Editorial Keamanan Pangan, Tantangan Ganda bagi Indonesia
PENGARAH Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Deputi Bidang Penelitian dan Kerjasama Standardisasi BSN Deputi Bidang Penerapan Standar dan Akreditasi BSN Deputi Bidang Informasi dan Pemasyarakatan Standardisasi BSN PEMIMPIN REDAKSI MetrawindaTunus
Keamanan suatu produk pangan untuk dikonsumsi adalah hal mutlak. Tidak ada lagi kata “tawar menawar". Keamanan pangan semestinya menjadi komitmen bersama seluruh elemen bangsa ini, mulai dari pemerintah, para pelaku industri pangan, hingga masyarakat sebagai konsumen. Sayangnya, fakta yang terjadi di lapangan, kesadaran dan perhatian akan pentingnya keamanan pangan dari para pemangku kepentingan tersebut masih rendah. Hal itu pun berujung pada kondisi keamanan pangan di Indonesia yang masih sangat memprihatinkan. Kondisi memprihatinkan tersebut terlukis dalam setiap peristiwa terkait persoalan pangan yang terjadi di negeri ini. Mulai dari keracunan pangan, peredaran bahan pangan yang tak layak konsumsi, hingga penolakan produk pangan Indonesia di pasar global. Kondisi inilah yang dipaparkan secara gamblang oleh Purwiyatno Hariyadi, seorang pakar di bidang pangan dari IPB di fokus SNI volume edisi kali ini.
REDAKTUR PELAKSANA Nur Hidayati Dentino Aji Sasmita
Fokus keamanan pangan yang semestinya dapat menjadi indikator daya saing suatu bangsa, ternyata, belumterwujud di negeri ini. Karenanya.dibutuhkan suatu standar pangan sistem manajemen keamanan pangan.
EDITOR Denny Wahyudi Heru Suseno Muhammad Nur Fitrianto Nurlathifah
Penerapan Sistem Manajemen Keamanan Pangan ini diharapkan mampu menjamin keamanan pangan sekaligus mampu menguatkan daya saing produk pangan nasional. Keamanan pangan yang terjamin akan bermuara pada terciptanya ketahanan pangan nasional.
REPORTER/FOTOGRAFER
Paparan materi yang disampaikan oleh Purwiyatno pada edisi ini didukung pula oleh informasi lainnya seputar pangan yang dikemas dalam sejumlah artikel Info Standardisasi. Sebagai best practices, sejumlah perusahaan nasional yang bergerakdi industri pangan telah memetik manfaat dari penerapan standar keamanan pangan.
Muhammad Pamungkas Chairudi Bharata Abdullah Baradja Dyota Laksmi Detenerezza DESAIN/ARTISTIK Yogi Budi Panembahan
Tak ketinggalan, berbagai peristiwa yang terjadi di dunia pangan pun telah kami rangkum dalam Berita Standardisasi. Semoga setiap informasi dan berita di edisi ini dapat menjadi suatu titik cerah bagi para pembaca tentang arti pentingnya standar keamanan pangan. Selamat membaca!
ALAMAT REDAKSI Majalah SNI Valuasi Gedung BPPTI Lantai 11 Jl. MHThamrin No. 8, Jakarta Pusat Telepon : (021) 392 7433 e-mail :
[email protected]
SNI Valuasi Volume 91 No. 2 | 2015
opini
Keamanan Pangan:
Tantangan Ganda bagi Indonesia Oleh: Purwiyatno Hariyadi Undang Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hakasasi setiap rakyat Indonesia. Itulah maka negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. jadi, negara berkewajiban memastikan kebutuhan pangan yang aman bagi penduduknya
T
idak ada artinya berbicara mutu, nilai gizi, dan citarasa, atau pun sifat fungsional pangan yang bagus, tetapi produk pangan tersebut tidak aman untuk dikonsumsi. Dalam hal pangan, hal pertama dan utama adalah keamanan pangan. Sangat disayangkan bahwa perhatian kita pemangku kepentingan, baik pemerintah, masyarakat (konsumen) maupun industri pangan masih rendah, sehingga kondisi keamanan pangan di Indonesia masih memprihatinkan. Data BPOM (Gambar 1) menunjukkan bahwa penyebab keracunan pangan di Indonesia didominasi oleh pangan yang dihasilkan oleh industri rumah tangga (39%) disusul oleh industri jasa boga (20%), industri jajanan (21%), dan industri pangan olahan (13%). Data BPOM juga menunjukkan bahwa agen utama penyebab keracunan pangan ini didominasi oleh agen mikrobiologi (46%) dan disusul oleh agen kimia (18%) (Gambar 2).
