BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Perilaku Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme
(makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berbicara, berjalan, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan behwa yang dimaksud dengan perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003). Skinner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skinner ini disebut dengan teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respon. Skinner membedakan adanya dua respon 1.
Respondent respon atau reflexive, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut
Universitas Sumatera Utara
eliciting stimulation karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. Misalnya : makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan. Respondent ini juga mencakup perilaku emosional, misalnya dengan mendengar kabar musibah menjadi sedih. 2.
Operant respon atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang
ini
disebut
reinforcing stimulation atau reinforce, karena
memperkuat respon. Misalnya apabila seorang petugas melaksanakan tugasnya dengan baik kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya, maka petugas tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua. 1.
Perilaku tertutup (covert behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert) dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Misalnya berpikir dan bersikap.
2.
Perilaku terbuka (overt behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka dan dapat dengan mudah diamati oleh orang lain. Misalnya penderita TB minum obat secara teratur. Menurut Skinner (1938) yang dijabarkan oleh Notoadmodjo (2005),
perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada
Universitas Sumatera Utara
karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni: 1.
Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan. Misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2.
Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik ligkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku adalah merupakan
penghayatan dan aktivitas seseorang, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Menurut teori Bloom (1908), yang dijabarkan Notoatmodjo (2005), membagi perilaku manusia ke dalam tiga kawasan (domain), meskipun kawasan itu tidak memiliki batasan yang jelas dan tegas. Ketiga kawasan tersebut adalah kognitif (cognitive),
afektif
(affective),
dan
psikomotor
(psychomotor).
Dalam
perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil pendidikan kesehatan, yakni : pengetahuan, sikap, tindakan. 2.1.1.
Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
Universitas Sumatera Utara
pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Notoatmodjo (2003) dalam bukunya mengemukakan bahwa pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu: 1. Tahu (Know) Diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. 2. Memahami (Comprehension) Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan terhadap objek yang telah dipelajari. 3. Aplikasi (Application) Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi ini diartikan sebagai penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip, dalam konteks atau situasi yang lain. 4. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan ini dapat dilihat dari penggunaan
Universitas Sumatera Utara
kata kerja seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. 5. Sintesis (Synthesis) Sintesis
menunjuk
kepada
suatu
kemampuan
untuk
meletakkan
atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang ada. 6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang ada. Faktor – faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain : 1. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain agar
mereka dapat memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin tingi
pendidikan seseorang maka makin mudah pula bagi mereka untuk menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang mereka miliki. 2. Pekerjaan Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Universitas Sumatera Utara
3. Umur Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan aspek fisik dan psikologis (mental), dimana aspek psikologis ini taraf berpikir seseorang semakin matang dan dewasa. 4. Minat Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan sesorang untuk mencoba menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh penetahuan yang lebih mendalam. 5. Pengalaman Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami oleh individu baik dari dalam dirinya ataupun dari lingkungannya. Pada dasarnya pengalaman mungkin saja menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi individu yang melekat menjadi pengetahuan pada individu secara sabjektif. 6. Informasi Kemudahan seseorang untuk memperoleh informasi dapat membant mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru. (Wahid dkk, 2007) 2.1.2. Sikap Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulasi atau objek. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan manifestasi sikap itu tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2003) berikut ini adalah proses terbentuknya sikap dan reaksi :
Stimulus Rangsangan
Reaksi Tingkah laku (terbuka)
Organisme Sikap (tertutup)
Gambar 2.1.2 Proses Terbentuknya Sikap Dari diagram diatas dapat disimpulkan bahwa sikap bukanlah suatu bentuk tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003) sikap dibagi menjadi 3 komponen pokok, yaitu : 1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek 2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek 3. Kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, berpikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting (Soekidjo, 2003). Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari empat tingkatan yaitu: 1. Menerima (receiving) Diartikan bahwa orang atau subjek mau dan
memperhatikan stimulus yang
diberikan objek.
Universitas Sumatera Utara
2. Merespon (responding) Indikasi dari sikap adalah memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. 3. Menghargai (valuing) Indikasi dari menghargai adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah. 4. Bertanggung jawab (responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi dalam tingkatan sikap. 2.1.3.
Tindakan Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan, untuk
terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan (Notoatmodjo, 2003) Tindakan terdiri dari empat tingkatan, yaitu: 1. Persepsi (perception) Praktek tingkat pertama adalah mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil. 2. Respon Terpimpin (guided response) Praktek tingkat kedua adalah dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.
Universitas Sumatera Utara
3. Mekanisme (mecanism) Praktek tingkat ketiga adalah apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga. 4. Adaptasi (adaptation) Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
2.2.
Perilaku Kesehatan Pada dasarnya, perilaku kesehatan adalah suatu
respon
seseorang
(organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan (Notoatmodjo, 2007). Batasanbatasan tersebut mempunyai dua unsur pokok yaitu: 1. Respons atau reaksi manusia, baik yang bersifat pasif meliputi pengetahuan, persepsi dan sikap, maupun yang bersifat aktif seperti tindakan yang nyata. 2. Stimulus atau rangsangan yang terdiri dari 4 unsur
pokok
yaitu sakit dan
penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan lingkungan. Untuk lebih rinci perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu: a. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu respons manusia, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan persepsi terhadap penyakit dan rasa penyakit) maupun aktif (tindakan yang diambil untuk mengobati sakit dan penyakitnya).
Universitas Sumatera Utara
b. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan merupakan respon seseorang terhadap
pelayanan
kesehatan
(modern/tradisional).
