TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Klasifikasi Pemetaan PenutupIPenggunaan Lahan
Satu
faktor
penting
yang
menentukan
keberhasilan
pemetaan
penggunaan lahan dan penutup lahan terletak pada pemilihan sistem klasifikasi yang tepat, yang
dirancang untuk suatu tujuan dimaksud. Klasifikasi
penutuplpenggunaan lahan adalah upaya pengelompokan penutuplpenggunaan lahan dalam penyajian data spasial yang akan dijadikan pedoman atau acuan dalam proses interpretasi . Klasifikasi penutup dan penggunaan lahan yang digunakan di Indonesia umumnya disesuaikan dengan tujuan masing-masing pengguna baik individu maupun organisasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam pemetaan lahan. Beberapa
klasifikasi penutuplpenggunaan lahan
yang telah diusulkanl
digunakan diuraikan di bawah ini. a) Klasifikasi penggunaan lahan menurut Kardono Darmoyuwono (1971) merupakan sistem klasifikasi tunggal, yang dilengkapi dengan simbul area untuk penggambaran pada peta,
ditekankan untuk wilayah pedesaan
dengan skala kecil. b) Sistem
klasifikasi penutup lahanlpenggunaan lahan menurut Badan
Pertanahan Nasional (1977), membagi wilayah pedesaan dan perkotaan sebagai
dasar
klasifikasi
penggunaan
lahan.
Klasifikasi
penutup
lahanlpenggunaan lahan pedesaan disajikan dalam berbagai skala, yakni skala 1 : 200 000 sld 1 : 250 000; skala 1 : 25 000 sld 1 : 100 000; dan skala
1 : 5 000 sld 1 : 12 500. Masing-masing klasifikasi disajikan secara terpisah, yakni bukan merupakan klasifikasi penggunaan lahan yang berjenjang. c) Sistem klasifikasi penutup lahan dan penggunaan lahan untuk Indonesia menurut Malingreau (1981), didasarkan pada kombinasi sistem physiognomik dan sistem fungsional. Cara penyajian masing-masing klasifikasi dilakukan secara
bertingkat, dengan
4 tingkat klasifikasi, yaitu jenjang I
hingga
jenjang IV. Klasifikasi penggunaan lahan jenjang berikutnya merupakan rincian dari jenjang sebelumnya. d) Sistem klasifikasi penutup lahan dan penggunaan lahan menurut United States Geologi Sunley (USGS), dikembangkan berdasar penggunaan citra penginderaan jauh sebagai sumber data dalam pemetaannya. Sistem klasifikasinya merupakan sistem klasifikasi berjenjang, yaitu dari tingkat I (umum) hingga tingkat IV (rinci). e) Klasifikasi penutuplpenggunaan lahan menurut Regional Physical Planning Programme for Transmigration (RePPPRoT) (1983-1990) dibangun dengan menggunakan data penginderaan jauh sebagai sumber utama datanya. Peta penutuplpenggunaan lahan disajikan pada skala 1 : 250 000, ditujukan untuk evaluasi lahan, dimana peta penutuplpenggunaan lahan sebagai salah satu masukan datanya. f)
Klasifikasi penggunaan lahan menurut neraca sumber daya alam spasial daerah merupakan klasifikasi penggunaan lahan yang diarahkan untuk pengelolaan sumber daya alam, yang ditekankan pada kategori penggunaan lahan yang terkait dengan sumber daya alam (NSSAD, 1998). Klasifikasi disajikan secara berjenjang dalam kelas dan sub-kelas.
Berbagai macam sistem klasifikasi di atas menunjukkan betapa sulitnya menentukan sistem klasifikasi yang dapat memuaskan semua persyaratan.
Fakultas Geografi UGM bekerjasama dengan BAKOSURTANAL dalarn kegiatan pembakuan spek metodologi kontrol kualitas pemetaan tematik dasar dalam mendukung perencanaan tata ruang (2000), merekomendasikan sistem klasifikasi
penutuplpenggunaan
lahan
yang
sedapat
mungkin
mengakomodasikan berbagai kebutuhan pengguna (Tabel 2.1).
Tabel 2.1.
