JAMINAN KEAMANAN PANGAN ASAL TERNAK: Dari Kandang Hingga Piring Konsumen Tri Budhi Murdiati Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114
ABSTRAK Jaminan keamanan pangan dapat diartikan sebagai jaminan bahwa pangan tidak akan menimbulkan masalah bila dikonsumsi semestinya. Keamanan pangan berkaitan erat dengan bahan berbahaya yang terkandung dalam pangan. Bahan berbahaya tersebut dapat masuk melalui setiap titik di sepanjang rantai pangan, sehingga diperlukan pengawasan yang memadai di sepanjang rantai pangan tersebut. Penyediaan pangan asal ternak dimulai dari peternakan dengan berbagai pengaruh lingkungannya, dilanjutkan dengan transportasi ke rumah pemotongan, penanganan produk, pemasaran dan berakhir di konsumen. Kesalahan yang muncul dalam rantai penyediaan pangan dapat menurunkan kualitas dan nilai nutrisi pangan serta keuntungan, juga dapat menimbulkan berbagai penyakit pada manusia bahkan kematian. Jaminan keamanan pangan telah menjadi tuntutan dalam perdagangan nasional dan internasional. Oleh karena itu diperlukan standar internasional yang dapat menjamin perdagangan pangan yang adil, seperti standar pangan dari Codex. Keamanan pangan merupakan tanggung jawab semua pihak yang terlibat dalam rantai pangan. Pemerintah memiliki otoritas dalam penyusunan serta penerapan undang-undang dan peraturan. Dalam upaya penerapan jaminan keamanan pangan dan untuk memenuhi persyaratan dalam perdagangan nasional maupun internasional, pemerintah Indonesia telah menetapkan standar pangan, peraturan, dan berbagai program yang berkaitan dengan keamanan pangan. Kata kunci: Produk ternak, keamanan pangan, rantai pangan
ABSTRACT Food safety assurance of animal products: From farm to table Food safety assurance is an assurance that food will not harm the consumers if it is eaten according to its intended use. Food safety related with the presence of hazards in food at the point of consumption. Food hazards may enter at any stages of the food chains, thus adequate control throughout the food chains is essential. Food supply of animal products can be described as a chain which commence on the farm included varieties of environmental input to farm, continued with transportation to slaughter house, processing steps, merchandising events and finally the consumers. Failure in the food supply chain will decrease quality and nutrition of food products and profits, and cause diseases and probably death on human. Food safety assurance is needed in national and international food trade. International standard on food quality and food safety such as food standard from Codex is required to ensure a fair trade. Food safety is a joint responsibility of all parties involved in the food chain, including government with its authority in the establishment and enforcement of legislation and rules. For the implementation of food safety assurance as well as to fulfill the requirement for national and international trade, the government of Indonesia has issued food standards, regulation and other food safety related program. Keywords: Animal products, food safety, food chains
P
roduk peternakan seperti daging dan susu mempunyai nilai gizi yang tinggi. Karena kandungan gizi yang tinggi tersebut, daging dan susu merupakan media yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan kuman, baik kuman yang menyebabkan kerusakan pada daging dan susu maupun kuman yang menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia yang mengonsumsi produk ternak tersebut.
22
Kuman dapat terbawa sejak ternak masih hidup atau masuk di sepanjang rantai pangan hingga ke piring konsumen. Selain kuman, cemaran bahan berbahaya juga mungkin ditemukan dalam pangan asal ternak, baik cemaran hayati seperti cacing, cemaran kimia seperti residu antibiotik, maupun cemaran fisik seperti pecahan kaca dan tulang. Berbagai cemaran tersebut dapat menyebabkan
gangguan kesehatan pada manusia yang mengonsumsinya (Ahl dan Buntain 1997; Gorris 2005). Jaminan keamanan pangan atau bahan pangan telah menjadi tuntutan seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan. Jaminan keamanan pangan juga telah menjadi tuntutan dalam perdagangan nasional maupun internasional. Jaminan keamanan Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
pangan dapat diartikan sebagai jaminan bahwa pangan atau bahan pangan tersebut bila dipersiapkan dan dikonsumsi secara benar tidak akan membahayakan kesehatan manusia. Tanpa jaminan keamanan, pangan atau bahan pangan akan sukar diperdagangkan, bahkan dapat ditolak. Oleh karena itu, untuk menjamin kesetaraan dalam perdagangan global, diperlukan standar yang dapat diterima oleh semua negara yang terlibat di dalamnya. Standar keamanan pangan yang diharapkan dapat diterima oleh hampir semua negara di dunia telah dikeluarkan oleh Codex Alimentarius Commission (CAC). CAC adalah suatu komisi yang didirikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau Food Agriculture Organization (FAO) dan Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO). Penyusunan standar dalam CAC melibatkan beberapa komite yang anggotanya adalah anggota FAO dan WHO (Food Agriculture Organization/ World Health Organization 2000). Codex Committee melakukan sidang secara berkala untuk menetapkan standar, aturan (code of practice), dan pedoman (guidelines). Indonesia telah mempunyai beberapa standar nasional yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak yang diharapkan dapat memberikan jaminan keamanan produk pangan asal ternak, seperti Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai batas maksimum cemaran mikroba dan batas maksimum residu dalam bahan makanan asal ternak (Badan Standarisasi Nasional 2000). Selain itu juga telah ada berbagai kebijakan dan peraturan baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, surat keputusan menteri serta perangkat lainnya. Peraturan Pemerintah No 22 tahun 1982 tentang kesehatan masyarakat veteriner merupakan salah satu perangkat dalam pelaksanaan Undang-Undang No 6 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Dalam peraturan pemerintah tersebut dinyatakan pentingnya pengamanan bahan pangan asal ternak serta pencegahan penularan penyakit zoonosis, serta perlunya menjaga keamanan bahan pangan asal ternak dengan melindunginya dari pencemaran dan kontaminasi serta kerusakan akibat penanganan yang kurang higienis. Keamanan pangan juga merupakan bagian Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
penting dalam Undang-Undang Pangan No 7 tahun 1996. Di samping itu juga telah ada Undang-Undang No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang dapat menjadi landasan hukum bagi pemberdayaan dan perlindungan konsumen dalam memperoleh haknya atas pangan yang aman. Satu hal yang masih menjadi perdebatan hingga kini adalah keamanan produk pangan hasil rekayasa genetik atau genetic modified organism (GMO). Ada kekhawatiran bahwa gen yang dimodifikasi akan menyebabkan alergi, keracunan atau penurunan nilai gizi, meskipun tanpa disadari masyarakat telah banyak mengonsumsi pangan hasil rekayasa genetik, misalnya tempe dan tahu dari kedelai impor yang kebanyakan adalah hasil rekayasa genetik (Kompas 2002). Hal lain yang harus diperhatikan dalam menentukan keamanan pangan asal ternak adalah halal. Azas ASUH, yaitu aman, sehat, utuh dan halal dalam menentukan kualitas suatu bahan pangan asal ternak perlu pula diperhatikan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bahan pangan asal ternak yang berkualitas adalah bahan pangan yang aman dan sehat karena mempunyai nilai gizi yang tinggi dan utuh serta memberikan ketenteraman batin bagi yang mengonsumsinya karena halal. Salah satu konsep jaminan keamanan pangan adalah food safety system from farm to plate atau dapat diterjemahkan menjadi “sistem keamanan pangan dari kandang hingga piring konsumen”. Untuk mendapatkan jaminan ini, banyak hal yang perlu diperhatikan karena banyak pihak yang terlibat. Pembahasan unsur-unsur yang terlibat dalam menciptakan jaminan keamanan pangan diharapkan dapat memberikan gambaran kontribusi pihak yang terkait dalam memperoleh jaminan keamanan pangan.
