Transparency International (TI) Indonesia adalah chapter otonom dari Transparency International (TI) yang bekerja di lebih dari 90 negara di dunia. TIIndonesia merupakan jaringan LSM yang memfokuskan diri pada upaya melawan korupsi dan berupaya membangun koalisi/kemitraan dalam rangka membasmi efek buruk dari korupsi terhadap kaum lelaki, perempuan, dan anak-anak. Misi utama dari TI-Indonesia adalah menciptakan lingkungan yang bersih dari praktik korupsi.
Transparansi E-NEWSLETTER
E-Newsletter TI-Indonesia E D I S I
I I I
V O L
V I 1
M A R E T
Rapat Anggota TI-Indonesia
Natalia Soebagjo Pimpin TI-Indonesia sional TI-Indonesia, di bilangan Senayan Bawah, Jakarta Selatan, juga membahas pula laporan pertanggungjawaban Dewan Pengawas, Dewan Pengurus dan penambahan anggota baru, serta periodisasi rapat anggota.
DAFTAR ISI: Rapat Anggota TIIndonesia Natalia Soebagjo Pimpin TI-Indonesia
1
Rilis Media Indikasi Korupsi Pembangunan Gedung baru DPR
1
FGD Membangunan Papua: Perlu Penanganan yang Arif
3
Konferensi Global Kelima EITI
3
Berita Daerah Pelatihan Audit Sosial di Dharmasraya
4
Berita Daerah Proyek Rumah Pompa Banger Mandek
5
Deliberative Forum lawan Korupsi
6
PBB Review implementasi UNCAC di Indonesia
7
Opini Dewan pemburu Rente
8
Opini Perang Setengah Hati
9
Agenda Kegiatan Album Kegiatan Salam Redaksi
11 11 12
2 0 1 1
Dok.TI-Indonesia Natalia Soebagjo dan Zumrotin K. Susilo terpilih sebagai duet pimpinan di jajaran Dewan TIIndonesia 2011-2013. Keduanya terpilih setelah memenangkan voting tertutup yang dilakukan
oleh setiap anggota yang hadir atau mewakilkan suaranya (proxy) pada Rapat Anggota TI Indonesia. Sebelumnya acara yang berlangsung pada 24 Februari 2011 di Sekretariat Na-
Mbak Natalia, demikian ia akrab disapa, menduduki posisi Ketua Dewan Pengurus, sementara Bu Zum yang terkenal teliti, akan mensupervisi dalam kapasitas sebagai Ketua Dewan Pengawas. Dengan demikian kepengurusan periode kali ini merupakan yang pertama duet dua perempuan, menggantikan duet sebelumnya ..….bersambung ke hal.2
Rilis Media
Indikasi Korupsi Pembangunan Gedung Baru DPR
Koalisi LSM tolak gedung DPR dengan ini menyatakan: Pertama, pembangunan gedung baru DPR didasarkan atas argumentasi yang sarat dengan kebohongan. Setidaknya terdapat 4 kebohongan yang dilakukan DPR; a. Kebohongan mengenai kondisi gedung yang miring. b. Kebohongan mengenai persetujuan seluruh fraksi atas pembangunan gedung baru tersebut. Padahal fraksi Gerindra menolak usulan tersebut.
mewah telah diberikan kepada anggota DPR. d. Kebohongan penyediaan fasilitas (kolam renang, dll) untuk karyawan DPR pada gedung yang baru. Padahal tidak Dok.TI-Indonesia pernah sekalipun ada keinginan dari c. Kebohongan untuk peningkaryawan DPR untuk pekatan kinerja. Ini berbanding ter- nyediaan fasilitas tersebut. balik dengan kinerja DPR pada tahun sebelumnya yang sangat Kedua, Proses perencanaan buruk baik pada fungsi legislasi, pemba-ngunan gedung DPR fungsi anggaran, dan fungsi penga- dilakukan secara tertutup oleh wasan. Padahal berbagai fasilitas DPR.…...bersambung ke hal.2
2
Rapat Anggota... Todung Mulya lubis dan Erry Riyana Hardjapamekas.
“Kepengurusan periode kali ini merupakan yang pertama duet dua perempuan.”
Seiring terpilihnya kedua dewan teras ini, para anggota juga menyepakati penambahan anggota baru. Melalui mekanisme yang khas, rapat menerima 13 orang sebagai anggota TI-Indonesia yaitu: Firdaus Alamsyah, Mas Ahmad Santosa, Ani Soetjipto, Bambang Widodo Umar, Clara Juwono, DR.Hadi Satyagraha, Sidharta Utama, Dr.Ing Budi Ibrahim, Chandra Kirana, M. Chatib Basri, Faisal Basri, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia dan Metta
Dharmasaputra. Rapat anggota yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi organisasi ini berlangsung dengan penuh keakraban. Erry Riyana Hardjapamekas yang merupakan Ketua Dewan Pengawas periode 2007-2010 memimpin dan memandu jalannya rapat dengan taktis, tanpa lupa diselingi canda. Tidak heran 16 anggota TI -Indonesia yang hadir berhasil membahas agenda rapat yang padat dengan lancar.
Selain itu laporan Dewan pengawas dan Pengurus diterima dengan catatan Dewan Pengawas akan melakukan kajian terhadap hasil laporan audit keuangan periode 2008, 2009 dan 2010. Hasilnya kemudian akan dipublikasikan kepada seluruh anggota. Sebelum mengakhiri rapat, para anggota bersepakat untuk menggelar acara serupa setahun sekali. Dengan demikian lebih mengintensifkan konsolidasi dan respons terhadap isu-isu yang berkembang. [lt/so]
Indikasi Korupsi... Akibatnya, publik tidak mengetahui adanya rencana pembangunan gedung tersebut. Padahal publik sebagai pemilik kedaulatan atas segala sumber daya yang ada termasuk anggaran berhak untuk tahu.
“Meminta KPK untuk segera melakukan pemerikasaan terhadap alat kelengkapan DPR dan aktoraktor dilingkungan DPR yang diduga merekayasa dugaan legalisasi korupsi terkait pembangunan gedung DPR.”
