X. STRATEGI MENGHASILKAN PANGAN ASAL TERNAK YANG AMAN A. Penguatan Aspek Kelembagaan Keamanan Pangan Asal Ternak Kelembagaan yang paling berkepentingan dalam mewujudkan keamanan pangan asal ternak di Indonesia adalah Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen yang berada di bawah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Oleh karena itu, dalam strategi menghasilkan pangan asal ternak yang aman, maka kelembagaan yang menangani hal tersebut harus kuat sehingga dapat berperan nyata dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya guna mewujudkan jaminan keamanan pangan asal ternak di Indonesia. Untuk mengetahui mengapa Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) ini sampai menjadi lembaga yang terkait dalam penanganan keamanan pangan, ada baiknya diuraikan sepintas tentang pemahaman konsep Kesmavet yang dikutip dari sumber di Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. Istilah Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) yang dalam bahasa Inggrisnya Veterinary Public Health (VPH) diperkenalkan pertama kali oleh WHO dan FAO pada laporannya The Joint WHO/FAO Expert Gorup on Zoonoses pada tahun 1951. Dalam laporan tersebut Kesmavet didefinisikan sebagai seluruh usaha masyarakat yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh seni dan ilmu kedokteran hewan yang diterapkan untuk mencegah penyakit, melindungi kehidupan, dan mempromosikan kesejahteraan dan efisiensi manusia. Selanjutnya pada tahun 1975, WHO/FAO melakukan perubahan/memodifikasi definisi Kesmavet, sehingga Kesmavet didefinisikan sebagai suatu komponen aktivitas kesehatan 118
Strategi Menghasilkan Pangan Asal Ternak yang Aman
masyarakat yang mengarah kepada penerapan keterampilan, pengetahuan dan sumberdaya profesi kedokteran hewan untuk perlindungan dan perbaikan kesehatan masyarakat. Kemudian pada tahun 1999 WHO, FAO, OIE dan WHO/FAO Coloborating for Research and Training in Veterinary Epidemiology and Management mengusulkan definisi kesmavet dikaitkan dengan definisi sehat menurut WHO. Oleh sebab itu, pada tahun 1999, Kesmavet didefinisikan sebagai kontribusi terhadap kesejahteraan fisik, mental dan sosial melalui pemahaman dan penerapan ilmu kedokteran hewan. Indonesia memasukkan istilah Kesmavet pada UndangUndang Nomor 6 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Definisi Kesmavet dalam UU tersebut adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan bahan-bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983. Kemudian dengan terbitnya UU Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, maka Kesmavet diatur tersendiri dalam Bab VI tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan. Pada bagian kesatu dari bab ini mengatur tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dimana Kesehatan masyarakat Veteriner merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dalam bentuk: (a) Pengendalian dan penanggulangan zoonosis; (b) Penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan dan kehalalan produk hewan; dan (c) Penjaminan higiene dan sanitasi. Dengan demikian Kesmavet merupakan penghubung antara bidang pertanian/peternakan dan kesehatan. Ruang lingkup tugas dan fungsi Kesmavet adalah administrasi dan konsultasi, pencegahan penyakit zoonotik, higiene makanan, riset dan penyidikan penyakit hewan dan zoonosis, serta pendidikan kesmavet. Secara garis besar, tugas, dan fungsi Kesmavet
119
Keamanan Pangan Asal Ternak
adalah menjamin keamanan dan kualitas produk-produk peternakan, serta mencegah terjadinya risiko bahaya akibat penyakit hewan/zoonosis dalam rangka menjamin kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. 1. Peranan Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan merupakan institusi milik pemerintah yang secara kelembagaan resmi bertanggungjawab dalam membina dan mewujudkan jaminan keamanan pangan asal hewan di Indonesia melalui tugas pokok dan fungsinya yang antara lain menyediakan berbagai peraturan, prosedur, dan standar terkait terwujudnya keamanan pangan asal hewan di Indonesia. Oleh karena itu, institusi ini mempunyai misi antara lain: (1) Merumuskan dan menyelenggarakan kebijakan bidang penjaminan pangan asal hewan yang ASUH; (2) Merumuskan dan menyelenggarakan kebijakan bidang perlindungan sumber daya hewani, manusia dan lingkungan dari penyakit zoonotik dan eksotik; dan (3) Merumuskan dan menyelenggarakan kebijakan bidang kesejahteraan hewan, bidang peningkatan nilai tambah produk hewan. Tujuan yang ingin dicapai antara lain: (1) Meningkatkan penyelenggaraan jaminan pangan asal daging dan produknya, asal telur dan produknya, asal susu dan produknya yang ASUH; (2) Meningkatnya penyelenggaraan jaminan pencegahan penyakit zoonosis bersumber bahan pangan (food borne diseases) dan penerapan kesejahteraan hewan; (3) Meningkatkan penyelenggaraan peningkatan nilai tambah produk hewan; dan (4) Menyelenggarakan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) yang profesional dan pelayanan di bidang kesmavet dan pascapanen kepada masyarakat.
