Otoritas Nasional Keamanan Pangan Di Indonesia, mungkinkah ? Purwiyatno Hariyadi1 Majalah Volume Halaman Abstrak
: SNI VALUASI : Vol. 2 No.2 Tahun 2008 : 7-9
(INA) Ide mengenai Otoritas Nasional Keamanan Pangan (ONKP) di Indonesia adalah untuk mengelola proses kajian risiko keamanan pangan nasional, yang mana hasilnya kan menjadi input bagi semua stakeholders untuk merumuskan kebijakan manajemen dan komunikasi risiko, sesuai dengan bidang garapannya masing-masing. Hal ini diharapkan dapat menghindarkan dari conflict of interest antara departemen yang melakukan pengembangan standar, pembinaan dan pengawasan di bidang keamanan pangan. Harapannya ONKP dapat mengkoordinasi kegiatan kajian risiko kemanan pangan. Pendahuluan Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (UU No 7, 1996 tentang Pangan). Saat ini tuntutan akan keamanan pangan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat konsumen. Hal ini telah menyebabkan keamanan pangan menjadi faktor prasyarat bagi produk pangan. Untuk itu, Industri pangan perlu mempunyai sistem pemastian keamanan pangan. Tanpa adanya pemastian keamanan pangan, maka produk pangan yang dihasilkannya akan sulit memasuki persaingan perdagangan dan mendapat kepercayaan konsumen. Dalam konteks persaingan dan pedagangan global, meningkatnya tuntutan akan jaminan keamanan pangan yang tinggi ini tentunya juga perlu diantisipasi oleh industri dan pemerintah Indonesia. Tidak hanya dalam rangka mengantisipasi semakin ketatnya persyaratan keamanan pangan yang akan diberlakukan oleh negara pengimpor; tetapi juga dalam rangka memberikan jaminan keamanan pangan bagi konsumen. Tanggungjawab Bersama Status keamanan produk pangan sangat dipengaruhi oleh kondisi setiap tahapan proses yang dilaluinya, mulai dari bahan mentah sampai ke produk jadi di tangan konsumen (from farm to table). Untuk memberikan jaminan keamanan pangan maka perlu dilakukan pengendalian pada setiap mata rantai proses penanganan dan pengolahan
1
Dr Purwiyatno Hariyadi adalah Direktur Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center, LPPM-IPB, Bogor.
pangan, mulai dari lapang (sawah, kebun, kolam), proses pengolahan, penggudangan dan penyimpanan, distribusi dan pemasaran, sampai kepada konsumsi oleh konsumen. Karena mencakup berbagai mata rantai produksi pangan, maka keamanan pangan juga harus ditangani secara terpadu, melibatkan berbagai stakeholders; baik dari pemerintah, industri, dan konsumen. Karena itu, pada dasarnya upaya penjaminan keamanan pangan di suatu negara merupakan tanggung jawab bersama (shared responsibility) oleh berbagai stakeholder tersebut (WHO, 1996; Gambar 1). Dalam hal ini, masing-masing stakeholder mempunyai peranan yang strategis. Dalam kerangka WHO (1996) tersebut, pihak industri pangan bertanggungjawab dalam (i) terlaksananya cara-cara yang baik dalam pengolahan, penyimpanan dan distribusi pangan, (ii) pengendalian dan jaminan mutu pangan olahan, (iii) teknologi dan pengolahan pangan, (iv) tersedianya manajer dan tenaga pengolah pangan yang terlatih, (v) pelabelan yang informative, dan (vi) pendidikan konsumen. Selanjutnya, pihak konsumen juga mempunyai tanggung jawab dalam hal (i) memperoleh pengetahuan umum yang berhubungan dengan keamanan pangan, (ii) berperilaku selektif dalam menentukan pilihan produk, (iii) melaksanakan praktek penanganan pangan di rumah secara baik dan aman, (iv) membangun partisipasi masyarakat, dan(v) membangun kelompok-kelompok konsumen yang aktif. Secara khusus, pihak pemerintah bertanggung jawab dalam (i) menyusun legislasi dan peraturan hukum di bidang pangan, (ii) memberikan masukan dan bimbingan pada industri pangan, (ii) memberikan pendidikan bagi masyarakat konsumen tentang pentingnya keamanan pangan, (iv) melakukan pengumpulan informasi dan penelitian di bidang keamanan pangan, dan (v) menyediakan sarana dan prasarana pelayanan yang terkait dengan bidang kesehatan.
