E d i s i 0 3 | Ta h u n I | 2 0 1 3
Daftar Isi
Editorial
Editorial .......................................................1 Agenda .....................................................2 Menjelang Yap Thiam Hiem Award 2013 ............3 Menyemai Semangat Damai pada Indonesia Muda ...... ................................................... 4 Suara Dari Yogyakarta ..................................7 Urgensi Pembentukan Desk/Unit Perburuhan Di Badan Reserse Kriminal Kepolisian Ri ..... 9 Dari Laporan KontraS TNI Di Ujung Titik Balik . 12
Yayasan Yap Thiam Hien Dewan Penasehat:
Prof. Dr. Saparinah Sadli (Ketua) Dr. Makarim Wibisono Dewan Pengawas: Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki (Ketua) Dra Maria Hartiningsih Dewan Pengurus: Dr. Todung Mulya Lubis (Ketua) Clara Joewono, MA Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA, APU Asep Rahmat Fajar , MA Yulia Siswaningsih, S.Sos (Sekretaris) Yayasan Yap Thiam Hien d/a Kantor Notaris Niniek Rustinawati SH, MKN Komplek Mitra Matraman Blok A-2 no. 17, lantai 3 Jakarta Timur c/p: Yulia Siswaningsih Telp. 021-750-2401, 021-8591-8070, Mobile. 0815-1322-0269 (Yulia) Email:
[email protected],
[email protected] Website: www.yapthiamhien.org : @yapthiamhien : Yap Thiam Hien
Peringatan Hari Hak Asasi Manusia
“Melawan Lupa untuk Indonesia yang Menghormati HAM”
T
Tanggal 10 Desember 2013 merupakan Hari Peringatan ke-65 Hak Asasi Manusia, diperingati oleh orang di seluruh dunia setelah ditetapkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10 Desember 1948 oleh PBB. Dalam semangat itulah LBH Jakarta bersama sejumlah lembaga masyarakat sipil lainnya yang tergabung dalam Koalisi Perayaan Hari HAM (KOPER HAM) merasa perlu terus-menerus menyuarakan dan memperjuangkan pemenuhan HAM bagi segenap lapisan masyarakat Indonesia. Salah satunya dengan melakukan rangkaian refleksi Peringatan ke-65 Hari HAM dengan beragam aktivitas sepanjang 3-10 Desember 2013. Lembaga dan komunitas yang tergabung dalam KOPER HAM adalah LBH
Jakarta, Yayasan Yap Thiam Hien, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Koalisi Rakyat untuk Hak Air (KruHA), Transparency International Indonesia (TI Indonesia), KontraS, Solidaritas Anak Jalanan untuk Demokrasi, Komunitas Rumpin, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP’65), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Sawit Watch, ICRP, KASuM, Solidaritas Perempuan Jabotabek, ELSAM, Lazuardi Birru dan Arus Pelangi. Seluruh agenda kegiatan dan isu akan diangkat dalam E-Newsletter ini sebagai bagian dari upaya memahami isu-isu HAM di Indonesia dan membangun kesadaran kritis masyarakat pada umumnya dalam menyikapi Pemilu 2014 mendatang. Selamat membaca...
2
E d i s i 0 3 | Ta h u n I | 2 0 1 3
Agenda Waktu
Kegiatan
Pemutaran Film dan Diskusi Publik (3-6 Desember 2013), jam 15.00 – 18.00 WIB 3 Desember 2013
“Masyarakat yang Dikebiri”, memutar film “Kemijen Bergerak” mengenai upaya untuk mendorong transparansi dan kontrol terhadap proses pembangunan yang dapat dilakukan oleh semua orang tak terkecuali orang-orang “kecil” di daerah dan film “Menunggu Jakarta Tenggelam” yang menggambarkan perkembangan Ibu Kota Jakarta sebagai pusat bisnis serta laju pertambahan jumlah penduduk yang tinggi serta pembangunan infrastruktur secara masif tidak berwawasan lingkungan serta buruknya manajemen dan komitmen pemerintah dalam penyediaan air bersih telah mengancam tenggelamnya Ibu Kota. Tempat: LBH Jakarta, Jl. Diponegoro 74, Jakarta Pusat 10320 Nara sumber: TI Indonesia dan AMARTA
4 Desember 2013
“Ibu Pertiwi dan Bapak Aparat”, memutar film “Anak-Anak Cibitung” berkisah tentang dampak yang dialami oleh anak-anak korban konflik agraria yang terjadi di Kampung Cibitung, Desa Sukamulya, Kec. Rumpin, Bogor dan film “Maju atau Mundur – Suara dari Perkebunan Sawit” yang menyuarakan penipuan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit kepada masyarakat agar mau menyerahkan lahannya kepada perkebunan dengan sistem Plasma yang nantinya justru Petani akan berhutang kepada perkebunan kelapa sawit. Tempat: Kontras, Jl. Borobudur no. 14, Jakarta Pusat 10320 Nara sumber: Komunitas Rumpin dan Sawit Watch
5 Desember 2013
“Kalau Ada Sumur di Ladang”, memutar film “Para Pejuang HAM” yang bercerita tentang perjuangan sejumlah pejuang HAM, peraih Yap Thiam Hien Award yang secara konsisten menunjukkan pengabdiannya pada kemanusiaan dan film “Pararrel” dimana tanggal 20 November menjadi tanggal yang didedikasikan sebagai Peringatan Hari Transgender Sedunia dan mengenang para transgender yang telah meninggal akibat kekerasan dan diskriminasi yang mereka alami. Narasumber: Yayasan Yap Thiam Hien dan Arus Pelangi
6 Desember 2013
“Atas Nama Ideologi”, memutar film “Jembatan Bacem” yang menceritakan lokasi yang terletak di perbatasan Solo dan Sukoharjo, yang dibawahnya mengalir sungai Bengawan Solo, dimana film ini bertutur tentang 3 orang saksi penghilangan paksa dan 2 orang survivor yang lolos dari upaya penghilangan paksa di atas Jembatan Bacem pada tahun 1965-1966 dan film “Bunga Kering Perpisahan” yang merupakan adaptasi dari Puisi Esai “Atas Nama Cinta” yang berkisah tentang hubungan beda agama antara Dewi, seorang Muslimah dan Albert, anak seorang pendeta.
