1
140/Ilmu Tanaman
LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN II
PEMANFAATAN BIOCHAR DARI KENDAGA DAN CANGKANG BIJI KARET SEBAGAI BAHAN AMELIORASI ORGANIK PADA LAHAN HOLTIKULTURA DI KABUPATEN KARO SUMATERA UTARA
Ketua Peneliti Anggota Peneliti I Anggota Peneliti II
: Dr. Ir. Sumihar Hutapea, MS (0031125636) : Ir. Ellen Panggabean, MP (0019086501) : Dr. Ir. Tumpal H.S. Siregar, MS (0130085901)
Dibiayai Oleh DIPA Kopertis Wliayah I Tahun 2016 Sesuai Dengan Surat Perjanjian Penugasan Dalam Rangka Pelaksanaan Program Desentralisasi Penelitian Nomor : 042.06.I.40516/2016 Tanggal 7 Desember 2015
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT UNIVERSITAS MEDAN AREA NOPEMBER 2016
i
ii
RINGKASAN Penyedian teknolongi ramah lingkungan melalui pemanfaatan limbah biomassa sebagai agensia degradator bahan residu di lahan pertanian perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas lahan dan hasil tanaman maupun produk olahannya. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan tahun ke 2 yang bertujuan untuk mengetahui daya erap dan kapasitas erap pada tanah yang tercemar pestisida dengan menggunakan biochar teraktifitas yang telah di lakukan pada penelitian tahun 1. Serta untuk mengetahui dosis aplikasi optimum yang digunakan sebagai pengendalian residu pestisida dalam upaya menunjang pembangunan industri pertanian yang ramah lingkungan. Analisis parameter yang dilakukan adalah karakterisasi sifaf fisika dan kimia tanah sebelum dan sesudah aplikasi biochar pada media tanaman hortikurtur yakni tanaman cabai merah dan tanaman bawang merah yang ditanam dalam polibeg dilakukan dalam ramah kasa Growth Center Kopertis Wilayah I Medan.. Pada penelitian ini, pengujian efektifitas biochar kendaga dan cangkang biji karet sebagai bahan ameliorasi organik terhadap residu pestisida, menggunakan dua contoh tanah yang tercemar dengan pestisida eks lahan hortikultura, berasal dari kabupaten karo Sumatera utara. Proses penyerapan dan kelarutan carbofuran dan klorpirifos dalam tanah di dekati dengan model penyerapan isotermis Langmuir. Parameter parameter penyerapan Langmuir, seperti kapasitas sangga tanah terhadap pemberian karbofuran/klorpiripos. Tingkat kolerasi digunakan untuk menduga tingkat penyerapan tanaman terhadap karbofuran/klorpirifos dalam dua contoh tanah. Selain itu,juga akan dilakukan pembuatan biochar yang lebih ekonomis, dengan memodifikasi bahan aktifasi yang dilakukan pada tahun I, sehingga diperoleh formulsi dan karakteristik, serta manfaat nya bagi tanah dan tanaman. Analisis parameter yang diamati adalah kadar abu ,kadar air, kadar zat pengguap, kadar karbon terikat, daya serap terhadap benzena serta daya serap yodium. Biochar dengan krakteristik terbaik akan digunakan sebagai aplikasi bahan ameliorasi organik pada lahan hortikultura dikabupaten karo yang memiliki tingkat residu tinggi, dengan menggunakan rancangan acak kelompok dengan dua factor dan tiga ulangan. Analisis parameter yang di amati adalah tinggi tanaman, produksi tanaman, berat kering dan berat basah tanaman, serta analisis kandungan hara tanah. Biochar dengan karakteristik terbaik diaplikasi sebagai absorben residu pestisida pada tanaman hortikultura yaitu cabai, dan bawang merah yang diambil dari tempat berbeda yakni daerah Korpri Kecamatan Berastagi dan Sukanalu Kecamatan Tiga Panah Kabupataen Karo Sumatera Utara. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa penilaian dengan metode Freundlich isoterm kapasitas adsorpsi cypermethrin sekitar 1,786 mg / g (R2 = 0,963) untuk tanah Sukanalu dan 1,247 mg / g (R2 = 0,983) untuk tanah Korpri. Kapasitas adsorpsi klorpirifos sekitar 2,529 mg / g (R2 = 0,905) untuk tanah Sukanalu dan 5,395 mg / g (R2 = 0.929) untuk tanah Korpri. Model isoterm Langmuir tidak dipenuhi dalam percobaan ini karena hasilnya menunjukkan bahwa nilai R2 tidak dekat dengan 1. Secara umum, biochar yang diaktivkan diaplikasi pada sampel tanah dari Korpri memiliki kapasitas adsorpsi yang lebih besar dari sampel tanah dari Sukanalu. Mekanisme adsorpsi residu pestisida terintegrasi dengan tanah liat dari struktur tanah, bahan organik, dan nilai pH tanah. Pemberian biochar kendaga dan cangkang biji karet belum secara konsisten memberikan pengaruh nyata terhadap perbaikan tanah. Peningkatan pertumbuhan dan hasil terjadi pada tanaman bawang merah tetapi tidak berpengaruh nyata pada tanaman cabai merah. Kata kunci : Biochar, daya serap, dosis optimum, kapasitas serap, residu pestisida
iii
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN..……………………………………………………...…………………… ii DAFTAR ISI………………………………………………………...…………………… iii DAFTAR TABEL……………………………………………….…………………….…. v DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………..… vi DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………...……….………….. vii BAB I.PENDAHULUAN…………………………………………………………..……. 1 1.1 Latar Belakang ........………………………………………………...….......... 1 1.2 .Tujuan Khusus……………………………………………….…………….... 3 1.3. Urgensi (Keuntungan Penelitian )………………………………………........ 4 BAB II.STUDI PUSTAKA …………………………………………………………….. 5 2.1 Penggunaan Pestisida Dilahan Pertanian ......................................................... 5 2.2.Biochar Manfaat Dan Pontensi Sebagai Pembenahan Tanah ……………..... 5 2.3. Pemanfaatan Biochar Dari Kendaga Dan Cangkang Biji Karet Dan Penggunaannya Sebagai Pengendali Residu (Amelioran)…………….... 7 2.4. Pembuatan Biochar………………………………………………………….. BAB III.METODE PENELITIAN……………………………………………….…......
8 10
3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian……………………………….……………..... 10 3.2.Bahan dan Alat………………………………………………………..…..... 10 3.3.Metode Penelitian…………………………………………….…………….. 10 3.3.1 Tahap Pengujian Ektifitas Biochar Sebagai Ameliorasi Organik Terhadap Residu Pestisida Dua Contoh Tanah ………………..……... 11 3.3.2. Tahap Pembuatan Biochar Kendaga dan Cangkang Biji Karet yang Ekonomis…................................................................................... 15 3.4. .Pelaksaan Kegiatan ……..…………………..…………………................. 17 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………........ 18 4.1. Pembuatan Biochar Teraktivasi……..…………………..……………….... 18 4.2. Karakteristik Tanah……..…………………………. ..………………......... 19 4.3. Pengujian dan Analisis Residu Pestisida dalam Tanah………………...…. 20 4.3.1. Model Isotermis Langmuir…….…..………………………….......... 21 4.3.2. Model Isotermis Freundlich…….…..…………………………........ 21 4.3.3. Adsorbsi Klorpyrifos dalam Tanah…….…..…………………......... 24
iv
4.4. Respon Pertumbuhan Tanaman Bawang Merah dan Cabai Merah Terhadap Pemberian Biochar Kendaga dan Cangkang Biji Karet............... 27 4.4.1. Respon Pertumbuhan Tanaman Bawang Merah dan Cabai Merah Terhadap Pemberian Biochar Kendaga dan Cangkang Biji Karet Pada Tanah Bekas Pertanaman Hortikultura di Kabupaten Karo…………….............................................................. 30 4.4.1. Respon Produksi Tanaman Bawang Merah dan Cabai Merah Terhadap Pemberian Biochar Kendaga dan Cangkang Biji Karet Pada Tanah Bekas Pertanaman Hortikultura di Kabupaten Karo……………......................................................... 34 BAB V. KESIMPULAN PENELITIAN ……….………….…………………..…......... 40 UCAPAN TERIMAKSIH……….………….……………………..…………..………..
41
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………...
42
LAMPIRAN…………………………………………………………………………….. 46
v
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Hasil Karektristik Mutu Terbaik Biochar Teraktivasi Dari Cangkang dan Kendaga Dari Biji Karet........................................................................................ 2 2. Persyaratan Biochar Berdasarkan SNI 06-3730- 199…………...………………….... 9 3. Rancanga Percobaan Pembuatan Biochar dari Kendaga dan Cangkang Biji Karet……………………………….……...…………………..... 16 4. Rancangan Percobaan Uji Efikasi Biochar pada Lahan Bekas Pertanaman Tanaman Holtikultura……………………………….……...………………..……... 17 5. Karakteristik Biochar Kendaga dan Cangkang Biji Karet…………...…………...... 18 6. Sifat Fisik dan Kimia Tanah…………...…………………………….……………... 19 7. Nilai Adsorpsi Residu dengan Biochar Teraktifasi Pada Bebrapa Konsentrasi Cypermethrin………….............…………………................................. 22 8. Nilai Keseimbangan Adsorbsi Isotermis Cypermethrin…………............................. 23 9. Jumlah Residu yang Teradsorbsi oleh Biochar Teraktivasi pada Beberapa Konsentrasi Klorpyrifos………….............…………........................ 24 10. Nilai Keseimbangan Adsorbsi Isotermis Klorpyrifos…………...............................
26
11. Rangkuman Hasil Analisis Statistik Respon Parameter Pertumbuhan Tanaman Bawang Merah dan Cabai Merah Terhadap Pemberian Biochar Kendaga dan Cangkang Biji Karet Pada Tanah Bekas Pertanaman Hortikulturadi Kabupaten Karo……………………..…………................................ 30 12. Hasil Uji Rataan Perlakuan Terhadap Tinggi Tanaman Cabai Merah……………... 32 13. Hasil Uji Rataan Perlakuan Terhadap Jumlah Daun Tanaman Cabai Merah….…... 33 14. Hasil Uji Rataan Perlakuan Terhadap Diameter Batang Tanaman Cabai Merah...... 33 15. Rangkuman Hasil Analisis Statistik Respon Parameter Produksi Tanaman Bawang Merah dan Cabai Merah Terhadap Pemberian Biochar Kendaga dan Cangkang Biji Karet Pada Tanah Bekas Pertanaman Hortikultura di Kabupaten Karo....................................................................................................
34
vi
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian ……………………………………………....
14
2. Grafik Penyerapan Isotermis Langmuir Residu Cypermethrin ................................
22
3. Grafik Penyerapan Isotermis Freundlich Residu Cypermethrin
............................ 23
4. Grafik Penyerapan Isotermis Langmuir Residu Klorpyrifos .................................... 25 5. Grafik Penyerapan Isotermis Freundlich Residu Klorpyrifos
................................ 26
6. Grafik Tinggi Tanaman Pada Berbagai Lokasi Tanah Bekas Pertanaman Hortikultura Dari Desa Korpri dan Sukanalu.............................................................. 31 7. Grafik Hubungan Jumlah Daun Tanaman Bawang Merah Pada Berbagai Dosis Biochar Kendaga dan Cangkang Biji Karet....................................................... 33
vii
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1. Tahapan Penelitian Respon Tanaman Bawang Merah Pada Pemanfaatan Biochar Kendaga dan Cangkang Biji Karet Sebagai Bahan Ameliorasi Organik Pada Tanah Bekas Peranaman Hortikultura di Kabupaten Karo Sumatera Utara ..........................................................................................................
46
2. Tahapan Penelitian Respon Tanaman Bawang Merah Pada Pemanfaatan Biochar Kendaga dan Cangkang Biji Karet Sebagai Bahan Ameliorasi Organik Pada Tanah Bekas Peranaman Hortikultura di Kabupaten Karo Sumatera Utara ........................................................................................................
47
3. Artikel Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Muslim Nusantara (UMN) 2016..........................................
34
4. Sertifikat Pemakalah Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Muslim Nusantara (UMN) 2016..........................................
59
5. Artikel Konfrensi Internasional IRRDB Cambodia .................................................
60
6. Sertifikat dan Prosiding Konfrensi Internasional Cambodia....................................
70
7. Artikel Jurnal Internasional ………………………..................................................
76
8. Bukti Pengiriman Manuskrip ke Jurnal Internasional...............................................
83
viii
1
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pestisida menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pertanian di Indonesia. Di Asia, Indonesia termasuk negara yang banyak menggunakan pestisida setelah Cina dan India. Penggunaan pestisida yang intensif terdapat pada usaha tani hortikultura. Frekuensi aplikasi pestisida untuk mencegah kehilangan produktivitas panen akibat serangan hama penyakit bisa mencapai 3-5 kali dalam seminggu. Aplikasi pestisida di lahan pertanian menyisakan kurang lebih 60% pestisida akan jatuh ke tanah dan dari pestisida tersebut akan menjadi permasalahan besar bagi kualitas lingkungan. Penggunaan pestisida dengan intensitas tinggi dan berkepanjangan menurunkan biodiversitas di dalam tanah, sehingga kesuburan tanah menjadi terganggu. Beberapa senyawa kimia penyusun pestisida merupakan kontaminan tanah yang persisten dalam arti bahwa sifat pencemarannya akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama bertahan di dalam tanah (Ardiwinata, 2008). Dalam penelitian Elvira, dkk. (2013) bahwa terdapat penggunaan pestisida yang digunakan pada petani yang menjadi pemasok sayuran sawi di Pasar Pannampu yaitu pestisida golongan organofosfat dengan bahan aktif profenofos. Begitu juga pada jenis sayuran lainnya seperti cabai dan kentang. Hasil penelitian Afriyanto (2008) menyatakan bahwa penggunaan pestisida pada cabai oleh petani, selain dapat mencemari lingkungan juga dapat mencemari manusia (keracunan). Kebiasaan petani dalam menggunakan pestisida kadang-kadang menyalahi aturan, selain dosis yang digunakan melebihi takaran, petani
juga sering mencampur beberapa jenis pestisida, dengan alasan untuk
meningkatkan daya racunnya pada hama tanaman. Tindakan yang demikian sebenarnya sangat merugikan, karena dapat menyebabkan semakin tinggi tingkat pencemaran pada lingkungan oleh pestisida (Sugiartoto, dkk. 2009). Dalam upaya menanggulangi dampak pencemaran agar residu pestisida di dalam tanah tidak terbawa aliran air dan mengendap dalam tanah, maka residu tersebut perlu ditahan dengan bahan yang dapat menyerap (imobilisasi), yaitu arang aktif. Arang aktif merupakan arang yang diaktivasi dengan proses kimia atau fisika sehingga memiliki daya serap yang tinggi. Sifat adsorpsi ini bergantung pada luas permukaan dan besar atau volume pori-pori. Penggunaan arang aktif banyak dilakukan di industri minyak sebagai bahan pemurni (bleaching dan refinery), industri pengolahan air minum, farmasi, dan lain sebagainya.
2
Tabel 1. Hasil Karakteristik Mutu Terbaik Biochar Teraktivasi Dari Kendaga dan Cangkang Biji Karet Jenis Parameter
Nilai
Kadar Air
3,97 %
**
Maks 15%*
Kadar Abu
3,78 %
**
Maks 10%*
Kadar Zat Menguap
30,91 %**
Maks 25%*
Kadar Karbon Terikat
65,27 %**
Min. 65%*
Daya Serap terhadap Yodium
875,97 mg/g**
Min. 750 mg/g*
Daya Serap terhadap Benzena
25,94 %**
Min. 25%*
Keterangan :
*) Persyaratan biochar berdasarkan SNI 06-3730-1995 **) Hasil penelitian Hutapea,et al (2015)
Penggunaan arang aktif dalam budidaya tanaman pertanian dapat melalui beberapa cara, antara lain ameliorasi, pelapis urea, dan sebagai filter air inlet dan outlet. Sebagai ameliorasi tanah, arang aktif memiliki kemampuan menyerap polutan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi arang aktif di tanah dapat menurunkan residu pestisida organoklorin, organosulfat, dan karbamat dengan kisaran 70-90%. Apabila konsentrasi residu pestisida di tanah dapat ditekan, maka konsentrasi residu pada produk pertanian akan dapat diminimalisir (Ardiwinata, 2008). Ameliorasi arang aktif ke dalam tanah dapat meningkatkan total organic karbon dan mengurangi biomassa mikrobia, respirasi, dan agregasi serta pengaruh pembekuan cahaya pada tanah, sehingga dapat memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah dan dapat merangsang pertumbuhan akar (Weil, et al., 2003; Gusmailina, et al., 2002). Menurut Harsanti dan Ardiwinata (2011) arang aktif dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan hayati tanah. Arang aktif efektif dalam meningkatkan sifat fisik tanah seperti agregat tanah dan kemampuan tanah mengikat air. Pada tanah berliat, arang aktif dapat membantu menurunkan kekerasan tanah dan mempertinggi kemampuan pengikatan air tanah, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas mikroorganisme tanah. Di dalam tanah, arang aktif memainkan peranan sebagai shelter atau rumah untuk mikroorganisme. Pori-pori kecil pada karbon aktif digunakan sebagai tempat tinggal bakteri, sedangkan pori besar dan retakan (cracks) digunakan sebagai tempat berkumpul. Pernyataan tersebut juga ditegaskan oleh Balingtan (2013) bahwa aplikasi arang aktif di lahan pertanaman sayuran memiliki banyak manfaat, yaitu arang aktif
3
dapat meningkatkan nilai pH (bila tanah asam) dan menurunkan pH (bila tanah basah), meningkatkan KTK tanah, dan populasi mikroba pendegradasi pencemar. Penggunaan arang aktif sebagai pengendali residu pestisida terhadap lingkungan yang tercemar kimia atau pestisida merupakan suatu metode yang ramah lingkungan. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian di Bogor dalam penelitiannya telah menemukan suatu teknik pengendali residu pestisida dengan memanfaatkan suatu bahan amelioran arang aktif yang terbuat dari limbah pertanian yaitu arang aktif tempurung kelapa, sekam padi, tongkol jagung dan tandan kosong kelapa sawit yang diketahui memiliki daya serap tinggi dan mampu menyerap/mengikat pencemar residu pestisida (Ardiwinata 2010). Penelitian arang aktif juga dikemukan oleh Lempang (2013) bahwa dengan aplikasi arang aktif yang berasal dari tempurung kemiri sebagai komponen media tumbuh dapat meningkatkan secara nyata pertumbuhan tinggi, diameter batang, dan biomassa tanaman Melina. Seperti halnya kelapa sawit, batang kayu, serta tempurung kelapa dan kemiri yang dapat dimanfaatkan sebagai briket atau arang, begitu juga dengan cangkang biji karet, mengingat komponen kendaga tersusun oleh selulosa yang memiliki kandungan karbon yang cukup. Maka dari itu, hipotesis terhadap pemanfaatan kendaga dan cangkang biji karet perlu dianalisis sebagai arang aktif. Pembuatan arang aktif dengan memanfaatkan kendaga dan cangkang biji karet merupakan pemanfaatan limbah pertanian yang ramah lingkungan. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui adanya potensi pembuatan arang aktif dengan memanfaatkan kendaga dan cangkang biji karet sebagai pemanfaatan limbah pertanian yang ramah lingkungan, sekaligus dapat mendukung remediasi lingkungan yang diakibatkan oleh residu pestisida di lahan hortikultura. Potensi dan pengembangan system ini dapat menjadi salah satu program pemerintah dalam melaksanakan keamanan hayati dan kimia lahan pertanian yang merupakan bidang penting dalam kegiatan pertanian. 1.2.
Tujuan Khusus Tujuan dari penelitian ini antara lain : 1. Untuk mengetahui formulasi serta bahan aktivasi yang tepat dan lebih ekonomis terhadap biochar yang dihasilakan dari kendaga dan cangkang biji karet serta untuk mengetahui karakteristiknya. 2.
Mengetahui efektifitas arang aktif dari kendaga dan cangkang biji karet sebagai bahan ameliorant organik dalam mengendalikan residu pestisida di lahan hortikultura.
4
1.3. Urgensi (Keutamaan) Penelitian Luaran di tahun 2016 pada program penelitian ini adalah mendapatkan biochar yang lebih ekonomis dan dosis yang efektif yang dapat dimanfaatkan sebagai pengendali residu pestisida dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan hayati di dalam tanah pada lahan hortikultura.
5
BAB II. STUDI PUSTAKA
2.1. Penggunaan Pestisida di Lahan Pertanian Pestisida menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari system pertanian di Indonesia. Di Asia, Indonesia termasuk Negara yang banyak menggunakan pestisida setelah Cina dan India. Penggunaan pestisida yang intensif terdapat pada usaha tani hortikultura. Frekuensi aplikasi pestisida untuk mencegah kehilangan produktivitas panen akibat serangan hama penyakit bisa mencapai 3-5 kali dalam seminggu. Aplikasi pestisida di lahan pertanian menyisakan kurang lebih 60% pestisida akan jatuh ke tanah dan dari pestisida tersebut akan menjadi permasalahn besar bagi kualitas lingkungan. Penggunaan pestisida dengan intensitas tinggi dan berkepanjangan menurunkan biodiversitas di dalam tanah, sehingga kesuburan tanah menjadi terganggu. Beberapa senyawa kimia penyusun pestisida merupakan kontaminan tanah yang persisten dalam arti bahwa sifat pencemarannya akan berlangsung dalam jangka waktu yang lama bertahan di dalam tanah (Ardiwinata, 2010). Dalam penelitian Elvira, dkk. (2013) bahwa terdapat penggunaan pestisida yang di gunakan para petani yang menjadi pemasok sayuran sawi di pasar penampung yaitu pestisida golongan organofosfat dengan bahan aktif profenolus. Begitu juga pada jenis sayuran lainnya seperti cabai dan kentang. Hasil penelitian Afriyanto (2008) menyatakan bahwa penggunaan pestisida pada cabai oleh petani, selain dapat mencemari lingkungan juga dapat mencemari manusia (keracunan). Kebiasaan petani dalam menggunakan pestisida kadang-kadang menyalahi aturan, selain dosis yang digunakan melebihi takaran, petani juga sering mencampur beberapa jenis pestisida, dengan alas an untuk meningkatkan daya racunnya pada hama tanaman. Tindakan yang demikian sebenarnya sangat merugikan, karena dapat menyebabkan semakin tinggi tingkat pencemaran pada lingkungan oleh pestisida (Sugiartoto, dkk. 2009).
