1
Prosiding Seminar Nasional STRATEGI PEMBANGUNAN PERIKANAN DAN KELAUTAN BERWAWASAN LINGKUNGAN Auditorium Universitas Pancasakti Tegal Tegal, 9 Desember 2010
Editor :
Suyono Nur Isdarmawan Noor Zuhry
FAKULTAS PERIKANAN UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL Tegal, 9 Maret 2011
Prosiding Seminar Nasional STRATEGI PEMBANGUNAN PERIKANAN DAN KELAUTAN BERWAWASAN LINGKUNGAN Auditorium Universitas Pancasakti Tegal Tegal, 9 Desember 2010
Editor : Suyono Nur Isdarmawan Noor Zuhry
2011
Diterbitkan oleh : Fakultas Perikanan Universitas Pancasakti Tegal Jl. Halmahera Km. 1 Tegal Telp. (0283) 342951, Fax. (0283) 351267 Suyono, Isdarmawan, N. dan Zuhry, N., 2011. Strategi Pembangunan Perikanan dan Kelautan Berwawasan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional, Fakultas Perikanan, Universitas Pancasakti Tegal, Tegal: 342 h Penata Naskah : Ninik Umi Hartanti, Retno Budhiati, Sri Mulyani Tata Letak : Budi Kurniawan dan Ninik Umi Hartanti Desain Sampul : Ninik Umi Hartanti
ISBN : 978-602-99039-0-4
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan buku prosiding ini. Prosiding ini merupakan salah satu hasil dari Seminar Nasional bertema “Strategi Pembangunan Perikanan dan Kelautan Berwawasan Lingkungan” yang diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2010 oleh Fakultas Perikanan Universitas Pancasakti Tegal di Auditorium Universitas Pancasakti Tegal di Tegal. Seminar ini menghadirkan dua orang Pembicara Utama, yaitu Prof. Dr. Ari Purbayanto, M.Sc. dari Institut Pertanian Bogor, dan Asossiate Profesor Anton Lucas dari Flinder University, Adelaide, South Australia dan dihadiri oleh lebih dari 100 orang peserta yang terdiri dari para dosen dari Universitas Pancasakti Tegal, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dan Institut Pertanian Bogor, para peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI Jakarta, Balai Karantina Cirebon, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros Sulawesi Selatan, Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Singaraja Bali, dan Balai Riset Pemulihan Sumberdaya Ikan Jatiluhur Sukabumi Jawa Barat, dan juga hadir mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia Wilayah Jawa Tengah dan dari Fakultas Perikanan Universitas Pancasakti Tegal. Dalam seminar ini dipresentasikan 35 judul makalah secara oral. Dari jumlah makalah tersebut 33 judul makalah dipublikasikan dalam prosiding ini. Makalah-makalah tersebut telah direview dan diedit oleh Tim Editor dengan tidak merubah substansi makalah. Makalah yang masuk dalam prosiding ini dikelompokkan ke dalam tujuh bidang, yaitu ekologi laut, mikrobiologi, perikanan budidaya, pengolahan sumberdaya perikanan, pengelolaan kawasan pesisir, ekonomi perikanan dan perikanan tangkap. Kegiatan seminar ini tidak akan dapat terlaksana dengan baik tanpa ulur tangan dan bantuan dari berbagai pihak, baik organisasi maupun pribadi yang telah menyumbangkan dana, tenaga, maupun pikiran. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat : -
Pengurus Yayasan Pendidikan Pancasakti Tegal. Rektor Universitas Pancasakti Tegal beserta wakil-wakilnya. Prof. Dr. Ari Purbayanto, M.Sc. dari Institut Pertanian Bogor sebagai pembicara utama. Dr. Anton Lucas dari Flinder University, Adelaide, South Australia sebagai pembicara utama. Kepala Dinas Perikanan dan kelautan Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Pemalang, Brebes dan Pekalongan. Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu pelaksanaan seminar ini.
Tegal, Maret 2011 Editor
iii
SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
Pemerintahan KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI ke 4 merupakan atmosfir baru dalam melaksanakan pembangunan nasional, khususnya pembangunan nasional di bidang perikanan dan kelautan. Pada era Orde Baru pembangunan Kelautan dan Perikanan kurang mendapatkan perhatian dari Pemerintah. Kebijakan tersebut ditandai dengan terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan. Berpijak dari kondisi tersebut menjadi peluang sekaligus tantangan bagi upaya melaksanakan eksploitasi hasil perikanan dan kelautan sekaligus menjaga kelestarian alam perairan. Universitas Pancasakti Tegal tidaklah berlebihan ikut berpartisipasi dalam rangka mendukung pelaksanaan kebijakan nasional, khususnya bidang pembangunan Perikanan dan Kelautan berwawasan lingkungan. Pelaksanaan Seminar Nasional yang dilakukan oleh Fakultas Perikanan Universitas Pancasakti Tegal sebagai salah satu bentuk kegiatan partisipasi masyarakat kampus dalam rangka memajukan konsep-konsep ilmiah berupa strategi pembangunan perikanan dan kelautan berwawasan lingkungan. Strategi pembangunan perikanan dan kelautan berwawasan lingkungan tersebut merupakan sumbangsih alternatif solusi para pemakalah ditujukan kepada masyarakat dan pemerintah khususnya dalam rangka membantu kelancaran program pembangunan di bidang perikanan dan kelautan di tanah air ini. Semoga prosiding hasil pemikiran para pemakalah mampu memberikan manfaat kepada Pemerintah dan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dari sektor perikanan dan kelautan. Prosiding ini akan juga mampu memberikan masukan sekaligus menjadi referensi kepada pembaca, khususnya pembuat kebijakan dan ilmuan bidang perikanan dan kelautan dalam melaksanakan kajian yang lebih mendalam dalam rangka sukses pelakasanaan program pembangunan perikanan dan kelautan lestari dan berkelanjutan untuk masa yang akan datang. Tegal, Maret 2011 Rektor,
Prof. Dr. H. Tri Jaka Kartana, M.Si.
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... SAMBUTAN REKTOR UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL ................ DAFTAR ISI .........................................................................................................
Halaman iii iv v
Ekologi Perairan Hubungan Kelimpahan Ikan Famili Chaetodontidae dengan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Jameluk Bali. (Mujiyanto, Yayuk Sugianti, Sri Turni Hartati).............................................................................................................
1
Sumberdaya Udang Macrobrachium spp. di Sungai Banjaran Kabupaten Banyumas. (Kusbiyanto, Achmad Iqbal, Setijanto) .............................................
15
Mikrobiologi Pemanfaatan Aktinomisetes yang Berasosiasi dengan Nudibranch sebagai Penghasil Anti Mikroba. (Riyanti, Jaka Widada, Ocky Karna Radjasa) ...............
19
Efektifitas Biosurfaktan dalam Proses Biodegradasi Fluorene oleh Bakteri Hidrokarbonoklastik. (Nuning Vita Hidayati, Agung Dhamar Syakti) ..................
28
Perikanan Budidaya Rendemen Agar Rumput Laut Gracilaria gigas Hasil Budidaya Jaring Rakit dengan Pengasaman Berbeda. (Dwi Sunu Widyartini, H.A. Ilalqisny Insan, Warsinah) ........................................................................................................
37
Pemberian Pakan Mikropartikel dengan Interval Waktu yang Berbeda pada Post larva Udang Windu (Penaus monodon). (Hayati Soeprapto, Purnama Sukardi) .........................................................................................................................
46
Pengamatan Perkembangan Produksi Benih Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) di Bali serta Prospek Budidayanya di Indonesia. (Bejo Slamet) ............................................................
55
Kandungan Oksigen Terlarut dengan Variasi Pencahayaan Simulator pada Sistem Kultur Mikroalgae Chlorophyta. (Rose Dewi, Muhammad Zainuri) ..........................................................................................................................
62
Pertumbuhan dan Produksi Gracilaria gigas Harvey dengan Berbagai Metode Budidaya Jaring Apit pada Luas Tanam Berbeda di Adipala Cilacap. (H.A. Ilalqisny Insan, Dwi Sunu Widyartini, H. Husein Sastranegara)......................................................................................................
70
Pengaruh Perbedaan Cahaya dan Kepadatan Awal terhadap Pertumbuhan Populasi Spirulina platensis dalam Kultur Skala Laboratorium. (Beny Hendro Prabowo, Sarwanto, Christiani)..........................................................................................
81
v
Kualitas Air Tambak Bandeng Selok Kecamatan Adipala Cilacap. (Carmudi, Nuning Setyaningrum, Sri Sukmaningrum)....................................................... Optimasi Produksi Rotifera sebagai Pakan Alami Larva. (Isnani)..........................
91 97
Pengaruh Pemberian Pakan Buatan, Tubifex Kering dan Campuran Keduanya Terhadap Pertumbuhan Ikan Mas Koki (Carrasiusa uratus). (Suyono).............................................................................................................
103
Penerapan Ipteks pada Kelompok Usaha Budidaya Ikan Bandeng (Chanos-chanos Forskal) dan Rumput Laut (Gracyllaria Sp) di Kelurahan Muarareja Kecamatan Tegal Barat Kota Tegal. (Suyono, Thimotius Jasman, Diana Rachmawati, Istiyanto Samidjan)............................................................................................
123
Hubungan Kerapatan Mangrove sebagai Silvofishery dengan Tingkat Kesuburan Tambak di Desa Muarareja Kota Tegal. (Budi Kurniawan)...................................
147
Aktifitas Enzim Pencernaan Cacing Lur (Dendronereis pinaticiris) yang Diberi Pakan Serasah Daun Mangrove. (Ninik Umi Hartanti, Edy Yuwono, Purnama Sukardi).............................................................................................................
158
Pengaruh Perbedaan Jenis Pakan dan Dosis Pemberian Pakan terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Lobster Air tawar (Cherax guadricarinatus). (Sri Mulatsih).........................................................................
167
Persepsi Masyarakat Petambak dalam Pengelolaan Budidaya Kepiting Soft Shell Crab Berbasis Keseimbangan Lingkungan di Kabupaten Pemalang. (Muhamad Agus).................................................................................................................
179
Pemanfatan Fermentasi Limbah Organik Ternak Ayam sebagai Sumber Protein bagi Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan Nila Merah (Oreochromis Niloticus). (Narto, Sri Mulatsih, Ninik Umi Hartanti).........................................
189
Pengolahan Sumberdaya Perikanan Peranan Wanita Nelayan dalam Peningkatan Mutu Produk Olahan Ikan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal. (Nurjanah)..............................................
203
Perancangan dan Analisis Ekonomi Teknik Alat Pengasap Ikan.(Tofik Hidayat, Siwiyanti, Gunistiyo) ..........................................................................................
215
Pengelolaan Kawasan Pesisir Pemodelan Dinamik Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Berkelanjukan (Studi Kasus Di Pantai Kelurahan Muarareja Kota Tegal). (Tofik Hidayat, Suyono, Saufik Luthfianto) .............................................................................................
224
Perbaikan Lingkungan Pesisir dengan Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Tegal. (Sri Mulyani) ...........................................................................................
233
vi
Pengaruh Tempat Pelelangan Ikan TPI Klidang Lor Kabupaten Batang Terhadap Kondisi Ekonomi Masyarakat Nelayan Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah. (Retno Budhiati).................................................................................................
244
Studi Pendahuluan tentang Daerah Banjir Pasang Surut di Muarareja Tegal Barat. (Wahyu Budi Setyawan) ....................................................................................
257
Studi Geomorfologi untuk Memprediksi Dampak Kenaikan Muka Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tegal. (Wahyu Budi Setyawan, Sri Kusdi Rahayuningsih)...................................................................................................
267
Strategi Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Di Karang Jeruk Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. (Kusnandar, Noor Zuhry) .................................... 275 Penentuan Lokasi Pengembangan Terpadu Desa Pesisir Berbasis Potensi Prioritas Wisata Bahari Di Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah (Noor Zuhry, Kusnandar)........................................................................................................ 289 Ekonomi Perikanan Pengaruh Pengelolaan Sumberdaya Laut terhadap Pendapatan Devisa. (Subekti)............................................................................................................
297
Strategi Wanita Nelayan dalam Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Nelayan di Kabupaten Tegal. (Narto) ................................................................................
306
Perikanan Tangkap Produktifitas Jaring Sirang sebagai Alat tangkap Ikan Bawal Putih (Pampus argentus) di Perairan Cilacap. (Arif Mahdiana, G.H. Nehru Nuridana, Purnama Sukardi) ................................................................................................................
315
Aspek Keselamatan Kerja di Kapal Perikanan Cantrang di TPI Kluwut Kabupaten Brebes. (Thimotius Jasman) ...................................................................................
321
Pengujian Umpan Buatan terhadap Ikan Kerapu Macan pada Skala Laboratorium. (Mochammad Riyanto, Ari Purbayanto, Dian Indrawatie).....................................
332
vii
HUBUNGAN KELIMPAHAN IKAN FAMILI CHAETODONTIDAE DENGAN KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN JEMELUK BALI Oleh : Mujiyanto1, Yayuk Sugianti1 dan Sri Turni Hartati2 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar hubungan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae dengan persentase tutupan karang buatan di perairan Teluk Jemeluk, Bali. Metode yang digunakan dalam pengamatan terhadap ikan Famili Chaetodontidae dilakukan secara sensus visual. Untuk menentukan kondisi terumbu karang digunakan metode transek bentuk pertumbuhan karang (life form), yang didasarkan pada penutupan karang batu. Untuk mengetahui hubungan kelimpahan ikan Famili Chaetodontidae dengan persen cover terumbu karang digunakan analisis regresi linier sederhana. Kondisi terumbu karang buatan di Teluk Jemeluk, Bali pada tahun 2006, menunjukkan bahwa kesehatan karang yang digambarkan dari persentase hard corals Acropora dan non Acropora adalah 26.18 %, atau pada kategori sedang. Pada perairan ini ditemukan 9 spesies dari 2 genus ikan famili Chaetodontidae, yaitu Chaetodon kleiini, speculum, vagabundus, baronessa, decussates, trifasciatus, ulietensis, Heniochus diphreutes dan varius. Berdasarkan analisis regresi dan korelasi didapatkan hubungan positif yang cukup kuat antara persentase tutupan karang dengan kelimpahan ikan indikator Famili Chaetodontidae. Nilai positif yang ditunjukkan dari hasil analisis mengambarkan bahwa semakin tinggi nilai persentase tutupan karang buatan maka semakin tinggi kelimpahan ikan famili Chaetodontidae. Hubungan tersebut diperkuat oleh nilai koefisien regresi (r2 = 0.559) yang berarti sekitar 55,9% perubahan yang terjadi pada variabel dependen (kelimpahan famili Ikan Chaetodontidae) dapat ditentukan oleh perubahan variabel independen (persentase tutupan karang buatan). Kata Kunci : Chaetodontidae, terumbu karang buatan, Teluk Jemeluk 1.
PENDAHULUAN
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang dinamis, mengalami perubahan terus-menerus namun sangat rentan terhadap perubahan lingkungan yang berasal dari luar terumbu dan mempunyai produktivitas dan keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga menjadi sumber plasma nutfah bagi kehidupan biota laut. Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang (filum Scnedaria, kelas Anthozoa, ordo Madreporaria Scleractinia), alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat, (Nybakken, 1992). Selain memiliki fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung fisik, tempat pemijahan, tempat pengasuhan dan bermain bagi berbagai biota; ekosistem terumbu karang juga menghasilkan berbagai produk yang mempunyai nilai ekonomi penting seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Dari segi ekonomi terumbu karang menjadi sumber kehidupan bagi beranekaragaman biota laut, yaitu terdapat lebih dari 200 jenis ikan dan
1
2
Balai Riset PemulihanSumberdaya Ikan, Jatiluhur Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru
1
berpuluh-puluh jenis moluska, keberadaan beranekaragaman biota laut tersebut akan mempengaruhi penghasilan nelayan sekitarnya. Penelitian yang dilakukan oleh LIPI pada tahun 1996 menunjukkan bahwa kerusakan terumbu karang di Indonesia baik oleh sebab alami maupun akibat kegiatan manusia mencapai angka rata-rata 40% (Dahuri, 2000). Pada tahun 2000 kerusakan itu meningkat menjadi 72 %, dan selebihnya hanya 28 % yang tergolong dalam kondisi baik atau baik sekali (KPP-COREMAP, 2001). Dengan melihat kondisi dan status terumbu karang pada saat ini, salah satu rumusan kebijakan nasional pengelolaan terumbu karang adalah mengupayakan pelestarian, perlindungan, perbaikan/rehabilitasi dan peningkatan kondisi/kualitas ekosistem terumbu karang bagi kepentingan seluruh masyarakat. Saalah satu upaya menanggulangi masalah kerusakan ekosistem terumbu karang di Indonesia telah dilakukan melalui pengembangan Terumbu Karang Buatan (TKB). Evaluasi untuk mengukur tingkat keberhasilan pemasangan terumbu buatan, umumnya berdasarkan komunitas yang muncul pada ekosistem baru tersebut, dalam hal ini adalah ikan karang. Sesuai dengan penjelasan McAllister (1998) bahwa perkiraan produksi sumberdaya ikan tergantung pada kondisi terumbu karang, kualitas pemanfaatan dan pengelolaan oleh masyarakat di sekitarnya, dimana terumbu karang yang dalam kondisi sangat baik mampu menghasilkan sekitar 18 ton/km2/tahun, terumbu karang dalam kondisi baik mampu menghasilkan 13 ton/km2/tahun, dan terumbu karang dalam kondisi yang cukup baik mampu menghasilkan 8 ton/km2/tahun, dibawah 8 ton /km2/tahun merupakan produksi pada kondisi buruk. Dengan harga jual ikan karang yang cukup beragam mulai dari Rp 10.000 sampai dengan Rp 25.000 maka pendapatan bersih nelayan dalam satu trip rata-rata Rp 165.603,00. Keberadaan ikan karang di perairan sangat bergantung kepada kesehatan terumbu yang ditunjukkan oleh persentase tutupan karang hidup. Hal ini sangat dimungkinkan karena ikan karang hidup berasosiasi dengan bentuk dan jenis terumbu sebagai tempat tinggal, perlindungan dan tempat mencari makanan. Rachmawati, (2001) menjelaskan bahwa Ikan karang dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok berdasarkan kepentingannya, yaitu : 1) Kelompok ikan target, merupakan ikan konsumsi ekonomis tinggi yang menjadi sasaran penangkapan oleh nelayan. 2) Kelompok ikan indikator sebagai penciri kesuburan atau keutuhan ekologis (ecological integrity). 3) Kelompok ikan utama, sesuai dengan perannya dalam susunan rantai makanan atau lebih berperan dalam keseimbangan ekologis. Chaentodontidae atau biasa dikenal dengan nama umum Butterflyfish, dikenali melalui pola garis berwarna pada tubuhnya dan warnanya pun beragam. Di daerah terumbu karang tropis ikan ini banyak ditemukan sebanyak 120 spesies dan sering ditemui saling berpasangan atau berkelompok dalam jumlah kecil. Buttrflyfish aktif pada siang hari dan bersembunyi di tempat perlindungan yang dekat dengan permukaan karang pada malam hari (Allen, 2003). Famili Chaetodontidae terbagi menjadi 10 genus dan 78% nya merupakan genus Chaetodon yang hampir separuh dari genus Chaetodon merupakan pemakan coral, walaupun sebagian lainnya merupakan pemakan invertebrate kecil di karang, alga atau bahkan plankton (Allen,1981 dalam Sale, 1991). Ikan famili Chaetodontidae termasuk kedalam kelompok ikan indikator yang merupakan ikan petunjuk kesehatan suatu terumbu karang. Penelitian ini merupakan bagian dari kegiatan evaluasi untuk mengukur tingkat tingkat keberhasilan pemasangan modul terumbu buatan yang telah dilakukan pada tahun 1990-1993 di perairan Teluk Jemeluk, Kabupaten Karangasem, Bali. Penulis bertujuan
2
untuk mengetahui hubungan antara kelimpahan ikan famili Chaetodontidae dengan persentase tutupan karang buatan di perairan Teluk Jemeluk, Bali.
2.
BAHAN DAN METODE
2.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan Juli dan September 2006 di 3 (tiga) lokasi pengamatan meliputi pasir halus, karang rusak dan pasir kasar di perairan Teluk Jemeluk, Bali dengan masing-masing jumlah unit erumbu buatan adalah : pasir halus (4 unit TKB dari bahan beton), karang rusak (4 unit TKB dari bahan beton), pasir kasar (4 unit TKB dari bahan Ban bekas (Gambar 1). Pertimbangan pengamatan pada bulan-bulan tersebut berdasarkan pengaruh pasang surut, arus dan musim di perairan tersebut.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian 2.2.
Metode Analisis Data
Pengamatan ikan-ikan karang dengan menggunakan metode pencacahan langsung sensus visual pada garis transek/ Line Instersept Transect (LIT) (Russel, et al., 1978; Chou, 1984, 1984; Hutomo 1986; Dartnal and Jones, 1986) dalam English et al., (1994). Metode ini merupakan salah satu metode yang paling umum digunakan dalam pengamatan ikan-ikan karang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan metode ini telah disepakati sebagai metode baku dalam pengamatan ikan-ikan karang secara
3
kuantitatif di ASEAN. Jenis dan perkiraan jumlah ikan dicatat dalam data sheets kedap air. Identifikasi jenis ikan menggunakan buku petunjuk bergambar (Kuiter, 1992; Lieske & Myers, 1997). Berpedoman pada metode yang telah dilakukan oeh Chou (1984) dimana pelaksanaan pengukuran/pengambilan sample dilakukan dengan memakai seperangkat alat selam disekitar sebagai berikut : 1) Peletakan tali sepanjang 50 meter sebagai garis transek disekitar Terumbu Karang Buatan. 2) Kemudian dilakukan pengamatan setelah 15 menit penyelam berada pada posisi atas garis transek pada 12 unit Terumbu Karang Buatan di 3 lokasi (pasir kasar, pasir halus dan karang rusak). 3) Dilakukan pencatatan ikan dan karang. Identifikasi persentase tutupan karang buatan dan kategori bentuk kehidupan bentik (Benthic Lifeform) atau biota penempel dilakukan dengan metode LIT, seperti pada pengumpulan data ikan. Identifikasi dilakukan pada terumbu buatan dan terumbu karang alami. Kategori ini menyediakan deskripsi morfologi komunitas karang. Setiap kategori lifeform dicatat pada data sheets. Identifikasi benthic lifeform mengacu Veron (1986), Suharsono (1996), Carpenter dan Niem (1998), dan Romimohtarto dan Juwana (2005). Analisa persen tutupan benthic lifeform tersebut menggunakan Lifeform Software Program berdasarkan standar UNEP yang berlaku untuk ASEAN-Australia. (Rahmat & Yosephine, 2001). 2.3.
Persentase Penutupan Terumbu Karang (% Cover)
Nilai persentase penutupan terumbu karang diperoleh dari hasil pengukuran lifeform (intercept koloni) karang dengan menggunakan formula (English et al., 1997):
L
Li x100 % N
Dengan : L = persentase penutupan karang (%). Li = panjang lifeform ( intercept koloni ) jenis kategori ke-i. N = panjang transek (50 m). Persentase urutan adalah persentase luas area yang ditutupi oleh pertumbuhan karang. Persentase tutupan diperoleh dengan mengukur intercept koloni karang yang dilewati garis transek. Jumlah panjang intercept koloni karang sepanjang garis transek dibagi dengan panjang transek x 100 % memberikan nilai persentase tutupan. Kondisi terumbu karang berdasarkan persen penutupan karang hidup menurut English et al., (1997) adalah : 1) Sangat baik = 75% - 100 %. 2) Baik = 50% - 74,0 %. 3) Sedang = 25% - 49,9 %. 4) Buruk = 0- 24,9 %. Persentase penutupan karang hidup yang tinggi biasanya menandakan bahwa terumbu karang di suatu daerah berada dalam keadaan sehat.
4
2.4.
Kelimpahan Ikan Karang
Kelimpahan ikan karang adalah jumlah ikan karang yang ditemukan pada suatu stasiun pengamatan per satuan transek pengamatan. Rumus kelimpahan ikan karang menurut Odum (1971), adalah sebagai berikut :
X
i
xi n
Keterangan : Xi = Kelimpahan ikan karang ke-i. xi = Jumlah total ikan karang pada stasiun pengamatan ke-i. n = Luas transek pengamatan. 2.5.
Analisa Hubungan antara Kelimpahan Ikan Famili Chaetodontidae dengan Persentase Tutupan Karang Buatan
Analisa korelasi antara kelimpahan ikan Famili Chaetodontidae dengan persentase tutupan karang buatan dilakukan dengan uji korelasi menggunakan perangkat lunak SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) for Windows 15. Uji regresi dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari persentase tutupan karang buatan terhadap kelimpahan ikan famili Chaetodontidae. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik dasar perairan selama penelitian di 3 (tiga) lokasi terpilih adalah sebagai berikut : Tabel 1. Karaketristik dasar perairan selama penelitian di 3 (tiga) lokasi penelitian di Perairan Jemeluk Bali pada tahun 2006. Stasiun Lokasi Jumlah TKB Karakteristik Pasir 08o 20' 0,40" LS 4 unit beton Substrat dasar perairan terdiri dari halus 115o 39' 12,6" BT pasir halus. Terumbu buatan yang ditempatkan dilokasi ini terbuat dari beton, kondisinya pada saat pengamatan hampir 80% telah tertutup sedimen. Sedimen diduga berasal dari sungai yang bermuara sangat dekat lokasi terumbu buatan. Karang 08o 20' 01,1" LS 4 unit beton Substrat dasar perairan terdiri dari rusak 115o 39' 39,2" BT karang rusak. Terumbu buatan yang ditempatkan dilokasi ini juga terbuat dari bahan beton. Pada awal penempatan terumbu buatan kedalaman perairan adalah sekitar 8.0 meter, dan pada saat pengamatan kedalaman hanya sekitar 4.6 meter. Pasir 08o 20' 15.6" LS 4 unit ban Subtrat dasar perairan terdiri dari kasar 1150 39’ 08,4” BT pasir hitam agak kasar. Pada awal penempatan terumbu buatan, kedalaman perairan sekitar kurang lebih 10 meter, dan pada saat pengamatan kedalaman hanya 7.3 meter.
5
Dari ketiga perbedaan stasiun pengamatan tersebut diats, dapat dilihat bahwa terlihat adanya perubahan kedalaman yang cukup tinggi mencapai 2.0 meter di dua lokasi terumbu buatan (karang rusak dan pasir kasar) memberikan indikasi adanya pendangkalan perairan. Diduga pendangkalan ini disebabkan oleh gelombang tsunami yang terjadi beberapa tahun setelah dilakukan pengembangan terumbu buatan di Teluk Jemeluk, Bali sehingga mengakibakan perubahan profil dasar perairan (Gambar 1). 3.1.
Kelimpahan Ikan Karang Famili Chaetodontidae
Hasil pengamatan ikan karang dengan sensus visual pada LIT bulan Juli 2006 di tiga lokasi pengembangan terumbu buatan teridentifikasi 124 jenis ikan. Pada stasiun 1 sebanyak 77 jenis, stasiun 2 sebanyak 64 jenis dan stasiun 3 sebanyak 80 jenis (Lampiran 1). Jumlah individu berkisar antara 5610 – 5850 ekor ikan per lokasi, yang terbagi kedalam 64 -80 species, 45 – 54 genus dan 29 famili. Kepadatan ikan berkisar antara 22.4 – 23.4 ekor/m2. Berdasarkan pengelompokan ikan karang didominasi oleh ikan Mayor (ikan karang sejati atau ikan hias), meliputi famili Anthiidae, Apogonidae, Pomacentridae dan Labridae, kemudian Ikan target atau ikan pangan yang teridentifikasi relatif banyak adalah dari famili Lutjanidae dan Caesionidae. Dari data hasil pengataman di dapatkan dbahwa komunitas ikan pda terumbu buatan yang usianya lebih dari 1 dekade didominasi oleh ikan Mayor (ikan karang sejati atau ikan hias), terutama dari suku Pomacentridae, Anthiidae, dan Apogonidae. Ikan Target atau ikan pangan yang teridentifikasi relatif sedikit dan bernilai kurang ekonomis. Sedangkan kelompok ikan indikator yang merupakan petunjuk kesehatan terumbu karang, dan sebagian besar adalah kepe-kepe (Chaetodontidae) dijumpai dalam proporsi yang rendah. Rendahnya kehadiran ikan indikator merupakan pertanda dari rendahnya kesehatan terumbu karang. Komunitas ikan yang didominasi oleh ikan mayor atau ikan hias sejati dan rendahnya kehadiran ikan target terutama yang bernilai ekonomis tinggi menyebabkan di Teluk Jemeluk lebih berkembang peruntukan untuk pariwisata dari pada perikanan karang. Usaha perikanan yang lebih berkembang adalah pancing untuk ikanikan pelagik besar, dengan alat bantu rumpon milik kelompok-kelompok nelayan. Pengelompokan ikan pada terumbu buatan dengan formasi horisontal yang dikembangkan oleh Pemda Propinsi Bali, didominasi oleh ikan mayor dari suku Labridae dan Pomacentridae, sedangkan ikan target diantaranya dari suku Lutjanidae dan Serranidae, kemudian suku Chaetodontidae sebagai indikator species kehadirannya relatif rendah. Sedangkan dari hasil pengamatan ikan karang dengan sensus visual dengan LIT pada bulan Juli dan September 2006 di tiga lokasi pengembangan terumbu buatan teridentifikasi untuk kelompok ikan indikator yang merupakan petunjuk kesehatan terumbu karang sebagian besar terdiri dari kepe-kepe (Chaetodontidae) yang dijumpai dalam proporsi yang rendah. Rendahnya kehadiran ikan indikator merupakan pertanda dari rendahnya persentase tutupan karang hidup (Hard Corals) yang hidup di lokasi terumbu buatan. Pada perairan ini ditemukan 9 spesies dari 2 genus ikan ikan indikator yaitu Chaetodon kleiini, speculum, vagabundus, baronessa, decussates, trifasciatus, ulietensis, Heniochus diphreutes dan varius (Tabel 2).
6
Tabel 2. Data ikan karang Famili Chaetodontidae yang teridentifikasi di area terumbu buatan Selama Penlitian di Perairan Teluk Jemeluk pada tahun 2006. Lokasi Terumbu Karang Buatan No. Nama Jenis Pasir Halus Karang Rusak Pasir Kasar 1 Chaetodon kleiini 6 4 2 Chaetodon speculum 10 2 3 Chaetodon vagabundus 20 36 4 Chaetodon baronesa 2 8 5 Chaetodon decusates 4 4 5 Chaetodon trifasciatus 12 3 7 Chaetodon ulietensis 1 9 Heniochus diphreutes 2 5 11 Heniochus varius 8 Jumlah spesies 7 5 4 Total species 44 37 46 3.2.
Persentase Tutupan Karang di Terumbu Karang Buatan
Hasil pengamatan biota penempel pada beberapa unit terumbu buatan, seperti pada beton bentuk kubus, beton bentuk silinder dan ban yang diletakkan pada lokasi yang berbeda, teridentifikasi 55 jenis biota penempel dari kelas Anthozoa, Ascidian, Sponge, Zoanthids, Antipatharia, Hydroida, Echinoidea, Crinoidea, Polychaeta, Ectoprocta, Bernacle dan Algae. Data komposisi jenis biota penempel pada ke tiga modul terumbu buatan disajikan pada Lampiran 2. Dari data yang disajikan terlihat bahwa jenis biota penempel yang mendominasi adalah Clathria sp, Rhopalacea sp dan Pocillopora sp. 3.3.
Hubungan Kelimpahan Ikan dengan Persentase Tutupan Karang
Data untuk analisis hubungan antara kelimpahan ikan karang famili Chaetodontidae dengan persentase tuupan karang merupakan data hasil pengamatan pada 4 lokasi penanaman dengan 12 TKB yang dirata-ratakan. Adappun korelasi antara persentase tutupan karang buatan dengan kelimpahan ikan famili Chaetodontidae memiliki nilai positif dengan nilai + 0.748 (Lampiran 2). Menurut Myers & Walpole (1986) nilai korelasi ini merupakan nilai korelasi yang sangat kuat, yang berarti bahwa tingkat hubungan kedua variabel antara kelimpahan ikan Chaetodontidae dengan keberadaan persentase tutupan karang buatan dapat dijelaskan dengan selang hubungan 0.748. Sedangkan nilai positif berarti bahwa semakin tinggi nilai persentase tutupan karang buatan maka semakin tinggi kelimpahan ikan famili Chaetodontidae. Kelimpahan ikan famili Chaetodontidae dapat menggambarkan kesehatan suatu terumbu karang dalam hal ini terumbu karang buatan. Terjadinya penurunan maupun kenaikan terhadap jumlah kelimpahan ikan famili Chaetodontidae dapat disebabkan oleh beberapa faktor lain yang menyebabkan perubahan kondisi lingkungan perairan sebagai media hidup karang di perairan Jemeluk, Bali.
7
Tabel 3. Hubungan antara kelimpahan ikan karang famili Chaetodontidae dengan persentase tuupan karang merupakan data hasil pengamatan pada 4 lokasi penanaman dengan 12 TKB yang dirata-ratakan Kelimpahan Ikan Persentase Karang Tutupan Karang Korelasi Kelimpahan ikan karang 1.000 0.748 Pearson Persentase tutupan karang 0.748 1.000 Sig. Kelimpahan ikan karang 0.231 (1-tailed) Persentase tutupan karang 0.231 N Kelimpahan ikan karang 3 3 Persentase tutupan karang 3 3 Dari output korelasi tabel 3 tersebut diatas hubungan yang signifikan terjadi antara variabel kelimpahan ikan famili Chaetodontidae dengan variabel persentase tutupan karang buatan, hal ini ditunjukkan oleh nilai signifikansi (0.231) kurang dari 0.50 maka hipotesa H0 ditolak yang berarti terdapat hubungan antara kelimpahan famili Ikan Chaetodontidae dengan persentase tutupan karang buatan terhadap selama penelitian di 3 lokasi terpilih (pasir kasar, pasir halus dan karang rusak). Tabel 4. Output SPSS 15.0 for window uji regresi linear sederhana Model R R Adjusted Std. Error Change Statistics Square R Square of the R Square F Df1 Df2 Sig. F Estimate Change Change Change 1
0.748
0.559
0.118
0.93903
0.559
1.268
1
1
0.462
Hasil uji regresi linear sederhana (Tabel 4) untuk memprediksi tingkat kelimpahan ikan famili Chaetodontidae melalui persentase tutupan karang buatan didapatkan angka r2 (koefisien determinasi) yaitu 0.559 yang menunjukkan bahwa terjadinya perubahan sebesar 55.9% dari jumlah kelimpahan ikan famili Chaetodontidae ditentukan oleh perubahan persentase tutupan karang buatan. 4.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis regresi dan korelasi didapatkan hubungan positif yang cukup kuat antara persentase tutupan karang dengan kelimpahan ikan indikator Famili Chaetodontidae. Nilai positif yang ditunjukkan dari hasil analisis mengambarkan bahwa semakin tinggi nilai persentase tutupan karang buatan maka semakin tinggi kelimpahan ikan famili Chaetodontidae. Hubungan tersebut diperkuat oleh nilai koefisien determinasi yaitu r2 sebesar 0.559 yang berarti sekitar 55,9% perubahan yang terjadi pada variabel dependen (kelimpahan famili Ikan Chaetodontidae) dapat ditentukan oleh perubahan variabel independen (persentase tutupan karang buatan). DAFTAR PUSTAKA Allen, G. R. and Admin, M. 2003. Coral Reef Fish of Indonesia. Review Article. Zoological studies 42(1): 1-72 Carpenter, K.E.; Niem V.H. (eds). FAO Species Identification Guide for Fihsery Puroses. The Living Resource of the Western Central Pacific. Volume 5. Bony fihses part 3 (Menidae to Pomacentridae). Rome, FAO. 2001. pp.2791-3380.
8
Chou, L. M. 1984. A Review of Coral Reef survey Methods in Singapure. UNESCO Reports in Marine Sciene No. 21. Chou, L.M., 1998. Status of Southeast Asian Coral Reefs . In : Status of Coral Reefs of the World : 1998. C. Wilkinson (Ed). Sida- Australian Institute of Marine Science- Iclarm Publ., Quensland, Australia. Dahuri, R., 2000. Kebijakan dan strategi pengelolaan terumbu karang Indonesia. Prosiding Lokakarya Pengelolaan dan Iptek Terumbu Karang Indonesia. LIPICOREMAP. Jakarta. English, S., C. Wilkinson, & V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville. Australia. Kuiter, R.H. 1992. Tropical reef-fishes of the Western Pacific Indonesia and Adjacent waters. Gramedia. Jakarta. KPP-COREMAP, 2001. Buku panduan pengelolaan berbasis masyarakat (PBM)COREMAP. COREMAP- Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Lieske, E. & R. Myers, 1997. Reef fishes of the World. Periplus Edition. Jakarta, Indonesia. Myers, R.H & R.E. Walpole. 1986. Ilmu Peluang dan Statistik untuk Insinyur dan Ilmuwan. ITB. Bandung. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut : Suatu pendekatan ekologi. Penerjemah: M. Eidman dkk. 1988. PT. Gramedia. Jakarta. Rahmat & Yosephine, 2001. Software Percent Cover Benthic Lifeform Versi 5.1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI. Jakarta. Rachmawati, R. 2001. Terumbu Buatan (Artificial Reef). Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanna Republik Indonesia. 53 p. Romimohtarto, K. & S. Juwana. 2005. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan tentang biologi laut. Cetakan ke 2. Djambatan. Jakarta. Sale, P. F. 1991. The Ecology of Fishes on Coral Reef. Academic Press, Inc. San Diego, 754 pp. Suharsono, 1996. Jenis-jenis karang yang umum dijumpai di Perairan Indonesia. Laporan Penelitian. Proyek Penelitian dan Pengembangan Daerah Pantai, LIPI. Suhartono.E, 2006. Metode Statistik. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Hal 27 Veron, J.E.N. 1986. Corals of Australia and The Indo-Pasific. Univ. of Hawaii Press. Honolulu.
9
Lampiran 1. Data hasil pegamatan komunitas ikan karang pada ekosistem terumbu buatan di Teluk Jemeluk, Bali selama penelitian pada tahun 2006 Lokasi Terumbu Karang Buatan No. Nama Jenis Pasir Halus Karang Rusak Pasir Kasar 1 Apogon aureus 202 2 Apogon compressus 13 488 3 Apogon frenatus 77 4 Apogon sp. 631 5 Archamia fucata 678 6 Aulostoma chinensis 4 7 Cirrhitichthys falco 2 8 Myripristis murdjan 1 9 Neoniphon sammara 1 10 Sargocentron rubrum 3 12 11 Eviota pellucida 15 16 12 Bodianus axilaris 1 13 Bodianus diana 1 14 Cheilinus trilobatus 2 15 Cheilinus unifasciatus 2 16 Coris gaimard 1 17 Coris pictoides 2 18 Halichoeres hortulanus 8 19 Halichoeres melanurus 2 20 Halichoeres trimaculatus 7 4 2 21 Labroides dimidiatus 4 2 10 22 Thalassoma hardwikii 2 23 Thalassoma lunare 21 24 Ostracion meleagris 1 25 Centropyge tibicen 9 26 Centropyge vrolikii 3 2 8 27 Pomacanthus imperator 2 28 Abudefduf sexfasciatus 20 29 Chromis amboinensis 20 30 Chromis margaritifer 4 31 Chromis retrofasciatus 8 32 Chromis scotochilopterus 3 33 Chromis ternatensis 21 34 Chromis viridis 6 35 Crysiptera cyanea 27 36 Dascyllus reticulatus 63 52 37 Dascyllus trimaculatus 110 5 86 38 Hemiglyphidodon sp. 3 39 Neopomacentrus azysron 12 40 Neopomacentrus cyanomos 43 41 Neopomacentrus violaceus 9 56 Paraglyphidodon 42 thoracotaeniatus 2 43 Plectroglyphidodon dickii 2 44 Plectroglyphidodon lacrymatus 8 45 Pomacentrus alexanderae 21 14
10
Lanjutan lampiran 1. Data hasil pegamatan komunitas ikan karang pada ekosistem terumbu buatan di Teluk Jemeluk, Bali selama penelitian pada tahun 2006 Lokasi Terumbu Karang Buatan No. Nama Jenis Pasir Halus Karang Rusak Pasir Kasar 46 Pomacentrus amboinensis 12 7 47 Pomacentrus bankanensis 8 48 Pomacentrus chrysurus 2 49 Pomacentrus mollucensis 4 14 14 50 Pomacentrus pavo 1 51 Pterois antennata 1 1 52 Pseudanthias dispar 77 499 53 Pseudanthias hutcii 14 54 Pseudanthias squammipinnis 241 55 Canthigaster valentini 10 4 56 Zanclus cornotus 1 4 57 Acanthurus blochii 1 14 58 Acanthurus lineolatus 5 59 Acanthurus xanthopterus 1 60 Ctenochaetus striatus 6 15 61 Naso vlamingii 2 62 Zebrasoma scopas 20 63 Albula sp. 42 64 Balistapus undulatus 4 2 65 balistoides viridescens 1 66 Suflamen bursa 1 67 Caesio cuning 5 68 Caesio teres 4 69 Pterocaesio lunaris 14 70 Pterocaesio tile 4 21 71 Carangoides ferdau 3 72 Plectorhynchus chaetodonoides 1 73 Plectorhynchus polytaenia 1 74 Lutjanus fulvus 7 75 Parupeneus barberinus 2 76 Parupeneus bifasciatus 2 77 Parupeneus cyclostomus 1 78 Scolopsis bilineatus 3 79 Scolopsis ciliatus 5 80 Plotosus lineatus 130 81 Scarus ghoban 1 82 Scarus rubroviolaceus 4 83 Chaetodon kleiini 6 4 84 Chaetodon speculum 12 85 Chaetodon vagabundus 20 36
11
Lanjutan lampiran 1. Data hasil pegamatan komunitas ikan karang pada ekosistem terumbu buatan di Teluk Jemeluk, Bali selama penelitian pada tahun 2006 Lokasi Terumbu Karang Buatan No. Nama Jenis Pasir Halus Karang Rusak Pasir Kasar 86 Chaetodon baronesa 2 8 87 Chaetodon decusates 4 4 88 Chaetodon trifasciatus 12 3 89 Chaetodon ulietensis 1 90 Heniochus diphreutes 2 5 91 Heniochus varius 8 Jumlah spesies 46 40 36 Total species 715 266 3338
12
Lampiran 2. Data karang yang teridentifikasi di area terumbu buatan Selama Penelitian di Perairan Teluk Jemeluk pada tahun 2006. Pasir Halus Karang Rusak Pasir Kasar Jenis (bahan beton) (bahan beton) (bahan ban) a b c d a b c d a b c d Hard corals (Acropora) 1 Acropora sp 12 5 5 6 7 3 6 2 Acropora tubulate 4 5 Hards corals (Non-Acropora) 1 Tubasastrea 1 1 1 2 Pocillopora 5 5 4 7 8 5 7 6 4 4 3 Astreopora sp 4 4 Chypastrea sp 3 5 Diploastrea 4 6 Favia 1 1 3 7 Favites sp 3 2 8 Goniastrea 5 6 3 9 Leptoria sp 1 10 Leptoseris sp 4 1 2 4 2 11 Lobophyllia sp 1 1 1 12 Montipora 16 3 4 2 13 Montastrea sp 2 14 Oulophyllia sp 1 2 3 15 Porites sp 7 10 4 6 4 5 3 16 Psammocora 1 17 Stylophora sp 2 10 3 5 18 Merulina sp 5 3 7 19 Symphilia sp 1 Other fauna 1 Chironephthya sp 2 Dendronephyta sp 1 2 3 Sinnularia 4 Ascidia sp 5 Eusynstyela sp 6 4 5 6 6 Polycarpa 3 5 3 3 3 2 7 4 3 7 Rhopalacea sp 3 5 3 7 2 3 3 8 Batzella sp 5 2 7 3 9 Callyspongia sp 1 2 10 Clathria sp 2 3 2 3 3 4 4 3 12 4 11 Cribochalina sp 3 2 4 4 2 2 2 5 3 2 12 Euplacea sp 4 8 2 5 8 13 Liosina 2 14 Stylotella sp 2 15 Theonella sp 8 3 5 2 16 Gelliodes sp 1 2 17 Palythoa sp 2 5 5 3 5 3 3 18 Anthipahes (kuning) 5 1 7 19 Cirrhipathes 3 2 3 20 Aglaophenia cupressina 8 3 7 2
13
Lanjutan lampiran 2. Data karang yang teridentifikasi di area terumbu buatan Selama Penelitian di Perairan Teluk Jemeluk pada tahun 2006. Pasir Halus Karang Rusak Pasir Kasar Jenis (bahan beton) (bahan beton) (bahan ban) a b c d a b c d a b c d 21 Diadema savignyi 8 9 2 22 Echinothrix calamaris 4 3 2 23 Comantella sp 3 1 3 5 24 Sabellidae 8 9 4 4 25 Sabellastarte sp 2 3 26 Acanthodesia 27 Bernaclea Algae 1 Enteromorpha 2 Padina sp 3 Dictyota sp 6 7 4 Turbinaria 1 2 5 Caulerpa 8 4 2 6 Cladophoropsis sp 4 7 Halimeda 9 20 Jumlah jenis 15 14 13 9 19 12 8 10 17 19 20 14 Jumlah individu 67 58 66 56 82 37 37 43 50 80 80 40 Persentase tutupan karang 61.75 49.75 62.5
14
SUMBERDAYA UDANG Macrobrachium spp. DI SUNGAI BANJARAN KABUPATEN BANYUMAS Oleh : Kusbiyanto1, Achmad Iqbal1, Setijanto1
ABSTRAK Sungai Banjaran merupakan salah satu sungai yang cukup besar dan aliran airnya secara alami mengalir sepanjang tahun. Tataguna lahan di sepanjang Sungai Banjaran sangat bervariasi yaitu, hutan, perkebunan, persawahan, perikanan dan pemukiman penduduk. Sungai Banjaran ditinjau dari peruntukannya, dimanfaatkan untuk MCK, dan sebagai tempat pembuangan limbah domestic. Kondisi tersebut berpotensi mempengaruhi kehadiran biota air termasuk udang Macrobrachium spp. Berdasarkan hal tersebut maka telah dilakukan penelitia tentang distribusi longitudinal udang Macrobrachium spp. di Sungai Banjaran Kabupaten Banyumas. Penelitian menggunakan metode survei. Pengambilan sampel udang dilakukan dari hulu ke hilir pada 3 stasiun dengan rona lingkungan berbeda, dan masing-masing rona lingkungan ditentukan 6 titik secara ”stratified random sampling”. Hasil Identifikasi diperoleh 4 spesies Macrobrachium yaitu M. cowlesi, M. idae, M. eskulentum dan M. oenone. M. cowlesi paling banyak ditemukan dan mendominasi daerah hilir. Nilai sex ratio menunjukkan bahwa individu jantan lebih melimpah daripada betina untuk setiap species. Kata kunci: distribusi longitudinal, Macrobrachium spp, Sungai Banjaran
1.
PENDAHULUAN
Udang merupakan salah satu sumberdaya hayati perairan yang cukup penting sebagai komoditas perikanan baik tawar maupun laut. Usaha budidaya udang laut seperti Penaeus monodon telah berkembang dengan pesat. Sementara itu, usaha budidaya udang air tawar dari genus Macrobrachium spp. belum begitu berkembang. Menurut Amri (2003) budidaya udang Macrobrachium belum banyak dilakukan oleh petani ikan dan udang karena udang tersebut memiliki ukuran tubuh lebih kecil jika dibandingkan dengan udang laut. Macrobrachium spp. merupakan udang air tawar yang termasuk dalam ordo Decapoda dengan ciri-ciri pleura segmen kedua menutupi sebagian dari pleura pertama dan ketiga. Periopod yang ketiga tidak memiliki chela. Insangnya bersifat polybranch (Ghufron et al., 1997). Adapun ciri genus Macrobrachium adalah duri supraorbital dan duri branchiostegal tidak ada, duri hepatik ada, mandibula dilengkapi palpus, dan memiliki dactylus pada periopod ketiga (Holthuis, 1955). Di Indonesia terdapat lebih kurang 30 species udang air tawar dari genus Macrobrachium (Holthuis, 1955). Namun menurut Amri (2003) udang Macrobrachium di Indonesia tinggal 19 species. Sementara itu, di Banyumas terdapat 8 species udang air tawar (Darbohoesodo, 1989). Akan tetapi Siregar et al. (2001) melaporkan bahwa species udang Macrobrachium di tiga sugai di wilayah Banyumas hanya ada 6 species, yaitu M. cowlesi, M. idea, M. Oenone, M lanchesteri, M. esculenum, dan Macrobrachium sp. Hal tersebut menjadi indikasi kuat bahwa sedang terjadi proses penurunan 1
Fakultas Biologi UNSOED
15
keeragaman udang Macrobrachium di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Banyumas. Untuk mencegah terjadinya kepunahan lebih lanjut pada sumberdaya udang Macrobrachium khususnya di wilayah Banyumas, maka perlu dilakukan berbagai upaya yang dapat mendukung kelestarian sumberdaya tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan kegiatan konservasi. Namun, sebelum kegiatan konservasi dapat diaplikasikan perlu dilakukan beberapa kegiatan awal diantaranya adalah studi mengenai daya dukung lingkungan sungai di wilayah Banyumas khususnya sungai banjaran, aspek bioekologi udang Macrobrachium ada penelitian ini akan dikaji mengenai aspek distribusinya. Beberapa udang air tawar cukup potensial untuk dibudidayakan seperti M. oenone, M. idea, M. cowlesi dadan sebagainya. Pn M. rosenbergii. Namun, di Indonesia saat ini udang air tawar yang banyak dibudidayakan hanya M. rosenbergii. Hal tersebut salah satunya diduga sedikitnya informasi ilmiah udang-udang air tersebut, terutama yang berasal dari Sungai Banjaran Banyumas. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian dasar mengenai aspek biekologi udang air tawar di Sungai Banjaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi sumberdaya udang macrobrachium spp. di Sungai Banjaran Kabupaten Banyumas yang meliputi komposisi jenis udang dan sex rasionya. Data tersebut sangat penting dalam menunjang upaya budidaya dan konservasi udang tersebut, khususnya di Sungai Banjaran. 2.
BAHAN DAN METODE
Sampel udang Macrobrachium diambil di Sungai Banjaran kota Purwokerto Kabupaten Banyumas mulai bulan Februari sampai dengan Maret 2005. Identifikasi udang dilakukan di Laboratorium Taksonomi Hewan Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Penelitian dilakukan dengan metode survei. Pengambilan sampel dilakukan dari hulu ke hilir yang dibagi dalam 3 stasiun dengan rona lingkungan berbeda. Pada tiap-tiap rona lingkungan ditentukan enam titik pengambilan sampel secara ”stratified random sampling”. Jarak antar stasiun pengambilan sampel adalah ± 0,5 km. Sampel udang dikoleksi dengan bantuan alat electroshocker 12 volt (jarak operasi ± 1 m2), ancho dan seser dengan ukuran mata 0,5 cm. Sampel udang yang diperoleh dimasukkan kedalam botol sampel yang telah diisi alkohol 70%. Masing-masing botol sampel diberi label sesuai dengan stasiun dan rona lingkungan di mana udang dikoleksi. Identifikasi udang Macrobrachium dilakukan mengikuti kunci determinasi dari Darbohoesodo (1991). Perbandingan jumlah individu jantan dan betina dihitung menggunakan rumus dari Lagler (1970) sebagai berikut : Sex Ratio = (∑ jantan/∑individu betina) x 100%.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan identifikasi dan determinasi diperoleh empat species udang Macrobrachium di Sungai Banjaran, yaitu M. cowlesi, M. idea, M. esculentum dan M. oenone. Jumlah individu pada masing-masing species dari 18 stasiun pengambilan sampel di tiga rona lingkunagan perairan Sungai Banjaran cukup bervariasi ( Tabel 1).
16
Tabel 1. Hasil tangkapan species udang Macrobrachium di Sungai Banjaran Stasiun No. Species ∑ 1 2 3 1. M. cowlesi 109 102 171 382 2. M. idea 0 21 82 103 3. M. esculentum 12 38 44 94 4. M. oenone 8 8 34 50 Species M. cowlesi merupakan jenis yang paling sering ditemukan (109 di stasiun I, 102 di stasiun II dan 171 di stasiun III), kemudian diikuti oleh M. esculentum di urutan kedua (12 di stasiun I, 38 di stasiun II dan 44 di stasiun III). Hal tersebut diduga karena kedua species memiliki kemampuan adaptasi lebih baik terhadap kondisi lingkungan jika dibandingkan dengan kedua species sisanya. Darbohoesodo (1989) menyatakan bahwa M. cowlesi dan M. esculentum memiliki daya tahan yang baik terhadap kondisi perairan yang kurang baik. Lebih lanjut dinyatakan bahwa meskipun udang air tawar membutuhkan air payau, akan tetapi M. cowlesi mampu memijah di air tawar. Hasil tangkapan udang menunjukkan bahwa M. cowlesi mendominasi pada semua rona lingkungan perairan Sungai Banjaran. Hal tersebut diduga karena M. cowlesi memiliki daya tahan terhadap kondisi lingkungan yang paling baik di antara empat species Macrobarchium yang ditemukan di sungai tersebut. Disamping itu, dominansi diduga terjadi karena M. cowlesi mampu memijah di air tawar, sementara tiga species lainnya tidak (Darbohoesodo, 1989). Kemampuan memijah di air tawar dibuktikan dengan tertangkapnya berbagai ukuran individu untuk M. cowlesi pada semua rona lingkungan yang diamati. Analisis sex ratio meunjukkan bahwa perbandingan antara individu jantan dan betina tidak seimbang. Individu jantan jumlahnya lebih banyak daripada betina. Sex ration tersebut berlaku untuk semua species Macrobrachium yang tertangkap (Tabel 1). Hal tersebut diduga terjadi karena pada waktu penelitian berlangsung bersamaan dengan musim penghujan yang merupakan musim memijah bagi udang. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil tangkapan yang menunjukkan bahwa 57-64% individu betina sedang mengerami telur. Menurut Ling (1969) dan Darbohoesodo (1989) udang Macrobrachium dapat memijah sepanjang tahun tetapi puncaknya terjadi pada akhir musim penghujan atau awal musim kemarau. Waktu memijah udang akan bermigrasi ke arah muara. Setiap udang betina akan diikuti 3-5 udang jantan (Ling, 1969; Hadie, 1995). Oleh karena itu cukup beralasan jika pada saat penelitian dilakukan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa udang jantan lebih banyak daripada betina. Tabel 1. Sex ratio udang Macrobrachium spp pada tiga rona lingkungan. No. Species Stasiun Jumlah Betina I (%) II (%) III (%) B (%) TB (%) 1. M. cowlesi 58,716 54,092 63,158 61 39 2. M. idea 57,143 58,537 57 43 3. M. esculentum 58,333 50,000 56,818 60 40 4. M. oenone 62,500 57,143 57,407 64 36 Keterangan: = tidak ditemukan B = bertelur TB = tidak bertelur
17
Menurut Ling (1969) dan Hadie (1995) sex ratio akan berpengaruh terhadap tingkat reproduksi dan pola penyebaran udang. Waktu memijah udang cenderung bergerombol atau mengelompok pada suatu habitat. Hal tersebut dilakukan disamping untuk mencari tempat berlindung, juga sebagai upaya mendapatkan habitat yang dapat menyediakan pakan dalam jumlah yang cukup bagi larvanya.
4.
KESIMPULAN
Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan terdapat 4 spesies Macrobrachium yaitu M. cowlesi, M. idae, M. eskulentum dan M. oenone. M. cowlesi merupakan jenis yang paling sering ditemukan, kemudian diikuti oleh M. esculentum di urutan kedua. Sex ration untuk semua species Macrobrachium yang tertangkap perbandingan antara individu jantan dan betina tidak seimbang. Individu jantan jumlahnya lebih banyak daripada betina.
DAFTAR PUSTAKA Amri, K. 2003. Budidaya udang windu secara intensif. Agromedia Pustaka, Jakarta. Darbohoesodo. 1989. Potensi sumberdaya udang air tawar di daerah Banyumas. Makalah Workshop tentang Potensi Macrobrachium spp. PAU Ilmu Hayati ITB. ____________. 1989. Buku determinasi dan identifikasi udang-udang Macrobrachium. Jurusan Zoologi Fakultas Biologi Unsoed, Purwokerto. Ghufron, M.H.K.D. 1997. Budidaya air payau. Prizi, Bandung. Hadie, W. 1995. Pembenihan udang galah, usaha industri rumah tangga. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Hidayat, A. 1982. Kelimpahan dan penyebaran udang Penaeid muda di muara kali Sage Teluk Banten Jawa Barat. Fakultas Perikanan IPB, Bogor. Holthuis, L.B. 1955. Kunci determinasi genera dan subgenera Palaemonidae. Diterjemahkan dari “The Palaemonidae collected by The Sibolga Snellius Expedition with Remark on Other Species I”. Krebs, C.J. 1978. Ecology. The experimental analysis of distribution and abundance. Halper Raw Publication, New Yok. Ling, H.S. 1969. The general account of giant tiger prawn Macrobrachium rosenbergii de Man and method of rearing and culturing. IPEC. Contribution Paper No. 40. Siregar, A.S., T.P. Sinaga dan Setijanto. 2001. Studi ekologi fauna bentik (Macrobrachium spp.) di Sungai Banjaran, Pelus dan Logawa Kabupaten Banyumas. Biosfera 8 (1): xx-xx. Widha, W. 2003. Beberapa aspek biologi reproduksi lobster air tawar jenis red claw (Cherax quadricarinatus von Mortens; Crustacea, Parastacidae). Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.
18
PEMANFAATAN AKTINOMISETES YANG BERASOSIASI DENGAN NUDIBRANCH SEBAGAI PENGHASIL ANTIMIKROBA Oleh : Riyanti1, Jaka Widada2, and Ocky Karna Radjasa3
ABSTRAK Penemuan tentang senyawa bioaktif baru untuk antibiotik, antikanker, kosmetik, enzim dan lainnya banyak diperoleh dari bahan kimia produk alami biota penyusun ekosistem terumbu karang termasuk di dalamnya nudibranch. Nudibranch sebagai biota penyusun ekosistem terumbu karang mampu menghasilkan substansi kimia untuk pertahanan diri. Mikroorganisme yang berasosiasi dengan nudibranch diduga menghasilkan senyawa bioaktif yang sama dengan inangnya. Aktinomisetes dikenal sebagai sumber terbaik antibiotik yang telah banyak beredar di pasaran. Strain multi drugs resistant (MDR) memerlukan penanganan khusus karena telah terjadi peningkatan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan aktinomisetes yang berasosiasi dengan nudibranch dan melakukan penapisan aktinomisetes yang menghasilkan senyawa antimikroba khususnya strain MDR. Isolasi aktinomisetes dari nudibranch yang diambil dari Pantai Bandengan dan perairan Pulau Panjang. Uji antagonis isolat-isolat dilakukan terhadap strain MDR (MDR 6 E.coli, MDR 7 Enterobacter sp., MDR 13 Proteus sp., MDR 14 Staphylococcus sp.) Isolasi metabolit sekunder menggunakan pelarut etil asetat. Hasil ekstrak etil asetat diujikan terhadap strain MDR. Hasil sampling nudibranch diperoleh Jorunna sp. dan Chromodoris sp. Hasil isolasi aktinomisetes diperoleh 27 isolat dari Jorunna sp., sedangkan dari Chromodoris sp. sebanyak 12 isolat. Sepuluh isolat aktinomisetes mampu menghambat strain MDR melalui uji antagonis sel. Uji ekstrak etil asetat isolat menunjukkan ada 3 ekstrak yang mampu menghambat MDR 7, 13 dan 14 yaitu NBJ 24, NPC 8 dan NPC 12. MDR 6 tidak mampu dihambat oleh semua ekstrak. Isolat NPC 8 memiliki aktivitas penghambatan paling tinggi. Kata kunci: nudibranch, aktinomisetes, metabolit sekunder, etil asetat, MDR strain
1.
PENDAHULUAN
Terumbu karang Indonesia merupakan salah satu sumber daya hayati laut dangkal yang memiliki daya pesona karena kekayaan dan keanekaragaman yang paling lengkap di dunia. Beberapa penemuan tentang senyawa bioaktif baru untuk antibiotik, antikanker, kosmetik, enzim dan lainnya banyak diperoleh dari bahan kimia produk alami biota penyusun ekosistem terumbu karang termasuk di dalamnya nudibranch (Burgess et al., 2003; Radjasa dan Sabdono, 2003; Radjasa et al., 2006). Senyawa bioaktif dari laut merupakan bagian penting dari penelitian produk alami selama beberapa tahun terakhir ini. Produk alami ini bisa diperoleh baik dari tanaman, biota maupun mikroorganisme 1
Jurusan Perikanan dan Kelautan,Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Pertanian,Universitas Gadjah Mada 3 Jurusan Ilmu Kelautan,Universitas Diponegoro 2
19
laut. Senyawa bioaktif yang diisolasi dari mikroorganisme merupakan sumber antibiotik yang telah banyak beredar dipasaran (Pela´ez, 2005; Busti et al., 2006; El-sersy dan Abou-Elela, 2006; Lam, 2006). Mikroorganisme yang bersimbiosis dengan invertebrata laut diduga sebagai kandidat terbaik sebagai sumber obat (Haygood et al., 1999; Piel, 2004). Mikroorganisme tersebut biasanya menghasilkan senyawa yang sama persis atau hampir sama dengan senyawa yang dihasilkan oleh inangnya (Kelecom, 2002). Aktinomisetes dikenal sebagai sumber terbaik antibiotik yang telah banyak beredar di pasaran (Mincer et al., 2002; Busti et al., 2006). Antimicrobial resistance menjadi masalah di bidang kesehatan hampir di seluruh dunia, baik di rumah sakit maupun di masyarakat.Menurut Magarvey (2004), telah terjadi peningkatan kasus drug-resistant pathogen dan terbatasnya strategi seperti pengadaan agen baru yang dapat digunakan untuk terapi antimikroba. Nudibranch telah diketahui sebagai penghasil senyawa bioaktif metabolit sekunder (Fahey dan Caroll, 2007). Keberadaan aktinomisetes yang berasosiasi dengan nudibranch telah memungkinkan penggunaan organisme tersebut sebagai sumber utama aktinomisetes yang baru dan sumber senyawa bioaktif termasuk senyawa antimikroba khususnya dalam menangani strain multi-drugs resistant (MDR) . 2.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
2.1.
Tempat Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan di perairan Pulau Panjang dan pantai Bandengan, Jepara, Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Aktinomisetes Program Studi Bioteknologi, PAU Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2.2.
Bakteri Patogen
Isolat strain multidrugs-resistant (MDR) dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik, Rumah Sakit Kariadi/Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Isolat strain MDR diisolasi dari nasal swab dan rectal swab pasien di Rumah Sakit Kariadi Semarang. Isolat yang digunakan adalah MDR 6 E. coli, MDR 7 Enterobacter sp., MDR 13 Proteus sp., dan MDR 14 Staphylococcus sp. Isolat bakteri patogen standar diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran,UGM. 2.3.
Isolasi Aktinomisetes yang berasosiasi dengan Nudibranch
Isolasi aktinomisetes dari sampel nudibranch sesuai dengan metode Burgess et al., 2003. Sampel nudibranch dicuci dengan air laut steril, kemudian dipotong – potong. Hasil potongan sampel ini diblender, kemudian sampel dimasukkan cawan petri. Sepuluh gram sampel nudibranch dimasukkan kedalam erlenmeyer berisi 90 mL air laut steril, didapatkan pengenceran 10-1 Pengenceran10-1 tersebut diambil 1 ml sampel dengan pipet steril dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml air laut steril dan akan diperoleh pengenceran 10-2. Demikian selanjutnya sehingga diperoleh pengenceran sampel 10-3; 10-4; dan 10-5. Masing-masing seri pengenceran tersebut selanjutnya diambil 1 ml sampel dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril yang dituangi dengan media starch nitrat. Cawan petri tersebut selanjutnya diinkubasikan pada suhu 30oC selama ±7 hari.
20
2.4.
Uji Antagonistik Aktinomisetes terhadap Multidrugs Resistant (MDR) Strain
Media starch nitrate dituang pada petri dish steril, dibiarkan hingga memadat. Sel dari aktinomisetes yang telah dihomogenkan dengan air laut steril diambil dengan lidi kapas, kemuidan di streak pada medium hingga rata, inkubasi selama 7 hari. Setelah hari ketujuh siapkan bakteri uji yaitu multidrug resistant (MDR) strain. Media nutrient agar dituang pada petri dish steril, dibiarkan sampai padat. Sel MDR strain yang telah dihomogenkan dengan aquades steril diambil menggunakan lidi kapas, kemudian di streak pada media hingga merata. Sel aktinomisetes diambil dengan diameter ±5 mm, diletakkan diatas sel MDR strain, kemudian inkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. 2.5.
Ekstraksi Metabolit Sekunder
Sel aktinomisetes sebanyak 1 ose dari agar miring ditumbuhkan pada 100 ml media cair di dalam erlenmeyer, lalu digoyang menggunakan shaker selama waktu optimum kultur. Kultur cair kemudian dipanen, diambil supernatan kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Ekstraksi metabolit dilakukan dengan fraksi etil asetat (1:1). Supernatan dimasukkan ke dalam corong pemisah, diikuti dengan etil asetat. Larutan digojok kuat selama 10 menit, didiamkan selama 10 menit sampai terpisah antara fase etil asetat dengan fase organik. Fase etil asetat dievaporasi sampai diperoleh ekstrak kering. 2.6.
Uji Aktivitas Ektrak Etil Asetat Isolat Terpilih
Media nutrient agar dituang pada petri dish steril, dibiarkan sampai padat. Sel MDR strain yang telah dihomogenkan dengan aquades steril diambil menggunakan lidi kapas, kemudian di streak pada media hingga merata. Ekstrak metabolit sekunder dilarutkan dengan pelarut etil asetat hingga homogen. Paper disk diletakkan diatas petri dish tersebut, kemudian diteteskan ± 20µl ekstrak. Hasil uji aktivitas diamati setelah 24 jam yang ditunjukkan adanya zona bening.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Isolasi Dan Seleksi Aktinomisetes yang Berasosiasi dengan Nudibranch
Nudibranch yang diambil dari Pantai Bandengan adalah jenis Jorunna sp., sedangkan dari perairan Pulau Panjang jenis Chromodoris sp. (Gambar 1). Ukuran tubuh Chromodoris sp berkisar sepanjang 130 mm , sedangkan Jorunna sp. sekitar 100 mm. Isolasi aktinomisetes dengan médium starch nitrat air laut dari Jorunna sp. mendapatkan 27 isolat, sedangkan dari Chromodoris sp. sebanyak 12 isolat.
a b Gambar 1. Nudibranch yang diambil dari Pantai Bandengan dan perairan Pulau Panjang (a) Chromodoris sp. dan (b) Jorunna sp.
21
Pada saat sampling, nudibranch ditemukan di daerah sekitar terumbu karang. Menurut Allen dan Steene (2002), nudibranch hidup di hampir semua kedalaman, tetapi mereka mencapai ukuran terbesar dan lebih bervariasi di perairan dangkal yang hangat. Nudibranch paling banyak di temukan pada daerah terumbu karang. Data lingkungan yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa kecepatan arus tergolong sedang. Pada saat sampling yaitu pada bulan April merupakan musim peralihan dari Barat ke Timur. Nudibranch yang ditemukan di kedua perairan sangat jarang, bahkan hanya ditemukan satu jenis setiap daerah titik sampling. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan kecepatan arus yang mempengaruhi pergerakan nudibranch. Kondisi arus ini menyebabkan nudibranch mencari posisi yang aman didalam terumbu karang agar tidak terbawa arus. Menurut Wyeth dan Willows (2006), nudibranch berinteraksi baik pasif maupun aktif dengan aliran air tergantung kecepatan arus. Nudibranch diketahui sebagai penghasil senyawa bioaktif metabolit sekunder. Metabolit diperoleh dari sumber makanan (Cimino et al., 2001) atau biosintesis de novo (Cimino et al., 2004). Nudibranch diketahui mempunyai hubungan simbiosis dengan beberapa mikroorganisme. Produk alam yang selama ini telah berhasil diisolasi diduga berasal dari mikroorganisme asosiasinya (Haygood et al., 1999; Kelecom, 2002). Hal ini memungkinkan bahwa metabolit yang diisolasi dari invertebrata laut merupakan mikroba tersebut yang diperoleh melalui rantai makanan (Proksch et al., 2003). Aktinomisetes laut tumbuh pada médium ini sekitar 4 – 7 hari. Isolat yang berhasil diisolasi dengan medium ini memiliki pigmen yang berbeda–beda yaitu putih, coklat, kuning dan oranye. Medium starch nitrat laut dipilih sebagai médium untuk menyeleksi aktinomistes laut sebanyak mungkin dan meminimalisir bakteri selain aktinomisetes laut. Medium ini juga memberikan pigmentasi dan karakter yang berbeda (Ghanem dan Nevine, 2000).
Gambar 2. Hasil uji antagonis isolat – isolat aktinomisetes terhadap MDR 7 Hasil uji antagonis beberapa sel aktinomisetes dengan MDR 7 ditunjukkan pada Gambar 2. Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa hasil uji sel aktinomisetes menunjukkan adanya zona bening. Hal ini berarti isolat tersebut mempunyai aktivitas penghambatan terhadap strain MDR. Uji antagonis sel ini sebagai langkah awal untuk menyeleksi secara cepat isolat – isolat aktinometes yang diduga mampu menghasilkan metabolit sekunder untuk menghambat strain MDR.Hasil uji antagonis isolat-isolat aktinomisetes terhadap MDR 6, MDR 7, MDR 13 dan MDR 14 ditunjukkan pada Tabel 1. Hasil ini menunjukkan bahwa ada 10 isolat yang mampu menghambat MDR 7, MDR 13 dan MDR 14 yaitu NBJ 3, NBJ 7, NBJ 24, NBJ 25, NBJ 27, NPC 8, NPC 9, NPC 10, NPC 11, dan NPC 12. Isolat aktinomisetes tidak ada yang mampu menghambat MDR 6.
22
Tabel 1. Hasil uji antagonis isolat – isolat aktinomisetes dengan strain MDR Kode Isolat NBJ 1 NBJ 2 NBJ 3 NBJ 4 NBJ 5 NBJ 6 NBJ 7 NBJ 8 NBJ 9 NBJ 10 NBJ 11 NBJ 13 NBJ 14 NBJ 15 NBJ 16 NBJ 17 NBJ 18 NBJ 19 NBJ 20
MDR 6 -
Bakteri uji MDR MDR 7 13 + + + + -
MDR 14 + + -
Kode Isolat NBJ 21 NBJ 22 NBJ 23 NBJ 24 NBJ 25 NBJ 26 NBJ 27 NPC 1 NPC 2 NPC 3 NPC 4 NPC 5 NPC 6 NPC 7 NPC 8 NPC 9 NPC10 NPC11 NPC12
MDR 6 -
Bakteri Uji MDR MDR MDR14 7 13 + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
+ : mampu menghambat bakteri uji ; - : tidak menghambat bakteri uji Berdasarkan hasil uji antagonis sel aktinomisetes dengan strain MDR, dapat diketahui bahwa dari 39 isolat aktinomisetes sekitar 25% mampu menghambat strain MDR 7 yaitu Enterobacter sp. yang merupakan bakteri Gram negatif. Strain MDR 13 dan MDR 14 masing-masing masing juga mampu dihambat oleh 25% isolat aktinomisetes. Strain MDR 13 adalah Proteus sp. yang merupakan bakteri Gram negatif dan strain MDR 14 adalah Staphylococcus sp. yang merupakan an bakteri Gram positif. Semua isolat aktinomisetes tidak mampu menghambat strain MDR 6. MDR 6 adalah E. coli, bakteri Gram negatif yang resistan terhadap ampicilin, tetracycline, dan SXT. Kurva pengukuran harian berat kering sel isolat terpilih dan akti aktivitas ekstrak etil asetat terhadap MDR digunakan sebagai dasar untuk memperkirakan waktu pemanenan sel untuk pengujian aktivitas ekstrak metabolit sekunder. Kurva pengukuran harian berat kering sel isolat terpilih dan aktivitas ekstrak etil asetat terhadap terhada p MDR 7 disajikan pada Gambar 3, 4, dan 5.
Gambar 3. Kurva hubungan antara pengukuran harian berat kering sel isolat NBJ 24 terpilih dan aktivitas ekstrak etil asetat terhadap MDR 7
23
Berdasarkan Gambar 3, terlihat bahwa isolat NBJ 24 mengalami fase adaptasi sampai hari ke 3, memasuki fase pertumbuhan eksponensial pada hari ke 4 dan fase stasionair terjadi pada hari ke 6. Hasil pengukuran aktivitas ekstrak etil asetat isolat NBJ 24 menunjukkan, bahwa aktivitas ekstrak etil asetat paling tinggi terjadi pada hari ke 12, meskipun sudah mulai menunjukkan aktivitas pada hari ke 10.
Gambar 4. Kurva hubungan antara pengukuran harian berat kering sel isolat NPC 8 terpilih dan aktivitas ekstrak etil asetat terhadap MDR 7 Berdasarkan Gambar 4, terlihat bahwa isolat NPC 8 mengalami fase adaptasi sampai hari ke 3, memasuki fase pertumbuhan eksponensial pada hari ke 4 dan fase stasionair terjadi pada hari ke 7. Hasil pengukuran aktivitas ekstrak etil asetat isolat NPC 8 menunjukkan bahwa aktivitas ekstrak etil asetat asetat paling tinggi terjadi pada hari ke12, meskipun sudah mulai menunjukkan aktivitas pada hari ke 10. Berdasarkan Gambar 5, terlihat bahwa isolat NPC 12 mengalami fase adaptasi sampai hari ke 3, memasuki fase pertumbuhan eksponensial pada hari ke 4 dan ffase stasionair terjadi pada hari ke 6. Hasil pengukuran aktivitas ekstrak etil asetat isolat NPC menunjukkan bahwa aktivitas ekstrak etil asetat paling tinggi terjadi pada hari ke 10, meskipun sudah mulai menunjukkan aktivitas pada hari ke 8.
Gambar 5. Kurva hubungan antara pengukuran harian berat kering sel isolat NPC 12 terpilih dan aktivitas ekstrak etil asetat terhadap MDR 7
24
3.2.
Uji Aktivitas Ekstrak Etil Asetat Terhadap Strain MDR
Tabel 2. Hasil uji ekstrak etil esetat dengan strain standar diameter paper disc : 8 mm Ekstrak etil asetat Diameter (mm) Escherichia coli Staphylococcus aureus NBJ 24 16,5 19,5 NPC 8 15,0 20,8 NPC 12 16,3 21,4 Sumber Isolat: Laboratorium Mikrobiologi Kedokteran UGM Hasil ekstrak etil asetat isolat terpilih dilakukan uji dengan strain standar Escherichia coli dan Staphylococcus aureus (Tabel 2). Masing – masing isolat mewakili bakteri Gram negatif dan Gram positif. Uji ini dilakukan sebagai kontrol positif dari hasil uji aktivitas ekstrak etil asetat dengan strain MDR. Berdasarkan Tabel 2, ekstrak etil asetat memiliki aktivitas terhadap strain Escherichia coli dan Staphylococcus aureus yang ditunjukkan adanya zona bening sehingga bisa dikembangkan untuk senyawa antimikroba. Ekstrak etil asetat dari NPC 9 dan NPC 10 tidak mampu menghambat strain tersebut. Ekstrak etil asetat yang mampu menghambat strain stándar ini kemudian diujikan dengan strain MDR. Hasil uji aktifitas ekstrak etil asetat NBJ 24, NPC 8, NPC 9, NPC 10, dan NPC 12 ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa hanya ada 3 ekstrak etil asetat yang mempunyai aktivitas terhadap MDR 7, MDR 13 dan MDR 14 yaitu NBJ 24, NPC 8 dan NPC 12. Semua ekstrak etil asetat tidak mampu menghambat strain MDR 6. Diameter zona hambat paling besar adalah ekstrak NPC 8 saat menghambat MDR 7 yaitu 18,8 mm. Hal ini mungkin disebabkan oleh kepolaran senyawa aktif, sehingga tidak tertarik pada pelarut yang digunakan. Metabolit yang diperoleh kemungkinan memiliki tingkat kepolaran yang tinggi atau sangat rendah. Tabel 3. Hasil pengukuran zona hambat uji ekstrak etil asetat terhadap strain MDR6, MDR7, MDR13, dan MDR 14 Ekstrak Diameter (mm) Etil asetat MDR 6 MDR 7 MDR 13 MDR 14 NBJ 24 9,1 12,0 11,2 NPC 8 18,8 11,5 11,8 NPC 12 14,8 12,8 15,3 Diameter paper disc : 8 mm Strain MDR 7 Enterobacter sp., MDR 13 Proteus sp. adalah bakteri Gram negatif, sedangkan MDR 14 Staphylococcus sp. adalah bakteri Gram positif. Strain–strain MDR tersebut mampu dihambat aktivitasnya oleh ekstrak etil asetat dari isolat terpilih. Strain yang tidak mampu dihambat adalah MDR 6 Escherichia coli. E.coli memang dikenal sebagai bakteri pathogen dan menyebabkan beberapa infeksi. Menurut Ogunleye et al. (2008) E.coli merupakan bakteri Gram negatif yang paling banyak menyebabkan infeksi. E. coli merupakan famili Enterobacteriaceae yang menunjukkan peningkatan resistansi dan menimbulkan masalah pada terapi (Johnson dan O’Bryan, 2000; Moniri et al., 2003). Hasil pengamatan terhadap uji ekstrak etil asetat ini dapat diketahui bahwa zona bening yang terbentuk masih nampak jernih lebih dari 24 jam. Hal ini diduga ekstrak etil asetat mampu menyebabkan kematian sel strain MDR. Pengamatan terhadap uji ekstrak etil asetat ini juga tidak ditemukan warna zona menjadi keruh, kemungkinan sel bakteri
25
uji mengalami lisis. Menurut Brock dan Madigan (1991) sifat bakterisidal mencegah pertumbuhan dan menyebabkan kematian, namun tidak menyebabkan sel bakteri menjadi lisis. Berbeda dengan bakterisidal, bakterilitik bekerja dengan cara membuat lisis sel-sel bakteri. Proses lisisnya sel bakteri dapat terlihat dari penurunan jumlah sel ataupun kekeruhan setelah bahan tersebut ditambahkan.
DAFTAR PUSTAKA Allen G.R., Steene R. 2002. Indo-Pacific Coral Reef Field Guide. Tropical Reef Research Singapore. Brock, T.D. and M.T. Madigan. 1991. Biology of Microorganism. Fifth Edition. Prentice Hall International. New Jersey.:714-718. Burgess, J.G., K.G. Boyd, E. Amstrong, Z. Jiang, L. Yan, M. Berggren, U. May, T. Pisacane, A. Granmo, and D.R. Adams. 2003. Development of a Marine Natural Product-Based Antifouling Paint. Biofouling.19: 197-205. Busti. E., P. Monciardini, L. Cavaletti, R. Bamonte, A. Lazzarini, M. Sosio and S. Donadio. 2006. Antibiotic-producing ability by representatives of a newly discovered lineage of actinomycetes. Microbiology.152 : 675–683. Cimino, G., M.L. Ciavatta, A. Fontana, A. Cutignano and M. Gavagnin. 2004. Biosynthesis in opisthobranch mollusks: general outline in the light of recent use of stable isotopes. Phytochem. Rev. 3:285–307. El-sersy, N.A and G.M. Abou-Elela. 2006. Antagonistic effect of Marine Nocardia brasiliensis against the fish pathogen Vibrio damsella: Application of PlackettBurman experimental design to evaluate factors affecting the production of the bacterial agent. International J of Oceans and Oceanography.1: 141150.Margavey, N.A., Keller, J.M., Bernan, V., Dworkin, M. Sherman, D.H., 2004, Isolation and Characterization of Novel Marine-Derived Actinomycete Taxa Rich in Bioactive Metabolites, Applied and Environmental Microbiology.70:7520 – 7529. Fahey, S.J, and A.R. Caroll. 2007. Natural product isolated from species of Hagerda Bergh, 1880 (Mollusca: Nudibranchia) and their ecological and evolutionary implications. J Chem Ecol. 33: 1226 – 1234. Ghanem, Nevine B., Soraya A. Sabry, Zeinab M. El-Sherif, and Gehan A. Abu El-Ela. 2000. Isolation and enumeration of marine actinomycetes from seawater and sediments in Alexandria. J. Gen. Appl. Microbiol. 46:105-111. Haygood, M.G, E.W. Schmidt, S.K. Davidson and D.J. Faulkner. 1999. Microbial symbionts of marine invertebrates: Opportunities for microbial biotechnology. J Molec Microbiol Biotechnol .1(1): 33-43. Kelecom, A. 2002. Secondary metabolites from marine microorganisms. Anais da Academia Brasileira de Ciencias. 74(1): 151-170. Lam, K.S. 2006. Discovery of novel metabolites from marine actinomycetes. Current Opinion in Microbiology. 9: 245 – 251.
26
Mincer TJ, Fenical W, Jensen PR. 2005. Culture-dependent and culture-independent diversity within the obligate marine actinomycete genus Salinispora. Appl Environ Microbiol 71:7019-7028. Moniri R., A. Khorshodi., H. Akbari. 2003. Emergence of Multidrug Resistant Strains of Escherichia coli Isolated from Urinary Tract Infections. Iranian J Publ Health. 32 (4) : 42-46. Pelaez, F. 2005. The Historical delivery of antibiotics from microbial natural products – Can history repeat?, Biochemical Pharmacologu 71 (2006) 981 – 990.Prunet, C., Lemaire-Ewing, S., Ménétrier, F., Néel, D., and Lizard, G., 2005, Activation of Caspase-3-Dependent and –Independent Pathways During 7-Ketocholesterol- and 7β-Hydroxycholesterol- Induced Cell Death: A Morphological and Biochemical Study, Journal of Biochemical and Molecular Toxicology.19(5): 311-326. Piel, Jörn. 2004. A polyketide synthase-peptide synthetase gene cluster from an uncultured bacterial symbiont of Paederus beetles. Proc Natl Acad Sci USA. 2002 October 29; 99(22). Proksch. P., R. Edrada-Ebel and R. Ebel . 2003. Drugs from teh sea-opportunities and obstacles. Marine Drugs.1 : 5- 17. Radjasa, O.K., T.Martens., T.Brinkoff., H-P. Grossart, A.Sabdono., and M. Simon. 2006. Antagonistic activity of a marine bacterium Pseudoalteromonas luteoviolacea TAB4.2 associated with coral Acropora sp. J. Biol. Sci. Radjasa, O.K., and A.Sabdono. 2003. Screening of secondary metabolite-producing bacteria associated with corals using 16S rDNA-based approach. J. Coast. Dev. 7: 11-19. Wyeth, R.C. and A.O.D.Willows. 2006. Field Behaviour of the Nudibranch Mollusc Tritonia diomedea. Biol. Bull. 210: 81–96.
27
EFEKTIVITAS BIOSURFAKTAN DALAM PROSES BIODEGRADASI FLUORENE OLEH BAKTERI HIDROKARBONOKLASTIK Oleh : Nuning Vita Hidayati1, Agung Dhamar Syakti2 ABSTRAK Fluorene merupakan salah satu komponen penyusun minyak bumi yang merupakan zat pencemar utama di lingkungan wilayah pesisir. Terkait dengan toksisitasnya, US EPA memasukkan fluorene dalam daftar 16 polutan yang menjadi prioritas EPA. Salah satu cara yang belakangan ini banyak dikembangkan untuk penanggulangan pencemaran oleh fluorene yaitu dengan menggunakan bakteri hidrokarbonoklastik yang mampu memanfaatkan fluorene sebagai sumber karbon dan energi. Namun demikian, fluorene memiliki karakteristik sukar larut dalam air (hidrofobik), sehingga ketersediaannya menjadi terbatas bagi bakteri. Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan biologis fluorene bagi bakteri dengan penambahan biosurfaktan. Penelitian dilakukan dengan menambahkan biosurfaktan yang dihasilkan bakteri dari dua sumber karbon yang berbeda. Uji biodegradasi dilakukan dengan empat perlakuan, yaitu : (1) kontrol; (2) bakteri + fluorene, (3) bakteri + fluorene + biosurfaktan dari sumber karbon amonium asetat, dan (4) bakteri + fluorene + biosurfaktan dari sumber karbon crude oil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat degradasi tertinggi dicapai pada perlakuan dengan penambahan biosurfaktan dari crude oil. Penambahan biosurfaktan telah meningkatkan efektivitas biodegradasi fluorene antara 1,6 – 2,3 kali dibanding tanpa penambahan biosurfaktan. Oleh karenanya, biosurfaktan sangat berpotensi untuk diaplikasikan dalam proses bioremediasi lingkungan tercemar fluorene. Kata kunci : Pencemaran, bakteri hidrokarbonoklastik, biosurfaktan, PAHs, biodegradasi 1.
PENDAHULUAN Fluorene, senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik, merupakan salah satu komponen penyusun minyak bumi yang sampai saat ini masih merupakan sumber energi utama bagi aktivitas manusia dan industri. Fluorene juga umum terdapat sebagai hasil emisi kendaraan bermotor, minyak mentah, dan pembakaran bahan bakar batubara. Terkait dengan potensi bahayanya, US EPA (Environmental Protection Agency) telah memasukkan fluorene dalam 16 daftar polutan prioritas EPA dan kajian mengenai upaya penanggulangannya menjadi penting untuk dilakukan. Salah satu metode yang saat ini banyak dikembangkan untuk penanggulangan pencemaran fluorene adalah dengan metode biologis. Penanggulangan pencemaran hidrokarbon dengan memanfaatkan agen-agen biologi, terutama bakteri sudah cukup banyak dikembangkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri efektif untuk menurunkan konsentrasi hidrokarbon melalui proses biodegradasi, diantaranya Obuekwe (2001), Saraswathy dan Hallberg (2002), Damne et al. (2003), Syakti et al. (2004), dan Mohammed et al. (2006). Bakteri-bakteri tersebut mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon dengan memanfaatkan hidrokarbon sebagai sumber karbon dan energi yang diperlukan bagi pertumbuhannya (Itagaki dan Ishida, 1999; Kasai et al., 2001; Tazaki, 2003). Selain itu bakteri juga menghasilkan biosurfaktan, yang diketahui mempunyai peran penting dalam proses biodegradasi hidrokarbon minyak bumi (Giedraitytė et al., 2001; Jenning, 2001; Rashedi et al., 2005; Zhang et al., 2005; dan Krepsky, 2007). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas biosurfaktan dalam biodegradasi hidrokarbon, dalam hal ini adalah fluorene. fluorene 1 2
Jurusan Perikanan dan Kelautan – Universitas Jenderal Soedirman Institut Pertanian Bogor
28
dijadikan sebagai model kontaminan untuk penelitian karena alasan persistensi dan toksisitas serta sifat recalcitrant (sulit terdegradasi). Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam penanganan permasalahan lingkungan terkait dengan pencemaran hidrokarbon, sehingga keseimbangan dan fungsi ekosistem yang ada tetap terjaga dengan baik. 2.
METODOLOGI
2.1.
Sumber Bakteri
Bakteri yang digunakan adalah bakteri hidrokarbonoklastik yang diperoleh dari sedimen mangrove yang terkontaminasi minyak bumi mentah (Syakti et al., 2008). 2.2.
Penyegaran Isolat
Isolat bakteri diremajakan dengan cara memindahkan kultur ke medium agar miring (Marine agar) ke dalam medium agar miring yang baru. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Isolat ini siap digunakan sebagai biakan untuk propagasi. 2.3.
Kultivasi dan Adaptasi
Kultivasi dilakukan pada media Marine broth, dilakukan selama 2 x 24 jam, setelah itu dilakukan adaptasi. Adaptasi bakteri dilakukan melalui dua tahapan. Tahap pertama dilakukan dalam 100 ml medium garam mineral (Mineral Salt Medium, MSM) pada erlenmeyer 250 ml dengan komposisi : (g/l) NaNO3 14, KH2PO4 2, K2HPO4 4, KCl 0.2, MgSO4.7H2O 1, CaCl2.2H2O 0.02, FeSO4.7H2O 0.024, NaCl 5.0 dan 0.5 ml larutan trace element berisi (g/l) H3BO3 0.26, CuSO4.5H2O 0.5, MnSO4. H2O 0.5, MoNaO4.2H2O 0.06, ZnSO4 .7H2O 0.7. Media garam mineral tersebut ditambah NaCl 30% dan fluorene 1%. Selanjutnya diinkubasi pada waterbath shaker pada suhu 37°C, 2 x 24 jam, dengan kecepatan 150 rpm. Tahap kedua adaptasi dilakukan dengan mengambil kultur tahap I kemudian dimasukkan ke dalam medium MSM dan 2% fluorene lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 2 x 24 jam. Kultur mikroba yang telah teradaptasi ini selanjutnya digunakan untuk uji biodegradasi. 2.4.
Optimalisasi Kondisi Pertumbuhan Bakteri
Pada tahapan ini dilakukan proses pencarian kondisi yang optimal bagi pertumbuhan bakteri, yang meliputi : pH (membandingkan pertumbuhan bakteri pada pH 6,0 ; 7,0; dan 8,0); suhu (membandingkan pertumbuhan bakteri pada suhu ruang dan suhu 37°C; dan salinitas (membandingkan pertumbuhan bakteri pada salinitas media 20 ‰ dengan salinitas 30 ‰). 2.5.
Kurva Pertumbuhan Bakteri
Pembuatan kurva pertumbuhan dilakukan duplo selama 7 hari dan dianalisis setiap 24 jam dimulai pada jam ke-0. Dilakukan pula pengerjaan tanpa penambahan inokulum dan diinkubasi pada kondisi yang sama sebagai kontrol. Pertumbuhan mikroorganisme diamati dengan menghitung populasi bakteri menggunakan metode Total Plate Count (TPC). 2.6.
Uji Biodegradasi
Kajian biodegradasi fluorene dilakukan dalam erlenmeyer 500 ml yang berisi 200 ml media MSM, 1 ml trace element, serta ditambah fuorene 50 ppm (Lin dan Cai, 2008) dan biosurfaktan kasar. Sel bakteri yang telah diadaptasikan selama 3 x 48 jam kemudian dikultur selama 48 jam dan selanjutnya diinokulasikan ke dalam media perlakuan. Inkubasi dilakukan selama 28 hari pada rotary shaker dengan kondisi suhu 37ºC, pH 8, dan kecepatan 200 rpm. Adapun perlakuannya adalah sebagai berikut :
29
(1) (2) (3) (4)
Kontrol Bakteri + fluorene Bakteri + fluorene + ekstrak biosurfaktan (amonium asetat) Bakteri + fluorene + ekstrak biosurfaktan (crude oil)
Selama proses biodegradasi dilakukan pengamatan penurunan konsentrasi fluorene, pH, dan populasi bakteri yang dilakukan pada hari ke- 0, 2, 5, dan 28. Konsentrasi fluorene diukur dengan menggunkana GC/MS, pH diukur dengan menggunkana pH meter, dan populasi bakteri dihitung dengan metode TPC. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Optimalisasi Kondisi Pertumbuhan Bakteri Optimalisasi kondisi pertumbuhan bakteri dilakukan terhadap tiga parameter lingkungan, yaitu suhu, pH, dan salinitas (Gambar 1). Berdasarkan hasil uji optimalisasi didapatkan hasil bahwa bakteri tumbuh paling optimal pada kondisi suhu 37°C, pH 8, dan salinitas 30‰. Selanjutnya kondisi ini adalah kondisi yang dipakai pada uji biodegradasi fluorene.
Log jumlah sel (CFU/ml)
9
8
7
(a) 6
5 0
24
48
72
96
120
144
168
Jam ke -
"31ºC"
37ºC
Log jumlah sel (CFU/ml)
9
8
7
6
(b) 5 0
24
48
72
96
120
144
168
Jam ke -
pH 6
pH 7
pH 8
Log jumlah sel (CFU/ml)
9
8
7
(c)
6
5 0
24
48
72
96
120
144
168
Jam ke -
30 PSU
20 PSU
Gambar 1. Pertumbuhan bakteri pada berbagai kondisi suhu, pH, dan salinitas
30
3.2.
Kurva Pertumbuhan Bakteri
Kurva pertumbuhan merupakan replikasi dari populasi sel. Pertumbuhan mikroba didefinisikan sebagai pertambahan jumlah sel karena terjadi pembelahan sel (Black, 1999). Mikroorganisme mempunyai empat fase pertumbuhan yaitu fase lag, fase logaritmik, fase stasioner, dan fase kematian. Pertumbuhan bakteri pada sumber karbon fluorene mengalami masa penyesuaian yang cukup lama, hal ini ditunjukkan dengan lamanya fase lag pertumbuhan, yaitu sampai dengan jam ke-48. Kemudian pertumbuhan bakteri memasuki fase eksponensial mulai jam ke-48 sampai dengan jam ke-144 yang ditunjukkan dengan adanya lonjakan populasi bakteri, dan selanjutnya bakteri masuk fase stasioner sampai jam ke-168 (Gambar 2). Laju pertumbuhan spesifik maksimum bakteri yaitu 0,04/jam dengan waktu generasi mencapai 4,96 jam. Sebagai perbandingan, pada substrat berupa sucrose bakteri hanya membutuhkan waktu generasi 25 menit. Hal ini menunjukkan bahwa dibutuhkan waktu yang cukup lama bagi bakteri untuk bisa memanfaatkan fluorene sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan selnya. Hal ini disebabkan oleh struktur molekul dari fluorene yang merupakan hidrokarbon dengan 3 cincin benzena sehingga relatif sukar didegradasi. Hal tersebut ditunjang pula oleh solubilitas fluorene yang sangat rendah terhadap fase cair, yaitu hanya sebesar 1,685 ppm (May et al., 1978 dalam Futoma et al., 1981), sehingga ketersediaannya sebagai sumber karbon menjadi sangat terbatas bagi mikroorganisme. 10 9
Log jumlah sel
8 7 6 5 4 0
24
48
72
96
120
144
168
Jam ke -
Gambar 2. Kurva pertumbuhan bakteri pada media MSM-Fluorene Husain (2006) juga melaporkan bahwa Pseudomonas nautica 617 yang ditumbuhkan pada substrat non polar (tetradekana) mempunyai waktu generasi yang lebih lama dibanding substrat yang polar (Na-asetat). Pada substrat tetradekana, Pseudomonas nautica 617 mempunyai waktu generasi 300-360 menit, sedangkan pada substrat Naasetat hanya waktu generasinya hanya berkisar antara 120-150 menit. 3.3.
Penurunan Konsentrasi Fluorene Selama Proses Biodegradasi
Selama 28 hari proses degradasi, berdasarkan hasil analisis menggunakan GC/MS didapatkan penurunan konsentrasi fluorene sebesar 2% untuk perlakuan 1 (kontrol), 13% untuk perlakuan 2 (BM + PAH), 20% untuk perlakuan 3 (BM + PAH + BS-AA), dan 27,3% untuk perlakuan 4 (BM + PAH + BS-CO). Terjadinya penurunan konsentrasi sebesar 2% pada perlakuan kontrol merupakan indikasi adanya loss abiotic factors.
31
Penurunan fluorene (%)
Dengan demikian, penurunan konsentrasi fluorene oleh proses biologi (bakteri) untuk masing-masing perlakuan yaitu sebesar 11% untuk perlakuan 2(BM + PAH), 18% untuk perlakuan 3 (BM + PAH + BS-AA), dan 25% untuk perlakuan 4 (BM + PAH + BS-CO). 100
80
60
40 1
2
3
4
Perlakuan Hari ke-0
Hari ke-28
Gambar 3. Grafik penurunan PAH (%) pada perlakuan 1 (kontrol), 2 (BM + PAH), 3 (BM + PAH + BS-AA), dan 4 (BM + PAH + BS-CO) selama 28 hari inkubasi Diantara keempat perlakuan, perlakuan dengan penambahan biosurfaktan mampu meningkatkan biodegradasi fluorene. Hal ini dimungkinkan karena keberadaan biosurfaktan mampu meningkatkan ketersediaan karbon dari fluorene bagi bakteri. Biosurfaktan yang disintesis tersebut berperan dalam meningkatkan luas permukaan dan ketersediaan substrat, sehingga dapat dimanfaatkan oleh bakteri sebagai sumber karbon dan energi Cameotra dan Singh (2008). Penelitian Comeotra (2007) pada bioremediasi oil sludge juga menunjukkan bahwa pada perlakuan tanpa penambahan biosurfaktan, tingkat degradasi lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan dengan penambahan biosurfaktan, yaitu masing – masing 21,1 ± 2,06 % dan 25,7 ± 2,05 % setelah 8 minggu inkubasi. Demikian pula dengan hasil penelitian Hickey et al. (2007) yang membuktikan bahwa biosurfaktan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tingkat degradasi fluoranthene oleh Pseudomonas alcaligenes PA-10. Cubitto et al. (2004) juga melaporkan bahwa biosurfaktan yang dihasilkan oleh Bacillus subtilis 09 berpengaruh nyata terhadap akselerasi degradasi hidrokarbon alifatik. Penambahan biosurfaktan yang berasal dari sumber karbon crude oil lebih mampu meningkatkan biodegradasi fluorene dibandingkan biosurfaktan yang berasal dari sumber karbon amonium asetat. Hal ini dimungkinkan karena struktur biosurfaktan yang dihasilkan tersebut berbeda. Kleerebezem dan Hugenholtz (2000) menyatakan bahwa jenis sumber karbon berpengaruh terhadap biosurfaktan. Perbedaan sumber karbon ini menginduksi sel bakteri penghasil biosurfaktan untuk menggunakan jalur metabolik yang berbeda, yang pada akhirnya akan menghasilkan jumlah dan struktur biosurfaktan yang berbeda pula. Hasil yang sama dilaporkan pula oleh Hartoto (2002), Rodrigues et al. (2006), Batista et al. (2006), dan Das et al. (2008). Desai dan Desai (1993) menyatakan bahwa kemampuan bakteri dalam memanfaatkan karbon dari substrat pertumbuhannya akan menentukan pengubahan karbon tersebut dalam bentuk biosurfaktan. Biosurfaktan yang dihasilkan oleh masingmasing bakteri bisa saja berbeda kualitas maupun kuantitasnya ketika ditumbuhkan pada substrat yang berbeda. Hasil yang sama dilaporkan oleh Fatimah (2007) yang menumbuhkan Pseudomonas sp. pada media air laut sintetis dengan komposisi media dan konsentrasi bakteri yang sama, namun menghasilkan pengaruh yang berbeda karena adanya perbedaan sumber karbon.
32
Fluorene memiliki karakteristik sukar larut dalam air (hidrofobik), oleh karenanya ketersediaannya menjadi terbatas bagi bakteri. Biosurfaktan ini membantu bakteri mengasimilasi senyawa hidrokarbon ini sehingga dapat meningkatkan ketersediaan fluorene untuk dimanfaatkan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhannya. Biosurfaktan meningkatkan ketersediaan PAH melalui beberapa mekanisme, yaitu : (i) dispersi fase cair-non cair, dilakukan dengan meningkatkan area kontak antara PAH dengan sel melalui reduksi tegangan antarmuka antara fase cair-non cair; (ii) meningkatkan solubilitas polutan, dengan cara membentuk substrat yang berupa cairan menjadi misel-misel dan menyebarkannya ke permukaan sel bakteri, atau memecah substrat yang padat sehingga lebih mudah masuk ke dalam sel; dan (iii) memfasilitasi transport nutrien (Makkar dan Rockne, 2003). Tingkat degradasi fluorene oleh bakteri sebesar 25,3% pada perlakuan terbaik menunjukkan bahwa fluorene masih cukup sulit didegradasi oleh isolat tersebut. Hal yang sama dialami oleh isolat GPM2002 yang diisolasi dari sedimen mangrove di Teluk Ganabara, Brazil. Isolat tersebut hanya mampu mendegradasi pyrene, octane, dan phenanthrene berturut-turut sebesar 21%, 5%, dan 18% (Brito et al., 2006). Selain itu, kecilnya hasil degradasi juga bisa diakibatkan karena biodegradasi dilakukan oleh isolat tunggal. Lin dan Cai (2008) meneliti kemampuan masing-masing Bakteridan B. cereus dalam degradasi pyrene, dan mendapatkan hasil degradasi berurutan sebesar 6,8% dan 14,8% pada hari ke 12. Namun demikian ketika 2 isolat tersebut digabung dengan isolat lain sebagai satu konsorsium bakteri, presentase biodegradasi meningkat hingga 92,1% setelah 21 hari inkubasi. Faktor lain yang mempengaruhi tingkat biodegradasi adalah keseimbangan N dan P, yang dibutuhkan bakteri bagi proses konsumsi hidrokarbon. Mariano et al. (2007) dan Sook Oh et al. (2001) menyatakan bahwa kekurangan N dan P dapat menghambat kerja bakteri yang berimbas pada kecilnya tingkat degradasi bakteri terhadap sumber karbon yang tersedia. Namun demikian berdasarkan hasil yang didapatkan, biosurfaktan dari bakteri pada sumber karbon crude oil mampu meningkatkan efektivitas degradasi fluorene hingga mencapai 230% dibandingkan dengan perlakuan tanpa penambahan biosurfaktan. Dengan demikian, biosurfaktan ini sangat berpotensi untuk diaplikasikan dalam proses bioremediasi lingkungan tercemar PAHs, khususnya fluorene. 3.4.
Penurunan Ph Selama Proses Biodegradasi
Selama proses biodegradasi berlangsung, penurunan pH sangat kecil, yaitu dari 8.00 ± 0,01 ke 7,90 ± 0,10 untuk perlakuan 1, 8.00 ± 0,0 ke 7,86 ± 0,06 untuk perlakuan 2, 8.01 ± 0,0 ke 7.76 ± 0,11 untuk perlakuan 3, dan dari 8.01 ± 0,0 ke 8.01 ± 0,01. Penurunan terbesar dihasilkan pada perlakuan 3, yaitu sebesar 0,25. Penurunan ini sejalan dengan pola penurunan konsentrasi PAH, dimana perlakuan 3 merupakan perlakukan dengan penurunan konsentrasi terbesar. Penurunan pH ini mengindikasikan terbentuknya produk sampingan yang bersifat asam seperti asam suksinat, asam asetat, asam fumarat, asam piruvat dan lain-lain (Lin dan Cai, 2008) dalam proses biodegradasi. Tabel 1. Rerata pH selama 28 hari proses biodegradasi t keKontrol BM + PAH BM + PAH + BS-AA 0 2 5 28
8,01 ± 0,00 8,01 ± 0,04 8,00 ± 0,30 8,01 ± 0,01
8,00 ± 0,01 7,98 ± 0,03 7,91 ± 0,07 7,90 ± 0,10
8,00 ± 0,00 7.97 ± 0,02 7,89 ± 0,08 7,86 ± 0,06
BM + PAH + BS-CO 8,01 ± 0,00 7,93 ± 0,00 7,81 ± 0,09 7,76 ± 0,11
33
3.5.
Pertumbuhan Bakteri Selama Proses Biodegradasi
Selama proses biodegradasi, bakteri menunjukkan pertumbuhan yang berbeda pada masing-masing perlakuan (Tabel 2). Tabel 2. Rerata pertumbuhan bakteri selama 28 hari proses biodegradasi t keBM + PAH BM + PAH + BS-AA BM + PAH + BS-CO 0 2 5 28
1,7 ± 0,85 x 106 4,6 ± 3,17 x 106 7,7 ± 2,17 x 106 2,3 ± 1,63 x 107
2,0 ± 0,10 x 106 5,0 ± 3,6 x 106 1,9 ± 0,10 x 107 2,0 ± 0,04 x 108
1,0 ± 0,20 x 106 2,0 ± 0,58 x 107 7,5 ± 0,40 x 108 4,6 ± 4,07 x 109
Pertumbuhan bakteri tersebut sejalan dengan tingkat degradasi fluorene, yang mengindikasikan konsumsi fluorene sebagai sumber karbon bagi bakteri. Pada perlakuan tanpa penambahan biosurfaktan, bakteri tumbuh dari populasi awal sebesar 1,7 ± 0,85 x 106 sel/ml menjadi 2,3 ± 1,63 x 107 sel/ml pada hari ke-28. Adapun pada perlakuan dengan penambahan biosurfaktan dari amonium asetat, bakteri tumbuh dari 2,0 ± 0,10 x 106 sel/ml menjadi 2,0 ± 0,04 x 108 sel/ml. Pertumbuhan paling tinggi dicapai pada media dengan penambahan biosurfaktan dari crude oil yaitu dari populasi awal sebesar 1,0 ± 0,20 x 106 sel/ml menjadi 4,6 ± 4,07 x 109 sel/ml. Pertumbuhan bakteri yang lebih cepat dengan adanya penambahan biosurfaktan juga dilaporkan oleh Rahman et al. (2005). Pada penelitian tersebut, inokulasi awal bakteri dilakukan pada jumlah sel 2,4 x 105 sel/ml dan tumbuh menjadi 1,8 x 107 sel/ml setelah 28 hari pada perlakuan tanpa penambahan biosurfaktan. Sedangkan pada perlakuan dengan penambahan biosurfaktan, bakteri tumbuh dari 8,1 x 105 sel/ml menjadi 6,8 x 108 sel/ml setelah 28 hari.
DAFTAR PUSTAKA Batista SB, Mounteer AH, Amorim FR, dan Totola MR. 2006. Isolation and Characterization of Biosurfactant / Bioemulsifier-Producing Bacteria from Petroleum Contaminated Sites. Bioresource Technology 97 : 868–875. Brito EMS, Guyoneaud R, Goñi-Urriza M, Ranchou-Peyruse A, Verbaere A, Miriam A.C. Crapez, J. César A., Wasserman, dan Duran R. 2006. Characterization of hydrocarbonoclastic bacterial communities from mangrove sediments in Guanabara Bay, Brazil. Research in Microbiology 157 (2006) 752–762. Cameotra SS dan Singh P. 2008. Bioremediation of Oil Sludge using Crude Biosurfactants. International Biodeterioration and Biodegradation 62 : 274-280 Cubitto MA, Morán AC, Commendatore M, Chiarello MN, Baldini MD, Siñeriz F. 2004. Effects of Bacillus subtilis O9 biosurfactant on the bioremediation of crudepolluted soils. Biodegradation. 2004 5 : 281-7. Das P, Mukherjee S, dan Sen R. 2008. Improved Bioavailability and Biodegradation of a Model Polyaromatic Hydrocarbon by a biosurfactant producing bacterium ao marine origin. Chemosphere 72 : 1229 – 1234.
34
Desai JD dan Desai AJ. 1993. Production of Biosurfactants. In Kosaric (Ed). Biosurfactants : Production, Properties, Application. Marcel Dekker Inc. 6597. Giedraitytė G, Kalėdienė L, dan Bubinas A. 2001. Correlation between biosurfactant synthesis and Microbial Degradation of Crude Oil Hydrocarbons. Ekologija (Vilnius) 3 : 38-41. Fatimah. 2007. Uji Produksi Biosurfaktan oleh Pseudomonas sp pada Substrat yang Berbeda. Berk. Penel. Hayati 12 : 181-185. Futoma DJ, Smith, SR., Smith, TE., Tanaka, J. 1981. Polycyclic Aromatic Hydrocarbons in water system. CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida. 189p. Hartoto L. 2002. Perancangan proses dan Penggandaan Skala Produksi Biosurfaktan oleh Isolat Lokal Bacillus sp. BMN 14 dengan Substrat Tetes Tebu. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Hickey AM, Gordon L, Dobson ADW, Kelly CT, dan Doyle EM. Effect of Surfactants on Fluoranthene degradation by Pseudomonas alcaligenes PA-10. 2007. Appl. Microbiol Biotechnol 74 : 851-856. Husain DR. 2006. Karakteristik Pertumbuhan Bakteri Pseudomonas nautica Strain 617 pada Hidrokarbon Tetradekana. Buletin Penelitian, (9), 1 : 51-58 Jennings EM dan Tanner. 2001. Biosurfactant Producing Bacteria Found in Contaminated and Uncontaminated Soils. Proceedings of the 2000 Conference on Hazardous Waste Research. 299-306. Kasai Y, Kishira H, Syutsubo K, Harayama S. 2001. Molecular detection of Marine Bacterial Populations on Beaches Contaminated by the Nakhodka Tanker Oilspill Accident. Environ Microbiol 3 : 46-55. Kleerebezem M dan Hugenholtz J. 2000. Lactic Acid Bacteria as a Cell Factory : Rerouting of Carbon Metabolism in Lactococcus lactis by Metabolic Angineering. Enzyme and Microbial Technology 26 : 840-848. Krepsky N, Da Silva FS, Fontana LF, dan Crapez MAC. 2007. Altenative Methodology for Isolation of Biosurfactant-Producing Bacteria. Braz. J. Biol 76 (1) : 117-124 Lin Y dan Cai Li-Xi. 2008. PAH-degrading Microbial Consortium and its Pyrenedegrading Plasmids from Mangrove Sediment Samples in Huaian, China. Marine Pollution Bulletin 57 : 703 – 706. Makkar RS dan Rockne KJ. 2003. Comparison of Synthetic Surfactant and Biosurfactant in Enhancing Biodegradation of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons. Environmental Toxycology and Chemistry Vol. 22 (10) : 2280-2292. Mariano AP, Geraldes Kataoka APDA, De Angelis DDF, Bonotto DM. 2007. Laboratory Study On The Bioremediation Of Diesel Oil Contaminated Soil From A Petrol Station Brazilian Journal Of Microbiology 38 : 346-353.
35
Mohammed ME, Al-Dousary M, Hamzah RY, dan Fuchs G. 2006. Isolation and Characterization of Indigenous Thermophilic Bacteria Active in Natural Attenuation of Bio-hazardous Petrochemical Pollutants. International Biodeterioration and Biodegradation 58 : 213-223. Obuekwe CO, Hourani G, Radwan SS. 2001. High-Temperature Hydrocarbon Biodegradation Activities in Kuwaiti Desert Soil Samples. Folia Microbiol 46 (6) : 535-539. Rahman KSM, Street G, Lord R, Kane G, Rahman TJ, Marchant R, dan Banat IM. 2005. Bioremediation of Petroleum Sludge using Bacterial Consortium with Biosurfactant. Final Report. University of Teesside, United Kingdom. Rashedi H, Jamshidi E, Assadi MM, Bonakdarpour B. 2005. Isolation and Production of Biosurfactant from Pseudomonas Aeruginosa Isolated from Iranian Southern Wells Oil. Int. J. Environ. Sci. Tech. 2 : 121-127. Rodrigues L, Moldes A, José Teixeira, Oliveira R. 2006. Kinetic study of fermentative biosurfactant production by Lactobacillus strains. Biochemical Engineering Journal 28 : 109–116. Saraswathy A, Hallberg R. 2002. Degradation of Pyrene by indigenous fungi from a former gasworks site. FEMS Microbiology Letters 210 : 227-232 Syakti AD, Acquaviva M, Gilewicz M, Doumenq P, dan Bertrand JC. 2004. Comparison Of N-eicosane and Phenanthrene Removal by Pure and Mixed Cultures of Two Marine Bacteria. Environmental Research 96 (2), 228-234. Syakti AD, Yani M, Hidayati NV, Sudiana IM. 2008. PAH-Degraders Marine Bacteria Isolated from Chronically Contaminated Sediment by Petroleum Hydrocarbons. Prosiding Seminar Nasional PERMI, Unsoed, Purwokerto. Zhang G, Yue-ting Wu, Qian X, dan Meng Q. 2005. Biodegradation of Crude Oil by Pseudomonas aeruginosa in the Presence of Rhamnolipids. J. Zhejiang Univ Sci B. 6 (8) : 725-730.
36
RENDEMEN AGAR RUMPUT LAUT Gracilaria gigas HASIL BUDIDAYA JARING RAKIT DENGAN PENGASAMAN BERBEDA Oleh : Dwi Sunu Widyartini1, H. A. Ilalqisny Insan1 dan Warsinah1
ABSTRAK Rendemen agar Gracilaria gigas Harv. dipengaruhi oleh metode budidaya yang digunakan dan proses ekstraksinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan metode budidaya jaring rakit dan penggunaan asam berbeda untuk menghasilkan rendemen dan mutu agar G. gigas hasil budidaya di perairan Selok Adipala, Cilacap. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Split Plot Design. Mainplot metode bubidaya dan subplot jenis asam. Masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode dan pengasaman berbeda berpengaruh nyata terhadap rendemen agar yang dihasilkan. Rerata rendemen agar terbaik dihasilkan oleh metode apung jaring rakit dengan proses pengasaman jeruk nipis, mencapai 52,22%. Mutu agar yang dihasilkan mutu II. Kata kunci: metode budidaya, jaring rakit, Gracilaria gigas, mutu agar, pengasaman
1.
PENDAHULUAN
Budidaya rumput laut yang lebih intensif, merupakan bidang usaha yang berpeluang menguntungkan, mengingat kekurangan pasokan rumput laut kering sekitar 17.000 ton per tahun (Anggadireja, 2006). Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) total produksi rumput laut tahun 2007 sebanyak 1,62 juta ton atau naik dibandingkan tahun 2006 yaitu 1,37 juta ton. Data lebih lanjut menunjukkan hanya 15 % dari total produksi rumput laut diolah di dalam negeri, selebihnya diekspor dalam bentuk bahan mentah/ rumput laut kering (Kompas, 2008). Budidaya rumput laut Gracilaria gigas di Indonesia belum optimal dilakukan, meskipun perairan lautnya sangat luas. Pengembangan terus digalakkan untuk memanfaatkan peluang secara maksimal, terutama dalam memasok komuditas ekspor. Meskipun budidaya rumput laut telah dilakukan, tetapi para nelayan maupun petani rumput laut belum mampu menyediakan bahan baku berupa rumput laut basah maupun kering dalam jumlah yang melimpah dengan kualitas ekspor (Angkasa et al., 2000). Peningkatan produksi dan nilai jual dapat diupayakan dengan meningkatkan teknologi budidaya dan pengolahan lebih lanjut sehingga memberikan nilai tambah produk. Penelitian pengaruh modifikasi metode dengan berbagai sistem jaring terhadap pertumbuhan serta produksi basah dan kering rumput laut Gracilaria gigas yang telah dilakukan di perairan Selok Adipala, Cilacap dengan sumber dana hibah bersaing pada tahun I, hasil penelitian menunjukkan bahwa modifikasi metode budidaya dengan sistem jaring berbeda menghasilkan pertumbuhan dan produksi yang berbeda. Sistem jaring rakit
1
Fakultas Biologi UNSOED
37
dengan metode budidaya apung menghasilkan pertumbuhan sebesar 2.830 g/hari dan produksi sebesar 2.210.630 g/m2 di perairan Cilacap (Widyartini et al., 2008). Rumput laut kering berkualitas baik menurut FAO harus diolah dulu untuk mendapatkan mutu yang memenuhi standar ekspor. Produksi yang tinggi dengan pasca panen yang tepat dapat meningkatkan nilai jual di pasar internasional. Produk rumput laut kering diekstraksi secara hidrolisis untuk menghasilkan rendemen agar. Dalam proses ekstraksi diperlukan pengasaman untuk menghancurkan/ melembutkan dinding sel sehingga rendemen agar dapat keluar secara maksimal. Penggunaan asam berbeda dapat mempengaruhi mutu agar yang dihasilkan karena pengasaman juga dapat mendekolorisasi warna.
2.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
2.1.
Tujuan Penelitian 1) Mengetahui pengaruh metode budidaya berbeda dan bahan asam nabati dalam ekstraksi terhadap rendemen agar rumput laut Gracilaria gigas hasil budidaya jaring rakit di perairan Cilacap. 2) Menentukan metode budidaya dan bahan asam dalam proses ekstraksi yang menghasilkan rendemen tertinggi dan mutu tepung agar sesuai standar FAO.
2.2.
Manfaat Penelitian
Manfaat hasil penelitian dapat sebagai informasi kepada petani rumput laut pada umumnya, khususnya di perairan pantai Cilacap mengenai berbagai metode sistem jaring rakit dan proses pasca panen yang dapat menghasilkan produk rumput laut Gracilaria gigas yang berkualitas dan berkuantitas tinggi.
3.
METODE PENELITIAN
3.1.
Materi Penelitian
Materi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut Gracilaria gigas hasil budidaya jaring rakit, akuades, kaporit 0,25% (b/v), NaOH 15% (b/v), KCl 0,3% (b/v), asam sulfat 36% (v/v), asam asetat, ekstrak belimbing wuluh 30%, asam jawa 30% dan air jeruk nipis 30%. 3.2.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Rancangan yang digunakan adalah Split Plot Design. Faktor yang dicobakan metode budidaya jaring rakit sebagai main plot dan asam nabati dalam proses ekstraksi sebagai sub plot. Ulangan masingmasing 3 kali. Variabel yang diamati adalah kuantitas rendemen agar dan sebagai variabel pendukung kualitas agar yang dibandingkan dengan kualitas standar ekspor menurut FAO. 3.3.
1)
Cara Kerja Tahapan proses pembuatan agar adalah sebagai berikut: Pembuatan jaring rakit
38
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
Jaring dari tali nilon diikatkan pada rakit ukuran 200x300 cm. Bibit rumput laut yang telah ditimbang seberat 50 g diikatkan pada masing-masing titik tanam menggunakan tali rafia. Metode budidaya Penanaman rumput laut dengan menggunakan metode apung, lepas dasar dan dasar, dengan mengikatkan rakit menggunakan jaring nilon pada bambu pancang. Pencucian, pembersihan dan pengeringan Sampel rumput laut dicuci dengan air tawar (air sumur) dari kotoran yang menempel serta rumput laut jenis lain. Rumput laut dijemur di bawah sinar matahari sampai kering (±1-2 hari) dengan para-para. Perendaman dan Pemucatan Rumput laut direndam dengan air sumur (perbandingan rumput laut dengan air 1g : 20 ml) selama 24 jam, kemudian dilakukan pemucatan dengan perendaman dalam larutan kaporit 0,25% selama 1,5 jam; kemudian direndam dengan air sumur selama 1 jam untuk menghilangkan bau kaporit. Pelembutan/ pengasaman Rumput laut direndam sesuai perlakuan, dalam asam sulfat (H2SO4), ekstrak belimbing wuluh, ekstrak asam jawa, air jeruk nipis selama 15 menit. Talus rumput laut kemudian dicuci dan direndam dengan akuades selama 15 menit dan ditiriskan. Pemasakan Rumput laut diblender hingga halus lalu dimasak dalam akuades sebanyak 40 kali berat rumput laut pada suhu 90o-100oC sampai mencair. Setelah mendidih ditambahkan asam cuka 0,5% untuk memperoleh pH 6-7. Pemeriksaan pH dapat menggunakan kertas pH, bila pH kurang dari 6 maka ditambahkan NaOH dan bila lebih dari 7 ditambah dengan asam cuka. Pengepresan Hasil disaring dengan kain kasa ukuran 40 mess. Cairan yang keluar kemudian ditampung dalam bejana dan diendapkan sehingga memisah antara agar dan air. Agar-agar dinetralkan dengan n KCl 0,3% hingga pHnya menjadi 7-7,5 cairan dimasak kembali sambil diaduk. Setelah mendidih hasil dituangkan dalam bejana hingga membeku. Pendinginan dan pemucatan Cairan yang sudah membeku didinginkan dalam freezer pada suhu 6o-3oC selama 7 jam supaya agar-agar memadat dengan sempurna dan direndam kembali dalam larutan kaporit 0,25% selama 3 jam supaya benar-benar putih. Pengeringan dan penghitungan rendemen agar Agar-agar dicetak dengan kain kasa, dikeringkan di bawah sinar matahari atau di dalam oven pada suhu 60oC, dan ditimbang. Perhitungan rendemen agar dengan metode Colloids (Sarjana dan Widia, 1998), dengan rumus sebagai berikut : Rendemen agar-agar (%) =
Bobot lembaran agar agar 100% Bobot rumput laut kering
a. Pengukuran viskositas (kekentalan) agar-agar G. gigas (Marine Colloids, 1977 dalam Manik et al., 2004) b. Analisis Kadar Air (AOAC, 1980 dalam Manik, 2004) % Kadar air =
B cawan BXa B cawan BXb 100% BXa
Keterangan : B cawan : bobot cawan BXa : bobot contoh awal BXb : bobot contoh akhir
39
c. Analisis Kadar Abu (AOAC, 1984 dalam Manik et al., 2004) % Kadar abu =
B cawan B abu B cawan 100% BX
Keterangan : B cawan : bobot cawan B abu : bobot abu BX : bobot contoh yang diukur 3.4.
