BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Keilmuan 1. Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati muncul karena adanya persamaan dan perbedaan cirri serta sifat yang dimiliki oleh makhluk hidup. Perbedaan ini dapat dilihat dari bentuk, penampilan, jumlah, ukuran, serta ciri-ciri lain yang dimiliki makhluk hidup. Mempelajari keanekaragaman hayati dapat dimulai dengan cara mengelompokkan organisme yang memiliki ciri morfologi yang sama dan memisahkannya berdasarkan perbedaan ciri morfologinya. Selanjutnya dapat dilakukan berdasarkan karakteristik yang lebih mendalam dan spesifik (Satino, 2012:2-3). Keanekaragaman hayati adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keanekaan bentuk kehidupan di bumi, interaksi di antara berbagai makhluk hidup, serta antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Bappenas, 2004:6). Keanekaragaman hayati umumnya dianggap memiliki tiga tingkatan yang berbeda yaitu keanekaragaman gen, keanekaragaman spesies, dan keanekaragaman ekosistem. Keanekaragaman hayati meningkat ketika variasi genetik baru dihasilkan, spesies baru berevolusi, atau ketika satu ekosistem baru terbentuk. Keanekaragaman hayati akan berkurang dengan berkurangnya spesies, satu spesies punah atau ekosistem hilang maupun rusak. Konsep ini menekankan sifat keterkaitan dunia kehidupan dan proses-prosesnya (Satino, 2012:4).
Pembagian keanekaragaman hayati menjadi tiga tingkatan tersebut didasarkan pada keterwakilan dari ranah organisasi molekuler. Dalam mempelajari makhluk hidup dikenal ada tiga pengelompokan yang didasarkan pada ranah yang berbeda, yaitu : a. Pengelompokkan makhluk hidup berdasarkan Taksonomi Pengelompokan makhluk hidup didasarkan pada persamaan dan perbedaan dan disusun secara bertingkat yang bertujuan untuk mempermudah dalam mempelajarinya dan dikenal dengan istilah tingkatan taksa/taksonomi. Secara umum ada beberapa tingkatan taksa yang telah dikenal antara lain: Kindom, Filum/Devisio, Class (Kelas), Ordo (Bangsa), Famili (Suku), Genus (Marga), dan Spesies (Jenis). Dari pengelompokkan ini lahirlah keanekaragaman hayati tingkat jenis yang dianggap dapat mewakili keanekaragaman organism secara taksonomi. b. Pengelompokkan makhluk hidup berdasarkan komplektisitas materi penyusun. Pengelompokkan ini didasarkan pada komplektisitas penyusunnya tanpa mempertimbangkan adanya interaksi sebagai sebuah sistem. Hasilnya didapatkan pengelompokkan makhluk hidup dari yang sederhana hingga yang paling kompleks, meliputi: atom, molekul, gen, sel, jaringan, organ, individu, populasi, dan komunitas. Kemudian lahirlah keanekaragaman hayatitingkat gen yang dianggap mewakili keanekaragaman hayati berdasarkan komplektisitas meteri penyusunnya. c. Pengelompokkan makhluk hidup berdasarkan koplektisitas materi penyusun dan interaksinya.
10
Dikenal dengan istilah biosistem, yaitu organisasi kehidupan dipandang sebagai sebuah sistem yang saling berinteraksi dan tidak berdiri sendiri. Secara bertingkat dikenal dengan istilah: sistem atom, sistem molekul, sistem gen, sistem sel, sistem jaringan, sistem organ, sistem individu (organism), sistem populasi, dan sistem komunitas (ekosistem). Dari pengelompokan ini lahirlah keanekaragaman hayati tingkat ekosistem yang dianggap dapat mewakili dalam mempelajari salah satu keanekarahaman hayati. (Satino, 2012:5-10)
2. Keanekaragaman Jenis Capung Keanekaragaman jenis adalah keanekaan spesies organisme yang menempati suatu ekosistem, di darat maupun di perairan. Dengan demikian masing-masing organisme mempunyai ciri yang berbeda satu dengan yang lain (Bappenas, 2004 : 6). Keanekaragaman tingkat jenis ditunjukkan dengan adanya beraneka macam jenis makhluk hidup baik tumbuhan, hewan, maupun mikroba. Keanekaragaman jenis capug ditunjukkan dengan adanya persamaan dan perbedaan yang terdapat pada satu jenis capung dengan jenis lainnya. Perbedaan yang terdapat diantara organise berbrda jenis leboh banyak dibandingkan dengan perbedaan yang terdapat diantara organisme satu jenis. Dua organisme yang berbeda jenis mempunyai susunan gen yang lebih banyak perbedaanya dari pada yang tergolong satu jenis (IGP Suryadharma dkk, 1997 : 27). 3. Capung (Ordo Odonata) a. Morfologi Capung Istilah capung dalam bahasa Indonesia biasa ditujukan kepada kedua sub ordo odonata, yaitu Anisoptera atau capung biasa dan Zygoptera atau capung jarum. Capung termasuk ke dalam kelas Insecta/Serangga. Secara umum,
