V. BAHAYA ATAU HAZARD DALAM KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK Keamanan pangan asal ternak ini menjadi penting karena bahan pangan atau pangan yang tidak aman untuk dikonsumsi manusia dapat membahayakan kesehatan masyarakat yang mengonsumsinya. Hal demikian dapat dijelaskan bahwa bahaya atau hazard yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak dapat terjadi pada setiap mata rantai mulai dari saat praproduksi (dibudidayakan) di tingkat peternak/farm atau produsen maupun pada proses pascaproduksi sampai saat produk tersebut didistribusikan dan disajikan kepada konsumen. Bahaya atau hazard tersebut terdiri atas: (1) Penyakit ternak pada saat dibudidayakan; (2) Penyakit yang ditularkan melalui pangan atau yang disebut food borne diseases; (3) Serta cemaran atau kontaminasi kimiawi dan bahan toksik lainnya. A. Penyakit Ternak pada Proses Budidaya Penyakit ternak menular, umumnya terjadi pada proses budidaya, yaitu penyakit yang dapat menyerang ternak yang sedang dalam proses pemeliharaan. Penyakit-penyakit ini selain berpengaruh terhadap kesehatan ternak itu sendiri, juga berpengaruh terhadap mutu dan keamanan produknya. Beberapa Penyakit ternak utama yang perlu mendapat perhatian antara lain Antraks, BSE, virus nipah (Encephalitis), virus AI H5N1, Tuberkulosis, penyakit radang paha, dan penyakit Cysticercosis pada sapi. 1. Penyakit Tuberculosis (Tb) Penyakit tuberkulosis (Tb) pada berbagai jenis hewan termasuk sapi, disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculose. Kuman Tb ini di alam terdapat tiga tipe, yaitu tipe human, bovine dan tipe avian. Penyakit ini biasanya menyerang 34
Bahaya atau Hazard dalam Keamanan Pangan Asal Ternak
bagian saluran pernafasan, terutama paru-paru, pleura dan kelenjar pertahanan. Penyakit biasanya berlangsung kronis sehingga hewan terserang tampak kurus. Organ tubuh yang terkena penyakit ini disarankan untuk tidak dikonsumsi. Kuman Tb ini juga dapat mencemari susu yang diproduksi oleh hewan/sapi penderita. Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk dikonsumsi. 2. Penyakit Radang Paha Penyakit radang paha disebabkan oleh kuman Clostridium chauvoei yang biasanya menyerang sapi atau domba. Penyakit bersifat akut dengan gejala klinis pembengkakan pada jaringan subkutan terutama di bagian bahu dan paha yang bila ditekan terasa seperti ada gas atau udara yang berpindah-pindah. Otot berwarna merah kehitaman dan oedematous pada daerah yang membengkak dengan tempat udara di bagian tengahnya. Karkas dari hewan penderita tidak boleh dikonsumsi maupun diperjualbelikan. 3. Penyakit Cysticercosis Penyakit ini dapat menyerang sapi yang penyebabnya adalah Cysticercus bovis yang merupakan cyste dari cacing dewasa Taenia saginata yang hidup di usus manusia. Cysticercus ini bermukim di otot-otot terutama bagian rahang, jantung, diafragma dan kadang-kadang bagian otot lainnya. Di dalam otot Cystisercus dibungkus dengan kapsula berupa jaringan ikat, dan Cysticercus tersebut dapat tetap hidup sampai lebih dari 5 tahun. Cysticercosis juga dapat menyerang ternak babi yang disebabkan oleh Cysticercus cellulosae yang merupakan cyste dari cacing Taenia solium yang hidup di manusia. Cysticercus ini hidup di otot daging jantung, lidah, paha dan leher babi. Manusia juga dapat menjadi induk semang dari cysticercus ini. Cyste dapat
35
Keamanan Pangan Asal Ternak
