Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008:pangan 17-46 ...
17
LINTASAN DAN MARKA JALAN MENUJU KETAHANAN PANGAN TERLANJUTKAN DALAM ERA PERDAGANGAN BEBAS1) Made Oka Adnyana Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Jalan Merdeka No. 147, Bogor 16111
PENDAHULUAN Norman Borlaug, penerima hadiah Nobel di bidang pangan pada tahun 1970, memprediksi kebutuhan pangan dunia (beras, gandum, dan jagung) pada tahun 2030 akan mencapai dua kali lipat kebutuhan pangan tahun 1992. Pada peringatan Hari Pangan se-Dunia pada tanggal 16 Oktober 2002, FAO mengemukakan angka rawan pangan yang mencengangkan, tidak kurang dari 815 juta penduduk dunia sedang berjuang melawan kelaparan. Kondisi ini telah mengakibatkan setiap empat detik satu jiwa melayang. Selain itu hampir 800 juta penduduk mengalami kelangkaan pangan dan selangkah lagi mereka akan masuk ke dalam kelompok kelaparan. Masih menu rut data FAO, sekitar 6,6 juta anak meninggal setiap tahun karena kekurangan gizi. Di Indonesia, beras masih merupakan bahan pangan utama. Menurut data Susenas tahun 2002, sekitar 55% dari total kalori yang dibutuhkan penduduk berasal dari beras. Biaya yang diperlukan untuk pengadaan beras adalah 23% dari total 1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Ahli Peneliti Utama yang disampaikan pada tanggal 31 Agustus 2005 di Bogor.
anggaran belanja untuk pangan. Ke depan, pola konsumsi pangan tampaknya akan berubah sebagai dampak dari pertumbuhan urbanisasi yang makin tidak terbendung, di samping adanya perubahan selera dan preferensi konsumen, serta makin membaiknya tingkat kesejahteraan masyarakat. Kecenderungan ini terlihat dari penurunan konsumsi beras per kapita, dari 148 kg pada tahun 2002 menjadi 146 kg dalam tahun 2004, dan pada tahun 2005 diprediksi turun menjadi 144 kg. Di sisi lain, konsumsi terigu terus meningkat, yang seluruhnya dipenuhi dari impor. Ketergantungan terhadap bahan pangan tertentu, misalnya beras dan terigu, berdampak terhadap kerapuhan ketahanan pangan. Impor gandum di atas 4 juta ton per tahun telah memposisikan Indonesia sebagai salah satu negara pengimpor gandum terbesar di dunia. Upaya pemerintah untuk menekan angka impor gandum masih terbatas pada introduksi varietas dan uji coba penanaman gandum di dalam negeri. Kenyataan di lapangan, hasil gandum introduksi di beberapa lokasi pengujian jauh lebih rendah daripada di negara asalnya. Menurut UU No.7 Tahun 1996, Pasal 1, Ayat 1, pangan adalah sesuatu yang ber-
18
Made Oka Adnyana
asal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman. Pasal 1 Ayat 17 berbunyi, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Pengertian terjangkau di sini adalah dapat diperoleh pada harga yang cukup murah. Mengacu kepada amanah UU No. 7 tahun 1996 maka perlu dirumuskan arah lintasan dan marka jalan dalam upaya memperkokoh ketahanan pangan nasional dalam era perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan.
PENGELUARAN RUMAH TANGGA, POLA KONSUMSI, DAN KETERSEDIAAN PANGAN Pengeluaran Rumah Tangga untuk Bahan Pangan Krisis ekonomi pada tahun 1998 telah menurunkan semua jenis pengeluaran rumah tangga untuk bahan pangan. Untuk aneka umbi dan padi-padian, misalnya, turun 7,2% dari Rp13.430 per kapita per bulan pada tahun 1996 menjadi Rp12.460 pada tahun 2002. Sementara itu pengeluaran rumah tangga untuk bahan pangan dari peternakan turun sebesar 27%. Secara keseluruhan, pengeluaran rumah tangga rata-rata turun 13,5% (Rosner 2004). Dampak krisis ekonomi terhadap konsumsi dan ketersediaan pangan lebih ri-
ngan bagi penduduk di pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan. Hal ini tidak terlepas dari lebih beragamnya sumber pangan di desa daripada di kota. Dampak krisis ekonomi terhadap pendapatan rumah tangga tani di desa tidak sehebat di kota (Adnyana et al. 2000). Dalam periode 1999-2002, atau periode pemulihan ekonomi nasional, pengeluaran rumah tangga meningkat cukup tinggi, rata-rata 2,24%. Peningkatan terbesar terjadi pada pengeluaran untuk pangan berbasis peternakan, yaitu 45,9% (Rosner 2004). Dengan demikian, selama periode 1996-2002, pengeluaran per kapita masyarakat ternyata meningkat cukup tajam. Peningkatan yang cukup besar terjadi pada pengeluaran untuk kacang-kacangan, lemak, dan minyak. Keadaan ini mencerminkan kondisi ekonomi nasional sudah mulai pulih dari krisis. Pengeluaran untuk beras mengalami penurunan. Hal ini dapat dijadikan indikasi pergeseran pola konsumsi masyarakat. Dalam periode 1996-2002, pengeluaran rumah tangga untuk beras turun 6,9%, karena adanya tekanan dari pengeluaran untuk produk peternakan, ikan, sayuran, dan buah-buahan. Namun, pengeluaran untuk daging lebih rendah setelah krisis (tahun 2002) dibandingkan dengan sebelum krisis ekonomi (tahun 1996).
Pola Konsumsi Dalam empat dekade terakhir, pola konsumsi pangan mengalami pergeseran dari semula berbasis karbohidrat ke komposisi yang lebih berimbang. Total kalori intake pun meningkat dari 817 kkal pada tahun 1961 menjadi 1.228 dan 2.904 kkal masingmasing pada tahun 1981 dan 2002. Sumber
19
Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan ...
kalori masih didominasi oleh beras, namun telah terjadi penurunan yang cukup berarti dari 55,3% pada tahun 1981 menjadi 50,4% pada tahun 2002 (Hossain 2004a). Konsumsi produk peternakan, hortikultura, dan perikanan menunjukkan tren yang terus meningkat dari tahun 1961. Kontribusi konsumsi daging dan buah terhadap total kalori intake masing-masing meningkat dari 1,2% dan 7,0% pada tahun 1961 menjadi 1,4% dan 8,1% pada tahun 1981, dan pada tahun 2002 tercatat 2,0% dan 8,7%. Konsumsi ikan dan kontribusinya terhadap total kalori intake dalam periode yang sama juga meningkat dari 3,2% pada tahun 1961 menjadi 3,6% pada tahun 1981dan 4,8% pada tahun 2002. Konsumsi beras tertinggi terjadi pada tahun 2002 yang mencapai 148 kg dan pada tahun 2004 turun menjadi 146 kg per kapita. Pola konsumsi yang terdiversifikasi dari dominasi beras akan makin meluas. Pada tahun 2002, kalori intake yang bersumber dari karbohidrat serealia adalah sebesar 141% dibanding tahun 1981. Kalori yang bersumber dari produk peternakan seperti daging, susu, dan ikan juga meningkat tajam masing-masing 134,3%; 143,8%; dan 110,5%. Konsumsi sayuran dan buahbuahan menunjukkan tren yang sama dengan konsumsi bahan pangan dari produk peternakan. Sebaliknya, konsumsi aneka umbi menurun cukup tajam, yaitu 45,7% dalam periode 1981-2002. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) dalam periode 1996-2002, konsumsi pangan meningkat 7,5% per kapita per tahun, namun pertumbuhan konsumsi pangan dari sumber pangan bernilai ekonomi tinggi lebih dominan; (2) permintaan bahan pangan berupa ikan, telur, susu dan produk olahannya, buahbuahan, dan sayuran tumbuh cukup cepat,
sedangkan permintaan terhadap padipadian cenderung turun.
Produksi dan Ketersediaan Pangan Ketersediaan pangan tidak identik dengan ketersediaan beras, karena ketahanan pangan tidak identik dengan swasembada beras, meskipun soko guru ketahanan pangan masih bertumpu pada swasembada beras. Secara umum, telah terjadi peningkatan produksi beberapa bahan pangan penting secara meyakinkan, seperti semua jenis bahan pangan hewani (daging sapi, daging ayam, telur, susu dan ikan) di samping sumber pangan nabati terutama jagung, ubi jalar, sayuran, dan minyak goreng sawit. Produksi beras sebagai bahan pangan utama hanya meningkat 1,14%. Sebaliknya, terjadi penurunan produksi kedelai dan gula masing-masing 0,15% dan 7,12% dalam beberapa tahun terakhir. Dalam periode 2002-2003, hampir semua komoditas pangan berada pada posisi kekurangan, kecuali ubi kayu dan minyak goreng sawit, masing-masing 527 ribu ton dan 146 ribu ton pada tahun 2003. Kekurangan terbesar ditemukan pada padi, kedelai, dan susu, masing-masing 2,05 juta ton, 3,55 juta ton, dan 1,14 juta ton. Ketimpangan neraca pangan berarti tantangan dalam penyediaan pangan ke depan akan makin berat dan kompleks. Oleh karena itu, perlu terobosan inovasi teknologi, baik secara konvensional maupun bioteknologi. lndonesia memiliki ekosistem dan sumber daya hayati yang beragam. Lahan yang dapat dikembangkan untuk pengembangan pertanian pangan masih luas. Ini tentu saja merupakan modal dasar dalam penyediaan bahan pangan ke depan.
20
Made Oka Adnyana
Distribusi Pangan Sistem informasi yang efektif dan efisien merupakan prerequisite dalam percepatan alur distribusi bahan pangan sesuai dengan kebutuhan, pada waktu yang tepat, dan pada tingkat harga yang wajar. Delineasi sistem produksi bahan pangan sesuai potensi dan keunggulan kompetitif wilayah diharapkan dapat memacu terjadinya distribusi pangan antarpulau dan dari daerah surplus ke daerah defisit. Produksi dan ketersediaan bahan pangan yang cukup belum merupakan jaminan terhadap harga yang murah. Ketersediaan sarana dan prasarana transportasi berupa alat angkut serta kondisi infrastruktur yang memadai merupakan salah satu sistem pendukung yang sangat vital bagi upaya peningkatan aksesibilitas penduduk terhadap pangan. Kelancaran distribusi akan menentukan tingkat harga yang akan dibayar oleh konsumen akhir sekaligus memperkecil ketimpangan ketersediaan pangan antarwilayah. Ke depan, investasi pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam infrastruktur merupakan tiga pilar yang kokoh untuk memperlancar distribusi bahan pangan dan stabilitas harga yang lebih terjamin.
KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN DINAMIKA KETERSEDIAAN PANGAN Kebijakan ketahanan pangan nasional dalam dua dekade pertama pemerintahan Orde Baru masih bias kepada padi, yang dimulai dengan revolusi hijau. Kebijakan yang lebih berimbang mulai digulirkan pemerintah setelah swasembada beras terwujud pada tahun 1984. Studi empiris menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah
tidak selalu berdampak positif terhadap ketahanan pangan nasional. Tidak jarang kebijakan yang diambil justru berdampak negatif. Kebijakan pemerintah yang terkait dengan dinamika ketahanan pangan antara lain adalah: (1) pemberian subsidi input produksi pertanian; (2) penetapan harga output dan pemberian kredit pertanian; (3) perbaikan sistem penyuluhan dan litbang pertanian; (4) pengembangan infrastruktur; dan (5) pengembangan industri dan tata guna lahan di wilayah urban (Adnyana et al. 2003a; Krisnamurti 2003). Dewasa ini tingkat ketersediaan beras sebagai faktor utama ketahanan pangan cukup tinggi, berkisar antara 170-180 kg/ kapita/tahun, namun ketersediaan bahan pangan bagi penduduk miskin hanya 135 kg. Sekitar 9% penduduk miskin dihadapkan pada keterbatasan pangan. Ini mencerminkan bahwa akses terhadap pangan beras belum terdistribusi dengan baik antarwilayah dan antardaerah. Dengan demikian, sistem distribusi perlu diperbaiki dalam upaya memperkokoh ketahanan pangan (Krisnamurti 2003). Pemerintah telah mensubsidi input produksi, terutama pupuk dan pestisida, dengan korbanan yang cukup besar pada APBN sampai pertengahan tahun 1980-an. Kebijakan ini berdampak sangat besar terhadap upaya peningkatan produksi pangan terutama beras dan memperkokoh ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga di pedesaan. Tercapainya swasembada beras pada tahun 1984 merupakan bukti fenomenal kebijakan pemerintah kala itu, sehingga Indonesia mendapat penghargaan dari Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dalam hal ketahanan pangan. Setelah swasembada beras tercapai, pemerintah mulai beranggapan bahwa sek-
Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan ...
tor pertanian sebagai soko guru ketahanan pangan nasional sudah cukup kokoh, sehingga tidak diperlukan lagi subsidi input produksi. Pemerintah pun mulai mencabut subsidi pupuk dan pestisida. Kebijakan ini berdampak kurang menguntungkan bagi ketahanan pangan nasional. Produksi padi dan tanaman pangan lainnya sering kali diganggu oleh hama dan penyakit, sementara subsidi pestisida telah dicabut. Pencabutan subsidi pupuk makin memperburuk upaya peningkatan produksi tanaman pangan. Dampak negatif dari pencabutan subsidi tersebut adalah makin sulitnya meningkatkan produksi dan akhirnya memperlemah kondisi ketahanan pangan nasional. Kebijakan harga dasar produksi yang ditetapkan pemerintah, terutama untuk gabah, telah memberikan jaminan bahwa petani menerima harga yang layak. Kebijakan harga dasar yang senantiasa dikoreksi dan disesuaikan dengan perkembangan pasar juga membantu petani dalam berproduksi. Kebijakan ini pun turut memperkokoh ketahanan pangan. Kebijakan di sektor permodalan melalui skim kredit pertanian juga telah mendorong petani dalam berproduksi. Hal ini terkait dengan adanya kepastian bagi petani untuk memperoleh input produksi seperti pupuk dalam jumlah, mutu, dan waktu yang tepat. Kombinasi kebijakan harga output dan penyaluran kredit murah berdampak terhadap upaya pemacuan produksi dan peningkatan ketahanan pangan, terutama di pedesaan. Perbankan yang dibangun oleh pemerintah pusat di pedesaan turut mendukung kontinuitas ketersediaan input pertanian di daerah (Adnyana et al. 2003a; Pasandaran et al. 2003). Kebijakan pemerintah di bidang penyuluhan pertanian bertujuan untuk me-
21
ningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani dalam memanfaatkan teknologi yang terus berkembang. Dalam tiga dekade pemerintahan Orde Baru, sistem penyuluhan pertanian tersentralisasi di pusat. Penyuluh adalah pegawai pusat dan pengelolaannya pun terpusat. Berbagai metode penyuluhan seperti latihan dan kunjungan cukup efektif, terutama di wilayahwilayah dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Sistem penyuluhan ini telah terbukti dapat mempercepat proses alih teknologi. Kelembagaan penyuluhan yang dibangun pemerintah pusat sampai tingkat kecamatan, seperti Balai Penyuluhan Pertanian, telah menjadi ajang komunikasi bagi petani. Era reformasi membawa perubahan mendasar dalam sistem penyuluhan pertanian. Penyuluhan tidak lagi ditata di pusat, tetapi didesentralisasikan ke daerah. Hal ini ternyata memperlemah keberadaan lembaga dan dinamika kegiatan penyuluhan (Adnyana et al. 2003a), padahal penyuluhan merupakan ujung tombak dalam proses alih teknologi. Dampak nyata dari perubahan sistem penyuluhan di era reformasi adalah melambatnya proses adopsi dan difusi teknologi. Baik langsung maupun tidak langsung, kondisi ini berdampak terhadap upaya peningkatan produksi pertanian, sehingga tidak tertutup kemungkinan melemahnya katahanan pangan nasional. Di sisi lain, perakitan dan pengembangan teknologi pertanian dikelola oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menyediakan teknologi maju yang terjangkau oleh petani. Konsekuensinya, pemerintah mengalokasikan anggaran yang cukup besar bagi lembaga litbang pertanian di pusat untuk menghasilkan teknologi yang akan dikembangkan petani. Kenyataannya, teknologi yang
22
dihasilkan oleh lembaga litbang pertanian berperan nyata dalam pencapaian swasembada beras dan memperkokoh ketahanan pangan (Pasandaran et al. 2003). Introduksi varietas Ciherang, Memberamo, dan varietas unggul baru lainnya melalui program SUTPA telah mulai menggeser areal tanam varietas IR64 yang disukai oleh sebagian petani karena berdaya hasil tinggi, rasa enak, dan harganya stabil. Menurut data Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan tahun 2004, adopsi varietas unggul baru oleh petani telah memberikan nilai tambah ekonomi yang cukup signifikan, yaitu Rp1,02 triliun per tahun. Pengembangan jagung hibrida dan varietas unggul baru seperti Bisma dan Sukmaraga juga telah memberikan nilai tambah Rp276 miliar per tahun. Pembentukan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di masing-masing provinsi turut berperan nyata dalam mengatasi kebekuan sistem penyuluhan yang terdesentralisasi. Walaupun masih relatif muda, keberadaan BPTP yang bekerja sama dengan lembaga penyuluhan yang ada di daerah cukup membantu dalam mempercepat proses adopsi dan difusi teknologi (Adnyana et al. 2002). Pembangunan infrastruktur pertanian, terutama bendungan dan jaringan irigasi, yang menelan biaya sangat besar dimaksudkan untuk menyediakan air yang cukup dan berkualitas bagi pertanaman. Kebijakan ini juga berdampak luas terhadap upaya peningkatan produksi pertanian. Pasokan air terjamin sehingga penerapan teknologi dapat lebih intensif. Pada usaha tani berbasis padi, pembangunan jaringan irigasi telah meningkatkan indeks pertanaman dua kali lipat. Setelah swasembada beras tercapai, alokasi sumber daya untuk infrastruktur mulai dikurangi. Di sisi lain, persaingan
Made Oka Adnyana
penggunaan air irigasi dengan sektor nonpertanian mulai meningkat, sehingga pasokan air untuk sawah sering terganggu. Dalam era otonomi daerah, sistem irigasi yang terdesentralisasi sering menimbulkan konflik kepentingan, baik antardaerah maupun antarsektor pertanian dan nonpertanian. Kondisi seperti ini dapat mempengaruhi keberlanjutan ketahanan pangan nasional ke depan (Adnyana et al. 2003a; Krisnamurti 2003). Alih fungsi lahan subur ke sektor nonpertanian merupakan salah satu dampak negatif kebijakan pemerintah dalam memacu laju pertumbuhan sektor industri. Meskipun kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan penduduk, luas lahan yang baru dibuka belum sebanding dengan lahan yang telah beralih fungsi. Produktivitas lahan bukaan baru yang umumnya terdapat di luar Jawa jauh lebih rendah dibandingkan dengan lahan sawah irigasi di Jawa. Meningkatkan stabilitas lahan bukaan baru membutuhkan waktu cukup lama (Adnyana et al. 2003a; Pasandaran et al. 2003).
KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA TANI DAN KETAHANAN PANGAN DI PERSIMPANGAN JALAN Jumlah petani miskin, penggarap, dan buruh tani makin meningkat, terutama di lahan sawah irigasi. Petani yang memiliki lahan usaha kurang dari 0,3 ha dan mempunyai empat anggota keluarga tentu sulit meningkatkan pendapatan jika hanya mengandalkan usaha on-farm yang pada umumnya monokultur. Berbagai program telah dicanangkan pemerintah, namun keberpihakan kepada kelompok miskin
Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan ...
belum maksimal, bahkan jumlah mereka terus bertambah. Sudah cukup banyak teknologi maju yang telah diintroduksikan bagi kelompok yang termarginalkan ini, namun bersifat netral karena belum mampu melakukan perubahan dalam struktur pendapatan maupun pengeluaran pangan dan nonpangan. Pengeluaran sebagai salah satu indikator kesejahteraan hanya bergerak paralel. Artinya, sentuhan teknologi tidak nyata meningkatkan pendapatan dari usaha on-farm monokultur tanaman pangan, sehingga tidak nyata pula dampaknya terhadap struktur pengeluaran rumah tangga tani miskin. Dewasa ini laju konversi dan fragmentasi lahan seakan tidak dapat dibendung, sehingga petani makin terperangkap di jurang kemiskinan (poverty trap). Berbeda dengan petani tanaman pangan berlahan sempit, petani sayuran atau petani tanaman buah semusim mampu menopang kehidupan keluarganya. Hasil penelitian di Cipanas dan Lembang Jawa Barat menunjukkan, usaha perbenihan sayuran pada lahan yang hanya seluas 1.500-2.000 m2 mampu memberikan pendapatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan usaha tanaman pangan di lahan sawah irigasi. Tanaman sayuran dapat diusahakan 5-6 kali dalam setahun, sedangkan tanaman padi hanya dua kali setahun.
Membedah Perangkap Kemiskinan Penduduk Indonesia yang telah mencapai sekitar 215 juta jiwa pada tahun 2004, hanya mengandalkan lahan 7,8 juta ha untuk produksi pangan. Lahan itu menjadi gantungan hidup petani yang mayori-
23
tas buruh tani dan petani gurem yang jumlahnya sekitar 20 juta rumah tangga. Ketersediaan lahan per kapita (landman ratio) menjadi kriteria penting tingkat ketahanan pangan nasional. Indonesia memiliki land-man ratio hanya 362 m2 per kapita, sedangkan Thailand sekitar 1.870 m2 per kapita, dan Vietnam 1.300 m2 per kapita. Indonesia ternyata memiliki lahan pertanian per kapita terkecil di antara negara agraris di dunia. Kondisi ini sungguh sangat ironis, mengingat sumber daya lahan yang begitu berlimpah di bumi Indonesia. Kemiskinan petani di Indonesia antara lain bisa dilihat dari peningkatan jumlah petani gurem. Hasil sementara Sensus Pertanian 2003 menunjukkan, persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan meningkat dari 52,7% pada tahun 1993 menjadi 56,5% pada tahun 2003. Petani gurem yang sebelumnya berjumlah sekitar 10,8 juta rumah tangga pada tahun 1993, menjadi 13,7 juta pada tahun 2003. Selama 10 tahun terakhir, jumlah rumah tangga petani gurem meningkat 2,6% per tahun yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha. Menurut data BPS, persentase petani gurem di Jawa mencapai 69,8% pada tahun 1993 dan melaju cepat menjadi 74,9% pada tahun 2003 atau bertambah sekitar 1,92 juta rumah tangga. Di luar Jawa, persentasenya sebesar 30,6%. Hal ini menunjukkan laju pertumbuhan rumah tangga petani gurem di Jawa lebih cepat daripada di luar Jawa. Dalam 10 tahun ini, yang terjadi adalah proses pemiskinan kehidupan petani yang makin terpuruk. Pertambahan jumlah petani gurem berkaitan dengan terjadinya ketimpangan dalam struktur penguasaan lahan. Hal itu tampak pada fakta makin mengecilnya ratarata penguasaan lahan pertanian per rumah
24
tangga petani, dari 0,93 ha pada tahun 1983 menjadi 0,83 ha pada tahun 1993. Di luar Jawa, rata-rata penguasaan lahan menurun dari 1,38 ha menjadi 1,19 ha, dan di Jawa menurun dari 0,58 ha menjadi 0,47 ha, dan sekarang diperkirakan 0,3 ha. Sekitar 43% rumah tangga petani merupakan kelompok tunakisma atau petani yang memiliki lahan pertanian kurang dari 0,1 ha. Sebagai ilustrasi, Pak Sucipto, seorang petani miskin pada agroekosistem lahan tadah hujan di Jakenan, Jawa Tengah, hanya mampu memperoleh 1,25 ton gabah dari usaha tani padi di lahan miliknya yang hanya 0,3 ha. Beliau harus pandai-pandai mengelola hasil usaha taninya itu agar kebutuhan hidup anggota keluarganya dapat terpenuhi. Dari tahun ke tahun, Pak Sucipto tetap berkutat dengan kondisi subsisten, sehingga kondisi ekonomi rumah tangganya makin lemah karena banyaknya mulut yang harus diberi makan karena bertambahnya jumlah anggota keluarga (Cantrell 2004). Di Indonesia, banyak petani seperti Pak Sucipto, baik pada agroekosistem lahan tadah hujan, lahan irigasi maupun lahan kering. Selangkah lagi mereka akan masuk ke jurang kemiskinan permanen (permanent poverty trap) jika tidak dicarikan jalan tembus pemecahan masalahnya. Itulah sekelumit kisah yang mengungkap kemiskinan dan ketimpangan ekonomi petani. Ketimpangan ekonomi petani tanaman pangan dengan petani hortikultura cukup lebar. Data time series Susenas periode 1996-2002 menunjukkan bahwa permintaan konsumen terhadap high value food tumbuh cepat, sedangkan permintaan terhadap bahan pangan yang bersumber dari aneka biji mengalami stagnasi. Data Sensus Pertanian 2003 juga menunjukkan bahwa pertumbuhan usaha tani yang cukup pesat di Indonesia adalah dari
Made Oka Adnyana
subsektor hortikultura. Jumlah petani hortikultura pun meningkat tajam, yaitu dari 23% pada tahun 1993 menjadi 36% pada tahun 2003, dari total petani. Sebaliknya, jumlah rumah tangga tani padi dan palawija menurun dari 84% pada tahun 1993 menjadi 71% pada tahun 2003 (Rosner 2004). Data ini menunjukkan adanya pergerakan yang berlawanan arah antara petani padi dan palawija dengan petani hortikultura. Masalah kesenjangan kesejahteraan antara petani nontanaman pangan dan petani tanaman pangan tentu perlu dipecahkan secara holistik, terintegrasi, spesifik lokasi, dan dinamis. Holistik artinya secara biofisik dan sosial-ekonomi, mulai dari input produksi, on-farm, hingga pengolahan hasil dan pemasaran. Terintegrasi artinya menggali seluruh sumber pertumbuhan pendapatan petani dengan memanfaatkan aspek integrasi, yaitu: (1) integrasi horizontal melalui penganekaragaman komoditas untuk memperluas sumber pendapatan; (2) integrasi vertikal dengan sasaran penciptaan nilai tambah di tingkat petani melalui pengembangan agroindustri pedesaan; (3) integrasi kelembagaan melalui partisipasi yang serasi dan saling membutuhkan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat; dan (4) integrasi regional, artinya masing-masing wilayah memanfaatkan keunggulan komparatif dan kompetitif dalam mengusahakan komoditas unggulan. Menurut Timer (2003), perlu adanya sistem pertanian yang dinamis, bergantung pada diversifikasi komoditas yang memiliki prospek pasar yang lebih menguntungkan dengan mengintegrasikan buah-buahan, sayuran, dan ternak. Oleh karena itu, sistem usaha tani padi harus makin efisien, sehingga sumber daya yang dihemat dapat digunakan oleh Pak Sucipto dan kawan-kawan untuk melakukan di-
Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan ...