11
serangga merupakan kelompok utama dari hewan beruas (Arthropoda) yang bertungkai enam, oleh karena itu mereka disebut pula Hexapoda atau berkaki enam. Secara morfologi, tubuh serangga dewasa dapat dibedakan menjadi tiga bagian. Ketiga bagian tubuh serangga dewasa tersebut adalah kepala (caput), dada (thoraks), dan perut (abdomen) (Andika Prasetya. 2014) Kepala atau caput capung berbentuk kapsul, merupakan bangunan yang kuat yang dilengkapi dengan mulut, antena, dan mata (Mochamad Hadi. 2009:3). Capung memiliki sepasang mata yang mampu melihat kesegala arah, berukuran besar dan hampir memenuhi seluruh kepala yang terdiri dari mata majemuk dan mata tunggal. Terdapat sepasang antena yang bertipe setaceus berbentuk seperti duri, ruas-ruasnya lebih mengecil pada bagian ujung (Suhara. 2014:11). Mulut capung bertipe pengunyah yang dapat
digunakan untuk memegang,
menggerakkan, dan mengunyah makanan. Dada atau toraks relatif kecil dengan dilengkapi sayap dan tungkai. Capung memiliki sayap bertipe sayap membran yang terdiri dari dua pasang, biasa disebut sayap depan dan sayap belakang. Bentuk sayap memanjang, berangka, dan berselaput. Pada sub ordo Anisoptera, mempunyai sayap belakang yang lebih lebar. Pada waktu istirahat, sayap diletakkan secara horizontal atau membuka. Sedangkan pada sub ordo Zygoptera atau capung jarum, sayap dapan dan sayap belakang memilik memiliki bentuk yang relatif serupa dengan bagian dasar sayap menyempit. Pada saat istirahat umunya capung jarum meletakkan sayapnya dalam keadaan menutup (Borror. 1992:240-254). Tungkai capung
12
relatif pendek berjumlah 3 pasang yang bertipe raptorial yang berfungsi untuk menangkap mangsa dan hinggap. Perut atau abdomen berbentuk memanjang, agak silindris, beruas-ruas, meruncing dibagian ujung, dan terdapat kelenjar kelamin. Ruas abdomen berjumlah sepuluh yang bersifat fleksibel. Menurut William dan Feltmate (1992 dalam Siti Nurul. 2008:5) ukuran abdomen pada ruas pertama, kedua, kedelapan, dan kesepuluh lebih pendek daripada ruas lain. Kelenjar kelamin dan lubang kelamin berada di ujung abdomen, namun pada capung jantan alat penyampai (penis) dan cantol-cantol pelengkap berada di dasar abdomen pada ruas ke dua dan tiga, sedangkan pada capung betina berada di ujung abdomen (Redaksi Ensiklopedi Indonesia.1989:37) b. Klasifikasi Capung Secara keseluruhan, capung terdiri dari dua sub ordo yaitu Anisoptera dan Zygoptera, keduanya terbagi lagi ke dalam 29 famili, 58 sub famili dan 600 genus. Jumlah nama spesies capung di dunia mencapai 6000 nama (Silsby, Jill. 2001 : 71). Pembagian Ordo Odonata menjadi Sub Ordo Anisoptera dan Zygoptera didasarkan pada bentuk sayap dan sifat-sifat sayapnya. Pembagian dari sub ordo ke famili didasarkan pada sifat sayap, meliputi susunan vena, corak sayap, dan bentuk sayap. Serta pada mata facet, alat mulut terutama labium, dan lobus pada ruas ke-2 abdomen dari yang jantan. Sub Ordo Anisoptera memiliki tubuh yang kuat dengan panjang berkisar antara 2,5-9 cm. Sayap depan lebih kecil dari pada sayap belakang. Pada saat istirahat, posisi sayap dalam keadaan terbuka/horizontal. Pada jantan
13