120
Strategi Menghasilkan Pangan Asal Ternak yang Aman
Sasaran yang ingin dicapai adalah: (1) Terwujudnya jaminan pangan asal daging dan produknya, asal telur dan produknya, dan asal susu dan produknya yang ASUH; (2) Terwujudnya jaminan keamanan dan tidak adanya penyalahgunaan produk hewan non-pangan; (3) Terwujudnya jaminan pencegahan penyakit zoonosis bersumber bahan pangan (food borne diseases) dan penerapan kesejahteraan hewan; (4) Terwujudnya peningkatan nilai tambah produk hewan, serta (5) Terwujudnya SDM yang profesional dalam rangka peningkatan pelayanan kesmavet dan pasca panen kepada masyarakat. Sedangkan Program Direktorat Kesmavet dan Pascapanen ini antara lain: (1) Penerapan Sistem Jaminan Keamanan Pangan pada mata rantai produksi pangan asal hewan; (2) Pengamanan produk hewan; (3) Monitoring dan surveilans residu serta cemaran mikroba pada produk hewan; dan (4) Pengendalian zoonosis melalui monitoring, surveilans dan partisipasi masyarakat. 2. Peran Pengawas Kesmavet dalam menjamin keamanan pangan asal ternak Salah satu tugas dan fungsi Direktorat Kesmavet dalam mewujudkan jaminan keamanan pangan asal hewan ini adalah melalui peran dan fungsi pengawas Kesmavet yang informasinya dikutip dari Tim Direktorat Kesmavet, Ditjen Peternakan, 2010. Pangan asal ternak yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) adalah pangan asal hewan yang diperoleh dari ternak sehat yang dipotong di rumah pemotongan hewan/unggas, dan telah menjalani pemeriksaan antemortem dan postmortem oleh dokter hewan berwenang atau paramedik veteriner di bawah pengawasan dokter hewan serta telah dinyatakan aman dan layak untuk dikonsumsi manusia. Untuk menjamin pangan asal ternak yang beredar di masyarakat memenuhi kriteria ASUH, maka diperlukan pengawasan teknis di bidang kesmavet pada seluruh rantai produksinya mulai dari peternakan, distribusi ternak, rumah 121
Keamanan Pangan Asal Ternak
potong, distribusi dan penyimpanan serta penjajaan produk pangan asal ternak. Untuk melaksanakan kegiatan pengawasan tersebut, pemerintah telah menunjuk petugas pengawas Kesmavet yang merupakan dokter hewan yang telah mengikuti pelatihan dan mendapatkan sertifikat pengawas kesmavet serta ditunjuk oleh Kepala Dinas yang membidangi fungsi Kesmavet di provinsi atas nama Gubernur atau Kepala Dinas yang membidangi fungsi Kesmavet, sedangkan untuk kabupaten/kota atas nama Bupati/Walikota, yang selanjutnya memiliki wewenang untuk melaksanakan pengawasan Kesmavet pada seluruh rantai produksi pangan asal ternak tersebut. Sampai dengan tahun 2008, dokter hewan yang telah memperoleh sertifikat sebagai pengawas kesmavet berjumlah 110 orang, yang berasal dari berbagai provinsi, kota dan kabupaten. Untuk meningkatkan jumlah pengawas kesmavet, telah dilaksanakan kegiatan Peningkatan Kemampuan Petugas Pengawas Kesmavet yang diselenggarakan secara bertahap karena keterbatasan biaya dengan peserta dari berbagai kabupaten/kota. Kegiatan ini telah meningkatkan jumlah Pengawas Kesmavet menjadi 138 orang. Namun seiring dengan perkembangan usaha dibidang produksi PAH dan luasnya wilayah pengawasan, maka upaya untuk menambah jumlah pengawas Kesmavet harus terus dilaksanakan ditahun-tahun mendatang dalam jumlah yang lebih besar lagi. Melalui kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan jumlah pengawas Kesmavet yang memiliki kemampuan dan keterampilan sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan di lapangan serta mampu berkoordinasi dengan instansi terkait, disesuaikan dengan kebijakan pemerintah baik di pusat maupun daerah. Disamping jumlah, distribusi penyebaran Pengawas Kesmavet di daerah perlu juga mendapatkan perhatian serta harus disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan masing-masing daerah. Dengan cara demikian
