1
Bidang Ilmu : SOSIAL HUMANIORA
USUL PENELITIAN TAHUN II
HIBAH BERSAING
JUDUL PENELITIAN : IMPLEMENTASI SIMULASI INOVASI MODEL TRANSFORMASI KEBIJAKAN AGRARIA DALAM RANGKA PEMULIHAN KRISIS LEGITIMASI KEBIJAKAN DI WILAYAH PERKEBUNAN MALANG SELATAN
PENGUSUL
Ketua Drs. SUKARDI, MS.i NIDN. 0714016502 Anggota Drs. Dwi Suharnoko, MS.i NIDN.0726116201
UNIVERSITAS MERDEKA MALANG DESEMBER 2013
2
Halaman Pengesahan
Judul Penelitian
: IMPLEMENTASI SIMULASI INOVASI MODEL TRANSFORMASI KEBIJAKAN AGRARIA DALAM RANGKA PEMULIHAN KRISIS LEGITIMASI KEBIJAKAN DI WILAYAH PERKEBUNAN MALANG SELATAN
Bidang Penelitian Ketua Peneliti
: Kebijakan Publik
a. Nama Lengkap b. NIP/NIK c. NIDN d. Jabatan Fungsional e. Jabatan Struktural f. Fakultas/Jurusan g. Alamat Institusi h. Telpon/Faks/E-mail
Waktu Penelitian Pembiayaan a. Tahun pertama b. Tahun kedua
: Drs. SUKARDI, MS.i : 666/FS : 0714016502 : Lektor/ III-d : Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara : FISIP/Ilmu Administrasi Negara : Jalan Terusan Raya Dieng 62-64 Malang 65145 : Tilp 0341 568395/ Fax. 0341 568395/ email
[email protected] : Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun : : Rp. 50.370.000 : Rp. 50.170.000 Malang, 21 Desember 2013
Mengetahui,
3
4
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Drs. SUKARDI, MS.i
NIP / NIDN
: 0714016502
Pangkat / Golongan
: Lektor/ III-d
Jabatan Fungsional
: Penata Muda III-a
Alamat
: Jalan Danau Bratan Timur IV C-12 Malang 65138
Dengan ini menyatakan bahwa proposal penelitian saya dengan judul : UJICOBA INOVASI MODEL TRANSFORMASI KEBIJAKAN AGRARIA DALAM RANGKA PEMULIHAN KRISIS LEGITIMASI KEBIJAKAN DI WILAYAH PERKEBUNAN MALANG SELATAN, yang diusulkan dalam skim Penelitian Hibah Bersaing tahun anggaran 2013 bersifat original dan belum pernah dibiayai oleh lembaga / sumber dana lain. Bilamana di kemudian hari ditemukan ketidaksesuaian dengan pernyataan ini, maka saya bersedia dituntut dan diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan mengembalikan seluruh biaya penelitian yang sudah diterima ke kas negara. Demikian pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya dan dengan sebenar-benarnya. Malang, 21 Desember 2013 Yang menyatakan,
5
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ........................................................................................................ 1.2.. Permasalahan Penelitian ....................................................................................... 1.3. Tujuan Khusus Penelitian : .................................................................................... 1.4. Urgensi dan Keutamaan Penelitian ....................................................................... 1.5. Kontribusi Penelitian pada Pengembangan IPTEK ............................................... 1.5.1. Kontribusi Teoritik ............................................................................................ 1.5.2. Kontribusi Praktis ...............................................................................................
1 5 6 6 7 8 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Krisis Legitimasi Kebijakan Publik ..................................................................... 2.2. Krisis Legitimasi Implementasi Kebijakan Publik ................................................ 2.3. Bentang Kebijakan Agraria Indonesia ......................................................... 2.4. Penyimpangan dan Krisis Kebijakan Agraria ..................................................... 2.5. Alternatif Teoritik Keluar dari Krisis Legitimasi Kebijakan Agraria ................... 2.6. Model Transformasi dan Pemulihan Legitimasi Melalui Jejaring Kebijakan ...... 2.7. Membuka Ruang Diskursif, menuju Transformasi Proses Kebijakan Publik ......
9 17 22 27 29 36 40
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian .......................................................................... 3.2. Lokasi Penelitian, Informan dan Unit Analisis ................................................... 3.3. Prosedur Pengumpulan Data ................................................................................ 3.4. Teknik Pengumpulan Data .................................................................................... 3.5. Pengecekan Data dan Keabsahan Data ................................................................. 3.6. Analisis Data ......................................................................................................... 3.7. Bagan Alir Penelitian ............................................................................................ 3.8. Diagram Fishbone Penelitian Tahun Pertama ....................................................... 3.9.Diagram Fishbone Tahun Kedua ............................................................................ 3.10. Target dan Luaran Penelitian .............................................................................. 3.11. Tahun Kedua ........................................................................................................
46 47 49 50 51 55 56 57 58 59 61
BAB IV. JADWAL PELAKSANAAN 4.1. Tahun Pertama : Ujicoba Inovasi Model Transformasi Kebijakan Agraria ...... 4.2. Tahun Kedua : Pemantapan Inovasi Model dan Paten HAKI ..............................
62 63
Daftar Pustaka ............................................................................................................. Lampiran : Biaya .........................................................................................................
64 74
6
ABSTRAK Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah untuk menemukan model transformasi kebijakan agraria yang teruji, melalui serangkaian langkah proses formulasi kebijakan publik berbasis partisipatif antar aktor non negara dengan berfokus pada penggalian karakteristik kebijakan publik pada matra paradigma, nilai dan teknokrasinya yang berbasis masyarakat. Tarjet khusus pertama, yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengujicoba rumusan model formulasi kebijakan agraria yang dapat mengartikulasikan berbagai paradigma, nilai dan teknis yang menjadi preferensi masyarakat. Tarjet khusus kedua, memantapkan model teoritik dan praksis proses transformasi kebijakan agraria yang teruji dan valid dalam rangka membenahi krisis legitimasi sehingga menghasilkan kebijakan agraria yang lebih pro petani. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus berganda (multiple cases study) model Yin (1994). Pendekatan yang diterapkan adalah “actor oriented” dimana seluruh informan diperlakukan sebagai pelaku sentral diskursus, informan diposisikan sebagai komunitas intelektual aktif dan proaktif melalui proses fasilitasi partisipatif terlibat yang dimoderasi oleh peneliti. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus, observasi partisipatif. Seluruh data wawancara kemudian direkam dan selanjutnya ditranskrip secara tertulis. Data-data hasil transkrip kemudian dicek dengan metode trianggulasi lapang dan trianggulasi teoritik. Selanjutnya data dikategorisasikan, dikelompokkan kemudian diinterpreastikan dengan pendekatan interpretive-fenomenologis. Penelitian ini dilaksakan selama 24 bulan atau dua tahun dengan proses sebagai berikut. Pada tahun pertama penelitian dilaksanakan melalui proses : (1) pada bulan pertama dilakukan wawancara mendalam dan diskusi terfokus, untuk menyepakati rangkaian proses penelitian (2) pada bulan kedua dan ketiga dilakukan curah pendapat, wawancara mendalam, kodifikasi dan transkripsi seluruh data primer dan data sekunder yang telah dihimpun, serta diteruskan penulisan laporan, perumusan preposisi dan model transformasi kebijakan agraria yang menjadi preferensi masyarakat (3) Pada bulan keempat dan kelima, dilakukan pengujian dan penetapan langkah-langkah pematapannya di desa-desa lain obyek penelitian dengan mengembangkan perbaikan melalui kunjungan ulang dan dan rekonfirmasi serta mencari kekurangan data. (4) Pada bulan keenam dan ketujuh diteruskan dengan penulisan model transformasi kebijakan agraria mantap yang telah teruji di semua desa lokasi penelitian (5) Pada bulan ketujuh dan kedelapan dilakukan uji pemantapan model transformasi kebijakan agraria melalui forum curah pendapat panel pakar, yang terdirid ari pakar kebijakan agraria dari BPN Pusat, Konsursium Pembaharuan Agraria Jakarta, Perguruan Tinggi lokal. Tujuan forum ini adalah untuk menguji konsep dan model mantap. (6) Pada bulan kesembilan perbaikan model berdasarkan masukan dari panel pakar yang telah diselenggarakan (7) Pada bulan kesepuluh dan kesebelas dilakukan penulisan standar operational prosedur (SOP) dan manual proses transformasi kebijakan agraria dari model mantap (8) Pada bulan keduabelas dilakukan perbaikan naskah final model transformasi kebijakan agraria diteruskan dengan seminar hasil penelitian dan publikasi dalam jurnal ilmiah.
7
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Penelitian ini adalah merupakan riset dengan orientasi aksiologis, setelah terlebih dahulu penulis merampungkan penelitian ini untuk rangkaian penelitian dan publikasi yang bersifat epistemologis dan ontologis. Tujuan usulan penelitian ini adlaah merupakan bagian dari upaya penting untuk menemukan jawaban valid dari krisis kebijakan agraria yang akhirakhir ini menjadi persoalan besar di Indonesia. Pemberontakan petani yang radikal dan masif yang menebar di berbagai wilayah sebagaimana terjadi di Mesuji Lampung, dan teluk Sape, atau bahkan di sejumlah tempat lain yang tergabung dalam berbagai kasus agraria sebenarnya tidak perlu terjadi kalau negara telah memiliki stok skema kebijakan agraria yang lebih adil dan tidak menindas. Menemukan formula kebijakan agraria yang adil, dan tidak menindas, memang bukan hal sederhana, tetapi juga bukan hal yang tidak bisa dilakukan oleh sebuah negara. Negara memang harus berinteraksi dengan kalangan swasta, pemodal
dan
masyarakat sipil secara lebih cerdas sehingga dapat mengartikulasikan peran dan fungsinya dalam melindungi masyarakat tanpa harus mengabaikan keharusan berinteraksi dengan kekuatan-kekuatan ekonomi swasta. Ruang publik dalam konteks demokratisasi dan globalisasi merupakan akar persoalan interaksi antara negara, swasta dan masyarakat sipil. Eksistensi negara sebagai digagas oleh proponen klasik Weberian, kini menghadapi tantangan baru dengan tumbuhnya proses demokratisasi dan keterbukaan yang sulit dielak. Anggapan bahwa negara merupakan satu satunya institusi yang memonopoli legitimasi untuk mempertahankan ketertiban melalui penggunaan kekerasan, perangkat norma dan aturan sebagai digagas Weber, kini diperdebatkan secara luas. Faktanya, paradigma itu harus menghadapi berbagai persoalan dan gugatan. Perebutan ruang publik yang desaditadai menjamurnya berbagai protes, pembangkangan, pemberontakan,
defisit dukungan, krisis kepercayaan semua itu
menjelaskan terjadi krisis legitimasi (Habermas, 1985; Beetham, 1991; Lamb, 2005, Gilley, 2006; Talbot, 2008; dan Matti, 2009). Di tengah situasi demikian reposisi negara bukan saja penting, tetapi menjadi syarat agar keberadaanya tetap memperoleh legitimasi di tengahtengah masyarakat sehingga stabilitas an kesinambungannya bisa dipelihara.
8
Daftar panjang persoalan ketidakadilan relasi negara-masyarakat dalam sektor agraria adalah merupakan agenda masalah tanpa kesudahan dan seolah menjadi gudang krisis dan tidak pernah berhasil dipecahkan secara tuntas. Terlalu banyak produk yuridis yang dijadikan sandaran klaim legitimasi negara atas masyarakat, tetapi persoalan agraria bukan berkurang, namun justru sebaliknya. Negara Indonesia telah mempunyai sandaran politik dan hukum yang cukup kuat untuk mengatur ini misalnya dengan tersedianya payung hukum UU No. 5 Tahun 1960, tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tetapi kini seolah disandera oleh bentangan konflik agraria yang makin membesar dan makin radikal. Corak konflik agraria juga meluas bukan hanya pada sektor pertanahan, tetapi mulai merambah ke sektor pertambangan, perairan dan sektor lain yang seolah antri meledak tinggal menunggu pemicunya diungkit. Bersamaan dengan perjalanan reformasi di Indonesia, krisis legitimasi kebijakan agraria kini bergaung lebih keras seiring dengan pilihan negara untuk masuk dalam gurita neoliberalisme dalam seluruh sendi pembangunan sosial, ekonomi dan politik. Gurita yang makin mengunci akibat tekanan modal, tekanan global, tekanan demokratisasi. Semua gerakan itu mengepung perjuangan masyarakat untuk mempertahankan subsistensi hidup dan ancaman ketidakadilan. Kini rakyat seolah hidup di hamparan proses globalisasi yang hanya membawa satu ideologi “merampas” apa saja yang masih tersedia dan tersisa di rakyat. Di Indonesia persoalan agraria in mulai melonjak setelah runtuhnya rejim Orde Baru. Memasuki rejim pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono saat ini, masalah agraria bukan malah mengecil tetapi justru makin meluas. Apa yang sedang berlangsung sehingga Indonesia tak kunjung bisa menemukan solusi yang tuntas ?. Sebagian besar negara-negara lain semisal Philipina, Jepang, China, dan negara-negara di Amerika latin, menghadapi masalah agraria yang sama, negara-negara tersebut juga menghadapi pergolakan rakyat yang sengit. Perbedaan utamanya, negara-negara tersebut berhasil mengelola krisis dan pergolakan tersebut seiring dengan dinamika bangsa tersebut hingga menemukan pilihan kebijakan yang tepat. Di Indonesia, berkecamuknya pergolakan agraria dari awal masuknya kapitalis yang membonceng VOC 1602, pengundangan domein verklarung 1860 hingga sekarang sebenarnya membentangkan sebuah model serupa, yaitu pergulatan rakyat berhadapan dengan proses kepitalisasi. Solusi yang berhasil diraih, dari waktu ke waktu bukan hanya menjadi sebuah catatan panjang betapa persoalan ini tidak pernah tuntas berhasil dipecahkan, lebih dari itu ini memperlihatkan realitas krisis legitimasi kebijakan agraria dan selalu menyisakan kesengsaraan luas di tengah masyarakat.
9
Berbagai kegagalan reformasi kebijakan publik di negara-negara maju atau dalam bahasa Cristopher Ham dan Michael Hill ( 1993:99) disebut sebagai defisit implementasi, sebagaimana juga dianalisis oleh Sabatier dan Smith (1993), Santosa (1995), Fauzi (1997), Turner dan Hulme (1997), Grindle (1999, 2007) yang secara khusus melakukan studi di negara-negara berkembang, sebagai sebagai akibat kedigdayaan negara yang tidak sensitif dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sipil. Atau dalam pandangan yang di kontatir oleh Schmitter dan Midlemas yang dikutip Ham dan Hil (1993), negara demikian dalam kiprahnya sebagai state corporatism. Keberadaan masyarakat yang lembek dalam proses kebijakan juga turut menjadi penyebab mengapa kegagalan berbagai reformasi kebijakan publik pada akhirnya bermuara pada kembalinya kebijakan-kebijakan yang lama. Dari perspektif postmodernisme, penelitian ini mencoba memaknai kebijakan lebih dari sekadar theatrum politicum dari pelaku yang memahami kebijakan dalam hubungan antar aktor, dan ketaatan pada skenario pihak-pihak berkait (Hadiwinata, 1994: 25), tetapi menganalisis kebijakan sebagai dialektika interaktif antar nilai, antar kepentingan sosial, antar aktor sosial dalam sebuah pentas dialektika (Stone : 1997, Fox dan Miller, 1995). Kebijakan publik adalah sebuah proses deliberatif (Wagenaar, 2003, Dryzek, 2001) atau dalam deskripsi lain dinyatakan kebijakan publik sebagai sebuah penjelajahan atau travelogue (Dryzek, 2002). Arus argumentasi penelitian ini menggambarkan reorientasi kebijakan publik bukan saja dipahami sebagai paradigma state will, tapi lebih luas adalah jejaring public will dalam konteks governance will. Berbagai kebijakan sektor agraria di Indonesia adalah contoh kebijakan publik sektoral yang tuna sosial, sejak 20 tahun terakhir akhirnya menuai penentangan publik di berbagai daerah. Menurut Tjondronegoro (1999: vi), masalah kebijakan agraria Indonesia bukan saja terbatas isu pertanahan, tetapi --sebagaimana disebutkan dalam UUPA No 5 /1960-- meliputi ruang angkasa, bumi, air dan kekayaan alam yang ada didalamnya. Luasnya skop kebijakan sektor ini ternyata tak diimbangi sensitivitas, sebagai akibat orientasi dari atas kebawah yang, dalam analisis Elmore (1993:316-30) disebut mengabaikan pluralitas lokal dan bercorak birokratis, mekanis, dan tabu konflik. Menurut Analisis Slaats (1997) horison kebijakan agraria sejak VOC masuk tahun 1595, hingga akhir Orde Baru memperlihatkan kecenderungan dikurung kepentingan politik dan kepentingan ekonomi dari rejim. Carut marut konflik agraria di Indonesia disamping merupakan kritik terhadap proses industrialisasi menurut amatan Suhendar dan Winarni (1998 :193), Djoko Suryo yang dikutip Agustono dkk (1999 : vi) juga menjelaskan kuatnya blokade dan preferensi ekonomi-politik negara.
10
Peristiwa pembabatan 2,5 juta pohon coklat di areal lahan seluas 2050 ha milik PTPN XII oleh sekitar 2000 petani, diteruskan redistribusi tanah kepada lebih 5000 petani, di kawasan Malang Selatan adalah realitas tipikal pembangkangan rakyat terhadap stagnasi kebijakan agraria nasional. Fakta ini paralel dengan pergolakan agraria sejak krisis 1998, arus balik aneka deviasi sosial melalui berbagai pemberontakan petani di berbagai tempat makin eksplosif. Sementara itu versi lain catatan mutahir YLBHI menyebutkan hingga tahun 2009 setidaknya telah terjadi 335 kasus pemberontakan petani yang bersengketa di atas areal lahan seluas 2,9 juta ha dan mempengaruhi 800.000 orang tersebar di 20 Propinsi Indonesia. Dari kasus tersebut sengketa masalah laut relatif rendah, hanya 9 % dibanding dengan sengketa tanah kehutanan yang mencapai 32 % dan perkebunan 25 %. Wilayah laut Indonesia meliputi 5, 8 juta km2, sedangkan wilayah daratan 1,9 juta km2. Sementara itu laporan HAM LBH Surabaya menyebut, proliferasi konflik tanah di propinsi ini cenderung meningkat dengan intensitas kekerasan yang meninggi. Dalam kacamata Suhartono (2003:23) meluasnya radikalisasi petani di pedesaan tersebut hanyalah reaksi dari perguliran kapitalisasi "…perbanditan pedesaan terus hidup selama kapitalisme agraris masih eksploitatif di pedesaan...". Sen (1999: 267-69) juga sependapat, selalu saja persoalan kebijakan yang berorientasi kepentingan kapitalisme dan pasar menyebabkan berbagai ketidakadilan dalam masyarakat. Menurut analisis Budiman (1995:115), kecenderungan ini menjadi gejala umum di negara-negara berkembang yang kini terjebak persoalan pembangunan generasi kedua, bukan saja jumlahnya banyak tetapi juga mendalam. Paradoks di atas senada penjelasan Faqih (2001) yang memasukkan rangkaian protes rakyat itu sebagai sebuah proses dekonstruksi dan gerakan resistensi rakyat. Diabaikannya varian sosial dalam agenda pembangunan inilah yang akhirnya menyebabkan hasil-hasil pembangunan dengan mudah mengalami pelapukan nilai dan kekeroposan legitimasi makin akut. Sumberdaya tanah merupakan determinan terpenting dalam masyarakat agraris Indonesia yang jumlahnya lebih 60%. Beberapa pakar menyebut tanah sebagai masalah penghidupan dan kemakmuran rakyat (M. Tauchid: 1957; Tjondronegoro: 1999; Sajogja: 1998 dan Wiradi: 2000). Sekalipun demikian, tidak banyak kebijakan pemerintah yang riil menaungi rakyat dari kesewenang-wenangan, penyempitan akses rakyat pada penguasaan tanah. Cita-cita landreform yang digagas UUPA 1960 dan juga Undang-Undang bagi hasil 1957 adalah dua produk kebijakan hukum egaliter masa silam yang hingga kini tidak lebih dari sekedar proforma.
11
Konfigurasi persoalan kebijakan agraria nasional sejak masa pasca kolonial nampak didominasi oleh keinginan negara untuk melakukan unifikasi melalui konstruksi hukum hak menguasai negara (HMN). Paradigma hegemonisasi negara ini juga pernah dianut oleh rejim kolonial tatkala melakukan okupasi besar-besaran terhadap berbagai hak-hak tanah adat mulai tahun 1811 sebagai upaya menambal kebangkrutan VOC melalui proses liberalisasi penguasaan tanah di berbagai kawasan jajahan. Pilihan skenario kebijakan agraria nasional demikian berakibat resistensi negara pada usaha prevensi sosial untuk menciptakan sistem dan hubungan produksi agraris yang adil (Sofwan Husein: 1997; Fauzi: 1999; Wiradi: 2000; Ruwiastuti: 2000; Bachriadi dan Lucas: 2001). Setelah hampir setengah abad kebijakan itu kini menuai tentangan, yaitu meluasnya gelombang sengketa agraria yang radikal dan sarat kekerasan. Rangkaian pengabilalihan tanah secara paksa (land reclaiming) melalui gerakan masif dipandang sebagai metoda politik yang efektif. Fakta ini melukiskan rasa putus asa dan tak berdaya rakyat berhadapan dengan produk kebijakan, negara dipaksa untuk mengembalikan tanah-tanah yang sebelumnya pernah dikuasai melalui cara-cara tidak wajar. Perebutan paksa tanah, pematokan tanah, yang disertai dengan gerakan kekerasan rakyat diberbagai daerah adalah fenomena yang menguatkan urgensi negara memperbaiki berbagai kekeliruan kebijakan agraria masa silam. Merebaknya modus kekerasan rakyat anti negara tersebut menurut Saefulloh (1999:6-7) sebenarnya merupakan reproduksi dari kekerasan serupa yang pernah dilakukan negara. Menurut Dobuzinskis (1992:358) pada berbagai konteks kebijakan mamang ada kecenderungan negara tetap ingin berperan sebagai aktor tunggal, mengendalikan segala ihwal, dan satu-satunya pemrakarsa kebijakan yang absah. Kondisi ini mendorong beberapa sengketa agraria dipecahkan rakyat lewat aksi-aksi kolektif melalui mobilisasi sumbersumber politik lokal diikuti redistribusi tanah berdasarkan kesepakatan-kesepakatan komunal, atau dalam istilah Wiradi disebut land reform by leverage (Wiradi : 1999).
1.2.. Permasalahan Penelitian
Dari gambaran makro tersebut, penelitian ini secara umum ingin mengujicoba model transformasi kebijakan agraria ditengah krisis legitimasi. Persoalan tersebut kemudian diturunkan dalam aras tengahan menjadi beberapa pertanyaan kunci sebagai berikut:
a) Bagaimana disain formulasi implementasi kebijakan agraria yang ada saat ini dibuat sehingga menyebabkan krisis legitimasi kebijakan agraria?
12
b) Bagaimana model transformasi kebijakan agraria alternatif yang siap diujicoba di tingkat masyarakat yang mengakomodir paradigma, nilai preferensi masyarakat dalam rangka memperbaiki krisis legitimasi ? c) Bagaimana model mantap transformasi kebijakan agraria serta manual model yang teruji dan dan siap dideseminasikan dan diterapkan pada tataran praksis ?
1.3. Tujuan Khusus Penelitian :
Tujuan khusus penelitian ini adalah mengujicoba model transformasi kebijakan agraria, dalam rangka menemukan model transformasi kebijakan
agraria yang teruji dan siap
dideseminasikan dalam rangka mengatasi krisis legitimasi kebijakan agraria yang ,eluas di berbagai daerah. Langkah ini dilakukan melalui serangkaian tahapan kegiatan (a) curah pendapat uji konsep dengan masyarakat (b) perbaikan model yang telah diujicoba di masyarakat dalam rangka menghasilkan model mantap sementara (c) perbaikan model mantap sementara kemudian diujicoba melalui diskusi dan curah pendapat dengan panel pakar dalam rangka menghasilkan model mantap (d) penulisan model mantap dan berikut dengan manual dan standar operational prosedur (SOP) yang telah dibakukan (e) deseminasi model transformasi kebijakan agraria yang teruji dan handal kepada publik.
1.4. Urgensi dan Keutamaan Penelitian
Pemerintah Indonesia saat ini memerlukan cara baru (breakthrough) transformasi kebijakan agraria sehingga dapat keluar dari perangkap konflik berkepanjangan dengan masyarakat. Situasi dan watak kebijakan agraria yang sangat otoriter dan lebih mencerminkan kepentingan negara sudah waktunya diperbaiki. Keadaan ini kalau tidak segera ditemukan model perbaikannya bukan saja akan memicu eskalasi konflik agraria yang makin meluas, lebih dari itu akan memperluas krisis legitimasi pemerintah dan pada akhirnya akan berujung pada revolusi sosial yang sulit dicegah dan tak bisa dielak. Upaya-upaya untuk menemukan inovasi model transformasi kebijakan agraria yang lebih elegan dan demokratis bukan saja harus terus diupayakan lebih dari itu harus terus diuji memelui proses riset dari berbagai kasus-kasus mikro. Memperbincangkan model-model kebijakan agraria yang lebih deliberatif, lebih partisipatif dan terbuka memang bukan hal biasa. Mendemokratiskan kebijakan publik mengharuskan pemerintah menempatkan kebijakan agraria bukan sebagai
13
persoalan hukum semata, tetapi sebagai sebuah proses pengembaraan dan diskursus atau dalam bahasa Dryzek (2004) disebutnya sebagai proses “travelogue”. Usulan penelitian ini sepenuhnya akan dilakukan untuk menjawab berbagai spekulasi berkaitan dengan bagaimana rancang bangun kebijakan publik yang lebih demokratis, lebih terbuka dan lebih pro masyarakat. Bagaimana membangun paradigma kebijakan publik yang lebih transformatif, bagaimana menemukan nilai-nilai dasar kepublikan yang musti menjadi determinan setiap kebijakan agraria, bagaimana menemukan preferensi dasar nilai-nilai dari sebuah kebijakan agraria. Dengan menggunakan pendekatan “actor oriented”, penelitian ini menempatkan peneliti bukan hanya sebagai pihak yang rajin menginventori kejadian, pengalaman, dan fakta lapang kemudian disajikan dalam sebuah laporan penelitian yang bagus. Lebih dari itu penelitian ini menempatkan penelitian sebagai instrumen proses fasilitasi, proses mediasi dan proses transformasi sehingga mampu menambang berbagai peta intelektual masyarakat seraya menghadirkannnya dalam disain-disain preposisi teoritik yang diperlukan untuk membangun model teoritik untuk menyususn model kebijakan yang lebih operasional. Dalam terminologi Paul R. Carlile (2004) penelitian yang menempatkan penelitianya dalam sekuensial “transferring, translating and transforming”. Dengan demikian keunikan pendekatan dan hasil yang akan dicapai dalam penelitian inilah yang menyebabkan riset ini relevan untuk memecahkan kebuntuan dan kejumudan pendekatan riset-riset kebijakan yang selama ini ada.
