WARTAZOA Vol. 12 No. 2 Th. 2002
KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK: SUATU TUNTUTAN DI ERA PERDAGANGAN BEBAS SJAMSUL BAHRI, INDRANINGSIH, R. WIDIASTUTI, T.B. MURDIATI, dan R. MARYAM Balai Penelitian Veteriner, P.O. Box 151, Bogor 16114 ABSTRAK Issue keamanan pangan, termasuk keamanan pangan asal ternak saat ini terus berkembang menjadi issue global yang sangat strategis sehingga sering dimanfaatkan secara efektif oleh berbagai negara dalam menghambat masuknya produk-produk peternakan impor yang bermutu rendah dan tidak aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu berbagai negara berupaya untuk menghasilkan atau memperoleh pangan asal ternak yang bermutu dan berdaya saing tinggi serta aman untuk dikonsumsi. Makalah ini mengulas berbagai faktor yang dapat mempengaruhi mutu dan keamanan produk peternakan pada setiap rantai penyediaan pangan tersebut. Dari serangkaian proses penyediaan pangan asal ternak, maka pada proses pra-produksi lebih banyak faktor penting yang mempengaruhi mutu dan keamanan produk ternak yang dihasilkannya, karena berbagai sumber kontaminan dan penyakit setiap saat dapat terjadi pada proses ini. Berbagai data penyakit, cemaran dan residu pada produk ternak dalam negeri juga dibahas. Diungkapkan pula bahwa dampak negatif dari keberadaan penyakit, residu dan cemaran atau kontaminasi pangan asal ternak antara lain berupa kerugian ekonomi yang berkaitan dengan perdagangan, menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia, serta dampak sosial politik yang cukup meresahkan. Upaya menghasilkan produk peternakan atau pangan asal ternak yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi dapat dilakukan dengan menerapkan sistem jaminan mutu berupa HACCP pada setiap mata rantai penyediaan pangan tersebut (GAP, GHP, GMP, GDP, dan GRP). Sementara itu untuk menjamin produk ternak asal impor yang beredar di Indonesia bermutu baik dan aman serta halal untuk dikonsumsi, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat didukung oleh sarana, prasarana dan perangkat hukum yang memadai. Kata kunci: Keamanan pangan, produk ternak, perdagangan bebas, HACCP
ABSTRACT FOOD SAFETY FOR ANIMAL PRODUCTS: THE NEED IN THE INTERNATIONAL FREE TRADE Issues of food safety, includes the food safety for the animal products grows to inhibit the incoming of low quality imported animal product which is unsafe for human being. Therefore several countries enhance to produce high quality of animal product and safe to be consumed. This paper reviews several factors that distribute to the quality and food safety in every single chain of the preparation of animal products. In pre-production step, many factors involve to the quality and safety because several contaminants and diseases can be happened in this step. Several data of diseases and contaminants which causes the negative impacts on economic, political and health will be provided in this paper. An effort to produce high quality and safe animal products can be done by implementing the HACCP in every step of preparation of it (GAP, GHP, GMP, GDP, and GRP). To assure the distribution of high quality and halal of imported animal products in Indonesia, it is necessary to give more strict regulation which is supported by infrastructure, facilities, human resources development and law enforcement. Key words: Food safety, animal products, international free trade, HACCP
PENDAHULUAN Salah satu tujuan pembangunan di Indonesia ditekankan kepada pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang merupakan subyek sekaligus obyek dalam proses pembangunan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Hal ini tersurat di dalam GBHN 19992004 maupun pada GBHN tahun-tahun sebelumnya. Keadaan ini menggambarkan bahwa peningkatan kualitas SDM sangat strategis, karena pada gilirannya dengan SDM yang berkualitas akan mendukung pembangunan ekonomi nasional dengan lebih cepat.
Tujuan tersebut akan dapat dicapai antara lain apabila kebutuhan dasar manusia berupa pemenuhan gizi masyarakat Indonesia dapat terpenuhi. Dalam hal ini kebutuhan akan protein perlu dipacu untuk mengimbangi kecukupan kalori yang relatif lebih mudah untuk dapat dicapai. Protein merupakan suatu zat gizi yang kehadirannya di dalam tubuh mutlak diperlukan baik sebagai protein fungsional maupun sebagai pembangun struktur (pertumbuhan), terutama pada anak-anak usia di bawah lima tahun, dimana laju pertumbuhan dan pengembangan otaknya sangat tinggi. Selain protein nabati, maka kebutuhan akan protein hewani juga perlu mendapat perhatian karena protein
47
SJAMSJUL BAHRI et al.: Keamanan Pangan Asal Ternak: Suatu Tuntutan di Era Perdagangan Bebas
hewani mengandung berbagai asam amino yang lebih mendekati susunan asam amino yang dibutuhkan manusia, sehingga akan lebih mudah dicerna serta lebih efisien pemanfaatannya (ANONIMOUS, 1982). Standar nasional pada tahun 1993 mentargetkan konsumsi protein asal hewani sebesar 6,0 gram per kapita per hari. Dari target tersebut konsumsi rata-rata protein asal ternak baru dicapai sebesar 4,46 gram per kapita per hari pada PELITA VI yang setara dengan 7,55 kg daging, 2,5 kg telur dan 6,19 kg susu per kapita per tahun (SUTIRTO, 1997). Pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI tahun 1998 target konsumsi protein asal hewani tidak terlalu berbeda dengan standar nasional pada tahun 1993. Sebelum masa krisis ekonomi melanda Indonesia, trend kebutuhan atau permintaan akan praduk ternak meningkat secara signifikan (nyata), terutama permintaan akan daging. Meningkatnya permintaan produk ternak saat itu belum dapat diimbangi oleh pertumbuhan penyediaan daging dan susu, sehingga sebagian kekurangannya dipenuhi dari impor, oleh karena itu kebutuhan daging asal impor pada tahun 1997 hampir mencapai 47.000 ton (SUDARDJAT, 1997). Di masa krisis yang berkepanjangan ini impor produk peternakan terutama daging dan susu masih terus berlangsung dengan volume yang lebih rendah karena daya beli masyarakat Indonesia melemah. Dengan daya beli yang melemah, maka pemerintah mencari berbagai sumber pasokan baru dengan harga yang lebih murah, tetapi maksud tersebut malah menimbulkan berbagai isu seperti rencana impor daging India yang berdampak kepada polemik PMK (Penyakit Mulut dan Kuku). Demikian juga rencana impor daging Irlandia telah melahirkan polemik Mad cow (sapi gila), sedangkan pencemaran Dioksin pada daging ayam dan produk ternak lainnya asal Belgia dan Belanda sempat meresahkan masyarakat kita. Semua polemik yang timbul umumnya berkaitan dengan masalah keamanan pangan yang dikhawatirkan akan berdampak kepada kesehatan masyarakat/konsumen. Di awal tahun 2000 ini sebagian masyarakat Jawa Barat khususnya di kabupaten Purwakarta dan sekitarnya telah merasakan dampaknya akibat mengkonsumsi daging burung unta yang tertular penyakit Anthrax. Bahkan akhir-akhir ini muncul isu kekhawatiran terhadap produk asal rekayasa genetika. Terakhir isu daging ayam tidak halal dari Amerika dengan mutu yang rendah sempat menimbulkan keresahan masyarakat indonesia. Permasalahan-permasalahan tersebut menggambarkan betapa pentingnya masalah keamanan pangan asal ternak yang akan berdampak tidak hanya terhadap kesehatan konsumen tetapi juga akan berdampak kepada perdagangan domestik dan global serta perekonomian negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut. Dampak dari keinginan mengimpor daging
48
murah telah menimbulkan ekses negatif dengan meningkatnya pemasukan produk-produk asal ternak kelas dua atau tiga yang terdiri dari hati sapi dan jeroan lainnya serta daging paha bawah ayam, leher dan bagian-bagian lainnya yang di negeri asalnya kurang disukai (tidak dikonsumsi). Sesungguhnya selain kebutuhan kuantitatif terhadap kebutuhan daging, telur dan susu, masyarakat luas juga telah semakin sadar akan pentingnya pangan asal ternak yang berkualitas yang menyangkut aspek gizi dan kesehatan dalam arti produk tersebut aman, bebas dari cemaran mikroba, bahan kimia atau cemaran yang dapat mengganggu ketentraman batin. Pangan asal ternak yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan tidak hanya menyebabkan gangguan kesehatan atau kematian (seperti kasus Antraks) tetapi juga dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik dan inteligensia (seperti kasus Mad cow). Oleh karena itu isu keamanan pangan asal ternak merupakan isu strategis yang perlu mendapat perhatian kita semua, produsen, petugas, konsumen dan pemegang kebijakan. Diperkirakan pada abad ke-21 ini dimana perdagangan bebas telah diberlakukan secara luas maka tuntutan kualitas dan keamanan pangan asal ternak akan merupakan persyaratan mutlak yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk: 1.
2. 3.
Memberikan pemahaman kepada pelaku yang terlibat dalam mata rantai penyediaan pangan asal ternak mulai dari produsen hingga konsumen tentang pentingnya keamanan pangan asal ternak terhadap kesehatan masyarakat serta untuk meningkatkan daya saing pasar dalam negeri maupun luar negeri pada era perdagangan bebas. Memberikan pemahaman bahwa pangan asal ternak selain sebagai bahan pangan juga sebagai komoditas dagang yang perlu mendapat perhatian. Memberikan pemahaman bahwa untuk menghasilkan pangan asal ternak yang berkualitas dan aman perlu diterapkan upaya-upaya pengamanan di setiap mata rantai produksi, antara lain dengan menerapkan konsep HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point).
