LAHAN SAWAH DI INDONESIA SEBAGAI PENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL Paddy Fields In Indonesia As A Back Stopped For National Food Security Wahyunto BBSDLP, Bogor
ABSTRACT Recently, total area of paddy field in Indonesia about 7,8 million hectares, including: irrigated, rainfed, tidal and deep water. Rice production stock dominantly supported by irrigated padddy field (60,3%) and rainfed paddy field (26,5%), both fields are concentrated in Java island. Due to limited water resources availability and decrease of environment quality of Java, it is contain high risk sustainable for fully oriented based supported rice stock from Java island. Application of new and modern technology to increase rice production and its productivity could be achieved through increasing intensification strategy and bio-technology application (genetic modification, hybrid seedling), accompany with management improvement and environment stability consideration. In the near future, food commodities such as cassava, soybean are not only benefit for food but also used as renewable based material bio-energy. This condition will hamper the used of existing land resources optimalization including paddy field for the meet food crops demand. Strengthening food stability should be back stopped by agricultural land extensification. However, availability acurate data on potential and available land could be used for agriculture (paddy field), could be used to supply food, are primary needed. Without accurate data supplies, planning strategy on land resources management food supply will be un controlled. Up to now, paddy field/ rice is still a strategic commodity in Indonesia, because paddy field/rice is the main source of food security is also an economic resource for over 30 million farmers. Efforts to increase rice production must be balanced by increasing farmers' income, ease of accessibility to consumers, and the actualization of food security. Keywords : food security, land conversion, paddy fields, productivity.
Informatika Pertanian Volume 18 No. 2, 2009
133
PENDAHULUAN Lahan sawah memiliki fungsi strategis, karena merupakan penyedia bahan pangan utama bagi penduduk Indonesia. Data luas baku lahan sawah untuk seluruh Indonesia menunjukan bahwa sekitar 41% terdapat di Jawa, dan sekitar 59% terdapat di luar Jawa (BPS, 2006). Data menunjukkan bahwa dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk berbagai sektor, konversi lahan sawah cenderung mengalami peningkatan, di lain pihak pencetakan lahan sawah baru (ekstensifikasi) mengalami perlambatan (Sudaryanto, 2003; Irawan, 2004; dan Agus et al., 2006). Di Jawa akibat konversi lahan, sawah baku cenderung berangsur berkurang luasnya, sedangkan di luar Jawa berangsur bertambah. Teknologi pertanian mengalami kemajuan yang cukup berarti, namun penerapan teknologi di tingkat petani berjalan relatif lambat sehingga peningkatan produktivitas, misalnya padi, rata-rata hanya di bawah 1% per tahun. Hal ini menyebabkan kenaikan produksi beras nasional praktis mengalami stagnasi- levelling off (Adiningsih et al., 1997). Lahan sawah yang berbahan induk volkan seperti tanah-tanah sawah di Jawa secara alami lebih subur bila dibanding dengan tanahtanah sawah daerah lain yang berbahan induk bahan tersier. Adanya kesuburan tanah alami yang relatif lebih baik dan ditunjang oleh adopsi teknologi budidaya yang lebih maju, mengakibatkan terjadinya kesenjangan produktivitas yang tinggi antara lahan sawah di Jawa dan di luar Jawa (Subagjo et al., 2000). Namun sebagai dampak adanya konversi lahan sawah yang terjadi secara alamiah dan sulit untuk dihindari, pengembangan lahan sawah di luar Jawa harus lebih diintensifkan. Perlambatan ekstensifikasi ditambah dengan desakan terhadap konversi lahan sawah untuk pembangunan sektor lain menyebabkan luas baku lahan sawah mengalami penyusutan dari sekitar 8,3 juta ha pada tahun 1990 menjadi sekitar 7,8 juta ha pada tahun 2005 (BPS, 1990 dan 2005). Pada umumnya lahan sawah yang mengalami konversi adalah lahan yang mempunyai produktivitas tinggi di Pulau Jawa dan di sekitar kota-kota besar yang merupakan pusat pembangunan di luar Pulau Jawa (Simatupang dan Rusastra, 2004; dan Agus et al., 2006). Sebaliknya lahan yang baru dibuka mempunyai produktivitas yang rendah, karena mempunyai berbagai kendala mulai dari kendala fisik (Dariah dan Agus, 2007), kimia (Setyorini et al., 2007) dan biologi (Saraswati et al. 2007), serta berbagai kendala sosial, kelembagaan, infrastruktur, dan rendahnya tingkat keuntungan. Dengan demikian, sebagian lahan sawah yang baru dibuka tidak dapat digunakan secara optimal oleh penduduk setempat sehingga sebagian beralih fungsi untuk penggunaan lain seperti perkebunan kelapa sawit dan karet. 134
Lahan Sawah di Indonesia Pendukung Ketahanan Pangan Nasional
Untuk mempertahankan ketahanan pangan nasional, beberapa usaha yang perlu dilaksanakan secara simultan antara lain : pengendalian konversi lahan pertanian, mencetak lahan pertanian baru dan intensifikasi sistem pertanian dengan menerapkan teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan sekaligus mempertahankan kualitas lingkungan (Agus dan Mulyani, 2006). Walaupun secara teoritis ketahanan pangan mengandung aspek yang sangat luas, termasuk kemampuan mengadakan bahan pangan baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar negeri, namun dalam berbagai kebijakan pembangunan pertanian, usaha pencapaian ketahanan pangan sebagian besar difokuskan pada peningkatan kemandirian (self sufficiency) pangan terutama beras (Agus, 2007). Di antaranya adalah Gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yakni peningkatan produksi beras nasional sekitar 5% per tahun pada tahun 2007-2009, merupakan salah satu bukti usaha pemerintah dalam pembangunan pertanian Indonesia untuk peningkatan kemandirian beras. Tulisan ini mengulas karakteristik lahan sawah di Indonesia yang mencakup sifat-sfat tanah dan sebarannya, jenis-jenis irigasi dan potensi produksinya, serta upaya peningkatan produksi dan usaha untuk mengurangai laju konversi lahan untuk mendukung ketahanan pangan nasional. TANAH SAWAH Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi, tetapi merupakan istilah umum seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya (Sarwono et al., 2004). Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia. Disamping itu padi sawah juga ditemukan pada berbagai macam iklim yang jauh lebih beragam dibanding dengan jenis tanaman lain, dengan demikian sifat tanah sawah sangat beragam sesuai dengan sifat tanah asalnya. Tanah sawah mempunyai beberapa nama dalam sistem klasifikasi tanah, yaitu : rice soils, paddy soil, lowland paddy soil, artificial hydromorphic soil, dan aquorizem. Dudal (1964) menyebutkan bahwa lahan sawah terdapat pada tanah-tanah : Alluvial, Gley humus rendah, Grumusol, Latosol, Andosol, Regosol, Podsolik merah kuning, dan Planosol. Dalam sistem klasifikasi tanah FAO (World Reference Base for Soil Resources) tanah sawah termasuk grup tanah Anthrosols (FAO, 1998). Tanah sawah dicirikan oleh horizon Antra-aquic yaitu adanya lapisan olah dan lapisan tapak bajak. Eswaran et al., 2001 dalam Hardjowigeno et al., 2004 menyebutkan sebagian besar lahan sawah di Indonesia dan Asia Tenggara umumnya terdapat pada tanahInformatika Pertanian Volume 18 No. 2, 2009
135
tanah Inceptisol, Ultisol, Oxisols dan sebagian kecil pada tanah-tanah Vertisols, Mollisol dan Histosols. Jenis-jenis tanah utama yang umumnya digunakan sebagai lahan sawah di Indonesia disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Soepraptohardjo dan Suhardjo (1978) dan Hardjowigeno et al., (2004), mengemukakan bahwa tanah sawah dataran rendah, didominasi (55%) oleh subordo Aquepts, dan Aquents (Aluvial dan tanah Glei), sedangkan tanah sawah di daerah lahan kering (upland) didominasi (17%) oleh subordo Udepts (Latosol dan Regosol). Tanahtanah sawah yang termasuk dalam ordo Aquepts dan Aquents, umumnya berasal dari tanah dengan air tanah yang sangat dangkal atau selalu tergenang air, khususnya di daerah pelembahan atau lahan rawa. Sedangkan yang termasuk Udepts, umumnya berasal dari lahan kering yang disawahkan (Hardjowigeno et al, 2004). Ordo tanah sawah lainnya, adalah Vertisol (Grumusols), terutama mencakup sub ordo Aquert, Udert, dan Ustert (sekitar 7%). Tanah sawah yang termasuk ordo tanah Ultisol dan Oxisol (Podsolik merah kuning), dengan subordo utama Aquults dan Udults, serta Aquox dan Udox (sekitar 6%). Tanah sawah yang termasuk dalam ordo tanah Alfisol dan Andisol (Mediteran Merah kuning dan Andosol) sebagian besar termasuk dalam sub ordo Udalfs, Ustalfs dan Aquands (sekitar 4%). Beberapa tanah sawah bukaan baru pada daerah lahan kering di luar Pulau Jawa, umumnya termasuk dalam ordo Ultisol dan Oxisol (Podsolik merah kuning, Lateritik, Latosol). Tanah sawah yang termasuk ordo Oxisol jumlahnya masih sangat sedikit, diperkirakan <1% dari seluruh tanah sawah yang ada (Prasetyo, 2007; Ritung dan Suharta 2007). Dari aspek proses pembentukan tanah, wilayah datar dengan lereng kecil (0-3%) cenderung akan membentuk tanah-tanah dengan muka air tanah dangkal atau bahkan selalu tergenang. Tanah yang terbentuk, sifat-sifatnya banyak ditentukan oleh pengaruh air tanah dengan drainase yang jelek atau terhambat (aquic condition). Jika terdapat sumber air untuk pengairan, wilayah datar dapat dikembangkan untuk perluasan areal sawah. Semakin besar lereng, muka air tanah cenderung makin dalam, dan umumnya terbentuk tanah-tanah berpenampang dalam dengan drainase baik (Subagjo et al., 2000). Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan, atau dari tanah rawa yang dikeringkan dengan membuat saluran drainase. Bila relief atau topografi tanah asal berombakbergelombang atau berlereng, maka lebih dulu harus dibuat teras bangku. Sawah yang airnya berasal dari air irigasi disebut sawah irigasi, sedang yang menerima langsung dari air hujan disebut sawah tadah hujan. Di daerah pasang surut ditemukan sawah pasang surut, 136
Lahan Sawah di Indonesia Pendukung Ketahanan Pangan Nasional
sedangkan yang dikembangkan di daerah rawa-rawa disebut sawah rawa atau sawah lebak. Berkaitan dengan proses pembuatan lahan sawah, sifat tanah asal (virgin soil ) dimungkinkan dapat berubah. Pada lahan rawa/ pasang surut terjadi proses pengeringan tanah, mulai dari lapisan atas ke lapisan bawah. Sebaliknya pada tanah kering yang disawahkan, akan terjadi proses pembasahan dari lapisan atas ke bawah. Lahan sawah yang berasal dari bahan volkan atau selalu mendapat luapan dari aktivitas gunung berapi (volkan) umumnya lebih subur bila dibanding dengan lahan sawah yang berkembang dari bahan induk lainnya. Karena sebagian besar gunung berapi di Indonesia berada di Pulau Jawa, secara tidak langsung lahan sawah di Pulau Jawa umumnya lebih subur bila dibanding dengan tanah sawah di luar Pulau Jawa. Sawah bukaan baru di luar Pulau Jawa yang dikembangkan di daerah lahan kering didominasi oleh tanah-tanah Ultisol dan Oxisol, dan yang dikembangkan di daerah pasang surut didominasi oleh tanahtanah Entisol, Inceptisol dan Histosol. Tanah-tanah tersebut umumnya mempunyai tingkat kesuburan tanah yang rendah, sehingga secara alami produktivitas tanahnya juga rendah. Dengan masukan (input) dan tingkat pengelolaan yang sama dengan apa telah di lakukan di Pulau Jawa, sebagian besar lahan sawah di luar Jawa (terutama sawah bukaan baru) produktivitas dan produksinya tidak akan bisa seperti dengan lahan sawah di Pulau Jawa. Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian yang terbatas, rendahnya penguasaan teknologi pertanian oleh petani dan terbatasnya tenaga kerja di sektor pertanian merupakan kendala dalam usaha meningkatkan produksi padi di Luar Jawa. Dengan demikian usaha peningkatan produksi padi melalui pembukaan lahan sawah baru tidak dapat diharapkan sepenuhnya berhasil dalam jangka pendek. Dengan demikian fungsi lahan sawah di Pulau Jawa sebagai penghasil padi secara nasional masih sulit digantikan oleh adanya usaha pencetakan lahan sawah di luar Pulau Jawa.
Tabel 1. Tanah-Tanah Sawah di Indonesia Informatika Pertanian Volume 18 No. 2, 2009
137
No.