2.2. Biochar Manfaat dan Potensinya Sebagai Pembenah Tanah Biochar merupakan substansi arang kayu yang berpori (porous), atau sering disebut charcoal atau agrichar. Karena bahan dasarnya berasal dari makhluk hidup, biochar disebut juga arang hayati. Menurut Cheng et all. (2007) dan Lehmann and Joseph, (2009), biochar adalah arang hasil pembakaran (pirolisis) tanpa oksigen atau dengan O2 rendah pada suhu
<700 C. Biochar berasal dari residu
pertanian,
6
perkebunan, peternakan, dan kehutanan. Penggunaan istilah biochar ini untuk menghindari pemahamana arang yang berasal dari batubara, fungsi arang sebagai bahan bakar, penggunaan arang sebagai absorben
pada industri makanan dan farmasi,
penggunaan arang untuk mengatasi limbah pada larutan atau air yang tercemar, dan lainnya (Brown, 2009). Beberapa istilah yang muncul pada berbagai artikel atau tulisan ilmiah seperti agrichar, karbon hijau, karbon hitam, semua ini adalah karbon dari jaringan tanamana yang dihasilkan melalui pembakaran (pirolisis) yang diperuntukkan sebagai amelioran untuk meningkatkan kesuburan tanah. Downie et al. (2009) membuat batasan istilah untuk memperjelas fingsi dan cara pembuatannya. Istilah arang, digunakan untuk bahan bakar, char arang dari hasilpembakaran spontanitas (kebakaran hutan dan pembuaatan arang tradisional lainnya), biochar sebagai absorben, dan biochar sebagai pembenah tanah (amelioran). Kualitas biochar sangat dipengaharaui oleh bahan baku, dan cara pembakaranya (Lehmann dan Joseph, 2009). Biocahar adalah istialah yang relatif baru, namun tidak baru substansintya. Tanah di seluruh dunia mengandung biochar yang dihasilkan melalui kajadian alam, seperti hutan dan kebakaran padang rumput (Krull et al.,2008; Hunt et al., 2010). Dalam tanah, bichar menyediakan habitat yang baik bagi mikroba tanah, tetapi tidak mengganggu keseimbangan karbon-nitrogen, tetapi dapat menahan dan menjadikan air dan nutrisi lebih tersedia bagi tanaman. Aplikasi biochar ke tanah merupakan pendekatan baru dan unik dalam menampungg CO2 atmosfer dalam jangka panjang pada ekosistem daratan.Setelah melalui proses produksi yang memenuhi persyaratan, biochar mengandung sekitar 50% karbon yang ada dalam bahan dasar. Bahan organik yang terdekomposisi secara biologi biasanya mengandung karbon kurang dari 20% setelah 5-10 tahun. Kalau dibakar,bahan organik hanya meninggalkan 3% karbon. Selain menekan emisi dan meningkaatkan daya pengikatan gas rumah kaca, aplikasi biochar juga dapat memperbaiki kesuburan tanah sehingga meningkatkan produksi tanaman. Praktek pengunaan karbon untuk menyuburkan lahan pertanian ini sudah dilakukan ribuan tahun silam meski dengan cara berbeda tanpa pemilihan yang luas. Petani membakar lahan,atau jaringan tanaman sebelum lahan di tanami,membuat arang dari batang dari kayu untiik mnumbuhkan anggrek.di lembali amazon di temukan lahan berwana gelap yang diduga merupakan proses pengelohan dengan menambahkan arang sejak 500-2500 tahun silain yang di kenal dengan ‘’terra preta’’(Glaser et al,2003). Tradisi china (1915 an)meyakini bahwa lahan menjadi subur dengan membakar
7
biomassa). Di jepang pada tahuan 1600 an di kenal dengan pupuk api (fire-manure) sebagai penyubur pertanian dan pupuk api ini tak ubahnya biocar.jepang juga memiliki tradisi panjang menggunakan arang dalam tanah,suatu tradisi yang sedang dihidupkan kembali dan telah diekspor selama 20 tahun ke negara negara seperti Kosta Rika .Tradisi jepang di jelaskan Ogawa,M., Osaka Insitute of Teknologi sebagai pemakala utama, Konferensi Biochar Asia Pasifik,17-20 mei 2009. Arang telah digunakan dalam bidang pertanian di jepang,sejak tahun 1970 ilmuwan mulai mempromosikan produksi dan penggunaan arang sebagai pembenah(ameliora)tanag di bidang pertanian,dan pada tahun 1986 sebuah kelompok teknis didirikan untuk mempelajari teknologi karbonasi.tahun 80 an penggunaan biochar di jepang mencapai 30.000 ton/tahun (Major, 2010). Ameliorasi biochar ke dalam tanah dapat meningkatkan total organik karbon dan mengurangi biomassa mikrobia,respirasi,dan agregasi serta pengaruh pembekuancaliaya pada tanah, sihingga dapat memperbaikisirkulasi air dan udara di dalam tanah dan dapat merangsang pertumbuhan akar (Weil, et,al.,2003 ;Gusmailina, et al., 2002). Menirut Harsanti dan Ardiwinata (2011) boichar dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan hayati tanah. Biochar efektif dalam meningkatkan fisik tanah
seperti agregat tanah dan
kemampuan tanah mengikat air. Pada tanah berliat, biochar dapat membantu menurunkan
kekerasan
tanali
dan
mempertinggi
kemampuan
pengikar
air
tanali,sehingga berpengaruh terhaap peningkatan aktivitas mikroorganisme tanah. Didalam tanah,biochar memainkan peranan sebagai shelter atau rumah untuk mikroorganisme. Pori pori kecil kecil pada karbon aktiF digunakan sebagai tempat tinggal bakteri, sedangkan pori besar dan retakan (crackc) digunakan sebagai tempat berkumpul. Pernyataan tersebut juga ditegaskan oleh Balingstan (2013) baliwa aplikasi biochar dilahan pertanaman sayuran memiliki banyak manfaat, yaitu biochar dapat meningkatkan nilai pH
(bila tanali asam) dan menurunkan pH (bila tanah
basali),meningkatkan KTK tanah, populasi mikroba pendegradasi pencemaran. 2.3. Pemanfaatan Biochar Dari Kendaga Dan Cangkang Biji Karet dan Penggunaannya Sebagai Pengendali Residu (Amelioran) Perkebunan karet di Indonesia memiliki luas 3,2 juta Ha yang terdiri dari karet rakyat dan kebun milik negara dan kebun swasta. Setiap tahun jumlah program peremajaan kebun karet rakyat berkisar 50-70 ribu Ha (Supriadi, 2009). Potensi biji karet pada musim biji utama dalam keadaaan normal adalah berkisar 5.000-10.000 butir
8
per hektar tanaman dewasa dengan berat rata-rata biji segar tergantung dari jenis klon induk yaitu berkisar 3,5-5,0 gram (Siagian, 2012) Bulan Agustus hingga November merupakan masa di masa tanaman karet berbunga dan menghasilkan biji khususnya di kawasan Deli Serdang, Sumatra Utara dibagian utra khtulistiwa, sementara pada bagian Selatan khtulistiwa umumnya tanaman karet berbunga pada bulan Januari sampai dengan April (Siagian, 2012). Selain untuk benih sebagai bahan tanam, biji karet memiliki beberapa manfaat yang bernilai ekonomis. Cangkang biji dapat dijadikan biochar atau bahan pencampur obat anti nyamuk bakar. Daging biji dapat dijadikan minyak pada pabrik cat atau pernis, batik, genteng, atau digunkan dalam pembuatan sabun, pelunak karet, minyak pengering, alkaloid resin, lemakgemuk, dan asam lemak lainnya (Siregar dan Suhendry, 2013). `
Balai Penelitian Lingkungan Pertanian di Bogor dalam penelitiannya telah
menemukansuatu teknik pengedali residu pestisida dengan memanfaatkan suatu bahan amelioran biochar yang terbuat dari limbah pertanian yaitu biochar tempurung kelapa, sekam padi, tongkol jagungdan tandan kosong kelapa sawit yang memiliki daya serap tinggi dan mampu menyerap/mengikat pencemar residu pestisida (Ardiwinata, 2010). Penelitian biochar juga dikemukakan oleh Lempang (2013) bahwa dengan aplikasi biochar yang berasaldari tempurung kemiri sebagai komponen media tumbuh dapat meningkatkan secara nyata pertumbuhan tinggi, diameter batang, dan biomassa tanaman melina. Seperti halnya kelapa sawit, batang kayu, serta tempurung kelapa dan kemiriyang dapat dimanfaatkan sebagai briket atau arang, begitu juga dengan cangkang biji karet, mengingat komponen kendaga tersusun oleh selulosa yang memiliki kandungan karbon yang cukup. Maka dari itu, hipotesis terhadap pemanfaatan kendaga dan cangkang biji karet perlu dianalisis sebagai biochar. Pembuatan biochar dengan memanfaatkan kendaga dan cangkang biji karet merupakan pemanfaatan limbah pertanian yang ramah lingkungan.
2.4. Pembuatan Biochar Pembuatan biochar terdiri dari dua tahap, yaitu proses karbonasi terhadap bahan baku dan proses aktifasi hasil proses karbonasi pada suhu tinggi. Proses karbonasi adalah proses penguraian selulosa menjadi unsur karbon dan pengeluaran unsur-unsur nonkarbon yang berlangsung pada suhu 600-700 C (Kienle, 1986). Proses aktivasi
9
merupakan proses untuk menghilangkan hidrokarbon yang melapisi permukaan arang, sehingga dapat meningkatkan porositas arang. Proses aktivasi aarang dapat dilakukan dengan cara aktivasi mengunakan gas atau proses aktivasi kimia. Prinsip dasar aktivasi menggunakan gas adalah dengan pemberian uap air atau gas CO2 kepada arang yang telah dipanaskan. Arang dimasukkan ke dalam tungku aktivasi lalu dipanaskan pada suhu 800-1000 C. Uap air atau gas CO2 dialirkan selama pemanasan. Selama pengaktifan dengan gas pengoksidasi, lapisan karbon kristalit atau celah menjadi terbuka, sehingga gasa pengaktif lembab dapat mendorong residu hidrokarbon seperti senyawa fenol, methanol, dan senyawalain yang menempel pada permukaan arang. Cara yang efektif untuk mendorong residu tersebut adalah dengan mengalirkan gas pengoksida pada permukaan materi karbon (Pari,1996). Prinsip dasar aktivasi kimia adalah perendaman arang dengan bahan kimia sebelum dipanaskan. Arang direndam dalam larutan pengaktif selam 24 jam lalu ditiriskan dan dipanaskan pada suhu 600-900 C selama 1-2 jam. Pada suhu tinggi ini bahan pengaktif akan masuk diantara sela-sela lapisan heksagonal dan selanjutnya membuka permukaan yang tertutup. Bahan kimia yang digunakan antara lain H 3PO4, NH4Cl, AlCl3, HNO3, NaOH, H3BO3,KMnO4,SO2, H2SO4 dan K2S (Kienle, 1986). Unsur-unsur mineral dari persenyawaan kimia yang ditambahkan akan meresap ke dalam arang dan membuka permukaan yang mula-mula tertutup komponen kimia, sehingga luas permukaan yang aktif bertambah besar (Ketaren, 1986). Tabel 2. Persyaratan Biochar Berdasarkan SNI 06-3730-1995 Jenis Parameter
Nilai
Kadar Air
Maksimum 10 %
Kadar Abu
Maksimum 15 %
Kadar Zat Menguap
Maksimum 25 %
Kadar Karbon Terikat
Minimum 65 %
Daya Serap terhadap Yodium Minimum 750 mg/g Daya
Serap
terhadap Minimum 25%
Benzena Sumber : Badan Standarisasi Nasional (1995)
10
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penleitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai November 2016. Lokasi penelitian dilakukan di laboratorium Teknologi Balai Peneletian Sungai Putih Galang, laboratorium Agroteknologi Universitas Medan Area, laboratorium Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Medan dan Growth Center Kopertis Wilayah I Medan. Sedangkan tanah yag digunakan sebagai media tanam pada penelitian ini adalah tanah bekas pertanaman hortikultura (antara lain cabai merah dan kentang dan bawang) yang sudah tercemar dengan pestisida berasal dari Desa Korpri Kecamatan Berastagi dan Daerah Sukanalu Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo Sumatra Utara.
3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kendaga dan cangkang biji karet yang didapat dari kebun percobaan Balai Peneletian Sungai Putih Kecamatan Galang Delii Serdang. Reagensia yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam klorida (HCl) murni dan HCl teknis ,metylen blue,dan akuades. Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah oven, timbangan analitik, muffle, autoclave, saringan 40 mesh, mortal, dan alu, tabung pirolisis yang dimodifikasi, tungku karbonisasi, erlenmeyer, beaker glass, cangkul, label nama, kamera, meteran, polibeg, serta alat pendukung lainnya.
3.3 Metode Penelitian Penelitian pada tahun kedua ini dilaksanakan dengan dua (dua) tahap yaitu : 1. Tahap I, pengujian efektivitas biochar dari kendaga dan cangkang biji karet yang sudah diperoleh pada tahun I, sebagai bahan ameolirasi organik terhadap residu pestisida pada beberapa jenis tanah. 2. Tahapan II (kedua),untuk memperoleh biochar yang berasal dari kendaga dan cangkang biji karet yang lebih ekonomis, serta uji karakteristiknya, dan aplikasi di lapangan.
11
3.3.1. Tahap Pengujian Efektivitas Biochar Sebagai Bahan Ameliorasi Organik Terhadap Residu Pestisida Pada Beberapa Jenis Tanah. Penelitian ini menggunakan biochar teraktivasi yang dibuat melalui proses pemanasan tanpa pengaliran udara mengikuti prosedur yang telah dilakukan oleh Hutapea, dkk, (2015). Secara spesifik digunakan HCl teknis untuk aktifasinya, untuk melihat pengaruh efektivitas biochar tersebut. Bahan kendaga dan cangkang biji karet dikarbonisasi dengan tungku yang dimodifikasi selama 8 jam. Selanjutnya, arang hasil dari proses karbonisasi ditumbuk sampai mencapai ukuran 0,3-0,5. Selanjutnya direndam dalam larutan HCl 15% selama 24 jam, ditiriskan, diaktifkan dengan muffle dengan suhu 800 oC selama 60 menit. Biochar yang dihasilkan siap digunakan untuk penelitian di rumah kasa untuk mengetahui daya fiksasi terhadap kandungan residu di dalam tanah. Penyiapan biochar ini dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Sungei Putih. Setelah itu, penelitian laboratorium ini menggunakan dua contoh tanah, yang tercemar dengan pestisida yang berasal dari Kabupaten Karo Sumatera Utara bekas penanaman tanaman hortikultura yang berasal tempat yang berbeda. Tanah tersebut dibawa ke Rumah Kasa Laboratorium Growth Center Kopertis Wilayah I Medan untuk kemudian dimasukkan ke dalam polibeg yang sudah disusun menurut perlakuan dan ulangannya. Proses penyerapan dan kelarutan karbofuran dan klorpirifos dalam tanah didekati
dengan model
penyerapan isotermis
Langmuir. Parameter-parameter
penyerapan Langmuir, seperti kapasitas sangga dan daya sangga tanah dalam kaitannya dengan kelarutan karbofuran dan klorpirifos, dikolerasikan dengan respon tanaman terhadap pemberian karbofuran/klorpirifos. Tingkat korelasi digunakan untuk menduga tingkat penyerapan tanaman terhadap karbofuran/klorpirifos dalam tanah. Penelitian erapan karbofuran dan klorpirifos di laboratorium menggunakan tiga contoh tanah masing-masing dengan bobot 2 gram, lalu dimasukkan ke dalam tabung sentrifusi dan masing-masing ditambah amelioran (biochar teraktivasi) dengan konsentrasi 0, 150, 300, 600, dan 1200 ppm. Kemudian campuran ditambahkan pula masing-masing dengan insektisida karbofuran dan klorpirifos dengan konsentrasi 0, 2, 4, 6, 8, dan 10 ppm. Campuran diaduk hingga merata dan diinkubasi selama 2 minggu. Setelah inkubasi, campuran disentrifusi selama 30 menit pada kecepatan 5.000 rpm. Supernatant hasil sentrifusi dianalisis kandungan residu insektisidanya dengan metode kromatografi gas.
12
Erapan karbofuran dipelajari dengan metode Langmuir : Dimana; X
= karbofuran yang dierap tanah (faktor kuantitas)
Xm
= jumlah molekul zat terlarut yang diserap per gram zat penyerap
C
= kepekatan zat kimia pada kesetimbangan
b
= tetapan yang berhubungan dengan energy penyerapan konsentrasi sampel kromatografi dihitung berdasarkan cara base line, dengan
menghubungkan dua buah sisi base line puncak kromatografi lalu menarik garis tegaklurus dari titik puncak sampai didapat titik potong. Konsentrasi sampel dihitung menurut persamaan :
Keterangan : A = tinggi puncak sampel (cm) B = tinggi puncak standar insektisida (cm) C = Volume akhir sampel sebelum dianalisis setelah ekstraksi (ml) D = Volume supernatan yang dihasilakn dari sentrifus (ml) Diagram alir pelaksanaan penelitian dapat dilihat seperti Gambar 2 2 Contoh Tanah dari Kabupaten Karo (dianalisis kandungan pestisidanya) Penumbukan tanah dan penyaringan dengan saringan 2 mm
Penggilingan biochar teraktivasi
Pengkombinasian 0,5 kg dari setiap tanah dengan 0; 0,15; 0,3; 0,6 dan 1,2 g dari setiap biochar (IS1200, IS600, IS300, IS150, IS0, US1200, US600, US300, US150, dan US0) lalu masingmasing ditambah 25 ml air distilasi
Inkubasi semua kombinasi selama seminggu sambil diaduk
Penentuan kadar air setiap kombinasi hasil inkubasi (metode oven)
Memvariasikan tiap-tiap kombinasi dengan larutan bahan aktif karbofuran 0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; 1,6; 1,8; dan 2,0 ppm dalam CaCl2 0,005 M
13
Inkubasi semua variasi selama seminggu sambil dikocok horizontal
Sentrifugasi pada 3000 rpm selama 20 menit
Residu (tidak dianalisis)
Supernatan
Ukur volumenya lalu ekstraksi dengan 2 x 10 ml n-heksana
Fraksi air
Fraksi n-heksana
(tidak dianalisis) Pekatkan di penguap putar 25 g dari setiap tanah diekstraksi dengan radas Soxhlet (8 jam, pelarut aseton)
Tambahkan aseton sampai 10 ml
Pekatkan di penguap putar Pekatkan di penguap putar
Derivatisasi
Larutan bahan aktif karbofuran 0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8 dan 1,0 ppm sebagai deret standar
Analisis GC : Suhu injektor 230 oC, suhu kolom 220 oC, kolom OV-17 Chromosorb WAW, laju alir N2 40 ml/menit, detector penangkapan elektron, sensitivitas 4 x 102 Mῼ
Biochar diuji pada 2 sumber tanah yang berbeda dengan menanaminya di polibeg 2 jenis tanaman hortikultura yakni bawang merah dan Cabai Merah Perlakuan dan ulangan disusun sesuai dengan hasil analisis tersebut di atas dan hasil penelitian yang Prosedur Deraivatisasi diperoleh tahun 2015
14
Ekstrak pekat
+ 100 ml air destilasi
+ ml FDNB 6% (v/v) dalam aseton
+ 2 ml KOH 0,5 N (ditambahkan berurut) Dikocok mekanik 20 menit
+ 10 ml boraks 5% Panaskan di penangas air pada 80 oC selama 20 menit
Dinginkan dengan air kran
Ekstraksi dengan 10 ml n-heksana-dietil eter (45:3); pengocokan dilakukan 3 menit secara mekanik
Fraksi air
Fraksi n-heksana-dietil eter
(tidak dianalisis) Bebas airkan dengan Na2SO4 anhidrat
Ukur volumenya lalu analisis GC
Gambar 1. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian
15
3.3.2. Tahap Pembuatan Biochar Kendaga dan Cangkang Biji Karet yang Ekonomois - Pembuatan Biochar yang Ekonomis Penelitian ini menggunakan biochar teraktivasi yang dibuat melalui proses pemanasan tanpa pengaliran udara mengikuti prosedur yang telah dilakukan oleh Hutapea, dkk, (2015). Secara spesifik digunakan HC1 teknis untuk aktifasinya,untuk melihat pengaruh efektivitas biochar tersebut. Bagian kendaga dan cangkang biji karet dikarbonisasi dengan tungku yang dimodifikasi selama 8 jam. Selanjutnya,arang hasil dari proses karbonisasi ditumbuk sampai mencapai ukuran 0,3-0,5. Selanjutnya direndam dalam larutan HCl 15% selama 24 jam, ditiriskan, diaktifkan dengan moffle dengan suhu 8000 C selama 60 menit. Biochar yang dihasilkan siap digunakan untuk penelitian dirumah kassa untuk mengetahui daya fiksasi terhadap kandungan residu dalam tanah. Penyiapan biochar ini dilakukan di laboratorium balai penelitian sungai putih. Setelah itu, penelitian laboratorium ini menggunakan 2 contoh tanah bekas pertanaman tanaman hortikultura yang berasal dari Kabupaten Karo. Tanah tersebut dibawa kerumah kassa laboratorium Growth Centre kopertis wilayah 1 medan untuk kemudian dimasukkan kedalam polibag yang sudah disusun menurut perlakuan dan ulangannya. Proses penyerapan dan kelarutan karbofuran dan klortirifos dalam tanah didekati dengan model penyerapan isotermis langmuir. Parameter-parameter peyerapan langmuir, seperti kapasitas sanggah dan daya sanggah tanah dalam kaitannya dengan kelarutan karbofuran dan klorpirifos, dikolerasikan dengan respon tanaman terhadap pemberian karbofuran/klorpirifos. Tingkat kolerasi yang digunakan untuk menduga tingkat penyerapan tanaman terhadap karbofuran/klorpiirifos dalam tanah. Penelitian serapan karbofuran dan klorpirifos dilaboratorium menggunakan 2 contoh tanah masing-masing dengan bobot 2 gr, lalu dimasukkan ke dalam tabung sentrifusi dan masing-masing ditambahkan amelioran (biochar teraktivasi) dengan konsentrasi 0, 150, 300, 600, dan 1200 ppm. Kemudian dicampurkan ditambahkan pula masing-masing dengan insektisida karbofuran dan klirfiripos dengan konsentrasi 0, 2, 4, 6, 8, dan 10 ppm. Campuran diaduk hingga merata dan diinkubasi selama 2 minggu. Setelah inkubasi, campuran disentrifusi selama 30 menit pada kecepatan 5.000 rpm. Supernatant hasil sentrifusi dianalisis kandungan residu insektisidanya dengan metode
16
khromatografi gas.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak
lengkap yang terdiri dari dua faktor, yaitu : Faktor I :Konsentrasi asam klorida (HCL) teknis yang terdiri dari 5 taraf, yaitu : K1
=0
%
K2
=5
%
K3
= 10
%
K4
= 15
%
K5
= 20%
Faktor II :Suhuaktivasi yang terdiridari 3 taraf, yaitu : S1
= 600
ºC
S2
= 700
ºC
S3
= 800
ºC
Banyaknya kombinasi perlakuan atau Treatment Combination (Tc) adalah 15, dan untuk ketelitian dalam penelitian ini dilakukan ulangan sebanyak 2 kali. Table 3. Rancangan Percobaan Pembuatan Biochar Dari Kendaga dan Cangkang Biji Karet Perlakuan Konsentrasi
Lama pemanasan (L) asam
S1
S2
S3
K0
K0 S 1
K0 S 2
K0 S 3
K1
K1 S1
K1 S 2
K1 S 3
K2
K2 S 1
K2 S 2
K2 S 3
K3
K3 S1
K3 S 2
K3 S 3
K4
K4 S 1
K4 S 2
K4 S 3
klorida teknis (K)
-
Aplikasi Biochar di Lapangan Pada tahap ini, penelitian menggunakan rancangan acak kelompok (RAK)
dengan 2 faktor dan 2 kali ulangan. Faktor perlakuan yang digunakan, yaitu perlakuan jenis hortikultura, yaitu cabai (mewakili kelompok buah), dan bawang merah (mewakili kelompok umbi). Pemilihan jenis hortikultura ini didasarkan hasil penelitian tahun I dimana hasil uji aplikasi biochar dari kendaga dan cangkang biji karet memberi pengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman cabai (kelompok buah) dan
17
kentang ( kelompok umbi) sedangkan untuk sawi/caisim (kelompok daun)
hasil
aplikasi biocar tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan tanaman dan produksi. Karena pertanaman akan dilaksanakan di Medan maka kelompok umbi akan digantikan dengan tanaman bawang merah dataran rendah, mengingat kentang tidak dapat menghasilkan produksi didataran rendah seperti kota Medan. Adapun perlakuan yang digunakan darisetiap faktor terdapat padaTabel 4. Tabel 4. Rancangan Percobaan Uji Efikasi Biochar Pada Lahan Bekas Pertanaman Tanaman Hortikultura Jenis tanaman hortikultura (P) Perlakuan Cabai Merah Bawang (P1) Merah (P2) A0 : control A0P1 A0P2 A1: arang aktif (100 %) A1P1 A1P2 A2: arang + pupuk kandang (90% : 10 %) A2P1 A2P2 A3: arang + pupuk kandang (80% : 20 %) A3P1 A3P2 A4: arang + pupuk kandang (70% : 30 %) A4P1 A4P2 A5: arang + pupuk kandang (60% : 40 %) A5P1 A5P2
3.4. Pelaksanaan Kegiatan Pembuatan Biochar Dari Kendaga dan Cangkang Biji Karet mengikuti cara kerja penelitian tahun I (Hutapea, dkk., 2015). Namun karena tingginya biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan biochar tersebut, maka perlu dimodifikasi dengan aktivasi mengunakan HCL (teknis) dan tanpa aktivasi, sehingga diharapkan akan diperoleh biochar yang berasal dari kendaga dan cangkang biji karet yang lebih murah dan ekonomis, dan diuji efektifitasnya dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman cabai merah, serta kemampuannya sebagai bahana meliorasi organik. Pembuatan biochar dari kendaga dan cangkang biji karet dilakukan di laboratorium Agroteknologi Fakultas Pertanian UMA dan uji karakteristiknya yang dilakukan di
Balai Penelitian Sungai Putih, Kecamatan Galang Kabupaten Deli
Serdang. Uji efikasi biochar di lapangan didasarkan pada hasil karakteristik terbaik, selanjutnya diaplikasi sebagai bahan ameliorasi organik dilakukan di polibeg dengan contoh tanah yang menjadi media tanam berasal dari lokasi hortikultura Desa Korpri Berastagi dan Desa Suka Nalu Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo Sumatera Utara.