8 Desember 2013
10 Desember 2013
10 Desember 2013
Karnaval Peringatan HAM. Dalam rangka mensosialisasikan nilai-nilai dan gagasan HAM, mengingatkan masyarakat tentang kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, dan sekaligus mengajak keterlibatan dan dukungan yang seluas-luasnya dari masyarakat, maka KOPER HAM 2013 mengadakan Karnaval Peringatan HAM: Waktu: 6.00 WIB – selesai Tempat: Bundaran Hotel Indonesia (HI) Kegiatan: pembagian flyer dan materi lainnya, photo booth dan wawancara Konferensi Pers pengumuman Peraih Yap Thiam Hien Award 2013 Waktu: 14.00 WIB – selesai Tempat: Gedung LBH Jakarta Jl. Diponegoro no. 74, Jakarta Pusat 10320 Pameran Foto dan Panggung Seni-Budaya (10 Desember 2013) Waktu: 9.00 – 21.00 WIB Tempat: Gedung LBH Jakarta Jl. Diponegoro no. 74, Jakarta Pusat 10320 a. Pameran Foto akan dilaksanakan di Lobby Gedung YLBHI (9.00 – 21.00 WIB) b. Pameran foto ini akan menampilkan Profil Peraih Yap Thiam Hien Award dan Foto mengenai isu HAM lainnya Panggung Seni-Budaya (19.00 – 21.00 WIB) - Orasi Budaya - Testimoni Korban Pelanggaran HAM - Foto Story “Kasus-Kasus Pelanggaran HAM” - Teatrikal - Penandatanganan dan serah terima Deklarasi Masyarakat “Melawan Lupa untuk Indonesia yang Menghormati HAM” - hiburan
E d i s i 0 3 | Ta h u n I | 2 0 1 3
3
Menjelang
Yap Thiam Hien Award 2013 Yayasan Yap Thiam Hien
T
anggal 15 November 2013 lalu, Yayasan Yap Thiam Hien telah mencapai usia 2 tahun, meski sebenarnya umur Yap Thiam Hien Award (YTHA) telah melampaui usia 20 tahun, sebab Yayasan Pusat Studi HAM (YAPUSHAM) mengabadikan nama Yap Thiam Hien sejak 1992 sebagai bentuk penghargaan bagi para pejuang HAM namun kemudian sempat terhenti di tahun 2004. Sejak 2008, YTHA dihidupkan kembali oleh Dr. Todung Mulya Lubis dan Clara Joewono, MA, yang terus bergulir hingga melahirkan Yayasan Yap Thiam Hien pada tahun 2011. Yayasan Yap Thiam Hien bertujuan menggugah partisipasi masyarakat luas untuk memberikan dukungan, pemberdayaan dan perlindungan bagi mereka yang berjuang melawan ketidakadilan dan pelanggaran HAM. Selain memberikan pengakuan dan penghormatan kepada pejuang HAM melalui YTHA, Yayasan juga melaksanakan kegiatan pendidikan, riset dan dokumentasi maupun pembangunan jaringan bagi kegiatan memperjuangkan keadilan dan HAM. YTHA biasanya diberikan setiap tahun pada Hari HAM Sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember 2013. YTHA dianugerahkan kepada individu atau lembaga atau organisasi/kelompok yang teguh berjuang di bidang penegakan HAM. Dalam kurun waktu 1992 – 2013 sudah 24 orang , lembaga dan organisasi/kelompok yang mendapatkan Yap Thiam Hien Award, yaitu: Tahun 1992: 1. Muhidin H. Hasyim (alm) - Jakarta 2. HCJ Princen (alm) - Jakarta 3. Johny Simanjuntak - Jakarta Tahun 1993:
Marsinah (alm) - Surabaya
Tahun 1994: Trimoelja D. Soerjadi - Surabaya Tahun 1995:
1. Ade Rostina Sitompul (alm) - Jakarta 2. Petani Jenggawah - Jember
Tahun 1996:
Sandyawan Sumardi - Jakarta
Tahun 1998:
1. KontraS - Jakarta 2. Farida Hariyani – Banda Aceh
Tahun 1999: 1. Sarah Lerry Mboeik - Kupang 2. Yosepha Alomang – Papua Tahun 2000:
UPC (Urban Poor Consortium) – Jakarta
Tahun 2001:
1. Suraiya Kamaruzzaman – Banda Aceh 2. Ester Indahyani Jusuf – Jakarta
Tahun 2002: Wiji Thukul Tahun 2003:
Maria Hartiningsih
Tahun 2004:
Maria Catharina Sumarsih
Tahun 2008:
Siti Musdah Mulia
Tahun 2009: 1. Pastor Yohanes Djonga (YTHA) 2. Fauzi Abdullah (alm) (Lifetime Achievement Award) Tahun 2010:
Asmara Nababan
Tahun 2011:
Soetandyo Wignjosoebroto
Tahun 2012:
Majalah TEMPO
Anugerah Yap Thiam Hien (Yap Thiam Hien Award - YTHA) diambil dari nama seorang advokat terbaik yang pernah dimiliki bangsa Indonesia, yaitu MR. Yap Thiam Hien (YTH). Ia adalah seorang penegak hukum yang mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi menegakkan keadilan dan hak asasi manusia. Ia juga merupakan advokat yang cerdas dan berintegritas. Semasa hidupnya ia dikenal sebagai advokat yang berhati baja yang memperjuangkan prinsip-prinsip hukum berkeadilan dan HAM. Ia membela kaum tertindas tanpa diskriminasi atas dasar apapun, termasuk keyakinan politik dan ideologi. Namanya kemudian menjadi sumber inspirasi dan obor api semangat bagi segenap pejuang keadilan dan HAM di negeri ini. Yap Thiam Hien lahir di Kutaraja, Banda Aceh, pada 25 Mei 1913, dan meninggal dunia pada 25 April 1989 di Brussels, Belgia, dalam perjalanan tugas menghadiri Konferensi Internasional Forum Organisasi Non-Pemerintah Internasional untuk Pembangunan Indonesia. Di tahun 2013 ini, pengumuman peraih YTHA akan dilakukan melalui KONFERENSI PERS pada tanggal 10 Desember 2013, pukul 14.00.00, di Gedung YLBHI, Jalan Diponegoro no. 74 Jakarta 10320. Sedangkan penyerahan YTHA akan dilaksanakan pada Malam Penganugerahan YTHA 2013 pada minggu ke-3 Januari 2014. Untuk reservasi dapat menghubungi Yulia di 0815-1322-0269 atau di yuliasiswa@gmail. com dan Dina di 0896-7474-3191 atau di
[email protected]
4
E d i s i 0 3 | Ta h u n I | 2 0 1 3
Menyemai Semangat Damai pada Indonesia Muda Lazuardi Birru
A
ksi kekerasan masih terus berlangsung di hampir seluruh wilayah Indonesia. Bentuk kekerasan yang paling mengemuka di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir ini adalah kekerasan atas nama agama. Kekerasan tersebut kerap termanifestasikan dalam berbagai aktifitas radikalisme, ekstrimisme dan terorisme yang marak terjadi di Indonesia. Sebut saja penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah, Syiah, dan kelompok minoritas lainnya. Hal yang mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa bentuk kekerasan tersebut saat ini sudah menyentuh generasi muda Indonesia. Prihatin akan kondisi tersebut, sekelompok anak muda Indonesia yang tergabung dalam Lazuardi Birru, LSM yang peduli pada perdamaian generasi muda, menyelenggarakan “Birru Youth Training, Inspiring Future Leader for Peace”. Acara yang berlangsung pada awal September 2013 di Jakarta ini diikuti 358 siswa dan santri dari 34 provinsi di Indonesia. Para siswa dan santri tersebut berasal dari 76 SMA/Madrasah Aliyah dan 43 Pondok Pesantren di seluruh Indonesia. Mereka adalah para siswa/santri yang berprestasi secara akademik dan aktif di organissi intra/eksta sekolah seperti OSIS, ROHIS, dan Redaktur Majalah Dinding. Melalui kegiatan ini, pesan-pesan kedamaian, toleransi, dan nasionalisme disemai kepada generasi muda. Selain itu, mereka diajak untuk memahami, mera-
sakan, dan mengalami langsung kebhinekaan bangsa Indonesia. Selama tiga hari mengikuti pelatihan, para peserta diberikan pemahaman tentang konsep toleransi dan perdamaian yang terangkum dalam modul Say No To Adu Jotos. Modul itu memuat empat tema penting, yaitu Mayori-
tas-Minoritas, Muslim dan Non Muslim, Statement Kafir, dan Menerima Perbedaan. Para peserta yang semuanya beragama Islam itu diajak memahami bahwa meski umat Islam adalah mayoritas, namun Indonesia adalah negeri yang majemuk yang ditopang dengan empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD
Peledakan bom di Bali, JW Marriot dan beberapa tempat lainnya, merupakan pembelaan umat Islam terhadap perlakuan diskriminatif yang dilakukan umat non-Islam (%) 50 40 30 20 10 0
39,8 40,1
22,8 31,4
27,1
17,6
0,6 0,6
Sebelum
10,1 8,4
0
1,7
Sesudah
Pelatihan yang dilakukan berhasil mengubah pandangan responden terkait dengan dukungan terhadap aksi terorisme. Terlihat adanya peningkatan ketidaksetujuan responden atas aksi terorisme dari 62,8% menjadi 71,5%. Responden yang ragu-ragu juga mengalami penurunan (semula 27.1% menjadi 17.6%). Responden yang setuju dengan aksi terorisme juga mengalami penurunan (semula 10.1% menjadi 8.4%).