Gambar 1. Tiga pilar penanggungjwab Keamanan Pangan
Sistem Keamanan Pangan Terpadu? Dalam upaya menjalankan tanggungawabnya, pemerintah Indonesia menyadari bahwa upaya pengelolaan keamanan pangan ini harus melibatkan banyak instansi dari berbagai departemen sektoral. Lebih lanjut disadari bahwa kewenangan instansi sektoral masih tumpang tindih satu sama lain. Beberapa fasilitas di masing-masing sektor bahkan cenderung duplikasi daripada saling mengisi; sehingga rawan terjadinya inefisiensi dan disharmoni. Menyadari betapa kompleksnya permasalahan keamanan pangan ini, pemerintah telah melakukan langkah strategis pada tahun 2000/2001, dengan membentuk lembaga independen yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang bertanggungjawab langsung ke Presiden. Ini adalah langkah strategis dalam rangka –antara lainmemberikan jaminan keamanan pangan kepada publik. Selanjutnya, pada tahun 2004; dikeluarkan Peraturan Pemerintah no. 28 (PP28/2004) tentang Mutu, Gizi dan Keamanan
Pangan; yang didalamnya mencoba mengatur tugas dan fungsi berbagai lembaga pemerintah yang bertanggungjawab atas keamanan pangan. Pada kenyataannya; pelaksanaan PP28/2004 ini mengalami berbagai hambatan karena melibatkan begitu banyak lembaga di berbagai Departemen Pemerintahan; seperti BPOM, Depertemen Kesehatan, Depertemen Pertanian, Depertemen Kelautan dan Perikanan, Depertemen Perdagangan, Depertemen Perindustrian dan berbagai lembaga terkait lainnya. Lebih lanjut, pembagian tanggungjawab dan kewenangan yang dilakukan menurut PP28/2004 berdasarkan pada komoditas; dimana masing-masing lembaga melakukan ketiga kagiatan utama analisis risiko (Gambar 2).
Gambar 2. Kerangka Analisis Risiko Analisis risiko, seperti didefinisikan oleh Codex Alimentarius Commision, terdiri dari tiga kegiatan yaitu – Kajian Risiko (Risk Assessment) yaitu penentuan tingkat risiko, Manajemen Risiko (Risk Management) yaitu penetapan metoda dan cara yang dibutuhkan untuk mengurangi risiko, dan Komunikasi risiko (Risk Communication) yaitu metoda penyampaian informasi mengenai risiko dan kegiatan analisis risiko untuk menjamin bahwa semua stakeholders terlibat secara aktif dalam proses. Karena masing-masing lembaga terkait melakukan ketiga kegiatan analisis risiko untuk suatu komoditas pangan yang menjadi kewenangannya, di sebagian atau disepanjang segmen rantai pangan, maka peluangnya cukup besar untuk timbulnya disharmoni regulasi keamanan pangan antar produk; atau untuk satu produk pada segmen rantai pangan yang berbeda. Dalam mengantisipasi hal ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI telah membuat prakarsa pengembangan Sistem Keamananan Pangan Terpadu. Pada kenyataannya; Sistem Keamananan Pangan Terpadu (SKPT) adalah forum kerja sama antar instansi terkait untuk memantapkan program keamanan pangan di Indonesia. SKPT ini dikembangkan dengan menggunakan pendekatan analisis risiko sebagai kerangka kerjanya. Dalam konsep SKPT, pendekatan analisis risko yang melibatkan berbagai stakeholder keamanan pangan dilakukan dengan menggunakan konsep jejaring (network). Dalam hal ini, sistem keamanan pangan terpadu terdiri dari tiga jejaring (Fardiaz, 2006), yaitu (i) jejaring Intelijen Pangan yang merupakan jejaring kajian risiko , (ii) jejaring Pengawasan Pangan, yang merupakan jejaring manajemen risiko, dan jejaring Promosi Keamanan Pangan, yang merupakan jejaring komunikasi risiko. Selanjutnya, pihak-pihak
