau Bintan sebagai salah satu lokasi COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management
Program) Fase II.
Secara administrasi lokasi Coremap ini berada pada dua kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Kijang meliputi empat desa (Kelurahan Kawal, Desa Gunung Kijang, Desa Malang Rapat dan Desa Teluk Bakau) dan Kecamatan Bintan Pesisir satu desa yaitu Desa Mapur. Selanjutnya pada tahun 2007 Pemerintah Kabupaten Bintan telah menetapkan kawasan pesisir timur Pulau Bintan ini sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dengan SK Bupati Bintan No. 261/VIII/2007 dengan luas kawasan 116.000 ha. Meningkatnya kegiatan pembangunan di Kabupaten Bintan baik di daratan maupun di perairan pesisir telah meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya perairan pesisir termasuk ekosistem terumbu karang di KKLD. Saat ini terdapat berbagai institusi, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun swasta yang mengelola bagian-bagian wilayah pesisir KKLD Kabupaten Bintan secara sendirisendiri dengan mekanisme yang tumpang tindih. Kegiatan pembangunan di daratan meliputi kegiatan pertambangan, industri, pariwisata (hotel dan restoran), permukiman, dan pertanian. Sementara itu kegiatan pembangunan di perairan pesisir meliputi pelabuhan, dan transportasi laut, penangkapan ikan, dan pariwisata bahari. Semua kegiatan pembangunan tersebut belum menunjukkan keterpaduan sebagaimana persyaratan pembangunan wilayah pesisir sebagai suatu ekosistem yang kompleks Dalam
konteks
pengelolaan
ekosistem
terumbu
karang
secara
berkelanjutan tidak bisa terlepas dari pengelolaan ekosistem wilayah pesisir secara terpadu. Oleh karena itu pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur memerlukan suatu perencanaan pengelolaan yang terpadu yang melibatkan banyak stakeholders. Mengingat bahwa aspek keberlanjutan merupakan aspek kunci dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang dan mengandung berbagai dimensi yang cukup kompleks, maka perlu dikaji aspek keberlanjutan dalam pengelolaan
ekosistem
terumbu
karang
secara
komprehensif
dengan
mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi ekosistem terumbu karang khususnya di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau.
5
1. 2. Perumusan Masalah Penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di perairan pesisir Pulau Bintan termasuk di KKLD dapat dibedakan ke dalam dua faktor, yaitu (1) kegiatan pembangunan di wilayah daratan (external factors) yang meliputi : kekeruhan dan sedimentasi dari kegiatan pertambangan bauksit, granit, dan pasir darat; pencemaran dari industri, domestik, hotel dan restoran serta pertanian, dan (2) kegiatan pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya di dalam perairan itu (internal factors) yang meliputi; penambangan karang (coral mining), penggunaan bahan peledak (bom), bahan beracun, dan cara-cara lainnya yang merusak dalam penangkapan ikan di kawasan terumbu karang; pelabuhan dan transportasi laut serta kegiatan wisata yang berkaitan dengan pemanfaatan keindahan terumbu karang (Bapedalda Kabupaten Kepulauan Riau, 2002). Saat ini kegiatan pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir Bintan Timur yang menjadi lokasi KKLD adalah kegiatan pertambangan, perikanan, pelabuhan dan transportasi laut, pariwisata bahari, hotel dan restoran serta sebagai kawasan industri akan berdampak terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang. Jumlah industri di wilayah pesisir Bintan Timur baik industri besar maupun industri kecil dan menengah sampai tahun 2008 sebanyak 8 industri. Kegiatan pertambangan
meliputi
pertambangan
bauksit,
granit
dan
pasir
darat.
Pertambangan bauksit tersebar pada 2 (dua) lokasi dengan luas kuasa penambangan 459,96 ha; pertambangan granit pada 2 (dua) lokasi dengan luas kuasa penambangan 111,22 ha dan pertambangan pasir darat pada 2 (dua) lokasi dengan luas kuasa penambangan 132,20 ha. Disamping itu wilayah pesisir Bintan Timur merupakan kawasan pengembangan wisata di Kabupaten Bintan yang menyebabkan tumbuhnya hotel dan restoran. Jumlah hotel di wilayah pesisisr Bintan Timur pada tahun 2008 tercatat sebanyak 6 (enam) hotel dengan jumlah kamar 400 unit. Sedangkan jumlah restoran sebanyak 22 buah dengan jumlah tempat duduk 911 kursi (BPS Kabupaten Bintan, 2009). Meningkatnya kegiatan pembangunan di Bintan akan berdampak terhadap meningkatknya jumlah limbah, baik limbah padat maupun limbah cair. Menurut Hughes et al. (1999), bahwa pembuangan limbah industri dan domestik akan meningkatkan nutrien dan racun di lingkungan terumbu karang serta dapat menyebabkan pertumbuhan alga yang berlebihan. Limbah kaya nutrisi dari
6
pembuangan atau dari sumber lain sangat mengganggu karena dapat menyebabkan perubahan besar dari struktur terumbu karang secara perlahan dan teratur. Alga akan mendominasi terumbu karang hingga akhirnya melenyapkan karang. Sementara itu kegiatan pertambangan di Bintan akan meningkatkan kekeruhan air dan sedimentasi di perairan. Partini (2009) menemukan bahwa laju sedimentasi pada ekosistem terumbu karang Bintan Timur berkisar 4,00 – 78,24 mg/cm2/hari (ringan – berat). Kondisi ini berkorelasi negatif terhadap tutupan karang dan berkorelasi positif terhadap indeks mortalitas karang. CRITC-COREMAP II - LIPI (2007) melaporkan bahwa kondisi terumbu karang di KKLD Bintan berada dalam kategori buruk sampai sedang. Tutupan karang hidup pada beberapa lokasi bervariasi, diantaranya di perairan pantai Trikora tutupan karang hidup berkisar 5 – 61,90% dengan rerata persentase tutupan karang hidup 25,27%, Pulau Gyn dan Pulau Numbing tutupan karang hidup berkisar 5 – 42,11% dengan rerata tutupan karang hidup 21,88 %. Penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di KKLD ini adalah akibat penangkapan ikan dengan cara destruktif (bahan peledak dan sianida, dan bubu), pencermaran (dari pertambangan, domestik, hotel dan restoran), pariwisata bahari (penyelaman, penambatan kapal) dan pengambilan batu karang untuk bangunan (Coremap II Bintan, 2008). Selanjutnya CRITIC Bintan (2009) melaporkan bahwa masih ditemukan penurunan persentase tutupan karang hidup pada beberapa titik pemantauan pada periode 2008 sampai 2009 di lokasi KKLD ini. Lokasi yang mengalami penurunan persentase tutupan karang hidup adalah di Desa Malang Rapat dari 17,5 % menjadi 16,35 %, Desa Teluk Bakau dari 59,6% menjadi 52,8 % dan Desa Kawal dari 42,19% menjadi 36,8 %. Penurunan tutupan karang hidup ini diduga akibat kekeruhan dan sedimentasi dari kegiatan penambangan bauksit, granit dan pasir darat. Dampak terhadap ekosistem terumbu karang akan mengakibatkan kerugian ekonomi, berupa pendapatan nelayan turun, hilangnya potensi sumberdaya alam yang seharusnya dimanfaatkan. Kerugian ekologi berupa penurunan populasi biota karang, kerusakan karang, sedangkan kerugian sosial adalah hilangnya kesempatan kerja, serta terjadinya konflik sosial. Oleh karena itu perlu pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan yang dapat menjamin kelestariannya.
7
Menurut Ariani (2006) bahwa permasalahan yang mendasar sebagai penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir Bintan Timur adalah (1) kemiskinan masyarakat dan kesulitan adaptasi pada mata pencaharian alternatif, (2) keserakahan pemilik modal, (3) lemahnya penegakan hukum (law enforcement), dan (4) kebijakan pemerintah yang belum memberikan perhatian pada pengelolaan kualitas lingkungan di wilayah pesisir Bintan Timur. Selanjutnya dikatakan bahwa kegiatan pembangunan di daratan yang paling berpengaruh terhadap tutupan karang hidup adalah pembukaan lahan yang menyebabkan kekeruhan dan sedimentasi di ekosistem terumbu karang. Disamping itu LIPI (2009) melaporkan bahwa kesulitan dalam koordinasi antar sektor juga merupakan kendala dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang saat ini. Kegiatan pembangunan yang masih sektoral dan berorientasi ekonomi semata, sehingga menimbulkan konflik pemanfaatan. Trimades – P2O LIPI (2010) melaporkan bahwa di wilayah pesisir Bintan Timur potensi konflik pemanfaatan antara stakeholders cukup tinggi, terutama antara masyarakat nelayan dengan pengusaha wisata, dan antara nelayan dengan nelayan. Solusi dari permasalahan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang kompleks tersebut di atas memerlukan suatu pendekatan yang bersifat multidimensi sehingga konsep pembangunan berkelanjutan pada sumberdaya pesisir termasuk terumbu karang dapat diwujudkan. Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur yang selama ini masih bersifat sektoral dan belum didasarkan atas pertimbangan multi sektoral dan multi dimensi. Kondisi ini telah menimbulkan kerugian ganda yang berupa hilangnya penerimaan negara, kerusakan lingkungan dan masalah sosial. Pertanyaan penelitian terkait dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau adalah sebagai berikut : 1) Bagaimana kondisi ekosistem terumbu karang saat ini? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi ekosistem terumbu karang tersebut? 2) Bagaimana status keberlanjutan ekosistem terumbu karang saat ini? 3) Bagaimana pengelolaan saat ini dan bagaimana skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan? 4) Bagaimana strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang yang sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan?
8
1. 3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membangun disain pengelolaan ekosistem
terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Guna mewujudkan tujuan tersebut maka penelitian diarahkan untuk memperoleh tujuan operasional sebagai berikut : 1) Menganalisis kondisi terumbu karang dan kualitas lingkungan perairan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. 2) Menganalisis status keberlanjutan ekosistem terumbu karang. 3) Mengidentifikasi pengelolaan saat ini dan menyusun skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. 4) Menyusun strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. 1.4. Kerangka Pemikiran Ekosistem terumbu karang merupakan sub sistem dari ekosistem wilayah pesisir, sehingga secara geografis terkait dengan wilayah daratannya. Ekosistem terumbu karang memiliki interaksi yang dinamis dengan lingkungannya, baik dalam lingkungan perairan maupun lingkungan daratan. Oleh karena itu ekosistem terumbu karang tergolong kedalam ekosistem terbuka, sehingga dinamika lingkungannya akan berdampak terhadap kondisi terumbu karang. Ekosistem terumbu karang di perairan pesisir Pulau Bintan termasuk di KKLD dipengaruhi dua faktor, yaitu (1) kegiatan pembangunan di wilayah daratan (external factors) yang meliputi : kekeruhan dan sedimentasi dari kegiatan pertambangan bauksit, granit, dan pasir darat; pencemaran dari industri, domestik, hotel dan restoran serta pertanian, dan (2) kegiatan pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya di dalam perairan itu (internal factors) yang meliputi; penambangan karang (coral mining), penggunaan bahan peledak (bom), bahan beracun, dan cara-cara lainnya yang merusak dalam penangkapan ikan di kawasan terumbu karang dan kegiatan wisata yang berkaitan dengan pemanfaatan keindahan terumbu karang. Kegiatan-kegiatan tersebut telah menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang dan perlu pengelolaan. Ekosistem terumbu karang memiliki nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Selain berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat, terumbu karang juga mempunyai nilai ekologis antara lain sebagai habitat, tempat mencari makanan, tempat asuhan dan tumbuh besar serta tempat pemijahan bagi berbagai biota laut. Nilai ekonomis terumbu karang yang
9
menonjol adalah sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi dan berbagai jenis ikan hias, bahan konstruksi dan perhiasan, bahan baku farmasi dan sebagai daerah wisata serta rekreasi yang menarik. Menyadari peran strategis ekosistem terumbu karang bagi masyarakat dan lingkungannya maka pemerintah menempatkan terumbu karang sebagai ekosistem yang dilindungi. Namun demikian, pola pembangunan yang sektoral di wilayah pesisir dan semata berorientasi ekonomi telah menimbulkan pengelolaan yang distorsi. Selanjutnya fungsi ekosistem terumbu karang sebagai kawasan lindung menjadi terancam karena tekanan antropogenik yang tinggi. Beragamnya aktivitas di kawasan ekosistem terumbu karang dengan pola pengelolaan yang tidak jelas menimbulkan berbagai dampak negatif. Misalnya kerusakan lingkungan biofisik, potensi konflik dan ancaman degradasi sosial ekonomi. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya harus dibangun atas dasar pertimbangan daya dukung dan prinsip keberlanjutan. Pengelolaan terumbu karang dapat dilakukan melalui pengendalian terhadap faktor-faktor penyebab kerusakan karang. Pengendalian terhadap faktor eksternal atau kegiatan di daratan dapat dilakukan melalui pengurangan jumlah limbah dan sedimen yang masuk ke perairan. Sedangkan pengendalian faktor internal atau kegiatan di dalam perairan adalah dengan pengaturan dan pengawasan terhadap penangkapan ikan yang merusak dan pariwisata bahari serta pelarangan menambang batu karang. Implementasi strategi pemanfaatan yang berbasis daya dukung dan keberlanjutan ialah kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang harus berbasis pada keterpaduan wilayah dan dimensi. Keterpaduan antara kawasan perairan pesisir dengan daerah daratan (upland), antara stakeholder dalam sistem tersebut dan antara berbagai dimensi seperti ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan harus menjadi dasar dalam pengelolaan. Oleh karena itu dibutuhkan desain pengelolaan ekosistem yang berorientasi pada keberlanjutan. Prinsip penting pengelolaan berkelanjutan ialah adanya keterpaduan wilayah, keterpaduan kebutuhan dan keterpaduan para pihak. Dengan demikian melalui desain pengelolaan yang dibangun atas dasar landasan tersebut maka ekosistem terumbu karang diyakini dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan masyarakatnya secara berkelanjutan. Gambar 1 menunjukkan kerangka pikir penelitian.
10
Desain
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian desain pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau
11
1. 5. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Pengembangan ilmu pengetahuan dalam implementasi kebijakan dan desain sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. 2. Sebagai bahan masukan bagi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan terutama di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. 3. Sebagai bahan pengembangan konsep dasar pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. 1.6 Kebaruan (Novelty) Sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya baik menyangkut pengelolaan ekosistem terumbu karang, analisis keberlanjutannya, maupun lokasi penelitian dilaksanakan. Dari penelitian-penelitian tersebut belum ada yang menganalisis secara multidimensi dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di Kabupaten Bintan. Adapun penelitian yang terkait yang telah dilakukan adalah : -
Ariani (2006) meneliti tentang pengaruh kegiatan pembangunan pada ekosistem terumbu karang (studi kasus: efek sedimentasi di wilayah pesisir timur Pulau Bintan).
-
Partini (2009) meneliti tentang efek sedimentasi terhadap terumbu karang di pantai timur Kabupaten Bintan.
-
Febrizal (2009) melakukan penelitian tentang kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Kabupaten Bintan dan alternatif pengelolaannya.
-
Alustco (2009) melakukan kajian kualitas tutupan karang hidup dan kaitannya dengan Acthaster planci di Kabupaten Bintan.
-
Apriliani (2009) meneliti tentang strategi rehabilitasi terumbu karang untuk pengembangan pariwisata bahari di Pulau Mapur Kabupaten Bintan Kepulauan Riau.
12
Berdasarkan hasil kajian-kajian tersebut ditemukan kebaruan (novelty) baik dilihat dari segi pendekatan metode yang digunakan maupun hasil penelitian. •
Dari segi pendekatan metode, penelitian ini menerapkan beberapa metode analisis yang dilaksanakan secara komprehensif (PCA, Rap-Insus COREMAG, Analisis Prospektif) dalam membangun desain pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau.
•
Dari segi hasil penelitian, dihasilkan konsep baru pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur yang mengintegrasikan faktor-faktor yang sifatnya spesifik dalam pengelolaan terumbu karang.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Batasan Wilayah Pesisir Wilayah pesisir secara ekologis adalah suatu wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, ke arah darat mencakup daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan sedangkan ke arah laut meliputi perairan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah dan kegiatan manusia di daratan (Dahuri et al. 1996). Di wilayah pesisir terdapat ekosistem yang terkait satu dengan lainnya. Ekosistem pesisir merupakan suatu unit tatanan interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan secara bersama-sama menjalankan fungsinya masing-masing pada suatu tempat atau habitat (Odum, 1971). Selanjutnya dikatakan bahwa komponen hayati dan nirhayati secara fungsional hubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem. Apabila terjadi perubahan pada salah satu sistem dari kedua komponen tersebut, maka dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada, baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya (Bengen 2002). Salah satu bentuk keterkaitan antara ekosistem di wilayah pesisir dapat dilihat dari pergerakan air sungai, aliran limpasan (run-off), aliran air tanah (ground water) dengan berbagai materi yang terkandung di dalamnya (nutrient, sedimentasi dan bahan pencemar) yang kesemuanya akan bermuara ke perairan pesisir. Selain itu, pola pergerakan massa air ini juga akan berperan dalam perpindahan biota perairan (plankton, ikan, udang) dan bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya (Bengen, 2002). Secara prinsip, ekosistem pesisir mempunyai 4 (empat) fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan (Bengen, 2002). Sedangkan menurut ( Dahuri et al., 1996), wilayah pesisir secara keseluruhan memiliki berbagai fungsi dan manfaat bagi manusia sebagai berikut: 1.
Penyedia sumberdaya alam hayati, seperti sumber pangan (protein) dan sebagai obat-obatan untuk kesehatan.
14
2.
Penyedia sumberdaya alam non hayati, yakni dapat menyediakan lapangan pekerjaan seperti kegiatan industri, pertambangan dan sebagainya.
3.
Penyedia energi, dengan menggunakan gelombang pasang-surut dapat membangkitkan tenaga listrik.
4.
Sarana transportasi, untuk membangun pelabuhan atau dermaga sebagai bongkar muat barang.
5.
Rekreasi dan pariwisata, yakni didukung oleh pasir putih, terumbu karang dan sebagainya.
6.
Pengatur iklim dan lingkungan hidup, laut berperan mengatur suhu udara dan iklim laut, menyerap CO 2 , menjaga lingkungan laut agar sirkulasi air dunia terjamin sehingga daerah tropis air laut tidak terlalu panas dan sebaliknya daerah subtropis.
7.
Penampung limbah, bentuk apapun limbah yang dibuang ketempat terakhirnya adalah muara sungai di laut.
8.
Sumber plasma nutfah, yakni tempat hidupnya beraneka ragam biota dan plasma nutfah sehingga merupakan bagian kepentingan manusia.
9.
Pemukiman, yaitu menyediakan tempat tinggal bagi masyarakat yang mempunyai kegiatan di pesisir.
10. Kawasan industri, yakni digunakan untuk pembangunan industri sehingga memudahkan kegiatan ekspor dan impor barang. 11. Pertahanan dan keamanan, wilayah pesisir mengelilingi pulau sehingga pulau merupakan wilayah pengaman dan pendukung kekuatan hankam. Sebagai wilayah yang mempunyai karakteristik tersendiri, maka faktorfaktor lingkungan yang berpengaruh di wilayah pesisir seperti angin, gelombang, pasang surut, arus, serta faktor fisik dan kimia lainnya lebih bervariasi dibandingkan dengan ekosistem yang terdapat di laut lepas maupun yang terdapat di perairan darat. Karakteristik hidro-oseanografi yang sangat dinamis ini menjadikan pengelolaan wilayah pesisir baik untuk kepentingan perikanan budidaya, konstruksi, pariwisata, serta kegiatan lainnya harus dikerjakan secara bijak dan hati-hati.
15
2.2. Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang pada hakekatnya mempunyai multi fungsi. Selain sebagai habitat berbagai jenis biota, ekosistem ini berfungsi sebagai sumberdaya hayati, sumber keindahan dan perlindungan pantai. Sebagai habitat, ekosistem terumbu karang merupakan tempat untuk tinggal, berlindung, mencari makan dan berkambang biaknya biota, baik yang hidup di dalam ekosistem terumbu karang maupun dari perairan di sekitarnya ( Nybakken, 1992: Mumby and Steneck, 2008). Di dalam ekosistem ini terdapat kumpulan kelompok biota dari berbagai tingkatan tropik yang mempunyai sifat saling ketergantungan. Biota tersebut meliputi berbagai jenis ikan karang, teripang, rumput laut, dan beberapa jenis moluska yang bernilai ekonomi. Sebagai sumber keindahan, ekosistem terumbu karang dengan keanakeragaman jenis, bentuk biota dan keindahan warna, serta jernihnya perairan mampu membentuk perpaduan harmonis dan estetis, ideal untuk tempat rekreasi bawah laut. 2.2.1. Aspek Biologi dan Ekologi Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem dasar laut tropis yang komunitasnya didominasi oleh biota laut penghasil kapur, terutama karang batu (stony coral) dan alga berkapur (calareous algae).
Terumbu karang berupa
gugusan karang yang terbentuk dari endapan masif kristal kalsium karbonat (CaCO 3 ), berasal dari epidermis pada setengah bagian bawah kolom dan binatang karang (polip menetap), alga dan organisme lain penghasil kalsium karbonat tersebut. Terumbu karang mempunyai respon spesifik terhadap lingkungan sekitarnya. Pertumbuhan yang pesat pada kedalaman rata-rata 2 – 15 meter, dan cahaya merupakan faktor utama yang mempengaruhi distribusi vertikalnya (Nybakken, 1992). Karang pembentuk terumbu hanya dapat tumbuh dengan baik pada daerahdaerah tertentu, seperti pulau-pulau yang sedikit mengalami proses sedimentasi atau di sebelah timur dari benua yang umumnya tidak terpengaruh oleh adanya arus dingin (Suharsono, 1996). Keberadaan terumbu karang ditandai oleh menonjolnya jenis biota yang hidup di dalamnya, diperkirakan menempati sekitar 0,2% dari luas samudera dunia sekitar 362.059.000 km2 atau 70,8% permukaan
16
bumi. Sebagian besar terumbu karang (coral reef) tumbuh di perairan tropis yang jernih dan agak dangkal pada rentang isothermal 20oC dengan ketersediaan nutrisi rendah, dan pada kedalaman kurang dari 40 meter (Allister, 1989; Hardianto et al., 1998). Jutaan hektar terumbu karang terdapat di daerah pantai tropis dunia. Di daerah Mediterania Asiatik yaitu kawasan laut dalam dan sekitar Kepulauan Indonesia mulai dari Australia bagian utara sampai China bagian selatan, total luas terumbu karang adalah 18,2 juta ha (30% dari total luas terumbu karang dunia), yang merupakan kawasan terumbu karang terluas di dunia (Smith, 1978 dalam Schroder, 1986). Sementara itu, di Kepulauan Philipina luas terumbu karang adalah 4,41 juta ha (Dizon, 1986). Menurut Suharsono (1996) sebaran terumbu karang di Indonesia lebih banyak terdapat di sekitar pulau Sulawesi, laut Flores dan Banda. Sebaran karang di pantai timur Sumatera, sepanjang pantai utara Pulau Jawa, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan dibatasi oleh tingginya sedimentasi. Tumbuh dan berkembangnya karang dengan baik di Sulawesi (utara) adalah karena adanya arus lintas Indonesia yang mengalir sepanjang tahun dari Laut Pasifik dan Laut Hindia. Sebagai suatu ekosistem yang sangat produktif, terumbu karang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi, sehingga menampakkan panorama dasar laut yang sangat indah. Ekosistem ini terdiri atas jaringan mata rantai yang menumbuhkan siklus fauna, siklus flora, siklus air dan berbagai siklus lainnya yang saling berkaitan. Karena itu, menurut Salim (1992), ekosistem terumbu karang memiliki lima fungsi penting, yaitu : (a) fungsi keterkaitan, (2) fungsi keanekaragaman, (c) fungsi keserasian antar komponen satu dengan yang lain, (d) fungsi efisien, dan (e) fungsi keberlanjutan. 2.2.2. Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang Menurut Nybakken (1992) faktor-faktor lingkungan yang membatasi pertumbuhan serta kelangsungan hidup terumbu karang adalah sebagai berikut: 1. Suhu. Suhu optimum untuk pertumbuhan terumbu karang di perairan adalah berkisar 23 -30 oC dengan suhu minimum 18oC. Namun hewan ini masih bisa hidup sampai suhu 15 oC, tetapi akan terjadi penurunan
17
pertumbuhan, reproduksi, metabolisme serta produktivitas kalsium karbonat. 2. Tingkat Pencahayaan. Intensitas cahaya matahari sangat mempengaruhi kelangsungan hidup karang. Dalam proses kehidupannya, hewan ini bersimbiosis dengan mikro alga (zooxanthellae) yang dalam hidupnya mutlak memerlukan cahaya matahari sebagai energi utama untuk pembentukan zat hijau daun (Chlorophyl). Faktor kedalaman dan intensitas cahaya matahari sangat mempengaruhi kehidupan binatang karang, sehingga pada daerah yang keruh serta daerah dalam tidak ditemukan terumbu karang. Kedalaman air untuk terumbu karang tidak lebih dari 50 meter. 3. Salinitas. Hewan karang peka terhadap perubahan salinitas (kadar garam), sehingga pada perairan yang tidak banyak mengalami perubahan salinitas atau relatif stabil saja karang bisa hidup normal. Salinitas optimal untuk kehidupan terumbu karang antara 32 – 35 o/ oo , sehingga jarang ditemukan pada daerah muara sungai besar, bercurah hujan tinggi atau perairan dengan kadar garam tinggi (hipersalin). 4. Kejernihan air. Kejernihan air ini sangat erat kaitannya dengan intensitas cahaya matahari, agar cahaya dapat mencapai dasar perairan, syarat kejernihan air diperlukan. Bila terdapat benda-benda yang larut atau melayang di laut akan mengganggu masuknya cahaya matahari. Pasir dan lumpur bisa menutupi polip dan akhirnya mematikan hewan karang ini. 5. Pergerakan Air. Ombak dan arus turut berperan dalam pertumbuhan karang. Ombak dan arus membawa oksigen dan bahan makanan; oleh karena karang batu yang hidup menetap di dasar dan tidak berpindah tempat maka karang batu ini hanya dapat mengandalkan bahan makanan yang dibawa oleh arus. Di samping itu arus atau ombak dapat membersihkan polip dari kotoran-kotoran yang menempel atau masuk kedalamnya. Kedalaman 3 – 10 meter merupakan lingkungan yang menguntungkan bagi hewan karang untuk hidup.
18
2.2.3. Fungsi dan Manfaat Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang sebagai ekosistem kawasan pesisir, berperan besar sebagai: (a) tempat tumbuh biota lain karena fungsinya sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah asuhan berbagai biota laut, (b) sumber plasma nutfah, (c) mencegah erosi dan mendukung terbentuknya pantai berpasir, dan (d) melindungi pantai dari hempasan ombak dan keganasan badai, disamping melindungi berbagai macam bangunan fisik (Nybakken, 1992; Dahuri, 1996). Selain itu terumbu karang merupakan sumber baku untuk berbagai macam kegiatan, seperti karang batu dan pasir sebagai bahan bangunan, karang hitam (black coral) sebagai bahan perhiasan, dan kerang atau moluska yang dapat untuk bahan penghias rumah (Sukarno, 1995). Di negara-negara berkembang, terumbu karang secara tidak langsung sebagai penghasil protein bagi penduduk, disamping sebagai obyek wisata, penangkal ombak atau pelindung usaha perikanan laguna, pelindung pelabuhan-pelabuhan kecil dari badai dan hempasan air laut, serta kegunaan lainnya. Supriharyono (2007) mengatakan bahwa ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas primer yang tinggi, terutama karena adanya simbiosis antara koloni karang dan zooxanthellae, yakni sel-sel alga renik pada jaringan terluar dari karang yang membangun terumbu karang. Selanjutnya Purnomo et al. (2010) mengatakan bahwa zooxanthellae merupakan salah satu biota dalam kelompok dinoflagellata fototrofik. Organisme ini selalu hidup bersimbiosis dengena beberapa invertebrata laut. Hubungan antara zooxanthellae dengan karang bersifat mutualistik yang dicirikan dengan adanya ciri transfer nutritif dan fisiologis. Dengan karakter ini, maka hampir tidak ditemukan karang dapat hidup tanpa zooxanthellae. Terumbu karang di Indonesia tergolong yang terkaya di dunia dengan kandungan keanekaragaman tumbuhan dan hewan laut yang luar biasa. Saat ini, lebih 480 jenis karang batu telah didata di wilayah timur Indonesia dan merupakan 60% jenis karang batu di dunia yang telah berhasil dideskripsikan (Suharsono, 1998).
Hasil temuan terdahulu diketahui bahwa pada ekosistem
terumbu karang yang sehat menghasilkan 35 ton ikan/km2/tahun, sedangkan dalam ekosistem terumbu karang rusak menghasilkan kurang dari lima ton ikan (Allister, 1989). Dalam kondisi fisik yang baik, terumbu karang dapat berfungsi
19
secara optimal sebagai sumber penghidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. 2.2.4. Ancaman Terhadap Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang saat ini telah mendapat tekanan akibat berbagai kegiatan manusia. Burke et al. (2002) melaporkan bahwa penyebab kerusakan ekosistem terumbu karang di Asia Tenggara termasuk di Indonesia adalah : (a) pembangunan di wilayah pesisir yang menyebabkan sedimentasi dan pencemaran laut, seperti pengerukan, reklamasi, penambangan pasir, pembuangan limbah padat dan cair; (b)
pencemaran laut akibat aktivitas di laut, seperti
pencemaran dari pelabuhan, tumpahan minyak, pembuangan sampah dari atas kapal, dan akibat langsung dari pelemparan jangkar kapal; (c) sedimentasi dan pencemaran dari daratan, seperti penebangan hutan, perubahan tataguna lahan dan praktek pertanian yang tidak konservatif; (d) penangkapan ikan secara berlebihan; (e) penangkapan ikan dengan cara merusak, seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bom, racun dan alat tangkap lainnya; dan (f) pemutihan karang akibat perubahan iklim global. Selanjutnya Supriharyono (2007) mengatakan bahwa kesehatan terumbu karang sangat ditentukan oleh baik buruknya aktivitas di daratan. Aktivitas pembangunan yang tidak direncanakan dengan baik di daerah pantai akan dapat menimbulkan dampak terhadap kerusakan ekosistem terumbu karang. Beberapa aktivitas seperti pembukaan hutan mangrove, penebangan hutan, intensifikasi pertanian, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang kurang baik pada umumnya akan meningkatkan kekeruhan dan sedimentasi di daerah terumbu karang. Kekeruhan dapat menurunkan penetrasi cahaya matahari, sehingga menurunkan efisiensi fotosintesis alga, zooxanthellae yang hidup bersimbiose dengan karang, sedangkan sedimentasi dapat langsung mengganggu kehidupan karang bahkan dapat menyebabkan kematian karang. Intensifikasi pertanian umumnya dapat meningkatkan run off pupuk dan pestisida ke perairan terumbu karang, walaupun kemungkinan dampak bahan-bahan kimia tersebut terhadap terumbu karang belum banyak diketahui. Disamping itu, ekosistem terumbu karang juga menerima dampak dari aktivitas daratan, yaitu berupa limbah penduduk dan limbah industri.
20
Sedimentasi yang terjadi di ekosistem terumbu karang akan memberikan pengaruh semakin menurunnya kemampuan karang untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Tomascik (1991), beberapa kegiatan manusia yang berhubungan erat dengan sedimentasi adalah semakin tingginya pemanfaatan hutan dan lahan pertanian, kegiatan pengerukan, pertambangan dan pembangunan konstruksi. Pengaruh sedimentasi yang terjadi pada terumbu karang telah disimpulkan oleh beberapa peneliti, terdiri atas: 1) menyebabkan kematian karang apabila menutupi atau meliputi seluruh permukaan karang dengan sedimen ; 2) mengurangi pertumbuhan karang secara langsung; 3) menghambat planula karang untuk melekatkan diri dan berkembang di substrat; 4) meningkatkan kemampuan adaptasi karang terhadap sedimen (Fabricius, 2005). Dari sekian banyak komponen limbah antara lain surfaktan, logam berat, bahan organik beracun dan bahan kimia, unsur hara nitrogen dan fosfor merupakan faktor yang paling menentukan kerusakan terumbu karang (Tomascik, 1991). Peningkatan konsentrasi unsur hara akan memacu produktivitas fitoplankton dan alga bentik. Hal ini diindikasikan dengan peningkatan klorofil a dan kekeruhan, pada akhirnya memacu populasi hewan filter dan detritus feeder. Pengaruh peningkatan populasi fitoplankton dan kekeruhan, kompetisi alga bentik serta toksisitas fosfat secara bersamaan dapat menurunkan jumlah karang (Connel dan Hawker, 1992). Wilayah pesisir yang mempunyai pantai pasir putih dan ekosistem terumbu karang merupakan salah satu obyek wisata bahari yang sangat menarik. Menurut Mardani (1995), selama dua dekade perkembangan pariwisata di wilayah Asia-Pasifik, khususnya perkembangan pariwisata pesisir dan wisata bahari menunjukkan pertumbuhan yang cukup hebat. Hal ini mengakibatkan pula semakin banyaknya masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pariwisata ini. Peningkatan fasilitas dan aksesibilitas di sekitar kawasan pariwisata ikut pula mempercepat pertumbuhan industri pariwisata di wilayah pesisir. Menurut De Silva (1985), perkembangan pariwisata juga mendorong kerusakan terumbu karang. Misalnya kerusakan terumbu karang di Malaysia terutama di Pulau Paya, Pulau Lembu, Pulau Songsong dan Pulau Telor telah mengalami rusak berat karena seringnya perahu-perahu wisata menancapkan
21
jangkarnya. Selanjutnya Salm dan Clark (1989) merinci lebih lanjut dampak aktivitas pariwisata komersil terhadap terumbu karang sebagai berikut : 1. Pembangunan fasilitas wisata, dampaknya dapat merubah aliran air sekitar terumbu karang dan akhirnya merubah faktor ekologi utama terumbu karang, dapat menimbulkan kekeruhan
sehingga mengurangi fotosintesis, dapat
menjadi sumber pencemaran tetap. 2. Kerusakan oleh jangkar, dampaknya memecah dan merusak karang. 3. Kerusakan oleh penyelam, sering kali aktivitas penyelaman (diving) secara tidak sengaja dapat menimbulkan kerusakan pada karang dan biota lainnya. 4. Kerusakan oleh perahu kecil, seringkali dasar perahu dan kapal pesiar dapat menambrak terumbu dan menimbulkan kerusakan fisik pada daerah yang dangkal, terutama pada saat surut. 5. Berjalan pada terumbu, seringkali para wisatawan berjalan-jalan pada terumbu karang saat air surut, dan cara ini sangat potensial menimbulkan kerusakan fisik karang karena terinjak. 2.2.5. Nilai Ekologi-Ekonomi Terumbu Karang Terumbu karang sebagai salah satu ekosistem pesisir mempunyai nilai guna yang sangat penting, baik ditinjau dari aspek ekologi maupun ekonomi. Terumbu karang menyumbang hasil perikanan laut kurang lebih 10-15% dari total produksi. Hasil penelitian Husni (2001) tentang nilai ekonomi terumbu karang untuk perikanan di kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Barat – NTB adalah sekitar 611,34 kg/ha/tahun dengan nilai Rp. 48.731.275/ha/tahun, sedangkan nilai ekonomi pariwisata bahari sekitar Rp. 69.117.180,36. Selanjutnya Wawo (2000) melaporkan bahwa nilai ekonomi total terumbu karang di Pulau Nusa Laut Maluku adalah Rp. 4.265.174/ha/tahun. Selanjutnya Dahuri (1999) melaporkan bahwa nilai ekonomi terumbu karang di Kawasan Barelang dan Bintan mencapai Rp. 1.614.637.864,-/ha/tahun. Fringing reef juga merupakan pelindung pantai yang sangat penting dari terpaan gelombang, sehingga stabilitas pantai bisa tetap terjaga. Hiew dan Lim (1998) dalam Kusumastanto (2000), menyatakan bahwa nilai manfaat terumbu karang per hektar per tahun sebagai pencegah erosi pantai adalah sebesar US$ 34.871,75 atau dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp. 9.500,- maka nilai fungsi
22
tidak langsung terumbu karang sebagai pencegah erosi adalah sebesar Rp. 331.281.625/ha/tahun. Di samping itu nilai keindahan, kekayaan biologi sebagai bagian dari suksesi alam dalam menjaga kelangsungan kehidupan dalam perannya sebagai sumber plasma nutfah, membuat terumbu karang menjadi kawasan ekosistem pesisir yang sangat penting dari berbagai aspek (Garces, 1992). Sementara itu, Ruitenbeek (2001), menyatakan bahwa nilai fungsi tidak langsung terumbu karang sebagai penyedia biodiversity adalah sebesar US$ 15/ha/tahun atau sekitar Rp. 142.500,-. Terumbu karang juga berperan dalam proses transpor nutrien baik organik maupun anorganik diantara ekosistem mangrove dan padang lamun (Dahuri et al. 1996). Menurut Baker dan Kaeoniam (1986) fungsi fisik terumbu karang antara lain adalah sebagai filter air untuk menjaga kualitas air di kawasan pantai. Selain itu juga sebagai peredam gelombang, pelindung alamiah terhadap daratan yang berhadapan dengannya, meminimalkan abrasi, serta penghasil pasir putih bagi kawasan pantai yang berhadapan. Pemanfaatan terumbu karang dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu a) pemanfaatan ekstraktif meliputi kegunaan konsumtif, seperti penangkapan biota laut yang dijadikan konsumsi pangan maupun kegunaan ornamental, seperti penangkapan ikan hias, kerang dan sebagainya, dan b) pemanfaatan non ekstraktif meliputi pendayagunaan ekosistem terumbu karang untuk tujuan pariwisata, penelitian, pendidikan, dan sebagainya (Baker dan Kaeoniam, 1986). Nilai ekonomi pemanfaatan ekstraktif dan non ekstraktif pada terumbu karang di Selat Lembeh dilaporkan oleh Parwinia (2007), yaitu nilai ekonomi ekstraktif di kawasan Selat Lembeh dengan indikator total revenue dari perikanan berkisar antara Rp. 27 juta per vessel per tahun (Kelurahan Aertembaga) sampai Rp. 238 juta per vessel per tahun (Kelurahan Makawidey). Nilai ekonomi non ekstraktif merupakan nilai wisata dan ekosistem, meliputi kegiatan diving, transportasi taxi air. Kegiatan diving memberikan manfaat ekonomi tertinggi sekitar Rp. 300 juta per tahun, taxi air Rp. 90 juta per tahun dan nilai ekonomi dari sewa kapal sebesar Rp. 25 juta per tahun.
23
2.3. Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada beberapa dekade terakhir, semakin sering digunakan oleh banyak negara di dunia untuk mengimplementasikan kebijakan pembangunan baik pada level nasional maupun internasional. Saat ini keberlanjutan (sustainability) telah menjadi elemen inti (core element) bagi banyak kebijakan pemerintah di negara-negara di dunia dan lembaga-lembaga strategis lainnya (Ekins dan Simon, 2001). Konsep
pertama
pembangunan
berkelanjutan
dirumuskan
dalam
Brundtland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa: “Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka” (WCED, 1987). Selain berorientasi masa depan, secara etis definisi ini juga memberi jaminan pemenuhan kebutuhan hidup antar generasi. Menurut Khanna et al. (1999), pembangunan berkelanjutan berimplikasi pada keseimbangan dinamis antara fungsi maintenance (sustainability) dan transformasi (Development) dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Walau banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan, termasuk pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, yang diterima secara luas ialah yang bertumpu pada tiga pilar: ekonomi, sosial, dan ekologi (Munasinghe, 1993). Dengan perkataan lain, konsep pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi keberlanjutan, yaitu: keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people), keberlanjutan ekologi alam (planet), atau pilar Triple-P. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus diperhatikan secara berimbang. Sistem sosial yang stabil dan sehat serta sumberdaya alam dan lingkungan merupakan basis untuk kegiatan ekonomi, sementara kesejahteraan ekonomi merupakan prasyarat untuk terpeliharanya stabilitas sosial budaya maupun kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Sistem sosial yang tidak stabil akan cenderung menimbulkan tindakan yang merusak kelestarian sumberdaya alam dan merusak kesehatan lingkungan, sementara ancaman kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (misalnya
24
kelangkaan tanah dan air) dapat mendorong terjadinya kekacauan dan penyakit sosial (Suryana, 2005). Bond et al. (2001) menyatakan bahwa istilah keberlanjutan (sustainability) didefinisikan sebagai pembangunan dari kesepakatan multidimensional untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik untuk semua orang. Selanjutnya Roderic et al. (1997) menyatakan bahwa keberlanjutan memerlukan pengelolaan tentang skala keberlanjutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan yang akan datang secara berimbang dan adil, serta efisien dalam pengalokasian sumberdaya. Menurut Supriharyono (2007) bahwa dalam mengelola sumberdaya pesisir, termasuk ekosistem terumbu karang perlu melakukan beberapa pertimbangan. Pertimbangan tersebut mencakup aspek ekonomis, ekologis dan aspek sosial budaya. Menurut Cincin-Sain dan Knecht (1998), pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga aspek utama, yaitu: (1) pembangunan ekonomi untuk memperbaiki kualitas hidup manusia, yaitu pembangunan yang menekankan manusia sebagai pusat perhatian; (2) pembangunan yang memperhatikan lingkungan, baik dalam pemanfaatan sumberdaya, perlindungan proses ekologi, sistem pendukung kehidupan maupun keanekaragaman hayati; (3) pembangunan sosial secara adil dalam distribusi keuntungan pembangunan yang meliputi keadilan antar masyarakat, antar generasi, antar negara. Ketiga ide utama ini biasanya diterjemahkan dalam bentuk pertanyaan oleh pengambil keputusan yang berkaitan dengan pembangunan dan lingkungan, yaitu: Bagaimana pembangunan tersebut akan memperbaiki kualitas hidup manusia? Bagaimana hal tersebut akan mempengaruhi sumberdaya alam dan lingkungannya? Adakah keadilan sosial dalam distribusi keuntungan dari pembangunan? Perencanaan pembangunan berkelanjutan membutuhkan informasi yang tepat tentang opsi penggunaan sumberdaya, pilihan teknologi yang digunakan, perubahan struktur sistem, pola konsumsi, tingkat kualitas hidup yang diinginkan dan status lingkungan yang menjamin tereduksinya tekanan ekologis oleh berbagai proses ekonomi. Pada level wilayah, operasionalisasi skema tersebut membutuhkan proses identifikasi keterkaitan antara kapasitas sumberdaya,
25
aktivitas pembangunan, kapasitas asimilasi, status lingkungan, pertumbuhan ekonomi dan tingkat kualitas hidup yang diinginkan. Chang et al. (2008) mengatakan bahwa sebagai analisis skenario untuk mengambil kebijakan dalam pemecahan permasalahan wilayah pesisir yang kompleks dapat dibangun model sistem dinamik didasarkan DSS (decision suport system). Selanjutnya dikatakan bahwa strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan yang dibangun berdasarkan DSS ini diharapkan dapat diimplementasikan dimasa depan di wilayah pesisir Kenting Taiwan. 2.4. Daya Dukung Menurut Rogers et al. (2008) konsep pembangunan berkelanjutan didasari oleh konsep ekologi yaitu menyangkut tentang daya dukung. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Kanna et al. (1999) bahwa daya dukung merupakan basis dalam pembangunan berkelanjutan. Sedangkan Inglis et al. (2000) menjelaskan bahwa konsep secara mendasar tentang daya dukung ialah hubungan antara populasi dengan perubahan sumberdaya alam yang menopangnya. Asumsinya ialah ukuran populasi optimal adalah yang dapat ditopang oleh sumberdaya alamnya. Artinya jika populasi tidak lagi dapat ditopang oleh sumberdaya alamnya maka telah melampaui daya dukungnya. Scone (1993) membedakan daya dukung mencakup dua jenis yaitu; (1) daya dukung ekologis ialah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena kepadatan dan kerusakan lingkungan permanen; (2) daya dukung ekonomi ialah tingkat produksi skala usaha yang memberikan keuntungan maksimum yang ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Krom (1986) menyatakan daya dukung lingkungan pesisir diartikan sebagai kemampuan suatu ekosistem pesisir untuk menerima jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan. Selanjutnya menurut UNEP (1993) daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan pencemaran. Sedangkan Pearce dan Kirk (1986) mendefinisikan daya dukung sebagai intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam. Undang-Undang No. 32
26
Tahun 2009 mendefinisikan daya dukung ialah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung kelangsungan hidup manusia, mahluk hidup lainnya dan keseimbangan diantara keduanya. 2.5. Dimensi Keberlanjutan Pengelolaan Terumbu Karang Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa terdapat enam variabel atau himpunan variabel kontekstual yang memberi pengaruh pada keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan, termasuk sumberdaya ikan di terumbu karang yaitu : 1. Sifat biofisik/ekologi sumberdaya serta teknologi yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut. 2. Atribut pasar terutama komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya alam yang tersedia serta komoditas barang dan jasa yang digunakan dalam proses pemanfaatan sumberdaya. 3. Atribu pemegang kepentingan, yaitu nelayan serta kelompok masyarakat lainnya yang menempatkan sumberdaya sebagai panggung atau arena (stake) yang bersangkutan dengan mengekspresikan eksistensinya. 4. Atribut kelembagaan dan organisasi yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, serta organisasi yang visi dan misinya tidak berkaitan sama sekali dengan pemanfatan sumberdaya pesisir dan laut, namun hadir di tengah masyarakat. 5. Atribut kelembagaan dan organisasi ekternal yang terdapat di luar masyarakat atau di luar area pengelolaan sumberdaya perikanan. 6. Atribut eksogen yaitu kekuatan eksternal yang terjadi di luar sistem pengelolaan sumberdaya perikanan, tetapi pada kenyataannya sangat berpengaruh atau berdampak pada sumberdaya perikanan. 2.5.1. Dimensi Ekologi Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberaya alam dan jasa lingkungan bagi generasi mendatang. Status atau kondisi pembangunan berkelanjutan dapat tercermin dari kondisi dimensi ekologis tersebut. Dimensi
27
ekologi dipilih untuk mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan juga. Tingkat eksploitasi atau tekanan eksploitasi akan membatasi peluang pengembangan pemanfaatan sumberdaya perikanan (Aziz et al. 1998). Tingkat eksploitasi yang melebihi MSY (maximum sustainable yield) atau terjadinya penangkapan berlebih (overfishing) akan membahayakan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan (Gulland, 1983). Keanekaragaman spesies telah lama digunakan sebagai indikator stabilitas lingkungan (De Santo, 2000). Selain itu, spesies itu sendiri penting karena fungsi bertindak di dalam menimbulkan atau memunculkan jasa ekologis yang memang bernilai ekonomis bagi manusia (Perrings et al., 2003). Keanekaragaman spesies secara fungsional menentukan ketahanan (resilience) ekosistem atau sensitivitas ekosistem (Holling et al. 2002). Jumlah spesies dan kombinasi spesies ikan merupakan dua dari beberapa indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr, 2002). Integritas biotik adalah suatu ekosistem yang berubah baik secara struktur maupun secara fungsional akibat aktivitas manusia (Hocutt, 2001). 2.5.2. Dimensi Sosial Ekonomi Dimensi sosial ekonomi yang elemen utamanya meliputi aspek permintaan (demand) dan penawaran (supply) komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya yang dikelola. Dimensi sosial ekonomi seperti harga dan struktur pasar merupakan insentif atau disinsentif bagi terbentuknya suatu tatanan kelembagaan pengelolaan terumbu karang serta derajat kepatuhan masyarakat (nelayan) terhadap tatanan tersebut. Dimensi sosial ekonomi juga menggambarkan kejadian-kejadian yang berpengaruh pada permintaan dan penawaran serta hubungan antara pelaku ekonomi (Arifin, 2008). Memahami dimensi sosial ekonomi adalah sesuatu yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengelolaan terumbu karang. Hal ini karena disamping sebagai kegiatan yang berbasis sumberdaya alam (natural resource based activity), terumbu karang merupakan kegiatan ekonomi yang berbasis pasar (marked – based activity). Oleh karena itu, perumusan suatu tatanan pengelolaan
28
terumbu karang patut pula memperhatikan dimensi sosial ekonomi yang berkaitan atau yang merupakan ciri sumberdaya tersebut. 2.5.3. Dimensi Kelembagaan Dimensi kelembagaan sangat bergantung pada cara tatanan kelembagaan, hak-hak masyarakat, serta aturan dibuat atau dirumuskan. Nikijuluw (2002), menyatakan bahwa tiga aspek penting yang patut diperhatikan dalam pengambilan keputusan, yaitu: 1. Keterwakilan (representation) yang didefinisikan sebagai tingkat nelayan dan pemegang kepentingan lainnya berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. 2. Kecocokan (relevanse) adalah tingkat peraturan yang berlaku dinilai cocok dengan masalah-masalah yang dihadapi. 3.