berkembang pada jaringan subkutan, mata dan otak yang dapat menyebabkan Encephalitis. Cysticercosis lainnya juga dapat menyerang domba yang disebabkan oleh Cysticercus ovis dan Cysticercus tenuicolis. Cysticercus ovis serupa dengan Cysticercus pada sapi. Cacing dewasa Taenia ovis hidup pada anjing, cyste terdapat pada otot daging jantung, diafragma dan lidah. Sedangkan C. tenuicollis selain terdapat pada domba juga kadang-kadang terdapat pada sapi dan babi. Cacing dewasanya Taenia hydatigena hidup pada anjing, cyste ini menembus hati dan melekat pada peritoneum. Pada umumnya karkas yang terinfeksi berat sebaiknya tidak dipasarkan untuk konsumsi, sedangkan pada infeksi sedang dan ringan dapat dikonsumsi atau dipasarkan setelah bagian-bagian yang terinfeksi dibuang dan karkas direbus dahulu dan bagianbagian yang terdapat cyste dibuang. 4. Penyakit Antraks Penyakit Antraks merupakan penyakit hewan bersifat zoonosis yang disebabkan oleh kuman Bacillus anthracis. Kuman ini membentuk spora di luar tubuh dan dapat bertahan selama bertahun-tahun di lingkungannya (tanah), sehingga pada daerah endemis Antraks biasanya kejadian penyakit akan terjadi secara berulang. Oleh karena itu, untuk membuka peternakan tidak disarankan pada daerah yang diketahui sering terjadi (endemis) wabah Antraks. Tanah yang telah mengandung spora Antraks sangat potensial untuk menimbulkan penyakit pada ternak, manusia atau bahan pangan lainnya. Ternak yang terserang penyakit ini tidak boleh dipotong apalagi dikonsumsi. Daerah endemis di Indonesia yang sering menimbulkan korban pada ternak maupun manusia antara lain Kabupaten Bogor, Purwakarta, Sulawesi Selatan dan NTT (Poerwadikarta et al. 1996; Hardjoutomo et al. 2000; Alfinus et al. 2008; Anonimus 2013).
36
Bahaya atau Hazard dalam Keamanan Pangan Asal Ternak
5. Penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) BSE atau yang lebih dikenal dengan sebutan penyakit sapi gila atau Mad Cow merupakan penyakit dari kelompok penyakit Transmissible Spongiform Encephalopathy (TSE). Penyakit ini menyerang susunan syaraf pusat sapi dan menyebabkan kerusakan sel-sel syaraf (neuron) yang bersifat progresif dengan terbentuknya lubang-lubang (vakuolisasi) sel-sel syaraf terutama pada bagian grey matter dari otak. Kerusakan sel-sel syaraf ini selalu disertai dengan akumulasi protein tertentu yang dikenal juga protein prion sehingga penyakit ini dikenal juga dengan Prion Diseases. Penyakit ini dapat juga menyerang manusia yang disebut Creutzfeldt Jacob Disease (CJD) atau Alzheimer Disease (AD). Data Epidemiologi menunjukkan bahwa munculnya CJD varian baru di Eropa erat kaitannya dengan merebaknya penyakit BSE di daerah yang sama. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa penyakit sapi gila dapat menular dari hewan ke manusia dapat melalui makanan, obat-obatan atau kosmetika yang terkontaminasi atau berasal dari ternak yang menderita BSE (Sitepu 2000). Berdasarkan laporan WHO dan laporan OIE pada tahun 2001, kasus BSE terjadi di Inggris dengan jumlah 7228 kasus pada 1989. Pada laporan tersebut, BSE telah terjadi di 19 negara Eropa dan satu negara Asia, yaitu Jepang sebanyak tiga kasus yang terjadi pada tahun 2001. Jadi penyakit sapi gila pertama kali dilaporkan di Inggris pada bulan Nopember 1986 dan sampai dengan Mei 1995 sudah terjadi 148.200 kasus yang terjadi pada 32.385 peternakan (Bahri 2002). 6. Penyakit Nipah Virus nipah merupakan salah satu penyebab radang otak (encephalitis) yang pada akhir tahun 1990-an mewabah di Malaysia dan telah menelan korban lebih dari 100 orang 37
Keamanan Pangan Asal Ternak
