II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Pandan Buah pandan tersusun dalam karangan berbentuk bulat, seperti buah durian. Ukuran tumbuhan ini bervariasi, mulai dari 50 cm hingga 5 meter, bahkan di Papua banyak pandan hingga ketinggian 15 meter. Daun pandan selalu hijau (hijau abadi, evergreen), sehingga beberapa di antaranya dijadikan tanaman hias Ada 600 jenis pandan di seluruh dunia, di antaranya pandan wangi, pandan laut dan pandan berduri. Tiap pohon pandan mempunyai rata-rata daun sebanyak 300 lembar dan buah 8 – 12 per tahun (Englbelger et al., 2005). Pandanus tectorius atau disebut juga pandan laut. Secara taksonomi pandan laut termasuk kelas Liliopsida (monokotil), ordo Pandanales dari genus Pandanus. Asal mula tanaman ini dari Australia Timur dan Kepulauan Pasifik. Jenis pandan ini merupakan salah satu sumber daya yang dipergunakan secara luas untuk produksi tenun, makanan, dan obat-obatan. Bagian akar dapat dibuat jus untuk mengobati peradangan kulit. Bunga jantan pada tanaman ini dapat dicampur dengan akarnya, dan digunakan untuk obat pencahar/pencuci perut. Keunikan bunga pada jenis pandan ini bisa dibedakan jenis jantan dan betinanya. Bunga jantan bentuknya kecil, wangi dan hanya hidup satu hari sedangkan bunga betinanya menyerupai nanas. Buah pandan laut berbentuk agak bulat dan memiliki kulit berserat luar seperti duri. Buah ini dapat bertahan selama berbulan-bulan (Ken, 2010). Pandan merupakan salah satu jenis tanaman perdu, dapat tumbuh pada berbagai agroekosistem dan daerah penyebaran yang sangat luas (Mogea, 1982). Kegunaan 4
tanaman pandan adalah sebagai bahan baku produk-produk makanan dan serat tekstil (Stone, 1999). Di Indonesia tanaman pandan umumnya digunakan sebagai bahan baku industri anyaman yang sangat prospektif sebagai komoditas ekspor (Rahayu dan Sumiasri, 2004). Buah pandan dari sembilan kultivar pandan mengandung karotenoid yang sangat bervariasi antara 62-19,086 µg β-karotene/100g. Secara umum semakin tinggi kandungan karoten semakin pekat warna buah pandan (Englbelger et al., 2005). Buah pandan yang sudah matang bersifat lengket dengan rasa manis asam, berwarna kuning pucat sampai oranye bahkan sampai merah. Di Papua Nugini dan Solomon buah pandan dikonsumsi dalam bentuk segar atau yang sudah diolah (Thomson et al., 2006). Buah pandan disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Buah pandan (Anon., 2013) 2.2 Pewarna Alami Karotenoid Warna merupakan salah satu parameter selain cita rasa, tektur dan nilai nutrisi yang menentukan persepsi konsumen terhadap suatu bahan pangan. Penambahan zat pewarna pada makanan digunakan untuk menutupi perubahan warna akibat paparan cahaya, udara, atau temperatur yang ekstrim akibat proses pengolahan dan penyimpanan, memperbaiki variasi alami warna, membuat identitas produk pangan, menarik minat konsumen dengan pilihan warna yang menyenangkan, dan menjaga
5
rasa dan vitamin yang mungkin akan terpengaruh sinar matahari selama produk di simpan. Zat pewarna alami adalah zat warna yang diproleh dari alam seperti hewan, mineral-mineral dan tumbuhan baik secara langsung maupun tidak langsung. Zat pewarna alami ini diperoleh dengan cara ekstraksi atau perebusan secara tradisional. Bagian-bagian tanaman yang dapat dipergunakan untuk zat pewarna alami adalah kulit kayu, batang, daun, akar, bunga , biji dan getah. Setiap tanaman dapat merupakan sumber zat warna alami karena mengandung pigmen alami. Pemakaian zat warna alami masih diyakini lebih aman daripada zat sintetis karena sifatnya yang non karsinogen (Sutara, 2009). Pigmen alami yang terdapat pada pewarna alami dapat menjadi salah satu pilihan untuk meningkatkan ketahanan dan kualitas pangan karena pigmen alami merupakan salah