Ekosistem Sawah
A
Dataran rendah (Low land) Aquept, Aquent
B
Dataran Tinggi/ lahan kering (Upland) Udept
Sebaran 55%
(Aluvial dan tanah Glei) 17%
(Latosol dan Regosol) C Komplek (kombinasi A dan B) 1 Vertisol (Grumusol)
7%
(Subordo Aquert, udert, dan ustert) 2 Ultisol dan Oxisol (Podsolik Merah Kuning) (Subordo: Aquult dan Paleudult, serta Aquox dan Udox
6%
3 Alfisol dan Andisol (Mediteran Merah Kuning dan
4%
Andosol) Sub ordo Udalfs, Ustalfs, dan Aquands 4 Sawah bukaan baru: Ultisol (Podsolik merah kuning) 5 Sawah bukaan baru: Oxisols
10% 1%
(Latosol, Lateritik) JUMLAH
100%
Sumber : Soepraptohardjo dan Suhardjo, 1978 dan Hardjowigeno, et al., 2004 (diolah)
Tabel 2. Jenis Tanah Sawah di Indonesia Jenis Tanah (USDA, 2003)
Sawah
Sawah
Sawah
Sawah
Order
Sub-Order
Irigasi
Tadah hujan
Rawa/ lebak
Psang surut
utama
Inceptisols
Aquepts
+
+
+
+
Padi, Palawija
Udepts
-
+
-
-
Padi, Palawija
Ustepts
-
+
-
-
Padi, Palawija
Entisols
Vertisols
Andisols
Jenis tanaman
Aquents
+
-
+
+
Padi, Palawija
Fluvents
+
+
-
-
Padi, Palawija
Aquerts
+
+
-
-
Padi, Palawija
Uderts
+
+
-
-
Padi, Palawija
Usterts
+
+
-
-
Padi, Palawija
Aquands
+
+
-
-
Padi, Sayuran
Tabel 2. Jenis Tanah Sawah di Indonesia Lanjutan
138
Lahan Sawah di Indonesia Pendukung Ketahanan Pangan Nasional
Jenis Tanah (USDA, 2003) Order Sub-Order Alfisols Udalfs Ustalfs
Sawah Irigasi + +
Sawah Tadah hujan + +
Sawah Rawa/ lebak -
Sawah Psang surut -
Jenis tanaman utama Padi, Palawija Padi, Palawija
Mollisols
Aquolls Ustolls
-
+ +
-
-
Padi, Palawija Padi, Palawija
Ultisols
Aquults
+
+
-
-
Padi, Palawija
Oxisols
Aquox
-
+
-
-
Padi, Palawija
Histosols (tebal <100 cm)
Hemists Saprist
-
-
+ +
+ +
Padi, Palawija Padi, Palawija
Spodosols
Aquods
-
-
+
-
Padi, Palawija
Keterangan: + = dominan dijumpai/ digunakan Sumber: Subagjo et al., 2000 (diolah).
- = jarang / tidak dijumpai/ digunakan
LAHAN SAWAH DI INDONESIA DAN PERKEMBANGANNYA Berdasarkan Atlas sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1:1.000.000, luas wilayah Indonesia mencakup 188,2 juta ha (Puslitbangtanak, 2000). Dari total luas tersebut, 148,2 juta ha di antaranya berupa lahan kering dan sisanya 40 juta ha lahan basah. Kawasan lahan basah tersebut, sebagian besar berupa hutan, semak belukar dan rumput rawa yang belum dimanfaatkan, serta lahan gambut, pasang surut ataupun lebak. Sebagian kecil sudah berupa sawah yaitu sawah irigasi, sawah tadah hujan, sawah pasang surut, dan sawah lebak, dengan total luas 7,8 juta ha (BPS, 2006 dan Ritung, dan Suharta, 2007). Lahan sawah di Indonesia (tidak termasuk di Maluku dan Papua), pada tahun 1980 tercatat seluas 7,7 juta ha yang terdiri dari sawah irigasi (57,9%), sawah tadah hujan (37,0%) dan sawah pasang surut/ lainnya (lebak) sekitar 5%. Pada tahun 1990 lahan sawah tersebut bertambah luas menjadi 8,3 juta ha. Peningkatan yang significan terjadi pada sawah lebak dan pasang surut dari semula pada tahun 1980 sebesar 5,1% pada tahun 1990 meningkat menjadi 19 % dan sawah irigasi meningkat 3,9%. Pada tahun 2000 lahan sawah menjadi 7.528.870 ha, dengan demikian selama periode waktu 1990 – 2000 (10 tahun) lahan sawah berkurang 781,849 ha atau menyusut 78.184 ha Informatika Pertanian Volume 18 No. 2, 2009
139
per tahun. Penyusutan terjadi terutama pada sawah rawa/ lebak dan sawah tadah hujan. Dalam periode 5 tahun selanjutnya (tahun 2000 – 2005), menurut catatan BPS, terjadi perluasan areal sawah dari 7,5 juta ha menjadi 7,8 juta ha atau bertambah 0,3 juta ha (Tabel 3). Pertambahan luasan tersebut dimungkinkan belum memperhitungkan adanya konversi lahan (terutama di sekitar Pantai utara Pulau Jawa) sebagai dampak pesatnya pembangunan akhir-akhir ini. Meningkatnya kebutuhan lahan untuk kegiatan pembangunan di luar sektor pertanian, konversi lahan pertanian termasuk lahan sawah semakin sulit dihindari, dengan demikian sebenarnya justru luasan lahan sawah terutama di Pulau Jawa dan Bali dan sekitar kota-kota besar lainya cenderung semakin berkurang. Penyusutan terjadi, justru pada lahan sawah yang telah beririgasi dan mempunyai produktivitas yang tinggi. Tabel 3. Lahan Sawah di Indonesia Tahun 1980, 1990, 2000 dan 2005 (dalam ha) Tahun 1,980.0 % 1990 % 2000 % 2005 %
Irigasi Teknis 1,729,168 22.4 1,925,230 23.2 2,214,141 29.4 2,185,880 27.7
Semi Teknis 1,022,654 13.3 1,021,030 12.3 988,358 13.1 990,576 12.6
Irigasi Sederhana 1,707,984 22.2 1,600,235 19.3 1,666,316 22.1 1,576,169 20.0
Tadah hujan 2,849,613 37.0 2,188,985 26.3 1,728,160 23.0 2,088,666 26.5
Pasang surut 222,293 2.9 470,892 5.7 590,471 7.8 657,434 8.3
Lainnya 173,532 2.3 1,104,347 13.3 341,424 4.5 386,809 4.9
Jumlah Total 7,705,244 100.0 8,310,719 100.0 7,528,870 100.0 7,885,534 100.0
Sumber : BPS (1980 -2006), diolah
Di Pulau Jawa pada periode tahun 1980-an sampai tahun 1995an cenderung menunjukan adanya peningkatan luasan lahan sawah, terutama pada sawah irigasi. Pada tahun 1980 tercatat luas area sawah di Pulau Jawa seluas 3,48 juta ha dan pada tahun 1995 seluas 3,55 juta ha atau mengalami peningkatan sebesar 66.432 ha atau bertambah 4.428 ha per tahun (0,12% per tahun). Namun selama 10 tahun terakhir (1995 s/d 2005) tercatat lahan sawah menyusut dari 3.556.376 ha, menjadi 3.235.533 ha, yaitu berkurang sebesar 320.843 ha (9,02%). Hal ini diduga sebagai akibat kebutuhan lahan untuk pembangunan di sektor non pertanian. Pada tahun 2005 (Tabel 4) sebagian besar lahan sawah di Pulau Jawa berupa sawah irigasi (76,2%) sebagian besar (45,5%) sudah beririgasi teknis, dan sawah tadah hujan (23,6%). Sawah pasang surut cenderung terus menurun, diindikasikan digunakan sebagai tambak (tambak udang dan bandeng), karena dirasa secara ekonomi lebih menguntungkan. Sawah lebak/ sawah rawa juga cenderung semakin menyusut, diindikasikan setelah 140