RANTAI PENYEDIAAN PANGAN ASAL TERNAK Kandang dan Proses Produksi Titik awal rantai penyediaan pangan asal ternak adalah kandang atau peternakan. Manajemen atau tata laksana peternakan akan menentukan kualitas produk ternak yang dihasilkan seperti susu, telur, dan
daging. Lingkungan di sekitar peternakan seperti air, tanah, tanaman serta keberadaan dan keadaan hewan lain di sekitar peternakan akan mempengaruhi kualitas dan keamanan produk ternak yang dihasilkan (Poernomo 1994). Cemaran bahan kimia atau cemaran biologi dari lingkungan peternakan akan terbawa dalam produk ternak yang dihasilkan (McEwen dan McNab 1997). Keamanan pangan asal ternak juga berkaitan dengan kualitas pakan yang diberikan pada ternak. Pakan dan bahan pakan ternak harus jelas jenis dan asalnya, serta disimpan dengan baik (Bastianelli dan Bas 2002). Kelembapan yang cukup tinggi di Indonesia menyebabkan jamur mudah tumbuh dan menghasilkan mikotoksin seperti aflatoksin yang cukup berbahaya bagi kesehatan manusia. Adanya aflatoksin dalam bahan pakan dan pakan ternak antara lain dilaporkan oleh Bahri et al. (2005). Residu aflatoksin M1 yang merupakan hasil metabolisme aflatoksin B1 juga dilaporkan terdeteksi dalam susu (Bahri et al. 1991). Cemaran pestisida pada lingkungan, air, tanah, dan pada tanaman atau hijauan pakan dapat masuk ke tubuh ternak dan residunya akan ditemui dalam produk yang dihasilkan. Adanya residu pestisida dalam tanaman telah dilaporkan oleh Soejitno (2002). Pemberian pakan yang baik (good animal feeding) akan menghasilkan produk ternak yang baik pula. Selain residu pestisida, residu obat hewan terutama antibiotik merupakan masalah dalam keamanan produk ternak. Pemakaian antibiotik yang berlebihan tanpa memperhatikan anjuran pemakaian menyebabkan adanya residu antibiotika dalam produk yang dihasilkan (Mitchell et al. 1998; Murdiati 2004). Selain residu kimia, perlu diwaspadai pula penyakit zoonosis yang dapat menular dari hewan ke manusia melalui pangan asal ternak, baik zoonosis bakteri, virus, parasit maupun zoonosis yang disebabkan oleh prion seperti Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) atau yang dikenal sebagai penyakit sapi gila. Merebaknya BSE di beberapa negara beberapa tahun yang lalu menyebabkan Pemerintah Indonesia melarang impor produk ternak dan olahannya dari negara yang pernah terjangkit penyakit sapi gila. Produk olahan yang dilarang termasuk yang digunakan sebagai pakan ternak adalah tepung tulang (Direktorat Bina Kesehatan Hewan 2002). 23
Bakteri merupakan penyebab utama penyakit yang ditularkan dari ternak ke manusia melalui pangan, antara lain Salmonella sp., Bacillus anthracis, Mycobacterium tuberculose, dan Brucella abortus (Harjoutomo et al. 1995). Bakteri tersebut menyerang ternak saat di kandang, yang kemudian dapat menular ke manusia karena pemeliharaan dan proses panen yang tidak higienis, seperti pemotongan ternak dan pemerahan susu. Pengolahan tidak selalu dapat menghilangkan bakteri yang mencemari produk ternak saat di peternakan atau pada saat panen. Spora bakteri antrak yang mencemari susu tidak dapat dihilangkan dengan pasteurisasi (Perdue et al. 2003). Pencemaran dapat dicegah dengan penerapan cara beternak yang baik (good farming practices) dan penanganan panen yang baik pula (Cullor 1997).
Transportasi dan Penyimpanan Transportasi merupakan salah satu titik penting dalam rantai penyediaan bahan pangan asal ternak, baik transportasi dari peternakan ke tempat pemotongan, dari peternakan ke koperasi, dari rumah pemotongan ke distributor dan industri, maupun dari distributor ke pengecer atau konsumen. Pada umumnya hasil peternakan seperti susu dan daging merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba patogen maupun nonpatogen, sehingga diperlukan fasilitas pendingin pada saat transportasi. Transportasi dan penyimpanan daging dan susu tanpa pendingin dapat menyebabkan mikroba berkembang biak dengan cepat sehingga jumlahnya mencapai tingkat yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Pangawetan susu yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang dianjurkan oleh FAO adalah Lactoperoxidase System (LPS), terutama untuk negara berkembang yang belum mempunyai fasilitas pendingin di lokasi peternakan sapi perah. Prinsip dari LPS adalah penambahan tiosianat dan natrium perkarbonat sebagai sumber hidrogen peroksida, sehingga enzim laktoperoksidase yang ada dalam susu akan aktif untuk menghambat pertumbuhan mikroba yang dapat merusak susu. Namun, sistem ini kurang mendapat respons karena LPS sebagai pengawet hanya boleh digunakan dengan pengawasan yang ketat oleh personel yang terlatih, serta mutu susu termasuk residu tiosianat harus selalu dimonitor 24
(Food Agriculture Organization 1999). Oleh karena itu LPS tidak dianjurkan untuk diterapkan di Indonesia karena laboratorium pengujian serta tingkat pengetahuan peternak akan keamanan pangan masih terbatas. Selain itu, LPS hanya dapat menghambat pertumbuhan mikroba selama 4 jam pada suhu kamar (Murdiati et al. 2002).
