II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Botani dan Klasifikasi Tanaman Matoa Matoa (Pometia sp) merupakan tumbuhan daerah tropis yang banyak terdapat di hutan-hutan pedalaman Pulau Irian (sekarang Papua) (Rumayomi, 2003). Secara taksonomis klasifikasi tanaman matoa adalah: Kingdom
: Plantae (tumbuhan)
Subkingdom
:Tracheobionta (berpembuluh)
Superdivisio
: Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisio
: Magnoliophyta (berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil)
Sub-kelas
: Rosidae
Ordo
: Sapindales
Familia
: Sapindaceae
Genus
: Pometia
Species
: Pometia pinnata J.R & G. Forst, Pometia acuminata, dan Pometia coreaceae.
Tanaman ini di dunia perdagangan dikenal dengan nama Matoa. Di tempat lain matoa dikenal dengan berbagai nama, yaitu Kasai (Kalimantan Utara, Malaysia, Indonesia), Malugai (Philipina), dan Taun (Papua New Guinea). Sedangkan nama daerah adalah Kasai, Kongkir, Kungkil, Ganggo, Lauteneng, Pakam (Sumatera); Galunggung, Jampango, Kasei, Landur (Kalimantan); Kase, Landung, Nautu, Tawa,
Wusel (Sulawesi); Jagir, Leungsir, Sapen (Jawa); Hatobu, Matoa, Motoa, Loto, Ngaa, Tawan (Maluku); Iseh, Kauna, Keba, Maa, Muni (Nusa Tenggara); Ihi, Mendek, Mohui, Senai, Tawa, Tawang (Papua) (Dinas Kehutanan DATI I Irian Jaya, 1976 dalam Rumayomi, 2003). Matoa di Indonesia tumbuh menyebar di wilayah Indonesia yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), Bali, Maluku dan Papua. Daerah penyebaran matoa di Bali antara lain di Klungkung, Bangli, Denpasar dan Jembrana.
1.2 Pengeringan Daun Matoa Pengeringan merupakan salah satu proses yang paling kritis dalam pengolahan tanaman obat. Kualitas produk yang dihasilkan biasanya sangat dipengaruhi oleh proses pengeringan yang digunakan (Mahapatra dalam Hernani dan Raharjo, 2005). Pengeringan merupakan usaha untuk menurunkan kadar air bahan sampai ke tingkat yang diinginkan sehingga dapat menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut kandungan zat aktif (Pramono, 2006). Pengeringan juga bertujuan untuk memudahkan pengelolaan dan penyimpanan dalam jangka cukup lama (Pramono, 2006). Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengeringan, antara lain waktu pengeringan, suhu pengeringan, kelembaban udara di sekitarnya, kelembaban bahan atau kandungan air dari bahan, ketebalan bahan yang dikeringkan, sirkulasi udara, dan luas permukaan bahan (Hernani dan Raharjo, 2005). Suhu pengeringan sangat berpengaruh terhadap kualitas, terutama pada perubahan kadar fitokimia atau senyawa aktif. Pengeringan harus disesuaikan dengan bagian
tanaman yang akan dikeringkan. Jika bahan berasal dari akar, daun, bunga, dan buah, maka suhu dan metode pengeringan perlu diperhatikan. Apabila tidak ditangani secara benar akan mengakibatkan berkurangnya kadar zat yang terkandung dalam bahan (Hernani dan Raharjo, 2005). Daun matoa perlu dikeringkan terlebih dahulu sebelum proses ekstraksi. Daun matoa dikeringkan dengan oven pada suhu 400C selama 12 jam (Hernani dan Nurdjanah, 2009). Pengeringan pada suhu tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan senyawa – yang terdapat dalam bahan akibat pemanasan (Hernani dan Nurdjanah, 2009).