1.5. Kontribusi Penelitian pada Pengembangan IPTEK
Mengungkap proses transformatif dalam kebijakan agraria yang diprakarsai oleh komunitas petani adalah sebagai jalan untuk menjelaskan nilai-nilai, paradigma yang harus dikedepankan untuk mencegah krisis legitimasi sebuah kebijakan publik. Tema transformatif sebagaimana yang digagas dalam usulan penelitian ini menempatkan proses implementasi kebijakan tidak sekedar proses-proses teknokratis dari sebuah kebijakan publik. Lebih dari itu proses transformatif sebagai sebuah kesediaan kebijakan publik untuk mengakomodir berbagai nilai dan keyakinan yang menjadi preferensi dari masyarakat. Dalam konteks kebijakan agraria persoalan ini menjadi relevan karena selama ini corak kebijakan agraria di Indonesia tidak pernah berhasil mengakomodir berbagai preferensi masyarakat. Dari sejumlah kajian literatur yang telah dilakukan, berbagai riset kebijakan agraria selama ini selalu beranjak dari paradigma positivistik. Kebijakan corak demikian menempatkan masyarakat sebagai obyek dan selalu menjadi sasaran dari berlangsungnya
14
implementasi kebijakan tersebut. Sebagai hasil dari pendekatan yang demikian ini, berbagai kebijakan agraria tidak pernah menjangkau dan menyelesaikan berbagai akar persoalan yang tengah berkembang di masyarakat. Penelitian yang diusulkan ini sebenarnya ingin membangun konstruksi model kebijakan publik sebagai sebuah arena terbuka, sebagai sebuah proses transformatif atau sebagai sebuah proses dialog antar masyarakat dengan negara. Secara lebih spesifik penelitian ini mempunyai kontribusi sebagai berikut :
1.5.1. Kontribusi Teoritik
a) Untuk menemukan model teoritik perbaikan legitimasi kebijakan melalui penanaman secara implisit nilai-nilai publik dalam memperkuat kebijakan agraria. b) Untuk memberikan sumbangan praksis model transformasi kebijakan agraria perspektif paradigma alternatif dalam memahami faktor-faktor kunci dalam proses reformasi kebijakan agraria sehingga tidak terjebak dalam krisis legitimasi kebijakan.
1.5.2. Kontribusi Praktis
a) Secara praksis menemukan model baku alternatif kebijakan agraria yang lebih demokratis dan teruji sehingga dapat dijadikan pilihan dalam menengahi berbagai sengketa agraria yang berlangsung di berbagai tempat. b) Merumuskan manual dan standar operasional prosedur (SOP) serta mejadi acuan operasional dalam merumuskan alternatif solusi sengketa-sengketa kebijakan agraria utamanya dalam sektor pertanahan antar masyarakat dengan swasta atau negara. c) Memberikan rumusan nilai-nilai publik yang penting dan sensitif untuk menjadi acuan perumusan kebijakan publik sektor agraria
15
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Krisis Legitimasi Kebijakan Publik
Studi implementasi kebijakan publik dalam konteks interaksi relasi kekuasaan di tingkat lokal dalam konstalasi administrasi publik merupakan ranah penjelajahan paradigma ketiga sebagaimana digagas oleh Denhardt and Denhardt (2004), Bovaird dan Lôffler (2003). Studi implementasi sebagai digagas dalam penelitian ini mempersandingkan dan mempertandingkan antara kebijakan publik dengan dinamika masyarakat sipil. Kerangka analisis yang dipergunakan adalah lensa analisis aliran post teori kritis Habermasian. Studi demikian pernah juga dilakukan oleh Grindle (1993), Sabatier (1994), Wagenaar (2003) Dryzek, (2003) dan terakhir Simon Matti (2009) yang menganalisis proses implementasi kebijakan dengan pendekatan-pendekatan non teknokratis. Implementasi kebijakan publik dianalisis dari kacamata pandang pergulatan artikulasi paradigma dan sistem nilai yang ada di tengah masyarakat. Debat legitimasi kebijakan sebenarnya mengadopsi teori-teori yang banyak dikembangkan dalam ilmu politik. David Easton (1964), Max Weber (1968) peletak dasar teori-teori legitimasi dari perspektif positivistik. Legitimasi menurut Waston adalah sejumlah dukungan yang diraih oleh sebuah kekuatan, sementara itu Weber bersumber dari teks-teks legal yang ditetapkan. Berbeda dengan teoritisi aliran kritis semisal Jurgen Habermas adalah proponen yang secara intens menarik tema ini keluar dari tradisi perdebatan klasik yang digagas
Easton
maupun
Weber.
Melalui
“legitimationsprobleme im Spatkapitalismus”
sebuah
publikasinya
yang
berjudul
yang kemudian di terjemahkan menjadi
“legitimacy crisis”, menjungkirkan pemahaman konsep legitimasi formal yang banyak dianut oleh para proponen positifisme, kemudian disusul dengan publikasi yang lebih kuat di buku “Between Fact and Norm.
Publikasi
krisis legitimasi mempersoalkan kembali akurasi
analisis Marxian terhadap berbagai kecenderungan krisis di negara-negara maju sebagai akibat dari meluasnya komplikasi kapitalisme lanjut yang berupa hasil-hasil pembangunan ekonomi. Habermas memandang bahwa krisis sebagai akibat dari fenomena jauh dibelakang masalah-masalah hukum, politik dan ekonomi. Krisis adalah sebuah persoalan nilai, persoalan keadilan dan moralitas. Situasi krisis muncul karena ada persoalan integrasi sosial. Ide krisis legitimasi Habermas sebagaimana dikupas oleh Joseph Helt (1995) disandarkan pada pandangan-pandangan teori sistem Parsonian dan perdebatan modernitas budaya
16
Lukacsian, manusia adalah sebuah personifikasi dunia lahir dan dunia batin. Pemahaman manusia hanya pada salah satu sisi akan menjerumuskan pada pemaknaan yang keliru. Oleh karena Habermas menyanggah bahwa esensi sebenarnya dari legitimasi bukan semata terletak pada alienasi manusia pada raihan ekonomis sebagaimana digagas aliran Marxian, tetapi lebih dari itu adalah tersedianya ruang publik untuk berdialog dan mengartikulasikan dimensi-dimensi moralitas. (Habermas, 1985; Aguila, 1995). Atau dalam tesis Frederickson legitimasi adalah sebuah domain sosial
masyarakat yang meliputi beberapa faktor :
citizenship, equity, justice, ethics and responsiveness can be enhanced ( Frederickson 1997 ). Paralel dengan yang diketengahkan oleh James Q. Wilson dalam publikasinya “The Moral Sense” basis legitimasi moral dilukiskan secara ringkas sebagai berikut : (a) sympathy is human capacity for being affected by the feelings and experiences of others, (b) fairness, is equal share, justice, get attention, induce cooperation or resolve disagreement, fariness as reciprocity) (c) self-control is a choice between an immediate pleasure and a more distant one that is of greater value)
(d) duty is the disposition to honor obligations even without
hope of reward ofr fear of punishment) . (Wilson, 1993). Colin Talbot juga memberikan kerangka dasar, legitimasi sebagai pusat orientasi dari empat kuadran proses. Empat aspek yang membangun legitimasi tersebut adalah : collectivity, security, personal utility and autonomy. (Talbot, 2008).
17
Tabel 2.1 Nilai-Nilai Publik Andalan dan Strategi Mencapainya
Diadaptasikan dari Colin Talbot (2008
Tabel 2.2. Nilai-nilai Publik Andalan dan Wujudnya
Diadaptasikan dari Colin Talbot (2008) Dalam padangan Talbot, legitimasi adalah hasil interaksi dari empat sistem sosial yang kemudian disebutnya sebagai kekuatan kolektivitas, otonomi, keamanan dan utilitas personal. Kolektivitas, adalah sebuah sistem sosial yang dapat menjamin masyarakat bekerjasama. Sisetm otonomi adalah menempatkan masyarakat sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kekuatan-kekuatan, ada kewajiban untuk menempatkan pada posisi
18
kedaulatan yang penting, baik itu diminta atau tidak. Keamanan personal, seberapa jauh proses-proses dapat menjamin diperolehnya keadilan, pelayanan. Utilitas personoal, seberapa jauh sistem sosial memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan personal. Beetham dalam sebuah publikasinya menegaskan “... legitimacy is significant not only for the maintenance of order, but
also for the degree of cooperation and
quality of
performance that the powerful can secure from the subordinate; it is important not only for whether they remain „in power‟, but for what their power can be used to achieve...” (Beetham, 1991). Dalam terminologi Beetham legitimasi dilukiskan sebagai piramida yang terdiri dari tiga sisi penting yaitu, sisi tersedianya aturan-aturan dan konsensus norma, loyalitas untuk mematuhi konsesnsu dan norma tersebut secara mendalam dan pembenaran dari semua anggota masyarakat terhadap kesetiaan semua pihak mematuhi norma tersebut. (Habermas, 1980; Beetham, 1991). Habermas secara spesifik memberikan kerangka analisis sistem masyarakat dalam tiga domain subsistem (a) susbsistem sosial budaya (b) subsistem politik dan (c) subsistem ekonomi. Bekerjanya tiga sub sistem tersebut secara harmonis di tengah masyarakat akan menjamin legitimasi dapat diwujudkan. Sebaliknya apabila terjadi ketidak seimbangan hubungan antara ketiganya akan menyebabkan krisis sosial.
19
Tabel 2.3 Tiga Pilar Sistem Sosial Habermas Subsistems Normative Structures Substratum Categories Socio-cultural Status system; subcultural Distribution of privately forms of life available rewards and rights of disposition Political Political institutions (state) Distribution of legitimate power (and structural force); available organizational rationality Economic Economic institutions Distribution of economic (relations of production) power (and structural force), available forces of production Sumber : Habermas, 1980: 25 Habermas menjelaskan bekerjanya sistem tersebut secara makro dalam
konteks
kritrik pada kapitalisme lanjut dan preposisi-preposisi Marxian. Sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem politik membangun sebuah keseimbangan untuk memelihara stabilitas sosial masyarakat. Harmoni interaksi dan resiprositas sesuatu atau barang antar subsistem tidaklah memadai untuk memelihara bekerjanya sistem sosial tersebut tanpa hadirnya resiprositas dan interaksi sistem nilai. Determinisme Habermas terhadap sistem moral yang menjadi jangkar stabilitas sistem sosial yang ada di masyarakat inilah yang menjadi sentral kritik Habermas terhadap nalar modernisme. Dalam sistem kapitalisme, ketidakseimbangan yang terjadi antara input dengan kesempatan distribusi yang berlangsung dapat memicu terjadinya krisis. Sub sistem kedua adalah politik, input dasarnya adalah adalah loyalitas dari masyarakat. Outputnya adalah keputusan-keputusan administratif dan politis yang diisi oleh preferensi nilai dalam proses ini. Apabila keputusan-keputusan administratif atau politis mengabaikan isi aspirasi yang telah ada maka akan terjadi krisis rasionalitas. Krisis legitimasi itu sendiri sebenarnya adalah bermula dari sub sistem kedua ini. Apabila rasionalitas yang dibangun tanpa mengindahkan proses dialog dengan masyarakat maka akan menggugurkan rasionalitas yang dibangun. Selanjutnya sub sistem sosio budaya adalah memperoleh masukan dari sub sistem ekonomi dan politik dalam bentuk kesediaan masyarakat untuk mengakses sesuatu benda, hak memperoleh pelayanan, jaminan hukum, jaminan keamanan sosial atau dalam bentuk hak warga lainnya. Krisis yang terjadi pada sub sistem ini adalah akibat dari sisi output, atau hasil akhir dari interaksi seluruh sub-sub sistem yang ada. Secara ringkas Habermas menyederhanakan bentuk-bentuk krisis di era kepitalisme ini sebagai berikut : (a) the economic system does not produce the requisite quantity of
20
consumable values, or; (b) the administrative system does not produce the requisite quantity of rational decisions, or; (c) the legitimation system does not provide the requisite quantity of generalized motivations, or; (c) the socio-cultural system does not generate the requisite quantity of action-motivating meaning, (Habermas, 1980: 72). Dalam pandangan Habermas, masyarakat di era kapitalisme lanjut bakal menghadapi persoalan-persoalan legitimasi. Kepungan pertumbuhan ekonomi, globalisasi, demokratisasi dan konflik klas-klas dalam masyarakat di era tersebut adalah menjadi penyebab persoalan legitimasi tersebut. Bahkan Habermas mengutip pandangan Galbraith yang melukiskan sebagai era pertarungan “private wealth versus public poverty” (Habermas, 1980:96). Ini jelas sebuah gambaran pertarungan klas sebagimana juga digagas pikiran-pikiran Marxian. Untuk menghadapi situasi liberalisme ini, bagi negara-negara yang lemah (weak state) baik itu karena konflik atau karena krisis berkepanjangan yang menderanya, upaya memulihkan legitimasi adalah sebuah pekerjaan yang tidak ringan, negara dihantui oleh rasa tidak percaya diri yang meluas, kerusuhan dan aneka pembangkangan masyarakat yang makin luas. Sebaliknya di negara-negara yang legitimit, negara tidak terlalu risau dengan ancaman atau bahkan tumbuhnya pemberontakan, rakyat di sebuah negara legitimit hasratnya jauh dari keinginan untuk memberontak. Legitimasi adalah sebuah keyakinan tertentu dimana individu dan kelompok-kelompok tertentu dalam negara menerima sebuah keyakinan bahwa mereka harus mendukung kesinambungan negara tersebut. Tanpa legitimasi, upaya untuk memulihkan kebangkitan dari negara gagal, operasi stabilitas dan rekonsiliasi konflik akan selalu gagal. (Robert D. Lamb, 2005). Demikian pula dalam padangan Bruce Ackerman (1993) yang dikutip oleh Ian Shapiro (2005), bahwa situasi transisi perubahan-perubahan disain konstitusi sebuah negara tetap akan dapat terpelihara sepanjang negara tersebut legitimit. Marx Weber memahami sistem politik di masyarakat barat modern sebagai sebuah bentuk dominasi legal. Legitimasinya didasarkan atas sebuah keyakinan bahwa kekuasaan politik yang dipraktekkan adalah legal. Dominasi legal ini sampai sekarang telah mendominasi pemahaman terhadap berbagai praktek ekspresi kekuasaan sebagaimana ditunjukkan oleh rejim negara-negara kesejahteraan. Pandangan Weberian ini memperoleh penentangan yang kuat utamanya dari proponen sekolah Frankfurt yang kemudian menghasilkan banyak publikasi teori-teori kritis. Diantara proponen utama yang juga dijadikan basis utama analisis dalam riset ini adalah Jurgen Habermas. Dalam padangan Habermas, argumentasi Weber tersebut menempati posisi yang bersebarangan dengan analisisnya. Menurut Habermas, tesis yang dibangun oleh Weber sebagai sebuah
21
“formalisme” legitimasi yang hanya memahami legitimasi dari kacamata dimensi-dimensi prosedural. Menurut Habermas, bahwa sumber legitimasi memang benar dibingkai oleh kaidahkaidah terminologi legal atau basis hukum, akan tetapi untuk dapat memenuhinya kaidah legal yang menjadi dasar dari legitimasi tersebut tergantung pada dampak moral yang ditimbulkannya, “…that legality can derive its legitimacy only from a precedural rationa;lity with a moral impact…” (Habermas, 1986:220). Bukan dimensi-dimensi legal itu yang menjadi tujuan dari sebuah negara, tetapi apa akibat-akibat moralitas yang akan terjadi setelah kaidah-kaidah legal tersebut beroperasi “…this law is instrumentalized for the policies of a legislature that wants to meet demands for social justice with compensatory redistribution, stabilizing controls and transforming…they call for a social law on the basis of such emotionally colored ethical postulates as “justice or human dignity”…(Habermas, 1983:221). Pandangan Habermas ini berbeda sama sekali dengan dua proponen pendekatanpendekatan tentang dimensi legal untuk menjadi dasar legitimasi negara yang digagas oleh aliran-aliran Kantian (Immanuel Kant) mapun John Rawl yang mashur dengan teori kontrak sosial antara masyarakat dengan negara. Dalam aras yang sama bahkan Ian Clark (2003) menyebutkan bahwa legitimasi dalam pandangan Bukovansky “…Legitimacy is thereby understood to refer „not to some abstract conception of right but, rather, to the norms of a specific cultural system at a given time. ..” Dengan kata lain konsep legitimasi berhubungan erat dengan konteks interaksional antara persepsi dan sikap masyarakat terhadap lingkungannya. Manfaat legitimasi dalam relasi warga-negara sangat penting. Sebagaimana dikemukakan oleh temuan riset Toft bahwa legitimasi secara langsung sangat menentukan kadar kerelaan menerima kenyataan yang dihadapi, lebih dari itu legitimasi juga dapat memperbesar hasrat kesucian berkurban dengan harta kekayaannya atau bahkan dengan resiko sekalipun (Monica Duffy Toft, 2003). Bruce Gilley dalam sebuah risetnya di 72 negara mengadopsi konsep legitimasi dari Beetham (1991) tiga konsep pengukuran legitimasi yaitu: legality, justification dan concent (Gilley, 2006). Diskursus administrasi publik dalam konteks era anti pemerintah, anti institusi sebagai terjadi saat ini menjadi penting. Dalam konteks pencarian identitas kontemporer, administrasi publik telah menempatkan dirinya pada posisi yang dinamik. Bahkan dalam arti yang luas proses pencarian identitas administrasi publik dalam ekologi yang demikian itu hingga kini terus berlangsung intens. Mulai dari awal kelahirannya, kemudian berkembang paradigma administrasi publik dalam konteks manajemen, dikotomi administrasi publik-
22
politik, dan kemudian kembali pada mainstream administrasi publik sebagai administrasi publik. Sepanjang horison administrasi publik juga mengalami pasang surut peran dinamis diantara dua kutub utama : pemerintah dan publik. Memasuki abad 21 administrasi publik memasuki perdebatan baru. Administrasi publik bukan sekadar instrumen birokrasi negara, fungsinya lebih dari itu administrasi publik sebagai instrumen kolektif, sebagai sarana publik untuk menyelenggarakan tatakelola kepentingan bersama dalam jaringan kolektif untuk mencapai tujuan-tujuan publik yang telah disepakati. Pergeseran ini menandai, administrasi publik telah memasuki wilayah peran publik yang lebih substantif. Reposisi ini sampai taraf tertentu juga sebagai anti klimak dari praktek administrasi publik yang selama ini berlangsung luas, yang menempatkan segala urusan publik sebagai bagian urusan negara, sarwa negara. Wilayah administrasi publik yang tidak selalu dihegemoni oleh negara demikian ini oleh Frederickson disebut administrasi publik sebagai governance (Frederickson, 1997). Dengan kata lain administrasi publik sebagai governance pada dasarnya administrasi publik yang mempunyai lokus sinergi kiprah pada wilayah publik dengan menyertakan pelaku-pelaku dari publik dengan fokus agenda interest publik yang memang menjadi kebutuhannya (common interest). Proses demokratisasi yang meluas di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia juga telah menggeser peran negara lebih signifikan. Transformasi dari rejim otoritarian ke rejim demokratis juga memberikan implikasi yang besar pada reposisi administrasi publik. Peran rakyat yang makin mengemuka, tuntutan akuntabilitas publik dan kecenderungan untuk menempatkan rakyat dalam posisi yang lebih signifikan, menjadi mainstream artikulasi publik luas. Kini administrasi publik bekerja dalam sebuah entitas publik dengan peran negara yang makin menyempit, maka memerlukan kehadiran publik dalam artian aktor-aktor lain diluar negara menjadi lebih penting. Aktor-aktor luar negara ini dapat berupa asosiasiasosiasi mandiri dari rakyat, kelompok-kelompok kepentingan, lembaga swadaya masyarakat, dan agen-agen paranegara yang kehadirannya lebih bersifat spontan. Dengan
transformasi
ini
adakah
kapasitas
kolektif
dari
rakyat
untuk
menyelenggarakan dan mengelola kepentingan kolektifnya secara lebih baik. Dalam konteks inilah penting dikemukakan analisis yang dikemukakan Annale Saxenian (1994) dan James P. Womack dan D. Jones (1991) keduanya dikutip oleh Fukuyama, menekankan justru pranata-pranata informal yang bakal menjadi lokus proses governance dalam masyarakat itu memegang peran kunci untuk menjamin efektivitas pencapaian tujuan kolektif (Fukuyama, 1999).