Ketiga, hingga akhir tahun 2010, dana yang telah dihabiskan untuk proses perencanaan mencapai angka Rp 14.5 Miliar (versi Setjen DPR). Dana ini digunakan untuk membiayai proses perencanaan dan manajemen konstruksi serta kajian ulang rencana induk, AMDAL dan audit struktur bangunan. Dari segi regulasi pengadaan barang/jasa pemerintah, nilai proyek pengadaan barang/jasa yang bernilai diatas Rp 50 Juta harus dilakukan melalui tender terbuka (Keppres 80/2003). Keppres ini dijadikan dasar hukum karena proses perencanaan tersebut dilakukan sebelum terbitnya Perpres 54/2010 (pengganti Keppres 80/2003). Keempat, hingga saat ini belum ada kejelasan apakah pengadaan jasa konsultasi yang menghabiskan anggaran hingga 14.5 Miliar tersebut dilakukan melalui tender terbuka atau tidak. Ketidakjelasan ini bisa me-ngarah kepada indikasi tindak pidana korupsi. Kelima, dalam catatan KPK sendiri hingga akhir tahun 2010 mengungkapkan dari 196 kasus korupsi yang ditangani KPK, 86 kasus dianta-
ranya merupakan kasus korupsi yang terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah. Dari 86 kasus tersebut, praktek korupsi dilakukan dengan menggunakan modus penunjukan langsung dan mark-up. Data ini memperkuat dugaan bahwa penyediaan jasa konsultasi gedung DPR yang dilakukan secara “diam-diam” dan tertutup bisa dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dengan modus penunjukan langsung. KPK hendaknya segera melakukan penyelidikan untuk mengungkap kecurigaan publik atas penyediaan jasa konsultasi gedung baru tersebut. Keenam, ketidakjelasan nominal untuk biaya pembangunan gedung DPR mengundang kecurigaan adanya upaya untuk mengelabui publik. Nominal biaya yang dijelaskan hanya untuk bangunan fisik yakni Rp 1.138 Triliun. Sedangkan biaya furniture, IT, dan sistem keamanan tidak dijelaskan. Potensi kerugian keuangan negara akan sangat besar jika pembangunan gedung ini tetap dilanjutkan. Ketujuh, penolakan beberapa fraksi di DPR memberikan sinyal bahwa pembangunan gedung DPR layak dicurigai sebagai upaya untuk menggerogoti dana publik untuk kepentingan segelintir elit.
Adapun fraksi yang menolak yaitu; a. Fraksi Gerindra b. Fraksi PDI-Perjuangan c. Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) Oleh karena itu, kami atas nama masyarakat yang tergabung dalam Koalisi LSM Tolak Gedung DPR dengan ini menyatakan agar pembangunan gedung baru DPR segera DIHENTIKAN. Sekaligus meminta KPK untuk segera melakukan pemerikasaan terhadap alat kelengkapan DPR dan aktor aktor dilingkungan DPR yang diduga merekayasa dugaan legalisasi korupsi terkait pembangunan gedung DPR. Ray Rangkuti - Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Sebastian Salang - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Jeirry Sumampauw - Komite Pemilih Indonesia (TePI) Arif Nur Alam - Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam - Indonesia Budget Center (IBC) Heni Yulianto - Transparency International Indonesia (TII) Reza Syawawi - Transparency International Indonesia (TII) Sugeng Sarjadi Syndicate (SSS) Ade Irawan - Indonesia Corruption Watch (ICW)
3
FGD Membangun Papua:
Perlu Cara Penanganan yang Komprehensif anomali serius. Papua menjadi sangat mis-kin dibandingkan wilayah Indonesia lainnya. Dana Otsus yang telah dikucurkan sebesar Rp. 27 triliun untuk seluruh wilayah Papua, selama periode 2002-2009 tidak mengubah situasi di sana. Pengabaian peran budaya setempat dalam proses pembangunan pun menjadi salah satu persoalan.
Persoalan HAM dan kemanusiaan yang terus terjadi di Papua membutuhkan cara pandang baru yang komprehensif. Antara lain dengan tidak mengukur skala persoalan di propinsi yang telah menjalani Otonomi Khusus selama 11 tahun ini dengan ukuran yang digunakan ketika membicarakan provinsi lain. Demikian kesimpulan umum dari FGD yang bertajuk “Membangun Papua dengan Bertanggungjawab: Pemetaan Persoalan dan Alternatif Solusi Pembangunan di Papua”, yang berlangsung di Hotel Santika, Jakarta, 2 Maret lalu. Diskusi yang diselenggarakan Transparency International Indonesia ini menghadirkan sejumlah tokoh, aktivis, dan akademisi yang concern pada persoalan di bumi Cendrawasih. Hadir antara lain Sekjen TI-Indonesia, Teten Masduki, Dekan FISIP UI, Bambang Shergi Laksmono, Direktur Research Institute for Democracy and Peace (RIDEP), Amiruddin Al Rahab, dan Direktur Institute for Civil Streng-
Dok.TI-Indonesia Forum FGD menyimpulkan thening (ICS), Budi Setyanto. Para peserta melihat status Otonomi Khusus yang diamanatkan kepada Papua ternyata tidak cukup menyelesaikan berbagai persoalan. Alih-alih menjadi solusi, kebijakan Otonomi Khusus justru melahirkan anomali dengan terus langgengnya pelanggaran HAM, kekerasan, keterbelakangan, dan korupsi. Masyarakat juga masih merasakan penindasan, kemiskinan, serta minimnya akses pendidikan dan kesehatan . Sementara itu, kekayaan sumber daya alam yang melimpah telah menimbulkan
tidak ada penjelasan tunggal terhadap langgengnya beragam persoalan di Papua. Mulai dari persoalan tumpang tindih regulasi, konflik kewenangan antar lembaga publik di daerah, hingga minimnya transparansi dan akuntabilitas kinerja lembaga publik setempat. Ketiadaan perubahan yang berarti di Papua selama Otonomi Khusus telah menjadi sorotan publik Internasional dan nasional. Sejumlah pihak menyayangkan situasi yang terus berlarut-larut ini dapat menyebabkan gagalnya pembangunan berkelanjutan bagi masyarakat hingga berakhirnya Otonomi Khusus pada 2021. [lt]