Lahan Sawah di Indonesia Pendukung Ketahanan Pangan Nasional
didrainase menjadi sawah tadah hujan atau sawah irigasi, tetapi kemungkinan sebagian dikonversi ke penggunaan non pertanian (permukiman, industri). Tabel 4. Lahan Sawah Berdasarkan Jenis Pengairan di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara tahun 1980 -2005 (dalam ha) Pulau/ tahun
Semi Teknis
Irigasi Sederhana
1980 1,289,147 479,420 1985 1,396,361 367,475 1990 1,512,542 463,057 1995 1,564,282 409,993 2000 1,526,629 414,052 2005 1,471,197 391,583 % 45.5 12.1 P.Bali & 1980 57,715 118,746 NTT 1985 60,494 164,476 1990 43,327 167,428 1995 60,494 164,475 2000 72,696 165,746 2005 92,250 168,793 % 21.9 40.0 P.Kalimantan1980 129,955 66,492 1985 4,038 15,794 1990 29,153 34,456 1995 10,261 14,885 2000 21,857 28,395 2005 24,890 30,413 % 2.5 3.1 P.Sumatera 1980 183,200 316,707 1985 129,683 163,055 1990 166,174 222,944 1995 252,376 211,608 2000 305,229 265,790 2005 327,525 271,580 % 14.0 11.6 P.Sulawesi1980 69,151 41,289 1985 270,018 127,646 1990 174,034 133,145 1995 256,210 104,250 2000 287,730 114,375 2005 270,018 128,207 % 30.3 14.4 Sumber: BPS 1980 s/d 2005 (diolah)
743,137 708,032 688,012 703,238 651,648 601,972 18.6 118,569 93,531 97,738 92,495 95,386 91,761 21.8 73,122 125,680 143,200 146,684 177,692 138,317 13.9 608,483 364,653 443,422 434,564 482,469 528,055 22.6 164,673 213,455 227,863 270,983 259,121 216,064 24.2
P.Jawa
Irigasi Teknis
Tadah hujan
Pasang surut
Lainnya
Jumlah/ Total
967,531 1,022,380 863,665 874,505 758,367 763,632 23.6 57,863 54,263 75,332 54,263 60,957 68,474 16.2 454,019 257,707 410,683 376,505 328,370 365,144 36.7 1,141,444 386,477 566,570 496,501 542,910 615,493 26.3 228,756 275,923 272,735 321,155 37,556 275,923 30.9
1,956 837 3,565 1,953 469 649 0.0 105 130 15 135 362 0 0.0 158,695 171,013 239,788 288,248 323,474 331,072 33.2 58,382 243,624 223,383 245,316 264,384 324,129 13.9 3,155 1,584 4,141 2,420 1,782 1,584 0.2
8,753 29,803 17,826 2,405 1,967 6,500 0.2 3,076 20,906 29,679 20,906 600 288 0.1 50,189 305,856 487,478 529,790 88,679 106,145 10.7 57,207 361,943 519,401 420,299 248,983 273,418 11.7 54,307 458 49,963 61,874 1,195 458 0.1
3,489,944 3,524,888 3,548,667 3,556,376 3,353,132 3,235,533 100.0 356,074 393,800 413,519 392,768 395,747 421,566 100.0 932,472 880,088 1,344,758 1,366,373 968,467 995,981 100.0 2,365,423 1,649,435 2,141,894 2,060,664 2,109,765 2,340,200 100.0 561,331 889,084 861,881 1,016,892 701,759 892,254 100.0
Di Bali dan Nusa Tenggara tahun 2005 lahan sawah seluas 421.566 ha. Lahan sawah ini, 21.9% berupa sawah irigasi teknis, 40,0% sawah irigasi semi teknis, 21,8% sawah irigasi sederhana, 16,2% sawah tadah hujan, sawah lebak dan sawah pasang surut luasnya kurang dari 1%. Informatika Pertanian Volume 18 No. 2, 2009
141
Terutama di daerah Bali yang merupakan daerah tujuan utama di Indonesia banyak lahan sawah yang terkonversi menjadi kawasan pariwisata yang secara ekonomi lebih menguntungkan. Di Pulau Sumatra sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 1990 terutama sawah pasang surut dan sawah lebak cenderung meningkat. Tren atau laju peningkatan semua jenis lahan sawah (sawah irigasi, pasang surut, dan rawa lebak) cukup signifikan terutama dari tahun 1995 (seluas 2.060.664 ha) sampai tahun 2005 (seluas 2.340.200 ha) atau meningkat 279.536 ha (peningkatan luas areal 27.953 ha per tahun atau 1,35% per tahun (tabel 2). Pencetakan sawah telah dilakukan di beberapa daerah di luar Jawa. Hal ini merupakan indikasi keberhasilan program pemerintah dalam bidang ekstensifikasi pertanian untuk mendukung ketahanan pangan. Pulau Sulawesi pada tahun 1980 lahan sawah seluas 561.331 ha dan pada tahun 2005 menjadi seluas 892.254 ha. Bila mengabaikan data lahan sawah tahun 1995 yang korelasinya dengan data lain kurang significan, maka selama 25 tahun terakhir lahan sawah di Sulawesi mengalami kenaikan 330.923 ha atau bertambah 13.236 ha (2,3%) per tahun. Di Sulawesi sawah irigasi menempati areal yang cukup luas yakni 68,9% dari luas seluruh sawah di Sulawesi dan 30%-nya sudah beririgasi teknis, dan 30,9% lainnya masih berupa sawah tadah hujan. Di Kalimantan terlihat peningkatan luas lahan sawah terjadi mulai tahun 1980 (seluas 932.472 ha) sampai tahun 1995-an (seluas 1.366.373 ha), terutama pada sawah pasang surut, sawah lebak dan sawah tadah hujan. Selama 15 tahun (1980 – 1995) lahan sawah bertambah luas 433.901 ha atau rata-rata bertambah luas 28.926 ha/tahun (3,1%). Mulai tahun 2000-an sampai tahun 2005 lahan sawah cenderung berkurang yang luasnya mendekati lahan sawah pada tahun 1980. Pada tahun 2005 lahan sawah seluas 995,981 ha yang terdiri atas 33,2% sawah pasang surut; 36,7% sawah tadah hujan; 13,9% sawah irigasi sederhana, 10,7% sawah lebak/ rawa dan 6% lainnya berupa sawah irigasi teknis dan semi teknis. Berkurangnya lahan sawah di Kalimantan, diduga sebagian dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman perkebunan, yang secara ekonomis lebih menguntungkan. Produksi padi di Indonesia sebagian besar berasal dari lahan sawah irigasi (60,3%) dan sawah tadah hujan (26,5%). Kedua sawah tersebut 41%-nya terdapat di Pulau Jawa. Dengan demikian, terindikasi adanya ketergantungan produksi padi dari lahan sawah terutama sawah irigasi ke Pulau Jawa (Jawa menyumbangkan sekitar 60% dari produksi padi nasional). Hal ini cukup beresiko tinggi, terutama karena ketersediaan air yang makin terbatas oleh kerusakan lingkungan dan kawasan Daerah aliran sungai (DAS), keadaan diperparah oleh fenomena alam 142