23
2.2. Krisis Legitimasi Implementasi Kebijakan Publik
Studi tentang implementasi kebijakan menurut Ripley (1998) dikelompokkan dalam empat kategori besar, yaitu studi-studi implementasi kebijakan (a) kebijakan regulatoris (b) kebijakan distribusi (c) kebijakan redistribusi (d) kebijakan alokatif. Hal ini berbeda dengan yang dikemukakan oleh Grindle (1997) yang membedakan implementasi kebijakan publik dengan menggunakan pendekatan ekonomi politik yaitu kebijakan-kebijakan yang dapat dikelompokkan dalam perspektif (a) top down model (b) botton up model. Dalam pandangan Grindle, model kebijakan top down model mencerminkan kebijakankebijakan publik yang dimotori oleh kehendak negara atau pemerintah. Sementara kebijakan dalam pendekatan botton up, dalam implementasinya lebih mementingkan artikulasi dari sejumlah kepentingan yang disuarakan oleh masyarakat bawah. Demikian halnya Stone (1993) yang mengkategorisaikan kebijakan publik dalam dua aras utama yaitu polis dan public. Pembedaan terminologi tersebut memperlihatkan bahwa dikotomi pendekatan dalam kebijakan memang menjadi arus utama studi kebijakan. Oleh karenanya tidak selamanya studi kebijakan selalu dihampiri dengan menggunakan pendekatan “state will” atau kehendak negara. Justru dominasi pendekatan kebijakan yang selama ini didominasi dalam arus utama negara telah menyebabkan sebagian besar kebijakan publik mengalami defisit legitimasi (Ham dan Hill, 1993), Gilley (2006) atau dalam pandangan Habermas (2003, 2007) mengalami krisis legitimasi. Sebuah kebijakan publik yang memasuki krisis legitimasi akan menghadapi berbagai persoalan sebagai diuraikan oleh Kitromilides (1986) … it is common to regard the emergence of concerns about the declining legitimacy of any system as itself indicative of some kind of failure within it: the concept tends to be associated with the „politics of crisis…‟. Dalam pandangan Habermas (1973), sebuah sistem sosial yang legitimate, setidaknya dapat memelihara empat hal pokok dalam masyarakat (a) adaptasi, (b) pencapaian tujuan, (c) integrasi dan (d) pola-pola pemeliharaannya. Kebijakan publik akan berfungsi sebagaimana mestinya dalam mengartikulasikan nilai-nilai apabila mampu beradaptasi dengan lingkunganlingkungan politik, sosial dan perubahan nilai-nilai yang dituntut oleh masyarakat luas. Orientasi pencapaian tujuan kebijakan publik juga harus selalu dapat dijaga sehingga dipastikan selalu menjadi tujuan akhir dari perjalanan rute implementasi kebijakan itu sendiri. Kuatnya pengaruh ekonomi kebijakan juga setidaknya diperlihatkan oleh sebuah kenyataan bahwa berbagai pola implementasi kebijakan harus dapat berintegrasi dengan berbagai masalah yang ada di masyarakat. Semua dinamika
implementasi kebijakan tersebut
24
seharusnya juga mampu dipelihara stabilitasnya sehingga tidak terjadi penyimpangan oleh para implementor yang ada di tingkatan lapang. Dalan pandangan Habermas, hanya kebijakan yang mampu memelihara kaidah-kaidah tersebut yang akan mampu bertahan dan terhindar dari krisis legitimasi. Mengikuti pandangan Bruce Gilley (2006) menurunkan pandangan Habermas dalam menganalisis krisis legitimasi di 72 negara kedalam beberapa konsep-konsep turunan. Ada tiga dimensi yang menjadi pusat perhatian yaitu : (a) legalitas
(view of legality) (b)
pembenaran (view of justification) (c) persetujuan (view of consent). Secara operasional masing-masing aspek diterjemahkan dalam matrik berikut ini :
25
Tabel 2.4 Peta Legitimasi Aspek Legitimasi Indikator Legalitas a) Evaluasi terhadap daya tanggap pemerintah terhadap berbagai hak masyarakat : politik, ekonomi sosial b) Kepercayaan yang diberikan terhadap berbagai fungsi perlindungan negara c) Kepercayaan yang diberikan dalam fungsi pelayanan kepada msyarakat Pembenaran a) Kepuasan terhadap praktek demokrasi yang diikutinya b) Evaluasi terhadap sistem politik dan pemerintahan yang dihadapinya Persetujuan c) Kepuasan terhadap beroperasinya proses-proses demokrasi d) Penggunaan kekerasan dan protes Diadaptasikan dari Gilley (2006:523) Sementara itu Lamb (2005) menegaskan untuk meneliti derajad legitimasi mempergunakan enam proksi yaitu (a) persetujuan (consent), (b) legalitas hukum (law), (c) berbagai tradisi (tradition) (d) kepemimpinan (leadership), (e) efektivitas (effectiveness), and (f) norma (norms). Weatherford (1992) dalam penelitiannya menggunakan empat dimensi untuk mengukur legitimasi (a) accountability, sebuah aturan akuntabel apabila proses perumusan melalui proses partisipasi yang efektif (b) effeciency, apakah pemerintah menuntaskan penyelesaian masalah-masalah di tengah masyarakat (c) prosedural fairness, apakah sistem yang dibangun dapat menyesaikan masalah-masalah secara teratur, terencana dan apakah proses untuk itu terbuka (d) distributive fairness, apakah resorsis yang dialokasikan untuk kebutuhan tersebut telah dibagi dengan prinsip keadilan. Sejumnlah proponen mengkritisis pendeketan pengukuran legitimasi yang dikembangkan oleh para peneliti ini sekalipun juga mengklaim sebagai hasil dari dialog dengan pandangan-pandangan Habermasian. Bahkan di publikasi yang menyoal tentang legitimasi “Between Fact and Norm”, Habermas memberikan sebutan krisis legitimasi dengan defisit legitimasi dan dilema legitimasi. Proses ini di era demokratisasi bukan saja dihasilkan dari produk-produk yuridis sebagaimana pandangan klasik, tetapi kegaduhan proses demokratisasi dalam proses formulasi hukum itu sendiri bisa memicu krisis legitimasi (Cook, 2003 : 117). Kecenderungan ini berlangsung bersamaan dengan hingar bingarnya proses demokratisasi sehingga menghasilkan harapan yang berlebihan pada masyarakat sementara kapasitas sistem
26
politik, sistem administrasi yang terbangun lajunya tidak sekuat tuntutan tersebut sehingga tidak memuaskan tuntutan (cognitive dissonance). Simon Matti (2009) dalam risetnya juga mengembangan sebuah model legitimasi Habermasian dalam tiga perspektif. Proponen ini mencoba menurunkan teori legitimasi Habermas kedalam parameter-parameter aras rendahan seraya membingkainya dalam tiga ranah analisis kebijakan publik. Peta konsep yang diaplikasikan oleh Matti adalah sebagai berikut :
27
Tabel 2.5 Tipologi Legitimasi Habermas Tipe Legitimasi Kebijakan Akibat Legitimasi ex-post (dampak Derajat efek legitimasi kebijakan) kebijakan pada kinerja, keefektifan, efesiensi, dan stabilitas program-program politik dan instrumen kebijakan lainnya Legitimasi ex-ante Keterusterangan terhadap (keputusan-keputusan) aneka dilema-dilema praktek politik. Berapa banyak keputusan politik lahir sebagai hasil kompromi kepentingan dan mengurbankan yang lainnya. Legitimasi demokratik Tingkat legitimasi kebijakan yang berpengaruh pada membaiknya proses-proses demokratik politik pemerintah Diadaptasikan dari Simon Matti, 2009:27
Deskripsi Legitimasi Pilihan-pilihan kebijakan yang diambil dalam rangka membangun keyakinan dan semangat bersama (misalnya cara bekomunikasi, retorika) Aspirasi dan tujuan politik tertentu, strategi dan motivasi untuk menggandeng mereka dalam rangka mewujudkan satu keyakinan tertentu
Keputusan-keputusan yang diambil oleh para wakil rakyat atau politisi selaras dengan nilai dan keyakinan masyarakat
Pertama, isu legitimasi ex-post mengetengahkan legitimasi melalui luaran kebijakan yang telah diraih seteleh sebuah keputusan ditetapkan. Bagaimana daya tanggap masyarakat terhadap kebijakan yang telah dihasilkan, apakah memahaminya, dan apa tanggapan masyarakat terhadap derajad prinsip-prinsip dasar moralitas yang dibawa sebah kebijakan. Kedua, legitimasi ex-ante adakah motif-motif yang mendorong sehingga kebijakan tertentu bisa muncul. Adakah akibat-akibat yang teridentifikasi sebelum sebuah kebijakan ditetapkan. Siapa yang bakal diuntungkan dan bakal dikurnbankan, nilai-nilai apa yang akan menguat dan akan melembek. Persepsi pemrakarsa kebijakan terhadap legitimasi yang telah diraihnya juga berpengeruh pada proses-proses perumusan kebijakan dan penentuan kebijakan. Ketiga, apakah kebijakan-kebijakan yang ditetapkan akan makin menguatkan proses demokratisasi, menguatkan nilai-nilai dan keyakinan dasar yang tumbuh kembang di masyarakat atau justru sebaliknya
28
2.3. Bentang Kebijakan Agraria Indonesia
Dimana sebenarnya kebijakan agraria Indonesia bersarang ?. Menemukan sarang kebijakan agraria ini menjadi penting karena akan menjadi petunjuk dasar, dan membantu menjelaskan berbagai situasi krisis dan pergolakan agraria yang berlangsung. Geertz (1963) dengan dalam buku Involusi Pertanian memahami relasi agraria di Jawa pada masa pra kapitalisasi sebagai relasi struktural yang menguatkan egaliterianisme. Argumentasinya, orientasi kesetiakawanan sosial yang kuat antar sesama sehingga masyarakat petani membangun sebuah klas yang lebih suka berbagi yang kemudian ditesiskan Geertz dengan “shared poverty”. Tesis itu kemudian mengalami guncangan dan pergeseran seiring dengan kebijakan membuka sistem kapitalisasi melalui melakukan komersialisasi sektor pertanian seiring dengan upaya untuk mengimbangi kebutuhan pangan yang kemudian dikenal dengan “revolusi hijau”. Hart (1986) mengamati perubahan-perubahan relasi agraria antara negara dengan masyarakat di Jawa sebenarnya adalah memperlihatkan situasi transformasi sistem ekonomi politik yang sengaj menjadi pilihan negara. Dorongan dan penentu perubahanperubahan corak relasi dan struktur agraria di Jawa sebenarnya besumber jauh dibalik masyarakat desa itu sendiri, yaitu sumber kekuatan supra desa dan bahkan supra negara. Peran elit desa sebagaimana diamati Hart (1986) berada dalam posisi yang kurang lebih sebangun baik pada saat kolonialisme berlangsung, maupun setelah kemerdekaan. Elit petani ini menjadi sekutu penguasa yang paling setia., bukan sekutu masyarakat petani. Krisis kebijakan agraria di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak periode tanam paksa yang diboncengi oleh kekuatan VOC. Krisis ini bersumber dari adanya upaya yang sistematis dari kelompok kapitalis Belanda yang akan memperluas jaringan bisnisnya di berbagai negara jajahan Hindia Belanda, bersamaan dengan kebangkrutan kalangan kapitalis Belanda. RACA secara sistematis melukiskan tentang sejarah kebijakan agraria di Indonesia dalam sebuah horison waktu sebagai berikut : (1) Pada masa pemerintahan V.O.C di Indonesia (1602-1800), diterapkan eksploitasi komoditi ekspor dengan menggunakan sistem tanam paksa, yaitu berupa penyerahan wajib dan kontingensi berdasarkan kuota yang ditentukan. Sistem tersebut dikenakan pada suatu daerah atas berbagai alasan, seperti penaklukan, perjanjian, dan kontrak antara kedua belah pihak. Di masa pendudukan Inggris dibawah kekuasaan Raffles (1812-1816) diterapkan sistem land rent atau sistem pemungutan pajak tanah yang merupakan bagian dari sistem sewa tanah. Sistem tersebut adalah kebijakan ekonomi dan perkebunan yang diciptakan
29
Raffles, sebagai penganut paham liberalisme. Raflles menginginkan sistem perkebunan yang bebas dari segala unsur paksaan dan ikatan feodalis. Juga disusun kebijakan dengan mengubah tiga asas, yaitu penggunaan sumber daya tanah, tenaga, dan ikatan birokrasi tradisional yang mendasarinya. Pertama, menghapuskan segala bentuk penyerahan wajib dan rodi. Rakyat bebas menanam dan menjual hasil tanaman. Kedua, pengawasan atas tanah secara terpusat dan langsung, penarikan pungutan dan sewa dilakukan tanpa perantara Bupati. Ketiga, dengan asumsi bahwa pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, maka petani penggarap tanah dikategorikan sebagai penyewa tanah pemerintah kolonial, yang berkewajiban membayar sewa tanah yang ditetapkan berdasarkan keputusan pemerintah kolonial. (2) Pada masa pemerintahan Belanda (1830-1870), kebijakan perkebunan yang dikembangkan adalah sistem tanam paksa. Pemberlakuan sistem ini diberlakukan karena pemerintah Belanda mengalami kebangkrutan ekonomi dan dilanda hutang yang besar. Sistem tanam paksa merupakan kombinasi sistem penyerahan wajib ala V.O.C dengan sistem pajak tanah ala Raffles. Pada tahun 1870, pemerintah kolonial menerapkan Agrarische Wet atau Undang-undang Agraria. Melalui penerapan undang-undang ini pemilik modal asing (Belanda maupun Eropa) mendapat kesempatan luas berusaha di bidang perkebunan. Undang-undang ini melahirkan beberapa peraturan agraria untuk perkebunan swasta sehingga para pengusaha dapat memperoleh tanah melalui erfpacht, sewa, dan konsesi. (3) Pada masa kemerdekaan (1945-1948), terjadi pendudukan lahan perkebunan oleh petani dengan semangat revolusi yang dihembuskan oleh Soekarno. Kaum tani melakukan penggarapan lahan-lahan perkebunan eks hak erfpacht milik pengusaha Belanda, Eropa dan Asia. Peristiwa ini bersamaan dengan aksi-aksi gerilya tentara untuk mengusir pendudukan Belanda untuk kembali ke berbagai kawasan perkebunan. Pada periode inilah menjadi tonggak pembagian tanah-tanah eks hak erfpach kepada sejumlah penduduk yang bersekutu dengan tentara untuk mempertahankan republik. Kolaborasi rakyat dan trentara dalam situasi perang dan revolusi di berbagai pedalaman, kawasan hutan (Tauchid, 1952; 1953) (4) Pada periode tahun 1948-1955, Belanda dengan dukungan sekutunya berupaya mengembalikan kekuasaannya atas wilayah Indonesia melalui Agresi Militer I dan II. Aksi militer tersebut tidak berhasil, sehingga Belanda mengubah siasatnya dengan cara perundingan dan negosiasi atau diplomasi. Melalui perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) Belanda masuk kembali ke Indonesia untuk menguasai aset mereka termasuk perkebunan.
30
(5) Pada periode tahun 1955-1957 terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing oleh pemerintahan Soekarno, dan berbarengan dengan Pemilu pertama tahun 1955 dibawah sistem Demokrasi Parlementer menjelang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin tahun 1959. Tahun 1960, pemerintahan Demokrasi Terpimpin mengeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1960 mengenai Pokok-pokok Agraria. UUPA 1960 mengedepankan janji memerdekakan petani dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian dan menghapuskan pemberlakuan hukum agraria Barat. (6) Pada masa pemerintahan Orde Baru, Angkatan Darat mengambil-alih lahan-lahan perkebunan yang dikuasai oleh orang-orang yang dituduh komunis. Inilah awal penguasaan lahan-lahan perkebunan oleh yayasan-yayasan yang dibentuk oleh Penguasa Darurat Perang di wilayah-wilayah Kodam, yang terus dipertahankan hingga kini. Masuknya militer dalam bisnis perkebunan berbenturan dengan logika pengembangan komoditi yang menuntut kecukupan modal dan teknologi tinggi. Akibatnya, militer men-subkontrak usaha perkebunan. Masalah-masalah yang penuh kontradiksi inilah yang menjadi salah satu sebab terjadinya konflik agraria di atas lahan perkebunan hingga kini. Pada akhirnya, Orde Baru menghapuskan landreform dan menggantikannya dengan program tata guna lahan dan transmigrasi. Program ini dikenal dengan sebutan Perkebunan Inti Rakyat (PIR-bun), yang kemudian memperluas wilayah dan intensitas konflik agraria (7) Pada masa pemerintahan transisional mulai Habibie, Gus Dur, sampai Megawati. Kebijakan perkebunan masih bertahan dengan modelnya yang sangat kapitalistik. Dibawah pemerintahan Gus Dur sempat mencuat gagasan populis untuk memenuhi harapan kaum tani, yaitu dengan kebijakan penyerahan 40% saham kepada rakyat dan 60% kepada PTP. Namun, gagasan populis tersebut mendapat tantangan keras pengusaha yang mengerahkan ribuan buruhnya ke DPR. Sementara itu, DPR sendiri tidak pernah jelas sikap keberpihakannya terhadap nasib kaum tani yang dirampas tanah-tanahnya. Militerisasi dalam sektor perkebunan terus bercokol hingga pemerintahan Megawati. (8) Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagaimana periode sebelumnya rejim ini tidak jauh berbeda dengan pendahulunya, menyempurnakan kegagalan kebijakan agraria yang lebih pro rakyat. Perintah Tap MPR No. IX tahun 2001, antara lain menggariskan : (a) Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan (b) Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah
31
perkotaan. (c) Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform. (d) Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum (e). Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang terjadi. (f)
Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program
pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumberdaya agraria yang terjadi. Pada masa rejim Yudhoyono ini justru produk-produk hukum untuk melayani proses liberalisasi semua sektor agraria diintensifkan, dan masalah-masalah agenda kebijakan agraria yang lebih pro rakyat kurang memperoleh perhatian. Hingga saat ini di Indonesia telah dikodifikasi 585 dokumen hukum, yang terbagi dalam 12 UU, 48 peraturan pemerintah, 22 Keputusan Presiden, 4 INPRES, 243 Permen dan 209 surat edaran menteri, 44 instruksi menteri (Winoto, 2009). Semua ini memperlihatkan sektor agraria berada dalam lintasan dan sirkulasi yang sarat pergulatan kepentingan. Belum berubahnya watak rezim transisional Yudhoyono dibanding dengan Orde Baru itulah, yang menyebabkan status pemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber daya alam menjadi problem tersendiri saat ini. Nasib si miskin; kaum tani, kaum miskin kota, buruh, nelayan, bergantung sepenuhnya pada kemurahan hati sang penguasa. Mereka menjadi korban ketidakpedulian negara dan tiadanya perspektif pembangunan sosial, ekonomi, politik dan budaya yang menjamin keadilan sosial. Terabaikannya hak-hak sosial, ekonomi dan budaya dapat dilihat dari pemenuhan aspek-aspek: pendidikan, kesehatan, perumahan, pekerjaan, pangan dan lainnya. Sementara itu menengok berbagai kebijakan represif sektor agraria di Indonesia dapat dikelompokkan dalam dua ide dasar. Pertama strategi kebijakan agraria yang ditujukan untuk mencerabut penguasaan rakyat atas aset-aset agraria. Kebijakan ini biasanya dilakukan pemerintah dengan jargon kepentingan umum dan tersedianya diktum payung wewenang Hak Menguasai Negara (HMN). Kedua kebijakan, yang ditujukan untuk mengatur dan mensiasati distribusi dan delivery penguasaan agraria. Dari dua ide dasar kebijakan tersebut menempatkan negara sebagai faktor determinan yang penting. Sebenarnya persoalan agraria menurut Tjondronegoro (1999 : vi) bukan terbatas pada isu-isu pertanahan, tetapi sebagaimana disebutkan dalam UUPA No 5/1960 adalah meliputi ruang angkasa, bumi, air dan kekayaan alam yang ada didalamnya.
32
Dari analisis Slaats (1997) mencatat, horison kebijakan agraria sejak VOC masuk 1595, kemudian bangkrutnya VOC 1798 dan hegemoninya diteruskan dengan periode tanam paksa 1830-1870, dan memasuki liberalisasi kolonialis maupun setelah kemerdekaan hingga kini ada arus kuat bahwa opsi kebijakan-kebijakan agraria cenderung disandera preferensi politik dan kepentingan ekonomi dari rejim. Tesis Slaats ini konsisten dengan analisis Jan Breman (1988), Mubyarto (1995), Tjondronegoro (1999), Gunawan Wiradi (2000). Berlarutlarutnya konflik-konflik agraria di Indonesia sebenarnya juga merupakan kritik terhadap proses industrialisasi yang tidak mampu menyembuhkan persoalan klasik rakyat : kemiskinan dan pengangguran. Disamping itu menurut amatan Suhendar dan Winarni (1998 :193) serta Djoko Suryo yang dikutip Agustono dkk (1999 : vi) ada kecenderungan negara memblokade penuntasan persoalan-persoalan agraria secara luas, hal ini menjelaskan persoalan agraria di Indonesia berkaitan dengan dimensi ekonomi-politik, hukum dan sosial. Konflik tanah di Jawa Timur sebagai dicatat laporan HAM LBH Surabaya menyebutkan, proliferasi konflik tanah di propinsi ini menunjukkan kecenderungan meningkat dengan intensitas kekerasan yang makin tinggi pula. Laporan YLBHI Jakarta yang tahun 2008 ditemukan 60 kasus sengketa tanah di Jawa Timur, tahun 2010 angka itu meningkat menjadi 102 kasus (Perdana, 2010:26). Gerakan-gerakan ini memperlihatkan bahwa ada yang salah dengan persoalan opsi kebijakan sektor agraria utamanya pertanahan. Suhartono (1993:23) dalam kasus meluasnya radikalisasi petani di pedesaan tersebut menegaskan "…perbanditan pedesaan terus hidup selama kapitalisme agraris masih eksploitatif di pedesaan..". Menurut analisis Sen (1999: 267-69) dalam berbagai kasus persoalan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan kapitalisme dan pasar selalu menyebabkan berbagai ketidakadilan dalam masyarakat. Sejalan analisis Budiman (1995:115), kecenderungan ini telah menjadi gejala umum di negara-negara berkembang yang kini terjebak generasi kedua persoalan pembangunan, bukan saja jumlahnya banyak tetapi juga mendalam. Fenomena yang disinggung oleh para ahli tersebut merupakan kritik terhadap arus kuat pembangunan menomorduakan tanggungjawab sosialnya akibat memahami politik kebijakan bukan sebagai proses diskursif antar masyarakat-negara. Pilihan kebijakan publik selama ini dipahami sebagai domein otoritas negara. Tanah adalah merupakan faktor terpenting dalam sebuah masyarakat agraris Indonesia yang jumlahnya mendekati 70%. Karenanya beberapa pakar menyebut tanah sebagai masalah penghidupan dan kemakmuran rakyat (M. Tauchid : 1957; Tjondronegoro: 1999; Sajogja: 1998 dan Gunawan Wiradi: 2000). Sekalipun demikian, keserakahan pemerintah dalam mempersempit akses rakyat pada penguasaan tanah ataupun kebijakan
33
untuk melindungi hak-hak tanah rakyat terasa mengesampingkan kompleksitas persoalan. Cita-cita landreform yang digagas oleh Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960, kemudian disusul dengan Undang-Undang Bagi Hasil tahun 1957
adalah dua produk
kebijakan hukum egaliter masa silam yang hingga kini tidak lebih dari sekedar proforma. Distorsi implementasi dua kebijakan dasar tersebut bersumber pada inkonsistensi politik pemerintah. Konfigurasi kebijakan agraria nasional sejak masa pasca kolonial Indonesia dapat dikelompokkan dalam tiga domein utama (a) kebijakan yang memberikan lisensi campurtangan negara terhadap persoalan-persoalan agraria sebagai domein negara (b) kreasi kebijakan agraria lokal yang bergabung dalam pengaturan adat dan ulayat sebagai domain rakyat (c) komplikasi publik yang muncul dari kontradiksi dan campur tangan pemerintah terhadap eksistensi kebijakan pada dua domein tersebut. Dari tiga domain fokus kebijakan tersebut penyimpangan peran pemerintah bersumber pada keinginan mengeksploitasi potensi agraria sebesar-besarnya melalui konstruksi hak menguasai Negara (HMN), untuk mengejar obsesi pertumbuhan ekonomi. Pilihan skenario kebijakan agraria nasional ini berakibat mengelak pada usaha-usaha prevensi sosial dalam menciptakan sistem dan hubungan produksi agraris yang adil dan taat pluralitas di masyarakat (Ali Sofwan Husein: 1997; Noer Fauzi: 1999; Gunawan Wiradi: 2000; Maria Rita Ruwiastuti: 2000; Dianto Bachriadi dan Anton Lucas: 2001).
2.4. Penyimpangan dan Krisis Kebijakan Agraria
Implikasi terpenting dari inertia kebijakan agraria nasional adalah meluasnya eskalasi konflik agraria diberbagai daerah. Menurut Emilio Biagini (1993:119) seraya mengutip beberapa karakteristik konflik yang distudi oleh Caillard (1963), Foisil (1970), Garlan dan Nieres (1975), Harding(1978), Jaquart (1960, Joutard (1976), Tocqueville (1989) menemukan konflik dalam berbagai masyarakat sebenarnya berpusar pada polarisasi antar kekuatan-kekuatan yang bermotifkan perebutan kontrol terhadap ruang (spatial). "…conflict both internal (between elite and counter elite within a given social and spatial system) and external (ie between two or more spatial and social system, each led by its own elite) is basically a struggle for the control of space…". Sengketa agraria yang terjadi diberbagai wilayah tanah air ini juga dapat dianalisis dari perspektif ini, yaitu sebagai realitas terdesaknya ruang ekonomi, ruang sosial pada rakyat, sementara alternatif tersedianya ruang peralihan belum cukup memadai. Konfigurasi nasional sengketa agraria mulai meningkat
34
tajam sebagai efek opsi kebijakan pangan murah dan industrialisasi. Usaha-usaha ini memicu mobilisasi resorsis besar-besaran. Sejak tahun 1970-an pemerintah dengan berbagai formula kebijakan mulai mempercepat liberalisasi dan kapitalisme dengan menciptakan infrastruktur jalan, penyediaan lahan murah, dalam rangka mengundang modal asing. Revolusi hijau
yang ditandai
kebijakan mekanisasi, intensifikasi, ekstensifikasi, paket BIMAS, Inmas dan skema INSUS Supra INSUS disertai pembukaan areal perkebunan besar-besaran melalui HTI oleh perusahaan swasta. Usaha ini mengharuskan pemerintah menyediakan areal lahan dalam jumlah luas sementara pada saat bersamaan lahan masih dikuasai berdasarkan hak-hak ulayat. Sekalipun penyerahan lahan dibawah status penguasaan adat atau ulayat berjalan luas, namun tidak disertai dengan proses persepakatan politik yang wajar, represi lebih dijadikan modal dasar pemerintah. Menganalisis kebijakan agraria Indonesia Mubyarto dkk (1995:195-200), membagi tiga periode sejarah kebijakan agraria di Indonesia : periode perkebunan besar asing, periode setelah kemerdekaan semasa Orde Lama, dan periode terakhir pemerintahan Orde Baru. Sedangkan pakar lain semisal Wiradi (2000 :115-149), membagi sejarah agraria di Indonesia menjadi lima tonggak sejarah antara lain : Pertama, 1811, periode lahirnya teori domein yang dipelopori Raffles. Teori ini menyatakan bahwa seluruh tanah sebenarnya adalah milik raja. Kedua, 1830 terkenal dengan lahirnya cultuurstelsel atau tanam paksa. Tujuan lahirnya sistem ini adalah untuk menolong pemerintah Belanda tatkala mengalami kesulitan dalam bidang keuangan. Ketiga, 1848, Lahirnya Regerings Regelment (RR) 1854, pada dasarnya adalah era kemenangan kaum liberal yang dalam produk hukum tersebut diatur agar pemerintah Belanda memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom) untuk memungkinkan penjualan dan penyewaan. Disamping itu juga diatur agar atas prinsip domein itu pemerintah memberikan kesempatan kepada pengusaha swasta untuk dapat menyewa tanah jangka panjang dan murah yaitu yang kemudian dikenal dengan pemberian hak erfpach. Keempat, 1870, yang kemudian deikenal periode Agrarische Wet 1870. Ayat 1 dari Undang-Undang inilah yang akhirnya memuat
satu penyataan penting yang kemudian
dikenal dengan domein verklaring yang menyatakan :…semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik-mutlak (eigendom), adalah domein negara… ". Kelima 1960, adalah merupakan pemerintahan nasional terjadi berbagai momentum penting. Upaya rejim pemerintahan Orde Lama ini antara lain munculnya kesadaran luas dari para elit negara untuk secara serius mencari formula pembaharuan agraria sebelum memasuki fase
35
industrialisasi. Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 adalah merupakan puncak dari kebijakan politik agraria nasional (Wiradi, 2000: 134-5; Kuntowijoyo, 1994: 99127). Sebelum munculnya UUPA tersebut beberapa kali pemerintah telah membentuk sebuah panitia kecil untuk melakukan studi-studi agraria yang mendalam antara lain Panitia Yogyakarta (1948), Panitia Jakarta (1951), Panitia Suwahjo (1956), Rancangan Sunarjo (1958), dan akhirnya Rancangan Sudjarwo (1960). Analisis sejarah kebijakan politik dan hukum agraria versi Slaats (1997 chapter 2-1 s/d 2-7), diawali periode 1595 tatkala VOC masuk ke nusantara, kemudian masuk periode administrai pemerintahan kolonial 1798-1830, diteruskan masa tanam paksa 1830-1870, politik etis 1870-1942. Dari berbagai rejim tersebut perubahan-perubahan kebijakan agraria sebenarnya berada dalam kisaran (a) mengarahkan kebijakan eksploitasi agraria untuk kepentingan ekonomi rejim (b) kebijakan-kebijakan dicerminkan dalam keputusan politik dan repoduksi hukum yang kemudian implementasinya dirembeskan melalui kanal-kanal sistem politik lokal dan model kekuasaan feodalistik yang ada (c) mobilisasi rakyat dan represi yang kuat sehingga menjamin kebijakan tersebut dapat mencapai tujuan. Dengan gambaran ini, jelas bahwa orientasi implementasi kebijakan agraria sebenarnya bukan memberikan prevensi yang besar pada rakyat, tetapi lebih pada desakan untuk mengeksploitasi rakyat. Lahirnya UUPA 1960, sebenarnya adalah merupakan usaha Orde Lama untuk meletakkan dasar strategi pembangunan seperti dianut oleh berbagai negara Asia pada masa awal sesudah perang
Dunia Kedua (Jepang, Korea, Taiwan, India dan Iran). Baik semangat yang
terkandung didalamnya, maupun substansi formal pasal-pasalnya UUPA 1960 ada keinginan kuat untuk berpihak kepada kepentingan rakyat (Kuntowijoyo, 1994:99-127). Namun dalam realitasnya kebijakan tersebut memperoleh sandungan dan blokade preferensi politik, ekonomi dari kelompok-kelompok kepentingan yang menelikung rejim pemerintahan sejak era Orde Lama sampai Orde Baru.