versifikasi usaha tani. Jika memungkinkan, sumber daya yang dihemat tersebut dimanfaatkan untuk usaha nonpertanian, sehingga mereka keluar dari perangkap kemiskinan.
DAMPAK DAN TANTANGAN DALAM ERA PERDAGANGAN BEBAS Dalam era perdagangan bebas, persaingan antarnegara dalam memasarkan produk-produk pertaniannya makin ketat. Daya saing komoditas pangan tidak hanya ditentukan oleh kemampuan berproduksi, tetapi juga bergantung pada sistem distribusi dan harga di tingkat konsumen. Jepang, misalnya, mengimpor 60% kalori dari total kebutuhan, namun ketahanan pangan nasionalnya tidak bermasalah karena perekonomian negara ini sudah mapan dan bahkan terkuat di dunia. Di sisi lain, India mengalami surplus produksi beras, gandum, dan merupakan salah satu negara eksportir beras terbesar di dunia, tetapi 2030% penduduknya kekurangan gizi dan hampir 50% anak-anak India mengalami malnutrisi. Biaya produksi padi di Jepang adalah yang tertinggi di dunia, yaitu 0,36 dolar AS/kg atau Rp3.318/kg. Berbeda dengan di Jepang, biaya produksi padi di Vietnam paling rendah, hanya 3 sen dolar AS atau Rp256/kg. Di Indonesia, biaya produksi padi termasuk murah, yaitu Rp271/kg, tetapi lebih tinggi dari Vietnam dengan indeks 105,4%. Dibandingkan dengan Indonesia, biaya produksi padi di Thailand, Korea, dan Jepang tidak efisien dengan indeks masing-masing 147,9%, 354,6%, dan 1.224,5% (Hossain 2004b). Dilihat dari biaya produksi padi dan indeks efisiensi maka posisi pangan Indonesia cukup aman.
25
Implikasinya, keunggulan komparatif produksi beras akan makin bergeser ke negara sedang berkembang dengan pendapatan per kapita rendah, termasuk Indonesia. Dalam era perdagangan bebas, hanya negara yang memiliki sumber daya lahan yang luas yang akan mampu mempertahankan keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas pangan. Indonesia tidak perlu khawatir akan ketahanan pangan karena memiliki sumber daya lahan yang melimpah. Masalahnya, bagaimana sumber daya tersebut dapat dikelola secara efisien dan berkelanjutan, sekaligus membuka lahan baru untuk meningkatkan land-man ratio yang masih sangat rendah (362 m2 per kapita). Negara-negara sedang berkembang dan pengimpor bahan pangan termasuk Indonesia akan makin kompetitif, karena pendapatan terhadap biaya tetap seperti lahan, alat dan mesin, maupun investasi untuk infrastruktur lebih kompetitif dibandingkan dengan negara-negara maju. Namun demikian, Indonesia tetap perlu berhati-hati karena angka kemiskinan dapat meningkat, bergantung pada kebijakan yang diambil, sejauh mana keberpihakan kebijakan tersebut terhadap petani produsen dan penduduk miskin. Dengan biaya produksi yang sangat tinggi, industri perberasan di negaranegara maju seperti Jepang, Korea, Amerika Serikat, dan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) akan sulit bersaing dengan negara-negara sedang berkembang. Dengan demikian, Indonesia dan negaranegara sedang berkembang lainnya memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang cukup kuat. Kondisi ini tentu perlu dipertahankan dan sekaligus diproteksi secara bijaksana. Di Indonesia, alasan yang mendasari pemerintah untuk tetap melakukan inter-
26
vensi dalam pengadaan bahan pangan khususnya beras adalah: (1) fluktuasi harga beras secara tidak langsung dapat mempengaruhi perkembangan sektor lain, terutama dalam akumulasi kapital maupun keuntungan yang diperoleh; (2) impor menyedot devisa cukup besar; (3) ekonomi beras selalu memiliki lobi politik yang cukup kuat; dan (4) swasembada beras berbanding lurus dengan ketahanan pangan, baik di tingkat rumah tangga maupun nasional. Bentuk intervensi yang diharapkan dapat memperkuat ketersediaan beras sebagai soko guru ketahanan pangan antara lain adalah: (1) pengendalian perdagangan beras; (2) kuota bagi importir swasta dan tarif; (3) perlindungan harga terhadap petani untuk meningkatkan pendapatan sekaligus memperkokoh swasembada pangan di tingkat rumah tangga tani; (4) subsidi terhadap harga pupuk dan pengelolaan irigasi mengingat negara-negara maju tetap mensubsidi sistem produksi pertaniannya; (5) perlindungan terhadap pendapatan usaha tani berbasis padi melalui pembayaran langsung gabah terutama pada musim panen raya; (6) pengembalian peran Bulog sebagai monopolis pengadaan beras; dan (7) subsidi ekspor pada periode tertentu pada saat Indonesia sebagai pengekspor beras. Menurut data FAO tahun 2001, tarif impor beras yang diberlakukan pemerintah hanya 50 dolar AS per ton, lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara importir lain seperti Sri Lanka, MEE, dan Jepang dengan tarif masing-masing 93 dolar, 574 dolar, dan 2.800 dolar AS/ton. Secara relatif, Bangladesh memberlakukan tarif hanya 27 ad-valorem, lebih rendah dibandingkan dengan Filipina, Cina, Turki, dan India, masing-masing 50, 65, 46, dan 70 ad-valorem. Kebijakan tarif memang
Made Oka Adnyana
harus dilakukan secara hati-hati dan bijaksana, mengingat: (1) pengendalian tarif oleh WTO beralih dari kualitatif ke kuantitatif; (2) penurunan secara bertahap tarif dan subsidi ekspor; (3) akses terhadap impor makin bersaing karena keterbatasan stok beras di pasar internasional; dan (4) bantuan langsung kepada petani pada dasarnya tidak mendistorsi perdagangan. Pada kondisi seperti di atas, Indonesia sebagai salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia tampaknya harus tetap mempertahankan laju pertumbuhan produksi domestik pada kapasitas yang aman. Impor beras sebesar 5% dari kebutuhan total masih termasuk batas aman. Untuk mempertahankan produksi beras domestik minimal 95% dari kebutuhan total, pemerintah perlu mengendalikan perdagangan eksternal agar mampu memberikan insentif harga bagi petani berbasis padi. Harga gabah maupun beras domestik dapat dikendalikan dengan memberlakukan variable tariff terhadap pelaku perdagangan eksternal, bergantung pada perkembangan produksi domestik dan harga di tingkat perdagangan internasional. Di sisi lain, strategi dan program penelitian sebaiknya memberikan prioritas yang lebih tinggi kepada peningkatan mutu produksi, penekanan senjang hasil, dan pengelolaan tanaman secara terpadu guna menekan biaya produksi. Thailand sering kali menjadi acuan dalam masalah perberasan dunia. Kemampuan negara ini dalam memenuhi permintaan pasar sangat berkorelasi dengan standar mutu yang berkembang. Di Thailand dikenal dua jenis beras yang dominan, yaitu beras aromatik atau jasmine rice (fragrant rice/hom malt) dan beras putih nonaromatik (Thai Long Grain White Rice/ TWR). Jasmine rice harus berasal dari varietas yang aromatik. Untuk keperluan eks-
Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan ...
por, kemurnian jasmine rice tidak boleh kurang dari 92% atau diperbolehkan campuran varietas lain maksimum 8%. Ketentuan lainnya mengikuti persyaratan yang ditetapkan pada beras biasa (Anonim 2002). Di Indonesia, studi komprehensif yang terkait dengan nilai tambah ekonomi, peningkatan kualitas beras, pilihan dan selera konsumen, serta aspek sosial-ekonomi lainnya relatif terbatas. Beberapa studi tentang selera konsumen menunjukkan bahwa masyarakat Jawa umumnya memilih beras bertekstur nasi pulen. Di Sumatera Utara dan beberapa daerah lain di Indonesia, konsumen lebih menyukai beras bertekstur pera. Tenaga kasar, buruh tani, dan buruh bangunan umumnya tidak peduli dengan rasa dan tekstur nasi (pulen atau pera). Bagi mereka, yang penting adalah beras yang menghasilkan nasi dengan volume mengembang. Alasan utama mereka, nasi dengan volume mengembang yang tinggi akan menghasilkan energi yang lebih besar untuk mendukung kegiatan yang memerlukan tenaga besar. Konsumen di Jawa bersedia membeli lebih mahal beras dengan penampakan yang menarik, seperti bening dan mengkilap. Namun, ukuran dan bentuk beras tidak memberikan nilai tambah ekonomi bagi pedagang beras di Jawa pada umumnya. Beras lokal varietas Cianjur di Jawa Barat, Rojo Lele di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Hijau Gading di Bali, Ampat Angkat dan beras Solok di Sumatera Barat memperoleh nilai tambah ekonomi yang lebih tinggi bila kualitasnya ditingkatkan dibandingkan dengan beras varietas unggul. Hal ini karena beras varietas unggul umumnya tidak aromatik. Beras varietas lokal umumnya beraroma wangi sehingga disukai oleh konsumen meskipun harganya lebih mahal. Harga beras varietas lokal aromatik bisa mencapai Rp5000/kg atau 1,5 kali lipat be-
27
ras varietas unggul biasa. Bahkan harga beras impor dari Thailand ada yang mencapai dua kali lipat. Beras varietas Basmati dengan kandungan glukosa rendah yang sesuai untuk penderita diabetes harganya mencapai Rp6.000/kg. Hal ini mencerminkan betapa pentingnya kualitas beras yang merupakan transmisi dari sifat fisikokimia beras terhadap nilai tambah ekonomi (Adnyana et al. 2004). Beberapa varietas unggul baru seperti IR64, Cisadane, dan Pelita yang dilepas pada tahun 1980-an serta Ciherang yang dilepas pada tahun 1998 sebenarnya telah mampu mengimbangi beras aromatik, namun nilai tambah ekonominya belum mampu menyamai beras lokal atau beras impor dari Thailand. Di sisi lain, belum ada insentif yang memadai bagi petani yang melakukan upaya untuk meningkatkan mutu beras, sehingga petani belum tertarik untuk melakukan kegiatan tersebut.