Konferensi Global Kelima EITI Paris, ibukota Perancis itu menjadi kota tempat penyelenggaraan Konferensi Global kelima inisiatif industri ekstraktif global. Adalah EITI (Extractive Industries Transparency Initiatives) salah satu inisiatif multi pihak untuk transparansi dan tata kelola industri ekstraktif yang lebih baik. Kerja dari inisiatif EITI adalah mekanisme pelaporan pemasukan negara dari industri ekstraktif kepada pemerintah, dan penerimaan negara dari industri ekstraktif. EITI beranggotakan 35 negara di Eropa, AsiaPasifik, Amerika, dan Afrika. Indonesia sendiri menjadi anggota sejak Oktober 2010. Status Indonesia saat ini adalah candidate country. Artinya, sebagai candidate country kita diberi waktu dua tahun untuk menghasilkan laporan EITI, karena pada akhir periode dua tahun itu kita akan mengikuti proses validasi. Kalau belum berhasil membuat laporan, atau laporannya dianggap tidak memenuhi standar,
EITI board bisa memutuskan memperpanjang status sebagai candidate, atau mengeluarkan Indonesia dari EITI. Kalau lolos validasi, maka Indonesia masuk menjadi compliant country. Penyelenggaraan konferensi kelima pada tanggal 2 -3 Maret lalu menyoroti beberapa hal, seperti yang terangkum dalam presentasi Laporan Kemajuan periode 2009-2011, yaitu: membangun kepercayaan dan dialog, meningkatkan transparansi dan tata kelola pemerintahan, penguatan masyarakat sipil, dan memajukan iklim usaha. Semangat kerjasama konstruktif dalam keanggotaan EITI diharapkan dapat menjawab persoalan dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di dunia. Pergolakan politik yang dialami Tunisia, Mesir, dan Libya menjadi sorotan dalam konferensi. Presiden Otunbayeva dari Republik Kyrgiztan mengakui pentingnya platform
dialog di antara negara-negara anggota dengan dunia secara global. Dalam kesempatan lain, penghargaan juga diberikan kepada enam negara anggota, yaitu: Republik Afrika Tengah, Kyrgiztan, Niger, Nigeria, Norwegia, dan Yaman. Keenam negara ini menunjukkan kemajuan dalam mekanisme pelaporan negara dari industri ekstraktif yang transparan dan akuntabel untuk meningkatkan pembangunan bagi masyarakat. Konferensi EITI kali ini menjadi perpisahan bagi Peter Eigen yang digantikan oleh Clare Short sebagai Ketua EITI. Pernah menjabat sebagai Menteri Pembangunan Internasional Inggris pada 1997-2003, Clare diharapkan dapat memajukan EITI dan melewati tantangan dinamika politik global yang terjadi. Clare adalah perempuan pertama yang didaulat sebagai pemimpin sejak EITI terbentuk, 2002 .[lt] *extracting of various sources
4
Berita Daerah
Pelatihan Audit Sosial di Dharmasraya bangan manajemen program. Masyarakat perlu mengetahui sumber pembiayaan program, struktur dan pertanggungjawaban organisasi pelaksana, serta sumber daya manusia.
“Proses pelatihan berupa simulasi proses audit, merancang program audit sosial, dan pemberian wawasan serta pemahaman legal dalam menyelenggara kan audit sosial.”
Tahap ketiga adalah pengumpulan informasi. Komunitas yang melaksanakan audit sosial memerlukan akses dokumen, seperti catatan teknis (perencanaan program, spesifikasi program, kontrak, dll), Dok.TI-Indonesia catatan manajerial dan catatan akuntansi dari kegiatan. Akses Transparency International (TI) audit sosial merupakan upaya informasi tersebut dapat ber-Indonesia sebagai lembaga penguatan dan pemberdayaan pedoman pada UU Keterbuyang berkomitmen dalam masyarakat. Watak-perilaku kaan Informasi Publik No. 14 membangun pakta integritas, masyarakat yang cenderung Tahun 2008. berusaha tanpa henti mencegah pasif diharapkan dapat menjadi terjadinya kemunduran melalui lebih kritis terhadap dinamika Tahap keempat, pemilihan data pembangunan integritas. program pembangunan sedan persiapan arsip informasi ke dalam format Dalam rangka memyang mudah diakses. perkuat peran serta masyarakat, TITahap kelima, penyebaran Indonesia field office informasi. Pelaksana audit Sumatera Barat memembuat salinan dari nyelenggarakan pelatidokumen dan matrik han audit sosial bagi proyek, lalu kemudian penerima manfaat dipublikasikan. pemba-ngunan untuk sektor pertanian, penKeenam, pertemuan kondidikan, dan kesesultasi publik. Melalui hatan di Kabupaten tahap ini diharapkan Dharmasraya dimulai adanya respon masyarapada 2011. kat melalui proses konDok.gstatic.com sultasi publik. Proses peningkatan hingga kontrol sosial masyarakapasitas masyarakat dalam Tahap terakhir adalah tindak kat pun dapat berjalan. audit sosial yang pertama kalanjut hasil dari konsultasi pulinya diselenggarakan bersama blik yang disiapkan sebagai madengan LSM Peduli pada 21-23 Tujuh langkah proses audit teri advokasi. Proses advokasi Februari 2011 di Hotel Umega sosial dipaparkan dalam pelatidapat dilakukan melalui dengar han. Gunung Medan. pendapat, kampanye publik, dan sebagainya. Pertama, mengindentifikasi lingProses pelatihan berupa simukup audit. Dimulai dari identifilasi proses audit, merancang Akmal Thulas program audit sosial, dan pem- kasi akses informasi program Project Asistance TI-Indonesia berian wawasan serta pemaha- sebuah instansi, partisipasi Fo.Sumbar masyarakat, sumber daya, man legal dalam menyelenggahubungan antar-lembaga, dan rakan audit sosial. Jonni Oeyoen (Seknas TI-Indonesia) strategi kelompok. selaku fasilitator pelatihan Tahap kedua adalah pengemmengungkapkan bahwa tujuan
5
Berita Daerah
Proyek Rumah Pompa Banger Mandek
“Sejak November lalu pengerjaan proyek berhenti. Ternyata dari informasi yang didapatkannya, tiang pancang yang ditanam sedalam 50 meter sebanyak 68 unit mengalami kemiringan.”