Metode Analisis
Data rendemen agar dianalisis dengan menggunakan uji F dilanjutkan dengan uji BNT untuk mengetahui perlakuan yang terbaik.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil ekstraksi diperoleh rendemen agar rumput laut Gracilaria gigas hasil budidaya dengan metode dan proses pengasaman berbeda, menghasilkan bobot agar ratarata yang berkisar antara 11.80% - 52,22%. Rendemen agar tertinggi diperoleh dari metode apung dengan jeruk nipis dalam proses pengasaman. Rendemen agar terendah diperoleh dari metode lepas dasar jaring rakit dengan proses pengasaman memakai asam jawa (Gambar 1). 60.00
Rendemen Agar
50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 AS
AJ
BW
APJR
JN
AS
AJ
BW
LDJR
JN
AS
AJ
BW
JN
DSJR
Modifikasi Metode Budidaya Jaring Rakit
Gambar 1. Histogram rendemen agar G. gigas dengan berbagai metode jaring rakit dan proses pengasaman berbeda Keterangan : APJR = Apung Jaring Rakit LDJR = Lepas dasar Jaring Rakit DSJT = Dasar jaring Rakit AS = Asam sulfat AJ = Asam Jawa BW = Belimbing Wuluh JN = Jeruk nipis Histogram rendemen agar hasil budidaya metode apung dan metode dasar dengan proses pengasaman dengan jeruk nipis secara umum menghasilkan rendemen agar paling tinggi, diikuti asam sulfat, asam belimbing wuluh dan asam jawa. Rendemen agar hasil budidaya metode lepas dasar dengan proses pengasaman dengan jeruk nipis secara umum menghasilkan rendemen agar paling tinggi, diikuti asam belimbing wuluh, asam sulfat dan asam jawa.
40
Hasil analisis ragam rendemen agar menunjukkan adanya interaksi sangat nyata antara metode budidaya dan jenis asam yang digunakan terhadap rendemen agar yang dihasilkan (Tabel 1). Tabel 1. Analisis ragam rendemen agar rumput laut G. gigas dengan proses pengasaman dan modifikasi metode berbeda F tabel Sumber Ragam DB JK KT F hit 5% 1% Ulangan 3 88,3073 29,4358 2,1037 2,83 4,76 Main Plot (P) 2 521,0077 260,5488 18,6207** 5,14 Galat a 6 83,9544 13,9924 Sub Plot (B) 3 3.777,1926 1.259,0642 68,6898** 2,96 4,29 Interaksi 6 1.182,6863 197,1144 10,7538** 2,46 Galat b 27 494,9023 18,3297 Total 47 6.148,1406 Keterangan ** : Sangat nyata * : Nyata Rendemen agar merupakan hasil proses fotosintesis yang terjadi pada saat pertumbuhan dan disimpan sebagai cadangan makanan dalam bentuk agar. Pemakaian metode budidaya berbeda menyebabkan pertumbuhan dan produksi rumput laut tidak sama. Perbedaan metode menyebabkan perbedaan letak tanam bibit atau kedalaman penanaman sehingga intensitas cahaya matahari yang diterima oleh talus tidak sama. Pada metode apung, intensitas cahaya matahari yang diterima talus paling tinggi karena cahaya langsung mengenai talus, sehingga fotosintesis lebih maksimal, akan tetapi dapat terjadi fotorespirasi. Pada metode lepas dasar, intensitas cahaya matahari yang diterima oleh talus lebih rendah daripada metode apung, sehingga fotorespirasi semakin berkurang dan pembentukan cadangan makanan (agar) semakin meningkat. Pada metode dasar intensitas cahaya matahari yang diterima oleh talus rumput laut tidak terlalu tinggi sehingga kemungkinan terjadi fotorespirasi pada talus sangat kecil. Sherenity (2008) dan Widyartini et al., (2008), intensitas cahaya matahari yang terlalu tinggi dapat mengganggu fotosintesis dan dapat memicu terjadinya fotorespirasi. Menurut Dwidjoseputro (1988), rumput laut melakukan proses fotosintesis seperti halnya tumbuhan tingkat tinggi. Proses fotosintesis berakhir dengan dihasilkannya karbohidrat. Karbohidrat hasil fotosintesis rumput laut adalah monosakarida berupa galaktosa. Setelah senyawa galaktosa banyak terbentuk, maka akan berikatan satu sama lain membentuk rantai polisakarida. Polisakarida yang terbentuk dikenal dengan agar. Agar yang dihasilkan juga dipengaruhi salah satu tahapan yang dilakukan dalam proses ekstraksi yaitu tahap pengasaman. Penggunaan asam yang berbeda berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan. Rumput laut dah kering direndam dengan asam terlebih dahulu sebelum pemasakan dan diblender. Proses pengasaman bertujuan untuk memecahkan atau melembutkan dinding sel sehingga rendemen agar mudah diekstrak, serta dapat menghancurkan dan melarutkan kotoran dan warna sehingga rumput laut menjadi lebih bersih. Senior (2004) menyatakan pengasaman diperlukan untuk memecahkan, menghancurkan dan melarutkan dinding sel, sehingga agar-agar mudah dikeluarkan. Rasyid (2004) dan Anonim (2009), proses pengasaman juga membantu mengontrol pH ekstraksi sehingga mencapai nilai pH 6. Pada keadaan asam, cenderung akan memudahkan proses hidrolisis molekul agar. Hasil uji BNT metode budidaya dengan proses pengasaman terhadap rendemen agar G. gigas menunjukkan bahwa rendemen agar hasil budidaya metode apung dengan
41
proses pengasaman asam sulfat berbeda dengan asam jawa, jeruk nipis, dan belimbing wuluh. Rendemen agar rata-rata tertinggi adalah hasil metode budidaya apung dengan pengasaman jeruk nipis, sebesar 52,2175% dan terendah hasil metode budidaya dasar dengan pengasaman asam jawa sebesar 11,8000% (Tabel 2). Tabel 2. Hasil uji BNT penerapan metode dan pengasaman terhadap rendemen agar G. gigas Perlakuan Rata-rata Perlakuan Rata-rata APAS 41,4750 a APBW 33,2750 a LDAS 36,2000 a LDBW 40,8520 a DSAS 31,2750 a DSBW 23,9000 b APAJ 21,1200 b APJN 52,2175 d LDAJ 11,8000 c LDJN 43,4825 e DSAJ 25,0000 b DSJN 35,6325 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji BNT 5%
Winarno (1996) dan Widyartini & Insan, (2009), asam kuat digunakan dalam proses ekstraksi. Asam yang memiliki kekuatan lebih tinggi menyebabkan dinding sel rumput laut menjadi lunak. Larutan asam juga dapat menghancurkan dan melarutkan kotoran sehingga rumput laut menjadi lebih bersih. Proses pengasaman yang sering digunakan adalah asam sulfat, selain itu dapat juga digunakan asam asetat, asam sitrat, buah asam atau daun asam. Untuk industri makanan, sangat dianjurkan untuk proses pengasaman dengan asam-asam nabati, seperti jeruk nipis, asam jawa dan belimbing wuluh. Jenis dan konsentrasi asam juga berpengaruh pada kualitas agar. Kualitas agar dapat diukur dari kadar air, kadar abu, viskositas dan warna agar. Hasil pengukuran kualitas agar hasil metode budidaya dengan proses pengasaman berbeda sebagai berikut (Tabel 3). Tabel 3. Kualitas agar hasil penerapan metode budidaya dan pengaaman berbeda Kualitas Agar Jenis Metode Asam Kadar Air Kadar Abu Viskositas Warna Agar AP AS 11.45 3.64 42.00 kuning kecoklatan AJ 4.42 2.24 38.50 putih kekuningan BW 20.56 2.60 74.00 putih kekuningan JN 10.44 2.19 53.25 putih kekuningan LD AS 11.47 3.49 48.25 kuning kecoklatan AJ 4.96 3.09 47.00 putih kekuningan cokelat kehitaman - putih BW 19.41 3.39 63.25 kekuningan JN 8.70 2.45 34.75 cokelat - putih kekuningan DS AS 13.88 3.69 55.25 cokelat AJ 3.84 2.34 47.00 putih kekuningan – cokelat muda BW 9.15 3.62 34.25 cokelat JN 7.13 2.39 28.00 Cokelat - putih kekuningan
42
4.1.
Kadar Air
Kadar air agar hasil penelitian berkisar 3,84% – 20.56%. Kadar air terendah diperoleh dari metode dasar dengan pengasaman menggunakan asam jawa, sedangkan kadar air tertinggi diperoleh dari metode apung dengan pengasaman belimbing wuluh. Pengukuran kadar air bertujuan untuk menentukan daya tahan atau tingkat keawetan suatu produk. Kadar air yang terkandung agar lebih kecil daripada Standar Industri Indonesia yang mensyaratkan nilai kadar air sebesar 15 – 21%. Kandungan air dalam bahan mempengaruhi daya tahan bahan terhadap serangan mikroba. Menurut Nasran et al. (1993), suatu produk dengan kadar air tinggi berpotensi mengalami kerusakan lebih cepat dibanding dengan produk berkadar air rendah. 4.2.
Kadar Abu
Nilai kadar abu yang diperoleh dari penelitian ini berkisar antara 2.19% –3.64 %. Kadar abu terendah diperoleh dari metode apung dengan pengasaman jeruk nipis, sedangkan kadar abu tertinggi diperoleh dari metode apung dan dasar dengan pengasaman asam sulfat. Kadar abu yang dihasilkan memenuhi Standart Industri Indonesia yang mensyaratkan nilai kadar abu maksimal 4%. 4.3.
Viskositas
Nilai viskositas yang dihasilkan dari penelitian berkisar antara 34.25-74,00 Cps pada konsentrasi 1%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa viskositas agar tertinggi diperoleh dari hasil budidaya metode apung dengan pengasaman belimbing wuluh, sedangkan viskositas agar terendah diperoleh dari hasil budidaya metode dasar dengan pengasaman belimbing wuluh. Viskositas merupakan sifat yang sangat menguntungkan untuk dipakai dalam industri pangan maupun non pangan (Senior, 2004). Indriani dan Suminarsih (2001) menyatakan bahwa viskositas agar pada suhu 45°C dengan konsentrasi 1% berkisar antara 2 – 10 Cps. Hasil pengamatan viskositas menunjukkan agar yang dihasilkan melebihi standar mutu yang ditetapkan. Tingginya nilai viskositas agar juga disebabkan oleh rendahnya kadar air dalam agar tersebut. Menurut Syamsuar (2007), lama waktu ekstraksi juga berpengaruh terhadap nilai viskositas. 4.4.
Warna Agar
Warna agar yang diperoleh dari hasil penelitian adalah putih kekuningan hingga cokelat, termasuk Mutu II dan Mutu III. Suseno (2006) menyatakan bahwa mutu agar berdasarkan penampakan fisik digolongkan menjadi tiga yaitu : (1) Mutu I : Putih bersih, (2) Mutu II : Putih kekuningan, Mutu III : Cokelat. Pada metode apung berwarna putih kekuningan artinya warna agar bermutu II, sedangkan metode dasar dan lepas dasar pada umumnya berwarna kecoklatan, artinya warna agar bermutu III. Pada metode dasar ada yang berwarna coklat kehitaman, Sari (2009) menyatakan bahwa warna agar yang tidak sempurna disebabkan oleh proses pemutihan yang kurang sempurna, masih adanya kotoran yang menempel pada talus rumput laut, pemasakan yang cukup lama yaitu 1 – 2 jam dan pengeringan dalam oven selama ± 24 jam. 5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan 1)
Penerapan metode budidaya dan bahan asam nabati sebagai proses pelembut talus dalam ekstraksi mempengaruhi rendemen agar rumput laut Gracilaria gigas hasil budidaya di perairan Cilacap.
43
2)
5.2.
Metode budidaya apung jaring rakit dengan bahan asam jeruk nipis menghasilkan rendemen tertinggi dan mutu tepung agar II menurut standar FAO.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian kadar air dan viskositas yang diperoleh belum sesuai dengan standar mutu yang telah ditentukan. Maka diharapkan adanya penelitian untuk menghasilkan agar sesuai standar mutu I menurut FAO.
DAFTAR PUSTAKA Anggadiredja, J. T., A. Zatnika, H. Purwoto, S. Istini. 2006. Rumput Laut. Penebar Swadaya, Jakarta. Angkasa, W.I., Heri, P. dan Jana, A., 2000. Teknik Budidaya Rumput Laut Bahan Pembuat Agar-agar Di Dalam Tambak. Direktorat Pengkajian Ilmu Kehidupan BPPT, Jakarta. Anonim. 2009. Manfaat Jeruk Nipis “Citrus Aurantifolia, Swingle”. http://radenbeletz.blogdetik.com/manfaat-jeruk-nipis-citrus-aurantifolia-swingle/. Diakses pada tanggal 23 Maret 2009. Dwidjoseputro, D. 1988. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. PT Gramedia, Jakarta. Indriani, H dan Suminarsih, E. 1999. Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut. Panebar Swadaya, Jakarta. Kompas. 2008. Rumput Laut. Hanya 15% Diolah di Indonesia. http://www.kompas.com, Diakses tanggal 30 September 2008. Manik, H. 2004. Kandungan Kimiawi Beberapa Jenis Rumput Laut. Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur, 3: 33-36. Nasran, S., Tazwir dan Yunizal. 2000. Teknik Ekstraksi Asam Alginat dari Rumput Laut Coklat (Phaeophyceae). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan, (1999/2000). Rasyid, A. 2004. Beberapa Catatan Tentang Agar. Oseana. XXIX (2) : 1-9. Sari, R.I.Y. 2009. Bobot Agar Rumput Laut Gracilaria Gigas Hasil Penerapan Berbagai Metode Budidaya Pada Sistem Jaring Tubuler dengan Proses Pemutihan Berbeda. Skripsi Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Senior, 2004. Agar-Agar Pencegah Hipertensi dan Diabetes. Diakses pada 27 Mei 2007. http://cybermed.cbn.net.id/detil.asp?kategori=food&newsno=314. Sherenity, F.L.V. 2008. Anabolisme : Fotosintesis. http://drveggielabandresearch.blogspot.com. Diakses tanggal 5 Maret 2009. Suseno, S.H. 2006. Pemanfaatan Abu Gosok dan Khitosan Sebagai Upaya Peningkatan Mutu dan Efesiensi Pada Pengolahan Agar-Agar Kertas Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. http://www.ipb.ac.id/id/?b=27. Diakses 1 Maret 2008.
44
Syamsuar. 2007. Karakteristik Karaginan Rumput Laut Eucheuma cottonii pada Berbagai Umur Panen, Konsentrasi KOH dan Lama Ekstraksi. www.damandiri.or.id./file/syamsuaripbbab3.pdf. Diakses tanggal 21 April 2009. Widyartini, D. S. dan A I. Insan. 2007. Meningkatkan pertumbuhan dan produksi rumput laut Gracilaria gigas Melalui Modifikasi Sistem Jaring (Studi kasus: di Perairan Nusakambangan Cilacap). Oseana XXXII (4) : 13-20. ____________________________ . 2008. Meningkatkan Produksi Serta Mutu Tepung Agar Rumput Laut Gracilaria gigas dengan Modifikasi Sistem Jaring dan Proses Ekstraksinya. Laporan Penelitian Fakultas Biologi Unsoed, Purwokerto. _____________________________. 2009. Rendemen agar rumput laut Gracilaria gigas hasil penerapan berbagai metode budidaya pada sistem jaring tubuler dengan proses pemutihan berbeda. Workshop Bioteknologi Rumput laut. UNDIP, Semarang. Winarno, F. G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
45
PEMBERIAN PAKAN MIKROPARTIKEL DENGAN INTERVAL WAKTU YANG BERBEDA PADA POST LARVA UDANG WINDU (Penaeus monodon) Oleh : Hayati Soeprapto1, Purnama Sukardi2
ABSTRAK Mikropartikel adalah pakan bagi larva ikan dan udang. Pemeliharaan benih udang, selama ini masih menggunakan pakan mikropartikel komersial, padahal pakan sebenarnya dapat dibuat dengan bahan baku yang murah harganya dan mudah didapat, antara lain telur bebek dan ikan layur (Trikhiurus). Efisiensi pemberian pakan dapat dilakukan dengan pengaturan pemberian pakan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor pemberian pakan mikropartikel dan interval waktu terhadap pertumbuhan larva udang windu (P. monodon ). Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), yang disusun secara faktorial dan diulang 4 kali, yaitu faktor pakan (mikropartikel komersial dan buatan) dan faktor interval waktu: 0 jam, 12 jam, dan 24 jam. Parameter pertumbuhan yang diamati meliputi pertambahan berat dan panjang, Laju Pertumbuhan Spesifik, serta nilai Sintasan larva udang windu (P. monodon). Hasil penelitian menunjukkan pakan mikropartikel yang diberikan, berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap semua parameter yang diamati. Terdapat interksi antara perlakuan interval waktu dan pemberian pakan mikropartikel terhadap parameter pertambahan berat, panjang, dan laju pertumbuhan spesifik. Namun pada parameter sintasan tidak terdapat adanya interaksi. Pemberian pakan mikropartikel komersial dengan interval 0 jam merupakan kombinasi perlakuan terbaik terhadap berat, panjang dan laju pertumbuhan spesifik larva udang windu (P. monodon). Semakin lama interval waktu pemberian pakan pada larva udang windu (P. monodon ), pertumbuhan berat, panjang, laju pertumbuhan spesifik dan nilai sintasan cenderung semakin menurun. Kata kunci: Mikropartikel, Interval pakan, Larvae, Pertumbuhan . 1.
PENDAHULUAN
Pakan merupakan salah satu input penting dalam budidaya ikan, termasuk dalam kegiatan pembenihan. Oleh karenanya akhir-akhir ini aspeknutrisi mulai memperoleh banyak perhatian para pakar dan usahawan. Agar pakan yang diberikan pada ikan dapat memenuhi semua nutrient yang dibutuhkan ikan, maka harus dibuat formula pakan yang tepat (Yuwono, 2001). Pakan mikropartikel adalah pakan berupa butiran, terkandung protein dan media suspensi air di dalamnya dapat diisi bahan baku Tubifex sp, dan daging ikan. Mikropartikel umumnya memiliki ukuran berdiameter antara 50 nm – 2,0 mm, keadaannya yang berbentuk butiran dengan kandungan isi nutrien maka pakan demikian 1 2
Fakultas Perikanan, Universitas Pekalongan Fakultas Sains dan Teknik Jurusan Perikanan dan Kelautan UNSOED
46
dapat digunakan sebagai pakan buatan untuk larva ikan maupun udang (Sukardi et al., 2007). Sumber protein yang bernilai nutrisi tinggi dalam mikropartikel dapat berasal dari ikan dan telur (Kanazawa, et al, 1977). Pada penelitian ini digunakan ikan layur (Trikhiurus sp) sebagai bahan baku (inklusi) mikropartikel karena terkandung protein yang cukup tinggi dibandingkan dengan ikan-ikan jenis rucah yang lain, disamping jumlah kadar lemaknya yang dapat dikurangi dengan cara menghilangkan bagian kulitnya. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan mikropartikel sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan larva, antara lain menambah panjang 21 mm dan meningkatkan sintasan 35 % pada larva cod (Gadus morhua) (Baskerville-Bridges et al., 2000). Budidaya udang, dapat dilakukan dengan pengaturan pemberian pakan Selain dari segi pakan, faktor lain yang harus diperhatikan adalah frekwensi pemberiannya. Frekwensi pemberian dapat diatur, sehingga pakan yang diberikan dapat dimanfaatkan oleh tubuhnya untuk pertumbuhan. Salah satu cara mengatur frekwensi pemberian pakan adalah dapat melalui pemuasaan (Yuwono, 2001). Pada larva Giltheat Seabream (Sparus aurata), dengan pemberian pakan buatan mikropartikel dengan interval waktu 12 jam selama 8 hari, memberikan pertambahan berat sekitar 0,034 gram (Fernandez-Diaz dan Yufera, 1997). Penggunaan pakan pada larva udang windu (P. Monodon) dengan mikropartikel belum banyak dilakukan. oleh karenanya untuk mengetahui peranan pakan mikropartikel dan interval waktu yang dilakukan pada larva perlu diteliti. Pakan untuk larva udang dengan umur satu hingga sepuluh hari (berat kurang dari 1,0 g) berbentuk remah (crumble). Larva udang P.monodon membutuhkan bentuk pakan berupa butiran halus, ukuranya disesuaikan dengan umur larva tersebut (Bautista et al., 1994). Pakan bentuk crumble dapat dibuat dengan menggunakan bahan yang dapat diselubungi oleh membran (matrix), keadaan ini dinamakan mikrokapsul. Pakan dalam penelitian ini digunakan mikropartikel, yang sebenarnya masih bagian dari mikrokapsul, bedanya tanpa adanya membran yang menyelubungi bahan pakan. Jadi mikropartikel adalah pakan dalam bentuk bubuk dengan binder, artinya dilakukan gelatinisasi lebih dahulu, kemudian dicampur dengan bahan bakunya (Watanabe, 1988; Erwinnda, 2008). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui laju per-tumbuhan ( berat, panjang dan sintasan serta adanya interaksi ) dari pengaruh pakan yang diberikan terhadap lama waktu pemberian pakan terhadap larva udang windu (P. Monodon).
2.
METODE PENELITIAN
Materi yang digunakan adalah larva udang windu (P. monodon) berumur tujuh hari, telur bebek dan ikan layur (Trichiurus), yang digunakan sebagai bahan mikropartikel buatan, dan Mikropartikel Komersial. Alat-alat meliputi akuarium sebanyak 24 buah. Penelitian dilaksanakan selama 90 hari, di Fakultas Biologi Unsoed, Purwokerto. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), yang disusun secara faktorial 2 x 3, diulang empat kali. Faktornya adalah jenis pakan dan interval waktu ( 0 jam, 12 jam dan 24 jam ). Variabel pertumbuhan yang diamati meliputi: pertambahan berat larva (W), Pertambahan panjang dan laju pertumbuhan spesifik serta sintasan. Menurut Efendie, 1997 penambahan berat diukur dengan menggunakan rumus: W = Wt - Wo. Keterangan: W : Pertambahan bobot rata-rata individu (g) Wt : Bobot rata-rata pada akhir uji udang windu (P. monodon)
47
W0: Bobot rata-rata pada awal uji udang windu (P monodon). Pertambahan panjang larva dengan menggunakan rumus berdasarkan Subandiyah et al, ( 2003). L = L1 - L0. Keterangan: L : Pertambahan panjang rata-rata individu Lt : panjang rata-rata akhir uji udang windu (P. monodon) Lo : Panjang rata-rata awal uji udang windu (P. monodon) Pertumbuhan spesifik (SGR), berdasarkan pendapat Menurut Zonneveld et al.1991. laju pertumbuhan spesifik perhitungannya sbb SGR = Ln Wt – Ln Wo x 100 % t Keterangan : SGR : laju pertumbuhan spesifik Ln Wt : Berat larva udang akhir penelitian. Ln Wo : Berat larva udang pada awal penelitian. t : waktu penelitian ( lama penelitian ). Sintasan (SR) dengan rumus Efendie, (1997). SR = Nt x 100 % No Keterangan: SR : Sintasan Nt : jumlah larva udang windu (P. monodon) pada akhir penelitian No : jumlah larva udang windu (P. monodon) pada awal penelitian Data dalam bentuk persen diubah dalam bentuk transformasi Arscin.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Pertambahan Berat
Berdasarkan hasil analisis ragam terdapat interaksi antara faktor jenis pakan dan faktor interval waktu terhadap pertambahan berat larva udang P. monodon). Penambahan berat didukung oleh cukup ketersediaan nutrient pakan pakannya. Pakan komersial dengan kandungan protein 45 %, pakan buatan 42,72 %, jumlah protein pada pakan tersebut memenuhi untuk pertumbuhan larva udang P. monodon (Kontara dan Umiyati, 1987). Kombinasi perlakuan terbaik antara pemberian pakan dan lama waktu pemberian pakan adalah pakan komersial yang diberi pakan secara kontinyu yaitu pada 0 jam. Hasil rataan pertambahan berat selama peneitian berkisar antara 0,014 ± 0,001 g sampai dengan 0,043 ± 0,001 g. Pertambahan berat akhir larva udang P. monodon diberi pakan mikropartikel komersial (0 jam) sebgai control adalah 0,043 ± 0,001 g, diberi pakan buatan diperoleh nilai berat 0,020 ± 0,001 g. Pada perlakuan dengan waktu pemberian pakan 12 jam dengan pakan mikropartikel komersial memberikan berat 0,018 ± 0,001, pakan mikropartikel buatan memberikan berat 0,016 ± 0,001g, dan 24 jam diberi pakan mikropartikel komersial diperoleh berat 0,016 ± 0,001 g, diberi pakan buatan diperoleh nilai berat 0,014 ± 0,001g
48
Pertambahan Berat Larva Udang 0,05 (g) 0,04 0,03 0,02 0,01 0 0
12 Interval waktu(jam ) pakan komersial
24
pakan buatan
Gambar 1. Interaksi antara perlakuan (interval waktu) yang diberi pakan mikropartikel terhadap parameter berat larva udang windu (P. monodon) selama penelitian 3.2.
Parameter Panjang Larva
Berdasarkan analisis ragam pertumbuhan pada pertambahan panjang, terdapat interaksi antara interval waktu pemberian pakan. Adapun perolehan angkanya adalah Hasil rata-rata panjang larva yang diberi pakan mikropartikel selama peneitian antara 6,103 ± 0,204 mm sampai dengan 11,6600 ± 0,211 mm. Hasil ini selaras dengan penelitian yang sama, diperoleh panjang 10,4 – 10,9 mm( Buwono, (1993). Diduga pakan yang diberikan telah mempunyai cukup sumber protein, pada pakan komersial 45 %, pakan buatan mengandung protein 42,72 %. Selain itu pakan mempunyai struktur dan diameter yang sesuai dengan ukuran mulutnya, sehingga mudah untuk dikonsumsi . Keadaan ini sesuai dengan pendapat Bridges, et al,2000 yang menyatakan pemberian nutrient yang baik akan berpengaruh pada pertumbuhan awalnya yaitu panjang tubuhnya. Interval waktu (24 jam) pemberian pakan pertumbuhannya menunjukkan rataan panjang larva paling rendah. Berarti interval waktu yang terlalu lama mengakibatkan larva mengalami kelaparan yang cukup lama, sehingga mengalami kekosongan pakan pada lambungnya, ini berdampak pada tubuhnya yaitu menggunakan pakan cadangan tubuh, gangguan fisiologis dan pengurangan pada berat (Yuwono, 2001). Kombinasi perlakuan yang terbaik pada penelitian ini adalah pada perlakuan pakan komersial (0 jam) dengan nilai rataan 11,66 mm. Berarti larva mengkonsumsi pakan lebih banyak, dan pertumbuhannya akan lebih baik. Pertambahan Panjang Larva Udang (mm)
14 12 10 8 6 4 2 0 0
12
24
Interval waktu (jam) pakan komersial
pakan buatan
Gambar 2. Interaksi antara perlakuan dan pemberian pakan mikropartikel terhadap parameter panjang larva udang windu (P monodon) selama penelitian.
49
3.3.
Laju Pertumbuhan Spesifik
Berdasarkan hasil analisis ragam diperoleh nilai Nilai kisaran laju pertumbuhan spesifik berkisar antara 23,952 ± 0,292 % sampai dengan 28,540 ± 0,197. Kisaran angka tersebut setara dengan penelitian pada larva ikan cod (Gadus morhua), diperoleh laju pertumbuhan spesifik 25 % (Kvale, 2006). Hal tersebut menunjukkan adanya interaksi antara pakan dan interval waktu pemberian terhadap nilai laju pertumbuhan spesifik. Berarti pakan yang diberikan dengan kandungan nutrient yang dimiliki seperti protein, lemak dan karbohidrat cukup baik untuk pertumbuhan larva. Selain itu, pakan mempunyai struktur dan ukuran antara 80 µm – 250 µm yang mudah dimakan oleh larva (Wanatabe,1988) berarti larva akan mengkonsumsi pakan secara baik dan menggunakannya secara efisien. Keadaan ini ditandai dengan adanya pertumbuhan larva pada 0 jam (tanpa interval waktu ) mempunyai nilai rataan laju pertumbuhan paling tinggi, dibandingkan pada larva yang pemberian pakannya dalam waktu tertentu (24 jam). Diduga pemberian pakan yang lebih lama larva mengalami kekosongan pakan dalam lambung. Akibatnya larva akan menggunakan energi cadangan dalam tubuhnya, bila ini berlangsung terus-menerus, berdampak pada pertambahan berat menjadi menurun. Hal tersebut akan berpengaruh pada nilai laju pertumbuhan spesifiknya (Diaz et al., 1994). Kombinasi perlakuan yang memberikan nilai laju pertumbuhan spesifik yang terbaik adalah pemberian pakan mikropartikel komersial tanpa interval waktu (0 jam). Tersedianya sumber nutrient dalam pakan komersial dan pakan buatan serta struktur pakan mikropartikel yang terdiri dari dinding pakan , bahan baku pakan yang dikonsumsi secara baik, disertai ukuran diameter pakan yang sesuai dengan bukaan mulutnya menjadikan larva mudah mengkonsumsi pakan tersebut. Larva tanpa interval waktu dalam pemberian pakan berarti memperoleh kesempatan untuk makan pakan lebih banyak dibanding yang pemberian pakannya dikendalikan, sehingga akan mendukung pertumbuhan yang yang ditandai dengan tingginya nilai laju pertumbuhan spesifik. Interaksi laju pertumbuhan tertera pada Gambar di bawah ini.
Laju Pertumbuhan Spesifik (%)
30 28 26 24 22 20 0
12
24
Interval waktu pakan komersial
pakan buatan
Gambar 3. Interaksi antara perlakuan interval waktu dan pemberian pakan mikropartikel terhadap parameter laju pertumbuhan spesifik (%). larva udang windu (P. monodon ), selam penelitian.
50
3.4.
Sintasan
Berdasarkan hasil analisis ragam ternyata tidak terdapat interaksi antara faktor jenis pakan dan waktu pemberian pakan terhadap nilai sintasan. Hal ini berarti bahwa perlakuan pakan dan interval waktu terhadap nilai sintasan, pengaruhnya tidak secara bersamaan. Sehingga pembahasan pengaruh pakan dan interval waktu terhadap parameter sintasan, dilakukan secara terpisah. Diperoleh nilai sintasan tertinggi dari perlakuan pemberian pakan dan interval waktu. Sintasan 54 (%) 52 50 48
a
b
46 44 42 40 Komersial
Buatan Jenis pakan Komersial Buatan
Gambar 4. Rataan nilai sintasan (%) larva udang P. monodon yang diberi pakan mikropartikel selama penelitian. Huruf yang berbeda diatas masing-masing gambar, menunjukkan ada perbedaan yang nyata ( P< 0,05 ). 3.5.
Pengaruh Pakan
Pakan komersial memberikan nilai sintasan nyata lebih tinggi (44,397 ± 6,089 %) dibandingkan pakan buatan (40,265 ±7,266 %) (P<0,05). Tingginya nilai sintasan tersebut disebabkan pakan komersial mengandung protein yang lebih tinggi dibanding dengan pakan buatan. Disamping itu struktur pakan komersial yang lebih halus, diameter pakan juga lebih kecil (80-150 μm), memudahkan untuk dikonsumsi oleh larva, sehingga akan mendukung pertumbuhan larva yang berkaitan dengan nilai sintasan (Arshady, 1989). Nilai sintasan dari pakan komersial dan pakan buatan masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan penelitian larva haddock (Melanogrammus aeglefimus), yang mempunyai nilai sintasan 32,70 - 39,40% (Barkerville- Bridges dan Kling., 2000). Pada penelitian larva udang P. monodon yang diberi pakan mikropartikel komersial selama pemeliharaan 30 hari memberikan nilai sintasan 34,16 %, (Sanjaya, 2008). Maka nilai sintasan dalam penelitian ini masih lebih unggul, diduga pakan yang diberikan dengan nutrient yang cukup dapat mendukung pertumbuhan larva udang (Sikong, 1982), sehingga mikropartikel ini sangat mungkin untuk diterapkan dalam teknologi budidaya larva udang.
51
3.6.
Perlakuan Interval Waktu Pemberian Pakan
Interval waktu pemberian pakan berpengaruh sangat nyata terhadap parameter sintasan larva udang P. monodon (P<0,05). Tampak larva yang tidak diatur waktu pemberian pakannya mempunyai nilai sintasan lebih tinggi daripada yang diatur pemberian pakannya, diperoleh angka pada interval waktu pemberian (0 jam) 48,703 ± 1,741 %, 12 jam 44,570 ± 2,43l % dan 24 jam 33,721 ± 3,177 %. Tingginya nilai sintasan pada larva yang tidak diatur waktunya larva udang mendapat pakan dengan jumlah lebig banyak diikuti nutrisi pakannya yang juga cukup baik untuk mendukung pertumbuhan bagi larva udang windu. Hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan pakan dengan cukup kandungan protein yang berkisar antara 40 - 50 % dalam pakan akan memberikan pertumbuhan yang baik (Diaz et al., 1994 ). Sintasan (%) 60 50 40
a
b c
30 20 10 0 0
12
24
Interval Waktu
Gambar 5. Rataan nilai sintasan (%) dengan pakan yang diatur (0, 12, 24 jam) penelitian. Huruf yang berbeda diatas masing-masing bar/ menunjukkan terdapat perbedaan (P<0.05)
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Simpulan
Larva Udang Windu (P. monodon) yang diberi pakan mikropartikel baik komersial maupun buatan pertumbuhannya lebih baik dibandingkan dengan pemberian pakan yang diatur, terutama pada waktu 24 jam memiliki pertumbuhan terendah untuk Larva udang windu (P monodon). Pertumbuhan dan sintasannya cenderung semakin menurun, selaras dengan lamanya waktu mendapatkan pakan. Terdapat interaksi antara perlakuan ( 0 jam,12 jam dan 24 jam) dengan pemberian pakan mikropartikel terhadap pertumbuhan berat, panjang dan laju pertumbuhan spesifik larva udang Windu (P. monodon). Pemberian pakan mikropartikel komersial dengan interval waktu 0 jam merupakan kombinasi perlakuan terbaik terhadap sintasan dan pertumbuhan larva udang Windu (P. monodon). Diduga pakan komersial dengan struktur yang lebih halus dibandingkan pakan buatan mempunyai pengaruh terhadap larva udang untuk mengkonsumsinya. Namun demikian pakan mikropartikel buatan dengan bahan baku dari telur bebek dan ikan layur (Trichirus sp), dapat digunakan sebagai alternatif pakan pengganti yang dapat menekan biaya produksi dalam pembenihan larva udang.
52
Tehnologi pembuatan pakan mikropartikel dengan bahan baku lokal dan ramah lingkungan, dapat diterapkan sebagai pengganti pakan mikropartikel komersial dalam pembenihan udang skala rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA Arshady, R. 1989. Microphere and microkapsule:A Survey of manufacturing Techniques. Part I: Suspension cross-Linking. Polymer Engineering and Science 29 (24): 1746-1757. Bautista, M. N., O. M. Millamena., and A. Kanazawa. 1989. Use of KappaCarrageenan.Microbound Diet (C-MBD) As Feed For Panaeus monodon Larvae. Marine Biology, 103:169-173. Baskerville-Bridges, B., dan L.J.Kling. 2000. Development and Evaluation of Microparticulate Diets for Early Weaning of Atlantic Cod Gadus morhua Larvae. Aquaqulture Nutrition 6: 171 – 180. Curnow, J.,J. King, G. Partridge and S. Kolkovski. 2006. Effects of Two Commercial Microdiets on Growth and Survival of Barramundi (Lates Calcarifer Bloch) Larvae within Various Early Weaning Protocols. Aquaqultur Nutrition 12: 247 – 255. Diaz, F., C. E. Pascual , S. Kolkovski and M. Yu fera. 1994. Feeding Behaviour and Prey Size Selecetion of Gilthead Seabream, Sparus aurata, Larvae fed on inert and Live Food. Aquaculture 116: 233-242. Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Irianto dan Indriyono, 2007. Nutrisi pakan Ikan.Makalah. Disampaikan Pada Seminar Nasional Hari Pangan sedunia. Departemen Kelautan dan perikanan. Cimanggu. Bogor. Kontara, E. K. dan S. Umiyati, 1987. Makanan Buatan Untuk Larva Udang Penaeid. Dirjen Perikanan. Jakarta. Microdiets for Gilthead seabream, Sparus aurata: Review.Aquaculture 194: 107-121 Sanjaya, A. 2008. Sintasan dan Laju Pertumbuhan Penaeus monodon Fab. Yang Diberi Pakan Mikrokapsul dengan Rejimen Pemberian Pakan yang Berbeda. Skripsi S1. Fakultas Biologi Unsoed, Purwokerto (Tidak dipublikasikan). Sikong, M. 1982. Nutrisi Udang. Disampaikan pada diskusi Peranan Ahli Udang dalamPembinaan dan Pendayagunaan Sumber Daya Udang di Indonesia. Pasca Sarjana Biologi. ITB. Bandung. Sukardi, P., E. Yuwono, dan I. Sulistyo. 2007. Mikroencapsulated Diet Ramah Lingkungan Untuk Larva Udang Windu Menggunakan Bahan Lokal. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Fakultas Sains dan Tehnik. Unsoed. Purwokerto. 13 hal (tidak dipublikasikan).
53
Sukardi, P., E. Yuwono dan I. Sulistyo. 2007. Pembuatan Mikrokapsul Dinding Protein Dengan Bahan Lokal Untuk Pakan Ikan dan Udang. Makalah disampaika pada Semnaskan Tahunan IV. UGM/Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta. Varikul, V. 1981. Shrimp Culture. Southeast Asean Fisheries Development Centre.. Budidaya Udang.1986. Terjemahan oleh Hardjono. INFIS Manual Seri no 23. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. 21 hal. Wanatabe. T. 1988. Fish Nutrition and Mariculture. Aquaculture Course, Tokyo. P132 -145.
JICA Texbook.
The General
Yufera, M., S. Kolkovski, C. Fernadez-Diaz, and K. Dabrowski. 2002. Free Amino Acid Leaching from a Protein-Walled Microencapsulated Diet for Fish Larvae. Aquaculture 214:273-287. Yuwono, E., P. Sukardi dan I. Sulistyo. 2007. Efek Retriksi Pakan secara Periodik Terhadapa penggunaan Pakan dan Indeks Kondisi Tubuh Ikan Kerapu Bebek. (Cromileptes altivelis). Laporan Penelitian. Fakultas Biologi UNSOED. Purwokerto.15 hal. (Tidak dipublikasikan). Yuwono, 2001. Fisiologi Hewan. Fakultas Biologi. UNSOED. Purwokerto. Zonneveld, N. A. Huisman., J.H. Boo. 1991. Prinsip-prinsip budidaya Ikan. Gramedia Pustaka utama, Jakarta.
54
PENGAMATAN PERKEMBANGAN PRODUKSI BENIH IKAN KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) DAN KERAPU BEBEK (Cromileptes altivelis) DI BALI SERTA PROSPEK BUDIIDAYANYA DI INDONESIA Oleh : Bejo Slamet1
ABSTRAK Pembenihan ikan kerapu telah dirintis diberbagai daerah seperti Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, kep. Seribu, Lampung, Batam, Sulawesi Selatan, NTB dan NTT, namun di Bali sudah berkembang dengan baik karena merupakan usaha sambilan dari usaha pembenihan bandeng. Lokasi di luar Bali masih terbentur kendala penyediaan telur dan masih perlu bimbingan teknologi. Hasil pengamatan di hatchery skala rumah tangga didapatkan bahwa benih kerapu bebek dan kerapu macan dapat diproduksi hampir sepanjang tahun di Bali dengan volume produksi per bulan berkisar 100.000 - 500.000 ekor. Tingkat kelangsungan hidupnya sangat bervariasi yaitu 0-40% dengan rataan 5%. Kegagalan/kematian massal biasanya terjadi umur 15-50 hari. Pemasaran benih kerapu hampir ke seluruh wilayah Indonesia bahkan sebagian diekspor ke Malaysia, Singapura dan Taiwan. Pemasaran dalam negeri meliputi wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Bengkulu, Riau, Bangka, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Irian Jaya, NTB, NTT. Hasil pengamatan terhadap pembudidaya ikan kerapu di keramba jaring apung (KJA) di teluk Lampung, Gelung (situbondo – Jatim) dan Teluk ekas (Lombok) didapatkan bahwa usaha pembesaran ikan kerapu di KJA adalah sangat menguntungkan, bila dilakukan dengan teliti dan hati-hati. Kata kunci : Kerapu, produksi benih, prospek budidaya ABSTRACT The seed production of grouper has be done in Bali, East Java, west Java, Seribu Islands, Lampung, Batam, South Sulawesi, West Nusatenggara and East Nusatenggara. But only in Bali was developed because for side job of milk fish hatchery. Grouper Hatchery out side of Bali cannot developed because not continuity of eggs supply and technology. The observation result on small scale hatchery, show that the mouse grouper and tiger grouper seed production in Bali can be done all most every month, with total production per month about 100,000 to 500,000 fry. The survival rate range from 0% to 40% (means 5%). High mortality usually during 15 to 50 days old. The marketing of grouper fry in all most Indonesian area and export to Malaysia, Singapore and Taiwan. The domestic market was East Java, Central Java, West Java, Lampung, Bengkulu, Riau, Bangka, Banjarmasin, South Sulawesi, South East Sulawesi, North Sulawesi, Irian, West Nusatenggara and East Nusatenggara. The observation result on grouper culture in Lampung Bay, Gelung (Situbondo-East Java) and Ekas Bay show that the grouper culture in floating net cages is high provide if be done carefully and series. Key word : Grouper, seed production, culture prospect.
1
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol, PO Box 140, Singaraja 81101, Bali.
55
1.
PENDAHULUAN
Ikan kerapu merupakan komoditas eksport yang bernilai ekonomis tinggi di pasar Asia terutama Hongkong dan Singapura. Produksi ikan kerapu saat ini sebagian besar masih berasal dari penangkapan dari alam . Cara penangkapan ikan kerapu terkadang menggunakan racun potassium sianida yang dapat merusak karang dan biota di sekitarnya. Beberapa jenis ikan kerapu (Epinephelus spp) telah diujicobakan pembesaranya di Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Hongkong mulai tahun 1979 (Sugama, et al., 1986), namun karena keterbatasaan benih sehingga sulit berkembang. Usaha penyediaan benih ikan kerapu sudah mulai diteliti beberapa tahun yang lalu antara lain pada kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina)), E. akaara (Tseng dan Ho, 1988), kerapu macan E. fuscoguttatus (Mayunar et. al., 1991; Slamet, 1993), kerapu bebek Cromileptes altivelis (Slamet, et al., 1996). Di Indonesia kerapu macan mulai dapat dipijahkan tahun 1987, kerapu bebek mulai tahun 1997; namun tingkat keberhasilan yang baik baru mulai tahun 1998. Untuk budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung, perairan Indonesia memiliki lahan pantai yang potensial seluas 3.385 ha (Anonimous, 1988). Perairan Indonesia memiliki berbagai jenis ikan kerapu dengan nilai ekonomis tinggi, diantaranya adalah jenis kerapu lumpur (Epinephelus suilus, E. malabaricus); kerapu macan (E. fuscoguttatus); kerapu batu (E. fasciatus); kerapu merah (Chephalopolis sp.); kerapu sunuk (Plectropoma spp.); kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Letak geografis Indonesia sangat menguntungkan karena berada pada lintas perdagangan ikan hidup (Singapura-Hongkong) maupun ikan segar (Singapura-Hongkong-Jepang). Sebagai bagian dari perairan tropis, Indonesia kaya akan jenis ikan dan beberapa diantaranya merupakan golongan ikan rucah dengan nilai ekonomis rendah sehingga dapat dieksploitasi untuk sumber pakan alami bagi pengembangan budidaya ikan laut. Dalam makalah ini akan dibahas perkembangan produksi benih ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) di Bali, serta prospek pengembangan budidayanya di Indonesia.
2.
METODOLOGI
Pengamatan yang dilakukan antara lain terhadap pembenihan, transportasi benih dan pembesaran (budidaya) benih kerapu tikus. Pembenihan meliputi : Sistem pemeliharaan, kelangsungan hidup, volume produksi benih kerapu tikus di hatchery skala rumah tangga di Bali. Methoda pengamatan dengan melakukan monitoring setiap seminggu sekali terhadap sistem pemeliharaan, perkembangan dan kelangsungan hidup benih, volume produksi dan kendala mortalitas serta penyakit. Pengamatan transportasi benih dilakukan terhadap system yang digunakan, jarak dan waktu transportasi serta kelangsungan hidup benih yang di angkut dari bali ke sentra-sentra budidaya ikan kerapu di Indonesia. Pengamatan perkembangan budidaya dilakukan terhadap pembudidaya ikan kerapu di keramba jaring apung (KJA) di teluk Lampung, Gelung (situbondo – Jatim) dan Teluk ekas (Lombok).
56
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Perkembangan Produksi Benih Kerapu Di Hatcheri Di Bali
Pembenihan ikan kerapu bebek telah berhasil dikembangkan di tingkat petani hatcheri skala rumah tangga (HSRT). Pada tahun 1997 hanya mulai satu orang petani yang berminat membenihkan ikan kerapu bebek dan dalam 1 tahun hanya 1 siklus yang berhasil dengan jumlah produksi 8500 ekor (saat itu harganya Rp 12.500,- per ekor ukuran 5 cm). Pada tahun 1998 tidak ada petani HSRT yang memproduksi kerapu karena harga nener tinggi (Rp 20-60,- per ekor). Pada tahun 1999 Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut yang waktu itu bernama Loka Penelitian Perikanan Pantai melalui program ekstensen membimbing dan memberi telur kerapu bebek cuma-cuma kepada 12 petani HSRT. Pada program ini siklus pertama semua gagal karena saat itu belum ada filter dan dilakukan saat musim penghujan sehingga air lautnya keruh. Kemudian dengan mewajibkan pembuatan filter kepada petani peserta program ini ternyata sebagian besar berhasil memproduksi benih dengan tingkat kelangsungan hidup mencapai 5% walaupun pada tahun 1999 hanya 1 siklus yang berhasil memproduksi benih dengan jumlah produksi benih mencapai 40.000 ekor. Tahun 2000 sudah berkembang dengan baik dan petani sudah mampu beli telur kerapu bebek dari Loka Gondol dan dari hatcheri swasta dengan harga telur Rp 2,5 per butir. Pada tahun 2000 hampir setiap bulan dapat memproduksi benih kerapu bebek sebanyak 10.000-100.000 ekor benih (ukuran 4-6 cm) per bulan dengan total produksi per tahun mencapai sekitar 500.000 ekor. Pada tahun 2001 sampai pertengahan tahun 2002 produksi benih di petani HSRT berjalan lancar walaupun masih sering terjadi kematian massal benih oleh serangan VNN. Pada tahun 2002 produksi benih per bulan berkisar antara 50.000 sampai 250.000 ekor benih kerapu bebek, dengan total produksi per tahun mencapai 1.500.000 benih, sedangkan tahun 2003 mengalami penurunan yaitu 20.000 sampai 120.000 benih per bulan. Penurunan produksi benih kerapu bebek tahun 2003 terjadi karena suhu udara pada bulan April sampai Juli yang relatif dingin yang menyebabkan suhu terendah air media pemeliharaan larva mencapai 24 oC yang menyebabkan kegagalan produksi benih. Mulai tahun 2004 sampai sekarang produksi benih ikan kerapu bebek, relative lancar walaupun masih sering mengalami kendala kekurangan produksi telur saat dan kematian massal larva pada musim-musim tertentu. Produksi benih kerapu macan di tingkat petani sudah berhasil baik mulai tahun 2000; dengan volume produksi dapat melebihi kerapu bebek, namun terkadang sering over produksi yang menyebabkan harga merosot. Pada tahun 2001 setiap bulan dapat diproduksi sebanyak 10.000-400.000 ekor per bulan dengan total produksi benih per tahun mencapai 2.000.000 benih. Pada awal tahun 2001 pernah terjadi stop produksi karena sebelumnya petani pernah rugi akibat terlalu lama menahan benih yang tidak terjual. Sebagian besar petani pembenih kerapu macan ingin menjual benihnya saat mencapai ukuran 2 cm karena pada ukuran 2,5-5 cm kanibalisme sangat tinggi; di sisi lain petani KJA menginginkan ukuran > 8 cm agar lebih aman di KJA. Pada akhir tahun 2001 sampai sekarang (pertengahan tahun 2002) petani HSRT kembali bangkit untuk melakukan pembenihan ikan kerapu macan menggunakan sistem pemeliharaan benih ukuran 1,5-5 cm dengan pemberian pakan berupa udang jembret/rebon kecil/ grago dengan jumlah yang berlebih. Saat ini sudah mudah mendapatkan udang jembret karena sudah banyak pedagang yang sengaja mencari jembret di tambak-tambak udang di Jawa Timur (Banyuwangi dan Situbondo). Pada tahun 2002 produksi benih kerapu macan di petani HSRT di Bali setiap bulan mencapai 150.000-400.000 dengan total produksi per tahun mencapai 3.000.000 ekor. Jumlah ini akan meningkat bila kebutuhan pasar meningkat pula. Pada tahun 2003 mengalami penurunan produksi dikarenakan permintaan pasar dan suhu udara yang rendah pada bulan April sampai Juli yang
57
menyebabkan kegagalan produksi, seperti halnya pada produksi benih kerapu bebek. Mulai tahun 2004 sampai sekarang produksi benih ikan kerapu macan, relative lancar tergantung kebutuhan dan permintaan benih; walaupun masih sering mengalami kematian massal larva pada musim-musim tertentu. Tingkat kelangsungan hidupnya sangat bervariasi yaitu 0-40% dengan rata-rata 5% untuk kerapu bebek dan 7% untuk kerapu macan. Kegagalan/kematian massal biasanya terjadi umur 15-50 hari. Kegagalan dalam produksi benih kerapu di Bali sebagian besar terjadi pada puncak musim penghujan. Hal ini karena pada saat ini sulit didapatkan air laut yang jernih dan sulit memproduksi fitoplankton (Nannochloropsis) yang bermutu baik, sehingga larva mudah stress dan mudah terserang VNN (Virus nervous neucrosis) yang berakibat kematian massal. 3.2.
Transportasi Benih
Transportasi benih kerapu dapat dilakukan dengan sistem terbuka dan sistem tertutup. Benih sebelum di kirim , terlebih dahulu dipuasakan selama 24 jam, agar tudak muntah saat dikirim yang akan berakibat air media tranportasi menjadi kotor dan dapat mengakibatkan kematian.Pada sistem transportasi tertutup menggunakan kantong plastik yang berukuran 30x50 cm diisi air laut yang telah difilter sebanyak 2 liter atau ukuran 35x60 cm diisi air laut 3 liter atau 50x120 cm diisi air 10 liter. Kantong plastik yang telah berisi benih kemudian diisi oksigen murni dengan tekanan 100 kg/cm2, ratio antara gas oksigen dan air 3 : 1. Kantong plastik yang berisi benih ikan selanjutnya dimasukan kedalam box streofoam, dan didinginkan dengan menambahkan es batu sebanyak 1 kg kg per box. Parameter yang diamati dalam kegiatan ini adalah kelangsungan hidup dan untuk mengamati kualitas air media pada saat berangkat dan sampai tujuan terdiri dari oksigen terlarut, pH, suhu, salinitas, ammonia dan karbon diksida dilakukan secara simulasi transportasi. Pada pengangkutan dengan sistem tertutup menggunakan kendaraan berupa truk yang dilengkapi dengan 2 buah bak fiber glass volume masing-masing 2 m3 yang dilengkapi dengan aersi dengan oksigen murni. Kecepatan aerasi oksigen murni diatur sedemikian sehingga 1 tabung dapat digunakan selama 6-8 jam. Selama perjalanan dilakukan penggantian air sebanyak 70-80% setiap 6-8 jam sekali. Pada transportasi sistem tertutup untuk benih bebek ukuran 4 – 5 cm kepadatan yang optimum dengan kantong ukuran 30 x 50 cm pada lama waktu trtansportasi 12 jam adalah 30 ekor per kantong dengan kelangsungan hidup (SR) 95-99%; sedang selama 22 jam adalah 25 ekor per kantong (97-99%). Untuk benih ukuran 5 – 6 cm kepadatan yang optimum dengan kantong ukuran 30 x 50 cm pada lama waktu transportasi 12 jam adalah 25 ekor per kantong dengan kelangsungan hidup (SR) 98-99%; sedang selama 22 jam adalah 20 ekor per kantong (96-99%). Untuk benih ukuran 6–7 cm dan 7-8 cm sering mengalami kendala kantong plastik yang bocor dan kempes karena tertusuk tulang sirip punggung. Pada transportasi selama 12 jam kendala palstik kempes masih tidak terlalu fatal, terutama pada transportasi darat walaupun plasti kempes benih masih dapat tertolong oleh goncangan yang mempercepat difusi oksigen. Pada transportasi terbuka semua pelakuan menghasilkan kelangsungan hidup yang sangat tinggi (>99%). Hal ini karena kodisi kualitas air relatif stabil terutama kadar oksigen dan amoniak terlarut oleh pemberian aerasi oksigen murni dan penggantian 7080% air laut setiap 6-8 jam.
58
Pada dasarnya keberhasilan kegiatan pengangkutan benih ikan kerapu bebek tidak terlepas kaitannya dengan bagaimana cara penanganan benih ikan sejak sebelum di kemas hingga sampai tempat tujuan, tetapi yang lebih penting lagi dari semuanya itu adalah bagaimana mempertahankan agar kualitas fisiko-kimia air media selama pengangkutan agar lebih stabil sehingga diharapkan dapat mendukung dan menjaga kesehatan benih yang sedang diangkut. Hasil pengamatan terhadap suhu media selama pengangkutan terlihat peningkatan Pada akhir pengangkutan suhu air berkisar antara 24-25oC.. Dalam transportasi ikan hidup suhu memegang peranan penting didalam mengendalikan tingkat metabolisme ikan, Pada suhu tinggi aktivitas dan metabolisme ikan meningkat. Oleh karena itu suhu rendah dipertahankan selama mungkin untuk menekan metabolisme dan aktifitas ikan selama transportasi. Sehingga ikan dapat ditranportasikan selama mungkin. 3.3.
Budidaya Kerapu
Tingkat keberhasilan budidaya pembesaran kerapu di KJA akan tinggi bila memperhatikan aspek penting dengan pengelolaan yang tepat dan benar dari aspek-aspek berikut: siapkan fasilitas di lokasi yang terpilih, pilih benih yang sehat, berikan pakan yang berkualitas dan kontrol penyakit (parasit dan bakteri), disertai dengan perbaikan pengelolaan budidaya secara utuh. Budidaya kerapu memerlukan waktu yang relatif lama dimana untuk kerapu macan sekitar 1 tahun dan untuk kerapu bebek sekitar 1,5 tahun. Sementara produksi benih bisa dilakukan setiap 2-3 bulan saja. Oleh karena itu pola pengembangan perlu mempertimbangkan target produksi (skala usaha), waktu pemasaran (tiap bulan, dua bulan dst) sehingga pola dan jadwal tanam perlu diatur dengan mempersiapkan jumlah unit KJA yang memadai. Sebagai contoh pola pertambahan berat badan pada budidaya kerapu bebek dan kerapu macan yang diberi pakan pellet kering dapat dilihat pada gambar 1.
1200
berat (gram)
1000 800 K.Bebek
600
K.macan
400 200 0
Lama pemeliharaan (bulan) Gambar 1. Pertumbuhan ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan kerapu macan yang dipelihara di Keramba Jaring Apung (KJA)
59
Dewasa ini terdapat pakan ikan kerapu bebek yang telah diuji cobakan hingga ukuran konsumsi. Ikan yang akan diberi pakan buatan pada waktu pembesaran, harus sudah dibiasakan diberi pakan buatan sejak benih. Perubahan pakan ikan rucah ke pakan buatan perlu waktu, sementara dari pakan buatan ke pakan ikan rucah lebih respon. Sebagai acuan dosis dan frekuensi pemberian pakan dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 1. Ukuran pellet, dosis dan frekuensi pemberian pakan pada budidaya ikan di KJA. Bentuk/ukuran Ukuran ikan Dosis pakan Frekuensi (mm) (g) (% BW) pemberian/hari Crumble-1-6 1-3 10-4 5-3 Pelet-3 3-10 4-2 3-2 Pelet-5 10-50 2,0-1,5 2 Pelet-7 50-100 1,5-1,2 2-1 Pelet-10 100-250 1,2-1,0 1 Pelet-12 >250 1,0-0,8 1,0-0,5 Ikan Rucah bisa dipergunakan sebagai pakan namun ada beberapa kendala: (a) ketersediaan ikan rucah tidak selalu mudah diberbagai tempat; untuk daerah yang masih mudah mendapatkan ikan rucah secara kontinyu dan murah bisa dilakukan; (b) dibeberapa tempat harga ikan rucah sudah mahal mecapai Rp 4000-5000 per kg karena bersaing dengan kebutuhan manusia untuk konsumsi atau ikan asin; (c) memerlukan tenaga dan waktu untuk pemberian pakan (laborious), terutama bila ikan ukuran relatif besar terhadap ikan yang akan diberi pakan, harus dipotong-potong; (d) mutu pakan ikan rucah sering tidak terjamin, bila lambat diolah atau penyimpanan yang tidak baik akan mudah rusak; ikan rucah yang rusak atau menurun mutunya, akan sebaiknya tidak diberikan karena menyebabkan ikan sakit dan mutu lingkungan memburuk; (e) pada saat ikan rucah banyak untuk menyimpan dan mempertahankan mutu diperlukan freezer atau minimal es untuk penyimpanan dingin; dalam hal ini sulit dilakkan bila tidak tersedia listrik atau perlu inventasi freezer, demikian pula ketersediaan es didaerah tidak selalu ada. Sebagai perbandingan pertumbuhan dan efisiensi antara pakan pellet dan rucah dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pertumbuhan, produksi, kebutuhan kalori dan ongkos produksi pakan pada ikan kerapu bebek dengan pakan pelet Gondol, pelet komersial dan ikan segar. Variabel (Variable) Pertumbuhan harian (Daily growth) (g/day) Konversu pakan(Food conversion) Sintasan (%)(Survival rate) Harga pakan (Cost of feed) per kg. (Rp.)
Pelet komersial (Commercial pellet) 0,6-0,80 1,54-2,2 50-98 15.000-20.000
Ikan segar (Trash fish) 0,6-0,81 4,5-6,5 50- 95.1 3.000-6.000
Bila ikan rucah terpaksa dipergunakan sebagai pakan, faktor tersebut perlu dipertimbangkan, demikian pula jenis ikan rucah serta penambahan vitamin C atau vitamin mix. Pada saat ikan mengalami stress akibat penaganan saat sampli atau ganti jaring, cuaca buruk, disarankan untuk diberikan vitamin C dengan dosis 0,5-1 g per kg pakan.
60
4. 1) 2) 3) 4) 5) 6)
KESIMPULAN Usaha pembenihan ikan kerapu macan dan kerapu bebek telah berkembang di Bali. Produksi benih ikan kerapu macan dan kerapu bebek dapat berlangsung hampir sepanjang tahun dengan volume produksi perbulan 100.000-500.000 ekor . Tingkat kelangsungan hidup benih berkisar antara 0-40% dengan rataan 5%. Pemasaran benih kerapu bebek dan macan hampir seluruh wilayah Indonesia dan ekspor. Teknologi transportasi benih sudah dikuasai dengan baik dengan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi (>90%). Saat ini usaha budidaya kerapu belum berkembang, namun prospek pengembangannya cukup cerah karena harga dan keuntungannya cukup menjanjikan; serta pakan buatan (pellet kering) sudah tersedia di pasaran.
DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 1988. Training manual on Marine Finfish Net cage Culture in Singapore. Revered for the Marine Finfish Net Cage Training Course. Conducted by Primary Production Department (Republic of Singapore) and Organized RAS/86/024 cooperation with RAS /84/016. Mayunar, P.T. Imanto, S. Diani dan T. Yokokawa, 1991. Pemijahan ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus. Bull. Pen. Perikanan Spec. Edi. No. 2:15-22. Slamet, B. 1993. Pengaruh penurunan suhu media terhadap penundaan penetasan dan peningkatan optimasi kepadatan pada transportasi telur ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) J. Pen. Budidaya Pantai, terbitan khusus, Vol.9 No.5 : 30-36. Slamet, B., Tridjoko, Agus P., Tony S. dan K. Sugama. 1996. Penyerapam nutrisi endogen, tabiat makan dan perkembangan morphology larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis). J. Pen. Perikanan Indonesia, Vol.2 No.2 : 13-21. Sugama, K., Waspada dan H. Tanaka. 1986. Perbandingan laju pertumbuhan beberapa jenis kerapu, Epinephelus spp. dalam kurung-kurung apung.Scientific Report of Mariculture Research and Development Project (ATA-192) in Indonesia: 211219. Tseng dan Ho, SK, (1988). The Biology and Culture of Red Grrouper. Chien Cheng Publisher Koahsiung, R.OC. Hongkong. 134 pp.
61
KANDUNGAN OKSIGEN TERLARUT DENGAN VARIASI PENCAHAYAAN SIMULATOR PADA SISTEM KULTUR MIKROALGAE Chlorophyta Oleh : Rose Dewi1, Muhammad Zainuri2
ABSTRAK Intensitas cahaya sangat berperan pada proses fotosintesis mikroalgae, dengan mengubah materi anorganik menjadi produk organik (karbohidrat) serta kandungan oksigen terlarut optimal yang diperlukan bagi kelangsungan hidup biota lainnya. Kuantitas intensitas cahaya optimal yang dapat diserap klorofil (Chlorophyta) Dunaliella salina dan Chlorella vulgaris untuk mencapai produk fotosintesis : kuantitas (kandungan oksigen terlarut) sejauh ini belum diketahui, hal ini dikarenakan untuk mengetahui kandungan oksigen terlarut tidak mungkin dilakukan pada perairan luas, maka diperlukan pengamatan dalam skala laboratorium, agar intensitas cahaya yang mendukung optimalitas kandungan oksigen dapat diketahui. Penelitian dilakukan secara eksperimental menggunakan pencahayaan bersumber pada simulator dengan perlakuan terdiri dari A : Perubahan intensitas cahaya setiap 10 menit (249- 997) lux; B: Perlakuan cahaya dengan siklus tetap (1029 lux); C siklus Perubahan intensitas cahaya setiap 3 jam (1-1029 lux); D. salina dan C. vulgaris pada media bervolume 2 liter, sebanyak 3 wadah (ulangan) pada tiap perlakannya. Parameter terukur adalah kandungan oksigen (ppm), selama 4 sesi. Pada tiap sesi pengamatan selama 12 jam (06.00 -18.00) dan monitoring pengamatan setiap 2 jam. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa baik pada D. salina dan C. vulgaris pada intensitas cahaya dengan selang 3 jam (C) lebih optimal menghasilkan kandungan oksigen terlarut tertinggi, pada D. salina (Y =1,51+ 0,71X- 0,03 X², r = 0.90) dan pada C. vulgaris (Y= 5,30-0,007X-0,002X², r = 0,92), dengan dapat direspon secara stabil pada awal sampai akhir sesi. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa intensitas 3 jam lebih optimal dengan energi yang lebih rendah, namun direspon lebih baik oleh kedua mikroalgae, dibandingkan dengan intensitas cahaya siklus tetap. Kualitas air (suhu, salinitas, pH) berada dalam toleransi kisaran yang dapat mendukung kehidupan kedua mikroalgae Chlorophyta tersebut. Kata Kunci : Intensitas cahaya, Kandungan oksigen terlaut, Dunaliella salina, Chlorella vulgaris
1.
PENDAHULUAN
Energi cahaya matahari membantu aktivitas fotosintesis mikroalgae dengan mengubah materi anorganik menjadi produk organik (karbohidrat) serta kandungan oksigen terlarut optimal yang diperlukan bagi kelangsungan hidup biota lainnya (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Intensitas cahaya yang ada pada perairan akan mempengaruhi proses fotosintesis, yang berdampak pada kandungan oksigen terlarut di perairan. Kandungan oksigen terlarut berhubungan erat dengan densitas mikroalgae yang ada pada suatu perairan, dengan adanya peningkatan densitas mikroalgae mengakibatkan meningkatnya laju konsumsi oksigen serta mempengaruhi jumlah oksigen terlarut dalam perairan yang dihasilkan melalui proses fotosintesis. (Barnes, 1988 ; Boney, 1989). 1 2
Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Sains Dan Teknik, UNSOED Jurusan Perikanan Dan Kelautan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan,UNDIP
62
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui intensitas cahaya yang optimal terhadap kandungan oksigen terlarut pada mikroalgae Dunaliella salina dan Chlorella vulgaris,, namun tidak mungkin dilakukan pada perairan yang luas, maka diperlukan pengamatan an dalam skala laboratorium. Salah satu metoda yang digunakan untuk determinasi kuantitatif tersebut yakni dengan pengukuran langsung intensitas cahaya matahari diperairan, yang selanjutnya dikonversikan kedalam suatu alat simulator. Simulator sebagai sumber sumber cahaya pada penelitian, dimaksudkan agar intensitas cahaya yang ditetapkan sebagai perlakuan penelitian dapat diatur mengikuti pola intensitas cahaya matahari pada lingkungan perairan. Susunan simulator yang digunakan terdiri dari sumber listrik (220 V, f =50 Hz), Triac (sebagai pengatur tegangan dan arus yang bertujuan agar lampu dapat memberikan cahaya dan tegangan yang diinginkan). Rangkaian Mikrokontroler berbasis Atmel 89s52 (sebagai pemicu Triac) dan lampu sebagai sumber cahaya yang dihasilkan. Lampu Lampu akan memancarkan energi berupa cahaya mengikuti perubahan otomatis pada sistem simulator cahaya. Pemanfaatan simulator cahaya tersebut terhadap mikroalgae D. salina dan C. vulgaris (Chlorophyta) yang digunakan sebagai biota uji, diharapkan dapat membe memberikan informasi yang lebih terinci mengenai kemampuan individual dari mikroalgae.
Gambar 1. Grafik intensitas cahaya hasil pengukuran 2.
BAHAN DAN METODA
Penelitian dilakukan secara eksperimental. D. salina kepadatan awalnya sebesar sebesar 2.000.000 sel/ ml, dan C. vulgaris (10.000.000 sel/ ml) pada media bervolume 2 liter, sebanyak 3 wadah (ulangan) pada tiap perlakuannya. Perlakuan A : Perubahan intensitas cahaya setiap 10 menit (249(249 997) lux; B: intensitas as cahaya dengan siklus tetap (1029 lux); C Perubahan intensitas cahaya setiap 3 jam (1-1029 (1 lux). Tabel 1. Lumen cahaya lampu hasil konversi dari lux matahari yang digunakan dalam penelitian Lumen ( Lux ) No Jam 10 Menit Tetap 3 Jam 1 07.00 249 1029 1 2 09.00 837 1029 771 3
11.00
981
1029
771
4
13.00
997
1029
1029
5
15.00
837
1029
771
6
17.00
334
1029
771
63
Parameter terukur adalah kandungan oksigen terlarut (ppm), selama 4 sesi, dengan waktu pengukuran kandungan oksigen pengamatan selama 12 jam (06.00 -18.00) dengan selang pengamatan monitoring setiap 2 jam, menggunakan DO meter. DO meter yang mengandung larutan elektrolit (untuk mengeahui jumlah kandungan oksigen air media) dicelupkan pada setiap media perlakuan. Data yang diperoleh menurut Gomez (1995) dan Steel and Torrie (1993), dianalisis dengan menggunakan analisa regresi untuk mencari hubungan variabel dalam penelitian.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Kandungan Oksigen Terlarut D. Salina
Proses fotosintesis yang dilakukan mikroalgae dipengaruhi oleh klorofil, yang akan merespon intensitas cahaya. Saat mendapatkan intensitas cahaya dengan intensitas tertentu mikroalgae cenderung naik kepermukaan untuk mendapatkan cahaya yang akan dipergunakan untuk proses fotosintesis dengan produk akhirnya menghasilkan oksigen. (Boney, 1989). Kandungan oksigen terlarut merupakan produk awal dari fotosintesis pada proses fotolisis air (reaksi terang). Semakin banyak DO dilepaskan, berarti fotosintesis pada tahap reaksi terang berjalan dengan baik, sehingga energi yang dibentuk terdapat dalam kuantitas besar, yang akan digunakan pada reaksi calvin untuk sintesis karbohidrat. Hal ini dikarenakan jumlah ATP yang akan digunakan dalam reaksi gelap (dengan produk akhirnya berupa karbohidrat/ glukosa (CH2O), akan bergantung pada jumlah energi cahaya yang dibutuhkan oleh per molekul oksigen. (Kimball, 1983) Hasil pengamatan pengaruh ke tiga perlakuan jenis intensitas cahaya terhadap kandungan oksigen terlarut pada D. salina menunjukan bahwa kandungan oksigen optimal dicapai oleh perlakuan (C), diikuti oleh perlakuan (A) dan selanjutnya perlakuan (B). Pada D. salina perlakuan (C) menunjukan tingkat kestabilan dari awal sesi pertama, hingga akhir sesi keempat. Menurut Borowitzka (1992) D. salina mampu mencapai proses fotosintesis optimal dengan menghasilkan kandungan oksigen yang tinggi karena mengandung pigmen klorofil a dan b, dan pada intensitas cahaya diatas 1000 lux – 2200 lux, akan memberikan kesempatan pada mikroalgae untuk melakukan fotosintesis secara optimal, karena mampu memenuhi kisaran gelombang 400-725 nm. Tingkat optimalitas kandungan oksigen pada perlakuan (C) pada keempat sesi rata-rata berkisar pada pukul 12.00-14.00, dengan intensitas cahaya perlakuan (C) mencapai optimal pada 1.029 lux, seperti pada perlakuan sesi pertama pada pukul 12.00 kandungan oksigen sebesar 5,53 ppm, pada kisaran (4,07 - 5,53) ppm, pada persamaan Y =1,51+ 0,71X- 0,03 X², r = 0.90. Pada kisaran cahaya diatas 1000 lux, oksigen terlarut D. salina dapat mencapai kisaran 4ppm (Boney, 1989). Perlakuan (A) pada D. salina menunjukan tingkat efisiensi yang baik, dengan pencapaian kandungan oksigen terlarut sama memiliki kisaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan intensitas cahaya (B), puncak kandungan oksigen terdapat pada sesi kedua pada kisaran (4.17 - 5.30 ) ppm dengan persamaan (Y=3,45+ 0,29X - 0,01X², r = 0,76). Perlakuan ini membuktikan teori kurva fotosintesis mikroalgae dalam menghasilkan kandungan oksigen terlarut (Gass, et al. 1984). Sedangkan pada perlakuan intensitas cahaya (B) menunjukan, D. salina mengalami kondisi kejenuhan pada media perlakuan yang mengakibatkan kerusakan kandungan klorofil (klorofil tereksitasi), pada akhirnya menyebabkan turunnya kandungan oksigen terlarut di bawah kedua perlakuan yang lain. ditunjukan dengan adanya penurunan yang cukup drastis.
64
Pers. D(10)
6.00
Oksigen Terlarut
Data D(10)
(a)
Pers D(T) 4.00
Data D(T) Pers D(3)
2.00
0.00
Data D(3)
06.00
08.00
10.00
12.00
16.00
14.00
18.00
Waktu 6.000 Oksigen Terlarut
Pers. D(10) Data D(10)
4.000
(b)
Pers D(T) Data D(T) Pers D(3)
2.000
Data D(3) 0.000
06.00
08.00
10.00
12.00 14.00 Waktu
16.00
18.00
Pers. D(10)
(c)
Oksigen Terlarut
6
Data D(10) Pers D(T) 4
Pers D(3) 2
Oksigen Terlarut
0
(d)
Data D(T)
Data D(3)
06.00
08.00
10.00
12.00 Waktu
14.00
16.00
18.00
4
Pers. D(10) Data D(10) Pers D(T) Data D(T)
2
Pers D(3) Data D(3) 0
06.00
08.00
10.00
12.00 Waktu
14.00
16.00
18.00
Gambar 2. Hubungan waktu pengamatan dengan Kandungan Oksigen Terlarut (ppm) pada D. salina selama 4 sesi (a,b,c,d) pada tiga perlakuan intensitas cahaya
65
Oksigen Terlarut
6
(a)
4
2
0 06.00WIB
08.00WIB
10.00WIB
12.00WIB
14.00WIB
16.00WIB
18.00WIB
Waktu Pers. C(10)
Data C(10)
Pers C(T)
Data C(T)
Pers C(3)
Data C(3)
6
4
(b)
2
0 06.00WIB
08.00WIB
10.00WIB
12.00WIB
14.00WIB
16.00WIB
18.00WIB
Waktu Pers. C(10)
Data C(10)
Pers C(T)
Data C(T)
Pers C(3)
Data C(3)
Oksigen Terlarut
4
(c)
2
0 06.00WIB
Pers. C(10)
08.00WIB
Data C(10)
10.00WIB
12.00WIB Waktu
Pers C(T)
14.00WIB
Data C(T)
16.00WIB
Pers C(3)
18.00WIB
Data C(3)
(d)
Oksigen Terlarut
6
4
2
0 06.00WIB
Pers. C(10)
08.00WIB
Data C(10)
10.00WIB
12.00WIB Waktu
Pers C(T)
14.00WIB
Data C(T)
16.00WIB
Pers C(3)
18.00WIB
Data C(3)
Gambar 3. Hubungan waktu pengamatan dengan Kandungan Oksigen Terlarut (ppm) pada C.Vulgaris selama 4 sesi (a,b,c,d) pada tiga perlakuan intensitas cahaya Pada perlakuan (B) dari awal sesi pertama (5.73 – 4.20 ) ppm pada persamaan regresi (Y= 2,64 + 0,479X - 0,02X² , r = 0,71) sampai akhir sesi kedua ( dari 5.60 – hingga3.80) ppm, pada (Y=4,51+ 0,11X - 0,008X² , r = 0,75).
66
Hal ini sesuai dengan pernyataan Gass et al. (1984), bahwa setelah mencapai fase kejenuhan, jika terus terjadi penambahan intensitas cahaya, maka akan terjadi penurunan laju fotosintesis dengan berada pada fase penghambat (inhibition) karena berada pada intensitas cahaya yang tinggi secara terus menerus, yang mengakibatkan menurunnya kandungan oksigen terlarut yang dihasilkan, dikarenakan kandungan klorofil yang rusak oleh peristiwa klorofil tereksitasi. Ketiga perlakuan intensitas cahaya pada D. salina memiliki pola penurunan kandungan oksigen pada akhir sesi pertama dan akhir sesi keempat, hal ini dikarenakan pada proses fotosintesis selanjutnya, klorofil memiliki ukuran yang lebih besar akan membentur dinding sel yang pada akhirnya mengakibatkan mikroalgae turun dari permukaan dikarenakan terjadi perubahan berat jenis (persiapan proses perbanyakan sel / reproduksi). Adapun hasil pada akhir pada proses reproduksi tersebut menyebabkan adanya peningkatan densitas mikroalgae, yang akan mengakibatkan kondisi yang kompetitif untuk memperoleh kandungan oksigen untuk respirasi sel ditunjukan dengan adanya penurunan kandungan oksigen. 3.2.
Kandungan Oksigen Terlarut C. Vulgaris
Mikroalgae C. vulgaris memiliki pola respon terhadap perlakuan intensitas cahaya yang hampir sama dengan D. salina, yakni kestabilan respon terjadi pada pelakuan (C) jam ( 1-1.029 lux) yang terjadi pada awal sesi pertama sampai dengan akhir sesi keempat, dengan hasil produk kandungan oksigen yang selalu berada diatas kedua perlakuan lainnya (A) dan (B). Adanya puncak produksi kandungan oksigen terjadi pada awal sesi kedua dengan kisaran (4.17- 5.13) ppm, dengan persamaan (Y=5,30-0,007X0,002X², r = 0,92) yang meningkat secara perlahan hingga akhir sesi keempat (3.37 4.17) dengan persamaan regresi (Y= 2,97+ 0,13X- 0,004X², r =0,44). Namun respon selanjutnya pada C. vulgaris diikuti oleh perlakuan intensitas (B) berbeda dengan hasil yang diperoleh pada respon D. salina, dikarenakan produk oksigen terlarut hasil fotosintesis pada perlakuan ini menunjukan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan (A) pada awal sesi kedua sampai akhir sesi keempat, dengan puncak terjadi pada akhir sesi keempat dengan kisaran (3.47- 3.90) ppm, pada persamaan (Y=3,05+ 0,12X- 0,005X²,r = 0,49). Hal ini menurut Isnansetyo dan Kurniastuti (1995), dikarenakan mikroalgae C. vulgaris memiliki sejumlah pigmen yaitu pigmen klorofil a dan b, serta karoten yang berperan dalam fotosintesis dalam menghasilkan kandungan oksigen terlarut, diperjelas menurut Borowitzka (1992) bahwa C. vulgaris membutuhkan intensitas cahaya yang lebih besar dibandingkan dengan D. Salina. Sedangkan pada perlakuan (A) direspon dengan rendah oleh mikroalgae C. vulgaris, hanya pada awal sampai akhir sesi pertama kandungan oksigennya lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan intensitas (B), dengan kisaran (4.43 - 5.50) dengan persamaan Y= 7,18- 0,37X +0,01X² , r = 0,73. Hal ini karenakan mikroalgae masih dapat beradaptasi pada keadaan intensitas cahaya yang rendah pada awal perlakuan, namun pada awal sesi kedua sampai akhir sesi keempat, perlakuan dengan intensitas (B) menghasilkan kandungan oksigen yang lebih baik dibandingkan dengan intensitas (A). Kondisi tersebut disebabkan kandungan pigmen fotosintesis pada C. Vulgaris tidak sebanyak kandungan pigmen D. salina. Sesuai dengan pernyataan Hering (1990) bahwa D. salina merupakan mikroalgae yang memiliki kandungan kloroplas yang bervariasi, yang tersusun atas pigmen yang cukup kompleks yakni, klorofil a, klorofil b dan sejumlah karotenoid dan xantofil termasuk β-karoten, α-karoten, cis-γ-karoten, lutein, lutein 5,6epoxide, antheraxanthin, violaxanthin, zeaxanthin dan neoxanthin.), sedangkan C. vulgaris kandungan pigmen fotosintesisnya tidak sebanyak kandungan pigmen D.salina, kandungan pigmennya hanya terdiri dari klorofil a, klorofil b, astaxanthin dan canthaxanthin. Sehingga untuk dapat melakukan fotosintesis dengan hasil yang optimal
67
membutuhkan intensitas cahaya yang lebih besar dibandingkan Dunaliella salina yakni sebesar 4000 – 30.000 lux. DAFTAR PUSTAKA APHA, 2005. Standart Methods For The Examination Of Water And Waste water. 21st Edition. Edited By: Andrew.D Eaton, Lenore.S Clesceri, Eugene.W Rice, Arnold.E Greenberg. Centennial Edition. American Public Healt Association, American Water Work Association. Water Environment Federation. Barnes, R. S. K. and Hughes, R.N. 1988 . An Introduction to Marine Ecology. Second Edition. Blackwell Scientific Publication. London. pp. 43-75 . Boney, A. D. 1989 . Phytoplankton. New Studies in Biology. Second Edition. Chapman and Hill Inc. New York. pp. 18-97 Borowitzka. M. A. & Borowitzka. L. J. 1992. Micro-Algal Biotechnology. Cambridge University Press. Newyork. Pp 470 Carmelo. R, J. 1997. Identifying Marine Mikroalgae. Academic Press. Newyork. 835 pp. Gass, et al. 1984. Oceanography Biological Environments. Third Level Course. Prepared by Course Team for The Open University with Financial assistance from United Nations Educational Scientific and Cultural Organization. The Open University Press. USA. pp. 17-26. Gomez K.A and A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. Edisi Kedua. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 698 hal. Goodwin, T. W. 1988. Plant Pigments. Academic Press. London. pp. 5-47. Herring, P., J., Campbell, A., K., Whitfield, M., and Maddock, L. 1990. Light and Life in The Sea. Cambridge University Press. Cambridge. Hutagalung Horas. P, Deddy Setiapermana dan S. Hadi Riyono. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. P3O-LIPI. Jakarta. 181 hlm. Isnansetyo dan Kurniastuti. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Pakan Alami Untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanisius. Yogyakarta. Hal 34-39. Kennish, J. M. 1990. Ecology of Estuaries. Volume II. Biological Aspect. RC Press. Florida. Pp.51-98. Kimball, J.W. 1983. Biologi. Jilid I. EDisi Ke lima. PT. Erlangga. Jakarta. 333 hal. Matsuda. T, And A. Tanaka, and Anastasios Melis. 2002. Chlorophyll Antenna Size By Irradiance In Dunaliella salina Involve Coordinate Regulation Of Chlorophyll a Oxygenase (CAO) And Lhcb Gene Expression. Proceeding Of The 2002 U.S DOE Hydrogen Program Review. NREL/ CP – 610 – 32405.
68
Oren Aharon. 2005. A hundred Years Of Dunaliella Research : 1905 – 2005. Review. Salie System. Med Central. Romimohtarto dan Juwana, 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – LIPI. 526 hal Steel Robert GD and James H.Torrie. 1993. Prinsip Dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 747 Hal.
69
PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI Gracilaria gigas Harvey DENGAN BERBAGAI METODE BUDIDAYA JARING APIT PADA LUAS TANAM BERBEDA DI ADIPALA CILACAP Oleh : H.A.Ilalqisny Insan1, Dwi Sunu Widyartini1 dan M. Husein Sastranegara1
ABSTRAK Gracilaria gigas Harvey merupakan jenis rumput laut yang mempunyai nilai ekonomi penting dan dapat dimanfaatkan dalam berbagai keperluan. Oleh karena itu, permintaan rumput laut semakin tahun semakin meningkat dalam perdagangan dunia. Untuk meningkatkan produksi tersebut maka diperlukan budidaya rumput laut secara intensif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh luas tanam dan metode terhadap pertumbuhan dan produksi rumput laut G. gigas, serta untuk mengetahui luas tanam dan metode yang menghasilkan pertumbuhan dan produksi tertinggi yang ditanam menggunakan sistem jaring apit di Perairan Adipala. Penelitian Ini menggunakan RAK dengan pola Split Plot dan 3 kali ulangan. Lua tanam sebagai main plot dan metode budidaya sebagai sub plot. Main plot terdiri dari Luas tanam 40x40cm (A1), luas tanam 40x50cm (A2) dan luas tanam 40x60cm (A3). Subplot terdiri dari metode apung (B1), metode lepas dasar (B2) dan metode dasar (B3). Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas tanam dan metode berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi rumput laut. Perlakuan menggunakan luas tanam 40x60 cm dengan metode apung menghasilkan pertumbuhan tertinggi sebesar 3,400 gram/hari dan produksi basah tertinggi sebesar 18,18 gram/m2. Kata Kunci : G. gigas, Metode Budidaya, Luas tanam, Sistem Jaring Apit
1.
PENDAHULUAN
Gracilaria gigas Harvey adalah rumput laut yang masuk dalam golongan Rhodophyceae (alga merah) dengan ciri umum talus berbentuk silindris atau gepeng dengan percabangan yang berselang seling, dengan bagian atas percabangan agak mengecil. Warna talus beragam mulai dari hijau-cokelat, merah, pirang, dan merahcokelat. Substansi talus menyerupai gel agak lunak seperti tulang rawan. Menurut Kadi dan Atmadja (1996), G. gigas memiliki ciri-ciri talus agak besar, silindris, agak kasar dan kaku, warna hijau kuning atau hijau, panjang talus mencapai 30 cm dengan diameter sekitar 0,5-2 mm. Percabangan cenderung memusat ke pangkal, memanjang, berselangseling, berulang-ulang searah, ujung meruncing, jarak antar cabang sekitar 5-25 mm. Banyaknya manfaat yang dapat diperoleh menyebabkan kebutuhan rumput laut terus meningkat, kebutuhan dunia rata-rata sebesar 8,81% per tahun. Permintaan pasar rumput laut cenderung meningkat setiap tahunnya, sehingga perlu adanya upaya untuk memaksimalkan peluang tersebut yaitu dengan melakukan budidaya yang tepat sesuai dengan ciri dan karakteristik lahan yang tersedia (Aslan, 2006). Menurunnya rumput laut di alam juga dapat mengancam kelestarian spesies rumput laut dan merusak keseimbangan ekosistem perairan. Dengan meningkatnya industri yang memerlukan
1
Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 53122 E-mail:
[email protected]
70
bahan agar-agar maka perlu dilakukan usaha budidaya yang lebih efektif dan efisien (Khan dan Satam, 2003). Usaha budidaya rumput laut yang efektif tergantuing metode yang digunakan. Metode ini sebaiknya disesuaikan dengan ciri dan karakteristik lahan yang tersedia. Setiap metode budidaya mempunyai keuntungan dan kerugian yang berbeda-beda (Insan dan Widyartini, 2001). Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989) berdasarkan posisi penanamannya, metode budidaya rumput laut dibagi menjadi tiga metode yaitu metode dasar (bottom method), metode lepas dasar (off bottom method) dan metode apung (floating method). 1) Metode Dasar (Bottom Method) Budidaya rumput laut metode dasar merupakan cara budidaya dengan posisi bibit rumput laut terletak di dasar perairan. Metode ini merupakan metode yang paling mudah dan sederhana dibandingkan metode lainnya, akan tetapi metode ini sangat jarang diterapkan karena adanya gangguan langsung dari pasir atau lumpur yang terbawa arus. 2) Metode Lepas Dasar (Off Bottom Method) Pada metode lepas dasar ini, benih rumput laut ditanam dengan cara mengikatkan pada suatu rentangan tali atau jaring yang diikatkan pada sejumlah tiang kayu atau bambu yang ditancapkan ke dasar perairan akan tetapi senantiasa berada di dalam perairan (terendam air laut) tidak terletak dekat dengan dasar perairan tetapi juga tidak terletak di dekat permukaan perairan (terletak diantara dasar perairan dan permukaan perairan). 3) Metode Apung (Floating Method) Pada prinsipnya metode apung merupakan metode dengan posisi bibit rumput laut terletak di dekat permukaan air. Pada metode ini fungsi tiang pancang diganti dengan sebuah rakit. Menurut Sujatmiko dan Wisman (2003), metode berkaitan dengan kedalaman yang berpengaruh terhadap intensitas cahaya. Intensitas cahaya sangat mempengaruhi proses fotosintesis. Metode budidaya dasar dan lepas dasar pada prinsipnya sama dengan metode apung, hanya peletakan budidayanya dipengaruhi oleh kedalaman. Penanaman bibit pada metode-metode tersebut dapat dilakukan dengan sistem jaring maupun sisitim tali tunggal. Sistem jaring dapat dimodifikasi menjadi sistem jaring apit. Sistem jaring apit merupakan sistem penanaman rumput laut menggunakan waring atau adanya penutup. Menurut Sutrisno (2008) sistem jaring apit memiliki keunggulan sebagai pengganti pagar untuk melindungi rumput laut, sehingga aman dari gangguan hama, melindungi dari ombak yang besar, dan talus bibit yang putus tidak akan terbawa. Kelemahan dari sistem ini yaitu memerlukan biaya lebih besar untuk membeli jaring dan membutuhkan waktu lama dalam pembuatannya. Penerimaan sinar oleh rumput laut kurang optimal akibat tertutup waring, untuk itu pada proses pemeliharaan, jaring perlu dibersihkan agar proses fotosintesis rumput laut dapat berlangsung dengan baik karena waring sering ditumbuhi lumut. Selain itu berkaitan dengan kompetensi rumput laut dalam memperoleh nutrisi untuk proses fotosintesis, maka luas tanam pada saat penanaman perlu diperhatikan. Secara teori dengan luas tanam yang lebih besar maka pertumbuhan semakin baik, dikarenakan kompetisi untuk mendapatkan nutrien dan cahaya matahari semakin kecil. Namun secara ekonomi luas tanam yang luas tidak efisien dalam hasil produksi karena banyak ruang kosong pada lahan budidaya yang belum termanfaatkan. Perairan Adipala, Cilacap memenuhi beberapa persyaratan sebagai lokasi budidaya G. gigas. Hasil penelitian Widyartini dan Insan (2007) menunjukkan kedalaman air saat pasang mencapai 140 cm sedangkan saat surut 100 cm. Salinitas air laut berkisar
71
30 ‰ sampai 37 ‰ sedangkan untuk pH berkisar 7-8. Substrat dasar perairan berupa pasir dan lumpur. Arus di lokasi budidaya juga tidak terlalu kuat sehingga meski substrat dasar lokasi berupa pasir berlumpur, air cukup jernih. Berdasarkan permasalahan maka dilakukuan penelitian pertumbuhan dan produksi basah G. gigas dengan metode dan luas tanam berbeda pada jaring apit yang ditanam di perairan Adipala Cilacap
2.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk :
1) Mengetahui pertumbuhan dan produksi basah G. gigas dengan metode dan luas tanam berbeda pada jaring apit. 2) Menentukan metode dan luas tanam yang menghasilkan pertumbuhan dan produksi basah tertinggi pada budidaya rumput laut G. gigas yang ditanam dengan jaring apit di Adipala Cilacap. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai budidaya rumput laut G. gigas dengan metode tanam jaring apit dan luas tanam berbeda yang dapat menghasilkan pertumbuhan terbaik dan produksi tertinggi di Adipala, Cilacap.
3.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1.
Materi
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: jaring, bambu, pelampung, hand refraktometer, pH indikator universal, termometer, keping sechi, gunting, timbangan analitik, meteran, tali rafia, kantung plastik, pisau, kamera digital, dan alat tulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rumput laut G. gigas. 3.2.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan Split Plot Design dengan tiga kali ulangan. Adapun perlakuan-perlakuan yang dicobakan adalah sebagai berikut :Main Plot adalah metode (A) yaitu : A1 = 40x40 cm, A2 = 40x50 cm, A3 = 40x60 cm, Sub Plot adalah luas tanam (B) yaitu : B1 = Apung, B2 = Lepas Dasar, B3 = Dasar. Parameter utama yang diamati dalam penelitian ini adalah pertambahan berat basah dan produksi basah rumput laut. Sedangkan sebagai parameter pendukung antara lain salinitas air, suhu air, derajat keasaman (pH) serta kecerahan air. 3.3.
Cara Kerja
3.3.1. Pembuatan Jaring Apit Rakit bambu disiapkan dengan ukuran 3 x 2,5 m sebanyak 15 buah. Sebanyak 3 rakit diberi sekat dengan luas 40 x 40 cm , 6 rakit dengan sekat 40 x 50 cm dan 6 rakit lagi dengan sekat 40 x 60 cm. 3.3.2. Penanaman 1) Metode Apung Bibit rumput laut (masing-masing 50 gr diikatkan pada jaring. Jaring ditutup lagi. Jaring apit diikatkan pada bambu ditebing pantai lalu rakit diapungkan.
72
2) Metode Lepas Dasar Bibit rumput laut (masing-masing 50 gr diikatkan pada jaring. Jaring ditutup lagi. Jaring apit diikatkan pada bambu ditebing pantai lalu rakit ditenggelamkan lepas dasar dengan diberi pemberat secukupnya. 3) Metode Dasar Bibit rumput laut (masing-masing 50 gr diikatkan pada jaring. Jaring ditutup lagi. Jaring apit diikatkan pada bambu ditebing pantai lalu rakit ditengelamkan dengan diberi pemberat hingga menyentuh dasar perairan. 3.3.3. Pengamatan 1) Pertumbuhan Pertumbuhan diukur dengan menghitung pertambahan berat basah bibit. Sampel tanaman diambil sebanyak 3 titik tanam secara destruktif untuk masing-masing perlakuan dan kemudian ditimbang. Pengambilan sampel ini diulang sebanyak 3 kali. Data hasil penimbangan dimasukkan rumus:
G
Wt 2 Wt1 gr / hari (Sumber: Heddy, 2001) t 2 t1 Keterangan : G = Pertumbuhan (gr/hari) Wt1 = Berat rumput laut pada umur t1 (gr) Wt2 = Berat rumput laut pada Umur t2 ( gr) t1 = Waktu pengambilan sampel ke-1 t2 = Waktu pengambilan sampel ke-2
2) Produksi Rumput Laut Pada umur 60 hst, rumput laut dipanen kemudian ditimbang. Data hasil penimbangan (dimasukkan rumus :
Pr
Wt - W0
gr / m 2 (Sumber: Samawi dan Zainuddin, 1996)
Keterangan: Pr = Produksi rumput laut pada umur tertentu (gr/m2) Wo = Berat bibit rumput laut (gr) Wt = Berat saat panen rumput laut (gr) A = Area tanam (m2) 3) Parameter Pendukung Pengukuran dilakukan pada 0 hari setelah tanam (hst), 10 hst, 20 hst, 30 hst, 40 hst dan 60 hst yang mana pengukuran dilakukan 3 kali dalam sehari yaitu pada waktu pagi, siang dan sore hari. 3.4.
Metode Analisis
Data hasil pengamatan dianalisis dengan mengunakan uji F dengan taraf kepercayaan 95% dan 99% yaitu untuk mengetahui pengaruh faktor yang dicobakan. dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
73
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Pertumbuhan Gracilaria gigas Harvey
Hasil pengamatan rumput laut Gracilaria gigas pada berbagai luas tanam dan metode di perairan Adipala, Cilacap diperoleh pertumbuhan rata-rata rata rata tertinggi 00-10 hst pada luas tanam 40x60cm menggunakan metode apung (A3B1) yaitu sebesar 1,300 gr/hari, pada 10-20 20 hst pertumbuhan pertumbuhan tertinggi pada luas tanam 40x60cm menggunakan metode apung (A3B1) sebesar 2,300 g/ hari, pada 20-30 20 30 hst pertumbuhan tertinggi pada luas tanam 40x60cm menggunakan metode apung (A3B1) sebesar 3,030 gr/hari, dan pada 30-40 40 hst pertumbuhan tertinggi pada luas luas tanam 40x60cm menggunakan metode apung (A3B1) sebesar 3,400 gr/hari (Gambar 1).
Pertumbuhan (gr/hari)
4,000 3,500
A1B1
3,000
A1B2
2,500
A1B3
2,000
A2B1
1,500
A2B2
1,000
A2B3
0,500
A3B1
0,000 0-10
10-20
20-30
Umur (hst)
30-40
A3B2 A3B3
Gambar 1. Grafik Pertumbuhan Gracilaria gigas Harvey pada luas tanam dan metode berbeda umur 0-10 0 hst, 10-20 hst 20-30 hst, dan 30-40 hst Grafik pertumbuhan rumput laut G. gigas menunjukkan semakin besar luas tanam maka semakin besar pertambahan berat basah rumput laut pada berbagai metode budidaya dengan bertambahnya umur tanam. Semakin lama waktu penanaman semakin banyak talus yang tumbuh sehingga berat basah akan meningkat didukung oleh kondisi lingkungan yang baik (Soejatmiko dan Wisman, 2003). Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi oleh kepadatan rumput laut per luas tanam. Menurut Waringin (2007), luas tanam yang lebih luas memberikan ruang ruang tumbuh lebih besar sehingga rumput laut yang memiliki kepadatan lebih rendah akan memiliki ruang untuk menyerap cahaya matahari dan zat hara ra optimal tumbuh paling baik. baik Hasil analisis ragam pertumbuhan G. gigas menunjukkan bahwa pada awal pengamatan (0-10 10 hst), pertumbuhan rumput laut tidak dipengaruhi oleh metode dan luas tanam baik secara mandiri maupun dalam interaksinya (Tabel 1). Pada awal penanaman sampai umur 10 hst rumput laut masih beradaptasi terhadap lingkungan barunya sehingga pertambahan berat basahnya hampir sama. Kenaikan berat besah yang terjadi disebabkan karena pada sebagian rumput laut sudah dapat beradaptasi dengan baik. baik
74
Tabel 1. Analisis Ragam Pertumbuhan G. Gigas pada umur 0-10 hst, 10-20 hst, 20-30 hst, dan 30-40 hst. Waktu Sumber DB JK KT F Hit F Tabel Ragam 5% 1% 0-10 hst Ulangan 2 0.0741 0.0370 1.6807 6,94 18,00 Main Plot (A) 2 0.0674 0.0337 1.5294 ns 6,94 18,00 Galat a 4 0.0881 0.0220 Sub Plot (B) 2 0.0274 0.0137 0.9610 ns 3,890 6,93 ns Interaksi 4 0.0015 0.0004 0.0260 3,260 5,41 Galat b 12 0.1711 0.0143 Total 26 0.4296 10-20 Ulangan 2 0.0007 0.0004 0.0357 6,94 18,00 hst Main Plot (A) 2 0.4674 0.2337 22.5357** 6,94 18,00 Galat a 4 0.0415 0.0104 Sub Plot (B) 2 0.5341 0.2670 103.0000** 3,890 6,93 Interaksi 4 0.0081 0.0020 0.7857 ns 3,260 5,41 Galat b 12 0.0311 0.0026 Total 26 1.0830 20-30 Ulangan 2 0.0585 0.0293 3.3617 6,94 18,00 hst Main Plot (A) 2 1.0496 0.5248 60.2979 ** 6,94 18,00 Galat a 4 0.0348 0.0087 Sub Plot (B) 2 0.6141 0.3070 92.1111 ** 3,890 6,93 Interaksi 4 0.0126 0.0031 0.9444 ns 3,260 5,41 Galat b 12 0.0400 0.0033 Total 26 1.8096 30-40 Ulangan 2 0.1696 0.0848 3.2028 6,94 18,00 hst Main Plot (A) 2 1.8274 0.9137 34.5035 ** 6,94 18,00 Galat a 4 0.1059 0.0265 Sub Plot (B) 2 0.6541 0.3270 76.7826 ** 3,890 6,93 Interaksi 4 0.0281 0.0070 1.6522 3,260 5,41 Galat b 12 0.0511 0.0043 Total 26 2.8363 Keterangan : ns = tidak berbeda nyata * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata Hasil uji F pada umur 10-20 hst, 20-30 hingga 30-40 hst menunjukkan bahwa secara mandiri perbedaan luas tanam dan metode budidaya berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan Gracilaria yang ditanam menggunakan jaring apit. Perbedaan luas tanam yang digunakan mempengaruhi ruang tumbuh rumput laut. Menurut Dawson (1966), ruang tumbuh yang luas maka intensitas cahaya yang diterima semakin tinggi dan penyerapan zat hara akan berlangsung lebih baik. Adanya celah yang cukup luas antar bibit dapat menciptakan ruang yang cukup lapang bagi arus untuk masuk. Arus memegang peranan penting dalam pertumbuhan rumput laut, karena adanya arus akan membawa zat hara yang merupakan makanan bagi pertumbuhan rumput laut. Syafrianto (2010) menambahkan arus berperan penting bagi penyediaan nutrisi G. gigas dalam perairan. Semakin besar gerakan air, pertumbuhan rumput laut semakin cepat karena difusi nutrien ke dalam sel tanaman semakin banyak menyebabkan proses metabolisme semakin cepat sehingga pertumbuhan tanaman semakin cepat. Selain itu, arus berfungsi menghomogenkan massa air sehingga fluktuasi salinitas, suhu, pH, dan zat-zat terlarut dapat dihindari.
75
Perbedaan metode budidaya berkaitan dengan penerimaan intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan. Semakin dalam perairan maka semakin berkurang intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan. Daerah permukaan perairan terdapat partikelpartikel dan benda-benda lain yang menghalangi penetrasi cahaya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan daerah dasar perairan. Penetrasi cahaya seringkali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesa, dan habitat akuatik Amini et al (1994) menyatakan bahwa rumput laut yang berada di permukaan perairan relatif lebih banyak mendapatkan cahaya matahari dibandingkan rumput laut yang berada di bagian perairan yang lebih dalam. Intensitas cahaya yang memasuki perairan menurun sejalan dengan penambahan kedalaman dengan kata lain cahaya mengalami peredupan oleh bahan-bahan tersuspensi pada tiap kedalaman. Hasil uji BNT pertumbuhan G. gigas berdasarkan perbedaan luas tanam pada umur 10-20, 20-30, dan 30-40 hst menunjukkan hasil yang berbeda pada perlakuan luas tanam 40x40cm (A1) sebesar 1,133 gr/hari, 1,778gr/hari, 2,344 gr/hari dengan perlakuan luas tanam 40x50cm (A2) sebesar 1,168 gr/hari, 1,933 gr/hari, 2,644 gr/hari dan berbeda dengan luas tanam 40x60cm (A3) sebesar 1,200 gr/hari, 2,100 gr/hari, 2,822 gr/hari. Penanaman rumput laut dengan luas tanam 40x60cm (A3) menghasilkan pertumbuhan paling tinggi dibandingkan dengan 40x40cm (A1) maupun 40x50cm (A2) (Tabel 3.2). Tabel 2. Uji BNT Pertumbuhan G. gigas Harvey berdasarkan luas tanam berbeda pada umur 10-20, 20-30 dan 30-40 hst. Pertumbuhan (gr/hari) Perlakuan 10-20 hst 20-30 hst 30-40 hst A1 1.133 c 1.778 c 2.344 c A2 1.168 b 1.933 b 2.644 b A3 1.200 a 2.100 a 2.822 a Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaaan yang nyata antar perlakuan pada uji BNT 5%. Pada luas tanam 40x60 cm (A3) memberikan pertumbuhan tertinggi karena luas tanam ini mampu memberikan ruang tumbuh yang luas bagi rumput laut namun sebaliknya luas tanam yang sempit akan meningkatkan persaingan dalam memperoleh cahaya, unsur hara dan tempat tumnuh. Ruang tumbuh yang luas memberikan penyerapan cahaya matahari dan zat hara dalam jumlah banyak, karena percabangan rumput laut pada setiap titik tanam tidak saling menutupi sehingga proses fotosintesis dapat berjalan dengan baik dan pertumbuhan G. gigas menjadi optimal. Ruang tumbuh yang luas memberikan ruang yang cukup bagi pembentukan talus muda, semakin banyak talus muda yang terbentuk maka pertumbuhan rumput laut juga semakin meningkat (Murti, 2005). Hasil uji BNT pertumbuhan pada umur 10-20, 20-30, dan 30-40 hst perlakuan metode menunjukkan bahwa pertumbuhan menggunakan metode apung (B1) bebeda dengan metode lepas dasar (B2) dan bebeda dengan metode dasar (B3) (Tabel 3). Metode apung (B1) pada umur 10-20, 20-30, dan 30-40 hst memberikan pertumbuhan tertinggi masing-masing 1,233 gr/hari, 2,111gr/hari dan 2,800 gr/hari. Sedangkan pertumbuhan terendah yaitu pada metode dasar (B3) sebesar 1,156 gr/hari, 1,767 gr/hari dan 2,433 gr/hari masing-masing pada umur 10-20 , 20-30, dan 30-40 hst. Metode apung berada lebih dekat dengan permukaan perairan sehingga rumput laut akan lebih banyak menerima cahaya matahari dibanding rumput laut dengan metode lepas dasar dan metode dasar.
76
Tabel 3. Uji BNT Pertumbuhan G. gigas Harvey berdasarkan metode tanam berbeda pada umur 10-20, 20-30, 30-40 hst Pertumbuhan (gr/hari) Perlakuan 10-20 hst 20-30 hst 30-40 hst B1 1.233 a 2.111 a 2.800 a B2 1.200 b 1.933 b 2.578 b B3 1.156 c 1.767 c 2.433 c Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaaan yang nyata antar perlakuan pada uji BNT 5%. Intensitas cahaya matahari di dekat permukaan perairan berbeda dengan intensitas cahaya matahari yang berada lebih dalam dari permukaan perairan. Sistem pergerakan air di permukaan pada metode apung selalu kontinyu, tidak ada hambatan sehingga massa air homogen dan unsur-unsur hara yang ada didalamnya tersebar merata serta selalu dalam jumlah yang banyak. Menurut Soedjatmiko dan Wisman (2003), cahaya matahari merupakan sumber energi bagi berlangsungnya proses fotosintesis yang menghasilkan cadangan makanan dan oksigen. Cahaya matahari juga berpengaruh terhadap produksi spora dan pertumbuhan rumput laut begitu pula pada proses pembentukan spora dan pembelahan selnya. 4.2.
Produksi Basah Gracilaria gigas Harvey
Hasil pengamatan produksi rumput laut dengan perlakuan luas tanam dan metode yang berbeda pada sistem jaring apit, menunjukkan bahwa semakin besar luas tanam yang digunakan, semakin besar produksi yang diperoleh pada semua metode budidaya. Produksi tertinggi diperoleh pada perlakuan luas tanam 40x60 cm menggunakan metode apung (A3B1) yaitu sebesar 18,18 gr/m2. Produksi terendah adalah pada perlakuan luas tanam 40x30 cm menggunakan metode dasar (A1B3) yaitu sebesar 12,98 gr/m2. Tingginya produksi rumput laut pada perlakuan A3B1 dikarenakan luas tanam 40x60 cm laju pertumbuhan yang paling tinggi dibandingkan dengan luas tanam lainnya (40x40 cm dan 40x50 cm). Hasil analisis ragam produksi pada umur 60 hst menunjukkan bahwa secara mandiri penggunaan luas tanam dan metode tanam yang berbeda menghasilkan produksi G. gigas berbeda sangat nyata (Tabel 4). Tabel 4. Analisis Ragam Produksi Basah Rumput Laut G. gigas Harv. Sumber Ragam
DB
JK
KT
F Hit
Ulangan Main Plot A) Galat a Sub Plot (B) (A X B) Galat b Total
2 2 4 2 4 12 26
0.1999 50.1721 0.1777 15.7314 0.5771 0.5608 67.4191
0.0999 25.0860 0.044 7.8657 0.1443 0.0467
2.2490 564.5297 **
F Tabel 5% 1% 6,94 18,00 6,94 18,00
168.2973 ** 3.0871 ns
3,890 3,260
6,93 5,41
Keterangan : ns = tidak berbeda nyata * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata
Luas tanam dan metode budidaya yang berbeda menyebabkan perbedaan dalam memperoleh cahaya matahari dan unsur hara. Pertambahan berat basah yang tinggi akan menghasilkan produksi yang tinggi pula. Produksi rumput laut akan meningkat dengan meningkatnya pertumbuhan. Luas tanam memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya
77
ruang pertumbuhan. Supriningsih (2004), ruang tumbuh yang luas menyebabkan tunas dan percabangan baru rumput laut tidak saling menutupi, sehingga penyerapan cahaya matahari menjadi lebih efektif. Rumput laut yang ditanam paling dekat dengan permukaan parairan akan menghasilkan pertumbuhan yang maksimal karena akan dapat menyerap cahaya matahari dan unsur hara dengan lebih optimal. Menurut Suryadi et al., (1993), irradiasi cahaya matahari merupakan faktor pembatas dalam proses fotosintesis. Semakin besar irradiasi cahaya matahari yang diterima maka proses fotosintesis akan berlangsung semakin cepat sehingga pertumbuhan rumput laut akan meningkat. Uji BNT pada umur 60 hst berdasarkan luas tanam menunjukkan bahwa luas tanam 40x60 cm berbeda dengan luas tanam yang lain (40x40 cm) dan berbeda dengan luas tanam 40x50 cm (Tabel 5). Produksi basah yang lebih tinggi dihasilkan pada jaring apit dengan luas tanam 40x60 cm (A3) yaitu sebesar 17,053 gr/m2 dibandingkan pada luas tanam 40x40 cm (A1) dan luas tanam 40x50 cm (A2). Menurut Suyoto (2002), luas tanam yang besar akan menyebabkan terjadinya ruang yang cukup untuk mendapatkan cahaya matahari karena mengurangi rumput laut yang saling tumpang tindih sehingga pertumbuhan rumput laut pada setiap titik tanamnya akan semakin besar. Tabel 5. Uji BNT produksi basah G. gigas Harvey berdasarkan luas tanam berbeda. Perlakuan Produksi basah (gr/m2) A1 13.807 c A2 14.754 b A3 17.053 a Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji BNT 5%. Hasil uji BNT (Tabel 6), menunjukkan bahwa produksi basah yang dihasilkan pada jaring apit dengan metode apung (B1) berbeda dengan metode lepas dasar (B2) dan berbeda dengan metode dasar (B3). Produksi basah tertinggi yaitu sebesar 16,163 gr/m2 pada metode apung (B1) diikuti 15,156 gr/m2 pada metode lepas dasar (B2) dan 14,296 gr/m2 pada metode dasar (B3). Tabel 6. Uji BNT produksi basah G. gigas Harvey berdasarkan metode penanaman berbeda Perlakuan Produksi basah (g/m2) B1 16.163 a B2 15.156 b B3 14.296 c Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji BNT 5%. Pada metode apung bibit rumput laut terletak lebih dekat dengan permukaan sehingga penyerapan cahaya matahari oleh rumput laut lebih baik. Menurut Insan et al., (2000), intensitas cahaya matahari di permukaan akan berbeda dengan intensitas cahaya matahari di dasar perairan dan perbedaan ini sangat mempengaruhi dalam proses fotosintesis. Cahaya matahari sangat diperlukan oleh rumput laut untuk proses fotosintesis agar dapat tumbuh lebih baik. Meningkatnya proses fotosintesis akan mengakibatkan pertumbuhan dan produksi yang baik (Aslan, 2006). Perubahan kondisi lingkungan, terutama salinitas menyebabkan rumput laut melakukan adaptasi dengan mengatur tekanan osmosisnya. Hasil pengamatan salinitas
78
diperoleh nilai berkisar antara 25-33 ‰. Menurut Susanto (2003), budidaya Gracilaria dapat tumbuh pada kisaran salinitas 15-38 ‰ dengan salinitas optimum 25 ‰. Kisaran salinitas ini masih termasuk baik untuk budidaya G. gigas, oleh karena itu salinitas yang optimum membuat rumput laut dapat tumbuh dengan optimal. Kondisi keasaman perairan memiliki peranan penting dalam pertambahan berat basah rumput laut, karena nilai pH akan sebanding dengan kandungan karbon organik di perairan yang sangat diperlukan dalam fotosintesis. Menurut Anggadireja et al. (2008), Gracilaria dapat hidup pada pH air berkisar 6-9. Hasil pengamatan di perairan Adipala pH yang diperoleh adalah 7, sesuai untuk budidaya G. gigas. Suhu merupakan salah satu pengatur utama proses fisika kimia yang terjadi di dalam suatu lingkungan perairan. Suhu secara langsung akan mempengaruhi proses kehidupan beberapa jenis organisme air, seperti reproduksi dan pertumbuhan serta secara tidak langsung akan mempengaruhi kelarutan dan ketersediaan oksigen dalam air. Suhu yang baik untuk perkembangan organisme akuatik dan tidak menimbulkan tekanan berbahaya adalah kisaran antara 24-270 C (Odum, 1971). Kecerahan perairan, diperlukan rumput laut untuk melangsungkan fotosintesis. Hasil pengamatan kecerahan berkisar antara 100-120 cm. Aslan (2006) menyatakan bahwa kedalaman perairan tidak boleh kurang dari 60 cm pada saat surut terendah dan tidak boleh lebih dari 210 cm pada saat pasang tertinggi. Pertumbuhan rumput laut juga dipengaruhi oleh kecepatan arus air. Kisaran arus di perairan Adipala yang berkisar antara 18-24 cm/detik sangat baik untuk pertumbuhan G. gigas. Menurut Susanto (2003) pergerakan air optimal untuk G. gigas yaitu berkisar antara 20-40 cm/detik. Menurut (Puja et al., 2001) gerakan air yang cukup akan menghindari terkumpulnya kotoran pada talus, membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi yang besar salinitas maupun suhu air.
5. 1) 2)
KESIMPULAN Perbedaan luas tanam dan metode yang berbeda akan menghasilkan pertumbuhan dan produksi basah rumput laut Gracilaria gigas yang berbeda pula. Budidaya rumput laut dengan menggunakan luas tanam 40x60cm menggunakan metode apung menghasilkan pertumbuhan G. gigas tertinggi yaitu sebesar 3,400 gr/hari dan menghasilkan produksi tertinggi sebesar 18,180 gr/m2.
DAFTAR PUSTAKA Amini, S. Machludin dan W. D. Nancy. 1994. Pengaruh Asal Benih dan Kedalaman terhadap Pertumbuhan Rumput Laut Gracillaria verrucosa di Perairan Pantai Haru, Sulaweai Selatan. Warta Balitdia, 6 : 4-7. Anggadiredja, J. T. Zatnika, A, Purwoto, H dan Istiani, S. 2006. Rumput Laut. Panebar Swadaya, Jakarta. Aslan, L. M., 2006. Budidaya Rumput Laut. Kanisius, Yogyakarta. Dawson, E. Y. 1996. Marine Botany. Holt, Rinehart and Winstons Inc, New York. Insan, A. I. dan D. S. Widyartini. 2001. Bahan Ajar Algologi : Makroalga. Fakultas Biologi UNSOED, Purwokerto.
79
Insan, A.I., S. Anggorowati., D.S. Widyartini. 2002. Pengaruh Metode Budidaya Rumput Laut terhadap Produksi dan Kandungan Keraginan Kappaphycus alvarezii Doty di Perairan Cilacap. Biosfera. 19 : 45-49. Kadi, A. dan W.A., Atmadja. 1996. Rumput Laut (Algae) Jenis Reproduksi, Budidaya dan Pasca Panen. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta. Murti, NAD. 2005. Pertumbuhan Dan Produksi Kappaphycus alvarezii Doty Dengan Stek Bagian Talus Dan Berat Awal Yang Berbeda Pada Sistem Jaring Tabung Di Cilacap. Laporan Skripsi (tidak dipublikasikan) Fakultas Biologi, Universitas Jenderal soedirman, Purwokerto. Puja, Y., Sudjiharmo, dan T.W. Aditya. 2001. Teknologi Budidaya Rumput Laut (Kappaphicus alvarezii). Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Balai Budidaya Laut, Lampung. Sujatmiko, W. dan I. A. Wisman. 2003. Teknik Budidaya Rumput Laut dengan Metode Tali Tunggal. url. http//www.iptek.net.id/ttg artkp/artikel 118.htm. Diakses tanggal 20 Maret 2010. Suryadi, G. Setiadharma, H. Hamdani dan Iskandar. 1993. Kecepatan Pertumbuhan Rumput Laut (Eucheuma alvarezii) pada Dua Sistem Budidaya yang Berbeda. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung. Susanto, A. B. 2003. Budidaya Gracillaria di Taiwan. (On-line) http: //nakula.rvs.unibieliefeld.de/majalah/laut/abeartikel. Diakses tanggal 20 April 2010. Suyoto. 2001. Studi Perbandingan Pertumbuhan Kappaphycus alvarezii Doty pada Berbagai Jarak Tanam dengan Metode Apung di Perairan Nusakambangan. Laporan Skripsi (Tidak dipublikasikan). Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Syafitrianto, Irmawan. 2010. Wacana Sains Perikanan. Selasa 15 April 2010. URL : http://www.wacanasainsperikanan.blogspot.com/artikel.1-91.htm. diakses pada tanggal 15 April 2010. Widyartini, D. S. dan A. I. Insan. 2007. Meningkatkan Produksi Rumput Laut Gracilaria gigas Melalui Modifikasi Sistem Jaring (Studi Kasus : Di Perairan Nusakambangan, Cilacap). Oseana. 32 (4) : 13-20.
80
PENGARUH PERBEDAAN CAHAYA DAN KEPADATAN AWAL TERHADAP PERTUMBUHAN POPULASI Spirulina platensis DALAM KULTUR SKALA LABORATORIUM Oleh : Beny Hendro Prabowo1, Sarwanto1, Christiani1
ABSTRACT Spirulina plantesis is a greenish-colored kind of microalga from Cyanophyta division. Which is resulted from combination of green chlorophyll pigment and blue phycocyanin so that it is included in blue-green algae. The different pigment absorb the different light as well. Light is the important factor in the photosynthetic proses. Various contents of S. Platensis resulted to the various light requirement as well. The population density causes the interaction in the form of competition to get nutrien, life opportunity and light. The purposes of this research are to find out the light influence and the different density of initial population to the population growth of S. plantesis and also to search out the kind of light and the density of the initial population that produce the highest population growth of S. plantesis. This research uses experimental method with complete randomized design and factorial pattern. Factor treatments are red, blue, green, and white light, while the attempted initial densities are 1000 individu/ml, 2000 individu/ml, 3000 individu/ml. The repetition is done three times. The observation of cell quantity is daily done for 21 days of cultural period; the population growth will be count afterwards. The acquired data are analyzed with F test with 95 % and 99% reliance level continued by the smallest real difference test. The result of the research shows that the different light and different density of initial population cause the different growth as well. The treatment using the white light with the 3000 individuals/ml density of initial population produce the highest 1.02x106 individuals/ml growth. Keywords: Spirulina plantesis, Kinds of Light, Density of Initial Population
1.