Penegakan hukum (enforceability) adalah tingkat aturan-aturan dapat ditegakkan. Christie et al. (2003) mengatakan bahwa dukungan seluruh pemangku
kepentingan wilayah pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlanjutan program. Konflik kepentingan, atau bahkan hanya konflik persepsi di antara konstituen (seperti nelayan, penyelenggara wisata bahari, ilmuwan, pejabat pemerintah, LSM, dan konservasionis) akan memelihara ketidakpuasan di antara mereka apabila tidak diambil langkah-langkah proaktif. Ketidakpuasan di antara satu konstituen atau lebih, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak, bisa mengakibatkan terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir karena mereka akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada dan disepakati. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peranserta para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk terumbu karang, baik secara individu atau secara bersama-sama cenderung berakibat pada kesesuaian kegiatan proyek dengan keinginan mereka daripada proyek yang dipaksakan dari luar. Peranserta ini menumbuhkan rasa memiliki di kalangan pihak-pihak yang berkepentingan dan meningkatkan keberdayaan masyarakat pesisir. Perasaan memiliki digabungkan dengan peningkatan keberdayaan masyarakat pesisir dan kesesuaian pengelolaan sumberdaya pesisir dengan kondisi
29
lokal tampak lebih berdampak pada keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir oleh masyarakat sendiri setelah proyek selesai. 2.5.4. Dimensi Teknologi Aspek teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya sangat bergantung pada jenis dan potensi terumbu karang yang tersedia. Teknologi yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan diatur serta ditentukan dalam hak-hak pemanfaatan sumberdaya. Kehadiran suatu teknologi membentuk pola interaksi antara pengguna. Jika suatu teknologi mensyaratkan adanya kerjsama antar pengguna, kerjasama itu akan terwujud karena kebutuhan. Sebaliknya, penggunaan teknologi tertentu dapat juga menjadi disinsentif bagi pengguna untuk bekerjasama yang seterusnya menentukan pola interaksi yang khas di antara mereka bukan saja pada saat pemanfaatan sumberdaya, tetapi juga pada saat perencanaan, perumusan cara-cara pemanfaatan, dan pengelolaan. Oakerson (1992), mengajukan dua alasan penting melakukan kajian hubungan antara atribut-atribut tersebut dengan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Alasan tersebut adalah sebagai berikut: (1)
Sumberdaya perikanan termasuk terumbu karang memiliki kapasitas relatif dalam mendukung usaha nelayan secara simultan tanpa adanya benturanbenturan di antara mereka atau adanya dampak yang merugikan bagi nelayan tertentu yang timbul karena nelayan lain menangkap ikan dalam jumlah yang lebih banyak. Analisis sifat ekologi harus diarahkan untuk menentukan secara akurat faktor-faktor pembatas sumberdaya. Faktor-faktor pembatas yang utama adalah potensi dan jenis serta mobilitasnya di dalam kawasan yang dikelola.
(2)
Derajat aksesibilitas terhadap sumberdaya. Keterbatasan potensi sumberdaya berarti bahwa akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal. Oleh karena itu tindakan seseorang untuk berhenti memanfaatkan sumberdaya merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Begitu sesorang sudah memiliki akses dan berada dalam proses pemanfaatan sumberdaya, akan sulit baginya untuk berhenti melakukannya. Oleh karena itu, sumberdaya terumbu karang dimanfaatkan secara bersama-sama dalam suatu bentuk kompetisi di antara
30
pengguna. Aksi seseorang akan memberi dampak kepada yang lain dan selanjutnya membuat orang lain melakukan aksi serupa. Jadi interaksi di antara pengguna cenderung menjurus kepada pertentangan atau konflik di antara mereka. 2.6. Kawasan Konservasi Laut Kawasan Konservasi Laut (KKL) adalah suatu daerah di laut yang ditetapkan untuk melestarikan sumberdaya laut. Di daerah tersebut diatur zonazona untuk mengatur kegiatan yang dapat dan tidak dapat dilakukan, misalnya pelarangan kegiatan seperti penambangan minyak dan gas bumi, perlindungan ikan, biota laut lain dan ekologinya untuk menjamin perlindungan yang lebih baik (National Research Council, 2001). Sedangkan menurut IUCN (1994) kawasan konservasi perairan adalah suatu wilayah perairan pasang surut bersama badan air di bawahnya dan terkait dengan flora, fauna, dan penampakan sejarah serta budaya, dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan di sekitarnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa KKL bukanlah jawaban universal untuk mengatasi masalah-masalah pelestarian perikanan, tetapi telah disepakati bahwa pengelolaan perikanan karang sangat sesuai dilakukan melalui penetapan KKL. Ekosistem laut wilayahnya bisa didefinisikan secara spatial, seperti terumbu karang dan baik untuk perlindungan sumber daya perikanan (Williams, 1998). Pengembangan kawasan konservasi laut dalam luasan yang kecil pada suatu wilayah menunjukkan peningkatan yang cukup berarti pada produktivitas perikanan di sekitarnya
(Williamson et al. 2004; Francini-Filho dan Moura,
2008). White (1988) melaporkan bahwa sebelum ada KKL di Pulau Sumilon Philipina hasil produksi perikanan sebesar 14 – 24 mt/km2/tahun, setelah dibangun KKL hasil tangkapan meningkat menjadi 36 mt/km2/tahun. Produksi KKL kembali menurun menjadi 20 mt/km2/tahun
ketika pengelolaan KKL
mengalami masalah. Selanjutnya dikatakaan bahwa KKL merupakan area recruitment bagi ikan karang yang bergerak pada kawasan terumbu karang di dalam dan di luar KKL. Kawasan konservasi laut bisa digunakan sebagai alat yang efektif sebagai bagian untuk pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (National
31
Research Council, 2001). Selanjutnya Roberts & Hawkins (2000) menyatakan bahwa di seluruh dunia luasan daerah perairan laut dilindungi sangat kecil. Saat ini seluruh wilayah KKL hanya meliputi kurang dari setengah persen lautan di dunia, sedikit yang sangat dilindungi dan 71% tidak ada pengelolaan yang aktif. Li (2000) merinci manfaat kawasan konservasi laut sebagai berikut, yaitu manfaat biogeografi, keanekaragaman hayati, perlindungan terhadap spesies endemik dan spesies langka, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas akibat penangkapan, peningkatan produksi pada wilayah yang berdekatan, perlindungan pemijahan, manfaat penelitian, ekoturisme, pembatasan hasil samping ikan-ikan juvenile (juvenile by catch), dan peningkatan produktivitas perairan (productivity enchancement). Selanjutnya Roberts & Hawkins (2000) mengatakan bahwa terdapat bukti yang kuat dan meyakinkan bahwa melindungi daerah dari penangkapan ikan membuat bertambahnya jumlah, besarnya ukuran, dan biomasa dari jenis organisme yang dieksploitasi. Wilayah penyimpanan dan perlindungan laut sering dikatakan hanya berlaku untuk lingkungan terumbu karang. Kenyataannya, metode ini sudah berhasil diterapkan pada berbagai habitat di daerah tropis dan sub-tropis. Penyimpanan dan perlindungan laut adalah suatu alat yang bersifat global. Kebijakan pengelolaan Kawasan Konservasi Laut atau Marine Protected Area (MPA) mulai dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 90-an. Sampai saat ini telah terbangun kawasan KKL lebih kurang seluas 6,87 juta ha. Diharapkan sampai dengan tahun 2010 dapat terbangun 10 juta ha dan tahun 2020 sekitar 20 juta ha di seluruh Indonesia. Sifat pengelolaannya yang lebih kepada perlindungan (konservasi) dirasa cukup tepat pada kondisi beberapa perairan pesisir di Indonesia yang mengalami kerusakan cukup parah akibat adanya praktek penangkapan ikan yang merusak seperti pengunaan bahan peledak, racun, dan lain-lain, yang akan mengancam keberlanjutan kehidupan ekosistem laut kedepan (Hutabarat et al. 2009). 2.7. Sistem, Pendekatan Sistem 2.7. 1. Sistem Sistem
adalah
kumpulan
dari
komponen-komponen
yang
saling
berinteraksi, interrelasi atau interdependensi dalam rangka mencapai tujuan yang
32
telah ditetapkan (Anderson dan Johnson, 1997). Menurut Kirkwood (1998) komponen sebuah sistem dapat berupa obyek fisik yang dapat disentuh dengan indera, dan dapat juga bersifat intangible seperti aliran informasi, kebijakan perusahaan, interaksi interpersonal, bahkan apa yang menjadi state of minds dalam diri seseorang seperti feeling, values, dan belief. Anderson dan Johnson (1997) mengatakan, bahwa sistem memiliki ciri khas yaitu tujuannya spesifik; bagian-bagian penyusunnya lengkap, utuh, dan tersusun secara spesifik; mampu memelihara stabilitas diri melalui fluktuasi dan pengaturan; serta memiliki mekanisme umpan balik (feedback mechanism). Menurut Chechland (1981), ada beberapa persyaratan dalam berfikir sistem (system thinking), di antaranya adalah (1) holistik tidak parsial; system thinkers harus berfikir holistik tidak reduksionis; (2) Sibernitik (goal oriented); system thinkers harus mulai dengan berorientasi tujuan (goal oriented) tidak mulai dengan orientasi masalah (problem oriented); (3) efektif; dalam ilmu sistem erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen, dimana suatu aktivitas yang mentransformasikan input menjadi output yang dikehendaki secara sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat efektif dan efisien. Jadi dalam ilmu sistem, hasil harus efektif dibanding efisien; ukurannya adalah cost effective bukan cost efficient. Akan tetapi akan lebih baik lagi apabila hasilnya efektif dan sekaligus juga efisien. 2.7.2. Pendekatan Sistem Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. (Marimin, 2004). Menurut Eriyatno (1998) dalam Marimin (2004), karena disebabkan pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antarbagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
33
sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Keunggulan pendekatan sistem antara lain: (1) pendekatan sistem diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdependensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem, (2) sangat penting untuk menonjolkan tujuan yang hendak dicapai, dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendiri, (3) dalam banyak hal pendekatan manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan pada cara-cara koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah-olah inilah yang menjadi tujuan manajemen, padahal tindakan-tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah suatu cara untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan lingkungan yang dihadapi, (4) konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisa, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya.
2.8. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang hasilnya terkait adalah sebagai berikut : Maryunani (1999) melakukan penelitian tentang “Model Pemberdayaan Penduduk Lokal Dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan (Studi Kasus Kawasan Pesisir Barat Pulau Lombok, Propinsi Dati I Nusa Tenggara Barat). Penelitian mempunyai tujuan utama untuk memperoleh pemahaman faktor-faktor sistem internal penduduk lokal yang dominan berpengaruh terhadap kondisi wilayah berdasarkan kerusakan terumbu karang, sebagai dasar untuk menyusun model pemberdayaan penduduk lokal dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan. Penelitian dengan menggunakan model empirik peubah ganda (multivariate análysis) dan model kuantifikasi
Hayashi
I
menyimpulkan
bahwa
operasionalisasi
Model
Pemberdayaan Penduduk Lokal (MPPL) dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang tidak dapat diperlakukan secara seragam (homogen), tergantung keragaan spasial karakteristik sosial ekonomi penduduk lokal, serta pola dan intensitas pemanfaatan terumbu karang yang berbeda di setiap wilayah. Kemampuan institusi lokal dalam mengendalikan pengelolaan ekosistem terumbu karang di
34
setiap wilayah studi sangat diutamakan, dan sangat tergantung pada pengalaman dan kemampuan penduduk lokal menjadi penggerak dalam mengendalikan (diri dan pihak lain) eksploitasi ekosistem terumbu karang secara besar-besaran. Pekuwali (2000) melakukan kajian ”Analisis Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang Pulau Kera Taman Wisata Alam Teluk Kupang Nusa Tenggara Timur”. Penelitian bertujuan untuk menganalisis skenario pemanfaatan yang optimal di dalam pengelolaan terumbu karang Pulau Kera dan memperkirakan daya dukung fisik Pulau Kera dalam menunjang kegiatan pariwisata bahari. Kajian ini menggunakan pendekatan AHP (Analytical Hierarchy Proces). Hasil kajian menyimpulkan bahwa prioritas kebijakan pengelolaan terumbu karang di Pulau Kera adalah pengelolaan kawasan wisata yang memperhatikan konservasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa pemasalahan yang paling dominan adalah kurangnya koordinasi dengan sektor terkait, pelestarian fungsi lingkungan, masalah ekonomi, sosial dan budaya. Selanjutnya Priyono (2004) melakukan penelitian dengan judul ”Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu Daerah Khusus Ibukota Jakarta”. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan terumbu karang di perairan Kelurahan Pulau Panggang serta menentukan kebijakan pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan. Penelitian menggunakan metode A’WOT, yaitu penggabungan antara AHP (Analytical Hierarchy Process) dengan Analisis SWOT (Strenghts, Weaknesess, Opportunities, and Threats) menyimpulkan bahwa komponen kekuatan (S) menempati urutan teratas dalam menentukan kebijakan pengelolaan terumbu karang di perairan Pulau Panggang, kemudian berturut-turut diikuti oleh komponen kelemahan (W), peluang (O) dan ancaman (T). Adapun prioritas kebijakan pengelolaan terumbu karang di Pulau Panggang berturut-turut adalah konservasi, wisata bahari, dan budidaya perikanan. Husni (2001) melakukan penelitian dengan judul
”Kajian Ekonomi
Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus di Kawasan Taman Wisata Alam Laut Gili Indah Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat), bertujuan menganalisis nilai ekonomi total dari manfaat ekosistem terumbu karang mengkaji alternatif pengelolaan ekosistem terumbu karang yang optimal dan berkelanjutan. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa nilai ekonomi total
35
terumbu karang seluas 448,76 ha adalah Rp. 25.897.263.024,-/tahun atau Rp. 57.708.046,65,-/ha/tahun.
Pengelolaan
ekosistem
terumbu
karang
harus
memperhatikan aspek biofisik dan lingkungan, aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek kelembagaan. Manengkey (2003) melakukan penelitian dengan judul ”Tingkat Sedimentasi dan Pengaruhnya pada Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Teluk Buyat dan Sekitarnya Provinsi Sulawesi Utara”, bertujuan mengukur dan menganalisis banyaknya material sedimen pada kawasan terumbu karang. Penelitian dengan menggunakan sediment traps yang dipasang di ekosistem terumbu karang selama 20 hari. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tingkat sedimentasi di daerah studi cukup tinggi, yaitu mencapai 525. 250 mg/l terutama di muara sungai dan diduga berasal dari daratan. Di daerah terumbu karang ditemukan sedimentasi yang tinggi yaitu mencapai 141.800 mg/l. Kandungan bahan organik dalam sedimen diduga berasal dari limbah rumah tangga dan bahan organik dari daratan. Kerusakan terumbu karang di lokasi studi disebabkan karena adanya sedimentasi, dan pengeboman. Selanjutnya Partini (2009) dengan judul penelitian
”Efek Sedimentasi Terhadap Terumbu Karang di Pantai Timur
Kabupaten Bintan”. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung laju sedimentasi di ekosistem terumbu karang dan menganalisis hubungan dan pengaruh laju sedimentasi terhadap komunitas terumbu karang. Penelitian dengan menggunakan sediment traps
yang dipasang di ekosistem terumbu karang selama 20 hari,
menyimpulkan bahwa laju sedimentasi di lokasi penelitian kategori ringan – berat (4,00 – 78,24 mg/cm2/hari). Laju sedimentasi berkorelasi negatif terhadap tutupan karang dan berkorelasi positif terhadap indeks mortalitas. Arifin (2008) dengan judul penelitian “Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolalaan Kawasan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung”, bertujuan menelaah akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Penelitian menggunakan pendekatan Rap–Insus COREMAG (Rapid Appraisal-Index Sustainability of Coral Reef Management). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penyebab degradasi terumbu karang di Selat Lembeh diduga disebabkan oleh menurunnya kondisi perairan setempat akibat aktivitas industri, pelabuhan dan aktivitas manusia. Berdasarkan penilaian terhadap 4 dimensi
akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang (ekologi, teknologi, sosial ekonomi, dan kelembagaan), diperoleh bahwa dimensi kelembagaan dan
36
teknologi merupakan dimensi yang paling rendah indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh. Selanjutnya dikatakan bahwa indeks akuntabilitas terbukti dapat mempengaruhi perubahan pada sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang. Sistem keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang saat ini di lokasi penelitian akan mengalami penurunan pada 5 tahun ke depan, karena itu diperlukan upaya perbaikan. Febrizal (2009) melakukan penelitian dengan judul ” Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kabupaten Bintan dan Alternatif Pengelolaannya”. Penelitian dengan menggunakan metode transek kuadrat dan dianalisis dengan software Image-J serta untuk melihat hubungan antara parameter lingkungan perairan dengan penutupan substrat menggunakan PCA, menyimpulkan bahwa kondisi terumbu karang di kawasan yang dekat dengan permukiman nelayan dan daratan memiliki tutupan karang hidup relatif rendah dibandingkan dengan terumbu karang di kawasan yang jauh dari aktivitas daratan. Aktivitas di daratan mengakibatkan buruknya kualitas perairan yang berdampak pada terumbu karang. Dari penelitian-penelitian tersebut di atas belum ada penelitian yang dilakukan secara spesifik dan komprehensif dalam membangun desain pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Dengan demikian topik yang diambil sejauh ini masih dapat dianggap asli.
III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Bintan Timur Kepulauan Riau. Secara administrasi lokasi penelitian mencakup dua kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir. Lokasi pengamatan ditetapkan 11 stasiun, yaitu Karang Masiran, Pulau Manjin, Muara, Penyerap, Pulau Beralas Bakau,
Pulau Busung Bujur (Nikoi), Pulau
Penyusuk, Pulau Cengom, Pulau Kelong, Pulau Gin Besar dan Pulau Gin Kecil (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2010 hingga September 2011, terhitung sejak penyusunan proposal sampai penyusunan disertasi. 3.2. Pendekatan Penelitian Penelitian dilakukan berdasarkan data primer dan data sekunder yang diperoleh dari survei lapangan. Lingkup penelitian yang ditelaah meliputi aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur serta hukum dan kelembagaan. Pelaksanaan penelitian dibagi dalam beberapa tahapan (Gambar 3) antara lain sebagai berikut: a. Melakukan studi kepustakaan (desk study) dengan melakukan pengumpulan beberapa informasi mengenai ekosistem terumbu karang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. b. Penentuan atribut-atribut utama pada setiap aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur serta hukum dan kelembagaan yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang. c. Melakukan survei lapangan untuk mengumpulkan data komponen biofisik, sosial ekonomi dan sosial budaya d. Melakukan analisis data, yaitu analisis tutupan karang, analisis kualitas air, analisis kebutuhan stakeholders, analisis keberlanjutan dan analisis prospektif. e. Menyusun alternatif skenario strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan hasil analisis tahap sebelumnya. f. Menyusun strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau.
38
KKLD Bintan Timur
Gambar 2. Peta lokasi penelitian di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau
39
Mulai (Persiapan)
Studi Kepustakaan (desk study)
Tahap I
Penentuan dimensi, atribut atau faktor-faktor berpengaruh pada keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang
Tahap II
Survei lapangan
Tahap III
Analisis Data
Tahap IV
Analisis Pengelolaan Eksisting
Analisis Biofisik, Sosial, Ekonomi Terumbu Karang
Analisis Keberlanjutan (MDS)
Analisis Kebutuhan Stakeholder
Alternatif Strategi Pengelolaan MDS, Laverage, Prospektif
Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepri
Tahap V
Tahap VI
Tahap VII
Gambar 3. Tahapan penelitian yang dilakukan 3.3. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan metode survei dengan teknik wawancara mendalam, pengamatan lapangan dan pengukuran. Wawancara mendalam (indepth interview) dengan responden menggunakan kuisioner
40
terstruktur atau semi terstruktur. Sedangkan pendapat para pakar dihimpun melalui wawancara atau focus group discussion (FGD). Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti: BPS, jurnal penelitian ilmiah, laporan hasil penelitian, prosiding, laporan dinas/instansi terkait, lembaga penelitian, dan perguruan tinggi. Secara rinci, jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian. No Jenis data Sumber data Data Primer : 1. Kualitas air (suhu, salinitas, kecerahan, In situ dan Laboratorium TSS, kedalaman, kecepatan arus, DO, BOD, nitrat, dan fosfat) 2. Kondisi terumbu karang Modifikasi metode transek kuadrat (in situ) 3 Sedimentasi In situ dan laboratorium 4. Analisis kebutuhan stakeholders Responden (stakeholders) 5. Identifikasi faktor strategis (prospektif) Responden (expert/pakar) 6. Perbandingan antar faktor (prospektif) Responden (expert/pakar) Data Sekunder 1. Luas terumbu karang Dinas Perikanan dan Kelautan 2. Kondisi terumbu karang Dinas Perikanan dan kelautan dan LIPI 3. Jenis ikan karang Dinas Perikanan dan Kelautan 4. Tingkat eksploitasi ikan karang Dinas Perikanan dan Kelautan 5. Jumlah nelayan Dinas Perikanan dan Kelautan 6. Jumlah penduduk BPS 7. Kepadatan penduduk BPS 8. Mata pencaharian BPS 9. Frekuensi konflik Dinas Perikanan dan Kelautan 10. Peraturan perundang-undangan Dinas Perikanan dan Kelautan 11. Struktur kelembagaan Dinas Perikanan dan Kelautan 12 Jumlah hotel Dinas Pariwisata dan BPS 13 Jumlah pengunjung hotel Dinas Pariwisata dan BPS 14 Jumlah restoran Dinas Pariwisata dan BPS
3.4 Teknik Penentuan Responden Penentuan responden dari masyarakat dilakukan secara purposive random sampling (Walpole, 1995). Masyarakat yang menjadi responden adalah terutama masyarakat nelayan dan masyarakat yang terkait dengan pemanfaatan wilayah pesisir di Bintan Timur yang berjumlah 90 orang. Disamping itu, juga dilakukan
41
wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh informal maupun formal sebagai responden kunci. Penentuan responden untuk survei pakar dilakukan dengan teknik secara sengaja (purposive sampling). Responden yang dipilih memiliki kepakaran terhadap bidang yang dikaji. Beberapa pertimbangan dalam menentukan pakar yang dijadikan responden adalah: (a) mempunyai pengalaman yang kompeten sesuai dengan bidang yang dikaji; (b) memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompetensinya dengan bidang yang dikaji; dan (c) memiliki kredibilitas yang tinggi, bersedia, dan atau berada pada lokasi yang dikaji (Marimin, 2004). Jumlah responden pakar ialah sembilan responden terdiri atas unsur pemerintah, akademisi/peneliti, lembaga swadaya masyarakat (LSM). 3.5. Metode Pengumpulan Data 3.5.1. Kondisi Terumbu Karang dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. 3.5.1.1. Kondisi Terumbu Karang Pengumpulan data untuk penentuan kondisi terumbu karang di daerah penelitian dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) berdasarkan data sekunder dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, terutama dari hasil penelitian CRITCCOREMAP II-LIPI (2007); Cappenberg dan Salatalohi (2009) dan penelitian pihak lainnya, dan (2) melakukan
pengamatan dan pengukuran langsung di
lapangan. Pengamatan terumbu karang dilakukan dengan menggunakan modifikasi dari metode transek kuadrat (English et al., 1997). Dalam metode ini terdapat tiga tahapan yang dilakukan, yaitu pembentangan roll meter, pemasangan pasak, dan pengambilan foto transek. Pemasangan roll meter dilakukan untuk menetapkan transek garis, dimana transek garis ini berfungsi dalam penentuan arah dan jarak yang konstan dari pemasangan transek kuadrat. Roll meter dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar dengan garis pantai, kemudian pemasangan transek kuadrat dilakukan setiap selang 10 meter. Sebelum pengambilan foto transek, terlebih dahulu dilakukan pemasangan pasak besi di setiap sudut transek kuadrat dengan tujuan sebagai tanda untuk pengamatan berikutnya. Selanjutnya pengambilan foto transek dilakukan dengan menggunakan kamera bawah air.
42
3.5.1.2. Kualitas air Data kualitas air diperoleh dari data primer dan data sekunder. Pengukuran data primer kualitas air bertujuan untuk mengetahui status kini kondisi perairan di lokasi penelitian. Oleh karena itu sampel air dikoleksi pada beberapa titik pengamatan yang telah ditetapkan baik di laut maupun di sungai. Pengukuran dilakukan pada dua musim (musim penghujan dan musim kemarau). Parameter kualitas air yang diukur meliputi parameter fisika dan kimia perairan. Metode pengambilan dan metode analisis kualitas air ini mengacu pada APHA (1989). Parameter-parameter yang diukur langsung (in situ) meliputi: suhu, salinitas, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus dan oksigen terlarut. Sedangkan parameter yang diukur di laboratorium adalah TSS, BOD, nitrat (NO 3 ), dan fosfat (PO 4 ). Untuk keperluan analisis beban pencemaran dari kegiatan di daratan (faktor eksternal) maka dipilih parameter BOD, TSS, nitrat (NO 3 ), dan fosfat (PO 4 ). 3.5.1.3. Sedimentasi Untuk mengetahui jumlah sedimen yang berasal daratan masuk ke perairan pesisir melalui sungai dilakukan pengukuran dengan menghitung beban sedimen melayang (suspended load). Di lokasi penelitian terdapat dua sungai, yaitu Sungai Kawal dan Sungai Batang Galang. Kandungan sedimen yang terbawa aliran air sungai disamping dipengaruhi oleh besarnya
beban sedimen, juga dipengaruhi oleh debit aliran. Dugaan
kandungan sedimen yang terangkut di sungai didasarkan atas kandungan padatan tersuspensi hasil analisis laboratorium (Suyono, 1995). Beban sedimen melayang (suspended load) dalam suatu aliran (sungai) dapat diduga dengan pendekatan menurut Suyono (1995) sebagai berikut:
QS = 86,4 Cs x Q Keterangan : QS Cs Q
= beban suspensi(ton/hari) pada debit Q = konsentrasi suspensi (kg/m3) pada debit Q = debit aliran sungai (m3/detik).
43
Debit aliran sungai dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
Q = A xV Keterangan : Q A V
= debit sungai (m3/detik) = luas penampang alur sungai (m2) = kecepatan aliran (m/detik).
Untuk menentukan laju sedimentasi di ekosistem terumbu karang dilakukan pengukuran dengan alat sediment trap. Tabung sedimen trap yang digunakan adalah pipa PVC dengan ukuran diameter 5 cm dan tinggi 11,5 cm, pada bagian atas memiliki sekat-sekat penutup. Tabung sediment trap dipasang pada tiang besi berdiameter 12 mm pada ketinggian 20 cm dari dasar perairan (Garder, 1980 dalam English et al. 1997). Tiap stasiun dipasang tiga buah sediment trap, jarak antar sediment trap berkisar 1 sampai 5 m tergantung pada keberadaan terumbu karang untuk menghindari kerusakan akibat pemasangan sediment trap. Sediment trap dipasang selama 20 hari, sedimen yang terkumpul kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC selama 24 jam (English et al. 1997). Selanjutnya dilakukan pengukuran berat kering sedimen dalam satuan miligram dengan timbangan analitik. Laju sedimentasi dinyatakan dalam satuan mg/cm2/hari (Roger et al. 1994). Perhitungan laju sedimentasi dilakukan melalui persamaan berikut:
LS = Keterangan : LS BS r
BS Jumlah hari x π r 2 = laju sedimentasi (mg/cm2/hari) = berat kering sedimen (mg) = konstanta (3,14) = jari-jari lingkaran sediment trap (cm).
3.5.1.4. Sumber dan Beban Pencemaran Pengumpulan data untuk mengidentifikasi sumber-sumber limbah yang masuk ke perairan pesisir di lokasi penelitian dilakukan melalui wawancara dan dari data sekunder. Data beban limbah yang masuk ke perairan pesisir melalui sungai diperoleh melalui pengukuran konsentrasi parameter beban limbah pada setiap stasiun atau sungai yang mengalir ke perairan pesisir. Sedangkan
44
pengumpulan data beban limbah domestik, hotel dan pertanian diperoleh melalui wawancara dan data sekunder. Penghitungan beban pencemaran yang berasal di luar ekosistem perairan pesisir dilakukan dengan perhitungan secara langsung di muara-muara sungai yang menuju perairan pesisir Bintan Timur. Cara perhitungan beban pencemaran ini didasarkan atas pengukuran debit sungai dan konsentrasi limbah di muara sungai berdasarkan persamaan (Mitsch and Goesselink, 1993).
BP = Q x C Keterangan:
BP = beban pencemaran (ton/tahun) Q = debit sungai (m3/detik) C = konsentrasi limbah (mg/liter).
Total beban pencemaran dari seluruh sungai yang bermuara di perairan pesisir Bintan Timur dihitung dengan persamaan: n
TBP = ∑ BP i =1
Keterangan : TBP = Total beban pencemaran (ton/tahun) n = Jumlah sungai i = Beban limbah sungai ke-i (ton/tahun) Untuk mengkonversi beban limbah ke dalam ton/tahun dikalikan dengan 10-6 x 3600 x 24 x 360. Untuk estimasi besarnya beban pencemaran yang berasal dari aktivitas penduduk di sekitar perairan pesisir dilakukan berdasarkan pendekatan Rapid Assessment (Kositranata et al., 1989; Djajadiningrat dan Amir, 1993) dengan persamaan:
BP = a x f Keterangan: BP = beban pencemaran dinyatakan dalam ton/tahun a = jumlah unit penghasil limbah f = faktor konstanta beban limbah organik.
45
Tabel 2. Faktor konstanta beban limbah organik Aktivitas
Konversi
Permukiman Hotel dan restoran Peternakan
BOD
Total Fosfat
Total Nitrat
53 12 -
22,7 5,4 0,04
3,8 0,9 1,68
3.6. Metode Analisis Data 3.6.1. Kondisi Terumbu Karang dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. 3.6.1.1. Kondisi Terumbu Karang Kondisi terumbu karang dapat diduga melalui pendekatan persentase penutupan karang hidup sebagaimana yang dijelaskan oleh Gomez dan Yap (1988). Adapun kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang hidup disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kriteria penilaian kondisi ekosistem terumbu karang berdasarkan persentase penutupan karang (Gomez and Yap, 1988) Penutupan (%)
Kriteria Penilaian
0 – 24,9 25 – 49,9 50 – 74,9 75 - 100
Buruk Sedang Baik Sangat baik
3.6.1. Kualitas Air Data kualitas
air yang diperoleh dianalisis secara deskriptif
dan
dibandingkan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Untuk melihat keterkaitan antara karakteristik lingkungan biofisik-kimia perairan dengan masing-masing lokasi digunakan pendekatan analisis statistik multivariabel PCA (Principal Component Analysis) dengan software XLSTAT 2009.2.01. (PCA)
merupakan
metode
statistik
Analisis Komponen Utama
deskriptif
yang
bertujuan
untuk
mempresentasikan analisis dalam bentuk grafik hasil informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data tersebut terdiri dari lokasi pengamatan sebagai individu (baris) dan karakteristik lingkungan perairan sebagai
46
variabel (kolom). Data parameter tersebut tidak mempunyai unit pengukuran dan ragam yang sama, karena itu perlu untuk dinormalisasi melalui pemusatan dan pereduksian. Untuk menentukan hubungan antara kedua parameter digunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik. Korelasi linear antara dua parameter yang dihitung dari indeks sintetiknya adalah ragam dari kedua parameter tersebut yang telah dinormalisasikan (Legendre dan Legendre, 1983). 3.6.2. Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Analisis keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang dilakukan dengan pendekatan Multi-Dimensional Scaling (MDS) yaitu pendekatan dengan Rap-Insus-COREMAG
(Rapid Appraisal –Indeks Sustainability of Coral Reef
Management) yang telah dimodifikasi dari program RAPFISH (Rapid Assessment Technique for Fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British Columbia (Kavanagh, 2001; Pitcher and Preikshot, 2001; Fauzi dan Anna, 2002). Metode MDS merupakan teknik analisis statistik berbasis komputer dengan menggunakan perangkat lunak SPSS, yang melakukan transformasi terhadap setiap dimensi dan multidimensi keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Analisis keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang ini melalui beberapa tahapan, yaitu: 1) tahap penentuan atribut pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan untuk masing-masing dimensi (ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur, hukum dan kelembagaan), 2) tahap penilaian atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan untuk setiap faktor dan analisis ordinasi yang berbasis metode “ Multidimensional Scaling” (MDS), dan 3) tahap penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Penentuan atribut pada masing-masing dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur serta hukum dan kelembagaan mengacu pada indikator dari Rapfish (Kavanagh, 2001); Tesfamichael dan Pitcher (2006); Charles (2000); Nikijuluw (2002) dan Arifin (2008) yang dimodifikasi. Untuk setiap atribut pada masing-masing dimensi diberikan skor yang mencerminkan
47
kondisi keberlanjutan dari dimensi yang dikaji. Rentang skor ditentukan berdasarkan kriteria yang dapat ditemukan dari hasil pengamatan lapangan dan data sekunder. Rentang skor berkisar 0 – 3, tergantung pada keadaan masingmasing atribut, yang diartikan mulai dari buruk sampai baik. Nilai buruk mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan bagi pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan. Sebaliknya nilai baik mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan. Adapun dimensi dan atribut pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur disajikan pada Tabel 4. Tabel 4.
Dimensi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur
No
Atribut
1
Persentase penutupan karang
Atribut dan Dimensi Ekologi Skor Baik Buruk 0; 1; 2; 3
3
0
0; 1; 2
2
0
2
Kenakeragaman ikan karang
3
Substrat perairan
0; 1; 2; 3
3
0
4
Memiliki spesies yang dilindungi
0; 1
1
0
5
Sedimentasi
0; 1; 2
2
0
6
Kondisi perairan
0; 1
1
0
7
Persentase luas area yang dilindungi
0; 1; 2
2
0
8
Keragaman ekosistem
0; 1; 2
2
0
9
Tingkat eksploitasi ikan karang
0; 1; 2; 3
3
0
Keterangan
0-24,9% (0); 25 – 49,9% (1); 50-74,9% (2); 75-100 % (3); (Gomez dan Yap, 1988) Rendah (0); Tinggi (2)
Sedang
(1);
Sedimen (0); Pasir dan sedimen (1); Pasir halus (2); Pasir kasar (3) (Sukarno et al., 1981) Tidak ada (0); ada (1) (Arifin, 2008) Ringan hingga sedang (0); Sedang hingga berat (1); Sangat berat hingga catastrophic (2) (Pastorok dan Bilyard, 1985 di acu dalam Supriharyono, 2007) > Baku mutu (0); < Baku mutu (1) (KEPMEN LH N0. 51 Tahun 2004) Rendah (0); Sedang (1); Tinggi (2) (Charles, 2000) Rendah (0); Sedang (1); Tinggi (2) (Charles, 2000) Collapsed (0) Lebih tangkap (2) Tinggi (1); Kurang (3); (Kavanagh, 2001; Pitcher dan Preikshot. 2001)
48
No 1
2
Atribut dan Dimensi Ekonomi Skor Baik Buruk
Atribut Ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah Serapan tenaga kerja lokal di sektor pariwisata
3
Usaha penangkapan, berdasarkan intensitas penangkapan
4
Tingkat pendapatan nelayan: Didasarkan angka garis kemiskinan Kab. Bintan
Keterangan
0; 1; 2
2
0
Rendah (0); Sedang (1); Tinggi (2) (Rapfish; Tesfamichael dan Pitcher, 2006)
0; 1; 2
2
0
Rendah (0); Sedang (1); tinggi (2)
0; 1; 2; 3
3
0
0; 1; 2
2
0
2
0
Rendah (0); Sedang (1); tinggi (2) Pasar internasional (0); Pasar nasional(1); Pasar lokal (2) (Rapfish; Tesfamichael dan Pitcher, 2006)
5
Pemasaran hasil perikanan
6
Kunjungan wisatawan
0; 1; 2
2
0
Rendah (0); Sedang (1); tinggi (2) (Arifin, 2008)
Jumlah objek wisata
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0); sedikit (1); banyak (2) (Arifin, 2008)
0; 1; 2; 3
3
0
7 8
No
1
Ketersediaan nelayan
modal
Atribut
Tingkat pendidikan
2
Pengetahuan lingkungan
3
Potensi konflik pemanfaatan
4
Memiliki estetika
0; 1; 2
Penuh waktu (0); Musiman (1); Paruh waktu (2); Sambilan (3) (Rapfish; Tesfamichael dan Pitcher, 2006)
Atribut dan Dimensi Sosial Budaya Skor Baik Buruk 0; 1; 2; 3
0; 1; 2; 3
3
3
Rata-rata tidak memiliki modal (0); Rata-rata kekurangan modal (1); Ratarata cukup modal (2); Cukup modal (3)
Keterangan
0
Tidak tamat SD (0); Tamat SD-SMP (1); Tamat SMA (2); S0-S1 (3) (Tesfamichael dan Pritcher, 2006)
0
Tidak ada (0); Sedikit (1); Cukup (2) Banyak (3) (Rapfish, Tesfamichael dan Pitcher, 2006) Tinggi (0); sedang (1); rendah (2) Hampir tidak ada (3) (Tesfamichael dan Pitcher, 2006; Nikijuluw, 2002)
0; 1; 2; 3
3
0
0; 1; 2
2
0
Rendah (0); sedang (1); Tinggi (2) (Arifin, 2008)
49
5
Pemberdayaan masyarakat
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0); ada, belum optimal (1); optimal (3)
6
Pertumbuhan jumlah nelayan
0; 1; 2; 3
3
0
Sangat tinggi (0); Tinggi (1); Sedang (2) Rendah (3) (Rapfish)
7
Mata pencaharian alternatif non perikanan
0; 1; 2
2
0
Rendah (0); Banyak (2)
Sedang
(1);
0; 1; 2
2
0
Rendah (0); Tinggi (2)
sedang
(1);
8
Kekompakan nelayan (social networking)
9
Jumlah rumah tangga perikanan
No
Atribut
1
Jenis alat tangkap
0; 1; 2
2
0
Atribut dan Dimensi Teknologi dan Infrastruktur Skor Baik Buruk
0; 1; 2
2
0
0; 1; 2
2
0
Banyak (0); Sedang (1); Sedikit (2) (Rapfish; Tesfamichael dan Pitcher, 2006)
Keterangan
Mayoritas aktif (0); seimbang (1); mayoritas pasif (2) (Rapfish)
2
Selektivitas alat tangkap
3
Transplantasi karang
0; 1
1
0
Tida ada (0); ada (1) (Dahuri, 1996)
4
Sarana dan prasarana pengawasan
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0); ada, belum optimal (1); Optimal (2);
5
Perubahan kemampuan alat dan armada tangkap
0; 1; 2; 3
3
0
Banyak (0); Sedang (1); Sedikit (2); Sangat sedikit (3) (Rapfish ; Tesfamichael dan Pitcher, 2006)
6
Efek samping alat tangkap terhadap karang
0; 1; 2; 3
3
0
Banyak (0); Sedang (1); Sedikit (2); Tidaka ada (3) (Rapfish ; Tesfamichael dan Pitcher, 2006)
7
Penggunaan alat terlarang
0; 1; 2; 3
3
0
Banyak (0); Sedang (1); Sedikit/jarang (2); Tidak ada (3)
8
Pengolahan limbah hotel, restoran
0; 1
1
0
Tidak ada (0); ada (1)
9
Pengolahan limbah penduduk
0; 1
1
0
Tidak ada (0); ada (1)
Kurang selektif (0); agak selektif(1); sangat selektif (2) (Rapfish; Tesfamichael dan Pitcher, 2006)
50
No
Atribut Ketersediaan peraturan formal pengelolaan
Atribut dan Dimensi Hukum dan Kelembagaan Skor Baik Buruk
Keterangan
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0); Ada, belum optimal berjalan; (1) Optimal (2) (Nikijuluw, 2002)
Tingkat kepatuhan masyarakat
0; 1; 2
2
0
Tidak patuh (0); sedang (1); patuh (2) (Nikijuluw, 2002)
Lembaga konservasi
0; 1; 2
2
0
Koordinasi antar stakeholders
0; 1; 2
2
0
5
Partisipasi masyarakat
0; 1; 2
2
0
6
Tokoh panutan
0; 1; 2
2
0
7
Pelaksanaan pemantauan, pengawasan
0; 1; 2
1
0
1
2
3
4
8
Penyuluhan hukum lingkungan
0; 1; 2
2
0
Tidak ada (0); Ada, belum optimal berjalan; (1) Optimal (2) Buruk (0); Sedang (1); Baik (2) Rendah (0); Sedang (1); Baik (2) (Rapfish; Nikijuluw, 2002) Tidak ada (0); Sedikit (1); Cukup(2) (Nikijuluw, 2002) Rendah (0); Sedang (1); Tinggi (2) (Nikijuluw, 2002) Tidak pernah (0); jarang (1); sering (2) (Nikijuluw, 2002)
Selanjutnya, nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multidimensional untuk menentukan posisi keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik “baik” (good) dan titik “buruk” (bad). Untuk memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi. Proses ordinasi Rap-Insus-COREMAG menggunakan software Rapfish (Kavanagh, 2001). Proses algoritma Rap-Insus-COREMAG juga pada dasarnya mengikuti proses algoritma Rapfish. Dalam implementasinya, Rapfish menggunakan teknik yang disebut Multi Dimensional Scaling (MDS). Analisis Multi Dimensional Scaling digunakan untuk mempresentasikan similaritas/disimilaritas antar pasangan individu dan karakter/variabel (Young, 2001). Sickle (1997) menyatakan bahwa MDS dapat mempresentasikan metode ordinasi secara efektif. Objek atau titik yang diamati dipetakan kedalam ruang dua atau tiga dimensi, sehingga objek atau titik tersebut diupayakan sedekat mungkin terhadap titik asal. Dengan kata lain, dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan satu sama lain.
51
Sebaliknya objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan (Fauzi dan Anna, 2005). Alder et al. (2001) menyatakan bahwa titik ordinasi dengan mengkonfigurasikan jarak antar titik dalam t- dimensi yang mengacu pada jarak euclidien antar titik. Dalam ruang dua dimensi jarak Euclidean dirumuskan sebagai berikut:
d=
x1 − x2 + y1 − y2
2
2
…………………………………..(1)
Sedangkan dalam n-dimensi jarak Euclidien dirumuskan sebagai berikut:
d=
x1 − x2 + y1 − y 2 + z1 − z 2 2
2
2
+ ....) ……………… (2)
Dalam menilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang, masing-masing kategori yang terdiri atas beberapa atribut di skor. Skor secara umum dirangking antara 0 sampai 4. Hasil skor dimasukkan ke dalam tabel matrik dengan i baris yang mempresentasikan kategori pengelolaan ekosistem terumbu karang dan j kolom yang mempresentasikan skor atribut. Data dalam matrik adalah data interval yang menunjukkan skoring baik dan buruk. Skor data tersebut kemudian dinormalkan untuk meminimalkan stress (Davison dan Skay, 1991). Salah satu pendekatan untuk menormalkan data adalah dengan nilai Z (Alder et al., 2001).
x
Z = ( - µ)/σ ....................................................................................(3) Kruskal dalam Johnson dan Wichern (1992) mengajukan sebuah ukuran luas secara geometris yang mempresentasikan kecocokan. Ukuran tersebut diistilahkan dengan stress. Stress didefinisikan sebagai :
∑ ∑ (d ( q ) − d ( q ) ) 2 ik ik Stres Stress ( q ) = i < k 2 d ik( q ) ∑ ∑ i
[
]
………………………(4)
Software Rapfish merupakan pengembangan MDS yang terdapat dalam software SPSS, untuk proses rotasi (fliping), dan beberapa analisis sensitivitas yang telah dipadukan menjadi satu software. Melalui MDS ini, posisi titik keberlanjutan tersebut dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu
52
horizontal dan vertikal). Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrim “buruk” yang diberi nilai skor 0% dan titik ekstrim yang “baik” diberi nilai skor 100%. Posisi status keberlanjutan yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrim tersebut. Nilai ini merupakan indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau saat ini. Skala indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang mempunyai selang 0 - 100. Jika sistem yang dikaji mempunyai indeks >50 maka sistem tersebut dikategorikan berkelanjutan, dan sebaliknya jika nilainya <50, maka sistem tersebut dikategorikan belum berkelanjutan. Dalam studi ini disusun empat kategori status keberlanjutan berdasarkan skala dasar (0 – 100) seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5.
