Upaya Meningkatkan Resiliensi Melalui Pelaksanaan Pelatihan Peer Counseling Pada Siswa Lestariningsih (09220141) Mahasiswa Pendidikan Bimbingan dan Konseling IKIP Veteran Semarang ABSTRAK Penelitian ini berangkat dari latar belakang masalah yakni rendahnya resiliensi siswa di SMK Negeri 2 Purwodadi yang ditandai dengan munculnya perilaku siswa di sekolah antara lain: (1) sering putus asa manakala nilai ujiannya rendah, (2) tidak percaya dengan kemampuan diri sendiri, (3) susah beradaptasi dengan orang yang baru dikenal, (4) tidak fleksibel dalam berperilaku, (5) motivasi untuk maju rendah, dan (6) mudah menyerah dalam menghadapi tugas yang diberikan oleh guru. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengungkap apakah pelaksanaan konseling teman sebaya dapat meningkatkan resiliensi siswa di SMK Negeri 2 Purwodadi. Pendekatan yang digunakan adalah penelitian tindakan bimbingan dan konseling dengan mengacu pada model spiral Kemmis dan Mc Taggart. Sesuai dengan prosedur, penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yakni perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Keempat rangkaian tersebut dipandang sebagai satu siklus. Dalam pelaksanaan sesungguhnya ada 2 siklus yang dilakukan oleh peneliti. Subjek dalam penelitian ini adalah 10 siswa yang dijadikan sebagai calon peer konselor dimana memiliki kriteria: (1) psikologis lebih dewasa dari teman pada umumnya, (2) populer secara positif, (3) memiliki kemampuan akademik lebih, minimal rerata, (4) proaktif, (5) emosi cukup stabil, dan (6) mampu menjaga rahasia dan dapat bekerjasama dengan konselor sekolah. Pengukuran tingkat resiliensi siswa subjek penelitian berdasarkan skala resiliensi yang meninjau indikator: (1) regulasi emosi, (2) pengendalian impuls, (3) optimisme, (4) empati, (5) analisis penyebab masalah, (6) efikasi diri, dan (7) reaching out. Setelah dilakukan penelitian dalam 2 (dua) siklus, bisa disimpulkan bahwa konseling teman sebaya secara efektif dapat meningkatkan resiliensi siswa subjek penelitian mencapai angka 97 (kategori tinggi). Disarankan guru bimbingan dan konseling tidak mengesampingkan masalah resiliensi siswa, tetapi sebaliknya harus serius menanganinya karena tinggi-rendahnya resliliensi siswa akan berdampak pada kualitas siswa saat proses pembelajaran. Kata Kunci : Resiliensi, Konseling Teman Sebaya, Siswa SMK
PENDAHULUAN Sebagian anak dan remaja memiliki masa lalu yang kurang menguntungkan bagi perkembangan mereka. Bahkan setiap individu pernah mengalami berbagai peristiwa yang kurang menyenangkan tetapi tidak dapat dihindarkan. Setiap individu pernah mengalami kegagalan dan masa-masa yang penuh dengan kesulitan. Masa lalu memang tidak dapat diubah, tetapi pengaruh negatif masa lalu dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Untuk tujuan tersebut resiliensi individu perlu dikembangkan. Pengembangan resiliensi sangat bermanfaat sebagai bekal dalam menghadapi situasisituasi sulit yang tidak dapat dihindarkan. Resiliensi adalah kapasitas individu untuk menghadapi dan mengatasi serta merespon secara positif kondisi-kondisi tidak menyenangkan yang tidak dapat dihindari, dan memanfaatkan kondisikondisi tidak menyenangkan itu untuk memperkuat diri sehingga mampu mengubah kondisi-kondisi tersebut menjadi sesuatu hal yang wajar untuk diatasi (Suwarjo, 2008:2). Resiliensi dipandang sebagai suatu kapasitas individu yang berkembang melalui proses belajar. Melalui berbagai keberhasilan dan 9
| JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING
kegagalan dalam menghadapi situasi-situasi sulit, individu terus belajar memperkuat diri sehingga mampu mengubah kondisi-kondisi yang menekan dan tidak menyenangkan menjadi suatu kondisi yang wajar untuk diatasi. Rhodes dan Brown (dalam Desmita, 2006:87) juga menyatakan bahwa anak-anak yang resilien adalah mereka yang mampu memanipulasi dan membentuk lingkungannya, menghadapi tekanan hidup dengan baik, cepat beradaptasi pada situasi baru, mempersepsikan apa yang sedang terjadi dengan jelas, fleksibel dalam berperilaku, lebih toleran dalam menghadapi frustasi dan kecemasan, serta meminta bantuan saat mereka membutuhkannya. Paparan di atas menguatkan asumsi bahwasanya resiliensi merupakan kemampuan yang penting untuk dimiliki oleh setiap siswa. Siswa yang resiliensinya rendah sangat mungkin untuk tidak mampu menyesuaikan diri dan beradaptasi terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan. Pendapat ini senada dengan penjelasan Grotberg (dalam Suwarjo, 2008:35) yang menyatakan bahwa seseorang dengan tingkat resilieni yang rendah tidak akan mampu menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti di SMK Negeri 2 Purwodadi, ada beberapa siswa yang terindikasi tingkat resiliensinya rendah. Adapun perilaku yang dimunculkan siswa saat berada di sekolah antara lain: (1) sering putus asa manakala nilai ujiannya rendah; (2) tidak percaya dengan kemampuan diri; (3) susah beradaptasi dengan orang yang baru dikenal; (4) tidak fleksibel dalam berperilaku; (4) mudah tersinggung atau emosi tidak stabil; (5) motivasi untuk maju rendah; (6) mudah menyerah dalam menghadapi tugas yang diberikan oleh guru. Apabila kondisi tersebut tidak segera diatasi, maka tidak menutup kemungkinan akan memunculkan dampak yang lebih luas, seperti siswa tidak memiliki tujuan belajar, siswa selalu merasa pesimis dalam belajar, siswa tidak memiliki keyakinan atas kemampuan yang dimilikinya, serta siswa tidak memiliki tanggung jawab terhadap dirinya. Hal-hal itu nantinya akan berpengaruh terhadap hasil akhir dari tujuan belajar di sekolah yaitu prestasi belajar. Berdasarkan data tersebut, maka dibutuhkan sebuah langkah konkrit untuk membantu siswa meningkatkan resiliensinya. Layanan bimbingan dan konseling sebagai bagian integral dari sistem pendidikan memiliki peran strategis dalam membantu siswa meningkatkan resiliensinya. Layanan bimbingan dan konseling yang sekiranya relevan untuk meningkatkan resiliensi siswa adalah konseling sebaya (peer counseling). Konseling teman sebaya menurut Tindall dan Gray (dalam Suwarjo, 2012:6) adalah suatu ragam tingkah laku membantu secara interpersonal yang dilakukan oleh individu non-profesional yang berusaha membantu orang lain. Pada dasarnya peer counseling merupakan suatu wahana belajar bagaimana remaja saling memperhatikan dan saling bantu satu sama lain (Suwarjo, 2012:20). Dalam proses kegiatannya peer counseling akan memberikan pengetahuan bagaimana remaja itu berkomunikasi dan berinteraksi secara baik dengan sesama.