PENDAHULUAN
Spirulina platensis merupakan salah satu jenis mikroalga dari divisi Cyanophyta. Mikroalga ini berwarna hijau gelap atau hijau kebiruan yang merupakan hasil kombinasi dari pigmen klorofil yang berwarna hijau dan phycocyanin yang berwarna biru sehingga dimasukan kedalam blue - green algae. S. platensis memiliki lendir yang menyelubungi trikome nya, sehingga dimasukan ke anggota Cyanobakteria atau Myxophyta (Vashishta, 1979 dalam Simanjuntak et al., 2002). Spirulina platensis memiliki sel berkoloni membentuk filamen terpilin menyerupai spiral. Filamen S. platensis berawal dari sel-sel muda yang membelah pada sisi luar sumbu utama filamen, sehingga terbentuk suatu filamen yang berisi beberapa sel yang merupakan suatu rangkaian, rangkaian sel tersebut disebut trikom. Sel S. platensis berbentuk silindris dengan dinding sel tipis, garis tengah sel berkisar antara 1 - 2 mikron (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). S. platensis merupakan fitoplankton yang dapat hidup pada lingkungan terestrial, air payau, air laut hingga danau-danau bergaram, lingkungan alkalin dengan pH antara 7,2 sampai 11 dan suhu antara 25 - 350C (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
1
Biology Faculty, Jenderal Soedirman University, Purwokerto 53122
81
Spirulina platensis mempunyai nilai gizi tinggi. Kandungan protein pada S. platensis berkisar antara 63 - 68 %, karbohidrat 18 - 20 %, dan lemak 2 - 3 %. Menurut Shekharam et al., (1984), S. platensis mengandung kurang lebih 13,6 % karbohidrat (glukosa, rhamnosa, mannosa, xylosa dan galaktosa). Kandungan asam amino essensial S. platensis antara lain isoleusin, leusin, methionin, phenilalanin, triptophan, valin, lysin, arginin, histidin dan treonin (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Vitamin yang terkandung pada S. platensis adalah vitamin B1, B2, B3, B6, B9, B12, vitamin C, vitamin D dan vitamin E. S. platensis juga mengandung sumber potasium, kalsium, krom, tembaga, besi, magnesium, fosfor, selenium, sodium dan seng (Susanna et al., 2007). Selain dibidang kesehatan, manfaat lain dari S. platensis yaitu sebagai makanan masa depan dan sebagai pakan alami hewan kultur karena kandungan proteinnya yang tinggi. Pemberian S. platensis sebagai pakan alami larva teripang, ikan dan udang dapat menekan besarnya kematian larva tersebut. Hal ini menjadikan S. platensis merupakan salah satu aspek terpenting dalam pembenihan larva teripang, ikan dan udang (Hariyati, 2008). Spirulina platensis mempunyai manfaat yang sangat banyak sehingga menjadikan motifasi untuk mengkulturnya dalam jumlah besar. Salah satu aspek yang sangat penting pada pelaksanaan kultur adalah mengoptimalkan faktor-faktor lingkungan yang mendukung pertumbuhan S. platensis. Salah satu faktor penting dalam proses fotosintesis S. platensis adalah cahaya. Kebutuhan cahaya (intensitas dan fotoperiodisitas) tergantung pada kepekaan S. platensis dan kepadatan kultur. Semakin tinggi kepadatan, intensitas cahaya yang dibutuhkan semakin tinggi. Sumber cahaya bisa berasal dari sinar matahari atau cahaya buatan dari tabung flouresens (lampu neon). Fotosintesis adalah suatu proses yang hanya terjadi pada tumbuhan yang berklorofil. Cahaya tampak terbagi atas cahaya merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Masing-masing jenis cahaya berbeda pengaruhnya terhadap fotosintesis. Spirulina platensis memiliki pigmen dominan yang berperan dalam fotosintesis, yaitu phycocyanin dan klorofil (Devlin, 1975). Pigmen yang memberikan warna biru pada S. platensis adalah phycocyanin. Phycocyanin merupakan pigmen yang paling banyak terdapat pada S. platensis yaitu sekitar 7%, sedangkan klorofil hanya 1%. Phycobiliprotein yang ada dalam S. platensis adalah phycocyanin dan allo-phycocyanin yang terdiri subunit polipeptida yang berbeda. Phycobiliprotein diklasifikasikan berdasarkan warna menjadi dua kelompok, phycoerythrin (merah) dan phycocyanin (biru), sedangkan allo-phycocyanin tidak berwarna. Penyerapan maksimal untuk phycoerythrin terletak pada panjang gelombang cahaya biru (490 - 570 nm), sementara penyerapan maksimal untuk phycocyanin terletak pada panjang gelombang cahaya antara merah (610 - 665 nm) (Steward, 1974). Menurut Campbell (2002), satu bentuk interaksi antara satu populasi dengan populasi lain atau antara satu individu dengan individu lain adalah bersifat persaingan (kompetisi). Persaingan terjadi apabila kedua individu mempunyai kebutuhan sarana pertumbuhan yang sama sedangkan lingkungan tidak menyediakan kebutuhan tersebut dalam jumlah yang cukup. Persaingan ini akan berakibat negatif atau saling menghambat pertumbuhan individu-individu yang terlibat. Tingkat kepadatan populasi awal kultur S. platensis sangatlah penting untuk diketahui demi memaksimalkan pertumbuhan S. platensis. Hal ini berkaitan dengan persaingan mendapatkan nutrien, cahaya dan ruang hidup. Persaingan dapat terjadi diantara sesama jenis (Intraspesific Competition), dan dapat pula terjadi diantara jenis-jenis yang berbeda (Interspesific Competition) (Odum, 1994). Persaingan sesama jenis pada umumnya terjadi lebih awal dan menimbulkan pengaruh yang lebih buruk dibandingkan persaingan yang terjadi antar jenis yang berbeda. Faktor pertumbuhan yang sering menjadi pembatas dan menyebabkan terjadinya
82
persaingan pada organisme autotrof adalah cahaya dan nutrien. Oleh karena itu tingkat kepadatan populasi awal kultur S. platensis juga sangat penting untuk diketahui, hal ini karena dapat berpengaruh pada fotosintesis dan pertumbuhan (Campbell, 2002).
2.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui perbedaan jenis cahaya dan kepadatan populasi awal terhadap pertumbuhan populasi Spirulina platensis. 2) Mengetahui jenis cahaya dan kepadatan populasi awal yang menghasilkan pertumbuhan populasi Spirulina platensis paling tinggi. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi ilmiah tentang teknik kultur S. platensis dengan menggunakan jenis cahaya tertentu serta kepadatan populasi awal yang tepat pada kultur S. platensis skala laboratorium. Dari skala laboratorium ini diharapkan dapat dikembangkan ke kultur skala semi-massal atau skala massal.
3.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1.
Materi Penelitian
Alat dan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah aquades, biakan murni mikroalga Spirulina platensis yang diperoleh dari Laboratorium Pakan Alami Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, media Zarrouk, botol kultur, aerator, rak kultur kedap cahaya, selang dan perlengkapannya, lampu TL - 20 watt warna biru, hijau, merah dan putih. hand-counter, Sedgewich rafter, lux meter, pipet tetes, mikroskop, pH indikator, thermometer, hand refraktometer dan alat tulis. 3.2.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental. Rancangan digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktorial. Faktor yang dicobakan adalah kepadatan populasi awal 1000, 2000 dan 3000 individu/ml dengan cahaya warna biru, hijau, merah dan putih. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali. 3.3.
Cara Kerja
3.3.1. Sterilisasi Media dan Alat Media Zarrouk yang akan digunakan disterilisasi dengan cara dididihkan terlebih dahulu sebelum diberi perlakuan. Peralatan kultur yang sudah dicuci bersih, direndam dengan larutan klorin 150 mg/l selama 12 - 24 jam, kemudian dinetralisir dengan 40-50 mg/l natrium thiosulfat dan dibilas dengan air tawar hingga bau klorin hilang. 3.3.2. Perbanyakan biakan S. platensis Perbanyakan S. platensis dilakukan secara bertahap dimulai dari volume 1000 ml dengan pemberian bibit S. platensis sebanyak 1/3 dari air media yang telah diberi pupuk Zarrouk, kemudian diaerasi dan diberi sumber cahaya lampu neon (TL - 20 watt) dengan intensitas cahaya 3000 - 4500 lux.
83
3.3.3. Pelaksanaan Kultur Sebanyak 36 botol kultur berkapasitas 1 liter yang telah disterilisasi diisi media Zarrouk sebanyak 600 ml. Kemudian setiap botol yang telah berisi media diberi biakan S. platensis dengan menggunakan rumus : V1 x N1 = V2 x N2 Keterangan: V1 : Volume media kultur yang digunakan untuk penelitian N1 : kepadatan yang telah ditentukan untuk penelitian V2 : Volume S. Platensis yang dibutuhkan N2 : Kepadatan biakan S. Platensis Botol ditempatkan pada rak kultur kedap cahaya yang telah diberi penyinaran menggunakan 2 buah lampu TL - 20 watt warna biru, hijau, merah dan putih. 3.3.4. Perhitungan Kepadatan Populasi dengan Sedgewich Rafter Spirulina platensis yang akan dihitung kepadatannya diteteskan menggunakan pipet pada Sedgewich rafter. Perhitungan kepadatan populasi dilakukan setiap hari hingga mencapai fase kematian (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Rumus perhitungan : N = Jbp X n individu/ml = (1000/Lbp) n = (1000) n 3,14 (d/2)2 Keterangan : N : Kepadatan Jbp : Jumlah bidang pandang Lbp : Luas bidang pandang n : Banyaknya mikroalga yang teramati d : Diameter bidang pandang yang diukur (0, 354 mm) 3.3.5. Perhitungan Pertumbuhan Populasi Perhitungan pertumbuhan S. platensis dihitung secara distruktif, yaitu S. platensis yang terdapat dalam Sedgewich rafter, setelah diamati langsung dibuang (Sedgewich rafter dicuci) dan tidak dimasukan kembali kedalam media kultur (Heddy, 2001). Pertumbuhan populasi dihitung dengan rumus : G = Wt2 – Wt1 (individu/hari) t2 – t1 Keterangan : G : Pertumbuhan (individu/hari) Wt1 : Jumlah populasi pada umur t1 Wt2 : Jumlah populasi pada umur t2 t1 : Waktu pengambilan sampel ke-1 t2 : Waktu pengambilan sampel ke-2 3.3.6. Pengukuran Parameter Pendukung Pengukuran parameter pendukung berupa intensitas cahaya, temperatur udara, temperatur media, pH media dan salinitas media, yang dilakukan dari awal hingga akhir pengamatan.
84
3.3.7. Metode Analisis Data yang diperoleh dari parameter utama dianalisa dengan uji F pada taraf kepercayaan 99% dan 95% kemudian dilanjutkan dengan uji BNT untuk mengetahui perbedaan faktor yang dicobakan.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan populasi S. platensis selama 21 hari dengan kepadatan awal dan perlakuan cahaya yang berbeda menunjuk menunjukkan perbedaan yang sangat nyata cahaya biru menunjukkan menunjuk pertumbuhan S. platensis yang paling rendah, sedangkan cahaya putih menunjukkan menunjuk an pertumbuhan yang paling tinggi.
Hari Inokulasi
Gambar 1. Grafik pertumbuhan S. platensis dengan cahaya dan kepadatan awal yang berbeda Pertumbuhan S. platensis pada perlakuan cahaya dan kepadatan awal yang berbeda menunjukkan an pertumbuhan yang berbeda. Pertambahan kepadatan yang berbedabeda dikarenakan kondisi lingkungan yang berbeda yaitu cahaya dan kepadatan populasi awal. Cahaya dimanfaatkan dalam proses fotosintesis dan kepadatan berhubungan dengan kompetisi mendapatkan nutrien, cahaya dan ruang. ruang Pertumbuhan S. platensis pada hari pertama hingga keempat masih lambat dengan peningkatan kepadatan tidak terlalu signifikan atau disebut fase induksi, kondisi ini terlihat pada seluruh perlakuan. Menurut Fogg ogg (1975), pada fase induksi atau fase lag tidak terdapat pertumbuhan yang sig signifikan. Pertumbuhan yang lambat terjadi karena pada hari pertama setelah inokulasi S. platensis sedang mengalami penyesuaian diri atau adaptasi dengan media pertumbuhan. Grafik pada hari ke-5 ke hingga ke-12 12 setelah inokulasi menunjuk menunjukkan populasi S. platensis pada perlakuan K1C4, K2C4 dan K3C4 mengalami peningkatan pertumbuhan yang cukup tinggi (fase eksponensial). Peningkatan pertumbuhan terjadi karena S. platensis telah mampu beradaptasi dengan lingkungan dan mampu tumbuh dengan baik. Fogg (1975) menyatakan menyatakan bahwa, fase eksponensial adalah fase yang ditandai dengan pembelahan sel yang berjalan sangat cepat, didukung kandungan hara yang cukup dan kondisi lingkungan yang sesuai, maka jumlah sel bertambah secara signifikan. Peningkatan jumlah sel yang tajam, menunjukkan me kan bahwa pada tahap pertumbuhan eksponensial atau fase log terjadi pembelahan sel aktif secara terus menerus hingga mencapai pertumbuhan yang maksimal (Schelegel dan Schmidt, 1994).
85
Pertumbuhan sel S. platensis pada fase eksponensial juga dapat terlihat dengan terjadinya perubahan warna media menjadi semakin hijau pekat. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), pertumbuhan dan perkembangbiakan S. platensis ditandai dengan meningkatnya kepadatan seiring peningkatan produksi biomassa dan perubahan warna menjadi hijau pekat. Puncak kepadatan tertinggi dicapai K3C4 pada hari ke-12 yaitu pada kepadatan 1,02x106 individu/ml, K2C4 mencapai puncak pertumbuhan pada hari ke13 yaitu pada kepadatan 7,89x105 individu/ml, dan K1C4 mencapai puncak pada hari ke14 yaitu pada kepadatan 7,03x105 individu/ml. Setelah mengalami puncak pertumbuhan, jumlah S. platensis akan mengalami fase stasioner yang ditandai dengan jumlah individu yang tetap karena laju pertumbuhan sama dengan laju kematian. Pertumbuhan S. platensis kemudian mengalami penurunan dan masuk ke fase kematian, hal ini terjadi pada seluruh perlakuan. Menurut Fogg (1975), fase kematian ditandai dengan laju kematian yang lebih cepat dari dari laju pertumbuhan sehingga jumlah individu menurun. Penurunan jumlah populasi pada fase kematian terjadi karena peningkatan populasi akan tetapi jumlah nutrien dalam media semakin berkurang dan terbatas sehingga terjadi kompetisi untuk mendapatkan ruang hidup dan nutrien. Berdasarkan analisis ragam pertumbuhan populasi S. platensis menunjukkan bahwa pada hari ke-1 setelah inokulasi hingga ke-20, cahaya dan kepadatan awal berbeda yang dicobakan memberikan pengaruh yang sangat nyata baik secara mandiri maupun dalam interaksinya (Tabel1). Analisi uji BNT hari pertama menunjukkan bahwa perlakuan cahaya dan kepadatan populasi awal menunjukan pengaruh yang signifikan . Pertumbuhan terbaik pada hari pertama dicapai oleh perlakuan K3C2 dan K3C3 Pertumbuhan terbaik pada hari pertama tercatat pada kepadatan awal 3000 individu/ml, hal ini karena dengan kepadatan awal yang tinggi maka pertumbuhan relatif lebih cepat karena sel S. platensis yang melakukan pembelahan relatif lebih banyak dibandingkan kepadatan awal 1000 dan 2000 individu/ml. Tabel 1. Analisis Ragam Pertumbuhan Populasi S. platensis dengan Perlakuan Cahaya dan Kepadatan Awal yang Berbeda Hari Ke-1 F Tabel Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Tengah F Hitung Variasi Bebas Kuadrat 5% 1% Perlakuan K C KXC Error Total
11 2 3 6 24 35
5.003389E+09 3.824412E+09 7.884346E+08 3.905423E+08 8.400118E+07 5.087390E+09
4.548535E+08 1.912206E+09 2.628115E+08 6.509038E+07 3.500049E+06
129.9563 546.3369 ** 75.0880 ** 18.5970 **
2.22 3.40 3.01 2.51
3.09 5.61 4.72 3.67
Uji BNT hari kedua menunjukkan perlakuan K3C3 dan K3C4 tidak berbeda. Uji BNT hari ketiga pengaruh perlakuan cahaya menunjukkan perbedaan dan hasil terbaik terlihat pada perlakuan K3C4. Hal ini menunjukkan pada perlakuan K3C4, S. platensis dapat beradaptasi dengan cepat karena faktor lingkungan optimal bagi S. Platensis didukung pula dengan kepadatan awal yang tinggi (3000 individu/ml) sehingga pertumbuhanya lebih cepat dari perlakuan lainya. Perlakuan K2C4 dan K3C3 seragam pada hari ke-3. Ini menunjukkan S. platensis lebih cepat beradaptasi dan tumbuh maksimal pada cahaya putih, terlihat dari K2C4 yang seragam dengan K3C3 pada hari ketiga. Bahkan mulai hari ke-4, K2C4 telah menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibanding K3C2 dan K3C3 yang pada hari sebelumnya menunjukkan hasil yang lebih
86
baik dari K2C4. Uji BNT hari ke-5 hingga hari ke-14 (Tabel 2) hasil terbaik ditunjukkan oleh perlakuan K3C4. K1C4 dan K2C4 menunjukkan hasil lebih baik dibanding perlakuan cahaya lainnya (C1 (merah), C2 (biru) dan C3 (hijau)). Hal Ini menunjukkan S. platensis tumbuh optimum pada perlakuan cahaya C4 (putih). Pertumbuhan terbaik dihasilkan oleh perlakuan dengan cahaya putih. Dekker (2003) menambahkan cahaya hijau dipantulkan oleh klorofil. Cahaya putih memiliki semua panjang gelombang cahaya (400-750 nm) sehingga seluruh pigmen yang ada pada S. platensis mempu menyerap cahaya yang dibutuhkan dan berfungsi dengan maksimal. Tabel 2. Uji BNT Pengaruh Perbedaan Cahaya dan Kepadatan Populasi Awal Terhadap Pertumbuhan Populasi Spirulina platensis hari ke-5 hingga ke-14 Perlakuan Hari ke-5 Hari ke-6 Hari ke-7 Hari ke-8 Hari ke-9 K1C1 28411.803 g 29087.297 h 30996.817 ef 29842.477 hi 27834.750 e K1C2 19421.563 h 17849.493 i 26358.990 f 23688.440 i 22998.730 e K1C3 43538.247 f 44546.710 f 42107.210 e 41882.980 fg 53719.353 de K1C4 93555.387 c 170184.163 c 234092.720 c 288534.927 c 292032.140 b K2C1 41911.223 f 38136.820 g 36663.977 ef 36094.480 gh 33273.173 e K2C2 25215.057 gh 22261.193 i 31567.470 ef 29628.290 hi 28635.350 e K2C3 54397.670 e 67866.457 e 80137.207 d 82963.260 e 88411.737 cd K2C4 206875.043 b 213363.310 b 418035.787 b 524314.613 b 554453.560 a K3C1 43851.753 f 40170.147 fg 40802.190 e 45111.347 f 41922.397 e K3C2 30152.337 g 28753.967 h 41464.740 e 37485.693 g 34509.803 e K3C3 69894.923 d 82148.393 d 82134.883 d 95146.327 d 102253.740 c K3C4 247131.133 a 379266.407 a 534144.313 a 569809.740 a 590057.657 a K1C1 25764.787 e 27638.737 f 28308.473 f 28737.957 gh 28469.023 e K1C2 21626.420 e 23876.583 f 23700.377 f 18886.013 h 14402.660 e K1C3 58907.387 e 76384.533 de 79324.530 e 82662.950 f 102776.133 d K1C4 284947.780 c 663863.817 b 665563.280 c 654899.040 c 703425.267 b K2C1 30730.717 e 33385.647 ef 34319.717 f 45648.090 g 45598.317 e K2C2 27020.457 e 25212.697 f 18414.357 f 14006.610 h 11222.360 e K2C3 104115.357 d 124001.587 d 144378.840 d 167274.333 d 192072.000 c K2C4 576816.613 b 614540.623 c 757909.393 b 789319.000 b 740685.770 b K3C1 39585.283 e 37283.917 ef 42560.680 f 41948.727 g 41092.923 e K3C2 34626.377 e 31673.120 ef 22076.957 f 13957.127 h 9927.767 e K3C3 117429.370 d 122678.250 d 128627.983 d 142910.583 e 100874.980 d K3C4 725019.947 a 929919.023 a 1020933.367 a 983509.260 a 809391.737 a Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada BNT 5% Uji BNT hari ke-15 hingga hari ke-17 pertumbuhan terbaik dicapai oleh K2C4, sedangkan K3C4 mulai mengalami penurunan. Pada hari ke-18 K1C4 dan K2C4 seragam, sedangkan K3C4 telah mencapai fase kematian sehingga kepadatannya menurun drastis dikarenakan nutrien yang tersedia telah habis. Saat mencapai puncak terjadi kompetisi S. platensis untuk mendapatkan nutrien dan ruang hidup. Kepadatan populasi yang tinggi juga menyebabkan penaungan sehingga sulit untuk mendapatkan cahaya. Penurunan populasi juga disebabkan oleh banyaknya sisa metabolisme S. platensis yang bersifat toksik (Odum, 1994). Pertumbuhan K2C4 dan K1C4 relatif lebih lambat dibandingkan dengan K3C4 karena kepadatan awal yang berbeda. K3C4 memiliki kecepatan pertumbuhan yang paling baik karena dengan kepadatan sel yang tinggi didukung dengan lingkungan yang optimum sehingga banyak sel S. platensis yang mengalami reproduksi dengan cepat. Kepadatan awal yang tinggi dan kecepatan
87
pertumbuhan yang tinggi didukung lingkungan yang optimum mengakibatkan populasi cepat mencapai puncak pertumbuhan dan cepat mencapai fase kematian karena eksploitasi nutrien berlangsung lebih cepat sehingga ketersediaan nutrien dalam media kultur cepat habis. Hal ini menyebabkan penurunan populasi secara drastis (Campbell, 2004).
Hasil analisis uji beda nyata pada hari ke-19 hingga ke-21 terlihat penurunan yang drastis pada perlakuan K3C4 yang sebelumnya selalu menunjukan hasil yang baik, berbeda pada perlakuan K1C4 yang menunjukan hasil terbaik pada hari ke-19 hingga ke-21. Ini menunjukan kepadatan populasi awal berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan S. platensis pada lingkungan yang optimum. Pada kepadatan awal 3000 (K3C4) puncak pertumbuhan tercapai pada hari ke-12. K3C4 merupakan perlakuan yang mencapai puncak tertinggi selama penelitian dan dicapai lebih dahulu dibanding perlakuan yang lain. Perlakuan K3C4 juga mengalami fase kematian yang paling cepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Odum (1994), suatu populasi dengan kepadatan awal lebih tinggi akan selalu lebih cepat mencapai pertumbuhan eksponensialnya dan lebih efektif pertumbuhan dan produktifitasnya apabila dibandingkan populasi dengan kepadatan awal yang lebih rendah. Media yang digunakan untuk penelitian adalah media Zarrouk, media ini merupakan media buatan yang memiliki kandungan nutrisi lengkap dibanding media yang lainnya. Media Zarrouk memiliki komposisi yang lengkap sehingga kebutuhan unsurhara makro dan mikro S. platensis terpenuhi. Menurut Darley (1982), nutrien yang dibutuhkan pada kultur S. platensis terdapat dua kelompok, yaitu hara makro (N, P, K, S, Na, Si dan Ca) dan hara mikro (Fe, Zn, Mn, Cu, Mg, Mo, Co, Dan B) (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995; Round, 1973). Nitrogen merupakan komponen utama pembentuk asam amino yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan S. platensis selain itu nitrogen juga berperan penting dalam pembentukan klorofil (Barley, 1973). Fosfor sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan sel S. platensis. Unsur P merupakan bagian dari protoplasma dan inti sel yang merupakan penyusun materi genetik (DNA dan RNA). Fosfat dapat diserap oleh organisme dalam bentuk orthofosfat. Kalium merupakan unsur yang sangat penting dalam pertumbuhan dan produksi S. platensis. Kalium berpengaruh terhadap metabolisme sel sebagai biokatalisator dalam sintesis protein, selain itu kalium berperan juga dalam proses fotosintesis. Kekurangan kalium mengakibatkan menurunnya kecepatan asimilasi CO2 dan terhambatnya proses fotosintesis (Wardoyo, 1981). Intensitas cahaya pada penelitian ini berkisar antara 910 - 1527 lux. Intensitas optimal yang digunakan dalam kultur mikroalga berkisar antara 1260 - 3600 lux (Prihantini, 2005). Temperatur merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan S. platensis. Kisaran temperatur media selama penelitian berkisar antara 27 – 31,5 0C. Sedangkan temperatur ruangan pada C1 berkisar antara 30 – 32 0C, C2 berkisar antara 30 – 33 0C, C3 berkisar antara 29 – 33 0C dan C4 berkisar antara 29,5 – 32 0C. Temperatur selama penelitian relatif stabil karena berada didalam rak kedap cahaya, sehingga mendukung pertumbuhan S. platensis. Menurut Barlew (1955), temperatur optimum untuk pertumbuhan S. platensis berkisar antara 18 – 35 0C. Derajat keasaman pH media merupakan faktor yang penting bagi pertumbuhan alga hijau-biru, pH media selama penelitian berkisar antara 10 – 11. Kebanyakan alga hijau-biru tumbuh baik pada pH netral dan lebih mentolerir kondisi basa dari pada kondisi asam, untuk pH diatas 11 atau kurang dari 7 akan menghambat pertumbuhan S. platensis, mengakibatkan lisis dan mengubah bentuk pertumbuhan pigmen (Hariyati, 2008). Salinitas media selama
88
penelitian berkisar antara 16 – 25 ‰. Salinitas berpengaruh terhadap S. platensis dalam mempertahankan tekanan osmotiknya. S. platensis memperlihatkan terjadinya hambatan fotosintesis setelah dipindahkan pada medium dengan salinitas yang lebih tinggi. Untuk salinitas yang optimum bagi pertumbuhan mikroalga adalah 20 - 24 ‰ (Hariyati, 2008).
5.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1) Perbedaan cahaya dan kepadatan populasi awal yang berbeda menghasilkan pertumbuhan Spirulina platensis yang berbeda pula. 2) Perlakuan cahaya putih dan kepadatan populasi awal 3000 individu/ml menghasilkan pertumbuhan Spirulina platensis tertinggi yaitu 4,43 x 105 individu ml-1 h-1
DAFTAR PUSTAKA Barlew, J.S. 1955. Form Laboratorium to Pilot Plant. Carnegie Institution of Washington Publish. Washington. Barley, K. P., R. D. Gram and D.R Laing. 1973. A Course Manual in the Agronomy of Annual Crops. Australia Vice-Chancellor Committee, Australia. Campbell dan Reece. 2002 Biologi Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta : Erlangga. Darley, N. M. 1982. Algae Biology: A Physiological Approach. Blackwellscientific Publlication. London. Dekker, L. 2003. Phycocyanin. URL:http://www.biodelta.net/phcocyanin. 3 Maret 2010. Devlin, Robert M. 1975. Plant Physiology Third Edition. New York : D. Van Nostrand Foog, G. E. 1975. Algae Culture And Phytoplankton Ecology. 2nd ed. The University of Wisconsin Press . Wisconsin. Hariyati, R. 2008. Pertumbuhan dan Biomassa Spirulina sp Dalam Skala Laboratoris Laboratorium Ekologi Dan Biosistematik Jurusan Biologi FMIPA UNDIP. Odum. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada University Perss. Yogyakarta. Indonesia. Prihantini, N. B., B Putri dan R. Yuniati. 2005. Pertumbuhan Chlorella sp. Dalam Medium Ekstrak Taugr (met) dengan Variasi pH awal. Makara,sains. Round , F.E. 1973. The Biology of The Algae 2nd ed. Publishing by Edward-Arnold Ltd. London. Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Dipenogoro, Semarang. Salisbury, F. B., W.C. Ross. 1985. Plant Physiology. Wadsworth Publishing, California. Diterjemahkan oleh Dian, R. Lukman dan Sumaryono. 1995. Fisiologi Tumbuhan, jilid 3. Penerbit ITB BANDUNG, BANDUNG.
89
Schelegel dan Schmidt. 1994. Mikrobiologi Umum. Gadjah Mada University Press, Yoyagyakarta. Shekharam, K., Ventakaraman, L., & Salimath, P. 1984. Carbohydrate Composition and Caracterization of Two Unusual Sugar From The Blue-Green Algae Spirulina plantesis. Phytochem. 26: 2267-2269. Steward, W. D. P. 1974. Algal Physiology and Biochemistry. Botanical Monographs Vol 10. Blackwell Scientific Publications, London. Susanna, Dewi Zakianis, Ema Hermawati, Haryo Kuntoro Adi. T. 2007. Pemanfaatan Spirulina plantesis Sebagai Suplemen Sel Tunggal (PST) Mencit (Mus musculus). Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia. Jurnal Kesehatan. Wardoyo, S. 1981. Training Analisa Dampak Lingkungan. Ppln-undp Pusdi-Psl. Bogor.
90
KUALITAS AIR TAMBAK BANDENG SELOK KECAMATANADIPALA CILACAP Oleh: Carmudi1, Nuning Setyaningrum1, dan Sri Sukmaningrum1
ABSTRAK Perairan Tambak Bandeng terletak di kawasan pantai selatan, di desa Karangbenda,Kecamatan Adipala Cilacap, luas area yang sudah dimanfaatkan untuk tambak bandeng sekitar 3,6 ha. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kondisi kualitas air (fisik-kimia, dan Biologi) periaran tambak bandeng selok, Adipala Cilacap. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei pada bulan Juni 2010. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara acak terpilih pada tiga stasiun penelitian yang ditentukan berdasarkan air masuk (inlet), dan air keluar (outlet), diulang sebanyak 2 kali. Peubah yang diamati meliputi parameter utama (faktor fisik-kimia air), serta beberapa parameter jenis-jenis (keanekaragaman plankton) dan kelimpahan plankton sebagai faktor pendukung. Faktor fisik-kimia perairan yang diukur dianalisis secara deskrifptif menggunakan baku mutu kualitas air golongan III menurut PP No.82 tahun 2001. Sampel plankton diambil dengan menyaring 100 liter sampel air dengan plankton net. Perhitungan keanekaraman plankton menggunakan Indeks Keanekaragaman plankton (H’) dari Shannon-Weaver menurut Poole (1974). Perhitungan kelimpahan plankton menggunakan rumus dari Lind (1979). Hasil pengamatan didapatkan 36 jenis, dengan Indeks Keaneragaman berkisar 1,3 – 1,5. Kelimpahan individu plankton/liter berkisar antara 602 individu/L – 30702 individu/L. Hasil kenekaragaman plankton menunjukan perairan tambak bandeng selok dalam kondisi kualiatas tercemar ringan atau cukup stabil. Hasil pengamatan faktor fisik-kimia perairan tambak bandeng selok masih dalam kondisi kualitas yang baik. Kata-kata kunci: kualitas air, tambak bandeng selok, cilacap.
1.
PENDAHULUAN
Tambak sudah sejak lama dikenal oleh masyarakat sebagai kolam untuk memelihara ikan ikan bandeng, belanak, udang, dan lain-lain. Perairan tambak bandeng selok terletak di kawasan pantai selatan, tepatnya di desa Karangbenda, Kecamatan Adipala Cilacap. Kondisi lingkungan berupa hamparan pasir bekas peninggalan galian pasir besi yang berhadapan dengan laut selatan. Area peraiaran yang sudah dimanfaatkan untuk budidaya tambak bandeng sekitar 3,6 hektar. Usaha yang diusahakan oleh petani tambak, adalah tambak tradisional. Lokasi perairan selok merupakan perairan pertemuan antara muara sungai Adipala dengan peraira laut selatan (perairan pasang-surut), sehingga terjadi percampuran antara air tawar dengan air laut yang akan menjadi air payau. Kondisi lokasi perairan selok erat kaitannya dengan perubahan kualitas (fisik-kimia, dan biologi)perairan, yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap produksi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kualitas air (fisik-kimia, dan biologi) perairan tambak bandeng selok, cilacap) Diharapkan tulisan ini dapat menjadi informasi yang berguna dalam penelitian lebih lanjut dan juga dalam pengelolaan sumberdaya perairan tambak bandeng dikemudian hari. 1
Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
91
2.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode survei pada bulan Juni 2010. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara acak terpilih pada tiga stasiun penelitian yang ditentukan berdasarkan air masuk (inlet), bagian tengah, dan air keluar (outlet), diulang sebanyak dua kali dengan interval waktu dua minggu. Peubah yang diamati meliputi parameter utama yaitu meliputi parameter fisik-kimia. Jumlah jenis dan kelimpahan plankton per/liter air sampel individu sebagai parameter pendukung. Pengambilan sampel Plankton dilakukan dengan mengambil sampel air sebanyak 100 L selanjutnya disaring menggunakan plankton-net no 25. Sampel Plankton diawetkan dalam larutan formalin 4 % dan larutan lugol. Sampel Plankton yang diperoleh diidentifikasi menggunakan pustaka Davis (1955) dan Thomson dalam Edmondson (1959). Penghitungan Keanekaragaman Plankton (H’) menggunakan rumus Indeks Keanekaragaman Plankton dari Shanon-Weaver menurut Poole (1974), yaitu: ni pi log pi , dimana pi = -----------H’ = -
N Keterangan : ni = jumlah individu dari jenis ke i N = jumlah individu seluruh jenis Penghitungan Jumlah plankto atau kelimpahan plankton per liter air sampel menggunakan modifikasi dari Lind (1979) :
Organisme/liter
Organisme/ml air yang terkonsentrai x 1000 = ------------------------------------------------------------Faktor Konsentrasi
Volume air yang tersaring (ml) Faktor Konsentrasi = ------------------------------------------------------------Volume air yang terkonsentrasi (ml) Pengambilan sampel air untuk pengukuran parameter pendukung (fisik dan kimiawi air) dilakukan dengan menggunakan pedoman APHA (1992). Pengukuran dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel plankton. Faktor fisik kimia perairan yang diukur dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan baku mutu kualitas air golongan III menurut PP No.82 tahun 2001 (KLH, 2002). Laboratorium yang digunakan untuk penelitian ini adalah Laboratorium Pengajaran dan Laboratorium Lingkungan Fakultas Biologi Unsoed.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Plankton merupakan penyusun rantai makanan atau sebagai cadangan makanan untuk menunjang kehidupan biota, baik yang bersifat herbivora maupun karnivora. Plankton bersifat kosmopolit yang berarti bahwa plankton mampu hdup di perairan atau mampu menyesuaikan dengan kondisi perairan sebagai media hidup plankton (Davis, 1955). Plankton yang didapatkan di perairan Situ Bamban terdiri dari Phytoplankto dan Zooplankton. Plankton dengan kekayaan jenis sebanyak 45 terdiri dari 27 jenis phytoplankton, dan zooplankton 18 jenis. Phytoplankton terdiri dari 4 divisio, yaitu
92
divisio Cyanophyta (4 jenis), Chlorophyta (7 jenis), Chrysophyta (15 jenis), dan divisio Euglenophyta(1 jenis). Zooplanktonnya ada (5 jenis). Kelimpahan individu plankton pada stasiun (1) didapatkan berkisar antara 602 - 30702 ind/L Plankton dari fitoplankton merupakan produsen primer di perairan dan merupakan sumber makanan alami bagi oraganime perairan terutama ikan. Menurut Odum (1994), keberadaan jenis-jenis fitoplankton dapat digunakan sebagai indikator untuk merunut kompleknya rantai makanan. Semakin banyak jenis fitoplankton berarti semakin baik pula kondisi lingkungannya. Djuhanda (1980), menyatakan perairan yang kaya akan berbagai jenis plankton dengan jumlah individu yang banyak merupakan perairan yang subur untuk perikanan, dengan demikian perairan tambak bandeng selok layak untuk usaha perikanan. Tabel 1. Kelimpahan plankton per liter air sampel di perairan tambak bandeng selok Cilacap No Plankton Pasang Surut Phytoplankton 1 Divisio : Cyanophyta 1806 13846 2 Divisio : Chlorophyta 6020 3612 3 Divisio : Chrysophyta 30702 24080 4 Divisio : Euglenophyta 602 Zooplankton 5 Dinoflagellata 602 602 6 Crustaceae 7625 6020 7 Rhizopoda 602 Kelimpahan plankton yang tertinggi dari fitoplankton adalah dari divisio Crysophyta, didapatkan berkisar 24.080 – 30.702 ind/L. karena plankton dari divisio Chrysophyta bersifat kosmopolit, mudah beradaptasi dan daya reproduksinya cepat. Werner (1977) menyatakan bahwa genera dari Diatomae yang banyak dijumpai di perairan tawar dan bersifat kosmopolit. Perairan digolongkan subur karena memiliki kelimpahan fitoplankton diatas 15.000 ind/L (Landner dalam Larasati, 1985). Graham & Wilcok (2000), menyatakan plankton dari divisio Chrysophyta (diatomae) dapat bertahan hidup pada kondisi perairan jenuh fosfat dan menjadi tumbuh dengan cepat. Hasil pengukuran didapatkan fosfat total berkisar antara 0,0503 – 0,0940 mg/L. Dalam baku mutu air batas maksimum tosfat total adalah 0,2 mg/l untuk klas II dan 1 mg/l untuk kelas III 1 mg/L. Dengan demikian total fosfat termasuk dalam kondisi jenuh yang memungkinkan plankton tumbuh dengan cepat. pernyataan ini dikuatkan pendapat Subarijanti (1994) bahwa perairan dengan kandungan fosfat antara 0,01-0,02 mg/l banyak didominasi Diatomae. Reynold (1984), menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi kelimpahan fitoplankton konsentrasi NO3 dan PO4. Penghitungan terhadap nilai indeks keanekaragaman (H’) plankton di perairan tambak bandeng selok di dapatkan berkisar 1,3 – 1,5. Menurut Lee et al (1978), indeks keanekaragaman dapat menggolongkan pencemaran perairan. Indeks keanekaragaman perairan tidak tercemar adalah lebih dari 2,0. tercemar ringan adalah 2,0 – 1,6 ; tercemar sedang adalah 1,5 – 1,0 dan tercemar berat kurang dari 1,0. Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman plankton di perairan tambak bandeng selok termasuk tercemar sedang. Menurut Odum (1971) indeks keanekaragaman plankton > 1 termasuk perairan yang stabil. Hal tersebut di dukung oleh pengukuran hasil faktor fisik-kimia perairan yang didapatkan dalam batas ambang yang baik. Faktor lain yang mendukung kelimpahan Diatom adalah suhu yang optimum. Menurut Sachlan (1982) Diatom mempunyai toleransi yang luas terhadap suhu. Suhu
93
yang optimum untuk pertumbuhan Diatom menurut Werner (1977) adalah 20-300C. Di lokasi penelitian didapatkan suhu berkisar 29 – 32 ®C. Keunggulan sifat yang dimiliki Diatom mengakibatkan genera ini dapat digunakan sebagai indikator perairan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harding et al. (2005), bahwa Diatom merupakan salah satu genera yang dapat digunakan sebagai indikator perairan. Tabel 2. Hasil pengukuran sifat fisik-kimia perairan tambak banden selok Cilacap. No Parameter Satuan Pasang Surut 1 Kedalaman cm 50 - 100 50 – 90 2 Tempratur udara ®C 25 – 29 25 – 26 3 Temperatur air ®C 29 – 30 27 – 28 4 Penetrasi cahaya cm 60 – 100 50 – 90 5 Substrat dasar 0/00 90 pasir – 10 lumpur 90 pasir – 10 lumpur 6 Zat pdt tersus.(TSS) Mg/L 48 – 100 50 – 90 7 PH 7–8 7 8 CO2 bebas Mg/L Tt – 3,6 3,8 – 6,6 9 Salinitas permil 5 – 19 1–2 10 DO/Oksigen terlarut Mg/L 4,6 – 7,6 6,1 – 8,2 11 Amoniak Mg/L 0,6049 – 0,6472 0,5231 – 0,6598 12 Nitrit Mg/L 0,0187 – 0,0390 0,0707 – 0,0832 13 Nitrat Mg/L 0,6708 – 0,8143 0,6663 – 1,0293 14 P total Mg/L 0,0503 – 0,0940 0,0543 – 0,0813 15 Fe Mg/L 0,246 – 0,0634 0,238 – 0,410 16 Sulfida Mg/L 0,16 – 0,48 Tt Konsentrasi TSS berkisar antara 48 – 100 mg/L. cukup tingginya nilai TSS kemungkinan disebabkan partikel pasir- berlumpur yang masuk bersamaan air yang masuk berasal dari laut dan dari sungai sehingga terjadi pengadukan. Menurut Alabaster dan Lloyd (1982), konsentrasi TSS berkisar 25 – 80 mg/L mempunyai pengaruh terhadap kepentingan perikanan. Pengaruh tersebut selanjutnya diterangkan Effendi (2003), yang menyatakan bahwa konsentrasi TSS yang tinggi dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya akan mengahambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh terhadap proses fotosintesis di perairan. Konsentrasi oksigen terlarut perairan tambak bandeng selok berkisar antara 4,6 – 8,2 mg/L. Konsentrasi oksigen terlarut tersebut pada umumnya sesuai dengan baku mutu yang dijinkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran air yaitu 3 mg/L. Selanjutnya menurut Alaert dan Santika (1987), kandungan oksigen terlarut untuk keperluan perikanan disyaratkan lebih besar dari 3 mg/L, dan diperbolehkan sama dengan 3 mg/L. Karena menurut Schmittou (1991) dalam Nastiti et al (2001), menyatakan bahwa konsentrasi oksigen terlarut yang sangat rendah akan merangsang munculnya gas-gas beracun seperti N-NH3, H2S dan NH4 yang dapat menyebabkan kematian ikan secara massal. Hasil pengukuran kandungan karbodioksida (CO2) bebas didapatkan berkisar antara tt – 6,6 mg/L. Karbondiksida memegang peranan penting bagi tumbuhan yang mampu berfotosintesis, baik fitoplankton maupun tumbuhan tingkat tinggi. Menurut Wardoyo (1981), batas kandungan karbondioksida(CO2) bebas di daerah tropis di bawah 12 mg/L.
94
4.
KESIMPULAN
Faktor fisik-kimia air, di perairan tambak bandeng selok Cilacap masih layak untuk budidaya ikan pada umumnya. Kelimpahan Plankton di perairan tambak bandeng selok Cilacap 602 - 30702 ind/L termasuk perairan cukup subur. Nilai Indeks Keanekaragaman Plankton berkisar 1,3 – 1,5 termasuk perairan tercemar sedang atau cukup stabil. Parameter fisik-kimia perairan Situ Bamban termasuk kualitas yang baik.
DAFTAR PUSTAKA APHA (American Public Health Association). 1985. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. American Public Health Association Inc., New York. ______________________________________. 1992. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. American Public Health Association Inc., New York. Alaerts.G dan S.S.Santika. 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional, Surabaya. Davis, C.C. 1955. The Marine and Freshwater Plankton. Michigan University Press, Michigan. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Graham, L.E. and L.W. Wilcox. 2000. Algae. Prentice Hall International (UK) Limited, London. Harding, W.R., C.G.M. Archbaid and J.C. Taylor. 2005. The Relevance of Diatoms for Water Quality Assessment in South Africa: A posisition Paper. http://www.wrc.org.za. Larasati, A. 1985. Kelimpahan dan penyebaran fitoplankton di Bendung Curug, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Karya Ilmiah. Fakultas Perikanan. IPB. Bogor. Lee.C.D.B.Wang and C.L.Kuo. 1978. Benthic Macroinvertebrata and Fish as Biological Indicator of Water Quality With Reference to Community Diversity Index. International Asian Inst. Tech, Bangkok. Lind, O.T. 1979 Handbook of Common Methods in Limnology. The C.V. Mosby Company. Missouri. Nastiti.A.S, S.Nuroniah, S.E.Purnamaningtyas, dan E.S.Kartamihardja. 2001. Daya Dukung Perairan Waduk Jatiluhur Untuk Budidaya Ikan Dalam Keramba Jaring Apung. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia.Vol.7 No.2. Tahun 2001. Odum. E.P. 1994. Fundamental of Ecology..W.B.Sounder Company and Toppan Ltd.London. Poole, R.W. 1974. An Introduction to Quantitative Ecology. Mc.Graw Inc.New York.
95
Reynolds,C.S. 1984. The Ecology of Freshwater Phytoplankton. Cambridge University Press. Cambridge. Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas Perikanan Universitas Diponegoro, Semarang. Schmittou, H.R. 1991. Pencemaran Air dan Penggunaan Limbah Industri. Rajawali. Jakarta. Subarijanti, H. U. 1994. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Plankton. URL : http://digilib.brawijaya.ac.id. Diakses 24 September 2008. Thompson, R.H. 1959. Algae In Edmondson, W.T. (ed). 1959. Freshwater Biology. John Wiley and Sons Inc., New York. Wardoyo, S.T.H. 1981. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Werner, D. 1977. The Biology of Diatoms. Blackwell Scientitific Publications. Oxford.
96
OPTIMASI PRODUKSI Rotifera SEBAGAI PAKAN ALAMI LARVA Oleh : Isnani1
ABSTRAK Pada dasarnya tulisan ini akan membahas Optimasi produksi Rotifera dengan Sistem Sirkulasi tertutup serta dengan mencari solusi model matematikanya. Hasilnya dapat diketahui bahwa laju pertumbuhan rotifer dipengaruhi oleh kualitas air, lifetime rotifer dan sifat partenogenesis dari rotifer itu sendiri. Sedangkan kualitas air dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah residu, pH, kadar nitrit, dan pergantian air. Kata kunci : Rotifera, model matematika, laju pertumbuhan, kualitas
1.
PENDAHULUAN
Rotifera adalah hewan mikroskopik yang digunakan pada aquaculture sebagai makanan alami ikan. Rotifera adalah makanan hidup yang bernilai tinggi, karena dapat dikembangkan pada kepadatan yang tinggi dan bereproduksi dengan sangat cepat. Karena itu banyak petani yang mengembangbiakkan Rotifera. Pengembangbiakan Rotifera biasanya dilakukan dalam sebuah tangki besar yang diberi saluran udara yang berfungsi untuk memberikan oksigen pada Rotifera . Sistem ini mempunyai kelemahan, yaitu kualitas air yang rendah sehingga kulturnya tidak bisa diprediksikan. Hal itu juga mengakibatkan kualitas Rotifera rendah. Selain itu hasil panennya juga rendah. Ketiga hal diatas menyebabkan bak harus dikuras setiap hari sekali, dan hal itu memerlukan tenaga kerja yang banyak dan biaya yang tinggi. Hal itulah yang mendorong dibuatnya sistem baru yang dinamakan Closed Resirculation Sistem atau Sistem Resirkulasi Tertutup. Tujuan dari sistem ini adalah meningkatkan kualitas air, kualitas dan kuantitas Rotifera , memperpanjang periode kultur dan memperkecil biaya investasi dan operasional. Adapun komponen yang diperlukan dalam sistem ini adalah air, pipa, saringan/filter, pompa, bangunan, tangki dan listrik. Usaha ini ditekankan pada panen dan biaya produksi. 1.1.
Batasan Masalah
Rotifera yang dikembangbiakkan adalah Rotifera dengan spesies Brachioneus Plicatilis. Serta pakan almai yang digunakan dalam tulisan ini untuk larva ikan dan larva udang. 1.2.
Rumusan Masalah
Yang menjadi masalah pada tulisan ini adalah bagaimana memodelkan pertumbuhan Rotifera dalam sistem sebelum pemanenan dan sesudah pemanenan 1
Pendidikan Matematika FKIP Universitas Pancasakti Tegal
97
dengan banyaknya variabel yang berpengaruh pada laju pertumbuhan Rotifera . Setelah itu baru akan dicari bagaimana cara pemanenan yang optimal sehingga dapat menekan biaya produksi. 1.3.
Tujuan 1) Mendapatkan cara pemanenan yang tepat agar hasil panen stabil. 2) Menentukan banyak rotifer yang dipanen sehingga hasil panen yang didapat lebih banyak dengan mempertimbangkan biaya. 3) Menekan biaya produksi.
1.4.
Manfaat
Dapat menghasilkan pakan larva ikan dan larva udang yang banyak dengan menekan biaya sekecil mungkin sehingga pada akhirnya para petani ikan dan udang mendapatkan panen ikan dan udang yang optimal. 1.5.
Asumsi 1) 2) 3) 4) 5)
2.
Temperatur dalam sistem resirkulasi diabaikan. Lifetime rotifer diabaikan. Jenis kelamin rotifer diabaikan. PH dalam sistem selama waktu pemanenan relatif stabil. Caring capacity = 25000.
BAHAN DAN METODE
Rotifera bereproduksi dengan cara partenogenesis. Artinya sel telur tidak perlu dibuahi untuk bereproduksi. Rotifera betina menghasilkan sel telur dengan cara meiosis, demikian pula halnya dengan Rotifera jantan yang menghasilkan sperma dengan meiosis. Kemudian sel telur haploid (mempunyai n kromosom) yang tidak dibuahi akan menghasilkan Rotifera betina, dan sel telur yang dibuahi oleh sperma menjadi diploid (mempunyai 2n kromosom) akan menghasilkan Rotifera jantan. Rotifera mulai bereproduksi 18 jam setelah menetas, dan jika diurus dan diberi makan dengan baik akan terus menghasilkan telur setiap 4 – 6 jam. Satu Rotifera betina akan menghasilkan 20 – 25 anakan betina dalam 6 – 8 hari masa hidupnya. (mendekati 100.000 per liter dalam 6 – 11 hari). Rotifera dikembangkan pada pH 8. Pada pH lebih rendah dari 7,2 atau lebih tinggi dari 9 akan menyebabkan kematian. Kepadatan Rotifera juga sangat berpengaruh. Pada kepadatan rendah (10-30 / ml) diperlukan penyaluran udara yang rendah. Temperatur optimalnya adalah 20–30º C dan pH 8. Pemberian makanannya 1–2 kali sehari. Pada kepadatan tinggi (700–2000 / ml) lebih memerlukan penanganan yang khusus. pH optimalnya adalah 8. Hal ini membantu menurunkan kadar racun dari amonia yang tidak terionisasi. Penambahan oksigen juga diperlukan. Dosis makanannya pun harus ditingkatkan. Pada kepadatan ini diperlukan filtrasi biologi dan mekanik, dengan pH filtrasi biologi tidak kritis dan sistem dosis pH dapat dieliminir. Pada kepadatan sangat tinggi (2000–15000 / ml) diperlukan sistem resirkulasi. Pada percobaan yang dilakukan oleh Bapak I Gede Suantika dari Departemen Biologi ITB sistem ini dilakukan dengan menggunakan tangki yang berukuran 1000 liter, dan diisi air dengan volume 800-850 liter. Kepadatan Rotifera
98
awalnya adalah 500 individu/ml dan kepadatan optimumnya bisa mencapai 25000/ml. Aliran air terus mengalir selama 24 jam. Ke dalam tangki dimasukkan pakan untuk Rotifera yaitu green algae atau artificial diet based and yeast. Protein Schemer berfungsi untuk mengangkat dan membuang kotoran. Sedangkan ke dalam biofilter dimasukkan bakteri nitrifikasi untuk menetralkan NH 4 yang terdapat pada tangki. Tangki dikuras setiap bulan sekali. Pemanenan dimulai pada hari ke-4 sampai hari ke-5. Dengan laju pertumbuhan 0,7-1,4 anakan/betina/hari dan dengan menjaga kepadatannya tetap 3000 Rotifera /ml, kita dapat memanen Rotifera sekitar 2 milyar/hari. Pemanenan dilakukan dengan cara mengambil Rotifera beserta air yang ada pada tangki sampai populasi Rotifera yang tersisa pada tangki hanya 3000 Rotifera /ml. Setelah itu dilakukan pengembalian air dengan air yang baru sampai volume air pada tangki kembali mencapai 800-850 liter. Hal ini menyebabkan perbaikan kualitas air sehingga dapat meningkatkan laju pertumbuhan pada pemanenan Rotifera berikutnya. Sistem ini dibuat minimal 2 buah dengan selang waktu pembuatan sistem ke-1 dengan sistem ke-2 satu minggu untuk mengantisipasi keadaan dimana salah satu tangki sedang dikuras. Sehingga pakan untuk larva ikan dan udang selalu tersedia. Untuk mengukur kualitas dari Rotifera digunakan parameter: pergerakan dan ukuran Rotifera . Rotifera yang sudah dipanen dapat disimpan dalam “breathable bags” pada suhu 6º C. Agar temperaturnya konstan Rotifera tersebut disimpan pada kotak terisolasi. Maka setelah dipanen, Rotifera harus segera digunakan atau disimpan di lemari pendingin dengan suhu 4-8º C. Cara penyimpanan Rotifera yang efektif adalah: Penyimpanan Rotifera Sejak Pemanenan 1-4 hari 95% , 4-7 hari 85% , 10 hari 50% ,14 hari 30 - 40% .Data diperoleh dari Bapak I Gede Suantika dari Departemen Biologi ITB. Dari data diperoleh populasi Rotifera sebelum dan sesudah dilakukan pemanenan, jumlah Rotifera yang dipanen dan jumlah air yang terambil pada saat dilakukan pemanenan. Dapat dilihat bahwa pada hari 1-5 laju pertumbuhan semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh kualitas air yang semakin menurun. Pada hari ke 5 dilakukan pemanenan sehingga kualitas air meningkat sehingga laju pertumbuhan pun meningkat. Setelah hari ke 13 kualitas air sudah mulai jenuh karena akumulasi buangan yang dikeluarkan Rotifera yang tidak tersaring oleh filter. Hal ini menyebabkan hasil panen semakin menurun. Pada hari ke 27 tangki dikuras, untuk kemudian ditanami kembali. 2.1.
Metode dan Teknik
Hal pertama yang akan dilakukan adalah memodelkan populasi Rotifera . Asumsi pertama pemodelan tersebut adalah dengan menggunakan model logaritma yang disempurnakan. Hal-hal yang mempengaruhi laju pertumbuhan adalah waste (hasil buangan Rotifera ), pH dan banyaknya pengambilan air pada saat pemanenan. Model logaritma yang digunakan sebagai asumsi awal akan disempurnakan dengan menambahkan variabel-variabel tersebut. Dalam proses pemodelan akan dilakukan validasi terhadap model yang sudah ada dengan menggunakan data 5 hari pertama. Karena proses ini dilakukan pada persamaan diferensial, maka akan ada persamaan yang sulit dicari solusi numeriknya. Untuk itu kita menggunakan metoda Runge-Kutta untuk mencari pendekatan numerik dari solusi analitiknya. Karena pada metode Runge-Kutta tersebut dilakukan iterasi maka akan sulit jika kita hitung secara manual. Maka dipakai software pembantu dalam bidang matematika, dalam hal ini Matlab 6.5 dan Maple 8.
99
2.2.
Data
Tabel 1. Data populasi Hari Populasi Hari 1. 500 7. 2. 700 8. 3. 1700 9. 4. 2400 10. 5. 3100 11. 6. 4500 12. 2.3.
Populasi 4800 5200 5400 5300 5900 6700
Hari 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Populasi 6400 5900 6800 6200 6250 6400
Hari 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Populasi 5800 5900 5600 5700 4800 5100
Hari 25. 26. 27.
populasi 5150 4300 4400
Model Matematika
Asumsi logistik, yaitu:
awal
pada model pertumbuhan populasi Rotifera adalah model
dP aP(t ) bP(t ) 2 …(1) , Model ini dapat disederhanakan menjadi: dt dP b aP(t )1 P(t ) dt a ….. (2) Dimana
a a adalah caring capasity dan = 25000 Dengan memasukkan unsur b b
P(t ) P(t )1 dP 25000 waste pada persamaan 2 diperoleh : … (3) dan dt t d P(t ) … (4) sebagai laju perubahan kosentrasi residu per hari, sedangkan dt A persamaan laju pertumbuhannya adalah: a(t ) …(5). Kemudian s P(t ) B dP b aP(t )1 P(t ) substitusikan persaman (4) ke (5) sehingga diperoleh dt a dP A P(t ) 1 … (6). Karena pemanenan setiap hari maka htung nilai dt P(t ) B 25000 (0) tiap harinya maka gunakan persamaan 3 .karena penggantian air setiap hari agar pertumbuhan Rotifera meningkat maka perbaharui persaamaan 3 sehingga didapatkan
P(t ) P(t )1 dP 25000 c …(7), Berdasarkan data di atas pada 5 hari pertama dt t hubungan antara populasi dan waktu hampir linier maka persamannya yaitu: P(t ) At B .. (8) kemudian substitusikan ke persaman (4) didapatkan
100
d 1 ( At B) maka (t ) ( At 2 Bt ) lalu substitusikan ke persamaan 7 dt 2 At B ( At B)1 dP 25000 c A ….(9) didapatkan 1 2 dt ( At Bt ) 2 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi awal P(0) = 500 dan ρ(0) = 0 (untuk 5 hari pertama) sedangkan untuk hari ke 6 sampai 27, P(0) = 000 dan ρ(0) dihitung secara numerik menggunakan Metode Runge-Kutta dengan bantuan software Matlab 6.5. Dengan menggunakan regresi data 5 hari pertama, iperoleh nilai 700= A dan 300 = B . Dengan mensubstitusikan nilai A dan B ini dan menggunakan bantuan software Maple 8, diperoleh nilai ω, µ, β, α dan sebagai berikut : α= 0.0946224490 x 10-2 , β = 5342,836246, µ= 0.1187002991 x 10-2 , ω= 0.4182097959 x 10-6 Selanjutnya nilai-nilai tersebut subtitusikan ke persamaan 9. untuk mencari solusi numeriknya menggunakan metode Runge-Kutta diperoleh . Untuk lima hari pertama, dengan banyaknya iterasi (M) = 45 dan H = 0.1 Untuk hari ke-0 sampai 27 , dengan banyaknya iterasi (M) = 40 dan H = 0.025. 3.1.
Analisis
Penyebab menurunnya laju pertumbuhan Rotifera dikarenakan kondisi air yang sudah jenuh sehingga telur yang dihasilkan juga berkurang dan juga dikarenakan akumulasi dari residu yang tidak tersaring. Serta penurunannya tidak terlalu drastis. hal ini dikarenakan dari hasil perhitungan model, volume yang diambil tiap harinya tidak berbeda jauh sehingga jumlah waste (residu) yang diperoleh juga tidak terlalu jauh perbedaannya. Dan akhirnya angka laju populasinya tidak mengalami perbedaan yang cukup tinggi. Ada beberapa faktor yang perlu diperhitungkan untuk perbaikan model. Pertama yaitu faktor pH dan kadar nitrit, karena mempengaruhi kualitas air yang menjadi lingkungan hidup Rotifera . Kemudian faktor kedua yaitu lifetime dan juga sifat partenogenesis dari Rotifera , sayangnya tidak diketahui bagaimana pengaruh kualitas air terhadap proses pembuahan Rotifera . Hal ini penting karena jika kondisi air memburuk, apakah telur Rotifera dibuahi atau tidak? Jika cenderung dibuahi maka telurnya akan berkembang menjadi jantan sehingga tidak dapat menghasilkan telur yang pada akhirnya menurunkan populasi Rotifera .
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
Laju pertumbuhan rotifer dipengaruhi oleh kualitas air, lifetime rotifer dan sifat partenogenesis dari rotifer itu sendiri. Sedangkan kualitas air dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah residu, pH, kadar nitrit, dan pergantian air. Trend
101
pada waktu pemanenan naik sampai hari kesepuluh, kemudian turun secara lambat sampai hari ke-27. 4.2.
Saran
Pada saat dilakukan pengambilan data di lapangan sebaiknya digunakan metode sampling agar data yang diperoleh lebih akurat. Untuk perbaikan model, pengaruh pH, kadar nitrit dan amonium dalam sistem agar diperhitungkan.
DAFTAR PUSTAKA Henry Edwards and David E. Penney (1998). Elementary Differential Equations with Boundary Value Problems, Prentice Hall International Inc., New Jersey. Life Science Models, Modules in Applied Mathematics (1983), vol 4, editor: William F. Lucas, Springer-Verlag, New York,USA. Matthews, John H (1992). Numerical Methods for Mathematics, Science and Engineering, second edition, Prentice Hall Inc. New Jersey. Murray, J.D. (1989). Mathematical Biology, 2nd edition, Volume 19, SpringerVerlag, New York, USA. Nurhayati, M. dkk. (2003). Produksi Rotifera sebagai Pakan Alami Larva Ikan dan larva udang. FMIPA ITB.
102
PENGARUH PEMBERIAN PAKAN BUATAN, TUBIFEK KERING DAN CAMPURAN KEDUANYA TERHADAP PERTUMBUHAN IKAN MAS KOKI (Carassius auratus) Oleh : Suyono1
ABSTRAK Ikan mas koki (Carassius auratus) banyak dibudidayakan masyarakat karena bentuknya menarik, cantik, indah, mudah dipelihara dan dikembangbiakan. Pakan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhannya. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan buatan, tubifek kering dan campuran keduanya terhadap pertumbuhan ikan mas koki (Carassius auratus). Waktu penelitian adalah 1 bulan yang dilaksanakan di Jl. Cempedak No. 7 Procot –Slawi. Materi penelitian adalah pakan buatan, tubifek kering dan campuran keduanya; benih ikan mas koki (Carassius auratus) berukuran panjang dan berat rata-rata 4 Cm dan 4 gram, yang dipelihara pada bak semen berukuran panjang 60 cm, lebar 40 cm dan tinggi 55 cm dengan padat penebaran 10 ekor per bak. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen di Laboratorium Perikanan UPS Tegal. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan, 4 ulangan, dengan dosis pakan masingmasing 3 %. Perlakuan dibedakan atas 3 jenis pakan yang berbeda yaitu A : Pakan buatan merek Takari produksi PT Proteinaprima Tbk, B : Tubifek kering (Tubifek Warms) produksi Astic Pets, dan C : Campuran keduanya. Selama penelitian dilakukan pengukuran kualitas air yang meliputi suhu air, oksigen terlarut (DO), CO2 bebas, pH, ammonia, nitrit yang dilakukan 1 minggu sekali. Berdasarkan hasil Analisa Ragam menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P 0,1) untuk semua perlakuan terhadap pertumbuhan. Sedangkan dari hasil uji Wilayah Ganda Duncan perlakuan yang paling baik diperoleh pada perlakuan C (Campuran Pakan buatan dan Tubifex), kemudian perlakuan A (Pakan Buatan) dan yang terakhir perlakuan B (Tubifex). Dari hasil penelitian diperoleh pertumbuhan Individu Mutlak untuk perlakuan C = 8,52 gram, A=6,77 gram, dan B=6,56 gram. Untuk pertumbuhan harian perlakuan C = 3,64 %, kemudian A =3,16 % dan B = 3,08 %. Sedangkan Untuk pertumbuhan relatif C = 1,98 %, A = 1,58 % dan B = 1,52 %. Pertumbuhan Bobot Biomassa C = 78,79 gram, B = 62,74 gram dan A =56,19 gram. Pertumbuhan panjang C = 3,16 Cm, B = 2,85 Cm dan A = 2,62 Cm. Kelangsungan hidup B = 97,5 %, C = 95 % dan A = 90 %. Konversi pakan paling rendah diperoleh dari perlakuan C = 0,72 gram, A = 0,85 gram dan B = 0,86 gram. Kualitas air secara fisika dan kimia selama penelitian dalam kisaran yang layak untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan uji yaitu suhu air 25oC, oksigen terlarut 5 - 7 ppm, CO2 bebas 4,5 - 6 ppm, pH air = 7, Nitrat = 0,1 – 0,3 ppm dan Nitrit = 0,1 ppm. Kata kunci : Carassius auratus; Tubifek Warms; pertumbuhan individu mutlak, relatif, panjang, dan bobot biomassa ; kelangsungan hidup; konversi pakan
1
Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Pancasakti Tegal
103
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Ikan hias (ornamental fish), merupakan salah satu jenis komoditi eksport Indonesia yang cukup penting dan memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan ikan hias air lainnya (Kurniawan, 2005). Salah satu ikan hias air tawar yang banyak dibudidayakan masyarakat adalah ikan mas koki (Carassius auratus). Selain karena cantik, indah, bentuknya menarik, menggemaskan, ikan inipun mudah dipelihara dan dikembangbiakan. Saat ini peternak ikan di Indonesia sudah dapat memelihara serta mengembangbiakan ikan maskoki, namun kuantitas mas koki yang berhasil lolos untuk ekspor masih sangat rendah. Pada dasarnya faktor yang menentukan keberhasilan usaha budidaya atau pemeliharaan ikan mas koki adalah pertumbuhan ikan yang dibudidayakannya. Menurut Huet (1998) dan Mujiman (2001), pakan merupakan salah satu faktor eksternal penting yang mempengaruhi pertumbuhan ikan baik dari kuantitas (frekwensi dan jumlah) dan kualitasnya (sumber bahan penyusun pakan). Makanan bagi ikan mas koki merupakan salah satu faktor yang penting artinya bagi pertumbuhan dan pembentukan warna, sedangkan untuk induk ikan makanan ditujukan untuk pertumbuhan gonad (Effendi, 2000). Jenis makanan ikan hias terdiri dari makanan alami dan makanan buatan. Makanan alami adalah organisme yang sengaja ditumbuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup ikan hias, sedangkan pakan buatan adalah makanan yang diramu dari beberapa macam bahan, yang kemudian diolah menjadi bentuk khusus sesuai dengan yang dikehendaki (Mujiman, 2001). 1.2.
Pendekatan Masalah
Uji coba dilakukan dengan pemberian tubifek kering, pakan buatan merek Takari serta campuran keduanya terhadap pertumbuhan, konversi pakan dan survival rate ikan uji untuk memperoleh gambaran umpan baliknya. Input
1. Pakan buatan merek Takari 2. Tubifek kering 3. Campuran keduanya
Proses
Pertumbuhan n
Kualitas air ; Lingkungan: Umpan BalikGenetika
Output
G Sr
Analisis K Kesimpulan K Rekomendas i
Gambar 1 : Bagan Pendekatan Masalah Keterangan : G = Pertumbuhan; Sr = Kelangsungan hidup
104
1.3.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan buatan, tubifek dan campuran keduanya terhadap pertumbuhan ikan mas koki (Carasius auratus); konversi pakan ; dan tingkat kelangsungan hidupnya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada petani ikan hias pada umumnya dan ikan mas koki pada khususnya, dalam memilih jenis pakan yang baik dan cocok untuk ikan yang dibudidayakan. 1.4.
Hipotesis
Diduga bahwa penggunaan pertumbuhan ikan mas koki. 1.5.
jenis pakan yang berbeda
berpengaruh terhadap
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di Jalan Cempedak No 7 Procot – Tegal dengan lama penelitian 1 (satu) bulan, pada bulan Januari 2010. 2.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
2.1.
Materi Penelitian
2.1.1. Hewan Uji Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan hias mas koki (Carassius auratus) jenis Veil tail dengan panjang total rata-rata 4 cm dan berat rata-rata 4 gram. Sebelum ikan ditebar pada bak pemeliharaan, terlebih dahulu diadaptasikan dengan media air dan pakan buatan yang akan digunakan dalam penelitian ini selama satu minggu (Simanjuntak, 1998). Kemudian ikan ditebar pada wadah percobaan dengan perhitungan padat penebaran setiap 1 (satu) cm panjang mas koki membutuhkan ruang seluas 60 cm persegi. Panjang mas koki terhitung dari mulai bibir sampai pangkal ekor (Budhiman, 2000). 2.1.2. Pakan Uji Pakan uji yang digunakan didalam penelitian ini adalah pakan buatan merek takari, tubifek kering, dan campuran antara tubifek kering dengan takari. 2.1.3. Peralatan Peralatan yang digunakan didalam penelitian ini antara lain : Wadah berupa bak yang terbuat dari semen dengan ukuran panjang 60 cm, lebar 40 cm dan ketinggian air 30 cm. Volume ± 70 liter, maka kepadatan ikan mas koki tiap wadah dapat dihitung dengan rumus : Kepadatan tiap wadah =
luas wadah : panjang total ikan. 60 cm 60 x 40 x 1 cm 2 : 4 cm. 60 cm
= 10 ekor per wadah.
105
Penyediaan Aerasi , untuk menjaga kondisi oksigen terlarut dalam air cukup, maka dilakukan suplai udara ke dalam media uji melalui selang plastik yang dihubungkan dengan aerator. 2.2.
Metode Penelitian
2.2.1. Perlakuan Penelitian ini bersifat eksperimental secara laboratoris. Sebagai rancangan percobaan digunakan pola dasar rancangan acak lengkap (Completely randomized Design) dengan menggunakan 3 (tiga) perlakuan, dan masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Perlakuan tersebut akan diujikan terhadap ikan uji untuk diketahui pengaruh pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Perlakuan yang akan dilakukan adalah pemberian pakan yang berbeda yaitu : perlakuan A : ikan uji diberi pakan buatan Takari; perlakuan B : ikan uji diberi pakan tubifek kering; dan perlakuan C : ikan uji diberi campuran keduanya. 2.2.2. Pelaksanaan Penelitian Sebelum melakukan penelitian, dilakukan persiapan peralatan dan materi penelitian yang lainnya. Kemudian melakukan adaptasi ikan uji terhadap lingkungan dan pakan komersial yang akan digunakan selama 7 (tujuh) hari sebelum penelitian dimulai. Setelah masa adaptasi habis, masing-masing bak penelitian diisi dengan ikan mas koki sebanyak 10 ekor sesuai dengan anjuran Agus Budhiman (2000), yaitu padat penebaran ikan mas koki dihitung dari kebutuhan 1 cm panjang ikan mas koki membutuhkan ruang seluas 60 cm2 . 1)
Pemberian Pakan Uji Pakan Uji diberikan sebanyak 3 (tiga) kali sehari yaitu pada pagi, siang dan malam hari. Waktu pemberian pakan yaitu pada pukul 06.00, dengan porsi 30%, pukul 14.00 dengan porsi 30% dan pukul 22.00 dengan porsi 40% karena ikan mas koki termasuk hewan nocturnal (Soetomo,1998). Jumlah pakan yang diberikan perhari 3% bobot biomassa (Budhiman, 2000). Agar kualitas air media tetap baik dilakukan penyiponan kotoran sisa pakan dan feces ikan uji pada setiap wadah penelitian pada pagi hari sebelum pemberian pakan, sekaligus penggantian air sejumlah 20% (Ditjenkan, 2000). Parameter kualitas air yang diamati meliputi suhu, pH, O2, CO2 dan NH3 .Pengukuran suhu air, pH dilakukan setiap hari, sedangkan pengukuran kandungan O2 terlarut, CO2 bebas dan NH3 dilakukan setiap seminggu sekali. Peralatan yang digunakan untuk mengukur kualitas air dan pertumbuhan serta frekuensi pengamatan tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Daftar Peralatan untuk Mengamati Kualitas Air, Frekuensi Pengamatan Yang iamati Kualitas Air Suhu Air pH Air O2 terlarut CO2 bebas NH3 Pertumbuhan Berat Ikan
Alat/ etode Termometer pH Paper Volumetri Volumetri Reagen test Kit Timbangan Dial 0-gram OHALIS
Ketelitian
Pertumbuhan dan Frekuensi Pengamatan
1oC 1 0,1 ppm 0,1 ppm 0,5 ppm
Setiap hari Setiap hari Setiap minggu Setiap minggu Setiap minggu
0,1 gram
Setiap minggu
106
2)
Pengamatan Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Mas koki Pertumbuhan ikan diamati dari pertambahan berat, dengan cara melakukan penimbangan berat biomassa setiap bak penelitian. Penimbangan dimulai pada awal penelitian dan selanjutnya dilakukan setiap 1 (satu) minggu sekali sampai akhir penelitian 4 (empat) minggu. Penimbangan ikan uji dilakukan dengan cara sejumlah ikan yang ada dalam setiap wadah penelitian dimasukkan kedalam gelas ukur yang berisi air yang sebelumnya telah ditimbang, sehingga diketahui beratnya. Selisih antara berat total dengan berat wadah yang ditambah air, merupakan berat biomas ikan dari bak-bak percobaan yang bersangkutan. Pengamatan kelangsungan hidup ikan didasarkan untuk mengetahui jumlah ikan yang masih hidup selama percobaan. Pengamatan ini dilakukan setiap hari dan apabila terdapat ikan yang mati, ikan tersebut ditimbang dan dicatat sebagai dasar perhitungan kelangsungan hidup (Sr).
3)
Analisa Data Sesuai dengan rancangan percobaan, maka model analisis statistik yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) sebagai berikut (Sudjana, 1998) Yij = µ + αi + Eij Dengan : Yij = Hasil pengamatan ke – j dari perlakuan ke – i µ = Nilai rata-rata seluruh perlakuan αi = Pengaruh perlakuan ke-i Ei j = Efek (galat yang timbul ) pada unit eksperimen ke-j dari perlakuan ke-i i = Unit eksperimen perlakuan ke-i j = Ulangan perlakuan ke – j
4)
Hipotesis Penelitian Diduga dengan menggunakan jenis pakan yang berbeda yaitu Tubifex, takari dan campuran keduanya akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan ikan mas koki (Carassius auratus). Hipotesis tersebut dinyatakan sebagai berikut : a) Ho = Pemberian pakan dari produk yang berbeda tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan mas koki. b) Hi = Pemberian pakan dari produk yang berbeda berpengaruh terhadap pertumbuhan ikan mas koki. Pengujian hipotesis menggunakan analisis sidik ragam yaitu dengan kaidah pengambilan keputusan berdasarkan pada uji F (Srigandono, 1983). Pengujian hipotesis ini meliputi pertambahan berat ikan mas koki dan kelangsungan hidup selama masa percobaan, yang didapat dari hasil perhitungan : (1) Pertambahan berat ikan mas koki dihitung dengan rumus Effendi (2000), yaitu : P = W t – Wo dimana : P = Pertumbuhan individu mutlak (gram) W = bobot individu ikan uji pada akhir penelitian (gram) Wo = bobot individu ikan uji pada awal penelitian (gram) (2) Laju Pertumbuhan Harian Individu, ditentukan dengan menggunakan rumus dari Effendi (2000), yaitu :
107
Ln Wt – Ln Wo LPH =
x 100% , dimana
t LPH = Laju Pertumbuhan Harian Wt = bobot individu ikan uji pada akhir penelitian (gram) Wo = bobot individu pada awal penelitian (gram) t = lama penelitian.
(3) Pertumbuhan Relatif, dirumuskan sebagai persentase pada tiap interval waktu atau perbedaan ukuran pada akhir interval dengan ukuran pada awal interval (Effendi, 2000). Wt – Wo Gr = x 100% , dimana Wo Gr = Pertumbuhan relatif (%) Wt = Bobot individu ikan uji pada akhir penelitian (gram) Wo = Bobot individu ikan uji pada awal penelitian (gram)
(4) Tingkat Kelangsungan Hidup ikan uji ditentukan pada akhir penelitian dengan modifikasi rumus Effendi (2000), yaitu : Nt S = x 100 % , dimana No S = Tingkat Kelangsungan hidup ikan ( % ) Nt = Jumlah individu ikan uji pada akhir penelitian (ekor) No = Jumlah individu ikan uji pada awal penelitian (ekor)
(5) Konversi Pakan, merupakan bilangan yang menunjukkan berapa kilogram jumlah pakan yang diperlukan untuk menghasilkan 1 (satu) kg daging ikan, dihitung dengan menggunakan rumus dari Mudjiman (2001), yaitu : F C = x 100 % , dimana (Wt + D) - Wo C = Konversi pakan (gram) F = Jumlah total pakan selama penelitian (gram) D = Jumlah Berat ikan yang mati selama penelitian (gram) Wt = bobot total ikan uji pada akhir penelitian (gram) Wo = Bobot total ikan uji pada awal penelitian (gram)
(6) Parameter kualitas air yang diukur dan diamati adalah Oksigen terlarut, karbondioksida bebas, pH, suhu, nitrat dan nitrit, untuk mengetahui tingkat kelayakan bagi kehidupan ikan maskoki (Carassius auratus). 2.3.
Analisa Data
Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dari perlakuan perbedaan pemberian pakan buatan Takari, tubifek kering dan campuran keduanya terhadap pertumbuhan individu harian, mutlak dan konversi pakan serta kelangsungan hidup ikan mas koki digunakan analisis ragam bantu dengan uji F. Apabila hasil dari uji F menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata, selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan, data diuji dengan menggunakan uji wilayah ganda Duncan (Sudjana, 1998 ; Sri Gandono,
108
2000 ; Torrie & Steel, 1998). Sebelumnya untuk mengetahui apakah data pertumbuhan bersifat normal, homogen dan aditif dilakukan pengujian sebagai berikut : 1) Uji kenormalan data dengan menggunakan uji Lillieffors (Nasoetion & Barizi, 2000 ; Sudjana, 1998) 2) Uji kehomogenan ragam data dengan uji batlett (Sudjana, 1998 ; Sri Gandono, 2000) 3) Uji additivitas dengan menggunakan uji Tukey (Sri Gandono, 2000) Untuk menarik kesimpulan dari hipotesis tersebut, digunakan uji F sebagai berikut : Terima Ho ≤ F tabel (0,05 dan 0,01) Tolak Hi F hitung Terima Hi
≥ F tabel (0,05 dan 0,01)
Tolak Ho Data parameter kualitas air yang meliputi oksigen terlarut, karbondioksida bebas, pH dan suhu dianalisa secara deskriptif dikonfirmasikan dengan referensi. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Hasil Penelitian
3.1.1. Pertumbuhan Hasil penelitian pengaruh pemberian pakan buatan, Tubifek kering dan campuran keduanya terhadap pertumbuhan Ikan Mas Koki (Carassius auratus) yang dilaksanakan selama 4 (empat) minggu, diperoleh hasil berupa data pertumbuhan individu mutlak, laju pertumbuhan harian, pertumbuhan relatif, pertumbuhan bobot biomassa mutlak, pertumbuhan panjang , kelangsungan hidup, dan konversi pakan. Disamping itu dicatat pula data penunjang berupa kisaran kualitas air media selama penelitian. 1)
Pertumbuhan Individu Mutlak Data hasil pengamatan pertumbuhan bobot individu mutlak ikan uji selama 4 minggu, dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pertumbuhan Individu Mutlak (gram) Ikan Uji. Perlakuan 1 2 3 4 Jumlah Rata-rata
A
B 6,85 5,66 6,96 7,63 27,09 6,77c
C 6,39 6,93 5,88 7,03 26,22 6,56c
8,28 8,92 9,21 7,70 34,10 8,52ab
7,28
SD 0,82 0,53 0,67 Keterangan : Angka dengan huruf kecil yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata ( P<0,01) menurut Uji Wilayah Ganda Duncan
109
Dari tabel 3 terlihat bahwa pertumbuhan bobot individu mutlak ikan mas koki uji tertinggi terjadi pada perlakuan C (pemberian pakan campuran antara keduanya), dengan pertumbuhan berat individu mutlak rata-rata 8,52 gram, kemudian diikuti oleh perlakuan A (pemberian pakan buatan takari) dengan pertumbuhan bobot individu rata-rata 6,77 gram dan pertumbuhan paling rendah adalah perlakuan B (pemberian pakan tubifek kering) dengan pertambahan bobot individu mutlak rata-rata 6,56 gram. Data pertumbuhan tersebut ternyata menyebar normal; bersifat homogen dan additif. Dari hasil analisa ragam menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antara perlakuan C – A dan C – B, F hitung = 9,9056 > F tabel = 7,59 pada taraf kepercayaan 0,019. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terbaik terhadap pertumbuhan individu mutlak ikan mas koki dilakukan Uji Wilayah Ganda Duncan dengan perbandingan selisih rata-rata antar masing-masing perlakuan. Dari hasil Uji Wilayah Ganda Duncan terlihat bahwa ada perbedaan sangat nyata antara perlakuan C-A dan C-B. Artinya perlakuan C menghasilkan pertumbuhan individu mutlak yang lebih tinggi dari perlakuan A dan B. Untuk dapat melihat dengan jelas perbedaan pertumbuhan bobot individu ikan mas koki antara perlakuan A, B dan C, disajikan pada Gambar 2. PERTUMBUHAN BOBOT INDIVIDU MUTLAK 9,00
Pertumbuhan (Gram)
8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 A
B
C
Perlakuan
Keterangan : A : Pemberian Pakan buatan merek Takari B: Pemberian Pakan Tubifek kering C: Pemberian Pakan Campuran keduanya (Takari dan tubifek kering). Gambar 2.
2)
Histogram Pertumbuhan Bobot Individu Mutlak (gram) Ikan Mas Koki Uji .
Laju Pertumbuhan Harian Dari data hasil perhitungan pertumbuhan harian ikan uji pada setiap perlakuan dan ulangan tersaji pada Tabel 4 , menunjukan bahwa laju pertumbuhan harian terbaik adalah perlakuan C ( 3,64 gram), kemudian perlakuan A ( 3,16 gram) dan laju pertumbuhan harian paling rendah adalah perlakuan B ( 3,08 gram).
110
Tabel 4. Laju Pertumbuhan Harian Ikan Mas Koki Uji (%) Selama Penelitian Perlakuan 1 2 3 4 Rata-rata
A
B 3,22 2,82 3,18 3,41 3,16c
C 3,01 3,19 2,89 3,24 3,08c
3,55 3,77 3,77 3,46 3,64ab
3,29
SD 0,25 0,16 0,16 Keterangan : Angka dengan huruf kecil yang berbeda menunjukkan perbedaan yang sangat nyata ( P<0,01) menurut Uji Wilayah Ganda Duncan Dari hasil uji kenormalan data laju pertumbuhan harian ikan uji didapat nilai L maks = 0,1508 < L Tabel ( 0,05 ; 12 = 0,2420), ini menunjukan laju pertumbuhan harian berdistribusi normal, homogen dan aditif. Dari Analisa ragam bantu diperoleh nilai F hitung (9,7503) > F tabel 0,01=7,59. Ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antara setiap perlakuan. Kemudian dari hasil Uji Wilayah Ganda Duncan didapatkan bukti bahwa perlakuan C-B, C-A berbeda sangat nyata dan A-B tidak berbeda nyata . Dengan demikian perlakuan C memperlihatkan laju pertumbuhan harian lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A dan B. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada histogram dalam Gambar 3.
Pertumbuhan (%)
3,80
LAJU PERTUMBUHAN HARIAN
3,60 3,40 3,20 3,00 2,80 A
B Perlakuan
C
Gambar 3. Histogram Laju Pertumbuhan Harian (%) Ikan Mas Koki. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik pertumbuhan yang tersaji pada Gambar 4.
111
Pertumbuhan Harian (%)
4,00 3,00 2,00
A
1,00
B C
0,00 1
2
3
4
Minggu ke-
Keterangan :
Pemberian pakan buatan Takari Pemberian pakan Tubifek kering Pemberian pakan campuran keduanya Harian (%) Ikan Mas Koki. Gambar 4. Grafik Laju Pertumbuhan 3)
Pertumbuhan Relatif Pertumbuhan relatif dari ikan mas koki dalam pemberian pakan yang berbeda selama penelitian ini nilai yang terbesar didapat pada perlakuan C ( 1,98) diikuti perlakuan A (1,58) dan yang terendah adalah perlakuan B (1,52). Analisa data pengamatan pertumbuhan relatif ikan uji tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Pertumbuhan Relatif (%) Ikan Mas Koki Perlakuan 1 2 3 4 Jumlah Rata-rata
A
B 1,63 1,33 1,60 1,78 6,33 1,58c
C 1,47 1,60 1,38 1,64 6,09 1,52c
1,90 2,10 2,10 1,82 7,92 1,98ab
1,70
SD 0,19 0,12 0,14 Keterangan : Angka dengan huruf kecil yang berbeda menunjukan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) menurut Uji Wilayah Ganda Duncan Berdasarkan Uji Kenormalan pada data pertumbuhan relatif ikan mas koki uji diperoleh nilai L maks = 0,1743 < L tabel (0,05:12) = 0,2420. Hal ini menunjukan bahwa pertumbuhan relatif selama penelitian mempunyai sebaran normal. Hasil uji homogenitas pada data pertumbuhan relatif ikan uji menunjukan pertumbuhan relatif yang homogen dan aditif. Berdasarkan hasil analisa ragam diperoleh nilai F hitung 10,6121 > dari F tabel (0,01% = 7,59). Hal ini menunjukan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan. Pengujian lanjutan dengan menggunakan Uji Wilayah Ganda Duncan. Dari hasil Uji Wilayah Ganda Duncan didapatkan bukti bahwa perlakuan C-A, C-B berbeda sangat nyata, sedangkan perlakuan A – B tidak berbeda nyata , sehingga
112
pertumbuhan ikan mas koki yang paling tinggi terdapat pada perlakuan C, kemudian disusul oleh perlakuan A dan yang paling rendah adalah perlakuan B. Pertumbuhan bobot dari tiap perlakuan dapat dilihat pada grafik pertumbuhan relatif pada Gambar 5. PERTUMBUHAN RELATIF
Pertumbuhan (%)
2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 A
B
C
Perlakuan
Keterangan : A = pemberian pakan buatan B = pemberian pakan tubifek kering C = pemberian pakan campuran keduanya. Gambar 5. Pertumbuhan Relatif (%) Ikan Mas Koki. 4)
Pertumbuhan Bobot Biomassa Mutlak Ikan Mas Koki Data hasil pertumbuhan bobot biomassa ikan uji selama 4 minggu tersaji pada Tabel 6. Tabel 6. Data Pertumbuhan Bobot Biomassa Mutlak (gram) Ikan Uji Selama Penelitian Perlakuan 1 2 3 4 Jumlah Rata-rata
A
B 57,40 56,59 58,27 52,49 224,75 56,19c
C 63,90 58,03 58,77 70,26 250,96 62,74c
70,13 76,02 92,05 76,96 315,16 78,79ab
65,91
SD 2,56 5,65 9,34 Keterangan : Angka dengan huruf kecil yang berbeda menunjukan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) menurut Uji Wilayah Ganda Duncan Data pertambahan berat biomassa mutlak ikan Mas Koki uji selama penelitian menyebar normal; bersifat homogen; dan additif. Untuk dapat melihat dengan jelas perbedaan pertumbuhan bobot biomas ikan Mas Koki Uji antara perlakuan A, B dan C, maka dibuat histogram seperti tersaji pada Gambar 7.
113
Pertumbahan (Gram)
90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00
PERTUMBUHAN BOBOT BIOMASSA MUTLAK
A
B Perlakuan
C
Gambar 6 . Histogram Pertumbuhan Bobot Biomassa Mutlak (gram) ikan Mas Koki Dari Tabel 6 dan Gambar 6 dapat dilihat bahwa pertambahan berat biomassa mutlak ikan mas koki uji tertinggi terjadi pada perlakuan C dengan pertambahan bobot boiomassa rata-rata 78,79 gram , kemudian diikuti perlakuan B dengan pertambahan bobot biomassa rata-rata 62,74 gram kemudian yang paling rendah adalah perlakuan A dengan bobot biomassa 56,19 gram. Berdasarkan Analisa ragam rancangan acak lengkap diperoleh bukti bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antar perlakuan F hitung = 12,9025 > F tabel (0,01)=7,59. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terbaik terhadap pertumbuhan biomassa mutlak ikan uji dilakukan uji Wilayah Ganda Duncan dengan perbandingan selisih rata-rata masing-masing perlakuan. 5)
Pertumbuhan Panjang Ikan Mas Koki Pertumbuhan panjang ikan mas koki selama penelitian nilai terbesar diperoleh dari perlakuan C (3,16 cm), kemudian diikuti perlakuan B ( 2,85 cm) dan nilai terendah pada perlakuan A (2,62 cm). Analisa pengamatan pertumbuhan panjang ikan mas koki tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Pertumbuhan Panjang (cm) Ikan Mas Koki Perlakuan 1 2 3 4 Jumlah Rata-rata
A
B 2,47 2,82 2,60 2,58 10,47 2,62c
C 2,94 2,55 2,70 3,20 11,39 2,85
2,83 2,94 3,31 3,54 12,62 3,16a
2,87
SD 0,15 0,28 0,33 Keterangan : Angka dengan huruf kecil yang berbeda nyata menunjukan perbedaan yang sangat nyata (P<0,05) menurut Uji Wilayah Ganda Duncan Berdasarkan Uji kenormalan pada data pertumbuhan panjang diperoleh nilai maksimal=0,1665 < dari L Tabel (0,05;12) – 0,2420, hal ini menunjukan bahwa pertumbuhan panjang selama penelitian mempunyai sebaran normal.Dari Uji Homogenitas pada data pertumbuhan panjang ikan uji menunjukan pertumbuhan yang
114
homogen, kemudian berdasarkan Uji Additifitas pertumbuhan panjang bersifat additif. Berdasarkan Analisa Ragam didapatkan nilai F hitung (4,1450) < F Tabel 0,05(2;9) = 4,07, dapat dilihat pada Lampiran 32. Hal ini menunjukan adanya perbedaan nyata antara perlakuan. Pengujian lanjutan dengan Uji Wilayah Ganda Duncan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terbaik terhadap pertumbuhan panjang ikan uji. Dari hasil Uji Wilayah Ganda Duncan diperoleh kejelasan bahwa perlakuan A – C berbeda nyata, sedangkan perlakuan A – B dan B – C tidak berbeda nyata, sehingga pengaruh perlakuan C merupakan perlakuan yang terbaik, kemudian disusul perlakuan B dan terakhir perlakuan A. Untuk lebih jelasnya pertumbuhan panjang dari masing-masing perlakuan dapat dilihat melalui grafik pertumbuhan panjang ikan mas koki pada Gambar 7.
Pertumbuhan (Cm)
3,50
PERTUMBUHAN PANJANG MUTLAK
3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 A
B Perlakuan
C
Gambar 7. Histogram Pertumbuhan Panjang (Cm) Ikan Mas Koki 3.1.2. Tingkat Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup ikan mas koki uji pada penelitian ini nilai terbesar diperoleh pada perlakuan B (97,5%), kemudian disusul oleh perlakuan C (95,00%) dan disusul dengan perlakuan A (90%). Analisis data pengamatan kelangsungan hidup ikan mas koki tersaji pada Tabel 8. Tabel 8 . Kelangsungan Hidup (%) Ikan Mas Koki Perlakuan 1 2 3 4 Jumlah Rata-rata SD
A
B
C
90,00 100,00 90,00 80,00 360,00 90,00
100,00 90,00 100,00 100,00 390,00 97,50
90,00 90,00 100,00 100,00 380,00 95,00
8,16
5,00
5,77
94,17
Berdasarkan uji kenormalan pada data kelangsungan hidup ikan uji diperoleh nilai L maksimal= 0,2324 < L Tabel (0,05;12)=0,2420, hal ini menunjukan bahwa kelangsungan hidup selama penelitian mempunyai sebaran normal, homogen dan
115
additif. Berdasarkan Analisa Ragam didapatkan nilai F hitung (1,4000)< F Tabel 0,05 (2;9) = 4,07. Hal ini menunjukan perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup ikan mas koki. 3.1.3. Konversi Pakan Hasil perhitungan terhadap konversi pakan selama penelitian memperlihatkan bahwa nilai terendah diperoleh pada perlakuan C (0,72) kemudian diikuti perlakuan A (0,85) dan tertinggi perlakuan B (0,86). Hal ini menunjukan bahwa perlakuan C (pemberian pakan campuran antar keduanya), memiliki konversi pakan yang paling baik. Untuk lebih jelasnya analisis data pengamatan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 . Konversi Pakan Ikan Mas Koki Perlakuan A B C 1 0,84 0,86 0,72 2 0,97 0,83 0,70 3 0,81 0,90 0,68 4 0,77 0,84 0,78 c Rata-rata 0,85 0,86 0,72b 0,81 SD 0,09 0,03 0,04 Keterangan : Angka dengan huruf kecil yang berbeda menunjukan perbedaan nyata (P<0,05) menurut Uji Wilayah Ganda Duncan Berdasarkan Uji kenormalan pada data konversi pakan ikan uji diperoleh nilai L maksimal =0,1100 < L Tabel (0,05;12)= 0,2420, ini menunjukan bahwa konversi pakan berdistribusi normal, homogen dan additif. Berdasarkan Analisa Ragam didapatkan nilai F hitung (6,8360) > F Tabel 0,05 (2;9) = 4,07, menunjukan adanya perbedaan nyata antar perlakuan. Berdasarkan Uji Wilayah Ganda Duncan tersebut diperoleh kejelasan bahwa perlakuan B – C berbeda nyata, sedangkan perlakuan A - B dan A – C tidak berbeda nyata, sehingga perlakuan C merupakan perlakuan yang terbaik selama penelitian karena mempunyai konversi pakan yang paling kecil. 3.1.4. Kualitas Air Kisaran parameter kualitas air selama penelitian tersaji dalam Tabel 10. Tabel 10. Kisaran Parameter Kualitas Air Media Selama Penelitian No.
Parameter Yang diukur
1 2 3 4 5 6
Oksigen Terlarut Suhu pH CO2 Nitrat Nitrit
Satuan Ppm o C ppm ppm ppm
Kisaran hasil Pengukuran 5-7 25 7 4,5- 6 0,1 -0,3 0,1
Batas toleransi Minimal 5 ppm 25 7,2 – 7,5 12 ppm 0,5 ppm 0,5 ppm
Sumber : Vivien (2000)
116
3.2.
Pembahasan
3.2.1. Pertumbuhan Dari hasil penelitian pertumbuhan individu mutlak, laju pertumbuhan harian, pertumbuhan relatif memperlihatkan bahwa perlakuan B ( pakan Tubifek kering) memperoleh hasil pertumbuhan paling rendah. Diduga hal ini disebabkan kandungan lemaknya yang tinggi (12,01 %), tersaji dalam Tabel 11. Tabel 11. Kandungan nutrisi pakan yang diujikan Kandungan Gizi Bahan Pakan (%) Pakan Buatan Takari Tubifek Kering Protein 28,34 Lemak 4,14 Karbohidrat 49,39 Serat Kasar 3,14 Abu 7,82 Air 7,17 Sumber : Hasil uji Laboratorium Yogyakarta, 2009
Campuran Keduanya 36,83 33,22 12,01 7,36 37,60 42,30 2,31 2,86 5,84 7,04 5,41 7,22 Uji Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian UGM
Hal tersebut didukung oleh pernyataan Huissman et al . (2001) bahwa kadar lemak yang tinggi dalam pakan dapat menyebabkan penimbunan lemak dan menghambat atau menurunkan pertumbuhan. Oleh karena itu penggunaan lemak dalam pakan perlu dibatasi sesuai dengan kemampuan ikan tersebut. Matsui (2002) menyatakan kadar lemak pada ikan mas koki minimal 4 % dan maksimal 10%, karena kadar lemak lebih dari 10 % menyebabkan pembengkakan hati pada ikan mas koki sehingga mengganggu proses metabolisme dan mengakibatkan pertumbuhan menjadi lambat. Hasil analisis menunjukkan kandungan lemak pada tubifek kering mencapai 12,01%. Diduga hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya pertumbuhan yang rendah . Lemak merupakan sumber energi yang berperan dalam pertumbuhan, namun jika konsumsi energi berlebihan akan menyebabkan menurunnya jumlah zat makanan yang dapat dikonsumsi sehingga pertumbuhan terhambat. Khairuman dan Amri (2002) menyatakan bahwa konsumsi energi yang terlalu tinggi ( kandungan lemak tinggi) akan menyebabkan ikan cepat merasa kenyang, yang kemudian akan menghentikan makannya. Energi yang berlebih ini kemudian akan disimpan dalam bentuk lemak, dan jika keadaan ini berlanjut terus menerus maka jumlah protein yang dikonsumsi oleh ikan relatif akan lebih sedikit dan proses pertumbuhan terganggu. Hasil dari perlakuan C pertumbuhan individu , laju pertumbuhan harian dan pertumbuhan relatif ikan mas koki menunjukan pertumbuhan paling tinggi. Hal ini disebabkan karena kandungan protein dalam pakan (campuran pakan buatan Takari dan tubifek kering) cukup tinggi (33,22 %), kandungan lemaknya 7,36% dan karbohidratnya 42,30 %. Keadaan ini diduga mampu memberikan nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan ikan mas koki sehingga dapat mencapai pertumbuhan yang optimal. Hal ini sesuai dengan pendapat Mudjiman (2001) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan adalah pakan yang diberikan. Pertumbuhan ikan paling baik jika pakan yang diberikan berupa campuran dari pakan alami dan pakan buatan , karena campuran kedua pakan ini akan dapat melengkapi nutrisi yang dibutuhkan ikan.
117
Pada perlakuan A (pakan buatan Takari) diperoleh pertumbuhan yang lebih baik dari perlakuan B (Tubifek kering), tetapi pertumbuhannya kurang optimal, dibandingkan dari perlakuan C (campuran antara pakan buatan Takari dan Tubifek kering), dikarenakan kandungan lemaknya yang rendah, dan jika dibandingkan perlakuan B dan C kandungan protein perlakuan A paling rendah yaitu sebesar 28,34%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutisna dan Sutarmanto (1995), Bahwa keseimbangan antara energi dan kadar protein sangat penting dalam Laju Pertumbuhan, karena jika kebutuhan akan energi kurang maka protein akan digunakan sebagai sumber energi. Penggunaan sebagian protein sebagai sumber energi menyebabkan pertumbuhan ikan menjadi terhambat, karena protein sangat berperan dalam pembentukan sel baru. Karena itu pemberian pakan yang tepat dan seimbang sesuai dengan nilai kalori /energi pakan yang memenuhi syarat bagi pertumbuhan akan dapat meningkatkan retensi protein ( pemanfaatan protein). Meskipun demikian tidak hanya protein dan lemak saja yang berperan dalam pertumbuhan ikan, karbohidratpun turut perperan dalam pertumbuhan ikan ini, karena karbohidrat yang diserap oleh jaringan tubuh terutama dalam bentuk glukosa berfungsi dalam metabolisme yaitu sebagai cadangan energi yang ditimbun dalam bentuk glikogen (Departemen Pertanian,1995). Berdasarkan pengamatan dan perhitungan bobot biomassa ikan mas koki ternyata biomassa pada perlakuan A (pakan buatan Takari) memperlihatkan pertumbuhan yang paling rendah. Diduga ini disebabkan tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan A paling rendah (90%), sedangkan pada perlakuan B bobot biomassa lebih baik dari perlakuan A diduga hal ini disebabkan karena kandungan protein yang paling tinggi (36,83%) tetapi karena kandungan lemaknya terlampau tinggi (12,01)sehingga menyebabkan pertumbuhan menjadi terhambat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suhendra et al (2003), bahwa kandungan nurisi pada pakan ikan mempunyai sparing effect pada pemanfaatan protein. Pakan dengan kadar protein tinggi tetapi energi yang berasal dari non protein (lemak dan karbohidrat) tidak seimbang, akan menyebabkan konversi protein relatif mahal menjadi energi. Kelebihan dan kekurangan nutrisi dalam pakan ikan akan memberikan dampak negatif pada ikan. O-Fish (2005) menyatakan kelebihan protein pada makanan ikan akan digunakan sebagai sumber energi dan akan lebih dikataboliskan dibandingkan dengan karbohidrat dan lemak, sedangkan jika kelebihan protein tidak proposional pada akhirnya akan diekskresikan dalam bentuk amonia. Energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sebagian terserap untuk perombakan protein menjadi amoniak. Sedangkan pada perlakuan C didapatkan hasil pertumbuhan bobot biomassa tertinggi, hal ini disebabkan karena kandungan nutrisi yang dibutuhkan ikan uji mampu dipenuhi oleh pakan dari perlakuan C (campuran tubifek dan pakan buatan Takari). Dari hasil analisa diperoleh nilai serat kasar pada perlakuan B (Tubifek kering), paling rendah yaitu 2,31 %.Diduga hal ini menyebabkan pertumbuhan individu mutlak, laju pertumbuhan harian, pertumbuhan relatif ikan lebih rendah dari perlakuan A (pakan buatan Takari) dan perlakuan C (campuran pakan buatan Takari dan Tubifek kering). Hal ini didukung oleh pernyataan Anggorodi(1998), selulosa dalam pakan berperan dalam mencegah menggumpalnya makanan dalam lambung dengan cara memberi pengaruh pencahar dan mempertahankan tonus otot yang wajar dalam saluran pencernaannya, dengan kata lain serat kasar membantu proses ekskresi ikan. Sehingga diduga kandungan serat kasar dari perlakuan A (pakan buatan Takari) dan perlakuan C yang lebih tinggi dari perlakuan B menyebabkan proses ekskresi ikan lebih baik, sehingga memberi pengaruh lebih baik bagi pertumbuhan ikan. Namun demikian dari hasil penelitian ini ternyata menunjukkan warna tubuh ikan dari perlakuan B (Tubifek kering) lebih cerah dari ikan yang diberi perlakuan A dan C. Hal ini diduga karena perlakuan B (Tubifek kering) yang merupakan pakan alami mengandung Beta karoten yang membuat
118
warna tubuh ikan muncul lebih cerah. untuk mendukung dugaan ini.
Untuk itu perlu kiranya penelitian lebih lanjut
3.2.2. Tingkat Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup ikan uji selama penelitian berlangsung berkisar antara 90 % - 97,5%. Hal ini menunjukan bahwa pemberian pakan yang berbeda tidak berpengaruh nyata pada kelangsungan hidup ikan uji. Disamping itu dari hasil pengamatan terhadap kondisi air media pemeliharaan menunjukan bahwa kisarannya masih dalam batas yang layak bagi kehidupan ikan mas koki uji. Hal ini menunjukan bahwa perlakuan A, B dan C tidak mempengaruhi kualitas air media pemeliharaan, disamping dilakukannya penyiponan sisa pakan yang ada. 3.2.3. Konversi Pakan FCR adalah perbandingan antara jumlah pakan antara yang diberikan dengan tingkat pertumbuhan yang diperoleh. Semakin kecil nilai konversi pakan, semakin efisien penggunaan pakannya, karena untuk menghasilkan satu satuan berat ikan dibutuhkan lebih sedikit pakan (Djayasewaka, 1998). Konversi pakan paling baik terjadi pada perlakuan C yaitu sebesar 0,72. Hal ini berarti untuk mendapatkan daging ikan seberat 1 gram dibutuhkan pakan sebanyak 0,72 gram. Untuk perlakuan A konversi pakannya 0,85, artinya untuk mendapatkan daging ikan sebesar 1 gram dibutuhkan pakan sebanyak 0,85 gram. Dan perlakuan B konversi pakannya 0,86 artinya untuk mendapatkan daging ikan sebesar 1 gram dibutuhkan pakan sebesar 0,86 gram. Dari angka-angka tersebut terlihat bahwa penggunaan pakan yang paling efisien adalah perlakuan C, karena dengan pakan 0,72 gram sudah menghasilkan 1 gram daging ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan New (1999), konversi pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain mutu pakan terutama kandungan protein serta asam amino esensialnya. 3.2.4. Kualitas Air Dari tabel 10 dapat dilihat bahwa kisaran suhu air media selama penelitian adalah 25 derajat Celcius. Suhu air media erat kaitannya dengan metabolisme dalam tubuh ikan (Alabaster dan Lioyd, 1998). Makin tinggi suhu air media makin cepat metabolisme dalam tubuh ikan yang dibudidaya di dalamnya. Menurut Vivien (2000) suhu yang baik untuk ikan mas koki berkisar antara 21 – 25 derajat Celcius. Berdasarkan pendapat tersebut maka kisaran suhu air media selama penelitian ini masih dalam batas layak bagi pertumbuhan ikan mas koki. Dalam Tabel 10 juga terlihat bahwa derajat keasaman (pH) air media adalah 7. Derajat keasaman (pH) merupakan faktor abiotik yang memegang peran penting dalam kehidupan ikan. Jika pH air meningkat sampai angka 9,0 pertumbuhan ikan mulai terhambat. Menurut Vivien (2000) ikan mas koki dapat hidup dengan baik pada kisaran pH 7,2 – 7,5. Dengan demikian kisaran pH air media pemeliharaan selama penelitian masih layak untuk pertumbuhan ikan mas koki. Berdasarkan analisa kualitas air dengan titrasi kandungan oksigen selama penelitian antara 5 – 7 ppm. Oksigen sangat diperlukan untuk proses metabolisme dalam tubuh ikan guna menghasilkan energi atau tenaga yang diperlukan untuk semua aktifitas ikan. Menurut Vivien et al. (2000), kandungan oksigen terlarut untuk pertumbuhan ikan mas koki minimal 5 ppm. Jika kandungan oksigen terlarut dalam air media kurang dari 3 ppm akan mengakibatkan kurangnya oksigen dalam darah ikan yang berakibat terjadinya nekrosis yaitu kekejangan otot jantung ikan sehingga dapat menyebabkan kematian pada ikan tersebut. Jika kandungan oksigen terlalu tinggi akan menyebabkan emboli gas pada daun insang yang berakibat kematian pada ikan. Dengan
119
demikian kandungan oksigen terlarut pada media uji selama penelitian masih dalam batas yang layak untuk pertumbuhan ikan mas koki. Kandungan karbondioksida bebas selama penelitian berkisar antara 4,5 – 6 ppm. Alabaster dan Llyod (1998) menyatakan bahwa kandungan karbondioksida bebas merupakan faktor kendala dalam budidaya ikan karena dalam jumlah tertentu merupakan racun bagi ikan. Disamping itu kandungan CO2 bebas yang terlalu tinggi akan mengurangi atau menurunkan jumlah oksigen terlarut dalam air media. Vivien et al (2000), menyatakan bahwa sebaiknya kandungan CO2 dalam air tidak lebih dari 12. Dengan demikian kualitas air media penelitian masih layak untuk budidaya ikan mas koki . 4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian pemberian pakan buatan, tubifek kering dan campuran keduanya terhadap pertumbuhan ikan mas koki , maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1) Pemberian pakan buatan, Tubifek kering dan campuran keduanya berpengaruh sangat nyata pada pertumbuhan bobot individu mutlak, laju pertumbuhan harian dan pertumbuhan relatif ikan mas koki. 2) Pemberian pakan buatan, tubifek kering dan campuran keduanya berpengaruh nyata pada pertumbuhan bobot biomassa mutlak ikan mas koki. 3) Pakan C memberikan pertumbuhan individu mutlak,laju pertumbuhan harian, pertumbuhan relatif dan pertumbuhan bobot biomassa paling baik. 4) Dari tiga jenis pakan yang diuji cobakan, pakan C memberikan nilai konversi pakan paling baik. 5) Dari tiga jenis pakan yang diuji cobakan, pakan C memperlihatkan warna tubuh lebih cerah. 4.2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan bahwa :
1) Sebelum menggunakan pakan untuk ikan yang dipelihara sebaiknya pakan tersebut 2) 3) 4)
dianalisis terlebih dahulu untuk mengetahui kandungan nutrisinya. Untuk pakan ikan mas koki yang terbaik adalah pemberian pakan campuran antara pakan buatan dan tubifek kering dengan perbandingan 1 : 1, sehingga diperoleh pertumbuhan yang optimal. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perbandingan komposisi pakan buatan dengan tubifek. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan Beta karoten yang ada dalam Tubifek kering.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Sdr. Sri Widianingsih, S.Pi. (Guru SMT/SMK Pertanian Slawi) atas partisipasi aktif, sumbang-saran ide, penyediaan fasilitas penelitian, pengambilan data dan bantuan penulisannya dalam penelitian ini.
120
DAFTAR PUSTAKA Anggorodi, H.R. 1998. Ilmu Makanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. Alabaster, J.S. dan R. Lloyd. 1998. Water Quality Criteria of Freshwater Fish Butter Worth, London. Budhiman, A. 2000. Maskoki. Penebar Swadaya, Jakarta. Djajadiredja, R dan Jangkaru, Z. 1992. Metode Baru Pemeliharaan Ikan dengan Pemberian Makanan. Lembaga Penelitian Perikanan Darat Bogor. Djajasewaka, H. 1998. Pakan Ikan. CV. Yasaguna, Jakarta. Departemen Pertanian, 1995. Pakan Ikan. Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan Pertanian Bogor. Effendi, H. 2000. Memelihara Maskoki. Kanisius, Jakarta. Halver, J.E. 1998. Fish Nutrition. Academis Press, New York. http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=14&aid=522 http://www.klik-galamedia.com/20070919/kolomlengkap.php?kolom kode=20070919020430 http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg=3&doc=3a4 Huet, M. 1998. Tex Book of Fish Culture, Breeding and Cultivation office, Fishing News (Books) Ltd. London. Huismen, E.A. dan C.J.J. Richer.2001. Reproduction Growth, Health Control and Aquacultural Potential. Hagenizngen, The Netherlands. Khairuman dan K. Amri. 2002. Membuat Pakan Ikan Konsumsi. Agromedia Pustaka, Jakarta. Liviawaty, E dan Afrianto, E. 1999. Maskoki Budidaya dan Pembesarannya. Kanisius, Jakarta. Matsui, Y. 2002. Goldfish Guide. Hoikusha Publishing Co, Ltd. Osaka, Japan. Mujiman, A. 2001. Makanan Ikan. Penebar Swadaya, Jakarta. Nasoetion, A.H. dan Barizi. 2000. Metode Statistik untuk Penarikan Kesimpulan. PT Gramedia, Jakarta. New. 1999. Feed and Feeding of Fish and Shrimp. UNDP, FAO, Rome. Ornamental-Fish Information Service Highlights (O-Fish). 2005. Kebutuhan Nutrisi Ikan. http://o-fish.com/
121
Srigandono, B. 2000. Rancangan Percobaan. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang. Sudjana, 1998. Metode Statistik. Ed. VI. Tarsito, Bandung. Suhenda, N., L. Setijaningsih dan Y. Suryanti. 2003. Penentuan Rasio antara Karbohidrat dan Lemak pada Pakan Benih Ikan Patin Jambal (Pangasius djambal). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 9 Nomor 1. Departemen. Suprayitno, Sri Hartati, Kultur Makanan Alami. Direktorat Jendral Perikanan dan International Development Research Centre. Sutisna, DH dan R. Sutarmanto. 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanisius. Yogyakarta. Vivien, W.J.A.R, C.J.J. Richter, P.G. J. Van Dordt, J.A.L. Jansen and E.A. Huisman. 2000. Practical Manual for The Culture of Fish. UNIV. Hageningen, UNIV. Utrecht, and FAO, Bangut. Aftica.
122
PENERAPAN IPTEKS PADA KELOMPOK USAHA BUDIDAYA IKAN BANDENG (Chanos chanos Forskal) DAN RUMPUT LAUT (Gracyllaria Sp) DI KELURAHAN MUARAREJA, KEC. TEGAL BARAT, KOTA TEGAL Oleh : Suyono1, Thimotius Jasman2, Diana Rachmawati3, dan Istiyanto Samidjan3 ABSTRAK Permasalahan yang ditemukan di lokasi kegiatan adalah kondisi produk perikanan yang semakin menurun dan diperparah dengan mortalitas yang tinggi sebesar 60%. Dari segi manajemen usaha, bisnis dan budidaya ikan bandeng yang dilakukan masih bersifat monokultur-tradisional, begitu juga budidaya rumput laut dan udang Vanname juga masih konvensional dengan kepadatan penebaran yang relatif rendah, yakni rumput laut 50 kg/1000 m2, dan udang Vanname 500 ekor/1000 m2. Setelah diadakannya program Iptek bagi masyarakat, dapat dilakukan pola budidaya dengan sistem polikultur antara ikan bandeng, udang vanname dan rumput laut, dan produksinya dapat ditingkatkan 200 s/d 300 % sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani atau masyarakat petambak. Tujuan kegiatan adalah untuk peningkatan kualitas dan produksi ikan bandeng, udang vanname dan rumput laut, sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petambak. Metode yang digunakan adalah dengan pembuatan demplot perbaikan teknologi yang meliputi manipulasi pakan, manajemen kualitas air, manajemen kesehatan ikan, manajemen pemeliharaan/pembesaran polikultur ikan bandeng, udang vanname dan rumput laut. perbaikan desain dan kontruksi tambak dengan memperbaiki petakan, saluran, petak kultur pakan alami Chlorella sp, klekap, dan petak pembesaran. Agar mencapai hasil yang optimal dan khalayak sasaran dapat meniru, maka dilakukan pula penyuluhan dan observasi kepada usaha budidaya dari khalayak sasaran. Hasil yang diperoleh dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petambak. Sebelum ada program ipteks bagi masyarakat produksi ikan bandeng sebesar 8500 ekor/tambak dengan ukuran size 200-250 gr/ekor (4-5 ekor per kg) atau 25.500 ekor/3 tambak/1hektar dengan harga per kg-nya Rp.10.000,- dan nilai keseluruhannya Rp. 8,500.000,-. Selanjutnya setelah diadakannya program ipteks bagi masyarakat dengan menggunakan luas tambak 1000 m2 dan dengan biaya produksi (modal investasi dan modal kerja) Rp. 4.016.000,- , atau per hektarnya Rp.40.160.000,- produksi dapat ditingkatkan dengan panen 316,67 kg/1000 m2 atau 3166,7 kg per hektar. Harga jual per kg ikan bandeng Rp. 8.500,- senilai Rp. 2,691,695,-/1000 m2 atau Rp. 26,916,950,- per hektar; Produksi udang Vanname 400 kg /1000 m2 atau per hektarnya 4000 kg dengan harga Rp. 35.000,-/kg senilai Rp. 14.000.000,-/1000 m2 atau per hektarnya Rp. 140.000.000,-. Produksi rumput laut 300 kg/1000 m2, atau 3000 kg per hektar dengan harga per kg-nya Rp. 3.000,- senilai Rp. 900.000,- atau per hektarnya Rp. 9.000.000,-. Dengan demikian diperoleh keuntungan (arus kas bersih) per 1000 m2-nya Rp. 13.575.695,- atau Rp 135.756.950,- per hektar. Kata Kunci : Ikan bandeng, udang vanname, rumput laut (Gracillaria sp)., polikultur.
1
Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Pancasakti Tegal Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan UPS Tegal 3 Jurusan Perikanan FPIK UNDIP 2
123
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Analisis Situasi
Ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) dan rumput laut (Gracylaria sp) merupakan produk perikanan yang paling populer saat ini di masyarakat karena memiliki beberapa keunggulan ditinjau dari aspek biologi, nilai gizi, teknologi budidaya, serta nilai ekonomi dan sosial budaya. Ikan bandeng dan rumput laut (Gracylaria sp) memiliki nilai gizi tinggi dan baik untuk kesehatan karena tergolong makanan dengan kandungan lemak yang relatif rendah dan mineral yang relatif tinggi. Dalam setiap 4-5 gram daging ikan bandeng, kandungan lemak-nya hanya dua gram, jauh lebih rendah dibandingkan dengan daging sapi (14 gram), apalagi daging ayam (25 gram). Ikan bandeng dan rumput laut (Gracylaria sp) memiliki beberapa keunggulan, diantaranya memiliki pertumbuhan yang relatif cepat dimana dalam 2-3 bulan dapat mencapai bobot sekitar 200 s/d 250 gram dan tahan terhadap serangan bakteri dan parasit. Keunggulan yang lain adalah jenis ikan bandeng dan rumput laut (Gracylaria sp) ini, bisa dibudidayakan di tambak dimana rumput laut mampu menyerap bahan organik sehingga dapat memperbaiki kualitas air sebagai media hidup ikan bandeng. Dalam lingkungan budidaya, ikan bandeng dan rumput laut (Gracylaria sp) dapat cepat beradaptasi, dapat menerima beragam jenis makanan mulai dari makanan alami sampai pakan buatan, tahan terhadap buangan bahan organik, memiliki pertumbuhan yang cepat, mudah berkembang biak, dan relatif tahan terhadap serangan penyakit. Ikan ini dibudidayakan secara meluas, terutama di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur sebagai produsen utamanya di Indonesia. Ikan bandeng dan rumput laut (Gracylaria sp) relatif mudah diangkut dalam keadaan hidup sampai ke konsumen. Propinsi Jawa Tengah sangat potensiaal untuk pengembangan produk bandeng dan rumput laut karena mempunyai sumber air tawar dan air laut yang baik, lahan tambak,tambak bero dan lahan yang belum diolah untuk budidaya ikan bandeng dan rumput laut (Gracylaria sp masih terbuka luas. Hal ini sesuai dengan informasi data dasar Jawa Tengah dalam Angka (2004) pada Sub Sektor Perikanan yang meliputi kegiatan Usaha Perikanan Laut dan Perikanan Darat. Produksi perikanan masih didominasi oleh Perikanan Laut sebesar 236,24 ribu ton (sekitar 74 persen dari total produksi Perikanan) dengan nilai 0,77 triliun rupiah. Pada tahun 2003, produksi usaha perikanan budidaya dan perikanan di perairan umum tercatat mencapai masing-masing sebesar 88,75 ribu ton dan 14,33 ribu ton dengan nilai produksi mencapai 0,88 triliun dan 91,90 milyar rupiah. 1.2.
Perumusan Masalah
Permasalahan utama dan spesifik yang ditemukan pada mitra adalah produksi ikan bandeng dan rumput laut (Gracylaria sp) dengan mortalitas yang tinggi sekitar 95% karena penguasaan teknologi pembesaran bandeng dan rumput laut (Gracyllaria Sp) yang belum memadai, meliputi : cara pemeliharaan benih dari stadia D30 (umur 30 hari) sampai ukuran konsumsi D120 ( umur 120 hari atau mencapai ukuran konsumsi) dan budidaya rumput laut yang efektif sampai panen setelah rumput laut tumbuh banyak tunas dan telah berubah warna menjadi hijau kecoklatan (dewasa). Kesepakatan yang dicapai dengan pemilik tambak adalah upaya peningkatan produktivitas baik kualitas maupun kualitas ikan bandeng dan rumput laut (Gracylaria sp) serta ditambahkan juga udang vanname melalui kaji terap teknologi budidaya ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp) dan udang vanname secara polikultur dengan memanfaatkan tambak menggunakan sumber air laut setelah melalui pengelolaan
124
kualitas air berbasis sistem biofilter, pemberian manipulasi pakan lokal berkadar protein memadai serta penanganan pascapanen dan pemasaran. 1.3.
