VIII. KASUS-KASUS PENYAKIT DAN CEMARAN TERKAIT KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK DI INDONESIA Sebagaimana telah diungkapkan pada bab sebelumnya bahwa cemaran pada pangan asal ternak dapat berasal dari cemaran mikobiologis, cemaran toksin alami, cemaran obat dan cemaran bahan kimia lainnya. Pada kesempatan ini dilaporkan beberapa kasus penyakit dan cemaran pangan asal ternak yang terjadi di Indonesia. A. Cemaran Mikrobiologis/Kasus Penyakit Hewan Menular 1. Penyakit Antraks Tercemarnya daging oleh kuman antraks di Indonesia terjadi akibat ternak terserang penyakit antraks pada proses praproduksi di tingkat peternak. Umumnya manusia terkena antraks oleh karena mengonsumsi produk ternak yang tertular antraks maupun akibat berhubungan (kontak langsung) dengan agen penyakitnya pada saat ternak terkena Antraks. Kasus Antraks pada ternak di Indonesia telah dilaporkan sejak tahun 1885 (Soemanegara 1958; Mansjoer 1961), dan terbaru pada bulan September 2013 di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan (Anonimus 2013). Sedangkan Beberapa kasus Antraks pada manusia di Indonesia telah dilaporkan sejak tahun 1922 (Soeparwi 1922), dan yang terbaru pada tahun 2010 di Jawa Tengah (Djoko 2011). Dalam buku ini akan disajikan kasus-kasus kejadian Antraks pada manusia di Indonesia sejak tahun 1922 dengan tujuan agar masyarakat dapat mengetahui bahwa penyakit ini selalu terjadi dari tahun ke tahun terutama pada daerah-daerah endemis seperti yang terlihat pada Tabel 7. Sebenarnya apabila masyarakat dan petugas dari dinas terkait menjalankan ketentuan-ketentuan yang berlaku seperti tidak menyembelih 90
Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan
hewan yang sakit apalagi pada daerah endemis Antraks dan hewan tersebut memperlihatkan tanda-tanda sesuai dengan gejala penyakit Antraks. Dalam beberapa kasus kejadian mengonsumsi daging ternak yang diduga terkena Antraks masih terjadi dengan berbagai alasan. Data pada Tabel 7 ini merupakan data yang sempat penulis kompilasi dari berbagai dokumentasi yang bisa ditemukan dari berbagai sumber. Oleh karena itu, data ini tidak menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Dari data pada Tabel 7 ini terlihat bahwa kejadian penyakit Antraks pada manusia di Sulawesi Tenggara selalu terulang, mulai tahun 1932, kemudian tahun 1969, 1973 dan 1977. Kemungkinan masih banyak kasus lainnya yang tidak sempat terdokumentasi. Hal serupa juga dapat dilihat pada kejadian Antraks di Purwakarta yang dalam Tabel ini kejadiannya terjadi pada 30 orang antara tahun 1975-1994, dan terjadi lagi pada tahun 1999-2000 dengan penderita sebanyak lebih dari 20 orang akibat mengonsumsi daging burung unta yang terinfeksi Antraks. Keadaan ini menggambarkan bahwa untuk daerah endemis Antraks ada kecenderungan untuk terjadi secara berulang. Hal ini sesuai teori bahwa bakteri Antraks apabila diluar tubuh induk semangnya akan segera membentuk spora yang tahan hidup bertahun-tahun pada tanah atau lingkungan setempat. Data pada Tabel 7 ini juga memperlihatkan bahwa wilayah Purwakarta, Kerawang, Bekasi merupakan daerah endemis yang letak geografisnya berdekatan. Sebenarnya daerah Bogor khususnya di Babakan Madang, Hambalang Kabupaten Bogor juga merupakan daerah endemis Antraks yang sempat ramai dibicarakan antara tahun 2000-2010 karena kejadiannya hampir terus berulang setiap tahunnya, sehingga sempat dilakukan penutupan untuk pemasaran hewan ternak dari Bogor ke Jakarta (Noor et al. 2001). kemungkinan penyebaran Antraks di empat Kabupaten tersebut (Purwakarta, Karawang, Bekasi dan