Industri Pengolahan dan Pemasaran Produk Peternakan Pada dasarnya pengolahan produk ternak bertujuan meningkatkan kualitas, memperpanjang masa simpan, serta meningkatkan rasa, penampilan dan nilai jual. Pengolahan juga dimaksudkan untuk mempertahankan keamanan produk karena pertumbuhan mikroba dihambat seperti halnya susu pasteurisasi. Pasteurisasi tidak membunuh mikroba yang ada, tetapi hanya menghambat pertumbuhannya, dan susu harus disimpan pada suhu di bawah 4oC. Jaminan keamanan pangan di tingkat industri umumnya lebih baik dibanding di tingkat peternak, dan banyak industri pengolahan produk peternakan telah menerapkan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP), meskipun beberapa industri susu pasteurisasi belum menerapkannya (Murdiati et al. 2004). HACCP merupakan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan prinsip pencegahan dengan cara memberikan kesadaran atau pengertian kepada berbagai pihak yang terlibat bahwa bahaya dapat timbul pada setiap titik atau tahapan produksi, dan pengendalian dimaksudkan untuk mengontrol bahaya tersebut. Kunci utama HACCP adalah antisipasi bahaya dan identifikasi titik pengawasan mulai dari bahan baku hingga produk siap dipasarkan. Pengawasan mutu pangan berdasarkan prinsip pencegahan diyakini lebih unggul dibanding cara konvensional yang menekankan pada inspeksi atau pengujian produk akhir di laboratorium (Dressen 1998). Badan Standarisasi Nasional (BSN) telah melakukan adaptasi konsep HACCP menjadi SNI 01-4852-1998 beserta pedoman penerapannya (Badan Standarisasi Nasional 1998). Di Indonesia, penanganan produk peternakan di tingkat pengecer masih perlu mendapat perhatian, terutama di pasar tradisional. Di pasar tersebut, ayam
dan daging diperdagangkan dengan diletakkan di atas meja tanpa dilengkapi alat pendingin atau fasilitas lainnya. Hal ini berbeda dengan di pasar swalayan yang telah menggunakan fasilitas pendingin. Jumlah mikroba yang cukup tinggi dan jenis mikroba berbahaya pada daging ayam yang dijual di pasar tradisional cukup mengkhawatirkan, terlebih lagi bila pemotongan dilakukan di pasar tradisional (Budinuryanto et al. 2000). Beberapa pedagang di pasar tradisional juga dilaporkan menggunakan formalin sebagai pengawet agar ayam tetap kelihatan segar, padahal formalin digolongkan sebagai bahan berbahaya. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 722/Menkes/Per/ IX/88 disebutkan bahwa formalin dilarang digunakan sebagai pengawet bahan pangan. Penggunaan formalin sebagai pengawet makanan seperti tahu, mi basah, dan bakso sempat menjadi isu nasional yang mempengaruhi kehidupan rakyat banyak (Kompas 2005).
Mempersiapkan Pangan Siap Santap Walaupun bahaya yang timbul saat mempersiapkan makanan relatif kecil, kasus keracunan makanan dapat terjadi karena kesalahan dalam mempersiapkan makanan tersebut. Masih banyak masyarakat yang kurang memerhatikan kebersihan dapur karena kesadaran dan pemahaman akan keamanan pangan masih rendah. Walaupun bahan pangan yang digunakan cukup baik dan sehat, perilaku yang salah dalam mempersiapkan pangan akan mempengaruhi keamanan pangan (Griffith 2003). Kasus tersebut sebenarnya dapat dicegah bila beberapa hal yang sederhana tetapi mendasar diperhatikan pada saat mempersiapkan makanan untuk disantap. Pada tahun 1990, WHO mengeluarkan anjuran atau aturan cara mempersiapkan pangan yang aman, yang intinya adalah menghindarkan makanan dari kontaminasi mikroba patogen dan mencegah mikroba berkembang biak (FOODHACCP 2005). Anjuran yang disebut “The ten golden rules for safe food preparation” berisi sepuluh anjuran dalam mempersiapkan makanan yang aman untuk disantap, yaitu: 1. Memasak makanan secara merata dengan suhu minimum 70oC. Makanan Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
beku sebaiknya dicairkan terlebih dahulu agar pemasakan dapat sempurna. 2. Segera mengonsumsi makanan setelah dimasak. Apabila makanan terpaksa dipersiapkan sebelumnya (4−5 jam lebih awal), makanan disimpan panas pada suhu 60oC atau disimpan dingin pada suhu sekitar 10oC. 3. Tidak menyimpan makanan yang masih panas dalam jumlah banyak dalam pendingin karena bagian tengah makanan tidak dapat menjadi dingin sehingga mikroba tetap dapat berkembang biak. 4. Memanaskan kembali makanan olahan atau makanan yang disimpan karena penyimpanan hanya menghambat pertumbuhan bakteri, tidak mematikan bakteri. 5. Menghindarkan kontak antara makanan mentah dengan makanan yang sudah diolah dan peralatan yang digunakan. Misalnya pisau untuk memotong daging mentah tidak digunakan untuk memotong daging yang sudah diolah secara bersamaan. 6. Mencuci tangan sebelum mengolah makanan dan setiap ganti tahapan, terutama setelah mempersiapkan daging atau ayam mentah, dan hendak mempersiapkan makanan yang lain. Juga apabila proses pengolahan harus terhenti karena pekerjaan yang lain. 7. Menghindarkan makanan dari serangga, tikus atau hewan lain yang kemungkinan membawa penyakit yang berbahaya. Pangan atau makanan sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup. 8. Tidak mencampur dan mengolah sisa makanan dengan makanan yang baru terutama bahan pangan asal ternak, karena dapat menjadi sumber mikroba yang dapat menyebabkan penyakit. 9. Membeli bahan pangan yang segar. Bahan pangan asal ternak yang dijual tanpa fasilitas pendingin mudah tercemar oleh mikroba pembusuk. Apabila tidak memungkinkan membeli produk segar, sebaiknya membeli produk yang sudah diolah. 10. Mempergunakan air bersih untuk mengolah makanan. Air untuk mengolah makanan sama pentingnya dengan air untuk minum. Air yang tercemar akan menyebabkan makanan yang diolah juga tercemar. Walau sepuluh anjuran tersebut ditujukan untuk mempersiapkan semua jenis makanan, apabila diperhatikan Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
terutama sangat penting dalam mempersiapkan makanan dari bahan pangan asal ternak. Agar anjuran dalam kesepuluh golden rules tersebut mudah dipahami oleh konsumen dan dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat, WHO membuatnya lebih ringkas menjadi five keys to safe food (lima kunci untuk keamanan pangan). WHO juga menuangkannya dalam bentuk poster agar mudah dimengerti oleh masyarakat konsumen terutama yang mempersiapkan makanan di dapur. Lima kunci keamanan pangan tersebut memuat pokok aturan yang intinya ada dalam golden rules. Poster tersebut telah diterjemahkan dalam 25 bahasa termasuk bahasa Indonesia (Food Agriculture Organization/World Health Organization 2004). Kelima kunci tersebut adalah: 1) menjaga kebersihan, 2) memisahkan pangan mentah dan pangan matang, 3) memasak makanan dengan benar, 4) menjaga pangan pada suhu aman, dan 5) menggunakan air dan bahan baku yang aman.