2.5. Alternatif Teoritik Keluar dari Krisis Legitimasi Kebijakan Agraria
Dari gambaran diatas menjelaskan bahwa kebijakan agraria di Indonesia sebenarnya adalah menganut paradigma state will, yang mencerminkan kehendak negara semata. Membongkar kesadaran ini bukan soal sederhana, karena juga harus berhadapan dengan perspektif lain. Dalam rangkaian para proponen ini menegaskan bahwa dalam konteksnya masing-masing negara harus melakukan reposisi. Publikasi Evans (1985) misalnya, negara perlu kembali membangun relasi dengan rakyatnya Joel Migdal (1994), membentangkan
36
bagaimana pilihan-pilihan peran yang harus dilakukan negara dalam masyarakat. Sementara Fukuyama (2006), setelah mengetengahkan tesisnya dalam buku “Great Disruptions” dan “The End of the History” justru tesis terakhir dalam buku ”State Building” mengoreksi seluruh pandangan sebelumnya. Karya terakhir Fukuyama ini menegaskan, negara tetap menjadi pilihan untuk menjadi aktor penghela proses-proses keluar dari krisis. Bukan hanya negara sebagaimana digagas oleh Weber yang kini banyak menuai kritik pedas, lebih dari itu bagaimana mengembalikan negara itu dalam konteks peran ideologisasinya sebagai representasi masyarakat sebuah upaya memperkuat kembali peran negara (Migdal, 2001; Fukuyama, 2004) Peran negara dalam mengelola sektor-sektor agraria sebenarnya telah memperoleh payung hukum yang kuat dengan lahirnya UU No., 5 tahun 1960 yang hingga kini tetap menjadi payung seluruh produk yuridis yang berkaitan dengan pengaturan sektor-sektor agraria. Sementara itu sektor agraria adalah merupakan satu domein publik yang sarat dengan pluralitas kepentingan baik itu menyangkut bidang kelembagaan, dan kultural. Usaha untuk menyusun sebuah unifikasi kebijakan bukan saja akan merupakan simplifikasi persoalan bahkan akan menghardik realitas sosial dan pluralisme yang ada di tengah masyarakat. Oleh karena itu perubahan paradigma dan orientasi kebijakan sudah waktunya diawali dari bawah. Ada dua alasan penting, mengapa perubahan orientasi kebijakan agraria Indonesia sebaikya dimulai dari bawah. Pertama, proses unifikasi hukum yang ditandai dengan kooptasi besarbesaran terhadap berbagai institusi, infrastruktur, legitimasi hukum kepada negara telah menempatkan rakyat sebagai obyek dan kurban. Sehingga pemulihannya juga tidak dapat dilakukan secara seragam. Kedua, ketidakmapuan pemerintah untuk menyelesaikan berbagai komplikasi dari kebijakan-kebijakan yang pernah dilakukan dimasa silam, sehingga diperlukan sebuah proses yang memungkinan perubahan bukan pada tataran revolusi tetapi melalui sebuah proses argumentative turn yang elegan dari rakyat ataupun juga dari pemerintah. Argumentative turn adalah sebuah proses untuk mempertemukan berbagai polarisasi dalam sebuah perhelatan kolektif dan kesetaraan sosial sehingga ditemukan simpulsimpul permufakatan sejauh mungkin, atas dasar saling memahami dan mengadopsi kepentingan (Fisher, 1993, Dryzek, ). Untuk menjamin proses ini berlangsung elegan maka negara tidak lagi dapat memaksakan visi kepentingan ekonomi politik pada tataran makro tetapi selayaknya membuka ruang-ruang publik yang memungkinan diserapnya kepentingankepentingan ekonomi dan politik kelokalan pada tataran kasus setempat. Dalam wacana publik usaha-usaha untuk mendorong perubahan kebijakan agraria nasional telah dilakukan, utamanya oleh kelompok-kelompok akademisi yang tergabung dari
37
proponen SAE (Survey Agro Ekonomika) dari IPB Bogor. Usaha ini telah dilakukan sejak rejim Orde Baru berusaha mengganjal program ini melalui "tangan" birokrasi dan "kaki" militer. Peran advokasi publik SAE ini kemudian dioper oleh beberapa kelompok LSM yang tergabung dalam Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA). Sekalipun kehadirannya sangat terlambat, usaha ini telah berhasil memberikan penyadaran luas pada publik melalui rangkaian penerbitan dan bantuan dana terhadap berbagai kelompok yang melakukan usaha untuk melindungi hak agraria petani. Terakhir kelompok konsorsium ini bersama denganpara pakar dari perguruan tinggi telah berhasil memperjuangkan Rancangan Ketetapan Pembaharuan Agraria di MPR RI.. Studi yang dikemukakan Nakamura (1987) yang dikutip Sabatier dan Smith (1993:1) dan para akademisi analis kebijakan mengakui tumbuhnya kekecewaan luas terhadap berbagai pendekatan kebijakan publik yang acapkali hanya tertarik melakukan pendekatan dari perspektif positivis dan rasionalitas. Dibalik realitas fenomena, menurut Peters dan Hidler (1984) kebijakan perlu tanggap terhadap fenomena sosial atau Dobuzinskis (1992) menyebut aspek praksis sosial. Howlet and Ramesh (1998: 467-8), menyatakan bahwa yang sebenarnya paling menentukan adalah bahasa politik (language of politics) yang berperan besar memberikan konstruksi kebijakan publik. Dalam perspektif bottom up ini Santoso (1999:25), Marsh dan Smith (2000:5-6) menegaskan bahwa proses kebijakan publik pada dasarnya merupakan hubungan dialektikal (dialectical relationship) antar negara dengan masyarakat, atau sebuah "a strategic learning process". Bukan hanya negara ingin mentransformasi masyarakat, juga sebaliknya rakyat ingin terlibat mentransformasi negara. Geoffey Vickers, proponen post liberalism pada satu publikasi yang dikutip oleh Milio (1995:100) melukiskan, studi terhadap kepentingan-kepentingan dan proses perubahan kebijakan adalah satu fokus analisis yang kompleks dan sulit. Perubahan kebijakan (policy change) lebih lanjut dilukiskan sebagai "…it is rather a goal-setting process, an attempt to find an acceptable, if not optimal, relationship between new realities and standarts of acceptability, each of which change with changing societal conditions, events and perceptions, each at its own pace…". Dengan kata lain studi perubahan kebijakan berkenaan dengan proses mempertandingkan ide, tujuan, apa yang semestinya dilakukan hingga memperoleh penerimaan atau legitimasi berkenaan menghadapi realitas-realitas baru : kondisi, peristiwa atau persepsi, sehingga semua aktor dapat menyadarinya. Considine (1996:254) menyusun lima determinan perubahan kebijakan (a) adanya kesadaran untuk peduli pada keotentikan kemanusiaan dan nilai-nilai demokrasi; (b) pengenalan yang cukup terhadap peran-peran kunci dalam dalam sengketa sosial;
(c)
38
mekanisme negosiasi diatara semua pihak yang bakal terlibat; (d) reorganisasi dari sumbersumber publik dan private; (e) kepedulian pada nilai-nilai yang menentukan alokasi berbagai sumberdaya. Selanjutnya Considine(1996:255) mengusulkan pendekatan inovasi perubahan kebijakan " policy change as a form of intentional action in which new ideas are socially cultivated and refined into negotiated strategies". Pandangan Hogwood dan Peters (1982: 226-31), menyatakan juga aspek perubahan kebijakan dalam empat kategori: inovasi kebijakan (policy innovation),
pemeliharaan kebijakan (policy maintenance), suksesi
kebijakan (policy succession) dan penghentian kebijakan (policy termination). Sedangkan Robert dan King (1996:2) mengutip pandangan Levy, 1986; Golembiewsky, Billingsey dan Yeager (1976) yang membagi perubahan kebijakan dalam dua level gradasi : Pertama, perubahan order pertama (first-order change) yang menggambarkan perubahan kebijakan pada jenis-jenis penyesuaian yang dilakukan pada suatu sistem yang ada, beberapa corak sistem lama masih dipertahankan. Kedua, perubahan order kedua (second-order change), jauh berbeda dengan yang pertama batasan ini merujuk pada perubahan-perubahan dasar pada sistem itu sendiri, yang ditandai dengan diskontinuitas dan lompatan dari sistem yang telah ada dengan yang baru. Beberapa ahli menjelaskan perubahan tipologi kedua Robert dan King mengadopsi tipologi : perubahan pada akar, perubahan radikal, perubahan revolusioner dan transformasi. Dari pandangan ini dapat dijelaskan, konsep perubahan dari tipologi pertama kedua ini lebih mudah dijelaskan dalam bentuk garis kontinum, berawal dari perubahan yang berorientasi inkremental satu sisi ke pada perubahan radikal pada sisi lain. Perdebatan batasan ini nuansannya lebih condong pada how, bagaimana perubahan kebijakan itu dilakukan. Siapa sebenarnya yang dapat memulai melakukan perubahan kebijakan ? Dalam menggalang proses perubahan kebijakan-kebijakan, komunitas kebijakan memerlukan ruang publik afirmatif, dalam arti arenap-arena yang memungkinkan berlangsungnya prosesproses dialektika cara melakukan perubahan. Studi yang dilakukan Roberts dan King (1996:222-27) menemukan bahwa perubahan-perubahan kebijakan radikal didorong oleh dua varian kunci yaitu tersedianya entrepreneurship dan inovasi. Dari pendekatan-pendekatan diatas. Setidaknya dapat dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar proses perubahan : (a) perubahan radikal berdasarkan tersedianya peluang (radical change by chance). (b) perubahan radikal berasal dari konsensus (radical change by consensus), (c). Perubahan radikal dari belajar. Teori terakhir ini
banyak jadi fokus analisis Sabatier, dijelaskan,
perubahan kebijakan merupakan proses evolutif dari rangkaian proses pencerahan dan belajar dalam tenggat waktu yang panjang. Para ahli yang tergabung dalam paham ini antara lain Brian Hogwood dan Guy Peters (1982), Peter J. May ( 1992), Edella Schlager dan William
39
Blomquist (1995), Porter dan Hick (1999) kesemuanya memberikan tekanan perubahanperubahan kebijakan dapat dikondisikan oleh utilisasi pengetahuan dalam proses belajar yang panjang. Pengaruh proses belajar ini tidak serta merta para perubahan-perubahan radikal dari suatu jenis kebijakan, tetapi proses pencerahan akibat proses belajar ini membangun alas-alas perubahan cara berpikir dan kapasitas analitis dari para pengambil kebijakan. Hal yang sangat penting dan menjadi muara dari seluruh reformasi kebijakan agraria adalah melakukan perubahan paradigma proses kebijakan, dan paradigma orientasi ekonomi politik kebijakan sektor agraria. Pada aspek paradigma proses kebijakan negara semestinya tidak lagi dapat menggunakan pendekatan dari atas kebawah. Hal ini berarti mendorong perubahan orientasi kebijakan negara dari sekadar cermin kehendak negara menuju cermin kehendak publik dalam pengertian governance layak dipedebatkan,
atau perubahan
maintream dasar kebijakan publik bukan semata state policy tetapi governance policy. Yaitu kebijakan publik yang mengedepankan kepakaan yang tinggi pada persoalan-persoalan nyata, bukan persoalan yang diutopiakan. Sekalipun konsepsi governance policy dalam perwacanaan kebijakan publik belum begitu banyak diperbincangkan secara intens, governance policy
mengikuti paradigma Frederickson (1999) setidaknya memberikan
gambaran bahwa kebijakan publik selayaknya juga menjadi arena pembelaan kepentingan publik dalam konteks yang luas. Sekalipun demikian belum tentu konsep governance policy dalam sektor agraria ini semudah membalikkan tangan. Untuk ini diperlukan kemauan politik yang kuat dari pemerintah, tetapi itu saja tidak memadai, karena sebagai tengara Mohtar Mas'oed bisa jadi untuk pemihakan nilai-nilai pemerataan dan keadilan sebagai dicita-citakan reforma agraria, pemerintah sependapat. Namun begitu sampai implementasi kepentingannya bisa lain-lain. Untuk keperluan suksesnya pembaharuan reforma agraria ini Mas'oed (1997:x-xi) misalnya mengajukan tiga syarat kultural dan politik yang mustinya dikondisikan pada level komunitas petani : (a) penyadaran pada level petani, petani selayaknya terus menerus memperjuangkan reforma agraria (b) usaha-usaha untuk mengorganisir dikalangan petani (c) upaya untuk memobilisasi pendanaan reformasi agraria melalui realokasi dana yang dikuasai pemerintah, seperti tatkala pemerintah mengkonsetrasi pembiayaan IPTN. Dengan demikian reforma agraria di Indonesia sebenarnya lebih pada persoalan ekonomi dan politik yang bermain di sepanjang kontur isu ini. Persoalan agraria lebih merupakan pilihan kebijakan yang cenderung mengurbankan rakyat karena kelompok ini paling rentan dan daya jangkaunya terhadap hukum dapat dengan mudah dihardik oleh klaim kepentingan-kepentingan yang mengatasnamakan negara dan kepentingan umum. Kenyataan
40
ini menjadi paradoks bagi sebagian besar komunitas petani yang sebenarnya mengharapkan prevensi negara, namun realitasnya justru diperoleh sebaliknya. Organisasi petani pun tidak dapat dengan mudah memberikan alasan rasionalitas terhadap uapaya pembaharuan ini tanpa naungan politik dan sosial yang memadai dari kelompok-kelompok pendamping yang diharapkan kehadiran dan kesabarannya dalam menyulap kapasitas sosial komunitas petani menjadi sebuah kekuatan untuk mendoriong terjadinya perubahan yang disengaja dan sistematis utamanya agara pembaharuan agraria mampu mengnetas kemiskinan. Tanpa ini maka bisa saja komunitas petani bakal menjafdi kekuatan politik revolusioner yang akan memporakporandakan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai susah payah. Dalam studi kebijakan perdebatan tentang policy networks, adalah salah satu pendekatan dalam studi kebijakan yang merupakan derivasi dari teori-teori governance. Pendekatan ini kini makin menempati posisi penting dalam kajian akademik setelah mencuatnya kritik pada berbagai model pendekatan positivistik kebijakan publik yang tidak mampu menjelaskan berbagai fenomena-fenomena kebijakan publik. Teori-teori policy network sebagaimana diperdebatkan dalam paparan ini adalah sebuah antitesa terhadap pandangan yang menyatakan kebijakan publik dari perspektif top down. Pendekatan policy network adalah salah satu cabang dari proses dan pendekatan kebijakan dari perspektif bottom up, menempatkan jaringan-jaringan yang tidak melembaga dipentaskan dalam proses pengambilan keputusan. Sebuah proses yang oleh Jurgen Habermas disebut sebagai penempatan ruang publik yang kuat dan artikulatif. Atau dalam pandangan John Dryzek disebut sebagai proses “travelogue”, dan dalam bahasa Hajern sebagai “argumentative turn” antar pluralisme aktor dalam proses pengambilan keputusan. (Sandstrom, 2008, Dryzek, 2000, 2002) Argumentasi yang dibangun dalam kajian ini ini
sebenarnya juga
merupakan
ekspresi kegelisahan dan sekaligus gugatan terhadap sistem kebijakan publik yang selama ini dibelenggu sebatas perspektif positivisitik. Kebijakan publik hanya dipahami sebagai rangkaian proses berpikir linier, sarat preskripsi, sistematika dan keteraturan. Terjadi ketimpangan teoritik yang lebar antara tuntutan untuk mengembangkan teori-teori kebijakan publik yang membumi dengan realitas dinding paradigmatis yang kokoh dan angkuh. Kendatipun semua propopen mengetahui ketidakmampuan aliran positivistik menjelaskan berbagai realitas praksi kebijakan, toh belum juga ditemukan sebuah arus utama baru yang mencoba menampilkan pandangan post positivisme dalam pentas teori secara mendasar. Dalam pandangan Dryzek (2002) post positivistik dalam kebijakan publiksebenarnya bukan semata-mata memecahkan masalah publik tetapi bagaimana masalah publik lahir, apa saja
41
realitas yang menyelinap dibalik fakta-fakta dan bagaimana bisa merunut spirit yang tidak kasad mata, berbagai perdebatan mutakhir dari para proponen post modernisme menyebutkan bahwa realitanya kebijakan publik adalah sebuah proses pertandingan ide, pertarungan argumentasi dan pertukaran alasan-alasan. Dari pandangan ini mengemukan persoalan, bahwa masalah-masalah yang lahir dari sebuah proses kebijakan sebenarnya juga dapat dipecahkan melalui pengenalan yang mendalam terhadapa lansekap dan arkeologi prosesproses kebijakan atau pandangan para aktor-aktornya. Di tengah suasana krisis legistimasi, keberadaan negara kini perlu melakukan perubahan orientasi yang lebih terbuka dan demokratis. Kiranya perlu melakukan perubahan orientasi yang lebih terbuka dan demokratis. Kiranya perlu diperdebatkan padangan teori governance, sebagaimana digagas Guy Peter, seluruh isi paper ini sebenarnya mengutai perdebatan klasik ide-ide kebijakan publik sampai dengan ide kontemporer yang di dalam perspektif post positivisme. Ditampilkan pula pandangan sebagai digagas Gorz, dan Paper (1993) tentang network, kemudia ide-ide personian sebagai banyak dikutif Habermas tentang normative integration, funtional differentiation, dan interchange relations dan teori habitus Pierre Boudieu (2007), yang memposisikan masyarakat sebagai bagian dari semesta (field). Operasionalisasi dari perdebatan itu kemudian dioperasionalisasikan kedalam tema sentral yaitu teori governance atau jejaring. Diskursus tentang policy network adalah sebuah perdebatan teoritik yang menjadi arus utama pilihan bagaimana proses reformasi kebijakan publik dapat dihela. Policy network memberikan perspektif menyediakan arena deliberasi dalam proses kebijakan publik, sehingga anatomi perhelatan dan diskurus paradigmatik dapat ditampilkan secara terbuka, bagaimana proses interaksi dan debat antar aktor berlangsung, bagaimana pertukaran alasan, ide dan proses-proses argumentative turn berlangsung. Bagaimana pula proses pelembangaaan disepakati bersama diantara pluralitas aktoraktor sehingga tujuan reformasi kebijakan dapat diwujudnyatakan. Hingga kini pedebatan orientasi nilai dalam proses reformasi kebijakan publik merupakan anatema dari dinamik kebijakan publik. Pluralitas aktor para analis, politi, dan seluruh stakehoder bertemu dalam pentas arena diskurus kebijakan, kemudian memperbincangkan agenda reformasi kebijakan secara terbuka, mempertadingkan gagasan secara cerdas dan deras, mendaftar alternatifalternatif pikiran yang diikat oleh sebuah temali spirit melakukan reformasi, ini adalah gambaran ideal bagaimana sebenarnya policy network itu dapat dipratekkan dalam keseharian proses reformasi kebijakan, pada saat ini kehadiran pendekatan seperti ini sangatlah diperlukan utamanya untuk melakukan reformasi,perubahan dan rivisi dari carut marut kebijakan masa silam yang dihasilkan dari proses keangkuha, kekerasan dan represi,
42
sekalipun begitu, proses pencarian genesis orientasi nilai-nilai baru dalam proses reformasi kebijakan ini memang harus berhadapan dengan paradoks dan dilema yang mencekam, dia adalah kekuata kapitalisme dan pasar yang gigantis, tumbuh pandangan, pasar disatu sisi sebagai kekuatan pragamatis dan pandangan anti pasar adalah sebuah kemuduran. Inilah tantangan besar, dalam kondisi demikian bagaimana pemerintah harus menghela peran ? tetap dibekap kekuatan pasar ? menghela kekuatan pluralitas masyarakat untuk menemukan keseimbangan baru ? semua ini adalah sebuah ranah pilihan-pilihan yang dapat diambil oleh pemerintah. Perjalanan reformasi di Indonesia barangkali tidak menjadi terseok-seok seperti saat ini andaikata disain besar berbagai sistem pembaharuan berhasil diciptakan oleh bangsa ini. Sebuah disain besar semacam blue print yang mampu dijadikan kompas dan arah perubahan sehingga berbagai proses perubahan dapat dipandu dalam sebuah perjalan dan iklim yang cerdas dan deliberatif (Dryzek, 2002; Nullmeier:2006). Kemajuan pesat proses demokratisasi di Indonesia harus diakui. Sementara Negara-negara Eropa atau Amerika melangsungkan demokratisasi perlu ratusan tahun, Indonesia sejak tumbangnya ORBA telah menempatkan diri negara demokratis sekalipun dengan derajat governance paling rendah. Kecemasan memang tak bisa dihindari, fase transisi ini terasa melelahkan dan kapan akan berakhir. Kecenderungan ini pararel meluasnya semangat anti negara sebagaimana ditengarai oleh Cheryl Simrell King dan Camilla Stivers (1998) dan Francis Fukuyama (1999). Menurut tiga penulis tersebut, tumbuhnya semangat anti negara adalah akibat langsung dari kedigdayaan negara yang selama ini kerap digunakan untuk menentang dan menindas warga negara. Hal yang sama juga dilukiskan oleh Habermas (1975) dalam buku Legitimation Crisis (1980) kalau dibiarkan berkelanjutan akan dapat merusak sendi-sendi kemasyarakatan lebih luas. Semangat ketidak pedulian negara sebagaimana dipaparkan para proponen pada bagian awal bagian ini sekaligus membuka mata kita, betapa rapuhnya kebijakan-kebijakan proteksi sosial untuk melindungi lapisan masyarakat paling lemah di Indonesia. Realitas inilah yang kemudian memunculkan berbagai semangat tidak percaya, semangat distruss terhadap ketidakhandalan kebijakan sosial yang ada di Indonesia.
2.6. Model Transformasi dan Pemulihan Legitimasi Melalui Jejaring Kebijakan
Debat dalam proses formulasi kebijakan publik sejajar dengan pertandingan untuk memberikan orientasi nilai antar kelompok-kelompok yang terlibat didalamnya. Dari lensa ini, kekeliruan, distorsi dan penyimpangan dalam proses kebijakan publik adalah realitas
43
yang tak dapat dielak, tetapi juga bukan tak dapat dihindar. Umpan balik, revisi, perbaikan, pembaharuan kebijakan dan perubahan kebiuakan adalah juga merupakan anathema dibilik lain dari horizon kebijakan publik, yang kedudukannya juga sanga penting. Proses ini menjadi sisi lain agar kebijakan publik tidak sekedar mempromosikan tujuan kolektif, musti juga media untuk memuliakan nilai-nilai yang embedded dengan kompeksitas latar belakang dan motif para aktor. Menurut Sabatier dan Smith (1993) serta Heclo yang dikutip oleh Peter J. May (1998), esensi Policy learning adalah suatu proses dinamik dan perubahan-perubahan abadi dari pikiran, dan maksud perilaku manusia sebagai hasil pengalamannya dan kecenderungankecenderungan untuk mencapai tujuan kebijakan. Persoalan yang kemudian mengemuka, siapa yang harus belajar ?, Apa yang harus dipelajari ?. Persoalan yang kemudian mengemuka, siapa yang harus belajar? Berapa pertanyaan tersebut tentu saja menggoda, jangan-jangan proses belajar dalam proses formulasi kebijakan publik berubah fungsi sekedar menjadi pertukaran dan redistribusi tukar imbang atas pilihan-pilihan kebijakan yang dilakukan atau batal diakomodir. Teoritisasi tentang siapa yang sebenarnya belajar adalah para aktor dan stakeholder yang berpaut terhadap suatu isu kebijakan publik. Sementara itu Pater J. May, menyebutkan justru yang berprakarsa dalam proses belajar itu semestinya adalah para elit-elit yang menjadi petinggi dalam suatu organisasi. Terlepas siapapun yang menjadi inisiator yang paling penting dalam proses belajar ini adalah bagaimaa ide dan sejumlah keyakinan (beliefs) dapat berinteraksi dan bersaing secara wajar di dalam arena proses kepijakan. Teori bahwa proses kebijakan publik adalah merupakan hasil dari proses interaksi antar berbagai aktor yang hanya berasal dari instritusi negara selama ini banyak mendominasi kerangka pikir pada analisis. Pencarian terhadap nation baru yang lebih mampu menjelaskan realitas bahwa proses kebijakan publik tak hanya dihasilkan dari aktor-aktor pemerintah. Pandangan pada proponen teori kritis semisal Jurgen Habermas, Pierre Boudeau, Jaquest Derrida, John O Neil, mapun Gadamer adalah para peletak jangkar pandangan yang menempatkan pemahaman realitas dan probelma masyarakat bukan saja dari perspektif positif knowledge tetapi juga dalam perspektif tacid kowledge. Para proponen teori kritis ini pula yang pada akhirnya meletakkan dasar-dasar pembaharuan dalam berbagai disiplin limu sosial, termasuk disiplin ilmu kebijakan publik sesungguhnya banyak berhutang pada para proponen teori kritis tersebut. Penelusuran teori-teori jaringan ini juga pernah diterapkan oleh Robert Putnam dalam sebuah studi praktek dekokratisasi di Italia pada tahun 1993. Putnam mengungkapkan bahwa
44
berfungsinya governance antar kekuatan-kekuatan kelembagaan asosiasi sosial masyarakat sipil sebenarnya diperkuat oleh mekanisme jaringan antar aktor yang kuat yang kemudian disebutkand dengan demensi model sosial. Sejalan dengan hasil penelitian Fukuyama (1999) yang kemudian menghasilkan publikasi provokatif, The Great Disruption dan Trust, keduanya menempatkan jaringan sosial sebagai jangkar terpenting terbangunnya modal sosial yang menjadi kekuatan perubahan-perubahan kebijakan dan legitimasi kebijakan. interaksi bisnis di negara Asia. Sejak temuan monumental inilah studi tentang jaringan dalam lingkup kebijakan publik makin memperoleh tempat penting. Teori jaringan kebijakan (policy networks) menuntut pandangan E. H. Klijn (1997) sebenarnya berakar dari teori ilmu kebijakan, ilmu politik dan ilmu organisasi. Dalam ilmu kebijakan teori ini antara lain berkembang dari pandangan-pandangan rasionalitas aktor, yang kemudian diadopsi oleh Simon dengan konsep rasionalitas terbatas (bounded rationality). Pandangan ini kemudian membimbing para berkembangnya model-model proses pengambilan keputusan yangj juga menjadi akar paling penting dari berkembangnya teori “policy as actor process”, dan diakhiri dengan pengembangan pada teori-teori policy networks. Sementara itu dalam lingkup, ilmu politik, teori ini bermula dari aliran pluralis yang mengedepankan pentingnya perumusan agenda politik dalam struktur masyarakat yang plural. Namun kemudian juga menghasilkan sebuah sempalan aliran yang disebut sebagai neo corporatisme dalam proses politik, dimana peran negara menyerupai sebuah kekuatan swasta. Dua aliran ini kemudian bertemu dalam sebuah konsep yang disebut dengan sub sistem komunitas kebijakan. Mereka ini adalah aktor-aktor yang secara substantif menjalin hubungan sangat dekat dalam sebuah komunitas kebijakan. Dari komunitas kebijakan inilah kemudian lahir konsep jaringan kebijakan. Sementara itu dari persepektif ilmu organisasi kelahiran teori networks ini bermula dari relasi interdependensi dalam organisasi. Disamping itu teori jaringan kebijakanini juga banyak disumbang oleh perdebatan teori politik tentang relasi elit dan teori pluralis yang berkembang tahun 50 an dan 60 an. Menurut Erik-Hans Klijn (1996) terdapat tiga cirri utama jaringan kebijakan : (a) hubungan dependensi (dependency) antar satu unit dengan lainnya. Berbagai aktor yang mempunyai keinginan untuk mencapai tujuan tergantung pada unit yang lain. Hubungan interdependensi ini bukan bercorak statis tetapi harus ditermukenali dan berubah melalui interaksi. (b) proses, jaringan kebijakan melibatkan mutli aktor dan tidak ada satu unit kelompok pun yang mempunyai cukup kecakapan untuk mengendalikan strategi dan perilaku terhadap lainnya. Tidak ada satu tujuan tunggal yang dapat digunakan sebagai neraca untuk mengukur efektivitas kebijakan. Kebijakan adalah sebagai hasil proses interaksi antar berbagai
45
proponen multi aktor. Ini bukan berarti semua aktor mempunyai kekuasaan yang sama dalam proses interaksi. Hal itu tergantung dari tingkat kepemilikan resorsis penting yang diperlukan selama proses kebijakan dilangsungkan. Hal ini jelas berbeda dengan proses kebijakan sebagaimana dikemukakan teori garbage can model interaktif. (c) Institusi, jaringan kebijakan mempunyai pola-pola relasi. Corak ketergantungan, akibat-akibat dari interaksi itu adalah menjadi elemen dasar pembentukan pola hubungan antar aktor. Pedoman bertindak (rule of conduct) akan memberikan warna corak interaksi yang terjadi antar aktor tersebut. Dengan demikian menganalisis proses pembuatan kebijakan dari persepektif networks ini esensinya adalah melihat kontekstualisasi proses kebijakan sebagai proses dinamis. Proses interaksi yang terjadi dalam jaringan ini melibatkan banyak sekali varian unit-unit mikro, karena itu pencapaian suatu inklusi antar aktor ini lebih mendekati suatu game, “ … game is treated as the „figure‟ or the micro-level of analysis. It is also necessary to explain changes in the distribution of resources and the rules of games : to contextualize the patters of interaction…” (Erik Hans Klijn, 1996). Bagaimana realitas yang penuh ketidakpastian dalam game ini dapat dimanajemeni? Persoalan ini tidak dapat dijawab secara sempurna, karena proses interaksi dalam networks lebih mendekati aras spontan, dalam arti terdapat dua kecenderungan utama antar aktor. Pertama mereka telah mempunyai tujuan yang diperolehnya sebelum proses interaksi berlangsung, kedua, tujuan atau motif muncul menjadi motif setelah melihat kecenderungan-kecenderungan yang dapat dimainkan untuk melakukan melakukan justifikasi terhadap tujuanyang mungkin dapat dicapai. Dengan demikian persoalan geme manejemen dalam konteks ini dapat dijelaskan oleh prosesi institusionalisasi yang itu terjadi setelah proses permainan dilakukan dalam tenggat waktu yang cukup intens dan konstan. Pelembagaan dalam networks ini sendiri pada dasarnya juga merupakan game, semuanya dapat berubah setiap waktu. Menurut Klijn ada empat aspek yang menjadi penyebab perubahan dalam networks ini (a) perubahan persepsi akibat interaksi dalam forum permainan, (b) masuknya aktor dan pelaku baru dalam arena permainan, (c) persepsi juga dapat berubah karena pengalaman-pengalaman yang muncul selama proses permainan sebelumnya, (d) akibat dan pengaruh dari eksternalitas (Klijn, 1996) Sementara itu menurut argumentasi Jens Blom Hansen (1997) menyatakan bahwa sekalipun networks dalam policy making adalah loosely coupled tetapi hal yang paling menentukan eksistensinya sebenarnya bukan tatanan itu tetapi adalah aktornya. Oleh karena itu untuk menganalisis pola-pola perubahan dalam networks perlu melihat konteks dari intitusional. Institusi adalah hasil dari sebuah pilihan-pilihan sadar yang dibuat secara terbuka oleh para aktor yang tertarik untuk memungut keuntungan dari sebuah kerja sama. Bentuk
46
yang paling substantif, kelembagaan dalam networks sebenarnya adalah merupakan „selecting rules for the play of game”. Dengan berdasar pada argumentasi teoritisasi tentang networks sebagaimana dikemukakan oleh Paul Sabatier dan Smith (1993) sebagai hasil interaksi antar sub sistem policy, aspek eksternal dan tatanan internal yang stabil, networks dalam perspetif ini dapat diteritisasikan dalam sebuah visual skema hipotetik dibagian paparan selanjutnya. Dengan demikian proses referensi kebijakan dalam perspektif networks ini merupakan arena permainan. Tidak ada tarjet tujuan individual yang berharga mati. Kendatipun demikian ada satu mainstream yang kuat bahwa kehadiran danperan multi aktor dalam proses ini mempunyai visi yang sama atas suatu masalah. Proses penetapan langkah-langkah operasional adalah hasil dari negosiasi dan interaksi dalam transaksi sosial. Oleh karena itu institusi networks ini sebenarnya lebih merupakan terminal singgah dari komunitas kebijakan untuk melakukan pertukaran resorsis dengan sandaran proses bejalar yang membentuk sebuah kolektivitas.
