K A R L ). PELZER
TOEAN KEBOEN DAN PETANI Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria
TOEAN KEBOEN DAN PETANI
KARL J. PELZER
TOEAN KEBOEN DAN PETANI Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863 1947 —
241/ 986
PENERBIT SINAR HARAPAN
|
C .v>1
-r
iJ •
.
: ' /
--------------------------- ‘
-'w
TOEAN KEBOEN DAN PETANI Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863 — 1947 Oleh: Karl J. Pelzer 85/SP/01 Alih bahasa : J. Rumbo Disain Sampul: Natasa T. Judul Asli : Planter and Peasant, colonial policy and the agrarian struggle in East Sumatera 1863-1947 Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde ’S-Gravenhage — Martinus Nijhoff 1978 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Penerbit Sinar Harapan, Anggota IKAPI Jakarta, 1985 Cetakan Pertama Dicetak oleh : CV. Muliasari
Isi
Pendahuluan.................................................................................. D a fla r T a b e l.................................................................................... D a fla r Peta .......................................... ........................................... Bab I Keadaan Sejarah Sumatra Timur .............................. b II Keadaan Geografis Sumatra T im u r.............................. h III Nienhuys dan para Perintis Onderneming.................... h IV Pertumbuhan Sumatra Timur: Pengusaha Onderne^ mingdan Petani, Kependudukan dan Perhubungan..... \ 7 Pr>iitik Aeraria : Usul-usul Pembaharuan dan DampakBab nya Terhadap Masyarakat............................................ v t Masalah Mengubah Konsesi Pertanian menjadi Sewa Bat> Jangka Panjang............................................................. vtt Keberangkatan Orang Kulit Putih dan Harta PeninggaBab v u ft lan n ya..........................................................................
C a t a t a n ....
v'ori t Pplzer
......................................................
Daflar Karya Karl J. P e lz e r ....... .................................................... Daflar Kepustakaan ................... Ilu s tra s i
............................. ........................................................
P e ta l — X III .......................
9 if 10
17 31 51 65 90 112 1-9
^
^
^ 218
Studi ini ditujukan untuk Elizabeth Clark-Pelzer Dr. Chris Pelzer-White Ingrid Pelzer-Burg dan cucuku Eli Pelzer Burg
Pendahuluan
Studi ini berawal pada musim gugur 1940, ketika di luar dugaan, saya terpaksa tinggal selama tujuh minggu padahal direncanakan hanya satu minggu di Medan, ibu kota daerah perkebunan yang besar dan makmur, yang membentang sepanjang Selat Malaka dari Teluk Aru di Aceh sampai Labuan Batu di Sungai Barumun Panai. Selama kehadiran saya yang terpaksa ini, barulah saya mengetahui tentang ketegangan yang sedang terjadi antara para pengusaha perkebunan, sultan-sultan Indonesia dan Pemerintah Hindia Belanda. Ketegangan tersebut menyangkut urusan tanah yang diduduki oleh usaha-usaha onderneming*) atas dasar peijanjian pinjam-sewa, sedangkan kawula para sultan kehilangan hak mereka atas tanah-tanah itu. Ketiga pihak ingin sekali menyelesaikan kekusutan masalah hak-hak pertanahan antara para penguasa perkebunan Barat dan para petani Indonesia ini, tetapi mereka tidak dapat menyepakati syarat-syarat yang diperlukan untuk melindungi hari depan kedua belah pihak, tanpa menyinggung kepentingan keuangan para sultan. Almarhum Dr. H. Loos, Kepala Jawatan Pertanian untuk Sumatra, dan almarhum W.E.K Baron van Lynden, penanggung jawab sebuah kantor khusus untuk menyelidiki segala persoalan agraria (Bureau van Conversie), adalah orang-orang pertama yang membimbing saya mempelajari masalah pertanahan di Sumatra Timur. Saya juga mempunyai kesempatan mendengar pandangan-pandangan almarhum Sul tan Langkat mengenai masalah ini pada suatu wawancara yang diselenggarakan oleh tuan rumah saya yang murah hati, yaitu almarhum Dr. Mohammad Amir, seorang dokter di Tanjung Pura, sebuah kota di Kesultanan Langkat Karena penelitian saya sebelum perang hanya menyangkut kolonisasi pertanian yang disponsori oleh pemerintah di Asia Tenggara, maka saya tidak berusaha mengikutsertakan suatu laporan mengenai sengketa agraria ini dalam tulisan saya, Pioneer Settlement in the Asia tic Tropics. Hanya saya singgung secara ringkas pada suatu catatan kaki. (Pelzer, 1945, him. 201). Dalam kedudukan saya sebagai ahli un tuk Asia Tenggara di Kantor Hubungan Pertanian Luar Negeri Departemen Pertanian Amerika Serikat dari 1945 sampai 1947, saya mempunyai peluang untuk lebih dekat mengikuti perkembangan sengketa agraria dalam tahun-tahun segera sesudah Perang Dunia Kedua, sesuatu yang tidak mungkin saya lakukan jika saya tidak mempunyai kedudukan tadi. 9
Bantuan keuangan yang sangat bermanfaat dari Ford Foundation seiring dengan dukungan luas Universitas Yale memberi saya kesempatan untuk memulai kembali penelitian saya mengenai masalah agraria di tahun 1954. Selama tahun akademis 1954-1955, saya berkesempatan menyelidiki sejarah Sumatra Timur sebelum kedatangan pengusaha-pengusaha onderneming yang pertama. Dalam upaya ini, saya dibantu oleh Joachim Hurwitz, pada waktu itu mahasiswa pasca-sarjana dalam Program Penelitian Asia Tenggara, kemudian menjadi Direktur Museum Antropologi di Rotterdam. Dalam bulan September 1955, saya kembali ke Sumatra Timur dan melakukan penelitian de ngan bantuan Clark E. Cunningham, pada waktu itu mahasiswa di Universitas Yale, sekarang Guru Besar Antropologi di Universitas InTia^ f ’ , an Kampto Utomo, seorang sarjana sosiologi pedesaan dari Institut Pertanian Bogor, sekarang Guru Besar Sosiologi Pedesaan di perguruan tinggi yang sama, dan dikenal sekarang sebagai Prof. SajoS n a r ^ 116 r Z ™ * ini men8ambil manfaat besar dari keija laa, " S M u K n oleh kedua pembantu yang tak mengekiman npnohnn'T a berminggu-minggu tinggal di pemukiman-pemugaan para DenghimiVri r” ana mereka sering harus mengalami kecuriClark CunninphanT m S?, yang meragukan maksud-maksud kami. Toba sebaeai Dpnph6” 111^ USa*ianya pada Peranan orang Batak Sah’ semen^ara Kampto Utomo meham telah menguraikan bfberaVa d S ^ fi The Post War Migration of dahan orang Batak Toha
Southeast A l i f s T u d i e f c u l S p
^
3Sal J&Wa' Clark Cunning' ^ dalam monogra‘ to East Sum^ tra (Perpin-
ke Sumatra Timur)’ Y ale
alias Sajogyo, telah menggunakan h^hT ! f S’ n° ‘ 5‘ K ^ P *0 utom0’ tesis Ph. D. yang diserahkan l, apa data Penelitiannya dalam Indonesia disponsori oleh P ro ^ W F* W erth^m Pertanian Universitas nelitian di tempat-tempat^np8113? dan Kampto Utomo melakukan pemeneliti berkas-berkas hadan.h para pen§huni tidak sah, saya haan perkebunan, dan Persatno.ft?11 pemerintah, perusahan-perusatuk menemukan data-data l.- engusa^a Perkebunan Sumatra unusahaan-perusahaan yang momv. n masa tempau. Di antara perterutama harus menyebut VprDn3 j Saya da^am penelitian ini, saya nembah Maatschappij, H a n d i v Deli Maa*schappijen (VDM), Seyear Company, Hollandsch Amsterdam (H VA), Good(HAPM), dan sejumlah ondernpm^ Ptentagen Maatschappij nson and Crosfield. uerne«»n g yang ada hubungan dengan HarSaya merasakan bahwa Negeri, Kementerian Pertanian? pejabat Kementerian**) D alam Kementerian Agraria bersikap sangat
10
membantu, dan saya berutang budi kepada mereka. Saya ingin menyatakan terima kasih secara khusus kepada Sumarman S.H., Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, dan kepada Ir. Gunung Iskandar, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian. Dengan mere ka saya pertama kali berkenalan pada tahun 1940 waktu berkunjung ke Sumatra Timur. Surat-surat perkenalan dari kementerian-kementerian di Jakarta membuka kebanyakan pintu bagi saya di Medan tetapi tidak selalu memberi dukungan seperti yang diharapkan surat-surat tersebut Dalam perjalanan menuju Indonesia, saya singgah beberapa hari di Negeri Belanda untuk membicarakan keadaan pertanahan itu de ngan bekas pejabat-pejabat Hindia Belanda yang memiliki pengetahuan tangan-pertama mengenai Sumatra Timur. Saya sangat berterima kasih kepada Ir. R. van de Wal, yang dengan segala senang hati mengizinkan saya memikrofilmkan sejumlah dokumen masa sebelum perang yang belum pernah diterbitkan. Sekretaris Oostkust van Suma tra Instituut, almarhum Ir. F.JJ. Dootjes, telah membantu saya dalam upaya saya mencari bahan-bahan bersejarah. Secara khusus saya harus menyatakan terima kasih kepada Ridder van Rappard, kepada almarhum Ir. R. van der Molen dan rekanrekan serta para pembantu mereka di VDM, untuk bantuan-bantuan mereka yang sangat saya hargai. Bantuan yang sangat berharga saya peroleh pula di Kantor Tata Bumi, di bawah pimpinan Radjamin. Saya kembali ke Indonesia bulan Januari 1967 dalam rangka penelitian berkas-berkas bekas AVROS, sekarang bemama GAPPERSU, untuk catatan-catatan yang meliputi tahun-tahun 1954-1958 dalam rangka melengkapi data saya sampai kepada masa nasionalisasi onderneming-onderneming Belanda pada tahun 1958. Kepada semua mereka ini dan orang-orang lainnya yang telah memberikan saya dukungan dan keramahtamahan selama tinggal di Sumatra Timur, saya sangat berutang budi. Saya juga berterima kasih kepada istri saya Elizabeth C. Pelzer, dan rekan saya, Adrienne V. Suddard, yang selama bertahun-tahun menjadi editor setia pada penerbitan-penerbitan yang dikeluarkan oleh Y a le Southeast Asia Studies, lebih daripada yang dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Saya sungguh sangat menghargai; karena tanpa dorongan terus-menerus dari mereka buku ini mungkin be lum akan selesai. 1 Juli 1977 New Haven, Connecticut
Karl J. Pelzer Professor Emiritus Y ale University
11
*) Dalam seluruh buku ini untuk kata Inggris plantation digunakan dua kata terjemahan: 1. ondememing, jika yang dimaksud adalah perusahaan perkebunan dengan modal asing, lengkap dengan perangkat administrasinya; untuk selanjutnya kata ’’onderneming” ini tidak usah dicetak miring. 2. perkebunan, dipakai dalam pengertian umum atau dimiliki pribadi dan yang bentuknya tidak mempunyai ciri-ciri sebagaimana dimiliki onderneming asing. Pembedaan ini dimaksud untuk lebih memperjelas status dan pengertian politik yang dimaksud dengan plantation — pent. **) Ketika itu digunakan istilah Kementerian untuk sebutan Departemen — pent
12
Daftar Tabel
1. Harga-harga tembakau menurut golongan tanah (1903-1930)... 2. Ekspor Kesultanan Deli, 1863-1867 .......................................... 3. Perluasan dan penciutan industri tembakau sebagaimana terlihat dari jumlah onderneming yang menanam tembakau... 4. Pertumbuhan industri karet onderneming di Sumatra Timur .... 5. Daerah yang ditanami teh dan onderneming kelapa sawit di Sumatra Timur dan A c e h ......................................................... 6. Komposisi penduduk berdasarkan suku di Sumatra Timur (1930)....................................................................................... 7. Jumlah orang yang tinggal di onderneming dan persentase seluruh penduduk sekitar 1930 ................................................. 8. Syarat-syarat utama untuk kontrak-kontrak contoh ................. 9. Tahun berakhirnya konsesi-konsesi tembakau di Langkat, Deli dan Serdang............................................................................ 10. Tahun berakhirnya konsesi-konsesi untuk onderneming tanaman keras di Langkat, Deli dan Serdang.................................. 11. Perkiraan pembayaran tanah sekarang dan pembagiannya antara para sultan dan perbendaharaan negara...................... 12. Kategori jumlah penuntut yang berhak atas tankh dan luas tanah yang ditawarkan onderneming-onderneming b esa r....... 13. Jumlah penuntut yang berhak dan jumlah keluarga tanpa hak menuntut................................................................................ 14. Persentase daerah di dalam onderneming, cadangan hutan, dan "daerah bebas” ................................................................. 15. Tanah Langkat, Deli, dan Serdang dengan golongan-golongan penggunaan tanah yang besar.................................................. 16. Pemasaran tembakau bungkus Deli oleh negara-negara konsumen yang besar....................................................................... 17. Luas tanah yang ditanami, nilai panen, jumlah yang dibayar untuk berbagai keperluan, dan angkatan kerja untuk industri tembakau ................................................................................ 18. Pembayaran-pembayaran oleh industri tembakau yang menguntungkan masyarakat............................................................ 19. Jumlah keluarga yang bertempat tinggal di proyek kolonisasi SisirGunting.............................. ............................................. 20. Perubahan-perubahan semasa perang dalam industri-industri karet, kelapa sawit, dan teh di Sumatra T im u r..........................
42 57 73
76 78 86
87 106 120 121 125 127 128 134 135 137
138 139 146 155 13
21. Penduduk Sumatra Timur menurut sensus 1930 dan data Jepang sampai 10 Maret 1943.................................................. 22. Penduduk Sumatra Timur dari golongan-golongan suku besar 23. Penduduk onderneming dalam tahun 1942 dan 1945, dinyatakan dalam arti ’’konsumen penuh” .........................................
14
156 157 157
Daftar Peta
I.
Sumatra Timur dan Tapanuli: sungai-sungai, jalan-jalan, jalan-jalan kereta api, dan kota-kota. II. Bukit Barisan Sumatra Utara dengan penduduk Batak yang padat dan daerah Semangko yang lengang. III. Peta ringkas Daerah Batak dengan Danau Toba. IV. Diagram blok isometris dari palung Toba. V. Tiga bagian skematis di seberang bukit Batak, memperlihatkan urutan tahap pembentukan kawah Toba. VI. Tanah-tanah di Sumatra Timur laut VII. Tata letak onderneming tembakau. Vila. Tata letak onderneming tembakau. VIII. Onderneming Saentis dan Percut IX. Perluasan dan penciutan industri tembakau di Sumatra Timur. X. Daerah onderneming di Sumatra Timur. XI. Golongan-golongan suku di Indonesia. XII Pemukiman-pemukiman tanah rendah sepanjang sungai yang dapat dilayari dan pemukiman-pemukiman dataran tinggi yang tidak berhubungan ke sungai-sungai. XIII. Peta ringkas J.G. Frowein dari sistem irigasi yang diusulkan untuk perkebunan Lingga.
15
Bab I Keadaan Sejarah Sumatra Timur Selama abad ke-17, ke-18, dan paruh pertama abad ke-19, Aceh dan Siak adalah dua kerajaan terpenting di Sumatra. Aceh di ujung utara dan Siak di bagian tengah pulau itu dipisahkan oleh sejumlah negara sungai kecil yang terletak di antara sungai Tamiang di utara dan sungai Barumun Panai di selatan. Negara-negara pantai timur ini yang terdiri dari Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batu Bara, Asahan, Kualu, Panai, dan Bila yang diperebutkan oleh Aceh dan Siak. Bergantian mereka mengaku berdaulat atas daerah-daerah tersebut Pada awal abad ke-17 Aceh yang pegang kekuasaan, kemudian beralih kepada Siak pada akhir abad ke-18. Pada permulaan abad ke-19 negara-negara antara Tamiang dan Barumun Panai mengakui Sultan Siak sebagai raja mereka. Tak satu pun dari negara-negara pantai timur pernah menarik perhatian yang serius negara-negara Eropa sebelum tahun 1820. Inggrislah yang pertama kali menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap Sumatra Timur. Bagian Sumatra yang sampai saat itu tak diacuhkan, mulai menjadi penting pada awal tahun 1800 sebagai pasar bagi barang-barang ekspor Penang maupun sumber barang-barang impor, terutama lada. Dalam bulan Mei 1820, sekretaris gubernur Perusahaan Hindia Timur Inggris di Penang menulis surat kepada R. Ibbetson, salah seorang anggota stafnya, ’’Gubernur dalam Dewan memandang bahwa waktunya telah tiba kita berikhtiar memperoleh pengetahuan lebih luas dan mendalam tentang pelabuhanpelabuhan dan rakyat di daerah-daerah berdekatan ini, dan bahkan untuk mengambil, beberapa keuntungan perniagaan yang tetap dari usaha ini dengan langkah-langkah yang bijaksana.” 11 Dalam surat itu juga diberikan instruksi terperinci untuk mensurvai pantai timur Ta miang di utara sampai ke Jambi di selatan. 2) Tetapi karena Ibbetson jatuh sakit, ia tidak jadi melaksanakan tugas itu. Pada tahun 1822 pemerintah Penang mengirim kapal penjelajah Mautilus di bawah pimpinan Letnan Rose dan Letnan Morseby untuk mensurvai pantai itu dan soal-soal kenavigasian pantai tersebut serta mempersiapkan serangkaian petunjuk-petunjuk pelayaran. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1823, John Anderson diperintahkan untuk melaksanakan tu gas yang terpaksa ditinggalkan Ibbetson itu. Anderson meninggalkan Penang pada tanggal 9 Januari 1823 menuju Sumatra Timur dan kembali tanggal 9 A pril tepat tiga bulan kemudian. 17
Anderson cocok sekali untuk tugas itu. Penguasaan bahasa Melayunya yang sangat lancar, suatu modal yang tak tem ilai harganya, telah sangat memudahkan hubungan-hubungan pribadinya dengan para pedagang Sumatra Timur yang secara teratur datang ke Penang. Hubungan-hubungan ini ternyata merupakan sumber-sumber informasi yang penting. Beberapa dari kenalannya juga ditemuinya selama misinya dan dalam berbagai segi turut memberikan sumbangan bagi keberhasilannya. Dibekali surat-surat kantor gubemur untuk setiap penguasa, ia harus mengunjungi: Sultan Kejuruan Muda di Langkat, Sultan Panglima di Deli, Sri Sultan Ahmut di Bulu Cina, Sultan Besar dari Ser dang, Bendahara di Batu Bara, Yang di Pertuan Asahan, dan Sultan Siak. Anderson berlayar ke hulu-hulu sungai, daerah-daerah yang belum pemah ditempuh orang Barat Ia menghimpun informasi yang banyak sekali mengenai sebagian Sumatra yang sebelumnya benarbenar merupakan daerah tak dikenal. Perairan yang dangkal dan kurangnya keterampilan berlayar di pihak kapten kapal k ic P ekspedisi Jessey memaksa Anderson membongkar sauh di lepas pantai dan menggunakan sebuah kapal kecil untuk pelayaran sungainya (hanya di Sungai Siak, kici itu dapat berlayar menuju hulu sampai di pelabuhan sungai itu sendiri). Di berbagai tempat arus sungai yang deras membuat pelayaran ke hulu dengan sampan kecil sangat berat dan lambat sehinggai Anderson lebih suka berjalan kaki melalui jalan kecil sepanjang tepi sungai dari satu kampung ke kampung lain. Anderson seminggu sampai sepuluh hari menelusuri tiap sungai yang besar, mengadakan wawancara dengan penguasa-penguasa setempat dan juga, apabila mungkin, dengan kepala-kepala terkemuka dari distrik dan desa. Laporan Anderson, yang mencakup uraian tentang perjalanannya secara terperinci dari hari ke hari dan sejarah berikut gambaran tentang Pantai Sumatra Timur antara Tanjung In tan dan Siak, adalah peristiwa penting dalam kepustakaan karena ia merupakan data pertama yang sistematis mengenai geografi, ekonomi, etnologi dan politik dari berbagai negara sepanjang pantai timur itu. Kependudukan Peta-peta bahasa suku Sumatra memperlihatkan suatu jalur lebar tentang penduduk yang berbahasa Melayu mulai dari Aceh sampai Asahan dengan memisahkan Batak Karo dan Batak Simalungun dari ‘ perairan Selat Malaka. Akan tetapi, pada waktu kunjungan Anderson, daerah pemukiman Batak Karo dan Batak Simalungun lebih mendekat ke pantai, membuat jalur Melayu itu menjadi lebih sempit daripa*) Kapal bertiang dua dengan layar-layar besar — pent 18
da yang dilukiskan pada peta-peta bahasa yang modern. 3) Anderson mcnemukan bahwa hanya kampung-kampung pada bagian sungai-su ngai yang lebih ke hilir itulah yang dihuni oleh masyarakat-masyarakat Islam yang berbahasa Melayu. Penduduk di situ keturunan para imigran Melayu dari Jambi, Palembang, dan Semenanjung Ma laya, dan juga beberapa keturunan Minangkabau, Bugis dan Jawa yang telah menetap di sepanjang pantai. Tidak jauh dari garis-pantai, jalur berbahasa Melayu ini berbatasan dengan tempat-tempat pemukiman suku Batak; sehingga pada hakikatnya sebagian besar pendu duk Sumatra Timur terdiri dari orang Batak. Mungkin sekali di masa lampau suku Batak Karo menghuni pantai Langkat, Deli, dan Serdang, sementara orang Batak Simalungun di pantai Batu Bara. Mere ka seperti juga suku Batak Toba masih menduduki pantai antara su ngai-sungai Asahan dan Barumun, tetapi berangsur-angsur terdesak atau telah berbaur dengan unsur pendatang Melayu. Anderson melihat berlangsungnya perkawinan campuran antara orang Melayu dan wanita Batak di Langkat dan Deli. Kepala-kepala suku Melayu Batu Bara mengawani putri-putri kepala-kepala suku Batak Simalungun untuk memperoleh hak-hak istimewa berdagang dan untuk menjamin keselamatan pribadi di daerah Batak. 4) Menurut tambo, pendiri keluarga penguasa Deli adalah seorang India Islam yang bekerja untuk Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Orang India ini datang ke Deli ta hun 1630, ketika daerah ini di bawah kekuasaan Aceh, dan ia mengawini putri kepala suku Karo di Sunggal. Beberapa keturunannya kawin dengan putri-putri keluarga-keluarga Karo terkemuka lainnya. Sultan yang terakhir sering menceritakan dengan bangga bahwa ia adalah separuh India dan separuh Batak Karo dan menghubungkan lengan dan tangannya yang berbulu kepada leluhumya dari India. Bekas keluarga-keluarga penguasa Asahan dan Langkat konon adalah keturunan Batak Toba atau Batak Karo, tetapi telah masuk Islam sejak beberapa generasi. Kampung-kampung Islam dewasa ini yang terletak di hulu tepi-tepi sungai Deli atau Belawan di dalam jalur Me layu, pada waktu kedatangan Anderson berada di luar jalur Melayu itu dan termasuk daerah Karo penyembah berhala, sebagaimana terbukti dengan adanya babi-babi di desa-desa itu. Orang-orang Batak yang beralih memeluk agama Islam segera mulai mengikuti adat kebiasaan Melayu, menggunakan dua bahasa, mengambil nama-nama Islam, dan menganggap diri mereka sebagai orang-orang Melayu. 5) Namun mereka tidak pemah melupakan marga Bataknya. Selama masa penelitiannya, Anderson menggunakan banyak se kali waktunya untuk masalah jumlah penduduk, dan akhimya memperkirakan bahwa daerah-daerah antara Tanjung Intan dan Siak di huni oleh kira-kira 350.000 jiwa. Perkiraan ini mungkin terlalu tinggi, 19
karena didasarkan atas pemyataan-pernyataan yang dibuat oleh para penguasa yang cenderung melebih-lebihkan dengan maksud menambah bobot pada diri mereka. Di semua kerajaan itu, dengan pengecualian Siak, jumlah orang Batak jauh sekali melampaui orang Me layu. Serdang, umpamanya, mempunyai kira-kira 3.000 penduduk Me layu dan kira-kira 8.000 orang Batak
Pertanian Anderson adalah seorang pengamat pertanian yang cermat, suatu sektor dari ekonomi Sumatra yang sangat menarik pehatiannya karena ia ingin sekali mencari informasi bertalian dengan ekspor pertanian. Di semua negeri yang dikunjunginya, penduduk bertempat tinggal di kampung-kampung yang terletak di tepi sungai-sungai yang dapat dilayari sampan-sampan kecil. Di kampung-kampung itu selalu ada rumpun pepohonan yang ditumbuhi buah-buahan, kelapa sawit, dan rumpun-rumpun bambu. Pohon buah-buahan itu terdiri dari nangka, sukun, durian, mangga, manggis, jambu biji, jambu bol, delima, rambutan, asam jawa, pepaya, jambu monyet, jeruk dan pisang, dan pohon-pohon palem seperti kelapa dan pinang. Selain mencatat berba gai jenis sayuran kebun, Anderson mencatat bahwa hutan-hutan banyak sekali ditumbuhi tumbuhan akar-akaran dan daun-daunan yang juga digunakan sebagai sayur-sayuran. Orang-orang kampung melakukan cocok tanam perladangan di hutan-hutan yang dibuka sementara, tidak jauh dari tepi-tepi sungai. Di tempat-tempat Anderson terpaksa berjalan kaki, karena perahu bergerak terlalu lambat, ia mengikuti jalan-]alan kecil yang membentang menyusuri sungai. Ia sering menemukan orang laki-laki sibuk menebangi kayu hutan untuk membuka ladang. Pada waktu kunjungan Anderson itu, Langkat Deli dan Serdang sedang mengalami panen besar hasil lada tetapi karena ratoat Asa S S X S h Enah r S " lada' tadalah tcrlalu dtai " " t ^ e n g a Dun lada menroakan komnriif °u untuk Penanaman lada. Meski-
mSra B a r a f ^ ^ Sumatra Splnf6 mur adaLh ta n L a n vane
*01 yang Sudah lama di Aceh’ Su‘ tampaknya lada bagi Sumatra TiD! Lan* at- ^bagaimana diceoada oeralihan abad ke-18 ctat-nf ^ an da telah dimulai kira-kira
dukung keterangan ini, p e n g ir im ^ - p S h n a n T 1? nampaknya m* n‘ mur meningkat dari kurang 3.000 pikul Dada t v, Sumatra 30.000 pikul tahun 1822, hal m a jf m e n S k t n ™ i m6njadl an lada yang sangat besar di daerah itu B a f a " penanamperlihatkan pengiriman-pengiriman vane Ip K v, k sen\'!a ge^ala mer” ‘ yciigmman yang lebih besar di masa berikut20
nya. Anderson meramalkan hasil lada akan menjadi dua kali lipat lagi, mengingat cepatnya pengelolaan kebun-kebun baru yang sedang dikembangkan. Lama sebelum lada diperkenalkan, petani-petani ladang di Suma tra Timur telah melakukan pembukaan dan membakar hutan-hutan lama atau belukar-belukar baru selama musim kering untuk dijadikan perladangan padi selama musim hujan berikutnya. Kemudian ladang-ladang ini pada tahun kedua dan mungkin juga pada tahun ketiga digunakan untuk menanam umbi-umbian, sayur-sayur, tebu dan pisang, sementara ladang baru selalu dibuka untuk menghasilkan pa di. Ketika penanaman lada diperkenalkan, petani-petani ladang hutan itu memadukannya ke dalam sistem pertanian tradisional mereka. Setelah selesai panen padi, mereka akan memancangkan tongkat-tongkat ke dalam tanah pada jarak-jarak yang diukur dengan cermat seba gai penyanggah batang-batang lada. Sementara batang-batang lada masih muda, penanaman padi yang kedua, atau lebih sering, sayursayur, jagung, atau tembakau dilakukan di tengah-tengah tanaman la da itu. Menurut Anderson, suku Batak Karo memainkan peranan sangat penting dalam pertumbuhan yang pesat dari industri lada. Beberapa para penanaman lada itu telah pindah dari dataran-dataran tinggi Karo dan turun ke dataran-dataran rendah Langkat dan Deli sebagai tanggapan atas janji-janji mendapatkan bantuan yang dibuat oleh kepala-kepala suku di dataran-dataran rendah bersangkutan. Orang K a y a Sunggal, umpamanya, menyediakan beras dan garam bagi orang Batak Karo yang datang dari dataran-dataran tinggi dan melengkapi mereka dengan alat-alat yang perlu, seperti cangkul besar, sekop, parang, dan keranjang. Apabila dalam tahun keempat pohonpohon lada itu mulai berbuah, orang kaya itu membayar dengan harga rendah, yaitu tiga dollar Spanyol (peseta) sepikul untuk dua pertiga dari panen dan lima peseta sepikul untuk selebihnya. ^ Pengamatan Anderson mengenai penanaman tembakau di Deli sangat penting, karena tanaman inilah yang kemudian membuat Deli terkenal ke seluruh dunia. Inilah yang ia katakan: Tembakau ditanam oleh orang-orang Melayu dan orang-orang Batak. Mereka menaburkan bibit-bibit di persemaian kecil, dan kemudian mencabut dan menanamnya kembali sesudah dua puluh hari dalam deretan kira-kira dua kubit 8) Dalam tempo empat bulan ia telah masak. Sesudah dua bulan pucuknya dipotong, yang memberikan kekuatan dan membuat daun-daunnya bertambah lebar. Apabila tanaman itu telah mempunyai tujuh helai daun, para penanam mulai memanen daun-daun tembakau itu. Tandanya, daun itu mulai layu terkulai, dan berwama kecoklat-coklatan. Dalam sekali panen para petani me*) Sebutan untuk orang-orang elit bukan bangsawan — pent 21
metik satu atau dua daun, sesuai dengan saat daun-daun itu mendekati keada an masak. Daun-daun itu dibiarkan disinari matahari selama empat hari, dan kemudian dimasukkan ke dalam keranjang-keranjang kecil, tempat tembakau itu diekspor. Jika bibit-bibit perlu diawetkan, sudah tentu pucuk-pucuk ta naman itu tidak disentuh-sentuh. (him. 280).fl>
Karena Anderson hanya menguraikan tentang tembakau, tanpa memerinci barang-barang ekspor dari beberapa pelabuhan Sumatra Timur, barangkali tidak keliru kita menaksir bahwa produksi dan ek spor tembakau paling mendekati produksi dan ekspor lada. Pengamatan-pengamatan Anderson pada tahun 1823 sangat berharga bagi kita, karena pengusaha-pengusaha onderneming Eropa yang memasuki Sumatra Timur 40 tahun kemudian sangat sibuk merancang perkebunan-perkebunan mereka dari hutan-hutan hujan tropik, sehingga mereka hanya sedikit mempunyai waktu atau perha tian untuk menjelajahi negeri itu untuk penelitian-penelitian ilmiah, apalagi untuk menuliskannya di atas kertas. Tidak ada bukti tentang perubahan mendasar apa pun dalam pola pertanian antara waktu kunjungan Anderson dan masuknya perintis pengusaha-pengusaha onderneming. Organisasi Politik Anderson mendapat keterangan dari para pemuka Siak yang telah terlibat dalam perang di Asahan, Deli dan kerajaan-kerajaan lain yang ditaklukkan oleh Siak bahwa mereka belum memasuki daerah pedalaman kerajaan-kerajaan kecil ini sejauh yang sudah dilakukan Anderson, (him. 169). Para pemuka kerajaan-kerajaan Sumatra Timur yang ditemui Anderson di Siak telah datang ke sana untuk. membantu mendirikan sebuah monumen di atas kuburan almarhum raja. Sang raja menuntut jasa-jasa feodal ini dari mereka sebagai jajahan Siak. Adalah merupakan kebiasaan bagi semua kerajaan sampai sejauh Langkat yang sungguh-sungguh atau hanya namanya saja menjadi jajahan Siak, un tuk mengirim sekali dalam tiga tahun, sejumlah perahu dan tenaga manusia ke Siak, untuk memperbaiki kubu pertahanan, dan untuk melakukan kerja bakti yang mungkin diperlukan. Setelah empat atau lima bulan, jika keadaan tidak mendesak, mereka dalam keadaan menderita boleh pulang. Mereka tidak menerima suatu apa pun, malahan mereka terpaksa mencari sendiri makanan dan sebagainya. Para pemuka ini menyatakan keluh kesahnya itu kepada saya karena mereka terpisah berbulan-bulan lamanya dari keluarga dan rumah mereka (him. 178).
Mengenai Tamiang, Anderson melaporkan bahwa penguasanya sepenuhnya mengakui sultan Aceh, meskipun penguasa Siak telah menaklukkan Tamiang beberapa tahun sebelumnya dan masih me nyatakan berdaulat atas negara itu (him. 236). 22
Langkat ditundukkan oleh Siak kira-kira lima tahun sebelum 1823 (him. 244); Siak juga menyatakan berdaulat atas Serdang (him 303) Kepala-kepala Batubara diangkat dan menerima surat keputusan pengangkatan mereka dari Siak (him. 310). Dengan demikian penelitian-penelitian Anderson membuktikan bahwa pada waktu survainya, kerajaan-kerajaan Sumatra Tim ur mengakui kekuasaan Siak atas negeri-negeri mereka. Rekomendasi Anderson ( l
Anderson mengajurkan supaya Perusahaan Hindia Timur Inggris mendirikan serangkaian pos perdagangan kecil sepanjang pantai Sumatra Timur; ia yakin pos-pos ini akan disambut baik oleh pengusaha-pengusaha di sana: Kantor-kantor dagang seperti itu, di bawah pimpinan orang-orang yang mampu dan berpengalaman, mengenal adat-istiadat dan bahasa penduduk setempat, secara kongkret akan cenderung menguntungkan kepentingan-kepentingan perniagaan di daerah ini. Mereka akan mendorong minat pribumi-pribumi terhadap barang kerajinan, dan membangkitkan selera untuk membuat berbagai jenis barang. Suatu sistem pemerintahan yang lebih baik akan diperkenalkan di sana, perselisihan dan permusuhan yang banyak itu antara kerajaankerajaan kecil akan berkurang, kemantapan dan ketertiban akan terselenggara. Para pedagang dari Penang dan Singapura akan merasa bahwa perlindungan harta milik mereka lebih terjamin, tidak ayal lagi bahwa akan terjadi peningkatan yang lumayan dalam perniagaan kita (him. 221) Rekomendasinya itu didorong oleh kekhawatiran bahwa Belanda akan menjalankan praktek-praktek perdagangan monopoli mereka di Sumatra Timur yang terletak tepat di seberang Penang, apabila mere ka memperluas kekuasaan mereka ke bagian Sumatra ini. Seandainya Belanda merasa puas dengan ’’suatu bagian perdagangan yang pantas” dan mengizinkan para pedagang Sumatra membawa hasil-hasil mereka ke pasar yang terbaik, ia percaya Penang dijamin akan memperoleh bagian perdagangan yang luas (him. 222) Peijaiyian London Perjanjian Inggris-Belanda di London, ditandatangani tanggal 17 Maret 1824 — belum satu tahun setelah Anderson kembali dari Sumatra — memudarkan semua harapan para pejabat dan para pedagang Pe nang yang semula berhasrat mendirikan pusat-pusat pemasaran ba rang di Langkat, Deli, Serdang atau negara-negara lainnya sepanjang pantai timur Sumatra. Tujuan peijanjian ini adalah untuk mengakhiri persaingan Inggris-Belanda di Asia Tenggara. Berdasarkan perianiian ini Inggris menyerahkan Bengkulu, begitu juga seluruh milik Perusa 23
haan Hindia Timur lainnya di Sumatra kepada Belanda dan mereka berjanji tidak akan mendirikan suatu pemukiman di pulau itu atau menandatangani suatu perjanjian dengan siapa pun di antara penguasa-penguasa di pulau itu. Sebagai gantinya Belanda menyerahkan Malaka beserta kantor-kantor dagang Belanda di India kepada Britania Raya dan berjanji tidak akan mendirikan perusahaan apa pun di Semenanjung Malaya dan tidak mengikat perjajian apa pun dengan penguasa mana pun di daerah itu. Hal ini menciptakan dua wilayah pengaruh yang dipisahkan oleh Selat Malaka. Menyangkut pemiagaan, perjanjian itu menetapkan bahwa Belan da akan menghentikan praktek monopoli perdagangan di Nusantara. Kedua pihak lebih lanjut akan saling memberikan pelayanan antarbangsa yang paling menyenangkan di daerah Malaka (Straits Settle ment), Kepulauan Hindia Timur, India dan Sri Langka. Pasal-pasal teritorial terbukti lebih efektif daripada ketentuanketentuan perniagaan. Pemisahan yang jelas dalam dua wilayah kepentingan itu benar-benar melenyapkan salah satu penyebab utama ketegangan. Namun selama beberapa puluh tahun kalangan-kalangan pedagang Inggris di Penang dan Singapura menuduh Belanda telah gagal memenuhi secara ketat ketentuan-ketentuan perjanjian itu.10) Kepada Belanda diberikan kebebasan di Sumatra, kecuali di Aceh dan daerah-daerah taklukannya, sedangkan Belanda mengakui kemerdekaan Aceh.11’ Perluasan Kepentingan Belanda di Sumatra Meskipun Perjanjian London memberi Belanda kebebasan untuk meluaskan kekuasaannya di Sumatra sampai ke perbatasan Aceh dan daerah-daerah taklukannya, namun Belanda maju agak lamban dan berhati-hati. J. van den Bosch, gubernur jenderal dari tahun 1830 sampai 1833 dan menteri jajahan dari tahun 1834 sampai 1839, merencanakan penyusunan politik ke bagian-bagian Sumatra yang belum berada di bawah kekuasaan Belanda; ia memperkirakan hal itu memakan waktu 25 tahun. Perang Jawa (1825-1830), yang terjadi karena pemberontakan Diponegoro, mencegah Belanda memperluas daerah di Sumatra segera sesudah tahun 1824, karena sejumlah besar pasukan dan dana diperlukan di Jawa. Bagian pertama Sumatra, yang memerlukan perhatian militer, adalah daerah pedalaman Padang, di pantai barat Di sana kaum Padri, suatu mazhab Islam, melancarkan perang di Padang Darat dan telah mulai memasuki daerah Batak paling selatan, yaitu Mandailing dan Angkola, di mana banyak orang dipaksa masuk Islam. Bonjol, benteng pertahanan kaum Padri, direbut oleh Belanda dan lepas lagi, tetapi akhirnya diserbu lagi untuk kedua kalinya tahun 24
1837. Mandailing juga diduduki. Pemimpin Padri itu, Haji Mohamad Saleh, yang terkenal sebagai Tuanku Tambusi, melarikan diri ke Angkola setelah Bonjol jatuh. Di sana ia mencoba membangun bentengbenteng pertahanan yang baru. Hal ini memaksa Belanda mengirim pasukan militer untuk mengusirnya keluar dari lembah Angkola itu. Tuanku Tambusi bergerak melintasi pegunungan ke arah timur me masuki lembah Barumun. Pasukan-pasukan Belanda itu menundukkan distrik Padang Lawas sampai sejauh Kotapinang di tepi sungai Barumun dan kemudian mereka membelok menyerang Dalu-dalu di tepi Sosa, anak sungai sebelah kiri sungai Rokan. Dalu-dalu ternyata dipertahankan dengan gigih dan mempunyai persediaan yang besar, sehingga mampu bertahan sampai selama 10 hari. Haji Mohamad Sa leh tidak terdengar lagi sejak itu. Menjelang akhir 1838, Mandailing dan Angkola di Tapanuli Selatan dan lembah-lembah Sungai Rokan dan Sungai Barumun, yang merupakan sebagian dari Sumatra Timur, dengan demikian berada dalam kekuasaan Belanda, diawasi oleh pospos militer terdepan. Akan tetapi, pengganti van den Bosch, Menteri Jajahan J.C. Baud (1839— 1848), memerintahkan penarikan mundur pasukan-pasukan militer yang ditempatkan di Sumatra Timur — sejumlah 9 perwira dan 510 prajurit di lembah-lembah Barumun dan Rokan di Portibi, Kota Panai, atau Bila, Dalu-dalu, Indragiri, dan beberapa pos-pos terdepan.12) Hanya Angkola dan Mandailing tetap diperta hankan. Apakah alasan-alasan penarikan mundur dari Sumatra Timur itu? Schadee mengemukakan, bahwa penegakan hukum dan ketertiban di Sumatra Barat dan penundaan aksi di sepanjang pantai Suma tra Timur, akan menarik perdagangan dari pedalaman Sumatra da lam jumlah yang semakin meningkat ke pantai barat Sumatra. Dan di barat Sumatra ini Belanda tidak akan takut kepada persaingan Inggris dari Penang, Malaka, dan Singapura. Sudah jelas, Belanda tidak menganggap penting untuk menyelenggarakan pemerintah dan keamanan yang mantap sepanjang pantai Sumatra Timur yang memakan biaya besar, hanya untuk membagi keuntungan dengan pusat-pusat perdagangan Inggris.13’ Keputusan untuk menarik diri dari Sumatra Timur mungkin juga disebabkan bertambah banyaknya protes kalangan peda.gang Inggris terhadap politik perdagangan Belanda. Mereka anggap hal ini meru pakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan perniagaan Perjan jian London. John Anderson, misalnya dalam 1840 melakukan protes atas pelanggaran-pelanggaran Belanda terhadap semangat Perjanjian London dengan menerbitkan bukunya tentang Aceh. Dalam kata pendahuluannya ia menyatakan: Tujuan utama karya ini adalah untuk menarik perhatian Pemerintah Sri Ratu 25
dan perhatian masyarakat Inggris, terhadap beberapa milik kita di suatu bagi an A sia yang begitu jauh letaknya, dan terhadap negara-negara pribumi di daerah yang sama, hal mana sesungguhnya merupakan urusan nasional besar yang penting, dan mungkin menjadi keuntungan materi bagi kepentingan-kepentingan perniagaan Inggris, jika diambil langkah-Iangkah untuk menghentikan campur tangan pihak negara Eropa lainnya (Belanda), yang temyata tergiur oleh perdagangan yang sangat menguntungkan di pulau-pulau bagian Ti mur itu.14)
Inggris terutama berkeberatan terhadap diadakannya sistem tanam paksa atas hasil pertanian ekspor yang menempatkan hasil-hasil panen ini di bawah pengawasan pemerintah dan pemasarannya di tangan Perusahaan Perdagangan Belanda (NHM). Ini berarti mencegah Inggris mendapatkan bagian dengan jalan apa pun dalam perda gangan mereka. Lebih jauh mereka memprotes politik tarif Belanda, yang telah menaikkan bea masuk atas katun dan wol Inggris dari 35 persen menjadi 70 persen antara tahun 1824 dan 1834 dan mencsgah katun dan wol Inggris dari Penang atau Singapura ke wilayah Hindia Tim ur Belanda kecuali ketiga pelabuhan Jawa, yaitu Jakarta, Semarang dan Surabaya. Ini tentu saja berarti tekstil Inggris tidak boleh memasuki pelabuhan-pelabuhan Sumatra yang berada di bawah ke kuasaan Belanda. Karena itu tidak mengherankan Inggris sangat berminat mencegah setiap perluasan kekuasaan Belanda atas Sumatra Timur, terutama Langkat, Deli, Serdang, dan Asahan, yang perdagangannya besar artinya untuk Penang. Penahanan diri (abstensi) adalah politik resmi Belanda di Suma tra dalam tahun 1840-an itu. Menteri Baud dinasihati oleh bekas gubernur Sumatra Barat, De Stuers, yang mengemukakan bahwa pantai Sumatra Timur yang berawa-rawa dan berpenduduk jarang itu tidak menguntungkan dibanding dengan pengeluaran uang pemerintah. De Stuers jelas berkepentingan untuk meminta perhatian penuh dari pe merintah terhadap Sumatra Barat. Semua ini mengakibatkan penarikan mundur Belanda untuk sementara dari bagian Sumatra Tim ur sebelah selatan Asahan. Dalam tahun 1850-an Aceh mulai lagi bergerak menuju Sumatra Timur. Penguasa Aceh Tuanku Ibrahim, juga terkenal sebagai Sultan A li A la ’ad-din Mansur Shah, memerintahkan putranya, Pangeran Husin, untuk memulihkan kembali kekuasaan Aceh atas Langkat, Deli, dan Serdang. Karena kerajaan-kerajaan Sumatra Tim ur ini tidak mendapat bantuan militer apa pun dari raja yang berkuasa yaitu Sul tan Ismail dari Siak, maka serangan Husin yang cepat itu berhasil dengan mudah. Para penguasa dari tiga negara itu menerima wewenang resmi kerajaan yang menetapkan mereka sebagai bawahan Tu anku Ibrahim dari Aceh dan masing-masing diberi gelar pahlawan, wak.il, dan wazir.15) 26
Kegiatan-kegiatan James Brooke di Sarawak dan penegakan kekuasaan Inggris atas Labuan dalam tahun 1840-an diprotes oleh Be landa, yang menganggap kedua tindakan ini sebagai pelanggaran terhadap perjanjian tahun 1824. Jawaban Inggris menyatakan bahwa perjanjian itu menjamin kepentingan-kepentingan di selatan Selat Malaka, sedangkan Labuan dan Sarawak terletak di garis lintang le bih tinggi daripada Singapura. Lebih jauh Inggris meminta perhatian atas pelanggaran-pelanggaran Belanda yang terus-menerus terhadap pasal-pasal perniagaan dalam perjanjian yang sama seperti disebutkan oleh Belanda itu. Akibat kasus Borneo membangkitkan kembali keinginan Belanda untuk memperluas kekuasaan di Sumatra. Gubernur Jenderal Rochussen, dalam sebuah surat keputusan tertanggal 26 September 1845 mengungkapkan hasratnya supaya daerah kekuasaan Belanda diperluas. Tetapi dalam bulan A p ril 1853 Menteri Jajahan C.F. Pahud mengeluarkan petunjuk-petunjuk untuk menghentikan keterlibatan Belanda lebih jauh dalam urusan-urusan dalam negeri kerajaan-kerajaan Nusantara. Kekuasaan Belanda supaya tidak diperluas sampai ke kerajaan-kerajaan di Sumatra, seperti Aceh dan Siak mengingat tafsiran Inggris terhadap pasal 3 Perjanjian London.16’ Kegiatan-kegiatan seorang petualang Inggris, Adam Wilson, adalah penyebab langsung bagi campur tangan Belanda di Siak. Wilson telah datang untuk membantu Sultan Ismail dari Siak menumpas pemberontakan di dalam negeri, tetapi ia meminta imbalan yang terlalu tinggi untuk bantuannya itu sehingga Sultan terpaksa menolak. Ketika Wilson kemudian menyerangnya, Ismail berbalik meminta bantuan kepada Belanda di Riau. Residen Belanda di Riau menyelesaikan perselisihan antara Sultan dan penantang-penantangnya dan memaksa Wilson meninggalkan pulau Bengkalis. Sultan Ismail, dengan Perjanjian 1 Februari 1858, menempatkan negara Siak Sri Indrapura (nama resmi Siak) bersama dengan semua daerah taklukannya yang diperoleh semasa puncak kekuasaannya, di bawah ke kuasaan Belanda. Perjanjian ini, yang terbukti menjadi sangat pen ting bagi jalannya peristiwa-peritiwa selanjutnya di Sumatra Timur, mengabaikan kenyataan bahwa Ismail telah gagal mempertahankan kerajaan-kerajaan taklukannya di Langkat, Deli, dan Serdang pada tahun 1854 dan gagal mencegah kemenangan Aceh. Ismail juga meng abaikan perlawanan Asahan terhadap tuntutan-tuntutan Siak. Sebaliknya ia mengharapkan bantuan Belanda. Ismail mendapatkan seorang pembela yang kuat, yaitu Elisa Netscher, yang diangkat menjadi Residen Riau pada tahun 1861. Netscher melihat dengan jelas implikasi politik dari dukungannya kepa da Sultan Ismail yang menuntut kembali daerah-daerah yang direbut 27
Sultan Ibrahim dari Aceh, karena hal itu akan memberikan Belanda dasar-dasar hukum untuk maju sampai ke perbatasan antara Aceh dan Tamiang. Pada tanggal 27 Maret 1862 Gubernur Jenderal memerintahkan Netscher ’’supaya mencoba secara damai menarik kerajaan-kerajaan di pantai ini dari cengkeraman Aceh dan mengajak mereka kembali untuk mengakui kekuasaan Siak, dan dengan demikian mengukuhkan kekuasaan Belanda atas bagian Sumatra itu.” 17) Dalam bulan Mei 1862 Residen Netscher menugaskan Raja Burhanudin untuk melakukan survei ke negeri-negeri yang dinyatakan oleh Siak sebagai daerah-daerah taklukannya. Raja Burhanudin melaporkan bahwa Asahan menyatakan berdaulat atas kerajaan-kerajaan kecil seperti Leidong, Kuala dan Batu Bara, dan menolak mengakui baik kekuasaan Siak maupun kekuasaan Hindia Belanda. Daerah an tara Serdang dan Tamiang dikuasai Aceh. Pendeknya, tak satu negara pun yang bersedia mengakui kekuasaan Siak.18) Pada tanggal 2 Agustus 1862, Netscher meninggalkan Bengkalis disertai oleh dua pejabat Belanda dan lima pejabat Siak untuk mengadakan kunjungan ke Panai, Bila, Serdang, Deli dan Langkat. Para penguasa Panai dan Bila rela mengakui kekuasaan Belanda tetapi tidak bersedia mengakui kekuasaan Siak, karena Siak telah membiarkan mereka pada nasib mereka sendiri selama waktu yang lama. Setelah diadakan pembicaraan-pembicaraan lebih jauh pada akhirnya mereka setuju mengakui kekuasaan Siak asalkan Hindia Belanda mau melindungi mereka terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh Siak. Sultan Basyarudin dari Serdang juga bersedia menerima kekua saan Belanda, tetapi Netscher terpaksa bersusah payah membujuknya supaya mengakui kekuasaan Siak, karena Serdang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Siak selama bertahun-tahun. Perundingan-perundingan yang jauh lebih sukar adalah dengan Sultan Mahmud dari Deli. Ia tegas menolak kekuasaan Siak, tetapi akhirnya ia menerima suatu rumusan kompromi yang mempersatukan Deli dengan Siak atas kedudukan yang sama derajat, keduanya berada di bawah perlindungan Hindia Belanda. Juru mesin kapal yang digunakan Netscher untuk perjalanannya, mencungkil dan menghapus kata-kata ’’Wakil Sultan Aceh” dari tera Sultan Mahmud.19) Pangeran Langkat, yang telah mengambil prakarsa dalam bulan Pebruari 1862 dan telah meminta perlindungan Belanda, sudah siap mengakui kekuasaan Siak, tetapi mengingat tuntutan-tuntutan Deli, Netscher menghindarkan pertukaran pemyataan-pemyataan tertulis. Dalam semua kejadian lainnya Netscher mengukuhkan setiap pe28
nguasa yang sedang berkuasa, sebagai imbalan atas pengakuan mere ka kepada kekuasaan Hindia Belanda. Sultan Ahmad Shah, Yang Dipertuan Asahan, benar-benar berbuat seperti diramalkan Raja Burhanudin. Ia menolak datang ke atas kapal Netscher untuk berunding. Netscher menolak usul balasannya untuk bertemu di pantai. Dan Netscher meminta penjelasan dalam tempo dua bulan mengapa perahu-perahu di sungai Asahan dan sejumlah rumah di pinggir sungai itu mengibarkan bendera Inggris. Satu bulan setelah kembali ke Bengkalis, Residen Netscher menerima dua pucuk surat. Satu dari Sultan Ahmad yang membantah setiap tanggung jawab atas berkibarnya bendera Inggris di sana dan surat yang lain dari dua orang Cina petani-petani candu dan penyelenggara monopoli perjudian dan pengutip-pengutip bea cukai di Asahan yang mengakui bahwa merekalah yang mengibarkan bendera Inggris itu.20' Dalam bulan Pebruari 1863 Netscher mengetahui bahwa Aceh sudah siap menyerang Deli dan bahwa Asahan siap mendukung Aceh dalam operasi-operasi militer itu. Netscher kembali ke Deli dengan dua kapal dan menggunakan kunjungan yang kedua ini untuk memperoleh tanda tangan Sultan Mahmud bagi suatu persetujuan yang melengkapi perjanjian tanggal 22 Agustus 1862. Pada saat Netscher tiba di Riau suatu armada kecil Aceh di bawah komando Raja Muda Cut L a tif dari Meureudu muncul di muara sungai-sungai Langkah dan Deli. Akan tetapi dalam dua peristiwa itu para penguasa kedua dae rah itu menolak menemui Cut Latif. Namun, Serdang dan Asahan menyambut pejabat Aceh itu. Unjuk perasaan dari kedua negara ini mendorong Netscher untuk menulis surat peringatan yang keras ke pada kedua sultan itu. Sementara Sultan Serdang bahkan menolak menerima surat Netscher, Sultan Asahan mungkin atas nasihat Law rence Nairne, seorang pedagang dari Penang, minta agar dimaklumi ’’bahwa negaranya tunduk kepada Aceh, dan karena itu dijamin oleh Inggris terhadap serangan Belanda berdasarkan Perjanjian 1824”.21) Kantor-kantor dagang Penang telah mendirikan pusat-pusat perniagaan yang penting, terutama di Langkat, Deli, Serdang dan Asah an. Dapat dimengerti bahwa mereka tidak mau kehilangan itu semua. Karena itu, para pedagang itu sangat terganggu atas kegiatan-kegiatan Netscher sepanjang pantai timur Sumatra dan memulai serangkaian gerakan menentang kemajuan-kemajuan politik Belanda yang melanggar Perjanjian London 1824. Mereka sudah mendarah-daging tidak percaya terhadap sistem perniagaan Belanda.2® Meskipun Gubemur Cavenagh dari Penang mengirim sebuah ka pal meriam ke pantai timur Sumatra tidak kurang dari empat kali dalam tahun 1863 dan 1864 dengan harapan bahwa ini akan memperkuat kedudukan para penguasa yang menentang tuntutan-tuntutan Be29
landa, tetapi London menolak menjanjikan perlindungan Inggris kepada mereka. Dengan demikian gerakan-gerakan Cavenagh menjadi sia-sia. Dengan tekad yang pasti Netscher mengerahkan segala kemampaunnya untuk mengatasi semua perlawanan sepanjang pantai timur Sumatra. Batavia memberikan wewenang kepadanya pada tanggal 27 Maret 1864 untuk mengirim para kontrolir"' ke Panai dan Bila, Batu-Bara dan Deli .231 Pada tanggal 25 Agustus 1865 Gubemur Jenderal memerintahkan satu ekspedisi militer yang terdiri dari tujuh kapal perang dan kirakira 1.400 serdadu ke Sumatra Timur. Ini memberikan Residen Net scher kesempatan untuk menempatkan Tamiang di bawah penguasaan Langkat, dan dengan demikian secara tidak langsung mengumumkan sungai Tamiang berada di bawah kekuasaan Siak sebagai perbatasan antara Aceh dan Hindia Belanda. Lagi pula, penampilannya dengan satu kekuatan yang dahsyat seperti itu telah menyebabkan para penguasa Batu Bara dan Serdang segera tunduk. Di Asahan, Sultan Ahmad dan saudara-saudaranya laki-laki melarikan diri ke pedalaman, sehingga Netscher mengumumkan bahwa Ahmad telah kehilangan kekuasaan dan mengangkat ipamya, Naamal Ullah, sebagai Yang Dipertuan untuk sementara. Pada akhir ekspedisi 1865 itu, Net scher telah dapat menyatakan bahwa pantai antara sungai-sungai Ta miang dan Barumun berada di bawah kekuasaan Belanda.241 Menjelang akhir tahun 1860-an pedagang-pedagang Penang mulai memperoleh keuntungan dari pengembangan pertanian perkebunan dan tidak mengalami pembedaan apa pun dalam perniagaan dengan Belanda, sehingga keberatan-keberatan mereka terhadap hubunganhubungan dengan kerajaan-kerajaan di pantai timur menjadi pudar. Perjanjian tahun 1871 telah menyelesaikan masalah Aceh, Belan da boleh bergerak bebas di Aceh. Sebagai imbalan, di Siak dan daerah-daerah taklukannya Inggris mendapatkan hak-hak perdagangan atas dasar persamaan dengan Belanda. Ini menentramkan keresahan masyarakat-masyarakat perdagangan Malaka untuk selamanya dan sa ngat mempermudah hubungan-hubungan Inggris Belanda. Maka suatu tahapan telah dirintis bagi pelaksanaan ’’gerakan maju” Belanda di Sumatra Timur.