Gambar 1. Profil jenis pangan penyebab KLB keracunan pangan di Indonesia (BPOM, 2011, 2012 dan 2013).
Data di atas memberikan dua informasi penting, yaitu terdapat indikasi kuat bahwa permasalahan keamanan pangan lebih sering terjadi pada industri yang termasuk sebagai industri pangan skala kecil dan menengah (IKM pangan). Penyebabnya adalah bahwa IKM pangan masih belum memenuhi standar sanitasi dan higiene dan penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara Pengolahan Pangan yang Baik (CPPB). Kondisi keamanan produk pangan Indonesia juga dicerminkan oleh data penolakan produk pangan ekspor Indonesia di pasar global. Hal ini disebabkan karena keamanan pangan telah menjadi prasyarat yang semakin ketat bagi perdagangan internasional, dan karena itu maka kondisi keamanan pangan juga akan berpengaruh secara langsung pada kinerja ekspor produk pangan dari suatu negara. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari USFDA (US Food and Drug Administration) tahun 2011-2014, terjadi penolakan produk pangan Indonesia oleh USFDA karena alasan keamanan pangan sebanyak 1.451 kasus atau sekitar 30 kasus penolakan per bulan. Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa alasan terbesar penolakan produk pangan Indonesia adalah karena alasan kotor (filthy, 36%). Filthy adalah kondisi tercemar oleh cemaran yang tidak semestinya di dalam bahan pangan, termasuk diantaranya potongan serangga, benda asing, dan sebagainya. Keberadaan benda-benda asing tersebut umumnya disebabkan karena tidak diterapkannya kaidah CPPB yang mencakup aspek fasilitas bangunan, peralatan, pekerja, maupun proses. Alasan kedua paling sering (31%) terjadi pada penolakan produk pangan ekspor Indonesia adalah tercemar Salmonella. Salmonella adalah suatu bakteri patogen penyebab keracunan pangan. Keberadaan bakteri Salmonella dalam produk pangan menunjukkan tingkat pengolahan yang tidak mencukupi yang mungkin disebabkan aplikasi teknologi yang tidak memadai ataupun penanganan produk termasuk sanitasi yang tidak memadai. Selain itu, alasan penolakan yang sering dialami oleh produk pangan ekspor Indonesia adalah ditemukannya residu obat hewan (hormon, antibiotika), dekomposisi (histamin, pertumbuhan mikroba
SNI Valuasi Volume 91 No. 2 | 2015
Gambar 2. Profil agen penyebab kejadian luar biasa keracunan pangan di Indonesia (BPOM, 2011, 2012 dan 2013).
Gambar 3. Alasan penolakan produk pangan ekspor Indonesia oleh USFDA dari tahun 2011-2014 (Total 1451 kasus penolakan).
