LAPORAN AKHIR PENELITIAN HIBAH BERSAING
SUBSTANSI DEMOKRASI DALAM SILA KEEMPAT PADA PANCASILA: KAJIAN PRODUK PRODUK M.P.R. REPUBLIK INDONESIA DALAM TINJAUAN TEORETIS DAN SOSIOLOGIS Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun
Ketua: Drs. Hari Zamharir, M.Si NIDN : 0315085301 Anggota: Sahruddin, S.IP.M.A.,M.Si NIDN :0303058104
UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA November 2015
1
HALAMAN PENGESAHAN Judul Penelitian
: Substansi Demokrasi Dalam Sila Keempat Pada Pancasila Kajian Produk-Produk M.P.R. Republik Indonesia Dalam Tinjauan Teoretis dan Sosiologis
Ketua Peneliti Nama Lengkap NIDN Jabatan Fungsional Program Studi Nomor HP Alamat surel (e-mail) Anggota
: : Drs. Hari Zamharir, M.Si : 0315085301 : Lektor Kepala : Ilmu Politik : 081288101670 :
[email protected] :
Nama Lengkap : Sahruddin, S.IP.,M.A.,M.Si NIDN : 0303058104 Perguruan Tinggi : Universitas Nasional Tahun Pelaksanaan : Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun Lama Penelitian Keseluruhan : Dua (2) tahun Penelitian Tahun ke : 1 (satu) Biaya Tahun berjalan : Rp 52.500.000,-
Jakarta, 24November 2015 Mengetahui Dekan
Ketua Peneliti,
(Dr. Truly Wangsalegawa, M.A., M.Ed ) NID : 0110090787
(Drs. Hari Zamharir, M.Si) NID :0103890276
Menyetujui, Ketua LPPM Universitas Nasional
Prof. Dr. Ernawati Sinaga, MS., Apt. NIP : 195507311981032001
2
Ringkasan Penelitian ini mendapatkan temuan berikut: Pertama, terdapat bukti-bukti cukup meyakinkan bahwa pemahaman tentang demokrasi pada sila keempat Pancasila tidak sesuai dengan konsepsi demokrasi ideal Pancasila. Ideal demokrasi (democratic ideal) pada sila keempat Pancasila kurang ditangkap esensi dan substansinya akibat dua hal utama—yakni dasar pengetahuan yang lebih bersifat ―pengetahuan popular‖ (popular knowledge) yang dikembangkan tokoh dan komunitas ilmiah; dan ―kemunduran‖ ilmu sosial di Indonesia, teristimwa lambatnya mengikuti state of the arts teori demokrasi. Kedua, berdasar atas indikator-indikator yang terdapat pada Teori Demokrasi Deliberatif (TDD), hanya terjadi dua (2) praktek/implementasi ―demokrasi permusyawaratan‖ yang dimandatkan sila keempat Pancasila selama kita merdeka, yaitu (1) deliberasi (bermusyawarah menurut konsepsi TDD) selama sidang-sidang BPUPKI prakemerdekaan, termasuk sidang-sidang oleh Tim Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta 22 Juni 1945; dan (2) sidang-sidang selama penyiapan amandemen terhadap konstitusi kita, UUD 1945 di era reformasi. Pada event-event politik lainnya, pada umumnya tidak sejalan dengan mandat demokrasi pada Pancasila. Indikator-indikator itu adalah(1) talking-centric, (2): Public spiritedness,(3) StateResponsiveness, (4) Larger segments involvement, (5) levels/capacity to deliberate,dan (6) capability of negotiating interests.
3
PRAKATA
Puji syukur kita panjatkan kehadiran kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan hidayah yang diberikah kepada kita semua. Penelitian ini dilaksanakan untuk memenuhi aspek tri dharma perguruan tinggi yaitu dibidang penelitian. Judul dari penelitian ini adalah ―Substansi Demokrasi Dalam Sila Keempat Pada Pancasila Kajian Produk-Produk M.P.R. Republik Indonesia Dalam Tinjauan Teoretis dan Sosiologis‖. Hasil dari penelitian ini telah disampaikan pada Konferensi Internasional di Bali dan sudah dipublikasi dalam Proceeding dan dalam proses publikasi di jurnal internasional. Melalui penelitian ini ditemukan substansi demokrasi sila ke 4 dan konteks nya dalam kemasyarakat dan kenegaraan indonesia. Penelitian ini akan dikembangan kedalam penelitian yang lebih mendapat sekiranya mendapat kesempatan untuk masuk kepada tahun kedua, ditengah lentur nilai-nilai sila ke 4 dalam kehidupan bermasyarakat saat ini.
4
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………………….. RINGKASAN……………………………………………………………………………… PRAKATA………………………………………………………………………………… DAFTAR ISI……………………………………………………………………………… DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………… BAB 1 PENDAHULUAN …………………………………………………………… A. Latarbelakang ………………………………………………………. B. Rumusaan Masalah.......................................................................... C. Sistematika Penulisan………………………………………………..
1 2 3 4 7 7 11 11
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………… A. Kajian Tentang Empat Sila…………………………………………. B. Eksplorasi Teori Demokrasi Deliberatif (TDD)…………………… C. Perspektif Teori Sistem……………………………………………… TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN……………………………….. A. Tujuan Penelitian……………………………………………………… B. Manfaat Penelitian …………………………………………………..
12 12 13 24 25 25 24
BAB 4
METODE PENELITIAN……………………………………………………
26
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………. A. Deskripsi Produk-Produk M.P.R. Tentang Kedaulatan Rakyat Dan Demokrasi…………………………………………………………….. B. Pembahasan…………………………………………………………… RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA………………………………………..
28
KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... LAMPIRAN
65 69
BAB 2
BAB 3
BAB 6
BAB 7
28 44 64
5
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 01: Paper dipresentasikan pada International Conference on Social Science and Humanities (ICSSH), 17 Oktober 2015 di Hotel Rhadana, Kuta, Bali……………
70
Lampiran 02 : Sertifikat Penyaji ………………………………………………………..
80
6
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian tentang ―substansi demokrasi pada sila keempat pancasila : kajian atas produkproduk MPR RI tinjauan teoretis dan sosiologis‖ ini memperoleh manfaat besar dari pemikiran dan kajian akademik yang sedikit, teristimewa pemikiran Soekarwo (2014), Gubernur Jawa Timur, dan teori demokrasi deliberative (TDD). Soekarwo dengan konsepsi dan praktiknya tentang demokrasi permusyawaratan sungguh menggugah kita untuk siap-siap meluruskan ―liberalisasi‖ politik di era reformasi ini. Artinya ada pesan teramat strategis untuk menyimak kembali sudahkah kita memahami dengan tepat apa itu ―Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan‖. TDD lahir dan berkembang baru pada satu decade belakangan ini. Sementara keajaiban refleksi para pendiri bangsa, terutama Tim Sembilan yang merumuskan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menghasilkan rumusan Sila Keempat dengan muatan konsepsi tentang demokrasi yang deliberative, rumusan ini kemudian ―tenggelam‖ di dalam carut-marut power politics Indonesia dan ketertinggalan ilmu sosial di Indoensia. Kajian ini menguak harta karun Sila Keempat pada Pancasila berkenaan dengan ―hirukpikuk‖ liberalisasi politik kita yang terlalu mencukupkan diri dengan konsepsi teoretis Demokrasi Perwakilan—yang diberbagai Negara sudah dikenali kelemahan-kelemahannya, dan perlu diluruakan dengan demokrasi deliberative. Di sini, diambil satu contoh kutipan: Newton & Norris (1999) menulis tentang menurunnya kualitas demokrasi. Makalahnya, ―Confidence in Public Institutions: Faith, Culture, or Performance?‖ menyajikan hasil studi banding di Negaranegara maju dengan menerapkan model penelitian yang berbasiskan penjelasan sosio-kontrol, penjelasan psikologi sosial, serta yang berbasiskan institutional performancemodel atau model kinerja kelembagaan. Hasil kajian yang penting a.l. bahwa menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga publik (seperti parlemen, dan birokrasi pemerintah) adalah lebih disebabkan oleh buruknya kinerja pemerintah (performance). ―We also find little support for general theories that explain what is ailing the Trilateral democracies in terms of problems like 7
heightened economic competition, post-modern society, increasing individualism, declining levels of social trust, or …. Instead, our research provides substantial support for theories that focus on the performance of government and political institutions to explain citizens declining confidence in them‖.1 Kedua penulis ini juga menegaskan bahwa erosi kepercayaan yang lebih serius yang mengancam demokrasi adalah ketidak percayaan pada lembaga-lembaga sosial utama, terutama those of representative democracy.2 Bagi telinga kita dan mindset kita, terma musyawarah atau musyawarah mufakat merupakan terma yang biasa-biasa saja, yang kandungan pengertiannya juga indah given, yang pelaksanaannya juga mudah saja. Dampak negatifnya antara lain adalah keengganan kita meninjau ulang konsep yang dikandung pada terma itu. Dengan kata lain, frekuensi yang tinggi penggunaan terma deliberasi untuk pendanaan musyawarah amat potensial juga akan diterima sebagai hal biasa-biasa saja. Padahal dari perspektif teoretis demokrasi, demokrasi deliberatif menyajikan sofistikasi tertentu, yang mengasumsikan sejumlah sikap, tindakan dan prosedur berdemokrasi yang tidak se-sederhana popular knowledge tentang ―demokrasi permusyawaratan‖3 yang dimiliki sebagian besar aktor politik dan birokrat kita. Kiranya untuk dasar konsepsi teoritis itulah (teori demokrasi deliberatif,TDD) penstudi seperti Sani dan Hara berhasil membuat identifikasi praktek demokrasi deliberatif di Malaysia dan Indonesia : Di Malaysia, berlangsung deliberasi elitis (dalam topangan stabilitas politik yang didominasi Melayu diatas etnis India dan China) dan Indonesia praktik demokrasi deliberatifnya masa mutakhir kini mengalami ketidak tentuan. Fakta sejarah bahwa telah ada empat (4) eksperimen demokrasi di Indonesia. Di antara empat itu, ada yang dinamakan Demokrasi Liberal dan Demokrasi Pancasila; secara amat mencolok keberadaan kedua praktik ini diterima oleh komunitas ilmu politik, praktisi politik dengan cara penerimaan yang seakan-akan ―tanpa masalah‖—hal yang factual ada dua format deokrasi; ada empat format demokrasi di Indonesia, dst. Persoalannya adalah yang mana di antara empat eksperimen ini mendekati substansi demokrasi yang dimandatkan oleh para pendiri 1
Newton & Norris. 1999. ―Confidence in Public Institutions: Faith, Culture, or Performance?‖, h. 12 Ibid, h. 2 3 Terma Demokrasi Permusyawaratan (DP) sering dipakai dalam laporan penelitian ini. Terma ini dipinjam dari Soekarwo, Gubernur Jawa Timur—pemikiran danpraktiknya akan dipaparkan pada bagian akhir laporan ini. 2
8
bangsa Indonesia? Sudahkah benar civic educationatau pendidikan kewarganegaraan bidang demokrasi yang secara relatif baik menyajikan dua konten utama: (1) penyajian deskriptif mengenai democratic ideal yang dikehendaki sila keempat Pancasila; dan (2) konten evaluative dan preskriptif tentang praktik-praktiknya di berbagai rejim politik?
Dengan pendidikan
kewarganegaraan yang menganggap ada ―demokrasi‖ ini, ada ―demokrasi‖ itu di Indonesia, hal ini menjadikan satu rekayasa pikir yang tidak kunjung menyadarkan banyak warga akan faktafakta praktik demokrasi yang belum sejalan dengan Pancasila. Suasana batin di atas kini meninggalkan begitu banyak elemen bangsa dalam suasana berdemokrasi yang salah. Sementara itu, segmen-segmen yang bermaksud kritis tidak jarang memberikan obat yang tidak manjur. Tidak sedikit elemen bangsa terutama cendekiawan berpendirian, bahwa demokrasi kita bermasalah. Demokrasi kini yang terlalu liberal mesti kita kembalikan ke jalan yang lurus. Namun demikian obat mujarab yang ditawarkan pada umumnya tidak manjur akibat konsepsinya yang tidak jelas. Kajian ini amat dibantu oleh state of the art teori demokrasi yaitu teori demokrasi deliberative (TDD) yang diposisikan “meluruskan” teori dan praktek demokrasi perwakilan dan demokrasi partisipatoris. Berikut secara sederhana ditunjukkan cirr kasar TDD dan teori demokrasi partisipatoris: Pengalaman politik demokrasi di masa ―Demokrasi Liberal‖4 di jaman Bung Karno dan masa ―Reformasi‖ selama tiga presiden masa belakangan ini mengindikasikan praktek demokrasi yang terlalu liberal. Hal ini amat boleh jadi akibat kita terperangkap oleh konsepsi teoretis tentang demokrasi perwakilan (Theory of Representative Democracy) serta asumsi asumsi ideologis demokrasi liberal yang dianut di antara perancang pembangunan politik kita. Akibatnya, jalan transisi menuju demokrasi belum juga secara signifikan membawa kita kepada format demokrasi yang sehat. Teori demokrasi yang lebih menjamin substansi berdemokrasi yang santun, terutama teori demokrasi deliberatif
(Theory of Deliberative Democracy)
nampaknya masih jauh dari penanganan para perancang pembangunan politik kita.
4
Terma-terma demokrasi liberal sendiri sebenarnya berarti ambigu. Mayer mengingatkan ada dua paham demokrasi di Barat—secular libertarian (yang sering secara umum disebut demokrasi liberal) dan sosio-demokrasi. Terance Ball, et.al. (2014) menyebut dengan dua terma yakni liberal dan social democracy ditambah adanya demokrasi kerakyatan—yang dirujuk ke system politik Komunisme. Di luar konsepsi-konsepsi tersebut, ada demokrasi konsosiasional dengan empat pilar ideology yang berbeda di Belanda, seperti dideskripsikan…. Juga ada konsepsi Dharma‘s Democracy di Taiwan masa kini seperti dideskripsikan Madsen (2007).
9
Sebagai reaksi atau sikap difensif terhadap anomaly demokratisasi yang liberal demikian itu, fenomena menyanjung rezim otoriter sering muncul. Tapi yang cukup positif adalah munculnya konsepsi alternatif yang muncul masa ―Orde Lama‖, yang berupaya menjembatani dua ujung ekstrim—demokrasi yang terlalu liberal di satu sisi dan penghormatan kepada warisan kebudayaannya sendiri di sisi lain. Alternative ini dikedepankan oleh Bung Karno, menanggapi uforia liberalisasi politik mulai 1959. Meskipun dalam praktikya, rejim Demokrasi Terpimpinmengarah kepada otoriterianisme, namun sebagai konsepsi teoretis, ―Demokrasi Terpimpin‖ dalam perspektif Teori Demokrasi Deliberative seharusnya monumental. Refleksi Bung Karno untuk memunculkan sejenis demokrasi yang lain dari demokrasi liberal masa perang paham ideology modern saat saat ia memimpin Negara dan bangsa ini adalah satu hal yang patut diacungi jempol. Namun konsepsi yang berupaya mencari jalan alternatif dari jalan demokrasi ―impor‖ Barat ini ternyata lebih bersifat slogan karena kemudian ternyata konsep Demokrasi Terpimpin ini lalu lebih bermakna pemusatan kekuasaan politik di tangan indvidu Bung Karno belaka; pengembangan kelembagaan demokrasi termasuk penguatan partai secara kelembagaan untuk partainya sendiri, PNI, nyaris tidak ada wujudnya. Orang boleh mengritik konsepsi Demokrasi Terpimpin
Bung Karno sebagai suatu
konsepsi omong kosong atau sekedar retorika tanpa substansi; namun, kehendak untuk menemukan jalan politik demokrasi selain Demokrasi Liberal (DL) sebenarnyalah satu hal yang berarti. Upaya menemukan sejenis demokrasi yang khas demikian itu kini amat dituntut, mengingat para sarjana politik dan tokoh pergerakan sosial terutama di Asia dan Amerika Latin masa kini mengedepankan teori dan praktek politik demokrasi yang menginginkan jalan lain dari demokrasi liberal Barat demikian itu. Di Amerika Latin, yakni di Vanezuela masa Hugo Chavez (1999-2012).ada praktek demokrasi partisipatif (dengan dibentuknya partisipasi langsung pada tingkat desa dan kota melalui dewan desa dan dewan kota)—yang secara teoretis digolongkan Teori Demokrasi Partisipatif (Theory of Participatory Democracy) yang membedakannya dari teori demokrasi perwakilan. Di Asia, praktik berdemokrasi dengan musyawarah dan mementingkan konsensus (concensus conference) di Taiwan kini tengah tumbuh.(Fenomena ini kemudian dibuat tesis oleh Richard Madsen dengan menamakan format demokrasi ini Dharma‘s Democracy karena kontribusi agama agama utama yang melakukan reformasi untuk menyongsong keniscayaan demokratisasi seiring kebangkitan masyarakat industri di sana). 10
Dengan pengalaman beberapa bangsa lain yang menemukan formula khas dalam berdemokrasi di atas, kiranya tepat bahwa kita perlu mengembangkan kajian kajian filosofis dan teoretis tentang prinsip demokrasi populis pada Pancasila kita, untuk meneguhkan kembali komitmen kita kepada sila keempat Pancasila. Namun hal ini harus ditangani dengan pendayagunaan perkembangan teori demokrasi masa kini dan peneguhan untuk membangun kebudayaan kita sendiri. Di tengah tengah perkembangan teori politik (state of the arts) masa belakangan ini, yang memunculkan koreksi terhadap teori–teori mapan—misalnya, teristimewa kemunculan Teori
Demokrasi
Deliberatif,(Theory
of
Deliberative
Democracy)
dan
pemikiran
politikDemokrasi Bumi (Earth Democracy)—peninjauan kembali pemahaman kita tentang filosofi dan konsepsi teoretis demokrasi pada Pancasila menjadi amat signifikan.
Upaya
eksplorasi filosofi dan konsepsi tentang demokrasi yang ―benar‖ dan aplikatif sesuai konteks kebudayaan dan filosofi bangsa ini amat diperlukan. Karena belakangan ini banyak kritik dari khalayak elit politik dan pengamat terhadap format demokrasi kita hampir tanpa diberikan argumen ilmiah yang kuat.Penelitian dengan perspektif Teori Demokrasi Deliberatif untuk mebuat
rekontruksi filosofis dan konsepsi teoretis demokrasi pada Pancasila kiranya amat
penting dilakukan. B. Rumusan Masalah
Rumusan penelitian adalah Bagaimana ideal demokrasi yang dimaksudkan dalam Sila Keempat Pancasila? C. Sistematika Penulisan
Sistematika penelitian ini dimulai dari bab satu terdiri atas latarbelakang masalah, rumusan masalah dan sistematika penulisan. Bab dua berisi tinjauan pusataka yang relevan dengan penelitian, bab tiga tujuan dan manfaat penelitian, bab empat metode penelitian Hasil dan pembahasan dimasukkan kedalam bab lima yang didalamnya terdapat temuantemuan lapangan dan analisa atasa hasil penelitian. Bab enam rencana tahun selanjutnya dan ditutup dengan kesimpulan pada bab tujuh. 11
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian tentang Sila Keempat
Kajian akademik yang sedikit tentang Sila Keempat pada Pancasila itu adalah karyaMichael Morfit, Alexander Aur (2014), Agustinus Edward Tasma dan Heru Santoso (2006) ‖Polemik Epistemologi Pancasila dan Demokrasi yang Konstruktif Beserta Implementasinya‖; Muhammad Dudi Hari Saputra (2014) ―An interpretation of the Fourth Principle of Pancasila Led by the Wisdom of Deliberation among Representatives: Toward Global Ethic‖ ;dan karya Sani dan Hara.Kajian Sani dan Hara (2007) mengidentifikasi watak deliberatif pada demokrasi. Indonesia yang dimandatkan Sila Keempat Pancasila.―Public deliberation in Indonesia traditional is called musyawarah and is considered important to make decision. It is also mentioned in the Indonesia‘s national ideology called Pancasila – Particidarly in its 4th Principle regarding democracy by deliberation and concensus.5. Sani & Hara menerjemahkan sila
4th,―Kerakyatan
yang
Dipimpin
oleh
Hikmat
Kebijaksanaan
dalam
Permusyawaratan/Perwakilan‖sebagai ―democracy guided by concensus arising out of deliberations amongst representatives.6‖ Sebermula sekali, politik Indonesia mempraktekan demokrasi deliberatif : tulis Sani & Hara, ―One Imporatant example of the spirit of deliberative democracy took place when members of communite to prepare for Indonesian Independence in 1945 and a meeting to decide the ideology for the new-born Indonesian 1945.‖ Spirit dan praktek demikian di masa Soekarno dan Suharto kemudian tidak jelas : ―However, the implementation of the spirit of deliberative democracy was not so clear during the anthoritarian democracy under the two presidents who served for more than 3o years after the indepundence : Soekarno and Suharto ... Suharto with his his new order regime also claimed to catch the spirit of deliberation to make concensus and claimed to consider many views in society including the minority in the decision making ... But what was called as concensus during Suharto was an archestrated concensus designed by involving only 5
Mohd Azizuddin Mohd Sani & Abu Bakar Eby Hara, 2007. Deliberative Democrcay in Malaysia and Indonesia: A Comparison. http://jati.um.edu.my/iconsea2007/download/paper/azizuddin.pdf Sani & Hara, h. 12 6 Sani & Hara, h. 12
12
those who supported him in parliament and government party‘s Golongan Karya and ‗people‘s sovereignty was delegated to few army leaders, civilian technocrats and Suharto‘s family‖7. B. Eksplorasi Teori Demokrasi Deliberatif (TDD)
Pertama perlu diperjelas di awal paparan tentang TDD bahwa dalam konsep yang sederhana ada perbedaan konsep antara ―demokrasi partisipatoris‖ dengan ―demokrasi deliberative‖, sebagai berikut:
Teori;
TDD
Partisipatoris
Ciri utama Kualitas perbincangan
Pengutamaan proses deliberasi Pengutamaan
suara
rakyat
tanpa
ada
dengan bersandar pada etika, dan tekanan pada etika bersama, pada orientasi orientasi kepentingan luas Kepentingan
kepentingan luas
Egoism dilebur ke dalam public Egoism sempit tidak dikendalikan etika; spiritedness.
terserah kepada partisipan
Ketika mendeskripsikan ide pokok sila keempat tentang proses konstasi dan deliberasi, Michael Morfit (1981) dalam kajiannya berkesimpulan
bahwa sila keempat Pancasila sejak
lama menolak demokrasi liberal. ―The word musyawarah is one connoting discussionand deliberation amongst members of a society….‖.8 Catatan kritis Morfit terhadap pemahaman Masa Orde Baru adalah bahwa pengertian tentang kelima sila terlalu umum—tidak ada kekhususan. Misal tidak menegaskan peminggiran keyakinan keyakinan mistik masa lampau (yang dia bandingkan dengan gerakan Pencerahan di peradaban Barat modern. Membanding pemahaman tentang Pancasila oleh rejim politik Bung Karno dan Suharto, Morfit juga menyayangkan bahwa telah terjadi ―penyalahgunaan filosofi dan konsepsi politik Pancasila guna mengekbiri lawan lawan politiknya.