) Contmleur dalam bahasa Belanda adalah jabatan dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda — pent *) Kapal bertiang dua dengan layar-layar besar — pent *) Orang kaya, sebutan untuk orang-orang elit bukan bangsawan — pent *) Kontrolir, ’controleur’ dalam bahasa Belanda adalah jabatan dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda — pent
30
Bab II Keadaan Geografis Sumatra Timur Letak dan Luas Dibatasi oleh Aceh di barat laut, Tapanuli di barat daya, Bengkalis di tenggara dan Selat Malaka di timur laut, luas Sumatra Timur dewasa ini meliputi 31.715 kilometer persegi atau 6,7% dari seluruh daerah Sumatra. Tetapi dari tahun 1873 sampai 1941, selama saat terjadinya perubahan bentuk ekonomi secara drastis yang menjadi tujuan penelitian ini, daerah Bengkalis dikelola sebagai bagian dari Sumatra T i mur, sehingga menjadikan ’’pantai timur” yang terkenal itu suatu dae rah administratif seluas 94.583 kilometer persegi atau kira-kira 20% dari luas seluruh wilayah pulau itu.11 Sampai 1887 kota Bengkalis telah menjadi markas pemerintahan Belanda untuk seluruh pantai timur, dan sejak 1887 itu kedudukan pemerintah dipindahkan ke kota baru Medan di jantung daerah onderneming yang sedang mekar. (Pe ta I). Peta Alam Sumatra Timur membentang mulai dari titik batas di puncak-puncak barisan bukit (yang dulu disebut) Wilhelmina Gebergte dan juga barisan Bukit Simanuk-manuk dan dari sana berangsur-angsur menurun, menyentuh pantai timur Danau Toba, terus ke dataran-dataran rendah dan rawa-rawa pantai sepanjang Selat Malaka. Dua barisan bukit itu adalah bagian dari sistem Bukit Barisan yang membentang dari Banda Aceh di utara sampai Tanjung Cina di Selat Sunda di selatan, membagi Sumatra dalam keseluruhan panjangnya dengan 1.650 kilometer. Dilihat dari titik tengah yang terletak lebih dekat ke pantai barat daripada ke pantai timur pulau Sumatra, sistem Bukit Barisan itu-mengarah dari barat laut ke tenggara, begitu pun arah letak pulau itu secara keseluruhan. Kenyataan ini diabaikan dalam pemakaian istilah-istilah umum utara-selatan-barat-timur terhadap pulau itu. a. Daerah Toba Antara Sungai Wampu dan Sungai Barumun, Bukit Barisan menanjak sampai apa yang disebut oleh van Bemmelen ’’tumor Batak” , suatu lipatan lapisan-lapisan bumi yang menyembul sepanjang 275 km dan lebar 150 km. Skemanya pada Peta II ditandai oleh keterangan ten31
tang rata-rata ketinggian 100 m dan 1.000 m puncak-puncak yang tertinggi lebih 2.000 m tingginya, terletak di sekitar bagian yang paling menyolok dari tumor itu, yakni Cekungan Toba yang besar dengan Danau Toba di tengahnya. Ukuran-ukuran sebenamya cekungan itu kira-kira 100 km kali 30 km pada suatu daerah seluas 2.270 km2. Danau Toba sendiri panjangnya 87 km, dengan jarak keliling 294 km dan luas 1.776 km2 termasuk Pulau Samosir. Karena Pulau Samosir ini meliputi luas 640 km2, maka luas air dari danau itu berjumlah kirakira 1.130 km2. Melingkari cekungan Toba itu adalah gunung-gunung seperti Sibuatan (2.457 m) di sebelah timur laut danau, Pangulubao (2.151 m) ke timur, Surungan (2.173 m) ke tenggara, dan Uludarat (2.157 m) ke barat3) Semua gunung ini terdiri dari batu-batu pra-Tersier dan Tersier awal, yang menunjukkan bahwa kompleks dasarnya mencapai tinggi lebih dari 2.000 m pada puncak tumor Batak itu. Tebing-tebingnya yang curam setinggi 400 sampai 1.200 m menandai tepi cekungan itu. Airnya berada pada ketinggian kira-kira 906 m di atas permukaan laut dan mempunyai dalam maksimum 529 m dekat Haraneeaol di sebelah timur laut (Peta III). Van Bemmelen membuat hipotesis bahwa ’’tumor Batak” itu melengkung ke atas selama masa-masa Miocene dan Plio-Pleistnr.rnp (Mio cene = lapisan bumi menjelang akhir Tersier, Plio-Pleistocene = ma sa-masa akhir Tersier dan awal kuatenar) mpnaanow Wilhemina dan Simanuk-manuk ke tingginya yang sekarana penyembulan tumor yang disebabkai, Seh p erk em S ™ ? 8 1 1™ yang mendadak, teqadilah retak-retak yang berasal dan bafflanvane paling tinggi tumor itu yang membentuk celah-celah
erupsi. Bahan yang disemburkan mengambil bpntnJ ^ pijar dan leburan magma dengan cammiran u camPuran 8as tua dan hancur lumat dari dinding-dinding ial a,n batu‘ batu lebih awan tebal berapi ini atau nuees ardentes m ^ i 311 keluar' Awan' tanah rendah di sekitarnya, mengikuti baei ?n . r melalui tanahrendah rendah ke danau-danau rembesan air seDerHrt-3!* 311 toP°Srafis yan§ Kualu IVUdlu,, riadiidii IclbcOar 1U &S melaliii ITlGlallii 1 5udlallg XOrU> Asahan Udll dan tersebar luas Renun> Batang Toru, dari ’’tumor Batak” di daerah Pematang ^ebelah timur laur Sebagian bahan-bahan yang Z Z Z Z n T , an angin yang sangat hebat dan menumn,!l f bangkan oleh tiup(tuf!) > aeolian sejauh Semenanjung M alavVn S6bagai tanah gembur kira 300 sampai 400 km debu vulkanik mem'itf' -Sf na Pada 3arak V * * kil Pleistocene sedalam kira-kira dua m e t ^ n ^ 38' ^ 35 batu kerikapak-kapak tangan paleolitik oleh CoUhgs (i 9^ ngan ditemukannya *) tanah gembur (tuff), berasal dari semh tuan vulkanik yang berpori-por, _ 32
da^am lapisan keriWaung berapi berupa batu-ba-
kil Pleistocene yang tertimbun debu gunung berapi di Tampan, Ma laysia Barat, dimungkinkan memperkirakan teijadinya letusan Toba yang hebat itu tak lama sesudah Pleistocene. Van Bemmelen mem perkirakan bahwa arus tanah gembur liparitik*^ dari Toba itu mencakup suatu daerah seluas 20.000 sampai 30.000 km2 di sekitar cekungan Toba dan mempunyai tebal ratusan meter di bagian-bagian tengah. Bemmelen lebih lanjut memperkirakan bahwa arus tanah-gembur liparitik itu bersama-sama dengan debu-debu aeolian berisi 2.000 km kubik. Piroklastik yang beijumlah besar ini mungkin dihasilkan oleh satu (atau serangkaian pendek) semburan yang membuat perubahan besar, karena belum nampak stratifikasi jelas dalam aliran-aliran tanah gembur itu, yang bagianbagiannya setebal ratusan meter. Ini nampak dalam endapan tebing-tebing terjal di sekeliling cekungan dan dalam ngarai-ngarai sungai muda. Hanya di bagian-bagian yang lebih tinggi dari daerah-daerah itu tampak beberapa lapisan yang memperlihatkan tahap menurun dari ledakan-ledakan yang lebih lemah setelah tahap ledakan yang besar, dan atau beberapa unsur sekunder yang dibawa air.7) Ledakan-ledakan itu menyemburkan kira-kira 2.000 km kubik pi roklastik dari bagian lebih atas batolit granit yang berada di bawahnya. Seperti telah dihiptesiskan oleh van Bemmelen, magma yang jumlahnya luar biasa ini menyebabkan runtuhnya atap kubah rongga besar magma itu, dengan demikian menciptakan cekungan Toba yang sangat besar itu. Begitulah cekungan itu terbentuk, yang merupakan sebuah Kesselbruch, 1150 m di atas permukaan laut, seperti diperlihatkan oleh lapisan atas gundukan tanah gembur di lembah Asahan dan teras-teras pada ketinggian 1150 m di sekitar daerah timur cekungan Toba. Danau itu merembas melalui gundukan tanah gembur dari lem bah Asahan sebelum ledakan, memotong sebuah ngarai sempit yang curam melalui tanah gembur itu, dan berangsur-angsur merendahkan tingkat danau itu pada ketinggian yang sekarang 905 meter. Pulau Samosir adalah sebagian dari atap rongga magma Toba yang runtuh itu.8) (Peta IV dan V). b. Gunung-gunung Berapi Dataran Tinggi Karo sesudah ledakan Toba Sesudah ledakan gundukan tanah gembur liparitik dan diikuti run tuhnya cekungan Toba, kegiatan vulkanik masih terus berlangsung, menciptakan serangkaian gunung-gunung berapi, terutama di Dataran Tinggi Karo di sebelah utara danau, khususnya kompleks dacito-andesitic yang penting di Sinabung (1.450 m) dan Pintau (2.212 m) Sibayak (2.094 m) semuanya lebih muda daripada gundukan tanah gembur li**) liparitik, cairan batu-batuan vulkanik membara yang menyerupai granit 33
paritik itu. Rangkaian peristiwa gunung berapi ini, yang te ija d i sesu dah ledakan Toba, terbukti sangat penting bagi perkem bangan industri tembakau antara Sungai Wampu dan Sungai Ular, sebagaimana diperagakan oleh Druif dalam menjawab banyak teka-teki yang puluhan tahun telah membingungkan para pengusaha perkebunan itu.9) c. Dataran-dataran Rendah dan Pantai Sumatra Timur, terletak antara Selat Malaka dan pantai tim ur Danau Toba, terdiri dari tiga bagian: dataran-dataran rendah, pegunungan, dan dataran-dataran tinggi Karo dan Simalungun. Dataran-dataran rendah, dapat dipisahkan dari barisan pegunungan itu pada kira-kira 100 meter garis luar, adalah seluruhnya asli tanah baru. Sungai-sungai yang berangsur-angsur menderas dari dataran-dataran tinggi Kar° h ” , ®ima^un®un telah membawa dalam jumlah-jumlah sangat be sar bahan gunung berapi yang mudah dihanyutkan, debu, dan tanah gembur ke dataran-dataran rendah, membentuk endapan dataran yang uas rata-rata 30 km lebamya. Proses ini terus berlangsung sam pai an ini pada tingkat yang lebih cepat karena karena penebangan .^1 sepanjang lereng-lereng dataran-dataran tinggi, dan sungai-sum / er el°k-kelok melebar di dataran endapan itu sebelum menemukan jalannya ke Selat Malaka. npa i^p1^ •an^ara Tanjung Tamiang dekat Teluk A ru dan mulut suriitnmK3^ 1 a^alah rendah dan agak monoton, disusuri rawa-rawa laman o 1 on'P°h °n bakau atau nipah yang menembus ke pedangePanjang jalan-jalan sungai yang lebih rendah maupun dehnn.nr.v»In^ f ran P.en^e^ pantai-pantai berpasir dipagari dengan pohutan Hi aS!iarina- Di belakang zona rawa itu terdapat zona beritu vana ^ 1 tanah daratan. Hanya sedikit sekali dari pantai-pantai hava ? unJ:uk pendaratan disebabkan gelombang besar, berba™ sela,na musim “ S " Itaiur laut riihanHifrri.81111^ 3,1 daerah ini relatif pendek, tidak ada yang bisa tra i1 a u*curan besamya dengan sungai-sungai d i SumaDprahn to gall>tetapi sungai-sungai itu dapat dilayari perahuneai T a n i * * an perahu motor. Terutama penting adalah sungai-surli haoion i • an ^ sa^lan- Di Sumatra Tim ur semua sungainya rf , , 1 *r kejangkitan endapan lumpur dengan cepat dan mesti isv eratur jika ingin pelayaran beijalan tanpa hambatan. PeniWan meros°t sejak dihentikannya pekerjaan pengenva tprat U" 11 942>.dan ^anya^ pelabuhan-pelabuhan kecil yang biasaK’naio c Ur . 1^ u*Vun^ kapal-kapal pantai tidak dapat lagi disinggahi. lima r '|n®ai umpamanya tidak dapat lagi dilayari, dan kota Tanp a ai ^ mudah didatangi kapal-kapal pantai kecil sebelum ang Duma II, sekarang tidak dapat lagi dicapai. Begitu juga halnya 34
Bagan Siapiapi, pelabuhan ikan terkenal di muara sungai Rokan Ketika saya mengunjungi Bagan Siapiapi 1955, perahu kayu saya yang dangkal harus diseret melalui lumpur pada waktu pasang surut Hanya pada pasang naik saya dapat mencapai dermaga lama itu, meskipun dalam perahu kayu, yang telah digunakan oleh kapal-kapal pan tai sampai akhir 1942. Sebagaimana namanya ’’dermaga dalam rimbunan bakau” memperlihatkan, kota ini terletak di zona bakau, yang dikembangkan dengan baik di kuala Rokan. d. Zona Pegunungan Melewati garis-luar 100 meter itu, orang memasuki zone pegunungan yang berombak-ombak, dibatasi oleh dataran setinggi 100 m dan 500 m di atas permukaan laut Sungai-sungainya memotong sangat dalam pada endapan-endapan vulkanik dan di beberapa tempat telah men capai batu-batu lapisan bawah Tersier dan pra-Tersier. Tetapi paling banyak bentangan darat yang lebih tua terkubur oleh debu dan tanah gembur liparitik. Setelah letusan Toba yang dahsyat itu, sungai-sungai mengalir dengan deras melalui tanah gembur dan debu yang belum sempat memadat, membawa bahan ini dengan jumlah besar bukan hanya ke dataran rendah melainkan sampai ke laut dengan melebarkan pantai atas kerugian laut. Masa erosi yang cepat dan endapan bahan-bahan vulkanik ini diikuti oleh kegiatan vulkanik tahap kedua yang berpusat di Dolok Pintau-Sibayak dan Dolok Sinabung. Gununggunung berapi ini mengeluarkan lahar yang sangat besar jumlahnya, atau aliran-aliran lumpur, yang berserak melalui endapan-endapan liparitik yang lebih tua dan mengisi lembah-lembah yang sebelumnya dibelah oleh sungai-sungai ke dalam formasi liparitik yang lebih tua. Endapan-endapan yang berasal dari Pintau-Sibayak dan Sinabung menyebar sangat terbatas ke daerah antara Sungai Wampu dan Sungai Ular. Di sini sungai-sungai yang lebih kecil, yang merupakan batasbatas formasi gunung berapi yang lebih muda, berkali-kali mengulangi gerak erosi dan menembus ke dalam dan bahkan melalui en dapan-endapan tanah gembur liparitik dan menjadi beku. Sungai-sungai tersebut kemudian membawa bahan-bahan itu ke daratan baru dan/atau ke luar terus ke dalam perairan zona pantai yang dangkal di Selat Malaka. Sungai-sungai utama yang dimaksud di sini ialah Kwis, Percut, Deli, Babura, Belawan, Tuntungan, Mencirim, Bingei dan Begumit Beberapa dari sungai-sungai ini dapat dilayari oleh perahuperahu kecil melalui tanah daratan tetapi menjadi tidak dapat dilalui di zona pegunungan karena aliran deras dan banyaknya arus cepat e. Dataran-datamn Tinggi Karo, Simalungun, dan Habinsaran Zona ketiga mencakup tanah-tanah tinggi di utara, timur, dan selatan
35
r
Danau Toba, yaitu dataran tinggi Karo dan pegunungan-pegunungan Simalungun dan Habinsaran. Sebelum ledakan Toba mungkin telah ada suatu saluran antara Gunung Tua dan Padang Sidempuan dalam lembah rembasan air bagian atas di Barumun yang menghubungkan Lautan India dengan Selat Malaka sehingga Sumatra dapatlah dibagi dalam dua bagian: Sumatra Utara yang sekarang terd iri dari Aceh, Sumatra Timur, dan Tapanuli Utara; serta Sumatra Tengah dan Selatan. 3 Di selatan Padang Sidempuan, sistem Bukit Barisan jauh lebih sempit daripada di utara daerah tumor Toba. Seiring dengan itu ta nah daratan dan zona-zona rawa yang mengandung air segar dan pan tai yang mengandung air asin m elebar secara m enyolok mencapai lebar yang terluas pada garis khatulistiwa. Zona pegunungan dari dataran tinggi Karo di utara sampai pegu nungan-pegunungan Habinsaran di selatan terben tuk karena menyembulnya barisan bukit-bukit W ilhelm ina dan Simanuk-manuk dan melendungnya tumor Toba. Sementara dataran tinggi K aro berakhir dengan agak tajam pada ketinggian 1400 m garis luar dengan anjlokan yang menyolok ke arah zona pegunungan, sebaliknya transisi antara bagian-bagian pegunungan dan tanah-tanah tinggi berlangsung jauh e ih melandai di daerah-daerah Simalungun dan Habinsaran ke sea n. Sungai Wampu mengalir dari dataran tinggi Karo. A ir dari peungan-pegunungan Simalungun diserap oleh sungai-sungai yang memotong ngarai-ngarai menjadi endapan-endapan vulkanik m eliputi ^ompieks dasar Tersier. Dalam proses ini terlibat sungai-sungai PanakS' .a^’ Pare-pare, dan Silau, bersama-sama dengan anak-as a r»SUH^a* yang ^anyak itu. A ir dari pegunungan-pegunungan HabinteDi 1Ji f rap sungai-sungai Kuala dan Bila dan anak-anak sungai tak d' rl un- (Perbatasan Sumatra Tim ur sebelah selatan terle1 aerah antara aliran-aliran sungai Barumun dan Rokan). ^ Keadaan tanah asumka11^ mengerti pertumbuhan daerah ondernem ing yang mengyang e r ^ h ^umatra Timur adalah geologi daerah itu sendiri dan Para ne3 f^ a^ an dengannya, yakni bentuk lahan dan tanahnya. menaruh8118^ ?nderneming> sesuai dengan kepentingannya, sangat lahan unt ^ V ? at*an kepada mutu tanah dalam m em pertim bangkan hujan da ** emkan§kan; sedangkan segi-segi seperti iklim, musimtumbuhan1 pembag^an curah hujannya, tata pengairan dan tumbuhDotpnsi mes Pun penting, tidak begitu mutlak sebagai petunjuk
Pengaingem g3n pertanianniing suDava^H u3hit telah mengajar pengusaha-pengusaha ondem etane trnniif 1 j menilai lahan perawan, terutama di garis-garis linatas dasar tumbuh-tumbuhannya. Adalah sangat kebetulan 36
bahwa para pengusaha onderneming di Sumatra Timur menemukan tanah yang bermutu tinggi sekali. Dalam demam tanah yang hebat karena didorong sukses yang mengagumkan dari hasil-hasil pertama perkebunan itu, banyak pengusaha onderneming lain bernafsu melakukan penanaman di lahan baru dengan tanaman serupa yang ada di lahan tetangganya yang berhasil itu. Tetapi temyata yang ditemukan hanya lahan yang mutu tanahnya rendah. Didorong oleh kegagalankegagalan mereka, para pengusaha onderneming memanggil ahli-ahli geologi dan ahli-ahli tanah untuk meneliti perbedaan-perbedaan re gional yang membingungkan mengenai mutu tanah-tanah yang telah menghidupkan hutan-hujan tropik yang kaya itu. Cukup lama penelitian itu memakan waktu untuk menentukan sebab yang tepat, tetapi seperti kita tahu sekarang, hutan-hutan seperti itu mampu tumbuh dengan subur di atas tanah-tanah yang pupuknya hanyut dibawa air dan dengan demikian merupakan lahan yang menjadi sangat miskin — sedemikian miskinnya sehingga tidak layak dibuka. Beberapa penelitian awal yang lebih penting mengenai tanah-tanah tropik telah dibuat di Sumatra Timur.U) Begitulah terjadi bahwa onderneming-ondememing pertama te lah dibuka di atas lahan yang terletak antara Sungai Wampu dan Sungai Ular. Tetapi ketika para pengusaha onderneming itu menggarap ke luar dari lahan kedua sungai ini, mereka menemukan kekecewaan besar bahwa tembakau yang ditanam di luar bentangan Sungai Wampu dan Sungai Ular itu tidak begitu berharga. Akibatnya banyak onderneming harus ditutup, dijual, atau dialihkan ke tanaman-tanaman lain dari tembakau. Dalam upaya mencari keterangan, para ahli akhirnya menyadari adanya saling hubungan antara geologi, endapanendapan gunung berapi, tanah dan kesuburan. Pengetahuan kita ten tang alam dan penyebaran berbagai bentuk semburan gunung berapi yang meliputi Sumatra Timur adalah luas dan sangat menyeluruh. Hal ini menunjukkan kepentingan praktis para pengusaha onderne ming untuk membuat peta dari tanah-tanah di daerah itu. Sebenamya penelitian intensif selama kira-kira 50 tahun oleh para ahli geologi dan sarjana pertanian, telah membuat Sumatra Timur menjadi salah satu daerah Indonesia yang dari segi geologi paling dikenal. Sekarang sudah jelas, umpamanya, bahwa efek semburan dari ’’tumor Batak” adalah tanah gembur liparitik dan karenanya bersifat asam, berbeda sekali dalam komposisi kimia dari semburan dasitik dan andesitik, atau semburan yang ada pada dasar Sinabung, Pintau, Sibayak, dan meliputi lahan antara Sungai Wampu dan Sungai Ular. Selama bertahun-tahun pengusaha-pengusaha onderneming merabedakan tanah di Sumatra Timur ke dalam tiga golongan: merah, hitam (termasuk kuning dan coklat), dan putih. Pembedaan lebih jauh 37
dari tiga golongan ini tidak dibuat, meskipun terdapat petunjuk-petunjuk yang jelas mengenai perbedaan-perbedaan pada tembakau itu sendiri dan harga-harga yang rendah yang diperoleh untuk panenpanen yang ditanam di atas tanah-tanah yang sebenarnya nampak seakan-akan sama. Druif adalah orang pertama yang membuat inventarisasi yang pa ling terperinci dari tanah-tanah Sumatra Timur. Selama ia melakukan penelitian timbul pertanyaan apakah semua tanah merah adalah satu dan sama sifatnya, sebagaimana dianggap oleh masyarakat umum se lama bertahun-tahun; ini juga berlaku bagi tanah-tanah hitam dan putih. Hasilnya ialah adanya penggolongan "yang jauh lebih terperin ci. Kecuali unit-unit petrografik dari deposit-deposit vulkanik, yaitu endapan tanah gembur liparitik, bebatuan dasitik, dan bebatuan andesitik, dan juga lahar atau endapan lumpur, maka tanah-tanah Su matra Timur dibagi ke dalam dua golongan besar: tanah-tanah yang dibentuk oleh endapan tanah gembur yang dirusak cuaca di tempat aslinya, dan tanah yang berasal dari tanah gembur yang dibawa dan diendapkan kembali oleh sungai-sungai di daratan pantai Sumatra Timur.12) Persamaan antara tanah lapisan atas yang berwama kemerahmerahan dan endapan tanah gembur liparitik yang dirusak oleh cua ca dengan lapisan yang berasal dari bebatuan dasitik; dan perbedaan sedikit sekali yang nampak antara lempung-lempung bernasir bem arna abu-abu keputih-putihan dengan nacir Pasir oerwar dari endapan tanah gembur l i p S k aSu dari S ' " 8 ,terdiri sekali lagi juga perbedaan: yang lebih keoil a . n. dasitik, atau bawah berwarna kuning yang berasal rlari k v, ra tanah lapisan tit, membuat sangat sukar menem S a^ , „ A ™ . daS“ ik dan andesi' Penyelidikan Druif bukan hanya menplir i Perbedaan tanah. yang muda melainkan juga formasi-formaJU^ Snya deposit vulkanik Panenan yang.dftasflkan di atas tanah;!, u er ^ lebih tua. Tersier yang dirusak cuaca selalu m e r a n l ^ a s a l dari batu-batu
peta dan tempat.tempat ya " t ™ *
adalah penting mem-
paya dapat menuntun para k ,ni Seaku^ t mungkin suyang sangat kecil antara beberapa tan K ° nderneming itu. Perbedaan sier berlempung yang dirusak anah gembw dan nasir-oasir Terlumat sampai halus, warnanya pun h*n batu‘b atu pasir yang mudah dang-kadang membuat pem h ^ blasanya , iQf kapembagian antara T e r s ie ^ daan di . l a p a n S n 3taU A.da tidak adanya ciri-ciri nptr, Kuatenar tidak pasti. Lagi P ’
kan, D raif o e n S S S b ? T * mus bahwa pemisahan f l nsip tektonik I
tidak PastL Denf ? yang dapat dia ^
nyangkutpadaketidaksam aan^ Tersier dan * enefrima bagf r J t dWiaannya) ya ^ an K uatenar s5 harus 38
dalam berbagai hal dapat di-
lihat di lapangan. Semua deposit yang tak terganggu digolongkan ke pada Kuatenar, sementara semua formasi yang sudah bertumpukan dipindahkannya ke Tersier. D ruif menggunakan metoda analisis mineralogi secara sistematis. Ini memungkinkan dia membedakan lima jenis pokok tanah peninggalan.13) (lihat Peta VI). 1. Jenis tanah di atas bahan induk Tersier, terdapat terutama di barat laut Sungai Wampu. Kesuburan tanah-tanah ini sangat rendah. 2. Jenis tanah yang berasal dari tanah gembur riolitik-liparitik terdapat di tenggara Sungai Blumei. Di medan yang bentuknya bukitbukit bulat, tanah-tanah liparitik di situ sangat mudah ditembus air. Inilah sebabnya di dataran-dataran rendah, lapisan tanah menjadi tipis dan miskin humus meskipun di bawah hutan-hujan tropik zaman purba. Pada tanah-tanah yang letaknya lebih tinggi, oksidasi zat organik diperlambat oleh suhu yang lebih rendah, sehingga tanah-tanah pegunungan lebih tebal daripada tanah-tanah dataran rendah dan mengandung lebih banyak gemuk Tanah-tanah liparitik ini asam dan cenderung sangat mudah kena erosi karena sifatnya seperti pasir. 3. Jenis tanah yang terdapat di atas tanah gembur dasitik-liparitik. 4. Jenis tanah yang teijadi di atas tanah gembur dasitik Ini mungkin termasuk kepada salah satu tahap kegiatan gunung berapi, yang lebih tua atau lebih baru. Tanah-tanah yang berkembang di atas ta nah gembur dari tahap yang lebih tua terletak antara Sungai Bingei dan Sungai Deli; tanah-tanah dari tahap yang lebih baru terdapat di tiga daerah mulai dari utara ke selatan. Meskipun tanah-tanah ini nampaknya sama, penelitian-penelitian mineralogi mengungkapkan perbedaan-perbedaan yang jelas. 5. Jenis tanah yang teijadi di atas aliran lahar yang terbaru, sifat nya adalah andesitik. Para pengusaha onderneming Belanda menamakan tanah ini zwarte stofgronden, atau tanah debu hitam. Jenis ini sedikit kepaduannya dan mudah diterbangkan oleh angin apabila dibiarkan di alam terbuka. Druif percaya bahwa tanah ini adalah begitu muda sehingga debu yang terdiri dari pasir halus dan lumpur, belum mempunyai cukup waktu untuk berubah menjadi lempung. Ta nah-tanah ini mengandung banyak humus, hingga mencapai 13 sam pai 17%. Yang disebut tanah pama ini, atau endapan sungai yang sesungguhnya, membentuk daerah-daerah yang terletak sepanjang sungai-sungai pada ketinggian yang dicapai oleh banjir atau pada terasteras sungai yang teijadi pada waktu pengendapan-pengendapan terdahulu. Sebagaimana dengan bermacam-macam tanah gembur yang menjadi sasaran dibawa arus air, maka tanah pama yang dihasilkan 39
itu bisa bersifat liparitik, dasitik, andesitik, atau suatu campuran dari dua bahkan tiga jenis tanah gembur.14’
Sepanjang pantai kita hanya menemukan tanah-tanah yang berasal dari bahan induk yang dibawa arus air dan diendapkan dalam bentuk kerikil dan lumpur. Tetapi bahkan di pantai-pantai yang rendah, di belakang rawa-rawa bakau dan nipah, Druif dan rekan-rekan seke^anya mampu membedakan tanah-tanah sekunder atas dasar sifat-sifat khas dan bahan induk. Hanya tanah-tanah yang terbentuk dari bahan endapan yang ada di lepas pantai, jadi dengan demikian mengandung lumpur yang dibawa oleh sungai-sungaiSSr h I ? tidak memungkinkan dilakukan pembedaan seperti tersebut di atas Karena para pengusaha onderneming tidak menanih mi!/* I , , tanah-tanah yang paUng deka, ke p a l , k a S a T ya» “ S S S S an hanya lima atau enam kaki di atas pasang naiW tian Druif tidak mencakup tanah yang terbentuk HaH i ' Peneh' lebih baru. an lumpur yang Analisis mineralogi mengungkapkan bahwa tanah a u tik mengandung mineral seperti gelas vulkanik, kuart gembur liparioligoklas, biotit, amfibole hijau, magnetik, ilemit « t albit’ sanidin> dan spinel. Tanah gembur dasitik mengandung mi V*’ aPatit, ortit sama kecuali untuk ortit tetapi dengan mineral j ral"mineral yang perti batu akik berwarna merah tua, amfibol hP tambahan seperowskit, tambah sedikit andesin dan piroksin iTrWarna c°klat, dan andesitik-dasitik sekali lagi mengandung mineral1]aU' Tanah gembur tetapi dengan banyak amfibol coklat dan agak ii? u neral yan§ sama hijau, banyak andesin, dan sangat sedikit sanidin h anyak Piroksin mineral yang terdapat dalam semua tanah gemS,. albite- Mineralperlihatkan banyak perbedaan dalam jumlahn VUlkanik ini memEndapan-endapan dari daratan pantai ^ masin§-masing15) an yang nyata dengan tanah gembur yang tPri ^ P,erlihatkan persama
pantai itu, di sana endapan-endapan itu W tak di selatan dar^ „ mana diperkirakan. Terjadinya kSmpSsi ah ng bercamPur s e b a t f kan karena pengaruh suW i-sungai ataorm a d P u r^ b a g m d an pegunungan menembus /aoi'san lQ cukun iauh ngikis dan menghanyutkan fo r m a n t PlSan ^ J ^ n ik dan t ? T batu plutonik. fo- a s i - f 0rmasi yang dan telah m e-
Penelitian-penelitian Druif danat
kan dan diragi, adalah karena t e n S s tembakau van ^ i P " gembur yang berbeda dari apa van ^ ini ditanam ken R -' jelek yang menyolok adalah disebahv^ 3 dan bahwa h^h ***** mukaan bumi lapisan Tersier yang r ? 1 pen§aruh m u n ^ ^ yang tidak d in e rW ? nculnya ke Per' ^ atlkan sebelumnya.
Suatu problema lama dapat dipecahkan oleh analisis mineralogi mi yakni perbedaan menyolok yang nampak secara umum pada tanaman tembakau di ladang-ladang, di tempat-tempat yang berbeda dalam suatu ’’pembagian lokasi” di dalam mana onderneming temba kau itu ditempatkan. Pembagian lokasi kebun-kebun tembakau ini dilakukan dari timur ke barat, sebaliknya tanah-tanah onderneming membentang dari utara ke selatan, dibatasi di timur dan barat oleh sungai-sungai. Tanah itu menanjak antara sungai-sungai sampai setinggi beberapa meter di atas tanah yang langsung berdekatan dengan sungai. Analisis itu mengungkapkan bahwa bagian-bagian yang lebih tinggi dari wilayah itu, yang membentuk daerah tengah tanah sungai, adalah teras-teras tinggi yang lama. Sifat-sifat tanah ini yang sebenarnya belum diketahui, karena garis-garis batas antara teras tinggi dan teras tingkat menengah dan rendah telah dimusnahkan oleh penggundulan.16) Keadaan yang sangat rumit dari onderneming-onderneming se perti Gunung Rinteh dan lain-lainnya yang sampai akhir tahun 1930 masih mempunyai hutan zaman purba yang sebagian besar terdiri dari hutan belukar yang sangat tua, sedangkan suatu persentase tinggi dari tanah itu digunakan hanya sekali dalam dua puluh atau tiga puluh tahun, dengan demikian untuk pertama kali menjadi jelas. Ternyata bahwa onderneming-onderneming seperti itu mempunyai bebe rapa jenis tanah gembur, endapan-endapan lumpur, teras-teras sungai yang lebih tua dan lebih muda, dan bahkan endapan-endapan Ter sier. Tidaklah mengherankan bahwa tembakau yang ditanam di perkebunan-perkebunan seperti itu sangat beraneka ragam. Tanah-tanah utama daerah tembakau sangat berbeda dalam nilai pH mereka. Tanah-tanah liparitik sangat asam, sebaliknya tanah-ta nah dasitik dan andesistik hanya sedikit asam dan mempunyai pH 6 sampai 6,7. Mutu dan harga tembakau tergantung kepada tanah tempat ia ditanam. Tembakau yang ditanam baik di atas tanah zaman purba maupun di atas tanah baru liparitik mempunyai nilai yang lebih rendah daripada di atas tanah yang berasal dari tanah dasitik atau dasitik-andesitik Ini diperlihatkan dalam Tabel 1, yang memberikan harga-harga rata-rata yang diterima di pelelangan-pelelangan di Amsterdam selama masa dari tahun 1893 sampai 1930.
41
T AB E L 1 H A R G A R A T A -R A T A TE M B A K A U U N T U K
MENURUT JENIS T Jen is
A
N
A
Tanah
a. Tanah-tanah lama Debu dan tanah gembur liparitik Tanah gembur dasitik Liparitik-dasitik Lahar dasitik-andesitik Lahar dasitik b. Tanah-tanah baru Liparitik Dasitik-andesitik
H
MASA DARI 1983 SAMPAI 1930, . ___________________________ Gulden per % ^
D ollar AS p er pon
0,90 1,34 1,51 1,70 1,99
0,45 0,67 0,75 0,90 0,99
1,16 1,81
0,58 0,90
Sumber: J. Barnard Gibbs, Tobacco Production and Consumption in the Netherlands Indies (Departemen Pertanian Amerika Serikat, Kantor Hubungan Pertanian Luar Negeri, Washington D.C., 1940, mimeo), him. 12 — 14. Mohr meminta perhatian terhadap suatu gejala yang asing di suatu daerah luas antara Sungai Asahan di timur dan Sungai Ram pah di ba rat. Daerah itu mengandung apa yang dinamakan D ru if ” endapan-endapan sungai dengan bahan liparitik ditambah bahan vulkanik lainnya” (kursif adalah tambahan), meskipun tidak ada nampak ’’bahan vulkanik lainnya” di selatan daerah ini. Untuk membenarkan peta Druif, Mohr beranggapan bahwa beberapa gunung berapi di selatan, terutama Batopu, Sirapagus, Simarsopah, Simbolon, dan Sim arito, mungkin telah menghasilkan bahan dasar ketimbang bahan mengandung asam yang pada umumnya dianggap demikian untuk daerah itu.17) Sepanjang menyangkut jenis tanah, perkebunan-perkebunan tem ba kau dapat digolongkan ke dalam tiga kategori: perkebunan-perkebunan tanah tinggi (pengunungan) dengan jenis tanah berasal dari bahan-bahan Tersier, liparitik, dasitik, dan andesitik; perkebunan-perkebunan daerah kaki pegunungan dengan jenis tanah yang berasal dari lahar vulkanik; dan perkebunan-perkebunan dataran rendah dengan jenis tanah yang berkembang di atas endapan-endapan sungai dan laut yang berasal dari lahar-lahar ke selatan. Kembali kepada topografi Sumatra Timur, suatu segi geografi dari daerah yang secara langsung mengalami konflik agraria dalam tahuntahun terakhir, Kantor Tata Bumi di Medan menentukan unit-unit to pografi sebagai berikut:18) 42
an J 2 L Daerah-daerah pematang ^
^
S lT S iS S
S
lZ
S
7 '" gai ^ ^ S X
Z
n
^
^
WZ
d‘ “ “ - M a e r a h p a n ta iy a n g duT
permukaan laut sampai 10 n ie t e r ^ a t a s d3' ketfnggian berk' sar dari
Dematane oantai
.
teS Perm ukaan laut. Pem atang-
suatu peralihan ear * " 8 teJ'd.a*)at Jauh d i P e d a la m a n , ini M a la k a yang dangkal Karena Dernata3 * f F3h luar menuju ke Selat terletak tak berapa jauh ke P ™atang~pematan§ pantai yang tua- yang tidak lebih tinggi dari garis oanfa g,anS pantai yang sekarang> dapat menentukan peningkatan tin p J T 8 Pif ong akhi£ .maka tidak ini melainkan mesti m e ^ ^ ^ ^ Sur t o ^ T * al* ! ,>akhir daerah-daerah lepas p a n ^ y a n ^ g k a l ^ PemmbUnan 1UmpUr m e m b u k tik an
pantai’ dengan tetinffffian dari 10 sampai 45 me' . p ai ^erletak langsung di selatan rawa-rawa pantai dan mes lpun pa a mulanya berhutan lebat dan rembasan airnya buruk, secara intensif diperbaiki oleh para pengusaha onderneming, yang membuka hutan itu, membuat tanggul-tanggul sungai, dan menjelajahi daerah itu dengan terusan-terusan penyaluran air. 3. Tanah-tanah tinggi berbukit-bukit, dengan ketinggian 25 sampai 150 meter. Garis luar 25 meter yang secara umum menandai tujuan-tujuan pelayaran bagi kapal kecil pribumi, dewasa ini hampir seluruhnya ditandai oleh jalan-jalan raya modern sejajar pantai dari Binjei di Lang kat sampai Medan, Tanjung Morawa, Tebingtinggi, Kisaran, dan tempattempat lebih jauh ke selatan. Kejadian yang hampir kebetulan antara jalan raya dan garis luar 25 meter itu adalah suatu akibat yang wajar untuk menghubungkan kota-kota pada persimpangan-persimpangan su ngai yang penting. Perkembangannya bermula pada perdagangan anta ra penghasil-penghasil di pedalaman dan pemilik-pemilik sampan. Tanah-tanah tinggi itu dipotong sungai-sungai yang mengalir dengan cepat, berkelok-kelok dan dalam beberapa hal mengembangkan cukup kesempatan untuk tanah pama di daerah-daerah yang luas. 4. Tanah kaki pegunungan (pidamon), dengan ketinggian berkisar dari 150 sampai 500 meter. Di sini tanahnya agak pecah-pecah dan dasar sungai-sungainya sangat dalam.
5. Gunung-gunung dan tanah-tanah tinggi, dengan ketinggian 500 meter atau lebih. Ini mencakup dataran tinggi Karo dan tanah-tanah tinggi Simalungun. 6. Lereng-lereng yang menurun ke selatan menuju pantai-pantai Danau Toba mempunyai puncak ketinggian 1.500 sampai 2.000 meter dan ketinggi an yang agak rendahan sampai 900 meter, yang merupakan permukaan danau. Lereng-lereng yang lebih tinggi sangat curam di beberapa tem43
r
pat, tetapi lereng-lereng yang lebih rendah berteras-teras dan ditanami secara intensif sebagaimana jalur-jalur tanah dataran yang sempit dekat danau, terutama di sebelah utara. Sebagian, garis perbatasan antara Sumatra Timur dan Tapanuli mengikuti Danau Toba. Di perkebunan-perkebunan tanah tinggi sungai-sungai sangat dalam, di daerah kaki pegunungan sungai-sungainya kurang dalam, sementara perkebunan-perkebunan tanah rendah mempunyai sungai-sungai dangkal berkelok-kelok antara tanggul-tanggul alam rendah yang dengan mudah dilintasi sungai-sungai selama musim hujan. Dengan demikian Perkebunan-perkebunan tanah rendah lahan di dekat tanggul-tangp il itu sering kebanjiran, yang pada gilirannya mendorong kehancuran tanah di bawah air atau tanah yang digenangi air. Perkebunan-perkeunan di daerah-daerah tinggi memerlukan tindakan-tindakan antierosi yang cermat seperti pembuatan teras-teras penutup hutan lindung, etapi tidak ada kesulitan mengenai pengairan; perkebunan-perkebun an dataran rendah sebaliknya mempunyai hanya sedikit atau tidak ada sama sekali masalah erosi tetapi memerlukan penyalur-penyalur air J^ng mahal seperti memperkuat tanggul-tanggul alam dengan membuat nggul-tanggul dan dam-dam, menggali terusan-terusan penyalur air, memasang pintu-pintu pencegah banjir otomatis untuk memungkinkan pem uangan air pada saat pasang surut dan mencegah penyusupan air J?a» A Saa* pasanS naik; pemompaan air ke luar dari tanah-tanah yang lebih rendah dari permukaan laut sa r^ 3 r*nt*s Pengusaha onderneming di Sumatra Timur, setelah maan van ! * 3311 dan kesalahan dengan biaya mahal, mempunyai kesadarDenti ^er^adap keadaan-keadaan geologi dan topografi yang SPh ® agl berhasilan setiap pengusahaan onderneming. daerah -I^iana bab-bab yanS berikut akan memperlihatkan, sejarah nvata rl^ V . 'ki P°k°k-pokok konflik agraria di sana sebagian besar terdan t a n f w 3 Perbedaan-perbedaan daerah dalam topografi hmnn ^ anahnya. Perbedaan-perbedaan dalam suhu panas, curah > an masalah pengairan tidaklah begitu menonjol. Iklim T h n u r^ an*"ara ®ar*s khatulistiwa dan Garis Lintang Utara 4°, Sumatra diDenpme^rnpunyai iklim pantai tropik yang dalam sifat iklim mikronya Batak” 3rU \ b topografi seperti daerah-daerah tanah tinggi ’’tumor eunnntran11^ u^S’ c*ataran tinggi Karo, pegunungan Simalungun dan pemantar> w i a ,nsaran; Suhu-suhu udara menunjukkan kenaikan yang nai i 3 aillJ{et*ngSian mulai dari permukaan laut dekat pantai samra Ppmof111 15 a*aran tinggi Karo dan di pegunungan Simalungun anta, a.n.® * lantar dan Danau Toba. Di daerah-daerah pantai ratau u kira-kira 25°C, dengan maksimum 32°C. Dataran-dataran ren44
dah pantai menikmati embusan angin darat dan laut dan secara rela tif sejuk pada malam hari. Karena suhu menurun dengan 0,6°C per 100 m, maka suhu daerah-daerah pegunungan jelas lebih rendah daripada di dataran rendah. Di daerah-daerah yang lebih tinggi suhu menurun sam pai rata-rata 12°C dan berkisar antara 5,5°C dan 18°C. Daerah perkebunan Sumatra Timur mempunyai rangkaian ’’stasiunstasiun bukit -nya sendiri di pantai-pantai Danau Toba pada ketinggian 900 meter, terutama di Prapat dan di Berastagi dan Kabanjahe di datar an tinggi Karo. Perbedaan dalam ketinggian antara daerah-daerah pan tai dan tanah rendah di utara, dan di daerah-daerah tanah tinggi ke selatan juga menghasilkan perubahan yang cukup besar dalam curah hujan, yang cenderung bertambah sesuai dengan perbedaan dalam tingginya. Dengan demikian Medan mempunyai rata-rata 142 hari hu jan, dengan rata-rata kira-kira 2.000 mm per tahun, sementara Pematang Siantar, di pegunungan Simalungun, rata-rata 127 hari hujan tetapi hampir 3.000 mm hujan per tahun. Medan hanya mempunyai satu bulan dengan rata-rata kurang dari 100 mm hujan per bulan, sebaliknya Pe matang Siantar tidak memperlihatkan satu bulan pun dengan curah hujan rata-rata kurang dari 100 mm. Curah hujan tahunan berangsur bertambah mula-mula sesuai dengan tingginya, meskipun dalam jarak terdekat dari pantai curah hujan lebih tinggi daripada kira-kira 5 km ke pedalaman. Curah hujan paling tinggi nampak di lereng-lereng pegu nungan yang lebih rendah, sementara di dataran-dataran tinggi curah hujan itu berkurang. Bandar baru (864 meter) di lereng dataran tinggi mempunyai curah hujan 6.800 mm per tahun, sementara Berastagi, 10 km dari pinggiran luar dataran tinggi Karo, mempunyai curah hujan rata-rata hanya 1.900 mm. Menurut klasifikasi iklim oleh Koppen, daerah-daerah Sumatra T i mur dengan ketinggian antara permukaan laut dan 1.000 meter mempu nyai jenis iklim hutan tropik, atau Af, sebaliknya pegunungan dengan ketinggian di atas 1.000 meter mempunyai jenis iklim mesotermal yang lembab, atau Cf. Untuk suhu tahunan kurang dari 5°C, Koppen menggunakan huruf i. Huruf-huruf w atau s memperlihatkan musim kering, baik dalam ’’musim dingin’’ maupun dalam ’’musim panas” di kedua belahan bumi masing-masing. Dengan demikian, maka rumus iklim Koppen menjadi Afuri untuk daerah pantai Sumatra Timur sampai kedalaman kira-kira 60 km dengan Februari atau Maret sebagai bulan-bulan terkering. Dan Afsi untuk tanah-tanah rendah dengan Juni atau Juli sebagai bulan-bulan terkering. Daerah dengan ketinggian di atas 1.000 meter termasuk ke dalam golongan iklim Cfsi Koppen. Koppen tidak memasukkan ke dalam penelitiannya perbandingan antara penguapan dan curah hujan, sebagaimana dilakukan oleh Mohr.19) Mohr dalam penelitian tanahnya menggunakan suatu klasifika»
45
si iklim yang menganggap bahwa jumlah air hujan akan melebihi penguapan jika curah hujan bulanan berada di atas 500 mm. Bulan-bulan seperti itu dianggap bulan ’’basah”. Bulan-bulan dengan curah hujan lebih dari 350 mm tetapi kurang dari 500 mm dianggap ’’lembab” , se mentara Mohr menggolongkan bulan-bulan dengan curah hujan kurang dan 350 mm kering”. Menurut klasifikasi Mohr, Sumatra Timur mempunyai iklim tanpa bulan-bulan ’’kering”, bahkan bulan-bulan "lembab” adalah kekecualian. Cf Koppen adafa^^iPnf601^3^8 agronomis> Perbedaan antara A f dan buhan akan kurang ceoat m f i l t ( lUim; tumbuh-tumtanah pegunungan dan karpnn u mengoksidasi di tanahhumus lebih banyak di tanah pembentukan tanah yang tinggi dan suhu-suhu yang .^ombinasi curah hujan problema pelepasan zat War sePanjang tahun menimbulkan rus-menerus. Satu L b a J a? “ .air dan Pengikisan yang tebunan lumpur pada arnc-amo o • 1 Pengikisan ini adalah timmuaranya, hal mana menguranai8^ ya° g lebih lambat dan di muaraselat. Beting-beting (sandbank e/:epatan air mengalir ke dalam arus-arus air yang lambat dan m . ®ntuk a§ak lebih cepat dalam suki sungai-sungai. Keadaan
S r L n T ± r tUk itu- Ha> t o s2 hng“ huf n dan mereka b e r L g an khusus fltnmemaksa Pemerintah untot* dan erosi yang dengan pengairan dan 46
'’elas se-)ak awal abad
5 te£S»
Suatu cin iklim yang penting di Sumatra Timur adalah angin-angin sangat kencang yang bertiup dalam bulan-bulan Juli sampai Septem ber sepanjang lereng-lereng dan sepanjang lembah-lembah sungai turun dari ’’tumor Batak” melalui zona kaki pegunungan terus ke tanahtanah rendah. Angin-angin yang jatuh ini dinamakan Bohorok dan da pat disamakan dengan angin-angin Fohn di Austria, Jerman bagian selatan, dan Swis. Nama Bohorok diambil dari lembah sungai Bohorok, anak sungai Wampu, mengembus tajam sekali apabila turun dari pegunungan ke tanah-tanah rendah Langkat Angin-angin Bohorok ditakuti oleh para pengusaha onderneming karena akibat kegersangannya yang menghancurkan. Angin Bohorok ini menggantikan angin laut yang berembus ke pedalaman selama hari siang. Gejala yang sama adalah ’’Angin Sumatra” yang ditakuti para pelaut yang melayari Selat Malaka. Dalam bulan-bulan Juli, Agustus, dan September, adalah biasa selama saat-saat senja datang badai de^ ngan tiba-tiba dan sangat kuat, diikuti curahan hujan yang lebat Angin badai ini juga turun dari Bukit Barisan, melintasi dataran ren dah terus ke Selat Malaka. Di senjakala, orang dapat melihat menjelmanya awan-awan kumulus di atas pegunungan dan mendengar suara guruh menggelegar di kejauhan. Awan-awan dengan tiba-tiba mulai bergerak dengan kecepatan yang tinggi ke arah Selat Malaka dan Semenanjung Malaya. Bersamaan dengan itu, langit terbuka mendadak dan hujan tropik turun dengan lebat. Para pelaut yang melihat angin ini datang mendekat dari sebelah Sumatra menyebutnya ”Angin Sumatra” . Tumbuh-tumbuhan Data-data kita mengenai tumbuh-tumbuhan asli di Sumatra Timur amat sedikit dibanding dengan pengetahuan tentang tanahnya. Para perintis pengusaha onderneming tidak membuat pengamatan khusus, atau sama sekali tidak membuat pengamatan, tentang tumbuh-tum buhan yang sedang mereka rusakkan dengan tidak semena-mena. Tidaklah keliru mengatakan bahwa tumbuh-tumbuhan alam Sumatra Tim ur terdiri dari berbagai jenis hutan, meliputi hutan pasang surut sepanjang pantai melalui hutan rawa-rawa berair tawar, dan hutanhujan tropik yang selalu hijau sampai hutan-hutan pegunungan dan hutan kald-pegunungan di daerah-daerah pegunungan. Seratus tahun yang lalu, l a ^ antlta hutan rawa di pantai dan * tupi oleh hutan-hujan tropik zaman purba dan hutan belukar, dan
47
akan terdiri dari hutan-hujan zaman purba, jika saja para perintis onderneming itu tidak hanya memusatkan usaha mereka pada hutanhujan zaman purba tersebut sekian lamanya untuk mendapatkan hasil panenan tembakau yang baik. Di tempat-tempat di mana perairan pantai terlindung, dangkal dan Deriumpur, maka lingkungan itu ideal untuk pengembangan hutanHPaSt n uSUnit yang terdiri dari berbagai jenis pohon bakau beran beberapa induk rumpun dan tiga keluarga yang tidak se„ sePertl J'enis-jenis Avicennia, Rhizophma, Bruguiem, dan Son, P°hon-pohon bakau itu menggambarkan perubahlah nplnrf • alam lingkungan. Biasanya Avicennia alba Blume adatar a R h E Z u perairan yang menghadap laut terbuka, semensuneai wf ^ r(mata Lam terdapat sepanjang saluran-saluran Kurz Di no '*auh ke Pedalaman oleh Rhizophora conjugata fnit.j/'nriQ w „ raiuan paj!au di belakang daerah bakau terdapat Nipa ra Deneii^aVio” 1 ’ ®e j®nis Palem yang menjadi sangat penting bagi pakan dalam i P®rkebunan sebagai sumber bahan atop, yang diperluU" ' “ k
dan
bangsal-bangsal
ngan j ^ s ^ F ^ ? r o^3 payau digantikan oleh hutan-rawa air tawar dema suriculata Honk a 2 Sln1?awan3 Burck, terentang atau Campnosperjang hamparan oan’t e in Pf SagU WebnxgUm sagus Rottb.). Sepanhon-pohon bakau p 131 Pasir, seperti dekat Pantai Cermin, posetifolia Linn dan menyerah pada pohon-pohon seperti Casuarina equidan tumbuh-tumh„;,hniS Jenis Bar>inOtonui, kemudian pada Pandanus Pada lahan i y3ng menJalar lW™oea pes-capme Roth, mulanya terdanaf ! inggi di belakang hutan rawa air tawar pada yang lebih banyak daerah hutan-hujan tropik serba hijau pengusaha on d ern em fn iT 13118311 Penduduk Pribumi dan para an lainnya- ia telah rT danPada yang dialami zona tumbuh-tumbuhkeras seperti kelaD T.gantikan oleh hutan belukar, tanaman-tanaman buahan, lad an g-ladan /^1’ kelapa S3wit’ dan sisal>perkebunan buahdigunakan untuk npm, ya" g bersifat sementara maupun tetap, yang alang-alang yang terd ^ h * 3” tanaman tahunan, dan akhimya oleh rumput lainnya ln r* Imperata syndrica Beauv dan rumputhujan t r o p u T b o k ^ i J r 8?1 dari P °hon-P °h° n yang m em bentuk hutanluarga D ipterocarpJecJ J ^ 3! ? d3ri berbagai induk jenis dari ke' dan jenis Hopea Kelna™ ? umpamanya beberapa jenis Shmea hon lebah (Koampa^ie 6 diwakili oIeh GoaZan5> atau p°oleh para pengusaha n n T 3 )’ yang tidak diizinkan ditebang nyak sekali sarant* loh ! j meming dengan pertimbangan bahwa ba6iial1 Sarang lebah dimanfaatkan oleh penduduk setem pat
48
Selama tiga atau empat dasawarsa pertama industri tembakau itu berjalan, pembukaan lahan yang dicadangkan untuk penanaman tem bakau bungkus dengan cepat diambil-alih oleh alang-alang dan rumput-rumput tropik lainnya, sehingga padang-padang rumput bikinan manusia yang sangat luas menggantikan hutan-hujan itu, karena seringnya terjadi pembakaran-pembakaran rumput yang menghambat reboisasi alamiah.21) Selama para pengusaha onderneming itu percaya bahwa lahan mereka dapat menghasilkan panen tembakau ha nya satu kali saja, mereka tidak berbuat apa pun untuk mencegah penyebaran rumput-rumput itu. Akan tetapi, sekali mereka sadar bah wa mereka telah terlalu jauh bersikap pesimis dan bahwa tembakau dapat ditanami berulang kali, asalkan tanah kosong di bawah hutan pertumbuhan kedua atau hutan belukar digarap selama tidak kurang dari tujuh atau delapan tahun, maka mereka mengambil tindakan untuk mencegah pembakaran rumput dan mencegah membunuh pohon-pohon muda dengan jalan menanami suatu jalur pencegah kebakaran dengan kayu jati, atau Tectona grandis, sepanjang jalan-jalan umum.221 Mereka pun menggalakkan reboisasi alamiah dengan pohonpohon yang suka pada matahari dan pohon-pohon kecil seperti jenisjenis Marcaranga dan Trema, Melochia umbeUata Stapf, CaUicarpa tomentosa. Murr. , dan Abroma augusta L. Beberapa pengusaha ondememing juga membibitkan pohon-pohon plong yang cepat tumbuhnya seperti Albizzia falcata Backer, Cassia siamea Lam, atau pohon Johar, Pithecolobium saman Benth. atau pohon hujan, dan Leucena glauca Benth., atau pete cina. Beberapa perkebunan membibitkan pete cina ini di daerah-derah konsesi mereka sebagi pencegah kebakaran.23’ Tindakantindakan ini sangat berpengaruh untuk mengubah fisiogronomi perkebunan-perkebunan tembakau, karena hutan pertumbuhan ke dua (beluar) mematikan rumput-rumput dan menyebar dengan mantap serta menggantikan padang rumput yang luas itu. Di kebanyakan daerah di Sumatra Timur, perkebunan-perkebunan tersebar ke pedalaman sampai ketinggian 300 meter. Perkecualian adalah Simalungun; di sana perkebunan-perkebunan teh mencapai ketinggian 1.000 meter atau lebih dan telah menggantikan hutan di gunung-gunung dan di kaki-kaki gunung, yang pada mulanya menutupi lahan di atas 600 sampai 700 meter. Bagian-bagian yang luas dari hutan gunung dan hutan kaki-gunung di hulu Langkat, Doli, dan Ser dang ditetapkan sebagai cadangan-cadangan hutan dengan maksud untuk mencegah kehancuran oleh penggarapan yang silih berganti dan untuk melmdungi batas-batas air. Daerah hutan gunung di Langkat dan Deli berakhir pada ketinggian 1.400 meter, sama tingginya dengan bagian utara dataran tinggi Karo. Dataran tinggi ini, yang dibatasi di utara oleh pegunungan Wilhelmi49
na, hutannya ditebang menjadi desa terbuka yang ditutupi sebagian oleh padang rumput, sebagian oleh ladang-ladang pertanian tetap. Di dasar-dasar lembah sungai-sungai yang telah dengan dalam sekali memotong ke dalam debu dan tanah gembur vulkanik, orang dapat menemukan hamparan persawahan. Sementara di bagian-bagian yang lebih tinggi dari dataran itu, biasanya tidak cocok untuk digarap men jad i sawah karena lahan itu terlalu mudah tembus air. Di dataran tinggi Karo, hutan-hutan terbatas ke bagian-bagian lembah yang sering menyerupai jurang dan ke lereng gunung-gunung berapi, seperti Sinabung dan Pintau-Sibayak, yang menjulang tepat di atas permukaan dataran tinggi itu sampai ke tinggian 2.000 meter atau lebih. Dataran tinggi Karo terletak di luar daerah perkebunan Sumatra Timur. Para pengusaha onderneming pergi ke dataran tinggi itu ha nya untuk istirahat dan hiburan yang ditawarkan oleh iklimnya yang sejuk. Banyak perusahaan menyediakan bungalo-bungalo untuk pegawai-pegawainya di pusat bukit Berastagi. Suku Batak Karo telah mempelajari cara-cara memanfaatkan lahan mereka untuk penanaman kentang dan berbagai jenis sayuran, kembang-kembang, dan jeruk. Sebagai tempat penjualan, Medan dan tempat-tempat perkebunan-perkebunan menjadi pasar yang baik sekali bagi mereka.
50
Bab III Nienhuys Dan Para Perintis Onderneming Di antara penumpang kapal Josephine ketika ia membongkar sauh di kuala sungai Deli pada tanggal 6 Juli 1863 terdapat Jacobus Nienhys dan wakil-wakil perusahaan dagang J.F. van Leeuwen Co., para pemilik kapal itu. Peranan perusahaan tembakau Belanda dari Surabaya itu berakhir kira-kira tiga minggu kemudian dengan kembalinya ka pal Josephine ke Jawa, tetapi bagi Jacobus Nienhuys ini adalah suatu hari bersejarah, baik dalam hidupnya maupun dalam perkembangan Sumatra Timur. Di atas kapal itu terdapat juga pangeran Said Ab dullah Ibnu Umar Bilsagih, pangeran pengangkatan sendiri, yang menceritakan bahwa tembakau bermutu tinggi dapat ditanam di Me dan dengan jumlah besar. Cerita itu telah membawa pihak yang berminat ke sana. Bagi Nienhuys tibanya Pangeran Said Abdullah di Surabaya bebe rapa bulan sebelumnya betul-betul merupakan suatu hal yang sangat baik. Pada tanggal 27 September 1861 Nienhuys, seorang pengusaha onderneming Belanda yang masih muda, telah diberi kuasa oleh per usahaan dagang Pieter van den Arend & Consortium, sebuah asosiasi yang dibentuk kurang dari seminggu sebelumnya oleh empat peda gang Rotterdam yang berminat memperoleh perkebunan tembakau di Jawa. Perintah-perintah yang diberikan kepada Nienhuys adalah un tuk memilih sebuah perkebunan kecil seluas 75 sampai 150 hektar dalam suatu daerah yang mempunyai jalan masuk dengan mudah ke pelabuhan dan masih mempunyai daerah sisa bagi kemungkinan perluasan masa mendatang dan dengan penduduk yang mengerti penanaman tembakau11. Perkebunan seperti itu ternyata sangat sukar ditemukan, dan Nienhuys dalam tahun 1862 hanya mampu membeli tembakau sekedar lebih banyak bagi para majikannya. Pada tahun berikutnya, atas desakan Konsorsium itu, Nienhuys te lah menyewa perkebunan ’’Tempeh” dekat Lumajang di keresidenan Besuki di Jawa Timur. Tetapi setelah beberapa minggu, ia mengangkat seorang manajer untuk pprkebunan itu dan memutuskan untuk meneruskan kembali mencari lahan tembakau yang cocok2).Pada saat ini perusahaan dagang Surabaya, J.F. van Leeuwen & Co., sahabatsahabat dagang dari P. van den Arend, mengundang Nienhuys menemui pangeran Said Abdullah dengan maksud untuk mendengarkan ceritanya yang menyala-nyala bahwa D eli adalah suatu daerah peng51
a nntpnsial Jacobus Nienhuys sangat terkesan se-
S
w a S n y a pedagans-pedagang Surabaya itu.
huys memutuskanunt Mereka melakukantiga ?
f
han dalam perjalanan menuju Deli. a Residen E N e tscher di
l ang S 3 d £ Netscher p e m a t mengadakan p e ija la n a n -p e rja la n a n dalam bulan Agustus 1862 dan M aret 1863, i h S i g g a membuat dia salah seorang dari pejabat-pejabat yang ]um i!h n v ? sangat sedikit yang mempunyai pengetahuan sekedarnya ten t L g Sumatra Timur. Persinggahan yang kedua adalah di Singapura. Atas anjuran Residen Netscher rombongan itu membeli di Singapura harane dagangan seperti candu dan tekstil, selain itu m ereka ju g a mpmbeli persediaan secukupnya dollar pilaar, mata uang yang digukan di Sumatra Timur3'. Persinggahan terakhir ialah di P u lau Bengkalis Siak D i sana Nienhuys dan anggota-anggota rombongannya mengunju’ngi Asisten Residen Amoudt, seorang pejabat yang secara langsung bertanggung jaw ab atas pemerintah Deli, meskipun pada waktu itu kerajaan kecil Deli dinyatakan sebagai bagian dari H in dia Belanda hanya di atas kertas. Akan tetapi asisten Residen A m o u d t tidak dapat menambah apa pun kepada apa yang telah diuraikan oleh Netscher. Melihat kampung Labuan untuk pertama kali adalah suatu kejutan. Kampung itu terdiri dari dua jalan yang berliku-liku dengan rumahrumah centang-perenang yang sangat sederhana, dibuat dari bam bu dan bahan pohon nibung, atau bahan-bahan yang tersedia lainnya, semuanya sedemikian dekatnya satu sama lain sehingga satu rum ah sering menyentuh yang lainnya. Di sana-sini ada rumah-rumah de ngan dinding-dinding kayu, tetapi atap-atapnya tetap nipah. K e b a nyakan rumah-rumah itu berdiri di atas tiang-tiang kira-kira satu me ter di atas tanah dan mempunyai serambi beratap sepanjang bagian depan menghadap jalan. Serambi ini berfungsi sebagai tempat memamerkan barang dagangan untuk dijual atau sekedar untuk tempat duduk. Tetapi keadaan tak terurus dari kebanyakan rumah itu, timbunan-timbunan besar reruntuhan yang terdapat di mana-mana, kerusakan jalan-jalan yang semakin memburuk dan selokan-selokan yang semakin tumpat, tidak ayal lagi menimbulkan kesan kebobrokan dan keadaan tak terawat pada kota tersebut4'.
Ketika mencari ’’istana” Sultan Deli) Nienhuys dan rombongan menemukan sebuah rumah papan yang lebih besar di ujung jalan yang sejajar dengan sungai. Atapnya, seperti semua rumah di kota itu ada-
lah atap nipah tetapi mempunyai serambi di depan maupun d i’ belakang- Serambi depan, berukuran kira-kira 27 x 9 meter, memberikan 52
suatu ruang yang luas untuk pertemuan-pertemuan besar dan Netcher menulis bahwa ia pernah melihat ratusan orang berpakaian Aceh, bersenjatakan rencong dan pedang Aceh yang panjang, bergerak beramai-ramai di serambi sultan itu. Baik Residen Netscher maupun Nienhuys memperkirakan penduduk kampung itu sendiri jumlahnya kira-kira seribu jiwa, termasuk kira-kira 20 orang Cina dan seratus orang India (paling banyak berdarah campuran), dan penduduk asli Deli di daerah kekuasaan Sultan itu, dua ribu jiwa. Penghasilan Sultan diperkirakan hanya kira-kira 1.000 Straits dollar pertahun. Residen Netscher, yang paham dengan penelitian Anderson tahun 1823 tentang perkebunan lada di Deli, te lah mencatat sebelumnya dalam tahun 1863 kemunduran yang nyata dari industri lada itu dan telah memperoleh keterangan bahwa peperangan antardesa yang terus-menerus telah menghambat setiap upaya untuk mengganti tanaman-tanaman lada yang sudah tua dan yang se karang dalam keadaan kelelahan secara alam. Residen Netscher yakin bahwa kebangkitan kembali industri lada akan menegakkan kem bali hukum dan ketertiban di Sumatra Timur. Mengenai tembakau, Nienhuys dan rombongannya berpendapat bahwa angka produksi ta hunan 30.000 pikul milik pangeran Abdullah adalah angka yang dilebih-lebihkan. Abdullah sendiri mereka anggap sebagai orang yang meragukan dan pengaruhnya hanya kecil di Deli5). Setelah tiga minggu teman-teman seperjalanannya kembali ke Ja wa, Nienhuys tinggal di Labuan dan menyewa rumah beratap rumbia dari Sultan. Kegiatan pertama Nienhuys adalah memperoleh izin dari para majikannya untuk memindahkan kegiatan-kegiatannya dari Jawa ke Sumatra. Ia segera mengirim surat menguraikan pokok-pokok rencananya untuk menuntut izin mendapatkan hak tunggal membeli tem bakau Deli yang dihasilkan oleh penduduk setempat Juga untuk menanami suatu daerah penanaman percobaan seluas 75 hektar, dan untuk memperoleh wewenang membeli 300 hektar lainnya. Tetapi pertukaran surat-menyur&t antara Sumatra dan Negeri Belanda memakan waktu beberapa bulan dan Nienhuys masih menunggu jawaban ketika ia terpaksa menyatakan lagi, dalam sebuah surat tertanggal Singapura, 3 November 1863, bahwa ketika ia sementara bepergian rumahnya di Labuan telah dirampok oleh Abdullah. Orang ini langsung melakukan perampokan setelah kalah menjudikan persediaan barang-barang dagangan Nienhuys yang bem ilai kira-kira 1.000 Straits dollar6). Meskipun kehilangan itu merupakan pukulan, van den Arend dan kongsinya, dengan tekad yang mengagumkan, mufakat untuk menyetujui rencana Nienhuys. Mereka memberikan wewenang kepada Nienhuys untuk mengupah buruh-buruh Cina menanami tembakau di atas lahan 75 hektar itu dan memberikan uang muka kepada para 53
f
petani tembakau Batak Karo untuk merangsang peningkatan produksi mereka. Pengiriman tembakau dalam jumlah kecil yang pertama oleh Nien huys tiba di Rotterdam dalam bulan Maret 1864, dan van den Arend yang sangat terkesan dengan contoh yang dapat dihasilkan Deli ini, segera menulis kepada Nienhuys, menambah kredit baru sejumlah 5.000 pound dan menyarankan agar seluruh tenaganya dicurahkan un tuk pengembangan lebih lanjut proyek percontohan itu7). Tetapi ketegangan dalam hubungan antara Nienhuys dan kantomya di Negeri Belanda telah nampak dalam surat-surat timbal-balik yang berjalan dengan lambat. Nenhuys yang tidak mempedulikan sikap hati-hati van den Arend terhadap kekurangan sumber-sumber modal, terus mengirim laporan-laporan perdagangan garamnya dan rencana-rencananya untuk menanam kopi dan cokelat dalam usaha bersama dengan Sul tan Deli. Dari Rotterdam datang surat-surat dalam mana van den Arend terus mengingatkan bahwa keinginan Konsorsium itu hanyalah dalam perdagangan tembakau. Ketika panen tembakau tahun 1864 terbukti mengecewakan, Nienhuys dengan terang-terangan meminta sumbangan dana yang besar, atau suatu persetujuan untuk mengizinkannya mengambil alih perkebunan Deli dari para majikannya di Rot terdam. Konsorsium itu enggan menyediakan dana yang diminta dan pada waktu yang sama memberitahukan Nienhuys bahwa perusahaan dagang Prancis-Swiss Matthieu and Co. di Singapura telah diberikan wewenang untuk membayar 25 gulden per pikul untuk tembakau vane diserahkan di SingapuraB). Kredit dari Matthieu and Co. itu sangat menggairahkan tetapi baei Nienhuys masalah yang lebih mendesak adalah buruh Penanaman tembakau, terutama tembakau pembungkus cerutu, membutuhkan ns ling banyak tenaga kerja dan, sebagaimana para pengusaha n n rJ ™ ! mi„g lainnya di berbagai daerah tropik telah m e m a S m ^ a duk dari suatu daerah yang jarang penghuninya dan memounvai l » han yang sangat luas serta biasa berhuma atau pertanian \ pindah, tidak pernah mau bekerja secara teratur enam hari « " dari pagi sampai senja. Tidak ada orang Melayu dan iuga Karo yang bersedia bekerja untuk Nenhuys dengan cara 1 2 ? seperti itu. Jacobus Nienhuys telah mencoba membawa S u ? ^ rapa orang haji Jawa dari Penang untuk mengawasi L ™ tembakau suku Melayu dan Batak, tetapi hasil percohaan ? Penanam bal tembakau yang dikirim bulan Juli 1865, dan dari uU ya 50 sebagian yang dihasilkan di perkebunan Nienhuvs K ? hanya di Rotterdam dalam permulaan bulan Desember 1R^ !,man ltu tiba 048 gulden per setengah kg9’. Setelah itu Nienhim* • berharga % dan mengupah 120 buruh Cina y m J S S S i S a s ^ e S 54
tentang penanaman tembakau tetapi mereka adalah buruh yang mau bekeija. Pada akhir musim itu, ia dapat mengirim 189 bal tembakau sebagai hasil tahun 1865. Tembakau itu bermutu tinggi dan memperlihatkan perawatan yang cermat dan penanganan yang ahli. Harga yang diterima pada pelelangan untuk pengiriman itu berkisar dari 0,42 sampai 2,51 gulden per setengah kg (rata-rata 1,485 kg), suatu harga yang menggairahkan tetapi masih terlalu sedikit untuk sekali pengapalan10). Gagasan untuk mengontrak buruh-buruh Cina itu dan membayar mereka atas dasar jumlah dan mutu tembakau yang dihasilkan oleh setiap buruh, timbul untuk pertama kali dari Nienhuys pada tahun 1866. Sistem inilah, sebagaimana dimodifikasikan untuk memenuhi keadaan-keadaan yang berubah, berlaku sampai sekarang ini. Prinsipnya adalah sederhana, buruh tani dalam industri tembakau itu menerima uang muka selama tahun yang sedang beijalan dan perhitungannya diselesaikan sesudah tembakau hasil tanamannya diserahkan ke bangsal-bangsal pengeringan milik perusahaan tembakau itu. Tetapi pemecahan problem buruh Nienhuys datang terlalu lambat Pada waktu itu operasi-operasinya telah membawa kerugian, baik di Jawa maupun Sumatra. Masih belum yakin bahwa penanaman temba kau di Deli mempunyai hari depan, Nienhuys terus menyarankan penanaman-penanaman modal dalam kopi, pala, dan kelapa, sampai menimbulkan kejengkelan van den Arend dan rekan-rekannya. Akhirnya dalam sepucuk suratnya tertanggal 15 November 1866, Nienhuys meminta supaya ia dibebaskan dari kedudukannya, dan sepucuk su rat tertanggal 20 Januari 1867 dari Rotterdam, memerintahkan Nien huys supaya penyerahkan pengurusan perusahaan kepada W.P.H. de Munnick11'. Jacobus Nienhuys tiba di Negeri Belanda dalam keadaan fisik yang agak menderita dalam bulan Agustus 1867.
Para perintis Deli yang lain Sebagaimana kontrak tanah yang pertama dengan penguasa Deli, yang telah diberikan kepada Nienhuys secara pribadi, yakni sebuah kontrak 99 tahun dengan syarat-syarat yang paling ringan, administratur de Munnick merundingkan suatu kontrak baru untuk penyewaan 2.000 bau tanah yang belum pernah dijamah untuk masa 99 tahun, tanpa uang sewa tetapi dengan syarat bahwa semua produk yang di hasilkan di atas tanah itu tunduk kepada bea ekspor yang biasa. (Nienhuys telah berhasil membujuk Sultan untuk mengurangi bea ekspor yang semula dua Straits dollar menjadi setengah Straits dollar per pikul. Penandatanganan kontrak itu berlangsung pada tanggal 8 A p ril 1867 dengan de Munnick mewakili Pieter van den Arend & Co. 55
dan van Cats Baron de Raet, yang telah diangkat pada bulan Juni 1864 sebagai kepala kantor distrik pertama di Labuan Deli, mewakili pemerintah kolonial Belanda.12’ Selama tahun 1865 dan 1866 - tanggal-tanggal yang tepat tidak ada dua orang Swiss, Mots dan Breker, dan seorang pengusaha onderne ming Jerman, B. von Mach, telah tiba di Deli, diikuti oleh lima pengu saha onderneming lainnya beberapa saat kemudian. Semua perintis pengusaha onderneming ini menaruh perhatian kepada tembakau, pala, dan kelapa, tetapi mencoba juga dengan kopi dan bahkan memikirkan juga penanaman tebu dan nila. Perkebunan-perkebunan pala dan kelapa, yang dikerjakan oleh pengusaha-pengusaha onderneming Eropa, telah disewa dari rakyat setempat, yang beberapa tahun sebelumnya telah mulai menggarap tanaman komersial yang terdiri dari pohon-pohon pala dan kelapa itu.13’ Pentingnya produksi pertanian bagi perdagangan Deli segera tampak setelah kukuhnya kekuasaan Belanda. Hal ini diungkapkan da lam data-data statistik yang diperoleh pejabat distrik pertama untuk D eli dari seorang Indonesia yang bertugas mengutip bea ekspor di Labuan. Van Cats Baron de Raet menerangkan bahwa angka itu jelas terlalu rendah, karena bandar itu untuk maksud-maksud tertentu berkepentingan merendahkan laporan angka ekspor (lihat halaman 56) Laporan pejabat distrik pertama itu juga berkaitan dengan tiga orang pengusaha onderneming yang telah bermukim menjelang tahun 1867 di selatan Labuan, yang seorang menanam tembakau dan kelapa; seorang lagi telah menyewa sebidang kebun pala dengan 2.000 pohon yang sudah menghasilkan, dan telah menanam lagi 20.000 pohon kela pa, dan sudah siap untuk menanam 10.000 pohon pala lagi yang pada saat laporan itu ditulis, berada dalam pembibitan; orang yang ketiga, juga telah menyewa sebidang kebun pala yang tak terurus dan sudah siap ditanami 20.000 pohon lagi.14’ Saling berdampingan dengan para pengusaha onderneming orang Eropa, barangkali diilhami oleh kegiatan mereka, kaum aristokrat se tempat juga sibuk menanami lahan-lahan mereka dengan tanaman tanaman ekspor. Raja Jin Abidin telah memperkerjakan sejumlah budak yang dibebaskan untuk menanam 3.000 pohon kelapa, menurut laporan van Cats Baron de Raet 1866, dan berencana untuk menambahnya dengan 10.000 pohon lagi. Pada waktu yang hampir bersamaan, Raja Musa menanam 3.500 pohon kelapa, 6.000 pokok kopi, 1.400 pohon pala.15’ Konsorsium pun tidak ketinggalan. Pengganti Nienhuys, de Munnick yang mengirim hanya 210 bal tembakau dalam ta hun 1867 - sekali lagi suatu tahun yang mengecewakan bagi Konsorsium itu - dalam tahun 1869 membuka sebuah onderneming baru di distrik Sunggal, tepat di sebelah barat onderneming pertama yang 56
dibuka oleh Nienhuys; dan dalam bulan Novem ber tahun itu 200 bu ruh sedang sibuk bek eija membuka hutan dalam persiapan untuk penanaman tembakau. Dalam bulan Maret 1870 sejumlah 120.000 bibit pohon tembakau telah dipindahkan dari tempat-tempat pembibitan ke ladang-ladang; dalam bulan Juni kira-kira 2.000.000 pohon sudah berada di ladang-ladang; dua ratus pikul tembakau sudah dibuntel, dan sebelas bangsal pengeringan tembakau sudah penuh dengan tembakau.16' Konsorsium itu mempunyai 5.000 bau (3.500 hektar) lahan tembakau dalam tahun 1871, 30.000 pohon pala dan 16.000 pohon kelapa, meskipun ada keengganan menanam modal dalam bidang apa pun kecuali dalam bidang tembakau. Namun, sampai pada saat itu, belum ada seorang pun di Deli yang dapat membayangkan hari depan dalam jangka panjang industri tembakau di Sumatra Timur.17' TABEL 2 EKSPOR K E S U L T A N A N DELI, 1863 SAM PAI 1867 Komoditi (dalam pikul) Lada Hitam Tembakau Pala Buah Pinang
1863
1864
1865
1866
1867
17.600 373 620 “
38.860 507 9.100 -
19.200 801 4260 120
5.000 1.200 3.855 400
3.400 1.300 9.980 345
Sumber: J.A.M. van Cats Baron de Raet, ’’Vergelijking van den vroegeren toestand van Deli, Serdang en Langkat met den tegenwoordigen”, Tijdschrijt voor Indische Taal-, Land- en Volken kurtde, 23 (1876), him. 34.