18
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Serangkaian percobaan pada adsorpsi residu pestisida pada beberapa sampel tanah dilakukan pada bulan Juli dan Agustus 2016. Sampel tanah diperoleh dari desa Sukanalu Kecamatan Tiga Panah dan desa Korpri Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Percobaan seri terdiri dari manufaktur diaktifkan biochar dan uji adsorpsi isoterm residu pestisida dalam tanah.
4.1. Pembuatan Biochar Teraktivasi Kendaga dan cangkang biji karet diperoleh dari kebun percobaan Sungei Putih, Galang-Deli Serdang. Sifat biochar dipelajari dari limbah kendaga dan cangkang biji karet. Reaktor terbuat dari logam dengan diameter 57 cm dan tinggi 120 cm untuk karbonisasi. Setelah karbonisasi, biochar ditempatkan di dalam sebuah tungku elektrikdipanaskan. Dalam setiap pengujian, 100-400 g sampel dipanaskan dari suhu kamar ke 800oC dan dipertahankan selama setidaknya dua jam untuk memberikan waktu yang cukup untuk pirolisis lengkap. Sebuah penjelasan rinci tentang proses dan analitis metode telah disajikan dalam penelitian Hutapea, dkk (2015). Hasil Penelitian Tahun I ditunjukkan dalam Tabel 5 dengan membandingkan karakteristik biochar dalam percobaan dengan standar SNI. Sampel biomassa menunjukkan variasi yang besar dalam analisis proksimat, khususnya dalam soal yang mudah menguap dan karbon tetap. Dari kandungan karbon dan hasil massa, hasil karbon mewakili jumlah karbon yang tersisa di biochar dapat dihitung. Biochar memiliki hasil karbon sekitar 61-65% sedangkan sisanya memiliki nilai di kisaran 65%. Tabel 5. Karakteristik Biochar Kendaga dan Cangkang Biji Karet Value
Parameters Biochar Kadar air (%) Kadar abu (%) Zat menguap (%) Karbon terikat (%) Daya serap iodium (mg/g) Daya serap benzen (%) Hutapea, dkk (2015)
3.97 3.78 30.91 65.27 875.97 25.94
SNI standards Max. 15 Max. 10 Max. 25 Min. 65 Min. 750 Min. 25
19
Peran utama dari biochar dalam tanah adalah untuk meningkatkan retensi nutrisi selain pasokan langsung dari nutrisi. Oleh karena itu, luas permukaan mikroskopis adalah salah satu sifat penting untuk biochar, menentukan kemampuan nutrisi dan penyerapan air.
4.2. Karakteristik Tanah Sampel tanah dikumpulkan dari tanah hortikultura dan dianalisis untuk mengevaluasi tekstur tanah dan nilai pH. Tabel 6 menunjukkan hasil yang diperoleh dari tes ini. Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase lumpur lebih besar dari itu di tanah liat. karbon organik relatif tinggi (4,07 dan 4,22%) yang mengurangi adsorpsi pestisida. Serapan pestisida untuk tanah umumnya meningkat dengan kandungan bahan organik tanah (Tiwari dan Guha, 2012). Tabel 6. Sifat Fisik dan Kimia Tanah Parameter Tekstur pasir (%) debu %) liat (%) pH (H2O) Organic material C (%) N (%) P-Bray (ppm) Base saturation (%) CEC (meq/100 g) K-exch (meq/100 g) Ca-exch (meq/100 g) Mg-exch (meq/100 g) Na-exch (meq/100 g)
Tanah Sukanalu
Tanah Korpri
62.87 33.41 3.72 5.30
59.05 33.50 7.46 5.70
4.07 0.78 541.00 29.91 32.97 6.51 1.57 1.31 0.18
4.22 0.82 448.00 28.96 32.45 5.39 2.50 1.63 0.15
Hasil analisis sifat-sifat fisika dan kimia pada kedua kelompok contoh tanah, yaitu Sukanalu dan Korpri ditunjukkan pada Tabel 6. Contoh tanah Sukanalu memiliki kandungan pasir 62.87%, debu 33.41%, dan liat 3.72%. Nilai pH dalam air ialah 5.30 dan tergolong masam. Kandungan bahan organik C termasuk tinggi yaitu 4.07%, sedangkan kandungan bahan organik N tergolong sangat tinggi, yaitu sebesar 0.78%. Kandungan P yang diperoleh dengan pengekstrak Bray tergolong sangat tinggi yaitu 541.00 ppm. Sementara nilai KTK dan kejenuhan basa diperoleh berturut-turut adalah 32.97 meq/100 g (tinggi) dan 29.91% (rendah). Susunan kation pada contoh tanah Sukanalu meliputi K sebesar 6.51 meq/100 g (sangat tinggi), Ca sebesar 1.57 meq/100 g
20
(sangat rendah), Mg sebesar 1.31 meq/100 g (sedang), dan Na sebesar 0.18 meq/100 g (rendah). Contoh tanah Korpri memiliki kandungan pasir 59.05%, debu 33.50%, dan liat 5.7%. Nilai pH dalam air ialah 5.70 dan tergolong masam. Kandungan bahan organik C termasuk tinggi yaitu 4.22%, sedangkan kandungan bahan organik N tergolong sangat tinggi, yaitu sebesar 0.82%. Kandungan P yang diperoleh dengan pengekstrak Bray tergolong sangat tinggi yaitu 448.00 ppm. Sementara nilai KTK dan kejenuhan basa diperoleh berturut-turut adalah 32.45 meq/100 g (tinggi) dan 28.96% (rendah). Susunan kation pada contoh tanah Korpri meliputi K sebesar 5.39 meq/100 g (sangat tinggi), Ca sebesar 2.50 meq/100 g (rendah), Mg sebesar 1.63 meq/100 g (sedang), dan Na sebesar 0.15 meq/100 g (rendah). Secara umum kedua contoh tanah memiliki sifat fisika dan kimia yang tidak berbeda.
4.3. Pengujian dan Analisis Residu Pestisida dalam Tanah Untuk studi laboratorium sampel tanah lembab dikumpulkan dari kedalaman tanah 0 sampai 15 cm dan tanah untuk melewati saringan 2 mm. sampel tanah tersebut disimpan dalam kantong plastik pada suhu kamar. Metode standar yang digunakan untuk menentukan sifat fisikokimia tanah. Pestisida residu adsorpsi isoterm ditentukan sesuai dengan prosedur Muktamar dan Setyowati (2015). Lima puluh gram sampel tanah itu diseimbangkan dengan 20 ml dari berbagai konsentrasi cypermethrin dan klorpirifos di 0,01 solusi M CaCl2 di erlenmeyer. Konsentrasi solusi yang 3, 6, 9, 12 ppm. Kemudian sampel tanah diinkubasi selama seminggu. Analisis residu pestisida dalam tanah yang digunakan (cepat, mudah, murah, kasar, dan aman) metode QuEChERS menggunakan ekstraksi tunggal-langkah buffered asetonitril (MeCN) dan penggaraman partisi cair-cair dari air dalam sampel dengan MgSO4. ekstraksi sebar-fase padat (-SPE sebar) pembersihan dilakukan untuk menghilangkan asam organik, kelebihan air, dan komponen lainnya dengan kombinasi amina sekunder primer (PSA) sorben dan MgSO4; maka ekstrak dianalisis dengan spektrometri massa (MS) teknik setelah pemisahan analitis kromatografi (AOAC, 2007). Perhitungan konsentrasi residu dengan menggunakan rumus:
21
4.3. 1. Model Isotermis Langmuir Model ini berkaitan dengan monolayer dan adsorpsi homogen karena lapisan terserap adalah salah satu molekul ketebalan, dengan adsorpsi terjadi pada situs tetap, yang identik dan setara. bentuk linier dari model ini diberikan dalam Persamaan (1): Pengujian pola isotherm adsorpsi dilakukan dengan menggunakan persamaan Langmuir. Uji persamaan Langmuir dilakukan dengan menggunakan persamaan : Ce/(x/m) = 1/ab + 1/a Ce Dimana : Ce
= konsentrasi residu pestisida dalam tanah setelah diadsorpsi
x/m
= massa residu pestisida yang diserap per gram activated biochar
a
= kapasitas/daya adsorpsi maksimum (mg/gram)
b
= parameter afinitas atau konstanta Langmuir
4.3. 2. Model Isotermis Freundlich Freundlich isoterm berkaitan dengan non-ideal dan reversibel adsorpsi, tidak terbatas pada pembentukan monolayer. Oleh karena itu diterapkan untuk adsorpsi multilayer, dengan distribusi non-seragam adsorpsi panas dan afinitas atas permukaan heterogen. bentuk linier dari model ini diberikan sebagai dalam Persamaan (2). Log (x/m) = log k + 1/n log Ce Di mana k adalah kapasitas adsorpsi multilayer dan n adalah intensitas adsorpsi. Parameter dari kedua model ditunjukkan pada Tabel 7. Proses penyerapan atau adsorpsi dengan adsorben dipengaruhi oleh banyak faktor dan pola dalam isoterm adsorpsi tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam proses adsorpsi, mis jenis adsorben, jenis zat yang terserap, luas permukaan adsorben, konsentrasi zat dan suhu. Karena faktor-faktor ini, masing-masing adsorben yang mengadsorbsi zat satu dengan zat lain tidak akan memiliki pola yang sama dari isoterm adsorpsi (Handayani dan Sulistiyono, 2009). Tabel 7 menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi pestisida maka semakin besar massa pestisida yang diserap oleh biochar. Dalam konsentrasi 3 ppm sipermetrin, pestisida teradsorpsi oleh biochar sekitar 0,81 mg / gram untuk Sukanalu dan 0.94 mg / gram untuk Korpri. Dalam konsentrasi 6 ppm, pestisida teradsorpsi oleh biochar sekitar 1,96 mg / gram untuk Sukanalu dan 2,20 mg / gram untuk Korpri. Dalam konsentrasi 9 ppm, pestisida teradsorpsi oleh biochar sekitar 2,92 mg / gram untuk Sukanalu dan 3,41 mg / gram untuk Korpri. Dalam konsentrasi 12 ppm, pestisida teradsorpsi oleh biochar
22
sekitar 3,99 mg / gram untuk Sukanalu dan 4.69 mg / gram untuk Korpri. Umumnya, adsorpsi residu pestisida dalam sampel tanah dari Korpri lebih besar dari sampel tanah dari Sukanalu. Kondisi ini terjadi karena sampel tanah dari Korpri memiliki struktur tanah liat yang lebih besar dari sampel tanah dari Sukanalu, sehingga adsorpsi residu pestisida juga dipengaruhi oleh struktur tanah liat di tanah (Tu, 2001). Tabel 7. Nilai Adsorpsi Residu Dengan Biochar Teraktivasi Pada Beberapa Konsentrasi Cypermethrin Contoh C0 Ce Cads Xm/m Ce/(X/m) log Ce log Xm Tanah (ppm) (ppm) (ppm) (mg/g) Sukanalu
Ce/(Xm/m)
Korpri
3
1.39
1.61
0.81
1.7267
0.1430 -0.0942
6
2.08
3.92
1.96
1.0612
0.3181
0.2923
9
3.16
5.84
2.92
1.0822
0.4997
0.4654
12
4.02
7.98
3.99
1.0075
0.6042
0.6010
3
1.13
1.87
0.94
1.2086
0.0531 -0.0292
6
1.60
4.40
2.20
0.7273
0.2041
0.3424
9
2.18
6.82
3.41
0.6393
0.3385
0.5328
12
2.63
9.37
4.69
0.5614
0.4200
0.6707
2.0 1.8 1.6 1.4 1.2 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0
y = -0.224x + 1.817 R² = 0.59
Sukanalu Korpri y = -0.396x + 1.531 R² = 0.801 0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
Ce
Gambar 2. Grafik Penyerapan Isotermis Langmuir Residu Cypermethrin
23
0.80
y = 1.873x - 0.096 R² = 0.983
Log Ce/Xm
0.60
y = 1.454x - 0.252 R² = 0.963
0.40 Sukanalu 0.20
Korpri
0.00
-0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
Log Ce
Gambar 3. Grafik Penyerapan Isotermis Freundlich Residu Cypermethrin
Table 8. Nilai Keseimbangan Adsorbsi Isotermis Cypermethrin Soil samples
Isotherm
Sukanalu
Langmuir
Korpri
Langmuir
Sukanalu
Freundlich
Korpri
Freundlich
Isotherm parameters a (mg/g) b R2 a (mg/g) b R2 k (mg/g) n R2 k (mg/g) n R2
Value 4.464 0.224 0.590 2.525 0.396 0.801 1.786 0.688 0.963 1.247 0.534 0.983
Langmuir adsorpsi isoterm menunjukkan bahwa itu bukan hubungan linear pada hasil ini ditunjukkan pada Gambar 2, tapi adsorpsi isoterm Freundlich menunjukkan hubungan linear hubungan yang ditunjukkan pada Gambar 3. R2 dari isoterm adsorpsi Freundlich lebih besar dari yang di Langmuir isoterm adsorpsi dan dekat dengan nilai R2 mendekati 1. Hal itu berarti bahwa model Freundlich ini dipatuhi oleh adsorpsi cypermethrin seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. Adsorpsi cenderung memiliki n antara 1 dan 10. besar nilai n menyiratkan interaksi kuat antara tanah dan pestisida (Öztürk dan Bektas, 2004). Nilai n adalah 0,688 dan 0,534 untuk Sukanalu dan Korpri masing-masing dalam model isoterm Freundlich, yang menunjukkan bahwa proses adsorpsi adalah tidak menguntungkan dan
24
ini harus dilakukan dengan persentase tanah dengan tekstur liat yang rendah (3,72 dan 7,46) dan karena bahan organik yang tersedia di tanah hortikultura . Faktor kapasitas multilayer dari kedua pestisida (k) lebih tinggi dari 1 (satu) hal ini yang menunjukkan interaksi yang baik antara tanah dan pestisida. Dengan lebih banyak interaksi tanah dari desa Sukanalu dari tanah yang berasal dari desa Korpri. Adsorpsi isotherm Langmuir ini umumnya diterapkan pada monolayer chemisorptions gas. isoterm ini terutama diterapkan ketika ada adsorpsi yang kuat diharapkan dan ketika permukaan adsorpsi adalah seragam. Langmuir isoterm menunjukkan bahwa adsorpsi akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi pestisida hingga titik jenuh, di mana semua situs ditempati seperti Gambar 2 (Jodeh, et.al., 2013).
4.3.3. Adsorbsi Klorpyrifos dalam Tanah
Tabel 9. Jumlah Residu yang Teradsorpsi oleh Biochar Teraktivasi pada Beberapa Konsentrasi Klorpyrifos Contoh
C0
Ce
Cads
Xm/m
Tanah
(ppm)
(ppm)
(ppm)
(mg/g)
Sukanalu
3
1.82
1.18
6
3.06
9
Korpri
Ce/(Xm/m)
log Ce
log Xm
0.59
3.0847
0.2601
-0.2291
2.94
1.47
2.0816
0.4857
0.1673
5.30
3.70
1.85
2.8649
0.7243
0.2671
12
7.30
4.70
2.35
3.1064
0.8633
0.3710
3
2.03
0.97
0.49
4.1856
0.3075
-0.3143
6
3.43
2.57
1.29
2.6693
0.5353
0.1089
9
4.37
4.63
2.32
1.8877
0.6405
0.3645
12
6.57
5.43
2.72
2.4199
0.8176
0.4337
Tabel 9. menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi pestisida maka semakin besar pula massa pestisida yang teradsorpsi oleh biochar. Untuk konsentrasi 3 ppm dari pestisida klorpyrifos yang ditambahkan, massa pestisida yang teradsorpsi adalah 0.59 mg/gram biochar pada sampel tanah Sukanalu dan 0.49 mg/gram biochar pada sampel tanah Korpri. Untuk konsentrasi 6 ppm pestisida klorpyrifos yang ditambahkan, massa pestisida yang teradsorpsi adalah 1.47 mg/gram biochar pada sampel tanah Sukanalu dan 1.29 mg/gram biochar pada sampel tanah Korpri. Untuk konsentrasi 9 ppm pestisida klorpyrifos yang ditambahkan, massa pestisida yang teradsorpsi adalah 1.85
25
mg/gram biochar pada sampel tanah Sukanalu dan 2.32 mg/gram biochar pada sampel tanah Korpri. Untuk konsentrasi 12 ppm pestisida klorpyrifos yang ditambahkan, massa pestisida yang teradsorpsi adalah 2.35 mg/gram biochar pada sampel tanah Sukanalu dan 2.72 mg/gram biochar pada sampel tanah Korpri. Secara umum, penyerapan residu pestisida di dalam sampel tanah Korpri lebih besar dibandingkan dengan sampel tanah pada Sukanalu. Hal ini disebabkan karena pada sampel tanah Korpri memiliki struktur liat yang lebih besar dibandingkan dengan sampel tanah Sukanalu, sehingga penyerapan residu pestisida juga dipengaruhi oleh struktur liat di dalam tanah (Tu, 2001). Langmuir adsorpsi isoterm menunjukkan bahwa itu bukan hubungan linear dan hasilnya adalah pada Gambar 4, tapi adsorpsi isoterm Freundlich menunjukkan hubungan linear yang ditunjukkan pada Gambar 5. R2 dari isoterm adsorpsi Freundlich lebih besar dari yang di Langmuir isoterm adsorpsi mendekati nilai = 1. itu berarti bahwa model Freundlich cocok untuk adsorpsi klorpirifos seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. 4.5 4.0 y = 0.066x + 2.494 R² = 0.112
Ce/(Xm/m)
3.5 3.0 2.5
Sukanalu
2.0 y = -0.363x + 4.281 R² = 0.494
1.5 1.0 0.5 0.0
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
Ce
Gambar 4. Grafik Penyerapan Isotermis Langmuir Residu Klorpyrifos
Korpri
26
0.6
y = 1.531x - 0.732 R² = 0.929
Log Xm/m
0.4
y = 0.938x - 0.403 R² = 0.905
0.2 Sukanalu 0.0 -0.2
Korpri 0.0
-0.4
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Log Ce
Gambar 5. Grafik Penyerapan Isotermis Freundlich Residu Klorpyrifos Adsorpsi cenderung memiliki n antara 1 dan 10. besar nilai n menyiratkan interaksi kuat antara tanah dan pestisida (Öztürk dan Bektas, 2004). Pada Tabel 10. nilai n adalah 1,066 dan 0,653 untuk Sukanalu dan Korpri masing-masing dalam model isoterm Freundlich, yang menunjukkan bahwa proses adsorpsi adalah tidak menguntungkan dan ini harus dilakukan dengan persentase rendah tanah liat (3,72 dan 7,46) karena bahan organik yang tersedia di tanah hortikultura . Faktor kapasitas multilayer dari kedua pestisida (k) lebih tinggi dari satu, hal ini menunjukkan interaksi yang baik antara tanah dan pestisida lebih banyak interaksi di Desa Korpri dari Desa Sukanalu. Langmuir adsorpsi isoterm ini umumnya diterapkan pada monolayer chemisorptions gas. isoterm ini terutama diterapkan ketika ada adsorpsi yang kuat diharapkan dan ketika permukaan adsorpsi adalah seragam.