meninggal dunia. Penyakit ini berkaitan dengan ternak babi dan orang-orang yang pernah kontak langsung dengan ternak babi (petenak, pekerja peternakan atau pekerja rumah potong hewan) adalah orang-orang yang menderita penyakit radang otak tersebut (Chua et al. 1999; 2000). Selain Malaysia, di Singapura juga terjadi kasus penyakit yang sama dan menyerang 11 orang yang menangani babi impor dari Malaysia. Mula-mula kasus tersebut diidentifikasi penyebabnya adalah Japanese B. Encephalitis (JE) tetapi setelah dilakukan penelitian oleh Center for Disease Control and Prevention (CDC) USA dengan menggunakan mikroskop elektron ditemukan bentuk virus yang konsisten dengan paramyxovirus dan selanjutnya dengan uji immunofluorescent terhadap biakan sel yang diinfeksi dengan virus tersebut menunjukkan bahwa virus tadi memiliki persamaan dengan Hendra virus asal Australia (Anonymous 1999; Darminto et al. 1999). Namun dari hasil analisis biologi molekuler (dengan nucleotide sequencing) dinyatakan bahwa virus penyebab wabah di Malaysia tersebut memiliki persamaan dengan Hendra virus (Anonymous 1999), sehingga disebut Hendra-like virus. Virus tersebut diisolasi dari Kampung Sungai Nipah, maka penyakit tersebut dikenal dengan nama Nipah virus. Salah satu cara untuk mencegah tertularnya penyakit radang otak dari Malaysia ke Indonesia adalah dengan memperketat pangawasan lalu lintas ternak (khususnya babi dan daging babi) di setiap point of entry dengan sistem karantina yang ketat. B. Penyakit yang Ditularkan Melalui Pangan (Food Borne Diseases) Bahaya juga dapat terjadi pada penyakit bakterial yang ditularkan melalui pangan atau lebih dikenal dengan istilah microbial food borne diseases. Kejadian penyakit ini dapat timbul melalui infeksi oleh bakterinya sendiri atau melalui intoksikasi oleh toksin yang dihasilkan bakteri yang bersangkutan. Beberapa penyakit bakterial yang dapat ditularkan melalui pangan yaitu: 38
Bahaya atau Hazard dalam Keamanan Pangan Asal Ternak
Salmonellosis, Enteritis Clostridium perfringens, Intoksikasi Staphylococcus, Campylobacteriosis dan Hemorrhagic Collitis. 1. Salmonellosis Agen penyebab Salmonellosis adalah Salmonella sp. yang terdiri dari banyak serotipe. Sumber penularan berasal dari kotoran manusia maupun hewan dan air yang terkontaminasi oleh limbah tersebut. Kuman ini sering ditemukan dalam bahan makanan asal hewan seperti daging termasuk daging sapi, daging unggas dan telur. Salmonellosis merupakan penyakit yang terdapat hampir di seluruh dunia. Penyakit ditularkan dari hewan kepada manusia melalui makanan yang terkontaminasi oleh kuman Salmonella tersebut. Salmonella typhimurium merupakan spesies yang paling banyak ditemukan pada manusia maupun hewan demikian juga Salmonella enteritidis. Hewan yang positif Salmonella akan menjadi sumber kontaminasi di lingkungan sekitarnya. Kontaminasi dapat terjadi selama transportasi, di tempat pemotongan hewan, dalam prosesing, dan pada saat distribusi produk ternak tersebut. Daging atau produk ternak lain yang diketahui telah tercemar oleh Salmonella tidak dianjurkan untuk dikonsumsi. Pencegahan dapat dilakukan dengan tindakan hygienis. Dari 480 sampel intestin kambing dan domba dari Rumah Potong Hewan (RPH) Bogor dan DKI, didapatkan 15 isolat, sedangkan dari 61 sampel karkas didapatkan satu isolat (Sri Poernomo dan Bahri 1998). 2. Enteritis Clostridium perfringens Bakteri ini bersifat anaerobik, dapat ditemukan dalam bentuk vegetatif atau bentuk spora. Bakteri relatif tahan terhadap proses pemanasan dan pengeringan, terutama dalam bentuk spora. Sumber penularan adalah kotoran manusia maupun hewan yang mencemari air dan tanah serta tanaman. Kontaminasi dapat
39
Keamanan Pangan Asal Ternak
