TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Pinus merkusii Jungh et de Vriese Pinus merkusii Jungh et de vriese pertama kali ditemukan dengan nama tusam di daerah Sipirok, Tapanuli Selatan oleh seorang botani dari Jerman yaitu Dr. F.R. Junghuhn pada tahun 1841. Jenis ini tergolong jenis cepat tumbuh dan tidak membutuhkan persyaratan khusus. Keistimewaan jenis ini antara lain merupakan satu-satunya yang menyebar secara alami ke selatan khatulistiwa sampai 2o Lintang Selatan. Pinus atau tusam dikenal sebagai penghasil kayu, resin dan gondorukem yang dapat diolah lebih lanjut sehingga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Kelemahan P. merkusii adalah peka terhadap kebakaran, karena menghasilkan serasah daun yang tidak mudah membusuk secara alami (Siregar, 2005). Sugiono, et. al. (2001), menyebutkan tentang susunan taksonomi Pinus merkusii sebagai berikut : Diviso
: Spermatophyta
Sub Divisio
: Gymnospermae
Ordo
: Coniferales
Famili
: Pinaceae
Genus
: Pinus
Spesies
: Pinus merkusii Jungh et de Vriese
Tempat Tumbuh Pinus merkusii dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, tanah berpasir, tanah berbatu dengan curah hujan tipe A-C pada ketinggian 200-1.700
4
Universitas Sumatera Utara
5 mdpl. Di hutan alam masih banyak ditemukan pohon besar berukuran tinggi 70 m dengan diameter 170 m (Harahap dan Izudin, 2002). P. merkusii termasuk famili Pinaceae, tumbuh secara alami di Aceh, Sumatera Utara, dan Gunung Kerinci. P. merkusii memiliki sifat pioner yaitu dapat tumbuh baik pada tanah yang kurang subur seperti padang alang-alang. Di Indonesia, P. merkusii dapat tumbuh pada ketinggian 200 – 2.000 mdpl. Pertumbuhan optimal dicapai pada ketinggian antara 400 – 1.500 mdpl (Khaeruddin, 1999).
Ciri Umum Menurut Pandit dan Hikmat (2002), P. merkusii memiliki ciri umum sebagai berikut : Warna
: Terasnya sukar dibedakan dengan gubalnya kecuali pada pohon berumur tua terasnya berwarna kuning kemerahan sedangkan gubalnya berwarna putih krem.
Corak
: Permukaan radial dan tangensialnya mempunyai corak yang disebabkan karena perbedaan struktur kayu awal dan kayu akhirnya sehingga terkesan ada pola dekoratif.
Riap tumbuh
: Agak jelas terutama pada pohon-pohon yang berumur tua, pada penampang
lintang
kelihatan
seperti
lingkaran-lingkaran
memusat. Tekstur
: Agak kasar dan serat lurus tapi tidak rata.
Kekerasan
: Agak keras dan berat agak ringan sampai agak berat.
v
Universitas Sumatera Utara
6
Ciri Anatomi Menurut Pandit dan Hikmat (2002), P. merkusii memiliki ciri anatomi sebagai berikut : Pori
: Tidak berpori tapi mempunyai saluran damar aksial yang menyerupai pori dan tidak mempunyai dinding sel yang jelas. Saluran damar aksial menyebar, sangat jarang dan diameter tangensialnya sekitar 170 – 190 mikron.
Jari-jari
: Sangat halus dan sempit terdiri dari 1 seri, kadang-kadang ada yang fusifom jumlahnya sekitar 4 -7 per mm arah tangensialnya, tingginya terdiri dari 4 – 15 sel.
Saluran interseluler : Aksial menyebar dan jarang pada penampang lintang menyerupai pori namun tidak berdinding.