Perilaku
tersebut
menyangkut fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan dan obatobatan. c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman yaitu respons seseorang terhadap makanan dan minuman karena makanan dan minuman dapat meningkatkan kesehatan seseorang. d. Perilaku kesehatan lingkungan yaitu respons seseorang terhadap lingkungannya agar tidak mempengaruhi kesehatannya. Menurut Gochman(1988) membagi perilaku kesehatan menjadi 2 elemen yaitu elemen kognitif berupa adanya suatu hubungan antara kepercayaan, harapan, motivasi, nilai, persepsi, dan lainnya, sedangkan yang termasuk dalam elemen afektif yaitu karakteristik individu, keadaan emosional dan kebiasaan seseorang yang berhubungan dengan pemulihan kesehatan agar dapat meningkatkan status kesehatannya. Sehingga perilaku kesehatan dapat diartikan sebagai aktivitas seseorang yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati yang berhubungan pemeliharaan dan peningkatan kesehatannya (Notoadmojo, 2005). Becker (1979, yang dikutip dari Notoadmojo, 2005)mengajukan klasifikasi perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (Health Related Behavior), sebagai berikut: 1. Perilaku sehat (Healthy Behavior) yaitu perilaku untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya yang meliputi makan makanan yang bergizi, kegiatan
Universitas Sumatera Utara
fisik secara teratur, tidak merokok dan minum minuman keras, istirahat yang cukup, pengendalian stress dan perilaku hidup sehat. 2. Perilaku Sakit (Illnes Behavior) yaitu tindakan seseorang untuk mengatasi masalah kesehatannya dengan mencari pengobatan. Tindakan tersebut antara lain: - Didiamkan saja (no action), artinya mengabaikan penyakitnya. - Mengambil tindakan dengan melakukan pengobatan sendiri (self treatment atau self medication) - mencari penyembuhan ke pelayanan kesehatan. 3. Perilaku Peran Orang Sakit (The Sick Role Behavior) yaitu adanya hak dan kewajiban yang dimiliki orang sakit yang terdiri dari: - Tindakan untuk memperoleh kesembuhan. - Tindakan untuk mengenal atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat untuk memperoleh kesembuhan. - Melakukan kewajiban sebagai pasien yaitu dengan mematuhi nasihat-nasihat dokter atau perawat untuk mempercepat kesembuhannya. - Tidak melakukan sesuatu yang merugikan selama proses penyembuhan. - melakukan kewajiban agar penyakitnya tidak kambuh. Perilaku kesehatan menurut Kosa dan Robertson (Notoadmojo, 2007) yaitu perilaku seseorang yang dipengaruhi dengan kepercayaan mengenai kondisi kesehatannya. Adanya perbedaan dari setiap individu dalam mengambil tindakan pencegahan/penyembuhan walaupun masalah kesehatannya sama, tindakan tersebut diambil berdasarkan dari penilaian sendiri maupun dibantu orang lain. Menurut Kals
Universitas Sumatera Utara
dan Cobb (1966) perilaku kesehatan terdiri dari 3 macam yaitu (dikutip dari Glanz, Rimer, Lewis, 2002) 1. Perilaku pencegahan kesehatan kesehatan yaitu aktivitas yang dilakukan individu yang sehat untuk mencegah atau mendeteksi penyakit sebelum gejala muncul. 2. Perilaku sakit yaitu aktifiras yang dilakukan individu yang sakit untuk mencari penyembuhan. 3. Perilaku peran sakit yaitu aktifitas yang dilakukan individu yang sedang sakit, untuk sembuh dengan menerima pengobatan. Menurut Elder et al (1994) diperlukan 3 hal untuk berperilaku sehat yaitu pengetahuan yang tepat, motivasi, dan keterampilan untuk berperilaku sehat. Apabila seseorang tidak mempunyai keterampilan untuk berperilaku sehat maka disebut skill deficits (dalam Notoadmojo, 2000). Sulitnya seseorang untuk termotivasi untuk berperilaku sehat adalah karena perubahan perilaku dari yang tidak sehat menjadi sehat sehingga tidak menimbulkan dampak langsung secara tepat, atau mungkin tidak berdampak terhadap penyakitnya, namun hanya mencegah agar tidak menjadi lebih buruk (dikutip dari Susanti, 2002).
2.3.
Teori Perubahan Perilaku Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan
yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang – kadang tidak sempat menerapkan perilaku tertentu. Karena itu sangat
Universitas Sumatera Utara
penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu, sebelum ia mampu mengubah perilaku tersebut. (Muzaham, 1995) Terdapat 3 teori yang menjadi acuan dalam penelitian kesehatan yang berhubungan dengan perilaku yaitu: 2.3.1.
Teori Lawrence Green Saat ini teori mengenai masalah kesehatan sudah banyak. Namun, salah
satu teori yang mengkaji tentang masalah perilaku adalah teori dari Lawrence Green (1980) yang membedakan masalah kesehatan menjadi dua determinan yaitu faktor perilaku dan faktor non perilaku. Untuk faktor perilaku sendiri bertujuan untuk mendorong terjadinya perubahan perilaku pada setiap individu. Green membagi menjadi faktor perilaku menjadi 3 faktor
utama yaitu faktor
predisposisi,
pemungkin, dan penguat (Notoatmodjo, 2005). Faktor predisposisi merupakan faktor yang memotivasi suatu perilaku atau mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Perilaku ibu dalam pemeriksaan pap smear dengan faktor predisposisi seperti umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengetahuan, sikap, persepsi dan lain sebagainya. Faktor pemungkin merupakan faktor lanjutan dari faktor predisposisi, dimana motivasi untuk terjadinya perubahan perilaku tersebut dapat terwujud. Keterjangkauan sarana dan prasarana menjadi faktor pemungkin bagi setiap individu untuk berperilaku. Hal ini disebabkan karena seseorang akan mencari informasi mengenai kesehatan maupun mencari pengobatan apabila adanya akses ke pelayanan kesehatan tersebut. Selain keterjangkauan sarana dan prasarana, faktor lingkungan juga memiliki andil untuk mempengaruhi perilaku karena faktor lingkungan dapat memfasilitasi perilaku atau
Universitas Sumatera Utara
tindakan tersebut seperti biaya, dan pelayanan kesehatan sehingga individu dapat mencari informasi dan dapat mencari pengobatan yang dibutuhkan (Green et al,1980 yang dikutip oleh Gielen dan McDonald dalam Glanz, Rimer, Lewis 2002). Faktor penguat yaitu faktor yang diperoleh dari orang terdekat dan adanya dukungan sosial yang diberikan ke individu tersebut seperti keluarga, teman maupun dari petugas kesehatan yang dapat memperkuat perilaku. Dengan adanya dukungan yang diberikan dari orang-orang terdekat diharapkan dapat mendorong terjadinya perubahan perilaku (Green et al,1980 yang dikutip oleh Gielen dan McDonald dalam Glanz, Rimer, Lewis 2002). 2.3.2.