terjadi melalui air dan serangga yang langsung kontak pada daging. Keracunan pada manusia terjadi akibat toksin yang dihasilkan oleh mikroba bentuk vegetatif yang hidup di dalam saluran pencernaan manusia yang terinfeksi. 3. Intoksikasi Staphylococcus Agen penyebabnya adalah Staphylococcus aureus yang berbiak dalam bahan pangan dan menghasilkan toksin. Penyakit ini menimbulkan gejala sakit berupa mual, muntah dan diare. Sumber pencemar S. Aureus adalah selaput lendir hidung dan kulit hewan maupun manusia yang sewaktu-waktu dapat mencemari bahan pangan karena tindakan yang tidak hygienis. 4. Campylobacteriosis Agen penyebab penyakit ini adalah Campylobacter jejuni yang menimbulkan gejala sakit berupa demam, sakit kepala, pegal linu, diare, sakit perut dan mual. Kuman ini dapat ditemukan pada daging segar atau daging setengah masak. 5. Hemorrhagic Collitis Penyakit ini disebabkan oleh Escherichia coli serotipe O157:H7 yang banyak dijumpai di air yang terkontaminasi oleh kotoran manusia. Kuman ini memproduksi toksin yang menyebabkan Hemorrhagic Colitis. Daging mentah dapat tercemar oleh kuman ini. Gejala sakit berupa kejang perut, diare kadang kala berdarah, mual, muntah, serta ada kalanya disertai demam yang ringan. Pada umumnya proses penularan dan pencemaran bakterial ke dalam daging terjadi pada waktu proses pascaproduksi berlangsung yaitu mulai saat pemotongan, pengulitan, pengeluaran jeroan sampai dengan proses pengangkutan dan pemasaran kepada konsurnen. Hal tersebut terjadi terutama bila prosedur-prosedur higienis diabaikan. 40
Bahaya atau Hazard dalam Keamanan Pangan Asal Ternak
Hasil penelitian Setiowati dan Evi (2009) tentang cemaran mikroba pada daging ayam dan daging sapi yang dipasarkan di DKI Jakarta menujukkan ditemukannya E. Coli, S. aureus, Salmonella spp. lainnya. Sedangkan kandungan TPC (total plate count) dan Coliform sebagian besar (lebih dari 80% untuk TPC dan lebih dari 48% untuk Coliform) melampaui Batas Maksimum Cemaran Mikroba. Sebelumnya Poernomo dan Bahri (1998) telah melaporkan keberadaan cemaran Salmonella pada produk asal ternak. C. Cemaran atau Kontaminan Kimiawi dan Bahan Toksik Lainnya Selain penyakit hewan dan penyakit yang ditularkan melalui pangan, juga terdapat bahaya lainnya berupa residu, cemaran (kontaminan) kimiawi dan bahan toksik lainnya yang secara umum disebut senyawa asing (xenobiotics). Dalam hal ini daging, susu dan telur sebagai bahan pangan asal ternak selain dapat tercemar terkontaminasi oleh mikroorganisme, juga dapat tercemar oleh berbagai obat-obatan, senyawa kimia dan toksin baik pada waktu proses praproduksi (budidaya) di peternakan maupun pada saat proses produksi sedang berlangsung. Residu obat seperti antibiotika dapat dijumpai di dalam daging apabila pemakaian obat-obatan hewan tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan, misalnya waktu henti obat tidak dipatuhi menjelang hewan akan dipotong. Bahan-bahan kimia yang diperoleh pada waktu ternak dipelihara antara lain berbagai mikotoksin seperti aflatoksin yang dapat mengontaminasi pakan ternak, juga senyawa-senyawa toksik lainnya seperti pestisida dan logam berat yang juga dapat mengontaminasi pakan dan pada gilirannya akan tertimbun di dalam jaringan tubuh ternak yang mengonsumsi pakan tersebut. Pada umumnya senyawa kimia seperti obat-obatan masuk ke dalam tubuh hewan karena kesengajaan untuk keperluan pengobatan dalam mengatasi penyakit tertentu, atau secara 41
Keamanan Pangan Asal Ternak