LlNTASAN JALAN, PELUANG, DAN TANTANGAN PENINGKATAN PRODUKSI PANGAN Lebih dari satu abad yang lalu, Maltus, seorang pemikir tingkat dunia, memprediksi akan terjadi bahaya kelaparan karena tidak seimbangnya kemampuan lahan untuk menyediakan pangan dengan laju pertumbuhan penduduk. Prediksi itu ternyata keliru. Melalui revolusi hijau telah terjadi peningkatan produksi padi secara dramatis. Pertumbuhan pasokan bahan pangan telah melampaui pertumbuhan penduduk secara meyakinkan. Revolusi hijau adalah pengejawantahan dari kemajuan ilmu pengetahuan di bidang pemuliaan tanaman. Gagasan revolusi hijau sebenarnya dimulai oleh Nor-
28
man Borlaug, peneliti dari Amerika Serikat yang bekerja di Meksiko. Pada tahun 1960an, Borlaug merakit jenis gandum yang responsif terhadap pupuk namun hasilnya belum memuaskan. Kemudian Borlaug menyilangkan varietas gandum lokal Meksiko dengan varietas asal Jepang yang pendek (dwarf) untuk menghasilkan tanaman yang dapat memanfaatkan pupuk lebih efisien. Varietas gandum temuannya kala itu mampu mengatasi kelaparan di negaranegara sedang berkembang pada tahun 1960-an. Varietas gandum ajaib tersebut dikembangkan secara luas oleh petani Meksiko, India, dan Pakistan. Pada tahun 1970, Borlaug menerima hadiah Nobel di bidang pangan. Keberhasilan Borlaug dalam merakit varietas gandum menarik perhatian para pemulia di International Rice Research Institute (lRRI) yang kemudian berhasil pula menciptakan padi ajaib IR5 dan IR8. Inilah tonggak sejarah revolusi hijau. Terlepas dari keragu-raguan berbagai pihak, tidak dapat dipungkiri bahwa revolusi hijau telah memainkan peranan sangat vital dalam mengatasi kelaparan di berbagai negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu kritik adalah revolusi hijau terlalu bergantung pada input tinggi, khususnya pupuk. Kritikan lainnya, revolusi hijau telah memusnahkan sebagian keanekaragaman hayati. Namun, revolusi hijau merupakan terobosan yang telah memberikan sumbangan nyata bagi ketahanan pangan nasional. Di Indonesia, peningkatan produksi padi nasional tentu tidak dapat dipisahkan dari pengembangan ilmu pemuliaan tanaman dalam menghasilkan varietas unggul. Dr. Zainuddin Harahap (almarhum), pemulia andal Badan Litbang Pertanian, telah menghasilkan berbagai varietas unggul padi, seperti Ciliwung,
Made Oka Adnyana
Cisadane, Memberamo, dan Maros yang sampai sekarang masih ditanam petani. Dr. Harahap tidak hanya profesional di bidang pemuliaan tanaman, tetapi juga mampu meyakinkan berbagai pihak untuk mengembangkan varietas unggul padi Badan Litbang Pertanian. Oleh karena itu, pemerintah seyogianya memberikan penghargaan yang tinggi kepada beliau yang turut berperan dalam pencapaian swasembada beras. Ke depan, upaya perbaikan genetik tanaman pangan perlu diteruskan untuk menghasilkan varietas unggul yang mampu berproduksi lebih tinggi, baik kuantitas maupun kualitas. Pengembangan varietas unggul padi ideal yang didukung oleh inovasi model pengelolaan tanaman terpadu diharapkan mampu meningkatkan produksi padi nasional guna memenuhi kebutuhan pangan. Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam penyediaan pangan ke depan antara lain adalah jumlah penduduk yang terus bertambah, yang pada tahun 2030 diperkirakan akan mencapai 278 juta jiwa. Tantangan yang lebih besar adalah pertumbuhan pendapatan serta perubahan preferensi dan pola hidup masyarakat. Pertumbuhan pendapatan akan mendorong perubahan pola konsumsi yang lebih beragam dan lebih bergantung pada produk peternakan dan hortikultura. Dampaknya, permintaan turunan (derived demand) terhadap bahan baku pakan seperti jagung, kedelai, dan ubi kayu akan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan permintaan bahan pangan seperti beras. Tanpa upaya peningkatan produktivitas secara berkelanjutan, pertumbuhan permintaan yang pesat tcrhadap produk peternakan akan mendorong lebih banyak lahan yang harus dibuka untuk meningkatkan produksi.
Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan ...
Revolusi Hijau Lestari: Prospek dan Tantangan Alice seorang gadis kecil, tokoh dalam novel Lewis Carroll yang berjudul Lost in the Wonderland kebingungan di persimpangan jalan. Ia kemudian bertemu dengan seekor kucing yang berkata: “If you do not know where you want to go, then it does not matter which road you take”. “You are sure to get somewhere, if only you walk long enough. But let us be aware that time is short”. Di balik kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, masa depan ketahanan pangan masih dipertanyakan karena berada di persimpangan jalan, sedangkan waktu terus bergulir. Ketika berada di persimpangan jalan, tentu harus segera menentukan sikap dan perlu berhati-hati dalam memilih jalan yang akan ditempuh. Millennium Development Goals (MDGs) telah memberikan arahan yang lebih jelas tentang perang melawan kelaparan dan kemiskinan. Sektor pertanian di awal milenium ketiga dituntut untuk mampu memproduksi pangan dalam jumlah yang cukup guna mengimbangi laju urbanisasi dengan pola konsumsi yang mengarah ke produk peternakan, perikanan, sayuran, dan buahbuahan. Upaya ini tentu sama pentingnya dengan upaya pengentasan kelaparan melalui penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan melalui berbagai sumber pertumbuhan. Kini sudah saatnya melangkahkan kaki ke dunia revolusi hijau lestari (evergreen revolution) atau revolusi hijau kedua, yang diharapkan memberikan arti tersendiri dalam sejarah pembangunan pertanian ke depan. Gagasan ini dilontarkan oleh M.S
29
Swaminathan, ilmuwan India penerima World Food Prize dan driving force di belakang revolusi hijau pertama. Revolusi hijau lestari diyakini dapat memberikan ruang yang lebih luas kepada kelompok miskin untuk memperbaiki taraf hidupnya, karena lebih mengutamakan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai instrumen (Swaminathan dalam FAO 2003a). Dalam upaya peningkatan produktivitas tanaman pangan, pengembangan genomik dan bioteknologi tampaknya merupakan pilihan yang bijaksana di samping perluasan areal tanam. Bagi negara sedang berkembang termasuk Indonesia, bioteknologi adalah kebutuhan (Datta 2004). Namun, pengembangan bioteknologi perlu difokuskan kepada petani kecil dengan melibatkan lembaga penelitian swasta yang sudah mapan (Conway and Toenniessen 1999; Beachy 2003). Dengan demikian diperlukan sosialisasi dan advokasi untuk lebih meningkatkan kerja sama antara lembaga penelitian pemerintah dan swasta yang lebih mengarah pada penyediaan pengetahuan dan teknologi yang paling tepat bagi petani miskin (Cantrell and Reeves 2002). Peranan bioteknologi ke depan diharapkan tidak hanya mampu meningkatkan hasil tanaman maupun ternak, tetapi juga meningkatkan kualitas bahan pangan dan menawarkan produk-produk pertanian baru seperti beras berkadar besi tinggi, vaksin hepatitis pada pisang, aneka sayuran yang mampu menekan dampak negatif kolesterol, atau antioksidan yang mampu menekan penyakit liver dan kanker, hewan transgenik yang menghasilkan terapi untuk protein manusia yang terkandung dalam susu, atau vaksin hewan transgenik untuk melawan penyakit penebalan tulang atau demam pada babi (Fresco
30
2003). Bioteknologi membuka peluang bagi pemecahan masalah pertanian apabila teknologi konvensional tidak lagi mampu diperankan karena keterbatasannya. Di balik harapan itu, sebagian kalangan meragukan peranan bioteknologi yang dicurigai dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti: (1) merusak lingkungan dan kesehatan manusia; (2) merusak etika dan perasaan bagi yang sulit menerima bahwa kehidupan telah mengalami evolusi; (3) belum ada keberpihakan kepada negara miskin, petani miskin, dan konsumen miskin; dan (4) masalah demografi, siapa yang menentukan where to go dalam pengembangan penelitian ilmiah dan pengembangan teknologi yang mengarah kepada siapa mengabaikan siapa (Fresco 2003). Sementara itu, ada argumen kuat yang menyatakan penggunaan genetically modified organism (GMO) memberikan berbagai manfaat bagi pembangunan pertanian, antara lain dalam peningkatan produktivitas, kelestarian lingkungan, dan kesehatan. Dalam hal peningkatan produktivitas, manfaat bioteknologi antara lain adalah: (1) tanaman lebih tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik, seperti ledakan organisme pengganggu tanaman dan kekeringan; (2) bahan pangan lebih bergizi; dan (3) ternak lebih produktif menghasilkan susu dan kandungan lemak yang lebih rendah. Dalam hal kelestarian lingkungan, manfaatnya adalah: (1) penyediaan pangan dapat diupayakan pada areal terbatas (more food from less land) sehingga petani tidak perlu membuka lahan secara lebih luas; (2) menekan dampak negatif produk pangan dan agroindustri; (3) rehabilitasi lahan yang telah rusak dan kurang subur; (4) bioremedi melalui persilangan organisme dalam tanah sehingga mampu menyimpan hara yang bermanfaat bagi tanaman dan
Made Oka Adnyana
membenahi struktur tanah; (5) daya simpan produk lebih lama terutama sayuran dan buah-buahan sehingga tingkat kerusakan dapat ditekan; dan (6) biofuel untuk energi. Dalam hal kesehatan antara lain adalah: (1) investigasi penyakit melalui genetic finger printing; (2) pembuatan vaksin dan obat; dan (3) identifikasi gen penyebab alergi (FAO 2003b). Dibandingkan dengan revolusi hijau pertama, apakah sesungguhnya yang baru dalam revolusi hijau lestari? Sasaran revolusi hijau pertama adalah pemecahan masalah kelangkaan bahan pangan melalui pengembangan varietas unggul baru secara besar-besaran. Pada revolusi hijau lestari, sasaran mencakup: (1) seluruh aspek agroekonomi mulai dari hulu, petani (on-farm dan off-farm) sampai pada konsumen akhir; (2) pemanfaatan kemajuan informasi teknologi dan bioteknologi; (3) sistem irigasi yang efisien, pestisida yang ramah lingkungan, precision agriculture; dan (4) pemasaran, agroindustri, dan pengembangan infrastruktur pedesaan (Ghose 2004). Dalam implementasinya, komponen revolusi hijau lestari mencakup: (1) pengembangan intensifikasi tanaman secara massive dan meluas; (2) diversifikasi tanaman (multicropping) termasuk integrasi ternak, dan peningkatan hasil mendekati potensi genetik tanaman; (3) penciptaan nilai tambah di tingkat petani; (4) penyusunan rencana kinerja tahunan di bidang produksi pangan bagi tiap desa; (5) revitalisasi kelembagaan petani dan penyuluhan; dan (6) pemberian penghargaan dari pemerintah kepada petani yang berprestasi. Beberapa negara di Asia lebih maju penyikapannya terhadap revolusi hijau lestari. India, misalnya, telah mengadopsi revolusi hijau lestari dengan target sebagai
Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan ...