Pendirian Deli MaatschappU Alasan utama kembalinya Nienhuys ke N egeri Belanda adalah untuk mencari dukungan keuangan bagi usahanya di Sumatra Timur. Segera setelah ia tiba di Amsterdam ia berhasil memperoleh dukungan yang diperlukan dari G.C. Clemen, seorang pedagang tembakau Amsterdam dan P.W. Janssen, seorang pedagang di kota yang sama. Janssen, Cle men, dan Nienhuys menjadi kompanyon dengan saham-saham yang sama dalam suatu perusahaan bermodal $ 10.000. Pada akhir bulan D e se m ber 1867 Nienhuys sudah kem bali ke Sumatra Timur, di sana ia memperoleh konsesi 99 tahun atas sebidang tanah antara sungai-su ngai Deli dan Percut Panennya yang pertama tahun 1868, biaya produksinya 30.000 gulden dan menghasilkan 67.000 gulden pada pelelangan. Tahun berikutnya bahkan membawa keuntungan yang lebih besar, masing-masing beijumlah 36.400 gulden dan 87.200 gulden. 181 Pengalamannya terdahulu betul-betul bermanfaat sekali baginya. Ter-
kesan atas keberhasilan yang nyata oleh perkongsian Janssen-Clemen-Nienhuys, Nederlansche Handel Maatschappij (NHM) Perusaha an Dagang Belanda, bersedia mendirikan sebuah perseroan terbatas (N.V. = naamloze vennootschap) di Deli bersama-sama dengan trio itu, dalam mana NH M memegang 50% dari seluruh saham. Deli Maat schappij (Maskapai D eli) adalah perusahaan pertama yang seperti itu didirikan di Sumatra Timur atau sebenarnya di seluruh Hindia Be landa selama ini. Sampai tahun 1869 perusahaan-perusahaan dikembangkan oleh para pedagang dan para pemilik onderneming yang be kerja sendiri atau secara kompanyon. Surat-surat penting yang diperlukan Maskapai Deli ditandatangani tanggal 28 Oktober 1869 dan menerima persetujuan kerajaan tanggal 16 Desember 1869.19) Janssen, Clemen, dan Nienhuys membawa asset yang berikut ke dalam Maskapai D eli yang baru didirikan itu: (1) Perkebunan Carlsruhe, dengan gedung-gedung dan tempat penyulingan minyak untuk menghasilkan minyak pala. (2) Kontrak sewa atas kebun pala milik Raja Abidin, yang mempu nyai 3.600 pohon yang menghasilkan dan memberikan keuntungan 2.500 Straits dollar atas sewa 600 Straits dollar per tahun. (3) Perkebunan pala Vesuvius, dengan 9.000 pohon yang belum menghasilkan. (4) Perkebunan pala Catsburg, dengan 4.000 pohon yang belum menghasilkan. (5) Perkebunan kelapa Hospitality, dengan 20.000 pohon yang belum menghasilkan. (6) Konsesi tanah bebas-sewa 99 tahun dari B. von Mach, sejak ta hun 1867 menjadi kompanyon dagang Nienhuys, yang telah ditanami pohon pala dan kelapa. (7) Konsesi tanah J. Nienhuys di Rengas Kupang, juga bebas sewa selama 99 tahun.20’ Maskapai Deli, berjalan sesuai dengan rencana-rencana yang dibuat Nienhuys, memusatkan kegiatannya pada produksi tembakau te tapi juga meneruskan perhatiannya pada pala dan kelapa. Akan teta pi, pasaran-pasaran yang merosot memaksa mereka meninggalkan penanaman kelapa dalam tahun 1876. Pada tahun berikutnya ternyata industri pala Sumatra Timur juga mengikuti nasib yang sama, sehing ga dalam tahun 1882 Maskapai itu juga menghapuskan seluruh penanaman modalnya dalam pala. Sekalipun Maskapai Deli selamanya mengutamakan perhatiannya pada tembakau dan bahkan sepanjang sejarahnya ia merupakan penghasil tembakau gulung terkenal di Su matra Timur, ia tetap juga menjalankan penganekaan tanaman, dan
memasuki bidang-bidang pertanian tropik lainnya sebaiknya kesempatan terbuka dan menghapuskan jenis-jenis tanaman yang terbukti tidak menguntungkan. Antara tahun 1880 dan 1891 Maskapai itu mem buat percobaan dengan kopi, antara 1879 dan 1884 dengan cokelat, antara 1879 dan 1886 dengan rami. 21) Dalam tahun 1901 Maskapai D eli mengalihkan perhatiannya kepada karet dan dalam tahun 1955 mempunyai kira-kira 20.000 hektar perkebunan karet dalam keadaan menghasilkan. Perusahaan itu memperoleh nama baik yang sangat tinggi di kalangan pengusaha onderneming dan sebenarnya menjadi kekuatan yang nyata di Sumatra Timur karena kekuasaan ondememing-onderneming mereka tersebar ke seluruh Deli, Serdang dan Langkat. Pada waktu didirikan, perusahaan itu mengusahakan lahan seluas 7.000 hektar; dalam tahun 1941 diperluas sampai tidak kurang dari 180.000 hektar. Dalam banyak kejadian, asal-usul permohonan untuk konsesikonsesi tanah dibuat oleh para pengusaha onderneming secara perorangan atau oleh perusahaan-perusahaan yang kemudian menjual tanah-tanah milik mereka kepada Maskapai Deli. Selama masa-masa depresi, perusahaan itu mengambil alih banyak perkebunan yang pa ra pemiliknya mengalami kesulitan keuangan. Untuk alasan-alasan yang tidak disebutkan, Nienhuys pulang kem bali ke N egeri Belanda sebelum waktunya dalam tahun 1871, tetapi tetap berhubungan erat dengan Maskapai Deli sampai tahun 1927. Ia bekerja di kantor pusat dari tahun 1880 sampai 1927. Desas-desus mengatakan bahwa pulangnya Nienhuys secara tiba-tiba itu ada kaitannya dengan menghilangnya pangeran Said Abdullah Ibnu Bilsagih secara aneh. Penggantinya adalah J.T. Cremer, yang menjabat sebagai administratur di Sumatra Timur, atau manajer Maskapai Deli sejak tahun 1871 sampai 1873 dan sebagai Menteri Jajahan di N egeri Belan da dari tahun 1888 sampai 1923. Cremer, yang membangun terus di atas landasan yang telah diletakkan oleh Nienhuys, mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan Sumatra Timur. Ia adalah seorang tokoh terkemuka di kalangan pengusaha onderneming. Cremerlah, umpamanya yang memrakarsai Persatuan Pengusaha Perke bunan Deli (Deli Planters Vereeniging), yang didirikan tanggal 23 April 1879 untuk mewakili pengusaha-pengusaha tembakau Sumatra Timur dalam hubungan-hubungan mereka baik dengan penguasa-penguasa swatantra (yang disebut zeljbestuurders) maupun dengan pemerintah Hindia Belanda. Urusan utama Persatuan itu adalah masalah-masalah agraria, peraturan-peraturan perburuhan dan pengimporan buruh - pertama dari Malaya, kemudian dari Cina, dan akhirnya dari Jawa. Dalam semua urusan lainnya, setiap perusahaan yang diwakili dalam Persatuan itu bertindak secara bebas dan bersaing. 59
Maskapai Senembah D ari banyak maskapai perkebunan yang beroperasi di Sumatra T i mur, ada beberapa di antaranya yang layak mendapat catatan khusus karena sumbangan mereka yang unik kepada pengembangan bidang sosial yang telah memperbaiki hubungan antara para pengusaha on derneming dan buruh-buruh mereka atau syarat-syarat di bawah mana buruh-buruh itu bekerja. Barangkali yang paling penting adalah Maska pai Senembah, yang beroperasi di negara Serdang berbatasan d e ngan Deli. Pendahulu perusahaan ini adalah perusahaan perkongsian yang didirikan oleh C. Grob, seorang Swiss, dan H. Naeher, seorang dari Bavaria, yang datang ke Sumatra Timur tahun 1870 dan dipekerjakan mula-mula oleh Albert Breker, seorang Swiss lainnya, pendiri onderneming Helvetia di utara Medan. Onderneming itu mengkhususkan diri dalam penanaman pala dan tembakau. Dalam tahun 1871 Grob dan Naeher memohon konsensi lahan yang pertama seluas 5.300 hektar di tepi-tepi sungai Blumei dekat Tanjung Morawa di kerajaan Serdang. Selama 18 tahun berikutnya maskapai itu meluaskan daerah konsensinya sehingga ia menguasai lembah Blumei di kedua sisi su ngai mulai dari dekat pantai sampai ke pegunungan. Dekat kuala sungai Serdang, melalui mana seluruh air dari Blumei mencapai laut, terletak Rantau Panjang, sebuah pelabuhan kecil yang melayani kera jaan kecil Serdang sebagaimana Labuan melayani Deli. Selama kirakira 20 tahun onderneming-ondememing Grob dan Naeher mengirim produk-produk mereka dalam sampan-sampan menghilir dan mem per oleh semua persediaan-persediaan mereka melalui Rantau Panjang. Koloni Swiss-Jerman di Tanjung Morawa dihuni oleh masyarakat swadaya yang pada hari-hari awalnya hanya sedikit mempunyai urusan dengan D eli ketika belum ada hubungan melalui darat. Yakin akan pentingnya suatu staf yang berpendidikan baik, Grob dan N aeh er mempekerjakan pegawai-pegawai yang telah menerima latihan akademis dan praktek yang baik dalam pertanian di Eropa. Ini m em beri kan pengusaha-pengusaha onderneming Tanjung Morawa suatu nama baik untuk kepemimpinannya yang ilmiah itu. Ada juga penekanan perhatian terhadap pengobatan, dengan hasil bahwa dokter-dokter dari rumah sakit Tanjung Morawa telah mendapat penghargaan untuk hasil-hasil penelitian mereka dalam ilmu pengobatan tropik. Tanah onderneming-ondememing Grob dan Naeher di Serdang terbukti agak rendah mutunya dibanding dengan tanah-tanah D eli dan menghasilkan daun tembakau lebar, tebal, dan berwarna hitam. Akan tetapi, daun tebal ini bukanlah merupakan suatu kekurangan yang gawat selama industri cerutu mau membeli daun-daun tebal, karena daun-daun tebal ini membayar bea hanya $ 0.35 berbanding $ 0.75 p er pon untuk daun-daun tipis. Tetapi kesukaan para konsumen yang se60
makin bertambah kepada tembakau pembungkus berwarna muda yang timbul bersamaan dengan penghapusan tarif bea rendah atas daun tembakau tebal di Amerika Serikat, telah mengurangi keuntungan-keuntungan perusahaan Grob dan Naeher. Perkembangan ini ditambah kesehatan Grob yang semakin memburuk mendorong para pengusaha itu untuk mencari seseorang yang ingin membeli tanahtanah m ilik mereka. Atas anjuran para direktur Maskapai Deli, yang sejak tahun 1875 telah memasarkan tembakau hasil perkebunan Grob dan Naeher, perusahaan itu dialihkan menjadi perusahaan terbatas. Anggaran Dasar Maskapai Senembah memperoleh persetujuan kerajaan pada 30 September 1889. Dari tahun 1889 sampai 1927, Dr. C.W. Janssen, putra P.W. Janssen, rekan pendiri Maskapai Deli, memimpin Maskapai Senembah. Berkat bakat dan sifat amalnya yang nyata kepada sesama manusia, di bawah pimpinannya maskapai itu berulang kali membuat perbaikanperbaikan di bidang kepegawaian dan kesejahteraan buruh. Dalam tahun 1896 perusahaan itu melakukan sistem pensiun untuk staf Eropanya. C.W. Janssen mempunyai perhatian khusus dalam pendidikan anak-anak Jawa yang hidup di perkebunan-perkebunan Maskapai Se nembah. Ia menolak program pendidikan dasar pemerintah yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Sebaliknya rencananya ditujukan untuk mempekerjakan guru-guru Jawa yang memberikan pelajaran dalam bahasa Jawa di waktu pagi dan mengawasi pekerjaan praktek ringan di waktu sore. Setiap anak menerima sarapan pagi di sekolah dan setiap anak lelaki ditugaskan untuk sua tu tanah kebun kecil untuk menanam dan memeliharanya. Kebanyakan anak-anak lelaki dan perempuan yang lulus dari sekolah-sekolah ini dipekerjakan di perkebunan-perkebunan itu. C.W. Janssen juga berpendapat bahwa perusahaan itu harus membangun perumahan untuk buruh-buruh yang lebih tua asal Jawa dengan cara berangsurangsur mengganti bedeng-bedeng tradisional buruh-buruh itu dengan rumah-rumah khusus untuk satu keluarga masing-masing dengan luas tanah berukuran 700 m persegi yang sebagian ditanami dengan pohon buah-buahan. Rumah-rumah itu dibangun secara kelompok sehingga menciptakan suatu suasana desa Jawa. Tidak lama kemudian para manajer melihat bahwa di kalangan buruh yang masing-masing tinggal di rumah-rumah khusus untuk satu keluarga, pergantian tenaga kerja lebih rendah daripada di kalangan mereka yang tinggal di barak-barak tradisional itu. Maskapai Senembah meneruskan tradisi pemeliharaan kesehatan yang baik yang didirikan oleh pendahulu-pendahulunya dan bahkan meningkatkannya untuk mencegah wabah kolera, tipus, disentri dan malaria yang telah banyak memakan korban jiw a manusia di tengah61
tengah para buruh itu. Dr. W.Schuffner, yang bertugas di Tanjung M oraw a untuk m eneliti hubungan antara tingkat kematian yang tinggi dan lingkungan hidup setempat setelah bekerja keras selama bebera pa tahun, secara meyakinkan berhasil mengurangi tingkat kematian dan m em peroleh nama harum di kalangan kesehatan sebagai seorang perintis ahli dalam ilmu pengobatan tropik. Perhatiannya yang besar dalam upaya pencegahan itu juga nampak dalam anjurannya supaya buruh-buruh yang bekerja di lapangan dibekali dengan air teh untuk mencegah mereka meminum air kotor, penyebab utama disentri. De ngan rasa sangat puas Janssen mencatat bahwa Maskapai Senembah telah berhasil dalam menurunkan tingkat kematian di tengah-tengah para buruhnya sampai ke tingkat yang bahkan berada di bawah keadaan yang dianggap normal oleh Eropa.22’ Beberapa pembaruan yang dijalankan oleh Maskapai Senembah telah diikuti oleh perusahaanperusahaan lainnya di Sumatra Timur. Tahun-tahun Percobaan dan Kesalahan Pengusaha-pengusaha onderneming di masa-masa permulaan berpegang kepada anggapan yang kuat bahwa tanah-tanah hutan di Suma tra Timur, sekali dibuka, hanya baik untuk satu kali panen tembakau, setidak-tidaknya bagi tembakau gulung yang banyak disukai orang yang membuat Sumatra Tim ur dengan cepat menjadi terkenal. Sepan jan g pandangan seperti ini berlaku, para pengusaha onderneming merasa terpaksa membuat percobaan dengan panen-panen baru di atas bekas lahan-lahan tembakau itu dan terus mencari konsensi-konsensi tanah baru untuk mempertahankan masa depan mereka dalam indus tri tembakau yang sangat menguntungkan itu. Pada saat perusahaanperusahaan tembakau yang lebih tua itu bersaing keras dengan pendatang-pendatang baru yang ingin sekali mendapatkan lahan, maka pemburuan konsesi-konsesi pertanian dengan cepat meluas sampai ke luar perbatasan D eli melalui Langkat sampai ke perbatasan Aceh d i utara dan melalui Serdang sampai sejauh Asahan di selatan. Pada akhir tahun 1880-an dan awal tahun 1890-an, dua kemajuan penting terjadi. Yang pertama, berkaitan dengan panen tembakau. es pun sudah merupakan kebiasaan orang Batak untuk mem etik anya dua daun matang d ari satu batang tembakau pada satu waktu, eperti diuraikan oleh A n derson , para pengusaha ondernem ing Eropa m em etik semua daun sekaligus. Ini berarti bahwa daun-daun yang Clipetik itu berada pada berbagai tahap proses pematangan. Hanya sesudah para pengusaha onderneming Eropa itu mengalami kerugian dengan penggunaan metode ini, barulah mereka mengikuti prinsip panen secara berangsur, memetik daun-daun itu bertahap dari bawah ke atas dan akhim ya mencabut dan membakar batang tanaman tem62
bakau yang sudah gundul itu. Daun-daun yang b^rumur dan berkedudukan sama pada sebatang tanaman (yakni daun-daun tanah, daundaun kaki, daun-daun tengah dan daun-daun puncak) sekarang dipetik dalam satu waktu sendiri-sendiri dan disimpan bersama-sama da lam proses pengeringan dan peragian. Panen secara bertahap ini le bih banyak membutuhkan tenaga kerja tetapi meningkatkan mutu produk-akhir. Penem uan baru kedua yang bahkan lebih penting dari yang pertama adalah m em baliknya pikiran yang selama ini menguasai para pengusaha on dern em ing itu. M ereka sebelumnya selalu menduga bahwa tanah-tanah Sumatra Timur dapat menghasilkan hanya satu kali panen tembakau gulung yang baik. Tetapi percobaan-percobaan sekarang membuktikan bahwa lahan yang telah dibiarkan kosong se lam a waktu delapan sampai sepuluh tahun atau bahkan lebih lama, ternvata mampu menghasilkan mutu tembakau gulung pilihan berwarna muda Penemuan ini memantapkan industri tembakau, menghilangkan semua keraguan terhadap hari depannya Sebagaimana percobaan-percobaan selanjutnya membuktikan tanah kosong yang ditumbuhi rumput dan alang-alang adalah pasti lebih rendah mutunya daripada tanah-kosong hutan, maka pemusnahan rumput-rumput dan reboisasi alamiah atau buatan yang cepat dengan pembibitan i. I h n r , vane ceoat tumbuh, menjadi praktek standar pada onderneming-onderneming tembakau. Harga-harga lahan membubung M a a n gulden dikeluarkan untuk pembuatan tanggul-tanggul sunfai terusan-terusan penyalur air, dan sungai-sungai dialihkan Sesungai, npnMlihan air sungai, alur-alur sungai diperpendek
S n aSnl S e " S f U be.okan-belokaa Terasante r u S n penyalur air telah dilenikapi dengan pmtu-pmtu banjir otolerusdii p --m -.nukinkan pembuangan air tawar pada pasang surut kekh“ ‘“ «—
<—
" « " a it ^
^ 7 a lamoau perusahaan-perusahaan enggan menanam modal dadi m ,garana yang bersifat permanen. Mereka mulai membaSarmah-rumah yang lebih baik untuk staf dan secara besar-besarngUrnemperbaiki bangunan-bangunan untuk pengsortiran dan peragi311 dengan membuat gudang-gudang berkerangka besi dan atap-atap ° eelombang; mereka membangun jalan-jalan aspal tetap dan jemhatfn-iembatan besi untuk mengganti jembatan-jembatan kayu seD aw
j
,.(1 s a n lu a i 25 t a h u n y a n g p e r t a n ia , s e g a l a
s e s u a tu
m0 « herkaitan dengan industri tembakau bersifat spekulatif dan se mentara tetapi inHberubah sama sekali pada saat para p en ^sah a S S k a u tahu bahwa hari depannya sudah tenamin selama daerah lahannya cukup luas untuk memungkinkan masa pengosongan dela pan sampai sepuluh tahun. 63
Pada akhir masa kepeloporan itu, para pengusaha onderneming te lah memecahkan masalah-masalah teknis utama, kecuali masalah agraria yang menyangkut pembagian tanah secara adil dengan pendu duk setem pat Masalah ini kemudian memuncak di tahun-tahun mendatang sejalan dengan pertambahan penduduk.
64
Bab IV Pertumbuhan Sumatra Timur: Pengusaha Onderneming Dan Petani, Kependudukan Dan Perhubungan Sebagaimana telah disebut pada uraian terdahulu, para pengusaha onderneming yang pertama percaya bahwa tanah-tanah Sumatra T i mur hanya mampu menghasilkan panen tembakau satu saja. Pada akhir tahun 1884, onderneming-onderneming Rotterdam A dan B, umpamanya, antara Binjai dan Medan (yang secara kebetulan, masih beroperasi selama kunjungan saya yang terakhir dalam tahun 1967) telah ditawarkan untuk dijual kepada beberapa perusahaan dengan harga yang sangat rendah 100.000 gulden, tetapi tak seorang pun yang mau membeli lahan yang sudah pemah digunakan untuk produksi tembakau dan yang pada waktu itu seluruhnya ditumbuhi alang-alang dan rumput-rumput lain. Pada akhir tahun 1880-an dan awal tahun 1890-an, sebagaimana kita lihat, kekeliruan pendapat yang terdahulu ini terungkap. Percobaanpercobaan memperlihatkan bahwa tembakau gulung dengan mutu yang baik dapat dihasilkan di atas lahan kosong yang pemah ditum buhi alang-alang dan rumput-rumput lainnya, meskipun warnanya aeak lebih muda daripada tembakau yang berasal tanah hutan. Tetapi panen yang lebih baik dari tembakau bermutu tinggi masih dapat di hasilkan di atas lahan yang sudah dibiarkan kosong di bawah semaksemak - atau hutan belukar selama suatu masa tidak kurang dari tuiuh atau delapan tahun. Bahkan dalam keadaan-keadaan tertentu masa-masa kosong lebih lama sampai 12 tahun atau lebih, akan lebih disukai Tetapi dalam hal ini yang menjadi pertimbangan adalah terutama masalah luas tanah perkebunan bersangkuten Akibat penemuan ini, masalah keperluan tanah tidak perlu lagi Akib p o le h ^ mneironni-niaskapai semula dirisaukan a s k a p ^ ^ ^ s k a p ^ yyang sejak hutan ^ terus mengaju^ kan permo k^mbali ke tanah-tanah konsesi mereka yang terrang mereka p sudah dibersihkan seluruhnya dari hutan dahulu yang s_eJa _ sebelumnya mempakan modal yang ZamaL k a n bagi perusahaan tembakau dengan tiba-tiba menjadi momeragukan bag P perhatian mereka yang besar sekarang terdal yanS besa _ _ nanaman modal yang besar untuk pembuatan jalancermm dalam ^ cuaca ^nggui.tanggul, terusan-temsan salurjalan yang bangunan permanen, dan perbaikan-perbaikan lainnya3 S e k a S perlu menyusun pola pergiliran ladang secara sistema65
tis dan meneliti tanah-tanah perkebunan secara sangat terperinci agar dapat menemukan tanah-tanah mana yang dapat menghasilkan tembakau yang bermutu paling baik Para pengusaha ondernem ing muiai memberikan perhatian khusus kepada upaya menghilangkan rumput alang-alang. Pada permulaan tahun 1890-an padang-padang rumput buatan manusia menutupi hampir seluruh Deli dan sebagian besar Langkat dan Serdang.11 Cara tercepat untuk menghilangkan alang-alang adalah dengan mencegah berulangnya pembakaran rumput-rumput selama musim kering. Ini memungkinkan semak-semak dan pohon-pohon muncul melalui rumput-rumput itu dan akhirnya menaungi mereka. Reboisasi lahan-lahan tembakau yang lama kemu dian segera akan mengubah seluruh pola tanah pertanian Sumatra Timur yang terlibat dalam penanaman tembakau itu. Dengan pengecualian onderneming-onderneming pantai, seperti Saentis dekat kampung Percut lama, kita menemukan tata-letak per kebunan-perkebunan tembakau yang berikut Konsesi, atau konsesikonsesi, di bawah kepengurusan administratur yang bersangkutan, terletak antara dua sungai besar dan biasanya membentuk satu unit yang panjang dan sempit. Sebuah jalan yang tahan terhadap segala cuaca membentang sepanjang perkebunan itu, mengarah utaraselatan, dan menghubungkannya dengan onderneming-onderneming yang berdekatan ke utara dan ke selatan, terutama jika onderneming onderneming ini milik satu perusahaan yang s a m A i . o I ? ling sedikit satu jembatan menyeberangi masins masin? P&" membentuk perbatasan timur dan barat Seluruh n ! v I yang lagi oleh jalan-jalan kebun (pInntweg^n) dibagi dan membentang di sudut kanan ke W a f ^ m a ' S T ‘ ini tidak terbuka secara tetap melainkan iintnt o u ■|a kebun tup pepohonan. Pada masing-masing jalan kebun t a,fian waktu tertudi kedua belah sisinya. gJ kebun terdaPat jalur lahan P e n g a la m a n mengajarkan kepada m askanai bahwa seorang administratur dengan bantuan emnat o fP31 tembakau asisten secara efektif dan efisien dapat mengums enam orang kira 400 petak tembakau. Ini berarti bahwa dalam ,P®nanaman kiralapan tahun, administratur itu memerlukan 3.200 petak de' luasnya masing-masing satu bau, atau 0,7 hektar S t ^ yan g itu memungkinkan penanaman 16.000 batang tprrVhv Petak sePerti kepada pola pergiliran petak, setiap jalan kebun h Tergantung masa tiga atau empat tahun. Jalan-jalan ini m e m u n p ^ selama tiga atau empat petak yang telah ditanami tahun dpm t " mencaPai turut. Jika pimpinan perusahaan memutuskan untniT berturutpetak per jalan kebun, tentu saja jarak j a l a n - j a l a n k S S T ? Uga dek daripada dengan empat petak per jalan kebun pen'
66
Peta V II melukiskan rencana penanaman dengan sistem pembagian tiga dan empat petak. Dalam ”A ” setiap jalan kebun berfungsi untuk tiga tahun dan kemudian ditutup untuk masa lima tahun, sebaiknya di ”B” setiap jalan berfungsi untuk empat tahun dan ditutup empat tahun. Jika seandainya setiap bagian perkebunan ”A ” mempunyai ki ra-kira 130 petak, perusahaan-perusahaan harus bekerja terus-menerus sepanjang tiga jalan kebun untuk masa tiga tahun; pada tahun keempat kegiatan-kegiatan dialihkan ke rangkaian tiga jalan kebun lainnya. Sepanjang setiap jalan kebun terletak gudang-gudang pengeringan sementara, yang menerima tembakau dalam tiga musim berurutan dan kemudian gudang-gudang itu dibongkar. Beberapa dari kayu-kayu itu akan dipakai lagi dalam pembangunan serangkaian gudang berikutnya, tetapi atap-atap nipahnya dibakar. Kecuali gudang-gudang kebun sementara, setiap onderneming mem punyai gedung-gedung tetap untuk pengsortiran, peragian dan pengepakan tembakau. Gedung-gedung tetap ini merupakan bagian dari suatu kompleks bangunan-bangunan permanen, dikenal sebagai emplasemen, yang juga terdiri dari rumah-rumah para anggota staf, sebuah gedung kantor, sebuah toko - biasanya dikelola oleh seorang Cina - sebuah bengkel, dan bedeng-bedeng tempat tinggal bagi dua keluarga buruh. Semua perusahaan besar menyelenggarakan rumah sakit pusatnya sendiri, sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya per usahaan-perusahaan kecil berkelompok menghimpun dana dan me nyelenggarakan rumah sakit bersama untuk melindungi modal yang telah mereka tanamkan dalam penerimaan dan pengangkutan ribuan buruh. Tahun penanaman bagi suatu perkebunan dimulai dengan pembukaan hutan belukar dalam pembagian pertama yang dibatasi oleh jalan kebun tertentu. Pembukaan hutan belukar ini biasanya dilakukan atas dasar kerja borongan oleh suku Batak Karo, yang bekerja di bawah kepala desa atau penghulu mereka, yang berfungsi sebagai pemborong. Pohon-pohon ditebang; kayu-kayu yang berguna diselamatkan; yang lain-lain dibakar. Riimusan kontrak-kontrak melarang penebangan pohon-pohon buah seperti durian (Durio zibethinus Linn.), aren atau palem-gula (Arenga scxcharifera Lab.), petai2) (Parkia spedosa Hassk.), kayu gelugur, atau pohon asam (Garcinia atroviridis Griff.), dan pohon lebah yang terkenal, tualang, atau pokok raja (Koompassia parvifolia Prain.).3' Setelah penebangan, persiapan lahan dimulai. Dahulu tugas ini dikerjakan tangan dengan cangkul-cangkul yang besar dan memerlukan setidak-tidaknya tiga atau empat masa tanam. Sekarang karena upahupah jauh lebih tinggi daripada dahulu, pekeijaan ini dilakukan de67
ngan traktor-penarik bajak dan sisir-tanah. Karena lukan lahan kering, adalah penting di tanah-tanah rendah bagi perke bunan menggali jaringan saluran-saluran dan Urusan-terusan pembuangan air kebun untuk mengalirkan air yang tergenang ke sungaisungai atau ke terusan-terusan utama. Kecuali itu, tanggul-tanggul arus dibangun untuk melindungi lahan tembakau terhadap banjir-banjir sungai. Peta V III memperlihatkan pemanfaatan pola saluran pengeringan alamiah oleh perkebunan dan cara mempercepat pemindahan air dengan memelihara terusan-terusan buatan tambahan. Apabila dimungkinkan, maka pengeringan-pengeringan secara alam digunakan, atau diperbaiki jika dikehendaki. Di perkebunan-perkebunan tanah tinggi, masalah terbesar adalah erosi ketimbang pengering an. Tetapi sebelum sifat dari lahan-lahan tembakau dikenal secara pasti, erosi berjalan terus dan menyebabkan hanyutnya lapisan tanah bagian atas, yang berasal dari debu dan tanah gembur vulkanik yang belum sempurra memadat Jika pun dibuat teras-teras untuk melin dungi beberapa perkebunan yang diharapkan dapat memberikan hasil baik, sangatlah diragukan apakah dapat menahan hanyutnya lapis an tanah bagian atas itu. Di sini orang hanya dapat berkata bahwa lahan itu tidak cocok untuk apa pun kecuali jenis tanaman keras yang tentu tidak bisa untuk ditanam berjajar seperti tembakau yang memerlukan penyiangan yang bersih. Para pengusaha onderneming itu merusak lahan-lahan ini dengan menanam tembakau dua atau tiga kali, kemudian meninggalkan tanah itu untuk selama-lamanya. Sekarang kembali ke tahun masa tanam pada suatu onderneming tembakau. Sementara persiapan lahan masih berjalan, tempat-tempat pembibitan telah dipersiapkan dan bibit tembakau telah disemaikan dalam tanah selang-seling beberapa hari, supaya sesuai dengan waktu pada saat bibit-bibit yang sudah tumbuh itu dipindahkan dan ditanam kembali. Masa tanam bibit diulur sampai dua bulan. Pemindahan bi bit-bibit dari tempat-tempat persemaian ke kebun tanah rendah ber langsung setelah 40 sampai 50 hari, dan setelah 45 sampai 55 hari di perkebunan tanah tinggi yang suhunya di malam hari sangat rendah Sementara bibit berada di tempat-tempat persemaian, dan kemudi an apabila sudah dipindahkan ke kebun, kewaspadaan terbesar harus dijalankan untuk melindungi tembakau terhadap penyakit pes turn buhan dan pes binatang, karena daun yang berbintik atau berluhana diapkir sebagai pembungkus cerutu. dng Untuk menyingkirkan keraguan tentang tanggung jawab terh a^ mutu daun tembakau, pada setiap buruh dipertanggungiawahkan bidang kebun untuk dikeijakan sendiri. Ia bertanggung jawah t untuk 16.000 tanaman. Ia menyerahkan daun-daunnya ke bagian k sal pengeringan tembakau yang telah ditetapkan untuk dia D — 68
daun-daun itu dihitung, dinilai oleh asisten kebun yang memasukkannya ke dalam buku perkiraannya. Hanya setelah itu selesai, buruh itu benar-benar bebas dari tanggung jawabnya terhadap daun-daun tem bakau itu. Setelah itu, daun-daun tersebut khusus menjadi urusan pihak onderneming. Pada masa-masa permulaan, seperti telah disebutkan terdahulu, pa ra pengusaha onderneming memetik semua daun sekaligus, tetapi ke mudian mengubahnya dengan sistem memetik secara berangsur, dua atau tiga lembar pada satu waktu, mulai dengan apa yang dinamakan daun-daun tanah (empat sampai enam)4) dan, akhirnya, daun-daun puncak (tiga atau empat). Panen daun tembakau mulai kira-kira 44 sampai 50 hari setelah penanamannya di kebun-kebun tanah rendah; di perkebunan-perkebunan tanah tinggi tanaman-tanaman itu memerlukan beberapa hari lebih lama. Meskipun metode panen yang meme tik daun secara berangsur itu lebih mahal daripada memotong sekali gus seluruh tanaman, namun metode ini memberikan keuntungan yang besar karena hasil panennya lebih tinggi. Keuntungan yang le bih itu diperoleh dalam jumlah daun; kehilangan berat selama proses pengeringan lebih kecil; setiap daun dipanen hanya pada saatnya yang tepat; daun-daun mengering lebih cepat apabila ditangani sendili-sendiri, yang berarti bahwa lama pengeringan dapat dicapai ham pir dua minggu lebih cepat daripada jika semua daun yang dipetik sekaligus digantungkan di gudang akhirnya, pembuntalan daun-daun itu berlangsung pada tingkat yang lebih cepat, karena daun-daun dari golongan yang sama tetap terkumpul jadi satu. Segera sesudah daun-daun itu kering secukupnya lalu diangkut dari gudang-gudang kebun ke gudang-gudang peragian di amplasemen, di mana buntelan-buntelan tembakau itu ditempatkan dalam tumpukantumpukan yang besar. Suhu dalam tumpukan-tumpukan peragian ini diawasi dengan sangat hati-hati, dicatat dengan termometer yang diletakkan dalam tabung-tabung bambu yang dapat mencapai sampai ke tengah-tengah tumpukan tembakau itu. Segera sesudah suhu dalam tumpukan itu mencapai suhu tertentu (daun-daun kaki dan daun ta nah boleh dibiarkan sampai mencapai panas 60°C), tumpukan itu harus diturunkan dan daun-daun tembakau ditempatkan lagi dalam sua tu tumpukan yang baru. Tumpukan pertama dinamakan tumpukan ”A ” . Dua tumpukan ”A ” menjadi satu tumpukan ” B” , dua tumpukan ”B” menjadi satu tumpukan ”C” , dua tumpukan ”C” menghasilkan sa tu tumpukan ” D” . Tumpukan terakhir ini adalah suatu tumpukan yang sangat tinggi; ia mungkin terdiri dari 20 sampai 30 ton metrik tem bakau. Tembakau yang sudah diragi dengan baik kemudian disortir dan diklasifikasi menurut mutunya dalam gedung-gedung khusus yang 69
baik sekali penerangannya. Pekerjaan ini memerlukan keterampilan yang tinggi karena orang yang mengklasifikasi itu harus mampu meng enai 21 jenis mutu yang berbeda-beda, didasarkan atas keadaan warna dan keadaan permukaan daun, kemudian dibuntal oleh buruh yang lain yang duduk berseberangan dengan yang mengklasifikasi tadi. Ia kemudian memilih daun-daun itu menuntut panjangnya; sehing ga pada akhir proses ini setiap buntalan berisikan daun-daun yang warna, bentuk keadaan permukaan dan panjangnya semua sama. Pekerjaan mengklasifikasi dan membuntal-buntal itu sekali lagi diperiksa oleh ahli klasifikasi yang paling baik dan paling berpengalaman, yang pada gilirannya juga diawasi oleh asisten-penerima. Orang tidak bisa lain kecuali mengagumi sistem yang rapi yang berlaku dalam ruang-ruang peragian, klasifikasi dan penerimaan itu, di mana kira-kira 600 sampai 800 buruh sibuk mempersiapkan daundaun tembakau itu untuk diekspor. Sebelum Perang Dunia I tenaga kerja, baik di kebun dan dalam gudang-gudang peragian dan tempat sortir, hampir seluruhnya terdiri dari buruh Cina. Bahkan sampai akhir tahun 1940-an, ketika saya memperoleh kesempatan pertama mengunjungi onderneming temba kau, banyak buruh dalam gudang-gudang sortir adalah pria-pria Cina. Tahun 1955 saya tidak melihat seorang pun buruh Cina, yang ada hanya buruh-buruh asal Jawa. Mengklasifikasi dan mensortir seka rang hampir seluruhnya dilakukan oleh wanita. Katanya mereka tidak bekerja secepat buruh Cina, tetapi dapat lebih dipercaya segera sete lah mereka mengenai semua 21 jenis untuk itu. Sekali lagi kembali ke masalah lahan. Segera sesudah tanaman tembakau dipanen dan semua batang tanaman secara cermat dibakar untuk mencegah penularan penyakit yang mungkin telah berkembang dalam tumbuh-tumbuhan itu, lahan itu kemudian siap untuk digunakan oleh orang-orang kampung yang telah memperoleh hak-hak agra ria. Sebelum Perang Dunia II, keturunan Melayu atau Batak garis lelaki dari seseorang yang mempunyai hak-hak agraria diberikan jaluran yang telah menjadi hak mereka. Mereka diperingatkan bahwa mereka tidak diizinkan mencabut pohon-pohon kecil dan pohon-po hon muda, kecuali jika pohon-pohon itu satu sama lainnya berdiri lebih dekat dari tiga meter, juga tidkk boleh mencampuri sistem saluran air yang ada, atau menanami lahan dengan apa pun selain padi ladang kering, kecuali sepanjang perbatasan jaluran mereka. Di se panjang atau tanaman palawija lainnya. Satu daftar tumbuh-tumbuh an ekonomi telah dihapuskan karena telah diketahui menjadi penyebab utama hama tembakau. Sementara jaluran sedang digunakan oleh para petani setempat, mulailah tumbuh-tumbuhan sekunder menutupi lahan. Di ladang padi 70
itu tetap tumbuh pohon-pohon kecil dan pohon-pohon muda, yang mengambil alih lahan itu segera sesudah padi itu dipanen dalam bulan Novem ber atau Desember. Lahan itu kemudian dibiarkan ko song selama suatu masa tidak kurang dari tujuh tahun. Jenis-jenis tumbuhan yang berani matahari sangat cepat menghasilkan hutan be lukar, yang terdiri semata-mata dari jenis Macaranga, jenis Trema, dan Stapf Melochia umbeUata, yang semuanya akan memberikan jalan ke pada jenis-jenis lain jika seandainya hutan belukar itu dibiarkan tak dijamah selama masa 30 atau 40 tahun. Pohon-pohon ini berfungsi sebagai pohon naungan bagi tanaman jenis tumbuh lam bat Pohonpohon naungan ini kemudian mampu menindas jenis-jenis yang tum buh sebelumnya. Akan tetapi, lama sebelum proses seperti itu dapat berlangsung, lahan itu sudah dibuka lagi untuk proses dua macam panen, panen tembakau oleh onderneming dan panen padi oleh pen duduk tani setempat Dalam pola ini, sebagaimana ia berkembang setelah kira-kira tahun 1890, pihak pengusaha ondememinglah yang seluruhnya menguasai lahan itu. Dialah yang menentukan cara penggunaan dan jumlah penggunaan, jenis panenan yang akan ditananam, dan caranya harus menanam. Meskipun seorang petani menghendakinya, ia tidak akan diizinkan untuk mengalihkan lahan tembakau menjadi persawahan air. Para petani harus mentaati pengusaha onderneming itu dan akhirnya dalam beberapa tahun tertentu, si tani terpaksa menanam panen pangannya bermil-mil jauhnya dari kampungnya. Ini berarti penderitaan berjalan kaki hilir-mudik antara kampung dan jaluran setiap hari selama minggu-minggu yang sibuk ketika ladang itu me merlukan perhatian karena penanaman, penyiangan, penjagaan, atau panen. Lahan satu-satunya yang sepenuhnya berada di bawah hak penguasaan si petani adalah lahannya sendiri di lingkungan kam pungnya; tetapi di bawah hukum waris yang berlaku, tanah-tanah kampung itu selama puluhan tahun telah dibagi-bagi berulangkali sehingga bidang-bidang tanah itu telah menjadi sangat kecil. Ini adalah petunjuk yang jelas tentang perkembangan tekanan penduduk yang semakin bertambah di lingkungan kampung-kampung itu. Mengapa tidak pemah kita mendengar tentang tembakau Deli ta naman petani sendiri? Tidak akan ada yang lebih wajar jika orang Batak Karo ingin terus menanam tembakau, jika sekiranya tidak ada larangan keras secara resmi terhadap penanaman tembakau oleh penduduk asli. Alasan larangan adalah bahaya penyebaran penyakit tembakau dari ladang-ladang petani yang tidak terawat ke perkebun an onderneming-ondememing. Kecuali itu, masih ada masalah pencurian apabila industri petani diizinkan hidup berdampingan dengan industri perkebunan, walaupun akan sukar membuktikan pencurian 71
itu. Sebenam ya, pencurian tembakau menjadi m asalah pada akhir tahun 1880-an dan awal 1890-an, ketika Medan dan Binjai t d a h fn e punyai beberapa pabrik cerutu yang meinbeh tembakau rena itu, Persatuan Pengusaha Perkebunan D eli dala™ tembakau m elarang anggota-anggotanya menjual atau menyerahkci
apa
pun untuk penggunaan setem p at P e la n g g a ra n
t®1-113 ^
straits
an yang dikenakan kepada d iri sendiri ini dibebani den . dollar. Kemudian di akhir tahun 1898, Persatuan itu melarang juga penjualan tembakau ke tempat-tempat di Malaya dan ke ar na. Semua tembakau harus dikirim ke N egeri Belanda un u • di sana. Ini berarti bahwa tidak ada pedagang Cina yang a m enjual tembakau pembungkus atau mengekspornya, arena yang dijual tidak bisa lain berasal dari tembakau yang diper ngan jalan tak sah. 5) Hubungan simbiosa antipatik seperti ini sebagai akibat tanian ondernem ing yang sangat komersial dan san^a Pa hnma tetapi luas lahan, dan kebudayaan cocok tanam perla ang prim itif untuk sekedar hidup sehari-hari hanya dapat ber era ia;n_ onderneming-onderneming tebakau. Semua panen perke una nya di Sumatra Tim ur adalah hasil tanaman keras, se in&§ semula dua sistem pertanian itu dicegah jangan sampai ja mlin, tetapi diatur berjalan berdampingan. . Ketika perkebunan didirikan untuk maksud menghasilkan kopi ’ ® ’ karet, kelapa sawit atau sisal, yang pertama-tama perlu 1 adalah melakukan sensus penduduk untuk menetapkan jum mah tangga yang masing-masing dapat meminta empat bau (kern empat hektar) dari ladang huma itu untuk mereka sendiri. ng berikutnya adalah membuat garis pemisah perbatasan-per kampung dan lahan pertanian yang harus dipisahkan dan tan derneming. Hanya sesudah itulah pembukaan dan Penana™a ^ dimulai. Sebenam ya banyak dari onderneming karet dan Ke P w it yang sekarang, merupakan peralihan dari masa Produksl . kau, karena ketika mereka memperoleh lahan-lahan itu, , lum mengetahui bahwa hanya tanah-tanah antara Sungai Wamp^ Sungai U la r yang betul-betul cocok untuk penanaman tembaka bukan tanah-tanah liparitik ke selatan Sungai U lar atau ke uta ngai Wampu (lihat Peta VI, jenis Tanah). Onderneming sepert Perusahaan K aret Am erika Serikat (sekarang bernama um ro;„ ; Kisaran dan banyak dari onderneming karet yang dikelola o len J" ' son & Crosfleld pada mulanya merupakan onderneming em a . Para pengusaha mengeluarkan biaya pembukaan lahan, tetapi apa la sudah diketahui sifat sebenamya dari tanah-tanah liparitik itu, maka hanya sedikit lagi yang dapat dilakukan perusahaan-perusanaan 72
itu. Yaitu, mengalihkannya dari tanaman tembakau ke jenis tanaman lain yang kurang membutuhkan pemeliharaan, tentu jika mereka ma sih mempunyai modal. Atau menutup dan menjual konsesi itu kepada perusahaan lain dengan harga berapa pun yang masih mungkin mere ka peroleh. Banyak perusahaan-perusahaan muda memperoleh keuntungan dari nasib buruk para pengusaha pendahulu. Mereka mengambil alih lahan yang telah dibuka, berikut jalan-jalan dan hutanhutan lama yang pernah dibuka dan ditumbuhi kembali paling-paling dengan hutan belukar yang jarang. Cerita tentang perluasan dan penciutan penanaman tembakau erat hubungannya dengan perkembangan onderneming-ondememing yang sibuk dengan penanaman tanaman keras. Data statistik mengenai hal ini diberikan dalam Tabel 3. Akan tetapi, harus disebutkan bahwa tidak semua onderneming tembakau yang harus ditutup dapat dialihkan ke jenis tanaman keras. Penggunaan tanah perkebunan dipengaTABEL 3 P E R L U A S A N D A N P E N C IU T A N IN D U S T R I T E M B A K A U D IL IH A T D A R I J U M L A H O N D E R N E M IN G TE M B A K A U "’
Tahun ianun
Jumlah O n d ern e. Tembakau ming
1864 1872 1880 1888
1 22 49 Masa < 148 Perluasan
1896
120
1904 1912 1920 1928 1931 1932 1934 1940 1958
114 Perm ulaan peralihan dari tembakau, 97 mula-mula kopi, kemudian karet dan ke 82 lapa sawit 72 Masa malaise 1930-1933; penutupan on67 Masa < derneming-onderneming tanah tinggi di 61 Penciutan Langkat dan Deli. 45 Nasionalisasi Maskapai Deli dan maska 45 pai Senembah tambah bekas maskapai 26 . Swis Tinta Raja.
v
Keterangan
'"Nienhuys m engerjakan ondernem ing perintisan. Masa jaya tembakau. Setiap tahun terlihat kehadiran penguasa-penguasa on derneming baru. Perubahan dalam bea AS mendorong „meledaknya gelembung krisis 1890.
*) Sumber: Sebagian, didasarkan atas tulisan E.C.J. Mohr, The Soils of Equatorial Regions with Special Reference to the Netherlands East Indies, hlm.174.
73
ruhi oleh sejumlah faktor tambahan seperti peraturan-peraturan pembatasan mtemasional, syarat-syarat hukum oleh pem erin tah , atau K6ngaiL
u San dan penduduk setem pat Bab-bab a k h ir ™emblcarakan kesulitan-kesulitan ini. Cukuplah di sa dialihkan tyTp ^ ^ semua bekas onderneming tembakau biondempmintt-nnH3 1 perkebunan tanaman keras, terutama tidak bagi 1933 ernem ing yang ditutup sejak tahun 1930 sampai sini
m e m p ^ l i S a n T k a f r g e S s nondernem raPa H6**
tetapi gagal dengan kopi memulai penanaman karet percobaan kirakira dalam tahun 1901. Kita dapat mengatakan bahwa dalam masa kira-kira 1899 sampai 1905 hanya terlihat proyek-proyek percobaan, sedang produksi karet komersial dalam jumlah besar baru mulai dengan sungguh-sungguh tahun 1906, setelah proyek-proyek percobaan itu temyata menunjukkan cocoknya tanah dan iklim Sumatra Timur untuk tanaman karet K aret adalah juru selamat bagi banyak onderneming tembakau dan kopi yang bangkrut di tanah-tanah liparitik Sumatra Timur. Hanya sedikit yang diketahui tentang pertumbuhan karet rakyat di Sumatra Timur, tetapi pada tahun 1938 perkebunan karet rakyat diperkirakan mencapai luas 41.924 hektar, 40.340 hektar di antaranya dianggap sudah dapat disadap. Pada tahun 1940 daerah karet telah bertambah luas sampai sejumlah kira-kira 44.000 hektar, dibanding dengan 64.000 hektar di Tapanuli, 71.000 hetar di Jambi, dan 189.000 hektar di Palembang.6* Keadaan di atas menjadi jelas hanya ketika kami m eneliti distribusi konsesi-konsesi pertanian. Penduduk asli Langkat, D eli dan Serdang ternyata jauh kurang giat dalam produksi karet rakyat daripada penduduk Asahan dan Labuan Batu. Di bagian selatan Sumatra Timur, tanah konsesi-konsesi pertanian sering tidak saling bersebelahan, sehingga penduduk Melayu dan Batak mendapatkan tanah huma di sela-sela konsesi tersebut yang dapat ditanami k aret Pemerintah Hindia Belanda tidak menyumbang apa pun pada saat-saat permulaan industri karet ini, yang kemudian menjadi sangat penting bagi kesejahteraan penduduk Indonesia. Industri itu berkembang karena prakarsa petani Indonesia dan pedagang Cina. Singapura erat hubungannya dengan perkembangan karet rakyat ini. Pengaruh Singapura terhadap perkembangan karet rakyat mengingatkan orang kepada pengaruh Penang terhadap pertumbuhan industri lada seabad sebelumnya. Orang-orang Islam Sumatra Timur dan Sumatra Se latan yang telah tinggal di Malaya beberapa lama, atau telah singgah di Singapura dalam peijalanan mereka ke Mekah, menjadi tertarik kepada karet di Semenanjung Malaya dan membawa bibit-bibit karet itu ketika mereka pulang kembali ke Sumatra. Pengusaha-pengusaha Cina di Singapura juga mengetahui kesempatan-kesempatan ekonomis dari karet dan melalui pedagang-pedagang kecil Cina, mereka membagi-bagikan bibit-bibit karet kepada penduduk kampung sepan jang pantai-pantai selatan Selat Malaka. Petani-petani huma di, Suma tra itu mulai menanamkan bibit-bibit karet di ladang-ladang huma dan dengan demikian setelah enam sampai tujuh tahun mereka mem punyai kebun-kebun karet ketimbang bidang-bidang kecil hutan belukar. Baru pada pertengahan tahun 1920-an pemerintah Hindia Belan da dan para pengusaha onderneming benar-benar mulai menaruh 75
perhatian kepada karet rakyat. Perhatian resmi kepada karet rakyat selama tahun 1930-an mempunyai pengaruh merugikan bagi para pengusaha perkebunan rakyat, karena setelah berdirinya Badan Rencana Pembatasan Karet Internasional (International Rubber Restric tion Scheme), para petani karet rakyat menerima pelayanan yang kura.n® rnenguntungkan ketimbang apa yang diterima industri ondernemin& ’’Penilaian merugikan terhadap para penghasil pribumi Hinla elanda adalah persyaratan yang disetujui secara internasional, arena erang-terangan dinyatakan dalam rangka pembatasan itu, bahwa suatu kuota pribumi Hindia Belanda berapa pun jumlahnya
cti?611 6 if 1 aPasitas mereka... akan menjadi cukup besar untuk t u j S 5 f ncurkan setiap kesempatan atas rencana yang telah dise-
TABEL 4 INDUSTRI KARET ONDERNEMING DI SUMATRA TIMUR
Tahun 1902 1903 1904 1905 1906 1907 1908 1909 1910 1915 1920 1925 1930 1932 1935 1940
van S u rn a t^ B a g ^ n f v S ’ .n f 'n i S
Daerah yang Ditanami
Daerah yang Berproduksi
176 423 651 1,337 2,078 6,873 13,090 21,926 29,471 103,112 150,156 188,875 273,094 284,213
36,453 101,428 146,773 172,905 178,438
J915 diambil dari De Buitenbezittingen, Oostkust , W hlf
15* 15T Dat* 1920 sampai 1932 diambil dari
hie, jilid 25, (1934) him. 2 6 3 ™ SUmatra” T^ c h n j t voor E c o n o m is t Goegrap-
76
Pertumbuhan Industri Teh, Kelapa Sawit, dan Serat Teh pertama ditanam di sebidang tanah percobaan di Onderneming Rimbun di Deli Hulu dalam tahun 1898, tetapi proyek tersebut nampaknya tidak memberi harapan dan karena itu tidak diteruskan. Se orang pengusaha onderneming Swis, A. Ris, layak menerima penghargaan karena ia telah membuktikan kemungkinan komersial penanam an teh di Sumatra Timur. Antara tahun 1910 dan 1920, modal Jerman dan Inggris telah mengembangkan onderneming-onderneming teh di sekelilin g Pematang Siantar. Kepentingan-kepentingan Inggris diwakili oleh Rubber Plantation Inestment Trust” , yang telah mempero leh daerah-daerah konsensi yang luas dari raja-raja Simalungun, terutama dari Raja Pematang Siantar dan Raja Tanah Jawa.10) HandelsVereeniging Amsterdam mengikuti contoh para pengusaha onderne ming teh Jerman dan Inggris dan memulai pengembangan beberapa perkebunan teh yang besar setelah tahun 1918. Pencaplokan kerajaan-kerajaan kecil Simalungun dalam tahun 1907 telah merintis jalan bagi perluasan pertanian onderneming ke tanah-tanah pegunungan Simalungun. Kira-kira pada waktu yang sama ketika tanaman teh menjadi ta naman penghasilan yang baru bagi onderneming, percobaan-percobaan komersial yang pertama dibuat dengan kelapa sawit Para perintis onderneming kelapa sawit adalah pengusaha dari Jerman, K Schadt, yang menanam pohon-pohon kelapa sawit di atas konsesinya, Tanah Itam Ulu, dan pengusaha onderneming Belgia, Adrien Hallet, yang menanam kelapa sawit di Onderneming Pulau Raja di Asahan. Sebe lum tahun 1911, pohon-pohon kelapa sawit ditanam semata-mata ha nya sebagai pohon-pohon hiasan di perkebunan-perkebunan. Semua palem-palem hiasan ini, yang sangat cocok dengan iklim Sumatra T i mur, adalah keturunan dari empat jenis pohon palem yang telah diterima Kebun Raya Bogor dalam tahun 1848.U) Sangat mengherankan bahwa para pengusaha onderneming tembakau, yang sangat berputusasa dalam tahun 1880-an dalam menemukan suatu jenis tanaman yang cocok untuk mengalihkan lahan-lahan tembakau yang mereka tinggalkan, telah mengabaikan kesempatan yang diberikan oleh kelapa sawit ini. Namun sangat menarik untuk dicatat bahwa perkebunan-perkebunan kelapa sawit dimulai hampir serentak di Afrika Barat dan Su matra. Sebelum itu, minyak kelapa sawit dan biji-biji kelapa sawit yang sampai di Eropa semuanya berasal dari perkebunan-perkebun an rakyat di Afrika Barat Berlainan dengan teh, kelapa sawit di berbagai tempat ditanam di atas bekas perkebunan tembakau yang ternyata terletak di atas tanahtanah liparitik. Salah satu dari perkebunan kepala sawit termuda di Sumatra Timur — terkenal bagi semua yang bepergian melalui jalan 77
raya dari Medan ke Danau Toba lewat Tebingtinggi dan Pematang Siantar — adalah yang dialihkan dari tembakau ke kelapa sawit da lam pertengahan tahun 1930-an. Yang termuda dari hasil-hasil perkebunan besar di Sumatra Timur adalah sisal dan rami Manila, atau abacca. Penghasil terkemuka ada lah H V A dengan beberapa onderneming besar di Simalungun, yang kesemuanya dikembangkan setelah tahun 1918. Peta X memperlihatkan onderneming-onderneming itu antara Pematang Siantar dan Te bingtinggi. Karena H VA kukuh menolak memberikan data apa pun mengenai daerah yang ditanami atau produksinya, maka statistik per tanian sebelum perang tidaklah lengkap dan berisi data yang tidak memadai mengenai industri sisal dan abacca di Sumatra Timur. Kita hanya mempunyai data ekspor. Ekspor itu naik dari 718 ton dalam tahun 1920 menjadi 70.000 ton dalam tahun 1939. Apabila kita kuranei produksi onderneming-onderneming serat yang menyerahkan statis tiknya kepada pemerintah dari total jumlah ekspor, menjadi nyatalah bahwa H V A mensuplai tidak kurang dari 62.000 ton sisal dan aharm dalam tahun 1939. ooacca TABEL 5 D A E R A H O N D E R N E M IN G TEH D A N K ELAPA SAWIT DI SUMATRA TIM U R D A N ACEH (dalam hektar) MA1KA
Tahun
Teh
1915 1920 1925 1930 1935 1938 1945
3,237 10,009 12,835 21,273 -21,588 —
Kelapa Sawit 3,294 8,462 29,402 61,229 74,919 92,307 73,621*)
*) Hanya Sumatra Timur. ■ Sumber: Angka-angka untuk kelapa sawit diambil dari bukii f r ”De Oliepalm” dalam GJJ. van Hall, dan C. van de KoDoel n„ V Heuren, Indische Archipel, him. 593. ’ Lanobouw in de
Masalah Keamanan Onderneming T anaman Keras Dalam bagian yang membicarakan simbiosa antipatik a saha onderneming tembakau dan petani, saya mengura'k 3 Pengu' na pengusaha onderneming tembakau telah melindung/Iv " l)agaimapersaingan dan pencurian. Dari ondememing-onderniL- n terhadap
ueming yang h
78
usaha dalam produksi tanaman keras, hanya para pengusaha onder neming karetlah yang berada dalam keadaan sulit yang serupa seper ti tembakau, karena penduduk kampung yang tinggal di ujung atau bahkan di dalam konsesi-konsesi juga menanam karet Sampai sekarang, tak seorang pun yang telah mengembangkan suatu alat untuk membedakan karet rakyat dan karet hasil curian. Sebelum Perang Dunia II masalah pencurian getah dengan jalan penyadapan tak sah dapatlah dianggap sepi. Tetapi kemudian menjadi sangat gawat sejak tahun 1945, sebab pada saat harga-harga karet tinggi, pencurian terjadi dalam jumlah-jumlah yang besar. Sebaliknya, onderneming kelapa sawit, teh dan sisal tidak pernah mempunyai masalah keamanan atau pencurian hasil-hasil perkebunannya, karena persiapan produknya untuk dipasarkan terlalu sukar. Oleh karena kesukaran ini, sepanjang pengetahuan saya, perkebunan kelapa sawit, sisal, atau teh milik petani tidak pemah berkembang, yang sekali lagi berarti keamanan yang lebih besar bagi pengusaha onderneming. Dampak Industri Perkebunan terhadap Kebudayaan Cocok-tanam Kaum Tani. Kita tahu dari cerita kunjungan John Anderson ke Sumatra Timur dalam tahun 1823 bahwa pertanian berhuma adalah sistem pertanian yang berlaku di sana sebelum kehadiran para pengusaha onderne ming Padi sawah ditanam hanya di beberapa daerah rawa yang tidak memerlukan perbaikan-perbaikan yang biasanya penting bagi suatu persawahan. Misalnya petak-petak seperti yang terdapat di lembahlembah sungai dan di rawa-rawa air tawar, lebih merupakan sawah ’’alam” daripada sawah buatan manusia seperti terdapat di Jawa, di daerah Minangkabau, di Sumatra Tengah, atau daerah-daerah yang didiami oleh suku Batak Toba. Sebagaimana telah kita lihat, dalam awal abad 19, suku Batak Karo telah mulai melakukan penanaman jenis tumbuhan tanaman keras, lada, ke dalam sistem perladangan huma mereka dan dengan demikian menciptakan setidak-tidaknya petak-petak kecil lahan panen yang terus berproduksi selama 15 sampai 20 tahun. Tetapi tidak satu pun keluarga Batak Karo mempunyai cukup tenaga untuk mampu mengalihkan tahun demi tahun setiap ladang huma yang baru menjadi se buah kebun lada. Apabila dua atau tiga lahan telah dialihkan menja di kebun-kebun lada, keluarga itu akan cuup repot dengan pemeliharaan dan panen-panen mereka, karena mereka masih harus membuka ladang huma baru setiap tahun untuk menanam padi ladang kering. Namun, semangat berusaha suku Batak Karo adalah jelas. Beberapa pemimpin mereka, dengan ketajaman berpikir yang patut dipuji, me79
nemukan jalan dan cara untuk menangani suatu industri baru. Yakni m enyelaraskan dua pekerjaan sekaligus, produksi dan pemasaran dan menggunakan perahu-perahu mereka sendiri antara Sumatra Timur dan Padang. Pohon-pohon pada menjadi terkenal di Sumatra Timur agak belakangan sedikit setelah lada. Para perintis onderneming yang menaruh perhatian terhadap pala ini, mengikuti contoh orang-orang Sumatra dan menanam pala dalam jumlah besar sampai perubahan-perubahan bea impor membuat industri itu tidak menarik lagi dari segi keuangan. Pada waktu tanam-tanaman keras seperti karet, kelapa sawit, sisal, dan teh mulai ditanam di Sumatra Timur, tiga penguasa dari Langkat, Deli dan Serdang dan kepala-kepala daerah kecil di distrik-distrik Batak Karo dan Simalungun bagian pedalaman telah menyerahkan setiap jengkal tanam milik mereka kepada para pengu saha onderneming, kecuali daerah-daerah pantai yang terlalu berawarawa yang tidak menggerakkan minat para pengusaha onderneming itu. Ini berarti bahwa orang-orang Karo dari daerah tembakau, umpamanya, tidak dapat lagi mengambil manfaat dari kesempatan-kesempatan baru, yakni untuk mempunyai ladang huma sebagai milik sen diri. Jadi mereka hanya dapat menggunakan kebun-kebun tembakau yang selesai dipanen untuk waktu singkat enam bulan. Ada sedikit pohon karet yang ditanami di tanah-tanah milik mereka dalam kompleks tanah seratus, tetapi tak seorang pun yang tinggal dalam kosensikonsesi dapat menanam karet secara sistematis di ladang-ladang hu ma. Tetapi tidak demikian halnya dengan suku Batak Toba di Tapanuli Utara atau Asahan dan Labuan Batu, dan kabupaten di Sumatra Timur. Di Asahan dan Labuan Batu para pengusaha onderneming tidak mengambil semua tanah yang ada di situ. Maka penduduk asli masih mempunyai kesempatan untuk bersama para pengusaha onder neming memiliki tanaman penghasil uang yang besar seperti karet Jika para pengusaha onderneming itu tidak memperoleh semua tanah yang mereka cari di Sumatra Timur pastilah Sumatra Timur sekarane tidak akan kalah dilampaui oleh Jambi, Palembang, dan daerah dap rah lain di Sumatra dalam produksi karet rakyat. Suatu suku banes yang rajin dan mau berusaha keras seperti orang-orang Batak Kam sudah pasti akan unggul dalam produksi karet rakyat, jika tidak earn gara ulah para penguasa mereka sendiri yang menghalanginya. Dater an tinggi Karo terlalu tinggi untuk karet, tetapi penduduknya menssni nakan kesempatan-kesempatan lain, apabila suatu sistem telah d S . mukan untuk memasarkan hasil-hasil panen mereka yang dapat Hi angkut dengan truk-truk lewat jalan raya Medan-Kabanjahe. Petani penduduk asli yang memperoleh keuntungan dari pengem bangan onderneming hanyalah orang-orang desa yang tinggal di ping. 80
gir rawa-rawa pantai atau daerah-daerah pantai berpasir dari zaman lampau, tempat tumbuhnya palerri nipah. Ketika para pengusaha on derneming memerlukan atap nipah yang tak henti-hentinya untuk gu dang-gudang tembakau mereka, suatu industri baru berkembang yang membuat seluruh desa sibu. Daun nipah telah digunakan sejak lama sekali oleh rakyat pantai Sumatra sebagai bahan atap dan dinding. Karena rawa-rawa pantai memberikan cukup persediaan nipah yang tumbuh secara alamiah untuk kebutuhan tradisional yang terbatas, tentulah tidak mungkin bahwa nipah pernah ditanam dengan jumlah yang besar. Tetapi hal ini dengan tiba-tiba berubah ketika pada suatu waktu setelah tahun 1870, pengusaha onderneming menemukan bah wa atap nopah lebih baik daripada jenis lainnya - terutama alangalang untuk membangun bangsal-bangsal pengeringan, karena atap nipah memungkinkan peredaran udara yang sangat baik. Stasiun Per cobaan Deli telah mengetahi bahwa dinding-dinding dan atap harus cukup tebal untuk menjaga batas suhu sehari-hari serendah mungkin dan mengurangi kadar kelembaban udara dingin di malam hari yang menyusup ke dalam gudang-gudang itu, tetapi pada waktu yang sama membiarkan peredaran udara yang cukup. Atap nipah memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini lebih baik daripada bahan-bahan lainnya. Pada tahun 1877 sudah diketahui bahwa kemacetan dalam produksi atau bukanlah terletak pada tenaga kerja melainkan pada bahan mentah. Deli, terutama, tidak mempunyai rawa-rawa nipah alam yang cukup. Karena itu para pengusaha onderneming memanjarkan sejumlah besar uang kepada Pangeran Langkat untuk menyelenggarakan produksi dan ekspor atap-atap nipah ke Deli. Dalam masa jaya indus tri tembakau, atap-atap nipah dimuat penuh dalam perahu-perahu bahkan diimpor dari seberang Selat Malaka. Pada tahun 1887, kebu tuhan tahunan atap-atap nipah yang dapat dipakai selama tiga tahun, diperkirakan berjumlah 25 juta. Untuk mencukupi permintaan tetap dan besar dari bahan bangunan ini, rakyat dekat pantai mulai mengalihkan rawa-rawa bakau mereka menjadi tempat-tempat penanaman palem nipah. Lahan rawa-rawa ini benar-benar cocok untuk nipah, bibitnya ditanam paa kedalaman kira-kira 15 cm dan pada jarak-jarak antara satu sampai dua meter. Nipah muda agak lembat besarnya; memerlukan lima tahun atau lebih sebelum panen pertama dapat dilakukan lima tahun atau lebih sebelum panen pertama dapat dilakukan. Palem nipah mempunyai daun-daun berbentuk bilah-bilah panjang tersusun pada kedua sisi pelebah daunnya. Apabila daun-daun itu sudah kira-kira 80 cm panjangnya, barulah dipotong; dikeringkan sedikit, dan dilipat pada dua pertiga dari panjangnya. Pada sepotong kayu atau bambu lipatan-lipatan daun nipah itu lalu dijepit, dengan demikian jadilah mereka 81
atap-atap yang ringan dan dapat dilalui udara secara bebas. Kecuali daun-daun nipah, pembuatan atap nipah memerlukan sejumlah besar belahan-belahan bambu atau kayu dan bahan penjahit Kayu itu ber asal dari palem nibung (Oncospenma tigiUaria Ridl.) yang keras dan tahan lama. Bahan penjepit diperoleh dari bemban Dcmax arundastrum Louw.). Batang-batang tumbuhan ini dipecah untuk membuat tali yang kuat. Permintaan untuk tali bemban sedemikian besarnya se hingga para pembuat atap itu juga menanami ladang-ladangnya de ngan Donax arundastrum. Saya tidak memahami tentang penanaman palem nibung secara sistematis, tetapi pemakaiannya tergambar da lam kenyataan bahwa palem kenis ini di hutan-hutan pantai tidak banyak lagi seperti dulunya. Palem nibung adalah sebutan yang digunakan orang Sumatra, sementara orang-orang Jawa menyebutnya bambu. Selama beberapa waktu penduduk juga dapat memperoleh uang dengan memotong kayu keperluan bahan bangunan yang banyak diperlukan oleh onderneming tembakau, tetapi pada tahun 1890-an onderneming-onderneming mulai menghasilkan bahan bangunan mere ka sendiri dengan menanam pohon-pohon jati sepanjang dua sisi ja lan, begitu juga ladang-ladang bambu yang luas. Daerah-daerah hutan jati ini memberikan bahan bangunan yang sangat baik, melengkapi kayu yang berasal dari hutan-hutan pantai. Kecuali di tanah-tanah pantai yang mengandung air payau dan pengaliran airnya kurang baik, para pengusaha onderneming bersaing dengan penduduk pribumi untuk mendapatkan lahan. Pendu duk pribumi terpaksamenyesuaikan sisitem pertanian mereka sede mikian rupa supaya tidak ada keberata-keberatan dari para peneusa ha onderneming yang sangat berkuasa itu. Tidak diragukan Iasi bah wa peraturan-peraturan pembatasan yang dipaksakan secara sepihak kepada petam pribumi di daerah-daerah tembakau itu telah m eru K kan dan telah mempengaruhi sistem pertanian mereka dan secara berangsur-angsur juga inisiatif penduduk Para pengusaha ondeme mmg menyesalkan praktek memberikan ladang huma yang siap S a i kepada rakyat. Banyak juga menyesalkan campur tanean t e n , ™ rus pemerintah di Batavia yang menu™, onderneming adalah pendatang baru yang mencoba m e n g h E k a n kesempatan-kesempatan ekonomis mereka Par* !8 ngKan ming itu tidak pemah memaafkan o r a ^ r a n g M e l a r d ^ ^ ™ ^ keengganan mereka meneari n atoh slbagSf "u m h t a H ? ! atas ming, sehingga menyebabkan pihak ondernemina ham ondernekan biaya besar untuk mengimpor tenaga b u r u h ^ mef geluarjauh. Dalam banyak kesempatan saya mendengar k , , empat' temPat usaha onderneming tentang kemalasan luar biasa dari p eT u d u k a"u 82
i i •
di daerah penghasil tembakau di Sumatra Timur. Orang-orang Sumatra Timur, demikian menurut keluhan itu, lebih suka menangkap ikan dan berburu dan membiarkan pengusaha onderneming mempersiapkan ladang-ladang huma bagi mereka. Ladang huma ini kemudian langsung diserahkan oleh orang-orang Sumatra Timur itu kepada bu ruh Jawa, karena mereka sendiri terlalu malas bahkan untuk menancapkan tonggak runcing ke dalam tanah yang sudah dipersiapkan de ngan saksama bagi mereka. Sebaliknya sampai sekarang orang-orang Karo di dataran tinggi memiliki sifat-sifat tangguh seperti yang disaksikan oleh Anderson dalam tahun 1823. Anderson berulangpulang menanggapi dalam catatan hariannya tentang kerajinan dan keuletan suku Batak Karo, yang dilukiskannya sebagai petani-petani teladan.
