BAHAN DISKUSI TEMU ALUMNI. SABTU, 10 OKTOBER 2009
URGENSI PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN SEBAGAI SEKTOR MANDIRI DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL
Naskah Pemikiran Senat Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR, 2009
Policy Notes
1. Latar Belakang Bangsa yang berintegritas adalah bangsa yang mampu memahami sumberdaya dan kemampuan dirinya untuk kemudian memanfaatkannya demi peningkatan kesejahteraan (prosperity) dan kebanggaan (dignity) nasional. Untuk mewujudkan hal ini, maka semangat perubahan (changes) dapat dijadikan sebagai semangat dasar seperti yang disampaikan oleh Evelyn Waugh yang menyatakan ”change is only evidence of life” (Khasali, 2005). Semangat perubahan berusaha mengubah perilaku berkehidupan masa lalu menuju masa depan yang penuh integritas, kebanggaan dan kesejahteraan yang berkeadilan. Sementara itu, tantangan ekonomi-politik pasca pemilu 2009 masih tetap pada isu-isu pemulihan ekonomi nasional, khususnya akibat krisis global. Dengan target pertumbuhan ekonomi yang diprediksi mampu mencapai angka 5% pada tahun 2010, pemerintah baru Indonesia masih perlu bekerja lebih keras lagi khususnya dalam memilih sektor-sektor pembangunan ekonomi yang strategis dalam menopang keberlanjutan pembangunan nasional. Namun demikian, beberapa isu pengelolaan (governance) ekonomi dan politik masih menjadi domain pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru. Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh sektor konsumsi dianggap tidak mencerminkan pertumbuhan riel ekonomi. Sementara itu, kinerja sektor investasi yang secara teoritis mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi riel masih belum seperti yang diharapkan. Laporan Bank Dunia (2009) menunjukkan bahwa posisi daya tarik Indonesia untuk investasi masih berada pada rangking ke 129 jauh di bawah Vietnam (92), Malaysia (20) dan Thailand (13). Sementara itu, indeks persepsi investasi pengusaha Jepang terhadap Indonesia juga menurun dari No 3 pada tahun 1997 menjadi No 10 pada tahun 2009 dari 10 negara tujuan investasi Jepang (JBIC, 2009). Dengan kondisi ekonomi makro seperti tersebut di atas maka isu pemulihan ekonomi yang terkait dengan pemulihan iklim investasi dan peningkatan kesempatan kerja menjadi salah satu agenda utama. Dalam konteks ini, sektor kelautan dan perikanan diharapkan mampu menjadi salah satu sektor yang diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap upaya pemulihan tersebut. Tugas ini tentu tidak ringan, tapi juga bukan hal yang mustahil. Paling tidak ada 5 alasan yang mendasari optimisme sektor ini. Selain faktor kekayaan sumberdaya alam (natural resources endowment) yang dimiliki, menjadikan sektor perikanan dan kelautan sebagai penggerak utama (prime mover) ekonomi nasional juga didasari oleh kenyataan bahwa: pertama, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia dan kesadaran akan pentingnya kualitas gizi pangan maka permintaan produk perikanan diperkirakan akan semakin tinggi. Data terakhir menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi ikan per kapita Indonesia lebih tinggi daripada rata-rata per kapita dunia; sedangkan untuk konsumsi protein hewani dari telur dan daging, rata-rata konsumsi per kapita Indonesia masih lebih rendah dari rata-rata per kapita dunia. Dalam konteks ini, maka peluang pengembangan perikanan masih memiliki momentum penting dalam pembangunan nasional lima tahun ke depan dan seterusnya. Kedua, terkait dengan peningkatan permintaan ini, maka sektor perikanan dan kelautan 1
Policy Notes mampu menghasilkan backward and inward linkages economies dalam struktur perekonomian nasional. Ketiga, dengan berbasis pada sumberdaya alam terbarukan (renewable resources), maka basis pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan. Keempat, pengembangan sektor perikanan dan kelautan termasuk pulau-pulau kecil dapat membantu mengatasi persoalan perbatasan dan revitalisasi fungsi ekonomi, ekologis, budaya dan hankam dari pulau-pulau kecil dan atau pulau terpencil (remote islands) serta menciptakan distribusi kesejahteraan antar wilayah. Kelima, sumberdaya kelautan yang sangat potensial seperti air mineral laut dalam, berbagai jenis bakteri dan algae laut yang merupakan bahan dasar bagi pengembangan pangan fungsional (marine biotechnology), serta sumber-sumber energi terbarukan seperti angin dan gelombang laut belum dikembangkan. Terakhir, fokus ke laut menjadikan Indonesia kembali sadar (reinventions) bahwa secara budaya, masyarakat Indonesia tidak dapat dilepaskan dari wilayah pesisir dan laut, sehingga perubahan orientasi pembangunan