SEMARANG TIMUR - Pembangunan rumah pompa polder Banger di Kelurahan Kemijen, Semarang Timur, semakin tidak jelas. Sejauh ini tidak ada tandatanda pengerjaan, termasuk tidak satupun pekerja yang ada di sana. Lokasi yang dulunya dijadikan tempat penanaman tiang pancang pada awal September 2010 oleh Gubernur Bibit Waluyo kini mangkrak. Menurut rencana, di lokasi itu akan dibangun stasiun rumah pompa. Beberapa balok pondasi dan besi masih teronggok di sana, termasuk bekas galian tiang pancang harus diuruk.
sambil menunjukkan tiang pancang yang tak terpakai, Jumat (11/3). Dia mempertanyakan, mengapa proyek yang merupakan kerja sama pemerintah Belanda dan Indonesia hasilnya tidak memuaskan. Seharusnya Desember 2010 pengerjaan stasiun pompa sudah selesai. ’’Kok sampai sekarang tidak ada kejelasan,’’ katanya.
Tokoh masyarakat Cilosari, Puji Sarwono mengatakan, sejak November lalu pengerjaan proyek berhenti. Ternyata dari informasi yang didapatkannya, tiang pancang yang ditanam sedalam 50 meter sebanyak 68 unit mengalami kemiringan.
Puji menegaskan, warga di sana juga mempersoalkan sejumlah proyek yang kurang memuaskan. Seperti talut di Kali Banger banyak yang miring, infrastruktur jalan kampung, terutama di Jalan Cilosari Raya rusak parah. Bahkan di RT 7 RW 8 dijadikan tempat pembuangan sedimen Kali Banger. “Pihak proyek harus bertanggung jawab. Pembuangan sedimen semestinya di PPI Tambaklorok. Kenapa dibuang ke kawasan permukiman,’’ tukasnya.
’’Kemiringan sudah diluar toleransi. Karena miring itulah proyek dihentikan,’’ katanya
Kepala Dinas PSDA-ESDM Kota Semarang, Ir Fauzi mengakui ada kemiringan tiang
pancang untuk pondasi rumah pompa. Rata-rata kemiringan antara 12 sampai 15 derajat. Karena itu, pihaknya meminta kontraktor untuk menghentikan pengerjaan. ’’Kemiringan itu bukan ada kesalahan teknis, melainkan kondisi tanah lumpur yang mudah bergerak. Sekarang ini pihak kontraktor sudah memesan tiang pancang lagi supaya dibuat lurus. Kalau tidak akhir Maret atau April sudah dimulai pengerjaan,’’ ujarnya. Fauzi mengatakan, kemiringan tiang pancang tidak hanya pada pembuatan rumah pompa Kali Banger. Pembangunan kolam retensi pun banyak tiang pancang yang miring. ’’Kalau orang teknis tidak masalah, asalkan penanamannya dalam,’’ katanya. http://suaramerdeka.com/v1/ index.php/read/ cetak/2011/03/12/139650/ Proyek-Rumah-Pompa-BangerMandek
“ENewsletter Transparency International Indonesia, download di http://www.ti.or.id/publication”
6
Semiloka Evaluasi dan Perencanaan Program
Deliberative Forum Lawan Korupsi dilihat sebagai perso-alan politik. Padahal beberapa persoalan politisasi isu korupsi telah menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia. Antara lain melalui pembajakan dan pelemahan lembaga-lembaga kuasi negara, seperti kriminalisasi dan delegitimasi KPK, dan pelemahan kewenangan Komisi Yudisial (KY), upaya pengembalian pengadilan khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di bawah pengadilan umum. Belum lagi kooptasi partai dalam Komisi Pemilihan Umum (KPU) sehingga membuka keran bagi korupsi politik yang lebih luas.
Dok.TI-Indonesia Rendahnya kepercayaan dan partisipasi masyarakat terhadap proses politik telah membuka lebar pintu bagi penyalahgunaan kekuasan yang berujung korupsi. Karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk menciptakan ruang kontrol publik yang lebih besar. Antara lain dengan membangun deliberative forum, guna membicarakan persoalan-persoalan masyarakat dengan beragam perspektif dan kepentingan. Demikian salah satu poin utama dari refleksi Transparency International Indonesia dan mitra kerja dalam Semiloka Evaluasi dan Perencanaan Program 2011. Kegiatan tahunan yang berangsung pada 28 Februari-3 Maret 2011 di Anyer ini, digelar kembali untuk membangun kesamaan visi dan ownership jaringan mitra kerja. Sebanyak 25 orang peserta yang terdiri dari staf Seknas dan FO TI serta
mitra hadir dari Jakarta, Dharmasraya, Makassar, Banjarbaru, Balikpapan, Pontianak, dan Semarang. Muncul kekhawatiran dari para peserta terhadap semakin meningkatnya fenomena korupsi akhir-akhir ini. Indonesia, antara lain, stagnan pada skor 2,8 dalam Indeks Persepsi Korupsi tahun 2010. Atau sama dengan tahun sebelumnya. Sementara GCB 2010 juga memperlihatkan tidak ada perubahan berarti dalam skala pemberantasan korupsi dalam 5 tahun terakhir.
Dok.TI-Indonesia
Teten Masduki, selaku fasilitator, memprediksi upaya pemberantasan korupsi akan gagal jika bertumpu semata-mata pada pendekatan instrumetalis. Good Governance yang diperkenalkan sejak dasawarsa 80-an misalnya, hanya membidik upaya reformasi birokrasi, sementara korupsi tidak
I’M AVAILABLE TO FIGHT CORRUPTION. ARE YOU?
Para mitra dan pelaku program lainnya bersepakat tentang pentingnya deliberative forum sebagai jawaban atas kelemahan pendekatan good governance. Program audit sosial dan Pakta Integritas dimodifikasi sehingga sejalan dengan semangat memperkuat masyarakat sipil dalam mengontrol proses -penganggaran dan pembangunan. Kelompok-kelompok sektoral yang ada di daerah bersamasama dengan stakeholder lain seperti pers dan LSM setempat dapat lebih aktif mengadvokasi sendiri isu-isu strategis, seperti kesehatan, pendidikan, dan kemiskinan di daerah masing-masing. [mm/mis]
Dok.gstatic.com
7
PBB Review Implementasi UNCAC di Indonesia kepolisian. KPK, namun demikian, dianggap cukup maju karena mengembangkan teknik-teknik investigasi yang maju seperti penyadapan dan penyamaran. Selain itu, sejumlah pihak mencatat adanya kebutuhan untuk mengembangkan Perjanjian MLA. Mengingat kejahatan korupsi yang seringkali lintas negara. Berdasarkan pada resiprocal principle, Indonesia dapat bekerjasama dengan negara lain (dan sebaliknya) untuk mengembalikan aset negara yang dicuri di luar negeri. Belum lagi kerjasama lain dalam bentuk join investigation.