Teori WHO Tim kerja pendidikan kesehatan dari World Health Organization (WHO)
membuat rumusan mengenai 4 alasan pokok seseorang untuk berperilaku (Notoatmodjo, 2005) yaitu: 1. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), yaitu adanya pertimbanganpertimbangan dari diri sendiri untuk bertindak dan berperilaku. 2. Adanya acuan atau
referensi dari seseorang untuk merubah perilaku
seseorang berupa informasi yang berkenaan dengan sakit dan penyakitnya. 3. Sumber daya (resources) dapat mempengaruhi perilaku seseorang atau masyarakat. Pengaruh sumber daya bersifat positif maupun negatif, misalnya tersedianya sarana dan prasarana, uang, waktu, tenaga dan sebagainya. 4. Sosial budaya (culture), sosial budaya secara tidak langsung menjadi faktor eksternal untuk terbentuknya perilaku seseorang.
Universitas Sumatera Utara
2.4. 2.4.1.
Kanker Serviks Pengertian Kanker serviks Kanker leher rahim atau yang dikenal dengan kanker serviks yaitu
keganasan yang terjadi pada serviks (leher rahim) yang merupakan bagian terendah dari rahim yang menonjol ke puncak liang senggama atau vagina (Depkes RI, 2006). Pada fase prakanker atau stadium awal kanker serviks tidak menimbulkan gejala fisik yang mudah diamati. Menurut David M. Eddy (1981, yang dikutip dari Hoepoedio, 1986) dalam tulisannya yang berjudul “The Economic of Cancer Prevention and Detection, Getting More for Less” tujuan konkrit dari penemuan dini kanker, termasuk kanker leher rahim (kanker serviks) sebagai berikut: 1. Menaikkan harapan hidup. 2. Mengurangi pengobatan ekstensif. 3. Memperbaiki kualitas hidup. 4. Mengurangi penderitaan. 5. Mengurangi biaya. 6. Mengurangi kecemasan. 2.4.2.
Penyebab Kanker Serviks HPV (Human Papiloma Virus) merupakan penyebab terbanyak. HPV biasa
disebut wart virus (virus kutil). Terdapat lebih dari 100 tife HPV yang telah diidentifikasi. Tife 16,18,31,33 dan 35 menyebabkan perubahan sel-sel pada vagina atau serviks yang pada mulanya menjadi displasia dan selanjutnya berkembang menjadi kanker leher rahim.
Universitas Sumatera Utara
2.4.3.
Faktor Risiko Kanker Serviks Menurut Sjamsudin (2001) ada beberapa faktor risiko yang dapat
meningkatkan terjadinya kanker serviks yaitu: 1.
Perilaku seksual
Banyak faktor yang disebut-sebut mempengaruhi terjadinya kanker serviks. Telaah pada berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa golongan wanita yang mulai melakukan hubungan seksual pada usia < 20 tahun atau mempunyai pasangan seksual yang berganti-ganti lebih berisiko untuk menderita kanker serviks. Tinjauan kepustakaan mengenai etiologi kanker leher rahim menunjukkan bahwa faktor risiko lain yang penting adalah hubungan seksual suami dengan wanita tuna susila (WTS) dan dari sumber itu membawa penyebab kanker (karsinogen) kepada isterinya. Data epidemiologi yang tersusun sampai akhir abad 20, menyingkap kemungkinan adanya hubungan antara kanker serviks dengan agen yang dapat menimbulkan infeksi. Karsinogen ini bekerja di daerah transformasi, menghasilkan suatu gradasi kelainan permulaan keganasan, dan paling berbahaya bila terpapar dalam waktu 10 tahun setelah menarche. Keterlibatan peranan pria terlihat dari adanya kolerasi antara kejadian kanker serviks dengan kanker penis di wilayah tertentu. Lebih jauh meningkatnya kejadian tumor pada wanita monogami yang suaminya sering berhubungan seksual dengan banyak wanita lain menimbulkan konsep "Pria Berisiko Tinggi" sebagai vektor dari agen yang dapat menimbulkan infeksi. Banyak penyebab yang dapat menimbulkan kanker serviks, tetapi penyakit ini sebaiknya digolongkan ke dalam penyakit akibat hubungan seksual (PHS). Penyakit kelamin dan keganasan serviks keduanya saling berkaitan secara bebas, dan diduga
Universitas Sumatera Utara
terdapat korelasi non-kausal antara beberapa penyakit akibat hubungan seksual dengan kanker serviks. 2.
Jumlah kehamilan dan Partus
Kanker Serviks terbanyak dijumpai pada wanita yang sering melahirkan (partus). Semakin sering melahirkan, semakin besar resiko mendapat kanker serviks. 3.
Merokok
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap sebagai rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok konsentrasi nikotin pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum. Efek langsung bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga dapat menjadi mudah
terinfeksi virus. Sebagai tambahan perokok sigaret telah
ditemukan sebagai penyebab juga. Wanita perokok mengandung konsentrat nikotin dan
kotinin didalam serviks mereka yang merusak sel. Laki-laki perokok juga terdapat konsetrat bahan ini pada sekret genitalnya, dan dapat memenuhi servik selama intercourse. 4.
Kontrasepsi
Kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka panjang yaitu lebih dari 5 tahun dapat meningkatkan risiko kanker serviks relatif 1,53 kali. Kontrasepsi oral dapat meningkatkan sensitivitas terhadap virus HPV. WHO melaporkan risiko relatif pada pemakaian kontrasepsi oral sebesar 1,19 kali dan meningkat sesuai dengan lamanya pemakaian.
Universitas Sumatera Utara
5.