―…, both Sukarno and the New Order
Government used Pancasila to attack or contain rival political ideologies,….‖.9 Menguak lebih dalam pesan dan substansi konseptual sila keempat, jadinya, mesti didukung oleh teorisasi demokrasi, dan TDD amatlah membantu upaya ini. Simone Chambers
7
Sani & Hara, ibid, h. 13 Michael Morfit. 1981. Pancasila: The Indonesian State Ideology According to the New Order Government.Asian Survey, Volume 21 (8) Aug. h. 843 9 Morfit, Ibid, 844 8
13
(2003) dalam artikelnya tentang TDD menilai bahwa ―it is now commonplace to talk about the deliberative turn‖.10Konsep teoretis demokrasi deliberative (sebagai pelurus atas
demokrasi
perwakilan/partisipatoris). Konsep konsep teoretis tentang apa yang dinamakan ―demokrasi deliberative‖ pada intinya adalah suatu semangat untuk membicarakan urusan public dengan cara cara yang baik dengan tidak terlampau didorong oleh kehendak menang demi kelompoknya dan fokusnya pada ―apa yang dibicarakan‖ bukan ―siapa yang bicara‖.Dalam redaksi Cohan dan Rogers, ―Briefly to deliberate means debate alternative on the basis of considerations that all take to be relevant. It is a matter of offering reason for alternatives, of offering reason for alternative rather than merely stating preference for one on another with … rule of aggregation on submitted to bargaining the exchange of reasons that deliberative democracy puts at the centre of collective decisions making. It is not to be confused with simple discussion on the condition of and exchange of private information ―11 Lebih jauh, sewaktu membahas konsep Fung
dan Wright mengenai EPG (Empowered
Participatory Governance ) sebagai salah satu varian gagasan pengaturan kelembagaan untuk demokrasi deliberatif, Baiochi (dalam Wright, 2003) menggambarkan TDD sebagai berikut: ― Deliberative democratic theory refers to a body of political thought that seeks to develop a substantive versions of democracy based on public justifications more discourse-based democracy. It calls for the deliberations of citizen as reasonable equals in the legitimate exercise ….‖ Dalam hal ini, beberapa penjelasan kiranya perlu dipaparkan. Fishkin (2011) dalam tulisannya, ―Deliberative Democracy and Constitutions‖, mendefinisikannya sebagai, ―the combination of political equality and deliberation, and situates this form of democracy in the context to a range of alternatives‖
Ciri deliberative democracy dari demokrasi Dharma
ditunjukan Lin (2009) sebagai bentuk concensus conference yang disponsori pemerintah, yang merupakan model Taiwan dalam partisipasi warga (walaupun, lagi lagi, kajian ―bagian luar‖ dari kehidupan politik tidak menelusuri ―sisi dalam‖ yang memunculkan model itu). Dalam kaitan dengan relasi society—state, Farrely dari Queens University, Kanada, memberi kita penjelasan konsep teoretis dari Zurn tentang deliberative democracy, bahwa menurut penjelasan Zurn 10
Simon Chambers, h. ? Cohen & Joel ―Power & Reason ― dalam Archon Fung & Erik Olin Wright 2013. Deepening Democracy Institutional Innovations in Empowered Participatory Governance. New York: Verso, hlm 241 11
14
(dalam Farrely, 2009) demokrasi deliberative menganut posisi pentingnya suatu reasonsresponsiveness dari Negara: dengan membuat kontras atas model demokrasi liberal dengan demokrasi deliberative, Farrely menjelaskan bahwa ―Rather than reducing legitimacy to the aggregation of individual‘s preferences, deliberative democrats insist that state action be responsive to good reasons. As Zurn puts it, the notions of ‗reasons-responsiveness‘ (...) is at the core of deliberative conceptions. Zurn believes that Jurgen Habermas‘s account of deliberative democratic constitutionalism is the most promising normative account of the co-constitutive character of constitutionalism and democracy‖.12 Dalam hubungan ini, Pablo de Greiff (2000) dari State University of New York, Buffalo—dengan mengutip kritik kritik atas demokrasi liberal oleh Anne Phillips (1996), Amy Gutmann (1983). Richard B Miller (1996)—mendaftar kritik-kritik sebagai berikut: (1) aras komunitas direduksi menjadi wakil wakil yang terdiri atas atomized individuals; (2) demokrasi yang mengandalkan perwakilan dengan akibat apatisme warga; (3) bermasalah karena tidak mampu menangani masalah perbedaan seperti gender, ras, dan kultur. Sementara itu T. Christomy , dalam satu tinjauan buku, membuat satu analisis tentang DD di warung kopi di Inggris13. Ini berkaitan dengan tradisi kelas elit di Inggris yang hobi dengan barang barang aneh dari Timur (peradaban Turki Islam), antara lain kopi. Massa urban meniru minum kopidi warung-warung kopi; warung kopi menjadi ―pasar pertukaran informasi dan diskusi publik‖. Christomy meninjau buku ini dengan sependapat dengan Cowan, yang menggunakan kacamata teori demokrasi deliberative. ―Cowan memberikan tinjauan menarik tentang tumbuhnya partisipasi politis publik di kalangan masyarakat urban. Ada kecenderungan, Cowan meneruskan pikiran Habermas bahwa coffeehouse berfungsi sebagai tempat pertukaran informasi aktual yang mengaburkan sebagian asal-usul atau status orang ketika masuk ke kedai kopi‖14. Pada bagian akhir Christomy mencatat: ―…., Cowan menjelaskan dengan gaya 12
Farrely, Collin Farrely. 2009. ―The Deliberative Democracy and the Institution of Judicial Rev in Social Theory and Practice‖, (Proquest Sociology. Apr 2009 Vol 35 No. 2), dalam ―Book Review‖, Christopher F Zurn, Deliberative Democracy and the Institutions of Jud Review. New York: Cambridge Univ Press, 2007) www.proquest.umi.com/pqdweb?index=10&did=67013826&SrchMode=1&sid=2&fmt=2&vinst=PROD&VType= PQD&RQT=309&VName 13
T. Christomy . 2006. ―Warung Kopi dan Pemikiran Habermas‖ dalam Wacana, Journal of the Humanities of
Indonesia, hlm. 236-240 (Tinjauan Buku Brian Cowen, the Social Life of Coffee: The Emergence of the British Coffeehouse. New Heaven & London: Yale Univ Press, 2005). 14
Christomy, Ibid, hlm 239.
15
Habermas bahwa partisipasi publik yang ‗cair‘ dan ‗asik‘, yang dapat melibatkan semua lapisan social, perlu
‗diseduh, dan ‗dikocok‘
terus,
Terbukti bahwa kendati tidak menghasilkan
revolusi, warung kopi mempunyai peran penting dalam membangun civil society , katanya.‖15 Teori demokrasi deliberative sebagai teori demokrasi berisi konsep-konsep yang ditujukan untuk memperdalam dan meluruskan demokrasi perwakilan. Konsep konsep teoretis tentang apa yang dinamakan ―demokrasi deliberative‖ boleh dikatakan didorong oleh semangat untuk revitalisasi politik demokrasi dengan membicarakan urusan publik dengan cara-cara yang baik dengan tidak terlampau didorong oleh kehendak menang demi kelompoknya; juha fokusnya adalah pada ―apa yang dibicarakan‖ bukan ―siapa yang bicara‖. Dalam hal ini, beberapa penjelasan kiranya perlu dipaparkan. Fishkin (2011) dalam tulisannya, ―Deliberative Democracy and Constitutions‖, mendefinisikannya sebagai, ―the combination of political equality and deliberation, and situates this form of democracy in the context to a range of alternatives‖. Dalam kaitan dengan relasi society—state, Farrely dari Queens University, Kanada, memberi kita penjelasan konsep teoretis daru Zurn tentang deliberatve democracy, bahwa menurut penjelasan Zurn (dalam Farrely, 2009) demokrasi deliberative menganut posisi pentingnya suatu reasons-responsiveness dari Negara: dengan membuat kontras atas model demokrasi liberal dengan demokrasi deliberative, Farrely menjelaskan bahwa ―Rather than reducing legitimacy to the aggregation of individual‘s preferences, deliberative democrats insist that state action be responsive to good reasons. As Zurn puts it, the notions of ‗reasons-responsiveness‘ (..) is at the core of deliberative conceptions. Zurn believes that Jurgen Habermas‘s account of deliberative democratic constitutionalism is the most promising normative account of the co-constitutive character of constitutionalism and democracy‖.16 Salah satu praktik berdemokrasi yang seiring dengan TDD dijumpai dalam modalitas berdemokrasi di Taiwan masa belakangan ini—Demokrasi Dharma.Ciri deliberative democracy dari Demokrasi Dharma ditunjukan Lin (2009) sebagai bentuk concensus conference yang disponsori pemerintah, yang merupakan model Taiwan dalam partisipasi warga (walaupun, lagi lagi, kajian ―bagian luar‖ dari kehidupan politik tidak menelusuri ―sisi dalam‖ yang memunculkan model itu).
15 16
Christomy, Ibid, hlm. 239- 240 Farrley, h. ?
16
Kemampuan kemampuan untuk secara jernih membahas urusan social politik secara sabar dan kajian mendalam sedemikian itu membawa ke persoalan apakah berbagai segmen masyarakat berada dalam taraf itu? Dari temuan lapangan seorang peneliti dari Univ Calfornia, Rosenberg (2005) bahwa hanya sedikit orang berkemampuan seperti itu, dapatlah di sini dicatat bahwa agaknya diperlukan tahap tahap perkembangan tertentu atau proses transformasi dari taraf kemampuan ―rendah‖ menuju taraf lebih tinggi agar memiliki kualifikasi melakukan deliberative democracy—dan bahwa di Taiwan masa kini, proses itu boleh jadi memang sudah dilampaui. Rosenberg menulis, ―In a manner consistent with the majority of research in social and developmental psychology, my research suggests that only a small minority of individuals demonstrates deliberative rationality, that is the requisite capacity to reflect on their preferences and organize them with regard to higher order goals or over-arching life-plans‖.17 Rosenberg memberi kita pemahaman tentang asumsi dasar deliberative democracy, yakni tentang seberapa berkualitas wacana yang diproses dalam suatu musyawarah (the nature of qualities of deliberative discourse); juga dengan asumsi itu, diajukannya pertanyaan apakah memang secara faktual orang atau masyarakat luas memiliki syarat kemampuan kemampuan untuk ambil bagian dalam suatu pembahasan mendalam yang oleh Rosenberg dicirikan ―in the rational, other-oriented, self-reflective, and just manner‖ ? Dalam hubungan ini, Pablo de Greiff (2000) dari State University of New York, Buffalo—dengan mengutip kritik kritik atas demokrasi liberal oleh Anne Phillips (1996), Amy Gutmann (1983). Richard B Miller (1996)—mendaftar kritik-kritik sebagai berikut: (1) aras komunitas direduksi menjadi wakil wakil yang terdiri atas atomized individuals; (2) demokrasi yang mengandalkan perwakilan dengan akibat apatisme warga; (3) bermasalah karena tidak mampu menangani masalah perbedaan seperti gender, ras, dan kultur. Gutmann dan Thompson (2004) ―Why Deliberative Democracy?‖. Dalam sub-judul Apa itu DD, dipaparkan beberapa ciri DD yakni (1) keabsahan keputusan diukur dengan pelibatan warga beserta perwakilan warga, (2) nalar atau alasan-alasan kasus bisa diakses warga, dan (3) prosesnya bukan sekedar omongomong tanpa dibatasi waktu melainkan ada time frame.
17
Shawn Rosenberg 2005. ―The Empirical Study of Deliberative Democracy: Setting a Research Agenda‖ dalam
Acta Politica Vol 40 2005. g 212-224. www.proquest.umi.com/pqdweb?index=10&did=67013826&SrchMode=1&sid=2&fmt=2&vinst=PROD&VType= PQD&RQT=309&VNameh. 221
17
Sementara itu, Dryzek dan List (2003) menulis artikel, ―Social Choice Theory and Deliberative Democracy : A Reconciliation‖. Deliberasi sendiri digunakan dalam konteks yang berbeda dari masa klasik ke masa kini.Di masa klasik, deliberasi menjadi monopoli grup yang eksklusif abad ke – 18 M di Eropa Barat, deliberasi juga relative elitis, yakni dilakukan wakilwakil politik yang bersikap resisten terhadap munculnya opini rakyat.Baru abad ke – 19, konsep deliberasi memiliki yang lebih modern, pelibatan warga dalam deliberasi secara luas, dengan tokoh J.S. Mills (dan kini J. Habermas).18 Dryzek dan List mengemukakan argumen bahwa dasar-dasar teoretis pada dua (2) teori yakni teori pilihan sosial dan Teori DD—sesungguhnya dapat didekatkan.Secara lebih khusus demokrasi deliberatif dan pelibatan masyarakat berhubungan erat dengan politik perkotaan.Di tengah perdebatan yang tengah berlangsung di sekitar Teori Demokrasi Deliberatif (TDD) yang diterapkan di kota–kota—yakni terkait dengan ―dilema‖ efisiensi (yang menghendaki proses pemerintahan yang efektif dan cepat) di satu segi dan akuntabilitas adanya legitimasi dan pembahasan bersama warga kota, jadi lebih lambat) di sisi lain—agenda penggunaan TDD untuk pemerintahan kota terus dikembangkan. Salah satunya adalah perkembangan gagasan bahwa model deliberasi yang semula ruang lingkupnya kecil (local areas of deicision–making yang dirujuk ke karya Fung (2003, 2004), kini diperluas dengan skala kota:
―Cities have been the privileged loci for deliberative
experiments.19Dalam konteks politik perkotaan ini, telah dipraktikan
tiga (3) level locus
deliberasi: (1) level kota dan dan yang amat dipublikasi luas adalah eksperimen Porto Alegre di Brazil – yang kemudian direplikasikan pada 170 kota municipal di seluruh Brazil (2) level rukun warga (seperti pada NRP (atau Program Revitalisasi kampung di Minneapolis di AS; dan (3) praktik dalam pembangunan sektoral, yakni sektor kesehatan di Brazil dengan dibentuk dewan sektor kesehatan untuk merencanakan pembangunan kesehatan. Dorongan kearah pelibatan langsung dalam pemerintahan daerah lagi-lagi dipicu oleh kekecewaan terhadap kinerja buruk mekanisme pemda.Di Kanada para petani reformis dari beberapa provinsi mengadopsi tata cara menyusun legislasi yang berbasis warga: ― ‗ popular
18
Gutman & Thompson ―Why Deliberative Democracy?‖. Marcus Andre Melo Gian Paola Baiocchi , ―Deliberative Democracy and Local Governance: Towerds A New Agenda ― , International Journal of Urban and Regional Research, Vol. 30 (3) September 2006, 578 – 600 19
18
dialog‘ helped shift institutional settlements in favor of more direct control‖.
20
Pentingnya
kedudukan CSO atau LSM/ORMAS atau sektor ketiga bagi pendemokratisasian dan pengefisien-an pemda telah dibahas antara lain oleh Jan Bucah dan Brian Smith (2000). Sektor ketiga adalah ―structure of non supermental organization on part of local governance the so colled third sector of voluntary bodies, not for profit organizations, community groups, and other local associations‖. 21 Dryzek (2000) Archon (2003) menelusuri sejumlah konstribusi penting yang diberikan oleh sepak terjang asosiasi-asosiasi sukarela dalam masyarakat (LSM/Ormas) bagi peningkatan kualitas demokrasi tiga yang amat relevan disebut disini ialah (a) dengan berhimpun dalam LSM/Ormas maka ada proses peningkatannya berdemokrasi dan berperilaku demokratik warga (civil socialication and political educations
(b) memperkuat bargaining power masyarakat
untuk memperjuangan kepentingan public ((fungsi interest representation) (c) menjadi jembatan bagi terwujudnya deliberasi dan tumbuhnya ruang publik yang efektif (public deliberations and the public sphere, serta (d) tata pemerintahan lebih terbuka dan demokratis dan partisipasi warga berada pada arus utama (direct governance)22 Filosofi dan Teori TDD dirumuskan oleh para ahli (di worldview Barat) dalam perspektif rasionalist.Bahwa masyarakat dalam perbincangan secara deliberative pada esensinya mengedapkan rasionalitas (tidak dipengaruhi oleh perasaan dan emosi). Tentang model rasional yang main-stream ini ada kritik yang membangun, yang hendak mendekatkan jurang pemisah antara rasio dan emosi. Kritik demikian antara lain berasal dari temuan sarjana di worldview Timur, Shih-Diing Liu (2008). Temuan ini agaknya amat masuk akal mengingat objek kajiannya adalah obrolan masyarakat Taiwan dengan saudara mereka di daratan China melalui Internet. Liu menulis, ―By examining a range of emotional practices observed in Internet forums and chat rooms. I argue that although the rationalist perspective is a valid approach to thinking about what democracy is to be like, it cannot adequately account for the political energy of online discussions that do not fit the normative criteria set for an idealized public 20
Susan E. Scarrow , ―Direct Democracy and Institutional Change : A Comparative Investigation ― Comparative Pol Studies, Vol 34(6) August 2001, h. 652 ― Jan Bucek& Brian Smith ―New Approaches to Local Democracy: Direct Democracy, Participation and the ‗ Third Sector‖. Environment and planning Government al Policy. 2000. Vol 18, h 3-16 21 Bucah & Smith,Ibid, h. 12 22 Archon Fung ―Associations and Democracy : Between Theories, Hopes,and Realities , Ann Rev Soc. 2003, h 515 – 539.
19
sphere. This study attempts to fill this gap by examining the emotionally charged conversations and interactions in Internet chat rooms concerning cross-Strait relations between mainland China and Taiwan.‖23 Prosedur TDD juga dipaparkan Chen & Deng (2007).Kedua penulis ini memulai dengan tahap pra-deliberasi berupa asupan bacaan bacaan yang relevan bagi peserta. Tahap awal ini adalah tahap persiapan: ―Concisely described, the procedure essentially follows the principles of delib demo. The conference consists of preparatory and formal sessions. All of the participants in the conference are lay citizens, considered to be moral and political equals. In the preparatory sessions, participants are provided with balanced, comprehensible, and understandable background readings from experts.‖24 Tahap berikut disebut tahap resmi. Tahap ini merupakan proses demokrasi bertumpu pada publik dan kecukupan informasi—antara lain melibatkan pakar pakar. Mengacu pada karya karya Zurita (2006), Fischer (2003), dan Guston (1999), Chen dan Deng menggambarkan sebagai berikut: ―During the conference, participants are the major actors. They set the agenda of the public discussion, choose the experts with whom they seek to talk, and finally make policy recommendations‖.25 Di Taiwan sendiri, sebagaimana dijelaskan Chen dan Deng, konteks masalahnya unik. Dalam dua kasus yang dilaksanakan di Taiwan—yang satu berkenaan dengan projek surrogate motherhood dan lainnya tentang parental testing and screening—tahap persiapan memerlukan waktu dua (2) hari, untuk peserta mendengarkan penjelasan dari para pakar mengenai substansi topik yang akan mereka bahas. Baru kemudian setelah dua minggu (untuk pengendapan dan refleksi serta akses informasi sendiri), proses demokrasi secara formal baru diadakan. Proses perbincangan pada tahap formal ini berlangsung tiga (3) hari, mengambil waktu akhir pekan. Dalam pada itu, atas persetujuan para peserta prosesnya direkam dalam video. Tahap akhir adalah tahap wawancara mendalam.Tahap ini dikerjakan oleh dua asisten peneliti yang berpengalaman.Hasil wawancara mendalam dibuat transkripnya; analisis data dilakukan baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
23
Shih-Diing Liu. 2008.Sekali lagi kita perlu ―meluruskan‖ paradigm Habermas tentang komunikasi deliberative. Manusia memiliki motif, dorongan dan lain lain di luar apa yang ―rasional‖ yang dikonseptualisasi paradigm Habermas. 24 Chen & Deng, Op. Cit, h. 81 25 Ibid, h. 82
20
Dari kajian Cheng dan Deng ini, beberapa hal ditemukan: pertama, ada peningkatan dalam pemahaman peserta mengenai IPTEK sesudah berlangsungnya diskusi demokratis secara deliberative ini. Kedua, sikap para peserta menjadi lebih baik dalam cara penerimaan terhadap keberadaan (projek) teknologi. Ketiga, ada dimensi dimensi yang memperkaya sudut-pandang yang disumbangkan para peserta kepada cara-pandang para pakar yang dilibatkan.Keempat gaya-bahasa teknis makin lama makin diresapi peserta dan peserta dapat mengemukakan gagasannya dalam kosa kata mereka sendiri. Bohman meninjau Karya Guttman & Thompson (1996), Democracy & Disagreement, yang dia catat bahwa kedua penulis ini telah menawarkan satu paket prosedur dan substansi DD yang komprehensif, sekaligus penerapannya ke dalam berbagai kasus kehidupan politik Amerika masa kini. Kedua penulis ini dicatat oleh Bohman sebagai sarjana yang menilai tinggi DD dengan tiga (3) ciri utama penyelesaian perbedaan dan konflik pandangan dalam masyarakat— prinsip resiprositas, prinsip publisitas, dan prinsip akuntabilitas. Seperti ditulis Bohman, kedua penulis ini melihat bahwa, ―…….. but its raison d‘ etre deliberation is indeed superior to other methods and principles in resolving conflicts‖. Sebagai salah satu komponen penting DD, nalar publik (public reasons) lebih kuat lagi diberi catatan dalam karya Cohen (1996), Procedure & Substance in Deliberative Democracy. Untuk mencapai hasil perbincangan yang dibuat para pelaku liberal, terdapat kendala di segi apa yang masuk akal, mengingat perbedaan aspirasi dan persepsi masyarakat. Cohen juga dicatatnya telah menopang prinsip DD-nya dengan keperluan adanya jaminan kebebasan yang lebih luas.