I Pertumbuhan Penduduk Ekspansi pertanian onderneming yang cepat di Sumatra Timur boleh dikatakan unik dalam sejarah ekonomi - mempunyai pengaruh menyolok terhadap pertumbuhan, penyebaran, dan komposisi pendu duk. Dalam waktu sangat pendek penduduk asli jumlahnya dilampaui oleh buruh Cina dan Jawa. Kecuali itu, perkembangan Sumatra T i mur menarik sejumlah besar orang Sumatra dari Sika, Minangkabau, Mandailing, dan Angkola. Minangkabau dan tetangga-tetangganya Mandailing dan Angkola dari daerah Batak berada di bawah kekuasa an Belanda sejak paruh pertama abad ke-19, beberapa dasawarsa sebelum Belanda masuk ke Sumatra Timur. Ini memberikan kepada para pengusaha onderneming persediaan sejumlah orang yang berpendidikan yang dapat dikeijakan sebagai juru tulis, mantri ukur, dan ahli mesin atau untuk kedudukan-kedudukan kecil lainnya. Ketiga golongan itu adalah orang-orang Islam dan dengan demikian dapat diterima masyarakat Islam di daerah-daerah tanah rendah dekat pan tai di Sumatra Timur. Sebaliknya, orang Batak Toba asal Tapanuli Utara beragama Protestan, mulai memasuki Sumatra Timur dalam jumlah yang bertambah besar setelah tahun 1900 tetapi menemukan diri mereka kurang diterima oleh orang-orang islam di Langkat Hilir, Deli H ilir dan Serdang H ilir ketimbang orang-orang islam Batak Man dailing dan Angkola. Gereja Rhenish Mission Siciety telah bekerja intensif kira-kira sejak 1863 sampai 1940 di tengah-tengah orang Batak Toba itu. Angka-angka penduduk untuk Sumatra Timur pada awalnya kurang lebih hanyalah merupakan taksiran saja, tetapi penghimpunan data berikutnya menjadi lebih dapat dipercaya, ketika perangkat pemerintahan Belanda meluas daerah demi daerah. Angka-angka sensus pa ling akhir diperoleh dalam tahun 1930 dan 1961. Untuk memahami ketegangan-ketegangari yang telah timbul di Sumatra Timur dalam 83
tahun-tahun belakangan int. orang mesti memperhitungkan perbandingan kckuatan golongan-golongan suku besar di sana. Dalam hubungan ini data sesnsus akan terus m em benkan manfaat yang khusus. Pada tahun 1830. kira-kira 60 tahun setelah dim ulainya pertanian ondernem in g d i I
m
bersangkutan, wajib mengembalikan para buruh itu ke tempat-tempat asal mereka pada akhir masa kontrak. Tetapi ternyata setelah puluhan tahun, ribuan orang Cina dan Jawa lebih suka tetap tinggal di Sumatra Timur setelah selesai masa kontrak mereka sebagai buruhburuh di onderneming-ondememing. Mereka bermukim baik di kampung-kampung maupun di kota-kota yang sedang berkembang. Hanya bekas buruh-buruh yang bermukim di tengah-tengah masyarakat pen duduk asli berada di bawah yurisdiksi penguasa-penguasa Sumatra Timur. Terus-menerus membanjirnya bekas buruh-buruh ini memasuki kampung-kampung menciptakan kepadatan penduduk yang luar biasa di kampung-kampung ini. Hanya jarang sekali bekas buruh-bu ruh itu segera mampu memiliki tanah. Bagi orang-orang Cina dengan sendirinya tidak berlaku hukum yang melarang orang-orang Indone sia menjual tanah pertanian kepada orang-orang bukan Indonesia. Paling-paling orang-orang Cina hanya dapat menyewa tanah, dan ini sering terjadi. Orang-orang Jawa dan imigran-imigran Indonesia lainnya juga, meskipun berdasarkan hukum berhak memperoleh pemilikan tanah, dalam banyak kejadian hanya menjadi penyewa tanah orang-orang Karo atau Melayu. Seperti diperlihatkan oleh Tabel 6, menjelang tahun 1930 orangorang Melayu yang merupakan unsur asli sesungguhnya dari pendu duk Sumatra Timur, berjumlah hanya 15% dari seluruh penduduk. Kira-kira 88% dari penduduk ini terdiri dari orang-orang Indonesia lainnya, di antaranya terbanyak orang-orang Jawa sejumlah kira-kira 43%. Orang-orang Batak Karo, Simalungun dan Toba berjumlah masing-masing 9, 6, 5%. Di antara orang-orang bukan Indonesia, Cina adalah paling banyak dan merupakan tidak kurang 10% dari seluruh penduduk Di kota Medan tidak kurang dari 35% penduduknya adalah Cina. Orang-orang Eropa kurang dari 1% di Sumatra Timur tetapi merupakan 5% dari penduduk Medan. Tabel 7 memperlihatkan jumlah penduduk onderneming berdasar kan distrik dan jenis kelamin. Semua distrik mempunyai lebih banyak pria daripada wanita di perkebunan-perkebunan. Simalungun mem punyai jumlah mutlak terbanyak buruh perkebunan berikut sanak keluarga mereka (105.000); jumlah ini merupakan sedikit lebih banyak dari sepertiga seluruh penduduk. Di Langkat Hulu dan Padang-Badegei unsur perkebunan berjumlah kurang dari 45,8 dan 45,7% dari se luruh penduduk (lihat halaman 87). Sejalan dengan kebijakan baru pemerintah Indonesia, sensus 1961 tidak meminta keterangan tentang latar belakang suku orang-orang indonesia, sehingga kita tidak tahu perbandingan suku penduduk In donesia di Sumatra Timur sekarang; tetapi jelas penduduk Batak To ba telah banyak bertambah karena perpindahan besar-besaran orang85
Tabel 6 SUSUNA N ETNIK PENDUDUK SUMATRA TIMUR PER DISTRIK, 1930 (dalam ribuan)
* Termasuk Karo dan Simalungun Islam yang lebih suka diakui sebagai orang Melayu. ** Termasuk Sunda, orang Betawi dan Jawa sebenamya. *** Termasuk suku besar seperti Minangkabau yang berjumlah 50,000 di Sumatra Timur, orang Banjar dari Borneo ±31.000 Sucnber: Sensus 1930, Jilid IV
TABEL 7
JUMLAH PENDUDUK YANG TINGGAL DI ONDERNEMING DAN PEHSENTASE TERHADAP JUMMH PENDUDUK SELURUHNYA DI TAIIUN 1930
Distrik
Langkat Hilir Langkat Hulu Deli Hilir Deli Hulu Serdang Padang dan Bedagei Simalungun Batu Bara Asahan Labuan Batu
Pria
Wanita
Total
Persetase Todal Penduduk Indonesia
4,956 24,774 26,197 10,264 27,249 23,820 57,604 14,536 25,002 28,887
3,989 21,305 24,050 9,370 22,556 18,120 47,681 10,389 18,103 16,446
8,945 46,079 50,247 19,634 49,805 41,940 105,285 24,925 43,105 45,333
7.6 45.8 31.2 40.5 38.3 45.7 37.2 41.8 34.5 36.5
Sumber: Sensus 1930, Jilid IV, him. 6
orang Batak Toba dari pegunungan-pegunungan Tapanuli yang terlalu padat itu. Jumlah penduduk Deli Hulu dan Langkat Hulu telah berkurang, sementara jumlah penduduk Deli H ilir dan Serdang H ilir bertambah, disebabkan ditutupnya banyak onderneming dan berpindahnya secara besar-besaran buruh-buruh onderneming itu dan anak-cucu mereka. Pembangunan Jaringan Komunikasi Modern Pada mulanya, sungai-sungai, meskipun lamban dan sukar dipakai, me rupakan sarana yang menyenangkan dalam membawa hasil-hasil panen ke pantai untuk diekspor. Tetapi kemudian karena begitu banyak su ngai yang cepat mendangkal akibat endapan lumpur yang berasal dari pembukaan hutan dan erosi, kebutuhan jalan-jalan darat dengan segera menjadi sangat mendesak. Karena pemerintah dalam masa perintisan mulanya menolak membantu pembiayaan pembangunan, para pengu saha onderneming memulai membangun jalan-jalan mereka sendiri. Jalan-jalan yang pertama dibangun oleh para pengusaha onderneming adalah di tanah-tanah mereka sendiri yang dapat menghubungi tempattempat di beberapa sungai yang dapat dicapai oleh sampan-sampan besar; kemudian jalan-jalan itu menghubungkan antaronderneming yang dimiliki oleh pengusaha yang sama. Hanya pada tahap inilah, peme rintah mulai muncul dan membangun sistem jalan yang tahan segala 87
=S5£S3££SES
Taniune Pura Binjau, Medan, Lubuk Pakam, Tebingtinggi d a n Kisaran l ! Z , i Rantauprapat di Labuan Batu. Jalan utama utara-selatan im dengan dua jalan ke pegunungan-pegunungan di pedalaman jalan Berastagi dan Kabanjahe di dataran tinggi Karo dan jalan melalui S malungun ke Danau Toba yang terus ke selatan ke Tapanuli dan Sib ea- adalah uratnadi utama jaringan jalan pemerintah. Namun, sampa akhir tahun 1928 beberapa onderneming besar masih berada tanpa pelayanan jalan pemerintah. Begitulah halnya dengan onderneming Winfoot milik perusahaan Goodyear, masih tergantung kepada pengangkutan sampan melalui pelabuhan Labuan Bilik, dekat kuala Sungai Baa, dan Negerilama, di tepi sungai yang sama karena, baik jalan raya maupun jalan kereta api, belum mencapai Rantauprapat. Pembangunan jalan poros besar di Sumatra Timur mempunyai dampak yang luar biasa pada pola pemukiman kota. Sementara semua kam pung-kampung besar— embrio kota-kota yang potensial — berada dekat ke pantai pada tepi-tepi sungai yang dapat dilayari, maka kota-kota pe mukiman baru berkembang dengan cepat di mana saja jalan raya itu memotong dan menyeberangi sungai besar. Jalan raya pada umumnya berada pada ketinggian garis batas 25 meter dari permukaan laut, bah kan lebih tinggi, dan semua sungai dapat dilayari. Setelah pembuatan jalan raya itu, sultan-sultan, para pedagang, pejabat-pejabat pemerin tah Belanda, dan semua orang lainnya kecuali para nelayan mulai pindah ke pedalaman ke kota-kota baru itu dari Tanjungpura ke Binjai, dari Labuan Deli ke Medan, dari Rantau Panjang ke Lubuk Pakam, dari Sungai Pariuk ke Tebingtinggi, dari Kuala Tanjung ke Indrapura, dari Tanjung Tiram ke Lima Puluh, dan seterusnya. Karena memakan waktu 50 tahun untuk menyelesaikan jaringan jalan-jalan yang kita kenal sekarang, perpindahan penduduk yang bermu kim di pantai ke kota-kota pedalaman yang terletak pada jalan poros besar dan pada daerah-daerah sekitar jalan kereta api berlangsung se cara berangsur-angsur. Banyak pelabuhan sungai yang maju sangat terganggu oleh beting atau endapan-endapan lumpur, yang terjadi sesudah tahun 1942. Sebelum penyerbuan Jepang, Belanda telah menanggulanginya dengan pengerukan-pengerukan agar kuala sungai-sungai penting tetap terbuka. Karena semua kapal keruk ditenggalamkan selama Perang Dunia II atau selama masa revolusi dari tahun 1945 sampai 1949, timbunan lum pur berlangsung terus, Sehingga, bahkan kapal kecil pun tidak mungkin mencapai pelabuhan-pelabuhan yang sebelumnya sampai akhir 1942 masih dapat dimasuki kapal-kapal pantai kecil. Tidak mengherankan 88
bahwa beberapa pelabuhan kecil itu mengingatkan orang kepada kotakota hantu. Pos-pos bea cukai telah ditarik; dewasa ini, semua ekspor dan impor bergerak melalui tiga pelabuhan: Belawan, Teluk Nibung, dan Labuan Bilik. Mengalirnya jumlah-jumlah besar modal asing yang tertarik pada sumber-sumber alam Sumatra Timur, yakni tanah yang subur dan mine ral seperti minyak di Langkat, ditambah lagi penanaman kembali hasil keuntungan onderneming ke daerah itu, membuat daerah itu mengalami pembangunan ekonomi yang maju pesat dan memiliki prasarana ekonomi yang paling baik dibanding dengan daerah mana pun di selu ruh Sumatra. Sumatra Timur, daerah dolar Indonesia, sesungguhnya telah menjadi satu-satunya daerah ekonomi yang paling penting di In donesia dan terhitung penyumbang yang besar dalam pemasukan valu ta asing bagi negeri ini. Batavia (sekarang: Jakarta) selama 80 sampai 90 tahun terakhir mengikuti perkembangan daerah ekonomi utama ini de ngan mata yang tajam.
89
Bab V Politik Agraria: Usul-usul Pembaharuan dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Mengapakah sekelompok kecil kerajaan pantai Sumatra Timur yang oleh Kesultanan Siak dinyatakan sebagai daerah-daerah taklukannya, menarik para pengusaha onderneming dalam jumlah yang sedemikian cepat meningkat? Berhasilnya kegiatan-kegiatan perintisan Nien huys, kemudahan yang membuat para pengusaha onderneming dapat memperoleh tanah, kesuburan tanah yang sangat baik, jarangnya pen duduk, yang berarti bahwa sebagian besar tanah itu tidak diolah dan tidak ditanami, ini semua merupakan sebagian jawaban atas pertanyaan tersebut Di sini dan dalam bab berikutnya kita akan meneliti faktor-faktor hukum, politik, dan ekonomi yang juga merupakan bagi an dalam pembangunan pertanian perkebunan yang luar biasa itu di Sumatra Timur. Juga akan kita bahas sifat kontrak-kontrak yang mem buat bagian-bagian tanah yang luas menjadi milik’ para pengusaha onderneming dan tindakan-tindakan yang diambil untuk melindungi hak-hak agraria penduduk pribumi. Peraturan Pemerintah (Regeerings Reglement, RR) 1854, Traktat 1858 dengan Kesultanan Siak, dan perjanjian-perjanjian politik 1862 de ngan daerah-daerah taklukan Siak dan perjanjian tahun-tahun beri kutnya membuka jalan bagi para pengusaha onderneming itu. Para raja menerima kewajiban untuk mendorong pengembangan ondememing-ondememing, dengan ketentuan bahwa Sultan Siak tidak diizin kan menyewakan tanah pertanian kepada orang-orang bukan Indone sia tanpa persetujuan lebih dahulu pejabat-pejabat pusat di Batavia sedangkan daerah-daerah taklukan Siak hanya memerlukan persetu juan Residen Riau. Sampai tahun 1873, Siak dan daerah-daerah taklu kannya berada di bawah wewenang Residen Riau. Dalam tahun itu Siak dan daerah-daerah taklukannya berpisah menjadi Keresidenan Pantai Timur Sumatra dengan kota Bengkalis di Pulau Bengkalis se bagai tempat kedudukan residen. Akhirnya dalam tahun 1887 tiga tahun setelah Sultan Siak melepaskan segala tuntutan politiknva t hadap kerajaan-kerajaan kecil Sumatra Timur, kantor Residen Sum tra Timur dipindahkan dari Bengkalis ke Medan, ibu kota baru n r yang berkembang dengan pesat di persimpangan sungai Deli d Babura. an K o n tr a k -k o n tr a k
Tanah sebelum 1877
Selam a 10 sam pai 15 tahun pertama banyak sekali 9 0
percobaan
dan
improvisasi berlangsung di Sumatra Timur. Setiap orang harus belajar melalui percobaan dan kesalahan - para penguasa, para taklukan dan rakyat mereka, administratur-administratur Belanda dan para pengusaha onderneming itu. Pejabat-pejabat Belanda membutuhkan beberapa tahun untuk menentukan perbatasan kerajaan-kerajaan ke cil itu dan untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan wilayah sengketa yang timbul pada saat tanah menjadi sumber penghasilan bagi para raja dan dengan demikian menjadi lebih tinggi nilainya daripada sebelumnya. Selanjutnya perundingan-perundingan tentang kontrak yang menuju pada pemberian konsesi-konsesi tanah menjadi suatu pengalaman baru bagi raja-raja itu. Kerajaan Deli adalah wilayah yang paling mula bagi pengusahapengusaha onderneming yang pertama. Penasa kerajaan kecil inilah yang memberikan konsesi-konsesi pertanian yang pertama. Perlu diketahui bahwa pada waktu Nienhuys tiba di Labuan, Sultan Deli ha nya m em punyai h ubun gan yang sangat terbatas dengan staf p e g a w a i
H india Belanda dan mengetahui lianya sedikit atau tidak sama sekali tentang politik agraria yang dijalankan oleh pemerintah pusat. Ia menganggap daerah kekuasaannya sebagai harta pribadinya, sedang-
kan rakyatnya diizinkan membuka tanah clan menanaminya sebanvak yang mereka perlultan untuK menduisung Kemmman senmnKarena penduduk sangat sedikit, sebagianbesar tanah itu masih ditutupi hutan dan dapat diperoleh oleh siapa pun, yang meminta, terutama jika pemohon itu bersedia membayar dengan cara menanami sebagian daerah kekuasaan sultan sebagai imbalan untuk izin yang diperolehnya. Oleh karena belum ada contoh, tidaklah mengherankan bahwa kontrak-kontrak konsesi itu yang ditulis selama 12 tahun pertama sangat berbeda-beda. Beberapa konsesi berlaku untuk 99 tahun, yang lainlain untuk 70 atau 75 tahun. Kontrak-kontrak pertama memberikan konsesi-konsesi bebas sewa; sebaliknya sultan menganggap bea ek spor dan impor sebagai imbalan yang layak, atau ia mengutip pajak kepala tahunan per buruh yang dipekerjakan. Sebuah kontrak yang ditandatangani tahun 1870 menyatakan pungutan sewa bukan dikenakan pada seluruh konsesi melainkan hanya pada tanah yang benarbenar ditanami. Mengenai luasnya konsesi, tidak jelas pada kontrak-kontrak awal karena batas-batas tanah tidak disurvai sebelum penandatanganan kontrak-kontrak itu. Sesuai dengan hukum yang berlaku, sultan mem berikan pengusaha onderneming hak untuk membuka dan menanami tanah kosong. Karena penghasilan sultan tergantung kepada luas ta nah yang dikembangkan oleh pengusaha onderneming, maka kontrakkontrak itu memerinci luas tanah yang harus dibuka dalam jangka 91
waktu lima tahun. Perincian ini bermaksud untuk mencegah pembatalan konsesi kecuali untuk jumlah luas yang benar-benar ditanami. Kontrak Mabar-Deli Tua tertanggal 11 Juni 1870, ditandatangani oleh Sultan D eli dan Maskapai Deli, menyepakati pembukaan 2.000 bau dalam waktu lima tahun. Tidak dipenuhinya syarat ini akan membuat kontrak itu tidak berlaku lagi kecuali untuk tanah yang benar-benar dibuka. Sebaliknya, pemenuhan syarat tersebut memberikan kepada onderneming hak lima tahun lagi untuk membuka tanah tambahan dalam konsesi yang sama. Pada akhir jangka lima tahun kedua Mas kapai Deli telah memperoleh hak selama 99 tahun atas semua tanah yang sudah dibuka dan ditanami. v Kontrak konsesi Polonia, ditandatangani tanggal 4 Desember 1869 antara Sultan Deli dan Michaelsky, memberikan yang belakangan ini hak membuka tanah antara sungai-sungai Deli dan Babura (tanah yang sekarang menjadi kota Medan) untuk maksud-maksud pertanian. Seperti Mabar-Deli Tua, kontrak Polonia tegas-tegas mencegah spekulasi dengan cara mengikat hak-hak yang diberikan dengan suatu rencana pembukaan tanah dan penanaman yang pasti. Jika kurang dari 400 bau yang dibuka menjelang tanggal 5 Desember 1874, maka kon trak itu berlaku hanya atas tanah yang benar-benar dibuka dan dikembangkan, kecuali Michaelsyky dapat menambah membuka satu setengah bau tanah hutan untuk setiap bau yang dibuka dan empat bau lainnya untuk setiap satu setengah bau yang benar-benar sudah ditanami. 2) Penyertaan syarat untuk mencegah spekulasi tanah dengan tuntutan tegas bahwa kontrak menjadi tidak berlaku lagi sesudah lima ta hun, kecuali tanah seluas yang disepakati .telah dibuka dan ditanami, dan provisi untuk memberikan perangsang dengan janji suatu bonus dalam bentuk tanah tambahan kepada pengusaha onderneming agar bekerja sebaik-baiknya dalam masa-masa permulaan, sungguh memperlihatkan suatu pengertian yang luar biasa mengenai masalah-masalah pembangunan ekonomi dalam suatu daerah yang masih terbelakang. Tidak jelas siapa yang bertanggung jawab untuk memasukkan syarat-syarat seperti itu ke dalam kontrak-kontrak itu. Mungkin ada lah pejabat-pejabat pemerintah pusat, karena pengalaman sultan yang terbatas tidak mungkin gagasan ini berasal dari dia sendiri. Sebagaimana dalam beberapa kontrak permulaan, tidak ada pemberian provisi untuk sewa tanah konsesi Mabar-Delitua, tetapi ini sa ma sekali bukanlah kekeliruan di pihak Sultan Deli. Dalam ketajaman pikirannya, sultan mengaitkan penarikan modal asing dan penghasilan yang lebih besar bagi dirinya dengan kenaikan hasil dalam ek spor. Sultan mengutip bea dari semua impor dan ekspor - atau cukup menugaskan seorang Cina untuk mengumpulkannya. Selembar tanda 92
terima tanggal 13 Desember 1871 dalam arsip Maskapai Deli, umpamanya, mengakui pembayaran angsuran sebesar 284,50 gulden dari 569 bal tembakau, ditandatangani oleh K I. Sieuw, pengutip bea impor dan ekspor. 3> Tetapi pengumpulan bea-bea ini diambil-alih oleh pe merintah Hindia Belanda pada tanggal 1 Januari 1876, Sultan Deli sesudah itu menerima ganti rugi untuk penghasilannya yang hilang itu. Mengenai keragu-raguan Sultan akan sewa tanah dalam kontrak Mabar-Delitua, Maskapai Deli menawarkan ganti rugi yang berlaku surut dengan menyetujui pada tanggal 28 Februari 1894 membayar hasil tanah 12.000 gulden setiap tahun untuk konsesinya. Mengenai hak-hak agraria penduduk setempat yang kampung-kam pung dan ladang-ladangnya terletak dalam perbatasan-perbatasan suatu tanah konsesi, kontrak-kontrak awal paling-paling mengatur tanpa ketentuan tegas bahwa tanah desa, ladang dan kebun buah-buah an, terutama kebun-kebun pala dan lada, harus dihormati oleh para pengusaha onderneming. Tetapi sama sekali tidak disebutkan menge nai luas tanah yang tidak boleh diganggu. Kontrak-kontrak Deli berisi ketentuan-ketentuan lebih maju dalam melindungi kawula Sultan; ini adalah hasil tekanan terhadap Sultan yang dilakukan oleh pejabatpejabat Belanda. Ini tergambar dalam kontrak antara Sultan dan pengusaha perkebunan Jerman, Herman Kiing, yang ditandatangani 15 September 1870. Ketentuan baru ini adalah bahwa tiga bau tanah hutan harus dipisahkan atas nama kawula Sultan bagi setiap bau tanah yang ditanami petani setempat dengan tanaman keras (pohon yang hidup lama) seperti kelapa, pala dan lada. Lebih jauh, Kung tidak diizinkan menanami tanah yang sebelumnya sudah dibuka oleh pihak ketiga. 4) Sultan Deli, dan setelah tahun 1870 juga sultan-sultan kerajaankerajaan tetangga — menyadari dengan jelas bahwa akan menjadi keuntungan pribadinya jika hutan zaman purba itu dibuka dan tanahnya ditanami, meskipun penghasilan pribadinya hanya berdasarkan pendapatan pengumpulan bea ekspor saja. Rumusan kata yang tepat dari kontrak-kontrak itu adalah soal kedua asalkan pengolahan tanah berjalan dengan cepat. Hanya ketika para pengusaha onderneming mulai bersaing satu sama lain untuk mendapatkan konsesi maka benar-benar dijalankan pengutipan sewa tahunan satu gulden perbau. Selama Sultan Deli memberikan konsesi-konsesi hanya di dalam batas-batas wilayahnya sendiri, segala sesuatunya tampaknya ber jalan dengan lancar; tetapi ketika menjelang tahun 1871 ia mulai menyewakan tanah yang terletak di distrik-distrik Batak Karo, di luar wilayahnya sendiri, kepala-kepala suku Batak Karo, yang dianggapnya sebagai bawahannya, menentang dengan perasaan benci dan marah. Daripada mengumumkan perang kepada Sultan, kepala-kepala suku 93
in i m enyerang sum ber bangsal-bangsal pengeringan tembakau perKeou ka sedang penuh b erisi tembakau.
keti-
Pejabat-pejabat Belanda terpaksa membawa pasukan m iliter ^an K epulauan R iau dan dari Jawa, y a n g bertem pur m hingga N o vem b er 1872 pemem berontak itu menyerah. Untuk mplancarkan penyebab pemberontakan itu, pejabat-pejabat B gj^pkan bahnyelidikan secara sistematis yang dengan cepat me ^ f v d p pem . w a kepala-kepala suku Batak Karo itu tidak k^ e r a t e n terhadarM?em bukaan ondernem ing-ondem em ing melamkan hany karena ia dap penggunaan hak yang m elanggar hukum oleh wilavah-witelah memberikan konsesi-konsesi yang termasuk a h erKuat delayah mereka. M ereka sadar sepenuhnya bahwa eng semua m ikian, Sultan tela h m engalihkan kepada d irin ya s kerakeuntungan keuangan.6* Setelah hasil penelitian itu tereingkap, ^ jaan D eli sebenarnya terd iri dari bagian-bagian y ^ g w iiavah Datu rah kekuasaan Sultan, (2) wilayah Kejuruan P®rcu ’ j Ham oaran Hamparan Perak, dibagi ke dalam (a) daerah Melayu ar „ DUluh Perak asli dan (b) Urung Batak K aro (urung=persekutu;an), P Dua Kuta, (4) wilayah Datuk Sunggal, atau Urung Ser a y > ^ w ilayah Datuk Kampung Baru, atau Urung Sukapinng, ( ^ Urung Senembah D eli, dan (7) wilayah R aja Danai. Dari g 2, 3a dan 7 dihuni oleh orang-orang Melayu, sedang 3 , , > . adalah wilayah-wilayah suku Batak Karo. Berkat tempa maka nya yang strategis d i mulut sungai-sungai D eli dan e K aro Sultan itu mampu memaksa datuk-datuk dari urung-urung , pamengakui kemaharajaannya.7) T etap i ketika datuk-datu ( Pm engenai la ) suku Batak K aro tidak d iajak berunding oleh S .w uk-datuk konsesi-konsesi tanah d i dalam wilayah-wilayah mereka, berian in i menentang dan menuduh bahwa Sultan D eli deng sebekonsesi-konsesi ini telah melanggar hukum adat yang su gebaliklum Belanda dan pengusaha-pengusaha onderneming a • ^are_ nya, karena tahu sedang didukung oleh kekuatan e an , n saha na rakus akan pembayaran yang lebih banyak d an p la.kepaia onderneming, serta merasa jauh leb ih unggul dan p _ n serangsuku Batak Karo, maka Sultan mengabaikan adat ^ ^e g Qrang_ an-serangan mereka terhadap cndernemmg-on mpas’an hakorang Batak Karo berharap akan dapat a-Dengusaha onderhak mereka dan lagi untuk meyakinkan p e gu P ontrak tanah d i nem ing bahwa mereka harus merundingkan masing, bukan w ilayah Batak K aro dengan kepala-kepala suku masing masing, dengan Sultan. 94
Selama penyelidikan itu, Belanda juga mengetahui bahwa suku Batak Karo m elihat d iri mereka dihalang-halangi dalam menjalankan hak-hak tanah mereka dan khawatir akan mengalami kesulitan jika mereka ingin mengembangkan kebun-kebun lada baru atau kebunkebun buah pala. M ereka keberatan pengusaha-pengusaha ondernem ing membuka hutan sangat tepat di perbatasan desa-desa mereka. Juru bicara Batak Karo menyatakan bahwa rakyat mereka akan menyambut baik pem bukaan ondernem ing dalam wilayah-wilayah mereka, asalkan (1) tetap cukup tanah dalam pemilikan mereka untuk perladangan huma, (2) pohon-pohon buah mereka dan harta benda lainnya tetap dihormati, dan (3) mereka tidak akan dicegah oleh orang-orang Eropa itu untuk menggarap kebun-kebun lada baru dan ladang-ladang padi sawah. R esiden Belanda menyelesaikan pertentangan langsung antara Sultan dan kepala-kepala suku Batak Karo itu dengi n menetapkan bahwa pembayaran untuk konsesi-konsesi di wilayah Karo mesti dibagi tiga bagian yang sama, sepertiga untuk Sultan, sepertiga untuk datuk-datuk Batak Karo, dan sepertiga untuk kepala-kepala desa di dalam lingkungan konsesi itu. Contoh Kontrak Tanah M enjelang pertengahan tahun 1870, keinginan untuk mempunyai kon trak yang seragam untuk konsesi-konsesi tanah menjadi sangat nyata. Keadaan ini mendesak supaya direncanakan suatu kontrak contoh untuk semua konsesi pertanian mendatang. Dalam mewujudkan maksud ini pemerintah Hindia Belanda merasa perlu mengeluarkan tidak kurang dari empat versi berturut-turut dalam tahun 1877, 1878, 1884, dan 1892.8) Seperti telah disebutkan sebelumnya, alasan langsung un tuk merencanakan kontrak contoh tahun 1877 adalah untuk menghapus diskriminasi prosedur antara kesultanan Siak dan daerah-daerah taklukannya ke utara. Ini diwujudkan ketika, dengan keputusan No. 4 tanggal 27 Januari 1877, kontrak contoh pertama ini diberlakukan ke seluruh Keresidenan Pantai Tim ur Sumatra, mencakup daerah Siak dan daerah-daerah taklukannya. Tetapi pejabat-pejabat di Kementrian Jajahan di Den Haag menegur bahwa kontrak contoh itu m em beri kan kepada penduduk setempat hanya tanah yang sedang digunakan, dan tidak memberikan cadangan untuk kelanjutan sistem pertanian huma. Kem enterian di Den Haag menyarankan supaya ini diperbaiki dan juga supaya kontrak-kontrak terdahulu diperbarui jika mereka b erb ed a d ari kontrak contoh m engenai hal-hal yang penting. In i menghasilkan pengumuman Kontrak Contoh tahun 1878 dengan Kepu tusan No. 1 tanggal 19 Oktober 1878. Konsep yang mendasari contoh kontrak ini, dan contoh aslinya 95
setahun sebelumnya, berbeda dari awal. Sementara dalam kontrak-kontrak awal, Sult<\ rnpmhuka sebikan wewenang kepada pengusaha onderneming u i_„ulinan maka dang lanoh t o w * , dalam rangka memula. suatu nan' kontrak-kontrak contoh 1877 dan 1878 menetapkan bahwa Sulitand^. kepala-kepala wilayah memberikan seluas tertentu ta , , kepada seorang pemegang konsesi. Rumus adat Indonesia, sementara yang kedua me™Pu^ “ ® ^ X l pertakonsep-konsep hukum Barat Pada tahap p e a . . nyaan apakah Sumatra Timur niempunya! ’’tanah tak t e i p a k a i . ^ i mata orang-orang Melayu dan Batak tidak ada tana tak terpakai, karena sem ua tanah bergu n a s®b a 2a *
y'
g
n
, uruan
hnta n seDerti
dan juga dipakai untuk tempat penimbunan hasil-hasi bahan bangunan, kayu api, damar, bahan pangan, a an tah untuk pembuatan alat-alat, dan banyak lagi pro u -p nya. Dan di atas semua itu, semua tanah adalah po ensia dangan huma. Pendeknya, semua tanah dalam cara apa p kung kehidupan seluruh penghuninya.
_ Deria. rnen(j u-
Memang harus diakui tanah telah digunakan dengan sa™b^ *a^ j maupun sebentar-sebentar secara luas sekali, sehingga se , ada ruang bagi konsesi-konsesi, asal saja keperluan-keper ua p dukan dihormati. Karena itu pasal-pasal yang paling pen in& . kontrak contoh menyangkut hak-hak agraria rakyat ke^ajaan mprT1kecil Sumatra Timur, supaya perjanjian-peijanjian sebe urn y benarkan dan memperluas penegasannya mengenai a , tersebut Yang menjadi masalah adalah mengizinkan para p onderneming mendapatkan cukup tanah untuk operasi p t mereka, sementara pada waktu yang sama mencegah can*P „ kan mereka ke dalam suatu sistem yang berprinsip bebas m _ungguh tanah yang masih melimpah banyak. Suatu Permul f a" „ J L ng digu. sungguh adalah tidak mengusik tanah yang benar' b® a n„ h hutan benakan oleh penduduk setempat Juga tidak mengusi huma bagi lukar, karena ini adalah bagian dari perputaran tanah huma bagi petani huma. Ketentuan ini untuk pertam a kali ia trak yang dikeluarkan di K e ra jaa n Langkat dalam te]ju n tegas dinyatakan bah w a hutan be lu k a r tidak bisa tanah yang tak terpakai.9) Kam pung-kam pung pun
m ana sebagai sendirinya , bahw a
tid ak m asuk d alam hitungan. B iasan y a terd a p a Hinerluas iipengusaha ondernem ing dapat meminta perbatasanny P > ka di dalam konsesi m ereka terdapat kam pung-kam pungpem uki:m In i a d a la h pengganti atas kam pung-kam pung para kawu se ja k d u lu m em punyai hak-hak agraria atas daerah e P m ereka. (Penyesuaian-penyesuaian perbatasan seperti itu
96
ja d i sulit m enjelang 1877, sebab sudah bertambah banyak konsesikonsesi yang letaknya sebelah-menyebelah sehingga tanah pengganti bagi pemegang konsesi sering terpaksa berada di tempat yang tidak bersebelahan). Larangan memakai tanah kampung pemukiman dan tanah huma d i sekelilingnya, berikut perincian pembayaran ganti rugi atas tiaptiap pohon buah yang terkurung oleh konsesi, dicantumkan dalam kontrak m odel 1877 pasal 6. Pasal inilah oleh pejabat-pejabat Belanda d i Den Haag dianggap tidak memadai dan diminta supaya diperbaiki. Dalam kontrak m odel 1878, pasal 6 menetapkan bahwa harus dipisahkan 4 bau tanah yang cocok untuk pertanian huma bagi tiap-tiap penduduk. T etap i ’’penduduk” di sini dirumuskan sebagai pribadi yang m em iliki rumah di dalam tanah konsesi; dengan lain kata tiap kepala keluarga mempunyai hak mendapatkan 4 bau atau 2,8 hektar. Satu pertanyaan harus diajukan, apakah realistik untuk mengharapkan penduduk Sumatra Tim ur dapat terus bertani secara tradisio nal dengan empat bau tanah? Dengan pasti hal ini harus disangkal. Sebenam ya, pemerintah di Borneo pada saat yang sama memberikan 21 bau bagi tiap-tiap kepala keluarga. Orang harus memperhitungkan bahwa rata-rata satu sampai satu setengah bau dibuka tiap tahun. T iap ladang huma dalam tahun pertama dapat digunakan untuk ta naman padi, dan ditambah dua tahun lagi untuk tanaman panenan lainnya. Sesudah sepuluh tahun, para tani akan kembali ke ladang humanya yang paling akhir dibukanya 13 tahun sebelumnya. Sistem bertani serupa ini, karenanya memerlukan 13 kali jumlah luas tanah yang dibuka p er tahun. Atau, 13 sampai 18 bau, tergantung kepada besam ya keluarga dan subumya tanah. Jika ladang huma perlu d i biarkan kosong bahkan lebih dari 10 tahun, maka cadangan per ke luarga mesti ditambah. Karena kita tidak dapat menganggap pejabatpejabat H india tidak mengetahui sifat pelaksanaan cocok tanam tra disional dari para petani huma — jad i berbeda dengan jatah di Bor neo, maka kita hanya dapat menduga bahwa ada suatu keinginan un tuk menggiring kaum tani Sumatra ke dalam bentuk pertanian yang lebih intensif. M enerim a prinsip tanah cadangan bagi petani adalah satu hal, tetapi pelaksanaannya rupanya adalah masalah lain. Enggan untuk mensurvai dan secara permanen memisahkan suatu bagian dari dae rah konsesi mereka, para pengusaha onderneming mengatur bersama para petani untuk menyerahkan tanah tembakau yang habis dipanen kepada semua kepala keluarga untuk dimanfaatkan selama satu pa nen musim hujan. H al ini tem yata lebih merupakan tindakan licik daripada bijaksaria. Sebab dengan demikian, para petani merasa ti dak perlu lagi meminta tanah yang empat bau jika para pengusaha 9 7
perkebunan bersedia mengatur supaya tanah ladang huma dengan cara begitu bisa tersedia bagi mereka pada permulaan musim tanam padi. Maka terjadilah semacam hubungan simbiosa yang membuat pengusaha onderneming dapat mengelakkan penyerahan tanah yang sungguh-sungguh kepada petani; sebaliknya petani melepaskan tuntutannya untuk mendapatkan tanah yang nyata dan langsung bisa dimanfaatkan. Petani tidak lagi harus membuka sendiri ladang humanya; pengusaha onderneming selalu siap untuk mempekerjakannya sebagai buruh sambilan selama musim tanah hutan sedang dibuka dalam persiapan guna penanaman tembakau berikutnya. Yang terpenting, petani sesungguhnya berhak atas tanah yang jauh lebih luas dari empat bau yang ditawarkan oleh kontrak contoh — sebenamya sampai seluas delapan bau atau sama dengan tanah huma delapan tahun pada perkebunan dengan perputaran delapan tahun. Suatu keuntungan bagi pihak onderneming yang tidak segera diakui adalah bahwa jika cadangan yang empat bau itu telah disurvai pada saat penyerahan konsesi, maka tidak akan ada penggantian apa pun harus dikeluarkan untuk penduduk yang bertambah, pada hal di bawah sis tem yang dalam kenyataan sudah berkembang, jumlah penuntut ber tambah dengan mantap dengan bertambahnya jumlah kepala ke luarga. Kemunduran utama dalam sistem ini adalah bahwa dulu ladang huma yang lama dapat digunakan tidak kurang dari tiga tahun, sedangkan sekarang jaluran tembakau yang sudah dipanen cuma dapat digunakan untuk satu kali panen padi atau jagung saja. Penanaman dua kali tidak diizinkan, lebih-lebih lagi tidak diizinkan untuk menah kayU’ pisanS atau lada- Ini berarti Pembatasan yang serius terhadap sistem pertanian suku Batak Karo dan penduduk lainnya konsesi-konsesi pertanian di Sumatra Timur. Dan rakyat dinen^fS dalam segala kebebasannya untuk pengembangan panen-pannh seperti karet atau panen-panen ekspor lainnya guna memePermintaan pasaran yang baru atau rangsangan lainnya.
nun^h3j?engUsaha onderneming juga menemukan kemunduran. Mesia vanaK adat’ para pengusaha menganggap setiap orang IndoneDara t i , mukim di wilayah mereka sebagai kawula mereka, maka £ Kawula itu berhak menggunakan tanah sebanyak mereka perlumendukung hidup mereka sendiri. Kelanjutan tuntutan
setiap o n d ern em in g m u lai m en yim pan d a fla r oran g-oran g yan g m em punyai hak yang sah. M elih a t pada apa yan g sudah te rja d i, p ara p en g usaha o n d ern em in g itu serin g m en yesali pen dah ulu -pen dah ulu m e re ka yang tid ak m em enu h i keharusan yang d itetap k an o le h p em erin ta h m en gen a i tanah-tanah cadangan, yang seharusnya te la h m em isahkan d en gan je la s hak-hak agraria kedua b ela h pihak.10' D engan h ilan gn ya k esem patan itu, akibatnya adalah p erselisih a n yan g tak berkesu dahan, p en ye lid ik a n , k ew a jib a n m e m b e ri jatah tahunan la d an g-la d a n g tem bakau yang sudah dipanen , persaingan antara buruh dan tani un tuk kesem patan m enanam p ad i pada ja lu ra n selam a m usim hujan, p erlu n ya m em elih a ra catatan yang akurat ten tang ju m lah pen duduk untuk m enghindarkan tuntutan-tuntutan fiktif, dan pen gaw asan yan g cerm at terh ad ap kegiatan kaum tani d i ja lu ra n untuk m en cegah penim bunan saluran-saluran a ir yang telah d ig a li pihak o n d ern em in g d en gan biaya yang besar. Bahkan kontrak contoh tahun 1878 tidak m enciptakan syarat-syarat yang dapat d iterim a suku Batak K aro, yang k em b ali m elam piaskan kem arahannya dengan m em bakari gudang-gudang tembakau. R e sid en K roesen , yang sad ar akan keberatan-keberatan utama suku B a tak K aro, m enyarankan b erb agai perbaikan. K eban yakan d ari perbaikan in i dim asukkan dalam kontrak contoh baru yang dikeluarkan d en gan K eputusan P em erin ta h No. 1/C tertan ggal 19 S ep tem b er 1884. Suatu tanggapan yang je la s terh ad ap keluhan-keluhan suku Batak K a ro adalah ketentuan yang m em berikan penduduk setem pat hak mengumpulkan hasil-hasil hutan dalam bagian-bagian konsesi yang belum d ibu ka dan m en eb an g kayu untuk bahan bakar dan papan guna pem akaian p rib a d i — bukan untuk dijual. Pohon-pohon buah-buahan, dan pohon-pohon la in tem pat lebah -leb ah lia r biasanya m em buat sarangnya, harus d ib e li — atau d ibiarkan jik a para pem ilik n ya tidak r e la m enjualnya. K on trak baru itu ju ga le b ih m aju dengan m em pertegas kew ajib an -kew ajiban para pengusaha o n d ern em in g m engenai ta nah. P asal 6 merum uskan k em b ali istilah ’’penghuni-penghuni” m en ja d i ’’sem ua kep ala kelu arga yang m em punyai tem pat tin ggal dalam lingkungan konsesi pada waktu konsesi itu d ib erik an atau yang pindah ke sana kemudian, dan yang m enurut adat p ribu m i m esti diang gap sebagai penuntut-penuntut hak yang sah.” 11' Pasal itu le b ih jau h m enetapkan bahwa cadangan em pat bau harus dipisahkan untuk se tia p penuntut hak yang sah hanya atas permohonan. D engan kata lain, dengan pengakuan terh adap kebiasaan yang telah berlaku untuk mem in jam kan k ep ad a p ara p etan i setem p at lad an g-la d a n g tem bakau yang telah dipanen, para p em ilik konsesi yang terus m enanam tem b a kau tid ak lagi otom atis b erk ew ajib an m encadangkan em pat bau b agi setiap k ep ala keluarga. 99
Suatu pembaruan dalam kontrak contoh tahun 1884 adalah mengenai cadangan tanah kampung yang harus mempunyai lebar maksimum 200 m eter dan minimum seluas tiga kali kampung yang ada (pasal 10). Terhadap pasal 10 ini terdapat sikap menerima secara umum, sebaliknya pasal 11 menimbulkan sikap menentang dari pihak pengusaha onderneming, karena pasal 11 memperpanjang dan sebenarnya mensahkan sistem jaluran. Prosedur yang ditetapkan pasal 11 ini memberikan kepada para petani jaluran untuk satu tahun, khususnya membenarkan penanaman padi dan jagung, yaitu, padi ladang kering dari Juli sampai Desember dan jagung dari Januari sampai Juni. Para pengusaha onderneming dengan keras menentang penggunaan jaluran untuk lebih dari satu panenan (setengah tahun), dengan alasan bahwa produksi dua panen akan membuka tanah itu terlalu lama terhadap bahaya erosi dan memperlambat reboisasi tanah itu. Pasal 11 juga menimbulkan keberatan-keberatan terhadap ketentuan bahwa para penuntut mempunyai hak atas jaluran di samping hak atas cadangan empat bau untuk ladang huma dan cadangan kampung. Akan tetapi, pelaksanaan pasal 11 ini tampaknya tidak sampai ter] adi. Saya tidak tahu, setdak-tidaknya, tentang adanya contoh-contoh dalam mana para penuntut menerima empat bau mereka dan masih meneri ma tanah-tanah tembakau yang sudah dipanen. Ketika itu sudah ada tanda-tanda akan kekurangan jaluran, dan kontrak contoh itu menghadapi kenyataan ini dengan meminta supaya pada onderneming-onderneming tembakau di mana jumlah penuntut yang berhak melebihi jaluran yang ada, maka rdbean (tanah hutan) harus dibenkan kepada penduduk desa yang bersangkutan. Para pengusaha onderneming mengusulkan sejumlah perubahan dalam kontrak contoh tahun 1884, tetapi keberatan-keberatan mereka yang paling banyak berpusat pada Pasal 11- Satu perubahan yang diusulkan menyangkut pasal ini adalah membatasi hak-hak jaluran bagi penduduk yang tinggal di kampung-kampung yang dekat dengan tanah konsesi — suatu upaya para pengusaha perkebunan untuk tanpa sembunyi-sembunyi mempertahankan beberapa kebebasan dalam sistem semula. Banyak keuntungan timbul dari kebebasan-kebebasan semacam itu, seperti memberikan jaluran kepada buruh-buruh Cina, yang biasanya masih belum kawin dan karena itu setuju menjual padi atau jagung mereka kepada onderneming. Pejabat-pejabat distrik menyadari segi yang menggelisahkan para pengusaha onderneming ini; dan mereka menyatakan bahwa kebiasaan mereka membagikan jaluran kepada kepala suku Batak sebagai imbalan untuk itikad baik dan kerja sama, atau kepada buruh-buruh Batak yang diimpor sebagai suatu perangsang untuk bekerja di onder neming, telah banyak menyebabkan kekurangan jaluran itu. Selain 100
itu, dengan ditanamnya tembakau sampai ke perbatasan-perbatasan kampung, maka penduduk desa tidak ilagi mempunyai tanah-tanah hutan untuk membuka ladang-ladang huma, meskipun mereka menghendaki demikian. Karena itu, para pengusaha onderneming tidak mempunyai hak untuk mengucilkan setiap penuntut hak atas jatah jaluran dengan alasan apa pun. Ini terutama benar, kata para pejabat itu selanjutnya, mengingat kenyataan bahwa para pengusaha onder neming itu belum mensurvai dan memisahkan empat bau tanah hutan yang menjadi hak rakyat Lebih buruk lagi, karena para pengusaha onderneming secara berangsur-angsur menanami seluruh daerah kon sesi mereka, maka mereka tidak dapat lagi menyediakan empat bau itu meskipun untuk memenuhi permintaan yang sah sekalipun. Situasi ini terjadi pada akhir tahun 1880-an di onderneming-onderneming di tanah rendah. Para pejabat distrik telah menyarankan waktu itu supaya pengusaha tembakau yang besar-besar sebagai altem atif raengembangkan tanah padi sawah dan memberikan ini pada buruhburuh Batak Karo dari dataran tinggi dan buruh-buruh dari Banten, Jawa dan Borneo Selatan, yang menurut para pengusaha onderne ming bersedia membuka hutan dan mendirikan bangsal-bangsal tem bakau asalkan diberikan sebidang tanah untuk ditanami padi. ’’Jika perusahaan-perusahaan besar itu mau menginvestasi satu bagian ke cil... dari keuntungan-keuntungan saham mereka seperti di zaman VOC dulu — untuk penggarapan sawah... bagi penebang-penebang kayu dan orang-orang yang membangun bangsal-bangsal mereka, ma ka semua derita akan hilang,” demikianlah pendapat seorang pejabat distrik.12). Setelah beberapa upaya membujuk Batavia untuk mengganti kon trak contoh tahun 1884 gagal, terutama pasal 11, para pengusaha on derneming memohon kepada Menteri Jajahan supaya memerintahkan suatu perubahan. Mereka paling mula mengemukakan bahwa adanya kebiasaan penjatahan jaluran kepada penduduk setempat, hanyalah akibat kebiasaan tidak terencana karena pemah diberikan bidangbidang tanah seperti itu pada buruh Cina dan buruh lainnya; tetapi ini bukanlah alasan yang kuat untuk membuat sistem jaluran seba gai kewajiban yang sah. Permohonan mereka itu juga mengemukakan tafsiran-tafsiran yang tidak mereka kehendaki dari kontrak itu. Umpamanya, pasal 11 dimaksudkan sebagai tindakan sementara untuk keuntungan suku Batak Karo, yang lambat laun diharapkan beralih kepada penanaman ladang-ladang padi tetap, atau sawah. Tetapi sebenarnya sistem jaluran sudah berlaku di daerah-daerah yang didiami orang-orang Melayu dekat pantai. Para pengusaha onderneming itu barangkali dengan jengkel menambahkan bahwa jaluran itu sebenarnya dikeijakan secara buruk dan bahwa alang-alang merajalela, 101
sesuatu yang mempunyai akibat membahayakan bagi industri tem bakau. Residen Michielsen dengan pintar membantah keterangan mere ka dalam memorandumnya tanggal 2 Januari 1892.13) Dengan menguraikan sejarah sistem jaluran, residen itu m engakui bahw a di tanah tanah rendah pemberian jaluran adalah suatu tindakan sukarela di pihak para pengusaha onderneming, karena konsesi-konsesi di sana, baik menjelang tahun 1877 maupun pada saat penyesuaian kepada kontrak contoh pertama, tidak mempunyai suatu ketentuan untuk ta nah-tanah cadangan. Tetapi di tanah-tanah tinggi para pengusaha on derneming sudah selalu mempunyai kewajiban sah untuk mengizinkan mereka yang berhak menggunakan tanah tembakau yang sudah dipanen — sebagai pengganti syarat mutlak dalam kontrak-kontrak belakangan yang mencakup tanah-tanah tinggi, yaitu bahwa 4 bau ha rus dipisahkan untuk setiap keluarga. Dalam bantahan selanjutnya Michielsen menyatakan bahwa dalam nafsu mendapatkan tanah, para pengusaha onderneming umumnya mengambil lebih banyak dari apa yang menjadi haknya, mematok batas-batas konsesi oleh mereka sen diri tanpa berunding dengan penguasa-penguasa setempat; dan de ngan merapatkan sebelah-menyebelah daerah-daerah konsesi maka tidak ada lagi tanah tersisa untuk penduduk — yang sementara itu bertambah terus, baik karena pertumbuhan wajar maupun karena imigrasi orang banyak, yang tertarik oleh kesempatan-kesempatan ekonomis di Sumatra Timur. Akibat dari semua itu, tentu adalah suatu kewajiban moral untuk memikul tanggung jawab terhadap rakyat Pa ra pengusaha onderneming harus dipersalahkan yang menganggap penduduk setempat tidak berguna atau merupakan suatu gangguan dan menghina orang-orang Melayu dengan mengatakan terlalu ” malas” untuk bekerja di perkebunan. Padahal ini adalah hak rakyat un tuk hidup. Menanggapi tuntutan para pengusaha onderneming supaya penduduk Sumatra Timur diarahkan dari sistem perladangan huma ke pertanian tetap, Residen itu bertanya, ’’Mengapa penduduk pribumi mesti beralih kepada bentuk pertanian intensif, sedangkan pengu saha-pengusaha onderneming itu sendiri terus melakukan penanaman bergiliran (roofbouw)? Penduduk pribumilah yang mempunyai hak pa ling kuat atas tanah itu.” 14) Mengenai tuduhan bahwa penggarap-penggarap jaluran tidak berbuat apa pun untuk mencegah ilalang, Mic hielsen pun menolaknya. Katakanlah, demikian Michielsen bahwa hasil-hasil tembakau lebih tinggi di atas tanah hutan belukar, tetapi ’tembakau ilalang” juga sebenarnya baik mutunya; bagaimanapun ju ga para pengusaha onderneming itulah sesungguhnya yang harus di persalahkan atas cepatnya menjalar alang-alang yang mengganggu itu. Sebenarnya alang-alang ini untuk pertama kali menjadi masalah di 102
ladang-ladang tembakau, karena tanah tembakau ditinggalkan oleh
para pemula pengusaha onderneming setelah dipanen satu ka li saja.
Setelah dipertimbangkan segala segi, kesim pulannya jelas bagi R esi den Michielsen, pasal 11 adalah penting. T e t a p i p ro tes-p ro tes d a n p etisi-petisi y an g g igih d a r i p a r a p e n g u
saha onderneming akhirnya menghasilkan beberapa perubahan pada kontrak contoh, dan suatu versi baru mulai berlaku tanggal 3 Novem b er 1892. Masalah ’’tanah tak terpakai” dikeluarkan sesuai dengan pernyataan bahwa ’’sultan dan kepala-kepala wilayah pengikutnya yang berangkutan... memberikan... sebagai imbalan pengelolaan per kebunan oleh perusahaan onderneming.” Dalam banyak hal pengusaha-pengusaha onderneming itu memenangkan alasannya atas kerugian kaum tani. Padahal kontrak contoh 1884 telah memberikan kaum tani hak menggunakan jaluran untuk satu tahun penuh dan mengizinkannya untuk penanaman selama dua panenan. V ersi yang baru memberikan kaum tani hak panenan padi satu kali atau satu panenan jagung saja. Petani bebas menanam padi dan jagung, tetapi tidak bergilir dalam dua musim panen. Mengenai tanah huma (wisselgronden), kontrak contoh 1892 menyatakan bahwa tanah dalam lingkungan konsesi yang telah digunakan oleh penduduk pribumi sebagai ladang huma mesti tetap dibiarkan pada pemakainya — jika diminta. Andai kata penduduk desa di luar konsesi mempunyai ladang huma di dalam lingkungan konsesi, pemilik konsesi berkewajiban jika diminta, menyediakan tanah bagi semua kepala keluarga. Mengenai berapa jumlah hektar yang sebenarnya harus dicadangkan untuk keperluan itu, akan ditetapkan da lam kontrak-kontrak setempat oleh residen. Suatu wilayah standar tidak ditetapkan karena kontrak contoh itu berlaku bukan hanya ter hadap Siak dan bekas daerah-daerah taklukanya di Sumatra Timur, melainkan juga bagi semua pulau selain dari Jawa dan Madura. Menurut Bool, Labberton, dan penulis-penulis lain, Residen Sumatra T i mur menetapkan jumlah empat hektar, bukan empat bau atau kirakira 2,8 hektar. Menurut hemat saya ini rupanya merupakan petunjuk tentang pelaksanaan yang terlambat bahwa empat bau sama sekali tidak cukup, tetapi saya segera harus menambahkan bahwa empat hektar pun belum cukup. Juga mesti kita ingat bahwa penambahan seperti itu hanya berlaku pada konsesi-konsesi baru yang berlaku sesudah tahun 1892 dan tidak berlaku surut, sehingga praktis pada pelaksanaannya semua penduduk asli dari Langkat, Deli, dan Ser dang yang tinggal dalam konsesi-konsesi itu — dan ini mencakup hampir seluruhnya dari mereka — mempunyai hak hanya atas empat bau. Perubahan baru bahwa meskipun penduduk desa bertempat ting103
gal di luar konsesi tetap harus diberikan tanah, rupanya dibuat kare na Residen Sumatra Timur menyadari bahwa penguasa-penguasa ren dah, dan bahkan bebeapa bawahannya sendiri, memperlihatkan kecenderungan untuk lebih melayani kepentingan para pengusaha on derneming. Cara yang mereka lakukan adalah menarik garis-garis perbatasan konsesi sedemikian rupa sehingga kampung-kampung dan ladang-ladang huma akan jatuh di luar konsesi. Dengan ketentuanketentuan kontrak contoh 1884, hal ini akan membuat para petani tidak mempunyai hak apa pun untuk menuntut tanah, meskipun ini berarti mereka dibiarkan tanpa sumber hidup. Perlakuan seperti ini maksudnya tidak akan mungkin lagi terjadi di bawah syarat-syarat kontrak contoh 1892. Tetapi ada petunjuk-petunjuk yang kuat bahwa para petani sulit menuntut hak-hak mereka. Di dalam praktek, demi kian dinyatakan oleh Lekkerkerker, hanya kepala-kepala keluarga yang benar-benar tinggal dan bertani dalam suatu konsesi, dan yang menuntut dengan tegas, menerima cadangan itu.15) Karena kontrak contoh 1892 menyatakan bahwa orang Indonesia berhak menutut ta nah huma hanya jika ia benar-benar bertani, maka semua orang lainnya yang karena satu dan lain alasan (meskipun alasan yang sifatnya sementara) tidak mempunyai tanah huma pada saat yang menentukan, maka mereka tidak dapat meminta tanah. Ketentuan ini berlaku meskipun hukum adat mengizinkan setiap orang desa memakai tanah walaupun tanah itu ditinggalkan sementara karena mencari nafkah sebagai pedagang atau nelayan. Ini nampaknya merupakan pelanggaran terhadap hak-hak agraria pribumi dan tentu saja menimbulkan akibat-akibat yang gawat bagi keturunan mendatang. Marilah kita misalkan seorang nelayan atau pedagang tinggal di sebuah desa dalam lingkungan tanah konsesi yang digunakan untuk menghasilkan panen tanaman keras, bukan tembakau. Karena suatu onderneming yang berusaha dalam tanaman keras tidak mempunyai jaluran, maka men jadi pentinglah mensurvai tanah-tanah huma cadangan bagi semua penuntut-penuntut yang sah. Dalam keadaan seperti itu, pedagang atau nelayan itu tidak dapat menuntut empat hektar menurut kontrak contoh 1892, jadi dia dan semua keturunannya dibedakan secara tidak adil. Jika salah seorang dari anak-anaknya ingin menjadi petani, ma ka ia harus pindah dan mencari tempat pertanian lain atau bekerja sebagai penyewa tanah, jika ia tidak mempunyai uang untuk membeli tanah orang lain di desanya sendiri. Perubahan lain yang sangat penting dibuat antara tahun 1884 dan 1892. Kontrak contoh sebelumnya memberikan hak-hak agraria kepa da kawula dari penguasa yang memberikan konsesi itu, yakni kawula yang setelah penandatanganan kontrak bermukim di suatu desa da lam lingkungan konsesi. Ini tidak mungkin lagi di bawah kontak con104
toh tahun 1892, sebab kontrak tahun 1892 mengharuskan mengadakan penghitungan jumlah keluarga dengan hak-hak agraria setiap lima tahun sekali. Pasal 4 kontrak contoh terakhir melarang menyewakan tanah hu ma yang telah disurvai dan dipisahkan untuk penuntut-penuntut ta nah yang sah, kepada orang-orang bukan Indonesia, seperti tukangtukang sayur dan makanan Cina, kecuali kalau izin sudah diperoleh dari pejabat distrik. Pengusaha-pengusaha onderneming dengan alasan bahwa pasal ini belum cukup, menyodorkan lagi suatu pasal untuk melarang pemindahan hak atas tanah huma kepada orang-orang Indo nesia lainnya, yaitu imigran-imigran dari daerah-daerah Indonesia lainnya. Para pengusaha onderneming berpendapat bahwa tanah da lam lingkungan suatu konsesi yang tidak lagi diperlukan oleh orang yang pertama mendudukinya harus dikembalikan kepada ondememing.1® Ketentuan seperti itu tidak pernah diperoleh. Mengenai sejumlah soal pokok lainnya, kontrak contoh 1882 ku rang menguntungkan ketimbang kontrak contoh 1884, sepanjang yang menyangkut kaum tani Indonesia. Jaluran tidak lagi harus ditempatkan dekat kampung-kampung dari penuntut-penuntut yang sah, meskipun dinyatakan bahwa pengusaha onderneming harus memperhatikan bahwa jarak terlalu jauh antara kampung dan jaluran akan menyebabkan kesulitan. Para pengusaha onderneming diharuskan mem berikan hanya separoh tanah tembakau yang sudah dipanen kepada penduduk desa itu, suatu perubahan yang dibuat dengan dalih mengurangi bahaya tersebamya alang-alang dengan cepat Tabel 8 memungkinkan kita membanding-banding berbagai kon trak contoh satu sama lain dan mengikuti dari mula sampai akhir perkembangan serangkaian peraturan yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan-kepentingan kaum tani Sumatra Timur, yang se cara tiba-tiba dikelilin gi onderneming-onderneming raksasa yang mempekerjakan puluhan ribu buruh impor, mula-mula dibawa dari Cina kemudian dari Jawa. (Lihat halaman-halaman 106-107) Sehubungan dengan penduduk yang terus bertambah, masalah siapa penuntut yang sah, baik atas jaluran maupun atas tanah huma, menjadi bertambah penting dan menyebabkan meningkatnya jumlah perselisihan. Kontrak contoh 1878 telah menentukan istilah ’’pendu duk” mencakup orang-orang yang mempunyai tempat tinggalnya sen diri di atas tanah konsesi yang telah diberikan kepada seorang pengu saha onderneming. Pihak pengusaha onderneming mendesak supaya ketentuan ini tidak memasukkan kepala keluarga yang tidak memiliki rumah sendiri dan hanya menumpang bersama orang lain. Akan teta pi, rumah suku Batak Karo tradisional sangat besar, biasanya dihuni oleh beberapa keluarga. Sadar akan hukum adat, pejabat-pejabat dis-
\
105
TABEL8 SYARAT-SYARAT UTAMA KONTRAK-KONTRAK CONTOH Hal
1877
1878
1884
1892
Lama Konsesi
75 tahun
Maksimum 75 tahun
Maksimum 75 tahun
Maksimum 75 tahun
Membuat tanda-tanda Perbatasan
—
—
—
Dalam 1 tahun
Sengketa yang harus diselesaikan oleh
Penguasa dan kepala-kepala wilayah bawahan dalam musyarawah dengan pejabat distrik jika dikehendaki demikian
Penguasa dan kepala-kepala wilayah bawahan dalam musyawarah dengan pejabat distrik atau residen
(Hak-hak agraria penduduk asli:) Pemerintahan pribumi dalam musyawarah dengan pejabat dis trik atau residen
(Hak-hak agraria p en d u d u k a s li: ) residen
Tanah pertanian yang tersedia untuk pendu duk tani
Tanah yang sedang digunakan
Tanah yang sedang digunakan tambah cadangan yang akan berjumlah sampai 4 bau, jika dikehendaki demikian
Tanah huma yang se dang digunakan t ambah cadangan, yang akan berjumlah 4 hektar. Tanah kam pung: Minimum 3 kali l uas kampung sekarang
Penggantian untuk pohon-pohon buah
Harus diganti secara baik
Sama
Tanah huma, jika dikehendaki, berjum lah 4 bau. Tanah kampung: minimum 3 kali luas kampung se karang dan yang menurut kebiasaan pri bumi diakui sebagai penuntut-penuntut hak tanah yang sah Sama
Sama, tambah persetujuan dari Pejabat Distrik jika pohonpohon buah terdapat di atas tanah yang benar-benar diduduki oleh petani.
1877
Hal
1878
1892
1884
Dengan persetujuan Residen dalam permusyawaratan de ngan Pemerintahan Pribumi
Pembangunan kam pung-kampung baru
Hak-hak atas hasil hutan
Hasil-hasil boleh di ambil
H asil-hasil boleh diambil
Hasil-hasil boleh di ambil termasuk papan dan kayu bakar
Sama, tetapi dengan izin resmi dari pemilik konsesi
Penggunaan jaluran
—
—
1 tahun untuk padi dan jagung
1 kali panen untuk pa di atau jagung
Kuburan-kuburan
Daerah hutan 50 me ter pada kedua sisinya mesti d iselamatkan
Sungai-sungai
Harus dihormati. Ta nah harus diberikan jika perluasan diperlukan Daerah hutan 50 me ter pada kedua sisinya mesti diselamatkan; juga suatu lingkaran 100 meter garis tengah sekeliling mata-mata air
Penggalian pasir dan ta nah liat
—
—
--
Di i zi nk an untuk penggunaan pribadi
Sewa
1 gulden per bau
1 gulden per bau
1 gulden per bau
?