Nutrisi
Banyak sayur dan buah mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat mencegah kanker misalnya advokat, brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam, tomat. Dari beberapa penelitian ternyata defisiensi asam folat (folic acid), vitamin C, vitamin E, beta karoten/retinol dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks. Vitamin E, vitamin C dan beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat. Antioksidan dapat melindungi DNA/RNA terhadap pengaruh buruk radikal bebas yang terbentuk akibat oksidasi karsinogen bahan kimia. Vitamin E banyak terdapat dalam minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian dan kacangkacangan). Vitamin C banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-buahan. 6.
Infeksi Virus
Infeksi virus herpes simpleks (HSV-2) dan virus papiloma atau virus kondiloma akuminata diduga sebagai faktor penyebab. Adanya infeksi virus dapat dideteksi dari perubahan sel epitel serviks uteri pada tes pap. Pada infeksi virus sering dijumpai sitologi abnormal. 7.
Keturunan Selain faktor-faktor di atas, faktor keturunan sangat memegang peranan
seorang bisa mengalami kanker jenis ini atau tidak. Jika ibu Anda atau saudara perempuan dari pihak ibu atau ayah menderita kanker leher rahim, maka Anda mempunyai risiko 2 kali lebih banyak menderita penyakit yang sama.
Universitas Sumatera Utara
2.4.4.
Gejala kanker Serviks Awal gejala atau stadium awal kanker serviks sulit terdeteksi. Pada tahap
prakanker atau displasia sampai dengan stadium 1, tidak ada keluhan yang dirasakan oleh penderita (eni, 2009). Adapun tanda-tanda gejala umum kanker serviks yaitu: 1. Keputihan yang sulit sembuh dan berbau busuk 2. Sering terjadi perdarahan dan nyeri saat bersenggama. 3. Pada stadium dini, keadaan penderita masih baik, tetapi pada stadium lanjut, keadaan umum penderita dapat mengalami kemerosotan kesehatan. Selanjutnya, beberapa tanda wanita yang terkena kanker serviks yaitu: a. Tampak pucat b. Kurus c. Nafsu makan menurun d. Kerap mengeluarkan keputihan disertai darah secara terus menerus (keputihan dapat bercampur darah dan berbau) e. Perut bagian bawah terasa sesak dan disertai nyeri f. Tungkai kaki bagian bengkak karena bendungan pada pembuluh darah balik di kaki ( pembengkakan di berbagai anggota tubuh, seperti di paha, betis, tangan, dan sebagainya). 2.4.5.
Stadium Kanker Serviks Secara histopatologis pertumbuhan sel kanker serviks diklasifikasikan ke
dalam empat stadium yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1.
Displasia Displasia adalah pertumbuhan aktif disertai gangguan proses pematangan
epitel serviks uteri yang dimulai pada bagian basal sampai ke lapisan superfisial. Perubahan permulaan dimulai dari inti sel dimana rasio inti-sitoplasma bertambah, warna lebih gelap, bentuk dan besar sel mulai bervarisasi, susunan tidak teratur dan mitosis aktif. Berdasarkan derajat perubahan sel individu dan lapisan sel epitel yang jelas mengalami perubahan, displasia dibagi dalam 3 derajat pertumbuhan yaitu: a. Displasia ringan, perubahan terjadi pada sepertiga bagian basal epidermis b. Displasia sedang, perubahan menjadi pada separuh epidermis c. Displasia berat, perubahan terjadi pada duapertiga epidermis. Displasia berat hampir tidak dapat dibedakan dengan karsinoma In situ. Oleh sebab itu dalam pola tindakan klinis biasanya sama seperti karsinoma in situ. 2.
Karsinoma In Situ Pada karsinoma in situ perubahan sel epitel terjadi pada seluruh lapisan
epidermis menjadi karsinoma sel skuamos, namun membrana basalis dalam keadaan utuh. 3.
Karsinoma Mikroinvasif Pada karsinoma mikroinvasif, disamping perubahan derajat pertumbuhan
sel meningkat, juga sel tumor menembus membrana basalis dan invasi pada stroma sejauh tidak lebih 5 mm dari membrana basalis. Biasanya tumor ini asimtomatik dan hanya ditemukan pada skrinning kanker atau ditemukan bertepatan pada pemeriksaan penyakit lain di serviks uteri. Pada pemeriksaan fisik juga tidak terlihat perubahan
Universitas Sumatera Utara
porsio. Akan tetapi dengan pemeriksaan kolposkopi dapat diprediksi adanya prakarsinoma. 4.
Karsinoma Invasif
Pada karsinoma invasif perubahan derajat pertumbuhan sel menonjol, besar dan bentuk sel bervariasi, inti gelap dan khromatin berkelompok tidak merata serta susunan sel makin tidak teratur. Sekelompok atau lebih sel tumor menginvasi membrana basal dan tumbuh infiltratif ke dalam stroma. Kadang-kadang terlihat invasi sel tumor pada pembuluh getah bening ataupun pembuluh darah (angoinvasi). Seperti karinoma in situ, karsinoma invasif pun dibagi dalam tiga subtipe yaitu: 1. Karsinoma Sel Skuamos dengan Keratin. Sekelompok sel mengandung keratin dan biasanya jenis tumor ini tumbuh di area ektoserviks dan kurang sensitif terhadap radioterapi. 2. Karsinoma Sel Skuamos tanpa Keratin. Tumor tumbuh di area peralihan skuamos-kolumnar, dimulai dari pertumbuhan metaplasia sel skuamos. Jenis tumor ini agak sensitif pada radioterapi. 3. Karsinoma Sel kecil (Small Cell Carcinoma) Pertumbuhan tumor berasal dari sel cadangan epitel di area endoserviks. Ukuran sel bentuk memanjang atau oval. Tumor ini sensitif terhadap radiasi (Gani, 1993). Pada tahun 1976 FIGO (The International Federation of Gynecology and Obstetrics) mengklasifikasikan stadium klinik untuk menentukan metode pengobatan kanker berdasarkan tingkat stadiumnya. Pembagian stadium klinik kanker serviks adalah:
Universitas Sumatera Utara
Stadium
Interpretasi
0
Karsinoma in situ
I
Karsinoma terbatas pada serviks uteri
Ia
Karsinoma mikroinvasif, tanpa gejala klinik
Ib
Karsinoma terbatas pada serviks uteri dengan gejala klinik
II
Karsinoma tumbuh meluas ke luar serviks ke vagina, tapi belum mencapai distal vagina ataupun dinding pelvis
IIa
Parametrium tidak jelas terlihat
Iib
Parametrium jeles terlihat
III
Karsinoma meluas pada dinding pelvis. Pada palpasi rektum, antara massa tumor dan dinding pelvis tidak ada ruangan yang bebas karsinoma. Karsinoma meluas pada 1/3 distal vagina.
