DESKRIPSI PETANI PEGUNUNGAN KENDENG DAN DUKUNGAN PENYULUHAN Karakteristik Individu Petani Petani Pegunungan Kendeng yang berumur lebih dari 50 tahun sebesar 61,5 persen; berpendidikan rendah atau setingkat sekolah dasar (SD) sebanyak 66,5 persen; jarang sekali mengikuti pendidikan non formal sebanyak 86,0 persen. Memiliki pengalaman bertani lebih dari 31 tahun sebanyak 63,0 persen; sebagian besar (61,5 persen) berpengalaman melaksanakan agroforestri lebih dari 27 tahun; dan keterdedahan terhadap informasi termasuk sedang (skor rerata 62,9). Sebaran karekteristik individu petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Sebaran Karekteristik Individu Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sub Peubah
Skor
Ketegori
n
Persentase (%)
Umur
30 – 39 th
Muda
51
12,8
Rerata 50,4 tahun
40 – 49 th
Agak tua
103
25,7
50 – 69 th
Tua
246
61,5
Pendidikan formal
0 – 6 th
Rendah
266
66,5
Rerata 5,8 ≈ 6 tahun
7 – 12 th
Sedang
80
20,0
13 – 16 th
Tinggi
54
13,5
Pendidikan non formal
0 – 2 kali
Rendah
344
86,0
Rerata 1 kali
3 – 4 kali
Sedang
45
11,3
5 – 6 kali
Tinggi
11
2,7
Pengalaman bertani
10 – 20 tahun
Rendah
72
18,0
Rerata 31,2 tahun
21 – 30 tahun
Sedang
76
19,0
31 – 40 tahun
Tinggi
252
63,0
Pengalaman agroforestri
5 – 15 tahun
Rendah
74
18,5
Rerata 27,4 tahun
16 – 26 tahun
Sedang
80
20,0
27 – 39 tahun
Tinggi
246
61,5
Keterdedahan thd informasi
0 – 50,0
Rendah
70
17,5
Skor rerata = 62,9
50,1 – 75,0
Sedang
216
54,0
75,1 – 100
Tinggi
114
28,5
Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara umur petani dengan pengalaman bertani dan pengalaman melaksanakan agroforestri. Hubungan nyata (α=0,01) dan negatif, antara umur petani dengan pendidikan formal dan non formal. Selanjutnya, terdapat hubungan nyata dan negatif, antara pendidikan formal dengan pengalaman melaksanakan agroforestri, serta antara pendidikan
108
non formal dan pengalaman bertani. Hubungan antar indikator yang mencirikan karakteristik individu petani dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Hubungan antar Indikator Karakteristik Individu Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Karakteristik Individu Umur Pendidikan formal
Karakteristik Individu Petani Umur
Pendidikan formal
Pendidikan non formal
Pengalaman bertani
Pengalaman agroforestri
Keterdedahan thd informasi
1
-0,764**
-0,523**
0,837**
0,670**
-0,115
1
0,560**
-0584**
-0,397*
0,386*
1
-0,384*
-0,287
0,146
1
0,801
0,065
1
0,022
Pendidikan non formal Pengalaman bertani Pengalaman agroforestri Keterdedahan thd informasi
1
Keterangan: **) Nyata pada α=0,01; dan *) Nyata pada α=0,05
Umur Petani Rentang umur responden berkisar antara 30 sampai dengan 69 tahun, dengan rerata 50,4 tahun, yang termasuk kategori berumur tua. Fenomena ini terjadi karena generasi muda kurang berminat dan tertarik menjadi petani. Mereka lebih memilih berurbanisasi dan bekerja sebagai buruh bangunan, buruh pabrik, karyawan toko, pedagang keliling dan pegawai. Selain itu, mereka memilih merantau ke luar pulau Jawa seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua, serta menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Taiwan, Korea Selatan dan Arab Saudi. Data Bappeda (2010) menunjukkan bahwa pada tahun 2009 masyarakat Kabupaten Pati yang menjadi TKI ke luar negeri sebanyak 18.627 orang. Akibatnya, wilayah Pegunungan Kendeng kekurangan tenaga kerja yang potensial untuk menggarap lahan pertanian maupun kehutanan. Kondisi ini berpengaruh pada: (1) Program pemerintah tentang ketahanan pangan menjadi terganggu, padahal Kabupaten Pati merupakan salah satu sentra panghasil beras di Jawa Tengah (Distannak 2010); (2) Hutan rakyat dengan sistem agroforestri bertambah luas, karena petani yang berumur tua secara alamiah tenaga fisiknya mulai melemah sehingga mencari alternatif tanaman yang kurang membutuhkan
109
tenaga. Padmowihardjo (1999) menyatakan bahwa kemampuan belajar seseorang mencapai puncaknya pada umur 25 tahun kemudian turun secara gradual sampai dengan umur 46 tahun, kemudian turun secara nyata pada umur 55 sampai dengan 65 tahun, tetapi kedewasaan dan pengalamannya semakin meningkat. Hasil temuan ini, diharapkan menjadi perhatian bagi pihak-pihak yang berkepentingan supaya merencanakan dan menciptakan program-program unggulan di bidang pertanian dan kehutanan yang menarik minat generasi muda, agar mereka tidak meninggalkan desa dan merasa bangga menjadi petani. Pendidikan Formal Rentang tingkat pendidikan formal responden berkisar antara 0 sampai dengan 16 tahun, dengan rerata 5,8 tahun atau setara dengan lulus sekolah dasar (SD). Bahkan, ditemukan terdapat responden yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah sama sekali. Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan negatif, antara tingkat pendidikan formal dengan umur petani. Semakin tua umur petani semakin rendah tingkat pendidikan formal yang dimilikinya. Kondisi ini berarti, bahwa pendidikan formal pada masa itu belum menjadi kebutuhan petani. Pendidikan masih dianggap sebagai “barang mahal” yang hanya dapat dinikmati oleh kaum “priyayi” dan petani-petani kaya. Pada saat ini, kondisi tersebut telah berubah, anak-anak petani sebagian ada yang lulus SMP dan SMA. Terjadinya hal tersebut karena petani telah sadar bahwa pendidikan merupakan bekal untuk meraih masa depan yang lebih baik. Tidak dipungkiri bahwa kebijakan pemerintah tentang wajib belajar sembilan tahun juga berperan meningkatkan pendidikan formal anak-anak petani. Sebenarnya, ditemukan hal lain yang menjadi pendorong kuat yaitu keinginan orang tua agar anak-anaknya dapat menjadi pegawai, perangkat desa atau guru. Petani melihat orang-orang tersebut memiliki tingkat kehidupan yang lebih sejahtera dibandingkan dengan petani biasa. Pendidikan formal dibutuhkan petani dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis. Hal ini terkait dengan pengetahuan dan wawasan dalam menemukan dan memecahkan masalah yang dihadapi. Tidak jarang ditemukan petani kurang tepat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya, karena keterbatasan pendidikan dan tradisi yang dimiliknya. Sebagai contoh: mulai
110
menanam padi harus dilakukan pada bulan ganjil, karena kalau bulan genap diyakini gagal panen. Pendidikan Non Formal Selaras dengan pendidikan formal sebanyak 86,0 persen responden jarang sekali mengikuti pendidikan non formal atau pelatihan. Bahkan, ditemukan petani sama sekali tidak pernah mengikuti pelatihan, magang dan sejenisnya. Pelatihan merupakan sarana untuk meningkatkan keterampilan, agar kinerja petani meningkat. Sumpeno (2004) menyatakan bahwa peningkatan keterampilan tidak hanya dilakukan secara formal tetapi dapat melalui pelatihan, lokakarya, kunjungan silang, magang dan on the job training. Davies (2005) menyatakan bahwa pelatihan merupakan jawaban atas perubahan yang terjadi dan untuk memenuhi kebutuhan sebagai sarana untuk mempersiapkan perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan negatif, antara umur petani dengan tingkat pendidikan non formal. Semakin tua umur petani semakin jarang mengikuti pelatihan. Penyebabnya adalah lembaga yang menyelenggarakan pelatihan menetapkan persyaratan tertentu, antara lain: (1) Peserta pelatihan minimal berpendidikan SMP atau sederajat; atau (2) Ketua atau pengurus kelompok tani. Mengacu persyaratan tersebut, petani berumur tua tidak dapat mengikuti pelatihan karena mereka maksimal hanya lulus SD dan tidak semua petani menjadi pengurus kelompok. Sampai dengan saat ini, pelatihan yang telah dilaksanakan antara lain: (1) Sistem penanaman jagung tanpa oleh tanah (TOT) yang dilaksanakan oleh perusahaan pabrik jagung bisi dan pioneer; (2) Sistem agroforestri yang dilaksanakan oleh Perhutani dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan pada 2003/2004 dalam kegiatan gerakan rehabilitasi lahan (gerhan); dan (3) Silvikultur intensif (silin) yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Mengingat pentingnya pelatihan sebagai sarana untuk menyiapkan perubahan perilaku petani dalam ranah peningkatkan keterampilan, sepatutnya lembaga yang berwenang mendesain dan menyelenggarakan pelatihan yang bersifat mobile, yaitu pelatihan yang dilaksanakan secara berpindah-pindah disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi petani. Pelatihan tersebut dapat
111
dilakukan dengan jalan bekerja sama dengan penyuluh dan kelompok tani. Penyuluh dapat berperan sebagai fasilitator dan kelompok tani sebagai penyelenggara, dengan demikian petani generasi tua berkesempatan mengikuti pelatihan untuk meningkatkan keterampilannya dalam pengelolaan lahan kritis. Pengalaman Bertani Rentang pengalaman bertani responden berkisar antara 10 sampai dengan 40 tahun, dengan rerata 31,2 tahun termasuk dalam kategori tinggi. Terdapat keselarasan antara umur petani dengan pengalaman bertaninya. Hal ini menunjukkan bahwa dunia pertanian telah ditekuni responden sejak usia remaja. Panjangnya pengalaman bertani menyebabkan petani dapat melihat dengan cermat dan teliti tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan pertanian di lahan kritis. Dipandang dari dunia pendidikan termasuk penyuluhan, pengalaman merupakan suatu akumulasi dari proses belajar yang dialami petani, yang dilakukan secara gradual atau pelan-pelan. Pengalaman tersebut diperoleh dari setiap peristiwa yang terjadi, baik gagal maupun berhasil. Melalui setiap kejadian tersebut, petani dapat mengambil pelajaran yang dimanfaatkan untuk bertaninya. Hal ini dipertegas oleh hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara pengalaman bertani dan umur petani. Padmowiharjo (1999) menyatakan bahwa rangkaian setiap pengalaman yang berhasil merupakan suatu hasil proses belajar yang bersifat abstrak dan membentuk suatu peta kognitif. Pengalaman Melaksanakan Agroforestri Selaras dengan pengalaman bertani, pengalaman melaksanakan sistem agroforestri di lahan kritis sebanyak 61,5 persen responden, lebih dari 27 tahun. Sebenarnya, pengalaman melaksanakan sistem agroforestri tersebut sama dengan pengalaman bertani, karena petani telah melaksanakan salah satu bentuk sistem agroforestri yaitu “tumpang sari” sejak masa remaja. Hairiah et al. (2003) menyatakan bahwa ilmu sistem agroforestri merupakan ilmu lama yang dikemas dalam bentuk baru. Panjangnya
pengalaman
petani
melakukan
kegiatan
agroforestri,
menyebabkan petani mampu mengelola lahannya dengan efesien dan efektif. Efesiensi dan efektivitas pengelolaan lahan tersebut tercermin dari penggunaan
112
lahan pekarangan rumah dan tegalan yang dilakukan petani secara tradisonal, sederhana dan terpadu. Tradisional, karena kebiasaan petani menanam tanaman untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sederhana, karena penanaman dilakukan petani tanpa perencanaan, penanaman dilakukan agar lahan tidak kosong atau gersang. Terpadu, karena semua jenis tanaman ditanam, termasuk untuk memelihara ternak. Kondisi ini terlihat dari pekarangan rumah yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman keras (jati, mahoni, mangga, rambutan dan kelapa), sayuran, tanaman obat dan untuk memelihara ternak. Keterdedahan terhadap Informasi Tingkat keterdedahan terhadap informasi termasuk dalam kategori sedang, dinyatakan sebanyak 54,0 persen responden. Hal ini mengindikasikan bahwa petani telah mampu mengakses atau mendapatkan informasi dari berbagai sumber informasi. Sumber informasi petani, diperoleh dari sesama petani, pedagang atau tengkulak, penebas, dan perangkat desa yang sekaligus sebagai pengurus kelompok. van den Ban dan Hawkins (1999) dan Mardikanto (2009) menyatakan bahwa sumber informasi petani berasal dari para petani yang lain, agen penyuluh dan lembaga informasi. Penyebaran informasi dilakukan dengan cara dari mulut ke mulut. Tempat yang digunakan petani seperti: warung kopi, sawah dan pos jaga. Tempat-tempat tersebut menjadi tempat berkumpul para petani pada pagi dan sore hari. Jenis informasi yang disebarluaskan cukup beragam yaitu: harga benih jagung, pupuk dan bibit tanaman, serta harga jual kayu, jagung, singkong dan ternak. Khusus informasi tentang pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri petani mendapatkannya dari perangkat desa. Perangkat desa sekaligus sebagai pengurus kelompok telah mengikuti pelatihan pengelolaan lahan kritis dengan sistem agroforestri sehingga mereka memiliki banyak informasi tentang hal tersebut yang dibutuhkan oleh petani. Motivasi Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Motivasi petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis sebagai sarana untuk meningkatkan kinerja termasuk kategori sedang. Hal ini terlihat dari tiga skor rerata indikatornya sedang yaitu: tingkat pemenuhan kebutuhan dasar sebesar 69,0; intensitas hubungan sosial sebesar 63,9 dan tingkat
113
kompetisi atau daya saing sehat sebesar 71,7. Skor rerata yang indikatornya tinggi adalah tingkat pengakuan atas keberhasilan pengolahan lahan kritis sebesar 75,3. Sebaran tingkat motivasi petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Sebaran Tingkat Motivasi Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis No
Sub Peubah
Skor
1.