mempunyai alat tambahan (terminal appendages) sebanyak 3 buah (2 diatas dan 1 dibawah). Sedangkan pada betina mempunyai 2 buah dorsal terminal appendages. Nimfa berukuran besar mempunyai insang di rectum. Sub ordo Zygoptera memiliki bentuk dan ukuran sayap depan dan belakang relatif sama. Pada saat istirahat posisi sayap dalam keadaan tertutup dan tegak lurus dengan tubuh. Abdomen berbentuk ramping. Pada jantan memiliki 4 buah alat tambahan, betina memiliki ovivositor yang berkembang dengan baik. Nimfa Zygoptera mempunyai insang yang berbentuk daun dan berjumlah 3 buah (Mochamad Hadi. 2009:132-133). c. Habitat Capung Capung dewasa sering terlihat di tempat-tempat terbuka , terutama diperairan tempat mereka berbiak dan mencari makan. Capung dan capung jarum menyebar luas di hutan-hutan, kebun, sawah, sungai, dan danau, hingga ke pekarangan rumah lingkungan perkotaan, tepi pantai hingga ketinggian lebih dari 3000 m dpl. Sebagian besar capung senang hinggap di pucuk rumput, perdu, dan ranting-ranting pohon yang tumbuh di sekitar perairan (Shanti Susanti. 1998:11). Beberapa jenis capung dewasa merupakan penerbang yang sangat kuat, sehingga sering kali dapat ditemukan jauh dari wilayah perairan. d. Siklus Hidup dan Reproduksi Capung Capung merupakan salah satu contoh serangga yang mengalami metamorfosis tidak sempurna atau hemimetabola. Di masa hidupnya, capung mengalami tiga tahap perubahan bentuk yaitu telur, nimfa, dan capung dewasa
14
(Shanti Susanti. 1998:14). Saat terjadi kopulasi, capung jantan mengaitkan ujung abdomennya di leher betina kemudian betina akan membengkokkan abdomennya ke atas dan mengaitkan ujung abdomennya ke organ genital jantan yang ada di ruas 2-3 abdomen jantan. Kopulasi bisa terjadi dalam keadaan terbang maupun tengger. Setelah terjadi kopulasi, capung betina akan meletakkan telurnya di air atau disisipkan pada tanaman air (Wahyu Sigit. 2013:23). Telur capung ada yang berbentuk panjang silindris dan ada yang bulat, di salah satu sudut ada satu atau beberapa lubang yang sangat kecil yang digunakan untuk jalan memasukkan sperma sebelum telur diletakkan di air. Telur tersebut kemudian akan menetas menjadi nimfa. Lama masa penetasan ini bervariasi satu jenis dengan jenis lain, antara 1-3 minggu. Predator utama telur capung adalah ikan dan siput. Nimfa capug memilik bentuk yang mirip dengan bentuk capung dewasa, kecuali sayap dan organ reproduksi. Organ reproduksi dan sayap pada nimfa belum berkembang (Aprizal Lukman. 2009 : 43) Nimfa capung dapat hidup di air selama beberapa bulan hingga tahun dan sangat sensitif terhadap kondisi air yang tercemar. Sebagian besar kehidupan capung dihabiskan dalam tahap ini dan bernafas dengan menggunakan insang. Pada masa perkembangannya sebelum menjadi capung dewasa, nimfa capung akan mengalami pergantian kulit (moulting) sebanyak 6-15 kali, tergantung jenis capungnya, atau yang disebut dengan tahap instar. Nimfa jenis capung
15
tertentu dapat mengalami masa istirahat yang menunda perkembangan hingga musim tertentu yang sesuai bagi kehidupannya (Shanti Susanti.1998:16-17). Proses pergantian kulit atau moulting ini dipengaruhi oleh hormon. Serangga memiliki tiga hormon yang berpedan dalam metamorfosis yaitu hormon otak (ecdysiotropin) yang dihasilkan dalam corpora cardiace, hormon moulting atau ecdyson (protoracic gland/PGH) yang dihasilkan oleh kelenjar protoraks, dan hormon juvenil (JH) yangdihasilkan oleh corpora allata yaitu sepasang kelenjar endokrin yang terletak di otak. Capung memiliki kerangka luar yang disebut eksoskleleton yang menutupi seluruh tubunhnya namun tidak bisa mengalami pertumbuhan, sedangkan tubuh nimfa capung terus mengalami pertumbuhan. Akibatnya nimfa capung harus melakukan moulting beberapa kali selama hidupnya (Aprizal Lukman. 2009 : 43). Secara berkala sel-sel neurosekretori di dalam otak menghasilkan hormon otak/ecdysiotropin. Hormon ini merangsang kelenjar protoraks untuk menghasilkan hormon edyson yang kemudian merangsan pertumbuhan dan menyebabkan
epidermis
menggetahkan
suatu
kutikula
baru
yang
menyebabkan dimulainya proses pengelupasan kulit atau moulting. Selain ecdyson, proses moulting juga dipengaruhi oleh hormon juvenil. Selama hormon juvenil masih diproduksi, rangkaian pengelupasan kulit yang terjadi di bawah pengaruh ecdyson hanya akan menghasilkan stadium tidak dewasa (masih tetap menjadi nimfa). Jika saat nimfa capung moulting dan tidak menghasilkan hormin juvenil maka nimfa tersebut akan menjadi bentuk dewasa (capung dewasa) (Aprizal Lukman. 2009 : 43-44).