91
Keamanan Pangan Asal Ternak
Bogor) ada keterkaitannya dengan mutasi atau pemasaran ternak yang terjadi antara keempat daerah tersebut. Tabel 7. Kasus kejadian Antraks pada manusia di Indonesia Tahun kejadian
Daerah/lokasi (jumlah kasus)
Sumber pustaka
1992
Purwakarta, Jabar (*)
Soeparwi (1922)
1922
P. Rote, NTT (*)
Soeparwi (1922)
1932
Kolaka, Kendari Sultra (*)
Mansjoer (1961)
1969
Kendari, Sultra (80 orang)
Soeparwi (1922) Supartua (1984)
1973
Kendari, Sultra (7 orang)
Soeparwi (1922); Supartua (1984)
1977
Kendari, Sultra (240 orang)
Supartua (1984)
1975-1994
Purwakarta, Jabar (30 orang)
Martindah et al. (1995)
1983-1985
Karawang, Jabar (36 orang)
Idem
1983-1985
Bekasi, Jabar (47 orang)
Idem
1990-1993
Semarang, Jateng (71 orang)
Idem
1990-1993
Boyolali, Jateng (54 orang)
Idem
1994
Kudus, Jateng (1 orang)
1996
Kabupaten Ngada, NTT (24 orang)
Poerwadikarta et al. (1996)
1999-2000
Purwakarta, Jabar (>20 orang)
Widarso et al. (2000)
Idem
*) Jumlah kasus tidak tercatat **) Antara tahun 2000-2010 terjadi beberapa kasus Antraks pada ternak dan manusia di Babakan Madang, Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
2. Penyakit Salmonellosis Hasil pengamatan selama tujuh tahun (1989-1997) terhadap cemaran berbagai serotipe kuman Salmonella pada produkproduk asal ternak di Indonesia cukup memprihatinkan karena jumlah kuman Salmonella yang dapat di isolasi cukup banyak, yaitu 828 kasus pada ayam, 233 kasus pada itik, 219 kasus 92
Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan
pada telur, 95 kasus pada babi, dan 59 kasus pada sapi (SriPoernomo dan Bahri 1998). Data ini menunjukkan bahwa sanitasi di tingkat produsen dan pengolah produk asal ternak belum memadai dan perlu ditingkatkan agar produk tersebut mempunyai daya saing yang tinggi. Selanjutnya data cemaran kuman Salmonella tersebut disajikan dalam Tabel 8. Jumlah bakteri Salmonella yang paling banyak diketemukan adalah S. hadar, S. typhimurium, S. ouakam, S. blackley, S. amsterdam, S. virchow, S. enteritidis, S. senftenberg, S. livingstone dan S. derby. Salmonellosis pada manusia biasanya dikenal sebagai penyakit demam typhoid atau typhoid fever yang kejadiannya banyak dijumpai pada negara berkembang, sedangkan Salmonellosis yang bukan typhoid terutama yang disebabkan oleh S. enteritidis umumnya terjadi baik di negara berkembang maupun negara maju. Tiga puluh empat (34) isolat Salmonella dari 51 yang diisolasi pada manusia adalah S. typhi Group D1, dimana kasus ini serupa dengan kejadian typhoid fever yang dijumpai pada negara berkembang lain. Keadaan ini belum menggambarkan situasi yang sebenarnya di Indonesia karena spesimen tersebut baru yang berasal dari Universitas Indonesia saja (Sri-Poernomo dan Bahri 1998). Perlu diketahui bahwa kuman Salmonella spp. ini merupakan kuman yang secara normal sering dijumpai pada saluran pencernaan hewan, dan umumnya tidak menyebabkan gangguan kesehatan pada hewan tersebut. Namun pada proses pemotongan hewan dan prosesing untuk memanen daging atau produk ternak tersebut seringkali terjadi kontaminasi kuman tersebut karena prosesnya tidak higienis dan pemisahan antara bagian yang kotor dengan yang bersih seringkali tidak diindahkan oleh petugas, sehingga daging atau produk ternak tersebut terkontaminasi oleh Salmonella spp.
