594/Ilmu Administrasi Negara
LAPORAN AKHIR TAHUN I PENELITIAN HIBAH BERSAING
AKSEPTABILITAS SUBSTANTIF PERATURAN BATAS USIA PENSIUN PNS DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA Dalam rangka Implementasi UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara
TIM PENELITI Drs. Argo Pambudi, M.Si., NIDN : 0024026207 Joko Kumoro, M.Si., NIDN : 0026066009
Dibiayai oleh DIPA Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Nomor DIPA-023.04.1.673453/2015, tanggal 14 November 2014 DIPA revisi 01 tanggal 03 Maret 2015 Skim : Penelitian Hibah Bersaing Tahun Anggaran 2015 Nomor : 062/SP2H/PL/DIT.LITABMAS/II/2015 Tanggal 5 Februari 2015
FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2015
ii
KATA PENGANTAR
Bismilahirohmannirohim. Ucap syukur alhamdlulillah tim peneliti haturkan kepada Allah SWT atas terselesaikannya penelitian tahun I ini. Kiranya tanpa ijin dari-Nya mustahil penelitian ini bisa selesai dengan baik. Banyak data empiris, pengalaman dan tambahan pengetahuan yang berhasil kami dapatkan selama berlangsungnya proses penelitian ini. Banyak pihak telah berjasa mendukung keberlangsungan penelitian ini. Kesempurnaan substansi maupun metodologi penelitian ini banyak sekali berasal dari masukan para pihak tersebut, baik yang berupa kritik, saran, komentar maupun masukan-masukan lain yang inspiratif untuk didesiminasikan lebih lanjut. Sekecil apapun masukan tersebut ternyata memiliki manfaat yang besar melalui proses desiminasi dan pengembangan kreatif – yang sebelumnya unpredictable. Presentasi proposal pertama kali di depan reviewer pada 19 Maret 2015 dan seminar hasil penelitian pada tanggal 7 November 2015 telah memberi banyak masukan terutama berupa penyempurnaan metode penelitian yang dipakai penelitian ini. Pada awalnya metode penelitian yang dipakai adalah mix methods analysis, yaitu perpaduan antara metode penelitian kuantitatif (survey) pada tahun I dan direncanakan akan dielaborasi dengan metode penelitian analisis deskriptif kualitatif pada tahun ke II. Namun demikian oleh reviewer diberi masukan bahwa alur penggunaan metode penelitian yang seperti itu bukanlah cara berpikir mix methods analysis pada umumnya. Memang ada diskusi ketika itu, namun akhirnya disimpulkan bahwa metode penelitian yang rencananya dipakai untuk 2 tahun dimampatkan untuk dilaksanakan dalam 1 tahun saja. Sebagai
iii
konsekwensinya, pada tahun ke II penelitian ini akan menggunakan metode penelitian content analysis dan meta analysis. Pengalaman pengumpulan data lapangan, terutama melalui teknik wawancara, juga sangat bermanfaat memperkaya wawasan kedalaman makna yang sesungguhnya dipahami responden/informan. Dari sinilah proses kreatif menemukan sesuatu untuk memperkaya hasil penelitian berlangsung. Hasil penelitian tahun I ini menunjukkan bahwa tingkat Akseptabilitas substantif kebijakan BUP yang baru begitu tinggi, namun tidak bisa menjadi momentum yang baik untuk intensifikasi SDM PNS di lokasi penelitian, karena berada dalam lingkungan sistem regulasi yang kurang mendukung. Oleh karenanya tidak berdampak pada peningkatan kompetensi dan profesionalisme PNS di lokasi penelitian. Hasil penelitian tahun I ini masih perlu dibahas lebih lanjut – pada penelitian tahun II nanti – untuk menentukan strategi terbaik dalam mengimplementaskani peraturan BUP tersebut untuk jangka panjang. Kesemuanya itu bertujuan agar bisa dicapai peningkatan efektifitas, efisiensi serta produktivitas PNS berdasarkan UU ASN ini. Selanjutnya pada kesempatan ini peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini, terutama kepada : 1. Bapak Dr. Mukminan dan Ibu Dr. Mami Hajaroh – reviewer internal UNY – yang telah memberikan kritik, saran dan berbagai masukan pada seminar proposal penelitian ini. 2. Bapak DR. Maman Suryaman, M. Pd dan Bapak DR. Heru Kuswanto, M.Si selaku nara sumber seminar hasil penelitian tahun I ini yang memberikan banyak masukan
iv
demi penyempurnaan hasil penelitian ini dan penyusunan proposal untuk tahun ke II penelitian ini. 3. Para PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta yang telah meluangkan waktu di sela kesibukannya untuk mengisi angket pengumpul data dan aktif memberi masukan dalam focused group discussion (FGD) penelitian ini. Demikianlah kata pengantar ini. Sekali lagi peneliti sampaikan bahwa penelitian ini masih terbuka bagi banyak semua pihak untuk memberikan kritik, saran, masukan demi kesempurnaan untuk aplikasinya nanti.
Tim Peneliti : Argo Pambudi Joko Kumoro
v
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL
-------------------------------------------------------
HALAMAN PENGESAHAN
i
----------------------------------------------
ii
-------------------------------------------------------
iii
DAFTAR ISI
----------------------------------------------------------------
vi
RINGKASAN
----------------------------------------------------------------
viii
KATA PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
----------------------------------------------
A. LATAR BELAKANG
-------------------------------------
B. TUJUAN DAN URGENSI PENELITIAN
9 9
----------
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
-------------------------------------
13
BAB III
METODE PENELITIAN
-------------------------------------
29
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
----------
A. NORMA BATAS USIA PENSIUN DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014 TENTANG ASN --------B. KEADAAN KEPEGAWAIAN PADA PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA --------C. AKSEPTABILITAS SUBSTANSIAL PERUBAHAN BUP BERDASAR DATA EMPIRIS -----------------D. PERSOALAN KUALITATIF DARI KACAMATA PEMERINTAH ---------------------------------------------
BAB V
33 54 55 68
KESIMPULAN DAN SARAN ----------------------------------
72
A. KESIMPULAN
-------------------------------------
72
----------------------------------------------
74
----------------------------------------------------------------
78
B. SARAN REFERENSI
34
vi
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-------------------------------------------------------
80
-
Lampiran 1
:
Surat Ijin Penelitian
-
Lampiran 2
:
Daftar Pertanyaan dan Panduan Wawancara
-
Lampiran 3
:
Surat Edaran Kepala BKN NOMOR : K.26-30 lV.7 -3199 Tanggal 17 Januari 2OI4
-
Lampiran 4
:
UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara
:
vii
RINGKASAN
Tujuan utama penelitian ini adalah memahami contens kebijakan tentang Batas Usia Pensiun PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta, dalam rangka implementasi UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Sasaran analisisnya ditekankan pada akseptabilitas substantif perubahan peraturan BUP PNS. Tujuan selanjutnya adalah menyusun masukan untuk pemerintah dalam menentukan strategi implentasi peraturan BUP itu di lapangan. Metode penelitian yang dipakai adalah mix methods analysis, yaitu perpaduan antara metode penelitian analisis deskriptif kualitatif dengan metode penelitian survai. Hasil penelitian tahun I ini menunjukkan bahwa tingkat Akseptabilitas substantif kebijakan BUP itu begitu tinggi, namun tidak bisa menjadi momentum yang baik untuk intensifikasi SDM PNS di lokasi penelitian, karena berada dalam lingkungan sistem regulasi yang kurang mendukung. Oleh karenanya tidak berdampak pada peningkatan kompetensi dan profesionalisme PNS di lokasi penelitian. Hasil penelitian tahun I ini masih perlu dibahas lebih lanjut – pada penelitian tahun II nanti – untuk menentukan strategi terbaik dalam mengimplementaskani peraturan BUP tersebut untuk jangka panjang. Kesemuanya itu bertujuan agar bisa dicapai peningkatan efektifitas, efisiensi serta produktivitas PNS berdasarkan UU ASN ini.
Kata kunci : Usia pensiun, intensifikasi produktivitas PNS, policy content
viii
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Usia pensiun merupakan tahapan penting dalam perjalanan karier setiap PNS di jajaran birokrasi pemerintahan. Dibandingkan tahap-tahap sebelumnya, seperti rekruitmen, pembinaan, promosi jabatan, dan sebagainya, tahap memasuki masa pensiun ini bisa lebih bermakna. Dari sudut pandang kepentingan PNS itu yang bersangkutan, usia pensiun biasanya merupakan “puncak karier”. Sementara itu dari sudut pandang kepentingan negara, saat-saat menjelang pensiun tersebut efektivitas pembinaan PNS dan biaya yang telah dikeluarkan untuk pembinaannya juga sedang berada pada “posisi puncak”. Artinya, pada saat-saat itu pengalaman, wawasan, kematangan mental, serta banyak aspek lain dari PNS yang bersangkutan sedang mencapai puncaknya dan sangat dibutuhkan oleh negara. Sementara itu pada saat yang sama garis finish sudah tampak di depan matanya. Dalam banyak kasus finish pada usia tertentu itu belum tentu dikehendaki, dan bukan merupakan tujuan utama PNS yang bersangkuta pada saat itu. Kondisi ini kiranya tidak terlalu baik sebagai pemacu prestasi PNS di akhir masa pengabdiannya. Pada kondisi ini sudah pasti konsentrasi PNS yang bersangkutan terpecah yang berakibat kontra-produktif. Fenomena tersebut di atas sebenarnya bisa sama artinya dengan penyalah-gunaan (abuse) atau inefficiency pemanfaatan SDM birokrasi. Karena puncak pengalaman, puncak kematangan jiwa, serta puncak keluasan wawasan PNS menjelang purna tugas itu tidak dimanfaatkan dengan baik untuk negara.
9
Usia pensiun yang tidak dikehendaki PNS yang bersangkutan bisa berakibat kontraproduktif bagi pelaksanaan tugas dan fungsi birokrasi pada umumnya. Banyak kasus menunjukkan bahwa PNS yang memasuki usia pensiun dari berbagai aspek masih memenuhi syarat untuk bekerja dengan baik. Hanya karena peraturan pemerintah sajalah yang memaksa mereka tidak melanjutkan pengabdiannya. Pada 15 Januari 2014 telah disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Di dalamnya antara lain mengatur Batas Usia Pensiun (BUP) Pegawai Negeri Sipil (PNS). Satu diantaranya yang paling urgent adalah ketentuan Pasal 90 huruf a yang menentukan bahwa “PNS diberhentikan dengan hormat karena mencapai batas usia pensiun, yaitu 58 tahun bagi Pejabat Administrasi”. Disebut yang paling urgent karena batas usia pensiun 58 tahun tersebut merupakan ketentuan yang paling awal bagi setiap PNS memasuki masa pensiun dalam keadaan normal atau tanpa sebab khusus. Sebab khusus yang dimaksud adalah meninggal dunia, atas permintaan sendiri, perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini, dan dinilai tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajibannya. Penelitian ini bermaksud ingin mengetahui bagaimana Akseptabilitas Substantif
Peraturan Batas Usia Pensiun PNS itu di Lingkungan
Pemerintah Kota Yogyakarta. Sebagai informasi tambahan, selain batas usia pensiun yang 58 tahun itu, pasal 90 UU No. 5 Tahun 2014 menentukan pula 2 pengecualian yaitu BUP untuk Pejabat Pimpinan Tinggi adalah 60 tahun dan BUP pejabat fungsional ditentukan sesuai dengan ketentuan
10
peraturan
perundang-undangan (lain) yang berlaku. Oleh karena itu di tingkat
implementasi terdapat banyak variasi, diantaranya terlihat pada tabel 1. Akibat adanya variasi tersebut maka dimungkinkan munculnya ketidakharmonisan suasana hati yang dikalangan PNS, yaitu manakala mereka membandingkan dan menilai ada diskriminasi oleh si perancang dan pembuat kebijakan BUP tersebut. Suasana yang tidak harmonis ini lebih sering bersifat latent daripada terbuka, karena doktrin birokrasi yang mengharuskan PNS taat pada peraturan per-UU-an yang berlaku. Namun demikian dampaknya sudah pasti, yaitu mempengaruhi perilaku produktif PNS secara langsung ataupun tidak langsung. Berdasarkan latar belakang inilah maka ide penelitian ini hendak dikembangkan.
Tabel 1 : Variasi Batas Usia Pensiun dan Dasar Hukumnya No.
Jabatan
BUP
Dasar Hukum
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Dosen Lektor/Lektor Kepala Guru Besar GB Emiritus Guru Widyaiswara Utama/Utama Madya Widyaiswara Utama Pratama/ Madya/Muda Auditor Madya dan Utama Arsiparis Madya dan Utama Pemeriksa Madya dan Utama Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jaksa Peneliti Madya dan Utama Dokter
65 70 70 60 65 60
tahun tahun tahun tahun tahun tahun
UU No. 14/2005 UU No. 12/2012 Permendiknas No. 09/2008 UU No. 14/2005 Keppres No. 63/1986 Keppres No. 63/1986
60 60 60 62
tahun tahun tahun tahun
Perpres no.41/2012 Perpres No. 42/2012 Perpres No. 52/2012 UU No. 3/2006
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
65 tahun
UU No. 3/2006
62 tahun 65 tahun 60 tahun
UU No. 16/2004 PP No. 65/2008 PP No. 65/2008
Catatan : Diolah dari berbagai sumber.
11
B. TUJUAN DAN URGENSI PENELITIAN -
Tujuan : Tujuan utama penelitian ini adalah memahami secara lengkap dan mendalam
akseptabilitas substantif Peraturan Batas Usia Pensiun PNS itu di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Selanjutanya pemahaman yang mendalam itu dimanfaatkan untuk : (a) Mengantisipasi dan mencegah berubahnya potensi masalah implementasi peraturan BUP menjadi masalah nyata berupa penurunan produktivitas kerja birokrasi pemerintah ; (b) Menyusun bahan asistensi pemerintah dalam menyusun strategi penerapan peraturan BUP di lapangan. Kesemuanya itu dimaksudkan agar bisa dicapai peningkatan efektifitas dan produktivitas peraturan BUP tersebut. -
Urgensi :
Prediksi berubahnya potensi masalah menjadi masalah nyata di kemudian hari menyulut interpretasi prediktif bahwa peraturan BUP bagi PNS yang tingkat akseptabilitasnya rendah tidak akan mampu memberdayakan fungsi birokrasi secara optimal. Peraturan ini tidak akan berdampak positip pada peningkatan efektivitas, efisiensi serta peningkatan produktivitas kerja pemerintahan di kelak kemudian hari. Dalam batas-batas tertentu pemberlakukan peraturan BUP yang dipaksakan justru bisa kontra-produktif atau menjadi penghambat pelaksanaan fungsi-fungsi birokrasi yang ideal. Dengan penelitian ini kekawatiran prediktif tersebut bisa diantisipasi dan dicegah kehadirannya. Inilah urgensi penelitian ini.
12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pemerintah di semua negara senantiasa dituntut meningkatkan efektivitas, efisiensi dan produktivitas kerja jajaran birokrasi-nya. Banyak cara telah diadopsi di lingkungan birokrasi pemerintahan. Banyak bidang telah digarap untuk memenuhi tuntutan birokrasi tersebut, mencakup bidang organisasi, tata-kerja, pengembangan SDM, dan seterusnya termasuk penyempurnaan perangkat aturan untuk menjadi pedomannya. Peraturan Batas Usia Pensiun (BUK) Pegawai Negeri Sipil yang diformalkan dalam beberapa pasal UU No. 5 Tahun 2014 kiranya merupakan salah satu kebijakan yang ditujukan untuk itu. Dalam bab ini akan diuraikan konstruksi penjelasan teoritis yang dikembangkan untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah di muka. Materi yang digunakan diambil dan dikembangkan dari teori birokrasinya Weber, teori kebijakan publik dari Ripley (1985), teori Implementasi Kebijakan publik dari Merilee Grendle (1991), Larson, Van Horn dan Mazmanian & Sabatier (1983).