sengaja ditambahkan ke dalam pakan untuk keperluan sebagai pemacu pertumbuhan. Tetapi senyawa kimia tersebut juga dapat masuk ke dalam tubuh hewan secara tidak sengaja, misalnya karena terjadi pencemaran pada lingkungan, pakan, air minum, kandang atau pada peralatan lainnya yang dipergunakan pada proses budidaya (praproduksi) di farm maupun pada proses pascaproduksi. Sedangkan pencemaran bakteri biasanya terjadi akibat diabaikannya proses higienes atau kebersihan pada waktu proses praproduksi maupun proses pascaproduksi. Pengertian residu adalah senyawa asing (obat-obatan, maupun senyawa kimia lainnya yang secara alami harusnya tidak ada dalam tubuh hewan/ternak) yang terdapat dalam bahan pangan asal ternak (seperti daging, telur dan susu) yang pada umumnya dalam konsentrasi rendah akibat senyawa kimia tersebut masuk ke dalam tubuh hewan secara sengaja maupun tidak sengaja pada waktu hewan masih hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan cemaran adalah senyawa kimia yang terdapat dalam bahan pangan asal ternak selama proses praproduksi, produksi maupun pada proses pascaproduksi, tetapi senyawa tersebut tidak masuk ke dalam tubuh hewan (Murdiati dan Bahri 1994). Senyawa asing yang sering juga disebut sebagai xenobiotics adalah meliputi senyawa pestisida, mikotoksin, senyawa logam berat, dan juga termasuk obat-obatan seperti antibiotika. Senyawa asing yang berupa residu pada produk asal ternak dapat dalam bentuk senyawa asalnya maupun metabolitnya. 1. Residu Obat Booth (1982; 1984) dalam tulisannya mengenai “residu obat dan khemikalia pada jaringan hewan” mendefinisikan bahwa residu obat atau khemikalia adalah suatu residu yang dapat berupa bahan/senyawa induk atau metabolitnya yang terakumulasi dan tersimpan di dalam sel-sel, jaringan atau organ-organ hewan
42
Bahaya atau Hazard dalam Keamanan Pangan Asal Ternak
setelah hewan tersebut mendapatkan obat atau khemikalia sebagai pencegahan maupun pengobatan atau sebagai imbuhan pakan dalam merangsang pertumbuhan dan meningkatkan efisiensi pakan. Residu dapat juga terjadi apabila obat atau khemikalia secara sengaja atau tidak sengaja ditambahkan pada pangan/produk ternak tersebut. Residu obat hewan seringkali dijumpai pada produk ternak, terutama pada daging dan susu. Keadaan ini terjadi umumnya di tingkat hulu pada saat proses budidaya di peternakan atau farm dimana proses Budidaya Ternak yang Baik (Good Farming Practices) tidak dijalankan dengan baik, misalnya susu sapi yang sedang dalam pemberian obat secara sistemik seharusnya tidak boleh dijual, atau ternak pedaging seharusnya tidak dipotong dahulu apabila dalam masa pengobatan. Keberadaan residu antibiotika dalam produk ternak bukan hanya karena faktor pengobatan, tetapi juga karena sebagian besar pakan yang diproduksi pabrik pakan ditambahkan senyawa antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan atau growth promoter seperti yang dilaporkan oleh Bahri et al. (2005). Keadaan ini dapat dilihat pada Tabel 5. Apabila keadaan tidak diindahkan maka produk ternak yang diperoleh dapat dipastikan mengandung senyawa residu obat. Bahaya residu obat tersebut tergantung dari macam dan sifat kerja obat, sehingga dapat menimbulkan reaksi alergi pada orang yang mengonsumsi produk ternak tersebut. Bahkan apabila obat tersebut berupa antibiotika, dapat menyebabkan mikroba-mikroba tertentu akan menjadi resisten terhadap jenis antibiotika tersebut sehingga akan menyulitkan pada proses pengobatannya. 2. Cemaran atau Residu Mikotoksin Cemaran atau residu mikotoksin juga dapat dijumpai pada produk ternak berupa susu, daging maupun telur. Residu mikotoksin biasanya terjadi akibat ternak mengonsumsi pakan
43
Keamanan Pangan Asal Ternak