Sifat dan Kegunaan Menurut Pandit dan Hikmat (2002), P. merkusii memiliki sifat dan kegunaan sebagai berikut : Berat jenis
: Rata-rata 0,55 (0,40 – 0,75)
Kelas Awet
: IV
Kelas Kuat
: III
Kegunaan
: - Korek api, pensil, kotak, dan permainan anak - Papan Partikel, vinir, pulp dan kertas - Perabot rumah tangga - Kerangka pintu dan jendela
Universitas Sumatera Utara
7 Sugiyono, et. al. (2001), menyatakan bahwa pohon pinus dapat mencapai tinggi 70 m, mempunyai kulit yang sangat tebal, dengan alur-alur vertikal, agak dalam, permukaan batang berwarna abu-abu, dan pada bagian bawah berwarna coklat kemerah-merahan. Pada umumnya orang mengenal kulit pohon pinus atas dasar ketebalan dan kekerasannya.
Pengertian dan Sifat Getah Getah yang dihasilkan oleh Pinus merkusii digolongkan sebagai oleoresin yang merupakan cairan asam-asam resin dalam terpentin yang menetes keluar apabila saluran resin pada kayu tersebut tersayat. Oleoresin pinus berbeda dengan natural resin yang merupakan getah alami yang keluar dari rongga-rongga jaringan kayu pada genus dipterocarpaceae. Getah pinus terdapat pada saluran interseluler sel atau saluran damar traumatis dimana saluran damar tersebut dibentuk dari oleh suatu mekanisme baik secara lysigenous (sel pada jaringan kayu hancur dan meninggalkan celah) maupun schizogenous (sel memisahkan diri) atau schizolysigenous. Saluran resin memanjang batang di antara sel-sel trakeida atau melintang radial dalam berkas jaringan jari-jari kayu. Saluran vertikal memanjang batang biasanya lebih besar dibandingkan saluran ke arah radial dan sering kedua saluran tersebut berhubungan dan membentuk jaringan transportasi getah di dalam pohon (Santosa, 2010). Lebih lanjut Tobing (1999), menyatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti biokimia, getah dibentuk secara insitu. Getah ini berfungsi sebagai penutup luka agar air tidak bisa masuk dan sekaligus sebagai bahan antiseptik untuk menahan serangan hama dan penyakit.
v
Universitas Sumatera Utara
8
Sifat getah pinus (oleoresin) ini adalah suatu bahan hydrophobi, larut dalam pelarut netral atau pelarut organik non polar seperti etil eter, hexan, dan pelarut minyak lainnya. Jenis getah ini mengandung terutama senyawa-senyawa terpenoid, hidrokarbon dan senyawa netral. Getah pinus yang didestilasi akan menghasilkan gondorukem (gum rosin) dan terpentin (gum turpentine) dengan perbandingan antara 4:1 dan 6:1. Warna getah pucat, jernih dan lengket serta apabila diuapkan berubah menjadi rapuh. Sugiyono, et. al. (2001), menyatakan getah pinus tersusun atas 66% asam resin (resin), 25% terpentin (monoterpene), 7% bahan netral yang tidak mudah menguap dan 2% air. Faktor- faktor yang mempengaruhi produktivitas getah pinus yaitu; faktor pasif : kualitas tempat tumbuh, umur, kerapatan, sifat genetis, ketinggian tempat, sedangkan faktor aktif adalah kualitas dan kuantitas tenaga sadap serta perlakukan dan metode sadapan. Faktor-faktor tersebut dapat diperinci bahwa produktivitas getah dipengaruhi juga oleh faktor; luas areal sadap, kerapatan pohon, jumlah koakan tiap pohon, arah sadap terhadap matahari, jangka waktu pelukaan, sifat individu pohon dan keterampilan penyadap serta pemberian stimulansia (Santosa, 2010). Getah yang baik adalah getah yang segar biasanya mengandung banyak terpentin, bewarna putih bersih, dan bebas dari kotoran (daun, tatal, pasir, debu, dan sebagainya). Getah pinus merupakan senyawa kompleks yang bersifat asam dan sangat peka terhadap waktu dan rusak akibat penuaan atau aging (Perum Perhutani dan IPB, 1989).