Dok. KPK Tim review UNCAC baru saja melakukan kunjungan kerja ke Indonesia pada 14-17/Maret lalu. Kunjungan ini menyusul kesediaan pemerintah untuk di-review terkait pelaksanaan ratifikasi konvensi PBB di bindang antikorupsi di negeri ini. Dalam kunjungan tersebut, tim yang berasal dari negara Inggris dan Uzbekistan tersebut bertemu dengan sejumlah perwakilan pemerintah, seperti KPK, Bappenas dan KemenHukHam. Mereka juga berdiskusi dengan sejumlah LSM yang bergerak di isu antikorupsi, seperti TI Indonesia, ICW, LeIP, PSHK, dan MTI. Beberapa isu penting yang disorot terkait sanksi hukum dan kriminalisasi, kerjasama Internasional, dan asset recovery.
Persoalan kriminalisasi menjadi perhatian setelah sejumlah pihak melihat masih sempitnya konsep kriminalisasi di Indonesia. Kriminalisasi masih terpaku pada aspek penghukuman pelaku, sementara pengembalian aset negara yang dikorupsi masih terabaikan. Profesionalitas dan kewenangan penegak hukum juga masih dianggap lemah. Kasus-kasus korupsi sering kali mandek di meja kepolisian dan kejaksaan. Sementara KPK masih sangat minim dalam mengembangkan tim investigator yang berasal dari KPK sendiri. Selama ini investigator disuplai oleh kepolisian sehingga bisa terjadi konflik kepentingan apabila terkait dengan pimpinannya di
Kunjungi Website Kami di www.ti.or.id
Sebelumya, anggota delegasi, Alan Bacarese dari International Centre for Asset Recovery di Basel Institute, Paul Stephenson, dan Dmitri Vlassis dari UNODC, telah mengirim desk review mereka atas implementasi UNCAC di Indonesia. Materi untuk desk review berdasarkan informasi yang diberikan instansi Indonesia yang terkait seperti Kejaksaan Agung, KemenHukHam, PPATK, BI, dan Bappenas fasilitasi KPK selaku manager proses review dari pihak Indonesia. Atas dasar desk review itulah anggota delegasi melakukan konfirmasi, diskusi dan menulis laporan perkembangan UNCAC di Indonesia. [mis]
8
Opini
Dewan Pemburu Rente Oleh Reza Syawawi
The phenomenon of corruption goes deep into the very nature of power in Indonesia. (Richard Robison; The Rise of Capital, 1986) Kutipan ini menggambarkan bahwa akar korupsi di Indonesia berasal dari kekuasaan politik. Para aktor dan elite politik bermusyawarah tidak untuk memberikan kebaikan sebesar-besarnya bagi rakyat, tetapi justru berkolusi untuk menggerogoti dana-dana publik (APBN/APBD). Pembangunan gedung baru DPR menjadi bentuk perilaku korup para legislator dengan menggunakan kekuasaan yang melekat pada fungsi DPR, salah satunya menyangkut fungsi di bidang anggaran. Dengan fungsi ini, DPR telah mengabaikan penolakan publik atas pengalokasian anggaran pembangunan gedung baru tersebut. Sikap ini juga bisa dipandang sebagai sikap apatis para anggota DPR terhadap keterpurukan perekonomian masyarakat Indonesia. DPR lebih memilih memperjuangkan kepentingan diri dan kroninya dengan menginjak-injak amanah pemilihnya. Meskipun menuai penolakan publik, pembangunan gedung setinggi 36 lantai dengan biaya Rp 1,3 triliun dipastikan tetap dilakukan (Kompas, 8/3). Upaya pembangunan gedung ini telah menghabiskan anggaran negara hingga Rp 14,7 miliar, yang digunakan pada tahap awal perencanaan. Padahal, tahun 2010 telah dianggarkan Rp 250 miliar. Jika dikalkulasi, pembangunan gedung baru DPR ini tidak hanya berada pada kisaran Rp 1,3 triliun, tetapi akan sampai pada angka Rp 1,4 triliun (Fitra). Kebohongan DPR Inisiatif pembangunan gedung baru ini sejak awal telah dicurigai karena tidak berdasarkan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan. DPR telah berbohong untuk memuluskan rencana
pembangunan gedung. Kebohongan diduga sebagai bentuk ”legalisasi” rencana pembangunan gedung baru DPR. Setidaknya DPR telah melakukan empat kebohongan. Pertama, bohong tentang kemiringan gedung DPR. Klaim ”gedung miring” ini terbantahkan dengan sendirinya. Kedua, kebohongan DPR bahwa semua fraksi menyetujui rencana pembangunan. Fakta yang terungkap justru sebaliknya, Fraksi Gerindra ternyata telah dua kali menolak, yakni pada Oktober 2010 dan Januari 2011. Kebohongan ini patut digugat dan diungkap karena Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan, jika salah satu fraksi saja menolak usulan ini, pembangunan gedung baru akan dibatalkan. Ternyata, pascapenolakan Fraksi Gerindra, upaya pembangunan gedung tetap berlangsung. Kini, fraksi yang menolak usulan sepertinya telah berbalik arah jadi mendukung. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPR yang juga kader Fraksi Gerindra bahwa pembangunan akan tetap dilanjutkan (Kompas, 8/3). Ketiga, kebohongan DPR menyangkut upaya perbaikan kinerja. Alasan ini masuk kategori kebohongan karena fakta yang ada justru sebaliknya. Fasilitas yang selama ini diberikan oleh negara kepada anggota DPR ternyata tidak berdampak meningkatkan kinerja dalam pelaksanaan ketiga fungsi DPR: legislasi, pengawasan, dan anggaran (”Darurat Parlemen”, Kompas 13/1). Keempat, kebohongan DPR yang ”mengambinghitamkan” karyawan DPR dalam penyediaan fasilitas rekreasi, seperti kolam renang, pada gedung baru. Padahal, tak ada survei apa pun yang bisa menjustifikasi bahwa karyawan DPR membutuhkan itu. Kebohongan-kebohongan ini jadi pelengkap
dari permufakatan jahat parlemen untuk menggerogoti dana publik dengan ”topeng” pembangunan gedung baru. Fakta ini seharusnya menyadarkan masyarakat bahwa pilihan mereka untuk mewakilkan kepentingan melalui anggota DPR telah dikhianati. Memburu rente Kecurigaan adanya kepentingan bisnis di balik pembangunan gedung ini semakin tidak terbantahkan. Apalagi, tren menunjukkan, tidak sedikit anggota DPR yang memiliki latar belakang sebagai pebisnis. Dalam sejarah politik di Indonesia, tampaklah bahwa akar korupsi terdapat dalam praktik pemburuan rente yang sudah berurat-akar sejak zaman prakemerdekaan. Para elite secara sistematis menggunakan pengaruhnya untuk memengaruhi setiap pengambilan keputusan dalam perencanaan anggaran. Hal yang sama juga ditengarai terjadi pada tataran aktor dan elite politik di parlemen. Walaupun telah mengalami pemutakhiran, ternyata perilakunya tetap sama. Konfigurasi semacam ini telah menjadi ”parasit” bagi negara, terutama dalam hal pengelolaan dana publik, sehingga inisiatif untuk menyejahterakan masyarakat hanya menjadi slogan semata. Pembangunan gedung baru DPR yang bermasalah ini menyiratkan bahwa problem politik semacam ini sedang melanda DPR. Mereka seolah-olah bermetamorfosis dari wujud yang ideal (Dewan Perwakilan Rakyat) menjadi Dewan Pemburu Rente. Reza Syawawi Peneliti Hukum dan Kebijakan TI-Indonesia http://cetak.kompas.com/ read/2011/03/17/03001754/ dewan.pemburu.rente