Pemenuhan kebutuhan dasar Skor rerata = 69,0
2.
Intensitas hubungan sosial Skor rerata = 63,9
3.
Tingkat pengakuan atas keberhasilan pengolahan lahan kritis Skor rerata = 75,3
4.
Tingkat kompetisi Skor rerata = 71,7
Ketegori
n
Persentase (%)
0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0
Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah
26 230 144 58 232 110 40
6,5 57,5 36,0 14,5 58,0 27,5 10,0
50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100
Sedang Tinggi Lemah Sedang Tinggi
94 266 10 228 162
23,5 66,5 2,5 57,0 40,5
Skor rerata motivasi petani = 70,2
Sedang
Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara intensitas hubungan sosial dengan umur petani, pengalaman melaksanakan agroforestri dan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar. Hubungan antara indikator motivasi petani sekitar dengan karakteristik individu dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis selengkapnya disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Hubungan antara Motivasi Petani dengan Karakteristik Individu Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri. Indikator Motivasi
Pemenuhan kebutuhan dasar
Intensitas hubungan sosial
Pengakuan atas keberhasilan
Tingkat kompetisi
0,133 0,129 0,138 0,364* 0,538** 0,405* 1
0,482** 0,318 0,373* 0,368* 0,631** 0,392* 0,527** 1
-0,021 0,220 0,291 0,301 0,404* 0,395* 0,418* 0,393* 1
-0,432** 0,100 0,173 -0,169 -0.131 0,496** 0,304 0,395* 0,446* 1
Karakteristik Individu Umur Pendidikan formal Pendidikan non formal Pengalaman bertani Pengalaman agroforestri Keterdedahan thd informasi Pemenuhan kebutuhan dasar Intensitas hubungan sosial Pengakuan atas keberhasilan Tingkat kompetisi
Keterangan: ** Nyata pada α=0,01; * Nyata pada α=0,05
114
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Tingkat pemenuhan kebutuhan dasar petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang sampai dengan tinggi, sebanyak 93,5 persen responden. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan dasar petani sekitar hutan telah terpenuhi dari hasil penerapan sistem agroforestri. Hasil temuan ini memperkuat penelitian Suharjito (2000) di Desa Bumiwangi Sukabumi, bahwa hasil produk sistem agroforestri dapat untuk memenuhi kebutuhan subsisten, sosial dan komunal. Hal serupa ditemukan Yuniandra et al. (2007) yang melakukan penelitian di Gunung Cermai, bahwa hasil sistem agroforestri dapat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan meningkatkan pendapatan. Pada praktek sistem agroforestri, menurut petani, kebutuhan dasarnya dipenuhi melalui hasil tanaman semusim, tanaman keras dan hasil pemeliharaan ternak. Hasil tanaman semusim seperti: jagung, singkong, senthik dan gembili digunakan petani untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sandang, sedangkan hasil tanaman keras seperti: jati dan mahoni, digunakan petani untuk memenuhi kebutuhan papan. Kebutuhan pendidikan dan kesehatan terpenuhi dari hasil tanaman semusim, tanaman keras dan pemeliharaan ternak. Tanaman keras dan ternak selain untuk memenuhi kebutuhan dasar juga berfungsi sebagai tabungan. Terkait dengan pemenuhan kebutuhan pendidikan dan kesehatan, meskipun dapat terpenuhi dari hasil sistem agroforestri namun petani juga memanfaatkan bantuan pemerintah melalui dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk pendidikan, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan petani memanfaatkan dana jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) dan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda). Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif antara tingkat pemenuhan kebutuhan dasar dengan pengalaman melaksanakan agroforestri. Semakin tinggi tingkat pengalaman melaksanakan agroforestri semakin tinggi pula tingkat pemenuhan kebutuhan dasar. Artinya, petani yang berpengalaman melakukan agroforestri, tentu memiliki kecermatan dan kejelian dalam memilih dan memadukan berbagai jenis tanaman semusim dan tanaman keras, sehingga dapat tumbuh dengan baik dan hasil panen yang optimal. Hasil dari berbagai jenis
115
tanaman tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan juga memudahkan untuk mendapatkan modal mengelola lahan. Intensitas Hubungan Sosial Sebanyak 58,0 persen responden menyatakan bahwa intensitas hubungan sosial antar petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah memahami dan merasakan pentingnya berkumpul, berdiskusi, tukar informasi dan pengalaman yang dibutuhkan dalam penerapan sistem agroforestri. Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif antara intensitas hubungan sosial dengan pengalaman melaksanakan agroforestri. Semakin berpengalaman melaksanakan agroforestri maka semakin tinggi intensitas hubungan sosial. Petani yang sering melakukan diskusi, mengikuti pertemuan-pertemuan dan mampu berkomunikasi dengan berbagai
kalangan
masyarakat,
memiliki
peluang
untuk
meningkatkan
pengetahuan, wawasan dan keterampilannya sehingga menambah pengalamannya. Intensitas hubungan sosial yang telah dilakukan oleh petani secara rutin, mendorong terjadinya perubahan perilaku. Perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan tersebut, sangat membantu dalam proses terjadinya adopsi inovasi yang dibutuhkan petani dalam pengelolaan lahan kritis, seperti adopsi inovasi penanaman jagung dengan sistem tanpa olah tanah (TOT). Pengadopsian sistem penanaman jagung tersebut memberikan kontribusi pada tingkatan pendapatan petani. Pengakuan atas Keberhasilan dalam PengelolaanLahan Kritis Pengakuan atas keberhasilan dalam pengelolaan lahan kritis sebanyak 66,5 persen responden menyatakan dalam kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa hasil jerih payah petani dalam mengelola lahan kritis telah dihargai oleh petani lain dan masyarakat pada umumnya. Penghargaan tersebut layak diberikan, karena keberhasilan tersebut tidak hanya dinikmati petani sendiri, tetapi juga dinikmati oleh masyarakat luas melalui terjaganya ketersediaan air untuk mengelola sawah pertanian. Pengakuan atas keberhasilan pengelolaan lahan kritis tersebut sangat penting artinya bagi petani, karena pada saat ini, lahan-lahan petani yang berupa
116
padas atau karst rawan terhadap ancaman usaha penggalian tambang padas atau karst sebagai bahan baku semen dan marmer. Ancaman usaha penggalian tersebut dapat merusak kondisi lingkungan secara keseluruhan dan keberadaan petani yang telah bermukim turun temurun. Selain itu, kegiatan penggalian juga mengancam situs-situs keramat sebagai tempat ritual petani. Oleh karena itu, diakuinya keberhasilan petani dalam mengelola lahan kritis tersebut, diharapkan dapat menguatkan petani dalam melindungi lahan-lahannya dari pihak-pihak yang menginginkan tambang padas atau karst. Selain melindunginya lahannya dari ancaman penggalian, keberhasilan petani dalam mengelola lahan kritis dengan menerapkan sistem agroforestri, juga dapat memberikan keuntungan secara pribadi bagi petani yang bersangkutan. Menurut petani, dari keberhasilan tersebut mereka dapat membiaya sekolah anakanaknya sampai dengan lulus SMA, bahkan salah satunya ada yang menjadi perangkat desa dan dapat mewariskan tegakan jati kepada keturunannya. Manfaat keberhasilan mengelola lahan kritis dengan sistem agroforestri selain dapat dirasakan petani sendiri, juga dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Masyarakat merasakan manfaat tersebut melalui ketersediaan sumber air yang dapat digunakan untuk mengelola lahan pertaniannya. Lahan-lahan yang terletak di bawah gunung dapat ditanami padi dan palawija seperti: kacang hijau, kedelai dan jagung. Keberhasilan petani menghijaukan lahan kritis yang terletak dekat gua-gua juga dapat mendorong tumbuhnya tempat wisata bagi masyarakat yang terdapat di sekitar Kabupaten Pati. Tingkat Kompetisi Tingkat kompetisi atau daya saing sehat antar petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang, dinyatakan sebanyak 57,0 persen responden. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah memahami dan merasakan pentingnya daya saing sehat, khususnya mendapatkan hasil panen yang lebih unggul dibandingkan dengan petani lain. Menurut petani, daya saing ini terjadi dalam pemilihan jenis benih/bibit yang akan ditanam, pemilihan jenis pestisida, dan pemasaran hasil sistem agroforestri. Sebanyak 40,5 persen responden merasakan daya kompetisi yang terjadi dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini
117
dirasakan oleh petani generasi muda yang tidak hanya berprofesi sebagai petani semata, tetapi juga berprofesi sebagai perangkat desa dan berperan sebagai pengurus kelompok. Menurut petani generasi muda, sebagai pengurus kelompok, mereka harus berkompetisi dengan pengurus kelompok yang lain untuk mendapatkan subsidi saprodi maupun bantuan kegiatan baik dari perusahaan maupun pemerintah. Selain itu, mereka juga harus berjuang untuk mendapatkan kepercayaan dari Perhutani bahwa lahan yang dikelola oleh anggota kelompoknya tidak merusak tanaman pokok dibandingkan dikelola oleh pihak lain yang bukan anggota kelompok LMHD. Foster (1962) menyatakan bahwa salah satu motivasi untuk melakukan perubahan didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, situasi kompetisi dan pengakuan dari orang lain. Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan negatif, antara umur petani dengan tingkat kompetisi antara petani. Semakin tua umur petani semakin rendah tingkat kompetisi yang terjadi. Petani yang berumur tua dan memiliki tingkat pengalaman bertani yang tinggi serta telah melaksanakan kegiatan agroforestri yang panjang, tingkat kompetensinya akan semakin menurun. Petani ini membutuhkan sharing atau tukar pendapat, hormat menghormati dan saling menjaga persahabatan. Hal ini terjadi, karena secara fisik kekuatan otot petani semakin melemah, tetapi secara alamiah kedewasaannya semakin tinggi. Akibatnya, mereka mampu mengelola emosi dan perilakunya secara matang, sehingga tercipta kehidupan yang keharmonisan. Kesempatan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Kesempatan petani untuk meningkatkan kinerjanya dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis termasuk kategori sedang. Kondisi tersebut tercermin dari dua skor rerata indikatornya sedang yaitu: kepastian pasar sebesar 71,5 dan pengaruh kepemimpinan lokal sebesar 68,6. Tiga skor rerata indikatornya rendah yaitu: ketepatan pemberian insentif sebesar 50,0; peran kelompok sebesar 50,0; rerata luas lahan milik petani sebesar 0,49 hektar; dan peranan institusi lokal termasuk kuat yang ditunjukkan dengan skor rerata 75,7. Sebaran kesempatan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis selengkapnya disajikan pada Tabel 28.
118
Tabel 28. Sebaran Kesempatan Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri di Lahan Kritis No
Sub Peubah
1.
Luas lahan Rerata luas lahan = 0,49 ha
2.
Kepastian pasar Skor rerata = 71,5
3.
Ketepatan insentif Skor rerata = 50,0
4.
Peran institusi lokal Skor rerata = 75,7
5.
Pengaruh kepemimpinan lokal Skor rerata = 68,6
6.