2.7. Membuka Ruang Diskursif, menuju Transformasi Proses Kebijakan Publik
Reformasi kebijakan sebenarnya adalah proses koreksi dan perubahan kebijakan. Bahwa kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkan pada suatu tenggat waktu tertentu tidak luput dari kecerobohan dan kekeliruan. Ongkos sebuah kebijakan publik tertentu acapkali harus dibayar oleh pihak yang tidak ada kaitannya dengan penikmatan hasil kebijakan. Ada proses yang tidak jujur, tidak transpran sehingga suatu jenis kebijakan publik bukan merupakan pertarungan antar nilai-nilai kemaslahatan publik tetapi lebih mencermintkan arena pergulatan kepentingan, persoalan siapa harus memakan siapa, dan siapa harus menindas siapa. Sehingga hasil sebuah kebijakan dapat saja mempunyai nuansa yang multi interpretatif tergantung takaran dan neraca apa yang digunakan. Idiom keadilan, penindasan, pemerataan, efisiensi, efektivitas kemaslahatan adalah tergantung dimana dan siapa yang memegang spektrum lensa nilai. Kerena itu interupsi, perlawanan terhadap suatu jenis kebijakan sebenarnya juga mempunyai kedudukan yang sama pentingnya dengan proses dan fase-fase lain dalam proses formulasi kebijakan publik, sebuah kebijakan publik bukan saja menjadi arena artikulasi sebuah nilai tetapi juga panggung untuk melakukan pembancian sebuah nilai di pihak lain. Dari kesadaran inilah kemudian lahir berbagai pendekatan dalam proses formulasi nilai-nilai kepublikan itu. Frederickson misalnya; memahami apa yang disebut nilai kemaslahatan publik itu dalam beberapa pendekatan : persepektif pluralis, perspektif rasionalitas publik,
47
persepektif factor yang mewakili publik, perspektif publik sebagai custumer, dan persepektif publik warga negara. Secara eksplisit Frederickson (1999) mengemukakan bahwa ranah publik itu meliputi “...public as interest group, public as rational chooser, public as represented, public as customer dan public as citizen. Dengan berbagai pendekatan itu variasi nilai dari kebijakan-kebijakan publik sebenarnya adalah pluralitas aktor dengan berbagai kepentingan. Tiga pendekatan utama yang acapkali dipergunakan dalam menganalisis proses reformasi kebijakan publik. Gerald Meier (1999) memahami kebijakan proses formulasi kebijakan publik sebagai proses linier, sekuensial. Berbeda dengan pandanganb Grindle dan John Thomas (1991) memahami proses formulasi kebijakan dalam tiga tahapan besar : fase penetapan agenda, pengambilan keputusan dan fase implementasi. Pandangan ini juga mengungkap bahwa formasi kebijakan itu adalah sebagai model interaktif, yang didalamnya sarat dengan pertandingan karakteristik dalam arena konflik antara publik dan birokrat. Persoalan selanjutnya mengapa beberapa isu kebijakan menjadi lebih penting dibanding lainnya?
Nampaknya itu akan dipengaruhi sejauhmana pengambil kebijakan
mampu mengenali dan membatasi masalahnya, formulasi pemecahan masalah yang dihasilkan, aspek-aspek politik yang turut mengintervensinya. Sejalan dengan argumentasi yang dikemukakan oleh Kingdon (1984) maupun oleh Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gun (1984) yang menyorot proses kebijakan publik dalam kategori positivisme, adalah proses dan tahapan-tahapan yang secara sistematis dan mekanis mencerminkan logika linear. Dengan metode pendekatan seperti itu seolah proses formulasi kebijakan itu semata-mata sebagai persoalan pertandingan teknis. Semenatara itu pandangan post positivisme menegaskan secara substantive proses formulasi kebijakan lebih mendekati paa arena permainan (game) antara politik, problema dan pemecahan masalah. Dengan demikian proses formulasi menjadi bertemunya para broker politik, para entrepreneur kebijakan dalam satu arena medan. Sementara itu menurut telaah Charles O. Jones (1984), Frederickson (1999) formulasi kebijakan publik pada dasarnya adalah merupakan proses dari berbagai actor lintas institusi dan koneksi antar bagian-bagian penting dalam masyarakat yang membentuk suatu networks untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pendekatan proses reformasi kebijakan yang kini masih terbatas dipergunakan adalah apa yang oleh Sabatier dan Smith disebut the policy process advocacy coalition and policy learing yang sebenarnya diilhami oleh tesis Heclo tentang policy networks. Ada tiga institusi utama yang berpesan besar dalam proses pembaharuan kebijakan yaitu: nilai-nilai komunitas yang relatif stabil, tekanan eksternal dan dinamik dalam sub sistem komunitas kebijakan.
48
Institusi-institusi itu berperan utama dalam dua kegiatan strategis yaitu proses penetapan agenda dan melakukan koalisi advokasi antar stake holder yang ada (Dryzek, 2002; Sabatier, 1999; Michael Mintrom dan Sandra Cergari, 1996, Frank Fisher, 1998, Annette Hasting, 1998, Peter de Leon, 1998; John O Neill, 2002). Utilisasi pendekatan ini dipandang memiliki sandaran teoritik yang lebih kuat disbanding dengan lainnya. Proses advokasi dan orientasi belajar dalam formulasi kebijakan akan memberikan kontribusi pada dua hal : presisi penetapan agenda yang relevan dengan kepentingan publik dan kemampuan sistem ini untuk mengundang partisipasi resorsis publik. Tentu saja karena dalam pendekatan ini varian nilai dari masing-masing stake holder sudah dapat tak lagi mengemuka. Hal lain yang juga menjadi varian penting dari pendekatanini adalah anggapan yang besar pada potensi sistorsi yang ada disetiap proses transaksi sosial selama proses formulasi kebijakan berlangsung. Sehingga peran pelobi dan selalu menempatkan orientasi kebijakan untuk belajar secara iteratif dari publik adalah menjadikan proses ini mendekati presisi sosial yang lebih baik. Menurut Robert W. Porter dan Irvin Hicks (1999), keputusan kebijakan utamanya yang dianut dalam perspektif pemerintah merupakan kombinasi dari kecapakan teknikal dan permainan kekuasaan atau politik. Dengan pendekatan ini tak jarang kebijakan publik yang dihasilkan dalam suatu negara selalu memberikan bobot yang besar pada kehendak pemerintah, tidak banyak yang mempunyai sensitifitas dan pemihakan pada
persoalan
realitas lokal. Peran analis dan peneliti sangat penting dalam artikulasi pengetahuan ini pada pengambil kebijakan. Karena begitu inferiornya posisi pengetahuan dalam proses formulasi kebijakan ini, acapkali formulasi kebijakan itu lebih banyak dilandasi oleh logika terbatas, dan utilisasi pengetahuan ini hanya dipergunakan sebatas input untuk mencerahkan tataran kognitif dari policy maker. Sementara itu David Easton (1965) memahami kebijakan publik dari perspektif teori sistem, yaitu input, proses, output dan unpan balik. Sementara itu Harold Laswell (1951) mengembangkan lensa pendekatan yang lebih spesifik, kebijakan publik sebagai tahapan yang terdiri dari rangkaian intelegensi, rekomendasi, preskripsi, invocation, applikasi, penilaian dan terminasi. Konseptualisasi kebijakan publik yang lebih autoritatif liberal juga dikemukakan oleh Jones dan Anderson (1977) yang keduanya menekankan kebijakan publik sebagai tahapan yang sarat dengan muatan proses heuristic . Menurut Paul Sabatier dan Hank C. Jenkins-Smith pemahaman dari perspektif ini memberikan rangka analisis yang lebih memadai disbanding pendekatan-pendekatan konvensional yang kini dikenal pada mazhab positivisme. Bahwa kebijakan publik sebagai
49
suatu segmen pengelolaan proses yang bervariasi dan komplek utamanya pada tahapan penetapan agenda dan implementasinya. Kendatipun demikian pemahaman kebijakan publik dari analisis heuristic ini mempunyai daftar panjang kelemahan. Kelemahan itu antara lain : kebijakan publik bukan sekedar cermin dari hubungan sebab akibat, banyak sekali faktor lain dari sebuah situasi yang tidak mudah diidentifikasi dan dikenali, karena ia bukan cermin hubungan kausal, usaha melakukan verifikasi hipotesis menjadi niscaya, tahapan heuristic yang ada sangat rentan dengan ketidak akuratan pendekatan diskriptif yang melukiskan sekuensi kebijakan publik, rentan intervensi yang legalistic Kritik Sabatier terhadap akurasi pendekatan heuristic ini sebenarnya beranjak dari kekhawatiran yang sangat besar, bahwa ada faktor elementer dari struktur kemanusiaan dalam proses formulasi yaitu apa yang disebut dengan pengetahuan (knowledge). Sehingga dalam tesisnya tentang advocacy coalition framework (ACF) ditekankan bahwa belief system komunitas adalah salah satu pilar utama disamping faktor eksternal masyarakat dan komponen policy community. Pergeseran policy maker dari beberapa aktor kepada networks kini menjadi wacana yang lebih penting. Peran konsepsi aktor sebagai decision maker tunggal dalam sebagian besar proses pengambilan keputusan telah menuai kritik tajam. Perseberangan pendapat ini sebenarnya juga paralel dengan reposisi di kancah politik yang menurut pandangan post positivisme kini juga menjimpan sejumlah kelemahan-kelemahan dasar. Schumpeter (1975) mengkritik model-model demokrasi elitisme yang hanya diperankan oleh sekelompok elit. Dan dilemma selanjutnya seolah elit ini merupakan representasi dari rakyat sebenarnya, sehingga dapat berbuat apa saja dan sah-sah saja mengatas-namakan rakyatnya (Shumpeter, 1975). Dalam sebuah tesis yang dituang dalam buku yang berjudul “The Theory of Power” Vail (2004),
menjelaskan kekuasaan pada dasarnya bersemai melalui jaringan-jaringan
relational antar aktor-aktor dalam masyarakat. Dunia ini ada karena relasi-relasi jaringan yang menguntai antar kekuatan-kekuatan, lebih lanjut pandangan provokatif Vail dapat disimak pada petikan berikut ini : I define a “power relationship” as the ability of one entity to influence the action of another entity. Such relationships oppear to exist across all scales. One can view people, composinies or governments as single, coherent entities exerting influence on others. One can also interpret each as a netoworks of internal entities and power relationships from which the whole emerges. For ecample, one can model a simple axygen atom as a vast array of power relationships, with strong forces holding together a variety of elusive quarks to form protons and neutron, and weak forces contraining electrons to certain regions of possible location.
50
Even the simplest particles appear as no more than a stable pattern of energy and. Work at the frontiers of physics suggests that discrete particles exisi as power, nothing more than a contruci of the abserver: that the true fabric of reality lies in the connection, and that the particles connected appear as an illusion. Connections assemble into patterns and networks, forming everything around us. On any scale, from the sub atomic to the global, undersianding the behavior of the coherent whole requires an understanding of the underlying networks of connections, the networks of power relationships (Jeff Vail, 2004:4). Sebagaimana digagas para proponen post positivsme, semisal Annete Hasting (1998) Peter de Leon (1998) dan Frank Fisher (1998), komponen paling penting dalam reformasi kebijakan publik sebenarnya bukan sekedar merombak peta kekuatan antar stakeholder yang terlibat dalam sebuah proses pengambilan keputusan. Yang lebih peinting lagi sebenarnya bagaimana reformasi itu dimulai dengan reformasi “tingkah tutur” antar aktor, reformasi pada proses-proses diskusi dan dialog sehingga sampai pada sebuah titik “argumentative turn”, dimana semua pihak dapat bebas dan leluasa mempertukarkan alasan-alasan argumentasi yang dibangun. Dryzek menyebut proses pendebatan ini sebagai sebuah penjelajahan ide, yang dinamainya proses “travelogue” yang berlangsung dalam proses-proses pertukaran alasan diantara pluralisme aktor (Dryzek,2004). Pandangan ini menggagas bahwa reformasi kebijakan publik yang oleh Sabatier (1999) disebutnya sebagai proses dialog antar komunitas-komunitas kebijakan senyatanya adalah sebuah pertandingan interpretasi terhadap realitas sosial. Pandangan ini juga mempunyai akar teori yang mendalam sebagaimana diungkap oleh Habermas (2004) maupun Foucault yang secara lebih mendalam mengungkap pentingnya peran bahasa dalam proses tersebut.
Dalam pandangan Michel Foucault (1926-1984), peran bahasa dalam proses
perubahan sosial adalah penting. Komponen bahasa ini membangun jejaring dengan disokong oleh kekuatan yang bersumber dari pengetahuan, dan kekuasaan. Perhatian yang besar Foucault pada peran bahasa dirasakan oleh para proponen ilmu sosial sejak tahun 80-an. Bagaimana bahasa mampu mengkontruksi realitas dan menginterpretasikan makna-nakna realitas. Keberhasilan sebuah kebijakan publik pada dasarnya sangat ditentukan seberapa jauh para analis mampu mengkerangkai argumentasi kebijakan sehingga dapat diterima realitas akal oleh komunitas (Hastins, 1998:194). Karya-karya hasil pemikirannya Foucault yang menjadi dasar dari para penganut post positivisme ini bahkan banyak menjadi rujuan grand theory yang terkenal dalam kancah teori sosial. The theory of Truth merupakan salah satu pemikiran cemerlangnya yang mengupas tentang nilai-nilai subjektifitas konstitutif serta eksplorasi praktik-praktik diskursif penguasa
51
dalam membentuk subjek. Karya-karya pemikiran Foucault dapat dipandang sebagai kontribusi luar biasa terhadap teori kebudayaan dalam teori sosial. Karya awalnya mengenai praktik-praktik diskursif merupakan upaya menyusun teori tentang koherensi internal yang tidak memperlakukan kebudayaan sebagai totalitas, melainkan sebagai domain atau formasi spesifik kebudayaan-kebudayaan dengan cirinya yang diskursif. Gagasan mengenai kekuasaan dalam karya Foucault merupakan jawaban atas persoalan bagaimana dan mengapa formasi-formasi diskursif berubah. Pandangan pengenai otonomi kebudayaan dalam kaitannya dengan koherensi internal di dalam formasi-formasi diskursif akhirnya tergusur seiring denga bergesernya penekanan menuju relasi kekuasaan sebagai sendi terpenting. Hal itu lantas menjadikan pengetahuan sebagai wahana bagi strategi, pergulatan, serta konflik demi kekuasaan. Lewat teori-teori yang dikemukakannya Foucault menyadarkan dunia bahwa bahasa sebagai wahana tidak pernah netral. Dengan katakatanya dia menggambarkan, language as a discourse is never neutral and is always laden with rules, privileging a particular group while excluding other (Foucault, 1972:216). Bahasa dalam pandangan Foucault, juga sebagai bentuk reproduksi jargon dan wacana. Praktik ini mungkin dapat disejajarkan dengan bahasanya Foucault, yaitu dengan istilah praktik-praktik diskursif bahasa. Jargon-jargon dan istilah yang telah dikemas maknanya sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemerintah, sengaja diciptakan dan dipropagandakan kepada masyarakat luas. Masih segar dalam ingatan bangsa Indonesia jargon-jargon dan wahana seperti : pemberdayaan masyarakat, penanggulangan kemiskinan, stabilitas nasional, harga dasar gabah, tata niaga, normalisasi, swasembada, pembangunan, anti pembangunan, tinggal landas, subversi, stabilitas keamanan. Jargon-jargon ini adalah sebuah reproduksi bahasa yang acapkali realitasnya berlawanan bahkan cenderung eksploitatif.
52
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Fokus penelitian ini adalah ujicoba model transformasi kebijakan agraria ditengah situasi krisis legitimasi kebijakan agraria dari perspektif Habermasian. Untuk mencapai tujuan penelitian ini konteks dari ucicobanya adalah menjelaskan gerakan-gerakan perlawanan petani terhadap berbagai kebijakan agraria. Penentuan lokasi penelitian didasarkan alasan, bahwa diantara berbagai kasus sengketa agraria di Jawa Timur kasus Malang Selatan mempunyai karakteristik tipikal, baik ditinjau dari lamanya sejarah pergolakan, intensitas dan momentum pecahnya, maupun aspek-aspek struktural misalnya organisasinya, proses advokasi, dan efek penularannya. Pengamatan dan keterlibatan yang dilakukan peneliti sejak awal terjadinya pergolakan agraria di lokasi penelitian menyimpulkan keunikan dan layak dijadikan obyek kajian akademis (a) berkecamuknya gerakan agraria di masyarakat tani
ini mempunyai akar historis yang kuat sejak rejim
kolonialisme bercokol. Pewarisan sentimen pergolakan agraria diwariskan dan dikobarkan secara sistematis melalui integrasi proses sosialisasi nilai-nilai budaya lokal (b) ada sistem pengorganisasian petani yang beragam dari desa ke desa dengan kadar integrasi yang bervarias dengan rejim pemerintahan desa (c) pada saat ini masyarakat belum berhasil mengubah format kebijakan agraria di tingkat pemerintah, tetapi sudah menguasai secara efektif terhadap seluruh aset-aset agraria, inilah yang dalam bahasa Chomsky disebut sebagai realitas “illegal but legitimate” (Chomsky, 2006:79) Dalam kacamata RK. Yin (1984:41-5) strategi studi ini termasuk dalam kategori studi kasus berganda, yang melibatkan beberapa unit kesatuan sosial dengan tema satu isu besar. Sedangkan dilihat dari strategi pendekatan yang dipergunakan penelitian ini merupakan "the actor oriented approach" (Snoijen, 1997:14). Fokus analisis penelitian demikian bukan memperlakukan informan sebagai individu tetapi sebagai aktor dimana mereka terlibat dalam proses jaringan interaktif dengan aneka struktur kekuatan yang mengitarinya di level komunitasnya serta aneka kepentingan aktor yang diterusterangkan atau disembunyikan. Oleh karena itu beberapa bagian dalam penelitian ini kelak akan mendaftar dan menampilkan semacam "mosaik" opini, persepsi dan rasionalitas yang menjadi alasan pluralitas perilaku dan motif aktor. Dalam beberapa tahap pengumpulan data peneliti terlibat dalam berbagai kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan komunitas petani, LSM pendamping, LBH. Cara demikian menurut Reason (1998 :264) termasuk
"co-operative inquiry",
yang tujuan
53
sebenarnya adalah membangun kepercayaan (trust) lebih kuat dengan responden sehingga dapat mendekati fenomena-fenomena yang diminati secara lebih otentik. Sedangkan ditinjau dari pengetahuan teoritik yang akan dihasilkan dalam penelitian ini menurut tiga pengelompokkan yang dikemukakan White dan Adam (1994:43-5) berkategori sebagai interpretive research. Penelitian demikian mempunyai karakteristik (a) memperluas pengertian tentang berbagai aktor dalam sebuah situasi sosial; (b) teori interpretive memperluas pengertian dari sebuah situasi sosial bukan hanya untuk penelitinya tetapi juga untuk yang diteliti; (c) memahami makna mengapa aktor melakukan perilaku tertentu. Mengikuti prinsip dasar dalam riset hermeunitik yang mencoba mencari katerkaitan antar jagad besar dengan bagian-bagiannya; (d) riset interpretive lebih bersifat sirkuler dibanding linear; (e) sumbangan dasar yang dicapai dari riset ini adalah memahami secara lengkap hubungan-hubungan sosial yang ada untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dengan fokus pengertian pada : norma, nilai, dan sistem keyakinan pada sebuah komunitas. Besarnya muatan analisis pada fenomena-fenomena sosial, penelitian ini juga dapat dikategorikan sebagai penelitian kualitatif yang menurut Filstead sebagai dikutip oleh Cassel dan Symon (1994:2) penelitian untuk melukiskan secara akurat, membaca dan menginterpretasikan makna-makna secara tepat dari berbagai fenomena yang terjadi dalam konteks sosial yang acapkali penuh kompleksitas. Penelitian kualitatif menurut Cassel dan Symon (1994:6) memerlukan keterampilan dari penelitinya "…the reseachers is seen as craftperson -skilled not just in the nuts and bolts of research but in his ability or her to interact with others…". Peneliti diwajibkan menelaah bukan saja pada tataran fenomena-fenomena verbal ataupun realitas yang ditemukan dalam studi kancah, tetapi juga mengungkap proses,
rasionalitas-rasionalitas lokal yang tak
sepenuhnya diungkap, tapi realitasnya dilakukan (tacid knowing). Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh para responden pada beberapa hirarki unit analisis yang dipilih, terhadap fenomena yang melingkupi atau juga tindakan dan sikap yang dipilihnya. Tujuannya agar dapat dijelaskan bagaimana responden memaknai persoalan, nilai, tatanan sosial, praktekpraktek sosial, dan konflik-konflik yang terjadi pada beberapa faset ekologi sosialnya.