JAMINAN KEAMANAN PANGAN DAN STANDAR PANGAN Sebagai jaminan bahwa pangan memenuhi persyaratan konsumen baik dari segi mutu maupun keamanannya, diperlukan suatu standar pangan. Pada tahun 1962, FAO dan WHO mendirikan CAC. CAC dibentuk untuk melindungi kesehatan masyarakat sebagai konsumen serta menjamin praktek yang jujur dan bertanggung jawab serta tidak saling merugikan dalam perdagangan pangan baik internasional maupun nasional. Perdagangan pangan secara global yang makin meningkat juga telah menyebabkan tuntutan akan jaminan keamanan pangan yang makin tinggi sehingga perlu ada perjanjian perdagangan yang berkaitan dengan keamanan pangan secara global untuk menjamin perdagangan yang jujur. Pada awal berdirinya, CAC hanya beranggotakan 38 negara, namun kemudian berkembang menjadi 169 negara (Erniningsih 2004). Codex Alimentarius berasal dari bahasa Latin yang berarti food code atau food standard, karena memang Codex Alimentarius berarti kumpulan standar pangan. Codex Alimentarius sering disingkat dengan Codex saja. Standar
Codex meliputi standar pangan (makanan) pokok, makanan yang diproses, pangan setengah proses, dan pangan mentah. Perbedaan peraturan antara satu negara dengan negara lain dapat menjadi hambatan teknis atau hambatan nontarif dalam perdagangan pangan antarnegara. CAC berupaya mengurangi hambatan tersebut dengan mengeluarkan standar yang diharapkan dapat diterima oleh negara-negara yang melakukan perdagangan internasional. Codex Alimentarius Commission terdiri atas beberapa komite, yang dapat digolongkan dalam General Subject Committees dan Commodity Committee. Codex Committee dapat dibentuk atau dibubarkan bila permasalahan keamanan dan standar pangan yang ditangani sudah selesai. Untuk permasalahan keamanan pangan yang mendesak dan kaitannya dengan standar yang harus diselesaikan dalam waktu singkat, dapat dibentuk suatu Task Force, seperti halnya Task Force Good Animal Feeding. Dalam sistem Codex terdapat dua kelompok ahli yaitu Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additive dan Joint FAO/WHO Meeting on Pesticides Residue. Kedua kelompok ahli ini banyak memberikan saran pada Codex Committee yang ada (Randell dan Whitehead 1997; Food Agriculture Organization/World Health Organization 2000). General Subject Committees disebut pula horizontal committees karena berkaitan dengan semua komoditas atau bersifat lintas komoditas, dan terdiri atas sembilan komite yaitu : 1. Codex Committee on General Principle (CCGP). 2. Codex Committee on Food Additives and Contaminants (CCFAC). 3. Codex Committee on Food Hygiene (CCFH). 4. Codex Committee on Food Labeling (CCFL). 5. Codex Committee on Methods of Analysis and Sampling (CCMAS). 6. Codex Committee on Pesticides Residues (CCPR). 7. Codex Committee on Residues of Veterinary Drugs in Foods (CCRVDF). 8. Codex Committee on Food Import and Export Inspection and Certification Systems (CCFICS). 9. Codex Committee on Nutrition and Foods for Special Dietary Uses (CCNFSDU). 25
Commodity Committee membawahi beberapa komite yaitu: 1. Codex Committee on Milk and Milk Products. 2. Codex Committee on Fat and Oils. 3. Codex Committe on Meat Hygiene. 4. Codex Committee on Fish and Fishery Products. 5. Codex Committee on Fresh Fruits and Vegetables. 6. Codex Committee on Processed Fruits and Vegetables. 7. Codex Committee on Cocoa Products and Chocolate. Ditinjau dari Commodity Committee, keamanan pangan asal ternak berada dalam Codex Committee on Milk and Milk Products dan Codex Committe on Meat Hygiene, sedangkan bila ditinjau dari horizontal committee maka keamanan pangan asal ternak akan terkait dengan hampir semua komite, mulai dari CCFAC hingga CCNFSDU. Dengan demikian dapat dikatakan walaupun Codex membentuk beberapa komite untuk mempermudah kerjanya, terdapat keterkaitan antara komite satu dengan lainnya sehingga keputusan yang diambil tidak saling bertentangan (Food Agriculture Organization/World Health Organization 2000). Salah satu masalah dalam penerapan standar internasional seperti standar Codex adalah adanya persyaratan yang sangat ketat sehingga banyak negara mengalami kesulitan dalam memenuhi persyaratan tersebut. Secara umum dapat dikatakan negara maju lebih kuat daripada negara berkembang, sehingga dalam penyusunan standar kurang memerhatikan situasi dan kondisi negara berkembang. Ada kecenderungan negara maju makin membatasi produk dari negara berkembang dengan mempergunakan standar Codex, sehingga akan makin menyudutkan negara berkembang karena Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation - WTO) mengikuti kesepakatan yang dihasilkan Codex (Kompas 2001). Anjuran untuk menerapkan standar Codex tidak berarti menjadikannya sebagai standar nasional. Penetapan standar nasional tidak akan mengganggu kesepakatan Sanitary and Phytosanitary (SPS) hanya karena nilai dalam standar yang berbeda. Selain itu kesepakatan SPS memperkenankan setiap negara menetapkan standarnya masing-masing (Direktorat Bina Kesehatan hewan 1997). Setiap 26