1. Beberapa Kajian Empiris Kasus Deliberasi Di Kota Leisester, Inggris (1999) Parkison (2003) menulis artikel ―Legitimacy Problems in Deliberative Democracy‖26. Sub-sub judulnya adalah : (1) Konsep legitimasi, (2) Legitimasi perwakilan, (3) Sistem terbuka pada DD dan, (4) Legitimasi dalam praktek DD. Ia menganalisis kasus DD yang membahas kebijakan kesehatan di kota Leicester (UK) tahun 1999 – 2000. Peristiwa protes warga kota bermula sewaktu ada kebijakan bidang kesehatan yang dibuat pemerintah kota yang dinilai amat 26
Parkison . 2003. ―Legitimacy Problems in Deliberative Democracy‖
21
merugikan warga. Protes yang juga mencakup aksi 1.500 tanda tangan warga kota itu, bukan saja harus melalui jalur hukum, tapi juga deliberasi yang dijalankan mula-mulanya bersifat elitis. Deliberasi lalu berlangsung lebih luas dan demokratis.Dan tahap-tahap politik itu akhirnya menghasilkan penyempurnaan kebijakan pemerintah bidang kesehatan yang pro-warga. Dengan focus perhatian pada isu legitimasi, Parkison melihat pada kasus ini sebagai penerapan DD yang cukup memenuhi harapan di segi praktisnya, sedangkan idealnya, kasusnya ini belum memenuhi standar. Warga
kota melalui ‗perwakilan‘ menurut standar DD cukup terlibat dalam
perbincangan.
Kasus Projek Pengembangan Kecamatan DI Indonesia (2010) Olken (2010) dari MIT yang melakukan kajian demokrasi dengan sampel sejumlah desa di Indonesia dalam kerangka PPK (Kecamatan Development Program), telah men-fokuskan kajiannya pada upaya melihat dampak pembangunan partisipatif dan penyediaan barang public terhadap (1) elite capture (2) dan legitimasi dan tingkat kepuasan. Unit analisisnya adalah mekanisme pengambilan keputusan: dari mekanisme musyawarah warga yang
berpotensi
didominasi elit desa ke peblisit – warga memberi suara untuk menentukan prioritas-prioritas pembangunan. Dengan menerapkan beberapa pengolahan statistic atas data yang diperoleh, Olken mencatat temuan-temuannya.Salah satu temuannya adalah bahwa tingkat kepuasan warga adalah tinggi atas dipilihnya proyek-proyek pembangunan desa berdasar aspirasi warga, secara keseluruhan mereka puas dengan PPK.27 Kajian ini tidak berkait dengan open government.Namun demikian, potensinya cukup besar.Olken mencatat jika dampak panjangnya lebih mendorong praktik partisipasi dan makin kuatnya legitimasi bagi (projek pembangunan di daerah), maka kajian ini secara hipotesis mendesakkan perlunya praktek open government melalui bentuk plebisit. ―In the long-run it is possible that there could be strategic adaptation to the plebiscite process, through agenda setting, campaign to convince voters, or other channels, all of which could affect the results ……….. the (existing) results here old an important data point to the broader debate about participatory vs. deliberative approaches to democracy and suggest that – whether by including a redistribution of rents from politicians to 27
Olken. 2010. h. 28. Kajian Olken ini disponsori tiga (3) Lembaga Bank Dunia, Dinas Pembangunan Internasional Inggris, dan DSF (Indonesia Decentralization Support Facility). Dalam hal pemilihan tiga (3) kecamatan: Tiga (3) kecamatan dipilih karena mewakili ciri umum desa-desa di Indonesia; (1) kecamatan dipilih karena kecamatan khas (warga muslim) dan satu daerah yang paling padat di dunia, dan; (2) kecamatan di Sumatera dengan desa yang kecil, mayoritas Kristen; (3) kecamatan di Sulawesi Tenggara.
22
voters or by directly affecting satisfaction, direct participation appears to substantially improve satisfaction with the political process‖.28
J.
Leib
mengupas
DD
dalam
tulisannya,
―Can
Direct
Democracy
Be
Made
Deliberative?‖.29Setelah dipaparkan patologi-patologi Direct Democracy – Satu dari lima (5) patologi versi Leib (2006) adalah bahwa kelemahan Direct Democracy terletak pada ide ―stop opname‖ dalam memotret realitas (pendapat). Orang memilih pendapat X sewaktu ditanya melalui plebisit, pendapat yang lebih dipertimbangkan masak-masak adalah Y. Ada berubah haluan. Contoh di Indonesia media Desember 2014, sewaktu jajak pendapat tentang Legalisasi Miras (secara lebih ekstensif), seseorang lebih memilih ―setuju‖, padahal sesudah memikirkan dampak negative yang luas bagi masyarakat bawah yang tidak siap, pendapatnya lalu dipindahkan menjadi ―tidak setuju‖. Arsitektur model: hasil pembentukan ulang model Popular Brand dari Leib dan Deliberative Polling dari Fishkin.. Kesimpulan Leib, ―…………. Deliberative democracy, once used as a theoretical orientation to undermine and critique direct democracy, can actually be used as a tool in the hands of institutional designers for bettering our practices of direct democracy‖ 30 Suatu kerangka kerja institusional yang di claim Leib sebagai praktis (tidak terjebak pada spectrum TDD teoretis) diusulkan, yakni Popular Brand. 1. Elitis
1. Populis
2. Satu-satunya
2. Salah satu
3. Instituen khusus
3. Cukup yang ada tapi opini public ditampung
Pertama, ada konvensi diantara wakil-wakil masyarakat yang dipilih acak.Konvensi lebih menjamin bahwa hasil-hasilnya bermuara pada kebijakan.Berbeda dengan forum-forum warga yang hasil perbincangannya lenyap di tengah jalan.
28
Olken, ibid, h. 266 J. Leib, 2006. ―Can Direct Democracy Be Made Deliberative?‖. Ia menulis, ―Finally and more specifically from the perspective of deliberative democracy—about many policy matters when they have had an opportunity to reflect on or issue by reading material about issue and discussing it with their fellow citizens and policy experts‖ Rujukan Leib adalah exsperimen Fishkin tentang perubahan-perubahan pendapat pasca pemberian pendapat, melalui deliberative polling, sebagai salah satu metode dalam TDD. 30 Leib, Ibid, h. 1924 29
23
C. Perspektif Teori Sistem
Salah satu cara memandang fenomena pilitik dijelaskan oleh sistem. Salah satu fungsi sistem politik adalah melakukan sosialisasi nilai-nilai politik. Semakin sistem politik itu demokratis, maka semakin tersosialisasi nilai-nilai politik demokratis.Berdasar perspektif teoretis sistem, dapatlah diterapkan pada dua pemerintahan di Indonesia era Soekarno (Juli 1959 – 1965) dan era Suharto (32 tahun lebih). Bahwa nilai-nilai politik demokratis amat kurang disosialisasikan di tengah masyarakat dan pelaku politik. Apalagi nilai-nilai politik demokrasi deliberatif. Penjelasan yang diberikan teori sistem ini lebih masuk akal untuk menilai bahwa di era Liberalisasi politik akhir-akhir ini, sikap, tindakan dan prosedur demokrasi deliberatif amat kurang dimiliki masyarakat dan pelaku politik Indonesia. Penjelasan yang masuk akal ini lebih memiliki explanatory powerdibanding penjelasan yang bersifat kelembagaan formal misalnya apa yang dinilai Sani & Hara. Bahwa uforia reformasi yang surplus partisipasi tidak ditangani dengan baik oleh parlemen dan partai politik ―this intensive participation, however, is not followed by the readiness of palitical institutions such as parliament and political parties to bring about people aspiration to the decision making level. Thishas led to the emergence of some types of people direct participation in politics‖31. Atau tepatnya, baik pendekatan institutionalisme yang dipakai Sani & Hara maupun penjelasan teori sistem memperlihatkan adanya masalah tentang minimnya sikap, tindakan, dan prosedur demokrasi deliberatif masa kini. Indicator adanya praktik direct democracy dikemukakan Sani & Hara.
31
Hara dan Sani, Op. Citt. h.15
24
BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk memperoleh gambaran apa substansi demokrasi yang dirumuskan Sila Keempat Pancasila 2. Untuk memperoleh data lapangan tentang praktik berdemokrasi dengan penelusuran produk-produk MPR RI 3. Untuk memuat analisis antara apa yang dipratekkan dengan yang dimandatkan oleh Sila Keempat Pancasila
B. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mendorong lembaga-lembaga politik terutama MPR RI agar lebih memahami ideal demokrasi yang dimandatkan oleh Pancasila; 2. Untuk menjadi wacana bagi pengembangan ilmu politik di Indonesia 3. Untuk mengajak lembaga-lembaga otoritatif bidang ini merumuskan penyempurnaan dalam aturan main berdemokrasi yang dimandatkan Sila Keempat Pancasila
.
25
BAB 4 METODE PENELITIAN
Pertama, akan dilakukan analisis wacana atas liberalisasi politik dari beberapa pernyataan pernyataan dan tulisan tentang politik kini dilihat dari filosofi dan konsepsi teoretis tentang demokratisasi di Indonesia. Secara simultan, kajian teoretis yang dilakukan melalui penelusuran state of the arts bidang teori politik demokrasi, khusunya teori demokrasi deliberatif. Pada tahap berikutnyaadalah perumusan problem konseptual yang diperoleh dari hasil analisis wacana tentang pemahaman terhadap demokrasi vis-a-vis filosofi dan konsep teoretis demokrasi pada sila keempat Pancasila. Tahap keempat, merupakan studi kepustakaaan untuk
menelusuri
pemahaman
yang telah
dituangkan
pada produk produk Majlis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) R.I.Tahap berikutnya adalah catatan kritis terhadap ‖peta‖ beberapa varian pemahaman yang ada dan kritik ini dengan menggunakan argumen-argumen teoretis dari Teori Demokrasi Deliberatif
serta argumen sosiologis berupa spirit zaman dan
konteks sejarah politik di mana berbagai pemahaman telah tumbuh. Metode analisis juga akan melibatkan perspektif teoretis tentang kehidupan politik sebagai suatu system. Teori sistem mengandaikan bahwa model demokrasi dalam suatu system politik berhubungan dengan kompromi kekuatan politik yang menyepakti suatu format konstitusi. Berikut akan digunakan pendekatan elite settlement dalam kasus Taiwan dalam demokratisasinya belakangan ini. Konteks model-model reformasi konstitusi dimana aspek demokrasi juga termasuk di dalamnya. Proses reformasi konstitusi di Taiwan menggunakan mekanisme elite settlement. Lay dan Savirani (2000) dalam penelitian tentang perbandingan reformasi konstitusi antara lain memperlihatkan jalan Taiwan dalam rujuk nasional demi membangun lembaran baru Taiwan dengan penyelesaian politik oleh para elit dimaksudkan para pemimpin elit mereorganisasikan hubungan sesama mereka demi melakukan kompromi terhadap persoalan pelik yang sedang mereka hadapi (merujuk pada John Higley (1938) : yang menjadi motor penggerak adalah presidennya, Presiden Lee Teng Hui32. Mekanismenya adalah
32
Cornelius Lay dan Savirani 2000
26
penyelenggaraan pertemuan elit-elit di luar mekanisme parlemen dengan mengundang semua elemen kekuatan politik (political forces) yang sedang berseteru kala itu di Taiwan.
Pertemuan pertama 1990 yaitu NAC (National Affairs Conference). Pertemuan kedua ND (National Development) Conference 1996. Lay dan Savirani mencatat berikut : ―sebuah studi sampai pada kesimpulan bahwa NAC merupakan proses awal elite settlements di Taiwan, yang mengambil bentuk separuh matang dan momen NDC yang melengkapi proses ini. Kedua momen ekstra konstitutional ini yang kemudian membawa Taiwan menjadi salah satu Negara demokrasi di dunia setelah politik dijinakkan oleh proses negosiasi elit33. Taiwan Experience Elemen
Uraian
Driving force
Effective leadership, initiative, brave
Elite-mass relationship
Acceptability : Parliamentary was under control of their respective elites
Culture Key factors for unity
Cultural infrastructure in ―Dharma‘s democracy‖
External foe : from the north
The will to negotiate
Ruang Lingkup Kajian a.
Pendalaman kandungan filosofi dan konsep teoretis yang muncul pada pernyataanpernyataan di media massa tentang suatu demokrasi Indonesia.
b.
Penulusuran state of the arts teori demokrasi kontemporer
c.
Pemetaan terhadap varian-varian pemahaman yang ada pada produk-produk MPR RI.
d.
Rekonstruksi tanggapan para ahli bidang Pancasila terhadap ―peta‖ interpretasi tentang sila keempat Pancasila pada produk-produk MPR RI
e.
Rekomendasi hasil analisis atas ―peta‖ pemahaman tentang demokrasi pada produkproduk MPR RI dalam perspektif teori demokrasi deliberatif
33
Ibid, Paparan tersebut adalah segi permukaannya. Adapun segi kedalaman yang ikut memberi andil adalah modal sosial (social capital) tumbuhnya asosiasi asosiasi sukarela gologan agama agama yang komtmen memeluk demokrasi dengan aspirasi untuk memiliki watak dan prosedur demokrasi yang musyawarah mufakat atau model concensus conference dan semangat tidak suka model liberal Barat. Lihat tesis Madsen tentang ―Religious Renaisance and Democratization in Contemporary Taiwan. 2007.
27
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Produk-Produk M.P.R. Tentang Kedaulatan Rakyat Dan Demokrasi 5.1. Dasar Filosofis
Pertama, yang menjadi dasar filosofis adalah sila keempat Pancasila. Pancasila sendiri nampaknya memiliki dua sisi makna, satu sisi merupakan doktrin/ideology dan sisi lainnya adalah konsepsi politis. Dalam hal ini, ada penjelasan filosofis dari Wahyudi (2004) sebagai berikut: Wahyudi dengan filosofis mengetengahkan perbincangan posisi Pancasila, apakah sebagai doktrin komprehensif atau konsepsi politis—perbincangan perbincangan yang dikembangkan ilmuwan dan tokoh nasional.‖ Ideologi Pancasila: Doktrin yang Komprehensif atau Konsepsi Politis? Wahyudi cenderung kepada cara-pandang bahwa Pancasila adalah sebagai konsepsi politis.
Karena
pemahaman sebagai
Pancasila memberi ruang civil society yang lebih kondusif;
doktrin
komprhensif
dapat
membawa kepada monokultur dan
penyeragaman (uniformitas) pada hidup pribadi dan golongan. Sebagai konsepsi politis, ―… membawa domain Pancasila hanya pada hubungan-hubungan politis, maka Pancasila hanya berlaku pada struktur dasar dari kehidupan kenegaraan, yaitu lembagalembaga politik, ekonomi, dan sosial sebagai kesatuan skema kerjasama dalam hidup berbangsa dan bernegara. Jika Pancasila berlaku pada individu, maka ini hanya dalam kapasitas public sebagai warganegara, bukan dalam kapasitas privat sebagai individu dengan kebaikan komprehensif mereka sendiri‖.34 Kedua, landasan filosofis kenegaraan Indonesia adalah konsepsi NEGARA NASIONAL, RELIGIUS. Bung Karno, dalam Risalah Sidang BPUPKI (18 Mei – 22 Agustus 1945), menggambarkan Negara Nasionalis Indonesia, yang mengikuti konsepsi Hatta bahwa agama (Islam) dipisahkan dari Negara sekaligus membina religiusitas. ―…. Hadirin yang terhormat! Negara Nasional yang bersatu itu tidak berarti bahwa Negara Nasional yang bersatu itu tidak berarti, bahwa Negara kita itu akan a-religius. Itu bukan. Negara Indonesia yang bersatu itu akan memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur akan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur. Maka Negara yang
34
Wahyudi. 2004.―Ideologi Pancasila: Doktrin yang Komprehensif atau Konsepsi Politis?‖, h. 13
28
demikian itu dan hendaknya Negara Indonesia juga memakai dasar moral yang luhur, yang dianjurkan juga oleh agama Islam‖35 Penjelasan senada tentang landasan filosofis kenegaraan Indonesia adalah agenda perdebatan tentang dasar Negara bagi negara baru Indonesia—dari lima dasar (Pancasila) versi yang dipidatokan oleh Bung Karno hingga kompromi lima dasar Pancasila versi yang kita kenal kini sebagai Preambul UUD 1945. Versi kompromi pada UUD 1945 adalah produk kompromi oleh Panitia Sembilan, yang lagi-lagi juga direvisi pada 18 Agustus 194536, dan dikenal dengan Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. Panitia Sembilan sendiri dibentuk oleh Bung Karno, dan Bung Karno adalah satu di antaranya. Wahyudi menulis (2011), ―…..Di tengah perdebatan tentang bentuk dasar Negara itu, pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno berupaya mengatasi persoalan tersebut dengan mengajukan ―lima Dasar atau Pancasila sebagai landasan filosofis Indonesia. Rumusan awal Pancasila tidak serta merta diterima khususnya diantara kalangan Islam dengan melihat eksistensi kepentingan politik Islam sekaligus juga kemajemukan Negara di Indonesia. Soekarno membentuk Panitia yang kemudian secara kompromis menghasilkan Piagam Jakarta‖37 Mengutip buku yang ditulis Umar Basalim (2002) Wahyudi mendeskripsikan Piagam Jakarta sebagai berikut ―Piagam Jakarta adalah dokumen yang dimaksudkan untuk dijadikan sebagai preambule (Pembukaan) undang undang dasar bagi Negara Indonesia yang akan dibentuk. Dokumen ini ditanda-tangani oleh sembilan tokoh nasional di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945. Mereka adalah Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Arikusno Tjakrosujoso, Abdul Kadir Muzakir H. Agus Salim, Mr. Ahmad Subarjo, Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin.‖38 Namun mengenai timbulnya ketegangan di antara wilayah non muslim di Indonesia bagian Timur akibat rumusan ―Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya‖, Wahyudi tidak menyertakan sumber kutipan.39
35
Risalah Sidang BPUPKI ((18 Mei – 22 Agustus 1945), h. Wahyudi, Op. Cit. Dalam rekontruksi sejarah produk Piagam Jakarta dan produk kompromi 18 Agustus 1945 (Hatta Dengan Empat Tokoh muslim) Wahyudi (2011), dengan mengutip Andre Feillard (1945), menulis bahwa adalah Wahid Hasyim (Ayah dari Abdurahman Wahid) di antara empat (4) orang yang dipanggil oleh Wakil Presiden Moh Hatta yang mengusulkan dihapusnya tujuh kata (―dengan menjalankan syariat Isam bagi para pemeluknya—HZ) pada Piagam Jakarta; juga digantinya dengan rumusan Ketuhanan yang Maha Esa yang semula hanya ―kepercayaan Kepada Tuhan‖ 37 Wahyudi, ibid, h. 301 38 Ibid, h. 301 39 Wahyudi, Ibid, h. 301. 36
29
Dalam kaitan ini, menarik didapati pendangan masa kini seperti yang dipaparkanSoekarwo, Gubernur. Kesalehan social dari agama samawi yang mengkulturasi ke dalam nilainilaikepribadian Indonesia oleh Soekarwo dipandang bagian penting gotong-royong kita. Dengan kata lain norma dasar Negara hukum demokratis mengandung inklusivitas nilai kesalehan social. Dalam aspek politik, agama bertugas untuk menjamin bahwa ―doktrin-doktrin metafisik agama bisa menjadi pemasti kognitif prinsip-prinsip etis Negara hukum demokratis…..‖.