2.3 Senyawa Fitokimia Senyawa fitokimia merupakan senyawa bioaktif alami yang terdapat pada tanaman yang dapat berperan sebagai nutrisi dan serat alami yang dapat mencegah penyakit (Harborne 1987). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fitokimia terdapat pada nutrisi yang terkandung dalam buah-buahan, sayur-sayuran dan kacangkacangan. Komponen bioaktif tersebut dapat menghambat proses penuaan dini dan menurunkan resiko terhadap berbagai penyakit, misalnya kanker, penyakit pada hati, stroke, tekanan darah tinggi, katarak, osteoporosis dan infeksi saluran pencernaan (Hamburger dan Hastettmaun 1991). Senyawa-senyawa fitokimia yang umum terdapat pada tanaman, yaitu golongan alkaloid, flavonoid, kuinon, tanin dan polifenol, saponin, steroid dan triterpenoid (Harborne 1987). Senyawa fitokimia berperan dalam menjaga kesehatan. Senyawa-senyawa tersebut saling melengkapi dalam mekanisme kerja yang terjadi dalam tubuh, termasuk di dalamnya adalah antioksidan (Hamburger dan Hastettmaun 1991)
2.3.1 Flavonoid Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa phenolik. Istilah flavonoid diberikan untuk senyawa fenol yang berasal dari kata flavon yaitu salah satu flavonoid yang terbesar jumlahnya dalam tumbuhan (Lenny, 2006). Kelompok
besar
dan
penting
ini
meliputi
antosianin,
antosantin,
leucoantosiantin, katekin dan tanin. Senyawa flavonoid memiliki struktur kimia C6C3-C6. Kerangka flavonoid terdiri atas satu cincin aromatik A (C6), satu cincin aromatik B (C6) dan dihubungkan dengan 3 atom karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga (C3). Senyawa flavonoid terdiri dari beberapa jenis tergantung pada tingkat oksidasi dari rantai propana. Kelompok senyawa flavonoid antosantin adalah kelompok flavonoid yang banyak ditemukan dialam sehingga sering disebut sebagai flavonoida utama (Lenny, 2006). Senyawa flavonoid mampu menghambat reaksi oksidasi melalui mekanisme penangkal radikal bebas dengan cara menyumbang satu eklektron pada elektron yang tidak berpasangan (Lenny, 2006). Sebagian besar senyawa flavonoid alam ditemukan dalam bentuk glikosida, dimana unit flavonoid terikat pada suatu gula. Glikosida adalah kombinasi antara suatu gula dengan alkohol yang saling berkaitan dengan ikatan glikosida. Pada prinsipnya, ikatan glikosida terbentuk apabila gugus hidroksil dari alkohol beradisi kepada gugus karbonil dari gula (Lenny, 2006). Identifikasi adanya senyawa flavonoid dapat dilakukan dengan metode Wilstater sianidin. Reaksi perubahan warna terjadi pada larutan atau sampel yang
mengandung senyawa flavonoid. Perubahan warna merah yang terbentuk pada uji wilstater disebabkan karena terbentuknya garam flavilium (Achmad, 1986). Penambahan logam Mg dan HClpekat pada uji flavonoid kualitatiif bertujuan untuk mereduksi intibenzopiron yang terdapat pada struktur flavonoid sehingga akan terjadi perubahan warna menjadi jingga atau merah. Reduksi dengan magnesium(Mg) dan asam klorida akan menghasilkan wrna merah pada flavonol, flavonon, flavanonol dan santon. Kalkon dan auron akan memberikan warna merah setelah penambahan asam (Achmad, 2006).
Gambar 1. Mekanisme Reaksi Pembentukan Garam Flavilium (Sumber : Achmad, 1986) 2.3.2 Antioksidan Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga reaksi radikal bebas tersebut dapat dihambat. Antioksidan juga dapat diartikan sebagai bahan atau senyawa yang dapat
menghambat atau mencegah terjadinya oksidasi pada substrat atau bahan yang dapat teroksidasi, walaupun memiliki jumlah yang sedikit dalam makanan atau tubuh jika dibandingkan dengan substrat yang akan teroksidasi. Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul yang kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif (Winarsi 2011).
2.4 Radikal bebas Radikal bebas adalah suatu senyawa atau molekul yang memiliki satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Adanya elektron yang tidak berpasangan menyebabkan senyawa tersebut reaktif mencari pasangan dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di sekitarnya. Senyawa radikal bebas juga dapat mengubah suatu molekul menjadi menjadi suatu radikal. Apabila senyawa radikal baru tersebut bertemu dengan senyawa radikal lain, akan terbentuk radikal baru lagi dan begitu seterusnya sehingga akan terjadi reaksi berantai (chain reactions) (Winarsi, 2011). Secara umum, tahapan pembentukan radikal bebas mirip dengan rancidity oxidative (ketengikan oksidatif), yaitu melalui 3 tahap reaksi berikut (Winarsi, 2011): a. Tahap Inisiasi yaitu tahap awal pembentukan radikal bebas RH + OH
R* + H2O
b. Tahap propagasi yaitu tahap perubahan rantai radikal bebas menjadi radikal lain R* + O2
ROO*
ROO* + RH
ROOH + R*
c. Tahap terminasi yaitu tahap akhir reaksi berantai radikal bebas dengan menggabungkan dua radikal bebas menjadi bentuk yang stabil. ROO* + ROO*
ROOR + O2
ROO* + R*
ROOR
R* + R*
R-R
Terdapat dua sumber radikal bebas yaitu sumber endogen dimana radikal bebas yang dihasilkan dalam tubuh sebagai racun. Sumber eksogen yang mana produksi radikal bebas disebabkan oleh rangsangan eksternal (Vimala et, al., 2013)
1.5 Mekanisme Antioksidan Antioksidan merupakan senyawa yang dapat
menghambat atau mencegah
oksidasi lipid atau molekul lain dengan menghambat inisiasi atau propagasi dari reaksi rantai oksidatif. Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya kerusakan sel akan dihambat (Winarsi, 2011). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan menjadi 3, yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier (Winarsi, 2011): a. Antioksidan primer (antioksidan endogenus)
Antioksidan primer adalah antioksidan yang mempunyai mekanisme kerja dengan cara memberikan atom hidrogen secara cepat ke senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Enzim superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai, kemudian merubahnya menjadi produk yang lebih stabil b. Antioksidan sekunder Antioksidan sekunder atau antioksidan non enzimatis disebut dengan sistem pertahanan preventif. Dalam pertahanan ini, terbentuknya oksigen reaktif
dihambat
dengan
cara
pengkelatan
metal
atau
dirusak
pembentukannya. Senyawa antioksidan sekunder bekerja dengan cara menangkap radikal bebas (free radical scavenger), kemudian mencegah reaktivitas amplifikasinya. c. Antioksidan tersier Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas.