Tujuan Tujuan dari dari program ini adalah:
1) Meningkatkan produktivitas baik kuantitas maupun kualitas ikan bandeng, rumput
2)
3)
4)
1.4.
laut (Gracylaria sp) dan udang vanname skala rumah tangga mitra sesuai dengan kebutuhan Kelompok Petambak Karya Tani, Kelurahan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, termasuk teknologi pasca panen dan pemasarannya. Mensosialisasikan teknologi polikultur ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp) dan udang vanname melalui program ipteks bagi masyarakat, sehingga masyarakat sekitar dapat meniru dan menerapkannya serta dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petambak yang pada akhirnya diharapkan dapat ikut berperan mengentaskan kemiskinan yang ada. Meningkatkan perhatian akademisi terhadap kelompok masyarakat usaha budidaya bandeng dan rumput laut di Kelurahan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal sehingga diharapkan terjadi sinergisme bagi perguruan tinggi Universitas Pancasakti Tegal dengan Universitas Diponegoro Semarang dan dapat menerapkan teknologi budidaya bandeng dan rumput laut (Gracyllaria Sp) yang baik di masyarakat, serta dapat dijadikan sebagai bahan ajar kuliah yang up todate. Menjadi bahan publikasi artikel ilmiah yang berkualitas melalui jurnal terakreditasi nasional, sebagai sumbang saran buah pemikiran dan pengembangan keilmuan budidaya polikultur ikan bandeng, rumput laut (Gracyllaria Sp), dan udang vanname. Manfaat
Manfaat dari kegiatan ini adalah khalayak sasaran (petani tambak, kader terpilih dan UMKM) dapat menerapkan teknologi pembesaran polikultur ikan bandeng, rumput laut (Gracyllaria Sp) dan udang vanname di tambak dalam upaya peningkatan produktivitas sehingga pendapatannya dapat meningkat. Selanjutnya diharapkan ditiru dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat Kota Tegal maupun Propinsi Jawa Tengah pada umumnya sebagai salah satu acuan membantu mengentaskan kemiskinan. Adapun manfaat secara khusus meliputi: 1) Manfaat Potensi Ekonomi Produk Produksi pembesaran ikan bandeng dan rumput laut (Gracylaria sp) skala rumah tangga milik Bapak Kastari sebagai Ketua Kelompok Petambak Karya Tani pada awalnya belum begitu baik namun memilki potensi yang besar untuk diperbaiki dan dikembangkan. Ikan bandeng merupakan salah satu komoditas perikanan unggulan Kota Tegal dan sekitarnya dengan harga yang relatif mahal yakni Rp.9.000,- s/d Rp.10.000,-/kg untuk size 4 - 5 (4 - 5 ekor/kg). Permintaannya saat ini sekitar 20 ton per bulan tetapi belum terpenuhi, sehingga mempunyai peluang besar untuk dikembangkan. Sebelum ada program ipteks bagi masyarakat produksi ikan bandeng sebesar 8500 ekor/tambak dengan ukuran size 200-250 gr/ekor (4-5 ekor per kg) atau 25.500 ekor/ tambak/1hektar dengan harga per kg-nya Rp.10.000,- dan nilai keseluruhannya Rp. 8,500.000,-. Selanjutnya setelah diadakannya program ipteks bagi masyarakat dengan menggunakan luas tambak 1000 m2 dan dengan biaya produksi (modal investasi dan modal kerja) Rp. 4.016.000,- , atau per hektarnya Rp.40.160.000,- produksi dapat ditingkatkan dengan panen 316,67 kg/1000 m2 atau 3166,7 kg per hektar. Harga jual per kg ikan bandeng Rp. 8.500,- senilai Rp. 2,691,695,-/1000 m2 atau Rp. 26,916,950,- per hektar; Produksi udang Vanname
125
400 kg /1000 m2 atau per hektarnya 4000 kg dengan harga Rp. 35.000,-/kg senilai Rp. 14.000.000,-/1000 m2 atau per hektarnya Rp. 140.000.000,-. Produksi rumput laut 300 kg/1000 m2, atau 3000 kg per hektar dengan harga per kg-nya Rp. 3.000,senilai Rp. 900.000,- atau per hektarnya Rp. 9.000.000,-. Dengan demikian diperoleh keuntungan (arus kas bersih) per 1000 m2-nya Rp. 13.575.695,- atau Rp 135.756.950,- per hektar. 2)
1.5.
Manfaat Nilai Tambah Produk dari Sisi Ipteks Nilai tambah produk dari sisi ipteks budidaya ikan bandeng dan rumput laut diperoleh dari perubahan budidaya ikan bandeng secara monokultur menjadi polikultur ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp) dan udang vanname sehingga produktivitas pemanfaatan lahan dapat meningkat. Kegiatan budidaya tersebut dapat dilakukan di bak pembesaran dan penampungan ukuran 5000 m2 atau di tambak tanah yang dindingnya dilapisi bambu dengan masa pemeliharaan 4 bulan, memanfaatkan makanan alami klekap dan roti yang sudah tidak layak dimakan. Ukuran konsumsi yang banyak diminati konsumen adalah ukuran size 4-5 (4-5 ekor/kg). Dari sisi iptek, usaha pembesaran bandeng, rumput laut (Gracylaria sp) dan udang vanname ini mudah dilakukan karena bahan bakunya untuk pembuatan prototipe mudah didapatkan dan sistem dan teknologinya relatif sederhana. Tempat dan Waktu Kegiatan
Kegiatan ini dilaksanakan di wilayah Kelurahan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal pada bulan Mei sampai dengan Nopember 2010.
2.
MATERI DAN METODE
2.1.
Kerangka Pemecahan Masalah
Berdasarkan hasil identifikasi mitra ditemukan beberapa masalah yang terkait dengan aspek teknis, ekonomi dan sosial seperti produksi ikan bandeng relatif masih rendah dengan ukuran produk dibawah standar konsumsi (± 200-300 gram/ekor), penerapan ipteks masih konvensional, pakan yang digunakan masih mahal (Rp.8000- s/d Rp.10.000,-) sehingga sering merugi, kualitas air media kurang layak teknis, konstruksi petak tambak belum ideal (sudut petakan menimbulkan titik mati), terjadi kematian sampai 90 %, ketersediaan benih masih didatangkan dari luar kota (Jepara, Situbondo), manajemen usaha dan pembukuan bersifat kekeluargaan, pasar produk lokal, harga ditentukan pedagang kecil/konsumen, dan belum mampu menyerap tenaga kerja secara signifikan.Permasalahan-permasalahan tersebut diatasi melalui penerapan program Ipteks yang meliputi perbaikan sistem teknologi budidaya dengan pola polikultur ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname, serta pembenahan manajemen usaha, pasca panen dan pemasaran hasil untuk menghasilkan nilai tambah teknis produksi, ekonomi dan sosialnya. 2.2.
Metode yang Digunakan
2.2.1. Bahan dan peralatan yang digunakan dalam produksi Bahan yang digunakan terdiri dari benih ikan bandeng (nener), rumput laut (Gracyllaria Sp) dan benih udang vanname, pakan alami klekap, Brachionus plicatilis Muller, Skeletonema costatum, Chlorella sp , pakan tambahan, pelet, pupuk kandang, saponin, kaporit, paket teknologi polikultur ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp)
126
dan udang vanname, serta pengemasan produk (pascapanen). Peralatan yang digunakan dalam produksi meliputi: tambak, pompa air, genset, gudang pakan dan rumah gubuk untuk stok pakan (pelet), timbangan elektrik, rakit bambu, waring, peralatan identifikasi parasit ikan (mikroskop, cawan petri, tabung reaksi, sntrifuge dan lainnya). 2.2.2. Metode Pelaksanaan Kegiatan Metode yang digunakan pada program kaji terap ini adalah penyuluhan (ceramah) dan demonstrasi plot (demplot) teknologi pemeliharaan yang dilengkapi dengan teknologi budidaya (penggelondongan dan pembesaran) ikan bandeng dan rumput laut (Gracylaria sp) secara intensif menggunakan sistem biofiltrasi. Ceramah dilakukan dirumah Bapak Kastari sebagai ketua kelompok. program kaji terap ini diikuti oleh semua petani bandeng dan rumput laut, anggota kelompok, karyawan, keluarga pemelihara ikan bandeng dan rumput laut (Gracylaria sp), dan kader terpilih (tokoh masyarakat, pemuda lulusan SLTP, SLTA, serta tenaga yang terkena PHK). Pengumpulan data dilakukan dengan teknik survei lapangan dan interview mendalam untuk data primer sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi/pihak-pihak terkait. 2.3.
Keterkaitan
Kegiatan kaji terap teknologi polikultur pembesaran ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname yang pada awalnya ditjukan bagi anggota Kelompok Karya Tani, selanjutnya akan terkait juga dengan petambak lain yang tidak menjadi anggota kelompok, kader terpilih, para pemuda yang mengalami PHK, dan pelaku usaha lain yang terkait dengan kegiatan budidaya perikanan air payau/laut. Keterkaitan yang lain adalah pola hubungan kerja antar anggota Kelompok Tambak Karya Tani Muarareja dengan UMKM (Usaha Mikro - Kecil dan Menengah) dan intansi pendamping (Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan) serta Perguruan Tinggi. Selain melibatkan Dosen, pelaksanaan kegiatan program ipteks bagi masyarakat ini dibantu oleh 2 orang mahasiswa yang melakukan penelitian dalam menyelesaikan pendidikan S1 dan 1 orang mahasiswa untuk menyelesaikan tugas praktek kerja lapangan. . 2.4. Evaluasi Evaluasi dilakukan terhadap kondisi awal mitra, proses dan hasil produksi serta dampaknya baik dari sisi ekologis, ekonomi maupun sosialnya. Evaluasi terhadap tingkat keberhasilan penerapan teknologi dilakukan terhadap data hasil observasi lapangan maupun hasil pengisian kuisoner terkait dengan keadaan sebelum dan setelah dilakukan kegiatan penerapan Ipteks ini. Hasil evaluasi secara umum terhadap tujuan dari penerapan dan pemasyarakatan teknologi polikultur ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp) dan udang vanname mengikuti acuan sangat baik (nilai90 - 100), baik (70 - 89), cukup baik (60 - 69) dan kurang (<59).
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Sumberdaya Manusia
Pada awal tahun 2007 masih cukup banyak masyarakat di Kelurahan Muarareja yang terkategorikan miskin karena sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan yang pada bulan Nopember s/d Pebruari tidak melaut karena gelombang air laut tinggi, sehingga mengalami paceklik dan terjadi pengangguran massal terselubung. Pendapatan rata-rata perbulan masyarakat sekitar Rp.150.000,- per kapita,
127
sehingga dikatakan miskin. Hal ini sesuai dengan laporan Badan Pusat Statistik (2005) bahwa penduduk dikatakan sangat miskin apabila kemampuan untuk memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai 1900 kalori per orang per hari ditambah kebutuhan dasar non-makanan atau setara dengan Rp.120.000,- per orang per bulan. Dijelaskan pula bahwa penduduk dikatakan miskin, apabila kemampuan memenuhi makanan hanya mencapai antara 1900 sampai 2400 kalori per orang per hari ditambah kebutuhan dasar non-makanan atau setara Rp.150.000,- per orang per bulan. Dikatakan pula bahwa penduduk mendekati miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai antara 2400 sampai 2800 kalori ditambah kebutuhan dasar non-makanan atau antara Rp.175.000,- per orang per bulan. Dilaporkan pula oleh BadanPusat Statisti (2005) bahwa apabila diasumsikan suatu rumah tangga memiliki jumlah anggota rumah tangga (household size) rata-rata 4 orang, maka garis kemiskinan rumah tangga adalah : dikatakan sangat miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sebesar 4 x Rp.120.000,- = Rp.480.000,- per rumah tangga per bulan. Sedangkan rumah tangga dikatakan miskin apabila kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya hanya mencapai 4 x Rp.150.000,- = Rp. 600.000,- per rumah tangga per bulan tetapi diatas Rp. 480.000,-. Begitu juga rumah tangga dikatakan mendekati miskin apabila kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya hanya mencapai 4xRp.175.000 = Rp.700.000,- per rumah tangga per bulan, tetapi diatas Rp. 600.000,- . Jumlah unit usaha Kelompok Karya Tani Muarareja yang bergerak dibidang usaha pembesaran ikan bandeng dan rumput laut sekitar 50 unit dengan jumlah tenaga kerja 400 orang. Setiap unit usaha budidaya bandeng dan rumput laut mempunyai tenaga kerja rata-rata 8 orang termasuk unit usaha milik Bapak Kastari sebagai Ketua Kelompok Karya Tani, terdiri dari lulusan SD, SMP, SLTA. Jumlah rata-rata tenaga kerja laki-laki 6 orang dan perempuan 2 orang. Pada umumnya pemilik merangkap sebagai direktur dengan pendidikan SMP - SLTA telah banyak berpengalaman sehingga melalui program kaji terap ini, maka kuantitas dan kualitas usahanya dapat dikembangkan. Sasaran utama adalah anggota kelompok petambak Karya Tani, kemudian dikembangkan ke para pemuda lulusan SLTP/SLTA yang belum bekerja dan karyawan yang terkena PHK. Upaya peningkatan kualitas SDM dilakukan melalui penyuluhan teknologi polikultur pembesaran ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp) dan udang vanname secara teoritis. Selanjutnya pada proses penerapan paket teknologinya, dilakukan pembimbingan dan pendampingan secara intensif sehingga kesinambungan usaha kontinyu dan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan baik pada pengusaha mitra maupun masyarakat setempat yang akhirnya dapat meningatkan pendapatan asli daerah (PAD), serta mampu mengentaskan kemiskinan. Hal tersebut terlihat dari peningkatan pendapatan anggota kelompok dari Rp.200.000,- per bulan menjadi sekitar Rp.1.000.000,- per bulan (naik 500 %). 3.2.
Kondisi Manajemen Mitra
Pola manajemen yang dianut pada kelompok Karya Tani di Kelurahan Muarareja pada umumnya bersifat perorangan, kekeluargaan dalam skala rumah tangga. Hal ini terwakili manajemen unit usaha milik Bapak Kastari yang menjadi ketua kelompok, dimana selain sebagai pemilik, yang bersangkutan sekaligus menjadi direktur, manajer produksi dan manajer pemasaran yang selalu mencari konsumen dalam memasarkan produknya. Isterinya bertindak sebagai sekretaris sekaligus merangkap bendahara, dibantu kedua adik dan tetangganya. Istri Bapak Kastari bertugas memegang administrasi keuangan yang mencatat semua aspek keuangan, baik pendapatan, pengeluaran, keuntungan dan lain sebagainya.
128
3.3.
Produk dan Pemasaran
Sebelum ada program ipteks bagi masyarakat produksi ikan bandeng sebesar 8500 ekor/tambak dengan ukuran size 200 - 250 gr/ekor (4-5 ekor per kg) atau 25.500 ekor/3 tambak/1hektar dengan harga per kg-nya Rp.10.000,- dan nilai keseluruhannya Rp. 8,500.000,-. Selanjutnya setelah diadakannya program ipteks bagi masyarakat dengan menggunakan luas tambak 1000 m2 dan dengan biaya produksi (modal investasi dan modal kerja) Rp. 4.016.000,- , atau per hektarnya Rp.40.160.000,- produksi dapat ditingkatkan dengan panen 316,67 kg/1000 m2 atau 3166,7 kg per hektar. Harga jual per kg ikan bandeng Rp. 8.500,- senilai Rp. 2,691,695,-/1000 m2 atau Rp. 26,916,950,- per hektar; Produksi udang Vanname 400 kg /1000 m2 atau per hektarnya 4000 kg dengan harga Rp. 35.000,-/kg senilai Rp. 14.000.000,-/1000 m2 atau per hektarnya Rp. 140.000.000,-. Produksi rumput laut 300 kg/1000 m2, atau 3000 kg per hektar dengan harga per kg-nya Rp. 3.000,- senilai Rp. 900.000,- atau per hektarnya Rp. 9.000.000,-. Dengan demikian diperoleh keuntungan (arus kas bersih) per 1000 m2-nya Rp. 13.575.695,- atau Rp 135.756.950,- per hektar. Pangsa pasar produk bersifat lokal Tegal, antar kota, dan antar propinsi yaitu dijual ke Brebes, Jakarta, Pemalang, Pekalongan, Batang, Semarang, Jepara, Rembang, Surabaya.Jakarta, Bandung dan Surabaya. Pada kondisi biasa (tidak musim panen) hanya mencukupi kebutuhan pangsa pasar lokal, tetapi pada musim panen dapat dikembangkan pemasarannya sampai luar kota/propinsi. Pada saat tersebut permintaan konsumen meningkat sampai 50 % lebih tinggi dari produksi rata-rata. Omset untuk pangsa pasar lokal dan regional ikan bandeng sekitar 4 - 5 ton per bulan harga per kg Rp. 10.000,dengan nilai Rp. 40.000.000,- sampai Rp. 50.000.000,-. Untuk rumput laut kering seharga Rp. 2.000,-/kg dengan produksi 4 ton/hektar senilai Rp. 8.000.000,-. Dengan luas tambak yang dipunyai 4 hektar, maka produksinya 16 ton dengan nilai Rp. 32.000.000,-. Selebihnya untuk memenuhi kebutuhan pasar Semarang, Surabaya dan Jakarta, dibutuhkan ikan bandeng dan rumput laut (Gracyllaria Sp) sekitar 16 ton dengan nilai total Rp.150.000.000,-. Hal tersebut menunjukan prospek usaha pembesaran ikan bandeng dan rumput laut (Gracyllaria Sp) ini dapat dikembangkan lagi secara intensif sampai pengemasan produk akhir. Pada sisi lain kebutuhan produk yang tinggi tersebut masih diikuti kualitas produksi yang masih rendah, terlihat dari warna tubuh bandeng dan rumput laut (Gracyllaria Sp) yang pucat, dan adanya luka-luka pada badan ikan yang terkadang disertai kematian ikan bandeng. Salah satu penyebabnya adalah sebelum ada program Ipteks, kontrol kualitas air media pemeliharaan masih bersifat visual, tidak melalui uji fisik, uji kimia dan biologi. Untuk mengatasi hal tersebut maka kegiatan polikultur budidaya ikan bandeng dan rumput laut (Gracyllaria Sp) ini dilaksanakan berbasiskan teknologi ramah lingkungan, dimana limbah cair budidaya bandeng dan rumput laut diberi perlakuan terlebih dahulu dengan biofiltrasi baru dibuang ke badan perairan umum. Gambaran dari komponen proses dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2, terdiri dari kantor, petak pembesaran, bak pakan alami (klekap), bak pakan dari pelet, dan petak biofiltrasi biologi berukuran (30 m x 20 m x 1,25 m). Investasi atau modal awal yang digunakan untuk kegiatan usaha pembesaran ikan bandeng, rumput laut (Gracyllaria Sp) dan udang vanname ini, sekitar Rp. 20.000.000,-, Sampai saat ini belum ada upaya perluasan produksi dengan menambah modal dari pinjam perbankan, karena sulitnya prosedur peminjaman melalui perbankan. Keberadaan kelompok usaha budidaya ikan bandeng dan rumput laut (Gracylaria sp) Karya Tani di Kelurahan Muarareja memiliki peran penting karena dapat menggerakkan ekonomi masyarakatnya, dan mampu pula menampung tenaga padat karya dari masyarakat sekitarnya dimana setiap 1 unit usaha mampu menampung 5 - 10 tenaga kerja. Sedangkan Kelompok Karya Tani yang bergerak diusaha budidaya bandeng dan
129
rumput laut serta masih eksis berjumlah sekitar 30 unit usaha atau mampu menampung tenaga kerja sekitar 150 s/d 300 tenaga kerja (Wawancara dengan Bapak Kastari, 2010). 3.4.
Dampak keberadaan mitra terhadap lingkungan
Keberadaan Mitra Usaha Budidaya polikultur ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname, Kelompok Karya Tani di Kelurahan Muarareja sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Muarareja dan sekitarnya. Keberadaan dan aktivitas Kelompok Karya Tani secara nasional juga dapat memacu pengembangan pendirian industri budidaya ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname, serta balai benihnya di sekitar Kelurahan Muarareja, maupun ditempat lainnya di Indonesia. Kegiatan tersebut jika dikembangkan dalam skala luas sampai ke skala nasional juga dapat membantu pemerintah dalam rekruitmen tenaga kerja, terutama tenaga kerja ter-PHK seperti di daerah Karawang, Pengandaran, Sukabumi, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sumatra. Di Jawa Tengah sendiri juga dapat dikembangkan pembenihan dan pembesaran ikan bandeng dan rumput laut (Gracylaria sp) seperti di Pati, Juwana, Rembang, Batang, Pemalang, Tegal, Brebes. Hal ini tentunya membutuhkan sinergisme dengan program Departemen Kelautan dan Perikanan yang mengembangkan paket teknologi budidaya bandeng dan rumput laut tetapi hasilnya belum memuaskan (Direktur Budidaya Perikanan, Iskandar Rustamaji, 2008). 3.5.
Pelaksananaan Kegiatan
3.5.1. Waktu Tahapan Kegiatan Kegiatan diawali dengan kunjungan kepada Kelompok Tani “Karya Tani” dengan ketua kelompoknya Bapak Kastari untuk mempersiapkan kegiatan budidayaya polikultur ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname. Survei pertama pada program ipteks bagi masyarakat ini dilakukan pada minggu pertama bulan Mei (5 Mei 2010), selanjutnya dilakukan penyuluhan budidayaya polikultur ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname pada hari Minggu tanggal 30 Mei 2010 jam 16.00 -18.00 WIB bertempat di rumah Bapak Kastari yang diikuti segenap anggota kelompok. Selanjutnya dilakukan persiapan penebaran. Pada tanggal 4-9 Juli 2010 dilakukan persiapan alat dan teknologi polikultur budidaya, perbaikan tanggul, dan caren. Pengolahan tanah dasar tambak (pencangkulan, pengapuran, pemupukan, pemberian saponin dan lainnya) dilakukan pada tanggal 10-20 Juli 2010. Pengisian air dan penumbuhan klekap pada tanggal 22-30 Juli 2010. Aklimatisasi benih ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname dilakukan selama satu pekan pada tanggal 12-18 Agustus 2010. Selanjutnya penebaran benih dilakukan pada tanggal 19 Agustus 2010 dengan lokasi percontohan di tambak milik Bapak Kastari di Kelurahan Muarareja RT 01, RW 03, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal. Survei kondisi awal pemeliharaan pada tanggal 20- 30 Agustus 2010, serta pengumpulan data primer tanggal 1-14 September 2010 dan data sekunder tanggal 30 Agustus – 4 September 2010. Penyempurnaan desain alat dilaksanakan pada tanggal 5- 19 September 2010 dan perbaikan/modifikasi demplot teknologi budidayaya polikultur ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname dengan aplikasi lapangan tanggal 20 Sep - 2 Oktober 2010. Selama kegiatan budidaya berlangsung, dilakukan penyuluhan dan pembinaan kader secara simultan pada tanggal 19 September – 31 Oktober 2010. Pemanenan ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname dilaksanakan pada tanggal 19 Nopember 2010. 3.5.2. Materi Kegiatan 3.5.2.1. Penyuluhan dan Pembinaan Materi penyuluhan dan pembinaan meliputi: pengelolaan benih ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname berkualitas tinggi oleh Ir. Suyono, M.Pi,
130
teknik pembesaran bandeng dan rumput laut dan upaya mengatasi permasalahanpermasalahannya oleh Dr.Ir.Istiyanto Samidjan, M.S. Materi pemasaran dan produksi ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname serta pakan dan pemberian pakan termasuk pakan alami Skeletonema costatum dan Brachionus plicatilis Muller beserta metoda kulturnya dibawakan oleh Ir. Diana Rachmawati, M.Si, sedangkan materi pengelolaan kualitas air oleh Ir.Thimotius Jasman, M.Pi. 3.5.2.2. Persiapan Petakan Kegiatan selanjutnya adalah pelaksanaan program ipteks bagi masyarakat meliputi : memperbaiki konstruksi bak pemeliharaan/pembesaran yang dilengkapi dengan petak tambak biofiltrasi dengan sistem resirkulasi. Jumlah petakan tambak pemeliharaan 3 buah berukuran 200 m x 50 m x 1,25 m, 1 buah petakan pembesaran polikultur ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname dan 1 petakan tambak biofiltrasi dengan ukuran 40 m x 20 m x 1,5 m. Pada bak biofiltrasi juga diberi filter fsik lapisan dari bawah keatas plastik gelombang berlubang-lubang, dilapisi pasir, ijuk, kerikil, gravel dan pecahan karang. Sistem pengelolaan airnya dilakukan dengan sistem resirkulasi menggunakan pompa air ke masing-masing bak pembesaran. Desain tambak meliputi jumlah, ukuran petakan dan bahan penunjang disesuaikan dengan kondisi yang dimiliki mitra (Gambar 1dan 2).
BANDENG, RUMPUT LAUT,
Petak Kultur Gelondongan Bandeng (Aklimatisasi)
Petak kultur Klekap
BANDENG, RUMPUT LAUT, VANNAME
Petak Kultur Oslah vanname (Aklimatisasi)
Petak kultur Klekap
Kultur Sistem Rakit Rumput laut: Gracillaria sp Biofilter System
Kultur Sistem Rakit Rumput laut: Gracillaria sp Biofilter System
Gambar.1. Gambaran Ipteks bagi Masyarakat Teknologi Pembesaran Polikultur Ikan Bandeng dan Rumput Laut (Gracylaria sp.) dan Udang Vanname yang ditransfer kepada mitra.
131
10 7
12
9
9
9
9
11 6
5 4 3 8 2 1 BAK V Bak Kultur gelondongan bandeng
BAK IV Bak Kultur Klekap Sp.
BAK III Bak Kultur Brachionus Sp.
BAK II Bak Kultur Chlorella Sp.
BAK I Bak Biofiltrasi biologi
Gambar 2. Gambaran teknologi penggelondongan bandeng yang diterap- kembangkan di tempat mitra Keterangan : 1. Plastik gelombang yang dilubangi. 2. Lapisan arang aktif 3. Lapisan batu kecil 4. Lapisan Kerikil 5. Lapisan pasir. 6. Lapisan air hasil saringan biofiltrasi biologi 7. Pralon diameter 3/4 inci 8. Pralon diameter 3/4 inci yang dibungkus ijuk dan dilubangi. 9. Air hasil saringan biofiltrasi biologi dipompa ke bak I,II,III, IV,V. 10 . Pengaerasian O2 oleh Blower ke bak I,II,III,IV,V 11. Pompa air. 12. Blower. Bak.I Biofiltrasi biologi Bak II Kultur Chlorella Sp. Bak III Kultur Brachionus plicatilis Bak IV Kultur Klekap Bak V Kultur Larva bandeng dan rumput laut dumbo 3.5.2.3. Penebaran Benih Sebelum ditebar ke petak pembesaran, benih ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname yang berasal dari Brebes diaklimatisasikan terlebih dahulu di petak aklimatisasi selama sepekan dari tanggal 12 – 18 Agustus 2010. Hal tersebut dimaksudkan untuk penyesuaian terhadap lingkungan barunya sekaligus pada masa akhir aklimatisasi atau awal tebar, angka kehidupan atau jumlah benihnya dapat diketahui lebih pasti. Proses selanjutnya adalah penebaran benih ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname. Benih ikan bandeng berukuran 5 -7 cm ditebar dengan kepadatan 10 ekor/m2 atau apabila menggunakan tambak ukuran 200 m x 50 m x 1,25 m yang diisi air ketinggian 1 m maka benih ikan bandeng yang ditebar 100.000 ekor. Pada saat pemindahan dari petak aklimatisasi ke petak pembesaran dlakukan proses adaptasi terhadap suhu dan salinitas yang ada. Secara perlahan-lahan wadah benih dmasukan ke dalam air media petak pembesaran dan benih ikan/udang dibiarkan keluar sendiri dari wadah pemindahan. Rumput laut (Gracylaria sp) dibudidayakan dengan cara ditebar di dasar tambak dengan kepadatan 2 kg/m2, sebagiannya dipelihara secara surface method yaitu sistem
132
budidaya rumput laut yang dilakukan dengan mengikatnya dan digantung tiap jarak 15 cm, 25 cm, dan 35 cm terendam dekat permukaan air menggunakan tali polyethyline yang ditarik sejajar diikatkan pada rakit bambu. Dengan cara ini rumput laut sekaligus berfungsi sebagai biofiltrasi yang ditempatkan di bagian pemasukan air (inlet) dan pengeluaran air (outlet) tambak. Peran rumput laut sebagai biofilter karena mampu menyerap semua suspensi dan bahan-bahan beracun dan limbah organik, sehingga air tambak menjadi lebih berkualitas dan terbebas dari pencemaran. Perlakuan perbedaan jarak antar ikatan rumput laut dilakukan sekaligus untuk menentukan jarak antar ikatan rumput laut yang paling efektif dan efisien. Benih udang vanname (benur) yang ditebar sejumlah 3000 ekor. 3.5.2.4. Pemberian Pakan, Pemeriksaan Kualitas Air dan Pemanenan Selama masa pemeliharaan/pembesaran ikan bandeng dan udang vanname selain memanfaatkan pakan alami berupa klekap, juga diberi pakan tambahan berbahan baku lokal (dedak, bekatul, sisa roti bekas, limbah sisa rumah tangga) serta diberi sedikit pakan pelet berkadar protein 30% sebanyak 5% dari total pakan untuk meningkatkan kualitas dan produksi ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname. Jumlah pemberian pakan disesuaikan dengan perkiraan biomassa ikan bandeng dan udang vanname yang diperoleh dari data hasil sampling secara periodik setiap 2 minggu (13 hari) sekali. Pada setiap pengambilan data (sampling) pertumbuhan, dilakukan tiga kali sampling dengan masing-masingnya dilakukan pengamatan terhadap 15 ekor ikan bandeng/udang/rumput laut. Secara berkala dilakukan uji kualitas air media budidaya yang meliputi: parameter fisika-kimia air seperti : suhu, kecerahan, pH, salinitas, oksigen terlarut, nitrit, dan amoniak yang dilakukan setiap 2 hari sekali. Hasil analisa dipakai sebagai salah satu bahan evaluasi kegiatan ikan bandeng, rumput laut (Gracylaia sp.) dan udang vanname. Pemanenan dilakukan secara serentak. Pada saat panen dihitung panajang dan bobot akhir ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname yang dipelihara serta bobot total masing-masing kultivan tadi. 3.5.2.5. Pertumbuhan dan Kelulus-hidupan Kegiatan budidaya polikultur ini dilakukan selama 104 hari dan pengamatan dilakukan setiap 2 minggu (13 hari) sekali. Selama masa pemeliharaan terjadi penambahan bobot ikan bandeng (Tabel 1 dan Gambar Grafik 1), udang vanname (Tabel 2 dan Gambar Grafik 2) dan rumput laut Gracylaria sp. (Tabel 3 dan Gambar Grafik 3). Bobot akhir rata-rata ikan bandeng sebelum ada program iIpteks berkisar 200 gr s/d 225 gr per ekor dan setelah ada program Ipteks meningkat menjadi 253.034 gr s/d 270.218 gr (atau pertumbuhan bobot mutlak berkisar 245.706 gr s/d 262.698 gr (Tabel 1, Gambar 3).
133
Tabel. 1. Data pertumbuhan bobot (gr) ikan bandeng (Chanos chanos Forskall) yang dipelihara selama 3,5 bulan (Juli-Nopember 2010) melalui Program IbM di tambak Kelompok Karya Tani, Kel. Muarareja, Kec. Tegal Barat, Kota Tegal. Umur (hari) Sampling 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jumlah Rata-rata Sampling 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jumlah = Rata-rata Sampling 3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jumlah = Rata-rata
7.5 12.5 8.5 8.8 9.4 8.6 10.3 9.75 9.52 11.74 11.8 9.4 8.6 10.3 9.75 146.46 9.764
26 39 52 16.75 33.3 58.97 21.75 38.3 63.97 17.75 34.3 59.97 18.05 34.6 60.27 18.65 35.2 60.87 17.85 34.4 60.07 19.55 36.1 61.77 19 35.55 61.22 18.77 35.32 60.99 20.99 37.54 63.21 21.05 37.6 63.27 18.65 35.2 60.87 17.85 34.4 60.07 19.55 36.1 61.77 19 35.55 61.22 285.21 533.46 918.51 19.014 35.564 61.234
65 98.72 103.72 99.72 100.02 100.62 99.82 101.52 100.97 100.74 102.96 103.02 100.62 99.82 101.52 100.97 1514.8 100.98
78 148.47 153.47 149.47 149.77 150.37 149.57 151.27 150.72 150.49 152.71 152.77 150.37 149.57 151.27 150.72 2261 150.73
91 104 208.22 250.77 213.22 255.77 209.22 251.77 209.52 252.07 210.12 252.67 209.32 251.87 211.02 253.57 210.47 253.02 210.24 252.79 212.46 255.01 212.52 255.07 210.12 252.67 209.32 251.87 211.02 253.57 210.47 253.02 3157.3 3795.51 210.48 253.034
W=WtWo(g) 245.91 245.57 244.87 245.77 245.77 245.77 245.77 245.77 245.77 245.77 245.77 245.77 245.77 245.77 245.77 3685.59 245.706
7.02 9.24 9.3 6.9 6.1 7.8 7.25 7.02 9.24 9.3 6.9 6.1 7.8 7.25 7.02 114.24 7.616
9.52 11.74 11.8 9.4 8.6 10.3 9.75 9.52 11.74 11.8 9.4 8.6 10.3 9.75 9.52 151.74 10.116
19.77 38.32 65.99 21.99 40.54 68.21 22.05 40.6 68.27 19.65 38.2 65.87 18.85 37.4 65.07 20.55 39.1 66.77 20 38.55 66.22 19.77 38.32 65.99 21.99 40.54 68.21 22.05 40.6 68.27 19.65 38.2 65.87 18.85 37.4 65.07 20.55 39.1 66.77 20 38.55 66.22 19.77 38.32 65.99 305.49 583.74 998.79 20.366 38.916 66.586
107.74 109.96 110.02 107.62 106.82 108.52 107.97 107.74 109.96 110.02 107.62 106.82 108.52 107.97 107.74 1625 108.34
158.49 160.71 160.77 158.37 157.57 159.27 158.72 158.49 160.71 160.77 158.37 157.57 159.27 158.72 158.49 2386.3 159.09
219.24 262.79 221.46 265.01 221.52 265.07 219.12 262.67 218.32 261.87 220.02 263.57 219.47 263.02 219.24 262.79 221.46 265.01 221.52 265.07 219.12 262.67 218.32 261.87 220.02 263.57 219.47 263.02 219.24 262.79 3297.5 3950.79 219.84 263.386
255.77 255.77 255.77 255.77 255.77 255.77 255.77 255.77 255.77 255.77 255.77 255.77 255.77 255.77 255.77 3836.55 255.77
5.86 9.32 6.9 6.3 7.25 7.02 9.24 9.3 6.9 6.1 7.8 6.25 7.02 8.24 9.3 112.8 7.52
7.5 12.5 8.5 8.8 9.75 9.52 11.74 11.8 9.4 8.6 10.3 8.75 9.52 10.74 11.8 149.22 9.948
18.75 38.3 66.97 23.75 43.3 71.97 19.75 39.3 67.97 20.05 39.6 68.27 21 40.55 69.22 20.77 40.32 68.99 22.99 42.54 71.21 23.05 42.6 71.27 20.65 40.2 68.87 19.85 39.4 68.07 21.55 41.1 69.77 20 39.55 68.22 20.77 40.32 68.99 21.99 41.54 70.21 23.05 42.6 71.27 317.97 611.22 1041.3 21.198 40.748 69.418
109.72 114.72 110.72 111.02 111.97 111.74 113.96 114.02 111.62 110.82 112.52 110.97 111.74 112.96 114.02 1682.5 112.17
161.47 166.47 162.47 162.77 163.72 163.49 165.71 165.77 163.37 162.57 164.27 162.72 163.49 164.71 165.77 2458.8 163.92
223.22 267.77 228.22 272.77 224.22 268.77 224.52 269.07 225.47 270.02 225.24 269.79 227.46 272.01 227.52 272.07 225.12 269.67 224.32 268.87 226.02 270.57 224.47 269.02 225.24 269.79 226.46 271.01 227.52 272.07 3385 4053.27 225.67 270.218
261.91 263.45 261.87 262.77 262.77 262.77 262.77 262.77 262.77 262.77 262.77 262.77 262.77 262.77 262.77 3940.47 262.698
awal-
0 4.86 10.2 6.9 6.3 6.9 6.1 7.8 7.25 7.02 9.24 9.3 6.9 6.1 7.8 7.25 109.92 7.328
13
134
Pertumbuhan Bobot (gr)
Pertumbuhan bobot ikan bandeng (gr)
300 250 200 Sampling 1 150
Sampling 2 Sampling 3
100 50 0 0
13
26
39
52
65
78
91
104
Waktu (hari)
Gambar 3. Grafik pertumbuhan ikan bandeng (Chanos chanos Forskall) yang dipelihara selama 3,5 bulan (Juli-Nopember 2010) melalui Program IbM di tambak Kelompok Karya Tani, Kel. Muarareja, Kec. Tegal Barat, Kota Tegal. Bobot akhir rata-rata udang vanname yang dipelihara petambak sebelum adanya program Ipteks berkisar 12 – 13 gram per ekor, sedangkan dari hasil pengukuran pertumbuhan udang vanname setelah program Ipteks diperoleh bobot mutlak rata-rata berkisar 15,13 gr s/d 15,21 gr sebagaimana disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 4, dengan kelulus hidupan (survival rate, SR) sebesar 95 % - 97 %. Tambahan pemberian pakan buatan dengan kandungan protein 35-40% menghasilkan konversi pakan, FCR (Food Convertion Ratio) 1,1 yang berarti untuk menghasilkan 1 kg udang Vanname dibutuhkan pelet 1,1 kg.
135
Tabel 2. Data pertumbuhan bobot (gr) udang vanname yang dipelihara selama 3,4 bulan (100 hari),Juli-Nopember 2010) melalui Program IbM di tambak Kelompok Karya Tani, Kel. Muarareja, Kec. Tegal Barat, Kota Tegal. Sampling 1
Jumlah = Rata-rata Sampling 2
Jumlah = Rata-rata Sampling 3
Jumlah = Rata-rata
0 1.25 1.27 1.29 1.31 1.33 1.35 1.37 1.39 1.41 1.43 1.45 1.47 1.49 1.51 1.53 20.9 1.39
30 2.25 2.28 2.31 2.34 2.37 2.4 2.43 2.46 2.49 2.52 2.55 2.58 2.61 2.64 2.67 36.9 2.46
40 3.52 3.56 3.6 3.64 3.68 3.72 3.76 3.8 3.84 3.88 3.92 3.96 4 4.04 4.08 57 3.8
1.27 1.29 1.31 1.33 1.35 1.37 1.39 1.41 1.43 1.45 1.47 1.49 1.51 1.53 1.55 21.2 1.41 1.28 1.3 1.32 1.34 1.36 1.38 1.4 1.42 1.44 1.46 1.48 1.5 1.52 1.54 1.56 21.3 1.42
2.26 3.55 2.3 3.6 2.34 3.65 2.38 3.7 2.42 3.75 2.46 3.8 2.5 3.85 2.54 3.9 2.58 3.95 2.62 4 2.66 4.05 2.7 4.1 2.74 4.15 2.78 4.2 2.82 4.25 38.1 58.5 2.54 3.9 2.27 3.56 2.3 3.61 2.33 3.66 2.36 3.71 2.39 3.76 2.42 3.81 2.45 3.86 2.48 3.91 2.51 3.96 2.54 4.01 2.57 4.06 2.6 4.11 2.63 4.16 2.66 4.21 2.69 4.26 37.2 58.65 2.48 3.91
Umur (hari) 50 60 70 80 5.12 6.82 8.92 11.25 5.17 6.88 8.98 11.31 5.22 6.94 9.04 11.37 5.27 7 9.1 11.43 5.32 7.06 9.16 11.49 5.37 7.12 9.22 11.55 5.42 7.18 9.28 11.61 5.47 7.24 9.34 11.67 5.52 7.3 9.4 11.73 5.57 7.36 9.46 11.79 5.62 7.42 9.52 11.85 5.67 7.48 9.58 11.91 5.72 7.54 9.64 11.97 5.77 7.6 9.7 12.03 5.82 7.66 9.76 12.09 82.05 108.6 140.1 175.05 5.47 7.24 9.34 11.67
90 13.72 13.77 13.82 13.87 13.92 13.97 14.02 14.07 14.12 14.17 14.22 14.27 14.32 14.37 14.42 211.05 14.07
100 W=Wt-Wo (g) 16.32 15.07 16.36 15.09 16.4 15.11 16.44 15.13 16.48 15.15 16.52 15.17 16.56 15.19 16.6 15.21 16.64 15.23 16.68 15.25 16.72 15.27 16.76 15.29 16.8 15.31 16.84 15.33 16.88 15.35 249 228.15 16.6 15.21
5.14 6.85 5.19 6.91 5.24 6.97 5.29 7.03 5.34 7.09 5.39 7.15 5.44 7.21 5.49 7.27 5.54 7.33 5.59 7.39 5.64 7.45 5.69 7.51 5.74 7.57 5.79 7.63 5.84 7.69 82.35 109.1 5.49 7.27 5.15 6.87 5.21 6.93 5.27 6.99 5.33 7.05 5.39 7.11 5.45 7.17 5.51 7.23 5.57 7.29 5.63 7.35 5.69 7.41 5.75 7.47 5.81 7.53 5.87 7.59 5.93 7.65 5.99 7.71 83.55 109.4 5.57 7.29
13.74 13.79 13.84 13.89 13.94 13.99 14.04 14.09 14.14 14.19 14.24 14.29 14.34 14.39 14.44 211.35 14.09 13.75 13.79 13.83 13.87 13.91 13.95 13.99 14.03 14.07 14.11 14.15 14.19 14.23 14.27 14.31 210.45 14.03
16.33 16.36 16.39 16.42 16.45 16.48 16.51 16.54 16.57 16.6 16.63 16.66 16.69 16.72 16.75 248.1 16.54 16.35 16.38 16.41 16.44 16.47 16.5 16.53 16.56 16.59 16.62 16.65 16.68 16.71 16.74 16.77 248.4 16.56
8.93 9 9.07 9.14 9.21 9.28 9.35 9.42 9.49 9.56 9.63 9.7 9.77 9.84 9.91 141.3 9.42 8.95 9.02 9.09 9.16 9.23 9.3 9.37 9.44 9.51 9.58 9.65 9.72 9.79 9.86 9.93 141.6 9.44
11.27 11.33 11.39 11.45 11.51 11.57 11.63 11.69 11.75 11.81 11.87 11.93 11.99 12.05 12.11 175.35 11.69 11.28 11.34 11.4 11.46 11.52 11.58 11.64 11.7 11.76 11.82 11.88 11.94 12 12.06 12.12 175.5 11.7
15.06 15.07 15.08 15.09 15.1 15.11 15.12 15.13 15.14 15.15 15.16 15.17 15.18 15.19 15.2 226.95 15.13 15.07 15.08 15.09 15.1 15.11 15.12 15.13 15.14 15.15 15.16 15.17 15.18 15.19 15.2 15.21 227.1 15.14
136
Pertumbuhan Bobot Udang Vanname (Gr) 18
Pertumbuhan Bobot (Gr)
16 14 12 Sampling 1
10
Sampling 2 8
Sampling 3
6 4 2 0 0
30
40
50
60
70
80
90
100
Lama Pemeliharaan (Hari)
Gambar 4. Grafik pertumbuhan bobot udang vanname yang dipelihara selama 3,4 bulan (100 hari),Juli-Nopember 2010) melalui Program IbM di tambak Kelompok Karya Tani, Kel. Muarareja, Kec. Tegal Barat, Kota Tegal. Hasil pertumbuhan rumput laut setelah program ipteks meningkat dengan pertumbuhan bobot mutlak rata-rata 2744 gram s/d 2830 gram sebagaimna disajikan pada Tabel 3 dan 4 serta Gambar 5.Hasil Penelitia iakepada Masyarakat, Unila, 2008 239
137
Tabel.3. Data Pertumbuhan Bobot Rumput Laut Gracillaria Sp yang dipelihara dengan sistem permukaan (Surface method) pada jarak tanam berbeda 15 Cm, 25 cm dan 35 cm selama 3,5 bulan (Juli-Nopember 2010) melalui Program IbM di tambak Kelompok Karya Tani, Kel. Muarareja, Kec. Tegal Barat, Kota Tegal. Jarak tanam 15 cm 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jumlah = Rata-rata Jarak tanam 25 cm
Umur pemeliharaan (hari) 30 60 840 1530 850 1540 860 1550 870 1560 880 1570 890 1580 900 1590 910 1600 920 1610 930 1620 940 1630 950 1640 960 1650 970 1660 980 1670 13650 24000 910 1600
90 2220 2230 2240 2250 2260 2270 2280 2290 2300 2310 2320 2330 2340 2350 2360 34350 2290
120 2910 2920 2930 2940 2950 2960 2970 2980 2990 3000 3010 3020 3030 3040 3050 44700 2980
W=Wt-Wo (g) 2760 2770 2780 2790 2800 2810 2820 2830 2840 2850 2860 2870 2880 2890 2900 42450 2830
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 2250 150
835 844 853 862 871 880 889 898 907 916 925 934 943 952 961 13470 898
1525 1533 1541 1549 1557 1565 1573 1581 1589 1597 1605 1613 1621 1629 1637 23715 1581
2215 2223 2231 2239 2247 2255 2263 2271 2279 2287 2295 2303 2311 2319 2327 34065 2271
2850 2857 2864 2871 2878 2885 2892 2899 2906 2913 2920 2927 2934 2941 2948 43485 2899
2750 2755 2760 2765 2770 2775 2780 2785 2790 2795 2800 2805 2810 2815 2820 41775 2785
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 2250 150
837 845 853 861 869 877 885 893 901 909 917 925 933 941 949 13395 893
1528 1537 1546 1555 1564 1573 1582 1591 1600 1609 1618 1627 1636 1645 1654 23865 1591
2217 2225 2233 2241 2249 2257 2265 2273 2281 2289 2297 2305 2313 2321 2329 34095 2273
2845 2852 2859 2866 2873 2880 2887 2894 2901 2908 2915 2922 2929 2936 2943 43410 2894
2725 2731 2737 2743 2749 2755 2761 2767 2773 2779 2785 2791 2797 2803 2809 41160 2744
Jumlah = Rata-rata Jarak Tanam 35 cm
Jumlah = Rata-rata
0 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 2250 150
138
Lama pemeliharaan (hari)
Pertumbuhan Bobot Rumput Laut (Gracillaria Sp) (Gr) 10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
Jarak tanam 35 cm Jarak tanam 25 cm Jarak tanam 15 cm
0
30
60
90
120
Pertumbuhan Bobot (Gr)
Gambar.5. Kurve pertumbuhan bobot rumput laut Gracillaria Sp yang dipelihara dengan sistem permukaan (Surface method) pada jarak tanam 15 Cm, 25 cm dan 35 cm selama 3,5 bulan (Juli-Nopember 2010) melalui Program IbM di tambak Kelompok Karya Tani, Kel. Muarareja, Kec. Tegal Barat, Kota Tegal. Untuk rumput laut (Gracylaria sp.) yang dipelihara dengan cara disebar di tanah dasar tambak diperoleh bobot akhir 2344 gram s/d 2630 gram (Tabel 4) masih dibawah bobot akhir umput laut yang digantung, kemungkinan disebabkan karena kualitas air di dasar tambak tidak sebagus yang di dekat permukaan.
139
Tabel 4. Pertumbuhan Bobot Rumput Laut (gr) yang dipelihara secara polikultur Dengan Sistem Tebar di dasar (Bottom method) selama 3,5 bulan (Juli-Nopember 2010) melalui Program IbM di tambak Kelompok Karya Tani, Kel. Muarareja, Kec. Tegal Barat, Kota Tegal. No.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 2250 150
750 760 770 780 790 800 810 820 830 840 850 860 870 880 890 12300 820
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 2250 150
725 734 743 752 761 770 779 788 797 806 815 824 833 842 851 11820 788
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 150 2250 150
637 645 653 661 669 677 685 693 701 709 717 725 733 741 749 10395 693
Jumlah = Rata-rata No
Jumlah = Rata-rata
Jumlah = Rata-rata
30
Umur (hari) 60 1450 1460 1470 1480 1490 1500 1510 1520 1530 1540 1550 1560 1570 1580 1590 22800 1520
90 2150 2160 2170 2180 2190 2200 2210 2220 2230 2240 2250 2260 2270 2280 2290 33300 2220
120 2710 2720 2730 2740 2750 2760 2770 2780 2790 2800 2810 2820 2830 2840 2850 41700 2780
W=Wt-Wo (g) 2560 2570 2580 2590 2600 2610 2620 2630 2640 2650 2660 2670 2680 2690 2700 39450 2630
1425 1433 1441 1449 1457 1465 1473 1481 1489 1497 1505 1513 1521 1529 1537 22215 1481
2015 2023 2031 2039 2047 2055 2063 2071 2079 2087 2095 2103 2111 2119 2127 31065 2071
2550 2557 2564 2571 2578 2585 2592 2599 2606 2613 2620 2627 2634 2641 2648 38985 2599
2400 2407 2414 2421 2428 2435 2442 2449 2456 2463 2470 2477 2484 2491 2498 36735 2449
1328 1337 1346 1355 1364 1373 1382 1391 1400 1409 1418 1427 1436 1445 1454 20865 1391
2017 2025 2033 2041 2049 2057 2065 2073 2081 2089 2097 2105 2113 2121 2129 31095 2073
2445 2452 2459 2466 2473 2480 2487 2494 2501 2508 2515 2522 2529 2536 2543 37410 2494
2295 2302 2309 2316 2323 2330 2337 2344 2351 2358 2365 2372 2379 2386 2393 35160 2344
140
Hasil pengamatan kelulushidupan ikan bandeng, udang vanneme, dan rumput laut (Gracylaria sp.) yang dipelihara di tambak Kelompok Karya Tani, Kelurahan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal sebelum ada program Ipteks untuk ikan bandeng sebesar 50 % setelah ada program Ipteks naik menjadi 95 %, sedangkan pada udang vanname sebelum ada program Ipteks sebesar 49 % dan setelah ada program Ipteks naik menjadi 77 %, selanjutnya pada budidaya rumput laut (Gracylaria sp.) sebelum ada Ipteks sebesar 51 % dan setelah ada program ipteks juga naik menjadi 76 % sebagaimana disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Kelulushidupan ikan bandeng, udang Vanneme, dan rumput laut (Gracylaria sp.) sebelum dan setelah ada program IbM dipelihara di tambak Kelompok Karya Tani, Kel. Muarareja, Kec. Tegal Barat, Kota Tegal. Kelulushidupan sebelum ada Ipteks Ikan Pengamatan Udang Rumput bandeng Hari ke: Vanname (%) laut (%) (%)
Kelulushidupan setelah Ipteks Ikan Udang Rumput bandeng Vanname (%) laut (%) (%)
Hari ke 0
100
100
100
100
100
100
hari ke 13
95
90
91
99
97
99
Hari ke 26
80
81
82
95
93
96
Hari ke 39
75
74
76
93
90
94
Hari ke 52
70
65
69
90
87
91
Hari ke 65
65
63
65
85
83
86
Minggu ke 78
60
61
62
80
81
81
Minggu ke 91 Minggu ke 104
58
57
59
78
79
78
50
49
51
95%
90
76
3.5.2.6. Analisis Ekonomi Hasil analisis ekonomi kegiatan budidaya polikultur ikan bandeng, udang Vanneme, dan rumput laut (Gracylaria sp.) program Ipteks bagi masyarakat yang dipelihara di tambak Kelompok Karya Tani, Kelurahan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal Kel .Muara Reja, Kota Tegal disajikan pada Tabel 6.
141
Tabel 6. Hasil Analisis Ekonomi budidaya polikultur ikan bandeng, udang Vanneme, dan rumput laut (Gracylaria sp.) pada program IbM yang dipelihara di tambak Kelompok Karya Tani, Kel. Muarareja, Kec.Tegal Barat, Kota Tegal pada luasan tambak 1000 m2. Produ Harga per ksi unit/kg
Nilai (Rp)/ 1000 m2
Nilai (Rp)/ 10,000 m2/Ha
ARUS KAS/SIKLUS I. ARUS MASUK Ikan Bandeng 316,67 kg size 3 ekor/kg
316.67
8,500
2,691,695
26,916,950
Udang Vanname 400 kg /1000 m2
400
35,000
14,000,000
140,000,000
Rumput laut 300 kg/1000 m2 sub total (1)
300
3,000
900,000 17,591,695
9000,000 175,916,950
1 1 1
500,000 1,000 200,000
500,000 1,000 200,000
5000,000 10,000 2,000,000
1
500,000
500,000 1.201,000
5,000,000 12.010,000
1,000 2,000 200 100 3 100
125 50 3,000 9,000 30,000 10,000
125,000 100,000 600,000 900,000 90,000 1,000,000 2,815,000
1,250,000 1,000,000 6000,000 9,000,000 900,000 10,000,000 28,150,000
13,575,695
135,756,950
II. ARUS KAS KELUAR A. Modal investasi sewa tambak 1000 m2 Biofilter Biologi Peralatan budidaya (jaring, Cangkul) Rakit untuk budidaya rumput laut (ukuran 3x5x1 m) sub total (2) B. Modal kerja Benih ikan bandeng 1000 ekor/1000 m2 Benih Udang Vanname 2000 eko/1000 m2 Benih Rumput laut 200 kg pakan 100 kg a Rp 9000 tenaga pupuk kandang (kg) sub Total (3) III. ARUS KAS BERSIH (1-2-3)
Sebelum ada progam kaji terap Ipteks bagi masyarakat, produksi ikan bandeng tambak milik Bapak Kastari yang sekaligus sebagai ketua Kelompok Karya Tani dengan 30 unit usaha budidaya sejumlah 8.500 ekor/tambak seluas 3,5 hektar dengan size 4 - 5 (4 - 5 ekor per kg) dan berbobot 1700 kg, sehingga per hektar produksinya 485,71 kg senilai Rp.3.885.680,- dengan kelulus hidupan 50 %. Produksi rumput laut (Gracillaria sp.) sekitar 2 ton/hektar dengan harga jual relatif rendah dikarenakan kualitasnya masih rendah yakni Rp. 1000,-/kg basah senilai Rp. 2.000.000,- per hektar. Selanjutnya dengan adanya program Iptek bagi masyarakat ini, ditebarkan benih ikan bandeng 1000 ekor per 1000 m2 atau 10.000 ekor/hektar dan udang Vanname 2000 ekor/1000 m2 atau 20.000 ekor/hektar serta rumput laut 200 kg/1000 m2 atau 2000 kg/hektar. Dengan biaya produksi (modal investasi dan modal kerja) sebesar Rp. 4.016.000,- , atau per hektarnya Rp.40.160.000,- produksi dapat ditingkatkan dengan panen 316,67 kg/1000 m2 atau 3166,7 kg per hektar. Harga jual per kg ikan bandeng Rp. 8.500,- senilai Rp. 2,691,695,-/1000 m2 atau Rp. 26,916,950,- per hektar. Produksi udang Vanname 400 kg /1000 m2 atau per hektarnya 4000 kg dengan harga Rp. 35.000,-/kg senilai Rp. 14.000.000,-/1000 m2 atau per hektarnya Rp. 140.000.000,-. Produksi rumput laut 300 kg/1000 m2, atau 3000 kg per hektar dengan harga per kg-nya Rp. 3.000,- senilai Rp. 900.000,- atau per hektarnya Rp. 9.000.000,-. Dengan demikian diperoleh
142
keuntungan (arus kas bersih) per 1000 m2-nya Rp. 13.575.695,- atau Rp 135.756.950,per hektar. 3.5.2.7. Parameter Fisika-Kimia Air Media Budidaya Berdasarkan hasil pengamatan setelah program iptek bagi masyarakat, selama kegiatan menunjukkan kualitas air media pemeliharaan cukup layak untuk budidaya ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname sebagaimana disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Data Kualitas Air Media Pemeliharaan Budidaya program IbM di tambak Kelompok Karya Tani, Kel. Muarareja, Kec. Tegal Barat, Kota Tegal PetakPembesaran Petak Biofiltrasi Kelayakan Parameter Sebelum ipteks Setelah Ipteks Tingkat Inlet out let Inlet outlet Kelayakan pH 7,15 7.65 7,5 7,95 7-11c,f Conductivity 43.1 46,0 59.6 58,6 40 s/d 60 d,f (S/cm) Turbidity -10 -10 -10 -10 <1 e,f DO (mg/L) 3,42 3,45 8,8 5,5 > 3 mg/L a Amoniak 0,12 0,14 0,03 0,07 <1 e (mg/L) Suhu (oC) 29,5 29,8 29,4 29,6 25-30oC b,c,d,f Salinitas (ppt) 25,6 26,6 26 34,5 35-42 ppt,d,e,a Nitrat (mg/L) 20 20,5 22,5 23,5 > 20 mg/la,b,c Nitrit (mg/L) 0,25 0,24 0,1 0,05 <0,1 mg/lb CO2 (mg/L) 43,6 43,5 11,5 10,5 12-40 mg/Lc,f,d a) Sumber : : Istiyanto (2003). b) : Voght (1992) c) : Afrianto, E dan Evi Liviawaty. (1989) d) : Aslianti, T. dan Z. Imran. (1993). e) : Bautista,M.N. (1994). f) : Boyd, H.E. Burgess., Pronek and Walls. (1982). Berdasarkan Tabel 7, diketahui bahwa selama pemeliharaan secara polikultur pada budidaya ikan bandeng, rumput laut (Gracylaria sp.) dan udang vanname sebelum ada program Ipteks bagi masyarakat pada saat awal penebaran penebaran benih bandeng dan rumput laut 19 Agustus 2010, salinitasnya relatif rendah berkisar 25,6 - 26,6 ppt berbeda dengan setelah ada program Ipteks meningkat menjadi 26,0 - 34,5 ppt yang terhitung masih dalam kisaran yang layak sehingga kelulushidupan kultivan relatif baik. Dengan pengolahan tanah dan biofiltrasi, salinitas tersebut dapat diperbaiki sehingga mencapai kisaran yang layak 35,5-42 pptd. 3.5.2.8. Faktor Penghambat dan Pendorong Keberhasilan dalam kegiatan program ipteks dipengaruhi oleh adanya faktor penghambat dan pendorong. Faktor penghambat yang ada meliputi resiko usaha serta modal investasi. Sehubungan dengan hal tersebut maka diperlukan perhatian dari pemerintah maupun pihak lain yang terkait untuk dapat memberikan bantuan modal investasi baik berupa hibah, pinjaman maupun sistem bagi hasil. Pada sisi lain terdapat beberapa faktor pendorong yang perlu dioptimalkan, yakni semangat para petambak
143
untuk tetap bertahan dan berjuang memperoleh hasil budidaya yang maksimal, ketersediaan teknologi dan keberadaan akademisi yang dapat menjadi agen perubahan bagi petambak memperbaiki tata cara budidadaya perikanan. 3.5.2.9. Hasil Evaluasi Evaluasi dilakukan terhadap kondisi awal mitra, proses dan hasil produksi serta dampaknya baik dari sisi ekologis, ekonomi maupun sosialnya. Evaluasi terhadap tingkat keberhasilan penerapan teknologi dilakukan terhadap data hasil observasi lapangan maupun hasil pengisian kuisoner terkait dengan keadaan sebelum dan setelah dilakukan kegiatan penerapan Ipteks ini. Hasil evaluasi secara umum menunjukan nilai sangat baik dengan nilai rata-rata 96. Rentang acuan penilaian kriteria bernilai sangat baik (90 - 100), baik (70 - 89), cukup baik (60 - 69) dan kurang (<59).
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil akhir selama kegiatan program ipteks dapat disimpulkan bahwa program Ipteks bagi Masyarakat petambak Kelompok Karya Tani Kelurahan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal dapat meningkatkan produksi dan pendapatan petambak. Sebelum ada program ipteks bagi masyarakat produksi ikan bandeng sebesar 8500 ekor/tambak dengan ukuran size 200-250 gr/ekor (4-5 ekor per kg) atau 25.500 ekor/3 tambak/1hektar dengan harga per kg-nya Rp.10.000,- dan nilai keseluruhannya Rp. 8,500.000,-. Selanjutnya setelah diadakannya program ipteks bagi masyarakat dengan menggunakan luas tambak 1000 m2 dan dengan biaya produksi (modal investasi dan modal kerja) Rp. 4.016.000,- , atau per hektarnya Rp.40.160.000,- produksi dapat ditingkatkan dengan panen 316,67 kg/1000 m2 atau 3166,7 kg per hektar. Harga jual per kg ikan bandeng Rp. 8.500,- senilai Rp. 2,691,695,-/1000 m2 atau Rp. 26,916,950,- per hektar; Produksi udang Vanname 400 kg /1000 m2 atau per hektarnya 4000 kg dengan harga Rp. 35.000,-/kg senilai Rp. 14.000.000,-/1000 m2 atau per hektarnya Rp. 140.000.000,-. Produksi rumput laut 300 kg/1000 m2, atau 3000 kg per hektar dengan harga per kg-nya Rp. 3.000,- senilai Rp. 900.000,- atau per hektarnya Rp. 9.000.000,-. Dengan demikian diperoleh keuntungan (arus kas bersih) per 1000 m2-nya Rp. 13.575.695,- atau Rp 135.756.950,- per hektar. 5.2.
Saran
Untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan produktivitas budidaya tambak di Muarareja maupun di Tegal dan sekitarnya masih diperlukan tindak lanjut dari program Ipteks bagi masyarakat. Secara praktis hal-hal yang perlu dilakukan/dikembangkan meliputi : 1) Pendirian balai benih ikan bandeng dan benih udang di sekitar Tegal. 2) Diversifikasi produk budidya misalnya kepiting sebagai salah satu jenis kultivan yang sangat potensal untuk dikembangkan di Tegal dan sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA Afrianto, E dan Evi Liviawaty. 1989. Budidaya Rumput Laut dan Cara Pengolahannya. Bhratara. 63 hlm.
144
Angka, S.L. dan Maggy. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 138 hlm. Aslianti, T. dan Z. Imran. 1993. Kombinasi Makanan Alami dan Buatan pada Pemeliharaan Ikan Bandeng (Chanos chanos). Jurnal Penelitian Budidaya Pantai. Departemen Pertanian. Jakarta. Hlm 12-14. Boyd, H.E. Burgess., Pronek and Walls. 1982. Water Quality in Warm Water Fish Pond. Auburn University. Aquaculture Experiment Station . Auburn. pp 75-80. BPPT. 1998. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta. 32 hlm. Critchley, J and S. Ohno. 1998. The Literature Apertinent to The Red Algae Genus Gracillaria In Hawaii. Marine Agronomi U.S. Sea Grant Program, Hawaii : 339 p. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Teknologi Budidaya Rumput Laut (Kappaphicus alvarezii). Balai Budidaya Laut, Lampung. 59 hlm. Departemen Pertanian. 1998. Budidaya Rumput Laut. Direktorat Bina Produksi Dirjen Perikanan, Jakarta. 25 hlm. De Silva, S.S. and T.A. Anderson. 1995. Fish Nutrition in Aquaculture. Chapman and Hall. New York. 319 pp. Djajasewaka, H. 1985. Pakan Ikan. CV Yasaguna. Jakarta. Hlm 23-29. Gufron, M. 1997. Budidaya Ikan Bandeng dan Kepiting di tambak Polikultur. Dahara Prize. Semarang. 45 hlm. Haliman, R. W. dan Adijaya, 2005. Udang Vannamei. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Halver, J.E. 1980. Fish Nutrition. Academic Press Inc. New York. 711 pp. Hartati, S.T. dan Ismail W. 1998. Budidaya Produksi Rumput Laut : Permasalahan dan Prospeknya. Makalah Diskusi Panel Pengembangan Industri Pengolahan Rumput Laut. BPPT, Jakarta. 132 hlm. Indriani, H dan Emi Suminarsih. 2003. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut. Penebar Swadaya, Jakarta.99 hlm. Kompiang, I.P. 1990. Pakan Ikan / Udang; Persyaratan dan Teknologi Pembuatannya. Makalah Seminar Ilmu dan Teknologi Pakan Ikan / Udang. UNDIP. Semarang. 90 hlm. Linder, M.C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme ( Alih bahasa A. Parokkasi dan A.Y. Amwila). UI Press. pp 637-64. Maurice, E. Stansby. 1990. Fishoils in Nutrition. Van No Strand Reinhold. New York. pp 56- 61.
145
Meiyana, M, Evalawati, Arief Prihaningrum. 2001.Teknologi Budidaya Rumput Laut (Kappaphicus alvarezii). Balai Budidaya Laut, Lampung. 59 hlm. Mintardjo dan Minjoyo. 1992. Suatu tinjauan Tentang Teknologi Produksi Jenis Rumput Laut Tropis yang Bernilai Ekonomis. Balai Budidaya Air Laut, Lampung. 65 hlm. Mubarak, H. 2001. Budidaya Produksi Rumput Laut : Permasalahan dan Prospeknya. Makalah Diskusi Panel Pengembangan Industri Pengolahan Rumput Laut. BPPT, Jakarta. Hlm 11. Stickney, R.R. 1979. Principle of Warm Water Aquaculture. John Weley and Sons Inc. New York. pp 223-229. Soegiarto, A., Atmadja Sulistijo, dan H. Mubarak. 1998. Rumput Laut (Algae). Lembaga Oseanologi Nasional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LON-LIPI), Jakarta. 128 hlm. Sujatmiko, W dan W.I. Angkasa. 1997. Teknologi Untuk Negeri. Teknik Budidaya Rumput Laut dengan Metode Tali Panjang. BPP Teknologi, Jakarta. Hlm 27 – 41. Suyoto. 2001. Studi Perbandingan Pertumbuhan Kappaphycus alvarezii Doty pada Berbagai Jarak Tanam dengan Metode Apung di Perairan Nusakambangan, Cilacap. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 53 hlm. Wartono, H. dan J. Supriatna. 2000. Teknik Budidaya Bandeng. Bhatara. Jakarta. 40 hlm. www.iptek.net.id / warintek / budidaya_perikanan www.kompas.com / Antioksidan dan Radikal Bebas / Minggu 11 Mei 2003 www.nutritionfocus.com / nutrition_supplementation / vitamins www.poultryindonesia.com / Tokoferol untuk Zat Antioksidan / Kamis, 7 Agustus 2003 www.republika.co.id / Antioksidan Resep Sehat dan Umur Panjang / Selasa, 10 Juni 2003 Zonneveld, N. E., A. Huisman dan J.H Boon. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 318 hlm.
146
HUBUNGAN KERAPATAN MANGROVE SEBAGAI SILVOFISHERY DENGAN TINGKAT KESUBURAN TAMBAK DI DESA MUARAREJA KOTA TEGAL Oleh : Budi Kurniawan1
ABSTRAK Usaha terpadu tersebut memadukan antara konservasi lahan tambak dan pemanfaatan sumberdaya mangrove dengan memberikan kesempatan untuk mempertahankan kondisi kawasan hutan tetap baik melalui kegiatan rehabilitasi mangrove di lahan-lahan kosong tempat usaha budidaya tambak tersebut berlangsung. Penanaman mangrove selain di tanaman di tepi-tepi tambak juga ditanam di tepi pantai. Namun penanaman mangrove di tepi pantai dengan metode kubangan sering mendapat kendala, seperti gelombang yang besar sehingga bibit mangrove yang di tamam di tepi pantai banyak yang rusak. Sedangkan bibit mangrove yang ditaman dipematang tambak sebagai silvofishery banyak mengalami keberhasilan yang signifikan. Sejak adanya rehabilitasi kawasan mangrove di Kelurahan Muarareja, pada 2003 penutupan mangrove mengalami kenaikan terutama di stasiun 3 Kelurahan Muarareja sampai 50 persen sedangkan di stasiun yang lain kenaikannya hanya 15 persen. Di Muaraeja hampir 75 persen abrasi sudah bisa terkendali. Perkembangan tanaman yang ada di Muarareja terdapat 19 petakan atau 570 meter yang tingginya mencapai 3 meter. Hubungan antara kerapatan mangrove dengan tingkat kesuburan perairan yang ditandai melalui nilai SI (Indek Saprobik) dan TSI (Indek Trophik Saprobik) diperoleh bahwa kerapatan mangrove mempunyai korelasi positif dengan tingkat kesuburan perairan, sehingga semakin tinggi tingkat kerapatan mangrove makan akan berakibat semakin tinggi nilai SI dan TSI. Key Word : Kerapatan Mangrove, silvofishery, Tingkat Kesuburan Tambak
1.
PENDAHULUAN
Hutan mangrove merupakan suatu ekosistem yang komplek dan khas, serta memiliki daya dukung yang cukup besar terhadap lingkungan sekitarnya. Hutan mangrove dikatakan sebagai suatu ekosistem yang sangat produktif dan memberikan manfaat yang tinggi terutama dari fungsi yang dikandungnya. Dahuri et al. (2001), bahwa lingkungan hutan mangrove mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi dan kaya akan zat makanan bagi ikan, daya dukung tinggi terhadap kehidupan organisme air, disamping sebagai pelindung pantai. Dengan demikian keberadaan hutan mangrove dalam kawasan tambak menjadi faktor yang sangat penting. Tambak silvofishery atau “wanamina” adalah suatu bentuk usaha terpadu antara hutan mangrove dan perikanan budidaya. Pendekatan terpadu terhadap konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove memberikan kesempatan untuk mempertahankan kondisi kawasan hutan tetap baik, disamping itu budidaya perairan payau dapat menghasilkan keuntungan ekonomi. Faktor penting lainnya adalah teknologi ini menawarkan alternatif yang praktis untuk tambak tetap berkelanjutan (sustainable). Keberadaan hutan mangrove dapat terjadi pada lingkungan di sepanjang muara sungai atau lebih banyak dipengaruhi oleh faktor aliran sungai (fluvio-marine) dan 1
Fakultas Perikanan Universitas Pancasakti Tegal
147
lingkungan yang lebih didominasi faktor laut (marino-fluvial). Untuk kondisi hutan mangrove yang lebih banyak dipengaruhi faktor laut, biasanya suplai air tawar berasal dari curah hujan atau mata air (spring) dan struktur hutannya lebih didominasi oleh tanaman mangrove (Supriharyono, 2000). Ekosistem mangrove bagi sumberdaya ikan dan udang berfungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara juvenil dan berkembang biak serta secara ekologis sebagai penghasil sejumlah detritus dan perangkap sedimen. Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa baik sebagai habitat pokok maupun sebagai habitat sementara (Nugroho et al, 2001). 1.1.
Permasalahan
Wilayah estuaria merupakan habitat yang penting bagi sejumlah besar ikan dan udang untuk memijah dan membesarkan anak-anaknya. Beberapa larva ikan yang dipijahkan di laut lepas juga bermigrasi ke wilayah estuaria pada fase larvanya. Karakteristik lain yang menyebabkan ekosistem ini menjadi penting adalah peranannya sebagai perangkap nutrien (nutrient trap), tetapi apabila aliran dari darat mengandung bahan pencemar maka tidak hanya nutrien yang ditangkap tetapi juga bahan pencemar tersebut seperti minyak, pestisida, logam berat dan sebagainya. Dengan adanya mangrove di muara sungai sangat menentukan tingkat kesuburan sungai, mengingat peran mangrove sebagai daerah asuhan (nursery ground) bagi sebagian biota laut, terutama udang (Saptarini et al, 1995). 1.2.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1) Menganalisis kondisi mangrove sebagai silvofishery di Desa Muarareja Kota Tegal 2) Menganalisis usaha-usaha yang dilakukan masyarakat dalam pengelolaan mangrove di Desa Muarareja Kota Tegal 3) Menganalisis hubungan kerapatan mangrove sebagai silvofishery dengan tingkat kesuburan tambak di Desa Muarareja Kota Tegal 1.3.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Muarareja Kota Tegal, dimana telah dilakukan rehabilitasi yang dilakukan di bantaran sungai, tambak maupun tepi pantai sejak tahun 2003.
2.
METODE PENELITIAN
Metode yang dipergunakan dalam pelaksanaan peelitian ini adalah metode observasi dengan pengumpulan data dengan cara wawancara (interview). Metode observasi adalah metode yang dilaksanakan dengan cara melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala ataupun fenomena yang diselidiki, sedangkan pengumpulan data dengan cara wawancara (interview) adalah suatu pengumpulan data secara sistematis berdasarkan pada tujuan penelitian (Marzuki, 2002). Pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari analisis vegetasi mangrove yang terdiri dari kerapatan dan basal area dan analisis Trophik-Saprobik (TROSAP) pada tambak di Desa Muarareja Kota Tegal. Untuk mengetahui hubungan antara kerapatan mangrove dengan tingkat kesuburan perairan dilakukan analisis regresi linier.
148
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Hasil
3.1.1. Kerapatan Mangrove Komposisi vegetasi mangrove di Kelurahan Muarareja terdiri dari dua spesies , yaitu : Rhizophora sp. (bakau) dan Avicennia sp. (api-api). Spesies yang banyak ditemukan adalah jenis Rhizophora sp. karena mangrove jenis yang paling mudah dibibitkan dan ditanam oleh masyarakat. Berdasarkan hasil analisa data vegetasi mangrove di Kelurahan Muarareja Kecamatan Tegalsari diperoleh kerapatan relatif setiap spesies mangrove berkisar antara 2,44 – 7,32 %, kerapatan absolut berkisar antara 1,33 – 4,00 ind/meter dan basal area mangrove berkisar antara 5,50 – 9,42 m2. 3.1.2. Kelimpahan Plankton Kelimpahan plankton terdiri dari fitoplankton dan zooplankton. Untuk jenis fitoplankton terdiri dari 4 kelas, yaitu Chrysophyta, Chyanophyta, Chlorophyta, dan Desmidiacea serta terdiri dari 13 genera. Sedangkan jenis zooplankton terdiri dari 1 kelas yaitu Ciliata serta terdiri dari 1 genera. Untuk fitoplankton terdiri dari kelas Crysopyta yang terdiri dari Sinedra asus dan Nitzachia polca, kelas Cyanophyta yang terdiri dari Oscillatoria redekei dan Enchelys vermicularis, kelas Chlorophyta yang terdiri dari Cyclotella operculata, Cyclotella hidonica, Loxodes magnus, Chlorella verigatus, Polycalis cotnuta, Phacus, dan Sprirostumum ambiyuum, dan kelas Desmidiacea yang terdiri dari Dichotypical cell dan Closterium kuetzingii. Sedangkan zooplankton terdiri dari Kelas Ciliata yang terdiri dari Chilodonella uncinataii. 3.1.3. Indeks Keanekaragaman (H'), Indeks Keseragaman (e), Indeks Kemerataan (d) Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa indeks Indeks keanekaragaman (H’) fitoplanton berkisar antara 2.131 sampai 2.512 dengan rata-rata 2.341, indeks keseragaman (e) fitoplanton berkisar antara 0.276 sampai 0.326 dengan rata-rata 0.304 dan indeks kemerataan (d) fitoplanton berkisar antara 0.724 sampai 0.674 dengan ratarata 0.696. 3.1.4. Analisis Trobik Saprobik Berdasarkan perhitungan analisis trobik saprobik diperoleh nilai Indek Saprobik (SI) dan nilai Indek Trobik Saprobik (TSI) dengan kerapatan mangrove yang berbeda bahwa nilai Indek Saprobik (SI) berkisar antara 1,462 sampai 2,037 dengan rata-rata 1,671, sedangkan nilai Indek Trobik Saprobik (TSI) berkisar antara 2,009 sampai 2,942 dengan rata-rata 2,353. Sedangkan berdasarkan analisis regresi linier hubungan Keraparan Absolut mangrove pada tambak sebagai silvofishery dengan tingkat kesuburan tambak yang ditandai dengan nilai Indek Saprobik (SI) dan nilai Indek Trobik Saprobik (TSI) menunjukkan bahwa : 1) Hubungan kerapatan mangrove dengan nilai Indek Saprobik (SI) Hasil perhitungan analisa regresi antara kerapatan mangrove (x) dengan nilai Indek Saprobik (SI) (y), diperoleh persamaan garis regresi y = 1,411 + 0,124 x dengan koefisien korelasi (r) = 0,556 sehingga diputuskan terdapat korelasi yang positif (nyata) antara kerapatan mangrove (x) dengan nilai Indek Saprobik (SI) (y). Berdasarkan uji F diperoleh F hitung = 10,746 > F tabel (1;24) 0,05 = 4,26 dengan nilai signifikan 0,003 < 0,05; sehingga persamaan regresi dapat digunakan untuk
149
memerkirakan nilai Indek Saprobik (SI) (y) berdasarkan nilai kerapatan mangrove (x). Berdasarkan uji t untuk mengetahui signifikasi konstanta dan variabel dependen (kerapatan mangrove) diperoleh t hitung 3,278 > t tabel 0,025 (25) = 2,060; dengan signifikan 0,003 < 0,05; sehingga kerapatan mangrove (x) berpengaruh secara signifikan terhadap nilai Indek Saprobik (SI) (y). Hal ini berarti bahwa kerapatan mangrove (x) dan nilai Indek Saprobik (SI) (y) mempuyai hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Setiap penambahan kerapatan mangrove (x) sangat mempengaruhi penambahan nilai Indek Saprobik (SI) (y) demikian juga sebaliknya. 2) Hubungan kerapatan mangrove dengan nilai Indek Trobik Saprobik (TSI) Hasil perhitungan analisa regresi antara kerapatan mangrove (x) dengan nilai Indek Trobik Saprobik (TSI) (y), diperoleh persamaan garis regresi y = 1,999 + 0,169 x dengan koefisien korelasi (r) = 0,494; sehingga diputuskan terdapat korelasi yang positif (nyata) antara kerapatan mangrove (x) dengan nilai Indek Trobik Saprobik (TSI) (y). Berdasarkan uji F diperoleh F hitung = 7,765 > F tabel (1;24) 0,05 = 4,26 dengan nilai signifikan 0,010 < 0,05; sehingga persamaan regresi dapat digunakan untuk memerkirakan nilai Indek Saprobik (SI) (y) berdasarkan nilai kerapatan mangrove (x). Berdasarkan uji t untuk mengetahui signifikasi konstanta dan variabel dependen (kerapatan mangrove) diperoleh t hitung 2,787 > t tabel 0,025 (25) = 2,060; dengan signifikan 0,010 < 0,05; sehingga kerapatan mangrove (x) berpengaruh secara signifikan terhadap nilai Indek Trobik Saprobik (TSI) (y). Hal ini berarti bahwa kerapatan mangrove (x) dan nilai Indek Trobik Saprobik (TSI) (y) mempuyai hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Setiap penambahan kerapatan mangrove (x) sangat mempengaruhi penambahan nilai Indek Trobik Saprobik (TSI) (y) demikian juga sebaliknya. 3.1.5. Parameter Fisika Kimia Faktor parameter fisika kimia air memegang peranan penting dalam kegiatan budidaya. Dengan demikian kualitas air harus selalu dijaga agar berada pada kisaran yang mendukung bagi kehidupan ikan yang dibudidayakan. Berdasarkan parameter fisika kimia layak untuk budidaya udang/bandeng. 3.2.
Pembahasan
3.2.1. Kerapatan Mangrove Berdasarkan hasil penelitian setelah adanya rehabilitasi mangrove vegetasi mangrove di Kelurahan Muarareja Kecamatan Tegal Barat Kota Tegal diperoleh Basal Area (BA), Kerapatan Relatif (KR) dan Kerapatan Absolut (KA) tanaman mangrove jenis Rhizophora sp. (bakau) lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman mangrove jenis Avicennia sp. (api-api) hal ini disebabkan karena Rhizophora sp. (bakau) merupakan jenis mangrove yang paling mudah dibibitkan dan ditanam oleh masyarakat terutama di pematang tambak sebagai silvofishery. Spesies ini sangat mendominasi di Pesisir pantai maupun di tepi tambak masyarakat karena sebagian besar vegetasi mangrove yang ada di Kelurahan Muarareja merupakan hasil rehabilitasi pantai yang telah dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah maupun pihak lain yang sangat peduli dengan lingkungan terutama lingkungan pesisir/pantai di Kelurahan Muarareja Kecamatan Tegal Barat Kota Tegal. Kerusakan mangrove di Kota Tegal, khususnya di Kelurahan Muarareja telah mengalami kondisi yang sangat kritis. Hal ini dapat di lihat dari kerusakan pantai akibat abrasi mencapai 48,03 ha. Salah satu penyebab terjadinya abrasi adalah terjadinya kerusakan mangrove di sepanjang pantai di Kota Tegal. Dengan melihat kerusakan
150
mangrove tersebut, maka harus segara dilakukan mengembalian (rehabilitasi kawasan pantai sebagai sabuk hijau (green belt) yang mampu mengatasi abrasi sekaligus mengembalikan fungsi pantai sebagai daerah pemijahan (spawning ground) dan daerah asuhan (nursery ground) bagi ikan. Oleh karena itu Pemerintah Kota Tegal memandang perlu untuk segera dilaksanakan rehabilitasi mangrove di sepanjang pantai Kota Tegal, khususnya di Kelurahan Muarereja dengan melibatkan berbagai komponen, antara lain dengan melibatkan LSM (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumberdaya Pembangunan, 2005). Penanaman mangrove sebagai silvofishery di Kelurahan Muarareja dianggap telah berhasil merehabilitasi kawasan mangrove di Kota Tegal. Walaupun di Lokasi tepi pantai banyak terjadi kendala, seperti pengaruh iklim. Masyarakat Muarareja menunjukan bahwa dahulu pantai ini sangat hijau karena dilindungi pohon bakau. Penanaman mangrove selain di tanaman di tepi-tepi tambak juga ditanam di tepi pantai. Namun penanaman mangrove di tepi pantai dengan metode kubangan sering mendapat kendala, seperti gelombang yang besar sehingga bibit mangrove yang di tamam di tepi pantai banyak yang rusak. Sedangkan bibit mangrove yang ditaman dipematang tambak sebagai silvofishery banyak mengalami keberhasilan yang signifikan. Sejak adanya rehabilitasi kawasan mangrove di Kelurahan Muarareja, pada 2003 penutupan mangrove mengalami kenaikan terutama di stasiun 3 Kelurahan Muarareja sampai 50 persen sedangkan di stasiun yang lain kenaikannya hanya 15 persen. Di Muaraeja hampir 75 persen abrasi sudah bisa terkendali. Perkembangan tanaman yang ada di Muarareja terdapat 19 petakan atau 570 meter yang tingginya mencapai 3 meter. Keberadaan ekosistem mangrove berkaitan dengan perlindungan pesisir tidak diragukan lagi fungsinya sebagai penahan abrasi/erosi pantai. Hal ini dikarenakan mangrove dengan segala karakteristiknya dan kemampuannya melalui kekuatan akar-akarnya meredam ombak dan mencegah terjadinya abrasi/erosi pantai. Ironisnya belakangan ini ekosistem mangrove semakin terancam keberadaannya dimana laju degradasi yang cukup mengkhawatirkan, terlihat dari luas hutan mangrove di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan selama periode tahun 1982 - 1993 telah terjadi penurunan luas hutan mangrove sekitar 4 juta hektar menjadi 2,5 juta hektar. Penyebab utama penurunan luas hutan mangrove tersebut adalah adanya peningkatan kegiatan yang mengkonversi hutan mangrove menjadi peruntukan lain seperti pembukaan tambak, pengembangan kawasan industri dan pemukiman di kawasan pesisir (Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, 2006). Kawaroe (2001) menyatakan bahwa dampak yang diakibatkan oleh pemanfaatan ekosistem mangrove yang tidak terkendali adalah kerusakan ekosistem mangrove karena terputusnya mata rantai kehidupan antara ekosistem mangrove dengan ekosistem lain maupun di dalam ekosistem itu sendiri. Keadaan ini secara jelas akan mengurangi fungsi ekosistem tersebut dalam menunjang kehidupan biota air yang memanfaatkan keberadaan hutan mangrove tersebut sebagai tempat pembiakan dan pembesaran (spawning dan nursery ground) serta tempat mencari makan (feeding ground). Karena keberadaan ekosistem mangrove memegang peranan penting untuk kelangsungan proses ekologis dan hidrologis maka keanekaragaman biota air pada perairan pantai di wilayah pesisir akan tergantung dari kondisi ekosistem mangrove yang merupakan sistem penyangga bagi kehidupan biota tersebut. Menurut Bangen (2001), ada 2 faktor yang menyebabkan terjadinya abrasi pantai, yaitu : (1) proses alami (karena gerakan gelombang pada pantai terbuka), (2) aktivitas manusia. Kegiatan manusia tersebut misalnya kegiatan penebangan hutan (HPH) atau pertanian di lahan atas yang tidak mengindahkan konsep konservasi telah menyebabkan
151
erosi tanah dan kemudian sedimen tersebut dibawa ke aliran sungai serta diendapkan di kawasan pesisir. Aktivitas manusia lainya adalah menebang atau merusak ekosistem mangrove di garis pantai baik untuk keperluan kayu, bahan baku arang, maupun dalam rangka pembuatan tambak. Hutan magrove tersebut secara ekologis dapat berfungsi : (1) sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur, dan penangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan, (2) penghasil detritus (bahan makanan bagi udang, kepiting, dan lain-lain) dan mineral-mineral yang dapat menyuburkan perairan, (3) Sebagai daerah nurshery ground, feeding ground dan spawing ground bermacam biota perairan. Hutan bakau di Indonesia saat ini dinilai dalam keadaan sangat kritis. Di beberapa pesisir, hutan bakau mengalami kerusakan yang sangat parah hingga mencapai 90 persen. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (1993 -2003), hutan bakau yang berada di seluruh pesisir Indonesia lenyap. Akibatnya, kualitas kehidupan masyarakat pesisir pun turut merosot dan bencana alam tidak terhindarkan (Irwani, 2005). Selanjutnya Co-Fish (2005) menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan lain-lain. Hutan Mangrove dilihat dari aspeknya memiliki 2 potensi yaitu potensi ekologis yang menekankan pada kemampuannya dalam mendukung eksistensi lingkungan, serta potensi ekonomis yang ditunjukkan dengan kemampuan dalam menyediakan produksi yang dapat diukur dengan uang (Supriharyono, 2000). Oleh karena itu keberadaan hutan mangrove mempunyai peran positif guna mendukung sistem kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Hal ini perlu dikembangkan dan dilestarikan dengan cara mengelolanya secara baik dan bijaksana. Hutan mangrove selain berfungsi sebagai pelindung pantai dari terpaan angin kencang dari laut, juga berperan dalam menstabilkan tanah pantai. Disamping itu, kehadiran mangrove di pantai dan muara sungai sangat membantu dalam membendung hanyutan aliran partikel lahan daratan yang mengalir kelautan. Untuk mengetahui kecepatan akumulasi tanah di bawah tegakan mangrove, telah dilakukan pengamatan terhadap jumlah tanah atau lumpur yang terperangkap di atas permukaan pelat akril yang dipasang di permukaan tanah pada berbagai tegakan mangrove selama kurun waktu tertentu (Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Kota Tegal, 2004). 3.2.2. Kelimpahan Plankton Keberadaan plankton sangat mempengaruhi kehidupan di perairan karena memegang peranan penting sebagai makanan bagi berbagai organisme. Plankton terutama dari jenis fitoplankton merupakan produsen primer karena mampu berfotosintesis sehingga keberadaanya sangat penting dalam suatu perairan tidak terkecuali di tambak (Nybakken, 1992). Sedangkan menurut Sachlan (1982), fitoplankton yang terpenting dalam suatu perairan adalah kelas Chrysophyta karena dapat dimakan oleh ikan/udang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang mendapatkan fitoplankton genera Sinedra asus dan Nitzachia polca yang merupakan kelas Chrysophyta mempunyai kelimpahan paling banyak dibandingkan dengan genera yang lain. Chlorophyta mempunyai nilai kelimpahan tertinggi selama penelitian dengan rata-rata 39,85 %. Hal tersebut sesuai pendapat Sachlan (1982) bahwa fitoplankton yang berperan penting diperairan tawar ialah alga hijau, juga jika tambak dipupuk dengan
152
pupuk anorganik atau pupuk kandang, besar kemungkinan terjadi fitoplankton dari alga hijau ini, yang merupakan produsen primer dan dapat dimakan langsung oleh zooplankton atau ikan-ikan yang baru menetas. Pada penelitian diketahui bahwa zooplankton yang ada pada awal dan akhir pengamatan ditemui kelas Ciliata. Menurut Sachlan (1982), bahwa Ciliata ini memang tidak merupakan zooplankton sejati air tawar, tetapi banyak hidup diantara peryphyton atau di dasar sebagai bentos, dimana terdapat banyak detritus yang sedang membusuk. Pada tambak yang dikelola secara tradisional (sederhana) hanya memakan berbagai jenis pakan alami yang ada dalam tambak yaitu klekap (campuran berbagai jenis lumut), plankton bahkan juga dentritus (bahan-bahan dan kotoran yang membusuk di dalam air dan di dasar tambak). Dalam upaya menumbuhkan plankton di tambak agak berbeda dengan menumbuhkan pakan alami lainnya (klekap, lumut). Kedalaman air, jumlah dan komposisi pupuk yang akan digunakan merupakan persyaratan yang harus dipenuhi guna mencapai keberhasilan dalam menumbuhkan pakan alami ini (plankton). Plankton menghendaki air yang cukup dalam serta pupuk yang digunakan harus merupakan kombinasi antara pupuk Nitrogen (N) dan fospor (P). Salah satu pupuk yang dipergunakan dalam pemupukan tambak adalah pupuk organik (Gusmardi, 2003) 3.2.3. Indeks Keanekaragaman (H'), Indeks Keseragaman (e), dan Indeks Kemerataan (d) Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa indeks keanekaragaman (H'), indeks keseragaman (e), dan indeks kemerataan (d) fitoplankton tidak terdapat perbedaan yang nyata dengan perlakuan pemupukan dan aerasi pada akhir penelitian. Indeks keanekaragaman (H') fitoplankton pada akhir penelitian berkisar antara 2,121 – 2,500; indeks keseragaman (e) berkisar antara 0,278 – 0,337; dan indeks kemerataan (d) berkisar antara 0,663 – 0,722. Berdasarkan kriteria kualitas air bedasarkan nilai indeks keanekaragaman fitoplankton menurut Lee et al (1978) menunjukkan bahwa kualitas media selama penelitian tergolong pada pencemaran ringan. Sedangkan berdasarkan nilai indeks keseragaman menunjukkan bahwa spesies fitoplankton menyebar merata atau tidak terdapat kecenderungan suatu spesies mendominasi suatu komunitas karena nilai indeks keseragaman mendekati angka 0 (nol). Hal ini sesuai dengan pendapat Pielou (1975) yang menyatakan bahwa semakin kecil (mendekati nol) nilai indeks keseragaman maka dapat diartikan bahwa penyebaran jumlah individu setiap spesies tidak sama dan tidak ada kecenderungan suatu spesies mendominasi suatu komunitas, sedangkan sebaliknya jika semakin besar (mendekati satu) nilai indeks keseragaman maka dapat diartikan bahwa jumlah individu setiap spesies sama atau hampir sama. Demikian pula dengan nilai indeks kemerataan yang menunjukkan angka 1 (satu). Hal ini menunjukkan bahwa spesies fitoplankton menyebar secara merata dalam media penelitian (sampel perairan tambak). Berdasarkan hasil penelitian jumlah fitoplankton pada akhir penelitian meningkat, sedangkan jumlah zooplankton menurun. Jumlah jenis fitoplankton pada akhir penelitian secara taksonomis dikelompokkan menjadi 4 famili yaitu Chrysophyta, Chyanophyta, Chlorophyta, dan Desmidiacea. Diantara familia tersebut yang mendomisi (kelimpahan tertinggi) adalah familia Chlorophyta, sedangkan jenis zooplankton terdiri dari famili Ciliata dari jenis Chilodonella uncinata. Anggoro (1983) menyatakan bahwa pemupukan pada tambak dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan lingkungan, dengan memasukkan sesuatu bahan masukan
153
yang bertujuan memberikan hara yang diperlukan untuk merangsang dan meningkatkan pertumbuhan fitoplankton sebagai primery produsen di tambak. Dengan demikian tujuan dari pemupukan adalah sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesuburan perairan dan daya dukung tambak sehingga stocking rate ikan budidaya dapat optimal. 3.2.4. Analisis Trobik Saprobik Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa SI (Indek Saprobik) berkisar antara 1,462 – 2,037 dengan rata-rata 1,671 dan TSI (Indek Trophik Saprobik) berkisar antara 2,009 – 2,942 dengan rata-rata 2,353 tergolong dalam tingkat saprobitas -Mesosaprobik (pencemaran sedang) (dengan nilai SI dan TSI > 0,5 – 1,5) sampai dengan oligosaprobik (pencemaran ringan atau belum tercemar) (dengan nilai SI dan TSI > 1,5 – > 2,0) dengan indikasi pencemaran ringan atau belum tercemar, dan kesuburan dapat dimanfaatkan. Berdasarkan analisis regresi antara kerapatan mangrove dengan tingkat kesuburan perairan yang ditandai melalui nilai SI (Indek Saprobik) dan TSI (Indek Trophik Saprobik) diperoleh bahwa kerapatan mangrove mempunyai korelasi positif dengan tingkat kesuburan perairan, sehingga semakin tinggi tingkat kerapatan mangrove makan akan berakibat semakin tinggi nilai SI dan TSI. Dengan adanya mangrove di tambak akan memperkaya unsur hara yang besaral dari pembusukan luruhan daun mangrove yang jatuh di tepi tambak sebagai silvofishery. Dengan tingginya unsur hara di tambak akan meningkatkan kesuburan perairan tambak, sehingga proses rantai makanan di tambak akan berjalan dengan baik yang pada akhirnya akan meningkatkan kesuburan tambak. Arisandi (2004) menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki 4 fungsi spesifik yang dapat mempengaruhi kualitas perairan pesisir yaitu : 1) Kemampuannya mensuplai nutrien bagi peraian di sekitarnya. 2) Mangrove sebagai habitat burung air. Sebagai ekosistem yang subur dan kaya akan nutrisi membuat kawasan ini ramai dikunjungi oleh beragam satwa seperti burung 3) Keberadaan mangrove berperan penting dalam siklus hidup beberapa biota yang bernilai ekonomis seperti Kepiting, udang, bandeng dan ikan laut lainnya, karena pada masa bertelur dan memijahkan anaknya sebagian besar biota-biota itu bersiklus di kawasan pesisir yang bermangrove, baru setelah mereka dewasa akan kembali ke laut lepas. Hal ini dapat ditunjukkan dengan tingginya populasi zooplankton (mata rantai penting dalam jaring-jaring makanan. Keberadaannya dapat menghubungkan antara produsen I dengan konsumen I) organisme ini sebagian besar akan tumbuh dewasa menjadi jenis ikan, udang, kepiting dan kerang. 4) Selain itu beberapa jenis pohon mangrove seperti Pohon Baku (Rhizophora mucronata) dan Pohon Api-api (Avicennia marina) memiliki kemampuan dalam mengakumulasi (menyerap dan menyimpan organ daun, akan dan batang) logam berat pencemar, sehingga dapat berperan untuk menyaring dan mereduksi tingkat pencemaran logan berat di perairan laut. Secara ekologis hutan mangrove telah dikenal mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Ekosistem mangrove bagi sumberdaya ikan dan udang berfungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara juvenil dan berkembang biak. Bagi fungsi ekologi sebagai penghasil sejumlah detritus dan perangkap sedimen. Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa baik sebagai habitat pokok maupun sebagai habitat sementara. Mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang air laut
154
(Lawrence, 1998). Dengan melihat pentingnya peran dan fungsi tumbuhan mangrove terutama di tepi tambak sebagai silvofishery maka diperlukan pengelolaan yang terpadu melibatkan berbagai instansi yang terkait sehingga kawasan mangrove akan terjaga kelestariannya dan akan memberikan manfaat yang besar bagi kelangsungan hidup biota laut. Kelemahan atau kegagalan dalam mengelola mangrove terutama banyak disebabkan oleh segenap sistem administrasi, hukum dan kelembagaan selama ini disusun berdasarkan pada asumsi (prinsip) mangrove beserta sumberdaya yang terdapat didalamnya merupakan sumberdaya milik bersama (common property resources), sumberdaya hayatinya dapat dimanfaatkan terus menerus tanpa batas. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan intensitas pembangunan akan mengubah kawasan mangrove serta tambak sebagai tempat tinggal, sehingga akan mempengaruhi sistem ekologi tambak yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kesuburan tambak.
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Penanaman mangrove selain di tanaman di tepi-tepi tambak juga ditanam di tepi pantai. Namun penanaman mangrove di tepi pantai dengan metode kubangan sering mendapat kendala, seperti gelombang yang besar sehingga bibit mangrove yang di tamam di tepi pantai banyak yang rusak. Sedangkan bibit mangrove yang ditaman dipematang tambak sebagai silvofishery banyak mengalami keberhasilan yang signifikan. 2) Sejak adanya rehabilitasi kawasan mangrove di Kelurahan Muarareja, pada 2003 penutupan mangrove mengalami kenaikan terutama di stasiun 3 Kelurahan Muarareja sampai 50 persen sedangkan di stasiun yang lain kenaikannya hanya 15 persen. Di Muaraeja hampir 75 persen abrasi sudah bisa terkendali. Perkembangan tanaman yang ada di Muarareja terdapat 19 petakan atau 570 meter yang tingginya mencapai 3 meter 3) Hubungan antara kerapatan mangrove dengan tingkat kesuburan perairan yang ditandai melalui nilai SI (Indek Saprobik) dan TSI (Indek Trophik Saprobik) diperoleh bahwa kerapatan mangrove mempunyai korelasi positif dengan tingkat kesuburan perairan, sehingga semakin tinggi tingkat kerapatan mangrove makan akan berakibat semakin tinggi nilai SI dan TSI. 4.2.
Saran
Rehabilitasi mangrove di Kelurahan Muarareja menunjukkan kemajuan yang sangat signifikan walaupun masih terdapat kendala-kendala terutama pemeliharaan mangrove yang masih sangat kurang. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dapat disarankan bahwa perlu adanya pemahaman yang lebih kontinyu kepada masyarakat terhadap arti pentingnya tanaman mangrove bagi ekosistem laut. DAFTAR PUSTAKA Anggoro, S. 1983. Permasalahan Kesuburan Perairan bagi Peningkatan Produksi Ikan di Tambak. Diktat Buku Kuliah M.A. Kesuburan Perairan. Universitas Diponegoro, Semarang.
155
Arisandi, 2004. Mendesak, Penyelamatan Mangrove Jawa Timur. Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah, Gresik. http://www.ecoton.or.id/ Seperti yang Diterima pada 23 Jan 2005 19:47:12 GM. Dahuri R, J. Rais, S.P.Ginting dan M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT Pradnya Paremita, Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 2006. Sosialisasi Pengembangan Model Rehabilitasi Mangrove Untuk Pengembangan Jalur Hijau Pantai Kota Tegal Tahun 2006. Laporan Bulanan Ditjen KP3K. http://www.dkp.go.id/ seperti yang diterima pada 22 Jun 2006 07:17:28 GMT Bangen. D.G. 2001. Ekosistem dan Sumber daya Pesisir dan Laut Serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan (Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Bogor 29 Oktober – 3 November 2001. Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan IPB). Co-Fish. 2005. Mengenal, Memelihara dan Melestarikan Ekosistem Bakau. http://www.cofish.net/ Seperti yang Diterima pada 05 Marett 2005 12:35:15 GMT Gusmardi, D. 2003. Menumbuhkan Pakan Alami di Tambak dengan Menggunakan Pupuk Organik dan Anorganik. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. http://www.dkp.go.id/ Irwani. 2005. Pengelolaan Kawasan Sabuk Hijau yang Berkelanjutan. Program Studi Ilmu Kelautan. Jurusan Ilmu Kelautan. Faklutas Perikanan dan Kelautan. Universitas Diponegoro, Semarang. Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Kota Tegal. 2004. Memelihara Kawasan Sabuk Hijau. Pemerintah Kota Tegal, Tegal. Kawaroe, M. 2001. Kontribusi Ekosistem Mangrove terhadap Struktur Komunitas Ikan di Pantai Utara Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Pesisir & Lautan Volume 3. No. 3. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. http://www.crc.uri.edu/download/ Lawrence, D. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Buku Pedoman Teori dan Praktek untuk Peserta Pelatihan. Great Barrier Reef Marine Park Authority. Australia. Diterjemahkan oleh Mac T. dan MS Anggraeni Lee, C.D, S.B. Wang, and C.L. Kuo. 1978. Benthic Macro Invertebrate and Fish as Biological Indicator of Water Quality, With Reference to Community Diversity Indeks In Onano, E.A.R., B.N. Lohani and Thanh. Water Pollution Control in Developing Countries. The Asian Institute of Technology. Bangkok. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumberdaya Pembangunan. 2005. Pengelolaan Kawasan Sabuk Hijau Pantai Kota Tegal dalam Program Small Grants Programme for Operations to Promote Tropical Forests (SGP PTF UNDP Tahun 2005 – 2007. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Sumberdaya Pembangunan, Semarang.
156
Marzuki. 2002. Metode Riset. Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Nugroho, B, F.D.J. Priyono, J. Tetalepta, N.L. Nurida, R. Hidayati, Rustamsjah dan Wawan. 2001. Pengelolaan Wilayah Pesisir untuk Pemanfaatan Sumberdaya Alam yang Berkelanjutan. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nybakken. J.W. 1992. Biologi Laut suatu Pendekatan Ekologi. Pernebit PT. Gramedia, Jakarta. Pielou, E.C. 1975. Ecological Deversity. John Wiley and Son Inc, New York. Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. Universitas Diponegoro. Semarang. Saptarini, D., Suprapti dan H.P. Santosa. 1995. Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Wilayah Pesisir. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
157
AKTIFITAS ENZIM PENCERNAAN CACING LUR (Dendronereis pinaticirris) YANG DIBERI PAKAN SERASAH DAUN MANGROVE Oleh : Ninik Umi Hartanti1, Edy Yuwono2, Purnama Sukardi3 ABSTRAK Polychaeta khususnya cacing lur (Dendronereis pinaticirris) merupakan sumber nutrisi pakan alami yang sangat penting untuk pertumbuhan, sintasan dan mempercepat maturasi udang. Cacing lur memiliki kemampuan menyerap bahan organik terlarut, bersifat omnivor, bergerak aktif dan mencari makan di permukaan substrat. Pohon bakau memiliki serasah (litterfall ) yang berperan aktif sebagai sumber bahan organik terlarut. Serasah mangrove merupakan guguran daun, ranting, kulit batang, bunga, buah dan biji pohon bakau yang dapat menjadi substrat dan pakan bagi biota maupun bakteri disekitarnya. Cacing lur ini belum bisa dibudidayakan secara masal disebabkan masih sangat terbatas penelitian mengenai cacing lur, salah satunya penelitian tentang pakan cacing lur ini belum pernah dilakukan. Pemanfaatan serasah daun mangrove berbentuk flake untuk pakan diharapkan dapat mempercepat penambahan segmen tubuh, penambahan bobot tubuh cacing lur. Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Percobaan dilakukan dengan 5 (lima) perlakuan yaitu : PO ( tidak diberi pakan ), P1 (diberi pakan pelet nabati dari pabrikan), P2 (diberi pakan flake serasah daun Avicennia marina), P3 (diberi pakan flake serasah daun Rhizophora stylosa), P4 (diberi pakan campuran keduanya). Tiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali. Pengambilan sampel berupa pertumbuhan serta aktifitas enzim protease dan amilase. Key words: Dendronereis pinnnaticirris, Serasah daun mangrove, aktifitas enzim protease dan amilase ABSTRACT Polychaeta especially nereid worm (Dendronereis pinaticirris) is a source of nutritious natural feed essential for growth, survival rate and acceleration of prawn maturation. The worm has ability to absorb dissolved organic matter, omnivorous, moving actively and forages on the surface of the substrate. Mangrove tree has litter as source of dissolved organic matter. Mangrove litter consists of leaf, twig, bark skin, flower, fruit and seed which might become substrate and feed for organisms and also for bacteria living on the habitat. The nereid worm has not been mass cultured due to the biological knowledge on nereid worm was very limited. Detailed study on feed of this nereid worm have never been conducted so far. The use flake of mangrove leaf litter as feed in might be able to accelerate posterior segment generation and to increase to improve body weight gain. Experimental experiments were assigned in accordance with completely randomized design ( RAL) in five replicates. The treatments include : P0 (the worm was unfed), P1 (the worm was fed with pelleted vegetable from manufacturer), P2 (the worm was fed with flake made from leaf litter Avicennia marina), P3 (the worm was fed with flake made of leaf litter Rhizophora stylosa), P4 (the worm was fed with flake made of mixture of leaf litters of both mangrove plant species). Parameters observed comprised of protease and amylase activities, and quality of the water from the experimental media. Key words : Dendroneris pinnnaticirris, mangrove leaf litter, protease and amylase activities. 1
Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Pancasakti Tegal Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto 53122 3 Fakultas Sains dan Teknik, Jurusan Perikanan Dan Kelautan, UNSOED 2
158
1.
PENDAHULUAN
Dendronereis. pinaticirris atau cacing lur termasuk classis Polychaeta, hidup di estuarin dengan kondisi substrat berlumpur, perairan dangkal dan dipengaruhi pasang surut air laut. Cacing lur ini banyak dijumpai di pantai Utara Jawa (Siregar, 2008). Pada habitat alami cacing lur membenamkan diri di dasar perairan berlumpur dengan cara membuat lubang sedalam antara 10 – 40 cm (Sugiharto et al., 2008). . Cara makan sebagai omnivor dan dentritifor dengan menelan seperti sisa sisa tumbuhan dan hewan di permukaan sedimen, nereis juga dapat hidup sebagai suspension feeder, lubang yang dibentuk tadi akan terisi air dan mengarahkan partikel-partikel makanan yang kemudian akan disaring oleh mucus baru kemudian dimakan. Serasah pohon bakau tergolong cepat mengalami proses dekomposisi karena sedikit mengandung lignin. Hal ini akan mencegah terjadinya pembusukan pada tambak yang ditumbuhi mangrove (Al-Rasyid, 1990). Selain itu Proctor (1983) juga menyatakan bahwa pohon bakau memiliki fungsi dalam daur ulang nutrien bagi ekosistem sekitarnya. Serasah atau litterfall pohon bakau dapat menjadi substrat dan pakan bagi biota sekitarnya. Digesti merupakan suatu proses yang diperlukan dalam mencukupi kebutuhan nutrisi. Proses digesti, molekul-molekul yang besar seperti karbohidrat, lemak, protein dari bagian-bagian sel dan jaringan yang dikonsumsi harus dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil seperti gula dan asam amino agar dapat diangkut oleh membran sel (Villee et al., 1988). Digesti menyangkut penambahan air pada molekul yang akan dipecah, suatu reaksi yang dinamakan hidrolisis. Meskipun hidrolisis itu merupakan suatu reaksi eksotermik, tetapi jumlah energi yang dilepas hanya sedikit, agar reaksi tersebut dapat berlangsung dengan cepat maka harus terdapat enzim sebagai katalis. Enzim ini berfungsi sebagai pemecah ikatan kimia antar molekul dari senyawa-senyawa makanan.
2.
METODE PENELITIAN
2.1.
Meteri dan Metode
2.1.1. Bahan Juvenile cacing D. pinaticirris 72 – 91 (hasil pemijahan buatan di laboratorium umum Perikanan dan kelautan Fakultas Sains dan Teknik Unsoed), Substrat dari tambak desa randusanga Kabupaten Brebes, air laut, air tawar, pakan buatan flake berbahan baku serasah daun mangrove. 2.1.2. Tempat Penelitian dilaksankan di Laboratoriun Umum Jurusan Perikanan dan kelautan Fakultas sains dan Teknik Unsoed Purwokerto. 2.1.3. Rancangan Percobaan Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan: P0 : cacing D pinaticirris tanpa di beri pakan selama penelitian P1 : cacing D. pinaticirris diberi pakan buatan untuk ikan hias P2 : cacing D. pinaticirris diberi pakan flake berbahan baku serasah daun A. marina P3 : cacing D. pinaticirris diberi pakan flake berbahan baku serasah daun R. stylosa Griff.
159
P4 : cacing D. pinaticirris diberi pakan flake berbahan baku campuran serasah daun A.marina sebesar 50 % dan R. stylosa Griff sebesar 50 %. Tiap perlakuan disediakan lima unit sebagai ulangan. 2.1.4. Cara Kerja
1) Persiapan media kultur, subtrat diambil dari perairan payau tambak Brebes kemudian dijemur dan di oven pada suhu 90oC selama 2 x 24 jam agar organisme patogen mati. Lumpur dimasukkan dalam wadah percobaan (10 x 8,5 cm) dengan ketebalan 1cm. Setiap wadah perlakuan diisi dengan jenis substrat A, B dan C, kemudian diberi air dengan salinitas 15‰ serta diaerasi selanjutnya dibiarkan selama 1 (satu) minggu.
2) Persiapan Cacing uji, Cacing D. pinaticirris diambil dari tambak di Desa Randusanga Kecamatan Randusanga Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Cacing D. pinaticirris yang diperoleh dipilih yang masak kelamin, selanjutnya dipijahkan, larva yang diperoleh dipelihara selama 5 – 6 bulan dalam subtrat yang diperoleh dari habitat aslinya, sehingga diperoleh juvenil yang akan dipakai sebagai cacing uji.
3) Penempatan cacing uji, masing-masing wadah diisi juvenil cacing D. pinaticirris umur 5 – 6 bulan, hasil pemijahan laboratorium sebanyak 3 ekor yang sebelumnya telah diaklimasi selama dua minggu. Penempatan cacing uji dilakukan setelah ditimbang bobot awalnya dan dihitung jumlah segmennya.
4) Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan dan setiap perlakuan diberi pakan sesuai perlakuan setiap dua hari sekali secara adlibitum. 2.1.5. Variabel Penelitian 2.1.5.1. Pertumbuhan 1) Pertambahan berat tubuh Pertambahan berat cacing Dendronereis pinaticirris yang diukur adalah pertumbuhan mutlak yaitu perbedaan antara berat tubuh cacing D. pinaticirris pada awal dan akhir penelitian yang dihitung berdasarkan Hariyadi dan Yuwono (1998) : Pertambahan berat = Bt – Bo Keterangan : Bt : Berat rata-rata cacing D. pinaticirris pada akhir penelitian Bo : Berat rata-rata cacing D. pinaticirris pada awal penelitian 2) Pertambahan jumlah segmen Jumlah segmen tubuh cacing D. pinaticirris dihitung secara manual di bawah mikroskop stereo binokuler (perbesaran 10x). Pertambahan jumlah segmen cacing D. pinaticirris yang dihitung adalah perbedaan antara jumlah segmen cacing D. pinaticirris pada awal dan akhir penelitian yang dihitung berdasarkan Hariyadi dan Yuwono (1998) : Pertambahan jumlah segmen = St – So Keterangan : St : Jumlah segmen rata-rata cacing D. pinaticirris pada akhir penelitian So : Jumlah segmen rata-rata cacing D. pinaticirris pada awal penelitian
160
2.1.5.2. Aktifitas Enzim Pencernaan Protease dan Amylase 1)
Aktifitas Enzim Protease Aktivitas enzim protease total diestimasi dengan menggunakan metode hidrolisis Kasein (Furne et al., 2005; Papoutsoglou dan Lyndon, 2006). Pengujian ini dibuat dengan pH 7 dan garam fisiologis yang digunakan yaitu 0,1 M NaCl pH 7. Ekstraksi cacing lur yang telah diberokkan dicuci dengan air suling dingin. Untuk mengurangi resiko kontaminasi pada sampel dari beberapa mikroba enzim yang sudah ada di saluran pencernaan, jaringan tersebut dipotong kecil dan dicuci dengan 0,1 M NaCl pH 7 sebanyak 3 kali. Jaringan disimpan dalam freezer -20 oC. Jaringan cacing lur tersebut dijadikan 1 kemudian dihomogenkan dengan buffer fosfat pH 7 dingin dengan perbandingan 1:1 menggunakan kecepatan penuh selama 1 menit. Homogenat kemudian dimasukkan ke dalam tabung ependorf dan disentrifugasi pada suhu 4 oC (mencegah denaturasi protein), kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Uji aktivitas ekstrak kasar enzim protease terdiri atas larutan 0,6% kasein pH 7; larutan 0,1 M bufer fosfat pH 7 dan larutan 3,5% (b/v) TCA. Uji aktivitas dilakukan sebagai berikut : 2 ml substrat kasein 0,6% pH 7 dimasukkan pada tabung reaksi dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu 28 oC, ke dalam tabung sampel ditambahkan 0,4 ml ekstrak cacing lur/larutan enzim, lalu inkubasi dilanjutkan selama 30 menit pada suhu 28 oC. Reaksi dihentikan dengan menambah 0,6 ml asam trikloroasetat (TCA) 3,5% dalam keadaan dingin. Ke dalam tabung kontrol ditambahkan 0,4 ml ekstrak cacing lur/larutan enzim. Sampel uji dibiarkan mengendap selama 30 menit. Sampel disentrifugasi pada suhu 4 oC, kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan (filtrat) adalah produk reaksi enzim yang diukur absorbannya dengan panjang gelombang 275 nm. . Standar pengukuran aktivitas proteolitik yang digunakan adalah L-Tirosin. Aktivitas Protease (U) didefinisikan sebagai jumlah enzim yang diperlukan untuk menghasilkan 1µg tirosin (ekuivalen)/menit/ml larutan enzim dari substrat kasein pada kondisi pengujian tersebut. Pengukuran aktivitas enzim protease total dilakukan pada akhir penelitian.
2)
Uji Aktifitas Amilase (Metode Nelson-Somogyi ) Sebanyak 0,1 g serbuk pati dilarutkan dalam 10 ml bufer fosfat pH 8 masing-masing duplo. Larutan ini disebut larutan pati 1%. Larutan diinkubasi dalam oven suhu 70oC selama 15 menit. Gelatinasi selesai dilanjutkan dengan uji aktivitas. Tabung kontrol dimasukkan 0,5 mL larutan enzim dan 0,5 ml NaCl 0,85%, ke dalam tabung sampel dimasukkan 5 ml substrat pati 1%, pada tabung kontrol ditambahkan 1 mL larutan Na-Wolframat 10% dan 1 ml asam sulfat 2/3 N. Kedua tabung selanjutnya diinkubasi pada suhu sesuai habitat asalnya selama 5 menit. Tabung reaksi sampel ditambahkan 0,5 ml larutan enzim dan 0,5 ml NaCl 0,85%, kemudian inkubasi dilanjutkan selama 30 menit. Aktivitas enzim dihentikan dengan menambahkan ke dalam tabung sampel 1 ml larutan Na-Wolframat 10% dan 1 ml asam sulfat 2/3 N. Tabung kontrol ditambahkan 5 ml substrat pati 1%. Aktivitas amilase ditentukan dengan cara mengukur terbentuknya gula pereduksi menurut metode Nelson-Somogyi yaitu ke dalam tabung dimasukkan masing-masing 0,1 ml larutan sampel, 0,1 ml larutan kontrol, dan 0,1 ml larutan glukosa standar 100; 200; 300; 400; 500 µg/ml. Masing-masing larutan ditambahkan 0,2 ml reagen Cu-tartrat alkalis, kemudian diaduk. Tabung reaksi ditutup dan dipanaskan dalam penangas air mendidih selama 30 menit, kemudian didinginkan dalam air dan ditambahkan 0,2 ml reagen arsenomolibdat. Campuran dihomogenkan lalu diencerkan dengan menambahkan 7,5 ml akuades. Serapan diukur pada panjang gelombang 660 nm, kemudian dihitung dengan rumus berikut:
161
Aktivitas Enzim
( 2 ) - (1)
Faktor Pengenceran
0,18 Banyaknya gula pereduksi yang dibebaskan/ ml = (2) – (1) Keterangan: (1) : Konsentrasi Glukosa Kontrol (µg/ml) (2) : Konsentrasi Glukosa Sampel (µg/ml) Satu unit aktivitas amilase didefinisikan sebanyak 0,18 mg gula pereduksi (1µmol) yang dibebaskan per ml enzim pada kondisi percobaan.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Pertumbuhan
Menurut Fujaya (2004) pertumbuhan adalah pertambahan ukuran, baik panjang maupun berat. Pertumbuhan dipengaruhi faktor genetik, hormon dan lingkungan diantaranya zat hara dan suhu lingkungan. Zat hara meliputi makanan, air dan oksigen yang menyediakan bahan untuk pertumbuhan, gen mengatur pengolahan bahan tersebut dan hormon mempercepat pengolahan serta merangsang gen. Zat hara dalam penelitian ini menggunakan bahan baku serasah daun mangrove, adanya perbedaan selisih kandungan TOC awal dan akhir antar perlakuan yaitu P0 = 0,367 %, P1 = 0,388 %, P2 = 0,167 %, P3 = 0,117 %, P4= 0,371 % menunjukkan adanya pemanfaatan pakan oleh cacing lur untuk pertumbuhan. Pertumbuhan merupakan pertambahan jaringan akibat dari pembelahan sel secara mitosis, yang terjadi apabila kelebihan input energi dan asam amino (protein) yang berasal dari makanan (Effendie, 2002). Pengukuran pertumbuhan cacing lur melalui pertambahan berat tubuh dan pertambahan jumlah segmen. Menurut Golding (1967) tubuh Nereis terdiri dari segmen – segmen dari prostomiun sampai ujung ekor, apabila mengalami pertumbuhan maka segmen baru akan tumbuh diujung ekor sebagai daerah pertumbuhan. 3.1.1. Pertambahan Berat Tubuh Hasil pengamatan terhadap pertambahan berat tubuh pada akhir eksperimen menunjukkan bahwa perlakuan dengan jenis pakan yang berbeda mempengaruhi pertambahan berat tubuh (P < 0.05). Pertambahan berat pada perlakuan tanpa penambahan pakan rata-rata (– 25mg). Hal tersebut karena rata-rata berat cacing lur pada akhir penelitian lebih kecil dari berat rata-rata awal penelitian. Perlakuan pemberian pelet nabati 227 mg dan perlakuan pemberian akan flake A. marina 31 mg dan pemberian pakan flake R. stylosa 143 mg dan campuran R. stylosa dan A. marina sebesar 134 mg. Pertambahan berat tubuh cacing lur yang dipelihara dengan substrat sama dan pakan berbeda tersaji dalam Tabel 1. Tabel 1. Pertambahan berat tubuh cacing lur (D. pinaticirris) dengan pemberian pakan serasah daun mangrove Perlakuan Kisaran (mg) Rata-Rata (mg) Standar Deviasi P0 (- 7) - (- 42) -25 13,472 P1 170 – 293 227 55,922 P2 7 – 53 31 21,778 P3 80 – 200 143 48,101 P4 87 – 227 134 54,856
162
Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian pakan nabati yang berbeda terhadap pertambahan berat tubuh cacing lur dapat dilihat (Gambar 1).
Pertambahan Berat (mg)
Pertambahan Berat 300 250 200 150 100 50 0 -50
b c
P3
P4
a
a P0
c
P1
P2 Jenis Pakan
Gambar 1. Rata-rata pertambahan berat tubuh ( x ± SD, n = 25 ) cacing lur (D. pinaticirris) yang diberi pakan nabati berbeda. Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0,05). Data Tabel 8 dan Gambar 4.2 menunjukkan bahwa cacing lur yang diberi pakan pelet nabati pabrikan memberikan pertambahan berat tertinggi, akan tetapi yang berasal dari serasah daun mangrove R. stylosa dengan kadar protein 3,39 % mengalami pertambahan berat tubuh lebih baik dari pada yang diberi pakan flake A. marina kadar protein 14,73 % atau pun campuran ke duanya dikarenakan kandungan asam amino pada R. stylosa lebih tinggi dari pada A. marina. Namun demikian, apabila dibandingkan dengan P0 yang tidak diberikan pakan sangat berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa flake yang digunakan dalam penelitian sudah dapat meningkatkan pertambahan berat tubuh akan tetapi belum memiliki nutrisi yang seimbang terutama kadar protein dan lemak yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan cacing lur dikarenakan kandungan protein dan lemak pada flake A. marina dan R. stylosa lebih rendah dari cacing lur. 3.1.2. Pertambahan Jumlah Segmen Hasil pengamatan terhadap jumlah segmen pada akhir eksperimen menunjukkan bahwa pemberian pakan yang berbeda berpengaruh terhadap pertambahan jumlah segmen. Pertambahan jumlah segmen cacing lur yang dipelihara dengan pakan berbeda tersaji dalam Tabel 2.
Tabel 2. Pertambahan jumlah segmen cacing lur (D. pinaticirris) yang dipelihara dengan pakan berbeda Perlakuan Kisaran Rata-Rata Standar Deviasi 17,333 P0 (- 5) – 37 17,154 P1 50 – 70,33 59,867 9,686 P2 10,33 – 23,667 18,400 5,480 P3 30,00 – 70,667 48,600 15,294 P4 21,00 – 37,33 34,200 7,866 Tabel 2. menunjukkan bahwa pertambahan jumlah segmen dengan perlakuan P0 sebesar 17,333, perlakuan dengan pakan pelet nabati pabrikan 59,867, sedangkan pemberian pakan flake berbahan baku A. marina sebesar 18,400 dan perlakuan dengan
163
pakan flake berbahan baku R. stylosa 48,600 dan campuran keduanya 34,200. Hal ini menunjukkan flake yang digunakan dalam penelitian sudah dapat meningkatkan pertambahan segmen tubuh akan tetapi kualitas nutrisi pakan flake berbahan baku serasah daun A. marina dan R. stylosa belum memenuhi standar nutrisi yang optimal bagi pertumbuhan cacing lur. Hal ini disebabkan karena kandungan protein pada flake A. marina dan R. stylosa masih rendah yaitu sebesar 14,73 % dan 3,39 %, sedangkan kandungan protein pada cacing lur 52,26 %.