16
Setelah nimfa tua/matang (mature) dan siap menjadi capung dewasa, nimfa capung akan memanjat tanaman air atau benda lain untuk keluar dari air. Pada waktu tersebut fungsi insang akan terhenti dan digantikan oleh lubang dubur. Proses ini umumnya terjadi di pagi hari sebelum matahari terbit. Capung dewasa keluar dengan merobek kulit nimfa tua, umumnya membutuhkan waktu 1-2 jam untuk bisa terbang. Jenis capung tertentu membutuhkan waktu lebih lama, bisa sampai seharian baru bisa terbang. Periode pematangan reproduksi capung dewasa Zygoptera terjadi selama 2 sampai 30 hari sedangkan subordo Anisoptera berlangsung selama 6 sampai 45 hari yang dipengaruhi oleh jenis spesies, cuaca, lingkungan dan habitat. Masa reproduksi berlangsung selama satu sampai delapan minggu. Periode
pematangan
berlangsung
sejak
kemunculan
naiad
sampai
kematangan seksual yang melibatkan; perubahan warna tubuh, warna sayap, perkembangan alat kelamin, ukuran dan kemunculan ektoparasit tertentu dan pertumbuhan jumlah lapisan pada endokutikula (William & Feltmate 1992 dalam Siti Nurul. 2008:6) e. Peran Capung bagi Kehidupan Capung memiliki manfaat secara tidak langsung bagi manusia. Dari sisi kesehatan, nimfa capung berperan sebagai predator jentik-jentik nyamuk yang dapat menyebabkan penyakit malaria dan demam berdarah. Berdasarkan hasil temuan baru-baru ini telah terungkap bahwa capung merupakan pembasmi yang efektif terhadap nyamuk-nyamuk yang menyebabkan penyakit demam berdarah. Dari sisi pertanian, capung dewasa merupakan predator hama
17
tanaman. Makanan capung dewasa antara lain belalang, ngengat, lalat dan serangga lainnya (Susanti. 1998 : 24-25). Capung dapat digunakan sebagai indikator lingkungan karena capung merupakan cerminan perubahan alam yang sangat nyata. Kehidupan nimfa capung sangat dipenngaruhi oleh kondisi air di tempat hidupnya. Eksistensi capung pada suatu wilayah secara langsung menunjukkan kondisi terkini alam yang sedang dipantau (Dan Brata. 2013 : 12).
18
B. Kajian Kependidikan 1. Hakikat Pembelajaran Biologi Pembelajaran menurut Syamsu Mappa dan Anisah Basleman (1994: 11), merupakan suatu proses usaha untuk memenuhi kebutuhan dan untuk mencapai tujuan. Biologi merupakan ilmu yang mempelajari objek dan persoalan gejala alam. Semua benda dan kejadian alam merupakan sasaran yang dipelajari dalam ilmu biologi. Proses belajar biologi menurut Djohar (1987), merupakan perwujudan dari interaksi subjek (anak didik) dengan objek yang terdiri dari benda dan kejadian, proses dan produk. Pendidikan biologi harus diletakkan sebagai alat pendidikan, bukan sebagai tujuan pendidikan, sehingga konsekuensinya dalam pembelajaran hendaknya memberi pelajaran kepada subyek belajar untuk melakukan interaksi dengan obyek belajar secara mandiri, sehingga dapat mengeksplorasi dan menemukan konsep. Konsep belajar mengajar biologi memiliki tiga persoalan utama, yaitu hakekat mengajar, kedudukan materi meliputi arti dan peranannya, serta kedudukan siswa (Djohar, 1987: 7) Suhardi (2007: 4), mengungkapkan bahwa proses pembelajaran/ proses belajar mengajar biologi merupakan suatu sistem. Sistem pembelajaran tersebut merupakan kesatuan tidak terpisahkan dari empat komponen pembelajaran yang berupa raw input (peserta didik), Instrumental input (masukan instrumental), lingkungan dan out putnya (hasil keluaran) dengan pusat sistem berupa proses pembelajaran.
19
Menurut Nuryani Y. Rustaman (2005: 5), dalam proses pembelajaran terkandung kegiatan interaksi antara guru-siswa dan komunikasi timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan belajar. Interaksi dan komunikasi timbal balik antara guru dan siswa merupakan ciri dan syarat utama bagi berlangsungnya proses ini. Perlu dipahami, bahwa interaksi tersebut tidak hanya berupa penyampaian materi pelajaran, melainkan juga menanamkan sikap dan nilai pada diri siswa yang sedang belajar. Selain interaksi antara guru dan siswa, juga interaksi antara siswa dan obyek yang dipelajarinya. Suhardi (2007: 4), menegaskan bahwa hakikat proses belajar adalah interaksi antara siswa dengan obyek yang dipelajarinya sehingga proses pembelajaran tidak tergantung sekali kepada keberadaan guru sebagai pengelola pembelajaran. Hal tersebut menjadi alasan untuk tidak mengesampingkan peranan sumber dan media belajar dalam proses pembelajaran. Lebih lanjut dikatakan oleh Wuryadi (1971: 88), bahwa dalam proses belajar mengajar pada diri siswa akan berkembang tiga ranah yaitu: ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tiga ranah tersebut dapat diuraikan menjadi tujuan pendidikan biologi, yaitu: Pengembangan sikap dan pengharagaan, Pengembangan cara berfikir, Pengembangan ketrampilan, baik ketrampilan kerja maupun ketrampilan berfikir, dan Pengembangan pengetahuan dan pengertian serta penggunaan pengetahuan tersebut bagi kepentingan kehidupan manusia. Dalam proses belajar mengajar, guru tidak hanya berfungsi sebagai pemberi ilmu pengetahuan (transmitter of knowledge) tetapi berfungsi juga sebagai pengelola proses belajar mengajar (Prawoto, 1989: 21).