nasional dari terrestrial based ke achipelagic based menjadi sangat penting untuk diwujudkan. Namun demikian, secara empiris harus diakui bahwa pembangunan kelautan dan perikanan sebagai penopang utama ekonomi nasional masih memerlukan perjuangan dan kerja keras tanpa henti (endless efforts) dari seluruh stakeholders-nya. Data BKPM (2009) menunjukkan bahwa laju investasi asing di Indonesia untuk sektor perikanan menunjukkan penurunan dari sisi jumlah investasi yaitu dari 19 investasi pada tahun 2001-2005 menjadi hanya 13 investasi pada periode 2006-2009, namun meningkat dalam konteks nilai investasi yaitu dari USD 24,1 juta menjadi 59,9 juta pada periode yang sama; sedangkan investasi domestik menurun dari aspek jumlah investasi dari 16 investasi pada tahun 2001-2005 menjadi hanya 2 investasi pada tahun 2005-2006, demikian juga dari sisi nilai menurun dari Rp 241,4 milyar menjadi hanya Rp. 3,3 milyar pada periode yang sama. Dalam konteks ini, diduga Indonesia hanya menjadi tujuan pasar daripada tujuan investasi dan masih rendahnya tingkat kepercayaan pelaku dalam negeri terhadap investasi di bidang kelautan dan perikanan. 2. Positioning Kelautan dan Perikanan Dalam arsitektur pembangunan nasional saat ini, kelautan dan perikanan belum dapat ditempatkan pada political market mechanism dimana bidang ini dihadapkan pada bidang ekonomi lain tanpa keberpihakan yang kuat dari pengambil keputusan (pemerintah). Dalam hal ini, positioning kelautan dan perikanan jelas dalam kerangka 3 hal yaitu (1) peningkatan ketahanan pangan; (2) pengentasan kemiskinan dan perluasan akses finansial; dan (3) peningkatan kualitas lingkungan dan sumberdaya alam perairan. Ketiga hal ini tidak terlepas dari karakteristik dan peran kelautan dan perikanan yang mengharmonisasikan antara kualitas lingkungan dan sumberdaya perairan dan kualitas sistem sosial dan SDM melalui penyediaan pangan dan pengentasan kemiskinan. Lebih dari 85% kabupaten dan kota di Indonesia adalah kabupaten dan kota pesisir, sedangkan lebih dari 90% nelayan adalah nelayan tradisional yang miskin. Dengan kebijakan yang integratif, komprehensif dan partisipatif serta didukung oleh komitmen politik yang kuat serta perluasan akses finansial kepada para pelaku kelautan dan perikanan, maka bidang kelautan dan perikanan dapat membantu mengentaskan lebih dari 80% masalah kemiskinan di Indonesia. Positioning inilah yang harus dilihat sebagai peluang untuk peningkatan kualitas hidup bangsa Indonesia melalui revitalisasi serius bidang pembangunan kelautan dan perikanan. 2
Policy Notes
3. System Re-Thinking Satu hal yang banyak menimbulkan salah persepsi (flawing perceptions) di kalangan publik, pengambilan keputusan, bahkan dari kalangan akademisi adalah bahwa perikanan dan kelautan dianggap sebagai komoditas semata. Hal ini tidak terlepas dari pandangan klasik tentang struktur produksi ekonomi yang menempatkan perikanan, pertanian, kehutanan, dan peternakan sebagai primary sector yang berkonotasi pada produksi “komoditas” belaka. Padahal sejarah membuktikan bahwa perikanan dan kelautan merupakan kegiatan ekonomi yang memiliki banyak keterkaitan langsung (direct inter-linkages) antar faktor penyusunnya yaitu ekosistem, ekonomi, dan komunitas serta institusi yang terkait dengannya. Keempat dimensi dengan segenap dinamikanya tersebut tidak dapat dipisahkan dalam semua pembicaraan tentang perikanan dan kelautan (Hanna, 1999). Dalam bukunya yang komprehensif berjudul “Sustainable Fisheries System”, Charles (2001) menguraikan pentingnya pendekatan sistem bagi pengelolaan perikanan dan kelautan. Sementara itu, Hall and Day (1977) menganggap bahwa : “any phenomenon, either structural or functional, having at least two separable components and some interactions between these components” dapat dianggap sebagai sebuah sistem. Dalam konteks ini, perikanan, by nature, adalah sebuah sistem karena banyak faktor dan fenomena yang terkait secara bersama-sama dan saling bergantung (inter-dependencies) di dalamnya (Gambar 1). Seperti yang dikatakan pula oleh Walters (1980: p.167) : “....most fisheries problems are complex and contain human as well as biological dimensions. Too frequently we see the consequences of trying to deal with complexity in a fragmentary or narrow way. Management plan based on the soundest of biological information fail when it is discovered that fishing pressure cannot be controlled because of unforeseen political or economic constraints. Economic policies fail when unforeseen biological limits are exceeded. In short, fisheries represent dynamic (time varying) systems with interacting components....”.