122
Strategi Menghasilkan Pangan Asal Ternak yang Aman
kelembagaan pengawasan kesmavet untuk mewujudkan jaminan keamanan pangan asal ternak dapat diperkuat. B. Menerapkan Standar Pangan Dalam mewujudkan jaminan keamanan pangan mutlak diperlukan adanya standar baku terhadap berbagai cemaran atau residu yang masih dalam batas-batas dapat ditoleransi keberadaannya dalam pangan atau bahan pangan tertentu. Tentunya standar ini harus diakui oleh berbagai negara atau dunia internasional, apabila pangan atau bahan pangan tersebut ingin diedarkan atau diperdagangkan secara global. Codex Alimentarius Commission (CAC) merupakan salah satu standar internasional yang diakui secara global. Oleh karena itu, sedapat mungkin standar yang digunakan mengacu kepada ketentuan CAC atau ketentuan internasional lainnya yang diakui oleh berbagai negara seperti USDA, maupun standar yang diberlakukan di Eropa. C. Menerapkan Seluruh Proses Sesuai dengan Peraturan/Ketentuan Untuk lebih menjamin bahwa daging sapi yang akan dikonsumsi oleh masyarakat benar-benar aman dan memenuhi persyaratan higienis serta halal, maka pemerintah perlu mengaturnya baik dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Dirjen atau aparat-aparat pemerintah lainnya yang ditunjuk mempunyai wewenang untuk itu. Di bawah ini disajikan peraturan-peraturan penting yang berkaitan dengan upayaupaya penyediaan daging sapi maupun produk ternak lainnya yang bermutu, aman dan halal untuk dikonsumsi masyarakat maupun untuk ekspor. a. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1983, Tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner. 123
Keamanan Pangan Asal Ternak
b.
Keputusan Menteri Pertanian No. 555 Tahun 1986, Tentang Syarat-Syarat RPH dan Usaha Pemotongan Hewan. c. Peraturan Pemerintah R.I. No. 15 Tahun 1991, Tentang Standar Nasional Indonesia. d. Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1991, Tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia. e. Peraturan Pemerintah R.I. No. 78 Tahun 1992, Tentang Obat Hewan. f. Keputusan Ketua Dewan Standarisasi Nasional No. 018/IV.2.06/H.K.01.04/5/92, Tentang Sistem Standarisasi Nasional. g. Keputusan Menteri Pertanian No. 413 Tahun 1992, Tentang Pemotongan Hewan Potong dan Pengamanan Daging Serta Hasil Ikutannya. h. Keputusan Menteri Pertanian No.303/Kpts/0T.201/4/94, Tentang Kebijaksanaan dalam Pembinaan, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Melalui Standarisasi, Sertifikasi dan Akreditasi Melalui Sistem Standarisasi Pertanian. i. Keputusan Menteri Pertanian No. 466 Tahun 1994, Tentang Loka Penguji Mutu Produk Peternakan. j. UU no.18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. k. Undang Undang No. 18 Tahun 2012, Tentang Pangan. l. SNI 01-6-6160-1999 Tentang Rumah Pemotongan Unggas (RPU). m. SNI 01-6366-2000 Tentang Batas Cemaran Mikroba dan BMR dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Masih banyak lagi peraturan lainnya yang berkaitan dengan keamanan pangan termasuk daging, telur dan susu.