5.2. Awal Kemerdekaan dan Demokrasi Terpimpin
Seperti tercatat dalam sejarah politik Indonesia, system Negara kesatuan (NKRI) dalam payung UUD 1945 dengan system presidential tiba tiba harus menghadapi agresi penjajah Belanda 1946. Dan setelah beberapa tahun bergulat mempertahankan kemerdekaan dan Negara, Indonesia melalui KMB di Den Haag, Belanda, di tahun 1949, ―dipaksa‖ berganti baju kemerdekaan di bawah sistem Negara serikat, RIS, dengan sistem parlementer di bawah payung Undang Undang Dasar Sementara (UUDS). Purwoko menulis, ―Negara hasil KMB ini yang memiliki banyak keterbatasan dan ketergantungannya pada kerajaan Belanda, tanggal satu per satu dan pada 16 Agustus 1950 Presiden Soekarno menyatakan perubahan RIS seraya mengatakan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dengan UUDS (UUDS 1950) yang menetapkan bentuk pemerintahan berdasarkan Demokrasi Parlementer‖40 Padahal seak awal merdeka, kita sudah membangun demokrasi deliberative. Demikian tulis Aur dalam artikelnya, ―Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama : Memotret Deliberasi Politik Berbasis Agama di Indonesia dengan Perspektif Filsafat Politik Jurgen Habermes‖, Aur (2014) menulis, ―Dalam sejarah politik di Indonesia, partisipasi Agama dalam politik mengalami pasang surut.Pada masa-masa persiapan kemerdekaan Indonesia dan penetapan UUD 1945, para pendiri bangsa yang berasal dari organisasi-organisasi agama berdeliberasi perihal rumusan Pancasila yang menjadi dasar Negara.Doktrin agama (Islam) yang hendak dimasukkan dalam rumusan dasar Negara didiskusikan dan diperdebatkan.Hasil dari itu
40
Purwoko. 2013. ―Sistem Politik dan Pemerintahan Indonesia Setelah Reformasi‖ ejournal.undip.ac.id, h. 3
30
adalah rumusan Pancasila yang sekarang menjadi dasar bagi Negara hukum demokratis Indonesia‖.41
Rumokoy (2009) mencatat peristiwa Dekrit 5 Juli 1959 sebagai berikut: ―Pada waktu itu, tidak ada pihak yang menyatakan tidak setuju akan hal itu. Padahal sesungguhnya pada waktu itu Bung Karno berstatus sebagai kepala Negara (yang) secara teoritis tidak mempunyai kekuasaan politik – termasuk di dalamnya menyatakan untuk kembali kepada UUD 1945 (kalau memang suatu hal yang tidak terdapat dihindari) dinyatakan oleh Perdana Menteri, Djuanda, sebagai kepala pemerintahan ……… Dari ketentuan yang tertuang dalam sumpah presiden sebagai kepala Negara, maka dengan diingkarinya atau tidak diberlakukannya UUD 1950 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 jelas bahwa Presiden telah melanggar sumpahnya sendiri‖.42 ―Hanya sayangnya sejurus setelah dekrit presiden dinyatakan ―Orde‖ yang diberlakukan adalah Orde Demokrasi Terpimpin, dimana pada masa (itu) muncul produk hukum yang secara jelas dan kasat mata inkonstitusional.Munculnya Perpress yang tidak dikenal dalam UUD 1945, UU tentang Mahkamah Agung No. 19 Tahun 1963, yang memungkinkan presiden turut campur dalam lembaga peradilan, bahkan sampai munculnya Ketentuan MPRS No.III/PRS/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup‖. (p. 98) Mackie (1963), dalam Bab
―Indonesia Under Guided Democracy‖, mencoba
identifikasiempat (4) ciri DT sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai beberapa tahun kemudian, 1962): ―the four constant features of GD in the 1959-1962 period (since after 1962, these features did not occur ) which will be broadly outlined: (1) heated rivalry of Soekarnoarmy-Communist as the central focus of the struggle for power, (2) the concept of NASAKOM (the trinity of nationalist, religions and communist streams of political life in Indonesia) as Soekarno‘s main organizing principle of political representation and manipulation, (3) the prominence of indoctrination and the official ideology, and (4)the propensity toward highly inflationary budgets and serious economic decline‖ Dalam hal ini Mackie terusik untuk bertanya, mengapa sejak 1957 (dua tahun sebelum ide Demokrasi Terpimpin (DT) didekritkan 1959, mengajukan dan mempromosikan DT? Mackie mengajukan sebab-sebabnya: pertama. System parlemen adopsi Belanda memojokkan poisisi 41
Alexander Aur, ―Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama : Memotret Deliberasi Politik Berbasis Agama di Indonesia dengan Perspektif Filsafat Politik Jurgen Habermes―.Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014. Vol II (1), 79 – 97. 42 Nike K. Rumokoy. 2009. ―Kedaulatan dan Kekuasaan Dalam UUD 1945 dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia‖, Jurnal Hukum Unsrat, Vol. XVII (1) April – Juni pp. 97.
31
Bung Karno secara system pemerintahan. Kedua, Negara dilihatnya terlalu tidak efektif (dan partai politik dipersalahkannya) menangani gejolak-gejolak di sejumlah daerah yang amat membahayakan integritas Negara.43
Siregar (2011) mencatat dinamika politik nasional tahun 1060-an. Bahwa Presiden Soekarno bertugas untuk ―membentuk zaken kabinet extra parlemen dan Dewan Nasional‖44 Pada tanggal 2 Maret 1957 PM Juanda melaksanakan instruksi Soekarno menyampaikan keputusan kabinet tentang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin (DT) kepada DPR; jugakeputusan tentang rencana kembali Ke UUD 1945. Pada 25 Maret 1959 : Jawaban dari pemerintah secara tertulis, intinya sikap terhadap kensepsi demokrasi terpimpin. Siregar mencatat penolakan partai Masyumi atas rencana DT dan rencana kembali ke UUD 1945 yang salah satunya adalah meragukan kesungguhan dan niat baik kembali ke UUD 1945. Kedua, Masyumi menilai usul yang perlunya kembali ke UUD 1945 merupakan intervensi pemerintah kepada lembaga legislative terutama Konstituante. Masyumi menilai sangat tidak etis untuk mengganggu apalagi menggagalkan usaha Konstituente yang sedang mengerjakan tugasnya untuk membuat UUD baru bagi Negara Indonesia‖45 Mengutip Harian Abadi (19 Januari 1957), Siregar menyajikan fakta menarik bahwa wacana tentang suatu model demokrasi masa itu adalah wacana tanpa alternative modalitas atau substansi dan prosedur demokrasi selain demokrasi sekular libertarian (demokrasi Timur tidak ada ―Demokrasi Timur‖ tidak ada ―Demokrasi Barat‖). Ketua Masyumi M. Natsir, misalnya, menyatakan; ―Dengan demikian tidak perlu untuk mengadakan perbedaan perbedaan antara apa yang disebut Demokrasi barat atau demokrasi timur .‖46―Sila keempat Demokrasi bukanlah
43
Sebab-sebab itu ditulis Makcie bahwa Bung Karno melihat system pemerintahan Indonesia ―based on the Dutch parliamentary model, so that president Soekarno‘s position as titular head of state gave him little direct political influence. His advocacy of GD from 1957 on can be attributed in large part to wild more direct power and after the regional revolts of 1957-8 which revealed the inability of political parties to resolve some of the country‘s most pressing problems. Soekarno and army leaders successfully pushed through the return the 1945 Constitution in July 1959 in order to weaken the position of the political parties‖. Mackie, h. 81-82 44 Insan Fahmi Siregar. 2011. ― Dinamika Demokrasi di Indonesia masa Orde lama : Studi kasus Antara Soekarno Versus Masyumi‖ Paramitha, Vol 21 (1) Jan 2011, h. 30 45 Siregar, Ibid, h. 32 46 Siregar, Ibid, h. 29
32
monopoli atau penemuan dari aturan sosial Barat tetapi merupakan keadaan asli dari kehidupan manusia yang disesuaikan dengan kondisi sosial yang ada‖47 Kata Soekarno, ―Dari masing-masing dokumen itu banyak yang telah kami ambil dan kami buang apa yang tak berguna bagi kami, ... meskipun kami telah mengambil sarinya dan meskipun kami telah mencoba mensintesakan kedua dokumen yang penting itu, kami tidak dipimpin oleh Keduanya itu saja (italic dari saya,HZ) ... ―48 ―…. Mengadakan perubahan di semua lapangan Ipoleksosbud….‖.sebagai intisari dari manipol ini ialah USDEK yaitu UUD 45, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan Kepribadian Indonesia‖49 Keputusan MPRS No. 11 tahun 1960 tentang Pedoman Pelaksanaan Manipol /USDEK. Berisi (1) Preambul, ―Yaitu Pancasila sebagai dasar dari Revolusi Indonesia, (2) penegasan berbagai pokok revolusi Indonesia, yang salah satunya adalah tentang perlunya satu pimpinan ―satu pimpinan dan satu konsepsi dimana Revolusi Indonesia menghendaki satu pimpinan dan satu ideologi dan konsepsi nasional yang revolusioner sejati, dalam kata dan perbuatan manipol USDEK adalah progresif kiri dengan mencerminkan tekad revolusioner rakyat dengan mengabdi pada masyarakat banyak‖.50 Dan dalam hal persatuan nasional, isu pokok lain dari Revolusi Indonesia adalah perlunya gotong royong : ―…. Gotong royong harus mewujudkan persatuan antara golongan Islam, Nasionalis, dan golongan Komunis‖51 Dalam pidato ―To Build The World A New‖, di PBB 1960 sambil merujuk ke pandangan Lord B. Russel, yang membuat dikotomi Blok Timur dengan filsafat Manifesto Politiknya, dan Blok Barat dengan Deklarasi Kemerdekaan A.S, Soekarno mengaku membuat sintesis dari dua (2) filsafat politik itu : ―Dari masing-masing dokumen itu banyak yang telah kami ambil dan kami buang apa yang tak berguna bagi kami…. Kami telah mensintesakan apa yang kami 47
Muhammad Reisky. 2014. Pemikiran Soekarno dan Politik Luar Negeri Indonesia 1959 – 1965 , Bandung : Adoyo Mitra Sejahtera, h.59 48 Ibid, h. 147 49 Ibid, h. 54-55 50 Resky, Loc. Cit, h. 56 51 Resky, Ibid, h.56
33
perlukan dari kedua dokumen itu, dan ditinjau dari perjalanan serta dari pengetahuan kami sendiri, sentesa itu telah kami saring dan kami sesuaikan‖.52
Skema Pancasila I : Sintesis pemikiran politik Barat ? ―sila keempat adalah Demokrasi. Demokrasi bukanlah monopoli atau penemuan dari aturan sosial barat.Lebih tegas lagi, demokrasi tampaknya merupakan keadaan asli dari manusia, meskipun diubah untuk disesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial yang khusus.Selama beribu-ribu tahun dari peradaban Indonesia, kami telah mengembangkan bentuk-bentuk demokrasi Indonesia.Kami percaya, bahwa bentuk-bentuk ini mempunyai pertalian dan arti internasional. Ini adalah soal yang akan saya bicarakan kemudian‖.53 Promosi Pancasila untuk dasar tata dunia baru, digambarkan Soekarno tentang sila keempat : ―….Bagi kami bangsa Indonesia demokrasi mengandung tiga unsur pokok. Demokrasi mengandung pertama-tama prinsip yang kami sebut mufakat, yakni kebulatan pendapat kedua, demokrasi mengandung prinsip perwakilan. Akhirnya demokrasi mengandung, bagi kami, prinsip musyawarah, ya, demokrasi Indonesia mengandung ketiga prinsip itu, yakni : mufakat, perwakilan, dan musyawarah antara wakil-wakil‖.54 Namun ditambahkan juga uraian-uraian bahwa demokrasi Indonesia merupakan ―filsafat politik‖.Demokrasi yang asli – demokrasi asli Indonesia. Pendek kata, sila keempat Pancasila nampaknya telah dijelaskan oleh Bung Karno secara kontradiktif : di satu sisi, Pancasila merupakan sintesis filsafat politik barat (yang sekular libertarian dan komunisme) dengan filsafat asli Indonesia. Namun, di sisi lain, sila keempat digambarkan sebagai asli (digali dari sejarah 2000 tahun) Indonesia. Lagi pula, penjelasan adanya tiga (3) prinsip demokrasi Indonesia tidaklah signifikan berbeda dengan teori dan praktek politik liberal di Amerika Utara. Sila keempat Pancasila Liberal Barat
Mufakat
Musyawarah
Perwakilan
Voting
52
―Lampiran‖ dalam Resky, Ibid, h. 147 Ibid, h. 151-2 54 Ibid, h. 156-7 53
34
Misalnya, apakah
―Kerakyatan‖ pada sila keempat memandatkan suatu populist
democracy, artinya menolak demokrasi elitis ini soal lebih penting dari tiga (3) prinsip yang digambarkan Soekarno. Yang perlu ditonjolkan sebenarnya adalah apa yang dikehendaki ide ―yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan‖. Ini adalah isu modalitas dan etika soal-soal atau isu-isu di atas akan bisa tersingkap manakala perspektif teori demokrasi deliberatif (TDD) dipahami dan digunakan Soekarno hanya menonjolkan mekanisme musyawarah lebih baik dibanding bentuk-bentuk voting. Di tahun 1957, Soekarno dicatat telah mengatakan, ―janganlah kita mengimpor dan mengoper demokrasi liberal yang tidak cocok dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia‖55Siregar (2011) mengenang kembali debate elit politik Indonesia—elit tentara, Soekarno, Hatta dan Natsir mengenai format demokrasi di era sistem pemerintahan parlementer 1950an. Wacana yang muncul masa 1950 memang lagi lagi bukan tentang (Teori) demokrasi perwakilan dan multipartai tetapi tentang liberalisasi demokrasi impor barat VS Demokrasi Timur. Presiden Sekarno menyampaikan tentang konsep demokrasi terpimpin. Partai yang mendukung adalah PKI sementara partai yang menolak adalah Masyumi, PNI, PSII, Partai Katolik dan Partai Rakyat Indonesia. Kelima
partai itu menyatakan konsep presiden
bertentangan dengan UUD ― ―Tindakan Soekarno semakin meluas antara lain MPR hasil pemilu 1955 yang anggota anggotanya adalah pilihan rakyat dibubarkan dan sebagai gantinya dibentuk MPRS yang diatur oleh presiden sendiri. Sejalan dengan itu dibentuk pula Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) yang anggota anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh Soekarno sendiri yang diatur oleh Perpres no.3 Tahun 1959‖ Soekarno-Hatta-Natsir, untuk satu sudut, merupakan anak jaman diskursus polemik kebudayaan 1928. Hatta & Natsir terpikat dengan kebudayaan modern Barat; Soekarno memilih kepribadian asli Indonesia, misalnya tentang Hatta, Hutabarat, (t.t.) mengutip kajian Suleman dalam bukunya Demokrasi untuk Indonesia : Pemikiran Politik Bung Hatta (2010), menulis ―…., inisiatif Hatta memperkenalkan sistem pemerintahan parlementer bulan Oktober 945 menyulitkan kita untuk menyimpulkan, Hatta benar-benar bersikap menolak demokrasi Barat, yang paling mungkin adalah dugaan, Hatta adalah pengamat demokrasi Barat yang beraliran 55
Indriyanto, 2003 ―Muncul dan Jatuhnya Bung Karno‖. Makalah, http://eprints.undip.ac.id/1091/1/muncul dan jatuhnya Bung Karno.PDF, pdf., h.3
35
sosialis dan Sos dem (
) sebagaimana berkembang di Jerman, Inggris, dan negara-negara
Skandinavia, Sejak akhir Perang Dunia Pertama‖.56 Indriyanto.
2003.
―Muncul
dan
Jatuhnya
Bung
Karno‖.
Makalah,
http://eprints.undip.ac.id/1091/1/muncul dan jatuhnya Bung Karno.PDF, pdf., h.3
Salah satu sumber untuk konstruksi apa yang disebut DT adalah satu pernyataan politik Bung Karno yakni Manipol atau Manifesto Politik. “Untuk merealisasikan Manipol, maka perlu adanya pedoman dalam melaksanakannya. Pidato Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960 yang berjudul ‗Jalannya Revolusi Kita‘ (JAREK)
oleh
Keputusan
MPRS
No.11
tahun
1960
dan
keputusan
DPA
No.1/KPTS/SD/1961 dijadikan sebagai pedoman pelaksanaan dari Manipol‖57 Pada butir c pokok-pokok revolusi, ditegaskan Bung Karno berikut:
―Satu pimpinan dan satu
korupsi dimana revolusi Indonesia menghendaki satu pimpinan dan satu ideology dan konsepsi nasional yang revolusioner sejati …….. manipol USDEK adalah progresif kiri‖58. Butir ke 3 dari JAREK ditulis Reisky berikut: ―penugasan pelaksanaan Manipol ialah dengan cara gotong royong………. Oleh karena itu Gotong Royong harus mewujudkan persatuan antar golongan Islam, Nasionalis dan golongan Komunis‖59. Konsepsi Bung Karno di atas dapat dibuat perbandingan dengan prinsip politik demokrasi berikut: bahwa Gotong Royong dalam konsepsi Bung Karno berada di bawah satu kepemimpinan dan tidak mengasumsikan kesederajatan; sementara gotong royong dalam prinsip demokrasi ada mekanisme demokratis memilih pemimpin dan asumsi kesederajatan.
56
Pangeran Negeri Hutabarat. (t.t.). ―Pemikiran Politik Mohammad Hatta tentang Demokrasi‖.http://www.ejournals-1.undip.ac.id/index php/JPGS/article/viewfile/8213/7984, h.3
57
Muhammad Reisky, h. 55 Ibid, h. 56 59 Ibid, h. 56 58
36
Standar Penjelasan /Interpretasi Sila Keempat Penjelasan Bung Karno Tentang Sila Keempat (Demokrasi)
Sila kesatu dan sila-sila lain
Sila keempat
Humanisme Gandhi
Nilai-nilai luhur dan demokrasi asli
Saringan dan sintesis 1. Dedaration of independence 2. Manifesto Komunis
Kata Bung Karno, ―…dari masing-masing dokumen itu (Deklarasi Kemerdekaan Amerika dan Manifesto Komunis—HZ) banyak yang telah kami ambil dan kami buang apa yang tak berguna bagi kami, …meskipun kami telah mengambil sarinya dan meskupin kami telah mencoba mensintesakan kedua dokumen yang penting itu, kami tidak dipimpin oleh keduanya itu saja (italic dari saya, HZ)…….‖60 Hatta: Baru Ada Demokrasi Desa ―disini akan kita selidiki sedikit kedudukan demokrasi di Indonesia, supaya tampak dengan jelas akan kosongnya semboyan ―Demokrasi Indonesia‖ untuk menjadi dasar susunan Indonesia merdeka‖ (D.126)
60
Muhammad Reisky, 2014. h. 147
37
Penyelidikan Hatta : (1) sebelum kolonisasi, telah ada demokrasi desa :‖………., terdapat demokrasi hanya dalam pemerintahan desa, yang bersendi kepada rakyat. Jadinya ada desa demokrasi!.Akan tetapi tidak ada Indonesia demokrasi‖61 Hatta lalu menggambarkan system kerajaan-kerajaan dan feodalisme di Indonesia umumnya.Jadi ada problem.Solusi Hatta ―pendek kata : daulat tuanku mesti diganti dengan daulat rakyat! Tidak lagi seorang bangsawan, bukan pula seorang tuanku, melainkan rakyat yang raja atas dirinya.Solusi turunannya adalah penekanan keharusan system perwakilan akibat besaran (size) jumlah rakyat :‖sebab rakyat semuanya terlalu banyak dan tidak dapat menjalankan pemerintahan, maka pemerintahan negeri diatur dengan perwakilan dengan perantaraan rapat-rapat dan dewan-dewan, berjinjing-jinjing (bersusun-susun) dari bawah ke atas, dari yang sekecil-kecilnya di desa sampai kepada yang sebesar-besarnya yaitu Dewan Rakyat Indonesia, Badan Perwakilan Rakyat Indonesia seumumnya. Demikianlah menurut dasar kedaulatan rakyat‖ (p.127). Hatta mengantisipasi transformasi budaya dan perkembangan social dan politik dengan mengatakan ―Demokrasi asli itu kita hidupkan kembali, akan tetapi tidak pada tempat yang kuno, melainkan pada tingkat yang lebih tinggi, menurut kehendakpergaulan hidup sekarang‖62 Sementara itu, Bung Karno memiliki beberapa persamaan pandangan dengan Hatta, tapi juga dalam hal demokrasi asli, memiliki pandangan yang substantive berbeda. (Lihat Bagan)
Soekarno (a-historis)
Hatta (historis)
Yang existing sudah terwujud dari warisan
ribuan
tahun
kebudayaan-
Demokrasi : sesuatu yang given, nyata
existing
belum
terwujud
demokrasi dalam skala Indonesia, yang
kebudayaan di Nusantara
Yang
ada baruberskala desa
Demokrasi : visi kedepan
ada, dulu dan kini
61
Bung Hatta, h. 126 Hatta juga si pemabuk kebebasan dengan Maklmuat Wakil Presidennya. Demokrasi ketika barang mewah yang belum dikenal ini diberikan kepada wakil-wakil rakyat di parlemen (1955-1959), para wakil rakyat gagal belajar untuk berdemokrasi secara baik. Benar bahwa Hatta melalui PNI Baru, bersama kawan-kawannya sejak 1930-an sudah amat berhasil mendidik melek politik sejumlah segmen masyarakat; namun tarnsformasi Daulat Rakyat yang dibayangkan masih jauh dari harapan. Demokrasi desa yang deliberative‖ Kerakyatan yang dipimpin oleh………‖. Maklumat Wakil Presiden untuk mendirikan partai-partai politik.Ibarat anak-anak belum mampu berenang, tiba-tiba dilepas di sungai besar Mahakam (di Kalimantan) atau di sungai Bengawan Solo (di jawa), maka anak-anak ini gagal berenang. Bukannya bertahap belajar, dibimbing, diberi pengertian, praktek di pinggir sungai dst. 62
38
Saputra (menguraikan pandangan-pandangan Bung Karno sebagai berikut63: Bagi Bung Karno, demokrasi Indonesia memiliki spirit of indegeneous origin (Sukarno menolak penilaian Bertrand Russel bahwa Pancasila merpakan sintesis Deklarasi Kemerdekaan Amerika dengan Manifesto Komunis; Sila ke-4 merpakan nilai generative dari Sila ke-l Pancasila. Yang dimaksud dengan terma kerakyatan adakah bahwa ―kerakyatan atas tafsir Pancasila… yaitu, masyarakat yang memiliki kesepakatan system bersama yang bertujuan untuk menciptakan manusia yang berTuhan, adil dan beradab (maka disebut Kerakyatan). Kemudian dengan dikutip Syahrir bilang substansi demokrasi Indonesia ―jangan sampai malah meneguhkan feodalisme ….‖. Perlu segera dibuat catatan di sini bahwa amat boleh jadi, cara pemahaman inilah yang kemudian dibuat standar dalam memahami konsepsi demokrasi pada Sila ke-4 Pancasila. Tekanan utama adalah pada integrasi sila-sila pada Pancasila yang induknya adalah Sila ke-1, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan cara pandang ini menjadi tipikal sejumlah besar tulisan tentangPancasila/demkrasi pada Pancasila yang lemah state of the arts tentang teori teori mutakhir tentang demokrasi. memang tidak salah sudut-pandang integrative ini; namun seharusnya ada pula pengembangan konsep teoretisnya dan/atau memanfaatkan perspektif teoretis dari luar. Seharusnya ada pengembangan voting centric vs talking centric, ada pelembagaan ,dan ada mekanisme. Padahal Bung Hatta mendapati perlunya transformasi dari kultur Daulat Tuan (Feodalisme) secara bertahap menuju Daulat Rakyat. Ini mengasumsikan meningkatnya ilmu pengetahuan dan pengembangan konsep demokrasi pada Sila keempat itu. Corak pandangan Bung Karno adalah suatu claim, yang kurang berdasar realitas sosiologis serta over-confidence bahwa sudah ada demokrasi dan proposisinya lebih diorientasikan untuk demagog dan membuat rakyat puas dan bangga—yang potensial menina-bobokan masyarakat. Sebaliknya Bung Hatta dengan low profile mengaku kenyataan hanya ada demokrasi desa, jadi perlu bekerja memperbaiki keadaan dan kepercayaan diri Hatta ditunjukkan dengan mendidik
63
Muhammad Dudi Hari Saputra. 2014. ―An interpretation of the Fourth Principle of Pancasila Led by the Wisdom of Deliberation among Representatives: ‗Toward Global Ethic‘ Creative-Innovative Works for A New Paradigm of Human Sciences‖ (Proceeding Papers. Int‘l Conference Thoughts on Human Sciences in Islam), Jakarta, 19-20 November 2014, h. 749-754.