Peranan kelompok Skor rerata = 50,0
Skor rerata kesempatan petani = 63,1
Skor ≤ 0,5 ha 0,51 – 1 ha ≥ 1,1 ha 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100
Ketegori Sempit Sedang Luas Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Lemah Cukup Kuat Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
n
Persentase (%)
179 106 115 26 191 183 177 147 76 12 178 210 28 232 140 175 148 77
44,8 26,5 28,7 6,5 47,7 45,8 44,3 36,7 19,0 3,0 44,5 52,5 7,0 58,0 35,0 43,7 37,0 19,3
Sedang
Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara kepastian pasar dengan luas lahan dan ketepatan kebijakan insentif, serta antara peranan institusi lokal dengan umur petani. Hubungan antar indikator kesempatan petani dengan karakteristik individu petani sekitar hutan selengkapnya disajikan pada Tabel 29. Tabel 29. Hubungan antar Kesempatan Petani dengan Karakteristik Individu Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri
Keterangan: ** Nyata pada α=0,01; * Nyata pada α=0,05
119
Luas Lahan Luas lahan milik petani sekitar hutan termasuk dalam kategori sempit (≤ 0,5 hektar), dinyatakan sebanyak 44,8 persen responden. Sempitnya lahan milik petani disebabkan oleh: (1) Pola pewarisan, lahan yang semula dikuasai oleh satu kepala keluarga, setelah meninggal kemudian dibagikan kepada sejumlah anak yang dimilikinya; dan (2) Biaya anak kuliah, apabila panen gagal dan tidak memiliki sumber penghasilan lain, alternatif yang ditempuh adalah menjual lahan yang menjadi hak miliknya. Meskipun lahan milik petani termasuk sempit, namun petani mempunyai kesempatan mengelola lahan yang lebih luas. Lahan tersebut diperoleh melalui sewa, sakap dan pesanggem. Petani memperoleh lahan sakap dari para perantau dan tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan pola bagi hasil. Jenis tanaman yang ditanam adalah padi, jagung, singkong dan kacang hijau. Petani sebagai anggota kelompok tani hutan (KTH) yang tergabung dalam lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) berada di bawah kewenangan Perhutani, berhak menjadi pesanggem. Sebagai pesanggem, petani berhak mengelola lahan Perhutani kurang lebih 0,5 hektar. Pola pengelolaan lahan dilakukan dengan bagi hasil (sharing). Pola tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama antara petani (diwakili pengurus kelompok tani) dengan pihak Perhutani. Bentuk kesepakatan pola sharing tersebut sebagai berikut: (1) Benih/bibit dan pupuk disediakan Perhutani, petani wajib memelihara dan menjaga keamanan tanaman pokok: jati dan mahoni; (2) Penentuan jenis tanaman semusim, merupakan hasil kesepakatan bersama antara petani dan Perhutani; (3) Pembagian hasil tanaman semusim, petani memperoleh sharing sebesar 75,0 persen dan Perhutani memperoleh 25,0 persen; (4) Pembagian hasil tanaman pokok, petani memperoleh sharing sebesar 25,0 persen dan Perhutani memperolah 75,0 persen. Bertambahnya lahan yang digarap petani, berdampak pada pengelolaan lahan tegalan milik petani. Lahan tegalan tersebut, lebih banyak ditanami dengan tanaman keras dibandingkan dengan tanaman semusim, karena tanaman semusim ditanam pada lahan Perhutani dan sakap. Akibatnya, lahan tegalan petani berubah menjadi kebun-kebun campuran dengan sistem agroforestri.
120
Kepastian Pasar Kepastian pasar menjadi faktor penting dalam menjamin keberlansungan penerapan sistem agroforestri. Kepastian pasar hasil sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang sampai dengan tinggi sebanyak 93,5 persen responden. Hal ini menunjukkan bahwa penjualan hasil sistem agroforestri tidak mengalami kendala yang berarti, karena hasil panen dapat langsung ditampung oleh para pihak-pihak yang bersedia membeli. Hasil temuan ini, selaras dengan hasil penelitian Semedi (2006) yang menemukan bahwa petani menjual kayu dalam bentuk gelondongan kepada tengkulak atau pedagang, penjualan dilakukan karena kebutuhan mendesak. Hal yang sama ditemukan Tukan et al. (2000) bahwa hasil kayu dipasarkan petani dalam bentuk pohon berdiri, sehingga mempengaruhi harga jual yang cenderung murah. Pihak-pihak yang terlibat dalam pemasaran hasil sistem agroforestri, antara lain: (1) Tengkulak atau pedagang, terlibat dalam pembelian hasil tanaman semusim seperti: padi, jagung, gembili, singkong dan kacang hijau; (2) Penebas atau pemborong, pedagang yang membeli kayu jati dan mahoni; (3) Pedagang hewan, pedagang ternak seperti sapi dan kambing; dan (4) Pengrajin kayu atau pertukangan yang membuat kusen, pintu dan meja. Meskipun petani telah mendapatkan kepastian pasar, namun sebenarnya pendapatan yang diterima petani tetap rendah dan yang menikmati keuntungan adalah tengkulak/pedagang dan pemborong. Hal ini terjadi karena petani kurang mampu mengembangkan pemasaran dan kurang berani mengambil risiko, sehingga tergantung pada tengkulak/pedagang dan pemborong. Rendahnya daya tawar petani dan tergantungnya kepada tengkulak/pedagang tersebut disebabkan oleh kesediaan para tengkulak/pedagang memberikan pinjaman tanpa anggunan atau jaminan. Kondisi ini membuat petani menjadi “tersandera” karena rasa balas budi. Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif antara kepastian pasar dengan luas lahan garapan. Semakin tinggi kepastian pasar yang dapat diterima petani, semakin membutuhkan lahan yang luas. Kepastian pasar membutuhkan pasokan sumber daya atau produk yang stabil, dengan stabilnya produk tersebut
121
keberlangsungan
pasar
dapat
terjamin.
Untuk
memenuhi
hal
tersebut,
membutuhkan daya dukung lahan yang luas. Berikut ini perbandingan harga jual kayu jati di tingkat petani dan tingkat perusahaan disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Perbandingan Harga Jual Kayu Jati di Tingkat Petani dan Perusahaan No
Diameter Kayu Jati (Cm)
Harga Dari Petani (Rp)
Harga di Perusahaan (Rp)
1.
10 – 13
450.000
750.000
2.
16 - 19
750.000
1.200.000
3.
20 – 21
950.000
1.500.000
4.
22 - 28
1.100.000
1.750.000
5.
30 - 39
2.000.000
2.800.000
6.
40 - 49
3.000.000 Sumber: Perusahaan Meubel di Jepara, 2011.
3.800.000
Ketepatan Kebijakan Insentif Kebijakan insentif merupakan faktor pengungkit untuk merangsang petani melaksanakan kegiatan agroforestri. Ketepatan kebijakan pemberian insentif dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori rendah, dinyatakan sebanyak 44,3 persen responden. Hal ini berarti bahwa insentif yang diberikan pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan nyata (real needs) petani atau tidak tepat sasaran. Terjadinya hal tersebut karena dalam proses pemberian insentif tidak dilakukan pendataan dan inventarisasi terlebih dahulu. Pemberian insentif hanya untuk mengakomodir kepentingan pemerintah dan belum tentu sesuai dengan kepentingan petani. Faktanya, ditemukan bahwa pembelian pupuk bersubsidi selayaknya lebih murah, tetapi kenyataan harganya hanya sedikit di bawah pupuk yang tidak bersubsidi. Selain itu, stock pupuk bersubsidi jumlahnya sangat terbatas di pasaran. Hal ini memicu kelangkaan pupuk, akibatnya harga pupuk menjadi naik. Hal yang sama terjadi pada benih jagung, harga benih jagung yang bersubsidi harganya hanya sedikit di bawah harga benih jagung yang tidak bersubsidi. Bahkan, ditemukan benih jagung yang bersubsidi kualitas benihnya lebih rendah dibandingkan dengan benih yang tidak bersubsidi. Bentuk pemberian insentif yang lain adalah penyuluhan, pelatihan dan pemberlakukan peraturan pemerintah (PP). Fakta yang ditemukan menunjukkan
122
bahwa penyuluh kehutanan PNS jarang sekali melaksanakan penyuluhan (Tabel 33). Hal yang sama terjadi pada kegiatan pelatihan. Sebanyak 86,0 persen petani mengikuti pelatihan 1 sampai dengan 2 kali dalam kurun waktu tiga tahun (Tabel 24). Demikian juga dengan pemberlakuan regulasi tentang surat keterangan asal usul kayu (SKAU) P.33/Menhut-II/2007. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa yang berhak mengeluarkan SKAU adalah Kepala Desa atau perangkat desa dan disyahkan oleh Kepala Dinas Kehutanan. Ternyata, implementasinya di lapangan SKAU tersebut harus diketahui oleh pejabat-pejabat yang terdapat di kecamatan dan petugas Perhutani. Kondisi ini menyebabkan tingkat pendapatan petani menjadi rendah karena untuk mendapatkan satu lembar SKAU pemborong harus mengeluarkan biaya lebih dari ketentuan yang berlaku. Beban biaya tersebut secara tidak langsung ditanggung oleh petani. Fakta yang dipaparkan tersebut menunjukkan bahwa pemberian insentif yang seharusnya memacu meningkatkan kinerja petani, tetapi karena tidak tepat sasaran justru menjadi disinsentif. Akibatnya, petani menjadi acuh tak acuh atau tidak peduli dengan berbagai bentuk bantuan pemerintah. Sundawati (2010) menyatakan bahwa pemberian insentif pada pengelolaan hutan rakyat yang tidak tepat sasaran dapat menjadi disinsentif. Hasil temuan tersebut diharapkan menjadi perhatian serius bagi pihak yang berwenang agar bentuk-bentuk program bantuan yang diluncurkan pada saat ini maupun yang akan datang seperti: kebun bibit rakyat (KBR), kelompok usaha produktif (KUP), dan kelompok usaha tani (KUT) dan sejenisnya tepat sasaran. Oleh karena itu, sebelum program dilaksanakan harus dilakukan kajian dan diidentifikasi kebutuhan petani terlebih dahulu agar bantuan tersebut sesuai dengan kebutuhan petani dan tepat sasaran. Peranan Institusi Lokal Peranan institusi lokal dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori tinggi (52,5 persen) responden. Hal ini berarti bahwa petani memegang teguh adat istiadat, budaya dan norma yang diwariskan oleh para leluhurnya. Keberadaan institusi lokal ini berfungsi mengatur pola tata kehidupan dalam masyarakat agar tidak terjadi pelanggaran, yang diyakini dapat mendatangkan musibah atau bencana. Selain itu, pelaksanaan institusi lokal
123
merupakan bentuk penghormatan kepada lelulur dan ibadah kepada Sang Maha Pencipta. Pada praktek penerapan sistem agroforestri, setidak-tidaknya terdapat dua norma yang masih dianut dan dipatuhi oleh para petani (petani tua) yaitu: wiwitan dan tali wangke (hari naas). Wiwitan merupakan selamatan yang dilakukan pada awal musim tanam dan pada masa panen. Tujuannya adalah meminta kepada Allah SWT agar tanaman yang ditanam dapat tumbuh subur dan hasil panen yang berlimpah. Tali wangke adalah hari meninggalnya orang tua dan hari tanggal satu bulan Syuro. Kedua jenis hari tersebut dihindari untuk memulai pekerjaan baru, seperti menanam, memanen, hajatan, dan sejenisnya. Pelanggaran terhadap kedua hari tersebut diyakini petani dapat mendatangkan musibah atau celaka, seperti gagal panen. Kedua bentuk norma tersebut berperan mengatur kehidupan seharihari petani, dan mereka menjalannya tanpa paksaan dari siapapun. Berkembangnya arus informasi dan teknologi yang sangat cepat, mudah diakses setiap waktu dan tidak kenal umur, berpengaruh terhadap pelaksanaan kedua bentuk institusi lokal tersebut terutama pada generasi muda. Pelan-pelan mereka mulai meninggalkan kedua institusi lokal tersebut. Mereka mulai menanam tidak memperhatikan ke dua bentuk norma tersebut. Mereka langsung menanam begitu selesai panen atau hujan turun. Demikian juga ketika memanen, begitu jagung sudah masa panen langsung dipanen atau dijualnya. Mereka berpandangan bahwa keberhasilan pengelolaan lahan tidak sepenuhnya ditentukan oleh kedua hal tersebut, tetapi ditentukan oleh sistem pengelolaan yang tepat dan didukung oleh pengalaman dan keterampilan yang memadai. Terjadinya perubahan tersebut akibat meningkatnya rasionalitas pengetahuan, keterbukaan terhadap informasi dan pengaruh lain yang dibawa oleh para perantau dan urban. Pengaruh Kepemimpinan Lokal Pengaruh kepemimpinan lokal untuk meningkatkan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang (58,0 persen) responden. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin lokal telah memiliki kemampuan, pengalaman dan wawasan yang memadai sehingga dapat mempengaruhi petani yang ada di desanya. Menurut Margono (2009) dan Susetyo (2002), menyatakan bahwa kekuatan pengaruh kepemimpinan berasal dari
124
pengalaman dan wawasan yang dimilikinya. Hasil temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Suharjito dan Saputro (2008) yang menemukan bahwa tingginya pengaruh kepemimpinan tokoh masyarakat Banten Selatan menyebabkan terjaganya kelesatarian hutan Kasepuhan Banten Selatan. Terkait penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis, pemimpin lokal dibedakan menjadi dua yaitu: pemimpin informal dan formal. Pemimpin informal, antara lain: tokok masyarakat desa, para mantan perangkat desa, pensiunan guru atau pegawai, dan orang pintar atau paranormal. Pemimpin formal antara lain: guru, pegawai kecamatan dan perangkat desa (pengurus kelompok). Pemimpin lokal informal berperan dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh petani di desanya, seperti penentuan “hari baik” untuk tanam, panen dan pelaksanaan selamatan (sedekah) bumi. Sementara itu, pemimpin formal berperan dalam kegiatan yang berperan menjadi penghubung dengan pihak luar seperti: Perhutani, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, kecamatan, dan penyuluh. Pemimpin formal juga berperan sebagai wakil dari masyarakat dan sekaligus sumber informasi yang berasal dari luar masyarakatnya. Terdapat hubungan nyata antara pengaruh kepemimpinan lokal dengan tingkat pendidikan formal. Artinya bahwa kepemimpinan lokal tidak hanya diperankan oleh para generasi tua, tetapi pada saat ini mulai bergeser ke arah generasi muda. Terjadinya pergeseran ini menunjukkan bahwa kepemimpinan generasi muda telah diakui keberadaannya oleh generasi tua. Kondisi ini terjadi karena generasi muda mampu melihat setiap kesempatan yang ada di masyarakat dan mampu memanfaatkannya dengan tepat sehingga mendapatkan kepercayaan dari generasi tua. Faktanya (Bappeda 2010), yang menjadi perangkat desa di Kabupaten Pati adalah pemimpin yang berumur kurang dari 45 tahun (65 persen). Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa para generasi muda yang menjadi pemimpin di Pegunungan Kendeng pada umumnya adalah keturunan dari para pemimpin sebelumnya. Peranan Kelompok Sebesar 43,7 persen responden menyatakan bahwa peranan kelompok dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis termasuk dalam kategori rendah. Hal ini berarti bahwa peran yang dilakukan oleh kelompok kurang sesuai
125
dengan kebutuhan petani sebagai anggota. Menurut Margono (2003), tingkat efektivitas kegiatan kelompok dapat berjalan dengan baik, apabila ada keselarasan antara tujuan kelompok dan tujuan anggota, dengan demikian kelompok dapat berjalan dengan dinamis dan saling menjaga. Setidak-tidaknya terdapat tiga kegiatan yang diperankan kelompok yang tidak sesuai dengan kebutuhan petani, yaitu: (1) Pembagian luas lahan garapan sebagai pesanggem dalam kegiatan LMDH, ternyata antar anggota luasnya tidak sama; (2) Pembagian subsidi pupuk dan benih jagung, ternyata antar anggota tidak mendapatkan bagian yang sama; dan (3) Kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan magang yang selalu didominasi oleh pengurus kelompok. Terkait dengan penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis, ditemukan ada tiga kelompok dalam satu desa. Ternyata, ketiga kelompok tersebut memiliki anggota yang sama, yang berbeda hanya pada nama kelompok dan pengurus. Setelah dilakukan wawancara kepada petani anggota kelompok, ternyata mereka tidak tahu ada kelompok baru karena selama ini tidak pernah dilakukan rapat pembentukan kelompok atau pembubaran kelompok. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan kelompok bukan berasal dari inisiatif anggota, tetapi berasal dari pengurus kelompok atau pihak lain yang berkepentingan dengan kelompok, atau pembentukan kelompok hanya untuk mengakses kegiatan atau proyek semata. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya peranan kelompok yang dapat dirasakan oleh petani sebagai anggotanya. Kemampuan Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Kemampuan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang. Kondisi ini tercermin dari delapan skor rerata indikatornya sedang yaitu: kemampuan penyiapan lahan sebesar 69,1; pemilihan jenis benih/bibit sebesar 63,7; penanaman sebesar 66,7; pemeliharaan tamanan sebesar 72,5; penganekaragaman tanaman sebesar 58,4; pemanenan sebesar 72,5; pengembangan pemasaran sebesar 68,6; dan tingkat kerjasama sebesar 66,1. Pengembangan kelompok tergolong rendah yang ditunjukkan dengan skor reratanya sebesar 50,0. Sebaran kemampuan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 31.