Pensiun dan Batas Usia Pensiun (BUP) Selama kurun waktu lama sebelum terbitnya UU ASN usia pensiun PNS di Indonesia berkisar antara 56 sampai dengan 70 tahun, sedangkan di negara barat usia pensiun ada dalam kisaran lebih tinggi dari itu. Pada usia pensiun itu secara psikologi perkembangan seseorang memasuki usia manula atau dewasa akhir (late adulthood). Orang Indonesia
13
pada usia pensiun itu pada umumnya masih dapat dikatakan cukup produktif. Meskipun kekuatan fisik seseorang pada masa ini mulai menurun, namun pada masa inilah seseorang mulai mencapai prestasi puncak baik itu karir, pendidikan dan hubungan interpersonal. Sebagai orang tua, pada umumnya mereka itu masih mempunyai tanggung jawab mengasuh anak-anak yang masih remaja ataupun yang sudah berkeluarga namun masih belum mandiri. Sangat mudah dipahami bahwa pada masa-masa itu sebenarnya masih banyak tantangan bagi PNS untuk memasuki masa pensiun dengan tanpa masalah. Terlebih jika seorang PNS itu masih harus membiayai kuliah anak-anak mereka, padahal dengan status pensiun keadaan keuangan menurun. Terdapat beberapa pengertian terkait dengan konsep pensiun dan
batas usia
pensiun ini. Secara empiris maupun normatif pensiun memiliki arti yang berbeda-beda, minimal tidak sama persis. Pandangan dari kacamata PNS sebagai individu dan pandangan dari kacamata PNS sebagai pejabat birokrasi saja menghasilkan pemahaman yang berbeda. Secara normatif, jika seorang PNS itu diangkat menjadi pejabat birokrasi, ia dituntut harus "menanggalkan"
kepentingan
pribadinya
demi
menjaga
independensi
untuk
memperjuangkan kepentingan umum. Tidak boleh ada konflik kepentingan dalam konteks itu. Sementara itu dalam kenyataan empiris pada umumnya, tidak mungkin seorang PNS itu mampu menanggalkan kepentingan pribadinya secara "tuntas" demi independensi perjuangan kepentingan umum tersebut. Apalagi dalam konteks terkini terdapat perubahan dan dinamika kehidupan masyarakat yang besar, hingga berakibat meningkatnya kebutuhan pribadi PNS yang bersangkutan. Pertanyaannya adalah, mampukah keduanya berjalan beriringan melaksanakan ketentuan BUP baru dalam UU No. 5 Tahun 2015
14
tersebut ? Secara lebih operasional, mampukah regulasi BUP baru itu meningkatkan efektivitas, efisiensi dan produktivitas kerja organisasi pemerintah ? Pertama, dari kacamata personal PNS, konsep pensiun ini lazim diartikan sebagai akhir masa kerja seorang PNS dengan hak pensiunnya. Bila tanpa hak pensiun pengertiannya tidak disebut dengan istilah pensiun, seperti pengunduran diri, pemberhentian dengan hormat ataupun pemecatan. Pengertian pensiun ini juga bermakna empiris berakhirnya masa pengabdian seseorang dalam status PNS dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya. Dengan berakhirnya status dan jabatan tersebut maka berakhir pula gaji, honorarium dan berbagai macam tunjangan jabatan yang biasa mereka terima. Dihentikannya gaji, honorarium dan berbagai macam tunjangan itu berarti pula turunnya besaran pendapatan yang selama ini menopang kehidupan mereka. Oleh karena itu, bagi sementara personalia PNS masa pensiun ini bisa merupakan keadaan yang mencemaskan – bahkan menakutkan. Sebaliknya, bisa pula masa pensiun ini menjadi sesuatu yang menyenangkan, menjadi awal "hidup baru" dengan suasana dan lingkungan baru, serta dengan pekerjaan/penghasilan yang "baru" pula. Sering kali masa pensiun ini digunakan sebagai kesempatan untuk "berpindah" profesi ke bidang lain yang lebih sesuai dengan hobby dan harapan lama yang terpendam, profesi yang lebih "bergengsi" ataupun pekerjaan lain yang secara finansial lebih menjanjikan penghasilan lebih besar, atau secara sosial "lebih terhormat" dan lain sebagainya. Banyak fakta bisa membuktikan statemen teoritis ini. Setelah memasuki masa pensiun, pegawai negeri – baik PNS, TNI maupun Polri – langsung aktif bergabung dengan
15
partai politik, mencalonkan diri menjadi Gubernur, menjadi Bupati/Walikota, menjadi anggota DPR, bersedia diangkat menjadi duta besar, menjadi menteri, menjadi anggota dewan komisaris perusahaan, dan lain sebagainya. Jadi artinya masa pensiun ini bukan berarti berakhirnya masa produktif seseorang. Hanya karena faktor harus menaati peraturan per-UU-an saja seorang PNS itu harus pensiun dan meninggalkan struktur birokrasi secara lebih awal. Kedua,
dari
kacamata
birokrasi
pemerintah
yang
mewakili
negara
memperjuangkan kepentingan publik, konsep pensiun ini diberi pengertian sebagai pelaksanaan peraturan per-UU-an yang terkait dengan pemberhentian PNS dengan hak pensiun. Pertimbangan utamanya adalah misi melaksanakan norma per-UU-an itu, bukan pertimbangan misi birokrasi ingin menyelesaikan masalah publik yang dihadapinya. Jadi ada perbedaan motivasi yang sangat mendasar dan substansial di antara keduanya. Walau demikian, idealnya di antara keduanya harus seiring dan sejalan, saling mendukung serta tidak saling bertentangan. Dengan kata lain pemecahan masalah publik oleh aktor birokrasi harus selalu sesuai dengan peraturan per-UU-an yang berlaku. Penyelesaian masalah publik oleh aktor birokrasi yang bertentangan dengan hukum positif merupakan tindakan yang illegal. Walaupun tindakan itu efektif, efisien dan produktif untuk pemecahan masalah publik di mata semua pemangku kepentingan. Bilamana tindakan itu menimbulkan kerugian negara dan menguntungkan individu birokrasi pelaksananya, maka hal itu lazim disebut dengan istilah korupsi. Singkatnya, pelaksanaan setiap peraturan perUU-an harus selalu berdampak menyelesaikan masalah yang dituju, dan tidak menimbulkan masalah baru. Ketentuan atau regulasi BUP yang dituangkan dalam UU No.
16
5 Tahun 2014 itu merupakan salah satu content kebijakan publik yang harus dilaksanakan untuk menyelesaikan masalah aparatur negara dan tidak memunculkan masalah baru di lingkungannya. Ketentuan regulatif BUP yang dituangkan dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara itu merupakan salah satu content kebijakan publik tingkat negara, bersifat major dan strategis. Artinya, kebijakan itu mengatur materi berskala nasional, berimplikasi luas pada
peningkatan beban rakyat, berimplikasi pada alokasi pos
pengeluaran APBN dan penggunaan sumberdaya publik lainnya. Oleh karena itu proses penyusunan UU tersebut – mulai dari artikulasi ide, perumusan, pembahasan, pengambilan keputusan, proses legitimasi hingga ratifikasinya – tidak hanya melibatkan lembaga executive atau pemerintah saja, namun juga melibatkan lembaga legislative (DPR). Ketentuan BUP dalam UU ASN ini diatur dalam pasal 87 dan 90. Esensiya berbunyi bahwa PNS diberhentikan dengan hormat karena mencapai batas usia pensiun (Pasal 87 ayat 1 huruf c). Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c itu ditentukan : a. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi ; b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi ; c. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Pejabat Fungsional. Memang disamping alasan telah mencapai batas usia pensiun, masih ada lagi beberapa alasan lain yang dipergunakan, yaitu meninggal dunia, atas permintaan sendiri dengan usia dan masa kerja tertentu, perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini atau dinilai tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak
17
dapat menjalankan tugas dan kewajibannya. Namun alasan-alasan lain itu kebanyakan bersifat "forcemajor" yang tidak bisa diprediksi oleh PNS yang menjadi kelompok sasarannya. Ketentuan-ketentuan itu harus dilaksanakan oleh semua pihak yang menjadi kelompok sasarannya. Dalam kaitan ini PNS Pejabat Administrasi adalah pihak yang menjadi kelompok sasaran dan sekaligus menjadi kelompok pelaksananya (Pasal 90). Jadi dalam pelaksanaan ketentuan BUP ini rawan terjadi konflik kepentingan antara kepentingan PNS sebagai individu
yang tergabung dalam kelompok sasaran dan
kepentingan rakyat/negara yang hendak direalisir melalui implementasi peraturan BUP tersebut dan dilaksanakan oleh pemerintah atau organisasi birokrasi. Banyak kemungkinan bisa terjadi. Posisi kepentingan individu PNS – sebagai kelompok sasaran atau pihak yang diatur – bisa berjalan seiring dengan kepentingan publik/pemerintah/negara – sebagai pihak yang mengaturnya. Namun bisa pula terjadi, kepentingan-kepentingan tersebut tidak sejalan, bahkan bisa bertentangan satu sama lain. Akibatnya, berpotensi memunculkan banyak masalah pada tahap implementasi selanjutnya. Bentuk masalah implementasi dan tingkat kesulitan pemecahannya sangat bergantung pada kesesuaian maksud, tujuan dan kemampuan kebijakan itu mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut secara berkeadilan. Kesesuaian
(suitable)
antara
kepentingan
individu
dengan
kepentingan
publik/pemerintah/negara yang terkandung dalam kebijakan tersebut mutlak diperlukan demi tercapainya efektivitas maksimal implementasi kebijakan tersebut. Kesesuaian itu tercermin dalam tingkat akseptabilitas substansial (acceptability) atau penerimaan individu
18
kelompok sasaran terhadap materi regulasi dalam kebijakan tersebut (able to be agreed on, able to be tolerated or allowed). Bilamana tidak tercapai kesesuaian antara policy statute dengan kepentingan, keinginan dan harapan individu PNS kelompok sasaran maka tingkat akseptabilitas mereka akan menurun. Sebaliknya sikap resistensi mereka akan meningkat.
Akseptabilitas Substantif UU dalam Kontek Birokrasi Nilai kepatuhan pada peraturan per-UU-an (compliant) dan nilai herarkhis dalam organisasi birokrasi ideal ala Weber sangat dijunjung tinggi. Misi mengimplementasikan peraturan per-UU-an dan misi menjalankan perintah atasan adalah sumber legitimasi aktivitas birokrasi yang lebih utama daripada misi memecahkan masalah publik yang dihadapi di lapangan.
Oleh karena itu perubahan peraturan yang mengintervensi
kepentingan aparatur birokrasi itu – seperti halnya perubahan BUP ini – sensitif untuk dibicarakan.
Artikulasi dan aktualisasi beda pendapat/ketidak-setujuan – apalagi
penolakan – pada sebuah peraturan per-UU-an baru kebayakan bersifat internal saja, tertutup dan tidak muncul di permukaan (latent). Nyaris tidak pernah terdengar berita ada PNS mengajukan gugatan ke PTUN ataupun judicial review terhadap peraturan per-UUan, meskipun UU tersebut kurang menguntungkan dirinya. Walaupun tidak menguntungkan, peraturan itu tetap dilaksanakan pada setiap jenjang hierarki organisasi birokrasi. Singkat kata, sesuai model birokrasi ideal ala Weber, aparatur pada setiap jenjang organisasi birokrasi itu tugasnya "hanya" menjalankan peraturan atau ketetapan yang sudah dibuat oleh lembaga legislatif (regeling) dan ketetapan yang sudah dibuat oleh pejabat birokrasi atasannya (beslissing). Artinya pula, tidak ada kreativitas yang dibolehkan
19
"menabrak" aturan dan perintah atasan yang sudah ditetapkan secara formal tersebut, walaupun secara nyata kreativitas itu bisa lebih mampu memecahkan masalah publik di lapangan. Bagaimana kalau kreativitas itu datang dari pucuk struktur hierarki organisasi birokrasi ? Berbicara masalah kreativitas birokrat dalam sistem hierarki birokrasi, khususnya birokrat tingkat atas yang memiliki kewenangan luas, maka netralisasi birokrat tersebut diuji. Dia harus mendasarkan diri pada peraturan perundang-UU-an dan tetap netral di atas semua kepentingan subjektif individu dan kelompok yang ada. Namun demikian birokrasi memiliki kewenangan melakukan discretion, yaitu keleluasaan membuat kebijakan manakala menemui kasus persoalan publik yang tidak/belum ada aturan penyelesaiannya. Melalui celah inilah kreativitas birokrasi mendapat tempat. Selanjutnya aparatur birokrasi tingkat bawahan wajib melaksanakan keputusan diskresi tersebut secara hierarki. Persoalan baru muncul manakala ada kepentingan lain, selain kepentingan publik, yang mengganggu netralitas birokrasi tersebut, seperti tekanan dari partai politik, masukan dari kelompok kepentingan dan kelompok penekan, dan kepentingan pribadi aparat birokrasi itu sendiri dan lain sebagainya. Kreativitas birokrat akan mengarah pada optimalisasi kepentingan siapa yang lebih berkuasa atau kelompok atau personal yang dominan mempengaruhinya. Dalam konteks penelitian ini, kepentingan individu PNS yang terkena dampak perubahan BUP itu, yaitu Pejabat Administrasi, yang patut diduga bisa menjadi faktor yang memperlancar atau menghambat implementasi BUP baru tersebut, tergantung pada tingkat akseptabilitas substansialnya.
20
Struktur penjelasan pelaksanaan peraturan per-UU-an dalam kontek organisasi birokrasi di atas menghasilkan proposisi sebagai berikut : Akseptabilitas formal peraturan per-UU-an itu relatif mudah terjaga, sedangkan akseptabilitas substansialnya lebih sulit didapatkan, karena merupakan respon individual, bagian inhern dari kebebasan bersikap setiap individu birokrat. Oleh karena itu akseptabilitas substansial ini bisa sangat bervariasi, tergantung pada seberapa besar kemampuan peraturan per-UU-an itu mengakomodasi kepentingan individu-individu tersebut. Jadi artinya, substansi norma regulatif peraturan per-UU-an itu bisa diterima dan bisa pula ditolaknya. Idealnya, tingkat akseptabilitas formal dan substansialnya itu samasama tinggi. Bila hal ini terwujud maka pada tahap implementasi berikutnya akan mendapatkan dukungan maksimal dari semua individu yang menerima. Artinya tidak akan muncul masalah yang terkait dengan variabel ini. Kondisi seperti ini sangat ideal dan menjadi harapan semua pihak. Namun sebaliknya, apabila akseptabilitasnya substansialnya rendah, maka akseptabilitas formalnya akan cenderung bersifat formalitas belaka. Pada kondisi seperti ini tingkat kepatuhan cenderung bersifat "semu", perilaku pelaksananya cenderung bersifat mekanistis atau prosedural belaka. Para pelaksana hanya sekadar menjalankan peraturan saja, tidak peduli apakah pelaksanaan aturan itu efektif, efisien, berkeadilan dan produktif bagi pemecahan masalah publik yang dituju oleh peraturan perUU-an itu atau tidak. Improvisasi nilai dan norma perilaku akan beku dan seolah-olah mati. Norma yang sifatnya soft tidak tertulis – yang sifatnya memang tidak bisa ditulis secara definitif – seperti nilai kewajaran, nilai etika, konvensi, karakteristik khusus kasus
21
persoalan publik yang dihadapi, nilai-nilai kearifan lokal dan lain sebagainya tidak digunakan sebagai pertimbangan dalam menjalankan tugas-tugas birokrasi. Keadaan bisa menjadi lebih parah lagi manakala di tubuh birokrasi itu sendiri – yang seharusnya netral kepentingan – terkontaminasi oleh kepentingan-kepentingan lain yang disusupkan oleh pihak tertentu, seperti partai politik, kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group), ataupun individu aparatur birokrasi itu sendiri. Dengan kontaminasi itu, birokrasi akan tidak efektif mengakomodasi kepentingan umum dan berubah menjadi alat kekuasaan, alat politik dan/atau alat bagi individu birokrat yang berpengaruh untuk memperjuangkan kepentingannya. Dari penjelasan di atas dapat ditarik makna bahwa kebijakan publik yang mengandung perdebatan pendapat (debatable), mengandung perbedaan kepentingan (conflict of interest) dan tidak mampu mengakomodasi dan menyatukan banyak kepentingan yang terlibat maka tingkat acceptability-nya akan rendah pula – minimal tidak diterima sepenuhnya oleh pejabat birokrasi (pelaksana) dan oleh kelompok sasarannya. Oleh karena itu efektivitas implementasinya bisa diprediksi tidak akan maksimal. Maksud, tujuan dan bahkan semangat kebijakan yang diimplementasikan tidak akan tercapai sesuai dengan yang diharapkan para pembuatnya. Dari aspek proses implementasinya, substansi kebijakan yang masih dalam perdebatan – terbuka maupun latent – itu akan dilaksanakan tidak dengan sepenuh hati. Dalam kondisi seperti ini tidak akan tumbuh semangat memecahkan realitas masalah publik sasaran kebijakan tersebut secara lebih efektif dan lebih efisien. Kegiatan pelaksanaan cenderung minimalis, "mengalir" hanya sekedar melaksanakan aturan tertulis
22
sebagai tugas normatif birokrat saja. Proses ini bisa menjadi indikator yang menunjukkan produktivitas aparatur birokrasi itu stagnant, tidak meningkat, dan bahkan bisa menurun.