39
kesadaran politik secara sadar-kritis, bukan secara fanatik dan bukan diorientasikan untuk konsumsi popularitas di mata rakyat.64
Gotong Royong Konsepsi Soekarno
Prinsip Politik Demokrasi Sila Keempat Pancasila
Satu pimpinan dalam revolusi
Gotong Royong : satu kekuatan koalisi
Yang
oposisi
kepada
mobilisasi
NASAKOM = tidak mau dipimpin; anti revolusi
Musyawarah
mufakat
asumsikan
kesederajatan (equality)
NASAKOM
Perbedaan
(faksi/oposisi)
dinegosiasikan; voting jalan terakhir.
Kepemimpinan muncul melalui proses politik.
Catatan : spirit revolusi tidak kondusif bagi pertumbuhan demokrasi
5.3. “Demokrasi Pancasila” Apa yang dikonsepsikan oleh Pak Harto sebagai ―Demokrasi Pancasila‖ boleh dikatakan digerakkan pertama=tama dengan ―memberangus‖ warisan Bung Karno yang berkenaan dengan payung konstitusi. Seperti dimaklumi bahwa Bung Karno sebelumnya sudah berhasil menetapkan dasar ―Demokrasi Terpimpin‖ melalui Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang ―Prinsip-prinsip musyawarah untuk mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai pedoman bagi lembaga-lembaga permusyawaratan/perwakilan‖. Oleh Pak Harto, Ketetapan ini dicabut dengan Ketetapan MPRS tahun 1968. Ketetapan no. XXXVII/MRPS/1968 tentang pencabutan ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 dan tentang Pedoman Pelaksanaan Kerakyatan yang Dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam P/P atau sesuai dengan dikturm TAP tersebut tentang Demokrasi Pancasila. Apa artinya dilihat dari segi norma besar atau grand norm pada Pancasila? Artinya adalah bahwa grand norm pada Pancasila seakan-akan dapat dimainkan secara begitu saja; grand norm pada Pancasila—khususnya asas musyawarah mufakat—tidaklah dapat secara serampangan diturunkan secara berbeda dalam suatu ketetapan 64
Sebagai pembanding di sekitar pendidikan politik kritis dan transformasi budaya dengan konsep-konsep ―kesadaran naïve‖, ―kesadaran fanatic‖ dan ―kesadaran kritis‖, penulis rujuk pada paradigm dan gerakan pendidikan politik kritis Paulo Freire. Freire antara lain mendidik melek politik melalui program pembrantasan buta huruf (PBH), yang metode dan induk paradigmatiknya amat berbeda dengan program pembrantasan buta huruf di Indonesia yang amat sederhana.
40
perundang-undangan yang lebih bawah. Karena baik konsepsi Bung Karno maupun Konsepsi Pak Harto sama sama berpayung di bawah asas musyawarah mufakat pada Pancasila itu. Dengan kata lain, peristiwa politik yang ―main-main‖ dengan grand norm, dengan pertama-tama ditetapkan oleh lembaga (ter)tinggi Negara MPR(S) dan lalu dilakukan pencabutan atas substansi sila keempat pada Pancasila merupakan peristiwa politik yang tragis dan tidak mendidik bangsa. Di sini kita belum berbicara mengenai praktik politik Bung Karno dan Pak Harto; di sini yang dibicarakan barulah pada aras mormatif ketentuan perundang-undangan dan keputusan politik. ? ―Keputusan Pemerintah (Orde Baru) menjadikan Pancasila menjadi sebagai asas idiologi – Gagasan ini muncul tanpa ditegaskan sebagai asas tunggal atau bukan –dimunculkan pada tahun 1966 sebagai alat pemersatu bangsa atas saran angkatan bersenjata Namun saran tersebut gagal terlaksana, Upaya tersebut tidak berhenti, Persiden Suharto dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 1982 di hadapan MPR, Menyatakan bahwa seluruh kekuatan politik harus menerima Pancasila sebagai satu satunya asas. Pandangan
tersebut kemudian
mendapat legitimasi pada tahun 1983 melalui keputusan SU MPR yang dimantapkan pada tahun 1983 19 Februari 1985 dengan persetujuan DPR Mengeluarkan UU No. 3 1985 yang menetapkan partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Kebijakan itu dilanjutkan dengan dikeluarkan UU No. 8/1985. Pada tanggal 17 Juni 1985 UU menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus mencatumkan Pancasila sebagai asas tunggal ― Praktik demokrasi masa Pak Harto ini digambarkan Tasma dan Sentosa sbb. ―..., maka praktek demokrasi dalam konteks ini dimasa orde baru adalah sebuah Patologi yang mencerminkan otoritatarian kekuasaan dalam tangan eksekutif ... Persis di titik ini, Pancasila sebagai ideologi negara lagi-lagi diselewengkan. Vox Popudi Vox Dei – suara rakyat adalah suara Tuhan, seperti yang diamanatkan sila Kerakyatan yang Dipimin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan, yang merupakan entry point pelaksanaan demokrasi di Indonesia, hanya berhenti pada jagon tanpa sebuah realitas implementatif‖65
65
Agustinus Edward Tasma dan Heru Sentosa. ―Polemik Epistemologi Pancasila dan Demokrasi Yang Konsruktif Beserta Implementasinya.‖ Humanika. Vol 6 (1), Maret 2006, h. 92
41
―Negara hasil KMB ini yang memiliki banyak keterbatasan dan ketergantungannya pada kerajaan Belanda, tanggal satu per satu dan pada 16 Agustus 1950 Presiden Soekarno menyatakan perubahan RIS seraya mengatakan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dengan UUDS (UUDS 1950) yang menetapkan bentuk pemerintahan berdasarkan Demokrasi Parlementer‖ 66
Kedua,
selama periode 1973-1985 ada dinamika praktik demokrasi yang kurang
bersemangat permusyawaratan akibat kekuasaan demokrasi oleh elit yang phobia terhadap Islam Fungsi partai politik tidak lebih kuat dibanding fungsi ormas oleh sebab itu orientasi sosio kultural lebih dominan untuk mempengaruhi proses legislasi. Maka Muhammadiyah menggunakan sarana yang lebih efektif (menempuh jalan sosio kultur itu efektivitas jalur ini dibuktikan dengan disahkannya UU Perkawinan 1974 dan penghapusan Aliran Kepercayaan dalam GBHN (Garis Garis Besar Haluan Negara) 1973 dan 1978‖67
5.4. Era Reformasi Politik Kontemporer Acry Deodatus (2002)dalam tulisannya ―DPRD dan Demokratisasi Pemerintah Daerah,‖ mengungkap fakta-fakta di masyarakat tentang suatu ―pencarian jalan epistemik‖ berteori demokrasi68. Meski banyak kasus berlangsungnya ―demokrasi yang kebablasan‖ belakangan ini, tetap saja ada prospek demokratisasi di daerah. Dalam pengertian bahwa memang ada indikasi kuat kegagalan sistem perwakilan yang menjauhkan wakil rakyat dengan rakyatnya; namun begitu, hal ini meneguhkan pentingnya memperaktekkan demokrasi deliberative dan menguatkan sistem perwakilan. ―Sekarang ini banyak pejabat-pejabat yang mulai menyadari bahwa kasus yang melanda bangsa kita saat ini antara lain tersumbatnya akan berkomunikasi dengan rakyat karena itu sebagian pejabat / anggota dewan membuka diri 24 jam untuk menerima informasi, laporan atau pengaduan dari masyarakat...‖. Pada bagian lain, Deodatus juga memberikan data lapangan bahwa ―Ada satu contoh menarik yang dilakukan Bupati
66
Purwoko.2013. ―Sistem politik dan pemerintahan Indonesia setelah reformasi‖ ejournal.undip.ac.id
h. 3 Nasruddin Latif ―Muhamadiyah dalam Dinamika Politik Muhammadiyah‖, (Tinjauan Buku), dalam Tajdida Vol 9 (1), Juni 2011, h. 127 -132 68 Acry Deodatus . 2002. ―DPRD dan Demokratisasi Pemerintah Daerah‖ . h.105-126 67
42
TTU Sakunab dab Wabup Marak yang menggelar dialog terbuka dengan masyarakat luas ... ― 69. Secara eksplisit Deodatus memaparkan pertobatan perlunya berbicara dengan mendalam dengan masyarakat luas. Implisit apa yang diungkapkan oleh Deodatus di atas lagi-lagi bukan sekedar arus komunikasi dan informasi; pesan substantifnya adalah agar kita meluruskan praktik berdemokrasi perwakilan dengan menerapkan (teori) demokrasi deliberatif. Data ini adalah data tentang suatu bentuk ―pemberontakan‖ terhadap kemandulan praktik demokrasi perwakilan, mencari bentuk-bentuk demokrasi deliberatif yang belum dikenal baik oleh komunitas politik kita. Ada ―politik bahasa‖ yang boleh jadi memiliki arti yang kebablasan dan rancu (ambigu). Di satu sisi, yang dilakukan MPR RI masa reformasi adalah perubahan UUD 1945 dengan jalan amandemen, namun terma amandemen tidak digunakan. Sebaliknya, yang digunakan adalah terma perubahan--terma perubahan ini dimaksudkan perubahan dengan jalan amademen70. Kerancuan ini lagi-lagi mirip dengan kerancuan awal kemerdekaan yang amat bersemangat revolusioner—pada masa itu spirit kebebasan berpolitik boleh jadi mengandung semangat revolusi sedemikian rupa sehingga pada 1950-an demokrasi musyaarah dibelokkan menjadi demokrasi liberal. Dipilihnya terma perubahan (yang tak lain sebenarnya adalah amandemen) Era Reformasi decade ini boleh jadi menyiratkan kehendak para elit politik di DPR untuk memastikan bahwa UUD 1945 harus menjadi pilihan final, atau harga mati. Dan bersamaan pula untuk menyudahi wacana publik yang hendak mengajukan draf konstitusi baru--hal yang oleh Soekarno jauh-jauh hari sebenarnya merupakan tidak tabu atau diberi ruang lebar untuk itu. Spekulasi ini boleh jadi dicerminkan oleh penjelasan yang dinyatakan berikut ini: Sesudah perubahan ke empat disahkan MPR Tahun 2002, ―Agenda reformasi konstitusi Indonesia untuk kurun waktu sekarang ini dipandang telah tuntas. Mengingat perubahan dilakukan dengan cara
69
Ibid, h. 122 Buku Panduan Pemasyarakatan 2011.‖Secara resmi kata yang dipakai dengan perubahan UUD RI Tahun 1945 adalah kata Perubahan. Istilah Amademen yang berasal dari bahasa Inggris tidak digunakan sebagai istilah Resmi‖ (h.53). Padahal dalam momen klatur perubahan konstitusi di seluruh dunia, ada 2 (dua) jalan, yakni amademen dan/atau draf konstitusi baru. 70
43
adendum71. Tentu saja apa yang dimaksud dengan kurun waktu ini artinya berjangka pendek; untuk jangka panjang, implisit boleh dengan jalan penyusunan draf konstitusi baru.
UUD RI Tahun 1945 No
Bab
Pasal
Ayat
Aturan Peralihan
Aturan Tambahan
1
Sebelum
16
37
49
4 Pasal
2 Ayat
2
Setelah
21
73
170
3 Pasal
2 Pasal
Sumber, 2011, h.59.
Dalam konteks demokrasi voting centric sidang umum MPR Oktober 1999 dengan demokrasiperwakilan, pemilihan presiden diambil suara dari para anggota MPR saat itu dengan perolehan suara 373 KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai presiden dan Megawati, ( 313 suara).
Pada
sidang esok harinya ditetapkan sebagai wakil presiden ―Ketika MPR
Mencabut mandat kepresidenan Gus Dur pada tanggal 22 Juli 2001 Megawati diangkat menjadi presiden. ―
B. Pembahasan 5.1. Dua Best Practices Ada dua event politik nasional yang benar-benar melaksanakan substansi demokrasi pada Sila Ke-4 Pancasila. Yang pertama adalah proses-proses dalam sidang-sidang BPUPKI (1945) dan kedua adalah tahap-tahap persiapan dan sidang perubahan UUD 1945 (Era Reformasi kini). Boleh dikatakan bahwa penggunaan ―demokrasi permusyawaratan‖ secara baik telah dilakukan ketika bangsa ini dengan berdebar-debar hendak melakukan suatu pesta politik maha besar: pertama perhelatan akbar kemerdekaan dan kedua keharusan melangkah untuk merubah konstitusi. Lihat Bagan 01.
71
Ibid, h.56
44
Bagan 01: Indikator Mempraktikkan “Demokrasi Permusyawaratan”/Demokrasi DeliberatifMenurut Ciri Teori dan Dua Event Politik Nasional Isu
BPU-PKI Kemerdekaan
Pra- Tahap-tahap penyiapan Perubahan UUD 1945 Era Reformasi
(1)Talking-centric
Ya
Ya
(2) Public spiritedness
Ya
Ya
(3) State Rsponsiveness (4) lebih luas segmen masyarakat dilibatkan (5) Level/kapasitas ber-deliberasi
Tinggi civil society; elite settlement
Tinggi Civil society &institutionalisasi politik
Amat tinggi
Tinggi
(6) Kapabilitas menegosiasikan Amat tinggi
Tinggi
kepentingan Kedua praktik politik ―Demokrasi Permusyawaratan‖ ini tentu amat menarik. Mengapa telah dipratikkan demokrasi deliberative ? Berikut adalah fakta-fakta yang dipaparkan dalam Buku Pedoman Pemasyarakatan Hasil Sidang MPR (2011) yang membuktikan berlangsungnya musyawarah yang amat baik—diukur dengan konsep-teoretis TDD72. Pertama dengan dibentuknya Panitia Ad Hoc III. BP tahun 1999 (bandingkan dengan Panitia Sembilan masa kemerdekaan/BPUPKI!). Panitia ini selain mengadakan rapat-rapat, juga mengadakan Dengar Pendapat (RDPU) atau lebih dikenal public hearing. Termasuk RDPU dengan para ahli hukum yang memunculkan perdebatan di sekitar prosedur perubahan konstitusi. Selain adanya kesepakatan Fraksi-fraksi MPR untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, Panitia Ad HOC III menyepakati lima (5) perkara dasar. Salah satunya adalah ―mempertegas sistem pemerintahan presidensial‖73; ―yang bertujuan untuk memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut negara RI ....‖74 ―Terbitnya ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/199875 ; Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/199876; dan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/199877, dapat dikatakan 72
Buku Pedoman Pemasyarakatan Hasil Sidang MPR (2011) Ibid. h 18 74 Ibid, h.19 75 Yaitu dicabutnya prosedur referendum nasional untuk tatacara mengubah konstitusi. 76 Yaitu tentang pembatasan menjabat presiden/wapres. 73
45
sebagai langkah awal bangsa Indonesia dalam melakukan perubahan UUD Negara RI Tahun 1945‖. Dalam tahap-tahap ini, juga telah ditunjukkan kapasitas musyawarah deliberatif (22-23); cukup luasnya partisipasi civil society, dan juga program mengundang partisipasi masyarakat luas, diskusi & seminar, kunjungan ke daerah, studi ke luar negeri, studi pustaka. Dalam pada itu, Fraksi Partai di MPR ―memberikan kesempatan kepada publik untuk berpartisipasi dalam proses perubahan UUD Negara RI tahun 1945.‖ Indikator berdemokrasi secara deliberative juga ada pada fakta berikut: ―Pertemuan atau lobi sangat sering berhasil memperlancar pembahasan perubahan, terutama dengan dicapainya kesepakatan antar fraksi MPR mengenai berbagai materi rancangan perubahan yang sebelumnya masih berbeda rumusannya ( ... ) atau alot pembahasannya‖.78
Konsep kedaulatan rakyat pada Pasal 1 berhasil diamademen dan memberi arah kepada direct democracy (wakil rakyat dipilih langsung) Dalam kasus proses penyiapan amandemen, representative democracy secara radikal di RETOOL : dari direct democracy ke mode Deliberatif ?