126
Tabel 31. Sebaran Kemampuan Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri pada Lahan Kritis No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Sub Peubah
Skor
Ketegori
n
Persentase (%)
Penyiapan lahan
0 – 50,0
Kurang terampil
48
12,0
Skor rerata = 69,1
50,1 – 75,0
Cukup terampil
174
43,5
75,1 - 100
Sangat terampil
178
44,5
Pemilihan jenis bibit/benih
0 – 50,0
Rendah
90
22,5
Skor rerata = 63,7
50,1 – 75,0
Sedang
154
38,5
75,1 - 100
Tinggi
156
39,0
Penanaman
0 – 50,0
Rendah
74
18,5
Skor rerata = 66,7
50,1 – 75,0
Sedang
146
36,5
75,1 - 100
Tinggi
180
45,0
Penganekaragaman tanaman
0 – 50,0
Rendah
84
21,0
Skor rerata = 58,4
50,1 – 75,0
Sedang
254
63,5
75,1 - 100
Tinggi
62
15,5
Pemeliharaan tanaman
0 – 50,0
Rendah
54
13,5
Skor rerata = 72,5
50,1 – 75,0
Sedang
148
37,0
75,1 - 100
Tinggi
198
49,5
Pemanenan
0 – 50,0
Rendah
28
7,0
Skor rerata = 72,5
50,1 – 75,0
Sedang
170
42,5
75,1 - 100
Tinggi
202
50,5
Pengembangan pemasaran
0 – 50,0
Rendah
148
37,0
Skor rerata = 49,8
50,1 – 75,0
Sedang
198
49,5
75,1 - 100
Tinggi
54
13,5
Perkembangan kelompok
0 – 50,0
Rendah
154
38,5
Skor rerata = 50,0
50,1 – 75,0
Sedang
147
36,7
75,1 - 100
Tinggi
99
24,8
Tingkat kerjasama
0 – 50,0
Rendah
70
17,5
Skor rerata = 66,1
50,1 – 75,0
Sedang
184
46,0
75,1 - 100
Tinggi
146
36,5
Skor rerata kemampuan petani = 65,1
Sedang
Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara penyiapan lahan dengan pengalaman bertani dan pengalaman melaksanakan agroforestri, antara pemilihan jenih benih/bibit dengan umur petani dan pengalaman bertani, antara pengembangan pemasaran dengan tingkat pendidikan. Terdapat pula hubungan nyata antara tingkat kerjasama dengan umur petani, penyiapan lahan dan keterdedahan terhadap informasi, antara pemeliharaan tanaman dengan umur petani dan pendidikan non formal. Hubungan antara kemampuan petani dengan karekteristik individu petani dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya, disajikan pada Tabel 32.
127
Tabel 32. Hubungan antar Kemampuan Petani dengan Karakteristik Individu Petani dalam Penerapn Sistem Agrofoestri
Keterangan: ** Nyata pada α=0,01; * Nyata pada α=0,05
Penyiapan Lahan Kemampuan petani untuk penyiapan lahan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori sangat terampil, dinyatakan sebanyak 44,5 persen responden. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah berpengalaman dan memahami dalam menyiapkan dalam kegiatan agroforestri. Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif antara penyiapan lahan dengan pengalaman bertani dan pengalaman melaksanakan agroforestri. Semakin panjang pengalaman bertani dan melaksanakan agroforestri semakin terampil dalam penyiapan lahan. Petani yang berpengalaman panjang dalam bertani dan melaksanakan agroforestri, memiliki kecermatan dan ketelitian dalam melakukan setiap kegiatan yang berhubungan dengan bertani dan melakukan agroforestri termasuk dalam menyiapkan lahan. Kecermatan dan ketelitian tersebut, petani mampu memperhitungkan penyiapan lahan yang sesuai dengan kondisi lahan. Pada praktek sistem agroforestri, penyiapan lahan yang dilakukan petani, mulai dari pembuatan lubang tanaman, pemupukan awal dan pemberantasan penyakit, tetapi mereka tidak membuat jalur tanam. Menurut responden, tidak dibuatnya pembuatan jalur tanam karena ketika akan dibuat lubang tanam terkendala oleh bongkahan padas. Petani membuat jalur tanam menyesuaikan
128
dengan kondisi lahan yang agak landai dan bongkahan padasnya tidak terlalu besar. Berikut ringkasan wawancara proses penyiapan lahan yang akan ditanami jati dan jagung disajikan pada Kotak 1. Kotak 1. Tanaman Jati. Lahan padas digali dengan panjang satu meter persegi, dengan kedalaman kurang lebih satu meter. Setelah itu, lubang galian diisi dengan tanah dan pupuk kandang atau kompos, kemudian dicampur, dibiarkan kurang lebih satu bulan atau sampaikan dengan turun hujan. Pembuatan lubang tanam yang lebar dan dalam tersebut, difungsikan sebagai penampungan air dan penahan lumpur yang turun dari atas gunung, selain itu agar di bawah tanaman pokok dapat ditanami dengan tanaman semusim. Sedangkan, lamanya jarak tanam dengan pembuatan lubang tersebut, diharapkan agar bahan-bahan yang telah tercampur dapat kering, sehingga jika ada penyakit dapat mati terkena sinar matahari. Tanaman Jagung. Penyiapan lahan untuk tanaman jagung dengan sistem tanpa olah tanah (TOT). Lahan yang sudah dibabat kemudian disemprot dengan herbisida (obat rumput), kemudian ditabur dengan pupuk kandang atau kompos. Setelah itu, benih jagung kemudian ditanam.
Kotak 1 menggambarkan bahwa petani telah memahami langkah-langkah dalam penyiapan lahan secara cermat, mulai dari pembuatan penampungan air, volume akar, pemupukan awal dan pemberantasan penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah memiliki pengalaman dan keterampilan yang memadai dalam penyiapan lahan. Pemilihan Jenis Benih/Bibit Kemampuan petani dalam pemilihan jenis benih/bibit tanaman termasuk dalam kategori tinggi, dinyatakan sebanyak 39,0 persen responden. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah mengetahui dan membedakan jenis benih/bibit tanaman yang berkualitas. Pemilihan jenis benih/bibit tanaman harus disesuaikan dengan kondisi lahan dan iklim. Hairiah et al. (2003) menyatakan bahwa jenis tanah padas hanya dapat ditumbuhi dengan baik oleh tanaman yang tahan panas atau kekeringan. Jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi tersebut, antara lain: jati, mahoni, mangga, jagung, kacang hijau, gembili dan senthik. Pemilihan benih/bibit yang berkualitas, berhubungan dengan sumber benih yang akan dijadikan bibit. Benih jati dan mahoni diambil dari pepohonan yang ada di sekitar desa dan disemaikan sendiri. Selain itu, petani membeli bibit dari persemaian yang dikelola oleh penyuluh kehutanan setempat. Petani juga
129
mendapatkan bantuan bibit dari Perhutani dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Sementara itu, benih tanaman semusin seperti: padi, jagung dan kacang hijau diperoleh dari hasil panen sendiri dan membeli dari toko saprodi. Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif antara pemilihan jenis benih/bibit tanaman dengan umur petani dan pengalaman bertani. Semakin tua umur petani dan semakin panjang berpengalaman bertani, maka semakin terampil memilih jenis benih/bibit tanaman. Menentukan jenis benih/benih yang sehat dan berkualitas membutuhkan ketelitian dan kecermatan. Keterampilan memilih benih tersebut dapat dilakukan oleh petani yang berpengalaman. Penanaman Kemampuan petani dalam penanaman termasuk dalam kategori baik, dinyatakan sebanyak 45,0 persen responden. Hal ini berarti bahwa petani telah menguasai teknik penanaman pada lahan kritis, sehingga tanaman dapat tumbuh dengan baik. Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif antara penanaman dengan penyiapan lahan. Penyiapan lahan yang dilakukan dengan cermat, seperti: pembuatan lubang tanam dengan memperhatikan daya tampung air, melakukan penyemprotan, dan pemupukan awal. Dilakukannya hal tersebut diharapkan dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman. Sekilas, cara menanam jati di lereng gunung sama dengan di lahan datar, namun bila dicermati terdapat perbedaan. Penanaman jati di lereng gunung bibitnya ditanam agak miring condong ke arah gunung, sedangkan di lahan datar bibitnya ditanam tegak. Ternyata, dengan cara penanaman yang demikian pertumbuhan jati menjadi lebih baik, meskipun demikian sampai saat ini belum ada penelitian yang dapat menjelaskan hal tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, bahwa cara menanam miring condong ke arah gunung, memberikan pengaruh pada kekuatan pohon untuk menahan air hujan dan terpaan angin. Hal ini menunjukkan bahwa petani memiliki pengetahuan lokal tentang penanam jati di lereng gunung yang bertanah padas. Penganekaragaman Jenis Tanaman Sebanyak 63,5 persen responden menyatakan bahwa kemampuan petani dalam penganekaragaman jenis tanaman termasuk dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa petani kurang melakukan penganekaragaman jenis tanaman
130
yang ditanam. Dilakukannya hal tersebut karena tidak semua jenis tanaman dapat tumbuh pada lahan padas atau karst dan hanya jenis-jenis tertentu saja yang sesuai dengan kondisi lahan tersebut. Terkait penganekaragaman jenis tanaman keras, sebenarnya Perhutani telah memperkenalkan jenis tamanan lain seperti: mindi, johar, sengon dan srikaya. Meskipun jenis-jenis tanaman tersebut dapat tumbuh dengan subur, namun petani kurang tertarik untuk mengembangkan. Petani masih tertarik untuk menanam jati, mahoni dan mangga. Menurut petani, hal ini terjadi karena jenis kayu mindi, johar dan sengon harganya sangat murah dan belum ada perusahaan yang menanmpung. Petani menanam kayu tersebut hanya sebagai kayu bakar dan daunnya sebagai pakan ternak. Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan tanaman dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori tinggi yang dinyatakan sebanyak 49,5 persen responden. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah memiliki pengalaman dan keterampilan yang memadai dalam melakukan pemeliharaan tanaman. Terdapat hubungan nyata antar pemeliharaan tanaman dengan pengalaman bertani. Pemeliharaan tanaman meliputi penyulaman, pendangiran, pemupukan, penyemprotan dan pemangkasan. Kegiatan tersebut bila dilakukan secara tepat dapat meningkatkan daya tumbuh, hal tersebut dapat dilakukan oleh petani yang berpengalaman. Pemeliharaan tanaman dalam penerapan sistem agroforestri lebih efesien dibandingkan dengan tanaman monokultur (tanaman pertanian saja), karena kegiatan pemeliharaan terhadap kedua jenis tanaman dapat dilakukan secara bersama-sama. Misalnya penyemprotan dan pemupukan, meskipun hal tersebut diperuntukkan hanya untuk tanaman semusim, namum juga berpengaruh terhadap tamanan keras yang ada di sekitarnya. Efesiensi penggunaan tenaga untuk pemeliharaan tanaman tersebut tampaknya didukung oleh hubungan nyata antara pemeliharaan tanaman sistem agroforestri dengan umur petani. Petani yang berumur tua membutuhkan pekerjaan yang tidak terlalu banyak mengeluarkan energi atau kekuatan fisik. Hal tersebut dapat dipenuhi oleh kegiatan agroforestri karena intensitas pemeliharaannya rendah.