2.6 Ekstraksi Senyawa Aktif Ekstraksi merupakan suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen yang terpisah atau proses penarikan komponen atau zat aktif menggunakan pelarut tertentu. Proses ekstraksi bertujuan mendapatkan
bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen bioaktif (Harborne, 1987). Metode ekstraksi yang digunakan tergantung dari beberapa faktor, antara lain tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat komponen-komponen yang akan diekstrak dan sifat-sifat pelarut yang digunakan. Ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti, maserasi, refluks dan sokletasi. Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode maserasi. Suatu senyawa memiliki kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya. Pelarut yang bersifat polar mampu mengekstrak senyawa alkaloid, fenolat dan flavonoid. Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor, antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel bahan ekstrak, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi dan perbandingan jumlah pelarut terhadap sampel (Darusman et al, 1995). Jenis dan mutu pelarut yang digunakan akan menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkan, mempunyai titik didih rendah, murah dan mudah didapat, tidak toksik dan mudah terbakar (Ketaren, 1986). Maserasi merupakan cara ekstraksi paling sederhana yang dilakukan dengan merendam serbuk kasar simplisia dengan cairan pengekstraksi selama 2-5 hari dan disimpan terlindung dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis cahaya atau perubahan warna). Keuntungan dari maserasi adalah hasil ekstraksi banyak serta dapat menghindarkan perubahan kimia terhadap senyawa-senyawa tertentu oleh karena pemanasan namun demikian proses maserasi membutuhkan waktu yang relatif
lama. Kerugian cara maserasi adalah penyarian kurang sempurna karena terjadi kejenuhan cairan penyari dan membutuhkan waktu yang lama (Hargono, 1986). Pengocokan dilakukan untuk mempercepat keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi dalam cairan. Keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Maserasi merupakan proses ekstraksi yang masih umum digunakan karena cara pengerjaan dan peralatannya sederhana dan mudah (Noerono, 1994).
2.7 Pelarut Pelarut adalah benda cair atau gas yang melarutkan benda padat, cair atau gas, yang menghasilkan sebuah larutan. Pelarut paling umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah air. Pelarut lain yang juga umum digunakan adalah bahan kimia organik (mengandung karbon) yang juga disebut pelarut organik. Pelarut biasanya memiliki titik didih rendah dan lebih mudah menguap, meninggalkan substansi terlarut yang didapatkan. Untuk membedakan antara pelarut dengan zat yang dilarutkan, pelarut biasanya terdapat dalam jumlah yang lebih besar (Sudarmadji, 2010). Sifat dari pelarut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sifat Sifat Pelarut Polar dan Non Polar Pelarut Titik Didih Non Polar
Konstanta Dielektrik
Heksana
690C
1,89
Benzena
850C
2,28
Toluene
1110C
2,38
Dietileter
350C
3,34
Kloroform
610C
4,81
Etilasetat
770C
6,02
1,4-Dioksana
1010C
2,21
Tetrahidrofuran
660C
7,58
Diklorometana
400C
9,1
Aseton
560C
20,70
Asam asetat
1180C
6,15
n-butanol
1180C
17,80
2-propanol
820C
18,30
1-propanol
970C
20,10
Etanol
790C
24,30
Metanol
650C
33,60
Asam format
1000C
58,50
Air
1000C
80,40
Polar
Sumber : Sudarmadji (2010)