124
Strategi Menghasilkan Pangan Asal Ternak yang Aman
D. Menerapkan Persyaratan dan Pengawasan terhadap Produk Asal Ternak Impor Pengawasan daging impor diatur oleh Surat Keputusan Menteri Pertanian. Pengawasan dimulai sejak bahan tersebut masih berada di negara asalnya sampai dipasarkan di wilayah Indonesia. Beberapa persyaratannya, antara lain adalah: 1. Penilaian terhadap Negara Asal Penilaian terhadap negara asal adalah untuk menilai status penyakit hewan menular yang ada di negara tersebut. Penilaian juga dilakukan terhadap RPH yang dipergunakan dalam proses produksi dari daging tersebut, kualitas daging, cara pemotongan, pengemasan dan pengangkutannya. Termasuk juga jaminan sertifikat kesehatan hewannya, sertifikat halal dan dokumen-dokumen lain yang mendukung. Aspek lainnya yang dinilai yaitu adanya cemaran atau residu obat dan bahan kimia lainnya termasuk juga bahan pengawet. 2. Pengawasan di Pelabuhan Pengawasan daging yang masuk ke Indonesia melalui pelabuhan laut maupun udara ditangani oleh petugas karantina setempat. Dalam hal ini yang berhak membuka segel dan memeriksa daging tersebut adalah petugas karantina, terutama terhadap kelengkapan dokumen dan kondisi dari daging tersebut. 3. Peredaran Daging Impor Peredaran daging impor di dalam negeri setelah diperbolehkan masuk oleh petugas karantina juga perlu diatur oleh pemerintah. Pemeriksaan atau pemantauan daging impor ini meliputi kesehatan, kelayakan dan pengujian laboratoris
125
Keamanan Pangan Asal Ternak
secara berkala dengan metoda sampling acak yang mencakup importir, negara asal, jenis daging, merek dagang dan keterangan tempat pengambilan, apakah dipenyimpanan, pengangkutan atau pemasaran. E. Penerapan HACCP pada Proses Penyediaan Produk Asal ternak Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) merupakan suatu sistem keamanan pangan yang berperan sebagai tindakan preventif yang efektif untuk menjamin keamanan pangan. Konsep HACCP ini dapat diterapkan pada seluruh mata rantai produksi makanan. Meskipun aplikasi HACCP pada umumnya dilakukan di dalam industri pengolahan pangan, tetapi pada prinsipnya dapat dilakukan mulai dari produksi bahan baku sampai pemasaran dan distribusi (Fardiaz 1996). Pada tiap-tiap mata rantai pangan dilakukan analisis yang seksama terhadap aliran proses untuk menentukan tingkat bahaya dan titik pengendalian kritis atau Critical Control Point (CCP). HACCP adalah suatu sistem jaminan mutu dan keamanan yang didasarkan pada anggapan bahwa bahaya dapat timbul pada berbagai titik dalam setiap tahap produksi, dan bahaya tersebut sebetulnya dapat dikendalikan. Pengertian bahaya ini merupakan titik kerawanan terhadap pencemaran, baik yang bersifat mikrobiologi, kimia, maupun fisik yang sangat potensial dalam menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia. Dari titik kritis inilah tindak pengawasan dimulai, dengan tujuan untuk mengeliminasi, mencegah atau memperkecil sampai pada tingkat yang tidak membahayakan. Sebenarnya konsep HACCP ini telah diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1971/1972, namun Codex Alimentarius Commission baru mengadopsi/menerapkan konsep ini untuk industri pangan pada tahun 1993. Di Indonesia sendiri beberapa perusahaan atau industri yang berkaitan dengan pangan telah menerapkan konsep HACCP seperti Rumah 126
Strategi Menghasilkan Pangan Asal Ternak yang Aman
Pemotongan Ayam "Suri Chicken" (Dawani 1996), Charoen Pokphand, McDonald's Indonesia (Novia-rio 1996), dan PT Indofood Sukses Makmur (Silowati I996). Pada pelaksanaan HACCP pada dasarnya terdapat tujuh prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu: 1. Mengidentifikasi hazard atau bahaya dan memperkirakan bahaya yang ditimbulkan (hazard analysis) pada mata rantai pangan serta menetapkan langkah-langkah pengendaliannya sampai pada tingkat yang tidak membahayakan. 2. Penetapan titik pengendalian kritis (CCP) yang dibutuhkan untuk mengendalikan bahaya yang mungkin terjadi. 3. Penetapan limit kritis yang harus dipenuhi untuk setiap CCP dengan menetapkan kriteria-kriteria atau persyaratan tertulis dan jelas sehingga mudah dimengerti oleh operator. 4. Penetapan prosedur untuk memantau atau memonitor setiap CCP sehingga diketahui apakah pengawasan pada setiap CCP telah dilaksanakan. 5. Penetapan tindakan koreksi yang harus dilakukan jika terjadi penyimpangan selama pemantauan. 6. Penetapan sistem pencatatan yang efektif yang merupakan dokumen penting program HACCP. 7. Penetapan prosedur verifikasi untuk membuktikan bahwa sistem HACCP telah berhasil atau masih efektif. Selain tujuh prinsip penting yang perlu diketahui pada penerapan HACCP, ada 12 langkah penting yang perlu dipahami pada waktu pelaksanaannya (operasional), yaitu: 1. Pembentukan tim HACCP yang terdiri dari staf dengan berbagai keahlian. 2. Penjelasan produk secara lengkap termasuk komposisi pangan dan pendistribusiannya. 3. Identifikasi sasaran pengguna makanan atau konsumen. 4. Penetapan bagan alir yang menguraikan proses produksi. 5. Penerapan, pemeriksaan bagan alir operasional.
127
Keamanan Pangan Asal Ternak
6.