93
Komoditas
Jumlah kasus
Total
‘89/’90
‘90/’91
‘91/’92
‘92/’93
‘93/’94
‘94/’95
‘95/’96
49
56
73
131
75
239
205
828
Itik
-
-
46
49
33
50
55
233
Telur
1
30
20
85
70
-
13
219
Sapi
28
-
4
21
6
-
-
59
Babi
69
-
-
-
-
-
26
95
-
-
-
11
39
-
1
51
Ayam
Manusia
Sumber: Sri-Poernomo dan Bahri (1998)
94
Keamanan pangan asal ternak
94
Tabel 8. Cemaran kuman Salmonella spp. pada sampel dari berbagai komoditas ternak dan manusia di Indonesia dari tahun 1989-1996
Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan
Pada telur ayam maupun telur itik juga seringkali terkontaminasi kuman Salmonella melalui kotorannya yang menempel pada kulit telur. Oleh karena itu, seyogyanya telur ayam maupun telur itik yang dipasarkan untuk konsumsi sudah dalam keadaan bersih. Manusia dapat tertular kuman Salmonella spp. tersebut melalui produk ternak yang dimakan dalam keadaan mentah atau tidak matang, atau dapat juga manusia tercemar kuman Salmonella spp. melalui tangan yang tercemar dan tidak dicuci. Salmonella spp. sendiri dalam tubuh manusia dapat menimbulkan gangguan kesehatan berupa gangguan saluran pencernaan, diare, dan lain sebagainya. 3. Penyakit Cysticercosis Penyakit Cysticercosis pada sapi disebabkan oleh Cysticercus bovis yang merupakan cyste dari cacing dewasa Taenia saginata yang hidup di usus. Cysticercosis ini terletak di otot sekitar bagian rahang, jantung, diaphragma dan otot-otot lainnya. Di dalam otot Sistiserkosis ini dibungkus oleh capsula berupa jaringan ikat sehingga dapat hidup sampai lebih dari lima tahun. Bila infestasi sistesirkosis ini bersifat ringan (tidak banyak), maka bagian-bagian organ terkena saja yang dibuang, sedangkan bagian lainnya dapat dikonsumsi. Bila parasit terlalu banyak sebaiknya karkas tidak dikonsumsi atau dilakukan perebusan dahulu. Kasus Cysticercosis pada manusia biasanya banyak terjadi pada daerah-daerah dimana masyarakatnya sering mengonsumsi daging yang kurang matang dan kehidupan sosial budayanya masih tradisional serta tidak higienis seperti di daerah pedalaman Papua. Oleh karena itu, kasus ini sering terjadi pada penduduk asli Papua seperti yang terjadi di Lembah Baliem pada tahun 1988 dengan ditandainya gejala Encephalitis karena parasit tersebut telah menyerang otak (Bahri dan Ginting 1991). Kasus penyakit ini juga pernah dilaporkan terjadi enam
95
Keamanan Pangan Asal Ternak
kasus di Bali dimana dua kasus diantaranya terjadi di Denpasar (Sutisna 1994). Sedangkan kejadian prevalensi Taeniasis di Padang Sambian Sulawesi Utara sekitar 3,2% (Rosidi et al. 1981). 4. Residu atau Cemaran Obat Hewan Kasus cemaran atau residu senyawa obat hewan pada berbagai produk ternak di Indonesia telah banyak diungkapkan oleh berbagai peneliti. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di Balai Besar Penelitian Veteriner juga sudah banyak diungkapkan. Pada kesempatan ini disajikan kasuskasus cemaran atau residu obat hewan pada berbagai produk ternak di Indonesia seperti yang terlihat pada Tabel 9. Data pada Tabel 9 memperlihatkan bahwa kasus residu obat hewan pada susu segar maupun susu pasteurisasi di Jawa Timur, jawa Tengah maupun Jawa Barat cukup tinggi kejadiannya. Pada tahun 1990-an Sudarwanto (1990) menemukan kandungan antibiotika baik pada susu individu, susu kandang maupun susu pasteurisasi asal Jawa Barat dengan persentase kejadiannya lebih tinggi pada susu individu (80%), sedangkan susu kandang persentase kejadiannya cukup rendah (24%) karena kemungkinan akibat pencampuran antara susu individu yang positif dengan susu individu yang negatif antibiotika sehingga kandungan antibiotikanya menjadi rendah dan tidak terdeteksi. Kasus yang cukup menarik adalah pada susu pasteurisasi masih dapat ditemukan keberadaan antibiotika (41%). Hal ini mengindikasikan bahwa kandungan antibiotika pada susu yang dipanaskan sekitar 70C tidak mengalami kerusakan, sehingga masih dapat memberikan dampak negatif bagi konsumen yang mengonsumsi susu tersebut. Kemudian pada tahun 1992, Sudarwanto et al. (1992) meneliti susu pasteurisasi di Jawa Barat dan menemukan kandungan antibiotika golongan Penicillin dengan persentase sekitar 35%.