Rekomendasi Klasifikasi PenutupIPenggunaan Lahan untuk Pemetaan Tematik Dasar di Indonesia
Tingkat I 1. Daerah perkotaan dan terbangun
Tingkat II Permukiman perkotaan Perdagangan,jasa, industri Transportasi, komunikasi, utilitis Lahan terbangun lainnya Bukan lahan terbangun
2. Daerah Perdesaan
Permukiman perdesaan Lahan bervegetasi diusahakan
Tingkat Ill Permukiman perkotaan Perdagangan,jasa, industri Transportasi, komunikasi, utilitis Lahan terbangun lainnya Bukan lahan terbangun I
Lahan bervegetasi tidak diusahakan
Lahan tidak bervegetasi (lahan kosong)
Tubuh perairan
I Kelurusan Sumber : Bakosurtanal
I Perrnukiman perdesaan Sawah irigasi Sawah tadah huian Sawah pasang surut Tegalan Perkebunan Hutan lahan kering Hutan lahan basah Belukar Semak Rumput Lahan terbuka
Gumuk pasir Danau / Waduk Tambak Rawa I Sunaai / kelurusan
I
Satelit Penginderaan Jauh untuk Pemetaan
Menurut kemungkinan penggunaannya satelit penginderaan jauh dapat dibedakan dalam 3 kelompok (Konecny,
1990), yaitu sistem satelit untuk
meteorologi dan oceanografi, sistem satelit untuk inventarisasi dan pemantauan sumber daya alam, sistem satelit untuk penyediaan peta tematik dan topografi. Kelompok pertama merupakan satelit-satelit yang memiliki resolusi rendah
spasial
(1-5 km), tetapi dengan waktu periode ulang yang pendek
(sehari sekali atau lebih). Kelompok kedua merupakan satelit-satelit yang memiliki resolusi spasial menengah (2 20 m), minimal memiliki 3 kanal spektral dengan periode ulang sekitar 1 bulan. Sedangkan kelompok ketiga harus memiliki resolusi spasial tinggi ( 5 1 5 m), dengan spektral rendah (1-3 kanal) dan periode ulang juga rendah (2 1 tahun). Hal
penting yang harus diperhatikan dalam penggunaan data
penginderaan jauh untuk pemetaan, yakni persyaratan untuk memperoleh kualitas peta yang benar.
Ada 3 persyaratan yang harus dipenuhi, yakni
ketelitian planimetris, ketelitian elevasi, detectability. Batasan ketelitian posisi, tinggi dan kedetilan kandungan peta pada saat ini tidak ada standarisasi yang tegas. Di Kanada misalnya, untuk peta topografi skala 1 : 250 000 dan 1 : 50 000 menggunakan standar Nato-Kelas-A. Untuk itu 90 % titik-titik yang teridentifikasi secara nyata pada peta harus memenuhi ketelitian planimetri 5 0.5 mm (Gauthier 1988). Di USA NMAS (National Map Accuracy Standards) menentukan 63 % titik-titik yang teridentifikasi secara nyata pada peta skala 1 : 24 000 tidak boleh melebihi 0.3 mm (Welch et al. 1985). Di Australia
90 % titik-titik yang teridentifikasi secara nyata pada peta skala
1 : 25 000 harus memenuhi persyaratan ketelitian kurang dari 0.5 mm.
Ketelitian planimetris yang disyaratkan umumnya mempunyai standar baku
0.2 mm pada masing-masing skala, sedangkan untuk ketelitian elevasi,
jika suatu titik memiliki standar baku 2 oh maka interval kontur harus 5oh (Konecny, 1990). Tuntutan persyaratan ketelitian yang harus dipenuhi untuk peta topografi misalnya, ditunjukkan dalam Tabel 2.2 dan Tabel 2.3.
Tabel 2.2.
skala
Tabel 2.3.
skala
Persyaratan Ketelitian Geometris pada Peta Topografi (Konecny, 1990). Ketelitian planimetris
Ketelitian ketinggian
Interval Kontur
Persyaratan Ketelitian Geometris pada Peta Topografi di Negara Berkembang (Konecny, 1989). Ketelitian planimetris
Ketelitian ketinggian
Interval Kontur
Penelitian mengenai kajian analisis geometris untuk data Landsat, dirangkumkan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Analisis Ketelitian Geometri untuk Data Landsat Jumlah titik
OX I
Kontrol I
I
I Colvocoresses 1 & McEwen,
Affine
I
banding I
Dilakukan dengan menggunakan data Landsat MSS (resolusi
16
OX I
ow I
I
= 79m)
I
I
I
192
I
1973 Baehr & Schur,
Transformasi affine
1974
Polinomial derajat 4
Derouchie &
Polinomial derajat 2
Forrest , 1974
/
15
18
183
Penyelesaian parameter Polinomial derajat 3
66
Baehr, 1975
Filter-prediksi
31
Derouchi, 1976
Penyelesaian parameter
356
10
46
36
57
58
65
67
(steifen dengan 11 scene) I
Nasu & Anderson, 1976
Penyelesaian parameter
25
Steiner & Kirby
Transformasi affine
32
I
Welch & Lo,