Pertambahan jumlah Segmen
Pertambahan Jumlah Segmen 80
b
60
b a
40 20
a
a
0 P0
P1
P2
P3
P4
Jenis Pakan
Gambar 2. Rata-rata pertambahan jumlah segmen ( x ± SD, n = 25 ) cacing lur (D. pinaticirris) yang dipelihara dengan pakan berbeda. Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0,05). Data Tabel 2. dan Gambar 2. menunjukkan bahwa cacing lur diberi pakan dengan protein nabati yang berasal dari pabrikan memberikan hasil yang terbaik akan tetapi pemberian pakan dengan bahan baku serasah daun mangrove dari jenis R. stylosa memberikan pertambahan segmen lebih tinggi dibanding A.marina ataupun campuran keduanya. 3.2.
Aktifitas Enzim Cacing Lur
Hasil pengamatan terhadap kandungan enzim cacing lur pada akhir eksperimen menunjukkan bahwa pemberian pakan yang berbeda berpengaruh terhadap aktifitas enzim pencernaan. Aktifitas enzim protease dan amilase dalam cacing lur dengan perlakuan pakan berbeda tersaji dalam Tabel 3.
Tabel 3. Aktifitas enzim protease dan amilase Aktifitas Amilase Nama Sampel (U/ml x menit) P0 16295,820 P1 12250,600 P2 13678,210 P3 13911,010 P4 15974,990
Aktifitas Protease (U/ml x menit) 1,0121 1,3106 0,8153 1,1403 0,7362
Tabel 3. di atas menunjukkan aktifitas enzim amilase lebih tinggi dibanding dengan aktifitas enzim protease, menurut Afandi et al. (2009), enzim yang dimiliki oleh hewan biasanya berhubungan dengan makanan yang dikonsumsinya yang berpengaruh terhadap jenis dan jumlah substrat serta aktifitas enzim pencernaan dalam perlakuan
164
pemberian pakan semua berbahan baku nabati, amilase termasuk karboksilase enzim ini secara bertahap akan menghidrolisis karbohidrat komplek (polisakarida) menjadi senyawa karbohidrat sederhana (monosakarida) yang siap untuk diserap oleh diding usus (Affandi et al., 2009). Perlakuan PO cacing lur tidak diberi pakan selama penelitian menunjukkan aktifitas Amilase tertinggi ini dimungkinkan karena substrat yang dijadikan media hidup mengandung materi organik yang berasal dari nabati menurut Suwignyo et al. (2000) nereis merupakan pemakan endapan atau deposit feeder secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dengan menelan pasir dan lumpur dalam lorongnya, bahan organik dicerna dan partikel mineral dikeluarkan bersama sisa pencernaan melalui anus, cacing lur pada perlakuan P0 dengan tidak diberi pakan selama penelitian memanfaatkan partikel organik dari substrat yang kaya akan bahan organik bersumber dari nabati maka aktifitas enzim amilase pada P0 tertinggi. Kemudian aktifitas enzim amilase antara cacing lur yang diberi pakan flake R. sylosa lebih tinggi dibanding cacing lur yang diberi pakan flake A. marina ini sinergi dengan analisis proksimat bahwa kadar serat serasah R. stylosa lebih tinggi dari pada kadar serat A. marina yaitu R. stylosa sebesar 32,55 % BK dan A. marina 29,06 % BK. Menurut Retire dan Caillou (1997) Nereis yang mengkonsumsi alga mempunyai efisiensi asimilasi lebih tinggi dibanding yang mengkonsumsi tanaman mangrove karena membutuhkan waktu digesti lebih lama yaitu 17 sampai 33 jam daripada yang mengkonsumsi alga hal ini disebabkan pada tanaman mangrove mempunyai lignin dan selulosa pada jaringannya. Aktifitas enzim protease tertinggi ditemukan pada perlakuan pemberian pakan pelet nabati pabrikan sebesar 1,3106 U/ml x menit sinergi dengan analisis proksimat dimana kandungan protein terbesar pada pelet nabati 46,62 % , sedang pada pemberian pakan flake R. stylosa aktifitas enzim proteasenya (1,1403 U/ml x menit) lebih tinggi dibanding dengan pemberian pakan flake A. marina (0,8153 U/ml x menit) ataupun flake campuran keduanya (0,7362 U/ml x menit), sinergi dengan kandungan asam amino pada serasah R. stylosa lebih tinggi dari serasah A. marina. Enzim yang sangat berperan dalam pencernaan protein adalah protease yang terdiri dari endopeptidase dan eksopeptidase, agar proses digesti protein berjalan cepat maka dibutuhkan enzim protease sebagai katalisator, protein dipecah dengan hidrolase dengan spesifitas untuk ikatan peptida, yaitu peptidase. Endopeptidase sebagai pemecah awal ikatan polipeptida panjang menjadi produk yang lebih kecil dimana enzim eksopeptidase bekerja yaitu membelah amino satu persatu baik dari ujung COOH atau NH2 terminus dan sebagai hasilnya akan diperoleh asam amino bebas, dipeptida, tripeptida kemudian akan diserap oleh epitel-epitel usus (Yuwono, 2001). Nutrien yang berbentuk sederhana dapat diserap oleh enterosit dan diedarkan keseluruh tubuh melalui peredaran darah yang dapat digunakan untuk mensitesis senyawa baru yang disebut anabolisme atau dioksidasi untuk menghasilkan energi bebas yang disebut katabolisme (Affandi et al., 2009) . 4.
KESIMPULAN
Pertumbuhan cacing lur yang diberi pakan flake serasah daun R. stylosa memberikan hasil lebih baik dari pada yang diberi pakan flake serasah A. marina dan campuran keduanya. Aktifitas enzim protease tertinggi ditemukan pada perlakuan pemberian pakan pelet nabati pabrikan sebesar 1,3106 U/ml x menit sinergi dengan analisis dimana kandungan protein terbesar pada pelet nabati 46,62 % , sedang pada pemberian pakan flake R. stylosa aktifitas enzim proteasenya (1,1403 U/ml x menit) lebih tinggi dibanding dengan pemberian pakan flake A. marina (0,8153 U/ml x menit) ataupun flake campuran keduanya (0,7362 U/ml x menit), sinergi dengan kandungan asam amino pada serasah R. stylosa lebih tinggi dari serasah A. marina
165
DAFTAR PUSTAKA Affandi, R., D.S. Syafei., M.F, Rahardjo., dan Sulistiono.2009. Pencernaan dan Penyerapan Makanan. IPB Press. Bogor.
Fisiologi Ikan
Al–Rasyid, H. 1990. Pelepasan Unsur Karbon Organik dan Unsur Mineral lainnya Selama Pelapukan Serasah di Areal Tegakan Sisa Hutan Alam Mangrove, Sungai Sepada, Kalimantan Barat. Bulletin Penellitian Hutan, p.16 – 28. Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama.Yogyakarta. Fujaya.,Y. 2004. Fisiologi Ikan. Rineka Cipta. Jakarta. Furne, M.C.H., A. Lo’pez, M. Garci’a-Gallego., A.E.Morales., A. Domezain., J. Domezaine., dan A. Sanz. 2005. Digestive Enzyme Activities in Adriatic Sturgeon Acipenser naccarii and Rainbow trout Onchorynchus mykiss. A Comparative study. Aquaculture, 250:391-398. Golding, D.W. 1967. Regeneration and Growth Control Nereis. J. Embryol. exp. Morph. 18,(1) : p 67 – 77. Departemen of Zoology University Bristol. Hariyadi, B dan E. Yuwono. 1998. Penelitian Pendahuluan Kelulusan Hidup dan Pertumbuhan Juvenil Cacing Lur (Nereis sp) Yang Di Pelihara Dalam Media Salinitas. Berbeda. Biosfera 11 : 17. Papoutsoglou, E.S. and A.R. Lyndon. 2006. Digestive Proteases and Carbohydrat along the Alimentary Tract of the Stargazer, Uranoscopus scaber Linnaeus, 1758. Mediterranean Marine Science, 7 (1):5-14 Proctor, J. 1983. Tropical Litter Fall. Black well Scientifik Publication. Oxford, 43 pp Retiree,C. and A, Caillou,. 1997. Juvenile Growth of Nereis diversicolor (O.F.Muller) Feeding on Range of Marine Vascular and Macroalgal Plant Saources Under Experimental Conditions. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology . Elseveir. Volume 208 Pages 1-12. Siregar, A. 2008. Ekologi Cacing Lur ( Dendronereis : Polychaeta) Di Area Pertambakan. Materi Pelatihan Pembenihan Welur. Unsoed Purwokerto. Sugiharto dan E. Yuwono. 2008. Morfologi dan Taksonomi Cacing Lur (Dendronereis pinnaticirris). Makalah Pelatihan Pembenihan Welur, Dendronereis (Nereidae, Polychaeta, Annelida), di Unsoed, Purwokerto. Suwignyo, S., W. Bambang, W.Yusli dan K. Majariana. 2000. Avertebtara Air Jilid 2. Penebar Swadaya, Jakarta. Villee, C.A., W.F. Walker and R. D. Barnes. 1988. Zoologi Umum. Erlangga, Jakarta. Yuwono, E. 2001. Fisiologi Hewan I. Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
166
PENGARUH PERBEDAAN JENIS PAKAN DAN DOSIS PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) Oleh: Sri Mulatsih1
ABSTRACT Effect of Differences Kinds and Dozes of Woof on Growth Rate and Survival of Freshwater Crayfish (Cherax quadricarinatus) .The objectives of the research are to know: (1). Effect of differences kinds and dozes of woof on growth rate and survival of freshwater crayfish (Cherax quadricarinatus), (2). The best kinds and dozes of woof to cultivation. The research was carried out in December, 2009 and take place in Faculty of Fisheries Laboratory, Pancasakti University. Size of freshwater crayfish juvenile cultivated is 4 – 5 cm length and weight about 2 grams. Aquarium with dimension 30 x 30 x 30 cm3 is used in this research. Treatments for kind of woof are green peanut and peanut while dozes of woof are 3, 5 and 7 % of the biomass. The method used in this research is experimental method and data is analyzed by factorial randomized block design. Based on data analysis is knew that differences kinds and dozes of woof have significantly affect to growth juvenile and survival of freshwater crayfish (Cherax quadricarinatus). Average survival of freshwater crayfish between 83,33 % and 100,00 %, while woof conversion was 0,92 %. The best treatment on this research is A1B2 (green peanut dozes 5%). Key words: Cherax quadricarinatus, Differences Kinds and Dozes of Woof.
1.
PENDAHULUAN
Pakan yang cukup dan memadai syarat gizi akan menjamin pertumbuhan serta kelangsungan hidup udang. Kandungan nutrisi di dalam pakan harus mempunyai nilai yang seimbang dengan udang yang dibudidayakan, dalam arti bahwa kuantitas dan kualitas pakan berpengaruh terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup dan konversi pakan, sehingga sistem pasok pakan (pengumpulan-penyimpanan-penyediaan) sangat menentukan keberhasilan produksi udang yang dibudidayakan. Mengingat arti pentingnya jenis dan dosis pakan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup lobster air tawar (Cherax quadricarinatus), maka dalam penelitian ini akan diujikan pengaruh jenis pakan kacang hijau dan kacang tanah dengan dosis pemberian pakan 3 %, 5 % dan 7 % dari bobot biomassa terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup lobster air tawar (Cherax quadricarinatus).
1
Program Studi Budidaya Perairan UPS Tegal
167
1.1.
1)
2)
1.2.
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : Pengaruh pemberian jenis pakan dengan dosis pemberian pakan yang berbeda terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). Jenis pakan dengan dosis pemberian pakan yang terbaik bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). Waktu Dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2009 dan bertempat di Laboratorium Fakultas Perikanan Universitas Pancasakti Tegal.
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Lobster Air Tawar
Berdasarkan klasifikasinya, udang lobster air tawar yang di Australia dikenal sebagai udang Red Claw ini, menurut Cholik at al (2005) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Phyllum : Arthropoda Sub phyllum : Crustaceae Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Parastacidae Genus : Cherax Spesies : 1. Cherax quadricarinatus 2. Cherax tenuimanus 3. Cherax destructor 4. Cherax montocola 5. Cherax albertisii 2.2.
Morfologi
Kurniasih (2009) menyatakan bahwa secara morfologis, tubuh lobster terbagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) bagian kepala dada (cephalothorax), (2) bagian tubuh (abdomen), dan bagian badan ekor (abdomen). Bagian-bagian tersebut dapat disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan gambar 2 terlihat, bahwa pada bagian kepala dada terdapat: (1) rostrum, yang bentuknya meruncing dan bergerigi, (2) sepasang mata bertangkai yang bisa digerak-gerakkan, (3) Sepasang sungut kecil (antennula) dan sungut besar (antenna), (4) Terdapat rahang (mandibula), maxilla I dan maxilla II yang berfungsi sebagai alat pengunyah makanan, (5) Terdapat 4 pasang kaki (periopod), dengan kaki pertama, kedua dan ketiga mengalami perubahan bentuk dan fungsi menjadi capit (chela). Capit pertama berfungsi sebagai senjata untuk menghadapi lawan, atau untuk menangkap mangsa yang bergerak lebih cepat. Sedangkan capit kedua dan ketiga digunakan sebagai alat yang berfungsi seperti tangan untuk mengambil makanan. Sementara dua pasang kaki lainnya digunakan sebagai alat untuk bergerak atau sebagai kaki jalan (periopod).
168
Ujung ekor (telson)
Gambar 1. Morfologi Lobster Air Tawar (Cherax Cherax sp sp) Pada bagian abdomen terdapat empat pasang kaki renang (pleopod ( pleopod) yang terletak di masing-masing masing ruas. Kaki-kaki Kaki kaki tersebut berfungsi sebagai kaki renang ((swimming legs). Sementara bagian ekor terdiri dari dua bagian, yaitu ekor kipas (uropoda ( uropoda) dan ujung ekor (telson). 2.3.
Sistem Reproduksi
Induk lobster air tawar akan mengalami kematangan gonad pada umur 6 – 7 bulan, setelah itu induk betina akan melakukan perkawinan dengan induk jantan. Tingkat kematangan telur pada induk betina dapat dilihat dari perkembangan ovariumnya, yang berada di bagian punggung. Sementara induk jantan mempersiapkan kematangan spermanya ermanya berdasarkan perkembangan alat kelamin (petasma) ( ) yang mengandung spermatophore (Wiyanto dan Hartono, 2005). Menurut Iskandar (2006), (2006), perbedaan induk jantan dan betina khususnya lobster red claw,, secara fisik dapat dilihat dari bagian ujung capit besar. bes ar. Jika di bagian ujung capit besar bagian luar berwarna merah, maka dapat dipastikan, bahwa lobster tersebut berjenis kelamin jantan. Namun apabila tidak ada warna tersebut, maka berjenis kelamin betina. Tapi kadang-kadang kadang pada yang betina juga sering dijumpai dijumpai warna orange di bagian ujung capit sebelah dalam. Secara lebih jelas, perbedaan tersebut dapat dilihat pada Gambar berikut :
Gambar 2.. Capit pada Lobster Jantan
Gambar 3.. Capit pada Lobster Betina
169
Ciri fisik lainnya, apabila pada bagian pangkal sepasang kaki paling belakang timbul benjolan, maka dapat dipastikan lobster tersebut berkelamin jantan. Sedangkan pada yang betina, benjolan muncul di pangkal sepasang kaki ketiga dari belakang. Secara lebih jelas perbedaan tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4. Benjolan pada Lobster Betina
Gambar 5. Benjolan pada Lobster Jantan
Proses perkembangbiakan lobster air tawar pada induk betina menyiapkan telurnya untuk dibuahi oleh induk jantan. Kematangan telur bagi induk betina dapat dilihat dari perkembangan ovariumnya yang berada di bagian pungung. Pada udang windu, perkembangan tersebut dapat dilihat secara jelas dengan menerawang bagian punggung di bawah sinar (Iskandar, 2006). Menurut Primavera (1983), kematangan telur udang penaeid dapat dibedakan dalam lima tingkat (hal yang sama diduga dijumpai pada udang red claw). yaitu: 1) Tingkat I : ovari tipis, transparan dan tidak terlihat melalui eksoskeleton dorsal (punggung kerangka luar), 2) Tingkat II : merupakan tingkat kematangan awal dengan terlihat adanya benang halus berwarna hijau pekat dibagian punggung, 3) Tingkat III : warna ovarium semakin jelas (gelap), tebal dan padat, 4) Tingkat IV : tingkat kematangan udang yang siap memijah dan ditandai dengan semakin melebarnya ovari dan di bagian anterior ovari tersebut terlihat lekukan-lekukan dan bulatan-bulatan pada ruas badan pertama dan kedua, 5) Tingkat V : ovari telah melepaskan telur baik secara penuh maupun sebagian, sehingga berwarna jernih atau pucat. Mundayana et al (2009) menyatakan bahwa proses pemijahan induk biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang pagi. Induk betina yang siap memijah tampak bergerak aktif mendekati jantan. Biasanya induk jantan dan betina yang berjodoh akan selalu bersama sebelum kawin. Setelah beberapa saat, induk betina akan membalikkan tubuhnya dengan posisi terlentang. Pada saat itu induk jantan akan segera mengawini dan berkopulasi dengan bentuk huruf Y. Proses ini berlangsung sekitar setengah hingga satu jam. Sekitar 10 – 15 hari setelah perkawinan, induk betina akan mulai mengeluarkan telur untuk dierami. Selama masa mengerami, induk betina akan melindungi telurnya yang menempel di bagian bawah tubuhnya dengan cara melipat ekornya ke dalam, seperti tampak pada Gambar 7.
170
Gambar 6. Proses Pengeraman Telur oleh Induk Betina Induk yang mengerami telurnya lebih sering berdiam diri di dalam lubang perlindungan. Telur yang keluar pada minggu pertama setelah proses perkawinan, biasanya akan berwarna kuning (Gambar 7). Namun sekitar dua minggu kemudian, telur akan berubah warna dari kuning menjadi orange. Kemudian memasuki minggu ke empat, muncul bintik-bintik hitam (Gambar 8). Bintik-bintik tersebut menandakan bahwa dalam waktu beberapa hari lagi, telur akan menetas (biasanya diakhir minggu ke lima).
Gambar 7. Telur yang Berwarna Orange dan Muncul Bintik-Bintik Hitam Setelah telur menetas semuanya, benih masih tetap menempel di tubuh induknya. Benih tidak langsung lepas dari tubuh induknya karena masih membutuhkan makanan berupa lendir di tubuh induk dan benih baru mulai lepas dari induknya setelah 4 – 5 hari menetas. Benih-benih tersebut kadang-kadang tidak lepas secara langsung, tetapi secara bertahap. Rata-rata benih tersebut akan lepas semua setelah 2 – 3 hari sejak benih pertama terlepas dari tubuh induknya. Menurut Sukmajaya et al. (2003), fekunditas seekor lobster betina yang bobotnya 55 – 72 gram rata-rata 237 butir/satu kali memijah. 2.4.
Moulting dan Pertumbuhan
Tapilatu, (1996) menyatakan bahwa seperti jenis crustacea yang lain, Cherax juga akan melakukan ganti kulit (moulting) untuk meningkatkan laju pertumbuhannya. Menurut Cholik et al. (2005) proses moulting terdiri dari 4 tahapan, yaitu premoult, moult, postmoult dan intermoult. Proses ini melibatkan daur ulang kalsium. Pertumbuhan jaringan somatik terjadi pada tahapan postmoult dan awal intermoult, sedangkan mobilisasi cadangan material metabolik Ca, P dan bahan organik ke dalam hepatopancreas terjadi pada akhir tahapan intermoult. Proses penyerapan dan penyimpanan Ca dalam gastrolith berlangsung sebelum berganti kulit, yaitu pada tahap premoult (Tapilatu, 1996). Dengan demikian kelancaran proses pergantian kulit tersebut
171
sangat menentukan laju pertumbuhan Cherax. Proses ganti kulit pada udang umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti suhu, makanan dan umur Cherax. Moulting pada Cherax selain berfungsi untuk merangsang dan mempercepat pertumbuhan, juga untuk mempercepat proses pematangan gonad pada induk. Selain itu juga berfungsi untuk menumbuhkan kembali bagian tubuh yang rusak atau patah. Biasanya kaki atau capit yang patah akan tumbuh normal kembali dengan cepat setelah moulting, walaupun kaki bekas patah tersebut tidak sebesar kaki sebelum patah (Wiyanto dan Hartono, 2005). Cherax selama hidupnya akan mengalami pergantian kulit hingga puluhan kali. Pergantian kulit mulai terjadi pada umur 2 – 3 minggu. Frekuensi pergantian kulit akan sering terjadi sebelum lobster dewasa dibandingkan dengan yang sudah dewasa. Pada induk Cherax, terutama induk jantan dan induk betina akan memulai moulting kembali setelah 2 – 3 kali melakukan pemijahan (Wiyanto dan Hartono, 2005). Mundayana et al (2009) menyatakan bahwa sebelum moulting atau sekitar 2-3 jam sebelumnya, Cherax akan terlihat lemah dan seakan mau mati, stres dan tidak mau makan. Pada tahap awal kulit kepala akan mengelupas atau terlihat terangkat dan terpisah dari kepala. Dalam beberapa waktu, kepala akan keluar dari kulit kepala lalu diikuti dengan terkelupasnya kulit eksoskeleton. Setelah ganti kulit, tubuh Cherax akan terlihat lemah karena kulitnya masih sangat lunak. Kulit akan mengeras kembali setelah 24 jam. Laju pertumbuhan Cherax dari beberapa penelitian dilaporkan sebagai berikut: Cherax tenuimanus sebesar 40 – 120 gram/tahun (Morrisy, 1970 dalam Tapilatu, 1996). Sedangakan laju pertumbuhan jenis Cherax yang sama dalam percobaan budidaya sebesar 6,2 gram/3 bulan pada padat tebar 4 ekor/m2 dan 5,6 gram/ 3 bulan pada kepadatan 8 ekor/m2 (Kartamulia dan Rouse, 1992).
3.
MATERI DAN METODE
3.1.
Lobster Air Tawar Uji
Lobster air tawar yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih lobster air tawar jenis capit merah (Cherax quadricarinatus) berumur dua bulan dengan ukuran 4 - 5 cm dan berat 2 gram yang berasal dari petani lobster 3.2.
Wadah Uji
Wadah dan media uji yang digunakan adalah akuarium berbentuk kubus dengan ukuran panjang sisi - sisinya 30 cm, sebanyak 18 buah dengan ketinggian air pada akuarium adalah 15 cm 3.3.
Padat Penebaran
Kepadatan tebar benih lobster air tawar 40 ekor / m2 (Iskandar, 2003), sehingga akuarium dengan ukuran panjang sisinya 30 cm, dengan jumlah lobster air tawar tiap akuarium adalah 4 ekor. 3.4. Pakan 3.4.1.
Jenis
Jenis pakan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah jenis pakan kacang hijau dan kacang tanah.
172
3.4.2.
Dosis dan Pemberian Pakan
Dosis pakan yang diberikan pada lobster air tawar adalah 3 %, 5 % dan 7 % dari bobot biomassa dengan frekuensi pemberian pakan sebanyak 3 kali sehari pada pagi, sore dan malam hari (Kurniasih, 2009).
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Pertumbuhan Bobot Individu Mutlak
Tabel 1. Pertumbuhan Bobot Individu Mutlak A1 Ulangan A1B1 A1B2 A1B3 (A) (B) (C) 1 2,96 3,73 2,79 2 2,68 3,70 2,65 3 2,57 3,84 2,69 Jmh Y 8,21 11,27 8,13 Jmh Y2 22,55 42,35 22,04 Rata-Rata 2,74 3,76 2,71 SD 0,20 0,07 0,07
A2B1 (D) 2,08 2,02 2,04 6,14 12,57 2,05 0,03
A2 A2B2 (E) 2,29 2,24 2,21 6,74 15,15 2,25 0,04
A2B3 (F) 1,79 1,81 1,72 5,32 9,44 1,77 0,05
Berdasarkan pengujian faktorial diperoleh bahwa Jenis Pakan (faktor A), Dosis Pemberian Pakan (faktor B) dan interaksi antara faktor A faktor B (AB) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pertumbuhan bobot individu mutlak (gram) Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus). Berdasarkan pengujian duncan diperoleh bahwa perlakuan A1B2 (jenis pakan kacang hijau dengan dosis 5 % dari bobot biomassa) merupakan perlakuan terbaik selama penelitian (Tabel 1). 4.2.
Laju Pertumbuhan Harian
Tabel 2. Laju Pertumbuhan Harian A1 Ulangan A1B1 A1B2 (A) (B) 1 2,96 3,73 2 2,68 3,70 3 2,57 3,84 Jmh Y 8,21 11,27 Jmh Y2 22,55 42,35 Rata-Rata 2,74 3,76 SD 0,20 0,07
A1B3 (C) 2,79 2,65 2,69 8,13 22,04 2,71 0,07
A2B1 (D) 2,08 2,02 2,04 6,14 12,57 2,05 0,03
A2 A2B2 (E) 2,29 2,24 2,21 6,74 15,15 2,25 0,04
A2B3 (F) 1,79 1,81 1,72 5,32 9,44 1,77 0,05
Berdasarkan pengujian faktorial diperoleh bahwa Jenis Pakan (faktor A), Dosis Pemberian Pakan (faktor B) dan interaksi antara faktor A faktor B (AB) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap laju pertumbuhan harian (%) Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) (Lampiran 18). Sedangkan berdasarkan pengujian duncan diperoleh bahwa perlakuan A1B2 (jenis pakan kacang hijau dengan dosis 5 % dari bobot biomassa) merupakan perlakuan terbaik selama penelitian (Tabel 2).
173
4.3.
Pertumbuhan Relatif
Tabel 3. Pertumbuhan Relatif Ulangan 1 2 3 Jmh Y Jmh Y2 Rata-Rata SD
A1B1 (A) 1,26 1,17 1,12 3,55 4,21 1,18 0,07
A1 A1B2 (B) 1,53 1,49 1,61 4,63 7,15 1,54 0,06
A1B3 (C) 1,20 1,15 1,14 3,49 4,06 1,16 0,03
A2B1 (D) 0,86 0,81 0,93 2,60 2,26 0,87 0,06
A2 A2B2 (E) 0,92 0,94 0,96 2,82 2,65 0,94 0,02
A2B3 (F) 0,78 0,76 0,73 2,27 1,72 0,76 0,03
Berdasarkan pengujian faktorial diperoleh bahwa Jenis Pakan (faktor A), Dosis Pemberian Pakan (faktor B) dan interaksi antara faktor A faktor B (AB) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pertumbuhan relatif (gram) lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). Sedangkan berdasarkan pengujian duncan diperoleh bahwa perlakuan A1B2 (jenis pakan kacang hijau dengan dosis 5 % dari bobot biomassa) merupakan perlakuan terbaik selama penelitian (Tabel 3). 4.4.
Pertumbuhan Bobot Biomassa Multak
Tabel 4. Pertumbuhan Bobot Biomassa Multak Ulangan 1 2 3 Jmh Y Jmh Y2 Rata-Rata SD
A1B1 (A) 11,84 5,74 10,28 27,86 278,81 9,29 3,17
A1 A1B2 (B) 14,92 14,80 15,36 45,08 677,58 15,03 0,29
A1B3 (C) 11,16 10,60 5,72 27,48 269,62 9,16 2,99
A2B1 (D) 3,81 8,08 3,92 15,81 95,17 5,27 2,43
A2 A2B2 (E) 9,16 4,34 4,33 17,83 121,49 5,94 2,79
A2B3 (F) 3,07 3,05 6,88 13,00 66,06 4,33 2,21
Berdasarkan pengujian faktorial diperoleh bahwa Jenis Pakan (faktor A) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) dan Dosis Pemberian Pakan (faktor B) berpengaruh nyata (P<0,05) sedangkan interaksi antara faktor A faktor B (AB) tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bobot biomassa multak (gram) lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). Sedangkan berdasarkan pengujian duncan diperoleh bahwa perlakuan A1B2 (jenis pakan kacang hijau dengan dosis 5 % dari bobot biomassa) merupakan perlakuan terbaik selama penelitian (Tabel 4). 4.5.
Pertumbuhan Panjang
Tabel 5. Pertumbuhan Panjang Ulangan 1 2 3 Jmh Y Jmh Y2 Rata-Rata SD
A1B1 (A) 1,00 0,90 1,60 3,50 4,37 1,17 0,38
A1 A1B2 (B) 2,00 1,00 1,40 4,40 6,96 1,47 0,50
A1B3 (C) 0,80 1,10 1,00 2,90 2,85 0,97 0,15
A2B1 (D) 1,20 1,00 1,00 3,20 3,44 1,07 0,12
A2 A2B2 (E) 0,90 1,20 1,30 3,40 3,94 1,13 0,21
A2B3 (F) 1,20 0,90 1,40 3,50 4,21 1,17 0,25
174
Pengujian faktorial diperoleh bahwa jenis pakan (faktor A), dosis pemberian pakan (faktor B) dan interaksi antara faktor A faktor B (AB) berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan panjang mutlak (cm) Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) (Tabel 5). 4.6.
Kelangsungan Hidup
Tabel 6. Kelangsungan Hidup Ulangan 1 2 3 Jmh Y Jmh Y2 Rata-Rata SD
A1B1 (A) 100,0 75,0 100,0 275,00 25625,00 91,67 14,43
A1 A1B2 (B) 100,0 100,0 100,0 300,00 30000,00 100,00 0,00
A1B3 (C) 100,0 100,0 75,0 275,00 25625,00 91,67 14,43
A2B1 (D) 75,0 100,0 75,0 250,00 21250,00 83,33 14,43
A2 A2B2 (E) 100,0 75,0 75,0 250,00 21250,00 83,33 14,43
A2B3 (F) 75,0 75,0 100,0 250,00 21250,00 83,33 14,43
Pengujian faktorial diperoleh bahwa jenis pakan (faktor A), dosis pemberian pakan (faktor B) dan interaksi antara faktor A faktor B (AB) berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan kelangsungan hidup (%) lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) (Tabel 6). 4.7.
Konversi Pakan
Tabel 7. Konversi Pakan Ulangan 1 2 3 Jmh Y Jmh Y2 Rata-Rata SD
A1B1 (A) 0,86 0,96 0,94 2,76 2,54 0,92 0,05
A1 A1B2 (B) 1,21 1,24 1,16 3,61 4,35 1,20 0,04
A1B3 (C) 2,09 2,16 2,26 6,51 14,14 2,17 0,09
A2B1 (D) 1,24 1,24 1,15 3,63 4,40 1,21 0,05
A2 A2B2 (E) 1,86 1,90 1,87 5,63 10,57 1,88 0,02
A2B3 (F) 3,11 3,19 3,21 9,51 30,15 3,17 0,05
Berdasarkan pengujian faktorial diperoleh bahwa Jenis Pakan (faktor A), Dosis Pemberian Pakan (faktor B) dan interaksi antara faktor A faktor B (AB) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap konversi pakan (%) lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). Sedangkan berdasarkan pengujian duncan diperoleh bahwa perlakuan A1B2 (jenis pakan kacang hijau dengan dosis 5 % dari bobot biomassa) merupakan perlakuan terbaik selama penelitian (Tabel 7). 4.8.
Parameter Fisika Kimia Air
Pengukuran parameter fisika kimia air selama penelitian berada pada kisaran yang layak untuk kehidupan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) terlihat pada Tabel 8.
175
Tabel 8. Parameter Fisika Kimia Air selama Penelitian No. Parameter Air Hasil Penelitian 1 Suhu (0C) 24 – 28 OC 25 – 30 2 pH 7–8 7–8 3 O2 terlarut (ppm) 4,5– 4,7 >3 4 CO2 bebas (ppm) 3,2 – 4,2 < 15
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Studi Pustaka (Purwakusuma, 2007) (Purwakusuma, 2007) (Purwakusuma, 2007) (Purwakusuma, 2007)
Berdasarkan hasil kesimpulan dapat disimpulkan bahwa : 1) Perbedaan jenis pakan dan dosis pemberian pakan berpanguh sangat nyata (P<0,01) terhadap terhadap pertumbuhan bobot individu mutlak (gram), laju pertumbuhan harian (%), pertumbuhan relatif (gram), namun tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan panjang (cm) 2) Perlakuan A1B2 (jenis pakan kacang hijau dengan dosis pemberian pakan 5 % dari bobot biomassa) memberikan efek yang terbaik terhadap pertumbuhan pada lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). 3) Kelangsungan hidup lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) selama penelitian berkisar antara 83,3 – 100 % 4) Perlakuan A1B1 merupakan perlakuan terbaik selama penelitian, karena mempunyai konversi pakan paling kecil yaitu berkisar antara 0,92 %. 5.2.
Saran
Bedasarkan hasil penelitian dapat disarankan untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik pada budidaya lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) digunakan jenis pakan kacang hijau dengan dosis pemberian pakan 5 % dari bobot biomassa. DAFTAR PUSTAKA Cholik, F., A.G. Jagadraya, R.P. Poernomo, Jauzi, A. 2005. Akuakultur Tumpuan Harapan Masa Depan Bangsa. Kerjsama Masyarakat Perikanan Nusantara dengan Taman Akuarium Air Tawar-Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Christantie, M. 1999. Pakan Ikan. http://www.kpel.or.id/. seperti yang diterima pada 26 Jan 2005 11:32:04 GMT Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2005. Bahan Alternatif Pakan dari Hasil Samping Industri Pangan. http://www.dkp.go.id. Djayasewaka. 1990. Pakan Ikan. C.V. Yasaguna. Jakarta Djunaidah, I.S. dan B. Saleh. 1984. Makanan Buatan. Balai Budidaya Air Payau, Jepara. Edgerton, B.F., L.H. Evans, F.J. Stephans, and R. Overstreet. 2002. Synopsis of Freshwater Cryfish Disease and Commensal Organism. Aquacultur Vol. 206 : 57 – 135
176
Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta. Hadi, S. 2000. Metodologi Research. Penerbit Andi, Yogyakarta. Huet, M. 1995. Text Book of Fish Culture Breeding and Cultivation. Fish News Ltd. England. Imanto, P.T. dan A. Basyarie. 1990. Budidaya Ikan Laut Pengembangan dan Permasalahannya. Proseding Rapat Teknis. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai, Bojonagara. Irianto, H.E. dan Soesilo, I. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta Iskandar. 2006. Budidaya Lobster Air Tawar. Agromedia Pustaka, Jakarta. Kartamulia, I and D.B. Rouse. 1992. Survival and Growth of Marron Cherax tenuimatus Outdoor Tank in Southcastern USA. Journal of of the World Aquculture Society. Vol. 23. No. 2. Kontara, E.K. dan S.U. Sumeru. 1987. Makanan Buatan untuk Larva Udang. Direktorat Jenderal Perikanan dan Internasional Development Research Centra, Jakarta (INFIS Manual Series No. 51). Kurniasih, T. 2009. Lobster Air Tawar (Parastacidae: Cherax), Aspek Biologi, Habitat, Penyebaran, dan Potensi Pengembangannya. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor. Marindro, M.K. 2008. Program Pakan Udang. Informasi Budidaya Udang, Jakarta. http://Marindro.blogspot.com seperti yang diterima pada tanggal 02 Nop 2009. Maskur, Y., Sukmajaya, E. Mujiutami dan Murtiati. 2005. Domestikasi Cherax albertisu dan Pengembangannnya di Indonesia. Temu Udang Ditjen Perikanan Budidaya. Mujiman, A. 2001. Makanan Ikan. Penebar Swadaya, Jakarta Mundayana, Y., Sutomo, H., Rosellia, S., Suharjo, I., Bunga, Nendih, S., Hastuti dan Afiati, A.T. 2009. Produksi Calon Induk Lobster Air Tawar (Cherax Sp). Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT), Sukabumi Natural Research Council. 1997. Nutrient Requirement of Domestic Animal. Requirement of Warmwater Fishes. National Academy of Sciences Wahington D.C. Primavera, J.H. 1989. Sugpo (Penaeus monodon) Broadstock. Phillippines. Departement South East Asian Fisheries Development Centre (SEAFDEC). Purwakusuma. 2007. Lobster Air Tawar. http//www.o-fish.com.id Seperti yang diterima pada 13 juni 2007 07:12:06 GMT.
177
Schmittou, H.R. 1991. High Density Fish Culture in Low Volume Cages. American Soybean Association. Singapore. Sukmajaya, Y., I. Sukarjo dan Amirudin. 2003. Domestikasi Cherax sp. Proyek Pengembangan Rekayasa Teknologi. BBAT Sukabumi Tahun 2003. Balai Budidaya Air Tawar, Sukabumi. Sukma, O.M. dan L. Rahardjo. 1987. Budidaya Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Sukma, O.M. dan M. Tjarmana. 1991. Budidaya Ikan. C.V. Yasaguna. Jakarta. Suhana. 2005. Revitalisasi Perikanan dan Kelestarian Sumber Daya Ikan. Harian Sore Sinar Harapan tanggal 22 Juni 2005. http://www.sinarharapan.co.id. Sudjana. 1992. Metode Statistika. Penerbit Tarsito, Bandung. . 1994. Disain Analisis Eksperimen. Tarsito. Bandung Tapilatu, R.F. 1996. Hubungan Beberapa Aspek Biologi Cherax loantzi (Crustaceae : Parastacidae) dengan Karakteristik Habitatnya di Daerah Aliran Sungai Klasafet Sorong – Irian Jaya. Thesis Program Pascasarjana. IPB Bogor. Utsco, 2004. Biologi Ikan Air Tawar. http://utsco.ut.ac.id/ol-supp/ seperti yang diterima pada 22 Des 2004 05:41:30 GMT. Warintek. 2005. Pakan Ikan. Teknologi Tepat Guna. Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Bappenas, Jakarta. http://www.iptek.net.id/ind/warintek/ seperti yang diterima pada 29 Sep 2005 12:53:01 GMT. Weatherley, A.H. and H.S. Gill. 1987. The Biology of Fish Growth. Academic Press Ltd. London. Wiyanto, R.H. dan R. Hartono. 2005. Lobter Air Tawar, Pembenihan dan Pembesaran. Penebar Swadaya, Jakarta.
178
PERSEPSI MASYARAKAT PETAMBAK DALAM PENGELOLAAN BUDIDAYA KEPITING SOFT SHELL CRAB BERBASIS KESEIMBANGAN LINGKUNGAN DI KABUPATEN PEMALANG Oleh : Muhamad Agus1
ABSTRAK Menurunnya kualitas lingkungan tambak kepiting di Ds. Mojo Kab. Pemalang tidak terlepas dari peran petambak dalam mengelola usahanya. Informasi mengenai persepsi petambak dalam budidaya kepiting merupakan tujuan dalam penelitian ini karena merupakan salah satu bagian dalam penyusunan model pengelolaan budidaya kepiting soft shell crab yang berbasis kelestarian lingkungan. Hasil penelitian kurang dari 60% petambak belum mengetahui teknik budidaya kepiting soft shell crab yang berdasarkan kemampuan daya dukung tambak, disamping itu lebih dari 90% petambak juga tidak mengetahaui mengenai produk hukum yang terkait dengan pengelolaan perikanan, pengelolaan pesisir, lingkungan, dll. yang semuanya terkait dengan pengelolaan budidaya perikanan. Hal ini didasarkan karena minimnya sosialisasi aturan kebijakan tersebut sampai pada lapisan bawah. sosialisasi yang lebih mendalam perlu dilakukan terkait dengan pelaksanaan kegiatan budidaya kepiting yang berdasar pada kemampuan daya dukung lingkungan pada para petambak kepiting, meningkatkan sosialisasi kebijakan terkait dengan perikanan dan pengelolaan lingkungan serta optimalisasi dari sisi operasionalisasi kebijakan tersebut, membentuk pokwasmas, dan menguatkan kelembagaan masyarakat, serangkain saran tersebut perlu sebagai rujukan dalan menyusun model pengelolaan budidaya kepiting soft shell crab yang berbasis keseimbangan lingkungan. Kata Kunci : Kepiting Soft Shell Crab
1.
PENDAHULUAN Masyarakat petambak mempunyai peranan penting dalam kelestarian lingkungan pesisir khususnya lingkungan tambak. upaya diversifikasi usaha tambak dengan budidaya kepiting yang dilaksanakan oleh petambak Desa Mojo Kecamatan Ulujami Kab. Pemalang sejak tahun 2000 telah mampu menghasilkan produksi kepiting soft shell crab 5000 kg dengan luasan tambak 2,5 ha, pada tahun 2007 hasil produksi meningkat mencapai 35000 kg dengan luasan tambak 17,6 ha. hasil tersebut belum bisa memenuhi permintaan pasar yang mencapai lebih dari 60 ton per bulan (Data Kelompok Pembudidaya “PELITA BAHARI” Pemalang 2008). Hasil produksi pada tahun 20082010 terus mengalami penurunan hingga mencapai 23600 kg / 17,6 ha. Penurunan hasil produksi tersebut lebih dikarenakan karena menurunnya kulitas lingkungan hingga mengakibatkan kultivan stress dan mati. Analisis daya dukung lingkungan tambak kepiting telah dikaji oleh Agus (2008), melalui penelitian yang berjudul Analisis Carryng Capacity Tambak Pada Sentra Budidaya Kepiting Bakau (Scylla Sp) Di Kabupaten Pemalang – Jawa Tengah. Hasil Penelitian, besaran carryng capacity dalam ekosistem tambak dengan adanya budidaya kepiting soft shell crab (soft shell crab) kepiting bakau di Kab. Pemalang telah terlampui, 1
Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan
179
hasil produksi rata-rata 2052,8 kg/periode, padat tebar 3 ekor/m2 dengan beban limbah total fospor sebesar 1,3 ppm/3x periode produksi, kapasitas asimilasi total posfor yang direkomendasikan untuk budidaya di tambak max. 1,2 ppm, hasil analisis carryng capacity produksi maksimal yang direkomendasikan sebesar 1613,58 kg/periode, dari padat tebar 2 ekor/m2 dengan beban limbah total fospor 1,01 ppm/3 x periode produksi. Kualitas air media budidaya pada periode produksi ke-1, dan ke-2, pada kondisi sangat layak untuk mendukung carryng capacity dalam lingkungan tambak tersebut dan pada periode produksi ke-3 dalam kondisi layak tingkat sedang. Menurunnya kualitas lingkungan tambak tersebut tidak terlepas dari peran petambak (pembudidaya kepiting) dalam mengelola usahanya. Tujuan pada penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai persepsi petambak dalam budidaya kepiting yang berbasis keseimbangan lingkungan yang merupakan salah satu bagian dalam penyusunan model pengelolaan budidaya kepiting soft shell crab yang berbasis kelestarian lingkungan. 2.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriftif analitik dengan pendekatan metode retrospectif prospectif , data primer didapatkan melalui wawancara bebas dan terstruktur mengenai persepsi dalam budidaya kepiting yang berbasis keseimbangan lingkungan, mengukur pengetahuan petambak mengenai perlunya menjada kelestarian lingkungan tambak, dan pengetahuan petambak mengenai undang-undang maupaun aturan lain terkait dengan pengelolaan lingkungan. Keunggulan dari metode retrospectif prospectif pada penelitian ini adalah mampu mengukur kejadian yang telah dilewati, bisa diprediksi dari hasil wawancara dan FGD, disamping itu kelebihan dari metode ini juga mampu menghitung/mengukur yang sedang terjadi akibat intervensi yang diberikan dengan lebih cermat. (Danin sudarman, 2000). Obyek penelitian pada masyarakat petambak kepiting diwilayah sentra budidaya kepiting Ds. Mojo, Kecamatan Ulujami Kabupaten Pemalang, sedangkan waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari samapai Maret 2010.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Profil Wilayah Penelitian
Desa Mojo memiliki wilayah ekosistem mangrove seluas 327 ha atau sebesar 40,18 % dari luas total ekosistem mangrove di Kabupaten Pemalang, yaitu seluas 813,8 ha (Profil Desa Mojo, 2009). Berbagai kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove di Desa Mojo telah dilakukan sejak tahun 1999 baik melalui program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun kelompok masyarkat. Pelaksanaan program-program tersebut di atas, melibatkan para petambak dan masyarakat umum. Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang sudah dilakukan selama ini hanya sebatas pada penanaman, namun untuk kegiatan pemeliharaan belum secara maksimal dilakukan baik oleh masyarakat pemanfaat, maupun pemerintah, kasus-kasus kerusakan mangrove oleh manusia masih terjadi sampai sekarang, namun demikian dengan adanya kegiatan rehabilitasi hutan mangrove tersebut membawa dampak pada peningkatan populasi ikan, udang maupun kepiting dari alam. Pada tahun 1999 rata-rata penangkap kepiting dari kawasan ini hanya mampu mendapatkan 5-10 kg/hari, namun pada tahun 2007 kepiting yang ditangkap bisa mencapai lebih dari 40 kg/hari hasil ini belum bisa menutup kebutuhan petambak pembudidaya kepiting soft shell crab, hingga pada tahun
180
2008 sampai sekarang bibit kepiting dengan berat kurang dari 50 gr (baby crab) sudah pada ditangkap untuk memenuhi kebutuhan para pembudidaya kepiting soft shell crab, padahal berat tersebut belum memenuhi syarat untuk kegiatan budidaya tersebut. 3.2.
Persepsi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Lingkungan Tambak
Sikap tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan budidaya kepiting soft shell crab yang berorientasi pada keseimbangan lingkungan tambak sangat tidak terlepas dari persepsi masyarakat sendiri terhadap lingkungan budidaya kepiting di tambak. Pesepsi tersebut dapat diketahui dari beberapa jawaban yang dirangkum dalam pertanyaan pada Tabel 1 berikut. Jumlah responden yang menjawab pertanyaan sebanyak 100 orang, dengan komposisi 60% pembudidaya kepiting, 10% pembudidaya udang, 10% pembudidaya bandeng, 15% penangkap kepiting/ikan/udang, 5% pemanfaat lingkungan tambak lainnya. Responden 26,5 % mengetahui dan faham mengenai budidaya kepiting yang berbasis keseimbangan lingkungan tambak, yang dirangkum dalam kelompok pertanyaan (1), sedangkan 30,6% memahami pda tingkat sedang dan 42,9 % tidak memahami sama sekali. hasil tersebut bisa dinyatakan lebih dari 50% petambak memahami dan mengetahui tentang pengelolaan budidaya tambak khususnya kepiting yang berbasis keseimbangan lingkungan, hal ini juga terbukti tingkat kesadaran para petambak dalam kegiatan mendukung pemerintah rehabilitasi lingkungan pesisir dengan penanaman bakau dengan tingkat partisipasi cukup tinggi. Pengetahuan tentang pengelolaan lingkungan pada para petambak didapat dari melalui penyuluhan dan keikutsertaan petambak dalam kegiatan seminar, lokakarya, deseminasi, dll. dalam rangka rehabilitasi kawasan pesisir. Kerusakan lingkungan budidaya (tambak) lebih diakibatkan para petambak belum mengetahui teknik budidaya kepiting yang sesuai dengan kapasitas daya dukung lingkungan tambak, dari hasil identifikasi pengetahuan tentang pengelolaan budidaya yang sesuai dengan kapasitas produksi (terkait dengan dengan daya dukung dan daya tampung tambak) belum dimiliki oleh para petambak. Petambak rata-rata ingin memaksimalkan hasil produksi karena tuntuan pasar, sehingga tidak mengindahkan dampak dari tingginya produksi tersebut yang menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan tambak yang berakibat menurunnya hasil produksi budidayanya.
181
Tabel 1. Persepsi Masyarakat terhadap Lingkungan Tambak Persepsi tentang Kelompok pertanyaan (1) terkait dengan keseimbangan lingkungan tambak : Teknik budidaya ramah lingkungan Kapasitas penyangga lingkungan budidaya tambak Produksi budidaya sesuai dengan daya dukung lingkungan tambak Fungsi ekologis dalam produksi budidaya tambak Fungsi mangrove dalam ekosistem tambak Pentingnya menjaga normalisasi saluran tambak Pentingnya menjaga vegetasi mangrove sebagai penyangga ekosistem tambak Pentingnya menjaga kualitas air dan tanah tambak dari limbah budidaya Pentingnya membatasi penangkapan ikan, udang, kepiting dan fauna lainnya dalam lingkungan tambak demi kelestarian dan keseimbangan lingkungan tambak Keseimbangan ekologis tambak berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat Kelompok pertanyaan (2) terkait dengan UU pengelolaan lingkungan : Adanya peraturan tentang pengelolaan lingkungan pesisir (UU No. 27 tahun 2007) UU nomor 32 tahun 2009, tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup UU No. 41 tahun 2009, tentang perlindungan lingkungan pertanian pangan berkelanjutan UU No. 5 tahun 1990, tentag konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya UU No. 5 tahun 1994, tentang pengesahan united nations convention on biological diversity
Mengetahui Mengetahui tingkat Tidak (%) sedang (%) mengetahui (%) 22 0
34 6
44 94
0
2
97
15
17
68
23 73 49
49 21 51
28 6 0
26
61
13
43
39
18
14
26
60
7
12
81
6
11
83
1
4
95
0
0
100
0
0
100
Persepsi yang terbangun dari para petambak lebih ditekankan berdasarkan pada pengalaman dalam aplikasi teknik budidaya yang dilaksanakan dari tahun 2000 – 2007 dengan hasil produksi tidak ada masalah. Adapun teknik budidaya yang diaplikasikan antara lain : mengolah tanah dan air tambak sekali dalam 3 kali proses produksi, persiapan lahan dengan menggunakan bahan kimia, padat tebar 3 ekor/m2, sirkulasi air selama masa produksi hanya mengandalkan pasang surut (tidak lebih dari 5%/hr). Aplikasi teknis budidaya tersebut selama kurun waktu 7 tahun tidak menampakkan ada masalah, hal ini dikarenakan laham tambak masih mampu mengasimilasi beban limbah organik dari sisa pakan dan kotoran kultivan, namun setelah kurun waktu tersebut kondisi tambak sering mengalami blowming plankton yang diikuti oleh fluktuasi parameter kualitas air yang lain sehingga berdampak pada ketidakseimbangan lingkungan tambak tersebut. Menurunnya daya dukung lingkungan yang berdampak menurunnya hasil produksi tersebut juga diakibatkan kurangnya pengetahuan dan pemahaman para petambak mengenai Unda-undang maupun aturan terkait dengan pengelolaan lingkungan, hal terlihat hanya 2,8% saja petambak yang mengetahui Undang-undang tekait dengan pengelolaan lingkungan, 5,4% mengetahui tingkat sedang dan 91,8% tidak mengetahui. Persepsi yang terbangun oleh para petambak tersebut sesuai dengan teori persepsi dari Suryani (1997) yang menyatakan bahwa persepsi adalah suatu proses mental yang
182
rumit dan melibatkan berbagai kegiatan untuk menggolongkan stimulus yang masuk sehingga menghasilkan tanggapan untuk memahami stimulus tersebut. Persepsi dapat terbentuk setelah melalui berbagai kegiatan, yakni proses fisik (penginderaan), fisiologis (pengiriman hasil penginderaan ke otak melalui syaraf sensoris) dan psikologis (ingatan, perhatian, pemrosesan informasi di otak). Sedangkan Sustiwi (1986), menyebutkan bahwa persepsi adalah suatu proses dimana otak menerima gelombang informasi lingkungannya melalui organ penginderaan, dan ini berguna untuk memberikan pengertian pada benda yang ada di lingkungannya. Disamping itu, persepsi juga merupakan kesadaran atau pengetahuan suatu organisme tentang obyek-obyek dan kejadian-kejadian yang ada di lingkungan yang dimunculkan oleh rangsangan organorgan indera sensoris, hal ini menunjuk pada cara bagaimana kita menafsirkan dan menata informasi yang kita terima melalui alat indera. Persepsi merupakan pengalaman sadar tentang apa yang sedang diceritakan oleh indera-indera sensori kita. Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa, persepsi adalah suatu proses atas kesadaran seseorang dalam merespon rangsang yang diperhatikan, diterima, dipahami dan dibuat interpretasi, evaluasi, pemaknaan, dan prediksi secara subyektif (sesuai pengalaman masa lampaunya maupun lingkungan) yang pada gilirannya menentukan perilaku (pemikiran, perasaan, sikap dan tindakan) seseorang (California State University, 2001). Beberapa hal yang mempengaruhi persepsi : (1) pelaku persepsi, bila seorang individu memandang pada suatu target dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik-karakterisik pribadi dari pelau persepsi, antara lain sikap, motif/kebutuhan individu, suasana hati, pengalaman masa lalu, prestasi belajar sebelumnya dan pengharapan, (2) Target yang akan diamati, karakteristiknya dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan, (3) Situasi, yaitu unsurunsur dalam lingkungan sekitar dapat mempengaruhi persepsi (Wirawan, 1983; Robin, 1996). Adanya faktor subyektif yang mempengaruhi pembentukan persepsi maka dimungkinkan terjadi persepsi seseorang terhadap hal yang sama berbeda dengan persepsi orang lain. Selain itu persepsi juga menentukan lebih lanjut secara berbeda atas seseorang dengan yang lain, mengenai apa dan bagaimana yang akan mereka lakukan sebagai implikasinya. 3.3.
Minat Pembudidaya Kepiting Soft Shell Crab
Sebagian masyarakat petambak Desa Mojo, Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang memilih kepiting bakau sebagai diversifikasi produk tambak adalah pilihan yang tepat, hal ini didasari oleh karena kepiting bakau memiliki beberapa keunggulan dibanding kultivan lain, kunggulan tersebut antara lain adalah ; mudah beradaptasi, cepat pertumbuhannya (dalam kegiatan budidaya), responsif terhadap pakan tambahan, tahan terhadap penyakit, mempunyai nilai ekonomis tinggi, mudah pemasarannya, dll. (Ramelan H.S, 1994 ; Romeo Dino Fortes, 1999 ; Cholik, 2005). Kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang difasilitasi OISCA TAHAP I tahun 1999 di Desa Mojo Kabupaten Pemalang membawa dampak positif bagi perekonomian masyarakat seputar kawasan hutan mangrove (kawasan tambak). Tiga tahun setelah kegiatan ini nelayan pencari ikan di seputar kawasan tambak sering melihat kepiting (baby crab), setahun kemudian penangkap ikan sudah mulai mendapatkan kepiting dewasa dengan jumlah yang relatif lebih banyak dibanding tahun-tahun sebelumnya, dengan semakin meningkatnya jumlah tangkapan kepiting dari kawasan tambak tersebut membawa dampak meningkatnya jumlah pembudidaya kepiting soft shell crab yang diikuti dengan meningkatnya penggunaan lahan tambak kosong bekas tambak udang dialih fungsikan menjadi tambak kepiting soft shell crab, disamping itu ada beberapa
183
pembudidaya kepiting gemuk yang juga beralih pada usaha budidaya kepiting kulit lunak. Tabel 2 berikut memuat data petambak dan luasan tambak yang dipergunakan untuk budidaya kepiting soft shell crab dari tahun 2003-2009. Tabel 2. Jumlah pembudidaya kepiting dan luas tambak
No.
Tahun
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
3.4.
Luas Tambak (ha) Soft shell Penggemukan crab 0,8 2 1,5 3 4 2 7 1 12 1 19 0,8 23 1
Jumlah pembudidaya Soft shell Penggemukan crab 6 8 9 14 13 9 19 4 23 2 28 2 32 2
Keseimbangan Ekologi Lingkungan Tambak
Keseimbangan ekologis lingkungan tamak mempunyai nilai ekonomis tinggi, sehingga harus dikelola secara arif sumberdayanya, karena wilayah ini merupakan bagian dari wilayah pesisir yang merupakan lingkungan yang dinamis, unik dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Kawasan lingkungan tambak sangat rentan terhadap berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan manusia baik yang berlangsung di dalam wilayah lingkungan tambak maupun yang berada di lahan atas dan laut lepas. Penanaman mengrove yang dilakukan oleh masyarakat, LSM dan Pemerintah mulai tahun 1999 sampai sekarang merupakan langkah yang tepat untuk mengembalikan dan menjaga keseimbangan kondisi ekologis lingkungan tambak secara eksternal. Dampak positf dari kegiatan tersebut adalah meningkatnya jumlah tangkapan hasil perikanan (ikan, udang, kepiting, dll), secara ekologis sudah terjadi keseimbangan lingkungan pada kawasan tambak. Hal ini bisa dilihat melalui keberadaan keadaan yang memberikan dukungan bagi siklus kehidupan ikan, baik untuk spawning ground (daerah pemijahan), nursery ground (daerah untuk pengasuhan), feeding ground (daerah untuk mencari pakan) dan refuge site (daerah untuk tempat berlindung). Keseimbangan ekologis pada lingkungan ini juga ditunjukkan dengan diversitas flora dan fauna. Percepatan pertumbuhan flora ini karena didukung kondisi subtrat yang cenderung liat, karena jenis subtrat ini mampu menyerap hara secara optimal. Masa kejayaan budidaya udang dari tahun 1984-1993 sangat berkontribusi besar terhadap dukungan keberadaan unsur hara, pada akhir kejayaannya tahun 1992, sering terjadi kasus blowing plankton pada tambak udang yang baru berumur 2 bulan, hal merupakan fenomena bahwa kondisi tambak tersebut terjadi eurytrifikasi (kelewat subur) yang pada akhirnya udang yang dibudidayakan selalu gagal panen. Kondisi kualitas air pada lingkungan tambak secara menyeluruh (internal tambak, saluran primer, skunder, dan tesier) tidak terjadi perbedaan yang cukup signifikan antara kondisi internal tambak dengan eksternal tambak, terkecuali parameter oksigen terlarut, pH, dan kecerahan pada tambak yang dioperasionalkan pada siklus atau bulan ke-3, hal ini terjadi karena berjalannya waktu proses produksi. Pada bulan ke-3 terjadi penumpukan sisa pakan dan kotoran kepiting budidaya yang terakumulasi selama tiga bulan mengalami dekomposisi dengan hasil akhir peningkatan unsur hara, sehingga pertumbuhan plankton maksimal hingga kecerahan mencapai 39 cm, demikian juga
184
pertumbuhuan klekap sampai menutupi lebih dari 25 % dari permukaan. Peristiwa ini akan diikuti dengan fluktuasi oksigen terlarut pada siang dan malam hari, demikian juga nilai pH dan kecerahan. Hasil peneraan kapasitas penyangga dalam ekosistem tambak kepiting ini yang dihitung berdasarkan beban limbah fospor yang terkait dengan influx nutrient, budget nutrient outflux nutrient. Tabel 3. Rerata Total Fospor (TP) Pada In let, Tambak, dan Out let Minggu Ke I II III IV V VI VII
VIII
IX
TP pada in let 0,041 0,041 0,040 0,042 0,039 0,041 0,039 (ppm)
0,041
0,041
TP pada 0,049 0,053 0,079 0,107 0,138 0,338 0,563 tambak (ppm)
0,892
1,217
TP pada out let (ppm)
0,043
0,042
0,040 0,039 0,041 0,042 0,043 0,042 0,042
Sumber : Hasil Penelitian, 2010 3.5.
Analisis Kebijakan
Pengelolaan lingkungan budidaya perikanan (tambak, kolam, empang, dll) didefinisikan sebagai suatu proses pemeliharaan, peningkatan lingkungan budidaya perikanan dengan melakukan pencegahan kerusakan sumberdaya ikan yang ada di wilayah lingkungan budidaya perikanan serta dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Undang-undang No. 45 tahun 2009 yang merupakan perngganti UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan, dalam pasal 1 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Limbah fospor yang dihasilkan selama tiga periode produksi budidaya kepiting soft shell crab oleh petambak di Ds. Mojo Kab. Pemalang mencapai 1,30 ppm, angka ini cukup rawan dalam kegiatan budidaya di tambak, karena dapat mengakibatkan kegagalan dalam keberlangsungan proses produksi selanjutnya. Limbah fospor tersebut diakibatkan oleh tingginya padatan populasi kepiting bakau sebagai kultivan yang diikuti dengan tingginya masukan pakan (ikan rucah). Pembudidaya kepiting selain menerapkan kepadatan kultivan yang tinggi, juga mengaplikasikan pestisida kimia dalam pemberantasan hama, tindakan ini cukup rawan dalam kelestarian keseimbangan lingkungan karena pembudidaya belum sadar jika tindakannya tersebut telah mencemari lingkungan, penangkap kepiting sekarang dalam lebih cenderung tidak mengindahkan menjaga kelestarian sumberdaya ikan karena kepiting yang ditangkap mulai dari baby crab sampai kepiting bertelur, selain itu juga ditemukan beberapa petambak yang mulai menebang vegetasi bakau yang ada di pinggiran saluran parit hanya untuk memperluas tambaknya dengan jalan menggeser pematang tambak kearah saluran, dampak dari kegiatan ini sebagian saluran tidak sama luasan permukaannya sehingga berpengaruh terhadap kelancaran aliran air dan sedimen. Tindakan-tindakan tersebut malanggar hukum, sesuai dengan UU No. 45 tahun 2009 tentang perikanan, UU No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, UU nomor 32 tahun 2009, tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, UU No. 41 tahun 2009, tentang perlindungan lingkungan pertanian pangan berkelanjutan, UU No. 5 tahun 1990, tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan UU No. 5 tahun 1994, tentang pengesahan united nations
185
convention on biological diversity. Sesuai Ayat 7 dalam pasal 1, UU No. 45 tahun 2009, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Penjelasan mengenai keseimbangan kebijakan budidaya kepiting di tambak sangat terkait dengan pembudidaya ikan, konservasi sumberdaya ikan, dan tata pemanfaatan air dan lahan untuk pembudidayaan ikan. Penjelasan lebih rinci menggenai pembudidaya ikan yang dimaksud dalam pasal 1 undang-undang ini adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan. Sedangkan konservasi sumberdaya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. Penjelasan mengenai tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan dimaksudkan agar distribusi dan pemanfaatan air dapat dilakukan secara maksimal, sesuai dengan kebutuhan teknis pembudidayaan ikan serta dapat dihindari penggunaan lahan yang dapat merugikan pembudidayaan ikan, termasuk ketersediaan sabuk hijau (greenbelt). Terkait dengan kegiatan budidaya kepiting ditambak, Bagian Keenam pada UU ini memuat tentang larangan yang dijabarkan dalam pasal 35 yang isinya, dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang: 1) Menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; 2) Melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; 3) Menebang mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain; 4) Melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; 5) Melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; 6) Melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya. UU No. 32 tahun 2009, pasal 1 (ayat 2), Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. UU No. 5 tahun 1990 pada pasal 1,2,3 dan lebih menekan pada perlunya keseimbangan pemanfaatan sumberdaya alam hayati berdasar pada ekosistemnya, sehingga kelestarian sumberdaya alam hayati dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia, demikian juga konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya menjadi tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan masyarakat. Penekanan aturan perundang-undangan tersebut diatas sangat terkait dengan fungsi pengeloaan budidaya kepiting soft shell crab berbasis lingkungan.
186
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan identifikasi melalui jawaban pertanyaan terkait dengan persepsi respomden sesuai tersaji pada Tabel 1. Secara umum petambak yang mengetahui dan sadar tentang budidaya ramah lingkungan kurang dari 60%, dari hasil ini petambak kepiting dengan memberlakukan padatan bibit tinggi yang diikuti dengan jumlah pakan tinggi dan berakibat menumpuknya limbah organik, penggunaan pestisida kimia, dll. dilakukan secara tidak sengaja karena ketidak tahuan, hal ini juga tergambar bahwa petambak sama sekali tidak mengetahui tentang kapasitas penyangga dan kemampuan kapasitas penyangga dalam mendukung produksi, demikian juga penangkap dan pemanfaat lingkungan tambak secara umum tidak mengetahui bila tindakan menangkap baby crab, kepiting bertelur, dan menangkap ikan dengan listrik adalah merupakan tindakan yang dapat merusak lingkungan dan pelestarian sumberdaya ikan, responden lebih dari 90% tidak mengetahaui mengenai produk hukum yang terkait dengan pengelolaan perikanan, pengelolaan pesisir, lingkungan, dll. yang semuanya terkait dengan pengelolaan budidaya perikanan. Hal ini didasarkan karena minimnya sosialisasi aturan kebijakan tersebut sampai pada lapisan bawah. Saran yang bisa disampaikan terkait dengan penelitian ini adalah perlu adanya sosialisasi yang lebih mendalam terkait dengan pelaksanaan kegiatan budidaya kepiting yang berdasar pada kemampuan daya dukung lingkungan pada para petambak kepiting, meningkatkan sosialisasi kebijakan terkait dengan perikanan dan pengelolaan lingkungan serta optimalisasi dari sisi operasionalisasi kebijakan tersebut, membentuk pokwasmas, dan menguatkan kelembagaan masyarakat, serangkain saran tersebut perlu sebagai rujukan dalan menyusun model pengelolaan budidaya kepiting soft shell crab yang berbasis keseimbangan lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Agus Muhamad. 2005. Pengaruh Jenis Dan Frekuensi Pemberian Pakan Terhadap Pertumbuhan Dan Moulting Kepiting Bakau Di Tambak. Journal PENA AKUATIKA Vol 2 September 2005 ISSN. 0216-5449, Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan. ______________.2006. Analisis Morfologi(Rongga Antara Abdoment Dengan Carapas) Terhadap Percepatan Laju Moulting Kepiting Bakau . Journal PENA AKUATIKA Vol 2 September 2006. ISSN. 0216-5449, Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan. ______________. 2007. Uji Komparasi Teknologi Budidaya Kepiting Bakau Sistem (Scylla Sp) Sistem Single Room Dan Massal Di Tambak Ds. Mojo Kabupaten Pemalang. Journal PENA AKUATIKA Vol 1 April 2007. ISSN. 0216-5449, Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan. ______________.2007. Analisis Perbedaan Tingkat Salinitas Terhadap Percepatan Moulting Kepiting Bakau. Journal PENA AKUATIKA Vol 2 September Tahun 2007. ISSN. 0216-5449, Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan. ______________2008. Analisis Carryng Capacity Tambak Budidaya Kepiting Kulit Lunak (Soft Shell Crab) Di Kabupaten Pemalang-Jawa Tengah. Majalah Ilmiah Bidang Kelautan, Perikanan “Oseatek” Edisi 5/Nop 2008, ISSN. 1858-4519, Lembaga Peneitian Univ. Pancasakti Tegal.
187
______________2008. Uji Aplikasi Teknologi Budidaya Kepiting Kulit Lunak Dengan Pendekatan Keseimbangan Daya Dukung Lingkungan Di Tambak. Laporan Penelitian Mandiri 2008. Fakultas Perikanan Unikal Pekalongan. ______________2009. Kajian Teknis Budidaya Kepiting Kulit Lunak (Soft Shell Crab) Kepiting Bakau Scylla Sp Di Tambak Kabupaten Batang. Journal Ilmiah Padma Sri Kresna Vol 1 No. 13, Agustus 2009, ISSN. 1411-8114, Yogyakarta. California State University, 2001. Sensation Http://Www.Csun.Edu~Vcpsy 015/Sensper.Htm.
And
Perseption.
Cholik, F. 2005. Review Of Mud Crab Culture Research In Indonesia, Central Research Institute For Fisheries, PO Box 6650 Slipi, Jakarta, Indonesia, 310 CRA. Pemerintah Kabupaten Pemalang, 2009, Monografi Desa Mojo Kecamatan Ulujami Semester II Tahun 2009. Pemerintah Desa Mojo, 2009, Profil Desa Mojo Kecamatan Ulujami. Ramelan H.S. 1994. Pembenihan Kepiting Bakau (Scylla Serrata). Direktorat Bina Perbenihan.Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. Robin S., 1996. Perilaku Organisasi. PT. Prenhalindo. Jakarta. Romeo Dino Fortes, 1999. Mud Crub Research And Development In The Philippines : An Overview. Mud Crab Aquaculture And Biology. Proceedings Of An International Scientific Forum Held In Darwin. Australia Center For Internatioanl Agriculture Research Canberra. Surjani M., 1997. Pembangunan Dan Lingkungan : Meniti Gagasan Dan Pelaksanaan Suistainable Development. IPPL. Jakarta. Sustiwi E., 1986. Desa, Masyarakat Desa Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa. Usaha Nasional. Surabaya. Sudarwan, Danim, 2000, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, Bumi Aksara, Jakarta. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, Kaitannya Dengan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Hutan Mangrove. UU No. 5 Tahun 1990, Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Dan Ekosistemnya. UU No. 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. UU No. 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Konvensi PBB Mengenai Keaneka Ragaman Hayati. UU No. 32 Tahun 2009, Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No. 27 Tahun 2007, Tentang Pengelolaan Wilayah Peisir. William, A. W., 2003. Aquaculture Site Selection. Coorporative Extention Program. Princeton.
Kentucky State University
188
PEMANFAATAN FERMENTASI LIMBAH ORGANIK TERNAK AYAM SEBAGAI SUMBER PROTEIN BAGI KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN IKAN NILA MERAH (Oreochromis Niloticus) Oleh : Narto1, Sri Mulatsih1, Ninik Umi Hartanti1
ABSTRAK Salah satu hal yang harus diperhitungkan dalam budidaya perikanan adalah pakan, karena pakan merupakan komponen yang terbesar dalam budidaya perikanan, hampir 70% pengeluaran digunakan untuk konsumsi pakan, untuk itu perlu adanya alternatif pakan yang dapat digunakan dengan biaya murah dan memberikan kontribusi bagi pertumbuhan bobot ikan. Salah alternatif sumber protein bagi pakan adalah dari fermentasi limbah kotoran ternak dari ayam petelur. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pemanfaatan fermentasi limbah organik ternak ayan sebagai salah satu sumber protein dalam bahan baku pakan, dan mengetahui prosentase terbaik dari fermentasi limbah organik ternak ayam dalam bahan baku pakan buatan bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih nila merah (Oreochromis niloticus). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 di Laboratorium Budidaya Terpadu Fakultas Perikanan Universitas Pancasakti Tegal. Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih ikan nila merah (Oreochromis niloticus) ukuran 3 – 5 cm dengan bobot rata-rata individu sebesar 1,5 gram per ekor yang berasal dari Balai Benih Ikan Randu Dongkal Pemalang, dengan padat penebaran berkisar antara 30-40 ekor/m2. Media penelitian digunakan aquarium dengan ukuran panjang 30 cm, lebar 30 cm dan tinggi 30 cm dan ketinggian ari adalah 20 m sebanyak 12 buah. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini yang merupakan perlakuan, adalah formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 50%, 60%, 70% dan 80% dari bobot pakan. Dosis pakan yang diberikan pada ikan nila merah adalah 3% dari bobot biomassa dengan frekuensi pemberian pakan sebanyak 2 kali sehari, yaitu pagi dan sore. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Pemanfaatan limbah organik ternak ayam sebagai sumber protein bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan bobot individu mutlak (gram), laju pertumbuhan harian (%), pertumbuhan terhadap konversi pakan (%), namun tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan panjang mutlak dan perlakuan terbaik pada perlakuan C dan D (Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 70% dan 80% dari bobot pakan). Parameter kualitas air selama penelitian berada pada kisaran yang layak bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan nila merah. Kata kunci : Pemanfaatan, Fermentasi, Bahan Baku, Limbah Organik.
1
Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Pancasakti Tegal
189
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Ikan nila adalah salah satu komditas budidaya perikanan yang memiliki prospek pasar yang cukup tinggi. Selain mempunyai spesifik rasa, padat dagingnya, mudah disajikan dalam berbagai menu juga harganya relatif murah sehingga terjangkau oleh masyarakat luas (Amri dan Khairuman, 2002). Salah satu hal yang harus diperhitungkan dalam budidaya perikanan adalah pakan, karena pakan merupakan komponen yang terbesar dalam budidaya perikanan, hampir 70% pengeluaran digunakan untuk konsumsi pakan, untuk itu perlu adanya alternatif pakan yang dapat digunakan dengan biaya murah dan memberikan kontibusi bagi pertumbuhan berat ikan. Salah satu alternatif sumber protein bagi pakan adalah dari fermentasi limbah kotoran ternak dari ayam petelur. Nilai nutrisi kotoran ayam tergantung pada jenis ransum yang dikonsumsi, umur dan banyaknya bulu atau bahan lain yang terdapat dalam kotoran ayam. Menurut Koeshendraja (1988) dalam kotoran ayam masih terkandung zat-zat makanan dengan kandungan protein kasar 10,6% serat kasar 1,5%, lemak 1%, kalsium 4,0% asam amino methionin 0,2%, cystein 0,1%, serta lysine 0,4%. Proses fermentasi bertujuan untuk meningkatkan prosentase protein dan menurunkan karbohidrat, menurut Kecon (2005) bahan makanan yang telah mengalami fermentasi nilai gizinya akan lebih tinggi, daya cerna tinggi sehingga memungkinkan diserap oleh tubuh ikan akan lebih banyak dan energi yang tersedia pada tubuh ikan lebih tinggi. 1.2.
Permasalahan
Pemberian pakan buatan mutlak diperlukan agar didapatkan pertumbuhan yang baik bagi ikan budidaya. Sumber-sumber bahan baku dalam pakan buatan harus mencukupi kebutuhan nutrisi ikan yang dibudidayakan, seperti protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Kualitas pakan tergantung pada komposisi dari bahan baku pakan yang dibutuhkan oleh ikan. Pemilihan bahan baku pakan tergantung pada kandungan gizi, kecernaan (digestibility) dan daya serap (bioavailability) ikan, tidak mengandung anti nutrisi dan zat racun, tersedia dalam jumlah mencukupi dan harga relatif murah. Fermentasi pada kotoran ayam dilakukan untuk meningkatkan kecernaan protein, menurunkan kadar serat kasar, memperbaiki rasa dan aroma bahan pakan, serta menurunkan kadar logam berat (Kompiang et al., 1997 : Laconi, 1992; Purwadaria et al., 1998 dalam Santoso, 2008) oleh sebab itu diharapkan pemberian fermentasi limbah kotoran ternak dari ayam petelur yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan pakan ikan dapat memberikan pengaruh bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Besarnya fermentasi limbah kotoran ternak dari ayam petelur ini perlu diteliti agar ditemukan pengaruh yang optimal bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. 1.3.
1)
2)
Tujuan Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah : Mengetahui pemanfaatan fermentasi limbah organik ternak ayam sebagai sumber protein bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan nila merah (Oreochromis niloticus). Mengetahui prosentase terbaik dari pemanfaatan fermentasi limbah organik ternak ayam sebagai sumber protein bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih ikan nila merah (Oreochomis niloticus).
190
1.4.
Kegunaan
Penelitian ini diharapkan berguna sebagai sumber informasi bagi pembudidaya mengenai pemanfaatan fermentasi limbah organik ternak ayam sebagai salah satu sumber protein dalam bahan baku pakan ikan. 1.5.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 di Laboratorium Budidaya terpadu Fakultas Perikanan Universitas Pancasakti Tegal.
2.
MATERI DAN METODE
2.1.
Materi
2.1.1.
Ikan Uji
Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih ikan nila merah (Oreochromis niloticus) ukuran 3-5 cm dengan bobot rata-rata individu sebesar 1,5 gram per ekor yang berasal dari Balai Benih Ikan Randudongkal Pemalang. Menurut Amri dan Khairuman (2002) bahwa padat penebaran pada tahap pendederan II ikan nila merah berkisar antara 30-40 ekor/m2. 2.1.2.
Media
Wadah uji yang akan digunakan adalah aquarium dengan ukuran panjang 30 cm, lebar 30 cm dan tinggi 30 cm. ketinggian air adalah 20 cm dan masing-masing aquarium dilengkapi dengan aerasi. Air yang digunakan berasal dari air tanah yang diendapkan selama 1 hari dalam bak penampungan. Dalam penelitian ini digunakan 12 buah aquarium. 2.1.3. Peralatan Penelitian
1) 2) 3) 4) 5)
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Aerator, selang dan batu aerasi digunakan untuk menjaga kondisi oksigen terlarut. Penggaris plastik, dengan ketelitian sampai milimeter digunakan untuk mengukur panjang tubuh ikan. Timbangan elektrik dengan ketelitian 0,1 gram, digunakan untuk mengukur berat tubuh ikan dan menimbang pakan Serok/seser digunakan untuk mengambil ikan Ember digunakan untuk tempat ikan saat pengambilan contoh ikan
Peralatan yang digunakan untuk mengukur parameter fisika kimia air dapat dilihat Tabel 1. Tabel 1. Peralatan untuk Mengukur Parameter Fisika Kimia Air Perubahan yang diukur Suhu air pH air O2 CO2 H 2S NO2 NH3
Satuan / Ketelitian 1,0oC 0,1 0,1 mg/l 0,1 mg/l 0,1 mg/l 0,1 mg/l 0,1 mg/l
Alat / Cara Thermometer Air raksa pH meter elektrik DO meter Reagen test kit Reagen test kit Reagen test kit Reagen test kit
191
2.1.4. Pakan 2.1.4.1. Jenis pakan Pakan yang digunakan dalam penelitian ini yang juga merupakan perlakuan adalah formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternah ayam dengan presentase yang berbeda. Pada penelitian ini perlakukan formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 50%, 60%, 70, dan 80% dari bobot pakan. Tabel 2. Formulasi Pakan Uji yang Digunakan (g/100g Pakan) Perlakuan Pakan Bahan Baku Fermentasi Limbah Organik Ternak Ayam Dedak Tepung kanji (sebagai perekat) Viamin Premix Jumlah
A
B
C
D
50 40 8 2 100
60 30 8 2 100
70 20 8 2 100
80 10 8 2 100
Fermentasi limbah organik ternak yang digunakan sebagai sumber protein dibuat dengan prosedur pembuatan seperti di bawah ini: 1) Menimbun limbah organik ternak di tempat teduh 2) Mengaktifkan EM4 dengan cara mencampur 1 ml EM4, 1 liter air dan 1 gram tetes. Setelah didiamkan selama 1 malam larutan EM4 siap digunakan. 3) Tumpukan limbah organik ternak tersebut disiram secara merata dengan larutan EM4 yang sudah diaktifkan. Setelah beberapa hari suhu pada tumpukan bagian dalam naik menjadi 70oC. 4) Tumpukan dibiarkan selama 3 minggu, kemudian diaduk sampai rata hingga suhu turun mencapai 40OC, apabila sudah jadi ditandai dengan tekstur limbah tidak lengket dan tidak panas, warna coklat kehitaman. Sesuai dengan formulasi pakan yang ditentukan sesuai perlakuan, tahap selanjutnya adalah pembuatan pakan buatan sesuai dengan prosedur pembuatan pakan buatan jenis pelet. 2.1.4.2. Dosis dan frekuensi pemberian pakan Dosis pakan yang diberikan pada ikan nila merah adalah 3% dari bobot biomassa dengan frekuensi pemberian pakan sebanyak 2 kali sehari, yaitu pagi dan sore (Amri dan Khairuman, 2002). 2.2. Metode Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Menurut Hadi (2000), metode eksperimen adalah metode yang menetapkan ada tidaknya hubungan sebab akibat antara fenomena-fenomena (perlakuan) dan menarik hukum-hukum tentang hubungan sebab akibat tersebut. Hubungan sebab akibat dalam penelitian ini adalah fermentasi limbah organik ternak ayam sebagai sumber protein pada pakan dengan pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan nila merah (Oreochromis niloticus). 2.2.1. Rancangan Percobaan Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) karena menggunakan 1 dosis dengan 4 (empat) perlakuan dan masing-masing
192
dilakukan 3 kali ulangan. Sebagai perlakuan adalah pemberian jenis pakan yang berbeda, yaitu : Perlakuan A : Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 50% dari bobot pakan Perlakuan B : Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 60% dari bobot pakan. Perlakuan C : Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 70% dari bobot pakan Perlakuan D : Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 80% dari bobot pakan. 2.2.2.
1)
2)
3)
Pelaksanaan penelitian
Pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa tahapan penelitian, yaitu : Tahap Persiapan Tahap persiapan meliputi penyediaan alat dan materi yang akan digunakan dalam penelitian, seperti pemilihan benih ikan dan adaptasi ikan uji serta penyediaan peralatan. Langkah awal terlebih dahulu diawali dengan melakukan adaptasi ikan uji terhadap lingkungan dan pakan yang digunakan selama 7 (tujuh) hari. Selama masa adaptasi ini belum dilakukan pencatatan data. Setelah masa adaptasi, masing-masing bak penelitian diisi dengan benih ikan nila merah sebanyak 4 ekor setiap baknya. Pelaksanaan (1) Pemberian Pakan Pemberian pakan dilakukan pada masing-masing perlakuan sebanyak 3% dari berat total biomassa yang dilakukan selama 2 kali sehari pagi pada jam 07.00 WIB dan sore pada jam 17.00 WIB (Amri dan Khairuman 2002). (2) Pemeliharaan Media Untuk menjaga kebersihan bak, maka setiap hari dilakukan penyiponan untuk membersihkan kotoran maupun sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan, serta pergantian air dilakukan seminggu sekali sebanyak 20% dari air dalam bak (Deptan, 1984 dalam Atabaki, 1999). (3) Penimbangan Bobot Ikan Pengamatan pertambahan bobot ikan uji dalam penelitian dilakukan dengan melakukan penimbangan berdasarkan bobot biomassa populasi dalam setiap wadah penelitian. Penimbangan dimulai pada awal penelitian selanjutnya dilakukan setiap 1 minggu sekali sampai akhir penelitian. Pengukuran dilakukan menggunakan timbangan elektrik dengan cara menimbang air terlebih dahulu dengan gelas ukur setelah tertera bobot air kemudian timbangan dinormalkan kembali dan selanjutnya ikan uji dimasukkan ke dalamnya, bobot yang tertera ditimbangan dikurangi dengan bobot air maka didapatkan bobot ikan nila merah. (4) Pengamatan Parameter Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati selama seminggu sekali meliputi oksigen terlarut, CO2, H2S, NH3, NO2 sedangkan pengamatan terhadap suhu dan pH dilakukan setiap hari dan waktu pengamatan adalah pukul 06.00 dan 16.00 WIB. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari : data pertumbuhan yang meliputi pertumbuhan bobot individu mutlak, pertumbuhan bobot biomassa mutlak, laju pertumbuhan harian dan pertumbuhan relatif, serta data pertambahan panjang, kelangsungan hidup, konversi pakan.
193
(1) Pertumbuhan (a) Pertumbuhan individu mutlak (P) (b) Pertumbuhan individu mutlak, pertambahan panjang selama penelitian menurut Effendie (2002), ditentukan dengan modifikasi metode Ricker, yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut : P = Wt – Wo Dimana : P = Pertumbuhan individu mutlak (gram) Wt = Berat individu ikan uji pada akhir penelitian (gram) Wo = Berat individu ikan uji pada awal penelitian (gram) t = Selang waktu
(c) Laju pertumbuhan harian individu (G) Laju pertumbuhan harian individu dipergunakan rumus sebagai berikut :
(d) G
menurut
Effendie
(2002)
ln Wt - ln Wo x 100% t
Dimana : G = Laju pertumbuhan harian individu (gram) Wt = Berat individu ikan uji pada akhir penelitian (gram) Wo = Panjang individu ikan uji pada awal penelitian (gram) t = Selang waktu
(e) Pertumbuhan relatif (h) Pertumbuhan relatif dirumuskan sebagai persentase pertumbuhan pada tiap interval waktu atau perbedaan ukuran pada akhir interval dengan ukuran pada awal interval. Perumusan pertumbuhan relatif menurut Effendie (2002) sebagai berikut :
(f) h
Wt - Wo Wo
Dimana : h = Pertumbuhan relatif (gram) Wt = Berat individu ikan uji pada akhir penelitian (gram) Wo = Berat individu ikan uji pada awal penelitian (gram) (2) Pertambahan Panjang pertumbuhan dapat diamati dengan mengukur ikan secara rutin pada beberapa tingkat umur yang berbeda. Pertambahan panjang diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut : P = Lt – Lo Dimana : P = Pertambahan panjang (cm) Lt = Panjang individu ikan uji pada akhir penelitian (cm). Lo = Panjang individu ikan uji pada awal penelitian (cm)
(3) Tingkat kelangsungan hidup (S) Tingkat kelangsungan hidup ikan uji ditentukan pada akhir penelitian dengan modifikasi rumus Effendie (2002).
S Dimana : S Nt
Nt x 100% No
= Tingkat kelangsungan hidup ikan uji (%) = Jumlah individu ikan uji pada akhir penelitian (ekor)
194
No = Jumlah individu ikan uji pada awal penelitian (ekor) (4) Konversi Pakan (FCR) Banyaknya pakan yang diberikan untuk menghasilkan satu unit berat disebut konversi pakan (FCR). Konversi pakan dapat dihitung dengan rumus (Djajasewaka, 1985) :
Kp Dimana : Kp F Wt Wo d 2.3.
= = = = =
F x 100% Wt d - Wo
Konversi pakan Jumlah pakan yang diberikan selama penelitian (gram) Berat biomassa ikan pada akhir penelitian (gram) Berat biomassa pada awal penelitian (gram) Berat ikan yang mati selama penelitian (gram)
Analisis Data
Sebelum dilakukan analisis data dilakukan uji kenormalan data dengan uji Lilliefors, pengujian homogenitas uji Bartlett dan uji additifitas dengan uji Tukey (Sudjana, 1992). Apabila data bersifat normal, homogen dan additif, selanjutnya uji statistik dengan sidik ragam (anova), kemudian dilanjutkan dengan Uji Wilayah Ganda Duncan untuk mengentahui pengaruh perlakuan terbaik. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1.
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian tentang Pemanfaatan Fermentasi Limbah Organik Ternak Ayam sebagai Sumber Protein Bagi Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan Nila Merah (Oreochromis Niloticus), diperoleh data pertumbuhan meliputi : data pertumbuhan bobot individu mutlak (gram), laju pertumbuhan harian (%), pertumbuhan relatif (gram), pertumbuhan bobot biomassa mutlak (gram) dan pertumbuhan panjang mutlak (cm) serta data kelangsungan hidup (%), konversi pakan (%) dan parameter fisika kimia air. 3.1.1.
Pertumbuhan
3.1.1.1. Pertumbuhan bobot individu mutlak Dari hasil pengamatan pertumbuhan bobot individu (gram) benih ikan nila pada pendederan II (Oreochromis niloticus) dengan sumber protein dari hasil fermentasi limbah organik ternak ayam dengan prosentase yang berbeda tersaji pada tabel 4. Tabel 4. Pertumbuhan Bobot Individu (gram) Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) dengan Sumber Protein dari Hasil Fermentasi Limbah Organik Ternak Ayam dengan Prosentase yang Berbeda. Perlakuan
Ulangan
A 0,66 0,93 0,75 0,780 0,14
1 2 3 Rata-rata SD
Keterangan
:
B 1,00 0,85 0,84 0,900 0,09
C 1,23 1,45 1,04 1,24ab 0,21
D 1,15 1,20 1,07 1,14a 0,07
Angka dengan huruf kecil menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) pada Uji Duncan
195
Pertumbuhan Bobot Individu Mutlak (Gram)
Berdasarkan hasil pengujian analisis ragam dengan uji RAL diperoleh bahwa perbedaan prosentase sumber protein dari hasil fermentasi limbah organik ternak ayam berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bobot individu mutlak (gram) ikan nila merah (Oreochromis niloticus) pada pendederan II (F hitung = 7,3895 > F tabel 0.05 (3;8) = 4,07). Dan berdasarkan pengujian Duncan diperoleh bahwa perlakuan C-A berbeda sangat nyata, perlakuan C-B dan D-A berbeda nyata, sedangkan perlakuan C-B tidak berbeda nyata, sehingga perlakuan C dan D merupakan perlakuan yang mempunyai pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan bobot individu mutlak (gram) ikan nila merah (Oreochromis niloticus) pada pendederan II. Pertumbuhan bobot individu mutlak (gram) ikan nila merah terlihat pada Gambar 3. 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 A
B
C
D
Perlakuan
Gambar 3. Perbedaan Pertumbuhan Bobot Individu Mutlak (Gram) Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) selama Penelitian Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa terdapat pertumbuhan bobot individu mutlak (gram) ikan nila merah secara signifikan. Perlakuan C (Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 70% dari bobot pakan) dan Perlakuan D (Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 80% dari bobot pakan) merupakan pertumbuhan bobot individu mutlak (gram) terbaik dari pada perlakuan yang lainnya. 3.1.1.2. Laju Pertumbuhan Harian Data hasil pengamatan laju pertumbuhan harian (%) ikan nila merah (Oreochromis niloticus) dengan sumber protein dari hasil fermentasi limbah organik ternak ayam dengan prosentase yang berbeda tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Laju Pertumbuhan Harian (%) Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) dengan Sumber Protein dari Hasil Fermentasi Limbah Organik Ternak Ayam dengan Prosentase yang Berbeda Perlakuan Ulangan A B C D 1 1,22 1,70 2,00 1,90 2 1,70 1,50 2,37 1,96 3 1,35 1,57 1,76 1,89 cd c a Rata-rata 1,42 1,59 2,04 1,92ab SD 0,25 0,10 0,31 0,04 Keterangan : Angka dengan huruf kecil menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) pada Uji Duncan
196
Berdasarkan hasil pengujian analisis ragam dengan uji RAL diperoleh bahwa perbedaan prosentase sumber protein dari hasil fermentasi limbah organik ternak ayam berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan harian (%) ikan nila merah (Oreochromis niloticus) pada pendederan II (F hitung = 5,8591 >F tabel 0,05 (3;8) = 4,0,7). Berdasarkan pengujian Duncan diperoleh bahwa terdapat perlakuan C-A berbeda sangat nyata, perlakuan C-B dan D-A berbeda nyata, namun perlakuan C-B tidak berbeda nyata, sehingga perlakuan C dan D merupakan perlakuan yang mempunyai pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan harian (%) ikan nila merah (Oreochromis niloticus) pada pendederan II Laju pertumbuhan harian (%) ikan nila merah terlihat pada Gambar 4.
Laju Pertumbuhan Harian (%)
2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 A
B
C
D
Perlakuan
Gambar 4. Perbedaan Laju Pertumbuhan Harian (%) Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) selama Penelitian Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa terdapat laju pertumbuhan harian (%) ikan nila merah secara signifikan. Perlakuan C (Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyaki 70% dari bobot pakan) dan Perlakuan D (Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 80% dari bobot pakan) merupakan laju pertumbuhan harian (%) terbaik dari pada perlakuan yang lainnya. 3.1.1.3. Pertumbuhan Relatif Data hasil pengamatan pertumbuhan relatif (gram) ikan nila merah (Oreochromis niloticus) dengan perbedaan prosentase sumber protein dari hasil fermentasi limbah organik ternak ayam tersaji pada Tabel 6. Tabel 6.
Pertumbuhan Relatif (Gram) Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) dengan Perbedaan Prosentase Sumber Protein dari Hasil Fermentasi Limbah Organik Ternak Ayam Perlakuan Ulangan A B C D 1 0,44 0,67 0,82 0,77 2 0,66 0,57 1,04 0,80 3 0,50 0,60 0,69 0,76 Rata-rata 0,53cd 0,61c 0,85ab 0,78a SD 0,11 0,05 0,18 0,02 Keterangan : Angka dengan huruf kecil menunjukkan perbedaan nyata P<0,05
197
Berdasarkan hasil pengujian analisis ragam dengan uji RAL diperoleh bahwa perbedaan prosentase sumber protein dari hasil fermentasi limbah organik ternak ayam berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan relatif (gram) ikan nila merah (Oreochromis niloticus) pada pendederan II (F hitung = 5,3690 > F tabel 0,05 (3;8) = 4,07.
Pertumbuhan Relatif (Gram)
Berdasarkan pengujian Duncan diperoleh bahwa terdapat perlakuan C-A berbeda sangat nyata, perlakuan C-B dan D-A berbeda nyata, namun perlakuan C-B tidak berbeda nyata, sehingga perlakuan C dan D merupakan perlakuan yang mempunyai pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan relatif (gram) ikan nila merah (Oreochromis niloticus) pada pendederan II Pertumbuhan relatif (gram) ikan nila merah terlihat pada Gambar 5. 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0,00 A
B
C
D
Perlakuan
Gambar 5. Perbedaan Pertumbuhan Relatif (Gram) Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) selama Penelitian Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa terdapat pertumbuhan relatif (gram) ikan nila merah secara signifikan. Perlakuan C (Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 70% dari bobot pakan) dan Perlakuan D (Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 80% dari bobot pakan) merupakan pertumbuhan relatif (gram) terbaik dari pada perlakuan yang lainnya. 3.1.1.4. Pertumbuhan Bobot Biomassa Mutlak Data hasil pengamatan pertumbuhan bobot biomassa mutlak (gram) ikan nila merah (Oreochromis niloticus) dengan perbedaan prosentase sumber dari hasil fermentasi limbah organik ternak ayam tersaji pada Tabel 7. Tabel 7.
Pertumbuhan Bobot Biomassa Mutlak (Gram) Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) dengan Perbedaan Prosentase Sumber Protein dari Hasil Fermentasi Limbah Organik Ternak Ayam Perlakuan Ulangan A B C D 1 5,28 8,00 9,84 9,20 2 7,44 6,80 11,60 9,60 3 6,00 6,72 8,32 8,56 Rata-rata 6,24cd 7,17c 9,92ab 9,12a SD 1,10 0,72 1,64 0,52 Keterangan : Angka dengan huruf kecil menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01)
198
Pertumbuhan Bobot Biomassa (Gram)
Berdasarkan hasil pengujian analisis ragam dengan uji RAL diperoleh bahwa perbedaan prosentase sumber protein dari hasil fermentasi limbah organik ternak ayam nyata terhadap pertumbuhan bobot biomassa mutlak (gram) ikan nila merah (Oreochromis niloticus) pada pendederan II (F hitung = 7,3895 > F tabel 0,05 (3;8) = 4,07). Dan berdasarkan pengujian Duncan diperoleh bahwa terdapat perlakuan C-A, C-B dan D-A berbeda sangat nyata, namun perlakuan C-B tidak berbeda nyata, sehingga perlakuan C dan D merupakan perlakuan yang mempunyai pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan bobot biomassa mutlak (gram) ikan nila merah (Oreochromis niloticus) pada pendederan II . Pertumbuhan bobot biomassa mutlak (gram) ikan nila merah terlihat pada Gambar 6 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 A
B
C
D
Perlakuan
Gambar 6.
Perbedaan Pertumbuhan Bobot Biomassa Mutlak (Gram) Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) selama Penelitian
Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa terdapat pertumbuhan bobot biomassa mutlak (gram) ikan nila merah secara signifikan. Perlakuan C (Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 70% dari bobot pakan) dan perlakuan D (Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 80% dari bobot pakan) merupakan pertumbuhan bobot biomassa mutlak (gram) terbaik dari pada perlakuan yang lainnya. 3.1.1.5. Pertumbuhan Panjang Dari hasil pengamatan pertumbuhan panjang (gram) ikan nila merah (Oreochromis niloticus) dengan perbedaan prosentase sumber protein dari hasil fermentasi limbah organik ternak ayam tersaji pada Tabel 8. Tabel 8. Perumbuhan Panjang (Gram) Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) dengan Perbedaan Prosentase Sumber Protein dari Hasil Fermentasi Limbah Organik Ternak Ayam. Perlakuan Ulangan A B C D 1 0,80 1,05 1,35 0,90 2 1,00 0,70 1,05 0,95 3 0,65 1,00 1,05 0,80 Rata-rata 0,82 0,92 1,15 0,88 SD 0,18 0,19 0,17 0,08
199
Pertumbuhan Panjang (%)
Berdasarkan hasil pengujian analisis ragam dengan uji RAL diperolah bahwa perbedaan prosentase sumber protein dari hasil fermentasi limbah organik ternak ayam tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan panjang mutlak (gram) ikan nila merah (Oreochromis niloticus) pada pendederan II Pertumbuhan bobot biomassa mutlak (gram) ikan nila merah terlihat pada gambar 7. 1,40 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 A
B
C
D
Perlakuan
Gambar 7. Perbedaan Pertumbuhan Panjang (Gram) Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) selama Penelitian Berdasarkan Gambar 7 terlihat bahwa terdapat pertumbuhan panjang (Gram) ikan nila merah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. 3.1.2. Kelangsungan Hidup Tingkat kelangsungan hidup ikan nila merah selama penelitian tiap pelakuan adalah 100%. 3.1.3. Konversi Pakan Data hasil pengamatan pakan (%) ikan nila merah (Oreochromis niloticus) dengan prosentase sumber protein dari hasil fermentasi limbah organik ternak ayam tersaji pada Tabel 9. Tabel 9. Konversi Pakan (%) Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) dengan Perbedaan Prosentase Sumber Protein dari Hasil Fermentasi Limbah Organik Ternak Ayam. Perlakuan Ulangan A B C D 1 2,74 1,81 1,62 1,71 2 2,09 2,15 1,42 1,61 3 2,46 2,21 1,85 1,64 Rata-rata 2,43cd 2,06c 1,63ab 1,65a SD 0,33 0,22 0,22 0,05 Keterangan : Angka dengan huruf kecil menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,0) pada pendederan II Berdasarkan hasil pengujian analisis ragam dengan uji RAL diperoleh bahwa perbedaan prosentase sumber protein dari hasil fermentasi limbah organik ternak ayam
200
berpengaruh sangat nyata terhasap konversi pakan (%) ikan nila merah (Oreochromis niloticus) pada pendederan II (F hitung = 8,5636>F tabel 0,05 (3 : 8) = 4,07). Berdasarkan pengujian Duncan diperolah bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata antar perlakuan D-A, dan terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan B-D dan A-C, namun perlakuan C relatif sama dengan sehingga perlakuan D dan perlakuan C merupakan perlakuan yang konversi pakannya paling sedikit. Perlakuan C mempunyai konversi pakan lebih besar dari perlakuan A dan perlakuan B . Konversi pakan (%) ikan nila merah terlihat pada gambar 8. Konversi Pakan (%)
3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 A
B
C
D
Perlakuan
Gambar 8. Perbedaan Konversi Pakan (%) Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus) selama Penelitian. Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa terdapat konversi pakan (%) ikan nila merah secara signifikan. Perlakuan C (Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 70% dari bobot pakan) dan perlakuan D (Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 80% dari bobot pakan) merupakan konversi pakan (%) terbaik dari pada perlakuan yang lainnya, karena mempunyai konversi pakan lebih kecil dari pada perlakuan A (Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 50% dari bobot pakan) dan B (Pemberian formulasi pakan dengan sumber protein fermentasi limbah organik ternak ayam sebanyak 60% dari bobot pakan) 3.1.4. Parameter Fisika Kimia Air Pengukuran parameter fisika kimia air selama penelitian bahwa parameter fisika kimia air berada pada kisaran yang layak untuk kehidupan benih ikan nila merah. Berikut ini adalah kisaran parameter fisikia kimia air kehidupan benih ikan nila merah tersaji pada Tabel 9. Tabel 10. Parameter Fisika Kimia Air selama Penelitian Parameter Hasil Penelitian Kisaran Optimal Suhu (oC) 31 – 33 30 – 34 DO (mg/liter) 4,60 – 6,40 3–5 pH 7,0 – 8,2 6,5 – 8,5 CO2 (mg/liter) 22,00 – 25,00 15 – 30 NO2 (mg/liter) NH2 (mg/liter) H2S (mg/liter)
0,05 – 0,08 1,00 – 0,96 0,18 – 0,20
< 0,2 <2 <2
Studi Pustaka Hermanto (2000) Puspowardoyo (1992) Sendjaya (2002) Sutisna dan Sutarmanto (2006) Djarijah (2003) Djarijah (2003) Djarijah (2003)
201
4.
KESIMPULAN
Pemanfaatan limbah organik ternak ayam sebagai sumber protein bagi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan bobot individu mutlak (gram), laju pertumbuhan harian (%), pertumbuhan relatif (gram), pertumbuhan bobot biomassa mutlak (gram), dan berpengaruh nyata terhadap konversi pakan (%), namun tidak berpengaruh nyata terhadap perumbuhan panjang mutlak. Pertumbuhan bobot individu mutlak (gram), laju pertumbuhan harian (%), pertumbuhan relatif (gram), pertumbuhan bobot biomassa mutlak (gram), pertumbuhan panjang (cm) dan kelangsungan hidup (%) benih ikan nila menunjukkan perlakuan terbaik pada perlakuan C dan D
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas bantuan dan dukunganya atas penyelesaian artikel ini, terutama kepada saudara Abdul Rozak.
DAFTAR PUSTAKA Amri, K dan Khairuman, 2002. Budidaya Ikan Nila Merah Secara Intensif. Agromedia Pustaka, Jakarta. Atabaki, M. Y. 1999. Pengaruh Pemberian Pakan Roti serta Dedak Halus dan Kombinasi Keduanya terhadap Pertumbuhan Gelondongan Ikan Bandeng. Skripsi Fakultas Perikanan Universitas Pancasakti Tegal (tidak dipublikasikan). Djajasewaka, H. 1985 Pakan Ikan. Jasaguna, Jakarta Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta. Hadi, S. 2000. Metodologi Research. Penerbi Andi. Yogyakarta. Pramono, 2009. Produksi Belatung : Caa Murah Usaha Ikan Untung. http://aquaculturistforever.blogspot.com/seperti yang direkam pada 17 mei 2010 01:09 GMT. Sahwan, M.F. 1999. Pakan Ikan dan Udang. Formulasi, Pembuatan, Analisis Ekonomi. Penerbit Swadaya, Jakarta. Santoso, B. 2008. Budidaya Ikan Nila. Penerbit Tarsito, Bandung. Sudjana, 1992. Metode Statistika. Penerbit Tarsito, Bandung. _______, 1994. Desain dan Analisis Eksperimen. Penerbit Tarsito, Bandung. _______, 2000. Budidaya Ikan Lele. Penerbit Swadaya, Jakarta Weatherly, A. H dan H.S Gill. 1987. The Biology of Fish Growth. Academic Press Ltd. London.
202
PERANAN WANITA NELAYAN DALAM PENINGKATAN MUTU PRODUK OLAHAN IKAN DI KECAMATAN SURADADI KABUPATEN TEGAL Oleh : Nurjanah1
ABSTRAK Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal merupakan salah satu daerah sentra pengolahan produk hasil perikanan yang dilakukan oleh para wanita daerah tersebut dengan jenis olahan ikan yaitu ikan asin, panggang, terasi, kerupuk dan presto. Selama ini perkembangan usaha yang ada belum optimal, apalagi dalam situasi ekonomi seperti sekarang ini dengan harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi yang membuat daya beli masyarakat semakin rendah dan biaya produksi yang tidak tertutup dengan hasil penjualannya sehingga dikhawatiran tingkat kemiskinan dikalangan masyarakat pesisir akan bertambah. Pembobotan terhadap penan wanita nelayan dalam peningkatan mutu produk perikanan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal sebesar 88,00 % tergolong kategori baik). Hasil uji organoleptik terhadap produk olahan hasil perikanan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal menunjukkan bahwa produk pindang ikan, ikan asap, ikan asin kering dan terasi udang mempunyai kualitas mutu yang baik. Pembinaan wanita nelayan dalam peningkatan mutu produk olahan ikan dilakukan melalui pelatihan-pelatihan pengolahan produk perikanan yang dilakukan oleh Dinas terkait. Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu produk olahan ikannya agar mempuyai daya saing tinggi sehingga meningkatkan harga hasil produknya adalah dengan memberikan bimbingan dan arahan secara kontinyu dalam peningkatan produk olahan ikan. Pembinaan dilakukan secara berkesinambungan yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas SDM wanita nelayan sehingga akan berpengaruh terhadap kualitas produk olahan ikan. Kendala dalam pengolahan hasil perikanan oleh wanita nelayan di Kecamatan Suradadi adalah jika harga bahan baku ikan olahan lebih tinggi dari nilai jual harga ikan olahan Key Word : Wanita Nelayan, Peningkatan Mutu, Produk Olahan Ikan
1.
PENDAHULUAN
Wanita Indonesia yang jumlahnya melebihi pria merupakan sumberdaya manusia (SDM) yang besar, dan potensi demikian besar menjadi modal dasar pembangunan bangsa dan negara. Mengikut sertakan wanita dalam pembangunan melalui peranan wanita sejak perencanan, pelaksanaan sampai pemantauan dan evaluasi pembangunan mutlak diperlukan. Peranan wanita dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dilaksanakan dengan tidak meninggalkan peranan dalam keluarga yaitu melahirkan, mengasuh dan mendidik anak, mencuci, memasak, serta melayani kebutuhan anak dan suami, bahkan dapat dikatakan waktu yang digunakan untuk melaksanakan peranannya dalam pengolahan hasil perikanan sebagian besar adalah sisa waktu setelah melaksanakan peranannya dalam keluarganya. Dengan demikian, peranan yang dilaksanakan belum optimal. Sementara dalam pengolahan hasil perikanan memerlukan peranan wanita sesuai dengan strategi yang akan dikembangkan oleh Departemen Kelautan dan Perikanan yaitu 1
Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan UPS Tegal
203
peningkatan daya saing komoditi perikanan. Tanpa adanya daya saing yang tinggi, tidak mungkin produk perikanan dapat menjadi andalan dan mempunyai harga yang tinggi terutama di pasar global yang telah mensyaratkan diterapkannya HACCP (Hazard Analysis Control Critical Point) dalam seluruh mata rantai produksi hasil perikanan. Mengingat potensi sumberdaya perikanan Indonesia yang cukup besar maka sangat tepat jika peranan wanita dalam pengolahan hasil perikanan ditingkatkan. Peranan yang dilakukan menghasilkan keuntungan yang cukup besar dan dapat memenuhi kebutuhan keluargnya bahkan jika dibandingkan dengan sektor lain terutama peranannya dalam pemasaran hasil-hasil perikanan, tidak ada kesetimpangan gender. Untuk meningkatkan peranan wanita dalam pengolahan hasil perikanan, masih menghadapi kendala yaitu : 1) Rendahnya akses wanita dalam sumberdaya modal bagi peningkatan usahanya 2) Rendahnya tingkat pendidikan wanita yang menyebabkan kemampuan dalam manajemen usahanya rendah. Peranan wanita dalam pengolahan hasil perikanan sangat penting dan perlu untuk ditingkatkan. Dengan adanya pembinaan dan peningkatan mutu produk olahan ikan diharapkan produk hasil perikanan mempunyai daya saing tinggi sehingga harganya juga tinggi dengan harapan pendapatan masyarakat pengolah hasil perikanan meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraannya. 1.1.
Permasalahan
Peranan wanita dalam pengolahan hasil perikanan sangat menentukan mutu produk olahan ikan dan sangat menentukan bagi pembangunan perikanan yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka pro job, pro poor dan pro business, dan kemandirian wanita secara ekonomi dapat meningkatkan statusnya baik dalam rumah tangga maupun masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian Astuti et.al. (2008) bahwa wanita pesisir bekerja dalam berbagai jenis pekerjaan baik yang berhubungan dengan sektor perikanan (83%) maupun di sektor lain (17%). Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal merupakan salah satu daerah sentra pengolahan produk hasil perikanan yang dilakukan oleh para wanita daerah tersebut dengan jenis olahan ikan yaitu ikan asin, panggang, terasi, kerupuk dan presto. Selama ini perkembangan usaha yang ada belum optimal, apalagi dalam situasi ekonomi seperti sekarang ini dengan harga-harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi yang membuat daya beli masyarakat semakin rendah dan biaya produksi yang tidak tertutup dengan hasil penjualannya sehingga dikhawatiran tingkat kemiskinan dikalangan masyarakat pesisir akan bertambah. Di Kelurahan Suradadi, wanita nelayan berperan dalam membantu suami nelayan untuk ikut menambah penghasilan rumah tangga dengan cara menjadi bakul ataupun pengolah ikan. Dalam mengolah dan menjual hasil perikanan, wanita nelayan Kelurahan Suradadi kurang memperhatikan mutu produk sehingga kadang mengolah ikan dengan mutu yang kurang baik. Oleh karena itu perlunya dilakukan penelitian tentang Peranan Wanita Nelayan Dalam Peningkatan Mutu Produk Olahan Ikan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal, sehingga mempunyai daya saing yang tinggi dan dapat meningkatkan pendapatan keluarga serta kesejahteraan masyarakat disamping itu dapat menjadi produk unggulan dan kebanggaan daerahnya.
204
1.2.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pembinaan yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bagi wanita pesisir di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal dalam meningkatkan mutu produk olahan ikannya dan menentukan upaya-upaya yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan mutu produk olahan ikannya agar mempuyai daya saing tinggi sehingga meningkatkan harga hasil produknya. 1.3.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah masyarakat pesisir di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal yang merupakan sentra pengolah hasil perikanan dengan jenis produk pindang ikan, ikan asap, ikan asin kering dan terasi udang. 1.4.
Pengumpulan Data
Sampel dari sasaran utama dan sasaran antara tersebut ditarik secara purposive, yaitu masing-masing desa akan diambil pengolah ikan dengan jumlah berdasarkan perwakilan dari masing-masing jenis pengolah yang ada di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal. Dari setiap responden sasaran utama akan diambil satu responden antaranya konsumen atau pengusaha. 1.5.
Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey, yaitu studi yang mengadakan pengamatan atau penyelidikan untuk mendapatkan keterangan yang jelas dan baik terhadap suatu kondisi tertentu dalam suatu daerah tertentu dengan melakukan pengumpulan data dan informasi untuk menjawab permasalahanpermasalahan yang ada. Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi : 1) Peranan wanita neyalan dalam peningkatan mutu produk perikanan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal dikategorikan dalam skala Likert (Sugiyono, 2006). Metode ini digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Kriteria penilaian Skala Likert Peranan Wanita Nelayan dalam Peningkatan Mutu Produk Olahan Ikan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal tersaji pada Tabel 1. Tabel 1.
Kriteria Penilaian Skala Likert Peran Wanita Nelayan Bobot No Kategori Nilai Variasi Jawaban (%) 1. Sangat berperan 5 21 – 25 81 – 100 2. Berperan 4 16 – 20 61 – 80 3. Cukup berperan 3 11 – 15 41 – 60 4. Tidak berperan 2 6 – 10 21 – 40 5. Sangat tidak berperan 1 1–5 0 – 20
2) Mutu produk olahan ikan dapat diketahui dengan uji organoleptik yang dikumpulkan dengan pengisian score sheet. Pada umumnya dalam uji organoleptik hasil perikanan atribut mutu yang digunakan mencakup : rasa, kenampakan, tekstur/konsistensi, bau/aroma dan flavor/selara yang
205
berikan pada panelis dengan pengisian score sheet. Score sheet untuk penilaian mutu produk olahan tersedia pada Lampiran. 1.6.
Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian terdiri 2 analisis data, yaitu : 1) Pengujian mutu produk dengan uji organoleptik Setelah data score sheet dari panelis ditabulasi, kemudian nilai mutu ditentuka dengan mencari hasil rata-rata setiap penelis pada taraf kepercayaan 95 %, artinya. nilai mutu rata-rata yang diperoleh mengandung kepercayaan 95 %, dengan tingkat kesalahan hanya sebesar 5 %. Untuk mendapatkan selah nilai mutu rata-rata dari setiap panelis pada taraf kepercayaan 95 %, maka digunakan perumusan sebagai berikut :
Keterangan :
P{x-1,960
s
√n
<μ<x+1,960
n : s : 1,96 :
banyaknya panelis simpangan baku nilai mutu koefisien standar deviasi pada taraf 95 %
x
nilai mutu rata-rata
:
s
√n
}=95%
2) Analisis Regersi Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara peranan wanita nelayan dengan peningkatan mutu hasil olahan perikanan dilakukan analisis regresi linier. Analisis regresi digunakan untuk mengetahui hubungan antara peningkatan mutu (y) dengan peranan wanita nelayan (xi) dengan menggunakan pendekatan regresi linier. Adapun bentuk umum dari persamaan regresi linier sederhana menurut Sudjana (1992) adalah sebagai berikut : yi = a + b xi Keterangan : yi = Variabel tak bebas (Dependent) = mutu produk olahan xi = Variabel bebas (Independent) = peranan wanita nelayan a = Intercept (melintas) b = koefisien regresi/slope (kemiringan)
2.
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
2.1.
Hasil
2.1.1. Peranan Wanita Nelayan Peranan wanita neyalan dalam peningkatan mutu produk perikanan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal, diketahui melalui hasil wawancara pada pengolah hasil perikanan yang meliputi usaha pengolah pindang ikan, ikan asap, ikan asin kering dan terasi udang. Berdasarkan hasil penelitian peranan wanita nelayan dalam peningkatan mutu produk perikanan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal dapat dikategorikan sebagai berikut :
206
Tabel 1. Kategori Peranan Wanita Nelayan dalam Peningkatan Mutu Produk Perikanan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal No. Kategori Variasi Jawaban Frekuensi Prosentase 1 Sangat berperan 21 25 14 58.33 2 Berperan 16 20 10 41.67 3 Cukup berperan 11 15 0 0.00 4 Tidak berperan 6 10 0 0.00 5 Sangat tidak berperan 1 5 0 0.00 24 100.00 Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa dari 24 responden wanita nelayan Tegal mempunyai sangat berperan hingga berperan, dengan sangat berperan dalam peningkatan mutu produk perikanan di Kecamatan Suradadi Kabupaten mempunyai frekuensi tertinggi sebesar 14 orang (53,33 %). Sedangkan pembobotan terhadap penan wanita nelayan dalam peningkatan mutu produk perikanan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal sebesar 88,00 % (tergolong kategori baik). 2.1.2.
Mutu Produk Olahan Ikan
Mutu rasa olahan perikanan diketahui dari penilaian organoleptik dari masingmasing produk olahan ikan yang diusahakan oleh wanita nelayan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal, yang meliputi : pindang ikan, ikan asap, ikan asin kering dan terasi udang. 2.1.3. Pindang Ikan Berdasarkan uji organoleptik terhadap produk perikanan berupa pindang ikan yang diusahakan oleh wanita nelayan di Kecamatan Suradadi diperoleh hasil yang tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Uji Organoleptik Pindang Ikan Pengamatan Organoleptik Panelis Penampakan Bau Rasa Konsistensi 1 8.0 8.0 8.0 8.0 2 7.7 8.0 7.3 8.0 3 7.3 8.0 7.3 8.3 4 7.3 7.3 8.0 8.0 5 7.0 8.0 7.7 8.3 6 7.7 8.0 8.0 8.3
Lendir 8.3 8.3 8.3 7.7 9.0 8.3
Jamur 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0
Rata-Rata 8.2 8.1 8.1 7.9 8.2 8.2
Berdasarkan tabel terlihat bahwa pindang ikan yang dioleh oleh wanita nelayan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal berkisar antara (8,00 < µ < 8,20) = 95 % tergolong baik, dengan Penampakan : utuh, bersih, rapi, menarik, Bau : sangat enak, segar, harum, Rasa : sangat enak, gurih, Konsistensi : padat, kompak, agak lembab, Lendir : Agak berlendir, dan Jamur : tidak ada/tidak tampak. Bentuk hubungan antara penan wanita nelayan (x) dan mutu produk perikanan pindang ikan (y) tersaji pada Gambar 1.
207
Peran Wanita Nelayan
8,8 8,6 8,4 8,2 8,0 7,8 7,6 7,4 0
10
20
30
40
Skore Organoleptik Mutu Pindang Ikan
Gambar 1.
Bentuk Hubungan antara Penan Wanita Nelayan (x) dan Mutu Produk Olahan Pindang Ikan (y)
Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa dengan meningkatnya peran wanita nelayan akan meningkatkan mutu produk olahan pindang ikan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal 2.1.4. Ikan Asap Berdasarkan uji organoleptik terhadap produk perikanan berupa ikan asap yang diusahakan oleh wanita nelayan di Kecamatan Suradadi diperoleh hasil yang tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Uji Organoleptik Ikan Asap Pengamatan Organoleptik Panelis Penampakan Bau Rasa Konsistensi 1 5.7 7.0 5.7 7.0 2 7.0 7.0 6.3 7.0 3 7.0 7.0 5.7 7.7 4 7.0 7.0 6.3 5.0 5 7.0 7.0 5.7 6.3 6 7.0 7.0 5.7 6.3
Jamur 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0
Lendir 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0
Rata-rata 7.2 7.6 7.6 7.2 7.3 7.3
Berdasarkan tabel terlihat bahwa ikan asap yang dioleh oleh wanita nelayan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal berkisar antara (7,25 < µ < 7,49) = 95 % tergolong baik, dengan Penampakan : menarik, bersih, coklat, agak kusam menurut jenis, Bau : kurang harum, asap cukup, tanpa bau tambahan mengganggu, Rasa : Enak, kurang gurih, Konsistensi : padat, kompak, kering, antar jaringan erat, Jamur : tidak tampak, dan Lendir : tidak terdeteksi. Bentuk hubungan antara penan wanita nelayan (x) dan mutu produk perikanan ikan asap (y) tersaji pada Gambar 2.
208
Peran Wanita Nelayan
8,0 7,5 7,0 6,5 0
10
20
30
40
Skore Organoleptik Mutu Ikan Asap
Gambar 2.
Bentuk Hubungan antara Penan Wanita Nelayan (x) dan Mutu Produk Olahan Ikan Asap (y)
Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa dengan meningkatnya peran wanita nelayan akan meningkatkan mutu produk olahan ikan asap di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal 2.1.5. Ikan Asin Kering Berdasarkan uji organoleptik terhadap produk perikanan berupa ikan asin kering yang diusahakan oleh wanita nelayan di Kecamatan Suradadi diperoleh hasil yang tersaji pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Uji Organoleptik Ikan Asin Kering Pengamatan Organoleptik Panelis Penampakan Bau Rasa Konsistensi 1 7.0 6.7 6.3 8.3 2 6.3 7.0 6.3 8.0 3 7.0 6.3 6.0 8.7 4 7.3 6.7 6.7 8.0 5 6.7 7.0 5.7 8.0 6 7.7 6.7 6.3 8.3
Jamur 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0 9.0
Rata-rata 7.5 7.3 7.4 7.5 7.3 7.6
Berdasarkan tabel terlihat bahwa ikan asin kering yang dioleh oleh wanita nelayan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal berkisar antara (7,33 < µ < 7,53) = 95 % tergolong baik, dengan Penampakan : utuh, bersih, agak kusam, Bau : hampir netral, sedikit bau tambahan, Rasa : enak, spesifik jenis, sedikit rasa tambahan, Konsistensi : padat, kompak, lentur, kurang kering, dan Jamur : tidak ada/tidak tampak.