Masyarakat dan pemerintah pemerintah (government)
pengguna sumberdaya (resources users)
sistem lingkungan perairan dan sumberdaya ikan
sistem sosial
Sumberdaya Ikan dan Lingkungan
Gambar 1. Perikanan dan Kelautan Sebagai Sebuah Sistem (Modifikasi dari Charles, 2001) Kekomplekan sistem perikanan dapat didekati dari perspektif keragaman (diversity) dimana paling tidak ada empat jenis keragaman dalam sistem ini, yaitu : keragaman species (species diversity), keragaman genetik (genetic diversity), keragaman fungsi, dan keragaman sosial ekonomi (de Young, et.al, 1999). Dalam prakteknya, keragaman sistem perikanan bersumber 3
Policy Notes dari beberapa hal yang dengan baik digambarkan oleh Charles (2001) sebagai “the sources of complexity in fishery systems” yaitu (1) banyaknya tujuan dan seringkali menimbulkan konflik antar tujuan; (2) banyaknya spesies dan interaksi antar spesies dalam konteks level tropik; (3) banyaknya kelompok nelayan beserta interaksinya dengan sektor rumah tangga dan komunitas; (4) banyaknya jenis alat tangkap dan interaksi teknologi antar mereka; (5) struktur sosial dan pengaruhnya terhadap perikanan; (6) dinamika informasi perikanan dan diseminasi; (7) dinamika interaksi antara sumberdaya perikanan, nelayan dan lingkungan; (8) ketidakpastian dalam masing-masing komponen sistem perikanan; dan lain-lain. Dari uraian di atas, maka menganggap perikanan hanya sebatas komoditas akan sangat mengurangi arti penting sektor ini sebagai sebuah sistem yang kompleks dan dinamis dan memiliki peran penting sebagai salah satu penjaga suplai pangan bagi manusia. Perikanan memang bukan satu-satunya manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan laut nasional. Laut juga memiliki fungsi penyedia produksi dan jasa bagi sektor-sektor transportasi, pertambangan mineral, pariwisata, pertahanan dan keamanan, serta produksi energi. Namun demikian, sebagai sebuah sistem, perikanan dapat dijadikan indikator yang baik bagi pengelolaan laut (Hanna, 1999). Hal ini terkait dengan premise bahwa perikanan merupakan sistem yang kompleks dan dinamik dimana dalam tataran empiris melakukan sharing dengan sumberdaya lain dalam konteks ruang (space) dan karakteristik. Dengan demikian, pengelolaan perikanan secara langsung maupun tidak akan mencakup keterkaitan dengan sumberdaya lain. Persoalan yang muncul dalam pengelolaan perikanan menjadi tanda (signals) bagi kesalahan kebijakan kelautan yang bisa berlaku baik di level lokal, regional maupun nasional (Hanna, 1999). Namun demikian, pendekatan pengelolaan perikanan dan kelautan secara komprehensif tetap diperlukan dalam konteks bahwa seluruh manfaat laut memiliki keterkaitan ke dalam maupun ke luar antar sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Ini berarti pendekatan kebijakan kelautan (marine policy) menjadi salah satu prasyarat dimana, dalam konteks platform ini, perikanan menjadi salah satu indikator utamanya. Dengan kata lain platform yang diusulkan adalah ocean dynamics-based fisheries yaitu dinamika aktivitas kelautan yang mendukung perikanan sebagai indikator kebijakan kelautan nasional. 4. Mengapa Kelautan dan Perikanan Tidak Dapat Disatukan Dalam Bidang Pertanian? Paling tidak ada 5 alasan mengapa bidang kelautan dan perikanan harus dipisahkan dari bidang pertanian. Pertama, secara geo-ekologis Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia terdiri dari 17.314 dengan kawasan laut 5.8 juta kilometer persegi dan . penduduk 230 juta dan setiap tahun terus bertambah membutuhkan pangan cukup. Oleh karena itu harus dilakukan pengelolaan tersendiri. Kedua, Jenis flora dan fauna di lautan Indonesia masih belum semua teridentifikasi, tentunya perlu dengan kecermatan dan dan ketekunan yang prima. Berdasarkan jenis flora dan faunanya Indonesia dibagi 2 oleh garis Wallace yaitu bagian Barat dan Timur yang jenisnya sangat berbeda, tentunya perlu penanganan khusus dan perlu kepakaran tersendiri. Ketiga, ajakan negara negara ASEAN untuk Milenium ke III bekerja sama untuk inventarisasi budidaya dan bioteknologi plasma nutfah di Negara masing masing 4