Rencana Konsesi
Batas-batas hanya dinyatakan dengan tanda-tanda patokan
Sama
Setelah 12 tahun, se buah peta dengar skala 1:10.000, dar survai
Setelah 3 tahun, se buah peta dan survai
trik telah memperingatkan para pengusaha onderneming tentang taf siran mereka yang sempit itu. P e j a b a t - p e j a b a t mi berusaha s e b a i k baiknya untuk melindungi hak-hak agraria kepala kepala keluarg yang m endiam i sebuah rumah besar dengan keluarga-kelu ^'"Kontrak-kontrak contoh 1884 dan 1892 tidak lagi membatasi golongan penuntut yang sah atau rumus tentang penduduk, tetapi masukkan semua orang yang bertani pada waktu dikeluarkannya kon sesi itu, berikut keturunan mereka. Namun banyak kesulitan timbui dari kenyataan bahwa kontrak-kontrak contoh itu memperlakukan s ma seluruh Sumatra Timur seolah-olah pola agraria berlaku untuK seluruhnya, padahal ada perbedaan yang besar berdasarkan suku a tempat Hukum adat agraria orang Melayu dekat pantai b e r b e d a dari hukum adat agraria orang Batak Karo, Simalungun, atau Toba. Kara patan (pengadilan) Serdang telah mengusahakan kodifikasi hukum adat yang pertama — tanggal yang tepat hilang — mengenai masala siapa yang mempunyai hak-hak agraria. Karena kodifikasi ini mem perpanjang daftar jumlah orang yang dalam pertimbangan hakim-hakim Serdang mempunyai tuntutan yang sah, maka para pengusaha onderneming menolak menerima daftar yang lebih p&njang itu. Mes kipun kodifikasi ini hanya berlaku bagi daerah-daerah pantai saja dan bukan bagi daerah-daerah yang diduduki orang-orang Batak Karo bukan Muslim atau Batak Simalungun.17) Dalam tahun 1924 diumumkan kodifikasi yang diperbaiki dengan sebutan Peraturan Rakyat Penunggul. Peraturan ini diberlakukan ke pada Langkat dan Deli maupun Serdang, dan memperinci lagi siapa yang harus dianggap sebagai anggota penduduk asli. Pengusaha-pengusaha onderneming tidak mau menerima Peraturan Rakyat Penung gul sdebagai hal yang mengikat tetapi menganggapnya, paling banter sebagai suatu pedoman.18' Para raja karena ingin memperoleh lebih banyak kawula, selalu rela memberikan hak-hak kewarganegaraan kepada orang-orang Jawa atau imigran-imigran lainnya yang bermukim di wilayah negeri-negeri yang dapat dianggap sebagai daerah kekuasaan mereka. Hukum adat Batak, sebaliknya, tidak membenarkan imigran-imigran di wilayah Batak untuk menjadi warganegara dengan hak-hak yang sama seperti dinikmati penduduk setempat, kecuali melalui perkawinan campuran. Sebab dalam masyarakat Batak semua tanah adalah milik marga yang berkuasa.19) Anggota-anggota marga ini dan anggota-anggota mar ga lain yang dipertalikan kepadanya lewat perkawinan mempunyai hak khusus atas tanah. Dalam waktu yang berjalan, perbedaan-perbedaan berkembang dalam tingkat hak-hak agraria berkaitaen dengan pembagian jalu108
ra n . P e m b e d a a n tim b u l a n ta ra a p a y a n g d is e b u t g o lo n g a n ”A ” d a n g o lo n g a n ” B ” .
Orang-orang dalam golongan ” A ” m enerim a 6000 m eter p ersegi ja luran. M ereka terd iri dari (1) kepala-kepala keluarga yang la h ir d i suatu kampung dalam lingkungan suatu konsesi, atau keturunan d ari seseorang yang tinggal di lingkungan konsesi sebelum adanya ondernem ing, (2) kepala-kepala keluarga yang la h ir di luar konsesi tetapi ayahnya atau kakeknya tinggal d i lingkungan konsesi sebelum tanggal p en d irian konsesi, (3) duda-duda yang ayahnya atau kakeknya telah tinggal di lin g kungan konsesi sebelum tanggal yang menentukan itu, dan (4) jandaja n d a dengan keturunan laki-laki yang ayahnya atau kakeknya telah tinggal d i lingkungan konsesi itu. Akan terlih atlah bahwa golongan ” A ” te rd iri d ari orang-orang yang menurun dalam garis pria d ari orang yang tinggal di lingkungan konsesi pada waktu konsesi diberikan. Orang-orang dalam golongan ” B ” m enerim a 4000 m eter p ersegi ja luran. M ereka mencakup (1) kepala-kepala keluarga yang ayahnya la h ir d i lu ar konsesi dan yang telah tinggal d i lingkungan konsesi sesudah tanggal p em berian konsesi itu, (2) kepala-kepala keluarga yang walaupun la h ir di lingkungan konsesi tapi merupakan keturunan d ari seseorang yang telah pindah ke konsesi setelah tanggal p em berian konsesi, dan (3) janda-janda dengan seorang anak laki-laki yang ayahnya tercatat dalam butir (1) atau (2). Selain golongan ” C” , te rd iri d ari orang-orang yang tidak m empunyai tuntutan yang sah tetapi m enerim a jalu ran seba ga i im balan jasa. P o la pem ukim an suku Batak K aro dalam apa yang dinamakan dusun d i negara-negara Langakt, D eli, dan Serdang pada dasam ya beru bah kira-kira pada peralihan abad d i bawah tekanan pejabatp eja b a t pem erintahan distrik yang mula pertam a b ek erja di tengahtengah suku Karo. Para pengusaha ondernem ing dan pejabat-pejabat d istrik mencatat bahwa orang-orang Batak K aro d ari dataran tinggi berm ukim di dusun-dusun kecil yang terpen car sangat jauh. Dusundusun in i ditinggalkan bilam ana jarak antara dusun dan ladang huma menyusahkan karena jaraknya terlalu jauh. Baik pengusaha-pengusa ha ondernem ing maupun pejabat-pejabat distrik, leb ih menghendaki tem pat-tem pat pemukiman yang leb ih besar dengan jum lah yang ke cil. In i diwujudkan dengan merencanakan kampung-kampung Batak K a ro yang leb ih besar. Mula-mula pejabat-pejabat distrik m encoba m enem patkan kampung-kampung baru ini dengan m enarik garis lingkar dalam radius 250 m eter m engitari rumah kepala kampung, tetapi karena rumah kepala kampung ham pir selalu terletak dekat tep i anak sungai atau sungai besar, kampung itu dengan dem ikian terb agi da lam dua bagian o leh ja la n air. Untuk m enghindarinya, kem udian m en jadi kebiasaan untuk menyediakan 20 hektar sebagai cadangan109
cadangan kampung. Tanah-tanah ini ditandai jelas dengan ramburambu dan garis perbatasan yang terdiri dari pohon-pohon jati dalam garis lurus sepanjang perbatasan, kecuali yang di muka air. Cadangan-cadangan ini menjadi terkenal sebagai tanah seratus karena kontrak contoh menetapkan suatu cadangan dengan lebar 100 vadem (200 meter) sekitar tanah kampung. Dua pejabat distrik yang terutama bertanggung jawab untuk perencanakan kampung-kampung Batak Karo itu ialah CJ. Westenberg dan G .LJ.K K o k 20’ Kok juga mendesak supaya setiap keluarga yang tinggal di lingkungan tanah seratus harus menanam, antara lain 75 pohon kelapa dan 200 pohon pinang (Areca catechu, Linn) di atas tanah sekitar satu hektar. Pembangunan kam pung-kampung Batak Karo yang tetap ini, yang dikelilingi pohonpohon buah, menimbulkan akibat lanjutan yang gawat Para pengusa ha onderneming tembakau menggunakan tanah perkebunan di tanah tinggi hanya untuk jangka pendek Tanah itu ditinggalkan apabila lapisan atasnya yang terbaik telah terkikis dan apabila permintaan pasar untuk tembakau gulung berkurang, disebabkan kesukaran konsumen pada rokok sigaret bertambah — atas kerugian konsumsi lisong. Tetapi suku Batak K a r o tetap berhuma dan ketimbang menempati kembali kampung-kampung besar yang baru itu setiap beberapa ta hun yang tak biasa bagi mereka sebelumnya, mereka lebih suka be kerja dalam radius yang terjangkau dari kampung-kampung tetap me reka. Ini menyebabkan pengikisan dan kelelahan tanah di atas lahan yang sebenamya akan lebih jarang digunakan, jika saja pola lama tentang penggunaan lahan yang berlaku. Ada perbedaan dasar antara pemukiman-pemukiman tanah rendah berbentuk garis lurus yang membentang sepanjang sungai-sungai yang dapat dilayari sampan (Peta XII), dan pemukiman-pemukiman suku Batak Karo di dataran tinggi, baik yang berbentuk bundar maupun empat persegi, dan terletak dekat anak sungai atau sungai besar pada suatu teras. Pemukiman tanah rendah boleh jadi dihuni oleh orang-orang yang menyebutkan diri orang Melayu, tetapi sesungguhnya adalah orang-orang Batak Karo yang mengikuti contoh pemimpinpemimpin mereka yang memeluk agama Islam. Kampung-kampung suku Batak Karo di dataran tinggi yang ditemukan oleh Kok bercirikan rumah-rumah yang diatur di sekeliling suatu lapangan tengah, dan seluruh kompleks itu sering dikelilingi tembok yang membuat pertahanan menjadi agak lebih mudah. Periode 1865 sampai 1895 adalah suatu masa perjuangan yang hamp ir terus-menerus antara para pengusaha onderneming dan pejabatpejabat pemerintahan Belanda mengenai syarat-syarat bagaimana pa ra penguasa dapat memberikan konsesi-konsesi perkebunan dan sam pai tingkat mana hak-hak agraria penduduk setempat akan dilindungi. 110
Setiap pembatasan baru dilihat dengan kecurigaan dan diterima hanya dengan acuh tak acuh oleh para pengusaha onderneming. K eti ka tahun 1878 pemerintah menghendaki supaya kontrak-kontrak lama diperbaharui agar seragam dengan kontrak contoh, para pengusaha onderneming dengan tegas menolaknya. Mereka mengemukakan ten tang prinsip tidak dapat diganggugugatnya sesuatu kontrak, terlebih yang telah disetujui residen. Mereka bersitegang bahwa risiko-risiko besar yang diambil oleh para perintis onderneming dalam masa sebe lum perlindungan pemerintah dapat diandalkan dan sumbangan-sumbangan besar yang mereka berikan kepada pembangunan Sumatra Timur, memberikan hak kepada para pemegang konsesi awal itu untuk menerima keuntungan-keuntungan istimewa yang timbul dari kontrak-kontrak yang dibuat sebelum tahun 1877. Penolakan untuk menjalankan pembatasan-pembatasan baru yang berlaku surut inilah, menjadi penyebab perbedaan-perbedaan tajam dalam kedudukan ekonomi penduduk desa antara yang lama dan yang baru di daerah onderneming Sumatra Timur.
I ll
Bab VI Masalah Mengubah Konsesi Pertanian Menjadi Sewa Jangka Panjang Sebagaimana permintaan untuk produk pertanian tropik meningkat dalam paroh ke-2 abad ke-19 dan tiga dasawarsa pertama abad ke-20, begitu pun permintaan untuk konsesi meningkat di Sumatra Timur.1’ Mengalimya modal baru yang masuk dengan cepat mengubah watak hubungan-hubungan ekonomi simbiosis antipatik antara pengusaha ondememing dan kaum tani menjadi apa yang dapat dinamakan berdampingan antipatik. antara persekutuan baru dari golongan-golongan yang berkepentingan. Para penguasa setempat, penduduk pribumi, Pejabat-pejabat Hindia Belanda, pengusaha-pengusaha onderneming, buruh-buruh imigran — semua terlibat dalam kemajuan pertanian perkebunan yang dahsyat itu di Sumatra Timur, baik untuk mengambil keuntungan maupun menderita akibat porak-porandanya hubunganhubungan sosial dan ekonomi yang menyertai kemajuan itu. Menjelang tahun 1900 perhatian mulai bertumpu kepada dua ma salah yang berkaitan dengan situasi yang sedang berkembang, yaitu aspek hukum konsesi-konsesi yang diatur antara para pengusaha ondememing dan para pangeran dari kerajaan-kerajaan yang diperintah secara tidak langsung di Sumatra Timur; dan sampai sejauh mana pemberian tanah-tanah konsesi yang luas oleh para pangeran ini mernndas hak-hak inheren penduduk pribumi. Masalah aspek hukum konsesi-konsesi Sumatra Timur merupakan urgensi bagi para pengu saha onderneming yang mencoba membiayai usaha mereka melalui bank-bank atau untuk memperkukuh hak-hak mereka atau pewarisan mereka, lain-lain pemindahan-pemindahan pemilikan, dan mempertahankan secara hukum perjanjian-perjanjian konsesi.2) Kenyataan bah wa konsesi-konsesi telah dibuat oleh penguasa-penguasa Indonesia dengan persetujuan pejabat tertinggi Hindia Belanda yang bersangkutan, yaitu Residen, temyata, tidak menciptakan hak badan hukum (jus in rem). Orang-orang yang mengemukakan bahwa pemegang kon sesi itu memiliki hanya hak pnbadi, atau jus personalissima, menyatakan bahwa: (1) Kontrak-kontrak konsesi itu tidak ditentukan dalam syarat-syarat yang diperlukan untuk mengukuhkan hak badan hukum (jus in rem). (2) Pihak-pihak yang membuat kontrak tidak diizinkan mengukuh kan jus in rem tanpa pengaturan-pengaturan resmi. 112
(3) Pemindahan hak seluruhnya atau sebagian tidak mungkin tanpa persetujuan resmi. (4) Pembayaran hasil tanah tidak harus dianggap sebagai bagian integral konsesi itu, sedangkan canon (peraturan-peraturan) adalah bagian integral dari sewa jangka panjang. (Beberapa dari kontrak konsesi itu, sebenarnya, tidak menetapkan pembayaran hasil tanah). (5) Pemerintah menganggap hak pemegang konsesi sebagai jus personalissima (hak pribadi), untuk alasan mana maka pajak tidak dikenakan, sementara dalam kasus sewa jangka panjang pajak tanah dipungut Orang-orang yang mempertahankan konsesi itu sebagai hak badan hukum (jus in rem) membalas bahwa: (1) Waktu berlakunya konsesi dalam wilayah-wilayah yang dikuasai tidak langsung, sebagaimana juga sewa yang diberikan dalam wilayah-wilayah yang dikuasai langsung, adalah 75 tahun. (2) Maksud hak konsesi dalam keduanya adalah sama: mengeksploitasi ’’tanah tak terpakai”. (3) Sejak awal 1870 pejabat-pejabat Belanda telah menyimpulkan bahwa hak pribadi atas sewa-menyewa terlalu meragukan untuk menarik modal Eropa ke Hindia Belanda, terlebih lagi di negeri-negeri d i mana pengusaha onderneming tanpa suatu jus in rem mungkin menjadi korban dari kesewenang-wenangan para penguasa tingkat rendah. (4) Pemegang konsesi mempunyai jumlah hak yang hampir sama seperti pemegang hak-sewa jangka lama. Tetapi di belakang pembahasan hukum ini, yang selalu menghindari penyelesaian yang memenangkan pengalihan semua konsesi m enjadi sewa-menyewa jangka panjang yang banyak mempunyai keuntungan hukum bagi para pengusaha perkebunan, muncul problema yang lebih ruwet Problema ini ditimbulkan oleh ketidakcocokan antara konsesi-konsesi dan sewa-menyewa jangka panjang dalam hu bungan dengan hak-hak agraria pribumi. Ini terjadi pada masa ’’poli tik etik” yang baru. Banyak dikemukakan kecaman dari mereka yang melihat konsesi-konsesi itu sebagai alat yang licik yang membuat onderneming-onderneming mampu memperoleh tanah-tanah yang luas, selanjutnya mengaduk-aduk hak-hak agraria rakyat dianggap sebagai sumber ketidakadilan bagi para petani yang tak berdaya. Kecaman itu merasa mustahil mengharapkan seorang pengusaha atau perusa haan onderneming bertindak berlawanan dengan kepentingan ekonominya sendiri demi kepentingan penduduk Indonesia. Jika raja-raja itu tidak melindungi kawula mereka sendiri, bagaimana seorang pengusaha onderneming asing dapat diharapkan memperlihatkan perhatian yang sungguh-sungguh bagi kesejahteraan kawula raja-raja 113
itu apalagi jika untuk berbuat demikian biayanya mahal? Memang benar residen harus menyetujui pemberian konsesi dan harus memastikan bahwa pembatasan-pembatasan yang tercantum dalam kon trak-kontrak contoh itu dikenakan kepada pengusaha onderneming dem i kepentingan rakyat pribumi. Tetapi bahkan kontrak contoh yang terbaik pun masih tidak cukup, demikian para pengecam, karena ia mengandung terlalu banyak lubang yang memungkinkan pengusaha onderneming dapat mengambil keuntungan yang tidak adil dari pen duduk jajahan yang secara politik dan ekonomi lemah itu. Memang lebih mudah selalu membuat hukum daripada menegakkan semangat hukum. Meskipun setiap kontrak contoh baru telah berupaya melebarkan perlindungan bagi penduduk, secara fisik adalah tidak mung kin bagi pejabat-pejabat pemerintah yang kelelahan itu untuk mence gah berbagai wujud penindasan pihak aristokrasi pengusaha perke bunan, terutama jika para pengusaha onderneming itu didukung rajaraja setempat dan pembaiitu-pembantu mereka, kepala-kepala wi layah itu. Akibatnya adalah membuat penduduk pribumi menjadi korban dari suatu kompleks persekutuan golongan-golongan berkepentingan, termasuk raja-raja mereka sendiri. Dan selama semua pe'mbayaran kepada raja-raja oleh pengusaha-pengusaha onderneming dapat di anggap sebagai penghasilan pribadi, raja-raja itu mempunyai alasan kuat untuk memihak kepada para pengusaha onderneming dan memenuhi setiap permintaan mereka untuk tanah. Tidak mengherankan bahwa beberapa raja boleh dikatakan memberikan konsesi-konsesi atas setiap jengkal wilayah mereka dan bahkan mengakui daerahdaerah yang sebenarnya di bawah pengawasan kepala-kepala wilayah pedalaman sebagai milik mereka. Raja-raja yang lebih kuat didorong untuk menyerobot wilayah-wilayah seperti itu oleh para pengusaha onderneming yang ingin sekali memperoleh tanah seluas mungkin. Juga pemerintah Hindia Belanda mendorong hal ini, karena komitmennya untuk meningkatkan pertanian onderneming dan keuntungan yang didapat dari bantuan kerja sama raja-raja dalam soal-soal administrasi. Akan tetapi sifat pembangunan ekonomi Sumatra Timur yang belum pernah ada presedennya merupakan suatu faktor tersendiri. Kebanyakan dari konsesi itu jatuh di bawah pengawasan para pengu saha onderneming, sebelum penduduk Sumatra Timur mempunyai waktu untuk menyesuaikan diri kepada keadaan ekonomi baru itu. Ketika terbangun dari dampak kekuasaan kolonial itu, para petani pribumi barulah sadar bahwa kebebasan mereka untuk menanam je nis-jenis tanaman baru telah hilang. Dalam upaya yang terlambat untuk memberikan rakyat pribumi seorang juru bicara, pejabat-pejabat Departemen Dalam N egeri (Bin114
nenlands Bestuur) menjalankan peran perantara antara para pengusa ha onderneming dan penguasa-penguasa di satu pihak, dan penduduk desa di pihak lain. Meskipun banyak pejabat dengan sungguh-sungguh mendukung penduduk desa yang secara ekonomi dan politik lemah itu, tetapi tindakan-tindakan mereka umumnya menghindari setiap sengketa langsung dengan para pengusaha onderneming yang sering mampu memberikan tekanan terhadap pejabat-pejabat ini melalui teman-teman mereka yang kuat di Batavia dan Den Haag atau melalui tekanan sosial yang tak terelakkan karena adanya hubungan pribadi sehari-hari. Suatu ledakan kritik yang memuncak adalah penerbitan sebuah pam flet De Millioenen uit D elP dalam tahun 1904 oleh J. Van den Brand, salah seorang kritikus paling terkenal terhadap aristokrasi pengusaha onderneming. Pamflet ini menyorot dengan tajam keadaan buruh di tanah jajahan itu. Ia mengejutkan masyarakat umum di Negeri Belanda dengan angka-angka mengenai nasib buruh yang sebenarnya dan memberikan sumbangan yang besar kepada terciptanya Dinas Inspeksi Perburuhan untuk pulau-pulau luar Jawa, terutama untuk Sumatra Timur. Van den Brand juga mempersembahkan suatu pembeberan yang tajam tentang banyaknya perlakuan tidak adil yang sudah menjadi kebiasaan para penguasa, pengusaha-pengusaha on derneming dan para pengusaha lainnya. Ada umpamanya tekanan gelap terhadap pejabat-pejabat pemerintah dengan jalan lelang. Pejabat-pejabat pemerintah sering dipindah-pindahkan, pada waktu mana mereka akan melelang seluruh barang-barang rumah tangganya. Teta pi lelang yang seakan-akan biasa ini, adalah kedok untuk menutupi suatu sistem penyogokan yang rapi. Makin tinggi pejabat itu dan makin erat hubungannya dengan para pengusaha ondernem ing dan pengusaha lainnya, akan semakin baiklah hasil lelang barang-barangnya, asalkan pejabat itu belum pernah mendapat cap pro pribumi dan antipengusaha onderneming atau antidagang. Pada satu lelang seperti itu, satu tempat botol tinta pemah terlelang 510 gulden; satu mistar meja tulis 120 gulden; satu kacip cerutu 350 gulden; satu bola peta bumi 650 gulden. Lelang itu diselenggarakan tanggal 7 Agustus 1902 oleh Residen Sumatra Timur yang akan pensiun dan menghasil kan 43,250 gulden.3’ Para pembeli pada lelang-lelang seperti itu ada lah penguasa-penguasa dan anggota-anggota aristokrasi, pengusahapengusaha onderneming, pemimpin-pemimpin masyarakat Cina, dan pedagang-pedagang Eropa semua orang yang merasakan terancam oleh pandangan falsafat sosial, politik dan ekonomi dari beberapa pe jabat pemerintah yang bertugas di Sumatra Timur.41 Kedudukan yang kuat dari para pengusaha onderneming lahir *) Jutaan dari Deli — pent
115
dari beberapa sumber; dan sumber yang sering dilupakan adalah otoritas sang1pionir yang mengakar. Nienhuys, kita ingat, sudah berada di sana untuk bertindak sebagai tuan rumah bagi pejabat-pejabat pe merintah Hindia Belanda yang tiba di Sumatra Timur untuk pertama kali. Dari" selama beberapa puluh tahun setelah itu pemerintah itu mengirimkan para pengusaha onderneming bertindak bagi diri mere ka sendiri sebagai pengacara, polisi, jaksa, hakim, dan diplom at Ba nyak preseden dijelmakan selama puluhan tahun itu. Bahkan persetujuan peraturan mengenai hak-hak agraria setempat untuk praktisnya diserahkan kepada para pemegang konsesi yang sama artinya melepaskan tanggung jawab pemerintah untuk daerah luas yang tak terbatas. Seperti ditegaskan oleh para pengeritik perjanjian-perjanjian konsesi itu kemudian, kontrak-kontrak contoh itu tidak berdasarkan hukum perdata Belanda dan juga tidak menurut hukum adat se tempat HJ. Bool,5’ juru bicara utama para pengusaha onderneming, da lam membela prosedur mereka — berikut segala kesalahannya, menganggap semua itu sebagai sesuatu yang wajar dalam situasi yang membingungkan ketika penduduk masih jarang dan hari depan perta nian onderneming di Sumatra Timur masih belum pasti. Tetapi yang urang dapat dibela dari pandangan Bool adalah sikap masabodoh para raja terhadap kesejahteraan kawula mereka sendiri, dengan aki bat bahwa kewajiban-kewajiban yang tak masuk akal beralih kepada Para Pengusaha onderneming. Bool berpendidiran bahwa pemerintah mdia Belandalah, bukan pengusaha-pengusaha onderneming, yang arus memikul tugas melindungi penduduk sekarang dan di masa mendatang terhadap kekuangan tanah. Sebenarnya sukar membenaran sikap pemerintah yang terus mengizinkan dikeluarkannya haka onderneming setelah peralihan abad itu, sementara tanah sedang i nami jenis-jenis tanaman keras (karet, kopi, teh, kelapa sawit, dan se agamya). Meskipun empat hektar dicadangkan untuk setiap keuarga, tetapi pemerintah tidak mengadakan persediaan untuk peri.i” , a Penduduk. Bool menganggap pemerintah bersalah karena i a memisahkan cukup tanah untuk seluruh penduduk pribumi dan 1 membatas* Para pengusaha onderneming kepada tanah se l f lr ^ etoc*e akan menghindarkan banyak perselisihan yang er embang antara pengusaha ondereming dan kaum tani. kaBool tetap berpendapat tidak masuk akal dan tak dapat dipertahann, Untuk memaksa seorang pemegang konsesi menempatkan sebagiduk 0nses.lnya ke tangan penduduk atau untuk mengharuskan pendu, roemmta tolong kepada pengusaha-pengusaha onderneming dausaha mereka untuk mendapatkan tanah, karena sebenarnya, tujuan akhir dari para pengusaha onderneming adalah membuat keun116
tungan. Kebutuhan-kebutuhan tanah yang terus meningkat bagi pen duduk, menjadi impian buruk bagi pemegang konsesi, yang belum tahu sejauh mana hak-haknya akan diperpanjang.® Tetapi di mana pun kesalahan itu terletak, tidak dapat disangkal tentang adanya kompleks keruwetan dalam kekusutan masalah hak. Hanya sedikit orang yang menyadari dimensi yang ditimbulkan oleh pertumbuhan pertanian onderneming yang luar biasa itu dan membanjirnya manusia dari luar ke dalam bagian-bagian Sumatra yang justru beberapa tahun sebelumnya termasuk di antara bagian yang paling tidak menarik di pulau itu. (Bagian Sumatra ini pem ah paling jarang penduduknya, dan sekarang mempunyai kepadatan penduduk yang paling tinggi.) Bahwa setidak-tidaknya beberapa pejabat pemerintah di masa-masa awal telah sadar akan kerugian dan penderitaan penduduk pribu mi sebagai akibat pembangunan pertanian onderneming, jelas tercermin dalam sepucuk surat yang ditulis dalam 1886 oleh Kroesen, seo rang pejabat distrik7' Pertanian onderneming dapat berkembang tanpa menimbulkan kejutan-kejutan dan bahwa penduduk pasrah pada suatu keadaan yang sama sekali baru yang sering menimbulkan kerugian atau setidak-tidaknya penderitaan, ada lah karena kenyataan bahwa rakyat mempunyai keuntungan memperoleh ladang-ladang padi siap-pakai untuk ditanami.
Van Vollenhoven, pengecam besar terhadap kebijakan agraria Hindia Belanda, menyebutkan masa dari 1870 sampai 1920 sebagai ’’setengah abad ketidakadilan” dan menyatakan bahwa meskipun se telah setengah abad terdapat hubungan dekat antara kaum tani Indo nesia dan pengusaha-pengusaha onderneming Barat, tetapi kaum tani Indonesia itu hanya pasrah saja.8> Pekabar-pekabar injil yang bekerja di Tapanuli Utara memberi kesaksian bahwa suku Batak Toba tidak henti-hentinya menyatakan akan terjadi bencana jika tanah mereka, seperti tanah Simalungun, sampai jatuh ke tangan onderneming-on dernem ing besar lewat konsesi-konsesi atau sewa-menyewa j angka panjang. Di lembah Silindung dan di bagian-bagian lain Tapanuli Utara terjadi kegelisahan yang luar biasa, segera sesudah berakhir Pe rang Dunia I karena mengalirnya sejumlah besar spekulan tanah, yang meminta ratusan ribu hektar tanah untuk teh dan tanaman-tanaman perkebunan lainnya. Untuk mengimbangi onderneming de ngan puluhan ribu buruh Jawa beragama Islam yang didatangkan da ri Jawa, pekabar-pekabar injil dengan gigih membantu orang-orang Kristen Batak untuk merancang resolusi-resolusi dan petisi-petisi me nentang pemberian konsesi-konsesi maupun sewa-menyewa j angka panjang. Suku Batak Toba, yang lebih bijak setelah menyaksikan pengalaman tetangganya Simalungun, mempertanyakan hak eksklusif 117
pemerintah untuk atas dasar Undang-undang Agraria — memberikan ’’tanah tak terpakai” kepada onderneming. Mereka mengemukakan tuntutan atas dasar adat yang sudah ada terlebih dahulu. Adat menganggap semua tanah di Tapanuli sebagai hak milik marga. Margamarga ini mempunyai juru bicara dan dari dialah izin harus diperoleh oleh setiap orang yang ingin mengembangkan suatu perkebunan.91 Perlawanan suku Batak Toba bersama-sama pekabar-pekabar injil itu sangat mengena, sehingga tidak ada satu onderneming pun yang be nar-benar dikembangkan di daerah Toba dan Pakpak, meskipun telah dibuat peta-peta perbatasan untuk tanah-tanah sewa jangka panjang. Karena beberapa alasan, yaitu penentangan penduduk setempat, ke kurangan modal, jatuhnya harga-harga atau permintaan, atau yang lain-lain — sewa-menyewa jangka-panjang ini tidak pernah betul-betul dimulai.10) Kecaman-kecaman terhadap konsesi-konsesi pertanian oleh berbagai kalangan akhimya mendorong pemerintah untuk bertindak. Pa da saat itu sudah terdapat persetujuan umum mengenai pentingnya memberikan kepada para pengusaha onderneming jus in rem atas ta nah, dan jalan terbaik untuk melakukannya ialah dengan sekaligus memisahkan tegas-tegas hak-hak agraria penduduk Indonesia dari hak-hak agraria onderneming, dengan cara membatalkan seluruh hak konsesi pertanian dan menggantinya dengan hak sewa jangka panjang ( erfpacht). Tindakan pertama yang diambil adalah mengeluarkan Keputusan Kerajaan tanggal 6 Mei 1915. Di situ dinyatakan bahwa Hukum Perdata Hindia Belanda untuk selanjutnya harus berlaku, dalam arti bahwa para pengusaha onderneming di kemudian hari akan memperoleh hak-hak yang nyata (jus in rem) atas tanah; dan perjanjian-perjanjian di masa mendatang akan didaftarkan dengan cermat Ini disusul da lam tahun 1919 oleh undang-undang khusus yang memberlakukan hak sewa jangka panjang di daerah-daerah yang dikuasai secara tidak langsung di luar Jawa dan Madura.111 Sebagai akibat dari undangundang ini, konsesi-konsesi pertanian tidak dapat lagi dikeluarkan di Sumatra Timur, kecuali untuk Langkat, Deli, dan Serdang — kerajaan-kerajaan yang penguasa-penguasanya telah menandatangani apa yang dinamakan ’’Kontrak-kontrak jangka panjang.” Kontrak-kontrak ini harus diperbaiki sebelum peraturan sewa jangka panjang dapat diterapkan di tiga kerajaan tersebut di atas. Tetapi apa yang terjadi dengan ratusan konsesi yang diberikan antara tahun 1864 dan 1919? Selama masa ini jutaan dolar telah dita nam. Di bawah syarat-syarat apakah pengusaha-pengusaha ondememing itu harus bekerja apabila konsesi-konsesi mereka berakhir? Be berapa tahun berlalu tanpa banyak keresahan yang nyata, tetapi pada 118
akhir 1920-an pengusaha-pengusaha onderneming itu mulai menekan pemerintah supaya memberikan kejelasan, karena mereka tidak da pat membuat rencana-rencana mengenai pemeliharaan, perbaikan, atau masalah-masalah lain tanpa mengetahui apa yang dihadapi on derneming mereka di masa depan. Dalam bulan Januari 1927 Gubemur Jenderal memerintahkan Direktur Departemen Dalam Negeri untuk memeriksa masalah pembaruan sewa-menyewa jangka panjang di Jawa dan untuk mempelajari apakah-apakah hak-hak agraria pengusaha-pengusaha onderneming di pulau itu harus diperbarui atau diperbaiki. Mengingat bahwa sewa-menyewa jangka panjang tidak ada yang akan berakhir sampai 1945, direktur itu menyarankan supaya pemeriksaan masalah khusus ini ditangguhkan dan selanjutnya segera mempelajari masalah pembaruan konsesi-konsesi pertanian di Sumatra Timur. Mengingat habisnya masa kontrak konsesi-konsesi tertua di sana — konsesi pertama harus berakhir 1931, lima yang lain antara 1936 dan 1938 — maka tidak banyak lagi waktu yang tinggal. (Tahun-tahun berakhirnya kon sesi-konsesi sesudah 1938 diberikan dalam Tabel 9 dan 10). Departe men Dalam Negeri kemudian menerima perintah untuk mempersiapkan suatu rencana pendahuluan untuk menemukan cara memperlakukan konsesi-konsesi onderneming pertanian yang akan berakhir itu dan menentukan perubahan-perubahan apa yang akan diperlukan dalam persetujuan-persetujuan politik (Kontrak-kontrak jangka pan jang) itu dengan penguasa-penguasa Langkat, Deli dan Serdang dalam rangka memberlakukan peraturan sewa jangka-panjang di kerajaankerajaan ini. Memorandum Du Marchie Sarvaas Inspektur Urusan Agraria, Du Marchie Sarvaas, menyerahkan sebuah memorandum panjang pada tanggal 31 Maret 1929 yang kemudian disampaikan bulan Juli tahun itu oleh Gubernur Sumatra Timur kepa da Persatuan Pengusaha Onderneming Deli dan kepada Persatuan Pengusaha Onderneming Karet Sumatra Timur dengan suatu permin taan supaya mereka mempelajari memorandum itu dan memberikan tanggapan mereka.121 Permintaan ini menandai pembukaan perundingan-perundingan resmi antara pemerintah dan para pengusaha on derneming mengenai pengalihan konsesi-konsesi onderneming per tanian menjadi sewa-menyewa jangka panjang. Dari dua akibat yang ditimbulkan memorandum Du Marchie Sar vaas terhadap situasi, salah satu adalah untuk menetapkan perlunya membatasi perundingan-perundingan awal hanya pada masalah ta nah-tanah tembakau. Sebab masalah tanah tembakau pada dasarnya berbeda dari masalah tanah-tanah yang diberikan untuk onderneming 119
TAB E L 9 T A H U N B E R A K H IR N Y A KONSESI-KONSESI TEM BAKAU DI LANGKAT, DELI, D A N SERDANG
Tahun 1938 1942 1944 1945 1946 1947 1948 1949 1950 1951 1952 1953 1954 1955 1956 1957 1958 1960 1961 1962 1963 1964 1965 1972 1973 1974 1977 1982 1984 1985
Luas Daerah yang Masa Konsesinya Berakhir
Persentase dari Seluruh Daerah 2,2 0,1 1,2 0,5 0,8 1,8 2,9 1,2 4,9 3,5 0,2 1,6 4,1 4,5 10,8 8,7 0,6 15,3 15,6 0,6 3,9 1,4 4,9 0,2 0,4 1,3 2,8 3,0 0,4 0,4
5.699 204 3.169 1.190 2.120 4.478 7.409 3.146 12.354 8.821 616 4.169 10.473 11.435 27.355 22.187 1.419 38.923 39.786 1.417 10.007 3.677 12.402 600 1.069 3.302 7.041 7.656 1.014 983 Jumlah 254.321
_______________ 99,8
Sumber: van Beukering. Nota, 1 Juni 1939, Lampiran 1
tanaman keras. Dan mengenai yang terakhir inilah telah tumbuh kekusutan hak-hak agraria yang lebih gawat Yang lain adalah untuk menjabarkan seberapa jauh dua pihak itu — pemerintah dan pihak onderneming — masih harus saling menjajaki sebelum perundingan 120
TAB E L 10 (sumber seperti TABEL 9) T A H U N B ER A K H IRN YA KONSESI ONDERNEMING TANAM AN KERAS DI LANGKAT, DELI, DAN SERDANG
Tahun
Luas Daerah yang Masa Konsesinya Berakhir
Persentase dari Seluruh Daerah
1938 1946 1948 1949 1951 1956 1957 1958 1959 1960 1961 1962 1963 1964 1965 1966 1967 1968 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987
2.368 2.200 1.451 4.530 514 7.323 4.400 3.596 307 7.250 58.505 7.653 10.768 5.682 4.905 2.774 263 276 14.534 8.465 5.232 11.517 6.872 2.446 3.204 4.187 1.244 10.076 9.159 2.723 6.185 28.366 9.979 2.575
0,9 0,8 0,5 1,7 0,2 2,7 1,7 1,4 0,1 2,7 22,1 2,9 4,1 2,1 1,9 1,0 0,1
0,1 5,5 3,2 2,0 4,3 2,6 0,9 1,2 1,6 0,5 3,8 3,5 1,0 2,5 10,7 3,8 1,0
121
yang berarti dapat dimulai. Du Marchie Sarvaas yang memusatkan perhatiannya pada cara bagaimana menambah bagian pribumi atas tanah dan penghasilan, mengusulkan pengurangan daerah konsesi tembakau secara menyeluruh dengan sedikitnya 12,5% dan menaikkan tarif-tarif sewa. Secara terperinci, rencananya menghendaki su paya disediakan sekitar 25.000 bau, baik dengan jalan memperpendek penggiliran dengan satu tahun maupun dengan memperpanjang masa jaluran dari setengah tahun menjadi dua tahun. untuk menjamin pembagian jaluran dengan adil, Du Marchie Sarvaas menambahkan usulnya supaya pejabat-pejabat distrik dibuat bertanggung jawab penuh untuk ini. Mengenai sewa-menyewa, memorandumnya tegas mengusulkan supaya sewa-menyewa jangka panjang sesu dah ini harus dibatasi sampai 50 tahun dengan sewa tahunan 15 gul den per bau dan supaya hadiah tanah (sejenis pembayaran ” uang kunci” dibayar pada permulaan suatu perjanjian sewa jangka panjang) ditetapkan 200 gulden per bau. M em oran d u m itu menimbulkan amarah luar biasa dari para pemilik onderneming. Mereka bahkan menolak mempertimbangkan per ubahan dalam kebiasaan penggiliran yang diusulkan atau dalam sis tem jaluran. Suatu usul tandingan dibuat mengenai pengalihan itu sendiri, yaitu supaya lama sewa-menyewa berlaku untuk 75 tahun de ngan sewa tiga gulden per hektar, dimulai setelah berakhirnya masa konsesi asli. Untuk pembayaran hadiah tanah (uang kunci) diusulkan 10 gulden per hektar dikurangi 1,50 gulden per hektar untuk setiap 10 tahun dari sisa masa konsesi asli pada waktu pengalihan. Para pengu saha onderneming juga menuntut suatu syarat tambahan supaya pe merintah memberikan pemberitahuan 15 tahun sebelumnya dalam hal tidak diperpanjangnya suatu kontrak sewa dan kewajiban pembelian oleh pemerintah atas semua tanaman yang masih tumbuh, mengganti biaya perbaikan-perbaikan tetap seperti gedung-gedung, jalanjalan raya dan terusan-terusan air. Dari tahun 1930 sampai 1933 masalah sewa ini menggeser semua masalah lain dalam debat soal pengalihan yang tak putus-putusnya itu. Akhirnya pemerintah terpaksa membuat gerakan pertama menu ju suatu kompromi dengan menerima hektar ketimbang bau sebagai dasar untuk sewa 15 gulden yang diusulkan itu. Selama tahun-tahun yang sama, suatu upaya percobaan telah dilakukan untuk menemukan berapa tepatnya jumlah petani — dalam peristiwa pengalihan itu — yang layak meminta ganti rugi. Memorandum Bastiaan Suatu usaha baru untuk menemukan dasar bagi perundingan meja bundar antara wakil-wakil pemerintah dan pengusaha onderneming 1 2 2
diadakan dengan mengedarkan di antara kementerian-kementerian bersangkutan sebuah memorandum kepada Gubemur Sumatra T i mur tertanggal 5 Agustus 1933 yang dibuat oleh Inspektur Urusan Agraria, Bastiaan. Meskipun bahan pertimbangan yang kedua ini jauh lebih mendasar daripada yang pertama, Gubernur Sumatra Timur ^ rupanya dipengaruhi oleh konsultasinya yang tak resmi engan p pengusaha onderneming menyatakan bahwa memoran um 1 cocok sebagai dasar pembicaraan resmi. Dan sejauh kita ketahu , gu bernur itu tak pemah secara resmi mengajukan memorandum tersebut kepada para direktur o r g a n i s a s i - o r g a m s a s i onderneming. Dengan pertimbangan yang masih terpusat pada masa a nyewa di masa mendatang dan pembenan ana nrobpenuntut pribumi, Bastiaan terus bergumul m e n a ^ m f va d2 ! n akan lema ini. Mengenai sewa-menyewa ia mengusu p setiao hektar skala b e r g e ra k (sliding scale) 1,50 di 10% d im ulai pad a tam bah 25% d a r i keuntungan tahunan le b ih di atas m
Qimu
y
saat berakhirnya masa konsesi asli. petani. Bastiaan dengan tegas menen^ t^ ang dikembangkan 30 ha onderneming terus menggunakan sisteim y s sudah kesampai 40 tahun sebelumnya dan menurut p ^ ^
tinggalan 30 sampai 40 tahun. Untuk dan hak-hak agraria petani dan per®i mengusulkan p e n g a k h i r a n sistem jalura sedikit 25% daerah konsesi kepada para p jaluran mereka yang hilang itu.
pengembalian paling sebagai ganti untuk r hpmur Su-
Dalam tangkisan khusus terhJdbaPh^ e^e°wrtahunan langsung lima matra Timur tetap berpendapat bah -k.usik poia penggunaan gulden per hektar sudah cukup,ian n^ sik.usik adat yang sudah tanah yang berlaku sekarang berart Desakan ngotot supaya memadukan sistem jaluran itu k e j ^ peljanjian-perjanjian J^engakui hak-hak agraria yang b adalah tidak realistik konsesi iama, menurut hemat belah pihakyang Tak sadar terhadap pokok dasar pem menyetujui Gubernur berdebat, Batavia membagi dukunganny ^ menyetujui Inspekmengenai masalah sewa di masa . untuk dibebaskan dan matur Bastiaan mengenai masalah \u®s . lu_an xetapi mereka sendiri, salah yang berkaitan erat yaitu sis e j ^ satu hal, yakni perlu Bastiaan dan Gubemur, sama-sama sei j masalah.masaiah agraadanya satu kantor khusus untuk m Batavia, dalam bulan * a di Sumatra Timur. Be§itulah, konsep pengalihan menjaOktober 1935, delapan tahun Pen,jh set a gebuah kant0r sementara, dl suatu kemungkinan yang daPa M’edan untuk penelitian dan B»-o Pengalihan, secara resmi dibuka ai lO Q
p e rsia p a n ren can a-ren can a k e ija m enuju pen yusun an k e m b a li hakh ak a g ra ria d a e ra h tem bakau itu. P e ja b a t-p e ja b a t B iro P e n g a lih a n y an g b a r u d id irik a n itu d en gan tekun m uiakukan p e n y elid ik an -p en yelidikan selam a bertahun-tahun dan m enulis ban yak la p o ra n m e n g e n a i p e n e m u a n -p e n e m u a n m ereka, yang d e n g a n c a ra d e m ik ia n m em bangun suatu d a sa r statistik yang sangat b e rh a rg a untuk p eru n d ingan-perundingan kem udian. Politik Pengalihan
Masalah pengalihan itu sendiri bagaimanapun, seperti banyak orang sudah tahu, tidak memberi kemungkinan akan pemecahan yang tertib secara ilmiah. Tidak jauh dari bawah permukaan bergejolak aliranaliran simpang-siur dari suatu kekusutan politik yang mungkin telah memberikan suatu hikmah sementara. Para pengusaha onderneming itu telah menyatakan posisi mereka dengan sangat jelas: keuntungankeuntungan dari segi hukum yang menyangkut sewa jangka-panjang, tidak akan dilepaskan dengan mengorbankan keuntungan-keuntungan ekonomi yang inheren terdapat dalam perjanjian-perjanjian konsesi awal. Dan setiap rencana pengalihan harus menawarkan suatu alternatif yang dapat diterima mengenai kelanjutan konsesi-konsesi sam pai habis masa berlakunya. Kesulitannya adalah bahwa setiap ren cana pengalihan harus dapat diterima juga oleh tiga golongan lainnya yang berbeda, yaitu pemerintah, penduduk pribumi, dan raja-raja Su matra Timur itu. Harga untuk perdamaian dalam negeri berarti harus menjamin adanya persetujuan sepenuhnya dari para raja. Sedangkan minat para raja dalam masalah pengalihan ini, terpusat khusus hanya pada kepentingan diri sendiri, yakni jumlah pembayaran hadiah tanah (’’uang kunci”) yang jumlah totalnya rupanya akan dibayarkan pada waktu sewa jangka panjang itu ditandatangani. Dalam hal ini para penguasa itu menghadapi penolakan yang keras dari para pengusaha onderne ming. Pihak onderneming tetap berpendapat bahwa pada dasarnya hxuiiah tanah harus dibayar hanya satu kali saja dan, karena telah membayarnya ketika mendapatkan konsesi, mereka tidak harus membayamya lagi untuk kedua kalinya. Para sultan sendiri tetap bersitegang bahwa pembayaran ’’uang kunci” ini merupakan suatu conditio sine qua non untuk mendapatkan tanda tangan mereka bagi kontrak sewa-menyewa baru itu. Pembahasan-pembahasan yang berlarut-larut mengenai masalah ini melahirkan suatu persetujuan bahwa 10 gulden per hektar harus dibayar untuk konsesi-konsesi yang berakhir sebe lum 1 Januari 1950, sembilan gulden untuk konsesi-konsesi yang bera khir antara 1 Januari 1950 dan 31 Desember 1959, dan delapan gulden untuk konsesi-konsesi yang berakhir setelah 1 Januari 1960. Begitulah 1 2 4
Penguasa-penguasa Sumatra T im u r ditenteramkan, karena peijan jian P e r ja n jia n p o litik tela h m enetapkan untuk m em berikan 75% d ari uang itu kepada p rib a d i penguasa itu sendiri dan 25% kepada perben dah araan negerinya. D iperkirakan seluruh ” uang kunci” itu akan b erju m lah kira-kira 2,4 juta gulden, dari jum lah mana penguasa-penguasa itu dan kepala-kepala wilayah bawahannya akan m enerim a hamP ir 1,8 ju ta gulden. In i merupakan petunjuk mengapa penguasa-penguasa itu tid ak p e m a h terla lu bergairah untuk mengurangi daerah Perkebu n an secara besar-besaran (lihat T a b el 11). T A B E L 11 P E R K I R A A N P E M B A Y A R A N H A D IA H T A N A H D A N P E M B A G IA N N Y A A N T A R A P A R A S U L T A N D A N B E N D A H A R A N E G A R A (dalam gulden) K esultan an D e li S e rd a n g Lan gkat
P a ra Sultan
Bendahara
Jumlah
807.677 271.614 717.163
269.226 90.538 239.054
1.076.903 362.152 956.217
Jum lah 1.796.454
598.818
2.395.272
S u m ber: van Beukering, Verslag, 3 M aret 1939
P e m e r in ta h H in d ia B e la n d a pun sangat berkepen tin gan dalam pen galih an itu. M asalah yang paling jelas adalah preseden yang telah d ic ip ta k a n untuk peru n din gan -peru n din gan m endatang m engenai pem baruan sewa-m enyewa jangka panjang yang dikeluarkan setelah taehun 1870. M asalah-masalah penting lainnya adalah: pelaksanaan peratu ran sew a-m enyew a jangka panjang (eifpachts-
Memorandum Bouwes Bavinck, Residen Sumatra Timur Dua tahun setelah berdirinya Biro Pengalihan di Medan, suatu upaya baru untuk menemukan dasar bagi perundingan-perundingan dibuat oleh Residen Bouwes Bavinck. Memorandumnya tertanggal 9 Oktober 1937,14) terkenal karena tinjauan latar belakang sejarahnya yang cermat, Residen J. Bouwes Bavinck dengan jelas mengungkap kembali bahwa kontrak-kontrak konsesi itu telah menugaskan kepada para pengusaha onderneming untuk melindungi rakyat yang tinggal di ling kungan konsesi mereka, terutama menyisakan lahan huma. Kerelaan kaum tani untuk menerima alternatif yang menyenangkan, yakni menggunakan lahan tembakau yang habis dipanen, tidak boleh melepaskan pemilik-pemilik onderneming itu dari kewajiban mereka. Se benarnya, menurut beberapa kontrak, kaum tani mempunyai hak atas jaluran dan juga atas tanah huma. Supaya para pembacanya dapat mengikuti rangkaian masalah selengkapnya, Bavinck selanjutnya menguraikan bahwa krisis tanah yang memuncak beijalan seiring de ngan pertambahan penduduk yang terus-menerus dan rangsangan eko nomi yang timbul karena terbukanya pasaran yang meluas untuk hasil-hasil pertanian rakyat seperti buah-buahan dan sayur-mayur. Itulah yang menjadi faktor pendorong bagi kaum tani untuk meminta empat bau atau empat hektar tanah yang dijanjikan bagi setiap ke luarga dalam persetujuan-persetujuan kontrak Sangatlah disesalkan, demikian Bavinck menanggapi, bahwa para pengusaha onderneming bukan hanya tidak menaruh perhatian dalam memperbaiki ’’kekeliruan” mereka selama 40 atau 50 tahun sebelumnya, melainkan juga kelihatannya malah marah kepada tuntutan-tuntutan yang terlambat ini. Pengusaha-pengusaha onderneming itu, tidak menyetujui setiap perubahan dalam penggunaan tanah yang akan mengalihkan lahanlahan tembakau terbaik menjadi lahan hasil pertanian bagi pasaran setempat Bagaimanapun belum ada orang yang dapat menjawab pertanyaan mengenai siapa sebenarnya yang masuk ke dalam kategori penduduk yang mempunyai hak-hak sah yang sejati. Hanya konsesi-konsesi yang dikeluarkan setelah 1892 telah tunduk kepada peraturan yang menetapkan suatu sensus penduduk 1setiap lima tahun. Ondememing-onderneming lainnya yang tidak menyimpan catatan-catatan tentang ahli-ahli waris yang sah, dan tidak mempunyai daftar kelahiran dan kematian, sangat mengacaukan tugas yang sudah sulit untuk mencoba menentukan sejarah silsilah keluarga. Para peneliti dari Biro Penga lihan telah mengikuti suatu sistem untuk membagi para penuntut yang sah menurut pola keturunan ke dalam tiga golongan ”A ” , ”B” , dan ”C” (seperti diuraikan dalam Bab V). Dengan menggunakan sis tem golongan ini residen mengusulkan supaya kepala-kepala keluarga 1 2 6
dalam golongan ”A ” menerima 2,84 hektar, mereka dalam golongan ”B” dan ” C” menerima 1,42 hektar. Tabel 12 memberikan suatu perincian tentang golongan-golongan ini dalam konsesi ondememing-onderneming tembakau, dan Tabel 13 meringkaskan data mengenai jum lah keluarga dengan atau tanpa suatu tuntutan yang sah atas ganti rugi tanah. Angka-angka dalam Tabel 12 adalah demikian rendahnya sehingga orang tidak bisa lain kecuali merasa bahwa tentulah telah teijad i banyak keluarga yang berhak tetapi belum pernah didaftarkan dan tidak memiliki keterangan yang diperlukan mengenai silsilah ke luarga mereka sendiri. T A B E L 12 J U M L A H P E N U N T U T Y A N G S A H A T A S T A N A H B E R D A S A R K A N GO L O N G A N D A N J U M LA H T A N A H Y A N G D IT A W A R K A N OLEH O N D E R N E M IN G T E M B A K A U BESAR*) Golongan ”A ”
(Jolongan ”B ” & ”C”
Golongan A+B+C
Jumlah hektar yang ditawarkan
3.620 1.418 1.919 879 108
4.931 796 1.710 406 11
8.551 2.214 3.629 1.285 119
29.000 4.041 8.334 1.971 1.816
Jumlah 7.944
7.854
15.798
45.162
Perusahaan Deli Deli-Batavia Senembah Arendsburg Tjinta Raja
*) Angka-angka ini diberikan oleh van Beukering dalam Nota, 1939.
Tabel 13, berdasarkan suatu laporan yang ditulis kira-kira satu tahun kemudian, memberikan angka yang agak lebih tinggi dari keluargakeluarga yang memenuhi syarat, tetapi juga memperlihatkan bahwa bagi setiap keluarga desa dengan hak yang sah, terdapat kira-kira 5,2 keluarga-keluarga desa tanpa hak-hak seperti itu. Mestilah diingat bahwa angka-angka ini tidak termasuk ribuan keluarga asal Jawa yang dipekerjakan di onderneming-onderneming yang tidak pernah menjadi kawula sultan-sultan Langkat, Deli, atau Serdang dan tidak dimasukkan dalam penyelidikan mana pun tentang ekonomi desa dalam lingkungan daerah-daerah tembakau. Karena beberapa tanah yang ditawarkan para pengusaha onderne ming dapat dijadikan persawahan, maka diusulkan supaya satu bau tanah yang mungkin dijadikan sawah dianggap sama dengan empat bau tanah yang tidak dapat dijadikan sawah. Atas dasar perhitungan ini, pejabat-pejabat pemerintah menerangkan bahwa golongan ”A ” harus diberikan 0,71 hektar dan golongan-golongan ” B” dan ” C” , 0,35 hektar dari tanah yang mungkin dijadikan sawah itu. Siapa pun yang 127
T A B E L 13 J U M L A H P E N U N T U T Y A N G SA H D A N JU M LA H K E LU A R G A T A N P A H A K M E N U N T U T *) Daerah
Jumlah Penuntut 1.727 5.685 441 2.434 1.215 4.926
D eli H ilir Deli Hulu Serdang H ilir Serdang Hulu Langkat H ilir Langkat Hulu Padang dan Bedagei
— Jumlah
16.428
Jumlah Keluarga tanpa Hak 20.163 2.394 13.429 3.976 13.602 11.472 19.353 84.389
*’ Angka-angka ini diberikan oleh van lijnden dalam Monthly Report for May 1940.
mengenai keadaan pertanian di Pulau Jawa akan segera menyadari bahwa tanah-tanah pertanian seluas itu sangat kecil dan bahwa di Jawa pun suatu keluarga yang memiliki tanah kurang dari satu hektar sangat sukar memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sawah 0,71 hektar yang sedikit lebih luas itu pasti tidak memberikan lebih daripada nafkah hidup yang sangat sederhana. Dengan pembagian seperti ini, pemerintah menciptakan suatu keadaan ekonomi desa di daerah-daerah tembakau Sumatra Timur menjadi sepenuhnya sama dengan kea daan ekonomi di Jawa yang kepadatan penduduk itu. Kekurangan yang paling parah dari usul ini adalah bahwa ia tidak membuat persediaan untuk pertambahan penduduk masa mendatang, sedangkan di bawah sistem jaluran yang ada sekarang, semua anak lelaki yang sudah menikah dari kepala keluarga yang sudah mempunyai hak, dii zinkan menuntut jatah bagi diri mereka sendiri atas tanah tembakau yang habis dipanen. Ini tentu saja berarti bukannya satu orang penuntut melainkan mungkin tiga atau empat orang yang masing-masing dapat mengharapkan luas tanah yang sama. Dalam satu atau dua ke turunan, penduduk setempat akan berada dalam kesulitan-kesulitan yang parah jika sistem jaluran itu dihapuskan. Usul dan kontra-usul diajukan terus. Residen memperkirakan bah wa 31.710 hektar akan dapat memenuhi kebutuhan 15.798 keluarga yang mempunyai hak-hak yang sah, jika setidak-tidaknya sebagian ke cil diberikan sawah ketimbang tanah yang tidak dapat dijadikan sa wah. Karena pada tahun 1939 para pengusaha onderneming tembakau telah memperlihatkan suatu kesediaan melepaskan kira-kira 46.000 hektar dari daerah konsesi mereka, maka pejabat-pejabat pemerintah merasa yakin bahwa sistem jaluran dapat segera dihapuskan. Dengan 128
demikian satu syarat penting dari peraturan sewa jangka panjang itu terpenuhi. Akan tetapi, penyelidikan lebih jauh atas tanah yang dita warkan itu mengungkapkan bahwa beberapa di antaranya terletak sangat jauh dari kampung yang mana pun sehingga pemukiman-pemukiman baru akan harus didirikan. Selanjutnya ada tanah yang terlalu curam sehingga tidak aman untuk cocok-tanam kaum tani, dan beberapa yang lain — setidak-tidaknya pada waktu itu — tetap tidak cocok bagi pertanian oleh karena kadar zat garam yang tinggi dari tanah itu. Sangat jelas, para pengusaha onderneming telah menawarkan melepaskan tanahnya yang sama sekali tidak menguntungkan ba gi diri mereka sendiri, maupun bagi kaum tani. Di atas kertas, tawaran itu nampaknya mengesankan, tetapi hanya ahli hukum yang merasa puas, bukan ahli-ahli pertanian. Dengan sikap pantang mundur terhadap gerakan-gerakan licik para pengusaha onderneming, Residen Bavinck terus mendesak supaya mengakhiri sistem jaluran yang seperti dikemukakan dalam memorandumnya, telah merusak hidup rakyat Ditinjau dari segi pendidikan dan vitalitas rakyat, orang tidak bisa lain kecuali berpendapat bahwa sistem menyerahkan jaluran kepada pendu duk yang tanahnya adalah bekas ladang-ladang tembakau yang baik, dan yang sangat banyak d ip u p u k i... tidak mendukung pengembangan kerajinan dan daya kemauan yang diperlukan oleh seluruh rakyat Sistem semacam ini yang membuat wanita paling banyak bekerja dan orang dapat mempe roleh hasil-hasil maksimum dengan upaya yang minimum, tidak akan dapat membuahkan hasil-hasil yang baik dalam jangka panjang. Ini sudah jelas. Selama sistem jaluran berjalan puluhan tahun, para penguasa yang cuma tahu sedikit lebih banyak dari lingkungannya sendiri, telah melihat bagaimana rakyat yang bekerja keras betul-betul dapat menghasilkan sesuatu yang berharga. Mereka mengakui bahwa sistem pertanian jaluran tidak membuat kawulanya menjadi kuat dan penuh semangat kerja — kawula yang mestinya mampu menanggulangi kesulitan ekonomi dan berbagai kesulitan lainnya. Ditinjau dari segi pendidikan, adalah sungguh-sungguh perlu bahwa rakyat harus belajar bagaimana bekerja keras dan menghargai hasil-hasil produk-produk pertanian yang sekarang mereka peroleh hampir tanpa suatu upaya. Adalah jelas bahwa rakyat enggan meninggalkan sistem ini, karena mereka menganggap itulah jalur satu-satunya yang merupakan rahmat bagi mereka. Mereka menentang rencana penghapusan sistem ja luran itu, dan bahkan telah berbuat sedemikian jauh dengan pemyataan bahwa mereka lebih suka tanpa tanah ketimbang harus bekerja di masa depan dan bahwa mereka lebih suka tetap tergantung kepada para pengu saha onderneming Barat ketimbang menjadi kaum tani merdeka. Hal-hal ini dan pemyataan-pemyataan serupa, membuktikan bahwa rencana peng alihan mungkin datang tepat pada waktunya untuk menyelamatkan rakyat dari kehancuran moral.15’
Khotbah patemalisme ini memberikan orang suatu kesan yang pas129
ti bahwa mayoritas kaum tani Sumatra Timur menghendaki kelanjutan sistem jaluran yang menyenangkan itu. Tetapi pada saat ini para pengusaha onderneming itu, untuk kepentingan sendiri malah siap meninggalkan sistem itu. Penolakan mereka sebelumnya, yang dinyatakan dengan gigih dalam tahun 1930, disebabkan ketakutan bahwa penyelesaian tuntutan-tuntutan tanah itu akan berakibat harus melepaskan tanah yang bermutu tinggi di daerah-daerah yang terletak an tara rawa-rawa panta4i dan tanah-tanah tinggi yang terkikis itu. Sete lah menyadari bahwa cuma tanah-tanah pinggiran yang secara ekonomis tak berguna yang akan terlibat — dan bahwa hak-hak mereka atas tanah-tanah yang bermutu baik sejak saat itu dan untuk seterusnya tidak dapat diganggu-gugat lagi — para pengusaha onderneming itu dengan cepat berusaha untuk menghapuskan sistem itu. Setelah melihat adasnya basa-basi dalam khotbah paternalisme Bavinck, para pengusaha perkebunan siap menyetujui kemungkinan menggunakan memorandumnya sebagai dasar perundingan. Persetujuan sementara di Sumatra Timur tidak menghalangi tanggapan yang sangat kritis terhadap memorandum Bavinck di Batavia. fefcmbar yang mau dijalankan pemerintah menimbulkan pertentangan intern pada tingkat pengambilan kebijaksanaan. Keinginan di satu pihak untuk membantu ’’rakyat yang lemah dan sangat merosot akhlaknya” untuk menjadi lebih kuat dan lebih percaya akan diri sendiri dan untuk membebaskan mereka dari cekikan ekonomi para pengusaha onderneming, dan di lain pihak keinginan melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi para pengusaha onderneming dan meluaskan kesejahteraan ekonomi negara sebagai keseluruhan, di dalam praktek bertentangan satu sama lain. Para pengusaha on derneming tidak segan menggunakan kedudukan mereka yang istimewa, umpamanya untuk meyakinkan pejabat-pejabat Departemen Da lam Negeri setempat bahwa orang-orang Batak Karo dan Melayu yang ’’malas” itu akan menelantarkan tanah-tanah yang sangat produktif, atau menyebabkan ketidaksuburan yang parah, dan lebih buruk lagi, memnyerahkan tanah-tanah yang indah ini kepada petani-petani sayur-sayuran dan peternak-petemak babi Cina dan kepada petanipetani bagi hasil asal Jawa. Keputusan resmi residen mengenai orang-orang Melayu yang tinggal di daerah pantai adalah bahwa me reka bukan benar-benar petani melainkan nelayan, pedagang-pedagang, dan kusir-kusir sado. ’’Rakyat mesti belajar sekali lagi bekerja dan mengolah tanah secara intensif. Mereka mesti dibawa ke luar dari kebutuhan yang nyata dalam mana mereka sekarang berada se bagai akibat sistem jaluran yang merusak. Mereka mesti menjadi petani-petani yang sungguh-sungguh jika mereka ingin mempertahankan hasil-hasil pertanian yang sekarang mereka nikmati berkat jaluran.” 130
Memorandum Direktur Departemen Dalam Negeri Lebih satu tahun berlalu antara saat penolakan memorandum Bouwes Bavinck dan penyerahan memorandum yang baru tanggal 28 Desember 1938 oelh Direktur Departemen Dalam Negeri.16’ Mungkin se kali terjadinya kelambatan itu karena diadakan analisis yang luas tentang usul-usul Bavinck oleh Departemen Perekonomian, karena nampak Direktur Departemen Dalam Negeri menunjukkan suatu pemahaman yang lengkap atas maksud dan tujuan memorandum terdahulu dan juga atas kenyataan-kenyataan yang dihadapi para pengusa ha onderneming tembakau. Meskipun bersedia menyetujui Bavinck dalam masalah-masalah seperti jumlah sewa dan lamanya sewa-menyew a jan gka panjang, direktur itu mengecam pendekatan menyeluruh itu sebagai suatu produk kepentingan diri sendiri dari para pengusaha onderneming yang tidak mempunyai rasa keadilan. De ngan mengemukakan kekurangan-kekurangan tertentu, direktur itu meminta diadakan suatu penyelidikan yang cermat mengenai cocok tidaknya tanah yang ditawarkan oleh pengusaha-pengusaha onderne ming untuk pertanian, dan sungguh-sungguh dibenarkan dalam data statistik pihak onderneming sebagai lahan yang cukup memenuhi se mua tuntutan yang sah. Direktur itu juga tidak menyetujui begitu saja data statistik pihak onderneming mengenai luas daerah seluruhnya yang disediakan un tuk dilepaskan. Para pengusaha onderneming menguasai seluas 255.000 hektar lahan tembakau dan merencanakan untuk mencadangkan 209.000 hektar sesuai dengan memorandum Bavinck. Tetapi da lam masa tenang menjelang zaman malaise, para pengusaha onderne ming seperti diperlihatkan oleh catatan — memakai rata-rata 17.750 hektar per tahun (kurang dibanding dengan 15.000 hektar pada masa pasca malaise). Dengan penggiliran delapan tahun, luasnya bertambah sampai maksimum hanya 120.000 hektar tanah siap-pakai yang diperlukan industri tembakau. Apalagi jika dapat mengurangi penggi liran dari delapan menjadi tujuh tahun dengan menghilangkan sistem jaluran, maka keperluan tanah bagi perkebunan tembakau menjadi lebih kecil, meskipun ditambah untuk jalan-jalan, emplasemen-emplasemen, fasilitas-fasilitas lainnya yang bukan pertanian; semua itu tidak akan sampai mendekati 209.000 hektar yang disebutkan dalam usul-usul Bavinck. Direktur itu tercengang oleh kenyataan bahwa di bawah rencana Bavinck itu industri tembakau akan mampu meneruskan pekerjaanpekerjaannya tanpa suatu perubahan apa pun yang penting, sementa ra petani-petani dengan hak-hak agraria akan terpaksa menggantungkan hidupnya pada jatah-jatah lahan yang sempit berukuran 0,35 hek tar sawah — dan bahkan kira-kira 85.000 keluarga tidak menerima 131
lahan-lahan sempit ini. Lebih jauh, dengan melepaskan tanah yang, pada umumnya tidak cocok untuk industri tembakau, pengusahapengusaha onderneming akan mengurangi daerah yang terkena sewa (jumlah luas kotor) tanpa mengurangi lahan yang cocok untuk produksi tembakau (jumlah luas bersih). Tindakan-tindakan yang dalam pandangan para pengusaha onderneming dianggap drastis, seperti pengurangan tahun penggiliran, izin penggunaan jaluran satu tahun sebagai pengganti setengah tahun, atau pengurangan jumlah luas la han tembakau semuanya telah digugurkan oleh Bouwes Bavinck seba gai sesuatu yang tidak perlu. Sebaliknya direktur itu mengulangi me nyatakan perlunya menghapuskan sistem jaluran dan dengan langsung membenarkan pendapat bahwa rakyat pribumi tidak pantas me nerima tanah yang baik, mengusulkan supaya semua ladang dilepaskan untuk pertanian penduduk baik yang dinyatakan cocok untuk per tanian atau dibuat supaya cocok atas biaya para pengusaha onderne ming, bukan bendahara negara atau rakyat Pengkajian yang drastis ini tentu dirasakan sebagai suatu pukulan berat bagi para pengusaha onderneming, walaupun setiap orang yang, belum tunduk kepada indoktrinasi yang hebat yang diadakan selama dan di luar jam-jam kantor, tidak bisa tidak akan mengajukan bentuk pertanyaan-pertanyaan yang sama.