E d i s i 0 3 | Ta h u n I | 2 0 1 3
Penyerangan terhadap rumah ibadah non muslim merupakan ajaran yang dibenarkan dalam Islam (%) 70 60 50 40 30 20 10 0
55,5 60,1 36,2 35,3 5,5
0,3 0,3
Sebelum
2,6
2,3
1,4
0,3
0,3
Sesudah
Pandangan yang tidak setuju atas tindakan penyerangan terhadap rumah ibadah nonmuslim juga meningkat (semula 91,7% menjadi 95,4%). Responden yang ragu-ragu terhadap pernyataan ini mengalami penurunan dari 5.5% menjadi 2.6%. Seiring dengan itu, responden yang setuju dengan tindakan penyerangan juga mengalami penurunan dari 2.3% menjadi 1.4%.
1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Karena itu, tidak ada alasan untuk mendiskriminasi kelompok minoritas. Dalam pelatihan ini, para peserta juga diajak memahami berbagai kasus kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat dari perspektif perbedaan suku, etnis, kebudayaan, kesenjangan ekonomi, politik, ideologi, hingga agama. Dengan dipandu trainer berpengalaman dan metode penyampaian yang fun, mereka mendapatkan perspektif yang kaya tentang bagaimana menyikapi kebhinekaan agar tidak berujung pada kekerasan. Usai kegiatan, para calon pemimpin masa depan ini diharapkan menjadi duta perdamaian yang dapat meneruskan nilai-nilai positif yang diperoleh dalam pelatihan ini ke komunitas pemuda di wilayah masing-masing. Birru Youth Training tahun ini merupakan yang kelima sejak pertama kali diselenggarakan tahun 2009. Hingga kini lebih dari 1.500 siswa dan santri dari berbagai daerah di Indonesia telah menerima manfaat dari kegiatan ini. Secara umum pelatihan yang dilakukan telah berhasil memberikan pemahaman pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi dalam menyikapi berbagai perbedaan yang ada dalam masyarakat. Bahwa pada dasarnya perbedaan kelompok, ras, etnis maupun agama dalam suatu bangsa dan negara maupun dalam dunia internasional merupakan hal yang harus disikapi dengan arif. Namun demikian, dari hasil asesement diketahui masih signifikannya responden yang tidak toleran terhadap perbedaan kelompok, ras, etnis, dan agama. Bahkan terlihat jelas adanya responden yang masih melabelisasi kafir kepada orang-orang dan kelompok yang berbeda, serta memberikan labelisasi thogut bagi negara dan pemerintah yang sah. Responden yang mendukung penerapan syariat Islam dan pendirian Negara Islam menggantikan konstitusi UUD 1945 dan NKRI juga terlihat tinggi. Bahkan 1,7% responden masih menyetujuui aksi bom bunuh diri, serta 0,3% masih menganggap bahwa penyerangan ter-
hadap rumah ibadah agama lain merupakan jihad. Data tersebut juga memperlihatkan adanya konsistensi dari pandangan-pandangan ekstrim responden (per- variable rata-rata jumlahnya tidak lebih dari 3%). Hal ini sepertinya
5
berkorelasi dengan komunikasi dan hubungan intensif yang terbangun antara responden dengan beberapa organisasi Islamis, baik yang dikenal berkaitan dengan terorisme, ekstrimisme, dan pro-kekerasan. Fenomena yang tergambarkan di atas sepertinya berkorelasi dengan pemilihan daerah asal responden (peserta pelatihan). Mayoritas responden (peserta pelatihan) berasal dari daerah yang tercatat sebagai high concentration of active extrimist and high concentration of at-risk extrimist (77%), sementara peserta yang tercatat dari daerah moderate hanya 23%. Temuan yang terjadi dalam asesment ini semakin menguatkan validitas penelitian sebelumnya yang telah dijadikan baseline awal penentuan asal peserta pelatihan. Komposisi itu yang menyebabkan terlihat jelasnya pandangan ekstrim para responden (peserta pelatihan) serta kontestasi ideologi extrimis dan pro-violence yang terjadi selama pelatihan. Oleh karena itu, perlu program jangka panjang yang konsisten dan berkesinambungan untuk mereduksi dan mengubah pola pikir para responden yang telah terinfiltrasi kelompok Islamis yang selama ini teridentifikasi radikal, ekstrimis dan terafiliasi jaringan terorisme. Selain itu, diperlukan pula program pencegahan bagi kelompok yang belum terinfiltrasi juga sangat diperlukan. n
6
E d i s i 0 3 | Ta h u n I | 2 0 1 3
Butir –butir Bahan untuk Deklarasi
Memperingati Hari Solidaritas Korban Pelanggaran HAM se-Dunia Oleh : YPKP 65* HAM,Mahkamah Agung, Ketua DPR-RI. Presiden RI atas nama Negara segera melakukan permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM khususnya Korban 65 sebagai pintu masuk untuk menuju pada penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat Tragedi 1965/66 secara menyeluruh. Permintaan maaf sekurang-kurangnya dapat mengurangi penderitaan dan trauma bagi korban dan keluarga korban. Korban, berdasarkan UU No 13 Tahun 2006 dan PP No 44 Tahun 2008 adalah berhak memperoleh pelayanan ganti rugi, restitusi, reparasi, rehabilitasi dan kompensasi tanpa syarat ada atau tidak adanya pengadilan. Komnas HAM segera melakukan Assessment/Verifikasi/ Pencatatan Korban 65 di seluruh Indonesia dan menerbitkan Surat Rekomendasi agar korban pelanggaran HAM berat 1965/66 memperoleh pelayanan medis/psikososial juga mendapatkan ganti rugi, restitusi, reparasi, rehabilitasi dan kompensasi dari LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) seperti diamanatkan UU No.13 Tahun 2006 dan PP No. 44 tahun 2008 tersebut. Apabila penyelesaian melalui mekanisme ampir setengah abad berlalu sejak ta melakukan terobosan untuk penuntasan tragedi 1965/66 meletus dimana penyelesaian atas korban tragedi 1965 den- hukum formal (yudicial process) atau pun mesekurang-kurangnya 500.000 sam- gan mengembalikan hak-hak Korban 65 untuk kanisme hukum informal (non yudicial propai 3.000.000 jiwa menjadi korban. memperoleh keadilan, rehabilitasi, kompen- cess) dalam negeri mengalami jalan buntu, YPKP 65 tidak menutup kemungkinan/sedang Jutaan korban terbunuh, puluhan ribu orang sasi dan kebenaran. Namun, rekomendasi Komnas HAM mempersiapkan untuk mengadukan dan melditahan/dibuang ke Pulau Buru, Nusa Kambangan, Pulau Kemarau, dll. Jutaan korban yang diharapkan sebagai pintu masuk untuk aporkan ke jalur internasional: mengadukan mengalami penyiksaan di kamp-kamp konsen- penyelesaian tragedi 1965/66 