Peran Wanita Nelayan
Bentuk hubungan antara penan wanita nelayan (x) dan mutu produk perikanan ikan asin kering (y) tersaji pada Gambar 3. 8,0 7,8 7,6 7,4 7,2 7,0 6,8 0
5
10
15
20
25
30
35
Skore Organoleptik Mutu Ikan Asin
Gambar 3. Bentuk Hubungan antara Penan Wanita Nelayan (x) dan Mutu Produk Olahan Ikan Asin Kering (y)
209
Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa dengan meningkatnya peran wanita nelayan akan meningkatkan mutu produk olahan ikan asin kering di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal 2.1.6. Terasi Udang Berdasarkan uji organoleptik terhadap produk perikanan berupa terasi udang yang diusahakan oleh wanita nelayan di Kecamatan Suradadi diperoleh hasil yang tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Uji Organoleptik Terasi Udang Pengamatan Organoleptik Panelis Penampakan Bau Rasa Konsistensi 1 8.0 8.0 8.0 7.7 2 8.0 8.0 7.3 7.3 3 8.0 7.7 8.0 7.3 4 8.0 7.3 8.0 8.0 5 8.0 7.7 8.0 7.3 6 7.7 7.3 7.3 8.0
Rata-rata 7.9 7.7 7.8 7.8 7.8 7.6
Berdasarkan tabel terlihat bahwa ikan terasi udang yang dioleh oleh wanita nelayan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal berkisar antara (7,66 < µ < 7,84) = 95 % tergolong baik, dengan Penampakan : coklat tua, agak cemerlang, tak ada kotoran, Bau : kurang harum, spesifikasi terasi udang kuat, tanpa bau tambahan, Rasa : enak, rasa udang keras, rasa manis cukup, rasa asin kurang, dan Konsistensi : agak lembek, homogen, sedikit kasar.
Peran Wanita Nelayan
Bentuk hubungan antara penan wanita nelayan (x) dan mutu produk perikanan terasi udang (y) tersaji pada Gambar 4. 8,4 8,2 8,0 7,8 7,6 7,4 7,2 7,0 6,8 0
5
10
15
20
25
30
35
Skore Organoleptik Mutu Terasi
Gambar 4.
Bentuk Hubungan antara Penan Wanita Nelayan (x) dan Mutu Produk Olahan Terasi Udang (y)
Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa dengan meningkatnya peran wanita nelayan akan meningkatkan mutu produk olahan terasi udang di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal 2.2.
Pembahasan
2.2.1. Peran wanita nelayan dalam peningkatan mutu produk olahan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa penan wanita nelayan dalam peningkatan mutu produk olahan ikan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal
210
mempunyai peranan baik hingga sangat baik, dengan peranan baik dalam peningkatan mutu produk perikanan di Kecamatan Suradadi Kabupaten mempunyai frekuensi tertinggi sebesar 14 orang (53,33 %) dengan pembobotan terhadap penan wanita nelayan dalam peningkatan mutu produk perikanan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal sebesar 88,00 % (tergolong kategori baik). Hasil uji organoleptik terhadap produk olahan hasil perikanan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal menunjukkan bahwa produk pindang ikan, ikan asap, ikan asin kering dan terasi udang mempunyai kualitas mutu yang baik. Sedangkan berdasarkan analisis regresi menunjukkan bahwa peranan wanita nelayan sangat berperan dalam peningkatan mutu produk olahan. Peran wanita nelayan dalam peningkatan mutu produk ikan olahan sangat berperan. Hal ini disebabkan karena wanita nelayan Kecamatan Suradadi sudah menyadari mutu hasil olahan ikan. Jika mutu ikan hasil olahan itu baik maka akan mempengaruhi harga jual produk ikan olahan, dengan demikian akan menambah pendapatan yang akhirnya akan meningkatkan taraf hidup wanita nelayan sebagai menunjang kegiatan suaminya sebagai nelayan. Namun yang menjadi kendala dalam pengolahan hasil perikanan oleh wanita nelayan di Kecamatan Suradadi adalah jika harga bahan baku ikan olahan lebih tinggi dari nilai jual harga ikan olahan. Hal ini yang menyebabkan wanita nelayan untuk sementara tidak memproduksi ikan olahan, karena sebagaian besar wanita nelayan memproduksi ikan olahan berdasarkan pesanan para bakul. Peran wanita nelayan dan peningkatan produk perikanan di Kecamatan Suraradi Kabupaten Tegal, tidak lepas dari peran Dinas Perikanan Kalautan dan Peternakan Kabupaten Tegal dengan memberikan pelatihan dan pendampingan kapada wanita nelayan dalam peningkatan mutu produk perikanan maupun pengembangan jenis olahan hasil perikanan baik yang didanai oleh program daerah maupun program dari tingkat provinsi. Dengan adanya pelatihan dan pendampingan diharapkan akan semakin meningkatkan mutu produk olahan sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga nelayan. Bagi produsen olahan ikan, biasanya memberi garam dalam jumlah yang berlebihan agar daya awetnya lebih lama, namun rasa asinnya kurang diperhatikan sehingga umumnya produk ini dikonsumsi dalam jumlah yang relatif kecil. Oleh sebab itu untuk mendapatkan produk ikan asin kering yang bermutu baik dengan daya awet dan keasinan yang diinginkan, maka perlu diperhatikan penambahan garam dan waktu proses penggaraman disamping teknik pengeringannya. Dalam usaha memperhatikan mutu produk olahan tradisional terutama ikan asin, maka perlu dipertimbangkan adanya pengaruh berbagai faktor selama proses pengolahan. Faktor-faktor tersebut antara lain kesegaran ikan, kemurnian garam, konsentrasi garam dan peralatan yang digunakan selama proses pengolahan. Dengan demikian dapat diketahui dan dikembangkan metode pengolahan yang lebih baik untuk mendapatkan mutu produk olahan yang baik pula. Menurut Institut Pertanian Bogor (2005) osmosis adalah kasus khusus dari transpor pasif, dimana molekul air berdifusi melewati membran yang bersifat selektif permeabel. Dalam sistem osmosis, dikenal larutan hipertonik (larutan yang mempunyai konsentrasi terlarut tinggi), larutan hipotonik (larutan dengan konsentrasi terlarut rendah), dan larutan isotonik (dua larutan yang mempunyai konsentrasi terlarut sama). Jika terdapat dua larutan yang tidak sama konsentrasinya, maka molekul air melewati membran sampai kedua larutan seimbang. Dalam proses osmosis, pada larutan hipertonik, sebagian besar molekul air terikat (tertarik) ke molekul garam (terlarut), sehingga hanya
211
sedikit molekul air yang bebas dan bisa melewati membran. Sedangkan pada larutan hipotonik, memiliki lebih banyak molekul air yang bebas (tidak terikat oleh molekul terlarut), sehingga lebih banyak molekul air yang melewati membran. Oleh sebab itu, dalam osmosis aliran netto molekul air adalah dari larutan hipotonik ke hipertonik. Disebutkan pula bahwa dalam proses osmosis juga terjadi pada sel hidup di alam. Perubahan bentuk sel terjadi jika terdapat pada larutan yang berbeda. Sel yang terletak pada larutan isotonik, maka volumenya akan konstan. Dalam hal ini, sel akan mendapat dan kehilangan air yang sama. Ikan dalam kondisi hidup tidak akan menyerap garam, walaupun kondisi lingkungannya asin, sedangkan ikan yang sudah mati akan mudah menyerap garam jika kondisi lingkungannya asin (penggaraman), hal ini terjadi karena adanya peristiwa osmoregulasi pada ikan hidup. Menurut Fujaya (2004), osmoregulasi adalah upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara tubuh dan lingkungannya atau suatu proses pengaturan tekanan osmosis. Proses osmoregulasi terjadi pada organisme air karena : 1) Terjadi keseimbangan antara substansi tubuh dan lingkungan 2) Membran sel yang permeabel merupakan tempat lewatnya beberapa substansi yang bergerak cepat 3) Adanya perbedaan tekanan osmose antara cairan tubuh dan lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2001) menyatakan bahwa pada waktu penyimpanan ikan asin setelah beberapa lama sering timbul warna kemerahan pada permukaan ikan atau timbulnya bintik-bintik putih. Kejadian ini disebabkan oleh pertumbuhan bakteri yang tahan terhadap garam. Akibat pertumbuhan bakteri ini tidak hanya merusak warna dan rupa ikan asin, juga menyebabkan bau yang tidak enak. Hadiwiyoto (1993) yang menyatakan bahwa garam mempunyai daya pengawet tinggi karena beberapa hal, antara lain : 1) Garam dapat menyebabkan berkurangnya jumlah air dalam daging sehingga kadar air dan aktifitas airnya akan rendah 2) Garam dapat menyebabkan protein daging dan protein mikroba terdenaturasi 3) Garam dapat menyebabkan sel-sel mikroba menjadi lisis karena perubahan tekanan osmosis 4) Ion klorida yang ada pada garam dapur mempunyai daya toksisitas yang tinggi pada mikroba dan dapat memblokir sistem respirasinya. 2.2.2. Pemberdayaan Wanita Nelayan Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa wanita nelayan di Kecamatan Suradadi sangat berperan dalam peningkatan mutu produk olahan ikan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal. Hal ini dari semakin meningkatnya kualitas produk olahan ikan dengan semakin meningkatnya keaktifan wanita nelayan dalam berbagai kegiatan organisasi wanita nelayan. Dalam mengolah produk olahan ikan, wanita nelayan di Kecamatan Suraradi menggunakan peralatan tradisional, dan menggunakan sinar matahasri untuk mengurangi kadar air dalam proses pembuatan produk olahan ikan. Jika mendung akan mempengaruhi mutu produk olahan ikan. Olah karena itu uluran bantuan dari pemerintah terutama alat pengering maupun ketrampilan tentang olahan produk perikanan sangat diharapkan dan bersifat kontinyu, sehingga dapat ikut membimbing jika dikemudian hari terdapat kendala. Kendala dalam pengolahan hasil perikanan oleh wanita nelayan di Kecamatan Suradadi adalah jika harga bahan baku ikan olahan lebih tinggi dari nilai jual harga ikan olahan.
212
Berbagai upaya telah Pemerintah lakukan lewat Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia melalui berbagai program guna meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat nelayan. Namun program-program tersebut dirasakan malah memanjakan nelayan, sehingga seolah-olah selalu mengandalkan bantuan tanpa berusaha mengembangkan diri untuk meningkatkan pendapatannya. Hal ini dapat dilihat dari setiap bantuan yang berupa pinjaman olah berbagai lembaga baik pihak pemerintah sendiri maupun swasta, nelayan tidak bisa mengembangkan bantuan tersebut, seolah-olah dana tersebut bersifat hibah. Sarosa (2006) menyatakan bahwa bantuan dalam bentuk uang tidak boleh terlalu besar (karena akan “memanjakan”), tetapi juga jangan terlalu kecil (karena bisa tidak efektif dalam upaya mengangkat komunitas dari lingkaran kemiskinan). Besaran yang “pas” akan sangat tergantung pada situasi dan kondisi setiap komunitas nelayan dan mungkin tidak bisa disamaratakan. Hal yang tidak kalah pentingnya dalam pelaksanaan proses pemberdayaan adalah pendampingan yang dilakukan oleh pendamping komunitas yang kompeten. Pendamping harus benar-benar memahami filosofi pendampingan masyarakat (khususnya masyarakat nelayan). Pendampingannya harus efektif, tetapi juga harus diupayakan untuk tidak menciptakan ketergantungan. Peran pendamping harus secara perlahan-lahan digantikan oleh tokoh atau lembaga lokal setempat sehingga tidak lagi bertumpu pada dukungan dana dari luar. Menurut Suyanto (2003), proses semacam ini tentu akan memakan waktu yang cukup lama untuk pendampingan saja mungkin diperlukan 3-5 tahun. Oleh karena itu, jika program pemberdayaan ini (baik pada tahap inisiasi maupun keseluruhan) menggunakan dana Pemerintah - misalnya, anggaran dari Departemen Kelautan dan Perikanan atau dinas tertentu pada Pemerintah Daerah - harus diusahakan agar tidak terputus-putus oleh mekanisme tahun anggaran serta pendekatan yang paternalistik (ada target-target yang ditentukan oleh pejabat tertentu).
3.
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1.
Kesimpulan
Pembobotan terhadap peran wanita nelayan dalam peningkatan mutu produk perikanan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal sebesar 88,00 % tergolong kategori baik. Hasil uji organoleptik terhadap produk olahan hasil perikanan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal menunjukkan bahwa produk pindang ikan, ikan asap, ikan asin kering dan terasi udang mempunyai kualitas mutu yang baik. 3.2.
Saran
Berdasakan hasil penelitian dapat disarankan bahwa untuk meningkatkan mutu hasil ikan olahan di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal diperlukan pembinaan terhadap wanita nelayan berupa penyuluhan dan pelatihan pengolahan produk perikanan secara kontinyu, sehingga dapat meningkatkan mutu produk.
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu dalam penyelesaian artikel ini, terutama kepada Budi Kurniawan, S.Pi. dan Ir. Sri Mulyani, M.Si.
213
DAFTAR PUSTAKA Astutie, Y.P., S. Hartati, dan N.I.Widiati. 2008. Peran dan Potensi Wanita Pesisir dalam Pemenuhan Kebutuhan Ekonomi Rumah Tangga di Kota Tegal. Majalah Ilmiah SOSEKHUM Volume .4 No.5 November 2008 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2001. Pengolahan Ikan Asin. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan bekerjasama dengan United State Agency for International Development-Fisheries Research and Development Project (USAID/FRDP). http://www.mail-archive.com/ yang direkam pada 20 April 2007 07:04:58 GMT. Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jilid I. Liberty, Yogyakarta. Institut Pertanian Bogor. 2005. Sistem Osmosis. http://www.iel.ipb.ac.id/ seperti yang diterima pada 4 Juli 2005 20:40:25 GMT. Sarosa, W. 2006. Pemanfaatan Laut Melalui Pemberdayaan Nelayan. Info URDI Vol. 11. http://www.urdi.org/urdi/ seperti yang diterima pada 06 Oktober 2005 09:30:45 GMT. Suyanto, B. 2003. Menempatkan Nelayan sebagai Subyek Pembangunan. Harian Kompas, Jumat 09 Mei 2003. http://www.kompas.com/kompas-cetak/ yang direkam pada 7 Januari 2007 02:30:13 GMT.
214
PERANCANGAN DAN ANALISIS EKONOMI TEKNIK ALAT PENGASAP IKAN Oleh : Tofik Hidayat1, Siwiyanti1, Gunistiyo2
ABSTRAK Indonesia yang merupakan Negara maritime memiliki garis pantai yang sangat panjang dan menyimpan kekayaan laut yang sangat banyak, salah satu hasil laut yang masih menjanjikan adalah sektor perikanan , disamping pariwisata dan budidaya rumput laut. Sektor kelautan telah merobah prilaku ibu-ibu nelayan menjadi pendukung usaha keluarga dengan aktifitas pengolahan ikan asap. Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) atau home industry yang diusahakan para istri nelayan selama ini terbukti telah mampu menyokong keuangan keluarga, namun bukan berarti tanpa masalah. Penelitian ini menggunakan pendekatan ergonomis untuk merencanakan dan desain produk yang diinginkan pekerja. Perancangan menekankan pada fungsi alat yang akan didesain. Untuk melihat kelayakan sebuah produk secara ekonomi maka diperlukan analisis kelayakan ekonomi teknik. Analisis ekonomi teknik menggunakan metode net present value (NPV) dan metode payback period (PBP). Penelitian dilaksakan di kelompok home industry ikan asap kelurahan Tegalsari Kota Tegal Penelitian ini menggunakan sampel 15 pekerja wanita pengasap ikan. Dari data antropometri didapat desain alat dengan tinggi 40 cm , lebar 45 cm dan panjang alat 70 cm. Alat dibuat dari bahan besi eiser (as) dan besi tahan karat (steenless). Dengan menggunakan metode NPV dan PBP maka alat pengasap ikan ini dinyatakan layak secara ekonomi. Kata Kunci : UMKM, Anthropometri, Ergonomi, NPV dan PBP
1.
PENDAHULUAN
Indonesia yang merupakan Negara maritime memiliki garis pantai yang sangat panjang dan menyimpan kekayaan laut yang sangat banyak, salah satu hasil laut yang masih menjanjikan adalah sektor perikanan , disamping pariwisata dan budidaya rumput laut. Sektor kelautan telah merubah prilaku ibu-ibu nelayan menjadi pendukung usaha keluarga dengan aktifitas pengolahan ikan menjadi ikan asap. Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) atau home industry yang diusahakan para istri nelayan selama ini terbukti telah mampu menyokong keuangan keluarga, walaupun sistem pengelolaannya masih sangat sederhana dan hal ini merupakan salah satu cirri dari UKM. Dalam penelitian Martasuganda, S, dkk, (2003) yang mengatakan bahwa hasil olahan ikan yang ada 75% ikan masih diolah atau diproduksi secara tradisional. Pengolahan ikan dengan sistem seadanya seperti terlihat pada gambar 1 telah menimbulkan keluahan – keluahan pada pekerja, seperti rasa sakit pada lengan atas kanan, pinggang, pantat; rasa sakit sakit pada bahu kiri, bokong, siku kanan dan rasa pada punggung dan kaki kanan. Dari pengamatan yang ada maka alat yang adapun masih memiliki berbagai kelemahan seperti saat menyiapkan api dan menata ikan diatas pemanggang, hal ini menjadikan produksi tidk optimal, seperti terlihat pada gambar 1. 1 2
Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik UPS Tegal Fakultas Ekonomi UPS Tegal
215
Gambar 1. Alat Pengasap Ikan dan Posisis Pekerja Pada Proses Produksi Ikan Asap di Jalan Kali Bacin Kelurahan Tegalsari Kota Tegal Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana merencanakan dan membuat alat pengasap ikan yang perfomansinya baik, murah, dan mudah pengoperasiannya. 2.
TINJAUAN TEORI
2.1.
Ergonomi
Hasil kerja yang optimal dapat dicapai apabila dalam melaksanakan pekerjaannya manusia merasakan kenyamanan baik secara fisik maupun psikologis, dan dapat berinteraksi dengan baik dengan obyek yang digunakannya, sehingga manusia dan obyek tersebut dapat memberikan hasil yang terbaik. Masalah yang sering ditemui adalah adanya ketidaksesuaian dimensi tubuh manusia dengan rancangan produk dan area kerja. Solusinya adalah merancang suatu area kerja dan produk tersebut dengan penyesuaian terhadap informasi yang diperoleh dari data anthropometri. 2.2.
Anthropometri
Setiap desain produk, baik yang sederhana maupun produk yang sangat komplek, harus berpedoman kepada antropometri pemkainya. Menurut Sanders & McCrmick (1978),; Pheasat (1988) dan Pulat (1992) bahwa antropometri adalah pengukuran dimensi tubuh atau karakteristik fisik tubuh lainya yang relefan dengan desain tentang sesuatu yang dipakai orang. (Tawaka, dkk, 2004). Agar rancangan suatu produk nantinya bisa sesuai dengan ukuran tubuh manusia yang akan mengoperasikannya, maka ditetapkan prinsip-prinsip yang harus diambil di dalam aplikasi data anthropometri (Wignjosoebroto, S.,1995). Dalam melakukan pengolahan data anthropometri, ada beberapa prosedur yang harus diperhatikan yaitu : 1) Uji Keseragaman Data, meliputi : Menghitung rata-rata grup, Menghitung standar deviasi sebenarnya, Menentukan Batas Kontrol Atas (BKA) dan Batas Kontrol Bawah (BKB) 2) Uji Kecukupan Data K N ∑ x12 -( ∑ x12 S ⎞ N'= ⎛ ∑ x1 ⎝ ⎠ 2.3. Metode Perancangan Metode perancangan adalah berupa prosedur, teknik-teknik, bantuan-bantuan atau peralatan untuk merancang. Metode perancangan menggambarkan sejumlah macam aktifitas dengan jelas yang memungkinkan perancang menggunakan dan mengkombinasikan proses perancangan secara keseluruhan. Tujuan utama metode baru ini adalah usaha untuk membawa prosedur rasional (masuk akal) di dalam proses perancangan. Cross (1992) menyebutkan metode perancangan bukan merupakan pertentangan (musuh) dari kreativitas, imajinasi dan intuisi.
216
2.4.
Analisis Ekonomi Teknik
Analisa ekonomi teknik biasa disebut dengan analisa investasi. Investasi merupakan kegiatan menanam modal (Giatman, 2006). Setiap kegiatan investasi akan diikuti oleh sejumlah pengeluaran lain yang akan timbul. Pengeluaran yang ditimbulkan dapat berupa biaya operasional (operational cost), biaya perawatan (maintenance cost) dan biaya lain. Disamping itu investasi juga akan menghasilkan sejumlah keuntungan dan manfaat berupa hasil produk atau jasa dari usaha yang ditimbulkan oleh investasi tersebut. Banyak metode yang dapat dipakai untuk menganalisis kegiatan investasi, antara lain Metode Net Present Value (NPV), Metode Annual Equivalen (AE), Metode Internal Rate of Return (IRR), Metode Benefit Cost Ratio (BCR) dan Metode Payback Periode (PBP). Pada penelitian ini metode yang dipakai adalah metode Metode Net Present Value (NPV) dan Metode Payback Periode (PBP). Net Present Value (NPV) dan dipakai dengan pertimbangan metode ini lebih valid dalam penilaian investasi (Sistemi, 1996), (Parker, 1997) dan (Sadelie, 2003). Sedangkan Metode Payback Periode (PBP) dipakai untuk mengetahui tingkat pengembalian modal investasi, metode ini cukup televan karena setiap uang yang dikeluarkan akan mampu diperkirakan kapan uang (modal) tersebut akan kembali (Sistemi, 1996). 3.
METODOLOGI PENELITIAN
Gambar.2 Metodologi Penelitian Perancangan Alat Pengasap Ikan
217
3.1.
Pengumpulan Data
1) Data Anthropometri Tabel 1. Tabel Data Anthropometri No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Nama Pekerja Tuti Wasinah Nisah Yanti Sugiarti Kusni Marfuatun Badriah Sumiani Darsi Tugiyem Iah Sari Ida Musliah
TBD (mm) 570 590 600 590 610 580 620 590 610 560 620 590 620 570 610
LBH (mm) 400 450 480 440 490 430 500 430 490 390 510 430 500 380 490
TSD (mm) 240 220 210 210 200 240 200 210 200 250 210 210 210 220 200
JKT (mm) 530 560 580 570 580 540 600 570 580 520 610 580 590 530 580
Sumber : UMKN Pengasap Ikan Tegalsari, Kota Tegal 2) Data Ekonomi (1)Estimasi Biaya Tabel 2. Perkiraan biaya bahan baku alat pengasap ikan dan ongkos produksi No. Atribut Biaya Material 1. Kerangka Utama Alat 2. Kerangka Tempat Ikan 3. Kerangka Tungku 4. Penguat Kerangka 5. Tempat untuk ikan yang diasap 6. Tungku Api 7. Dinding Tungku 8. Esel Ongkos Pembuatannya
Ukuran 14 mm 12 mm 12 mm 12 mm 5 mm 3 mm 3 mm
Kebutuhan 4,26 m 2,5m 2,5 m 1,7 m 9m 0,36 m2 0,25 m2 4 buah
Harga (Rp) 15.000 13.000 13.000 13.000 30.000 150.000 150.000 25.000
Total
Biaya (Rp) 63.900 32.500 32.500 22.100 270.000 54.000 37.500 50.000 175.000 740.000
(2)Estimasi Pendapatan Keuntungannya dari pengoperasian alat adalah = Rp. 859.375 per bulan 3.2. Analisis Data 1) Analisis Data Anthopometri (1) Mengelompokkan data ke dalam beberapa subgrup. k = 1 + 3,32 log n dimana : k = jumlah kelas n = banyaknya data ( n = 15 data) k = 1 + 3,32 log 15 k = 4,9 ≈ 5 kelas (2) Menentukan batas kontrol Batas kontrol atas dan Batas kontrol bawah
218
BKA BKB BKA
BKB
= x + 3σ ̅ = x - 3σ ̅ = x + 3 SD = 217,33 + 3 SD = 246,7 = x – 3 SD = 217,33 – 3 (9,8) = 187,9
(3) Uji kecukupan data
N =⎛ '
⎝
40 N ∑ x12 -( ∑ x12 ∑ x1
= 3,04
⎞ ⎠
Dari perhitungan kecukupan data diatas dapat disimpulkan bahwa N hitung < N ; 3,04 < 15. Maka data yang diperoleh sebanyak 15 data sudah mencukupi. 2)
Analisis Perancangan (1) Tahap Klarifikasi Tujuan Tahap ini menggunakan metode Objectives Tree (Gambar 3) yang akan menjelaskan sasaran proses perancangan alat pengasap ikan yang nyaman, perfomansinya baik, dan murah. Yang dimaksud murah adalah bahan pembuatan alat pengasap ikan ini murah, mudah didapat, dan proses pembuatannya pun mudah. Dalam penggunaannya alat pengasap ikan ini ditujukan kepada pekerja wanita.
Gambar 3. Objectives Tree Untuk Alat Pengasap Ikan
219
(2) Tahap Penetapan Fungsi
Gambar 4. Funtion Analysis (Transparant Box) Alat Pengasap Ikan
(3) Tahapan Spesifikasi Tahap ini akan menjelaskan masalah alat pegasap ikan dari tujuan awal penggunaan hingga kebutuhan pelaksanaan. Tabel 3 Perfomance Specification Untuk Alat Pengasap Ikan No. Tujuan Kriteria 1. Ukuran tinggi alat sesuai dengan Tinggi alat pengasap disesuaikan dengan tinggi pekerja siku duduk pekerja 2. Lebar alat tidak membuat pekerja Panjang alat dirancang dengan menggunakan terlalu menjangkau saat pekerja panjang jangkauan tangan membolak-balik ikan yang di asap 3. Panjang alat tidak membuat pekerja Panjang alat dirancang dengan menggunakan terlalu menjangkau saat pekerja panjang jangkauan tangan dan ditambah dengan membolak-balik ikan yang di asap lebar bahu duduk 4. Ketinggian alat disesuaikan dengan Ketinggian alat disesuaikan dengan posisi duduk posisi duduk pekerja pekerja yang diambil dari ukuran tinggi siku duduk 5. Konstruksi sederhana dan mudah Alat dibuat sederhana dengan bahan baku mudah dibuat didapat dan murah 6. Tidak mudah rusak Alat dibuat dari bahan besi eiser (as) pejal sehingga kuat dan tidak mudah rusak. 7. Mobilitas alat mudah Alat ini dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk dipindah-pindahkan 8. Pengoperasian alat 1. Tempat ikan diangkat kemudian arang kayu dimasukkan dan dinyalakan. 2. Pekerja lain membantu menata ikan di atas bara. 3. Proses pengeluaran abu sisa pembakaran dengan cara membuka pintu tungku dan menarik keluar abu. 4. Kayu bakar tambahan dapat dimasukan dengan cara membuka tungku seperti proses pengeluaran abu sisa pembakaran.
(4) Tahapan Pembuatan Pembuatan alat didasarkan pada data antropometri yang diolah, untuk kemudin dilakukan pendesainan alat dan dikonfirmasikan dengan calon pemakai.
220
Tahapan selanjutnya dalah pembiatan alat. Alat dibuat di laboratorium produksi fakultas teknik, sehingga biaya yang timbul di hitung dari biaya laboratorium. Adapun Desain alat seperti terlihat pada gambar 5.
Gambar 5. Rancangan Alat Pengasap Ikan
(5) Tahapan Pengujian Alat Tahapan ini adalah tahapan penilaian alat baru membandingkan dengan alat yang sudah ada atau lama, seperti terlihat pada tabel 4 berikut. Tabel 4. Perbandingan Alat Lama dengan Alat Baru Hasil Perancangan No 1 2 3 4
3.3.
Spesifikasi Bahan baku alat Bahan baku untuk menata ikan asap Tungku api Proses Pengasapan a. Penyalaan api b.
Penataan ikan
c.
Penggantian api dan membuang abu
5 6
Kapasitas alat Kebersihan
7 8
Perawatan alat Mobilitas alat
Alat Lama Batu bata yang ditumpuk tanpa semen Kayu bakar sehingga bisa terbakar dan ditata ulang Plesteran semen
Alat Baru Besi eiser (as) yang di ragum dengan las listrik Besi steenless steel
Lama karena terkadang harus menata ullang batu bata Lama karena harus menyiapkan tempat menggunakan kayu bakar yang ditata rapid an akan berulang setelah kayu ikut terbakar Sulit karena harus membongkar tempat ikan asap ditata
Cepat karena tungku sudah siap Cepat karena tempat telah siap
30-40 potong ikan asap Kurang bersih karena ikan terkena abu dan bersentuhan dengan kayu bakar yang terkadang kotor Mudah Tidak bisa
Plat besi dengan ketebalan 3 mm
Mudah cukup dengan membuka pintu pembuangan dan menarik abu keluar skemudian menambah kayu 50-60 potong ikan asap Bersih karena ikan tidak terkena abu atau katy bakar mudah mudah
Analisis Ekonomi Teknik
Analisis ekonomi teknik ditujukan untuk mengetahui kelayakan investasi dari pembuatan alat dan untuk mengetahui tingkat pengembalian modal. Metode yang dipakai menggunakan Metode Net Present Value (NPV), dan Metode Payback Periode (PBP). 1) Metode Net Present Value (NPV) Untuk membuat alat pengasap ikan ini dipelukan dua jenis biaya yaitu : Biaya bahan baku : Rp. 567.500 Biaya Permesinan : Rp. 175.000 Jumlah : Rp. 740.500
221
Keuntungan setiap bulan diperkirakan sebesar Rp. 6.875,- x 720 (kali masak )= Rp. 859.375 Secara cash flow dapat digambarkan seperti pada gambar 6 berikut: Rp. 859.375 per bulan
1
2 3 4 5 ……
n = 24 bulan i
= 1 % bulan
……….
23 24
Rp. 740.500
Gambar 6. Cash Flow Pengoperasian Alat Pengasap Ikan Dari data tersebut maka nilai NP adalah : NPV = PWB – PWC = Rp. 859.375 (P/A, 1 %, 24 ) - Rp. 740.500 = Rp. 859.375 ( 21,2307 ) - Rp. 740.500 = Rp. 1.7504.632,81 Karena nilai NP > 0 maka investasi dinyatakan layak, dan alat dapat dibuat. 2) Metode Payback Periode (PBP) Metode Payback Periode (PBP) adalah jumlah periode (tahun) yang diperlukan untuk mengembalikan (menutup) ongkos investasi awal dengan tingkat bunga tertentu (Pujawan, 2004). Jika melihat cash flow alat pengasap ikan yang pada gambar 4.8 maka analisa Metode Payback Periode (PBP) pada persoalan ini tidak perlu dilakukan karena pendapatan rata-rata perbulan sebesar Rp. 859.375 yang juga menunjukan tingkat pengembalian modal investasi pada bulan pertama. Hal ini juga ditunjukan dari tingkat nilai NPV yang besar. Dengan demikian maka investasi alat layak dilanjutkan.
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
Tinjauan ekonomi teknik dimana nilai NPV = Rp. 1.7504.632,81 > 0 , maka alat pengasap ikan ini layak untuk dibuat dengan bahan baku besi eiser (as) ddengan spesifiksi sebagai berikut : 1) Kerangka utama = besi eiser (as) dengan diameter 14 mm 2) Kerangka penguat = besi eiser (as) dengan diameter 12 mm 3) Kerangka peletak ikan = besi eiser (as) dengan diameter 12 mm 4) Kerangka tungku = besi eiser (as) dengan diameter 12 mm 5) Tungku = plat besi dengan ketebalan 3 mm 6) Tempat ikan = steenless steel dengan diameter 3 mm 7) Engsel = galvaness 4.2.
Saran
Secara teoritis alt diatas layak untuk dibuat, maka direkomendasikan untuk ditindak lanjuti dengan pembuatan alat dalam bentuk pengabdian pada masyarakat, sehingga penelitian ini lebih berguna bagi masyarakat dan dapat meningkatkan kesejahteraan para pemilik UKM ikan asap.
222
DAFTAR PUSTAKA Astutie, Y.P., S.Hartati, dan N.I.Widiati. 2008. Peran dan Potensi Wanita Pesisir dalam Pemenuhan Kebutuhan Ekonomi Rumah Tangga di Kota Tegal. Majalah Ilmiah SOSEKHUM Volume .4 No.5 November 2008. Cross, N. ; 1994; Engineering design Methods, ed.2 ; Jhon Willey & Sons; Chichester. Giatman, M, 2006, “Ekonomi Teknik”, Edisi Pertama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Grand E L. dkk., 1989, “Dasar-dasar Ekonomi Teknik”, PT Bina Aksara, Jakarta. Joyowijoyo, Marsudi, 1993, “Ekonomi Teknik”, Yayasan Penerbit Pekerjaan Umum, Jakarta. Kristyanto, B. 2004. Ergonomi Konkruen dan Penerapannya dalam Sistem Manufaktur. Prosiding Seminar Nasional Ergonomi, Aplikasi Ergonomi dalam Industri. Yogyakarta. Kroemer, K. Kroemer, H. and Kroemer-Elbert, K. 1994. Ergonomics, How To Design for Ease & Efficiency. New Jersey : Prentice Hall. Englewoods Clifts. Manuaba, A. 1992. Pengaruh Ergonomi Terhadap Produktivitas. Seminar Produktivitas Tenaga Kerja. Jakarta Nurmianto, E, 2002, Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya, ed.1. ; Guna Widya ; Jakarta Sutalaksana, I.Z ; Anggawisastra,R; dan Tjakraatmadja; 1976; Teknik Tata Cara Kerja; Jurusan Teknik Industri ITB, Bandung Pujawan, I, N., 2004, Ekonomi Teknik, Penerbit Guna Widya, Surabaya Indonesia Tarwaka, dkk, 2004, Ergonomi Untuk Keselamatan Kerja dan Produktivitas, UNISBA PRESS, Suurakarta Indonesia.
223
PEMODELAN DINAMIK PENGELOLAAN SUMBER DAYA PESISIR BERKELANJUTAN (STUDI KASUS DI PANTAI KELURAHAN MUARAREJA KOTA TEGAL) Oleh : Tofik Hidayat1, Suyono2, Saufik Luthfianto1
ABSTRAK Sumberdaya alam mangrove ini merupakan aset nasional yang sampai saat ini belum dikelola secara optimal. Manfaat mangrove juga belum banyak disadari oleh para penduduk yang tinggal di daerah pesisir. Ada indikasi perubahan fungsi kawasan yang dimanfaatkan secara konvensional dan tidak terintegrasi, sehingga menimbulkan degradasi pada kawasan mangrove. Hal ini hampir terjadi di semua wilayah pesisir, tidak terkecuali di Desa Muarareja Kota Tegal. Penelitian ini menggunakan sistem dinamik untuk mengetahui dinamika dan perilaku faktor-faktor penting yang berpengaruh dalam pengelolaan sumber daya peisisir. Sistem ini terbentuk dari tiga system utama yaitu sistem mangrove, sistem tambak dan sistem penduduk. Ketiga membentuk satu sistem utama dan sangat komplek karena saling berpengaruh antara sistem yang ada. Faktorfaktor pembentuk system yang ada digolongkan dalam faktor endogenous, exogenous dan exluded menggunakan model boundary diagram. Kemudian hubungan sebab akibat antara factor satu dengan lainya diamati menggunakan causal loop diagram dan selanjutnya model diformulasikan untuk melihat prilaku model. Sebelum disimulasikan model diuji dengan serangkaian uji model, seperti uji boundary adequacy test, exteme condition test dan behavior reproduction test untuk meyakinkan bahwa model dapat digunakan dan telah sesuai dengan aslinya. Dengan pendekatan rekayasa teknologi simulasi sistem yang dilakukan pada model memberikan hasil bahwa luas mangrove akan mengalami penurunan yang di pengaruhi oleh pembukaan hutan dan jumlah penduduk sebagai pemakai. Tingkat kerusakan mangrove akibat kurang kesadaran penduduk memiliki prosentasin variable yang tinggi. Peran pemerintah untuk memperbaiki kondisi ditunjukan dengan perubahan variable biaya konservasi mangrove yang meningkat, maka kondisi mangrove akan dapat diselamatkan. Simulasi ini menggunakan rentang waktu 20 tahun. Simulasi menggunakan bantuan Software Powerim Studio 2005, versi student. Kata Kunci :Mangrove , System Dynamics, dan Simulasi
1.
PENDAHULUAN
Luas mangrove saat ini di dunia hanya 2% dari permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Departemen Kelautan dan Perikanan (2004), menyatakan Luas potensial ekosistem mangrove Indonesia yang perhitungannya didasarkan pada sebaran sistem lahan potensial untuk ditumbuhi mangrove adalah seluas 9,2 juta ha, luasan tersebut atas kawasan hutan (3,7 juta ha) dan non kawasan hutan (5,5 juta ha). Eploitasi terhadap hutan mangrove telah merusak ekosistem mangrove. Demikian halnya yang terjadi di Kota Tegal, yang terletak di daerah Pantura. Masyarakat Kota yang tinggal di wilayah pesisir pantai, dengan pemahaman 1 2
Program Studi Teknik Industri Fakultas Teknik UPS Tegal Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan UPS Tegal
224
terbatas tentang mangrove telah melakukan eksploitasi terhadap pohon-pohon mangrove atau biasa mereka menyebut pohon bakau untuk berbagai keperluan. Di antaranya adalah untuk kayu bakar, menebang untuk dijadikan tambak udang dan bandeng. Abrasi akibat kerusakan mangrove dari ahun ketahun semakin meningkat. Pada tahun 2004, abrasi terjadi di Kelurahan Muarareja seluas 0,7 Ha. Kemudian pada tahun 2005, di Kelurahan Muarareja seluas 0,5 Ha dan pada tahun 2006, abrasi Muarareja seluas 1,5 Ha (Laporan Status Lingkungan Hidup Kota Tegal 2008). Sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 22 tahun 1999 pasal 10 yang ditafsirkan oleh Iskandar (2001), bahwa kewajiban pemerintah daerah dalam mengurus hutan adalah selesai konflik antar stakeholders, kepastian akses hutan oleh stakeholders, kepastian hak masyarakat adat, dan kepastian pola manajemen hutan. Dengan demikian, sudah menjadi tanggung jawab bagi pemerintah daerah untuk menjamin keharmonisan hubungan antar stakeholder sehingga menjamin pula kelestarian hutan yang sedang dalam pengelolaan (termasuk di dalamnya rehabilitasi dan perlindungan). Amanat UU tersebut mencerminkan harus adanya tata kelola pesisir yang melibatkan berbagai elemen yang memiliki kepentingan. Oleh kerena itu pendekatan sistem merupakan pendekatan yang dirasa dapat memberikan hasil yang optimal. Tujuan Penelitian ini adalah penyusun strategi pengelolaan kawasan mangrove di Kelurahan Muarareja, Kecamatan Tegal barat, Kota Tegal dengan pendekatan sistem dinamik.
2.
TINJAUAN TEORI
2.1.
Manggrove
Mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut (Departemen Kehutanan dan Pertanian, 2009). Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.
1) Ciri –Ciri Ekosistem Mangrove Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, adalah Memiliki jenis pohon yang relatif sedikit, Memiliki akar tidak beraturan, Memiliki biji (Propagul), Memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon. 2) Ekosistem Mangrove Santoso, (2000) menyatakan Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau. 3) Zonasi Hutan Mangrove Penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia : (Bengen, 2001) : Daerah yang paling dekat dengan laut, Lebih ke arah darat, Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah 2.2.
Kondisi Mangrove di Kota Tegal
di Kota Tegal menurut Sinar Harapan (2009), menyatakan kondisi mangrove (hutan bakau) di Kota Tegal, Jawa Tengah, semakin memprihatinkan. Kerapatan
225
mangrove di pantai yang mempunyai garis pantai cukup panjang, sekitar 12 km itu hanya terdapat 248 pohon per hektarnya atau kurang dari separuh kerapatan ideal 600 pohon per hektar. Laporan Status Lingkungan Hidup Kota Tegal (2008), menyatakan kawasan pantai Kota Tegal 7,5 Km dari lebar pesisir dari 10 sampai 80 meter, Kelurahan yang berada di wilayah pantai adalah : Kelurahan Muarareja (881 Ha), Kelurahan Tegalsari (219 Ha), Kelurahan Mintaragen (141 Ha), dan Kelurahan Panggung (223 Ha). Pemanfaatanya antara lain : lahan Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), lahan untuk kegiatan pertambakan dan persawahan, lahan kosong aatau pesisir terbuka, lahan pemukiman, rekreasi dan lahan sungai. Kondisi tersebut akan semakin rusak jika didalam pengelolaannya tidak melibatkan sistem yang ada. 2.3.
Sistem Dinamik
2.3.1. Konsep Model dan System Thinking Menurut enurut Sitompul (2000) model adalah contoh sederhana dari sistem dan menyerupai sifat-sifat sifat sistem yang dipertimbangkan tetapi tidak sama dengan sistem tersebut. Model juga berarti sebagai perwakilan atau abtraksi dari sebuah objek atau situsi aktual (Suwarto, 2006). Paradigma baru dalam pemodelan modelan adalah pemodelan untuk tujuan pembelajaran (learning). (learning). Dewasa ini berkembang pendekatan berbasis system thinking untuk mengakomodasi tujuan ini. System thinking memandang sistem tidak hanya sekedar penjumlahan dari bagian-bagiannya bagian bagiannya tetapi sistem dipandang sebagai keseluruhan (integral). System thinking tidak melihat variabel-variabel variabel sebagai linear cause-effect chains tetapi dilihat sebagai inter relasi antar variabel. var System thinking lebih fokus pada perubahan proses yang terjadi dibandingkan dengan snapshots (Senge, 1990). 2.3.2. Metode Pendekatan System Dalam pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja yang sistematis (Hartrisari, 2001). Prosedur analisis sistem meliputi tahapan - tahapan sebagai berikut : analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi model dan implementasi (Eriyatno, 1999). Secara diagramatik, tahapan analisis sistem disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Tahapan Anaisis System (Eriyanto, 1999 dalam Hartrisari, 2001)
226
Prinsip Sistem Dinamik Simulasi Simulasi sistem dinamik didasarkan pada prinsip cause and effect, feedback, dan delay. delay Kompleksitas perilaku sistem muncul dari feedback yang terjadi diantara komponen sistem (Powersim Software AS, 2003). Model Boundaries Model boundaries merupakan batasan variabel-variabel variabel yang akan dimasukkan untuk membuat model. Dalam model boundaries diagram, variabel-variabel didefinisikan menjadi endogenous dan exogenous. Endogenous digunakan untuk menggambarkan aktivitas dan kejadian yang terjadi dalam sistem atau kejadian yang dipilih masuk ke dalam sistem, sedangkan istilah exogenous digunakan untuk menggambarkan aktivitas yang dipilih untuk diposisikan dip di luar Cause and effect adalah gagasan yang sederhana, yaitu setiap tindakan dan keputusan mempunyai konsekuensi masing-masing. masing masing. Harga mempengaruhi penjualan. Kelahiran mempengaruhi populasi. Elemen-elemen elemen dalam simulasi sistem dinamik Dalam sistem istem dinamik dikenal empat elemen yaitu (Powersim Software AS, 2003): Levels and flows, Auxiliaries, Constants dan Information links 3. METODOLOGI PENELITIAN
Gambar 2 . Langkah Penelitian
227
3.1. 1)
Model Simulasi System Dynamics Model boundary diagram (MBD) Model boundary diagram (MBD) MBD) merupakan diagram yang menerangkan cakupan dari model yang dibuat. MBD mengklasifikasikan variabel-variabel variabel variabel yang ada ke dalam faktor endogenous, exogenous dan excluded. excluded Gambar 3. menunjukkan MBD dalam lam penelitian ini.
Gambar 3 Model boundary diagram (MBD)
228
2) Causal loop diagram (CLD) Causal loop diagram menjelaskan hubungan sebab akibat antara variabel satu dengan yang lain.
Gambar 4. Causal Loops Pembentuk System Mangrove 3) Stock and flow map Bagian ini menjelasakan gambaran aliran material dan informasi secara garis besar dari causal loop diagram yang telah dijelaskan. Stock and flow mapp yang ditunjukkan pada gambar 5.
Gambar 5 Stock and Flow Map
229
4) Setting simulasi Simulasi dijalankan dari tanggal 1 September 2009 sampai dengan 1 September 2030. Penanggalan yang digunakan adalah Georgian yaitu sistem penanggalan masehi. Satuan time step yang digunakan adalah tahun hal ini disesuaikan dengan pola yang ada pada sistem nyata dimana pencatatan dilakukan pada periode tahun. 5) Pengujian Model Simulasi Model diuji menggunakan 2 jenis uji, yaitu boundary adequacy test dan extreme condition test. (1)Boundary adequacy test Uji ini dilakukan untuk mengetahui kepantasan dari model boundary diagram dalam mencapai tujuan penelitian. Pengujian ini dilakukan dengan melakukan diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan dengan model pada gambar 5 (2)Extreme condition test Uji model pada kondisi ekstrim dilakukan untuk mengetahui perilaku model dalam situasi yang ekstrim (a) Kondisi ekstrim 1 tingkat kerusakan mangrove sampai 60 % maka pada tahun ke-20 akan habis seperti terlihat pada gambar 6 (b) Kondisi ekstrim 2 tingkat kerusakan mangrove dapat diperbaiki jika variable dana perbaikan seperti terlihat pada gambar 6
(a)
Kerusakan Manggrove 60% (b) Kenaikan Biaya Mangrove Gambar 6. Perilaku Model dengan Perubahan pada Variabel
6) Analisis Perilaku Model (1)Analisis Perilaku Penduduk Pada causal loop diagram dapat dilihat bahwa variabel fertilasi (tingkat kelahiran ) sebesar 1,2 % pertahun, maka penduduk Desa Muarareja akan menjadi sebanyak 8847 penduduk pada tahun 2030 dari 6255 penduduk pada tahun 2010, Jika pemerintah berhasil menekan laju kelahiran menjadi 0.5 % pada tahun 2015 maka jumlah penduduk Desa Muarareja pada tahun 2030 menjadi 8785 penduduk. Terlihat pada gambar 7. (2)Analisis Perilaku Luas Manggrove Kerusakan yang ada dapat di minimalkan dengan adanya dana reboisasi.Jika dana reboisasi untuk konvervasi manggrove tidak mencukupi dibandingkan dengan laju kerusakan maka manggrove akan mengalami kepunahan. Pada tahun 2010 luas manggrove Desa Muarareja sebesar 2432500 m2 atau 24,325 Ha akan mejadi 2.168.389,297 m2. Jika dana Reboisasi secara bertahap dinaikan maka luas manggrov akan dapat diperbaiki secara perlahan. Lihat gambar 7.
230
ppl
m2/yr
8,500
K e m a m pua n m e ngadak an re b u o s a s i
5,000,000,000
8,000
p o p u la s i
4,000,000,000
7,500
3,000,000,000 2,000,000,000
7,000
1,000,000,000
6,500
0 Jan 01, 2010
Jan 01, 2010 Jan 01, 2015 Jan 01, 2020 Jan 01, 2025 Jan 01, 2030
(a) Perilaku Jumlah Penduduk
Jan 01, 2015
Jan 01, 2020
Jan 01, 2025
Jan 01, 2030
(b) Perilaku Dana Perbaikan
m2
luas manggrove
2,400,000
2,300,000
2,200,000
Jan 01, 2010
Jan 01, 2015
Jan 01, 2020
Jan 01, 2025
Jan 01, 2030
(c ) Prilaku Luas Mangrove oleh Variabel Penduduk dan Dana Meningkat Gambar 7. Prilaku Model Dengan Perubahan –perubahan Variabel
4. KESIMPULAN 1)
2)
3)
Model system dynamics di Desa Muarareja telah berhasil dibuat dan telah lulus uji kalibrasi untuk menyakinkan bahwa model berguna. Uji kalibrasi yang dilakukan adalah: boundary adequacy test, extreme condition test, dan behavior reproduction test Hasil simulasi menunjukkan bahwa parameter-parameter di dalam sistem saling terkait dan membentuk trade-off. Misalnya untuk mengurangi tingkat kerusakan mangrove dapat dilksanakan dengan meningkatkan anggaran biaya perbaikan. Namun, disisi lain, jika tingkat kesadaran angkan fungsi mangrove maka aka nada prilaku penduduk yang membuka tambak baru dengan memanfaatkan hutan mangrove. Pada tahun 2010 luas manggrove Desa Muarareja sebesar 2432500 m2 atau 24,325 Ha akan mejadi 2.168.389,297 m2 jika tanpa perbaikan maka jika dana konservasi dinaikan akan mengalami peningkatan perbaikan lagi paa tahun 2015, karena anggaran naik pada tahun 2015
DAFTAR PUSTAKA Bappeda-kotategal.go.id.2009. Sumber Daya Hutan Mangrove http://bappedakotategal.go.id/index.php?ask=hal&hid=90 Seperti Yang Di rekam Pada 17 April 2009 ; 20:13:15 GMT.
231
Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2004. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Direktorat Bina Pesisir, Jakarta Dvornik, D.,dkk, 2003, “ System Dynamics Simulation Modeling of Organizational Business System of Management of Material and Informational Flows in Productive Company”, University of Split Maritime Faculty of Split ZrinskoFrankopaska-Croatia. Eko, 2009. Hutan Mangrove http://www.lablink.or.id/Eko/Wetland/lhbs-mangrove.htm, Seperti Yang di Rekam Pada 5 April 2009; 10:12:45 GMT Harvey J.T., 2001, “Keynes’ Chapter Twenty-Two:A System Dynamics Model”, Department of Economics Box 298510 Texas Christian University Fort Worth, Texas 76129 (817)257-7230
[email protected]. Joolingen, W.V., dkk, 2000, “ Dynamic Modeling, The Added Value of Simulating a Representation”. Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan (KAPEDAL), 2008. Laporan Lingkungan Hidup, Tegal.
Status
Kantor Statistik, 2008. Peta Kota Tegal, Tegal. Sadile A., 2003, “ Pemodelan system Dinamik Pengembangan Pariwisata Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berkelanjuatan”, Makalah Pascasarjana/S3, IPB, oktober 2003. Sence P. M., 1996, ”Disiplin Kelima” , Terjemahan, Binapura Aksara, Jakarta. Sitompul S. M., 2000, ”Konsep Dasar Model Simulasi”, Bahan Ajar 3. Simatupang T. G., 1995, ” Pemodelan Sistem”, Penerbit Hindita Klaten.
232
PERBAIKAN LINGKUNGAN PESISIR DENGAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN TEGAL Oleh : Sri Mulyani1
ABSTRAK Wilayah pesisir Kabupaten Tegal merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut memiliki keragaman potensi sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan nelayan dan berbagai kepentingan pengembangan. Wilayah pesisir ini cenderung telah mengalami tekanan pembangunan yang kadang melampaui daya dukungnya. Perbaikan lingkungan pesisir dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, diberikan kesempatan dan tanggung jawab pada masyarakat dalam melakukan pengelolaan terhadap sumber daya yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya. Perbaikan lingkungan pesisir dengan pemberdayaan (sosial) masyarakat di Kabupaten Tegal meliputi kegiatan : perbaikan sarana jalan desa, perbaikan saluran pembuangan limbah, perbaikan jembatan, pembuatan MCK, dan bantuan rehab rumah warga. Keikutsertaan masyarakat Kabupaten Tegal dalam menjaga kelestarian sumberdaya perikanan yaitu dengan telah terbentuknya Komite Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Dalam Komite tersebut masyarakat diajak ikut berperan aktif dalam menjaga kelestarian sumberdaya perikanan, termasuk didalamnya menjaga kelestarian mangrove dan pembangunan groin. Upaya pemerintah dan masyarakat sangat berperan dalam perbaikan lingkungan pesisir, hal ini terlihat dengan tingginya nilai persepsi dan partisipasi masyarakat. Key Word : Lingkungan Pesisir, Pemberdayaan Masyarakat, Kabupaten Tegal
1.
PENDAHULUAN
Pembangunan di wilayah pesisir yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam pesisir. Di dalam aktivitas ini sering dilakukan perubahan-perubahan pada sumberdaya alam. Implikasi dari tidak adanya prioritas kebijakan pembangunan perikanan tersebut, mengakibatkan sangat minimnya prasarana perikanan di wilayah pesisir, terjadinya abrasi wilayah pesisir dan pantai, pengrusakan ekosistim laut dan terumbu karang, serta belum optimal dalam pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan (Wahyudin, 2005). Menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menyebutkan bahwa sumberdaya pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasajasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut 1
Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan UPS Tegal
233
tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir. Wilayah pesisir Kabupaten Tegal merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut memiliki keragaman potensi sumberdaya alam yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan nelayan dan berbagai kepentingan pengembangan. Wilayah pesisir ini cenderung telah mengalami tekanan pembangunan yang kadang melampaui daya dukungnya. Kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak terkendali, selain menimbulkan konflik juga berdampak pada terjadinya degradasi lingkungan seperti rusaknya kawasan mangrove, dan habitat perikanan lainnya, abrasi pantai serta pencemaran. Departemen Kelautan dan Perikanan (2007) menyatakan bahwa perbaikan lingkungan pesisir dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat dilatarbelakangi oleh permasalahan dagradasi lingkungan pesisir dan laut yang ditunjukkan dengan kerusakan mangrove, terumbu karang. Pada sisi lain, kondisi masyarakat pesisir yang relatif lemah dan sisi ekonomi serta umumnya kurang tersentuh oleh perhatian pembangunan, telah menimbulkan berbagai permasalahan sosial, lingkungan dan sumberdaya manusia. Permasalahan tersebut seakan menjadi trade mark yang melekat di wilayah pesisir sebagaimana tergambar oleh fenomena lingkungan permukiman kumuh yang tidak didukung oleh prasarana secara memadai, seperti buruknya sistem sanitasi (drainase, persampahan, air bersih, MCK), jalan lingkungan serta terbatasnya prasarana pendukung kegiatan ekonomi setempat. Perbaikan lingkungan pesisir dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat, diberikan kesempatan dan tanggung jawab pada masyarakat dalam melakukan pengelolaan terhadap sumber daya yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya. Dengan demikian pengelolaan wilayah pesisir berbasis masyarakat adalah pendekatan pengelolaan yang melibatkan kerja sama antara masyarakat setempat dan pemerintah dalam bentuk pengelolaan secara bersama dimana masyarakat berpartisipasi aktif baik dalam perencanaan sampai pada pelaksanaannya (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007). Untuk mengetahui peran pemberdayaan masyarakat dalam perbaikan lingkungan pesisir maka perlu dilakukan penelitian tentang perbaikan lingkungan pesisir dengan pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Tegal. Perbaikan lingkungan yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi : perbaikan lingkungan pantai dengan penanaman mangrove, pembangunan grouwing (penahan gelombang) penahan abrasi pantai, dan perbaikan lingkungan pemukiman. Dipilihnya jenis perbaikan lingkungan ini karena dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat desa pesisir. 1.1.
Permasalahan
Dengan semakin pesatnya pertumbuhan baik pertumbuhan jumlah penduduk dunia maka kegiatan-kegiatan pembangunan di wilayah pesisirpun akan semakin meningkat pula. Beberapa kegiatan tersebut antara lain, reklamasi pantai, kegiatan industri disekitar wilayah pesisir, dan lain-lain. Reklamasi pantai adalah suatu kegiatan atau proses memperbaiki daerah atau areal yang tidak terpakai atau berguna menjadi daerah yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan manusia antara lain untuk lahan pertanian, perumahan, tempat rekreasi dan industri (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2007). Zamani dan Darmawan (2000) menyatakan bahwa kegiatan reklamasi pantai bagaimanapun telitinya, tetap akan mengubah kondisi dan ekosistem lingkungan pesisir,
234
dan ekosistem buatan yang baru tentunya tidak sebaik yang alamiah. Oleh karena itu upaya reklamasi pantai perlu direncanakan sedemikian rupa dan secara seksama agar keberadaanya tidak mengubah secara radikal ekosistem pesisir yang asli. Untuk itu diperlukan perencanaan tata ruang yang rinci, penelitian lingkungan untuk analisis dampak lingkungan regional, penelitian hidro oceanografi, perencanaan teknis reklamasi dan infrastruktur, perencanaan drainase dan sanitasi serta perencanaan social-ekonomi dan pengembangan lainnya. Sumberdaya pesisir Kabupaten Tegal saat ini mengalami degradasi lingkungan ekosistem, seperti : abrasi pantai, pemanfaatan lahan mangrove menjadi tambak, serta lingkungan pemukiman nelayan yang cenderung kumuh. Luas pantai Kabupaten Tegal ± 30 km, seperti halnya wilayah pesisir Pantai Utara Jawa (Pantura) telah mengalami banyak kerusakkan (degradasi lingkungan pesisir), mulai dari abrasi sampai pada lingkungan pemukiman perumahan di daerah pesisir yang kumuh. Timbulnya kerusakan lingkungan pesisir ini, mendorong usaha-usaha untuk memperbaikinya baik pemerintah maupun masyarakat setempat di daerah pesisir yang mengalami kerusakan lingkungan. Perbaikan lingkungan dengan melibatkan masyarakat setempat di daerah pesisir yang mengalami kerusakan lingkungan, diharapkan masyarakat akan dapat berperan aktif dalam perbaikan dan perlindungan lingkungan wilayah pesisir. Untuk mengetahui upayaupaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat melalui program pemberdayaan, maka perlunya diketahui perbaikan lingkungan pesisir dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Tegal. 1.2.
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1) Perbaikan lingkungan pesisir dengan pemberdayaan (sosial) masyarakat di Kabupaten Tegal 2) Upaya-upaya pemerintah dan masyarakat dalam perbaikan lingkungan pesisir. 1.3.
Kegunaan
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi pengelola lingkungan pesisir dalam pengelolaan wilayah pesisir. 1.4.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 di wilayah pesisir Kabupaten Tegal, yang meliputi : Desa Kedungkelor Kecamatan Warureja, Desa Bojongsana dan Desa Suradadi Kecamatan Suradadi, dimana ketiga desa ini terdapat kegiatan perbaikan lingkungan pesisir dan lingkungan pemukiman nelayan.
2. MATERI DAN METODE PENELITIAN 2.1.
Materi
Materi yang dalam penelitian ini adalah masyarakat pesisir Kabupaten Tegal, dimana terdapat kegiatan perbaikan lingkungan pesisir, seperti : perbaikan lingkungan pantai dengan penanaman mangrove, pembangunan grouwing (penahan gelombang) penahan abrasi pantai, dan perbaikan lingkungan pemukiman.
235
2.2.
Metode
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Kasus yang dikaji dalam penelitian ini adalah perbaikan lingkungan wilayah pesisir di Kabupaten Tegal. Menurut Marzuki (2002), metode studi kasus adalah metode penelitian yang dilakukan dengan cara mengambil beberapa elemen dari suatu kasus tunggal yang reprensentatif dan masing-masing elemen tersebut dianalisis secara mendalam. 2.2.1.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, yaitu dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena yang diselidiki (Marzuki, 2002). Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer, berupa peranan masyarakat dalam perbaikan lingkungan pesisir yang diperoleh melalui kuesioner yang tersaji pada Lampiran 2. Sedangkan data sekunder berupa program/kegiatan pengelolaan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal. Dalam penentuan jumlah sampel (responden) akan diambil responden di Desa Kedungkelor Kecamatan Warureja, Desa Bojongsana dan Desa Suradadi Kecamatan Suradadi, dimana ketiga desa ini terdapat kegiatan perbaikan lingkungan pesisir dan lingkungan pemukiman nelayan. Jumlah respondeng dalam penelitian sebanyak 25 jiwa pada masing-masing desa, hal ini berarti jumlah sampel sudah memenuhi persyaratan jumlah sampel. 2.2.2.
Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini, adalah analisis deskriptif dengan menganalisi peranan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan pesisir yang diperoleh dengan pengajuan kuesioner. Dari hasil analisis terhadap kuesioner yang diajukan kemudian dianalisis secara deskriptif terhadap kompenen-kompenen dalam kuesioner yang diajukan dalam penelitian. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji tanggapan responden terhadap kuesioner yang diajukan pada kriteria peranan pemberdayaan masyarakat dalam perbaikan lingkungan pesisir adalah metode skala likert. Guna mengetahui peran masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal digunakan analisis deskriptif. Untuk mengetahui hubungan keterkaitan antara persipsi dan partisipasi dilakukan analisis regresi linier sederhana.
3.
HASIL PENELITIAN
3.1.
Melalui program masyarakat
pengelolaan
lingkungan
berbasis
pemberdayaan
Program Pengelolaan Lingkungan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat (PLBPM) dimaksudkan untuk meningkatkan penataan dan kondisi lingkungan wilayah pesisir yang dilakukan dengan memberdayakan masyarakat setempat sejak perencanaan hingga kepada pelaksanaannya. Kegiatan PLBPM di Kabupaten Tegal dilakukan pada 3 desa sasaran kegiatan, yaitu : Desa Kedungkelor Kecamatan Warureja, Desa Suradadi Kecamatan Suradadi dan Desa Bojongsana Kecamatan Suradadi yang dilakukan sejak tahun 2006 sempai 2008.
236
Kegiatan program ini merupakan perbaikan sarana dan prasarana lingkungan perumahan pesisir, yaitu terdiri dari : 1) Perbaikan sarana jalan desa dengan panjang 938 meter 2) Perbaikan saluran pembuangan limbah 600 meter 3) Perbaikan jembatan 1 unit panjang 5 meter lebar 2 meter 4) Pembuatan MCK 2 unit untuk masing-masing desa panjang 4 meter dengan lebar 2 meter 5) Bantuan rehab rumah warga sebanyak 35 unit. 3.2.
Pembangunan Groin
Pembangunan groin dilaksanakan di Desa Bojongsana pada tahun 2006 – 2007 berupa bangunan beton menjorok ke pantai. Tujuan dibangunannya groin adalah menjaga pantai dari abrasi laut. Jumlah groin di Desa Bojongsana sebanyak 3 unit dengan panjang masing-masing 10 meter dan lebar 2 meter. 3.3.
Penanaman Mangrove
Perbaikan lingkungan pesisir dengan penanaman mangrove dilakukan dengan metode kubangan yang dilakukan di Desa Bojongsana pada tahun 2007 sampai dengan 2008. Penanaman mangrove metode kubangan di Desa Bojongsana telah berhasil merehabilitasi kawasan mangrove di Kabupaten Tegal, walaupun di lokasi tepi pantai banyak terjadi kendala, seperti pengaruh iklim. Masyarakat Desa Bojongsana menunjukan partisipasinya melakukan penanaman mangrove dan pohon waru di tepi pantai sehingga dapat mengurangi kerusakan pantai akibat dari abrasi. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Tegal (2009) diperoleh bahwa luasan mangrove di Kabupaten Tegal seluas 47,6 Ha yang tersebar dibeberapa lokasi yaitu di tambak sebelah timur muara sungau Ketiwon (Desa Dampyak Kecamatan Kramat), di tambak sekitar TPI Munjungagung (Desa Munjungagung Kecamatan Kramat), di sebelah timur sungai Padaharja (Desa Padaharja Kecamatan Kramat, di sebelah timur muara sungai cenang (Desa Suradadi Kecamatan Suradadi), dan di areal tambak sebelah barat muara sungai Plawangan (Desa Kedungkelor Kecamatan Warureja). 3.4.
Peran Masyarakat
Berdasarkan hasil penilian persepsi dan partisipasi masyarakat dalam, dari 75 masyarakat pesisir yang terdiri dari 25 warga masyarakat di Desa Kedungkelor Kecamatan Warureja, 25 warga masyarakat di Desa Bojongsana Kecamatan Suradadi, dan 25 warga masyarakat di Desa Suradadi Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal. 3.5.
Persepsi Masyarakat
Berdasarkan kriteria penilaian tiap desa asal responden terhadap persepsi masyarakat Desa Kedungkelor, Bojongsana dan Suradadi dalam perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal tersaji pada tabel-tabel di bawah ini.
237
Tabel 1. No. 1 2 3 4 5
Persepsi Masyarakat Desa Kedungkelor dalam Perbaikan Lingkungan Pesisir di Kabupaten Tegal Kategori Variasi Jawaban Frekuensi Prosentase Sangat Baik 29 35 13 52,00 Baik 22 28 12 48,00 Cukup 15 21 0 0,00 Jelek 8 14 0 0,00 Sangat Jelek 1 7 0 0,00 Jumlah 25 100,00
Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa dari 25 responden di Desa Kedungkelor mempunyai persepsi baik hingga sangat baik, dengan persepsi sangat baik dalam perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal mempunyai frekuensi tertinggi sebesar 13 orang (52,00 %). Tabel 2. No. 1 2 3 4 5
Persepsi Masyarakat Desa Bojongsana dalam Perbaikan Lingkungan Pesisir di Kabupaten Tegal Kategori Variasi Jawaban Frekuensi Prosentase Sangat Baik 29 35 20 80,00 Baik 22 28 5 20,00 Cukup 15 21 0 0,00 Jelek 8 14 0 0,00 Sangat Jelek 1 7 0 0,00 Jumlah 25 100,00
Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa dari 25 responden di Desa Bojongsana mempunyai persepsi baik hingga sangat baik, dengan persepsi sangat baik dalam perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal mempunyai frekuensi tertinggi sebesar 20 orang (80,00 %). Tabel 3. No. 1 2 3 4 5
Persepsi Masyarakat Desa Suradadi dalam Perbaikan Lingkungan Pesisir di Kabupaten Tegal Kategori Variasi Jawaban Frekuensi Prosentase Sangat Baik 29 35 14 56,00 Baik 22 28 11 44,00 Cukup 15 21 0 0,00 Jelek 8 14 0 0,00 Sangat Jelek 1 7 0 0,00 Jumlah 25 100,00
Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa dari 25 responden di Desa Bojongsana mempunyai persepsi baik hingga sangat baik, dengan persepsi sangat baik dalam perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal mempunyai frekuensi tertinggi sebesar 14 orang (56,00 %). Namun secara keseluruhan persepsi masyarakat dalam Perbaikan Lingkungan Pesisir di Kabupaten Tegal tersaji pada Tabel 4. Tabel 4. No. 1 2 3 4 5
Persepsi Masyarakat dalam Perbaikan Lingkungan Pesisir di Kabupaten Tegal Kategori Variasi Jawaban Frekuensi Prosentase Sangat Baik 29 35 47 62,67 Baik 22 28 28 37,33 Cukup 15 21 0 0,00 Jelek 8 14 0 0,00 Sangat Jelek 1 7 0 0,00 Jumlah 75 100,00
238
Secara keseluruhan persepsi masyarakat dalam perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal mempunyai persepsi baik dan sangat baik dengan persepsi baik dengan frekuensi tertinggi adalah persepsi yang sangat baik sebanyak 47 orang (62,67 %). Berdasarkan skoring terhadap persepsi masyarakat dalam perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal dapat dihitung pembobotan terhadap persepsi masyarakat dalam perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal sebesar 92,53 % (tergolong kategori sangat baik). 3.6. Partisipasi Masyarakat Berdasarkan kriteria penilaian tiap desa asal responden terhadap partisipasi masyarakat Desa Kedungkelor, Desa Bojongsana dan Desa Suradadi dalam perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal tersaji pada tabel-tabel di bawah ini. Tabel 5. No. 1 2 3 4 5
Partisipasi Masyarakat Desa Kedungkelor dalam Perbaikan Lingkungan Pesisir di Kabupaten Tegal Kategori Variasi Jawaban Frekuensi Prosentase Sangat Baik 49 60 0 0,00 Baik 37 48 23 92,00 Cukup 25 36 2 8,00 Rendah 13 24 0 0,00 Sangat Rendah 1 12 0 0,00 Jumlah 25 100,00
Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa dari 25 responden di Desa Kedungkelor mempunyai partisipasi baik dan cukup baik, dengan partisipasi baik dalam perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal mempunyai frekuensi tertinggi sebesar 23 orang (92,00 %). Tabel 6. No. 1 2 3 4 5
Partisipasi Masyarakat Desa Bojongsana dalam Perbaikan Lingkungan Pesisir di Kabupaten Tegal Kategori Variasi Jawaban Frekuensi Prosentase Sangat Baik 49 60 0 0,00 Baik 37 48 21 84,00 Cukup 25 36 4 16,00 Rendah 13 24 0 0,00 Sangat Rendah 1 12 0 0,00 Jumlah 25 100,00
Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa dari 25 responden di Desa Bojongsana mempunyai partisipasi baik dan cukup baik, dengan partisipasi baik dalam perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal mempunyai frekuensi tertinggi sebesar 21 orang (84,00 %). Tabel 7. No. 1 2 3 4 5
Partisipasi Masyarakat Desa Suradadi dalam Perbaikan Lingkungan Pesisir di Kabupaten Tegal Kategori Variasi Jawaban Frekuensi Prosentase Sangat Baik 49 60 0 0,00 Baik 37 48 20 80,00 Cukup 25 36 5 20,00 Rendah 13 24 0 0,00 Sangat Rendah 1 12 0 0,00 Jumlah 25 100,00
239
Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa dari 25 responden di Desa Bojongsana mempunyai partisipasi baik dan cukup baik, dengan partisipasi baik dalam perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal mempunyai frekuensi tertinggi sebesar 20 orang (80,00 %). Tabel 8. No. 1 2 3 4 5
Partisipasi Masyarakat dalam Perbaikan Lingkungan Pesisir di Kabupaten Tegal Kategori Variasi Jawaban Frekuensi Prosentase Sangat Baik 49 60 0 0,00 Baik 37 48 64 85,33 Cukup 25 36 11 14,67 Rendah 13 24 0 0,00 Sangat Rendah 1 12 0 0,00 Jumlah 75 100,00
Secara keseluruhan partisipasi masyarakat dalam perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal mempunyai partisipasi baik, cukup baik dan rendah, dengan partisipasi baik dalam perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal mempunyai frekuensi tertinggi sebesar 65 orang (85,33 %). Berdasarkan skoring terhadap partisipasi masyarakat dalam perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal dapat dihitung pembobotan terhadap partisipasi masyarakat dalam perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal sebesar 77,07 % (tergolong kategori baik). Sedangkan berdasarkan analisis regresi linier diperoleh bahwa hubungan persepsi (x) dan partisipasi (y) memperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 0,0852, untuk mengetahui kedekatan hubungan antara persepsi (x) dan partisipasi (y) digunakan analisis determinasi. Dari analisis determinasi diperoleh bahwa kedekatan hubungan antara persepsi (x) dan partisipasi (y) sangat kecil hanya 0,73 %, sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara persepsi (x) dan partisipasi (y) tidak saling mempengaruhi satu dengan yang lain. 4. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian mendapatkan bahwa persepsi masyarakat dalam perbaikan lingkungan pesisir di Kabupaten Tegal adalah baik. Hal ini menunjukkan bahwa secara persepsi (sikap) masyarakat Perbaikan Lingkungan Pesisir di Kabupaten Tegal adalah baik, yaitu dengan : 1) Melakukan kerja bakti pada awal kegiatan. 2) Tenaga kerja dibayar lebih murah dari hari biasa mereka bekerja dilingkungan . 3) Bantuan makanan diberikan oleh warga secara bergilir bagi yang didepan rumahnya dibangunkan sarana jalan maupun saluran. 4) Bantuan material berupa semen yang digunakan untuk memperkuat pasangan paving. 5) Memberikan bantuan material pada warga yang mendapat bantuan perbaikan pemukiman. Kegiatan perbaikan lingkungan berbasis pemberdayaan masyarakat dilatarbelakangi oleh permasalahan degradasi lingkungan pesisir dan laut yang ditunjukkan dengan kerusakan mangrove, terumbu karang. Dampak dari abrasi pantai maupun pencemaran. Kegiatannya ditekankan pada pelaksanaan fisik yang hasilnya dapat memberi manfaat riil bagi masyarakat pesisir sesuai dengan pilihan prioritas kebutuhan yang ada.
240
Partisipasi adalah kata kunci dalam pengelolaan berbasis masyarakat. Berbagai pengalaman dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pengelolaan wilayah pesisir telah berulang kali membuktikan bahwa keberhasilan dalam pengelolaan bersama tercapai dengan baik karena melibatkan partisipasi masyarakat. Banyak program dan kegiatan pengelolaan yang kurang atau tidak berhasil dikarenakan pelaksana program gagal melibatkan partisipasi masyarakat sejak awal program. Pemangku kepentingan utama yang ada di desa yang perlu berpartisipasi adalah masyarakat desa atau masyarakat lokal. Diakui, kadangkala memang sulit untuk melibatkan setiap orang dalam pengelolaan bersama, tetapi yang penting adalah upaya pelibatan partisipasi dari masyarakat lokal harus dilaksanakan oleh pelaksana program (Sukmara dan Crawford, 2002). Tingkat partisipasi sangat bervariasi antara satu tempat dengan tempat lainnya dan satu negara dengan negara lainnya. Banyak faktor yang dapat mendorong ataupun menghambat partisipasi. Faktor-faktor ini dapat berasal dari luar masyarakat seperti sistem politik, atau dapat juga berasal dari masyarakat sendiri seperti norma-norma dan budaya masyarakat setempat (Ngakan et al, 2006). Sedangkan menurut Butar Butar (2003), persepsi dominan terhadap eksistensi sumber daya perikanan sebagai sumber daya milik umum telah mendorong kebebasan yang penuh untuk memanfaatkannya. Demikian pula dengan masih kuatnya pandangan sebagian masyarakat bahwa sumber daya perikanan tidak akan pernah habis, telah menyebabkan arus eksploitasi secara terusmenerus. Atas dasar persepsi-persepsi tersebut, setiap individu atau kelompok masyarakat akan berupaya keras merealisasikan kepentingan-kepentingan mereka melalui eksploitasi sumber daya perikanan secara optimal. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dengan melibatkan masyarakat adalah sebuah strategi yang komprehensif yang dilakukan untuk menangani isu-isu yang mempengaruhi lingkungan pesisir melalui partisipasi aktif dan nyata dari masyarakat pesisir. Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dengan melibatkan masyarakat juga dilakukan untuk membuka isu utama masyarakat akibat kekurang-efisienan dan ketidakadilan, melalui penguatan akses dan kontrol masyarakat terhadap sumberdaya mereka. Istilah “berbasis masyarakat” di sini adalah suatu prinsip bahwa pengguna sumberdaya utama (masyarakat) haruslah menjadi pengelola sumberdaya mereka. Hal ini sangat berbeda dengan dengan strategi pengelolaan sumberdaya alam yang bersifat sentralistik yang dinilai gagal melibatkan masyarakat yang secara langsung bergantung pada sumberdaya tersebut (Tulungen et al, 2003). Dalam rangka meningkatkan efektivitas kegiatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam, dilakukan beberapa kegiatan antara lain pengkajian kembali kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, kawasan konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam, penyusunan kebijakan pengelolaan dan pengembangan keanekaragaman hayati, pengembangan jasa lingkungan dan jasa pariwisata yang berwawasan lingkungan pada kawasan ekosistem khas di beberapa taman nasional dan kawasan terumbu karang yang potensial, pengembangan dan penerapan teknologi baru dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang ramah lingkungan, penelitian dan pengembangan energi baru dan terbarukan, serta peningkatan kesadaran konservasi dan rehabilitasi bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) (Farid dan Anggraeni, 2008). Hutan bakau di Indonesia saat ini dinilai dalam keadaan sangat kritis. Di beberapa pesisir, hutan bakau mengalami kerusakan yang sangat parah hingga mencapai 90 persen. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (1993 -2003), hutan bakau yang berada di seluruh pesisir Indonesia lenyap. Akibatnya, kualitas kehidupan masyarakat pesisir pun turut merosot dan bencana alam tidak terhindarkan (Irwani, 2005). Selanjutnya Co-Fish (2005) menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung
241
kehidupan yang penting di wilayah pesisir. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penahan amukan angin taufan, dan tsunami, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, dan lain sebagainya, hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai bahan baku obat obatan, dan lain-lain. Partisipasi masyarakat dalam menanaman mangrove di Kabupaten Tegal sangat nyata, yaitu dengan keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan penanaman mangrove di Desa Bojongsana dan Desa Kedungkelor. Disamping keikutsertaan dalam penanaman mangrove masyarakat juga berpatisipasi menjaga kelestarian mangrove, yaitu dengan kegiatan tidak menebang mangrove dan memelihara tanaman mangrove yang telah ditanam. Keikutsertaan masyarakat dalam menjaga kelestarian mangrove dibuktikan dengan telah dibentuknya Komite Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dibawah naungan Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Tegal. Dalam Komite itu masyarakat berperan aktif dalam menjaga keletarian sumberdaya perikanan termasuk didalamnya menjaga kelestarian mangrove. Hutan Mangrove dilihat dari aspeknya memiliki dua potensi yaitu potensi ekologis yang menekankan pada kemampuannya dalam mendukung eksistensi lingkungan, serta potensi ekonomis yang ditunjukkan dengan kemampuan dalam menyediakan produksi yang dapat diukur dengan uang (Supriharyono, 2000). Oleh karena itu keberadaan hutan mangrove mempunyai peran positif guna mendukung sistem kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Hal ini perlu dikembangkan dan dilestarikan dengan cara mengelolanya secara baik dan bijaksana. Hutan mangrove selain berfungsi sebagai pelindung pantai dari terpaan angin kencang dari laut, juga berperan dalam menstabilkan tanah pantai. Disamping itu, kehadiran mangrove di pantai dan muara sungai sangat membantu dalam membendung hanyutan aliran partikel lahan daratan yang mengalir kelautan. Untuk mengetahui kecepatan akumulasi tanah di bawah tegakan mangrove, telah dilakukan pengamatan terhadap jumlah tanah atau lumpur yang terperangkap di atas permukaan pelat akril yang dipasang di permukaan tanah pada berbagai tegakan mangrove selama kurun waktu tertentu (Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten Tegal, 2004).
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpukan bahwa : 1) Perbaikan lingkungan pesisir dengan pemberdayaan (sosial) masyarakat di Kabupaten Tegal meliputi kegiatan : perbaikan sarana jalan desa, perbaikan saluran pembuangan limbah, perbaikan jembatan, pembuatan MCK, dan bantuan rehab rumah warga 2) Keikutsertaan masyarakat Kabupaten Tegal dalam menjaga kelestarian sumberdaya perikanan yaitu dengan telah terbentuknya Komite Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Dalam Komite tersebut masyarakat diajak ikut berperan aktif dalam menjaga kelestarian sumberdaya perikanan, termasuk didalamnya menjaga kelestarian mangrove dan pembangunan groin 3) Upaya pemerintah dan masyarakat sangat berperan dalam perbaikan lingkungan pesisir, hal ini terlihat dengan tingginya nilai persepsi dan partisipasi masyarakat.
242
5.2.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan bahwa untuk meningkatkan persepsi dan partisipasi masyarakat dalam konservasi perbaikan lingkungan di Kabupaten Tegal maka diperlukan penyuluhan secara kontinyu, sehingga masyarakat lebih memahami dan mengerti manfaat lingkungan pesisir bagi kelestarian sumber daya perikanan. UCAPAN TERIMA KASIH. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak atas bantuan dan dukunganya, terutama kepada saudara Fery Andris Utomo. DAFTAR PUSTAKA Butar Butar, H. 2003. Hubungan Faktor-Faktor Kharakterisrik Masyarakat dengan Perilaku Masyarakat dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang (Studi Kasus : Di Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias. Program Pascasarjana. Universitas Sumatera Utara, Medan. Co-Fish. 2005 Mengenal, Memelihara http://www.cofish.net/
dan
Melestarikan
Ekosistem
Bakau.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Lingkungan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Jakarta Farid, M dan D. Anggraeni. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pilihan Konservasi Berbasis Masyarakat di Waigeo Selatan. Conservation International Indonesia. http://www.conservation.or.id/ yang direkam pada 24 Mei 2008 06:27:22 GMT. Irwani. 2005. Pengelolaan Kawasan Sabuk Hijau yang Berkelanjutan. Program Studi Ilmu Kelautan. Jurusan Ilmu Kelautan. Faklutas Perikanan dan Kelautan. Universitas Diponegoro, Semarang. Ngakan, P.O, H. Komarudin, A. Achmad, Wahyudi dan A. Tako. 2006. Ketergantungan, Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Sumberdaya Hayati Hutan Studi Kasus di Dusun Pampli Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Center for International Forestry Research, Jakarta. Sukmara, A dan B. Crawford. 2002. Perubahan Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Sosial Masyarakat Desa Talise Sebagai Desa Proyek Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Berbasis-Masyarakat Di Sulawesi Utara.. Disampaikan pada: Konperensi Nasional III Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia 2002, Proyek Pesisir Sulawesi Utara. Tulungen, J.J, M. Kasmidi, C. Rotinsulu, M. Dimpudus, N. Tangkilisan. 2003. Panduan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. Seri Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat (PSWP-BM) Koleksi Dokumen Proyek Pesisir 1997 – 2003. Wahyudin, Y. 2005. Melibatkan Masyarakat dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut. Wikibooks Indonesia. http://id.wikibooks.org/ yang direkam pada 21 Maret 2008 23:30:47 GMT.
243
PENGARUH TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) KLIDANG LOR KABUPATEN BATANG TERHADAP KONDISI EKONOMI MASYARAKAT NELAYAN KABUPATEN BATANG PROVINSI JAWA TENGAH Oleh : Retno Budhiati
ABSTRAK Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Klidang Lor merupakan tempat pelelangan ikan dan pangkalan pendaratan ikan yang terbesar di Kabupaten Batang. Adanya fasilitas TPI Klidang Lor,diharapkan dapat membantu masyarakat pesisir tidak kesulitan lagi untuk menjual hasil tangkapanya, dapat mendukung laju pertumbuhan ekonomi masyarakat nelayan setempat khususnya nelayan Kelurahan Karangasem Utara juga dapat mendukung tingkat pendapat daerah . Tujuan penelitian ini adalahuntuk mengetahui Pengaruh Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Klidang Lor terhadap ekonomi masyarakat nelayan di Kabupaten Batang”. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang berupaya menggambarkan, mencatat, menganalisa dan menginterpretasikan perubahan yang telah terjadi. Pengumpulan data dengan cara kuesioner pada komunitas nelayan Batang yang bermukim di Kelurahan Karangasem Utara, Kecamatan Batang Dari hasil penelitian ditarik kesimpulan bahwa keberadaan TPI Klidang Lor telah turut memicu pesatnya perkembangan pembangunan fisik di kawasan Karangasem Utara dan telah menimbulkan “dampak positif”, terhadap peningkatan kondisi ekonomi nelayan di Kabupaten Batang yang ditandai dengan sebagian besar para nelayan merasa puas dengan adanya TPI Klidang Lor, sehingga hal tersebut berpengaruh lebih lanjut terhadap peningkatan kesejahteraan rumah tangga pesisir, perolehan penghasilan nelayan terhadap konsumsi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Kata kunci : Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Kondisi Ekonomi Masyarakat Nelayan Kabupaten Batang.
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pembangunan sektor perikanan dan kelautan merupakan bagian dari pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pada umumnya serta para nelayan dan petani ikan pada khususnya. Sektor perikanan dan kelautan telah memberikan kontribusi penting dan strategis bagi perekonomian nasional dan daerah, sehingga perlu adanya pengembangan secara optimal. Pembangunan jangka panjang pada sektor perikanan diharapkan dapat memberikan peranan yang lebih besar dalam pembangunan pertanian sebagai sumber pertumbuhan baru, baik dalam peningkatan devisa, perbaikan konsumsi pangan dan gizi masyarakat, penyediaan lapangan kerja maupun dalam peningkatan petani nelayan. Namun untuk dapat berperan sebagai sumber pertumbuhan baru timbul hambatan dan tantangan yang harus dihadapi dan ditanggulangi. Hambatan dan tantangan tersebut
244
diantaranya yaitu masih terbatasnya fasilitas pelabuhan perikanan dan tempat pendaratan ikan. Untuk itu pembangunan dan pengembangan fasilitas pelabuhan perikanan serta pusat atau pangkalan pendaratan ikan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi perikanan perlu terus ditingkatkan. Peningkatan dan pengembangan fasilitas yang baik dan memadai merupakan syarat mutlak bagi terciptanya iklim usaha yang baik, disamping itu perlu meningkatkan keterampilan individu nelayan baik teknik penangkapannya, penangan pasca penangkapan maupun pemasarannya. Untuk menunjang kelancaran usaha perikanan laut tersebut diperlukan pelabuhan tempat pendaratan ikan yang dapat menunjang kelancaran usaha perikanan dalam memasarkan hasil tangkapan maupun aktifitas penunjang lainnya. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan jumlah produksi ikan dan juga pendapatan bagi nelayan. (Kusnadi, 2006). Dengan demikian pangkalan pendaratan atau tempat pelelangan ikan mempunyai tujuan tertentu: 1) Memperlancar pemasaran ikan hasil tangkapan nelayan. 2) Mengusahakan stabilitas harga ikan. 3) Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan. 4) Meningkatkan pendapatan daerah. 1.2.
Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan uraian tersebut di atas , keberadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Klidang Lor, telah berdampak atau berpengaruh pada perubahan aspek ekonomi masyarakat nelayan Kabupaten Batang, sehingga yang menjadi pertanyaan adalah: “Bagaimana Pengaruh Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Klidang Lor terhadap ekonomi masyarakat nelayan di Kabupaten Batang”. 1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah : 1) Untuk mengetahui keadaan ekonomi masyarakat nelayan Kabupaten Batang sebelum adanya TPI Klidang Lor. 2) Untuk Mengetahui keadaan ekonomi masyarakat Kabupaten Batang sesudah adanya TPI Klidang Lor. 3) Untuk mengevaluasi sejauh mana pengaruh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Klidang Lor terhadap masyarakat nelayan Kabupaten Batang. 1.4.
Manfaat Penelitian
Penelitian tentang pengaruh Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Klidang Lor Kabupaten Batang terhadap kondisi ekonomi masyarakat nelayan Kabupaten Batang, dapat diperoleh manfaat, antara lain : 1) 2) 3)
Memberi pengetahuan pada pembaca tentang kondisi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Klidang Lor di Kabupaten Batang. Memberi pengetahuan tentang pengaruh Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Klidang Lor Kabupaten Batang terhadap kondisi ekonomi masyarakat nelayan Kabupaten Batang. Sebagai bahan pertimbangan Pemeritah Daerah setempat, bagi upaya peningkatan kesejahteraan nelayan Kabupaten Batang.
245
2.
METODE PENELITIAN
2.1.
Obyek Penelitian
Obyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, adalah nelayan yang berada di sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Klidang Lor Kabupaten Batang. Yang dimaksud dengan nelayan tersebut, adalah para nelayan yang mempuyanyi penghasilan utama dari menangkap ikan dan menjual hasil tangkapan mereka di Tempat Pelelangan Ikan. 2.2.
Jenis dan Sumber Data
Adapun jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data primer yaitu merupakan sumber data yang langsung diperoleh dari responden melalui kuesioner dan wawancara langsung terhadap nelayan yang masuk dalam sampel penelitian dan data sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung yang berupa buku, literatur, kajian ilmiah, dokumen dari instansi/dinas yang berkaitan dengan penelitian, seperti Dinas Perikanan, DKP, Koperasi Mina Usaha Nelayan, Dinas Kependudukan, dan lainnya. Dengan cara mempelajari dan mencatat arsip-arsip atau data yang berkaitan dengan penelitian. 2.3.
Sampel Penelitian
Dalam pengambilan sampel penelitian, tidak ada aturan yang tegas tentang jumlah sampel yang diisyaratkan untuk suatu penelitian dari populasi yang tersedia, juga tidak ada batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan sampel yang jumlahnya besar dan yang kecil. Sampel yang besar belum tentu menjamin mutu hasil penelitian. Sampel harus representatif, artinya mewakili keseluruhan populasi agar dapat diambil kesimpulan berupa generalisasi. Untuk mendapatkan sampel yang menggambarkan dan mencandrakan populasi, maka dalam penentuan sampel penelitian ini digunakan rumus Solvin (Umar:2004) sebagai berikut N n= 1 + Ne2 Dimana : n N e
: Ukuran sampel : Ukuran populasi : persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolelir.
Dari jumlah populasi tersebut dengan tingkat kelonggaran ketidaktelitian sebesar 10% maka dengan menggunakan rumus diatas diperoleh sampel sebesar : 1.194 n = = 2.4.
1 + 1.194 (0,1)2 100,083 = 101 orang / sampel Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode observasi, wawancara, dan kuesioner.
246
2.5.
Analisis Data
Menurut Pasolong (2005), analisis data yang dilakukan pada suatu penelitian selalu berdasarkan pada tujuan penelitian. Data yang telah terkumpul diolah dan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif, yaitu penelitian berupaya menggambarkan, mencatat, menganalisa dan menginterpretasikan aspek sebelum dan sesudah terjadinya perubahan. Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisa data dengan menggunakan analisis secara kuantitatif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi untuk menggambarkan aspek obyektif hasil dari penelitian ini. Tahap selanjutnya adalah menganalisa data dengan cara memberi predikat setiap variabel yang diteliti sesuai dengan aspek sebenarnya. Pemberian predikat setiap variabel diukur dengan menggunakan angka mutlak dan jumlah persentase responden. Lalu digunakan metode kualitatif untuk menterjemahkan hasil-hasil dari perhitungan kuantitatif ke dalam katakata atau kalimat-kalimat kemudian dipisah-pisahkan menurut standar dan kategori tertentu. Tujuan penggunaan kombinasi kedua analisis ini diharapkan dapat menggambarkan dengan cara membandingkan perubahan aspek ekonomi masyarakat nelayan Karangasem Utara, sebelum dan setelah adanya Tempat Pelelagan Ikan (TPI) Klidang Lor. Adapun indikator penilian yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu : P = f/n x 100 % Keterangan : P = Persentase f = Frekuensi tingkat jawaban n = Jumlah sampel (responden) Tabel 1. Indikator penilaian kategori menurut tabel distribusi frekuensi No Kategori Prsentase 1 Tinggi 66 – 100 2 Sedang 36 – 65 3 Rendah 0 – 35 2.6.
Definisi Operasional
Menurut Pasolong (2005) definisi operasional adalah merupakan suatu pernyataan dalam bentuk yang khusus dan merupakan kriteria yang bisa diuji secara empiris. Dengan adanya definisi operasional, maka peneliti dapat mengukur menghitung atau mengumpulkan informasi melalui logika empiris dari suatu obyek. Suatu variabel harus bisa didefinisikan secara konkrit walaupun obyeknya abstrak, tetapi terdapat karakteristik yang khusus dapat diukur dan diberi penilaian seperti kebiasaan para nelayan. Definisi operasional merupakan bagian dari elemen penelitian yang memberi petunjuk metode pengukuran suatu variabel dan untuk mengetahui baik buruknya pengukurannya dalam konsep. Selain itu, definisi operasional juga berfungsi sebagai perangkat untuk menghindari terjadinya disinterpretasi dari variabel yang akan diteliti. Oleh karena itu, maka dikemukakan pengertian dan menentukan indikator-indikator dari variabel-variabel yang akan diukur tersebut, yaitu : 1) Jumlah perolehan penghasilan (1)Definisi operasional Jumlah perolehan penghasilan adalah jumlah rata-rata penghasilan bersih yang diperoleh responden dari hasil bekerja sebagai nelayan pencari ikan yang dihitung dalam bentuk rupiah dan dalam satu trip yang melakukan penjualan dengan lelang di TPI.
247
(2)Indikator Indikator adalah perbandingan jumlah persentase responden dalam memperoleh penghasilan bersih dari hasil bekerjanya sebagai nelayan dihitung dalam bentuk rupiah per bulan sebelum adanya TPI. (3)Klasifikasi Klasifikasi adalah jumlah rata-rata penghasilan bersih yang diperoleh responden dari hasil bekerjanya sebagai nelayan pencari ikan dalam bentuk rupiah per bulan sesudah adanya TPI. o Rendah jika < Rp. 500.000/trip o Sedang jika Rp. 500.000 – 1.000.000/trip o Tinggi jika > Rp. 1.000.000/trip Hasil jumlah rupiah yang ditentukan diatas berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) daearah Kabupaten Batang. 2) Perubahan persepsi responden menurut dampak TPI terhadap perubahan hasil pendapatan yang diperoleh. (1) Definisi oeprasional Perubahan persepsi responden menurut dampak TPI terhadap perubahan jumlah pendapatan yang diperoleh adalah jumlah persepsi responden pada tahap sosialisasi pembangunan TPI terhadap perubahan jumlah rata-rata hasil pendapatan yang diperoleh responden. (2) Indikator Indikator adalah jumlah persentase responden menurut persepsi responden terhadap proses pembagian hasil yang melakukan dengan cara melelang ikan sesudah adanya TPI, menurut dampaknya terhadap perubahan jumlah rata-rata hasil yang diperoleh responden. (3) Klasifikasi Klasifikasi adalah persepsi responden terhadap keberadaan TPI, (1) berdampak; (2) kurang berdampak; dan (3) tidak berdampak terhadap kedua kelompok responden tersebut, yaitu : o Tidak baik jika 0 – 30 % dari jumlah persentase responden. o Kurang baik jika 31 – 65% dari jumlah persentase responden. o Baik jika 66 – 100% dari jumlah persentase responden. 3) Dampak perubahan jumlah rata-rata penghasilan terhadap perubahan aspek kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. (1) Definisi Operasional Dampak perubahan jumlah penghasilan terhadap perubahan aspek kebutuhan hidup keluarga sehari-hari adalah dampak dari perubahan jumlah rata-rata perolehan penghasilan responden per trip yang terjadi setelah adanya TPI telah berdampak lebih lanjut terhadap perubahan aspek kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. (2) Indikator Indikator adalah perbandingan jumlah persentase responden menurut dampak perubahan jumlah rata-rata nelayan dalam satu trip setelah adanya TPI terhadap kebutuhan dalam memenuhi kebutuhan hidup dirinya maupun keluarganya sehari-hari. (3) Klasifikasi Klasifikasi adalah perubahan aspek ekonomi setelah adanya TPI, (1) mencukupi; (2) kurang mencukupi; (3) tidak mencukupi. o o o
Tidak baik jika 0 – 30% dari jumlah persentase responden Kurang baik jika 31 – 65% dari jumlah persentase responden Baik jika 66 – 100% dari jumlah persentase responden
248
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Deskripsi Identitas Responden
Responden merupakan salah satu sumber utama untuk kebutuhan data primer dalam penelitian ini yang diperoleh melalui kuesioner. Oleh karena itu, perlu diketahui indentitasnya karena akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menganalisa serta menyimpulkan hasil penelitian. Untuk kebutuhan analisis data responden, maka akan disajikan beberapa aspek yang meliputi : jenis kelamin, usia, lama bekerja sebagai nelayan, tingkat pendidikan dan jumlah anggota keluarga responden. Aspek-aspek tersebut diperoleh berdasarkan jawaban kuesioner dari responden di lokasi penelitian. 3.2.
Jenis Kelamin Respoden
Jenis kelamin merupakan sifat atau keadaan untuk membedakan antara identitas responden yang berjenis kelamin laki-laki dengan responden berjenis kelamin perempuan. Adapun alasan memisahkan kedua jenis kelamin tersebut karena secara umum dalam masyarakat Kabupaten Batang masih menganut paham bahwa seorang lakilakilah dalam rumah tangga seharusnya mengambil peran sebagai kepala rumah tangga sekaligus memiliki kewajiban dan tanggung jawab penuh untuk mencari nafkah dengan menyediakan kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk mengetahui jelas mengenai aspek berdasarkan jenis kelamin di lokasi penelitian, maka dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel. 2. Persentase jenis kelamin responden Frekuensi Jenis Kelamin Persentase (%) (f) Laki-laki 101 100 Jumlah 101 100,00 Tabel diatas menggambarkan bahwa faktor latar belakang budaya yang masih dipegang erat oleh komunitas nelayan Karang Asem Utara yang ada di lokasi penelitian yang dijadikan sampel penelitian. Hal tersebut terlihat dengan jumlah responden didominasi dengan jenis kelamin laki-laki yaitu 101 orang dengan presentase seluruh responden berjenis kelamis laki-laki atau 100% semuanya laki-laki. 3.3.
Usia Responden
Melihat aspek umur responden maka dapat tergambar bahwa seseorang yang masih relatif muda dan telah memasuki usia produktif untuk bekerja maka ia memiliki kemampuan fisik yang lebih kuat dan responsive dibandingkan dengan seorang nelayan yang telah berusia lebih tua yang memiliki kemampuan fisik terbatas dan juga relatif lamban. Adapun aspek responden menurut umur, dapat dilihat pada Tabel 2.
249
Tabel 3. Persentase usia responden No 1 2 3 4 5 6 7
Kelompok Umur (Thn) < 30 30 – 35 36 – 40 41 – 45 46 – 50 51 – 55 > 56 Jumlah
Frekuensi ( f )
Persentase (%)
2 9 21 27 19 14 9 101
1.98 8.91 20.79 26.73 18.81 13.86 8.91 100
Berdasarkan tabel di atas disimpulkan bahwa komunitas nelayan di lokasi penelitian pada umumnya didominasi kelompok umur relatif responsive , yaitu lebih dari 41 keatas. Hal ini disebabkan karena latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang dimiliki hanya bergelut dibidang kenelayanan sehingga kelompok dengan usia tersebut tidak memiliki keahlian dibidang pekerjaan lain selain nelayan. Sedangkan sedikitnya komunitas nelayan yang relatif masih muda karena pekerjaan yang akan diwariskan oleh orang tuanya sudah tidak diminati lagi dan lebih memilih pekerjaan – pekerjaan non-nelayan yang disesuaikan dengan aspek obyektif yang ada dilingkungan sekitar mereka. 3.4.
Lama Bekerja sebagai Nelayan
Perbedaan lamanya seseorang bekerja sebagai nelayan menjadikan aspek yang membedakan pengalaman yang dimiliki antar seorang responden yang satu dengan responden yang lainnya sesuai dengan situasi dan aspek yang ada dalam melakukan aktifitas pekerjaan sebagai nelayan sebagaimana yang selama ini ditekuninya. Berdasarkan kuesioner yang telah diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa secara umum responden didominasi oleh responden yang telah berpengalaman dalam bekerja sebagai nelayan. Hal tersebut ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Persentase lama bekerja sebagai nelayan Lama Bekerja Frekuensi No Sebagai Nelayan (f) 1 <5 4 2 6 – 10 9 3 11 – 15 14 4 16 – 20 19 5 21 – 25 24 6 26 – 30 17 7 > 31 14 Jumlah 101
Persentase (%) 3.96 8.91 13.86 18.81 23.76 16.83 13.86 100.00
Pada tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah yang paling banyak menurut aspek lama bekerja sebagai nelayan didominasi oleh nelayan yang telah bekerja antara 21 – 25 tahun, yaitu sebanyak 24 orang atau 23,77%, sedangkan jumlah responden yang paling sedikit menurut pengalaman bekerja sebagai nelayan adalah mereka yang memiliki
250
pengalaman paling singkat karena tidak lebih dari 5 tahun, yaitu sebanyak 4 orang atau 3,97% dari 101 jumlah responden. Secara umum, responden rata-rata telah mempunyai pengalaman yang relatif cukup lama bekerja sebagai nelayan yang mulai pada usia produktif, yaitu rata-rata antara 16 – 18 tahun. Dengan pengalaman yang dimilikinya ini pula sehingga perubahan aspek sosial ekonomi akibat adanya TPI Klidang Lor menjadikan nelayan Karangasem Utara tetap eksis. 3.5.
Jumlah Anggota Keluarga Responden
Aspek jumlah anggota keluarga yang dimiliki suatu keluarga merupakan gambaran negatif suatu keluarga karena dapat menjadi beban yang harus ditanggung oleh kepala keluarga.Tetapi dari sisi lain, banyaknya jumlah tanggungan sebagai bagian anggota keluarga dapat pula menjadi kontribusi tenaga kerja dalam keluarga untuk meringankan pekerjaan sekaligus dapat meningkatkan penghasilan atau pendapatan keluarga. Untuk mengetahui jumlah anggota keluarga responden dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Persentase jumlah anggota keluarga responden No 1 2 3 4
Jumlah Anggota Keluarga <3 4–5 6–7 >8 Jumlah
Frekuensi( f ) 19 39 41 8 101
Persentase (%) 18.81 38.61 40.59 7.92 100.00
Pada tabel di atas menunjukkan bahwa komunitas masyarakat nelayan yang ada di lokasi penelitian dengan jumlah anggota keluarga antara 6 – 7 orang anggota keluarga, yaitu sebanyak 41 orang atau 41,58%. Kemudian yang paling sedikit berada pada kelompok dengan jumlah anggota keluarga lebih dari 8 orang hanya 8 orang atau 7,92% dari 101 jumlah responden. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa pada umumnya keadaan keluarga-keluarga yang berada di lokasi penelitian adalah keluarga yang masih didominasi oleh keluarga menengah dengan jumlah anggota antara 6 hingga 7 jumlah anggota keluarga. 3.6.
Tingkat Pendidikan Responden
Pada dasarnya validitas suatu penelitian ditentukan oleh faktor kemampuan responden dalam memberikan data yang benar dan akurat. Selain itu, dengan latar belakang tingkat pendidikan relatif tinggi yang dimilikinya tersebut tentu akan mempengaruhi dalam sikap, perilaku, dan pola pikir bagi responden. Adapun yang dimaksudkan tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini adalah pendidikan formal yang pernah diperoleh oleh responden. Selanjutnya, penjelasan mengenai keadaan responden menurut tingkat pendidikan lihat pada Tabel 6. Tabel 6. Persentase tingkat pendidikan responden No Jumlah Anggota Keluarga Frekuensi ( f ) 1 Tidak sekolah/tidak tamat SD 41 2 SD 28 3 SLTP 20 4 SLTA 12 5 PT 0 Jumlah 101
Persentase (%) 40.59 27.72 19.80 11.88 0.00 100.00
251
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki oleh responden di Kelurahan Karangasem secara umumnya masih relatif rendah. Hal ini juga ditunjukkan pada banyaknya jumlah responden dengan latar belakang pendidikan responden tidak pernah mengecam pendidikan sekolah ataupun tidak tamat sekolah dasar yaitu sebanyak 41 orang atau 40,59% dari 101 jumlah sampel penelitian. 3.7.
Pengaruh Tempat Pelelangan Ikan Klidang Lor
Dalam konteks penelitian ini variabel dampak primer adalah keberadaan dari TPI Klidang Lor sehingga menimbulkan pengaruh/dampak terhadap perubahan ekonomi nelayan di sekitar daerah penelitian yaitu nelayan yang ada di Kelurahan Karangasem Utara Kabupaten Batang, yaitu terjadinya peningkatan keuntungan yang dihasilkan oleh para nelayan di sekitar daerah penelitian. Dan hal ini juga telah melahirkan dampak lebih lanjut terhadap perubahan aspek ekonomi komunitas nelayan di Kelurahan Karangasem Utara kabupaten Batang. Sedangkan untuk menarik benang merah dalam membahas variabel independen penelitian ini, maka simak hasil wawancara dengan Bapak Taroji (74), ( Seorang nelayan asal Kabupaten Batang, asli penduduk Kelurahan Karangasem Utara), sebagai berikut : “ Semenjak TPI Klidang Lor ini belum dibangun kami sebagai nelayan merasakan kelelahan dan susah untuk mamasarkan hasil tangkapan kami, awalnya kami berharap hasil tangkapan kami bisa habis dibeli oleh konsumen di pasar-pasar tradisonal, tapi kenyataannya tidak. Selalu saja ada yang tersisa hasil tangkapan kami sehingga kami memilih menjualnya secara door to door dan itu terjual atau laku dibeli oleh konsumen dengan harga yang sangat murah ”. Sedangkan untuk mengetahui perubahan aspek ekonomi yang dirasakan nelayan (responden) di lokasi penelitian setelah ada TPI Klidang Lor, maka dapat disimak hasil wawancara dengan Bapak Tarmidi (71) (Wakil Ketua Himpunan Nelayan Kabupaten Batang) sebagai berikut : “Komunitas nelayan yang berada disini khususnya para nelayan Karangasem Utara yang sebelumnya hidup dengan ekonomi rumah tangga yang kurang baik atau kurang tercukupi, sekarang mereka telah menikmati atau merasakan pengaruh dan perubahan yang baik dengan adanyan TPI Klidang Lor yang bisa menstabilkan harga ikan dan bisa membantu mereka dalam menjual hasil-hasil tangkapan para nelayan disini. dan juga mereka dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Selain itu, ada juga program-program pemerintah Kabupatan Batang yang telah dijalankan untuk menjalankan lajunya tingkat ekonomi yang dikhususkan bagi nelayannelayan yang ada di Kabupaten Batang, yaitu salah satunya proggram PNPM-P2KP/ PNPM Mandiri Perkotaan. 3.8.
Pengaruh TPI Klidang Lor terhadap aspek ekonomi nelayan
Perubahan aspek ekonomi nelayan (responden) merupakan pengaruh atau dampak sekunder lebih lanjut dari TPI Klidang Lor yang merupakan suatu fasilitas penunjang kebutuhan ekonomi responden sehari-hari seperti: 1) Persepsi responden menurut dampak TPI terhadap perubahan hasil pendapatan yang diperoleh. Persepsi dari responden yang menjadi sampel penelitian sebagian besar mengatakan bahwa meningkatnya perolehan pendapan tersebut merupakan sebagian
252
besar dampak dari keberadaan TPI Klidang Lor yang sangat mendukung penjualan dari hasil tangkapan laut yang peroleh. Sedangkan untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai persepsi responden tersebut terhadap dampak TPI Klidang Lor menurut perubahan jumlah penghasilan sesudah adanya TPI Klidang Lor dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Persepsi responden menurut dampak TPI terhadap perubahan hasil pendapatan yang diperoleh Sesudah ada TPI Klidang Lor Persepsi Responden No Terhadap TPI Klidang Lor (f) (%) 1 Berpengaruh 63 62.38 2 Kurang berpengaruh 29 28.71 3 Tidak berpengaruh 9 8.91 Jumlah 101 100,00 Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang menjadi sampel penelitian mengatakan bahwa TPI Klidang Lor merupakan faktor pendukung yang utama dan membawa pengaruh terhadap peningkatan jumlah rata-rata perolehan pendapatan responden di lokasi penelitian, yaitu sebanyak 63 orang atau 62,38%. Selanjutnya sebanyak 29 orang responden atau 28,71% yang mengatakan kurang berdampak terhadap hasil pendapatan mereka karena kurangnya pengawasan yang maksimal di TPI Klidang Lor pada saat pelelangan berlangsung. Adapun responden yang mengatakan keberadaan TPI Klidang Lor tidak berpengaruh terhadap peningkatan penghasilan yang diperoleh responden, yaitu sebanyak 9 orang atau 8,91%.
2) Perubahan jumlah perolehan penghasilan Perubahan jumlah rata-rata perolehan penghasilan sangat dipengaruhi oleh perubahan jumlah rata-rata perolehan hasil tangkapan, jenis tangkapan, alat tangkap, musim, dan mutu dari hasil tangkapan responden, tetapi dari semuanya itu yang diperoleh responden titik terakhirnya adalah bagaimana semua hasil yang diperoleh bisa laku dipasarkan atau dijual, disinilah fasiitas TPI Klidang Lor mempunyai peran dan pengaruh sangat besar terhadap jumlah rata-rata penghasilan yang nantinya diperoleh responden. Adapun perubahan jumlah rata-rata perolehan penghasilan responden dari bekerja mencari ikan yang terjadi di lokasi penelitian sebelum dan sesudah ada TPI Klidang Lor, dihitung dalam satu trip (Tabel 8). Tabel 8. Perubahan jumlah perolehan penghasilan Sebelum adanTPI Jumlah rata-rata Klidang Lor No perolehan dalam satu trip (f) (%) 1 < Rp.500.000,- trip 72 71.28 2 Rp.500.000 – 1.000.000,- trip 25 24.75 3 > Rp.1.000.000,- trip 4 3.96 Jumlah 101 100%
Sesudah ada TPI Klidang Lor (f) (%) 11 10.89 49 48.51 41 40.59 101 100%
Tabel diatas dilihat dari keseluruhan, maka dapatlah dikatakan bahwa telah terjadi perubahan yang menunjukkan peningkatan pendapatan terhadap responden yang bekerja sebagai nelayan (responden). Untuk hasil dari pendapatan responden yang diatas, sudah terhitung pendapatan yang bersih dengan dipotong adanya biaya operasional.
253
3) Dampak perubahan jumlah rata-rata penghasilan terhadap perubahan aspek kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Seiring dengan hasil pendapatan dari hasil laut yang dijual atau dilelangkan di TPI Klidang Lor, secara langsung hal ini berdampak terhadap pola konsumsi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari, maka agar lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9. di bawah ini, mengenai perbandingan jumlah rata-rata perolehan penghasilan responden dalam satu trip terhadap konsumsi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari responden sesudah adanya TPI Klidang Lor. Tabel 9. Dampak perubahan jumlah rata-rata penghasilan terhadap perubahan aspek kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Sebelum ada TPI Sesudah ada TPI Penghasilan responden terhadap Klidang Lor Klidang Lor No konsumsi kebuthan hidup keluarga sehari-hari (f) (%) (f) (%) 1 Mencukupi 20 19.80 57 56.43 2 Kurang mencukupi 18 17.82 15 14.85 3 Tidak mencukupi 63 62.37 29 28.71 Jumlah 101 100,00 101 100,00 Tabel di atas menunjukkan bahwa sebelum ada TPI Klidang Lor jumlah responden yang mengatakan bahwa jumlah rata-rata penghasilannya dari bekerja sebagai nelayan dalam satu trip mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari sebanyak 20 orang atau 19,80% dan setelah ada TPI Klidang Lor bertambah menjadi 57 orang atau 56,43%. Demikian pula halnya pada responden jumlah rata-rata penghasilan sebalum ada TPI Klidang Lor kurang mencukupi kebutuhan keluargnya sehari-hari sebanyak 18 orang atau 17,82% tetapi setelah ada TPI Klidang Lor terjadi pengurangan menjadi 15 orang atau 14,85%, sebaliknya pada responden dengan jumlah rata-rata penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan keluarganya seharihari, sebelum ada TPI Klidang Lor sebanyak 63 orang atau 62,37% tetepi setalah ada TPI Klidang Lor justru terjadi pengurangan juga menjadi 29 orang atau 28,71%. Dalam hal ini konsumsi biaya hidup keluarga sehari-hari yang tersus meningkat juga menjadi pemicu sehingga kebutuhan dasar tersebut bisa terpenuhi. 4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1) Terjadinya perubahan peningkatan pendapatan jumlah rata-rata perolehan penghasilan yang di hitung dalam satu trip dengan pengaruh setelah adanya TPI Klidang Lor, sehingga sangat membantu para nelayan setempat dalam memasarkan hasil-hasil tangkapannya. 2) Terjadinya perubahan peningkatan penghasilan yang dihitung dalam jumlah (Rp) yang merupakan penghasilan bersih para nelayan yang melakukan aktifitas pelelangan di TPI Klidang Lor. 3) Perubahan tercukupinya kebutuhan hidup keluarga para nelayan sehari-harinya, dengan pengaruh setelah adanya TPI Klidang Lor. 4) Keberadaan TPI Klidang Lor membawa hal yang positif dalam memberdayakan ekonomi nelayan guna membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya para nelayan di Kelurahan Karangasem Utara Kabupaten Batang. 5) Sebagian besar nelayan pencari ikan di Keluarahan Karangasem Utara tidak mampu melakukan pekerjaan selain bekerja sebagai nelayan karena di samping faktor usia
254
dan latarbelakang pendidikan yang dimiliki oleh responden mayoritas berpendidikan sehingga masih banyak responden yang tetap mempertahankan pekerjaan pokoknya sebagai nelayan. 4.2.
Saran
Dari kesimpulan di atas mengenai pengaruh keberadaan TPI Klidang Lor terhadap ekonomi nelayan Batang maka saran dari penelitian ini adalah : 1) Perlu adanya sosialisasi dari pemerintah setempat yang berkaitan dengan pengembangan aspek ekonomi para nelayan guna pemberian wawasan dalam membuka usaha mandiri agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari di usia lanjut. 2) Perlu adanya pengawasan yang baik dalam proses pelelangan berlangsung agar hasilhasil tangkapan nelayan tidak mudah hilang atau dicuri karena hal tersebut agar dapat mepengaruhi pendapatan nelayan dan juga teknis dalam pelelangan agar tidak terjadi keributan. 3) Perlunya dilakukan pembenahan fasilitas-fasilitas fungsional yang ada di TPI Klidang Lor agar nantinya tidak dapat menghambat jalannya pelelangan ikan.
UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini Tim Peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada Yosep Wetipo, Kepala (TPI) Klidang Lor dan masyarakat nelayan Klidang Lor di Kabupaten Batang, atas bantuan perolehan data selama penelitian.
DAFTAR PUSTAKA Adrian, Naniek Soelistiyani,Cornelius Suyadi, November 2002. Kelompok A Sumber Daya Manusia (Sdm) Masyarakat Nelayan”/TKL-Khusus Falsafah Sains (PPs 702) Institut Pertanian Bogor. Ahimsa, H.S.P,1994 Antropologi Ekologi: Beberapa Teori dan Perkembangannya, Dalam Masyarakat Indonesia. 20 (4) Jakarta. Arikunto, S. 2008. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktis. PT. Rineka Cipta, Jakarta. Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Sciences. London. Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Tengah dan Dewan Riset Daerah.2007, Kajian Strategis Analisis Kinerja Efisiensi TPI di Jawa Tengah.Laporan Penelitian : Tidak dipublikasikan. Indah Susilowati, Mumu dan Damanhuri.2007. Pengukuran Efisiensi Relatif Emiten Perbankan dengan Metode Data Envelopment Analysis (DEA). Studi Kasus : Bank-bank yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta Tahun 2002. Jurnal Dinamika Pembangunan Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan FE UNDIP, 1: 2-5. Kusnadi. (2005). Nelayan: Strategi adaptasi dan jaringan sosial. Bandung: Humaniora Utama Press Bandung.
255
(2006) : Kehidupan Sosial, Budaya dan Ekonomi Masyarakat Nelayan. Bandung: Humaniora Utama Press Bandung. Leslie L. Doelle & Lea Prasetio, 1988. “Akustik Lingkungan”. Erlangga, Jakarta. Nohria, N and Gulati, R. 2000. Firms and Their Environments. In : Smelser, N.J. and Swedberg, R. (Eds). The Handbook of Economic Sociology. Princenton University Press. Pricenton, NJ. pp. 529-599. Pasolong, Harbani. 2005. Metode Penelitian Administrasi, Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Makasar. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan 38. Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2007. Sugiyono. 2005. Statistik Untuk Metode Penelitian. CV. Alfabeta, Bandung. Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama. Umar.2004.Teknik Pengambilan Sampel (Rumus Solvin), Jakarta : Aerlangga-108. Wawan Ruswanto.(2008) “Analisis Jaringan Sosial Nelayan Dalam Sistem Distribusi Pemasaran”(Universitas Terbuka Bandung) Bandung. Wibisono Wiyono, 2005. Peran dan Strategi Koperasi Perikanan dalam Menghadapi Tantangan Pengembangan TPI dan PPI Di Indonesia Terutama Di Pulau Jawa. Makalah dalam Semiloka Internasional tentang Revitalisasi Dinamis Pelabuhan Perikanan dan Perikanan Tangkap Di Pulau Jawa dalam Pembangunan Perikanan Indonesia, Bogor. www.spatzi.wordpress.com/2008/07/10.Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). (Penulis : Ramses Nadeak, Editor : R.K.H Nugrahani & Rido Batubara).
256
STUDI PENDAHULUAN TENTANG DAERAH BANJIR PASANG SURUT DI MUARAREJA, TEGAL BARAT Oleh : Wahyu Budi Setyawan1
ABSTRAK Persoalan banjir pasang-surut di Muarareja, Tegal Barat memiliki dimensi lingkungan fisik dan dimensi manusia. Studi ini dilakukan untuk mempelajari beberapa alternatif upaya mengatasi masalah lingkungan tersebut, dan memperkirakan dampak kenaikan muka laut global terhadap masalah tersebut. Penelitian dilakukan dengan pendekatan analisis kondisi geomorfologi pantai dan aktifitas manusia di wilayah pesisir. Pengamatan terhadap kondisi geomorfologi pantai menunjukkan bahwa kawasan yang terkena banjir pasang surut merupakan daerah lahan basah tepi pantai yang memiliki elevasi lebih rendah daripada ketinggian muka laut ketika pasang. Subsiden merupakan salah satu faktor penting yang berkaitan dengan masalah tersebut. Kondisi lahan itu memberikan gambaran bahwa kenaikan muka laut menyebabkan banjir semakin parah. karena mempertinggi kolom air genangan banjir pasang-surut, dan akan memperluas kawasan genangan. Pengamatan terhadap aktifitas penduduk yang bertempat tinggal di Muarareja memberikan isyarat tentang hubungan yang erat antara pemilihan lokasi tempat tinggal dengan kemudahan akses ke laut yang berkaitan dengan kegiatan pencaharian sebagai nelayan. Upaya mengatasi masalah banjir pasang surut itu harus memperhitungkan masalah kondisi lingkungan fisik pantai, subsiden, aktifitas penduduk setempat dan prediksi kenaikan muka laut global. Kata kunci : banjir pasang-surut, adaptasi, lahan basah, kenaikan muka laut, subsiden, Muarareja, Tegal.
1.
PENDAHULUAN
Penggenangan dataran rendah tepi pantai oleh air laut ketika air laut pasang adalah fenomena yang biasa dijumpai di kawasan tepi pantai bermorfologi rendah. Fenomena penggenangan kawasan pesisir yang berkaitan dengan terjadinya pasang-surut umum dikenal sebagai banjir pasang-surut (Marfai dan King, 2008). Banjir pasang surut bisa datang setiap hari. Hal itu ditentukan oleh tingginya air pasang yang naik dan tipe pasang surut setempat. Dengan demikian, ketinggian genangan banjir itu juga ditentukan oleh fase bulan dan posisi bulan dan matahari terhadap bumi. Banjir pasang-surut yang berkaitan dengan fenomena astronomi ini dapat diprediksi dengan mudah (Ward dan Adams, 2001). Banjir pasang-surut adalah fenomena yang biasa dijumpai di kota-kota pesisir seperti di Portsmouth dan New Castle di Amerika Serikat (Ward dan Adams, 2001). Di Indonesia, banjir pasang-surut sering teramati terjadi di kawasan rendah kota-kota pesisir (Marfai dan King, 2008), seperti di Surabaya, Semarang, Jakarta dan Pakanbaru. Perhatian masyarakat terhadap banjir pasang surut akhir-akhir ini meningkat di Indonesia, khususnya di Semarang dan Jakarta seiring dengan makin luasnya kawasan kota tersebut
1
Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta Utara 14430
257
yang tergenang oleh banjir tersebut. Di Semarang fenomena banjir pasang surut ini disebut sebagai Rob (Marfai, 2003). Banjir pasang surut tidak membahayakan jiwa manusia, melainkan hanya mengganggu kenyamanan, kelancaran aktifitas, dan merusak segala sesuatu yang digenanginya. Di Semarang, banjir pasang-surut merusak bangunan dan infrastruktur di kawasan komersil dan pemukiman (Marfai dan King, 2008). Banjir pasang-surut di kawasan pesisir terbangun berasosiasi dengan peristiwa subsiden, seperti yang terjadi di Semarang (Marfai dan King, 2008) dan di Jakarta (Ward et al., 2010). Kondisi tersebut juga terjadi di kawasan lingkungan delta seperti di kawasan Delta Sungai Nil di Mesir (El-Raey et al., 1999). Subsiden adalah fenomena alam yang sulit diketahui (Cooke dan Doornkamp, 1977). Turunnya permukaan tanah yang sangat pelan dalam jangka panjang memerlukan kegiatan pengamatan perubahan permukaan tanah dalam jangka panjang. Subsiden yang terjadi di kota pesisir seperti di Jakarta dapat terjadi karena pengambilan air tanah yang berlebihan, beban bangunan gedung atau konstruksi, karena pemadatan alamiah lapisan-lapisan sedimen dan aktifitas tektonik (Abidin et al., 2001; Abidin et al., 2008; Ward et al., 2010). Asosiasi antara banjir pasang-surut dengan subsiden menyebabkan sifat kedatangannya banjir pasang-surut pun perlahan-lahan sekali dan sering tidak disadari pada awalnya. Sebagai contoh, fenomena banjir ini tidak serta merta muncul di suatu kawasan dan mengenai pemukiman manusia. Masalah banjir ini biasanya muncul jauh bertahun-tahun setelah kehadiran pemukiman manusia pertama di suatu kawasan tepi pantai. Pada mulanya, para pemukim itu tidak menyadari kalau mereka tinggal di daerah rawan subsiden. Dengan berjalannya waktu dan seiring dengan pembangunan, pemukim semakin bertambah dan bangunan fisik pun bertambah. Makin banyak bangunan berarti makin besar beban terhadap lahan yang rawan subsiden itu. Setelah daya dukung lahan itu terlampaui maka terjadilah subsiden, dan banjir pasang surut akhirnya terjadi. Karena sifat kejadiannya yang demikian itu, maka sering sekali orang terjebak dengan persoalan banjir tersebut dan sulit melepaskan diri karena berbagai pertimbangan, seperti keterbatasan biaya atau lokasi pekerjaan. Fenomena banjir pasang surut dijumpai di Desa Muarareja, Tegal Barat. Secara geomorfologi kawasan tersebut merupakan bagian dari tubuh Delta Pemali (Gambar 1). Di daerah ini banjir melanda suatu kawasan pemukiman yang relatif sempit di tepi pantai, di sepanjang aliran sungai (Gambar 2). Makalah ini bertujuan memberikan gambaran tentang: (1) kondisi lingkungan fisik kawasan banjir pasang-surut di Muarareja, (2) penyebab terjadinya banjir pasang-surut, (3) kemungkinan yang akan terjadi di masa depan dalam kerangka kenaikan muka laut, dan (4) alternatif kemungkinan upaya mengatasi masalah tersebut.