Kategori status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-Insus-COREMAG Indeks ≤ 24,9 25 – 49,9 50 – 74,9 > 75
Kategori Buruk Kurang Cukup Baik
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat atribut mana yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap Insus-COREMAG di lokasi studi. Pengaruh setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu X atau pada skala accountability. Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut di dalam pembentukan nilai Insus-COREMAG pada skala keberlanjutan, atau semakin sensitif atribut tersebut dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang. Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses untuk menduga nilai ordinasi pengelolaan ekosistem terumbu karang digunakan analisis Monte Carlo. Menurut Kavanagh (2001), analisis “Monte Carlo” juga berguna untuk mempelajari hal-hal sebagai berikut: 1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut.
53
2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda. 3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi). 4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data); 5. Tingginya nilai ”stress” hasil analisis Rap-Insus-COREMAG (nilai stress dapat diterima jika < 25%). Secara lengkap, tahapan analisis Rap-Insus-COREMAG menggunakan metode MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish disajikan pada Gambar 4. Mulai
Kondisi pengelolaan ekosistem terumbu karang saat ini
Penentuan atribut sebagai kriteria penilaian
MDS (ordinasi setiap atribut) Penilaian (skor) setiap atribut
Analisis Monte Carlo
Analisis sensitivitas
Analisis Keberlanjutan Gambar 4. Tahapan analisis Rap-Insus-COREMAG menggunakan MDS dengan aplikasi modifikasi Rapfish 3.6.3. Analisis Faktor Penentu Pengelolaan EkosistemTerumbu Karang Untuk memperoleh faktor-faktor penentu (faktor dominan) dalam penentuan kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau digunakan Analisis Prospektif. Analisis prospektif digunakan untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Analisis prospektif tidak sama dengan peramalan karena analisis prospektif dapat diprediksi alternatif-alternatif yang akan terjadi dimasa yang akan datang baik bersifat positif (diinginkan) ataupun yang negatif (tidak diinginkan). Kegunaan analisis prospektif adalah untuk: (1) mempersiapkan tindakan strategis yang perlu dilakukan dan (2) melihat apakah perubahan
54
dibutuhkan dimasa depan. Analisis prospektif tepat digunakan untuk perancangan strategi kebijakan (Bourgoise, 2007). Dari analisis prospektif diketahui informasi mengenai faktor kunci (key factors) dan skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur sesuai kebutuhan stakeholders. Analisis kebutuhan stakeholders dilakukan untuk memperoleh komponenkomponen yang berpengaruh dan berperan penting dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang dari seluruh stakeholders yang terlibat. Setelah mendapatkan data pendukung untuk penetapan kebutuhan dasar yang diperoleh berdasarkan analisis kebutuhan stakeholders, selanjutnya ditentukan kebutuhan masing-masing stakeholders. Menurut Hardjomidjodjo (2004), tahapan dalam analisis prospektif adalah sebagai berikut: 1) Definisi dari tujuan sistem yang dikaji. Tujuan sistem yang dikaji perlu spesifik dan dimengerti oleh semua pakar yang akan diminta pendapatnya. Hal ini dilakukan agar pakar mengerti ruang lingkup dan kajian penyamaan pandangan tentang sistem yang dikaji. 2) Identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan tersebut, yang biasanya merupakan kebutuhan stakeholders sistem yang dikaji. Berdasarkan tujuan studi yang ingin dicapai, pakar diminta mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan tersebut. Pakar diharapkan dapat mewakili stakeholders sistem yang dikaji sehingga semua kepentingan elemen sistem dapat terwakili. Pada tahapan ini definisi tiap dari tiap faktor harus jelas dan spesifik. Intergrasi pendapat pakar dilaksanakan dengan mengambil nilai modus. 3) Penilaian pengaruh langsung antar faktor. Semua faktor yang teridentifikasi akan dinilai pengaruh langsung antar faktor sebagaimana disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7. Dalam penelitian ini, analisis prospektif digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor dominan (faktor kunci) dengan melihat pengaruh langsung antar faktor
terhadap sistem atau obyek penelitian. Analisis prospektif dilakukan
melalui tiga tahapan, yaitu tahap pertama, penetuan faktor-faktor kunci pada kondisi saat ini (existing condition) dari hasil MDS; tahap kedua, penentuan
55
faktor-faktor kunci hasil analisis kebutuhan (need analysis) dari stakeholders; tahap ketiga; penentuan faktor kunci dari hasil analisis gabungan antara hasil tahap pertama dan tahap kedua atau gabungan antara existing condition dan need analysis. Tabel 6. Pedoman penilaian analisis prospektif Skor
Keterangan
0
Tidak ada pengaruh
1
Berpengaruh kecil
2
Berpengaruh sedang
3
Berpengaruh sangat kuat
Tabel 7. Pengaruh langsung antar faktor dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan A
B
C
D
E
F
G
A B C D E F G Sumber : Godet (1999) dalam Marhayudi (2006) Mekanisme pengisian Tabel 7 di atas adalah dengan memberi skor 3 jika pengaruh langsung antar faktor sangat kuat; skor 2 jika pengaruh langsung antar faktor sedang; skor 1 jika pengaruh langsung antar faktor kecil, dan skor 0 jika tidak ada pengaruh langsung antar faktor. Setelah diperoleh faktor-faktor kunci dari Tabel 7, selanjutnya dilakukan analisis matrik pengaruh dan ketergantungan untuk melihat posisi setiap faktor dalam sistem menggunakan software analisis prospektif, dengan tampilan seperti pada Gambar 5.
56
Gambar 5.
Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem (Bourgeois dan Jesus, 2004)
Masing-masing kuadran dalam diagram mempunyai karakteristik faktor yang berbeda (Bourgeois and Jesus, 2004), sebagai berikut: (1) Kuadran pertama faktor penentu atau penggerak (driving variables): memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat namun ketergantungannya kurang kuat. Faktor-faktor pada kuadran ini merupakan faktor penentu atau penggerak yang termasuk ke dalam kategori faktor paling kuat dalam sistem yang dikaji. (2) Kuadran dua faktor penghubung (leverage variables): menunjukkan faktor yang mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungan yang kuat antar faktor, faktor-faktor dalam kuadran ini sebagian dianggap sebagai faktor atau peubah yang kuat. (3) Kuadran tiga faktor terikat (output variables): mewakili faktor output, dimana pengaruhnya kecil tetapi ketergantungannya tinggi. (4) Kuadran empat faktor bebas (marginal variables): merupakan faktor marginal yang pengaruhnya kecil dan tingkat ketergantungannya juga rendah, sehingga faktor ini bersifat bebas dalam sistem. Lebih lanjut Bourgeois (2007) menyatakan bahwa terdapat dua tipe sebaran variabel dalam grafik pengaruh dan kergantungan, yaitu: (1) tipe sebaran yang cenderung mengumpul pada diagonal kuadran empat ke kuadran dua. Tipe ini menunjukkan bahwa sistem yang dibangun tidak stabil karena sebagian besar variabel yang dihasilkan termasuk variabel marginal atau levarage variable. Hal
57
ini menyulitkan dalam membangun skenario strategis untuk masa mendatang, dan (2) tipe sebaran yang mengumpul di kuadran satu ke kuadran tiga, sebagai indikasi bahwa sistem yang dibangun stabil karena memperlihatkan hubungan kuat, dimana variabel penggerak mengatur variabel output dengan kuat. Selain tipe dengan tipe ini maka skenario strategis bisa dibangun lebih mudah dan efisien. Tahapan berikutnya dari analisis prospektif adalah analisis morfologis dengan tujuan untuk memperoleh domain kemungkinan masa depan agar skenario strategis yang diperoleh konsisten, relevan dan kredibel. Tahapan ini dilakukan dengan mendefinisikan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa mendatang dari semua faktor kunci yang terpilih. Faktor-faktor kunci dengan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa depan kemudian dicantumkan dalam sebuah tabel (Tabel 8). Tabel 8. Faktor-faktor kunci dan beberapa keadaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang Faktor 1 2 3 ..... n
1A 2A 3A ...... nA
Keadaan yang mungkin terjadi 1B 2B 3B ..... nB
1C 2C 3C ..... nC
Analisis morfologis dilanjutkan dengan analisis konsistensi untuk mengurangi dimensi kombinasi faktor-faktor kunci dalam merumuskan skenario di masa yang datang melalui identifikasi saling tidak kesesuaian diantara keadaankeadaan faktor kunci (incompatibility identification). Pelaksanaan tahapan ini dengan mencantumkan keadaan-keadaan yang tidak dapat atau sangat tidak mungkin terjadi secara bersamaan sehingga menghasilkan pasangan yang tidak sesuai. Tahapan akhir dari analisis prospektif adalah membangun skenario strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur. Skenario ini merupakan kombinasi dari beberapa keadaan faktor-faktor kunci yang mungkin terjadi di masa mendatang dikurangi dengan kombinasi keadaan yang tidak mungkin terjadi secara bersamaan. Secara umum skenario yang dipilih terdiri dari
58
3 (tiga) skenario yaitu mengelompokkan skenario yang mirip ke dalam satu kelompok skenario. Berdasarkan peluang terjadinya keadaan di masa datang, maka skenario dikelompokkan ke dalam cluster skenario pesimis (I), cluster skenario moderat (II), dan skenario optimis (III), seperti tercantum pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil analisis skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri Skenario
Uraian
Urutan Faktor
1
Melakukan perbaikan minimal pada atribut yang kurang berkelanjutan
...................................
Melakukan perbaikan pada seluruh atribut dan dilakukan secara optimal
...................................
2
3
Melakukan perbaikan maksimal pada seluruh atribut secara menyeluruh dan terintegrasi
...................................
3.6.4. Strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau
Strategi pengelolaan yang dihasilkan berupa instrumen sarana penunjang keputusan yang dapat digunakan oleh berbagai pihak, terutama para perencana dan pengambil kebijakan untuk menentukan prioritas kebijakan yang tepat dalam mewujudkan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur. Untuk membangun strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau dilakukan dengan melakukan penggabungan hasil analisis MDS, Laverage dan Prospektif. Hubungan antara tujuan, peubah yang digunakan, metode analisis data dan output penelitian, secara ringkas disajikan pada Tabel 10.
59
Tabel 10. Tujuan, peubah, metode analisis data dan output yang diharapkan Tujuan
Peubah
Analisis Data
Output yang diharapkan
Persentase karang hidup (Gomez dan Yap 1988), PCA ((Legendre dan Legendre, 1983).
Kondisi terumbu karang dan faktorfaktor yang mempengaruhi terumbu karang
(1) Analisis kondisi terumbu karang dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
Tutupan karang hidup,
(2) Analisis indeks dan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang
Data atau skor setiap atribut/faktor dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, dimensi teknologiinfrastruktur, dan data hukum-kelembagaan
Analisis ordinasi Rapfish yang dimodifikasi dengan metode Multidimentional Scaling (MDS) (Fauzi dan Anna, 2005)
Nilai indeks dan status keberlanjutan multidimensi (existing condition)
Kebijakan Pemda, dan atribut sensitif multidimensi dari MDS dan kebutuhan stakeholders
Deskriptif, dan analisis prospektif (Bourgeois and Jesus, 2004)
Faktor-faktor kunci (driving dan leverage factors)
Dibangun berdadasarkan gabungan hasil analisis MDS, Laverage dan Prospektif
Strategi dan program implementasi pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan
(3) Mengidentifikasi pengelolaan saat ini dan menyusun alternatif skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan
kualitas air dan sedimentasi.
Faktor-faktor kunci hasil (4) Penyusunan strategi pengelolaan ekosistem analisis prospektif terumbu secara berkelanjutan
Atribut sensitif multidimensi
IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis dan Administrasi 4.1.1. Kondisi Geografis Pulau Bintan merupakan salah satu bagian gugusan pulau yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah administrasi gugus Pulau Bintan terdiri dari Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang. Kota Tanjung Pinang yang terletak di Pulau Bintan dan sangat berdekatan dengan Negara Singapura yang merupakan transit dan lintas perdagangan dunia dan juga Malaysia dengan pelabuhan Tanjung Pelepas. Selain itu Pulau Bintan dan sekitarnya mempunyai potensi sumberdaya alam yang kaya, diantaranya pertambangan (bauksit), perikanan dan pariwisata. Pulau Bintan mempunyai luas 13.903,75 km2 atau sekitar 11,4% dari total luas seluruh pulau di Provinsi Kepulauan Riau. Secara geografis gugus Pulau Bintan terletak pada 104° 00’ BT- 104° 53’ BT dan 0° 40’ LU - 1° 15’ LU. Pulau Bintan merupakan pulau yang langsung berbatasan dengan negara Singapura dan Malaysia. Adapun batas tersebut adalah: sebelah utara berbatasan dengan Selat Singapura/Selat Malaka, sebelah selatan dengan Provinsi Jambi, sebelah barat dengan Provinsi Riau, dan sebelah timur dengan Selat Karimata, laut Cina Selatan. Jika dilihat dari letak geografisnya, Pulau Bintan memiliki nilai strategis dan berada dekat dengan jalur pelayaran dunia yang merupakan salah satu simpul dari pusat distribusi barang dunia. Kedekatan ini merupakan salah satu keunggulan komparatif yang dimiliki Kabupaten Bintan dalam menghadapi pasar bebas. Pulau Bintan dapat dijangkau dengan pesawat udara dari kota-kota besar Indonesia maupun seluruh dunia, melalui bandara udara Hang Nadim Batam dan dilanjutkan dengan kapal ferry menuju ke Pulau Bintan. Dari Singapura dan Johor, Pulau Bintan dapat ditempuh dengan waktu 2 jam menggunakan kapal ferry ke Pelabuhan Bintan Telani Lagoi ataupun Pelabuhan Sri Bintan Pura di Tanjung Pinang. 4.1.2. Wilayah Administrasi Secara administrasi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Bintan Timur berada di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan
61
Bintan Pesisir. Luas KKLD tersebut adalah 116.000 ha. Adapun luas dua kecamatan tersebut disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Luas wilayah administratif kecamatan di KKLD Bintan Timur No
Kecamatan
Desa/Kelurahan
1 Bintan Pesisir 2 Gunung Kijang Jumlah
4 4 8
Luas (km2) Laut Darat Total 234,00 1.940,00 2.174,00 376,99 4.426,61 4.803,60 610,99 6.366,61 6.977,60
Sumber: BPS Kabupaten Bintan Tahun 2009
Dari Tabel 11 di atas terlihat bahwa luas wilayah perairan laut kedua kecamatan tersebut adalah 6.366,61 km2 (636.661 ha) atau 91% dari total luas wilayah. Dengan demikian perbandingan antara luas KKLD dengan perairan laut adalah 1 : 5 atau 20 % dari luas perairan laut di kedua kecamatan tersebut adalah menjadi wilayah konservasi. Hal ini tentu sangat membantu dalam pelestarian sumberdaya hayati laut termasuk terumbu karang yang terkandung di dalamnya. 4.2. Topografi dan Iklim 4.2.1. Topografi Gugus Pulau Bintan pada umumnya merupakan daerah dengan dataran landai di bagian pantai. Pulau Bintan memiliki topografi yang bervariatif dan bergelombang dengan kemiringan lereng berkisar dari 0-3 % hingga diatas 40 % pada wilayah pegunungan. Sedangkan ketinggian wilayah pada Pulau Bintan dan pulau-pulau lainnya berkisar antara 0 – 50 meter diatas permukaan laut hingga mencapai ketinggian 400 meter diatas permukaan laut. Secara keseluruhan kemiringan lereng di Pulau Bintan relatif datar, umumnya didominasi oleh kemiringan lereng yang berkisar antara 0% - 15% dengan luas mencapai 55,98 % (untuk wilayah dengan kemiringan 0 – 3% mencapai 37,83% dan wilayah dengan kemiringan 3 – 15% mencapai 18,15%). Sedangkan luas wilayah dengan kemiringan 15 – 40% mencapai 36,09% dan wilayah dengan kemiringan > 40% mencapai 7,92%.
62
4.2.2. Iklim Cuaca di wilayah Kabupaten Bintan dipengaruhi oleh angin musim yang berubah arah sesuai dengan posisi matahari terhadap bumi dengan dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada umumnya daerah Kabupaten Bintan beriklim tropis basah dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September sampai dengan bulan Februari. Sedangkan musim kemarau terjadi antar bulan Maret sampai dengan bulan Agustus. Temperatur rata-rata bulanan berkisar antara 24,8°C sampai dengan 26,6°C dengan temperatur udara maksimum antara 29,0°C - 31,3°C, sedangkan temperatur udara minimum berkisar antara 22,2°C - 23,3°C. Gugusan Kabupaten Bintan mempunyai curah hujan cukup dengan iklim basah, berkisar antara 2000 – 2500 mm/tahun. Rata-rata curah hujan per tahun ± 2.214 milimeter, dengan hari hujan sebanyak 110 hari. Curah hujan tertinggi pada umumnya terjadi pada bulan Desember (347 mm), sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus (101 mm). Temperatur rata-rata terendah 22,5°C dengan kelembaban udara 83%-89%. Kabupaten Bintan mempunyai 4 macam perubahan arah angin yaitu : •
Bulan Desember-Februari
: angin utara
•
Bulan Maret-Mei
: angin timur
•
Bulan Juni-Agustus
: angin selatan
•
Bulan September-November
: angin barat
Kecepatan angin terbesar adalah 9 knot pada bulan Desember-Januari, sedangkan kecepatan angin terendah pada bulan Maret - Mei. Kondisi angin pada umumnya dalam satu tahun terjadi empat kali perubahan angin; bulan Desember Februari bertiup angin utara, bulan Maret – Mei bertiup angin timur, bulan Juni – Agustus bertiup angin selatan dan bulan September – Nopember bertiup angin barat.
Angin dari arah utara dan selatan yang sangat berpengaruh terhadap
gelombang laut menjadi besar. Sedangkan angin timur dan barat terhadap gelombang laut yang timbul relatif kecil.
63
Kondisi tiupan angin di atas perairan Pulau Bintan yang menyebabkan gelombang dan arus adalah angin utara dan barat laut dimana angin tersebut umumnya bertiup pada bulan Juni hingga Agustus. Gelombang di perairan Bintan Timur sebelah utara pada musim angin utara bisa mencapai ketinggian 2 meter. (Bappeda Kabupaten Bintan, 2007) 4.3. Hidrooseanografi 4.3.1. Sungai dan Laut Sungai-sungai di Pulau Bintan pada umumnya kecil dan dangkal, hampir semua tidak digunakan untuk lalu lintas pelayaran. Pada umumnya hanya digunakan untuk saluran pembuangan air dari daerah rawa-rawa. Sungai yang agak besar terdapat di Pulau Bintan terdiri dari beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS), dua diantaranya DAS besar yaitu DAS Jago seluas 135,8 km² dan DAS Kawal seluas 93,0 km² dan hanya digunakan sebagai sumber air minum, (BP DAS Kepulauan Riau, 2010). 4.3.2. Arus Laut Arus di perairan Kabupaten Bintan termasuk arus yang cukup kompleks sebagai hasil interaksi berbagai arus yang terdiri dari arus tetap musiman, serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi arus seperti topografi perairan, situasi garis pantai dan sebagainya. Arus utama perairan Bintan dipengaruhi dan mengikuti pola arus Laut Natuna secara umum, yang sangat tergantung dari angin musim. Pergerakan pasang surut suatu daerah memegang peranan sangat penting dalam mempertahankan sumberdaya alam seperti terumbu karang, magrove, lamun, daerah estuaria dan sebagainya. Selain arus dan kecepatan arus serta pasang surut juga mempengaruhi pergerakan berbagai polutan kimia, pencemaran, minyak dan lain-lain. Posisi geografis Kabupaten Bintan yang terletak pada pertemuan perambatan pasang surut Samudera Hindia melalui Selat Malaka dan dari Samudera Pasifik melalui Laut Cina Selatan menyebabkan perairan Kepulauan Riau memiliki arus pasang surut dengan pola bolak-balik. Secara umum tidak terlihat adanya perbedaan mencolok kecepatan arus antara stasiun pengamatan. Hasil pengkuran kecepatan arus permukaan pada saat penelitian berkisar 0,12 – 0,22 m/detik. Nilai rata-rata kecepatan arus terendah ditemukan di perairan Pulau Manjin, Muara Kawal, Pulau Beralas Bakau dan
64
sekitar perairan Pulau Nikoi yaitu 0,12 m/detik, sedangkan kecepatan arus tertinggi ditemukan di sekitar perairan Pulau Gin, yaitu, 0,22 m/detik. Pola arus laut utama di sekitar Pulau Bintan sangat dipengaruhi oleh angin musim. Pada dasarnya sepanjang tahun arus utama lewat perairan Bintan menuju Selat Malaka yang selanjutnya ke luar ke Luat Andaman. Namun pada musim utara arus datang dari arah Laut Cina Selatan, sedangkan pada musim Selatan arus utama datang dari arah Selat Karimata antara Sumatera dan Kalimantan. Kecepatan arus permukaan di perairan Pulau Bintan pada bulan-bulan tertentu lebih kuat terutama pada musim barat (Nopember- Februari). Kecepatan arus permukaan berkisar antara 0,15 -1,5 knot atau sekitar 0,15 – 0,75 m/detik. 4.4. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya 4.4.1. Kependudukan Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bintan, pada tahun 2009 jumlah penduduk Kabupaten Bintan tercatat sebanyak 127.404 jiwa, dengan rincian 66.466 jiwa laki-laki dan 60.938 jiwa perempuan. Kepadatan penduduk Kabupaten Bintan adalah 64 jiwa/km² dengan pertumbuhan sebesar 2,63% per tahun. Sementara itu jumlah penduduk di Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir adalah 18.339 jiwa yang terdiri dari laki-laki 9.797 jiwa dan perempuan 8.533 jiwa. Jumlah rumah tangga sebanyak 4.417 kepala keluarga (KK) dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4 jiwa. 4.4.2. Mata Pencaharian Penduduk Ditinjau dari mata pencaharian penduduk Kabupatan Bintan hingga saat ini masih didominasi oleh sektor pertanian secara umum (pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan). Jumlah penduduk yang bergerak di sektor pertanian ini mencapai 29,10%, kemudian disusul oleh sektor industri 17,51%, sektor jasa 16,90%, perdagangan 12,93%, konstruksi 8,28%, angkutan dan komunikasi 8,18% dan sisanya bergerak di sektor pertambangan dan keuangan (BPS Kabupaten Bintan, 2009). Sektor perikanan merupakan mata pencaharian dominan bagi penduduk yang bermukim di daerah pesisir Kabupaten Bintan. Khusus di Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir yang menjadi lokasi penelitian
65
mata pencaharian sebagai nelayan merupakan pekerjaan utama bagi sebagian besar penduduk. Di Kecamatan Bintan Pesisir lebih dari 20% (Desa Kelong, Mapur dan Air Glubi) penduduknya berprofesi sebagai nelayan tangkap, sedangkan di Kecamatan Gunung Kijang terutama di Desa Malang Rapat 40,96% dan Desa Gunung Kijang sekitar 20,03%. Pendapatan nelayan di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir sangat dipengaruhi oleh musim angin, yaitu musim angin utara (gelombang kuat: bulan Desember, Januari dan Februari), musim angin timur (gelombang lemah: bulan Maret, April dan Mei) dan musim angin selatan dan barat (musim pancaroba: bulan Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan Nopember). Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui pendapatan rata-rata responden sebulan sekitar Rp. 1.143.953,- atau sebesar Rp. 285.988,/kapita/bulan. Adapun statistik pendapatan responden berdasarkan musim disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Statistik pendapatan rumah tangga responden dari kegiatan kenelayanan menurut musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan Kepulauan Riau Kelompok Pendapatan Rata-rata Median Minimum Maksimum N
Ombak Kuat 762.885 500.000 160.000 6.000.000 90
Musim Pancaroba 1.031.629 750.000 180.000 5.200.000 90
Ombak Tenang 1.928.833 1.500.000 400.000 5.500.000 90
Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa rata-rata pendapatan nelayan tertinggi terjadi pada musim ombak tenang dan terendah pada musim ombak kuat. Pada musim ombak tenang nelayan dapat melaut setiap hari dengan menggunakan semua jenis alat tangkap yang dimiliki. Sebaliknya pada musim ombak kuat umumnya nelayan tidak dapat melaut. Kegiatan melaut hanya dilakukan oleh nelayan yang memiliki perahu motor dengan kapasitas mesin yang cukup besar. Pendapatan rumah tangga nelayan pada umumnya masih tergolong rendah. Gambar 6 memperlihatkan distribusi rumah tangga menurut kelompok pendapatan dan musim.
66
90
% Rumah Tangga
80
85,9 73 60
70 60
47,8
50 40 30
23,9
21,1
20
10,3
7,9 2,5
10 0
17,8
13,5
≤1.000.000
Ombak Kuat
> 1.000.0002.000.000
Pancaroba
> 2.000.0003.000.000
Ombak tenang
9,4
5,6
13,3 6,7
1,3 > 3.000.000
Rata-rata
Gambar 6. Distribusi persentase rumah tangga responden menurut kelompok pendapatan dan musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan Dari Gambar 6 terlihat bahwa terjadi perbedaan pendapatan yang sangat menonjol antara tiga musim angin. Pada musim angin kuat, sebagian besar (85,9%) rumah tangga nelayan berada pada kategori pendapatan terbawah (< Rp. 1.000.000,). Kondisi ini mengindikasikan bahwa musim angin kencang dan laut berombak besar merupakan masa sulit bagi nelayan. Sebaliknya pada musim ombak tenang terjadi peningkatan pendapatan sebagian besar rumah tangga nelayan (47,8%), yaitu dengan pendapatan > Rp.1.000.000 – Rp. 2.000.000,-. Selanjutnya juga terlihat bahwa ada sekitar 60% rumah tangga nelayan responden mempunyai pendapatan rata-rata < Rp 1.000.000,-. Adapun angka garis kemiskinan di Kabupaten Bintan pada tahun 2010 adalah sebesar Rp. 274.271,/kapita/bulan. Menurut BPS Kabupaten Bintan (2009) jumlah anggota rumah tangga rata-rata empat orang, maka pendapatan rumah tangga kategori miskin adalah sebesar Rp. 1.099.084,-. Dengan demikian sebagian besar nelayan di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir tergolong nelayan miskin. 4.4.3. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Bintan secara umum tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari persentase jumlah penduduk yang tidak pernah
67
sekolah dan atau yang tidak atau hanya tamat SD sederajat. Adapun persentase jumlah penduduk Kabupaten Bintan menurut pendidikan tertinggi ditamatkan disajikan pada Tabel 13. Tabel. 13. Persentase jumlah penduduk Kabupaten Bintan menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun 2008
No 1 2 3 4 5 6 7
Tingkat Pendidikan Tidak/belum pernah sekolah Tidak/belum tamat SD/MI SD/MI/ sederajat SLTP/MTs/sederajat SMU/MA/sederajat Akademi/Diploma Universitas Jumlah
Jenis Kelamin Rata-rata Laki-laki Perempuan ............................%..................................... 5,89 9,02 7,46 27,49 25,06 26,27 22,15 22,36 22,26 17,54 19,71 18,62 21,03 18,60 19,82 2,14 2,89 2,52 3,76 2,36 3,05 100,00 100,00 100,00
Sumber : BPS Kabupaten Bintan, 2009
Dari Tabel 13 terlihat bahwa jumlah penduduk Kabupaten Bintan yang tidak pernah sekolah hingga tamat SD/MI/sederajat mencapai 55,99%. Jumlah penduduk yang berpendidikan SLTP dan SLTA sekitar 38,44% dan hanya 5,57% yang berpendidikan tinggi. Dari hasil wawancara terhadap terhadap 90 orang responden di wilayah studi terungkap bahwa 44,4% responden tidak tamat SD, 40% tamat SD, 11,1% tamat SLTP dan 4,4% tamat SLTA. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk di Kabupaten Bintan ini, khususnya penduduk Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir akan berpengaruh terhadap pengetahuan dan kedasaran mereka dalam menjaga lingkungan termasuk menjaga keutuhan ekosistem terumbu karang. Hal ini akan menjadi kendala dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur. Faktor sosial ekonomi merupakan penyebab utama rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Selain itu, faktor geografis dan transportasi juga menjadi penghambat aksesibilitas untuk menjangkau sarana pendidikan yang memadai, terutama bagi penduduk yang berdomisili di luar pulau Bintan.
68
Walaupun
tingkat
pendidikan
masyarakat
relatif
rendah,
namun
pengetahuan lingkungan mereka cukup baik terutama tentang keberadaan terumbu karang. Dari 90 orang responden yang diwawancarai 89 orang (98,6%) setuju adanya daerah perlindungan laut untuk melindungi terumbu karang dan biota laut yang hidup di dalamnya. Disamping itu 77 orang responden (85%) mengatakan bahwa keberadaan terumbu karang sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan mereka. Dari hasil wawancara juga terungkap bahwa sikap masyarakat bila mengetahui ada orang yang mengambil atau merusak terumbu karang mereka akan melarang (58 orang responden atau 64,4%), 19 orang responden (21,1%) akan melapor ke Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) dan 8 orang (8,9%) akan melapor ke Kepala Desa. Pengetahuan masyarakat tentang arti penting ekosistem terumbu karang ini tidak terlepas dari adanya Program Coremap II di wilayah studi. Program Coremap II ini telah dimulai sejak tahun 2004 dan berakhir pada tahun 2010. LIPI (2009) melaporkan bahwa pengetahuan dan partisipasi masyarakat di daerah studi tentang kegiatan Coremap menunjukkan adanya peningkatan terutama pengetahuan terkait dengan penyelamatan sumberdaya laut. Pada tahun 2007 hanya ada sebanyak 49% responden yang mengetahui bahwa program Coremap untuk menyelamatkan sumberdaya laut, sedangkan pada tahun 2009
sudah
diketahui oleh sebanyak 81,8%. Peningkatan persentase responden yang mengetahui implementasi Coremap dalam upaya penyelamatan terumbu karang juga diikuti pengetahuan tentang berbagai manfaat dari kegiatan Coremap antara lain peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya pelestarian terumbu karang, dan pentingnya kegiatan perlindungan, pengawasan pesisir dan laut. 4.4.4. Sosial Budaya Struktur sosial budaya masyarakat Kabupaten Bintan merupakan hasil perjalanan sejarah sejak Kerajaan Melayu hingga masa setelah kemerdekaan. Saat ini penduduk yang mendiami Kabupaten Bintan terdiri dari berbagai latar belakang suku, kebudayaan, dan strata sosial yang berbeda.
69
Wilayah Kabupaten Bintan sebagian besar adalah wilayah laut, oleh karena itu sebagian besar penduduk di wilayah Kabupaten Bintan
bermata
pencaharian sebagai nelayan. Masyarakat di Kabupaten Bintan didominasi oleh suku Melayu yang masih kental dalam menjalankan adat istiadatnya sehari-hari dengan memegang teguh ajaran agama Islam. Selain itu, etnis keturunan Cina, Jawa, Batak, Minang, Bugis, Banjar dan suku lainnya juga banyak mendiami Kabupaten Bintan. Kabupaten Bintan juga memiliki nilai sejarah, seni dan budaya, seperti di Desa Kawal terdapat Situs Pra Sejarah yang dikenal dengan sebutan “Bukit Kerang”. Situs ini merupakan gundukan tinggi pecahan cangkang karang. Hal ini diyakini merupakan sisa-sisa kehidupan purba dan sekarang masih dalam tahap penelitian. 4.4.5. Potensi Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tidak jarang terjadi konflik antar stakeholders. Sumberdaya wilayah pesisir dan laut merupakan sumberdaya yang bersifat open access dan common property, sehingga setiap orang atau stakeholders berhak memanfaatkannya dengan tujuan memperoleh nilai atau keuntungan ekonomi (Tarigan, 2008). Berdasarkan hasil kajian LIPI (2009) bahwa terdapat potensi konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Kecamatan Gunung Kijang Bintan terutama di Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang. Potensi konflik tersebut antara lain bersumber dari pembuangan limbah tailing penggalian pasir darat yang marak dilakukan sebelum tahun 2006. Saat ini kegiatan penambangan pasir tersebut sudah berhenti, namun dampaknya masih terasa ditandai dengan terjadinya kekeruhan dan warna air laut yang belum kembali jernih seperti semula. Kondisi ini meyebabkan nelayan mengalami kesulitan untuk mendapatkan ikan dan ketam di wilayah sekitar pantai, sehingga berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Potensi konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang lain adalah pengembangan pariwisata pantai dan bahari. Berdasarkan hasil kajian LIPI dan PPSPL UMRAH (2010) terungkap bahwa kehadiran perusahaan pariwisata di
70
sepanjang Pantai Trikora dan kawasan wisata di Kecamatan Teluk Sebong oleh masyarakat terutama nelayan kerap dianggap penyebab menurunnya hasil tangkap ikan. Masyarakat berpendapat bahwa kegiatan wisata seperti lalu lalangnya kapal speed, permainan banana boat, jetsky dan sebagainya menyebabkan perairan menjadi keruh sehingga ikan-ikan menjadi terganggu, lalu pergi meninggalkan daerah penangkapan. Masyarakat Desa Sebong Lagoi mengeluhkan kegiatan penimbunan dan pembangunan insfrastruktur yang dilakukan perusahaan wisata di Kawasan Resor Wisata, Lagoi Bay, menimbulkan kekeruhan perairan pantai sehingga nelayan yang biasa beroperasi di tepi pantai tidak dapat melakukan aktivitas penangkapan ikan seperti biasanya. Namun demikian potensi konflik ini yang terdapat saat ini tergolong sedang, tetapi perlu dicarikan solusi yang terbaik 4.5. Sarana dan Prasarana Pariwisata Pulau Bintan sebagai salah tujuan wisata nasional telah banyak dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik setiap tahunnya. Pada tahun 2008 tercatat jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Pulau Bintan sebanyak 316.15 orang. Untuk mendukung kepariwisataan tersebut sejumlah sarana dan prasarana telah dibangun di beberapa lokasi yang menjadi pusat wisata seperti di kawasan wisata Lagoi dan Pantai Trikora. Di kawasan wisata Lagoi terdapat 9 hotel berbintang dengan jumlah kamar sebanyak 1.300 buah. Sedangkan di kawasan wisata Pantai Trikora terdapat 6 buah hotel berbintang 3 dengan jumlah kamar sebanyak 207 buah. Selain hotel, juga terdapat sejumlah restoran dan rumah makan yang tersebar di setiap lokasi wisata. Pada tahun 2008 terdapat 134 restoran dan rumah makan dengan jumlah tempat duduk 4.964 buah (BPS Kabupaten Bintan, 2009). 4.6. Potensi Kelautan dan Perikanan 4.6.1.Potensi Perikanan Tangkap dan Budidaya - Perikanan tangkap Gugus Pulau Bintan memiliki potensi perikanan yang sangat besar untuk kegiatan perikanan tangkap dan budidaya. Kondisi ini ditunjang dengan posisi
71
geografis yang berada di pertemuan antara Laut Cina Selatan dan Laut Pedalaman Indonesia (Laut Jawa dan Selat Malaka). Selat Malaka merupakan salah satu lautan yang memiliki nilai produktivitas primer yang tinggi. Wilayah perairan gugus pulau Bintan sebagian besar terletak pada Wilayah Pengelolaan Perikanan 4 (WPP 4), yaitu wilayah Laut Cina Selatan yang memiliki potensi sumberdaya ikan paling besar diantara 11 WPP yang ada. Estimasi potensi perikanan tangkap di perairan Kabupaten Bintan mencapai 106,018 ton dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan 84.814 ton (DKP Kabupaten Bintan, 2009). Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kabupaten Bintan Tahun 2008 tercatat sebanyak 8.949 RTP dan pada tahun 2007 berjumlah 8.288 RTP. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebanyak 661 RTP (7,98%). Rumah tangga perikanan tangkap merupakan yang paling dominan, yaitu 8.460 RTP (945%), budidaya laut 297 RTP, budidaya payau 45 RTP dan budidaya perairan tawar 147 RTP. Adapun alat tangkap yang digunakan oleh nelayan antara lain; gillnet, pancing ulur, bubu, pancing tonda, pukat bilis dan lain-lain (DKP Kabupaten Bintan, 2009). Alat tangkap jaring yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Bintan pada umumnya mempunyai ukuran mata jaring (mesh size) yang tidak rapat sesuai dengan sasaran ikan yang akan ditangkap. Umumnya ukuran mata jaring yang digunakan berkisar 5 - 12,5 cm, kecuali jaring yang digunakan untuk menangkap ikan bilis mempunyai ukuran mata jaring yang sangat rapat. Kegiatan perikanan yang menggunakan alat tangkap jaring mempunyai tujuan untuk menangkap ikan pelagis seperti ikan tenggiri (Scomberomorus commersonii), ikan kembung (Rastrelliger spp) dan lain sebagainya. Jaring apollo (trammel net) banyak digunakan untuk menangkap lobster. Bubu juga merupakan alat tangkap yang sangat dominan digunakan oleh nelayan di Kabupaten Bintan. Termasuk di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir. Alat tangkap bubu ini terbuat dari kawat dengan ukuran mata kawat sekitar 2,5 cm yang banyak dipasang di sekitar terumbu karang. Satu orang nelayan dapat memiliki 50 unit bubu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Bintan “cukup selektif”.
72
Armada perikanan tangkap di Kabupaten Bintan terdiri dari Kapal Motor (KM), Motor Tempel (MT) dan Perahu Tanpa Motor (PTM). Kapal Motor (KM) diidentifikasi berdasarkan tonase-nya, yaitu 1-5 GT, 6-10 GT, dan >10 GT. Jumlah armada perikanan tangkap tahun 2008 yakni berjumlah 4.051 unit, jika dibandingkan tahun 2007 mengalami peningkatan sebanyak 95 unit (2,40 %), dimana tahun 2007 tercatat 3.956 unit. Adapun rincian jumlah masing-masing armada adalah motor tempel (MT) sebanyak 631 unit dan perahu tanpa motor (PTM) berjumlah 1.164 unit, sedangkan jumlah kapal motor 1-5 GT (1.849 unit), 6-10 GT (354 unit), dan >10 GT (53 unit). Nelayan yang menggunakan kapal motor dan motor tempel (16 -28 PK) dapat mencapai daerah penangkapan yang relatif jauh dari pantai, mulai 7 mil sampai 18 mil dari pantai. Sebaliknya nelayan yang menggunakan perahu tanpa motor daerah penangkapan mereka hanya terbatas di sekitar pantai. Kondisi ini menyebabkan hasil tangkapan yang mereka peroleh lebih sedikit dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan kapal motor dan perahu motor. Produksi perikanan yang berasal dari usaha penangkapan di Kabupaten Bintan pada tahun 2008 tercatat sebesar 18.809,10 ton dengan nilai produksi Rp. 131.663.700.000,- dan pada tahun 2007 tercatat sebesar 18.409,38 ton dengan nilai produksi Rp. 128.865.560.000, atau mengalami peningkatan sebesar 2,17%. Pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan terbagai atas tiga kelompok, yaitu lokal, antar pulau dan ekspor. Adapun rincian volume dan nilai pemasaran disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Volume dan nilai pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan tahun 2008 No 1 2 3
Pemarasan Lokal Antar Pulau Ekspor Jumlah
Volume (ton) 17.734,25 176,64 1.365,75 19.276,64
Nilai (Rp.) 88.670.000.000 1.059.800.000 6.696.236.140 96.426.036.140
Persentase (%) 92,00 1,00 7,00 100,00
Sumber : DKP Kabupaten Bintan, 2009
Dari Tabel 14 terlihat bahwa pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan sebagian besar (92%) untuk pasar lokal, kemudian diikuti ekspor dan antar
73
pulau. Hal ini disebabkan tingginya permintaan lokal terhadap produksi perikanan, dimana konsumsi ikan dari masyarakat Kabupaten Bintan pada tahun 2008 adalah 115,65 kg/kapita/tahun. Disamping itu juga disebabkan pertumbuhan penduduk Kabupaten Bintan yang cukup tinggi, yaitu 2,63% (DKP Kabupaten Bintan, 2009). - Perikanan Budidaya
Untuk potensi sumberdaya budidaya laut, Gugus Pulau Bintan mempunyai areal potensial seluas 6.318 ha, yang dapat dikembangkan untuk budidaya ikan, rumput laut dan kerang-kerangan. Pengembangan kegiatan perikanan masih mempunyai peluang yang sangat luas, mengingat tingkat pemanfaatan laut tersebar di Kecamatan Bintan Timur, Teluk Bintan dan Bintan Utara masih rendah. Disamping kegiatan budidaya laut, Kabupaten Bintan juga potensial untuk pengembangan budidaya air payau (tambak) dan budidaya air tawar. Saat ini kegiatan budidaya laut sudah mulai berkembang di Kabupaten
Bintan, terutama di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir. Tercatat 1.306 kantong keramba jaring apung (KJA) dan 571 kantong keramba jaring tancap (KJT).
Kegiatan budidaya laut tersebut tersebar di semua kecamatan yang
mempunyai perairan laut. dengan melibatkan 297 RTP. Jenis-jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan kerapu, kakap, bawal dan jenis lainnya. Adapun produksi dan nilai produksi budidaya laut di Kabupaten Bintan pada tahun 2008 adalah 182,36 ton dengan nilai produksi Rp. 16.589.285.000,4.6.2. Pariwisata Gugus Pulau Bintan memiliki potensi wisata yang meliputi wisata alam, wisata budaya dan minat khusus yang tersebar di berbagai kecamatan yang terdapat pada Kabupaten Bintan terutama di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Utara. Secara keseluruhan terdapat 12 lokasi potensial sebagai obyek wisata baik yang sudah dikembangkan maupun yang sedang Adapun lokasi-lokasi wisata tersebut dapat di lihat pada Tabel 15.
dikembangkan.
74
Tabel 15. No 1
Sebaran lokasi dan jenis obyek wisata yang dapat dikembangkan di Gugus Pulau Bintan Kecamatan
Bintan Utara
Lokasi/Nama Obyek Wisata • • • •
Kawasan wisata terpadu Lagoi Pantai Tanjung Berakit Desa wisata Sebong Perah Makam Hang Nadim
• • •
• 2 Gunung Kijang • Pantai kawal Pulau Beralas Bakau • dan Pulau Beralas Pasir • Gunung Kijang • • Wisata Agro-perkebunan nenas • • Pantai Trikora dan perkampungan • nelayan kawal 3 Teluk Bintan • Makam bukit batu • • Makam panjang di Pulau Pengujan • • Air terjun Gunung Bintan • • Makam Sultan Muhayatsyah • Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, 2008
Jenis Obyek Wisata Wisata alam Wisata alam Wisata alam dan budaya Wisata sejarah Wisata alam Wisata alam Wisata alam Wisata alam Wisata sejarah Wisata sejarah Wisata alam Wisata sejarah
Salah satu tempat tujuan wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara adalah daerah Lagoi yang terdapat di Kecamatan Bintan Utara. Saat ini Kawasan Wisata Terpadu Lagoi telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan sebagai salah satu kawasan (SEZ) Kabupaten Bintan dengan luas areal 23.000 ha yang terdapat pada Kecamatan Telok Sebong. Selain kawasan Lagoi, daerah lainya yang juga memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata bahari adalah Pantai Trikora yang terdapat di sepanjang pesisir Kecamatan Gunung Kijang, dan Pulau Mapur. Pantai Trikora memiliki potensi untuk pengembagan wisata mancing dan wisata pantai. Sementara itu, perairan Pulau Mapur memiliki potensi untuk pengembangan jenis pariwisata diving, mancing dan snorkling. Sepanjang tahun 2008, wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kabupaten Bintan sebanyak 316,215 orang. Negara pangsa pasar utama wisatawan mancanegara tahun 2008 adalah Singapura 34,96%. Kemudian diikuti oleh Korea Selatan dan Jepang masing-masing sebesar 12,35% dan 9,76%. Lima negara lain secara berturut-turut antara lain, Inggris (5,12%), Malaysia (4,93%), Australia (4,21%), India (3,66%), dan China (3,34%) (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, 2008).
75
Berkaitan dengan kontribusi wilayah pesisir dan laut Kabupaten Bintan oleh pengguna terhadap PAD, sektor pariwisata memberikan kontribusi yang cukup besar. Berdasarkan nilai PDRB tahun 2008 atas dasar harga yang berlaku tahun 2000 menurut lapangan usaha, kontribusi sektor pariwisata yang diperoleh dari sektor-sektor perdagangan, hotel dan restoran saja telah mencapai Rp. 540,08 milyar atau sebesar 19,76% dengan laju pertumbuhan 6,67% (BPS Kabupaten Bintan, 2009). Selanjutnya LIPI dan PPSPL UMRAH (2010) melaporkan bahwa potensi nilai ekonomi ekowisata dari wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kabupaten Bintan pada tahun 2009 lebih dari
Rp. 109,741 milyar. Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan (2008) melaporkan bahwa pada tahun 2007 serapan tenaga kerja di sektor pariwisata hanya 5,02% dari angkatan kerja yang berjumlah 49.669 jiwa. Hal ini masih tergolong rendah dibanding sektor pertanian dan industri pengolahan. 4.6.3.