Tabel 10. Nilai Keseimbangan Adsorbsi Isotermis Klorpyrifos Contoh Tanah
Sukanalu
Korpri
Sukanalu
Isotherm
Langmuir
Langmuir
Isotherm parameters
Value
a (mg/g)
15.15
b
0.066
R2
0.112
a (mg/g)
2.755
b
0.363
R2
0.494
Freundlich k (mg/g)
2.529
27
Korpri
n
1.066
R2
0.905
k (mg/g)
5.395
Freundlich n R2
0.653 0.929
Umumnya, efek dari kandungan bahan organik dalam tanah menjadi residu adsorpsi sebagai pengaruh kandungan liat tanah. Semakin besar kandungan bahan organik sesuai dengan adsorpsi yang lebih besar. Pestisida memiliki kecepatan untuk peluruhan yang berbeda (paruh). Waktu paruh akan mempengaruhi sifat resistensi dari residu dalam tanah. Semakin besar paruh yang sesuai dengan lama, itu akan tinggal di tanah dan lebih sulit untuk diuraikan. Biochar teraktivasi yang telah dimasukkan ke dalam tanah akan memiliki kekuatan adsorpsi yang berbeda dibandingkan dengan keadaan awal. Hal ini disebabkan kemungkinan biochar diaktifkan menyerap senyawa lainnya. 4.4. Respon Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah dan Cabai Merah Terhadap Pemberian Biochar Kendaga dan Cangkang Biji Karet Produksi bawang merah Sumatera Utara mengalami penurunan pada tahun 2014 sebesar 495 ton atau 5,96% dibandingkan tahun 2013 yang mencapai 8.305 ton sebagai akibat penurunan produktivitas sebesar 0,14 ton per hektar (BPS SUMUT, 2016). Penyebab penurunan produktivitas bawang merah tersebut adalah karena selama ini penggunaan pupuk anorganik dan pestisida anorganik yang berlebihan selama budidaya bawang merah, cabai dan tanaman hortikultura lainnya. Dampak negatif pemakaian pupuk anorganik dan pestisida anorganik secara terus menerus adalah terjadinya degradasi kesuburan tanah, rusaknya ekosistem pertanian, rusaknya ekosistem perairan, dan hasil panen yang masih mengandung sisa bahan aktif pestisida tersebut. Tanah yang tercemar pupuk anorganik dan pestisida anorganik juga dapat membunuh mikroorganisme pengurai (dekomposer) yang ada didalam tanah sehingga dapat mengganggu proses penguraian senyawa organik. Oleh sebab itu, upaya menanggulangi permasalahan tersebut perlu dilakukan pengolahan tanah sehingga tanah yag tercemar kembali menjadi subur. Biochar merupakan suatu alternatif yang digunakan sebagai bahan pembenah tanah yang tercemar pupuk dan
28
pestisida anorganik serta dapat memperbaiki tanah yang telah mengalami degradasi (Rahayu, dan Berlian. 1999). Menurut Gani (2009) biochar merupakan arang hayati yang berasal dari pembakaran tidak sempurna (pirolisis) bahan organik sisa-sisa hasil pertanian yang dapat digunakan sebagai salah satu alternatif untuk pembenah tanah. Keuntungan lain dari penggunaan biochar adalah karena biochar lebih tahan terhadap dekomposisi oleh mikroorganisme tanah sehingga mampu bertahan lama didalam tanah (Ismangil, 2008). Di Indonesia potensi penggunaan biochar cukup besar, mengingat bahan baku seperti kayu, tempurung kelapa, sekam padi, cangkang kelapa sawit, cangkang karet, serta kendaga karet sangatlah tersedia. Kendaga dan cangkang biji karet merupakan limbah yang sering dijumpai di perkebunan karet setiap tahunnya. Selama ini kendaga dan cangkang biji karet tersebut belum dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan biochar, sementara potensinya untuk dijadikan sebagai biochar sangat tinggi. Kendaga dan cangkang biji karet mengandung selulosa 48,64 % dan lignin 33,54 %. Kandungan inilah yang membuat kendaga dan cangkang biji karet memiliki sifat yang keras seperti kayu yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan biochar. Penggunaan biochar sebagai bahan pembenah tanah berbahan baku sisa-sisa hasil pertanian yang sulit terdekomposisi seperti kendaga dan cangkang biji karet merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk mempercepat perbaikan kualitas sifat fisik tanah (Lehmann, 2007). Penelitian Bawang Merah dilakukan dengan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (RPT) tediri dari dua faktor yaitu : Faktor I adalah perbedaan lokasi tanah bekas tanaman hortikultura yang tercemar pupuk dan pestisida anorganik yang berasal Kabupaten Karo, Sumatera Utara dengan notasi T yang ditempatkan sebagai petak utama, terdiri dari 2 taraf, yaitu : T1 : Tanah tercemar pupuk dan pestisida anorganik dari Desa Guru Singa, Kecamatan
Berastagi, Kabupaten Karo. T2 : Tanah tercemar
pupuk dan pestisida anorganik dari Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo. Faktor II adalah pemberian biochar kendaga dan cangkang biji karet pada berbagai dosis dengan notasi B, ditempatkan sebagai anak petak yang terdiri dari 3 taraf, yaitu : (B0) Tanpa Biochar (Teknis budidaya bawang merah secara konvensional yang dipakai petani dengan pemberian pupuk NPK 16:16:16 sebanyak 300 kg/ha atau setara dengan 0,15 g/kg tanah); (B1) Biochar 5 ton/ha ( 2,5 g/kg tanah); (B2) Biochar 10 ton/ha ( 5 g/kg tanah ). Jumlah kombinasi perlakuan adalah 6 kombinasi perlakuan.
29
Penelitian Cabai Merah dilakukan dengan menggunakan Rancangan
Acak
Kelompok Faktorial yang terdiri dari 2 faktor, Faktor I adalah Pemberian biochar kendaga dan Cangkang Biji Karet (B) yang terdiri dari 4 Taraf : (B0) Tanpa Biochar; (B1) 5 ton/Ha (2,5 g/ kg tanah atau 25 g/ polibeg; (B2) 10 ton/ha (5 g/ kg tanah atau 50 g/polibeg); dan (B3) 15 ton/Ha (7,5 g/kg tanah 75 g/polibeg). Faktor II adalah Perlakuan berbagai tanah bekas pertanian hortikultura yang terdapat di Brastagi Kabupaten Karo Sumatera Utara yang intesif menggunakan pestisida dan pupuk (T) yang terdiri dari 3 Taraf yaitu T0 (Tanah yang ada di lokasi penelitian) sebagai kontrol; (T1) Tanah tercemar pupuk dan pestisida anorganik dari Desa Guru Singa, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo. (T2) : Tanah tercemar pupuk dan pestisida anorganik dari Desa Sukanalu, Kecamatan Barus Jahe, Kabupaten Karo. Jumlah kombinasi perlakuan adalah 12 kombinasi perlakuan. Pelaksanaan penelitian dilakukan dimana contoh tanah yang berasal dari bekas pertanaman hortikultura Kabupaten Karo dibersihkan dari kotoran yang ada di dalam tanah seperti rumput dan batu-batuan, selanjutnya diayak dan dimasukkan ke polibeg ukuran 35x40 cm, dan dijadikan sebagai media tanam bawang merah dan cabai merah. Kemudian media tanah yang ada dalam polibeg ini disusun letaknya sesuai denah penelitian (Lampiran ) dalam rumah kassa Growth Center Kopertis Wilayah I Medan. Untuk penelitian bawang merah dipersiapkan umbi yang langsung ditanaman pada media yang sudah diberikan perlakuan, sedangkan untuk tanaman cabai dilakukan terlebih dahulu pembibitan selama ± 1 bulan baru dilakukan penanaman pada media yang sudah diberi perlakuan. Setelah pertanaman, selanjutnya dilakukan pemeliharaan tanaman (menyiram, menyisip, menyiang, dan melakukan pengendalian terhadap hama dan penyakit). Setelah tanaman berumur 2 minggu setelah tanam (MST), dilakukan pengamatan parameter baik pertumbuhan dan produksi tanaman bawang merah dan cabe merah. Pengukuran parameter pertumbuhan dan produksi tanaman bawang merah meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, diameter umbi, jumlah umbi, berat basah umbi dan berat kering umbi. Sedangkan untuk parameter pertumbuhan produksi tanaman cabai merah meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang, jumlah cabang produktif dan Jumlah buah pertanaman sampel dan bobot buah pertanaman sampel. Pemanenan dilakukan setelah tanaman berumur 9 MST untuk tanaman bawang merah, sedangkan untuk tanaman cabai merah panen dilakukan setelah buah tanaman cabai berwarna merah, yakni setelah tanaman berumur 77 hari dilakukan sampai 3 kali panen.
(11MST), dan panen
30
4. 4. 1. Respon Pertumbuhan Tanaman Bawang Merah dan Cabai merah Terhadap Pemberian Kendaga dan Cangkang Biji Karet pada Tanah Bekas Pertanaman Hortikultura Kabupaten Karo Respon pertumbuhan
tanaman bawang merah terhadap pemberian biochar
kendaga dan cangkang biji karet pada tanah bekas pertanaman hortikultura di Kabupaten Karodapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Rangkuman Hasil Analisis Statistik Respon Parameter Pertumbuhan Tanaman Bawang Merah Terhadap Pemberian Biochar Kendaga danCangkang Biji Karet pada Tanah Bekas Pertanaman Hortikultura Kabupaten Karo Parameter Pengamatan Perla kuan
Tinggi Tanaman 2 MST
3 MST
Jumlah Daun
4 MST
5 MST
6 MST
2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
Tanah T1
13,80 bA
19,52 bA
24,31 bA
26,74 bA
29,68 aA
9,48 tn
13,05 tn
18,45 tn
22,12 tn
26,47 tn
T2
15,76 aA
21,03 aA
25,56 aA
27,98 aA
30,90 aA
10,23 tn
13,95 tn
18,40 tn
22,05 tn
25,98 tn
B0
14,20 tn
19,05 tn
23,83 tn
26,25 tn
29,33 tn
9,30 bB
13,38 abA
17,35 bA
21,13 bA
24,78 aA
B1
15,40 tn
21,05 tn
25,69 tn
27,91 tn
30,81 tn
10,80 aA
14,25 aA
19,70 aA
23,53 aA
27,85 aA
B2
14,47 tn
20,73 tn
25,23 tn
27,93 tn
30,74 tn
9,48b AB
12,88 bA
18,23 abA
21,60 abA
26,05 aA
T1B0
13,25 tn
18,13 tn
23,05 tn
25,30 tn
28,55 tn
8,75 tn
12,35 tn
16,90 tn
20,95 tn
24,60 tn
T1B1
14,23 tn
20,35 tn
25,08 tn
27,60 tn
30,80 tn
10,85 tn
14,05 tn
20,60 tn
24,05 tn
29,40 tn
T1B2
13,93 tn
20,08 tn
24,80 tn
27,33 tn
29,70 tn
8,90tn
12,75 tn
17,85 tn
21,35 tn
25,40 tn
T2B0
15,15 tn
19,98 tn
24,73 tn
27,20 tn
30,10 tn
9,85 tn
14,40 tn
17,80 tn
21,30 tn
24,95 tn
T2B1
16,58 tn
21,75 tn
26,30 tn
28,23 tn
30,83 tn
10,80 tn
14,45 tn
18,75 tn
23,00 tn
26,30 tn
T2B2
15,55 tn
21,38 tn
25,65 tn
28,53 tn
31,78 tn
10,05 tn
13,00 tn
18,60 tn
21,85 tn
26,70 tn
Biochar
Tanah x Biochar
Keterangan : Notasi yang sama pada lajur yang sama berbeda tidak nyata pada tingkat keyakinan 95% (huruf kecil) dan 99% (huruf besar) berdasarkan uji jarak Duncan
Tabel 11 menunjukkan bahwa perlakuan tanah bekas tanaman hortikultura yang berasal dari desa Korpri dan Sukanalu berpengaruh signifikan pada tinggi tanaman mulai dari umur 2 MST sampai 6 MST. Pengaruh biochar kendaga dan cangkang biji karet pengaruhnya tidak signifikan terhadap tinggi tanaman mulai umur 2 MST sampai 6 MST. Sedangkan Kombinasi perlakuan tanah bekas tanaman hortikultura yang berasal dari desa Korpri dan Sukanalu dengan biochar kendaga dan cangkang biji karet juga
31
berpengaruh tidak signifikan terhadap panjang daun mulai umur 2 MST sampai 6 MST. Rangkuman tinggi tanaman akibat perbedaan lokasi tanah bekas tanaman hortikultura disajikan pada Gambar 6.
Tinggi Tanaman (cm)
35.00 30.00 25.00 20.00
T1 = Korpri
15.00
T2 = Sukanalu 10.00 5.00 0.00
2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST Umur tanaman ( Minggu Setelah Tanam)
Gambar 6. GrafikTinggi Tanaman Pada Berbagai Lokasi Tanah Bekas Tanaman Hortikultura dari Desa Korpri dan Sukanalu Berdasarkan Tabel 11 juga menunjukkan bahwa perlakuan tanah bekas tanaman hortikultura yang berasal dari desa Korpri dan Sukanalu pengaruhnya tidak signifikan pada pengamatan jumlah daun mulai dari 2 MST sampai 6 MST. Pengaruh biochar kendaga dan cangkang biji karet, pengaruhnya signifikan terhadap panjang daun mulai umur 2 MST sampai 6 MST. Sedangkan kombinasi perlakuan tanah bekas tanaman hortikultura yang berasal dari desa Korpri dan Sukanalu dengan biochar kendaga dan cangkang biji karet tidak signifikan pengaruhnya terhadap panjang daun mulai umur 2 MST sampai 6 MST. Rangkuman hubungan pemberian biochar kendaga dan cangkang biji karet dengan pertambahan jumlah daun disajikan pada Gambar 7. Hasil analisis sidik ragam pertumbuhan tanaman cabai merah menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada perlakuan tanah bekas tanaman hortikultura yang berasal dari desa Korpri (T1) dan Sukanalu (T2) berpengaruh signifikan bila dibandingkan dengan tanah control (T0), pada umur 4 MST sampai 8 MST, sedangkan tinggi tanaman pada tanah bekas hortikultura di Desa Korpri dan Desa Sukanalu tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Tabel 12).
32
Jumlah daun (helai)
30.00 25.00
20.00 B0 = 0,15g/kg tanah
15.00 B1 = 2,5g/kg tanah
10.00 B2 = 5g/kg tanah
5.00 0.00 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST Umur tanaman (Minggu Setelah Tanam)
Gambar 7.Grafik Hubungan Jumlah Daun Tanaman Bawang Merah Pada Berbagai Dosis Biochar Kendaga dan Cangkang Biji Karet. Tabel 12. Hasil Uji Rataan Perlakuan Terhadap Tinggi Tanaman Cabai Merah Rataan Tinggi Tanaman Cabai Merah Pada Umur 2MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
Rataan
Rataan
Rataan
Rataan
Rataan
Rataan
Rataan
T0
18,24 tn
24,83 tn
35,89 Bb
44,22 bB
48,38 Ba
49,41 Ba
49,94 bA
T1
21,23 tn
31,00 tn
41,97 aA
48,95 aA
53,94 aA
55,28 aA
56,44 aA
T2
20,28 tn
29,86 tn
44,84 aA
56,31 aA
60,10 aA
63,33aA
64,36 aA
Perlakuan
Keterangan : Notasi yang sama pada lajur yang sama berbeda tidak nyata pada tingkat keyakinan 95% (huruf kecil) dan 99% (huruf besar) berdasarkan uji jarak Duncan.
Perlakuan biochar kendaga dan cangkang biji karet pengaruhnya tidak signifikan. Terhadap tinggi tanaman, sedangkan kombinasi perlakuan biochar kendaga dan cangkang biji karet pada berbagai tanah bekas tanaman hortikultura pengaruh nya juga tidak signifikan terhadap tinggi tanaman cabai merah. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah daun tanaman cabai merah menunjukkan bahwa perlakuan tanah bekas tanaman hortikultura (T1) dan (T2) pengaruhnya sangat signifikan pada umur 4 MST sampai 8 MST, dibandingkan dengan tanah control (T0). perlakuan tanah bekas tanaman hortikultura yang berasal dari Desa Sukanalu (T2) menghasilkan jumlah daun terbanyak, tetapi tidak signifikan dengan jumlah daun tanaman cabai pada tanah bekas pertanaman hortikutura yang berasal dari lokasi Korpri (T1) seperti tercantum pada Tabel 13.
33
Tabel 13. Hasil Uji Rataan Perlakuan Terhadap Jumlah Daun Tanaman Cabai Merah Perlakuan
Uji Rataan Jumlah Daun Tanaman Cabai Merah Pada Umur 2 MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
T0
13,91 tn
24,34 tn
45,63 bB
62,47 Bb
68,00 bB
58,41 Bb
54,09 bB
T1
15,28 tn
36,66 tn
66,66 aA
82,46 aA
81,78 aA
73,29 Aa
70,67 aA
T2
15,50 tn
41,59 tn
74,41 aA
110,88aA
106,2 aA
96,55 aA
87,86 aA
Keterangan : Notasi yang sama pada lajur yang sama berbeda tidak nyata pada tingkat keyakinan 95% (huruf kecil) dan 99% (huruf besar) berdasarkan uji jarak Duncan.
Sedangkan perlakuan biochar kendaga dan cangkang biji karet berpengaruh tidak signifikan terhadap jumlah daun tanaman cabai Merah dan kombinasi perlakuan biochar kendaga dan cangkang biji karet
pada berbagai tanah bekas tanaman
hortikultura juga tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah daun tanaman cabai. Hasil analisis ragam pada pengamatan diameter batang tanaman cabai pada umur 2 MST sampai 8 MST menunjukkan bahwa : perlakuan tanah bekas tanaman hortikultura yang berasal dari Desa Korpri (T1) pengaruhnya signifikan terhadap tanah kontrol (T0) sedang tanah bekas tanaman hortikultura yang berasal dari desa Sukanalu berpengarus sangat signifikan, namun antara tanah bekas penanaman hortikultura berasal dari Korpri dan Sukanalu tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan, tetapi diameter batang tertinggi berada pada bekas pertanaman hortikultura dari Desa Sukanalu (Tabel 14).
Tabel 14. Hasil Uji Rataan Perlakuan Terhadap Diameter Batang Tanaman Cabai Merah Tanaman Cabai Merah Perlakuan
Uji Rataan Diameter Batang Tanaman Cabai Pada Umur 2MST
3 MST
4 MST
5 MST
6 MST
7 MST
8 MST
T0
2,23bB
2,89bB
3,61bB
4,31bB
4,41bB
4,8bB
5,17bB
T1
2,55aA
3,45Aa
4,39aA
5,08aA
5,35aA
5,74aAB
5,96bAB
T2
2,63aA
3,61Aa
4,67aA
5,38aA
5,89aA
6,44aA
6,68aA
Keterangan : Notasi yang sama pada lajur yang sama berbeda tidak nyata pada tingkat keyakinan 95% (huruf kecil) dan 99% (huruf besar) berdasarkan uji jarak Duncan.
Hasil Sidik ragam Diameter Batang pada perlakuan biochar kendaga dan cangkang biji karet pengaruhnya tidak signifikan terhadap tinggi tanaman cabai. Demikian juga kombinasi perlakuan biochar kendaga dan cangkang biji karet pada berbagai tanah bekas tanaman hortikultura pengaruhnya tidak signifikan terhadap diameter batang tanaman cabai merah.