Harmoni Kepentingan sebagai Faktor Determinan Akseptabilitas Substantif UU Berdasarkan logika deduktif hubungan sebab-akibat yang terurai di atas, dapat ditarik kesimpulan tentatif bahwa rendahnya akseptabilitas substansial contents UU itu ditentukan oleh banyaknya kepentingan yang tidak harmonis dan tidak terakomodasi oleh kebijakan itu sendiri. Semakin banyak kepentingan yang tidak terakomodasi maka semakin besar kemungkinan ketidak-harmonis hubungan terjadi, yaitu antara UU itu dengan kelompok kepentingan yang menjadi sasarannya. Dengan demikian dukungan terhadap implementasi kebijakan tersebut cenderung menurun. Sejalan dengan itu semakin besar kemungkinan munculnya perdebatan mempersoalkan efektivitas pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan itu, bagaimana kemampuan UU itu memecahkan masalah yang disasar, bagaimana UU itu menciptakan rasa keadilan, menumbuhkan semangat kebersamaan dan menumbuhkan semangat kerja PNS, dan lain sebagainya. Dalam kondisi given yang harus segera dilaksanakan, yaitu ketika RUU sudah disetujui DPR dan sudah disahkan oleh presiden, maka akan berakibat munculnya masalah derivatif yang berupa sikap yang tidak mendukung dan banyaknya perilaku "terpaksa" dalam menjalankan tugas demi ketaatan pada peraturan perundang-UU-an dan perintah atasan khas birokrasi. Demikianlah maka sudah barang tentu semangat dan produktivitas aparatur birokrasi menjadi stagnant, tidak meningkat, dan bahkan menurun walau tidak melanggar UU.
23
Perbedaan Interpretasi karena Perbedaan Kepentingan Keadaan yang lebih parah bisa terjadi bilamana
perbedaan kepentingan itu
berlanjut hingga menyulut perbedaan interpretasi di kalangan mereka yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan. Statemen ini merupakan generalisasi bebas dari pendapat Charles O. John yang mengatakan bahwa setiap kebijakan publik itu akan bias pada kepentingan si arsitek kebijakan itu sendiri (John : 1984). Dalam konteks kebijakan publik yang sudah given, sebagaimana pasal 90 UU No. 5 Tahun 2014 ini, bias kepentingan akan terjadi pada pembuatan kebijakan di tahap implementasinya yang sarat dengan interpretasi substansi kebijakan awal tersebut. Kepentingan adalah fungsi dari sikap, dan selanjutnya sikap tersebut tercermin dalam tindakan yang dilakukan oleh setiap orang atau lembaga. Jadi sikap dan tindakan mereka yang terlibat bisa menjadi faktor pendukung dan bisa juga justru menjadi faktor penghambat proses implementasi. Tergantung pada kepentingan apa yang terkait dengan substansi UU itu. Bilamana dipandang "merugikan", penjabaran pasal-pasal dalam UU itu akan cenderung bias – lebih tepatnya dibiaskan – ke arah optimalisasi kepentingan subjektif pelaksananya. Jadi ada kemungkinan tidak sesuai dengan maksud, tujuan dan semangat si pembuat UU yang sudah given tersebut. Statemen bahwa setiap kebijakan publik itu akan bias pada kepentingan si arsitek kebijakan itu sendiri. Akan terjadi kapan saja dan dimana saja. Tidak mungkin kebijakan yang dibuat itu nantinya justru merugikan kepentingan aktor pembuatnya sendiri, kecuali ada tekanan atau kontrol dari pihak lain yang lebih berkuasa.
24
Terkait dengan pelaksanaan regulasi BUP dalam UU No. 5 Tahun 2014 – sebagai salah satu bentuk kebijakan publik – rumusan materi UU itu akan diinterpretasikan dan dijabarkan sesuai dengan kepentingan subjektif setiap implementornya, sementara itu kepentingan publik yang seharusnya lebih dikedepankan justru terabaikan. Namun, karena keterbatasan kodifikasi hukum positif, maka batasan interpretasi yang subjektif ini sering kabur. Antara tindakan memperjuangkan kepentingannya dengan patuh pada aturan hukum sering sulit dibedakan dan bersifat "abu-abu". Dalam konteks ini pemahaman hanya dengan pendekatan hukum formal saja sering menemui kegagalan. Hanya logika, etika dan moral yang dipahami masyarakat saja yang mampu membedakannya, namun hal ini sering tidak diakomodasi secara hukum. Sebaliknya, kepentingan pribadi birokrat dan kepentingan lain yang merasa dirugikan justru dimasukan melalui berbagai celah kelemahan hukum positif tersebut. Bentuk akomodasi dari kepentingan ini bisa dimasukkan dalam peraturan per-UU-an lain yang secara yuridis tidak melanggar isi kebijakan yang sudah given tersebut. Misalnya dituangkan dalam UU yang lain, RUU perubahan yang diusulkan, Perpu, PP, Kepres, Kepmen, dan peraturan pelaksana lainnya. Berhadapan dengan kepentingan partai politik, kelompok kepentingan dan kelompok penekan dalam masyarakat dalam konteks ini, netralitas birokrasi menghadapi ujian berat. Terkadang birokrasi sebagai lembaga, dan/ataupun sebagai individu, susah sekali untuk bertindak netral karena desakan kepentingan-kepentingan itu. Meminjam teori perilaku dan partisipasi politik, dimana perilaku politik dirumuskan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik (Surbakti, 1992), maka institusi birokrasi, yang sebagian besarnya isinya
25
adalah para PNS, bisa dikatakan sebagai salah satu aktor dalam proses pembuatan kebijakan politik tersebut. Dalam kaitan ini yang dimaksud dengan kebijakan politik tersebut adalah UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dirancang dan disusun dalam forum legislasi, disetujui oleh DPR dan disahkan oleh Presiden (aktor politik). Sedangkan kelompok sasaran UU itu adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai institusi pelaksana UU dan hampir semua keputusan politik pada umumnya. Demikianlah maka birokrasi pemerintah dimana saja memiliki peran sentral dalam melaksanakan peraturan per-UU-an semacam ini. Di sisi lain, peluang melakukan interpretasi “lain” atau “berbeda” dengan maksud, tujuan dan semangat si pembauat UU itu – karena kepentingan yang berbeda – sangat mudah dilakukan. Hal ini sangat rawan digunakan sebagai pintu masuk untuk mengakomodasi kepentingan lain yang selama kurun waktu sebelumnya merasa terpinggirkan.
-
Faktor-faktor yang Memepengaruhi Keberhasilan Kebijakan Publik Terdapat banyak faktor atau variabel yang bisa mempengaruhi keberhasilan kebijakan publik semacam peraturan BUP dalam UU No. 5 Tahun 2014 ini – lihat Gambar 1 di bawah ini dan beberapa tabel berikutnya. Menurut Grindle (1980) efektivitas atau keberhasilan setiap kebijakan publik itu ditentukan oleh 2 kelompok variabel, yaitu variabel-variabel yang tergabung di dalam kelompok policy content dan kelompok policy context. Lihat gambar berikut ini.
26
Gambar 1 : Kelompok Variabel yang mempengaruhi Keberhasilan Kebijakan Publik Peraturan Batas Usia Pensiun PNS Variabel Kebijakan (Policy content) : -
Materi Kebijakan Variabel Implementasi Kebijakan
Keberhasilan Kebijakan Publik Merealisir Tujuannya
Variabel Lingkungan Kebijakan (Policy context)
Sumber : Grindle (1980) Selanjutnya variabel policy content itu bisa dijabarkan lebih lanjut ke dalam variabel-variabel yang lebih kongkrit, yaitu ketidak-jelasan konsep yang dipakai dalam pasal-pasal kebijakan tersebut (vague), tujuan yang tidak realistis, kontradiksi antara policy studs (kebijakan awal) dan target (objectives), Presisi dan kejelasan sasaran, dan Teori hubungan sebab-akibat atau teori kausal yang dipakai. Selengkapnya bisa dilihat dalam tabel rangkuman teori berikut ini
27
Tabel 2 : Variabel Kebijakan Larson
Van Horn
Mazmanian & Sabatier
1. Ketidakjelasan
1. Clarity 2. Kontradiksi antara policy studs (kebijakan awal) dan target (objectives) 3. Spesifikasi prosedur
1. Presisi dan kejelasan sasaran 2. Teori hubungan sebab-akibat atau teori kausal yang dipakai
(Vague)
2. Tujuan yang tidak realistis
Tabel 3 : Variabel Lingkungan (context) Implementasi Larson
Edward
Mazmanian & Sabatier
Perubahan lingkungan ekonomi
Komunikasi 1. Transisi 2. Kejelasan 3. Konsistensi
1. 2. 3. 4. 5.
Variasi hukum Perhatian media massa Dukungan publik Jumlah dukungan dan sumber daya Dukungan “penguasa”
Sumber : Mazmanian & Sabatier (1983 : 22), dengan adaptasi penyajian
Materi teori kebijakan tersebut di atas kiranya bisa untuk menjelaskan tingkat akseptabilitas kebijakan pembatasan usia pensiun di kalangan Pegawai Negeri Sipil yang menjadi obyek penelitian ini. Dalam pelaksanaan penelitian ini nanti teori tersebut akan dikembangkan sedemikian rupa menjadi instrumen pengumpulan data untuk mengetahui tingkatan dan format akseptabilitas peraturan BUP PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta. Akan dijawab juga pertanyaan apakah penerimaan – atau penolakan – peraturan batas usia pensiun itu disebabkan oleh policy content yang kurang pas.
28
BAB III METODE PENELITIAN
a. Desain Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam 2 tahapan selama 2 tahun – selengkapnya lihat Bagan Alir Penelitian. Metode penelitian yang dipakai adalah mix methods analysis, yaitu perpaduan antara metode penelitian kuantitatif sederhana (survai) dengan metode penelitian analisis deskriptif kualitatif. Tahap I atau tahun pertama penelitian ini menggunakan metode survai sebagai instrumen utama penelitian. Data kuantitatif merupakan sasaran utama yang akan dianalisis. Oleh karena itu kuesioner tertutup digunakan sebagai instrumen utama pengumpulan data. Data kuantitatif yang terkumpul dianalisis dengan metode analisis statistik deskriptif untuk kemudian diinterpretasikan dan disimpulkan hasilnya. Untuk aspek-aspek yang tidak mampu dijelaskan dengan instrumen survai ini, ditindak-lanjuti dengan penjelasan menggunakan metode analisis deskriptif-kualitatif. Di samping itu, penjelasan menggunakan metode deskriptif kualitatif ditujukan untuk memperdalam pemahaman dan melengkapi aspekaspek pemahaman yang tidak mampu dijangkau metode penelitian survai. Karena pada dasarnya berlaku asumsi bahwa tidak semua aspek dalam kehidupan ini bisa dijelaskan dengan metode kuantitatif secara memuaskan. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam terhadap para pejabat struktural dan fungsional di lingkungan Pemerintah Kota yang benar-benar mengalami persoalan terkait dengan implementasi peraturan perubahan batas usia
29
pensiun ini. Di samping itu metode wawancara juga digunakan sebagai sarana cross check dengan data lain yang validitasnya perlu diperkuat lagi. Gambar 2 : Bagan Alir Penelitian
Penelitian survai Problem structuring Output : • Tersusunnya Proposal dan Penyempurnannya. Meliputi : (1) Latar Belakang Masalah ; (2) Rumusan Masalah ; (3) Tujuan Penelitian ; (4) Tinjauan Pustaka ; (5) Metode Penelitian
tentang organisasi pemerintah daerah serta relevansinya dengan ketentuan BUP PNS Output : • Tersusunya laporan studi tentang kesesuaian antara tugas pokok, fungsi, struktur dan tata-kerja organisasi pemerintah daerah dengan peraturan BUP • Tersusunnya Pengembangan Instrumen Penelitian • Tersusunnya laporan penelitian Tahun I : Survai tentang akseptabilitas substansial peraturan BUP PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta
Telaah dan evaluasi hasil penelitian tahun I untuk penelitian lanjutan Output : • Penentuan informan dan sasaran wawancara kelanjutan dari hasil penelitian survai pada tahun I • Wawancara mendalam terstruktur • Wawancara bebas • FGD • Tersusunnya laporan telaah dan evaluasi hasil penelitian tahun I
Penelitian Analisis Deskriptif Kualitatif dan Pengintegrasian dengan hasil Penelitian Tahun I Output :
Tersusunnya laporan komprehensif penelitian Analisis Deskriptif Kualitatif tentang Akseptabilitas Subtantif Peraturan Batas Usia Pensiun PNS di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta
Tabel 4 : Tahap-tahap Penelitian Tahun I – Tahap I 1. Problem structuring yang meliputi latar belakang, identifikasi masalah, kebutuhan, serta eksplorasi potensi yang berkaitan dengan penerapan Peraturan BUP di lingkungan pemerintahan daerah, khususnya Pemerintah Kota Yogyakarta.
Output/Luaran/Indikator tercapainya tujuan 1. Tersusunnya proposal penelitian yang terdiri dari : a. Latar Belakang Masalah b. Rumusan Masalah c. Tujuan Penelitian d. Tinjauan Pustaka e. Metode Penelitian
30
2. Penelitian analisis deskriptif kualitatif atas kontek atau lingkungan dimana kebijakan BUP PNS itu diimplementasikan
2. Tersusunnya laporan tentang lingkungan dimana kebijakan BUP PNS itu diimplementasikan
3. Penelitian survai tentang tugas pokok, fungsi, struktur dan tata-kerja organisasi pemerintah daerah serta relevansinya
3. Tersusunya laporan studi tentang kesesuaian antara tugas pokok, fungsi, struktur dan tata-kerja organisasi pemerintah daerah dengan peraturan BUP.
dengan ketentuan BUP PNS
4. Tersusunnya pengembangan Instrumen Penelitian pemahaman akseptabilitas peraturan BUP yang valid dan komprehensif. 4. Penelitian survai tentang akseptabilitas (resistensi, penolakan dan/atau penerimaan) substansi peraturan BUP yang terbaru Tahun II – Tahap II
5. Tersusunnya laporan penelitian survai tentang akseptabilitas substansial peraturan BUP PNS di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta Output/Luaran/Indikator tercapainya tujuan
1. Telaah dan evaluasi hasil penelitian tahun I untuk penelitian lanjutan 2. Penguatan validitas isi hasil penelitian tahun I 3. Penentuan informan dan sasaran wawancara dalam penelitian pada tahun II
1. Tersusunnya laporan telaah dan evaluasi hasil penelitian tahun I 2. Tersusunnya instrumen penelitian untuk tahun II
4. Wawancara mendalam terstruktur 5. Wawancara bebas 6. FGD
3. Tersusunnya laporan komprehensif penelitian Analisis Akseptabilitas Subtantif Peraturan Batas Usia Pensiun PNS di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta.