131
Pemanenan Sebanyak 50,5 persen responden menyatakan bahwa kemampuan memanen petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah memahami cara memanen dan menentukan masa panen. Petani tidak sepenuhnya melakukan pemanenan sendiri, karena proses pemanenan sangat tergantung pada hasil sistem agroforestri dan pemasaran. Hasil tanaman semusim seperti jagung, singkong dan kacang hijau langsung dijual kepada tengkulak. Pemanenan dilakukan oleh tengkulak dengan cara mengupah kepada buruh tani. Hasil tanaman semusim yang dimanfaatkan petani sebagai bahan konsumsi proses pemanenannya dilakukan oleh petani dan keluarganya. Pemanenan tanaman keras seperti jati dan mahoni dibedakan menjadi dua yaitu tebang pada masa daur dan tebang karena kebutuhan (tebang butuh). Tebang pada masa daur dilakukan petani untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sedangkan tebang butuh dijual kepada pemborong. Kedua jenis pemanenannya dilakukan dengan cara mengupah kepada buruh tebang. Hal ini dilakukan karena untuk memanen membutuhkan keterampilan dan peralatan tebang, dan hal-hal tersebut tidak semua petani maupun pemborong memilikinya. Pengembangan Pemasaran Kemampuan petani sekitar hutan dalam pengembangan pemasaran hasil produk sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang (49,5 persen) responden. Hal ini menunjukkan bahwa petani kurang optimal dalam mengembangkan pemasaran hasil sistem agroforestri, sehingga berpengaruh terhadap tingkat pendapatannya, terutama pada petani yang berumur tua. Petani berumur tua melakukan ini karena mereka kurang memiliki kemampuan berkomunikasi, pengetahuan, wawasan yang berhubungan dengan dengan jalur pemasaran. Tampaknya hal tersebut didukung oleh hubungan nyata antara pengembangan pemasaran dengan tingkat pendidikan formal dan tingkat pendidikan non formal. Petani yang berumur tua sebagian besar (66,5 persen) berpendidikan rendah dan 86,0 persen jarang mengikuti pelatihan, kondisi ini menyebabkan
mereka
memiliki
keterbatasan
dalam
menjalin
hubungan
132
komunikasi dengan pihak luar termasuk dengan para pengusaha atau pedagang besar. Akibatnya mereka kurang mampu mengembangkan pemasaran hasil sistem agroforestri. Dalam hal mengembangkan pemasaran, petani muda lebih baik dibandingkan dengan petani tua. Petani muda telah melakukan pengembangan pemasaran. Pengembangan pemasaran yang dilakukan oleh kalangan petani muda, yaitu mengembangkan pemasaran jagung dan singkong. Pemasaran jagung bekerja sama dengan perusahaan pakan ikan, sedangkan singkong dengan pabrik tepung tapioka. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani muda yang telah melakukan pengembangan pasar, ditemukan bahwa harga jagung kering ladang berkisar antara Rp. 3.700 sampai dengan Rp. 3.900 per kilogram. Harga singkong berkisar antara Rp. 1.900 sampai dengan Rp. 2.300 per kilogram. Harga jual, apabila dibeli oleh tengkulak, jagung kering ladang berkisar antara Rp. 2.900 sampai dengan Rp. 3.500 per kilogram, sedangkan singkong berkisar antara Rp. 1.500 sampai dengan Rp. 1.700 per kilogram. Paparan
tersebut
menunjukkan
bahwa
pengembangan
pemasaran,
berpengaruh pada keleluasaan petani menjual hasil panennya, karena penjualan tidak hanya tergantung pada tengkulak, pemborong atau penebas semata, tetapi dapat dilakukan kepada pihak perusahaan. Akibatnya posisi tawar (bargaining position) petani menjadi meningkat. Kondisi ini memicu petani untuk meningkatkan kinerja dalam mengelola lahan kritis dengan menerapkan sistem agroforestri. Pengembangan Kelompok Pengembangan kelompok dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori rendah (38,5 persen) responden. Kondisi ini menunjukkan bahwa kelompok tidak berkembang atau dapat dikatakan jalan di tempat. Hal tersebut terjadi karena tidak dilakukannya penertiban administrasi kelompok dan kuatnya dominasi pengurus kelompok. Pada saat dilakukan penelusuran ketertiban administrasi kelompok di seketariat kelompok yang bertempat di rumah perangkat desa, tidak ditemukan buku tamu, administrasi keanggotaan kelompok dan laporan kegiatan yang pernah dilakukan oleh kelompok. Menurut hasil wawancara, laporan kegiatan hanya
133
untuk melengkapi administrasi yang dibutuhkan oleh pihak luar yang melakukan kegiatan dengan kelompok. Administrasi yang menyangkut buku tamu dan keanggotaan kelompok tidak pernah dibuat, karena menurut pengurus semua anggota adalah penduduk setempat dan mereka sudah mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) ketika didaftar menjadi anggota kelompok. Laporan administrasi keuangan juga tidak ditemukan karena kelompok tidak memiliki uang kas. Kondisi tersebut yang menyebabkan kelompok tidak berkembang. Penyebab lainnya adalah kuatnya dominasi pengurus kelompok. Pengurus kelompok yang notabene sebagai perangkat desa tidak hanya mengurusi pengembangan kelompok semata, tetapi juga mengurusi kegiatan pemerintahan desa yang menjadi tanggung jawabnya. Meskipun demikian, menurut anggota kelompok pengurus tidak mendistribusikan kewenangannya kepada anggota yang dipercaya agar kegiatan kelompok dapat berkembang sebagaimana mestinya. Kondisi ini yang menyebabkan pengembangan kelompok tidak berjalan atau mengalami stagnasi. Tingkat Kerjasama Sebanyak 46,0 persen responden menyatakan bahwa tingkat kerjasama dalam mengelola lahan kritis dengan menerapkan sistem agroforestri termasuk dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan petani kurang optimal menjalin kerjasama antar petani maupun dengan kelompok tani. Kondisi ini terjadi karena rendahnya peran kelompok. Margono (2009) menyatakan bahwa kerjasama dilakukan untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama kelompok sebatas untuk melaksanakan yang diberikan oleh pihak lain, sementara petani sebagai anggota kelompok belum dilibatkan secara aktif. Kerjasama hanya dilaksanakan oleh pengurus kelompok. Kerjasama yang dilakukan petani dalam penerapan sistem agroforestri antara lain: pemeliharaan saluran air dan pembersihan jalan masuk lahan tegalan. Petani yang terlibat dalam kerjasama ini pada umumnya adalah petani yang lahan garapannya terletak dekat jalan tersebut atau petani yang sawahnya terletak dekat saluran. Petani lainnya tidak mengikuti kerjasama, karena harus memelihara jalan dan saluran yang dekat dengan sawah atau tegalannya sendiri. Kondisi ini yang menyebabkan kurang optimalnya tingkat kerjasama.
134
Dukungan Penyuluhan dalam Penerapan Sistem Agroforestri Dukungan penyuluhan terhadap peningkatan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis termasuk dalam kategori rendah. Hal tersebut tercemin dari enam skor rerata indikatornya rendah yaitu: tingkat kompetensi penyuluh sebesar 47,6; pemilihan pendekatan penyuluhan sebesar 48,0; pemilihan metode penyuluhan sebesar 49,3; kesesuaian materi penyuluhan sebesar 47,3; ketersediaan fasilitas penyuluhan sebesar 47,8 dan intensitas penyuluhan oleh penyuluh kehutanan PNS rata-rata satu kali dalam setahun. Dua skor rerata indikatornya sedang yaitu: fungsi kelembagaan penyuluhan sebesar 55,8 dan kerjasama penyuluhan sebesar 54,7. Sebaran dukungan penyuluhan terhadap peningkatan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 33. Tabel 33. Sebaran Dukungan Penyuluhan terhadap Peningkatan Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri No
Sub Peubah
1.
Tingkat kompetensi penyuluh
0 – 50,0
Skor rerata = 47,6
50,1 – 75,0
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Skor
Ketegori
n
Persentase (%)
Rendah
184
46,0
Sedang
175
43,7
75,1 - 100
Tinggi
41
10,3
Pendekatan penyuluhan
0 – 50,0
Tidak tepat
205
51,3
Skor rerata = 48,0
50,1 – 75,0
Cukup tepat
115
28,7
75,1 - 100
Sangat tepat
80
20,0
Metode penyuluhan
0 – 50,0
Tidak tepat
184
46,0
Skor rerata = 49,3
50,1 – 75,0
Cukup tepat
148
37,0
75,1 - 100
Sangat tepat
68
17,0
Materi penyuluhan
0 – 50,0
Tidak sesuai
209
52,3
Skor rerata = 47,3
50,1 – 75,0
Cukup sesuai
116
29,0
75,1 - 100
Sangat sesuai
75
18,7
Fasilitas penyuluhan
0 – 50,0
Tidak tersedia
192
48,0
Skor rerata = 47,8
50,1 – 75,0
Cukup tersedia
152
38,0
75,1 - 100
Banyak tersedia
56
14,0
Intensitas penyuluhan
≤ 2 kali
Jarang sekali
202
50,5
Rerata = 1 kali
3 – 4 kali
Sering
128
32,0
≥ 5 kali
Sering sekali
70
17,5
Kelembagaan penyuluhan
0 – 50,0
Rendah
135
33,8
Skor rerata = 55,8
50,1 – 75,0
Sedang
167
41,8
75,1 - 100
Tinggi
98
24,4
Kerjasama penyuluhan
0 – 50,0
Rendah
139
34,8
Skor rerata = 54,7
50,1 – 75,0
Sedang
175
43,8
75,1 - 100
Tinggi
86
21,4
Skor rerata dukungan penyuluhan = 49,8
Rendah
135
Terdapat hubungan nyata antara kelembagaan penyuluhan dengan pendidikan formal, pendidikan non formal dan keterdedahan terhadap informasi. Selain itu, terdapat pula hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara pendekatan penyuluhan dengan materi, fasilitas dan kelembagaan penyuluhan. Hubungan antara dukungan penyuluhan dengan karakteristik individu petani dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya, disajika pada Tabel 34. Tabel 34. Hubungan antara Dukungan Penyuluhan dengan Karakteristik Individu Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri
Keterangan: ** Nyata pada α=0,01; * Nyata pada α=0,05
Penyebab terjadinya hal tersebut adalah: (1) Kelembagaan penyuluhan (BP4K) belum terbentuk, sehingga penyuluhan kehutanan ditangani oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan, akibatnya penyuluhan kurang mendapat perhatian yang serius. Hal ini terjadi karena kegiatan lebih banyak difokuskan pada kegiatan teknis kehutanan dan kegiatan penyuluhan masih sebatas penunjang; (2) Terbatasnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) yang menangani penyuluhan kehutanan; (3) Rendahnya dukungan anggota dewan perwakilan rakyat terhadap penyuluhan kehutanan, berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa anggota komisi B, ternyata mereka kurang mengetahui penyuluhan kehutanan; dan (4) Sering terjadinya rotasi pejabat yang menangani penyuluh, sehingga mereka tidak punya konsentrasi untuk mengurus penyuluh secara benar.