34
Demikian juga dengan hasil analisis ragam perlakuan biochar kendaga dan cangkang biji karet berpengaruh tidak signifikan terhadap jumlah cabang produktif tanaman cabai merah. Kombinasi perlakuan biochar kendaga dan cangkang biji karet pada berbagai tanah bekas tanaman hortikultura juga berpengaruh tidak signifikan terhadap jumlah cabang produktif cabai merah 4. 4. 1. 7. Respon Produksi Tanaman Bawang Merah dan Cabai merah Terhadap Pemberian Kendaga dan Cangkang Biji Karet pada Tanah Bekas Pertanaman Hortikultura Kabupaten Karo Respon parameter produksi dari tanaman bawang merah terhadap pemberian biochar kendaga dan cangkang biji karet pada tanah bekas pertanaman hortikultura di Kabupaten Karo dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Rangkuman Hasil Analisis Statistik Respon Parameter Produksi Tanaman Bawang Merah Terhadap Pemberian Kendaga dan Cangkang Biji Karet pada Tanah Bekas Pertanaman Hortikultura Kabupaten Karo Parameter Produksi Perlakuan Diameter Jumlah Berat Basah Berat Kering Umbi Umbi Umbi Umbi Tanah T1 8,20 bA 6,55 tn 6,74 tn 5,63 tn T2 9,8 2 aA 6,20 tn 8,02 tn 6,96 tn Biochar B0 8,40 tn 6,85 tn 5,62 bA 4,55 bA B1 9,60 tn 6,35 tn 8,66 aA 7,47 aA B2 9,00 tn 5,93 tn 7,87 abA 6,85 abA Tanah x Biochar T1B0 8,02 tn 7,05 tn 5,10 tn 3,87 tn T1B1 9,29 tn 6,70 tn 8,63 tn 7,48 tn T1B2 7,30 tn 5,90 tn 6,50 tn 5,55 tn T2B0 8,77 tn 6,65 tn 6,14 tn 5,24 tn T2B1 10,00 tn 6,00 tn 8,70 tn 7,47 tn T2B2 10,69 tn 5,95 tn 9,24 tn 8,16 tn Keterangan : Notasi yang sama pada lajur yang sama berbeda tidak nyata pada tingkat 95% (huruf kecil) dan 99% (huruf besar) berdasarkan uji jarak Duncan
keyakinan
Berdasarkan analisis ragam dari parameter produksi tanaman bawang merah menunjukkan bahwa diameter umbi pada perlakuan tanah bekas pertanaman hortikultura dengan lokasi yang berbeda menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap diameter umbi bawang merah. Pengaruh perlakuan biochar pengaruhnya tidak
35
signifikan terhadap diameter umbi bawang merah. Sedangkan kombinasi tanah bekas pertanaman hortikultura pada lokasi yang berbeda dengan biochar berpengaruh tidak signifikan terhadap diameter umbi bawang merah. Berdasarkan hasil analisis ragam parameter jumlah umbi yang diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan berbagai tanah bekas tanaman hortikultura dan dosis biochar berpengaruh tidak signifikan terhadap jumlah umbi bawang merah. Perlakuan tanah bekas tanaman hortikultura dan biochar juga pengaruhnya tidak signifikan terhadap jumlah umbi bawang merah pada semua kombinasi perlakuan. Namun dari berbagai kombinasi perlakauan yang menghasilkan umbi terbanyak adalah pada perlakuan T1B0. Tabel 15 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah umbi yang paling tinggi dihasilkan pada dosis tanpa biochar dengan jumlah 7,05 buah umbi. Hasil analisis ragam rataan umbi basah tanaman bawang merah menunjukkan bahwa respon tanaman yang diperoleh hasil perlakuan tanah bekas tanaman hortikultura pengaruhnya tidak signifikan terhadap berat basah umbi bawang merah. Pengaruh perlakuan biochar berpengaruh signifikan terhadap berat basah umbi bawang merah. Kombinasi tanah bekas tanaman hortikultura dengan biochar berpengaruh tidak signifikan terhadap berat basah umbi bawang merah. Hasil uji rata-rata perlakuan biochar terhadap berat basah umbi bawang merah disajikan pada tabel 15. Hasil analisis ragamnya perlakuan tanah bekas tanaman hortikultura berpengaruh tidak signifikan terhadap berat kering umbi bawang merah. Pengaruh perlakuan biochar berpengaruh nyata terhadap berat kering umbi bawang merah. Kombinasi perlakuan tanah bekas tanaman hortikultura dengan biochar berpengaruh tidak signifikan terhadap berat kering umbi bawang merah. Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa perlakuan biochar 2,5g/kg tanah (B1) merupakan perlakuan terbaik, menghasilkan rata-rata berat kering umbi 7,47g,
pengaruhnya signifikan dengan
perlakuan B0 (tanpa biochar) tetapi, tidak signifikan dengan perlakuan B2 (biochar 5 g/kg tanah). Pada penelitian ini umbi bawang merah yang dihasilkan lebih kecil hal itu dapat dilihat dari rata-rata umbi yang kurang dari 10 mm. Umbi yang dihasilkan relatif lebih kecil karena perkembangan umbi tidak hanya dipengaruhi ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk tumbuh dan berkembang tetapi juga dipengaharui kondisi lingkungan tanaman. Dari hasil analisis ragam tanaman cabai merah menunjukkan bahwa perlakuan tanah bekas tanaman hortikultura berpengaruh tidak signifikan terhadap jumlah buah tanaman cabai merah. Perlakuan biochar kendaga dan cangkang biji karet juga
36
berpengaruh tidak signifikan terhadap jumlah buah tanaman cabai merah. Kombinasi perlakuan biochar kendaga dan cangkang biji karet pada berbagai tanah bekas tanaman hortikultura pengaruhnya juga tidak signifikan terhadap jumlah buah cabai merah. Data produksi berat basah buah tanaman cabai dan analisis ragamnya pada panen pertama sampai
panen ketiga, hasil analisis ragamnya menunjukkan bahwa
perlakuan tanah bekas tanaman hortikultura berpengaruh tidak signifikan terhadap berat basah buah tanaman cabai merah .Perlakuan biochar kendaga dan cangkang biji karet juga berpengaruh tidak signifikan terhadap berat basah buah tanaman cabai merah. Serta kombinasi perlakuan biochar kendaga dan cangkang biji karet pada berbagai tanah bekas tanaman hortikultura pengaruhnya juga tidak signifikan terhadap berat basah buah cabai merah. Penggunaan jenis pestisida yang beragam akan semakin meningkatkan degradasi tanah sehingga tanah menjadi tidak subur karena ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan tanaman tidak tercukupi. Tanah yang tidak subur akan menghambat proses fotosintesis karena unsur hara seperti N, P, dan K sangat dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang cukup supaya proses fotosintesis berlangsung dengan baik sehingga karbohidrat yang dihasilkan lebih banyak yang akhirnya
mampu meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan bawang merah lebih cepat. Hal itu sesuai dengan Sosrosoedirdjo (2004) yang menyatakan bahwa karbohidrat merupakan hasil fotosintesis yang sangat diperlukan dalam pembelahan sel, perpanjangan sel, pembesaran sel dan pembentukan jaringan untuk perkembangan batang, daun dan akar. Tanah bekas tanaman hortikultura dari desa Sukanalu terbukti lebih gembur dari tanah dari desa Korpri. Tanah dari desa Sukanalu (T2) memiliki 3,72 % fraksi liat yang jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan tanah dari desa Korpri yang memiliki 7,46 % fraksi liat yang menyebabkan tanah dari desa Korpri (T1) lebih padat sehingga sulit ditembus akar tanaman. Hasil analisis tanah dari lokasi Korpri dan Sukanalu tercantum dalam Lampiran. Lingga dan Marsono (2008) mengatakan struktur tanah yang dikehendaki tanaman adalah struktur tanah yang gembur yang di dalamnya terdapat ruang pori-pori yang dapat diisi oleh air dan udara yang amat penting bagi pertumbuhan akar tanaman.Selain itu tanah yang baik digunakan sebagai media tanam adalah tanah yang mengandung unsur hara yang cukup dan tersedia bagi tanam seperti N, P, dan K. Pertumbuhan yang baik pada tanaman juga dipengaharui proses fotosintesis yang menghasilkan asimilat untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Proses
37
fotosintesis sangat dipengaharui unsur Mg, sebagai senyawa penyusun utama klorofil untuk proses fotosintesis. Terpenuhinya kebutuhan unsur hara mikro seperti magnesium (Mg) menyebabkan pembentukan klorofil daun lebih banyak sehingga proses fotosintesis semakin baik. Hal yang sama dikemukkan Sosrosoedjirdjo (2004) yang menyatakan bahwa karbohidrat merupakan hasil fotosintesis yang sangat diperlukan dalam pembelahan sel, perpanjangan sel, pembesaran sel dan pembentukan jaringan untuk perkembangan batang, daun dan akar. Lingga dan Marsono (2008) menyatakan fungsi Mg bagi tanaman adalah membentuk senyawa klorofil, asam nukleat, dan enzim yang dibutuhkan pada proses fotosintesis yang akhirnya meningkatkan pertumbuhan vegetatif yaitu pertumbuhan batang, akar, daun dan pembentukan tunas. Berdasarkan pengamatan tinggi tanaman menunjukkan bahwa tanah bekas tanaman hortikultura dari Desa Sukanalu merupakan tanah yang subur yang ditunjukkan melalui respon pertambahan tinggi tanaman yang nyata sehingga tanaman bawang merah bertambah tinggi. Tanah bekas tanaman hortikultura dari daerah Sukanalu cenderung lebih subur dibandingkan dengan tanah desa Korpri, hal ini karena para petani di desa Sukanalu melakukan sistem tumpang sari dengan tanaman yang sejenis (cabai dengan tomat) sehingga penggunaan jenis pestisidanya lebih sedikit dibanding dengan petani Korpri yang melakukan tumpang sari antara (cabai dengan jeruk) dengan demikian pestisida yang digunakan lebih banyak jenisnya sehingga kerusakan tanah pada lokasi tersebut berbeda akibat perbedaan jenis pestisida yang digunakan. Pestisida tidak hanya memberikan manfaat terhadap pertanian, namun juga memberikan dampak negatif terhadap kesuburan tanah dan juga produksi yang dihasilkan tanaman (Wahyuni, 2010). Respon pertambahan jumlah daun yang nyata disebabkan karena biochar kendaga dan cangkang biji karet mempengaharui kondisi media tanam bawang merah. Penambahan biochar (pembenah tanah) akan memperbaiki tanah karena membentuk pori-pori (ruang terbuka) antar agregat. Pada pori-pori antar agregat tanah terdapat udara, yang merupakan sumber penting oksigen untuk pernapasan akar, pori-pori antar agregat juga dapat menahan air. Kecukupan air pada tanaman menyebabkan proses fisiologis seperti pembelahan dan pembesaran sel dan lain sebagainya akan berjalan dengan baik. Perkembangan akar yang baik disebabkan karena perbaikan sifat fisik tanah akibat pemberian biochar kendaga dan cangkang biji karet sehingga akar dapat menyerapa unsur hara yang banyak untuk proses fotosintesis yang akhirnya mempercepat proses pertambahan tinggi, jumlah daun, dan berat tanaman. Hal itu
38
didukung penelitian Wiroatmodjo dan Zulkifli (1988), dalam penelitiannya menyatakan bahwa biochar (pembenah tanah) mampu memperbaiki sifat fisik tanah sehingga memacu pertumbuhan akar sekaligus dapat meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, berat basah, dan berat kering tanaman total sebesar 8,38 %. Menurut Nurbihaty (2010) keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan biochar antara lain adalah dapat memperbaiki struktur tanah, memperbaiki luas permukaan koloid, sehingga dapat menahan air dan tanah dari erosi, dan mengikat N, P, Ca, K, dan Mg yang akhirnya memudahkan akar untuk menyerap nutrisi. Hal yang sama juga dikemukakan Santi dan Goenadi (2010) yang menyatakan bahwa biochar memberikan kondisi yang lembab pada tanah sehingga dapat menahan air dan semua nutrisi yang dibutuhkan tanaman untuk proses pertumbuhan dan perkembangan. Pemberian biochar yang nyata juga disebabkan karena biochar kendaga dan cangkang buji karet yang digunakan telah diaktivasi dengan mengunakan HCl teknis. Aktivasi biochar kendaga dan cangkang biji karet dengan HCl teknis menyebakan poripori biochar menjadi semakin besar sehingga meningkatkan daya serap biochar. Kemampuan biochar dalam menyerap gas dan residu kimia tergantung pada sifat fisiknya yaitu daya serap yodium, kadar air, kadar zat mudah menguap, karbon tetap, kadar abu dan daya serap benzena (Hutapea, 2015). Hasil analisis biochar teraktifasi yang digunakan pada penelitian ini menunjukkan bahwa biochar sudah layak untuk digunakan karena sudah memenuhi standart yang telah ditentukan untuk pemakaian biochar. Lampiran hasil analisis biochar disajikan pada Lampiran 6. Data pengamatan diameter umbi bawang merah dan analisis ragamnya disajikan pada Lampiran 37, 38,dan 39. Berdasarkan analisis ragamnya diperoleh hasil bahwa perlakuan petak utama
(Tanah bekas tanaman hortikultura dari desa Korpri dan
Sukanalu) berpengaruh nyata terhadap diameter umbi bawang merah. Pengaruh perlakuan anak petak (Biochar kendaga dan cangkang biji karet) berpengaruh tidak nyata terhadap diameter umbi bawang merah. Kombinasi petak utama (Tanah bekas tanaman hortikultura dari desa Korpri dan Sukanalu) dengan anak petak (Biochar kendaga dan cangkang biji karet) berpengaruh tidak nyata terhadap diameter umbi bawang merah. Pengujian terhadap dua contoh tanah bekas pertanaman hortikultura dari desa yang berbeda tidak memiliki pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan dan hasil buah cabai. Tanah bekas tanaman hortikultur dari desa Sukanalu lebih baik untuk pertumbuhan dan hasil bawang merah desa Korpri. Hasil analisis fisik tanah dari desa
39
Sukanalu memiliki fraksi liat yang jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan tanah dari desa Korpri. Fraksi liat yang tinggi menyebabkan tanah dari desa Korpri lebih padat sehingga sulit ditembus akar tanaman. Tanah-tanah bekas lahan penanaman hortikultura lebih berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif seperti tanaman bawang merah. Pertumbuhan tanaman pada kedua sumber tanaman relatif jagur karena kandungan residu pupuknya relatif tinggi, sebagai konsekuensi dari aktivitas pemupukan yang maksimal.Terpenuhinya unsur hara seperti N, P,
dan K yang
merupakan hara makro akan mendorong proses fotosintesis tanaman semakin baik dan pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman seperti daun, batang, dan akar juga optimal. Pemberian biochar kendaga dan cangkang biji karet pada tanah bekas tanaman hortikultura masih belum menunjukkan sifat-sifat dan struktur tanah menjadi lebih baik dan sesuai untuk menopang pertumbuhan tanaman. Hal ini dikarenakan tanah-tanah di lahan hortikultura masih relatif cukup baik sifat-sifat fisik dan kimia untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Kondisi tersebut menyebabkan pengujian biochar belum secara optimal berpengaruh. Namun demikian pengaruh nyata terjadi pada hasil umbi yang paling tinggi pada dosis biochar rendah 2,5g/kg tanah (B1).Idealnyha biocar dicobakan pada tanah-tanah yang secara fisik, kimia atau biologis sudah rusak. Biochar kendaga dan cangkang biji karet berpotensi memberikan ruang pori mikro yang lebih besar dan memperluas permukaan penyerapan partikel atau unsur hara. Menurut Nurbihaty (2010) keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan biochar antara lain adalah dapat memperbaiki struktur tanah, memperbaiki luas permukaan koloid, sehingga dapat menahan air dan tanah dari erosi, dan mengikat N, P, Ca, K, dan Mg yang pada akhirnya memudahkan akar untuk menyerap nutrisi. Selain itu, biochar kendaga dan cangkang biji karet juga mampu meningkatkan ketersediaan air tanah dan mengikat unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk proses fotosintesis. Kualitas biochar tergantung dari bahan baku dan aktivasi biochar, biochar yang diaktivasi akan memiliki ruang pori mikro yang lebih besar sehingga memperluas permukaan penyerapan partikel. Perbaikan sifat-sifat fisik tanah juga tergantung pada jenis tanah dan kualitas biochar yang digunakan (Samira, 2012). Biochar lebih efektif menahan unsur hara untuk ketersediaannya bagi tanaman dibandingkan dengan bahan organik lain seperti kompos atau pupuk kandang (Gani, 2009).
40
BAB V. KESIMPULAN PENELITIAN
1. Hasil penilaian dengan metode Freundlich isoterm menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi cypermethrin sekitar 1,786 mg / g (R2 = 0,963) untuk tanah yang berasal dari desa Sukanalu Kecamatan Tiga Panah dan 1,247 mg / g (R2 = 0,983) dan untuk tanah yang berasal dari desa Korpri, Kecamatan Berastagi. 2. Kapasitas adsorpsi klorpirifos sekitar 2,529 mg / g (R2 = 0,905) untuk tanah dari desa Sukanalu Kecamatan Tiga Panah dan dan 5,395 mg / g (R2 = 0.929) untuk tanah yang berasal dari desa Korpri, Kecamatan Berastagi. 3. Model isoterm Langmuir dapat menilai dalam percobaan ini karena hasilnya menunjukkan bahwa nilai R2 tidak dekat dengan 1. 4. Secara umum, biochar yang diaktivasi pada sampel tanah dari Desa Korpri memiliki kapasitas adsorpsi yang lebih besar dari sampel tanah yang berasal dari Desa Sukanalu. 5. Mekanisme adsorpsi residu pestisida dipengaruhi oleh kadar liat, struktur tanah, bahan organik, nilai pH tanah. 6. Pemberian biochar kendaga dan cangkang biji karet belum secara konsisten memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perbaikan tanah. Peningkatan pertumbuhan dan hasil terjadi pada tanaman bawang merah tetapi tidak berpengaruh nyata pada tanaman cabai. Penggunaan tanah yang subur dan berkualitas baik kurang sensitif untuk uji coba biochar.
41
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada Direktur DP2M Dikti yang telah memberikan dana penelitian Hibah Bersaing Nasional melalui DIPA Kopertis Wilayah I Tahun 2016 dan sesuai dengan surat perjanjian/penugasan Dalam Rangka Pelaksanaan Program Desentralisasi Penelitian Nomor 042.06.I.401516/2016 Tanggal 7 Desember 2015. Penulis juga ingin berterima kasih kepada Bapak Koordinator Kopertis Wilayah I Medan, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk dapat melaksanakan penelitian dalam Hibah Bersaing Nasional dan memperoleh dana
melalui DIPA
Kopertis Wilayah I Tahun 2015. Selanjutnya penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rektor Universitas Medan Area dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Medan Area yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk dapat melajksanakan penelitian Hibah Bersaing Tahun 2015.
42
DAFTAR PUSTAKA Afriyanto. 2008. Kajian Keracunan Pestisida Pada Petani Penyemprot Cabe di Desa Candi Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Thesis. Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang. AOAC. 2007. Pesticide residues in foods by acetonitrile extraction and partitioning with magnesium sulfat. Official method 2007.01 Ardiwinata. A. N. 2010. Inovasi Teknologi Pengendali Residu Pestisida Berbasis Arang Aktif. Sinar Tani. Edisi 20-26 Oktober. Badan Standarisasi Nasional. 1995. Arang Aktif Teknis. SNI 06-3730-1995. http://sisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/4156. Diakese pada tanggal 08 Nopember 2013. Bangun. M.K. 1991. Rancangan Percobaan Bagian Biometri. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan. Balingtan. 2013. Arang Aktif Multifungsi.http://www.balingtan.deptan.go.id/index.php option=com_content&view=article&id=130<emid=5. Diakses pada tanggal 12 Januari 2014. Barly dan Krisdianto. 2012. Petunjuk Teknis Pembuatan Arang untuk Memanfaatkan Limbah Kayu. Direktorat Jendral Bina Usaha Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Byung-Youl, O. 2001. Pesticide residues for food safety and environment protection. Food and Fertilizer Technology Center, Extension Bulletin 495. Elvira. V. F.. A. Daud. dan M. Selomo. 2013. Identifikasi Residu Pestisida Malathion Dalam Sayuran Sawi (Brassica Juncea.L) Di Pasar Pannampu Dan Lotte Mart Kota Makassar. Repository.unhas.ac.id. [17 Januari 2014] Gani, A, 2009. Pemanfaatan Arang hayati (Biochar) untuk perbaikan lahan pertanian bahan seminar di puslitbangtan Bogor, tgl 18 jun Juni 2009. Geonadi, DH, 2005. Development technology and commercialization of emas (Enhancing microbial activity in the soils) biofertilizer. Forum for nuclear cooperation in asia Bio-fertilizer news letter issue No. 6 november 2005. Gusmailina, G. Pari. 2002. Pengaruh pemberian arang terhadap pertumbuhan tanaman cabai merah (Capscium annum). Buletin Penelitian Hasil Hutan. 20(3): 217-229.
43
Handayani, M. and E. Sulistiyono. 2009. Test Langmuir and Freundlich Equation On Waste Absorption Chrom (VI) by Zeolite. Proceedings of the National Seminar on Nuclear Science and Technology, Bandung. Harsanti dan A.N. Ardiwinata. 2011. Arang Aktif Meningkatkan Kualitas Lingkungan. Sinar Tani. Badan Litbang Pertanian. Pati.http://www.litbang.deptan.go.id/download/one/99/file/Arang-AktifMeningkatkan-K.pdf [08 Nopember 2013]. Hayati. U. 2007. Peranan Soil Ecosystem Engineers terhadap Beberapa Sifat Fisik Tanah. Pros HITI (Himpunan Ilmu Tanah Indonesia) Buku 3: Solusi Miskelola Tanah dan Air untuk Memaksimalkan Kesejahteraan Rakyat. Hal 1619-1631. Dalam Jurnal Penelitian Karet Vol 26 (2) 2008. Hutapea, S., E.L. Panggabean, dan A. Wijaya. 2015. Utilization of Rubber Seed Shells and Epicarp Wastes as Activated Biochar. Journal of Chemistry and Material Research, Vol. 7(12) Pg.9-14. Jeffery, S., F.G.A. Verheijen, M. van der Velde, A.C. Bastos. 2011. A quantitative review of the effects of biochar application to soils on crop productivity using meta-analysis. Agric. Ecosyst. Environ. 144: 175-187. Jodeh, S., O. Khalaf, A.A. Obaid, B. Hammouti, T.B Hadda, W. Jodeh, M. Haddad, I. Warad. 2013. Adsorption and kinetics study of abamectin and imidacloprid in greenhouse soil in Palestine. J. Mater. Environ. Science 5(2), 571-580. Kienle. H.V. 1986. Carbon. Dalam Campbell. P.T.. Prefferkorn R.. dan Roundsaville. J.F. Ullman’s Encyclopedia of Industrial Chemistry. 5 th Completely Revised Edition. Vol. A5. Weinheim. Lee, Y., J. Park, K.S Gang, C. Ryu, W. Yang, J.H. Jung, and S. Hyun. (2013). Production and characterization of biochar from various biomass materials by slow pyrolysis. Technical Bulletin 197: Food and Fertilizer Technology Center, Taiwan. Lehman, J., J. Gaunt, M. Rondon. 2006. Biochar sequestration in terrestrial ecosystem-a review. Mitig. Adapt. Strat. Gl., 11:403-427. Lempang, M dan Hermin Tikupadang. 2013. Aplikasi arang aktif tempurung kemirisebagai komponen media tumbuh semai Melina. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 2(2): 121-137. Liang, B., J. Lehman, D. Solomon, S. Sohi, JE. Thies, JO. Skjemstad, FJ. Luizao, MH. Engelhard, EG. Neves, S. Wrick. 2008. Stability of biomass derived black carbon in soils. Geochimica et Cosmochimica Acta 72:6069-6078.