PANGAN ASAL TERNAK DAN PENGERTIAN KEAMANAN PANGAN Di dalam Undang-undang (UU) tentang pangan, yaitu UU No. 7 tahun 1996 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan (food additive), bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan
WARTAZOA Vol. 12 No. 2 Th. 2002
dalam proses persiapan, pengolahan dan pembuatan makanan atau minuman. Bila ditinjau dari sumber asalnya, maka bahan pangan hayati terdiri dari bahan pangan nabati (asal tumbuhan) dan bahan pangan hewani (asal ternak dan ikan). Jadi yang dimaksud dengan bahan pangan asal ternak adalah bahan pangan hewani yang tidak termasuk ikan. Dalam hal ini utamanya adalah telur, susu, daging dan edible portion lainnya asal ternak ruminansia, babi dan ayam. Sifat bahan pangan hayati ini pada umumnya mudah rusak baik akibat perubahan di dalam bahan itu sendiri (faktor internal) maupun akibat adanya kerusakan dari luar (faktor eksternal). Pengertian keamanan pangan menurut UU tentang pangan No. 7 tahun 1996 adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis (mikrobiologis), kimia dan benda-benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Pada dasarnya keamanan pangan (food safety) merupakan hal yang kompleks dan berkaitan erat dengan aspek toksisitas, mikrobiologis, kimia, status gizi dan ketentraman batin. Masalah keamanan pangan bersifat dinamis seiring dengan berkembangnya peradaban manusia yang meliputi aspek sosial budaya, kesehatan, kemajuan IPTEK dan segala yang terkait dengan kehidupan manusia. Sebagai contoh bahwa masalah keamanan pangan ini bersifat dinamis dan sejalan dengan kemajuan IPTEK adalah munculnya isu kekhawatiran pangan asal rekayasa genetika atau genetically modified organism (GMO) maupun modified living organism (MLO) yang dahulu belum terpikirkan. KEAMANAN PANGAN DI ERA PERDAGANGAN BEBAS Hasil perundingan putaran Uruguai yang diikuti oleh 125 negara anggota WTO pada tahun 1994 memiliki dampak yang sangat luas mencakup kesepakatan dan keputusan mengenai perdagangan internasional berupa GATT (General Agreement on Tarrif and Trade). Dalam keputusan tersebut dicapai juga mengenai kesepakatan aplikasi tindakan sanitary and phytosanitary (SPS) yang mengatur tindakan perlindungan keamanan pangan dalam bidang kesehatan hewan dan tumbuhan yang perlu dijalankan oleh negara-negara anggota WTO termasuk Indonesia. Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk melindungi kehidupan manusia dari resiko yang ditimbulkan oleh bahan makanan tambahan (additives) dalam pangan, cemaran (contaminants), racun (toxins) atau organisme penyebab penyakit dalam makanan atau dari penyakit zoonosis. Oleh karena itu dalam perjanjian ini ditegaskan bahwa setiap negara harus melakukan upaya untuk menjamin keamanan pangan bagi konsumen dan
mencegah penyebaran hama. dan penyakit pada hewan dan tumbuhan. Dengan diberlakukannya GATT dan adanya WTO serta terbentuknya perdagangan bebas ASEAN (AFTA) yang akan diberlakukan pada tahun 2003 dan juga APEC (Asia Pasifik) pada tahun 2020, maka dapat diperkirakan persaingan dalam perdagangan internasional akan semakin ketat. Oleh karena itu pangan asal ternak sebagai komoditas dagang dituntut keamanannya agar memiliki daya saing yang tinggi pada era perdagangan bebas ini, sehingga pada gilirannya akan ikut memberikan sumbangan yang berarti dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai sumber protein hewani, pangan asal ternak mempunyai keterkaitan yang erat dengan upaya meningkatkan pembangunan SDM, yaitu meningkatkan daya intelektualnya melalui perbaikan gizi protein hewani. Apabila bahan pangan asal ternak tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan, maka selain dapat menyebabkan gangguan kesehatan atau kematian, juga dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik dan inteligensia masyarakat yang mengkonsumsi pangan tersebut. Oleh karena itu dengan adanya tuntutan kualitas hidup dan kehidupan yang semakin meningkat, maka pembangunan peternakan tidak hanya dituntut untuk meningkatkan kuantitas pangan, tetapi juga dituntut untuk dapat menyediakan bahan pangan asal ternak yang berkualitas dan aman bagi konsumen. Untuk dapat memenuhi tuntutan keamanan pangan, maka Pemerintah Indonesia telah merespons secara positif dengan menerbitkan Undang-Undang tentang Pangan, yaitu UU No. 7 tahun 1996 pada tanggal 14 Nopember 1996. Dalam UU ini telah diantisipasi kemungkinan untuk menghadapi persaingan perdagangan pangan global, antara lain dengan menempatkan masalah keamanan pangan dalam satu Bab tersendiri yang mencerminkan bahwa keamanan pangan merupakan masalah yang penting untuk selalu diperhatikan selain masalah-masalah lainnya. RANTAI PENYEDIAAN PANGAN ASAL TERNAK Untuk mendapatkan bahan pangan asal ternak dengan mutu yang baik dan aman perlu diketahui mata rantai dalam penyediaan pangan (daging, telur dan susu) tersebut mulai dari farm/peternak sampai transportasi yang digolongkan sebagai pre-harvest food safety program, yang dilanjutkan dengan proses pemotongan di rumah potong hewan (RPH), pengolahan, pemasaran dan penyajian kepada konsumen atau post harvest food safety program. Selanjutnya secara lebih rinci tindakan yang dilakukan pada setiap mata rantai dalam penyediaan pangan asal
49
SJAMSJUL BAHRI et al.: Keamanan Pangan Asal Ternak: Suatu Tuntutan di Era Perdagangan Bebas
ternak (daging, telur dan susu) perlu diketahui sehingga nantinya dapat diantisipasi tindakan-tindakan pengawasannya. Pre-harvest food safety program Produsen (peternak/farm)
¨
Transpor
Rantai penyediaan pangan berupa daging sedikit berbeda dengan rantai penyediaan pangan berupa telur maupun pangan berupa susu yang masing-masing digambarkan pada Gambar 1−3.
Post-harvest food safety program ¨
Prosesor (RPH)
Distributor
¨
¨
Pengecer
¨
Konsumen
Gambar 1. Garis besar rantai penyediaan daging
Pre-harvest food safety program Produsen (peternak/farm)
Pengumpulan/ ¨ penangan telur
Post-harvest food safety program ¨
Prosesor Pengepakan/ Penyimpanan
¨ Distributor
¨
Pengecer
¨
Konsumen
Gambar 2. Garis besar rantai penyediaan telur
Pre-harvest food safety program Produsen (peternak/farm)
¨
Pemerahan/ milking
Post-harvest food safety program ¨
Transportasi
¨
Pengolahan/ Penyimpanan
Distributor/ ¨ Pengecer
¨ Konsumen
Gambar 3. Garis besar rantai penyediaan susu
Bagan pada Gambar ini menjelaskan tentang rantai penyediaan produk ternak, mulai dari farm sampai kepada konsumen menurut Food Animal Production Medicine Consortium (1993) dengan sedikit modifikasi. Proses Pra-produksi (Pre-harvest food safety program) Pada proses pra-produksi yang dimulai dari farm/peternak atau produsen terdapat berbagai faktor yang dapat menentukan kualitas akhir dari produk ternak tersebut. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada tahap pra-produksi antara lain: a. b. c. d. e. f. g. h.
50
Lingkungan dimana ternak dipelihara meliputi keadaan tanahnya dan air yang digunakan, udara sekitar peternakan serta sanitasi. Pakan atau bahan pakan yang dipergunakan. Tenaga kerja yang terlibat, menyangkut kesehatan dan tanggung jawab. Bahan kimia yang dipergunakan, seperti pestisida, desinfektan dan lain-lainnya. Obat-obat hewan yang dipergunakan. Keberadaan dan keadaan hewan lainnya dan tanaman liar. Status penyakit hewan menular termasuk penyakit zoonosis. Sistem manajemen yang diterapkan.
Faktor-faktor tersebut sangat menentukan dalam menghasilkan produk asal ternak yang bermutu dan aman untuk konsumsi manusia. Apabila faktor-faktor tersebut dapat dikontrol dengan baik sehingga tidak merugikan pertumbuhan dan kesehatan ternak yang dipelihara, maka dengan sendirinya akan memberikan dampak positif atau nilai tambah karena: a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Produk ternak lebih terjamin keamanannya. Konsumen lebih terjamin dan lebih percaya terhadap mutu daging yang dihasilkan. Konsumen akan membeli dengan harga yang lebih tinggi. Produk asal ternak yang berupa daging dapat bersaing di pasar internasional ditinjau dari aspek mutu dan keamanannya. Cemaran mikroba dan bahan kimia dapat dikurangi. Meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan hewan atau ternak. Hewan atau ternak tumbuh lebih cepat dan dapat dijual lebih cepat. Dapat mengurangi jumlah atau bagian produk ternak yang ditolak atau dimusnahkan pada waktu prosesing sehingga menambah keuntungan. Dapat mengurangi dan mencegah penyakit yang menular ke manusia sehingga mengurangi biaya kesehatan masyarakat baik secara individu maupun nasional.
WARTAZOA Vol. 12 No. 2 Th. 2002
Proses Pasca Produksi (Post harvest food safety Program) Daging sapi Setelah ternak siap untuk dipasarkan atau dipanen dagingnya, maka ternak tersebut selanjutnya akan menjalani proses transportasi dari peternak atau farm untuk sampai di rumah pemotongan hewan. Beberapa tahapan kegiatan yang perlu dilakukan pada proses pasca produksi daging, antara lain: a. b. c.
d.
Pemeriksaan ante mortem, pada masa pemulihan kondisi atau masa istirahat minimal 12 jam sebelum dipotong. Proses pemotongan atau penyembelihan yang dilakukan menurut tata cara Islam sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Proses pelepasan kulit, pengeluaran jeroan, pembelahan karkas, yang diikuti dengan pemeriksaan post mortem terhadap daging dan bagian-bagian lainnya secara utuh yang dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium bila diperlukan. Kemudian daging dilayukan dengan meniriskannya selama 8 jam.
Setelah pelayuan dan penirisan selesai, maka dilanjutkan dengan dua alternatif tahapan kegiatan, yaitu: 1.
2.
Proses pengangkutan karkas dengan kendaraan yang memenuhi persyaratan, dilanjutkan dengan peredaran atau penjualan daging di tempat yang memenuhi syarat dan telah ditentukan, dan akhirnya sampai kepada konsumen. proses pelepasan tulang (deboning) yang dilanjutkan dengan pengepakan daging, pendinginan dan dilanjutkan dengan pengangkutan mempergunakan kendaraan yang memenuhi syarat, dan terakhir daging diedarkan atau dipasarkan pada konsumen di tempat yang memenuhi syarat dan telah ditentukan.