ternyata tidak ke International People’s Tribunal on Gross trasi, ladang-ladang kerja paksa di Tangerang, ditindak lanjuti oleh Jaksa Agung. Berbagai Human Rights Violation of 1965-66 Tragedy, Serang, Medan, Padang, Kalisosok Surabaya, dalih dilontarkan untuk mengganjal rekomen- melaporkan ke Dewan HAM PBB, UNWGEID, Pemalang, Palembang, Palu, Manado, Argo- dasi tersebut. Tindakan Kejaksaan Agung -rganisasi-organisasi kemanusiaan internasisari Kalimantan Timur, dll. Tidak sedikit para tersebut dapat dikategorikan sebagai upaya onal, ICC, ICRC, Amnesty Internasional, dll. Perlu menghadirkan Special Reporteur tahanan politik meninggal dunia karena ke- melanggengkan impunitas dan melecehkan laparan. Proses penahanan, penghukuman, upaya penegakan HAM serta bukti bahwa Pe- Komisi HAM PBB agar mengetahui/mendenpenyiksaan dilakukan tanpa proses hukum. merintah RI tidak serius dan tidak mampu da- gar secara langsung adanya tindak kejahatan Sampai hari ini para mantan tahanan politik lam hal menyelesaikan tragedi kemanusiaan pelanggaran HAM tragedi 1965/66 di Indonesia dan menjatuhkan sanksi tegas terhadap tersebut masih memperoleh stigma, ancaman 1965/66. Dalam upaya untuk ikut mencerdaskan para penjahat HAM. dan diskriminasi, sehingga mereka mengalaMenolak dengan tegas rencana pengangbangsa dan meningkatkan harga diri serta mi trauma berkepanjangan. Komnas HAM sebagai lembaga negara martabat bangsa yang terpuruk akibat citra katan Sarwo Eddy sebagai Pahlawan Nasional yang ditugasi untuk melakukan penyelidikan buruk Republik Indonesia sebagai negara yang karena ia adalah salah satu Jenderal yang terliatas tragedi 65, dalam rekomendasinya pada tidak menghormati hak asasi manusia, ser- bat dalam pembunuhan massal dan/atau pelaku 23 Agustus 2012 menyimpulkan bahwa Peris- ta banyaknya kasus pelanggaran HAM yang pelanggaran HAM berat Tragedi 1965/66. Dalam rangka untuk membangun Indotiwa 1965-66 adalah pelanggaran HAM yang belum terselesaikan, maka dengan ini YPKP 65 berat, ada bukti awal yang cukup dan meyak- mendesak dan menawarkan solusi terobosan nesia yang menghormati hak asasi manusia, inkan adanya keterlibatan aparat Negara/mi- untuk menjadi bahan dimasukkan ke dalam kami menolak Calon Presiden/ Wakil Presiden liter. Peristiwa Pelanggaran HAM 65 dilakukan Rancangan Naskah Deklarasi Hari HAM Inter- yang memiiliki latar belakang sebagai pelaku/ penjahat pelanggaran HAM dalam Pemilu secara sistematis dan meluas, sehingga dapat nasional 10 Desember 2013: Presiden Republik Indonesia segera men- 2014, karena dikhawatirkan Capres/Cawadikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan erbitkan surat Keputusan Presiden (Keppres) pres tersebut akan melanggengkan impunitas (crimes against humanity). Satu tahun telah berlalu sejak Komnas untuk memberikan rehabilitasi, reparasi dan akan mengulangi tindak kejahatan yang HAM mengumumkan Rekomendasi/Hasil dan kompensasi kepada Korban 65 seperti sama di kemudian hari. n Jakarta 20 November 2013 Penyelidikan pro yustisia atas Tragedi kema- yang diamanatkan Undang-Undang Nomer nusiaan/kekerasan politik 1965-1966. Jaksa 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, * Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan Agung diminta untuk melakukan penyidikan UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan 1965/1966 dan menggelar pengadilan HAM ad hoc ser- HAM serta Surat Rekomendasi Ketua Komnas
H
E d i s i 0 3 | Ta h u n I | 2 0 1 3
SUARA DARI YOGYAKARTA
7
Oleh : ICRP
I
ndonesia telah merdeka selama lebih dari 68 tahun. Selama itu, Indonesia telah melewati tiga era pemerintahan yaitu Orde lama, Orde Baru, dan Era Reformasi. Perjalanan panjang Indonesia sejak jaman pergaulan kerajaan-kerajaan besar nusantara seharusnya telah membawa Indonesia menjadi salah satu bangsa yang maju peradabannya. Namun pada kenyataannya, selama lebih dari satu dekade terakhir, bangsa ini malah menunjukkan banyak kemuduran terutama pada aspek jalinan kehidupan berbangsa. Berbagai macam kekerasan terjadi di banyak tempat dengan berbagai sebab dan alasan. Di lain pihak, agama dan budaya yang seharusnya menjadi perekat dan landasan etika kehidupan berbangsa malah tak jarang menjadi sumber dari konflik yang terjadi di masyarakat. Tak hanya itu, agama dan budaya etnis malah ditarik menjadi komoditas politik sehingga makin memecah belah kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda agama dan etnis. Untuk itu, kami para tokoh agama dan budaya yang tergabung dalam ICRP dan FPUB mendeklarasikan: Meski relasi agama dan Negara di Indonesia masih belum secara eksplisit disebutkan dalam aturan perundang-undangan, namun semangat kebebasan warga negara dalam beragama dan berkeyakinan tertulis jelas dalam aturan-aturan bernegara kita. Kebebasan berkeyakinan jelas dijamin oleh
UUD 1945. Dalam pasal 28E ayat 1, 2 dan 3 tentang Hak Asasi Manusia hasil amendemen UUD 1945 tahun 2000 disebutkan, (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” (2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Di samping itu, dalam pasal pasal 29 ayat (2) disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Sementara , UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 22 ayat 1, menegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan redaksi yang sama juga terdapat dalam ketetapan MPR No. XVII. MPR.1998 tentang Hak Asasi Manusia pasal 13.Perihal kemerdekaan setiap warga negara Indonesia untuk memeluk dan menjalankan ibadah menurut agama msing-masing ini bersumber dari nilai-nilai Pancasila dan juga semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Atas dasar jaminan kemerdekaan berag-