atau bahan pakan yang telah tercemar senyawa mikotoksin, sehingga di dalam tubuh ternak senyawa mikotoksin tersebut mengalami metabolisme dan menghasilkan residu mikotoksin baik senya metabolitnya maupun senyawa induknya yang pada akhirnya akan disekresikan ke dalam air susu, telur atau terdeposit dalam jaringan tubuh/organ seperti hati, otot dan ginjal. Residu mikotoksin dalam produk ternak akan masuk ke tubuh manusia melalui produk ternak tercemar yang dikonsumsi, dan bahaya yang ditimbulkan tergantung dari macam dan konsentrasi mikotoksin tersebut serta berapa sering residu mikotoksin tersebut masuk ke dalam tubuh manusia. Mikotoksin yang umum terdapat pada pakan dan bahan pakan di Indonesia adalah Aflatoksin, Fumonisin, Zearalenon, Trichothecene dan Okratoksin. Kelima mikotoksin tersebut cukup berbahaya terhadap kesehatan manusia maupun hewan terutama Aflatoksin, Fumonisin dan Okratoksin yang bersifat karsinogenik dan imunosupresif. Oleh karena itu, keberadaan senyawa mikotoksin ini dalam bahan pangan asal ternak dibatasi dengan peraturan batas maksimum residu (BMR) yang diatur oleh Codex Alimentarious Committee. 3. Cemaran Pestisida Residu pestisida pada produk ternak biasanya akibat pakan yang terkontaminasi dikonsumsi oleh ternak sehingga dalam proses metabolisme di dalam tubuh senyawa residunya dapat terdeposit dalam jaringan tubuh atau organ maupun dalam air susu. Pakan tercemar pestisida biasanya berasal dari berbagai limbah pertanian seperti limbah jerami, kedelai yang belum lama disemprot pestisida atau berbagai tanaman gulma yang disemprot pestisida. Umumnya pestisida yang digunakan adalah golongan organo phospate (OP) dan golongan organo chlorine (OC). Walaupun kasus ini jarang terjadi tetapi residu pestisida dalam pangan dan bahan pangan tidak diperbolehkan karena sebagian
44
Bahaya atau Hazard dalam Keamanan Pangan Asal Ternak
besar senyawa pestisida bersifat toksik dan mengganggu kesehatan manusia. Oleh karena itu, keberadaannya dalam pangan dan bahan pangan dibatasi dengan dikeluarkannya BMR untuk berbagai senyawa pestisida oleh Codex Alimentarius Committee. 4. Cemaran Dioksin Pada umumnya orang mengenal dioksin sebagai senyawa 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin (TCDD) yang paling toksik, yang terbentuk sebagai hasil samping pada proses produksi pestisida 2,4,5-trichlorophenoxy acetic acid (2,4,5-T). Istilah dioksin kemudian dipergunakan untuk golongan senyawa polychlorinated benzene yang mempunyai sifat toksisitas yang mirip dengan TCDD. Dioksin dan chlorinated hydrocarbon lainnya sangat stabil sehingga di alam bebas dapat bertahan dalam waktu sangat lama. Dioksin tidak diproduksi untuk penggunaan komersial kecuali untuk keperluan analisis (standar) dan untuk keperluan penelitian. Umumnya dioksin terdapat dimana-mana, bisa berasal dari pembakaran sampah, terutama sampah plastik. Dioksin juga merupakan cemaran yang dihasilkan oleh pabrik kertas terutama yang mempergunakan PCB sebagai bahan pemutih ataupun pengawet kayu. Apabila limbah pabrik tersebut dibuang ke sungai, maka ikan yang ada di sungai tersebut akan terkontaminasi dioksin dengan kadar yang tinggi jika berlangsung terus-menerus. Cemaran dioksin pada pangan menjadi perhatian dunia, karena senyawa ini sangat toksik dan membahayakan kesehatan manusia. Toksisitas dioksin yang paling utama adalah sifat karsinogeniknya yang oleh WHO ditempatkan sebagai senyawa karsinogen kelas I. Efek toksik lainnya yang bukan karsinogenik, berupa peradangan/iritasi kulit, sakit kepala, nausea dan juga efek imunotoksik, teratogenik, kemandulan, dan kerusakan-kerusakan lainnya pada tingkat DNA.