258
Gambar 1. Kawasan Delta Pemali. Lokasi penelitian ditunjukkan dengan tanda panah. 2.
DATA DAN METODE
Penelitian lapangan di Desa Muarareja dilaksanakan pada bulan 4 -12 Agustus 2009. Pengamatan lapangan kondisi geomorfologi dilakukan daerah pemukiman sekitar aliran Kali (sungai) Kemiri di Desa Muarareja.(Gambar 2.) Aspek yang diamati meliputi kondisi bentang alam pantai (coastal landform) dan morfologi pantai.
Gambar 2. Kawasan pesisir Muarareja, Tegal Barat. Untuk mengetahui posisi elevasi lahan terhadap ketinggian muka laut saat ini dibuat profil pantai terukur dengan metode waterpass yang dikaitkan dengan kondisi
259
pasang surut. Pasang surut diukur dengan metode mooring tide and wave gauge di perairan dekat pantai. Selama penelitian lapangan berlangsung juga dilakukan pengamatan terhadap aktifitas penduduk setempat dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah banjir pasang surut di Muarareja. Perkiraan dampak kenaikan muka laut terhadap masalah banjir pasang surut ini dilakukan dengan melakukan analisis profil pantai dan mempergunakan skenario kenaikan muka laut 0,8 m dari IPCC tahun 2001 (Folland et al., 2001), dan kenaikan 0,5 m dari IPCC tahun 2007 (Bindoff et al., 2007). Ketinggian air pasang tertinggi yang dipakai untuk analisis penggenangan 1,1 m. Angka ini adalah angka ketinggian pasang yang mungkin terjadi pada tahun 2009 menurut Tabel Pasang Surut dari Jawatan Hidro-Oseanografi TNI-AL. Peta dasar yang dipergunakan adalah Peta Rupabumi skala 1:25.000, dan penentuan posisi dilakukan dengan mempergunakan GPS Garmin 45. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Kondisi Geomorfologi
Kawasan Tegal Barat dimana Desa Muarareja berada secara geomorfologi merupakan bagian dari sayap timur Delta Kali Pemali. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa Desa Muarareja berkembang di lahan basah tepi pantai, yaitu di kedua sisi aliran Kali Kemiri (Gambar 1). Daerah tersebut secara umum merupakan daerah tambak tepi pantai. Ketika pelaksanaan pra penelitian lapangan (bulan Mei 2010), teramati banjir pasang surut terjadi di kawasan pemukiman di sisi timur Kali Kemiri (Gambar 3). Di sisi barat Kali Kemiri banjir pasang surut tidak terjadi karena ada tanggul beton sepanjang tepi pantai yang menghalangi air laut pasang masuk ke daerah pemukiman.
Gambar 3. Banjir pasang-surut di Desa Muarareja, Tegal Barat ketika air laut bergerak naik. Lahan basah tepi pantai adalah daerah transisi antara lingkungan darat dan laut. Dari sudut pandang geomorfologi, kawasan lahan basah tepi pantai memberikan gambaran kondisi lingkungan yang rendah dan datar, belum stabil dan berpotensi mengalami subsiden. Lahan basah tepi pantai memiliki morfologi rendah karena dari sudut pandang geomorfologi lahan ini merupakan lahan yang baru terbentuk melalui proses sedimentasi di lingkungan tepi pantai. Konsekuensi dari kondisi lahan yang baru terbentuk itu bahwa endapan sedimen yang membentuk lahan tersebut belum sempurna mengalami pemadatan, dengan demikian lahan itu berada dalam kondisi yang belum stabil dan berpotensi mengalami subsiden atau penurunan permukaan tanah. Subsiden
260
karena konsolidasi endapan sedimen merupakan fenomena yang umum dijumpai di kawasan lahan basah (Wells, 1996; Meie and Milliman, 1996; Meckel et al., 2007; Tornqvist et al., 2008). Terjadinya banjir pasang-surut di daerah tersebut menunjukkan bahwa elevasi lahan pemukiman di daerah tersebut berada pada posisi yang lebih rendah daripada posisi permukaan laut ketika kondisi laut pasang. Kondisi ketinggian lahan seperti itu juga terlihat pada profil pantai yang dibuat di daerah tersebut (Gambar 4). Dengan kondisi ketinggian lahan yang demikian itu, maka banjir pasang-surut melanda daerah pemukiman tersebut ketika laut pasang. Jadi, terjadinya banjir pasang surut itu merupakan konsekuensi logis dari permukaan lahan tepi pantai yang lebih rendah dari ketinggian permukaan laut ketika laut pasang.
Gambar 4. Profil kawasan pesisir Muarareja dan dua skenario kenaikan muka laut. Msl: mean sea level (muka laut rata-rata). (1,1): angka pasang maksimum yang mungkin. 3.2.
Faktor Manusia
Terjadinya banjir pasang surut di kawasan pemukiman, seperti yang terjadi di Desa Muarareja ini, tidak dapat dipisahkan dari faktor manusia. Secara alamiah, lahan basah tepi pantai memang lahan yang rendah dan labil. Dalam tahap perkembangannya, tanpa kehadiran manusia, ada bagian dari lahan basah yang merupakan lahan pasang surut. Perkembangan lebih lanjut dari lahan pasang-surut adalah dataran rendah tepi pantai. Meskipun dataran rendah tepi pantai sudah tidak lagi mengalami banjir pasang surut, tetapi kondisi lahannya masih belum stabil dan berpotensi mengalami subsiden. Dalam pemanfaatan lahan tepi pantai, manusia sering tidak memperhatikan keadaan seperti ini, dan masuk serta membangun pemukiman di lahan tepi pantai tersebut. Menurut Bouwer et al. (2009), kerentanan kota di kawasan pesisir terhadap banjir berkaitan dengan perkembangan sosial ekonomi. Bangunan fisik yang dibangun di atas lahan pesisir seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan ekonomi menjadi beban yang menekan permukaan lahan tepi pantai yang belum stabil. Akibatnya adalah terjadi subsiden. Seperti yang terjadi di Semarang dan Jakarta, lahan tepi pantai yang semula telah menjadi daratan mengalami penurunan permukaan tanah dan kembali menjadi lahan pasang-surut. Pemukiman penduduk dan kawasan komersil yang berada di atasnya mengalami banjir pasang surut. Keadaan seperti itulah yang diperkirakan terjadi di lokasi banjir pasang-surut Muarareja, dan diberbagai lokasi lain. Kesimpulan tentang hal ini ditarik berdasarkan asumsi bahwa ketika membangun pemukiman tentu manusia memilih lahan kering dan bukan lahan banjir pasang surut.
261
Kemudahan akses ke laut merupakan daya tarik munculnya pemukiman di daerah tersebut. Perkembangan itu adalah hal yang biasa ditemukan di berbagai kawasan di dunia. Menurut catatan sejarah, sejak beberapa abad yang lalu, fokus pembangunan manusia ada di kawasan pasisir. Kemudahan transportasi laut, perdagangan dan ketersediaan bahan pangan dari perairan pesisir telah mendorong munculnya pemukiman di kawasan pesisir (European Commission, 1999). Dari pengamatan di lapangan di daerah penelitian, secara garis besar dapat diketahui bahwa pemukiman yang ada di kedua sisi Kali Kemiri adalah pemukiman nelayan. Hal itu ditunjukkan oleh banyaknya perahuperahu nelayan yang ditambat di kedua sisi sungai tersebut, yang merupakan milik penduduk setempat. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa kemudahan beraktifitas sebagai nelayan merupakan faktor utama munculnya pemukiman di tepi pantai tersebut. 3.3.
Kemungkinan Masa Depan
Sekarang terdapat keyakinan yang tinggi secara ilmiah bahwa muka laut akan naik dalam 100 tahun ke depan karena perubahan iklim, meskipun masih menjadi perdebatan tentang besarnya kenaikan muka laut yang akan terjadi (Wheeler, 2007; Hadley, 2009). Meskipun demikian, dipercaya bahwa kenaikan muka laut akan menambah tinggi air genangan banjir dan meningkatkan laju erosi (Kumar, 2006; Najjar et al., 2010). Oleh karena itu, perhitungan kemungkinan kondisi banjir pasang-surut harus dilakukan dengan memperhatikan hal tersebut. Dalam kondisi di daerah penelitian seperti sekarang ini, dimana lahan daratan lebih rendah daripada ketinggian muka laut ketika pasang, perubahan iklim global yang menyebabkan kenaikan muka laut akan menambah tinggi air genangan dan menambah luas kawasan yang akan tergenang oleh banjir pasangsurut. Gambaran situasi demikian itu, di masa depan terlihat jelas tergambar pada profil pantai (Gambar 4). Pada profil tersebut terlihat jelas bahwa pada skenario kenaikan muka laut 0,5 meter akan menambah ketinggian genangan sebesar itu pula. Demikian juga dengan skenario ketika muka laut 0,8 meter. Pada kedua skenario kenaikan muka laut itu kondisi banjir pasang surut akan bertambah parah, dalam arti ketinggian genangan banjir bertambah tinggi, dan luas daerah genangan akan bertambah luas. Kenaikan muka laut selain menyebabkan bertambah dalam air genangan, juga meningkatkan erosi pantai. Peningkatan kedalaman air akan meningkatkan tinggi gelombang yang menyebabkan meningkatnya kekuatan gelombang yang memukul ke pantai dan mempengaruhi transportasi sedimen (Kumar, 2006). Untuk kawasan Muarareja, peningkatan kedalam air selain menambah tinggi air genangan, juga akan menyebabkan deretan groin yang ada di sepanjang pantai menjadi tidak efektif melindungi pantai. Akibatnya, kawasan ini juga mengalami bahaya erosi pantai. Berdasarkan pemikiran bahwa banjir pasang surut di Muarareja terjadi terutama karena faktor manusia, maka kemungkinan perkembangan kawasan banjir pasang surut di Muarareja sangat erat hubungannya dengan perkembangan pemukiman. Dengan makin banyaknya bangunan yang dibangun, maka beban terhadap lahan tepi pantai akan bertambah, sehingga laju subsiden dapat pula bertambah besar. Apabila faktor pertambahan beban karena bangunan ini dipadukan dengan skenario kenaikan muka laut global, maka kedua hal itu akan saling menguatkan dalam hal perubahan pertambahan ketinggian muka laut setempat di Muarareja. 3.4.
Upaya Mengatasi Masalah
Upaya teknis mengatasi masalah banjir pasang surut ini terlihat di sisi barat Kali Kemiri dalam bentuk pembuatan tanggul sepanjang tepi sungai. Ketika pengamatan lapangan dilakukan, upaya tersebut terlihat cukup efektif mencegah massa air pasang
262
masuk ke pemukiman dari arah sungai. Tidak diperoleh gambaran tentang keefektifan upaya tersebut pada kondisi pasang di waktu lain. Sementara itu, di sisi timur kali tidak terlihat upaya teknis untuk mengatasi masalah banjir pasang surut tersebut. Kondisi lingkungan yang berkaitan dengan peristiwa banjir pasang-surut bersifat dinamis yang terus berubah seiring dengan waktu. Perubahan tersebut berkaitan dengan perkembangan aktifitas manusia, subsiden permukaan tanah dan skenario kenaikan muka laut global. Menurut Nicholls dan Tol (2006), mengelola subsiden di dataran pesisir adalah strategi yang sangat berguna untuk mengurangi kerentanan kawasan pesisir karena kenaikan muka laut. Oleh karena itu, upaya untuk mengatasi masalah banjir pasang surut perlu memperhitungkan ketiga hal tersebut dan jangka waktu menyelesaikan masalah yang dikehendaki. Apakah itu penyelesaikan untuk jangka panjang atau untuk jangka pendek. Terkait dengan aktifitas penduduk sebagai nelayan, upaya menyelesaikan masalah banjir pasang surut ini juga perlu memperhitungkan hal tersebut. Perlu diperhitungkan bahwa kemudahan akses ke laut adalah hal penting, yang menjadi alasan mereka memilih bermukim di tepi pantai. Terdapat beberapa pilihan tindakan dalam upaya mengatasi masalah banjir pasang-surut. Memperhatikan pendapat dari Hopley (1992), Leatherman (1996), Zeidler (1997), El-Raey et al. (1999), Kirshen et al. (2008), Lonsdale et al. (2008), pilihan yang mungkin dilakukan untuk menghadapi masalah banjir pasang-surut itu adalah (1) membangun tanggul di sepanjang pantai, (2) meninggikan rumah/bangunan dan jalan, (3) tidak melakukan apapun, atau (4) pindah ke lokasi lain. Dari empat alternatif pilihan penyelesaian masalah banjir pasang surut itu, tidak ada satupun pilihan yang tepat untuk semua kondisi. Pilihan untuk membangun tanggul tepi atau meninggikan bangunan dan lahan mungkin tepat untuk penyelesaian jangka pendek. Untuk jangka panjang, terkait dengan skenario kenaikan muka laut, maka meninggikan tanggul, bangunan atau jalan akan harus terus dilakukan. Pilihan ini membutuhkan biaya tinggi. Selain itu, untuk upaya ini, perlu juga diperhitungkan faktor subsiden. Pembuatan tanggul dan/atau penimbunan akan menambah beban bagi lahan, sehingga dapat mempercepat subsiden. Memindahkan penduduk sebagi upaya untuk mengatasi masalah banjir pasang surut juga bukan pilihan yang mudah untuk dilakukan. Penduduk yang berstatus sebagai nelayan sangat memerlukan akses yang mudah dan murah ke laut. Oleh karena itu, memindahkan penduduk ke lokasi lain yang jauh dari pantai merupakan pilihan yang tidak mudah untuk dilaksanakan. Sangat mungkin penduduk tidak mau dipindahkan dari lokasi pemukiman yang sekarang ke daerah lain yang jauh dari pantai, karena hal tersebut mempersulit kehidupan mereka sebagai nelayan. Sementara itu, pilihan untuk tidak melakukan tindakan apapun juga bukan hal yang mudah. Pilihan ini berarti membiarkan banjir terus berlangsung seperti yang sekarang. Pilihan ini tepat untuk daerah kosong yang tidak terbangun (Hopley, 1992); untuk kawasan yang terbangun, pilihan ini akhirnya juga menyebabkan kerusakan pada bangunan dan infrastruktur yang tergenang (Zeidler, 1997; El-Raey et al., 1999). Selain dari empat alternatif pilihan upaya untuk mengatasi masalah banjir pasang surut tersebut, upaya untuk mencegah makin memburuknya persoalan banjir ini di masa depan juga perlu dilakukan. Upaya itu adalah pengendalian jumlah penduduk dan bangunan di daerah banjir pasang-surut sekarang, yang hakekatnya adalah upaya pengendalian subsiden. Pengendalian penduduk dan bangunan ini tujuannya adalah untuk tidak menambah beban fisik bagi lahan di kawasan banjir tersebut. Upaya ini adalah upaya yang penting dalam mengurangi dampak negatif kenaikan muka laut (Nicholls dan Tol, 2006).
263
Dalam makalah ini belum dapat ditentukan pilihan yang tepat untuk menghadapi masalah banjir pasang-surut. Masih banyak data yang perlu dikumpulkan agar dapat melakukan penilaian terhadap setiap kemungkinan alternatif pilihan yang mungkin. 4. KESIMPULAN Desa Muarareja adalah desa nelayan berada di kawasan yang secara geomorfologi merupakan kawasan lahan basah yang merupakan bagian dari Delta Pemali. Secara geologis, kawasan tersebut merupakan kawasan yang belum stabil dan masih akan terus mengalami subsiden secara alamiah karena proses pemadatan endapan sedimen. Terjadinya banjir pasang-surut di desa tersebut menunjukkan bahwa, di lokasi banjir, elevasi lahannya telah berada lebih rendah daripada ketinggian muka laut ketika laut pasang. Berkembangnya pemukiman di daerah tersebut sangat mungkin merupakan penyebab utama terjadinya banjir pasang-surut. Di masa depan, dalam kaitannya dengan kenaikan muka laut, kawasan tersebut akan mengalami banjir yang lebih parah, dan juga akan mengalami erosi. Upaya untuk mengatasi masalah banjir pasang-surut yang dilakukan harus mempertimbangkan masalah subsiden, skenario kenaikan muka laut dan aktifitas penduduk setempat yang merupakan masyarakat nelayan. Selain itu, pengendalian kegiatan pembangunan fisik sebagai upaya pengendalian subsiden perlu dilakukan sebagai bagian dari upaya mengurangi dampak banjir pasang-surut dan kenaikan muka laut di masa depan.
UCAPAN TERIMA KASIH Makalah ini merupakan sebagian dari kegiatan penelitian dalam Kegiatan Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI tahun 2009 yang dibiayai dengan dana dari hibah penelitian melalui DIPA Ditjen DIKTI Tahun Anggaran 2009 dengan Surat Perjanjian Nomor 06/SU/SP/INSF_DIKTI/2009.
DAFTAR PUSTAKA Abidin, H.Z., Djaja, R., Darmawan, D., Hadi, S., Akbar, A., Rajiyowiryono, H., Sudibyo, Y., Meilano, I., Kasuma, M.A., Kahar, J. and Subarya, C., 2001. Land subsidence of Jakarta (Indonesia) and its geodetic monitoring system, Natural Hazards 23: 365-387. Abidin, H.Z., Andreas, H., Djaja, R., Darmawan, D. and Gamal, M., 2008. Land subsidence characteristic of Jakarta between 1997 and 2005, as estimated using GPS surveys, GPS Solut 12: 23-32. DOI 10.1007/s10291-007-0061-0. Bindoff, N.L., J. Willebrand, V. Artale, A, Cazenave, J. Gregory, S. Gulev, K. Hanawa, C. Le Quéré, S. Levitus, Y. Nojiri, C.K. Shum, L.D. Talley and A. Unnikrishnan, 2007. Observations: Oceanic Climate Change and Sea Level. In: Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L. Miller (Eds.), Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA.
264
Bower, L.M., Bubeck, P., Wagtendonk, A.J. and Aerts, J.C.J.H., 2009. Inundation scenarios for flood damage evaluation in polder areas. Natural Hazards and Earth System Sciences 9: 1995-2007. [www.nat-hazards-systsci.net/9/1995/2009/nhss-9-1995-2009.pdf]. Acessed: 7 January 2011. Cooke, R.U. and Doornkamp, J.C., 1977. Geomorphology in Environmental Management: an introduction. Clarendon Press, Oxford: 413 p. El-Raey, M., Dewidar, K.R. and El-Hattab, M., 1999. Adaptation to the impact of sea level rise in Egypt, Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 4: 343-361. European Commission, 1999. Toward a European Integrated Coastal Zone Management (ICZM) Strategy: General Principles and Policy Options. Office for Official Publications of the European Communities, Luxembourg: 32 pp. Folland, C.K., T.R. Karl, J.R. Christy, R.A. Clarke, G.V. Gruza, J. Jouzel, M.E. Mann, J. Oerlemans, M.J. Salinger and S.-W. Wang, 2001: Observed Climate Variability and Change. In: Houghton, J.T.,Y. Ding, D.J. Griggs, M. Noguer,P.J. van der Linden, X. Dai, K. Maskell, and C.A. Johnson (eds.), Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change . Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. Hadley, D., 2009. Land use and the coastal zone, Land Use Policy 265: S198-S203. Hopley, D., 1992. Global change and the coastline: assessment and mitigation planning, Journal of Southeast Asian Earth Sciences 7(1): 5-15. Kirshen, P., Knee, K. and Ruth, M., 2008. Climate change and coastal flooding in Metro Boston: impact and adaptation strategies, Climatic Change 90: 453-473. Kumar, P.K.D., 2006. Potential vulnerability implication of sea level rise for the coastal zones of Cochin, Southwest Coast of India, Environmental Monitoring and Assessment 123: 333-344. Leatherman, S.P., 1996. Shoreline stabilization approaches in response to sea level rise: U.S. experience and implications for Pacific islands and Asian nations. Water, Air, and Soil Pollution 92: 149-157. Lonsdale, K.G., Downing, T.E., Nicholls, R.J., Parker, D., Vafeidis, A.T., Dawson, R. and Hall, J., 2008. Plausible responses to the threat of rapid sea-level rise in the Thames Estuary, Climatic Change 91: 145-169. Marfai, M.A., 2003. GIS Modelling of River and Tidal Flood Hazard in a Waterfront City: case study Semarang city, Central Java, Indonesia. Master Thesis at International Institute for Geo-Information Sciences and Earth Observation, ITC, Enschede, The Netherland: 111 pp. Marfai, M.A. and King, L., 2008. Tidal inundation under enhanced land subsidence in Semarang, Central Java Indonesia. Natural Hazards 44: 93-109. DOI 10.1007/s11069-007-9144-z.
265
Meckel, T.A., Brink, U.S.T. and Williams, S.J., 2007. Sediment compaction rates and subsidence in deltaic plains: numerical constrains and stratigraphic influences. Basin Research 19(1): 19-31. DOI 10.1111/j.1365-2117.2006.00310.x. Meie, R. and Milliman, J.D., 1996. Effect of sea-level rise and human activity on the Yangtze Delta, China. In: J.D. Milliman and B.U. Haq, Sea-Level Rise and Coastal Subsidence: causes, consequences and strategies, Kluwer Academic Publisher, the Netherlands: 205-214. Najjar, R.G., Pyke, C.R., Adams, M.B., Breitburg, D., Hershner, C., Kemp, M., Howarth, R., Mulholland, M.R., Paolisso, M., Secor, D., Sellner, K., Wardrop, D. and Wood, R., 2010.Potential climate-change impacts on Chesapeake Bay. Estuarine, Coastal and Shelf Science 86: 1-20. Nicholls, R.J. and Tol, R.S.J., 2006. Impact and responses to sea-level rise: a global analysis of the SRES scenarios over the twenty-first century, Philosophical Transaction of the Royal Society A 364: 1073-1095. Tornqvist, T.E., Wallace, D.J., Storms, J.E.A., Wallinga, J., Dam, R.L.van, Blaauw, M., Derksen, M.S., Klerks, C.J.W., Meijneken, C. and Snijders, E.M.A., 2008. Mississippi Delta subsidence primarily caused by compaction of Holocene strata. Nature Geosciene 1: 173-176. DOI 10.1038/ngeo129. Ward, L.G. and Adams, J.R., 2001. A Preliminary Assessment of Tidal Flooding along the New Hampshire Coast: Past, Present and Future. A Final Report submitted to The New Hampshire Office of Emergency Management and the Office of State Planning Coastal Program. [des.nh.gov/organization/divisions/water/wmb/coastal/restoration/projects/docum ents/sea_level_rise_report.pdf]. Acessed: 06 January 2011. Ward, P.J., Marfai, M.A., Yulianto, F., Hizbaron, D.R. and Aerts, J.C.J.H., 2010. Coastal inundation and damage exposure estimaion: a case study for Jakarta. Natural Hazards. DOI 10.1007/s11069-010-9599-1. Wells, J.T., 1996. Subsidence, sea-level rise and wetland loss in the Lower Mississppi River Delta. In: J.D. Milliman and B.U. Haq, Sea-Level Rise and Coastal Subsidence: causes, consequences and strategies, Kluwer Academic Publisher, the Netherlands: 281-311. Wheeler, D., 2007. The IPCC debate on sea-level rise: critical stakes for poor countries. Center for Global Development. [http://blogs.cgdev.org/globaldevelopment/2007/02/the-ipcc-debate-on-seealevel-r.php]. Acessed 11 April 2010. Zeidler, R.B., 1997. Climate change vulnerability and response strategies for the coastal zone of Poland, Climatic Change 36: 151-173.
266
STUDI GEOMORFOLOGI UNTUK MEMPREDIKSI DAMPAK KENAIKAN MUKA LAUT DI KAWASAN PESISIR KABUPATEN TEGAL Oleh : Wahyu Budi Setyawan1 dan Sri Kusdi Rahayuningsih1
ABSTRAK Kenaikan muka laut global akan menimbulkan perubahan kondisi lingkungan di kawasan pesisir melalui perubahan posisi muka laut secara vertikal perubahan posisi garis pantai secara horizontal. Dengan demikian, aspek ruang merupakan hal yang penting untuk dipelajari dalam melakukan prediksi dampak kenaikan muka laut global terhadap kawasan pesisir. Kondisi geomorfologi kawasan pesisir memberikan gambaran baik tentang kondisi lingkungan fisik maupun tentang aspek ruang di kawasan pesisir. Analisis profil pantai merupakan salah satu pendekatan untuk mempelajari kemungkinan perubahan kondisi lingkungan di kawasan pesisir karena kenaikan muka laut. Penerapan pendekatan ini dengan skenario kenaikan muka laut global dari Inter-governmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2001 dan 2007 telah dilakukan untuk kawasan pesisir Kabupaten Tegal, yaitu di daerah Kramat dan Maribaya dalam rangka penelitian prediksi dampak kenaikan muka laut global terhadap kawasan pesisir. Pantai Kramat mewakili kondisi pantai pasir yang mengalami erosi dan sedimentasi secara bergantian, dan pantai Maribaya mewakili kondisi pantai pasir yang telah distabilkan dengan deretan groin. Hasil kegiatan tersebut memberikan gambaran bahwa, dengan kondisi pengelolaan kawasan pesisir seperti sekarang, pada tahun 2100 diperkirakan sebagian besar daratan pesisir di kawasan tersebut akan mengalami erosi atau penggenangan. Di pantai Kramat, kenaikan muka laut mengancam pemukiman; sedang di Maribaya, erosi pantai mengancam jalan raya pantai utara. Kata kunci : geomorfologi pantai, kenaikan muka laut, erosi pantai, kawasan pesisir; pergeseran garis pantai
1.
PENDAHULUAN
Kawasan pesisir merupakan daerah transisi antara laut dan darat. Kontak langsung antara kawasan pesisir dan laut menyebabkan kawasan pesisir segera mendapat pengaruh dari segala sesuatu yang terjadi di laut. Kondisi geomorfologi pantai menggambarkan keseimbangan proses-proses pantai yang berlangsung di suatu kawasan pesisir (Swan, 1983), dan gambaran hubungan spasial secara vertikal antara morfologi pantai dan posisi muka laut. Posisi muka laut merupakan faktor penting yang menentukan garis pantai atau lokasi batas keseimbangan proses-proses yang terjadi di kawasan pesisir. Dalam hubungan spasial, perubahan posisi muka laut secara vertikal akan menyebabkan perubahan posisi garis pantai. Dengan demikian, prediksi akan respon kawasan pesisir terhadap kenaikan muka laut dapat dipelajari melalui pendekatan geomorfologi (Miyagi dan Fujimoto, 1989). Menurut London dan Volonte (1991), analisis perubahan garis pantai dapat dilakukan dengan pendekatan analisis penggenangan dan analisis erosi pantai. Kenaikan muka laut global adalah dampak primer dari pemanasan global, dan dampak dari kenaikan muka laut di kawasan pesisir terjadi dalam bentuk penggenangan 1
Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta 14430
267
dataran rendah tepi pantai, erosi pantai dan intrusi air laut ke dalam air tanah (Hopley, 1992). Kenaikan muka laut akan menyebabkan perubahan kondisi lingkungan di kawasan pesisir, baik lingkungan fisik maupun hayati melalui penggenangan dan erosi pantai (Najjar, 2010; Yamamoto dan Esteban, 2010). Pada saat ini, banyak ilmuwan percaya bahwa bumi sedang dalam kondisi mengalami pemanasan global, sehingga banyak studi atau penelitian telah dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi dampak negatif dari kenaikan muka laut (Hopley, 1992; Jelgersma et al., 1993; Nicholls and Tol, 2006; Smith, et al., 2007; Devoy, 2008; Najjar et al., 2010; Yamamoto and Esteban, 2010). Sebagai bagian dari upaya tersebut, IPCC telah memberikan prediksi besarnya kenaikan muka laut pada tahun 2001 dan 2007. Studi mengenai dampak kenaikan muka laut bagi kawasan pesisir adalah sangat penting karena banyak manusia yang tinggal di kawasan pesisir dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia di kawasan tersebut (Nicholls dan Tol, 2006; Devoy, 2008; Yamamoto dan Esteban, 2010). Di dalam makalah ini dipergunakan pendekatan studi geomorfologi untuk memprediksi dampak kenaikan muka laut terhadap wilayah pesisir Kabupaten Tegal.
2.
DATA DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2009. Pengamatan lapangan kondisi geomorfologi pantai dilakukan sepanjang segmen pantai mulai dari pantai di Kampungbaru sampai Maribaya (Gambar 1). Aspek geomorfologi pantai yang diamati meliputi bentang alam pantai (coastal landform), tipe pantai, batuan penyusun pantai, dan dinamika pantai.
Gambar 1. Peta lokasi pengamatan. TiTik P1 dan P2: lokasi pembuatan profil pantai. Garis putus-putus di tepi pantai: posisi garis pantai ketika penelitian lapangan 2009. Peta dasar yang dipergunakan adalah Peta Rupabumi skala 1:25.000 dari Bakosurtanal. Penentuan posisi dilakukan dengan mempergunakan Global Positioning System (GPS) Garmin 45. Untuk mengetahui kecenderungan perubahan garis pantai, dilakukan pemetaan garis pantai dengan GPS di lokasi-lokasi tertentu (Gambar 1) dengan segmen-segmen yang pendek dengan cara menyusuri garis pantai. Analisis perubahan garis pantai dilakukan dengan pendekatan analisis penggenangan dan analisis erosi pantai seperti yang dilakukan oleh London dan Volonte (1991). Analisis penggenangan dilakukan melalui pendekatan analisis profil pantai yang
268
dikaitkan dengan posisi muka laut sekarang. Profil pantai dibuat dengan Metode Waterpass. Posisi muka laut ditentukan dari data pasang surut yang diperoleh dari mooring Tide and Wave Gauge selama penelitian dilakukan di perairan dekat pantai di Randusanga, Brebes. Analisis erosi pantai dilakukan melalui pendekatan sejarah perubahan garis pantai dan mengamati tanda-tanda erosi atau sedimentasi di pantai di lapangan. Pendekatan sejarah perubahan garis pantai dilakukan dengan memetakan posisi garis pantai. Analisis dampak kenaikan muka laut terhadap kawasan pesisir dilakukan dengan mempergunakan skenario kenaikan muka laut dari IPCC tahun 2001 (Gambar 2; Folland et al., 2001) dan 2007 (Gambar 3; Bindoff et al., 2007). Menurut skenario IPCC tahun 2001, pada tahun 2100 muka laut akan naik setinggi 0,875 m dari muka laut sekarang. Untuk memudahkan penggambaran pada profil berskala, angka itu dibulatkan menjadi 0,8 m. Sementara itu, skenario IPCC tahun 2007 memproyeksikan kenaikan muka laut sebesar 0,5 m sampai tahun 2100. Dalam makalah ini, pembahasan mengenai kenaikan muka laut dilakukan dengan mempergunakan dua skenario kenaikan muka laut tersebut. Ketinggian air pasang tertinggi yang dipakai untuk analisis penggenangan 1,1 m. Angka ini adalah angka ketinggian pasang yang mungkin terjadi pada tahun 2009 menurut Tabel Pasang Surut dari Jawatan Hidro-Oseanografi TNI-AL.
Gambar 2. Skenario kenaikan muka laut Gambar 3. Skenario kenaikan muka laut dari IPCC tahun 2001 dari IPCC tahun 2007 (Folland et al., 2001). (Bindoff et al., 2007). 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan lapangan, kondisi geomorfologi kawasan pesisir daerah penelitian yang membentang dari Kampungbaru di Desa Munjungagung, Kramat di Desa Kramat dan di Maribaya di Desa Maribaya, menunjukkan daratan pesisir di daerah penelitian tersebut merupakan dataran pantai dengan pantai pasir. Meskipun demikian, terdapat perbedaan kondisi pantai dari tiga lokasi pengamatan walaupun ketiganya berdampingan dalam jarak yang relatif dekat. Gambaran kondisi pantai dari ketiga lokasi tersebut adalah sebagai berikut: 1) Pantai Kampungbaru di Desa Munjungagung. Pantai bermorfologi rendah dengan berm yang lebar lebih dari 20 meter. (Gambar 2). Plot hasil penyususan garis pantai pata Peta Rupabumi mengindikasikan garis pantai bergeser ke arah laut. (Gambar 1).Di Pantai ini, meskipun hasil plot garis pantai menunjukkan pergeseran garis pantai ke arah laut, menurut keterangan penduduk setempat, pada musim angin tertentu air laut dapat jauh ke darat karena gelombang yang tinggi. Sedimentasi pantai di segmen pantai ini diperkirakan merupakan bagian dari proses erosi dan sedimentasi yang terjadi bergantian yang membentuk endapan pasir temporer.
269
2)
Pantai Kramat di Desa Kramat. Pantai bermorfologi rendah dengan pantai pasir yang erosional dengan indikasi erosi yang tegas. Bukti erosi yang terlihat di lapangan adalah deretan pohin kelapa yang mati dan tumbang di sepanjang pantai (Gambar 5). Sementara itu endapan pasir pantai yang menutupi pohon kelapa yang tumbang di lapangan menunjukkan endapan pasir tersebut bersifat temporer. Kemudian, meskipun erosi dan sedimentasi endapan pasir pantai segmen ini terjadi bergantian, di bagian pantai tertentu tampak erosi lebih besar daripada sedimentasi. Hal ini terlihat dari adanya tanggul tambak yang mengalami erosi. Indikasi bahwa erosi lebih besar daripada sedimentasi di segmen pantai ini terlihat dari plot garis pantai pada Peta rupabumi, yang menunjukkan adanya pergeseran garis pantai ke arah darat (Gambar 1).
Gambar 4. Pantai Kampungbaru di Desa Munjungagung, Kabupaten Tegal. Pada musim tertentu, air yang dihempas gelombang ke pantai dapat mencapai batas tumbuhan. 3)
Gambar 5. Pantai Kramat di Desa Kramat, kabupaten Tegal. Batang kelapa yang tumbang di tepi pantai dan tertutup oleh endapan pesir pantai menunjukkan endapan pasir pantai bersifat temporer.
Pantai Maribaya di Desa Maribaya. Pantai pasir bermorfologi rendah. Pantai di daerah ini telah distabilkan dengan deretan groin (Gambar 6). Dibangunnya groin di pantai ini menunjukkan bahwa sebelumnya pantai ini bersifat erosional, karena pembangunan deretan groin (groin field) merupakan salah satu teknik untuk menstabilkan garis pantai.
Gambar 6. Pantai Maribaya di Desa Maribaya, Kabupaten Tegal. Deretan groin dibangun di sepanjang garis pantai untuk menstabilkan garis pantai dari kecenderungannya yang mengalami erosi.
Kondisi keseimbangan garis pantai yang bergantian antara bersifat erosional pada suatu musim dan berganti menjadi bersifat sedimentasi pada musim lainnya seperti yang ada di Pantai Kramat dan Kampungbaru, menunjukkan bahwa keseimbangan garis pantai di kedua lokasi tersebut berada pada kondisi yang kritis. Sementara itu, kestabilan pantai yang dicapai dengan pembuatan groin di pantai Maribaya menunjukkan bahwa di pantai
270
tersebut kekuatan-kekuatan asal laut lebih kuat daripada kekuatan asal darat. Keseimbangan pantai di lokasi ini akan tetap terjaga selama deretan groin masih berfungsi. Mengenai hubungan antara keseimbangan garis pantai atau kecenderungan erosi pantai dengan kenaikan muka laut, disebutkan bahwa penambahan kedalaman air dekat pantai karena kenaikan muka laut akan menyebabkan meningkatnya energi gelombang dan energi pasang-surut di tepi pantai (El-Raey et al., 1999; Crook, 2004; Kumar, 2006). Konsekuensinya adalah pada pantai yang erosional, laju erosi pantai akan meningkat. Sedang pada pantai yang stabil atau mengalami sedimentasi dapat berubah menjadi pantai yang erosional. Gelombang merupakan kekuatan asal laut utama. Gelombang yang menghampiri dan memukul ke pantai adalah gelombang perairan dangkal yang kekuatannya dipengaruhi oleh kedalaman air (Komar, 1976). Gambaran tentang keadaan itu dapat dilihat pada persamaan matematis berikut:
P EC 1 E gH 2 8 C gh
Dimana P: kekuatan gelombang; E: energi gelombang; C: kecepatan gelombang; H: tinggi gelombang; g: gaya gravitasi; h: kedalaman air; ρ: densitas air laut. Persamaan matematis tersebut memberikan gambaran tentang peningkatan energi kelombang di pantai yang dapat terjadi karena kenaikan muka laut. Gambaran tentang perubahan keseimbangan pantai karena kenaikan muka laut yang dikemukakan di depan memberikan gambaran bahwa, pantai di daerah penelitian yang merupakan pantai pasir akan mengalami erosi bila muka laut naik. Pantai Kampungbaru di Desa Munjungagung dari pantai yang mengalami sedimentasi akan berubah menjadi pantai yang mengalami erosi; demikian pula dengan pantai Kramat di Desa Kramat yang stabil akan menjadi pantai yang mengalami erosi. Sementara itu, di Desa Maribaya, deretan groin di pantai Maribaya akan kehilangan fungsinya bila muka laut naik. Groin yang sekarang ada di pantai itu perlu ditinggikan agar tetap berfungsi menstabilkan garis pantai seperti sekarang. Untuk keperluan analisis prediksi dampak kenaikan muka laut dalam bentuk penggenangan daratan pantai dibuat dua buah profil pantai, yaitu di pantai Kampungbaru (Munjungagung) (Gambar 7) dan Maribaya (Gambar 8). Dari profil pantai di dua lokasi itu dapat diperoleh gambaran dampak kenaikan muka laut sebagai berikut: 1) Profil Pantai Kampungbaru di Desa Munjungagung profil pantai (Gambar 7) berarah utara selatan ini hanya dibuat pendek melewati tanggul tambak yang tertinggi, karena melewati tanggul tambak tersebut sampai ke pemukiman penduduk adalah daratan pantai bermorfologi rendah dan profil tidak dapat dibuat sampai jalan raya Pantai Utara Jawa karena terhalang oleh pemukiman yang ada di sebelah selatannya. Pada profil pantai ini terlihat bahwa daratan pantai yang lama lebih tinggi daripada daratan pantai temporer atau daratan pantai yang baru. Keadaan ini terlihat dari adanya undak pantai yang dekat dengan garis pantai. Pada profil pantai ini, dengan skenario kenaikan muka laut 0,5 m pada tahun 2100, pada posisi muka laut rata-rata ketinggian muka laut relatif sama dengan ketinggian permukaan daratan pantai yang temporer. Dengan skenario ini, seluruh daratan pantai akan tergenang oleh air laut pada kondisi air laut pasang. Sementara itu, dengan skenrio kenaikan muka laut 0,8
271
m pada tahun 2100, sebagian daratan tepi pantai akan tergenang pada posisi muka laut rata-rata, garis pantai bergeser ke tanggul pertama. Pada kondisi pasang tinggi seluruh daratan tepi pantai telah tergenang dan garis pantai mencapai daerah pemikiman.
Gambar 7. Profil pantai Kampungbaru di Desa Munjungagung, Kabupaten Tegal. Msl: mean sea level (muka laut rata-rata). (1,1): angka pasang maksimum yang mungkin.
Gambar 8. Profil pantai Maribaya di Desa Maribaya, Kabupaten Tegal. Msl: mean sea level (muka laut rata-rata). (1,1): angka pasang maksimum yang mungkin. 2)
Pantai Maribaya di Desa Maribaya (Gambar 8). Di lokasi ini profil pantai berarah utara- selatan dapat dibuat sampai ke jalan aspal lingkungan setempat. Elevasi jalan tersebut relatif sama dengan elevasi tanggul tambak di tepi pantai. Ke arah selatan adalah daratan pantai yang relatif sampai ke jalan raya Pantai Utara Jawa. Pada profil pantai ini, sampai tahun 2100, skenario kenaikan muka laut 0,5 m maupun 0,8 m, muka air laut rata-rata masih lebih rendah daripada ketinggian tanggul tepi pantai. Namun, pada kondisi air laut pasang, ketinggian permukaan laut akan lebih tinggi daripada ketinggian tanggul tambak maupun dataran pantai di sebelah selatan. Dengan kata lain pada kondisi pasang tinggi, sebelah dataran tepi pantai akan tergenang dan air laut dapat mencapai jalan raya Pantai Utara Jawa.
Apabila tidak memperhitungkan erosi pantai, dari kedua profil pantai tersebut dapat diperkirakan bahwa, baik dengan skenario kenaikan muka laut 0,5 m maupun 0,8 m, sampai tahun 2100 dataran pantai di Kampungbaru sampai Maribaya seluruhnya berubah menjadi dataran pasang surut. Di pantai Kampungbaru, garis pantai akan mencapai kawasan pemukiman pada tahun 2100; sedang di pantai Maribaya garis pantai akan menjangkau jalan utama Pantai Utara Jawa. Secara umum, lahan tepi pantai di kedua lokasi tersebut pada tahun 2100 akan berubah menjadi lahan pasang surut. Dalam kenyataan di alam, erosi atau sedimentasi tidak dapat dipisahkan dari posisi muka laut. Erosi atau sedimentasi di pantai menggambarkan kondisi kekuatan gelombang di pantai, sedang kekuatan gelombang itu tidak dapat dipisahkan dari posisi muka laut. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa, pada proses kenaikan muka laut, seiring dengan bertambahnya kedalaman air, maka erosi pantai akan meningkat karena kekuatan pukulan gelombang juga akan terus meningkat (El-Raey et al., 1999; Kumar, 2006). Dengan kata lain, erosi pantai dan penggenangan akan berjalan bersama-sama.
272
Dengan demikian, dataran pasang surut juga nanti akan terbentuk dapat lebih rendah permukaannya daripada elevasi permukaan tanah sekarang. Kawasan pesisir di daerah penelitian ini memiliki dataran rendah tepi pantai yang merupakan dataran pantai yang tersusun oleh endapan pasir, dan pantai pasir. Dengan kondisi yang demikian itu, erosi pantai atau penggenangan pantai dapat dipastikan hanya akan menggeser garis pantai ke arah darat dan menghilangkan lahan tepi pantai, tetapi tidak akan merubah kondisi ekosistem pantai seperti yang sekarang ada. UCAPAN TERIMA KASIH Makalah ini merupakan salah satu hasil dari kegiatan penelitian yang dibiyai dengan dana hibah penelitian melalui DIPA Ditjen DIKTI Tahun Anggaran 2009 melalui Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI Tahun 2009, dengan Surat Perjanjian Nomor 06/SU/SP/INSF_DIKTI/2009.
4.
1) 2)
3)
4)
KESIMPULAN Dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Dengan studi geomorfologi pantai dapat diketahui karakteristik garis pantai di sutu kawasan pesisir, dan memprediksi responnya terhadap kenaikan muka laut Dengan melakukan analisis profil pantai dapat diperkirakan kemungkinan penggenangan daratan tepi pantai dan pergeseran garis pantai karena kenaikan muka laut. Untuk kawasan pesisir Kabupaten Tegal, khususnya daerah Munjungagung dan Maribaya kenaikan muka laut global akan meningkatkan kecenderungan pantai untuk mengalami erosi. Berdasakan hasil analisis profil pantai Maribaya, pada tahun 2100 kenaikan muka laut akan mencapai jalan raya Pantai Utara Jawa.
DAFTAR PUSTAKA Bindoff, N.L., J. Willebrand, V. Artale, A, Cazenave, J. Gregory, S. Gulev, K. Hanawa, C. Le Quéré, S. Levitus, Y. Nojiri, C.K. Shum, L.D. Talley and A. Unnikrishnan, 2007. Observations: Oceanic Climate Change and Sea Level. In: Solomon, S., D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L. Miller (Eds.), Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. Devoy, R.J.N., 2008. Coastal vulnerability and the implication of sea-level rise of Ireland, Journal of Coastal Research, v. 24, n. 2: 325-341. El-Raey, M., Dewidar, K.R. and El-Hattab, M., 1999. Adaptation to the impact of sea level rise in Egypt, Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 4: 343-361. Folland, C.K., T.R. Karl, J.R. Christy, R.A. Clarke, G.V. Gruza, J. Jouzel, M.E. Mann, J. Oerlemans, M.J. Salinger and S.-W. Wang, 2001: Observed Climate Variability and Change. In: Houghton, J.T.,Y. Ding, D.J. Griggs, M. Noguer,P.J. van der Linden, X. Dai, K. Maskell, and C.A. Johnson (eds.), Climate Change 2001: The
273
Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change . Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. Hopley, D., 1992. Global change and the coastline: assessment and mitigation, Journal of Southeast Asian Earth Sciences, v. 7, n. 1: 5-15. Jelgersma, S., Van der Zijp, M.and Brinkman, R., 1993. Sealevel Rise and the Coastal Lowland in the Developing World, Journal of Coastal Research, v. 9, n. 4: 958972. Komar, P.D., 1976. Beach Processes and Sedimentation, Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey, 429 p. Kumar, P.K.D., 2006. Potential vulnerability implication of sea level rise for the coastal zones of Cochin, Southwest Coast of India, Environmental Monitoring and Assessment 123: 333-344. London, J.B. and Volonte, C.R., 1991. Land use implications of sea level rise: a case study at Myrtle beach, South Carolina. Coastal Management, 19: 205-218. Miyagi, T. and Fujimoto, K., 1989. Geomorphological situation and stability of mangrove habitat of Truk Atoll and Ponape Island in the Federation State of Micronesia, The Science Reports of the Tohoku University, 7th Series (Geography) vol. 39, no. 1: 25-52. Najjar, R.G., Pyke, C.R., Adams, M.B., Breitburg, D., Hershner, C., Kemp, M., Howarth, R., Mulholland, M.R., Paolisso, M., Secor, D., Sellner, K., Wardrop, D. and Wood, R., 2010. Potential climate-change impact on the Chesapeake Bay, Estuarine, Coastal and Shelf Science 86: 1-20. Nocholls, R.J. and Tol, R.S.J., 2006. Impact and responses to sea-level rise: a global analysis of the SRES scenarios over the twenty-first century, Phil. Trans. R. Soc. A 364: 1073-1095. Doi: 10.1098/rsta.2006.1754. Smith, T.F., Brooke, C., Preston, B., Gorddard, R., Abbs, D., McInnes, K., Withycombe, G. and Morrison, C., 2007. Managing for climate variability in the Sydney region, Journal of Coastal Research SI 50: 109-113. Swan, B., 1983. The Coastal Geomorphology of Sri Lanka: an introductory survey, University of New England, Armidale, New South Wales: 182 p. Yamamoto, L. and Esteban, M., 2010. Vinishing Island State and sovereignty, Ocean and Coastal Management 53: 1-9.
274
STRATEGI PENGELOLAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KARANG JERUK KABUPATEN TEGAL, PROVINSI JAWA TENGAH Oleh : Kusnandar1 dan Noor Zuhry1
ABSTRAK Kawasan terumbu Karang Jeruk merupakan kawasan suaka perikanan (Fish Sanctuary) yang keberadaannya dapat memberikan perlindungan biota yang ada di dalamnya, sehingga keanekaragaman sumberdaya hayati dapat lebih dipertahankan. Oleh karena itu, untuk menciptakan pengelolaan yang terarah dan sinergis diperlukan suatu perencanaan pengelolaan yang strategis, yang di dalamnya terdapat strategi-strategi alternatif bagi pengelolaan terumbu karang yang baik untuk mempertahankan eksistensi dan meningkatkan fungsi kawasan lindung Karang Jeruk. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kondisi ekosistem terumbu karang di Karang Jeruk Kabupaten Tegal, mengkaji persepsi masyarakat penguna tentang ekosistem terumbu karang tersebut, mengkaji tingkat partisipasi masyarakat pengguna terhadap upaya konservasi ekosistem terumbu karang tersebut, menganalisis faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengelolaan ekosistem terumbu karang di Karang Jeruk Kabupaten Tegal dan merumuskan strategi pengelolaannya. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Data diambil dengan menghitung tutupan karang di Karang Jeruk. Persepsi dan partisipasi masyarakat diukur dengan menggunakan data yang diambil dengan metode survey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase tutupan karang berkisar 20,00%49,37% termasuk dalam kriteria rusak dengan kategori jelek sampai sedang. Sedangkan persepsi masyarakat tentang ekosistem terumbu Karang Jeruk mempunyai tingkat persepsi cukup sampai sangat baik dengan persepsi baik mempunyai tingkatan tertinggi sebesar 57 orang (81,43%), untuk tingkat partisipasi masyarakat terhadap upaya konservasi ekosistem terumbu Karang Jeruk mempunyai tingkat partisipasi dari rendah sampai baik dengan tingkat partisipasi cukup mempunyai tingkatan tertinggi sebesar 60 orang (85,71%). Berdasarkan hasil Analitycal Hierarchy Process (AHP), diperoleh bahwa peningkatan partisipasi masyarakat dan lembaga terkait menjadi prioritas utama dalam upaya konservasi terumbu Karang Jeruk dengan bobot 0,290. Sedangkan untuk analisis SWOT, alternatif strategi WO yaitu (1) menata kembali (rezonasi) kawasan terumbu Karang Jeruk sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) membangun sistem kelembagaan yang melibatkan pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan masyarakat dalam pengelolaan ekosisem terumbu Karang Jeruk; dan (3) mengintensifkan program pendampingan masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat, menempati peringkat pertama dalam skala prioritas pengelolaan ekosistem terumbu Karang Jeruk dengan skor 108. Kata Kunci : Strategi, Pengelolaan dan Terumbu Karang Jeruk Kabupaten Tegal
1
Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan UPS Tegal
275
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pengelolaan sumberdaya pesisir merupakan usaha yang harus diupayakan secara terus menerus dan berkesinambungan. Sumberdaya alam memiliki batas kemampuan maksimal, yang jika pemanfaatannya sudah mencapai titik puncak, pasti produktivitas akan menurun. Salah satu sumberdaya pesisir yang mempunyai potensi yang sangat besar tetapi terancam punah akibat dari tekanan pemanfaatan adalah terumbu karang. Menurut Anggoro (2001), arti penting dari keberadaan terumbu karang dapat dilihat dari perannya terhadap kehidupan ikan (biota laut), antara lain : 1) Sebagai habitat (tempat) perlindungan dan mencari makan. 2) Sebagai tempat memijah (spawning ground) dan membesarkan anak-anaknya (nursery ground). 3) Sebagai pusat orientasi ruaya ikan-ikan peruaya (migratory species dan occasionally visitors). 4) Sebagai peredam arus dan gelombang sehingga merupakan penyangga daratan/pantai. 5) Sebagai tempat bernaung , tumbuh dan bereproduksi. 6) Sebagai sumber tumbuh-berkembangnya produsen primer dan pakan alami. Menurut Burke et al. (2002), luas terumbu karang Indonesia sekitar 51.000 km2. Jika estimasi ini akurat, maka 51% terumbu karang di Asia Tenggara dan 18% terumbu karang di dunia, berada di perairan Indonesia. Dari segi hayati, terumbu karang di Indonesia tergolong yang terkaya di dunia dengan kandungan keanekaragaman tumbuhan dan hewan laut yang luar biasa. Saat ini, lebih dari 480 jenis karang batu telah didata di wilayah timur Indonesia, dan merupakan 60% jenis karang batu di dunia yang telah berhasil dideskripsikan. Keanekaragaman tertinggi ikan karang di dunia ditemukan di Indonesia, dengan lebih dari 1.650 jenis hanya untuk wilayah Indonesia bagian timur. Pengamatan yang dilakukan di kawasan barat dan timur Indonesia, diperkirakan terumbu karang yang masih baik hanya sekitar 6,2%. Ketergantungan masyarakat yang sangat besar terhadap ekosistem terumbu karang sebagai penyedia berbagai sumber daya alam hayati, mengakibatkan terjadinya ekstraksi berlebihan bahkan banyak dilakukan dengan cara yang merusak kelestariannya. Ketergantungan masyarakat akan sumber daya alam ini, terutama masyarakat yang bermukim di sekitarnya, memperlihatkan pentingnya suatu sistem pengelolaan yang melibatkan masyarakat itu sendiri (BAPPEDA Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2001). Wilayah Kabupaten Tegal mempunyai ekosistem laut yang khas dan berperan penting bagi kesinambungan daur hidup biota laut dan produktivitas perikanan tangkap. Ekosistem khas tersebut berupa terumbu karang yang memiliki banyak gugusan karang massive berbentuk menyerupai jeruk sehingga masyarakat sekitar menyebut gugusan karang tersebut dengan nama Karang Jeruk. Karang Jeruk merupakan kawasan suaka perikanan (Fish Sanctuary) yang keberadaannya diharapkan dapat memberikan perlindungan biota yang ada di dalamnya, sehingga keanekaragaman sumberdaya hayati dapat lebih dipertahankan. Oleh karena itu, semua komponen masyarakat baik masyarakat pengguna (nelayan), maupun instansi terkait dan perguruan tinggi harus dapat memberikan perhatian dalam perlindungan terhadap keberadaan Karang Jeruk, sehingga upaya rehabilitasi dan konservasi sumberdaya perikanan dapat terus berlangsung sebagai proses regenerasi stock ikan.
276
1.2.
Rumusan Masalah
Kegiatan konservasi kawasan Karang Jeruk beberapa kali dilakukan melalui penanaman Terumbu Karang Buatan sampai kegiatan pemberdayaan masyarakat sebagai upaya untuk memandirikan masyarakat melalui perwujudan potensi kemampuan yang dimiliki dengan tujuan melibatkan masyarakat secara aktif dengan setiap kegiatan dari perencanaan, implementasi serta tahap pemantauan. Diharapkan pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan ini dapat meningkatkan pemahaman, pengetahuan, dan kesadaran kolektif untuk menjaga, melindungi dan melestarikan terumbu karang yang ada di Kawasan Karang Jeruk. Untuk tetap menjaga tersedianya stok ikan di laut, maka habitat vital sebagai tempat restocking ikan perlu dilindungi. Oleh sebab itu kawasan Karang Jeruk sebagai salah satu habitat vital (reservaat) di perairan Tegal perlu dijaga kelestariannya serta ditata dan diatur pemanfaatannya, umtuk itu diperlukan strategi pengelolaan yang baik untuk mempertahankan eksistensi dan meningkatkan fungsi kawasan lindung Karang Jeruk. 1.3.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Mengidentifikasi kondisi ekosistem terumbu karang di Karang Jeruk Kabupaten Tegal. 2) Mengkaji persepsi masyarakat penguna tentang ekosistem terumbu karang di Karang Jeruk Kabupaten Tegal. 3) Mengkaji tingkat partisipasi masyarakat pengguna terhadap upaya konservasi ekosistem terumbu karang di Karang Jeruk Kabupaten Tegal. 4) Menganalisis faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pengelolaan ekosistem terumbu karang di Karang Jeruk Kabupaten Tegal. 5) Merumuskan strategi pengelolaan terumbu Karang Jeruk Kabupaten Tegal.
2.
METODOLOGI PENELITIAN
2.1.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Menurut Hadi (1993) studi kasus merupakan metode penelitian terhadap suatu kasus secara mendalam yang berlaku pada waktu, tempat dan populasi yang terbatas sehinggga memberikan gambaran tentang situasi dan kondisi lokal dan hasilnya tidak dapat digeneralisasikan pada waktu dan tempat yang berbeda. Karakteristik terumbu karang, diambil dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan dan data sekunder hasil penelitian terdahulu yang didapat dari instansi terkait. Sedangkan persepsi dan partisipasi masyarakat, dikumpulkan langsung dari informasi di lapangan baik melalui kuesioner (daftar pertanyaan) maupun hasil wawancara. 2.2.
Teknik Analisis Data
2.2.1.
Analisis Ekosistem Terumbu Karang Jeruk
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
277
Presentase Total untuk tutupan karang dianalisis dengan menggunakan Formulasi : Total panjang intersep per genus Cover (%) = X 100% Total panjang transek Persentase tutupan karang hidup dinilai menggunakan kriteria baku kerusakan terumbu karang. Tabel 1. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang Berdasarkan Persentase Penutupan Karang Kriteria Kategori Tutupan (%) Rusak Jelek 0 – 24,9 Sedang 25 – 49,9 Baik Baik 50 – 74,9 Baik Sekali 75 – 100 Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001 Keanekaragaman jenis ikan dan karang dianalisis dengan mengikuti Formulasi Shannon-Wiener (Ludwig dan Reynolds, 1988 dalam Estradivari et al., 2007) yang digunakan untuk mengambarkan hubungan antar struktur populasi jenis biota karang, dengan rumus : H’ = - ∑ ni / N x ln ni / N . Keterangan : H’ = Indeks Keanekaragaman N = Total panjang kategori ni = Panjang Kategori ke-i Jika H’ = 0 maka komunitas terdiri dari satu jenis atau spesies tunggal dan jika nilainya mendekati maksimum maka semua spesies terdistribusi secara merata pada komunitas. Nilai indeksnya adalah : H’ < 1 = keanekaragaman kecil, tekanan ekologi sangat kuat 1 < H’ < 3 = keanekaragaman sedang, tekanan ekologi sedang H’ > 3 = keanekaragaman tinggi, ekosistem seimbang merata Indeks keseragaman (E) digunakan untuk melihat keseimbangan individu di dalam komunitas ikan dan karang. Nilai berkisar antara 0 sampai 1, dengan rumus : H’ E= ; H’maks = ln S H’maks Keterangan : E = indeks keseragaman H’ = Indeks keanekaragaman S = Jumlah seluruh kategori Kriteria nilai Indeks Keseragaman adalah sebagai berikut : E < 0,4 = keseragaman populasi kecil 0,4 < E < 0,6 = keseragaman populasi sedang 0,6 > E ≤ 1 = keseragaman populasi tinggi Indeks Dominasi Simpson digunakan untuk mengetahui sejauh mana suatu kelompok biota mendominasi kelompok lain, dengan rumus :
278
n
C = ∑ (ni/N)2 i =1
Keterangan : C = indeks dominansi n = jenis kategori ni = panjang kategori ke-i N = panjang total kategori
Kriteria indeks dominansi adalah sebagai berikut : 0 < C ≤ 0,5 = dominansi rendah 0,5 < C ≤ 0,75 = dominansi sedang 0,75 < C ≤ 1 = dominansi tinggi 2.2.2.
Analisis Persepsi
dan Partisipasi Masyarakat
Data persepsi dan tingkat partisipasi yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah data yang menunjukkan tingkatan atau gradasi yang biasa disebut sebagai data ordinal. Skala pengukuran data primer menggunakan metode skala Likert (Sugiyono, 2006). Skala ini digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau kelompok tentang fenomena sosial dan setiap jawaban menggunakan interval skor, yaitu : 1) Untuk persepsi masyarakat : Tabel 2. Skala Likert Persepsi Masyarakat Kategori (Nilai)
Interval Nilai/Jawaban
Bobot (%)
0–3 4–6 7–9 10 – 12 13 – 15
0 – 20 21 – 40 41 – 60 61 – 80 81 – 100
Sangat Jelek (1) Jelek (2) Cukup (3) Baik (4) Sangat Baik (5)
Data interval dianalisis dengan menghitung rata-rata jawaban berdasarkan skoring setiap jawaban responden. Jumlah skor ideal adalah 5 X 70 = 350 dengan kategori Sangat Baik dan tingkat persepsi (350 : 350) X 100% = 100%. Secara kontinum digambarkan sebagai berikut :
SJ
J 140
70
C
B
210
280
SJ
J
C
B
SB
70
140
210
280
350
SB 350
279
2)
Untuk partisipasi masyarakat :
Tabel 3. Skala Likert Partisipasi Masyarakat Kategori (Nilai) Interval Nilai/Jawaban
Bobot (%)
Sangat rendah (1) 0–4 0 – 20 Rendah (2) 5–8 21 – 40 Cukup (3) 9 – 12 41 – 60 Tinggi (4) 13 – 16 61 – 80 Sangat tinggi (5) 17 – 20 81 – 100 Data interval dianalisis dengan menghitung rata-rata jawaban berdasarkan skoring setiap jawaban responden. Jumlah skor ideal adalah 5 X 70 = 350 dengan kategori Sangat Tinggi dan tingkat partisipasi (350 : 350) X 100% = 100%. Secara kontinum digambarkan sebagai berikut :
SR
R
C
T
ST
70
140
210
280
350
2.2.3. Analisis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Jeruk Analisis selanjutnya untuk menentukan prioritas pilihan pengelolaan ekosistem terumbu Karang Jeruk Kabupaten Tegal adalah dengan menggunakan Analitycal Hierarki Process (AHP) dikembangkan oleh Saaty (1993) digunakan untuk menyelesaikan permasalahan komplek dari masalah yang dihadapi dengan bantuan software Expert Choice V.9. Secara umum hirarki dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu : 1) Hirarki struktural, yaitu masalah yang kompleks diuraikan menjadi bagian-bagiannya atau elemen-elemennya menurut ciri atau besaran tertentu. Hirarki ini erat kaitannya dengan menganalisis masalah yang kompleks melalui pembagian obyek yang diamati menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. 2) Hirarki fungsional, menguraikan masalah yang kompleks menjadi bagian-bagiannya sesuai hubungan esensialnya. Hirarki ini membantu mengatasi masalah atau mempengaruhi sistem yang kompleks untuk mencapai tujuan yang diinginkannya seperti penentuan prioritas tindakan, alokasi sumberdaya. Kemudian untuk menemukan kesesuaian strategis antara peluang eksternal dengan kekuatan internal yang memperhatikan ancaman eksternal dan kelemahan internal, maka digunakanlah analisis SWOT (Rangkuti, 2006).
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Jeruk Secara geografis Karang Jeruk berada di 109o11,85’ BT – 109o12,15’ BT dan 06 48,55’ LS – 06o48,70’LS dengan luas sekitar 925 m2 di bagian tengah ke arah permukaan dan sekitar 3.600 m2 di bagian dasar. Apabila ditarik garis lurus sejajar dengan perkampungan nelayan Dukuh Larangan, Desa Munjungagung, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal dengan jarak dari garis pantai terdekat 3,15 mil. Perairan Karang Jeruk mempunyai tanda yang mudah dikenali keberadaannya yaitu dengan adanya menara suar yang diberi lampu (Lembaga Studi Pembangunan Daerah Kendal, 2001). o
280
Pengambilan data kondisi hidro-oceanografi, data ikan dan data kondisi karang dilakukan pada 4 stasiun, yaitu : - Stasiun I : Berada di sisi barat terumbu Karang Jeruk - Stasiun II : Berada di sisi utara terumbu Karang Jeruk - Stasiun III : Berada di sisi timur terumbu Karang Jeruk - Stasiun IV : Berada di sisi selatan terumbu Karang Jeruk Pertama-tama dilakukan identifikasi kondisi hidro-oceanografi dari masingmasing stasiun, dengan hasil tersaji pada tabel 4. Tabel 4. Data Kondisi Hidro-Oceanografi Perairan Terumbu Karang Jeruk Variabel Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV o o Posisi S 06 48’57” S 06°48'55'' S06 48’65” S 06 o48’68” o o o E109 11’85” E109 11’99” E109 12’13,9” E109 o11’99” Salinitas 33‰ 34‰ 33‰ 33‰ Suhu Air 31˚C 31˚C 31˚C 31˚C Kecerahan 3m 3m 3m 3m Kedalaman 3 m 7m 4m 3m Kec. Arus 0,1m/dt 0,1m/dt 0,1m/dt 0,1m/dt Arah Arus Barat Barat Barat Barat Substrat Karang – pasir Karang – pasir Karang – pasir Karang – pasir Berikutnya adalah identifikasi biota yang ada meliputi jenis dan kelimpahan ikan dan kondisi karang. Tabel 5. Indeks Ekologis Jenis-Jenis Ikan di Lokasi Pengamatan Stasiun I II III IV Rata2
(H’) 1,465 1,992 1,900 1,689 1,762
(E) 0,705 0,958 0,977 0,868 0,877
(C) 0,356 0,146 0,156 0,224 0,221
Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa indeks ekologi dari jenis-jenis ikan yang ada dilokasi penelitian menunjukkan bahwa untuk indeks keanekaragaman (H’) rata-rata nilainya 1,762, sehingga termasuk dalam kategori keanekaragaman sedang dengan tekanan ekologi sedang menandakan bahwa kondisi keanekaragaman jenis-jenis ikan dalam proses pemulihan. Indeks keseragaman (E) rata-rata nilainya 0,877, sehingga masuk dalam kategori keseragaman populasi sedang yang menandakan adanya upaya untuk mempertahankan diri dengan perlahan menuju kepada keadaan yang lebih baik. Kemudian berdasarkan indeks dominansi Simpson (C) rata-rata nilainya 0,221, kategori dominansi jenis dari setiap stasiun rendah, menandakan tidak ada dominansi dari salah satu jenis ikan. Tabel 6. Persentase Penutupan Karang di Karang Jeruk No. Stasiun Total % Penutupan Karang Hidup 1. Stasiun I 35,33 2. Stasiun II 49,37 3. Stasiun III 41,00 4. Stasiun IV 20,00
281
Kondisi persentase tutupan karang hidup pada terumbu Karang Jeruk saat ini dibandingkan pada tahun sebelumnya terjadi penurunan, dimana pengamatan yang dilakukan pada Bulan Agustus 2007 persentase tutupan karang 31,76%-75,84% (Jaya Konsultan, 2007) sedangkan dari hasil pengamatan pada saat penelitian, persentase tutupan karang menjadi 20,00%-49,37%. Hasil pengamatan dan wawancara dengan masyarakat bahwa kondisi ini terjadi karena pada Bulan Desember 2007 sampai Maret 2008 terjadi musim barat dengan gelombang dan arus yang tinggi berakibat pada kerusakan karang, ini dibuktikan dengan adanya patahan karang di sekitar Karang Jeruk. Penyebab lain, masih ada nelayan yang beroperasi di sekitar perairan Karang Jeruk walaupun sudah jarang ditemukan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, tetapi dalam kegiatannya masih menurunkan jangkar di sekitar karang. Berdasarkan hal tersebut di atas, sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001 terumbu Karang Jeruk termasuk dalam kriteria rusak dengan kategori jelek sampai sedang. Tabel 7. Indeks Ekologis Jenis Karang di Karang Jeruk Stasiun I II III IV Rata-rata
H’ 1,520 1,154 1,020 1,098 1,198
E 0,781 0,832 0,736 0,999 0,837
C 0,286 0,355 0,383 0,334 0,340
Data indeks ekologis dari jenis-jenis karang di lokasi penelitian pada semua stasiun menunjukkan bahwa untuk indeks keanekaragaman (H’) rata-rata nilainya 1,198, sehingga keanekaragaman sedang dan tekanan ekologi sedang, menandakan bahwa ekosistem terumbu Karang Jeruk sedang dalam kondisi pemulihan. Nilai keseragaman (E) rata-rata nilainya 0,837, sehingga masuk dalam kategori keseragaman populasi tinggi yang menandakan adanya upaya mempertahankan diri secara perlahan menuju keadaan lebih baik. Kemudian berdasarkan indeks dominansi Simpson (C) rata-rata nilainya 0,340, termasuk dalam kategori dominansi jenis dari setiap stasiun rendah dimana tidak ada dominansi dari salah satu jenis karang. 3.2.
Persepsi Masyarakat Pengguna
Secara keseluruhan persepsi masyarakat pengguna tentang ekosistem terumbu Karang Jeruk Kabupaten Tegal tersaji pada Tabel 8. Tabel 8. Persepsi Masyarakat Pengguna tentang Ekosistem Terumbu Karang Jeruk Kabupaten Tegal No. Kategori (Nilai) Variasi Jawaban Frekuensi % 1 Sangat Baik (5) 13 - 15 10 14,29 2 Baik (4) 10 - 12 57 81,43 3 Cukup (3) 7–9 3 4,28 4 Jelek (2) 4-6 0 0,00 5 Sangat Jelek (1) 0-3 0 0,00 Jumlah 70 100,00 Berdasarkan tabel di atas, persepsi masyarakat tentang ekosistem terumbu karang Karang Jeruk Kabupaten Tegal secara keseluruhan mempunyai tingkat persepsi cukup
282
sampai sangat baik dengan persepsi baik mempunyai tingkatan tertinggi sebesar 57 orang (81,43 %). Data interval dianalisis dengan menghitung variasi jawaban berdasarkan kategori (nilai) setiap responden. Berdasarkan kategori (nilai) yang telah ditetapkan dapat dihitung sebagai berikut : - Skor 10 orang kategori Sangat Baik (SB) - Skor 57 orang kategori Baik (B) - Skor 3 orang kategori Cukup (C) - Skor 0 orang kategori Jelek (J) - Skor 0 orang kategori Sangat Jelek (SJ) Jumlah
= 10 X 5 = 50 = 57 X4 = 228 = 3X3= 9 = 0X2= 0 = 0X1= 0 = 287
Jumlah skor yang diperoleh dari penelitian adalah 287, sehingga tingkat persepsi masyarakat tentang ekosistem terumbu Karang Jeruk (287 : 350) X 100% = 82%. Secara kontinum dapat digambarkan sebagai berikut :
SJ
J
C
70
140
210
B 280 287
SB 350
Berdasarkan perhitungan yang diperoleh dari 70 responden maka rata-rata tingkat persepsi masyarakat pengguna berada pada kategori baik. Hal ini sesuai dengan hasil kuesioner bahwa masyarakat pengguna mengenal, memahami dan mengetahui manfaat terumbu karang, namun masyarakat belum memahami payung hukum yang mengaturnya. 3.3. Partisipasi Masyarakat Pengguna Secara keseluruhan partisipasi masyarakat pengguna tentang terumbu Karang Jeruk Kabupaten Tegal tersaji pada Tabel 9. Tabel 9. Tingkat Partisipasi Masyarakat Penggguna terhadap Upaya Konservasi Ekosistem Terumbu Karang Jeruk No. Kategori Variasi Jawaban Frekuensi % 1 Sangat Tinggi (5) 17 - 20 0 0,00 2 Tinggi(4) 13 - 16 7 10,00 3 Cukup (3) 9 - 12 60 85,71 4 Rendah (2) 5-8 3 4,29 5 Sangat Rendah (1) 1-4 0 0,00 Jumlah 70 100,00 Berdasarkan tabel di atas, tingkat partisipasi masyarakat terhadap upaya konservasi ekosistem terumbu karang Karang Jeruk Kabupaten Tegal secara keseluruhan mempunyai tingkat partisipasi dari rendah sampai baik dengan partisipasi cukup yang tinggi sebesar 60 orang (85,71 %). Data interval dianalisis dengan menghitung variasi jawaban berdasarkan kategori (nilai) setiap responden sebagai berikut : - Skor 10 orang kategori Sangat Tinggi (ST) = 0X5 = 0 - Skor 57 orang kategori Tinggi (T) = 7 X4 = 28 - Skor 3 orang kategori Cukup (C) = 60 X 3 = 180 - Skor 0 orang kategori Rendah (J) = 3X2 = 6 - Skor 0 orang kategori Sangat Rendah (SJ) = 0X1 = 0 Jumlah = 214
283
Jumlah skor yang diperoleh dari penelitian adalah 214, sehingga tingkat partisipasi masyarakat pengguna terhadap upaya konservasi terumbu Karang Jeruk (214 : 350) X 100% = 61,14%. Secara kontinum dapat digambarkan sebagai berikut :
ST
T
C
70
140
210
214
R
SR
280
350
Berdasarkan perhitungan yang diperoleh dari 70 responden maka rata-rata tingkat partisipasi berada pada kategori cukup. Hal ini sesuai dengan hasil kuesioner bahwa masyarakat pengguna memanfaatkan kawasan ekosistem terumbu Karang Jeruk hanya sebagai daerah penangkapan ikan, dalam kegiatan perlindungan Karang Jeruk yang dilakukan dengan menempatkan Terumbu Karang Buatan (TKB) masyarakat juga terlibat di dalamnya. Salah satu perwujudan partisipasi masyarakat yang lain adalah dengan terbentuknya Kelompok Pengelola Suaka Perikanan Karang Jeruk (KPSPKJ) “IKHLAS” pada tahun 2004 yang telah membuat kesepakatan-kesepakatan tentang aturan pengelolaan terumbu Karang Jeruk, hanya saja dalam pelaksanaannya tidak bisa maksimal karena keterbatasan sarana dan prasarana, disamping itu pengawasan dari pihak pemerintah atau aparat penegak hukum juga tidak maksimal. Hanya masyarakat yang mempunyai kepedulian tinggi terhadap perlindungan Karang Jeruk saja yang melakukan peneguran jika ada yang melakukan upaya-upaya perusakan karang. 3.4.
Analisis Hirarki Proses
Analisis dilakukan untuk mendapatkan alternatif yang tepat dalam pengelolaan terumbu Karang Jeruk dengan menyusun model struktur hirarki, model ini terdiri dari tiga tingkat dimana tingkat pertama merupakan fokus atau tujuan. Tingkat kedua merupakan kriteria yaitu aspek lingkungan, aspek sosial ekonomi, aspek biaya dan aspek manajemen serta tingkat ketiga adalah alternatif-alternatif dari kriteria yang ada.
Pengelolaan Terumbu Karang Jeruk
Aspek Lingkungan
A
B
Aspek Manajemen
Aspek Biaya
Aspek Sosial
C
D
E
Gambar 1. Model Struktur Hirarki Pengelolaan Terumbu Karang Jeruk
284
Keterangan : A = Penegakan Hukum B = Pembuatan Rumpon Dasar C = Pembuatan Terumbu Karang Buatan D = Transplantasi Karang E = Peningkatan Partisipasi Masyarakat dan Lembaga Terkait Selanjutnya adalah melakukan pembobotan dari struktur hirarki dengan bantuan software Expert Choice V.9. Hasil perhitungan untuk menentukan prioritas alternatif secara keseluruhan (overall) dengan menghitung bobot keseluruhan atau bobot agregat dari alternatif terhadap keseluruhan kriteria yang ada (aspek lingkungan, aspek sosial ekonomi, aspek biaya dan aspek manajemen). Tabel 10. Bobot Agregat Alternatif Terhadap Keseluruhan Kriteria No. Alternatif Kriteria 1. Penegakan Hukum 2. Pembuatan Rumpon Dasar 3. Pembuatan Terumbu Karang Buatan 4. Transplantasi Karang 5. Peningkatan Partisipasi Masyarakat dan Lembaga Terkait Inconsistency Ratio = 0,07
Bobot 0,235 0,195 0,189 0,092 0,290
Berdasarkan perhitungan di atas diperoleh bahwa peningkatan partisipasi masyarakat dan lembaga terkait menjadi prioritas utama dalam upaya konservasi terumbu Karang Jeruk dengan bobot 0,290. 3.4 Analisis SWOT Hasil dari pemberian bobot dan rating dari faktor-faktor strategis kemudian dilakukan penjumlahan skor dari masing-masing alternatif strategi. Strategi dengan jumlah skor tertinggi merupakan alternatif strategi yang diprioritaskan untuk dilakukan. Tabel 11. Rangking Alternatif Strategi Pengelolaan Terumbu Karang Jeruk No. 1. 2. 3. 4.
Alternatif Strategi Strategi SO Strategi ST Strategi WO Strategi WT
Keterkaitan S (1 - 5), O (1 - 4) S (1 - 5), T (1 - 3) W (1 - 5), O (1 - 4) W (1 - 5), T (1 - 3)
Skor 85 61 108 89
Rangking 3 4 1 2
Tabel 11 di atas menunjukkan bahwa dari pengelompokkan alternatif strategi menjadi 4 peringkat, alternatif strategi WO menempati peringkat pertama dalam skala prioritas pengelolaan terumbu Karang Jeruk Kabupaten Tegal disusul alternatif strategi WT pada peringkat kedua, alternatif strategi SO peringkat ketiga dan alternatif strategi ST peringkat keempat. Sehingga alternatif strategi yang diprioritaskan untuk dilakukan adalah : 1) Menata kembali (rezonasi) kawasan terumbu Karang Jeruk sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2) Membangun sistem kelembagaan yang melibatkan pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan masyarakat dalam pengelolaan terumbu Karang Jeruk. 3) Mengintensifkan program pendampingan masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat.
285
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
1)
Ekosistem terumbu Karang Jeruk sedang dalam kondisi pemulihan di mana Indeks Keanekaragaman termasuk dalam kategori sedang dan tekanan ekologi sedang (H’ = 1,198). Indeks Keseragaman termasuk dalam kategori tinggi yang menandakan adanya upaya mempertahankan diri secara perlahan menuju keadaan lebih baik (E = 0,837) dimana tidak ada dominansi dari salah satu jenis karang yang ditandai dengan Indeks Dominansi Simpsonnya rendah (C = 0,340). 2) Tingkat persepsi masyarakat pengguna secara keseluruhan mempunyai tingkat persepsi cukup sampai sangat baik dengan persepsi baik mempunyai tingkatan tertinggi sebesar 81,43%. 3) Tingkat partisipasi masyarakat secara keseluruhan mempunyai tingkat partisipasi dari rendah sampai baik dengan persepsi cukup mempunyai tingkatan tertinggi sebesar 85,71 %. 4) Rumusan strategi pengelolaan ekosistem terumbu karang di Karang Jeruk Kabupaten Tegal adalah menata kembali (rezonasi) kawasan terumbu Karang Jeruk sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, membangun sistem kelembagaan yang melibatkan pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan masyarakat dalam pengelolaan terumbu Karang Jeruk, mengintensifkan program pendampingan masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat. 4.2.
Saran
1) Perlu dilakukan upaya konservasi terumbu Karang Jeruk untuk meningkatkan persentasi tutupan karang dengan melindungi dan menata kembali kawasan terumbu Karang Jeruk sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mengupayakan adanya Peraturan Daerah yang mengatur pengelolaan ekosistem terumbu Karang Jeruk. 2) Peningkatan persepsi masyarakat pengguna melalui sosialisasi yang gencar tentang keberadaan terumbu Karang Jeruk sebagai kawasan yang perlu dilindungi baik melalui pamflet, radio maupun melalui penyuluhan-penyuluhan. 3) Membangun sistem kelembagaan yang melibatkan pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan masyarakat dalam pengelolaan terumbu Karang Jeruk serta mengintensifkan program pendampingan masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Anggoro, S., 2001. Pengembangan Kawasan Lindung (Fish Sanctuary) Sebagai Upaya Keberhasilan Peningkatan Restoking Ikan Di Laut. Makalah disampaikan dalam forum Seminar Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Komunitas. Semarang, 11 September 2001. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tegal, 2007. Kabupaten Tegal dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tegal. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tegal, 2006. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tegal. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Tegal.
286
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2001. Kondisi Biofisik Terumbu Karang di Kepulauan Pagai Utara – Pagai Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai. Burke L, Elizabeth Selig, dan Mark Spalding, 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia. World Resources Institute. Washington. Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002. Pedoman Penyusunan Rencana Strategis (Strategic Plan). Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Dinas Hidro-Oceanografi TNI AL, 1997. Peta Laut No. 80 Tahun 1997. Dinas HidroOceanografi TNI AL. Jakarta. Edinger E.N. dan M.J. Risk, 2000. Effect of Land-Based Pollution on Central Java Coral Reff. Journal of Coastal Development. Diponegoro University. Semarang. Estradivari, M. Syahrir, N. Susilo, S. Yusri dan S. Thimotius, 2007. Terumbu Karang Jakarta : Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu (2004 – 2005). Yayasan Terumbu Karang Indonesia (TERANGI). Jakarta. Giltom R.M.S., 1985. Partisipasi Rakyat dalam Pembangunan. Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga Hadi, S. 1993. Metodologi Research 2. Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hardjosoemantri K., 1986. Aspek Hukum Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Cetakan Ke – 3. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Kelompok Studi Terumbu Karang Universitas Bung Hatta, 2001. Laporan Akhir Kondisi Biofisik Terumbu Karang Di Desa Tua Pejat Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kelompok Studi Terumbu Karang Universitas Bung Hatta. Sumatera Barat. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Lembaga Studi Pembangunan Daerah, 2001. Laporan Akhir Kegiatan Penataan Fish Sanctuary di Perairan Karang Jeruk Kabupaten Tegal. Lembaga Studi Pembangunan Daerah. Kendal. Mulyono S., 1996. Peran Serta Masyarakat dalam Upaya Pengendalian Kerusakan ekosistem kawasan Pesisir. Disampaikan pada Pelatihan Penanganan Pengendalian dan Pengelolaan Kawasan Pesisir, Pantai dan Laut. Provinsi Jawa Tengah. Tanggal 21 – 26 Oktober 1996. Murdiyanto B., 2003. Ekosistem Terumbu Karang. Bagian Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Jawa Tengah. Nybakken J.W., 1992. Biologi Laut suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia. Jakarta. Rangkuti, F., 2006. Analisis SWOT Teknik membedah Kasus Bisnis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
287
Reksodihardjo, 1995. Paket Materi Pendidikan Konservasi Kelautan. World Wide Fund for Nature. Indonesia Programme. Jakarta. Saaty, T. L., 1993. Decision Making for Leader: The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World. Prentice Hall Coy. Ltd. : Pittsburgh. Sastroputro S., 1988. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan. UI Press. Jakarta. Studio Driya Media, 1994. Berbuat Bersama Berperan Setara : Pengkajian dan Perencanaan Program Bersama Masyarakat. Konsorsium Pengembangan Daerah Tinggi Nusa Tenggara. Sudarisman H., 2001. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengeolaan Daerah Aliran Sungai. Makalah disampaikan pada Acara elatihan Pengelolaan DAS dalam rangka Otonomi Daerah. Balai RKLT Cimanuk-Citanduy. TC Malangbong Garut Tanggal 16 – 20 Oktober 2001. Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Administrasi. ALFABETA. Bandung Suharsono, 1996. Jenis-Jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia. P3OLIPI. Jakarta. Supriharyono, 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Suratmo F.G., 1995. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah mada University Press. Yogyakarta. Sustiwi E., 1986. Desa, Masyarakat Desa dan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Desa. Usaha nasional. Surabaya. Thimotius S., 2003. Biologi Terumbu Karang. Makalah Training Course : Karakteristik Biologi Karang. Yayasan Terumbu Karang Indonesia. Jakarta. Wesmacott S., Kristian Teleki, Aue Wells and Jordan West, 2000. Pengelolaan Terumbu Karang yang telah Memutih dan Rusak Kritis. (Diterjemahkan oleh Jan Henning Stefen). Information Press. Oxford London. Widjatmoko, W. Munasik dan A. Djunaedi, 1999. Teknologi Transplantasi Karang; Rekayasa Reproduksi Aseksual Acropora aspera Guna Mempercepat Rehabilitasi Lingkungan Terumbu Karang. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro Semarang.
288
PENENTUAN LOKASI PENGEMBANGAN TERPADU DESA PESISIR BERBASIS POTENSI PRIORITAS WISATA BAHARI DI KABUPATEN JEPARA, PROVINSI JAWA TENGAH Oleh : Noor Zuhry1 Dan Kusnandar1
ABSTRAK Direktorat Pesisir dan Lautan, Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil telah melaksanakan kegiatan pengembangan desa pesisir di 9 (sembilan) lokasi yaitu di Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung, dan Provinsi Bali. Dalam rangka replikasi kegiatan tersebut di atas, telah dipilih Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah sebagai lokasi kegiatan pengembangan selanjutnya. Dipilihnya Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah karena wilayah ini mempunyai potensi sumberdaya pesisir sangat beranekaragam mulai dari perikanan laut, perikanan darat, mineral, pasir besi, mangrove, terumbu karang, padang lamun, flora fauna dan wisata bahari yang belum semua dimanfaatkan secara baik sesuai dengan konsep pembangunan pesisir dan laut terpadu. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melakukan survey dan identifikasi penentuan lokasi desa yang tepat untuk kegiatan Pengembangan Desa Pesisir Terpadu Berbasis Potensi Wisata Bahari di Provinsi Jawa Tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey, yaitu studi yang mengadakan pengamatan untuk mendapatkan keterangan yang jelas dan baik terhadap suatu kondisi tertentu dalam suatu daerah tertentu. Berdasarkan hasil perhitungan dengan mengunakan Analisis Hierarki Proses, diperoleh bahwa Desa Karang Gondang Kecamatan Mlonggo menjadi prioritas utama dalam kegiatan Pengembangan Terpadu Desa Pesisir Berbasis Potensi Wisata Bahari dengan bobot 0,366 disusul secara berurutan adalah Desa Teluk Awur (0,211), Desa Ujung Watu (0,181), Desa Bondo (0,138) dan terakhir Desa Sekuro (0,103). Kata Kunci : Desa Pesisir, Wisata Bahari
1.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.504 pulau dengan panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km. Di sepanjang garis pantai ini terdapat wilayah pesisir yang relatif sempit tetapi memiliki potensi sumberdaya alam hayati dan non-hayati; sumber daya buatan; serta jasa lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Potensi-potensi tersebut perlu dikelola secara terpadu agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
1
Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas perikanan UPS Tegal
289
Bagi Negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan, wilayah pesisir merupakan aset yang sangat berharga dan harus dikelola, dijaga, dimanfaatkan, dan dilestarikan secara sungguh-sungguh untuk kesejahteraan masyarakat dan peningkatan ekonomi bangsa yang berkelanjutan. Wilayah pesisir secara ekologis merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat dan laut. Ke arah darat meliputi bagian tanah, baik yang kering maupun yang terendam air laut, dan masih dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik laut seperti pasang surut, ombak dan gelombang serta perembesan air laut. Ke arah laut mencakup bagian perairan laut yang dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar dari sungai maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan, pembuangan limbah, perluasan permukiman serta intensifikasi pertanian. Pemanfaatan wilayah pesisir yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya pada masyarakat secara lestari merupakan suatu keharusan. Secara umum kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya alam skala kecil dikelompokkan dalam 3 (tiga) kategori, yaitu (i) kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut melalui penyusunan dokumen perencanaan tingkat desa, pelatihan dan pendampingan, (ii) kegiatan perbaikan lingkungan dan (iii) kegiatan pengembangan mata pencaharian alternatif melalui pola pengembangan komoditas unggulan dari kelompok usaha. Dalam kegiatan Pengembangan Terpadu Desa Pesisir Berbasis Potensi Prioritas Wisata Bahari, kegiatan ini dilaksanakan dalam tiga tahapan kegiatan, masing-masing tahapan akan dilaksanakan dalam kurun waktu satu tahun. Tahapan pertama pada tahun pertama pelaksanaan program menghasilkan profil desa, dokumen rencana pengelolaan tingkat desa yang memiliki rentang waktu pelaksanaan lima tahun dengan uraian kegiatan tiap tahunnya dalam rencana aksi desa dan implementasi fisik sebagai stimulan pengembangan desa. Tahap awal kegiatan fisik sesuai dengan dokumen perencanaan di lokasi kegiatan, peningkatan kapasitas kelembagaan dan masyarakat, dan dokumen peraturan desa. Tahap-tahap berikutnya pelaksanaan program merupakan tahap kemandirian dan keberlanjutan program. Direktorat Pesisir dan Lautan, Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil telah melaksanakan kegiatan pengembangan desa pesisir di 9 (sembilan) lokasi yaitu di Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung, dan Provinsi Bali. Dalam rangka replikasi kegiatan tersebut di atas, telah dipilih Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah sebagai lokasi kegiatan pengembangan selanjutnya. Dipilihnya Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah karena wilayah ini mempunyai potensi sumberdaya pesisir sangat beranekaragam mulai dari perikanan laut, perikanan darat, mineral, pasir besi, mangrove, terumbu karang, padang lamun, flora fauna dan wisata bahari yang belum semua dimanfaatkan secara baik sesuai dengan konsep pembangunan pesisir dan laut terpadu, yaitu berdasarkan prinsip (i) keterpaduan, (ii) konsultatif, dan (iii) partisipatif. 1.2.
Perumusan Masalah
Upaya pemanfaatan wilayah pesisir Indonesia secara maksimal tidak saja tepat tetapi juga merupakan suatu keharusan. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah pemanfaatan wilayah pesisir yang bagaimana? Seharusnya adalah pemanfaatan wilayah pesisir yang dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya pada masyarakat secara lestari.
290
Namun demikian praktek pengelolaan selama ini belum dilaksanakan secara optimal sehingga perlindungan dan pemanfaatan secara berkelanjutan sumberdaya dimaksud belum dapat dicapai. Hal-hal tersebut utamanya disebabkan oleh (a) kurangnya pendekatan terpadu dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir, (b) terbatasnya data dan informasi yang merupakan dasar pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya, (c) kurangnya transparasi dalam alokasi sumberdaya, dan (d) keterlibatan masyarakat dan pemerintah setempat di dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Kerusakan sumberdaya tersebut dan degradasi lingkungan memberikan pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat pesisir. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut sejak tahun 2001 Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (cq. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) telah menginisiasi kegiatan pengelolaan sumberdaya alam skala kecil pada lokasi prioritas pengelolaan wilayah pesisir. Model pengelolaan ini merupakan implementasi Integrated Coastal Management (ICM) tingkat desa melalui prinsip keterpaduan, konsultatif dan partisipatif. Hal serupa telah pula dilakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat melalui Program USAID bekerjasama dengan BAPPENAS dan Departemen Kelautan dan Perikanan melalui Proyek Pesisir. 1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melakukan survey dan identifikasi penentuan lokasi desa yang tepat untuk kegiatan Pengembangan Desa Pesisir Terpadu Berbasis Potensi Wisata Bahari di Provinsi Jawa Tengah. 1.4.
Hasil yang Diharapkan
Kegiatan ini diharapkan dapat menghasilkan suatu keputusan yang tepat dengan berbagai pertimbangan dalam penentuan lokasi desa untuk kegiatan Pengembangan Desa Pesisir Terpadu Berbasis Potensi Wisata Bahari di Provinsi Jawa Tengah. Sehingga dapat dijadikan contoh untuk kegiatan sejenis di wilayah lain. 2.
METODE PENELITIAN
2.1.
Kriteria Penetapan Lokasi Kegiatan
Kriteria penetapan lokasi untuk kegiatan Pengembangan Desa Pesisir Terpadu Berbasis Potensi Wisata Bahari di Provinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2009 adalah lokasi atau desa yang mempunyai potensi sumberdaya pesisir baik dilihat secara kondisi alam, kondisi masyarakat maupun kelembagaannya. Lokasi diutama yang belum tersentuh oleh program-program pemerintah. Adapun alat analisis dalam penetapan lokasi terpilih yaitu dengan menggunakan Analisis Hierarki Proses (AHP). Analisis Hierarki Proses (AHP) adalah suatu teknik menyelesaikan masalah yang memiliki berbagai kriteria sebagai sumber kerumitan dalam pengambilan keputusan (Mulyono, 1996). AHP mengandalkan pada intuisi sebagai input utama, namun intuisi tersebut harus datang dari pengambilan keputusan yang cukup informatif dan memahami permasalahan yang dihadapi. 2.2.
Obyek Penelitian
Obyek atau lokasi dalam penentuan lokasi desa untuk kegiatan Pengembangan Desa Pesisir Terpadu Berbasis Potensi Wisata Bahari di Provinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2009 meliputi :
291
1) 2) 3) 4) 5) 2.3.
Desa Ujungwatu Kecamatan Donorojo Desa Karanggondang Kecamatan Mlonggo Desa Sekuro Kecamatan Mlonggo Desa Bondo Kecamatan Bangsri Desa Teluk Awur Kecamatan Kedung. Jenis dan Sumber Data
Data yang diambil adalah data primer dan data sekunder. Pengambilan data primer dilakukan melalui wawancara masyarakat sekitar calon lokasi desa terpilih, akademisi maupun birokrasi. Untuk karakteristik calon lokasi desa terpilih, data yang dikumpulkan adalah data primer maupun data sekunder yang meliputi studi literatur dan pengumpulan data sekunder. dari hasil penelitian terdahulu yang didapat dari instansi-instansi terkait. 2.4.
Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Metode pengumpulan data yang dilakukan melalui tahapan-tahapan prosedur dari pelaksanaan penelitian ini, yaitu : 1) Tahap persiapan, meliputi : (1) Menyiapkan bahan dan peralatan penelitian antara lain alat tulis, panduan wawancara serta bahan dan peralatan penunjang lainnya. (2) Penentuan responden yang berkaitan dengan penelitian. 2) Tahap pelaksanaan, meliputi : (1) Pengambilan data primer yang berkaitan dengan materi penelitian melalui kegiatan wawancara dan Focus Group Discussion (FGD) yaitu teknik diskusi antara beberapa orang untuk membicarakan hal-hal yang bersifat khusus secara lebih mendalam, tujuannya untuk memperoleh gambaran terhadap suatu masalah tertentu dengan lebih rinci (Lembaga Studi Pembangunan Daerah, 2001). (2) Dari hasil wawancara dan FGD kemudian dilakukan pensortiran dan analisis data. 3) Tahap penyusunan laporan. Analisis data dilakukan yang bertujuan untuk menentukan lokasi desa yang tepat dalam kegiatan Pengembangan Desa Pesisir Terpadu Berbasis Potensi Wisata Bahari di Provinsi Jawa Tengah tahun anggaran 2009 adalah dengan menggunakan Analitycal Hierarki Process (AHP) dikembangkan oleh Saaty (1993) dan dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang komplek dari masalah yang dihadapi dengan bantuan software Expert Choice V.9. Secara umum hirarki dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu : 1) Hirarki struktural, yaitu masalah yang kompleks diuraikan menjadi bagian-bagiannya atau elemen-elemennya menurut ciri atau besaran tertentu. Hirarki ini erat kaitannya dengan menganalisis masalah yang kompleks melalui pembagian obyek yang diamati menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil. 2) Hirarki fungsional, menguraikan masalah yang kompleks menjadi bagian-bagiannya sesuai hubungan esensialnya. Hirarki ini membantu mengatasi masalah atau mempengaruhi sistem yang kompleks untuk mencapai tujuan yang diinginkannya seperti penentuan prioritas tindakan, alokasi sumberdaya. Peralatan utama dari model ini adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya persepsi manusia. Model AHP menggunakan persepsi manusia yang dianggap expert sebagai input utamanya, sehingga sering dikenal dengan expert choice . Ekspert diartikan orang yang mengerti benar permasalahan yang diajukan, merasakan akibat suatu
292
masalah atau punya kepentingan terhadap masalah tersebut. Dalam kelompok pengambilan keputusan, terutama untuk suatu permasalahan yang harus dipecahkan dari berbagai sudut pandang, dapat digunakan lebih dari satu ekspert. Dengan memakai ekspert atau responden lebih dari satu, dapat timbul masalah bagaimana mengatur proses pengisian persepsi. Ada dua cara umum yang biasa dipakai, yaitu : 1) Cara konsensus Semua responden yang berkumpul dalam satu ruang harus mengeluarkan satu penilaian saja untuk satu perbandingan. 2) Cara Pengisian Kuesioner Para respondenden tidak harus kumpul dalam satu ruangan, tetapi dapat dihubungi secara terpisah dengan mengisi kuesioner. Pekerjaan tersulit di sini adalah bagaimana menghasilkan sebuah angka yang dapat mewakili keinginan semua responden untuk suatu perbandingan. Inilah salah satu keunggulan AHP apabila dikaitkan dengan kepentingan politik; bersifat lebih demokratis. Dalam proses perencanaan pembangunan, masyarakat dimungkinkan turut serta lewat proses pembuatan hirarki dan pengisian kuesioner bersama-sama aparat pemerintah. Melalui cara ini diharapkan persepsi masyarakat dapat diimengerti pemerintah dan diperhitungkan dalam perencanaan pembangunan. Sehingga pada akhirnya pembangunan bersifat bottom-up.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seperti disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa dalam menentukan desa yang akan dipilih menjadi lokasi kegiatan Pengembangan Terpadu Desa Pesisir Berbasis Potensi Wisata Bahari di Kabupaten Jepara harus memenuhi kriteria lokasi atau desa yang mempunyai potensi sumberdaya pesisir baik dilihat secara kondisi alam, kondisi masyarakat maupun kelembagaannya. Lokasi/Desa tersebut diutama yang belum tersentuh oleh program-program pemerintah. Adapun alat analisis dalam penetapan lokasi terpilih yaitu dengan menggunakan Analisis Hierarki Proses (AHP). Analisis dengan menyusun model struktur hirarki, model ini terdiri dari tiga tingkat dimana tingkat pertama merupakan fokus atau tujuan. Tingkat kedua merupakan kriteria yaitu kondisi alam, kondisi masyarakat, kondisi kelembagaan dan program pemerintah serta tingkat ketiga adalah alternatif-alternatif desa calon lokasi terpilih. Gambar model struktur hirarki terlihat pada gambar berikut.
Pengembangan Desa Pesisir Terpadu Berbasis Potensi
Kondisi alam
A
Kondisi Kelembagaan
Kondisi Masyarakat
B
C
Program Pemerintah
D
E
Gambar 1. Model Struktur Hirarki Penetapan Lokasi Desa Terpilih
293
Keterangan : A = Ds. Ujung Watu Kec. Donorojo B = Ds. Karang Gondang Kec. Mlonggo C = Ds. Sekuro Kec. Mlonggo D = Ds. Bondo Kec. Bangsri E = Ds Teluk Awur Kec. Tahunan Langkah selanjutnya adalah melakukan pembobotan dari struktur hirarki yang telah ditentukan dengan bantuan software Expert Choice V.9. Hasil perhitungan dari kriteria yang telah ditentukan diperoleh bobot untuk masing-masing kriteria tersaji pada tabel berikut. Tabel 1. No. 1. 2. 3. 4.
Pembobotan Kriteria terhadap Tujuan Kriteria Kondisi Alam Kondisi Masyarakat Kondisi Kelembagaan Program Pemerintah Inconsistency Ratio = 0,06
Bobot 0,276 0,487 0,118 0,118
Setelah melakukan pembobotan dari kriteria, langkah selanjutnya adalah melakukan pembobotan dari alternatif setiap kriteria dari pemilihan desa untuk lokasi kegiatan Pengembangan Terpadu Desa Pesisir Berbasis Potensi Wisata Bahari. Tabel 2.Pembobotan Alternatif-Alternatif dari Setiap Kriteria No.
Alternatif Kriteria
Bobot
1
2
3
1.
2.
3.
4.
Kondisi Alam : - Desa Ujung Watu Kecamatan Donorojo - Desa Karang Gondang Kecamatan Mlonggo - Desa Sekuro Kecamatan Mlonggo - Desa Bondo Kecamatan Bangsri - Desa Teluk Awur Kecamatan Tahunan Inconsistency Ratio = 0,10 Kondisi Masyarakat : - Desa Ujung Watu Kecamatan Donorojo - Desa Karang Gondang Kecamatan Mlonggo - Desa Sekuro Kecamatan Mlonggo - Desa Bondo Kecamatan Bangsri - Desa Teluk Awur Kecamatan Tahunan Inconsistency Ratio = 0,08 Kondisi Kelembagaan : - Desa Ujung Watu Kecamatan Donorojo - Desa Karang Gondang Kecamatan Mlonggo - Desa Sekuro Kecamatan Mlonggo - Desa Bondo Kecamatan Bangsri - Desa Teluk Awur Kecamatan Tahunan Inconsistency Ratio = 0,09 Program Pemerintah - Desa Ujung Watu Kecamatan Donorojo - Desa Karang Gondang Kecamatan Mlonggo - Desa Sekuro Kecamatan Mlonggo - Desa Bondo Kecamatan Bangsri - Desa Teluk Awur Kecamatan Tahunan Inconsistency Ratio = 0,01
0,267 0,181 0,071 0,053 0,428
0,129 0,504 0,082 0,143 0,142
0,170 0,466 0,057 0,180 0,126
0,073 0,466 0,194 0,194 0,073
294
Langkah selanjutnya adalah menentukan prioritas alternatif secara keseluruhan (overall) dengan menghitung bobot keseluruhan atau bobot agregat dari alternatif terhadap keseluruhan kriteria yang ada (aspek lingkungan, aspek sosial ekonomi, aspek biaya dan aspek manajemen). Tabel 3.Bobot Agregat Alternatif Terhadap Keseluruhan Kriteria No. Alternatif Kriteria 1. Ds. Ujung Watu Kec. Donorojo 2. Ds. Karang Gondang Kec. Mlonggo 3. Ds. Sekuro Kec. Mlonggo 4. Ds Bondo Kec. Bangsri 5. Ds. Teluk Awur Kec. Tahunan Inconsistency Ratio = 0,07
Bobot 0,181 0,397 0,089 0,126 0,219
Berdasarkan hasil perhitungan di atas diperoleh bahwa Desa Karang Gondang Kecamatan Mlonggo menjadi prioritas utama dalam kegiatan Pengembangan Terpadu Desa Pesisir Berbasis Potensi Wisata Bahari dengan bobot 0,366 disusul secara berurutan adalah Desa Teluk Awur (0,211), Desa Ujung Watu (0,181), Desa Bondo (0,138) dan terakhir Desa Sekuro (0,103).
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : 1) Terdapat empat permasalahan utama dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, antara lain kurangnya pendekatan terpadu dalam perencanaan dan pengelolaan, terbatasnya data dan informasi, kurangnya transparasi dalam alokasi sumberdaya, dan kurangnya keterlibatan masyarakat dan pemerintah setempat di dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. 2) Hasil analisis Desa Karang Gondang Kecamatan Mlonggo terpilih untuk kegiatan Pengembangan Terpadu Desa Pesisir Berbasis Potensi Wisata Bahari dikarenakan selain kondisi alamnya terlihat indah, masyarakat mempunyai perhatian yang besar terhadap keberadaan sumberdaya pesisir juga belum tersentuh program pemerintah berkenaan pemberdayaan masyarakat dan sumberdaya. 4.2.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, disarankan dalam kegiatan ini selain mempertimbangkan potensi wisata bahari, sebaiknya juga digunakan pengelolaan berbasis masyarakat yang sering disebut sebagai Community Based Management (CBM) yang dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam yang kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan tersebut berada pada masyarakat. Pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat didasarkan pada keyakinan bahwa pengelolaan sumberdaya alam dalam suatu kawasan tertentu akan lebih berdaya guna dan berhasil guna apabila pengelolaan tersebut dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Hal ini didasari pertimbangan keberadaan masyarakat yang secara fisik berjarak dekat dan memiliki interaksi yang sangat tinggi dengan sumberdaya alam tersebut. Interaksi yang ditunjukkan oleh ketergantungan masyarakat akan kelestarian sumberdaya alam bagi kelangsungan hajat hidupnya.
295
DAFTAR PUSTAKA Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002. Pedoman Penyusunan Rencana Strategis (Strategic Plan). Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Jepara, 2006. Buku Saku. Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Jepara. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah, 2006. Penyusunan Rencana Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Jepara. Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Tengah. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKP, 2001. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir. Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKP. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP, 2008. Pedoman Pengelolaan Data Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP. Expert Choice, Inc. 1992. Expert Choice version 9.0. User Manual. McLean, Virginia: Decision Support Software, Inc. Lembaga Studi Pembangunan Daerah, 2001. Laporan Akhir Kegiatan Penataan Fish Sanctuary di Perairan Karang Jeruk Kabupaten Tegal. Lembaga Studi Pembangunan Daerah. Kendal. Reksodihardjo, 1995. Paket Materi Pendidikan Konservasi Kelautan. World Wide Fund for Nature. Indonesia Programme. Jakarta. Saaty, T.L., 1987. The Analytic Hierarchy Process – What It Is and How It Is Used. Journal of Mathematical Modelling, vol. 9, no. 3 – 5. Saaty, T. L., 1993. Decision Making for Leader: The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World. Prentice Hall Coy. Ltd. : Pittsburgh.
296
PENGARUH PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT TERHADAP PENDAPATAN DEVISA Oleh : Subekti1
ABSTRAK Wilayah Indonesia sebagian besar terdiri dari laut. Kita bersyukur karena selain dianugerahi dengan laut yang begitu luas, juga dianugerahi beraneka ragam sumberdaya ikan di dalamnya. Potensi lestari ikan laut sebesar 6,2 juta ton, terdiri ikan pelagis besar (975,05 ribu ton), ikan pelagis kegil (3.235,50 ribu ton), ikan demersal (1.786,35 ribu ton), ikan karang konsumsi (63,99 ribu ton), udang peneid (74,00 ribu ton), lobster (4,80 ribu ton), dan cumi-cumi (28,25 ribu ton). Potensi sumberdaya perikanan ini tersebar dalam sembilan wilayah pengelolaan (lihat gambar 1). Masing-masing (1) Selat Malaka, (2) Laut Cina Selatan, (3) Laut Jawa, (4) Selat Makasar dan Laut Flores, (5) Laut Banda, (6) Laut Seram sampai Teluk Tomini, (7) Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, (8) Laut Arafura dan (9) Samudera Hindia (Aziz, dkk, 1998). Apabila potensi perikanan laut ini dikelola secara serius diperkirakan akan memberikan sumbangan devisa sebesar US$ 10 milyar per tahun mulai tahun 2003. Kata kunci : pengelolaan sumberdaya laut, devisa
1.
PENDAHULUAN
Pembangunan bangsa-bangsa di dunia dan bangsa kita sendiri selama kurun waktu PJP I menunjukkan, bahwa paradigma (pola) pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan aspek pemerataan dan kesesuaian sosialbudaya serta kelestarian daya dukung ligkungan secara proporsional, pada akhirnya akan bermuara pada kegagalan. Wujud dari kegagalan tersebut dapat berupa penurunan atau terhentinya pertumbuhan ekonomi (seperti yang terjadi di negara bekas Uni Soviet), disintegrasi dan keresahan sosial (seperti Indonesia dan Yugoslavia), atau kerusakan lingkungan yang melampaui daya dukung lingkungan kawasan (negara) sehingga sistem lingkungan beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya tidak mampu lagi mendukung kiprah pembangunan dan kehidupan manusia seperti yang dialami oleh bangsa Maya di Amerika Latin dan Irak di masa lalu. Oleh karena itu, pada bulan Juni 1992 hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia, membuat kesepakatan bersama di KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, bahwa paradigma pembangunan yang harus diimplementasikan sekarang dan untuk masa-masa mendatang adalah paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan adalah suatu sistem pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa menurunkan atau merusak kemampuan generasigenerasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi hidupnya (WCED, 1987). Sementara itu, implementasi pembangunan berkelanjutan dalam bidang kelautan dilakukan melalui kegiatan berbagai proyek pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Di antaranya Proyek MREP (Marine Resources Evaluation and Planning Project) yang dilaksanakan di sepuluh propinsi, Proyek Pesisir (CRMP) yang dilaksanakan di tiga 1
Fakultas Ekonomi UPS Tegal
297
propinsi, Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan (SACDP = Segara Anakan Conservation and Development Project) di dua propinsi, Proyek Coastal Zone Land Use and Management di Riau dan Proyek COREMAP (Coral Rehabilitation and Management Project) yang dilaksanakan di sepuluh propinsi, dan berbagai proyek kelautan yang dilakukan oleh sektor-sektor terkait. Dibalik berbagai upaya tersebut, kinerja (performance) pembangunan bidang kelautan ditinjau dari perspektif pembangunan berkelanjutan belum optimal. Ekosistem pesisir dan lautan yang meliputi sekitar 2/3 dari total wilayah teritorial Indonesia dengan kekayaan alam yang sangat besar, kegiatan ekonominya hanya menyumbangkan sekitar 12% dari total GDP nasional (PKSPL-IPB, 1998). Padahal negara-negara yang memiliki wilayah dan potensi pembangunan kelautan yang jauh lebih kecil dari Indonesia, seperti Norwegia, Thailand, Philipina, dan Jepang, kegiatan ekonomi kelautannya (perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata, perhubungan dan komunikasi, dan industri) telah memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap GDP nasional mereka, yaitu berkisar antara 25-60%. Lebih dari itu, sumberdaya perikanan kita (terutama tuna, cakalang, dan kakap laut dalam) banyak dipanen secara tidak syah (ilegal) oleh nelayan asing. Dalam pada itu, wilayah pesisir dan laut yang padat penduduk atau tinggi intensitas pembangunannya, seperti sebagian kawasan Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Ujung Pandang, dan pesisir Timika, telah mengalami degradasi/tekanan lingkungan berupa pencemaran; overfishing; degradasi fisik habitat terumbu karang, mangrove, dan lainnya pada tingkat yang telah mengancam daya dukung kawasan tersebut untuk mendukung pembangunan ekonomi selanjutnya. Lebih ironis lagi, penduduk pesisir sebagian besar masih merupakan kelompok masyarakat termiskin di tanah air. Apabila kondisi semacam ini tidak segera diperbaiki, maka dikhawatirkan kita tidak dapat memanfaatkan sumberdaya kelautan bagi kepentingan pembangunan nasional secara optimal dan berkesinambungan. Banyak faktor yang telah menyebabkan kinerja pembangunan kelautan nasional pada masa lalu belum seperti yang kita harapkan, salah satu faktor yang terpenting adalah bahwa proses perencanaan dan pengambilan keputusan tentang pembangunan kelautan sangat sentralistik dan ?op-down? Oleh karena itu, lahirnya UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang juga mencakup kewenangan daerah dalam mengelola sumberdaya kelautan merupakan angin segar bagi pembangunan kelautan yang lebih baik.
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Sumberdaya Kelautan
Secara umum, sumberdaya kelautan terdiri atas sumberdaya dapat pulih (renewable resources), sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources), dan jasajasa lingkungan kelautan (environmental services). Potensi sumberdaya kelautan ini belum banyak digarap secara optimal, karena selama ini upaya kita lebih banyak terkuras untuk mengelola sumberdaya yang ada di daratan yang hanya sepertiga dari luas negeri ini. 2.1.1. Sumberdaya Dapat Pulih Sumberdaya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Peluang
298
pengembangan industri perikanan baik dalam skala kecil (perairan nusantara) maupun skala besar (ZEEI dan samudera) dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1) Ikan pelagis besar seperti tuna, cakalang, marlin, tongkol, tenggiri dan cucut dapat ditangkap di perairan nusantara dan samudera terutama di perairan Laut Banda, Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut Arafura dan Samudera Hindia yang memiliki peluang pengembangan secara lestari sekitar 321.766 ton per tahun. 2) Ikan pelagis kecil seperti ikan layang, selar, tembang, lemuru, dan kembung dapat ditangkap di perairan nusantara antara lain di perairan Laut Cina Selatan, Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, Laut Arafura dan Samudera Hindia. Peluang pengembangan perikanan ikan pelagis kecil secara lestari masih sekitar 1.715 ribu ton per tahun. 3) Ikan karang konsumsi seperti kerapu, kakap, lancam, beronang dan ekor kuning berpeluang dikembangkan di sekitar perairan Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, dan Laut Seram sampai Teluk Tomini dengan potensi lestari sekitar 31.355 ton per tahun. 4) Kelompok lobster seperti udang karang dan barong berpeluang dikembangkan di perairan Laut Cina Selatan, Laut Banda, dan Laut Seram sampai Teluk Tomini, dengan potensi sekitar 2.400 ton per tahun. Kawasan pesisir dan laut Indonesia yang beriklim tropis, banyak ditumbuhi hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass), dan rumput laut (seaweed). Dengan kondisi pantai yang landai, kawasan pesisir Indonesia memiliki potensi budidaya pantai (tambak) sekitar 830.200 ha yang tersebar di seluruh wilayah tanah air dan baru dimanfaatkan untuk budidaya (ikan bandeng dan udang windu) sekitar 356.308 ha (Ditjen Perikanan 1998). Jika kita dapat mengusahakan tambak seluas 500.000 ha dengan target produksi 4 ton per ha per tahun, maka dapat diproduksi udang sebesar 2 juta ton per tahun. Dengan harga ekspor yang berlaku saat ini (US$ 10 per kilogram) maka didapatkan devisa sebesar 20 milyar dolar per tahun. Kondisi perairan yang teduh dan jernih karena terlindung dari pulau-pulau dan teluk juga memiliki potensi pengembangan budidaya laut untuk berbagai jenis ikan (kerapu, kakap, beronang, dan lain-lain), kerang-kerang dan rumput laut, yaitu masingmasing 3,1 juta ha, 971.000 ha, dan 26.700 ha. Sementara itu, potensi produksi budidaya ikan dan kerang serta rumput laut adalah 46.000 ton per tahun dan 482.400 ton per tahun. Dari keseluruhan potensi produk budidaya laut tersebut, sampai saat ini hanya sekitar 35 persen yang sudah direalisasikan. Potensi sumberdaya hayati (perikanan) laut lainnya yang dapat dikembangkan adalah ekstrasi senyawa-senyawa bioaktif (natural products), seperti squalence, omega-3, phycocolloids, biopolymers, dan sebagainya dari microalgae (fitoplankton), macroalgae (rumput laut), mikroorganisme, dan invertebrata untuk keperluan industri makanan sehat (healthy food), farmasi, kosmetik, dan industri berbasis bioteknologi lainnya. Padahal bila dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki potensi keanekaragaman hayati laut yang jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia, pada tahun 1994 sudah meraup devisa dari industri bioteknologi kelautan sebesar 40 milyar dolar (Bank Dunia dan Cida,1995). 2.2.2. Sumberdaya Tidak Dapat Pulih Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas. Sumberdaya alam lainnya yang terkadung dalam laut kita adalah terdapatnya berbagai jenis bahan mineral, minyak bumi dan gas. Menurut Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam, BPPT dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam
299
alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian, sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 milyar barel setara minyak, namun baru 16,7 milyar barel yang diketahui dengan pasti, 7,5 milyar barel di antaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 milyar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 milyar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 milyar barel terdapat di laut dalam. Energi non konvensional adalah sumberdaya kelautan non hayati tetapi dapat diperbaharui juga memiliki potensi untuk dikembangkan di kawasan pesisir dan lautan Indonesia. Keberadaan potensi ini di masa yang akan datang semakin signifikan manakala energi yang bersumber dari BBM (bahan bakar minyak) semakin menepis. Jenis energi ini yang berpeluang dikembangkan adalah ocean thermal energy conversion (OTEC), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, konversi energi dari perbedaan salinitas. Perairan Indonesia merupakan suatu wilayah perairan yang sangat ideal untuk mengembangkan sumber energi OTEC. Hal ini dimungkinkan karena salah satu syarat OTEC adalah adanya perbedaan suhu air (permukaan dengan lapisan dalam) minimal 20?C dan intensitas gelombang laut sangat kecil dibanding dengan wilayah perairan tropika lainnya. Dari berbagai sumber pengamatan oseanografis, telah berhasil dipetakan bagian perairan Indonesia yang potensial sebagai tempat pengembangan OTEC. Hal ini terlihat dari banyak laut, teluk serta selat yang cukup dalam di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan OTEC. Salah satu pilot plant OTEC akan dikembangkan di pantai utara Pulau Bali. Sumber energi non konvensional dari laut lainnya, antara lain energi yang berasal dari perbedaan pasang surut, dan energi yang berasal dari gelombang. Kedua macam energi tersebut juga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di Indonesia. Kajian terhadap sumber energi ini seperti yang dilakukan oleh BPPT bekerjasama dengan Norwegia di Pantai Baron, Yogyakarta. Hasil dari kegiatan ini merupakan masukan yang penting dan pengalaman yang berguna dalam upaya Indonesia mempersiapkan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan energi non konvensional. Sementara itu, potensi pengembangan sumber energi pasang surut di Indonesia paling tidak terdapat di dua lokasi, yaitu Bagan Siapi-Api dan Merauke, karena di kedua lokasi ini kisaran pasang surutnya mencapai 6 meter. 2.2.3. Jasa-jasa Lingkungan Kelautan Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut Dewasa ini pariwisata berbasis kelautan (wisata bahari) telah menjadi salah satu produk pariwisata yang menarik dunia internasional. Pembangunan kepariwisataan bahari pada hakekatnya adalah upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik wisata bahari yang terdapat di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, yang terwujud dalam bentuk kekayaan alam yang indah (pantai), keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis. Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada tahun 1997 mencapai 5.185.243., meningkat sebanyak 150.771 (2,99%) terhadap tahun 1996 yaitu sebanyak 5.034.472 wisman. Pada tahun 1998 sebanyak 4.606.416 atau mengalami penurunan sebesar 11,16% terhadap tahun 1997. Sedangkan perolehan devisa dari wisman yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1998 diperkirakan mencapai US$4.332,09 juta atau turun 18,6% dibanding tahun 1997 yang mencapai US$5.321,46 juta (Kamaluddin, 1999).