negara dapat memilih untuk tidak menggunakan standar Codex apabila hal tersebut tidak memenuhi kepentingan perlindungan kesehatan nasional yang diinginkan. Penyesuaian dengan kondisi dan situasi di setiap negara dapat dilakukan tetapi harus dapat dipertanggungjawabkan. Setiap negara memiliki hak untuk menentukan tingkat keamanan pangan di negara masingmasing, dengan syarat mempunyai dasar ilmiah yang kuat dalam penetapan persyaratan tersebut. Apabila suatu negara menerbitkan standar pangannya sendiri maka standar tersebut harus diinformasikan (notification) kepada negara lain terutama yang mempunyai hubungan dagang. Untuk mempermudah implementasi sistem manajemen keamanan pangan, International Standardisation Organization (ISO) mengeluarkan standar manajemen keamanan pangan beserta petunjuk pelaksanaannya, yaitu ISO 22000 Food Safety Management System dan ISO/TS 22004:2005 Guidance on the Application of ISO 22000: 2005 (International Standardisation Organization 2005; Pattron 2005). Untuk mempertahankan hubungan dan agar dapat bekerja sama dengan negara-negara anggota, setiap negara mempunyai Codex country point. Selain itu banyak negara juga mempunyai National Food Codex, seperti halnya Indonesia yang mempunyai Codex Pangan Indonesia. Codex Pangan Indonesia dibentuk berdasarkan kesepakatan instansi-instansi pemerintah yang mempunyai otoritas di bidang keamanan pangan dan perdagangan pangan, serta mempunyai tugas pokok mengidentifikasi, membahas, dan menetapkan kebijakan serta posisi Indonesia di forum CAC. Codex pangan Indonesia beranggotakan perwakilan instansi pemerintah, lembaga penelitian, industri, asosiasi produsen dan konsumen, serta pakar di bidang terkait.
PENERAPAN JAMINAN KEAMANAN PANGAN DI BERBAGAI NEGARA Uni Eropa Keamanan pangan telah menjadi perhatian beberapa negara, sehingga undangundang atau peraturan yang terkait
dengan keamanan pangan mulai mencantumkan suatu sistem yang dapat memberikan jaminan keamanan pangan. Uni Eropa mengumumkan undangundang tentang pangan yang disebut dengan General Principles of Food Law in the European Union. Isinya antara lain adalah produsen harus memberikan informasi secara akurat dan jujur kepada konsumen, tidak hanya kandungan nutrisi tetapi juga proses penanganan produksi dan distribusi mulai dari farm sampai ke konsumen akhir. Pada intinya Eropa mulai menerapkan prinsip jaminan keamanan from farm to table. Dengan berkembangnya penyakit pada ternak dan bertambahnya negara anggota Uni Eropa maka Uni Eropa akan menerapkan peraturan keamanan pangan lebih ketat. Mulai Januari 2006, produk pangan yang dicurigai mengandung bahan berbahaya dapat langsung dimusnahkan. Selama ini, produk pangan yang dicurigai mengandung bahan berbahaya akan diturunkan pemakaiannya menjadi pakan ternak. Peraturan keamanan pangan Uni Eropa yang disebut White Paper on Food Safety from EU hampir mirip dengan TBA di Amerika, yang pada intinya produk pangan harus dapat ditelusuri asalnya, termasuk asal ternak dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemeliharaan ternak, yang umum disebut sebagai animal welfare (Kompas 2004).
Amerika Serikat Amerika Serikat sejak Desember 1999 telah memberlakukan sistem jaminan mutu HACCP bagi produk pangan terutama hasil ternak yang masuk pasar Amerika Serikat. Selain itu untuk menjamin pangan aman dari terorisme dan mencegah terorisme melalui pangan, Amerika Serikat juga mengeluarkan Undang-Undang Bioterorisme atau The Bioterrorism Act (TBA). Ditinjau dari keamanan pangan, TBA merupakan suatu jaminan keamanan pangan dengan konsep from farm to table, karena TBA mewajibkan produsen pangan membuat catatan mengenai pabrik, tenaga kerja, bahan baku, dan sebagainya. Bahan baku harus diketahui secara detail, seperti asal bibit, asal pupuk, petaninya dan sebagainya, sehingga bila terjadi teror melalui pangan maka sumber teror dapat dilacak. TBA dirasakan sangat memberatkan negara-negara berkembang yang mengekspor pangan dan produk Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
pangan ke Amerika Serikat, karena fasilitas dan teknologi di negara berkembang umumnya belum memadai, termasuk laboratorium pendukung. Selain itu, penerapan TBA telah menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga harga jual produk tidak kompetitif dan pasar Amerika Serikat makin sulit ditembus oleh produk pangan dari manapun (Trobos 2003).
Jepang Jepang telah beberapa kali melakukan revisi dan telah memasukkan persyaratan sistem jaminan mutu HACCP untuk proses penanganan produksi pangan. Artinya, hanya produk pangan yang proses produksinya mengikuti sistem jaminan mutu HACCP yang dapat masuk ke pasar Jepang (Kompas 2004).