Lahan Sawah di Indonesia Pendukung Ketahanan Pangan Nasional
El Nino (Irianto et al., 2004). Lahan sawah irigasi diharapkan masih dapat memberikan kenaikan produksi, di Pulau Jawa melalui peningkatan intensitas pertanaman dari IP 200 menjadi IP 300. dan di luar Jawa melalui intensifikasi dan peningkatan IP dari IP 100 menjadi IP 200 saat terjadi La Nina. Lahan sawah irigasi di Pulau Jawa yang berpotensi untuk ditingkatkan IP-nya menjadi IP 300 diperkirakan seluas 50.000 ha (Las et al., 2002). Lahan lebak dangkal, tengahan, dan sebagian lebak dalam di luar Jawa, pada saat terjadi El-Nino, yang dapat dimanfaatkan untuk pertanaman padi semakin meluas. Sawah pasang surut dapat diintensifkan setelah tata air diperbaiki, seperti yang telah dibuktikan di Sumatra Selatan (Kasryno, 2004). Dalam dua dekade terakhir perluasan sawah irigasi di Jawa berjalan lambat, begitu juga di Sumatra, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Kalimantan. Luas lahan sawah tadah hujan berfluktuasi. Di semua pulau, luas lahan sawah tadah hujan naik pada tahun 1980 sampai tahun 1990, tetapi tahun 1990 ke tahun 2000 cenderung turun. Luas lahan sawah pasang surut mengikuti kecenderungan yang sama dengan luas lahan sawah tadah hujan. Jadi secara agregat terkesan bahwa penambahan luas areal pertanaman padi sawah berlangsung pesat pada periode tahun 1980-1990, kemudian lambat setelah tahun periode tahun 1990. Menurunnya lahan sawah tadah hujan terjadi karena dua hal, yaitu: a) konversi lahan tadah hujan menjadi lahan sawah irigasi berlangsung dari tahun 1980 sampai 2000, dan b) sumber air dalam bentuk debit air sungai dan volume air waduk makin berkurang karena fungsi hridroorologis DAS makin berkurang sebagai akibat kerusakan DAS. Makin menciutnya lahan pasang surut dan tadah hujan di luar Jawa, khususnya di Sumatra dan Kalimantan, dapat disebabkan oleh konversi atau alih fungsi lahan pertanian tanaman semusim menjadi lahan perkebunan. Di Jawa, sejak tahun 1995 boleh dikatakan telah terjadi pengurangan areal sawah. Penambahan areal sawah beririgasi teknis terjadi dengan mengkonversi lahan sawah tadah hujan dan lahan sawah irigasi sederhana (meningkatkan sarana irigasi). Di Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan terjadi kecenderungan penambahan luas lahan sawah beririgasi masing-masing dengan laju 2,5%; 2,8% dan 3,3% sehingga total lahan sawah beririgasi di Indonesia bertambah 1% per tahun. Total areal persawahan di ketiga pulau ini naik dengan laju 1,37%; 1,83% dan 1,51% per tahun dalam dua dekade terakhir. Data ini menggambarkan mulai bergesernya potensi sumberdaya pertanian dari Jawa ke Sulawesi, Sumatra dan Informatika Pertanian Volume 18 No. 2, 2009
143
Kalimantan, atau terjadi perluasan sumber pertumbuhan produksi pangan nasional ke luar Jawa. Berdasarkan presentase luasannya, lahan sawah beririgasi tertinggi adalah di Bali dan Nusa Tenggara yaitu 82,9%, diikuti Jawa 77%, Sulawesi 66%, Sumatra 48%, dan terendah di Kalimantan 20%, sedangkan dari total luas sawah seluruh Indonesia mencapai 60,3 %. Potensi lahan yang cukup besar adalah lahan pasang surut dan lebak di Sumatra dan Kalimantan dengan areal yang sudah dikembangkan dan ditempati penduduk setempat mencapai 3,3 juta ha dan yang direklamasi untuk transmigrasi 670.000 hektar. Lahan yang efektif untuk areal persawahan pasang surut dan lebak mencapai 1,51 juta ha pada tahun 1990, kemudian tahun 2000 tinggal 1,18 juta ha (karena lahan rawa lebak yang produktif sudah dijadikan sawah). Potensi pengembangan lahan pasang surut dan lebak di Sumatra dan Kalimantan masih memungkinkan, dengan lahan potensial sekitar 2,7 juta hektar (Ritung dan Suharta, 2007). Pemanfaatan lahan rawa lebak sangat bergantung kepada iklim. Pada saat iklim kering, luas sawah lebak justru meningkat. Peningkatan luas lahan sawah di Indonesia sebagai dampak keberhasilan usaha peningkatan/ perluasan areal sawah beririgasi, terutama di Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi dan pengembangan prasarana irigasi baru di Kalimantan dan Sulawesi. Diharapkan sentra produksi padi dan palawija di masa depan, secara bertahap akan bergeser ke Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Peningkatan produksi komoditas di Jawa dan Bali serta Nusa Tenggara sudah sangat terbatas, bahkan akan cenderung menurun,` karena telah terjadi pelandaian produksi (levelling off) dan adanya konversi lahan sawah ke penggunaan lain yang terus berlangsung tanpa kendali. PRODUKTIVITAS LAHAN SAWAH Potensi Produksi Lahan Sawah Produktivitas lahan sawah di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Sulawesi, Sumatra, Kalimantan, Maluku dan Papua berturut-turut adalah : 5,3; 4,6; 4,5; 4,2; 3,4; 3,4 ton/ha (BPS, 2006). Tampak bahwa Pulau Jawa dengan sebaran luas lahan sawah sekitar 41% dari total luas lahan sawah di Indonesia mempunyai produktivitas lahan tertinggi. Tingginya Produktivitas padi di Pulau Jawa selama ini paling tinggi, karena tanah sawah di Jawa relatif lebih subur, dan juga sistem pengelolan lahan dilakukan intensif disertai dengan input sarana produksi yang memadai. Dengan demikian lahan sawah di Pulau Jawa merupakan andalan pemasok utama beras nasional. Bali dan Nusa Tenggara walaupun mempunyai produktivitas lahan relatif tinggi, yakni sekitar 4,6 ton/ha, namun areanya relatif sempit, yakni hanya sekitar 144