Apabila setiap tahapan kegiatan dalam proses pasca produksi daging tersebut dilakukan secara terkontrol sehingga persyaratan yang ditentukan selalu terpenuhi, maka sudah dapat dipastikan akan diperoleh daging yang bermutu baik dan aman untuk dikonsumsi Susu Untuk memperoleh produk susu yang baik, maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kesehatan ternak dan juga kesehatan lingkungannya. Pada tahap pemerahan perlu diperhatikan higienis pekerja, peralatan yang akan digunakan, penampung susu dan sanitasi tempat pemerahan terutama kandang.
Penangan yang perlu diperhatikan pada pasca produksi susu ini terutama pada saat transportasi, pengumpulan susu yang higienis dan melakukan uji mutu susu dengan pengukuran berat jenis susu, total kandungan protein dan lemak, serta pengukuran jumlah kuman. Perlu juga mendeteksi kandungan residu obat hewan dan senyawa kimia lainnya. Sebagai pembanding harus mengacu kepada SNI No. 01-6366-2000 tentang keberadaan cemaran mikroba dan Batas Maksimum Residu (BMR) pada produk ternak termasuk susu. Daging ayam Seperti halnya pada pemrosesan daging sapi, maka proses pemotongan ayam di Rumah Pemotongan Unggas (RPU) atau Tempat Pemotongan Ayam (TPA) juga harus mengikuti prosedur standar yang telah dibakukan mulai dari pemeriksaan ante mortum, pemotongan secara halal, pemeriksaan post mortum sampai dengan pengepakan, penyimpanan dan pendistribusiannya. RPU sebaiknya mengikuti ketentuan SNI tentang RPU, yaitu SNI 01-6-61601999. Telur ayam Penggunaan obat perlu diperhatikan dan harus digunakan secara rasional. Selain itu, pakan yang diberikan harus bebas kontaminan bahan toksik (cemaran pestisida, logam berat, mikotoksin), serta bahan-bahan toksik lainnya. Pada umumnya mutu dan keamanan telur ayam untuk dikonsumsi sangat ditentukan pada saat proses Pra-produksi. Cemaran Salmonella pada telur dapat terjadi pada proses Pasca Produksi apabila higienis di peternakan dan pada saat pengumpulan dan penyimpanan kurang diperhatikan. Oleh karena itu kebersihan telur dan penyimpanannya perlu diperhatikan dengan baik agar tidak terinfeksi oleh mikroba maupun oleh berbagai jenis kapang/ jamur. BAHAYA ATAU HAZARD YANG DAPAT MEMPENGARUHI KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK Bahaya atau hazard yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak dapat terjadi pada setiap mata rantai mulai dari saat pra-produksi di tingkat peternak/farm atau produsen maupun pada proses pasca produksi sampai saat produk tersebut didistribusikan dan disajikan kepada konsumen. Bahaya atau hazard tersebut terdiri atas: (1). penyakit ternak; (2). penyakit yang ditularkan melalui pangan atau yang disebut food borne diseases; serta (3). cemaran atau kontaminasi kimiawi dan bahan toksik lainnya.
51
SJAMSJUL BAHRI et al.: Keamanan Pangan Asal Ternak: Suatu Tuntutan di Era Perdagangan Bebas
Penyakit - penyakit Ternak Menular Penyakit ternak menular yang dimaksud di sini adalah penyakit yang umumnya terjadi pada proses praproduksi, yaitu penyakit yang dapat menyerang ternak yang sedang dalam proses pemeliharaan. Penyakitpenyakit ini selain berpengaruh terhadap kesehatan ternak itu sendiri, juga berpengaruh terhadap mutu dan keamanan dagingnya. Oleh karena hazard semacam ini terjadi pada saat proses Pra-produksi (di farm), maka upaya mengatasinya juga harus ditangani pada saat ternak masih di farm tersebut dengan menerapkan pola pengamanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Antraks Antraks merupakan penyakit hewan bersifat zoonosis yang disebabkan oleh kuman Bacillus anthracis. Di luar tubuh hewan, kuman ini membentuk spora yang dapat hidup selama bertahun-tahun. Tanah atau lingkungan yang telah tercemar spora kuman ini sangat potensial untuk mengakibatkan penyakit kepada ternak, manusia atau bahan pangan lainnya. Oleh karena itu lokasi peternakan atau pemukiman seharusnya bebas dari cemaran spora atau kuman antraks. Ternak yang terserang penyakit ini tidak boleh dipotong apalagi dikonsumsi. Pencegahannya dapat dilakukan dengan vaksinasi. BSE (Bovine Spongioform Encephalopathy) BSE atau yang lebih dikenal dengan sebutan penyakit Sapi Gila atau Mad Cow merupakan penyakit dari kelompok penyakit Transmissible Spongioform Encephalopathy (TSE). Penyakit ini menyerang susunan syaraf pusat sapi dan menyebabkan kerusakan sel-sel syaraf (neuron) yang bersifat progresif dengan terbentuknya lubang-lubang (vakuolisasi) sel-sel syaraf terutama pada bagian grey matter dari otak. Kerusakan sel-sel syaraf ini selalu disertai dengan akumulasi protein tertentu yang dikenal juga protein prion sehingga penyakit ini dikenal juga dengan prion Diseases. Penyakit ini dapat juga menyerang manusia yang disebut Creutzfeldt Jacob Disease (CJD) atau AlZheimer Disease (AD). Data Epidemiologi menunjukkan bahwa munculnya CJD varian baru di Eropa erat kaitannya dengan merebaknya penyakit BSE di daerah yang sama. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa penyakit sapi gila dapat menular dari hewan ke manusia dapat melalui makanan, obat-obatan atau kosmetika yang terkontaminasi atau berasal dari ternak yang menderita BSE. Berdasarkan laporan WHO dan laporan OIE pada tahun 2001 (Tabel l), kasus BSE terjadi di Inggris dengan jumlah 7228 kasus pada 1989. Pada laporan tersebut, BSE telah terjadi di 19 negara Eropa dan satu
52
negara Asia, yaitu Jepang sebanyak 3 kasus yang terjadi pada tahun 2001. Jadi penyakit sapi gila pertama kali dilaporkan di Inggris pada bulan Nopember 1986 dan sampai dengan Mei 1995 sudah terjadi 148.200 kasus yang terjadi pada 32.385 peternakan. Virus Nipah (Encephalitis) Virus nipah merupakan salah satu penyebab radang otak (encephalitis) yang belum lama ini mewabah di Malaysia dan telah menelan korban lebih dari 100 orang meninggal dunia. Penyakit ini berkaitan dengan ternak babi dan orang-orang yang pernah kontak langsung dengan ternak babi (petenak, pekerja peternakan atau pekerja rumah potong hewan) adalah orang-orang yang menderita penyakit radang otak tersebut. Selain Malaysia, di Singapura juga terjadi kasus penyakit yang sama dan menyerang l1 orang yang menangani babi impor dari Malaysia. Mula-mula kasus tersebut diidentifikasi penyebabnya adalah Japanese B Encephalitis (JE) tetapi setelah dilakukan penelitian oleh Center for Disease Control and Prevention (CDC) USA dengan menggunakan mikroskop elektron ditemukan bentuk virus yang konsisten dengan paramyxovirus dan selanjutnya dengan uji immunofluorescent terhadap biakan sel yang diinfeksi dengan virus tersebut menunjukkan bahwa virus tadi memiliki persamaan dengan Hendra virus asal Australia (DARMINTO et al., 1999). Namun dari hasil analisis biologi molekuler (dengan nucleotide sequencing) dinyatakan bahwa virus penyebab wabah di Malaysia tersebut memiliki persamaan dengan Hendra virus (ANONIMOUS, 1999), sehingga disebut Hendra-like virus. Virus tersebut diisolasi dari kampung Sungai Nipah, maka penyakit tersebut dikenal dengan nama Nipah virus. Salah satu cara untuk mencegah tertularnya penyakit radang otak dari Malaysia ke Indonesia adalah dengan memperketat pangawasan lalu lintas ternak (khususnya babi dan daging babi) di setiap point of entry dengan sistem karantina yang ketat. Tuberculosis Penyakit tuberkulosis (TBC) disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculose dapat menyerang berbagai jenis ternak termasuk sapi. Di alam terdapat tiga tipe dari kuman tersebut yaitu tipe human, bovine dan tipe avian. Bagian tubuh yang terserang biasanya saluran pernafasan (paru-paru), pleura dan kelenjar pertahanan. Keberadaan penyakit ini dapat diketahui dari adanya lesio berupa tuberkel atau nodul-nodul yang bagian dalamnya berwarna kekuningan dengan masa yang kental. Bila lesio masih sedikit maka karkas masih dapat dikonsumsi setelah bagian organ yang terserang dibuang. Karkas tidak dapat dikonsumsi
WARTAZOA Vol. 12 No. 2 Th. 2002
apabila telah terjadi lesio yang menyeluruh, biasanya hewan terlihat sangat kurus. Susu yang tertular kuman ini sebaiknya tidak dikonsumsi.
mencolok adalah lesio pada bagian mulut dan kuku. Hewan dari daerah terinfeksi dilarang untuk ditransportasikan ke daerah lain yang masih bebas. Karkas masih dapat dikonsumsi dengan pengawasan setelah bagian-bagian kepala, jeroan dan kaki yang terserang penyakit dibuang atau direbus. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan vaksinasi.
Penyakit radang paha Penyakit ini disebabkan oleh kuman Clostridium chauvoei biasanya menyerang sapi dan domba. Penyakit bersifat akut dengan gejala klinis pembengkakan pada jaringan sub kutan terutama di bagian bahu dan paha yang bila ditekan terasa seperti ada gas atau udara yang berpindah-pindah. Pada pemeriksaan pasca mati terlihat adanya zat berupa gelatin berwarna kuning, terlihat perdarahan dan adanya gas atau udara. Otot berwarna merah kehitaman dan oedematous pada sekitar daerah yang membengkak dengan tempat udara di bagian tengahnya. Karkas dari hewan yang terserang penyakit ini tidak boleh dikonsumsi atau dipasarkan. Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi.