96
Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan
Tabel 9. Residu obat hewan pada berbagai produk asal ternak di Indonesia Macam antibiotika
Kadar rata-rata/ persen positif (%)
Sumber pustaka
Susu individu (Jabar)
166
Antibiotika
80,0
Sudarwanto (1990)
Susu kandang (Jabar)
416
Antibiotika
24,0
Idem
Susu pasteurisasi (Jabar)
31
Antibiotika
41,0
Idem
Susu segar (Jateng)
91
Tetrasiklin
5,5
Bahri et al. (1992a)
Idem
91
Klortetrasiklin
63,7
Idem
Idem
91
Oksitetrasiklin
70,3
Idem
Susu segar (Jatim)
52
Tetrasiklin
28,8
Bahri et al. (1992b)
Idem
52
Oksitetrasiklin
71,2
Idem
206
Golongan Penisilin
32,5
Sudarwanto et al. (1992)
Daging ayam (Jatim)
60
Antiobiotika
13,2
Hartati et al. 1993)
Hati ayam (Jatim)
40
Antibiotika
82,5
Idem
Hati ayam (Jatim)
30
Oksitetrasiklin
83,3
Darsono (1996)
Telur ayam (Bali)
50
Golongan Sulfa
38,0
Dewi et al. (1997)
Daging ayam (Jabar)
93
Oksitetrasiklin
70,0
Murdiati et al. (1998)
Idem
93
Klortetrasiklin
30,0
Idem
Daging sapi (Jakarta)
49
Penisilin-G
16,3
Yuningsih et al. (2000)
Susu sapi (Jabar)
29
Kloramfenikol
20,7
Murdiati dan Widiastuti (2003)
Susu pasteurisasi
97
Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan PAngan
Jumlah sampel
Produk ternak
97
Keamanan Pangan Asal Ternak
Macam antibiotika
Daging ayam (Jabar)
25
Siprofloksasin
8,0
Widiastuti et al. (2004b)
Daging ayam (Jabar)
25
Enrofloksasin
28,0
Widiastuti et al. (2004b)
Hati ayam (Jabar)
10
Siprofloksasin
10,0
Widiastuti et al. (2004b)
Hati ayam (Jabar)
10
Enrofloksasin
20,0
Widiastuti et al. (2004b)
98
Kadar rata-rata/ persen positif (%)
Sumber pustaka
Keamanan pangan asal ternak
98
Jumlah sampel
Produk ternak
Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan
Selanjutnya Bahri et al. (1992a) juga meneliti residu antibiotika pada susu segar asal Jawa Tengah, dan ditemukan kandungan antibiotika golongan tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin pada sampel yang sama dengan persentase kejadian masingmasing 5,5; 63 dan 70%. Keadaan ini kemungkinan pada individu yang sama mendapat pengobatan dengan antibiotika golongan tetra karena pada waktu itu penggunaan antibiotika golongan tetra banyak dipergunakan baik untuk pengobatan terhadap penyakit Mastitis maupun penyakit infeksi lainnya. Susu segar asal Jawa Timur juga mengandung antibiotika golongan Tetrasiklin (28,8%) dan Oksitetrasiklin (71%). Tampaknya kandungan oksitetrasiklin lebih banyak digunakan daripada tetrasiklin. Murdiati dan Widiastuti pada tahun 2003 juga telah mengungkapkan keberadaan residu antibiotika golongan kloramfenikol dengan persentase kejadian sebesar 20,7% dari 29 sampel susu sapi asal Jawa Barat. Sebagai catatan perlu diketahui bahwa seluruh susu sapi yang dikoleksi untuk diteliti dan diperiksa terhadap keberadaan residu antibiotika ini merupakan susu yang dipersiapkan untuk dikonsumsi masyarakat. Keberadaan berbagai senyawa antibiotika pada susu segar sapi di Jawa Barat, Jawa Tengah maupun Jawa Timur ini menggambarkan bahwa penggunaan antibiotika pada sapi perah sudah tidak mengikuti ketentuan yang ada dimana seharusnya sapi yang sedang dalam pengobatan/pemakaian obat antibiotika tidak diperkenankan diambil susunya untuk dikonsumsi atau diperdagangkan. Kemungkinan besar penggunaan antibiotika ini dimaksudkan untuk mengatasi penyakit mastitis subklinis yang banyak menyerang sapi perah di Indonesia, disamping untuk mengobati penyakit lain. Keberadaan residu antibiotika kloramfenikol cukup memprihatinkan karena antibiotika ini termasuk golongan yang keras sehingga harus berhati-hati penggunaannya dan produk ternak yang mengandung antibiotika tersebut tidak boleh dikonsumsi karena dapat menimbulkan permasalahan resistensi.