44
Mattjik,A.A., M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. Muktamar, Z. and N. Setyowati. 2015. Adsorption of paraquat herbicide on soil moist tropical (in bahasa). Research Gate. http://www.researchgate.net/publication/299616216. [August, 20 2016]. Mustafa, D. dan A.M. Noor. 2003. Pembuatan dan Karakterisasi Karbon Aktif dari Ban Bekas dan Penggunaannya untuk Penyerapan Ion-ion Logam dalam Larutan. Jurnal Kimia Andalas. Vol. 9(2). Padang. Nurbihaty, F. 2010. Pemanfaatan Limbah Pertanian Untuk Membuat Biochar. http://smarttien.blogspot.com . Diakses tanggal 5 april 2012. Öztürk N., Bektas T. E. 2004. J. Hazar. Mat., 112 (2004) 155. Preston, C.M., M.W.I. Schmidt. 2006. Black (pyrogenic) carbon in boreal forests: a synthesis of current knowledge and uncertainties. Biogeosciences 3: 211-271. Samira, D. 2012. Pengaruh pemupukan NPK dan residu biochar terhadap sifat kimia tanah, kandungan hara, dan hasil tanaman padi sawah (oryza sativa L.) musim tanam II. Thesis. Banda Aceh: Universitas Syiah kuala. Santi, L. dan Goenadi (2010). Pemanfaatan Biochar Sebagai Pembawa Mikroba Untuk Pemantap Agregat Tanah Ultisol Dari Taman Bogo Lampung. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor Siagian, N. 2012. Pembibitan dan Pengadaan Bahan Tanam Karet Unggul. Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet. Deliserdang, Medan. Siregar, T.H.S dan I. Suhendry. 2013. Budidaya dan Teknologi Karet. Penebar Swadaya. Jakarta. Sohi, S.P. 2012. Carbon storage with benefits. Science 338: 1034-1035. Smisek, M. dan S. Cerny. 1970. Active Carbon: Manufacture, Properties and Application. Elsevier Publishing Co., New York. Sudrajat, R.. D. Tresnawati. dan D. Setiawan. 2005. Pembuatan Arang Aktif dari Tempurung Biji Jarak Pagar. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol 23 (2) hal:143159. Sugiartoto, A., S. Lolit, Warsono. 1999 Pestisida Berbahaya Bagi Kesehatan. Penerbit Yayasan Duta Awam, Solo. Shuji, Y. and S. Tanaka. 2013. Biochar and compostization: maximization of carbon sequestration with mitigating GHG emission in farmlands. Technical Bulletin 196: Food and Fertilizer Technology Center, Taiwan.
45
Supriadi, M. 2009. Implementasi model peremajaan partisipatif dalam program revitalisasi perkebunan karet. Warta Perkaretan. 28(1): 76-86. Tiwari, M. and S. Guha. (2012). J. Environ Eng 138(2012) 426. Tu. 2001. Weed control methods handbook. The nature conservancy. Version April 2001. Van Zweiten, L., B. Singh, S. Joseph, S. Kimber, A. Cowie, and K.Y. Chan. 2009. Biochar and emissions of non-CO2 greenhouse gases from soil (Ch.13), in: Lehmann, J. and S. Joseph (Eds.), Biochar for environmental management. Earthscan, Gateshead, UK, p.227-249. Weil, R.R., K.R. Islam, M.A. Stine, J.B. Gruver, S.E., Susan-Liebeg. 2003. Estimating active carbon for soil quality assessment: a simplified method for laboratory and field use. American Journal of Alternative Agriculture. 18(1): 3-17. Woolf, D., J.E. Amonette, F.A. Street-Perrot, J. Lehmann, S. Joseph. 2010. Sustainable bichar to mitigate global climate change. Nat. Commun.1, Article number 5
46
Lampiran 1. Tahapan Penelitian Respon Tanaman Bawang Merah Pada Pemanfaatan Biochar Sebagai Bahan Ameliorasi Organik Pada Tanah Bekas Pertanaman Hortikultura di Kabupaten Karo Sumatera Utara 1.Pembuatan Biochar
3. Persiapan tanah
6.Pengamatan Tanaman
2. Aktivasi Biochar
4. Aplikasi Biochar
5. Penanaman Bawang Merah
47
Lampiran 2. Tahapan Penelitian Respon Tanaman Cabai Merah Pada Pemanfaatan Biochar Sebagai Bahan Ameliorasi Organik Pada Tanah Bekas Pertanaman Hortikultura di Kabupaten Karo Sumatera Utara Bahan Baku Biochar Kendaga Biji Karet Cangkang Biji Kendaga Biji Karet Cangkang Biji Karet
Pembuatan Biochar
Hasil Pengarangan
Aplikasi Biochar
Keadaan Tanaman Cabai Merah Dari Mulai Pembibitan Sampai Siap Untuk Dipanen
48
Lampiran 3. Artikel Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Muslim Nusantara (UMN) 2016 PEMBUATAN BIOCHAR DARI KENDAGA DAN BIJI KARET SEBAGAI BAHAN AMELIORASI ORGANIK TANAH The Making of Biochar from Kendaga and Shell of rubber Seed as soil Ameliorants Sumihar Hutapea *¹); Ellen Lumisar Panggabean¹); Tumpal H.S2).; Andi Wijaya2) 1) Staf Pengajar Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Medan Area, Telp: 061-7366878,7366871, Fax: (061) 736 8012; Email:
[email protected] 2) Sungei Putih Rubber Research Center Galang-Deli Serdang, Po Box 1415 Medan 20001
*Contact Author:
[email protected] ABSTRAK Komponen kendaga (epicarp) dan cangkang biji karet tersusun oleh selulosa yang memiliki karbon yang cukup, seperti halnya cangkang kelapa sawit, batang kayu tanaman, serta tempurung kelapa yang dibuat sebagai sumber arang aktif atau biochar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formulasi dan karakteristik biochar dari kendaga dan cangkang biji karet yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan amelioran organik pada lahan hortikultura yang tercemar residu pestisida. Metode yang digunakan melalui pengujian laboratorium. Kegiatan dalam penelitian ini adalah pembuatan biochar dari kendaga dan cangkang biji karet serta uji karakteristiknya, menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor, yakni aktivasi biochar dengan perendaman HCl konsentrasi K0= 0%; K1=5%; K2=10%; K3=15%; K4=20%; dan lama aktivasi terdiri dari S1=30 menit S2=60 menit, S3=90 menit. Analisis parameter yang diamati adalah kadar abu, kadar air, kadar zat menguap, kadar karbon terikat, daya serap terhadap benzena serta daya serap terhadap yodium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa formulasi terbaik dari biochar kendaga dan cangkang biji karet yang dihasilkan berdasarkan analisis karakteristiknya adalah K2S2, yakni kombinasi perlakuan perendaman biochar dengan larutan HCl 10% dan pemanasan 60 menit pada temperatur 120 ⁰ C, hasil dari biochar ini akan diaplikasi sebagai absorben residu pestisida pada tanaman hortikultura di Kabupataen Karo Sumatera Utara. Kata Kunci : ameliorasi organik, biochar, cangkang biji karet, kendaga biji karet.
49
PENDAHULUAN Komponen kendaga (epicarp) dan cangkang biji karet tersusun oleh selulosa yang memiliki karbon yang cukup, seperti halnya batang kayu yang dapat dimanfaatkan sebagai briket atau arang. Oleh karena itu, kendaga dan cangkang biji karet juga berpotensi untuk dibuat sebagai biochar, sekaligus dapat mendukung remediasi lingkungan yang diakibatkan oleh residu pestisida di lahan hortikultura. Pemanfaatan kendaga dan cangkang biji karet sebagai biochar merupakan pemanfaatan limbah pertanian yang ramah lingkungan. Untuk mendapatkan biochar yang berasal dari kendaga dan cangkang biji karet yang memiliki karakteristik baik, perlu mengetahui formulasi serta bahan aktivasi yang tepat terhadap biochar yang dihasilkan serta mengetahui karakteristiknya.
Biochar
sebagai bahan ameliorasi organik dapat menjerap senyawa kimia yang berbahaya karena pada biochar terdapat carbon aktif yang dapat mengikat senyawa-senyawa tersebut dan ramah lingkungan dalam penggunannya dan dapat juga dapat meningkatkan unsur hara pada lahan pertanian Ameliorasi biochar ke dalam tanah dapat meningkatkan total organik karbon dan mengurangi biomassa mikrobia, respirasi, dan agregasi serta pengaruh pembekuan cahaya pada tanah, sehingga dapat memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah dan dapat merangsang pertumbuhan akar (Weil, et al., 2003). Menurut Harsanti dan Ardiwinata (2011) biochar dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan hayati tanah. Saat ini, biji karet banyak digunakan sebagai benih untuk pemuliaan tanaman karet itu sendiri. Tentunya tidak semua biji dapat dijadikan sebagai benih karena mengingat ada kriteria khusus untuk proses pemilihan benih yang baik. Sehingga biji karet yang tidak sesuai dengan kriteria benih yang baik akan terbuang dengan sia-sia sebagai limbah. Tidak hanya itu, kendaga yang merupakan penutup biji karet saat ini belum termanfaatkan. Maka perlu suatu penelitian untuk memanfaatkan kendaga dan biji karet sebagai sumber bahan baku untuk pembuatan biochar. METODOLOGI PENELITIAN Pembuatan Biochar dari kendaga dan cangkang biji karet serta uji karakteristiknya dilakukan di Balai Penelitian Sungei Putih, Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang. Tahapan pembuatan biochar meliputi: a) Persiapan bahan, b) Pengarangan/Karbonasi, c) Aktivasi yakni dengan perendaman HCl konsentrasi K1=
50
0%; K2=5%; K3=10%; K4=15%; K5=20%; dan lama aktivasi terdiri dari S1=30 menit S2=60 menit, S3=90 menit, d) Karakterisasi, parameter karakterisasi biochar yang diamati adalah: 1. Kadar air; 2. Kadar debu; 3. Kadar zat menguap; 4. Kadar karbon terikat; 5. Daya serap terhadap yodium; 6. Daya serap terhadap benzene. Uji karakteristiknya, menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).
HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI 1. Hasil Pengujian Karakteristik Biochar Dari Kendaga dan Cangkang Biji Karet Hasil pengujian karakteristik biochar kendaga dan cangkang biji karet yang diproduksi dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil pengujian menunjukkan bahwa proses perendaman dengan konsentrasi larutan HCl serta lama aktivasi memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai kadar air, kadar abu, kadar zat menguap, kadar karbon terikat, daya serap iodin, dan daya serap benzene. Pada parameter analisis kadar air nilai terendah terdapat pada perlakuan K0S2 sebesar 1,92% sedangkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan K2S3 sebesar 26,88%. Nilai terendah pada parameter kadar abu terdapat pada perlakuan K4S3 sebesar 1,28% sedangkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan K0S2 sebesar 31,55%. Untuk kadar zat menguap nilai terendah terdapat pada perlakuan K0S2 sebesar 36,10% sedangkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan K2S3 sebesar 55,64%. Nilai terendah pada parameter kadar karbon terikat terdapat pada perlakuan K2S3 sebesar 30,86% sedangkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan K1S3 sebesar 59,90%. Untuk nilai daya serap iodine terendah terdapat pada perlakuan K0S1 sebesar 333,73 mg/g sedangkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan K2S2 sebesar 531,04 mg/g. Nilai daya serap benzene terendah terdapat pada perlakuan K0S2 sebesar 2,24% sedangkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan K2S2 sebesar 5,19%. Hasil pengujian biochar dengan masing-masing perlakuan belum sepenuhnya memenuhi nilai standar SNI hal ini dikarenakan suhu pada alat aktivasi yang digunakan rendah yaitu hanya sebesar 121 oC sehingga proses aktivasi aktivasi yang dicapai belum maksimal. Pada prinsipnya, keberhasilan dari biochar tergantung dari beberapa faktor, yakni suhu, tekanan uap, dan kondisi anaerob pada saat aktivasi.
51
Tabel 1. Sifat Fisika dan Kimia Biochar Kendaga dan Cangkang Biji Karet Parameter Kadar Kadar Perlakuan air abu (%) (%)
Kadar zat Kadar menguap karbon (%) terikat (%)
K0S1 K0S2 K0S3 K1S1 K1S2 K1S3 K2S1 K2S2 K2S3 K3S1 K3S2 K3S3 K4S1 K4S2 K4S3
40.54 36.1 36.39 43.71 46.83 51.19 41.78 52.01 55.64 44.18 44.13 54.52 45.26 51.46 43.52
3.25 1.92 3.67 7.44 14.15 19.86 11.31 17.35 26.88 15.8 15.81 25.26 15.56 16.66 23.05
17.65 31.55 26.05 8.82 10.31 6.87 4.74 2.54 2.76 5.08 3.33 2.73 10.39 5.27 1.28
52.22 58.63 54.29 53.57 49.31 59.9 56.38 43.48 30.86 57.69 58.68 47.31 55.87 58.59 44.27
Daya serap iodin (mg/g) 333.73 392.55 527.95 390.36 408.5 453.32 384.05 531.04 415.5 358.81 422.27 421.27 438.12 467.48 416.16
Daya serap benzene (%) 2.58 2.24 3.46 3.52 3.91 3.3 3.38 5.19 4.49 3.15 3.57 4.4 3.35 3.2 3.97
Keterangan : K0 = tanpa perendaman HCl (kontrol); K1 = dengan perendaman larutan HCl 5%; K2 = dengan perendaman larutan HCl 10%; K3 = dengan perendaman larutan HCl 15%; K4 = dengan perendaman larutan HCl 20%; S1 = lama aktivasi 30 menit; S2 = lama aktivasi 60 menit; S3 = lama aktivasi 90 menit.
1.1. Kadar Air Penetapan kadar air biochar bertujuan untuk mengetahui sifat higroskopis arang aktif. Nilai kadar air biochar yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar 1,92-26,88% (Tabel 2). Tabel 2. Data Pengamatan Kadar Air (%) Ulangan Perlakuan I II K0S1 3.32 3.18 K0S2 1.77 2.08 K0S3 4.03 3.32 K1S1 7.60 7.29 K1S2 14.55 13.75 K1S3 20.10 19.61 K2S1 11.33 11.28 K2S2 16.83 17.86 K2S3 26.81 26.95
Total
Rataan
6.51 3.84 7.35 14.89 28.31 39.71 22.61 34.69 53.76
3.25 1.92 3.67 7.44 14.15 19.86 11.31 17.35 26.88
52
K3S1 K3S2 K3S3 K4S1 K4S2 K4S3 Total Rataan
15.97 15.43 25.04 15.21 16.42 21.91
15.63 16.19 25.49 15.91 16.89 24.20
31.60 31.62 50.53 31.12 33.31 46.11 435.961
15.80 15.81 25.26 15.56 16.66 23.05 14.532
1.2. kadar Abu Abu merupakan komponen anorganik yang tertinggal setelah bahan dipanaskan pada suhu 500-600 oC dan terdiri dari kalium, natrium, magnesium, kalsium dan komponen lain dalam jumlah kecil. Penetapan kadar abu bertujuan untuk menentukan kandungan oksida logam yang terdapat dalam biochar. Menurut Sudrajat (1985) kadar abu yang tinggi dapat mengurangi kemampuan arang aktif untuk menyerap gas dan larutan. Nilai kadar abu dari biochar yang diproduksi untuk semua sampel yang dihasilkan berkisar 1,28 – 31,55% dengan rata-rata 9,29% (Tabel 3), artinya hanya beberapa perlakuan yang hanya memenuhi standar SNI yaitu maksimum sebesar 10%. Namun berdasarkan analisis sidik ragam perlakuan tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Tabel 3. Data Pengamatan Kadar Abu (%) Ulangan Perlakuan I II K0S1 17.67 17.63 K0S2 32.58 30.52 K0S3 26.48 25.62 K1S1 9.02 8.61 K1S2 10.23 10.38 K1S3 6.65 7.09 K2S1 4.57 4.91 K2S2 2.64 2.43 K2S3 2.78 2.74 K3S1 5.21 4.94 K3S2 2.89 3.76 K3S3 2.78 2.67 K4S1 9.38 11.39 K4S2 5.1 5.44 K4S3 1.23 1.33 Total Rataan
Total
Rataan
35.30 63.10 52.10 17.63 20.61 13.74 9.48 5.07 5.52 10.15 6.65 5.45 20.77 10.54 2.56
17.65 31.55 26.05 8.82 10.31 6.87 4.74 2.54 2.76 5.08 3.33 2.73 10.39 5.27 1.28
278.670 9.289
53
1.3. Kadar Zat Menguap Penetapan kadar zat menguap bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa yang belum menguap pada proses karbonisasi dan aktivasi, tetapi menguap pada suhu 950 oC. Nilai kadar zat menguap biochar yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar 36,10 – 55,64% dengan rata-rata 45,82% (Tabel 4). Kadar zat menguap yang diperoleh dari hasil aktivasi biochar diatas standard SNI dan tidak menunjukan perbedaan yang signifikan antar kombinasi perlakuan, namun angka terendah terdapat pada kombinasi perendaman tanpa HCl dan waktu pemanasan 60 menit. Berdasarkan teori, peningkatan konsentrasi HCl cenderung meningkatkan pula kadar zat menguap. Hal ini disebabkan HCl yang ditambahkan pada arang meresap, melapisi, melindungi bahan dari panas. Kadar zat menguap yang tinggi akan mengurangi kemampuan biochar dalam menyerap gas dan larutan.
Tabel 4. Data Pengamatan Kadar Zat Menguap (%) Ulangan Perlakuan Total I II K0S1 41.02 40.05 81.07 K0S2 35.77 36.42 72.19 K0S3 36.69 36.09 72.78 K1S1 43.91 43.52 87.43 K1S2 46.47 47.18 93.65 K1S3 51.57 50.80 102.38 K2S1 41.21 42.35 83.56 K2S2 50.61 53.41 104.03 K2S3 55.78 55.50 111.28 K3S1 44.47 43.89 88.36 K3S2 43.95 44.30 88.25 K3S3 55.37 53.67 109.04 K4S1 45.46 45.05 90.51 K4S2 51.26 51.66 102.92 K4S3 56.71 30.32 87.03 Total 1374.484 Rataan
Rataan 40.54 36.10 36.39 43.71 46.83 51.19 41.78 52.01 55.64 44.18 44.13 54.52 45.26 51.46 43.52 45.816
1.4. Kadar Karbon Terikat Semakin tinggi kadar karbon terikat yang dihasilkan maka akan semakin baik digunakan sebagai bahan baku pembuatan biochar. Biochar kendaga dan cangkang biji karet yang diproduksi dari hasil penelitia ini memiliki kandungan yang cukup tinggi yaitu berkisar 30,86 – 59,90% atau nilai rata-rata dari seluruh sampel adalah 52,07%.
54
Semakin besar nilai kadar zat menguap dan kadar abu, maka kadar karbon terikat akan semakin rendah.
Tabel 5. Data Pengamatan Kadar Karbon (%) Perlakuan Ulangan Total I II K0S1 55.31 49.12 104.44 K0S2 59.86 57.41 117.27 K0S3 55.44 53.14 108.57 K1S1 53.71 53.42 107.13 K1S2 53.96 44.66 98.62 K1S3 49.43 70.37 119.79 K2S1 55.78 56.98 112.75 K2S2 49.67 37.30 86.97 K2S3 49.47 12.24 61.71 K3S1 56.65 58.73 115.38 K3S2 67.35 50.00 117.36 K3S3 49.06 45.57 94.62 K4S1 55.18 56.57 111.74 K4S2 79.02 38.16 117.18 K4S3 46.50 42.04 88.54 Total 1562.093 Rataan
Rataan 52.22 58.63 54.29 53.57 49.31 59.90 56.38 43.48 30.86 57.69 58.68 47.31 55.87 58.59 44.27 52.070
1.5. Daya Serap Iodine Penetapan daya serap arang aktif/biochar terhadap iodine bertujuan untuk mengetahui kemampuan biochar dalam menyerap larutan berwarna/kotor. Besarnya daya serap biochar terhadap iodine merupakan petunjuk terhadap besarnya diameter pori biochar yang dapat dimasuki oleh molekul yang ukurannya tidak lebih besar dari 10 A dan banyaknya struktur mikropori yang terbentuk (Pari, 1996). Semua perlakuan memiliki nilai daya serap terhadap jodium tidak memenuhi standar SNI arang aktif berbentuk serbuk yaitu minimum sebesar 750 mg/g. Namun jika diamati hasil analisis karakterisasi ini menunjukkan bahwa perlakuan K2S2 menunjukkan hasil tertinggi, yaitu konsentrasi larutan HCl 5% serta lama aktivasi 60 menit dengan nilai rataan 531, 04 mg/g (Tabel 6). Tabel 6. Data Pengamatan Daya Serap Iodin Ulangan Perlakuan Total I II K0S1 341.35 326.10 667.45 K0S2 317.33 467.77 785.09 K0S3 464.07 591.84 1,055.91
Rataan 333.73 392.55 527.95
55
K1S1 K1S2 K1S3 K2S1 K2S2 K2S3 K3S1 K3S2 K3S3 K4S1 K4S2 K4S3 Total Rataan
251.85 440.73 352.58 514.24 545.80 426.44 376.27 313.56 288.48 437.26 393.48 380.79
528.88 376.27 554.06 253.86 516.28 404.56 341.35 530.98 554.06 438.99 541.47 451.53
780.72 817.00 906.64 768.10 1,062.08 831.00 717.62 844.54 842.54 876.25 934.95 832.32 12722.224
390.36 408.50 453.32 384.05 531.04 415.50 358.81 422.27 421.27 438.12 467.48 416.16 424.074
1.7. Daya serap benzene. Penetapan daya serap biochar terhadap benzene bertujuan untuk mengetahui kemampuan biochar dalam menyerap gas. Daya serap biochar yang dproduksi terhadap benzene pada penelitian ini berkisar 2,24 – 5,19%. Semua perlakuan memiliki nilai daya serap terhadap benzene yang tidak memenuhi standar SNI arang aktif berbentuk serbuk yaitu minimum sebesar 25%. Namun jika diamati hasil analisis karakterisasi ini menunjukkan bahwa perlakuan K2S2 menunjukkan hasil tertinggi, yaitu . konsentrasi larutan HCl 5% serta lama aktivasi 60 menit (Tabel 7).