Identifikasi bahaya pada setiap mata rantai serta menentukan cara pencegahan dan pengawasannya. 7. Penetapan dan identifikasi titik tindak pengawasan. 8. Penetapan batas kritis CCP, yaitu batas toleransi yang harus dipenuhi untuk menjamin bahwa CCP secara efektif mengendalikan bahaya. 9. Penetapan sistem monitoring/pemantauan untuk setiap CCP. 10. Melakukan tindakan koreksi jika terjadi penyimpangan pada waktu monitoring. 11. Recording/pencatatan dan dokumentasi program HACCP. 12. Penetapan prosedur verifikasi program HACCP. Penerapan HACCP pada proses produksi daging di RPH atau di RPU untuk ayam perlu disertai dengan gambar bagan alir. Dari bagan alir tersebut dapat ditentukan titik-titik kritis dari tiap-tiap mata rantai proses produksi. Juga dapat ditentukan risiko potensial yang diperkirakan akan terjadi pada tahap-tahap kritis tersebut. Dengan demikian tindakan pengawasan juga dapat ditetapkan untuk menanggulangi atau memperkecil terjadinya bahaya. Selanjutnya ditentukan prosedur atau langkah-langkah pengawasan dan pencegahan agar tindak pengawasan dapat berjalan dengan efektif. Berdasarkan langkah-langkah yang harus diterapkan pada konsep HACCP, maka proses selanjutnya adalah penetapan limit kritis seperti pada langkah kedelapan, yang dilanjutkan hingga langkah terakhir. Konsep HACCP ini juga dapat diterapkan untuk mendapatkan susu dan telur yang aman. F. Menerapkan Analisis Risiko Murdiati (2006) dalam makalahnya yang berjudul Jaminan Keamanan Pangan Asal Ternak: dari Kandang hingga Piring Konsumen, mengemukakan bahwa risiko dalam keamanan pangan dapat diartikan sebagai suatu kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan karena adanya bahaya dalam pangan. 128
Strategi Menghasilkan Pangan Asal Ternak yang Aman
Analisis risiko telah digunakan sebagai dasar dalam penentuan standar keamanan pangan, dimana penentuan standar tersebut harus mempertimbangkan berbagai kemungkinan terhadap bahaya yang ada dan pengaruhnya dalam jangka pendek maupun jangka panjang terhadap kesehatan konsumen, pengendaliannya untuk mengurangi risiko yang timbul serta cara yang tepat untuk menyampaikan informasi kepada pihak terkait. Risiko yang kemungkinan timbul akan dipengaruhi oleh pengendalian di setiap rantai pangan yang dilakukan oleh pihakpihak terkait seperti peternak (pada saat di farm), pelaku yang terkait dengan proses transportasi, pelaku usaha/petugas pada proses panen, industri pengolahan hingga konsumen, termasuk pemerintah yang berwenang dalam menerbitkan berbagai peraturan dan perundang-undangan. Analisis risiko ini merupakan suatu proses yang terusmenerus yang tidak berhenti walaupun suatu luaran telah dicapai, karena proses tersebut akan terus diulang dan dikaji (FAO 2005 dalam Murdiati 2006). Analisis risiko ini terdiri dari; (1) penilaian risiko (risk assessment); (2) manajemen risiko (risk management); dan (3) komunikasi risiko (risk communication). Analisis risiko menjadi semakin penting terkait dengan perdagangan internasional setelah terbentuknya WTO dan ditandatanganinya Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan atau GATT (General Agreement on Tariff and Trade). Analisis risiko ini diperlukan karena tuntutan yang semakin kuat terhadap konsistensi penerapan perlakuan kepada setiap negara yang terlibat dalam perdagangan global. Perlakuan yang berbeda terhadap suatu negara hanya diperbolehkan asalkan memiliki alasan teknis yang kuat berdasarkan pertimbangan ilmiah. Dalam sidang Codex Committee ke-38 diputuskan bahwa seluruh standar, pedoman dan rekomendasi yang dihasilkan oleh Codex Committee harus berdasarkan pada analisis risiko.