Ekosistem Pesisir Ekosistem utama di wilayah pesisir Kabupaten Bintan meliputi ekosistem
terumbu karang, ekosistem hutan magrove, padang lamun, dan rumput laut yang tersebar di beberapa lokasi perairan pulau-pulau kecil pada gugus Pulau Bintan (Gambar 7).
76
PETA POTENSI EKOSISTEM UTAMA PESISIR GUGUS P. BINTAN
Ibukota Kecamatan Garis Pantai Batas Kecamatan Jalan Sungai Waduk Rumput Laut Mangrove Pdang Lamun Terumnu Karang Daratan Gugus P. Bintan
Gambar 7. Peta potensi ekosistem utama pesisir di Kabupaten Bintan
77
- Ekosistem Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang di Kabupaten Bintan terbentang di paparan dangkal hampir di semua pulau, terutama di pesisir Pulau Bintan dan di 29 pulaupulau kecil lainnya. Tipe terumbu yang terdapat di Kabupaten Bintan umumnya berbentuk karang tepi (fringing reef). Secara keselurahan luas ekosistem terumbu karang di pesisir Pulau Bintan dan pulau-pulau kecil disekitarnya adalah 17. 394, 83 ha (DKP, 2007).
Di Pulau Bintan bagian timur rataan terumbu karang
berkembang dengan baik dan mencakup wilayah sangat luas dan dapat dijumpai sepenjang 35 km, yakni dari Desa Malang Rapat hingga Desa Kijang. Lebar rataan tersebut berkisar antara 100 m hingga 1000 m. Di atas rataan itu selain endapan pasir dan hamparan karang mati, berkembang pula dengan baik adanya padang lamun (seagrass). Berdasarkan hasil penelitian LIPI (2007) luasan ekosistem terumbu karang di pesisir Bintan Timur yang menjadi lokasi penelitian adalah 4.255,499 ha dengan tutupan karang hidup 28,20 - 72,10%. Selanjutnya dilaporkan bahwa ditemukan 14 suku dan 78 jenis karang batu dengan nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon (H’) berkisar 1,866 – 3,199. Adapun jenis-jenis ikan yang berasosiasi di ekosistem terumbu karang ditemukan 24 suku dan 103 jenis ikan karang. Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting seperti ikan kakap (termasuk suku Lutjanidae) cukup tinggi yaitu 957 individu/ha, ikan kerapu (termasuk dalam suku Serranidae) 86 individu/ha dan ikan ekor kuning (termasuk dalam suku Caesionidae) yaitu 243 individu/ha. Ikan kepe-kepe (termasuk dalam suku Chaetodontidae) yang merupakan ikan indikator untuk menilai kesehatan terumbu karang memiliki kelimpahan cukup tinggi yaitu 729 individu/ha. - Ekosistem Magrove Ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan tersebar terutama di pesisir Pulau Bintan dan pulau-pulau kecil lainnya dengan luas keseluruhan 6.941 ha. Lokasi penyebaran ekosistem mangrove terbanyak terdapat di pesisir Pulau Bintan dengan luasan 4.700,10 ha, kemudian disusul Pulau Mantang seluas 261,42 ha, Pulau Kelong seluas 208,62 ha, Pulau Lobam seluas 179,30 ha, dan Pulau Siulung seluas 163,12 ha (DKP, 2007). Ekosistem mangrove di pesisir
78
timur Bintan tersebar luas di daerah Berakit, Pengudang, Sungai Kawal, dan di pantai Desa Malang Rapat. Ketebalan ekosistem mangrove berkisar 20 – 250 m. Jenis-jenis vegetasi mangrove yang umum ditemukan adalah Baringtonia asiatica, Bruguiera gymnorrhiza, Casuarina equisetifolia, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, (Bappeda Kabupaten Bintan, 2010). - Padang Lamun Ekosistem padang lamun (seagrass) pada gugus Pulau Bintan tersebar di beberapa lokasi, seperti di Tanjung Sebung, Pulau Terkulai, Tanjung Teluk, Tanjung Batu Hitam, Pulau Dompak, Tanjung Punggung dan di beberapa lokasi lainnya. Di pesisir timur Pulau Bintan padang lamun tumbuh di sepanjang Pantai Trikora sampai Desa Tanjung Berakit yang meliputi Desa Lagoi, Pengudang, Berakit, Malang Rapat dan Teluk Bakau dengan luasan 2.600 ha. Ditemukan 10 jenis lamun yaitu: Halodule uninervis, H.pinifolia, Cymodecea rodundata, C. serrulata, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, H. spinulosa, Thalassia hemprichii, Thalassodendron ciliatum dan Enhalus acoroides. Lokasi yang memiliki keanekaragaman jenis lamun yang tinggi adalah di Desa Malang Rapat, Teluk Bakau dan Desa Pegudang (Bappeda Kabupaten Bintan, 2010). - Rumput Laut Ekosistem rumput laut pada gugus Pulau Bintan terdapat di beberapa lokasi yaitu Teluk Sebong, Pulau Terkulai, Tanjung Berakit, Teluk Bakau, Pulau Beralas Pasir, Pantai Trikora, Pulau Dompak, dan Pulau Pangkil dengan luas secara keseluruhan 1.156.22 ha. Ekosistem rumput laut di pesisir timur Pulau Bintan tersebar di sepanjang Pantai Trikora, Teluk Bakau, Pulau Beralas Pasir dengan luasnya sekitar 161,18 ha (DKP, 2007). Jenis-jenis rumput laut yang banyak ditemukan di pesisir Pulau Bintan antara lain kelompok alga merah (Gelidiella, Hypnea, Gracilaria, Neogoniolithon, Lithothamnion, Dictyota, Laurencia,
dan
Fauche),
kelompok
alga
hijau
(Caulerpha,
Halimeda,
Chaetomorpha, Udoea, Chlorodermis, Volonia dan Ulva) dan kelompok alga coklat (Sargassum, Padina, dan Turbinaria) (Bapedalda Kabupaten Kepulauan Riau, 2002).
79
- Pantai Berpasir Selain ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun dan ekosistem rumput laut, wilayah pesisir Pulau Bintan juga memiliki ekosistem pantai berpasir. Ekosistem pantai berpasir banyak tersebar di pesisir timur Pulau Bintan dan pulau kecil sekitarnya. Ekosistem pantai berpasir ini yang terkenal adalah kawasan wisata Pantai Trikora, kawasan wisata Lagoi, Pulau Nikoi, Pulau Beralas Pasir dan pulau-pulau lainnya. Keberadaan ekosistem pantai berpasir ini telah dijadikan tempat wisata pantai yang banyak dikunjungi oleh wisatawan.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Terumbu Karang dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 5.1.1. Kondisi Terumbu Karang Di perairan pesisir Bintan Timur terumbu karang berkembang dengan baik dan mencakup wilayah yang sangat luas hingga sepanjang 35 km. Terumbu karang ini dapat dijumpai mulai dari Desa Malang Rapat hingga Desa Kijang. Lebar rataan terumbu karang berkisar antara 100 m hingga 1000 m. Luasan total terumbu karang yang berada di pesisir Bintan Timur termasuk Pulau Mapur dan pulau-pulau kecil disekitarnya adalah seluas 6.066,76 ha (CRITC Coremap-LIPI, 2007). Dari hasil penelitian di Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan dengan mengamati 11 lokasi ditemukan 35 genera karang batu dengan kondisi terumbu karang relatif berbeda (Gambar 8). 25 20
19
20 18
Jumlah Genera
16 15 11 10 5
11 8
8
8
7
4
0
i) l g m n ci l ji n ar uk au ap ik o wa go lon es i ra an er Ke us ak a n N e B y y ( B M as K in K n n r in s Ce u M G ju ra Pe Pe G la u au la g u u ua ra g au la Bu ul l Pu an a a e n u P r l l M u P B ra P ng Ka Pu Pu u su Ka la Bu Pu u la Pu
Gambar 8. Jumlah genera karang batu yang ditemukan di KKLD Bintan Timur Dari Gambar 8 terlihat bahwa jumlah genera yang paling banyak ditemukan adalah di stasiun Pulau Manjin sebanyak 20 genera, kemudian genera yang paling sedikit ditemukan adalah di stasiun Pulau Cengom, yaitu 4 genera. Adapun genus yang ditemukan pada semua stasiun pengamatan adalah genus Acropora dan genus Mantipora, sedangkan genus yang paling sedikit ditemukan
81
adalah genus Halomitra, Hydhnopora, Leptoseris, Litophylon, Pseudosiderastrea, Pectinia, dan Styllopora. Kondisi terumbu karang ditentukan berdasarkan pada persentase tutupan karang hidup yang terdiri dari hard coral (Acropora dan non-Acropora). Rata-rata persentase tutupan karang hidup Acropora dan non-Acropora pada masingmasing stasiun disajikan pada Gambar 9. 70
% Tutupan karang hidup
60
62,38
61,24 57,25
54,28
52,89
48,99 50 40
44,33
43,31 34,69
42,29 36,40
30 20 10 0
k ci l ji n oi) au ar al ng an om ra p su es an Ke ak si r aw Nik ng elo yu ye B B ( a M n e i K n n K r e C e in G as ju l au gM ara l au ral uP gP Bu l au uG l au Pu Pu ran Mu Be Pu ul a Pu ran ul a ng Ka P a u u P s K la Bu Pu l au Pu
Gambar 9. Kondisi tutupan karang hidup di beberapa stasiun pengamatan pada KKLD Bintan Timur tahun 2010 Dari Gambar 9 terlihat bahwa persentase tutupan karang hidup hanya termasuk kategori sedang sampai baik (34,69 - 62,38%), tidak ada satupun lokasi yang termasuk kategori sangat baik atau kategori buruk. Dari 11 lokasi yang diamati 5 lokasi tergolong baik (yaitu: Karang Masiran, Karang Penyerap, Pulau Beralas Bakau, Pulau Nikoi dan Pulau Gyn Kecil) dengan persentase tutupan karang hidup berada pada kisaran 50 – 74,9% dan 6 lokasi tergolong sedang (yaitu: Pulau Manjin, Muara Kawal, Pulau Penyusuk, Pulau Cengom, Pulau Kelong dan Pulau Gyn Besar) dengan persentase tutupan karang hidup berada pada kisaran 25 – 49,9%. Cappenberg dan Salatalohi (2009) melaporkan bahwa tutupan karang hidup 6 lokasi yang dipantau di kawasan Bintan Timur dan Pulau Numbing ditemukan persentase tutupan karang hidup berkisar 44,87 – 70,90% dengan 3 lokasi kategori baik dan 3 lokasi tergolong sedang. Dengan demikian persentase tutupan karang hidup di lokasi penelitian tergolong sedang sampai
82
baik. Selanjutnya Pusat Penelitian Kawasan Pantai dan Perairan Lembaga Penelitian Universitas Riau (2001), melaporkan bahwa tutupan karang hidup di perairan pesisir Bintan Timur (perairan Desa Malang Rapat, Desa Teluk Bakau dan Desa Gunung Kijang) berkisar 16 – 60% (kotegori buruk sampai baik) dengan rata-rata tutupan karang hidup 34,55%. Sementara itu, Ariani (2006) yang melakukan pengamatan pada delapan stasiun di perairan pesisir Bintan Timur (Desa Berakit, Desa Malang Rapat, Desa Teluk Bakau dan Desa Gunung Kijang) menemukan tutupan karang hidup berkisar 15 – 54% (kategori buruk sampai baik) dengan rata-rata tutupan karang hidup sebesar 29,6%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terjadi perbaikan kondisi terumbu karang sesudah adanya program Coremap II di Kabupaten Bintan. Buruknya kondisi terumbu karang di perairan Bintan Timur ini disebabkan oleh tekanan dari aktivitas penduduk pada masa silam (penambangan pasir laut, pembuangan limbah tailing pencucian bauksit, tailing penambangan pasir darat, dan penangkapan ikan dengan bom) yang dampaknya masih berlanjut sampai saat penelitian dilakukan. Dengan adanya Program Coremap Fase II di Kabupaten Bintan, maka secara berangsur kondisi terumbu karang semakin baik. Selanjutnya persentase tutupan karang dari kategori benthic lifeform di Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan kelompok biotik (karang hidup, karang mati, alga, fauna lain) dan kelompok abiotik yang ditemukan di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 10. 70 60
% Tutupan
50 40 30 20 10
al Pe ny P er er .B ap al as us un Ba g ka Bu u ju r( N ik P oi .P ) en yu su P .C k en go m P .K el on P g .G in B es P . G ar in K ec il P
ar an g
.B
Ka w
an jin
ua ra M
.M
P
K
K
ar an g
M as ira
n
0
Hard Coral
Dead Coral
Algae
Other fauna
Abiotic
Gambar 10. Persentase tutupan karang dari kategori benthic lifeform di KKLD Bintan Timur tahun 2010
83
Dari Gambar 10 terlihat bahwa tutupan karang keras (Hard Coral atau HC) mendominasi tutupan bentik di semua lokasi penelitian berkisar 34,69 – 62,38%, dengan persentase terendah di stasiun 1 muara Sungai Kawal sebesar 34,69%, sedangkan yang tertinggi di stasiun 5 Pulau Beralas Bakau 62,38%. Kelompok karang keras terbagi kedalam dua kategori karang hidup Acropora dan nonAcropora. Persentase tutupan karang mati tertinggi ditemukan pada stasiun 10 di Pulau Kelong 52,80% dan yang terendah pada stasiun 3 di Muara Kawal sebesar 21,85%. Stasiun 1 Karang Masiran dan stasiun 3 di muara Sungai Kawal adalah lokasi yang memiliki nilai tutupan alga tertinggi (20,85%) dan (16,65%), Hal ini diduga adanya pengaruh limpasan air Sungai Kawal yang berasal dari daratan yang banyak mengandung nutrien. Sedangkan stasiun 5 Pulau Beralas Bakau, tidak ditemukan alga sebagai penutup substrat bentik. Biota lain (OT) hampir ditemukan di semua stasiun kecuali stasiun 6 Pulau Busung Bujur (Nikoi), stasiun 9 Pulau Kelong dan stasiun 11 Pulau Gin Kecil. Ekosistem terumbu karang di perairan Bintan kaya akan ikan karang. CRITC-COREMAP II- LIPI (2007) melakukan pengamatan ikan karang dengan metode RRI (Rapid Reef Resources Inventory) di perairan Kabupaten Bintan dan berhasil menemukan 103 jenis ikan karang yang tergolong kedalam 24 famili. Jenis-jenis ikan yang didata dikelompokkan kedalam 3 kelompok utama (English et al. 1997), yaitu ikan-ikan target, ikan-ikan indikator dan ikan-ikan major. Dari hasil pengamatan dilaporkan bahwa kelompok ikan major masih mendominasi perairan dan kehadirannya lebih dari 50% di semua stasiun pengamatan. Adapun perbandingan antara ikan major, ikan target dan ikan indikator adalah 10 : 2 : 1. Selanjutnya Sjafrie (2009) melakukan pemantauan perikanan berbasis masyarakat di 5 lokasi Coremap Kabupaten Bintan dan berhasil mengidentifikasi ikan-ikan karang sebanyak 63 jenis. Adapun ikan-ikan karang yang paling dominan tertangkap adalah dari famili Carangidae, Siganidae, Lutjanidae dan Scaridae. Dengan demikian keanekaragaman ikan karang di perairan laut Kabupaten Bintan khususnya di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur tergolong tinggi.
84
5.1.2. Karakteristik Lingkungan Perairan Pengetahuan mengenai karakteristik lingkungan perairan laut yang dicerminkan oleh nilai konsentrasi beberapa parameter kualitas air, baik secara fisika maupun kimia sangat diperlukan dalam merancang pengelolaan dan pengendalian pencemaran perairan tersebut. Penilaian ini pada dasarnya dilakukan dengan membandingkan nilai parameter kualitas air laut dari hasil pengukuran di lapangan dengan baku mutu perairan sesuai peruntukannya yang berlaku di Indonesia yakni mengacu pada Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Parameter yang diukur dalam penelitian ini hanya terbatas pada parameter yang terkait erat dengan terumbu karang. Karakteristik lingkungan perairan berperan penting bagi seluruh organisme perairan untuk menunjang proses kehidupannya termasuk terumbu karang. Dalam studi ini pengamatan karakteristik lingkungan perairan dilakukan dengan tujuan untuk menentukan present status kondisi perairan KKLD Bintan Timur. Terdapat 11 stasiun pengamatan yang ditentukan berdasarkan GPS (Global Positioning System). Hasil pengamatan karakteristik lingkungan perairan disajikan pada Tabel 16. Dari Tabel 16 terlihat bahwa sebagian besar parameter kualitas air yang diukur masih berada dibawah baku mutu air laut untuk kehidupan biota laut, kecuali paramater nitrat (Kepmen LH No. 51 Tahun 2004,
Lampiran III).
Konsentrasi paramater nitrat yang terukur untuk semua lokasi berkisar 0,079 – 0,351 mg/l, sedangkan baku yang ditetapkan adalah 0,008 mg/l. Disamping itu, pada beberapa lokasi seperti perairan Pulau Manjin, Pulau Kelong dan Pulau Gin Kecil, bahwa parameter BOD telah melampaui baku mutu yang ditetapkan. Nilai parameter BOD yang terukur di ketiga lokasi tersebut adalah berkisar 20,75 – 28,20 mg/l, sedangkan baku mutu yang ditetapkan adalah 20 mg/l. Selanjutnya parameter fosfat yang melampuai baku mutu hanya terdapat di perairan Pulau Manjin dan Pulau Gin Kecil, dimana konsentrasi fosfat yang terukur di kedua lokasi tersebut berkisar 0,019 – 0,027 mg/l (BM
0,015 mg/l). Tingginya
konsentrasi BOD, nitrat dan fosfat pada ketiga lokasi pengamatan di atas, diduga disebabkan adanya masukan dari berbagai kegiatan sekitar perairan tersebut seperti buangan penduduk, perhotelan dan kegiatan lainnya yang terbawa arus laut.
85
Tabel 16. Data Kualitas Perairan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau Tahun 2010
St 1 2 3 4 5 6
Lokasi
Suhu (oC)
Kecerah -an (m) 5,50 5,20 4,40 4,25 8,10
Kedalaman (m) 5,50 5,20 4,40 4,25 8,10
Kec. Arus ms-1 15 12,5 12,5 17,5 12,5
Parameter Salinit TSS as -1 mgL (o/ oo ) 6,0 30 10,0 30 6,0 31,5 6,0 31 3,0 30
Karang Masiran 29,5 Pulau Manjin 29,5 Muara Kawal 29 Karang Penyerap 29,5 Pulau Beralas Bakau 29,5 Pulau Busung Bujur 29 7,05 7,05 12,5 4,5 31,5 (Nikoi) 7 Pulau Penyusuk 30 3,60 3,60 17,5 4,0 31,5 8 Pulau Cengom 29,5 3,10 3,10 17,5 6,0 31,5 9 Pulau Kelong 29,5 6,35 6,35 17,5 5,5 32 10 Pulau Gin Besar 29,5 5,25 5,25 22,5 7,5 32 11 Pulau Gin Kecil 29,5 5,50 5,50 22,5 12,5 32 Baku Mutu 28 - 30 >5 20 33 - 34 Keterangan : BM : Baku Mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (Lampiran III)
DO mgL-1
BOD mgL-1
Nitrat mgL-1
Posfat mgL-1
6,19 6,82 6,84 6,15 6,39
15,25 25,70 16,25 13,75 9,80
0,099 0,241 0,112 0,101 0,069
0,013 0,019 0,012 0,011 0,009
6,08
12,25
0,079
0,012
6,89 6,52 6,08 6,47 6,42 >5
13,35 15,15 20,75 18,20 28,20 20
0,084 0,108 0,127 0,187 0,351 0,008
0,012 0,013 0,011 0,013 0,027 0,015
86
5.1.3. Sedimentasi - Beban sedimen melayang (suspended load) Sedimen yang masuk ke perairan laut di KKLD Bintan Timur dapat berasal dari erosi dari daratan yang masuk ke sungai dan dari erosi pantai. Hasil perhitungan beban sedimen melayang dari sungai disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Beban sedimen melayang yang masuk ke laut dari masing-masing sungai di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur tahun 2010 No 1 2 3
Nama Sungai Kawal Galang Batang Angus Jumlah
Konsentrasi TSS (mg/L) 11,0 10,0 47,0 68,0
Debit Sungai (Q) (m3/detik)*) 2,79 1,21 0,62 4, 62
Beban TSS (Qs) (ton/hari) 2,652 1,045 2,518 6,215
Sumber : Data primer diolah *) BP DAS Kepulauan Riau, 2010.
Dari Tabel 17 bahwa jumlah beban sedimen melayang (TSS) yang masuk ke perairan laut di KKLD Bintan sebesar 6,215 ton/hari atau 2.237,4 ton/tahun. Beban sedimen ini berasal hasil erosi di daratan, terutama dari lahan yang gundul. Balai Pengelolaan DAS Kepri yang melakukan pengamatan pada tahun 2010 melaporkan bahwa laju erosi di DAS Angus Desa Malang Rapat Kecamatan Gunung Kijang sebesar 1,47 ton/ha/tahun. Beban sedimen melayang ini akan menyebabkan kekeruhan di perairan yang akan mengurangi cahaya mata hari sampai ke dasar perairan. Kondisi ini akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang. Edinger et al. (1998) dan van Woesik et al. (1999) mengatakan bahwa kekeruhan dan padatan tersuspensi yang tinggi akan mengakibatkan keanekaragaman terumbu karang berkurang. - Laju sedimentasi Hasil pengukuran laju sedimentasi di ekosistem terumbu karang disajikan pada Gambar 11.
87
200 2 Laju sedimentasi (mg/cm /hari)
180 160 140 120 100 80 60 40 20
K ar an g
M as i
ra n P ul au M a nj M in ua ra K K aw ar an al g P P en ul au ye P ra B ul er p au al a B s us B ak un au g B uj u r( N P ik ul oi au ) P en yu su P ul k au C en g om P ul au K el P ul on au g G in B es P ul ar au G in K ec il
0
Trap 1
Trap 2
Trap 3
Rata-rata
Gambar 11. Laju sedimentasi di KKLD Bintan Timur Dari Gambar 11 terlihat bahwa rata-rata laju sedimentasi di KKLD Bintan Timur berkisar antara 4,528 - 108,690 mg/cm2/hari (ringan sampai sangat berat). Laju sedimentasi yang tertinggi terdapat di stasiun Pulau Gin Kecil, yaitu 108,690 mg/cm2/hari dan terendah di stasiun Pulau Beralas Bakau 4,528 mg/cm2/hari. Tingginya sedimentasi di stasiun Pulau Gin Kecil diduga oleh banyak partikel tersuspensi yang dibawa arus laut yang berasal kegiatan penambangan bauksit di sekitar stasiun pengukuran. Beban sedimen melayang yang masuk ke perairan pesisir Bintan Timur ini akan mempengaruhi konsentrasi TSS, dan sedimentasi di perairan. Konsentrasi TSS yang terukur selama penelitian berkisar 4,00 – 12,50 mg/L, sedangkan baku mutu yang ditetapkan adalah 20 mg/L. Walaupun konsentrasi TSS di perairan saat ini belum melampaui baku mutu yang ditetapkan, namun pengelolaan lingkungan di daratan tetap perlu dilanjutkan terutama rehabilitasi lahan yang gundul. Menurut McLaughin et al. (2003) bahwa komunitas terumbu karang identik dengan kondisi lingkungan dengan perairan yang jernih, oligotropik, dan substrat dasar yang keras. Sedimen yang tersuspensi maupun yang terdeposit umumnya diketahui memberikan efek yang negatif terhadap komunitas karang. Telesnicki dan Goldberg (1995) mengatakan bahwa efek langsung dari peningkatan kekeruhan dan siltasi kronis pada karang adalah penurunan fotosintesis dan pertumbuhan, serta meningkatnya beban metabolik. Selanjutnya Rogers dalam Tomascik et al. (1997) dan mengatakan bahwa laju sedimentasi dapat menyebabkan kekayaan spesies rendah, tutupan karang rendah, mereduksi
88
laju pertumbuhan dan laju recruitment yang rendah, serta tingginya pertumbuhan karang bercabang. 5.1.4. Beban Pencemaran Perhitungan beban pencemaran yang berasal di luar ekosistem perairan pesisir dilakukan dengan perhitungan secara langsung di muara-muara sungai yang bermuara ke perairan pesisir Bintan Timur. Adapun hasil perhitungan beban pencemaran yang berasal muara sungai disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Hasil perhitungan beban pencemaran yang berasal dari sungai yang bermuara ke perairan pesisir Bintan Timur
No 1 2
Nama Sungai Kawal Galang Batang TBP
BOD 5
Nitrat
Fosfat
26,05
0,271
0,024
Debit Sungai (Q) (m3/detik) 2,79
17,85
0,224
0,017
1,21
671,799
8,430
0,640
43,9
0,495
0,041
4,0
2.932,422
31,947
2,723
Konsentrasi Limbah (mg/l)
Beban Pencemaran(BP) (ton/tahun) BOD 5 Nitrat Fosfat 2.260,623
23,517
2,083
Sumber: Data primer diolah
Dari Tabel 18 terlihat bahwa beban pencemaran BOD 5 yang masuk ke perairan pesisir Bintan Timur sebesar 2.932,422 ton/tahun, nitrat 31,947 ton/tahun dan fosfat 2,723 ton/tahun. Beban pencemaran yang masuk ke perairan pesisir Bintan Timur ini akan mempengaruhi konsentrasi BOD 5 , nitrat dan fosfat di perairan. Nilai BOD 5 yang terukur selama penelitian berkisar 9,80 - 28,20 mg/l, sedangkan baku mutu yang ditetapkan adalah 20 mg/l. Konsentrasi nitrat yang terukur berkisar 0,069 - 0,351 mg/l (baku mutu: 0,008 mg/l), sedangkan fosfat yang terukur berkisar 0,009 - 0,027 mg/l (baku mutu: 0,015 mg/l). Dengan demikian terlihat bahwa kontribusi beban pencemaran yang masuk ke perairan melalui sungai sangat berpengaruh terhadap konsentrasi nilai BOD 5 , nitrat dan fosfat di perairan, bahkan pada beberapa lokasi pengamatan sudah melampaui baku mutu yang ditetapkan. Selain perhitungan beban pencemaran melalui perhitungan langsung dari sungai, juga dilakukan estimasi beban pencemaran yang berasal dari aktivitas penduduk di sekitar perairan dengan pendekatan Rapid Assessment (Kositranata et
89
al., 1989). Adapun hasil estimasi beban pencemaran yang berasal dari kegiatan penduduk disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Estimasi beban pencemaran pencemaran yang berasal dari kegiatan penduduk No 1 2 3
Sumber pencemaran Penduduk Hotel dan Restoran Peternakan Jumlah
Beban Pencemaran (ton/tahun) BOD 5 Nitrat Fosfat 379,305
119,628
20,145
345,770
135,609
23,127
595,191 1.320,266
211,626 466,863
43,272
Sumber : Data sekunder diolah
Dari Tabel 19 terlihat bahwa sumber pencemaran baik yang berasal dari penduduk, hotel dan restoran maupun dari peternakan cukup besar yang masuk ke perairan pesisir Bintan Timur. Bila ke tiga sumber pencemaran ini tidak dikelola dengan baik tentu akan sangat berpengaruh terhadap kualitas perairan, yang akhirnya juga akan berdampak pada ekosistem terumbu karang. 5.1.5. Korelasi Antara Karakteristik Biofisik-Kima Lingkungan Perairan dengan Masing-masing Lokasi. Korelasi
parameter
lingkungan
biofisik-kimia
perairan
Kawasan
Konservasi Laut Daerah Bintan Timur disajikan pada Tabel 20. Dari Tabel 20 terlihat bahwa terdapat korelasi antara parameter kualitas air atau faktor lingkungan yang diukur dengan tutupan karang hidup dan alga. Korelasi tersebut ada bersifat positif, artinya kenaikan nilai parameter kualitas air akan menaikkan tutupan karang hidup dan alga, sedangkan korelasi bersifat negatif, artinya kenaikan nilai parameter kualitas air akan menurunkan tutupan karang hidup dan alga. Parameter kualitas air yang berkorelasi positif dengan tutupan karang hidup adalah suhu, kecerahan, kedalaman dan fosfat dengan nilai korelasi (r) masing-masing 0,039, 0,537, 0,537 dan 0,089. Berhubung nilai 0 < r < 0,6 maka hubungan antara parameter kualitas air tersebut dengan tutupan karang hidup termasuk kategori lemah (Purwoto, 2007). Artinya pengaruh suhu, kecerahan, kedalaman dan fosfat terhadap kenaikan tutupan karang hidup tidak berpengaruh nyata.
90
Tabel 20. Matriks korelasi parameter karakteristik biofisik-kimia lingkungan perairan KKLD Bintan Timur Kepri Variables
Suhu
Cerah
Dalam
Arus
TSS
Suhu -0,321 -0,321 0,440 -0,003 1 Cerah -0,321 -0,314 -0,183 1 1,000 Dalam -0,321 -0,314 -0,183 1,000 1 Arus 0,440 -0,314 -0,314 0,470 1 TSS -0,003 -0,183 -0,183 0,470 1 Salinitas -0,114 -0,204 -0,204 0,600 0,180 DO 0,251 -0,500 -0,500 -0,113 0,170 BOD 0,065 -0,110 -0,110 0,410 0,927 Nitrat 0,075 -0,052 -0,052 0,522 0,968 Posfat 0,067 -0,110 -0,110 0,424 0,935 Sedimentasi 0,116 -0,083 -0,083 0,437 0,967 Karang Hidup 0,039 0,537 0,537 -0,179 -0,150 Alga -0,198 -0,445 -0,445 -0,283 0,182 Values in bold are different from 0 with a significance level alpha=0,05
Salinitas
DO
BOD
Nitrat
Posfat
-0,114 -0,204 -0,204 0,600 0,180 1 -0,094 0,240 0,245 0,190 0,114 -0,324 -0,445
0,251 -0,500 -0,500 -0,113 0,170 -0,094 1 0,181 0,185 0,197 0,098 -0,473 0,247
0,065 -0,110 -0,110 0,410 0,927 0,240 0,181 1 0,929 0,860 0,957 -0,270 0,096
0,075 -0,052 -0,052 0,522 0,968 0,245 0,185 0,929 1 0,945 0,959 -0,087 -0,024
0,067 -0,110 -0,110 0,424 0,935 0,190 0,197 0,860 0,945 1 0,932 0,083 0,067
Sedimentasi 0,116 -0,083 -0,083 0,437 0,967 0,114 0,098 0,957 0,959 0,932 1 -0,051 0,111
Karang Hidup 0,039 0,537 0,537 -0,179 -0,150 -0,324 -0,473 -0,270 -0,087 0,083 -0,051 1 -0,347
Alga -0,198 -0,445 -0,445 -0,283 0,182 -0,445 0,247 0,096 -0,024 0,067 0,111 -0,347 1
91
Sebaliknya parameter kualitas air yang berkorelasi negatif dengan tutupan karang hidup adalah kecepatan arus, TSS, salinitas, DO, BOD, nitrat, dan sedimentasi serta alga dengan nilai korelasi 0 < r < 0,6. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengaruh parameter tersebut terhadap penurunan tutupan karang hidup adalah tidak signifikan. Begitu juga pengaruh parameter kualitas air terhadap tutupan alga termasuk kategori tidak signifikan dengan nilai r < 0,6 (Purwoto, 2007). Kualitas dari informasi pada matrik korelasi pada setiap sumbu diukur dari besarnya akar ciri yang dihasilkan. Akar ciri-akar ciri tersebut memungkinkan untuk mengevaluasi besarnya ragam yang dijelaskan oleh setiap sumbu (Lampiran 3). Berdasarkan hasil analisis komponen utama memperlihatkan bahwa kontribusi dari tiga sumbu yang pertama (F1, F2 dan F3) sebesar 78,026% dari ragam total. Sebagian besar informasi terpusat pada sumbu 1 dan 2 (F1 dan F2), yang masingmasing sumbu menjelaskan 40,765% dan 22,875%, sedangkan sumbu 3 dengan 14,386% dari ragam total. Pada sumbu 1 (positif) terlihat adanya korelasi antara parameter laju sedimentasi, nitrat, fosfat, TSS dan BOD 5 . Pada sumbu 2 yang berperan adalah parameter kedalaman, kecerahan, suhu dan DO (Gambar 12). Berdasarkan penyebaran stasiun pengamatan pada sumbu 1 dan 2 (Gambar 13) dan dendrogram klasifikasi hierarki terhadap stasiun pengamatan dan parameter lingkungan perairan (Gambar 14) didapatkan empat pengelompokan. Antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya berbeda dalam parameter yang mempengaruhi kualitas airnya. Kelompok I yaitu stasiun 2 dan 11 banyak dipengaruhi oleh parameter sedimentasi, nitrat, fosfat, TSS dan BOD 5 . Kelompok II yaitu stasiun 5, 6 dan 7 dicirikan oleh kedalaman dan kecerahan dan tutupan karang hidup yang tinggi. Kelompok III yang terdiri dari stasiun 9 dan 10 dicirikan oleh salinitas dan arus, sedangkan kelompok IV terdiri dari sub kelompok stasiun 4 dan 8, stasiun 1 dan stasiun 3 dicirikan oleh alga.
92
Variables (axes F1 and F2: 63,64 %) 1
Cerah Dalam Karang Hidup
0,75
F2 (22,87 %)
0,5
0,25
0
Salinitas
SedimenNitrat Posfat BOD TSS Arus
-0,25
Suhu -0,5
Algae DO
-0,75
-1 -1
-0,75
-0,5
-0,25
0
0,25
0,5
0,75
1
F1 (40,77 %)
Gambar 12A Observations (axes F1 and F2: 63,64 %) 4
3
P. Gin Kecil
P. Nikoi
F2 (22,87 %)
2
P. Beralas Bakau
P. Kelong
1
Karang Masiran
0
P. Manjin
P. Gin Besar Karang Penyerap Muara Kaw al P. Penyusuk P. Cengom
-1
-2
-3
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
6
F1 (40,77 %)
Gambar 12.
Gambar 12B Grafik analisis komponen utama parameter biofisika kimia perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen utama kedua (F2). A: Korelasi antar parameter, dan B: Penyebaran lokasi pengamatan
93
Variables (axes F1 and F3: 55,15 %) 1 Salinitas
0,75
F3 (14,39 %)
0,5
Arus
Suhu
0,25 0
Nitrat
Karang Hidup Cerah Dalam
-0,25
Sedimen Posfat BOD TSS DO
-0,5 -0,75
Algae
-1 -1
-0,75 -0,5 -0,25
0
0,25
0,5
0,75
1
F1 (40,77 %)
Gambar 13A Observations (axes F1 and F3: 55,15 %) 2
P. Gin Besar
P. Penyusuk P. Kelong
F3 (14,39 %)
P. Nikoi
Karang Penyerap
P. Gin Kecil
P. Cengom
0
P. Beralas Bakau Muara Kaw al Karang Masiran
-2
P. Manjin
-4
-4
-2
0
2
4
6
F1 (40,77 %)
Gambar 13.
Gambar 13B Grafik analisis komponen utama parameter biofisik-kimia perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen utama ketiga (F3). A: Korelasi antar parameter, dan B: Penyebaran lokasi pengamatan
94
Pengelompokan stasiun berdasarkan parameter yang dominan tersebut memperlihatkan pengaruh berbagai aktivitas, baik aktivitas di daratan maupun di dalam perairan itu sendiri. Pada kelompok I (stasiun 2 dan 11) yang dicirikan oleh sedimentasi, nitrat, fosfat, TSS dan BOD 5 yang relatif lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Kondisi ini berkaitan dengan letak stasiun tersebut berada pada padat aktivitas dan pengaruh arus laut. Stasiun 2 (Pulau Manjin) berada daerah yang relatif dekat dengan penduduk, seperti permukiman di tepi laut, aktivitas perhotelan, masukan dari sungai yang bermuara di stasiun tersebut. Stasiun 11 (Pulau Gin Kecil) relatif jauh dari pemukiman, namun dekat aktivitas penambangan bauksit dan arus laut juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap masukan bahan pencemar di daerah tersebut dari daerah lainnya. Komposisi dan jumlah sedimen yang masuk ke perairan pantai (termasuk kawasan terumbu karang) dipengaruhi beberapa faktor. Pertama adalah kondisi geologis yang meliputi lithologi dan fisiografi, dimana dengan kondisi geologis yang berbeda akan menghasilkan sedimen yang berbeda dalam hal jumlah dan kualitas (ukuran partikel, minerologi). Faktor kedua yang tidak kalah pentingnya adalah iklim yang dapat mempengaruhi laju pelapukan serta erosi tanah, intensitas dan durasi curah hujan. Faktor lainnya yang mempengaruhi masukan sedimen adalah angin yang membawa debu dan pasir, kapasitas infiltrasi dari tanah dan batuan, serta adanya penutupan oleh tanaman vegetasi di sekitarnya (Meijerink, 1977 dalam Tomasick et al., 1997). Dari hasil pengukuran tingkat sedimentasi selama penelitian ditemukan tingkat sedimentasi di 11 lokasi pengamatan berkisar 4,528 – 108,690 mg/cm2/hari. Selanjutnya Partini (2009) melaporkan bahwa laju sedimentasi di perairan pantai Timur Bintan sekitar 4,00 – 78,24 mg/cm2/hari. Stasiun Pulau Gin 2 memiliki laju sedimentasi 108,690
mg/cm2/hari dan stasiun Pulau Manjin
83,894 mg/l. Dengan demikian laju sedimentasi di kedua stasiun tersebut tergolong sangat berat hingga catastrophic, yaitu > 50 mg/cm2/hari (Patorok dan Bilyard, 1985 dalam Hawker dan Connel, 1992). Nitrat di perairan dapat berupa nitrogen anorganik maupun organik. Nitrogen organik terdiri dari bentuk ammonia (NH 3 ), ammonium (NH 4 ), nitrit (NO 2 ), nitrat (NO 3 ) serta molekul-molekul nitrogen (N 2 ) berupa gas. Sementara
95
itu nitrogen organik adalah berupa protein, asam amino, dan urea. Di dalam perairan, bentuk-bentuk tersebut akan selalu mengalami perubahan atau dikenal dengan siklus nitrogen. Nitrat merupakan komponen nitrogen yang sangat penting bagi proses-proses biologis di perairan antara lain dalam fotosintesis organisme autotrof. Kandungan nitrat di perairan dapat dijadikan sebagai indikator tingkat kesuburan perairan. Menurut Wetsel (1975), perairan dikatakan subur dalam kondisi oligotrofik bila kandungan nitratnya antara 0 – 1 mg/l, mesotrofik antara 1-5 mg/l, dan eutrofik berkisar 5-50 mg/l. Hasil pengukuran terhadap kandungan nitrat di lokasi penelitian memperlihatkan hasil yang cukup bervariasi antar stasiun, yaitu berkisar 0,069 – 0,351 mg/l. Stasiun Pulau Gin Kecil memiliki kandungan nitrat 0,351 mg/l dan stasiun Pulau Manjin 0,241 mg/l (Lampiran 2). Dengan demikian kandungan nitrat di kedua stasiun tersebut sudah melewati Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut, yaitu 0,008 mg/l (Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 Lampiran III). Hasil analisis kualitas air menunjukkan kadar fosfat di perairan Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur berkisar antara 0,009–0,027 mg/l. Stasiun Pulau Gin Kecil memiliki kandungan fosfor 0,027 mg/l dan stasiun Pulau Manjin 0,019 mg/l (Lampiran 2). Dengan demikian kandungan fosfor di kedua stasiun tersebut sudah melewati Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut, yaitu 0,015 mg/l (Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 Lampiran III). Umumnya kandungan fosfat dalam perairan alami sangat kecil dan tidak pernah melampaui 0,1 mg/l, kecuali bila ada penambahan dari luar oleh faktor antropogenik seperti dari sisa pakan ikan dan limbah pertanian (Saeni, 1989). Kandungan BOD 5 memperlihatkan nilai yang cukup bervariasi selama pengamatan, yaitu berkisar 9,80 – 28,20 mg/l (Lampiran 2). Stasiun Pulau Gin Kecil memiliki nilai BOD 5 28,20 mg/l dan stasiun Pulau Manjin 25,70 mg/L. Dengan demikian nilai BOD 5 di kedua stasiun tersebut sudah melewati Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut, yaitu 20 mg/l (Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 Lampiran III). Kelompok II (stasiun 5, 6 dan 7) dicirikan oleh kedalaman dan kecerahan dan tutupan karang hidup. Menurut Nybakken (1992), bahwa kedalaman dan kecerahan perairan merupakan dua parameter lingkungan yang dapat membatasi
96
pertumbuhan serta kelangsungan hidup terumbu karang. Kedalaman dan kecerahan perairan saat penelitian menunjukkan nilai yang bervariasi antar stasiun pengamatan, yaitu berkisar 3,10 – 8,10 meter (Lampiran 2). Nilai kecerahan yang terukur sama dengan dengan nilai kedalaman, dimana pada semua stasiun pengamatan kecerahan sampai ke dasar perairan. Menurut Nybakken (1992), bahwa kedalam optimum bagi kehidupan karang adalah 3 – 10 meter, sedangkan kecerahan perairan harus sampai ke dasar perairan sehingga cahaya matahari juga sampai ke dasar perairan. Selanjutnya dikatakan, bahwa faktor kedalaman dan intensitas cahaya matahari sangat mempengaruhi kehidupan karang, sehingga pada daerah yang keruh dan daerah yang sangat dalam tidak ditemukan terumbu karang. Kedalaman dan kecerahan perairan di stasiun Pulau Beralas Bakau, Pulau Busung Bujur (Nikoi), dan Pulau Penyusuk berturut-turut adalah 8,10 meter, 7,05 meter, dan 3,60 meter. Dengan demikian kedalaman dan kecerahan perairan pada ke tiga stasiun tersebut sudah sesuai dengan persyaratan untuk kehidupan terumbu karang yang optimum. Kelompok III yang terdiri dari stasiun 9 (Pulau Kelong) dan stasiun 10 (Pulau Gin Besar) yang dicirikan oleh salinitas dan kecepatan arus. Salinitas merupakan salah faktor lingkungan yang dapat membatasi pertumbuhan terumbu karang. Nybakken (1992) mengatakan bahwa salinitas optimum untuk kehidupan terumbu karang adalah antara 32 – 35o/ oo , sehingga jarang ditemukan pada daerah muara sungai besar, bercurah hujan tinggi atau perairan hipersalin. Hasil pengukuran salinitas pada saat penelitian di stasiun Pulau Kelong dan Pulau Gin Besar adalah 33o/ oo . Dengan demikian stasiun tersebut memiliki salinitas yang optimum untuk kehidupan terumbu karang. Namun salinitas di perairan akan dapat turun dengan masuknya air tawar, baik melalui sungai maupun akibat curah hujan yang tinggi. Hutabarat dan Evans (1986) mengatakan bahwa salinitas akan turun secara tajam akibat oleh besarnya curah hujan. Kecepatan arus secara tidak langsung juga berpengaruh pada kehidupan terumbu karang. Tomascik et al. (1997) mengemukakan bahwa adanya arus di daerah terumbu karang berperan untuk mentransportasikan sedimen tersuspensi, nutrien dan larva serta mensuplai oksigen bagi karang batu. Selain itu arus sangat penting untuk flushing dan purifikasi air. Adanya pergerakan arus akan
97
mempercepat proses sediment rejection terumbu karang sehingga pemulihan kondisi fisiologis karang lebih cepat. Nybakken (1992) mengatakan bahwa kecepatan arus optimum untuk kehidupan terumbu karang adalah antara 0 – 0,17 m/det. Hasil pengukuran kecepatan arus pada saat penelitian di stasiun Pulau Kelong dan Pulau Gin Besar adalah 0,17 m/det dan 0,22 m/det. Dengan demikian stasiun Pulau Kelong dan Pulau Gin Besar memiliki kecepatan arus yang cukup tinggi bagi kehidupan terumbu karang. Kelompok IV terdiri sub kelompok stasiun 4 dan 8, stasiun 1 dan stasiun 3 dicirikan oleh suhu, DO dan alga. Hasil pengukuran suhu di lokasi penelitian tidak menunjukkan variasi yang ekstrim, yaitu berkisar antara 29 – 30oC. Nybakken (1992) mengatakan bahwa suhu optimum untuk pertumbuhan terumbu karang adalah berkisar 23- 30oC dengan suhu minimum 18oC. Selanjutnya Sukandar (2010) mengatakan bahwa suhu yang sesuai untuk pertumbuhan karang adalah 25-320C, pada suhu tersebut karang dapat tumbuh dengan baik. Menurut Nybakken (1992) oksigen terlarut (DO) bukanlah merupakan parameter atau faktor lingkungan yang membatasi pertumbuhan karang,
namun dalam
Kepmen LH No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (khusus terumbu karang), bahwa nilai parameter oksigen terlarut yang dipersyaratkan > 5 mg/l. Hasil pengukuran oksigen terlarut di lokasi penelitian tidak menunjukkan nilai variasi yang mencolok antar stasiun, yaitu berkisar antara 6,08 – 6,89 mg/l. Dengan demikian kandungan oksigen terlarut di semua stasiun pengamatan sudah sesuai dengan Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut, yaitu > 5 mg/l (Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 Lampiran III).
98
Dendrogram 0,68 0,73
Similarity
0,78 0,83
0,88 0,93
Keterangan : 1 Karang Masiran 2 Pulau Manjin 3 Muara Kawal 4 Karang Penyerap
5 6 7 8
Pulau Beralas Bakau Pulau Busung Bujur (Nikoi) Pulau Penyusuk Pulau Cengom
9 10 11
8
4
1
3
10
9
6
5
7
11
2
0,98
Pulau Kelong Pulau Gin Besar Pulau Gin Kecil
Gambar 14. Dendrogram klasifikasi hierarki stasiun pengamatan berdasarkan parameter karakteristik biofisik-kimia lingkungan perairan 5.2. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem terumbu Karang Penilaian terhadap status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau dilakukan dengan menggunakan analisis Rapid Appraisal - Index Sustainability of Coral
Reef
Management
(Rap-Insus-COREMAG).