Sistiserkosis pada sapi Penyakit ini disebabkan oleh Cysticercus bovis yaitu cyste dari cacing dewasa Taenia saginata yang hidup di usus. Sistiserkosis ini bermukim di otot terutama bagian rahang, jantung, diaphragma dan otototot lainnya. Di dalam otot, sistiserkosis ini dibungkus oleh kapsula berupa jaringan ikat, sehingga dapat hidup sampai lebih dari 5 tahun. Bila infestasi parasit tidak terlalu banyak, maka otot-otot yang terkena saja yang dibuang, sedangkan bagian lainnya dapat dikonsumsi. Bila cyste cukup banyak sebaiknya karkas direbus dahulu atau tidak dikonsumsi. Kasus sistiserkosis terjadi di Bali yaitu dari 6 kasus yang dilaporkan 2 kasus diantaranya terjadi di Denpasar (SUTISNA, 1994). Prevalensi taenasis di daerah Padang Sambian adalah 3,2% (ROSIDI et al., 1981 ).
Penyakit mulut dan kuku Agen penyebab penyakit mulut dan kuku adalah virus dengan berbagai tipe. Penyakit ini menyerang ternak berkuku genap termasuk sapi. Gejala klinis yang Tabel 1. Jumlah kasus BSE yang dilaporkan pada 20 Negara Negara
Tahun 1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1999
2000
Austria
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1998 0
0
0
2001 1
Balgia
0
0
0
0
0
0
0
0
1
6
3
9
46
Czech Rer.
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
46
Denmark
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
6
Finlandia
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Perancis
0
5
0
1
4
3
12
6
18
31
161
285
Jerman
0
0
0
1
0
3
0
0
2
0
0
7
125
Yunani
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
Irlandia
15
14
17
18
16
19
16
73
80
83
91
149
220
Italia
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
48
Jepang
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
Liechtenstein
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
Luxembourg
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
Belanda
0
0
0
0
0
0
0
0
2
2
2
2
17
Portugal
0
1
1
1
3
12
14
29
30
106
170
163
67
Slovakia
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
4
Spanyol
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
82
Swiss
0
2
8
15
29
64
68
45
38
14
50
33
37
Inggris
7226
14407
25359
37280
35090
24436
14562
8149
4393
3235
2300
1443
526
53
SJAMSJUL BAHRI et al.: Keamanan Pangan Asal Ternak: Suatu Tuntutan di Era Perdagangan Bebas
Penyakit Pangan
Bakterial
Yang
Ditularkan
Melalui
Penyebab utama penyakit pada manusia yang ditularkan melalui pangan adalah bakteri atau yang disebut microbial food borne disease. Penularan penyakit dapat terjadi karena beberapa faktor (ANONIMOUS, 1995), yaitu: a. b. c. d. e.
Terdapat agen penyebab pada saat pengolahan makanan yang ditularkan melalui bahan makanan, pekerja atau hewan. Kontaminasi silang melalui tangan, permukaan peralatan atau pakaian. Adanya makanan atau pangan yang berperan sebagai media perantara. Penyimpanan makanan atau pangan pada suhu ruangan lebih dari 2 jam. Adanya manusia sebagai subjek yang rentan.
Kejadian penyakit ini dapat timbul melalui infeksi oleh bakterinya sendiri atau melalui intoksikasi oleh toksin yang dihasilkan bakteri yang bersangkutan. Beberapa penyakit bakterial yang dapat ditularkan melalui pangan yaitu:
pengeringan, terutama dalam bentuk spora. Sumber penularan adalah kotoran manusia maupun hewan yang mencemari air dan tanah serta tanaman. Kontaminasi dapat terjadi melalui air dan serangga yang langsung kontak pada daging. Keracunan pada manusia terjadi akibat toksin yang dihasilkan oleh mikroba bentuk vegetatif yang hidup di dalam saluran pencernaan manusia yang terinfeksi. Intoksikasi Staphylococcus Agen penyebabnya adalah Staphylococcus aureus yang berbiak dalam bahan pangan dan menghasilkan toksin. Penyakit menimbulkan gejala sakit berupa mual, muntah dan diare. Sumber pencemar S. aureus adalah selaput lendir hidung dan kulit hewan maupun manusia yang sewaktu-waktu dapat mencemari bahan pangan karena tindakan yang tidak hygienis. Campylobacteriosis Agen penyebabnya adalah Campylobacter jejuni yang menimbulkan gejala sakit berupa demam, sakit kepala, pegal linu, diare, sakit perut dan mual. Kuman ini dapat ditemukan pada daging segar atau daging setengah masak.
Salmonellosis Agen penyebabnya adalah Salmonella sp. yang terdiri dari banyak serotipe. Sumber penularan berasal dari kotoran manusia maupun hewan dan air yang terkontaminasi oleh limbah tersebut. Kuman ini sering ditemukan dalam bahan makanan asal hewan seperti daging termasuk daging sapi, daging unggas dan telur. Salmonellosis merupakan penyakit yang terdapat hampir di seluruh dunia. Penyakit ditularkan dari hewan kepada manusia melalui makanan yang terkontaminasi oleh kuman salmonella tersebut. Salmonella typhimurium merupakan spesies yang paling banyak ditemukan pada manusia maupun hewan demikian juga Salmonella enteritidis. Hewan yang positif salmonella akan menjadi sumber kontaminasi di lingkungan sekitarnya. Kontaminasi dapat terjadi selama transportasi, di tempat pemotongan hewan, dalam prosesing, dan pada saat distribusi produk ternak tersebut. Daging atau produk ternak lain yang diketahui telah tercemar oleh salmonella tidak dianjurkan untuk dikonsumsi. Pencegahan dapat dilakukan dengan tindakan hygienis. Dari 480 sampel intestin kambing dan domba dari Rumah Potong Hewan (RPH) Bogor dan DKI, didapatkan 15 isolat, sedangkan dari 61 sampel karkas didapatkan 1 isolat (SRI POERNOMO, 1986). Enteritis Clostridium perfringens Bakteri ini bersifat anaerobik, dapat ditemukan dalam bentuk vegetatif atau bentuk spora. Bakteri relatif tahan terhadap proses pemanasan dan
54
Hemorrhagic Colitis Penyakit ini disebabkan oleh Escherichia coli serotipe O157:H7 yang banyak dijumpai di air yang terkontaminasi oleh kotoran manusia. Kuman ini memproduksi toksin yang menyebabkan Hemorrhagic Colitis. Daging mentah dapat tercemar oleh kuman ini. Gejala sakit berupa kejang perut, diare kadang kala berdarah, mual, muntah, serta ada kalanya disertai demam yang ringan. Pada umumnya proses penularan dan pencemaran bakterial ke dalam daging terjadi pada waktu proses pasca produksi berlangsung yaitu mulai saat pemotongan, pengulitan, pengeluaran jeroan sampai dengan proses pengangkutan dan pemasaran kepada konsurnen. Hal tersebut terjadi terutama bila prosedur-prosedur hygienis diabaikan. Cemaran (kontaminan) kimiawi dan bahan toksik lainnya Daging, susu dan telur sebagai bahan pangan selain dapat tercemar oleh mikroorganisme, juga dapat tercemar/terkontaminasi oleh berbagai obat-obatan, senyawa kimia dan toksin baik pada waktu proses praproduksi maupun pada saat proses produksi sedang berlangsung. Cemaran atau residu obat Residu obat seperti antibiotika dapat dijumpai di dalam daging apabila pemakaian obat-obatan hewan
WARTAZOA Vol. 12 No. 2 Th. 2002
tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan, misalnya waktu henti obat tidak dipatuhi menjelang hewan akan dipotong. Demikian juga dengan penggunaan obatobatan untuk pemacu pertumbuhan yang seharusnya dihentikan beberapa hari menjelang hewan akan dipotong. Residu obat-obat hewan ini umumnya terjadi sebagai akibat penggunaannya pada saat hewan dalam pemeliharaan, baik untuk tujuan pencegahan atau pengendalian penyakit maupun untuk memacu pertumbuhan atau meningkatkan efisiensi pakan, yang dapat diberikan melalui suntikan, air minum maupun melalui pakan. Keberadaan residu obat yang melewati batas maksimum residu yang telah ditetapkan, akan menyebabkan daging dan susu tersebut menjadi tidak aman untuk dikonsumsi karena dapat menimbulkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau mengakibatkan gangguan fisiologis pada manusia. Penilaian terhadap daging, susu dan telur tergantung dari derajat/kadar residu dan macam residu yang ditemukan pada produk asal ternak tersebut. Bila kadar residu obat berada di atas batas maksimum residu yang diperbolehkan, maka sebaiknya produk asal ternak tersebut tidak dikonsumsi apalagi untuk ekspor. Pada
Tabel 2 memperlihatkan keberadaan residu obat hewan berupa antibiotika pada beberapa produk peternakan. Cemaran bahan-bahan kimia Adanya berbagai bahan kimia dapat ditemui di dalam daging, susu dan telur, baik yang didapat pada waktu proses pra-produksi maupun karena kontaminasi pada waktu proses produksi berlangsung. Bahan-bahan kimia yang diperoleh pada waktu ternak dipelihara antara lain berbagai mikotoksin seperti aflatoksin (Tabel 3) yang dapat mengkontaminasi pakan ternak, juga senyawa-senyawa toksik lainnya seperti pestisida (Tabel 4 dan 5) dan logam berat (Tabel 6) yang juga dapat mengkontaminasi pakan dan pada gilirannya akan tertimbun di dalam jaringan tubuh ternak yang mengkonsumsi pakan tersebut. Senyawa kimia terutama pestisida akan tertimbun di berbagai jaringan tubuh hewan seperti jaringan lemak dan hati, baik sebagai residu asal atau sebagai metabolit. Sementara itu bahan-bahan kimia yang diperoleh pada waktu proses produksi berlangsung biasanya akibat pemrosesan yang kurang higienis pada rantai pemrosesan tersebut.