I
1977
I
Polinomial derajat 2 untuk koreksi
I
73
140 83
I
I
9
124 1
1
1
21
ketinggian
411 (blh= 0.10)
Transformasi affine
Dowman &
1 Mohamad. 1980 1 Polinomian deajat 2 1 Kolinearitas I I
Sawada u.a ,
Model analitik dengan
1981
menggunakan parameter lintasan
g I
9
6
I
I
6
I
3
66
66
1
66
1
47
I
20
I
67
I
35
1
I
I
1
1
35
satelit Schur, 1982
Kollinearitas
83
Dilakukan dengan menggunakan data Landsat -TM (resolusi
79
= 30m)
Walker u.a ,
1
1984
1
Affine
Sumber : Wu (1984)
1 1 6 5
1
I
31
Sistem LANDSAT-7
Landsat-7 merupakan program lanjutan dari seri Landsat sebelumnya, yang diluncurkan ke orbit pada tanggal 15 April 1999. Landsat-7 mengelilingi bumi pada ketinggian sekitar 705 km dengan sudut inklinasi 98 derajat dan waktu lintas khatulistiwa jam 10 a.m. Orbit satellit diprogram dengan siklus pengulangan 16 hari sesuai Landsat Worldwide Reference System. Landsat-7 mempunyai 8 kanal yang terdiri dari 6 kanal dengan resolusi spasial 30 m, satu kanal pankromatik dengan resolusi spasial 15 m dan satu kanal termal dengan resolusi spasial 60 m (NASA, 2000). Landsat-7 membawa instrumen Enhanced Thematik Mapper Plus (ETM +). Instrumen ETM + merupakan multispektral scanning radiometer yang dapat mendeteksi radiasi terfilter spektral pada daerah tampak mata, infra merah dekat, dan infra merah termal. ETM+ menyajikan suatu nadir viewing dengan delapan kanal multispektral scanning radiometer, yang dirancang untuk menerima, memfilter dan mendeteksi radiasi bumi dengan lebar cakupan 185 km melalui gerakan cross-track scanning sepanjang lintasan satelit. Perbandingan karakteristik Landsat-5 dengan Landsat-7 disajikan pada Tabel 2.5. Mekanisme sistem ETM+ ditunjukkan pada Gambar 2.1. Scan mirror menyapu dengan arah barat-timur dan timur-barat memotong arah lintasan, sementara satelit bergerak arah utara-selatan. Sebuah teleskop ditempatkan untuk memfokuskan energi ke sepasang cermin (scan line corrector) yang kembali diarahkan ke focal plane. Scan line correcfor diperlukan untuk mengoreksi overlap dan underlap diantara dua baris yang berurutan yang diakibatkan gerakan orbit along-track dan cross-track scanning. Energi yang datang selanjutnya ditangkap Pnine Fokal Plane (PFM), dimana detektor silicon
untuk kanal 1-4 dan 8 (pankromatik) diletakkan. Sebagian energi diarahkan dari PFP oleh Relay Optik ke Cold Focal Plane, dimana detektor untuk kanal 5 7 , dan 6 diletakkan.
Dengan intrumen ETM+ ini, Landsat 7 mempunyai program utama untuk meningkatkan kualitas data radiometrik, yang memenuhi persyaratan kalibrasi data radiometrik dengan tingkat kesalahan + 5% selama 5 tahun misinya.
Tabel 2.5. Perbandingan Karakteristik Landsat-5 dan Landsat-7
Sistem
Masa Operasi
Landsat- 5
1984-1999
Sensor
MSS
Kana1 (p,)
Resolusi Periode Ulang (m) (hari)
4:
0,5-0,6
82
5:
0,6-0,7
82
Pan : 0,5-0,9
15
16
Sumber : U.S.Department of the interior, U.S. Geological survey (1999).
Kecepatan transmisi (Mbps)
l:lh'i+ SCAhWIZR ASSEhU3LY
ULL APERTURE WDIA TOR D o o n (cI,osE!,)
CTATlC IZhYT73 A!!M
-
70A L C
so:,m /&.!PA y
13,2'pj:iR'ip Siiij:!,!P~
r'ft?%O!l!j Al-l'M-fi 1~17-r~~~
G I I & < ~ I ~ ,X-13AAQ ~~I) AhTENA (GYLfi-j)
-
Gambar 2.1. Konfigurasi Teknik Landsat-7 dan Sumber : Landsat-7 Sciene Data Users Handbook ( NASA, 2000)
S a n mirrors ( i s o n s p c scccnd)
I'rirne f m 1 plane
Cold
\ '!
\
!?adlator to (:cc'!)
5;)2U
-
,I
,
<.4J
I
S C i i~n c tor, cclian
Itcia\. oplic
. .....
'
:
~'C!CXCO!X
:
R
!
':; ad
'!
*
I
'.
7C15
,!
;at
/ Y
./
\
/'
Gambar 2.2. Mekanisme Optical ETM+ Sumber : Sumber : Landsat-7 Sciene Data Users Handbook ( NASA, 2000)
Sistem Satelit Resolusi Tinggi IKONOS
Satelit IKONOS-2 diluncurkan pada bulan September 1999 dan datanya mulai dipasarkan oleh Space lmageng secara komersial pada awal 2000. IKONOS merupakan salah satu satelit generasi lanjutan yang memiliki resolusi spasial sangat tinggi dan mempunyai kemampuan untuk menghasilkan citra stereo. Satelit ini mempunyai kemampuan hampir menyamai foto udara dan dapat menghasilkan citra di mana saja di seluruh dunia.