9
Opini
Perang Setengah Hati Oleh Todung Mulya Lubis
Genderang perang terhadap korupsi dan koruptor sudah lama ditabuh, bahkan sejak proklamasi kemerdekaan. Terakhir, ketika reformasi digulirkan, satu di antara tuntutan rakyat adalah pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Rakyat muak akan korupsi di lingkungan kekuasaan, tempat keluarga pejabat dan para kroni berjemaah menjarah uang rakyat. Begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo sempat berujar anggaran belanja negara bocor sekitar 20 persen setiap tahun. Angka 20 persen adalah angka fantastis, tapi banyak pengamat menduga kebocoran itu lebih dari 20 persen. Setiap proyek bisnis yang beroperasi di Indonesia terpaksa atau dipaksa bermitra dengan anak pejabat atau kroni yang sering mendapatkan saham kosong. Modal mitra lokal hanyalah izin penanaman modal yang mereka dapatkan dari orang tua atau kolega mereka. Tak ada kompetisi, tak ada equality of opportunity. Menjadi anak pejabat atau kroni sudah dengan sendirinya menjadikan seseorang berharga sebagai mitra bisnis. Jadi jangan heran jika elite pengusaha kita pada masa Orde Baru adalah elite yang terdiri atas anak-anak pejabat dan kroni yang kebanyakan tak becus, hanya jadi boneka atau silent partner pemodal asing. Sebagian tentu berhasil membangun imperium bisnis yang sukses, tapi kebanyakan hanyalah benalu yang terbenam ketika kekuasaan mereka hilang. Pemerintahan Soeharto kala itu tahu korupsi terjadi, di pusat ataupun di daerah. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 3/1971, ber-laku sebagai dasar untuk menangkap,- menahan, menuntut, mengadili, dan meng-hukum koruptor. Instansi penegak hu-kum kita lengkap dan pernah juga diperkuat dengan berbagai badan ad hoc pemberantasan korupsi, misalnya Opstib. Tapi pemberantasan korupsi sama sekali tidak berjalan karena memang tak dijalankan.
Korupsi dilihat sebagai "minyak pelumas" yang melicinkan pertumbuhan ekonomi,- dan oleh sebagian ekonom dimaklumi. Jadi korupsi yang dahsyat menurut penalaran rakyat dianggap sebagai tolerated corruption-korupsi yang bisa ditenggang. Tak mengherankan jika orang tak takut melakukan korupsi. Malah yang tidak melakukan korupsi justru akan terlihat bloon. Karena yang dikejar adalah tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, dan ternyata memang tinggi, kecemasan terhadap korupsi dikalahkan oleh keberhasilan ekonomi. Rakyat pun sepertinya hanya menggerutu karena basic needs mereka dipenuhi. Ada rasa aman, padahal rasa aman itu semu. Di balik pertumbuhan ekonomi itu, mesin-mesin kekuasaan membungkam suara-suara kritis, membungkam pers. Para pengkritik akan dituduh antipembangunan dan akan tersingkir, atau disingkirkan. Yang terjadi kemudian adalah kesenjangan kayamiskin yang semakin lebar. Indonesia menjadi milik segumpal kecil keluarga, kerabat pejabat, dan kroni mereka. Rakyat merupakan lautan kawula yang miskin, obyek pertumbuhan ekonomi, dan bagian dari statistik. Keangkuhan kekuasaan ada batasnya. Pemerintahan Soeharto jatuh by default, bukan karena gerakan perlawanan politik di dalam negeri, melainkan justru karena terpaan krisis ekonomi Asia yang membuat ekonomi kita hancur. Bank-bank kita gulung tikar. Banyak perusahaan bangkrut, utang perusahaan dan pemerintah terancam gagal bayar. Serta-merta inflasi melambung, dan nilai tukar rupiah jatuh ke titik terlemah. Ekonomi Indonesia-yang selama ini dipuja-puji sebagai sangat baik karena fundamental ekonominya baik-akhirnya harus di-bail out. IMF datang sebagai juru selamat, walau kita tahu beberapa kebijakan IMF justru membuat ekonomi Indonesia semakin tumpul. Pemerintahan baru naik, rakyat lantang menuntut perang melawan KKN, dan
tuntutan ini menjadi berita utama koran serta televisi setiap hari. Tak satu pemerintah pun kuasa melawan gelombang tuntutan rakyat. Pemerintahan Habibie akhirnya digiring untuk membuat UU tentang kebebasan pers, pemerintahan yang bersih, dan perubahan UU Pemberantasan Korupsi. Lalu lahir pula UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai mosi tidak percaya kepada lembaga kepolisian dan kejaksaan yang di mata masyarakat tak punya integritas serta penuh dengan korupsi. Perang melawan korupsi, secara formal, dimulai paling tidak dengan melahirkan sejumlah produk legislasi yang menampung tuntutan pemberantasan KKN. Pada 27 Desember 2002, UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dilahirkan. Komisi yang dilahirkan oleh undangundang ini dikenal sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi dan menandai penabuhan genderang perang melawan korupsi secara serius. Kenapa dikatakan serius? Sebab, selama ini pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan di mata publik dilihat sebagai kegagalan yang memang tak bisa dihindarkan satu dan lain hal disebabkan sistem dan manusianya yang korup. Tak mengherankan jika mayoritas koruptor melenggang di alam bebas, sementara yang sempat masuk pengadilan banyak yang diputus bebas, atau kalau dihukum, hukumannya sangat ringan. Akibatnya, orang tak takut melakukan korupsi. Tak ada efek jera (deterrence) sama sekali. Adanya public distrust melahirkan KPK, dan KPK didirikan sebagai superbody dengan segala kewenangan yang praktis tak memungkinkan KPK gagal dalam memberantas korupsi. Selain Kopkamtib, belum pernah ada lembaga yang punya kewenangan sangat luas seperti KPK. Kalaulah KPK menjalankan semua kewenangannya, tanpa ewuh pakewuh, ……………bersambung ke hal.10
10
Opini
Perang Setengah Hati…..