Universitas Sumatera Utara
9 Kegunaan Getah Pinus merkusii Getah (oleoresin) yang diperoleh dari penyadapan pinus dapat diolah menjadi gondorukem dan terpentin. Gondorukem diketahui merupakan salah satu bahan yang digunakan untuk campuran produksi ban dengan karet alam, bahan kosmetik, dan lain-lain. Menurut Darmawan, et. al. (2000), gondorukem digunakan untuk campuran batik tulis dan cetak, disamping dapat dimasak lagi untuk campuran bahan-bahan sabun, cat dan vernis, kertas, fungisida, lacquers, plasticizers. Terpentin adalah minyak eteris yang diperoleh sebagai hasil sampingan dari pembuatan gondorukem. Minyak terpentin digunakan sebagai pelarut atau sebagai minyak pengering. Selain itu minyak terpentin digunakan untuk ramuan semir sepatu, logam dan kayu, sebagai bahan substitusi kamper dalam pembuatan seluloid dan sebagai pelarut bahan organik. Minyak terpentin yang merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang berwarna bening sampai kuning muda, dapat diperoleh antara lain melalui destilat getah pinus atau menyuling secara fraksinasi ekstrak tunggul kayu pinus (Darmawan, et. al., 2000). Menurut Setiasih, et. al. (1997), dewasa ini gondorukem telah diekspor ke beberapa negara di Asia, Amerika, Eropa, Australia, dan Afrika. Ekspor ini menghasilkan devisa bagi negara. Oleh karena itu industri gondorukem perlu ditingkatkan mengingat potensi hutan Pinus merkusii dan tenaga kerja di Indonesia cukup besar.
v
Universitas Sumatera Utara
10 Berikut ini merupakan potensi pengembangan kegiatan penyadapan getah pinus yang ada di Tapanuli Selatan. Tabel 1. Potensi Pengembangan Kegiatan Penyadapan Getah Pinus di Tapanuli Selatan
No.
Lokasi
200 30 80 20 20 150
15 5 3 4 15 20
13.500 4.500 2.700 9.500 13.500 54.000
30 10 6 16 20 120
Sisa Areal Yang Belum Disadap (ha) 170 20 74 4 30
20 100 620
10 10 82
5.400 20.000 123.000
12 40 254
8 60 366
Luas Area Layak Sadap (ha)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mara Gordang Simp. Tolang Sitorbis Situmba Proyek Silinggomlinggom 7. Sitada-tada 8. Pangarutan Jumlah
Jumlah Penyadap (orang)
Jumlah Pohon Yang Disadap (batang)
Luas Area Yang Disadap (ha)
Sumber : PT. INHUTANI IV Data statistik Perum Perhutani tahun 1991 menunjukkan bahwa pada tahun 1990, dari hutan pinus seluas 480.048,64 ha, telah diekspor 30.788 ton gondorukem, 8.217 ton terpentin dan 1.232 ton getah dengan pendapatan devisa sebesar US$15.241.274. Namun, jumlah tersebut baru memenuhi 58,85% permintaan konsumen luar negeri seperti : Asia, Australia, dan Eropa (Leksono, 1996).
Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Getah Produksi getah pinus dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam adalah faktor-faktor yang berasal dari pohon itu sendiri, seperti : umur, tajuk, diameter batang, kesehatan akar, dan sebagainya. Sedangkan faktor luar diantaranya kesuburan tanah (bonita), elevasi (ketinggian tempat), kerapatan tegakan dan cuaca (Kasmudjo, 1997).