Tabel 7. Data Pengamatan Daya Serap Benzene Perlakuan K0S1 K0S2 K0S3 K1S1 K1S2 K1S3 K2S1 K2S2 K2S3 K3S1 K3S2 K3S3
I 2.92 2.48 3.26 3.75 3.84 3.16 3.22 4.47 3.56 3.01 3.84 4.01
Ulangan II 2.23 2.00 3.67 3.28 3.97 3.44 3.55 5.91 5.42 3.29 3.31 4.80
Total
Rataan
5.15 4.48 6.93 7.03 7.82 6.60 6.77 10.38 8.98 6.29 7.14 8.81
2.58 2.24 3.46 3.52 3.91 3.30 3.38 5.19 4.49 3.15 3.57 4.40
56
K4S1 K4S2 K4S3 Total
3.33 3.11 2.84
3.38 3.30 5.10
6.70 6.41 7.94 107.431
Rataan
3.35 3.20 3.97 3.581
KESIMPULAN PENELITIAN 1. Formulasi terbaik dari biochar kendaga dan cangkang biji karet yang dihasilkan berdasarkan analisis karakteristiknya adalah kombinasi perlakuan perendaman biochar dengan larutan HCl 10% dan pemanasan 60 menit pada temperatur 120 ⁰ C. Hasil dari biochar ini diaplikasi sebagai absorben residu pestisida
pada tanaman
hortikultura yaitu cabe, sawi dan kentang di Kabupataen Karo Sumatera Utara. 2. Pada prinsipnya, faktor-faktor keberhasilan dalam pembuatan biochar adalah suhu aktivasi, tekanan, dan kondisi anaerob pada alat yang digunakan. Untuk itu, perlu adanya penelitian lanjutan untuk pengembangan biochar yang sesuai dengan SNI.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin berterima kasih kepada Direktur DP2M Dikti yang telah memberikan dana penelitian Hibah Bersaing Nasional melalui DIPA Kopertis Wilayah I Tahun 2016 dan sesuai dengan Surat Perjanjian/Penugasan Dalam Rangka Pelaksanaan Program Desentralisasi Penelitian Nomor : 042.06.I.40516/2016 Tanggal 7 Desember 2015.
57
DAFTAR PUSTAKA Ardiwinata. A. N. 2010. Inovasi Teknologi Pengendali Residu Pestisida Berbasis Biochar. Sinar Tani. Edisi 20-26 Oktober. Badan Standarisasi Nasional. 1995. Biochar Teknis. SNI 06-3730-1995. http://sisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/4156. Diakese pada tanggal 08 Nopember 2013. Balingtan.2013.Biochar Multifungsi.http://www.balingtan.deptan.go.id/index.php?option=com_ content&view=article &id=130<emid=5. Diakses pada tanggal 12 Januari 2014. Barly dan Krisdianto. 2012. Petunjuk Teknis Pembuatan Arang untuk Memanfaatkan Limbah Kayu. Direktorat Jendral Bina Usaha Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Jakarta. Brown, R., 2009. Biochar Production Technology. In: Biochar for Environmental Management: Science and Technology (Eds). J. Lehmannand S. Joseph. 2009. Biochar for Environmental Management. USA. p 416. Downie A., A.Crosky & P. Munroe. Physical Properties of Biochar. In: Biochar for Environmental Management: Science and Technology (Eds). Lehmann J. & S. Joseph. 2009. Biochar for Environmental Management. First published by Earthscan in the UK and USA in 2009. P416 (P 13-29). Harsanti dan A.N. Ardiwinata. 2011. Biochar Meningkatkan Kualitas Lingkungan. Sinar Tani. Badan Litbang Pertanian. Pati. http://www.litbang.deptan.go.id/download/one/99/file/Arang-AktiMeningkatkanK.pdf [08 Nopember 2013]. Hunt J. M. DuPonte. D. Sato. A. Kawabata. 2010. The Basics of Biochar : A Natural Soil Amendment. Colege Tropical Agriculture and Human Resources University of Hawai’i at Manoa. Honolulu. Hawaii. J. Soil and Crop Management Dec. 2010 SCM-30. Lehman J. & S. Joseph. 2009. Biochar for Environmental Management. First published by Earthscan in the UK and USA in 2009. P416. Lempang, M dan Hermin Tikupadang. 2013. Aplikasi biochar tempurung kemirisebagai komponen media tumbuh semai Melina. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 2(2): 121-137. Major J., 2010. Soil Improvement from Application of Biochar. International Biochar Inititive. IBI Research Summaries are intended to provide answers about biochar science for the general public. Soil Improvement. 8 June 2010.
58
Mustafa, D. dan A.M. Noor. 2003. Pembuatan dan Karakterisasi Karbon Aktif dari Ban Bekas dan Penggunaannya untuk Penyerapan Ion-ion Logam dalam Larutan. Jurnal Kimia Andalas. Vol. 9(2). Padang. Sudrajat, R.. D. Tresnawati. dan D. Setiawan. 2005. Pembuatan Biochar dari Tempurung Biji Jarak Pagar. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol 23 (2) hal:143-159. Weil, R.R., K.R. Islam, M.A. Stine, J.B. Gruver, S.E., Susan-Liebeg. 2003. Estimating active carbon for soil quality assessment: a simplified method for laboratory and d use. American Journal of Alternative Agriculture. 18(1): 3-17.
59
Lampiran 4. Sertifikat Pemakalah Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Muslim Nusantara (UMN) 2016
60
Lampiran 5. Artikel Konfrensi Internasional IRRDB Cambodia
Effectivness of Activated Biochar from Waste of Rubber (Hevea brasiliensis) Seed Shells and Epicarp As a Amelioration Material Towards Pesticide Residues in The Soil Sumihar Hutapea1, Ellen Lumisar Panggabean1, Tumpal HS Siregar2, Andi Wijaya2 1. Medan Area University, Agricultural Faculty, Department of Agrotechnology,. Jl. Kolam No. 1 Medan Estate, Medan 20223, Indonesia. 2. Indonesian Rubber Research Institute (IRRI), Sungei Putih Research Center. Galang-Deli Serdang, Po Box 1415, Medan 20001, Indonesia. Abstract Producing environment-friendly technology is important to improve the quality of corps land and dairy products through the utilization of biomass waste as amelioration agent of pesticide residues in agricultural land. It had investigated that pesticide was widely used on holticultural land in Karo District to prevent crop failure caused by pests. Generally, farmers used pesticide on chilies, onions or tuberous root groups and it was also expected to contaminate the products produced by the plant so that it can cause health problem. This study aimed to determine adsorption capacity in the soil using activated biochar from epicarp and rubber seed shells (Hevea brasiliensis). This experiment used two soil samples from Sukanalu and Korpri village, Karo District, North Sumatera-Indonesia. Each soil sample was equilibrated with varying concentration of cypermethrin and chlorpyrifos, i.e 3, 6, 9, and 12 ppm. Langmuir and Freundlich isotherms model were used to explain equilibrium adsorption. The result showed that from these isotherms it was evaluated that Freundlich isotherm was obeyed with adsorption capacity of cypermethrin about 1.786 mg/g (R2=0.963) for Sukanalu and 1.247 mg/g (R2=0.983) for Korpri. Adsorption capacity of chlorpyrifos about 2.529 mg/g (R 2= 0.905) for Sukanalu and 5.395 mg/g (R2=0.929) for Korpri. Generally, activated biochar applied by soil sample of Korpri had bigger adsorption capacity than soil sample of Sukanalu. Adsorption mechanism of pesticide residue was integrated by clay of soil structure, organic material, and pH value. Keywords : Hevea brasiliensis, activated biochar, cypermethrin, chlorpyrifos, adsorption capacity 1. INTRODUCTION As the product of photosynthesis from carbon dioxide and water, biomass is the only renewable resource available for both energy and chemical feedstock production. Among different utilization method of biomass, this study focus on biochar, which is the solid product of pyrolysis. At moderately high temperature in an inert atmosphere, pyrolysis thermally decomposes the carbohydrate structure of biomass into carbonaceous solid residue (biochar), and condensable and non condensable vapors of various molecular weight compounds. Biochar is a value added product, which can be used for many purpose (Lee, et al., 2013).
61
Recently, the application of biochar to soil is drawing greater attention for sustainable soil quality improvement and carbon sequestration (Lehmann et al., 2006; Woolf et al., 2010; Sohi, 2012). In the soil, biochar increases the capacity of the soil holding water and nutrients, reducing the need for fertilizers. Many small and field test reported increases in the plant growth and crop productivity after mixing biochar with the soil (Jeffery et al., 2011). Biochar also reduces the emission of other greenhouse gases from the soil, such as N2O and CH4 (Van Zweiten et al., 2009). More importantly, biochar can directly store the carbon for a sufficiently long time due to its strong resistance to biological decomposition (Preston and Schmidt, 2006; Liang et al., 2008). For global warming prevention, it is important to study the sequestration mechanism of carbon in soil of farmland where biochar and composts are used. By using biochar carbonized with biomass materials such as waste wood, bamboo, and agricultural materials in farmland, carbon storage in the soil for long period is expected. As the soil properties are improved and soil microorganisms concentration increase with the addition of charcoal to the soil, the plant growth promotion in the farmland is also expected. Growth stimulation of the spinach in the farmland used with the charcoal and the composts was observed. The aggregation of the soil in farmland was developed by using the biochar and the composts. It was suggested that the soil was aggregated with microorganisms proliferated on the surface of the aggregate in the soil (Shuji, et al., 2013). The role agrochemical in modern agriculture is continuously evolving, and their contribution to crop protection continues to increase. Linking science and policy is a cornerstone of the work of both the regulatory authorities and industry. Pesticide are widely used in producing food and feed. Their residues may remain in small amounts in or on agricultural produce and processed food. To ensure the safety of food, most governments regulate the maximum level of each permitted pesticide residue (ByungYoul, 2001). In principle, all chemicals, including pesticides, which are introduced into the environment are gradually recycled within and between the bio-, geo-, atmo-, and hydro-spheric systems. The rate at which pesticides are moved and dissipated is closely related to the physico-chemical parameters of the chemical itself and surrounding environmental conditions. The latter factors include application time and dose, land use patterns and target crops. Factors related to climate and weather include temperature, rainfall, evapo-transpiration rates and wind velocity. Parameters related to soil are runoff characteristics, organic carbon content, texture, hydraulic characteristics and pH (Byung-Youl, 2001). The experiment about effectivity of activated biochar from rubber seed shells and epicarp wastes (Hevea brasiliensis) as a amelioration material towards pesticide residues in the soil aimed to determine the adsorption capacity of cypermethrin and chlorpyrifos residue using the Langmuir and Freundlich isotherm models.
2. MATERIALS AND METHODS A series of experiments on adsorption of pesticide residues in some soil samples was carried out in July and August 2016. The soil sample was obtained from Sukanalu and Korpri village, Karo District, North Sumatra-Indonesia. The series experiments consist of manufacturing activated biochar and test of adsorption isotherm of pesticide residues in the soil.
62
2.1. Preparation and manufacturing activated biochar Rubber seed shell and epicarp wastes were obtained from experimental field of Sungei Putih, Galang-Deli Serdang. The properties of biochar were studied from rubber seed shells and epicarp waste. The reactor was made of metal with a diameter of 57 cm and a height of 120 cm for carbonization. After carbonization, biochar was placed inside an electrically-heated furnace. In each test, 100-400 g of sample was heated from room temperature to 800oC and maintained for at least two hour to allow sufficient time for complete pyrolysis. A detailed description of process and analytical methods has been presented elsewhere (Hutapea, 2015). 2.2. Test and analysis adsorption of pesticide residues in the soil For laboratory study the inert soil samples were collected from the 0 to 15 cm soil depth and ground to pass through a 2 mm sieve. These soil samples were stored in plastic bags at room temperature. The standard methods were used to determine physicochemical properties of the soil. Residue pesticides adsorption isotherms were determined according to the procedure of Muktamar (2015). Fifty gram of soil sample was equilibrated with 20 ml of varying concentrations of cypermethrin and chlorpyrifos in 0.01 M CaCl 2 solution in erlenmeyer. The concentrations of the solutions were 3, 6, 9, 12 ppm. Then soil sample was incubated for a week. Analysis of pesticide residues in soil used the QuEChERS (quick, easy, cheap, rugged, and safe) method using a single-step buffered acetonitrile (MeCN) extraction and salting out liquid-liquid partitioning from the water in the sample with MgSO4. Dispersive-solid-phase extraction (dispersive-SPE) cleanup was done to remove organic acids, excess water, and other components with a combination of primary secondary amine (PSA) sorbent and MgSO4; then the extracts were analyzed by mass spectrometry (MS) techniques after a chromatographic analytical separation (AOAC, 2007). Calculation of residual concentration using the formula:
2.3. Langmuir isotherm model This model deals with monolayer and homogeneous adsorption because the adsorbed layer is one molecule in thickness, with adsorption occurring at fixed sites, which are identical and equivalent. Linear form of this model is given in Equation (1): Ce/(x/m) = 1/ab + 1/a Ce…………….. (1) Where Ce is the equilibrium concentration of pesticides in solution and x/m is the amount of pesticides residue in soil, a is the monolayer adsorption capacity, and b is Langmuir isotherm which was not obeyed by adsorption of pesticides residue (cypermethrin and chlorpyrifos). 2.4. Freundlich isotherm model Freundlich isotherm is related to the non-ideal and reversible adsorption, not limited to monolayer formation. Therefore is applied to multilayer adsorption, with nonuniform distribution of adsorption heat and affinities over the heterogeneous surface. Linear form of this model is given as in Equation (2). Log (x/m) = log k + 1/n log Ce ……………. (2) Where k is multilayer adsorption capacity and n is adsorption intensity. The parameters of both models are shown in Table 2.
63
3. RESULTS AND DISCUSSION Table 1 compares the characteristics of biochar in experiment with SNI standards. The biomass samples exhibit large variations in the proximate analysis, especially in the volatile matter and fixed carbon. From the carbon content and mass yield, the carbon yield representing the amount of carbon remaining in the biochar can be calculated. Biochar have carbon yields of about 61-65% while the rest have values in the range of 65%. Tabel 1. Characteristics of biochar compared with SNI standards Value Parameters SNI Biochar standards Moisture content (%) 3.97 Max. 15 Ash content (%) 3.78 Max. 10 Volatile matter (%) 30.91 Max. 25 Fixed carbon (%) 65.27 Min. 65 Iodium number (mg/g) 875.97 Min. 750 Benzena number (%) 25.94 Min. 25 Sumihar (2015) The main role of biochar in the soil is the increased retention of nutrients in addition to the direct supply of nutrients. Therefore, the microscopic surface area is one of the crucial properties for biochar, which determines the capability of nutrients and water absorption. 3.1. Soil properties The soil samples were collected from horticultural land and analyzed in order to evaluate the soil texture and pH value. Table 2 shows the results obtained from these tests. From table 2, it was noticed that the silt percentage is larger than that in the clay. Organic carbon is relatively high (4.07 and 4.22%) which reduced the adsorption of pesticides. Sorption of pesticides to soil generally increases with soil organic matter content (Tiwari and Guha, 2012). Tabel 2. Physical and chemical soil properties Parameters Sukanalu Korpri Texture sand (%) 62.87 59.05 silt (%) 33.41 33.50 clay (%) 3.72 7.46 pH (H2O) 5.30 5.70 Organic material C (%) 4.07 4.22 N (%) 0.78 0.82 P-Bray (ppm) 541.00 448.00 Base saturation (%) 29.91 28.96 CEC (meq/100 g) 32.97 32.45 K-exch (meq/100 g) 6.51 5.39 Ca-exch (meq/100 g) 1.57 2.50 Mg-exch (meq/100 g) 1.31 1.63 Na-exch (meq/100 g) 0.18 0.15
64
The results of the analysis of both physical and chemical properties soil samples in both groups, namely Sukanalu and Korpri shown in Table 2. The soil samples Sukanalu contains 62.87% sand, 33.41% silt, and 3.72% clay. The pH value of the water is 5.30 and relatively acid. Organic matter content C includes high at 4.07%, while the organic matter content of N is very high, 0.78%. P content is obtained by extracting Bray classified as very high at 541.00 ppm. While the CEC and base saturation values obtained are respectively 32.97 meq / 100 g (high) and 29.91% (lower). The composition of cation in the soil samples Sukanalu includes K at 6.51 meq /100 g (very high), Ca at 1.57 meq /100 g (very low), Mg at 1.31 meq /100 g (moderate), and Na of 0.18 meq /100 g (low). The soil samples of Korpri contain 59.05% of sand, 33.50% of silt and 5.7% of clay. The pH value of the water is 5.70 and the relatively acid. Organic matter content C includes high at 4.22%, while the organic matter content of N is very high, 0.82%. P content is obtained by extracting Bray classified as very high at 448.00 ppm. While the CEC and base saturation values obtained are respectively 32.45 meq /100 g (high) and 28.96% (lower). The composition of cation in the soil samples of Korpri includes K at 5.39 meq /100 g (very high), Ca at 2.50 meq /100 g (low), Mg of 1.63 meq /100 g (moderate), and Na 0.15 meq /100 g (low). In general, both the soil samples have physical and chemical properties are no different. 3.2. Cypermethrin adsorption isotherms Tabel 3. The residual values of adsorption by activated biochar on some concentrations of cypermethrin Sample C0 Ce Cads Xm/m Ce/(X/m log log Ce of soil (ppm) (ppm) (ppm) (mg/g) ) Xm Sukanal u 3 1.39 1.61 0.81 1.7267 0.1430 0.0942 6 2.08 3.92 1.96 1.0612 0.3181 0.2923 9 3.16 5.84 2.92 1.0822 0.4997 0.4654 12 4.02 7.98 3.99 1.0075 0.6042 0.6010 Korpri 3 1.13 1.87 0.94 1.2086 0.0531 0.0292 6 1.60 4.40 2.20 0.7273 0.2041 0.3424 9 2.18 6.82 3.41 0.6393 0.3385 0.5328 12 2.63 9.37 4.69 0.5614 0.4200 0.6707 The process of absorption or adsorption by an adsorbent is influenced by many factors and patterns within specific adsorption isotherm. Factors that influence in the adsorption process, i.e the type of adsorbent, the type of substance that is absorbed, the surface area of the adsorbent, the substance concentration and temperature. Because of these factors, each adsorbent which absorbs a substance one with another substance would not have the same pattern of the adsorption isotherm (Handayani and Sulistiyono, 2009). Table 3 shows that the greater the concentration of pesticides was, the greater the mass of pesticide was adsorbed by biochar. In concentration of 3 ppm of cypermethrin, pesticide was adsorbed by biochar about 0.81 mg/gram for Sukanalu and 0.94 mg/gram for Korpri. In concentration of 6 ppm, pesticide was adsorbed by biochar about 1.96 mg/gram for Sukanalu and 2.20 mg/gram for Korpri. In concentration of 9 ppm, pesticide was adsorbed by biochar about 2.92 mg/gram for Sukanalu and 3.41 mg/gram for Korpri. In concentration of 12 ppm, pesticide was adsorbed by biochar
65
about 3.99 mg/gram for Sukanalu and 4.69 mg/gram for Korpri. Generally, the absorption of pesticide residues in soil samples of Korpri was larger than the soil samples of Sukanalu. This condition occured because the soil samples of Korpri have a clay structure that was larger than the soil samples of Sukanalu, so that the absorption of pesticide residues was also influenced by the structure of clay in the soil (Tu, 2001). 2.0
Ce/(Xm/m)
1.5
y = -0.224x + 1.817 R² = 0.59
1.0
Sukanalu Korpri
0.5 y = -0.396x + 1.531 R² = 0.801
0.0 0.0
1.0
2.0
Ce
3.0
4.0
5.0
Figure 1. Langmuir plot for the Cypermethrin adsorption onto biochar 0.80
y = 1.873x - 0.096 R² = 0.983
Log Ce/Xm
0.60
y = 1.454x - 0.252 R² = 0.963
0.40 Sukanalu 0.20
Korpri
0.00 -0.20
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
Log Ce
Figure 2. Freundlich plot for the Cypermethrin adsorption onto biochar Table 4. Equilibrium adsorption isotherm values for cypermethrin pesticide Isotherm Soil samples Isotherm Value parameters a (mg/g) 4.464 Sukanalu Langmuir b 0.224 2 R 0.590 a (mg/g) 2.525 Korpri Langmuir b 0.396 2 R 0.801 k (mg/g) 1.786 Sukanalu Freundlich n 0.688 2 R 0.963 k (mg/g) 1.247 Korpri Freundlich n 0.534 2 R 0.983
66
The Langmuir adsorption isotherms showed that it is not linear relationship on the present results shown in Figs. 1, but the Freundlich adsorption isotherms showed linear relationship present results shown in Figs. 2. R2 of the Freundlich adsorption isotherms is larger than that in Langmuir adsorption isotherms and close to 1. It means that this Freundlich model was obeyed by adsorption of cypermethrin as shown in Figs. 2. Adsorption tends to have n between 1 and 10. Larger value of n implies stronger interaction between the soil and the pesticides (Öztürk and Bektas, 2004). The n values were 0.688 and 0.534 for Sukanalu and Korpri respectively in Freundlich isotherm model, showing that adsorption process was unfavorable and this has to do with low percentage of the clay (3.72 and 7.46) and due to the organics material available in the horticultural soil. The multilayey capacity factor of both pesticides (k) is higher than one which shows the good interaction between the soil and the pesticides with more interaction in Sukanalu than Korpri. The Langmuir adsorption isotherm is commonly applied to monolayer chemisorptions of gases. This isotherm is mainly applied when no strong adsorption is expected and when the adsorption surface is uniform. The Langmuir isotherm shows that adsorption will increase with increasing pesticides concentration up to a saturation point, in which all of the sites are occupied (Fig. 1) (Jodeh, et.al., 2013). 3.3. Chlorpyrifos adsorption isotherms Tabel 5. The residual values of adsorption by activated biochar on some concentrations of chlorpyrifos Sample C0 Ce Cads Xm/m Ce/(Xm/ log Ce log Xm of soil (ppm) (ppm) (ppm) (mg/g) m) 3 1.82 1.18 0.59 3.0847 Sukanalu 0.2601 -0.2291 6 3.06 2.94 1.47 2.0816 0.4857 0.1673 9 5.30 3.70 1.85 2.8649 0.7243 0.2671 12 7.30 4.70 2.35 3.1064 0.8633 0.3710 3 2.03 0.97 0.49 4.1856 Korpri 0.3075 -0.3143 6 3.43 2.57 1.29 2.6693 0.5353 0.1089 9 4.37 4.63 2.32 1.8877 0.6405 0.3645 12 6.57 5.43 2.72 2.4199 0.8176 0.4337 Table 3 shows that the greater the concentration of pesticides was, the greater the mass of pesticide was adsorbed by biochar. In concentration of 3 ppm of chlorpyrifos, pesticide was adsorbed by biochar about 0.59 mg/gram for Sukanalu and 0.49 mg/gram for Korpri. In concentration of 6 ppm, pesticide was adsorbed by biochar about 1.47 mg/gram for Sukanalu and 1.29 mg/gram for Korpri. In concentration of 9 ppm, pesticide was adsorbed by biochar about 1.85 mg/gram for Sukanalu and 2.32 mg/gram for Korpri. In concentration of 12 ppm, pesticide was adsorbed by biochar about 2.35 mg/gram for Sukanalu and 2.72 mg/gram for Korpri. Generally, the absorption of chlorpyrifos residues in soil was smaller than the adsorption of cypermethrin.