Sensor, Parameter-parameter Satelit lkonos dan Prinsip Kerjanya
IKONOS memiliki sensor yang terdiri dari 5 kanal, yaitu 4 kanal multispektral dengan resolusi spasial masing-masing 4 meter dan 1 kanal pankromatik dengan resolusi spasial 1 meter.
Karakteristik sensor dan
parameter satelit lkonos disajikan pada Tabel 2.6 dan tabel 2.7.
Tabel 2.6. Karakteristik Sensor Satelit lkonos
Jenis Kanal
Nama Kanal
Panjang Gelombang (Mikrometer)
Resolusi Spasial (Meter)
Kanal-1 (Biru)
Multispektral
0.45 - 0.53
4
Kanal-2 (Hijau)
Multispektral
0.52 - 0.61
4
Kanal-3 (Merah)
Multispektral
0.64 - 0.72
4
Kanal-4 (Imfra Merah Dekat)
Multispektral
0.77 - 0.88
4
Kanal-5
1 Pankromatik
/
I
1
0.45 - 0.90
1
1
I
Resolusi Radiometrik : Data direkam dengan 11 bitlpixel (2048 tingkat keabuan) Sumber : Space Imaging, 2001.
Tabel 2.7. Karakteristik Parameter Satelit lkonos Parameter Satelit
Karakteristik 10 m
Fokus
1 680 km & 98 menit I
Tinggi Lintasan dan Period
I
I 1 : 68 000
Skala Citra Nominal
I
Panjang barisan & ukuran pixel
13.816 & 12 pm
1 Field of view
1 0.930 Resolusi Kanal pankromatik (nadir) 1 0.82 m, resampling ke l m 1 Resolusi Kanal multispektral (nadir) 1 3.30 m, resampling ke 4m I
-1
I
I
I
Ukuran scene nominal
1 1 x 1 1 km I
1-3 & 14 hari
Revisit dan repeat-cycle times Stereo imaging Image collection rate
/ Along-track, juga cross-track 1 6000 barisldetik
Sumber : Space Imaging, 2001.
Seperti satelit-satelit resolusi tinggi pada umumnya, satelit lkonos juga menggunakan sensor barisan scanner linier opt0 elektronik, yakni suatu sensor yang terdiri dari suatu barisan foto diode yang kokoh dengan resolusi tinggi, mengambil barisan permukaan bumi tegak lurus
dengan arahljalur terbang
(Gambar 2.3). Transformasi citra ke obyek dapat dibentuk sebagai berikut :
(x,y) = f (X,Y,Z), dengan x adalah banyaknya baris yang merupakan fungsi
dari waktu
--
- - -- --
CCD-Sensor
Panjang Focus
t
-------
Ketinggian Terbang !
!
i
\ \
\
\ ' \ \ 'i \ \!
j.
&4=v.
at
Gambar 2.3. Geometri CCD-Sensor
Pergerakan ke arah depan dari pembawa sensor (satelit) membentuk sederetan barisan citra dalam arah lintasan. Prinsip kerja dari barisan penyiam didasarkan pada bahwa suatu barisan sensor yang sangat sensitif terhadap fotodiode yang terdiri dari sejumlah besar deretan detektor diskrit dikenai oleh cahaya melalui sebuah obyektif yang selalu terbuka. Dalam satu barisan sensor terjadi muatan listrik yang dependen secara linier terhadap cahayalsinar yang jatuh dalam interval penyinaran. Ini akan diteruskan dalam register kaca yang dinamis dalam interval waktu tertentu secara paralel dan selanjutnya dibaca secara serial melalui penguat arus yang telah disediakan. Selanjutnya signal-signal digital disimpan pada alat penyimpan yang disediakan misalnya HDDT. Metode perolehan data barisan scanner ini memberikan ciri sebagai berikut :
Pergerakan bagian mekanik dari barisan scanner dengan cermin yang bergerak atau prisma yang berputar tidak lagi diperlukan. Dalam ha1 ini terbentuk sebuah sistem alat yang kompak dengan kebutuhan energi listrik yang rendah (sedikit). Dalam bidang scanner terbentuk suatu barisan sensor linier dengan proyeksi sentral perspektif, dan efek panorama dalam ha1 ini tidak terjadi. Barisan sensor diskrit dan
perekaman perolehan data
spektralnya
memberikan langsung nomor kolom dan masing-masing nilai keabuan dari masing-masing piksel. Interval spektral dari CCD-sensor terbentang dari sinar tampak sampai inframerah dekat.