Universitas Sumatera Utara
11 Produksi getah Pinus secara keseluruhan dipengaruhi oleh : 1. Luas areal sadapan. 2. Kerapatan (jumlah pohon per Ha). 3. Jumlah koakan tiap pohon dan jangka waktu pelukaan. 4. Sifat individu pohon. 5. Keterampilan tenaga kerja penyadap. Prinsip keluarnya getah dari luka adalah sebagai berikut : saluran getah pada semua sisi dikelilingi oleh jaringan parenkim di antara saluran getah dan sel-sel parenkim terdapat keseimbangan osmotik. Jika dibuat luka pada batang pinus sehingga saluran getahnya terbuka, maka tekanan dinding berkurang akibatnya getah keluar. Produksi getah per pohon per tahun untuk berbagai jenis pinus antara lain : 1. Pinus khaya : 7,0 kg/pohon/tahun 2. Pinus merkusii : 6,0 kg/pohon/tahun 3. Pinus palustris : 4,2 kg/pohon/tahun 4. Pinus maritima : 3,0 kg/pohon/tahun 5. Pinus longifolia : 2,5 kg/pohon/tahun 6. Pinus austriasca : 2,1 kg/pohon/tahun 7. Pinus excelsa : 1,2 kg/pohon/tahun (Kasmudjo, 1997).
v
Universitas Sumatera Utara
12 Menurut Sugiyono, et. al., (2001), beberapa faktor yang mempengaruhi produksi getah adalah sebagai berikut : a. Umur pohon Perbedaan umur pohon berpengaruh atas hasil getah. Semakin tua umur pohon menghasilkan getah semakin banyak sampai pada batas umur tertentu. Ciriciri pohon pinus serta seluruh proses fisiologis yang terjadi di dalamnya akan berkembang sejalan dengan bertambahnya umur pohon, setiap tahap pertumbuhan mempunyai proses fisiologis yang berbeda. Peningkatan kelas umur pohon diikuti oleh kenaikan getah. b. Tajuk pohon Hasil getah tiap pohon berhubungan langsung dengan besarnya tajuk, karena dalam tajuklah terjadi proses fotosintetis. Pohon dengan tajuk lebar akan menerima cahaya matahari yang lebih banyak, sehingga akan terjadi proses fotosintetis yang lebih banyak dibandingkan dengan pohon yang bertajuk lebih kecil. Hasil fotosintetis yang besar akan menambah pertumbuhan diameter pohon. c. Diameter Pohon-pohon dengan diameter kurang dari 25 cm pada setinggi dada menghasilkan getah sedikit. Pohon dengan hasil getah yang banyak dicirikan dengan lingkaran tahun yang lebar, tajuk rata atau penuh dan bentuk kerucut serta mempunyai tinggi tajuk sampai setengah dari tinggi pohonnya. d. Kesehatan pohon Kesehatan pohon berpengaruh langsung terhadap kelancaran proses fotosintetis, pertumbuhan batang, dan pembentukan kayu gubal. Pohon-pohon yang sehat menghasilkan getah lebih banyak dibandingkan pohon-pohon yang
Universitas Sumatera Utara
13 terserang penyakit. Pohon pinus yang berdaun kering terbakar dan terserang ulat menghasilkan getah sedikit. e. Perbedaan jenis pohon Pinus yang menghasilkan getah terdapat beberapa jenis dengan produksi yang berbeda-beda. f. Bonita tanah Pohon-pohon
yang
tumbuh
pada
tanah
yang
berbonita
tinggi,
pertumbuhannya lebih baik dan pada gilirannya produksi getahnya lebih banyak, karena kandungan unsur hara tanahnya lebih besar. g. Kerapatan tegakan Kerapatan tegakan mempengaruhi pertumbuhan pohon yang dengan sendirinya mempengaruhi produksi getah. h. Cuaca dan iklim Faktor cuaca berpengaruh terhadap aliran getah dari sadapan. Pada suhu yang rendah dan kelembaban yang tinggi, getah yang membeku akan menyumbat saluran getah dan muara akan tertutup akibatnya getah yang mengalir akan terhenti. Pada musin hujan hasil getah biasanya akan menurun karena curah hujan akan mempengaruhi kelembaban di sekitar luka sadapan. Suhu yang relatif rendah menyebabkan getah cepat menggumpal dan menyebabkan saluran menjadi sempit juga muara tersumbat, sehingga aliran getah menjadi berkurang sampai terhenti.