Ikut sertanya Ahli-ahli Pertanian Selama hampir sepuluh tahun, masalah pengalihan itu merupakan bidang ahli-ahli hukum, yang menyelidiki perjanjian-perjanjian kon sesi lama, kontrak-kontrak contoh, undang-undang agraria, dan hukum adat Tetapi mereka juga menerima pendapat pihak para pengusaha onderneming mengenai segi-segi teknis pertanian dalam masalah ini. Dalam tahun 1939 Departemen Perekonomian, dikepalai Dr. H. van Mook, memasuki arena. Ia memperluas cakrawala pembahasan, dan mengajukan beberapa pertanyaan yang sangat penting atas nama pen duduk pribumi. Langkah pertama adalah menugaskan Ir. J.A. van Beukering untuk meneliti masalah reorganisasi dan pengalihan kon trak. Van Beukering, yang penyelidikan-penyelidikannya sangat intensif mengenai pertanian huma telah membuat dia betul-betul memenuhi syarat untuk menilai problema-problema Sumatra Timur. Ia mu lai dengan meninjau memorandum yang dibuat oleh rekan-rekannya ahli hukum dari Departemen Dalam N egeri171 dan kemudian berhasil mempersembahkan pandangan-pandangan dan usul-usulnya sendiri dalam Nota: nopens de Conversiem) tertanggal 1 Juni 1939.18) Saya menganggap dokumen ini mempunyai arti sangat penting. Van Beukering menegaskan bahwa pendekatan para ahli hukum tidak cu*) Nota mengenai Pengalihan — pent
132
kup dan bahwa penelitian harus dimulai dari kebiasaan-kebiasaan budaya pertanian yang berlaku pada dua belah pihak, para pengusa ha onderneming dan para petani, dan baru kemudian mempelajari perubahan-perubahan apa yang mungkin dapat dfibuat untuk menyelesaikan problemanya. Menyadari ketidakmungkinan melakukan pertanian huma di atas dua sampai empat bau lahan, atau bahkan di atas empat hektar, ia menekankan bahwa kaum tani Sumatra Timur akan harus beralih kepada pertanian ladang permanen yang intensif, baik di atas lahan sawah maupun ladang kering. Tetapi jika seorang petani huma bisa mempunyai tanah yang cukup jauh letaknya dari rumahnya, maka lain halnya dengan petatni ladang permanen. Yang terakhir tak akan sanggup merawat ladang yang terlalu jauh dari ru mahnya. Ini berarti bahwa para pengusaha onderneming tidak dapat mengharapkan hanya melepaskan daerah-daerah pantai atau tanah tinggi kepada para penuntut, yang kebanyakan tinggal di kampung kampung besar di daerah yang terletak di antara tanah-tanah konsesi. Van Beukering menolak mendekati permasalahannya dengan mencoba menemukan berapa luas tanah yang harus dilepaskan oleh para pengusaha onderneming untuk memenuhi syarat-syarat hukum yang sah, karena pendekatan seperti itu didasarkan atas kekurangan pengertiaen tentang pertanian sistem huma. Sebaliknya ia bertanya, bera pa luas tanah dapat dilepas dengan aman oleh pemerintah kepada para pengusaha onderneming, setelah mempertimbangkan kepentingan-kepentingan sosial dan ekonomi yang sah dari rakyat dan setelah memahami bahwa jumlah penduduk pasti bertambah selama tanah itu digunakan oleh para pengusaha onderneming, khususnya di ba wah sistem sewa-menyewa jangka-panjang. Tiga kerajaan, Langkat, Deli, dan Serdang — menjelang 1939 indus tri tembakau dibatasi pada tiga daerah tersebut — mempunyai dae rah seluas kira-kira 1.100.000 hektar. Dari jumlah ini, perkebunanperkebunan menguasai 520.000 hektar, jadi tersisa seluas kira-kira 580.000 hektar dalam wewenang pemerintah atau dalam tangan orangorang Indonesia. Sebagian besar dari 580.000 hektar ini terdiri dari hutan atau tanah yang tidak cocok untuk pertanian tanpa penanaman modal yang tinggi, atau karena satu dan lain alasan tidak dapat digu nakan untuk pertanian. Dari 520.000 hektar yang merupakan wewe nang onderneming-onderneming, 255.000 hektar adalah milik perusa haan tembakau dan 265.000 hektar milik perusahan tanaman keras. Tabel 14 memberikan persentase dari daerah lahan dalam tiga ke rajaan itu yang dikuasai onderneming atau dipisahkan sebagai ca dangan hutan dan ’’daerah bebas” . Masih perlu diungkapkan adalah beberapa data statistik sensus ta hun 1930, yang memperlihatkan penyebaran perkebunan tidak merata 133
T A B E L 14 PER SENTASE D AER AH T A N A H PERKEBUNAN, CADANGAN H UTAN, D A N ’’D A E R A H B E B A S ”*) Negara Deli Serdang Langkah
Persentase Segala Jenis Perkebunan
P e r s e n t a s e C adangan Hutan
Persentase ’’D ae rah Bebas”
68 53 38
9 8 38
23 39 24
*) V an Lijnden, Monthly Report, April 1940.
meliputi seluruh tiga kerajaan itu. Dalam dfistrik-distrik Deli, Deli Hulu, Padang, dan Bedagei, kira-kira 74% dari tanah itu berada di bawah kekuasaan onderneming-onderneming; di Deli H ilir sebanyak 80%; di Serdang 50%; di Langkat Hulu kira-kira 25%; dan di Langkat H ilir hanya 1,75%. Van Beukering menyimpulkan bahwa industri tem bakau tidak akan memerlukan lebih dari 120.000 hektar dari jumlah seluruh 255.000 hektar dan bahwa perkebunan-perkebunan tanaman keras tidak akan memerlukan lebih dari 150.000 hektar dan karena itu dapat mengeinbalikan kira-kira 100.000 hektar (lihat Tabel 15). Meski pun Notanya tidak menjelaskannya secara terperinci, tetapi orang akan mendapat kesan bahwa ia tidak menyetujui ditambahnya secara besar-besaran luas tanah bagi tanaman keras oleh ondememing-onderneming dengan pertimbangan sangat cepatnya pertambahan pen duduk desa, sebab penduduk tidak ada sumber lain untuk penghasil an kecuali jadi buruh berkala di perkebunan-perkebunan. Onderneming-onderneming tanaman keras sebaliknya, tergantung terutama pada burung-buruh yang didatangkan dari Jawa. Telah diperkirakan bahwa penduduk Indonesia di Sumatra Timur bertambah dari 90.000 pada tahun 1880 menjadi hampir 1,5 juta tahun 1930. Sensus 1930 melaporkan jumlah penduduk Langkat, Deli dan Serdang (tidak termasuk orang-orang Barat) adalah kira-kira 784.000, dibagi antara 650.000 Indonesia, 119.000 Cina, dan 15.000 orang Asia lainya. Karena 217.000 orang tinggal di onderneming-onderneming dan 95.000 di pemukiman-pemukiman kota, kita dapat memperkirakan bahwa penduduk desa tidak tergantung semata-mata pada pertanian perkebunan untuk sumber penghidupan bagi 472.000 jiwa, atau mendekati setengah juta. Pertambahan penduduk yang luar biasa ini me nimbulkan pertanyaan apakah dapat dibenarkan untuk memberikan para pengusaha onderneming hak-hak istimewa untuk selama masa 75 tahun, kecuali jika sumber-sumber poenghasilan baru dapat diciptakan bagi sebagian penduduk yang tidak lagi mendapat penghasilan pada lahan pertanian atau dibuka daerah-daerah baru di luar Lang134
T A B E L 15 JE N IS P E N G G U N A A N T A N A H DI LANG K AT, DELI, D A N SER D AN G *) Jenis Penggunaan Tanah
Jumlah Hektar
Cadangan Hutan Konsesi-konsesi Tembakau Daerah Tembakau yang Tak Diperlukan Konsesi-konsesi Tanaman Keras Daerah yang Tak Digunakan Daerah yang Disediakan untuk Penduduk Pribumi Daerah yang dapat Disediakan untuk Penduduk
283.300 255.000 135.000 265.000 105.000 314.300 240.000 Jumlah
1.117.600
*) V an Beukering, Nota, 1 Juni 1939, juga diberikan oleh Haan, Reisrapport No. 6, him. 2.
kat, Deli dan Serdang untuk menampung penduduk yang bertambah itu. Van Beukering juga menganalisis industri tembakau, struktumya, produktivitasnya, dan sumbangan-sumbangannya kepada masyarakat secara keseluruhan. Satu penemuan penting adalah bahwa permintaan untuk tembakau gulung Deli telah menurun terus-menerus sejak tahun 1930 karena Jerman dan Amerika Serikat, dua konsumen terkemuka, telah mengurangi pembelian mereka untuk produk ini (lihat Tabel 16). Dalam tahun 1930-an, Amerika Serikat membeli hanya kirakira 3% dari jumlah panen itu, dibanding dengan rata-rata 13% dalam tahun-tahun dari 1919 sampai 1930. Satu faktor penyebab utama da lam hal ini adalah adanya produksi tembakau tanaman lindung, teru tama di Connecticut dan Massachustts. Industri tembakau Sumatra Timur selamanya adalah padat modal, dan terlebih lagi merupakan industri pertanian padat karya, jika ti dak dapat dikatakan yang terdapat. Untuk panen 1926 industri itu membayar dalam bentuk upah saja, 1.273 gulden per hektar tanah untuk yang ditanami; dalam panen taehun 1937 ini dikurangi menjadi 891 gulden per hektar, tahun 1939 menjadi 873 gulden. Industri itu mempekerjakan 4,8 buruh per hektar dalam tahun 1926 dan 5.7 buruh per hektar tahun 1937. Mungkin tidak semua buruh dipekerjakan se panjang tahun. Wanita-wanita dan anak-anak, umpamanya, bekerja hanya selam a waktu-waktu singkat dan tertentu saja untuk menyingkirkan ulat-ulat, dan wanita-wanita sekali lagi menggunakan se bagian dari tahun itu sebagai pemilah daun-daun tembakau. Meski135
pun faktor-faktor yang terakhir tidak dihitung, kepadatkaryaan indus tri tembakau tetap sangat tinggi (lihat Tabel 17). Selain upah-upah yang dibayar industri kepada angkatan kerjanya yang tetap, juga dikeluarkan biaya besar bagi orang-orang dalam komuniti itu untuk jasa-jasa mereka di luar pekerjaan menanam dan memilah-pailih daun tembakau, seperti membuka hutan dan membangun bangsal-bangsaltembakau. Selain pengeluaran-pengeluaran ini kita mesti menambahkan biaya sewa, pajak-pajak, ongkos-ongkos angkutan, dan semua pengeluaran lain yang dibuat oleh industri itu di Sumatra sampai produk itu masuk pasar.19) Besarnya pembayaranpembayaran seperti itu (lihat perincian dalam Tabel 18) menjadi per hatian bahkan juga pada orang-orang di Departemen P e re k o n o m ia n , yang urusannya secara resmi adalah kesejahteraan sektor tani dalam ekonomi Indonesia dan yang cenderung bersikap kritis terhadap pi hak onderneming itu. Fakta yang tak dapat dihindari adalah bahwa industri tembakau memberikan lapangan kerja bagi kaum buruh da lam jumlah yang sangat besar. Sebaliknya, van Beukering tidak percaya bahwa untuk meneruskan sistem pertaniannya yang biasa de ngan selanjutnya penggiliran tanaeh kosong selama 7 tahun, industri tembakau memerlukan lebih dari 120.000 hektar tanah, meskipun di gunakan kira-kira 12.000 hektar untuk jalan-jalan, p e m u k im a n -p e m u kiman, dan maksud-maksud lain yang tidak menghasilkan. Lagi pula, mengingat penghasilan kotor untuk masyarakat pertanian ondememing jauh melebihi penghasilan kotor pertanian rakyat, pemberian 120.000 hektar untuk sewa-menyewa jangka-panjang industri temba kau menurut pendapatnya dapat dipertahankan dalam arti sesio-ekonomis. Bagaimanapun Van Beukering sadar bahwa pada saat sewa-me nyewa jangka 75 tahun akan berakhir, penduduk sudah akan bertam bah sampai ke tingkat tertentu sehingga hanya rata-rata satu hektar tanah yang dapat ditanami akan tersedia bagi setiap keluarga, diban ding dengan rata-rata tiga hektar per keluarga yang tersedia di kerajan kerajaan Langkat, Deli, dan Serdang dalam 1939 Meskipun masalah pengalihan konsesi onderneming yang bergerak l bidang tanaman keras hanya sedikit mendapat perhatian dalam memorandum terdahulu, van Beukering memeriksanya juga, walaupun secara sepintas. Sekalipun problem itu kurang mendesak mengingat paling banyak konsesi-konsesi seperti itu akan berakhir agak kemudian daripada konsesi-konsesi tembakau, pem erintah mempunyai alasan untuk menaruh perhatian secara khusus. Dari ki ra-kira 650.000 hektar dalam konsesi-konsesi milik ondememing-ondrneming tanaman keras di Sumatra Timur, hanya 342.000 hektar, atau kira-kira 52%, yang sesungguhnya ditanami dengan karet, kelapa 136
TABEL 16 PEMASARAN TEMBAKAU BUNGKUS DELI OLEH NEGERI-NEGERI PEMAKAI (dalam bal) Tahun
Jerman
Belgia dan Luxemburg
Denmark
Amerika Serikat
Negeri Belanda
19Q2 1933 1934 1935 1936 1937
107.961 92.641 100.948 71.682 72.243 78.321
6.705 5.769 7.692 6.898 6.308 5.115
9.154 10.077 12564 8.872 10.141 9.397
12.577 10.987 11.423 12551 14.231 7.513
27.500 24846 23.577 21.334 18.462 15.179
Sumber van Beukering, Nota, 1 Juni 1939. Tabel diberikan dalam naskah.
Lain-lain
Jumlah
19.295 19.192 18.398 16.518 16.147 15.527
183.192 163.512 174.602 137.855 137.532 131.052
£ TABEL 17 LUAS TANAH YANG DITAN AMI, NILAI PANEN, JUMLAH YANG DIBAYAR UNTUK BERBAGAI KEPERLUAN, DAN ANGKATAN KERJA UNTUK INDUSTRI TEMBAKAU ______ 10
Tahun Panen
1926 1927 1928 1929 1930 1931 1932 1933 1934 1935 1936 1937
Persentase Persentase Upah Jumlah u m 1 a h Nilai Panen Jumlah Pengeluaran Upah (dalam Jumlah Upah tambah Pengeluaran Hektar (dalam 1.000 terhadap terhadap Emolumen 1000 gulden) yang (dalam 1000 gulden) Nilai Panen Nilai Panen gulden) Ditanami 19.008 19.706 20.588 20.775 20.006 19.294 16.964 11.569 11.433 11.518 12.415
72.600 80.500 71.600 51.200 35.900 35.000 26.900 28.600 25.500 30.600 30.500 30.400
44400 46.500 47.900 50.200 42.500 32.400 23.100 16.300 15.500 15.500 15.700 19.700
61,2 57.8 66.9 98.0 118,4 92.6 85.9 57.0 60,8 50.7 51,5 64.8
Sumben Van Beukering, Nota, 1 Juni 1939. Tabel diberikan dalam naskah.
24.300 26.400 28000 29.400 26.700 21.400 13.900 10.400 10.000 10.100 10.200
11.600
33,5 32,8 39.1 57.4 74.4 61.1 51,7 36.4 39.2 33,0 33.4 38.2
27.900 30.500 31.400 33.000 30.000 22.800 15.600 11.600 11.100 11.100
11.200
12.500
Persentase Upah tambah Emolumen terhadap Nilai Panen 38.4 37.9 43.9 64.5 83.6 65,1 58.0 40.6 43,5 36,3 36.7 41.1
Jumlah Angkatan Kerja (31 Desember) 93.000 96.000 98.000 107.000 104.000
86.000 63.000 61.000 64.000 66.000 68.000
74.000
TABEL 18 PEMBAYARAN OLEH INDUSTRI TEMBAKAU YANG BERSIFAT KEUNTUNGAN SOSIAL
Gaji Orang Eropa Upah Orang Indonesia Persediaan Sewa, dan lain-lain Pajak Hindia Belanda Pemeliharaan Kesehatan, Nilai Subsidi Beras, Perumahan Pensiun Ongkos Imigrasi dan Repatriasi Sumbangan yang Sifatnya Bukan Kewajiban Jumlah Daerah Tembakau (dalam ha) Penghasilan Sosial Per Hektar yang Dita nami (dalam gulden)
1926
1928
1930
1932
1934
1936
1938
4.750.000 24.285.274 3.167.516 4895.585 6.050.021 3.580.045
4750.000 28.052.945 4.753.382 543.725 a 8 4 a il2 3.393.205
4.750.000 26.657.155 2.795.258 555.620 2.753.435 2.367.959
3.475.000 13.850.951 765.373 488.580 1.672.453 1.754.707
2.305.000 10.026.537 689.770 456.792 505.529 1.108,226
2.254.196 10.189.693 703.822 456.792 690.943 1.035.141
2.452.653 11.510.755 943.334 469.780 1.676.874 793.694
446.259 1.562.054 39.000
510.339 1.940.250 62.000
504.953 1.119.674 41.000
451.732 620.802 60.623
294.909 96.355 54.449
203.656 126.428 20.920
272.915 157.625 10.170
44.369.754
47.854.018
42.544690
23.140.221
15.537.567
15.746.503
18.287.810
19.008
20.588
20.006
16.964
11.433
12.415
13.228
2.324
2.324
2.120
1.364
1.359
1.268
1.383
Sumber Van Beukering, Nota, 1 Juni 1939. Tabel diberikan dalam naskah.
sawit, sisal, teh, kelapa atau tanaman-tanaman keras lainnya, yang berarti bahwa jika dilakukan pengalihan terhadap konsesi-konsesi ini, sejumlah tanah yang cukup luas mungkin menjadi tersedia bagi pemerintah untuk dibagikan kembali kepada penduduk setempat
Masalah Potensi Pertanian Percobaan-percobaan untuk mengukur nilai pertanian yang sebenar nya dari tanah yang ditawarkan oleh para pengysaha onderneming —yaitu percobaan untuk menentukan kesuburan tanah, keperluaen-keperluan pengendalian air, kecocokan untuk berbagai jenis tanaman, dan penggunaan tanah secara optimum dalam kaitan dengan syaratsyarat pemasaran — sedang berjalan ketika dalam tahun 1940, saya mempunyai kesempatan mendampingi Baron van Lijnden, kepala Bi ro Pengalihan, pada suatu rangkaian perjalanan inspeksi ke bidangbidang tanah percobaan di daerah-daerah pantai dan pedalaman. Saya segera mengetahui bahwa Baron van Lijnden menganggap jatah yang diusulkan bagi penduduk terlalu kecil untuk kesinambungan pertanian sistem huma atau bahkan untuk suatu bentuk perhumaan yang disederhanakan dalam mana beberapa tanaman keras juga dikembangkan. Van Lijnden juga berpendapat bahwa empat bau tanah tidak cukup sebagaei pengganti kepada rakyat yang melepas hak me reka untuk menggunakan jaluran. Namun, mengingat situasi politik dan ekonomi, rupanya pemecahan satu-satunya yang dapat dilakukan adalah memaksa perubahan pola pertanian di kalangan kaum tani dari perladangan huma ke pertanian ladang permanen yang intensif. Di sini kemudian muncul penghalang yang nyata. Melaksanakan suatu program seperti itu dengan harapan akan berhasil, akan memerlukan jauh lebih banyak data dari apa yang mungkin telah dihimpun oleh van Lijnden dalam dua tahun sejak Biro Pengadilan diberikan wewenang untuk melakukan penelitian. Untuk tanah yang mungkin dijadikan persawahan suatu percobaan jangka pendek barangkali telah cu kup, tetapi bagi tanah yang tidak cocok untuk persawahan, sepuluh tahun hanya akan merupakan waktu yang minimum untuk menghasilkan data yang berarti. Pada saat kunjungan saya, Van Lijnden sudah menyimpulkan bah wa rencana membuat jatah dengan ukuran yang sama, tanpa memperhitungkan mutu tanah atau lereng tanah, tidaklah tepat ditinjau dari segi pertanian dan harus ditinggalkan walaupun ada alasan-alasan hukum yang dikemukakan para ahli hukum.20' Dalam beberapa laporan bulanannya, Van Lijnden mendesak supaya dipertimbangkan unitunit pertanian yang lebih luas, terutama di daerah-daerah tanah ting gi. Ia berpendapat bahwa empat hektar adalah ukuran minimum paspasan di daerah-daerah tanah tinggi dan bahwa pertanian seperti itu 140
akan layak jika satu setengah hektar ditanami dengan tanaman keras seperti kopi dan selebihnya digunakan untuk pertaniaen huma de ngan penggiliran sekali lima tahun, termasuk untuk ladang tahunan setengah hektar. Konsensus yang tumbuh di kalangan pejabat pemerintah mengenai hal ini dan segi-segi yang berkaitaen dengan masalah pengalihan itu terlihat nyata dalam memorandum Direktur Perekonomian itu, terakhir dari dokumen-dokumen sebelum perang yang dapat saya pelajari.21) Ada pengulangan dalam masalah yang telah menyebabkan asulusul Bouwes Bavinck tidak dapat diterima, yakni berkaitan dengan masa berlakunya 75 tahun bagi kontrak-kontrak baru. Sekali kontrak seperti itu disahkan, maka setiap kesalahan akan sulit sekali diperbaiki. Salah satu dari soal-soal paling penting dalam memorandum terakhir adalah bahwa tanah yang akan dialihkan haruslah dalam keadaan sedemikian rupa sehingga pengembangan pertanian permanen dapat diharapkan berhasil di tanah tersebut dalam masa singkat yang layak. Ini akanmungkin jika tanah itu dialihkan ke sawah irigasi — atau sawah tadash hujan — atau dapat ditanami dengan tanaman keras. Apa pun masalahnya, masih lebih banyak penelitian harus dilakukan untuk menentukan luas yang cocok untuk pertanian-pertanian mendatang. Selanjutnya kebijaksanaan yang hanya melihat dari segi hukum mengenai pembagian secara seragam empat bau per ke luarga — masing-masing dua untuk ladang huma dan tanaman keras — supaya dihentikan selama-lamanya. Hanya dengan cara ini, direk tur itu menekankan, suatu sistem pertanian yang langgeng dengan hasil-hasil memadai dapat dikembangkan, dan yang akan sepenuhnya mengganti kerugian rakyat karena kehilangan jaluran yang berhargaitu. Patut dicatat di sini bahwa pekerjaan para ahli pertanian dalam tahun-tahun sebelum perang sebenamya akan sangat lebih mudah seandainya perusahaan-perusahaan tembakau itu menyediakan catatan-catatan dan data mengenai tanah dan produktivitasnya. Perusaha an-perusahaan itu mempunyai peta-peta tanah terperinci; catatancatatan mereka memperlihatkan produktivitas setiap hektar tanah tembakau dan nilai tembakau rata-rata yang ditanam di atas tanah itu. Mereka juga tahu onderneming mana yang untungnya tipis dan yang mana yang bruntung besar. Peta-peta merka memperlihatkan tanah-tanah mana yang cenderung mempunyai persentase tinggi dari tanaman tembakau yang berpenyakit dan tanah-tanah mana yang be bas dari penyakit bintik-bintik daun atau penyakit-penyakit yang lain. Akan tetapi, perusahaan itu menganggap semua data ini rahasia, ti dak diberikan kepada orang-orang luar dan terutama kepada pejabatp eja b a t p em erin tah yang bekerja untuk kepentingan penduduk pribumi. 141
Ini semua menjadi lebih menyedihkan, mengingat luasnya dan mu tu dari banyak penelitian sendiri-sendiri itu. Dalam tahun 1938, umpamanya, Persatuan Pengusaha Onderneming D eli mempekerjakan seorang insinyur pengairan dan menugaskannya untuk melakukan pe nelitian tentang kemungkinan pengairan dalam daerah onderneming tembakau. Dalam tempo kira-kira dua setengah tahun, Ir. J.G. Frowein menyiapkan sejum lah besar laporan mengenai kemungkinan pengairan dan biaya-biaya pengembangan proyek-proyek seperti itu. Salah satu dari laporannya yang banyak itu menguraikan tentang ta nah ondernem ing tembakau di Bulu Cina m ilik Maskapai Deli, suatu konsesi yang diperoleh tanggal 24 Desember 1882 dengan luas 8.642 hektar.22' Maskapai D eli merencanakan melepaskan 3.000 hektar yang terletak paling dekat ke pantai. Beberapa ratus hektar dari tanah ini tidak pernah ditanam i dengan tembakau, karena dianggap terlalu rendah letaknya dan terlalu banyak mengandung garam untuk temba kau.231 Tetapi, tanah itu pasti dapat digunakan untuk padi dari jenisjenis tertentu yang dapat menerima beberapa zat sodium klorida, se perti tumbuh-tumbuhan lain yang ditanam kaum tani di tanah-tanah rendah pantai. Meskipun tanah seperti itu dilihat dengan kecurigaan oleh pejabatpejabat pemerintah, Frow ein memerintahkan membuang rambu-rambu selang-seling jarak-jarak tertentu sepanjang kira-kira 42 kilometer. Rambu-rambu ini memudahkan survei dan penyelidikan terperinci mengenai tanah ini, tetapi lebih daripada itu juga memungkinkan untuk mencatat tinggi seluruh kompleks itu di atas permukaan laut Dengan data ini, Frow ein menyiapkan suatu rencana pendahuluan untuk pem buatan terusan-terusan pembuangan air dan menata suatu sistem pengairan, yang aliran aimya akan diambil dari sungai-sungai Belawan dan Diski. Sistem ini tidak menimbulkan problem-problem teknis yang besar sebab dapat dibuat dengan biaya minimum. Dan begitu juga sistem pembuangan airnya. Pengendalian yang sempuma atas air akan memungkinkan rakyat mengairi dan mengeringkan ta nah-tanah mereka sesuai dengan keperluan tanaman-tanaman mere ka. Frowein juga menyatakan bahwa karena sungai Belawan memba wa lumpur yang mengandung pupuk bermutu tinggi, maka tanam-tanaman itu tidak hanya menerima untung dari air melainkan juga dari lumpur yang dibawa oleh air itu ke dalam ladang-ladang. Menurut perkiraannya, 3.000 hektar yang ditawarkan oleh Maskapai D eli dapat disiapkan untuk diusahakan secara tetap dengan penanaman modal kira-kira 270.000 gulden dan tambahan biaya per hektar bagi tanah sawah baru itu 90 gulden — biaya yang benar-benar sangat rendah, bahkan masih lebih rendah dari biaya yang dibayar pada waktu yang sama di Jawa untuk pemanfaatan tanah yang juga sifatnya sama. 142
L
Sebuah lagi dari laporan Frowein menguraikan tentang kemungkinan mengairi kira-kira 4.000 hektar tanah milik konsesi Lingga, Rumah Kinangkong, Rimbun, dan Namu Tumbis. Konsesi-konsesi Rumah Kinangkong dan Rimbun terletak di Deli Hulu, Lingga dan Namu Tum bis di Langkat Hulu. Tanah itu melereng dari ketinggian kira-kira 500 meter di selatan sampai kira-kira 140 meter di utara dan Frowein menguraikan suatu rencana untuk mengairi daerah itu dengan air dari sungai Bingei. Mengingat sifat lerengnya yang landai, maka diperkirakan air dapat dibagikan dengan biaya 125 gulden per hektar pada tahun 1941, suatu biaya yang juga sangat ringan dibanding de ngan di bagian-bagian lain di Hindia sebelum perang. (Lihat Peta X III) Penelitian-penelitian Frowein memperlihatkan bahwa Langkat, De li dan Serdang mempunyai daerah-daerah luas yang dapat dijadikan persawahan dengan biaya yang pantas. Beberapa bagian dari daerahdaerah ini trletak dekat pantai dan sebagian besar memerlukan pembuangan air, pembuatan tanggul, dan perlindungan terhadap air laut Y ang lain-lain terletak di pedalaman, di mana lereng-lereng alam memungkinkan pembagian air dalam proyek-proyek yang membentang dalaem kelompok-kelompok pematang kecil dan panjang dari keting gian 500 meter menurun ke ketinggian sekitar 200 meter atau kurang. Sungai-sungai dari dataran tinggi Karo atau dari gunung-gunung yang lebih tinggi di Langkat Hulu dan Deli membawa banyak sekali air selama bulan-bulan ketika air diperlukan. Ini ditentukan oleh pengukuran-pengukuran setiap hari dan didukung oelh data curah hujan yang telah dihimpun selama bertahun-tahun. Proyek-proyek Percontohan Pengolahan Sawah di Daerah Pantai Sisir Gunting Karena persediaan kurang dan harga beras yang memuncak selama Perang Dunia I, orang-orang yang berwenang di Sumatra Timur mulai mencari jalan meluaskan produksi setempat Pencarian mereka untuk tanah yang cocok dipusatkan di daerah-daerah pantai, karena tanah lainnya kebanyakan sedang dikuasai onderneming, ketika itulah da lam 1917 seorang Pejabat Kehutanan Deli meminta pehatian guber nur Sumatra Timur untuk Pulau Sisir Guting yang terletak tidak jauh di sebelah barat laut kota pelabuhan Belawan. Dari seluruh tanah seluas ± 10.800 hektar, ± 5.300 hektar ditetapkan sebagai cadangan hutan dan hampir seluruhnya ditutupi pohon-pohon bakau dan nipah. Nipah telah ditanam atas dorongan Orang Kaya Hamparan Perak ke tika permintaan untuk atap nipah sedang pada puncaknya. Gubernur menugaskan Pejabat Kehutanan itu memulai suatu perkampungan pertanian di suatu daerah yang luasnya kira-kira 3.000 hektar yang ia anggap cocok untuk penanaman padi sawah. 143
Semua penghuni perkampungan baru itu, kebanyakan orang-orang B anjar dari perkebunan-perkebunan tetangga d i sebelah selatan, men erim a dua hektar tanah, seperem pat untuk pengem bangan pekarangan dan tiga perem pat untuk penanaman padi dengan ketentuan leb ih lanjut bahwa tanah itu dijadikan pertanian sesudah dua tahun. Setiap keraguan m engenai kemungkinan dapat tidaknya proyek itu dikerjakan, m enjadi hapus oleh panen padi pertama yang sangat memuaskan dan m enarik lebih banyak pemukim baru. Kebanyakan pemukim itu terus bekerja sebagai tukang untuk m endirikan bangsalbangsal pengeringan tembakau bagi ondernem ing-ondem em ing dan karena itu tidak menaruh perhatian dalam produksi tanaman musim kering. Selam a tiga tahun berikutnya Sisir Gunting tumbuh dengan subur. Pada perm ulaan 1920 sudah ada di sana kira-kira 500 keluarga dan rencana-rencana telah dibuat untuk memperluas perkampungan itu supaya dapat menampung 500 keluarga lagi. Biaya seluruhnya yang dikeluarkan pemerintah untuk proyek itu sampai tahun 1920 ha nya kira-kira 8.000 gulden. Tetap i im por beras mulai meningkat setelah tahun 1920 dan setelah kekurangan beras berakhir, perhatian terhadap Sisir Gunting memudar, baik di kalangan pejabat pemerintah maupun di kalangan pemu kim Banjar. Hanya sedikit yang terjadi di pulau itu sampai tahun 1924 ketika D epartem en Pekerjaan Umum m elancarkan suatu program perluasan dan perbaikan sistem-sistem pengairan. Selama tahun 1924 dan 1925 sejumlah 25.000 gulden telah dikeluarkan untuk pembuatan tanggul-tanggul, terusan-terusan pengaliran air, dan pintu-pintu banjir otomatis untuk mencegah masuknya air garam pada waktu naik pa sang dan menyalurkan kelebihan air segar pada waktu pasang surut P ejabat-p ejabat pemerintah mengharapkan supaya para pemukim merawat dan memperbaiki pintu-pintu dan terusan-terusan, tetapi pa da tahun 1926 temyata bahwa para pemukim tidak berbuat demikian dan karenanya perlu menugasi seorang mandor dari Departem en Pengairan dan enam buruh ke Sisir Gunting untuk memelihara pekerjaan-pekerjaan pengairan itu. Keadaan di pulau itu tetap hampir sama selama tahun 1920-an. Penetap-penetap itu menyebar ke tiga kampung — Sisir Gunting, Paluh Kurau, dan Pematang Serai — di antaranya Paluh Karau hingga seka rang adalah kampung yang terbesar (lihat Tabel 19). Dua kampung, Sisir Gunting dan Paluh Kurau, hanya didiam i oleh orang-orang Banjar; yang ketiga, Pematang Serai, hanya oleh bekas buruh-buruh Jawa yang memilih untuk tetap tinggal di Sumatra T i mur setelah selesai kontrak-kontrak mereka. Dijalankannya pajak air dalam tahun 1928 dengan je la s melemahkan semangat beberapa penghuni. Antara 1929 dan 1936 pejabat-pejabat pemerintah cende144
rung bersikap tak acuh bercampur keputusasaan terhadap seluruh proyek tersebut Suasana itu berubah dengan nyata tahun 1937 sete lah adanya suatu laporan kepada Asisten Residen Deli dan Serdang oleh Kepala Biro Pengalihan tentang perjalanannya ke pulau itu pa da awal tahun itu. Laporannya itu,241 yang memancarkan keyakinan dan penuh harapan mengenai kemungkinan pertanian tanah-tanah pantai dan sepenuhnya didukung oleh penemuan-penemuannya di Sisir Gunting, menyebutkan tentang pertambahan penduduk yang terusmenerus dengan mengalirkan pemukim-pemukim baru, dan mengungkapkan bahwa kelemahan nyata satu-satunya pada proyek itu adalah kekurangan bimbingan teknik untuk para pemukim, terutama menge nai irigasi dan sistem pembuangan air. Pemecahannya menurut pendapatnya adalah mengangkat seorang mantri (mandor) Indonesia yang berpengalaman dalam masalah-masalah ini supaya mampu melaksanakan program-program pemerintah yang diberikan oleh atasan-atasannya. Menurut Kepala Biro Pengalihan itu, Sisir Gunting mempunyai masa depan yang baik untuk pengembangan selanjutnya menjadi sua tu daerah tanah persawahan yang berkesinambungan yang memben tang dari Langkat melalui Deli dan Serdang terns ke selatan, suatu daerah yang sangat baik untuk menjadi gudang beras Sumatra Timur. Laporan itu membangunkan perhatian ke Sisir Gunting untuk se mentara. Saya menemukan beberapa keterangan mengenai proyek itu dalam laporan-laporan Biro Pengalihan berikutnya, umpamanya, da lam laporan van Lijnden bulan Mei 1940 dinyatakan bahwa dinas irigasi setempat sedang memperbaiki sistem pembuangan air, bahwa hasil rata-rata per hektar berjumlah sampai 22,50 kwintal padi atau 13,5 kwintal beras, dan dinas perluasan pertanian sedang menempatkan seorang mantri Indonesia di Sisir Gunting untuk menyelenggarakan gerakan pemberantasan hama tikus. Binatang-binatang pengerat ini sebelumnya telah menimbulkan kerugian besar dan gerakan pem berantasan ini telah meningkatkan hasil padi hampir dua kali lipat T etap i keadaan makin memburuk menjelang bulan Oktober 1948 ketika Sisir Gunting menjadi sasaran dari suatu survai yang mendetail. Kampung Sisir Gunting seluruhnya telah ditinggalkan, Paluh Kurau dan Pematang Serai hampir begitu juga; hanya 54 hektar sawah yang masih tetap ada dari 1.825 hektar dalam tahun 1941; pintu-pintu banjir dalam keadaan rusak; tanggul-tanggul dirusak kepiting-kepiting; air asin kembali menyusupi tanah pada saat pasang naik. Tidak perlu seorang peninjau yang je li untuk menarik kesan bahwa daerahdaerah luas yang dulu diubah menjadi sawah antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II atau ditanami dengan kelapa pada waktu itu, sekarang sedang beralih kembali menjadi belukar pipah. Bahkan jum lah penduduk terus menyusut menjelang kunjungan 145
saya ke pulau itu dalam bulan Januari 1956, meskipun saya tidak m em peroleh data statistik. Diceritakan kepada saya bahwa malaria adalah penyebab utama hilangnya sejumlah besar jiw a manusia, teta pi kebanyakan keluarga yang telah meninggalkan daerah itu akhirnya tinggal terpencar-pencar di onderneming-onderneming tembakau di selatan pulau. Di mana-mana terdapat tanda-tanda dari masyarakat yang pernah subur dan makmur, sekarang termakan oleh kerusakan yang semakin meningkat, tetapi tak berhasil say? mencari sesuatu petunjuk tentang usaha-usaha yang pernah diadakan untuk menghentikan proses itu. Dalam keadaan bagaimanapun Sisir Gunting, percobaan di sana pasti telah memperlihatkan potensi dari tanah-tanah endapan yang muda d i daerah pantai Sumatra Tim ur untuk penanaman padi sawah. Ditinjau dari segi negatifnya, proyek itu memperlihatkan keengganan penduduk pribumi terhadap pengembangan tanah pertanian sawah selama bagian mereka di tanah kampung di Hamparan Perak dan kampung-kampung lainnya sepanjang sungai Belawan tetap tersedia, disertai dengan hak untuk menggunakan tanah tembakau yang sudah dipanen. Penelitian itu lebih lanjut memperlihatkan kenyataan bah wa semangat saling menolong, semangat gotong-royong, tidak dikembangkan sekuat sebagaimana diharapkan. Andai kata semangat go tong-royong itu ada, perkampungan Sisir Gunting mungkin tidak merana pada saat pengawasan dan dorongan pemerintah dihentikan. T A B E L 19 J U M L A H K E L U A R G A Y A N G T IN G G A L D I P R O Y E K P E R K A M P U N G A N S IS IR G U N T IN G Jum lah keluarga yang bermukim Kam pung
Sisir Gunting Paluh Kurau Pem atang Serai
1927
1928
1929
1940
± 420 ± 1180 ± 450
597 1194 522
560 1126 514
—
1948
___
—
173 162
2050 2313 Jum lah 2200 3000 335 Sum ber: Angka-angka untuk tahun 1927, 1928 dan 1929 diberikan oleh Pejabat Distrik Labuan Deli dalam suatu laporan, Landbouw sawah kolonisatie Sisir Gunting Desember 1929. Angka-angka untuk tahun 1940 dan 1948 terd ap at dalam suatu laporan Hafiz Haberhan, tertanggal 1 November 1948.
Percut Ondernem ing tembakau Saentis, bekas Perusahaan Arendsburg.meluas dengan baik sampai ke dalam daerah-daerah pantai berawa di kedua sisi Sungai Percut Untuk memperbaiki saluran-saluran air di sana perusahaan itu membuat sebuah terusan pembuangan air yang 146
besar tahun 1923 yang mengalirkan air Sungai Percut dalam suatu garis lurus ke Selat Malaka, dan juga dua terusan kecil ke timur dari terusan Percut utama. Terusan-terusan kecil ini mempunyai gerbanggerbang banjir otomatis untuk mencegah masuknya air asin dan un tuk mengeluarkan secara berangsur-angsur air garam yang masih tersisa dalam tanah. Meskipun bagian paling utara dari onderneming itu ternyata tidak cocok untuk tembakau, sudah dibangun tanggung-tanggung dan terusan-terusan yang mahal, tetapi selebihnya dari tanah ondernem ing itu memperoleh keuntungan besar dari investasi modal yang telah dilakukan, sehingga setelah menilai kembali sumber-sumb er tanahnya, perusahaan memutuskan melepaskan apa yang dinamakan konsesi Sungai Merah yang berada di sebelah barat sungai, berikut tanah di bagian utara (355 hektar) dari konsesi Percut ke timur. Kejuruan Percut di lingkungan bekas konsesi Sungai Merah memberikaen kemungkinan yang baik untuk pertanian padi kepada orangorang" Jawa bekas buruh yang tinggal di Percut, dan dalam tempo singkat seratus keluarga memajukan permohonan. Setiap keluarga menerima 0,75 hektar, dengan pengetian bahwa semua keluarga itu akan bekerja bergotong-royong membangun saluran pembuangan air dan jalan-jalan kecil yang diperlukan, dan memelihara terusan-terusan yang melintang di tanah yang telah dibuat oleh onderneming Sampali dan Saentis. Di tanah-tanah yang lebih tinggi (pematang, atau teras-teras pantai tua) petani-petani Jawa menanam kelapa, pisang, dan pohon-pohon buah lainnya; tanah yang letaknya rendah diguna kan untuk penanaman padi sawah selama musim hujan dan untuk menanam kacang tanah, jagung, dan sayur-mayur selama musim kering. Petani-petani Jawa menambah penghasilan mereka dengan be kerja sebagai buruh berkala di perkebunan-perkebunan tembakau Sampali dan Saentis. Dalam 1930-an sebuah terusan pengairan dibuat untuk mengambil air dari terusan Percut pada suatu tempat kira-kira 20 km dari Medan di kampung Percut sebelah timur dekat ke sungai Tuan (lihat Peta X III). Terusan ini memotong dua terusan pembuangan air Saentis, dan tak lama sebelum pecah Perang Dunia II, mengairi suatu daerah seluas 160 hektar, Diketahui juga bahwa proyek irigasi ini dengan mudah dapat diperluas untuk mengairi 800 hektar lagi atau lebih. Saya berkesempatan untuk melihat proyek percontohan ini dalam 1940, ketika saya menemani Baron van Lijnden, yang telah menempatkan sekitar 65 keluarga dalam proyek ini. Masing-masing keluarga m em peroleh satu hektar tanah persawahan. Saya memperhatikan, ter utama, bahwa padi telah ditanam dalam baris-baris yang lurus mengikuti cara Jawa, yang memungkinkan penggunaan alat penyiangan (landak) buatan Jepang. 147
Ketika mengunjungi kembali kompleks pengairan Percut dalam dua kali kesempatan padas tahun 1955, sekali lagi saya dikejutkan oleh ditelantarkannya sama sekali proyek sebelum perang yang memberi harapan itu. Terusan irigasi di situ masih berfungsi sampai di mana terusan itu menyeberangi terusan pembuangan air yang kedua dari Saentis. Tetapi di sini pipa beton yang membawa air irigasi me nyeberangi saluran pembuangan, telah jatuh ke dalam saluran terse but dan air irigasi yang sekarang mengalir lewat saluran pembuang an dibawa ke luar ke lau t Ini berarti bahwa proyek irigasi sebelum perang itu tidak menerima lagi setetes pun air dari terusan Percut Tanah itu telah dibiarkan tak berguna selama beberapa tahun dan telah kembali menjadi hutaen belukar. Ironisnya, buruh-buruh yang telah memelihara terusan itu masih dipekeijakan dan tetap memotong rumput sepanjang kedua tepi terusan yang kering dan tak dipergunakan itu. Masalahnya tentu adalah bahwa buruh-buruh kekurangan perlengkapan untuk mengangkat saluran pipa beton itu ke luar dari saluran pembuangan air itu, dasn hanya karena mengabaikan pemechan problem ini maka sedikitnya seribu hektar antara Sungai Percut dan Sungai Tuan yang sebenarnya dengan mudah dapat diirigasikan kembali, telah dibiarkan tak berguna selama bertahun-tahun. Program Produksi Pangan Darurat Sumatra Timur, meskipun terkenal ke seluruh dunia sebagai penghasil produk ekspor pertanian, tetap merupakan daerah difisit pangan terbesar di Hindia. Selama tahun 1930-an Sumatra Timur menghasilkan rata-rata tahunan hanya 180.000 ton beras (atau sama dengan jum lah bahan pangan seperti jagung, ubi jalar, dan singkong), padsahal penduduk membutuhkan pangan hampir dua kali jumlah itu. Produk si pangan setempat, sebenarnya, bahkan tidak mencukupi keperluan penduduk desa pribumi sendiri. Banyak orang desa, terutama mereka yang tinggal di daerah-daerah tembakau di Langkat, Deli, dan Ser dang, tidak mempunyai cukup tanah yang dapat ditanami untuk me menuhi kebutuhan beras mereka sendiri. Orang-orang kota dan pen duduk perkebunan yang banyak itu, bergantung seluruhnya pada ber as impor. Menyadari kerawanan daerah itu terhadap setiap gangguan bahan pangan yang harus didatangkan lewat laut, pemerintah Hindia Belan da mengambil serangkaian tindakan darurat antara September 1939 dan Desember 1941 untuk menjamin persediaan pangan yang cukup bagi penduduk Sumatra Timur jika terjadi sengketa di Pasifik. Yang pertama dari tindakaen-tindakan ini yaitu, Peraturan W ajib Tanam25' menyerukan suatu intensifikasi produksi pangan oleh kaum tani dan memaksa para pengusaha onderneming untuk menurunkan tanda-tan148
da ’’Dilarang Masuk!” dan dengan cara-cara lain memberikan kemudahan supaya beberapa dari tanah-tanah mereka dapat digunakan untuk keperluan-keperluan nafkah hidup. Atas permintaan pejabatpejabat pemerintah setempat, ondememing-onderneming diminta un tuk melepakan tanah baik yang dikosongkan sementara maupun yang masih cadangan untuk perluasan tanah pertanian masa mendatang. Buruh-buruh onderneming dan bahkan kaum tani yang memerlukan tanah yang tinggal di luar onderneming didorong untuk menanam tanaman pangan seperti padi, jagung, dan singkong di atas tanah yang dilepaskan itu. Walaupun peraturan ini dimaksudkan sebagai suatu tindakan sementara, yang bisa dicabut segera setelah keadaan mengizinkan, namun menimbulkan suatu preseden yang penting dalaem arti membuka daerah-daerah onderneming kepada para petani — yang kemudian ternyata tidak rela mengembalikan tanah itu, terutama atas setiap tanah hutan yang telah mereka buka sendiri. Dengan perintah darurat yang lain para pengusaha onderneming lebih jauh diminta untuk menyimpan persediaan beras yang cukup guna memenuhi kebutuhan buruh dan tanggungan-tanggungan mere ka untuk enam bulan, dengan perkiraan bahwa setelah enam bulan produksi pangan setempat akan mengisi kekurangan yang ada. Kare na jagung paling cocok untuk suatu gerakan pangan darurat, maka onderneming-ondernemng diminta lagi untuk menyimpan bibit jagung untuk ditanam segera seandainya pecah perang yang melibatkan Hin dia Belanda. Dalam tahun 1939 industri tembakau itu melepaskan 13.500 hektar tanah kosong, yang 3.500 hektar antaranya telah menghasilkan panen tembakau tahun 1939 dan 10.000 hektar lainnya paling akhir pemah ditanami dalam tahun 1938. Segera seelah peristiwa Pearl Harbour industri onderneming tembakau melepaskan lagi 26.000 hektar, se hingga menjelang 1942 sejumlah 40.000 hektar, atau kira-kira seperenam tanah milik ondememing-onderneming tembakau, sudah diguna kan untuk produksi pangan..261 Ondememing-onderneming tanaman keras dalam tahun 1939 telah melepaskan 37.500 hektar, dari jumlah itu kira-kira 3.500 hektar dibu ka dan ditanmi di bawah pengawasan dan atas biaya onderneming. Sisanya dibagi ke dalam bidang-bidang kecil untuk dibuka dan dita nami secara perorangan oleh para petani yang tinggal di desa-desa berdekatan. Status Upaya Pengalihan pada Saat Pecahnya Perang Dunia II Proyek-proyek Sisir Gunting dan Sungai Percut adalah yang terbesar, tetapi van Lijnden sedang melakukan percobaan-percobaan kecil di daerah-daerah pantai dan pedalaman ketika Jepang menyerbu Suma 149
tra Tim ur bulan Maret 1942. Sayang laporannya yang terakhir belum sempat disiapkan dan banyak data yang dihimpun oleh tiga ahli per tanian pembantunya dan dia sendiri sudash terang hilang pada saat perang itu.27’ Mengenai perundingan-perundingan pada saat-saat m enjelang pe rang, perhatian dipusatkan kepada masalah berlakunya perbendaan antara penuntut-penuntut golongan ”A ” dan ”B” . Van Lijnden tiba pada kesimpulan bahwa baik dari segi sosio-ekonomis maupun perta nian, perbedaan itu tidak memberikan sumbangan kepada pemecahan problem tanah. Kategori ”B” , yang semata-mata menyumbat penghidupan sebagai seorang penanam, harus dihilangkan dan semua pe nuntut harus diperlakukan sama. Usui radikal van Lijnden mendorong diadakannya serangkaian rapat dalam bulan Februari 1941 anta ra pejabat-pejabat pemerintah dan, secara terpisah, antara para peng usaha onderneming dan sultan-sultan. Pada rapat yang pertama (12 Februari) Persatuan Pengusaha Onderneming D eli sebagaimana telah diramalkan sangat keberatan terhadasp gagasan itu. Asisten Residen J. Gerritsen, yang juga adalah kepala Biro Pengalihan, kemudian (tanggal 17 Februari) menemui Sultan Langkat di istananya. Ia ditanya oleh Sultan apa reaksi para pengusaha onderneming dan apakah pengusaha-pengusaha onderneming rela melepaskan jumlah yang lei besar dari tanah yang dinyatakan dalam perubahan seperti itu. engan berbasa-basi Gerritsen menyatakan jaminan kepada Sultan a wa soal itu telah menjadi perhatian Persatuan Pengusaha Onder> Pada raPat yan8 ketiga di Medan (26 Februari) Sultan i itanya apakah adat membenarkan suatu perbedaan antara raKya yang digolongkan dalam kategori-kategori ” A ” dan ” B” . Jawabb „ j ’ yan® didukung oleh Tengku Mahkota T. Otteman, tidak ada perrangan ^u sampai tahun 1932. Tetapi ketika teijad i penguyang m as^ s ^alam penanaman tembakau, karena zaman malaise neming6^ tkan kekuranSan jaluran, maka para pengusaha onderanta. „ enanSgulanginya dengan memberlakukan sistem golongan antara para penuntut tanah itu.28’ Pen^USa^la ondememing merasa tersinggung oleh geraka 'P eJabat pemerintah untuk mempersatukan para sultan hamh f U J 1®311 mereka terhadap usul pemerintah, tetapi hambatani - a n f t e r h a d a p perjanjian pengalihan akan berarti ketera n-keterlambatan baru dan para pengusaha onderneming tidak erminat untuk cepat-cepat menandatangani perjanjian-perjanjian se wa jangka panjang karena ini harus diikuti dengan pembayaran-pembayaran uang kunci’ yang besar jumlahnya kepada sultan-sultan itu. Untuk alasan ini, sultan-sultan untuk kepentingan mereka sendiri ingin sekali mengakhiri perundingan-perundingan pengalihan, yang 150
sampai sekarang telah berlangsung selama 14 tahun. Tetapi pecahnya perang telah mengacaukan seluruh perundingan dan juga nyawa se tiap orang yang bersangkutan yakni para pengusaha ondereming, para sultan, para pejabat pemerintah, dan para petani; dan pecahnya pe rang itu ju ga m enandai akhir suatu era dalam sejarah Sumatra Timur.
151
Bab VII Perginya Orang Kulit Putih dan Harta Peninggalannya Bala tentara Jepang menyerbu Sumatra Utara pada tanggal 12 Maret 1942, mendarat pada dua tempat di Sumatra Timur, Pantai Cermin dekat Medan dan Labuan Ruku dekat Tanjung Balai. Tem pat pendaratan mereka di luar Sumatra Tim ur ialah di Langsa, Aceh. Unit-unit pasukan Jepang pertama mencapai Medan pada hari berikutnya, dan kira-kira dua minggu kemudian, tanggal 29 Maret, panglima pasukan Belanda di Sumatra Utara menyerah di Kota Cane, di Lem bah Alas, Aceh. Orang-orang sipil Belanda dan bangsa asing lainnya yang berperang melawan Jepang ditahan, kecuali sedikit pengusaha ondernem ing dipertahankan oleh penguasa m iliter sampai akhir tahun 1943 sebagai administratur masa perang. Pada bulan M ei 1943, K olon el Namura, panglima m iliter Jepang di Sumatra Timur, menyeruk^n kepada sekelom pok kecil administratur onderneming terkemuka supaya m em beri kan laporan mengenai berbagai industri mereka, untuk digunakan oleh Jepang dalam merencanakan manajemen perkebunan-perkebun an itu sela m a masa pendudukan.1* Tanggung ja w a b untuk menyelenggarakan semua ondememing-asing musuh dilimpahkan kepa da Noyen Revggo Kai, sebuah badan yang didirikan dalam pertengahan tahun 1942 untuk maksud khusus ini oleh sekelompok perusahaan besar Jepang. Badan tersebut mempunyai kantor besar di Medan, de ngan suatu staf kecil Jepang yang dibantu oleh penasihat-penasihat Barat. Para penghubung, diangkat dari antara bekas pengusaha-peng usaha onderneming, bertugas sebagai penghubung dengan perkebun an-perkebunan itu. M enjelang akhir tahun 1942, Noyen Renggo Kai digantikan oleh se buah badan organisasi administratif baru, Shcman Gomu Kumiai, de ngan kator besarnya di Singapura, dan segera sesudah itu penghubung-penghubung Barat itu digantikan oleh suatu ”grup manajer” Je pang, masing-masing bertanggung jawab untuk beberapa perkebunan. Suatu penurunan yang drastis dalam produksi panen ekspor perda gangan disusul oleh penghentian seluruhnya, karena pasaran berkurang dan meningkatnya kegiatan kapal selam yang mengganggu pelayaran. Ondem em ing-ondernem ing itu mungkin telah dibubarkan dan buruh-buruh mereka dibiarkan juga bubar tak berketentuan jika tidak ada saran-saran dan bujukan dari penasihat-penasihat Barat itu. Mengingat investasi besar yang diperuntukkan angkatan kerja, para
152
pengusaha onderneming Barat mendesak Jepang supaya tidak mengganggu hubungan antara manajemen perkebunan dengan kaum bu ruh.2’ Dengan demikian, meskipun tanaman-tanaman baru mulai ditanam seperti kacang, jarak, kapas dan rami, perkebunan-perkebunan itu tetap dipertahankan sebagai lokasi unit-unit kerja. Kelompok penasihat Barat itu juga berhasil meyakinkan Jepang supaya meneruskan pem eliharaan atas perkebunan-perkebunan tanaman keras, sebagaimana dilakukan dengan tanaman karet, kelapa sawit, dan teh. M enghadapi keadaan pangan setempat, penguasa militer Jepang m engikuti dan bahkan memperluas secara besar-besaran program produksi pangan darurat yang diselenggarakan setahun sebelumnya oleh Belanda. Dulu pejabat-pejabat Belanda memerintahkan onder nem ing-ondem em ing tembakau supaya melepaskan hanya 40.000 hek tar tanah, Jepang memerintahkan pelepasan 160.000 hektar.) Upayaupaya yang sangat intensif dipusatkan pada perkebunan-perkebunan tembakau di Langkat, Deli, dan Serdang, karena daerah-daerah ini m em iliki tanah-tanah terbaik di Sumatra Timur, dan karena pembukaan hutan belukarnya yang relatif masih muda hanya memerlukan sedikit tenaga kerja. Selain itu ketiga kesultanan ini mempunyai kepadatan penduduk yang lebih tinggi, dan karenanya juga kekurangan pangan lebih besar dibanding daerah-daerah lain di Sumatra Timur. Selama orang-orang Eropa, tetap tinggal di perkebunan-perkebunan itu meskipun mereka sedikit, selalu dapat ditemukan cara-cara untuk m em elihara setidak-tidaknya beberapa bidang tanah yang paling terpilih. Tetap i setelah orang-orang Eropa yang terakhir ditawan pada akhir tahun 1943 tanah tembakau itu kembali digunakan untuk pena naman sepanjang tahun, bukan hanya untuk padi, jagung dan tanam an-tanaman pangan lain melainkan juga untuk serat, kacang-kacangan, jarak dan tanaman-tanaman industri lainnya yang berguna bagi Jepang. In i tentu saja menghancurkan sistem penggiliran penanaman yang sebelumnya telah dirawat dengan penuh ketelatenan, dan juga m enyebabkan kerusakan-kerusakan tanah yang berat pada semua perkebunan terutama perkebunan-perkebunan di tanah rendah dekat pantai. Sejum lah besar perkebunan tembakau yang tadinya paling produktif, terutama yang dekat ke jalan-jalan raya utama atau kotakota besar seperti Medan dan Binjai, diambil alih seluruhnya oleh buruh-buruh Jawa, orang-orang desa dan rakyat kota setempat, de ngan persetujuan penguasa-penguasa Jepang. Dalam banyak hal bu ruh-buruh asal Jawa dan petani-petani setempat, sekali lagi dengan persetujuan Jepang, menjadikan tanah itu persawahan dan dengan sengaja menghancurkan jaringan-jaringan saluran air yang luas dan mahal itu yang dibuat oleh para pengusaha onderneming sebelumnya. Meskipun sebagian besar tanah penanaman tembakau akhirnya dia153
L
lihkan kepada penggunaan-penggunaan lain, Jepang tidak segera menghentikan produksi tembakau. Tanaman tembakau yang sedang tumbuh di ladang-ladang pada saat penyerbuan Jepang, dipanen dan diolah pada waktunya.3' Panen tembakau 1942 berjumlah 34.000 bal. Panen 1943 menghasilkan tidak kurang dari 40.000 bal. Dalam tahun 1944 berkurang lagi, karena Jepang memberikan wewenang hanya ke pada Maskapai D eli Tua untuk menanam tembakau dan itu pun ha nya 100 hektar. Meskipun ketika itu semua pengusaha onderneming Eropa telah ditawan, kira-kira 1.000 bal tembakau dengan sempurna diragikan, dipilah-pilih dan dipak. Tetepi selama tahun-tahun 1045 dan 1946 iidak ada tembakau bungkus ditanam di perkebunan-perke bunan Sumatra Timur.45 Tidak seperti perkebunan tembakau, yang sedikitnya 90% tanahnya b i a s a n y a dibiarkan ditumbuhi semak, perkebunan-perkebunan yang biasanya aiDiarKd tanaman keras tidak mempunyai tanah mengkhususkan d in g tanaman produksi pangan, sehingga yang mudahJ^ahhkia P dari cadangan-cadangan yang tidak ditahutan lebat terpaksa dlbuKa ° „ naman keras dari kebun-kebun vane nami atau menebang £a™ logis adaiah menebang pohon-pohon sedang menghasilkan. C J jika sudah waktunya lahan akan ditatua atau yang tak ada h^ ^ g diikuti sampai kepada keberangkatan nami kembali; inilah pola j a n g Sementara perang berlangsung orang-orang Barat yang di beberapa tempat ke dalam lingpembukaan lahan baru g berumur lima tahun atau lebih kungan pohon-pohon karet irauda y a j « . berproduksi. Tentu saja
muda dan karenanya baru J hon.pohon muda; dan kerugian ekolebih mudah adalah me" cab“ J L , hanya merugikan para pengusaha nomi yang besar itu paling-p perkebunan ’’im perialis” . dilengkapi oleh Jepang pada akhir Data statistik terp en n ci V* ^ atkan luas tanah yang diam bil dari perang dengan jelas memP®rL raS untuk tanaman produksi pangan. tanah ondernem ing ^anam, rusaytan dalam uidustT;\
vs.
M x v pettebunaTv t o r e t kehilangan 12%, dan industri perkebunan kelapa sawit 167c. Data dalam Tabel 20 tidak memperlihatkan berapa luas pelepasan cadangan-cadangan hutan, tetapi jumlah keseluruhai} barangkali melebihi luas dari tanah perkebunan kom ersial yang 1hancurkan. Tanah yang dimaksudkan untuk produksi pangan dijadikan kebunkebun masing-masing seluas 0,6 hektar guna diberikan kepada petanipetani yang tidak mempunyai tanah. Bidang-bidang tanah itu dida tarkan dan perjanjian-perjanjian pinjam tanah ditandatangani. Perjanjian-peijanjian seperti itu berlaku untuk dua tahun dengan keten154
TAB E L 20 P E R U B A H A N S E M A S A P E R A N G D A L A M IN D U ST R I KARET, K E L A P A SAWIT, D A N T E H DI S U M A T R A TIMUR.
Industri
Daerah yang ditanami mulai 1 Januari 1942. (dalam hektar)
Daerah yang dibuka selama pendudukanJe pang (dalam hektar)
Persentase daerah yang ditanami/dibuka
Daerah yang ditanami se lama pendudukanJe pang (dalam hektar)
258.959
31.932
12
1.802
K elapa Sawit
87.247
13.626
16
1.526
Teh
21.464
7.075
33
n.a.
Karet
Sumber: Laporan Belanda November 1945 yang tidak diterbitkan, didasarkan atas keterangan yang diberikan oleh pejabat-pejabat Jepang setelah mereka menyerah.
tuan bahwa perpanjangannya dapat dibuat untuk dua tahun lagi. Ribuan buruh yang tidak mempunyai tanah yang dahulu bergantung kepada rangsum-rangsum pangan yang merupakan bagian dari upahupah mereka dengan tiba-tiba mampu menanam pangan mereka sen diri. Banyak di antara mereka meninggalkan bangsal-bangsal perke bunan, dan mendirikan rumah-rumah sederhana di bidang-bidang ta nah yang baru mereka peroleh, dan mulai mengembangkan kebunkebun pekarangan kecil dengan menanam pohon-pohon buah, pohonpohon kecil dan tanaman pagar. Barangkali keprihatinan mengenai dua hal, yaitu kekurangan pa ngan di Sumatra Timur dan mengalimya rakyat ke kota-kota, mendorong Jepang untuk memerintahkan pendaftaran penduduk pada tang gal 10 Maret 1943. Sensus sebelum perang yang terakhir dilakukan tahun 1930. Sensus semasa perang tidak mungkin mempunyai ketepatan yang sama seperti sensus 1930, tetapi dalam keseluruhan ia lebih dapat dipercaya daripada perkiraan-perkiraan sesudah perang (lihat Tabel 21). Sensus ini mempunyai keistimewaan, terutama karena me rupakan penghitungan penduduk terakhir yang memerinci orang In donesia menurut golongan suku. Sensus tersebut menunjukkan perbandingan jumlah antara orang-orang Jawa, Batak, dan Melayu di Su matra Tim ur (lihat Tabel 22). Sementara penduduk sebagai keselu ruhan telah bertambah dengan 24%. Orang Jawa telah bertambah de ngan 32,6%. Orang Batak dengan 39,8%, dan orang Melayu dengan ha nya 15,5% antara tahun 1930 dan 1943. Satu-satunya data lain mengenai penduduk semasa perang adalah yang dihimpun oleh pejabat-pejabat penduduk Jepang mengenai bu155
T A B E L 21 P E N D U D U K SUM ATR A TIM UR M E N U R U T S E N SU S 1930 D A N D A T A JEPANG SAM PAI 10 M AR ET 1943.
Langkat Deli dan Serdang Simalungun dan Karo Asahan Kota Medan Jumlah
Penduduk da lam 1930
Pen duduk p a d a 10 M a r e t 1943
Kepadatan p e n d u d u k rata-rata per kmJ 1943
254.000 460.000 370.000 338.000 76.000
279.000 545.000 480.000 448.000 108.000
44.5 113,0 74.6 31.6 7.240,0
1.498.000
1.860.000
58,6
---------------- Sumber: Laporan Belanda NovemDer is«u atas keterangan pejabat-pejabat Jepang setelah mereka menyera
ruh-buruh dan keluarga-keluarga mereka yang t^ g g a l di perkebunan (lihat Tabel 23). Data ini menyangkut w , dalam kebutuhan pangan, suatu perangkat administra i i dang-undang perburuhan Belanda yang mengharuskan par P ha onderneming menyediakan beras dan rangsum ainnva kaum buruh dan tanggungan mereka. Pada hari-hari se e u P rangsum beras bulanan resmi bagi seorang pna adala
T A B E L 22 P E N D U D U K S U M A T R A T IM U R D A R I G O L O N G A N -G O L O N G A N S U K U BESAR Golongan Suku Jawa Batak Melayu Cina Lain-lain Jumlah
1930
1943
Persen
641.000 336.000 225.000 158.000 138.000
850.000 470.000 260.000 280.000 —
32,6 39,8 15,5 77,2 —
1.498.000
1.860.000
24,6
Sumber: Laporan Belanda November 1945 yang tidak diterbitkan, berdasarkan keterangan yang diberikan oleh pejabat-pejabat Jepang setelah mereka menyerah.
T A B E L 23 P E N D U D U K P E R K E B U N A N T A H U N 1942 D A N 1945, D IN Y A T A K A N D A L A M ’’K O N S U M E N P E N U H ” ’’Konsumen Penuh” i945
Persentase Jumlah Penduduk Tahun 1945 Dibanding dengan Tahun 1942.
257.060
195.800
76
81.650
92.100
112
338.710
287.900
85
Perk ebu n an
Perkebun an T a n a m a n K eras Perkebun an tem bakau Jum lah
Sumber: Laporan Belanda November 1945 yang tidak diterbitkan, berdasarkan kete rangan yang diberikan oleh pejabat-pejabat Jepang setelah mereka menyerah.