Pengolahan Citra Digital
Di dalam proses citra digital operasi-operasi geometri bukan merupakan operasi utama. Namun di sisi lain ia tidak dapat dihindarkan, terutama jika citra akan digunakan untuk dihubungkan dengan data spasial yang lain, yang dalam prakteknya sering ditemui dalam penerapan sistem informasi geografis (SIG). lstilah geocoded, yakni menegaskan bahwa referensi geometri
citra
harus sesuai dengan permukaan bumi. Dalam geocoded tidak hanya diperlukan bidang referensi, tetapi juga : pengembangan model geometri, pengukuran titik kontrol dan analisisnya, perhitungan perataan, perhitungan ketelitian, dan analisis ekonomi dari metode yang dipergunakan. Model geometri ditentukan oleh dua hal, yakni sistem perolehan data dan perencanaan penggunaan data. Data citra yang dihasilkan oleh sensor memiliki penyimpangan geometri yang secara mendasar disebabkan oleh kesalahan orientasi maupun kesalahan sistimatis dari sistem sensor itu sendiri. Selain itu pengaruh dari keberadaan
obyek itu sendiri, seperti rotasi bumi, kelengkungan bumi dan topografi akan menambah kesalahan ini. Suatu koreksi dari penyimpangan geometri ini harus terlebih dahulu diselesaikan. Itu secara mendasar terdiri dari dua kemungkinan, pertama dapat dihitung langsung dari citra, dimana ia dirubah secara geometri dan radiometri melalui suatu transformasi pada proyeksi peta yang diberikan sebelumnya. Metode ini dapat ditemukan pada pembuatan peta dari citra. Cara lainnya penyimpangan tidak dikoreksi secara langsung, melainkan ia direkontruksi dalam suatu alat pemrosesan fotogrametri untuk dapat dihitung. Hasilnya adalah informasi garis, yang menggambarkan informasi topografi secara ortofoto. Citra yang asli tetap tidak berubah. Ini adalah cara untuk membuat peta garis. Tidak tergantung terhadap hasil akhir dari analisis geometri, koreksi terjadi melalui model matematik yang sesuai, yang menghubungkan antara sistem koordinat dari citra ke suatu sistem koordinat tanah. Model matematik untuk analisis geometri citra didasarkan pada model umum dari sistem opto-mekanik scanner dan opto-elektronik scanner. Dalam prakteknya dikenal dua model matematik dalam koreksi geometrik dari citra satelit, yakni model dengan menggunakan parameter dan model tanpa menggunakan parameter. Pada model dengan parameter posisi sensor pada saat pengambilan gambar yang dikenal sebagai parameter orientasi dijadikan dasar untuk analisis. Dengan bantuan parameter ini titik pada citra dihubungkan secara geometri dengan titik pada obyek.
Model tanpa parameter adalah
sebaliknya, yakni tanpa melihat secara eksplisit ketentuan dari parameter diatas.
Penyelesaian dengan Parameter Parameter orientasi ditentukan dengan bantuan garis dalam ruang yang menghubungkan sistem koordinat obyek tiga dimensi (X,Y,Z) dan sistem koordinat citra dua dimensi (x,y). Dengan ini penyebab penyimpangan akan dieliminir dan dapat dihitung. Cara ini dapat dibedakan dari cara tanpa parameter adalah dari kemungkinan untuk analisis 3 dimensi dengan menggunakan peralatan fotogrametri yang biasa dipergunakan dalam pembuatan peta grafis. Analisis dapat dilakukan baik secara digital maupun analog. Model matematik yang digunakan pada cara ini biasanya menggunakan persamaan kolinier, yaitu suatu persamaan garis lurus dalam ruang yang menghubungkan titik (x,y) pada citra dengan titik obyek (X,Y,Z). Model ini digunakan terutama untuk sistim sensor barisan linier yang juga dapat merekam data secara stereoskopis, seperti SPOT, MOMS, JERS-OPS, IKONOS dll.
Penyelesaian tan pa Parameter Penyelesaian tanpa parameter menggambarkan hubungan antara koordinat citra (x,y) dengan koordinat obyek (X,Y) dengan bantuan fungsi interpolasi. Metode ini tidak dibangun berdasarkan suatu parameter perekaman yang mengakibatkan berbagai variasi penyimpangan. Citra ditransformasikan melalui bantuan fungsi matematik untuk dicowkan dengan jaringan titik kontrol. Dalam penerapannya model ini hanya diterapkan untuk data digital saja. Berbagai model fungsi matematik telah dikembangkan (Baker & Mikhai1,1975). Dalam prakteknya fungsi polinomial banyak digunakan sebagai model transformasi. Suatu fungsi polinomial derajat n diberikan sebagai berikut : x = aoo+ aloX + all Y + a 2 0 ~+2a2,XY
+ any2 + .
. . + annYn
y = boo+ bloX + bll Y + b 2 0 ~+2b2?XY+ b 2 2 ~+2 . . . + bnnYn
Dengan memasukan
titik-titk
yang mempunyai koordinat citra (x,y) dan
koordinat obyek (X,Y) kedalam persamaan diatas maka koefisien am , aI0 , . . . , a,
, bm , bqO , . . . , b,
dapat dihitung. Untuk memudahkan dalam penyelesaian
persamaan dengan derajat polinomial n = 1,2,3,4,5 membutuhkan 3,6,10,15,21 titik kontrol.