Indonesia Indonesia telah mempunyai UndangUndang Pangan No 7 tahun 1996. Dalam undang-undang ini keamanan pangan dimuat dalam satu bab tersendiri, yang menunjukkan betapa pentingnya keamanan pangan. Juga terdapat pasal yang menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib melaksanakan sistem jaminan mutu sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi. Khusus untuk produk peternakan telah banyak peraturan dan perundangan yang ditujukan untuk memberikan jaminan keamanan pangan asal ternak, seperti pemberian Nomor Kode Veteriner (NKV) pada unit usaha pangan asal ternak. Selain itu Direktorat Jenderal Peternakan juga menyelenggarakan Program Monitoring dan Surveilan Residu dan Cemaran Mikroba (PMSR) sejak tahun 1995 hingga sekarang (Direktorat Jenderal Peternakan 1995). Penerapan peraturan secara benar ternyata dapat meningkatkan keamanan pangan serta mengurangi cemaran mikroba dalam daging yang diperdagangkan (Sumner et al. 2004). Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan di bawah Badan Pengujian Obat dan Makanan (POM), bekerja sama dengan instansi terkait, mulai membentuk Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT) atau Integrated Food Safety System (IFSS), yang mengarah pada penerapan konsep from farm Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
to table. Untuk memudahkan penerapannya, SKPT dibagi dalam tiga jejaring yang saling terkait, yaitu Jejaring Intelijen Pangan, Jejaring Pengawasan Pangan, dan Jejaring Promosi Keamanan Pangan. Selain Badan POM, instansi yang terkait dalam penerapan SKPT adalah Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pendidikan Nasional, pemerintah daerah, perguruan tinggi, lembaga penelitian, laboratorium swasta dan pemerintah, asosiasi industri dan perdagangan, Badan Standarisasi Nasional, dan lembaga swadaya masyarakat (Rahayu 2004). Jejaring Intelijen Pangan menghimpun informasi kegiatan pengkajian risiko keamanan pangan dari lembaga terkait lainnya, misalnya informasi data surveilan, inspeksi dan riset keamanan pangan. Jejaring Pengawasan Pangan merupakan jejaring kerja sama antarlembaga dalam pengawasan keamanan pangan, misalnya dalam standardisasi dan legalisasi pangan, inspeksi dan sertifikasi pangan serta pengujian laboratorium. Jejaring Promosi Keamanan Pangan mempunyai kegiatan antara lain promosi keamanan pangan, pendidikan, pelatihan, serta penyuluhan keamanan pangan kepada industri, konsumen, dan semua pihak yang terkait dengan keamanan pangan.
ANALISIS RISIKO DALAM KEAMANAN PANGAN Risiko dalam keamanan pangan dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan karena adanya bahaya dalam pangan. Bahaya dapat berupa agen biologi, kimiawi atau fisik dalam produk ternak atau bagian produk ternak yang dapat menimbulkan dampak yang merugikan bagi kesehatan. Analisis risiko telah menjadi dasar dalam penentuan standar keamanan pangan. Penentuan standar harus mempertimbangkan bahaya yang ada, pengaruh bahaya dalam jangka pendek maupun jangka panjang terhadap kesehatan konsumen, pengendalian untuk mengurangi risiko yang timbul, serta cara yang tepat untuk menyampaikan informasi kepada pihak terkait. Risiko yang akan timbul dipengaruhi oleh pengendalian di sepanjang rantai
produksi yang dilakukan oleh berbagai pihak terkait, mulai dari peternak, pelayanan transportasi, industri pengolahan hingga konsumen, termasuk pemerintah yang mempunyai wewenang dalam menerbitkan peraturan dan perundangan. Analisis risiko merupakan suatu proses yang terus-menerus, yang tidak berhenti walaupun luaran telah dicapai (Food Agriculture Organization 2005). Proses tersebut akan terus diulang dan dikaji. Analisis risiko dikelompokkan menjadi tiga yaitu: 1) penilaian risiko (risk assessment), 2) manajemen risiko (risk management), dan 3) komunikasi risiko (risk communication). Analisis risiko menjadi makin penting dalam kaitannya dengan perdagangan internasional setelah terbentuknya WTO dan ditandatanganinya Perjanjian Umum mengenai Tarif dan Perdagangan atau General Agreement on Tariff and Trade (GATT). Analisis risiko diperlukan karena tuntutan yang makin kuat akan konsistensi penerapan perlakuan terhadap setiap negara dalam perdagangan global. Perlakuan yang berbeda terhadap satu negara hanya boleh berdasarkan aspek teknis dan bukan politik. Dalam SPS dinyatakan bahwa penerapan sistem keamanan pangan harus berdasarkan atas penilaian risiko dari bahaya yang ada dalam pangan terhadap kesehatan manusia, hewan, dan tanaman. Codex Committee pada sidang ke-38 juga menetapkan bahwa seluruh standar, pedoman dan rekomendasi yang dihasilkan oleh Codex harus berdasarkan pada analisis risiko (Food Agriculture Organization/World Health Organization 1997).
Penilaian Risiko Penilaian risiko adalah evaluasi secara ilmiah terhadap gangguan kesehatan pada manusia sebagai akibat mengonsumsi bahan berbahaya dalam pangan. Penilaian risiko membutuhkan data dan informasi yang dapat menjelaskan hubungan antara bahaya dan risiko terhadap kesehatan manusia. Dalam upaya memperoleh data dengan cepat, suatu model penilaian risiko terhadap Salmonella telah dihasilkan (Lammerding 2006). Penilaian risiko dapat dibagi menjadi empat langkah yaitu: 1. Identifikasi bahaya yang mungkin ada dalam pangan yang dapat menimbul27
kan risiko pada kesehatan manusia, termasuk risiko yang mungkin ditimbulkan. 2. Karakterisasi bahaya, yaitu evaluasi secara kualitatif maupun kuantitatif terhadap risiko yang mungkin timbul oleh bahaya yang telah diidentifikasi. 3. Evaluasi pemaparan bahaya, yaitu evaluasi secara kualitatif maupun kuantitatif kemungkinan terpaparnya manusia oleh bahaya tersebut karena konsumsi, dan kemungkinan adanya bahaya dalam pangan yang dikonsumsi. 4. Karakterisasi risiko, adalah identifikasi kemungkinan risiko kesehatan manusia yang ditimbulkan dari bahaya, perkiraan besarnya risiko atau tingkat keparahan risiko yang mungkin terjadi.