99
Keamanan Pangan Asal Ternak
Residu antibiotika pada daging dan hati ayam di Jawa Timur juga telah diungkapkan oleh Hartati pada tahun 1993 dengan persentase kejadian masing-masing 13,2 dan 82,5%. Sedangkan Darsono pada tahun 1996 juga telah mengungkapkan keberadaan residu antibiotika golongan oksitetrasiklin pada hati ayam sebesar 83,3%. Pada data ini tampak bahwa persentase kejadian residu antibiotika pada hati ayam jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pada daging. Hal ini dapat dimengerti karena dalam sistem metabolisme obat di dalam tubuh hewan akan terjadi proses biotransformasi atau detoksifikasi senyawa obat pada organ utama berupa hati dan ginjal. Walaupun senyawa obat dan metabolitnya terdistribusi ke berbagai organ tubuh tetapi konsentrasi senyawa tersebut akan banyak dijumpai pada organ hati, sedangkan pada jaringan lain termasuk otot atau daging ditemui dalam jumlah yang lebih rendah (Setiawati 1987). Data residu obat hewan lainnya adalah golongan sulfa yang terdeteksi pada telur ayam di Bali dengan persentase sebesar 38% (Dewi et al. 1997a). Sedangkan Murdiati mengungkapkan keberadaan oksitetrasilin (70%) dan klortetrasiklin (30%) pada daging ayam asal Jawa Barat pada tahun 1998. Senyawa antibiotika lain berupa siprofloksasin (8%) dan enrofloksasin (28%) pada daging ayam di Jawa Barat juga diungkapkan oleh Widiastuti pada tahun 2004. Demikian juga pada organ hati ayam di Jabar dapat ditemukan residu antibiotika golongan siprofloksasin (10%) dan enrofloksasin (20%). Keberadaan antibiotika pada daging, hati dan telur ayam ini diduga karena ayam-ayam tersebut mendapatkan senyawa antibiotika yang diberikan dalam pakannya. Hal ini didukung oleh pengamatan Bahri et al. (2005) yang mengungkapkan bahwa pakan komersial yang diproduksi oleh pabrik pakan komersial memang ditambahkan senyawa antibiotika sebagai growth promoter. Oleh karena itu, wajar apabila produk ayam yang dihasilkan berupa telur, daging dan hati ayam cukup banyak yang mengandung residu antibiotika. Keadaan demikian perlu
100
Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan
mendapat perhatian dari pemerintah yang mengatur penggunaan obat hewan pada pakan maupun pada ternak, agar menertibkan penggunaan dan peredaran obat hewan yang tidak tepat, karena dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengonsumsi produk tercemar residu obat tersebut. B. Cemaran Pestisida Kasus cemaran pestisida pada bahan pangan asal ternak di Indonesia telah dilaporkan oleh berbagai peneliti seperti yang disajikan pada Tabel 10. Murdiati et al. (1998) telah mengungkapkan keberadaan residu senyawa pestisida pada daging ayam yang berasal dari Jawa Barat. Dalam hal ini dari 61 sampel yang diperiksa, ditemukan 62% mengandung Lindan, 33% DDT, 29% Aldrin, 25% Endosulfan, 10% Dursban, dan 5% Diazinon. Keadaan ini cukup memprihatinkan karena tidak seharusnya senyawa berbagai macam pestisida tersebut dijumpai pada daging ayam. Terjadinya cemaran ini kemungkinan berasal dari pakan atau bahan pakan yang telah terkontaminasi dengan pestisida tersebut, karena memang dalam budidaya tanaman pangan seperti padi, jagung, kedelai maupun tanaman hortikultura selalu menggunakan pestisida untuk mengontrol atau membunuh hama penyakit yang mengganggu tanaman tersebut. Cemaran pestisida dapat dijumpai pada produk tanaman pangan atau hortikultura tersebut apabila pemanenan produk senyawa pestisida masih belum terurai. Pencemaran dapat juga terjadi melalui air atau bahan lain yang dipergunakan dalam proses pembuatan pakan atau dalam proses budidaya ternak.
101
Produk ternak
Jumlah Macam pestisida sampel
Kadar rata-rata/ persen positif
Sumber pustaka
Daging ayam (Jabar)
61
Lindane
38 ppb (62%)
Murdiati et al. (1998)
Idem
61
Aldrin
18 ppb (29%)
Idem
Idem
61
Endosulfan
15 ppb (25%)
Idem
Idem
61
DDT
20 ppb (33%)
Idem
Idem
61
Dursban
6 ppb (10%)
Idem
Idem
61
Diazinon
3 ppb (5%)
Idem
Idem
61
Heptachlor
37 ppb (61%)
Idem
Susu sapi (Jabar)
25
OC
20,5 ppb
OP
50,10 ppb
Daging sapi (Jabar)
44
OC
19,6 ppb
OP
219,9 ppb
Hati sapi (Jabar)
44
OC
23,6 ppb