pabrik pangan dunia, Thailand dengan target sebagai dapur pangan dunia mulai 2010, dan Malaysia dengan target sebagai pusat pengembangan makanan halal dunia. Bagaimana Indonesia? Dapatkah kita berperan sebagai dapur pangan sehat dunia? Revolusi hijau lestari memang merupakan salah satu jalan (path-way) menuju swasembada pangan terlanjutkan. Namun, tetap akan sulit mengimbangi perkembangan konsumsi pangan tanpa upaya lain seperti menekan laju pertumbuhan penduduk melalui program keluarga berencana, sebagaimana yang diperingatkan oleh Norman Borlaug. Penurunan muka air tanah tampaknya akan menjadi tantangan besar dalam revolusi hijau kedua. Kalau permukaan air lanah dieksploitasi secara berlebihan pada “hari ini” untuk berproduksi maka sistem produksi pangan di “hari esok” tentu akan rusak. Berbeda dengan bahan bakar, air tidak bisa diperoleh dari sumber yang lain (Brown 2005). Selama ini keterbatasan lahan menjadi kendala dalam pengadaan produksi pangan. Ke depan, faktor penentu keberlanjutan produksi pangan adalah makin langkanya sumber daya air. Peningkatan suhu bumi juga akan menjadi kendala yang tidak kalah pentingnya. Setiap 1oC peningkatan temperatur selama musim tanam gandum, padi, dan jagung, misalnya, akan menurunkan produksi sebesar 10%. Sejak tahun 1970-an, peningkatan suhu bumi rata-rata 0,7oC. Dalam abad ini, suhu bumi diperkirakan meningkat menjadi 1,4-5,8oC (Brown 2005). Perubahan alam yang telah terjadi dapat dirasakan dari: (1) makin sulitnya menyediakan air bagi pengembangan perikanan darat; (2) makin menciutnya hutan dan makin bertambahnya lahan semak-
31
semak; (3) meningkatnya kadar CO2 di udara dan makin meningkatnya suhu bumi; (4) erosi tanah dan punahnya berbagai spesies; (5) naiknya permukaan air laut dan makin banyak sungai yang kering pada musim kemarau; serta (6) makin terbatasnya lahan penggembalaan ternak. Semua indikator lingkungan ini akan sangat mempengaruhi upaya peningkatan produksi bagi ketahanan pangan. Dengan demikian, ketahanan pangan akan menjadi isu yang makin rumit dalam era revolusi hijau lestari (revolusi hijau kedua) dibandingkan dengan revolusi hijau pertama. Kebijakan pada sektor energi tampaknya akan makin besar pengaruhnya terhadap ketahanan pangan daripada kebijakan di sektor pertanian. Demikian pula kebijakan pemerintah yang terkait dengan air akan makin besar dampaknya terhadap produksi dan harga pangan. Akhirnya, kebijakan di bidang pangan akan menjadi kebijakan pemerintah yang bersifat lintas sektoral. Namun demikian, setidaknya terdapat empat langkah yang perlu dipertimbangkan dalam mendukung upaya pemantapan ketahanan pangan melalui revolusi hijau kedua, yaitu: (1) gerakan nasional untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan produktivitas air; (2) menekan emisi gas karbon; (3) mengendalikan pertumbuhan penduduk; dan (4) menerapkan teknologi di luar kemampuan teknologi konvensional yang selama ini mendominasi upaya produksi pangan.
Kontrak Sosial Peningkatan IImu Pengetahuan Petani Ke depan, penerapan bioteknologi di bidang pangan merupakan kebutuhan semua pihak, baik petani produsen maupun
32
konsumen, pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat lainnya, meskipun masingmasing memberikan pandangan yang berbeda. Alice dalam Fresco (2003) menyatakan sebagai berikut: “If everybody minded their own business, the world would go round a deal faster than it does, which would not be an advantage”. Sekarang banyak pihak yang cenderung mempertahankan pandangan masing-masing. Ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi Indonesia. Oleh karena itu, pandangan yang beraneka ragam terhadap pemanfaatan bioteknologi dalam produksi pangan hanya dapat diharmonisasi melalui akses yang seluas-luasnya terhadap informasi, dialog dan transparansi dalam pengambilan kebijakan. Tampaknya belum ditemukan jalan tembus untuk membangun kredibilitas, penerimaan, dan pencitraan publik terhadap penerapan bioteknologi pertanian di bidang pangan. Diperlukan kontrak sosial yang terkait dengan kemajuan penerapan bioteknologi pertanian. Hal ini terinspirasi dari Rousseau dalam Fresco (2003) dengan kontrak sosialnya yang diperkenalkan bagi para pengemban kepentingan (stakeholders). Tiga prinsip dalam kontrak tersebut adalah: (1) terjamin dan terbukanya dialog antarpengemban kepentingan tentang manfaat dan bahaya bioteknologi yang barangkali akan menghasilkan keragaman alternatif peta jalan (roadmap) daripada keseragaman; (2) penelitian secara langsung oleh lembaga penelitian publik maupun swasta guna menjawab tantangan kunci yang terkait dengan dampak bioteknologi; dan (3) terjaminnya akses petani miskin, negara miskin maupun negara sedang berkembang terhadap sumber daya genetik
Made Oka Adnyana
dan teknologi untuk keperluan memproduksi bahan pangan. Bagi Indonesia, lembaga penelitian swasta hendaknya memberikan kesempatan kepada petani, terutama petani miskin, untuk mengakses kemajuan bioteknologi di bidang pertanian, khususnya pangan. Aksesibilitas, misalnya, dapat dalam bentuk adopsi teknologi maju di bidang pangan oleh petani produsen untuk meningkatkan efisiensi sistem produksi.
LANGKAH-LANGKAH STRATEGIS KE DEPAN Pengembangan Pertanian Berkelanjutan dan Ketahanan Pangan CYMMIT mengartikan pertanian berkelanjutan sebagai supportable, yaitu pertanian yang memanfaatkan input secara efisien pada tingkat produktivitas tinggi tetapi tetap menjaga kelestarian lingkungan. Sementara itu, beberapa kalangan seperti pengamat lingkungan dan sebagian pengamat pertanian, mengidentikkan pertanian berkelanjutan sebagai pertanian organik yang bebas dari input luar (external input), seperti pupuk anorganik dan pestisida. Pandangan yang terakhir ini perlu disikapi dengan hati-hati dan bijaksana. Munculnya gagasan pengembangan pertanian organik di Indonesia akhir-akhir ini telah menimbulkan polemik, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian di masyarakat pertanian. Oleh karena itu, perlu penyikapan yang jelas dari pemerintah dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan gagasan tersebut.
Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan ...
Pertanian organik sering dikaitkan dengan low input sustainable agriculture (LISA) yang diartikan sebagai pertanian berkelanjutan. Pandangan seperti ini tidak sesuai dengan kondisi Indonesia, mengingat kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, Indonesia tetap memerlukan upaya peningkatan produktivitas secara intensif. Di sisi lain, sistem pertanian organik, khususnya pada tanaman pangan, belum mampu mendorong peningkatan produktivitas yang tinggi. Sebagai pembanding, Thailand masih mempertahankan sebagian kecil lahan pertanian, terutama lahan kering dan tadah hujan, untuk memproduksi high quality rice guna memenuhi kebutuhan dalam negeri. Untuk keperluan ekspor, Thailand tetap mengandalkan varietas unggul yang responsif terhadap pupuk anorganik. Dampaknya, produktivitas padi di Thailand hanya 2,8 t/ha, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia yang telah mencapai rata-rata 4,68 t/ha. Namun dengan luas areal panen 10 juta ha dan jumlah penduduk hanya 68 juta, Thailand tetap menjadi salah satu eksportir beras terbesar di Asia. Bagi Indonesia, dengan luas panen sekitar 11 juta ha untuk memenuhi kebutuhan penduduk 210 juta dan terus tumbuh sebesar 1,6% per tahun, tampaknya sulit mengharapkan pertanian organik untuk meningkatkan produktivitas dan produksi padi serta tanaman pangan lainnya. CGIAR sebagai induk organisasi lembaga-lembaga penelitian internasional mendukung gagasan pertanian berkelanjutan, tetapi tidak sepakat kalau pertanian berkelanjutan diidentikkan dengan pertanian organik. Dibutuhkan kehatihatian dan kebijaksanaan dalam mengadopsi konsep pertanian organik yang
33
diperkenalkan oleh kelompok Greenpeace, lembaga swadaya masyarakat di negaranegara maju. Di balik konsep yang digembar-gemborkan itu, negara maju tetap mensubsidi petani mereka untuk memacu produksi dengan input eksternal yang tetap tinggi. Beberapa hasil penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa sistem pertanian organik murni (tanpa pupuk anorganik) cenderung menurunkan produktivitas padi. Bila hal ini terjadi secara nasional lalu siapa yang bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat? Pengalaman beberapa negara di Asia seperti India, China, dan Indonesia menunjukkan bahwa tanpa revolusi hijau mustahil dapat mencapai swasembada pangan. Oleh karena itu, Indonesia dengan jumlah penduduk yang banyak dan terus bertambah perlu mengembangkan revolusi hijau ramah lingkungan atau revolusi hijau lestari. Untuk itu, perlu disusun program litbang tanaman pangan untuk menciptakan varietas unggul tipe baru (VUTB), varietas unggul baru hibrida (VUH), dan VUTB hibrida (VUTBH). Teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada padi sawah yang sudah mulai berkembang perlu disempurnakan dan dikembangkan pula untuk komoditas lainnya di masing-masing agroekosistem. Sistem pertanian berkelanjutan dapat diwujudkan dengan memanfaatkan dua sumber pertumbuhan utama, yaitu: (1) pertumbuhan produksi dan (2) pertumbuhan pendapatan dan kesejahteraan petani. Pemanfaatan sumber pertumbuhan produksi dan pendapatan rumah tangga tani secara optimal meliputi: (1) peningkatan produktivitas dan produksi melalui diversifikasi dan intensifikasi, (2) sumber pertumbuhan yang terkait dengan penciptaan nilai tambah produk pertanian, (3)
34
sumber pertumbuhan yang terkait dengan preferensi konsumen yang dinamis, dan (4) sumber pertumbuhan yang terkait dengan kelembagaan agribisnis. Sumber pertumbuhan produktivitas dan produksi meliputi: (1) pengurangan senjang hasil antara on-station dan onfarm, dan antarwilayah; (2) pengurangan kehilangan hasil pada saat panen dan pascapanen; (3) peningkatan areal tanam melalui peningkatan indeks pertanaman (lP) dan ekstensifikasi; dan (4) peningkatan stabilitas hasil melalui sistem peringatan dini terhadap perubahan iklim dan organisme pengganggu tanaman (OPT). Hasil studi Puslitbang Tanaman Pangan tentang sumber pertumbuhan produktivitas dan produksi menunjukkan bahwa Indonesia masih dimungkinkan untuk berswasembada beras dan jagung untuk 25 tahun ke depan (Adnyana dan Kariyasa 1992). Sumber pertumbuhan nilai tambah meliputi: (1) pengembangan agroindustri pedesaan; (2) konsolidasi manajemen usaha pertanian di tingkat petani untuk meningkatkan posisi tawar petani; (3) pengembangan warehouse system untuk tunda jual dan peningkatan mutu produk; dan (4) penerapan model PTT terintegrasi dengan komoditas lain atau ternak. Kenyataan menunjukkan bahwa implementasi PTT dalam program nasional sejak 2003 memberi nilai tambah sebesar Rp1,018 triliun/tahun untuk usaha tani padi dan Rp287 miliar/tahun untuk usaha tani jagung yang diintegrasikan dengan ternak (crops livestock system) (Adnyana et al. 2003b). Hal ini ternyata menarik perhatian Kementerian Riset dan Teknologi untuk menjadikan PTT sebagai salah satu pendekatan dalam pembangunan landmark pangan nasional. Sumber pertumbuhan yang terkait de-
Made Oka Adnyana
ngan preferensi konsumen meliputi: (1) demand driving commodity analysis, yaitu kajian terhadap peluang produk baru menciptakan pasar dan penerimaan konsumen yang merupakan pendekatan proaktif; dan (2) demand driven commodity analysis, yaitu menangkap sinyal pasar dan permintaan konsumen sebagai dasar penciptaan produk baru yang merupakan pendekatan responsif. Puslitbang Tanaman Pangan sedang melakukan demand driving commodity analysis di delapan provinsi untuk varietas padi (beras merah), jagung (QPM dan pulut), ubi jalar antosianin dan betakarotin, serta kacang tanah rendah aflatoksin. Sumber pertumbuhan yang terkait dengan preferensi kelembagaan adalah: (1) pembentukan kelompok usaha agribisnis terpadu (KUAT) melalui sistem kredit usaha mandiri (KUM); (2) penerapan corporate management (CM), yaitu petani melakukan konsolidasi manajemen, bukan konsolidasi lahan; dan (3) KUAT berbadan hukum sehingga memiliki akses langsung ke sumber modal (bank), seperti Garmeen Bank di Bangladesh. Implementasi Program Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) di 14 provinsi menunjukkan CM sangat sesuai dengan kondisi petani berlahan sempit dengan modal terbatas (Adnyana et al. 2004). Secara individu petani adalah penerima harga sehingga mereka perlu dibina untuk membangun kelembagaan yang mampu meningkatkan posisi tawar. Pada kesempatan ini diperkenalkan suatu kelembagaan petani yang disebut Sistem Agribisnis Korporasi Terpadu (Integrated Corporate Agribusiness System, ICAS). Inti dari bentuk kelembagaan ini adalah: (1) petani melakukan konsolidasi manajemen usaha pada hamparan lahan yang memenuhi skala usaha, misalnya 50-100 ha; (2) konsolidasi manajemen dituangkan dalam bentuk ke-
35
Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan ...