Policy Notes (membuat database,menggarap penelitian sejenis, serta sharing patent) termasuk organisme laut perlu disambut dengan baik, dan tentunya ini merupakan pekerjaan besar untuk bangsa ini. Apalagi masih belum banyak yang dikerjakan untuk mengisi revolusi hijau kedua. Dalam revolusi hijau kedua ini diharapkan adanya penemuan biota yang lebih baik kualitasnya sebagai bahan pangan, obat, bioinsektisida yang berdaya guna meningkatkan kualitas hidup manusia. Keempat, lautan Indonesia perlu digali potensinya sebagai bahan pangan yang secara bioteknologi dapat dikembangkan menjadi pangan yang kadar protein,asam lemak omega 3,6 yang gizi dan juga bermanfaat untuk penyakit metabolisme masa kini, seperti hipertensi, kolesterol tinggi, jantung dan lainnya. Hal ini yang secara serius dapat ditangani sebagai bahan andalan untuk dapat bersaing secara global dan ini semua perlu penanganan beda di banding bahan pangan di daratan. Kelima, paling utama dari semua hal ini adalah penataan pemanfaatan daerah pesisir dan pantai membutuhkan kerjasama antar semua Departemen secara lebih tertib hukum dan teratur. Berdasarkan kegiatan tersebut di atas, yang utama adalah konservasi dan penetapan wilayah mana untuk pariwisata dan budidaya, untuk industri, pelabuhan serta kegiatan lainnya sehingga pengelolaan plasma nutfah untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat Indonesia dapat berkelanjutan.
5. Strategi Makro Kelautan dan Perikanan 5.1.
Perubahan Rejim Perikanan dari Quasi Open Access ke Limited Entry
Dimulai dari adagium “the Freedoom of the Sea” yang diinisiasi oleh Grotius (1609), rejim pemanfaatan sumberdaya laut dikenal sebagai rejim open acces dimana hampir tidak ada batasan untuk melakukan akses terhadap sumberdaya perikanan di laut. Dalam konteks hukum laut, adagium ini merupakan awal dari perdebatan konsep pengelolaan laut antara penganut mazhab laut terbuka/bebas (mare liberum) yang dipelopori oleh Grotius dan mazhab laut tertutup (mare clausum) yang di antaranya diiniasi oleh sekelompok pemikir Inggris seperti Welwood dan Selden. Seperti yang telah diidentifikasi oleh Charles (2001), paling tidak ada dua makna dalam rejim open access ini, yaitu pertama, bahwa sumberdaya perikanan yang tidak tak terbatas ini diakses oleh armada penangkapan yang hampir tidak terbatas (laissez-faire) yang diyakini akan menghasilkan kerusakan sumberdaya dan masalah ekonomi. Makna kedua adalah bahwa tidak ada kontrol terhadap akses armada penangkapan,namun terdapat pengaturan terhadap hasil tangkapan (output control). Hal ini diyakini menjadi salah satu kontributor dari kapitalisasi berlebih terhadap armada penangkapan yang didorong oleh pemahaman rush for the fish; siapa yang kuat dia yang menang. Indonesia, melalui penataan hukum yang menyangkut kegiatan perikanan maupun pengelolaan laut pada umumnya, memang menyebut adanya pembatasan akses terhadap wilayah penangkapan ikan. Namun demikian, pengaturan ini tidak diikuti dengan pembatasan jumlah armada penangkapan sehingga yang terjadi adalah quasi open access atau open access dalam makna kedua menurut Charles (2001) seperti yang telah diuraikan di atas. Selain itu, lemahnya penegakan hukum di laut menjadi kontributor utama dari belum berhasilnya rejim tata kelola (governance) perikanan kita. Dalam konteks ini revitalisasi tata 5