7. Penyusunan rencana strategis implementasi UU No. 5 Tahun 2014, khususnya hal-hal yang terkait dengan implementasi norma BUP untuk PNS.
4. Tersusunnya naskah akademik tentang rencana strategis implementasi peraturan BUP untuk PNS yang ditujukan kepada Pemerintah pusat, c.q. Kementerian Pendayagunaan Aparaturnya Negara RI. 5. Artikel dalam jurnal ilmiah nasional terakreditasi atau jurnal ilmiah nasional tidak terakreditasi namun diterbitkan oleh lembaga yang berkompeten
31
terhadap pembinaan aparaturnya negara, seperti : Lembaga Administrasi Negara (LAN), Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Kementerian Dalam Negeri, dan lain sebagainya.
b. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh PNS di lingkungan organisasi pemerintah Kota Yogyakarta. Sampel yang diambil adalah PNS yang berusia 50 tahun atau lebih. Usia 50 tahun atau lebih dalam penelitian ini diasumsikan berada dalam proses memasuki usia pensiun. Jumlah satuan elementernya ditentukan pada saat penelitian ini sudah memasuki tahap pencarian data. Dalam penelitian ini pengambilan sampel ditentukan secara Propotionate Stratified Random Sampling. Cara ini dilakukan karena kondisi satuan elementer dalam populasi tersebar di banyak unit organisasi dengan lokasi geografis yang tidak beraturan pula. Ada yang berada di Balai Kota sebagai kantor pusat dan ada pula yang berada di Kantor Dinas, di Kecamatan dan di Kelurahan. Oleh karena itu pengambilan sampel di kantor pusat saja, atau di Kecamatan saja kurang representatif. Maka dari itu pengambilan sampel dengan cara Propotionate Stratified Random Sampling adalah yang paling tepat. Mengenai satuan elementer sampel yang selanjutnya di jadikan responden adalah sebagai berikut :
32
Tabel 5 : Satuan Elementer Sampel Penelitian No.
Unit
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Balai Kota Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kecamatan Jumlah
Danurejan Gedongtengen Gondokusuman Gondomanan Jetis Kotagede Kraton Mantrijeron Mergangsan Ngampilan Pakualaman Tegalrejo Umbulharjo Wirobrajan
Jumlah Responden 20 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 160
Catatan : Jumlah responden keseluruhan yang hanya 160 orang ini dipandang telah representatif karena hanya digunakan untuk melihat karakteristik populasi saja.
33
c. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik menyebar daftar pertanyaan (kuesioner) kepada responden sampel yang sudah dijelaskan pada bagian Sampel dan Populasi di atas. Selanjutnya, untuk data yang tidak mungkin dikumpulkan melalui daftar pertanyaan pengumpulannya dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara lapangan secara langsung dengan informan, serta telaah dokumen-dokumen yang tersedia. Ketiga-tiganya kemudian dipadukan sebagai sarana crosscheck validitas data yang terkumpul. Teknik wawancara digunakan untuk mengumpulkan data yang bersifat kualitatif, misalnya data berupa deskripsi tentang berbagai bentuk persoalan terkait dengan BUP ini digunakan teknik wawancara mendalam. Informan yang dijadikan nara sumber adalah Kepala Badan Kepegawaian Daerah Pemerintah Kota Yogyakarta dan beberapa personalia PNS yang terlibat langsung dalam persoalan terkait dengan BUP ini.
d. Metode Analisis Data Metode analisis data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 2. Pada penelitian tahap I analisis data dilakukan dengan analisis statistik deskriptif. Selanjutnya pada tahap ke 2 dilakukan analisis deskriptif kualitatif sebagai kelanjutannya. Teknik analisis deskriptif kualitatif ini meliputi content analysis dan fenomenologi sebagai kelanjutan hasil analisis data survai sebelumnya.
34
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini mengkaji akseptabilitas substantif perubahan peraturan BUP (Batas Usia Pensiun) bagi PNS Pejabat Administrasi. Tujuannya adalah memberi masukan pada usaha intensifikasi pemberdayaan aparatur negara. Secara lebih khusus mencegah PNS yang masih produktif – dan masih ingin dan sanggup bekerja – meninggalkan struktur birokrasi secara lebih awal. Asumsi yang digunakan adalah bahwa akseptabilitas substantif atas peraturan itu adalah fungsi dari perilaku produktif mereka. Jadi dengan memahami karakteristik akseptabilitas substantif mereka dapat diketahui kepatutan mereka (appropriateness, convenances, consideration) untuk bisa tetap dipertahankan dalam struktur birokrasi atau harus diberhentikan. Keputusan untuk tetap mempekerjakan, atau memberhentikan PNS dengan pertimbangan BUP yang acceptable, selalu berdampak pada peningkatan kapasitas profesional PNS yang bersangkutan. Ujungnya akan meningkatkan kontribusi mereka terhadap peningkatan produktivitas pemerintah. Apabila PNS yang masih produktif dan masih sanggup bekerja itu harus meninggalkan struktur birokrasi secara lebih cepat hanya karena kewajibannya menaati peraturan BUP sebagai standar tunggal adalah pemborosan sumber daya manusia PNS, yang berarti pula pemborosan keuangan negara. Hasil penelitian ini menunjukkan temuan bahwa akseptabilitas substantif BUP PNS di lokasi penelitian terlihat tinggi, namun berada dalam kontek yang tidak kondusif untuk
35
pengembangan profesionalitas PNS di lokasi penelitian. Selengkapnya tergambar dalam gambar 3 berikut ini. Gambar 3 : Aksestabilitas Substantif BUP yang Tinggi Berada dalam Lingkungan yang Kurang Kondusif. Tidak bisa menjadi Momentum Peningkatan Profesionalitas PNS
Tinggi
(Fakta)
Rangkuman Fakta Lingkungan : a. Konsep Norma BUP yang terlampau definitif. b. Posisi UU-ASN tidak jelas. Apakah sebagai UU Pokok atau sebagai pelengkap ? c. Sistem Regulasi ASN kurang mendukung. BUP dijadikan standar tunggal, tidak ada opsi lain d. Overlapping UU. Ada beberapa UU lain yang juga mengatur BUP PNS e. UU No. 5 Tahun 2014 tidak khusus ditujukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Oleh karena itu substansi masalah sebelumnya masih langgeng.
Gambar 3 di atas merupakan abstraksi dari fakta temuan penelitian ini. Berikut ini fakta empiris yang mendukung temuan penelitian tersebut.
A. NORMA BATAS USIA PENSIUN DALAM UU NO. 5 TAHUN 2014 Kajian teori dengan logika deduktif atas berbagai aspek kebijakan BUP dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 yang dipadukan dengan analisis data lapangan menghasilkan beberapa temuan penelitian sebagai berikut :
36
1. Abstraksi Konsep yang Terlampau Definitif : Mengandung Potensi Masalah Ketentuan BUP yang dituangkan dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara merupakan kebijakan publik level negara. Proses penjaringan aspirasi, penyusunan agenda pembahasan hingga ratifikasi kebijakan itu idealnya tidak hanya melibatkan lembaga executive (pemerintah) saja, tetapi juga melibatkan DPR sebagai lembaga legislative yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. Kebijakan regulasi ini bersifat general karena berlaku untuk seluruh wilayah hukum Republik Indonesia – kecuali ditentukan lain secara khusus. Kebijakan ini lebih banyak menuntut format regulasi yang bersifat mayor, konsepsual dan strategis di tingkat nasional, daripada format teknis operasional khusus yang langsung bisa diterapkan di lapangan (Dunn, 1981). Oleh karena itu konsep-konsep yang dipergunakan seharusnya adalah konsep dengan tingkat abstraksi yang tinggi dan general. Namun demikian tetap tidak boleh mengandung kemungkinan multi-tafsir yang tidak sejalan – apalagi berlawanan – dengan filosofi, semangat dan tujuan regulasi itu sendiri. Fakta temuan penelitian ini menunjukkan hal yang sebaliknya. Rumusan regulasi BUP dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 ini terlalu teknis dan menggunakan konsep dengan tingkat abstraksi yang terlalu kongkrit dan operasional. Hal ini terlihat dalam pasal 90 UU tersebut. Dalam pasal itu BUP diatur dengan menyebut angka BUP secara definitif, yaitu : (a) 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi ; (b) 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi ; dan (c) sesuai dengan ketentuan peraturan per-UU-an bagi Pejabat Fungsional. Pengaturan yang definitif bagi Pejabat Administrasi dan Pejabat Pimpinan Tinggi dalam UU ini secara
37
teoritis tidak tepat, karena menutup peluang diskresi untuk penyelesaian persoalan khusus yang unik dan kasus-kasus lain yang sebelumnya tidak diperkirakan kemunculannya (unpredictable). Oleh karena itu pasal ini berpotensi memunculkan masalah implementasi di lapangan yang mendorong munculnya pelanggaran substansi pasal 90 itu sendiri. Pada sisi lain, pengaturan BUP untuk PNS Pejabat Fungsional sudah lebih baik. Tuntutan teoritis sifat general, konsepsual dan strategis di tingkat nasional itu telah tercover pasal 90 huruf c. Pada tahap implementasinya nanti bisa dibuat peraturan pelaksanaan yang lebih operasional dan diskresi – bilamana diperlukan – untuk menghadapi persoalan-persoalan khusus yang unpredictable. Jadi kemungkinan munculnya masalah pada tahap implementasi di kemudian hari menjadi lebih kecil. Pengaturan menggunakan batasan konsep yang ketat dan operasional membuat ketentuan itu bisa langsung dilaksanakan tanpa harus menunggu terbitnya peraturan pelaksananya. Namun demikian format aturan BUP yang seperti itu memberikan ruang gerak yang lebih terbatas bagi para pelaksananya ketika mereka harus membuat keputusan yang “berbeda” dengan definisi ketat aturan UU itu. Tidak ada lagi variasi aturan pelaksanaan yang bisa ditemui. Tidak ada lagi "tawar-menawar" dan kompromi di tahap implementasi – walau mungkin ada pertimbangan lain yang lebih urgent. Di satu sisi ketentuan hukum yang ketat ini lebih baik karena menciptakan kepastian hukum yang seragam dan mudah dilaksanakan, namun di sisi lainnya sistem regulasi menjadi tidak flexible dan mandul ketika menghadapi kasus unik atau khas, di luar prediksi para pembuat kebijakan publik itu. Fakta empiris persoalan yang berkembang di lapangan itu bisa tidak seragam, bisa memiliki ke-khas-an masing-masing. Menghadapi keanekaragaman
38
persoalan lapangan yang seperti ini, pola pengaturan yang detail akan tidak berdaya dan bahkan kontra-produktif, dan bisa jadi memunculkan masalah baru. Pola pengaturan yang detail dalam UU itu tidak memberikan keleluasaan bagi pejabat pelaksananya di lapangan untuk kreatif mengambil keputusan khusus (discretion) bilamana harus
mengatasi
persoalan publik yang urgent dan membutuhkan penanganan khusus pula. Rumusan definitif yang terlampau ketat tentang BUP bisa ditemukan dalam Pasal 87 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2014. Bila dibandingkan dengan UU yang digantikannya, yaitu UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian – dan perubahannya berdasarkan UU Nomor 43 Tahun 1999 – pengaturan BUP dalam UU ini jauh lebih longgar. Keterangan selengkapnya sebagai berikut : Batas Usia Pensiun (BUP) substansi UU No. 8 Tahun 1974 itu tidak diaturnya secara rinci, namun hanya secara umum saja. Norma umum yang relevan dengan BUP itu hanya ada pada pasal 23 ayat (1) huruf b dan pasal 36 saja. Bagian pasal 23 yang terkait dengan BUP ini berbunyi : 1) Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat, karena : a. Permintaan sendiri ; b. Telah mencapai usia pensiun ; c. Adanya penyederhanaan organisasi pemerintah ; d. Tidak cakap jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai Pegawai Negeri Sipil. 2) Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan sendirinya dianggap diberhentikan dengan hormat. Pada pasal 23 itu jelas terlihat bahwa BUP tersebut tidak diatur secara rinci. Sementara itu pada pasal-pasal lain dan penjelasannya juga tidak ditemukan perinciannya. Satu-satunya
39
pasal dalam UU itu yang relevan dan merupakan kelanjutan dari norma pasal 23 tersebut adalah pasal 36. Secara lengkap berbunyi : "Perincian tentang hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 35 Undang-undang ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan". Demikianlah format regulasi BUP yang terkandung di dalam UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Oleh karena format yang longgar seperti itu maka pada tahap implementasinya masih dibutuhkan peraturan pelaksana yang lebih khusus, lebih rinci dan bersifat lebih operasional. Dalam kontek sistem hierarki peraturan perundang-UU-an di Indonesia dewasa ini peraturan per-UU-an yang dibutuhkan adalah Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres), atau peraturan pelaksanaan yang lainnya. Ada 2 konsekwensi logis yang harus dihadapi. Keduanya bisa menguntungkan namun sekaligus bisa menyulitkan dan menjadi tantangan birokrat yang melaksanakan : a. Pola pengaturan BUP seperti ini memiliki keunggulan dan kelemahan inherent di dalamnya. Keunggulannya adalah peraturan seperti ini tidak mudah usang atau ketinggalan jaman karena relatif mampu menyesuaikan diri dengan perubahan bentuk dan struktur permasalahan yang disasar melalui fleksibilitas peraturan pelaksanaannya. Fleksibilitas peraturan pelaksana bisa didapatkan karena proses pembuatannya jauh lebih sederhana dan peraturan pelaksanaan UU itu dibuat belakangan. Selain itu peraturan pelaksana UU itu sekaligus bisa berfungsi mengantisipasi dan/atau merespon munculnya masalah nyata di lapangan yang dinamis dan munculnya belakangan pula. Oleh karena itu substansi peraturan pelaksanaan tersebut bisa dengan mudah disesuaikan dengan kebutuhan khas di lapangan tanpa melanggar pasal, semangat dan tujuan UU itu. Disamping itu peraturan pelaksanaan UU itu bisa di-"mainkan" atau
40
dijadikan instrumen untuk memecahkan masalah sesuai dengan dinamika, bentuk dan pola persoalan yang unpredictable pada saat penyusunan UU tersebut. b. Ditinjau dari aspek sistem dan prosedur penyusunannya, penyusunan peraturan pelaksanaan itu jauh lebih sederhana karena hanya berbentuk Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres) dan/atau peraturan pelaksana lainnya. Proses penyusunan dan prosedur perubahannya hanya perlu melibatkan unsur kekuasaan eksekutif saja, sementara itu bila substansi peraturan BUP itu telah definitif atau terperinci dalam UU, proses amandemen atau perubahannya harus melibatkan unsur eksekutif dan legislatif (DPR). Hal ini jelas membutuhkan waktu yang lebih lama dan energi yang lebih banyak, serta kemungkinan "benturan" kepentingan yang lebih besar antara unsur birokrasi (pemerintah) dan non-birokrasi – terutama DPR. Pengalaman selama empat puluh tahun (1974 – 2014) telah membuktikannya. Implementasi peraturan BUP dalam UU No. 8 Tahun 1974 itu tidak banyak menemui persoalan yang berarti. Walau peraturan BUP dalam UU itu dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Menteri (Permen), maksud, tujuan serta semangat peraturan BUP dalam UU No. 8 Tahun 1974 itu tetap terjaga.