10
| JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING
Konseling teman sebaya dipandang penting karena berdasarkan pengamatan peneliti sebagian besar remaja sering membicarakan masalah-masalah mereka dengan teman sebaya dibandingkan dengan orang tua, pembimbing, atau guru di sekolah. Untuk masalah yang dianggap sangat seriuspun mereka bicarakan dengan teman sebaya (sahabat). Kalaupun terdapat remaja (siswa) yang akhirnya menceritakan masalah serius yang mereka alami kepada orang tua, pembimbing atau guru, biasanya karena sudah terpaksa (pembicaraan dan upaya pemecahan masalah bersama teman sebaya mengalami jalan buntu). Hal tersebut terjadi karena remaja memiliki ketertarikan dan komitmen serta ikatan terhadap teman sebaya yang sangat kuat. Remaja merasa bahwa orang dewasa tidak dapat memahami mereka dan mereka yakin hanya dengan sesama merekalah remaja dapat saling memahami. Konseling teman sebaya pernah dilaksanakan di SMK Negeri 2 Purwodadi namun demikian hasil yang didapatkan belum maksimal. Penyebab utamanya karena layanan tersebut tidak diprogramkan secara khusus sehingga kontinuitas pelaksanaannya menjadi tidak jelas. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab rendahnya resiliensi siswa di SMK Negeri 2 Purwodadi karena siswa tidak memiliki wahana untuk mengentaskan masalah dan mengembangkan diri. Berdasarkan deskripsi di atas, dalam upaya membantu meningkatkan resiliensi siswa, maka peneliti mencoba menyusun studi penelitian tindakan bimbingan dan konseling yang dikemas melalui sebuah penelitian dengan judul “Upaya Meningkatkan Resiliensi melalui Konseling Teman Sebaya pada Siswa SMK Negeri 2 Purwodadi”.
TINJAUAN PUSTAKA Definisi Resiliensi Resiliensi adalah suatu kemampuan untuk bertahan dan bangkit dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup. Dalam penelitian ini, peneliti berupaya untuk meningkatkan resiliensi siswa (remaja). Resiliensi memiliki empat fungsi fundamental dalam kehidupan manusia yaitu: a. Mengatasi hambatan-hambatan pada masa kecil: Melewati masa kecil yang sulit memerlukan usaha keras, membutuhkan kemampuan untuk tetap fokus dan mampu membedakan mana yang dapat dikontrol dan mana yang tidak. b. Melewati tantangan-tantangan dalam kehidupan sehari-hari: Setiap orang membutuhkan resiliensi karena dalam kehidupan ini kita diperhadapkan oleh masalah, tekanan, dan kesibukan-kesibukan. Orang yang resilien dapat melewati tantangan-tantangan tersebut dengan baik. Penelitian menunjukkan hal yang paling penting untuk menghadapi tantangan adalah self-efficacy, yakni suatu kepercayaan bahwa kita dapat menghadapi lingkungan dan menyelesaikan masalah. c. Bangkit kembali setelah mengalami kejadian traumatik atau kesulitan besar: Beberapa kesulitan tertentu dapat membuat trauma dan membutuhkan resiliensi yang lebih tinggi dibanding tantangan kehidupan sehari-hari. Kejatuhan yang kita alami sangat ekstrem, yang membuat kita secara emosional hancur, keadaan yang seperti ini membutuhkan pantulan resiliensi untuk pulih. 11
| JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING
d. Mencapai prestasi terbaik: Beberapa orang memiliki kehidupan yang sempit, mempunyai kegiatan yang rutin setiap harinya. Merasa nyaman dan bahagia ketika segala sesuatunya berjalan dengan lancar. Sebaliknya, ada juga orang yang merasa senang ketika bisa menjangkau orang lain dan mencari pengalaman baru. Sebagaimana resiliensi dibutuhkan untuk mengatasi pengalaman negatif, mengatasi stres, pulih dari trauma, resiliensi juga dibutuhkan untuk memperkaya arti kehidupan, hubungan yang dalam, terus belajar dan mencari pengalaman baru. Konseling Teman Sebaya Konseling sebaya merupakan suatu bentuk pendidikan psikologis yang disengaja dan sistematik. Konseling sebaya memungkinkan siswa untuk memiliki keterampilan-keterampilan guna mengimplementasikan pengalaman kemandirian dan kemampuan mengontrol diri yang sangat bermakna bagi remaja. Secara khusus konseling teman sebaya tidak memfokuskan pada evaluasi isi, namun lebih memfokuskan pada proses berpikir, proses-proses perasaan dan proses pengambilan keputusan. Dengan cara yang demikian, konseling sebaya memberikan kontribusi pada dimilikinya pengalaman yang kuat yang dibutuhkan oleh para remaja yaitu respect (Carr, 1981:4). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa konseling teman sebaya adalah proses pemberian bantuan kepada siswa (yang terpilih dan telah diberikan pelatihan serta pembinaan oleh konselor) dalam rangka mengembangkan sikap dan perilaku yang positif.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan (action research). Menurut Burns (dalam Madya, 2006:9) penelitian tindakan merupakan penemuan fakta dan pemecahan masalah dalam situasi sosial dengan pandangan untuk meningkatkan kualitas tindakan yang dilakukan di dalamnya melibatkan kolaborasi dan kerjasama para peneliti, praktisi dan orang awam. Definisi Operasional 1. Resiliensi Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Tujuh kemampuan yang dapat membentuk resiliensi, yaitu (a) regulasi emosi, (b) pengendalian impuls, (c) optimisme, (d) empati, (e) analisis penyebab masalah, (f) efikasi diri, dan (g) reaching out. 2. Konseling Teman Sebaya Konseling teman sebaya merupakan pertolongan yang bersifat interpersonal, dilakukan oleh tenaga non profesional (peer konselor) kepada konseli yang memiliki kesamaan dalam segi usia, pengalaman dan gaya hidup agar klien dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi terutama permasalahan dalam penelitian ini yang berkaitan dengan rendahnya resiliensi siswa remaja. 12
| JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING
Dalam penelitian ini konseling teman sebaya dibatasi hanya sampai pada tahap pelatihan untuk peer counselor saja. Hal ini sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh guru bimbingan dan konseling di SMK Negeri 2 Purwodadi. Rancangan Penelitian Siklus I: Rancangan penelitian yang akan dilakukan pada kegiatan penelitian tindakan ini sesuai dengan desain penelitian tindakan yang membentuk spiral meliputi perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Siklus II: Pada dasarnya pelaksanaan siklus II tidak jauh berbeda dengan pelaksanaan siklus I, hanya saja pada siklus II ini konselor ahli tidak melaksanakan perekrutan peer konselor, tetapi langsung masuk pada kegiatan konseling teman sebaya. Metode dan Alat Pengumpulan Data Setiap penelitian ilmiah memerlukan pengumpulan data yang ditunjukkan untuk mendapat data dari responden. Pengumpulan data ini dimaksudkan untuk memperoleh bahan-bahan yang akurat, relevan, dan reliabel. Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan melalui skala psikologi dan observasi. Adapun alat pengumpul data yang digunakan yaitu skala resiliensi dan pedoman observasi.
HASIL PENELITIAN Untuk melihat peningkatan resiliensi pada calon peer konselor, peneliti akan menyajikan data per-indikator dari resiliensi sehingga bisa diketahui secara lebih rinci indikator apa saja yang mengalami peningkatan paling tingi dan paling rendah. Regulasi Emosi Tabel 1. Peningkatan Regulasi Emosi Pasca Kat. Pasca Kat. ∑ Siklus 1 Siklus 2 Peningkatan BP S 12 S 14 T 3 AR S 14 T 14 T 2 RIH S 11 S 15 T 4 SA S 12 S 15 T 5 SS S 12 S 15 T 3 MS T 15 T 15 T MR S 14 T 16 T 3 NB S 12 S 15 T 3 RP T 14 T 15 T 1 HY S 11 S 13 T 1 2,5 Rata-rata Peningkatan Dari tabel di atas tampak bahwa pada indikator regulasi emosi terjadi peningkatan skor hampir Subjek
Pra Siklus 11 12 11 10 12 15 13 12 14 12
Kat.