akan banyak koruptor yang terjaring dan meringkuk di penjara. Sayang, KPK belum siap melaksanakan semua kewenangannya, tanpa ewuh pakewuh, akan banyak koruptor yang terjaring dan meringkuk di penjara. Sayang, KPK belum siap melaksanakan semua kewenangannya sehingga hasil kerja KPK masih belum sepenuhnya optimal. Namun, jika kita membandingkan kerja KPK dengan kerja lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sebelum KPK dilahirkan, tidak salah jika ada yang menyimpulkan bahwa hasil kerja KPK jauh lebih baik. Dalam sejarah Republik memang belum pernah ada begitu banyak bupati, wali kota, gubernur, mantan menteri, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan komisioner dari berbagai lembaga negara yang terjerat kasus korupsi diperiksa, dituntut, diadili, serta dihukum. Sementara dulu surat izin memeriksa pejabat yang terkena korupsi begitu sukar didapat, sekarang Presiden Susilo Bambang Yu-dhoyono memberi kemudahan memeriksa para pejabat. Dengan dukungan media dan masyarakat sipil, terutama lembaga swadaya masyarakat, lima-enam tahun pertama pemberantasan korupsi oleh KPK memberi harapan bahwa pemerintah sangat serius memberantas korupsi. KPK dengan cepat menjadi lembaga penegak hukum paling kredibel di mata rakyat dan di mata internasional. KPK menjadi model lembaga pemberantasan korupsi di negara-negara lainnya. Laju pemberantasan korupsi lamakelamaan merisaukan banyak pihak, termasuk pemangku kekuasaan. Peluru yang ditembakkan KPK ke koruptor di berbagai lembaga negara, DPR, dan pengusaha telah membuat para koruptor melakukan perlawanan dengan berbagai cara, dari uji materi UU Nomor 30/2002 sampai pelemahan Pengadilan Tipikor, dari penarikan penyidik kepolisian sampai ancaman audit keuangan KPK oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, serta dari kemarahan lembaga kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan sampai kriminalisasi dua pemimpin KPK dalam drama "cicak vs buaya". Semua ini bagian dari pembonsaian KPK yang dulu saya istilahkan sebagai fenomena corruptors fight back. KPK masih selamat, tapi sempat terjadi demoralisasi. KPK menjadi lamban dalam bertindak karena merasa tak mendapat dukungan politik. Akibatnya, banyak kasus korupsi yang tertunda penanganannya meski tersangka sudah ditetapkan. Banyak kasus korupsi yang dituntut oleh publik untuk ditangani tapi tak ditangani oleh KPK. Tak salah kalau banyak yang berspekulasi bahwa KPK yang dipersepsikan sebagai lembaga ad hoc akan berakhir, dan pemberantasan korupsi akan dikembalikan ke kepolisian serta kejaksaan. Secara sistematis KPK digergaji dari berbagai segi, ditambah lagi dengan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dianggap tidak tegas mendukung KPK. Korupsi tak berhenti. Orang tak takut melakukan korupsi. Sekian banyak orang yang dihukum karena korupsi tak menyurutkan orang melakukan korupsi. Lihatlah apa yang diperbuat oleh mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan, yang secara telanjang mempermainkan hukum dan memperalat aparatur penegak hukum. Jaringan mafia pajak ini membuka mata kita tentang jaringan mafia hukum yang melibatkan aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, rumah tahanan, imigrasi, dan advokat. Rasa keadilan kita dihina dengan sepak terjang yang terang-terangan menginjak -injak hukum dengan menyuap banyak pihak meninggalkan rumah tahanan untuk menonton turnamen tenis internasional di Bali, dan juga pelesiran ke Makau serta Kuala Lumpur. Padahal kasusnya sedang diadili dan wajahnya menjadi sangat terkenal karena muncul di koran, majalah, dan televisi setiap hari. Beberapa hari ini kita dibuat terperangah oleh tersangka dan terdakwa yang dilantik sebagai kepala daerah. Be-
berapa gubernur sudah ditetapkan sebagai tersangka, tapi masih menjabat gubernur, dan ada yang masih memerintah dari balik jeruji rumah tahanan. Beberapa hari lalu Mayor Jefferson S.M. Rumajar yang ditahan karena tuduhan korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dilantik sebagai Bupati Tomohon oleh Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Sarundajang di kantor Menteri Dalam Negeri. Ironisnya, pelantikan itu dihadiri sejumlah menteri. Saya merasa bahwa semakin lama kita semakin kehilangan akal sehat, terjebak dalam norma hukum positif yang menelikung pemberantasan korupsi itu sendiri. Sungguh saya tak tahu apakah komitmen kita memerangi korupsi masih teguh atau tidak. Yang saya tahu adalah Indeks Persepsi Korupsi kita masih 2,8, dan angka ini masih angka yang buruk. Indonesia masih diper-sepsikan sebagai negara yang masuk kategori terkorup. Pe-rang melawan korupsi yang pada awalnya menjanjikan harapan sekarang redup. Apa yang terjadi dalam kasus Gayus dan pelantikan para tersangka serta terdakwa menjadi pejabat merupakan kemunduran dalam perang melawan korupsi. Ketidaktegasan dalam menuntaskan kasus Gayus merupakan potret kuatnya kepentingan pihak yang terkait dengan korupsi. Mereka berada di garis depan menghambat perang melawan korupsi, dan celakanya presiden kita yang selama ini retorika antikorupsinya sangat memukau ternyata tak memberi dukungan politik yang tegas. Tidak sa-lah kalau banyak orang yang merasa pesimistis. Tidak salah kalau banyak orang yang menyimpulkan bahwa apa yang terjadi adalah perang setengah hati melawan korupsi. Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia Periode 2007-2010 http://majalah.tempointeraktif.com/id/ arsip/2011/01/24/KL/ mbm.20110124.KL135700.id.html
11
Agenda Kegiatan 01 April 2011 Diskusi Jum’atan: Vibrant Facilitation Sekretariat TI-Indonesia 04-05 April 2011 Kick Off Meeting Forestry Department Jakarta 08 April 2011 Diskusi Jum’atan: Vibrant Facilitation (Lanjutan) Sekretariat TI-Indonesia 15 April 2011 Diskusi Jum’atan: Vibrant Facilitation (Lanjutan) Sekretariat TI-Indonesia 22 April 2011 Diskusi Jum’atan: Vibrant Facilitation (Lanjutan) Sekretariat TI-Indonesia
Album Kegiatan
Dok.TI-Indonesia Rapat Anggota TI-Indonesia, Sekretariat Nasional Jakarta (24/2/11)
Dok.TI-Indonesia Semiloka Good Governance and Anti-Corruption,Marina Village Anyer (28 Februari-3 Maret 2011)
Dok.TI-Indonesia FGD Membangun Papua, Hotel Santika Jakarta (1/2/11)
Dok.TI-Indonesia Pelatihan Audit Sosial di Dharmasraya, Hotel Umega Gunung Medan (21-23/2/11)
Salam Transparansi Para pembaca setia E-Newsletter Transparansi, Salah satu berita yang diangkat dalam edisi E-Newsletter kali ini adalah mengenai Rapat Anggota TI-Indonesia. Rapat Anggota sendiri merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi organisasi TI-Indonesia dan diagendakan pemilihan Ketua Dewan Pengawas dan Ketua Dewan Pengurus. Terpilih secara voting Zumrotin K. Susilo sebagai Ketua Dewan Pengawas dan Natalia Soebagjo sebagai Ketua Dewan Pengurus. Selain itu adanya hasil kesepakatan penambahan Anggota TI-Indonesia sebanyak 13 orang. Dari rubrik rilis media, TI-Indonesia bersama Koalisi LSM Tolak Gedung DPR menyikapi indikasi korupsi pembangunan gedung baru DPR dan menyatakan agar pembangunan gedung baru DPR segera DIHENTIKAN. Koalisi juga meminta KPK untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap alat kelengkapan DPR dan aktor- aktor di lingkungan DPR yang diduga merekayasa dugaan legalisasi korupsi terkait pembangunan gedung DPR. Sementara dari rubrik kegiatan kami menghadirkan berita tentang FGD Membangun Papua “Perlu Cara Penanganan yang Komprehensif”, Konferensi Global Kelima EITI, Semiloka Evaluasi dan Perencanaan Program “Deliberative Forum Lawan Korupsi”, dan kedatangan Tim Review PBB untuk mereview implementasi UNCAC di Indonesia. Dari daerah, kami menyajikan berita dari Kabupaten Dharmasraya tentang pelatihan audit sosial. Tujuan pelatihan mengupayakan penguatan pemberdayaan masyarakat untuk lebih kritis terhadap dinamika program pembangunan. Sedangkan dari Semarang menghadirkan berita tentang proyek rumah pompa Banger yang mandek. Opini dari Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan TI-Indonesia menyikapi problem politik dari pembangunan gedung baru DPR. Mereka seolah-olah bermetamorfosis dari wujud yang ideal (Dewan Perwakilan Rakyat) menjadi “Dewan Pemburu Rente”. Sedangkan opini Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus TI-Indonesia Periode 2007-2010 menyikapi korupsi yang dahsyat menurut penalaran rakyat dianggap sebagai tolerated corruption-korupsi yang bisa ditoleransi. Semoga sajian edisi kali ini dapat bermanfaat. Selamat membaca, Redaksi
E-NEWSLETTER TRANSPARANSI diterbitkan oleh Transparency International Indonesia atas dukungan Danish International Development Agency (DANIDA) PENANGGUNG JAWAB: Teten Masduki. REDAKTUR PELAKSANA: Dwipoto Kusumo. Co-REDAKTUR PELAKSANA: Wawan H. Suyatmiko. REDAKSI: Soraya Aiman, Ilham B. Saenong, Retha Dungga, Heni Yulianto, Jonni Oeyoen, Florian Vernaz, Arief Nur Alam, Rivan Praharsya, Teguh Setiono, Frenky Simanjuntak, Putut A Saputro, Kumba Digdowiseiso, Utami Nurul, Lia Toriana LAY-OUT: Nur Fajrin ALAMAT REDAKSI: Jl. Senayan Bawah No.17, Blok S, Rawa Barat, Jakarta 12180. Tel: 6221 7208515, Fax: 6221 7267815, Email:
[email protected], Web: www.ti.or.id
REDAKSI MENERIMA ARTIKEL ATAU TULISAN DARI PIHAK LUAR SECARA SUKARELA, YANG BERKAITAN DENGAN ISU GERAKAN ANTIKORUPSI DI INDONESIA DAN LUAR NEGERI, PANJANG ARTIKEL ATAU TULISAN 6000 KARAKTER