136
Kompetensi Penyuluh Kompetensi penyuluh kehutanan untuk peningkatan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori rendah (46,0 persen) responden. Rendahnya tingkat kompetensi penyuluh kehutanan tersebut karena: (1) Penyuluh jarang mengikuti pelatihan; (2) Kebijakan alih tugas, tenaga administrasi menjadi tenaga penyuluh; (3) Pengangkatan (recruitment) tenaga penyuluh baru yang tidak didasarkan pada minat dan bakat; (4) Tidak adanya penyuluh ahli, sebagai nara sumber belajar; dan (5) Kuatnya ego sektoral antar penyuluh, hal ini terjadi karena penyuluh kehutanan merupakan hasil penggabungan antara penyuluh kehutanan dan penyuluh perkebunan. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian Marius (2007) dan Bambang Gatut (2008) yang menemukan bahwa tingkat kompetensi penyuluh khususnya penyuluh pertanian dinilai masih rendah. Ditinjau dari kompetensi dasar ternyata kompetensi penyuluh termasuk dalam kategori rendah. Hal ini terlihat dari tiga skor rerata indikatornya rendah, yaitu: komunikasi dialogis sebesar 49,3; pemberdayaan masyarakat sebesar 46,0 dan membangun jejaring kerja sebesar 47,5. Sebaran kemampuan penyuluh kehutanan menurut penguasaan kompetensi dasar selengkapnya disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Sebaran Kemampuan Penyuluh Kehutanan Menurut Penguasaan Kompetensi Dasar Penyuluhan No 1.
Sub Kompetensi Dasar Komunikasi dialogis Skor rerata = 49,3
Skor 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 - 100
2.
Pemberdayaan masyarakat Skor rerata = 46,0
0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 - 100
3.
Membangun jejaring kerja Skor rerata = 47,5
0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 - 100
Skor rerata tingkat kompetensi dasar = 47,6
Kategori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
n
Persentase (%)
166
0,42
193
0,48
41
0,10
208
0,52
140
0,35
52
0,13
211
0,53
109
0,27
80
0,20
Rendah
Tabel 35 menunjukkan bahwa ketiga kompetensi dasar tersebut cenderung termasuk kategori rendah, atau dapat dikatakan, penyuluh kehutanan kurang ptimal dalam menguasai kompetensi dasar. Oleh karena itu, ketiga kompetensi
137
dasar penyuluhan tersebut perlu mendapat perhatian serius dari Dinas Kehutanan maupun Kementerian Kehutanan sebagai induk penyuluh kehutanan. Kompetensi dasar penyuluhan yang mendesak untuk ditingkatkan adalah: membangun jejaring kerja dan pemberdayaan masyarakat, karena sebanyak (53,0 persen) penyuluh kurang menguasai kompetensi membangun jejaring kerja dan sebanyak (52,0 persen) penyuluh kurang menguasai kompetensi pemberdayaan masyarakat. Untuk meningkatkan kompetensi dasar penyuluh, dapat dilakukan melalui magang maupun pelatihan. Meskipun demikian, dapat ditempuh dengan cara belajar mandiri, dengan memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai wahana dan sumber belajar. Lingkungan sebagai sumber belajar tersebut hendaknya langsung berhubungan dengan kepentingan petani seperti: kelompok tani pembuat kompos, tengkulak dan distributor saprodi. Pendekatan Penyuluhan Sebanyak
51,3
persen
responden
menyatakan
bahwa
pemilihan
pendekatan penyuluhan untuk meningkatkan kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluh kurang menguasai pemilihan dan pengemasan pendekatan penyuluhan yang sesuai dengan kondisi petani sekitar hutan. Mardikanto (2009) menyatakan bahwa pendekatan penyuluhan dipilih dengan memperhatikan karakteristik petani, tujuan dan materi. Pendekatan penyuluhan adalah gaya yang diambil penyuluh supaya diikuti oleh sasaran. Pendekatan penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh kehutanan dengan melibatkan pengurus kelompok yang juga berprofesi sebagai perangkat desa, sedangkan petani gurem tidak dilibatkan. Pelibatan perangkat desa tersebut dengan alasan lebih mudah mengumpulkan petani di desanya dan menurut penyuluh dapat mewakili petani sebagai warga desanya. Meskipun perangkat desa dapat mewakili warga masyarakatnya namun aspirasi, kepentingan dan kebutuhan perangkat desa tidak sama dengan kebutuhan petani. Hal tersebut menyebabkan tidak tepatnya pemilihan pendekatan penyuluhan. Penyebab lainnya adalah pemilihan pendekatan penyuluhan yang disesuaikan keinginan atasan atau pemegang kegiatan sebagai contoh: kegiatan silvikultur intensif (silin) dan kebun bibit rakyat (KBR). Kedua kegiatan tersebut
138
dikendalikan oleh pejabat Dinas Kehutanan dan penyuluh berperan menyediakan data kondisi wilayah dan petani. Berdasarkan data tersebut, pemegang kegiatan menentukan petani yang berhak mendapatkan kegiatan. Hal ini berimplikasi pada pemilihan pendekatan penyuluhan yang dilakukan penyuluh. Pendekatan yang dipilih disesuaikan dengan kepentingan pemegang kegiatan dan belum tentu sesuai kepentingan petani. Metode Penyuluhan Metode penyuluhan untuk meningkatkan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri sebanyak 46,0 persen responden menyatakan tidak tepat. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluh tidak mampu memilih dan menerapkan metode penyuluhan yang sesuai dengan karakteristik petani. Terdapat hubungan nyata antara pemilihan metode penyuluhan dengan kompetensi penyuluh. Semakin tepat pemilihan metode penyuluhan semakin tinggi kompetensi penyuluh. Penyuluh yang berkompeten memiliki kemauan untuk mencoba beberapa metode penyuluhan dan kemudian menganalisisnya. Berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan tersebut, penyuluh dapat memilih dan menentukan metode-metode penyuluhan yang paling tepat digunakan. Mardikanto (2009) menyatakan bahwa tidak ada satupun metode penyuluhan yang selalu efektif digunakan untuk semua kegiatan penyuluhan tetapi perlu diterapkan secara kombinasi. Berdasarkan hasil penelusuran, ditemukan bahwa metode penyuluhan yang digunakan penyuluh cenderung sama yaitu ceramah dan metode penyuluhan yang lain kurang digunakan. Hal ini terjadi karena pemilihan metode penyuluhan hanya sebagai kelengkapan administrasi penyusunan angka kredit dan tidak menjadi salah satu komponen penting dalam penilian angka kredit itu sendiri. Di sisi lain, terdapat kondisi yang berbeda tetapi dapat diambil hikmahnya, yaitu penerapan metode belajar dengan bekerja atau learning by doing. Metode tersebut diterapkan oleh guru pamong yang bernaung di bawah Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) pada kegiatan kejar paket. Penerapan metode tersebut memadukan antara kegiatan belajar baca, tulis dan hitung (calistung) dengan kegiatan budidaya sengon, jati unggul, ternak lele dan kambing etawa. Ternyata penerapan metode belajar tersebut dapat diterima petani dan mendapatkan respon positif.
139
Mengingat kegiatan penyuluhan termasuk dalam ranah pendidikan non formal, selayaknya metode belajar dengan bekerja (learning by doing) dapat diadopsi ke bidang penyuluhan dengan melakukan modifikasi. Pengadopsian metode tersebut cukup beralasan karena warga belajar dan sasaran penyuluhan memiliki karakteristik yang sama, yaitu petani yang berada di sekitar hutan. Selain itu, metode tersebut telah dikembangkan di dunia penyuluhan pertanian dengan nama Sekolah Lapang (SL). Materi Penyuluhan Materi penyuluhan untuk meningkatkan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori rendah (41,8 persen) responden. Kondisi ini terjadi karena penyusunan materi penyuluhan kurang disesuaikan dengan kebutuhan petani tetapi lebih mementingkan kepentingan atasan dan kepentingan pribadi penyuluh. Fakta ditemukan bahwa dari 28 rencana kegiatan yang akan dilakukan oleh penyuluh yang berhubungan langsung dengan sasaran utama hanya lima kegiatan, sedangkan yang lain bersifat fisik (Dishutbun 2010). Hasil temuan ini sejalan dengan Sumardjo (2008) yang menyatakan bahwa pada era otonomi tidak sedikit ditemukan perencanaan program penyuluhan diwarnai oleh kepentingan-kepentingan pihak lain non petani. Materi penyuluhan untuk mengatasi lahan kritis yang telah diberikan kepada petani adalah budidaya tanaman hutan dan pembuatan irigasi permukaan. Kedua materi tersebut disusun berdasarkan rencana kerja penyuluhan. Melihat materi tersebut, hanya satu materi yang sesuai dengan kondisi lahan dan kebutuhan petani, yaitu budidaya tanaman hutan, sedangkan materi yang lainnya kurang sesuai dengan kebutuhan petani. Terjadinya hal tersebut, karena dalam penyusunan materi penyuluhan menyesuaikan dengan kegiatan yang telah direncanakan oleh kantor. Oleh karena itu, kompetensi penyuluh di bidang teknis atau substansi harus ditingkatkan agar memiliki dedikasi dan mampu merancang penyuluhan sesuai dengan kondisi lahan dan kebutuhan petani. Fasilitas Penyuluhan Sebanyak 48,0 persen responden menyatakan bahwa fasilitas penyuluhan untuk meningkatkan kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori tidak tersedia. Hal ini berarti bahwa penyuluh tidak mampu
140
menyiasati kekurangan fasilitas penyuluhan seperti media penyuluhan dan alat bantu penyuluhan. Mardikanto (2009) menyatakan bahwa semakin lengkap dan semakin sesuai fasilitas penyuluhan yang tersedia semakin besar efesien penyuluhan yang didapatkannya. Fasilitas penyuluhan merupakan sarana untuk memperlancar kegiatan penyuluhan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, ditemukan satu demplot persemaian di Kantor Penyuluh Kehutanan Kecamatan Kayen, sedangkan di Kantor Penyuluh Kecamatan yang lain tidak tersedia. Meskipun di Kecamatan Kayen tersedia demplot persemaian namun demplot sudah tidak berfungsi lagi, Demplot tersebut hanya ditumbuhi rumput, sedangkan bibit tidak tersedia. Terkait dengan gubuk kerja sebagai tempat untuk pertemuan dengan petani, ditemukan di beberapa desa di Kecamatan Kayen, Sukolilo dan Pucak Wangi. Gubuk kerja di Kecamatan Kayen kondisinya sudah rusak. Hal yang sama juga ditemukan di Kecamatan Sukolilo, sedangkan di Kecamatan Pucak Wangi kondisinya cukup layak untuk melakukan penyuluhan. Sementara di sisi lain, ditemukan demplot persemaian yang dikelola oleh penyuluh pribadi dalam kondisi layak, dan dapat difungsikan sebagai fasilitas penyuluhan. Hal serupa juga ditemukan demplot pembuatan pupuk kompos yang dikelola oleh ketua kelompok tebu. Kondisi ini terjadi karena kedua demplot tersebut dikelola dengan sistem bisnis, sehingga hasil dari demplot dapat untuk membiayai pemeliharaan dan pengembangan usaha. Intensitas Penyuluhan Sebanyak 54,3 persen responden menyatakan bahwa intensitas penyuluhan yang dilakukan oleh penyuluh (PNS) dalam satu tahun akhir termasuk jarang sekali.
Rendahnya
intensitas
penyuluhan
tersebut
disebabkan
oleh:
(1) Penyuluhan yang dilakukan tergantung dari kegiatan atau proyek; (2) Tergantung dana bantuan operasional penyuluh (BOP); (3) Tergantung dari perintah atasan, yaitu berdasarkan rencana kerja semata. Penyuluh belum tertarik untuk mengembangkan penyuluhan sebagai wahana untuk meningkatkan kompetensinya; dan (4) Jumlah desa yang ditangani penyuluh kurang ideal. Berikut disampaikan sebaran penyuluh kehutanan pada masing-masing kecamatan dan desa selangkapnya disajikan pada Tabel 36.
141
Tabel 36. Sebaran Penyuluh Kehutanan Menurut Tempat Tugas dan Jumlah yang Terdapat di Pegunungan Kendeng No
Kecamatan
Jumlah Penyuluh (orang)
Jumlah Desa (buah)
1.
Sukolilo
2
16
2.
Kayen
2
17
3.
Tambakromo
3
18
4.
Winong
1
16
5. Pucak Wangi 1 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Pati 2010
20
Di sisi lain ditemukan pengurus kelompok tani yang notabene adalah perangkat desa yang diangkat menjadi penyuluh swadaya oleh Perhutani dalam kegiatan LMDH. Hal yang sama juga dilakukan oleh perusahaan saprodi yang mengangkat pengurus kelompok tani sebagai penyuluh swasta dan sekaligus distributor. Keberadaan kedua penyuluh tersebut cukup membantu petani yang sedang menghadapi permasalahan dalam pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri. Hal ini terjadi karena kedua penyuluh tersebut dapat ditemui setiap saat tanpa mengenal waktu, sebab mereka merupakan penduduk setempat. Selain itu, kedua penyuluh tersebut telah mengenal secara baik kondisi wilayah, adat budaya dan karakteristik individu petani, sehingga mereka dapat diterima secara baik oleh petani setempat. Sebenarnya penyuluh “swadaya dan swasta” tidak diketahui oleh petani. sebutan penyuluh tersebut berasal dari pengurus kelompok, Perhutani dan perusahaan saprodi, sedangkan petani gurem mengenalnya sebagai perangkat desa dan pengurus kelompok tani. Hal ini terjadi karena petani merasa bahwa kelompok tani tersebut merupakan perpanjangan tangan Perhutani dan perusahaan saprodi yang ada di desa mereka. Hal tersebut terekam dalam wawancara dengan salah satu anggota kelompok tani hutan yang tergabung dalam kegiatan LMDH, disajikan pada Kotak 2. Kotak 2. …….Bapak Smd menjadi anggota LMDH kurang lebih 10 tahun yang lalu. Menjadi anggota kelompok LMDH karena diminta oleh Pak Kepala Desa. Setiap ada pertemuan dengan Perhutani, Pak Kepala Desa yang selalu memberikan ceramah, beliau merupakan wakil Perhutani yang ada di desa kami. Di desa kami belum ada penyuluh swadaya atau swasta, karena semua kegiatan yang melaksanakan pengurus kelompok tani.