Deliberasi juga tidak mang‖haram‖kan pemungutan suara. Namun diberi jalan sesudah berdeliberasi cukup intens yang kemudian belum mencapai kata sepakat. Ilustrasinya adalah pada sidang MPR mengenai kelembagaan utusan daerah.Sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, ada hal yang menarik. Pertama musyawarah tidak mencapai sepakat sehingga dilakukan voting dengan hasil berikut: 475 anggota MPR memilih dibuangnya frase ―ditambah dengan utusan golongan yang dipilih oleh DPR, yang selanjutnya diatur oleh UU‖, hanya 122 anggota MPR memilih mempertahankan frase di atas, serta dua (2) orang abstain.79
77
Masuknya butir lebih luas mengenai HAM Ibid, h. 33 79 Ibid, h. 68=70 78
46
5.2. Praktik Menyimpang ? Sementara itu, di berbagai praktik berdemokrasi di berbagai kurun rejim politik, praktiknya boleh disebut menyimpang. Lihat bagan 02 berikut:
Chart 02: Indikator Praktik “Demokrasi Permusyawaratan”/Berdemokrasi Deliberatif Menurut Ciri Teori (TDD) dan Periode Pemerintahan
Isu/Ciri TDD
BPUPKI Pra- Demokrasi Kemerdekaan system Parlementer
Guided Demorcacy 1955-1959
Era Administrasi Suharto 1967-1998
Era Reform 1998-2015
(1)Talking- Ya centric (2) Public Ya spiritedness
Amat Signifikan Ya dan tidak
Kurang signifikan Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Ya dan tidak
(3) State Rsponsivene ss (4) Larger segments involvement
Tinggi
Netral
Dominasi
Dominasi
Rendah
Lebih banyak unsur civil society; elite settlement
Lebih institusionalisasi perwakilan dari kekuatan olitik besar
Tidak ; delegasidari civil society diangkat presiden
Tidak ; delegasi dari civil society diangkat presiden
Representasi resmi, baik dari parpol maupun civil society
(5) Level/kapasi tas berdeliberasi
Amat tinggi
Tinggi
Amat rendah
Amat rendah
Rendah
(6) Amat tinggi Kapabilitas menegosias ikan kepentinga n
Tinggi
Amat rendah
Amat rendah
Rendah
Beberapa ketetapan MPR selama reformasi politik (1998 – 2015) yang relevan dengan isu kedaulatan rakyat dan demokrasi terutama sebagai berikut:
47
1. Ketetapan MPRI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok Reformasi 2. Ketetapan No. VII/MPR/1998 tentang pencabutan TAP MPR tentang referendum 3. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan Presiden/Wakil Presiden RI 4. Amandemen I, II, III, dan IV No 1
Institusionalisasi
Konsep/teori
Sistem Pemilihan Langsung
Direct Democracy (DD)
(Presiden & Wakil Presiden) 2
Ide
:
―utusan
daerah
diakomodasi
dan TDD
dilembagakan : DPD‖ 3
Pelembagaan Kedaulatan Rakyat -
DPR dan DPD
-
MK
sebagai
Pengembangan kelembagaan demokrasi
the
guardian
of
the
constitution -
Pembatasan Masa Jabatan Presiden /Wakil Presiden
Yang perlu dicatat dalam penelitian ini adalah pertama, beberapa kemajuan yang signifikan adalah pengembangan demokrasi terutama dibentuknya Mahkamah Konstitusi (MK). Namun demikian, pelembagaan kedaulatan rakyat dalam bentuk pemilihan langsung telah memasuki wilayah demokrasi langsung: jika untuk meilih seorang bupati atau walikota, maka pemilihan langsung mungkin masuk akal. Namun untuk memilih gubernur dan pasangan pres-wapres, agaknya merupakan satu langkah yang mungkin terlalu berani. Bagaimana demokrasi langsung ini memperoleh justifikasinya dari sila keempat Pancasila. Kedua, akomodasi gagasan tentang wakil dari utusan daerah dalam bentuk lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pelembagaan utusan daerah sedemikian itu menjadi tidak logis mengingat sudah ada wakil rakyat di Pusat yang berasal dari daerah, juga sudah ada wakil rakyat di provinsi. Penelitian ini tidak menyentuh praktik DPR yang mengebiri peran dan tugas DPD.
48
Analisis pada Matriks terdahulu dikuatkan oleh pembahasan praktik Guided Democracy masa Bung Karno dilihat dari prodk produk MPR/MPRS-nya, sebagai berikut:
Produk Hukum
Bidang
Konsep/teori
Maklumat Wakil Presiden
KNIP diubah fungsi/kedudukan
Representative democracy
No.X 16 Oktober 1945
menjadi badan legislative
Maklumat Pemerintah 3
Pembentukan partai-partai
Prinsip negara demokrasi
- Manifesto Politik Presiden
Prinsip Negara demokrasi
Nov 1945 TAP MPRS No.7 MPRS/1960
Soekarno, NASAKOM
vs. asumsi satu pimpinan
- Rasionalisasi Partai
revolusi
TAP MPRS
Pengangkatan Bung Karno
Non - demokrasi
No.III/MPRS/1963
sebagai presiden semasa hidup
Fakta fakta di atas secara kasar memperlihatkan tiga (3) hal penting: Pertama, sementara prinsip Negara demokrasi dicoba diterjemahkan dalam beberapa bentuk kemerdekaan berpolitik, namun egosime dan rivalitas tokoh nasional tidak memperoleh ―aturan main‖ yang relative baik sehingga Bung Karno kemudian gagal dengan mimpinya untuk meluruskan demokrasi, melalui apa yang disebut Demokrasi Terpimpin. Titik kulminasinya kegagalan ini tentu saja adalah dosa kolektif anggota MPRS (MPR Sementara tapi kesementaraannya berlarut-larut?) yang mau menetapkan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup.Kedua, praktik seorang presiden yang menempatkan orang-orang untuk duduk di lembaga Negara yaitu di MPRS dan Dewan Pertibangan Agung Sementara (DPAS). Ketiga, kapasitas berdeliberasi atau musyawarah baik baik serta adalah rendah; juga kapabilitas menegosiasikan kepentingan (negotiating interests) adalah rendah. Selama kepresidenan Suharto ada fase MPR, yakni fase MPRS sampai 1966, dan fase MPR 1966-1998. Azhary melihat bahwa selama masa 1966 s.d. 1988, gerak menuju upaya ―melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen‖ anrony ke arah diantaranya paham negara integralistik yang konsepsinya diwarnai kuat oleh peran Soeharto dalam rangka
49
pemurnian UUD 1945.80Indikator quasi-democracy : dengan TAP MPRS No. XXII/MPRS/1966 (Kepartaian, Keormasan, Kekayaan) Tap MPRS No. XXXII/MPR/1996 (Pembinaan Pers) TAP MPR
No.IV/MPR/1973
(GBHN
dan
Penyederhanaan
Kepartaian),
dan
TAP
MPR
No.11/MPR/1983 (GBHN, Asas Tunggal), Azhary mencatat berlangsungnya ―Pembatasan politik, korporatisme negara, pretensi pada konstitusi fungsionalisme, sistem partai tunggal hegemonik‖81 Dari temuan-temuan penelitian ini, terdapat indikasi adanya cacat dalam system demokrasiyang kini ada, yang lebih menjurus kepada Direct Democracy. Buku Panduan Pemasyarakatan (2011), nampaknya memberikan makna yang rancu berbeda dengan semangat Direct Democracy pada penjelasan tentang kedaulatan rakyat. sebenarnya tidaklah berkait langsung dengan (teori) demokrasi perwakilan. ―..., MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang semuanya dipilih oleh rakyat dalam Pemilu. Ketentuan ini sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan yaitu ―Perwakilan atas dasar pemilihan‖ (representation by election) Dalam buku ini juga dapat dicatat bahwa dalam perspektif kualitas, yang tidak menilai tinggi sistem, adanya perbedaan sistem presidensial yang murni ―(dengan separation of power) dan yang semi (dengan division of power) di Indonesia tidaklah menjadi soal penting. Yang penting adalah kepabilitas dan kapasitas CEO dalam hal kepemimpinan dan kenegarawanan. MPR yang ampong: ―..... hal ini berkaitan dengan perubahan UUD Negara RI Tahun 1945 yang menganut sistem pemilihan presiden dan wapres acara langsung oleh rakyat yang (pasalnya cares/wapres itu memiliki program yang ditawarkan langsung kepada rakyat ... ― 82 (artinya GBHN masa reformasi adalah visi dan misi presiden & wapres terpilih).
Kedaulatan rakyat dan demokrasi memperoleh pelembagaan signifikan dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi (MK). MK sebagai the Guardian of the Constitution.. MK ―Pembentukan MK adalah sejalan dengan dianutnya paham negara hukum dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional. Artinya, tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundangan lainnya yang bertentangan dengan UUD. Hal ini sesuai dengan menegasan bahwa UUD sebagai puncak dalam tata urutan peraturan perundang80
Azhary, h. 154 Ibid, h. 154 82 Buku Panduan Pemasyarakatan 2011, h. 72 81
50
undangan di Indonesia. Perjanjian Undang Undang terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 membutuhkan sebuah mahkamah konstitusional di atas hukum. MK-lah yang bertugas menjaga konstitusionalitas hukum tersebut‖83 Terbitnya Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang pencabutan P4 dan Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara amat boleh jadi merupakan luaran uforia reformasi dan momentum reformasi politik 1998 yang mengarah kepada tafsir demokrasi dalam semangat demokrasi liberal. Azhari melihat fenomena ini sebagai momentum ―identifikasi nilai-nilai dasar demokrasi‖ dan ―liberalisasi makna Pancasila‖84. Namun identifikasi dalam kerangka filosofis apa, hal itu masih belum jelas. Nilai-nilai dasar demokrasi yang ―liberal‖ dan kerangka teori demokrasi yang voting-centric tentulah akan berbeda dengan yang ―illiberal‖ dan kerangka teori demokrasi yang talking centric. Pencabutan Tap tentang P4 sudah pada tempatnya dikaitkan dengan tindakan MPR yang ―kebablasan‖ masa Pak Harto; komitmen pada grand norm sila keempat Pancasila sendiri adalah komitmen yang tidak boleh berubah—baik masa kepresidenan Suharto maupun kepresidenan-kepresidenan Era Reformasi. Oleh karena itu, Tap MPR tentang Penegasan Pancasila sebagai dasar Negara sebenarnya sesuatu yang memang sudah seharusnya. Justeru yangmenjadi masalah adalah apakah penegasan kembali kepada Pancasila—dan substansi demokrasinya—benar benar didasarkan atas pengetahuan yang memadai akan ide sila keempat itu? Fakta bahwa di Era Reformasi telah berlangsung pesta kedaulatan rakyat dengan beberapa aspek yang ―liberal‖, hal ini memberi indikasi kuat bahwa kita belum memahami benar substansi demokrasi pada Pancasila. Dengan kata lain, penegasan kembali ke Pancasila akan banyak tergantung pada komitmen dan penggalian ide sila keempat kita. Apakah penegasan kembali kepada Pancasila juga dicerminkan oleh terbitnya Tap MPR No VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan TAP referendum. Representative democracy menempatkan kembali MPR sebagai Lembaga Perwakilan Tertinggi. Pencabutan ini membuka jalan amandemen oleh MPR daripada jalan berliku melalui referendum. Amandeman kesatu, kedua, ketiga dan keempat di era Ketua MPR Amien Rais boleh dikatakan bertolak dari suatu heavily representative democracy; dengan demokrasi yang elitis ini maka kita tidak perlu meminta
83 84
Buku Panduan Pemasyarakatan, h. 153 Azhary, Op. Cit. h. 155
51
pendapat rakyat85. Pemberangusan mekanisme referendum tingkat nasional boleh jadi dapat diterima; namun, referendum local untuk meminta pendapat rakyat di bidang kebijakan pemda untuk isu-isu yang diapndang vital dan strategis—seperti alih guna lahan vital seperti hutan dan gunung, pembukaan lahan luas yang dapat mengganggu hak-hak tanah adat—mestinya justeru diperlukan adanya suatu bentuk referendum lokal demikian untuk dibuat ketetapannya di Era Reformasi dan politik otonomi daerah. Referendum bukan bidang politik kekuasaan seperti hak penentuan nasib sendiri secara politik. Berdasarkan perspektif teoretis system dapatlah diterapkan pada dua pemerintahan di Indonesia era Soekarno (Juli 1959 – 1965) dan era Suharto (32 tahun lebih). Bahwa nilai-nilai politik demokratis amat kurang disosialisasikan di tengah masyarakat dan pelaku politik. Apalagi nilai-nilai politik demokrasi deliberative. Dalam bahasa teori, penjelasan yang masuk akal ini menunjukkan teori system
memiliki explanatory power . Penjelasan yang diberikan teori
system ini lebih masuk akal untuk menilai bahwa di era liberalisasi politik akhir-akhir ini, sikap, tindakan dan prosedur demokrasi deliberative amat kurang dimiliki masyarakat dan pelaku politik Indonesia. Bandingkan dengan penjelasan yang bersifat kelembagaan formal – misalnya apa yang dimiliki Sani & Hara bahwa euphoria reformasi yang surplus partisipasi tidak ditangani dengan baik oleh parlemen dan partai politik: ―This intensive participation, however, is not followed by the readiness of political institutions such as parliament and political parties to bring about people aspiration to the decision making level. This has led to the emergency of some types of people direct participation in politics‖86. Kiranya di sini dapat dinyatakan bahwa baik pendekatan intitutionalisme yang dipakai Sani &Hara maupun penjelasan teori system keduanya memperlihatkan adanya masalah minimnya sikap, tindakan, dan prosedur demokrasi deliberative masa kini. Indikasi adanya praktik direct democracy dikemukakan Sani dan Hara.
85
Untunglah bahwa dengan dibukanya pintu bagi MPR ini, proses-proses penyiapan amandemen kesatu, kedua, dan ketiga, dan keempat atas UUD 1945 dilakukan dengan melibatkan berbagai segmen masyarakat—sstu hal yang direkomendasikan oleh TDD. 86 Sani & Hara, Loc. Cit. h. 15
52
Kata kuncinya jelas yaitu mengembalikan demokrasi ke relnya—bringing the true democracy on the track.87 Meski jelas maksudnya namun hasilnya selama ini selalu tidak jelas. Ketika apa yang dinamakan demokrasi parlementer dinilai menyimpang, Soekarno mencanangkan
meluruskan praktik demokrasi Indonesia dengan konsepsi Demokrasi
Terpimpin. Dengan penyimpangan yang terjadi, Suharto berjanji untuk menjalankan Pancasila secara murni dan konsweken; janji yang kemudian tidak ditepati. Di era reformasi kini, bentukbentuk kedaulatan rakyat dipraktikkan. Namun, substansi demokrasinya belum juga berada di jalur yang benar. Jika
demikian nampaknya barang yang dirumuskan pada sila keempat
Pancasila bagi kita masih merupakan barang yang belum dipahami atau dikenali; lambannya perkembangan ilmu sosial di Indonesia amat boleh jadi sebagai faktor signifikan berlangsungnya situasi ini. Sementara itu, penelitian ini juga mendapati adanya ―demokrasi asli‖ yang dalam perspektif TDD amat berpotensi untuk dikembangan. Demokrasi Asli adalah Demokrasi Deliberatif sederhana. Sebagaiman dilaporkan Farida dan Arifin Rahman (2013) praktik berdemokrasi deliberative bukanlah hal yang impor. Praktik interaksi dan bincang-bincang antar paguyuban di sebuah taman di Surabaya, Taman Bungkul adalah contohnya. Bagi banyak warga Indonesia fenomena di Taman Bungkul itu adalah biasa-biasa saja, tak ada yang menarik atau istimewa tapi bagi pemerhati yang paham betul kegagalan demokrasi perwakilan dan yang menguasai teori-teori mutakhir tentang TDD, teori ruang publik dari Habermas, kiranya akan menghargai tinggi fenomena di Taman Bungkul itu. Kedua peneliti ini mencatat bahwa komunitas-komunitas sepeda dll berbincang mendapatkan ide bagus dan membawanya ke Pemda untuk menjadi output kebijakan publik.88
87
Dalam produksi ilmu politik berbasis Liberalisme, hanya ada dua democracy—liberal democracy dengan segala system filsafatnya serta diidentifikasi sebagai satu-satunya yang stabil dan efektif, dan non liberal yang umumnya tidak stabil dan tidak efektif antara lain akibat umumnya berada dalam masyarakat-masyarakat terbelah (divided societies) di Barat maupun d Timur—satu terma yang dipinjam Lustick dari Eric Nodlinger. Lihat misalnya Ian Lustick. ―Stability in Deeply Divided Societies‖. World Politics. Vol 31 (3), Apr 1979, h. 325-344; Fareed Zakaria. ―The Rise of Illiberal Democracies‖. Foreign Affairs, Vol 77 (6), Nov/Dec 1997, h. 22-43; Arend Lijphart, ―Constitutional Design for Democrcay in Divided Societies‖. Journal of Democracy. Vol 15 (2), Apr 2004, h. 96109 88 Farida & Arifin Rahman, Op. Cit. h.
53
Teori Impor
Demokrasi asli
Perspektif teoretis
Praktek deliberasi di Taman Bungkul, Surabaya
1. TDD
(komunitas online ) komunitas sepeda senopati,
2. Teori ruang publik Habermas
paguyuban sepeda kuno arek Surabaya dll.
Jadi memang kita dipaksa untuk melihat dan memaknai fenomena Taman Bungkul, Surabaya dengan cara piker yang out of the box. Yaitu dengan memakai kaca mata teori ―impor‖ (karena ilmu social kita jauh tertinggal dan belum membangun apa yang disebut indegenons social sciences. Kita amat bersyukur bahwa sebagian warga kita mampu mengembangkan jati diri berdemokrasi sesuai kesalehan social /gotong royong yang tumbuh dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Warga ini tidak perlu membuang ―barang asli‖ lalu memakai ―barang impor‖. Untuk itu perlu dipertimbangkan pelembagaan dan transformasi kultur demokrasi seperti yang hidup di Taman Bungkul, Kota Surabaya, Jawa Timur. Berdasar hal-hal di bawah ini, amatlah patut dipertimbangkan langkah-langkah lanjut untuk merintis pelembagaan demokrasi permusyawaratan dan di dalamnya juga dicakup proses transformasi kultur demokrasi dari demokrasi desa ke demokrasi dengan besaran lebih luas: Pertama, penggunaan perspektif teoretis teori demokrasi deliberative (TDD); kedua, mandat Konstitusi (Sila Keempat Pancasila dan mandat politik hijau pada UUD 1945 hasil amandemen; serta berbagai praktik demokrasi deliberatif di aras Negara dan masyarakat sipil. Pelembagaan politik demokrasi di Taman Bungkul di kota Surabaya dapat ditangani antara lain dengan dengan melakukan eksternalisasi ruang lingkup kepentingan dan wilayah kerja. Seiring dengan itu juga disuntik dengan wawasan TDD dan Teori Ranah Publik (Lihat Bagan).
54
Praktik di Taman Bungkul
Eksternaliasi 1.Potensial diperluas menjadi kepentingan 1. Konseptualisasi Kepentingan warga terbatas umum yang lebih luas (sosial ekonomi isu-isu hobi para komunitas budaya, dll.)
2. Wilayah kerja untuk internal para komunitas
2
. Diperluas mencakup internal dan warga Surabaya.
(1) Wilyah Teori
Dalam kasus praktek demokrasi permusyawaratan di Taman Bungkul, Kota Surabaya, pelembagaannya mencakup Eksternalisasi Praktik demokrasi. Eksternalisasi atau ekspansi dimaksudkan untuk perluasan lingkup kepedulian dan tindakan partisipasi politik warganegara; dari yang semula lebih berorientasi kepentingan hobi intenral anggota komunitas, yang kemudian diperjuangkan agar menjadi kebijakan politik Kota Surabaya. Kini diperluas untuk juga menangani isu-isu sosial ekonomi dan budaya di kota ini. Kedua, dengan berjalannya waktu dan makin mapannya berdemokrasi permusyawaratan (atau penulis menamai Demokrasi Gotong Royong), segmen-segmen beberapa komunitas di Taman Bungkul di kota ini mendorong adanya pengembangan demokrasi procedural yang lebih merefleksikan substansi sila keempat Pancasila—yang dalam konteks pemikiran dan praktek Guvernur Jawa Timur kini (Soekarwo) sudah ada upaya-upaya periferal-parsial.
Isi Hobi Internal Komunita s
Isu Sosial ekonomi dan Budaya di Wilayah kota Surabaya
Pengembangan prosedur Kelembagaan demokrasi Formal 55
Untuk komunitas komunitas lain diberbagai etnisitas dan sub-budaya yang beragam di Indonesia
pelembagaan
politik
Demokrasi
GR/Permusyawartan
denganmempertimbangkan ciri – ciri kebudayaan dan model otoritas adat setempat
Lobi Musyawarah Informal Partai Politik
tentunya
.
Mekanisme Formal Demokrasi Perwakilan
Berikut dipaparkan pemikiran dan praktik Demokrasi Deliberatif di Indonesia, kasus pemikiran
dan praktik Gubernur Soekarwo, Jawa Timur.
Soekarwo memandang bahwa
aktivitas gotong royong dan nilai gotong royong dalam kehidupan politik bangsa Indonesia merupakan wujud demokrasi yang ditopang oleh kesalehan sosial dari agama. Ia menilai bahwa gotong royong itulah wujud demokrasi partisipatoris.
Baginya, bahasa yang tepat untuk
memadankan kata gotong royong adalah ―kesalehan sosial‖. Ia menulis, ―Jika kita mengikuti tulisan, Dr. Ahmad Sobary maka kesalehan sosial… gotong royong atau kesalehan sosial ini adalah sumber segala norma moral.89
Keprihatinan yang tinggi terhadap nasib dan kesulitan orang banyak
Kesediaan setiap orang untuk berkorban dan membantu mengatasi kesulian orang banyak tanpa pamrih
Menjunjung tinggi kejujuran
Membangun rasa tentram dan kedamaian di lingkungan sekitarnya
Mengembangkan etika di dalam kehidupan pribadi, keluarga, lingkungan tetangga, hingga kehidupan politik kenegaraan.
89
Soekarwo. Buku yang dirujuk adalah buku Ahmad Sobary, Influence of Islamic Piety on the Rural Economic Behavior in Suralaya, Jawa Barat Province.