2. Overlapping Peraturan BUP Disamping telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara masih ada UU lain yang juga mengatur BUP PNS ini dengan jabatan tertentu, yaitu : UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
41
Tinggi dan UU No. 3/2006 Peradilan Agama dan UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi peraturan BUP di Indonesia dewasa ini masih belum benar-benar terintegrasi. Secara langsung ataupun tidak langsung akan berpengaruh negatif terhadap implementasi UU ASN ini, karena mengatur hal yang sama. Data lengkap yang mendukung temuan penelitian itu bisa dibaca dalam tabel 6 di bawah ini. Tabel 6 : Dasar Hukum Pelaksanaan Peraturan BUP PNS di Indonesia sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara – menunjukkan 3 pola masalah: (a) Penyusunannya tidak terintegrasi; (b) Adanya overlapping pengaturan; (3) Bersifat perpanjangan dari aturan utama. No. 1.
Jabatan Dosen
BUP
Dasar Hukum
65 tahun
UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Pasal 67 ayat (4) :
UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Pasal 67 ayat (5) : Profesor
Dosen
2.
Guru Besar
70 tahun
Dosen
Keterangan
Pemberhentian dosen karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 65 (enam puluh lima) tahun. yang berprestasi dapat diperpanjang batas usia pensiunnya sampai 70 (tujuh puluh) tahun Pasal 72 ayat (4) :
UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
3.
GB dan GB Emiritus
70 tahun
Batas usia pensiun Dosen yang menduduki jabatanakademik profesor ditetapkan 70 (tujuh puluh) tahun dan Pemerintah memberikan tunjangan profesi serta tunjangan kehormatan.
Permendiknas No. 38/2006 tentang Persyaratan dan
Tata Cara Perpanjangan BUP Guru Besar dan Pengangkatan Guru Besar Emiritus.
42
Pasal 2 :
(1) Batas usia pensiun Guru Besar dapat diperpanjang sampai dengan usia 70 (tujuh puluh) tahun. (2) Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. (Diusulkan setiap tahun mulai ybs berusia 65 tahun hingga 70 tahun) Permendiknas No. 09/2008 tentang Perpanjangan
BUP PNS yang Menduduki Jabatan Guru Besar/Profesor dan Pengangkatan Guru besar/Profesor Emiritus
Sesuai Permendiknas No. 9 tahun 2008 Perpanjangan BUK pertama berlaku untuk 2 tahun, yaitu usia 65 tahun hingga 67 tahun, seterusnya diusulkan setiap tahun hingga mencapai 70 tahun 4.
Guru
60 tahun
UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 30 ayat (4) : Guru dapat diberhentikan dengan hormat dari jabatan sebagai guru karena:a. meninggal dunia;b. mencapai batas usia pensiun;....dst. Ayat (4) :
Pemberhentian guru karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukanpada usia 60 (enam puluh) tahun. 5.
Widyaiswara Utama/Utama Madya
65 tahun
Keppres No. 63/1986 tentang BUP PNS yang
menjabat Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Penyuluh Pertanian
Pasal 1 (1) : BUP untuk Pemberhentian PNS : a) 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang memangku jabatan (1) Widyaiswara Utama; (2) Widyaiswara Utama Madya b) 60 (enam puluh) tahun bagi PNS yang dengan jabatan : a) Widyaiswaran utama Muda b) Widyaiswara Utama Pratama c) Widyaiswara Madya d) Widyaiswara Muda e) Widyaiswara Pratama f) Penyuluh Pertanian Utama Muda g) Penyuluh Pertanian Utama Pratama h) Penyuluh Pertanian Madya i) Penyuluh Pertanian Muda j) Penyuluh Pertanian Pratama. 1.
43
6.
Semua PNS
56 tahun Ketentuan awal
PP No. 32 tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS. Keterangan : PP tersebut disebut sebagai ketentuan awal karena materi dalam PP tersebut menjadi sumber pembuatan ketentuan berikutnya yang lebih pasti.
BUP PNS ditentukan 56 (lima puluh enam) tahun (Pasal 3 ayat 2). Dalam UU yang dilaksanakannya – UU No. 8 Tahun 1974 – belum memuat ketentuan BUP yang definitif seperti ini. 1. Dapat diperpanjang sampai dengan 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang memangku jabatan (opsi) : a) Ahli Peneliti dan Peneliti b) Guru Besar, Lektor Kepala, Lektor yang ditugaskan secara penuh pada perguruan tinggi; c) 60 (enam puluh) tahun PNS yang memangku jabatan : d) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung e) Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara;memangku jabatan tertentu. f) Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden; g) Jaksa Agung h) Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen i) Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, Direktur Jenderal, dan Kepala Badan di Departemen; Eselon I dalam jabatan strukturil, Eselon II dalam jabatan strukturil; j) Dokter yang ditugaskan secara penuh pada Lembaga Kedokteran Negeri sesuai dengan profesinya; k) Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Pengawas Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama; l) Guru yang ditugaskan secara penuh pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan Sekolah LanjutanTingkat Pertama m) Penilik Taman Kanak-kanak, Penilik Sekolah Dasar, dan Penilik Pendidikan Agama n) Guru yang ditugaskan secara penuh pada Sekolah Dasar o) Jabatan lain yang ditentukan olehPresiden. 2. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi PNS yang memangku jabatan :
44
a) b) c) d)
Hakim pada Mahkamah Pelayaran Hakim pada Pengadilan Tinggi Hakim pada Pengadilan Negeri Hakim Agama pada Pengadilan Agama Tingkat Banding e) Hakim Agama pada Pengadilan Agama f) Jabatan lain yang ditentukan oleh Presiden. 7.
Auditor Madya dan Utama
60 tahun
Arsiparis Madya dan Utama
60 tahun
Pemeriksa Madya dan Utama
60 tahun
Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama
11.
12.
8.
9.
10.
Perpres no.41/2012 tentang Perpanjangan
Perpanjangan
Perpres No. 42/2012 tentang Perpanjangan
Perpanjangan
Perpres No. 52/2012 tentang Perpanjangan
Perpanjangan
62 tahun
UU No. 3/2006 tentang
Ketentuan awal
Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama
65 tahun
UU No. 3/2006
Ketentuan awal
Jaksa
62 tahun
UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan
Ketentuan awal
PP No. 65/2008 tentang Perubahan
Perpanjangan
PP No. 65/2008
Perpanjangan
BUP bagi PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional Auditor
BUP bagi PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional Arsiparis
BUP bagi PNS yang Menduduki Jabatan Fungsional Pemeriksa Peradilan Agama
Peradilan Agama
Republik Indonesia 13.
14.
Peneliti Madya dan Utama
65 tahun
Dokter
60 tahun
kedua atas PP No. 32. Tahun 1979 tentang Pemberhentian PNS
Sumber : Diolah dari berbagai sumber.
45
Paling tidak, ada 3 hal penting sebagai temuan penelitian ini yang harus dicatat dalam berbagai peraturan yang terkait dengan BUP PNS sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ini, yaitu : (a) Penyusunannya yang tidak terintegrasi, (b) Adanya overlapping pengaturan BUP di tingkat UU, dan (c) Pengaturan BUP kebanyakan bersifat ad hoc yang berbentuk perpanjangan dari aturan utama) yang dipermanenkan. a. Penyusunan Kebijakan yang Tidak Terintegrasi UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 3/2006 tentang Peradilan Agama, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi adalah contoh produk proses legislasi yang tidak terpadu. Di antara ke 5 UU tersebut seolah-olah berjalan sendiri-sendiri untuk mencapai kepentingan sektoralnya saja tanpa memperhatikan kepentingan sektor lainnya. Sebagai bukti : 1) Pada diktum menimbang/mengingat dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen hanya dimasukkan materi mengingat UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tidak dicantumkan materi mengingat UU tentang Pokok-pokok Kepegawaian – apalagi peraturan pelaksanaannya – pada hal ke dua peraturan UU itu mengatur obyek yang sama. 2) Sama halnya dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. UU ini lebih parah lagi, yaitu hanya mencantumkan materi pertimbangan pasal 20, 21 dan 31 UUD 1945 saja. Hal ini berarti mengabaikan peraturan lain yang setingkat, padahal mengatur materi BUP yang sama.
46
3) UU No. 3/2006 tentang Peradilan Agama juga sama keadaannya. legislator atau perancang atau pembuat UU ketika itu, secara etis seharusnya memasukkan UU lain yang pengatur obyek yang sama dalam diktum “menimbang”. Sehingga dalam pembuatan peraturan pelaksanaan ke 2 UU tersebut (UU no. 3/2006 dengan UU No. 8 Tahun 1974) nantinya tidak memunculkan disharmoni, baik yang bersifat overlap maupun antagonist. Dalam UU No. 3 tahun 2006 yang mengatur BUP Aparatur Negara (Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama) itu justru tidak memasukkan UU tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagai bahan yang harus diingat. Padahal banyak UU lain dimasukkan dalam diktum “menimbang”, yaitu : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 UUD Tahun 1945, UUU 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai catatan : mungkin persoalan ketidakterpaduan penyusunan UU yang menyangkut pemberhentian ASN ini tidak menjadi persoalan ketika tidak ada pihak yang dirugikan. Namun bilamana suatu saat ada pihak yang merasa dirugikan dan menuntut judisial review ke MA/MK – dan dikabulkan oleh MA/MK – maka hal ini akan menjadi persoalan besar. Kita masih ingat kasus pengangkatan Jaksa Agung Hendarman Supanji tanpa SK Presiden pada kabinet Indonesia Bersatu jilid
47
II tahun 2009. Hal itu baru menjadi persoalan ketika dituntut oleh Mantan Menteri HAM Yusril Izha Mahendra ke MK dan kemudian dikabulkan.
4) Overlapping Pengaturan di Tingkat UU Penyusunan kebijakan publik – yang kemudian dilegalisir dalam bentuk UU – yang tidak terintegrasi mengisyaratkan kepentingan publik yang diperjuangkan di dalam masing-masing rancangan UU itu dipersepsikan atau diasumsikan oleh para legislatornya bersifat independen dan tidak terkait satu sama lainnya. Padahal asumsi dan persepsi itu tidak pernah terwujud dalam satu waktu tertentu. Dengan kata lain dalam kehidupan nyata independensi absolut antar sektor dalam kepentingan publik itu tidak pernah ada di lapangan. Hanya soal waktu saja kapan dependensi antar sektor itu terungkap sudah dalam bentuk masalah nyata.
3. Keharusan Pensiun Absolut vs Opsi Keputusan Pensiun PNS Selanjutnya, kelemahan yang bisa ditemui dalam pola pengaturan BUP yang longgar seperti itu adalah adanya kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan pembuatan peraturan pelaksana norma BUP itu. Namun sejauh ini belum pernah ditemui kasus penyalahgunaan kewenangan yang signifikan mengganggu semangat dan tujuan eksistensi peraturan BUP ini. Namun demikian tetap saja potensial terjadi. Apalagi dalam kontek implementasi kebijakan otonomi daerah dewasa ini, dimana jumlah pejabat pembina kepegawaian bertambah menjadi begitu banyak – yang berarti semakin mempersulit pengawasan dan pengendaliannya. Masalah yang bisa ditemui baru sebatas munculnya
48
kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan saja dan kecemburuan di kalangan PNS di instansi-instansi tertentu yang menggunakan standar BUP berbeda yang dinilai tidak adil – data selengkapnya bisa dilihat dalam tabel 6 di atas. Dibandingkan dengan UU No. 8 Tahun 1974, norma BUP dalam UU No. 5 Tahun 2014 menggunakan batasan yang lebih ketat dan lebih operasional. Menghadapi keanekaragaman persoalan lapangan, pola pengaturan yang ketat ini menunjukkan kelemahannya. Pola pengaturan yang detail dalam UU itu tidak memberikan keleluasaan pejabat pelaksananya di lapangan untuk mengambil keputusan khusus (discretion) bilamana ingin mengatasi persoalan publik yang urgent dan membutuhkan penanganan khusus pula. Perhatikan rumusan definitif Pasal 87 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2014 berikut ini, khususnya tidak digunakannya kata "dapat" dalam pasal tersebut.
Pasal 87 (1) PNS diberhentikan dengan hormat karena: a. meninggal dunia; b. atas permintaan sendiri; c. mencapai batas usia pensiun; d. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban. Bandingkan hal yang sama dengan pasal 23 UU No. 8 Tahun 1974. Dalam pasal 23 UU No. 8 Tahun 1974 itu didapati ketentuan yang sifatnya pilihan (option). Penggunaan kata “dapat" menunjukkan bahwa UU No. 8 Tahun 1974 itu masih memberikan alternatif keputusan lain yang dianggap perlu, yaitu bilamana ada pertimbangan yang lebih urgent pada tahap implementasinya. Rumusan selengkapnya Pasal 23 ayat (1) dan (2) UU No. 8 Tahun 1974 itu sebagai berikut :
49
Pasal 23 Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat, karena : a. permintaan sendiri; b. telah mencapai usia pensiun; c. adanya penyederhanaan organisasi Pemerintah; d. tidak cakap jasmani atau rohani sehingga tidak dapat menjalankankewajiban sebagai Pegawai Negerl Sipil. Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan sendirinya dianggap diberhentikan dengan hormat.
4. Norma BUP Ketat menjadi Alasan Tunggal Pemberhentian PNS : Tidak berdampak pada peningkatan efektivitas pelaksanaan tugas Pasal 87 ayat (1) UU ASN menyatakan bahwa PNS diberhentikan dengan hormat karena 5 alasan, yaitu : (a) meninggal dunia; (b) atas permintaan sendiri; (c) mencapai batas usia pensiun; (d) perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; (e) tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban. Di antara alasan-alasan pemberhentian dengan hormat tersebut, alasan mencapai batas usia pensiun adalah satu-satunya alasan yang tidak terkait secara langsung dengan efektivitas pelaksanaan tugas pekerjaan PNS yang bersangkutan. Selanjutnya pada Pasal 90 batas usia pensiun (BUP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c itu ditentukan secara definitif : a. 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi ; b. 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan ; dan c. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Pejabat Fungsional.
50
Dengan aturan definitif itu maka tertutup kemungkinan pemberlakuan BUP di luar ketentuan tersebut kecuali ditentukan lain dengan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU) dan/atau UU yang lain. Bahkan PNS yang tidak menduduki jabatan tertentu sebagai Pejabat Administrasi, Pejabat Pimpinan dan Pejabat Fungsional tidak diatur dalam UU ASN ini. Aturan BUP itu tidak terkait secara langsung dengan efektivitas pelaksanaan tugas PNS karena faktor kemampuan SDM PNS dan efektivitas pelaksanaan tugas PNS itu tidak selalu berkorelasi langsung dengan faktor usia, namun lebih banyak ditentukan oleh faktor lain, seperti faktor kesehatan, faktor motivasi dan semangat kerja, dan lain sebagainya. Jadi bisa saja seorang PNS itu sudah mencapai BUP namun masih produktif, sebaliknya ada pula seorang PNS berusia relatif muda, masih jauh dari BUP namun sakit-sakitan sehingga tidak mampu lagi bekerja dengan baik. Oleh karena itu, dihadapkan pada persoalan seperti ini UU No. 5 Tahun 2014 itu akan menghadapi masalah implementasi. Ujung-ujungnya pelaksanaan peraturan BUP secara konsisten tidak berdampak pada peningkatan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan substansi tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Namun hanya sekedar melaksanakan peraturan yang bersifat prosedural saja. Oleh karena itu peningkatan kinerja organisasi pemerintahan (birokrasi) tidak bisa diharapkan dari pelaksanaan ketentuan BUP ini. Selanjutnya, pelaksanaan regulasi BUP semacam ini bisa pula dikategorikan bertentangan dengan kaidah profesionalisme PNS. Usia produktif setiap orang itu berbedabeda, tergantung faktor kesehatan – baik kesehatan fisik maupun mental – dan kesanggupan/komitmen PNS yang bersangkutan untuk bekerja. Jadi dengan asumsi ini
51
tidak ada alasan kuat menetapkan masa pensiun berdasarkan faktor usia sebagai standar tunggal. Seharusnya perlu dipertimbangkan pula faktor kemampuan melaksanakan tugas pekerjaan secara simultan. Apa urgensi ditetapkannya batas usia pensiun itu secara definitif ? pertanyaan ini tidak bisa dijawab dari sisi peningkatan efektivitas organisasi. Persoalan yang disasar oleh perubahan BUP UU ini tidak jelas.