Tabel 2. Beberapa data residu antibiotika yang melampaui BMR pada produk ternak di Indonesia Jenis antibiotika
Daging ayam (ppm)
Telur (ppm)
Hati Broiler (ppm)
Susu Segar (ppm)
Oksitetrasiklin Tetrasiklin Klortetrasiklin Sulfonamida*
>0,1 (65/93)1 >0,1 (28/93)1 >0,1 (4/50)2
>0,1 (19/19)2
0,7085 (25/30)4 -
>0,1 (64/91)3 >0,1 (5/91)3 >0,2 (58/91)3 -
Sumber: 1. MURDIATI et al. (1998) 2. DEWI et al. (1997) 3. BAHRI et al. (1992) 4. DARSONO (1996)
Tabel 3. Residu aflatoksin pada produk ternak di Indonesia Komoditi Telur Ayam ras (Jabar-Jatim) (n=100) Telur Ayam buras (Jabar-Jatim) (n=30) Telur Itik (Jabar-Jatim) (n=20) Daging ayam Broiler (Jabar) (n=31) Hati ayam Broiler (Jabar) (n=31) Daging sapi (Jabar) (n=30) Hati sapi (Jabar) (n=20) Susu (Jabar) (n=12)
AFB1 (ng/g)
AFM1 (ng/g)
Sumber
<0,01-0,1 0-0,1 Tt-0,37 Tt-0,012 (0,002)* 0,001-0,019 (0,007)* 0,456-1,139 0,33-1,44 -
Tt-0,123 Tt-1,07 Tt-1,50 0,45-65,46 (7,364)* 0,67-33,67 (12,072)* <0,1* <0,1* 0,045-0,18 ng/ml
2 2 2 3 3 4 4 1
Sumber: 1. BAHRI et al. (1994) 2. MARYAM et al. (1994) 3. MARYAM (1996) 4. WIDIASTUTI et al. (2000)
55
SJAMSJUL BAHRI et al.: Keamanan Pangan Asal Ternak: Suatu Tuntutan di Era Perdagangan Bebas
Tabel 4. Beberapa residu pestisida pada produk ternak di Indonesia Jenis pestisida Lindan Endosulfan Klorpirifos Ronel DDT & met Diazinon Heptaklor Aldrin
Daging ayam1) (ppb)
Daging sapi swalayan2) (ppb)
Daging sapi pasar tradisional2) (ppb)
Susu3) (ppb)
0,02-10,76 tt-101,44 0,06-0,28 0,08-0,54 2,65-1,84 0,72-4,39 tt-26,29
tt-6,50 tt-1,75 tt-0,15 tt-0,27 tt-0,36 tt-1,08 -
tt-0,842 tt-0,042 tt-0,11 tt-0,054 tt-0,09 tt-0,88 tt-0,076
0,0001-0,293 0,176-0,256 0,002-0,029 0,011-0,35 -
Sumber: 1).MURDIATI, et al. (1998) 2) WIDIASTUTI, et al. (1999) 3) INDRANINGSIH, et al. (1999)
Tabel 5. Cemaran residu pestisida pada telur (ppm) Jenis telur
Endosulfan
Lindan
DDT
Aldrin
Diazinon
Ronel
Telur itik (63) Telur ayam ras (60) Telur ayam buras (60) Telur Puyuh (10)
0,001-0,008 0,001-0,073 0,001-0,263 -
0,001-0,0107 0,001-0,063 0,001-0,005 tt-0,067
0,001-0,564 0,109-0,205 0,002-0,894 0,052-0,527
0,001-0,005 -
0,008-0,305 0,001-0,999 -
0,001-0,15 -
Sumber: INDRANINGSIH, et al. (1988)
Tabel 6. Beberapa data residu logam berat pada telur dan daging sapi di Jawa (ppm) Produk ternak dan asalnya
Cd
Cu
Zn
Pb
Sumber
Telur ayam (Sukabumi) Telur ayam (Tangerang) Daging sapi (RPH-Jabar) Daging sapi (RPH-Jatim)
0,0274-0,0763 (n=30)
-
-
-
2
0,0298-0,2675 (n=30)
-
-
-
2
0,1-0,5 (n=57)
0,7-6,3 (n=64)
69-281 (n=64)
2,2-6,2 (n=64)
1
0,14-0,36 (n=41)
0,79-4,89 (n=41)
66-220 (n=31)
1,28-3,28 (n=41)
1
Sumber: 1. DARMONO (1998) 2. RACHMAWATI et al.(1998)
Pencemaran Dioksin pada produk asal ternak Cemaran kimia pada produk asal ternak yang cukup menghebohkan terjadi pada tahun 1999, yaitu pada kasus pencemaran dioksin di Belgia dimana pada pengujian telur ayam mengandung 265-773 pg/g lemak, pada daging ayam potong mengandung 536 pg/g, sedangkan dioksin pada daging babi mengandung 1 pg/g lemak. Batas ambang maksimal kandungan dioksin adalah 1 pg/g lemak (PUTRO, 1999). Akibatnya pada pertengahan tahun 1999 untuk sementara Belgia dilarang memasarkan (antar negara atau ekspor) semua daging babi, daging sapi, susu dan produk olahannya, daging ayam dan semua produk sampingannya, khususnya yang berasal dari ternak-ternak yang
56
dipelihara antara tanggal 25 Januari 1999 sampai dengan 1 Juni 1999. Selain itu semua daging ayam dan produk-produk daging maupun susu yang diproduksi di Belgia telah ditarik dari peredaran dan dimusnahkan. Kasus pencemaran dioksin ini telah menimbulkan ketakutan (food scare) di kalangan konsumen apalagi penyebaran pakan ternak yang terkontaminasi oleh dioksin tersebut telah meluas ke empat negara eropa (Belgia, Belanda, Perancis dan Jerman). Dioksin bukanlah senyawa pestisida, tetapi terbentuk sebagai hasil samping dari proses pembuatan pestisida (herbisida) yang lebih berbahaya dari pada pestisidanya sendiri. Senyawa dioksin ini sangat toksik bersifat karsinogenik, dosis toksiknya sangat rendah.
WARTAZOA Vol. 12 No. 2 Th. 2002
BEBERAPA KASUS CEMARAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA Sebagaimana telah diungkapkan pada Bab sebelumnya bahwa cemaran pada pangan asal ternak dapat berasal dari cemaran mikrobiologis, cemaran toksin alami, cemaran obat dan cemaran bahan kimia lainnya. Pada kesempatan ini dilaporkan beberapa kasus cemaran pangan asal ternak yang terjadi di Indonesia. Cemaran Mikrobiologis Antraks Cemaran daging oleh kuman antraks di Indonesia terjadi akibat ternak terserang penyakit antraks pada proses pra-produksi di tingkat peternak. Umumnya manusia terkena antraks oleh karena mengkonsumsi produk ternak yang tertular antraks tersebut maupun
akibat berhubungan (kontak langsung) dengan agen penyakitnya pada saat ternak terkena antraks. Kasus antraks pada ternak di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 7. Sementara itu beberapa kasus antraks pada manusia di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 8. Cemaran Salmonella Hasil pengamatan selama 7 tahun (1989-1997) terhadap cemaran berbagai serotipe kuman salmonella pada produk-produk asal ternak di Indonesia cukup memprihatinkan karena jumlah kuman salmonella yang dapat di isolasi cukup banyak sehingga potensial untuk mengganggu kesehatan masyarakat (lihat Tabel 9). Lebih-lebih lagi apabila produk ternak tersebut akan memasuki pasar global. Data ini menunjukkan bahwa sanitasi di tingkat produsen dan pengolah produk asal ternak belum memadai dan perlu ditingkatkan agar produk tersebut mempunyai daya saing yang tinggi.
Tabel 7. Beberapa kasus antraks pada ternak di Indonesia Daerah Kasus
Tahun Kejadian (jumlah kasus)
Sumber
1885 (*)
1, 2
1885 (*); 1910 (*)
1, 2
Bali Sumatera Selatan Lampung Jawa Barat
1885 (*)
1, 2
1885(*);1916;1937;1941;1955;1956;1960 (*) 19701986(109 ekor); 1999/2000
1, 2, 3
1885(*);1914;1927/28
1, 2
Sumatera Barat Kalimantan Timur
1885(*)
1, 2
Kalimantan Barat
1885(*)
1, 2
NTT
1885(*)
1, 2
1899(*);1900;1990-1994 (+ 1300 ekor sapi)
1, 2, 3
1910 (*)
1, 2
Jawa Tengah Jambi Bengkulu
1914(*)
1, 2
Sumatera Utara
1930(*)
1, 2
Sulawesi Selatan
1930(*)
1, 2
Sulawesi Tenggara
1931/32(*)
1, 2
Irian Jaya
1983(*)
4
Nusa Tenggara Timur
1996(*)
5
Keterangan: *Jumlah kasus tidak tercatat secara tepat 1. SOEMANEGARA (1958) 2. MANSJOER (1961) 3. MARTINDAH et al. (1995) 4. RONOHARDJO et al. (1984) 5. POERWADIKARTA et al. (1996)
57
SJAMSJUL BAHRI et al.: Keamanan Pangan Asal Ternak: Suatu Tuntutan di Era Perdagangan Bebas
Tabel 8. Beberapa Kasus Antraks pada manusia di Indonesia Daerah Kejadian
Tahun Kejadian (jumlah kasus)
Purwakarta, Jabar P.Rote-NTT Kalaka, Kendari Sultra Kendari Sultra Kendari Sultra Kendari Sultra Purwakarta – Jabar Karawang – Jabar Bekasi – Jabar Semarang – Jateng Boyolali – Jateng Kudus – Jateng Kab. Ngada –NTT Purwakarta – Jabar
1992 (*) 1922(*) 1932 (*) 1969 (80 Orang) 1973 (7 orang) 1977 (240 orang) 1975-1994 (30 orang) 1983-1985 (36 orang) 1983-1985 (47 orang) 1990-1993 (71 orang) 1990-1993 (54 orang) 1994 (1 orang) 1996 (24 Orang) 1999-200 (>20 orang)
Sumber 1 1 2 1,6 1,6 6 3 3 3 3 3 3 4 5
Keterangan: *Jumlah Kasus tidak tercatat secara tepat 1. SOEPARWI (1922) 2. MANSJOER (1961) 3. MARTINDAH et al. (1995) 4. POERWADIKARTA et al. (1996) 5. WIDARSO et al. (2000) 6. SUPARTUA (1984)
Cemaran Kimiawi Cemaran kimiawi pada produk peternakan seperti daging, susu dan telur dapat terjadi akibat adanya penggunaan obat-obatan, penggunaan bahan aditif dan cemaran senyawa kimia dan toksin pada pakan. Hal ini dapat terjadi baik pada waktu proses praproduksi maupun pada saat proses produksi sedang berlangsung. Cemaran atau residu obat Dari data yang diperoleh berdasarkan survei yang telah dilakukan, terlihat bahwa produk peternakan seperti daging, telur, dan susu ditemukan adanya residu obat seperti antibiotika golongan tetrasiklin dan sulfonamida (Tabel 2). Umumnya golongan tetrasiklin lebih banyak ditemukan dengan kandungan yang cukup tinggi. Keberadaan residu obat yang melewati batas
maksimum residu yang telah ditetapkan, akan menyebabkan daging dan susu tersebut menjadi tidak aman untuk dikonsumsi karena dapat menimbulkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau mengakibatkan gangguan fisiologis pada manusia. Cemaran bahan-bahan kimia Berdasarkan survei terhadap produk peternakan (daging, susu dan telur) cemaran kimiawi lainnya berupa cemaran pestisida, logam berat dan aflatoksin juga ditemukan pada produk-produk tersebut (Tabel 3, 4, 5 dan 6). Hal ini disebabkan oleh adanya cemaran pada pakan ternak, sehingga menyebabkan adanya residu pada produk ternak. Cemaran ini dapat terjadi pada waktu proses pra-produksi maupun karena kontaminasi pada waktu proses produksi berlangsung.