IV
Karsinoma meluas sampai dinding kantong kemih atau rektum dan metastatis pada organ jauh.
Tingkat Kesembuhan Berdasarkan Stadium Kanker Serviks Stadium
Kesembuhan
Stadium Ia
100%
Stadium Ib
87%-90%
Stadium Iia
68%-83%
Stadium Iib
62%-68%
Stadium III
33%-48%
Stadium IV
14%
Universitas Sumatera Utara
2.4.6. Diagnosis 1.
Sitologi
Pemeriksaan ini yang dikenal sebagai tes Papanicolaou (tes Pap) sangat bermanfaat untuk mendeteksi lesi secara dini, tingkat ketelitiannya melebihi 90% bila dilakukan dengan baik. Sitologi adalah cara skrining sel-sel serviks yang tampak sehat dan tanpa gejala untuk kemudian diseleksi. 2.
Kolposkopi
Kolposkopi adalah pemeriksaan dengan menggunakan kolposkop, suatu alat yang dapat disamakan dengan sebuah mikroskop bertenaga rendah dengan sumber cahaya di dalamnya (pembesaran 6-40 kali). Kalau pemeriksaan sitologi menilai perubahan morfologi sel-sel yang mengalami eksfoliasi, maka kolposkopi menilai perubahan pola epitel dan vaskular serviks yang mencerminkan perubahan biokimia dan perubahan metabolik yang terjadi di jaringan serviks. 3.
Biopsi
Biopsi dilakukan di daerah abnormal jika sel-sel kanker terlihat seluruhnya dengan kolposkopi. Jika sel-sel kanker tidak terlihat seluruhnya atau hanya terlihat sebagian sehingga kelainan di dalam kanalis servikalis tidak dapat dinilai, maka contoh jaringan diambil secara konisasi. Biopsi harus dilakukan dengan tepat dan alat biopsi harus tajam sehingga harus diawetkan dalam larutan formalin 10 %.
Universitas Sumatera Utara
4.
Konisasi
Konisasi serviks ialah pengeluaran sebagian jaringan serviks sedemikian rupa sehingga yang dikeluarkan berbentuk kerucut (konus), dengan kanalis servikalis sebagai sumbu kerucut. Untuk tujuan diagnostik, tindakan konisasi harus selalu dilanjutkan dengan kuretase. Batas jaringan yang dikeluarkan ditentukan dengan pemeriksaan kolposkopi (Gani, 1993). 2.4.7.
Pencegahan kanker serviks Pencegahan kanker didefinisikan sebagai pengidentifikasian faktor-faktor
yang menyebabkan timbulnya kanker pada manusia dan membuat sebab-sebab ini tidak efektif dengan cara-cara apapun (Sjamsuddin, 2001). Pencegahan terhadap terjadinya kanker serviks melalui tiga bagian, yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier. 1.
Pencegahan primer merupakan kegiatan yang dapat dilakukan oleh setiap orang untuk menghindari diri dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan kanker. Masyarakat yang melakukan pencegahan pada tingkat ini akan bebas dari penderitaan, produktivitas berjalan terus, tidak memerlukan biaya untuk pemeriksaan, pengobatan, rehabilitasi serta perawatan lebih lanjut. Salah satu bagian dari pencegahan primer adalah memberikan vaksin Human Papilloma Virus (HPV), pemberian vaksin HPV akan mengeliminasi infeksi HPV (Yatiningsih, 2000).
2.
Deteksi dini dan skrining merupakan pencegahan sekunder kanker serviks. Tujuan dari pencegahan sekunder adalah untuk menemukan kasus-kasus dini
Universitas Sumatera Utara
sehingga memungkinkan penyembuhan dapat ditingkatkan. Selain itu, bertujuan untuk memperlambat atau menghentikan penyakit pada stadium awal. Pencegahan sekunder melalui diagnosis dini displasia dengan berbagai cara baik klinis maupun laboratorium. Salah satunya adalah pemeriksaan papanicolou smear atau yang dikenal dengan Pap Smear (Suwiyoga, 2007). 3.
Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang bertujuan untuk mencegah komplikasi penyakit dan pengobatan, sesudah gejala klinis berkembang dan diagnosis sudah ditegakkan. Terdapat dua pengobatan pada pencegahan tersier yaitu: 1). Pengobatan pada pra kanker. - Kauterisasi yaitu membakar serviks secara elektris. - Kriosurgeri yaitu serviks dibuat beku sampai minus 80-180 derajat Celcius dengan menggunakan gas CO2 atau N2O. - Konisasi yaitu memotong sebagian dari serviks yang cukup representatif dengan pisau biasa atau pisau elektris. - Operasi (histerektomi) bila penderita tidak ingin punya anak lagi. - Sinar laser yang digunakan di bawah pengawasan kolposkop, radiasi dengan pemanasan jarum radium yang dapat digunakan bila penderita yang sudah tua takut dioperasi. 2). Pengobatan pada kanker invasif Tindakan pengobatan pada kanker invasif berupa radiasi, operasi atau gabungan antara operasi dan radiasi.
2.5.
PAP SMEAR
Universitas Sumatera Utara
2.5.1.