129
Keamanan Pangan Asal Ternak
1. Penilaian Risiko Penilaian risiko yang akan diulas di sini adalah berdasarkan paper yang ditulis oleh Murdiati (2006). Penilaian risiko adalah evaluasi secara ilmiah terhadap gangguan kesehatan pada manusia sebagai akibat mengonsumsi bahan berbahaya dalam pangan. Dalam penilaian risiko ini membutuhkan data dan informasi yang dapat menjelaskan hubungan antara bahaya dan risiko terhadap kesehatan manusia. Penilaian risiko dapat dibagi menjadi empat langkah, yaitu: 1. Identifikasi bahaya yang mungkin ada dalam pangan yang dapat menimbulkan risiko terhadap kesehatan manusia, termasuk macam risiko yang dapat ditimbulkannya. 2. Karakterisasi bahaya, yaitu evaluasi secara kualitatif maupun kuantitatif terhadap risiko yang mungkin timbul oleh bahaya yang telah diidentifikasi. 3. Evaluasi pemaparan bahaya, yaitu evaluasi secara kualitatif maupun kuantitatif kemungkinan terpaparnya manusia oleh bahaya tersebut karena terkonsumsi, dan kemungkinan adanya bahaya dalam pangan yang dikonsumsi. 4. Karakterisasi risiko, yang merupakan identifikasi kemungkinan risiko kesehatan manusia yang ditimbulkan dari bahaya, perkiraan besarnya risiko atau tingkat keparahan risiko yang mungkin terjadi. 2. Manajemen Risiko Murdiati (2006) juga menjelaskan bahwa manajemen risiko adalah proses untuk mempertimbangkan kebijakan yang akan diambil dengan memperhatikan hasil penilaian risiko termasuk menentukan perlu tidaknya peraturan untuk mendukung kebijakan tersebut serta implementasi kebijakan yang diambil. Dalam manajemen risiko, perlindungan terhadap kesehatan manusia merupakan pertimbangan yang paling utama untuk dijadikan pegangan. 130
Strategi Menghasilkan Pangan Asal Ternak yang Aman
Keluaran jangka panjang yang diharapkan dari manajemen risiko ini adalah berupa standar, peraturan dan pedoman yang dapat dipergunakan sebagai perangkat untuk mendapatkan jaminan keamanan pangan. Dalam manajemen risiko ini juga kegiatan monitoring dan pengkajian ulang terhadap suatu keputusan yang diambil harus dilakukan secara konsisten untuk mengetahui efektivitas dari implementasi kebijakan yang diberlakukan. Manajemen risiko ini harus menggunakan pendekatan terstruktur, dan keputusan serta implementasinya harus transparan. Manajemen risiko ini harus merupakan suatu proses yang berkesinambungan dengan memanfaatkan data yang diperoleh dalam suatu evaluasi maupun hasil suatu kajian ulang terhadap keputusan manajemen risiko. Yang perlu diketahui dan disadari adalah bahwa tahapan penting dalam manajemen risiko adalah evaluasi risiko, evaluasi pilihan, implementasi, serta monitoring dan kajian. 3. Komunikasi Risiko Murdiati (2006) juga mengemukakan bahwa komunikasi risiko adalah proses pertukaran informasi secara berkesinambungan atau berulang diantara individu, kelompok atau lembaga. Komunikasi ini harus dilakukan secara terbuka, interaktif dan transparan. Karakterisasi risiko yang diperoleh dari penilaian risiko serta pengendalian risiko atau kebijakan yang akan diimplementasikan, harus dikomunikasikan kepada semua pihak yang terkait, sehingga semua pihak yang terkait dalam rantai pangan memperoleh informasi yang cukup mengenai bahaya dalam pangan dan tindakan tepat yang harus dilakukan. Komunikasi dengan pihak industri sangat penting sehingga tidak ada prasangka bahwa industri selalu dirugikan atau diberi beban yang berlebihan oleh peraturan atau kebijakan. Komunikasi risiko juga harus bersifat mendidik dan melindungi
131
Keamanan Pangan Asal Ternak
konsumen, serta meningkatkan kesadaran konsumen akan pentingnya keamanan pangan dan kemungkinan bahaya yang terkandung di dalam bahan pangan tersebut. Komunikasi risiko juga mempunyai tujuan untuk memberi pengertian kepada peternak yang merupakan titik awal dari rantai pangan asal ternak. Untuk memberi pengertian kepada peternak rakyat atau peternak kecil seperti peternak sapi potong, sapi perah atau ayam buras, domba dan kambing, bukan hal yang mudah. Sementara itu, tanpa adanya kesadaran dari para peternak tersebut, maka konsep keamanan pangan asal ternak sulit diterapkan. Oleh karena komunikasi risiko yang efektif akan menentukan diperolehnya jaminan keamanan pangan asal ternak. Di dalam buku ini lebih ditekankan kepada pengamanan pangan asal ternak dengan pendekatan pada sektor