ama itu, maka Negara seharusnya hanya sekedar melayani kebutuhan warga negara dalam menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Negara sama sekali tidak boleh ikut campur dalam permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan doktrin; mengenai benar atau salahnya suatu pemahaman atau aliran keagamaan. Dengan demikian, maka segala aturan dan perundang-undangan yang bertentangan dengan semangat kebebasan beragama ini harus ditinjau ulang dan diperbaharui. UU No.1 Tahun 1965/PNPS, SKB 3 Menteri tentang Pembangunan Rumah Ibadah, dan juga Perda (Peraturan Daerah) bias agama yang berlaku di banyak daerah harus ditinjau ulang dan diselaraskan dengan semangat kebebasan memeluk agama dan beribadah menurut agama masing-masing. Untuk menjamin penyelenggaraan negara yang adil dan tidak berpihak, maka kami menyerukan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk memilih pemimpin yang adil, nasionalis, religious, dan berbudaya. Nilai-nilai spiritual, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan hendaknya menjadi landasan etis kita semua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalangan muda bangsa harus menjadi prioritas utama pembangunan. Bukan hanya pembangunan fisik semata, tapi pembangunan karakter yang seharusnya lebih diutamakan. n
8
E d i s i 0 3 | Ta h u n I | 2 0 1 3
Masyarakat Adat dan Dampak Kehadiran Perkebunan Sawit Emil O. Kleden
(diambil dari Jurnal Sawit Watch)
D
ampak yang akan diuraikan di sini tidak menyangkut penelusuran angka statistik korban jiwa dengan mendetail dan mendalam melainkan lebih pada dampak struktural yang dialami masyarakat adat dengan merujuk pada data yang terbatas. Dari perspektif HAM, hak-hak masyarakat sudah diatur secara lengkap dalam United Nations Declaration on Indigenous Peoples Rights (UNDRIP). Convention on the Elimination of Racial Discrimination juga dapat digunakan untuk menegaskan hak-hak masyarakat adat, seperti halnya dua Kovenan Kembar Hak Sipil Politik dan Hak Ekonomi Sosial Budaya. Tidak ada data yang pasti tentang jumlah populasi masyarakat adat di Indonesia. Namun merujuk pada pengertian masyarakat adat di bagian sebelumnya dapat diasumsikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia terkonsentrasi di kawasan perdesaan. Data dari Departemen Sosial 2006 menunjukkan bahwa populasi komunitas adat terpencil (KAT) di Indonesia sekitar 1,1 juta jiwa. Perkiraan lain dapat dilakukan misalnya dengan merujuk kepada studi yang dilakukan oleh Owen Lynch dan Talbott yang memperkirakan masyarakat yang tergantung secara langsung pada sumberdaya hutan berjumlah sekitar 80 – 95 juta1 jiwa. Penelitianyang dirilis oleh Kementerian Kehutanan baru-baru ini menunjukkan bahwa ada 26.000 desa yang sebagaian atau seluruhnya terletak di dalam kawasan hutan. Total populasi semua desa itu bisa mencapai lebih dari 60 juta jiwa. Watak utama dari desa (atau yang disebut dengan nama lain) sebagai sebuah satuan sosial politik yang disebut masyarakat adat ada-
lah kompleksitasnya dalam klaim sebagai subyek hak. Tidak seperti penduduk perkotaan yang umumnya hanya menjadi subyek hukum sebagai warga Negara, masyarakat adat dapat merupakan kumpulan subyek individual, juga sebagai subyek kolektif yang bertingkat- tingkat. Dalam urusan tanah adat misalnya, bisa ditemukan orang dengan klaim individu, namun ada keterbatasan dalam klaim-klaim misalnya tidak boleh menjual atas sendiri-sendiri tanpa permufakatan dengan sesama warga komunitas. Temuan utama dalam Konsultasi Publik Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat selama bulan Februari sampai awal Mei 2011 menunjukkan bahwa klaim sebagai subyek hak atas tanah bisa bertingkat-tingkat. Di Merauke, misalnya suku Marind mengenal
hak perorangan atas tanah dengan batasanbatasan tersebut di atas. Namun orang perorangan itu dapat menjadi bagian dari klaim sebagai sub-marga atau sub-clan. Sebuah sub-marga masih terikat pula dalam klaim sebagai marga. Gebze misalnya terdiri dari beberapa sub-marga Gebze. Pada situasi tertentu, misalnya sengketa antar suku, sejumlah marga dapat berlaku sebagai subyek suku, Marind misalnya. Situasi eksternal sangat menentukan bagaimana subyek pelaku klaim berlaku sebagai individu, sub-marga, marga atau suku. Desa di Jawa dan nagari di Sumatera Barat, binua di Kalimantan Barat juga dapat menunjukkan hal yang serupa. Namun desa dan nagari menunjukkan batas teritorial yang lebih rigid dibandingkan dengan yang terjadi di Merauke. Batas desa dan batas nagari dan klaim atas wilayah di dalam batas-batas tersebut sama sekali tidak berkaitan lagi dengan status etnis Jawa dan Melayu Minangkabau. Dampak-dampak perkebunan sawit skala besar dapat dilihat dari konflik yang terjadi beserta korban-korban konflik; dan juga dari potensi pelanggarannya terhadap hak asasi masyarakat adat sebagai implikasi dari hubungan mereka yang sangat dekat dan tergantung pada tanah dan sumberdaya alam. Uraian berikut ini lebih merupakan analisis situasi yang terjadi dan yang potensial menimbulkan pelanggaran hak asasi masyarakat adat.
Data
Menurut data yang dihimpun oleh Sawit Watch, hingga tahun 2010 telah terjadi konflik antara perkebunan kelapa sawit dengan 663 komunitas, dan korbannya mencapai 106 orang. n 1
Li, Tania Murray, ‘Articulating Indigenous Identity in Indonesia, Resource Politic and The Tribal Slot’, Working Paper WP 00-7, Berkeley Workshop on Environmental Politics, dipublikasikan pertama kali dalam Cooperative Studies in Society and History, volume 42 (1), 2000.
E d i s i 0 3 | Ta h u n I | 2 0 1 3
9
PENEGAKAN HUKUM PIDANA PERBURUHAN:
URGENSI PEMBENTUKAN DESK/UNIT PERBURUHAN DI BADAN RESERSE KRIMINAL KEPOLISIAN RI
J
Ole : LBH Jakarta
aminan atas penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia dalam sektor perburuhan di Indonesia dalam tataran normatif nampak semakin maju dengan terus bertambahnya perangkat hukum mulai dari bertambahnya Hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Ratifikasi Konvensi Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, hingga ratifikasi berbagai Konvensi ILO. Dalam berbagai Undang-undang pun telah diatur pasal-pasal perlindungan terhadap buruh dan ancaman sanksi pidana bagi pengusaha yang melakukan pelanggaran atau kejahatan dalam perburuhan. Namun faktanya, penegakan pidana perburuhan mengalami permasalahan di tahap penyidikan, padahal tahap ini adalah tahap krusial untuk selanjutnya kasus pidana perburuhan dapat diproses hingga ke tingkat persidangan.