perusahaan inti, bila secara finansial sudah cukup kuat dan memiliki akses langsung ke sumber modal. Pemerintah dapat membantu pengembangan pola ini sebagai penjamin (avalist). Pola ICAS berkembang cukup baik di Asia seperti Taiwan, China, Thailand, dan beberapa negara di Amerika Latin seperti Brasil, Meksiko, dan Venezuela (Gambar 1).
lembagaan agribisnis seperti KUAT, sistem kebersamaan ekonomi (SKE) dan lainnya; (3) kelompok usaha tersebut sebaiknya berbentuk korporasi, asosiasi, atau koperasi yang berbadan hukum; (4) penerapan manajemen korporasi dalam menjalankan sistem usaha agribisnis; dan (5) pengembangan pola kemitraan terpadu secara tidak langsung dengan mitra. Dalam hal pola kemitraan terpadu, alternatif pertama adalah petani sebagai plasma bermitra dengan inti (perusahaan swasta, eksportir, prosesor) melalui korporasi yang mereka bentuk. Pengembangan pola kemitraan seperti ini merupakan koreksi terhadap pola PIR, yaitu plasma langsung bermitra dengan inti yang sering kurang menguntungkan petani. Inti tidak hanya berfungsi sebagai pemasar input dan output, tetapi juga sebagai penjamin. Alternatif kedua, korporasi dapat saja berdiri sendiri tanpa perlu bermitra dengan
Penegakan Hukum terhadap Konversi Lahan dan Konservasi Sumber Daya Alam Konversi lahan pertanian ke sektor lain tidak kurang dari 100 ribu ha setiap tahun. Untuk memperlambat laju konversi lahan, pemerintah telah memiliki perangkat hukum dalam bentuk UU, PP, Keppres dan sebagainya. Namun perangkat tersebut belum efektif mengatasi masalah konversi
Pembayaran Angsuran
AVALIST
INTI INDUSTRI PENGOLAHAN/ EKSPORTIR/PERUSAHAAN SWASTA
PEMERINTAH
BANK
Nota Kesepakatan
AVALIST
KOPERASI/ KORPORASI (KUAT)
Perusahaan Patungan Perusahaan Patungan Biaya Produksi dsb. Pemasaran Hasil
PETANI PLASMA
Gambar 1. Pola kerja sama kemitraan dalam korporasi Sistem Agribisnis Terpadu (Integrated Corporate Agribusiness System, ICAS).
36
lahan pertanian. Kepentingan untuk memacu pertumbuhan sektor nonpertanian, seperti industri, pemukiman, perdagangan, dan infrastruktur sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi nasional tampak lebih dominan dibandingkan dengan upaya menjaga keberlanjutan pembangunan sektor pertanian, terutama produksi pangan. Kondisi seperti ini telah menurunkan akses petani terhadap sumber daya lahan, terutama di wilayah perbatasan dengan kota-kota besar, sehingga jumlah petani tunakisma termasuk petani berlahan sempit terus meningkat. Kelompok rumah tangga tani seperti ini menggantungkan hidupnya pada usaha tani tanaman pangan (padi dan palawija), dan jumlah mereka meningkat dari sekitar 17,5 juta KK pada tahun 1993 menjadi 18,1 juta pada tahun 2003. Di sisi lain, tekanan jumlah penduduk dan ekonomi memaksa petani untuk membuka lahan pada wilayah-wilayah tangkapan air sampai wilayah hutan industri. Di daerah aliran sungai (DAS) Citarum yang melewati Kabupaten Bandung, Cianjur, Purwakarta, dan Karawang, misalnya, petani telah membuka lahan hutan industri pada kemiringan di atas 30% untuk mengusahakan sayuran dan tanaman semusim lainnya. Lebih dari 300 ha lahan hutan industri di Gunung Wayang telah dibuka petani. Kondisi ini sering menimbulkan bencana tanah longsor dan banjir pada musim hujan. Tampaknya, pilihan sangat terbatas dan waktu relatif pendek untuk mengatasi laju konversi lahan dan sekaligus konservasi sumber daya alam. Bila tidak segera ditemukan alternatif pemecahannya, maka generasi yang akan datang akan menimpakan kesalahan kepada generasi sekarang karena rusaknya lingkungan dan tereksploitasinya sumber daya alam secara ber-
Made Oka Adnyana
lebihan. Penegakan hukum secara konsisten dan bertanggung jawab merupakan prerequisite untuk mengatasi permasalahan di atas. Perangkat pendukung, terutama pengawasan dan penerapan sanksi dan hukuman yang pantas, perlu diberlakukan bagi yang melanggar tanpa pandang bulu. Kegagalan dalam penerapan peraturan secara tegas dan bertanggung jawab, terutama yang terkait dengan ketersediaan lahan untuk produksi pangan, akan berdampak sangat substansial bagi upaya pembangunan ketahanan pangan terlanjutkan, baik di tingkat rumah tangga maupun tingkat nasional.
Keterpaduan Institusi Tingkat Nasional dan Daerah Otonomi daerah yang dikemas dalam UU No. 22 dan UU No. 25 tahun 1999 telah menimbulkan cukup banyak permasalahan. Di tingkat kabupaten, otonomi daerah sering disikapi berlebihan oleh masyarakat, swasta, dan pemerintah. Hal yang terkait dengan produksi pangan, misalnya, cukup banyak pemerintah daerah yang memaksakan diri untuk memproduksi bahan pangan sendiri, terutama beras. Di sisi lain, pengertian pertanian berkelanjutan sering diterjemahkan sebagai sistem pertanian organik. Perangkat kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah sering pula tumpang tindih yang menjadi sumber masalah dalam alokasi sumber daya. Ada upaya pemerintah pusat untuk menarik otonomi daerah dari tingkat kabupaten ke tingkat provinsi dengan menyempurnakan UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun 2004. Namun belum ada keterpaduan antara institusi pusat dan daerah dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga.
Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan ...
Ketahanan pangan hendaknya diartikan sebagai konsumsi yang cukup atas karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin. Dengan demikian, sumber pangan akan bersifat spesifik lokasi yang sesuai dengan selera masyarakat setempat. Institusi yang paling menguasai kondisi ketahanan pangan di masing-masing daerah adalah pemdanya sendiri, namun kebijakan pangan di tingkat daerah perlu memperhatikan kebijakan pangan tingkat nasional. Itu berarti membangun ketahanan pangan nasional dilakukan dengan cara memperkuat ketahanan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan rumah tangga hanya dapat dibangun melalui peningkatan kesejahteraan dan diversifikasi pangan dengan memanfaatkan sumber-sumber pangan alternatif selain beras. Mempertahankan pola konsumsi pangan suatu masyarakat tertentu perlu mendapat dukungan oleh pemerintah pusat maupun daerah dengan keterpaduan antarinstitusi yang terkait.
Diversifikasi Pangan Diversifikasi pangan bukan merupakan hal yang baru. Pada tahun 1950-an, program diversifikasi pangan telah disosialisasikan melalui Panitia Perbaikan Makanan Rakyat. Pada tahun 1963 dikembangkan Program Usaha Perbaikan Gizi Keluarga dan pada tahun 1974 pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Inpres No.14, 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (PMMR), yang kemudian disempurnakan dengan Inpres No. 20 tahun 1979. Pada Pelita VI, pemerintah telah mengembangkan Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG). Diversifikasi pangan pada dasarnya memiliki dua dimensi pokok, yaitu: (1) ke-
37
ragaman pola konsumsi, yaitu penganekaragaman bahan makanan yang dikonsumsi sehingga memenuhi kebutuhan gizi yang bermutu dan seimbang (kandungan karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan vitamin), dan (2) keanekaragaman sumber bahan pangan untuk masing-masing jenis gizi, yaitu sumber protein dapat diperoleh dari hewan, ikan maupun nabati dan ini bersifat spesifik lokasi. Program diversifikasi pangan selama ini masih didominasi oleh pemerintah pusat. Berbagai konsep maupun kebijakan telah dihasilkan, tetapi belum diturunkan dalam bentuk langkah-langkah implementatif konkret dengan melibatkan masyarakat dan pengemban kepentingan di daerah. Misalnya, dalam penanganan bencana kekurangan gizi di suatu daerah, pemerintah mengirimkan beras ke wilayah tersebut sekali pun basis pola konsumsi masyarakat di wilayah tersebut bukan beras. Masyarakat Papua dan Maluku menganut pola konsumsi berbasis aneka umbi dan sagu, dan masyarakat NTT menganut pola konsumsi berbasis jagung. Kebijakan pemerintah untuk mengirim beras ke wilayah NTT bila terjadi kerawanan pangan merupakan langkah yang kurang tepat. Dampak dari kebijakan seperti ini adalah bergesernya menu konsumen dari jagung ke beras. Dengan demikian diperlukan delineasi pola konsumsi dan ini terkait dengan produksi dan penyediaan bahan pangan yang juga bersifat spesifik lokasi. Delineasi pola konsumsi dan sekaligus mempertahankannya, sebaiknya dijadikan gerakan nasional dan menjadi agenda nasional Dewan Ketahanan Pangan Nasional dalam menyusun alternatif kebijakan di bidang pangan. Dukungan pemerintah terhadap produksi beras secara tidak langsung sebenarnya telah mengkondisikan upaya di-
38
versifikasi pangan berada di persimpangan jalan. Trade-off yang kurang tegas ini akan mempersulit upaya penganekaragaman pangan ke depan, terutama yang berbasis sumber daya lokal atau komoditas asli Indonesia seperti aneka umbi dan aneka serealia sebagai sumber alternatif karbohidrat. Di sisi lain, pergeseran pola konsumsi yang berbasis pangan impor seperti terigu makin cepat. Hal ini terlihat jelas dari makin meningkatnya impor gandum yang telah melampaui angka 4 juta ton per tahun dan volumenya akan terus meningkat. Negaranegara pengekspor gandum sering memberikan privilege yang istimewa kepada importir Indonesia dalam bentuk subsidi tarif. Kondisi ini harus disikapi secara hatihati dan cerdas, alasan apa sebenarnya yang terkandung dalam perlakuan istimewa tersebut. Kita harus belajar dengan cermat dari pengalaman Uni Soviet yang sangat Adi Kuasa pada zamannya dan kemudian pecah hanya karena embargo impor gandum yang diterapkan oleh negara-negara eksportir. Produk-produk pangan yang terbuat dari bahan dasar terigu seperti mi instan telah merambah sampai ke desa terpencil sekali pun.
Marka Jalan Menuju Ketahanan Pangan Terlanjutkan Indonesia termasuk negara berketahanan pangan rendah dan mengimpor beras 510% dari total kebutuhan nasional, namun lebih baik dibandingkan dengan Malaysia dan Filipina yang masing-masing mengimpor 35% dan 16-20% dari total kebutuhan. India, Thailand, dan Vietnam termasuk negara dengan ketahanan pangan tinggi, terutama beras dan gandum.