20
2. Sumber Belajar Mulyasa (2007: 177) menerangkan, sumber belajar merupakan segala sesuatu yang dapat memberi kemudahan belajar, sehingga diperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang diperlukan. Sumber belajar juga diartikan sebagai daya yang dapat dimanfaatkan guna kepentingan proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung sebagian atau secara keseluruhan. Dari berbagai sumber belajar yang ada, pada garis besarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut: a. Manusia, yaitu orang menyampaikan pesan secara langsung, seperti guru, konselor, dan administrator, yang dirancang secara khusus dan disengaja untuk kepentingan belajar (by design). b. Bahan, yaitu sesuatu yang mengandung pesan pembelajaran, baik yang dirancang secara khusus seperti film pendidikan, peta, grafik, buku, dan lainlain yang disebut media pengajaran (instructional media), maupun bahan yang bersifat umum yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan belajar. c. Lingkungan, yaitu ruang dan tempat di mana sumber-sumber dapat berinteraksi dengan para peserta didik. Ruang dan tempat yang dirancang secara
sengaja
untuk
kepentingan
belajar,
misalnya
perpustakaan,
laboratorium, kebun, dan lain-lain. d. Alat dan peralatan, yaitu sumber belajar untuk produksi dan atau memainkan sumber-sumber lain, misalnya: tape recorder, kamera, slide. e. Aktivitas, yaitu sumber belajar yang biasanya merupakan kombinasi antara teknik dengan sumber lain untuk memudahkan belajar.
21
Menurut IGP Suryadarma (1997: 5), biologi adalah ilmu yang memiliki ciri menggunakan benda hidup sebagai obyek studinya. Sumber belajar biologi tentunya memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan sumber belajar lainnya. Lebih lanjut Suhardi (2007: 5) menyatakan, sumber belajar biologi adalah segala sesuatu, baik benda maupun gejalanya yang dapat dipergunakan untuk memperoleh pengalaman dalam rangka pemecahan permasalahan biologi tertentu. Keberadaan sumber belajar dapat memungkinkan dan memudahkan terjadinya proses belajar. Sumber belajar dibedakan menjadi dua golongan yaitu sumber belajar yang siap digunakan tanpa ada penyederhanaan dan modifikasi misalnya kebun binatang dan sumber belajar yang disederhanakan atau dimodifikasi misalnya penggunaan sumber belajar menggunakan hasil penelitian. Hasil penelitian apabila akan digunakan sebagai sumber belajar yag digunakan siswa maka harus melalui tahapan-tahapan identifikasi proses dan produk penelitian, seleksi dan modifikasi hasil penelitian dan penerapan dan pengembangan hasil penelitian sebagai sumber belajar. a. Identifikasi proses dan produk penelitian Untuk diangkat sebagai sumber belajar, hasil penelitian harus dikaji berdasarkan kurikulum pendidikan biologi yang berlaku. Tujuan dari pengkajian ini untuk melihat kejelasan potensi ketersediaan objek dan permasalahan yang akan diangkat, kesesuaian dengan tujuan pembelajaran, sasaran materi dan peruntukan, informasi yang akan diungkap, pedoman eksplorasi dan perolehan yang akan dicapai.