Praktek Penegakan Hukum Pidana Perburuhan
LBH Jakarta bersama Serikat Buruh kerap menemukan praktek-praktek pelanggaran hak buruh yang termasuk dalam kategori tindak pidana, baik berupa pelanggaran maupun kejahatan yang diatur dalam berbagai undang-undang. Pelanggaran hak buruh tersebut terjadi secara meluas dan sistemik, dalam arti bahwa pelanggaran tersebut terjadi terhadap buruh di segala sektor usaha seperti, media, transportasi, retail, garmen, perbankan, asuransi bahkan juga terjadi di perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN). Pelanggaran tersebut bukan hanya yang diatur dalam KUHP seperti penganiayaan terhadap buruh atau penggelapan ijazah buruh, tetapi juga pelanggaran hak buruh yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pelanggaran
tersebut mayoritas telah dilaporkanLBH Jakarta dan/atau buruh ke Kepolisian, baik di tingkat Polsek, Polres, Polda, maupun Mabes Polri. Namundari laporan-laporan tersebut, tidak ada perkara yang berlanjut ke proses persidangan. Tidak ada pengusaha yang benar-benar disidangkan karena melanggar hak buruh,apalagi sampai dijatuhkan sanksi pidana. Padahal sejumlah tindak pidana tersebut berkaitan dengan hak dasar buruh seperti hak atas upah, hak atas kebebasan berserikat, atau hak untuk dilindungi dalam program jaminan sosial tenaga kerja.
Impunitas terhadap Pengusaha yang Melanggar Hak Buruh
Tidak berlanjutnya perkara tersebut menyebabkan adanya impunitas terhadap
pengusaha pelaku pelanggaran hak buruh, bahkan pelanggaran tersebut relatif meningkat dengan pola pelanggaran yang serupa. Pola pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut.
Informalisasi dan Privatisasi dalam Penegakan Hukum Perburuhan
Pelanggaran hak buruh yang dilaporkan ke kepolisian pada dasarnya adalah pelanggaran hak yang diancam dengan sanksi pidana, bahkan dengan konstruksi ancaman pidana minimal dan maksimal. Namun, kasus-kasus pidana tersebut diselesaikan secara informal dengan cara memfasilitasi perdamaian yang menghentikan proses pidananya. Dalam proses perdamaian, cara penyelesaian dilakukan secara informal, tanpa mengikuti prosedur baku yang diatur dalam perundang-undangan, mengandalkan pada proses negosiasi yang cenderung kompromistis terhadap standar dan prinsip-prinsip hukum. Pemindanaan Berlebihan terhadap Buruh Lain halnya dalam kasus Buruh Pabrik Adidas, Omih, yang disidang dengan UU Terorisme karena mengajak teman-temannya mogok kerja sebagai respon atas tidak dipenuhinya hak-hak buruh. Namun pelanggaran hak buruh tersebut tidak diperiksa, sementara Omih disidangkan meskipun akhirnya diputuskan bebas. Undue delay Pola impunitas selanjutnya terhadap pengusaha yang melanggar hak buruh dilakukan dengan penundaan proses pemeriksaan yang tidak procedural (undue delay). Undue delay terjadi sejak tahap awal pelaporan berupa penolakan laporan awal oleh kepolisian karena peristiwa yang dilaporkan dianggap bukan ke-
10
E d i s i 0 3 | Ta h u n I | 2 0 1 3
wenangan kepolisian.Hal ini disebabkan ketidakpahaman aparat kepolisian tentang aturan-aturan tindak pidana perburuhan.
Menerapkan Politik Pengabaian (Politic of ignorance)
Pola lainnya yang sering berulang di tahap penyidikan berupa pengabaian terhadap pelanggaran hak buruh. Pola ini lebih banyak dipengaruhi oleh konstruksi politik yang menempatkan buruh sebagai gangguan atau ancaman terhadap negara. Konstruksi politik yang dibangun sejak jaman Orde Baru sangat kuat mempengaruhi persepsi aparat kepolisian dan masyarakat yang menanggap bahwa gerakan buruh bersifat politis, kekiri-kirian, cenderung anarkis dan karenanya harus disikapi secara represif.
Peran Penting Desk Khusus Pidana Perburuhan
Awalnya, Kepolisian gamang dan enggan menindak dan menyidik Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tetapi setelah ada Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, Kepolisian tegas menindak kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Pidana Anak. Oleh sebab itu, penting untuk diadakannya Desk/Unit Perburuhan dalam Badan Reserse dan Kriminal di Kepolisian RI, agar nantinya Kasus Pidana Perburuhan tidak masuk ke Unit Kriminal Khusus sehingga penyelidikan dan penyidikannya tidak menggunakan metode yang sesuai dengan ciri khas pidana perburuhan. Selain itu, penempatan pidana perburuhan ke dalam Unit Kriminal Khusus menyebabkan Polisi menggunakan cara-cara represif untuk menekan aksi buruh
saat menyampaikan pendapat dan aspirasinya; Seringkali permasalahan pidana yang dihadapi buruh masuk dalam analisa hakim saat kasus berada di tingkat PHI (perdata). Namun tidak adanya unit khusus perburuhan di Kepolisian Republik Indonesia menyebabkan tindak lanjut kasus berunsur pidana mandul di tengah jalan. Maraknya kriminalisasi buruh yang melaksanakan hak-haknya sesuai dengan Undang-undang. Seperti hak untuk berserikat dan meminta perbaikan gaji dengan melakukan aksi, buruh akan dituduh melakukan penghasutan dan dilaporkan ke Polisi oleh Pengusaha; Adanya Desk/Unit Pidana yang khusus menangani Pidana Perburuhan bisa mendorong dan menjawab berbagai permasalahan buruh di lapangan. Tentu dengan pelatihan-pelatihan dan pengembangan kapasitas aparat penyidiknya. n
KRONIK
Konflik Agraria di Tanah Rumpin, Bogor Oleh : LBH Jakarta
Sejarah tanah
Secara turun temurun warga telah menghuni Desa Sukamulya. Pada jaman penjajahan Belanda,perusahaan perkebunan karet NV.Cuultuur Maschappij Tjikoleang yang didukung oleh Pemerintah Belanda menguasai tanah secara paksa seluas 572,200 Ha yang terdapat di 4 Desa yaitu Desa Sukamulya, desa Tamasari, Desa Mekarsari dan Desa Kertajaya. Untuk desa Sukamulya sendiri luas tanah Perkebunan Cikoelang hanya sekitar 248 Ha. Dimana warga dijadikan tenaga kerja perkebunan dengan bayaran sangat minim, sekitar setengah liter beras sehari. Sebagian lainnya tetap dihuni oleh warga. Pada jaman penjajahan jepang (1942), tanah perkebunan Tjikoleang diambil alih oleh Tentara Jepang, yang kemudian membangun lapangan terbang serta bangunan penunjang, dikenal dengan nama Lapangan Terbang Noerdin, yang pembangunannya menggunakan tenaga warga dengan cara kerja paksa (Romusa). Pada jaman kemerdekaan (1945) warga dapat kembali menguasai tanah yang didudu-
ki Jepang setelah tentara sekutu berhasil mengalahkan dan mengusir tentara Jepang. Sejak saat itu warga melakukan aktifitas pertanian dan permukiman di tanah tersebut.