terkait sesuai dengan tugas dan bidangnya masing-masing mengelompokkan diri ke dalam tiga jejaring di atas dan bersinergi satu sama lain untuk meningkatkan dan mengoptimalkan kegiatan yang berkaitan dengan analisis risiko di atas. Otoritas Nasional Keamanan Pangan (ONKP)? Menurut penulis, dengan memperhatikan kondisi sistem keamanan pangan; kondisi saat ini tepat untuk Indonesia melakukan konsolidasai sistem keamanan pangan. Sistem keamanan pangan yang ada sekarang –termasuk SKPT- masih sangat kompleks dan tidak jelas model koordinasinya. Dalam SKPT yang dikembangkan oleh BPOM, koordinasi jelas merupakan titik kritis bagi SKPT yang sukses. Kompleksitas permasalahan pengelolaan keamanan pangan ini juga banyak menjadi sorotan berbagai negara lain. Di berbagai negara, banyak dilakukan upaya untuk melakukan konsolidasi sistem keamanan pangan nasionalnya menuju sistem keamanan pangan yang lebih ramping, dan bahkan dalam beberapa kasus menuju badan otoritas tunggal keamanan pangan (US GAO, 2005). Kajian US GAO (2005) menyatakan bahwa walaupun banyak tantangan yang dihadapi –termasuk tantangan perubahan sistem perundang-undangan yang berlaku- disimpulkan bahwa reformasi dan perampingan (streamlining) sistem keamanan pangan sangat mungkin dilakukan; terutama jika terdapat konsensus dan komitmen diantara semua lembaga lembaga pemerintah, industri pangan, dan organisasi konsumen. Melihat kondisi sistem keamanan pangan di Indonesia sekarang ini, maka penulis berkeyakinan bahwa upaya konsolidasi sistem keamanan pangan ini perlu dilakukan. Potensi manfaat yang bisa ditimbulkan dari upaya konsolidasi ini terutama adalah untuk mengurangi tumpang-tindih upaya pengelolaan keamanan pangan. Disamping itu, konsolidasi ini akan memungkinkan dilakukannya penegakan hukum yang lebih konsisten dan tepat waktu (timely). Manfaat utama lain dari upaya konsolidasi ini adalah dimungkinkannya terbentuk Otoritas Nasional Keamanan Pangan (ONKP). Sampai saat ini, sistem yang yang ada menyebabkan sulitnya diidentifikasi otoritas nasional keamanan pangan. Dengan SKPT sekali pun, tidak juga mudah bisa diidentifikasi siapa otoritas nasional keamanan pangan. Ketiadaan atau ketidak-jelasan otoritas nasional keamanan pangan ini sangat merugikan posisi indonesia; karena peran negosiasi regulasi keamanan pangan di tingkat internasional tidak bisa dikelola dengan baik. Dengan demikian, ketiadaan atau ketidakjelasan otoritas nasional keamanan pangan juga berpotensi merugikan negara dan menurunkan daya saing produk pangan Indonesia, dan sekaligus berpeluang merugikan kepentingan konsumen Indonesia. Karena itulah dipandang perlu melakukan konsolidasi sistem keamanan pangan; dan sekaligus mengupayakan pembentukan lembaga Otoritas Nasional Keamanan Pangan (ONKP). Dalam kerangka analisis risiko keamanan pangan, ONKP bertugas untuk mengelola proses kajian risiko keamanan pangan nasional; yang mana hasilnya akan menjadi input bagi semua stakeholders untuk merumuskan kebijakan manajemen dan komunikasi risiko; sesuai dengan bidang garapannya masing-masing. Mengambil European Food Safety Authority (EFSA; Majewski, 2006) sebagai model, maka ONKP (dalam bahas Inggris bisa disebut sebagai Indonesian Food Safety Authority, IFSA) memang akan bertugas terutama melakukan kegiatan kajian risiko (risk assessment) dalam rangka pengembangan standar, peraturan dan pedoman keamanan
pangan. Disamping itu, ONKP bisa pula melakukan kegiatan komunikasi risiko yang sifatnya umum. Namun terlihat ONKP tidak akan melaksanakan kegiatan manajemen risiko. Manajemen risiko akan dilakukan oleh setiap badan pemerintah sesuai dengan bidang kompetensinya. Kegiatan promosi keamanan pangan (risk communication) bisa juga dilakukan sendiri-sendiri oleh bdan pemerintah tersebut sesuai bidang pangan yang menjadi mandatnya. Dengan dilakukannya kajian risiko oleh lembaga tunggal yang mempunyai otoritas tertinggi (ONKP), maka tumpang tindih dan disharmoni