142
Kotak 2 menggambarkan bahwa petani tidak mengetahui keberadaan penyuluh swasta maupun swadaya. Hal ini terjadi karena yang menjadi penyuluh tersebut adalah perangkat desa. Selain itu, keberadaan kedua penyuluh masih sebatas menjalankan amanah dari lembaga yang mengangkatnya. Akibatnya, petani merasa kalau perangkat desa tersebut adalah perpanjangan tangan dari lembaga tertentu misalnya Perhutani atau perusahaan saprodi. Kelembagaan Penyuluhan Sebanyak 41,8 persen responden menyatakan bahwa kelembagaan penyuluhan dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis termasuk dalam kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa kelembagaan penyuluhan kurang berfungsi secara optimal dalam memfasilitasi dan mendukung penyuluhnya. Penyebabnya adalah belum terbentuknya badan pelaksana penyuluhan (Bapeluh), sehingga kelembagaan penyuluhan kurang mendapat perhatian yang serius. Selain itu, kurang optimalnya fungsi kelembagaan penyuluhan juga disebabkan oleh rendahnya kompetensi penyuluh dan tidak tersedianya fasilitas penyuluhan. Kondisi kedua hal tersebut tampaknya didukung oleh hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara kelembagaan penyuluhan dengan tingkat kompetensi penyuluh dan ketersediaan fasilitas penyuluhan. Tersedianya penyuluh yang kompeten dan didukung oleh fasilitas penyuluhan yang memadai, niscaya kelembagaan penyuluhan dapat berfungsi secara baik. Mengacu pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006, kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten adalah badan pelaksana penyuluhan (Bapeluh), penyuluh swadaya dan penyuluh swasta. Meskipun demikian, sampai dengan saat ini Bapeluh belum terbentuk, oleh karena itu fungsi penyuluhan kehutanan dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang sekaligus menjadi induk organisasi penyuluh kehutanan PNS. Di sisi lain, ditemukan penyuluh swadaya dan penyuluh swasta yang dibentuk tidak sesuai dengan tuntutan dari Undang-undang tersebut. Penyuluh swadaya dibentuk dan dikendalikan oleh Perhutani dan melakukan penyuluhan sesuai dengan tugas yang diberikan oleh Perhutani. Penyuluh swasta dibentuk dan dikendalikan oleh perusahaan saprodi. Penyuluh ini juga menjadi distributor produk dari perusahaan saprodi tersebut. Idealnya kedua penyuluh tersebut berasal
143
dari petani maju yang independen sehingga tidak terikat dan diinterpensi oleh lembaga lain. Hal ini akan lebih mengefektifkan kerja penyuluhan karena tidak ditunggangi oleh hal-hal yang bersifat propaganda maupun promosi suatu produk. Kerjasama Penyuluhan Kerjasama penyuluhan dalam penerapan sistem agroforestri pada lahan kritis termasuk dalam kategori sedang (43,8 persen) responden. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluh kurang optimal dalam melaksanakan kerjasama dengan lembaga lain untuk membantu petani. Keterbatasan tersebut terjadi karena kelembagaan penyuluhan tidak memberikan dukungannya secara penuh dan kemampuan penyuluh untuk membangun jaringan kerjasama tergolong lemah. Sampai dengan saat ini kerjasama penyuluhan masih terbatas. Kerjasama penyuluhan hanya dilakukan dengan kelompok tani. Kerjasama penyuluhan ini dilakukan untuk melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan proyek seperti: pelaksanaan KBR, penerapan silvikultur intensif, dan gerhan. Sementara itu, penyuluh kehutanan (PNS) belum melakukan kerjasama dengan Perhutani, perusahaan saprodi dan SKB juga dengan lembaga-lembaga lain yang terkait. Jika lembaga-lembaga tersebut dapat melakukan kerjasama dengan penyuluh PNS, maka kegiatan penyuluhan akan lebih efektif. Kerjasama ini diperlukan untuk mengatasi kekurangan fasilitas, ketidaksesuaian metode, ketidaktepatan materi dan pendekatan, sekaligus dapat meningkatkan kompetensi penyuluh kehutanan. Kinerja Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri Tingkat kinerja petani dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis termasuk kategori rendah. Hal ini tercermin dari tiga skor rerata indikatornya rendah, yaitu: tingkat pendapatan petani sebesar Rp. 4,9 juta per tahun, tingkat keragaman jenis pangan sebesar 38,2 dan terjalinnya jejaring bisnis sebesar 36,8. Dua skor rerata indikatornya termasuk sedang, yaitu: persentase luas lahan ditanami sebesar 68,1 dan persentase tegakan tumbuh sehat sebesar 60,9. Sebaran kinerja petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 37.
144
Tabel 37. Sebaran Tingkat Kinerja Petani Sekitar Hutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri No
Sub Peubah
1.
Tingkat pendapatan Rataan = 4,9 juta rupiah
2.
Persentase luas lahan ditanami Skor rerata = 68,1
3.
Persentase tegakan yang sehat Skor rerata = 60,9
4.
Tingkat keragaman pangan Skor rerata = 38,2
5.
Tumbuhnya jaringan usaha Skor rerata = 36,8
Skor rerata kinerja petani = 50,0
Skor ≤ 5 juta 5,1 – 5,9 juta ≥ 6 juta 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100,0 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100,0 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100,0 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100,0
Ketegori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
n
Persentase (%)
231 148 21 84 98 218 92 211 97 283 75 42 294 71 35
57.8 37,0 5,2 21,0 24,5 54,5 23,0 52,8 24,2 70,6 18,8 10,4 73,5 17,8 8,7
Rendah
Terdapat hubungan nyata antara persentase tegakan tumbuh sehat dengan umur petani, pengalaman bertani dan pengalaman melaksanakan agroforestri. Selain itu, terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara persentase luas lahan yang ditanami dengan tingkat pendapatan dan persentase tegakan tumbuh sehat. Hubungan antara tingkat kinerja petani dengan karekteristik individu petani dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Hubungan antara Tingkat Kinerja Petani dengan Karakteristik Individu Petani dalam Penerapan Sistem Agroforestri.
Keterangan: ** Nyata pada α=0,01; * Nyata pada α=0,05
145
Tingkat Pendapatan Petani Sebanyak 54,5 persen responden menyatakan bahwa tingkat pendapatan petani sekitar hutan dalam penerapan sistem agroforestri sebesar lima juta rupiah ke bawah per tahun, tingkat pendapatan tersebut termasuk dalam kategori rendah. Rendahnya tingkat pendapatan petani tersebut, karena: (1) Petani kurang menguasai jalur pemasaran, sehingga mereka tergantung pada tengkulak, penebas dan pedagang hewan, akibatnya petani tidak memiliki daya tawar yang tinggi; (2) Komoditas yang ditanam kurang sesuai dengan permintaan pasar; (3) Petani tidak menjual hasil sistem agroforestri dengan cara berkelompok; (4) Petani menjual hasil panen dalam bentuk barang mentah; (5) Penyuluh yang diharapkan memberikan informasi harga pasar dan membawa inovasi-inovasi, ternyata tidak melakukan tugas sebagaimana mestinya; (6) Harga saprodi terus mengalami kenaikan, terutama bibit/benih dan pestisida; dan (7) Upah tenaga kerja buruh tani cukup tinggi, berkisar antara Rp. 35.000 sampai dengan Rp. 45.000 per hari. Pendapatan petani dari penerapan sistem agroforestri berasal dari hasil panen tanaman semusim, tanaman keras dan ternak. Pendapatan hasil tanaman semusim diperoleh petani dari penjualan jagung dan singkong. Petani menjual panen jagung dalam setahun sebanyak tiga kali dan menjual singkong sebanyak satu kali. Hasil penjualan kedua tanaman semusim inilah merupakan sumber pendapatan yang dapat terlihat langsung oleh petani. Pada saat ini, pendapatan petani dari tanaman keras berasal dari hasil penjualan rencek dan hasil penjarangan, karena pohon berumur kurang lebih sepuluh tahun. Walaupun pendapatan dari hasil kayu belum terlihat nyata, namun nilai jualnya dapat diperhitungkan berdasarkan diameternya sehingga kontribusi penghasilan tanaman keras dapat diperhitungkan oleh petani. Kontribusi pendapatan dari ternak, diperoleh petani dalam kurun waktu dua sampai dengan tiga tahun sekali. Meskipun pendapatan dari ternak juga belum terlihat nyata, namun nilai jualnya dapat diperhitungkan berdasarkan kondisi fisiknya. Selain itu, ternak juga dapat berfungsi sebagai tabungan hidup yang dapat dijual oleh petani apabila ada kebutuhan yang mendesak.
146
Persentase Luas Lahan Ditanami Sebanyak 54,8 persen responden menyatakan bahwa persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri termasuk dalam kategori tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa petani telah menyadari dan merasakan manfaat dari hasil penanaman lahan kritis dengan sistem agroforestri. Tingginya persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri pada lahan kritis tersebut karena: petani telah berpengalaman dalam bertani dan melaksanakan kegiatan agroforestri, serta lahan garapan petani bertambah luas setelah menjadi anggota kelompok tani hutan yang tergabung pada LMDH. Petani telah lama mengenal sistem agroforestri, yaitu dengan nama tumpang sari, atau dapat dikatakan petani telah berpengalaman panjang dalam penerapan sistem agroforestri. Melalui pengalamannya tersebut, petani dapat merasakan manfaat menanam tanaman campuran dibandingkan dengan menanam tanaman monokultur. Karena hal tersebut, maka persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri semakin bertambah. Lahan garapan petani bertambah luas setelah diperolehnya hak pengelolaan lahan milik Perhutani. Lahan garapan tersebut oleh petani ditanami dengan jenis tanaman semusim seperti: jagung, singkong dan kacang hijau. Akibatnya, lahan milik petani tidak hanya ditanami dengan tanaman semusim melainkan ditanami juga dengan tanaman keras seperti: jati, mahoni, mangga dan rambut. Keadaan inilah yang menyebabkan bertambahnya persentase luas lahan yang ditanami dengan sistem agroforestri. Faktanya, luas hutan rakyat campuran dengan sistem agroforestri semakin meningkat, hal ini didukung data Bappeda (2010) yang menyatakan bahwa pada tahun 2006 luas hutan rakyat sebesar 1.667 hektar, dan tahun 2009 menjadi 4.545 hektar. Mengacu beberapa penjelasan dan bukti tersebut, dapat ditarik suatu benang merah bahwa: terbentuknya sistem agroforestri sederhana pada lahan kritis di Pegunungan Kendeng disebabkan oleh: (1) Sebagian besar petani berumur tua atau di atas 50 tahun; (2) Generasi muda kurang berminat dan tertarik menjadi petani; (3) Petani memiliki pengalaman dan keterampilan yang memadai di bidang agroforestri; dan (4) Lahan garapan petani bertambah luas.