Policy Notes kelola (governance revitalization) menjadi salah satu prasyarat utama sebagai bagian dari sebuah konsepsi negara kepulauan terbesar (archipelagic state) di dunia. Salah satu titik awal dari revitalisasi tata kelola perikanan adalah secara gradual mengubah rejim quasi open acces menjadi limited entry atau paling tidak controlled-open acces. Rejim ini menitikberatkan pada pengelolaan sumberdaya perikanan baik dari sisi input maupun output melalui mekanisme pengaturan use rights. Tata pemerintahan yang baik (good governance) menjadi prasyarat dari penerapan rejim ini karena menyangkut mekanisme pemberian ijin yang adil, transparan dan efisien. Charles (2001) memperingatkan bahwa rejim pengelolaan limited entry tidak dapat digunakan secara sendirian, namun harus dilakukan dalam skema management portofolio dimana melibatkan tool lain seperti quantitative allocation of inputs atau allowable catches yang dipayungi oleh sebuah kerangka peraturan (legal endorsement) yang sesuai. Konsepsi limited entry ini akan semakin bermanfaat dalam konteks perikanan budidaya. Tidak jarang kegiatan budidaya yang sudah established harus kolaps karena tidak adanya kepastian hukum, ekonomi dan politik terhadap unsur spasialnya. Konsepsi limited entry ini dapat pula menjadi titik awal bagi pemberian hak yang jelas kepada nelayan perikanan pantai untuk melakukan aktivitasnya melalui mekanisme fishing right. Dalam konteks ini, pemberian hak penangkapan ikan (fishing right) harus mempertimbangkan ”kepada siapa hak tersebut diberikan”. Oleh karena itu, definisi nelayan perlu pula disempurnakan sehingga memberikan arti yang lebih futuristik dalam menghasilkan nelayan yang profesional bukan sekedar free raiders yang menjadi ciri utama pelaku perikanan dalam rejim open access. ”fit and proper test” terhadap nelayan tidak berorientasi hanya kepada pertimbangan ekonomi saja, namun yang lebih penting adalah pertimbangan komunitas sehingga menjamin keberlanjutan perikanan dari sisi komunitas seperti yang telah diuraikan sebelumnya. 5.2.
Kebijakan Optimasi Perikanan Tangkap dan Perikanan Budidaya
A. Perikanan Tangkap Dalam konteks perikanan tangkap, salah satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah keseimbangan antara keberlanjutan sumberdaya ikan (SDI) dan jumlah nelayan. Dengan kata lain, diperlukan optimasi keseimbangan stok dan upaya pebnangkapan (fishing effort) dalam bentuk kebijakan total allowable effort (TAE) nelayan yang berbasis pada tipologi nelayan di Indonesia. Agar keseimbangan stok dan upaya penangkapan tetap terjaga perlu dilakukan sejak dini dan secara teratur re-stocking atau stock enhancement sehingga ketersediaan stok senantiasa tetap dapat terjaga. Berdasarkan karakteristik human system dalam tipologi fishery system seperti yang disampaikan oleh Charles (2001), terdapat beberapa karakteristik umum dari nelayan (fishers) yaitu bahwa pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu grup) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya). Kedua, dalam komunitas nelayan komersial, nelayan dapat bervariasi menurut occupational commitment-nya seperti nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan tambahan, atau menurut occupational pluralism-nya seperti nelayan dengan 6
Policy Notes spesialisasi tertentu (seperti nelayan rawai tuna, nelayan purse seine cakalang dan nelayan pancing cumi-cumi), nelayan dengan sumber pendapatan beragam, dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan dapat bervariasi menurut motivasi dan perilaku dimana dalam hal ini terdiri dari dua kelompok yaitu nelayan dengan karakteristik profit-maximizers yaitu nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku seperti layaknya ”perusahaan”, dan kelompok nelayan satisficers atau nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup dan berkelanjutan. Tipologi ini sangat penting untuk mendorong transformasi nelayan