Tabel 9. Cemaran Salmonella spp pada beberapa spesimen komoditas ternak di Indonesia pada tahun 1989-1996 Jumlah kasus
Komoditas ternak Ayam Itik Telur Babi Sapi
89/90
90/91
91/92
92/93
93/94
94/95
95/96
49 1 69 28
56 30 -
73 46 20 4
131 49 85 21
75 33 70 6
239 50 -
205 55 13 26 -
Sumber: SRI POERNOMO dan BAHRI (1998)
58
Total 828 233 219 95 59
WARTAZOA Vol. 12 No. 2 Th. 2002
DAMPAK NEGATIF CEMARAN PANGAN ASAL TERNAK Pengaruhnya Terhadap Perdagangan Domestik dan Global Dampak negatif terbesar yang berupa kerugian ekonomi dari cemaran pangan asal ternak adalah berupa hambatan atau penolakan terhadap berbagai komoditas produk ternak oleh negara pengimpor. Hal seperti ini telah terjadi pada kasus penyakit Sapi Gila (Mad Cow) atau BSE dimana Pemerintah Inggris mengalami kerugian jutaan Pound Sterling karena ratusan ribu ekor sapi di Inggris harus dimusnahkan dalam rangka memberantas penyakit tersebut. Selain itu Inggris juga kehilangan pasar luar negerinya (ekspornya) yang telah diraih sebelumnya. Kerugian lainnya berupa efek multiplier yang diakibatkannya, terutama terhadap permasalahan sosial ekonomi di dalam negerinya. Kerugian semacam ini dengan skala yang lebih ringan juga terjadi pada wabah penyakit PMK di beberapa negara di Eropa termasuk Inggris pada awal tahun 2001, dan beberapa negara Amerika Latin (Argentina dan Brasil), serta beberapa negara Asia seperti Cina, Korea, Taiwan dan Malaysia. Kasus lain yang juga menimbulkan kerugian Pemerintah Inggris adalah akibat terjadinya cemaran kuman Salmonella pada telur di Inggris beberapa tahun yang lalu. Pada kasus cemaran Dioksin pada produk ternak berupa daging, telur dan susu serta produk olahannya asal Belgia dan beberapa negara Eropa lainnya (seperti Belanda), maka Belgia telah menderita kerugian yang cukup signifikan. Hal ini dikarenakan Belgia harus menarik produk-produk yang tercemar tersebut, serta mengganti kerugian yang diakibatkannya. Selain itu juga dikenakan larangan untuk mengekspor produkproduk peternakan dalam waktu yang cukup lama. Baru-baru ini pada awal tahun 1999 Malaysia mengalami kerugian yang mencapai jutaan dollar Amerika akibat terjadinya wabah penyakit “virus Nipah” yang menyerang ternak babi dan Manusia. Kerugian terjadi karena sekitar satu juta ekor babi di Malaysia harus dimusnahkan dalam upaya mengatasi (memberantas) penyakit tersebut. Sementara itu kerugian lain yang lebih besar adalah berupa penutupan ekspor babi ke Singapura dimana sebelumnya Malaysia merupakan pemasok daging babi utama bagi Singapura, yaitu sekitar 80% keperluan daging babi Singapura berasal dari Malaysia. Demikian juga dengan kerugian-kerugian lainnya berupa permasalahan sosial ekonomi di dalam negerinya sebagai akibat dari efek multiplier dari kasus wabah tersebut. Pada kasus penyakit Antraks yang menyerang ternak kambing/domba dan Manusia di Kabupaten Bogor pada awal tahun 2001 telah menyebabkan
terganggunya pasar lokal kambing/domba di wilayah Jabotabek. Kelesuan pasar tersebut terutama terjadi pada menjelang hari raya kurban, sehingga sempat meresahkan sejumlah pedagang kambing/domba dan sapi di wilayah Jabotabek. Dampak Terhadap Kesehatan Manusia Pada kasus Penyakit Sapi Gila (BSE) di Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya telah menyebabkan kematian sejumlah orang. Dikhawatirkan hal ini masih akan terus berlangsung karena masa inkubasi dari penyakit ini baru akan terlihat setelah lebih dari 5 tahun. Hal demikian telah menimbulkan keresahan dikalangan masyarakat Eropa, terutama masyarakat Inggris. Pada kasus wabah penyakit “virus Nipah” di Malaysia (antara tahun 1998 – 1999) telah terjadi kematian lebih dari 100 orang yang umumnya bekerja atau berhubungan dengan ternak babi yang terinfeksi penyakit tersebut. Penyakit ini sangat fatal, menular langsung melalui kontak dengan bagian-bagian tubuh babi yang tertular. Pengaruh terhadap kesehatan manusia yang mengkonsumsi daging burung unta yang terinfeksi kuman Antraks telah terjadi pada lebih dari 20 orang di Kabupaten Purwakarta pada tahun 1999 – 2000. Demikian juga kematian beberapa orang di Kabupaten Bogor pada akhir tahun 2000 dan awal tahun 2001 diduga kuat sebagai akibat mengkonsumsi daging kambing/domba yang terserang penyakit Antraks. Dampak Terhadap Aspek Sosial Politik Pada kasus telur yang tercemar Salmonella di Inggris di akhir tahun sembilan puluhan telah menimbulkan protes keras masyarakat kepada Pemerintah Inggris. Kejadian tersebut telah berakibat kepada pengunduran diri pejabat teras Inggris yang bertanggung jawab terhadap permasalahan tersebut. Demikian juga pada kasus cemaran dioksin pada produk ternak di Belgia berdampak kepada pengunduran diri Menteri Pertanian Belgia. Pada kejadian wabah penyakit “virus Nipah” di Malaysia sempat menimbulkan kepanikan masyarakat disekitar wabah, sehingga terjadi pengungsian besarbesaran dari keluarga yang bermukim di sekitar peternakan babi yang terserang wabah tersebut. Hal ini juga mengakibatkan terjadinya keresahan dari masyarakat luas di Malaysia karena wabah tersebut berlangsung cukup lama. Pada kasus Antraks yang menyerang burung unta di Purwakarta (1999 − 2000) dan wabah Antraks pada domba/kambing di Kabupaten Bogor (2000 − 2001) telah menimbulkan berbagai keresahan di masyarakat setempat. Kejadian ini sempat menimbulkan berbagai polemik yang cukup berkepanjangan diantara birokrat,
59
SJAMSJUL BAHRI , et al.: Keamanan Pangan Asal Ternak: Suatu Tuntutan di Era Perdagangan Bebas
pengusaha dan masyarakat. Bahkan media massa ikutikutan memanfaatkannya sebagai berita utama yang menambah hangatnya suasana polemik tersebut. Dampak lain yang ditanggung Pemerintah, Industri dan Masyarakat Dampak negatif lain akibat cemaran pangan asal ternak adalah berupa: (1) biaya perawatan korban yang ditanggung pemerintah maupun masyarakat; (2) pihak Industri atau pengusaha mengalami penurunan produksi, bahkan pada kasus Antraks pada burung unta di Purwakarta telah menyebabkan tutupnya usaha peternakan tersebut; (3) kerugian masyarakat peternak atau Pengusaha akibat kematian ternaknya dalam jumlah besar baik akibat penyakit maupun akibat pemusnahan (stamping out); (4) menurunnya produktivitas manusia yang terserang penyakit tersebut; dan (5) kehilangan jiwa atau kematian. UPAYA-UPAYA PENGAMANAN PANGAN ASAL TERNAK Peraturan-peraturan Pendukung Untuk lebih menjamin bahwa daging sapi yang akan dikonsumsi oleh masyarakat benar-benar aman dan memenuhi persyaratan hygienis serta halal, maka pemerintah perlu mengaturnya baik dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Dirjen atau aparat-aparat pemerintah lainnya yang ditunjuk mempunyai wewenang untuk itu. Di bawah ini disajikan peraturan-peraturan penting yang berkaitan dengan upaya-upaya penyediaan daging sapi maupun produk ternak lainnya yang bermutu, aman dan halal untuk dikonsumsi masyarakat maupun untuk ekspor. a). Undang-undang No. 6 tahun I967, tentang ketentuan-ketentuan pokok peternakan dan kesehatan hewan. b). Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 1983, tentang kesehatan masyarakat vetenner. c). Keputusan Menteri Pertanian No. 555 tahun 1986, tentang syarat-syarat RPH dan Usaha Pemotongan Hewan. d). Peraturan Pemerintah R.I. No. 15 tahun 1991, tentang Standar Nasional Indonesia. e). Keputusan Presiden No. 12 tahun 1991, tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia. f). Peraturan Pemerintah R.I. No. 78 tahun 1992, tentang Obat Hewan. g). Keputusan Ketua Dewan Standarisasi Nasional No. 0l8/IV.2.06/H.K.01.04/ 5/92, tentang Sistem Standarisasi Nasional.