56
Soekarwo menangkap dengan baik substansi demokrasi pada Pancasila dan sejalan dengan TDD; dinamakan dengan Demokrasi Permusyawaratan. ―Secara bersama-sama mengikhtiarkan hikmat dan kebijaksanaan tertinggi yang dapat memimpin perjalanan hidup bangsa ini. Dalam pemahaman saya, persis seperti itulah kehendak dan amanat dari sila keempat Pancasila.Jikalau bangsa ini memilih jalan demokrasi liberal, demokrasi langsung90, demokrasi individual, niscaya bukan hikmat dan kebijaksanaan yang kita dapat, akan tetapi yang kita peroleh adalah kerusakan di sana-sini. Sistem politik, ekonomi, hukum, hankam dan sosial budaya yang sekarang, tampaklah bahwa bangsa kita ini semakin jauh dari hikmat dan kebijaksanaan hidup.Bagaimana kita membangun demokrasi permusyawaratan Indonesia di semua segi kehidupan yang bersendikan pada falsafah hidup yang way of life gotong royong itu.Kepemimpinan bangsa yang visioner dalam arti mampu mencerna, memahami dan menghayati falsafah hidup bangsa Indonesia.Kembali pilihan-pilihan kita atas sistem demokrasi langsung, dengan demokrasi permusyawaratan‖91. Untuk sampai kepada substansi Demokrasi Permusyawaratan, Soekarwo merujuk kepada Penta Politika. Ia menulis, ―Itulah sebabnya, kita memiliki Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi yang isinya mengkombinasikan Perwakilan Daerah, dan Perwakilan Golongan.Gagasan Penta Politika ini, harus kita pertimbangakan kembali jika kita ingin menata ulang demokrasi politik Indonesia‖. Dalam hal dasar filosofisnya, Soekarwo mengaskan bahwa Demokrasi Permusyawaratan (DP)-nya ―bersumber dari Pancasila dan UUD 45 yang asli…. (kita perlu) menjaga ruang rohani untuk terus menghidupkan semangat Pancasila dan UUD 45 … di masa datang kita harus menata ulang UUD 45 melalui amandemen, dengan semangat Pancasila dan pembukaan UUD 45, yang mengedepankan partisipatoris.‖ Pada bagian lain ditulis bahwa sumber Negara yang diacu pemikirannya:Dokumen/teks resmi kelembagaan filsafah hidup Gotong Royong terdiri dari;
Sumpah Pemuda
Teks proklamasi
Pancasila
UUD 1945
Ia menulis, ―Maka tak satupun dari teks-teks itu mengemuka pandangan dan ekspresi konfrontasi. Sebaliknya teks-teks tersebut justru hendak mengedepankan nilai-nilai, pandangan
90 91
Konsep teoretisnya adalah direct democracy, yang dibedakan dengan demokrasi perwakilan dan TDD Soekarwo, Ibid
57
dan ajakan yang bersifat inklusi…Demokrasi yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa ini, baik di bidang politik maupun di bidang ekonomi, adalah apa yang kita kenal sebagai demokrasi permusyawaratan‖92
Rational dan Strategi Transformasi Menuju DP No
Soekarwo : Demokrasi Berbasis Gr
Tdd
1
Musyawarah, kebiasaan dan sikap kekeluargaan
Talking Centric
2
Empati atas kesulitan orang banyak
Public spiritedness
Sedia berqurban 3
Demokrasi partisipatoris, melibatkan semua elemen
Larger segment
masyarakat 4
Dokumen formulasi kelembagaan filsafah hidup GR
Sumpah pemuda
Teks proklamasi
Pancasila
UUD 1945
Soekarwo mengatakan ―oleh karena itu jika kita cermati banar, maka tak satupun dari teks-teks itu mengemuka pandangan dari ekspresi konfrontasi. Sebaliknya teks-teks tersebut justru hendak mengedepankan nilai-nilai, pandangan dari ajakan yang bersifat inklusi merengkuh semua yang beragam dan berbeda‖.
92
Soekarwo, Ibid, h.
58
Demokrasi Indonesia adalah demokrasi permusyawaratan
Amanat para pendiri
Secara bersama mengikhtiarkan hikmat dan kebijaksanaan tertinggi yang tepat memimpin perjalanan hidup bangsa ini (h.12)
Jikalau bangsa ini memilih jalan demokrasi liberal, demokrasi langsung ,demokrasi individual, niscaya bukan …
Soekarno menilai era reformasi ini condong kepada system liberal polaksosbud
II. strategi : kembali ke demokrasi permusyawaratan
Kepemimpinan bangsa yang visioner
Sintesis (yang menolak trias politik) : perita politik ―sistesa itu pernah kita lakukan, kembali ke MPR sebagai lembaga tertinggi ― gagasan penta politik ini harus kita pertimbangkan kembali………‖ (h.16)
59
Demokrasi Permusyawaratan
Bidang hukum : kepemimpinan provinsi harus tunduk pada hukum nasional
Siasat menangani system yang kini liberal Menjaga ruang rohani untuk terus menghidupkan Semangat pancasila dan UUD 45 Agar satu saat jika situasinya memungkinkan Dan momentumnya telah datang, kita harus menata Ulang UUD 45 melalui amandeman Dengan semangat pancasila yang di era reformasi Diliberalkan dan pembukaan UUD 45 yang mengedepankan partisipatoris (bukan cara amandeman kesatu, kedua, ketiga dan keempat keempat yang yangelitis elitis representatif. represntatif. (h.17) (h.17)
Dst, bidang ekonomi, system hankam
60
Bagan berikut menggambarkan kerangka konseptual Demokrasi Permusyawaratan dari Soekarwo (2014):
Konsepsi tentang demokrasi Gotong Royong Dari Soekarwo 2014 Risalah sidang BPUPKI
Sudut pandang agama
Nilai-nilai Gotong Royong
samawi
―dalam bahasa saya itulah wujud
Gotong Royong =
demokrasi partisipatoris yang mengajak
kesolehan sosial
semua elemen masyarakat terlibat dalam proses kebijakan‖
(influence of Islamic piety on the rule economic (behavior in Suralaya, Jawa Barat province)
Gotong Royong : sumber segala norma moral, norma hukum, etika politik serta berbagai norma umum lainnya
61
Pemikiran politik Soekarwo di Era Reformasi (dan globalisasi) ini didasarkan atas akuntansi terhadap masalah bangsa sebagai berikut:
Akuntansi Soekarwo, Gub Jawa Timur (2014) 17 Agustus ‘45 : Bagian dari konsensus kebudayaan bangsa Indonesia
Masa revolusi : Peran kebudayaan cukup menonjol
Masa orde baru : Trilogy pembangunan mendorong penyeragaman budaya ―keragaman budaya kurang dihargai
Era Globalisasi Politik pembangunan kita kurang menempatkan
Kebiasaan dan sikap kekeluargaan dan musyawarah makin tersisih
kebudayaan sebagai basis pembangunan
Di aras praktik, praktik nyata Soekarwo dalam DP dapat dicontohkan berikut: Soekawo menulis, ―Di Jawa Timur, untuk urusan demokrasi permusyawaratan dicoba satu sistem di mana pilihan langsung dimungkinkan, akan tetapi permusyawaratan antar pengurus partai dilakukan, dalam kerangka membendung agar demokrasi langsung itu tidak menimbulkan gejolak politik yang dapat menyengsarakan rakyat. Di Jawa Timur antar pimpinan partai melakukan pertemuan rutin setiap 2 bulan sekali, dalam pertemuan itu kita membahas berbagai macam persoalan untuk kepentingan masyarakat Jawa Timur. Sehingga di sidang dewan tinggal menguatkan dan memperjelas saja‖93. Lebih lanjut, musyawarah yang dilakukan dicontohkan berikut:
93
Soekarwo, Ibid
62
―Seperti penertiban stren kali Surabaya, kita merumuskan bersama dengan masyarakat untuk garis sepadan sungai. Diketentuan undang-undang sejauh 40 meter dari bibir sungai, namun melalui musyawarah kita tetapkan 12,5 meter dan masyarakat yang tergusur kita siapkan rumah susun untuk menampung mereka. Sehingga ketika aturan itu dilaksanakan tidak ada gejolak dan penolakan oleh masyarakat. Jangan sampai atas nama penegakan Perda untuk Adipura PKL digusur tanpa solusi‖94. Yang dipraktikkan oleh kepemimpinan Gubernur di Jawa Timur, Ir. H. Soekarwo. Refleksi dan semangatnya jelas menghendaki retool terhadap format demokrasi yang kini ada (2015). Solusi ad hoc yang dipraktikkan adalah terobosan parsial guna melengkapi melengkapi prosedur formal demokrasi perwakilan yang berlaku denga ―ditambal‖ dengan praktik lobi dan negosiasi informal dengan partai partai politik.
Beberapa best practices berikut juga secara sporadic sudah terlaksana, namun perlu dilembagakan dan dikembangkan. Misalnya yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi kiranya menjadi bahan untuk pelembagaan Demokrasi GR atau Demokrasi Permusyawaratan yang ada pada sektor pemerintahan. Para hakim konstitusi pada MK boleh jadi sudah menjadikan TDD sebagai bagian dari kultur mereka dalam proses –proses pembuatan keputusan MK.
94
Ibid h. Perlu segera dicatat di sini bahwa beberapa kepala daerah di kabupaten/kota lain juga ada yang mempraktikkan hal yang mirip dengan praktik Soekarwo sedemikian itu. Namun demikian, dasar pemikiran Soekarwo kiranya lebih kuat. Negosiasi dan deliberasi informal dalam proses politik merupakan terobosan yang direkomendasikan TDD.
63
BAB 6 RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Rencana tahapan berikutnya dari penelitian ini adalah satu tahap lanjut yakni studi tentang format demokrasi permusyawaratan dalam kerangka tata pemerintahan pasca amandemen keempat UUD 1945. Luaran yang dihasilkan adalah:
1. Publikasi buku teks/compendium Demokrasi Permusyawaratan; sementara ini sudah tersedia sekitar 80 halaman (hasil penelitian Tahap I, 2015). 2. Penelitian ini akan dipresentasikan pada seminar internasional. (Luaran Tahun I sudah dipresentasikan, dengan makalah ―Political Reform in Contemporary Indonesia: Why Has ‗Gotong Royong‘ Democracy in Indonesia‘s State Ideology of Pancasila Failed to Be Understood and Implemented?‖, pada ICSSH di Kuta, Bali, 17 Oktober 2015, yang diadakan oleh IASTEM). 3. Penelitian ini akan di publish pada suatu jurnal internasional. Terdapat satu makalah kami yang sudah dipublikasi oleh IJTRA, hasil konferensi internasional di Kuala Lumpur 20014. 4. Dalam road map jangka panjang 2016-2020,
penelitian ini diproyeksikan akan
menangani lebih lanjut luaran-luarannya. Yakni dengan tema besar re-inventing demokrasi local di kalangan etnis-etnis di Indonesia.
64
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
Nampak adanya bukti-bukti bahwa terdapat model demokrasi—baik substansi maupun prosedurnya yang berbeda dengan mekanisme perwakilan yang sebermula diturunkan dari teori demokrasi perwakilan. Yang berbeda mencakup substansi tentang bermusyawarah dalam semangat kesederajatan, perbincangan yang mendalam dan jiwanya bukan persaingan kepentingan atau egoism, melainkan apa yang disebut public spiritedness atau berorientasi kepada kemaslahatan orang banyak, atau apa yang dalam frasa pada sila ke-4 Pancasila kita hikmah kebijaksanaan..Sebagai suatu koreksi atau penguat dari teori demkrasi perwakilan, TDD nampaknya mengupayakan revitalisasi atas teori dan praktik politik demokrasi. Dalam perspektif kulturalis, adanya TDD juga sekaligus dapat menjadi landasan bagi pandangan-pandangan yang mendukung perlunya penumbuhan model model demokrasi yang mendayagunakan kekayaan budaya bangsa bangsa. Bahkan untuk kasus demokrasi di Taiwan belakangan ini, model demokrasinya—yang dinamakan Richard Madsen Dharma‘s Democracy—memiliki kemiripan dengan ideal demokrasi pada sila keempat Pancasila. A. Kesimpulan
Penelitian tentang ―Subtansi Demokrasi pada Sila Keempat Pancasila: Kajian atas Produk – Produk MPR RI Tinjauan Teoretis dan Sosiologis (2015) ini sampai pada kesimpulan berikut. 1. Sila keempat Pancasila sebagai ideal demokrasi (democratic ideal) yang dikehendaki konstitusi belum secara tepat dipahami oleh beberapa kalangan yang memiliki otoritas di bidang ini. 2. Simpul-simpul salah paham terhadap sila keempat Pancasila muncul dalam bentuk kegagalan eksperimen demokrasi oleh Soekarno yang sebermula hendak berupaya menemukan jati diri demokrasi ―asli‖ Indonesia; oleh Suharto yang menjanjikan untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen; dan oleh praktik ―liberalisasi‖ melalui (sebagiannya)direct democracy di masa masa reformasi belakangan ini.
65
3. MPR RI belum bisa menyakinkan dan menghasilkan produk-produk politik yang senafas dengan mandat konstitusi pada sila keempat Pancasila akibat belum secara menyakinkan menjamin bahwa format demokrasi yang berkembang—sistem
dan
kulturnya—adalah format yang dikehendaki oleh sila keempat Pancasila. Produk–produk di era reformasi mencakup pelembagaan politik demokrasi yang kemudian menjamin kedaulatan rakyat (seperti pembentukan KY dan MK dan dalam pemilihan pejabat Negara dan wakil rakyat melalui demokrasi langsung atau direct democracy. Produk-produk ini perlu dikawal dengan adopsi TDD dengan pengembangan kultur dan prosedur yang segaris dengan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
4. Demokrasi asli (home-grown democracy) yang ditumbuh-kembangkan perlu diberi insentif agar praktik
Demokrasi
Gotong Royong/Permusyawaratan makin berkembang dan
mengalami pertumbuhan kelembagaan. Insentif di segi ilmu sosial adalah dengan penggunaan perspektif teori demokrasi deliberative yang kini berkembang.
B. Rekomendasi
Rekomendasi Kesatu Pelembagaan suatu Demokrasi Gotong Royong atau apa yang dinamai Demokrasi Permusyawaratan oleh Soekarwo, Gubernur Jawa Timur 2014: Pada tingkat tertinggi produk konstitusi (jika ada peluang konstitusional) kiranya akan berupa suatu pasal/ayat yang menegaskan demokrasi kerakyatan kita yang menyandang nilai –nilai yang dikandung oleh rumusan sila ke empat pancasila. Intisari rumusan itu semestinya menagkap apa yang diidealkan oleh para pendiri bangsa. Pasal /ayat yang kini ada masih terlalu lentur dengan akibat ruang terbuka ke arah “liberalisasi” politik demokrasi. Pada tingkat kedua, sistem pemerintahan secara sistematik akan merancang model demokrasi yang membuka proses proses negosiasi deliberative; untuk itu, perlu ada kajian ahli pemerintahan. Keperluan ini berkaitan dengan tesis ad hoc ahli tata Negara senior Sofian Effendi bahwa adopsi sistem pemerintahan presidential penuh yang kini ada (existing) setelah
66
UUD 1945 dengan empat kali amandemen memperlihatkan kelemahan sistemik yang berpotensi jalan buntu dalam proses politik antara eksekutif dan legislatif .
Rekomendasi Kedua : Untuk MPR Rekomendasi untuk MPR RI dari penelitian kami ―Substansi Demokrasi pada Sila Keempat Pancasila: Kajian atas Produk-produk MPR RI: Tinjauan Sosiologis dan Teoretis‖, tahun 2015.95 Berdasar atas hasil penelitian kami tersebut, (dengan dana Hbah Bersaing dari pemerntah TA 2015), dapatlah kiranya disampaikan rekomendasi yang kiranya dapat dipertimbangkan sebagai masukan bagi MPR RI. Sila keempat Pancasila belum dipahami secara tepat dengan akibat praktek demokrasi yang secara substantive kurang menjiwai Sila Keempat ini, yaitu demokrasi deliberative. Berdemokrasi deliberative hanya dengan baik sekali dipraktekkan oleh sidang-sidang BPU-PKI.
Praktik Demokrasi Yang Ada Kini
Yang Seharusnya
Substansi demokrasi yang lebih
Substansi demokrasi yang diamanatkan Sila
mengacu kepada teori demokrasi
Keempat Pancasila lebih mengacu kepada
perwakilan
demokrasi deliberative
Voting centric
Talking centric
Wakil-wakil rakyat relative jauh
Pelibatan segmen lebih luas masyarakat
dari masyarakat
Public spiritedness
Spiritnya berfokus pada
Kapasitas musyawarah deliberative
kepentingan golongan
Kapabilitas negosiasi
95
Surat Perjanjian Kemendiknas RI: SP Kopertis III TA 2015, No. 097/K3/2015 tanggal 23 Februari 2015. Road penelitian kami yang telah dilakukan (terutama): (1) wacana interpretasi Pancasila secara sekular (dari analisis WB Sidjabat) vs. interpretasi religious (dari Nurcholish Madjid), Tahun 2000; (2) Pancasila dan Politik Kesejahteraan (2009); (3) Demokrasi Bumi Vandana Shiva (2013); (4) Telaah Kritis teori Pembangunan politik (Tim Dr. TB Massa Djafar, Hari Zamharir, Dedi Irawan, M.Si) (2010), (5) Intensitas Deliberasi dalam Politik Demokrasi (Tim Dr. TB Massa Djafar, Hari Zamharir, Dr. Firdaus Syam, MA, (2012); (6) Concensus Conference Democracy in Taiwan; (7) Substansi Demokrasi pada Sila Keempat Pancasila: Perspektif Teori Demokrasi Deliberatif (Tim Hari Zamharir & Sahruddin Lubis, 2015). (8) (Forthcoming) Presentasi makalah, ―Political Reform in Contemporary Indonesia: Why Has ‗Gotong Royong‘ Democracy of Pancasila Failed to Be Understood and Implemented?‖, International Conference ICSSH 2015, Bali October 17, 2015. (Letter of Acceptance: Paper ID: IA-ICSSHINDO— 17105—03)
67
(a) Kiranya MPR RI perlu membuat kajian-kajian strtegis khusus tentang isu ini dengan menghadirkan narasumber ahli ketatanegaraan dan ahli teori demokrasi; (b) Mengingat legislasi yang membuat produk turunan dari Sila Keempat adalah DPR RI, para anggota DPR RI nantinya perlu dibekali suatu sertifikasi bahwa mereka sudah memahami dengan benar prinsip demokrasi deliberative pada Pancasila—sehingga diharapkan tidak ada lagi ―liberalisasi politik‖. Untuk ini, secara bertahap MPR diarahkan untuk memiliki wewenang menyusun materi kursus tentang demokrasi deliberative pada Sila Keempat; lalu, memiliki otoritas menerbitkan ―Sertifikasi Kompetensi Demokrasi Deliberatif dari Sila Keempat Pancasila‖, untuk keanggotaan DPR RI demikian.
68
DAFTAR PUSTAKA Aur, Alexander. 2014. ―Dialog Negara Hukum Demokratis dan Agama : Memotret Deliberasi Politik Berbasis Agama di Indonesia dengan Perspektif Filsafat Politik Jurgen Habermes―. Jurnal Ultima Humaniora, Maret 2014. Vol II (1), 79 – 97. Bucek,Jan &Brian Smith ―New Approaches to Local Democracy: Direct Democracy, Participation and the ‗ Third Sector‖. Environment and planning Government al Policy. 2000. Vol 18, h 3-16 Chen, Dong-Sheng & Chun-Yeh Deng, 2007. ―Interaction between Citizen and Experts in Public Deliberation: A Case Study of Consensus Conference in Taiwan‖, East Asian Science, Technology and Society: an International Journal. 1:77-97 Cohen & Joel ―Power & Reason ― Archon Fung & Erik Olin Wright 2013. Deepening Democracy Institutional Innovations in Empowered Participatory Governance. New York: Verso, hlm 237-255 Chumairoh, S. 2014 ―NU pada Masa Orde Baru : Studi tentang Respon NU terhadap Pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila ―, digilib_uinsby.ac.id. h.20 - 41
Dahl, Robert A. 2001. Perihal Demokrasi: Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, Terjemahan A Rahman Zainuddin, Jakarta:YOI, hlm. 158-163 Fung, Archon. 2003. ―Associations and Democracy : Between Theories, Hopes, and Realities, Ann Rev Soc. 2003, h 515 – 539. Harnecker, Camila Pineiro. 2007.‖Workplace Democracy and Collective Consciousness: An Empirical Study of Venezuelan Cooperatives‖, dalam Monthly Reciew New York, November 2007, Vol 59 (6). Proquest.umi.com/pqdweb. Akses 1/12/2010 Latif, Nasruddin. 2011. ―Muhamadiyah dalam Dinamika Politik Muhammadiyah‖, (Tinjauan Buku), dalam Tajdida Vol 9 (1), h. 127 -132 Lijphart, Arend. 2004. ―Constitutional Design for Democrcay in Divided Societies‖. Journal of Democracy. Vol 15 (2), Apr 2004, h. 96-109 Liu, Shih-Diing. 2008. ―Undomesticated Hostilities: The Affective Space of Internet Chat Rooms across the Taiwan Strait, dalam Positions: East Asia Cultures Critique, Vol 16 (2), Fall 2008, hh. 435-455.