yang dikaitkan dengan produktivitasnya. Selain tipologi nelayan, tipologi sumberdaya ikan juga perlu dipetakan sehingga keseimbangan antara stock dan fishing effort dapat dijaga sesuai dengan karakteristik dan domain sumberdaya ikan. Tipologi sumberdaya ikan dapat dipetakan berdasarkan habitat (marine and inland waters fisheries resources), nilai ekonomi dan peluang pasar. Dalam konteks ini, maka optimalisasi jumlah nelayan harus dikaitkan tidak hanya dalam kerangka produksi ikan tapi juga nilai produksi melalui upaya peningkatan nilai tambah sehingga pada akhirnya produktivitas ekonomi (economic scale of productivity) nelayan meningkat. Selain peningkatan kualitas produk, kebijakan transformasi nelayan juga dapat menjadi pilihan. Kebijakan ini pada intinya bertujuan untuk memindahkan (transform) mata pencaharian nelayan baik secara vertikal misalnya dari nelayan menjadi pembudidaya ikan, pedagang perikanan atau pengolah ikan, jadi masih tetap dalam koridor sistem perikanan, atau dilakukan secara horisontal yaitu mengalihkan profesi nelayan menjadi kegiatan lain di luar sistem perikanan. Secara teoritis, transformasi vertikal lebih dipilih sebagai salah satu alternatif kebijakan mengingat bahwa karakteristik komunitas perikanan pada umumnya bersifat artisanal sehingga tidak jarang kegiatan perikanan merupakan satu-satunya pilihan hidup bagi masyarakat nelayan. Dengan memindahkan mata pencaharian mereka yang masih masuk dalam sistem perikanan, diharapkan tidak banyak terjadi gejolak sosial ekonomi yang timbul. Sama dengan dalam konteks relokasi nelayan, faktor hak-hak sosial ekonomi masyarakat nelayan yang ditransformasi harus diperhatikan sehingga keberlanjutan masyarakat ini tetap dapat dijaga. B. Perikanan Budidaya Ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan dalam kebijakan dan strategi pembangunan perikanan budidaya adalah (1) tata ruang perairan untuk kegiatan perikanan budidaya; (2) pengembangan offshore mariculture; dan (3) pengayaan stok (stock enhancement) sumberdaya ikan untuk perikanan tangkap melalui kegiatan budidaya (culture-based fisheries). Dalam kerangka tata ruang, kepastian pemanfaatan ruang perairan untuk kegiatan perikanan budidaya merupakan salah satu key-factor dalam keberlanjutan perikanan budidaya. Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa tanpa tata ruang yang transparan dan jelas, keberlanjutan perikanan budidaya menjadi terancam. Keberhasilan China dan Vietnam dalam mengembangkan perikanan budidaya salah satu kebijakannya adalah melalui penerapan kluster perikanan budidaya yang ditopang oleh sistem infrastruktur yang kuat baik dalam konteks distribusi hasil budidaya maupun distribusi input budidaya. 7
Policy Notes
Pengembangan offshore mariculture (OM) juga sangat strategis dalam kerangka peningkatan produksi perikanan. OM adalah sebuah sistem perikanan budidaya yang dilakukan di kawasan laut lepas (offshore) dan biasanya menggunakan kolom perairan (waters column) sebagai media utama daripada permukaan perairan (surface waters). Dalam konteks ini, teknologi pengembangan OM dapat meningkatkan efisiensi sistem perikanan budidaya yang pada akhirnya akan mampu pula meningkatkan produktivitas perikanan budidaya. Sementara itu, pengembangan culture-based fisheries diarahkan pada upaya pemacuan stok sumberdaya ikan di perairan yang dapat menunjang keberlanjutan perikanan tangkap. Teknik dan metodologi pemacuan stok sumberdaya ikan merupakan teknik dan metodologi yang dinamik dan diharapkan dapat terus dikembangkan melalui sistem pemacuan stok sumberdaya ikan yang adaptif dan partisipatif serta mampu menyejahterakan baik pembudidaya ikan maupun nelayan. Dalam konteks ini, pengembangan sistem sea farming dapat diadopsi sebagai media untuk revitalisasi CBF. 5.3.