60
h). Keputusan Menteri Pertanian No. 413 tahun 1992, tentang pemotongan hewan potong dan pengamanan daging serta hasil ikutannya. i). Keputusan Menteri Pertanian No.303/Kpts/0T.201/4/94, tentang kebijaksanaan dalam pembinaan, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian melalui standarisasi, sertifikasi dan akreditasi melalui sistem standarisasi pertanian. j). Keputusan Menteri Pertanian No. 466 tahun 1994, tentang loka penguji mutu produk peternakan. k). Undang Undang No. 7 tahun 1996, tentang pangan. l). SNI 01-6-6160-1999 tentang RPU (Rumah Pemotongan Unggas)
m). SNI 01-6366-2000 tentang Batas Cemaran Mikroba dan BMR dalam bahan makanan asal hewan. Masih banyak lagi peraturan lainnya yang berkaitan dengan keamanan pangan termasuk daging, telur dan susu. Pengamanan Daging Impor Pengawasan daging impor diatur oleh Surat Keputusan Menteri Pertanian. Pengawasan dimulai sejak bahan tersebut masih berada di negara asalnya sampai dipasarkan di wilayah Indonesia. Beberapa persyaratannya, antara lain adalah: Penilaian terhadap negara asal Penilaian terhadap negara asal adalah untuk menilai status penyakit hewan menular yang ada di negara tersebut. Penilaian juga dilakukan terhadap RPH yang dipergunakan dalam proses produksi dari daging tersebut, kualitas daging, cara pemotongan, pengemasan dan pengangkutannya. Termasuk juga jaminan sertifikat kesehatan hewannya, sertifikat halal dan dokumen-dokumen lain yang mendukung. Aspek lainnya yang dinilai yaitu adanya cemaran atau residu obat dan bahan kimia lainnya termasuk juga bahan pengawet. Pengawasan di pelabuhan Pengawasan daging yang masuk ke Indonesia melalui pelabuhan laut maupun udara ditangani oleh petugas karantina setempat. Dalam hal ini yang berhak membuka segel dan memeriksa daging tersebut adalah petugas karantina, terutama terhadap kelengkapan dokumen dan kondisi dari daging tersebut. Peredaran daging impor Peredaran daging impor di dalam negeri setelah diperbolehkan masuk oleh petugas karantina juga perlu diatur oleh pemerintah.
WARTAZOA Vol. 12 No. 2 Th. 2002
Pemeriksaan atau pemantauan daging impor ini meliputi kesehatan, kelayakan dan pengujian laboratoris secara berkala dengan metoda sampling acak yang mencakup importir, negara asal, jenis daging, merek dagang dan keterangan tempat pengambilan, apakah di penyimpanan, pengangkutan atau pemasaran.
2. 3.
4. Penerapan Konsep HACCP Penyediaan Daging Sapi
Pada
Proses
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) merupakan suatu sistem keamanan pangan yang berperan sebagai tindakan preventif yang efektif untuk menjamin keamanan pangan. Konsep HACCP ini dapat diterapkan pada seluruh mata rantai produksi makanan. Meskipun aplikasi HACCP pada umumnya dilakukan di dalam industri pengolahan pangan, tetapi pada prinsipnya dapat dilakukan mulai dari produksi bahan baku sampai pemasaran dan distribusi (FARDIAZ, 1996). Pada tiap-tiap mata rantai pangan dilakukan analisis yang seksama terhadap aliran proses untuk menentukan tingkat bahaya dan titik pengendalian kritis atau Critical Control Point (CCP). HACCP adalah suatu sistem jaminan mutu dan keamanan yang didasarkan pada anggapan bahwa bahaya dapat timbul pada berbagai titik dalam setiap tahap produksi, dan bahaya tersebut sebetulnya dapat dikendalikan. Pengertian bahaya ini merupakan titik kerawanan terhadap pencemaran, baik yang bersifat mikrobiologi, kimia, maupun fisik yang sangat potensial dalam menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Dari titik kritis inilah tindak pengawasan dimulai, dengan tujuan untuk mengeliminasi, mencegah atau memperkecil sampai pada tingkat yang tidak membahayakan. Sebenarnya konsep HACCP ini telah diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1971/1972, namun Codex Alimentarius Commission baru mengadopsi/menerapkan konsep ini untuk industri pangan pada tahun 1993. Di Indonesia sendiri beberapa perusahaan atau industri yang berkaitan dengan pangan telah menerapkan konsep HACCP seperti Rumah Pemotongan Ayam "Suri Chicken" (DAWANI, 1996), Charoen Pokphand (JOGYA, 1999), McDonald's Indonesia (NOVIA-RIO, 1996), dan P.T. Indofood Sukses Makmur (SILOWATI, I996). Pada pelaksanaan HACCP pada dasarnya terdapat 7 prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu: 1.
Mengidentifikasi hazard atau bahaya dan memperkirakan bahaya yang ditimbulkan (hazard analysis) pada mata rantai pangan serta menetapkan langkah-langkah pengendaliannya sampai pada tingkat yang tidak membahayakan.
5. 6. 7.
Penetapan titik pengendalian kritis (CCP) yang dibutuhkan untuk mengendalikan bahaya yang mungkin terjadi. Penetapan limit kritis yang harus dipenuhi untuk setiap CCP dengan menetapkan kriteria-kriteria atau persyaratan tertulis dan jelas sehingga mudah dimengerti oleh operator. Penetapan prosedur untuk memantau atau memonitor setiap CCP sehingga diketahui apakah pengawasan pada setiap CCP telah dilaksanakan. Penetapan tindakan koreksi yang harus dilakukan jika terjadi penyimpangan selama pemantauan. Penetapan sistem pencatatan yang efektif yang merupakan dokumen penting program HACCP. Penetapan prosedur verifikasi untuk membuktikan bahwa sistem HACCP telah berhasil atau masih efektif.
Selain 7 prinsip penting yang perlu diketahui pada penerapan HACCP, ada 12 langkah penting yang perlu dipahami pada waktu pelaksanaannya (operasional), yaitu: 1.
Pembentukan Tim HACCP yang terdiri dari staf dengan berbagai keahlian. 2. Penjelasan produk secara lengkap termasuk komposisi pangan dan pendistribusiannya. 3. Identifikasi sasaran pengguna makanan atau konsumen. 4. Penetapan bagan alir yang menguraikan proses produksi. 5. Penerapan, pemeriksaan bagan alir operasional. 6. Identifikasi bahaya pada setiap mata rantai serta menentukan cara pencegahan dan pengawasannya. 7. Penetapan dan identifikasi titik tindak pengawasan. 8. Penetapan batas kritis CCP, yaitu batas toleransi yang harus dipenuhi untuk menjamin bahwa CCP secara efektif mengendalikan bahaya. 9. Penetapan sistem monitoring/pemantauan untuk setiap CCP. 10. Melakukan tindakan koreksi jika terjadi penyimpangan pada waktu monitoring. 11. Recording/pencatatan dan dokumentasi program HACCP. 12. Penetapan prosedur verifikasi program HACCP. Penerapan HACCP pada proses produksi daging di RPH atau di RPU untuk ayam perlu disertai dengan gambar Bagan Alir. Dari Bagan alir tersebut dapat ditentukan titik-titik kritis dari tiap-tiap mata rantai proses produksi. Juga dapat ditentukan resiko potensial yang diperkirakan akan terjadi pada tahap-tahap kritis tersebut. Dengan demikian tindakan pengawasan juga dapat ditetapkan untuk menanggulangi atau memperkecil terjadinya bahaya. Selanjutnya ditentukan prosedur atau langkah-langkah pengawasan dan
61
SJAMSJUL BAHRI , et al.: Keamanan Pangan Asal Ternak: Suatu Tuntutan di Era Perdagangan Bebas
pencegahan agar tindak pengawasan dapat berjalan dengan efektif. Berdasarkan langkah-tangkah yang harus diterapkan pada konsep HACCP, maka proses selanjutnya adalah penetapan limit kritis seperti pada langkah kedelapan, yang dilanjutkan hingga langkah terakhir. Konsep HACCP ini juga dapat diterapkan untuk mendapatkan susu dan telur yang aman. Pengamanan dengan fokus pada proses praproduksi Oleh karena keamanan pangan dimulai pada saat ternak dipelihara di tingkat petenak/farm, maka keamanan dan kualitas ternak dan hasilnya (produknya) sangat tergantung pada keamanan dari pakan dan sumber-sumber pakan, air dan lingkungan sekitar ternak tersebut. Oleh karena itu produk ternak relatif telah aman apabila pada proses pra-produksi dilakukan hal-hal berikut: (1) pada proses pemeliharaan ini penyakit-penyakit ternak dikontrol dengan baik secara biologik dengan menghindari penggunaan bahan-bahan kimia/obat-obatan berbahaya secara berlebihan; (2) kemudian makanannya juga terkontrol, yaitu bebas dari cemaran mikrobiologis, kimia dan bahan-bahan berbahaya lainnya; (3) demikian juga dengan sumber air yang digunakan terkontrol bebas dari logam-logam berat berbahaya maupun mikroorganisme patogen; (4) petugas farm atau personel sebaiknya dibatasi, tidak setiap orang boleh ke luar masuk farm setiap saat, dengan maksud untuk menghindari stres pada ternak, juga mencegah penularan/kontaminasi penyakit dari petugas farm; dan (5) Sementara itu lingkungan termasuk tanah lokasi setempat telah diketahui bukan merupakan daerah wabah penyakit tertentu. Upayaupaya demikian akan menjamin keamanan dari ternak maupun produk ternak yang akan dihasilkan. KESIMPULAN DAN SARAN Dari berbagai uraian yang telah dikemukakan, terlihat bahwa keamanan pangan menjadi isu yang strategis pada perdagangan bebas dewasa ini karena menyangkut aspek komersial (perdagangan domestik dan global) dan aspek kesehatan manusia. Dampak dari ketidak amanan produk asal ternak akan mengakibatkan kerugian ekonomi (perdagangan terhambat), gangguan kesehatan manusia, dan aspek sosial politik yang luas. Dengan demikian keamanan pangan ternak merupakan tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi pada abad ke 21 ini. Untuk mendapatkan pangan asal ternak yang aman maka di setiap mata rantai penyediaan pangan asal ternak harus diterapkan sistem jaminan mutu, yaitu GAP (Good Agricultural Practices), GHP (Good Handling