Analisis
Rap-Insus-
COREMAG akan menghasilkan nilai indeks dan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur pada masing-masing dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur, hukum dan kelembagaan serta yang bersifat multidimensi. Masing-masing dimensi memiliki atribut yang mencerminkan status keberlanjutan dari dimensi yang bersangkutan. Nilai indeks yang dihasilkan meliputi nilai indeks status keberlanjutan multidimensi (ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur, hukum dan kelembagaan) maupun nilai indeks keberlanjutan untuk masing-masing dimensi. Nilai indeks yang dihasilkan merupakan gambaran tentang kondisi pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur saat ini. Nilai tersebut ditentukan
99
oleh nilai skoring dari masing-masing atribut pada setiap dimensi yang dikaji (Lampiran 5, 6, 7, 8 dan 9). Atribut dari masing-masing dimensi yang sensitif mempengaruhi nilai indeks status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur akan digabung dengan faktor dari analisis kebutuhan guna merumuskan skenario dan strategi dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang pada masa yang akan datang.
5.2.1. Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Penentuan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur merupakan langkah yang sangat penting untuk memperoleh gambaran menyeluruh mengenai kondisi saat ini (existing condition). Pemahaman yang mendalam mengenai kondisi saat ini serta faktor-faktor yang berpengaruh akan memudahkan dalam perumusan kebijakan atau perencanaan program. Hasil penilaian atribut yang dilakukan oleh pakar menunjukkan bahwa terdapat 43 atribut atau faktor yang mempunyai hubungan keterkaitan timbal balik yang dapat mempengaruhi setiap dimensi sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur, yaitu 9 atribut mempengaruhi dimensi ekologi, 8 atribut berpengaruh terhadap dimensi ekonomi, 9 atribut berpengaruh terhadap dimensi sosial, 9 atribut berpengaruh terhadap dimensi teknologi dan infrastruktur, dan 8 atribut berpengaruh terhadap dimensi hukum dan kelembagaan. Hasil analisis indeks dan status keberlanjutan setiap dimensi sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang dilakukan dengan menggunakan teknik ordinasi Rap-Insus COREMAG dengan metode MDS diuraikan secara rinci pada sub bab berikut ini.
100
5.2.1.1. Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Hasil analisis ordinasi Rap-Insus COREMAG terhadap 9 atribut yang berpengaruh terhadap dimensi ekologi menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi adalah 63,00. Nilai tersebut berada pada selang 50,01- 75,00 skala keberlanjutan dengan status cukup berkelanjutan, ditunjukkan oleh Gambar 15. Analisis leverage terhadap 9 atribut dimensi ekologi diperoleh enam atribut yang sensitif, yaitu
kondisi perairan, substrat perairan, spesies yang
dilindungi, keragaman ikan karang, luas area yang dilindungi, dan tutupan karang hidup. Perubahan terhadap ke-6 leverage factor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Hasil analisis leverage disajikan pada Gambar 16. Rap Insus COREMAG Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
BAD
0 0
20
40
60
80
63,00
GOOD 100
-20
-40 DOWN -60
Ecology Sustainability Real Fisheries
References
Anchors
Gambar 15. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekologi
120
101
Leverage of Attributes
0,84
Keragaman Ekosistem Tingkat eksploitasi ikan karang
0,31
2,47
Tingkat sedimentasi
Attribute
Memiliki spesies yang dilindungi
5,18
5,64
Kondisi perairan Keragaman ikan karang
4,91
5,29
Substrat Perairan
3,47
Luas area dilindungi Persentase tutupan Karang
2,93 0
1
2
3
4
5
6
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 16. Nilai sensitivitas atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100. Berdasarkan hasil analisis laverage diatas terlihat bahwa atribut kondisi perairan mempunyai nilai RMS yang paling tinggi, yaitu 5,64. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa atribut “kualitas perairan” berpengaruh paling besar terhadap sustainability pengelolaan ekosistem terumbu karang dari sisi ekologi. Kondisi perairan sangat ditentukan oleh nilai atau konsentrasi parameter kualitas air, seperti kedalaman, TSS, kecerahan, suhu, salinitas, unsur hara (nitrat dan fosfat). Perubahan terhadap parameter kualitas perairan ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Kedalaman perairan dan TSS berpengaruh terhadap penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dasar perairan dimana terumbu karang berada. Pengaruh ini berbanding terbalik dengan kecerahan, yaitu semakin dalam perairan dan semakin tinggi TSS maka penetrasi cahaya matahari semakin berkurang. Kaitan dengan terumbu karang adalah, bahwa cahaya matahari sangat diperlukan untuk pertumbuhan karang terkait dengan fotosintesis alga simbion zooxanthellae. Menurut Hubbard (1997) dengan tingginya nilai TSS di perairan maka kemampuan karang untuk tumbuh dan berkembang akan terhambat, selanjutnya
102
TSS juga dapat menyebabkan kematian karang secara individu serta pada akhirnya dapat membangun pola zonasi secara alami. Nybakken (1992) mengatakan bahwa kedalaman 3 – 10 m merupakan lingkungan yang menguntungkan bagi hewan karang. Kecerahan perairan di lokasi pengamatan terumbu karang pada saat penelitian dilakukan berkisar antara 3,10 – 8,10 m. Kecerahan perairan ini tembus sampai ke dasar perairan. Suhu merupakan salah satu parameter yang sangat penting bagi kehidupan karang dan biota perairan lainnya yang berasosiasi dengan terumbu karang. Perubahan suhu yang ekstrim dapat menimbulkan kematian bagi biota. Bagi terumbu karang dapat mengakibatkan terjadinya pemutihan karang yang lazim disebut bleeching. Menurut Soekarno et al. (1981) suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25oC – 30oC. Selanjutnya Tomascik et al. (1997) mengemukakan bahwa terumbu karang pada suatu lokasi hanya dapat mentolerir perubahan suhu sekitar 2oC – 3oC. Hasil pengukuran suhu di perairan pesisir Timur Pulau Bintan berkisar 29 – 30 oC. Suhu perairan ini masih sesuai dengan baku mutu air laut untuk biota laut (Kepemn LH No. 51 Tahun 2004). Unsur hara nitrat dan fosfor merupakan faktor yang paling menentukan kerusakan terumbu karang (Tomascik, 1991). Hasil pengukuran nitrat dan fosfat di lokasi penelitian cukup bervariasi antar stasiun, yaitu masing-masing berkisar antara 0,069 – 0,351 mg/l dan 0,009–0,027 mg/l. Peningkatan konsentrasi unsur hara di perairan akan memacu produktivitas fitoplankton dan alga bentik. Hal ini diindikasikan dengan peningkatan klorofil a dan kekeruhan, pada akhirnya memacu populasi hewan filter dan detritus feeder. Pengaruh peningkatan populasi fitoplankton dan kekeruhan, kompetisi alga bentik serta toksisitas fosfat secara bersamaan dapat menurunkan jumlah karang (Connel dan Hawker, 1992). Terumbu karang akan tumbuh dengan baik pada substrat pasir kasar, sebaliknya akan terganggu pertumbuhannya pada substrat perairan yang berlumpur (Soekarno et al, 1981). Oleh karena itu, substrat perairan tempat hidup terumbu karang harus terhindar dari tingkat sedimentasi yang tinggi. Menurut Hubbard dan Pocock (1972) dalam Supriharyono (2007) bahwa laju sedimentasi yang tinggi dapat mematikan polip karang, sehingga akan mempengaruhi tutupan karang hidup. Keberadaan spesies yang dilindungi pada suatu kawasan merupakan salah satu urgensi dalam pengelolaan kawasan konservasi, sehingga eksistensinya dapat
103
dipertahankan dan terhindar dari kepunahan. Di wilayah pesisir timur Pulau Bintan yang menjadi KKLD ini ditemukan spesies yang dilindungi seperti duyung (Dugong dugon), dan penyu hijau (Chelonia midas). Selama tahun 2008 dan 2010 duyung tersebut pernah tertangkap dengan tidak sengaja oleh nelayan di Desa Berakit (Bappeda Kabupaten Bintan, 2010). Keanekaragaman spesies telah lama digunakan sebagai indikator stabilitas lingkungan (De Santo, 2000). Selain itu, spesies itu sendiri penting karena fungsi bertindak di dalam menimbulkan atau memunculkan jasa ekologis yang memang bernilai ekonomis bagi manusia (Perrings et al., 2003). Keanekaragaman spesies secara fungsional menetukan ketahanan (resilience) ekosistem atau sensitivitas ekosistem (Holling et al.,2002). Jumlah spesies dan kombinasi spesies ikan merupakan dua dari beberapa indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr, 2002). Integritas biotik adalah suatu ekosistem yang berubah baik secara struktur maupun secara fungsional akibat aktivitas manusia (Hocutt, 2001). 5.2.2.2. Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Hasil analisis ordinasi Rap-Insus COREMAG terhadap 8 atribut yang berpengaruh terhadap dimensi ekonomi menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi adalah 57,48. Nilai tersebut berada pada selang 50,01- 75,00 skala keberlanjutan dengan status cukup berkelanjutan, ditunjukkan oleh Gambar 17. Rap Insus COREMAG Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
57,48 BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100
-20
-40 DOWN -60
Economy Sustainability Real Fisheries
References
Anchors
Gambar 17. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekonomi
120
104
Analisis leverage terhadap 8 atribut dimensi ekonomi diperoleh empat atribut yang sensitif, yaitu kunjungan wisatawan, jumlah obyek wisata, penyerapan tenaga kerja pariwisata, dan ketersediaan modal nelayan. Perubahan terhadap ke-4 leverage factor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi. Hasil analisis leverage disajikan pada Gambar 18. Leverage of Attributes
1,82
Pasar utama hasil perikanan Tingkat pendapatan masyarakat nelayan
2,51 9,17
Attribute
Penyerapan tenaga kerja pariwisata
11,25
Jumlah obyek wisata
11,54
Kunjungan wisatawan 7,68
Keterediaan modal nelayan 5,49
Usaha penangkapan Ketergantungan pada sektor perikanan sebagai sumber nafkah
0,37 0
2
4
6
8
10
12
14
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 18. Nilai sensitivitas atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100 Berdasarkan hasil analisis laverage diatas terlihat bahwa atribut kunjungan wisatawan mempunyai nilai RMS yang paling tinggi, yaitu 11,54. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa atribut “kunjungan wisatawan” berpengaruh paling besar terhadap sustainability pengelolaan ekosistem terumbu karang dari sisi ekonomi. Kunjungan wisatawan manacanegara ke Kabupaten Bintan pada tahun 2009 tercatat 296.229 orang, sedangkan kunjungan wisatawan nusantara sebanyak 100.294 orang (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, 2009). Hampir 70% wisman yang berkunjung ke Kabupaten Bintan melakukan kegiatan wisata bahari, seperti snorkeling, diving, memancing di terumbu karang dan lain sebagainya. Pemanfaatan ekosistem terumbu karang ini untuk wisata bahari hendaknya memperhitungkan daya dukung lingkungan, sehingga kelestarian terumbu karang dapat dipertahankan. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian daya
105
dukung lingkungan untuk pengembangan pariwisata berkelanjutan di lokasi penelitian. Sebagai perbandingan hasil penelitian Manafi et al. (2009) bahwa daya dukung wilayah perairan Gugus Pulau Kaledupa Wakatobi yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut, pariwisata pantai, dan pariwisata bahari seluas sekitar 70% dari luas perairan, sedangkan sisanya sekitar 30% luas perairan direkomendasikan sebagai daerah perlindungan laut (kawasan lindung perairan). Berkaitan dengan kontribusi wilayah pesisir dan laut Kabupaten Bintan oleh pengguna terhadap PAD, sektor pariwisata memberikan kontribusi yang cukup besar. Berdasarkan nilai PDRB tahun 2008 atas dasar harga yang berlaku tahun 2000 menurut lapangan usaha, kontribusi sektor pariwisata yang diperoleh dari sektor-sektor perdagangan, hotel dan restoran saja telah mencapai Rp. 540,08 milyar atau sebesar 19,76% dengan laju pertumbuhan 6,67% (BPS Kabupaten Bintan, 2009). Selanjutnya LIPI dan PPSPL UMRAH (2010) melaporkan bahwa potensi nilai ekonomi ekowisata dari wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kabupaten Bintan pada tahun 2009 lebih dari Rp. 109,741 milyar. Kegiatan wisata bahari yang dilakukan oleh wisman didukung oleh tersedianya fasilitas diving, seperti alat scuba yang dipandu oleh pemandu wisata yang telah berlisensi. Setiap resort penyelenggara wisata bahari telah melengkapi peralatan selam dengan pemandu wisata yang telah mempunyai lisensi diving. Disamping itu wisman yang berkunjung ke Bintan tidak hanya melakukan wisata bahari, tetapi juga berkunjung ke obyek wisata lainnya yang ada di Kabupaten Bintan. Banyaknya kunjungan wisatawan ke Kabupaten Bintan tidak terlepas dari banyaknya obyek wisata yang menarik, baik wisata alam, wisata budaya dan minat khusus terutama terdapat di Bintan Timur. Secara keseluruhan terdapat 12 lokasi potensial sebagai obyek wisata baik yang sudah dikembangkan maupun yang sedang dikembangkan. Kunjungan wisman ke obyek wisata di wilayah pesisir Bintan akan dapat membuka peluang kerja dan usaha sektor informal bagi masyarakat pesisir, sehingga akan mengurangi waktu pemanfaatan terumbu karang untuk menangkap ikan. Namun sampai saat serapan tenaga kerja pariwisata masih tergolong rendah. Ketersediaan modal bagi nelayan, baik armada penangkapan maupun alat tangkap merupakan suatu yang penting dalam keberlanjutan sosial ekonomi mereka dan untuk mengurangi kerusakan terumbu karang. Ketersediaan armada
106
penangkapan dan alat tangkap yang memadai, para nelayan dapat menjangkau daerah penangkapan yang lebih luas dan tidak terkonsentrasi di sekitar terumbu karang. Dengan demikian pendapatan nelayan bisa meningkat dan potensi kerusakan terumbu karang akibat penangkapan, baik oleh penempatan alat tangkap atau oleh labuh jangkar perahu atau kapal nelayan dapat diminimalkan. 5.2.2.3 Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Hasil analisis ordinasi Rap-Insus COREMAG terhadap 9 atribut yang berpengaruh terhadap dimensi sosial budaya menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya adalah 52,03. Nilai tersebut berada pada selang 50,01- 75,00 skala keberlanjutan dengan status cukup berkelanjutan, ditunjukkan oleh Gambar 19. Rap Insus COREMAG Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
52,03 BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100
120
-20
-40 DOWN -60
Social Sustainability Real Fisheries
References
Anchors
Gambar 19. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi sosial budaya Analisis leverage terhadap 9 atribut dimensi sosial budaya diperoleh empat atribut yang sensitif, yaitu nilai estetika, pertumbuhan jumlah nelayan, mata pencaharian alternatif non perikanan, dan potensi konflik pemanfaatan. Perubahan terhadap ke-4 leverage factor ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya. Hasil analisis leverage disajikan pada Gambar 20.
107
Berdasarkan hasil analisis laverage terlihat bahwa atribut nilai estetika mempunyai nilai RMS yang paling tinggi, yaitu 7,79. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa atribut “nilai estetika” berpengaruh paling besar terhadap sustainability pengelolaan ekosistem terumbu karang dari sisi sosial budaya. Perubahan terhadap atribut nilai estetika ini akan mudah berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial budaya. Leverage of Attributes Jumlah RTP di masyarakat
0,66
Kekompakan nelayan (social networking)
1,22
Mata percaharian non perikanan
5,58
Attribute
Pertumbuhan jumlah nelayan
7,11
7,79
Nilai estetika Pemberdayaan masyarakat
0,91
Potensi konflik pemanfaatan
5,49
Pengetahuan lingkungan
1,08
Tingkat pendidikan penduduk
0,54 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 20. Nilai sensitivitas atribut dimensi sosial budaya yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100 Kabupaten Bintan, terutama pesisir Bintan Timur mempunyai obyek atau tempat yang bernilai estetika tinggi, seperti pantai pasir putih, ekosistem terumbu karang serta panorama laut lainnya. Dalam RTRW Kabupaten Bintan 2007 -2017 kawasan Pesisir Bintan Timur telah dialokasi sebagai daerah pengembangan pariwisata bahari. Disamping itu Kabupaten Bintan juga mempunyai tempattempat bernilai sejarah, seperti situs para sejarah “Bukit Kerang” di Desa Kawal. Obyek atau tempat-tempat ini telah menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan sebagai obyek wisata. Bila masyarakat tempatan diberdayakan untuk ikut berpartsipasi dalam pengelolaan, maka akan menjadi mata pencaharian alternatif yang sangat potensial untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
108
Mata pencaharian sebagai nelayan merupakan mata pencaharian utama bagi sebagian besar masyarakat pesisir Kabupaten Bintan, khusus masyarakat pesisir Bintan Timur. Walaupun tingkat pertumbuhan jumlah nelayan secara keseluruhan di Kabupaten Bintan tergolong rendah (8,8%), namun lebih dari 30% masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Mata pencaharian sebagai nelayan merupakan mata pencaharian secara turun temurun diwariskan antar generasi, sehingga secara sosial sangat sulit untuk dikurangi. Kondisi ini diperburuk oleh tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, sehingga kemampuan mereka untuk mencari mata pencaharian selain sektor perikanan sangat terbatas. Oleh karena itu pemberdayaan masyarakat dengan berbagai program perlu diwujudkan. Pemberdayaan masyarakat adalah proses pengembangan kesempatan, kemauan/ motivasi, dan kemampuan masyarakat untuk lebih mempunyai akses terhadap sumberdaya, sehingga meningkatkan kapasitasnya untuk menentukan masa depan
sendiri
dengan
berpartisipasi
dalamm
mempengaruhi
dan
mewujudkan kualitas kehidupan diri dan komunitasnya. Tujuan jangka pendek pemberdayaan sebaiknya jelas (specific), terukur (measurable), sederhana (realistic), sehingga merupakan kondisi yang mendorong minat masyarakat untuk mewujudkannya
(achievable)
dalam
waktu
tertentu.
Adanya
program
pemberdayaan masyarakat pesisir secara baik dan merata di setiap desa akan dapat meningkatkan kemampuan masyarakat pesisir dalam pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang ada, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Ketergantungan terhadap hasil penangkapan ikan di laut dapat dikurangi, sehingga tekanan terhadap ekosistem terumbu karang juga dapat dikurangi. Mengingat pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Bintan melibatkan berbagai stakeholders (pemerintah berbagai level, dunia usaha, masyarakat, perguruan tinggi, LSM) maka potensi konflik cukup tinggi. Potensi konflik tersebut dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu (1) potensi konflik antara masyarakat dengan pemerintah (biasanya menyangkut ketidak adilan dalam distribusi bantuan, kebijakan yang lebih berpihak pada investor dibanding berpihak kepada masyarakat bila terjadi konflik), (2) potensi konflik antara masyarakat dengan pengusaha (biasanya konflik lahan, terganggu dan tertutup akses masyarakat melewati pantai, gangguan wisata bahari terhadap aktivitas
109
penangkapan nelayan), dan (3) potensi konflik antara masyarakat dengan masyarakat (biasanya
konflik daerah penangkapan, kecemburuan sosial
penerimaan tenaga kerja lokal di perusahaan, dan masih adanya nelayan luar daerah melakukan penangkapan dengan alat destruktif pada waktu-waktu tertentu). 5.2.2.4. Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi dan Infrastruktur Hasil analisis ordinasi Rap-Insus COREMAG terhadap 9 atribut yang berpengaruh terhadap dimensi teknologi dan infrastruktur menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi dan infrastruktur adalah 51,18. Nilai tersebut berada pada selang 50,01- 75,00 skala keberlanjutan dengan status cukup berkelanjutan, ditunjukkan oleh Gambar 21. Rap Insus COREMAG Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
51,18 BAD
0 0
20
40
60
80
GOOD 100
120
-20
-40 DOWN -60
Technology ang Infrastructure Sustainability Real Fisheries
References
Anchors
Gambar 21. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi teknologi dan infrastruktur Analisis leverage dilakukan bertujuan untuk melihat atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi dan infrastruktur. Analisis leverage terhadap 9 atribut teknologi dan infrastruktur diperoleh dua atribut yang sensitif terhadap tingkat keberlanjutan dari dimensi
110
teknologi dan infrastruktur, yaitu transplantasi karang, dan efek alat tangkap terhadap karang. berpengaruh
Perubahan terhadap ke-2 leverage factor ini akan mudah
terhadap
kenaikan
atau
penurunan
terhadap
keberlanjutan dimensi teknologi dan infrastruktur.
nilai
indeks
Hasil analisis leverage
disajikan pada Gambar 22.
Leverage of Attributes
0,68
Pengolahan limbah penduduk
2,12
Pengolahan limbah Hotel, Restoran
1,77
Penggunaan alat tangkap terlarang
2,65
Attribute
Efek alat tangkap terhadap karang Perubahan power alat dan armada tangkap
2,10 0,87
Sarana dan prasarana pengawasan
4,56
Transplantasi karang 1,38
Selektivitas alat tangkap
0,96
Jenis alat tangkap 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
5
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 22. Nilai sensitivitas atribut dimensi teknologi dan infrastrukrtur yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100 Transplantasi karang merupakan atribut paling sensitif dalam penentuan nilai indeks keberlanjutan pada dimensi teknologi dan infrstruktur dengan nilai RMS 4,56. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa atribut transplantasi karang berpengaruh paling besar terhadap sustainability pengelolaan ekosistem terumbu karang dari sisi teknologi. Teknologi transplantasi karang merupakan salah satu teknologi yang dapat diterapkan untuk memulihkan dan meningkatkan tutupan karang hidup. Di KKLD Bintan Timur kegiatan transplantasi karang dapat
111
diterapkan di daerah yang tutupan karang sangat rendah terutama daerah yang dulunya tutupan karangnya bagus. Alat penangkapan yang dioperasikan oleh nelayan terutama yang dioperasikan di ekosistem terumbu karang juga dapat berdampak terhadap terumbu karang. Walaupun saat ini penggunaan alat tangkap yang bersifat destruktif sangat jarang digunakan, namun alat tangkap seperti bubu yang dipasang di ekosistem terumbu karang dapat merusak terumbu karang bila tidak dipasang secara hati-hati. Begitu juga jangkar kapal atau perahu nelayan juga dapat merusak terumbu karang. Kerusakan terumbu karang akibat alat tangkap dan jangkar ini hanya dapat diminimalkan bila kesadaran masyarakat terutama nelayan sudah tinggi. 5.2.2.5. Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan Hasil analisis ordinasi Rap-Insus COREMAG terhadap delapan atribut yang berpengaruh terhadap dimensi hukum dan kelembagaan menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan adalah 49,91. Nilai tersebut berada pada selang 25,01- 50,00 skala keberlanjutan dengan status kurang berkelanjutan, ditunjukkan oleh Gambar 23. Rap Insus COREMAG Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
49,91 0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100
120
-20
-40 DOWN -60
Low and Institutional Sustainability Real Fisheries
References
Anchors
Gambar 23. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan
112
Analisis leverage dilakukan bertujuan untuk melihat atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan. Analisis leverage terhadap delapan atribut hukum dan kelembagaan diperoleh empat atribut yang sensitif terhadap tingkat keberlanjutan dari dimensi hukum dan kelembagaan, yaitu tingkat kepatuhan masyarakat, penyuluhan hukum lingkungan, koodinasi antar stakeholders, dan pelaksanaan pemantauan dan pengawasan. Perubahan terhadap ke-4 leverage factor ini akan mudah berpengaruh
terhadap
kenaikan
atau
penurunan
terhadap
nilai
indeks
keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan. Hasil analisis leverage disajikan pada Gambar 24. Leverage of Attributes
0,02
Lembaga Konservasi
0,12
Penyuluhan hukum lingkungan
Attribute
Pelaksanaan pemanatauan dan pengawasan
0,07
Tokoh Panutan
0,00
Partispasi masyakat dalam pengelolaan TK
0,00 0,07
Koordinasi antar stakeholders
0,12
Tingkat kepatuhan masyarakat Ketersediaan peraturan formal pengelolaan
0,01 0
0,02
0,04
0,06
0,08
0,1
0,12
0,14
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 24.
Nilai sensitivitas atribut dimensi kebijakan dan kelembagaan yang dinyatakan dalam perubahan Root Mean Square (RMS) skala keberlanjutan 0 – 100
Tingkat kepatuhan masyarakat dan penyuluhan hukum lingkungan merupakan dua atribut paling sensitif dalam dimensi hukum dan kelembagaan dengan nilai RMS yang paling tinggi, yaitu 0,12. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa atribut tingkat kepatuhan masyarakat dan penyuluhan hukum lingkungan
113
merupakan atribut berpengaruh paling besar terhadap sustainability pengelolaan ekosistem terumbu karang dari sisi hukum dan kelembagaan. Dalam
konteks
pengelolaan
ekosistem
terumbu
karang
secara
berkelanjutan kepatuhan masyarakat pesisir merupakan faktor kunci keberhasilan pengelolaan. Hal ini tentu ditunjang dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian ekosistem terumbu karang. Peran penyuluhan hukum lingkungan sangatlah penting untuk meningkatkan pengetahuan dan menyadarkan masyarakat. Dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang akan melahirkan partisipasi aktif dalam wadah pengelolaan terumbu karang yang telah terbentuk. Dari hasil penelitian terungkap bahwa peran serta masyarakat pesisir dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Bintan Timur masih rendah dan masih terbatas pada desa binaan Coremap II. Kondisi ini menyebabkan keterlibatan masyarakat pesisir secara umum masih sangat sedikit dibandingkan luas terumbu karang di KKLD Bintan Timur. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang tergabung pada suatu wadah yang bernama Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) yang implementasi lapangan dilakukan oleh Kelompok Pengawas Masyarakat (Pokwasmas). LPSTK dan Pokwasmas ini hanya bertanggung jawab pada pengawasan terhadap Daerah Perlindungan laut (DPL) masing-masing desa. Koordinasi antar stakeholders dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang dalam suatu kawasan merupakan faktor yang sangat penting. Keterlibatan banyak pihak dalam pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir (termasuk terumbu karang) di Bintan Timur membutuhkan kesamaan pandang (visi) untuk melestarikan ekosistem terumbu karang. Oleh karena itu koordinasi dan kemitraan yang baik perlu diwujudkan guna meningkatkan kinerja kebijakan yang telah dibuat. Pemerintah Kabupaten Bintan telah membuat kebijakan dalam pengelolaan terumbu karang, seperti Surat Keputusan Bupati
Bintan Nomor
261/VIII/2007 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan dan Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Terumbu Karang. Kebijakan yang telah dibuat ini akan berjalan dengan baik, bila koordinasi dan kemitraan antar sektor yang terlibat terjalin dengan baik. Disamping itu masing-masing sektor mengerti dan faham mengenai tugas pokok dan fungsi (tupoksi).
114
5.2.2.6. Nilai Indeks dan Status Keberlanjutan Multidimensi Keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau dari dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, serta teknologi dan infrastruktur memiliki status cukup berkelanjutan, dengan masingmasing indeks 63,00, 57,48, 52,03 dan 51,18. Namun demikian, pengaruh kegiatan di daratan dan di perairan termasuk pemanfaatan ekosistem terumbu karang dan sumberdaya yang dikandungnya oleh masyarakat pesisir, secara umum sudah ada indikasi mengganggu keutuhan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau. Disisi lain, berdasarkan dimensi hukum dan kelembagaan masih kurang berkelanjutan dengan niai indeks 49,91. Nilai indeks dan status keberlanjutan kelima dimensi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur divisualisasikan dalam bentuk diagram layang (kite diagram) yang ditunjukkan pada Gambar 25.
Ekonom i 100 80
57,48 60
Hukum dan Kelem bagaan
40
49,91
20
Ekologi
63,00
0
51,18 T eknologi dan Infrastruktur
52,03 Sosial Buday a
Gambar 25. Diagram layang (kite diagram) keberlanjutan multidimensi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Perbaikan terhadap atribut yang memberikan nilai sensitif tinggi dan berpengaruh negatif terhadap keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau harus dilakukan dan ditingkatkan, sehingga nilai indeks dan status keberlanjutan meningkat. Untuk menjustifikasi
115
apakah ke lima dimensi tersebut tetap berkelanjutan atau tidak, menurut Budiharsono (2007) tidak bisa dilihat dengan melakukan rataan dari ke lima dimensi tersebut, akan tetapi harus dilakukan uji pair wise comparison yang diperoleh dari penilaian pakar di bidang pengelolaan terumbu karang. Dengan demikian, maka masing-masing indeks tersebut diverifikasi oleh pakar, sehingga diperoleh skor tertimbang. Penentuan nilai indeks dan status keberlanjutan multidimensi kinerja pengelolaan ekosistem terumbu karang dilakukan dengan mengalikan nilai indeks setiap dimensi hasil analisis Rap-Insus COREMAG dengan penilaian bobot dimensi oleh pakar disajikan pada Tabel 22. Tabel 22. Nilai indeks multidimensi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur
Dimensi Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Teknologi dan Infrastruktur Hukum dan Kelembagaan Jumlah
Bobot dimensi (%) 21,46 15,14 23,34 29,24 10,82 100,00
Nilai indeks 63,00 57,48 52,03 51,18 49,91 273,60
Nilai indeks hasil pembobotan 13,52 8,70 12,14 15,26 5,40 54,73
Tabel 22 menunjukkan bahwa nilai indeks gabungan yang diperoleh sebesar 54,73. Nilai tersebut berada pada selang 50,01-75,00 menunjukkan bahwa status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD saat ini adalah cukup berkelanjutan. Dimensi teknologi dan infrastruktur memiliki bobot tertinggi, yaitu 15,26 dengan bobot tertimbang 29,24%; diikuti dimensi ekologi 13,52 atau bobot tertimbang 21,46%; dimensi sosial budaya 12,14 dengan bobot tertimbang 23,24%; dimensi ekonomi 8,70 dengan bobot tertimbang 15,14%, dan dimensi hukum dan kelembagaan 5,40 dengan bobot tertimbang 10,82%. Berdasarkan bobot tersebut dapat diperkirakan bahwa keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur ditentukan oleh keberhasilan
meningkatkan
status
keberlanjutan
dimensi
hukum
dan
kelembagaan, ekonomi dan sosial budaya, tanpa mengabaikan arti pentingnya dimensi ekologi serta dimensi teknologi dan infrastruktur.
116
Hilyana (2011) yang melakukan penelitian di kawasan konservasi Gili Sulat-Gili Lawang Kabupaten Lombok Timur melaporkan bahwa pengelolaan kawasan tersebut sampai saat ini belum optimal, dimana nilai indek multidimensi yang diperoleh sebesar 54,11 dan termasuk kategori cukup keberlanjutan. Namun demikian masih ada salah satu dimensi yang kurang berkelanjutan, yaitu dimensi kelembagaan dengan nilai indeks 39,62, sedangkan dimensi lainnya cukup berkelanjutan. Selanjutnya Faiza (2011) yang melakukan penelitian pada tiga Daerah Perlindungan Laut (DPL), yaitu DPL Blongko Minahasa Selatan, DPL Pulau Sebesi Lampung Selatan dan APL Pulau Harapan Kepulauan Seribu melaporkan bahwa keberlanjutan pengelolaan DPL Blongko dan DPL Sebesi tergolong cukup berkelanjutan dengan nilai indeks multidimensi masing-masing 63,83 dan 72,41. Sementara APL Harapan Kepulauan Seribu tergolong kurang berkelanjutan dengan nilai indeks multidimensi 36,30. 5.2.2.7. Nilai Stress dan Koefisien Determinasi Ketepatan konfigurasi dari suatu titik yang mencerminkan data aslinya dapat diukur dengan melihat nilai stress dari hasil analisis ordinasi Rap-Insus COREMAG terhadap setiap dimensi yang dianalisis. Kemampuan setiap atribut untuk menjelaskan dan memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan sistem yang dikaji dengan melihat nilai koefisien determinasi (R2) setiap dimensi yang dianalisis. Nilai stress dan koefisien determinasi setiap dimensi disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Nilai stress dan koefisien determinasi multidimensi Nilai indeks keberlanjutan *)
Stress **)
R2 ***)
Iterasi
Ekologi
63,00
0,13
0,95
2
Ekonomi
57,48
0,13
0,93
2
Sosial Budaya
52,03
0,13
0,94
2
Teknologi dan Infrastruktur
51,18
0,13
0,94
2
Hukum dan Kelembagaan
49,91
0,16
0,93
5
Dimensi
Keterangan : *) Nilai indeks 50,01-75,00 dikategorikan cukup berkelanjutan **) Nilai stress <0,25 berarti goodness of fit ***) Nilai R2 94% atau >80%: kontribusinya sangat baik
117
Tabel 23 memperlihatkan bahwa nilai stress rata-rata dimensi adalah 0,14 dan nilai R2 rata-rata adalah 0,94. Di dalam Rapfish, nilai stress dikatakan baik apabila nilainya di bawah 0,25 (Malhotra, 2006), berarti nilai goodness of fit dalam MDS, yang menyatakan bahwa konfigurasi atribut dapat mencerminkan data aslinya. Nilai R2 0,94 menunjukkan bahwa atribut atau faktor-faktor yang dinilai pada setiap dimensi mampu menerangkan dan memberikan kontribusi 94% terhadap keberlanjutan sistem yang dikaji. Menurut Kavanagh (2001), nilai R2 yang baik apabila lebih besar dari 80% atau mendekati 100%.
5.2.2.8. Pengaruh Galat Evaluasi pengaruh galat (Error) acak dengan menggunakan analisis Monte Carlo bertujuan untuk mengetahui: (a) pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut, (b) pengaruh variasi pemberian skor, (c) stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang, (d) kesalahan pemasukan atau hilangnya data (missing data), dan (e) nilai stress dapat diterima apabila <20%. Hasil analisis Monte Carlo terhadap semua dimensi disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Hasil analisis Monte Carlo multidimensi
Ekologi
63,00
Analisis Monte Carlo *) 61,73
Ekonomi
57,48
55,75
1,73
Sosial Budaya
52,03
51,79
0,24
Teknologi dan Infrastruktur
51,18
51,19
0,01
Hukum dan Kelembagaan
49,91
49,99
0,08
Dimensi
MDS
Perbedaan (MDS-MC) 1,27
Keterangan : *) galat pada taraf kepercayaan 95%
Tabel 24 memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata nilai indeks MDS dengan hasil analisis Monte Carlo baik pada nilai sebaran maupun pengaruh galat pada taraf 95%. Dapat dipastikan bahwa kesalahan pembuatan skor, pengaruh variasi skor, stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang maupun kesalahan pemasukan atau hilangnya data (missing data) tidak memberikan pengaruh.
118
5.3. Pengelolaan Saat ini dan Skenario Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan 5.3.1. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Saat ini 1. Kebijakan Nasional Dalam pandangan pemerintah, sumber daya alam hayati laut dan ekosistemnya sangatlah penting untuk dikelola, karena sebagai sumber daya alam yang terkandung di dalam bumi dan air Indonesia menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
dikuasai
oleh
negara
untuk
dipergunakan
bagi
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Arti dikuasai dalam kaitan ini bukan dimiliki, melainkan negara memperoleh mandat dari rakyat sebagai pemilik sumber daya alam hayati laut dan ekosistemnya untuk melakukan pengelolaan dan upaya-upaya lainnya yang bermanfaat bagi rakyat banyak. Dengan demikian, penggunaan sumber daya alam hayati laut dan ekosistemnya melalui kegiatan konservasi laut akan bermanfaat bagi rakyat banyak bila secara ekonomis, politis, sosiologis dan kultural menguntungkan. Untuk melindungi sumberdaya alam ini, pemerintah melakukan berbagai upaya perlindungan diantaranya dengan menetapkan kawasankawasan konservasi laut yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Pemerintah telah merancang suatu model pengelolaan kawasan di wilayah laut yang diberi nama Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Pengelolaan ekosistem terumbu karang di suatu KKLD adalah suatu proses untuk memotivasi kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi/lembaga terhadap pembangunan (manusia sehari-hari) yang berlangsung dalam suatu kawasan. Secara umum kegiatan pengelolaan ekosistem terumbu karang KKLD bertujuan untuk mengkonservasi habitat, dan proses-proses ekologi, dan perlindungan nilai sumber daya sehingga kegiatan perikanan, pariwisata, dan penelitian, pendidikan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Pengelolaan terumbu karang di Kabupaten Bintan tidak terlepas dari kebijakan nasional melalui peraturan dan perundang-undangan lainnya. Adapun peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur disajikan pada Tabel 25 berikut.
119
Tabel 25. Landasan hukum kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang Peraturan Perundangan
Batas Yuridiksi
Lembaga yang Berwenang
UU No 5 Tahun 1995 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya
1. Pelaksanaan kegiatan konservasi; 2. Pola dasar dan pengaturan cara pemanfaatan konservasi sumberdaya; 3. Pembinaan konservasi berkaitan penegakan hukum.
Pemerintah, masyarakat dan penegak hukum
UU No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan jun to UU No. 45 Tahun 2009
1. Rencana pengelolaan SDI, jumlah penangkapan; 2. Penyusunan sistem informasi SDI; 3. Penelitian dan pengembangan SDI; 4. Pengawasan.
Pemerintah LSM, PT penegak hukum
UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. Penyelengaraan pemerintahan; 3. Pengelolaan SDA; 4. Perencanaan RTRW.
Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
UU No 27 Tahun 2007 1. Pengaturan dan pembinaan penataan Tentang Pengelolaan Wilayah ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau Pesisir dan Pulau-pulau Kecil kecil; 2. Perencanaan pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 3. Penyidikan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan
1. Pelaksanaan kegiatan konservasi sumberdaya ikan dan ekosistemnya 2. Pengembangan kelembagaan dan SDM dibidang konservasi SDI 3. Pengawasan konservasi suumber daya ikan
Pemerintah, masyarakat , POLRI dan PPNS
Pemerintah, Masyarakat, dan penegak hukum
Analisis isi (content analysis) dilakukan terhadap peraturan perundanga Tabel 25 di atas menyangkut tema konservasi ekosistem dan pengelolaan ekosistem terumbu karang secara umum. Dua tema tersebut dijadikan sebagai indikator tentang keberpihakan suatu peraturan terhadap keberlanjutan sumberdaya alam secara umum dan ekosistem terumbu karang secara khusus. Hasilnya diuraikan di bawah ini.
120
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pada prinsipnya mengatur semua aspek yang berkaitan dengan konservasi, baik ruang maupun sumberdaya alamnya. Pengertian
konservasi
menurut
undang-undang
ini
adalah
pengelolaan
sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan
persediaannya
dengan
tetap
memelihara
dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman nilainya. Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 ini belum secara tegas memberikan arahan kepada berbagai pihak terkait kebijakan pengelolaan konservasi ekosistem terumbu karang. Pada pasal 38 terkait penyerahan urusan dan pembantuan tugas dalam rangka pelaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya kepada pemerintah daerah masih sangat umum. Disamping itu UU No. 5 Tahun 1990 belum memberikan ruang publik untuk terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Peran rakyat dalam pelaksanaan konservasi diarahkan oleh pemerintah, seperti yang termuat dalam pasal 37. Hal tersebut memberikan gambaran pengelolaannya masih bersifat sentralistik sebagaimana regim yang berkuasa ketika itu. 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jun to UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jun to UndangUndang Nomor 45 Tahun 2009 ini mengatur penetapan status hukum kawasan lautnya. Secara khusus undang-undang ini memberikan wewenang kepada menteri terkait menetapkan status bagian laut tertentu sebagai Kawasan Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, atau Suaka Perikanan. Pada pasal 13 ayat (1) dinyatakan bahwa ”Dalam rangka pengelolaan sumberdaya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan”. Dalam penjelasan pasal 13 dinyatakan bahwa terumbu karang termasuk dalam kawasan konservasi terkait kegiatan perikanan. Secara eksplisit keterpaduan pelaksanaan konservasi belum diatur dalam batang tubuh undang-undang ini. Secara umum undang-undang ini dalam pengelolaannya masih bersifat sentralistik. Walaupun dalam pasal 65 sudah termuat tentang
121
penyerahan urusan dan pembantuan umum tehadap pemerintah daerah tetapi tidak jelas rinciannya. Menurut Wiadnya et al. (2011) bahwa UU No. 31 Tahun 2004 bahwa pemerintah pusat telah berbagi wewenang dan tanggung jawab dengan pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan konservasi. 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pembuatan Peraturan Daerah tentang KKLD yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa: ”Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut”. Selanjutnya pasal 18 ayat (3) menyatakan bahwa kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan hayati laut; pengaturan administrasi; pengaturan tata ruang; penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Selanjutnya dalam ayat (4) dijelaskan bahwa daerah diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Namun sisi lain secara bersamaan undang-undang ini pendekatannya sangat formal dalam memahami batasan sumberdaya alam. Akibatnya sering terjadi konflik kepentingan dan kewenangan terkait pengelolaan sumberdaya alam diantara pemerintah daerah. Misalnya kerusakan ekosistem terumbu karang yang merupakan daerah hilir, jika pengendaliannya semata teknosentris melalui restorasi terumbu karang, maka tidak menyelesaikan permasalahan secara mendasar, karena akar masalah di bagian hulu tidak dikendalikan. Sisi lain kawasan hilir dan hulu berada pada daerah administrasi kabupaten/kota yang berbeda. Dengan demikian regim otonomi daerah gagal memperbaiki pola pemanfaatan sumberdaya alam yang ekstraktif. Kegagalan tersebut diantaranya disebabkan oleh (1) keterbatasan kapasitas SDM daerah sehingga belum efektif menjalankan mandat yang diberikan. Kondisi tersebut bisa berdampak pada biaya transaksi tinggi; (2)
122
dominannya kekuatan politik kepala daerah yang berimplikasi pada lahirnya kebijakan yang berorientasi kepentingan jangan pendek. 4. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada pasal 4 huruf (a) dinyatakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan dengan tujuan melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan. Selanjutnya pada pasal 28 ayat (3) pengusulan kawasan konservasi dapat dilakukan
oleh
perseorangan,
kelompok
masyarakat,
dan/atau
oleh
Pemerintah/Pemerintah Daerah berdasarkan ciri khas kawasan yang ditunjang dengan data dan informasi ilmiah. Dengan demikian UU No. 27 tahun 2007 ini memberi mandat hukum atau kewenangan kepada pemerintah daerah dan masyarakat sesuai dengan kompetensi dan proporsinya masing-masing dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil beserta sumberdaya yang dikandungnya. 5. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan ini dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Peraturan pemerintah ini memberi kewenangan kepada Menteri (Kelautan dan Perikanan) untuk menetapkan Kawasan Konservasi Perairan yang terdiri atas taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan (Pasal 8). Berdasarkan lingkup kewenanganya, pengelolaan Kawasan Konservasi Peraiaran terdiri dari : (a) Kawasan Konservasi Perairan Nasional, (b) Kawasan Konservasi Perairan Propinsi, (c) Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten/Kota. Peraturan Pemerintah ini juga memberi kewenangan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menetapkan status perlindungan jenis ikan tertentu (pasal 24 ayat 1), yang meliputi jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak dilindungi (Pasal 23 ayat (1)). Jenis ikan tertentu dapat ditetapkan sebagai jenis ikan yang
123
dilindungi, apabila memenuhi kriteria: (a). terancam punah; (b). langka; (c). daerah penyebaran terbatas (endemic); (d). adanya penurunan jumlah populasi di alam yang tajam; dan (e). tingkat kemampuan reproduksi yang rendah. Peraturan dan Undang-Undang sebagaimana diuraikan di atas memberi mandat hukum atau kewenangan sesuai dengan kompetensi dan proporsinya masing-masing kepada lembaga-lembaga
pemerintah,
swasta,
dan
masyarakat
dalam
rangka
mengembangkan kawasan konservasi di Indonesia termasuk KKLD Bintan Timur. 2. Kebijakan Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberi wewenang kepada Pemerintah Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) untuk mengelola sumberdaya di wilayah lautnya (pasal 18). Berdasarkan undangundang ini Pemerintah Kabupaten Bintan membuat kebijakan tentang pengelolaan terumbu karang. Adapun kebijakan yang telah dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Bintan terkait pengelolaan terumbu karang adalah sebagai berikut. (i)
Surat Keputusan Bupati Bintan Nomor 261/III/2007 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Bintan. KKLD ini terletak pada dua kawasan, yaitu (1) Kawasan pesisir Bintan Timur (kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir) seluas 116.000 ha, dan (2) Kawasan perairan laut di Kecamatan Tambelan dengan luas 365.905 ha . Dalam Surat Keputusan Bupati Bintan Nomor 261/VIII/2007 tersebut juga menetapkan pemanfaatan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan, yaitu wilayah pesisir Bintan Timur (Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir) diprioritaskan untuk mendukung kegiatan perikanan berkelanjutan dan pariwisata bahari. Sementara kawasan perairan laut Kepulauan Tambelan diprioritaskan untuk mendukung perikanan berkelanjutan.
(ii)
Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Terumbu Karang. Adapun ruang lingkup pengaturan peraturan daerah ini meliputi perumusan kebijaksanaan mencakup perencanaan, pemanfaatan, rehabilitasi ekosistem
124
terumbu karang, kawasan konservasi laut daerah, peranserta masyarakat serta pengawasan dan pengendalian (Pasal 5). Selanjutnya pasal 15 ayat (1) disebutkan bahwa Pemerintah Daerah menunjuk Kawasan Konservasi Laut Daerah untuk melestarikan fungsi dan peranan ekosistem terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya dalam kehidupan di lautan dan daratan sesuai dengan kewenangannya. Dalam pasal 16 disebutkan bahwa Kawasan Konservasi Laut Daerah dikelola oleh satuan organisasi pengelola dalam bentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Peraturan daerah ini juga memberi kewenangan kepada pemerintah desa untuk membuat peraturan tentang pengelolaan ekosistem terumbu karang pada skala desa sesuai dengan kewenangannya (pasal 18 ayat (1)). Disamping itu hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang diakomodir dalam peraturan daerah ini (pasal 26). Sebagai penerima mandat untuk melaksanakan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Terumbu Karang tersebut di atas, maka Bupati Bintan sebagai Kepala Daerah Kabupaten Bintan mengeluarkan Peraturan Bupati sebagai berikut. (i)
Peraturan Bupati Bintan Nomor 13/II/2009 tentang Rencana Strategis Pengelolaan Terumbu Karang Kabupaten Bintan Tahun 2009 – 2014. Peraturan Bupati ini memuat visi dan misi, serta strategi pengelolaan terumbu karang di Kabupaten Bintan. Mengingat peraturan ini masih relatif baru, maka pelaksanaan di lapangan belum berjalan sepenuhnya.