22
b. Seleksi dan modifikasi proses dan produk penelitian sebagai sumber belajar. Seleksi dan modifikasi proses dan produk penelitian sebagai sumber belajar dilakukan dengan cara : 1) Menyesuaikan prosedur kerja penelitian dengan kegiatan pembelajaran 2) Menyesuaikan produk penelitian (fakta, konsep dan prinsip) dengan kurikulum c. Penerapan hasil penelitian sebagai sumber belajar ke dalam organisasi instruksional. Penerapan hasil penelitian sebagai sumber belajar dapat berwujud RPP dengan komponen-komponen yaitu konsep, subkonsep, KD, hasil belajar, indikator, uraian materi, sasaran, jenis kegiatan, waktu, metode, sarana dan prasarana, bentuk belajar, sistem interaksi dan alat evaluasi. (Suhardi. 2007:3-17) 3. Lingkungan Sebagai Sumber Belajar Biologi Salah satu sumber belajar yang sangat kaya adalah lingkungan. Menurut UNESCO lingkungan diartikan sebagai faktor-faktor fisik, biologi, sosialekonomi, dan budaya yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung, dan berinteraksi dengan kehidupan seseorang (Mulyasa, 2007: 182). Beberapa contoh lingkungan yang dapat digolongkan sebagai sumber belajar biologi antara lain Kebun Raya, Suaka Marga Satwa, Suaka Alam, Taman Nasional, Taman Laut Asli dan Buatan, dan sebagainya (Suhardi, 2008: 7). Hal yang selaras diungkapkan oleh Sudjoko (1984: 66), lingkungan yang cukup untuk mempelajari IPA dapat menjadi sumber belajar melalui kegiatan
23
pengamatan dalam bentuk studi lapangan. Studi lapangan biasanya berjarak cukup jauh dari sekolah dan waktu yang dipergunakan biasanya lebih lama, maka agar waktu dan biaya yang dikeluarkan tidak sia-sia, dalam arti apa yang dilakukan dalam studi lapangan tetap bernilai bagi siswa yang sedang belajar IPA, persiapan yang matang sangat diperlukan. 4. Research and Development (R&D) Terdapat banyak definisi Research and Development atau Penelitian dan Pengembangan. Secara sederhana R&D bisa di definikan sebagai metode penelitian yang secara sengaja, sistematis, bertujuan/diarahkan untuk mencaritemukan, merumuskan, memperbaiki, mengebangkan, menghasilkan, menguji keefektifan produk, model, metode/strategi/cara, jasa, prosedur tertentu yang lebih unggul, baru, efektif, efisien, produktif, dan bermakna (Nusa Putra. 2015:67). R&D diarahkan untuk mencaritemukan kebaruan dan keunggulan dalam rangka efektifitas, efisiensi, dan produktivitas. Oleh karena itu, R&D selalu dengan tegas dibedakan dari penelitian murni/dasar, walaupun tentu saja tidak dapat dipisahkan dari penelitian murni/dasar. Bahkan sering kali R&D didasarkan pada penelitian murni/dasar. Penelitian dan pengembangan berfungsi untuk memvalidasi dan mengembangkan produk. Memvalidasi produk berarti produk itu telah ada dan peneliti
hanya
menguji
efektivitas
atau
validitas
produk
tersebut.
Mengembangkan produk dalam arti yang luas dapat berupa memperbarui produk yang telah ada (sehingga menjadi lebih praktis, efektif, dan efisien) atau menciptakan produk baru yang belum pernah ada sebelumnya. Menurut Borg
24
and Gall (1989), salah satu jembatan antara penelitian dasar dengan penelitian terapan adalah R & D. Penelitian dasar bertujuan untuk menemukan pengetahuan baru tentang fenomena yang ada, sedangkan penelitian terapan bertujuan untuk menemukan pengatahuan yang secara praktis dapat diaplikasikan. Metode penelitian dan pengembangan telah banyak digunakan pada bidang-bidang ilmu pengetahuan alam dan teknik. Hampir semua produk teknologi diproduksi dan dikembangkan melalui penelitian dan pengembangan. Penelitian dan pengembangan yang menghsilakn produk tertentu di bidang pendidikan masih sangat rendah. Borg and Gall (2003) mengatakan bahwa penelitian dan pengembangan dalam pendidikan digunakan untuk merancang produk baru dan prosedur, dan selanjutnya diuji lapangan secara sistematis, dievaluasi dan disempurnakan sampai memenuhi kriteria yang spesifik yaitu efektivitas, kualitas, dan memnuhi standar (Sugiyono. 2015:28-34) Berikut ini gambaran langkah-langkah penelitian dan pengembangan dari berbagai penulis. a. Borg and Gall (1989), mengemukakan sepuluh langkah dalam R & D yang telah dikembangkan, yaitu : research and information collecting, Planning, Develop preliminary form a product, Preliminary field testing, Main product revision, Main field testing, Operational product revision, Operational field testing, Final product revision, and Dissemination and implementation. b. Thiagarajan (1974), mengemukakan bahwa ada 4 langkah dalam R & D yang disingkat degan 4D, yaitu : Define, Design, Development, dan Dissemination.