v
Universitas Sumatera Utara
14 Penyadapan Getah Di Indonesia percobaan penyadapan getah pinus pertama kali dilakukan di Aceh oleh W. G. Van deen Kloot tahun 1924, di pulau Jawa baru dilakukan di daerah Lawu Ds. dan Wilis pada tahun 1947 (Sugiyono, et. al., 2001). Penyadapan getah pinus dilakukan dengan cara melukai batang pohon dengan bentuk serta kedalaman luka tertentu sesuai dengan metoda penyadapan yang digunakan. Pelukaan ini bertujuan untuk dua hal, yaitu : pertama untuk mengaktifkan atau memicu jaringan epitel agar memproduksi getah (oleoresin) dan kedua untuk menyingkapkan saluran damar yang berada pada jaringan xylem. Jaringan epitel adalah jaringan khusus pada tumbuhan yang memproduksi getah apabila terjadi pelukaan pada pohon. Pada jenis-jenis pinus, jaringan epitel dapat memproduksi getah secara terus-menerus selama bagian tersebut berada di dalam kayu gubal, sedangkan pada jenis kayu daun jarum lainnya, jarang yang berfungsi lebih dari satu musim. Saluran damar adalah ruang kosong antara sel yang berbentuk saluran. Saluran damar umumnya dibatasi atau dikelilingi oleh jaringan epitel dan fungsinya adalah untuk menampung getah yang diproduksi oleh jaringan epitel serta menyalurkannya ke bagian luka. Dengan menyingkapkan saluran damar maka getah akan mengalir ke permukaan yang kemudian ditampung ke dalam penampung dan selanjutnya dipungut. Pelukaan pohon dapat memicu terjadinya pembentukan saluran damar sekunder (saluran damar traumatis), baik yang berupa saluran damar traumatis aksial maupun yang radial, walaupun kedua-duanya tidak akan dijumpai secara bersama-sama di dalam batang pohon. Pembentukan saluran damar traumatis ini mempunyai arti yang penting karena dengan bertambahnya jumlah saluran damar maka produksi getah
Universitas Sumatera Utara
15 akan semakin meningkat (Tobing, 1999). Haygreen dan Bowyer (1989) menyatakan bahwa, produksi getah pinus dapat dirangsang dengan adanya pelukaan. Oleh karena pinus merupakan pohon yang sangat sensitif terhadap pelukaan maka apabila terjadi luka, segera akan dibentuk lebih banyak lagi saluran resin atau getahnya yang akan berfungsi menutup luka dan mencegah infeksi. Menurut Sugiyono, et. al. (2001), pohon pinus akan disadap memenuhi beberapa ketentuan, yaitu : 1. Diameter minimum 20 cm, yaitu saat riap pohon maksimal. 2. Pemilihan pohon dimana hanya pohon-pohon yang akan ditebang yang disadap, dimulai pada pohon berumur 11 tahun. Hadipoernomo (1992) juga mengatakan bahwa pohon pinus dianggap sudah masak sadap bila pohon tersebut sudah berumur 11 tahun atau masuk kelas umur III. Jika sesuatu berjalan lancar dan dilakukan menurut petunjuk kerja dengan seksama, maka jangka waktu sadap dapat berlangsung sampai 20 tahun.