Selama pendudukan, propagandis-propagandis Jepang tidak melewatkan setiap kesempatan untuk merendahkan martabat orang-orang Barat; dan di Sumatra Timur para pengusaha onderneming dipilih sebagai sasaran istimewa mereka. Menurut laporan, hal ini merupa kan taktik yang kena sekali dari para juru tulis Batak dan mandormandor Jawa, yang secara efektif menangani perkebunan-perkebunan itu mulai Oktober 1943 sampai pertengahan 1947. Dalam arena politik, Jepang menyesuaikan propaganda dengan penataan kembali pemerintahan mereka. Ketika Sumatra, karena alasan-alasan strategi, dipisahkan dari seluruh bagian lain Indonesia dan bergabung dengan pantai Selat Malaka lainnya sebagai satu unit administratif di bawah 157
yurisdiksi pejabat-pejabat m iliter di Singapura, 6) Jepang menekankan hubungan-hubungan sejarah dan suku antara Sumatra dan Ma laya. Dalam tahun 1944, ketika Jepang menciptakan pemerintahan mi liter terpisah untuk Sumatra dengan kantor besar di Bukit Tinggi, Sumatra Barat, propagandis-propagandis itu beralih kepada gerkan menghasut kebanggaan setempat, membesar-besarkan keinginan Su matra menjadi otonom dan mengecam Belanda yang telah membuat Sumatra melayani kepentingan-kepentingan Jawa. Dalam bulan Januari 1945, jabatan-jabatan penting terbuka bagi orang-orang Sumatra dan tiga bulan kemudian Jepang membetuk Dewan Pertimbangan Pusat Sumatra. v Tindakan-tindakan masa perang ini memberikan sumbangan yang besar kepada peningkatan kesadaran politik bagi orangorang Sumatra dan membuka kedudukan-kedudukan yang bertanggung jawab kepada orang-orang Sumatra yang sebelumnya tidak per nah diberikan kepada mereka. Sumatra Timur dan Kemerdekaan Indonesia Sumatra dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia diwakili tiga pemimpin politik dari Sumatra Timur: Dr Mohd. Amir, pengacara Tengku Mohd. Hasan, dan Pengacara Abdul Abas. Pada tanggal 19 Agustus 1945, dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Panitia itu mengeluarkan sebuah keputusan yang menetapkan Sumatra sebagai satu dari delapan provinsi Indonesia. Presiden Sukarno, yang dipilih oleh Panitia itu sehari sebelumnya, mengangkat Tengku Hassan seba gai gubemur pertama untuk Sumatra. Tiga wakil Sumatra itu mengharapkan otonomi dalam urusan-urusan dalam dan luar negeri, tetapi bersedia menerima status propinsi di dalam Republik setelah dibahas dengan utusan-utusan yang lain. Selama berlangsungnya pembahasan-pembahasan ini Tengku Hassan mendesak supaya kabinet per tama Republik itu benar-benar kabin^ Indonesia bukannya hanya tokoh-tokoh Jawa semata-mata. 81 Memang benarlah, kabinet pertama itu memasukkan dua tokoh Sumatra. Am ir Syarifuddin sebagai Menteri Penerangan dan Dr. Mohd. Am ir sebagai Menteri Negara (tanpa portofolio). Dalam perjalanan pulang mereka dari Jakarta, utusan-utusan Su matra itu mengunjungi kota-kota besar di Sumatra Selatan dan Tengah untuk memberitahukan pemimpin-pemimpin politik setempat tentang Proklamasi Kemerdekaan dan pembentukan Republik Indo nesia dan untuk mendesak supaya didirikan panitia-panitia untuk mendukung Republik itu. Suatu panitia untuk seluruh Sumatra (Kornzte Nasumal Indonesia: Sumatra) dibentuk di Bukit Tinggi di bawah pimpinan Dr. Gindo Siregar. Ketika mereka tiba di Medan Dr. Am ir dan Tengku Hassan mem158
bentuk Komite Nasional Indonesia untuk Sumatra Timur. Meskipun ini ditentang, tanpa hasil, oleh para sultan dan pendukung-pendukung mereka yang mengkhawatirkan hari depan politik mereka sendiri, terbentuknya Komite itu mendapat dukungan yang sangat kuat dari golongan-golongan pemuda. Di Sumatra Timur, seperti di Jawa, golongan-golongan pemuda memainkan peranan yang sangat penting dalam menjamin perjuangan untuk mempertahankan Republik itu. Kepada orang-orang Jepang layak diberikan penghargaan karena telahd melatih dan mengajarkan kepada pemuda Indonesia nasionalisme militan yang tinggi ditambah dengan perasaan-perasaan anti-Barat yang sangat kuat Sumber indoktrinasi yang penting adalah pusat-pusat latihan pemuda (Seinen Renei Sho), yang diciptakan oleh Jepang untuk memberikan latihan politik dan m iliter berbarengan dengan kursus bahasa Jepang dalam waktu singkat Di Sumatra Timur mereka menyelenggarakan dua pusat latihan seperti itu, satu di Medan dan yang lain di Nagahuta dekat Pematang Siantar, wilayah pegunungan Simalungun. B) Tamatan dari pusat-pusat latihan ini dapat memilih untuk memasuki Gyugun (organisasi Angkatan Drat Jepang) maupun untuk memasuki pemerintahan sipil. Kebanyak dari tamatan Medan menjadi perwira-perwira Gyugun dan dengan demikian menerima latihan militer tambahan. Peristiwa-peristiwa politik di Sumatra Timur selama masa segera sesudah perang banyak dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan sekelompok tamatan pusat latihan Medan yang tinggal dalam suatu asrama di Jalan Fuji No. 6 (sekarang Jalan Jakarta) di Medan pada waktu Je pang menyerah. Sambil menyampaikan berita tentang telah terbentuknya Republik Indonesia kelompok ini menyerukan kepada pemuda-pemuda Sumatra Timur untuk bergabung ke dalam Pemuda Repub lik Indonesia, dan berjuang demi tujuan negeri mereka. Kelompok inti dari P R I itu termasuk sejumlah bekas perwira Gyugun yang sangat bersemangat yang segera menjadi organisator-organisato dan perwiraperwira komandan dari Tentara Republik Indonesia - TRI. Kemudian nama itu diganti menjadi TN I (Tentara Nasional Indonesia) di Suma tra Timur, sementara PRI berganti nama menjadi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Pertempuran-pertempuran pertama antara pemuda-pemuda Repub lik dan penentang-penentang Republik dilaporkan disebabkan oleh serdadu-serdadu Ambon di Medan yang memaksa pemuda-pemuda jangan memakai pita lengah merah putih dan lencana. Pemuda-pemu da itu, dilengkapi dengan senjata-senjata yang diperoleh dari Jepang, membalas menyerang. Lama berlangsung rasa permusuhan antara serdadu-serdadu Ambon, yang merupakan bagian terbesar dari Pasukan kolonial Belanda, berhadapan dengan kaun nasionalis Indonesia. 159
Tibanya Pasukan-pasukan Sekutu di Sumatra Tim ur Pada Konperensi Quebec bulan Agustus 1943, Sekutu seperti juga Je pang, hanya sedikit menaruh perhatian kepada perbatasan internasional antara Malaya dan Sumatra dalam pembagian tanggung jawab m iliter mereka untuk Asia Tenggara. Seperti ditetapkan oleh Gabungan Kepala-kepala Staf Tentara Sekutu, maka Komando Asia Tenggara (SEAC = South East Asia Command) di bawah pimpinan Laksamana Mountbatten meliputi Sumatra bersama-sama dengan Malaya, Burma, Thailand, Indocina, dan Hong Kong. Selebihnya dari wilayah Hindia Timur Belanda dimasukkan ke dalam Komando Daerah Pasifik Barat Laut di bawah Jenderal Mac Arthur. Keputusan ini memaksa Belan da, yang sudah dilumpuhkan oleh sangat kurangnya personalia, untuk membagi stafnya yang kecil itu antara Sri Langka dan Australia di dua markas komando itu. Masih ada kesulitan-kesulitan operasional lebih besar dihadapkan kepada Belanda sesudah perubahan tahun 1945, yakni membagi dae rah-daerah komando militer. Dengan personalia terbanyak dipusatkan di Australia, Belanda ternyata tak mampu mempersiapkan diri ketika pada tanggal 15 Agustus 1945 Gabungan Kepala-kepala Staf Sekutu memindahkan seluruh Hindia Timur Belanda ke dalam Ko mando Asia Tenggara pimpinan Mountbatten. Terhadap perubahan mendadak tersebut, staf Mountbatten ternyata tidak dipersiapkan se cara baik. Sebagaimana terbukti, SEAC tidak mampu menangani pendudukan seluruh Hindia Belanda dan harus meminta bantuan Aus tralia. Ini berarti keruwetan-keruwetan lebih jauh bagi Belanda, yang sekarang harus membuat garis-garis perhubungan dengan komando m iliter Australia yang bertanggung jawab untuk pendudukan Borneo (sekarang: Kalimantan, ed.), Sulawesi, Maluku, dan kepulauan Sunda K ecil kecuali Bali dan Lombok. 10) Karena mempunyai pasukan-pasu kan yang sangat terbatas, SEAC mengeluarkan perintah memprioritaskan lebih dulu pendudukan Malaya, Singapura, dan Saigon ketim bang setiap kota pelabuhan di Hindia Belanda. SEAC mendirikan komando pembantu terpisah untuk Pasukan Sekutu di Hindia Timur Belanda (A F N E I = A llied Forces in the Netherlands East Indies) dikepalai oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Pasukanpasukan yang dikirim SEAC ke Indonesia terutama adalah orang-orang India Inggris, sehingga N ew Delhi juga menjadi terlibat dalam masalahmasalah Indonesia. Pada akhir September 1945 barulah suatu rombongan pendahuluan perwira-perwira A F N E I Inggris tiba di Medan untuk mulai melaksanakan perintah Gabungan Kepala-kepala Staf kepada SEAC: membebaskan dan memindahkan tawanan-tawanan sipil dan tawanan-tawanan perang Sekutu; menerima penyerahan pasukan bersenjata Jepang 160
dan mengatur perlucutan senjata dan pengembalian mereka, dan akhimya memelihara hukum dan ketertiban menunggu penyerahan urusan-urusan sipil kepada Belanda. Perintah itu telah ditulis tanpa mempedulikan perkembangan-perkembangan politik yang telah melahirkan Republik Indonesia. Tetapi kemudian, suatu hal yang sangat mengkhawatirkan seluruh pejabat Belanda adalah bahwa Kepala-kePala Staf di London dan SEAC, menjelang akhir September, setelah memperhatikan keadaan yang sebenamya di Jawa dan Sumatra, memutuskan untuk mengurangi program Sekutu di pulau-pulau itu sam pai minimum dan mempertimbangkan eksistensi Republik Indonesia. Inilah sebabnya mengapa Sir Philip Christison setibanya di Jakarta meminta bantuan pimpinan Republik dalam pelaksanaan tugasnya dan mengakui wewenang dan tanggung jawab pemimpin-pemimpin Republik untuk pemerintahan di luar pangkalan-pangkalan terdepan yang akan diduduki oleh AFNEI. Ini berarti pengakuan de facto atas berdirinya Republik Indonesia dan penyimpangan yang drastis dari er]anjian Urusan-urusan Sipil 24 Agustus 1945 antara pemerintah Inggris dan Belanda. n) Pada 10 Oktober 1945, unit-unit Divisi India ke-26 di bawah komando Mayor Jenderal R.C.O. Hedley mendarat di Belawan dan bergerak ke Medan. Pada waktu hampir bersamaan, unit-unit lainnya mendarat - 1 ^ te m b a n g dan Padang. Tetapi dalam setiap peristiwa, komando A F N E I itu mempunyai pasukan-pasukan yang hanya cukup untuk me melihara suatu pangkalan terdepan yang kecil. Ini secara praktis memberikan kesempatan kepada orang-orang Republik untuk menguasai Sumatra dengan waktu yang cukup untuk mengukuhkan penguasaan mereka atas pulau itu. Sebenamya, bahkan sejak semula pun Divisi India ke-26 itu tidak menduduki seluruh Medan melainkan membagi kota itu ke dalam sektor Sekutu dan sektor Republik Akan tetapi setelah berlangsung hubungan-hubungan yang pada umumnya ramah-tamah dalam suatu masa yang singkat antara orang-orang India Inggris dan pejabat-pejabat Republik, orang-orang Indonesia disanasmi mulai melancarkan serangan-serangan terhadap unit-unit Sekutu setelah menyadari bahwa pasukan-pasukan India Inggris itu hanya merupakan barisan terdepan dari unit-unit tentara Belanda. Untuk mencegah pertempuran-pertempuran lebih lanjut dan untuk memperbaiki keamanan penduduk sipil Medan, Jenderal Hedley menghapuskan sektor Republik dan mendorong garis demarkasi ke pinggir kota. Ini dilakukan selama September dan Oktober 1946, sehingga pada 14 Oktober 1946, tanggal persetujuan gencatan-senjata, seluruh Medan dikuasai oleh A F N E I. Menurut statistik yang dihimpun oleh Doortjes selama masa 10 Oktober 1945 sampai 10 Oktober 1946, m Divisi India ke-26 itu menderita 276 korban (8 perwira dan 39 prajurit tewas, sele161
bihnya luka-luka) dan sejumlah 65.000 orang Jepang diungsikan dari Sumatra dan masih tinggal 4.000 orang untuk dipulangkan. Unit-unit Belanda yang pertama tiba di Medan pada 25 Oktober 1946, dan pada 18 Novem ber Jenderal H edley menyerahkan komando Medan kepada K olon el Scholten, panglima pasukan-pasukan m iliter Belanda di Su matra. Tepat sebelum akhir bulan itu, Divisi India ke-26 meninggalkan Medan. Selama gerakan baris-berbaris mereka yang terakhir me lalui jalan-jalan di kota Medan, satu unit tampak membawa merahputih bendera Republik. 13) Kejadian-kejadian di Sumatra Timur di luar Medan Orang-orang Indonesia di Sumatra, sama halnya seperti di Jawa, m engam bil kesempatan dari kekacauan umum salama beberapa minggu pertama setelah Jepang menyerah. Kekacauan-kekacauan se mentara disebabkan oleh pemindahan Hindia Belanda ke dalam SEAC pimpinan Laksamana Mountbatten, penundaan yang salama kedatangan A F N E I, dan ketidakmampuan Belanda untuk mengumpulkan dan mengangkut ke Hindia suatu pasukan m iliter yang cukup untuk mengatur alat-alat pemerintahan mereka sendiri dan juga mengorganisir suatu angkatan pertahanan. Dalam bulan September 1945 pemuda-pemuda Sumatra Timur yang sebelumnya telah masuk organisasi-organisasi militer dan semimiliter yang dibiayai Jepang se perti Heiho, Peta, Seinendan, Gakutotai, dan Barisan Pel&por bersatu di sekitar RRI, membentuk unit-unit militerdan memperoleh sejumlah besar senjata, mesiu, dan perlengkapan militer lainnya dari tentara Jepang. Pada mulanya senjata diperoleh atas kerja sama secara diamdiam dengan beberapa perwira Jepang tetapi setelah pertengahan Oktober 1945 senjata-senjata itu diperoleh melalu serangan-serangan bersenjata ke kamp-kamp dan pos-pos Jepang. Sebulan kemudian Pesindo Sumatra Timur secara resmi bubar keti ka pemimpin-pemimpin Republik mengumumkan penghapusan sis tem satu partai. Maka bermunculanlah partai-partai baru, masing-ma sing dengan organisasi-organisasi pemudanya sendiri, dan bekas anggota Pesindo itu ternyata dapat diterima dalam setiap organisasi pemuda baru itu. Pilihan berkisar pada organisasi-organisasi seperti Napindo, berafiliasi dengan P N I (Partai Nasional Indonesia), Pesindo dari PSI (Partai Sosialis Indonesia), Barisan Merah dari P K I (Partai Komunis Indonesia), dan Gerakan Pemuda Ilam Indonesia (GPU), yang berafiliasi dengan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Dorongan resmi untuk diciptakannya suatu sistem banyak-partai, keanekaragaman yang besar dari organisasi-organisasi zaman perang, tidak adanya instansi militer yang kuat yang dapat dikendalikan dari pusat, kesemuanya cenderung untuk menghasilkan banyaknya organisasi-or162
ganisasi militer dan semimiliter yang tak dapat dikendalikan. Hal itu telah diamati oleh pemerintah Republik sekalipun terlambat selama peristiwa-peristiwa di Sumatra Timur dalam tahun 1946 dan 1947. Pemimpin-pemimpin militer mempunyai pandangan-pandangan mereka sendiri mengenai tindakan apa yang harus diambil, dan hanya sedikit menaruh perhatian kepada kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Dalam awal tahun 1946, Sumatra Timur mempunyai tiga bentuk unitunit pertempuran, Divisi Gajah II TRI (Tentara Republik Indonesia), yaitu angkatan darat, dengan markas besamya di Pematang Siantar; golongan-golongan pemuda militer seperti Hizbullah, dan SabiMlah (dibentuk oleh GPU dari Masyumi), Pesindo (dari PSI), dan Napindo (dari P N I); dan unit-unit Laskar Rakyat yang pengorganisasiannya agak longgar dan yang beroperasi secara bebas di daerah-daerah asli dari anggota-anggota mereka. Di antara laskar-laskar rakyat itu terdapat laskar Harimau Liar daerah Karo, yang beranggotakan sejumlah pemuda-pemuda Karo yang telah dilatih di Nagahuta. Semua unit bersenjata ini menerima bantuan dalam berbagai ben tuk dari pelarian-pelarian Jepang. Pelarian-pelarian Jepang itu, yang jumlahnya menurut taksiran van Mook 14) kira-kira dua ribu, terdiri mulai dari bekas perwira-perwira sampai anggota-anggota pasukan berpangkat rendah, tetapi sebagai pelarian-pelarian termasuk ke da lam salah satu dari dua golongan, mereka yang telak kawin dengan wanita Indonesia dan yang takut penyelidikan Sekutu tentang kegiatan-kegiatan mereka semasa perang. Bantuan mereka kepada unit-unit bersenjata Indonesia berbeda-beda sesuai dengan latar belakang pribadi mereka masing-masing. Kira-kira 20 bekas perwira yang tinggal di Sumatra Timur melatih calon-calon perwira TR I di Brasgati; teknisi Jepang menjadi terlibat dalam pembuatan granat-granat, ranjauranjau darat, dan mesiu lainnya dan mereparasi serta memelihara senjata-senjata dan perlengkapan; 15> dan Inoue, bekas kapten Kempetai, menjadi terkenal sebagai otak dari Harimau Liar dan unit-unit Laskar-Rakyat lainnya yang beroperasi di Sumatra Timur. Meskipun divisi-divisi TRI, golongan-golongan pemuda, dan unit-u nit Laskar Rakyat itu mempunyai banyak persamaan, tetapi banyak juga perbedaan-perbedaan yang semakin menonjol. TR I itu, yang pa da keseluruhannya mendukung Gubernur Hassan, pada mulanya ti dak mempunyai perlengkapan yang memadai seperti unit-unit bersen jata lainnya tetapi dengan cepat membuktikan diri menjadi paling baik disiplinnya dan paling bertanggung jawab. Ini terutama terbukti selama Revolusi Sosial, yang melanda Sumatra Timur dalam awal Maret 1946. Tanda-tanda kekacauan telah mulai nampak beberapa bulan sebelumnya dengan dibentuknya Persatuan Peijuangan cabang Sumatra, 163
oleh unsur-unsur ekstremis kedua pihak kiri dan kanan. Persatuan Perjuangan adalah suatu organisasi di Jawa dipimpin oleh Tan Mala ka, seorang nasionalis revolusioner yang telah lama berjuang. Se perti rekan-rekan mereka di Jawa, pemimpin-pemimpin P P (Persatu an Perjuangan) di Sumatra Timur mengambil pendirian revolusioner yang tak mengenai kompromi - menyerukan supaya dilaksanakan nasionalisasi atas semua perkebunan dan harga benda asing lainnya, menentang setiap perundingan dengan Inggris atau Belanda, dan menuduh sultan-sultan Sumatra Timur mengadakan gerakan di bawah tanah untuk mengembalikan pemerintahan Hindia Belanda dan peng usaha-pengusaha onderneming Barat Masalah pengusaha-pengusaha onderneming Barat ini menjadi masalah paling dahsyat ketika berita beredar bahwa sultan-sultan dan pangeran-pangeran sedang meng adakan hubungan dengan Belanda dan siap bekerja sama dengan harapan akan dikembalikan ke dalam kedudukan-kedudukan mereka sebelumnya. Pemimpin-pemimpin P P melancarkan Revolusi Sosial, melakukan suatu pembantaian umum atas kaum feodal Sumatra T i mur dan pejabat-pejabat Republik tertentu dan keluarga-keluarga mereka. Hanya sedikit sekali dari kaum feodal itu yang lepas dari maut, terkecuali yang tinggal di sektor Inggris di Medan pada waktu itu dan sejumlah kecil lainnya yang sedang ditawan TR I, termasuk Sultan Langkat, Sultan Asahan, Putra Mahkota Serdang, dan keluargakeluarga langsung mereka. Sebagian terbesar dari unit-unit Laskar Rakyat, dan unit-unit yang tak teratur lainnya yang digerakan oleh PP menjelajahi tanpa terkendali seluruh Langkat, Asahan, Labuhan Ba tu, dan bagian-bagian lainnya, membunuh dan merampas di manamana. T R I hanya mampu berbuat sedikit,dengan' mencoba menahan gerombolan-gerombolan yang tak mau patuh itu. 17) Situasi Onderneming Selama Tahun 1946 dan 1947 Sepanjang tahun 1946 dan paruh pertama tahun 1947, manajer-manaje r onderneming besar tidak mempunyai jalan masuk ke perkebunan mereka, tetapii bersama-sama dengan pejabat-pejabat sipil dan m iliter Belanda terkurung di Medan dalam kepungan yang ketat yang dipertahankan oleh pasukan-pasukan Indonesia di sekeliling garis terdep an itu. Keadaan di garis terdepan menjadi lebih buruk setelah penarikan pasukan-pasukan Inggris dalam bulan Novem ber 1946. Berulang-ulang pasukan-pasukan bersenjata Indonesia mengadakan tekan an dan bahkan menghentikan penyediaan air serta mencegah pemasukan bahan-bahan pangan dari pedalaman ke kota, yang dengan sendirinya menimbulkan kesukaran yang berat bagi penduduk sipil di Medan. Saling melemparkan tuduhan yang tajam terjadi terus-menerus antara pasukan-pasukan Belanda dan Indonesia, masing-masing 164
pihak menuduh yang lain melakukan pelanggaran-pelanggaran terha dap persetujuan gencatan senjata tanggal 14 Oktober 1946, terhadap garis demarkasi Medan yang disetujui tanggal 7 Desember 1946 sela ma kunjungan dua anggota kabinet Republik, Amir Sjarifuddin dan Dr. A.K. Gani ke Sumatra; 18) dan terhadap Perjanjian Linggajati. Kesulitan-kesulitan itu, sebagian, ditimbulkan oleh penolakan golong an-golongan m iliter Sumatra Timur, terutama pasukan-pasukan bersenjata yang berada di bawah pengaruh Persatuan Perjuangan, terha dap Perjanjian Linggajati. Pengikut-pengikut PP menentang teruta ma ketentuan yang meminta dikembalikannya onderneming-onderne ming kepada para pemiliknya, dan sebaliknya mendesak supaya se mua perkebunan dinsionalisasi. Selama masa ini perkebunan-perkebunan itu memainkan peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perkebunan-per kebunan itu dikuasai T R I dan golongan-golongan militer lainnya, yang menjual karet dan produk-produk perkebunan lainnya di Malaya, baik secara langsung atau dengan bantuan perantara-perantara Cina. Penjualan-penjualan ini melengkapi dana-dana yang sangat dibutuhkan untuk pemerintahan Gubernur Hassan dan memungkinkan panglima-panglima m iliter untuk mengorganisasi, mempersenjatai dan memelihara unit-unit bersenjata mereka. Pejabat-pejabat Belanda de ngan keras menentang perdagangan ini, yang mereka anggap sebagai penyelundupan. Pada akhir bulan Januari 1947 mereka membentuk blokade laut untuk mencegah ekspor produk-produk perkebunan dari wilayah Republik. Angkatan Laut Belanda memperlakukan semua komoditi yang diperkirakan berasal dari perkebunan-perkebunan seba gai barang gelap. Mereka beranggapan bahwa produk-produk itu te lah dihasilkan sebelum penyerahan Belanda pada bulan Maret 1942. Pihak Republik sebaliknya menganggap blokade itu sebagai pelanggaran terhadap semangat Perjanjian Linggajati. Perundingan-perundingan antara Belanda dan Indonesia mengenai pelaksanaan Perjanjian Linggarjati akhirnya berantakan dalam bulan Juli 1947. Dengan menyebutkan satu per satu keluhan-keluhan Belan da dalam memorandumnya tanggal 20 Juli, Dr. van Mook meminta perhatian khusus terhadap situasi di Medan. Isolasi kota-kota tertentu, seperti Medan, dari wilayah Republik yang mengelilinginya, yang mengakibatkan golongan-golongan penduduk yang penting dan terutama Cina terancam oleh kelaparan, belum dicabut, meskipun adanya janji dan pernyataan dari pihak Republik bahwa peringah-perintah akan diberikan dalam seminggu dan sebenamya telah diberikan.19’.
Menurut pidato radio Perdana Menteri Amir Sjarifuddin pada 16 Juli 1947, pemerintah Republik telah memerintahkan pejabat-pejabat Sumatra Tim ur mengakhiri blokade ke Medan, tetapi pernyataan Dr. 165
van Mook menunjukkan bahwa perintah-perintah itu tidak dipedulikan. 201 Pada tanggal 21 Juli 1947, pasukan-pasukan Belanda di Sumatra dan Jawa memulai gerakan m iliter mereka secara besar-besaran ter hadap Republik. Di Sumatra Timur pesawat-pesawat terbang Belanda menjatuhkan surat-surat selebaran dalam bahasa-bahasa Melayu, Ba tak, dan Aceh yang'menyatakan bahwa Belanda datang bukan sebagai musuh melainkan untuk mengembalikan hukum dan ketertiban; pen duduk sipil diharapkan supaya jangan melarikan d iri tetapi tetap tinggal di dalam rumah. Pasukan-pasukan lapis baja yang bersenjata lengkap maju ke luar dari garis terdepan Medan dengan tujuan untuk mengembalikan daerah perkebunan Sumatra Timur yang sangat berharga itu ke bawah kekuasaan mereka dan dengan demikian membu ka jalan bagi para pengusaha onderneming, yang tidak kurang dari 21 bulan setelah penyerahan Jepang masih tetap menunggu tanpa sabar suatu kesem patan untuk kem bali ke ondernem ing-ondernem ing mereka. Ketika pada tengah malam antara tanggal 4 dan 5 Agustus 1947 perintah gencatan senjata menghentikan tindakan m iliter itu, pasu kan-pasukan lapis baja Belanda telah mencapai sungai Wampu di utara, sungai Asahan di selatan, dan pantai-pantai Danau Toba di barat Tetapi meskipun Belanda menguasai kota-kota penting dan da pat menggunakan jalan-jalan utama di waktu siang hari, merek tidak dapt menyatakan menguasai bagian pedalaman. Dari pedalaman ini pasukan-pasukan pejuang Indonesia, dengan menghindarkan pertempuran langsung dengan unit-unit Belanda yang terdiri dari pasukanpasukan lapis baja dan senjata berat melancarkan perang gerilya. m p^3 Agustus 1947 Belanda secara singkat mengumumkan diri nereka sendiri sebagai tuan dari daerah perkebunan Sumatra Timur, ecuali untuk bagian-bagian yang secara relatif kecil di Langkat Utaa an selatan sungai Asahan. Dengan demikian Belanda secara sepia menetapkan ’’Garis Demarkasi van Mook” di Jawa dan Sumatra. o]phU Pihak Belanda, kedudukan-kedudukan yang dicapai j , Pasukan-pasukan mereka pada saat perintah gencatan senjata, daaiah pada tanda batas ’’Garis Demarkasi Van Mook” tersebut yang memasukkan paling banyak daerah perkebunan ke dalamya. Hanya bagian-bagian yang secara relatif kecil di Langkat Utara tp?1 86 31:311 sunSai Asahan yang tetap tinggal diluar garis itu. Akan api' dalam kenyataannya garis Van Mook itu memasukkan juga daeF3 3erah yang' masih dikuasai oleh pasukan-pasukan Indonesia. MesKipun ada Perintah gencatan senjata, operasi-operasi m iliter ber jalan terus di dalam garis demarkasi, dengan dalih ’’operasi-operasi pembersihan” oleh Belanda. 166
Pejabat-pejabat m iliter mengizinkan pengusaha-pengusaha onder neming kembali ke perkebunan-perkebunan mereka segera sesudah pasukan-pasukan pejuang Indonesia dikejar-kejar dan menghindarkan diri. Akan tetapi, berbulan-bulan pengusaha-pengusaha onderne ming itu terpaksa memelihara pasukan-pasukan pengawal khusus un tuk mencegah aksi ’’serang dan lari” oleh gerilya-gerilya Indonesia. M enjelang akhir Desem ber 1947, kira-kira 40 dari sejumlah 43 onder neming tembakau sebelumperang, 14 dari 26 onderneming kelapa sawit, 108 dari 177 onderneming karet, dan 13 dari 16 onderneming teh dilepaskan oleh pejabat-pejabat militer Belanda meskipun belum se mua di antara mereka kembali beroperasi, baik karena kerusakan berat pada pabrik-pabrik maupun karena tidak adanya buruh. Para pengusaha onderneming segera mengetahui bahwa Sumatra Timur telah mengalami perubahan-perubahan yang penting selama lima tahun penguasaan Jepang dan Republik Tata sosial yang lama telah dihancurkan; kekuatan para pengusaha onderneming telah sa ngat melemah; dan buruh-buruh perkebunan serta juga penduduk di luar perkebunan-perkebunan telah diorganisasikan ke dalam serikatserikat buruh, organisasi-organisasi tani, dan partai-partai politik, se mua siap untuk menantang hak para pengusaha onderneming itu.
167
Bab VIII Epilog Dalam segala kemungkinan yang ada, tidaklah ada daerah tropik yang mengalami pertumbuhan pertanian perkebunan secepat atau mencapai kemakmuran sesubur Sumatra Timur. Adalah suatu kemujuran yang luar biasa bahwa Jacobus Nienhuys, yang dikirim dari N egeri Belanda untuk m engem bangkan penanaman tembakau di Jawa, mendarat di pinggir Sungai D e li tanpa menyadari bahwa tanah yang diinjaknya sangat subur tiada duanya dan sangat cocok untuk penanam tembakau gulung. Begitu diketahui betapa be sar nilainya tembakau gulung yang ditanam d i tanah D e li dan wilayah Langkat yang bertetangga, berkerumunlah pengusaha-pengusaha on derneming pencari untung itu ke Sumatra Tim ur. Penguasa-penguasa setempat, yang rakus akan kekayaan dan tanpa memRedulikan kesejahteraan rakyat mereka, dengan sangat senang m em berikan konsensi-konsesi kepada semua pendatang — mula-mula untuk masa 90 ta hun dan kemudian untuk 75 tahun. Dalam suatu ekspansi yang drastis, jumlah ondernemin tembakau bertam bah d ari 22 dalam tahun 1872 menjadi 49 dalam 1880, dan m enjadi 148 dalam 1888 (Tabel 3). Dari segi kekayaan dan kemegahan, pangeran-pangeran kecil Suma tra Timur tidak pemah mengimbangi pangeran-pangeran Jawa, yang kraton-kratonnya cukup luas untuk tem pat tinggal suatu staf yang be sar dan sejumlah besar pejabat, termasuk ruangan-ruangan yang luas di mana tari-tarian lemah-gemulai dan orkes-orkes gam elan yang anggun dimainkan di kala senja. Ciri khas sultan Sumatra Tim ur adalah bahwa ia tinggal dalam sebuah rumah yang dalam tata bentuk mau pun bahan bangunannya sangat serupa dengan rumah-rumah rakyat biasa, sebuah rumah yang rangka dan dindingnya berbahan kayu dan papan, beratapkan sirap-sirap nipah. Hanya sedikit leb ih besar dari rumah rakyat Tetapi, dengan datangnya perusahaan-perusahaan on derneming dengan tiba-tiba penguasa-penguasa Sumatra Tim ur mampu membangun tempat-tempat kediaman yang luas dan istana-istana yang besar. Saya teringat akan tem pat-tem pat tinggal sultan-sultan Langkat dan Asahan dan istana Sultan D eli. Perusahaan-perusahaan onderneming mempersembahkan kepada para penguasa itu hadiahhadiah yang mahal, perabot rumah yang menarik, pot-pot bunga, taplak-taplak meja yang mahal, dan hiasan-hiasan lainnya untuk kamarkamar penerimaan tamu. Selama kunjungan saya ke istananya, Sultan D eli menyebutkan pengusaha-pengusaha on dern em ing itu sebagai pe168
nyumbang-penyumbang dari sejumlah barang-barang yang sangat mahal yang terdapat di ruang besar. Sultan-sultan, putra-putra mereka, dan anggota-anggota lainnya dari keluarga-keluarga mereka telah di berikan bantuan biaya peijalanan ke Eropa, terutama ke Negeri Be landa di mana mereka dijamu sebagai tamu kerajaan. Berangsur-angsur selama bertahun-tahun barulah kementerian da lam negeri di N egeri Belanda dan juga pemerintahan kolonial di Ba tavia menyadari bahwa konsesi-konsesi awal, yang dirundingkan anta ra raja-raja kecil itu dengan pengusaha-pengusaha onderneming tanpa peran-serta dari seorang wasit yang mewakili kepentingan-kepentingan ekonomi dan hukum pihak kawula, adalah sangat tidak adil terhadap rakyat kecil. Serangkaian kontrak contoh disusun, tetapi pa ra pengusaha onderneming itu keberatan dengan keras terhadap gagasan untuk mem perbaiki konsesi-konsesi awal. Mengingat kenyataan bahwa pemerintah menyusun kontrak-kontrak contoh dengan maksud untuk menenteramkan ketidakpuasan kaum tani yang semakin memuncak, sebenam ya adalah aneh bahwa pengusaha-pengusaha onder neming justru memenangkan alasan-alasan mereka dan bahkan men cegah perbaikan konsesi-konsesi awal itu. Didorong oleh kekecewaan mereka, tidak jarang para petani itu membakari bangsal-bangsal pengeringan yang penuh dengan daun tembakau panenan. Sebenamya sumber utama dari ketidakpuasan mereka adalah jumlah lahan yang tidak cukup tersedia bagi pendu duk desa itu. Akan tetapi, petani-petani itu bukan satu-satunya unsur yang tidak Puas untuk mengambil tindakan keras. Suatu golongan lain dengan" keluhan-keluhan yang gawat adalah orang-orang suku Batak Karo di bawah kekuasaan Sultan Deli, yang keberatan terhadap kesewenangwenangan Sultan yang menyewakan tanah di pedalaman, di daerah dusun Batak Karo, tanpa memberikan suku Batak Karo bagian mere ka dari uang yang dibayar oleh onderneming yang bukan milik Sultan itu. Orang-orang Batak Karo yang tidak puas itu mengerahkan orangorang d i bawah komando mereka dan menyerang markas-markas on derneming yang terletak dalam wilayah dusun Karo. Batavia mengirim pasukan-pasukan dari Jawa, menindas pemberontakan itu, dan kemudian m enyelidiki sebab-sebab pemberontakan suku Batak Karo itu. Setelah penyelidikan itu menemukan tindakan yang tidak adil di pihak Sultan, Belanda mendesak supaya kepala-kepala suku Batak Karo m enerim a bagian mereka yang sesungguhnya dari pembayaranpembayaran itu. Untuk membuat mereka lebih kuat dalam perundingan-perundingan dengan pemerintah pusat dan juga dengari penguasa-penguasa Su 169
matra Timur, para pengusaha ondernem ing tembakau itu bersatu da lam suatu perhimpunan. Meskipun Persatuan Pengusaha O ndernem ing D e li tidak dapat selamanya bergantung kepada dukungan pem rintah pusat atau pejabatpejabat setempatnya namun persekongkolan dengan penguasa-penguasa Sumatra dan perjanjian antara sesama pengusaha onderneming mengenai taktik, menjamin bahwa m ereka akan berhasil. Didukung oleh penguasa-penguasa kecil, pengusaha-pengusaha onderneming itu melarang penanaman tembakau oleh petani-petani setempat atau oleh bekas buruh-buruh Cina, dengan maksud untuk mencegah pencu rian tembakau perkebunan. Sesungguhnya adalah sukar untuk membuktikan pencurian itu jika para petani dibenarkan mempunyai la dang-ladang tembakau mereka sendiri. Untuk m emperkuat larangan penanaman tembakau oleh petani, para pengusaha onderneming setuju untuk tidak m em beli tembakau yang bukan tembakau onderne ming dan tidak menjual tembakau m ereka sen d iri di Sumatra Timur; sebaliknya, semua tembakau dikirim ke N e g e ri Belanda untuk dijual pada pelelangan. Para pengusaha ondernem ing itu m engalam i kesulitan berat dalam menghadapi larinya buruh-buruh yang didatangkan d ari seberang lautan. Pada awal 1908 Persatuan Pengusaha O ndernem ing D eli menyarankan dilakukan sidik ja ri dan sistem kartu pen gen al yang luas, bukan hanya untuk buruh-buruh d i ondernem ing m elainkan juga untuk kawuia bebas dari penguasa-penguasa setem pat dan untuk orang-orang Cina yang tidak lagi mempunyai ikatan dengan ondernem ing mana pun. Dalam hal ini, penguasa-penguasa setem pat bergabung dengan pemerintah pusat dalam menentang pengusaha-pengusaha ondememing, yang terpaksa mencabut usul itu. P robkm kedua yang dihadapi oleh m anajer-m anajer onderneming a alah serangan-serangan terhadap anggota-anggota staf oleh buruhuruh onderneming. Hubungan setiap hari antara buruh-buruh dan asisten-asisten Eropa bukan tidak sering m enim bulkan dendam yang mendalam di pihak buruh yang m engalam i perlakuan kejam dari pa ra asisten itu, baik dengan kata-kata yang kasar maupun pemukulan yang tak beradab. Kejadian itu mungkin berm ula karena baik buruh awa atau buruh Cina tidak begitu m engerti bahasa M elayu sepotongi u f r r f ^ yan^ d^gunakan oleh asisten-asisten, maupun karena buruh m 1 k a*asan mengapa ia dimarahi. Setiap pertengkaran enambah ketegangan antara asisten dan buruh sampai sedemikian pa sehingga suatu insiden kecil saja akan mem buat buruh itu sa ga marah dan dalam kemarahan seperti itu ia akan mencabut piaunya dan melukai dengan parah atau membunuh asisten itu. Dalam 170
upaya mengurangi kemungkinan serangan-serangan seperti itu terha dap asisten-asisten, Persatuan Pengusaha Onderneming bukan hanya mengeluarkan buku kecil yang memberikan petunjuk-petunjuk kepa da setiap asisten tentang ” apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak” dalam menangani buruh melainkan juga melarang buruh membawa pisau atau senjata lain selama jam-jam keija. Ada perhatian besar terhadap Hindia di pihak masyarakat umum di N egeri Belanda, karena banyak orang yang mempunyai keluarga di jajahan itu, sementara yang lain mempunyai saham-saham dalam perusahaan-perusahaan di sana. Karena itu tidak mengherankan bahwa pads tahun 1902 masyarakat Belanda sangat terkejut mendengar la poran Pengacara J. van den Bra id dalam risalahnya tentang perlakuan kejam terhadap buruh-buruh di banyak onderneming.1’ Pengarang itu adalah seorang pengacara yang berpraktek di Medan. Tuduliantuduhan itu sangat serius dan pengarang itu adalah sedemikian terhormat sehingga tidak mungkin bagi pemerintah untuk mengabaikannya. Seorang pemeriksa, Hakim J.L.T. Rhemrev, dikirim ke Sumatra Timur untuk menyelidiki tuduhan-tuduhan Pengacara van den Brand. Laporan Them rev membenarkan tuduhan-tuduhan van den Brand. Akan tetapi, sepanjang pengetahuan saya, laporan itu tidak pernah diungkapkan, juga tak pernah seorang ahli pun diberikan kesempatan untuk menelitinya lebih lanjut Pandangan saya untuk ini adalah bah wa laporan itu mestinya bahkan akan lebih mengejutkan daripada risalah Brand. Risalah Brand dibahas di Parlemen. Menteri Jajahan, J.T. Kremer, yang pernah bekerja pada Maskapai Deli harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, untuk mana ia benar-benar memenuhi syarat, karena ia memegang jabatan penting di Medan sampai tahun 1883. Sebagaimana jawabannya memperlihatkan, ia berada da lam situasi yang sangat sulit Kremer berpendirian bahwa jika ia sen diri masih berkedudukan di Medan, tentulah van den Brand tidak mempunyai dasar untuk menuduh para pengusaha onderneming itu dengan cara yang dilakukannya pada tahun 1902. Keterangan Krem er yang agak pincang adalah bahwa, mestilah iklim tropik yang telah menyebabkan terjadinya kemerosotan moral setelah kepergiannya. Dalam hal ini orang dapat bertanya apakah iklim itu telah berubah setelah K rem er kembali ke Negeri Belanda. Hasil yang segera dari tuduhan-tuduhan van den Brand dan pemeriksaan-pemeriksaan atas. mereka oleh Hakim J.LT. Rhemrev adalah didirikannya Jawatan Inspeksi Perburuan Propinsi Luar, yang dibebani tanggung jawab untuk memastikan bahwa pengusaha-pengusaha onderneming tidak menyalahgunakan wewenangnya terhadap buruh, melainkan akan memberikan kepada mereka semua kemudahan yang dibutuhkan berdasarkan hukum. 171
Jelaslah bahwa dalam kepentingan keuangan pengusaha-pengusaha onderneming, buruh yang didatangkan seyogianya tidak kembali ke negeri asalnya, tetapi memperbaharui kontraknya. Tetapi biasanya alasan untuk membaharui kontrak adalah habis ludasnya uang simpanan tabungan buruh itu selama suatu pesta pasar malam yang diselenggarakan oleh onderneming pada setiap akhir tahun penanaman di mana segala hiburan termasuk perjudian diadakan. Pemerintah Hindia Belanda berulang-ulang berusaha menghapus sistem buruh kontrak, tetapi ditentang dengan keras oleh pengusahapengusaha onderneming, terutama pengusaha-pengusaha onderne ming tembakau. Akhimya, adalah Senat Amerika Serikat yang mengalahkan pengusaha-pengusaha onderneming tembakau dalam hal ini. Pada tahun 1931 Senat AS membuat undang-undang ta rif baru yang melarang pengimporan produk-produk yang dihasilkan oleh buruhburuh hukuman. Undang-undang Blaine Amendment memperluas larangan itu dengan mencabut izin impor untuk komoditi yang dihasil kan oleh buruh kontrak, jika mereka bersaing dengan produk-produk buruh dalam negeri setempat. Ini berakibat kepada tembakau gulung Sumatra tetapi, munafiknya undang-undang itu tidak berlaku bagi komoditi-komoditi seperti karet, kelapa sawit, sisal, atau teh, karena itu tidak bersaing dengan produk-produk Amerika. Berhadapan dengan penghambat yang tak diduga ini, Persatuan Pengusaha Onderneming D eli menghapuskan sistem buruh kontrak dan sanksi pidana di se mua onderneming tembakau yang menjadi anggota. Sejak pengusaha-pengusaha onderneming tembakau itu, yang dulu gigih mempertahankan sistem buruh kontrak tidak lagi menggunakannya, maka pemerintah secara berangsur-angsur sampailah kepada penghapusan sitem itu di semua onderneming lainnya. Undang-un dang itu tidak menetapkan tanggal akhir bagi penyelesaian pengha pusan itu; penyerbuan Jepang ke Hindialah melenyapkan kontrakkontrak buruh yang terakhir. Sama gigihnya seperti mereka mempertahankan sistem buruh kon trak, pengusaha-pengusaha onderneming tembakau itu terus-menerus mempertahankan bahwa hanya buruh-buruh Cina yang dapat bekeija sebagai penanam-penanam tembakau. Tetapi tahun 1930, pemerintah pusat menantang aristokrasi pengusaha onderneming tembakau de ngan mengutip bea imigran seratus gulden untuk setiap buruh Cina yang dibawa dari Cina Selatan. Karena bea imigran baru itu mem buat buruh Cina terlalu mahal, pengusaha-pengusaha onderneming beralih ke buruh Jawa. Dengan demikian pemerintah mencapai maksudnya untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja bagi orangorang Jawa yang tidak mempunyai tanah. Sekarang para pengusaha onderneming sadar bahwa mereka selama ini keliru menilai orang172
orang Jawa. Mereka terbukti merupakan penanam-penanam temba kau yang terampil, sementara istri-istri dan putri-putri mereka, de ngan latihan yang tepat, menjadi pengsortir dan penghimpun daundaun tembakau yang cukup cekatan. Dari semua daerah tropik yang telah menarik pengusaha-pengusaha onderneming Barat, Sumatra Timur adalah unik dalam pengaturanpengaturan agraria antara penguasa-penguasa kecil dan pengusahapengusaha onderneming asing. Dalam ketiadaan jawatan kadaster atau pemeriksa-pemeriksa batas tanah milik, tidak ada usaha dilakukan selama puluhan tahun sebelumnya untuk memisahkan tanah-tanah milik kaum tani pribumi dan pemilik-pemilik onderneming Barat Lagi pula, pertumbuhan penduduk secara wajar tidak dimasukkan ke dalam pertimbangan; sehingga dalam 75 tahun tekanan penduduk te lah menimbulkan suatu kelangkaan tanah. Karena tembakau adalah tanaman panenan tahunan yang mesti diikuti oleh suatu masa pengosongan tanah yang panjang dankarena penduduk tani setempat melakukan pertanian huma, maka menjadi mungkinlah mengkombinasikan dalam satu sistem: penanaman tem bakau berhuma dengan penanaman padi dan jagung kaum tani pribu mi yang berhuma pula. Ini sekali lagi adalah suatu pola unik yang tidak terdapat di mana pun di daerah tropik. Pengusaha-pengusaha ondernem ing tembakau Sumatra Timur adalah satu-satunya penanam-penanam berhuma di dunia yang saling menggilir dengan kaum tani dalam penggunaanladang huma. Akan tetapi, kedudukan dari keduanya bukanlah sekutu yang sebenamya, melainkan hubungan kolonial dalam mana pengusaha onderneming menguasai operasi-operasinya. Seorang petani boleh menanami empat sampai lima hektar ta nah, sementara ratusan petani-petani pribumi masing-masing hanya boleh menggunakan 0,7 hektar jaluran, yang sama sekali tidak cukup sekalipun sekedar untuk menyambung hidup. Dengan dikuasinya sis tem pertanian oleh pengusaha-pengusaha onderneming tembakau dan dicegahnya petani-petani pribumi untuk meningkatkan kegiatan per tanian mereka sendiri, tidaklah mengherankan bahwa hak-hak agra ria yang saling berpaut antara para pengusaha onderneming kolonial dan petani-petani Indonesia sering menimbulkan percekcokan dan perselisihan-perselirihan yang pahit Pada akhir dasawarsa kedua abad ini, pemerintah pusat R I menca pai keputusan bahwa konsesi itu mempunyai banyak sekali kekurangan jika dibanding dengan sewa-menyewa jangka panjang (eifpachten), sehingga sangat mendesak untuk menghapuskan konsesi-konsesi itu dan menggantinya dengan sewa-menyewa jangka panjang. Persoalan yang paling penting adalah pengurangan tanah yang dikuasai oleh 173
ondernem ing-ondemem ing dan membagikannya di antara para petani yang kekurangan tanah. Pendudukan Jepang di Indonesia selama empat tahun yang secara re la tif pendek, telah mempunyai pengaruh ekonomi, sosial, dan poli tik secara mendalam pada bekas koloni itu. Di Sumatra Tim ur para pengusaha ondernem ing kehilangan sekutu-sekutu mereka yang sa ngat berharga, yaitu para penguasa kecil dalam Revolusi Sosial di sana. Para petani dan buruh yang pada masa sebelum perang tidak bersuara kini telah diorganisasikan ke dalam serikat-serikat buruh dan berafiliasi dengan berbagai partai politik yang diwakili dalam parleman. Masa perkembangan Sumatra Timur ini — dengan berbagai prob lem yang muncul akibat kolonialisme, yaitu, perjuangan agraria anta ra petani dan pengusaha onderneming setelah tahun 1949 — dapat diikuti dalam sebuah studi pada buku berikutnya.
174
Catatan
BAB I 1. John Anderson, Mission to the East Coast fo Sumatra in 1832, him. 363. 2. Ibbetson diminta untuk ’’mengunjungi setiap pelabuhan atau tempat mana saja yang mengandung arti di pantai; mengumpulkan keterangan yang terbaik di tempat itu mengenai hal-hal menguntungkan yang berkaitan dengan alam, perniagaan dan politik; tingkat dan sifat sumber-sumber, produksiproduksi, impor dan ekspomya; sifat penghasilan yang sebenamya, dan we wenang pemerintahannya; jumlah, watak, dan pekerjaan-pekeijaan utama penduduknya; dan juga barang-barang dasar dari perniagaan luar negeri yang dibutuhkan di sana; sifat dan tingkat hubungannya dengan negeri-negeri di pedalaman... dan setiap keterangan yang dapat diperoleh mengenai watak, keinginan-keinginan, dan kesulitan-kesulitan penduduk di negeri-negeri pedalam an itu” (Anderson, Mission, him. 353-64). 3. Lihat Peta 9b oleh S J. Esser dalam Atlas van Tropisch Nederland (Batavia, 1938). 4. Anderson, Mission, him. 315-16. 5. Suatu proses yang sama berlangsung di Pulau Mindanao, Filipina, di mana Bukidnon, Manabo, dasn anggota-anggota suku-suku lain menjadi berdwi bahasa dasn beralih memeluk agama Kristen sebagai hasil hubungan de ngan imigran-imigran Visayan Kristen. Orang-orang yang baru saja memeluk
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
agama Kristen ini mulai berpakaian seperti orang-orang Visayan dan menghentikan setiap kebiasaari yang akan menyebabkan flicrcka ta/npi S6 Bg3 bukan orang-orang Visayan. Anderson, him. 302. Anderson, him. 260-61 Satu kubit sama dengan 45,72 cm. Petunjuk-petunjuk halaman di sini dan di bawah adalah pada tulisan Ander son, Mission. D.G.E. H all, A History of South-East Asia, him. 441-42 Anthony Reid, The Contest for North Sumatra: Atjeh, The Netherlands and Bri tain, 1858-1898, him. 11-14. ”H et inbezitnemen en ontruimen van 6tablissemnten op de Oostkust van Sumatra,” T'ijdsch.iijt van Nederlansch Indie (1853), bagian 2, him. 225. W.H.M. Schadee, Geshiedenis van Sumatra’s Oostkust, bag. 1, him. 59-60. John Anderson, Acheen and Its Ports on the North - and East - Coast of Sumatra, him. V. Schadee, bag. 1, him. 89,91 dan 94; Reid, him. 16. Artikel 3 berbunyi: ’’Pihak-pihak yang mengadakan kontrak dengan ini menyatakan bahw a setelah saat ini tidak boleh ada Perjajian dibuat baik de-. ngan Kekuatan Pribum i di Pantai-pantai Timur, yang mengandung suatu Artikel yang cenderung, baik dengan sengaja, maupun dengan menjalankan
175
bea-bea yang tak sama, mengeluarkan Perdagangan Pihak lainnya dari Pelabuhan-pelabuhan Kekuatan Pribumi seperti itu; dan bahwa jika dalam Per janjian sekarang pada suatu Bab, Artikel mana pun dengan tujuan itu telah diterima, Artikel seperti itu harus dicabut pada saat berakhim ya Perjanjian 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
yang sekarang.” Reid, him. 31; Schadee, bag. 1, him. 86. Schadee, bag. 1, him. 86-87. Schadee, him. 91-92. Schadee, him. 95-97. Reid, him. 38. Reid, him. 37. Schadee, him. 125. Reid, him. 47-48.
B A B II 1. Indisch Verslag 1939: II, Statistisch jaaroverzicht van Nederiansch-Indie over het jaar 1939, him. 2. 2. R.W. van Bemmelen, The Geology of Indonesia, IA, 689. 3. Ibid, 687. 4. Ibid, 689. 5. Ibid, 689. 6. H.D. Collings, ’’Pleistocene Site in the Malay Peninsula,” Nature, 142 (1938), 575-76. 7. van Bemmelen, IA, 691. 8. Ibid, 691-93. 9. Ibid, 694. 10. Ibid, 686-87. 11. Ini ditinjau dalam tulisan J.H. Druif, De Bodem van Deli: H. Mineralogische onderzoekingen van de bodem van Deli, him. 21-34. 12. Ini dan dua sub-bab berikutnya didasarkan atas ringkasan berbahasa Inggris dalam tulisan Druif, him. 189-190. 13. E.CJ. Mohr, The Soils of Equatorial Regions with Special Reference to the Nether lands East Indies, him. 468-69. 14. Ibid, him. 470. 15. Druif, him. 190-91. 16. Druif, him. 192. 17. Mohr, him. 472. 18. R. van de Waal, Richtlijnen voor een ontuAkkelingsplan voor de Oostkust van Sumatra, him. 16-18. 19. Mohr, him. 56-59. 20. Daun-daun nipah dilipat pada sebuah bilah yang terbuat dari kayu nibung (.Oncosperma filamentosum B l.) dan kemudian dijepitkan dengan seutas tali yang diperoleh dengan memecahkan batang bamban herbakus (Dcmax arundastrum Lour, dan D. canniformis K. Schum). Industri atap Sumatra Timur memerlukan daun-daun nipah dan bamban dalam jumlah yang sangat besar sehingga kedua jenis pohon itu benar-benar ditanam oleh tukang-tukang atap. 21. B. Hagen, ’’Die Pflanzen - und Thierwelt von Deli au f der Ostkuste Suma
176
tra’s,” Tijdschrift van het Kon. NederiandschAardrijkskunding Genootschap, Seri Kedua, 7, (1890), 38-39. 22. Terbanyak kebakaran sepanjang sebelah-menyebelah jalan-jalan umum disebabkan keteledoran orang-orang yang berlalu di situ. 23. S.CJ. Jochems, ”De begroeiing der tabakslanden in Deli en hare beteekenis voor de tabakscultuur,” Mededeelingen van het Deli Proefstation te Medan, Seri 2, No. 59 (n.d.) him. 26-27, 77-89. B A B III 1. A. Hoynk van Papendrecht, Gedenkschrift van de Tabak Maatschappij Arendsburg ter gelegenheid van haar vyftigjarig bestaan 1877-1927, him. 20-21. 2. Ibid. him. 22. P. van de Arend dan rekan-rekan kerjanya dikecewakan oleh tembakau yang dihasilkan di Tempeh dan memutuskan tidak memperbarui penyewaan itu. Percobaan itu berakhir dengan kerugian 36.000 gulden. 3. W.H.M. Schadee, Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust, I, 172-173. 4. E. Netscher, ’’Togtjes in het gebeid van Riouw en onderhoorighenden,” Tijdschrift. voor Indische Tool-, Land- en Volkenkunde, 14 (1864), 342-43. 5. Schadee (Geschiedenis, 1, 93) melaporkan bahwa Said Abdullah dilahirkan di Surabaya, tetapi setelah kehilangan kapalnya di pantai timur Sumatra karena karam, menetap di Deli mengawini seorang saudara perempuan . sultan. Karena itu Abdullah dipertalikan oleh perkawinan kepada sultan, tetapi sama sekali dia bukan seorang pangeran. 6. A. Hoynk van Papendrecht, him. 26-27. 7. Tidak diketahui apakah ini adalah tembakau Deli yang benar-benar pertama kali tiba di Eropa atau apakah tembakau tanaman Deli telah pernah diterima sebelumnya melalui suatu perusahaan perdagangan Inggris di Penang. 8. A. Hoynk van Papendrecht, him. 30. 9. Schadee, 1, 174-75. 10. A Hoynk van Papendrecht, him. 33-34. 11. Ibid. him. 32. Pemindahan itu berlangsung tanggal 1 April 1867, Schadee, 1, 176. 12. Terjemahan dalam bahasa Belanda dari kontrak itu dalam tulisan A Hoynk van Papendrecht, him. 36-37. 13. Ibid. him. 28. Karena pala tidak disebutkan oleh Anderson sebagai suatu komoditi ekspor dari Deli dan karena ia tidak memandang ini rempah-rempah yang pernah sangat penting, kita mesi menganggap bahwa industri ini dim ulai sesudah tahun 1823. Industri pala, seperti industri lada, pr3aktis telah lenyap dari Deli. Sudah pasti dengan segera para pengusaha onderne ming itu kehilangan perhatian dalam industri pala itu; saya tidak tahu apa kah ada di antara mereka yang pernah aktif dalam produksi lada. Industri ini tetap dalam tangan penduduk setempat, tetapi karena pengusaha-pengu saha onderneming segera menguasai seluruh tanah, maka industri lada itu sudah pasti akan hilang. 14. J.AM . van Cats Baron de Raet, ’’Vergelijking van den vroegeren toestand van Deli, Serdang en Langkat met den tegenwoordingen,” Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, 23 (1876), 31. 15. Ibid. him. 33. 16. A Hoynk van Papendrecht, him. 39.
177
1
17. Consortium diganti menjadi Tobacco Company Arendsburg (N.V. Tabak Maat schappij Arendsburg) dalam A p ril 1877, dengan modal 750.000 gulden. Jika ditinjau kembali pada 15 tahun selama Consortium bekerja, dapat dilihat bahwa tahun-tahun pertama adalah tahun-tahun terjadinya kerugian-kerugian yang berat; selama waktu Nienhuys menjadi administratur, Consortium itu terus-m enerus m engalam i defisit. De M unnick sudah m am pu menyeimbangkan pengeluaran dan pendapatan selama jangka waktu dari ta hun 1867 sampai 1871. Kemudian tahun 1872 memperlihatkan suatu kerugian kira-kira 12.000 gulden, tetapi tahun-tahun berikutnya yakni tahun 1873,1874, dan 1875 - menghasilkan keuntungan-keuntungan yang besar berjum lah kirakira 220.000 gulden. Tahun terakhir dari Consortium itu, 1876, sekali lagi mengalami kerugian kira-kira 4.450 gulden. (Lihat A. Hoynk van Papendrecht, untuk data bersejarah yang lengkap mengenai kegiatan-kegiatan van den A ren d dan Consortium.) Perusahaan baru itu sangat berhasil selama masa dari 1927: hanya dalam 10 tahun perusahaan itu membayar dividen berjum lah sampai 100% atau lebih dari nilai nominal saham-saham yang dipakai dan dalam 1906 dividen-dividen mencapai 170% dari nilai nominal. Perusahaan itu akhimya ditampung oleh Maskapai Deli dalam tahun 1952. 18. Schadee, 1, 180. 19. Ibid. 181-82. 20. Deli Maatschappij, Gedenkschrift bij gelegenheid van het vijftigjarig bestaan, him. 11. 21. Ibid. him 54-55. 22. Senembah Maatschappij 1889-1914, him. 44. B A B IV 1. B. H agen , ’’D ie Pflanzen-und T ie rw e lt a u f d e r Ostkiister Sum atra’s,” Tijdschrijt van het Kcm. Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, seri kedua, 7 (1890), 38. 2. Buah-buah peti dimakan dalam jumlah-jumlah kecil karena rasanya yang pedas, sedikit menyerupai rasa bawang putih. Pete itu juga mempunyai pengaruh yang merangsang mengeluarkan air kencing lebih banyak. 3. Pohon tualang tumbuh menjulatlg sangat tinggi dan mempunyai batang-batang yang besar. Kayu itu pecah dengan buruk, sama sekali tidak tahan lama, tetapi sangat keras dan berat Seperti sering terjadi di Asia Tenggara dengan kayu-kayu yang nilai penggunaannya sangat rendah, tualang itu dipercayai berhantu. Inilah mungkin sebabnya pohon-pohon itu dibiarkan tak ditebang; orang-orang Batak penebang kayu menolak menebangnya. Alasan lain dibe rikan kadang-kadang adalah bahwa tualang adalah sejenis pohon tempat bersarang yang disenangi lebah-lebah liar. Karena orang-orang desa tidak ingin kehilangan sumber-sumber madu mereka, mereka mempertahankan supaya pohon-pohon itu jangan ditebang. Dari dua alasan itu, yang pertama tampak kepada saya adalah lebih masuk akal. 4. Disebutkan ’’daun-daun tanah” karena hujan memercikkan butir-butir tanah ke atas daun-daun yang lebih rendah ini. 5. R. Broersma, Oostkust van Sumatra, Bagian I (De ontluiking van Deli), him. 12627.
178
6. C.J.J. van Hall dan C. van de Koppel, esd., De Landbouw in de Indische Archipel, 3,466-67. 7. De Bevolkingsrubbereidtuur in Nederlandsch Indie, Bag. VI, him. 16. 8. B.B.M.M. van Suchtelen, Nederlands nieuwe eereschuld aan India; Peter Bauer, The Rubber Industry: A Study in Competition and Monopoly, him. 65-73, 209. 9. Bauer, him. 209. 10. Dalam bulan September 1907 tujuh raja Simalungun menandatangam apa yang dinamakan Korte Verklaring (Pemyataan Singkat) dalam mana mereka mengakui kedaulatan Belanda, berjanji tidak akan melakukan hubunganhubungan politik dengan negeri-negeri asing, dan setuju untuk mengikuti undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hin dia Belanda. 11. A.A.L. Rutgers, Investigations on Oilpalms, him. 1. BAB V 1. K. van d er Molen, Bevolkingsgrond en concessierecht ter Oostkust van Sumatra, him. 9. 2. Ibid. him. 12. 3. Ibid. him. 11. 4. Ibid. him. 13. 5. W.H.M. Schadee, Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust, 1, 187-203; P.J. Veth, ”Het landschap Deli op Sumatra”, Tijdschrift van het Nederlandsch Aardrijksundig Genootschap, 2 (1877), 162-65. 6. R. Broersma, Oostkust van Sumatra: I. De Ontluiking van Deli, him. 69. 7. E.A. Halewijn, ’’Geographische en ethnographische gegevens betreffende het Rijk van D eli”, Tijdschrift voor Indische Tool-, Land-, en Volkenkunde, 23 (1876), 147-52. 8. Untuk sejarah kontrak-kontrak contoh, lihat HJ. Bool, Landbouwconsessies in de Residentie Oostkust van Sumatra, him. 6-17; dan untuk teks dari empat kontrak contoh ini, ibid. him. 122-38. 9. Ibid. him. 37. 10. C atatan-catatan perusahaan tentang keluarga-keluarga di daerah-daerah konsesi akan memberikan suatu keterangan yang sangat berguna tentang pertumbuhan penduduk di Sumatra Timur, karena hal itu menyangkut kepentingan onderneming untuk menyimpan catatan-catatan dengan hati-hati. Sejauh yang saya tahu, tak seorang pun yang telah menggunakan data itu. 11. Dalam naskah aslinya bagian ini berbunyi: "alle hoofden van huisgezinnen,
hetzij tijdens, hetzij na de uitgifte op de concessiegrxmdm gevestigd en die volgens de inheemse insteUingen te rekenen zijn tot de rechthebbenden op grond.” 12 Bool, him, 79. 13. Bool, him. 117-19. 14. Bool, him. 19. 15. ' 16. 17.
J.G.W. Lekkerkerker, Ccmsessies en erfpachten voor land bouwondememingen in de Buitengewesten, him. 89. Lekkerkerker, him. 90 Bool, him. 53-56; Lekkerkerker, him. 94.
179
De invloed van de westersche cultures op de autochtone bevolking ter Oostkust van Sumatra, him. 25.
18. J. de Ridder,
19. Suku Batak Karo mempunyai lima margo. utama - Tarigan, Ginting, KaroKaro, Perangin-angin, dan Sembiring - masing-masing dibagi lagi ke dalam sejumlah cabang marga. Suku Batak Simalungun mempunyai empat marga utama - Damanik, Sinaga, Saragih, dan Purba - masing-masing dibagi lagi ke dalam sejumlah cabang marga. Suku Batak Toba dibagi ke dalam sejumlah cabang marga yang lebih banyak daripada suku Karo maupun suku Simalu ngun, bahkan sekalipun jika kita gabungakan cabang-cabang marga Karo dan Simalungun. 20. C.J. Westenberg mengawini seorang putri kepala suku Batak Karo di dataran tinggi itu, menjadi ahli yang mungkin terbaik mengenai adat Karo, dan ada lah penolong dalam menciptakan kekuasaan Belanda atas dataran tinggi Karo kira-kira 50 tahun yang lalu. Tulisan-tulisannya adalah sumber yang paling berharga untuk data antropologi, sosiologi, dan ekonomi mengenai suku Batak Karo, keduanya di dataran tinggi Karo dan di negara-negara pantai Sumatra Timur. BAB VI 1. Kesempatan-kesempatan menanam modal dicari di mana-mana di daerah tropik, tetapi Hindia Belanda mempunyai beberapa keuntungan ketimbang daerah-daerah lain. Umpamanya, keduanya US Rubber dan Goodyear ber hasil memperoleh sejumlah besar tanah di Sumatra setelah berbagai upaya untuk memperoleh sejumlah tanah yang sama di Filipina gagal. Di Filipina undang-undang membatasi luas tanah, dengan demikian perusahaan dapat meminta hanya sampai 1,024 hektar saja; Hindia Belanda tidak mengenai pembatasan seperti itu. 2. J.G.W. Lekkerkerker, Concessies en erfpachten voor land bouwondememingen in de Buitengewesten, him. 66-70. 3. Sumatra Post, 5 A pril 1899 dan 7 Agustus 1902, sebagaimana dikutip oleh J. van den Brand, De MiUioenen uit Deli, him. 15-17. 4. Dalam hubungan ini, dapat terungkap perbandingan antara hubungan pemilik-pemilik perkebunan dan anggota-anggota dari jawatan Jajahan Inggris yang bekerja di seberang Selat Malaka di Semenanjung Malaya. Latar bela kang sosial dari pejabat-pejabat Inggris dengan sekolah umum mereka dan latihan universitas Oxford-Cambridge membuat mereka mampu mengambil suatu pendirian yang lebih bebas, dan mampu menolak usaha-usaha para pemilik onderneming dan pedagang-pedagang untuk mempengaruhi keputusan-keputusan mereka. 5. HJ. Bool, De Landbouwconsessies in de Residentie Oostkust van Sumatra, him. 58. 6. Ibid. him. 65. 7. J. de Ridder, De invloed van de westersche cultures op de outochtone bevolking ter Oostkust van Sumatra, him. 43. 8. Com elis van Vollenhoven, De Indonesie en zijn grond, him. 83-90. 9. Arm in von Oefele, ”Het plantagevraagstuk in de Bataklanden,” Kokmiale Studien, 3 (1919) 312-€7. 10.Penentangan yang serupa dari suku Batak Karo dataran tinggi menyebabkan
180
gubem ur Sumatra Timur menutup tanah Karo bagi pertanian perkebunan B arat Orang menemukan dalih bahwa semua penentangan ini adalah kare na digerakkan oleh pekabar-pekabar Injil dan pejabat-pejabat yang dipecat secara tidak hormat, tetapi jika rakyat telah diyakinkan bahwa mereka seca ra keuangan akan beruntung atau sebaliknya atau bahwa hari depan ekono mi mereka sendiri akan teijamin, maka sangatlah diragukan bahwa mereka akan mendukung upaya-upaya orang-orang yang menentang perkembangan onderneming itu. 11. Undang-undang Sewa Jangka Panjang untuk wilayah-wilayah yang dikuasai secara tidak langsung di luar Pulau Jawa dan Madura (Erfpachts-ordonantie vocrr de zeljbesturende landschappen buiten Java en Madura), diterbitkan dalam Staatsblad 1919, No. 61, mulai berlaku tanggal l'F ebru ari 1920 di wilayahwilayah yang penguasa-penguasanya telah menandatangani apa yang dinamakan Pernyataan Singkat Undang-undang itu tidak dapat diberlakukan kepada wilayah-wilayah yang penguasa-penguasanya telah menandatangani apa yang disebut Kontrak-kontrak Jangka Panjang tanpa modifikasi dari kontrak-kontrak politik ini. Untuk alasan ini Undang-undang Sewa JangkaPanjang tidak berlaku di Langkat, Deli, dan Serdang sampai tanggal 1 Desem ber 1938 (Staatsblad 1938, No. 628 dan 676) setelah Kontrak-kontrak Jangka-Panjang diperbaiki pada tanggal 16 Juni 1938. 12. Inleidende nota van de Inspecteur van Agrarische Zaken in verband met de expiratie binnen korte tijd van de termijnen waarover ter Oostkust van Sumatra landbouwconcessies zijn uitgegeven (Nota Du Marchie Sarvaas), 31 Maret 1929 (tidak diterbitkan). 13. Nota van de Inspecteur van Agrarische Zaken — Nota Bastiaans. 5 Agustus 1933 (tidak diterbitkan). 14. Brief van de Resident belast met het bestuur over het Gouvemement Oostkust van Sumatra (MM (U G0M,Vrnev-r Generaal van Nederlandsch Indie, 9 Oktober 1937 ( 154/C.BJGeheim) (tidak (litGrbltkflfl)' 15. Ibid. 16. Brief van de Directeur Binnenlands Bestuur aan de Gouvemeur Generod (flO. A.I. 9/1/13/Geheim) bertreffede conversie van landbouwconcessies in erfpacht ter Oos tkust van Sumatra, 28 December 1938 (tidak diterbitkan). 17. J.A. van Beukering, Verslag nopens de conversie van landbouwconcessies in erfpacht ter Oostkust van Sumatra, 6 Maret 1939 (tidak diterbitkan). 18. J.A. van Beukering, Nota: Nopens de conversie van landbouwconcessies in erfpacht ter Oostkust van Sumatra, 1 Juni 1939 (tidak diterbitkan). 19. Ini mencakup pelayanan-pelayanan kesehatan, ongkos-ongkos perumahan, nilai beras dan bantuan-bantuan lain yang dibagikan kepada para buruh, ongkos pemondokan buruh-buruh dan keluarga-keluarga mereka, uang pensiun, dan ongkos penerimaan buruh-buruh baru dan pengembalian mereka. 20. P ara pengacara, yang benar-benar mengikuti kaidah hukum, tidak hanya menolak pada dasamya setiap penambahan luas dari jatah-jatah itu melainkan juga menyatakan dengan tegas bahwa tetap menggunakan bau adalah bertentangan dengan hektar yang lebih luas sebagai unit daerah. Hukum yang memilih yang terbaik ini mengingatkan saya kepada suatu gerakan yang gagal dalam tahun 1945 oleh lobiis-lobiis di Washington untuk kepentingankepentingan gula Kuba supaya kuota gula Filipina diubah dari ton panjang
181
menjadi ton pendek. Hasilnya tentu akan mengurangi kuota sebenam ya de ngan 10%. 21. Brief van de Directeurvan Economische Zaken (no. 2337/4/Geheim), 3 September 1940 (tidak diterbitkan). 22. J.G. Frowein, Rapport nopens den waterstaatkundigen toestand en de hierop gebaseerde agrarisch economische mogelijkheden van de ter gelegenheid der aanstaande conversie op de Onderneming Boeloe Tjina aangeboden gronden (Medan, 15 Oktober 1940, mimeo). 23. Para pengusaha perkebunan telah mengetahui m elalui pengalam an bahwa tanah di bawah dua meter dari permukaan laut m engandung kadar zat garam yang terlalu tinggi dan karena itu tidak cocok untuk penanaman temba kau. Zat garam dari tanah-tanah itu disebabkan masa pembentukannya yang secara relatif masih muda; tanah-tanah ini telah terbentuk pada endapanendapan yang ditinggalkan air sesudah surut yang sangat muda, yang kena air garam setiap hari sehingga menyusup ke pedalam an m elalui jaringan anak sungai, sungai kecil dan besar dan dengan je la s mempengaruhi air tanah. Kemungkinan yang terakhir ini akan m enerangkan mengapa meski pun tanah-tanah yang tidak lagi dicapai oleh air laut masih mengandung sejumlah kecil garam. 24 Kepala Biro Pengalihan menyerahkan sebuah laporan berju du l KoUmisatie Sisir Gunting (no 73/C.B./24 Maret 1937) kepada Asisten R esiden Deli dan Serdang. 25- TeeUdwang-Ordonnantie, dalam Staatsblad 1939, No. 538 dan 539. 26- F J J . Dootjes, Kroniek 1939, him. 68. tfdak data mengenai proyek-proyek percontohan sawah ini hilang dari arsip-arsip Jawatan Pertanian. Salinan-salinan dari laporan-laporan Lijnden mungkin telah tersimpan dalam arsip-arsip lainnya, tetapi saya berhasil menemukan hanya sedikit laporan-laporan bulanan untuk tahun 1940. lcryf 0 Lan®kat’ Pada suatu rapat di istananya di B injai pada tanggal 12 April 938, telah mengambil pendirian yang sama, mengumumkan bahwa pemba gian menjadi penuntut-penuntut ”A ” dan ”B ” tidak dapat diterima dan lebih anjut mengemukakan bahwa jika sistem jaluran harus dihapuskan maka juga akan ada larangan terhadap praktek memberikan jalu ran kepada buruh-buruh, mandor-mandor, juru-juru tulis, penjaga-penjaga, tukang-tukang angsal tembakau, dan pegawai-pegawai perkebunan lainnya sebagai bagir,ari upah mereka. Sebuah laporan oleh J. Gerritsen tentang rapat tanggal h dikeluarkan di Medan pada tanggal 19 F ebru ari 1941 di awah judul ’’Kent verslag vandeopl7Februari 1941 gehouden besprekingen ten PQleize van den Sultan van Langkat te Bindjei inzake de nieuwe inzichten betrqffcnde het grondenvraagstuk bij conversie". Rapat tanggal 26 F ebru ari 1941 di antor Kerapatan di Medan dilaporkan dalam tulisan J. Gerritsen, ’’Kent uersZag van de op 26 Februari 1941 gehouden besprekingen ten Kerapatan kantore •„ n *nzate de nieuwe inzichten betreffende het grondenvraagstuk bij conver s e . (tidak diterbitkan) B A B V II 1. Di antara administratur-administratur itu, W.G.C. W algrave, G.G. van Kooy, J.C. Groenenberg, L.M. Reuvers, P.W. Janssen, dan F.R. Kramer.