3.2. Lokasi Penelitian, Informan dan Unit Analisis
Populasi penelitian ini adalah komunitas petani di lima desa yaitu Bumirejo, Tirtoyudo, Tlogosari, Simojayan, dan Kepatihan di kawasan Malang Selatan yang hingga kini secara langsung masih terlibat konflik dengan PTPN XII. Sekitar 5000 rumah tangga petani
54
terlibat dalam proses perebutan tanah dan pembabatan tanaman coklat. Dalam menentukan responden penelitian di level desa dilakukan dengan proses : (a) peneliti melakukan pelacakan singkat tentang aktor intelektual, mereka adalah aktivis pelaku yang terlibat dalam penyusunan skenario pergolakan, pendanaan, penerobos jaringan, lobyist, di tingkat komunitas. Proses ini terbantu oleh identifikasi nama-nama dari dokumen rahasia hasil interogasi yang dilakukan oleh Polres Kepanjen Malang. (b) dari nama-nama tersebut kemudian dikonfirmasikan ke beberapa tokoh untuk mengetahui akurasi hasil interogasi (c) peneliti menyeleksi beberapa nama petani di tiap desa yang masuk nominasi sesuai dengan informasi dari informan di tingkat lokal (d) peneliti mengadakan wawancara bebas dan wawancara sambil lalu dengan beberapa orang tersebut. Dalam proses ini juga dilakukan rekonfirmasi tentang nama-nama yang relevan untuk dimohon penjelasannya ihwal proses perebutan tanah. (e) mendatangi informan terpilih dan melakukan wawancara sesuai dengan tema penelitian, selama fase ini dan fase-fase selanjutnya terbuka untuk melakukan penelaahan dan rekonfirmasi dengan responden baru setelah dipertimbangken memenuhi kelayan dan memperkaya analisis. Pada tingkatan pemerintah penelitian ini juga memanfaatkan sumber informasi antara lain (a) komisi DPRD Kabupaten Malang yang membidani proses legislasi reformasi agrarian kasus perkebunan Kalibakar Malang Selatan (b) BPN Kabupaten Malang yang secara langsung memberikan fasilitasi proses implementasi kebijakan agrarian di tingkat daerah. Untuk kebutuhan ini, setidaknya dua mahasiswa program sarjana atas bimbingan peneliti juga telah diarahkan untuk membangun penelitian skripsi di BPN kabupaten Malang. Disamping itu penelti juga melakukan wawancara dengan beberapa informan, para aktor lain yang dinilai relevan untuk memperkuat bobot analisis penelitian diantaranya aktivis LBH Pos Malang, Pengacara khusus pertanahan dari LBH Surabaya Pos Malang, LSM pendamping, Ketua dan Pengurus Forum Komunikasi Tani Malang Selatan (FORKOTMAS), Tentara Veteran, mantan Bupati Malang, mantan ketua Land Reform 19641970, Pengurus Paguyuban Petani Jawa Timur (PAPANJATI), para aktor intermediari antara lain para penghubung dengan militer, birokrasi, dan seringkali menjadi perantara berhubungan dengan jajaran tmiliter, penasehat hukum Bupati Kabupaten Malang, beberapa anggota DPRD kabupaten Malang. Penentuan informan penelitian ini dibedakan menjadi empat kuadran kategori sesuai dengan pemetaan orientasi sebagai digambar dalam matrik berikut:
55
Gambar 3.1 Bentang Aktor dan Informan Penelitian Orientasi Aktor (Interkomunitas) Aktor Individual (A) Saksi Hidup Petani Pelopor Petani Umpang Karang Eksponen Politisi Lokal
Orientasi Aktor (Ekstrakomunitas) Aktor Individual © Ulama luar desa Aktor Penumpang Gelap (fence sitter) Aktor Intermediari
Jaringan Lintas Desa
Aktor Organisasi (B)
Aktor Organisasi (D)
Forum Komunikasi Tani Malang Selatan (FORKOTMAS) Panitia Perebutan Tanah Jama'ah Tahlil dan Yasinan Lokal Birokrasi dan Pemerintahan Desa DPRD Kabupaten Malang
BPN Kabupaten Malang BPN Pusat PTPN XII Surabaya Bupati Malang RACA Jakarta LBH Surabaya Pos Malang LSM Enlightenment PAPANJATI
3.3. Prosedur Pengumpulan Data Proses implementasi penelitian dibedakan menjadi beberapa tahapan penelitian formal dan tahap non formal. Pada tahap non formal terbagi menjadi beberapa tahapan penting. Pertama adalah studi pendahuluan yang telah dilakukan sejak pertengahan tahun 2008, Sampai dengan tahun 2010, peneliti terus memfasilitasi pertemuan-pertemuan konsolidasi gerakan yang diprakarsai oleh Forum Komunikasi Tani Malang Selatan (FORKOTMAS) di kampus Unmer Malang.
Studi-studi yang telah ditekuni peneliti sebenarnya adalah
memfinalkan bagian kajian epistemologis dalam penelitian ini. Riset yang diusulkan dalam proposal ini sebenarnya adalah bagian atau tahapan aksiologis, yang diberi tema model transformasi kebijakan agraria. Secera sederhana penelitian ini menurunkan level abstraksi
56
kajian menjadi sebuah aktivitas praksis sebagai digagas oleh aliran Gramscian yang kemudian dibakukan oleh Carlelian. Studi non formal kedua adalah dilakukan oleh penulis dengan melakukan penelusuran kepustakaan, hasil-hasil penelitian yang sejak awal telah direncakan, melakukan kunjungan ke RACA Jakarta, memfasilitasi pertemuan LSM-LSM pendamping petani dengan petani, memfasilitasi pertemuan organisasi FORKOTMAS untuk melakukan konsolidasi antar petani. Dalam proses proses tersebut sekaligus menjadi kesempatan untuk ujicoba pertanyaan penelitian di riset kancah sekaligus menguji keandalan dan sensitifitas pertanyaan penelitian seraya menggali masukan untuk perbaikan. Setelah perumusan instrumen selesai peneliti mengadakan rangkaian transek lebih intens ke lahan-lahan bekas lokasi babatan menemui beberapa kepala desa dengan mendatanginya, menemui beberapa orang untuk menanyakan beberapa konsep-konsep krisis legitimasi yang telah diturunkan dalam pertanyaan-pertanyaan operasional. Langkah ini sekaligus mengawali implementasi penelitian formal : menjumpai beberapa petani yang sedang menanam, memanen dan mengangkut hasil panenan., mengobrol di tengah kebun, makan bersama di tengah kebun, wawancara berkelompok. Pada tahapan ini penulis lebih banyak aktif merangsang petani yang ditemui untuk mengekspresikan cerita aneka hal seusai dengan keinginannya dan sesekali disisipi beberapa tema yang diperlukan sesuai dengan arah masalah penelitian. Pelacakan data lapang disamping dilakukan secara formal juga dilakukan dengan tersembunyi.
Dalam proses penelitian ini banyak digunakan alat bantu tape perekam, pola
rekaman dilakukan dengan dua cara : terbuka dan rahasia (hidden recording). Perekaman rahasia diterapkan untuk menggali informasi dari para aktor intermediari, para aktor penting lainnya yang tidak bersedia dimohon untuk direkam terbuka.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui beberapa kombinasi strategi. Pada tahap awal penelitian pengumpulan data dilakukan dengan melakukan (a) wawancara bebas, wawancara bebas ini dalam rangka menemukan dan mengkonfirmasi penangkapan dan rumusan masalah yang telah diajukan. Sesuai dengan topik penelitian ini, apakah benar persoalan krisis legitimasi ini menjadi persepsi luas di kalangan masyarakat. Wawancara bebas juga terus dipergunakan untuk menggali data yang diperlukan pada tahap-tahap selanjutnya. Strategi ini diharapkan mamnpu memotret berbagai fenoimena yang leboih
57
otentik dan ada di tengah masyarakat. (b) Diskusi kelompok terfokus (FGD) di kancah, langkah in dilakukan antara lain dengan mendatangi beberapa petani yang sedang menjalankan aktivitas di sawah, dai ladang. FGD ini untuk memastikan dan mengkonfirmasi beberapa hal dasar yang telah berlangsung dan menjadi persepsi umum. Pilihan setting kancah ini diperlukan untuk mengembalikan ingatan kolektif masyarakat terhadap berbagai hal yang berhubungan secara langsung dengan persoalan yang diajukan dalam penelitian ini. (c) Wawancara mendalam untuk menemukan interpretasi dari gambaran interaksi simbolik yang otentik peneliti melakukan wawancara mendalam dengan beberapa pelaku utama dan pemimpin dan elit petani yang dinilai menjadi pemrakarsa perlawanan di tiap desa amatan. Disamping itu mengadakan wawancara kancah berkelompok dengan para wanita yang juga menjadi pembabat tanaman coklat diatas tanah yang disengketakan. (d) Simulasi dan Curah Pendapat untuk Ujicoba Model.
Langkah ini adalah merupakan tahapan inti dalam
penelitian ini, dimana informan yang telah dikenali mempunyai kadar intelektual memadai ditetapkan sebagai peserta dalam proses curah pendapat untuk ujicoba model yang telah dihasilkan. Untuk meningkatkan efektivitas curah pendapat ini ditetapkan lima kali ujicoba dengan merepresentasikan tiap desa amatan. Hasil simulasi dan curah pendapat antar desa diperdantingkan dan disandingkan dalam rangka menemukan determinan model yang diajukan. Proses curah pendapat dan simulasi ini menggunakan metode PRA (participatory rural appraisal) dengan media
sebagai lazim dipergunakan dalam pemetaan sosial.
Menghadirkan sarana flip chart yang ditempeli oleh kertas kemudian masing-masing peserta dipandu untuk memberikan kritik dan model yang telah disusun adalah salah satu taktis dan strategi yang dilakukan.
3.5. Pengecekan Data dan Keabsahan Data Sebagaimana disarankan oleh Lincoln dan Guba (1985) untuk menghindari bias peneliti harus bisa melakukan empat langkah dasar dalam penelitian yaitu : credibility, transferability, dependability dan confirmability. Adapun langkah operasional untuk melakukan hal-hal tersebut dapat divisualisasikan dalam skema disertai dengan penjelasannya gambar 1.3 berikut ini.
58
Gambar 3.2. Sekuensial Pengecekan Data untuk Ujicoba dan Perbaikan Model Mantap
1) Credibility, artinya kebenaran yang ditemukan sangat meyakinkan. Peneliti mengamati kasus di ini sejak mempertoleh dana dari RUKK LIPI tahun 2000, kemudian komunikasi dan proses interaksi terus dilakukan hingga sekarang dalam berbagai bentuk kegiatan sosial, utamanya berkaitan dengan organnisasi petani FORKOTMAS. Semua ini untuk memastikan bahwa riset menjamin kredibilitas penelitian ini dilakukan melalui keterlibatan yang lebih intens. Menghabiskan waktu yang cukup melalui keterlibatan dengan proses-proses yang aktual dilakukan oleh masyarakat. Langkah ini juga untuk memastikan agar bisa lebih dalam memahami kebiasaan
memahami budaya, setting sosial, atau fenomena-fenomena yang
dipandang relevan dan menarik dengan fokus penelitian. Langkah ini memang sangat membutuhkan waktu yang tidak singkat. Mengamati berbagai kebiasaan inteaksi sosial yang berlangsung, kebiasaan berbicara, kebiasaan membangun konsensus,
59
kebiasaan konflik-konflik, dan berbagai ekspresi budaya setempat. Langkah ini juga untuk menjamin agar proses interaksi dan kepercayaan yang terbangun dapat lebih kuat. Keintiman yang kuat ini akan mencegah asumsi-asumsi yang dibangun atas egoisme dan kesadaran dangkal dari sang peneliti. 2) Transferability, Untuk memastikan langkah ini bisa diupayakan, transkripsi dari semua hasil wawancara formal maupun hasil poenyadapan akan ditampilkan dalam bentuk kutipan-kutipan wawancara di pembahasan hsil penelitian. Langkah ini agar dapat menunjukkan cara-cara keyakinan. Upaya ini dilakukan dengan sebagai bentuk deskripsi tebal (thick description), dijelaskan oleh Lincoln dan Guba (1985) sebagai cara untuk menjamin validitas eksternal. Dengan menggambarkan fenomena secara cukup rinci dapat dijadikan sandaran untuk mengevaluasi sejauh mana kesimpulan yang diambil dapat ditransfer ke waktu lain. Konsep deskripsi tebal Istilah pertama kali digunakan oleh Ryle (1949) dan kemudian oleh Geertz (1973) yang diterapkan dalam studi-studi
etnografi di Indonesia. Deskripsi tebal hanya dapat ditempuh
berdasarkan pengalaman-pengalaman lapang yang kuat serta hubungan sosial yang intens antara peneliti dengan informan. 3) Dependenability,
Proses penelitian ini disamping peneliti juga da sejumlah
mahasiswa yang tergabung untuk menjadi mitra peneliti. Beberapa bahkan telah menuangkan dalam tugas akhir sebagai bagian dari ihtiar untuk mengecek konsistensi temuan temuan.
Tujuan utama dari langkah ini adalah untuk merefleksi,
mengevaluasi akurasi, atau bahkan memastikan interpretasi dan kesimpulan telah didukung oleh data. Audit eksternal ini juga untuk membuka berbagai sanggahan yang diperlukan terhadap hasil-hasil yang telah disajikan dalam temuan penelitian. Kemungkinan ini memang tidak bisa dicegah, akan tetapi ini jauh lebih baik daripada melakukan penafsiran data dengan tanpa ditelaah dari perspektif pemeriksaan tandingan. 4) Confirmability, menjaga netralitas temuan dan hasil penelitian semata-mata memang mengedepankan temuan yang secara obyektif bersumber dari proses menggali temuan penelitian bukan dari opini atau pandangan peneliti. Lincoln dan Guba (1985), menyarankan dilakukan melalui audit jejak, triangulasi dan reflexivity. Selalu mengecek perolehan informasi dari berbagai level informan yang telah diketahui identitas dan kontaknya. Audit jejak adalah
adalah deskripsi transparan tentang
langkah-langkah penelitian yang diambil dari awal penelitian untuk mengembangkan pelaporan temuan.
Lincoln dan Guba (1985, hal 319-310) menyebutkan
60
mengembangkan sebuah audit jejak melalui berbagai langkah (a) Pemeriksaan terhadap data data mentah - termasuk catatan lapang tertulis, transkripsi penuturan yang telah dihimpun dan juga dokumen-dokumen lain yang dapat dihimpun. (b) Reduksi data, pemilahan, pemilihan, sanding, dan tanding data-data yang relevan dan tidak relevan.
5) (c) Rekonstruksi data, menyusun hirarki, hubungannya dan juga relevansinya dengan kesimpulan yang diambil termasuk kritik dan relevansinya dengan literatur yang diacu. (d) Proses catatan - termasuk proses pencatatan yang dilakukan media dan metodologi yang ditempuh dalam proses pengumpulan data yang diterapkan. Triangulasi adalah saran kedua yang dikemukakan Lincoln dan Guba (1985). Triangulasi adalah menggunakan berbagai sumber data penelitian sebagai bahan untuk mengambil kesimpulan.
Triangulasi sebagai strategi untuk memperteguh
temuan penelitian dan juga sebagai ajang untuk tes validitas temuan. Dengan cara ini diharapkan kelemahan pada satu metode dapat ditutup dan dilengkapi dengan cara atau metode lain dan sumber lain. Denzin (1978) dan Patton (1999) mengidentifikasi empat tipe triangulasi, yaitu triangulasi metode, triangulasi sumber, triangulasi analisis dan triangulasi perspektif teoritik. Triangulasi metode adalah langkah untuk memeriksa konsistensi temuan yang dihasilkan oleh metode pengumpulan data yang berbeda-beda. Triangulasi sumber adalah memeriksa konsistensi sumber data yang berbeda dari dalam metode yang sama. Triangulasi analisis menggunakan beberapa perspektif
analis untuk meninjau temuan sehingga dapat membandingkan
konsistensinya. Triangulasi
perspektif atau teori, adalah menggunakan berbagai
perspektif teori untuk memahami, dan menafsirkan data temuan. Sementara itu refleksifitas adalah keputusan sikap yang diambil oleh peneliti untuk mengkonstruksi pengetahuan yang dihasilkan dalam seluruh rangkaian penelitian, Posisi dan konteks yang dipilih oleh peneliti secara otomatis akan mempengaruhi dengan metode apa mereka menghimpun data, dari sudut mana melakukan analisis data, dan kesimpulan apa yang akan dihasilkan.
Lincoln dan Guba (1985) langkah ini dilakukan melalui : rancang bangun penelitian tidak hanya dilakukan oleh peneliti sendiri tetapi dengan melibatkan peneliti lain agar memperoleh gambaran perspektif yang berbeda, mengontrol catatan-catatan lapang seraya membubuhkan
61
berbagai perspektif nilai, suasana sosial yang terbangun saat penelitian dilangsungkan, dan mencegah kemungkinan-kemungkinan bias yang melekat dan sulit dihindar oleh peneliti.
3.6. Analisis Data
Proses analisis penelitian, data-data dibagi dalam empat kategori (a) data yang dihimpun dalam rekaman audio wawancara bebas kemudian ditranskripsikan dalam sebuah dokumen tertulis. Proses transkripsi ini peneliti dibantu oleh transkriptor yang tugasnya mendengarkan rangkaian rekaman dan kemudian menuangkan dalam tulisan. Data transkripsi ini selanjutnya dikelompokkan berdasarkan tipologi kelompok aktor sebagai responden (b) data-data yang dihimpun dari catatan lapang tatkala proses interaksi dalam sebuah forum pertemuan kelompok dilangsungkan (c) data-data dari sumber sekunder, antara lain dokumen-dokumen statemen organisasi petani, kliping berita koran lokal, dokumen usulan dan resolusi DPRD Kabupaten Malang. Data-data dalam dokumen ini dianalisis berpedoman pada alur teoritik, melakukan interpretasi, mengontrol sensitivitas subyektivitas melalui cek silang antar aktor. Kemudian disusun dalam ketegorisasi-kategori sesuai dengan pertanyaan dan tujuan penelitian. Setelah itu diperbadingkan dianalisis dan ditafsirkan untuk menentukan determinan-determinan temuan penting. Interpretasi data-data tersebut dilakukan dengan cara mengembangan penafsiran-penafsiran seraya mendiskripsikan hasil analisis untuk menjawab pertanyaan penelitian.
62
3.7. Bagan Alir Penelitian
Negara
Swasta
Kebijakan Agraria (KA)
Masy
Penyangkalan Legitimasi
PENELITIAN TELAH DILAKUKAN
Krisis Legitimasi KA
Inovasi Model Transformasi Kebijakan Agraria dalam rangka Pemulihan Legitimasi Kebj Agraria
Outcome (keadilan)
Pemihakan Pada Petani
Demokratik
PENELITIAN PHB DIUSULKAN
63
3.8. Diagram Fishbone Penelitian Tahun Pertama
64
3.9.Diagram Fishbone Tahun Kedua
65
3.10. Target dan Luaran Penelitian a. Tahun Pertama No
Tahapan
Lokasi
Luaran
1
Wawancara mendalam dan diskusi terfokus, untuk menyepakati rangkaian proses penelitian
5 Desa Lokasi Riset
Kesepakatan skenario riset partisipatif yang disetujui oleh masyarakat
2
Curah pendapat, wawancara mendalam, kodifikasi dan transkripsi seluruh data primer-sekunder, perumusan preposisi dan inovasi model transformasi kebijakan agraria
5 Desa Lokasi Riset
Data mutakhir rekaman video dan audio tentang nilainilai yang menjadi preferensi masyarakat dalamn kebijakan agraria konteks lokal
3
Pengujian inovasi model dan penetapan langkah-langkah pemantapannya di desa-desa lain obyek penelitian seraya mengembangkan perbaikan melalui kunjungan ulang dan dan rekonfirmasi serta mencari kekurangan data Penulisan model transformasi kebijakan agraria mantap yang telah teruji di semua desa lokasi penelitian Uji pemantapan model transformasi kebijakan agraria melalui forum curah pendapat panel pakar
5 Desa Lokasi Riset
Inovasi model transformasi kebijakan publik yang siap diujicoba pada spektrum desa yanbg lebih luas
Malang
Naskah akademik laporan inovasi model transformasi kebijakan publik Makalah inovasi model transformasi kebijakan publik yang siap didiskusikan dengan panel tim pakar
Perbaikan model berdasarkan masukan dari panel pakar yang telah diselenggarakan
Malang
4
5
6
Malang
Inovasi model transformasi kebijakan agraria yang telah diperbaiki dalam forum curah pendapat dengan
Indikator Capaian -penentuan tempat FGD dan simulasi -penyepakatan luaran riset dan penggunaannya untuk masyarakat -Transkripsi rekaman wawancara dan FGD -Drawing dan skema inovasi model transformasi formulasi kebijakan publik -Model inovasi transformasi kebijakan publik yang tentatif -Kritik pada inovasi model transformasi kebijakan publik -Perbaikan inovasi model transformasi kebijakan publik
-Drawing dan skema model yang telah diperbaiki -Masukan dari panel pakar -Identifikasi masukan terhadap naskah inovasi model yang telah diperbaiki berdasarkan masukan panel pakar -Naskah akademik sempurna inovasi model transformasi kebijakan publik
66
7
8
Penulisan standar operational prosedur (SOP) dan manual proses transformasi kebijakan agraria dari model mantap yang telah disempurnakan berdasarkan masukan panel pakar Perbaikan naskah final model transformasi kebijakan agraria diteruskan dengan seminar deseminasi hasil penelitian dan publikasi dalam jurnal ilmiah
Malang
Malang
panel pakar Manual dan SOP untuk proses impelementasi inovasi model transformasi kebijakan publik sektor agraria Naskah final inovasi model kebijakan agraria
-naskah manual dan SOP
-rencana dan langkah riset di tahun II -identiikasi kebutuhan baru untuk menuju perolehan PATEN
67
3.11. Tahun Kedua No
Tahapan
Lokasi
Luaran
Indikator Capaian
1
Revisi dan perbaikan manual dan SOP model serta pembenahan inovasi model transformasi kebijakan agraria
Malang
Manual dan SOP
2
Deseminasi regional dalam bentuk curah pendapat dalam bentuk panel pakar untuk memfinalisasi model Menyusun naskah publikasi dan mengirimkan dalam jurnal akreditasi nasional tentang seluruh temuan seraya mengunggah dalam portal GARUDA. Pengurusan paten dan HAKI inovasi model transformasi kebijakan agraria Penulisan naskah hasil penelitian untuk diaplikasikan dan dipresentasikan dalam forum “INTERNATIONAL CONFERENCE ALLERT”
Malang
Terlaksana Seminar Reginonal
Malang
Naskah jurnal yang telah direview oleh dua orang pakar
Nakah jurnal yang siap dikirim ke penerbit
Malang-Jakarta
Memperoleh HAKI
Malang-Singapura
Naskah jurnal diterima dalam konferensi internasional di level Asia
-mengisi aplikasi form pengajuan paten HAKI -naskah terkiri ke forum konferensi internasional di Asia -diperoleh letter of acceptance penerbitan dalam jurnal atau konferensi
3
4
5
6
Laporan akhir penelitian tahun II
-memperbaiki seluruh manual inovasi model formulasi kebijakan agraria -Hadir pakar dari UGM, Unibraw, BPN, KPA, RACA
68
BAB IV JADWAL PELAKSANAAN
B. JADWAL TAHUN KEDUA : IMPLEMENTASI SIMULASI INOVASI MODEL TRANSFORMASI KEBIJAKAN AGRARIA DALAM RANGKA PEMULIHAN KRISIS LEGITIMASI KEBIJAKAN DI WILAYAH PERKEBUNAN MALANG SELATAN Kegiatan
1 2 3
4 5
6
Revisi dan perbaikan manual dan SOP model serta pembenahan inovasi model transformasi kebijakan agraria Deseminasi regional dalam bentuk surah pendapat dalam bentuk panel pakar untuk memfinalisasi model Menyusun naskah publikasi dan mengirimkan dalam jurnal akreditasi nasional tentang seluruh temuan seraya mengunggah dalam portal GARUDA. Pengurusan paten dan HAKI inovasi model transformasi kebijakan agraria Penulisan naskah hasil penelitian untuk diaplikasikan dan dipresentasikan dalam forum “INTERNATIONAL CONFERENCE ALLERT” Laporan akhir penelitian tahun II
Selesai
Bulan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
69
Daftar Pustaka
Abdul Wahab, Solichin, 1992, Analisis Kebijakan Publik : dari Formulasi ke Implementasi Kebijkakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Abdul Wahab, Solichin, 2008, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, UMM Press Aguila, Rafael del, 1995, Crisis of Parties as Legitimacy Crisis : A View From Political Theory, Workin Paper 1995/75, presented at a Symposium on Political Parties : Changing Roles in Contemporary Democracies” Held at the Center for Advanced Study in the Social Sciences of the Juan March Institute on December 15-17, 1994. Barraclough, Solon, 1999, Land reform in Developing Countries : The Role of the State and Other Actors, Discussion Paper No. 101, June 1999 . UNRISH, Prancis. Beegle, Kathleen, Elizabeth Frankenberg, Duncan Thomas, 1999. Measuring Change in Indonesi. (Working Paper Series.99-07), Rand Corporation, Washinton. Beetham, D, 1991, The Legitimacy of Power, London, Macmillan. Biagini, Emilio, 1993, Spatial Dimension of Conflict, dalam GeoJournal, Vol. 31(2), October, Kluwer Academic Publishers, Blommaert, Jan. Mar Block, Kay McCormick,2000, Narrative Inequality and the Problem of Hearability in TRC Hearings, Working paper on Language, Power and Identity, No.8 Available at http:/BANK.RUG.AC.BE/LPI/ Bohman, James,1999, Theories, Practices and Pluralism : A Pragmatic Interpretation of Vritical Social Selence dalam, Philosophy of the Social Sceinces, Vol. 29 Number 4 December, Sage Publication, Inc.London hal.459-465. Borras Jr, Saturnino M. and Jennifer C. Franco, 2008, Democratic Land Governance and Some Policy Recommendations, United Nations, Development Programme, Oslo Governance Centre , Democratic Governance Group, Bureau for Development Policy Borras JR, Saturnino, Marc Edelman and Cristobal Kay, 2008, Transnational Agrarian Movements: Origins and Politics, Campaigns and Impact in Journal of Agrarian Change, Vol. 8 Nos. 2 and 3, April and July 2008, pp. 169–204 Blackwell Publishing Ltd Bourdieu, Pierre,2007, Penyingkapan kuasa Simbol : Apropriasi Refleksi Pemikiran Pierre Bourdieu, Juxtspose, Yogyakarta.