opini
lain, dll), serta alasan lain yang meliputi adanya indikasi praktikpraktik tidak saniter, kesalahan pelabelan, dan penggunaan pewarna ilegal. Kondisi yang sedikit berbeda ditemui pada alasan penolakan produk pangan ekspor Indonesia ke Uni Eropa (UE). Perdagangan ke UE tidak seintensif ke AS. Berdasarkan data yangdikumpulkan dari portal the Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF Portal, 2015) pada periode yang sama (2011-2014) terjadi sebanyak 64 kali penolakan (border rejection) atas produk pangan ekspor Indonesia, dengan berbagai alasan penolakan. Perbedaan itu terutama terlihat pada mikotoksin (28%) yang menjadi alasan utama penolakan produk pangan ekspor Indonesia ke UE. Dalam hal ini, EU memang sangat ketat mempersyaratkan batas maksimum mikotoksin dibandingkan dengan AS dan berbagai negara lainnya. Alasan penolakan berikutnya adalah adanya cemaran mikroba patogen (26%) diikuti dengan cemaran mikroba non patogen (16%). Tingginya frekuensi penolakan dengan alasan cemaran mikroba, baik patogen maupun non patogen, kembali menunjukkan bahwa proses pengolahan yang dilakukan masih kurang baik, dengan kondisi sanitasi yang kurang memadai. Hal ini menekankan kesimpulan di awal bahwa meskipun faktanya menunjukkan bahwa IKM ini adalah produsen utama pangan olahan di Indonesia, namun sebagian besar dari IKM ini mengalami kesulitan dalam pelaksanaan praktik produksi pangan yang baik. Kondisi obyektif ini menggugah pemangku kepentingan, terutama pemerintah memberikan fokus pembangunan keamanan pangan pada IKM Pangan.
Gambar4. Alasan penolakan produk pangan ekspor Indonesia oleh Uni Eropa, dari tahun 2011-2014 (Total 64 kasus penolakan).
rendahnya praktik sanitasi dan higiene oleh IKM Pangan, yang pada gilirannya menyebabkan pencemaran pangan oleh mikroba, dan penggunaan bahan berbahaya (formalin, boraks, rhodamin B, dan metanil yellow) yang dilarang untuk pangan (misuse) dan penggunaan bahan tambahan pangan secara berlebihan, melampaui batas maksimum yang diizinkan (abuse). Untuk mengatasi permasalahan ini, BSN dan Kementerian maupun lembaga terkait telah melakukan beberapa program
Tantangan Ganda?
untuk pemberdayaan UKM/IKM pangan ini. Edukasi kepada UKM pangan mengenai pentingnya penerapan CPPB, CMP, dan penerapan SNI ISO 22000: Standar Sistem Manajemen Keamanan Pangan telah dilakukan oleh BSN melalui program pembimbingan kepada UKM pangan.
Kondisi keamanan pangan di Indonesia menunjukkan adanya tantangan ganda bagi Indonesia. Tantangan pertama keamanan pangan muncul sebagai akibat kondisi keamanan pangan domestik, sebagai pemasok produk pangan untuk konsumsi nasional. Tantangan pertama keamanan pangan dipicu oleh
Tantangan kedua keamanan pangan muncul dari sisi perdagangan internasional. Perdagangan internasional produk pangan bagi Indonesia tentu merupakan hal yang penting; khususnya sebagai salah satu sumber devisa negara. Namun demikian, globalisasi perdagangan ini juga menyebabkan
munculnya berbagai kontaminan baru (emerging contaminants) yang juga perlu diperhatikan, terutama untuk produk pangan ekspor. Selain itu, perdagangan
penanganan kontaminan (senyawa dengan potensi bahaya yang secara tidak sengaja mencemari produk pangan) dan adulterant (senyawa dengan potensi
internal, yaitu pembenahan tentang sistem keamanan pangan nasional. Pemerintah proaktif melakukan diplomasi keamanan pangan di forum internasional, khususnya pada perdebatan mengenai standar keamanan pangan internasional. Partisipasi aktif Indonesia, atau lebih tepatnya diplomasi aktif Indonesia dalam membela kepentingan nasionalnya dalam forum Codex Ahmentarius Commission (CAC) tentu sangat penting untuk meminimalkan regulatory barrier yang mungkin merintangi perdagangan
internasional menghadapi permasalahan
bahaya yang secara sengaja mungkin
semakin ketatnya standar internasional keamanan pangan. Standar keamanan pangan internasional berkembang sesuai dengan pengetahuan dan kesadaran
ditambahkan pada produk oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk
mengenai hubungan antara keamanan pangan dan kesehatan serta ditunjang oleh kemampuan laboratorium analisis yang semakin canggih.