5. Regulasi BUP dalam Bentuk UU : Sulit dilakukan amandemen Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa UU itu adalah salah satu bentuk kebijakan publik level negara, dimana proses penyusunan hingga ratifikasinya tidak hanya melibatkan lembaga executive
saja, tetapi juga melibatkan DPR sebagai lembaga
legislative. Ditinjau dari aspek proses penyusunannya, penyusunan UU jauh lebih rumit dibandingkan dengan proses penyusunan kebijakan bentuk lainnya. Hal demikian berlaku juga untuk proses penyusunan berbagai bentuk amandemen, seperti revisi, terminasi ataupun restrukturisasi UU. Sebaliknya, penyusunan peraturan pelaksana UU, seperti Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres) dan/atau peraturan pelaksana lainnya jauh lebih sederhana, karena hanya perlu melibatkan unsur kekuasaan eksekutif saja. Jadi dikaitkan dengan temuan penelitian ini, substansi peraturan BUP yang telah dirumuskan secara terperinci dalam UU No. 5 Tahun 2014 itu – bilamana membutuhkan perubahan – maka proses perubahannya akan jauh lebih sulit dilakukan dan membutuhkan waktu dan tenaga lebih besar karena harus melibatkan unsur eksekutif dan legislatif (DPR) secara bersamaan. Selanjutnya, terdapat pula kemungkinan hambatan lain, berupa kemungkinan "benturan" kepentingan yang lebih besar antara unsur birokrasi (pemerintah)
52
dan non-birokrasi – terutama DPR. Pengalaman selama empat puluh tahun (1974 – 2014) telah membuktikannya. Implementasi peraturan BUP dalam UU No. 8 Tahun 1974 itu tidak banyak menemui persoalan yang berarti. Norma BUP yang sangat umum dalam UU No. 8 Tahun 1974 justru sangat menguntungkan. Walau peraturan BUP dalam UU itu dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Menteri (Permen), maksud, tujuan serta semangat regulatif dalam UU No. 8 Tahun 1974 itu tetap terjaga.
6. Norma Regulasi BUP Tidak Terkoordi-nasi, Tidak Terintegrasi dan Overlap Paling tidak, terlihat 3 pola permasalahan yang perlu dicatat terkait dengan aturan BUP PNS sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 itu, yaitu : (a) Penyusunannya yang tidak terintegrasi, (b) Terdapat overlap pengaturan BUP di tingkat UU, dan (c) Pengaturan BUP kebanyakan bersifat ad hoc yang dipermanenkan – hasil perpanjangan aturan utama. Sementara itu UU No. 5 Tahun 2014 tidak khusus ditujukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Selain diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 masih ada beberapa UU lain yang juga mengatur BUP ini. Artinya, secara langsung ataupun tidak langsung BUP PNS di Indonesia selama ini diatur dengan peraturan ganda (overlap). Sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 BUP PNS – dalam UU itu PNS dikategorikan sebagai bagian dari Aparatur Sipil Negara – telah
diatur dalam beberapa UU, namun masing-masing tidak saling
berhubungan. Ketika dicermati secara lebih dalam diktum “menimbang” dan “memperhatikan” semua UU yang mengatur obyek BUP PNS itu ternyata semuanya tidak
53
memasukkan unsur keterkaitan atau kebersamaan mengatur (juncto). Hal ini menunjukkan bahwa proses penyusunan regulasi/peraturan BUP PNS tersebut selama ini tidak terkoordinasi sehingga tidak membentuk satu kesatuan sistem regulasi yang terintegrasi. Substansinya overlap satu sama lain. Selanjutnya menjadi tidak jelas terlihat dimana posisi UU ASN ini dalam sistem regulasi BUP di Indonesia. Apakah UU ASN ini menjadi UU pokok (lex generalis) yang berfungsi memayungi UU yang lain, ataukah UU ASN ini hanya sekedar aturan pelengkap saja.
UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian – sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999 – UU No. 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, UU No. 3/2006 tentang Peradilan Agama, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi merupakan contoh produk proses legislasi yang tidak terpadu. Legislasi ke 5 UU tersebut seolah-olah berjalan sendirisendiri untuk mencapai tujuan sektoralnya masing-masing, tanpa memperhatikan kepentingan sektor lainnya. Sebagai bukti : a. Pada diktum menimbang dan mengingat dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen hanya dimasukkan materi mengingat UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tidak mencantumkan materi mengingat UU tentang Pokok-pokok Kepegawaian – apalagi mengingat peraturan pelaksanaannya. Padahal ke dua UU itu mengatur obyek yang sama. b. Sama halnya dengan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. UU ini lebih parah lagi, karena hanya mencantumkan materi pertimbangan pasal 20, 21 dan 31
54
UUD 1945 saja. Hal ini sama artinya dengan mengabaikan UU atau peraturan lain yang setingkat, padahal keduanya sama-sama mengatur BUP PNS sebagai obyek regulasi. c. UU No. 3/2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga sama, tidak menunjukkan keterpaduan dengan UU tentang pokok-pokok kepegawaian. Padahal keduanya mengatur obyek regulasi yang sama (BUP PNS). Legislator atau perancang/pembuat UU ketika menyusun UU No. 3 Tahun 2006 itu, secara etika seharusnya memasukkan UU lain yang pengatur obyek yang sama dalam diktum “menimbang” atau “mengingat”.
Sehingga dalam pembuatan peraturan
pelaksanaan ke 2 UU tersebut (UU no. 3/2006 dengan UU No. 8 Tahun 1974) nantinya tidak memunculkan disharmoni, baik yang bersifat overlap maupun antagonist. Pasal 18 UU No. 3 tahun 2006 mengatur BUP Ketua dan Wakil Ketua – dan juga hakim – Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama (Aparatur Negara). Namun tidak memasukkan UU tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagai bahan yang harus diingat. Padahal banyak UU lain dimasukkan dalam diktum “menimbang” ini, yaitu : UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Biasanya persoalan ketidakterpaduan penyusunan UU yang menyangkut pemberhentian ASN ini tidak dianggap sebagai persoalan ketika tidak ada pihak yang
55
dirugikan atau pihak yang mempersoalkan. Namun bilamana pada suatu saat ada pihak yang merasa dirugikan, mempersoalkan dan menuntut secara hukum, misalnya mengajukan judisial review ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi – dan menang/dikabulkan – maka hal ini baru disadari menjadi persoalan yang berimplikasi luas. Masih bisa diingat kasus pemberhentian dan pengangkatan Jaksa Agung Hendarman Supanji tanpa Surat Keputusan Presiden (Keppres) pada kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan II pada tahun 2009. Hal itu baru menjadi persoalan ketika dituntut oleh Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Izha Mahendra ke MK dan kemudian dikabulkan. Kalau dulu kasus ini tidak segera “ditutup secara politis” dan tidak direspon masyarakat dengan sikap yang apologize maka persoalan yang ditimbulkannya menjadi sangat luas dan berpenetrasi ke semua aspek kehidupan masyarakat. Keabsahan semua keputusan yang pernah dibuat oleh Jaksa Agung tanpa Keppres tersebut – berikut semua aktivitas pelaksanaannya – menjadi tidak sah pula (illegal).
Penyusunan kebijakan publik level UU yang
tidak terintegrasi mengisyaratkan
kepentinga-kepentingan publik yang diperjuangkan melalui UU itu dipersepsikan bersifat independen dan tidak terkait satu sama lainnya oleh para legislatornya. Padahal di dalam persepsi itu selalu terkandung asumsi yang mengkonstruksinya. Sementara itu keberadaan asumsi dalam persepsi itu tidak selalu benar dalam kenyataan empiris. Kalaupun benar, kebenarannya tidak selalu permanen. Bisa sangat dinamis, bisa berubah dari waktu ke waktu. Dengan kata lain dalam kenyataan empiris independensi absolut kepentingan publik sektor yang satu dengan sektor yang lain itu tidak pernah ada di lapangan. Hanya soal
56
waktu saja yang menjawabnya, kapan dependensi antar sektor itu terungkap. Lazimnya ketika dipendensi itu tidak diakomodasi dalam UU, maka ketika terungkap, sudah berubah bentuk menjadi masalah pelanggaran hukum yang nyata di masyarakat.
B. KEADAAN KEPEGAWAIAN DI KOTA YOGYAKARTA Tabel 7 : Jumlah Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kota Yogyakarta (Keadaan Bulan April 2015) Golongan
Jumlah
Rasio
I
266
3%
II
1.378
18%
III
3.530
45%
IV
2.632
34%
TOTAL
7.806
100%
Sumber : Kantor BKD Kota Yogyakarta
Tabel 8 : Jumlah Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kota Yogyakarta Berdasarkan Tingkat Pendidikan (Keadaan Bulan April 2015) Tingkat Pendidikan
Jumlah
Rasio
SD
185
2%
SLTP
258
3%
SLTA
1.775
23 %
D-III
1.734
22 %
S-1
3.732
48 %
S-2
122
2 %
TOTAL
7.806
100 %
Sumber : Kantor BKD Kota Yogyakarta
57
Tabel 9 : Jumlah Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kota Yogyakarta Berdasarkan Jenis Pekerjaan (Keadaan Bulan April 2015) Tingkat Pekerjaan
Jumlah
Rasio
Guru (Jabatan Fungsional)
3.624
46 %
Non-Guru
4.182
54 %
7.806
100 %
TOTAL
Sumber : Kantor BKD Kota Yogyakarta
C. AKSEPTABILITAS SUBSTANTIF PERATURAN BUP PNS BERDASARKAN DATA EMPIRIS
Analisis data kuantitatif diawali dengan tabulasi dan rekapitulasi data berupa jawaban pertanyaan tertutup dari responden. Dari sekitar 200 eksemplar yang disebar ke responden di lapangan, tidak semua bisa dikumpulkan kembali karena berbagai persoalan teknis lapangan. Ada yang hilang karena tidak terpakai. Hal ini bisa terjadi karena terlalu banyaknya jumlah eksemplar yang dibagikan dibanding dengan jumlah PNS responden dalam suatu unit organisasi yang disasar. Selanjutnya, dari 192 eksemplar yang berhasil dikumpulkan hanya ada 179 saja yang memenuhi syarat untuk dianalisis lebih lanjut. Tiga belas diantaranya harus digugurkan karena berbagai pertimbangan inkonsistensi jawaban responden, validitas dan kelayakan metodologis. 1. Dengan logika sebab-akibat dan konsistensinya, misalnya konsistensi antara umur PNS dengan masa kerja, dapat ditarik makna bahwa responden bertindak sembarangan dalam menjawab pertanyaan. Sembrono – asal menjawab – tanpa memahami
58
maknanya terlebih dahulu. Data ini harus digugurkan karena sama sekali tidak valid. Contohnya, seorang responden PNS mengisi kolom umur dengan angka 29 tahun, sedangkan masa kerjanya > 20 tahun. Hal ini tidak mungkin terjadi karena artinya ia diangkat menjadi CPNS pertama kali ketika masih berumur 9 tahun. Setara dengan anak kelas 3 SD. 2. Pengisian daftar pertanyaan tidak lengkap, bahkan kosong hanya mengisi kolom identitas saja. 3. Persepsi yang berbeda. Sejak awal jawaban responden telah terdeteksi tidak, atau kurang valid karena persepsi dan pemahaman yang tidak sama persis, namun maksudnya bisa ditangkap oleh peneliti. Dari semua jawaban responden dapat ditarik makna bahwa pemahaman tentang konsep jabatan yang diembannya itu berbeda-beda. Hal ini berimplikasi mereka tidak mampu menjawab pertanyaan yang terkait dengan status Jabatan yang dimilikinya. Contohnya : a. Ada di antara responden yang memiliki pemahaman bahwa menjadi “staf” itu adalah sebuah jabatan, baik jabatan struktural ataupun jabatan fungsional. Oleh karena itu kolom Jabatan Fungsional diisi dengan “Staff Pemerintahan dan Pembangunan”, “Penggerak Swadaya Masyarakat”. Kedua jawaban ini faktanya bukan merupakan jabatan fungsional seperti yang dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 2014. Itu hanya sebutan sebuah pekerjaan saja oleh PNS yang bersangkutan. Jawaban semacam ini menurunkan validitas data kuantitatif tentang hal ini. Konsekwensinya dalam penelitian ini jawaban tersebut hanya digunakan untuk membedakan bahwa PNS itu “punya jabatan” atau “tidak punya jabatan” saja.
59
Dalam analisis hanya bisa digunakan sebagai Variabel kontrol kepemilikan jabatan secara dikotomis saja, tidak bisa dianalisis lebih mendalam lagi. b. Terkait dengan persepsi tentang kesetujuan responden terhadap kebijakan perubahan BUP. Ada beberapa responden menjawab setuju, namun alasannya ditulis dalam kolom yang berlaku untuk jawaban tidak setuju. Data semacam ini tidak serta-merta digugurkan. Namun harus diperiksa dulu bagaimana maksud yang sebenarnya melalui informasi lain. Ada beberapa responden yang melengkapinya dengan sejumlah keterangan tambahan tulisan tangan. Apabila penjelasannya tulisan tangan itu masuk akal sebagai jawaban yang valid, dan hanya salah format penulisannya, maka data jawaban ini bisa dipertimbangkan kembali untuk disertakan dalam proses selanjutnya melalui proses perbaikan oleh peneliti. Dalam kaitan ini, peneliti hanya berwenang memperbaiki format penulisannya saja, tidak berwenang memperbaiki/merubah substansi jawabannya. Informasi selengkapnya lihat tabel 8 berikut ini.
Tabel 8 : Penyebaran Kuesioner Pengumpulan Data Kuantitatif No. 1. 2. 3.
Deskripsi Kuesioner yang dibagikan ke responden Telah diisi dan berhasil dikumpul Memenuhi syarat untuk dianalisis lebih lanjut
Jumlah
Alasan
200
Metodologis
192 179
Kesulitan teknis Kesalahan substansial, validitas, inkosistensi
60
ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA KUANTITATIF Tabel 9.1 : REKAPITULASI DATA HASIL PENELITIAN Judul Penelitian : Akseptabilitas Substantif Peraturan Batas Usia Pensiun di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta Tim Peneliti : Drs. Argo Pambudi, M.Si., Joko Kumoro, M.Si. Identitas Responden
No Responden Umur
Masa Kerja
Pertanyaan-1 : Apakah Bapak/Ibu setuju dengan peraturan perpanjangan BUP dari 56 ke 58 tahun untuk Pejabat Administrastif ? (Kesetujuan BUP 58 th)
Jabatan
Pertanyaan-2.A : Bila jawaban Pertanyaan- Pertanyaan-2.B : Bila jawaban Pertanyaan-1 1 Setuju, apa alasannya ? tidak setuju, apa alasannya ?