70
Bovaird, Tony and Elke Loffler, 2003, Public Management and Governance, Routledge, London Bruijn, Hans De, and Willemijn Dicke, 2006, Strategies for safeguarding Public Values in Liberalized Sectors, in Public Administration Journal, Vol. 84, No. 3, 2006 (717– 735), Blackwell Publishing Ltd. Oxford, UK and 350 Main Street, Burgoyne John G., 1994, Stakeholder Analysis dalam Catherine cassell and Gillian Symon, 1994, Qualitative Method in Organizational Research : A Pratical Guide, Sage Publication. Hal. 187-189 Cameron, Lisa, A.2001. The Impact of the Indonesian Financial Cricis on Children : An Analysis Using the 100 Villages Data, dalam BIES Vol. 37 No.7 CSIS, Jakarta p.43-64. Catherine Cassell and Gillian Symon,1994, Qualitative Method in Organizational Research : A Pratical Guide, Sage Publication, London. Chomsky, Noam, 2006, Failed States : The Abuse of Power and the Assault on Democracy, Metopolitan Books, New York Clark, Ian, 2003, Legitimacy in a Global Order, dalam Review of International Studies No, 29, 75–95 Copyright © British International Studies Association Cohran, Charles L., dan Eloise F. Malane, 1995, Public Polic : Perspectives and Choices (second Edition), Megraw-Hill College, USA Considine, Mark, 1996, Public Policy : A Critical Approach, Macmillan Education Australia PTY, Ltd, Australia. Cook, Deborah, 2003, Legitimacy and Political Violence : A Habermasian Perspective, dalam Social Justice, Vo. 30, 3 Proquest Research Library. De Leon, Peter,1998, Moldels of Policy Discourse : Insight versus Prediction dalam Policy Studies Journal Vol 26, No. 1 p. 147-161. Dianto Bachriadi (2007) Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala Pemerintahan SBY, paper untuk bahan diskusi dalam Pertemuan Organisasiorganisasi Rakyat se-Jawa di Magelang, 6-7 Juni 2007. Tulisan yang sama pernah disampaikan dalam diskusi di Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UniB), Bengkulu, 2 Juni 2007, dan beberapa pertemuan/diskusi lainnya di Indonesia Dobuzinskis, Laurent, 1992, Modernist and Postmodernist Metapohors of the Policy Process:Control and Stability vs. Chaos and Reflective Understanding, dalam Policy Sciences,Vol.25.Kluwer Academic Publisher,The Netherlands.p.355-380
71
Doner, Peter, 1999, Technology and Globalization: Modern-Era Constraints on Local Initiatives for Land Reform, UNRISD Discussion Paper No. 100, June 1999 Dowding, Keith, 1995, Model or Metaphor? A Critical Review of the Policy Network, Political Studies XLIII, 136-158. Dryzek, John S, 2002, A. Post-Positivist Policy-Analysis Travelogue dalam The Good Society, Volume 11, No. 1, 2002 p.33. Dryzek, John S., 2002, A Post-Positivist Policy-Analytic Travelogue dalam The Good Society, Volume 11, No. 1, 2002 p. 33; dan Frank Nullmeier, 2006, The Cognitive Turn in public Policy Analysis GFORS Working Paper No. 4 November 2006 Bremen. Dryzek, John, 2002, Deliberative Democracy and Beyond : Liberals, Critics, Contestation, Oxford University Press, Oxford Edy Suhardono, 2000, Good Governance dan (versus) Demokrasi Liberal, makalah disampaikan dalam seminar (nasional) sehari bertema "Mewujudkan Good Governance sebagai Agenda Sebuah negara Demokrasi", Forum LS DIY Etzioni, Eva-Halevy, 1993, The Elite Connection : Problems and Potential of Western Democracy, Polity Press, Gambrige. Fauzi, Noer, 1997, Anatomi Politik Agraria Orde Baru, dalam Noer Fauzi (peny), 1997, Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Fauzi, Noer, 1997, Anatomi Politik Agraria Orde Baru, dalam Noer Fauzi (peny), 1997, Tanah dan Pembangunan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta p. 120-1. Fisher, Frank, 1993, The Argumentative Turn in Policy Analysis and Planning, Duke University Press. Forester, John, 1995, Judgment and the Cultivation of Appreciation in Policy Making dalam Margaret Blunder and Malcolm Bando (ed), 1995, Rethinking Public Policy Making : Questioning Assumptions, Challenging Belief (Essays in honour of Sir Geoffrey Vickers on His Centenary), Sage Publication. London. Fox, Gharles J. And Hugh T. Miller.1995, Postmodernis Public Administration : Toward Discourse, Sage Publication, USA. Fox, Jonathan. (Ed.) (1990). The Challenge of Rural Democratisation: Perspectives from Latin America and the Philippines. London: Frank Cass. Frederickson H. George, 1999, The Repositioning of American Public Administration, Political, American Political Science Association, available at APSANET
72
Frederickson, H. George, 1990, Public Administration and Social Equity, dalam Public Administration Review, Vol. 50. No. 2 (Mar-Apr), Blackwell Publishing pp. 228237. Frederickson, H. George, 1999, The Spirit of Public Administration, Jossey-Bass Publisher, San Francisco. Frederickson, H. George, 2010, Social Equity and Public Administration Origins, Developments, and Applications, M.E.Sharpe, Armonk, New York, London, England Fukuyama, Francis, 1999, Social Capital and Civil Society, Paper for delivery at the IMF Conference on Second Generations Reforms, The Institute of Public Policy, George Mason University. Available at http//www.imf.com. hal.4-5. Fukuyama, Francis, 1999. Second Thought : The Last Man In a Battle, The National Interest- Summer, George Mason University Pres. US. Fukuyama, Francis, 2004, State-Building: Governance and Century, Cornell University Pres, Ithaca, NY:
World Order in the 21st
Fukuyama, Francis,1999, The Great Disruption : Human Nature and the Reconstitution of Social Order, Free Press, New York, NY. Gilley, Bruce, 2006, The Meaning and Measurement of State Legitimacy : Results for 72 Countries, European Journal of Political Research, No. 45: 499-525, Gramsci, Antonio, 1999, Restructuring Hegemony and the Changing Discource of Development terj. Cholish, Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Grindle, Merilee S, 2007, Going Local, Princeton University Press, United States of America. Grindle, Merilee S. dan John W. Thomas, 1991, Public Choices and Policy Change : The political Economy of in Developing Countries, Grindle, Merilee S., 1999, In Quest of the Political: The Political Economy of Development Policy Making dalam CID Working Paper No. 17 June, Fellows of Harvard College Habermas, Jurgen, 1980, Legitimation Cricis, terjemahan Thomas Mc. Carthy, Hainemann Educational Books, Ltd,, London. Habermas, Jurgen, 1983, Law and Morality (Translated by Kenneth Baynes)The Tanner Lectures on Human Values, Delivered at Harvard University October 1 and 2,
73
1986 Habermas, Jurgen, (1983), Law and Morality (Translated by Kenneth Baynes)The Tanner Lectures on Human Values, Delivered at Harvard University October 1 and 2, 1986 Habermas, Jurgen, 1996, Between Fact and Norm : Contribution to Discourse Theory of Law and Democracy, translate by William Rehg, MIT Press Cambridge, Massachusetts. Habermas, Jurgen, 2004, Legitimation Cricis, terjemahan Krisis Legitimasi, Qalam. Yogyakarta. Hancock, Graham, 2005, Lords of Poverty : The Power, Prestige and Corruption of the International Aid Business, terj oleh Yos Suprapto, Dewa-Dewa Pencipta Kemiskinan : Kekuasaan, Prestise dan Korupsi Bisnis Bantuan Internasional, CidelarasPustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta. Hansen, Jen Blom, 1997, A New Institutional Persepective on Policy Networks, dalam Public Adminitration Vol. 75 Winter (669-693). Hart, Gillian, 1986, Power, labor and Livelihood : Processes of Change in Rural Java, University of California Press, London. Haryatmoko, 2002, Kekuasaan Melahirkan anti Kekuasaan : Menelanjangi Mekanisme dan Teknik Kekuasaan bersama Foucault dalam Basis No. 01-02 Tahun 51 JanuariFebruari, 2002. Hastings, Annette, 1998, Connecting Linguistic Structures and Social Practices : a Discursive Approach to Social Folicy Analysis dalam Journal Social Policy, Vol. 27, No. 1, p.191-121. Hefner, Robert W. (eds), 1998, Democratic Civility : The History and Cross-Cultural Possibility of a Modern Political Ideal, Transaction Publishers, New Brunswick (USA). Heidenheimer, Arnold J., Hugh Heclo dan Carolyn Teich Adam, 1990, Comparative Public Policy : The Polities of Social Choice in America, Europe and Japan (Third Edition), ST. Martin‟s Press, New York. Hoffman, John, 1995, Beyond the State, Polity Press, Cambridge, UK. Hogwood, Brian W. dan Lewis A. Gunn, 1984, Policy Analysis for the Real World, Oxford University Press. Howlett, Michael and M. Romesh, 1995, Studying Public Policy : Policy Cycles and Policy Subsistem, Oxford University Press.
74
Hunter, Jeff dan Anwar Shah, 2000, Applying a Simple Measure of Good Governance to the Debate on Fiscal decentralization, Indek Good Governance, World Bank Report Hurrelmann, Achim, Zuzana Krelllaluhova, Rolan Lhotta, Frank Nullmeier, Steffen Schneider, 2005, The Democratic Nation : Erosion of Transformation of Legitimacy, dalam European Review, Vol. 13, Supp. No. 1, 119–137 (2005) © Academia Europaea, Printed in the United Kingdom Ian Clark, (2003), Legitimacy in a Global Order, dalam Review of International Studies (2003), 29, 75–95 Copyright © British International Studies Association Ian Shaphiro, 2003, The State of Democratic Theory, Princeton University Press, New Jersey USA Indonesia Human Development Report, 2001, Toward a New Consensus: Democracy and Human Development in Indonesia, Jeff Vail, 2004, A Theory of Power available at www.iuniverse.com. USA Jones, Charies O, 1984, An Introduction to the Study of Public Policy, Brooks/Cole Publishing Company, Monterey California. Kickert, Walter J.M., Eric-Hans Klijn dan Joop F.M. Koppenjan, (ed), 1999, Managing Complex Networks : Strategies for the Public Sector, Sage Publication, London. King, Cheryl Simrell dan Camila Stivers, 1998, dalam bukunya, Governance is US: Public Administration in an Anti Governance Era, Sage Publication Klijn, Erik-Hans,1996, Analyzing and managing Policy Process in Complex Networks : A Theoritical Examination of the Conceprt Policy Network and Its Problem, dalam Administration & Society Vol. 28 No. 1 May, 1996 Sage Publication. Page 90-119. Lamb, Robert D. 2005, Measuring Legitimacy in Weak States, This paper was submitted to the Graduate Student Conference on Security Georgetown University, CISSM School of Public Policy , University of Maryland College Park. Lamb, Robert D., 2005, Measuring Legitimacy in Weak States, Paper was submitted to the Graduate Student Conference on Security Georgetown University (18 March 2005) Lawang, Robert MZ, 2010, dalam http://www. kekal-indonesia.org/index.php?option=com content&task=view&id=66&Itemid=84 Matti, Simon, 2009, Exploring Public Policy Legitimacy : A Study of Belief –System Correspondence in Swedish Environment Policy, (Disertation), Lulea University of Technology, Lulea Univesrsity Press
75
May, Peter J, 1998, Fostering Policy Learning : A Challenge for Public Administration, Center for Study of American Politics and Public Policy, University of Washington, USA Migdal, Joel S, 2001, State-in-Society: Studying How States and Societies Transform and Constitute One Another, New York: Cambridge University Press. Moustakas,Clark,1993, Heuristic Research : Design, Methodology, and Application, Sage Publication, New Delhi. Mullmeier, Frank, 2006, The Cognitive Turn in Public Policy Analysis GFORS Working Paper No. 4 November 2006 Bremen. Neill, John O, 2002, The Rethoric of Deliberation : Some Problems in Kantian Theory of Deliberative Democracy, dalam Res-Publica 8:249-268, 2002, Kluwer law International the Netherlands Noer Fauzi, 2000, Budaya Menyangkal : Konsep dan Praktek Politik Hukum Agraria yang Menyangkal Kenyataan Hak-Hak Masyarakat, dalam JurnalIlmu Sosial Transformatif WACANA, Edisi 6 tahun II 2000, Insist Press, Hal. 106 dan 108-109 Paul R. Carlile, 2002, Transferring, Translating and Transforming: An Integrative Framework for Managing Knowledge across Boundaries, Sloan School of Management Massachusetts Institute of Technology, Cambridge Pepper, David, 1993, Eco-Socialism : From Deep Ecology to Social Justice, Routledge, London. Polanyi, Karl, Conrad M. Arensberg dan Harry W. Pearson (ed) 1971, Trade and Market in the Earl Empires : Economies in History and Theory Utamanya Chapter XIII. Pratikno and Cornelis La, 1999, Komnas Ham dan Ham di bawah Rejim Otoritarian, dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP) Vol.2 Nomor 3 (Maret), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta p.1-20. Putnam, Robert, D, 1993, Making Democracy Work : Civic Traditions in Modern Italy, Princention University Pres, Princenton, New Jersey. Putnam, Robert, D, 1995, Bowling Alone : America‟s Declining Social Capital, dalam Journal of Democracy no. 6 : 1, January, 1995 p.65-78. Rainey, Hal G., 1997, Understanding and Managing Public Organizations, Jossey-Bass Publicshers, (Second Edition) San Francisco. Ritzer, Geoge, 1992, Sociological Theory (Third Edition), McGraw-Hill,USA
76
Robert D. Lamb, 2005, Measuring Legitimacy in Weak States, This paper was submitted to the Graduate Student Conference on Security Georgetown University, CISSM School of Public Policy , University of Maryland College Park. Robert W.Porter dan Irvin Hicks,1999 dalam artikelnya Knowledge Utilization and the Process of Policy Formation, dalam http://www.info.usaid.gov/regions/ afr/hhraa/knowledge/utilization.htm Roberts, Nancy C. dan Paula J. King, 1996, Transforming Public Policy : Dynamics of Policy Entrepreneurship and Innovation, Jossey-Bass Publisher, San Francisco. Roberts, Nancy C. dan Paula J. King, 1996, Transforming Public Policy : Dynamics of Policy Entreprenurship and Innovation. Ruwiastuti, Maria R., 1998, Menunju Pluralisme Hukum Agraria (Analisa dan Kritik terhadap Marginalisasi Posisi Hukum-hukum dan Hak-hak Adat Penduduk Asli atas Tanah dan Sumber-sumber Agraria oleh Pembuat Undang-undang Pokok Agraria (UUPA 1960) , Kertas Posisi KPA (Position Paper) No. 006/1998, KPA, Jakarta Sabatier, Paul A. dan Hank C. Jenkins-Smith, (ed), 1993, Policy Change and Learning : An Advocacy Coalition Approach, Westiew Press, Cantral Avenue, Boulder,Colorado. Safitri, Myrna A dan Tristam Moeliono (Penyunting), 2010, Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia. HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV – Jakarta, 2010. Sandström , Annica, 2008, Policy Networks: The relation between structure and performance, Luleå University of Technology, Department of Business Administration and Social Sciences Division of Political science 2008:25 Saturnino M. Borras Jr. and Jennifer C. Franco, 2008, Democratic Land Governance and Some Policy Recommendations, UNDP, Oslo Saturnino M. Borras Jr. and Jennifer C. Franco, 2008, Democratic Land Governance and Some Policy Recommendations, UNDP, Oslo hal 4-8 Schumpeter, Joseph A 1976, Capitalism, Socialism and Democracy, Harper Torchbooks, New York Schumpeter, Joseph A, 1975, Capitalism, Socialism and Democracy, Harper Torchbooks, George Allen & Urwin, USA, New York, N.Y, 10022. Scott, James C, 1981, Moral Ekonomi Petani, LP3ES, Jakarta.
77
Scott, James C, 1982, Weapons of Weak, Everyday Forms of Resistance, Yale University Press. Sen, Amarta, 2000, Development as Freedom, Anchor Book, Inc. New York. Shaphiro, Ian, 2003, The State of Democratic Theory, Princeton University Press, New Jersey USA Simanjuntak, Marsilam, 1997, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945, Pustaka Grafiti, Jakarta. Smith, James P, Duncan Thomas, Elizabeth Frankenberg, Kathleen Beegle, Graciela Teruel, 2000, Wages, Employment and Economic Shocks : Evidence from Indonesia. (Preliminary Result of Indonesia Family Life Survey-IFLS), Rand Corporation, Washington. Spicer, Michael W.1993, On Frederich Hayek and Public Adinistration : A Argumen for Discretion Within Rules, dalam Administration and Society, Vol. 25 No. 1 May, Sage Publication. Stone, Deborah, 1997, Policy Paradox : The Art of Political Decision Making, W.W. Norton & Company Inc, New York. Sukardi, 2002, Policygraphy: Kerangka analisis proses kebijakan dari perspektif non-Negara dalam Jurnal : Jurnal Ilmu Sosial dan Politik 2002, VI(1), FISIPOL UGM Yogyakarta Sukardi, 2004, Policygraphy : Analisis Proses Kebijakan dari Perspektif Non-Negara, dalam Purwo Santoso, Hasrul Hanif, Rachmad Gustomy, (ed) 2004, Menembus Ortodoksi Kejian Kebijakan Publik, FISIPOL UGM, Yogyakarta Talbot, Colin, 2008, Measuring Public Value : A competing values approach , A paper for The Work Foundation Herbert Simon Institute, Manchester Business School Thoha, Miftah, 2000, Peran Ilmu Administrasi Publik dalam Mewujudkan Tata Kepemerintahan yang Baik, Orasi Ilmiah, Disampaikan pada pembukaan Kuliah PPS UGM tahun Akademik 2000/2001, 4 Septemb`er 2000, hal. 3 Toft, Monica Duffy, 2003, The Geography of Ethnic Violence : Identity, Interest, and The Indivisibility of Territory, Princeton University Press, New Jersey. Wahyudi, 2005, Formasi dan Struktur Gerakan Sosial Petani. UMM Press Weatherford, M. Stephen, 1992, Measuring Political Legitimacy, dalam American Political Science Review, Vol. 86, No. 1. Mach, Proquest Research Library, pg 149-166
78
Wilson, James Q., 1993, The Moral Sense, Free Press Paperback, New York Winoto, Joyo, 2009, Taking Land Policy and Administration in Indonesia to the Next Stage and National Land Agency‟s Strategic Plan, paper Presented at Workshop In International Federation of Surveyors` Forum, Washington DC.
79
REKAPITULASI ANGGARAN PENELITIAN
No 1 2 3 4 5 4
Jenis Pengeluaran Gaji dan Upah Bahan Habis Pakai Peralatan Perjalanan Ujicoba dan Publikasi Laporan
Biaya Yang Diusulkan Tahun I Tahun II Rp. 8.880.000 Rp. 8.880.000 Rp. 3.540.000 Rp. 5.040.000 Rp. 3.400.000 Rp. 3.400.000 Rp. 8.500.000 Rp. 10.400.000 Rp. 25.050.000 Rp. 21.450.000 Rp. 1.000.000 Rp. 1.000.000 Rp. 50.370.000
Rp. 50.170.000
80
Lampiran 1 I.
JUSTIFIKASI ANGGARAN TAHUN I 1. Honorarium Peneliti Tim Peneliti 1. Ketua 2. Anggota 3. Pembantu Sub Total
Jumlah Minggu/ Bulan Jam/ Orang Bulan Kerja Minggu 1 1 3
2. Peralatan Keterangan Sewa Tempat utk FGD dan Curpat Sewa LCD Operator LCD Sub Total
4 4 4
10 10 10
12 10 8
Trp Rp/ Jam 8.500 4.000 2.500
Jumlah (Rp) 4.080.000 2.400.000 2.400.000 Rp. 8.880.000
Tarif 400.000 350.000 100.000
Hari 4 4 4
Jumlah (Rp) 1.600.000 1.400.000 400.000 Rp. 3.400.000
Unit
Harga Satuan
8 Rim 2 Buah 80 Buah 30 Buah 30 Buah 2 Buah 1 Dos
350.000 300.000 3.000 10.000 11.000 150.000 90.000
280.000 600.000 240.000 300.000 330.000 300.000 90.000 2.140.000
8 Roll 4 Hari 1 Set
50.000 150.000 400.000
400.000 600.000 400.000 1.400.000 Rp. 3.540.000
3. Bahan Habis Pakai (Material) Keterangan 1. ATK Kertas HVS Tinta Printer Epson Ballpoint Ordner Stopmap Flash Disk CD 2. Penunjang Film Negative & Proses 8 Roll Sewa Handycam CD Film Handycam Sub Total 4. Perjalanan, Akomodasi dan Opersionalisasi Penelitian Jumlah Jumlah Harga Keterangan Orang Hari Satuan 1. Pengurusan undangan panel pakar ke Surabaya 2 2 200.000 (Provinsi) 2. Pengurusan undangan panel pakar Malang dan 2 2 50.000 Juga BPN 3. Transportasi dan 5 15 75.000 Akomodasi ke Lokasi
Jumlah (Rp)
Jumlah (Rp) 800.000
200.000 7.500.000
81
Penelitian Sub Total
Rp. 8.500.000
5. Pembuatan Rancangan dan Ujicoba Inovasi Model Transformasi Kebijakan Agraria Jumlah Jumlah Harga Keterangan Jumlah (Rp) Unit Hari Satuan 1. Curah Pendapat Rancangan Model dg 1.600.000 Masyarakat 2. Pembantu Peneliti 2 30 50.000 3.000.000 3. Panel Pakar Nasional 4 1 2.000.000 8.000000 4. Transkriptor Rekaman 4 20 100.000 6.000.000 5. Analisis Data dan 5.000.000 Perancangan Model 6. Revisi Rancangan 1.000.000 7. Fotocopy Bahan Diskusi 150 20 Org 150 450.000 Sub Total Rp. 25.050.000 6. Laporan Keterangan Cetak dan Penggandaan Laporan Sub Total Total Anggaran Tahap I Tahun Pertama
Unit 20 Exp
Harga Satuan 50.000
Jumlah (Rp) 1.000.000 Rp. 1.000.000 Rp. 50.370.000
82
II. JUSTIFIKASI ANGGARAN TAHUN II 1. Honorarium Peneliti Tim Peneliti 1. Ketua 2. Anggota 3. Pembantu Sub Total
Jumlah Minggu/ Bulan Jam/ Orang Bulan Kerja Minggu 1 1 3
2. Peralatan Keterangan Sewa Tempat utk Deseminasi Sewa LCD Operator LCD Sub Total
4 4 4
10 10 10
12 10 8
Trp Rp/ Jam 8.500 4.000 2.500
Jumlah (Rp) 4.080.000 2.400.000 2.400.000 Rp. 8.880.000
Tarif 400.000 350.000 100.000
Hari 4 4 4
Jumlah (Rp) 1.600.000 1.400.000 400.000 Rp. 3.400.000
Unit
Harga Satuan
8 Rim 2 Buah 80 Buah 30 Buah 30 Buah 2 Buah 1 Dos
350.000 300.000 3.000 10.000 11.000 150.000 90.000
280.000 600.000 240.000 300.000 330.000 300.000 90.000 2.140.000
2. Penunjang Film Negative & Proses 8 Roll Sewa Handycam CD Film Handycam
8 Roll 4 Hari 1 Set
50.000 150.000 400.000
400.000 600.000 400.000 1.400.000
3. Pelaksanaan Deseminasi Pengandaan Bahan Deseminasi
8 Roll
50.000
1.500.000
3. Bahan Habis Pakai (Material) Keterangan 1. ATK Kertas HVS Tinta Printer Epson Ballpoint Ordner Stopmap Flash Disk CD
Sub Total
4. Perjalanan, Akomodasi dan Operasionalisasi Penelitian
Jumlah (Rp)
Rp. 5.040.000
83
Keterangan 1. Pengurusan Paten 2. Deseminasi Regional 3. Transportasi dan Akomodasi Narasumber Lokal Sub Total
Jumlah Jumlah Orang Hari 2 2 30 2 10
2
Harga Satuan 100.000 100.000 200.000
Jumlah (Rp) 400.000 6.000.000 4.000.000 Rp. 10.400.000
5. Sosialisasi Model Valid dan Internship Penyusunan Publikasi Nasional dan Internasional Jumlah Jumlah Harga Keterangan Jumlah (Rp) Unit Hari Satuan 1. Sosialisasi inovasi model 1.600.000 dg Dinas Terkait 2. Pembantu Peneliti 2 30 50.000 3.000.000 3. Pemandu Dinas Terkait 4 20 100.000 6.000.000 4. Fotocopy Bahan 150 hl 60 Org 150 1.350.000 Sosialisasi 5. Penyusunan Naskah 2.500.000 Publikasi 6. Translate Naskah Publikasi untuk Jurnal 1.500.000 Internasional 7. Pengurusan Paten dan 3.000.000 HAKI 8. Perbaikan Penyusunan SOP dan Manual Inovasi 2.500.000 Model Transformasi Kebijakan Agraria Lokal Sub Total Rp. 21.450.000 6. Laporan Keterangan Cetak dan Penggandaan Laporan Sub Total Total Anggaran Tahap II Tahun Kedua
Unit 20 Exp
Harga Satuan 50.000
Jumlah (Rp) 1.000.000 Rp. 1.000.000 Rp. 50.170.000
84
CURRICULUM VITAE Nama NIP/NIK NIDN Tempat dan Tanggal Lahir Jenis Kelamin Status Perkawinan Agama Golongan/ Pangkat Jabatan Funsional Akademik Perguruan Tinggi Alamat Telp/ Faks Alamat Rumah Telp/ Faks Alamat e-mail
: : : : : : : : : : : : : : :
IDENTITAS DIRI
Drs. Sukardi, MS.i 666/ FS 0714016502 Tulungagung 14 Januari 1965 Pria Kawin Islam III-d/ Penata Tk I Lektor Universitas Merdeka Malang Jl. Terusan Raya Dieng No. 62-64 Malang 0341 568395 /0341 564994 Jl. Danau Bratan Timur IV C-12 Malang 0341 710369
[email protected] ;
[email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI Tahun Lulus 1990 2004 2008Sewkarang
Program Pendidikan Sarjana Magister Program Doktor
Perguruan Tinggi Universitas Brawijaya Universitas Gadjah Mada FIA Unibraw
Jurusan/ Program Studi Administrasi Negara Administrasi Negara Administrasi Negara