Perkembangan PAP SMEAR Pada tahun 1924, George N. Papanicolou mempelajari perubahan hormon
dengan memeriksa eksfoliasi sel vagina. Secara tidak sengaja diamati tingginya selsel abnormal pada sediaan dari pasien dengan kanker serviks. Penemuan ini merupakan awal dari digunakannya pap smear untuk skrinning kanker serviks. Penggunaan pap smear untuk skrinning secara massal baru dimulai pada tahun 1949 di British Columbia dan kemudian secara luas digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1950. Sedangkan di Indonesia, perkembangan pap smear dimulai pada tahun 1970 dan dipopulerkan di beberapa kota besar seperti Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta, Medan, Palembang, Padang, Denpasar, Ujungpandang, dan Manado (Nur, 2007). 2.5.2.
Test PAP SMEAR Tes Pap smear adalah upaya pengambilan cairan dari vagina untuk melihat
kelainan sel di sekitar leher rahim. Tes Pap smear hanyalah suatu langkah skrining, bukan pengobatan. Diagnosis akhir harus melalui biopsi dengan menggunakan alat yang disebut kolposkopi, yakni semacam mikroskop untuk melihat apakah ada gambaran khas seperti lesi pada prakanker. Hasil biopsi yang telahdikonfirmasikan kepada patolog dijadikan pegangan oleh dokter untuk melakukan tindak pengobatan terhadap pasien (Eni, 2009).
2.5.3.
Manfaat Pemeriksaan PAP SMEAR
Universitas Sumatera Utara
PAP SMEAR dilakukan untuk mendeteksi dini kanker serviks dan sebagai uji penapisan untuk mendeteksi perubahan neoplastik. Pulasan yang abnormal dapat dilakukan biopsi untuk mendapatkan jaringan untuk pemeriksaan sitologis. Menurut Sumaryati (2003), manfaat dari pemeriksaan PAP SMEAR adalah untuk mendeteksi dini tentang adanya radang pada rahim dan tingkat radangnya, adanya kelainan degeneratif pada rahim, ada/tidaknya tanda-tanda keganasan (kanker) pada rahim, yaitu a.
Mengetahui penyebab radang (virus, bakteri, jamur)
b.
Untuk menyelidiki infeksi-infeksi tertentu dan penyakit yang disebarkan secara seksual.
c.
Untuk menentukan penanganan dan pengobatan. Manfaat dari PAP SMEAR menurut Lestadi (1997) adalah:
a.
Evaluasi sitohormonal, untuk menentukan adanya penyakit-penyakit gangguan hormonal, menentukan ada tidaknya ovulasi pada kasus infertilisasi.
b.
Mendiagnosis peradangan, akan memberikan gambaran perubahan sel yang khas, yang sesuai dengan organisme penyebabnya.
c.
Identifikasi organisme penyebab peradangan, dengan pulasan papnicolaou, beberapa macam infeksi oleh kuman tertentu akan menimbulkan perubahan sel yang khas.
d.
Mendiagnosis kelainan pra kanker (displasia) serviks dini atau lanjut (karsinoma In Situ/Invasif). Kini telah diakui bahwa PAP SMEAR merupakan alat diagnostik pra kanker dan kanker serviks yang ampuh dengan ketepatan diagnostik yang tinggi. Walaupun ketepatan diagnostik sitologi ginekologik
Universitas Sumatera Utara
PAP SMEAR sangat tinggi yaitu sebesar 96%, tetapi diagnostik hispatologik sebagai alat pemasti diagnosis. Hal itu berarti setiap diagnostik sitologi kanker serviks harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan histopatologik jaringan biopsi serviks sebelum dilakukan tindakan berikutnya. e.
Memantau hasil terapi, misalnya pada kasus infertibilitas atau gangguan endokrin. Memantau hasil terapi radiasi pada kasus-kasus kanker serviks yang telah diobati dengan elektrokauter, kriosurgeri atau konisasi.
2.5.4. Wanita yang perlu melakukan Pap Smear Wanita yang perlu melakukan pap smear adalah : (a) wanita menikah atau melakukan hubungan seksual pada usia < 20 tahun, (b) wanita muda memiliki mulut rahim yang belum matang, ketika melakukan hubungan seksual terjadi gesekan yang dapat menimbulkan luka kecil, yang dapat mengundang masuknya virus, (c) wanita sering berganti-ganti pasangan seks, akan menderita infeksi di daerah kelamin, sehingga dapat mengundang virus HPV dan herves genitalis, (d) wanita yang sering melahirkan, kanker serviks banyak dijumpai pada wanita yang sering melahirkan disebabkan oleh trauma persalinan, perubahan hormonal dan nutrisi selama kehamilan, (e) wanita perokok, memiliki risiko dibandingkan dengan wanita tidak merokok, karena rokok akan menghasilkan zat karsinogen yang menyebabkan turunnya daya tahan di daerah serviks (Depkes, 2007; Aziz, 2002). Rekomendasi terbaru dari American
Collage of
Obstetricions and
gynecologist adalah melakukan pemeriksaan pelvis dan penapisan pulasan pap setiap
Universitas Sumatera Utara
tahun bagi semua perempuan yang telah aktif secara seksual atau telah berumur 21 tahun. Setelah tiga kali atau lebih secara berturut-turut hasil pemeriksaan tahunan ternyata normal, uji pap dapat dilakukan dengan frekuensi yang lebih jarang atas kebijakan dokter ( Price, 2006). Sasaran skrining ditentukan oleh Departemen Kesehatan masing-masing negara, WHO (2002 dalam Wilopo 2010) merekomendasikan agar program skrining pada wanita dengan beberapa persyaratan sebagai berikut : -
Usia 30 tahun ke atas dan hanya mereka yang berusia lebih muda manakala program telah mencakup seluruh sasaran vaksinasi.
-
Skrining tidak perlu dilakukan pada perempuan usia kurang 25 tahun.
-
Apabila setiap wanita hanya dapat dilakukan pemeriksaan sekali selama umur hidupnya (misalnya karena keterbatasan sumber dana yang dimiliki pemerintah atau swasta), maka usia paling ideal untuk melakukan skrining adalah pada usia 35-45 tahun.