Sejarah Konflik
Pada 1958 terbit surat keputusan Mentri Agraria yang pada pokoknya menyatakan bahwa tanah bekas Perkebunan Tjikoelang menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, karena terkena ketentuan UndangUndang Nomor 1 tahun 1958 tentang penghapusan tanah partikelir. Namun demikian, pada tahun 1960, diterbitkan Surat Keputusan Mentri Agraria yang pada pokoknya menyatakan memberikan kembali tanah-tanah tersebut kepada perkebunan Tjikoelang dengan hak guna usaha selama 35 tahun, kecuali tanah-tanah yang merupakan jalan umum seluas 8,285 Ha tanah-tanah yang diduduki rakyat seluas 94,930 ha, dan tanah-tanah yang diperlukan oleh Angkatan Udara seluas 36.600 Ha. Dengan demikian,SK ini memberikan alas hak
yang sah kepada warga yang menduduki sebagian tanag dimaksud. Pada tahun 1984, terbit SK Mentri Dalam Negeri yang pada pokoknya memberikan kembali hak guna usaha selama 35 tahun kepada Perkebunan Tjikoleang kecuali tanah seluas 108,5250 Ha yang diperuntukan untuk keperluan LAPAN, Pemerintah Daerah Tingkat ll Bogor dan Pemerintah Desa. Pada tahun 2003 tanah yang diperuntukkan bagi Pemerintah Desa oleh Keputusan Bupati Bogor dibagi antara Pemerintah Desa seluas 14 Ha dan Para Penggarap seluas 10 Ha. Berdasar alas hak tersebut, warga secara terus menerus memanfaatkan tanah Desa Sukamulya untuk pemukiman serta sebagai sumber mata pencharian. Bahkan sebagai warga negara yang baik, warga tidak lupa untuk senantisa memenuhi kewajibannya membayar pajaknya. Hak penguasaan warga atas tanah dapat dibuktikan dengan kikitir/girik yang tercatat dalam buku letter c1 dan letter c2, dan bahkan ada yang telah memiliki sertipikat hak milik. Malapetaka menimpa warga Sukamulya sejak TNI AURI cq. Atang Senjaja melakukan klaim atas tanah yang dihuni dan dimanfaatkan warga yang luasnya mencapai 1000 Ha. Menurut pihak TNI AURI, klaim tersebut didasarkan pada Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Perang tahun 1950 yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Lapangan terbang serta bangunan-bangunan yang termasuk lapangan dan alat-alat yang berada di lapangan dan sungguh-sungguh diperlukan untuk memelihara lapangan-lapangan tersebut menjadi milik Angkatan Udara Republik Indonesia”. Pihak TNI AURI juga melakukan pemblokiran atas tanah warga Desa Sukamulya di Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor. Yang mengakibatkan warga tidak dapat mensertipikatkan tanah yang dikuasainya. Klaim atas tanah warga tersebut lalu didaftarkan sebagai Barang Milik Negara di
E d i s i 0 3 | Ta h u n I | 2 0 1 3
Departemen Keuangan RI dalam Nomor Register 5053007 seluas 450 Ha dan nomor Register 5053008 Ha seluas 550 Ha. Tidak hanya sebatas klaim, pihak TNI AURI juga melakukan beberapa kegiatan yang berdampak buruk pada warga Sukamulya, baik itu perampasan tanah warga, maupun tindak kekerasan. Pada 2006,TNI AURI melakukan pembangunan fasilitas latihan water training diatas tanah warga kampung Cibitung, seluas 10 Ha. Pembangunan water training ini sesungguhnya hanyalah dalih untuk melakukan penambangan pasir. Terhadap kegiatan ini, warga melakukan aksi penolakan yang berujung pada tragedy penembakan dan penyiksaan yang dilakukan oleh Pihak TNI AURI pada 22 Januari 2007. Pasukan TNI AURI juga melakukan sweeping ke rumah-rumah untuk mencari warga yang terlibat dalam aksi penolakan water training. Akibatnya sejumlah 102 orang warga terpaksa mengungsi ke daerah lain. Kampung Cibitung hampir dari penghuni selam kurang lebih 10 hari. Pada 2007, pihak TNI AURI melakukan pembangunan Mako Detasemen Bravo Paskhas di atas tanah warga kampung Cibitung seluas 24 Ha, dengan cara penggusuran paksa terhadap pemukiman dan perkebunan warga, tanpa ganti rugi apapun kecuali pemberian
uang kerohiman sebesar Rp. 5000,- per meter. Pemberian kerohiman dilakukan dengan pemaksaan dan disertai dengan intimidasi. Pembangunan mako ini menutup akses jalan warga kampung Cibitung ke daerah lain. Pada 2009, AURI ini juga membuat lapanagan latihan tembak di kampung Malahpar-Cibitung yang digunakan hampir setiap hari, meskipun lokasinya berdekatan dengan pemikiman dan perlintasan warga. Pada tahun 2010, TNI AURI melakukan penanaman pohon Sengon secara sepihak dan semena-mena, juga di atas tanah warga kampung Malahpar seluas 2400 M. Anggota TNI AURI kerap melakukan intimidasi, teror dan tindak kekerasan terhadap warga baik terkait dengan persoalan tanah maupun karena sebab-sebab lain. Berbagai tindakan pihak TNI AURI di tanah warga menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan keamanan sebagi berikut : Warga menjadi resah dan kehilangan rasa aman atas aksi kekerasan dan perampasan tanah, serta klaim atas tanah warga seluas 1000Ha yang meliputi seluruh wilayah Desa Sukamulya. Kegiatan penggalian pasir yang berdalih Water Training menimbulkan suara bising
11
yang mengganggu ketenangan warga. Akibat tragedi penembakan tahun 2007, sebanyak 8 orang warga luka-luka, baik karena luka tembak maupun penyiksaan, 6 orang ditangkap, harta benda dirampas atau dirusak. Warga bahkan sempat mengungsi untuk menyelamatkan diri karena pasukan TNI AURI melakukan sweeping ke setiap rumah warga. Sawah dan sumur warga kampung cibitung menjadi kering akibat aktifitas penggalian pasir berdalih water training yang dilakukan TNI AURI. Warga terpaksa kehilangan tanah dan mata pencariannya akibat dari perampasan yang dilakukan AURI untuk membangun water training dan Mako Detasemen Detasemen Bravo. Akses jalan warga ke dan dari kampung Cibitung mernjadi tertutup akibat pembangunan Mako Detasemen Bravo. Warga yang ingin melintas diharuskan melapor ke petugas juga, bahkan harus meninggalkan KTP. Warga merasa resah dan takut terkena peluru nyasar latihan tembak yang dilakukan oleh AURI. Suara bising tembakan sangat mengganggu ketenangan warga desa. Warga merasa takut dan tidak tenang atas peristiwa pesawat AURI yang terbang rendah di atas pemukiman warga.n
Peringatan Hari Antikorupsi International Oleh : TI Indonesia
han Kemijen, Kota Semarang, Jawa Tengah. Kelurahan ini merupakan salah satu daerah termiskin. Komunitas Kemijen dibentuk oleh warga setempat untuk memajukan kondisi kehidupan mereka dengan difasilitasi PATTIRO Semarang. Tidak ada tokoh dan gerakan sosial yang sempurna. Yang ada hanya figur-figur yang tidak kenal lelah untuk berusaha mencapai tujuan-tujuannya. Setiap orang bisa menjadi aktor perubahan bila sanggup memanfaatkan sumberdaya dan kesempatan menjadi sebuah gerakan kolektif.