Made Oka Adnyana
China mengekspor beras, tetapi mengimpor gandum untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan dalam negerinya. Bagi Indonesia, untuk dapat mencapai tingkat ketahanan pangan tinggi secara keberlanjutan, ada beberapa marka jalan yang harus ditempuh seperti diuraikan berikut ini.
Akses Setara terhadap Sumber Daya Petani miskin seharusnya diberikan akses yang proporsional terhadap: (1) lahan dan air; (2) modal (kredit); (3) tenaga kerja (mekanis); serta (4) pelatihan, penyuluhan, dan teknologi. Tidak sampai 2% lahan yang dimiliki oleh petani miskin di pedesaan dan jumlah mereka terus bertambah. Di sisi lain, persaingan antarkepentingan dalam sektor pertanian dan nonpertanian makin meningkat. Privatisasi pengelolaan sumber daya air akan mendorong petani miskin untuk selalu pada posisi yang tidak menguntungkan. Kondisi seperti ini hendaknya dikoreksi dengan kebijakan yang berpihak kepada mereka. Bila tidak maka petani miskin akan masuk ke perangkap kemiskinan permanen. Bagi petani miskin, kredit adalah modal usaha yang sangat didambakan, tetapi sulit diperoleh karena ketiadaan jaminan yang dapat dipercaya perbankan. Karena itu kurang dari 10% kredit sarana produksi yang dikucurkan bagi mereka (FAO 2004). Keterbatasan modal hanya dapat diatasi dengan memberikan akses yang seimbang kepada kelompok petani miskin untuk berusaha tani dengan sentuhan teknologi produksi melalui pelatihan dan penyuluhan yang intensif. Dalam era otonomi daerah, pelatihan dan penyuluhan tampaknya makin menjauh dari mereka karena
Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan ...
kurang berfungsinya kelembagaan penyuluhan. Akses terhadap sumber daya akan menjadi salah satu marka jalan menuju ketahanan pangan terlanjutkan. Kenyataan bahwa sebagian besar petani memiliki lahan yang sempit memerlukan jalan tembus untuk dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Dalam kaitan ini, salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah membuka kembali lintasan jalan reforma agraria dengan pendekatan yang relatif berbeda. Penguasaan lahan (land holding) tampaknya akan lebih sesuai untuk pembukaan lahan baru daripada pemilikan yang dalam jangka panjang akan terus mengalami fragmentasi sebagai dampak dari bertambahnya jumlah anggota keluarga.
Akses terhadap Pangan Ketahanan pangan nasional menjadi rapuh tanpa ditopang oleh ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga. Inilah marka jalan terpenting pada lintasan menuju ketahanan pangan terlanjutkan. Meskipun ketahanan pangan di tingkat nasional dilihat dari produksi dan konsumsi relatif telah tercapai, kenyataannya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga di beberapa daerah masih rentan. Kesejahteraan rumah tangga petani tanaman pangan yang relatif rendah dan cenderung menurun sangat menentukan posisi ketahanan pangan ke depan. Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu: (1) sebagian petani miskin memang tidak memiliki faktor produktif selain tenaga kerja dan cenderung termarginalisasi (they are poor because they are marginalized); (2) penguasaan lahan makin sempit dan terus terkonversi; (3) infrastruktur produksi seperti air, listrik, jalan,
39
dan telekomunikasi kurang memadai; (4) struktur pasar kurang adil dan eksploitatif karena posisi tawar yang lemah; dan (5) ketidakmampuan atau ketidaktahuan petani (Krisnamurti 2003). Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah bagaimana membuka jalan dan akses yang seimbang terhadap pangan bagi kelompok petani miskin. Akses terhadap pangan hanya dapat dibuka melalui peningkatan pendapatan dan kesejahteraan rumah tangga mereka. Diperlukan reorientasi kebijakan pemerintah untuk menjamin bahwa permasalahan yang dihadapi kelompok miskin mendapat perhatian yang proporsional dibandingkan dengan kelompok lain yang lebih memiliki akses terhadap pangan. Berbagai marka yang terkait dengan akses terhadap pangan antara lain adalah: (1) kesempatan yang sama dalam pengelolaan lahan untuk memproduksi bahan pangan; (2) mendorong produksi bahan pangan dengan sistem insentif; (3) membuka kesempatan yang sama terhadap adopsi teknologi dan penyuluhan; dan (4) membuka isolasi wilayah sekaligus akses terhadap pasar. Tanpa penyelesaian yang mendasar dan komprehensif dalam berbagai aspek dan memperhatikan marka jalan di atas, kesejahteraan petani akan makin menurun, jumlah petani gurem akan terus meningkat, dan muaranya adalah ketahanan pangan baik pada tingkat rumah tangga maupun tingkat nasional akan sangat sulit dicapai.
Wanita dan Ketahanan Pangan Kaum wanita memproduksi antara 60-80% bahan pangan di negara-negara sedang berkembang dan bertanggung jawab atas 50% produksi pangan dunia. Namun, peran kunci kaum wanita sebagai produsen
40
dan penyedia pangan dan peran yang sangat menentukan dalam membangun ketahanan pangan rumah tangga belum mendapatkan perhatian yang sungguhsungguh dari pemerintah (FAO 2004). Menyadari peranan penting wanita dalam memproduksi dan menyediakan bahan pangan maka setiap strategi, formulasi kebijakan, dan program menuju ketahanan pangan berkelanjutan hendaknya secara sungguh-sungguh mempertimbangkan akses terbatas yang selama ini dimiliki oleh wanita terhadap sumber daya yang produktif. Akses terhadap sumber daya dan daya beli yang rendah merupakan dampak dari hubungan antarfaktor yang saling mempengaruhi, seperti faktor sosial, ekonomi, budaya, dan agama yang mendorong mereka ke dalam peran yang subordinat, yang membatasi pergerakan mereka dan atau masyarakat secara umum.
Ketersediaan Pangan dan Distribusi Marka jalan ketersediaan dan distribusi harus menjadi dasar agar tercapai stabilitas harga pangan sepanjang waktu antardesa dan kota maupun antarwilayah. Dengan demikian, seluruh rumah tangga dapat menjaga ketersediaan pangannya secara berkelanjutan dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Dampak musiman terhadap fluktuasi harga supaya ditanggulangi. Stabilitas harga dapat dicapai dengan pengaturan sistem distribusi. Petani pangan dapat melakukan konsolidasi usaha melalui penerapan manajemen korporasi sesuai kesepakatan anggota kelompok. Korporasi, misalnya, dapat mereka lakukan pada pengadaan sarana produksi dan pemasaran, sedangkan dalam periode pemeliharaan tanaman para ang-
Made Oka Adnyana
gota dapat saja melakukannya secara individu (Adnyana et al. 2000). Peningkatan ketersediaan pangan tampaknya lebih efisien ditempuh melalui peningkatan produktivitas dengan menerapkan teknologi, baik konvensional maupun bioteknologi. Perluasan areal tanam dapat dilakukan melalui pemanfaatan sumber pertumbuhan, seperti peningkatan indeks pertanaman maupun pemanfaatan lahan tidur dan pembukaan lahan baru, khususnya di luar Jawa.
Harga Terjangkau Variasi harga antarwilayah juga menunjukkan belum efisiennya sistem distribusi. Indikasi terjangkaunya harga pangan dapat dilihat dari pangsa pengeluaran rumah tangga untuk bahan pangan terhadap total pengeluaran, terutama pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Makin rendah pangsa pengeluaran untuk pangan, makin sedikit porsi pendapatan rumah tangga yang digunakan untuk membeli pangan. Ini berarti harga pangan makin terjangkau oleh rumah tangga. Sebaliknya, makin besar porsi pengeluaran untuk pangan makin menurun daya beli masyarakat terhadap pangan. Selama krisis ekonomi, misalnya, pangsa pengeluaran rumah tangga terhadap pangan di wilayah perkotaan lebih rendah dibandingkan dengan di pedesaan (Adnyana et al. 2000; Dewan Ketahanan Pangan 2003).
Bahan Pangan Sehat (Toyiban Food) Tim landmark pangan Kementerian Riset dan Teknologi mengusulkan agar Indonesia dapat menjadi salah satu dapur pa-
Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan ...
ngan sehat (toyiban food) di dunia. Dalam kaitan itu, pengembangan konsumsi pangan harus diarahkan untuk memperbaiki konsumsi pangan penduduk, baik jumlah dan mutu maupun keragaman, sehingga dapat diwujudkan konsumsi pangan dan gizi yang seimbang sebagai indikator pola konsumsi yang sehat. Hal ini seiring dengan upaya mengurangi ketergantungan pada pangan impor. Sasaran makanan sehat adalah tercapainya pola pangan harapan, yaitu komposisi pangan atau kelompok pangan yang didasarkan pada kontribusi energinya, baik mutlak maupun relatif, memenuhi kebutuhan gizi secara kuantitas, kualitas dan keragamannya dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya, agama, dan cita rasa. Dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan bukan hanya bertumpu pada kandungan gizi dan kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya terhadap kesehatan tubuh (Astawan 2003). Saat ini pangan telah diandalkan sebagai pemelihara kesehatan dan kebugaran tubuh. Bahkan bila dimungkinkan, pangan harus dapat menyembuhkan atau menghilangkan efek negatif dari penyakit tertentu. Kenyataan tersebut menuntut suatu bahan pangan tidak lagi sekedar memenuhi kebutuhan dasar tubuh, tetapi juga dapat bersifat fungsional (functional foods), yang akhir-akhir ini sangat populer di kalangan masyarakat dunia. Kepopuleran tersebut ditunjang oleh suatu keyakinan bahwa di dalam pangan fungsional terkandung zat gizi dan nongizi yang sangat penting khasiatnya untuk kesehatan dan kebugaran tubuh.
41
Bahan Pangan Aman (Safely Food) Bioterorisme internasional merupakan isu pangan yang hangat diperdebatkan. Ketahanan pangan yang lemah potensial dijadikan media untuk melancarkan bioterorisme. Di sisi lain, ketahanan pangan yang berlebihan, terutama di negaranegara maju, demi kepentingan politik dan keamanan dalam negerinya, surplus pangan dijadikan alat untuk menekan importir yang sebagian besar dari negara sedang berkembang. Oleh karena itu, ketahanan pangan di tingkat rumah tangga merupakan fondasi yang kokoh untuk mempertahankan diri sekaligus menjadi penghalang (safety barrier) dari ancaman teroris internasional. Agroterorisme adalah bagian dari bioterorisme. Masyarakat umumnya menafsirkan bioterorisme dan atau agroterorisme sama dengan wabah penyakit yang bersumber dari komoditas pertanian, seperti penyakit antraks atau smallpox. Dampak dari kemungkinan adanya serangan agroterorisme antara lain adalah: (1) krisis ekonomi di sektor pertanian dan pangan; (2) menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang terkait dengan keamanan pangan; dan (3) kemungkinan terjadinya wabah penyakit (Monke 2004). Masyarakat dapat terjangkit jenis penyakit yang bersifat zoonosis, yaitu jenis penyakit yang dapat ditularkan melalui perantara hewan atau tanaman seperti antraks pada sapi dan flu burung pada ayam. Kepercayaan masyarakat menurun terhadap pemerintah bila tidak mampu mencegah atau mengatasi berkembangnya penyakit tersebut.