Lahan Sawah di Indonesia Pendukung Ketahanan Pangan Nasional
5,3% dari total luas lahan sawah di Indonesia. Sulawesi dan Sumatra mempunyai produktivitas lahan yang termasuk tinggi setelah Jawa, yakni berturut-turut 4,5 dan 4,2 ton/ha dengan sebaran luas masingmasing sekitar 11,3 dan 29,6% dari total luas sawah. Sedangkan Kalimantan, Maluku, dan Papua mempunyai produktivitas yang terendah, yakni dibawah 4,0 ton/ha dengan sebaran luas yang sempit yakni masing-masing hanya sekitar 16 % dan 0,4% dari total luas lahan sawah. Peningkatan produksi dan produktivitas padi sawah berlangsung sejak dicanangkannya intensifikasi padi sawah melalui BIMAS pada tahun 1960an. Luas panen, produksi dan produktivitas meningkat cukup tajam sampai pada periode tahun 1989 -1993. Setelah tahun 1993, peningkatan luas panen, produksi padi sawah semakin kecil, sedangkan produktivitas nampaknya telah mencapai titik maksimum yaitu rata-rata sekitar 4,6 ton/ ha (Adiningsih et al., 2000 dan Sudaryanto, 2003). Meningkatnya produksi dan produktivitas padi sawah tersebut dapat dicapai melalui berbagai upaya seperti intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi yang telah dilakukan pemerintah berupa peningkatan indeks pertanaman (IP) padi dengan cara memperluas jaringan irigasi dan meningkatkan ketersediaan air, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk, pemberantasan hama secara terpadu dan lain-lain. Sedangkan perluasan areal persawahan umumnya dilakukan di luar Jawa terutama di daerah transmigrasi yang mempunyai potensi sumber air mencukupi. Produktivitas padi sawah di luar Jawa, terutama di Kalimantan, Maluku, dan Papua relatif rendah dibandingkan dengan Jawa. (Tabel 5 dan Tabel 6). Rata-rata produktivitas padi di luar Jawa sekitar 4,0 ton/ ha, sedangkan di Jawa berkisar antara 5,0 – 5,4 ton/ha. Produktivitas padi di Sumatra, Sulawesi serta Bali, dan Nusa Tenggara berkisar antara 4,0 – 4,5 ton/ha, sedangkan di Kalimantan serta Maluku dan Papua umumnya kurang dari 4,3 ton/ ha. Budidaya padi yang belum intensif terutama dalam hal pemupukan dan tingkat kesuburan tanah yang rendah merupakan penyebab utama rendahnya produktivitas padi di Luar Jawa. Berdasarkan hal tersebut, potensi untuk meningkatkan produktivitas padi sawah di luar Jawa masih cukup besar. Sebaliknya rata-rata produktivitas padi sawah di Jawa sudah mencapai titik jenuh, bahkan beberapa tahun terakhir cenderung menurun sehingga potensi peningkatan produktivitas di Jawa sangat kecil. Tabel 5. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi di Indonesia Tahun 1969-1973
Luas panen Juta ha 6,8
Informatika Pertanian Volume 18 No. 2, 2009
Produksi Juta ton 23,7
Produktivitas Ton/ ha 3,5
145
1974-1978 1979-1983 1984-1988 1989-1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2001 2002 2003 2004 2005
7,4 7,9 8,8 9,5 9,5 10,1 10,3 9,9 10,5 10,7 11,5 11,52 11,48 11,92 11,81
23,2 29,8 37,6 43,7 44,0 46,8 48,2 46,6 46,5 47,8 50,46 51,48 52,13 54,08 54,05
3,2 3,8 4,3 4,6 4,6 4,6 4,7 4,7 4,4 4,5 4,39 4,47 4,54 4,54 4,57
Sumber: Biro Pusat Statistik (BPS) 1971-2006
Tabel 6. Produktivitas Padi Sawah di Jawa dan Luar Jawa (Ton/Ha) Wilayah Jawa Sumatra Bali dan Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku dan Papua Rata-rata luar Jawa
1995
1996
1997
1998
1999
2001
2002
2003
2004
2005
5,3 4,1 4,5
5,4 4,1 4,5
5,4 4,1 4,5
5,0 4,0 4,4
5,0 4,0 4,5
5,1 4,1 4,5
5,2 4,0 4,6
5,3 4,1 4,6
5,3 4,1 4,7
5,3 4,2 4,6
2,8 4,2 2,6
2,9 4,5 2,9
3,0 4,5 2,8
2,7 4,0 2,8
3,0 4,2 2,9
3,1 4,3 3,0
3,2 4,4 3,1
3,2 4,5 3,5
3,4 4,4 3,4
3,4 4,5 3,4
3,9
4,0
4,0
3,9
3,9
4,0
4,0
4,1
4,1
4,2
Sumber: Biro Pusat Statistik (BPS) 1995- 2006
Peningkatan Produktivitas Lahan Sawah Potensi lahan sawah yang ada perlu ditingkatkan produksinya sebagai alternatif mengatasi dampak dari konversi lahan pertanian ke non pertanian. Strategi yang digunakan oleh Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan (2002) untuk meningkatkan produksi pangan khususnya padi antara lain adalah melalui program : (1) peningkatan produktivitas hasil, (2) perluasan areal tanam, dan (3) pengamanan produksi. Peningkatan produktivitas hasil komoditas dilakukan melalui peningkatan mutu intensifikasi dengan menerapkan rekayasa sosial dan teknologi maju yang efisien dan spesifik lokasi, serta didukung oleh penerapan alat mesin pertanian dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Teknologi yang dikembangkan antara lain 146
Lahan Sawah di Indonesia Pendukung Ketahanan Pangan Nasional
mencakup: penyiapan lahan secara tepat waktu, pemanfaatan air secara optimal, penggunaan bibit/varietas unggul, perbaikan budidaya, pemupukan berimbang, pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dan penekanan kehilangan hasil. Program Perluasan areal tanam ditempuh melalui peningkatan IP100 menjadi IP200 atau IP200 menjadi IP300, memanfaatkan lahanlahan potensial seperti lahan kering, lahan rawa pasang surut/ lebak, penambahan baku lahan/ pencetakan sawah di luar Pulau Jawa. Dewasa ini, strategi pemanfaatan teknologi baru dalam peningkatan produksi harus berada di urutan terdepan. Pemanfaatan bio-teknologi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas, mulai dari modifikasi genetika (genetical modified/ GM atau dikenal dengan transgenik), hibrida, yang disertai dengan perbaikan teknis budidaya akan menjadi tumpuan harapan dalam usaha peningkatan produksi.