(ii)
Lembaga UPT KKLD dengan Peraturan Bupati Bintan Nomor 20 Tahun 2010 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bupati Bintan Nomor 7 Tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi Unit Pelaksana Teknis Daerah pada Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bintan. UPT KKLD yang dibentuk ini berada pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan sebagai pelaksanaan pasal 16 Perda Kabupaten Bintan Nomor 12 tahun 2008 tentang Pengelolaan terumbu Karang.
125
(iii) Peraturan Bupati Bintan Nomor 25 Tahun 2010 tentang Rencana Zonasi dan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang. Peraturan Bupati Bintan ini memuat penzonaan KKLD (zona inti, zona perikanan berkelanjutan, dan zona pemanfaatan dan lainnya) beserta titik koordinat masing-masing zona. Disamping itu juga memuat Prinsip-prinsip Rencana Pengelolaan KKLD. Mengingat Peraturan Bupati ini masih relatif baru, maka pelaksanaan peraturan masih dalam tahap sosialisasi. Berdasarkan Peraturan Bupati Bintan Nomor 20 Tahun 2010 pasal 10 lembaga yang diberi tanggung jawab untuk mengelola Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan adalah UPT KKLD pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan. Selanjutnya dalam pasal 10 ayat 3 Peraturan Bupati Nomor 20 Tahun 2010 tersebut di atas disebutkan bahwa susunan organisasi UPT KKLD pada Dinas Kelautan dan Perikanan terdiri dari: Kepala UPT; Sub Bagian Tata Usaha; Petugas Operasional bagian Potensi, Rehabilitasi, Penelitian dan Pengawasan
serta
Jabatan
Fungsional.
Mengingat
karena
keterbatasan
sumberdaya manusia maka UPT KKLD Bintan baru memiliki dua orang personil, yaitu Kepala UPT dan Sub Bagian Tata Usaha, sedangkan bagian struktur lainnya belum mempunyai personil. Disamping itu, belum tersedianya ruang sekretariat yang memadai, sehingga menyebabkan kinerja UPT KKLD belum berjalan maksimal sesuai dengan amanat Perbup Bintan Nomor 20 tahun 2010 pasal 10 ayat 2. Keterbatasan sumberdaya manusia dan kemampuan keuangan daerah merupakan kendala dalam penyediaan ruang sekretariat yang memadai serta mengisi struktur organisasi UPT KKLD Kabupaten Bintan ini. Berdasarkan penelaahan terhadap Perbup Bintan Nomor 20 Tahun 2010, terutama pasal 10 C ayat 3 menyangkut susunan organisasi UPT KKLD pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan belum sepenuhnya mengacu pada Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah yang disusun DKP (2008). Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk penyempurnaan struktur organisasi kelembagaan KKLD ini, sehingga efektifitas dan kinerja pengelolaan KKLD dimasa depan dapat ditingkatkan.
126
Sebagai implementasi kebijakan daerah dan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Bintan Timur telah dilakukan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat. Pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat (PBM) adalah masyarakat pesisir terorganisir dan diberdayakan dalam pengelolaan terumbu karang. Pelaksanaan pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat ini melalui Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) yang terbentuk dan dilaksanakan oleh masyarakat. Saat ini telah tersusun RPTK pada 5 lima desa binaan Coremap dan juga telah terbentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL), Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) serta Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas). Disamping itu kegiatan pengembangan mata pencaharian alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan dan peningkatan pendapatan masyarakat juga telah dilakukan, seperti
budidaya ikan dalam keramba jaring apung/keramba jaring tancap
(KJA/KJT), pembuatan kerupuk ikan, dan lain sebagainya. Namun kegiatan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat belum berjalan optimal dan harus ditingkatkan dimasa mendatang. 3. Kajian Program Pengelolaan Terumbu Karang Kebijakan pemerintah Kabupaten Bintan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang diawali dengan ditetapkannya Kabupaten Bintan sebagai lokasi Coremap II pada tahun 2004. Disamping itu, sebagai kabupaten berbasis kelautan pemerintah Kabupaten Bintan mempunyai komitmen yang kuat untuk mengelola sumberdaya kelautan secara lestari dan berkelanjutan guna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini tercermin dari misi pembangunan Kabupaten Bintan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Bintan 2005 – 2025, yaitu meningkatkan pendayagunaan sumberdaya perikanan dan kelautan; dan mengembangkan wisata yang berbasis kelautan dan budaya setempat. Selanjutnya misi tersebut dituangkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bintan baik pada RPJMD 2005 2010 maupun RPJMD 20011 -2015. Program pengelolaan ekosistem terumbu karang dari Coremap selalu diakselarasikan dan dipadukan dengan program
127
rencana kerja Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan yang tertuang dalam Rencana Strategis Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan 2006 – 2010 dan 2011-2015. Adapun program pembangunan yang tertuang dalam RPJM dan Renstra Dinas Kelautan dan Perikanan yang menyangkut pengelolaan ekosistem terumbu karang di Kabupaten Bintan adalah konservasi dan perlindungan sumberdaya perikanan dan kelautan serta penataan dan pengelolaan perairan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selama kegiatan Coremap II berlangsung (2004 – 2009) dan diperpanjang sampai tahun 2011 pemerintah Kabupaten Bintan telah menyediakan dana dari APBD sebagai dana pendamping kegiatan Coremap. Sehubungan dengan berakhirnya kegiatan Coremap II pada tahun 2011, maka kegiatan pengelolaan terumbu karang di Kabupaten Bintan tetap akan dilanjutkan yang akan didanai dari APBD Kabupaten Bintan atau dari pihak-pihak lainnya. Program dan kegiatan yang telah dilaksanakan tersebut di atas dalam konteks pengelolaan ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir Bintan Timur telah memberikan pengaruh yang positif terhadap tutupan karang hidup. Coremap II-LIPI (2010) melaporkan bahwa tutupan karang hidup pada 6 (enam) stasiun permanen sebagai lokasi pemantauan untuk melihat kesehatan terumbu karang di perairan Bintan Timur dari tahun 2007 sampai tahun 2010 menunjukkan peningkatan persentase tutupan karang hidup yang berfluktuasi. Namun demikian, peningkatan dan penurunan nilai rata-rata persentase tutupan karang hidup tidak signifikan. Adapun data tutupan karang hidup dalam selang pengamatan 2007 – 2010 disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Tutupan karang hidup dalam pengamatan 2007 – 2010 di Perairan Bintan Timur Kepulauan Riau No
Lokasi
1 2 3 4 5 6
Pesisir Utara Teluk Bakau Tanjung Bakau Pesisir Selatan Teluk Bakau Pulau Beralas Pasir Pesisir Utara P. Gyn Besar Desa Airjung P. Gyn Besar Rata-rata
2007 56,27 72,10 49,20 30,17 60,20 28,20 49,35
Tutupan Karang Hidup (%) 2008 2009 63,80 62,50 73.07 70,90 51.50 47,00 37,07 27,50 66.87 63,37 33,77 44,87 54,34 52,69
2010 68,80 74,37 46,77 36,03 66.87 29,20 53,67
128
4. Pembelajaran Program Yang Telah dan Sedang Dilaksanakan (1) Pembelajaran yang baik Selama kurun waktu tujuh tahun perjalanan program pengelolaan terumbu karang di Kabupaten Bintan khususnya di pesisir Bintan Timur yang diinisiasi oleh Coremap II, telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Namun demikian, program yang telah dilaksanakan perlu dilanjutkan dan ditingkatkan. Program-program yang dinilai telah cukup berhasil adalah peningkatan tutupan karang hidup, aspek sosial ekonomi dan kesadaran masyarakat. - Tutupan Karang Hidup Berdasarkan hasil serangkaian penelitian Coremap II - LIPI sejak tahun 2007 – 2010 pada enam stasiun permanen menunjukkan bahwa rata-rata tutupan karang hidup menurut tahun relatif berfluktuasi (Gambar 26). 54,34
Persentase (%)
55
53,67
54 53
52,69
52 51 50
49,35
49 48 47 46 T0 (2007)
T1 (2008)
T2 (2009)
T3 (2010)
Tahun
Gambar 26. Persentase rata-rata tutupan karang hidup di KKLD Bintan Timur dari tahun 2007 sampai 2010 (Coremap II – LIPI, 2010) Dari Gambar 26 terlihat bahwa pada tahun 2007 tutupan karang hidup 49,35% meningkat menjadi 54,34% tahun 2008, kemudian turun sedikit menjadi 52,69% pada tahun 2009 dan naik lagi menjadi 53,68% pada tahun 2010. Selanjutnya Coremap II-LIPI (2010) melaporkan bahwa berdasarkan hasil analisa tidak ada perbedaan yang signifikan, untuk semua kategori antara tahun pengamatan 2007 (t0) dengan 2008 (t1), 2009 (t2) dan 2010 (t3). Artinya tidak ada penambahan ataupun penurunan nilai rata rata persentase tutupan karang yang signifikan.
129
- Sosial Ekonomi Berdasarkan hasil penelitian terungkap bahwa pendapatan rata-rata nelayan di wilayah studi hanya sebesar Rp. 1.143.953,-/bulan/keluarga atau sebesar Rp. 285.988,-/kapita/bulan. Sementara itu angka garis kemiskinan di Kabupaten Bintan tahun 2010 adalah sebesar Rp. 274.271,-/kapita/bulan. Berarti pendapatan rata-rata nelayan berada sedikit di atas angka garis kemiskinan, yaitu sebesar Rp. 11.717,-/kapita/bulan. Namun demikian sebagian besar nelayan (85,9%) masih tergolong miskin dengan pendapatan < Rp. 1000.000,/bulan/keluarga atau sebesar Rp. 250.000,-/kapita/bulan. Romdiati dan Djohan (2009) yang melakukan survei sosial ekonomi di Desa Gunung Kijang dan Desa Malang Rapat melaporkan bahwa pendapatan ratarata nelayan di kedua desa tersebut meningkat dari Rp 792.242,- pada tahun 2007 menjadi Rp 1.822.908,- pada tahun 2009. Begitu juga pendapatan per kapita meningkat dari Rp 226.530,- pada tahun 2007 menjadi Rp 482.400,- pada tahun 2009. Peningkatan pendapatan ini berkaitan dengan adanya beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi oleh Coremap II, seperti budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) dan keramba jaring tancap (KJT) serta industri rumah tangga (kerupuk atom ikan tenggiri, dodol rumput laut) di kedua desa tersebut. Selanjutnya Sjafrie (2011) melaporkan bahwa ada kecenderungan peningkatan rata-rata hasil tangkapan nelayan per bulan dari tahun 2008 sampai tahun 2010 di Bintan Timur. Rata-rata tangkapan per bulan pada tahun 2008 sebesar 197,55 kg meningkat menjadi 344,5 kg pada tahun 2009 dan 378,33 kg pada tahun 2010. - Kesadaran Masyarakat Dengan adanya berbagai program dan kegiatan yang dilakukan Coremap II
seperti penyuluhan, pelatihan untuk masyarakat dan TOT (training of trainers) bagi guru di tiga desa binaan yaitu Desa Gunung Kijang, Kelurahan Kawal dan Desa Mapur telah meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem terumbu karang. Kondisi ini tercermin dari hal-hal sebagai berikut: (i) Destructive fishing sudah sangat berkurang, bahkan tidak ada lagi sejak 5 tahun terakhir. (ii) Kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) yang dibentuk sejak tahun 2006 tetap berjalan sampai saat ini, walaupun pengawasan yang dilakukan tidak menurut jadwal yang ditetapkan. Pengawasan dilakukan secara mandiri sambil melakukan aktivitas mencari ikan di laut. Pada umumnya anggota Pokmaswas ini adalah berprofesi sebagai nelayan.
130
(iii) Dalam melaksanakan pengawasan ini masyarakat dibekali dengan ketrampilan cara pengawasan dan patroli, cara menegur dan menangani pelanggar, berkomunikasi dengan anggota MCS (monitoring, controlling and surveilance), ketrampilan menyelam dan sebagainya. (2) Pembelajaran yang buruk Walaupun sebagian program dan kegiatan dalam pengelolaan terumbu karang di perairan pesisir Bintan Timur telah berjalan sesuai dengan logprogram Coremap II, namun masih ditemukan beberapa kendala yang harus diatasi untuk keberlanjutan pengelolaan di masa yang akan datang. Adapun komponenkomponen yang perlu menjadi perhatian ke depan adalah sebagai berikut: - Kelembagaan Di tingkat kabupaten masih sulitnya koordinasi antar sektor yang terkait dalam pengelolaan terumbu karang, sehingga dapat menghambat program dan kegiatan pengelolaan. Hal ini diindikasikan dari tingkat kehadiran anggota PIU (Project Implementation Unit) dari sektor/instansi yang terlibat umumnya diwakilkan kepada staf yang tidak memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan. Disamping itu, masih sulitnya koordinasi pada tataran implementasi di lapangan, dimana masih ditemukan konflik antar stakeholder dalam pemanfaatan sumberdaya. Penguatan kelembagaan di berbagai subkomponen termasuk kinerja seluruh lembaga pelaksana, baik di tingkat kabupaten maupun di tingkat masyarakat seperti LPSTK, Pokmas dan Pokmaswas perlu terus ditingkatkan agar mampu mendukung pelaksanaan program ke depan. Lembaga LPSTK perlu ada di setiap desa lokasi, agar fungsinya sebagai pengelola dan sekaligus merupakan perwakilan masyarakat, lebih mempunyai rasa memiliki dan bertanggung jawab. - Pengelolaan Berbasis Masyarakat Dengan berakhirnya kegiatan Coremap II, maka kegiatan Pokmaswas DPL cenderung menurun, karena ketiadaan biaya operasional. Tidak ada bantuan biaya pemeliharaan boat patroli. Akibatnya setelah dua tahun kapal patroli sering tidak bisa dipakai karena telah mengalami beberapa kerusakan, sedangkan pokmaswas tidak punya dana. Di lain pihak, aturan Coremap patroli harus dilakukan dua kali
131
seminggu. Disamping itu sarana dan prasarana pengawasan belum memadai, dimana setiap pokmaswas hanya dilengkapi dengan boat satu unit, mesin tempel 15 PK, HT, teropong, GPS dan peta. Keterlibatan masyarakat nelayan dalam pengawasan DPL ini juga masih rendah, dimana jumlah anggota pokmaswas di Desa Gunung Kijang hanya 5 (lima) orang dan di Desa Malang Rapat 6 (enam) orang. Selanjutnya pelatihan untuk MCS (monitoring, controlling and surveilance) belum diberikan kepada seluruh anggota pokmaswas, tetapi hanya terbatas pada ketua pokmaswas, ketua LPSTK dan motivator desa. 5.3.2. Skenario Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan Skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang dibangun berdasarkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan yang disebut sebagai faktor kunci (key factors). Faktor-faktor kunci dalam penelitian ini diperoleh dari hasil analisis prospektif yang dilakukan melalui tiga tahapan analisis, yaitu (1) analisis prospektif dengan menggunakan atribut sensitif dari hasil analisis MDS (existing condition); (2) analisis prosfektif dengan menggunakan atribut sensitif dari hasil analisis kebutuhan (need analysis) dan (3) gabungan dari hasil analisis prosfektif faktor-faktor kunci hasil analisis prospektif existing condition dan need analysis. 5.3.2.1. Faktor-Faktor Kunci dari Hasil Analisis MDS Hasil analisis MDS menunjukkan bahwa dari 43 atribut yang dianalisis, diperoleh 20 atribut yang sensitif berpengaruh terhadap keberlanjutan sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang
di KKLD Kabupaten Bintan dengan
rincian setiap dimensi disajikan pada Tabel 27.
132
Tabel 27. Atribut multidimensi yang sensitif terhadap keberlanjutan sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang dari hasil analisis MDS Dimensi/Aspek A. Ekologi
B. Ekonomi
C. Sosial budaya
D. Teknologi dan Infrastruktur E. Hukum dan Kelembagaan
No. 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 1 2 3 4
Atribut Kondisi perairan Substrat perairan Spesies yang dilindungi Keragaman ikan karang Luas area yang dilindungi Tutupan karang hidup Kunjungan wisman Jumlah obyek wisata Penyerapan tenaga kerja pariwisata Ketersediaan modal nelayan Nilai estetika Tingkat pertumbuhan jumlah nelayan Mata pencaharian alternatif non perikanan Potensi konflik pemanfaatan Transplantasi karang Efek alat tangkap terhadap karang Tingkat kepatuhan masyarakat Penyuluhan hukum lingkungan Pemantauan dan pengawasan Koordinasi antar stakeholders
Sumber : Hasil analisis Rap-Insus COREMAG, 2011
RMS 5,64 5,29 5,18 4,91 3,47 2,93 11,54 11,25 9,17 7,88 7,79 7,11 5,58 5,49 4,56 2,65 0,12 0,12 0,07 0,07
RMS = Root Mean Square
Tabel 27 memperlihatkan bahwa jumlah faktor yang berpengaruh terhadap keberlanjutan sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan hasil analisis MDS sebanyak 20 faktor, terdiri dari atas dimensi ekologi sebanyak enam faktor, dimensi ekonomi empat faktor, dimensi sosial budaya empat faktor, dimensi teknologi dan infrastruktur dua faktor serta dimensi kebijakan dan kelembagaan empat faktor. Selanjutnya ke 20 faktor sensitif tersebut dianalisis tingkat kepentingan antar faktor terhadap kinerja sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang dengan menggunakan analisis prospektif. Output dari hasil analisis prospektif berupa ranking dan sektor dari masing-masing atribut yang digambarkan dalam diagram empat sektor/kuadran beserta koordinatnya, seperti disajikan pada Gambar 27. Dari hasil analisis prospektif (Gambar 27) menunjukkan bahwa dari 20 atribut sensitif yang dianalisis, ditemukan enam atribut sebagai faktor kunci sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang berdasarkan hasil analisis MDS
133
pada kondisi eksisting. Pada kuadran satu adalah faktor penyerapan tenaga kerja pariwisata, koordinasi antara stakeholders, penyuluhan hukum lingkungan, dan luas area yang dilindungi, sedangkan pada kuadran dua adalah tingkat kepatuhan masyarakat, dan tutupan karang hidup. Menurut Bourgeois dan Jesus (2004), faktor-faktor yang terdapat pada kuadran pertama merupakan faktor penentu atau penggerak (driving variables) dan mempunyai pengaruh kuat namun ketergantungannya kurang kuat. Faktorfaktor yang terdapat pada kuadran kedua merupakan faktor penghubung (leverage variables), mempunyai pengaruh kuat dan ketergantungannya yang kuat antar faktor sehingga faktor-faktor dalam kuadran ini sebagian dianggap sebagai faktor atau peubah yang kuat. Faktor-faktor yang terdapat pada kuadran ketiga merupakan faktor terikat (output variables) adalah mewakili faktor output, dimana pengaruhnya kecil tetapi ketergantungannya tinggi, sedangkan faktor yang berada pada kuadran empat disebut sebagai faktor bebas (marginal variables) yaitu faktor marginal yang pengaruhnya kecil dan tingkat ketergantungannya juga rendah, sehingga faktor-faktor ini dalam sistem bersifat bebas.
134
Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji 2,00 Penyerapan tenaga kerja pariwisata
1,80
Tingkat kepatuhan masyarakat
Koordinasi antar stakeholders
1,60 Tutupan karang hidup Penyuluhan hukum lingkungan
Pengaruh
1,40
(I)
1,20
(II)
Luas area yang dilindungi
1,00 Pertumbuhan jumlah nelayan Kondisi perairan
0,80
Kunjungan wisatawan
Spesies yang dilindungi
(IV) 0,60
Jumlah obyek wisata
Keragaman ikan karang
Ketersediaan modal nelayan
0,40
Mata pencaharian non perikanan
0,20
Pemantauan dan pengawasan Nilai estetika Substrat perairan Efek alat tangkap terhadap Transplantasi karang karang
(III)
Potensi konflik
-
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
Ketergantungan
Gambar 27. Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja sistem yang dikaji (tahap pertama)
135
5.3.2.2 Faktor-Faktor Kunci dari Hasil Analisis Kebutuhan Faktor-faktor kunci untuk mendesain model juga dapat diidentifikasi melalui analisis kebutuhan (Eryatno, 2003). Langkah awal dalam analisis kebutuhan adalah mendata stakeholder terkait, mendeskripsikan tugas pokok dan fungsinya serta keterkaitannya dengan sistem yang akan dibangun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa stakeholder yang mempunyai keterkaitan langsung atau tidak langsung dalam sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Kabupaten Bintan secara garis besar dapat dikelompokkan empat kategori, yaitu: (1) kelompok masyarakat, terdiri atas nelayan, Perguruan Tinggi dan LSM, (2) kelompok pemerintah, terdiri atas dinas/instansi yang membidangi perikanan dan kelautan, lingkungan hidup, kependudukan, perhubungan, pariwisata, perizinan, perencana pembangunan, pertambangan, perdagangan, dan perbankan, (3) kelompok swasta, terdiri atas pengusaha pariwisata (hotel dan restoran, resort), pengusaha perikanan, dan (4) kelompok konsumen, yaitu masyarakat dan wisatawan. Kebutuhan dan keinginan stakeholder dideskripsikan dalam matriks kebutuhan. Dari sejumlah kebutuhan yang dideskripsikan diantaranya terdapat kebutuhan-kebutuhan yang sejalan dan saling mendukung (sinergis) dan terdapat pula kebutuhan-kebutuhan yang saling bertentangan (kontradiktif), sehingga perlu dilakukan formulasi masalah. Formulasi masalah dilakukan melalui teknik PRA terhadap stakeholder (informan kunci) untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan yang sensitif terhadap sistem yang dikaji secara triangulasi. PRA memfasilitasi proses saling berbagi informasi (information sharing), analisis, dan aktivitas antar stakeholders. Hasil formulasi tersebut berupa atribut atau faktor-faktor yang sensitif terhadap sistem pengelolaan ekosisten terumbu karang, setelah dikonsultasikan dengan pakar dari berbagai disiplin, diperoleh 15 faktor yang sensitif terhadap obyek penelitian, disajikan pada Tabel 28.
136
Tabel 28.
Atribut multidimensi yang sensitif terhadap keberlanjutan sistem pengelolaan ekosistem terumbu karang dari hasil analisis kebutuhan Dimensi
Ekologi
Ekonomi
Sosial Budaya
Teknologi dan Infrastruktur Hukum dan Kelembagaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Atribut yang sensitif Populasi dan jenis ikan Kualitas perairan Kondisi terumbu karang Pendapatan Ketersediaan modal Pemasaran ikan Kunjungan wisatawan Pemberdayaan masyarakat Konflik sosial Ketersediaan SDM Sarana dan prasarana pengawasan Transplantasi karang Kepatuhan hukum Kelembagaan konservasi Kebijakan pemerintah
Sumber: Data primer Atribut sensitif tersebut selanjutnya dianalisis tingkat kepentingan antar faktor terhadap sistem yang dikaji dengan menggunakan analisis prosfektif yang hasilnya ditunjukkan pada Gambar 28. Gambar 28 menunjukkan bahwa dari 15 atribut sensitif hasil analisis kebutuhan yang dianalisis, diperoleh empat atribut sebagai faktor kunci sistem pengelolaan
ekosistem
terumbu
karang.
Faktor
kebijakan
pemerintah,
ketersediaan SDM dan sarana dan prasarana pengawasan merupakan faktor penggerak dan mempunyai pengaruh kuat dalam sistem yang dikaji. Faktor pendapatan masyarakat merupakan faktor penghubung dan mempunyai pengaruh yang kuat.
137
Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji 3,00 2,80 2,60 (I)
2,40 2,20
Pengaruh
(II)
Kebijakan pemerintah
2,00
Sapras pengawasan
1,80
Ketersediaan SDM Pendapatan
1,60 1,40
Kualitas perairan
1,20
Ketersediaan modal
Kelembagaan konservasi
1,00 (IV)
0,80
(III)
Kondisi TK Pemberdayaan masyarakat
0,60
Kepatuhan hukum Pemasaran Transplantasi karang Populasi dan jenis ikan
0,40 0,20
Konflik sosial Kunjungan wisatawan
-
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
1,80
2,00
2,20
2,40
2,60
2,80
3,00
Ketergantungan
Gambar 28. Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja sistem yang dikaji (tahap kedua).
138
5.3.2.3 Faktor-Faktor Kunci dari Hasil Analisis Gabungan Faktor-faktor
kunci
yang
mempengaruhi
keberlanjutan
pengelolaan
ekosistem terumbu karang di KKLD Kabupaten Bintan terdiri dari faktor kunci hasil analisis prospektif MDS dan analisis propektif analisis kebutuhan. Hasil analisis prospektif MDS diperoleh enam faktor kunci, sedangkan hasil analisis prospektif analisis kebutuhan dihasilkan empat faktor kunci. Selanjutnya dilakukan penggabungan dimana faktor-faktor yang sama dari kedua hasil analisis tersebut digabung dan dihitung satu faktor disajikan pada Tabel 29. Tabel 29. Faktor-faktor kunci multidimensi yang berpengaruh terhadap sistem pengelolaan terumbu karang di KKLD Bintan Timur No
Faktor Kunci dari MDS
1
Penyerapan tenaga kerja pariwisata
2
Koordinasi antar stakeholders
3
Penyuluhan hukum lingkungan
4
Luas area yang dilindungi
5
Kepatuhan masyarakat
6
Tutupan karang hidup
Faktor Kunci dari Analisis Kebutuhan
7
Kebijakan pemerintah
8
Pendapatan masyarakat
9
Ketersediaan SDM
10
Sarana dan prasarana pengawasan
Hasil penggabungan faktor kunci di atas, selanjutnya disusun keadaan (state) yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang. Keadaan masing-masing faktor seperti disajikan pada Tabel 30.
139
Tabel 30. Perubahan keadaan (state) faktor-faktor kunci/penentu dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepri
No
Keadaan pada masa yang akan datang Faktor Kunci
1
Tutupan karang hidup
2
Persentase luas area yang dilindungi
3
Koordinasi antara stakeholders
4
Kebijakan pemerintah
5
Penyuluhan hukum lingkungan
6
Kepatuhan masyarakat
7
Penyerapan tenaga kerja pariwisata
8
Ketersediaan SDM
9
Pendapatan masyarakat
10
Sarana dan pengawasan
prasarana
Skenario I
Skenario II
Skenario III
1A
1B
1C
1 sedang 2A
2 baik 2B
3 sangat baik 2C
0
1
2
sedikit
sedang
tinggi
3A
3B
3C
1 sedang 4A 1 ada, belum berjalan optimal 5A 1 jarang 6A 1 sedang 7A (0) rendah 8A 1 rendah 9A 1 sedang 10A 1 Ada, belum cukup
2 baik 4B 2 berjalan optimal
2 baik 4C 2 berjalan optimal
5B 2 sering 6B 2 tinggi 7B (1) sedang 8B 2 sedang 9B 2 cukup tinggi 10B 2 Cukup
5C 2 sering 6C 2 tinggi 7C (2) tinggi 8C 3 tinggi 9C 2 cukup tinggi 10C 2 Cukup
140
Berdasarkan Tabel 30 disusun skenario yang mungkin terjadi di masa depan. Dapat dirumuskan tiga kelompok skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur, yaitu: (1)
Skenario pesimis, yaitu dengan melakukan perbaikan seadanya terhadap atribut-atribut (faktor) kunci.
(2)
Skenario Moderat, yaitu dengan melakukan perbaikan sekitar 50% atributatribut (faktor) kunci.
(3)
Skenario Optimis, yaitu dengan melakukan perbaikan terhadap seluruh atribut-atribut (faktor) kunci. Adapun skenario yang dapat disusun seperti pada Tabel 31.
Tabel 31. Hasil analisis skenario strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau No
Skenario Strategi
Susunan Faktor
0
Kondisi eksisting
1A, 2A, 3A, 4A, 5A, 6A, 7A, 8A, 9A, 10A
1
Pesimis
1A, 2A, 3B, 4A, 5B, 6A, 7A, 8A, 9A, 10A
2
Moderat
1B, 2B, 3B, 4B, 5C, 6B, 7B, 8B, 9B, 10B
3
Optimis
1B, 2C, 3C, 4C, 5C, 6C, 7C, 8C, 9C, 10C
Penyusunan skenario seperti pada Tabel 31 didasarkan atas pertimbangan waktu dan kemampuan pemerintah sebagai pembuat kebijakan dalam menerapkan program pengelolaan terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur untuk masa yang akan datang. Berikut uraian setiap skenario dan status berkelanjutan yang dapat dicapai untuk masa yang akan datang. 1.
Skenario Pesimis (Skenario 1) Status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD
Kabupaten Bintan dapat ditingkatkan melalui perbaikan faktor-faktor (atribut) kunci yang berpengaruh terhadap peningkatan status pengelolaan. Pada skenario 1 ini, diupayakan perbaikan-perbaikan seadanya atau dengan kata lain perbaikan yang dilakukan didasarkan pada waktu dan efisiensi biaya yang dikeluarkan dapat ditekan sekecil mungkin. Beberapa atribut kunci yang diupayakan dapat diperbaiki seperti koordinasi antar stakeholders, penyuluhan hukum lingkungan dan peningkatan sumberdaya manusia melalui pelatihan. Dengan adanya
141
perbaikan-perbaikan atribut kunci tersebut, akan terjadi perubahan nilai skoring atribut yang diperbaiki seperti pada Tabel 32. Tabel 32. Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 1 terhadap peningkatan status pengelolaan ekosistem terumbu karang
No
Skring
Atribut Kunci
Eksisting
Skenario 1
Skala
1
Tutupan karang hidup
1
1
0-3
2
Persentase luas area yang dilindungi
0
0
0-2
3
Koordinasi antara stakeholders
1
2
0-2
4
Kebijakan pemerintah
1
1
0-2
5
Penyuluhan hukum lingkungan
1
2
0-2
6
Kepatuhan masyarakat
1
1
0-2
7
Penyerapan tenaga kerja pariwisata
0
0
0-2
8
Ketersediaan SDM
1
2
0-3
9
Pendapatan masyarakat
1
1
0-2
10
Sarana dan prasarana pengawasan
1
1
0-2
Perubahan nilai skoring beberapa atribut kunci di atas, selanjutnya dilakukan analisis Rap-Insus COREMAG untuk melihat seberapa besar peningkatan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur. Besarnya perubahan nilai indeks berdasarkan hasil analisis Rap-Insus COREMAG, seperti pada Tabel 33. Tabel 33. Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario 1 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau
1
Ekologi
Nilai Indeks Eksisting 63,00
2
Ekonomi
57,48
57,48
0,00
3
Sosial budaya
52,03
52,98
0,95
4
Teknologi dan Infrastruktur
51,18
51,18
0,00
5
Hukum dan Kelembagaan
49,91
56,41
6,50
6
Multidimensi
54,73
55,66
0,93
No
Dimensi Keberlanjutan
Nilai Indeks Skenario 1 63,00
Perbedaan 0,00
142
Dari Tabel 33 terlihat bahwa adanya peningkatan indeks keberlanjutan terhadap dua dimensi yang dilakukan perbaikan, termasuk nilai indeks multidimensi. Walaupun nilai indeks keberlanjutan pada semua dimensi berada pada status cukup berkelanjutan, upaya perbaikan atribut-atribut kunci perlu tetap dilanjutkan secara maksimal untuk masa yang akan datang. Dukungan kebijakan pemerintah yang kuat dan secara terpadu, baik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupaten sangat diperlukan, sehingga pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur tetap berkelanjutan. 2.
Skenario Moderat (Skenario 2) Pada skenario moderat-optimistik (skenario 2) ini diupayakan perbaikan
atribut-atribut kunci yang lebih moderat, dimana hampir 50%
atribut kunci
dilakukan perbaikan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur seharusnya dilakukan secara bertahap dengan tetap mempertimbangkan kemampuan biaya yang tersedia. Dengan dasar pertimbangan ini, akan berimplikasi pada pencapaian pengelolaan ekosistem terumbu karang yang ideal dalam waktu yang lebih cepat sulit untuk direalisasikan, sementara ada beberapa atribut yang perlu penanganan yang lebih sungguh-sungguh dan mungkin akan berpengaruh terhadap atribut lainnya. Adapun atribut-atribut kunci yang diperbaiki seperti terlihat pada Tabel 34. Tabel 34. Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 2 terhadap peningkatan status pengelolaan ekosistem terumbu karang No
Atribut Kunci
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tutupan karang hidup Persentase luas area yang dilindungi Koordinasi antara stakeholders Kebijakan pemerintah Penyuluhan hukum lingkungan Kepatuhan masyarakat Penyerapan tenaga kerja pariwisata Ketersediaan SDM Pendapatan masyarakat Sarana dan prasarana pengawasan
Skring Eksisting
Skenario 2
1 0 1 1 1 1 0 1 1 1
2 1 2 2 2 2 1 2 2 2
Skala 0-3 0-2 0-2 0-2 0-2 0-2 0-2 0-3 0-2 0-2
143
Hasil perubahan nilai skoring beberapa atribut kunci di atas, selanjutnya dilakukan analisis Rap-Insus COREMAG untuk melihat seberapa besar peningkatan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Kabupaten Bintan. Besarnya perubahan nilai indeks berdasarkan hasil analisis Rap-Insus COREMAG, seperti pada Tabel 35. Tabel 35. Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario 2 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau
No 1 2 3 4 5 6
Dimensi Keberlanjutan Ekologi Ekonomi Sosial budaya Teknologi dan Infrastruktur Hukum dan Kelembagaan Multidimensi
Nilai Indeks Eksisting 63,00 57,48 52,03 51,18 49,91 54,73
Nilai Indeks Skenario 2 64,41 69,57 52,98 58,15 64,50 60,70
Perbedaan 1,41 12,09 0,95 6,97 14,59 5,97
Pada Tabel 35 terlihat bahwa semua dimensi memiliki nilai indeks keberlanjutan di atas 50% atau sudah berada pada status cukup berkelanjutan. Namun untuk mencapai kondisi yang ideal, upaya peningkatan nilai indeks ini masih dapat dilakukan dengan memaksimalkan perbaikan sebagian besar atribut kunci yang yang ada. Penanganan atribut-atribut tersebut dapat dilakukan seperti pada skenario 3 dengan melakukan perbaikan sebagian besar atribut-atribut kunci tersebut. 3.
Skenario Optimis (Skenario 3) Pada skenario 3 ini, upaya perbaikan dilakukan terhadap semua atribut-
atribut kunci. Dengan perbaikan ini tentunya dibutuhkan biaya yang besar dan waktu yang cukup lama. Dalam hal ini dapat dilakukan dalam tiga masa waktu yaitu jangka pendek dengan melakukan perbaikan-perbaikan atribut yang mendesak untuk ditangani, kemudian jangka menengah dan jangka panjang dengan melakukan perbaikan terhadap atribut penunjang pengelolaan ekosistem terumbu karang. Hal ini dapat dilakukan dengan komitmen yang kuat dari pemerintah sebagai fasilatator dan regulator dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang. Beberapa faktor kunci yang diupayakan dapat diperbaiki seperti pada Tabel 36.
144
Tabel 36. Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 3 terhadap peningkatan status pengelolaan ekosistem terumbu karang Skring
No
Atribut Kunci
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tutupan karang hidup Persentase luas area yang dilindungi Koordinasi antara stakeholders Kebijakan pemerintah Penyuluhan hukum lingkungan Kepatuhan masyarakat Penyerapan tenaga kerja pariwisata Ketersediaan SDM Pendapatan masyarakat Sarana dan prasarana pengawasan
Eksisting
Skenario 3
1 0 1 1 1 1 0 1 1 1
3 3 2 2 2 2 1 3 2 2
Skala 0-3 0-2 0-2 0-2 0-2 0-2 0-2 0-3 0-2 0-2
Hasil perubahan nilai skoring beberapa atribut kunci (Tabel 36), selanjutnya dilakukan analisis Rap-Insus COREMAG untuk melihat seberapa besar peningkatan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur. Besarnya perubahan nilai indeks berdasarkan hasil analisis Rap-Insus COREMAG, seperti pada Tabel 37. Tabel 37. Perubahan nilai indeks keberlanjutan skenario 3 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau No
Dimensi Keberlanjutan
1
Ekologi
Nilai Indeks Eksisting 63,00
Nilai Indeks Skenario 3 72,73
Perbedaan
2
Ekonomi
57,48
79,03
21,55
3
Sosial budaya
52,03
54,41
2,38
4
Teknologi dan Infrastruktur
51,18
58,15
6,97
5
Hukum dan Kelembagaan
49,91
64,50
14,59
6
Multidimensi
54,73
64,25
9,52
9,73
Pada Tabel 37 terlihat bahwa terjadi peningkatan nilai indeks keberlanjutan dengan melakukan perubahan dengan skenario 3 pada seluruh atribut kunci. Pada
145
skenario 3 ini hanya dimensi ekonomi tingkat keberlanjutannya termasuk dalam kategori baik, sedangkan pada dimensi ekologi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur serta dimensi hukum dan kelembagaan tingkat keberlanjutannya dalam kategori cukup.
5.3.2.4. Rekomendasi Skenario Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berdasarkan hasil MDS, leverage, analisis kebutuhan (need analysis) dan analisis prospektif dapat diformulasikan skenario pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur. Adapun nilai indeks keberlanjutan pada masingmasing skenario selengkapnya disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Nilai indeks keberlanjutan kondisi eksisting dan skenario 1, 2, 3 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau
No
Dimensi
Nilai indeks keberlanjutan Eksisting
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3
1
Ekologi
63,00
63,00
64,41
72,73
2
Ekonomi
57,48
57,48
69,57
79,03
3
Sosial Budaya
52,03
52,98
52,98
54,41
4
Teknologi dan Infrastruktur Hukum dan Kelembagaan Multidimensi
51,18
51,18
58,15
58,15
49,91
56,41
64,50
64,50
54,73
55,66
60,70
64,25
5 6
Tingkat keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur dapat ditingkatkan dari kondisi eksisting saat ini. Dengan melakukan perubahan pada atribut kunci (sensitif) pada setiap dimensi akan mampu meningkatkan nilai indeks keberlanjutan. Melalui strategi pengelolaan dengan penerapan skenario 1, 2 dan 3 akan diperoleh suatu tingkat pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan dari masing-masing dimensi. Peningkatan nilai indeks keberlanjutan pada skenario 3 memberikan perubahan terbesar pada tingkat keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri. Peningkatan nilai indeks keberlanjutan pada masing-
146
masing skenario pada setiap dimensi keberlanjutan berdasarkan diagram layanglayang selengkapnya disajikan pada Gambar 29.
Ekonomi
Ekonom i
Hukum dan Kelem bagaan
49,91
100 80 57,48 60 40 20 0
51,18
Ekologi
Hukum dan Kelembagaan
56,41
63,00
Sosial Buday a
Sosial Buday a
Skenario 1
Ekonomi
Ekonomi
100 80 69,57 60 40 20 0
64,50
58,15 Teknologi dan Infrastruktur
52,98
Teknologi dan Infrastruktur
Kondisi Eksisting
Hukum dan Kelembagaan
Ekologi
63,00
51,18
52,03
T eknologi dan Infrastruktur
100 80 57,48 60 40 20 0
Ekologi
64,41
52,98 Sosial Buday a
Skenario 2
100 79,03 80 60 40 20 0
Hukum dan Kelembagaan
64,50
58,15
Ekologi
72,73
54,41
Teknologi dan Infrastruktur
Sosial Buday a
Skenario 3
Gambar 29. Nilai indeks keberlanjutan lima dimensi keberlanjutan pada kondisi eksisting, skenario 1, 2 dan 3 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau Pada Tabel 38 terlihat terlihat bahwa semua dimensi memiliki nilai indeks keberlanjutan di atas 50%, kecuali dimensi hukum dan kelembagaan pada kondisi eksisting. Namun demikian nilai indeks keberlanjutan multidimensi masih berada kisaran indeks 50 – 75, yang berarti berada pada status cukup berkelanjutan. Untuk lebih memantapkan keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur, penanganan atribut-atribut sensitif yang tidak termasuk faktor kunci (key factor) dan atribut-atribut yang tidak sensitif merupakan suatu hal yang sulit untuk dihindari. Hal ini terlihat dari nilai indeks keberlanjutan multidimensi yang dicapai hanya 64,25, sementara perbaikan terhadap faktor kunci ditangani secara maksimal.
Namun demikian, diharapkan dengan
tertanganinya faktor-faktor kunci ini akan mendorong terjadinya perbaikan faktor-
147
faktor lain, sehingga indeks dan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang secara keseluruhan dapat meningkat. Strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang disusun pada skenario 1. 2, dan 3. Pada skenario 1 dilakukan seperti kondisi eksisting dan sedikit perbaikan pada beberapa atribut kunci pada dimensi yang tidak berkelanjutan. Pada skenario 2 peningkatan skoring pada beberapa atribut kunci pada seluruh dimensi tetapi tidak maksimal. Pada skenario 3 peningkatan skoring pada seluruh atribut kunci dengan maksimal. Dengan demikian strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur dimasa yang akan datang dilakukan dengan implementasi faktor-faktor atau atribut kunci tersebut. Strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang ditentukan oleh peran atribut kunci (dominan) yang memberikan peningkatan nilai indeks keberlanjutan. Interaksi antar atribut kunci akan menjadi pertimbangan dalam penentuan strategi pengelolaan dimasa yang akan datang. Peningkatan SDM dan pemberdayaan masyarakat serta penyuluhan hukum lingkungan menjadi komponen yang perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat (community based management) yang akan melahirkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang. Koordinasi antara stakeholders, peningkataan serapan tenaga kerja pariwisata, peningkatan mutu sarpras pengawasan perlu diupayakan melalui kebijakan pemerintah, dunia usaha dan partisipasi masyarakat. Dengan demikian akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat serta mengurangi tekanan terhadap ekosistem terumbu karang. 5.4
Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Berkelanjutan
5.4.1. Arahan Strategi dan Implementasi Program Penyusunan strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur dilakukan dengan melihat interaksi antara komponenkomponen ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan infrastruktur serta hukum dan kelembagaan. Permasalahan pengelolaan ekosistem terumbu karang
148
bersifat kompleks dengan banyak faktor (atribut) yang mempengaruhi keberlanjutannya. Untuk itu dilakukan pembatasan pada atribut kunci (dominan) yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang. Strategi dibangun berdasarkan pendekatan integratif terhadap seluruh atribut kunci yang berpengaruh terhadap pengelolaan terumbu karang. Upaya pengelolaan dengan menggunakan strategi pada skenario II (moderat) merupakan kondisi yang dapat dicapai pada saat ini sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bintan 2011 – 2015 dan Peraturan Bupati Bintan Nomor 13/II/2009 tentang Rencana Strategis Pengelolaan Terumbu Karang Kabupaten Bintan. Dengan menggunakan hubungan fungsi P = f (t, l, k, b, h, p, s, m, i, w), yaitu tutupan karang hidup (t), luas area yang dilindungi (l), koordinasi antar stakeholders (k), kebijakan pemerintah (b), penyuluhan hukum lingkungan (h), kepatuhan masyarakat (p), penyerapan tenaga kerja pariwsata (s), ketersediaan SDM (m), pendapatan masyarakat (i), dan ketersediaan sarana dan prasarana pengawasan (w). Peningkatan kinerja dengan skenario II dilakukan dengan meningkatkan kinerja (intervensi) faktor kunci. Dengan peningkatan kinerja faktor kunci ini setingkat lebih tinggi maka nilai indeks keberlanjutan multidimensi meningkat dari 54,73 menjadi 60,70 (cukup berkelanjutan) atau kinerja sistem meningkat sebesar 5,97. Ketersediaan sumberdaya manusia, biaya, waktu dan kebijakan yang mampu mendukung pencapaian strategi optimum, menjadi pertimbangan bagi keberhasilan pengelolaan yang dilakukan. Untuk memudahkan pembuatan kebijakan yang dapat mendorong pengembangan pengelolaan ekosistem terumbu karang yang berkelanjutan, maka diperlukan strategi pengelolaan. Strategi yang dilakukan adalah dengan membuat skenario dalam bentuk kebijakan operasional (implementasi) yang dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Adapun strategi yang dilakukan adalah dengan intervensi dan perbaikan dalam upaya meningkatkan nilai skala pada atribut-atribut kunci dari masing-masing dimensi. Kebijakan implementasi yang dilakukan pada atribut kunci masing-masing dimensi disajikan pada pada Tabel 39.
149
Tabel 39. Perubahan kenaikan skala atribut pada masing-masing dimensi dan indikator keberhasilan pada skenario 2 pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepri
No 1
2
Dimensi Ekologi
Ekonomi
3
Sosial budaya
4
Teknologi dan infrastruktur
5
Hukum dan kelembagaan
Perubahan Skor
Atribut
Indikator Keberhasilan
Awal
Akhir
1. Tutupan karang hidup
1
2
Tutupan karang hidup meningkat dari 2549,9% menjadi 50 – 74,9%
2. Persentase luas area yang dilindungi
0
1
1. Penyerapan tenaga kerja pariwisata
0
1
Luas area yang dilindungi meningkat dari <5% menjadi 5- 10% Serapan tenaga kerja meningkat dari kategori rendah menjadi sedang
2. Pendapatan masyarakat
1
2
Pendapatan rata-rata masyarakat meningkat dari > Rp.274.271,- Rp. 500.000,-/kapita /bulan menjadi > Rp. 500.000,-/kapita/bulan.