300
Untuk mewujudkan pemasukan devisa dari sektor pariwisata ini diperlukan strategi tepat dan langkah-langkah yang kreatif. Hal ini dilakukan melalui penganekaragaman produk wisata seperti ekowisata bahari dan sarana pariwisata. Produk wisata antara lain dimaksudkan menjadikan Indonesia sebagai daerah wisata bahari dunia, khususnya sebagai base/detinasi kapal pesiar (cruise ship) dan sea plane. Daya tarik wisata ini perlu dukungan sarana pariwisata seperti penginapan, sarana makan minum, dan tempat belanja. Pengembangan ekowisata bahari dengan melibatkan masyarakat di sekitar lokasi wisata telah mulai dikembangkan di bidang akomodasi yaitu pondok-pondok wisata beserta kelompok masyarakat yang berada di sekitar hotel besar yang akan menyediakan berbagai produk untuk dimanfaatkan. Keterlibatan masyarakat juga perlu dikembangkan dalam bidang sarana transportsi rakyat terutama perahu-perahu tradiosinal. Agar keterlibatan masyarakat ini optimal, maka seyogyanya dilakukan pembinaan dan peningkatan kualitasnya, baik melalui penyuluhan maupun pelatihan. Potensi jasa lingkungan kelautan lainnya yang masih memerlukan sentuhan pendayagunaan secara profesional agar potensi ini dapat dimanfaatkan secara optimal adalah jasa transportasi laut (perhubungan laut). Betapa tidak, sebagai negara bahari ternyata pangsa pasar angkutan laut baik antar pulau maupun antar negara masih dikuasai oleh armada niaga berbendera asing. Menurut catatan Dewan Kelautan Nasional, kemampuan daya angkut armada niaga nasional untuk muatan dalam negeri baru mencapai 54,5 persen, sedangkan untuk ekspor baru mencapai 4 persen, sisanya dikuasai oleh armada niaga asing.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Implikasi Otonomi Pengelolaan Sumberdaya Laut
Pada masa pemerintahan orde baru, eksploitasi sumberdaya alam (termasuk sumberdaya laut) lebih banyak memberikan manfaat terhadap Pemerintah Pusat dibandingkan Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat yang merupakan pemilik sumberdaya. Dengan dalih kepentingan nasional, sumberdaya alam yang ada di daerah dieksploitasi tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan, dan bahkan menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat yang ada di daerah bersangkutan. Oleh karena itu, wajar apabila muncul tuntutan dari berbagai daerah untuk memperoleh kewenangan yang lebih luas dalam mengelola sumberdaya mereka termasuk sumberdaya kelautan. Seiring dengan napas reformasi, pemerintah membuat undang-undang pemerintahan daerah (UUPD) No. 22 tahun 1999 yang memberikan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional serta adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan pemerataan. Pengaturan mendasar yang dibuat dan untuk pertama kalinya dimuat dalam peraturan perudang-undangan di Indonesia yang termuat dalam UUPD ini adalah mengenai otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, yang mencakup kewenangan sampai dengan 12 mil laut dari garis pantai pasang surut terendah untuk perairan dangkal, dan 12 mil laut dari garis pangkal ke laut lepas untuk Daerah Propinsi dan sepertiga dari batas propinsi untuk Daerah Kabupaten. Kewenangan Daerah terhadap sumberdaya kelautan meliputi kewenangan dalam: (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; (b) pengaturan kepentingan administratif; (c) pengaturan tata ruang; (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah
301
atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; dan (c) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara khususnya di laut. 3.2.
Implikasi Terhadap Pengelolaan Secara Terpadu
Jika selama ini terdapat kesan bahwa Pemerintah Daerah tidak peduli terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan termasuk pesisir secara berkelanjutan sangatlah wajar mengingat manfaat terbesar dari sumberdaya tersebut tidak mereka nikmati, melainkan dinikmati oleh Pemerintah Pusat. Namun dengan adanya pemberian wewenang kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya kelautan yang berada dalam batas-batas yang telah ditetapkan, maka manfaat terbesar dari sumberdaya kelautan akan diperoleh Pemerintah Daerah dan masyarakat. Berdasarkan otonomi daerah ini, Pemerintah Daerah sudah memiliki landasan yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan kelautan secara terpadu mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dalam upaya menerapkan pembangunan kelautan secara berkelanjutan. Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah seberapa besar keinginan dan komitmen Pemerintah Daerah untuk mengelola sumberdaya kelautan secara berkelanjutan yang berada dalam wewenang/ kekuasaannya? Pertanyaan di atas penting mengingat tidak seluruh daerah memiliki pemahaman yang sama akan arti pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan. Pembangunan kelautan berkelanjutan pada dasarnya adalah pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat dan kelestariannya sumberdaya kelautan. Artinya, bahwa sumberdaya kelautan dapat dieksploitasi untuk kemaslahatan manusia namun tidak menjadikan lingkungan termasuk sumberdaya itu sendiri menjadi rusak. Isyarat pembangunan berkelanjutan dalam undang-undang ini seperti tersirat dalam pasal 10 ayat [1], bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai peraturan perundangan. Oleh karena itu, dalam pendayagunaan sumberdaya alam tersebut haruslah dilakukan secara terencana, rasional, optimal dan bertanggung-jawab disesuaikan dengan kemampuan daya dukungnya dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat serta harus memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup untuk terciptanya pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya kelautan di daerah selama ini adalah adanya konflik-konflik pemanfaatan dan kekuasaan. Upaya penanganan masalah tersebut diharapkan dapat dilakukan secara reaktif dan pro-aktif. Secara reaktif, artinya Pemerintah Daerah dapat melakukan resolusi konflik, mediasi atau musyawarah dalam menangani masalah tersebut. Upaya proaktif adalah upaya penanganan konflik pengelolaan sumberdaya kelautan secara aktif dan dilakukan untuk mengantisipasi atau mengurangi potensi-potensi konflik pada masa yang akan datang. Penanganan seperti ini dilakukan melalui penataan kembali kelembagaan Pemerintah Daerah, baik dalam bentuk konsep perencanaan, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia, sistem administrasi pembangunan yang mengacu pada rencana pengelolaan sumberdaya kelautan secara terpadu. Upaya ini dilakukan dengan menyusun rencana strategis (RENSTRA) pengelolaan sumberdaya kelautan terpadu dari setiap daerah propinsi, kabupaten/kota, dengan cara menyusun zonasi kawasan pesisir dan laut untuk memfokuskan sektor-sektor tertentu dalam suatu zona, menyusun rencana pengelolaan (management plan) untuk suatu kawasan tertentu atau sumberdaya tertentu. Selanjutnya membuat rencana aksi (action plan) yang memuat rencana investasi pada
302
berbagai sektor, baik untuk kepentingan Pemerintah Daerah, swasta maupun masyarakat. Keseluruhan tahapan ini merupakan rencana strategis yang penting untuk dilakukan oleh pemerintah propinsi, kabupaten/kota dalam rangka mengelola sumberdaya kelautan secara terpadu. Namun hendaknya proses perencanaan yang dilakukan adalah perencanaan partisipatif, artinya segenap komponen daerah hendaknya dilibatkan dalam setiap proses dan tahapan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan. 3.3.
Implikasi Terhadap Sumber Pembiayaan Pembangunan Sumberdaya Laut
Implikasi langsung dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 adalah beralihnya kewenangan (semula wilayah laut menjadi kewenangan pusat) dalam penentuan kebijakan pengelolaan dan pengembangannya di daerah agar menjadi keuntungan daerah berupa adanya peluang yang prospektif dalam mengelola sumberdaya (pesisir dan laut) dalam batas-batas yang telah ditetapkan. Dengan demikian, luas wilayah kewenangan Pemerintah Daerah menjadi bertambah sehingga memberikan harapan yang prospektif dan merupakan peluang bagi daerah, khususnya dalam hal: 1) Jurisdiksi dalam memperoleh nilai tambah atas Sumberdaya alam hayati dan non hayati, sumber energi kelautan disamping sumberdaya pesisir yang sangat memungkinkan untuk digali dan dioptimalkan, antara lain sumberdaya ikan, terumbu karang, rumput laut dan biota laut lainnya serta pariwisata. 2) Keleluasaan dalam pengembangan/peningkatan dan pembangunan sarana dan prasarana di kawasan perbatasan antar propinsi, untuk mendukung perkembangan dan kemajuan daerah baik secara internal maupun eksternal dalam arti lintas wilayah antar Kabupaten/Kota maupun Propinsi sehingga akan lebih memberikan kewenangan dalam pengaturan yang pada gilirannya akan memberikan nilai tambah dan peran strategis Daerah. Sesuai dengan penjelasan pasal 9 ayat [1] UU No 22 Tahun 1999, salah satu bidang yang bersifat lintas propinsi yaitu bidang perhubungan (disamping bidang pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan), di mana pengelolaan pelabuhan regional untuk peningkatan jasa pelayanan transportasi laut dan pengaturan alur pelayaran (regional dan antar regional) kewenangannya diserahkan kepada propinsi. Manfaat langsung lainnya dari otonomi daerah adalah Pemerintah Daerah memiliki sumber pendapatan dan pendanaan yang berasal dari (a) sharing Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah pesisir, (b) biayabiaya dari proses perijinan dan usaha, pajak pendapatan dan pajak lainnya, retribusi daerah, dan (c) pendapatan tidak langsung akibat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian pembangunan kawasan pantai (desa-desa), pelabuhan, kawasan industri dan lain-lain dapat dibiayai oleh Pemerintah Daerah. Apabila sumber pendapatan dari pemanfaatan sumberdaya kelautan belum sepenuhnya tergali dengan baik, daerah dapat membiayai pembangunan kelautan melalui dana APBD. Penggunaan dana APBD dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan dan pengembangan masyarakat pantai/nelayan, pemantauan dan pengawasan pemanfaatan sumberdaya kelautan, penelitian kelautan, pengumpulan dan analisis data kelautan, serta perencanaan pembangunan kelautan. Selain itu, pembiayaan pembangunan kelautan dapat juga diupayakan dari sumber APBN (subsidi pemerintah) maupun bantuan luar negeri yang umumnya dalam bentuk-bentuk proyek kelautan yang dimaksudkan untuk pengembangan sumberdaya kelautan daerah. Dengan Undang-undang otonomi daerah ini diharapkan proyek-proyek
303
kelautan sudah dapat didesentralisasikan ke daerah yang nantinya menjadi sumber pembiayaan pembangunan kelautan di daerah. 3.4.
Implikasi Terhadap Dampak Negatif Pengelolaan Sumberdaya Laut
Optimisme seperti di atas merupakan dampak positif dari berlakunya otonomi daerah terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan. Namun demikian tidak berarti bahwa otonomi daerah tidak memiliki dampak negatif terhadap sumberdaya kelautan. Dampak negatif akan timbul, apabila Pemerintah Daerah seperti disebutkan di atas tidak memiliki persepsi yang tepat terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan. Artinya sumberdaya kelautan tidak semata-mata untuk dieksploitasi tetapi juga harus diperhatikan kelestariannya. Sebab dengan persepsi demikian, maka sumberdaya kelautan yang ada diupayakan dan dieksploitasi sebesarnya-besarnya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Eksploitasi berlebih dengan tidak mengindahkan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam pada akhirnya akan menimbulkan masalah lainnya di kemudian hari. Jika hal ini terjadinya, maka pola pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan tidak ada bedanya dengan pola yang selama ini dilakukan. Oleh karena itu, yang perlu segera dibenahi adalah bagaimana agar Pemerintah Daerah memiliki persepsi yang tepat terhadap pemanfaatan sumberdaya kelautan yang berkelanjutan. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya kelautan, di mana beralihnya beberapa wewenang pusat ke daerah khususnya daerah perbatasan propinsi, disamping terdapat keuntungan, juga sekaligus menjadi beban dan tanggung jawab dalam pengendalian dan pengelolaannya di kawasan perbatasan antar propinsi tersebut, seperti: sumberdaya ikan yang beruaya, overeksploitasi, degradasi lingkungan, pencemaran, dan keamanan maupun keselamatan pelayaran. Hal-hal tersebut hanya merupakan akibat lanjutan dari beberapa masalah berikut ini: 1) Belum adanya institusi/lembaga pengelola khusus yang menangani masalah pengembangan pesisir dan laut. Implikasinya, tidak tersedianya instrumen hukum wilayah perbatasan antar propinsi tersebut (RT/RW, zonasi) untuk dapat diketahui masyarakat luas, khususnya dunia usaha yang diharapkan dapat menanamkan investasinya, serta pedoman bagi instansi di daerah (Tk I dan II) dalam pengelolaan dan pengembangan wilayah laut guna peningkatan kesejahteraan masyarakat. 2) Keterbatasan sumberdaya manusia (aparat pemerintahan) dalam bidang pesisir dan laut yang terdidik dan terlatih. Sehingga kendala yang dihadapi adalah kesulitan dalam pendayagunaan serta peningkatan perangkat instansi daerah yang ada terhadap pengelolaan di wilayah pesisir dan 12 mil laut serta 4 mil laut yang merupakan kewenangan kabupaten /kota. 3) Terbatasnya wahana dan sarana dalam penerapan dan pendayagunaan teknologi bidang kelautan. Sehingga bagaimana upaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pengelolaan sumberdaya kelautan/SDL dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat, belum bisa terjawab (keterbatasan kemampuan teknologi untuk dapat menggali potensi SDL). 4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
1)
Otonomi daerah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 di atas baru merupakan landasan yang kuat untuk mencapai pengelolaan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan. Agar otonomi daerah memberikan dampak positif terhadap pengelolaan sumberdaya laut, maka perlu adanya keinginan
304
2)
4.2.
dan komitmen Pemerintah Daerah bersama masyarakat untuk mengelola sumberdaya kelautan yang berada dalam wilayah kewenangannya secara berkelanjutan. Berikut ini beberapa Saran pengelolaan sumberdaya kelautan yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Daerah dalam membangun sumberdaya kelautan untuk mencapai pembangunan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan. Saran
1) Pembangunan suatu kawasan akan bersifat berkesinambungan (sustainable) apabila 2)
3)
tingkat (laju) pembangunan beserta segenap dampak yang ditimbulkannya secara agregat (totalitas) tidak melebihi daya dukung lingkungan kawasan tersebut. Pengelolaan sumberdaya kelautan yang bersifat lintas Propinsi dan atau lintas Kabupaten/Kota secara optimal dan berkelanjutan, maka kegiatan yang terdapat di masing-masing Propinsi atau Kabupaten/Kota hendaknya menerapkan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan. Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Lintas Batas Propinsi. Pada dasarnya pengelolaan sumberdaya kelautan yang bersifat tetap (tidak bergerak) seperti mineral dan bahan tambang yang terdapat di dasar laut dan daratan pesisir, hutan mangrove, dan terumbu karang) tidak akan menimbulkan masalah antar daerah DAFTAR PUSTAKA
Aziz, K.A., M. Boer, J. Widodo, N. Naamin, M. H. Amarullah, B. Hasyim, A. Djamali dan B. E. Priyono, 1998. Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. KOMNAS KAJISKANLUT, Jakarta. Dirjen Perikanan, 1998. Statistik Perikanan 1998. Ditjen perikanan. Jakarta. FAO, 1995. Cood of Conduct for Responsible Fisheries. FAO, Rome. Kamaluddin, L. M. 1999. Potensi Kelautan dan Ekonomi Rakyat. Harian Umum Republika, 17 Juli 1999. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB, 1998. Strategi Dasar Pembangunan Kelautan di Indonesia. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-dan P3OLIPI. Bogor. Rafiuddin, M. 1999. Otonomi Daerah Dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan di Wilayah Pesisir. Makalah Rapat Koordinasi Proyek dan Kegiatan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
305
STRATEGI WANITA NELAYAN DALAM USAHA PENINGKATAN PENDAPATAN KELUARGA NELAYAN DI KABUPATEN TEGAL Oleh : Narto1
ABSTRACT This article discusses the woman fisher Tegal regency have great potential to be forgotten. The number of women more than men is inversely related to its role in the economy. Women of childbearing age are unemployed more than participate in productive activities, so it is not impossible he will only be a burden of development. The reluctance of women to go fishing in productive activities, among others, caused by the cultural communities that still prohibit women to work. For those women only served in the kitchen and take care of the children. But as economic pressures increasingly harder to encourage women to ease the burden on families with strategies to increase family income so that they participate in productive activities.Their strategies to maintain his family, the fishermen, efforts working in households, the fish processing industry to work outside of the fishing and processing of financial transactions sector economic survival and the tangga.Wanita women's House fishermen has the opportunity as a community on the coastal forces driving empowerment. The percentage of women more than men is the potential to increase revenues for fishermen, in which the position of women who had served only as women in the home has increased as suppliers. Key Word : Strategy, Woman fisher, income, Tegal regency
2.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang menjadikan sebagian besar wilayahnya terdiridari pesisir. Pesisir merupakan daerah yang sarat akan potensi kelautan, tetapi pada dasarnyamasyarakat pesisir yang sebagian bermata pencaharian sebagai nelayan masih identik denganmasalah kemiskinan yang sampai saat ini masih menjadi fenomena klasik pesisir. Karena tingkatsosial ekonomi dan kesejahteraan hidup yang rendah, dalam struktur masyarakat nelayan, nelayanburuh merupakan lapisan sosial yang paling miskin, sedangkan sebagian besar nelayan di Indonesia adalah nelayan buruh (Kusnadi, 2006). Oleh karena itu, upaya-upaya untuk peningkatankesejahteraan masyarakat nelayan menjadi wacana yang penting dalam pengembangan wilayah pesisir. Wilayah pesisir adalah wilayah yang dihuni oleh masyarakat dengan karakteristik keluarga yang khas.Dominasi penduduk atau penghuni setiap harinya adalah wanita dan anak-anak.Sebagian lelaki yang terdiri dari suami maupun remaja, banyak mempergunakan waktunya untuk melaut. Berdasarkan survei cepat yang dilakukan oleh ibu-ibu Dharma Wanita Persatuan diberbagai daerah pesisir Kabupaten Jawa Tengah, didapatkan hasil bahwa pada umumnya kaum perempuanditinggal melaut antara 1-2 minggu, sedangkan sisanya adalah nelayan biasa (melaut malam hari)dan sebagian lagi berlayar sampai sebulan atau lebih (ikut kapal besar), sehingga dapat dikatakansebagian besar tanggungjawab kelangsungan hidup sehari-hari pada keluarga tersebut ada 1
Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan UPS Tegal
306
ditanganwanita sebagai ibu sekaligus ayah (temporal single parent). Hal-hal seperti ini menjadikan upaya-upayapemberdayaan atau intervensi yang dilakukan untuk mensejahterakan keluarga nelayan perlu dititikberatkan pada kemampuan wanita yang ada di wilayah pesisir. Wanita merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan pesisir karena posisinya yang strategis dalam kegiatan berbasis perikanan dan kelautan sebagai pedagang pengecer, pengumpul ikan, pedagang besar, buruh upahan, maupun tenaga pengolah hasil perikanan. Namun demikian, dalam berbagai aspek kajian ataupun program-program pembangunan pesisir mereka tidak banyak tersentuh. Ketika berbicara tentang nelayan yang terlintas dalam pikiran adalah kaum pria yang sebagian atau seluruh hidupnya berjuang menghadapi gelombang besar atau angin kencang untuk memperoleh hasil tangkapan ikan. Pikiran demikianlah yang mendorong lahirnya program pembangunan perikanan yang bias gender seperti nampak pada berbagai program pemberdayaan masyarakat pesisir. Kondisi demikian telah dianggap sebagai hal yang lumrah karena dalam budaya kita, wanita telah lama dikonstruksi secara sosial maupun budaya. Penduduk wanita yang jumlahnya mencapai setengah dari jumlah total penduduk Indonesia merupakan sumber daya pembangunan yang cukup besar. Partisipasi aktif pria dan wanita dalamsetiap proses pembangunan akanmempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Kurangberperannya salah satu pihak akan dapat memperlambat proses pembangunan atau bahkan dapatmenjadi beban pembangunan itu sendiri. 1.2.
Perumusan Masalah
Dampak krisis moneter yang dialami oleh bangsa Indonesia sangat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Pihak yang paling merasakan dampak ini terutama kelompok wanita nelayan yaitu masyarakat desa diantaranya masyarakat nelayan. Hal ini menambah tekanan kehidupan sosial ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat nelayan menjadi lebih intensif. Berbagai faktor yang kompleks telah menyumbang terhadap timbulnya keadaan tersebut, sedangkan berbagai upaya untuk mengatasinya belum memperoleh hasil yang memuaskan. Itulah sebabnya desa-desa nelayan termasuk kantong-kantong kemiskinan dan keterbelakangan yang sangat potensial. Karakter wanita dalam keluarga sangat dipengaruhi oleh latar belakang ekonomi dan sosial budaya keluarga, serta kondisi geografis tempat tinggalnya.Setiap kebudayaan mempunyai pranata tersendiri dalam mengatur anggota masyarakat, termasuk perilaku yang harus dilakukan oleh para wanitanya.Sementara kondisi sosial ekonomi mempengaruhi pola perilaku keluarga yang bersangkutan (Munawaroh,S.2003). Sementara itu kondisi geografis suatu daerah akan mempengaruhi corak mata pencaharian masyarakatnya, yang pada ahkirnya akan mempengaruhi pula pola pembagian tugas dari setiap anggota keluarga. Kondisi krisis ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini berdampak sangat luas dan memberatkan kehidupan masyarakat dari semua lapisan. Dalam keadaan ekonomi yang tidak menentu, nelayan pada dasarnya harus menyesuaikan diri. Antara lain dengan memanfaatkan anggota rumah tangga untuk bekerja sebagai upaya meningkatkan pendapatan keluarga nelayan. Upaya peningkatan pendapatan ini ditempuh melalui usaha produktivitas seluruh sumber daya manusia yang ada dalam keluarga nelayan.
307
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian tersebut adalah ingin mendeskripsikan bagaimana wanita nelayan dalam mengatur strategi peningkatan pendapatan keluarga wanita nelayan yang dipengaruhi oleh budaya lokal, terutama dalam hal kegiatan wanita nelayan pada sector rumah tangga, pengolahan ikan hasil tangkapan, bekerja di luar sector perikanan, pengolahan keuangan rumah tangga sehingga meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga nelayan. Dengan memperoleh gambaran tentang pola aktivitas para wanita nelayan harus mengubah pola berpikir lama dan mulai membangun pola berpikir baru,diharapkan penelitian ini bermanfaat untuk dapat menyalurkan saran-saran yang berguna bagi peningkatan kemakmuran nelayan khususnya wanita nelayan dalam perbaikan pendapatan diantara golongan dalam masyarakat nelayan demi kesejahteraan ekonomi keluarga nelayan.
2. METODE PENELITIAN Penelitian ini bertipe deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskiptif berupa data tertulis dan lisan dari orang dan perilaku yangdapat diamati dari lingkungan yang alamiah ( Moleong, 1991 :3 ). Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendapatkan penjelasan mendetail tentang upaya para wanita nelayanmenggunakan budaya lokal mereka dalam mengatur strategi wanita nelayan dalam upaya peningkatan pendapatan keluarga nelayan. Penelitian ini berbentuk studi kasus.Sifat dari studi kasus menurut Vredenderg adalah untuk mempertahankan keutuhan dari objek, artinya data yang dikumpulkandalam rangka studi kasus dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi (Vredenberg, 1984:38). Tujuan dari studi kasus adalah untuk memberikan gambaransecara mendetail tentang latar belakang, sifat serta karakter-karakter yang khas darikasus . Dengan demikian studi kasus itu tidak menekankan padabanyaknya sampel, tetapi pada kedalaman pembahasan. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Letak Geografis Kabupaten Tegal
Kabupaten Tegal merupakan salah satu daerah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah dengan Ibukota Slawi. Terletak antara 108057’6 s/d 109°21'30 Bujur Timur dan 6°50'41" s/d 7°15 15'30" Lintang Selatan. Dengan keberadaan sebagai salah satu daerah yang melingkupi wilayah pesisir utara bagian barat Jawa Tengah, Kabupaten Tegal menempati posisi strategis di persilangan arus transportasi Semarang - Cirebon - Jakarta dan Jakarta - Tegal - Purwokerto dengan fasilitas pelabuhan di Kota Tegal. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Tegal adalah: - Sebelah Utara Kota Tegal dan Laut Jawa - Sebelah Timur Kabupaten Pemalang - Sebelah Barat Kabupaten Brebes - Sebelah Selatan Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas. Jumlah penduduk Kabupaten Tegal tahun 2008 sejumlah 1.495.944 jiwa dengan pertumbuhan penduduk sebesar 1,0246 %/tahun, sehingga diproyeksikan jumlah penduduk tahun 2013 sebesar 1.572.582 jiwa dan tahun 2018 sebesar 1.649.220 jiwa (Sumber : BPS Kab. Tegal, 2008).
308
3.2.
Kegiatan Wanita Nelayan Kabupaten Tegal
3.2.1.
Dalam Sektor Rumah Tangga Telah diuraikan bahwa setiap anggota keluarga mempunyai kegiatan sendirisendiri dalam keluarganya.Secara ideal seorang suami sebagai kepala keluarga mempunyai tanggungjawab penuh dalam memenuhi kebutuhan keluarga (Imran Manan 1989), Termasuk dalam memasok pendapatan keluarga. Namun demikian kondisi kerja nelayan yang cukup berat itu dikerjakan sendiri, tanpa bantuan si istri, ataupun anggota keluarga yang lain. Hal ini tampak lebih kentara pada keluarga-keluarga nelayan pemilik atau nelayan-nelayan yang memiliki perahu sendiri. Perahu dan segala perlengkapannya termasuk juga alat tangkapnya memerlukan penanganan yang baik agar tidak cepat rusak dan terpelihara.Penanganan yang cermat harus dilakukan agar kegiatan kenelayanan tidak terganggu. Kerusakan mesin di tengah laut akan menyebabkan usaha penangkapan ikan terganggu, bahkan akan mengancam keselamatan jiwa nelayan itu sendiri. Peralatan yang kurang cermat pada geladak juga dapat menyebabkan perahu bocor dan tenggelam.Oleh karena itu pekerjaan suami begitu berat dalam memperoleh pendapatannya.Selain mereka harus bergulat dengan lautan yang kadang-kadang ganas dan tidak bersahabat serta dapat mengancam jiwanya.Mereka masih disibukkan oleh perawatan-perawatan guna kelancaran pekerjaannya.Perolehan pendapatan secara ideal menjadi tanggung jawab suami, namun pada kenyataannya para isteri dan anggota keluarga lainnya juga ikut membantu, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Berdasarkan hasil penelitian Astuti et.al. (2008) bahwa wanita pesisir bekerja dalam berbagai jenis pekerjaan baik yang berhubungan dengan sektor perikanan (83%) maupun di sektor lain (17%). Bentuk partisipasi para wanita nelayan tersebut ada tiga hal, yaitu mengelola ikan hasil tangkapan suami, bekerja di sektor perikanan tetapi di luar kegiatan kenelayanan, dan bekerja di luar sektor perikanan. 3.2.2.
Pengolahan Ikan Hasil Tangkapan
Menurut Mubyarto(2002),secara alami ada interaksi yang sangat kuat antara ketersediaan sumber daya ikan,jumlah, perilaku, dan kapasitas nelayan serta ekonomi dari hasil usahapenangkapan.Pengelolaan hasil ikan tangkapan suami atau ayah dilakukan oleh para isteri/ibu atau anak-anak wanita keluarga nelayan pemilik perahu.Dalam pengelolaan ikan dimulai pada saat perahu merapat di dermaga setelah penangkapan ikan di laut hingga menjualnya Adapun langkah-langkah kegiatan yang dilakukan oleh isteri serta anggota keluarga adalah setelah mengetahui perahu memasuki muara, maka isteri mulai bersiap-siap menyambut kedatangannya.Berbagai peralatan seperti ember plastik dan keranjang tempat ikan dibawa isteri atau anak-anak untuk menyongsong kedatangan suami atau ayahnya.Kemudian pada saat perahu merapat di pinggir, suami ataupun buruh perahu kalau ada yang ikut dalam kegiatan penangkapan ikan mengeluarkan ikan-ikan hasil tangkapan dari peti pendingin.Selanjutnya, isteri maupun anak-anaknya yang sudah bisa membantu pekerjaan tersebut ikut memilah-milah menurut jenis ikan yang didapatnya, kemudian langsung dimasukkan dalam ember plastik atau keranjang yang telah dipersiapkan.Setelah ember-ember plastik atau keranjang penuh ikan, suami atau anak laki-laki, selanjutnya menurunkannya dari perahu untuk kemudian dijual oleh si isteri yakni di tempat pelelangan ikan (TPI), ke pembeli langsung, pedagang atau ke pasar terdekat. Pemilahan-pemilahan jenis ikan ini dilakukan dengan maksud untuk memudahkan dalam penjualan.Oleh karena jenis-jenis ikan tersebut dapat dibedakan
309
menurut kualitas dan harganya, dan diklasifikasi jenis ikan yang bernilai tinggi dengan yang bernilai rendah. Biasanya jenis ikan yang bernilai tinggi oleh para isteri nelayan dijual langsung kepada bakul atau pedagang langganannya di mana mereka biasa meminjam uang.Begitu juga jenis-jenis ikan dengan nilai atau harga rendah (biasanya dijual ke pedagang tertentu yang menerimanya).Baru kalau tidak laku atau musik ikan/panen ikan, dibuat ikan asin.Hampir semua nelayan di daerah penelitian mempunyai bakul langganan tempat mereka menjua ikan dan meminjam uang mereka pada saat memerlukan.Penjualan ikan yang dilakukan oleh para isteri serta anak perempuan nelayan harus cepat dilakukan, artinya makin cepat makin baik.Kecuali mereka merapat pada sore hari, pembongkaran dilakukan pada pagi hari atau keesokan harinya. Cepat dijual, hal ini karena apabila ada yang ikut (sebagai buruh) dalam proses penangkapan ikan di laut menunggu hasil upah bagiannya atau sebagai jerih payahnya dalam menangkap ikan. Selain itu penjualan secara cepat juga harus dilakukan untuk menjaga kesegaran ikan hasil tangkapan agar tidak cepat busuk. Berkaitan dengan aktivitas atau pekerjaan suami yakni menangkap ikan di laut, peranan ibu di dalam rumah tangga boleh dikatakan cukup besar (Rahayu, 2009). Hal ini karena para ibu rumah tangga nelayan beraktivitas atau berperan juga dalam mempersiapkan dan memperbaiki jaring sebagai peralatannya bahkan ada juga yang membuat alat tangkap ikan sebagai “senjata” suami dalam berburu ikan di laut. Alat-alat tangkap ikan yang rusak seperti jaring yang robek terkena geleparan ikan besar atau menyangkut alat tangkap ikan yang lainnya (sodo) selain merupakan tugas suami ada ibu rumah tangga yang ikut juga memperbaikinya.Pekerjaan tersebut mereka lakukan pada waktu senggang selagi suami pergi melaut.Aktivitas ibu sebagai isteri seorang nelayan juga mempersiapkan segala perlengkapan atau perbekalan suami apabila mau berangkat kerja seperti alat yang dipergunakan, solar dan oli sebagai bahan bakar, makan, minum, buah-buahan, es dan tempat ikan. Pekerjaan isteri nelayan lainnya adalah mencari pinjaman atau ngebon bila tidak punya uang terutama musim kemarau, baik untuk kebutuhan makan sehari-hari, pengadaan uang untuk keperluan biaya produksi yang utama yakni dalam hal perbaikan perahu maupun alat tangkap dan juga berkaitan dengan pengadaan bekal selama penangkapan atau biaya operasional. Semua keperluan tersebut oleh si isteri diperoleh dari warung terdekat yang biasanya sudah menjadi langganannya. Adapun cara pembayarannya setelah suami pulang dari menjalankan pekerjaannya serta setelah ikanikan hasil tangkapannya terjual. Berhutang kepada tetangga ataupun kerabat dekat memang dimungkinkan, hal ini karena hampir semua penduduk yang berdekatan sudah kenal baik dan sudah seperti keluarganya sendiri.Oleh karena itu, pinjam-meminjam tidak menjadi masalah hanya kadang mempunyai perasaan sungkan.Seorang isteri informan mengatakan lebih baik pinjam saja ke tempat juragan atau warung yang biasa dijadikan langganan daripada hutang tetangga.Namun bagi mereka isteri yang tidak merasa sungkan, ada anggapan bahwa memberi pinjaman pada tetangga, kerabat yang sedang membutuhkan sepanjang masih ada persediaan menurut sejumlah isteri yang diwawancarai tampaknya juga menjadi dorongan dalam pinjam meminjam uang.Mengingat kondisi seperti ini merupakan suatu hal yang biasa dan dapat menimpa siapa saja dari keluarga nelayan, termasuk keluarga isteri informan sendiri.
310
3.2.3.
Sektor Perikanan di Luar Kenelayanan
Kegiatan di dalam sektor perikanan tetapi di luar kegiatan kenelayanan dilakukan isteri dan anak-anak rumah tangga nelayan tidak lain karena untuk memperoleh tambahan pendapatan keluarga, mengingat hasil tangkapan ikan dari suami tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Adapun yang dilakukan isteri dan anak perempuannya ada yang berjualan kebutuhan sehari-hari atau buka warung, ada juga yang kegiatannya sebagai pedagang ikan, dan ada yang kegiatannya melakukan “gesek” atau membuat pengasinan ikan dan teri nasi, baik itu dilakukan di rumah sendiri maupun di rumah tangga lain (buruh). Untuk kegiatan atau kativitas gesek tidak hanya dilakukan isteri atau ibu saja akan tetapi juga anak-anak. Hal tersebut dilakukan selain untuk mendapatkan tambahan pendapatan juga untuk mengantisipasi pada saat permintaan ikan segar rendah karena sedang musim ikan sehingga penjualannya dengan nilai/harga rendah dan kadang sulit dilakukan. Selain itu, harga ikan asin lebih tinggi bila dibandingkan dengan sebelum diasin.Sebagai contoh harga ikan basah sebelum diasin pada saat penelitian dilakukan hanya mencapai Rp. 3.000/ember plastik kecil kurang lebih 3 kg ikan basah, tetapi setelah diasin harganya mencapai Rp. 8.000/kg.Namun demikian pengasinan ini hanya jenis ikan yang bernilai ekonomis rendah, sedang untuk jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi lebih menguntungkan dijual secara basah. Keterbatasan ekonomi keluargalah yang menuntut wanita nelayan termasuk anakanak mereka bekerja di daerah pesisir. Dalam kegiatan perikanan laut wanita nelayan berperan sangat strategis terutama pada ranah pasca panen dan pemasaran hasil perikanan. Di beberapa wilayah bahkan peranan wanita nelayan, juga sering menyentuh wilayah yang dianggap sebagai dunia kerja kaum laki-laki yaitu penangkapan ikan seperti yang banyak ditemukan dalam kegiatan penangkapan kepiting di daerah mangrove. Selain membantu suami dan mengurus anggota keluarganya, seorang isteri ada juga yang melakukan kegiatan sebagai bakul/pedagang ikan.Secara umum dari hasil wawancara dengan informan faktor yang mendorong memilih pekerjaan bakul ikan karena pendapatan rumah tangga bila hanya mengandalkan pendapatan suami sebagai buruh nelayan tidak mencukupi, misalnya untuk kepentingan bermasyarakat, menyekolahkan anak, membeli pakaian dan untuk kepentingan primer.Selain itu memilih pekerjaan bakul ikan karena pekerjaan ini relatif mudah yakni dapat dilakukan setiap saat serta modal relatif kecil dan penghasilan langsung dapat digunakan untuk mencukupi keperluan rumah tangga sehari-harinya. 3.2.4.
Pengelolaan Keuangan Rumah Tangga
Selain membantu mencari penghasilan bagi kebutuhan hidup keluarga, para ibu nelayan di daerah Kabupaten Tegal juga berperan dalam pengaturan keuangan rumah tangga. Pekerjaan ini hampir tidak pernah dilakukan oleh para suami.Kondisi kerja yang sangat menyita waktu menyebabkan para suami sulit mengkonsentrasikan fikiran untuk mengelola keuangan keluarga.Segala rekayasa keuangan rumah tangga cenderung dilakukan oleh seorang ibu rumah tangga yang hampir semua waktunya dihabiskan di rumah. Namun demikian peranan suami sebagai kepala rumah tangga tentunya akan diajak berkonsultasi dan harus mengetahui pengeluaran uang, terutama yang menyangkut persoalan keuangan yang jumlahnya besar. 3.2.5.
Pemberdayaan Wanita Nelayan
Dalam rangka mengantisipasi keadaan tersebut di atas maka perlu diupayakan program pemberdayaan wanita nelayan. Program ini pada hakekatnya diarahkan untuk
311
mengembangkan dan mematangkan berbagai potensi yang ada pada diri mereka sehingga dapat terlibat dalam penyelenggaraan pembangunan perikanan secara sejajar dengan kaum prianya (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2001). Tujuan dari pemberdayaan wanita nelayan ini menurut Petunjuk Teknis Departemen Kelautan dan Perikanan (2001) adalah: 1) Meningkatkan kemampuan wanita nelayan dalam manajemen usaha dan teknologi tepat guna untuk memfasilitasi wanita nelayan mengembangkan usaha. 2) Meningkatkan akses wanita nelayan terhadap sumberdaya, modal, pasar dan teknologi. 3) Meningkatkan pengetahuan dan kepedulian wanita nelayan terhadap kesehatan keluarga dan sanitasi lingkungan. 4) Meningkatkan peranan wanita nelayan sebagai salah satu pengambil keputusan dalam usaha perikanan. 5) Meningkatkan kualitas peran dan kemandirian kelembagaan wanita nelayan dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya alam di kawasan perikanan. 6) Meningkatkan kesejahteraan wanita dan keluarga nelayan. 3.2.6.
Peran Wanita
Astutie at.al. (2008) menyatakan bahwa peran wanita pesisir yang bekerja dalam mengatasi kemiskinan masyarakat jelas terlihat dan mereka berjasa dalam memberikan kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga Dengan denimkian secara langsung mengurangi kemiskinan pada masyarakat pesisir baik yang disebabkan kemiskinan struktual, super-sturktural maupun Menurut Koentjaraningrat (1987), ada dua teori utama tentang peran wanita dan laki-laki dalam masyarakat yang berusaha untuk menjelaskan sebab-sebab terpusatnya kegiatan wanita di ranah domestik dan kegiatan laki-laki terpusat diluar ranah domestik yaitu: 1) Teori Nature, yang beranggapan bahwa laki-laki dan wanita ditentukan oleh faktor biologis, dan. 2) Teori Nuture, yang beranggapan bahwa perbedaan peran antara wanita dan lakilaki tercipta melalui proses belajar dari lingkungan. Dalam suatu masyarakat dengan kondisi seperti ini, tampaknya bahwa keterlibatan wanita di ranah produktif perlu lebih ditingkatkan, karena kemandiriannya secara ekonomi bisa mempengaruhi atau dapat meningkatkan statusnya baik dalam rumah tangga atau dalam masyarakat. Mekipun demikian masih ada faktor lain, misalnya pendidikan, nilai-nilai budaya dalam masyarakat yang bersangkutan dan lain-lain, yang mempengaruhi status wanita. Secara lebih kongkrit kedudukan wanita dengan laki-laki masih terjadi kesenjangan (kesenjangan gender) yang dapat dikenali dari : 1) Rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan (43,5 %) dibandingkan dengan TPAK laki-laki (72,6 %) yang antara lain disebabkan oleh banyaknya sumbangan perempuan tidak dihitung sebagai partisipasi mereka. 2) Meskipun pasal 27 UUD 1945 menjamin kesamaan hak bagi seluruh warga negara dan kesamaan derajat dihadapan hukum, namun pada kenyataannya banyak dijumpai materi-materi hukum yang diskriminatif terhadap perempuan. Hal ini antara lain dilihat dalam UU Ketatanegaraan, UU Perkawinan, UU Kesehatan, UU Kewarganegaraan, UU Pendidikan dan UU Pajak. 3) Masih rendahnya kesadaran gender dikalangan penegak hukum dan masih sedikitnya jumlah penegak hukum yang memiliki kepekaan gender.
312
4) Masih terbatasnya keterlibatan perempuan dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, termasuk TNI dan POLRI yang ditandai dengan sedikitnya wakil perempuan dalam lembaga legislatif 9,8 % serta sedikitnya pejabat struktural 7 % (Natsir, 2001). Namun demikian konsep mengenai status wanita dalam masyarakat jawa nampaknya juga ditentukan oleh kekuasaannya dalam bidang ekonomi, dalam hal ini status wanita jawa tergolong tinggi. Wanita bisa memiliki tanah dan menguasai penggarapannya. Dengan memiliki tanah ia memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menguasai sumber-sumber ekonomi strategis dalam masyarakat tersebut. Selain itu, wanita memiliki akses ke sebagian besar pekerjaan termasuk berbagai corak kerja seperti kerja sawah ladang, dagang kecil, jual beli borongan, usaha kecil membantu rumah tangga dan mengajar. Tentu saja ada beberapa pekerjaan yang tertutup bagi wanita, khususnya yang menuntut kekuatan fisik yang besar. 4. 1) 2)
3)
4)
KESIMPULAN Karakter wanita nelayan dalam keluarga sangat dipengaruhi oleh latar belakang ekonomi dan sosial budaya keluarga, serta kondisi geografis tempat tinggalnya. wanita nelayan dalam mengatur strategi peningkatan pendapatan keluarga wanita nelayan yang dipengaruhi oleh budaya lokal, terutama dalam hal kegiatan wanita nelayan pada sector rumah tangga, pengolahan ikan hasil tangkapan, bekerja di luar sector perikanan, pengolahan keuangan rumah tangga sehingga meningkatkan kesejahteraan ekonomi keluarga nelayan. Dengan memperoleh gambaran tentang pola aktivitas para wanita nelayan harus mengubah pola berpikir lama dan mulai membangun pola berpikir baru,strategi dalam peningkatan pendapatan keluarga nelayan. Dalam rangka mengantisipasi strategi peningkatan pendapatan keluarga wanita nelayan, maka perlu diupayakan program pemberdayaan wanita nelayan. DAFTAR PUSTAKA
Astutie,Y.P.S.Hartati dan N.I. Widiati, 2008. Peran dan Potensi Wanita Pesisir dalam Pemenuhan Kebutuhan Ekonomi Rumah Tangga di Kota Tegal. Majalah Ilmiah SOSEKHUM Volume 4 No.5 November 2008. Balai Statistik. 2008. BPS Kabupaten Tegal Jawa Tengah. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Petunjuk Teknis Pemberdayaan Wanita Nelayan. Bagian Proyek Pemberdayaan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir, Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Dep. Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Depdikbud. 1995. Peran Wanita Nelayan Dalam Kehidupan Ekonomi Keluarga Di Tegal Jawa Tengah. Jakarta: Depdikbud. http://pesisir.blogspot.com/2006/03/wanita-nelayan-antara-peran tanggal 15 November 2010
domestik_22.html/
http://rudyct.com/PPS702-ipb/06223/sri_murni.pdf/ tanggal 15 Desember 2010
313
http://www.bappenas.go.id/index. seperti yang diterima pada 06 Desember 2010 http://www.simpopdf.com./Lucy Zamzami/Tanggal 17 November 2010 Imran Manan, 1989, Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan, Depdikbud, Jakarta,Hal.12. Koentyaraningrat, 1987. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Gramedia. Jakarta. Kusnadi, 2006. Pemahaman dan Anatomi Kemiskinan Nelayan,Peluang dan Strategi Penanggulanganya, dalam Perumusan Langkah Bersama Penanggulanagan Kemiskinan Nelayan. Balai Riset Kelautan dan Perikanan.Departemen Kelautan dan Perikanan.Jakarta. Moleong, Lexy J.2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosda Karya. Bandung. Mubyarto (dkk). 1984. Nelayan dan Kemiskinan. Studi Ekonomi Antropologi Di Desa Pantai. Jakarta: Rajawali. Natsir,L.M. 2001. Pengaruhutamaan Gender Suatu Strategi dalam Pembangunan. Kantor Pemberdayaan Perempuan RI.Jakarta. Pramono, Djoko, 2005, Budaya Bahari, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Rahayu,N. 2009, Makalah”Peningkatan Peran Wanita Nelayan di Kedung Jepara melalui Pendidikan dan Agama” Jurnal Kajian Kebudayaan. ISSN 1410-7910. Volume 4 No. 1. Siti Munawaroh. 2003. Strategi Adaptasi Nelayan Pantai Teluk Penyu. Laporan Penelitian Jarahnitra. Yogyakarta: BKSNT. Solfema, 2002, Makalah “Wanita Dalam Masyarakat Nelayan : Latar Kehiudpan danPotensi Pengembangannya”, Disajikan dalam Seminar Budaya Pesisir danKondisi Potensi Kelautan Sumatera Barat, Museum Adityawarman Padang. Tyesta, L. 2002. Gender dalam Ketenagakerjaan. Makalah dalam Pelatihan Metodologi Penelitian Berprespektif Perempuan ( Kajian Wanita Tahun 2002). Dewan Riset Daerah Jawa Tengah.
314
PRODUKTIVITAS JARING SIRANG SEBAGAI ALAT TANGKAP IKAN BAWAL PUTIH (Pampus argenteus) DI PERAIRAN CILACAP Oleh : Arif Mahdiana1, Nehru Nuridana GH1 dan Purnama Sukardi1
ABSTRAK Penelitian Produktivitas Jaring Sirang sebagai Alat Tangkap Ikan Bawal Putih (Pampus argenteus) di Perairan Cilacap, bertujuan mengetahui produksi jaring sirang, besarnya pengaruh faktor-faktor produksi dan mengetahui faktor-faktor produksi yang paling berpengaruh terhadap produktivitas jaring sirang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survai dengan teknik pengambilan sampel random sampling. Analisis data yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif dan regresi berganda yang kemudian dilanjutkan dengan uji F, selanjutnya uji t. Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata hasil produksi jaring sirang di perairan Cilacap adalah 2,12±1,41 kg/unit kapal/hari. Besarnya pengaruh jumlah BBM, lama pengoperasian, panjang jaring, lebar jaring, pengalaman nelayan dan umur nelayan sebagai faktor masukan (Xi) secara bersama-sama adalah 95,5% terhadap produktivitas jaring sirang sebagai faktor keluaran (Y), sedangkan yang tidak terdeteksi sebesar 4,5% dipengaruhi oleh fator lain. Faktor-faktor produksi yang paling berpengaruh terhadap produktivitas jaring sirang yaitu panjang jaring (X3) dan lebar jaring (X4) Kata kunci: Produktivitas, Jaring Sirang, Faktor-faktor Produksi.
1.
PENDAHULUAN
Jaring Sirang adalah jaring Gill net yang bermata jaring antara 4,5-5,5 inc. Gill net dengan mata jaring 3 inci disebut jaring tiga inci dan dan Gill net dengan mata jaring 1,5-2,5 inci disebut jaring Ciker (Wahyono, 2001). Pada umumnya gill net ialah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya. Dengan perkataan lain, jumlah mesh depth lebih sedikit jika dibandingkan dengan mesh size pada arah panjang jaring (Ayodhyoa, 1981). Berdasarkan cara pengoperasaiannya jaring sirang digolongkan kedalam Drift Gill Net (jaring hanyut) dengan mata jaring 4,5-5,5 inci. Posisi jaring ini tidak ditentukan oleh adanya jangkar, tetapi bergerak hanyut bebas mengikuti arah gerakan arus. Pada satu pihak dari ujung jaring diletakkan tali, dan tali ini dihubungkan dengan kapal, gerakan hanyut dari kapal sedikit banyak juga dapat mempengaruhi posisi jaring. Mayoritas nelayan jaring sirang mempunyai target tangkapan utama adalah ikan Bawal Putih (Pampus argenteus). Produktivitas dapat diartikan sebagai hubungan antara masukanmasukan dan keluaran-keluaran dalam suatu sistem produktif. Dalam teori, sering mudah untuk mengukur hubungan ini sebagai rasio keluaran dibagi masukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi jaring sirang, besarnya pengaruh faktor-faktor produksi dan mengetahui faktor-faktor produksi yang paling berpengaruh terhadap produktivitas jaring sirang. 1
Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Sains dan Teknik, Unsoed
315
2.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen berupa produksi hasil tangkapan (Y), sedangkan variabel independen yaitu: BBM (X1), lama pengoperasian (X2), panjang jaring (X3), lebar jaring (X4), pengalaman nelayan (X5) dan umur nelayan (X6). Dalam penelitian ini, hubungan antara produksi ikan hasil tangkapan dengan peralatan dan sarana penunjangnya disebut sebagai suatu fungsi produksi (Walpole, 1997). Hubungan antara faktor-faktor produksi menurut Hidayat, (1997) dapat diketahui dengan menggunakan fungsi produksi regresi linier berganda yang ditransformasikan dalam bentuk logaritma dengan formula sebagai berikut: 6 Ln Y1 = Ln Lo + Σ Lij Ln Xij ...............................................(1) I=1 Keterangan: Y = Produksi jaring Sirang (Kg/hari/unit) X1 = BBM (liter/unit) X2 = lama pengoperasian (jam/hari) X3 = Panjang jaring (m) X4 = Lebar jaring (m) X5 = Pengalaman Nelayan (tahun) X6 = Umur Nelayan (tahun) 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara umum produksi tangkapan per kapal yang didaratkan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1.
Produksi tangkapan bawal putih dengan jaring sirang yang didaratkan di Cilacap. Kapal ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Jumlah Rata-rata StDev
Produksi (per hari) Kg 2.5 0.5 1.5 2.7 1.7 5.5 0.6 1.7 1.6 3.7 3.2 0.7 1.6 27.5 2.12 1.41
% 9.09 1.82 5.45 9.82 6.18 20.00 2.18 6.18 5.82 13.45 11.64 2.55 5.82 100 7.69 5.12
316
Berdasarkan table di atas, terlihat bahwa produksi ikan bawal putih dengan menggunakan jaring sirang yang didaratkan meskipun berbeda akan tetapi memiliki selisih produksi yang kecil antara satu kapal dengan yang lainnya. Ayodhyoa (1981), menyatakan bahwa produksi yang mengalami peningkatan, penurunan dan bahkan terjadi kekosongan produksi, dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain seperti musim, cuaca, alat tangkap yang digunakan, jumlah kapal yang beroperasi, serta angin. Selain hal tersebut berbagai jenis limbah yang mencemari juga dapat menyebabkan mempengaruhi jumlah produksi tangkapan karena pencemaran limbah tersebut dapat menyebabkan kematian pada biota perairan laut khususnya dalam hal ini ikan. Hasil analisis regresi berganda antara produksi jaring sirang (Y) dengan faktorfaktor produksi jaring sirang (X) diperoleh dari data yang tertera pada tabel berikut ini. Tabel 2. Rata-rata hitung Faktor Produksi Jaring Sirang (per hari) No Variabel Rata-rata 1. BBM (liter/unit) 13,462 2. Lama pengoprasian (jam/hari) 2,231 3. Panjang jaring (m) 853,846 4. Lebar jaring (m) 3,769 5. Pengalaman nelayan (tahun) 10,154 6. Umur nelayan (tahun) 43,308 7. Produksi (kg) 2,115
Sd 2,402 0,439 216,950 0,780 5,565 10,965 1,408
Uji korelasi antara ketujuh faktor produksi yang dianalisis dengan menggunakan korelasi matrik Pearson menunjukkan tidak terjadinya multikolineritas antarfaktor produksi (keterkaitan antar variabel). Hasil yang didapatkan adalah signifikan terhadap produktivitas, artinya adalah seluruh variabel bebas yang dipilih sebagai faktor input menjadi penentu produktivitas jaring sirang. Penambahan atau pengurangan terhadap faktor produksi ini akan meningkatkan atau menurunkan produktivitas jaring sirang. Nilai koefisien Determinasi ( R2) yang diperoleh dari hasil analisis sebesar 92,5%. Hal ini menandakan adanya hubungan antara variabel independen yaitu: BBM, lama pengoprasian, panjang jaring, lebar jaring, pengalaman nelayan, dan umur nelayan dengan variabel dependen yaitu produksi jaring sirang. Nilai koefisien determinasi, artinya 92,5% besarnya nilai produktivitas jaring sirang ditentukan oleh faktor-faktor produksi di atas, sedangkan sisanya sebesar 7,50% ditentukan oleh faktor lain. Menurut Budiman et al., (2006) dalam Bayun (2005), koefisien korelasi menunjukan derajat hubungan variabel bebas dengan variabel terikat. Semakin tinggi nilai koefisien, maka pengaruh antara variabel bebas dan terikat semakin nyata. Berdasaran pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor produksi (X) memiliki hubungan yang kuat (nyata) terhadap produktisi (Y) dengan tingkat korelasi yang tinggi. Berdasarkan hasil analisis dengan uji F diperoleh nilai Fhit = 12,34 lebih besar dari nilai Ftab = 3.86 dan 6,99. Hal ini menunjukkan bahwa model linear antara faktorfaktor produksi (X) terhadap produktsi jaring sirang (Y) bersifat sangat nyata atau signifikan pada tingkat kepercayaan 99%. Pengaruh yang diberikan oleh faktor-faktor produksi tersebut bersifat langsung dan tidak langsung terhadap produktivitas. Untuk menguji pengaruh masing-masing faktor terhadap hasil produktivitas jaring sirang, dilakukan dengan uji t student. Hasil pengujian secara parsial ini
317
memperlihatkan bahwa hanya panjang jaring (X3), yang memberikan pengaruh sangat nyata secara langsung terhadap produktivitas jaring sirang pada tingkat kepercayaan 99%, sedangkan pengalaman nelayan (X6) memberikan pengaruh yang nyata terhadap produktivitas jaring sirang pada tingkat kepercayaan 95%. Hal ini berarti bahwa penambahan panjang jaring dan lebar jaring tersebut dapat meningkatkan produktivitas, demikian juga sebaliknya jika dilakukan pengurangan panjang dan lebar jaring menurunkan produktivitas. Faktor produksi BBM, lama pengoprasian, pengalaman dan umur nelayan tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas jaring sirang karena nilai t hitung yang diperoleh lebih kecil daripada nilai t tabel pada tingkat kepercayaan 95%. Hubungan antara faktor input yang berpengaruh langsung terhadap produktivitas jaring sirang, yaitu panjang jaring dan lebar jaring. Hubungan antara panjang jaring (m) dengan produktivitas jaring sirang (kg/unit kapal/hari) yang dioperasikan di Perairan Cilacap berpengaruh nyata terhadap produktivitas jaring sirang. Hal ini terlihat dari hubungan antara panjang jaring dengan produktivitas jaring sirang yang linier. Panjang jaring berpengaruh nyata terhadap hasil produksi dengan dugaan bahwa jaring yang lebih panjang akan memiliki daerah sapuan (sweeping area) lebih luas dibandingkan dengan jaring yang lebih pendek, sehingga kemungkinan ikan untuk tertangkap akan lebih banyak. Hal ini menyebabkan semakin besar peluang gerombolan ikan tidak terusik perhatiannya karena jarak antara gerombolan ikan dengan dinding jaring dapat semakin besar, sehingga gerombolan ikan tersebut semakin besar peluangnya untuk tertangkap. Jika dibandingkan dengan ukuran panjang jaring yang lebih kecil (700 m), maka luas cakupan jaringnya lebih kecil, sehingga kemungkinan ikan untuk tertangkap akan lebih sedikit dan peluang ikan untuk meloloskan diri lebih besar. Faktor lebar jaring memberikan pengaruh langsung terhadap produktivitas dengan dugaan bahwa target penangkapan jaring sirang adalah ikan-ikan demersal yang swimming layernya berada pada kedalaman yang dapat dijangkau dengan lebar jaring 2-3 m, hal ini dikarenakan ikan demersal merupakan jenis ikan yang hidup di dasar atau dekat dasar perairan dengan penyebaran relatif merata dibandingkan dengan ikan pelagis. Menurut Aoyama (1973) dalam Candra (2005), karena aktifitasnya yang rendah dan gerak ruaya yang tidak terlalu jauh maka daya tahan ikan demersal terhadap tekanan penangkapan relatif rendah sehingga apabila intensitas penangkapan ditingkatkan maka mortalitas penangkapannya meningkat. Widodo (1980) dalam Gultom (2002), menambahkan bahwa kedalaman perairan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran ikan demersal. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda, maka formula fungsi produksi jaring sirang yang didaratkan di Cilacap dapat dirumuskan sebagai berikut: Y = -4,012 + 0,127 X(BBM) + 0,099 X(Lama Pengoprasian) + 0,003 X(Panjang Jaring) + 0,816 X(Lebar Jaring) – 0,079 X(Pengalaman nelayan) – 0,011 X(Umur Nelayan) Nilai intersep yang diperoleh sebesar -4,021 yang menunjukkan bahwa titik potong garis regresi terletak pada sumbu Y negatif. Nilai koefisien untuk BBM, lama pengoprasian, panjang dan lebar jaring adalah positif. Hal ini dapat diartikan bahwa penambahan seluruh faktor input tersebut akan meningkatkan produktivitas jaring sirang, demikian pula sebaliknya jika dilakukan pengurangan terhadap faktor input ini akan menurunkan hasil produksi jaring sirang. Sedangkan untuk pengalaman dan umur nelayan, koefisien yang diperoleh bernilai negatif, artinya bahwa penambahan seluruh faktor input tersebut akan menurunkan produktivitas jaring sirang, demikian pula
318
sebaliknya jika dilakukan pengurangan terhadap faktor input ini akan menaikkan hasil produksi jaring sirang. Hasil penjumlahan semua koefisien variabel diperoleh sebesar -3,057, hal ini menunjukan bahwa setiap penambahan variabel masukan secara bersama-sama 1% akan menaikan hasil produksi jaring sirang sebesar 3,057%. Collier (1986) serta Lackey dan Hubert (1987) dalam Mahdiana et al. (2002), mengemukakan mengenai penjumlahan dari semua koefisien produksi, bahwa fungsi produksi menunjukan skala usaha yang bertambah, jika semua masukan yang ditentukan pada fungsi dinaikan dengan presentase tertentu maka keluaran akan naik dengan proporsi yang lebih besar. Nilai besaran koefesien persamaan regresi memiliki arti tingkat hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Hasil penjumlahan secara bersama-sama antaravariabel bebas dengan produktivitas jaring sirang diperoleh nilai sebesar 95,5% yaitu sebagai berikut, lebar jaring sirang (X4) memberikan kontribusi 81,6%, BMM (X1) memberikan kontribusi 12,7%, lama pengoperasian (X2) memberikan kontribusi 9,9%, pengalaman nelayan (X5) memberikan kontribusi 7,9%, umur nelayan (X6) memberikan kontribusi 1,1%, dan panjang jaring (X3) memberikan kontribusi 0,3%, sedangkan sisanya yang tidak terdeteksi yang dipengaruhi oleh faktor lain diperoleh nilai sebesar 4,5%. Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa variabel bebas penelitian terhadap produktivitas jaring sirang pada lebar jaring mempunyai tingkat hubungan yang sangat kuat, sedangkan BBM, lama pengoperasian, pengalaman nelayan, umur nelayan dan panjang jaring mempunyai tingkat hubungan yang sangat rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Draper dan Smith (1992), bahwa tingkat hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat suatu persamaan regresi berdasarkan koefisien korelasi dengan interval koefisien 0,80-0,1000 mempunyai tingkat hubungan yang sangat kuat sedangkan interval koefisien 0,00-0,199 mempunyai tingkat hubungan yang sangat rendah. 4.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata produksi jaring sirang di perairan Cilacap adalah 2,12±1,41 kg/unit kapal/hari dan besarnya pengaruh jumlah BBM, lama pengoperasian, panjang jaring, lebar jaring, pengalaman nelayan dan umur nelayan secara bersama-sama adalah sebesar 95,5% sebagai faktor masukan (X) terhadap produktivitas jaring sirang sebagai faktor keluaran (Y), sedangkan yang tidak terdeteksi sebesar 4,5% dipengaruhi oleh faktor lain serta faktor-faktor produksi yang paling berpengaruh terhadap produktivitas jaring sirang yaitu panjang jaring dan lebar jaring. DAFTAR PUSTAKA Ayodhyoa AU. 1981. Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan Dewi Sri. Bayun, S. 2005. Produktivitas Jaring Cantrang (Danish Seine) di Perairan Pantai Kabupaten Pemalang. Skripsi. Program Sarjana Perikanan dan Kelautan, Unsoed. Purwokerto. Candra, A. 2005. Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Domersal di Perairan Pemalang dengan Alat Tangkap Cantrang dan Arad. Skipsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponogoro, Semarang.
319
Draper, N R dan Smith. 1992. Analisis Regresi Terapan Edisi II. Terjemahan B. Sumantri. PT Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. Gultom, S. L. 2002. Kajian Variasi Ukuran Ikan Demersal Hasil Tangkapan Jaring Arad di Perairan Kota Tegal dan Sekitarnya. Skipsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Diponogoro, Semarang. Hidayat, 1997. Analisis Usaha Ternak Sapi Perah Bantuan MEE di Kabupaten Banyumas [tesis]. Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Mahdiana, A., Sukardi, P., 2002. Studi Alat Tangkap Jaring Insang (Gill Net) Pada Pengelolaan sumberdaya Perikanan Tangkap di waduk panglima Jenderal Soedirman. Sains akuatik, Jurnal Ilmu Perairan. Wahyono A. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Media Presindo. Yogyakarta Walpole RE. 1997. Pengantar Statistika. Volume ke-3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
320
ASPEK KESELAMATAN KERJA DI KAPAL PERIKANAN CANTRANG DI TPI KLUWUT KABUPATEN BREBES Oleh : Thimotius Jasman1
ABSTRAK Alat tangkap cantrang merupakan alat tangkap yang dominan dioperasikan di TPI Kluwut Kabupaten Brebes dan daerah penangkapan alat tangkap ini semula hanya beroperasi di sekitar Laut Jawa, sekarang semakin jauh sampai pada Laut Cina Selatan hingga Selat Malaka, sehingga mempunyai resiko yang tinggi untuk mengalami segala macam musibah pada saat operasi penangkapan maupun musibah kecelakaan seperti terjadinya tumbukan antar kapal. Oleh kerena itu untuk mengetahui kesiapan armada penangkapan ikan dalam mengahadapi segala kemungkinan musibah pada saat melakukan operasi penangkapan di laut maka perlunya penelitian mengenai aspek keselamatan kerja di kapal perikanan cantrang di TPI Kluwut Kabupaten Brebes. Aspek keselamatan kerja di kapal perikanan cantrang di TPI Kluwut Kabupaten Brebes belum maksimal, ketersediannya hanya sebatas memenuhi persyaratan pelayaran di laut. Alat keselamatan kapal yang digunakan pada kapal cantrang terdiri dari tabung kebakaran, life jacket, GPS, SSB (radio komunikasi), kompas, jerigen, gabus apung, galon kosong, sepatu bot dan sarung tangan. Alat keselamatan kapal berupa kompas, jerigen, gabus apung, galon kosong, sepatu bot, dan sarung tangan hampir seluruh kapal memilikinya (100 %), namun kapal yang melengkapai dengan tabung kebakaran 20 %, serta life jacket, GPS dan SSB (radio komunikasi) hanya 24 % dari jumlah sampel armada cantrang. Key Word : Aspek Keselamatan Kerja, Perikanan Cantrang, TPI Kluwut
1.
PENDAHULUAN
Menurut The Study for The Maritime Traffic Safety System Development Plan tahun 2002, penyebab kecelakaan kapal antara lain kesalahan manusia (human error) 41%, bencana alam (force majeur) 38%, dan struktur kapal (hull structure) 21% (Departemen Perhubungan, 2002). Disebutkan pula bahwa efektivitas pengoperasian suatu kapal ikan di laut pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kelaiklautan yang meliputi seawothiness dan seakindliness dari kapal tersebut. Seaworthiness merupakan indikasi kenyamanan kerja di atas kapal, seperti gerakan oleng dan angguk yang tidak terlalu cepat, olah gerak kapal yang baik dan sebagainya. Kedua hal tersebut menjadi salah satu kriteria utama yang harus dipenuhi oleh kapal yang akan dirancang. Keselamatan di laut bagi kapal ikan itu sendiri juga meliputi keselamatan anak buah kapal (ABK), barangbarang angkutan termasuk ikan hasil tangkapan yang disimpan dalam palka. Sarijo (2007) menyatakan bahwa keselamatan adalah tanggung jawab semua pihak. Akan lebih baik jika penegakan faktor keselamatan tersebut tidak hanya sekadar kewajiban, tetapi sudah dijadikan kebutuhan bagi semua pihak. Di samping faktor kapal, kecelakaan laut juga lebih sering terjadi karena faktor kelalaian manusia, prosedur organisasi, dan cara pengoperasian kapal. Keselamatan kerja merupakan hal yang mutlak 1
Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan UPS Tegal
321
perlu untuk diperhatikan karena menyangkut keselamatan nyawa seseorang. Karena itu dalam melakukan usaha penangkapan ikan di laut perlu memperhatikan keselamatan dirinya dan para atasannya perlu juga memperhatikan dan melengkapi aturan dan kelengkapannya. Alat keselamatan kapal perikanan meliputi alat penolong, alat pemadam kebakaran, perlengkapan isyarat bahaya, perlengkapan P3K. Usaha penangkapan ikan merupakan usaha yang beresiko tinggi (high risk), karena dilakukan di laut dengan kondisi yang sulit dikontrol. Untuk mengurangi resiko kerja dan agar hasil tangkapan yang diperoleh sesuai dengan harapan, pengetahuan tentang teknologi penangkapan dan keselamatan kerja di atas kapal sangat diperlukan. Komoditas ikan merupakan produk yang cepat rusak (highly perishable), untuk menjaga agar mutu dapat dipertahankan, pascapanen perlu mendapatkan perlakuan yang serius. Perlu pertimbangan yang matang untuk mengantisipasi jarak antara lokasi penangkapan (fishing ground) dengan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) ataupun pelabuhan perikanan (Aditya, 2007). Alat tangkap cantrang merupakan alat tangkap yang dominan dioperasikan di TPI Kluwut Kabupaten Brebes dan daerah penangkapan alat tangkap ini semula hanya beroperasi di sekitar Laut Jawa, sekarang semakin jauh sampai pada Laut Cina Selatan hingga Selat Malaka, sehingga mempunyai resiko yang tinggi untuk mengalami segala macam musibah pada saat operasi penangkapan maupun musibah kecelakaan seperti terjadinya tumbukan antar kapal. Oleh kerena itu untuk mengetahui kesiapan armada penangkapan ikan dalam menghadapi segala kemungkinan musibah pada saat melakukan operasi penangkapan di laut maka perlunya penelitian mengenai aspek keselamatan kerja di kapal perikanan cantrang di TPI Kluwut Kabupaten Brebes. 1.1.
Permasalahan
Pada hakekatnya penerapan Log Book Perikanan (LBP) dan Lembar Laik Operasional (LLO) Pelabuhan Perikanan dimaksudkan agar terciptanya administrasi yang teratur. Bagi kapal-kapal penangkap ikan beserta komponen di dalamnya, administrasi yang teratur akan menciptakan keamanan, keselamatan bagi kapal-kapal perikanan dan awak kapal. Sedangkan bagi pemerintah dan pelabuhan perikanan akan memperoleh data perkembangan produksi ikan pada jangka waktu tertentu sehingga diharapkan ada upaya peningkatan kualitas maupun kuantitas dari pemerintah kepada masyarakat perikanan setempat (Sarijo, 2007). Departemen Perhubungan (2002) menyatakan bahwa kecelakaan kapal penangkap ikan terus meningkat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini terutama ketika menghadapi gelombang laut yang tinggi. Kapal penangkap ikan di bawah ukuran 50 GT sangat sensitif dan riskan ketika berlayar pada kondisi laut ini karena di samping ukurannya yang kecil juga tidak mampu menghadapi terpaan ombak besar sehingga kapal itu tenggelam. Untuk mengetahui aspek keselamatan kerja di Kapal Perikanan Cantrang di TPI Kluwut Kabupaten Brebes, maka perlunya dilakukan penelitian mengenai kelengkapan alat keselamatan kapal, sehingga jika terjadi kecelakaan di laut timbulnya korban dapat diperkecil dengan lengkapnya alat keselamatan kapal, seperti : alat penolong (pelampung dan life jacket), alat pemadam kebakaran, perlengkapan isyarat bahaya, perlengkapan P3K. 1.2.
Tujuan Tujuan penelitian ini adalah :
322
1) Untuk mengetahui aspek keselamatan kerja di kapal perikanan cantrang di TPI Kluwut Kabupaten Brebes 2) Untuk mengetahui kelengkapan peralatan keselamatan kapal yang tersedia di armada penangkapan cantrang di TPI Kluwut Kabupaten Brebes 1.3.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 di TPI Kluwut Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes
2.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
2.1.
Materi
Materi yang dalam penelitian ini adalah armada penangkapan cantrang di TPI Kluwut Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes. 2.2.
Metode Penelitian
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Kasus yang dikaji dalam penelitian ini adalah aspek keselamatan kerja di kapal perikanan cantrang di TPI Kluwut Kabupaten Brebes. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer, berupa kelengkapan alat keselamatan kerja di kapal perikanan cantrang di TPI Kluwut Kabupaten Brebes yang diperoleh melalui kuesioner. Skoring dalam kuesioner didasarkan pada pendapat Hadi (2001) yang menyatakan bahwa dalam penulisan kuesioner kualitatif dapat dibuat skor berdasarkan peringkat. Data sekunder berupa perkembangan perikanan Kabupaten Brebes, khususnya perkembangan armada penangkapan cantrang di Kabupaten Brebes yang diperoleh pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes. Dalam penelitian ini pengambilan sampel sebesar 25 responden. 2.3.
Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini, adalah analisis deskriptif dengan menganalisis keberadaan alat keselamatan kapal pada armada penangkapan cantrang di TPI Kluwut Kabupaten Brebes berdasarkan hasil kuesioner yang diajukan pada nelayan cantrang, melalui pengujian multivarian (Multiple Response Set) dari program SPSS (Santoso, 2002).
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Hasil
Kapal cantrang di TPI Kluwut Kabupaten Brebes pada umumnya terbuat dari bahan kayu jati. Ukuran kapal bervariasi sesuai dengan keinginan pemesan, dan biasanya melihat kondisi keuangan dari pemesan (rata-rata 20-30 GT). Tenaga penggerak (mesin) utama untuk kapal cantrang pada umumnya Mitsubishi 80 - 100 HP dan dilengkapi dengan line hauler untuk menarik jaring. Alat ini digerakan oleh mesin bantu (Dong Feng
323
18 – 22 PK) yang dihubungkan dengan gardan mobil untuk memutar line hauler. Berdasarkan wawancara dengan nelayan cantrang diperoleh bahwa hasil tangkapan nelayan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mengalami penurunan jumlah hasil tangkapan dan daerah penangkapan semakin jauh. Semula hanya mengoperasikan alat tangkap cantrang di sekitar Laut Jawa, sekarang semakin jauh sampai pada Laut Cina Selatan hingga Selat Malaka. 3.1.2.
Alat Keselamatan Kapal
Alat keselamatan kapal yang digunakan pada kapal cantrang terdiri dari tabung kebakaran, life jacket, GPS (Global Positioning System), radio SSB-Single Set Band (radio komunikasi), kompas, jerigen, gabus apung, galon kosong, sepatu bot dan sarung tangan. Keberadaan alat keselamatan kapal tersebut tidak semua kapal cantrang memilikinya. Alat keselamatan kapal berupa kompas, jerigen, gabus apung, galon kosong, sepatu bot, dan sarung tangan hampir seluruh kapal memilikinya (100 %), namun kapal yang melengkapai dengan tabung kebakaran 20 %, serta life jacket, GPS, dan SSB (radio komunikasi) hanya 24 % dari jumlah sampel armada cantrang. Keberadaan alat keselamatan kapal di armada penangkapan cantrang di TPI Kluwut dari 25 responden tersaji pada Tabel 1. Tabel 1.
Keberadaan Alat Keselamatan Kapal di Armada Penangkapan Cantrang di TPI Kluwut dari 25 Responden Jumlah Responden Prosentase No Alat Keselamatan Kapal (Orang) (%) 1 Tabung Kebakaran 5 20 2 Life Jacket 6 24 3 GPS 6 24 4 Radio SSB (Radio Komunikasi) 6 24 5 Kompas 25 100 6 Jerigen 25 100 7 Gabus Apung 25 100 8 Galon Kosong 25 100 9 Sepatu Bot 25 100 10 Sarung Tangan 25 100
Hasil wawancara dengan nelayan berdasarkan koesioner yang diajukan tentang ketersediaan peralatan keselamatan diperoleh sebagai berikut : 1) Nelayan tidak pernah mengalami kecelakaan kerja di kapal. 2) Bila terjadi kecelakaan nelayan akan menggunakan perlengkapan keselamatan yang ada. 3) Keberadaan kelengkapan keselamatan kerja di kapal sebagai salah satu persyaratan melakukan pelayaran. 4) Nelayan tidak mengetahui dan memahami bahwa keselamatan kerja tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Hasil wawancara dengan para nelayan di TPI Kluwut dari kuesioner tentang arti penting peralatan keselamatan kerja dapat disimpulkan bahwa : 1) Nelayan mengerti tentang arti penting alat keselamatan kerja di kapal dan sangat dibutuhkan dalam setiap operasi penangkapan (sangat setuju = 28 % dan setuju 72 %).
324
2) Perlengkapan keselamatan kapal yang nelayan siapkan hanya sekedar untuk memenuhi persyaratan berlayar (sangat setuju = 20 % dan setuju 80 %). 3) Nakhoda bertanggungjawab atas apa saja yang terjadi di atas kapal pada saat operasi penangkapan ikan (sangat setuju = 20 %, setuju 56 %, ragu-ragu 4 % dan tidak setuju 20 %). 4) Dalam setiap operasi penangkapan anda menggunakan alat keselamatan seperti : sepatu karet, sarung tangan dan jeket keselamatan (life jacket) (setuju 84 %, raguragu 12 % dan tidak setuju 4 %) 5) Peralatan pemadam kebakaran, life jacket, GPS, radio SSB, kompas, jerigen, gabus apung, galon kosong, sepatu bot dan sarung tangan selalu tersedia dalam kondisi baik di kapal saudara (ragu-ragu 80 % dan tidak setuju 20 %) 6) Bila hendak melakukan operasi penangkapan (pelayaran) anda selalu mengecek kesiapan (penggunaan) alat keselamatan kerja di kapal (setuju 64 %, ragu-ragu 8 % dan tidak setuju 28 %) 7) Nelayan mengerti tentang prosedur keselamatan kerja di atas kapal (sangat setuju = 24 %, setuju 68 %, ragu-ragu 8 % dan tidak setuju 20 %) 8) Setiap orang yang ada di atas kapal yang mengetahui di kapalnya terjadi kecelakaan, dalam batas-batas kemampuannya wajib memberikan pertolongan dan melaporkan kecelakaan tersebut kepada pejabat yang berwenang terdekat atau pihak lain (sangat setuju = 24 % dan setuju 76 %). 9) Nakhoda atau pemimpin kapal yang mengetahui adanya bahaya bagi keselamatan berlayar wajib mengambil tindakan pencegahan dan menyebarluaskan berita mengenai hal itu kepada pihak lain (sangat setuju = 20 % dan setuju 80 %) 10) Nakhoda atau pemimpin kapal yang sedang berlayar wajib memberikan pertolongan dalam batas kemampuannya kepada setiap orang atau kapal yang ditemukan berada dalam bahaya di perairan dan orang-orang yang berada di menara suar (sangat setuju = 24 % dan setuju 76 %). 11) Nakhoda atau pemimpin kapal yang terlibat dalam tubrukan dengan kapal lain wajib memberikan pertolongan kepada penumpang, awak kapal, dan kapal yang terlibat dalam tubrukan tersebut (sangat setuju = 36 % dan setuju 64 %). Berdasarkan penilaian terhadap kuesioner yang diajukan selama pelaksanaan penelitian yang tersaji pada Lampiran 5, diperoleh bahwa jumlah penilaian (skor) berkisar antara 29 – 39 skor. Hal ini berarti bahwa respon terhadap pertanyaan yang diajukan dikategorikan yang menjawab setuju sebanyak 10 orang responden sedangkan 15 orang menjawab raguragu. Analisis statistik dengan menggunakan program SPSS Multiple Response Set penilaian terhadap kuesioner tentang kriteria arti penting peralatan keselamatan kerja tersaji pada Tabel 2. Tabel 2.
No 1 2 3 4
Hasil Analisis Statistik dengan Menggunakan Program SPSS Multiple Response Set Penilaian terhadap Kuesioner tentang Kriteria Arti Penting Peralatan Keselamatan Kerja Jumlah Prosentase Kategori (point) (%) TS 18 6,5 RR 28 10,2 S 180 65,5 SS 49 17,8 Total responses 275 100,0
325
Berdasakan Tabel 2, diperoleh bahwa dari 25 orang responden terhadap 11 pertanyaan yang diajukan diperoleh bahwa : menyatakan S (setuju) tentang arti penting peralatan keselamatan kerja memperoleh 180 point (65,5 %), SS (sangat setuju) sebesar 49 point (17,8 %), RR (ragu-ragu) sebesar 28 point (10,2 %), dan TS (tidak setuju) sebesar 18 point (6,5 %). Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya nelayan sudah memahami arti penting peralatan keselamatan kerja namun dari kesiapan alat keselamatan kerja di atas kapal belum memenuhi persyaratan pelayaran kapal. Pernyataan sangat setuju berarti nelayan cantrang sangat memahami tentang arti penting peralatan keselamatan kapal, sedangkan pernyataan setuju berarti nelayan cantrang hanya memahami arti penting peralatan keselamatan kapal. Namun pada kenyataannya kesiapan alat keselamatan kapal tidak memenuhi standar keselamatan kerja di kapal. Ketersediaan alat keselamatan di kapal cantrang dalam penelitian dari 25 kapal mempunyai rata-rata tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Ketersediaan Alat Keselamatan di Kapal Cantrang dalam Penelitian No Alat Keselamatan Kapal Jumlah Rata-Rata (buah) 1 Alat Navigasi - Kompas 1 - GPS 1 2 Alat Pemadam Kebakaran - Tabung Kebakaran 1 3 Alat Penolong - Life Jacket 3 - Jerigen 17 - Gabus Apung 4 - Galon Kosong 3 4 Alat Komunikasi - Radio SSB (radio komunikasi) 1 5 Alat keselamatan kerja - Sepatu Bot 3 - Sarung Tangan 6 Berdasarkan tabel di atas alat navigasi yang terdiri dari kompas dan GPS sudah memenuhi standar alat keselamatan kapal, namun hanya 6 buah kapal dari 25 kapal yang melengkapinya. Alat komunikasi berupa radio SSB hanya 6 buah kapal dari 25 kapal yang melengkapinya. Radio SSB digunakan sebagai alat komunitasi antar kapal pada saat operasi penangkapan di laut dan memberikan informasi antar kapal pada saat terjadi musibah di atas kapal (cuaca buruk, ABK sakit dan lainnya). Alat pemadam kebakaran yang tersedia di kapal cantrang berupa tabung kebakaran kapal, keberadaannya hanya 5 buah kapal dari 25 kapal yang melengkapinya dan mempunyai kondisi yang tidak layak pakai. Sedangkan alat penolong yang tersedia berupa : life jacket, jerigen, gabus apung, dan galon kosong. Alat penolong tersebut yang mempunyai standar keselamatan hanya life jacket, sedangkan jerigen, gabus apung, dan galon kosong sebenarnya bukan merupakan alat keselamatan kapal, namun dapat digunakan sebagai alat keselamatan kapal sebagai pengganti pelampung. Berdasarkan jumlah alat keselamatan kapal khususnya alat penolong dengan jumlah ABK kapal cantrang berkisar antara 8 – 12 orang telah terpenuhi dalam kebutuhan akan alat penolong (jerigen, gabus apung, dan galon kosong) yang tersedia di kapal.
326
3.2.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa ketersediaan dan kesiapan alat keselamatan kapal pada armada penangkapan cantrang di TPI Kluwut belum maksimal, ketersediannya hanya sebatas memenuhi persyaratan pelayaran di laut. Nelayan dalam mengantisipasi kecelakaan di kapal mengandalkan perlengkapan-perlengkapan kapal yang dapat mengapung, seperti jerigen, gabus apung, galon kosong untuk digunakan sebagai alat keselamatan kapal. Keberadaan alat navigasi yang terdiri dari kompas dan GPS sudah memenuhi standar alat keselamatan kapal. Alat komunikasi berupa radio SSB hanya 6 buah kapal dari 25 kapal yang melengkapinya. Alat pemadam kebakaran yang tersedia di kapal cantrang berupa tabung kebakaran kapal, keberadaannya hanya 5 buah kapal dari 25 kapal yang melengkapinya dan mempunyai kondisi yang tidak layak pakai. Sedangkan alat penolong yang tersedia berupa : life jacket, jerigen, gabus apung, dan galon kosong. Alat penolong tersebut yang mempunyai standar keselamatan hanya life jacket, sedangkan jerigen, gabus apung, dan galon kosong sebenarnya bukan merupakan alat keselamatan kapal, namun dapat digunakan sebagai alat keselamatan kapal sebagai pengganti pelampung. Hal ini menunjukkan bahwa nelayan alat tangkap cantrang kurang memahami arti penting alat keselamatan kapal. Kesiapan alat keselamatan kapal dan kelaiklautan kapal sebenarnya sudah disyaratkan dalam suatu pelayaran oleh syahbandar. Namun nelayan alat tangkap cantrang di TPI Kluwut tidak memperhatikan perawatan sehingga kelengkapan alat keselamatan kapal kurang diperhatikan kesiapannya. Walaupun berdasarkan wawancara dengan nelayan cantrang menyatakan bahwa peralatan keselamatan tersebut terawat dan berfungsi dengan baik, namun pada kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa peralatan yang terawat dengan baik hanya berupa jerigen, gabus apung, galon kosong, sepatu bot dan sarung tangan sedangkan alat berupa tabung pemadam kebakaran tidak berfungsi dengan baik. Nelayan lebih mengandalkan pompa air dibandingkan dengan menggunakan tabung pemadam kebakaran jika terjadi kebakaran di atas kapal dan memang sejauh ini belum pernah terjadi kebakaran di atas kapal, sehingga nelayan enggan melengkapi kapalnya dengan tabung pemadam kebakaran. Dalam pelayaran yang bertugas mengawasi kelengkapan kapal untuk melakukan pelayaran adalah syahbandar, termasuk memeriksa kelengkapan dan kesiapan peralatan keselamatan kapal. Menurut Budihardjo (2006), tugas syahbandar di pelabuhan perikanan tersebut selain menerbitkan surat ijin berlayar juga berkewenangan memeriksa ulang kelengkapan dan keabsahan dokumen kapal perikanan, memeriksa ulang alat penangkapan ikan yang ada di kapal perikanan, memeriksa persyaratan teknis dan nautis kapal dari aspek keselamatan pelayaran, mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan serta mengatur pergerakan dan lalu lintas kapal di pelabuhan perikanan. Sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf i Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : PER.16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan, pelabuhan perikanan memiliki fungsi pelaksanaan kesyahbandaran dalam upaya keselamatan pelayaran terhadap kapal-kapal perikanan sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan petugas khusus di Pelabuhan Perikanan yakni syahbandar perikanan. Disamping ketersediaan alat keselamatan kapal tak kalah pentingnya dalam suatu pelayaran kapal di laut adalah kelaiklautan kapal. Kelaiklautan kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal; pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, pemuatan, kesehatan dan kesejahteraan awak, serta penumpang dan status hukum kapal untuk berlayar di perairan tertentu
327
Industri perkapalan memang lebih kompleks dibandingkan dengan industri darat lainnya, hal ini dikarenakan menyangkut unsur keselamatan (safety) baik terhadap orang, barang (kapal dan muatannya), dan lingkungan. Disamping itu kecenderungan dari industri maritim ini adalah seperti investasi jangka panjang, padat modal dan lambat dalam pengembaliannya. Sehingga mengakibatkan banyak investors yang ’enggan’ untuk terjun kedalam bisnis maritim tersebut. Dilain pihak tingkat ketergantungan industri perkapalan / galangan kapal terhadap peran investor adalah sangat besar (Adji, 2004). Faktor-faktor yang mempengaruhi desain suatu kapal penangkap ikan adalah tujuan penangkapan ikan, alat dan metode penangkapan, kelaiklautan dan keselamatan awak kapal, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan desain kapal, pemilihan material yang tepat untuk konstruksi, penanganan dan penyimpanan hasil tangkapan, serta faktor-faktor ekonomis Rahardjo (2002) menyatakan bahwa untuk dapat menghasilkan hasil laut, telah dibutuhkan pula sejumlah perahu/kapal perikanan laut yang terdiri dari berbagai ukuran. Peralatan berupa perahu/kapal itu, asli kreasi masyarakat nelayan, oleh sebab itu setiap aspek peralatan tersebut bagi masyarakat nelayan sangat strategis bagi kehidupan mereka. Perahu/kapal tidak hanya dilihat sebagai benda fisik saja, tetapi ia adalah bagian kehidupan nelayan, dan dia dipandang mempunyai dimensi dan ruang yang lain. Perlu diperlakukan sebagai bagian integral dari kehidupan kelompok nelayan. Melihat, betapa pentingnya peralatan hidup itu, maka setiap perubahan atau penambahan atribut tertentu padanya, nelayan menuntut perlakuan-perlakuan khusus yang harus serasi dengan dinamika kehidupan kelompok nelayan. Tuntutan itu erat kaitannya dengan keselamatan, ketenteraman dan kepercayaan terhadap keunggulan secara fisik, dan selanjutnya kepasrahan pada kekuatan supra natural yang berada diluar kelompoknya. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa nelayan lebih mementingkan alat navigasi berupa kompas dari pada alat keselamatan kapal, seperti tabung kebakaran dan life jacket. Jika terjadi kebakaran nelayan mengandalkan pompa air dengan sumber air dari laut dari pada tabung kebakaran, sedangkan untuk pelampung lebih mengandalkan jerigen, gabus apung, dan galon kosong dari pada pelampung dan life jacket. Untuk peralatan keselamatan kerja di kapal nelayan alat tangkap cantrang menggunakan sepatu bot dan sarung tangan. Belum tersedianya alat keselamatan kapal pada alat tangkap cantrang di TPI Kluwut Kabupaten Brebes disebabkan karena : 1) Kurangnya kesadaran para memilik kapal dalam memahami arti penting alat keselamatan kapal, sehingga tidak melengkapi kapalnya dengan alat keselamatan kapal sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Pemerintah 2) Kurangnya pengawasan oleh dinas terkait dalam hal ini syahbandar dalam memberikan pengawasan yang ketat terhadap kesediaan dan kesiapan alat keselamatan kapal Umar (2003) menyatakan bahwa tanggungjawab atas keselamatan kapal dan navigasi di laut dan perairan pelabuhan di mana tersangkut keselamatan jiwa manusia dan harta benda di laut, pengaturan tentang pencegahan dan pencemaran laut, pengawasan atas sistem sertifikasi pelaut, keamanan di laut seyogyanya berada di tangan pemerintah pusat. Disebutkan pula bahwa konvensi-konvensi hukum maritim berupa ketentuanketentuan hukum publik (antara lain : yang menyangkut navigasi dan keselamatan pelayaran), dan mengenai hukum perdata (seperti tentang tanggung jawab pengangkut/pemilik kapal, tubrukan kapal, serta pencemaran laut).
328
Nelayan tidak mengetahui dan memahami bahwa keselamatan kerja tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Noegroho (2005) menyatakan bahwa peningkatan keselamatan kapal di laut tertuang dalam strategi pengembangan potensi kelautan nasional yang meliputi : 1) Mengembangkan industri kelautan secara terpadu melalui keterkaitan antara industri utama dengan industri yang memasok bahan baku (Peningkatan dan Pengembangan). 2) Mendorong iklim yang kondusif bagi penanaman modal untuk penyebaran pembangunan industri kelautan di kawasan timur Indonesia (Peningkatan dan Pengembangan). 3) Menambah jumlah dan mengembangkan kapasitas galangan kapal (Peningkatan). 4) Mengembangkan industri kelautan sesuai pola wilayah terpadu dan komoditas terpadu (Peningkatan dan Pengembangan). 5) Mengembangkan sistem transportasi kelautan nasional dalam upaya meningkatkan aksesibilitas dan mengaitkan dengan pusat-pusat ekonomi regional dan nasional, serta mengembangkan jalur lalu lintas antar samudera dan antar pulau (Pengembangan). 6) Mengembangkan kapasitas daya tampung pelabuhan, pergudangan,dan lapangan penumpukan serta meningkatkan mutu pelayanan jasa kepelabuhanan (Peningkatan dan Pengembangan). 7) Meningkatkan keselamatan pelayaran melalui peningkatan pelayanan navigasi dan peningkatan kegiatan pemetaan laut (Peningkatan dan Pengembangan). Syamsuddin (2007) menyatakan bahwa tujuan diselenggarakannya keselamatan dan kesehatan kerja, hendak melindungi tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya agar memperoleh kesejahteraan hidup, untuk dapat meningkatkan produksi serta produktivitas nasional. Perlindungan itu tidak ditujukan terhadap tenaga kerja saja, akan tetapi termasuk setiap orang lain yang berada di tempat kerja, perusahaan dan segala harta kekayaannya. Berdasarkan tanggapan terhadap pernyataan dalam koesioner diperoleh bahwa nelayan cantrang memahami tentang tanggung jawab nakhoda bila terdapat kecelakaan kerja di kapal. Umar (2003) menyatakan hak dan kewajiban nakhoda selaku pemimpin kapal adalah : 1) Nakhoda harus mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku guna menjamin keselamatan kapal, pelayaran-pelayaran dan muatan 2) Nakhoda wajib meminta pertolongan seorang pandu dalam kepentingan keamanan kapal 3) Nakhoda tidak diijinkan meninggalkan kapal, kecuali kehadirannya di kapal tidak diperlukan untuk menyelamatkan jiwanya 4) Nakhoda berwenang untuk membuang muatan-muatan, perlengkapan kapal untuk menyelamatkan kapal atau muatan serta berwenang mempergunakan muatan demi keselamatan kapal dan muatannya 5) Nakhoda wajib memberikan pertolongan kepada orang-orang yang berada dalam bahaya, selama tidak membahayakan kapal dan penumpangnya 6) Nakhoda tidak boleh menyimpang dari haluan kecuali guna menolong jiwa manusia 4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Aspek keselamatan kerja di kapal perikanan cantrang di TPI Kluwut Kabupaten Brebes belum maksimal, ketersediannya hanya sebatas memenuhi persyaratan pelayaran di laut.
329
2) Alat keselamatan kapal yang digunakan pada kapal cantrang terdiri dari tabung kebakaran, life jacket, GPS, SSB (radio komunikasi), kompas, jerigen, gabus apung, galon kosong, sepatu bot dan sarung tangan 3) Alat keselamatan kapal berupa kompas, jerigen, gabus apung, galon kosong, sepatu bot, dan sarung tangan hampir seluruh kapal memilikinya (100 %), namun kapal yang melengkapai dengan tabung kebakaran 20 %, serta life jacket, GPS dan SSB (radio komunikasi) hanya 24 % dari jumlah sampel armada cantrang. 4.2.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan perlu adanya penyuluhan kepada nelayan alat tangkap cantrang tentang arti penting keselamatan kerja di kapal sehingga nelayan dapat melengkapi perlengkapan keselamatan kapal.
DAFTAR PUSTAKA Aditya, W. 2007. Nenek Moyang Kami Ada di Laut. VHRmedia.net - Voice of Human Rights News Centre. http://www.vhrmedia.net/home/ yang direkam pada 24 Oktober 2007 14:16:28 GMT. Adji, SW. 2004. Industri Perkapalan Indonesia : Menyongsong Masa Depan. Jurusan Teknik Sistem Perkapalan. Fakultas Teknologi Kelautan. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya Budihardjo, S. 2006. Tingkatkan Pelayanan Prima, DKP Angkat Syahbandar Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. http://www.dkp.go.id/ yang direkam pada 16 Desember 2007 02:12:38 GMT. Departemen Perhubungan. 2002. The Study for The Maritime Traffic Safety Development Plan in The Republic of Indonesia. Departemen Perhubungan – JICA, Jakarta. Noegroho, N. 2005. Pengembangan Kapasitas Kelembagaan sebagai Tema Pokok "Ocean Governance" Guna Mewujudkan Sistem Negara Kepulauan. Makalah disampaikan dalam Lokakarya "Towards Ocean Summit 2005" yang diselenggarakan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan pada tanggal 14 Juli 2005 di Hotel Bidakara, Jakarta. Rahardjo, P. 2002. Nelayan Nusantara sebuah Falsafah Kehidupan. Makalah Falsafah Sains. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. http://tumoutou.net/ yang direkam pada 21 Okt 2007 01:40:41 GMT Santoso, S. 2002. SPSS Versi 10 Mengolah Data Statistik secara Profesional. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta Sarijo, P.S. 2007. Penerapan Log Book Perikanan (LBP) dan Lembar Laik Operasional (LLO) Belum Bisa Diterapkan. Artikel Kelautan dan Perikanan. DKP Propinsi Banten. http://www.dkp-banten.go.id/galery/artikel/saridjo.html yang direkam pada 27 Juli 2007 00:15:43 GMT.
330
Syamsuddin, M.S. 2007. Perkembangan Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jakarta. http://www.nakertrans.go.id/majalah_buletin/ Umar, M.H. 2003. Masalah Pembangunan dan Penegakan Hukum Kelautan di Indonesia. Forum Pemerhati Perhubungan Laut, Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran.
331
PENGUJIAN UMPAN BUATAN TERHADAP IKAN KERAPU MACAN PADA SKALA LABORATORIUM The Test of Artificial Bait to Grouper at Laboratory Scale Oleh: Mochammad Riyanto1, Ari Purbayanto and Dian Indrawatie
ABSTRAK Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan ikan karang ekonomis penting. Penangkapan ikan karang paling efektif dengan menggunakan bubu (perangkap), yang dalam pengoperasiannya dibutuhkan umpan. Tujuan penelitian ini mengetahui pola pergerakan ikan kerapu macan dalam merespons umpan buatan dan menguji respons ikan kerapu macan terhadap komposisi umpan buatan (arginin dan leusin) yang berbeda. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental laboratorium. Berdasarkan hasil penelitian pola pergerakan ikan kerapu macan dalam merespons umpan buatan diidentifikasi menjadi tiga pola. Pada kondisi dengan pencahayaan ikan merespons umpan sampai dengan fase finding, sedangkan pada kondisi tanpa pencahayaan ikan hanya merespons sampai dengan fase searching. Waktu rata-rata respons arousal dan searching didapatkan hasil waktu respons tercepat terdapat pada umpan A. Perbedaan umpan berpengaruh nyata terhadap waktu arousal dan searching , namun tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu respons finding pada kondisi pencahayaan. Kata kunci : arginin, kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), leusin, respons, umpan buatan. ABSTRACT Grouper (Epinephelus fuscoguttatus) is an economically important reef fish. Catching reef fish most effective by using pot with the bait. The objectives of this study were to know the movement patterns of grouper fish in response to artificial bait and test the response of grouper on the different of composition of artificial bait (arginine and leucine). The laboratory experiment methods were used in this study. The results of this study are movement pattern of grouper identified were three pattern responses to artificial bait. In the lighting condition fish respond to finding phase, while in the dark condition fish respond to searching phase. The average time to arousal and searching response that showed the bait of A has fastest response time. The different of bait has significantly different for arousal and searching in lighting or dark condition, but has not significantly different for finding response in lighting condition. Key word: Arginine, Artificial bait, Grouper (Epinephelus fuscoguttatus), Leucine, Response
1.
PENDAHULUAN
Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan ikan karang konsumsi yang banyak diminati oleh masyarakat terutama masyarakat manca negara. Menurut data 1
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB
332
Departemen Kelautan dan Perikanan (2006) volume ekspor kerapu tahun 2006 bisa mencapai 1.800 ton atau US$ 24 juta dari total produksi perikanan sebesar 12.000 ton. Menurut Soelaiman (2007) permintaan ekspor ikan kerapu dengan tujuan negara Hongkong bisa mencapai 2.868 kg dengan nilai US$ 5.736,36 juta. Selain Hongkong ikan kerapu juga cukup diminati oleh negara Singapura dengan jumlah ekspor sebesar 32,80 kg dengan nilai US$ 87,90 juta. Tingginya tingkat permintaan ekspor ikan kerapu membuat para nelayan melakukan segala cara untuk mendapatkan komoditi ini. Kegiatan penangkapan ikan kerapu yang dilakukan oleh nelayan biasanya dengan menggunakan bubu, pancing, bahan peledak dan bius (potassium cyanide). Penggunaan bahan peledak dan bius dapat mengakibatkan kerusakan terumbu karang. Ikan yang didapatkan dengan menggunakan bahan peledak dalam kondisi tidak segar atau sudah mati, sehingga memiliki harga yang rendah dan tidak dapat diekspor. Penggunaan bubu dan pancing dalam penangkapan ikan tidak merusak ekosistem terumbu karang dan sumber daya ikan lainnya, hal ini disebabkan karena bubu dan pancing merupakan alat tangkap pasif. Terdapat perbedaan kondisi hasil tangkapan dari kedua alat tangkap pasif ini, hasil tangkapan ikan dengan menggunakan pancing kondisinya segar tetapi terdapat luka yang diakibatkan oleh mata pancing yang tajam sedangkan hasil tangkapan dengan bubu kondisinya segar dan tidak terdapat luka. Faktor penunjang keberhasilan penangkapan alat tangkap pasif adalah umpan. Umpan digunakan sebagai pemikat atau atraktan. Ikan karang yang sifatnya bersembunyi pada terumbu karang akan terstimulasi keluar dari terumbu karang karena terpikat bau dari umpan. Umpan yang digunakan dalam pengoperasian bubu dapat dibagi menjadi dua menurut asalnya yaitu umpan alami dan umpan buatan. Umpan alami adalah umpan yang didapatkan dari alam seperti ikan segar. Sedangkan umpan buatan adalah umpan yang sengaja dibuat oleh manusia. Penelitian mengenai umpan telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya antara lain Uji Coba Beberapa Macam Umpan Tiruan pada Penangkapan Ikan dengan Huhate di Perairan Bone-Bone, Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara (Syafrie, 2008); Analisis Indera Penglihatan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan Hubungannya dalam Merespons Umpan (Natsir, 2008) dan Respons Penciuman Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap Umpan (Sejati, 2008); Respons Penciuman Ikan Kerapu Macan terhadap Umpan Buatan (Riyanto, 2008, Riyanto, et al 2010) dan Respons Penglihatan dan Penciuman Ikan terhadap Umpan Terkait dengan Efektivitas Penangkapan (Fitri, 2008). Berdasarkan penelitian sebelumnya didapatkan hasil komposisi umpan buatan asam amino arginin dan leusin dapat digunakan sebagai atraktan yang berperan pada respons penciuman ikan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang pengaruh komposisi asam amino (arginin dan leusin) dan perbedaan warna umpan buatan terhadap respons tingkah laku ikan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pola pergerakan ikan kerapu macan dalam merespons umpan buatan; dan menguji respons ikan kerapu macan terhadap umpan buatan yang berbeda.
333
2.
BAHAN DAN METODE
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah: akuarium kaca dengan ukuran 130 x 60 x 80 cm, dengan batas ketinggian air 40 cm dan volume air 200 liter. Sekat utama, terbuat dari fiber warna hitam tebal 0,5 cm dengan ukuran 80 x 50 cm.. Sekat ini diambil pada saat eksperimen respons penciuman ikan dimulai. Fungsi sekat ini adalah untuk menghalangi ikan ketika umpan dimasukkan sehingga diharapkan ikan tidak dapat melihat umpan yang dipasang kedalam ruang umpan. Ikan kerapu macan (Epinephelus fiscoguttatus) yang digunakan pada penelitian ini dalam kondisi sehat sebanyak 5 ekor dengan panjang total (25-30 cm). Umpan yang digunakan adalah umpan buatan dengan perbedaan komposisi berdasarkan jumlah kandungan bahan penyusun utama yaitu arginin dan leusin dan Celluloce Metyl Carboxyl (CMC) food grade sebagai bahan pencampur umpan seperti ditunjukkan Tabel 1. Tabel 1. Komposisi bahan umpan buatan Komposisi Kimia Umpan (gr) Asam Amino A B C D Arginin 0,38 0,38 0.50 0,50 Leusin 0,42 0.54 0,29 0,42 CMC 20 20 20 20
E 0,50 0,54 20
Selain itu umpan dibuat kedalam tiga jenis warna yang berbeda (tanpa warna, biru dan hijau) untuk menimbulkan daya tarik ikan melalui organ penglihatannya. Kedua faktor penentu formulasi umpan (komposisi asam amino dan warna umpan) tersebut di atas merupakan perlakuan yang akan diuji dalam penelitian ini. Rancangan perlakuan perbedaan warna umpan buatan disajikan pada Tabel 2 Tabel 2. Rancangan perlakuan perbedaan warna umpan buatan Umpan A B C D Warna Tanpa pewarna ATanpa warna BTanpa warna CTanpa warna DTanpa warna Biru ABiru BBiru CBiru DBiru Hijau AHijau BHijau CHijau DHijau
E ETanpa warna EBiru EHijau
Data primer yang dikumpulkan meliputi data tingkah laku ikan mendekati umpan, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai umpan, komposisi bahan umpan buatan, kandungan proksimat (air, protein, dan lemak) dari formulasi umpan buatan. Tahapan penelitian yang dilakukan sebagai berikut: menyiapkan akuarium perlakukan yang telah diisi air laut dan diberi aerator, kemudian sekat pembatas dipasang. Selanjutnya ikan kerapu macan dimasukkan kedalam akuarium untuk dipuasakan selama satu hari sebagai proses adaptasi dan orientasi terhadap lingkungan akuarium. Umpan diikat pada benang pancing kemudian dimasukkan kedalam akuarium pada jarak 5 cm dari sekat dan 15 cm dari akuarium, yang dilanjutkan dengan pengambilan sekat secara perlahan-lahan agar ikan tidak kaget dan stres. Pengambilan data dilakukan dengan dua kondisi perlakuan pencahayaan, yakni: kondisi tanpa cahaya dan cahaya redup. Pada saat kondisi tanpa cahaya bak fiber perlakuan dikelilingi oleh plastik mulsa untuk menciptakan ruang gelap. Ruang gelap dimaksudkan agar pada saat uji coba ikan hanya mengandalkan organ penciuman dalam mendeteksi umpan. Sedangkan pada perlakuan dengan pencahayaan redup bak perlakuan
334
tidak dipasangi dengan plastik mulsa. Pengambilan rekaman pada saat kondisi tanpa cahaya menggunakan mode night shoot. Ikan yang akan diuji sudah dipindahkan dari bak pemeliharaan ke bak perlakuan dan ikan sudah dilaparkan selama 3 x 24 jam. Pengujian diawali dengan menggiring ikan ke ujung bak perlakuan dan sekat dipasang. Umpan yang dipasang selama satu kali perlakuan ada empat jenis umpan dengan komposisi arginin dan leusin yang sama dengan tiga warna umpan yang berbeda dan satu umpan sebagai kontrol. Umpan diletakkan pada jarak 105 cm dari sekat. Pengamatan dilakukan dengan cara merekam tingkah laku ikan dalam mendekati umpan. Setiap perlakuan menggunakan 5 ekor ikan kerapu dengan 4 jenis umpan yang berbeda. Setiap setting dianggap sebagai satu ulangan dan tiap perlakuan diamati selama 1 jam. Setiap pergantian ulangan dilakukan pergantian air dalam bak agar kondisi air sama dengan kondisi awal penelitian. Data yang dikumpulkan dalam perlakuan adalah data tingkah laku ikan mendekati umpan, waktu ikan mendekati umpan yang terbagi ke dalam 3 fase yaitu: (1) Arousal (menerima rangsangan), fase dimana ikan mulai beraksi karena adanya rangsangan bau, (2) Searching (mencari), fase dimana ikan mulai mencari makanan (umpan) hanya menggunakan organ penciumannya, dan (3) Finding (menemukan), ikan telah menemukan umpan dan melakukan uptake (mengambil/memakan umpan).
Gambar 1. Pembagian fase respons ikan terhadap umpan
335
Data tentang respons ikan kerapu mendekati umpan dianalisis secara deskriptif dengan menganalisis hasil rekaman tingkah laku ikan bagian-per bagian rekaman yang diputar (frame by frame). Data mengenai waktu respons arousal, searching, dan finding terhadap umpan merupakan nilai rataan yang ditampilkan dalam bentuk grafik secara sederhana sesuai dengan jenis umpan. Data tersebut selanjutnya dibandingkan untuk mengetahui besarnya pengaruh perbedaan umpan terhadap waktu respons penciuman ikan kerapu macan dengan analisis ragam satu arah (ANOVA). 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.
Tingkah laku ikan mendekati umpan buatan
Selama perlakuan dilakukan dengan dua kondisi pencahayaan, tanpa pencahayaan dan pencahayaan yang redup. Pada kondisi ada pencahayaan ikan mengunakan indera penglihatan dan penciuman dalam mendeteksi umpan. Sedangkan pada kondisi tanpa pencahayaan ikan diharapkan hanya mengunakan indera penciuman dalam mendeteksi umpan. Tingkah laku ikan dalam mendekati umpan dapat kita bagi menjadi dua, yakni: 1) Tingkah laku ikan mendekati umpan dalam kondisi pencahayaan redup Perlakuan diawali dengan memasang sekat. Ikan digiring ke ujung bak kemudian dipasangi sekat. Pada ujung bak lain umpan yang akan diuji mulai dipasang. Setelah itu sekat mulai diangkat perlahan. Posisi awal ikan sebelum sekat dibuka berada di pojok dan sudut bak perlakuan. Setelah sekat dibuka, ikan masih tetap dalam kondisi diam di pojok. Ikan satu demi satu mulai berenang menyusuri sisi bak perlakuan kurang lebih tiga menit setelah sekat dibuka. Ikan berenang menyusuri sisi dari ujung bak satu ke ujung bak yang lain dan ada pula yang berenang menyilang. Hal ini bisa dikarenakan karena ikan mulai beraksi terhadap umpan atau ikan hanya mulai mengadaptasikan diri dengan lingkungannya setelah sekat dibuka. Tingkah laku ikan ini dapat kita lihat pada Gambar 2a, 2b, dan 2c.
identifikasi U1 U2
searching
umpan
U3 searching aerator
arousal
searching
searching
U4
Gambar 2a Pola tingkah laku ikan (1).
336
U1 U2
searching
arousal
umpan
U3 aerator
U4
Gambar 2b Pola tingkah laku ikan (2). identifikasi U1 finding
U2
searching
arousal
umpan
U3 aerator
U4
Gambar 2c Pola tingkah laku ikan (3). Pola gerak tingkah laku ikan yang pertama dapat dilihat pada Gambar 2a, yang digambarkan dengan anak panah, dimulai dengan melakukan pergerakan menyusuri dinding bak perlakuan hingga kembali ke tempat semula. Dalam pendataan waktu yang diperoleh dimasukan ke dalam fase arousal ketika ikan mulai melewati area start dan fase searching ketika ikan mulai berada di sekitar umpan. Pada Gambar 2b pola tingkah laku ikan berbeda dengan pola tingkah laku ikan yang pertama. Ikan tidak sampai melewati umpan, hanya berenang maju tidak jauh dari area start lalu kembali lagi ke posisi awal. Pada pola tingkah laku ikan ini data waktu yang didapatkan hanya sampai dengan fase searching. Pola tingkah laku ikan yang ke tiga juga berbeda dengan yang lainnya. Pada pola ini menunjukan ikan menyentuh namun tidak sampai memakan umpan buatan warna putih. Setelah menyentuh umpan ikan kembali ke ujung bak. Ikan merespons sampai dengan fase finding. Pola tingkah laku ikan ini hanya terjadi sekali pada pengambilan data awal. Pergerakan ikan mulai melewati area start disebut dengan fase arousal. Fase ini dimulai pada saat ikan mulai bereaksi terhadap rangsangan bau atau melihat umpan (Ferno dan Olsen, 1994). Hampir selama pengujian dengan umpan buatan ikan hanya sampai pada tahap searching yakni fase dimana ikan mulai mencari keberadaan umpan. Hanya pada pengujian awal ikan menyentuh umpan tetapi tidak sampai memakannya atau bisa disebut dengan fase finding. Hal ini dimungkinkan karena ikan mengunakan organ penglihatanya dalam mendeteksi umpan. Untuk membuktikan hal di atas dilakukan pengujian dengan dengan kondisi tanpa pencahayaan. 2) Tingkah laku ikan mendekati umpan dalam kondisi tanpa pencahayaan Persiapan yang dilakukan saat perlakuan tanpa pencahayaan hampir sama dengan perlakuan dengan pencahayaan redup. Pembeda dari kedua perlakuan ini adalah bila
337
tanpa pencahayaan bak perlakuan dipasangi plastik mulsa untuk menciptakan kondisi yang gelap. Pada kondisi tanpa pencahayaan ikan berenang menyusuri dinding-dinding bak dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Hal ini diduga untuk mempermudah ikan dalam mengorientasikan diri dalam kondisi gelap. Selama perlakuan dengan kondisi tanpa pencahyaan ikan hanya maju dan mundur berenang menyusuri dinding. Ikan tidak pernah menyentuh umpan. Akan tetapi selama pendataan kegiatan ini tetap dimasukan sampai dengan fase searching. Pada perlakuan kontrol, kondisi tanpa pencahayaan dan tanpa umpan setelah sekat dibuka ikan berenang maju dan mundur menyusuri dinding. Pergerakan ikan dalam kondisi tanpa pencahayaan dapat dilihat pada Gambar 3. searching
arousal
identifikasi umpan
aerator
searching
Gambar 3. Pola tingkah laku ikan. 3.2.
Respons Ikan Kerapu Macan terhadap umpan buatan
Pendataan hasil pengujian respons ikan kerapu macan dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan fase, yakni: 1) Waktu rata-rata arousal Waktu respons arousal adalah waktu pada saat ikan bergerak keluar dari area start. Waktu rata-rata arousal tercepat pada kondisi dengan pencahayaan terdapat pada umpan A, yaitu 2,17 ± 0,03 menit. Selanjutnya umpan C yaitu 3,30 ± 0,05 menit, umpan E yaitu 3,33 ± 0,03 menit, umpan B yaitu 3,50 ± 0,02 menit dan terakhir umpan D yaitu 3,66 ± 0,06 menit. Sedangkan jika tanpa pencahayaan waktu rata-rata arousal tercepat pada umpan C, yaitu 3,52 ± 0,02 menit. Selanjutnya umpan A yaitu 4,06 ± 0,11 menit, umpan D yaitu 4,15 ± 0,01 menit, umpan E yaitu 4,40 ± 0,02 menit dan terakhir umpan B yaitu 5,00 ± 0,11 menit. Grafik data waktu arousal pada kondisi dengan pencahayaan dan tanpa pencahayaan dapat dilihat pada Gambar 4a dan 4b.
Keterangan: A= Arginin 0,38gr dan leusin 0,42gr; B= Arginin 0,38g dan leusin 0,54gr; C= Arginin 0,50 dan leusin 0,29gr; D= Arginin 0,50gr dan leusin 0,42gr; dan E= Arginin 0,50gr dan leusin 0,54gr. Gambar 4a. Grafik data waktu arousal kondisi dengan pencahayaan.
338
Gambar 4b. Grafik data waktu arousal kondisi tanpa pencahayaan. 2) Waktu rata-rata searching Waktu searching adalah waktu yang dicatat pada saat ikan mulai bergerak kembali untuk menemukan keberadaan umpan. Setelah sebelumnya melakukan arousal dan berhenti sejenak di depan area start untuk identifikasi umpan. Waktu rata-rata searching tercepat pada kondisi dengan pencahayaan terdapat pada umpan A, yaitu 19,65 ± 0,12 menit. Selanjutnya umpan B yaitu 20,36 ± 0,04 menit, umpan E yaitu 20,57 ± 0,10 menit, umpan D yaitu 21,94 ± 0,11 menit dan terakhir umpan C yaitu 23,14 ± 0,12 menit. Sedangkan jika tanpa pencahayaan waktu rata-rata searching tercepat pada umpan C, yaitu 4,00 ± 0,24 menit. Selanjutnya umpan D yaitu 4,19 ± 0,03 menit, umpan E yaitu 4,44 ± 0,09 menit, umpan A yaitu 4,16 ± 0,10 menit dan terakhir umpan B yaitu 5,00 ± 0,37 menit. Grafik waktu searching pada kondisi dengan pencahayaan dan kondisi tanpa pencahayaan dapat dilihat pada Gambar 5a dan 5b.
Gambar 5a. Grafik waktu searching kondisi dengan pencahayaan.
339
Gambar 5b. Grafik waktu searching kondisi tanpa pencahayaan. 3) Data waktu finding Waktu finding adalah waktu yang dicatat pada saat ikan telah menemukan umpan yang kemudian langsung memakannya atau hanya menyentuhnya saja. Pada saat perlakuan dengan kondisi tanpa pencahayaan ikan hanya merespons sampai dengan tahap searching. Ikan tidak memakan atau bahkan menyentuh umpan. Fase finding ikan hanya terjadi satu kali selama pengujian, yaitu pada waktu pengujian awal dengan kondisi terdapat pencahayaan. Pengujian selanjutnya ikan tidak pernah sampai pada tahap finding. Waktu finding 23,39 menit terhadap umpan A. Jika kita bandingkan dengan waktu rata-rata arousal dan searching yang disajikan pada Gambar 4a dan 5a didapatkan waktu rata-rata arousal dan searching pada umpan A memiliki waktu tercepat dibandingkan keempat umpan lainnya. Pengujian selanjutnya waktu rata-rata arousal dan searching mengalami penurunan hal ini mungkin disebabkan oleh ikan yang sudah terbiasa dengan umpan yang diberikan. Data yang didapatkan dari hasil pengujian memperlihatkan ikan kurang merespon umpan buatan yang terdiri dari arginin dan leusin. Pengujian tambahan dilakukan untuk lebih meyakinkan bahwa ikan kurang menyukai umpan buatan perlakuan. Perlakuan dilakukan dengan melemparkan pakan dan umpan buatan ke dalam bak perlakuan. Pada awal perlakuan umpan buatan yang dilempar lebih dahulu kemudian setelah itu pakan yang dilemparkan. Hasil pengamatan terlihat ikan langsung menyambar pakan dan umpan buatan, namun terdapat perbedaan respons, jika yang dilemparkan adalah pakan ikan maka ikan langsung menyambar dan memakannya. Sedangkan jika yang dilemparkan umpan buatan ikan hanya menyentuh saja tidak sampai memakannya. 3.3.
Pengaruh perbedaan jenis umpan terhadap waktu respons penciuman
Hasil uji ANOVA menunjukkan adanya pengaruh nyata antara jenis umpan baik dengan waktu arousal maupun waktu searching. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikasi yang lebih kecil dibandingkan 0,05 (sig. < 0,05) dan Fhitung yang lebih besar daripada Ftabel (Fhitung > Ftabel). Perbedaan yang tidak berpengaruh nyata hanya terjadi pada pengaruh jenis umpan terhadap waktu finding kondisi dengan pencahayaan. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai signifikasi yang lebih besar dari 0,05 (sig. > 0,05) dan nilai Fhitung yang lebih kecil dibandingkan Ftabel (Fhitung < Ftabel). Perbedaan umpan terhadap waktu respons finding tidak memberikan pengaruh nyata. Hal ini disebabkan oleh data waktu finding yang didapat memiliki nilai yang
340
hampir seluruhnya sama. Ikan tidak merespons umpan buatan sampai dengan fase finding. Ikan merespons sampai menyentuh umpan pada awal pengambilan data dan hanya sekali selama penelitian. Semua tahapan pengujian umpan buatan terhadap respons ikan menunjukkan ikan kerapu macan mengunakan indera penglihatan dan penciuman dalam mendeteksi umpan. Bau dari umpan buatan yang digunakan tidak menarik indera penciuman ikan. Jarak pemasangan umpan buatan yang diujikan masih terlalu dekat dengan area start menyebabkan ikan merespon umpan dikarenakan indera penglihatannya. Jarak maksimum penglihatan ikan kerapu macan sejauh 4m (Natsir, 2008). Menurut Bone dan Marshall (1982) otak merupakan cerminan berkembang tidaknya fungsi organ-organ sensoris pada hewan. Otak ikan memiliki bagian-bagian yang menunjukan susunan yang berbeda pada kelompoknya. Hasil penelitian Sejati (2008) dan Fitri (2008), otak Epinephelus fuscoguttatus memiliki bagian telencephalon berukuran besar, demikian juga pada bagian optic tectum. Cerebellum melengkung ke atas dan di belakang cerebellum ditemukan medulla oblongata. Telencephalon merupakan pusat penciuman pada bagian otak depan dan optic tectum merupakan merupakan bagian otak yang berhubungan dengan penglihatan (Bone dan Marshall, 1982). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan ikan kerapu macan mengandalkan kedua organ baik penglihatan maupun penciuman.
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1.
Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini meliputi: 1) Pola pergerakan ikan kerapu macan dalam merespons umpan buatan (arginin dan leusin) terdapat tiga pola, yaitu pertama ikan berenang menyusuri dinding bak; kedua ikan berenang menyusuri dinding bak kemudian melakukan identifikasi terhadap umpan; dan yang ketiga ikan menyusuri dinding, mengidentifikasi dan menemukan umpan namun ikan tidak memakannya. 2) Pada kondisi dengan pencahayaan ikan merespons umpan sampai dengan fase finding, sedangkan pada kondisi tanpa pencahayaan ikan hanya merespons sampai dengan fase searching. Berdasarkan penghitungan waktu rata-rata respons arousal dan searching didapatkan hasil waktu respons tercepat terdapat pada umpan A. 3) Perbedaan umpan memberikan pengaruh nyata terhadap waktu respons arousal dan searching baik pada kondisi dengan pencahayaan maupun tanpa pencahayaan. Namun perbedaan umpan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu respons finding pada kondisi pencahayaan. 4.2.
Saran
1) Perlu dilakukan uji lebih lanjut terhadap rangsangan kimiawi yang tepat yang dapat digunakan sebagai atraktan; 2) Perlu dilakukan uji difusi umpan buatan pada zat cair; dan 3) Jarak umpan buatan yang diujikan diperjauh, sesuai dengan jarak pandang maksimum ikan kerapu macan sejauh 4 meter.
341
PERSANTUNAN Tulisan ini merupakan bagian dari hasil riset Pengembangan Umpan Buatan (Artificial Bait) untuk Meningkatkan Efektivitas Penangkapan Ikan, Program Hibah Kompetensi Dikti Tahun 2009. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kementerian Pendidikan Nasional yang telah membiayai penelitian ini, LPPM IPB yang telah memfasilitasi bagi terlaksananya penelitian ini dan seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya. DAFTAR PUSTAKA Bone Q dan Marshall NB. 1982. Biology of Fishes. Glasgow. London:Blakcie and Sons Ltd. [DKP].
2006. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia. Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Engas A and Lokkeborg S. 1994. Abundance Estimation using Bottom Gillnet and Longline – The Role of Fish Behavior. Di dalam Ferno, Aand Olsen, S. editor. Marine Fish Behavior in Capture and Abudance Estimation. Fishing News Books. Pp:134-165. Ferno A dan Olsen S. 1994. Marine Fish Behavior and Abudance Estimation. Fishing News Books, England. 221 hlm. Fitri ADP. 2008. Respons Penglihatan dan Penciuman Ikan terhadap Umpan Terkait dengan Efektivitas Penangkapan [Disertasi]. Bogor:Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Natsir DSS. 2008. Analisis Indera Penglihatan Ikan Kerapu Macan dan Hubungannya dalam Merespons Umpan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Riyanto M, Purbayanto A dan Wiryawan B. 2010. Respons ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) terhadap umpan buatan. Jurnal Penelitian Ilmu Perikanan Vol 16 No 1., Pusat Riset Perikanan Tangkap. Jakarta. Hal 75-85. Riyanto M. 2008. Respons Penciuman Ikan Kerapu Macan terhadap Umpan Buatan [Tesis]. Bogor:Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sejati DB. 2008. Respons Penciuman Ikan Kerapu Macan (Ephinephelus fuscoguttatus) terhadap umpan Pengujian Skala laboratorium [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Soleiman. 9 Agustus 2007. Embargo Cina Rugikan Indonesia US$ 27.9 Juta. Harian Sinar Indonesia Baru. Syafrie H. 2008. Uji Coba Umpan Tiruan pada Penangkapan Ikan dengan Huhate di Perairan Bau-Bau Sulawesi Tenggara [Skripsi]. Bogor:Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
342