Pemrosesan Citra Digital untuk Optimalisasi lnterpretasi Citra Keberhasilan dari suatu interpretasi dan analisis citra, selain tergantung terhadap pengalaman dan pengetahuan interpreter juga tergantung terhadap kualitas gambar itu sendiri. Manipulasi radiometris dan geometris yang diharapkan pada suatu citra seringkali diperlukan untuk memperbaiki kualitas citra, terutama untuk memperoleh hasil interpretasi yang lebih baik. Suatu proses manipulasi terhadap citra melalui komputer ditunjukan sebagai analisis citra digital (Ehlers, 1984). Persyaratan untuk penerapan analisis citra digital, yakni bahwa citra yang akan dikerjakan ditempatkan dalam bentuk digital. Bagi data dalam bentuk analog tentu saja harus dirubah terlebih dahulu kedalam bentuk digital, misal melalui scanner. Sebuah citra digital merupakan suatu fungsi berdimensi dua F(x,y) dari suatu intensitas, dimana x dan y adalah koordinat titik dari bidang gambar, dan harga F meningkat secara proporsional terhadap kecerahan pada titik-titk yang berbeda. Pemrosesan citra digital dalam ha1 ini adalah
perubahan terhadap
harga fungsi F atau koordinat (x dan y).
Perbaikan kontras Perbaikan kontras adalah suatu cara untuk memudahkan interpretasi citra melalui penguatan perbedaan tingkat keabuan diantara obyek-obyek pada citra.
Sifat kekontrasan dari citra satelit terutama dipengaruhi oleh sensitifitas dari sensor dan efek atmosfir. Faktor-faktor diatas seringkali mengakibatkan proses kuantisasi pada citra terjadi tidak optimal. Perubahan kontras seringkali dicapai melalui fungsi linier dari citra orisinal S. Hal ini mempengaruhi suatu transformasi dari distribusi nilai keabuan. Citra yang dihasilkan S' dihitung sebagai berikut :
Konstanta a berpengaruh terhadap perubahan kontras, sedangkan b mengubah kecerahan citra. Dalam ha1 ini berlaku :
1 a 1 > 1 gambar yang dihasilkan lebih kontras I a I < 1 3 gambar yang dihasilkan kurang kontras b
> 0 a gambar yang dihasilkan akan lebih terang
b
<0
gambar yang dihasilkan akan lebih gelap
Pemilihan parameter diatas mudah dilakukan secara interaktif pada layar monitor dengan
memperhatikan citra
yang
dihasilkan. Dalam praktek
perhitungannya harga tingkat keabuan dari citra yang diperoleh adalah sebagai berikut :
0 , jika a*(S(x,y) + b) (0 , S(X,Y) =
255, jika a*(S(x,y) + b)
255,
a*(S(x,y) + b) untuk lain dari diatas.
Selain dengan cara diatas perubahan kontras dapat juga dicapai melalui perubahan histogram (Ehlers, 1984). Operasi perbaikan kontras selain dapat dilakukan titik demi titik, juga dapat
dilakukan untuk suatu
ketetanggaan tertentu.
Cara
seperti itu
diperkenalkan oleh Gonzales & Wintz (1987), dengan nilai keabuan S'(x,y) tergantung terhadap penyimpangan baku o dan mean p dari sekitar pixel-pixel dengan ukuran baris dan kolom tertentu dari
S(x,y), dan dihitung sebagai
berikut: S'(~,Y) = A(x,y)*[S(x,y) - p(x,y)l + POCY)
M adalah harga mean dari keseluruhan S(x,y)
Citra Rasio Rasio citra umumnya dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih optimal dari perbedaan antar kanal, dan dalam penonjolan beberapa kenampakan obyek tertentu. Kombinasi beberapa kanal untuk mendapatkan komposit warna sering memanfaatkan hasil rasio antar kanal, yang dikenal dengan citra rasio kolektif. Citra rasio kolektif dari Landsat-TM, misal: (kanal merah = 715, kanal hijau = 513, kanal biru = 311) dapat mempertegas perbedaan obyek-obyek di daerah urban (Schumacher, 1991).
Transformasi Warna Citra berwarna dalam penginderaan jauh mempunyai peranan yang penting terutama untuk interpretasi visual. Dalam penayangannya pada layar monitor, biasanya merupakan gabungan dari tiga kanal yang berbeda. Masing-
masing kanal ditampilkan dengan warna dasar merah, hijau, dan biru (RGB) pada layar monitor atau warna laser pada pencetak film. Selain dalam sistem di atas, citra berwarna dapat diuraikan berdasar intensity, hue, dan saturation (IHS). lntensitas (intensity) merupakan pengukur dari terangnya tiap pixel, corak (hue) merupakan pengukur dari warna, dan kejenuhan (saturation)merupakan indikator dari kedalaman atau kemurnian warna. Pada umumnya sistem pemrosesan citra mempunyai kemampuan untuk mengkonversi dari RGB ke IHS. Transformasi IHS biasanya digunakan sebagai alternatif dari perentangan korelasi (decorelation stretching) dan untuk mengkombinasikan data yang mempunyai resolusi spasial dan temporal yang berbeda. Transformasi warna dari data Landsat-7, misalnya dapat dilakukan dengan mengisi kanal merah dengan kanal 5, kanal hijau dengan kanal 4, kanal biru dengan kanal 2 dan setelah ditransformasikan ke dalam sistem IHS kemudian intensitas diisi dengan kanal pankromatik. Selanjutnya kanal-kanal IHS yang baru ditransformasikan kembali kedalam sistem RGB , maka akan diperoleh citra berwarna dengan resolusi spasial mengikuti resolusi spasial kanal pankromatik ( 1 5m x 15m). Hasil ini diharapkan dapat memperbaiki tingkat kedetilan extraksi informasi.