pada seluruh calon peer konselor. Hanya ada 1 calon peer konselor yang nilainya relatif tetap, yakni MS. Rata-rata peningkatan indikator regulasi emosi adalah 2,5 poin. Data tersebut menunjukan perlakuan dari konselor dalam layanan pelatihan calon peer counselor untuk meningkatkan resiliensi yang pertama, yakni dengan melalui dikusi terfokus yang dilaksanakan anggota kelompok untuk
13
| JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING
menyampaikan pendapat dan mengekpresikan perasaannya didepan orang lain. Kondisi ini secara otomatis mendorong mereka untuk menampilkan diri secara terbuka dan jujur. Pengendalian Impuls Tabel 2. Peningkatan Pengendalian Impuls Pasa Kat. Pasca Kat. ∑ siklus 1 siklus 2 Peningkatan BP T 13 T 15 T 2 AR S 13 T 15 T 4 RIH S 12 S 14 T 3 SA T 14 T 15 T 2 SS S 13 T 14 T 3 MS T 14 T 14 T 2 MR S 11 S 13 T 3 NB S 13 T 15 T 4 RP T 13 T 14 T 4 HY K 9 K 14 T 7 Rata-rata Peningkatan 3,4 Dari tabel di atas tampak bahwa pada indikator pengendalian impuls terjadi peningkatan skor Subjek
Pra Siklus 13 11 11 13 11 12 10 11 10 7
Kat.
pada seluruh calon peer konselor. Rata-rata peningkatan skor pengendalian impuls adalah 3,4 poin. Data tersebut menunjukan perlakuan dari konselor dalam layanan pelatihan calon peer counselor untuk meningkatkan resiliensi yang kedua, melalui praktik “Pelayanan Prima” calon peer counselor bisa belajar bagaimana menawarkan sebuah produk kepada konsumen agar mendapatkan hasil yang memuaskan. Praktik ini dapat memfasilitasi calon peer counselor untuk meningkatkan pengendalian emosi diri, mau bekerja keras, berinisiatif, mempunyai dorongan yang kuat, tekun dan tidak mudah menyerah. Perilaku-perilaku tersebut merupakan indicator dari kemapuan untuk pengendalian impuls. Oleh karena itu calon peer counselor yang mampu dan mau melaksanakan praktik “Pelayanan Prima” dengan baik maka dia memiliki kesempatan yang besar untuk meningkatkan kemampuan pengendalian impuls. Optimisme Tabel 3. Peningkatan Optimisme Subjek BP AR RIH SA SS MS MR NB RP HY
14
Pra siklus 6 6 10 7 10 9 10 8 10 9
Kat.
Pasca Kat. siklus 1 K 8 S K 8 S T 10 T S 8 S T 10 T T 10 T T 10 T S 10 T T 10 T T 9 T Rata-rata Peningkatan
| JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING
Pasca siklus 2 10 8 10 10 10 11 11 11 11 9
Kat. T S T T T T T T T T
∑ Peningkatan 4 2 3 2 1 3 1 1,6
Dari tabel di atas tampak bahwa pada indikator regulasi emosi terjadi peningkatan skor hampir pada seluruh calon peer konselor. Ada 3 calon peer konselor yang nilainya relatif tetap, yakni RIH, SS, dan HY. Rata-rata peningkatan indikator optimisme adalah 1,6 poin. Data tersebut menunjukan jika perlakuan yang diberikan oleh konselor pada layanan calon peer counselor untuk meningkatkan resiliensi yang ke-3 secara efekti mampu meningkatkan kemampuan optimisme. Perlakuan yang diberikan oleh konselor adalah dengan menggunakan teknik life model, dimana yang menjadi life model dalam kegiatan ini adalah guru bimbingan dan konseling atau konselor yang memberikan layanan itu sendiri. Melalui life modeling calon peer counselor dapat mencoba melakukan hal yang sama dengn apa yang dilkukan oleh life model, bahklan hamper sama persis karena mereka dapat belajar secara langsung dengan life model tersebut. Selain itu life model melalui diskusi terfokus memberikan ilmu tau pengetahuan baru kepada calon peer counselor untuk meningkatkan optimisme dibutuhkan suatu dorongan positif dari diri kita sendiri. Analisis Penyebab Masalah Tabel 4. Peningkatan Analisis Penyebab Masalah Pasca Kat. Pasca Kat. ∑ siklus 1 siklus 2 Peningkatan BP S 17 S 17 S 2 AR S 15 S 18 T 4 RIH S 15 S 19 T 5 SA K 17 S 18 T 5 SS K 14 S 16 S 4 MS T 18 T 18 T MR S 15 S 18 T 4 NB S 18 T 17 S 1 RP S 19 T 18 T 1 HY S 17 S 17 S 2 Rata-rata Peningkatan 2,8 Dari tabel di atas tampak bahwa pada indikator analisis penyebab masalah terjadi peningkatan Subjek
Pra siklus 15 14 14 13 12 18 14 16 17 15
Kat.