45
Keamanan Pangan Asal Ternak
Menurut EPA (environmental protection agency) bahwa tubuh manusia dewasa dapat menerima dioksin sebanyak 1-10 pg/kg berat badan/hari atau dengan kata lain dosis tersebut merupakan nilai “acceptable daily intake” (ADI) untuk manusia dewasa. Dosis letal pada manusia sekitar 5 ug/kg, sedangkan ambang batas dioksin yang diizinkan dalam tubuh manusia untuk beberapa negara berbeda-beda, seperti Amerika Serikat menerapkan 0,006 pg/kg berat badan/hari, Kanada 10 pg/kg berat badan/hari, Jerman 1 pg/kg berat badan/hari (Widyatmoko dan Sintorini 2000). Setelah senyawa dioksin masuk ke dalam tubuh, kemudian di dalam organ hati, dioksin mengalami proses detoksifikasi menjadi senyawa Hydroxilated-TCDD dan Methoxylated-TCDD yang selanjutnya diekskresikan ke luar tubuh setelah mengalami konyugasi dengan senyawa glucoronida dan sulfat. Sedangkan pada sel-sel lain, dioksin akan berikatan dengan reseptor Aryl Hidrocarbon (Ah) dan membentuk komplek bersama “translocating protein” dan di dalam inti sel berikatan dengan DNA yang pada akhirnya mempengaruhi beberapa gen sehingga terbentuk protein yang berbeda (protein asing). Selanjutnya metabolit dari protein asing ini bersifat toksik dan sebagian lagi bersifat karsinogen yang aktif (Sirait 1999). Dioksin masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai rute, secara oral melalui makanan dan minuman tercemar ataupun residu yang terdapat dalam pangan asal ternak dan ikan. Pada produk peternakan, dioksin terutama akan ditemukan dalam bagian lemak karena sifat dioksin yang larut dengan baik dalam lemak. Dioksin juga dapat masuk dalam tubuh melalui pernafasan, misalnya pada pembakaran sampah, terutama sampah plastik atau sampah industri. Di dalam tubuh, dioksin umumnya disimpan dalam lemak dan dapat disekresikan melalui air susu pada hewan yang sedang laktasi atau ibu-ibu yang sedang menyusui bayinya. Oleh karena itu, cukup membahayakan konsumen peminum susu apabila sapi perah yang memproduksi susu tersebut diberi pakan
46
Bahaya atau Hazard dalam Keamanan Pangan Asal Ternak
yang tercemar dioksin. Keberadaan dioksin dalam jaringan lemak tubuh dalam jumlah besar telah dibuktikan pada hewan oleh Jensen et al. (1981) dimana kandungannya dapat mencapai 4 kali lebih tinggi daripada konsentrasi dioksin dalam ransumnya. Dioksin dan furan dalam susu sapi dan ASI (air susu ibu) perlu mendapat perhatian tersendiri mengingat air susu ini mengandung lemak dengan jumlah yang cukup banyak, sekitar 3%. Oleh karena itu, perlu pengawasan yang ketat terhadap bahan pakan yang diberikan kepada sapi perah yang sedang dalam masa laktasi. Pada susu yang berasal dari sapi perah yang hidup atau dipelihara di daerah sekitar pembakaran sampah menunjukkan konsentrasi dioksin dan furan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan rumput yang menjadi makanan pokok sapi tersebut telah terkontaminasi dioksin. Dalam hal ini perjalanan dioksin terjadi dari udara (akibat pembakaran sampah) ke rumput dan akhirnya sampai ke dalam tubuh sapi, sedangkan kemungkinan perjalanan dioksin melalui tanah ke rumput dan ke sapi lebih kecil peluangnya, kecuali apabila limbah dioksin tersebut melalui air dahulu (Widyatmoko dan Sintorini 2000). Dapat juga ternak tersebut terkontaminasi dioksin melalui udara langsung dari sampah yang dibakar, sehingga absorbsi dioksin terjadi melalui pernafasan. Lebih dari 90% konsentrasi dioksin dalam tubuh manusia masuk bersama makanan, sedangkan yang masuk melalui pernafasan kurang dari 10%. Dalam hal ini risiko pencemaran dioksin pada manusia lebih banyak disebabkan oleh terkontaminasinya hewan ternak termasuk hewan air dan tumbuhan sebagai bahan pangan bagi manusia. Berikut ini disajikan gambar perjalanan dioksin yang melibatkan berbagai bahan hayati termasuk ternak hingga masuk ke tubuh manusia (Gambar 4). Tampaknya pangan asal ternak, ikan dan sea food merupakan sumber utama pemaparan dioksin pada manusia (Fries 1995).