OP
452,9
Lemak sapi (Jabar)
44
OC
0,7 ppb
OP
619,9 ppb
Otak sapi perah (Jabar)
25
OC
5,1 ppb (68%)
OP
22,7 ppb (36%)
Indraningsih dan Sani (2004) Indraningsih dan Sani (2004) Indraningsih dan Sani (2004) Indraningsih dan Sani (2004) Sani dan Indraningsih (2007)
Keamanan Pangan Asal Ternak
102
Tabel 10. Residu atau cemaran senyawa pestisida pada berbagai produk asal ternak di Indonesia
Lindan
1,46 ppb
Diazinon
3,08 ppb
6
Lindan
5,51 ppb
Indraningsih et al. (2006)
12
Lindan
0,53 ppb
Indraningsih et al. (2006)
OC
1,22 ppb (100%)
OP
1,09 ppb (30%)
Daging (Blora Jateng)
6
Lemak (Blora Jateng) Daging (Wonogiri Jateng)
20
OC: Organochlorine; OP: Organophosphate
Indraningsih (2008)
103
Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan
Susu segar (Jabar)
Indraningsih et al. (2006)
Keamanan Pangan Asal Ternak
Residu pestisida golongan Organochlorine maupun Organophosphate juga ditemukan pada sampel susu asal Jawa Barat pada tahun 2004 (Indraningsih dan Sani, 2004). Selanjutnya pada tahun 2008, Indraningsih juga mengungkapkan keberadaan pestisida golongan Organochlorine pada 20 sampel susu segar asal Jabar, sedangkan residu Organophosphate hanya terdeteksi 30% dari 20 sampel yang sama. Keadaan ini dapat terjadi karena sapi-sapi tersebut kemungkinan mendapat pakan berupa sisa-sisa tanaman hortikultura terutama limbah tanaman sayur-sayuran yang dalam proses budidayanya selalu dilakukan penyemprotan pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit yang menyerang tanaman tersebut. Pemeriksaan pada masing-masing 44 sampel daging, hati dan lemak sapi yang berasal dari Jawa Barat positif mengandung residu Organophosphate dengan kadar rata-rata 219,9 ppb (pada daging), 452,8 ppb (pada hati) dan 619,9 ppb (pada lemak). Keadaan ini menggambarkan bahwa senyawa Organophosphate cenderung akan lebih tinggi terakumulasi pada jaringan lemak. Hal lain yang penting dari informasi ini adalah bahwa organ hati memang menjadi organ tempat terkonsentrasinya senyawa toksik sesuai dengan fungsinya bahwa hati merupakan tempat terjadinya proses metabolisme atau detoksifikasi senyawa toksik. Oleh karena itu, walupun organ hati memiliki kandungan zat gizi yang cukup baik seperti beberapa vitamin dan zat besi, juga mengandung senyawa toksik yang relatif cukup tinggi dibandingkan dengan organ lainnya. Oleh karena itu, kebiasaan untuk memberikan hati sebagai makanan bergizi untuk bayi di Indonesia perlu ditinjau ulang mengingat banyaknya ditemukan berbagai residu senyawa toksik pada organ hati. Keadaan saat ini memang sudah sangat berbeda dengan keadaan pada zaman dahulu sebelum penggunaan pestisida maupun senyawa kimia pertanian (agrochemical) banyak digunakan, sehingga wajar apabila nenek moyang kita sejak zaman dahulu secara turun-temurun sudah menjadi
104
Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan
kebiasaan memberi makan hati kepada bayi sebagai makanan bergizi yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi karena ternak pada waktu itu masih mendapat pakan yang alami (yang sekarang kita sebut sebagai pakan organik). Namun dengan situasi yang sudah berubah, juga wajar apabila kebiasaan tersebut ditinjau ulang. Dengan banyaknya kasus ditemukannya residu berbagai senyawa pestisida dan turunannya pada berbagai produk ternak (seperti susu, daging, hati), maka masalah keamanan pangan asal ternak di Indonesia cukup memprihatinkan. Oleh karena itu, sudah waktunya untuk dilakukan tindakan nyata dari pemerintah dalam menjalankan peraturan yang sudah ada termasuk sanksi administratif maupun pidananya. Selain itu juga melengkapi berbagai peraturan yang belum ada agar permasalahan keamanan pangan asal ternak dapat melindungi konsumen rakyat Indonesia dari bahaya cemaran dan atau penyakit yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Pemerintah harus secara tegas dan konsekuen menuntaskan semua peraturan yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. C. Cemaran Mikotoksin Kasus-kasus cemaran atau residu mikotoksin pada produk ternak di Indonesia juga telah dilaporkan oleh berbagai peneliti seperti disajikan pada Tabel 11. Dari data pada Tabel 11 ternyata baru senyawa aflatoksin dan turunannya yang dapat diungkapkan keberadaannya dalam berbagai produk ternak seperti susu, telur, daging dan hati. Sementara itu, senyawa mikotoksin lainnya belum diungkapkan. Pada Tabel 11 tersebut terlihat bahwa Aflatoksin M1 (AFM1) sering ditemukan pada susu segar yang berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Beberapa sampel seperti yang berasal dari Boyolali, Ungaran dan Solo memiliki kandungan rata-rata di atas batas maksimum residu (BMR) yang