182
2. ”The Dependence of the Economic Existence of Sumatra’s East Coast on the Main tenance of Industrial Agriculture” (Medan, tanpa tanggal) adalah salah satu dari banyak laporan yang tidak diterbitkan yang ditulis untuk pedoman bagi Kolonel Namura. 3. Suatu kasus dilaporkan tentang salah seorang administratur diperingatkan dengan keras karena memerintahkan penghancuran kebun tembakau di la dang dan mempertahankan perintahnya dengan alasan bahwa tanah itu sa ngat diperlukan untuk penanaman panen-panen pangan. 4. R. Jongens, ”Overzicth van de tabakscultuur in Deli gedurende de bezettingsjaren 1942-1945,” Economisch Weekblad voor Indonesie, 14 (1948) 622-24 5. Dari sekian banyak onderneming, yang tertua terletak dekat pusat administrasi atau sekeliling pabrik, sementara tanah-tanah hutan termuda terletak pada jarak yang sangat jauh. Peta-peta sesudah perang dari ondememingondememmg ini, memperlihatkan faktor usia dalam pemilihan tanah yang dibuka untuk produksi pangan darurat Suatu peta dari pembukaan hutan masa perang di Onderneming Wingfoot milik Perusahaan Karet Goodyear merupakan suatu pola pembagian yang agak baik dari bidang-bidang bem kuran sama empat persegi panjang. Karea Wingfoot tidak mempunvai i S k tanah cadangan yang cukup maupun tanah-tanah hutan vane ka administratur itu telah memutuskan untuk menebang semua p e i k yang telah ditanami dengan sejen.s karet tertentu yang ditemukan mutSnya lebih rendah dan jenis-jenis lain yang ditanami di bidang-bidangya£?berte 6' ^ A . Zorab, De
Japanse bezetting van Indonesie en hoar volkenrechtelyke zijde,
7. W illard H. Elsbree, Japan’s Role 1940 to 1945, him. 112-15.
in Southeast Asian n
m Movements,
8. Mohd. Amir, "Nieuw Sumatra” De Opdracht, No. 34-38
.• oleh J.J. Dootjes, Kroniek 1941-1946, him. 80. U M b)’ sePertl dikutip 9. Pusat Iatihan di Nagahuta diselenggarakan oleh Kant^n wira Kempetai yang memperoleh pengaruh besar di ten«.h J18’ se° rang p®r‘ pemuda Simalungun dan Karo. Pusat Iatihan itu d i n S S ; a' an Latihan Pemuda Tani, atau (Pusat Latihan Pemuda Tan?) ' 10. HJ. van Mook, Indonesie, Nederland en de wereld, him. 78-79
Taylor, Indonesia Independence and the United Nations, him. 5-11. 12. Dootjes, Kroniek 1941-1941, him. 62-63. 13. Ibid. him. 63. 11. Ibid. him. 88-89; Alastair M
14 15. 16. 17.
Van Mook, Indonesie”, him. 139. Dootjes, Kroniek 1941-1946, him. 96. George McT. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, him. 172. M ereka yang beruntung ditawan oleh TRI di Simalungun — di Pematang Siantar, Raya, dan Bah Birong Ulu — dibebaskan ketika pasukan-pasukan B elan da menduduki daerah itu dalam bulan Juli 1947. Dalam peti Bank N egara Indonesia di Pematang Siantar, intan berlian dan barang-barang berharga lainnya milik tawanan-tawanan itu ditemukan tetapi barang-barang rampasan oleh gerombolan-gerombolan sesudah adanya perintah-per-
183
intah dari pimpinan PP itu tidak dapat ditemukan; Medan Bulletin, 2, No. 173, 1Agustus 1947. 18. Dootjes, him. 59 19. Charles Wolf, The Indonesian Story, him. 182. 20. Dootjes, Kroniek 1947, him. 31-32. B A B V III 1. van den Brand, De Milioenen uit Deli, Amsterdam, 1902.
184
Daftar Karya Karl J. Pelzer
^
Arbeiterwanderungen in Sdost-Asien. Eine mrtschafts-und bevolkerungs-geographische Untersuchung. Hamburg, 1935. (Disertasi). Japanese Migration and Colonization’ and ’Bibliography on Migration and Set tlement’ in Limits of Land Settlement. Prepared under the direction of Isaiah Bowman. Council on Foreign Relations, New York, 1937, him 155-194;
339-372. Plantation Labor Migration in India' in Comptes Rendus duCongres International p de Geographic, Amsterdam, 1938. Jil HIA. Leiden, 1938 hlm^ 65-75. °Pulation and Land Utilization. Jil. I karya Economic Survey of the Pacific Area. ^
,
N e w York. 1941
Colonization in Southeastern Asia. New York, 1945. nah Sabrang and Java’s Population Problem, Far Eastern Quarterly, Jil. 5, No.
the Truk Islands’,
%"
S vi 'l i '
^
’^jj® Philippine Abaca Industry’, Far ^ 1950,251-66. 'TT^^nesia _ A Changing Frontier’, W ° ^ ^ the world Today, Edited by Resource Pattern of Southeast Asm’ « Swt Asia
S S E S «.1—“ «■*Grtm ,hTwG ectrvphyrf
“
fftjjippmes. 1950. Part III-
n 1 Southeast Asia - General. 1949. Part ’RbMalaya. Human Relations Area 1 > 1952, 391-404. ’Thpe^ ! ement ^ Malaya,’ The Yale Re^ ' J L . Peasant or Plantation Grop?’ in fu tu re o f the Philippine Abaca ^nd ^ ow7res5) 7,1953,190-95. *Ri» fe ed in g s of the Sevent Pactfte ^ cie7r nrrt(>nt in the Republic of the PhilipRural problems and P lan s for Rural Tropical and SubPines’ in Programmes and Plans J institute of Differing Civiliza t i o n Countries. Bruxelles: International Cn»v, tions’ 1953<257-70. ntiniities’ in Africa Today, C. Grove Haimrnentary on Africa’s Economic P o ten tialities in w ’The .nes- Baltimore, 1955, 412-19.
’La®.Agrarian Conflict in East Sumatra,
Pnvific Affairs, 30, No. 2,1957,151-59. in proceedings of the Ninth
^ Yh
Utilization in the Humid „Paeific Science Congress, 1957. *>, xa ’ theast A sia and its Outlook’ in Proe History o f Plantation Agriculture1 1957_3) Bangkok, 1963,149-156. •j. ceedings of the Ninth Pacific Scierux since 1945> in proceedings cf ass Migration and Resettlement in Southeast
185
the Ninth Pasific Science Congress, 1957,3, Bangkok, 1963,189-194. ’The Impact o f Science in Southeast A sia’, Sixth National Conference of the United States National Commission for U N E SC O , Nov. 6-9, 1957, Science and Technology in Asia and their Social Impact, 1957, 15-31. United Asia, II, No. 3,1959, 241-45. ’Western Impact on East Sumatra and North Tapanuli: The Roles o f the Planter and the Missionary1, Journal of Southeast Asian History, 2, No. 2,1961,66-71. ’Western Impact on East Sumatra and North Tapanuli: The Roles of the Planter and the Missionary1Proceedings of the X X V International Orientalist Cong ress, Moscow, 1960. Vol. 4, Moscow 1963, 296-301. Contributed to Indonesia, Edited by Ruth T. McVey, N e w Haven, 1963. 1. Physical and Human Resource Patterns, 1-23, 475-479. 4 The Agricultural Foundation 118-154, 498-504 The American Geographer’s Concern with Southeast A sia ’, P ap er read at the Annual Meeting of the AAS, 1963. Notes from the Desk o f the President o f the Association for Asian Studies', _ Newsletter of the ASS, XII, 2, Dec. 1966. Man s Role in the Changing of the Landscape o f Southeast A sia’ in Journal of Asian Studies. West Malaysia and Singapore: A Selected Bibliography. H R A F , N e w Haven. 1971. ’In Defence of the Kainginero’ in Filipino Heritage, 1974 Planter and Peasant; Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Sumatra, 1863-1947, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal, Landen Volkenkunde 84, The Hague, Martinus NijhofT, 1978. ’Swidden Cultivation in Southeast Asia: Historical, Ecological, and Economic Perspectives’, Peter Kunstadter et al. (eds.), Farmers in the Forest: Economic Development and Marginal Agriculture in Northern Thailand, University Press of Hawaii, Honolulu, 1978, 271-286. Planter and Peasant IN PRESS OR GOING THE PRESS: Pioneer Settlement in the Asiatic Trorpics. ’The Politics o f the Sumatran Pepper Trade: Competition between N ew England Captain-Traders and the British and Dutch East India Companies’. Medan, Sumatra.
186
Daftar Kepustakaan
Advies van de Agrarische Commissie, ingesteld bij het Gouvemements Besluit van 16 Mei 1928 No. 17, Landsdrukkerij, Weltevreden, 1930. Agrarische Regelingen voor de Zeljbesturende Landschappen in de Gewesten buiten Java en Madoera, Dept van Binnenlandsch Bestuur, Afdeeling Agrarische Inspectie, Weltevreden, 1919. Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Ooskust van Sumatra, Verslag, 1 Januari 1939-31 December 1939 Verslag, 1 Januari 1938-31 December 1938 Verslag, 1 Juli 1936-31 December 1937 Jaarverslag, 1 Juli 1935-30 Juni 1936 Allen, G. C. and Audrey G. Donnithome, Western Enterprise in Indonesia and Ma laya; a study in economic development, New York, 1957, Anderson, John, An Exposition of the Political and Commercial Relations of the Government of Prince of Wales Island with the States on the East Coast of Sumatra, Prince of Wales Island, 1824. Anderson, John, Mission to the East Coast of Sumatra, in MDCCXXIII, under the Direction of the Government of Prince of Wales Island: Including Historical and Descriptive Sketches of the Country, and Account of Commerce, Population, and the Manners and Customs of the Inhabitants, and a Visit to the Batta Cannibal States in the Interior. Blackwood, London, 1826. Anderson, John, Acheen and the Ports of the North and East Coasts of Sumatra, with Incidental Notices of the Trade in the Eastern Seas and the Aggressions of the Dutch, London, 1840. Angelino, A D . A de Kat, Staatkundig Beleid en Bestuurszorg in Nederlandsch-Indie, 3 Vols, ’s-Gravenhage, 1929-1930. Angelino, A D . A de Kat (translated by Renier, GJ.), Colonial Policy, I, General Principles, II, The Dutch East Indies, Institute o f Pacific Relations, San Francisco, Calif, The Hague, 1931. Bastin, John, The Native Policies qf Sir Stamford Raffles in Java and Sumatra; an Economic Interpretation, Oxford, 1957. Belawan - Oceaanhaven [door W. Cool], Dept der Burgerlijke Openbare Werken, A fdeeling Havenwezen, Batavia, 1917, I, Tekst, H, Bijlagen Bemmelen, R.W. van, The Geology cf Indonesia, The Hague, 1949, IA, General Geology, IB, Portfolio H, Economic Geology, Bemmelen, Rein W. van, Mountain Building; A Study primarily based on Indonesia region of the world’s most active crustal reformations, The Hague, 1954
187
the Ninth Pasific Science Congress, 1957, 3, Bangkok, 1963, 189-194. ’The Impact of Science in Southeast Asia’, Sixth National Conference of the United States National Commission for UNESCO, Nov. 6-9, 1957, Science and Technology in Asia and their Social Impact, 1957,15-31. United Asia, II, No. 3, 1959, 241-45. ’Western Impact on East Sumatra and North Tapanuli: The Roles of the Planter and the Missionary’, Journal af Southeast Asian History, 2, No. 2,1961, 66-71. ’Western Impact on East Sumatra and North Tapanuli: The Roles o f the Planter and the Missionary1 Proceedings af the XXV International Orientalist Cong ress, Moscow, 1960. Vol. 4, Moscow 1963, 296-301. Contributed to Indonesia, Edited by Ruth T. McVey, New Haven, 1963. 1. Physical and Human Resource Patterns, 1-23,475479. 4. The Agricultural Foundation 118-154,498-504. ’The Am erican Geographer’s Concern with Southeast Asia’, Paper read at the Annual Meeting o f the AAS, 1963. ’Notes from the Desk o f the President of the Association for Asian Studies’, Newsletter of the ASS, XII, 2, Dec. 1966. ’M an’s Role in the Changing of the Landscape of Southeast Asia’ in Journal of Asian Studies. West Malaysia and Singapore: A Selected Bibliography. HRAF, New Haven. 1971. ’In Defence o f the Kainginero’ in Filipino Heritage, 1974. Planter and Peasant; Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Sumatra, 1863-1947, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal Landen Volkenkunde 84, The Hague, Martinus NijhofT, 1978. ’Sw idden Cultivation in Southeast Asia: Historical, Ecological, and Economic Perspectives’, Peter Kunstadter et al. (eds.), Farmers in the Forest: Economic Development and Marginal Agriculture in Northern Thailand University Press o f Hawaii, Honolulu, 1978,271-286. ' v Planter and Peasant I N PR ESS OR GO ING TH E PRESS: Pioneer Settlement in the Asiatic Tropics. ’The Politics of the Sumatran Pepper Trade: Competition between N ew England Captain-Traders and the British and Dutch East India Companies’. Medan, Sumatra.
186
Daftar Kepustakaan
Advies van de Agrarische Commissie, ingesteld bij het Gouvemements Besluit van 16 Mei 1928 No. 17, Landsdrukkerij, Weltevreden, 1930. Agrarische Regelingen voor de Zeljbesturende Landschappen in de Gewesten buiten Java en Madoera,.Dept van Binnenlandsch Bestuur, Afdeeling Agrarische Inspectie, Weltevreden, 1919. Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Ooskust van Sumatra, Verslag, 1 Januari 1939-31 December 1939 Verslag, 1 Januari 1938-31 December 1938 Verslag, 1 Juli 1936-31 December 1937 Jaarverslag, 1 Juli 1935-30 Juni 1936 Allen, G. C. and Audrey G. Donnithome, Western Enterprise in Indonesia and Ma laya; a study in economic development, N ew York, 1957, Anderson, John, A n Exposition of the Political and Commercial Relations of the Government of Prince of Wales Island with the States on the East Coast of Sumatra, Prince of Wales Island, 1824. Anderson, John, Mission to the East Coast of Sumatra, m M DCCXXIII, under the Direction of the Government of Prince cf Wales Island: Including Historical and Descriptive Sketches of the Country, and Account of Commerce, Population, and the Manners and Customs of the Inhabitants, and a Visit to the Batta Cannibal States in the Interior. Blackwood, London, 1826. A n d e r s o n , John, Acheen andJ hf f ° J ts. North and East Coasts of Sumatra, with Incidental Notices cf the Trade m the Eastern Seas and the Aggressions of the Dutch, London, 1840-
,
Angelino, A.D.A. de Kat, die, 3 Vols, ’s-Gravenhage, 1929-1M).
Bestuurszorg in Nederiandsch-ln-
Angelino, A.D.A. de Kat (translated by GJ.), Colonial Policy, I, General Principles, H, The Dutch East Indies, Institute o f Pacific Relations, San fVancisco, -caur, ta*i Bastin, John, The Native Policies cf Sir Stanford Raffles in J w a and Sumatra- an Economic Interpretation, Oxford, 1957. Sumatra, an Belawan - Oceaanhaven [door W. Cool], Dept Afdeeling Havenwezen, Batavia, 1917,
der Burgerlijke Openbare Werken
I, Tekst II, Bijlagen Bemmelen, R.W. van, The Geology cf Indonesia, The Hague, 1949, IA, General Geology, IB, Portfolio II, Economic Geology, Bemmelen, Rein W. van, Mountain Building; A Study primarily based on Indonesia region of the ivorid’s most active crustal reformations, The Hague, 1954.
187
Bezemer, T.J, Beknopte Encyclopaedia van Nederlandsch-Indie, s-Graven Blink, H. Opkomst en Ontwikkeling van Sumatra als Economisch-Geograp bied, ’s-Gravenhage, 1926. Fconomiscb Blink, H., ’Sumatra’s Oostkust in hare Opkomst en Ontwikkeling a gtudie’> Gewest. Eene Econom isch-Geographische en -H isto n sc Tijdschrift voor Economische Geographic, 1981. n d sch -l^' Blumberger, J. Th. Petrus, De Nationalistische Beweging in Nederia Haarlem, 1931. ndsch-h^' Blumberger, J. Th. Petrus, De Communistische Beweging in Nederia ^ aarTweede Herziene en Bijgewerkte Druk, H.D. Tjeenk W illink & 0 lem, 1935. , gecret3' Boeke, J.H., The Structure of Netherlands Indian Economy, Internationa riat, IPR, New York, 1942. , & jletBoeke, J.H., The Evolution of the Netherlands Indies Economy, Netherlan herlands Indies Council, IPR, N ew York, 1946. Boeke, J.H., The Interests of the Voiceless Far East, Leiden, 1948. tfoBoeke, J.H., Agrarische Heroormingen in het Verre Oosten, Mededelingen nje. ninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afd. Lett ^ a3tNieuwe Reeks Deel 14, No. 6, N.V. Noord-Hollandsche Uitgeve schappij Amsterdam, 1951. Bois, Cora du, Social Forces in Southeast Asia, St Paul, Minn, 1949. q o S ^ 8* Bool, H J. De Umdbouwconcessies in de residentie oostkust van Sumatra, van Sumatra-Instituut, [Utrecht, 1903], Brand, J. van den, De MiUioenen uit Deli, Amsterdam, 1902. vfoeve- ’S' Brandt, Willem (Willem Klooster), Demarcatielijn, Uitgeverij W. van » Gravenhage, 1947. uneve.’5' Brandt, Willem (Willem Klooster), Het Geheim, N.V. Uitgeverij W. van W Gravenhage, 1960. serje5 Bresler, Jack B. (ed.), Human Ecology: Collected Readings, A ddison-W esley in the life sciences, Reading, Mass, Addison-Wesley, 1966. gerieS’ Broek, Jan O.M., Geography: Its Scope and Spirit, Social Science Seminar Columbus, Ohio, Charles E. Merrill Books, Inc., 1965. Broersma, R„ ’De Ster van Siak’, Koloniale Studien, 1919,1.
. g ata''>s’
Broersma, R., Oostkust van Sumatra, Jilid Pertama. De Ontluikmg van Deli,
1919' Broersma, R., Oostkust van Sumatra, Jilid Kedua De Ontwikkeling van het Deventer, 1922.
ja0f'
Broersma, R., ’De Indonesier met zijn Rubber1, KoUmiaal Tijdschrift, 1 e gang, 1926. 00sl Bruin, A G. de, De Chineezen ter Oostkust van Sumatra, M e d e d e e lin g N °' ’ kust van Sumatra-Instituut, Leiden, 1918. Bruyn, W. K H. Feuilletau de, Tien moeiliijke Jaren voor Landbouw en Nederlands-Indie, 1930-1940, Uitgegeven onder auspicien van de ging ”Oost en West”, W. van Hoeve, Deventer, 1942. Buchanan, Keith, The Southeast Asian World; An Introductory Essay, Tap Publishing Company, New York, 1967.
188
. tefly ^
ngen, 1939.
, .. .
Carthaus, Emil, S um atra u n d der M alavscheArcm ^i,
Leipzig, 1891.
v Surveys in Economic
Chisholm, Michael, Geography and Ec \£k A praeger, 1966. Geography, New York, New Y °rfc uit & BeUetrie, Amsterdam, Clerkx, Lily, Mensen in Deli; Een MaatschappO [1961].
t ofation of the A.V.R.O.S.’, Rainfall
.
Communications General Records 1956of ofthe Sumatra's East M M jeAth aiiaYUiJ n a ,apanuli General Series
o.
66, Typ. Varekamp & Medan, 1958Cool, W., lihat: Belawan - Oceaankaven.
tn j am , The MacMillan Co,
D«y, Clive, The Policy and Administration of
Oeii-Batauia Maatschappij, 18^ ^ t^ g e k g e n h e id van het 19^55 1919, Amsterdam, 1929, 55 aansluitende tnj het Gedenkboe v
W-VJ Deii-Maatschappy, Gedenkschnft by f pp.
,
Medan, Augustus 1931.
Streken in Nederlandsch-Ind^>
Wageningen, 1942.
W.V.j Deli Maatschappij, Hoe zij mtf ^ T e^ t e n g : De GUIs, 1899fe^ R en ter, C. Th. van, ’Een E e r e s c h u l d . C e ^ ^ vanOnontogketo D‘Jk. L. J. Van, Landschapsbednjven hrifit, Wagenmgen, N.V. Ge .
ct)els-Kroon, Adolph, B
^
e
s
c
k
7
i *
tot den
» Ha,'" T® ^
l„-
M i 7er Verlagsanstalt inderMainzer
fandsche B evo lkin g va n Ja va
gen, m , ’s-Gravenhage, 1904.
ys°ldt, Gerhard, Buchvom R°h* ^ Q Mainz, 1950, QntnnkkeUng der | Pru, und Druckerei Will und ^ ^ ^ S T a t s c h a p p e lU k e >Um' R- Het Arbeidsmuigstuk ** gtudie van Ko^maal Buitengewesten, Vereeniging ^reitevreden, . bestaan op 28 Au^ raagstukken, Publicatie • ’ vijf-en-zeven yereeniging ”Rot^ k b o e k 1863-1938, uitgegeven b « hetCr” diet- en Handels
Ger(
q .
gustus 1938, N.V. Internation
*-erdam”.
u
direCtmr N.V. Deh-Maat-
Herbert Cretner,
^ t e c h r if t aangebodm ^ ^ i r d a m
, ^
nish science P
re s s ,
Copenha-
others, — — de — Leiden, 1934. Aanteekenmgen fc Nederlandsch Aardryam^ rg , J.C. G„ ’GeographischeAan^ ^ KonlnW# iv Sumatra’s Oostkust, Ty<Jcfl ^ Ur*dig Genootschap, I8® ' ^ tid cklu n S ^ tzer. W. K. G„ Grundlagen und Em
^
landwrtschaftlKhen 189
Erzeugung in Niederlandisch Indien, Berichte U b e r Landwirtschaft, Neue Folge, 146, Sonderheft, Berlin 1939. Haan, C. de, ’Verslag van eene Reis in de Battaklanden’, Verhandelingen v. h. Bataviaasch Genootschap, Vol. 38, Batavia, 1875, 57 pp. H aar (Bzn.), B. ter, Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, J.B. Wolters’ UitgeversMaatschappij N.V., Groningen, Batavia, 1939. Haarsma, G.E., lihat: Tabakscultuur in Deli. Hall, C JJ. van en C. van de Koppel, De Landbouw in den Indischen Archipel, ’sGravenhage, I: Algemeen Gedeelte, 1946. IIA: Voedmgsgewassen en Geneesmiddelen, 1948. I1B: Genotmiddelen en Specerijen, 1949. Hall, Sir Daniel, The Improvement of Native Agriculture in relation to Population and Public Health, London, 1936. Hamerster, M., Bijdrage tot de Kennis van de Afdeeling Asahan, Uitgave van het Oostkust van Sumatra-Instituut, Mededeeling No. 13 Amsterdam, 1926,204 PPHart, G.H.C., Towards Economic Democracy in the Netherlands Indies, 8th Conferen ce, IPR, 1942, Netherlands & Netherlands-Indies Council, IPR, Nether lands Paper No. 3, N ew York, 1942. Hasselt, A.L. van, Nota, Betreffende de Rijstcultuurin de Residentie Tapanoeli, Samengesteld uit Bijdragen van de in die Residentie Dienende Arribtemaren van het Binnenlandsch Bestuur, Batavia, 1893. Heeren, HJ., Het Land aan de Overkant, J.A. Boom en Zoon, 1967, Meppel. Helbig, Karl, Beitrage zur Landeskunde von Sumatra, Beobachtungen ztvischen Asahan und Barumun, Tobasee und Malaka-stmsse, Reprint: ’Wissenschaftliche Veroffentlichungen des Deutschen Museums fiir Landerkunde zu Leipzig, 1940. Helbig, Karl, Indonesien: Eine auslandskundUche Ubersicht der malaOschen Inselwelt, Stuttgart, 1949. Helbig, Karl, ’Studien auf Sumatra und Nias’, Zeitschrift der Gesellschaft fiir Erdkunde zu Berlin, Jahrgang 1934, Nr. 3/4, Hamburg. Hell, Dr. W.F. van, Verslag over het Algemeen Proefstation der A.V.R.O.S. over de Jaren 1941-1947 en over het Jaar 1948, Mededelingen van het Algemeen Proefstation der AV.R.O.S., Algemene Serie No. 62, Medan, 1949. Hemmers, J .H.L. 1. n ommensen, de apostel der Batakkers, Voorhoeve, Den Haag, 1935. Heyne, K., De Nuttige Planten van Indonesie, ’s-Gravenhage, 1950, (2 jilid). Hinloopen Labberton, K , van, De Indische Landbouwconcessie, Amsterdam, 1903. Hoedt, Theophile George Emil, Indische Bergcultuurondernemingen voomamelijk in Zuid-Sumatra; Gegevens en Beschouwingen, Wageningen, 1930. Hoeven, Anny van der, Die Wirtschaftsgeographischen und Reehtlichen Grundlagen des Ladangbaus im Malaiischen Archipel, unter Besonderer Berucksichtigung der Insel Sumatra, Hamburg, 1944. Holt, Claire, Art in Indonesia - Continuities and Change, Cornell University Press, Ithaca, 1967. Indisch Verslag 1937 & 1939, Statistisch jaaroverzicht van Nederlandsch-Indie over het jaar 1936 & 1938 (2 jilid), Departement van Economische Zaken, Centraal Kantoor voor de Statistiek, Batavia.
190
Indisch Verlag 1938, 1. Tekst van het Verslag van Bestuur en Staat van Nederlandsch-Indie over het Jaar 1937, ’s-Gravenhage, 1939. Indonesia Panel Seminar, New York City, March 30-April 1, 1972, New York: The A sia Society, SE A D A G Reports, 1972. International Importance of the Dutch Tobacco Market, Compiled by the Economic and Financial Department of the Rotterdamsche Bank N.V., September, 1951. Jansen, Gerard, Grantrechten in Deli, Oostkust van Sumatra-Instituut, [Amster dam], 1925. Jochems, S.C.J., De Begroeiing der Tabakslanden in Deli en hare Beteekenis voor de Tabakscultuur, Deli Proefstation te Medan - Sumatra, Tweede Serie 39, Medan, 1928. Johann, A.E., Die umnderbare WeU, der Malaien, Giitersloh, Sigbert Mohn Verlag, 1962. Jonge, Jhr, Mr. W J. de, Voorzitter van de Federatie van Vereenigingen van Nederlandsch-Indische Bergcultuurondememingen te Amsterdam, gedurende diens verblijf te Batavia van 24 Februari tot 5 Mei 1947, Correspondentie. Joustra, M., Batakspiegel, Uitgaven van het Bataksch Instituut, No. 21, terbitan ke2, Leiden 1926. Kartodirdjo, Sartono, The peasants’ revolt ofBanten in 1888, Its conditions, course and sequel. A case study of social movements in Indonesia,, ’s-Gravenhage, Martinus N ijh o ff 1966. Kemp, P.H. van der, ’De Zendingen van Ibberson en Anderson naar Sumatra’s Oostkust in 1820 en 1823’, Bijdr. TL.V., 1897. Kemp, P.H. van der, ’De Geschiedenis van het Londensch Tractaat van 17 Maart 1824’, Biodr. TL.V., 1904. Kemp, P.H. van der, Sumatra in 1818, Naar Oorspronkelijke Stukken, ’s-Gravenhage, 1920. Kennedy, Raymond, et ai., Bibliography of Indonesia Peoples and Cultures, Sout heast A sia Strudies, revised edition, New Haven, 1955 (dua jilid). Keuning, J. ’The Toba Batak, Formerly and Now’, Translated from: Indonesie (Sept, 1952). Cornell SEA Program, Modem Indonesia Project, Translation Series, Ithaca, 1958. Kielstra, E.B., ’De Koffiecultuur ter Westkust van Sumatra’, Ind. Gids, Vol. X, 2, 1888. Kirsch, A. Thomas, Feasting and Social Oscillation: Religion and Society in Upland Southeast Asia, Department of Asian Studies, Cornel Univ., Ithaca, N ew York, 1973. Kleine, H ans de, Tole! Das grosse Wagnis, Weg einer jungen Kirche, Verlag der Rheinischen Missions-Gesellschaft, Wuppertal-Barmen, 1960. Kolb, Albert, Ostasien: China, Japan, Korea, Geographic eines Kvlturerdteiles, Quel le & Meyer, Heidelberg, 1963. Kolonisatie Bulletin, Centrale Commissie voor Migratie en Kolonisatie van Inheemschen, Batavia. No. 2, Aug. 1938, No. 3, Nov. 1938, No. 4, Febr. 1939, No. 5, Maret 1939,
191
No. 6, July 1939, No. 7, Okt 1939, No. 8, Maret 1940, No. 9, August 1940, No. 10, Des. 1940. Kools, J.F., De Ontwikkeling van de Exploitatie der Tropische Bossen speciaal in In donesia, Wageningen, 1949. K reem er, J., ’D e Rijstcultuur in het Gewest Atjeh en O nderhoorigheden’, Tijdschrift van het Koninklijk Nedeiiandsch Aardrijkskundig Genootschap, 2nd Ser, V. 35, (1918). K roesen, J.A., ’N ota Omtrent de Bataklanden (S p e c ia a l S im eloen goen )’, Tijdschrift v. Ind. T.L.V., V. 41 (1899). Kunstadter, Peter, (ed.), Southeast Asian Tribes, Minorities and Nations, Princeton University Press, Princeton, N ew Jersey, 1967, Vol. II. Kunstadter, Peter, E.C. Champman and Sanga Sabhasri (eds), Farmers in the Fo rest. Economic Development and Marginal Agriculture in Northern Thailand., Published for the East-West Center, by the University Press of Hawaii, Honolulu, 1978. Lekkerkerker, J.G.W., Coneessies en Erfpachten ten behoeve van Landbouwondememingen in de Buitengewesten van Ned.-Indie, Groningen, 1928. Leur, J.C. van, Indonesian Trade and Society; Essays in Asian Social and Economic History, (Selected Studies on Indonesia by Dutch Scholars), Volume I, The Hague, 1955. Ligthart, Th., P. Ho' vig, and D.A. Rinkes (eds.), De Indische Bodem, Serie No. 740, Uitgave Volkslectuur, Weltevreden, 1926. Lorm, A.J. de, and G.L. Tichelman, Verdwijnend Cultuurbezit, Beeldende Kunst der Bataks, E.J. Brill, Leiden, 1941. [Lulofs, C.] Verslag: Nopens de Overwogen Plannen en Maatregelen Betreffende de Kolonisatie van Javaansche Werklieden op de Cidtuurondememingen ter Oos tkust van Sumatra, in Verband met de Voorgenomen Afschajfmg der Zoogenaamde Poenale Sanctie in de Koelie-Ordonnantie, Weltevreden, 1920. Lulofs, Madelon, [M.H. Sze kely-Lulofs], Kuli, Roman aus Sumatra, Berlin, 1935. Marinus, J.H. and J.J. van der Laan, Veertig Jaren Ervaring in de Deli-Cultures, Amsterdam, 1929. (The) Marketing of Rice: Report to the Government of the Federation of Malaya, (re port 278), Food and Agriculture Organization, Rome, 1954. Marpaung, B. K., Buku Pusaka Tarombo Batak, Pertjetakan Harfin, Djakarta, 1954. Marsden, William, The History of Sumatra, London, 1811. Meilink-Roelofsz, M.AP., Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630, Martinus Nijhoff, The Hague, 1962. Michiels, A.V., Neerlands Souvereiniteit over de Schoonste en Rykste Gewesten van Sumatra, G J A . Beijeringk, Amsterdam, 1846. Modderman, P.W.T. Volker and G. v. d. Veen, Gedenkboek, Vijfting Jang Bestaan vl d Deli Planters Vereeniging, Batavia, 1929. Mohr, Dr. E. C. Julius, Over het oogsten van Deli-tabak op verschiUende tijden van den dag, [Mededeelingen u it ’s Lands Plantentuin LVI], Batavia G. K olff & Co., 1902. Mohr, E.C. Julius, The Soils of Equatorial Regions with Special Reference to the
192
Netherlands East Indies [D e bodem der tropen in het algemeen, en die van Nederlandasch-Indie in het bijzonder, Amsterdam 1933-1938, 2 Vols.], Tran slated by R obert L. Pendleton, Ann Arbor, Michigan, 1944. Molen, K. van der, Bevolkingsgrond en Concessierecht ter Oostkust van Sumatra, Scriptie ingediend bij de afdeling Geodesie der Technische Hogeschool te Delft, F eb r, 1951, dengan dua tambahan yang sencait dengan tanah dan hal-hal yang bersangkutan. Nahuijs [van Burgst, Mr. H.G. Baron], L t Kol., Brieven over Bencoolen, Padang, Het Rijk van MenangkaJbau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang, Tweede, verm eerderde druk, B. Hollingerus Pijpers, Breda, 1827. Nederlands-Indie " Contra Japan, Deel 111: Overzicht van de na het Uitbreken van de Ocrrlog met Japan in de Z.W. Pacific Gevoerde Strijd, [At head o f tutle.] Ministerie van Oorlog, Hoofdkwartier van de Chef van de Generate Sta , 13gsgeschiedkundige Afdeling, Staatsdrukkerij- en Uitgeverijbedryf, s- ravenhage, 1954. _ ,, Ostasiatische Verein Hamburg - Bremen, Zum 60-Ja"hrigen Bestehen. uost va Sumatra-Instituut 1916-1941, Leiden, 1941. Papendrecht, A. Hoynck van, Gedenkschrift van de Tabak MaatschappvArrmOstnirg, ter gelegenheid van het 50-jarig bestaan, 1877-1927, Rotterdam, Pelzer, K arl J.: lihat daflar karya Karl J. Pelzer, him 150-152 diatas. Pfeiffer, Ida, Meine Zweite Weltreise, Vienna, 1856,4 Vols, Ter]ema an s. da: Mijne tweede reis random de wereld, Amsterdam, I ® " q Piekaar, A.J., Atjeh en de oorlog met Japan, ’s-Gravenhage - Ban ung, . Post, Hans, Bandjir over Noord-Sumatra, Trilogte, Uitgeverij ax , e I. Bandjir over Noord-Sumatra, 1948, II. Politianele Actie, 1948, III. Bedwongen Bandjir, 1949. . Purcell, Victor, South and East Asia since 1800, Cambridge University Raffles, Th. Stamford, The History of Java, London, I817T Rapport van den Commissie van Onderzoek - Sumatra’s West 1928, W eltevreden. 9P/FS (Maler und Rhodius, Hans, Scho 'nhevt und Reichtum des Lebens, WALTE M usiker a u f Bali, 1895-1942), L.J.C. Boucher, Den Haafe Ridder, J. de, De invloed van de Westersche Cultures op de Autoc Oostkust van Sumatra, Wageningen, 1936. 1011.1091 Rubber, de Rubbercultuur in het Algemeen en de Rubbermar A anvulling 1923-1925, Weltevreden, 1925. Sanders, DJ., Handleiding voor de Deli-Tabakscultuur, Ams er , • Sar Desai, D.R., Trade and Empire in Malaya and Singapore, ■' > Ohio, O hio University Center for International Studies Southeast Asia Program, Series No. 16,1970. Momnrial T^rtnrpc Sauer, Carl O., Agricultural Origins and Dispersals, Bowma Series Two, Am erican Geographical Society,:New YorK, Schadee, W.H.M., Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust, [0
^
Sumatra_
Instituut, M ededeeling No. 2], Amsterdam, m S - l91^ w nfJava and Scheiterma, A.M.P.A. T ^ Food Counci Neth Madura, Report A.: International Research Series, & Neth.-Indies, IPR, Batavia, 1936.
193
No. 6, July 1939, No. 7, Okt 1939, No. 8, Maret 1940, No. 9, August 1940, No. 10, Des. 1940. Kools, J.F., De Ontwikkeling van de Exploitatie der Tropische Bossen speciaal in Indonesie, Wageningen, 1949. K reem er, J., ’D e R ijstcultuur in het G ew est A tjeh en O nderhoorigheden’, Tijdschrift van het Koninklijk Nederiandsch Aardrijkskundig Genootschap, 2nd Ser, V. 35, (1918). K roesen , J.A., ’N o ta Om trent de B ata k la n d e n (S p e c ia a l S im eloen goen )’, Tijdschrift v. Ind. T.L.V., V. 41 (1899). Kunstadter, Peter, (ed.), Southeast Asian Tribes, Minorities and Nations, Princeton University Press, Princeton, N e w Jersey, 1967, Vol. II. Kunstadter, Peter, E.C. Champman and Sanga Sabhasri (eds), Farmers in the Fo rest. Economic Development and Marginal Agriculture in Northern Thailand, Published for the East-West Center, by the University Press o f Hawaii, Honolulu, 1978. Lekkerkerker, J.G.W., Concessies en Erfpachten ten behoeve van Landbouwondememingen in de Buitengewesten van Ned.-Indie, Groningen, 1928. Leur, J.C. van, Indonesian Trade and Society; Essays in Asian Social and Economic History, (Selected Studies on Indonesia by Dutch Scholars), Volum e I, The Hague, 1955. Ligthart, Th., P. Ho vig, and D.A. Rinkes (eds.), De Indische Bodem, Serie No. 740, Uitgave Volkslectuur, Weltevreden, 1926. Lorm, A.J. de, and G.L. Tichelman, Verdwijnend Cultuurbezit, Beeldende Kunst der Bataks, E.J. Brill, Leiden, 1941. [Lulofs, C.] Verslag: Nopens de Overwogen Plannen en Maatregelen Betreffende de Kolonisatie van Javaansche Werklieden op de Cidtuurondememingen ter Oos tkust van Sumatra, in Verband met de Voorgenomen Afschaffing der Zoogenaamde Poenale Sanctie in de Koelie-Ordonnantie, Weltevreden, 1920. Lulofs, Madelon, [M.H. Sze'kely-Lulofs], Kuli, Roman aus Sumatra, Berlin, 1935. Marinus, J.H. and JJ. van der Laan, Veertig Jaren Emoting in de Deli-Cultures Amsterdam, 1929. (The) Marketing of Rice: Report to the Government of the Federation of Malaya, (re port 278), Food and Agriculture Organization, Rome, 1954. Marpaung, B. K , Buku Pusaka Tarovibo Batak, Pertjetakan Harfin, Djakarta 1954 Marsden, William, The History of Sumatra,
M.SU tatR ^ lQ fa,»A S ,,1m n f t l
in t o ~ *. M ~ * .
Archipelago between 1500 and about 1630, Martinus Nijhoff, The Hague, 1962. Michiels, A.V., Neerlands Souvereiniteit over de Schoonste en Rijkste Gewesten van Sumatra, G J A . Beijeringk, Amsterdam, 1846. Modderman, P.W.T. Volker and G. v. d. Veen, Gedenkboek, Vijfting Jarig Bestaan vl d Deli Planters Vereeniging, Batavia, 1929. Mohr, Dr. E. C. Julius, Over het oogsten van Deli-tabak op verschiUende tijden van den dag, [Mededeelingen u it ’s Lands Plantentuin LVI], Batavia G. K olff & Co., 1902. Mohr, E.C. Julius, The Soils of Equatorial Regions with Special Reference to the
192
Netherlands East Indies [D e bodem der tropen in het algemeen, en die van Nederlandasch-Indie in het bijzonder, Amsterdam 1933-1938, 2 Vols.], Tran slated by Robert L. Pendleton, Ann Arbor, Michigan, 1944. Molen, K van der, Bevolkingsgrond en Concessierecht ter Oostkust van Sumatra, Scriptie ingediend bij de afdeling Geodesie der Technische Hogeschool te Delft, Febr, 1951, dengan dua tambahan yang sencait dengan tanah dan hal-hal yang bersangkutan. Nahuijs [van Burgst, Mr. H.G. Baron], L t Kol., Brieven over Bencoolen, Padang, Het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang, Tweede, vermeerderde druk, B. Hollingerus Pijpers, Breda, 1827. Nederlands-lndie" Contra Japan, Deel III: Overzicht van denahet Uitbreken van de Oorlog met Japan in de Z.W. Pacific Gevoerde Strijd, [At head o f tutle:] Ministerie van Oorlog, Hoofdkwartier van de Chef van de Generale Staf, Krijgsgeschiedkundige Afdeling, Staatsdrukkerij- en Uitgeverijbedrijf, ’s-Gravenhage, 1954. Ostasiatische Verein Hamburg - Bremen, Zum 60-Ja"hrigen Bestehen. Oostkust van Sumatra-Instituut 1916-1941, Leiden, 1941. Papendrecht, A. Hoynck van, Gedenkschrift van de Tabak Maatschappij Arendsburg, ter gelegenheid van het 50-jarig bestaan, 1877-1927, Rotterdam, 1927. Pelzer, Karl J.: lihat daftar karya Karl J. Pelzer, him 150-152 diatas. Pfeiffer, Ida, Meine Zweite Weltreise, Vienna, 1856,4 Vols, Terjemahan bhs. Belan da: Mijne tweede reis rondom de wereld, Amsterdam, 1856. Piekaar, A.J., Atjeh en de oorlog met Japan, ’s-Gravenhage - Bandung, 1949. Post, Hans, Bandjir over Noord-Sumatra, Tnlogie, Uitgeverij ”Pax”, Medan, I. Bandjir over Noord-Sumatra, 1948, II. Politionele Actie, 1948, III. Bedwongen Bandjir, 1949. Purcell, Victor, South and East Asia since 1800, Cambridge University Press, 1965. Raffles, Th. Stamford, The History of Java, London, 1817. Rapport van den Commissie van Onderzoek - Sumatras Westkust, Landsdrukkerij, 1928, Weltevreden. Rhodius, Hans, Scho 'nheit und Reichtum des Lebens, WALTER SPIES (M aler und Musiker auf Bali, 1895-1942), LJ.C. Boucher, Den Haag, 1964. Ridder, J. de, De invloed van de Westersche Cultures op de Autochtone Bevolking ter Oostkust van Sumatra, Wageningen, 1936. Rubber, de Rubbercidtuur in het Algemeen en de Rubbermarkt van 1911-1921, 2de Aanvulling 1923-1925, Weltevreden, 1925. Sanders, DJ., Handleiding voor de Deli-Tabakscultuur, Amsterdam, 1924. S ar Desai, D.R., Trade and Empire in Malaya and Singapore, 1869-1874, Athens, Ohio, Ohio University Center for International Studies Southeast Asia Program, Series No. 16, 1970. Sauer, Carl 0., Agricultural Origins and Dispersals, Bowman Memorial Lectures, Series Two, American Geographical Society, N ew York, 1952. Schadee, W.H.M., Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust, [Oostkust van SumatraInstituut, Mededeeling No. 2], Amsterdam, 1918-1919. Schelterma, A.M.P.A., The Food Consumption of the Native Inhabitants of Java and Madura, Report A.: International Research Series, National Council, Neth. & Neth.-Indies, IPR, Batavia, 1936.
193
Schiller, A. Arthur, The Formation of Federal Indonesia, 1945-1949, The Hague, 1955. Schreiber,-A., Die Battas in ikrem Verhaltniss zu den Malaien von Sumatra, Bar men, 1874. Soedjatmoko and Mohammad Ali, GJ. Resink and G. McT. Kahin (eds.), An Indroduction to Indonesia Historiography, Cornell University Press, Ithaca, 1965. Soest, G.H. van, Geschiedenis van het Kultuurstelsel, Rotterdam, 1869-1871, 3 jilid. Sonius, H.WJ., Enkele aantekeningen betreffende het toekomstige grondenrecht van Indonesie", Visser & Co, Batavia, 1949. Sonius, H.WJ., I. Grondenrecht en Grondpolitiek in Nederlandsch-Indie, II. Het Streven van Indonesie naar een national eenvormig grondenrecht, III. De Rechten op de Grond in Indonesie: Een overzicht naar de toestand bij de aanvang van het jaar 1954. Mimeog. Soosai, J.W. and Kow Hun Woon (Complilers), A Bibliography of Contributions to Natural Rubber Research, 1927-1967, Rubber Research Institute of Malaya, Kuala Lumpur, 1968. Spencer, J.E., Shifting Cultivation in Southeastern Asia, University o f California Press, Berkeley and Los Angeles, 1966. Spencer, J.E. and William L. Thomas, Asia, East by South: A Cultural Geography, John Wiley and Sons, Inc, N ew York, 1971. Szekely-Lulofs, M.H., lihat: Lulofs, Madelon. (D e ) Tabakscultuur in Deli [by G.E. Haarsma], J.H. de Bussy, Amsterdam, 1889. (H et) Tabaksgebied ter Oostkust van Sumatra in Woord en Beeld, [Batavia-Leiden], September 1925. Terra, GJ.A., De Tuinbouw in Indonesie, ’s-Gravenhage, 1949. Thee Kian Wie, Plantation Agriculture and Export Growth: an Economic History of East Sumatra, 1863-1942, University Microfilms, Inc., Ann Arbor, Michigan. The Siauw Giap, ’Religion and Overseas Chinese Assimilation in Southeast Asi an Countries’, Revue du sud-est asiatique, 1965. Thiessen, Joh., Pakantan, een belangrijk gedeelte van Sumatra, Uitgave: Joh. Thiessen, Apeldoom, 1914. Thomas, Kenneth D., Smallholders Rubber in Indonesia, Djakarta, 1957, chelman, G.L., ’Timoer-Bataksch dorpstaboe vo'o'r de ladang-beplanting’, Bijdragen TL,.V., Vol. 97, ’s-Gravenhage, 1938. deman, J., Sirrudoengoen, Leiden, 1922. Ucko, Peter J. and G.W. Dimbleby (eds.), The Domestication and Exploitation o/ Plants and Animals, Aldine Publishing Company, Chicago, 1969. Umbgrove, J.H.F.J Structural History of the East Indies, Cambridge (Eng), 1949. Utomo, Kampto, Masjarakat Transmigran Spontan Didaerah W. Sekampung (Lampung), Doctorate thesis, U. of Indonesia at Bogor, Bogor, 1957. Vandenbosch, Amry, The Dutch East Indies; its Government, Problems, and Politics, Berkeley, 1941. Vergouwen, J.C., The Socigl Organisation and Customary Law of the Toba-Batak of Northern Sumatra, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Trans. Series 7), The Hague, Martinus Nijhoff, 1964. Verslag van den belastingdruk op de lrdandsche bevolking in de Buitengewesten, Deel IV, Samenvatting en Voorstellen, Weltevreden, 1930.
194
Veth, PJ., ’Het Landschap Deli op Sumatra’, Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, 1877. Vlekke, Bernard H.M., The Story of the Dutch East Indies, Cambridge, Mass, 1946. Vlekke, Bernard H.M., Geschiedenis van den Insdischen Archipel van het begin der beschaving tot het doorbreken der nationale revolutie, JJ. Romen & Zonen Uitgevers, Roermond-Maaseik, 1947. Vlekke, Bernard H.M.,i'Nusantara, A. History of Indonesia, wholly rev. ed., The Hague-Bandung, 1959. Voedselproblemen en Overheidspolitiek op Java en Madoera, Department van Econo mische Zaken, Centraal Kantoor voor de Statistiek, Batavia, 1940. Vollenhoven, C. van, De Indonesie'r en zijn Grand, Leiden, 1919. Vollenhoven, C. van,;De Ontdekking van het Adatrecht, E J. Brill, Leiden, 1928. Voorhove, P., Critical Survey of Studies on the Languages of Sumatra, Konninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Bubliographical Series Vol. 1, ’s-Gravenhage, 1955. Vries, E. de, Problemen van de Javaanse Landbouwer, Wageningen, 1947. Vuuren, L. van, Nederlandsch-Indie"alsprodux:ent van grxmdstoffen voor de wereldbehoeften, Uitg. Mij. N.V. Kemink en Zoon, Utrecht, [1941]. Wameck, Joh., Die Lebenskra'fte des Evangeliums. Missionserfahrungen innerhalb des animistischen Heidentums, Martin Wameck Verlag, Berlin, 1911. Wam eck, Joh., Sechzig Jahre Batakmission in Sumatra, Berlin, 1925, Wameck, Johannes, Sumatranische Plaudereien, Berlin, 1939, Weigand, Karl Leonhard, Der Tdbakbau in Niederla'ndsich-Indien, seine o'konomische und kommerzielle Bedeutung mit besonderer Beru 'cksichtigung von DeliSumatra, Problem e der Weltwirtschaft, Schriften des Institus fur Weltwirtschaft und Seeverkehr an der Universita' t Kiel, Jena, 1911. Weischet, W. Die okologische Benachteiligung der Tropen, B.G. Teubner, Stuutgart 1977. Wellan, J.W.J. Zuid-Sumatra, Economisch Overzicht, Wageningen, 1932. Werth, Emil, Grabstock, Hacke und Pflug, Ludwigsburg, 1954. Werthiem, W.F., Indonesian Society in Transition, A Study of Social Change, The Hague-Bandung, 1956. Westenberg, CJ., ’Adatrechtspraak en Adatrechtspleging der Karo-Bataks’, Bijdragen Th.V., Vol. 69, ’s-Gravenhage 1914. Westerman, Willem, De Tabakscultuur op Sumatra’s Oostkust, J.H. de Bussy, Am sterdam, 1901. Witting, C., see: Wurtzburg, C.E. Wolf, Jacob (ed.), Der Tabak und die Tabakfabrikate, (Die Geschichte, den Anbau, die Natur und Produktion, die Behandlung, die Chemie und Klassifizierung, den Handelsverkehr, die Weltstatistik, die steuertechnische, soziale und hygienische Bedeutung des Tabaks, sowie die Verarbeitung desselben zu Zigarren, Zigaretten, Rauuch-, Kau- und Schnupftabak); mit hundert T extabbildungen und zahlreichen Tabellen, V erlag von Bernh. Friedr. Voigt, Leipzig, 1912. Wurtzburg, C.E., Raffles of Eastern Isles, (ed, by C. Witting), London, 1954. Ypes, W .K H ,,Nota omtrent Singkal cn de Pak-pak landen’, Tijdschr. Ind. Th.V., Vol. 49, Batavia 1907. Ypes, W .K H ., Bijdrage tot de Kennis van de Stamverwantschap, de Inheemsche
195
Rechtsgemeenschappen en het Grondenrecht der Toba- en Dairibataks, [Lei den], 1932. Zendingsconsuls in Nederlandsch-Indie, Kerk en Zending in de Bataklanden; Een uiteenzetting betreffende den toestand sinds den tienden Mei 1940, Uitgave van het Zendingsnoodbestuur, Batavia-C, 1941.
196
1. Istana Sultan Deli di Medan, Sumatra Timur (Perhimpunan Pengusaha Onderneming Deli)
2. Pem bukaan hutan zaman purba di sebuah perkebunan Maskapei Deli di Deli, Sumatra Timur. (DPV)
*
, y '- ? ••*
'*
/ v» /.
*
;; ■
\
.i -
■
-D.^
' . / v - !v : ; ;
<•
*
■ - -T^, ^
• *• v
Hutan ^ g y r r m .n.
Buruh-1
..
.•
' daerah P " 1* ! Serdang, Sumatra Timur. (DRV)
1hutan C to
.v v v
kmJM
0. Wanita-wanita Jawa menjarangkan tunas-tunas tembakau bibit Kerangka itu menyangga sebuah tutup pelindung. Pada bangsal-bangsal penjemuran tembakau, Deli, Sumatra Timur. (DPV)
7. Buruh kebun tembakau Cina tiba dari Swatow, Cina Selatan, di pelabuhan Belawan, Deli, Sumatra Timur. (DPV)
200
8. Pembibitan tembakau pada suatu perkebunan di Deli, Sumatra Timur. Di latar belakangnya hutan belukar. (DPV)
9. Suatu perkebunan tembakau di tanah tinggi pada lereng-lereng yang curam berteras dari jurang-jurang. Karena pengikisan yang cepat, perkebunan-perkebunan seperti itu banyak kehilangan kesuburannya yang tinggi dari tanah-tanah gunung berapi. (D PV)
10. Onderneming tembakau-gulung tanah tinggi di Deli Sumatra Timur. Meskipun bagian-bagian bukit dibuat berteras’-teras, ini tidak dapat mencegah cepatnya pengikisan. Di latar belakang adalah hutan belukar. (DPV)
11 Petak-petak campuran kopi dan karet Hevea brasiliensis pada sebuah onderneming di Serdang, Sumatra Timur. (DPV kira-kira tahun 1905).
*
GMung-gedung perkebunan ^ n g tepi jalan ditanami dengan pui
mUr. (DPV)
, . rrnHprneming Senembah. Sepan° n kelapa. Serdans, Sumatra Tl-
13. Tukang kebun tembakau Cina sedang menanam bibit-bibit tembakau pada sebuah onderneming di Deli, Sumatra Timur. (DPV)
14. Tukang kebun tembakau Deli menggali jalur-jalur penyalur air antara barisan-barisan tembakau gulung di sebuah onderneming di Deli, Sumatra Timur. (D P V )
15. Ladang tembakau gulung yang sedang masak Di jalan kecil itu, Ny. Loos, istri almarhum Dr. Loos, Inspektur Pertanian untuk Sumatra, Deli, Sumatra Timur. (Dr. Loos, Mei 1939)
16. Tem bakau gulung yang sedang masak Dua batang dibiarkan berburiga dan m enjadi b ib it (D P V )
17. Dua orang gadis Indonesia mengumpulkan ulat-ulat bulu dari tumbuh-tumbuhan tembakau, Deli, Sumatra Timur. (DPV)
18. Ladang tembakau gulung kira-kira setengah panen. Mulai dari dasar, dua daun terendah dipotong dan diangkut ke bangsal-bangsal pengeringan. Deli, Sumatra Timur. (DPV)
19. Pem eliharaan yang telaten dilakukan untuk mencegah kerusakan terhadap daun-daun tembakau gulung itu. Deli, Sumatra Timur. (D PV )
20. Ladang-ladang tembakau gulung rusak berat oleh angin bohorok yang berasal dari Dataran Tinggi Karo. Deli, Sumatra Timur. (DPV)
21. Jalan perkebunan Deli, kedua tepinya ditumbuhi pohon-pohon jati, atau Tec tona grandis. (D P V )
22. D i bangsal pengeringan tembakau wanita-wanita Jaw a menggantungkan daun-daun tembakau gulung pada tiang-tiang bambu. (D P V )
23. Bagian dalam dari bangsal pengeringan n, vV menggantungkan daun-daun tembakau m i ruh buruh Jawa yang tegak lurus. (DPV) ung antara tiang-tiang
*
bangsai pilah-pilih. (DPV)
Un“
dla^
*rT p ™ g e „^ „ Se
24 fiuruh-buruh Jawa dan Cina dalam suatu ruang pilah dari suatu onderne-~ ming tembakau gulung. Gedung tetap; sebelah selatan dari gedung itu ada Iah seluruhnya gelas; lantai semen. Deli, Sumatra Timur. (DPV)
Buruh Cina sedang memilah-milah daun-daun tembakau gulung menurut panjang. Onderneming tembakau di Deli, Sumatra Timur. (D P V )
27. Buruh Cina memilah-milah daun-daun tembakau gulung menurut lebar, wama, dankerusakan-kerusakan seperti kerusakan w am a. atau berlubang-lubang karena dimakan ulat Cahaya matahari datang lewat kedua bahunya. Deli, Sumatra Timur. (D PV)
28. Ruang pilah tembakau gulung, penuh dengan wanita-wanita Jawa, anggotaanggota keluarga dari tukang-tukang kebun tembakau Jawa. Deli, Sumatra Timur. (DPV)
29. Berkas-berkas tembakau yang sudah dipilah-pilah ditempatkan dalam tumpukan-tumpukan besar guna proses peragian. Tabung-tabung bambu pan jang mencapai sampai ketengah tumpukan-tumpukan tembakau itu dan me mungkinkan pengukuran suhu di bagian tumpukan-tumpukan itu. Sebelum suhu mencapai tingkat-tingkat yang berbahaya, tumpukan-tumpukan itu disusun kembali. Deli, Sumatra Timur. (DPV)
30. Ruang peragian tembakau gulung pada suatu onderneming di Deli, Sumatra Timur. (D PV)
31. B erbal-bal tembakau gulung milik Maskapai Deli, siap dikirim ke luar nege ri. Hanya dalam tahun 1939 tembakau itu selalu dikirim ke Amsterdam. Sejak tahun 1957, tembakau itu dikirim ke Bremen. (DPV)
32. Tanah tembakau yang sudah dipanen siap dlbagikan kepada petani-petani pribumi yang berhak menuntut jaluran. Biblt-bibit belukar tidak boleh dicabut Deli, Sumatra Timur. (D-V)
33. Jaluran dari seorang petani Batak yang memakai ladang tembakau yang su dah dipanen dari sebuah onderneming selama paruh kedua tahun itu. Di sebelah kiri, alang-alang (Imperata) dan bibit-bibit hutan belukar spontan. Deli, Sumatra Timur. (DPV)
35. Tanah tembakau yang sudah dipanen seluruhnya sedang ditutupi oleh alangalang dan hutan belukar. Deli, Sumatra Timur. (DPV)
P E T A II Bukit Barisan Sumatra Utara dengan puncak Batak dan celah Semangko (Dari Van Bemmelen, 1939 a, gambar 1, him. 127). Petunjuk: a. Lembah Butung Sumpur b. Lem bah Batang Gadis — Batang Ankola c. d. e. f.
Lembah Batang Toru Kawah Toba Lembah Alas Lembah Sungai Blang Kejeren
g. Lembah Aceh
P E T A III S r o . ' h l m . ^ ) 11181011’ The Geology ° f Indonesia, Jilid I A. Edisi II. The Hague Petunjuk: 9 t e«-°S^ ^ uv*al dan alluvial pantai Medan 2. T u ff rhyolitik dari erupsi Toba
4
ar'd®siti*c dan vulkanik dacitik dari zaman Pra-Toba dan Post Toba T ersier )1 S8 lmen Pra' Toba dan batuan beku (Oligo-Miocene dan Pra-
5.a. Sesar sepanjang Zone Celah Semangko dari zaman Pra-Toba
NF Vn®an
yang diperkirakan pernah ada diantara sesar sepanjang sisi ari lembah Renun dan sepanjang sisi N E dari lembah Batang Toru (garis terputus) 6. Sesar yang berhubungan dengan terban kawah Toba.
So 40 P E T A IV t-4
Diagram Blok Isometris dari Palung Toba (D ari V A N BEM M ELEN, 1970, him. 688).
P e r k e m b a n g a n
-
B
a
t
a
k
PETA V Tiga bagian skematis lintas tonjolan Batak, yang menunjukkan urutan tahap-tahap pem bentukan kawah Toba (D ari V an Bem m elen 1970, him. 695). Petunjuk: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Lap isan -lap isan neogen laut pantai Medan Kom pleks lapisan baw ah tanah pra-tersier Produk-produk erupsi dan magma basis-interm edier T u f rhyolit dan breksi dari Samosir dan Semenanjung Prapat-Porsea T u f asam T oba Batholit granit T oba
2 2 2
Tanah, Sumatra Timur Laut
uparitik
Bahan-bahan liparitik fluvial dan vulkanik lainnya Uparitik fluvial Lahar liparitik-dasitik
Dasitik muda (lahar-lahar) Bahan dasitik fluvial Tanah debu hitam pada lahar dasitik-andasitik Tanah debu hitam fluvial Tersier Bahan tersier fluvial Aluvium-aluvium sungai dan s tanah pantai (Magrove)
PETA VI Tanah-tanah wilayah tembakau Sumatra Timur, menurut J.H. Druif.
r>'vysi
A
B
P ETA VII . . Tataletak sebuah perkebunan tembakau Perkebunan ”A ” mempunyai tiga pembagian tembakau, sedangkan perkebunan ”B ” mempunyai empat pemba-
224
gian tembakau untuk satu jalan kebun.
225
PETA VIII
Kawasan Saentis dan Percut
226
P E T A IX E k sp a n si d a n kontraksi In dustri T e m b a k a u Sum atra T im ur. oor,
PETA X
228
PE T A XII Pemukiman-pemukiman dataran rendah sepanjang sungai-sungai yang dapat dan pemukimanpemukiman dataran tinggi yang tidak berhubungan dengan sungai-sungai.
p E T A XIII jjfta sketsa J.G. Frowein mengenai sistem irigasi kawasan Lingga yang
QiUsulkan.
Pada permulaan abad ke-20 Sumatra Timur atau daerah Deli terkenal dengan sebutan ’’daerah dolar” . Sebutan ini erat hubungannya dengan derasnya keuntungan yang mengalir dari hasil o n d e rn e m in g yang melimpah ruah. Namun nasib buruh dan penduduknya tidak selalu sejalan dengan kekayaan para pengusaha (m d e rn e m in g . Para pengusaha ondernemirig itu sekaligus merangkap majikan, polisi dan hakim bagi buruh-buruh. Mereka tidak pemah puas dengan hanya mengeksploitasi hasil bumi, mereka juga mengaduk-aduk hukum adat setempat Demikianlah dolar yang bertaburan di daerah Deli hampir tidak menyentuh kehidupan rakyat jelata. Bahkan mereka menjadi budak di negerinya sendiri, dan menjadi penyewa di tanah waris nenek moyangnya. Buku ini mengisahkan bagaimana rakus dan liciknya para pengusaha °™erneming bersekongkol dengan raja-raja setempat merebut lahan pertanian Sumatra Timur dari sejengkal menjadi sehasta, dan dari sehasta menjadi sedepa, sarripai akhimya penduduk kehilangan haknya sama sekali. Suatu karya riset yang m enggam barkan bagaim ana usaha-usaha onderneming telah m em porakperandakan pola pertanian tradisional, u m adat dan hak-hak w a ris tanah penduduk Sumatra Timur.
Iv
PENER&IT s in a r h a r a p a n Jl.Ciewi Sartika 136D Jakarta 13630