Setuju karena alasan
Tidak setuju, karena alasan
(a) (b) (c) (a) (b) (a) (b) (c) (a) (b) (c) (a) 0-10 10-20 > 20 Punya Tidak Sangat Setuju Tidak Tidak Menguntun Menguntungk Meningkatka Sudah lelah bekerja, Setuju Setuju berpendapa gkan PNS an Negara/ n karier PNS saatnya beristirahat t Pemerintah secara lebih baik 1
2
Jumlah
3
4
49
32
5
6
98
117
179
7
179
8
62
9
31
10
99
11
49
12
0
13
50
179
14
44
16
76
170
(b) Memberi kesempatan pada yang lebih muda, pro pada penyelesaian masalah 17 25 49 74
Tabel 9.2. Pertanyaan-3 : Setuju atau tidak setujukah Bapak/Ibu pada pernyataan berikut ini ?
Menurut pendapat Bapak/Ibu, sebaiknya berapa tahun BUP untuk seorang PNS itu ?
Pilih (a), (b) atau (c) (a) BUP itu harus diatur Pemerintah secara Ketat dalam UU 19
117 157
(b) BUP ditentukan pemerintah secara Longgar. Bisa diperpanjang sesuai kebutuhan instansi 20
Usulan BUP (c) BUP sebaiknya disesuaikan dengan permintaan PNS yang bersangkutan
(a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j) (k) 56 < 56 58 60 62 64 66 68 70 >7 Tidak 0 ditentu-kan
21
40
Alasan
22
16
23
24
25
15 29 91 32 179
26
2
27
0
28
0
29
0
30
0
31
0
32
(a) Usia produktif berbeda-beda sehingga harus disesuaikan dengan permintaan PNS yang bersangkutan 33
10
(b) Harus ditentukan pemerintah secara Ketat 34
44
87
131
61
Dari analisis dan interpretasi data yang terkumpul dan terrekap dalam tabel 9.1 dan 9.2 diatas – dapat ditarik temuan penelitian ini sebagai berikut :
1. Preferensi PNS tentang Batas Usia Pensiun Sebagian terbesar responden (51 %) memilih 58 tahun sebagai norma BUP terbaik (ideal) menurut versi mereka (Gambar 1). Hal ini bermakna bahwa akseptabilitas substantif ketentuan BUP dalam UU No. 5 Tahun 2014 itu tinggi. Namun tidak tinggi sekali (extreme). Disamping karena tidak ada nuasa penolakan yang menyolok, jawaban sebesar 49 % sisanya tidak bersifat oposisi terhadap ketentuan BUP itu, namun lebih bersifat menambahi (complementary). Kesemuanya tersebar ke dalam 3 kategori yang mengandung makna sendiri-sendiri, sebagai berikut : a. Pilihan BUP yang lebih rendah dari 58 tahun – sebagaimana ditentukan dalam UU ASN – ada 24 %, terdiri dari pilihan 56 tahun ada 16 % dan kurang dari 56 tahun ada 8 %. b. Pilihan BUP yang lebih tinggi daripada ketentuan 58 tahun sebagaimana dalam UU ASN ada 19 %. Terdiri dari pilihan 60 tahun ada 18 % dan pilihan 62 tahun 1 %. Sementara itu tidak ada responden yang memilih BUP lebih dari 62 tahun – opsi lain yang ditawarkan adalah 64 tahun, 66 tahun, 68 tahun dan seterusnya. c. Yang sangat menarik adalah terdapatnya fakta yang menunjukkan ada 6 % responden memilih opsi BUP tidak perlu diatur secara ketat. Dari 6 % responden itu kebanyakan mereka memberi argumentasi senada, yaitu : Sebaiknya BUP ditentukan pemerintah secara longgar, agar bisa diperpanjang sesuai kebutuhan instansi dan keputusan pensiun itu diserahkan kepada PNS yang bersangkutan.
62
Interpretasi lebih lanjut menunjukkan bahwa pilihan BUP yang berbeda dari yang sudah ditentukan dalam UU ASN kebanyakan masih berada di sekitar 58 tahun itu juga, yaitu 56 tahun (16 %) dan 60 tahun (18%). Pilihan selain itu (kurang dari 56 tahun dan lebih dari 62 tahun) terlalu kecil untuk layak ditindak-lanjuti. Jadi perbedaan keinginan responden dengan aturan kebijakan yang sudah diambil tidak terlampau besar. Fenomena ini mengisyaratkan adanya keinginan diberlakukannya fleksibilitas terbatas peraturan BUP di dalam range 56 – 60 tahun yang disesuaikan dengan kebutuhan instansi dan preferensi individu PNS yang bersangkutan. Pilihan responden cenderung ke arah BUP lebih tinggi – dibandingkan dengan yang ke arah lebih rendah – daripada aturan UU ASN yang sudah diberlakukan. Hal ini mengindikasikan bahwa ada keinginan mereka untuk memperpanjang BUP lebih lama daripada 58 tahun. Hal ini berarti pula potensi untuk intensifikasi SDM PNS di lokasi penelitian masih sangat terbuka. Keinginan meninggalkan struktur birokrasi secara lebih awal (pensiun) di kalangan PNS “lebih lemah” dibanding dengan keinginan mereka untuk terus bekerja (lebih lama) dalam struktur birokrasi. Tinggal sekarang bagaimana manajemen ASN menangkap fenomena ini dan meresponnya dengan program-program pendayagunaan aparatur negara yang lebih intensif.
63
Gambar 1 Preferensi PNS tentang Batas Usia Pensiun Jawaban Responden atas Pertanyaan : Menurut pendapat Bapak/Ibu, sebaiknya berapa tahun BUP untuk seorang PNS itu ?
51%
18%
16% 8%
Seri1
6% 1%
0%
0%
0%
0%
0%
56 <
56
58
60
62
64
66
68
70
>70
Tidak ditentukan
8%
16%
51%
18%
1%
0%
0%
0%
0%
0%
6%
2. Alasan Kesetujuan atas Kebijakan Perpanjangan BUP Sebagaimana dibahas dalam Kajian Pustaka ada banyak motivasi yang melatar-belakangi sikap seseorang menerima kebijakan semacam perpanjangan BUP ini, diantaranya adalah : pandangan subyektif bahwa diri mereka masih mampu bekerja, mereka masih ingin bekerja, mereka ingin memberikan kontribusi pada negara, mereka ingin diperlakukan lebih adil dibandingkan dengan PNS lain dengan BUP lebih lama, dan sebagainya. Kajian teoritis tersebut kurang-lebih sejalan dengan preferensi responden ketika diajukan pertanyaan terkait dengan alasan kesetujuan mereka terhadap kebijakan perpanjangan BUP dalam UU No. 5 Tahun 2014 – lihat Gambar 2.
64
Gambar 2 Alasan Kesetujuan Responden atas Kebijakan Perpanjangan BUP Jawaban Responden atas Pertanyaan : Bila Setuju, apa alasannya ? 80 76
70
45 %
60 50 50
40
29 %
44
26 %
30 20 10 0 0 Menguntungkan PNS
Menguntungkan Negara/ Pemerintah
Meningkatkan karier PNS secara lebih baik
Lain-lain
50
44
76
0
Seri1
0%
Data pada gambar 2 memperlihatkan berbagai alasan yang dipilih responden. Ada 3 alternatif
jawaban,
yaitu
(a)
Menguntungkan
PNS,
(b)
Menguntungkan
Negara/Pemerintah dan (c) Meningkatkan Karier PNS secara lebih baik. Sementara itu jawaban (d) lain-lain – yang bersifat terbuka – tidak ada yang .mengisi (dibiarkan kosong). Jawaban semua responden tentang alasan kesetujuan mereka tersebut mengisyaratkan kepentingan pribadi PNS lebih mengedepan daripada kepentingan negara/pemerintah. Walaupun ke 3 jawaban tersebut bisa saling melengkapi, artinya menguntungkan
PNS
tidak
selalu
merugikan
negara,
menguntungkan
negara/pemerintah tidak selalu merugikan PNS, dan meningkatkan karier PNS secara lebih baik sama artinya dengan menguntungkan PNS yang bersangkutan dan sekaligus menguntungkan negara/pemerintah, namun dari data ini terlihat mana yang lebih dikedepankan responden. Dengan kata lain data tersebut lebih banyak menggambarkan prioritas kepentingan mana yang lebih dinomorsatukan oleh responden. Apakah kepentingan individu ataukah kepentingan negara/pemerintah
65
yang lebih diprioritaskan/dinomorsatukan terkait dengan kesetujuannya pada kebijakan perpanjangan BUP itu. Jadi ada warning disini, terkait dengan kebijakan perpanjangan BUP itu negara/pemerintah harus waspada terhadap efektivitas sasaran akhir kebijakan ini. Bisa jadi kebijakan perpanjangan BUP itu hanya dijadikan sebagai kendaraan atau instrumen individu PNS yang bersangkutan untuk meningkatkan keuntungan – terutama keuntungan ekonomi – nya saja. Sementara peningkatan produktivitas untuk kepentingan negara/pemerintah/publik diabaikan. Padahal peningkatan produktivitas untuk kepentingan negara/pemerintah itulah yang menjadi sasaran utama kebijakan ini.
Mengenai sikap PNS yang lebih mengedepankan kepentingan individu daripada kepentingan negara/pemerintah ini terungkap pula dalam interpretasi atas saran yang mereka ajukan – Gambar 3. Walaupun persentasenya kecil (9 %), terdapat gagasan/saran/keinginan/aspirasi
yang menyarankan bahwa sebaiknya
BUP
disesuaikan dengan permintaan PNS yang bersangkutan. Lebih lanjut, untuk ranah yang lebih luas (ranah kebutuhan instansi), ada pula gagasan yang merekomendasi bahwa sebaiknya BUP itu ditentukan pemerintah secara longgar, bisa diperpanjang sesuai dengan kebutuhan instansi (23 %).
66
Gambar 3 Saran Responden terhadap Peraturan BUP Jawaban Responden atas preferensi yang ditawarkan : 9% BUP sebaiknya disesuaikan dengan permintaan PNS yang bersangkutan
16
23 % BUP ditentukan pemerintah secara Longgar. Bisa diperpanjang sesuai kebutuhan instansi
40
68 % BUP itu harus diatur Pemerintah secara Ketat dalam UU
117
0
20
40
60
80
100
120
140
3. Akseptabilitas Berkorelasi dengan Tingkat Kepatuhan PNS pada Aturan Hukum Ketika diajukan pertanyaan yang bernuasa kesetujuan responden terhadap peraturan perpanjangan BUP dari 56 ke 58 tahun untuk Pejabat Administrasi, kebanyakan di antara mereka yang dikategorikan setuju ada 72 % – terdiri dari jawaban sangat setuju (17%) dan setuju saja (55 %). Sementara itu responden yang menjawab tidak setuju hanya 27 % saja. Tidak ada responden yang tidak menjawab pertanyaan ini – lihat Gambar 4. Komposisi jawaban responden yang seperti itu secara logis menunjukkan korelasi erat antara variabel akseptabilitas dengan preferensi PNS tentang BUP yang berada pada range 56 – 60 tahun sebagaimana temuan 1 penelitian ini. Fenomena ini menegaskan kembali bahwa sistem nilai birokrasi yang hierarkhis dan kepatuhan PNS pada aturan hukum di lokasi penelitian sangat tinggi. Hal ini
67
sejalan dengan sistem nilai yang dianut dan dilestarikan dalam kehidupan birokrasi pada umumnya. Setiap insan birokrasi “ditakdirkan” harus patuh dan taat pada aturan hukum yang berlaku dan melaksanakannya, bukan mencari kelemahan aturan hukum itu sendiri – apalagi
menolak atau tidak menyetujuinya. Jadi secara normatif
(legalistic-formalistik) maupun empiris substansial kebijakan perpanjangan BUP tersebut telah diterima oleh kelompok sasarannya. Fenomena ini menjadi pertanda besarnya dukungan aparat birokrasi tersebut pada tahap implementasinya nanti.
Gambar 4 Kesetujuan Responden terhadap Peraturan Perpanjangan BUP dari 56 ke 58 Tahun untuk Pejabat Administrasi Jawaban Responden atas Pertanyaan : Apakah Bapak/Ibu setuju dengan peraturan perpanjangan BUP dari 56 ke 58 tahun untuk Pejabat Administrastif ? 60% 55%
50% 40% 30%
27% 20% 17% 10% 0% 0% Sangat Setuju
Setuju
Tidak Setuju
Tidak berpendapat
D. PERSOALAN KUALITATIF DARI KACAMATA PEMERINTAH Wawancara dengan Kepala Bagian Mutasi Badan Kepegawaian Daerah (BKD) yang merepresentasikan suara kolektif Pemerintah Kota Yogyakarta diperoleh temuan penelitian sebagai berikut :
68
1. Tinjauan dari kacamata kepentingan pemerintah relatif tidak ditemui persoalan yang berarti terkait dengan implementasi kebijakan perubahan BUP tersebut di lokasi penelitian. Hal ini sejalan dengan perilaku birokrasi pada umumnya, yaitu dituntut patuh pada peraturan per-UU-an yang sudah given. Justru dari ketentuan UU No. 5 tahun 2014 inilah aparatur Pemerintah Kota Yogyakarta menyesuaikan diri dalam berperilaku. Segala ketentuan dalam UU itu sudah dan selalu dipandang sebagai kebenaran yag harus di-tindak-lanjuti. Oleh karena itu secara praktis sudah tidak ada lagi perdebatan yang berkepanjangan mengenai keberadaan kebijakan BUP yang baru tersebut. Bahkan interpretasi pelaksanaannya pun sudah ditentukan secara hirarkhis. Interpretasi tergantung pada pucuk pimpinan organisasi pemerintah daerah yang bersangkutan dengan mengacu pada petunjuk pejabat administrasi atasannya, seperti misalnya SE Kepala BKN. Sebagai contoh bisa dibaca selengkapnya pada SE Kepala BKN Nomor K.26-30 lV.7 -3199 Tanggal 17 Januari 2OI4 sebagaimana termuat dalam lampiran 4 laporan penelitian ini. 2. Dari sudut pandang internal Pemerintah Kota Yogyakarta, penilaian mereka mengarah pada sikap yang mendukung keberadaan kebijakan BUP dalam UU baru tersebut. Sebagaimana ditunjukkan oleh jawaban informan penelitian ini : a. Kebijakan perubahan BUP dari 56 ke 58 tahun untuk PNS itu menunjukkan bahwa PNS dewasa ini dianggap masih mampu untuk bekerja sampai usia 58 tahun atau masih produktif. b. Alasan lainnya adalah bahwa dari pada menambah pegawai baru lebih baik mendayagunakan pegawai lama (PNS yang sudah ada). Pegawai baru harus melalui penyesuaian. Apalagi pemerintah beberapa tahun terakhir ini baru saja
69
melakukan moratorium penerimaan CPNS. Oleh karena itu perpanjangan BUP dari 56 tahun ke 58 tahun merupakan kebijakan yang tepat. c. Terkait dengan persoalan akseptabilitas kebijakan BUP itu, jawaban kualitatif dari pejabat bidang kepengawaian itu menunjukkan tingkatan yang baik. Secara umum mereka – para PNS – senang adanya terhadap kebijakan perpanjangan BUP ini, karena pendapatan mereka tidak akan berkurang, paling tidak untuk 2 tahun ke depan. PNS yang memasuki masa pensiun pendapatannya akan jauh berkurang. Berbagai bentuk tunjangan, honorarium akan tidak ada lagi, sementara besaran pendapatannya hanya 75 % dari gaji pokok saja. Oleh karena itu proses sosialisasinya pun mudah. Menurutnya dengan sosialisasi melalui Surat Edaran Kepala BKN dan Kementerian Keuangan saja sudah cukup dan sudah bisa ditindak-lanjuti oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Mulai tahun ini Pemerintah Kota Yogyakarta sudah melaksanakan BUP yang 58 tahun itu (untuk PNS administratif) dan 60 tahun untuk pejabat pimpinan tinggi. d. Namun demikian dengan dijalankannya peraturan BUP yang baru itu ada sedikit persoalan di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta, terutama terkait dengan pengisian jabatan dalam struktur organisasi. Pemberlakuan peraturan BUP baru itu berdampak dalam jangka 2 tahun ke depan ini jumlah PNS yang akan pensiun berkurang jauh. Biasanya berkisar 400 –500 orang. Dengan diberlakukannya peraturan BUP baru ini palingpaling hanya 150 – 200 orang yang memasuki usia pensiun. Dengan kata lain mulai terjadi penumpukan sejumlah PNS senior di penghujung masa pengabdiannya. Data yang dikemukakan informan, di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta secara total – tidak membedakan Pejabat Administrasi dan
70
Pejabat Pimpinan Tinggi – terdapat 305 PNS yang menumpuk. Berdasarkan peraturan lama seharusnya mereka pensiun pada tahun 2014, namun dengan diberlakukannya peraturan BUP baru ini mereka baru akan pensiun pada tahun 2016 nanti. Dihadapkan dengan rencana pengisian dalam struktur organisasi pemerintah daerah, kondisi penumpukan PNS senior ini “sedikit” mengganggu rencana yang sudah disusun. Di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta pengisian jabatan struktural dalam struktur organisasi sudah di-ploting sedemikian rupa. Walaupun tidak dilakukan secara terbuka, sudah ditentukan nominasi. misalnya pejabat A akan memasuki masa pensiun pada bulan Oktober tahun 2015. Terdapat 3 orang PNS yang memenuhi syarat administratif dan kualifikasi untuk regenerasi pejabat struktural tersebut. Namun dengan diberlakukannya peraturan BUP baru itu jumlah PNS yang memenuhi syarat untuk bisa menggantikannya menjadi menjadi 10 orang. Kondisi ini tentu menjadi masalah tersendiri di internal Pemerintah Kota Yogyakarta yang bisa jadi akan berpengaruh pada suasana kerja – yang sedikit menjadi kurang nyaman. Suasana kompetisinya menjadi lebih ketat dan masa tunggu untuk mendapatkan jabatan struktural menjadi lebih lama. Demikianlah hasil penelitian dan pembahasan penelitian tahun I ini.