peraturan keamanan pangan akan menjadi minimal. Disamping itu, dengan ditariknya fungsi kajian risiko dari berbagai departemen teknis; maka departemen teknis bisa lebih memfokuskan dirinya pada aspek pembinaan (manajemen risiko). Sedangkan aspek pengawasan; secara terfokus dilaksanakan oleh badan pengawas; yang dalam hal ini adalah BPOM. Hal ini berarti menghilangkan confilc of interest yang selama ini terjadi; dimana departemen yang sama melakukan pengembangan standar, melakukan pembinaan dan sekaligus juga melalukan pengawasan. Lebih lanjut, ONKP bisa sekaligus berperan sebagai lembaga clearing house keamanan pangan; yang melakukan fungsi utama menyediakan dasar ilmiah bagi regulasi pangan di Indonesia. Usulan regulasi pangan itu sendiri bisa berasal dari berbagai stakeholders, yang oleh ONKP akan diurutkan berdasarkan pada skala prioritas nasional untuk ditangani. Regulasi pangan yang dikeluarkan oleh ONKP bersifat mengikat terhadap semua badan pemerintah; namun badan pemerintah yang terkaitlah yang berwenang bertugas melakukan manajeman (pengawasan dan penindakan/enforcement) risiko keamanan pangan. Dalam hal ini, lembaga pemerintah terkait akan melakukan proses identifikasi, evaluasi, pemilihan dan pelaksanaan opsi manajemen risiko; dengan menggunakan input dari ONKP. Dalam upaya keterpaduan, maka manager risiko (Risk Manager) di masingmasing instansi berwenang; perlu membentuk media komunikasi dan koordinasi didalam suatu jejaring pengendalian pangan. Komunikasi risiko adalah suatu proses interaktif pertukaran informasi dan juga pendapat pendapat tentang risiko diantara pengkaji risiko, manajer risiko dan semua pihak terkait (stakeholders) lainnya. Komunikasi risiko dilakukan oleh tim dari masing-masing instansi yang berwenang dan dipimpin oleh seorang Risk Communicator. Untuk bisa melakukan kegiatan komunikasi risiko dengan baik dan efisien, maka setiap lembaga yang mempunyai tugas pokok dan fungsi melakukan komunikasi risiko perlu saling melakukan komunikasi dan koordinasi dalam suatu jejaring promosi keamanan pangan. Kesimpulan Pengelolaan keamanan pangan dengan kaidah from farm to table memerlukan keterlibatan dan keterpaduan berbagai instansi terkait. Mengacu kepada (i) kompleksitas permasalahan keamanan pangan terutama dengan mempelajari sistem keamanan pangan sesuai dengan PP 28 (2004), dan (ii) kecenderungan global tentang upaya konsolidasi berbagai lembaga keamanan pangan yang ada di berbagai negara, maka Otoritas Nasional Keamanan Pangan (ONKP) bisa berperan sebagai ujung tombak keamanan pangan yang paling tepat. Sebagai ujung tombak (otoritas nasional), ONKP dapat mengkoordinasi kegiatan kajian risiko keamanan pangan. Namun demikian, pelaksanaan manajemen risiko tetap dilakukan oleh instansi-instansi terkait lainnya; dimana fungsi pengawasan
menjadi fokus utama BPOM. Untuk meningkatkan fungsi koordinasi perlu dilakukan melalui sistem jejaring.
Daktar Pustaka Fardiaz, D. Keamanan Pangan Bagi Kita Semua. FOODREVIEW Indonesia, Edisi Juli, 2006. Hariyadi, P dan Andarwulan, N. 2007. Menghentikan peredaran pangan bermasalah di pasar : konsolidasi sistem keamanan pangan di Indonesia. Piramedia, Depok. Majewski, C. 2006. European Food Safety Authority (EFSA). Makalah Presentasi pada Seminar “Recent Development of Food Safety Regulation in European Countries”. 12 Juli 2006. SEAFAST Center, IPB. US GAO. 2005. Experiences of Seven Countries in Consolidating Their Food Safety Systems. United States Government Accountability Office. Report to Congressional Requesters. GAO-05-212. WHO. 1996. Guidelines for Strengthening a National Food Safety Programme. Food Safety Unit, Division of Food and Nutrition, WHO, 1996.