Kebijakan Local Fisheries Management Organization
Mengingat karakteristik sumberdaya perikanan Indonesia didominasi oleh sumberdaya perikanan pelagis dan pada umumnya –khususnya ikan pelagis besar- memiliki karakteristik sebagai transboundary species, maka kerjasama perikanan di tingkat lokal (antar kabupaten/kota atau antar provinsi) adalah agenda penting berikutnya. Konflik antar nelayan yang terjadi (Jawa-Kalimantan) adalah contoh betapa konflik harus diselesaikan baik secara kultural maupun struktural. Dalam konteks ini pengelolaan perikanan berbasis ekosistem (ecosystem-based fisheries management) menjadi sangat penting dan dapat diimplementasikan sebagai Local Fisheries Management Organization (LFMO). Kerjasama ini bisa digunakan untuk menentukan alokasi nelayan antar daerah, transformasi nelayan maupun kerjasama-kerjasama mutual lainnya seperti kerjasama teknologi perikanan baik dalam konteks eksplorasi, eksploitasi maupun pengolahan hasil perikanan. Kebijakan ini merupakan adopsi dari salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang disarankan oleh FAO melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1985) yaitu bentuk Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Pada dasarnya, kebijakan ini menitikberatkan pada kerjasama regional (level negara) dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan lintas batas seperti untuk kawasan perairan luas (large marine ecosystem) seperti Samudera Pasifik atau Samudera Hindia. Skema LFMO dapat mengadopsi pola RFMO yang dikembangkan oleh FAO. Sebagai contoh pola-pola kerjasama antara daerah berbasis joint-fee untuk mengelola sumberdaya perikanan milik bersama dapat dilakukan dengan semangat bahwa sumberdaya perikanan harus dimanfaatkan dan dikelola bersama secara berkelanjutan. Salah satu kendala yang mungkin masih belum menjadikan skema ini sebagai konsep yang operasional adalah bahwa skema ini memerlukan rejim pengelolaan yang tegas (modified limited entry) dengan definisi nelayan dan fishing right yang transparan dan berkeadilan. 8
Policy Notes
Definisi nelayan menjadi faktor penting karena pemerintah (baik pusat maupun daerah) masih memegang hak pengelolaan dimana salah satu implementasinya adalah menentukan persyaratan bagi pihak-pihak yang akan mendapatkan hak akses dan hak pemanfaatan sumberdaya perikanan. Seperti yang kita ketahui, rejim perikanan di Indonesia masih bersifat quasi open access sehingga membuat profesi nelayan dianggap sebagai the last resort for employment. Dengan pendefinisian nelayan yang tegas, maka profesi nelayan dapat terjaga kemurniannya sebagai suatu profesi pekerjaan yang dihargai dan dipandang penting, tentu saja harus disesuaikan dengan karakteristik nelayan Indonesia. Dalam konteks global, Jepang adalah negara yang membatasi jumlah nelayan melalui pemberlakuan definisi nelayan seperti yang tercantum dalam UU Koperasi Perikanan-nya. Menurut UU ini, nelayan didefinisikan sebagai orang yang aktif menangkap ikan minimal 92 hari per tahun. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya perikanan dapat lebih optimal dengan kejelasan profesi nelayan sebagai ujung tombak pengelolaan sumberdaya perikanan itu sendiri. Apabila proses capacity building di tingkat komunitas nelayan ini dapat berjalan dengan baik, maka berikutnya pengaturan rejim pengelolaan LFMO dapat dilakukan dengan basis community-centered fisheries co-management (Berkes, et.al., 2001). 5.4.
Optimalisasi Distant Waters Fishing
Salah satu peluang pengembangan perikanan yang dapat dijadikan benchmark bagi revitalisasi perikanan nasional adalah pengembangan armada Distant Waters Fishing (DWF). Hal ini sejalan dengan kecenderungan kebijakan perikanan global khususnya tentang regional fisheries management organization yang mencakup perairan trans-nasional untuk komoditas perikanan yang ekonomis penting dan bersifat trans-boundary seperti tuna dan cakalang. Dengan menjadi anggota RFMO maka secara otomatis hak penangkapan ikan akan diperoleh yang artinya membuka peluang bagi pengembangan DWF. Strategi yang dapat dilakukan adalah mendorong industri perikanan skala menengah dan besar untuk terlibat aktif dalam kebijakan DWF, dan membiarkan perikanan rakyat mendominasi perikanan domestik. Strategi ini diperlukan agar optimasi kapasitas perikanan nasional dapat dicapai tanpa harus memberikan biaya korbanan (oppportunity costs) yang besar kepada persoalan konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya. 5.5. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Sebagai negara kepulauan (achipelagic state) Indonesia memiliki 17.508 pulau-pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai 81.000 km. Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut adalah pulau-pulau kecil, yaitu pulau berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland). Bio-ekologi pulau-pulau kecil ini menarik dan unik karena memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lainnya, sehingga mempunyai sifat insular yang kemudian melahirkan teori insular ekologi (Dahuri et al. 2001). Begitu pula masyarakat penghuninya, memiliki karakter sosio-kultur sebagai masyarakat pesisir yang umumnya memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan serta perkebunan untuk menopang kehidupannya. Dengan kondisi yang demikian, maka pengelolaan pulau-pulau kecil menjadi sangat penting dan strategis dalam kerangka menjaga keutuhan Negara 9