Manajemen Risiko Manajemen risiko adalah proses untuk mempertimbangkan kebijakan yang akan diambil dengan memerhatikan hasil penilaian risiko termasuk menentukan perlu tidaknya peraturan untuk mendukung kebijakan tersebut serta implementasi kebijakan yang diambil. Dalam manajemen risiko, perlindungan terhadap kesehatan manusia merupakan pertimbangan paling utama. Keluaran jangka panjang yang diharapkan dari manajemen risiko adalah adanya standar, peraturan dan pedoman yang dapat digunakan sebagai perangkat untuk mendapatkan jaminan keamanan pangan. Monitoring dan pengkajian ulang terhadap keputusan yang diambil harus dilakukan secara konsisten untuk mengetahui efikasi dari implementasi kebijakan yang diambil. Selain itu manajemen risiko harus menggunakan pendekatan yang terstruktur, serta keputusan dan implementasinya harus transparan. Manajemen risiko harus merupakan suatu proses yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan data yang muncul dalam evaluasi maupun pengkajian ulang terhadap keputusan manajemen risiko. Pada dasarnya tahapan penting dalam manajemen risiko adalah evaluasi risiko, evaluasi pilihan, implementasi, serta monitoring dan kajian.
Komunikasi Risiko Komunikasi risiko adalah proses pertukaran informasi secara terus-menerus 28
Tabel 1. Pembagian tanggung jawab di antara berbagai pihak yang terkait dalam memberikan jaminan keamanan pangan. Pihak yang terlibat
Tanggung Jawab
Pemerintah
Menyediakan peraturan, undang-undang dan penegakan hukum Bimbingan, pendidikan keamanan pangan Surveilan, pengumpulan data Menyediakan dana penelitian
Industri (produksi, peternakan, prosesing, pengecer, restauran)
Penerapan HACCP, good farming practices, good handling practices Penerapan jaminan mutu dan pengawasan mutu produk Penyediaan sarana yang memadai dan teknologi yang mendukung
Konsumen
Pengetahuan tentang keamanan pangan Penyimpanan, penyiapan dan pengolahan pangan yang benar Penerapan higenik dan kebersihan serta sikap dan tindakan yang mendukung
Media
Komunikasi yang mendidik Pemberitaan yang benar dan bertanggung jawab Fasilitas komunikasi yang terbuka dan interaktif
atau berulang di antara individu, kelompok atau lembaga. Komunikasi harus terbuka, interaktif dan transparan. Karakterisasi risiko yang diperoleh dari penilaian risiko serta pengendalian risiko atau kebijakan yang akan diimplementasikan, harus dikomunikasikan kepada semua pihak yang terkait, sehingga semua pihak yang terkait dalam rantai pangan memperoleh informasi yang cukup mengenai bahaya dalam pangan dan tindakan tepat yang harus dilakukan. Komunikasi dengan pihak industri sangat penting sehingga tidak ada prasangka bahwa industri selalu dirugikan atau diberi beban oleh peraturan atau kebijakan. Komunikasi risiko juga harus bersifat mendidik dan melindungi konsumen, serta meningkatkan kesadaran konsumen akan pentingnya keamanan pangan dan kemungkinan bahaya yang ada dalam pangan. Komunikasi risiko juga bertujuan memberi pengertian kepada peternak yang merupakan titik awal rantai pangan produk peternakan. Memberikan pengertian kepada peternak bukanlah hal yang mudah, terlebih peternak kecil dengan pendidikan relatif rendah. Tanpa adanya kesadaran petani dan peternak, konsep keamanan pangan dari kandang ke piring konsumen sulit diterapkan. Komunikasi
yang efektif akan menentukan diperolehnya jaminan keamanan pangan asal ternak. Konflik atau perbedaan pendapat di antara pihak yang terlibat dalam sistem keamanan pangan seharusnya dapat diselesaikan dengan komunikasi yang efektif. Jaminan keamanan pangan tidak akan tercapai tanpa kerja sama atau koordinasi di antara semua pihak yang terlibat dalam rantai pangan, termasuk pemerintah yang mempunyai wewenang dalam penyediaan undang-undang dan penegakan hukum. Media juga bertanggung jawab dalam menyampaikan informasi secara benar dan bertanggung jawab serta menyediakan fasilitas demi terbangunnya komunikasi yang efektif. Semua pihak mempunyai tanggung jawab dalam memberikan jaminan keamanan pangan, seperti tercantum dalam Tabel 1.
KESIMPULAN Jaminan keamanan pangan telah menjadi tuntutan konsumen dan perdagangan nasional maupun internasional. Standar pangan dari Codex merupakan jaminan adanya kesetaraan dalam perdagangan internasional dan jaminan bahwa pangan Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
aman bagi konsumen, sedangkan secara nasional telah tersedia SNI dan peraturan pemerintah. Analisis risiko harus menjadi dasar dalam penetapan standar pangan baik standar nasional maupun internasional.
Jaminan keamanan pangan asal ternak dari kandang hingga ke piring konsumen merupakan tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam rantai pangan, mulai dari peternak hingga konsumen yang mempersiapkan makanan di meja,
termasuk pemerintah yang mempunyai wewenang dalam penetapan perundangundangan. Media juga harus dapat membangun komunikasi yang interaktif dan terbuka di antara semua pihak yang terkait.
Ahl, A.S. and B. Buntain. 1997. Risk and the food safety chain: Animal health, public health and the environment. In Contamination of Animal Products: Prevention and risks for public health. Revue Scientifique et Technique 16: 322−328.
Peternakan No. 254/TN.520/Kpts/DJP/ Deptan/1995 Tentang Pedoman Pemberian Nomor Kontrol Veteriner (NKV) Rumah Pemotongan Hewan/Unggas dan Tempat Pemprosesan Daging. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.
Safety Regulators, Bangkok 12−14 October 2004. FAO, Rome.
Bahri, S., P. Zahari, R. Maryam, dan Ng. Ginting. 1991. Residu aflatoksin M1 pada susu sapi asal beberapa daerah di Jawa Barat. Kumpulan Makalah Kongres Persatuan Dokter Hewan Indonesia XI, Yogyakarta, Juli 1991.
Direktorat Bina Kesehatan Hewan. 1997. Kesiapan Kesehatan Hewan dalam Menghadapi Repelita VII. Manual Kesmavet No. 47/1997.