47
Keamanan Pangan Asal Ternak
Sumber
Udara
Air
Tanaman
Tanah
Hewan/Ternak
Ikan
Manusia
Gambar 4. Bagan perjalanan dioksin sampai ke tubuh manusia (Fries 1995)
Kasus pencemaran dioksin telah banyak dilaporkan mulai dari Monsanto Plant di Nitro, WV Amerika Serikat tahun 1949, kemudian kecelakaan termokhemis di pabrik BASF tahun 1953, selanjutnya kecelakaan pada pabrik Herbisida BoehringerIngelheim tahun 1954. Kasus yang cukup menarik perhatian adalah penggunaan Pentachlorphenol, Lindan dan Agent Orange (pembasmi hama) yang digunakan tentara Amerika Serikat dalam perang Vietnam antara tahun 1960-1970 dimana semua jenis pestisida tersebut mengandung dibenzodioksin. 48
Bahaya atau Hazard dalam Keamanan Pangan Asal Ternak
Kasus lain yang sangat terkait erat dengan keamanan pangan asal ternak adalah kasus cemaran dioksin pada tahun 1999 dimana pakan ternak yang diproduksi oleh suatu pabrik pakan di Belgia telah tercemar dioksin pada sumber lemak yang dipergunakannya. Tetapi kejadian ini baru diketahui beberapa bulan kemudian setelah adanya laporan kematian dan gejala klinis pada ayam yang diberi pakan tersebut. Sementara itu, berbagai produk ternak yang dihasilkan dengan menggunakan pakan tercemar tersebut telah sempat dipasarkan ke berbagai negara. Hasil pengujian dioksin pada telur ayam yang pakannya tercemar dioksin, mengandung 265-773 pg/g lemak, pada ayam potong mengandung 536 pg/g lemak, sedangkan kadar dioksin pada daging babi mengandung 1 pg/g lemak (Putro 1999). Akibat dari kasus tersebut pada pertengahan tahun 1999 untuk sementara Belgia dilarang memasarkan (baik lokal maupun ekspor) semua daging babi, daging sapi, susu dan produk olahannya, daging dan telur ayam serta semua produk olahannya khususnya yang berasal dari ternak-ternak yang dipelihara antara tanggal 25 Januari 1999 sampai dengan tanggal 1 Juni 1999. Disamping itu, produk-produk yang sempat dipasarkan agar ditarik dari peredarannya dan dimusnahkan. 5. Cemaran Logam Berat Seperti halnya residu pestisida, residu logam berat pada pangan dan bahan pangan asal ternak juga terjadi akibat ternak mengonsumsi pakan atau bahan pakan maupun air minum yang tercemar oleh senyawa logam berat. Tanaman pakan atau rumput yang tumbuh di daerah tercemar logam berat dapat mengandung senyawa logam berat secara berlebihan. Demikian juga pada rumput atau tanaman pakan yang ditanam di sekitar lingkungan yang tercemar logam berat akibat buangan pabrik, akan mengandung logam berat yang cukup tinggi. Demikian juga dengan air sungai atau aliran air yang sering dijadikan sumber air
49
Keamanan Pangan Asal Ternak
minum bagi ternak merupakan sumber pencemar logam berat sehingga senyawa logam berat tersebut dapat ditemukan dalam produk ternak yang dihasilkan. Logam berat yang berbahaya bagi kesehatan manusia adalah Mercury (Hg), Cadmium (Cd), Plumbum (Pb) dan Selenium (Se). Cemaran logam berat pada ternak dapat berasal dari mengonsumsi pakan yang tercemar oleh logam berat, misalnya pada ternak yang digembalakan di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah seperti yang terjadi di Jawa Tengah (Arifin et al. 2005). Contoh pencemaran logam berat yang terkenal di dunia adalah kasus penyakit Minamata di Jepang, dimana terjadi banyak kasus cacat pada manusia yang lahir di daerah teluk Minamata akibat selama kehamilannya ibu-ibu di daerah tersebut banyak mengonsumsi ikan yang telah tercemar senyawa Mercury (Hg) yang telah mencemari teluk tersebut akibat pembuangan limbah industri.
50