71
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Terkait dengan tujuan utama penelitian ini, yaitu memahami secara lengkap dan mendalam akseptabilitas substantif Peraturan Batas Usia Pensiun PNS di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta maka kesimpulan yang relevan untuk dikemukakan pada bab ini adalah sebagai berikut : 1. Akseptabilitas substantif BUP di lokasi penelitian begitu tinggi, namun ada dalam situasi dan kondisi (context) yang tidak kondusif untuk pengembangan profesionalitas PNS. Akseptabilitas BUP yang tinggi tersebut dihadapkan pada : a. Posisi UU-ASN tidak jelas. Apakah sebagai UU Pokok atau sebagai pelengkap? b. Sistem Regulasi ASN kurang mendukung: BUP dijadikan standar tunggal, tidak ada opsi lain c. Overlapping UU. Ada beberapa UU lain mengatur hal yang sama d. UU No. 5 Tahun 2014 tidak khusus ditujukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Oleh karena itu substansi masalah sebelumnya masih langgeng 2. Ada 3 pola masalah yang ditemukan dalam sistem peraturan BUP PNS sebelum lahirnya UU No. 5 Tahun 2014 itu, yaitu (a) norma regulasi BUP tidak terkoordinasi dengan baik, (b) tidak terintegrasi dan sebagian overlap dengan UU lain dalam mengatur BUP sebagai obyek yang sama, dan (c) regulasi BUP kebanyakan bersifat ad hoc yang dipermanenkan – hasil perpanjangan aturan utama. Sementara itu UU No. 5 Tahun 2014 tidak ditujukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Oleh karena itu substansi permasalahan tersebut masih ada sampai saat ini.
72
3. Terkait dengan konten regulasi BUP dalam UU No. 5 tahun 2014 disimpulkan bahwa rumusan yang digunakan sebagian terlampau definitif, operasional dan terlampau teknis. Format pengaturan di tingkat UU yang seperti itu kurang tepat, karena menutup peluang diskresi untuk penyelesaian persoalan unik dan persoalan-persoalan lain yang unpredictable pada saat UU itu disusun. Format ini berpotensi memunculkan masalah implementasi di lapangan dan mendorong munculnya pelanggaran terhadap substansi aturan itu sendiri. 4. Substansi rasional hubungan kausal yang digunakan dalam peraturan BUP itu sebagian besar tidak terkait langsung dengan efektivitas pelaksanaan tugas PNS yang professional. Variabel kemampuan professional PNS dan efektivitas pelaksanaan tugas PNS itu tidak selalu dipengaruhi langsung oleh faktor usia, namun banyak faktor lain yang lebih menentukan, seperti faktor kesehatan, motivasi dan semangat kerja. Oleh karena itu penegakan peraturan BUP sebagai standar tunggal secara konsisten tidak akan berdampak pada peningkatan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas-tugas PNS yang ada, namun hanya sekedar ritual melaksanakan aturan formal yang bersifat prosedural saja. Oleh karena itu peningkatan kinerja organisasi pemerintahan tidak bisa diharapkan dari pelaksanaan ketentuan BUP dalam UU ASN ini. Pelaksanaan ketentuan BUP ini sebagai standar tunggal justru bisa contra-productive dalam meningkatkan profesionalisme PNS di Indonesia. Pertanyaan apa urgensi ditetapkannya BUP secara definitif dalam UU itu tidak terjawab dalam penelitian ini. Persoalan yang disasar oleh perubahan BUP dalam UU itu juga tidak jelas. 5. PNS di lokasi penelitian memiliki tingkat akseptabilitas kebijakan perubahan BUP yang tinggi. Namum memiliki karakteristik yang khas, yaitu karena sejalan dengan kepentingan
pribadi
PNS
yang
bersangkautan.
Sementara
itu
kepentingan
negara/pemerintah di nomorduakan.
73
6. Ada keinginan responden untuk memperpanjang BUP lebih lama daripada 58 tahun. Hal ini berarti pula potensi untuk intensifikasi SDM PNS di lokasi penelitian masih sangat terbuka. Keinginan meninggalkan struktur birokrasi secara lebih awal (pensiun) di kalangan PNS “lebih lemah” dibanding dengan keinginan mereka untuk terus bekerja (lebih lama) dalam struktur birokrasi. Fenomena ini bisa dibaca sebagai momentum yang baik bagi manajemen ASN sekarang untuk meresponnya dengan program-program pendayagunaan aparatur negara yang lebih intensif. Sebaliknya, ada warning disini, terkait dengan kebijakan perpanjangan BUP itu. Negara/pemerintah harus waspada terhadap bentuk efektivitas sasaran akhir kebijakan ini. Bisa jadi kebijakan perpanjangan BUP itu hanya dijadikan sebagai instrumen individu PNS tertentu untuk meningkatkan keuntungan – terutama keuntungan ekonomi – nya saja. Sementara peningkatan produktivitas untuk kepentingan negara terabaikan. Padahal peningkatan produktivitas untuk kepentingan negara itulah yang menjadi sasaran utama kebijakan ini. 7. Implementasi peraturan BUP yang baru ini memunculkan sedikit persoalan di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta, terutama terkait dengan pengisian jabatan dalam struktur organisasi. Implementasi kebijakan perpanjangan BUP ini mengakibatkan penumpukan sejumlah PNS senior di penghujung masa pengabdiannya. Kondisi ini mengganggu rencana pengisian jabatan yang sudah disusun, pengisian jabatan struktural menjadi lebih kompetitif dan masa tunggu seorang PNS untuk menduduki jabatan struktural menjadi lebih lama. Kesemuanya ini belum tentu berdampak baik terhadap efektivitas dan produktivitas organisasi pemerintah daerah pada umumnya.
B. SARAN Saran adalah rekomendasi pemanfaatan hasil penelitian. Rancangan materinya telah dijanjikan pada butir Manfaat Penelitian proposal penelitian ini, yaitu : (a)
74
Mengantisipasi dan mencegah berubahnya potensi masalah implementasi menjadi masalah nyata di lapangan; (b) Menyusun bahan asistensi pemerintah berupa naskah akademik untuk tujuan menentukan strategi penerapan peraturan BUP untuk jangka panjang. Kesemuanya itu dimaksudkan agar bisa dicapai peningkatan efektifitas dan produktivitas peraturan BUP tersebut. Namun demikian format saran yang utuh sesuai dengan janji manfaat penelitian itu belum bisa disampaikan pada kesempatan ini karena proses penelitian ini baru setengah jalan. Pemahaman akseptabilitas substantif Peraturan Batas Usia Pensiun PNS di Lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta dan sebagian proses implementasinya sudah didapatkan namun belum menyeluruh. Oleh karena itu saran ini baru mencakup butir yang pertama atau (a) yaitu mengantisipasi dan mencegah berubahnya potensi masalah implementasi menjadi masalah nyata di lapangan. Sementara butir (b), yaitu menyusun bahan asistensi pemerintah untuk menentukan strategi implementasi untuk jangka panjang belum bisa dilakukan, karena harus menunggu hasil penelitian tahun ke II. Saran ini terbagi menjadi 2 kategori yang ditujukan kepada : (1) pejabat pembina kepegawaian – pelaksana UU – yang memiliki kewenangan membuat keputusan pensiun PNS di lingkungan kerjanya ; dan (2) pejabat penyelenggara negara yang memiliki tugas melaksanakan fungsi legislasi atau pembuat kebijakan – termasuk di dalamnya merevisi, merubah atau mengamandemen UU No. 5 Tahun 2012. 1. Saran untuk pejabat pembina kepegawaian Pejabat pembina kepegawaian hendaknya secara bijaksana merespon secara positif bentuk persoalan temuan penelitian ini, terutama yang terkait dengan : (a) rumusan konsepsi BUP yang terlampau definitif, (b) substansi rasional hubungan kausal yang tidak relevan atau tidak terkait dengan efektivitas pelaksanaan tugas PNS serta (c) tingkat akseptabilitas kebijakan BUP PNS yang begitu tinggi.
75
Merespon secara positif artinya dengan tetap mengedepankan asas penegakan hukum (UU), keputusan-keputusan yang dibuatnya yang terkait dengan pensiun PNS di lingkungan kerjanya harus tetap mempertahankan tingkat produktivitas birokrasi yang dipimpinnya. Oleh karena itu menghadapi sejumlah PNS yang hendak memasuki BUP harus jauh-jauh hari dipersiapkan pengganti secara optimal dan manusiawi. Selanjutnya, seiring dengan upaya yang optimal itu harus segera menyesuaikan sistem perencanaan kepegawaian yang adaptif mengikuti norma UU tentang ASN ini. 2. Saran untuk pembuat kebijakan Pejabat pembuat kebijakan yang dimaksud di sini adalah pejabat penyelenggara negara yang memiliki tugas kewenangan melaksanakan fungsi legislasi – termasuk di dalamnya kewenangan merevisi, merubah atau mengamandemen UU No. 5 Tahun 2012, baik dari unsur Lembaga Legislatif (DPR) maupun dari unsur Pemerintah (executive). Saran yang feasible untuk dilaksanakan terkait dengan temuan penelitian ini sebagai berikut : a. Pejabat legislasi agar merespon fakta tentang masih adanya masalah regulasi BUP yang tidak terkoordinasi dengan baik, norma-norma BUP yang tidak terintegrasi serta sebagian norma yang overlap dengan UU lain. Sebaiknya para pejabat legislasi itu melakukan upaya re-integrasi dan menghilangkan sistem regulasi yang masih mengedepankan ego sektoral yang kental. b. Menanggapi tingkat akseptabilitas kebijakan perubahan BUP yang begitu tinggi di kalangan PNS sasaran penelitian ini, serta adanya keinginan responden untuk memperpanjang BUP lebih lama daripada 58 tahun. Hal ini berarti pula potensi untuk intensifikasi SDM PNS di lokasi penelitian masih sangat terbuka. Hal ini harus direspon positif dan diakomodasi. Fenomena ini bisa dibaca sebagai momentum yang sangat baik bagi manajemen ASN sekarang untuk menindak-lanjutinya dengan program-program pendayagunaan aparatur negara yang lebih intensif tanpa dihalangi-
76
halangi oleh ketentuan BUP yang kaku. Oleh karena itu lembaga legislatif harus bisa memfasilitasinya dengan berbagai bentuk perubahan, revisi BUP atau perlakuan khusus yang tidak melanggar hukum. Kiranya hasil penelitian ini bisa digeneralisasi ke ranah yang lebih luas lagi.
__________________________
77
REFERENSI Agus Dwiyanto (2006), Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Anderson, James E., (1979), Public Policy-Making.,Second Edition, Holt, Rinehart and Winstone. A. Tashakkori & C. Teddie’s (Ed.) Handbook of mixed methods in social and behavioral research (pp. 209 -240). Thousand Oaks, CA: Sage. B. Guy Peters, Governance and Publik Bureaucracy: New Forms of Democracy or New Forms of Control ?, (The Asia Pacific Journal of Public Administration Vol. 26, No.1 June 2004) Denhardt, Robert B., (1984), Theories of Public Organization., Brook/Cole Publishing Company, Monterrey, California. Dunn, William, N. (1981), Public Policy Analysis : An Introduction., Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliff, N.J. Dwiyanto, Agus dkk. (2006) Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Gadjah Mada University Press. Dye, Thomas R. (2012)., Understanding Public Policy., Publisher: Pearson; 14 edition (January 20, 2012). Encarna Valero and Gabriela Topa (2014), Journal of Career Assessment, November 2015; vol. 23, 4: pp. 677-685., first published on October 16, 2014 Grindle, Merilee S. (ed), (1980), Politics and Policy Implementation in the Third World., Princeton University Press, New Jersey.
78
John, Charles O. (1984), An Introduction to the Study of Public Policy., Publisher: Brooks/Cole Pub Co; 3rd edition (January 1984) Kenzie Latham and Monica M. Williams (2015)., Journal of Aging and Health, December 2015; vol. 27, 8: pp. 1415-1442., first published on May 7, 2015 Kansil, C.S.T. (2005). Sistem Pemerintahan Indonesia (Edisi Revisi). Bumi Aksara. Kerlinger, Fred N, (1990), Asas-Asas Penelitian Behavioral., Gadjah Mada University Press, P.O. Box 14 Bulaksumur, Yogyakarta. Terjemahan dari Foundation of Behavioral Research Third Edition 1986, by Holt Rinehart and Winston. Lane, Frederick S. (ed), (1986), Current Issues in Public Administration., St., Martin’s Press, Inc. New York. Mazmanian, Daniel A. and Paul A. Sabatier, (1983), Implementation and Public Policy., Scott, Foresman and Company, United States of America. Peters, Guy B. (1986), American Public Policy., Chatham House Publisherw, Inc, New Yersey. Ramlan Surbakti (1992), Memahami Ilmu Politik., PT Gramedia Widyasarana Indonesia, Jakarta. Ripley., Randall B., (1985), Policy Analysis in Political Science., Nelson-Hall Publishers nh., Chicago. Sugiyono (2008), Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D., Penerbit Alfabeta, Bandung. Thoha, Miftah. (2007). Perilaku Organisasi: Konsep Dasar dan Aplikasinya. Rajawali Pers. Wahab, Abdul Solichin., (1991), Analisis Kebijaksanaan, Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Yin, Robert K., (1989),
Case Study Research, Design and Methods., Newbury Park,
California : Sage Publication, Inc.
79
LAMPIRAN – 1 : SURAT IJIN PENELITIAN
80
81
LAMPIRAN – 2 :
82
83
84
LAMPIRAN – 3 : UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara
85
LAMPIRAN – 4 : Surat Edaran Kepala BKN NOMOR : K.26-30 lV.7 -3199 Tanggal 17 Januari 2OI4
86