Sistem Penyadapan Getah Sistem penyadapan getah pinus di Indonesia secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : Koakan, Riil dan Bor. Cara-cara tersebut dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh hasil getah seoptimal mungkin dengan memperhatikan kelestariannya. Dalam penentuan cara penyadapan getah pinus tidak terlepas dari pertimbangan yang berhubungan dengan faktor teknis, sosial, ekonomi dan ekologi. Secara teknik, cara penyadapan getah pinus yang dipilih adalah yang dapat dilakukan dengan mudah. Secara sosial, cara yang dipilih adalah yang mampu memberi lapangan pekerjaan terhadap masyarakat
v
Universitas Sumatera Utara
16 sekitar. Secara ekonomi, cara penyadapan getah pinus yang dipilih adalah yang efisien dan efektif sehingga dapat memberi keuntungan yang optimal. Ditinjau dari segi ekologis, yang dipilih adalah cara penyadapan getah pinus yang tidak menimbulkan
kerusakan
yang
berarti
pada
pohon
yang
disadap
(Inhutani IV, et. al., 1996).
Sistem Rill Sadapan sistem rill ialah proses pelukaan pada permukaan kayu dengan membuat saluran induk arah vertikal dan saluran cabang arah miring yang membentuk sudut 40° terhadap saluran induk dengan kedalaman 2 cm. Sistem ini caranya meliputi tahapan: a. Bagian batang dibersihkan kira-kira 1/3 lingkaran batang pohon. b. Pelukaan dibuat dengan alat yang disebut hogal. c. Luka sadap berbentuk “V” dengan kedalaman 2 - 5 cm dan kemiringan saluran 20° - 40°. d. Lebar sadapan sekitar 20 cm (Kasmudjo, 1997). Kelemahan sistim rill antara lain bidang sadap yang luas menyebakan luasan sadapan yang dibutuhkan lebar sehingga untuk satu pohon hanya dapat dilakukan sadap buka sekali dan memerlukan waktu proses penyadapan yang relatif lama dan kurang efisien.
Universitas Sumatera Utara
17
30 cm 1 70 cm
3 4 40°
2 10 cm TANAH
Gambar 1. Pola Sadapan Metode Riil Keterangan : 1. Bagian kayu yang tidak dibersihkan 2. Bagian kayu yang dibersihkan 3. Pola sadapan ukuran 20 x 65 cm 4. Letak saluran tengah (central groove).
Upaya Meningkatkan Produksi Getah Pinus Getah pinus dapat diperoleh dengan penyadapan batang pohon. Saluran getah yang akan menyempit atau buntu dan apabila masih muda, getah yang dapat keluar dengan segera mengalami pembekuan di mulut saluran getah yang disadap sehingga menyumbat mulut saluran getah. Agar permukaan luka sadapan selalu terbuka dan getah tidak membeku, dapat digunakan stimulansia tertentu (Sugiyono, et. al., 2001). Hadipoernomo (1992), menyatakan telah banyak usaha pembaharuan yang dicoba untuk meningkatkan produksi getah pinus, antara lain dengan
v
Universitas Sumatera Utara
18 menggunakan bor dan kantung plastik serta penggunaan pasta kimia. Riyanto pada tahun 1979 pernah mencoba untuk membandingkan pengaruh stimulan asam sulfat dan asam klorida terhadap getah pinus dengan konsentrasi masing-masing sebesar 2,5%. Riyanto dalam penelitiannya juga menyebutkan perlakuan dengan pasta sulfat mampu meningkatkan produksi getah di India sekitar 40% - 50%. Di Amerika Serikat penggunaan pasta sulfat 60% pada Pinus polustris dan Pinus etliotii memberikan hasil 25,2 gr/pohon/hari. Pada kesempatan lain, Sumadiwangsa, et. al., pada tahun 1999 meneliti penggunaan zat perangsang SOCEPAS 235 As pada kosentrasi 0%, 20%, 25% dan penutupan luka sadap untuk mengetahui produktivitas getahnya. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penggunaan stimulansia tersebut pada konsentrasi 20% dan 25% menghasilkan getah rata-rata sebesar 51,6 dan 48,2 gr/pohon. Penyadapan pinus dengan sistem bor dan pemberian zat perangsang asam sulfat + CEPA pada hutan Sumatera Barat (Darmawan, et. al., 2000).