Ketersediaan SDM
1
2
Pengetahuan dan ketrampilan nelayan meningkat, sehingga kesadaran pelestraian terumbu karang meningkat
1
2
Pengawasan kawasan dapat berjalan dengan baik yang didukung oleh sarpras yang cukup dan dana operasional yang memadai
1. Kebijakan pemerintah
1
2
Pelaksanaan kebijakan pemerintah (Perda) berjalan optimal
2. Koordinasi antara Stakeholders
1
2
Koordinasi antar stakehoders berjalan baik
3. Penyuluhan hukum lingkungan
1
2
Penyuluhan hukum lingkungan meningkat dari jarang menjadi sering
4. Kepatuhan masyarakat
1
2
Tidak ada lagi masyarakat yang melakukan perusakan terumbu karang
Sarana
dan
prasarana
pengawasan
150
Berdasarkan sepuluh atribut atau faktor kunci dan indikator keberhasilan di atas, maka disusun lima strategi dan program implementasi pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur, diuraikan berikut ini. Strategi -1. Peningkatan koordinasi antar stakeholders Salah satu kunci keberhasilan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang pada suatu kawasan adalah partisipasi aktif dan dukungan penuh dari seluruh stakeholders mulai dari masyarakat nelayan, wisatawan, pengusaha pariwisata, LSM, Perguruan Tinggi, TNI AL, POLAIR sampai pada pemerintah berbagai level. Pengelolaan ekosistem terumbu karang di pesisir Bintan Timur saat ini berada di bawah koordinasi UPT KKLD Kabupaten Bintan. UPT KKLD Kabupaten Bintan ini merupakan unit pelaksana teknis di bawah koordinasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan. Pemanfaatan ekosistem terumbu karang di wilayah pesisir Bintan Timur saat ini selain sebagai daerah penangkapan ikan (fishing ground) juga menjadi obyek wisata bahari, seperti diving, snorckling, memancing bagi wisatawan. Pengaturan kegiatan perikanan di ekosistem terumbu karang merupakan tanggung jawab Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan, sedangkan kegiatan wisata bahari merupakan wewenang Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan. Hal ini akan dapat menimbulkan konflik dalam pemanfaatan ekosistem terumbu karang. Sementara itu di daratan banyak kegiatan yang berpotensi merusak terumbu karang, seperti kegiatan pertambangan bauksit, limbah permukiman, limbah hotel dan restoran. Untuk mencegah timbulnya konflik pemanfaatan dan kegiatan di daratan yang dapat berdampak kepada terumbu karang, maka perlu dilakukan koordinasi antara UPT KKLD, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, dan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bintan serta pihak-pihak lainnya. Disamping itu keterlibatan para pihak (stakeholders) dalam pengelolaan KKLD Bintan sangat diharapkan. Hal ini dimaksudkan selain untuk mengakomodasi kepentingan para pihak terhadap KKLD, juga sebagai partner kerja unit organisasi pengelola dalam melakukan pengelolaan KKLD. Keterlibatan para pihak dapat diakomodir dalam
151
bentuk sebuah forum atau mitra KKLD. Salah satu bentuk forum yang diusulkan adalah ”Forum Penyelamat Terumbu Karang Bintan” atau dapat disingkat FPTKB. Untuk meningkatkan koordinasi antar stakeholder ada beberapa program yang dapat diimplementasikan guna mencapai keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur, yaitu: 1. Mengintensifkan pertemuan formal dan informal semua stakeholders Mengingat banyaknya stakeholders yang terlibat dengan kepentingan yang berbeda di dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Bintan Timur, maka di butuhkan kesamaan pandang terhadap pengelolaan terumbu karang. Walaupun selama ini diskusi, lokakarya, workshop tentang pengelolaan terumbu karang telah sering dilakukan yang difasilitasi oleh Program Coremap II, namun ke depan pertemuan antar stakeholders bisa diintensifkan lagi. Dengan intensifnya pertemuan yang dilakukan, maka berbagai kendala yang dihadapi dan perbedaan cara pandang antar stakeholders dapat dicari solusinya. Adapun kelompok stakeholders yang terlibat adalah UPT KKLD, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, Bappeda Kabupaten Bintan, dan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bintan serta pihak-pihak lainnya. Kegiatan ini hendaknya dilakukan tiga kali dalam setahun dan pendanaannya dimasukkan dalam APBD Kabupaten Bintan setiap tahunnya. 2. Penyusunan sistem pengelolaan terumbu karang yang melibatkan semua stakeholders Rencana Strategis Pengelolaan Terumbu Karang di Kabupaten Bintan telah disusun dan telah diterbitkan dalam Peraturan Bupati Bintan
Nomor
13/II/2009. Rencana Strategis Pengelolaan Terumbu Karang ini hendaknya disosialisasikan dan menjadi acuan untuk menyusun program implementatif di tingkat lapangan dengan melibatkan semua stakeholders. Dengan demikian masukan dari berbagai pihak dapat dihimpun, sehingga implementasi program yang telah disusun dapat berjalan dengan baik. Adapun kelompok stakeholders yang terlibat adalah UPT KKLD, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, Bappeda Kabupaten Bintan, dan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bintan, LSM, Perguruan
152
Tinggi, Pengusaha Pariwisata, Pengusaha Perikanan serta pihak-pihak lainnya. Renstra Pengelolaan Terumbu Karang ini hendaknya bisa dievaluasi sekali lima tahun. Demikian juga Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) di tingkat desa yang telah disusun sebelumnya, hendaknya melibatkan semua pemangku kepentingan dalam proses penyusunannya. Namun dalam proses pembuatan RPTK yang telah ada belum melibatkan semua stakeholders yang ada di desa tersebut, sehingga program atau kegiatan yang telah disusun dalam rencana pengelolaan terumbu karang tidak bisa berjalan optimal. Oleh karena itu rencana pengelolaan ini hendaknya disempurnakan lagi dengan melibatkan semua stakeholders, seperti masyarakat nelayan, pengusaha wisata bahari, akademisi, LSM,
pemerintah
daerah
dan
pihak-pihak
terkait
lainnya.
Kegiatan
penyempurnaan RPTK ini dilakukan pada awal tahun pertama pelaksanaan program dan dievaluasi dengan berakhirnya program. 3. Pelatihan penguatan kelembagaan lintas sektor Pengelolaan ekosistem terumbu karang tidak terlepas dari pengelolaan wilayah pesisir dan memerlukan keterpaduan antar sektor terutama instansi yang terlibat secara langsung dalam kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir. Keterpaduan ini memerlukan mekanisme koordinasi yang jelas. Oleh karena itu dibutuhkan pelatihan penguatan kelembagaan lintas sektor. Dengan pelatihan ini diharapkan setiap sektor memahami tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing dan dapat melaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Adapun kelompok atau institusi yang terlibat adalah UPT KKLD, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, Bappeda Kabupaten Bintan, dan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bintan, LSM, Perguruan Tinggi, LPSTK serta pihak-pihak lainnya. Kegiatan pelatihan dilakukan pada awal tahun pertama sampai tahun ketiga pelaksanaan program.
153
Strategi-2. Peningkatan pemantauan, pengawasan dan penegakan secara konsisten
hukum
Kerusakan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur selama ini disebabkan oleh penangkapan ikan secara destruktif, seperti penggunaan bom ikan, potassium siandia, pengambilan karang dan lain sebagainya. Walaupun saat ini penangkapan ikan secara destruktif ini telah banyak berkurang, bahkan sudah tidak ada lagi namun pengawasan terhadap penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak lainnya perlu ditingkatkan. Bahkan menurut nelayan, pada waktu-waktu tertentu masih ada nelayan luar daerah yang melakukan penangkapan ikan dengan alat merusak terumbu karang. Untuk meningkatkan pemantauan, pengawasan dan penegakan hukum secara konsisten ada beberapa program yang dapat diimplementasikan guna mencapai keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur, yaitu: 1. Pelaksanaan pemantauan dan pengawasan secara periodik dan peningkatan pengawasan berbasis masyarakat Kegiatan pemantauan dan pengawasan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur dimaksudkan untuk menjamin keutuhan sumberdaya yang terkandung dalam kawasan tersebut. Pelaksanaan pemantauan dan pengawasan dapat dilakukan secara periodik, baik berupa pemantauan dan pengawasan rutin maupun pemantauan gabungan dengan melibat aparat keamanan. Adapun kelompok atau institusi yang terlibat dalam pelaksanaan pemantauan dan pengawasan ini adalah POLAIR, TNI AL, PPNS, UPT KKLD, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan, Pokmaswas serta pihak-pihak lainnya. Kegiatan pemantauan dan pengawasan secara periodik ini dilakukan dua kali setahun selama program berjalan, terutama pada lokasi yang rawan terhadap perusakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pemantauan dan pengawasan rutin dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kerusakan ekosistem terumbu karang akibat pemanfaatan oleh masyarakat yang melakukan aktivitas di sekitar terumbu karang, seperti penangkapan ikan, dan kegiatan wisata bahari. Kegiatan pemantauan dan pengawasan dapat dilakukan secara sporadis, namun petugas harus mengetahui
154
zonasi dan peraturannya serta biota yang dilindungi. Disamping itu, pemantauan gabungan dimaksudkan untuk mengembangkan kerjasama yang baik antara aparat keamanan dengan instansi terkait lainnya dalam pengamanan kawasan. Pemantauan gabungan ini dilakukan bila ada indikasi kegiatan yang dapat merusak kelestarian ekosistem terumbu karang yang tidak dapat dicegah oleh masyarakat. Keberhasilan pemantauan dan pengawasan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di suatu kawasan tidak terlepas dari partisipasi masyarakat. Sehubungan dengan itu, peran dan partisipasi aktif masyarakat dalam pemantauan dan pengawasan harus ditingkatkan melalui pengawasan berbasis masyarakat. Dengan telah terbentuknya Kelompok Pengawasan Masyarakat (Pokwasmas) pada beberapa desa di lokasi penelitian, maka jumlah masyarakat yang terlibat dalam sistem pengawasan harus ditingkatkan, sehingga pengawasan secara mandiri oleh masyarakat dapat diwujudkan dengan biaya operasional seminimal mungkin. Pengawasan berbasis masyarakat melalui Pokwasmas ini dilakukan satu kali dalam seminggu sepanjang tahun. 2. Meningkatkan penataran dan penyuluhan hukum lingkungan bagi semua stakeholders Keberhasilan pengelolaan ekosistem terumbu karang tidak terlepas dari tingkat kepatuhan stakeholders dalam pemanfaatan terumbu karang. Tingkat kepatuhan masyarakat sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan kesadaran masyarakat itu sendiri dalam menjaga lingkungannya. Untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat pengguna, kegiatan penataran dan penyuluhan hukum lingkungan sangat dibutuhkan. Dengan adanya penyuluhan hukum lingkungan ini, para pemangku kepentingan akan mengetahui manfaat dan sanksi yang akan diterima apabila melakukan pelanggaran. Adapun kelompok atau institusi yang terlibat adalah POLAIR, TNI AL, PPNS, UPT KKLD, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, Bappeda Kabupaten Bintan, dan Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bintan, LSM, Perguruan Tinggi, LPSTK, Pengusaha Pariwisata, Pengusaha Perikanan serta pihak-pihak lainnya. Kegiatan penataran
155
dan penyuluhan hulum lingkungan dilakukan pada awal tahun pertama sampai tahun ketiga pelaksanaan program. 3. Penetapan sanksi hukum dan sanksi sosial yang tegas bagi orang merusak terumbu karang Sanksi hukum maupun sanksi sosial merupakan salah satu instrumen yang dapat diterapkan bagi orang yang melakukan perusakan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur. Namun sampai saat penelitian dilakukan, sanksi bagi perusak terumbu karang belum tersusun secara jelas. Bila ada orang yang melakukan pelanggaran, pihak pokwasmas atau masyarakat yang melihat pelanggaran tersebut tidak bisa memberikan sanksi. Hal ini disebabkan pihak pokwasmas belum memiliki kekuatan hukum untuk memberikan sanksi bagi pelaku yang melakukan pelanggaran. Oleh karena itu penetapan sanksi hukum dan sanksi sosial perlu segera ditetapkan untuk memberikan efek jera bagi pelaku perusak ekosistem terumbu karang. Peranan aparat penegak hukum, seperti POLRI, Kejaksaan, Kehakiman, dan PPNS serta tokoh masyarakat sangat diperlukan agar penetapan sanksi hukum yang berkeadilan dapat ditegakkan untuk selama-lamanya. 4. Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pengawasan yang memadai Ketersediaan sarana dan prasarana pengawasan yang memadai serta biaya operasional merupakan prasyarat untuk terwujudnya pemantauan dan pengawasan yang baik. Disamping itu, kecukupan personil yang terampil juga merupakan faktor pendukung dalam suatu kegiatan pemantauan dan pengawasan di laut. Walaupun sarana dan prasarana pengawasan telah ada baik pada tingkat UPT KKLD maupun pada masing-masing desa (LPSTK), namun belum mecukupi dan harus ditingkatkan baik jumlah, kualitas maupun anggaran operasionalnya. Disamping itu untuk meningkatkan ketrampilan Pokwasmas hendaknya dilakukan pelatihan dan simulasi pengawasan di lapangan. Pengadaan sarana dan prasarana pengawasan dilakukan pada tahun kedua sampai tahun kelima pelaksanaan program.
156
Strategi-3. Pemberdayakan masyarakat pesisir melalui pengembangan mata pencaharian alternatif Pemberdayaan masyarakat pesisir adalah pelibatan dan peningkatan partisipasi masyarakat yang berpangkal dan berbasis masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka. Program berasal dari bawah yang berarti bahwa masyarakatlah yang mengusulkannya, serta program yang bersifat advokasi karena peran orang luar hanya sebatas mendampingi dan memberikan alternatif pemecahan masalah kepada masyarakat. Menurut Nikijuluw (2001) bahwa paling tidak ada lima pendekatan pemberdayaan masyarakat pesisir yang dapat diimplementasikan. Kelima pendekatan tersebut adalah: (1) penciptaan lapangan kerja alternatif sebagai sumber pendapatan lain bagi keluarga, (2) mendekatkan masyarakat dengan sumber modal dengan penekanan pada penciptaan mekanisme mendanai diri sendiri (self financing mechanism), (3) mendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan berdaya guna, (4) mendekatkan masyarakat dengan pasar, serta (5) membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat. Kelima pendekatan ini dilaksanakan dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh aspirasi, keinginan, kebutuhan, pendapatan, dan potensi sumberdaya yang dimiliki masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang di pesisir Bintan Timur yang menjadi lokasi penelitian telah mulai dilakukan yang difasilitasi
oleh Program Coremap II.
Namun program pemberdayaan yang
dilakukan masih sangat terbatas, baik kelompok masyarakat, maupun jumlah peserta yang terlibat. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat pesisir dalam pengelolaan terumbu karang maka program pemberdayaan masyarakat yang mencakup lima pendekatan di atas perlu diwujudkan. Peran pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dalam program pemberdayaan masyarakat pesisir. Hal ini disebabkan pemerintah daerah lebih mengenal masyarakatnya, memahami masalah yang dihadapi mereka. Namun demikian, pihak-pihak non pemerintah seperti masyarakat sendiri, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat juga punya tanggung jawab dalam pemberdayaan masyarakat pesisir.
157
Mata pencaharian alternatif yang dapat dikembangkan di Bintan Timur sesuai dengan potensi sumberdaya alamnya adalah pengembangan ekowisata bahari berbasis masyarakat, dan pengembangan budidaya perairan. Disamping itu kawasan pesisir Bintan Timur berdasarkan RTRW Kabupaten Bintan 2007 – 2017 telah ditetapkan sebagai pengembangan kawasan pariwisata dan perikanan berkelanjutan. Adapun program-program yang dapat diimplementasi sesuai dengan potensi daerah adalah sebagai berikut: 1. Pengembangan budidaya perikanan laut Kegiatan budidaya perikanan sangat potensial untuk dikembangkan di kawasan pesisir Bintan Timur. DKP Kabupaten Bintan (2009) melaporkan bahwa, gugus Pulau Bintan mempunyai areal potensial untuk budidaya laut seluas 6.318 ha yang sebagian besar terletak di kawasan pesisir Bintan Timur. Adapun komoditas yang dapat di budidayakan adalah ikan, rumput laut dan kerangkerangan. Pengembangan kegiatan perikanan budidaya ini masih mempunyai peluang yang sangat luas, mengingat tingkat pemanfaatan laut masih rendah. Kegiatan budidaya laut sudah mulai berkembang di Kabupaten Bintan, tercatat 1.306 kantong keramba jaring apung (KJA) dan 571 kantong keramba jaring tancap (KJT). Kegiatan budidaya laut tersebut tersebar di semua kecamatan yang mempunyai perairan laut dengan melibatkan 297 RTP. Jenis-jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan kerapu, kakap, bawal dan jenis lainnya. Adapun produksi dan nilai produksi budidaya laut di Kabupaten Bintan pada tahun 2008 adalah 182,36 ton dengan nilai produksi Rp. 16.589.285.000,Pengembangan budidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) dan keramba jaring tancap (KJT) merupakan bentuk budidaya yang memungkinkan untuk diwujudkan secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan teknologi budidaya ikan dalam KJA dan KJT ini relatif sederhana, bisa dilakukan di sekitar rumah nelayan, dan tidak membutuhkan waktu khusus dalam pemeliharaannya. Namun demikian, pengembangan budidaya perikanan perlu ditunjang oleh pembinaan dari instansi terkait (DKP, DKP Propinsi Kepulauan Riau dan DKP Kabupaten Bintan), akses permodalan, kepastian pasar dan harga yang kompetitif.
158
Pengembangan
budidaya
perikanan
ini
diharapkan
dapat
meningkatkan
pendapatan masyarakat pesisir, sehingga tekanan terhadap ekosistem terumbu karang dapat dikurangi. Adapun kelompok sasaran pengembangan budidaya perikanan laut ini adalah masyarakat nelayan dan masyarakat yang berminat melakukan kegiatan budidaya perikanan laut. Pembinaan kepada masyarakat dilakukan pada sejak tahun kedua sampai tahun ke lima dari pelaksanaan program. 2. Pengembangan pariwisata bahari berbasis masyarakat Pengembangan pariwisata (ekowisata) bahari berbasis masyarakat diharapkan dapat menjadi salah bentuk kegiatan yang dapat meningkatkan serapan tenaga kerja pariwisata, peningkatan pendapatan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ekowisata diharapkan dapat memberi kontribusi dan insentif bagi konservasi maupun pembangunan (Tsaur et al. 2006; Stronza dan Gordillo 2008). Brightsmith et al. (2008) mengatakan bahwa ekowisata dapat memberikan manfaat bagi masyarakat lokal dan membangun dukungan lokal maupun internasional untuk kawasan lindung. Selanjutnya dikatakan bahwa ekowisata memiliki tiga tujuan yakni menghasilkan pendapatan dari alam berbasis wisata, penyaluran bantuan bagi kawasan lindung dan masyarakat lokal serta pengalaman pendidikan bagi wisatawan. Untuk itu perlu dilakukan upaya yang tepat, sehingga pengelolaan kawasan wisata bahari dapat dilakukan secara serasi dan seimbang. Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan program pengembangan mata pencaharian alternatif dibidang pariwisata bahari berbasis masyarakat ini adalah sebagai berikut: 1) Menyelengarakan pelatihan bagi tenaga tempatan sebagai pemandu wisata selam, snorkling, dan kegiatan wisata lainnya sampai pada tingkat pemahaman yang memadai tentang pengetahuan dasar lingkungan dan ekosistem pesisir di lokasi tersebut. 2) Melaksanakan pelatihan dan menyediakan dukungan modal bagai masyarakat tempatan untuk membangun dan mengoperasikan homestay yang ramah lingkungan higienis.
159
3) Penguatan dan pembinaan kelembagaan kelompok masyarakat di tingkat desa sebagai pilar pengelola ekowisata di level terbawah/lapangan. Untuk tahap awal kelembagaan yang telah ada diberdayakan dan dibina agar lebih optimal. 4) Penyusunan paket-paket wisata bahari berbasis masyarakat dan melakukan pembinaan, pendampingan kepada kelompok masyarakat di tingkat desa. 5) Pengembangan usaha industri rumah tangga, serta pusat-pusat perbelanjaan sovenir tradisional. Penyusunan strategi dan
implementasi program pengembangan mata
pencaharian alternatif di bidang ekowisata bahari berbasis masyarakat ini adalah dibawah koordinasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bintan dengan melibatkan pengusaha pariwisata bahari serta pihak-pihak lain yang terkait. Adapun kelompok sasaran pembinaan pengembangan ekowisata berbasis masyarakat ini adalah masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir di Desa Malang Rapat, Desa Teluk Bakau dan Desa Gunung Kijang. Pembinaan kepada masyarakat dilakukan pada sejak tahun pertama sampai tahun kelima dari pelaksanaan program. 3. Pengembangan pengelolaan perikanan berkelanjutan melalui penggunaan alat ramah lingkungan Sebagian besar masyarakat nelayan di pesisir Bintan Timur masih tergolong nelayan miskin dengan ciri pendapatan rendah, tingkat pendidikan rendah, teknologi penangkapan sangat sederhana, armada penangkapan perahu tanpa motor dan perahu motor tempel dengan jangkauan sangat terbatas. Alat tangkap yang dominan adalah bubu, pancing, rawai, jaring, kelong dan alat pasif lainnya. Dengan banyak keterbatasan ini menyebabkan lokasi penangkapan hanya terbatas di sekitar pantai termasuk ekosistem terumbu karang. Kondisi ini menyebabkan tekanan terhadap ekosistem terumbu karang semakin tinggi, sehingga potensi kerusakan yang akan ditimbulkan juga semakin besar. Sebagai upaya untuk mengurangi tekanan terhadap terumbu karang, maka pengembangan pengelolaan perikanan berkelanjutan melalui penggunaan alat ramah lingkungan, seperti pengembangan perikanan pelagis perlu diwujudkan. Adapun langkahlangkah yang dapat ditempuh adalah pembinaan terhadap para nelayan, memberikan bantuan atau kemudahan dalam memperoleh pinjaman modal (alat
160
tangkap dan armada penangkapan) dan pembinaan teknis lainnya oleh DKP, DKP Propinsi Kepulauan Riau dan DKP Kabupaten Bintan.. Dengan demikian nelayan diharapkan bisa melakukan penangkapan ikan tanpa merusak terumbu karang dan memperoleh hasil yang memuaskan. Adapun kelompok sasaran pembinaan adalah masyarakat nelayan kategori miskin di Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir. Pelaksanaan program dilakukan pada tahun kedua sampai tahun ke empat dari pelaksanaan program. Strategi-4. Meningkatan kualitas sumberdaya manusia masyarakat pesisir Keberhasilan suatu pembangunan di suatu daerah berkaitan erat dengan kualitas sumberdaya manusianya. Begitu pula dalam konteks pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di pesisir Bintan Timur, keberhasilannya sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia. Masyarakat pesisir Bintan Timur sebagian besar penduduknya tergolong berpendidikan rendah. Oleh karena itu, perlu adanya program-program yang dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat, sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan termasuk dalam pengelolaan terumbu karang. Dalam RTRW Kabupaten Bintan 2007 – 2017 kawasan pesisir Bintan Timur ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan Kawasan Pengembangan Perikanan Berkelanjutan. Dengan meningkatnya mutu kualitas sumberdaya manusia di pesisir Bintan Timur, diharapkan mereka dapat memanfaatkan setiap peluang pembangunan yang ada sehingga ketergantungan terhadap perikanan tangkap sebagai pendapatan utama keluarga dapat dikurangi. Adapun program yang dapat diimplementasikan adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan akses pendidikan formal bagi masyarakat pesisir secara luas. Program peningkatan akses pendidikan formal bagi masyarakat pesisir Bintan Timur dimaksudkan agar penduduk usia sekolah dapat menikmati pendidikan formal secara baik dan memadai. Program ini bisa terwujud dengan baik bila sarana pendidikan sudah tersebar merata pada permukiman penduduk, terutama di pulau-pulau yang termasuk dalam Kecamatan Bintan Pesisir. Peningkatan partisipasi sekolah melalui berbagai program bantuan pemerintah akan mempercepat pencapaian target tersebut. Pembangunan SMK Kelautan juga
161
sangat diperlukan. Peran pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Bintan sangat diharapkan untuk mewujudkan program ini. Disamping itu untuk meningkatkan pengetahuan anak-anak sekolah akan pentingnya pengelolaan sumberdaya laut supaya dimasukkan dalam bagian pendidikan (muatan lokal) di Dinas Pendidikan. Pelaksanaan program dilakukan pada sejak tahun pertama sampai tahun kelima dari pelaksanaan program. 2. Meningkatkan pendidikan nonformal dan informal masyarakat pesisir Untuk meningkatkan pengetahuan dan partisipasi masyarakat pesisir dalam pengelolaan terumbu karang di KKLD Bintan Timur diperlukan pendidikan nonformal dan informal berupa pelatihan, penyuluhan dan pendidikan nonformal lainnya. Adapun pelatihan yang dapat dilakukan adalah pelatihan pemantauan ekosistem terumbu karang, penyuluhan dan pelatihan pendampingan (guide) bagi masyarakat dalam mendukung pariwisata bahari berkelanjutan, pelatihan ketrampilan usaha ekonomi produktif dan lain sebagainya. Adapun sasaran pelatihan dan penyuluhan ini adalah nelayan, Pokmas dan masyarakat pesisir lannya. Pelaksanaan program dilakukan pada sejak tahun pertama sampai tahun ketiga dari pelaksanaan program. Strategi-5. Rehabilitasi ekosistem terumbu karang dan pengendalian serta penanggulangan pencemaran
1.
Melakukan transplantasi karang Transplantasi karang adalah salah satu teknik untuk merehabilitasi
ekosistem terumbu karang yang telah mengalami kerusakan dan bertujuan untuk melestarikan ekosistem terumbu karang. Disamping itu transplantasi terumbu karang berperan dalam mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak atau untuk membangun daerah terumbu karang yang baru yang sebelumnya tidak ada. Saat ini kondisi terumbu karang sebagian besar di KKLD Bintan Timur berada dalam kategori sedang atau tutupan karang hidup 25 – 49,9%. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kelestarian ekosistem terumbu karang tersebut adalah dengan teknik transplantasi karang, terutama di lokasi yang kondisi terumbu karangnya sudah rusak dan lokasi pengembangan pariwisata bahari. Kegiatan transplantasi karang hendaknya
162
melibatkan berbagai pihak, seperti DKP Kabupaten Bintan, UPTD KKLD, perguruan tinggi, LSM, pengusaha pariwisata dan masyarakat. Pelaksanaan program dilakukan pada tahun kedua sampai tahun keempat dari pelaksanaan program. 2.
Meningkatkan jumlah dan luas DPL di KKLD Daerah perlindungan laut (DPL) adalah merupakan zona inti ditingkat desa
yang dibentuk oleh masyarakat desa di KKLD Bintan Timur. Jumlah DPL di KKLD Bintan Timur saat ini sebanyak 5 buah yang tersebar pada lima desa, yaitu Desa Teluk Bakau, Desa Malang Rapat, Desa Gunung Kijang, Desa Kawal dan Desa Mapur dengan luas keseluruhan 4,3 ha. Luasan DPL 4,3 ha ini masih tergolong sedikit (0,003%) dari total luasan KKLD dan belum memadai untuk melestarikan ekosistem terumbu karang dan sumberdaya yang dikandungnya. Menurut Robert dan Hawkins (2000) bahwa luasan laut yang harus dilindungi dari penangkapan adalah 20 – 40% dari luas daerah pengelolaan. Disamping itu, belum semua desa di KKLD Bintan Timur yang memiliki DPL seperti Desa Kelong, Desa Numbing dan Desa Air Glubi. Dengan berakhirnya program Coremap fase II di Kabupaten Bintan pada tahun 2011, maka keberlanjutan pengelolaan terumbu karang di KKLD Bintan Timur menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan. Hal ini sesuai Perda Kabupaten Bintan Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pengelolaan terumbu Karang. Mengingat masih terbatasnya keterlibatan masyarakat dalam program Coremap II, maka program pengelolaan terumbu karang ke depan hendaknya di arahkan ke desa-desa yang belum tersentuh oleh program Coremap II yang termasuk dalam KKLD. Dengan demikian partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang semakin meluas dengan melibatkan banyak masyarakat. Adapun lokasi yang disarankan adalah prairan laut Desa Kelong, Desa Numbing dan Desa Air Glubi di Kecamatan Bintan Pesisir. Pelaksanaan program dilakukan pada sejak tahun pertama sampai tahun kelima dari pelaksanaan program.
163
3. Meningkatkan pemantauan dan pengawasan terhadap sumber-sumber pencemaran di daratan, pesisir dan laut Untuk menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang, maka kegiatan pemantauan dan pengawasan terhadap sumber-sumber pencemaran di daratan, pesisir dan laut harus ditingkatkan. Kegiatan pemantauan dan pengawasan ini tentu saja melibatkan berbagai pihak terkait seperti BLH Kabupaten Bintan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, Perguruan Tinggi dan pihak terkait lainnya. Dengan adanya pemantauan dan pengawasan ini diharapkan semua pihak sebagai sumber pencemar dapat mematuhi ketentuan tentang pengelolaan lingkungan hidup. Adapun
sasaran
utama
pemantauan
dan
pengawasan
adalah
kegiatan
pertambangan, pariwisata (hotel dan restoran), dan kegiatan industri di Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir. Pelaksanaan program dilakukan sejak tahun pertama sampai berakhirnya pelaksanaan program. Urutan prioritas strategi dan program berdasarkan urgensi dan ketersediaan suumberdaya manusia, biaya, waktu serta kebijakan daerah yang ada saat ini. Adapun strategi dan implementasi program disajikan pada Tabel 40 dan Indikator Kinerja Utama (IKU) terhadap strategi dan program disajikan pada Lampiran 12. Tabel 40. Strategi dan implementasi program kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau Urutan Prioritas 1
Strategi
Program
Pelaksana
Peningkatan 1.Mengintensifkan koordinasi antar pertemuan formal stakeholders dan informal semua stakeholders
DKP Bintan, Bappeda Bintan
2.Membuat pro-gram bersama pengelolaan terumbu karang yang melibat-kan semua stakeholders
DKP Bintan, Bappeda Bintan
3.Pelatihan penguatan kelembagaan lintas sektor
DKP Bintan, Bappeda Bintan
Kelompok Sasaran UPT KKLD, DKP Bintan, Disparbud Bintan, Bappeda Bintan, dan Distamben Bintan serta pihak-pihak lainnya UPT KKLD, DKP Bintan, Disparbud Bintan, Bappeda Bintan, Distamben Bintan, PT, LSM, dan swasta UPT KKLD, DKP Bintan, Disparbud Bintan, Bappeda Bintan, dan Distamben Bintan, PT, LSM, LPSTK, swasta
164
Lanjutan Tabel 40
Urutan Prioritas 2.
3
Strategi Peningkatan pemantauan, pengawasan dan penegakan hukum secara konsisten
Pemberdayaan masyarakat pesisir melalui pengembangan mata pencaharian alternatif
Program
Pelaksana
Kelompok Sasaran
1.Pelaksanaan pemantauan dan pengawasan secara periodik dan peningkatan pengawasan berbasis masyarakat 2.Meningkatkan penataran dan penyuluhan hukum lingkungan bagi semua stakeholders
TNI AL, Polair, Kejaksaan, UPT KKLD, PPNS dan Pokwasmas
KKLD Bintan Timur terutama Daerah Perlindungan Laut (DPL)
DKP Bintan, Bappeda Bintan
3.Penetapan sanksi hukum dan sanksi sosial yang tegas bagi orang merusak terumbu karang
TNI AL, Polair, Kejaksaan, PPNS dan Pokwasmas
TNI AL, Polair, Kejaksaan PPNS,UPT KKLD, DKP Bintan, Disparbud Bintan, Bappeda Bintan, dan Distamben Bintan, PT, LSM, LPSTK, swasta Perorangan atau kelompok masyarakat yang melaku-kan perusakan terhadap terumbu karang di KKLD Bintan Timur
4.Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pengawasan seperti kapal, teropong, alat komunikasi, kamera dan biaya opera-sional yang memadai
UPTD KKLD, DKP Bintan, dan Bappeda Bintan
UPTD KKLD, Pokwasmas
1.Pengembangan perikanan budidaya laut
DKP, DKP Propinsi Kepri, DKP Bintan, Swasta
Masyarakat nelayan dan swasta
2.Pengembangan wisata bahari berbasis masyarakat
Disparbud Bintan, Bappeda Bintan, Swasta
Masyarakat nelayan dan masyarakat pesisir lainnya
165
Lanjutan Tabel 40
Urutan Prioritas
4
5
Strategi
Meningkatkan kualitas SDM pesisir
Melakukan rehabilitasi ekosistem terumbu karang dan pengendalian serta penanggulangan pencemaran
Program
Pelaksana
Kelompok Sasaran
3.Pengembangan pengelolaan perikanan berkelanjutan melalui penggunaan alat ramah lingkungan
DKP, DKP Propinsi Kepri, DKP Bintan, Bappeda
Masyarakat nelayan kategori miskin
1.Meningkatkan akses pendidikan formal bagi masyarakat pesisir secara luas
Diknas Propinsi Kepri, Diknas Bintan, Bappeda Bintan
Penduduk sekolah
2.Meningkatkan pendidikan nonformal dan informal masyarakat pesisir
DKP, Bappeda, Dispar, Swasta
Masyarakat nelayan, dan masyarakat pesisir lainnya
usia
1.Melakukan transplantasi karang di lokasi yang terpilih, seperti di lokasi yang kondisi terumbu karang sudah rusak dan lokasi pengembangan wisata bahari
UPT KKLD, DKP Bintan, Disparbud Bintan, Bappeda, Bintan, PT, LSM, Swasta, dan masyarakat
Lokasi yang terpilih seperti daerah yang terumbu karangnya sangat rusak, dan daerah yang menjadi pengembangan wisata bahari di KKLD Bintan Timur.
2. Meningkatkan jumlah dan luas DPL di KKLD
UPT KKLD, DKP, Bappeda
Desa Kelong, Desa dan Num-bing, Desa Air Glubi
3.Meningkatkan pemantauan dan pengawasan terhadap sumbersumber pencemaran di daratan, pesisir dan laut
UPT KKLD, DKP, Dispar, BLH, Lantamal
Kegiatan pertambangan, hotel dan restoran, industri, dan sumber pencemar lainnya
166
5.4.2. Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Pengelolaan sumberdaya perikanan dan ekosistem perairan melalui pembentukan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir ini di berbagai daerah di Indonesia termasuk di Kabupaten Bintan. Pembentukan KKLD di Bintan Timur dimaksudkan untuk menjaga fungsi dan melestarikan ekosistem terumbu karang di Kabupaten Bintan sesuai dengan Perda Nomor 12 Tahun 2008 tentang PengelolaanTerumbu Karang pasal 15 ayat 1. Selanjutnya pada pasal 16 dikatakan bahwa pengelolaan KKLD dilakukan oleh satuan organisasi pengelola dalam bentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Sesuai dengan Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah yang diterbitkan oleh DKP (2008) bahwa ada beberapa pilihan kelembagaan, khususnya KKLD berbasiskan tupoksi dinas teknis yang dapat dibentuk di daerah. Disamping itu juga dikatakan bahwa kelembagaan KKLD dapat dikembangkan melalui kemitraan antara pemerintah dengan para pihak. Saat ini pengelolaan KKLD Kabupaten Bintan secara kelembagaan berada pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan yang dikelola oleh UPTD KKLD setingkat Kepala Seksi sesuai dengan Peraturan Bupati Bintan Nomor 20 Tahun 2010. Adapun kedudukan UPTD KKLD Bintan pada struktur organisasinya DinasKelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan disajikan pada Gambar 30. Kepala Dinas KP Kabupaten Bintan
Sekretaris
Bidang A
Bidang B
Seksi A
Bidang C
UPTD KKLD
Seksi B
Gambar 30. Kedudukan UPTD KKLD Bintan pada struktur organisasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan
167
Kemitraan KKLD Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan pasal 18, menyebutkan bahwa Pemerintah atau pemerintah daerah dalam mengelola KKP dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat adat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi. Berdasarkan peraturan ini maka unit organisasi pengelola dalam melakukan pengelolaan sebuah KKLD dapat bermitra dengan berbagai pihak. Keterlibatan para pihak dalam pengelolaan sebuah KKLD dimaksudkan selain untuk mengakomodasi kepentingan para pihak terhadap KKLD, juga sebagai partner kerja unit organisasi pengelola dalam melakukan pengelolaan KKLD. Keterlibatan para pihak dapat diakomodir dalam bentuk sebuah forum atau mitra UPTD KKLD atau sebutan lain yang sesuai dengan kondisi setempat. Menyadari bahwa pengelolaan kawasan konservasi membutuhkan kerjasama yang komprehensif dan berkelanjutan, maka penyamaan persepsi dan penggalangan komitmen dari pihak-pihak terkait harus ditumbuhkembangkan. Umumnya proses ini berlangsung pada sebuah forum bersama. Berdasarkan wawancara dengan Kepala UPTD KKLD Bintan bahwa sampai saat ini belum ada kelompok masyarakat dalam bentuk forum sebagai mitra kerja dalam pengelolaan KKLD Bintan, sehingga perlu dibentuk suatu forum. Salah satu bentuk forum yang diusulkan adalah “ Forum Penyelamat Terumbu Karang Bintan (FP-TKB). Forum ini diharapkan dapat menjadi inisiator dan penggerak untuk melakukan upaya-upaya nyata dalam proses pengelolaan kawasan konservasi. Forum Penyelamat Terumbu Karang Bintan (FP-TKB) ini berkedudukan di tingkat kabupaten berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kabupaten Bintan. Forum juga diharapkan menjadi fasilitator dan mengoptimalkan peran serta pelaku usaha, masyarakat dan pemerintah mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Adapun struktur organisasi, tugas dan tanggung jawab, mekanisme kerja dan pembiayaan forum/mitra UPTD KKLD pada Dinas Kelautan dan Perikanan Bintan diuraikan di bawah ini.
168
Struktur Organisasi Kepala Dinas KP Kabupaten Bintan
Sekretaris
Bidang A
Bidang B
Seksi A
Bidang C
UPTD KKLD
Forum/Mitra KKLD (FPTKB)
Seksi B
Gambar 31. Struktur kemitraan pengelolaan KKLD antara UPTD KKLD dengan FP-TKB (Sumber: DKP, 2008) Adapun anggota forum tersebut terdiri dari unsur pemerintah ( Bappeda Bintan, Dinas Kelautan dan Perikanan Bintan, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bintan, Dinas Kehutanan Bintan, Dinas Pertambangan dan Energi Bintan, Badan Lingkungan Hidup Bintan, DPRD Bintan), Perguruan Tinggi, LSM, Swasta (pengelola wisata, pengusaha perikanan), TNI AL, POLAIR, dan Masyarakat. Usulan struktur organisasi FP-TKB sebagai mitra KKLD adalah sebagai berikut. Ketua Wakil Ketua Sekretaris
: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Bintan : Ketua Bappeda Bintan : Kepala UPTD KKLD Bintan
Anggota
: Dinas Kelautan dan Perikanan Bintan Bappeda Bintan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Bintan Dinas Kehutanan Bintan Dinas Pertambagan dan Energi Bintan Badan Lingkungan Hidup Bintan DPRD Bintan Perguruan Tinggi LSM TNI AL POLAIR Swasta (pengelola wisata, pengusaha perikanan) Masyarakat (LPSTK, Pokwasmas)
169
Tugas dan Tanggung Jawab UPTD KLD sebagai unit organisasi pengelola: 1)
Menyusun program atau kegiatan berdasarkan masukan dari forum (FPTKB).
2)
Melaksanakan program atau kegiatan pengelolaan KKLD.
3)
Memfasilitasi pertemuan FP-TKB atau mitra UPTD KKLD lainnya.
4)
Memberikan masukan usulan program atau kegiatan terkait dengan pengelolaan KKLD ke seksi UPTD KKLD.
5)
Mobilisasi dana untuk kegiatan forum atau membantu seksi UPTD KKLD dalam mobilisasi dana untuk pengelolaan KKLD
6)
Melakukan kerjasama atau membantu seksi UPTD KKLD dalam pengembangan kerjasama dengan berbagai pihak.
7)
Memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program atau kegiatan yang dilaksanakan oleh seksi UPTD KKLD atau pihak terkait lainnya terkait dengan pengelolaan KKLD, dan juga efektivitas pelaksanaan sebuah kebijakan terkait dengan KKLD.
Mekanisme Kerja 1)
Kepala UPTD KKLD bertanggung jawab terhadap Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan.
2)
Ketua forum (FP-TKB) bertanggung jawab terhadap anggotanya.
3)
Pendanaan pelaksanaan pertemuan rutin dan operasional FP-TKB dapat berasal dari anggaran UPTD KKLD melalui anggaran proyek tahunan dan/atau dana forum sendiri.
4)
Kepala UPTD KKLD berkoordinasi dengan FP-TKB dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan serta mobilisasi dana.
Pendanaan Pendanaan untuk pelaksanaan program atau kegiatan dan operasional UPTD KKLD berasal dari APBD, sedangkan sumber pendanaan untuk forum dapat berasal dari: - Jasa layanan oleh forum - Hibah terhadap forum - Hasil kerjasama forum dengan pihak lain - Lain-lain pendapatan forum yang sah.
170
Kepala Kadis KP
Wakil Ketua Ketua Bappeda Sekretaris Ka. UPT- KKLD
Anggota Dinas KP
Bappeda
Dinas Pariwisata
Dinas Kehutanan
Distamben
BLH
DPRD
PT
Gambar 32. Usulan struktur organisasi FP-TKB mitra pengelolaan KKLD Bintan
LSM
TNI AL
POLAIR
Swasta
Masyarakat
171
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Kondisi terumbu karang di KKLD Bintan Timur termasuk kategori sedang sampai baik. Ada kecenderungan peningkatan kondisi terumbu karang sesudah adanya program Coremap II di Bintan Timur. 2. Kualitas lingkungan perairan di KKLD Bintan Timur cukup mendukung bagi kehidupan terumbu karang, dimana sebagian besar parameter kualitas air yang diukur masih sesuai dengan baku mutu air laut untuk kehidupan biota laut (Kepmen LH No. 51 Tahun 2004). 3. Status keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau saat ini secara multidimensi termasuk kategori cukup berkelanjutan. Sementara itu, hasil analisis setiap dimensi menunjukkan bahwa hanya dimensi hukum dan kelembagaan yang kurang berkelanjutan, sedangkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya serta dimensi teknologi dan infrastruktur tergolong cukup berkelanjutan. 4. Pengelolaan ekosistem terumbu karang yang telah dilakukan saat ini di Kabupaten Bintan adalah penguatan kelembagaan daerah melalui pembuatan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Bupati (Perbup) tentang pengelolaan terumbu karang. Disamping itu juga dilakukan pengelolaan berbasis masyarakat dengan pembentukan LPSTK (Lembaga Pengelolaa Sumberdaya Terumbu Karang), Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) dan Daerah Perlindungan Laut (DPL) di seluruh desa binaan, serta pengembangan mata percaharian alternatif. 5. Skenario pengelolaan dibangun berdasarkan pendekatan integratif terhadap seluruh atribut kunci yang berpengaruh terhadap terumbu karang. Berdasarkan simulasi perhitungan indeks yang dilakukan pada alternatif skenario (pesimis, moderat dan optimis) terlihat bahwa terjadi perubahan nilai indeks keberlanjutan
baik
untuk
masing-masing
dimensi
maupun
secara
multidimensi. Perbedaan nilai indeks multidimensi memudahkan pengambil keputusan dalam menginterpretasikan hasil simulasi.
172
6. Upaya pengelolaan dengan menggunakan strategi pada skenario II (moderat) merupakan kondisi yang dapat dicapai pada saat ini. Dengan menggunakan skenario II, maka nilai indeks keberlanjutan gabungan meningkat dari 54,73 menjadi 60,70 (cukup berkelanjutan). Ketersediaan sumberdaya manusia, biaya, waktu dan kebijakan yang mampu mendukung pencapaian strategi optimum, menjadi pertimbangan bagi keberhasilan pengelolaan yang dilakukan. 7. Strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang ditentukan oleh peran atribut kunci (dominan) yang memberikan peningkatan nilai indeks keberlanjutan. Adapun strategi pengelolaan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai keberlanjutan adalah peningkatan koordinasi antar stakeholders; peningkatan pemantauan,
pengawasan
dan
penegakan
hukum
secara
konsisten;
pemberdayaan masyarakat pesisir melalui pengembangan mata pencaharian alternatif; meningkatkan kualitas SDM pesisir; dan melakukan rehabilitasi ekosistem
terumbu karang dan pengendalian serta penanggulangan
pencemaran. 6.2. Saran 1. Perlu diprioritaskan perbaikan dimensi keberlanjutan yang mempunyai nilai indeks keberlanjutan yang lebih rendah, yaitu dimensi hukum dan kelembagaan. 2. Suhubungan ditetapkannya KKLD Bintan Timur sebagai kawasan untuk mendukung kegiatan perikanan dan pariwisata bahari secara berkelanjutan, maka perlu kajian daya dukung lingkungan sehingga pemanfaatan kawasan tersebut tidak melampaui daya dukungnya. 3. Guna membangkitkan partisipasi stakeholders dan untuk mengakomodasi kepentingan para pihak terhadap KKLD, juga sebagai partner kerja UPT KKLD dalam melakukan pengelolaan KKLD perlu dibentuk sebuah forum atau mitra KKLD. Salah satu bentuk forum yang diusulkan adalah ”Forum Penyelamat Terumbu Karang Bintan” atau dapat disingkat FP-TKB.