147
Persentase Tegakan Tumbuh Sehat Persentase tegakan yang tumbuh sehat dalam sistem agroforestri termasuk dalam katergori sedang (52,8 persen) responden. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah memahami kondisi lahan dan memiliki keterampilan yang memadai dalam mengelola lahan kritis dengan menerapkan sistem agroforestri. Meningkatnya persentase tegakan yang tumbuh sehat di lahan-lahan tegalan milik petani tidak terlepas dari kesesuaian jenis tanaman dengan kondisi lahannya. Kondisi lahan tegalan yang bertanah padas dan mempunyai iklim yang cenderung panas, hanya dapat ditanami dengan jenis tanaman yang tahan kekeringan dan kurang membutuhkan air. Jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi tersebut yaitu jati dan mahoni. Kemampuan atau keterampilan petani dalam mengelola lahan kritis juga berperan dalam meningkatkan persentase tegakan yang tumbuh sehat. Melalui keterampilannya, petani mampu melakukan penyiapan lahan, proses penanaman dan pemeliharaan secara teratur, sehingga tanaman tumbuh subur dan sehat. Selain itu, panjangnya pengalaman petani melaksanakan sistem agroforestri juga berpengaruh terhadap persentase tegakan tumbuh sehat. Melalui pengalaman yang dimilikinya tersebut, petani mampu memilih jenis bibit yang sesuai dengan kondisi lahan, menyiapkan lahan secara baik dan memelihara tanaman sesuai dengan kebutuhan tanaman. Keragaman Jenis Pangan Sebanyak 47,5 persen responden menyatakan bahwa keragaman jenis pangan yang dihasilkan dari penerapan sistem agroforestri termasuk dalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa petani kurang memanfaatkan berbagai jenis bahan pangan hasil penerapan sistem agroforestri. Rendahnya keragaman jenis bahan pangan hasil sistem agroforestri tersebut disebabkan oleh: budaya turun temurun mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokok; tingkat kepraktisan dan ketahanan bahan pangan dalam penyimpanan; dan jenis komoditas jagung, singkong dan gembili telah memiliki nilai jual yang tinggi. Hasil tanaman semusim di Pegunungan Kendeng lebih didominasi oleh jagung, singkong, gembili dan senthik dibandingkan dengan padi. Meskipun demikian, petani kurang tertarik hasil sistem agroforestri tersebut sebagai bahan
148
pangan, namun petani lebih memilih beras sebagai bahan pangan. Hal ini terjadi karena budaya turun temurun mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan. Petani mengkonsumsi jenis bahan pangan jagung, singkong, gembili dan senthik hanya “dianggap” sebagai bahan pangan selingan. Kondisi inilah, yang menyebabkan rendahnya keragaman jenis bahan pangan sistem agroforestri. Hal lain yang menyebabkan rendahnya keragaman jenis bahan pangan hasil sistem agroforestri adalah kepraktisan dan ketahanan bahan pangan dalam penyimpanan. Hasil tanaman semusim seperti: jagung, singkong, gembili dan senthik tidak praktis dan tidak tahan lama dalam penyimpanan, bila dibandingkan dengan padi atau beras, karena jagung dan singkong rawan terhadap hama kumbang tepung. Selanjutnya, hasil agroforestri berupa jagung, singkong dan gembili, pada saat ini telah laku di pasaran dan memiliki nilai jual yang tinggi. Jagung dibeli oleh perusahaan sebagai bahan baku pakan ikan. Singkong dibeli oleh pabrik tapioka sebagai bahan baku tepung, dan gembili dibeli oleh industri kerajinan rumah tangga sebagai bahan baku keripik. Hasil penjualan ketiga bahan pangan ini digunakan untuk membeli beras dan untuk memenuhi kebutuhan lain seperti membayar uang sekolah, pakaian dan modal usaha bertani. Kondisi ini yang menyebabkan rendahnya keragaman jenis bahan pangan sistem agroforestri. Berdasarkan temuan ini, maka program penyuluhan ke depan diharapkan diarahkan pada sistem pengolahan bahan pangan, sehingga petani tidak tergantung pada satu jenis bahan pangan beras. Ketergantungan pada satu bahan pangan tersebut berdampak pada kekurangan pangan atau bahaya kelaparan jika terjadi musim kemarau panjang yang menyebabkan gagal panen padi. Terjalinnya Jejaring Bisnis Sistem Agroforestri Terjalinnya jejaring bisnis sistem agroforestri termasuk dalam kategori rendah (51,5 persen) responden. Hal ini menunjukkan bahwa petani tidak mampu menjalin hubungan komunikasi dengan pihak luar. Akibatnya sistem pemasaran dan penerapan inovasi pengelolaan lahan tidak berkembang yang menyebabkan tingkat pendapatan petani rendah.
149
Sebagian besar (86,0 persen) responden mempunyai tingkat pendidikan formal rendah atau setara lulus SD. Kondisi ini menyebabkan rendahnya kemampuan berkomunikasi dengan pihak lain, padahal komunikasi merupakan sarana untuk menumbuhkan kepercayaan dengan pihak lain. Tumbuhnya rasa kepercayaan tersebut menjadi modal untuk menjalin hubungan kerjasama dan membangun jejaring bisnis. Kurangnya kemampuan petani berkomunikasi menyebabkan tidak terbentuknya jejaring bisnis sistem agroforestri yang menguntungkan mereka. Selain itu, penyebab tidak terbentuknya jejaring bisnis dalam sistem agroforestri adalah rendahnya keberanian mengambil risiko. Petani yang berani mengambil risiko adalah petani yang memiliki modal atau memiliki tingkat pendapatan yang tinggi. Hal ini hanya dilakukan oleh petani yang berumur muda. Melalui modal keberaniannya, petani muda ini juga mengembangkan inovasi pengelolaan lahan dengan menamam tanaman semangka dan melon. Hal ini tidak dilakukan oleh petani tua, karena mereka memiliki modal yang terbatas dan tidak berani mengambil risiko. Keberlanjutan dalam Penerapan Sistem Agroforestri Tingkat keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis termasuk dalam kategori sedang. Kondisi ini tercermin dari tiga skor rerata indikatornya sedang, yaitu: nilai ekonomi sebesar 63,9; nilai sosial sebesar 63,3 dan nilai lingkungan sebesar 62,4. Sebaran keberlanjutan penerapan sistem agroforestri di lahan kritis selengkapnya disajikan pada Tabel 39. Tabel 39. Sebaran Keberlanjutan Penerapan Sistem Agoforestri di Lahan Kritis No 1.
Sub Peubah Ekonomi Skor rerata = 63,9
2.
Sosial Skor rerata = 63,3
3.
Lingkungan Skor rerata = 62,4
Skor 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100 0 – 50,0 50,1 – 75,0 75,1 – 100
Skor rerata keberlanjutan = 62,3
Ketegori Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Sedang
n
Persentase (%)
91 137 172 89 163 148 90 159 151
22,8 34,2 43,0 22,3 40,7 37,0 22,4 39,8 37,8
150
Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif, antara kebelanjutan nilai sosial dengan umur petani, tingkat pendidikan formal petani, pengalaman melaksanakan agroforestri dan nilai ekonomi. Hubungan antara keberlanjutan sistem agroforestri dengan karakteristik individu petani dalam penerapan sistem agroforestri selengkapnya disajikan pada Tabel 40. Tabel 40. Hubungan antara Keberlanjutan Sistem Agroforestri dengan Karakteristik Individu Petani dalam Sistem Agroforestri Aspek Keberlanjutan
Aspek Keberlanjutan Ekonomi
Sosial
Lingkungan
Umur
0,010
0,476**
0,508**
Pendidikan formal
0,438*
0,462**
-0,142
Pendidikan non formal
0,301
0,422*
0,227
Pengalaman bertani
0,136
0,417*
0,284
Pengalaman agroforestri
0,105
0,628**
0,389*
Keterdedahan thd informasi
0,412*
0,205
0,415*
1
0,565**
-0,382*
1
0,215
Karakteristik Individu
Ekonomi Sosial Lingkungan
1
Keterangan: ** Nyata pada α=0,01; * Nyata pada α=0,05
Aspek Ekonomi Sebanyak 43,0 persen responden menyatakan bahwa nilai ekonomi keberlanjutan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis termasuk dalam kategori tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa petani telah mampu merasakan dan menghitung nilai ekonomi penerapan sistem agroforestri dalam waktu relatif cepat. Nilai ekonomi keberlanjutan sistem agroforestri berupa sumber pendapatan petani dan ketersediaan lapangan kerja. Hasil praktek sistem agroforestri yang berasal dari tanaman semusim, seperti: jagung, singkong, kacang hijau dan gembili; tanaman keras seperti: jati dan mahoni; dan ternak seperti: kambing dan sapi. Nilai ekonomi sistem agroforestri tersebut dapat dilihat dan diperhitungkan oleh petani melalui kondisi fisik dan nilai jualnya. Ketiga hasil sistem agroforestri tersebut menjadi sumber pendapatan utama bagi petani dan keluarganya. Melalui pendapatan tersebut, petani dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk mendapatkan modal untuk mengelola lahan.
151
Manfaat lain dari praktek sistem agroforestri adalah tumbuhnya lapangan kerja bagi petani gurem sebagai buruh tani. Keterlibatan buruh tani sebagai tenaga kerja terlihat dari kegiatan: menyiapkan lahan, melakukan penanaman, pemanenan dan pengangkutan. Tersedianya lapangan kerja untuk mereka, maka petani gurem tersebut dapat meningkatkan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan sekaligus dapat menyekolahkan anak-anaknya. Aspek Sosial Sebanyak 40,7 persen responden menyatakan bahwa aspek sosial yang menjamin keberlanjutan sistem agroforestri pada lahan kritis termasuk kategori sedang. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan sistem agroforestri telah mengakomodasi kepentingan sosial yang terdapat dalam kehidupan petani. Hairiah et al. (2003) menyatakan bahwa nilai sosial sistem agroforestri menempatkan petani sebagai subyek, secara aktif berupaya meningkatkan kapasitasnya agar dapat memenuhi kebutuhan dan meraih peluang hidup yang lebih baik. Praktek sistem agroforestri telah dikenal dan dilakukan oleh petani secara turun temurun dengan sebutan tumpang sari. Sebagai bentuk pertanian tradisional, petani melakukan tumpang sari di tegalan dan pekarangan rumah. Fenomena ini, umum dilakukan oleh petani di Pegunungan Kendeng, sehingga pekarangan rumahnya terlihat menyerupai kebun-kebun campuran (home garden). Kebun campuran tersebut merupakan wujud pengalaman lokal yang dihasilkan oleh petani yang kemudian menjadi salah satu bentuk sistem agroforestri. Hal tersebut menyebabkan terpeliharanya aspek sosial keberlanjutan sistem agroforestri. Aspek sosial lain dari penerapan sistem agroforestri adalah terjadinya intensitas hubungan sosial antar petani. Petani sebagai makhluk sosial membutuhkan petani yang lain. Kebutuhan itu tidak hanya sekedar berkumpul atau bertemu semata, tetapi dibarengi adanya proses alih keterampilan dari petani satu ke petani lainnya. Contohnya adalah alih keterampilan penanaman jagung dengan sistem TOT. Alih keterampilan tersebut sangat membantu petani untuk mengelola lahannya karena dapat menghemat biaya pengelolaan dan hasil panennya secara optimal.
152
Praktek sistem agroforestri yang dilakukan oleh petani pada lokasi yang berdekatan dengan tempat-tempat yang dikeramatkan oleh petani seperti punden, gua-gua, dan makam-makam, menunjukkan adanya kepedulian terhadap tradisi budaya yang masih kuat dianut oleh petani. Petani menggunakan tempat-tempat tersebut sebagai sarana ritual untuk menghormati leluhurnya, sehingga mereka berusaha menjaga dan melestarikannya. Terakomodasinya kebutuhan rohani petani ini menyebabkan terjaminnya aspek sosial keberlanjutan sistem agroforestri. Aspek Lingkungan Keberlanjutan aspek lingkungan dalam penerapan sistem agroforestri di lahan kritis termasuk dalam kategori sedang (39,8 persen) responden. Hal ini menunjukkan, bahwa petani kurang merasakan dan memahami sepenuhnya dampak aspek lingkungan dari penerapan sistem agroforestri. Kurangnya petani merasakan manfaat aspek lingkungan disebabkan oleh sering terjadinya banjir di Pegunungan Kendeng. Kondisi ini terjadi karena pada saat ini tanaman jati dan mahoni milik Perhutani baru berumur antara sepuluh sampai dengan sebelas tahun, sehingga perakarannya diduga tidak mampu menahan dan menyerap air hujan. Lahan-lahan tegalan milik petani yang dikelola dengan sistem agroforestri, juga tidak mampu menahan derasnya air hujan karena umur pepohonannya kurang lebih sepuluh tahun dan lokasi lahannya terpisahpisah. Penyebab lainnya adalah kurang tersedianya unsur hara yang terdapat di lahan-lahan tegalan petani. Serasah atau dedaunan tanaman keras merupakan bahan penghasil unsur hara tetapi untuk menjadi hara tersebut serasah harus melalui proses membusuk dahulu yang membutuhkan waktu relatif lama. Sementara itu, petani memerlukan unsur hara tersebut secepatnya untuk menanam jagung atau kacang hijau. Akibatnya, sebelum menanam jagung atau kacang hijau petani harus memupuk lahan tegalannya dengan pupuk kompos atau pupuk kandang untuk menyediakan hara yang dibutuhkan oleh tanaman tersebut. Hal ini yang menyebabkan kurangnya manfaat aspek lingkungan yang dapat dirasakan oleh petani.
153
Terdapat hubungan nyata (α=0,01) dan positif antara aspek lingkungan dengan umur petani. Semakin tua umur petani semakin tinggi keberlanjutan aspek lingkungan. Petani yang berumur tua telah mengalami berbagai peristiwa akibat rusaknya kondisi lingkungan. Hal tersebut mendorong petani untuk melakukan pemeliharaan lingkungan secara teratur agar tidak terjadi bencana akibat rusaknya lingkungan sehingga manfaat nilai lingkungan dapat dirasakan oleh petani. Terdapat hubungan nyata dan negatif antara aspek lingkungan dengan aspek ekonomi. Semakin tinggi aspek ekonomi semakin rendah aspek lingkungan. Manfaat aspek lingkungan dalam penerapan sistem agroforestri tidak dapat dinikmati secara langsung oleh petani dalam waktu yang singkat. Petani merasakan manfaat tersebut ketika terjadi bencana. Kondisi tersebut terjadi, karena petani memandang dan memperlakukan sistem agroforestri dari nilai ekonomi, sehingga mereka lebih mementingkan penghasilan dan kurang memperhatikan lingkungan. Oleh karena itu, ketika petani lebih mementingkan kepentingan ekonomis maka lingkungan akan terabaikan.