105
Keamanan Pangan Asal Ternak
diperbolehkan untuk dikonsumsi manusia (0,5 ppb). Sedangkan susu yang berasal dari Jawa Barat pada sampel yang diuji ini masih berada di bawah BMR. Hal ini kemungkinan karena sapi perah yang dipelihara di Jawa Barat umumnya berada pada dataran tinggi dengan suhu sekitar relatif rendah (dingin) sehingga bahan pakan yang berasal dari sekitar tidak banyak tercemar mikotoksin, sebagaimana diketahui bahwa kapang penghasil mikotoksin umumnya tumbuh dan berbiak pada berbagai komoditas pertanian pada suhu sekitar 27-32C. Sebaliknya di daerah Jawa Tengah seperti Solo, Ungaran dan Boyolali memiliki suhu sekitar yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Jawa barat seperti Pangalengan dan Lembang, sehingga peluang kapang penghasil mikotoksin termasuk Aflatoksin untuk tumbuh dan berkembangbiak pada berbagai komoditas pertanian termasuk bahan pakan dan pakan sapi perah lebih tinggi. Oleh karena itu, wajar apabila susu segar asal ketiga daerah di Jawa Tengah tersebut memiliki kandungan AFM1 yang lebih tinggi daripada susu asal Jawa Barat. Pendapat ini didukung oleh hasil pengamatan penulis yang memeriksa bahan pakan dan pakan sapi perah di Boyolali pada tahun 1988. Pakan yang mengandung senyawa aflatoksin tersebut di dalam tubuh sapi akan mengalami proses detoksifikasi atau metabolisme setelah diserap usus dan melalui aliran darah portal kemudian sampai di organ hati. Di organ hati ini sebagian besar senyawa aflatoksin mengalami perubahan sebagai hasil detoksifikasi tersebut menjadi senyawa AFM1 dan sebagian lagi menjadi senyawa aflatoksikol (Ro) yang toksisitasnya jauh berkurang dibandingkan dengan senyawa induknya.
106
Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan
Tabel 11. Residu atau cemaran senyawa aflatoksin pada berbagai produk asal ternak di Indonesia Jumlah sampel
Macam mikotoksin
Kadar rata-rata/ persen positif
Sumber pustaka
Susu segar (Jabar)
97
AFM1
0,4 ppb
Bahri et al. (1991)
Susu segar (Boyolali)
25
AFM1
1,69 ppb
Maryam et al. (1993)
Susu segar (Ungaran)
24
AFM1
0,99 ppb
Idem
Susu segar (Solo)
24
AFM1
1,09 ppb
Idem
Susu segar (Bogor)
12
AFM1
0,04-0,17 ppb
Bahri et al. (1994)b
Telur ayam buras (Blitar)
20
Ro
1,04 ppb
Maryam et al. (1994)
Telur ayam ras (Blitar)
40
AFB1
0,2 ppb
Idem
Idem
40
Ro
2,36 ppb
idem
Telur itik (Blitar)
10
AFB1
0,37 ppb
Idem
Idem
10
Ro
1,5 ppb
Idem
Hati ayam broiler (Jabar)
31
AFM1
12,07 ppb
Maryam (1996)
Idem
31
Ro
1,54 ppb
Idem
Telur ayam ras (Bandung)
20
AFM1
O,123 ppb
Maryam et al. (1995)
Daging ayam broiler (Jabar)
31
AFM1
7,36 ppb
Maryam (1996)
Daging sapi (Jabar)
30
AFB1
0,45-1,14 ppb
Widiastuti (2000)
Produk ternak
107
Keamanan Pangan Asal Ternak
Produk ternak
Jumlah sampel
Macam mikotoksin
Kadar rata-rata/ persen positif
Sumber pustaka
Produk ternak
Jumlah sampel
Macam mikotoksin
Kadar rata-rata/ persen positif
Sumber pustaka
Idem
30
AFM1
< 0,1 ppb
Idem
Hati sapi (Jabar)
20
AFB1
0,33-1,44 ppb
Idem
Idem
20
AFM1
< 0,1 ppb
Idem
Susu sapi (Jabar)
37
AFM1
0,13 ppb
Widiastuti et al. (2004a)
AFM1: Aflatoksin M1; AFB1: Aflatoksin B1; Ro: Aflatoksikol
108
Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan
Residu aflatoksin juga dapat dijumpai pada telur ayam ras, ayam buras maupun telur itik, baik dalam bentuk AFB1, AFM1 maupun aflatoksikol (Ro). Serupa dengan yang diuraikan dalam proses metabolisme/detoksifikasi senyawa aflatoksin menjadi AFM1 dan Ro pada sapi perah, maka proses yang terjadi pada unggaspun tidak jauh berbeda. Apabila pada sapi perah, senyawa metabolit tersebut didalam tubuh diekreasikan keluar tubuh melalui air susu, maka pada unggas senyawa tersebut dieksresikan ke dalam telur pada waktu proses pembentukan telur. Selain itu senyawa metabilit aflatoksin lainnya akan dikeluarkan melalui saluran empedu masuk ke saluran pencernaan dan akhirnya keluar bersama feses, sebagian lagi akan dieksresikan melalui ginjal ke dalam air seni. Sumber utama pencemaran mikotoksin atau aflatoksin ke dalam produk unggas adalah melalui pakan dan bahan pakan yang dikonsumsinya. Sebagaimana diketahui bahwa sekitar 50% pakan terdiri dari jagung, lainnya berupa bungkil kedelai, dan berbagai komoditas pertanian lainnya selain tepung ikan, MBM, dan lain sebagainya. Jagung yang kontribusinya paling besar dalam pakan merupakan sumber utama pencemar aflatoksin pada unggas komersial. Hal ini telah dibuktikan berdasarkan data dari Ginting et al (1984a; b) dan Widiastuti et al. (1988a; b). Hasil penelitian Widiastuti et al (1988a) menunjukkan bahwa kandungan aflatoksin dalam pakan dari suatu pabrik pakan ternak komersial mempunyai korelasi yang erat dengan kandungan aflatoksin pada jagung yang dipergunakan sebagai bahan baku pakan komersial tersebut. Dalam hal ini apabila kandungan aflatoksin dalam jagung tinggi,maka kandungan aflatoksin dalam pakan yang dihasilkan pada bulan yang sama juga akan tinggi. Sebaliknya apabila kandungan aflatoksin jagungnya rendah, maka kandungan aflatoksin dalam pakannya juga akan rendah. Bahkan dalam penelitian tersebut juga diungkapkan bahwa dalam pengamatan selama satu tahun terhadap kandungan aflatoksin pada jagung yang masuk ke pabrik pakan memperlihatkan bahwa
109
Keamanan Pangan Asal Ternak
kandungan aflatoksin relatif lebih tinggi pada bulan-bulan basah dimana banyak hujan turun, sedangkan sebaliknya pada bulanbulan musim kemarau kandungan aflatoksinnya relatif rendah. Residu aflatoksin juga ditemukan pada daging dan hati ayam dengan kadar rata-rata 7,3 ppb AFM1 pada daging ayam dan 12,07 ppb AFM1 pada organ hati ayam. Keadaan ini menunjukkan bahwa kandungan residu aflatoksin pada hati jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pada daging, apalagi dibandingkan pada telur. Hal ini sesuai dengan teori bahwa selain organ hati merupakan tempat utama terjadinya proses detoksifikasi atau biotransformasi berbagai senyawa toksik, juga tempat dimana berbagai senyawa toksik baik senyawa induknya maupun metabolitnya terakumulasi. Oleh karena itu, wajar apabila banyak negara maju tidak mengonsumsi organ hati sebagai makanan untuk manusia. Mungkin sudah waktunya juga agar pemerintah Indonesia mengkaji kembali kebijakan untuk mengonsumsi organ hati untuk manusia, apalagi untuk anak balita. D. Residu Hormon Meningkatnya impor daging sapi maupun sapi bakalan dari Australia menimbulkan berbagai kontroversi dari sebagian masyarakat yang merasa khawatir terhadap kemungkinan daging sapi asal Australia tersebut mengandung residu hormon pertumbuhan seperti Trenbolon asetat (TBA). Kekhawatiran ini didasarkan adanya informasi bahwa Australia termasuk negara yang membolehkan penggunaan hormon untuk merangsang/ mempercepat pertumbuhan ternak sapi apabila diberikan pada sapi-sapi bakalan yang sedang tumbuh. Atas dasar kecurigaan tersebut Widiastuti et al. (2000) melakukan serangkaian penelitian dengan mengambil sampel berupa daging sapi impor yang diperdagangkan di pasar swalayan DKI Jakarta. Selain daging sapi, juga diambil sampel berupa organ hati sapi yang sama-sama diimpor dari Australia.
110
Kasus-kasus Penyakit dan Cemaran Terkait Keamanan Pangan
Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa dari 34 sampel daging sapi yang diperiksa, memperlihatkan bahwa lebih dari separuhnya, yaitu 19 sampel atau 58,8 % positif mengandung hormon 17-B Trenbolon. Sedangkan dari 16 sampel organ hati impor yang diperiksa, memperlihatkan positif mengandung hormon 17-B Trenbolon sebesar 37,5 %. Hasil yang serupa juga dikemukakan oleh Rasyid (komunikasi pribadi 2010) yang melakukan penelitian kandungan residu hormon pada daging sapi impor.
111