Ce/(Xm/m)
67 4.5 4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0
y = 0.066x + 2.494 R² = 0.112 Sukanalu y = -0.363x + 4.281 R² = 0.494
0.00
2.00
4.00 Ce
6.00
Korpri
8.00
Log Xm/m
Figure 3. Langmuir plot for the chlorpyrifos adsorption onto biochar 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 -0.1 0.0 -0.2 -0.3 -0.4
y = 1.531x - 0.732 R² = 0.929 y = 0.938x - 0.403 R² = 0.905 Sukanalu Korpri 0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Log Ce
Figure 4. Freundlich plot for the chlorpyrifos adsorption onto biochar Tabel 6. Equilibrium adsorption isotherm values for chlorpyrifos pesticide Isotherm Soil samples Isotherm Value parameters a (mg/g) 15.15 Sukanalu Langmuir b 0.066 2 R 0.112 a (mg/g) 2.755 Korpri Langmuir b 0.363 2 R 0.494 k (mg/g) 2.529 Sukanalu Freundlich n 1.066 2 R 0.905 k (mg/g) 5.395 Korpri Freundlich n 0.653 2 R 0.929
68
The Langmuir adsorption isotherms showed that it is not linear relationship on the present results shown in Figs. 3, but the Freundlich adsorption isotherms showed linear relationship present results shown in Figs. 4. R 2 of the Freundlich adsorption isotherms is larger than that in Langmuir adsorption isotherms and close to 1. It means that this Freundlich model was obeyed by adsorption of chlorpyrifos as shown in Figs. 4. Adsorption tends to have n between 1 and 10. Larger value of n implies stronger interaction between the soil and the pesticides (Öztürk and Bektas, 2004). The n values were 1.066 and 0.653 for Sukanalu and Korpri respectively in Freundlich isotherm model, showing that adsorption process was unfavorable and this has to do with low percentage of the clay (3.72 and 7.46) and due to the organics material available in the horticultural soil. The multilayey capacity factor of both pesticides (k) is higher than one which shows the good interaction between the soil and the pesticides with more interaction in Korpri than Sukanalu. The Langmuir adsorption isotherm is commonly applied to monolayer chemisorptions of gases. This isotherm is mainly applied when no strong adsorption is expected and when the adsorption surface is uniform. Generally, the effect of organic matter content in the soil into adsorption residue as the influence of soil clay content. The greater the content of organic material is, the greater the adsorption. Pesticides have the speed for different decay (half-life). The halflife of this will affect the resistance properties of the residue in the soil. The greater half-life is the longer it will stay in the soil and more difficult to be degraded. Activated biochar which has been incorporated into the soil will have different adsorption power compared to the initial state. This is due to the possibility of activated biochar adsorb other compounds. 4. CONCLUSION It was evaluated that Freundlich isotherm was obeyed with adsorption capacity of cypermethrin about 1.786 mg/g (R2=0.963) for Sukanalu and 1.247 mg/g (R2=0.983) for Korpri. Adsorption capacity of chlorpyrifos about 2.529 mg/g (R 2= 0.905) for Sukanalu and 5.395 mg/g (R2=0.929) for Korpri. Langmuir isotherm model was not obeyed in this experiment because the result showed that R 2 value was not close to 1. Generally, activated biochar applied by soil sample of Korpri had larger adsorption capacity than soil sample of Sukanalu. Adsorption mechanism of pesticide residue was integrated by clay of soil structure, organic material, and pH value. Acknowledgement We thank Indonesian Rubber Research Institute-Sungei Putih Research Center, University of Medan Area, Ministry of Research and Higher Education (Simlitabmascompetitive research 2016) for the financial support.
5. REFRENCES AOAC. (2007). Pesticide residues in foods by acetonitrile extraction and partitioning with magnesium sulfat. Official method 2007.01 Handayani, M. and E. Sulistiyono. (2009). Test Langmuir and Freundlich Equation On Waste Absorption Chrom (VI) by Zeolite. Proceedings of the National Seminar on Nuclear Science and Technology, Bandung. (In bahasa).
69
Jeffery, S., F.G.A. Verheijen, M. van der Velde, A.C. Bastos. (2011). A quantitative review of the effects of biochar application to soils on crop productivity using meta-analysis. Agric. Ecosyst. Environ. 144: 175-187. Jodeh, S., O. Khalaf, A.A. Obaid, B. Hammouti, T.B Hadda, W. Jodeh, M. Haddad, I. Warad. (2013). Adsorption and kinetics study of abamectin and imidacloprid in greenhouse soil in Palestine. J. Mater. Environ. Science 5(2), 571-580. Lee, Y., J. Park, K.S Gang, C. Ryu, W. Yang, J.H. Jung, and S. Hyun. (2013). Production and characterization of biochar from various biomass materials by slow pyrolysis. Technical Bulletin 197: Food and Fertilizer Technology Center, Taiwan. Lehman, J., J. Gaunt, M. Rondon. (2006). Biochar sequestration in terrestrial ecosystem-a review. Mitig. Adapt. Strat. Gl., 11:403-427. Öztürk N., Bektas T. E. (2004). J. Hazar. Mat., 112 (2004) 155. Preston, C.M., M.W.I. Schmidt. (2006). Black (pyrogenic) carbon in boreal forests: a synthesis of current knowledge and uncertainties. Biogeosciences 3: 211-271. Shuji, Y. and S. Tanaka. (2013). Biochar and compostization: maximization of carbon sequestration with mitigating GHG emission in farmlands. Technical Bulletin 196: Food and Fertilizer Technology Center, Taiwan. Sohi, S.P. (2012). Carbon storage with benefits. Science 338: 1034-1035. Tiwari, M. and S. Guha. (2012). J. Environ Eng 138(2012) 426. Tu. (2001). Weed control methods handbook. The nature conservancy. Version April 2001. Van Zweiten, L., B. Singh, S. Joseph, S. Kimber, A. Cowie, and K.Y. Chan. (2009). Biochar and emissions of non-CO2 greenhouse gases from soil (Ch.13), in: Lehmann, J. and S. Joseph (Eds.), Biochar for environmental management. Earthscan, Gateshead, UK, p.227-249. Woolf, D., J.E. Amonette, F.A. Street-Perrot, J. Lehmann, S. Joseph. (2010). Sustainable bichar to mitigate global climate change. Nat. Commun.1, Article number 56.
70
Lampiran 6. Sertifikat dan Prosiding Konfrensi Internasional IRRDB
71
72
73
Lampiran 5
Characteristics of Activated Biochar From Rubber Seed Shell and Epicarp With Chemical Activation (HCl)
74
75
76
Lampiran 7. Artikel Jurnal Internasional
Characteristics of Activated Biochar From Rubber Seed Shell and Epicarp With Chemical Activation (HCl) Sumihar Hutapea 1)*; Ellen Lumisar Panggabean 1); Tumpal HS Siregar2); Andi Wijaya 2) 1) Department of Agrotechnology, Agricultural Faculty of Medan Area University, Jl. Kolam No. 1 Medan Estate, Medan 20223, Indonesia 2) Sungei Putih Research Center Galang-Deli Serdang, Po Box 1415 Medan 20001 *Contact Author:
[email protected] Abstract This research aimed to determine characteristic of activated biochar from rubber seed shell and epicarp by using HCl solution, high grade and low grade solution. Tests were carried out to study the effects of two processing parameters, namely, activation in HCl solution (15%) and activation temperature (800 oC). The research had been performed using factorial completely randomized design. Parameters analyzed were ash content, moisture content, volatile matter content, fixed carbon, benzene and iodine number. The result showed that activated biochar with high grade solution had higher parameters value than activated biochar with low grade. Activated biochar by using high garde solution had moisture content of 3.97%; ash content of 3.78%; volatile matter of 30.91%; fixed carbon of 65,27%; absorption of iodine 875.97 mg g-1 and absorption of benzene 25.94%. Activated biochar by using low garde solution had moisture content of 9.34%; ash content of 4.19%; volatile matter of 34.10%; fixed carbon of 61.71%; absorption of iodine number 800.62 mg g-1 and absorption of benzene 24.48%. Generally, some parameters of activated biochar with low grade solution allowed to the SNI standard. Key words: biochar, HCl solution, high grade, low grade
1. INTRODUCTION As a result of environmental requirements in many countries and new areas of application the demand on activated carbon is still growing. Due to the unavailability of the main basic materials like hard coal, wood or coconut shells in many countries other biomass matters were tested for their appropriateness of activated carbon production (Schroder, 2013). The use of agricultural by-products for activated biochar production as well as the influence of ash content, pyrolysis and activation conditions on the activated biochar quality is investigated by many authors. The high ash content of rice straw makes it difficult to a achieve a sufficiently high surface area (Ahmedna et al., 2000). The influence of a one step and a two step thermal treatment of rice straw in CO 2 atmosphere is discussed in Yun, et al. (2001). The two step treatment leads to higher surface areas than the one step treatment which correspond to the own results. Higher temperatures of physical activation in CO2 atmosphere leads to pore widening which causes an increase of mesopores. Physical activation by the use of an oxidizing gas like steam or CO2 results in carbons with low surface area whereas chemical activation
77
enhances the carbon surface area (Ahmedna et al., 2000). Chemical activation of rica husks and rice straw is investigated in Guo, et al. (2002); Oh and Park (2002). Rubber plantations in Indonesia has an area of 3.2 million ha which consists of smallholder and state-owned plantations. Every year the number of smallholder rubber plantation rejuvenation program ranges from 50.000-70.000 ha (Supriadi, 2009). Potential rubber seed in the main grain season under normal circumstances is approximately 5,000-10,000 seeds per hectare of mature plants with an average weight of fresh seeds depending on the type of clones ranged 5.0-3.5 grams (Siagian, 2012). Currently, rubber seed is widely used as a seed for the rubber plant breeding. Surely not all the seeds can be used as seed because it has specific criteria for the selection process of a good seed. So the rubber seed does not comply with the criteria of a good seed will be as waste. Not only that, epicarp which is skin of rubber seed, currently not utilized. So it need for studying to utilize rubber seeds shells and epicarp as a source of raw materials in the process. This research aimed to determine the characteristic of activated biochar from rubber seed shell and epicarp using chemical activation which is regarded be a low cost method for technical use.
2. MATERIALS AND METHODS The experiments on pyrolisis and activation of waste biomass matters were run in lab-scale facilities. Rubber seed shell and epicarp wastes were obtained from experimental field of Sungei Putih, Galang-Deli Serdang. The reactor was made of metal with a diameter of 57 cm and a height of 120 cm for carbonization. After carbonization, biochar was activated in HCl 15% (technical purpose) and then biochar was placed inside an electrically-heated furnace. In each test, 100-400 g of sample was heated from room temperature to 800oC and maintained for at least two hour to allow sufficient time for complete pyrolysis. Proximate analysis Proximate analysis in this research was moisture content, ash content, volatile matter and fixed carbon, absorption of iodine and benzene of shell and epicarp of rubber seed activated carbon were carried out using. a. Mouisture Content Procedure of determination of mouisture content refers to Indonesian National Standard (SNI) 06-3730-1995 about quality requirements and testing of activated charcoal. Sample is weighed as much as 5 g, dried in an oven at (103 ± 2) °C until its weight is constant. Then put in a desiccator until weight is fixed and determined mouisture content in percent (%). Moisture content of activated charcoal is calculated with the following formula:
b. Ash content Procedure of determination of ash content refers to the Indonesian National Standard (SNI) 06-3730-1995 about quality requirements and testing of activated charcoal. 2 g sample is weighed and then put in a cup that is already known dry weight, then the cup was placed in a furnace, slowly heated from room temperature up to 600 oC
78
for 6 hours. Further cooled in a desiccator until its weight is constant, then it is weighed. Calculation ash content using the formula:
c. Volatile matter Determination of volatile matter content aims to find compounds that have not been vaporized at carbonisation and activation process, but evaporate at temperature of 950 oC. According to Smisek and Cerny (1970) that the components contained in the activated charcoal is water, ash, fixed carbon, nitrogen, and sulfur. On heating above 900°C nitrogen and sulfur will evaporate. This component is referred to as a volatile matter content. Two grams dry sample is inserted into porcelain cup which is known its weight. Furthermore, the sample is heated in a furnace to temperature of 950 oC for 10 minutes, and then cooled in a desiccator for one hour.
a = sample weight before heated (g) b = sample weight after heated (g) d. Fixed carbon Procedure of fixed carbon content refers to the Indonesian National Standard (SNI) 06-3730-1995 about quality requirements and testing of activated charcoal. Fixed carbon is carbon-bound fraction in the room besides the fraction of water, volatile matter, and ash. Measurement of fixed carbon content is calculated using the formula: Fixed carbon (%) = 100% - (volatile matter content + ash content) % e. Absorption of Iodine Determination of iodine absorption refers to Indonesian National Standard (SNI) 06-3730-1995 about quality requirements and testing of activated charcoal. Sample of activated charcoal is weighed as much as ± 0.25 g and put into the erlenmeyer flask. Then sample is treated with a solution of iodine 25 ml, stirred for ± 15 minutes. The solution was stirred and then filtered using filter paper, and the results pipette 10 ml for titration using a solution of thio (Na2S2O3). Titration is done until the sample solution changes color to clear. The amount of iodine absorption is calculated by the formula: Absorption of Iodine (%) = 10 – (N Na2S2O3 x ml titration Na2S2O3 / N I2) x 12.693 x 2.5 sample weight f. Absorption of Benzene Determination of Benzene absorption refers to the Indonesian National Standard (SNI) 06-3730-1995 about quality requirements and testing of activated charcoal. Petridish which has dried is weighed, then sample placed on a petridish which is still above the balance of the scales. The sample is flattened to cover all the surface of the petridish and the weight recorded. then insert to absorbent tools of benzene, allowed for ± 24 hours, and after that sample is weighed. Absorption of benzene calculated by the following formula: Absorption of benzene (%) = Sample after absorption (g) – Sample before absorption (g) x 100% Sample before absorption (g)
79
3. RESULT AND DISCUSSION The results showed that the process of activation with different solution of HCl gave different effect on the value of moisture content, ash content, volatile matter, fixed carbon, the absorption of iodine number, and the absorption of benzene. In the analysis parameters, high grade solution gave higher quality of activated biochar than activated biochar using low grade solution. Tabel 1. Characteristic of activated biochar
Parameters
Mouisture content (%) Ash content (%) Volatile matter content (%) Fixed carbon (%) Iodine number (mg/g) Benzen number (%)
Activated with HCl solution (low grade) 9.34 4.19 34.10 61.71 800.62 24.48
Value Activated with HCl solution (high grade) 3.97 3.78 30.91 65.27 875.97 25.94
Indonesian National Standard Max. 15 Max. 10 Max. 25 Min. 65 Min. 750 Min. 25
a. Moisture content Determination of moisture content of biochar aims to determine the hygroscopic properties of activated charcoal. Moisture content produced in this study ranged from 3.97% to 9.34%. The value of mouisture content of all samples allowed to SNI standards by maximum of 15%. Theoretically, increasing of activation temperature can enhace evaporation of water level, hence the water level is too less. Time and conditions of storage and processing of activated charcoal, such as milling and sieving will also affect the value of the moisture content of activated charcoal, since the activated charcoal is hygroscopic which can absorb moisture or other molecules in contact with the air, so its ability to adsorb gases or other liquids will decline. This happens because the pores of the activated charcoal has been filled or covered by another atom or molecule (Pari, 1996). b. Ash content Ash is an inorganic components remaining after the material is heated at a temperature of 500-600 ° C and consisting of potassium, sodium, magnesium, calcium and other components in small quantities. Determination of ash content aims to determine the content of the metal oxide contained in biochar. Sudrajat (1985) said the high ash content can reduce the ability of activated charcoal to absorb the gas and solution. The value of all the ash content of the resulting samples ranged from 3.78 to 4.19% . It mean that the sample allowed to the SNI standard, ash content is a maximum of 10%. Theoretically, an increase in the activation temperature tends to increase ash content of active charcoal because the high temperature activation will be oxidized easily and produce inorganic components. In addition, the high temperature activation can result metal oxide from the interaction of chemicals reagent between furnace
80
(muffle) hence the content of inorganic components on activated charcoal is much. Sudrajat (1985) said the high ash content can reduce the ability of activated charcoal to absorb gases and solutions for the minerals contained in the ashes spread in the lattice of activated charcoal. c. Volatile matter Determine of volatile matter aims to find compounds that have not been vaporized in the process of carbonization and activation, but evaporate at a temperature of 950 oC. Value levels of volatile matter generated from this study ranged from 30.91 to 34.10%. In theory, an increase in HCl concentration tends to increase the levels of substances evaporate anyway. This is due to HCl added to the charcoal pervasive, coat, protect materials from heat. High levels of volatile substances would reduce the ability of biochar to absorb gases and solutions. Value of volatile matter content of all samples not allowed SNI standards, it was a maximum of 25%. Theoretically, increasing concentration of HCl will increase the levels of volatile matter. This is because HCl is used will coat and protect the material from the heat, so the higher concentration of HCl then the less sulfur and nitrogen in the material that burned and vaporized at temperature of 950 oC. High content of volatile matter will reduce absorbency because there are pores of activated charcoal which is still covered with volatile matter such as carbon, sulfur and nitrogen. Increased activation temperature will reduce levels of volatile matter content. This happens because the high temperature will reduce non-carbon compounds such as CO2, CO, CH4 and H2 which can react perfectly (Kuriyama, 196). d. Fixed carbon Activated biochar from shell and epicarp of rubber seeds contain fairly high and it ranged from 61.71 to 65.27%. The higher concentration of substances evaporate and ash content, the carbon content, will make the lower bound. Fixed carbon content by using high grade solution allowed to the standards of activated charcoal powder according to SNI is a minimum of 65%. Fixed carbon content is strongly influenced by the concentration of volatile matter and ash content. As much as concentration of volatile matter and ash content, the fixed carbon content is to be lower. Fixed carbon content is directly proportional to the activated charcoal adsorption ability, so that the high level of fixed carbon effect on the ability of activated charcoal to absorb the gas (Sudrajat et al., 2005). e. Absorption of iodine number Determination of iodine absorption of active charcoal/biochar aimed to find out the ability of biochar to absorb colored solution/dirty. The amount of biochar to the iodine absorption was an indication of the magnitude of the pore diameter of biochar that can be penetrated by molecules whose size was no greater than 10 A and the number of microporous structures formed (Pari, 1996). Iodine absorption of some samples allowed to SNI standard activated charcoal powder where it had a minimum iodine number of 750 mg/g. Activated charcoal absorption to iodine ranges from 800.62 mg/g - 875.97 mg/g. Activated charcoal absorption value of the lowest iodine obtained from the samples treated with HCl solution (high grade and low grade). f. Absorption of benzene number Determination of benzene absorption biochar aimed to find out the ability of biochar to absorb gas. Absorption of benzene number of biochar ranged from 24.48 to
81
25.94%. Only activated biochar by using high grade solution allowed to SNI standard activated charcoal where it had a minimum benzene number of 25%. Theoretically, an increase on activation temperature can increase the absorption of active charcoal on benzene. This is because the higher temperature will cause carbon plates to shift and push hydrocarbons and other organic compounds to come out at activation. The low value of benzene absorption due to activated charcoal pore is covered by non-carbon compounds which are not pushed out of the surface of activated charcoal at activation (Pari, 1996). 4. CONCLUSION Activation solution in HCl and activation temperature were important parameters affecting the activated carbon produced. The best conditions were at 15% HCl solution activation and 800 °C activation temperature. This gave the highest iodine number of 875.97 mg g-1. Increasing temperature and concentration of HCl increased iodine number which subsequently increased adsorption capacity of the activated carbon. When the temperature exceeded 800 °C, the particles were burned out completely. This indicates that rubber seed shell and epicarp has the potential to be a promising precursor for the production of activated carbon. Ackknowledgment We thank to Sungei Putih Research Center which had facilitated this research and University of Medan Area for supporting the financial.
5. REFERENCES Badan Standarisasi Nasional. 1995. Arang Aktif Teknis. SNI 06-3730-1995. http://sisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/4156. Diakses pada tanggal 08 Nopember 2013. Cheong, Ww. 2006. Preparation and characterization of activated carbons from bamboo for adsorption studies on the removal of surfactants. Thesis, Universiti Teknologi Malaysia, Skudai. Elisabeth S, Klaus T, Christine W, Andreas H & Vander T. 2007. Experiments on the generation of activated carbon from biomass. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 79: 106–111. Kuriyama, A. 1961. Destructive Distillation of Wood. Ministry of Agriculture and Forestry Overseas. Technical Cooperation Agency, Tokyo. Pari, G. 1996. Kualitas Arang Aktif dari 5 Jenis Kayu. Buletin Penelitian Hasil Hutan. Vol. 14(2):60-68. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor. Prakash Kumar BG , Shivakamy K, Miranda LR & Velan M. 2006. Preparation of steam activated carbon from rubberwood sawdust (Hevea brasiliensis) and its adsorption kinetics. Journal of Hazardous Materials B136: 922–929. Siagian, N. 2012. Pembibitan dan Pengadaan Bahan Tanam Karet Unggul. Balai Penelitian Sungei Putih, Pusat Penelitian Karet. Deliserdang, Medan.
82
Smisek, M. dan S. Cerny. 1970. Active Carbon: Manufacture, Properties and Application. Elsevier Publishing Co., New York. Sudrajat, R. 1985. Pengaruh Beberapa Faktor Pengolahan Terhadap Sifat Arang Aktif. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol.5(11):343-349. Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor. Sudrajat, R.. D. Tresnawati. dan D. Setiawan. 2005. Pembuatan Arang Aktif dari Tempurung Biji Jarak Pagar. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol 23(2):143-159. Supriadi, M. 2009. Implementasi model peremajaan partisipatif dalam program revitalisasi perkebunan karet. Warta Perkaretan. 28(1): 76-86.
83
Lampiran 8 . Bukti Pengiriman Manuskrip ke Jurnal Internasional
84