kontaminasi dan adulterasi. Upaya pencegahan kemungkinan terjadinya kontaminasi dan adulterasi ini perlu dituangkan dalam program yang jelas dan teruji efektivitasnya. Melengkapi fokus pada upaya pencegahan ini, semua industri pangan -termasuk pengekspor
Fenomena semakin kecilnya batas cemaran ini sering disebut sebagai fenomena “chasing zero” sebagaimana diilustrasikan pada kasus standar aflatoksin yang merupakan tantangan berat bagi Indonesia sebagai negera pengeskpor pangan. Sebelumnya, batas maksimum aflatoksin di UE sudah sangat rendah (9 ppb), lebih rendah dari berbagai negara pada umumnya. Namun demikian pada tahun 1998 Komisi Eropa (European Commission, EC) mengajukan proposal supaya negara anggota UE segera melakukan harmonisasi dan menurunkan batas maksimum kandungan aflatoksin menjadi 4 ppb; dan proposal tersebut diberlakukan mulai April tahun 2002. Proposal EC ini mengundang perselisihan dagang antara Komisi (EC) dan mitra dagangnya di forum World Trade Organization (WTO). Bank Dunia, menjadikan kasus ini sebagai "contoh baik” untuk mengevaluasi arti "appropriate" pada konsep ALOP (appropriate level of protection) yang diberlakukan oleh banyak negara maju untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya, dan dampaknya bagi negara lain sebagai mitra dagangnya. Selanjutnya, tantangan keamanan pangan yang lain adalah yang berkaitan dengan pemalsuan pangan. Bagi negara yang melakukan ekspor khususnya ke AS isu pemalsuan pangan ini akan menjadi regulatory barrier baru yang perlu diantisipasi. AS telah menerbitkan Undang-Undang baru yang bernama Food Safety Modernization Acts (FSMA) yang ditanda-tangani Presiden Obama pada 4 Januari 2011. Intinya, terjadi pergeseran fokus dari
SNI
Valuasi Volume 9 | No. 2 | 2015
memalsukan atau mencemari produk pangan) ke upaya pencegahan terjadinya
dari luar AS- dipersyaratkan untuk mempunyai rencana pertahanan pangan (food defense plan) yang rinci dan teruji serta melakukan pendaftaran pada semua fasilitas yang dimilikinya. Hal ini tentunya merupakan tantangan baru yang perlu diantisipasi.
internasional Indonesia. Pada saat ini untuk menangani kegiatan Codex di tingkat nasional dibentuk organisasi Codex Indonesia. Organisasi ini melibatkan instansi yang memiliki tugas dan kewenangan di bidang pangan agar kegiatan Codex di tingkat nasional lebih terkoordinasi, efektif dan efisien F3
Tantangan kedua keamanan pangan perlu dijawab dengan pembenahan
RIWAYAT HIDUP SINGKAT Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. lahir di Pati, 9 Maret 1962. Sejak Mei 2010, beliau adalah Guru Besar bidang Rekayasa Proses Pangan pada Departemen llmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB. Saat ini, beliau mengemban amanah sebagai Kepala Pusat Pengembangan ILTEK Pertanian dan Pangan Asia Tenggara atau SEAFAST Center, LPPM, IPB. Doktor Kimia Pangan/Teknik Kimia lulusan Dept, of Food Science, Universitas Wisconsin, Madison, AS ini aktif bergelut di dunia pangan, baik di kancah nasional maupun internasional, antara lain menjadi anggota Panitia Nasional CODEX Indonesia dan anggota Dewan Penasihat International Life Science Institute, South East Asian Region. Pada Tahun 2012* Prof Purwiyatno terpilih dan diangkat sebagai angota Komisi llmu Rekayasa, Akademi llmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Sebagai seorang pakar di bidang pangan, Prof. Purwiyatno pun aktif dalam mengembangkan sektor pangan di Indonesia. Antara lain, dengan cara mempublikasikan tulisannya pada berbagai jurnal ilmiah atau berbagai media lainnya. Salah satunya, melalui Majalah SNI Valuasi.
9