DAFTAR PUSTAKA Alder J, Pritcher TJ, Preikshot D, Kaschner K, Ferriss B. 2001. How Good is Good?: A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of the Sustainability Status of Fisheries of the North Atlantic. Fisheries Centre. University of British Columbia. Vancouver, Canada. Allister, Don Mc. 1989. Ancaman Terhadap Ikan-ikan Karang. Spesies, Newsletter of the SSC No. 12, May 1989. Alustco S. 2009. Kajian Kualitas Tutupan Karang Hidup dan Kaitannya dengan Acthaster planci di Kabupaten Bintan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Anderson V, Johnson L. 1997. Systems Thinking Basics. From Concepts to Causal Loops. Pegasus Communication, Inc. Cambridge. [APHA] American Public Health Association. 1989. Standard Method for Examination of Water and Waste Water 14th Ed. APHA-AWWA-WPFC, Port Press. Washington DC. Apriliani V. 2009. Strategi Rehabilitasi Terumbu Karang untuk Pengembangan Pariwisata Bahari di Pulau Mapur Kabupaten Bintan Kepulauan Riau. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ariani AAA. 2006. Pengaruh Kegiatan Pembangunan pada Ekosistem Terumbu Karang. Studi Kasus: Efek Sedimentasi di Wilayah Pesisir Timur Pulau Bintan. [Tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Arifin T. 2008. Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung. [Disertasi], Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Aziz KA, Boer M, Widodo J, Naamin N, Amarullah MH, Hasyim B, Djamali A, Priyono BE. 1998. Potensi Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut. Jakarta. [Bapedalda] Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Kepulauan Riau. 2002. Profil Lingkungan Hidup Kabupaten Kepulauan Riau. Tanjung Pinang. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bintan, 2007. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan 2007 – 2017. Konpilasi Data. Tanjung Pinang. [Bappeda] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bintan, 2010. Potensi Ekosistem Penting dan Kondisi Hidrologisnya di Wilayah Bintan Bagian Timur. Tanjung Pinang. Baker LP, Kaeoniam. 1986. Manual of Coastal Development Planning and Management for Thailand. The Unesco MAP and COMAR Programmes. Jakarta.
174
Bearman, G. 1999. Waves, Tides, And Shallow Water Processes. Open University, Waton Hall, Milton Keynes, MK7 6AA, and Butterworth-Heinemann. England. Bengen, DG. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Sampel dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. PKSPL IPB. Bengen, D.G. 2002. Menuju Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis DAS. Seminar HUT LIPI, Jakarta, 25 – 26 September 2002. Bond, Richard, Curran, Jahanna, Kirk Patrick, Lece, Norman, Francis, Paul, 2001. Integrated Impact Assessment for Sustainable Development. A Case Study Approach, University of Manchester, UK. Bourgeois R, Jesus F. 2004. Participatory Prospective Analysis, Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. Center for Alleviation of Poverty through Secondery Crops Development in Asia and The Pacific and French Agricultural Reasearch Center for Internasional Development. Monograph (46) : 1 – 29. Bourgeois R. 2007. Analisis Prospektif. Bahan Lokakarya Training of Trainer. ICASEPS. Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bintan, 2009. Kabupaten Bintan Dalam Angka. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bintan, 2010. Monografi Kecamatan Gunung Kijang Dalam Angka. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bintan, 2010. Monografi Kecamatan Bintan Pesisir Dalam Angka. [BP DAS] Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kepulauan Riau. 2010. Laporan Tahunan Monitoring dan Evaluasi Tata Air Kabupaten Bintan. Brightsmith DJ, Stroza A, Holle K. 2008. Ecotourism, Conservation Biology and Volunteer Tourism: A Manual Benefical Triumvirate. Journal Biology Conservation 141: 2832-2842. Budiharsono S. 2007. Manual Penentuan Status dan Faktor Pengungkit PEL. Direktorat Perekonomian Daerah. Bappenas. Jakarta. Burke L, Selig, E, Spalding M. 2002. Reef at Risk in Southest Asia. World Resources Institute (WRI), Washongton, DC. Cappenberg HEW, Salatalohi A. 2009. Monitoring Terumbu Karang Bintan (Bintan Timur dan Pulau-pulau Numbing). Coremap II –LIPI . Jakarta. Cesar HJS, Burke L, Pet-Soede L. 2003. The Economics of Worldwide Coral Reef Degradation. Cesar Environmental Economics Consulting, Arnhem, and WWF-Netherland, Zeist, The Netherland. 23 pp. Online at: http://asset.pandaorg/downloads/cesardegradationreport100203.pdf. Chang YC, Hong FW, Lee MT 2008. A System Dynamic Based DSS for Sustainable Coral Reef Management in Kenting Coastal Zone, Taiwan. Journal Ecology Modelling 211: 153–168.
175
Changsang H, Booyanate P, Charuchinda M. 2001. Effect of Sedimentation from Coastal Mining on Coral Reef on the Northwestern Coast of Phuket Island, Thailand. Prociding 4th International Coral Reef Synp. hlm 129-137. Charles AT. 2000. Sustainability Fishery Systems. Sain Mary’s University Halifax, Nova Scotia, Canada. Christie P, Makapedua D, Lalamentik LTX. 2003. Bio-Physical Impact and Links to Integrated Coastal Managemnt Sustainability in Bunaken National Park. Indonesia. Dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. Special Edition, No. 1, hal 8. Cicin-Sain B, Knecht RW. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management. Island Press. Washington, USA. [COREMAP II] Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II Kabupaten Bintan. 2008. Pengelolaan Terumbu Karang dan MMA. Buku I. [COREMP II] Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II Bintan. 2011. Laporan Pelaksanaan Proyek Coremap II Kabupaten Bintan 2004-2011. [COREMAP II – LIPI] Coral Reef Rehabilitation and Management Program Phase II-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2010. Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Kabupaten Bintan (Bintan Timur dan Numbing). Jakarta. Cornelissen AMG, Van den Berg J, Koops WJ, Grossman M, Udo HMJ. 2001. Assessment of the Contribution of Sustainability Indicator to Sustainable Development; A Novel Approach Using Fuzzy Set Theory. Agriculture, Ecosystem & Environment 86: 173-185. [CRITC- COREMAP II- LIPI] Coral Reef Information and Training CentreCoral Reef Management Program Phase II- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2007. Studi Baseline Ekologi di Kabupaten Bintan Kepulauan Riau. Coremap II – LIPI. Jakarta. [CRITC] Coral Reef Information and Training Centre Bintan. 2009. Monitoring Kondisi Terumbu Karang di KKLD Bintan Timur. Tanjung Pinang. Dahuri R, Rais Y, Putra SG, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta PT. Pradnya Paramita. Dahuri R. 1999. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Terumbu Karang Indonesia. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengelolaan dan Iptek Terumbu Karang Indonesia. Jakarta, 22-23 Nopember 1999. Davison ML, Skay CL. 1991. Multidimensional Scaling and Factor Model of Test and Item Respon. Psychology Bulletin 110 (3): 551 – 556. De Santo RS. 2000. Concepts of Applied Ecology. Springer-Verlag. New York. De Silva MWRN. 1985. Human and Development Presure on the Coral Reef Ecosystem, The Malaysian Experince. In Matthews WH, Suhaimi A, editor. Environmental Protection and Coastal Zone Management in Asia and the Pacific. Tokyo: Univ. of Tokyo Press.
176
Dight I, Kenchington R & Baldwin J, editor. 1999. Proceedings of the International Tropical Marine Ecosystems Management Symposium. November 1998. Published by the Great Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville, Australia. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan. 2008. Penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPDA) Kabupaten Bintan. Dizon CP. 1986. Coral Reef Ecosystem of Philipines: Ist Problems, Need and Management. Proceeding of MAB-COMAR Regional Workshop on Coarl Reef Ecosystem: Their management Practices and Research/Traning Needs. Bogor, 4 -7 March 1986. 129 -132. Ditlev H. 1980. A Field Guide to the Reef-Building Coral of the Indo-Pacific. Scandinavian Science Press Ltd. Klampenborg. Djajadiningrat ST, Amir HH. 1993. Penilaian Secara Cepat Sumber-Sumber Pencemaran Air, Tanah dan Udara. Gadjah Mada University Press. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Penyusunan Rencana Tata Ruang Gugus Pulau Untuk Pengembangan Investasi di Gugus Pulau Bintan dan Nipah. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Pedoman Teknis Penyiapan Kelembagaan Kawasan Konservasi Perairan di Daerah. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut. Jakarta. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan. 2009. Laporan Tahunan. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bintan. Dollar SJ, Grigg RW. 2001. Impact of Koalin Clay Spill on Coral Reef in Hawai. Marine Biology 65 :269-276. Edinger EN, Jompa J, Limmon GV, Widjatmoko W, Risk MJ. 1998. Reef Degradation and Coral Biodiversity in Indonesia: Effects of Land-Based Pollution, Destructive Fishing Practices and Changes Over Time. Marine Pollution Bullletin 36 (8): 617-630. Edwards AJ, Gomez ED. 2007. Reef Restoration Concepts and Guidelines: Making Sensible Management Choices in the Face of Uncertainty. Coral Reef Targeted Research & Capacity Building for Management Programme: St Lucia, Australia. Ekins P, Simon S. 2001. Estimating Sustainability Gaps: Methods and Prelimary Application for the United Kingdom and the Netherlands. Ecology Econmics 37:5-22. English SC, Wilkinson, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Second edition. Australia. Australian Institute of Marine Science. Townsville. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Bogor. IPB Press.
177
Fabricius KE. 2005. Effects of Terrestrial Runoff on the Ecology of Coarl and Coarl Reefs: Review and Synthesis. Marine Pollution Bulletin 50: 125146. Faiza R. 2011. Efektifitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) (Kasus DPL-BM Blongko Minahasa Selatan, DPL-BM Pulau Sebesi Lampung Selatan dan APL Pulau Harapan Kepulauan Seribu). [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Fauzi. A dan S. Anna. 2005. Studi Evaluasi Ekonomi Perencanaan Kawasan Konservasi Selat Lembeh, Sulawesi Utara. Manado . Fauzi. A dan S. Anna. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan, Aplikasi RAPFISH, Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta. Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol. 4(3). Francini-Filho RB, Moura RL. 2008. Evidence for Spillover of Reef Fishes from a No-Take Marine Reserve: An Evaluation Using the Before- After ControlImpact (BACI) Approach. Fisheries Research 93: 346.356. Febrizal. 2009. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Kabupaten Bintan dan Alternatif Pengelolaannya. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Garces LR. 1992. Coral Reef Management in Thailand Naga. The ICLARM Quarterly. July 1992. Gomez ED, Yap HT. 1988. Monitoring Reef Condition. In Kenchington RA, Hudson BET, editor. Coral Reef Management Handbook. UNESCO Regional Office for Science and Technology for Sounth East Asia. Jakarta. Gulland JA. 1983. Fish Stock Assesment; A Manual of Basic Methods. John Willey & Sons Inc. Chichester. Halim. 1998. Penentuan Lokasi Wisata Bahari Dengan Sistem Informasi Geografis di Gili Indah, Kabupaten Lombok Barat NTB. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor. Hardianto D, Ika K, dan Tri Supyani. 1998. Terumbu Karang: Keindahan Alam di Ambang Kepunahan. Konphalindo, Jakarta. Hardjomidjojo H. 2004. Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hawker DW, Connell DW. 1992. Standards and Criteria for Pollution Control in Coral Reef Areas. pp: 169-191. di dalam: Connel DW, Hawker DW, ed. Pollution in Tropical Aquatic System. CRC Press Inc. London. Hilyana S. 2011. Optimasi Pemanfaatan Ruang Kawasan Konservasi Gili SulatGili Lawang Kabupaten Lombok Timur. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik. Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor. Hoccut CH. 2001. Fish as Indicators Biological Integrity. Fisheries 6(6): 28-31.
178
Holling CS, Schindler DW, Walker BW, Roughgarden J. 2002. Biodiversity in the Functioning of Ecosystem: An Ecological Synthesis. Dalam Perrings C, Maller KG, Fplke C, Holling CS, Jasson BO, editor. Biodiversity Loss, Economic and Ecological Issues. Cambridge University Press, Cambridge. pp: 44-83. Hubbard DK. 1997. Reef as Dynamic System. Edited by Charles Brikeland. Life and Death of Coral Reef. Champman and Hall. Husni S. 2001. Kajian Ekonomi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus di Kawasan Taman Wisata Alam Laut Gili Indah Kabupaten Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hutabarat AA, Yulianda F, Fahrudin A, Harteti S, Kusharjani. 2009. Pengelolaan Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pusdiklat Kehutanan-Departemen Kehutanan Republik Indonesia – SECEM- Korea International Copperation Agency. Hutabarat L, Evans SM. 1986. Pengantar Oceanografi. UI Press. Jakarta Inglis GJ, Barbara JH, Rose AH. 2000. An Overview of Factors Affecting the Carrying Capacity of Coastal Embayments for Mussel Culture. New Zealand, National Institute of Water & Atmospheric Research Ltd. [IUNC] International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources. 1994. United Nation List of National Park and Protected Area. Switzerland: IUCN Gland. Johnson RA, Wichern DW. 1992. Applied Multivariate Analysis. Third Edition. Prentice Hall Inc. New Jersey.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 2000. Membuat Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta. Karr JR. 2002. Assessment of Biotic Integrity Using Fish Communities. Fisheries 6(6):21-27. Kavanagh, P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (RAPFISH) Project. University of British Columbia, Fisheries Centre. Khanna P, Babu PR, George MS. 1999. Carryng Capacity as a Basis for Sustainable Development. A Case Study of National Capita Region in India. Progress in Planning 52:101-163. Kirkwood CW. 1998. System Dynamics Methods : A Quick Introduction. http://www.public.asu.edu/kirkwood/sysdyn/SDIntro/SDIntro.htm. 26 Mei 2009. Kositratana N, Nuntapotidech A, Supatanasikasem S, Ittharatana A. 1989. Report of the Assessment of Pollution from Land-based Sources, their Impact on the Environment. Official of the National Environment Board (ONEB. Thailand). Krom MD. 1986. An Evaluation of The Concept of Assimilative Capacity as Applied to Marine Water. Ambio. XV(4): 208-214.
179
Kunzmann A. 2001. Corals, Fisherman and Tourists. Center for Tropical Marine Ecology (ZMT) Bremen. Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol.4, No.1. Kusumastanto T. 2000. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan. Makalah pada Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, IPB. Bogor. Legendre L, Legendre P. 1983. Numerical Ecology. Developments in Environmental Modeling. Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam. Li, Eric, A. 2000. Optimum Harvesting with Marine Reserves. North American. Journal of Fish Management 20: 882-896. [LIPI- PPSPL UMRAH]. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – Pusat Penelitian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Universitas Maritim Raja Ali Haji. 2010. Kajian Pengembangan Ekowisata Bahari Sebagai Mata Pencaharian Alternatif bagi Masyarakat di Kabupaten Bintan. Coremap IILIPI dan UMRAH. Ludwig JA, Reynold JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. New York. John Wiley and Sons, Inc. Malhotra NK. 2006. Riset Pemasaran: Pendekatan Terapan. Jakarta. PT Indeks Gramedia. Manafi MR, Fachrudin A, Bengen DG, Boer M. 2009. Aplikasi Konsep Daya Dukung untuk Pembangunan Berkelanjutan di Pulau Kecil (Studi Kasus Gugus Pulau Kaledupa, Kabupaten Wakatobi). Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 1: 63 – 71. Manengkey HWK. 2003. Tingkat Sedimentasi dan Pengaruhnya pada Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Teluk Buyat dan Sekitarnya Provinsi Sulawesi Utara. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Manulang S. 1999. Kesepakatan Konservasi Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Mardani NK. 1995. Strategi Pelestarian Taman Wisata dan Agrowisata di Bali. Makalah Seminar Nasional Pola Agrowisata di Bali, 31 Juli 1995. Marhayudi P. 2006. Model Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Kalimantan Barat. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Jakarta. Maryunani. 1999. Model pemberdayaan Penduduk Lokal Dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan (Studi Kasus Kawasan Pesisir Barat Pulau Lombok, Propinsi Dati I Nusa Tenggara Barat). [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarja, Institut Pertanian Bogor. McLaughlin CJ, Smith CA, Buddermeier BA, Bartley JD, Maxwell BA, 2003. River, Run off and Reef. Global and Planetary Change (39): 191 – 199.
180
Millero FJ, Sohn. 1992. Chemical Oceanography. London. CRC Press. Mitsch WJ, Goesselink JG. 1993. Wetland. In Water Quaity Prevention, Identification and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrand Peinhold, New York. Monoarfa M. 2002. Dampak Pembangunan Bagi Kualitas Air di Kawasan Pesisir Pantai Losari, Makasar. www. Pascaunhas.net (Accessed, 20 Juli 2011) Mumby P, Steneck R. 2008. Coral Reef Management and Conservation in Light of Rapidly Evoving Ecological Paradigms. Trend In Ecology and Evolution 23 (10): 555-563. Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development.World Bank Environment Paper No. 3. Washington DC. Dalam Rogers et al., 2008. An Introduction to Sustainable Development. First published by Earthscan in the UK and USA. Copyright Glen Educational Foundation, inc. National Research Council. 2001. Marine Protected Areas. Committee on the Evaluation, Design, and Monitoring of Marine Reserves and Protected Areas in the United States. Tools for Sustaining Ocean Ecosystems. National Academy Press, Washington, D.C. Nikijuluw VPH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta. PT. Pustaka Cidesindo.. Nybakken JW. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Cetakan kedua. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia. Oakerson RJ. 1992. Analyzing the Commons: A Farmework, p 41-59. dalam Bromley DW. 1992. Making the Commons Work. Theory, Practice, and Policy. Institut for Contemporary Studies (ICS) Press. San Fransisco, California. Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology, Thirt Edition. W. B. Sanders Co. Philadelphia. Partini. 2009. Efek Sedimentasi Terhadap Terumbu Karang di Pantai Timur Kabupaten Bintan. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Parwinia. 2007. Pemodelan Ko-Eksistensi Pariwisata dan Perikanan: Analisis Konvergensi-Divergensi (KODI) di Selat Lembeh Sulawesi Utara. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Perrings C, Maller KG, Folke C,. Holling CS, Jasson BO. 2003. Introduction : Framing the Problem of Biodiversty Loss. In Perrings C, Maller KG, Folke C, Holling CS, Jasson BO, editor. Biodiversity Loss, Economic and Ecological Issues. Cambridge University Press, Cambridge. Pekuwali MM. 2000. Analisis Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang Pulau Kera, Taman Wisata Alam Teluk Kupang Nusa Tenggara Timur. [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pitcher TJ, Preikshot DB. 2001. Rapfish: A Rapid Appraisal Technique to Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49(3): 255-270.
181
Pond S, Pickard GL. 1983. Introductory Dynamic Oceanography. Pergamon Press. Canada. Priyono A. 2004. Kebijakan Pengelolaan Terumbu Karang di Perairan Kelurahan Pulau Panggang Kepulauan Seribu Daerah Khusus Ibukota Jakarta. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Purwoto A. 2007. Panduan Laboratorium Statistik Inferensial. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Purnomo PW, Soedharma D, Zamani NP, Sanusi HS. 2010. Model Kehidupan Zooxanthelae dan Penumbuhan Massalnya pada Media Binaan. Jurnal Saintek Perikanan 6: 46-54. Pusat Penelitian Kawasan Pantai dan Perairan Lembaga Penelitian Universitas Riau. 2001. Penataan Kawasan/Zonasi Terumbu Karang di Kecamatan Bintan Timur, Singkep dan Tambelan. Pekanbaru. P2KP2 Lemlit Universitas Riau. Roberts CM, Hawkins JP. 2000. Fullyprotected Marine Reserves: A guide. WWF in Washington D.C. USA, University of York, York, UK. Roderic G, Meppem, Tony. 1997. Planning for Sustainability as a Learning Concept, New England Ecological Economic Group, Centre for Water Policy Research, University of New England, Armidale, Australia. Rogers CS, Garrison G, Grober R, dan Hillis MA. 1994. Coral Reef Monitoring Manual for the Caribbean and Western Atlantic. National Park Service. Virgin Island National Park. Rogers PP, Jalal KF, Boyd JA. 2008. An Introduction to Sustainable Development. Earthscan, UK and USA. Romdiati H, Djohan E. 2009. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II, Gunung Kijang dan Malang Rapat Kabupaten Bintan. Hasil BME. COREMAP II-LIPI. Jakarta. Saaty, Thomas L. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Saeni MS. 1989. Kimia Lingkungan. Bogor : PAU IPB. Salim E. 1992. Pidato Pengarahan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Pada Seminar Kelautan Strategi Konservasi dan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Diselenggarakan atas kerjasama Kantor Men LH, EMDI dan WWF, Jakarta 7 Agustus 1992. Salm RV, Clark JR. 1989. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planner and Managers. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Gland, Switzerland. Schroder PC.1986. Coastal Environment Plays Key Role in Bold Indonesian Regional Development Project. Proceeding of MAB-COMAR Regional Workshop on Coarl Reef Ecosystem: Their management Practices and Research/Traning Needs. Bogor, 4 -7 March 1986. 12 -13.
182
Scones JB. 1993. Global Equity and Environment Crisis: An Argument For Reducing Working Hours and The North Orld Development. Sickle JV. 1997. Using Mean Similarity Dendrogram to Evaluate Classfications. Journal of Agricultural, Biological and Environmental Statistics 2: 370– 388. Sjafrie NDM. 2009. Pemantauan Perikanan Berbasis Masyarakat Wilayah Indonesia Bagian Barat Tahun 2009. CRITC- COREMAP II-LIPI. Jakarta. Sjafrie NDM. 2011. Pemantauan Perikanan Berbasis Masyarakat Wilayah Indonesia Bagian Barat Tahun 2010. CRITC- COREMAP II-LIPI. Jakarta. Soekarno, Hutomo M, Moesa MK, Darsono P. 1981. Terumbu Karang di Indonesia. Sumberdaya, Permasalahan dan Pengelolaannya. Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Lembaga Oseanografi Nasional - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta Soekarno. 1995. Teknik Teknik Rehabilitasi Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang. Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (Integreted Coastal Zone Planning and Management) Angkatan I. Kerjasama Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Lembaga Penelitian IPB dengan Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional. Bogor 3 April – September 1995. Smith SJ. 1993. Risk Evaluation and Biological Reference Point for Fisheries Management. A Review. Dalam Kruse G, Raggers,. Marasco DM, Pautzke RJ, Quinn CTJ, editor. Management Strategies For Exploited Fish Population. Alaska Sea Grant, Anchorage. pp 339 – 353. Stronza A, Gordillo J. 2008. Community Views of Ecotourism. Journal Annals Tourism Resources 35:448-468. Suharsono. 1996. Jenis-jenis Karang Yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia. Proyek Penelitian dan Pengembangan Daerah Pantai P3O-LIPI, Jakarta. Suharsono. 1998. Condition of Coral Reef Resources in Indonesia. Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol. 1, No.2. Sukandar. 2010. Identifikasi Karang Keras (Hard Coral) dan Jenis Ikan di Perairan Bawean Kabupaten Gresik. Jurnal Mitra Bahari. Vol. 3 No. 2. Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan. Suyono MS. 1995. Hidrologi Dasar. Yogyakarta. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Tarigan A. 2008. Pokok-Pokok Pikiran Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pelestarian Ekosistem Terumbu Karang. http://www.bappenas.go.id /node/71/1186/. Diakses pada 13 Juni 2011. Tasrif M. 2004. Model Simulasi Untuk Analisis Kebijakan. Pendekatan Metodologi System Dinamics. Kelompok Penelitian dan Pengembangan Energi. Institut Teknologi Bandung. Bandung.
183
Telesnicki GJ, Goldberg WM. 1995. Effects of Turbidity on the Photosynthesis and Respiration of Two South Florida Reef Coral Species. Bulltetin of Marine Science 57: 527-539.
Tesfamichael D, Pitcher TJ. 2006. Multidisciplinary Evaluation of the Sustainability of Red Sea Fisheries Using Rapfish. Fisheries Research 78: 277-235. Tomascik T. 1991. Coral Reef Ecosystem. Environmental Management Guidelines. Kantor Menteri Negara KLH. Tomascik, T., Mah AJ, Nontji A, Moosa K. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas: Part One. Periplus Edition (HK) Ltd. Singapore. [Trismades-P2O LIPI] Trikora Seagrass Management Demonstration Site – Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2010. Rencana Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan Penataan Ruangnya di Pesisir Timur Pulau Bintan. Kerjasama dengan Bappeda Kabupaten Bintan. Tsaur SH, Yu-Chang Lin, Jo-Hu Lin. 2006. Evaluating Ecotourism Sustainability from the Integrated Perspective of Resources Community and Tourism. Journal Tourism Management 27: 640-563. [UNEP] United Nation Environmental Program. 1993. Training Manual on Assessment of The Quanlity and Type of Land Based Pollutant Discharge into the Marine and Coastal Environment. RUC/EAS Technical Reports Series. No. 1. van Woesik R, Tomascik T, Blake S. 1999. Coral Assemblages and PhysicoChemical Characteristics of the Whitsunday Islands: Evidence of Recent Community Changes. Marine and Freshwater Research 50: 427- 440.
Vaughan TW. 1999. Corals and the Formation of Coral Reefs. Special Paper Geoplogy Sociaty Amarican (44): 1-33. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistik. Gramedia Pustaka, Jakarta Wawo M. 2000. Penilaian Ekonomi Terumbu Karang: Studi Kasus di Desa Ameth Pulau Nusa laut Propinsi Maluku. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [WCED] World Commission on Environment and Development.1987. Our Common Future. Oxford University Press. New York. Wetsel RG. 1975. Lymnology. Pennsylvania. WB Saunders Co. Wiadnya DGR, Syafaat R, Susilo E, Setyohadi D, Arifin Z, Wiryawan B. 2011. Recent Development of Marine Protected Area (MPAs) in Indonesia: Policies and Government. J. Appl. Environ.Biol. Sci. 12 : 608-613. White AT. 1988. The Effect of Community-Managed Marine Reserves in the Philippines on their Associated Coral Reef Fish Populations. Asian Fisheries Science 2: 27-41. Williams MJ. 1998. Fisheries and Marine Protected Areas. Parks 8 (2): 41-46.
184
Williamson DH, Russ GR, Ayling AM. 2004. No Take Marine Reserves Increase Abundance and Biomass of Reef Fish on Inshore Fringing Reefs of tehe Great Barrier Reef. Environmental Conservation 31 (2): 149 – 159. Yamazato.1996. The Effect of Suspended Particles on Reef Building Corals. Prociding MAB-COMAR Regional Workshop on Coral Reef Ecosystem. Bogor. 86 – 91. Young FW. 2001. Multidimensional Scaling : History, Theory and Application. Erlbaum,New York. http.//forrest.psych.unc.edu/teaching/p230/p230.html. Diakses pada 5 Agustus 2009. Zieren M, Priyatna T, Aribowo F. 1997. Kondisi Terumbu Karang di Kepulauan Riau, Riau Coastal Management Project. PT. Ardes Perdana.
185
Lampiran 1. Persentase tutupan dari kategori benthic lifeform di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Tahun 2010
St 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Lokasi Karang Masiran Pulau Manjin Muara Kawal Karang Penyerap Pulau Beralas Bakau Pulau Busung Bujur (Nikoi) Pulau Penyusuk Pulau Cengom Pulau Kelong Pulau Gin Besar Pulau Gin Kecil
Tutupan Karang Hidup Acropora dan Non Acropora 52,89 44,33 34,69 54,28 62,38
Dead Coral
Algae
Other Fauna
Abiotic
24,99 35,92 21,85 31,91 30,5
20,85 13,04 16,65 7,47 0,00
0,26 3,32 1,26 5,24 6,23
2,045 3,39 25,55 1,10 0,89
61,245
30,915
0,18
7,66
0,00
48,99 43,31 42,29 36,4 57,25
24,305 38,69 52,8 52,00 37,13
1,77 12,485 0,86 2,00 3,30
1,17 2,835 4,05 2,80 2,32
23,765 2,68 0,00 6,8 0,00
186
Lampiran 2. Data Kualitas Perairan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau Tahun 2010
St 1 2 3 4 5 6
Lokasi
Suhu (oC)
Kecerah -an (m) 5,50 5,20 4,40 4,25 8,10
Kedalaman (m) 5,50 5,20 4,40 4,25 8,10
Kec. Arus ms-1 15 12,5 12,5 17,5 12,5
Parameter Salinit TSS as -1 mgL (o/ oo ) 6,0 30 10,0 30 6,0 31,5 6,0 31 3,0 30
DO mgL-1
Karang Masiran 29,5 6,19 Pulau Manjin 29,5 6,82 Muara Kawal 29 6,84 Karang Penyerap 29,5 6,15 Pulau Beralas Bakau 29,5 6,39 Pulau Busung Bujur 29 7,05 7,05 12,5 4,5 31,5 6,08 (Nikoi) 7 Pulau Penyusuk 30 3,60 3,60 17,5 4,0 31,5 6,89 8 Pulau Cengom 29,5 3,10 3,10 17,5 6,0 31,5 6,52 9 Pulau Kelong 29,5 6,35 6,35 17,5 5,5 32 6,08 10 Pulau Gin Besar 29,5 5,25 5,25 22,5 7,5 32 6,47 11 Pulau Gin Kecil 29,5 5,50 5,50 22,5 12,5 32 6,42 Baku Mutu 28 - 30 >5 20 33 - 34 >5 BM : Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut (Lampiran III)
BOD mgL-1
Nitrat mgL-1
Posfat mgL-1
15,25 25,70 16,25 13,75 9,80
0,099 0,241 0,112 0,101 0,069
0,013 0,019 0,012 0,011 0,009
12,25
0,079
0,012
13,35 15,15 20,75 18,20 28,20 20
0,084 0,108 0,127 0,187 0,351 0,008
0,012 0,013 0,011 0,013 0,027 0,015
187
Lampiran 3. Akar ciri dan persentase kontribusi setiap sumbu faktorial terhadap total variansi
Eigenvalue Variability (%) Cumulative %
F1
F2
F3
5,300 40,765 40,765
2,974 22,875 63,640
1,870 14,386 78,026
Lampiran 4. Kualitas representasi kosinus kuadrat dari fisika-kimia perairan pada 3 sumbu utama pada Analisis Komponen Utama (PCA) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Parameter Suhu Kecerahan Kedalaman Kec. Arus TSS Salinitas DO BOD Nitrat Posfat Laju sedimentasi
F1 0,034 0,086 0,086 0,375 0,928 0,105 0,060 0,868 0,927 0,867 0,898
F2 0,248 0,821 0,821 0,059 0,026 0,021 0,309 0,037 0,053 0,036 0,056
F3 0,000 0,001 0,001 0,426 0,013 0,622 0,334 0,010 0,003 0,016 0,018
Lampiran 5. Kualitas representasi kosinus kuadrat lokasi pengamatan pada 3 sumbu utama pada Analisis Komponen Utama (PCA) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Lokasi Karang Masiran Pulau Manjin Muara Kawal Karang Penyerap Pulau Beralas Bakau Pulau Busung Bujur (Nikoi) Pulau Penyusuk Pulau Cengom Pulau Kelong Pulau Gin Besar Pulau Gin Kecil
F1 0,263 0,430 0,082 0,172 0,631
F2 0,054 0,023 0,072 0,186 0,198
F3 0,116 0,532 0,118 0,043 0,041
0,437 0,040 0,000 0,010 0,245 0,927
0,348 0,772 0,843 0,228 0,029 0,052
0,056 0,003 0,042 0,486 0,495 0,011
188 Lampiran 6. Dimensi ekologi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau o 1
2
3
4
5
Atribut atau faktor Persentase luas penutupan karang (Gomes dan Yap, 1998) Keanekaragaman ikan karang (Indeks ShannonWieners (H')) Substrat perairan (Soekarno et al., 1981)
Memiliki spesies yang dilindungi (Arifin, 2008) Tingkat sedimentasi (Pastorok & Bilyard, 1985)
Kriteria
Status Baik
Buruk
3
0
2
0
3
1
2
0
0
0
(0)
Persentase tutupan karang 0-24,9%;
(1) (2) (3) (0)
Persentase tutupan karang 25-49,9%; Persentase tutupan karang 50-74,9%; Persentase tutupan karang 75-100%; Keanekaragaman rendah (H'<1)
1
(1) (2)
Kenakeragaman sedang (H' =1 -3) Keanekaragaman tinggi (H' >3)
2
(0)
Sedimen
(1)
Pasir dan sedimen
(2)
Pasir halus
(3)
Pasir kasar
(0) (1)
Tidak memiliki spesies dilindungi Memiliki spesies dilindungi
(0)
(0) (1)
Ringan hingga sedang : 1 -10 mg/cm2/hari Sedang hingga berat : 10 - 50 mg/cm2/hari Sangat berat hingga catastrophic : > 50 mg/cm2/hari > baku mutu < Baku Mutu
(1) (2)
6
7
8
9
Kondisi perairan (Kepmen LH No. 51 Tahun 2004) Luas Area yang dilindungi (Charles, 2000) Keragaman Ekosistem Kawasan (Charles, 2000) Tingkat eksploitasi ikan karang (FAO dan Rapfish)
Skor
1
1
1
1
0
1
2
0
(0) (1) (2)
Sedikit (<5 %) Sedang (5 - 10%) Tinggi (>10%)
0
2
0
(0) (1) (2)
Rendah : bila ada 1 ekosistem Sedang : bila ada 2-3 ekosistem Tinggi : bila ada 4 ekosistem
1
3
0
(0) (1) (2) (3)
Collaps Lebih tangkap Tinggi Kurang
2
189 Lampiran 7. Dimensi ekonomi dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau No 1
2
3
4
5
6
7
8
Atribut atau faktor
Status Baik Buruk
Ketergantungan pada sektor perikanan sebagai sumber nafkah : Didasarkan pada persentase pendapatan keluarga dari sektor perikanan (Rapfish; dan Nikijuluw, 2002) Penyerapan tenaga kerja pariwisata
2
2
0
Usaha penangkapan : Berdasarkan intensitas aktivitas penangkapan (Rapfish)
3
0
Tingkat Pendapatan nelayan: Di dasarkan atas angka garis kemiskinan Kabupaten Bintan (Rp. 274.271,-/kapita/bulan)
2
0
Pemasaran hasil perikanan ; Didasarkan pada pasar utama hasil perikanan (RAPFISH)
Kriteria (0)
0
(1) (2)
Rendah : Sedikit tergantung < 50 % Sedang :Tergantung (50 -80%) Tinggi: Sangat tergantung > 80 %
(0)
Rendah
(1) (2)
Sedang Tinggi
(0) (1) (2) (3) (0)
Sangat tinggi : Penuh waktu Tinggi : Musiman Sedang : Paruh waktu Rendah : Sambilan
(1)
2
0
Kunjungan wisatawan (Arifin, 2008)
2
0
Jumlah objek wisata (Arifin, 2008)
2
0
Ketersediaan modal : Didasarkan atas ketersediaan modal nelayan umumnya
3
0
Rendah : Pendapatan ≤ Rp. 274.271,-/kapita/bln)
(2)
Sedang : Pendapatan > Rp. 274.271,- Rp. 500.000,-/kapita/bln) Cukup Tinggi : Pendapatan > Rp. 500.000,- /kapita/bulan
(0)
Pasar internasional
(1)
Pasar nasional Pasar lokal Rendah Sedang Tinggi Tidak ada Sedikit Banyak Rata-rata nelayan tidak memiliki modal Rata-rata nelayan tidak kekurangan modal Rata-rata nelayan cukup modal Tidak ada masalah dengan modal
(2) (0) (1) (2) (0) (1) (2) (0) (1) (2) (3)
Skor
2
0
0
1
2
2
2
1
190 Lampiran 8. Dimensi sosial budaya dan atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau No 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Atribut atau faktor
Status Baik Buruk
Tingkat pendidikan penduduk: Didasarkan atas jenjang pendidikan formal yang ditamatkan
3
0
Pengetahuan lingkungan sumberdaya ikan dan ekosistemnya (Rapfish)
3
0
Potensi konflik dengan sektor lain (Rapfish; Nikijuluw, 2002)
3
0
Memiliki nilai estetika (Arifin, 2008)
2
0
Pemberdayaan masyarakat
2
0
3
0
Tingat pertumbuhan jumlah nelayan : Didasarkan atas laju pertumbuhan jumlah nelayan secara agregasi di Kab. Bintan 2003 - 2009 Mata pencaharian alternatif non perikanan Kekompakan nelayan (social networking) Jumlah rumah tangga perikanan di masyarakat (Rapfish)
2
0
2
0
2
0
Kriteria (0) (1) (2) (3) (0) (1) (2) (3)
Tidak tamat SD Tamat SD-SMP Tamat SLTA Tamat S0 - S1 Tidak ada Sedikit Cukup Banyak
(0) (1)
Tinggi Sedang
(2) (3) (0) (1) (2) (0) (1) (2) (0)
Rendah Hampir tidak ada
(1)
Tinggi : 20 - 30% %
(2)
Sedang : 10 -20 %
(3)
Rendah : < 10 %
(0) (1) (2) (0) (1) (2) (0) (1) (2)
Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Banyak : > 30 % Sedang : 10 - 30 % Sedikit : < 10%
Rendah : bila ada 1 objek wisata alam Sedang : bila ada 2 - 3 objek wisata alam Tinggi : bila ada ≥ 4 objek wisata alam Tidak ada Ada, kurang optimal Optimal Sangat tinggi > 30 %
Skor 1
2
0
2
1
3
0
1
0
191 Lampiran 9. Dimensi teknologi dan infrastruktur serta atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau No 1
2
3
4
5
6
7 8 9
Atribut atau faktor Jenis alat tangkap (Rapfish) Selektivitas alat tangkap (Rapfish)
Rehabilitasi karang dengan transplantasi (Dahuri, 1996) Sarpras pengawasan
Status Baik Buruk 2 0
3
1
0
0
2
0
3
0
Efek alat tangkap terhadap Terumbu karang
3
0
Pengolahan limbah Hotel dan Restoran Pengolahan limbah penduduk Penggunaan alat tangkap terlarang
2
0
1
0
3
0
Perubahan kemampuan alat dan armada tangkap
Kriteria (0) (1) (2) (0) (1) (2) (3) (0) (1)
Mayoritas aktif Seimbang antara aktif dan pasif Mayoritas pasif Tidak selektif Kurang selektif Selektif Sangat selektif Belum ada ada
(0) (1) (2) (0) (1) (2) (3) (0) (1) (2) (3) (0) (1) (0) (1) (0) (1) (2) (3)
Tidakada Ada, belum optimal Optimal Banyak Sedang Sedikit Sangat sedikit Banyak Sedang Sedikit Tidak ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada Banyak Sedang Sedikit (jarang) Tidak ada
Skor 2
2 0
1
1
1
1 0
2
192
Lampiran 10.
No 1
2
3
4
5
6
7
8
Dimensi hukum dan kelembagaan serta atribut keberlanjutan pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau
Atribut atau faktor Ketersediaan peraturan formal pengelolaan
Status Baik Buruk 2
Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum formal (Nikijuluw, 2002)
2
Lembaga Konservasi
2
(0)
Tidak ada
(1) (2)
Ada, belum berjalan optimal Optimal
0
(0)
Tidak patuh
0
(1) (2) (0)
Sedang Patuh Tidak ada
(1) (2) (0) (1) (2)
Ada, belum berjalan optimal Optimal Buruk Sedang Baik
(0) (1) (2)
Rendah Sedang Baik
(0)
Tidak ada
(1) (2)
Sedikit Cukup
(0) (1) (2) (0)
Rendah Sedang Tinggi Tidak pernah
(1) (2)
Jarang Sering
0
Koordinasi antara stakeholders
2
0
Partisipasi masyarakat (Rapfish; Nikijuluw, 2002)
2
0
Tokoh panutan : Didasarkan atas ketersediaan tokoh panutan dalam masyarakat (Nikijuluw, 2002)
2
0
Pelaksanaan pemantauan, pengawasan (Nikijuluw, 2002)
2
0
2
0
Penyuluhan hukum lingkungan
Kriteria
Skor
1
1 1
1
1
1
1
1
193 Lampiran 11.
Perhitungan beban pencemaran dari penduduk, hotel dan restoran serta peternakan
Sumber Pencemar 1.PEMUKIMAN A. Limba cair Tanpa diolah a. Jumlah penduduk b. Faktor Konversi c. Beban limbah B.Pakai Septic tank a. Jumlah penduduk b.Faktor konversi c. Beban limbah Jumlah 2. HOTEL a. Jumlah hotel b. Jumlah kamar c. Jumlah pengunjung d. Faktor konversi e. Beban limbah
3. RESTORAN a. Jumlah b. Luas ruang makan rata-rata c. Faktor konversi d. Beban limbah Jumlah 4. PETERNAKAN - Kelompok Unggas a. Jumlah ternak b. Faktor Konversi c. Beban limbah
Satuan / Teknik Perhitungan
Volume
Jiwa g/kap/hari axbx360x10-6ton/thn
13.817
Jiwa g/kap/hari axbx360x10-6 ton/thn
3.454
Buah Unit Orang/thn g/kap/hari cxdx360x10-6ton/th
53 363,638
22.7 112,913
3.8 18,902
12,6 15,667
5,4 6,715
0,9 1,243
379,305
119,628
20,145
12,6 306,547
5,4 131,377
0,9 21,896
53,2 39,223 345,770
5,74 4,232 135,609
1,67 1,231 23,127
3,9
1,4
-
565,896
203,142
-
694,4 17,999
223,1
5,783
-
101,7 9,592
23,3 2,198
-
78,9 1,704
23,3 0,503
-
595,191 1.320,266
211,626 466,863
43,272
7 238 67.581
Buah
64
m2 g/m2/hari axbxcx360x10-6ton/th
32
ekor g/ekor/hari axbx360x10-6 ton/th
403.060
- Kelompok Sapi a. Jumlah ternak b. Faktor Konversi c. Beban limbah
ekor g/ekor/hari axbx360x10-6 ton/th
72
-Kelompok Kambing a. Jumlah ternak b. Faktor Konversi c. Beban limbah
ekor g/ekor/hari axbx360x10-6 ton/th
262
- Kelompok babi a.Jumlah ternak b. Faktor Konversi c. Beban limbah
ekor g/ekor/hari axbx360x10-6 ton/th
60
Jumlah Total
Beban Pencemaran (ton/tahun) BOD TN TP
194 Lampiran 12. Matriks strategi dan implementasi program, capaian program menurut waktu serta indikator kinerja utama (IKU) pelaksanaan kebijakan pengelolaan ekosistem terumbu karang berkelanjutan di KKLD Bintan Timur Kepulauan Riau Urutan Prioritas 1
2
Strategi Peningkatan koordinasi antar stakeholders
Peningkatan pemantauan, pengawasan dan penegakan hukum secara konsisten
Program 1. Mengintensifkan pertemuan formal dan informal semua stakeholders 2. Membuat program bersama pengelolaan terumbu karang yang melibatkan semua stakeholders 3. Pelatihan penguatan kelembagaan lintas sektor 1. Pelaksanaan pemantauan dan pengawasan secara periodik dan peningkatan pengawasan berbasis masyarakat 2.Meningkatkan penataran dan penyuluhan hukum lingkungan bagi semua stakeholders 3. Penetapan sanksi hukum dan sanksi sosial yang tegas bagi orang merusak terumbu karang 4. Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pengawasan seperti kapal, teropong, alat komunikasi, kamera dan biaya operasional yang memadai
1
Capaian Program Menurut Waktu (Tahun) 2 3 4
2 kali
3 kali
3 kali
4 kali
5 4 kali
8 stakeholders
-
-
-
8 stakeholders
24 orang
24 orang
24 orang
-
-
2 kali
3 kali
3 kali
4 kali
4 kali
2 kali
2 kali
2 kali
-
-
100%
100%
100%
100%
100%
50 %
75%
100%
100%
100%
Indikator Kinerja Frekuensi pertemuan dalam setahun Jumlah stakeholders yang berterlibat dalam pembuatan program Jumlah peserta pelatihan dalam setahun Frekuensi pemantauan secara periodik dalam setahun Frekuensi penataran dan penyuluhan hukum lingkungan dalam setahun Persentase masalah hukum perusakan terumbu karang dapat diselesaikan Tersedianya sarana dan prasarana pengawasan seperti kapal, teropong, alat komunikasi, kamera dan biaya operasional yang memadai
195
Lanjutan lampiran 12. Urutan Prioritas 3
4
Strategi Pemberdayaan masyarakat pesisir melalui pengembangan mata pencaharian alternatif
Meningkatkan kualitas SDM pesisir
Program
1
Capaian Program Menurut Waktu (Tahun) 2 3 4
5
1. Pengembangan perikanan budidaya laut
2%
4%
6%
8%
10%
2. Pengembangan wisata bahari berbasis masyarakat
3%
5%
8%
10%
12%
3. Pengembangan pengelolaan perikanan berkelanjutan melalui penggunaan alat ramah lingkungan
-
5%
10%
15%
-
24,50%
25%
26%
27%
30%
24 orang
48 orang
48 orang
48 orang
-
1. Meningkatkan akses pendidikan formal bagi masyarakat pesisir secara luas 2. Meningkatkan pendidikan non-formal dan informal masyarakat pesisir
Indikator Kinerja Persentase peningkatan jumlah kelompok atau perorangan dalam usaha budidaya laut Persentase jumlah masyarakat di Kecamatan Gunung Kijang yang terlibat dalam penyelenggaraan wisata bahari Persentase jumlah nelayan di Kec.Gunung Kijang dan Bintan Pesisir yang mendapat pembinaan dan bantuan alat tangkap ramah lingkungan Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas menurut angka partisipasi sekolah pada pendidikan menengah atas Jumlah peserta pelatihan, dan penyuluhan
196 Lanjutan Lampiran 12. Urutan Prioritas 5
Strategi
Program
Melakukan rehabilitasi ekosistem terumbu karang dan pengendalian serta penanggu-langan pencemaran
1. Melakukan transplantasi karang di lokasi yang terpilih, seperti di lokasi yang kondisi terumbu karang sudah rusak dan lokasi pengembangan wisata bahari 2. Meningkatkan jumlah dan luas DPL di KKLD
3. Meningkatkan pemantauan dan pengawasan terhadap sumber-sumber pencemaran di daratan, pesisir dan laut
1
Capaian Program Menurut Waktu (Tahun) 2 3 4
5
-
2%
3%
4%
4%
5 buah
6 buah
7 buah
8 buah
-
2 kali
3 kali
3 kali
4 kali
4 kali
Indikator Kinerja Persentase peningkatan tutupan karang hidup
Jumlah DPL bertambah di KKLD Bintan Timur terutama di desa yang belum punya DPL Frekuensi pemantauan secara periodik dalam setahun