Policy Notes Kesatuan Republik Indonesia. Pengelolaan tersebut harus dilakukan secara serius mulai dari tahap perencanaan termasuk penetapan tata ruang pembangunan, penamaan pulau-pulau kecil tak bernama, pembangunan infrastruktur, pembinaan masyarakat, pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimilikinya, hingga pelaksanaan kegiatan MCS (monitoring, controlling, dan survailance). Pengabaian pulau-pulau kecil selama ini telah menimbulkan ancaman terhadap integritas dan kedaulatan negara, sebagai contoh hilangnya Pulau Ligitan dan Pulau Simpadan yang diklaim Malaysia dan kasus pelanggaran batas territorial di wilayah Ambalat. Lebih lanjut, pengelolaan pulau kecil menjadi salah satu ’benchmark’ kebijakan kelautan nasional mengingat kondisi ekologis, sosial dan ekonomi masyarakat pulau-pulau kecil terdepan masih cukup memprihatinkan. Belajar dari pengalaman Jepang misalnya, undang-undang pengelolaan pulau kecil terpencil (remote islands development act, RIDA) memberikan amanat kepada pemerintah untuk memperkecil jenjang pendapatan per kapita penduduk pulau kecil dengan mainland-nya hingga maksimal 50%. Dengan kata lain, pendapatan per kapita penduduk pulau kecil di Ogahaswara (pulau terdepan Jepang di sebelah selatan berbatasan dengan Filipina), misalnya hanya boleh berbeda maksimal 50% dari pendapatan per kapita penduduk Osaka. 4.6. Integrated Ocean Planning Segenap komitmen pembangunan kelautan tersebut tidak dapat dilakukan tanpa kemauan dan komitmen yang kuat untuk menjadikan ”integrated ocean planning” sebagai platform perencanaan pembangunan kelautan nasional. Hal ini sangat penting mengingat secara ekologis, laut merupakan satu kesatuan ekosistem yang tidak dapat dipisahkan berdasarkan aktifitas sektoral. Kegagalan pengelolaan kelautan selama ini lebih banyak bersumber pada kegagalan institusional dalam mengelolan wilayah laut secara terpadu, paling tidak pada tahap perencanannya. Dalam konteks ini, penguatan fungsi perencanaan di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjadi agenda penting khususnya bagaimana integrasi perencanaan pembangunan kelautan dapat dilakukan. Semuanya itu memerlukan komitmen dan kemauan politik terkait dengan kebesaran negara dari sisi kelautan. Paling tidak ada 5 (lima) agenda strategis yang perlu diperhatikan dalam kerangka penguatan kekuatan kelautan nasional. Pertama, memperkuat teknologi kelautan, dan kegiatan survei oseanografi dan jasa-jasa kelautan. Kedua, enhancing tingkat kompetitif nasional dan internasional industri transportasi maritim melalui kebijakan apa yang disebut sebagai ”self-controlled open-door policy” dan efisiensi pelabuhan.. Keempat, memelihara kualitas lingkungan melalui skema mitigasi pencemaran kelautan dan pesisir yang kuat.dan sumberdaya ikan melalui kegiatan restocking maupun stock enhancement. Kelima, memelihara dan memperkuat integrasi pengelolaan wilayah pesisir dan laut sebagai wilayah multi-uses. Ketujuh, memperkuat diplomasi kelautan (termasuk di dalamnya diplomasi perikanan) khususnya yang terkait dengan isu tata kelola kelautan global (global ocean governance). 6. Penutup Strategi pembangunan nasional bidang kelautan dan perikanan merupakan upaya yang 10
Policy Notes Sangay sulit dilakukan dalam jangka pendek dan merupakan upaya jangka panjang dan terus menerus. Upaya ini memerlukan prasyarat perubahan dimana diantaranya adalah kemauan dan komitmen yang kuat untuk mengubah cara pandang pembangunan nasional dari pendekatan sektoral menuju pendekatan integratif untuk mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan. Lebih daripada itu, format pembangunan nasional sudah seharusnya diubah dari orientasi daratan (terrestrial orientation) ke orientasi kepulauan (archipelagic orientation). Untuk itu sudah saatnya memisahakan bidang kelautan dan perikanan dari sektor pertanian dalam arti luas, sebagai sebuah sektor mandiri sehingga memiliki ukuran idikator capaian pembangunan yang terpisah dari sektor-sektor lainnya. Dengan demikian capaian dan kontribusi pembangunan bidang kelautan dan perikanan dapat terukur secara jelas, dengan fokus pembangunan yang terdefinisikan secara jelas pula, yaitu dengan tujuan untuk penyediaan kebutuhan pangan berprotein ikani bagi penduduk Indonesia, meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan, pengembangan produk ekspor perikanan dan bioteknologi kelautan untuk perolehan devisa negara, dan pegelolaan pulau-pulau kecil dalam kerangka menjaga integritas dan kedaulatan NKRI.
11