-
Pada perempuan berusia diatas 50 tahun tindakan skrining perlu dilakukan setiap 5 tahun sekali.
-
Pada perempuan berusia 25-49 tahun tindakan skrining dilakukan setiap 3 tahun sekali.
-
Pada usia berapapun skrining setiap tahun tidak dianjurkan.
-
Bagi mereka yang berusia diatas 65 tahun tidak perlu melakukan skrining apabila 2 kali skrining sebelumnya hasilnya negatif.
2.5.5.
Alat yang Diperlukan untuk Pengambilan Tes pap
Alat yang digunakan pada tes pap smear adalah (Indarti, 2001):
Universitas Sumatera Utara
1. Formulir konsultasi sitologi. 2. Spatula ayre yang dimodifikasi dan cytobrush. 3. Kaca benda yang satu sisinya telah diberi tanda atau tabel. 4. Spekulum cocor bebek (grave’s) kering. 5. Tabung berisi larutan fiksasi alkohol 96%. 2.5.6.
Cara Pemeriksaan PAP SMEAR Cara melakukan tes papsmear secara teknis yaitu pengambilan sapuan
lendir dengan menggunakan spatula atau sejenis sikat halus. Lendir leher rahim diambil oleh dokter atau bidan untuk dioleskan dan difiksasi (dilekatkan) pada kaca benda. Kemudian dengan menggunakan mikroskop seorang ahli sitologi (sel) akan menguji sel rahim tersebut (Nurma, 2008). 2.5.7.
Hasil Pemeriksaan Test PAP SMEAR Ada standar tertentu dalam menginformasikan hasil pemeriksaan pap smear
yang disebut sistem Bethesda. Hasil pap smear yang normal disebut negatif terhadap lesi intraepitel (kelainan di dalam sel/keganasan). Hal ini berarti tidak ditemukan sel kanker (Mayoclinic, 2008). Klasifikasi Papanicolaou: 1. Tidak ditemukan sel ganas 2. Nampak sel abnormal tetapi tidak tersangka keganasan 3. Nampak sel-sel atypik yang meragukan untuk keganasan mohon diulang 4. Nampak sel-sel yang mencurigakan keganasan 5. Nampak adanya sel-sel ganas
Universitas Sumatera Utara
Sampel dengan hasil sel abnormal dikategorikan (seperti dikemukakan oleh National Cancer Institute): 1.
ASC (Atypical Squamous Cells): Sel skuamus tipis yang melapisi permukaan serviks. Sistem Bethesda mengkategorikan menjadi 2 grup:
-
ASC-US (Atypical Squamous Cells Undetermined Significance): Sel skuamus tidak berbentuk niormal, tetapi dokter tidak jelas dengan perubahannya. Kadang perubahan sel dikaitkan dengan infeksi HPV.ASC-US dianggap sebagai kelainan ringan.
-
ASC-H (Atypical Squamous Cells can not exclude High grade squamous intraepithelial lesion): Sel skuamus tampak tak normal, tetapi dokter tidak jelas dengan perubahannya. ASC-H dianggap beresiko tinggi menjadi stadium prakanker.
2.
AGC (Atypical Glandular Cells): Sel glandula yang memproduksi mukus (semacam lendir), ditemukan di kanal endoserviks (tepian mulut rahim) atau di sepanjang uterus (kandungan). Pada kategori ini, sel glandula tampak tidak normal, tetapi dokter tidak jelas dengan perubahannya.
3.
AIS (endocervical Adenocarcinoma In Situ): Sel prakanker ditemukan di glandular tissue (jaringan glandula).
4.
LGSIL (Low Grade Squamous Intraepithelial Lesion): Ada perubahan dini pada ukuran dan bentuk sel. Lesi berarti ada jaringan abnormal. Intraepitel berarti lapisan yang mengisi sel. LGSIL dianggap sebagai kelainan ringan yang disebabkan oleh infeksi HPV.
Universitas Sumatera Utara
5.
HGSIL (High Grade Squamous Intraepithelial Lesion): High Grade berarti ada perubahan tingkat lanjut dari ukuran dan bentuk sel (sel prakanker). Lesi berarti ada jaringan abnormal. HGSIL merupakan kelainan tingkat lanjut yang dapat berkembang menjadi kanker invasif.
2.6. 1.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemeriksaan PAP SMEAR Umur Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Darnondro dkk (2007) di rumah
susun Klender Jakarta mengatakan bahwa sebesar 24,3% wanita yang sudah menikah pertama kali PAP SMEAR pada umur 25 sampai 40 tahun. Dalam model sistem kesehatan (Health System Models) oleh Anderson (1974, dalam Notoatmodjo 2007) menyebutkan bahwa umur termasuk di dalam faktor sosial demografi yang mempengaruhi seseorang untuk mencari pengobatan dan menggunakan pelayanan kesehatan. 2.
Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi perilaku mengenai kondisi
kesehatannya. Apabila ia berpendidikan tinggi diharapkan pengetahuannya semakin baik karena banyaknya informasi yang diperoleh, sedangkan yang berpendidikan sedang atau rendah diharapkan mendapatkan pengetahuan berasal dari teman/saudara maupun dari kegiatan penyuluhan dan media. Green (1980) menganalisis pengetahuan dipengaruhi oleh faktor predisposisi yaitu pendidikan yang dimiliki seseorang.
Universitas Sumatera Utara
3.
Pekerjaan Pekerjaan menjadi faktor penyebab seseorang untuk berperilaku terhadap
kesehatannya. Hal ini disebabkan karena pekerjaan menjadi faktor risiko seorang mengalami sakit maupun penyakitnya. Pada penelitian Sakanti (2007) menunjukkan bahwa wanita yang tidak bekerja lebih banyak melakukan pemeriksaan PAP SMEAR daripada wanita yang bekerja, hal tersebut berkaitan dengan waktu dan pelayanan kesehatan. 4.