69
Lebowitz, Michael A. 2009. Sosialisme Sekarang Juga. Penyunting Darmawan. Jakarta: Resist Book. Lustick, Ian. 1979.. ―Stability in Deeply Divided Societies‖. World Politics. Vol 31 (3), Apr 1979, h. 325-344
Morfit, Michael. 1981. Pancasila: The Indonesian State Ideology According to the New Order Government.Asian Survey, Volume 21 (8) Aug. h. 838-851 Nasruddin Latif ―Muhamadiyah dalam Dinamika Politik Muhammadiyah‖, (Tinjauan Buku), dalam Tajdida Vol 9 (1), Juni 2011, h. 127 -132 Purwoko.2013. ‖System Politik dan Pemerintahan Indonesia setelah Reformasi‖ ejournal undip.ac.id. Resky, Muhammad. 2014. Pemikiran Soekarno dan Politik Luar Negeri Indonesia 1959 – 1965. Bandung : Adoyo Mitra Sejahtera. Nike K. Rumokoy. 2009. ―Kedaulatan dan Kekuasaan Dalam UUD 1945 dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia‖, in Jurnal Hukum Unsrat, Vol. XVII (1) April – Juni pp. 96 – 106. Saputra, Muhammad Dudi Hari. 2014. ―An interpretation of the Fourth Principle of Pancasila Led by the Wisdom of Deliberation among Representatives: ‗Toward Global Ethic‘ Creative-Innovative Works for A New Paradigm of Human Sciences‖ (Proceeding Papers. Int‘l Conference Thoughts on Human Sciences in Islam), Jakarta, 19-20 November 2014, h. 749-754. Siregar, Insan Fahmi. 2011. ― Dinamika Demokrasi di Indonesia Masa Orde Lama : Studi Kasus Antara Soekarno Versus Masyumi‖ Paramitha, Vol 21 (1), h. 25-36 Susan E. Scarrow , ―Direct Democracy and Institutional Change : A Comparative Investigation ― Comparative Pol Studies, Vol 34(6) August 2001, 651 – 665
Thompson, John B (2004), Kritik Ideologi Global: Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa, Terjemahan Haqqul Yaqin, Jakarta: IRCiSod. Tasma, Agustinus Edward dan Heru Santoso.‖Polemik Epistemologi Pancasila dan Demokrasi yang Konstruktif Beserta Implementasinya‖ Humanika. Vol 6 (1), Maret 2006. 85-94 Zakaria, Fareed. 1997.. ―The Rise of Illiberal Democracies‖. Foreign Affairs, Vol 77 (6), Nov/Dec 1997, h. 22-43 70
Lampiran ―Membangun Dunia Kembali (To Build The World A New)‖ (Pidato Presiden Soekarno di Depan Majlis Umum PBB 30 Sept 1960, dalam Resky, Muhammad. 2014. Pemikiran Soekarno dan Politik Luar Negeri Indonesia 1959 – 1965. Bandung : Adoyo Mitra Sejahtera.
Sumber Elektronik Claude, Ake (1979) ―Social Science as Imperialism: The Theory of Political Development‖ http://www.africanmarket.com/front/product/asp? Chang, Peter. 2011. ―Confucian China and Jeffersonian America: Beyond Liberal Democracy‖ dalam ―Abstract‖ (Asian Studies Review. March 2011 Vol 35 (1), h. 43-59 www.proquest.umi.com/pqdweb?index=18&sid=2esm=18vinst=PROD=fmt=6&startpag e=1&clientid=120699&vname=PQD&RQT ―Earth Democracy: The Ten Principles of Justice, Sustainability and Peace‖ dalam Earth Light Library www.earthlight.org/2002/essay47_democracy.html Fishkin, James S. 2011 ―Deliberative Democracy and Constitutions‖ dalam Publication Abstract (Social Philosophy and Policy. Oxford. Jan 2011 Vol 28 (1) www.proquest.umi.com/pqdweb?index=46&did=2200959701&SrchMode=1&sid=2&Vi nst=PROD&VType=PQD&RQT=39&VName ―Deliberative Democracy and group representations‖ dalam Social Theory and Practice. Fall 2000 Vol 26 (3). Proquest Sociology, h 397-415. www.proquest.umi.com/pqdweb?index=18&sid=2esm=18vinst=PROD=fmt=6&startpag e=1&clientid=120699&vname=PQD&RQT Huang, Shu-hui. 2000. ―Alternative Civilities: Democracy and Culture in China and Taiwan‖ dalam ―Book Review‖, Contemporary Sociology Nov 2000. Vol 29 (6), h.859-860 www.proquest.umi.com/pqdweb?index=10&did=67013826&SrchMode=1&sid=2&fmt= 2&vinst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName Lin, Kuo-ming. 2009.‖State, Civil Society, and Deliberative Democracy: the Pracrices of Concensus Conference in Taiwan‖ dalam ―Abstract‖, Taiwanese Sociology No 17 (June 2009), h. 161-217. www.proquest.umi.com/pqdweb?index=2&did=2104958711&SrchMode=1&sid=2&fmt =2&vinst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName Lin, Kuo-ming & Dung Sheng Chen. 2003 ―Concensus Conference and Deliberative Democracy: Citizen Participation in Taiwan‘s National Health Insurance Policy‖, dalam ―Abstract‖, Taiwanese Sociology No 6 (Dec 2003), h. 61-118 71
www.proquest.umi.com/pqdweb?firstindex=0&RQT=511&TS=1305415000&clientid=1 2099 Farrely, Collin. 2009. ―The Deliberative Democracy and the Institution of Judicial Rev in Social Theory and Practice‖, (Proquest Sociology. Apr 2009 Vol 35 No. 2), dalam ―Book Review‖, Christopher F Zurn, Deliberative Democracy and the Institutions of Jud Review. New York: Cambridge Univ Press, 2007) www.proquest.umi.com/pqdweb?index=10&did=67013826&SrchMode=1&sid=2&fmt= 2&vinst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName Rosenberg, Shawn. 2005. ―The Empirical Study of Deliberative Democracy: Setting a Research Agenda‖ dalam Acta Politica Vol 40 2005. g 212-224. www.proquest.umi.com/pqdweb?index=10&did=67013826&SrchMode=1&sid=2&fmt= 2&vinst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName
Dokumen 1. Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang ―Prinsip-prinsip musyawarah untuk mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai pedoman bagi lembaga-lembaga permusyawaratan/perwakilan‖ 2. Membangun Dunia Kembali (To Build The World A New)‖ (pidato Presiden Soekarno di Depan Majlis Umum PBB 30 Sept 1960. 3. Keputusan MPRS No. 11 tahun 1960 tentang Pedoman Pelaksanaan Manipol /USDEK. 4. Ketetapan MPRI No. X/MPR/1998 tentang pokok-pokok Reformasi 5. XIII/MPR/1998 tentang pembatasan masa jabatan Presiden/Wakil Presiden RI 6. TAP MPRS No. XXII/MPRS/1966 (Kepartaian, Keormasan, Kekayaan). 7. Tap MPRS No. XXXII/MPR/1996 (Pembinaan Pers). 8. TAP MPR No.IV/MPR/1973 (GBHN dan Penyederhanaan Kepartaian). 9. TAP MPR No.11/MPR/1983 (GBHN, Asas Tunggal) 10. Ketetapan no. XXXVII/MRPS/1968 tentang pencabutan ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 dan tentang Pedoman Pelaksanaan Kerakyatan yang Dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
72
LAMPIRAN-LAMPIRAN
73
Lampiran 01: Paper dipresentasikan pada International Conference on Social Science and Humanities (ICSSH), 17 Oktober 2015 di Hotel Rhadana, Kuta, Bali,
POLITICAL REFORM IN CONTEMPORARY INDONESIA: WHY HAS “GOTONG ROYONG” DEMOCRACY IN THE INDONESIA’S STATE IDEOLOGY OF PANCASILA FAILED TO BE UNDERSTOOD AND IMPLEMENTED?*
Hari Zamharir & Sahruddin Lubis Department of Political Science Faculty of Social and Political Sciences Universitas Nasional Jalan Sawo Manila No. 61, Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan12520 Indonesia e-mail:
[email protected]
Abstract— With deep reflection of the drafting the fourth sila of Pancasila by Indonesia‘s founding fathers, ―Gotong Royong‖ Democracy was mandated to us. But it seems that neither the conception nor its institutionalization has been successful. Neither the so-called Sukarno‘s Demokrasi Terpimpin nor Suharto‘s Demokrasi Pancasila had developed our understanding of ―Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /Perwakilan‖. In contemporary political reform now days, the swing from authoritarian to political liberalization has brought with it some sort of anomaly of democracy; such swing is but a logical consequence of the nation‘s ambiguity in grasping the idea of ―Gotong Royong‖ Democracy of Pancasila that should mean consensual, deliberative nature of populists democracy. While so many observers make a study of our ―Gotong Royong‖ democracy, they lack theoretical perspectives of democracy. The core of our failure seems to be the political scientists‘ slow of tuning into the state of the arts of democratic theories, especially the deliberative theory of democracy.
Index Terms— conception and institutionalization, deliberative theory of democracy, the fourth Sila of Pancasila, Indonesia . . *) Acknowledgement: the writers express our great gratitude especially to the government of the Republic of Indonesia (Directorate General of Higher Education, the Ministry of Research & Technology, and Higher Education) for granting the research fund, Hibah Bersaing 2015. The original topic of the proposed research is ―Substansi Demokrasi dalam Sila Keempat Pancasila: Kajian atas Produk-Produk MPR RI dalam Tinjauan Teoretis dan Sosiologis‖.
74
INTRODUCTION Judging the facts of bad practices of democracy for a long time of Soekarno‘s presidency (19959-1965) and Suharto‘s presidency (1967-1998)1, two prominent political scientists of Indonesia came to the misleading conceptions of democracy: Gaffar‘s coining the idea of what he termed ―uncommon democracy‖ that would become a working democracy for Indonesia, and Sanit‘s ad hoc thesis denying democratic ideal of Musyawarah mufakat (deliberation that comes to an agreement by all) on account of its incompatibility with modern culture1. These two conceptions could be among the negative impacts the ―death toll‖ of social sciences in the country, especially democratic theories. With the current progress in constitutional reform with among others amending the 1945 Constitution four times during this Era of Reform, the path to the democratic politics is expected to go on the right track. Would such expectation be fulfilled? This paper shall explore the theoretical concepts of Pancasila‘s ―Gotong Royong‖ Democracy in the light of most current state of the arts in democratic theory, i.e. theory of deliberative democracy. It is our proposition that during the three stages of Indonesia‘s democracy, there were misconception and institutionalization of the 4th Sila that had led to the failure of democratic politics in the country. DEMOCRATIC THEORIES IN PERSPECTIVE Two democratic theories seem very relevant to this account of ‖Gotong Royong‖ democracy in Pancasila—first is Earth Democracy (ED) and second Deliberative Theory od Democracy (DTD). Conception of earth democracy developed by well-known environmentalist activist Mother Vandana Shiva coveys the idea of co-existence of diverse democracies. ―In contrast to non-existence of theoretical basis for diversity of ethnicity and culture in current idea of multiculturalism, Shiva‘s principle concepts do have its basis of acceptance of diversity cultures and respect their virtues‖1 to Shiva, living democracy is a given culture has the right to live and let live. Seen from this perspective, we find in Taiwan context-culture of Dharma‘s Democracy.1 The second theory is DTD. To make it simple, let us define deliberative democracy (DD) as a way of political processes whereby larger segments of partcipants from society are honestly exchanging ideas and proposing solutions to the problems fomulated in less conflictual way. Such processes take place with the State’s being responsive to ”objective opinions” oriented more to public interests.1 The following is some elaboration on the idea of Deliberative Theory of Democracy (DTD). Melo and Baiocchi (2006), referring to the works of theorists like Joshua Cohen and Amy Gutman, writes: ”...delibeartive democracy provides a more satisfatory solution to the inevitable intractable difficulties in modern politics, such as deep moral disagreements, between rasonable persons and choices about allocation of limited collective resources, than (solution made by) ’majority-rule’ or ’representative democracy’”.1 To DTD, representativeness calls on larger segments to be involved; its mechanism would be beyond formal insitution of representation: Habermas, in the words of Urbinati and Warren (2008) contends that. ”Habermas is optimistic of empowering representation system by the need to extend the system to larger ’extraparliamentary forms of representation, particularly through new social movements....” 1 While theory of DD is mostly developed in western democracy context, there emerges in Chinese culture, democratic practice that constitutes the very type of deliberative democracy. 75
Weller (in Huang, 2000) observes that what has evolved in Taiwan‘s transformation into democratic politics is typical culture of Taiwan—the emergence of civility and/or associations across the society. These factors have contributed to the increasing level of democratization. In addition to the social factor, in Taiwan, the role of State is also significant1In the study by Lim and Chen (2003) the deliberative type of democratic practice in Taiwan has had these features: its political culture that can be called consensus conference—capability in rational argumentation, respecting “others”, public spiritedness, and the attitude oriented to consensus. All the above features will later in this paper be dealt with when discussing ―Gotong Royong‖ Democracy. THE PRACTICES OF DEMOCRACY IN INDONESIA Beginning in its early pre-independence times, the consensual, deliberative type of (populist) democracy in Indonesia‘s state ideology of Pancasila was once practiced with great success during sessions by BPU-PKI to design the Constitution. However, as the country was exercising political freedom, especially under the ―Constitutional (Parliamentary) Democracy‖ of 19551959, harsh conflicts of political groups took place and deliberation faced the dragging pace, making several governments ineffective. Thaha as referred by Firmansyah (2013) informs us that the 1950 Constitution adopted ―liberal democracy‖ within the parliamentary system of government. This eventually had made the prominent leaders—Soekarno and Bung Hatta outraged.1 With the emergency situation, the Head of State declared the abolition of the parliament and the 1950 Constitution and that the Republic the return to the UUD 1945 Constitution—a procedure that was accepted but legally the decree should have been made by the prime minister, After the failure of democratic practice during parliament-based politics during 1955 -1959, Indonesia holds a firm stance to adopting presidentialism of government. Demokrasi Terpimpin or Guided Democracy is associated with Sukarno‘s vision of Indonesia revolution. To Soekarno, revolution needs single effective leader and so is in democracy. Indriyanto quotes Sukarno‘s statement (in Djoehartono, 1965) ―Tiada revolusi jikalau ia tidak berupa satu disiplin di bawah satu pimpinan‖ (―There would be no revolution unless there exists strong sense of discipline under single leadership‖).1 The wrong path to democracy under Soekarno‘s Guided Democracy is—in Azhary‘s account—an inherent consequence of ―originalism approach‖ to interpreting the 1945 Constitution,1and—along with Suharto‘s Demokrasi Panacasila--the democracy is but a quasi-democracy1. During Suharto‘s presidency, some sort of substantive democracy was also difficult to be adopted. This was especially true given the fact that in Suharto‘s early years in power, he had had temptation to make sure that he would win the election. Therefore, consolidation was made and on July 5, 1971 general election, he won the election Suharto‘s firm grip in power continued in the subsequent decades of 1980 and 1990—but without power sharing. Had Suharto been wise enough to negotiate his ideals and political interests of other stronger political forces, Suharto‘s legacy may have been meaningful to democratizing the nation. To a great extent, I would argue the same way as Morfit does when he contends that Suharto may have put Pancasila as ―more an ideology of containment, rather than an ideology to mobilize socio-political and cultural factors as promised‖1. During the era of democratic reform (1998-onward), efforts to improve the democratic governance has been going on, either in its domain of constitution and rule-making as for the constitution. For example, amendments were made, among others the institutionalization of 76
representativeness, especially those of utusan daerah (delegates coming from regions) and utusan golongan (delegates coming from across the socio-cultural and/or ethnic or religion groups. But in general, deliberative mode of democracy has been difficult ti implement. Sana and Hara find that while contemporary Malaysia adopts the type of elitists deliberation, Indonesia still face problems: ―In Indonesia case, the freedom and wide opportunity to participate in politics was a great shock for people which have been long time under a controlled and hierarchical system….However, these people sometimes have limited educational and cannot play their function well representing the people as members of parliament‖. 1 ANALYSES On the basis of the main features of Deliberative Theory of Democrcay (DTD), the following Chart gives detailed analyses of the practices of democracy in Indonesia. Feature 1: Talking-centric. This feature or modality of deliberation was obvious during BPU-PKI sessions to draft the first Constitution; this feature then eroded in ―Constitutional Democracy‖ of 1955-1969 and its subsequent decline took place for the long time of Guided Democrcay and Pancasila Demokrasi. In our current era of reform, talking-centric mode of democracy has also been deteriorating. Feature 2: Public spiritedness. Democratic processes in DTD rate high the spirit of public interests. This spirit was very high during the sessions by BPU-PKI and then become less and less afterwards—political interests of factionalism politics are getting more dominants. Feature 3: State Rsponsiveness. State actors (prominent national leaders) were very responsive to ideas for betterment of the nations; state had been dominating the society after the decline of Constitutional Democracy. In current reform, democratization, while giving larger room for public involvement, brings state in weakened position—thus little achievement is made in being responsive to sociological drives. Feature 4: (4) Larger segments involvement. Members of BPU-PKI were best represented by larger political segments of the society. Then came the long time of limited involvement coming from larger groups of the society until the reform turn in 1998. Currently, larger segments have been formally and informally involved in politics but under the representative mode democracy, their involvement has not been significant. Feature 5: levels/capacity to deliberate. Except in the days of BPUPKI sessions, most democratic practices that was done afterwards shows great sign of low level or low capacity to deliberate, even in the current era of reform, deliberation has been distorted by aggregative system of demoracy that blocks the ample room for sufficient deliberation. Feature 6: Capability of negotiating interests. While this capability was very high in BPU-PKI times, this has been deteriorating especially in Soekarno‘s Guided Democracy and Suharto‘s Demokrasi Pancasila; in our current era of reform, this capability has not been improved among others as a logical consequences of adopting full presidential system of government . In short, level of deliberation or musyawarah in the framework consensual mode of settling differences had been very high during the sessions in the pre-independence times in the ―people‘s assembly‖ or BPUPKI whose mechanism, membership and institution of BPUPKI did reflect the modality and criteria recommended by Deliberative Theory of Democracy (DTD). Such a high level of deliberation as mandated by the then fourth Sila of Pancasila eventually goes down to the level of medium level in the period of ―constitutional democracy‖, beginning in 1959, Subsequent decline took place in its consecutive years of Demokrasi Terpimpin (1959 –
77
1965), and Demokrasi Pancasila (1967 – 1998) when these two regimes implement its quasidemocratic governance. In our current era of reform, deliberation has not been satisfactory. CONCLUSION Democratic ideal as it is set forth in Indonesia‘s political doctrine seems to have been misunderstood, and with its logical consequences in its institutionalization. This is the problem of advances in social sciences—many political scientists do not seem to be well-informed of state of the arts in democratic theories, especially theory of deliberative democracy. As far as power politics is concerned, Indonesia‘s democratic reform these years has achieved promising results. Nevertheless, seen from theoretical perspectives, the fourth Sila of Pancasila as the democratic ideal mandated by the state ideology is much in line with theory of deliberative democracy. Except with the good practice of deliberation at the sessions in pre-independence ad hoc committee, BPU-PKI, this democratic ideal has been in decline until these days of era of reform in Indonesia. The sociological factors contributing to the decline of deliberative democracy in Indonesia seem to have been : (1) the death toll of advance in social science especially in democratic theory in Indonesia whereby political scientists have not contributed significantly to betterment of democratization as mandated by the fourth Sila of Pancasila; and (2) factors of social mobility especially through education of the segments of the Indonesian society whereby many of political leaders and political actors have been badly informed in political education, especially in the area of the substance of idea of ―kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan‖.
REFERENCES [1] Aritonang, Ian.S. ‖Minat dan Pilihan Politik Orang Kristen Indonesia 1959-2009 : Sebuah Kajian Historis-Teologis Steria Philosophise et Theologica Val. 9 (2), pp. 191-213, October 2009. [2] Azhary, Aidul Fitriciada. ―Konstitusi dan Demokratisasi: Studi tentang Model Penafsiran Konstitusi bagi Pengujian Konstitusional yang Demokratis di Indonesia‖. Jurnal Ilmu Hukum, Vol 10 (2), pp. 142-171, 2007 [3] Azra, Azyumardi. ―Indonesian Islam, Election Politics and Beyond‖, NIASnytt: South East Asian Islam: Plurality, Tolerance and Change, No 4, pp. 12-14, 2004 [4] Hasan, Noorhadi. ―Reformasi, Religious Diversity, and Islamic Radicalist After Suharto.‖ in Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, Vol ( no number ), pp. 23-51, 2008. [5] Indriyanto. 2003. ―Muncul dan Jatuhnya Bung Karno‖. Paper, http://eprints.undip.ac.id/1091/1/muncul dan jatuhnya Bung Karno.PDF [6] Malo, Marcuse Andre & Gian Paolo Baiocchi. ―Deliberative Democracy and Local Governance: Towards A New Agenda‖. International Journal of Urban and Regional Research. Vol 30.3. pp. 587-600, Sept 2006. [7] Madsen, Richard. Democracy's Dharma: religious renaissance and political development in Taiwan, 2007 [8] Morfit. Michael. ―Pancasila: The Indonesian State Ideology According to The New Order Government‖. Asian Survey, Vol 21 (8), pp. 836- 853, August 1981.
78
[9] Mudhoffir, AM. ―Partai Politik & Pemilih: Antara Komunikasi Politik Vs. Komoditas Politik‖, Jurnal Konstitusi, Vol 3 (4), pp. 121-143, 2006. [10] Sani, Mohd Azizuddin Mohd & Abu Bakar Eby Hara. ―Deliberative Democracy in Malaysia and Indonesia: A Comparison‖, http://jati.um.edu.my/iconsea2007/download/paper/azizuddinb.pdf. pp. 16-17, 2007. [11] Urbinati, Nadia & Mark C. Warren. ―The Concepts of Representation in Contemporary Democratic Theory. Annual Rev of Pol of Science, pp. 387-412, 2008. [12] Zamharir, Hari. ―Vandana Shiva's Earth Democracy and Its Contribution to ‗Green Politics‘ Diplomacy Geared to Improve Current Politics of Sustainable Development‖. Proceeding Parahyangan International Conference, Bandung: Sentris, pp. 113-135, 2015 [13] Zamharir, Hari, TB Massa Djafar, Firdaus Syam. 2015. ―Participation Deficit in Democratic Governance in Indonesia: A Study on Public Involvement in Public Policy Making in Selected Regions‖, paper, unpublished .
79
Lampiran 02 : Sertifikat Penyaji
80