PELATIHAN PROFESIONAL Tahun 1989 1994
Jenis Pelatihan (Dalam/Luar Negeri) Penataran AMDAL A International Workshop Localized Treatment And Recycling of Domestic Wastewater
1994
Workshop on Research Methodology
1994
(Dalam Negeri)
Penyelenggara Walhi-KLH Jakarta The International Workshop Held by The Remote Area Development Group Institute for Environmental Science Murdoch University, di kota Perth, West Australia Kerjasama Universitas Merdeka Malang dengan
Jangka Waktu 1 bulan 1 bulan
5 hari
University of Western Australia_Perth
Pelatihan Metodologi Penelitian Kualitatif Kerjasama antara dalam Rangkaian Proyek Penelitian Universitas Brawijaya
1 bulan
85
1995 1996 2004
2006
Interdisipliner INRES-Project (Interdisciplinary Research) pada Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya Malang.. Pelatihan Metodologi Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah (Dalam Negeri) Partisipasi Masyarakat dalam Pengolahan Limbah Rumah Tangga dan Limbah Cair di Kotamadya Malang Asistensi dan Supervisi Penyusunan Proposal Penelitian yang Didanai DP3M, Ditjen Dikti Depdiknas (Dalam Negeri) Asistensi dan Supervisi Penyusunan Proposal Penelitian yang Didanai DP3M, Ditjen Dikti Depdiknas (Dalam Negeri)
dengan Wageningen Agriculture University, Leiden University dibawah otoritas NUFFICS Belanda Universitas Merdeka Malang AUSAID-Murdoch University West Australia _ Unmer Malang Lembaga Penelitian Universitas Merdeka Malang Lembaga Penelitian Universitas Merdeka Malang
5 hari 3 bulan 3 hari
5 hari
PENGALAMAN MENGAJAR Mata Kuliah Perencanaan Anggaran Daerah Managemen Strategis Metode Penelitian Administrasi Negara Teori Administrasi Negara Perencanaan Regional
Program Institusi/Jurusan/Program Sem/Tahun Pendidikan Studi Akademik S-1 FISIP Sem. Genap 2007/2008 S-1 FISIP Sem. Genap 2007/2008 S-1 FISIP Sem. Genap 2007/2008 S-2 FISIP Sem. Genap 2007/2008 S-2 FISIP Sem. Ganjil 2008/2009
PRODUK BAHAN AJAR Mata Kuliah Perencanaan Anggaran Daerah Managemen Strategis Metode Penelitian Administrasi Negara Teori Administrasi Negara Perencanaan Regional
Program Jenis Bahan Ajar (Cetak Sem/Tahun Pendidikan dan Non Cetak) Akademik S-1 Handout Non Cetak/Softcopy Sem. Genap 2008/2009 S-1 Handout Non Cetak/Softcopy Sem. Genap 2009/2010 S-1 Handout Non Cetak/Softcopy Sem. Genap 2007/2008 S-2 Handout Non Cetak/Softcopy Sem. Ganjil 2008/2009 S-2 Handout Non Cetak/Softcopy Sem. Ganjil 2008/2009
86
PENGALAMAN PENELITIAN Tahun 1995 1995 1996 1996
1997 1998
Judul Penelitian
Ketua/Anggota Tim Manajemen Perguruan Tinggi di Indonesia Anggota (Studi Kasus 45 PTN dan PTS di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali) Sistem Pemagangan pada Industri Pengolahan Anggota di Indonesia (Studi Kasus di Bandung, Kalimantan Timur dan Surabaya) Kualitas Pendidikan Tinggi di Indonesia (Studi Anggota Kasus pada 48 PTN dan PTS di Jawa dan Bali) Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Anggota Sumberdaya Manusia dalam rangka Peningkatan pendapatan masyarakat Serta Pelestarian Lingkungan pada Masyarakat di Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Jawa Timur Studi Kompetisi Sektoral dan Strategi Anggota Pengembangan Tenaga Kerja Sektor Pariwisata di Indonesia Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan Anggota Usaha Sub Sektor Industri Kecil dan Menengah di Indonesia (Studi kasus 224 Industri kecil dan Menengah di Jawa Tengah dan Jawa Timur Indonesia)
Sumber dana University of Merdeka Malang Kantor Depnaker RI-Unmer Malang UNESCOUniversitas Merdeka Malang Bappeda Kabupaten Malang
Kantor Depnaker RI- Unmer Malang Kantor Depnaker RI- Unmer Malang
1997-1998
Pengembangan Model pendampingan dan Anggota Pelatihan bagi Perajin Industri Rumah Tangga Kerajinan Gerabah di Desa Banyumulek Kecamatan Kediri Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (TAHUN I )
Penelitian Hibah Bersaing Dirjen Dikti 2 tahun (multi years)
1998-1999
Ujicoba dan Pemantapan Model Pendampingan Serta Implementasi pelatihan bagi Perajin Industri Rumah Tangga Kerajinan Gerabah di Desa Banyumulek, Kec. Kediri, Kab. Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (TAHUN II) Analisis Pemberdayaan Masyarakat Melalui Produk Unggulan Daerah di Kabupaten Tulungagung Pengembangan Model Pembinaan dan Pelatihan Industri Rumah Tangga Melalui Inkubasi Bisnis Usaha pada Kelompok Perajin Mutiara di Desa Sekarbela, Kecamatan Ampenan, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (TAHUN I) Implementasi dan Pemantapan Model
Anggota
Penelitian Hibah Bersaing Dirjen Dikti (multi years)
Anggota
Bappeda Dati I Jawa Timur
Ketua
Penelitian Hibah Bersaing Dirjen Dikti (multi years)
Ketua
Penelitian Hibah
1999/2000
1999/2000
2000/2001
87 Pembinaan dan Pelatihan Industri Rumah Tangga Melalui Inkubasi Bisnis Usaha pada Kelompok Perajin Mutiara di Desa Sekarbela, Kabupaten Lombok Timur Nusa Tenggara Barat (TAHUN II) Desember Implementation of Formulation for Fisheries Anggota 1999 – Management Towards Community Based Maret 2000 Coastal Resources Managemen Plan ThroughCommunity Base Fisheries Management in Muncar, East Java
April 1999 – Agustus 1999
Sosialisasi dan Penataan Sentra Industri Anggota Rumah Tangga di Kotamadya Malang
Juni 1999 – Desember 1999
Evaluasi Pengembangan Sawojajar
Oktober 1999 – sekarang
Pemukiman
di Anggota
Pemberdayaan Ekonomi daerah Melalui Pengembangan Teknologi Kemasan dan Aplikasi Teknologi tepat Guna pada Perajin Kripik Tempe dan Bubut di Dati II Kabupaten Ngawi Desember Analisis Pemberdayaan Industri Kecil Melalui 1999 - Pelatihan dan Hibah Teknologi Pemisah Maret 2000 Serabut Kelapa pada Kelompok Perajin Serabut Kelapa di Daerah Tingkat II Kabupaten Tulungagung 2000 -2002 Pengembangan Model Pembinaan Sektor Informal Perkotaan Melalui Inkubator Singgah Ex-Situ pada Para Pedagang Kaki Lima Penjaja Jajan dan Minuman di Kotamadya Malang (TAHUN I) 1999 - 2002 PARAMETER SOSIAL-POLITIK RESOLUSI KONFLIK PERTANAHAN MELALUI POLICY NETWORK DAN ADVOCACY COALITIONS FRAMEWORK (Analisis Diagnosa Kasus Pergolakan Petani Melawan Hegemoni Negara di Kawasan PTPN XII Kalibakar Malang Selatan) 2002-2004
2006-
Ketua
Bersaing Dirjen Dikti (multi years) (sedang berjalan)
Kantor Departemen Pertanian Cq. Dinas Perikanan Jawa Timur dan ADB Loan NOS. 1570/1571 (SF) – INO Bappeda Dati II Kotamadya Malang Pusat Studi Lingkungan lembaga Penelitian Unmer Malang Bappeda Dati I Jawa Timur Unmer Malang
Anggota
Bappeda Dati I Jawa Timur – Unmer Malang
Anggota
Penelitian Hibah Bersaing Dirjen Dikti (multi years)
Anggota
Riset Unggulan Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (RUKK) disponsori oleh LIPI Jakarta 1999 sampai sekarang (3 Tahun) Riset Unggulan Kemasyarakatan dan Kemanusiaan (RUKK) disponsori oleh LIPI Jakarta 2002-2004
AKUISISI MODAL SOSIAL DAN KRISIS Ketua SUBSISTENSI KOLEKTIF (Analisis Ethnogovernance, Pemuliaan Modal Sosial pada Lembaga Pegamba’ dan Ngadim dalam rangka Proses Pertahanan Subsistensi pada Komunitas Nelayan Miskin di Pantai Muncar Jawa Timur UJICOBA UTILISASI MODAL SOSIAL DALAM Ketua
Penelitian
Hibah
88 2007
PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM PROSES LELANG AMAL PADA EMPAT ASOSIASI LOKAL di DESA KROMASAN, KECAMATAN NGUNUT, KABUPATEN TULUNGAGUNG
Bersaing XV
KARYA ILMIAH A. Buku/Bab Buku/Jurnal Tahun Judul 3 September, Pembangunan Berkelanjutan : Konservasi versus 1993 Subsistensi July, 1994 Menuju Perguruan Tinggi yang Efesien (Buku 222 halaman)
No. 23 June 1994
Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
11-13, January, 1995
Pembangunan Berkelanjutan : Mengatasi Persoalan Eksploitasi Lingkungan Melalui Pendekatan Participatoris
29 August, 1995 2 September, 1995 5 September, 1995 November 1995
Aktualisasi Nilai-Nilai Nasionalisme Masa Depan
27-29 August, 1997
Ramai-Ramai Mengadili Pramoedya Ananta Toer Jenggawah dan politik Ekonomi Petani Panduan dan Petunjuk Praktis Analisis Sosial Menggunakan Paket Program Komputer KWALITAN Condition of Indonesian Higher Education Approaching Globalization (Several Findings of Research)
No. 34, 1998
Merenda Demokrasi
September,
Membangun Daya Saing Bangsa Melalui
Penerbit/Jurnal Artikel OPINI di Harian Surabaya Post Buku Proseding Hasil Seminar Nasional di Unmer Malang Kerjasama Unmer Malang-UNESCO Jakarta Journal SCIENCE Diterbitkan Oleh Lembaga Penelitian Universitas Merdeka Malang ISSN 0853-1218 Buku Proseding Konferensi Nasional Pusat Studi Lingkungan se Indonesia di Universitas Diponegoro (Juga dipresentasikan dalam Forum Tersebut) Artikel Opini di Harian KARYA DHARMA Artikel Opini di Harian SURYA Artikel Opinion in KARYA DHARMA daily news, Surabaya Modul untuk Analisis Ethnography, atas Sponsor NUFFICS-Unibraw Buku Proseding dalam International Conference on University teaching and learning for Tomorrow’s World (The Asia – Pacific Experiences. Joint setup Brawijaya University, Malang Indonesia, Curtin University of Technology, Perth Australia, The John Curtin International Institute of Curtin University of technology, Perth, Australia ISBN: 907-508-385-6 Artikel Kolom dalam Journal Mahasiswa CIVITAS ISBN : 0215-8133 Buku Proseding Seminar Nasional
89 1998
Akselerasi Mutu Pendidikan Tinggi
II/No. 1/August 1998
Aplikasi Pendekatan Diagnosa Studi Kasus dalam Merancang Bangun Kebijakan Pengembangan Industri Rumah Tangga di Kawasan Timur Indonesia
Mei 2001
Good Governance : Reposisi Administrasi Publik Lensa Kapital Sosial
Juli 2002
Policygraphy:; Kerangka Analisis Proses Kebijakan dari Persektif Non-Negara” Penelitian / Pemikiran Karya Tulisan yang dipublikasika, dan tersimpan / terdaftar di Perpustakaan “ Refleksi Kemiskinan Sebagai Salah Satu Siklus Pelaksanaan P2KP ” Penelitian / Pemikiran Karya Tulisan yang dipublikasika, dan tersimpan / terdaftar di Perpustakaan
April 2004
(143 halaman) diselenggarakan oleh Unmer Makang dan UNESCO Jurnal PUBLISIA Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Merdeka Malang. ISSN : 1410-0983 Jurnal Wacana, Jurnal Ilmu Sosial, Unibraw Jurnal Tidak terakreditasi Nama Jurnal : JSP Vol. 6, No. 1 Juli 2002, Hal.17-40 (ISSN 1410-4946) Jurnal Tidak terakreditasi Nama Jurnal: PUBLISIA Jurnal Kebijakan Publik Vol. 8 /nomor 1 / April 2004/ Hal.14-19. (ISSN; 1410-0983)
Agustus 2004
Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara, Pembaharuan Hukum, dan keberdayaan Masyrakat Madani” Penelitian / Pemikiran Karya Tulisan yang dipublikasika, dan tersimpan / terdaftar di Perpustakaan
Jurnal Tidak terakreditasi Nama Jurnal: PUBLISIA Jurnal Kebijakan Publik Vol. 8 / Nomor 2 / Agustus 2004 / Hal.8096. (ISSN; 1410-0983)
Oktober 2004
Perspektif Kritis Keibjakan Pembaharuan Agraria Indonesia Dari Rejim Orde Baru ke Rejim Reformasi”
Jurnal Tidak terakreditasi Nama Jurnal: JAP Jurnal Admistrasi Publik Vol. 3 / Nomor 2 / Oktober 2004 / Hal.178201. (ISSN: 1412-7040)
Desember 2004
Pendekatan Diagnostik Case Study dalam Mendesain Kebijakan Pembinaan Industri Kecil di Kawasan Timur Indonesia”
Jurnal Tidak terakreditasi Nama Jurnal: PUBLISIA Jurnal Kebijakan Publik Vol. 8 / Nomor 3 / Desember 2004 / Hal.165 -172.
April 2005
Upaya Pemerintah dalam Pengembangan Investasi Daerah di Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Malang
Jurnal Tidak terakreditasi Nama Jurnal: PUBLISIA Jurnal Kebijakan Publik Vol. 9 / Nomor 1 / April 2005 / Hal.44 - 60.
Desember 2005
Sukardi , Purwo Santoso, Ambar Widaningrum (2005) Judul: “ Transformasi Pemaknaan Modal Sosial Studi Proses Formasi Utilisasi Modal Sosial dalam Kasus Reclaiming Tanah PTPN XII oleh Petani Malang Selatan ”
(ISSN; 1410-0983) Jurnal Tidak terakreditasi Nama Jurnal: PUBLISIA Jurnal Kebijakan Publik Vol. 9 / Nomor 3 / Desember 2005 / Hal.172 - 180 (ISSN; 1410-0983)
Mei 2001
Desentralisasi, Memperluas Daya Jangkau Pembangunan : Analisis Resiko dan Peluang Kebijakan Cutback Management Pasca Paket UU No. 22 dan 25 1999
Jurnal Wacana, Jurnal Ilmu Sosial, Unibraw
April 2006
Modal Sosial dan Krisis Ekonomi Subsisten
Jurnal terakreditasi Nama Jurnal:
90 (Analisis Kontribusi Modal Sosilal pada Lembaga Pegamba’ dalam rangka Proses Pertahanan Ekonomi Subsisten Komunitas Nelayan Miskin Kabupaten Muncar Jawa Timur
JAM Jurnal Aplikasi Manajemen Vol. 4 / Nomor 1 / April 2006 Hal.142 – 155 (ISSN; 1693-5241) Terakreditasi SK DIKTI o.26/DIKTI/ Kep/2005
B. Makalah/Poster Tahun Judul 7 Januari, Prospek Pembangunan Berkelanjutan 1995
Penyelenggara Makalah disampaikan dalam Forum Diskusi reguler HMI FIA Universitas Brawijaya Malang Makalah disampaikan dalam diskusi reguler antar dosen FISIP Unmer Malang Makalah disampaikan dalam Diskusi Ilmiah Bulanan Lembaga Penelitian Universitas Merdeka Malang Makalah disampaikan dalam Forum penataran Metodologi Penelitian bagi Dosen Baru di Lingkungan Universitas Merdeka Malang Makalah disampaikan dalam Simposium Internasional Friend of The Earth's (FOE) diselenggarakan oleh WALHI Jakarta di Hotel Indonesia Makalah disampaikan dalam Forum Diskusi reguler HMI FIA Universitas Brawijaya Malang Makalah disampaikan dalam diskusi reguler antar dosen FISIP Unmer Malang Makalah Sari Penelitian disampaikan dalam Forum penataran Metodologi Penelitian bagi Dosen Baru di Lingkungan Universitas Merdeka Malang
14 Februari, 1995
Pergeseran Peran Bioteknologi dan Implikasinya pada Paradigma Pembangunan Berwawasan Lingkungan
6 Mei, 1995
Kebijakan Bemo di Kotamadya Malang
September, 1995
Membangun Kesatuan dan Simultansi Proses Penelitian
14 October, 1995
Institutional Formation among Tengger Community (A Piece of Tourism Impact Study : Role of Institutional Formation for Cultural Resistance in Tengger Hill Area – East Java)
7 Januari, 1995
Prospek Pembangunan Berkelanjutan
14 Februari, 1995
Pergeseran Peran Bioteknologi dan Implikasinya pada Paradigma Pembangunan Berwawasan Lingkungan
2 Februari, 1996
Proses Pengambilan Keputusan : Melacak peta Kognitif dan Preferensinya dalam Memilih varitas Tanaman Tahunan dan Tanaman Pangan pada petani Subsisten di Malang Selatan
1-6 Juli, 1996
Sociopolitical Obstacles to the Implementation of Makalah disampaikan dalam “International Symposium Environmental Protection in the east Java Province
Environmental technology : Applications in Principle and Practice”, AUSAID-Murdoch University-University of Merdeka
1-3 July 1996
The Role of Community toward Environment
(12 pages) Makalah disampaikan dalam
91 Management
“International Symposium Environmental technology : Applications in Principle and Practice”, AUSAID-Murdoch University-University of Merdeka (6 pages) 3 Oktober, Komoditisasi Hasil Pertanian : Analisis Struktur Pasar Makalah disampaikan dalam 1996 dan Sistem Kredit pada Petani Subsisten Lahan Kering diskusi reguler antar dosen Malang Selatan FISIP Unmer Malang 20 Juli, 1997 Partisipasi Masyarakat pada Perlindungan Makalah disampaikan dalam Keanekaragaman Hayati dalam Rangka Pembangunan diskusi reguler antar dosen Berkelanjutan di Indonesia FISIP Unmer Malang 3 September, Problematika Sampah Padat di Kotamadya Malang : Makalah disampaikan dalam 1997 Sebuah Analisis Manajemen Sampah Rumah Tangga di diskusi reguler antar dosen Kotamadya Malang FISIP Unmer Malang 14 July, 1998 Pergolakan Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO’s) dan Makalah disampaikan dalam Proses Komoditisasi Hutan di Indonesia Forum Diskusi Para Mahasiswa Pecinta Lingkungan (IMAPALA) se Jawa Timur di Unibraw Malang 11-15 Evaluasi dan Indikator Mutu Pendidikan Tinggi Makalah disampaikan dalam Augustus, Workshop Paradigma baru 1998 Pendidikan Tinggi bagi para Pejabat Struktural di Lingkungan Universitas Merdeka Malang 25-26 Masyarakat Sipil dan Platform Sosialisme Baru di Makalah Sumbangan September, Indonesia (Contributing Paper) 1998 disampaikan dalam Seminar Nasional : Pembangunan Masyarakat Sipil Menyongsong Mileneum Baru di Universitas Muhammadiyah Malang 3-5 November, Strategi Pengembangan Industri Rumah Tangga Melalui Makalah Disampaikan dalam 1998 Inkubasi Bisnis Usaha di Kawasan Timur Indonesia (Studi Forum Seleksi Penelitian Pengembangan Industri Kerajinan Mutiara di Kawasan Hibah Bersaing, Dirjen Dikti, Lombok Barat, NTB) di Hotel USSU Cisarua Bogor. 28 Februari, Pengembangan Ekonomi Kerakyatan Melalui Makalah Disampaikan dalam 1999 Pendekatan Sosialisme Baru di Indonesia Seminar Strategi Pembangunan Kerakyatan oleh Yayasan Bina Mandiri di Balai Latihan Pegawai Pertanian, Songgoriti, Batu Malang. 1-3 Maret, Makna Data dalam Penelitian Kualitatif dan Penelitian Makalah disampaikan dalam 1999 Ilmu Sosial Pelatihan Metodologi penelitian bagi para Dosen Baru di Lingkungan Unmer
92
17 Mei, 1999
Urgensi Riset dan Pengembangan Organisasi dalam Rangka Meningkatkan Kohesi dan Performance Organisasi Keislaman di Kalangan Mahasiswa.
Malang. Makalah Disampaikan dalam Pelatihan Dasar Kepemimpinan Himpunan Mahasiswa Islam Unmer Malang
C. Penyunting/Editor/Reviewer/Resensi Tahun Judul Menuju Perguruan Tinggi yang Efesien 1994 (Buku 222 halaman)
1995
1997
Penerbit/Jurnal Editor Buku Proseding Hasil Seminar Nasional di Unmer Malang Kerjasama Unmer Malang-UNESCO Jakarta Pembangunan Berkelanjutan : Mengatasi Penulis Chapter dalam Buku Persoalan Eksploitasi Lingkungan Melalui Proseding Konferensi Pendekatan Participatoris Nasional Pusat Studi Lingkungan se Indonesia di Universitas Diponegoro (Juga dipresentasikan dalam Forum Tersebut) Condition of Indonesian Higher Education Penulis Chapter dalam Buku Approaching Globalization (Several Findings of Proseding dalam Research) International Conference on University teaching and learning for Tomorrow’s World (The Asia –Pacific Experiences. Joint setup Brawijaya University, Malang Indonesia, Curtin University of Technology, Perth Australia, The John Curtin International Institute of Curtin University of technology, Perth, Australia ISBN: 907-508-385-6
KONFERENSI/SEMINAR/LOKAKARYA/SIMPOSIUM Tahun
1994 1994
Judul Kegiatan
Penyelenggara
Seminar Nasional “Menuju Manajemen Universitas Merdeka Perguruan Tinggi yang Efisien” Malang Penataran dan Lokakarya Jurnal Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Merdeka Malang
Panitia/Peserta /Pembicara
Pembicara Peserta
93 1995
Institutional Formation among Tengger Community (A Piece of Tourism Impact Study : Role of Institutional Formation for Cultural Resistance in Tengger Hill Area – East Java)
Makalah disampaikan dalam Simposium Internasional Friend of The Earth's (FOE) diselenggarakan oleh WALHI Jakarta di Hotel Indonesia
Pembicara
1996
Sociopolitical Obstacles to the Implementation of Environmental Protection in the east Java Province
Makalah disampaikan dalam “International Symposium Environmental technology : Applications in Principle and Practice”, AUSAID-Murdoch University-University of Merdeka
Permbicara
1997
Condition of Indonesian Higher Education Approaching Globalization (Several Findings of Research)
1998
Masyarakat Sipil dan Platform Sosialisme Baru di Indonesia
(12 pages) International Conference on University teaching and learning for Tomorrow’s World (The Asia –Pacific Experiences. Joint setup Brawijaya University, Malang Indonesia, Curtin University of Technology, Perth Australia, The John Curtin International Institute of Curtin University of technology, Perth, Australia ISBN: 907-508-385-6 Makalah Sumbangan (Contributing Paper) disampaikan dalam Seminar Nasional : Pembangunan Masyarakat Sipil Menyongsong Mileneum Baru di Universitas Muhammadiyah Malang
Peserta
Pembicara
KEGIATAN PROFESIONAL/PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT Tahun 2005 2007
Jenis/Nama Kegiatan Pemateri pada Orientasi Kegiatan Akademik dan Pengenalan Program Studi (OKAPPS) Pemateri pada Pembekalan Pengabdian Mahasiswa Hukum kepada Masyarakat (PMHM)
Tempat Fakultas Hukum Unmer Malang Fakultas Hukum Unmer Malang
94 2007
Pemateri pada Orientasi Kegiatan Akademik dan Pengenalan Program Studi (OKAPPS) Pemateri pada Pembekalan Pengabdian Mahasiswa Hukum kepada Masyarakat (PMHM)
2008
Fakultas Hukum Unmer Malang Fakultas Hukum Unmer Malang
JABATAN DALAM PENGELOLAAN INSTITUSI Peran/Jabatan Kepala Pusat Penelitian dan pengembangan Institusional Lembaga Penelitian Kepala Pusat Studi Tenaga Kerja Sekretaris Lembaga Penelitian Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negaral Ketua Panitia Wisuda Program Diploma, Sarjana, Pascasarjana Semester Genap
Institusi Lembaga Penelitian Universitas Merdeka Malang
Tahun ….s.d… 1995 s/d 1997
Lembaga Penelitian Universitas Merdeka Malang Lembaga Penelitian Universitas Merdeka Malang Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Merdeka MalangMerdeka Malang
1997 s/d. 1998 1999 s/d 2000 2009- Sekarang
PERAN DALAM KEGIATAN KEMAHASISWAAN Tahun 1990 s/d sekarang 1991 s/d sekarang 2003 s/d 2007
Jenis/Nama Kegiatan Konseling Akademik (perwalian mahasiswa) Membimbing skripsi mahasiswa
Peran Dosen Wali
Olimpiade Akuntansi Antar Mahasiswa se Jawa Timur
Pembimbing/ pendamping
2007 – 2008
Beberapa kegiatan diskusi bulanan yang diikuti mahasiswa Jurusan Akuntansi yang diselengarakan Himpunan Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi Unmer malang
Pemateri
Pembimbing
Tempat FISIP Unmer Malang FISIP Unmer Malang Fak. Ekonomi Unmer Malang & Fak. Ekonomi Univ. Surabaya Fak. Ekonomi Unmer Malang
PENGHARGAAN/PIAGAM Tahun
Bentuk Penghargaan
2010 2010
Piagam Piagam
2008
Piagam
Pemberi UKM FORDIMAPELAR Asosiasi Dosen Indonesia (Wilayah Jawa Timur) Universitas Merdeka Malang
95
Tahun 2007 2008
Jenis/Nama Organisasi Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Persatuan Advokat Indonesia (PERADI)
Jabatan Anggota Anggota
Saya menyatakan bahwa semua keterangan dalam Curriculum Vitae ini adalah benar dan apabila terdapat kesalahan, saya bersedia mempertanggungjawabkannya. Malang, 12 Maret 2012
Drs. Sukardi, MS.i NIDN : 0714016502
96
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Drs. SUKARDI, MS.i
NIP / NIDN
: 0714016502
Pangkat / Golongan
: Lektor/ III-d
Jabatan Fungsional
: Penata Muda III-a
Alamat
: Jalan Danau Bratan Timur IV C-12 Malang 65138
Dengan ini menyatakan bahwa proposal penelitian saya dengan judul : UJICOBA INOVASI MODEL TRANSFORMASI KEBIJAKAN AGRARIA DALAM RANGKA PEMULIHAN KRISIS LEGITIMASI KEBIJAKAN DI WILAYAH PERKEBUNAN MALANG SELATAN, yang diusulkan dalam skim Penelitian Hibah Bersaing tahun anggaran 2012 bersifat original dan belum pernah dibiayai oleh lembaga / sumber dana lain. Bilamana di kemudian hari ditemukan ketidaksesuaian dengan pernyataan ini, maka saya bersedia dituntut dan diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan mengembalikan seluruh biaya penelitian yang sudah diterima ke kas negara. Demikian pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya dan dengan sebenar-benarnya. Malang, 21 Maret 2012 Mengetahui,
Yang menyatakan,
Ketua Lembaga Penelitian,
Dr. HARMONO, SE, MS.i NIDN. 0707106501
Drs. SUKARDI, MS.i NIDN. 0714016502