USAHA MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL Lahan sawah yang saat ini luasnya sekitar 7,8 juta ha, cenderung menciut akibat konversi untuk memenuhi tuntutan pembangunan di berbagai sektor, bahkan sekitar 3,1 juta ha atau 42% diantaranya terancam akan dialihfungsikan, sebagaimana tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/ kota seluruh Indonesia. Jumlah penduduk yang banyak (lebih dari 230 juta) dan terus bertambah memerlukan produk pangan dalam jumlah yang terus meningkat (peningkatan kebutuhan pangan nasional 1-2% per tahun), sehingga keberadaan lahan sawah dalam jumlah yang cukup dan layak untuk mendukung ketersediaan dan ketahanan pangan mutlak diperlukan. Disamping itu perlu upaya peningkatan produksi pangan (terutama padi) secara berkelanjutan. Mengandalkan pangan impor untuk ketahanan pangan nasional tentu riskan terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, sosial dan politik nasional. Upaya peningkatan produksi harus diimbangi dengan peningkatan pendapatan petani, kemudahan aksesibilitas konsumen, dan aktualisasi keamanan pangan. Sebaliknya komoditas non pangan yang umumnya lebih bersifat komersial dituntut untuk memiliki daya saing yang tinggi agar mampu meraih pangsa pasar global secara optimal. Oleh karena itu produktivitas tinggi, efisiensi sistem produksi, serta peningkatan mutu dan nilai tambah produk menjadi tumpuan utama dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Untuk mencapai berbagai target dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional terdapat beberapa ancaman dan kendala yang harus Informatika Pertanian Volume 18 No. 2, 2009
147
diantisipasi dan ditanggulangi. Dalam aspek sumberdaya lahan dan lingkungan, ancaman dan kendala yang paling serius adalah konversi dan alih fungsi lahan sawah irigasi yang ternyata tidak mudah dikendalikan karena adanya tuntutan pembangunan di berbagai sektor. Acaman lain adalah degradasi lahan, air dan lingkungan pertanian, seperti erosi, longsor, pencemaran, fenomena variabilitas dan perubahan iklim/ pemanasan global, keterbatasan lahan subur dan potensial, tetapi sebaliknya terjadi perluasan lahan terlantar. Oleh sebab itu, diperlukan suatu strategi untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lahan pertanian yang ada saat ini dan mempersiapkan upaya pemanfaatan lahan potensial baru yang tersedia untuk perluasan pertanian di masa yang akan datang, tanpa harus merusak lingkungan dan mendorong terjadinya pemanasan global. Untuk mempertahankan ketahanan pangan dan pengembangan bioenergi nasional, diperlukan strategi dan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya lahan, baik lahan pertanian (sawah yang sudah dimanfaatkan saat ini maupun lahan cadangan). Strategi tersebut adalah: (1) mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan eksisting (lahan sawah yang ada saat ini) agar lebih produktif dan lestari, baik secara kuantitas (luasan) maupun kualitas (kesuburan/ produktivitas), antara lain melalui: intensifikasi dan peningkatan intensitas tanam (IP200, IP300, IP400), pengembangan inovasi teknologi, perbaikan sistem pengelolaan DAS dan konservasi tanah dan air, dan pengendalian konversi lahan. (2) perluasan areal pertanian/ sawah baru atau ekstensifikasi dengan beberapa upaya, seperti ekstensifikasi dengan memanfaatkan lahan potensial, prioritas pemanfaatan lahan basah untuk tanaman pangan berbasis padi, pengembangan inovasi teknologi, pengembangan varietas unggul yang adaptif pada lahan sub-optimal dan cekaman perubahan iklim. Untuk menjamin produksi beras hingga tahun 2025, Badan Litbang Pertanian telah menghitung kebutuhan perluasan areal sawah, sekitar 1,4 juta ha. (3) percepatan penyiapan dan pelaksanaan beberapa kebijakan dan regulasi kelembagaan untuk melindungi lahan pertanian tanaman pangan/sawah. Strategi peningkatan produksi beras yang dipandang sesuai untuk lima tahun mendatang adalah optimalisasi penggunaan sumberdaya, efisiensi usaha tani padi, dan efisiensi pasca panen.