Penghasilan Sosial ekonomi mempengaruhi seseorang dalam mencari pelayanan
kesehatan berupa pengobatan. Dengan berpenghasilan tinggi maka orang tersebut akan melakukan pencegahan dengan pendeteksian dini kanker serviks yaitu dengan metode PAP SMEAR. Pada penelitian di Amerika bulan April 2003 mengatakan responden yang memiliki penghasilan yang besar memiliki kemauan sebesar 1,56 kali untuk menjalankan pemeriksaan PAP SMEAR (Darmindro dkk, 2007). 5.
Pengetahuan Pengetahuan menjadi faktor predisposisi karena dapat mempermudah untuk
terjadinya perubahan perilaku dalam mengatasi masalah kesehatannya. Tim kerja WHO (1989) menganalisis bahwa seseorang berperilaku karena adanya alasan dalam bentuk pemikiran dan perasaan yaitu pengetahuan (Notoatmodjo, 2005). Penelitian Susanti (2002), kurangnya pengetahuan responden menjadi alasan datang dengan kanker serviks pada stadium lanjut karena tidak adanya yang memberikan informasi.
Universitas Sumatera Utara
6.
Biaya Biaya mempengaruhi seseorang untuk berperilaku dalam mendapatkan
pengobatan. Apabila biaya yang harus dikeluarkan mahal maka ia cenderung untuk tidak mencari pengobatan, sedangkan bila harga pelayanan kesehatan murah ataupun masih terjangkau maka individu tersebut mencari pelayanan kesehatan untuk mengobati penyakitnya, dalam hal ini adalah pemeriksaan PAP SMEAR. Analisis yang dilakukan oleh Suchman (1967) mengatakan bahwa mahalnya biaya yang harus dikeluarkan seseorang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan menyebabkan 8% orang yang melaporkan sakitnya, terlambat dalam mencari pengobatan. 7.
Jarak Faktor pendukung seseorang untuk melakukan pemeriksaan adalah jarak.
Menurut teori Snehandu terjangkaunya informasi dapat mempengaruhi seseorang untuk bertindak dalam mencari pengobatan (Notoatmodjo, 2005). Sedangkan Green (1980) menganalisis bahwa keterjangkauan sarana dan prasarana kesehatan yaitu jarak menjadi faktor pemungkin seseorang untuk dapat merubah perilakunya dalam mencari pengobatan dan mendapatkan pelayanan kesehatan. 8.
Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam perilaku
pemeriksaan PAP SMEAR. Berdasarkan teori dari tim kerja WHO (1989, dalam Notoatmodjo 2005) mengatakan bahwa tersedianya sumber-sumber daya berupa fasilitas, uang, waktu, tenaga, dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku
Universitas Sumatera Utara
sedangkan cumnings dkk (1980, dalam Notoatmodjo 2000) menganalisis bahwa keterjangkauan pelayanan kesehatan seperti kemampuan individu untuk membayar dan tersedianya pelayanan kesehatan menjadi dapat merubah perilaku seseorang. Penelitian yang dilakukan Susanti (2002) mengatakan bahwa sebagian besar responden tidak melakukan PAP SMEAR, alasannya ialah mereka tidak mengetahui adanya pemeriksaan PAP SMEAR serta lokasi pemeriksaan yang disebabkan karena adanya hambatan/kendala seperti tidak adanya informasi, jarak yang jauh dan biaya transport. 9.
Pengaruh/dukungan suami Keluarga yang terdekat dengan pasien/istri adalah suami. Peran suami
diharapkan dapat memberikan dukungan/anjuran bagi istrinya untuk mencari pengobatan atas gejala/keluhan yang dirasakan. Menurut Friedman (1998) menganalisis bahwa seseorang akan mencari pelayanan kesehatan apabila ia mencari nasihat dari keluarga atau teman-temannya. Dengan mendapatkan anjuran dan dukungan dari orang-orang terdekat dapat merubah perilakunya untuk melakukan pemeriksaan PAP SMEAR. 10. Pengaruh/dukungan Petugas Kesehatan Adanya pengaruh/dukungan dari petugas kesehatan yaitu dokter/bidan rumah sakit secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi dalam melakukan pemeriksaan PAP SMEAR. Analisi tim kerja WHO (1989, Notoatmodjo 2005), perilaku seseorang dipengaruhi oleh orang penting sebagai referensi yaitu petugas kesehatan. Survei yang dilakukan Badan Pusat Penanggulangan dan
Universitas Sumatera Utara
Pencegahan Penyakit CDC (2002 yang dipublikasikan pada tahun 2005 dalam majalah Journal of Cancer Epidemiology, Biomarkers and Prevention) menyebutkan sebanyak 87% dari 1.502 wanita Amerika yang melakukan konsultasi rutin ke dokter tiap
tahunnya
tidak
mendapatkan
anjuran
untuk
PAP
SMEAR.
(http://www.kapanlagi.com/h/0000062841.html)
Universitas Sumatera Utara
2.7. Kerangka Konsep
Faktor Predisposisi: - Umur - Pendidikan - Pekerjaan - Penghasilan - Riwayat Perkawinan - Riwayat Kehamilan - Pengetahuan - Sikap
Faktor Pemungkin: - Biaya - Jarak - Pelayanan kesehatan - Media Informasi
PEMERIKSAAN PAP SMEAR
Faktor Penguat: - Keluarga - Teman - Petugas kesehatan
Berdasarkan kerangka pikir di atas, dapat dilihat bahwa: Perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam dirinya dan juga faktor diluar dirinya seperti pengaruh dari orang-orang terdekat dan lingkungannya. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan teori dari Lawrence Green (1980) yang diarahkan pada perilaku ibu dalam pemeriksaan PAP SMEAR. Terdapat 2 variabel dalam penelitian ini yaitu variabel terikat adalah perilaku ibu dalam pemeriksaan PAP SMEAR, sedangkan variabel bebas antara lain faktor predisposisi
Universitas Sumatera Utara
(Sosial demografi seperti umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, Riwayat perkawinan, Riwayat kehamilan, Pengetahuan , dan Sikap). Faktor Pemungkin (Biaya, jarak, dan pelayanan kesehatan). Faktor Penguat (Keluarga, Teman, Petugas Kesehatan)
Universitas Sumatera Utara