satu zat non gizi yang mampu memberikan nutrisi bagi tubuh. Pigmen alami juga terbukti aman, baik sebagai makanan maupun pewarna makanan dibandingkan pewarna sintetis yang dapat bersifat karsinogen. Jenis zat warna alami yang sering digunakan untuk pewarna makanan antara lain ialah karotenoid, antosianin, betalain dan klorofil. Karotenoid adalah kelompok zat warna yang dapat larut dalam lipida, berasal dari hewan dan tanaman yang dapat menjadi antioksidan alami untuk meredam radikal bebas, menyebabkan warna kuning, oranye dan merah pada tanaman. Karotenoid meliputi kelompok hidrokarbon yang disebut karoten dan turunan oksigenasinya berupa xantofil. Keduanya terdiri atas delapan satuan-satuan isoprene yang tersusun sedemikian rupa sehingga bagian tengah molekul tersebut membagi 6
molekul menjadi dua bagian yang sama tetapi dalam posisi yang berlawanan (Sofro et al., 1992). Kebanyakan jenis karotenoid yang terdapat di alam adalah fukoxantin pada lumut, dan tiga macam yang lazim pada daun-daun yaitu lutein, violaxantin, dan neoxantin. Jenis karotenoid yang terdapat pada tanaman dan hewan tetapi dalam jumlah yang sedikit adalah β-karoten dan zeaxantin. Beberapa karotenoid yang terdapat pada tanaman adalah likopen pada buah tomat, kapxantin pada lombok merah dan bixin pada bunga annatto. Struktur kimia β-karoten disajikan pada Gambar 2, struktur kimia likopen disajikan pada Gambar 3 dan struktur kimia xantofil disajikan pada Gambar 4.
Gambar 2. Struktur kimia β-karoten (Elbe and Schwartz, 1996)
Gambar 3. Struktur kimia likopen (Elbe and Schwartz, 1996)
Gambar 4. Struktur kimia xantofil (Elbe and Schwartz, 1996) 2.3 Sifat Karotenoid Karotenoid tahan terhadap basa dan mudah teroksidasi karena mempunyai banyak ikatan rangkap terkonyugasi. Beberapa reaksi oksidasi mengakibatkan kehilangan warna pada makanan. Aktivitas enzim terutama lipoksigenase
7
mempercepat degradasi pigmen karotenoid. Karotenoid agak stabil terhadap panas, mudah mengalami isomerisasi oleh panas, asam, dan sinar (Elbe and Schwartz, 1996). 2.4 Manfaat Karotenoid Karotenoid memiliki banyak manfaat yaitu sebagai prekursor vitamin A, antioksidan, peningkatan daya tahan tubuh, dan mengurangi resiko kanker (Ravi et al., 2010). Selain itu karotenoid juga banyak digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan yaitu sebagai pewarna makanan (Mortensen, 2006). Karotenoid, seperti βkaroten dan alpha karoten, dan fukoxantin, dikenal sebagai pemadam radikal bebas. Radikal bebas ini, dapat menyebabkan kerusakan sel yang bersifat karsinogen. 2.5 Ekstraksi Karotenoid Ekstraksi
merupakan
pemisahan
senyawa
tertentu
dari
campuran
menggunakan pelarut. Ekstraksi pelarut menghasilkan senyawa tidak murni, karena setelah proses tersebut senyawa yang diinginkan masih tercampur dengan pelarut, beberapa jenis lilin, albumin dan zat warna, sehingga diperlukan proses pemisahan dan pemurnian senyawa misalnya rektifikasi (Guenther, 1990). Ekstraksi secara umum dapat digolongkan menjadi dua yaitu ekstraksi caircair dan ekstraksi padat-cair. Pada ekstraksi cair-cair, senyawa yang dipisahkan terdapat dalam campuran yang berupa cairan, sedangkan ekstraksi padat-cair adalah suatu metode pemisahan senyawa dari campurannya yang berupa padatan. Semakin banyak pengulangan dalam ekstraksi, maka semakin besar jumlah senyawa yang
8
terekstrak dari campurannya atau efektivitas ekstraksi semakin tinggi, mengikuti persamaan berikut (Vogel, 1978): DxV Xn = Xo (
Keterangan:
Cara
DxVxv
)
Xn
= berat zat terlarut yang diperoleh (g)
Xo
= berat zat terlarut yang diekstrak (g)
D
= perbandingan distribusi kedua f
V
= volume larutan (mL)
v
= volume pelarut (mL)
ekstraksi
senyawa
padat-cair
dengan
prosedur
klasik
adalah