42
Made Oka Adnyana
Secara umum perhatian pemerintah terhadap kemungkinan munculnya bioterorisme yang dapat menyerang sektor pertanian dan produksi pangan masih terbatas. Oleh karena itu, kemampuan laboratorium terutama untuk mendeteksi penyakit hewan harus diperluas dan ditingkatkan, mengingat tersebarnya pintu masuk ke Indonesia dan luasnya kawasan produksi pertanian dan bahan pangan. Dukungan pemerintah dalam bentuk undang-undang maupun peraturan sangat diperlukan sebagai dasar hukum untuk pengendalian munculnya agroterorisme di Indonesia.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Ketahanan pangan di Indonesia belum cukup stabil, namun lebih baik daripada Malaysia dan Filipina serta memiliki peluang untuk makin kokoh mengingat tersedianya potensi sumber daya yang cukup melimpah, baik lahan dan air maupun manusia. Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam persaingan global dan termasuk negara yang efisien dalam memproduksi beras. Hal ini merupakan momentum dalam memperkuat tekad untuk memperkokoh ketahanan pangan nasional melalui konstruksi soko guru ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Sumber daya lahan belum dimanfaatkan secara optimal. Selama ini bahan pangan diproduksi pada lahan seluas 9 juta ha dan itu pun ditanami dengan komoditas hortikultura, perkebunan, dan lain-lain. Masalah lahan perlu segera dicarikan jalan
pemecahannya yang dikaitkan dengan pemecahan masalah kepemilikan lahan sempit. Ke depan, ketahanan pangan tidak cukup dengan mengandalkan pembukaan lahan, tetapi perlu didukung oleh inovasi teknologi. Revolusi hijau lestari atau revolusi hijau kedua menawarkan jalan tembus yang prospektif dalam memacu produktivitas padi, dengan pendekatan yang berbeda dengan revolusi hijau pertama. Ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani tidak selalu seiring sejalan, bahkan ada indikasi di persimpangan jalan. Ketahanan pangan rumah tangga merupakan soko guru ketahanan pangan nasional, sedangkan kesejahteraan rumah tangga merupakan fondasi yang kokoh dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Dalam membangun ketahanan pangan yang kokoh di tingkat rumah tangga maupun nasional hendaknya memperhatikan marka jalan yang akan ditempuh, sehingga keadilan dan aksesibilitas terhadap pangan merupakan hak bagi setiap warga negara, sebagai salah satu wujud keadilan sosial bagi seluruh warga negara.
Implikasi Kebijakan Ketahanan pangan terlanjutkan tampaknya harus didukung areh perluasan areal tanam melalui: (1) pemanfaatan lahan tidur; (2) pembukaan lahan baru dengan delineasi yang akurat; dan (3) peningkatan indeks pertanaman pada lahan sawah irigasi, minimal 250%. Upaya ini memerlukan investasi yang besar. Kegagalan pemerintah dalam pembukaan lahan sejuta hektar seyogianya dijadikan pengalaman berharga untuk membenahi manajemen pembukaan lahan baru.
Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan ...
Ketahanan pangan tingkat rumah tangga sebagai salah satu indikator kesejahteraan penduduk dan soko guru ketahanan pangan nasional, sekaligus menjadi alat bedah perangkap kemiskinan, dapat diwujudkan dengan memanfaatkan “empat keterkaitan”, yaitu: (1) keterkaitan horizontal melalui penganekaragaman usaha tani dan sumber pangan; (2) keterkaitan vertikal melalui penciptaan nilai tambah di tingkat petani; (3) keterkaitan kelembagaan melalui konsolidasi kelembagaan petani seperti korporasi, koperasi atau asosiasi petani produsen dengan menerapkan manajemen korporasi dalam integrated corporate agribusiness system; dan (4) keterkaitan regional melalui delineasi produksi bahan pangan sesuai dengan keunggulan kompetitif dan komparatif wilayah. Di bidang inovasi teknologi, dampak negatif revolusi hijau pertama supaya dikoreksi dalam revolusi hijau lestari dengan memperluas cakupannya ke seluruh aspek agroekonomi, mulai dari petani (onfarm dan off-farm) sampai konsumen akhir. Dalam implementasinya, revolusi hijau lestari perlu didukung oleh: (1) ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai instrumen utama; (2) sistem irigasi yang efisien; (3) sistem produksi ramah lingkungan, precision agriculture; serta (4) pemasaran, agroindustri, dan pengembangan infrastruktur pedesaan. Revolusi hijau lestari dapat menjadi salah satu lintasan jalan menuju ketahanan pangan terlanjutkan. Dalam pembangunan pertanian ke depan diperlukan kontrak sosial dalam hal ketahanan pangan secara holistik dan jaminan bagi petani miskin untuk mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi maju, termasuk di bidang bioteknologi. Reformasi agraria tampaknya perlu menjadi kebijakan pemerintah dalam jangka
43
panjang guna mengatasi penyusutan lahan pertanian subur. Pembukaan lahan baru dengan melakukan konsolidasi manajemen usaha dalam bentuk korporasi dengan pola kemitraan perlu pula mendapat dukungan dari semua pihak, baik pemerintah, swasta, investor maupun masyarakat pada umumnya. Konsolidasi usaha dapat menempuh tiga model. Pertama, korporasi skala kecil khususnya untuk menkonsolidasikan manajemen usaha bagi petani berlahan sempit pada hamparan 50-100 ha. Kedua, korporasi skala menengah dengan konsolidasi manajemen usaha skala menengah pada hamparan 300-500 ha. Ketiga, korporasi sistem estate dengan membuka lahan baru seperti Selebes Corn Belt dan Merauke Rice Estate. Guna mempercepat proses adopsi dan difusi teknologi, kegiatan penyuluhan dan penelitian pertanian sebaiknya ada dalam satu institusi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian di masing-masing provinsi perlu diperluas mandatnya menjadi Balai Pengkajian dan Penyuluhan Teknologi Pertanian yang berstatus sebagai institusi pusat di daerah. Jalan tembus yang akan ditempuh menuju ketahanan pangan terlanjutkan hendaknya memperhatikan marka jalan, yaitu: (1) akses yang setara terhadap sumber daya; (2) akses setiap penduduk terhadap bahan pangan; (3) peranan wanita dalam ketahanan pangan; (4) ketersediaan dan distribusi pangan secara merata dengan harga terjangkau; dan (5) bahan pangan sehat (toyiban food) dan aman dari bioterorisme. Produksi bahan pangan dalam negeri hendaknya mendapat perlindungan dari pemerintah melalui perangkat kebijakan yang berpihak kepada produsen dalam negeri. Intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi masih sangat diperlukan, tetapi
44
Made Oka Adnyana
bukan dalam bentuk subsidi input, karena tanpa disubsidi pun produsen input sebenarnya telah mendapat keuntungan yang cukup besar. Mengingat pangan adalah kebutuhan setiap warga negara maka perlu diberlakukan subsidi output agar produsen bahan pangan dalam negeri menjadi bergairah. Kebijakan ini tentu tidak berlebihan mengingat negara-negara maju sangat melindungi produsen pangan di negerinya.
PENUTUP Sebagai penutup perlu direnungkan kutipan pidato Soekarno, Proklamator dan Presiden Republik Indonesia Pertama (1962): “Aku bertanja kepadamu, sedangkan rakjat Indonesia akan mengalami tjelaka, bentjana, mala-petaka dalam waktu jang dekat kalau soal makanan rakjat tidak segera dipetjahkan, sedangkan soal persediaan makanan rakjat ini, bagi kita adalah soal hidup atau mati .. , Tjamkan, sekali lagi tjamkan, kalau kita tidak “aanpakkan” soal makanan rakjat ini setjara besar-besaran, setjara radikal dan revolusioner, kita akan mengalami malapetaka”. Cuplikan pidato di atas merupakan future outlook seorang visioner terbesar yang pernah dimiliki oleh bangsa ini termasuk di bidang pangan. Sekalipun telah disampaikan oleh Presiden Soekarno 43 tahun yang lalu, pesannya masih sangat relevan dengan kondisi sekarang dan yang akan datang. Bila tidak dikerahkan daya upaya secara maksimal maka peringatan di atas akan menjadi kenyataan.
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O. dan K. Kariyasa.1992. Fungsi pertumbuhan produksi: Kajian penentuan tahun pelandaian pertumbuhan produksi komoditas pertanian. Informatika Pertanian 7(1): 153-177. Adnyana, M.O., Sumaryanto, M. Rachmat, R. Kustiari, S.H. Susilowati, Supriyati, E. Suryani, and Soeprapto. 2000. Assessing the Rural Impact of the Crisis in Indonesia. Center for Socioeconomic Research in collaboration with the World Bank-Asem, Washington DC. Adnyana, M.O., E. Basuno, R.N. Suhaeti, R.S. Rifai, R. Hendayana, W. Sudana, S. Partohardjono, O.K. Sadra, H. Supriyadi, and A. Setyono. 2002. Impact Study on Agricultural Technologies in 12 AIATs. IAARD-ARMP-II, Jakarta. Adnyana, M.O., F. Agus, B. Krisnamurti, S. Sumarto, A. Indrayono, and E. Pasandaran. 2003a. Socioeconomic and Policy Analysis of the Roles of Agriculture in Indonesia. Paper presented at the Roles of Agriculture International Conference, 20-22 October 2003. FAO, Rome, Italy. Adnyana, M.O., K. Kariyasa, dan Soeprapto. 2003b. Analisis Dampak PTT Padi Sawah Irigasi. Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Adnyana, M.O., A. Hasanuddin, K. Hardono, dan H. Kasim. 2004. Analisis dan Sintesis Kebijakan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB). Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Lintasan dan marka jalan menuju ketahanan pangan ...
Anonim. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68, 2002 tentang Ketahanan Pangan. Astawan, M. 2003. Pangan Fungsional untuk Kesehatan yang Optimal. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Beachy, R.N. 2003. IP policies and serving the public. Science 299(606): 473. Brown, L.R. 2005. Outgoing the Earth: The food security challenge in an age of falling water tables and rising temperatures. A new book by awardwinning author and environmentalist . Earth Policy Institute. http://www. earth-policy.org. Cantrell, R.P. 2004. New challenges and technological opportunities for ricebased production system for food security and poverty alleviation in Asia and the Pacific. FAO Rice Conference. Rome, Italy, 12-13 Febrary 2004. Cantrell, R. and T.G. Reeves. 2002. The cereal of the world’s poor takes center stage. Science 296(5565): 53. Conway, G. and G. Toenniessen. 1999. Feeding the world’s poor in the twentyfiest century. Nature 402: c55-c58. Datta, S.K. 2004. Rice biotechnology: A need for developing countries. AgBioForum 7(1 &2): article 6. Dewan Ketahanan Pangan. 2003. Peta Pangan: Keragaan distribusi pangan. www.deptan.go.id., Home-page BBKP/ Dewan Ketahanan Pangan. FAO. 2003a. Crop breeding: the green revolution and the preceding milennia, FAO News Room, Rome. http:// www.fao.org. FAO.2003b. Agricultural biotechnology: Will it help? New tools offer new opportunities, but what are the risk and who benefited? FAO News Room, Rome. http://www.fao.org.
45
FAO. 2004. Towards sustainable food security: Women and sustainable food security. Prepared by the Women in Development Service, Women and Population Division, FAO, Rome. http: //www.fao.org. Fresco, L.O. 2003. Which Road Do We Take? Harnessing genetic resources and making use of life science, a new contract for sustainable agriculture. EU Discussion Forum “Towards Sustainable Agriculture for Developing Countries: Options from Life Science and Biotechnologies”, Brussels, 30-31 January 2003. Ghose, A. 2004. Second greean revolution to be launched on August 15, 2004. BJP Today, India 13(09). Hossain, M. 2004a. Long-Term Prospect for the Global Rice Economy. FAO Rice Conference. Rome, Italy, 12-13 Febrary 2004. http://www.fao.org. Hossain, M. 2004b. Economic Prosperity, Trade Liberalization and the Prospect of Rice Industry in Asia. Paper presented at Indonesia Rice Seminar, Jakarta 7-8 December 2004. Krisnamurti, B. 2003. Agenda pemberdayaan petani dalam rangka pemantapan ketahanan pangan nasional. Jurnal Ekonomi Rakyat 11(7). Monke. J. 2004. Agriterrorism and Preparedness. Congressional Research Services (CRS) Report for Congress. www.mipt.org/pdf/CRS RL32521.pdf. Pasandaran, E., M.Rantetana, and Iqbal. 2003. Economic and Agricultural Policy Development in Indonesia: Summary. Paper presented at the Roles of Agriculture International Conference. 20-22 October 2003. FAO, Rome, Italy . Rosner, L.P. 2004. Rice and Food Diversification: The changing pattern of household food demand 1996-2002 or
46
“Indonesia’s Nutrition Revolution”. GIAT Project (USAID). Paper presented at Indonesia Rice Seminar, Jakarta 7-8 December 2004. Timer, C.P. 2003. Agriculture and poverty. Rice Science: Innovatiorn and impact
Made Oka Adnyana
for livehood. Proceeding of the International Rice Research Conference, 1619 September 2002, Bejing, China.IRRI, Chiness Academy of Engineering, and Chiness Academy of Agriculture Sciences. p. 37-61.