PENUTUP Lahan sawah di Indonesia sampai saat ini seluas 7,8 juta ha yang berpenyebaran terluas terdapat di Pulau Jawa, yaitu sekitar 3,23 juta ha 148
Lahan Sawah di Indonesia Pendukung Ketahanan Pangan Nasional
atau sekitar 40,9 % dari total luas lahan sawah di Indonesia. Lahan sawah merupakan produsen utama beras di Indonesia. dengan luas panen 10,7 juta ha, lahan sawah mampu menghasilkan 51,2 juta ton gabah/ tahun (produksi rata-rata 4,7 ton/ha) atau 95% dari total produksi gabah di Indonesia. Dalam dua dekade tahun terakhir ini lahan sawah di Jawa cenderung menurun dan lahan sawah di luar Jawa cenderung bertambah. Konversi lahan pertanian khususnya sawah, untuk keperluan non pertanian terus terjadi seolah tanpa kendali, dan justru terjadi pada lahan-lahan yang mempunyai produktivitas yang tinggi. Mengendalikan laju konversi lahan sawah dan menyelamatkan lingkungan terutama di Jawa hendaknya dilakukan dengan memberikan daya tarik lapangan kerja diluar Jawa. Hal ini dimungkinkan mengingat di Luar Pulau Jawa masih memiliki potensi sumberdaya lahan yang cukup besar. Lapangan kerja yang dikembangkan sebaiknya tidak berorientasi mengeksploitasi hutan. Hutan lindung yang ada harus tetap dipertahankan. Produktivitas padi sawah yang melandai, laju perluasan area sawah yang melamban, semakin banyak penduduk yang mengkonsumsi beras, berdampak pada sistem produksi pangan dalam kondisi yang tidak stabil, dan mengancam ketahanan pangan nasional. Disamping itu, dimasa mendatang komoditas pangan seperti singkong, kedelai, tebu tidak hanya digunakan untuk pangan, tetapi juga akan digunakan sebagai bahan baku bio-energi yang renewable, akan semakin memperberat deraan sistem ketahanan pangan nasional. Untuk memenuhi peningkatan kebutuhan pangan, perluasan areal pertanian (pencetakan sawah) terutama di luar Jawa merupakan suatu keharusan. Sentra produksi padi dan palawija di masa depan, diharapkan secara bertahap akan bergeser ke Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Pemantapkan ketahanan pangan nasional dapat dilakukan melalui usaha: pemanfaatan sumberdaya lahan (existing lahan sawah) secara berkelanjutan (sustainable), penerapan inovasi teknologi, pemanfaatan lahan yang masih tersedia termasuk lahan terlantar secara efektif dengan teknologi pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional, ketersediaan pangan yang cukup dari segi kuantitas, kualitas, mutu, gizi, keamanan maupun keberagaman, dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat harus dipenuhi. Strategi peningkatan produksi pangan/beras yang dipandang sesuai untuk lima tahun mendatang adalah optimalisasi penggunaan sumberdaya, efisiensi usaha tani padi, dan efisiensi pasca panen.
Informatika Pertanian Volume 18 No. 2, 2009
149
DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, J.S., T. Prihatini, J. Purwani, and A. Kentjanasari. 1997. Development of integrated fertilizer management to sustain food crop production in Indonesia: The use of organic and biofertilizers. Indonesian Agricultural Research and Development Journal 19: 57-66. Adiningsih S., Agus Sofyan, dan Dedi Nursyamsi. 2000. Lahan sawah dan pengelolaannya. Sumberdaya lahan dan pengelolaannya halaman:165 – 196. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor. Agus, F., I. Irawan, H. Suganda, W. Wahyunto, A. Setyanto, and M. Kundarto. 2006. Environmental multifunctionality of Indonesian agriculture. Jurnal: Paddy Water Environment 4: 181-188. Agus, F., dan Irawan. 2006. Agricultural land conversion as a threat to food security and environmental quality. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25(3): 90-98. Agus, F., and A. Mulyani. 2006. Judicious use of land resources for sustaining Indonesian rice self sufficiency. Rice Industry, Culture and Environment, Book 1. Indonesian Center for Rice Research, Sukamandi, Indonesia. BPS (Badan Pusat Statistik). 1980-2006. Statistik Indonesia. BPS. Jakarta. Dariah A., dan F.Agus. 2007. Pengelolaan Sifat Fisik Tanah Sawah bukaan Baru dalam : Tanah Sawah Bukaan Baru halaman 107130. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. 2002. Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan tahun 2003. Departemen Pertanian. Jakarta (tidak dipublikasikan). Dudal, R., and F.R. Moormann. 1964. Major Soils of Southesat Asia. Journal Tropical Geography: 18:54-84. FAO-UN.1998. World Reference Base for Soil Resources. World Soil Resources Reports 84. FAO-Roma. Hafsah M.J. 2005. Pengelolaan Sumberdaya lahan dalam program kemandirian pangan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi teknologi sumberdaya tanah dan iklim halaman 37-48, di Bogor, 14-15 September 2004. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor. Hardjowigeno S., H. Subagjo, dan M. Lufti Rayes. 2004. Morfologi dan Klasifikasi Tanah Sawah. dalam Tanah Sawah dan Teknologi
150
Lahan Sawah di Indonesia Pendukung Ketahanan Pangan Nasional
Pengelolaannya, halaman 1-29. Puslitbang Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Tanah
dan
Irawan B. 2004. Konversi lahan sawah di Jawa dan dampaknya terhadap produksi padi dalam : Ekonomi Padi dan Beras Indonesia, halaman 295 -326. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Kasryno F., Achmad M.Fagi, dan E. Pasandaran. 2004. Kebijakan Produksi Padi dan Diversifikasi Pertanian dalam : Ekonomi Padi dan Beras Indonesia, halaman 73 -105. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Las I., B.Suprihatno, A.A. Dradjat, Suwarno, B.Abdulloh, dan Satoto. 2004. Inovasi Teknologi Varietas Unggul padi: Perkembangan, Arah dan Strategi ke depan. dalam : Ekonomi Padi dan Beras, halaman 375-396. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Prasetyo B.H. 2007.Genesis Tanah sawah Bukaan Baru, dalam : Tanah Sawah Bukaan Baru halaman 25-52. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, skala 1:1000.000. Puslitbang. Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Ritung S., dan Nata Suharta. 2007. Sebaran dan potensi pengembangan lahan sawah bukaan baru, halaman 5-24. Tanah sawah bukaan baru. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Saraswati dan Edi Husen. 2007. Prospek penggunaan pupuk hayati pada sawah bukaan baru dalam : Tanah Sawah Bukaan Baru halaman 151-174. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Sarwono H., H. Subagjo, dan M. Lufti Rayes. 2004. Morfologi dan Klasifikasi Tanah Sawah. dalam Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya, halaman 1-29. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Setyorini, D., Didi Ardi S., dan Nurjaya. 2007. Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah Bukaan Baru, dalam : Tanah Sawah Bukaan Baru halaman 77-106. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Informatika Pertanian Volume 18 No. 2, 2009
151
Simatupang P., dan I Wayan Rusastra. 2004. Kebijakan Pembangunan Sistem Agribisnis Padi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Halaman 31-52. Soepraptohardjo, M and H.Suhardjo.1978. Rice Soil in Indonesia p.99114. in IRRI, Soil and Rice. Los Banos Phillipines. Subagjo H., Nata Suharta dan Agus Bambang Siswanto. 2000. Tanahtanah pertanian di Indonesia, dalam Sumberdaya lahan Indonesia dan Pengelolaannya, halaman 21-65. Puslit Tanah dan Agroklimat. Bogor. Sudaryanto T. 2003. Konversi lahan dan produksi pangan nasional. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi lahan pertanian di Bogor 2 Oktober dan Jakarta 25 Oktober 2002 halaman 57-65. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Bogor.
152
Lahan Sawah di Indonesia Pendukung Ketahanan Pangan Nasional