Analisis Citra Visual Analisis citra visual atau interpretasi citra dapat didefinisikan sebagai aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukkan gambaran permukaan bumi yang tergambar di dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya. Analisis visual menunjuk pada kemampuan pandangan binokuler yang dimiliki oleh mata manusia, oleh karenanya ketelitian hasil
interpretasi
sangat
dipengaruhi
oleh
kemampuan
dan
pengalaman
interpreternya. lnterpretasi visual merupakan suatu kegiatan pemecahan masalah yang meliputi deteksi dan identifikasi obyek di muka bumi pada citra, dengan mengenali obyek-obyek tersebut melalui unsur-unsur utama spektral dan spasial, serta melalui kondisi temporalnya.
Howard (1991) mengutip dari Estes dan
Simonett (1975) menunjukkan enam buah unsur pengenalan citra yang penting, yakni rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, bayangan dan pola. I . Rona : Rona menunjukan adanya tingkatan keabuan yang teramati pada
citra hitam putih dan dapat diwujudkan dengan nilai densitas secara logaritmik antara hitam dan putih. Permukaan basah misalnya akan nampak lebih gelap pada citra pankromatik dengan pantulan kurang lebih 2,7 lebih kecil dari pada permukaan kering (Krinov, 1947). Lapisan tanah bawah yang terkelupas nampak cerah pada foto udara pankromatik bila dibandingkan dengan liputan vegetasi disekitarnya. Rumput kering, salju, dan pasir nampak cerah. 2. Warna :Warna dapat dipresentasikan dengan tiga unsur (sebagai contoh
hue, value, dan chroma). Perbedaan warna pada kertas cetakan atau pada layar monitor lebih mudah dikenali oleh mata manusia daripada perbedaan rona pada citra hitam putih. 3. Pola :Pola merupakan sebuah karakteristik makro yang digunakan untuk
mendeskripsi tata ruang pada citra, termasuk di dalamnya pengulangan kenampakan-kenampakan alami. Pola sering dapat diasosiasikan dengan geologi, topografi, tanah, iklim dan komunitas tanaman. Pemahan terhadap pola sangat membantu di dalam analisis geomorfologi. Pola aliran dan perbedaan topografi utama
lebih mudah diamati pada citra satelit dan ini
dapat
digunakan
misalnya
untuk
mengetahui
morfogenesis
suatu
lahantertentu. 4. Bentuk : Bentuk dan ukuran sering berasosiasi sangat erat. Bentuk
menunjukan pada konfigurasi umum suatu obyek sebagaimana terekam pada citra penginderaan jauh. Bentuk lembah sering memberikan petunjuk penting terhadap proses pelapukan dan usia lembah tersebut, dan dapat merupakan indikasi terhadap jenis batuan penyusunnya.
5. Tekstur :Perbedaan tekstur dapat dikenali pada semua skala foto udara dan citra satelit. Tekstur sangat penting dalam menunjang pengolahan spektral secara digital baik untuk citra optik dan lebih-lebih citra radar. Tekstur merupakan hasil dari rona, ukuran, bentuk, pola, bayangan, dan kualitas pantulan obyek; dan tekstur bervariasi menurut skala citra. Jika skala diperkecil tekstur menjadi lebih halus. 6. Ukuran : Seringkali tiga unsur interpretasi (bentuk, ukuran, dan letak)
digabungkan menjadi satu ke dalam istilah informasi kontextual. Ukuran dapat menyajikan luas suatu daerah yang merupakan kelompok tertentu yang homogen. Dalam analisis data stereo, ukuran dipakai misalnya untuk mengetahui kemiringan dan panjang suatu lereng. 7. Bayangan :Bayangan sering sangat membantu didalam identifikasi pada foto udara atau citra yang bersekala besar, yang berpengaruh pada tekstur dan rona citra misalnya pada daerah berbukit. Bayangan sering menjadi faktor penghambat pada analisis citra secara otomatik. 8. Delineasi batas :Didalam proses mengkaji unsur diagnostik citra, delineasi
batas pada citra yang memisahkan kelas-kelas yang berbeda dapat meningkatkan efektivitas interpretasi.