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, S., R. Maryam, dan R. Widiastuti. 2005. Cemaran aflatoksin pada bahan pakan dan pakan di beberapa daerah Propinsi Lampung dan Jawa Timur. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 10(3): 236−241. Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI 014852−1998: Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (Hazard Analysis Critical Control Point–HACCP) serta Pedoman Penerapannya. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Badan Standarisasi Nasional. 2000. SNI 016366-2000, Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Bastianelli, D. and C.L. Bas. 2002. Evaluating the role of animal feed in food safety: Perspectives for action. Proceeding of the International Workshop on Food Safety Management in Developing Countries. CIRAD-FAO, Montpellier, France. p. 11− 13. Budinuryanto, D.C., M.H. Hadiana, R.L. Balia, Abubakar, dan E.Widosari. 2000. Profil keamanan daging ayam lokal yang dipotong di pasar tradisional dalam kaitannya dengan penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Laporan Hasil Penelitian Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran dan Proyek ARMP II Badan Litbang Pertanian. Cullor, J.S. 1997. Risk and prevention of contaminant of dairy products. Rev. Sci. Tech. 16(2): 472−481. Direktorat Jenderal Peternakan. 1995. Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan
Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006
Direktorat Bina Kesehatan Hewan. 2002. SK Menteri Pertanian No 445/Kpts/TN.540/ 7/2002, 15 Juli 2002 tentang pelarangan pemasukan ternak ruminansia dan produknya dari negara tertular penyakit Bovine Spongioform Encephalopathy (BSE). Manual Kesmavet No. 52. Dressen, D.W. 1998. Hazard analysis and critical control point systems as a preventive tool. JAVMA 213: 1.741−1.744. Erniningsih. 2004. Pemahaman Codex Alimentarius Commission (CAC). Workshop on Capacity Building, Codex, Bogor 25-26 November 2004. Food Agriculture Organization. 1999. Manual on the use of the LPS system in milk handling and preservation. Animal Production Service, FAO Animal Production and Health Division, FAO, Rome. Food Agriculture Organization. 2005. Annex 2: The application of risk analysis to food safety control programme. http://www. f a o . o r g / d o c r e p / W 8 0 8 8 E / w8088e07.html. [12 Agustus 2005]. Food Agriculture Organization/World Health Organization. 1997. Risk management and food safety. FAO Food and Nutrition Paper no 65. Report of a joint FAO/WHO consultation, 27−31 January 1997. FAO, Rome. Food Agriculture Organization/World Health Organization. 2000. Codex Alimentarius Commission. Procedural Manual. 11th Edition. Joint FAO/WHO Food Standard Programme. FAO, Rome. Food Agriculture Organization/World Health Organization. 2004. The five keys for safe food: WHO’s community food safety activities. Second Global Forum of Food
FOODHACCP. 2005. The WHO golden rules for safe food preparation. http://www. foodhaccp.com./who-rules. [2 November 2005]. Gorris, L.G.M. 2005. Food safety objective: An integral part of food chain management. Food Control 16: 801−809. Griffith, C. 2003. Good practices for food handlers and consumers. In C.W. Blackburn and P.J. McClure (Eds.). Foodborne Pathogens. Hazards, risk analysis and control. CRC Press. p. 257−276. Harjoutomo, S., M.B. Purwadikarta, dan E. Martindah. 1995. Antrak pada hewan dan manusia di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 302−318. International Standardisation Organization. 2005. How to implement a food safety management system. http://www.iso.org/ iso/en/commcentre/pressrelease/2005/ Ref979.html. [23 Januari 2006]. Kompas. 2001. Hasil sidang Codex ke 24: Standar keamanan pangan internasional makin ketat. Kompas, 17 Juli 2001. Kompas. 2002. Jangan takut mengonsumsi pangan transgenik. Kompas, 29 Agustus 2002. Kompas. 2004. UE siapkan aturan keamanan pangan. Kompas, 30 Juni 2004. Kompas. 2005. Pemerintah segera tertibkan pemakaian formalin. Kompas, 28 Desember 2005. Lammerding, A.M. 2006. Modeling and risk assessment for Salmonella in meat and poultry. J. AOAC Int. 89(2): 543−552. McEwen, S.A. and W.B. McNab. 1997. Contaminants of nonbiological origin in foods from animals. Rev. Sci. Tech. Off. Int. Epiz. 16(2): 684−693. Mitchell, J.M., M.W. Griffith, S.A. McEwen, W.B. McNab, and A.J. Yee. 1998. Antimicrobial drug residues in milk and meat: Causes, concerns, prevalence, regulation,
29
test and test performance. J. Food Protection 61: 742−756. Murdiati, T.B. 2004. Advanced and Management of Chemical Use in Farm Practices. Proceedings of the 4th Asian Conference on the Food, and Nutrition Safety Organized by ILSI, FAO and Bogor Agricultural University. p. 86−96. Murdiati, T.B., M. Pulungan, R. Maryam, S. Rachmawati, W. Suwito, E. Masbulan, S.M. Noor, dan Abubakar. 2002. Teknologi penanganan dan pengamanan produk segar dan olahan hasil ternak. Laporan Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dan Pusat Pengembangan Agribisnis, Jakarta. Murdiati. T.B., A. Priadi, S. Rachmawati, dan Yuningsih. 2004. Susu pasteurisasi dan penerapan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 9: 172−180.
30
Pattron, D.D. 2005. Significance of ISO 22000 to the food industry. http://www.foodhaccp. com/onlinecourse/iso22000.ppt. [23 Januari 2006]. Perdue, M.L., J. Karns, J. Higgins, and J.A. van Kessel. 2003. Detection and fate of Bacillus anthracis (Sterne) vegetative cells and spores added to bulk tank milk. J. Food Protection 66(12): 2.349−2.354. Poernomo, S. 1994. Salmonella pada ayam di rumah potong ayam dan lingkungannya di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk Meningkatkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak, Bogor, 22-24 Maret 1994. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 338−345.
karya Jejaring Intelejen Pangan, Fakultas Peternakan UNPAD, Bandung, 1 Juli 2004. Randell, A.W. and A.J. Whitehead. 1997. Codex Alimentarius: food quality and safety standards for international trade. Rev. Sci. Tech. Off. Int. Epiz. 16(2): 313−321. Soejitno, J. 2002. Pesticides residues on food crops and vegetables in Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 21(4): 124−132. Sumner, J. G. Raven, and R. Givney. 2004. Have changes to meat and poultry food safety regulation in Australia affected the prevalence of Salmonella or of salmonellosis. Int. J. Food Microb. 92(2): 199−205. Trobos. 2003. UU Bioterorisme terbit, ekspor kian sulit. Trobos 43: 13−15.
Rahayu, W.P. 2004. Program jejaring intelejen pangan. Makalah disampaikan pada Loka-
Jurnal Litbang Pertanian, 25(1), 2006