hulunya atau budidaya ditingkat peternak (on farm). Dengan komunikasi risiko yang efektif ini juga diharapkan konflik yang terjadi antara berbagai pihak yang terkait dalam rantai pangan ini dapat diselesaikan atau dicarikan titik temunya. Jaminan keamanan pangan tidak akan tercapai tanpa kerjasama atau koordinasi yang melibatkan semua pihak terkait di dalam rantai pangan ini, termasuk pihak pemerintah yang mempunyai wewenang dalam membuat undang-undang, peraturan lainnya, dan penegakan hukum. Peran pemerintah lainnya adalah memberikan bimbingan, pendidikan keamanan pangan, surveilans, pengumpulan data dan menyediakan dana yang terkait untuk hal tersebut. Sedangkan pihak industri (produksi, peternakan, prosessing, pengecer dan restauran) mempunyai tanggung jawab untuk menerapkan HACCP, good farming practices, good handling practices, penerapan jaminan mutu dan pengawasan mutu produk, penyediaan sarana yang memadai dan teknologi yang mendukung. Pihak konsumen juga mempunyai tanggung jawab untuk mengetahui pengertian tentang keamanan pangan, penyimpanan penyiapan dan pengolahan pangan yang benar. Penerapan higienik dan
132
Strategi Menghasilkan Pangan Asal Ternak yang Aman
kebersihan serta sikap dan tindakan yang mendukung. Sedangkan pihak media juga ikut bertanggung jawab dalam komunikasi yang mendidik, pemberitaan yang benar dan bertanggung jawab, serta memfasilitasi komunikasi yang terbuka dan interaktif. G. Prioritas pada Pengamanan di tingkat On Farm Oleh karena keamanan pangan dimulai pada saat ternak dipelihara ditingkat petenak/farm, maka keamanan dan kualitas ternak dan hasilnya (produknya) sangat tergantung pada keamanan dari pakan dan sumber-sumber pakan, air dan lingkungan sekitar ternak tersebut. Oleh karena itu, produk ternak relatif telah aman apabila pada proses praproduksi dilakukan hal-hal berikut: (1) pada proses pemeliharaan ini penyakit-penyakit ternak dikontrol dengan baik secara biologik dengan menghindari penggunaan bahan-bahan kimia/obatobatan berbahaya secara berlebihan; (2) pakannya juga terkontrol, yaitu bebas dari cemaran mikrobiologis, kimia dan bahan-bahan berbahaya lainnya; (3) sumber air yang digunakan terkontrol bebas dari logam-logam berat berbahaya maupun mikroorganisme patogen; (4) petugas farm atau personil sebaiknya dibatasi, tidak setiap orang boleh ke luar masuk farm setiap saat, dengan maksud untuk menghindari stres pada ternak, juga mencegah penularan/kontaminasi penyakit dari petugas farm; dan (5) lingkungan termasuk tanah lokasi setempat telah diketahui bukan merupakan daerah wabah penyakit tertentu seperti Antraks yang sporanya tahan puluhan tahun. Upaya-upaya demikian akan menjamin keamanan dari ternak maupun produk ternak yang akan dihasilkan. Dalam PP 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan pada Bab Keamanan Pangan bagian Sanitasi disebutkan bahwa setiap orang yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan kegiatan pada rantai pangan yang meliputi
133
Keamanan Pangan Asal Ternak
proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan persyaratan sanitasi diseluruh kegiatan rantai pangan dilakukan dengan cara menerapkan pedoman cara yang baik meliputi: cara budidaya yang baik, cara produksi pangan segar yang baik, cara distribusi pangan yang baik dan lain sebagainya. Pedoman cara budidaya yang baik tersebut adalah cara budidaya yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara: (1) mencegah penggunaan lahan dimana lingkungannya mempunyai potensi mengancam keamanan pangan; (2) mengendalikan cemaran biologis, hama dan penyakit hewan dan tanaman yang mengancam keamanan pangan; dan (3) menekan seminimal mungkin, residu kimia yang terdapat dalam bahan pangan sebagai akibat dari penggunaan pupuk, obat pengendali hama dan penyakit, bahan pemacu pertumbuhan dan obat hewan yang tidak tepat guna. Pedoman cara produksi pangan segar yang baik dalam PP ini merupakan cara penanganan yang memperhatikan aspek-aspek keamanan pangan antara lain: (1) dengan mencegah tercemarnya pangan segar oleh cemaran biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan dari udara, tanah, air, pakan, pupuk, pestisida, obat hewan atau bahan lain yang digunakan dalam produksi pangan segar; (2) mengendalikan kesehatan hewan dan tanaman agar tidak mengancam keamanan pangan atau tidak berpengaruh negatif terhadap pangan segar. Oleh karena itu, salah satu persyaratan untuk mencari lokasi yang akan diperuntukkan kegiatan budidaya peternakan adalah bukan daerah tempat terjadinya kasus Antraks yang sporanya dapat tahan sampai puluhan tahun atau bukan daerah buangan limbah/sampah yang memungkinkan tertimbunnya senyawa beracun seperti logam berat yang dapat terakumulasi dalam tubuh ternak (lihat contoh kasus Antraks, cemaran Salmonella,