25
c. Robert Maribe Branch (2009), mengembangkan desain pembelajaran dengan pendekatan ADDIE, yaitu : Analysis, Design, Development, Implementation, dan Evaliation. d. Richey and Klein (2009), menyatakan bahwa fokus dari perancangan dan penelitian pengembangan bersifat analilis dari awal sampai akhir, yang meliputi Perancangan, Produksi, dan Evaluasi (PPE). (Sugiyono. 2015: 35-39)
5. Lembar Kegiatan Siswa a. Pengertian LKS Lembar Kegiatan Siswa (LKS) merupakan lembaran-lembaran yang berisikan tugas-tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. Lembaranlembaran ini biasanya berupa petunjuk atau
langkah-langkah untuk
menyelesaikan tugas sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai (Andi Prastowo. 2012 : 203-204). b. Bentuk LKS Berdasarkan kelengkapan materi yang dipelajari, LKS dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1) LKS Terbuka LKS yang memberikan peluang bagi siswa mengembangkan kreativitas dan daya nalar. Arahan yang diberikan guru biasanya lebih bersifat sebagai stimulasi bagi siswa untuk mengerjakan seuatu kegiatan belajar. Selama kegiatan belajar, guru lebih banyak sebagai fasilitataor dan
26
motivator. Sifat menantang dan menumbuhkan sifat keingintahuan siswa menjadi kunci keberhasilan dalam memacu kreativitas belajar siswa. 2) LKS Tertutup LKS yang dikemas sedemikan ketat sehingga tidak memberi peluang kepada siswa untuk mengembangkan daya nalar, kreativitas, minat, dan daya imajinasinya. Siswa dipaksa mengikuti arahan dan mengerjakan tugas-tugas sesuai petunjuk yang telah ditetapkan oleh guru. Penerapan LKS ini biasanya ditujukan kepada siswa yang sedang mulai belajar. 3) LKS Semi Tertutup LKS yang hampir sama denga LKS tertutup namun dibeberapa bagian sengaja diberikan kepada siswa utuk dikembangkan. Bagian-bagian yang diserakhan kepada siswa umunya dirancang guru untuk mengembangkan beberapa kemampuan spesifik pada diri siswa. LKS semacam ini biasanya digunakan untuk belajar secara mandiri atau berkelompok. Peluang yang diberikan guru kepada siswa adalah pengembangan keterampilan melakukan pengamatan, menyusun tabel pengamatan, mendiskusikan dan merumuskan kesimpulan. (Surachman. 2001: 46). c. Syarat Penyusunan LKS Penyusunan LKS yang baik memnurut Hendro dan Kaligis (1992 : 4146) harus memenuhi persyaratan didaktis, konstruksi, dan teknis.
27
1) Syarat Didaktis a) Memperhatikan adanya perbedaan individual, sehingga LKS yang baik adalah yang dapat digunakan oleh siswa yang lamban, sedang, maupun pandai. b) Menekankan ada proses untuk menemukan konsep-konsep sehingga LKS berfungsi sebagai petunjuk jalan bagi siswa untuk mencari tahu. c) Memperhatikan variasi stimulus siswa melalui berbagai media dan kesempatan kepada siswa untuk menulis, menggambar, berdiskusi, menggunakan alat, dan sebagainya. d) Mengembangkan kemampuan komunikasi sosial, emosional, moral, estetika, serta pengalaman belajar yang ditentukan oleh tujuan pengembangan pribadi siswa. 2) Syarat Konstruksi a) Harus menggunakan bahasa yang sesuai dengan tingkat kedewasaan siswa. b) Menggunakan struktur kalimat yang jelas. c) Tata urutan pelajaran sesuai dengan tingkat kemampuan siswa. d) Menghindarkan pernyataan yang selalu terbuka. e) Menggunakan kalimat sederhana dan pendek. f) Menyediakan ruang yang cukup memberikan keleluasaan. g) Menyediakan sumber buku sesuai dengan kemampuan keterbacaan siswa. h) Menggunakan banyak ilustrasi dari pada kata-kata.
28
i) Memperhatikan kemampuan berpikir siswa. j) Memiliki tujuan pembelajaran yang jelas. k) Memiliki identitas untuk memudahkan administrasi. 3) Syarat Teknis a) Tulisan dengan menggunakan huruf cetak, huruf tebal, yang agak besar untuk topik, tidak menggunakan lebih dari sepuluh kata dalam setiap kalimat, dan mengusahakan agar perbandingan besar huruf dengan gambar serasi. b) Tata tulis yang
pada umumnya memperhatikan ejaan yang telah
disempurnakan berdasarkan tata bahasa Indonesia yang berlaku. c) Gambar disajikan dengan memperhatikan kejelasan isi atau pesan dan tingkat sasaran peruntukannya. d) Gambar secara utuh atau tidak, lengkap atau tidak, atau disajikan dengan bagian dipertimbangkan dalam penyajian gambar LKS. e) Penampilan LKS diusahakan menarik bagi penggunanya. Kombinasi antara tata tulisn serta warna disesuaikan dengan tujuan LKS dan sasaran penggunaannya. d. Prosedur Penyusunan LKS 1) Penentuan tujuan instruksional Penentuan tujuan dimulai dengan melalukan analisis siswa yaitu mengenali siapa siswa, perilaku awal dan karakteristik awal yang dimiliki siswa. Tujuan pembelajaran ditulis untuk menunjukkan apa yang harus dilakukan oleh siswa yang berhasil belajar dengan baik, kompetensi yang
29
akan dicapai siswa setelah melalui proses belajar. Tujuan pembelajaran yang baik akan memandu kita dalam memilih topik pembelajaran, menyusun
strategi
pembelajaran,
memilih
media
dan
metode
pembelajaran, serta mengembangkan alat evaluasi belajar. 2) Pengumpulan materi Menentukan materi dan tugas yang akan dimuat dalam LKS dan pastikan pilihan ini sejalan dengan tujuan instruksional. Kumpulkan bahan/materi dan buat rincian tugas yang harus dilakukan siswa. Bahan yang akan dibuat dalam LKS dapat dikembangkan sendiri atau memanfaatkan materi yang sudah tersedia. 3) Penyusuna elemen Elemen LKS setidaknya ada unsur materi, tugas, dan latihan. 4) Cek dan penyempurnaan a) Kesesuaian desain dengan tujuan instruksional. b) Kesesuaian materi dengan tujuan konstruksional. c) Kesesuaian elemen dengan tujuan instruksional. d) Memastikan bahwa tugas dan latihan yang diberikan menunjang pencapaian tujuan instruksional. e) Kejelasan penyampaian, meliputi keterbacaan, keterpahaman, dan kecukupan ruang untuk mengerjakan tugas. f) Untuk langkah penyempurnaan dengan meminta tanggapan dan saran siswa kemudian melakukan evaluasi dan perbaikan seperlunya.