Penyelenggara
B
ulan Desember menjadi bulan yang cukup bermakna bagi TI Indonesia, dimana TI Indonesia secara berturut-turut memperingati Hari Anti Korupsi Internasional pada tanggal 9 Desember 2013 dan Hari HAM Sedunia pada tanggal 10 Desember 2013. Pada tanggal 8 Desember 2013, TI Indonesia melaksanakan kampanye publik yang melibatkan kelompok-kelompok kreatif sebagai pendorong kampanye anti korupsi yang lebih menjangkau generasi muda. Kegiatan ini bersamaan juga kegiatan olahraga masyarakat di ringroad Gelora Bung Karno, Pintu VIP Barat – Plaza Barat, dengan konsep mendatangi publik. Diharapkan pesan kampanye dapat sampai langsung ke masyarakat. Kegiatan yang dilakukan adalah: senam antikorupsi – yel2 antikorupsi, Mobile campaign stand with us against corruption, akasi visual, art performance, music performance, kuis antikorupsi, stand up comedy, open MC dan lomba desain “Baju Korruptor” Sementara, kegiatan Karnaval Peringatan HAM dilaksanakan di Bundaran Hotel Indonesia (HI). Disamping itu, TI Indonesia juga membuat film untuk mendorong transparansi dan melakukan kontrol terhadap proses pembangunan dapat dilakukan oleh semua orang, tidak terkecuali orang-orang “kecil” di daerah. Komunitas Kemijen adalah sebuah perkumpulan warga di Kelura-
LBH Jakarta, Yayasan Yap Thiam Hien, Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK), Koalisi Rakyat untuk Hak Air (KruHA), Transparency Internatioinal Indonesia (TI Indonesia), KontraS, Solidaritas Anak Jalanan untuk Demokrasi, Komunitas Rumpin, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP’65), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Sawit Watch, ICRP, KASuM, Solidaritas Perempuan Jabotabek, ELSAM, Lazuardi Birru dan Arus Pelangi. n
Ucapan Terima Kasih
kepada Pihak-Pihak yang mendukung terselenggaranya kegiatan Pendukung Acara pada Panggung Seni Budaya: Orasi Budaya dari Bapak FX Rudi Gunawan dan Bapak Sandyawan (dalam konfirmasi) Dewi Nova (Puisi) Okky Madasari (Puisi) Testimoni Korban Sanggar Ciliwung (dalam konfirmasi) Choir HKBP Filadelfia (dalam konfirmasi) Paroeh Waktoe (dalam konfirmasi) Social Kid Marjinal (dalam konfirmasi) Pendukung kegiatan: HKBP Filadelfia HRWG Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) AMAN Indonesia
12
E d i s i 0 3 | Ta h u n I | 2 0 1 3
Dari Laporan KontraS TNI Di Ujung Titik Balik
yang kental dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan penjaga kekuasaan rezim.
J
ika pada tahun-tahun sebelumnya Presiden SBY selalu menyampaikan dalam berbagaikesempatan bahwa TNI harus bekerja secara profesional dan tidak melanggar HAM1 namun hingga sekarang kekerasan yang dilakukan oleh TNI masih kerap terjadi. Kedepan, tentu bisa kita bayangkan bagaimana dampak dari peran TNI sebagai alat politik lembaga-lembaga pemerintahan dan kepala daerah dengan amunisi anggaran dan produk kebijakan yang menguatkan posisi TNI. KontraS sebagai bagian dari masyarakat sipil berdasarkan dari hasil pantauan dan laporan warga sipil yang menjadi korban dan dampingan kami, menilai, bahwa TNI saat ini sedang berada diujung titik balik kembali menjadi militer pelanggar HAM dan sebagai alat kekuasaan rezim. Hal mana yang menjadi tolak ukurnya adalah Pertama, kedudukan DPR dan Kementerian Pertahanan sebagai lembaga yang mengeluarkan kebijakan dan pengawasan terhadap TNI malah cenderung memberikan atau melahirkan produk kebijakan yang memberikan peran lebih kepada TNI yang tidak sesuai dengan tugas pokok TNI serta berpotensi melahirkan kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM. Kedua, sehubungan dengan poin pertama diatas, ada perluasan keterlibatan peran-peran non militer diranah publik. Hal ini mengingatkan kembali pada peran kekaryaan atau dwi fungsi ABRI dimasa orde baru. Dalam prinsipnya, tugas seperti ini bisa dibenarkan hanya dalam situasi yang darurat atau situasi perang. Namun dalam situasi normal hal ini menimbulkan pertanyaan. Apa alasan melibatkan TNI? Ketiga, budaya kekerasan terhadap
warga sipil yang masih kerap terjadi serta kegagalan peran komando untuk menjaga perilaku bawahannya yang cenderung disalahgunakan memperpanjang deretan pelanggaran hukum dikalangan para prajurit bawahan. Keempat, atas segala bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para prajurit, Pemerintah, DPR serta TNI tidak berusaha mencari mekanisme hukum yang memadai sebagai upaya pencegahan serta penegakan hukum, termasuk penuntasan peran buruk TNI dimasa lalu. UU 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer tidak dapat digunakan sebagai instrumen mekanime koreksi yang memadai untuk kasus-kasus pelanggaran HAM, karena dalam prakteknya peraturan ini malah melindungi prajurit yang melanggar hukum. Untuk itu, penting bagi TNI kedepan adalah untuk menjaga peran dan tugas pokoknya berdasarkan UUD 1945 dan melakukan penghormatan atas Hak Asasi Manusia agar tidak lagi kembali menjadi militer semasa pemerintahan orde baru
Rekomendasi Berdasarkan catatan kami diatas dengan masih tingginya angka kekerasan yang tidakditopang dengan mekanisme koreksi yang memadai melalui penegakan hukum tentu tidakhanya berdampak kepada kegagalan pencapaian TNI yang profesional namun juga makinbertambah jatuhnya korban dikalangan sipil. Selain itu juga, kedepan, melihat suasana politik negara yang makin meningkat diharapkan TNI tetap tunduk pada konstitusi sebagai penjaga kedaulatan negara. Untuk itu kami menyampaikan beberapa rekomendasi sebagai berikut: 1. Untuk menghilangkan segala praktek kekerasan dan sebagai bentuk upaya komitmen penghormatan Hak Asasi Manusia serta Undang-undang. Maka Pemerintah, DPR serta TNI harus menyediakan instrumen hukum atau mekanisme koreksi yang memadai bagi penegakan hukum termasuk di antaranya melakukan revisi atas UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan bisa diselaraskan seiring dengan pembahasan UU Disiplin Militer dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer. 2. Mengingatkan kepada DPR dan Kementrian Pertahanan agar tidak menggunakan TNI sebagai alat politik lembaga-lembaga pemerintahan dengan memberikan tugas-tugas diluar dari tugas pokok TNI sebagaimana diatur dalam Undang-undang TNI. 3. Kepada Panglima TNI, meminta untuk memperkuat komando dalam kesatuan-kesatuan untuk bisa membangun kedisplinan, ketertiban dan tata kelola yang baik dan cermat terutama bagi anggota-anggota TNI. n
1
Presiden SBY menyampaikan “Saya adalah seorang militer, yang juga turut menyusun cetak biru reformasi TNI. Jadi, saya yakinkan anda bahwa TNI tidak lagi melakukan pelanggaran HAM,” http://kodam1bukitbarisan.mil.id/2010/07/23/presidensby-menhan-as-bahas-kerjasama-pertahanan.