menggunakan ekstraksi kontinyu dengan alat ekstraktor Soxhlet menggunakan pelarut yang berbeda-beda, misalnya eter, petroleum eter dan kloroform. Cara kerja dengan ekstraksi pelarut menguap cukup sederhana yaitu bahan dimasukkan ke dalam ketel ekstraktor. Pelarut akan berpenetrasi ke dalam bahan dan melarutkan minyak beserta beberapa jenis lilin, albumin, dan zat warna. Ekstrak yang diperoleh disaring dengan penyaringan vakum, lalu dipekatkan dengan rotary evaporator vakum yang akan memekatkan larutan tanpa terjadi percikan pada temperatur antara 30oC sampai 40oC. Saat ini, monoterpen dan seskuiterpen diisolasi dari jaringan tanaman dengan ekstraksi memakai eter, eter minyak bumi atau aseton (Harborne, 1987). Cara lain yang dapat dilakukan adalah maserasi, yaitu menggunakan lemak panas, dengan temperatur mencapai 80 oC dan jaringan tanaman yang dimaserasi
9
dicelupkan ke dalamnya. Penggunaan lemak panas dapat digantikan dengan pelarut organik yang volatil. Penekanan utama metode ini adalah tersedianya waktu kontak yang cukup antara pelarut dengan jaringan yang diekstrasi Beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam mengekstraksi karotenoid dari dalam bahan yaitu menunjukkan suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh pada efektivitas proses ekstraksi karotenoid misalnya pada ubi jalar yang menggunakan suhu 50oC dan waktu ekstraksi 100 menit dengan pelarut etanol (Harimbi, 2004), buah merah menggunakan pelarut akuades dengan suhu 85oC dan waktu ekstraksi 360 menit dan mendapatkan nilai kandungan zat aktif total karoten yang sangat tinggi hingga 19387.40 ppm dan β-karoten sebesar 15214.74 ppm (Budi et al., 2004), buah tomat menggunakan pelarut etanol, heksana dan aseton dengan suhu 70oC dan waktu ekstraksi 90 menit, pada kondisi ini lycopene yang terekstrak sebesar 5,14 mg/100gram atau sebesar 40,15% (Dewi et al., 2010), kulit kakao menggunakan pelarut etanol dengan suhu 70oC dan waktu ekstraksi 30 menit (Siti, 2001), dan pada labu kuning waktu ekstraksi 25 menit dengan total karotenoid 575,22 (µg/gr), aktivitas antioksidan IC50 134,17 ppm, pH 6,51, rendemen 17,85%, tingkat kecerahan (L*) 18,13, tingkat kemerahan (a*) 13,70 dan tingkat kekuningan (b*) 13,04. Hasil uji t antara perlakuan terbaik dan kontrol menunjukkan perbedaan nyata (α=0,05) pada semua parameter selain pH yang tidak berbeda nyata. Uji stabililitas karotenoid menunjukkan bahwa pada suhu 60°C karotenoid masih stabil namun pada suhu 80°C dan 100°C telah menunjukkan penurunan , menggunakan suhu 60 oC dan waktu ekstraksi 25 menit (Wahyuni et al., 2015).
10
2.6 Pengukuran Warna Warna suatu bahan dapat diukur dengan menggunakan alat kolorimeter, spektrometer, atau alat-alat lain yang dirancang khusus untuk mengukur warna. Tetapi alat-alat tersebut biasanya terbatas penggunaannya untuk bahan cair yang tembus cahaya seperti sari buah, bir atau warna hasil ekstraksi. Salah satu cara pengukuran warna adalah dengan sistem warna Hunter (Lab). Pengukuran warna dengan metode ini jauh lebih cepat dengan ketepatan yang cukup baik. Pada sistem ini penilaian terdiri atas 3 parameter yaitu L, a dan b. Lokasi warna pada sistem ini ditentukan dengan koordinat L*, a* dan b*. Notasi L*: 0 (hitam); 100 (putih) menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu dan hitam. Notasi a*: warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a* (positif) dari 0 sampai +80 untuk warna merah dan nilai –a* (negatif) dari 0 sampai - 80 untuk warna hijau. Notasi b*: warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b* (positif) dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b* (negatif) dari 0 sampai 70 untuk warna biru (Suyatma, 2009). Diagram warna disajikan pada Gambar 5.
11
Gambar 5. Diagram warna (Suyatma, 2009)
12