skor hampir pada seluruh calon peer konselor. Hanya ada 1 calon peer konselor yang nilainya relatif tetap, yakni MS. Rata-rata peningkatan indikator analisis penyebab masalah adalah 2,8 poin. Data tersebut menujukan jika perlakuan yang diberikan oleh konselor pada layanan pelatihan calon peer counselor untuk meningkatkan resiliensi yang ke-4 konselor memberikan perlakuan praktik “Menata Produk” Dalam praktik “Menata Produk” calon peer konselor bisa belajar membuat produk baru yang berbeda dengan produk yang sudah ada sehingga memiliki daya jual yang tinggi. Untuk membuat sebuah produk yang berdaya jual lebih tinggi dibutuhkan anlisis berbagai masalah yang mungkin muncul yang dapat menghambat penjualan produk tersebut. Ini berarti praktik “Menata Produk” bisa memfasilitasi calon peer counselor untuk meningkatkan daya analisis masalah.
15
| JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING
Semakin tinggi tingkat orisinalitas calon peer konselor maka semkin bagus produk yang mereka buat. Begitu pula sebaliknya, jika orisinalitas calon peer counselor rendah maka produk yang mereka buatpun kurang menarik sehingga daya jualnya juga rendah. Empati Tabel 5. Peningkatan Empati Pasca Kat. Pasca Kat. ∑ siklus 1 siklus 2 Peningkatan BP S 13 T 15 T 4 AR T 14 T 15 T 1 RIH T 14 T 14 T 1 SA T 14 T 15 T 2 SS S 12 T 14 T 2 MS S 14 T 14 T 2 MR K 10 S 13 T 4 NB T 14 T 15 T 1 RP T 14 T 14 T 1 HY K 11 S 14 T 5 Rata-rata Peningkatan 2,3 Dari tabel di atas tampak bahwa pada indikator empati terjadi peningkatan skor pada seluruh Subjek
Pra siklus 11 14 13 13 12 12 9 14 13 9
Kat.
calon peer konselor. Rata-rata peningkatan skor Empati adalah 2,3 poin. Data tersebut menunjukan bahwa perlakuan yang diberikan oleh konselor dalam layanan pelatihan calon peer counselor yang ke5, yakni dengan menggunakan model simbolik film “The Power of Dream” secara efektif mampu meningkatkan empati. Film “The Power of Dream” yang berkisah tentang kumpulan pemuda cacat ganda namun bisa sukses dalam kehidupannya memberikan ilmu atau pengetahuan baru pada calon peer counselor akan kekuatan dari sebuah keyakinan diri, kerja keras, rasa empati dan optimisme. Melalui diskusi terfokus yang dilaksanakan anggota kelompok belajar untuk menyampaikan pendapat dan mengekspresikan perasaannya di depan orang lain. Kondisi seperti ini secara otomatis mendorong mereka untuk menampilkan diri secara terbuka dan jujur. Keterbukaan dan kejujuran itulah dasar dari sebuah kepercayaan diri. Self Efficacy Tabel 6. Peningkatan Self Efficacy Subjek BP AR RIH SA SS MS MR NB RP HY
16
Pra siklus 9 10 12 12 12 11 10 12 12 10
Kat.