134
Strategi Menghasilkan Pangan Asal Ternak yang Aman
akumulasi logam berat pada ternak yang digembalakan di tempat pembuangan sampah akhir di Jawa Tengah). Demikian juga dengan proses penggunaan obat sebagai pemacu pertumbuhan seperti antibiotik dan hormon pertumbuhan. H. Strategi Mempersiapkan Pangan untuk Dikonsumsi Proses terakhir dari rantai pangan untuk sampai ke piring atau meja konsumen, maka untuk menjamin makanan tersebut aman dikonsumsi, terdapat anjuran WHO tentang cara mempersiapkan pangan yang aman yang dikenal dengan “The ten golden rules safe food preparation” hendaknya diterapkan (Murdiati 2006). Kesepuluh anjuran tersebut adalah sebagai berikut: 1. Memasak makanan secara merata dengan suhu minimum 70C. Makanan beku sebaiknya dicairkan terlebih dahulu agar pemasakan dapat sempurna. 2. Segera mengonsumsi makanan setelah dimasak. Apabila makanan terpaksa dipersiapkan sebelumnya (4-5 jam lebih awal), hendaknya disimpan dalam keadaan panas pada suhu 60C atau disimpan dingin pada suhu sekitar 10C. 3. Tidak menyimpan makanan yang masih panas dalam jumlah banyak dalam pendingin karena bagian tengah makanan tidak dapat menjadi dingin sehingga mikroba tetap dapat berkembang biak. 4. Memanaskan kembali makanan olahan atau makanan yang disimpan karena penyimpanan hanya menghambat pertumbuhan bakteri, tetapi tidak mematikan bakteri tersebut. 5. Menghindarkan kontak antara makanan mentah dengan makanan yang sudah diolah dan peralatan yang dipergunakan. Misalnya pisau untuk memotong daging mentah agar tidak digunakan untuk memotong daging yang sudah diolah secara bersamaan.
135
Keamanan Pangan Asal Ternak
6.
Mencuci tangan sebelum mengolah makanan dan setiap ganti tahapan, terutama setelah mempersiapkan daging atau ayam mentah, dan hendak mempersiapkan makanan yang lain. Juga apabila proses pengolahan harus terhenti karena pekerjaan yang lain. 7. Menghindarkan makanan dari serangga, tikus atau hewan lain yang kemungkinan membawa penyakit yang berbahaya. Pangan atau makanan sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup. 8. Tidak mencampur dan mengolah sisa makanan dengan makanan yang baru terutama bahan pangan asal ternak, karena dapat menjadi sumber mikroba yang dapat menyebabkan penyakit. 9. Hendaknya membeli bahan pangan yang dalam keadaan segar. Bahan pangan asal ternak yang dijual tanpa fasilitas pendingin mudah tercemar oleh mikroba pembusuk. Apabila tidak memungkinkan membeli produk segar, sebaiknya membeli produk yang sudah diolah. 10. Mempergunakan air bersih untuk mengolah makanan. Air untuk mengolah makanan sama pentingnya dengan air untuk minum. Air yang tercemar akan menyebabkan makanan yang diolah juga tercemar. Murdiati (2006) mengemukakan bahwa walaupun sepuluh anjuran tersebut ditujukan untuk mempersiapkan semua jenis makanan, apabila diperhatikan terutama sangat penting dalam mempersiapkan makanan dari bahan pangan asal ternak. Agar anjuran seluruh golden rules tersebut mudah dipahami oleh konsumen serta dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat, WHO telah membuat lebih ringkas menjadi five keys to safe food (lima kunci untuk keamanan pangan). WHO juga telah menuangkannya dalam bentuk poster agar mudah dimengerti oleh masyarakat konsumen, terutama yang mempersiapkan makanan di dapur.
136
Strategi Menghasilkan Pangan Asal Ternak yang Aman
Lima kunci keamanan pangan tersebut memuat pokok aturan yang intinya terdapat dalam golden rules. Poster tersebut telah diterjemahkan dalam 25 bahasa termasuk bahasa Indonesia (Food Agriculture Organization/World health Organization tahun 2004). Kelima kunci tersebut yaitu: (1) menjaga kebersihan; (2) memisahkan pangan mentah dan pangan matang; (3) memasak makanan dengan benar; (4) menjaga pangan pada suhu aman; dan (5) menggunakan air dan bahan baku yang aman.
137