30
e. Komponen LKS Poppy (dalam Winarsih 2012) menerangkan bahwa sistematika Lembar Kegiatan Siswa secara umum dijabarkan sebagai berikut: 1) Judul, merupakan judul dari kegiatan yang akan dilakukan. 2) Pengantar, berupa uraian singkat yang mengetengahkan bahan pelajaran yang dicakup dalam kegiatan/praktikum. 3) Tujuan, memuat tujuan yang berkaitan dengan permasalahan yang diungkapkan di pengantar. 4) Alat dan bahan, memuat alat dan bahan yang diperlukan. 5) Langkah kegiatan, merupakan instruksi untuk melakukan kegiatan. Dibuat sistematis dan bila perlu menampilan sketsa. 6) Tabel pengamatan, dapat berupa tabel-tabel data untuk mencatat data hasil pengamatan yang diperoleh dari prakktikum. 7) Pengayaan, berupa pertanyaan yang dapat membantu siswa untuk menemukan konsep yang dikembangkan atau untuk mendapatkan kesimpulan. 6. Penilaian Kualitas Produk Berdasarkan Standar Penilaian Buku Pelajaran Sains oleh Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional tahun 2003, standar penilaian dirumuskan ke dalam tiga aspek yaitu aspek materi, aspek penyajian, dan aspek keterbacaan atau bahasa.
31
a. Aspek Materi Standar yang berkaitan dengan aspek materi adalah sebagai berikut : 1) Kelengkapan materi, 2) Keakuratan materi, 3) Kegiatan yang mendukung materi, 4) Kemutahiran materi, 5) Upaya meningkatkan kompetensi sains siswa, 6) Pengorganisasian materi mengikuti sistematika keilmuan, 7) Kegiatan pembelajaran mengembangkan keterampilan dan kemampuan berpikir, 8) Materi merangsang siswa untuk melakukan inquiry, dan 9) Penggunaan notasi, simbol, dan satuan. b. Aspek Penyajian 1) Organisasi penyajian umum, 2) Organisasi penyajian perbab, 3) Materi disajikan dengan mempertimbangkan kebermaknaan dan kebermanfaatan, 4) Melibatkan siswa secara aktif mengembangkan prooses pembentukan pengetahuan, 5) Tampilan umum menarik, 6) Variasi dalam cara penyampaian informasi, 7) Meningkaykan kualitas pembelajaran, 8) Anatomi buku pelajaran sains,
32
9) Memperhatikan kode etik dan hak cipta, dan 10) Memperhatikan kesetaraan gender dan kepedulian terhadap lingkungan. c. Aspek Bahasa dan Keterbacaan Standar yang berkaitan dengan aspek bahasa atau keterbacaan adalah sebagai berikut : 1) Bahasa Indonesia yangbaik dan benar 2) Peristilahan 3) Kejelasan bahasa 4) Kesesuaian bahasa
33
C. Kerangka Berpikir Secara garis besar, berikut adalah kerangka berpikir penelitian dalam bentuk skema:
Potensi Jogja Adventure Zone - Salah satu habitat capung yang ada di Yogyakarta. - Keragaman jenis capung yang tinggi - Berbagai persoalan biologi dapat dilihat dan diamati untuk belajar dan menambah pengetahuan.
Analisis Studi lebih lanjut potensi capung dan persoalan biologi
Identifikasi Masalah di Lapangan: - Pengunjung dari kalangan pendidikan kurang menyadari potensi Jogja Adventure Zone sebagai sumber belajar biologi - Potensi keanekaragaman capung belum diperhatikan oleh sekolah untuk mendukung kegiatan belajar biologi. - Belum adanya panduan yang dapat memandu siswa dalam mempelajari keanekargaman capung di Jogja Adventure Zone
Hasil studi dimanfaatkan sebagai sumber belajar biologi bagi Siswa SMA yang berkunjung ke Jogja Adventure Zone
Pengembangan hasil studi dalam bentuk LKS
Pengintegrasian pendidikan, konservasi, dan wisata di Jogja Adventure Zone
Penyusunan LKS Mengamati Capung yang ada di Jogja Adventure Zone bagi siswa kelas X SMA.
Gambar 1. Skema kerangka berpikir penelitian keanekaragaman capung di Jogja Adventure Zone sebagai bahan Lembar Kegiatan Siswa bagi siswa kelas X SMA.
34