Pasca Kat. siklus 1 K 11 S S 12 S S 13 T S 15 T S 12 S S 14 T S 10 S S 14 T S 13 T S 13 T Rata-rata Peningkatan
| JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING
Pasca siklus 2 12 14 15 15 13 15 13 15 13 13
Kat. S T T T T T T T T T
∑ Peningkatan 3 4 3 3 1 4 3 3 1 3 2,8
Dari tabel di atas tampak bahwa pada indikator self efficacy terjadi peningkatan skor pada seluruh calon peer konselor. Rata-rata peningkatan skor Self Efficacy adalah 2,8 poin. Data tersebut menunjukan bahwa perlakuan yang diberikan oleh konselor dalam layanan pelatihan calon peer counselor yang ke-5, yakni dengan memberikan perlakuan bermain teamwork “Memindahkan Gelas”. Dalam permainan tersebut calon peer counselor belajar dari interaksi yang mereka lakukan. Bermain teamwork mengenalkan bahwa kelompok merupakan sumber daya pembelajaran yang luar biasa. Calon peer counselor dapat belajar untuk mematuhi aturan-aturan yang ada di dalam kelompok, walaupun terkadang aturan itu tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Secara lebih spesifik anggota kelompok yang terpilih sebagai team leader belajar secara langsung bagaimana memberikan instruksi secara cepat dan tepat, memahami karakteristik anggota kelompok sehingga bisa memberikan tugas sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anggotanya. Ini berarti pada permaianan “Memindahkan Gelas” calon peer counselor tidak hanya mempelajari perilaku-perilaku baru tetapi bisa mencoba perilaku tersebut secara langsung. Pada akhirnya calon peer counselor memiliki pemahaman bahwa untuk menjadi seorang pemimpin tidak hanya dibutuhkan kecakapan akademik saja, tetapi bagaimana dia bisa mengkoordinasi kerja anggotanya, membagi tugas sesuai dengan kemampuan anggota, dan memberi contoh nyata bukan hanya perintah. Selain itu melalui permainan “Memindahkan Gelas” anggota kelompok juga bisa memahami bahwa kesuksesan sebuah tim sangat ditentukan oleh kinerja dari team leadernya. Team leader sendiri akan bisa bekerja secara optimal apabila mendapat dukungan dari anggotanya. Reaching Out Tabel 7. Peningkatan Reaching Out Subjek BP AR RIH SA SS MS MR NB RP HY
Pra siklus 8 9 11 10 9 15
Kat. K K S S K T
Pasca siklus 1 10 8 11 11 11 13
Kat.
9 11 13 10
S K S S S T
Pasca siklus 2 13 14 14 12 13 15
Kat. T T T S T T T T T T
∑ Peningkatan 5 5 3 2 4 5
K 10 S 14 S 11 S 14 3 T 13 T 13 S 11 S 13 3 Rata-rata Peningkatan 3 Dari tabel di atas tampak bahwa pada indikator reaching out terjadi peningkatan skor hampir pada seluruh calon peer konselor. Hanya ada 2 calon peer konselor yang nilainya relatif tetap, yakni MS dan RP. Rata-rata peningkatan indikator reaching out adalah 3 poin. Data tersebut menunjukan bahwa perlakuan yang diberikan oleh konselor dalam layanan pelatihan calon peer counselor yang ke5, yakni dengan menggunakan model simbolik film “The Power of Dream” secara efektif mampu meningkatkan Reaching Out. Film “The Power of Dream” yang berkisah tentang kumpulan pemuda 17
| JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING
cacat ganda namun bisa sukses dalam kehidupannya memberikan ilmu atau pengetahuan baru pada calon peer counselor akan kekuatan dari sebuah keyakinan diri, kerja keras, rasa empati, meraih aspek positif atau mengambil hikmah dari kehidupan setelah kemalangan yang menimpa dan optimis. Melalui diskusi terfokus yang dilaksanakan anggota kelompok belajar untuk menyampaikan pendapat dan mengekspresikan perasaannya di depan orang lain. Kondisi seperti ini secara otomatis mendorong mereka untuk menampilkan diri secara terbuka dan jujur. Keterbukaan dan kejujuran itulah dasar dari sebuah kepercayaan diri.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data, mulai dari tahap penelitian pendahuluan sampai pada pelaksanaan tindakan dapat dirumuskan beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Siswa yang terpilih menjadi calon peer konselor sudah memiliki karakter yang sesuai dengan kriteria seorang peer konselor. Rata-rata perolehan pra siklus termasuk baik, karena mencapai angka 80 dimana angka tersebut masuk dalam kategori sedang. 2. Peneliti melaksanakan peer counseling (pelatihan calon peer konselor) sebanyak 2 siklus, dimana setiap siklus ada 3 kali pertemuan. Prosedur pelaksanaan tindakan mengacu pada format layanan kelompok, yakni meliputi tahap pembentukan, tahap peralihan, tahap kegiatan, dan tahap pengakhiran. 3. Secara kuantitatif pelaksanaan layanan peer counseling (pelatihan calon peer konselor) secara efektif dapat meningkatkan resiliensi pada diri siswa. Peningkatan ini dipengaruhi oleh 2 faktor utama, yakni peran serta konselor ahli dan juga tingkat keaktifan dari calon peer konselor. Penggunaan teknik dan metode yang bervariasi oleh konselor ahli memungkinkan calon peer konselor untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta. Arado, Tobias Opiyo Okeyo. 2008. Peer Counseling Experience Among Selected Kenyan Secondary School. Paper. Kenyatta University Departement of Philosophy dan Religious Studies Carr, R. A. 1981. Theory and Practice of Peer Counseling. Ottawa: Canada Employment and Immigration Commision. Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hidayat, D. R. dan Aip Badrudjaman. 2012. Penelitian Tindakan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Indeks.
18
| JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING
Laursen, E. K. 2005. Rather Than Fixing Kids-Build Positive Peer Cultures. Reclaiming Children and Youth. 14 (3) 137-142 (ProQuest Education Journals) Madya, Suwarsih. 2006. Teori dan Praktik Penelitian Tindakan. Bandung: Alfabeta. Muslikah. 2011. Model Bimbingan Teman Sebaya Untuk Mengembangkan Sikap Negatif Terhadap Perilaku Seks tidak Sehat Remaja. Disertasi . UNNES Steinberg, L. 1993. Adolescence. New York: Mc. Graw-Hill, Inc. Sucipto. 2009. Konseling Sebaya. Kudus: Universitas Muria Kudus Sugiyono. 2007. Statistik Nonparametris Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Suwarjo. 2008. Model Konseling Teman Sebaya untuk Pengembangan Daya Lentur (Resilience): Studi Pengembangan Model Konseling Teman Sebaya untuk Mengembangkan Daya Lentur Remaja Panti Sosial Asuhan Anak Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Disertasi. UPI. Tidak Diterbitkan. Suwarjo. 2012. Konseling Teman Sebaya (Peer Counseling) “Pemanfaatan Interaksi Remaja dalam Layanan Bimbingan dan Konseling di SLTP dan SLTA”. Makalah (disampaikan dalam Seminar Nasional). Kudus: UMK Kudus. Taryadi.
2004.
Pendidik
Sebaya.
Dalam http://www.
Suaramerdeka.
Com /
harian
/
0412/25/kot18.htm diunduh 25 Agustus 2012 Tindall, J. D. dan Gray, H. D. 1985. Peer Counseling: In-Depth Look At Training Peer Helpers. Muncie: Accelerated Development Inc Zuriah, N. 2003. Penelitian Tindakan dalam Bidang Pendidikan dan Sosial. Malang: Bayu Media.
19
| JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN BIMBINGAN DAN KONSELING