62
Practices), GMP (Good Manufacturing Practices), GDP (Good Distribution Practices) dan GRP (Good Retailing Practices). DAFTAR PUSTAKA ANONIMOUS. 1982. Laporan Lokakarya Peranan Protein dalam Pembangunan Bangsa Tim Protein - IPB. ANONIMOUS. 1995. Peningkatan Peranan Pemerintah Dalam Pengawasan Bahan Makanan Asal Hewan: Memperkenalkan Konsep HACCP. Manual Kesmavet No. 45/1995: 1-18. ANONIMOUS. 1999. Outbreak of Hendra-like Virus Malaysia and Singapore 1998-1999. Center for Disease Control and Prevention (CDC), April 9, 1999. 8(13): 265-269. ANONIMOUS. 2000. Laporan Khusus: Kasus Anthrax Akibat Keteledoran Vaksinasi. Infovet. Ed. 067: 30-33. BAHRI, S., OHIM, dan R. MARYAM. 1994. Residu Aflatoksin M1 pada Air Susu Sapi dan Hubungannya Dengan Keberadaan Aflatoksin B1 pada Pakan Sapi. Dalam Kumpulan Makalah Lengkap Kongres Nasional Perhimpunan Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia I dan Temu Ilmiah, Bogor, 21-24 Juli 1994. P: 269-275. BAHRI, S., R. MARYAM., YUNINGSIH, dan T.B. MURDIATI. 1992. Residu Tetrasiklin, Klortetrasiklin dan Oksitetrasiklin pada Susu Segar asal Beberapa DATI II di Jawa Tengah. Laporan Intern BALITVET kepada Dirjen Peternakan, DEPTAN (Tidak dipublikasi). DARMINTO dan S. BAHRI. 1996. “Mad Cow” dan Penyakit Sejenis Lainnya pada Hewan dan Manusia. Jurnal Penelitian Pengembangan Pertanian. 25 (4):81-89. DARMINTO, S. BAHRI, dan M. SAEFULLOH. 1999. Penyakitpenyakit Zoonosis Yang Berkaitan Dengan Encephalitis. Wartazoa. 9(1): 21-29. DARMONO. 1998. Konsentrasi Logam (Cu, Zn, Pd, Cd) Dalam Daging Sapi dan Hasil Olahannya. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Veteriner. 18: 207212. DARSONO, R. 1996. Deteksi residu oksitetrasiklin dan gambaran patologi anatomi hati dan ginjal ayam kampung dan ayam broiler yang dijual di lima pasar Kodya Surabaya. Media Kedokteran Hewan. 12 (3): 178-182. DAWANI, A. 1996. Penerapan HACCP di Rumah Pemotongan Ayam "Suri Chicken". Prosiding Seminar Sehari Pengawasan Hasi1 Peternakan Untuk Meningkatkan Daya Saing Pasar. Jakarta, 16 Januari 1996. DEWI, A.A.S., D.M.N. DHARMA, dan I. K.K. SUPARTIKA. 1997. Survei Residu Obat Golongan Sulfonamida Pada Daging di Bali dan Mataram. Bulletin Veteriner. IX (47): 19-37.
WARTAZOA Vol. 12 No. 2 Th. 2002
DITJENNAK. 1995. Kebijakan Mengenai Keamanan dan Kualitas Daging Indonesia Manual Kesmavet: No. 45/1995: 94-131. HARDJOUTOMO, S., M.B. POERWADIKARTA, dan E. MARTINDAH. 1995. Anthrax Pada Hewan dan Manusia di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Cisarua Bogor, 7-8 Nopember 1995. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. P:302-318. INDRANINGSIH, R. MARYAM, R. MILTON, and R.B. MARSHALL. 1988. Organochlorine pesticide residues in bird eggs. Penyakit Hewan. Vol. XX(36): 98-100. INDRANINGSIH, R. WIDIASTUTI, YUNINGSIH, dan Z. ARIFIN. 1999. Dampak pencemaran pestisida terhadap lingkungan dan produk peternakan di Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kesehatan Lingkungan. Bandung. Aula Barat Institut Teknologi Bandung. Oktober 1999. P: 231-238. MANSJOER, M. 1961. Anthrax in Man and Animals in Indonesia. Comm. Vet. Bogor. 5: 61-79. MARTINDAH, E., S. WAHYUWARDANI, dan A. NURHADI. 1995. Laporan Teknis Penelitian Tahun Anggaran 1994/1995. Studi Retrospektif Antraks di Daerah Endemis (Jawa Tengah). Balai Penelitian Veteriner, Bogor. MARYAM, R. 1996. Residu aflatoksin dan metabolitnya dalam daging dan hati ayam. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, Bogor. 12-13 Maret 1996. p: 336-339. MARYAM, R., INDRANINGSIH, YUNINGSIH, T. B. SASTRAWAHANA, dan I. NOOR. 1994. Laporan survei penelitian residu aflatoksin dan pestisida pada bahan pangan asal ternak. Laporan Penelitian. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. MURDIATI, T. B., INDRANINGSIH, dan S. BAHRI. 1998. Contamination of animal products by pesticides and antibiotics. In: Seeking Agricultural Produce Free of Pesticide Residues. ACIAR Proceedings No.85. Kennedy, I.R., J.H.Skerritt, G.I. Johnson, and E. Highley (eds).p: 115-121. NOVIA-RIO. 1996. Penerapan HACCP untuk Meningkatkan Profit Pada Industri Makanan. Prosiding Seminar Sehari Pengamanan Hasil Peternakan Untuk Meningkatkan Daya Saing Pasar. Jakarta, 16 Januari 1996. POERWADIKARTA, M.B., S. HARDJOUTOMO, dan S. BAHRI. 1996. Antraks di Kabupaten Ngada, Propinsi Nusa Tenggara Timur 1996: Peneguhan Diagnosis Antraks di Laboratorium Balitvet, Bogor. Makalah disajikan pada Rapat Teknis dan Pertemuan Ilmiah. Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Yogyakarta, 20–21 September 1996. PUTRO, S. 1999. Percemaran Dioksin Pada Daging Ayam di Belgia. Laporan Atase pertanian Indonesia di Belgia.
RACHMAWATI, S., DARMONO, A. SAFUAN, dan Z. ARIFIN. 1998. Hubungan Antara Kandungan Kadmium Dalam Pakan dan Telur Ayam Petelur. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Veteriner. l8: 232-238. RONOHARDJO, P., C. KOESHARYONO. G. SIMANDJUNTAK, dan K. BARKAH. 1984. Penyakit Radang Limpa (Anthrax) Pada Babi di Kabupaten Paniai, Irian Jaya. Penyakit Hewan. 16 (28): 238-241. ROSIDI, R., C. KOESHARJONO. S.M. GINDO, C. HARDJONO, R. SAHLAN, dan S.S. MARGONO. 1981. Taenasis di Bali daerah trasnmigrasi Seputih Raman di Lampung Tengah dan Wudhi Agung di Sulawesi Utara pp: 379382. Kumpulan Makalah Seminar Parasitologi Nasional II. 24-27 Juni 1981. SILOWATI, S. 1996. Penerapan HACCP Pada Industri Pengolahan Makanan. Prosiding Seminar Sehari Pengamanan Hasi1 Peternakan Untuk Meningkatkan Daya Saing Pasar. Jakarta, 16 Januari 1996. SOEMARNEGARA, R. Md. T. 1958. Ichtisar Singkat dari Penyakit Radang Limpa, Penyakit Ngorok dan Radang Paha di Indonesia. Hemera Zoa 65: 95-109. SOEPARWI, M. 1922. Over een Miltvvuurruitbraak Bij Mensch en Dier. Ned. Ind. Bl. v. Diergeneesk. 33:163. SRI POERNOMO dan S. BAHRI. 1998. Salmonella Serotyping Conducted at the Bogor Research Institute for Veterinary Science during April 1989-March 1996. Proceedings of the Third Asia-Pacific Symposium on Thypoid Fever and Other Salmonellosis. Denpasar, Bali. December 8-10, 1997. p. 133-142. SUDRADJAT, S. 1997. Penawaran, Permintaan dan Konsumsi Protein Hewani Asal Ternak. Makalah disampaikan pada Seminar Pra-Widya Karya Pangan dan Gizi. Jakarta 28 Oktober 1997. SUPARTUA, MADE. 1984. Laporan Kejadian Penyakit Yang Diduga Antraks di Kendari Menjelang Akhir 1984. Subdin Kesehatan Hewan. Dinas Peternakan DT I Sulawesi Tenggara. SUTIRTO, E. 1997. Pemberdayaan Peternakan Rakyat dan Industri Peternakan Menuju Pasar Bebas: Pokok Bahasan Ternak Potong. Prosiding Seminar Nasional dan Veteriner. Bogor, 7-8 Januari 1997. p: 19-30. SUTISNA, P. 1994. Sistiserkosis di Bali. Laporan 6 kasus. Majalah Ilmiah UNUD. 21 (41): 5-9. WIDARSO, H.S., T. WANDRA, dan W.H. PURBA. 2000. Kejadian Luar Biasa (KLB) Antraks pada burung unta di Kabupaten Purwakarta bulan Desember 1999 dan dampaknya pada masyarakat. Makalah di presentasikan pada seminar dan pameran teknologi veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Jakarta 14-15 Maret 2000. WIDIASTUTI, R. 2000. Residu aflatoksin pada daging dan hati sapi di pasar tradisional dan swalayan di Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor 18-19 Oktober 1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. p: 609-613.
63
SJAMSJUL BAHRI , et al.: Keamanan Pangan Asal Ternak: Suatu Tuntutan di Era Perdagangan Bebas
WIDIASTUTI, R., T.B. MURDIATI, INDRANINGSIH, YUNINGSIH, dan DARMONO. 1999. Penelitian Residu Antibiotika dan hormon pertumbuhan dalam produk peternakan. Laporan Teknis Penelitian TA 1998/1999. Balai Penelitian Veteriner.
64
WINARNO, F.G. 1996. Undang-undang tentang Pangan. Kumpulan Makalah Pada Musyawarah 11 dan Seminar Ilmiah Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan Indonesia. Jakarta, 25-26 Nopember 1996.