Stimulansia Penggunaan stimulansia asam dapat menyebabkan terbukanya saluran getah yang menyempit atau tersumbat melalui proses penghangatan oleh asam. Akibatnya, saluran getah dan sel-sel parenkim terhidrolisi, tekanan menurun, cairan sel keluar sehingga getah menjadi lebih encer dan lebih lama keluarnya (Kasmudjo, 1992). Menurut Sudrajat (2002), bahan perangsang yang digunakan pada penyadapan getah pinus banyak macamnya, tetapi komponen utamanya adalah asam sulfat dan asam nitrat atau campurannya. Kedua asam tersebut termasuk oksidator kuat yang dapat merusak kulit manusia, kayu dan lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
19 Campuran kedua asam tersebut akan mengeluarkan ion nitronium (NO2+) dan mono hydrogen sulfat (HSO4). Pemakaian kedua asam ini pada kondisi berlebihan akan mengganggu lingkungan dan kelangsungan hidup pohon serta diduga dapat mengubah komponen kimia getah, oleh karena itu penggunaan kedua asam ini patut dikaji ulang (Sumadiwangsa, et. al., 2000). Suhu yang relatif rendah dan kelembaban yang tinggi, getah akan cepat menggumpal dan menyebabkan saluran menjadi sempit dan tersumbat sehingga aliran getah terhambat atau terhenti. Menurut Sugiyono, et. al., (2001) agar permukaan luka sadapan selalu terbuka dan getah tidak membeku dapat digunakan stimulansia. Yusnita et. al., (2001) mengatakan bahwa pemilihan konsentrasi stimulansia yang tepat diharapkan dapat meningkatkan produksi getah dan menurunkan biaya stimulansia serta menurunkan resiko kesehatan pohon, penyadap dan lingkungan. Menurut Mardikanto dan Tobing (1996) dalam Sudrajat (2002), pemakaian kadar stimulansia yang tinggi belum tentu memberi hasil getah yang lebih besar. Penyadapan dengan cara rill dan dengan pemakaian kadar stimulan 10% di KPH Sumedang memberikan hasil getah yang lebih tinggi daripada pemakaian kadar stimulan 30%, demikian juga yang terjadi di Pekalongan, produksi getah dengan cara koakan dan pemakaian kadar stimulan sebesar 10% memberi hasil sadap yang lebih tinggi dibandingkan kadar stimulan 30%.
Asam Sulfat (H2SO4) Menurut Perry dan Green (1997), asam sulfat memiliki sifat-sifat tertentu, baik fisika maupun sifat-sifat kimia. Yang merupakan sifat-sifat fisika asam sulfat yaitu : berupa cairan; berat molekul 98gr/mol; titik beku 10,49° C; specific gravity
v
Universitas Sumatera Utara
20 1,834; densitas (berat jenis) 1,84 gr/ml; titik didih 338° C; panas pembentukan standar -198,69 kkal/mol dan kapasitas panas 64,3664 kal/mol °K. Adapun yang merupakan sifat kimia asam sulfat yaitu : sangat korosif, larut dalam air, merupakan osidator kuat, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap air, bersifat higroskopis, merupakan asam kuat, bersifat polar dan bila direaksikan dengan basa akan membentuk garam. Selain itu, tanda lain yang dapat dilihat menurut Depkes RI (1995), bahwa asam sulfat merupakan cairan jernih, seperti minyak, tidak bewarna, dan bau sangat tajam. Asam sulfat mengandung asam kira-kira 98%, cairan ini dapat bercampur dengan air dengan semua perbandingan dengan melepaskan panas yang banyak sekali. Ketika mencampur keduanya, asam harus selalu dituang dalam aliran yang tipis ke dalam air. Jika air yang dituangkan kepada asam yang lebih berat itu, uap mungkin akan tiba-tiba akan terbentuk yang akan mengangkat asam sedikit bersamanya, sehingga mungkin menimbulkan cedera yang berat (Vogel, 1990).
Universitas Sumatera Utara