Klasifikasi Digital Pada prinsipnya teknik klasifikasi adalah menggunakan informasi spektral atau informasi spasial dari suatu citra dalam rangka membagi citra menjadi beberapa kelas yang berbeda dan mempunya arti terhadap obyeknya (Dewanti, 1998). Mueler (1983), dalam meningkatkan ketelitian klasifikasi dengan metode Maksimum Likelihood, menekankan pada cara pengambilan training area yang memenuhi 4 syarat : I. Ukuran dari training area
: harus memenuhi syarat utama
yakni agar
kovarian matrik tidak singular, haruslah pixel-pixel suatu training area saling independen linier. Jadi pada n kelas obyek minimal n + l pixel pada tiap-tiap kelasnya. Untuk mencapai hasil yang lebih baik, disarankan 10 kali dari jumlah pixel minimum diatas. 2. Kehomogenan training area
: untuk ha1 ini dharapkan hanya pixel-pixel dari
kelas itu saja yang berada pada training area dan distribusinya harus sedapat mungkin berdistribusi normal. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat histogramnya pada tiap-tiap kana1 dan definisikan interval harga tingkat keabuan yang terrnasuk pada training area tersebut, harga tingkat keabuan yang ada di luar interval tersebut harus dikeluarkan. Dalam banyak ha1 adalah seringkali sangat susah membuat training area untuk memisahkan pixel-pixel dari dua kelas yang berbeda, seperti terjadi pada obyek jalan atau sungai. Seringkali tercampur pixel-pixel dari dua kelas, misal jalan dengan hutan. Dalam ha1 ini adalah membantu jika sebelumnya dilakukan klasifikasi unsuvervised. 3. Refresentatif - kelas : suatu persyaratan penting untuk dapat menerapkan
metode maximum likelihood adalah masing-masing kelas berdistribusi
normal. Pada kenyataannya persyaratan ini seringkali tidak terpenuhi, karena tidak terpenuhinya simetrisasi dari kelas-kelas obyek pada ruang spektral. Pada penentuan kelas dapat dilakukan dengan menandai training area, sedemikian sehingga seluruh pixel dapat terkelompokan. 4. Keterpisahan kelas
: untuk menajamkan keterpisahan kelas biasanya
dilakukan tranformasi divergensi dan Jeffreys-Matusita Distance. Schumacher (1991) mengembangkan berbagai metode klasifikasi terbimbing menggunakan data penginderaan jauh Landsat-TM, yakni klasifikasi berbasis pixel (maximum likelihood), klasifikasi konteks, klasifikasi fuzzy dan klasifikasi multitemporal. Pada klasifikasi terakhir dituntut adanya ketelitian geometri yang sangat tinggi.
Metode Klasifikasi Maximum Likelihood Maximum likelihood merupakan suatu metode klasifikasi yang banyak dikenal dalam penginderaan jauh, dimana suatu pixel yang mempunyai kemiripan maksimum (maximum likelihood) di klasifikasikan dalam kelas tertentu. Lk didefinisikan sebagai probabilitas posterior dari pixel yang termasuk kelas k.
Lk = P(WX) = P(k) * P(Xlk)lCP(i)*P(X/i) dimana
P(k)
: probabilitas prior dari kelas k
P(Xlk) : probabilitas bersyarat untuk kejadian X dari kelas k atau fungsi probabilitas densiti
Seringkali P(k) diasumsikan sama untuk satu sama lainnya dan CP(i)* P(X/i) juga sama untuk setiap kelas. Lebih lanjut Lk tergantung terhadap P(X/k).
Untuk alasan matematik, suatu distribusi normal multivariat digunakan sebagai fungsi probabilitas densiti. Dalam kasus distribusi normal, Lk dapat diexpresikan sebagai berikut :
Dimana :
n : banyaknya kanal X : citra dari n kanal Lk(X) : kemungkinan dari X masuk ke kelas k pk : vektor rataan dari kelas k
Ck : matrik varian-kovarian dari kelas k
1 Ck 1 : determinan dari Ck
Dalam kasus dimana matrik varian-kovarian simetris, Lk sama seperti jarak euclidian, sedangkan jika deterrninan sama satu dengan lainnya, Lk menjadi sama dengan jarak Mahalanobis.
Analisis Tekstur Tekstur adalah suatu kombinasi dari pola pengulangan dengan frekuensi teratur. Dalam interpretasi visual mempunyai beberapa type, sebagai contoh, halus, agak halus, kasar dan seterusnya. Analisis teksture didefinisikan sebagai klasifikasi atau segmentasi dari ciri-ciri tektural yang berkaitan dengan bentuk elemen kecil, kerapatan dan arah yang teratur.
Dalam pemrosesan citra digital adalah sulit untuk memformulasikan tekstur secara matematik, sebab tekstur tidak dapat distandarkan secara kuantitatif, selain itu volume datanya biasanya juga besar. Teknik ekstraksi tekstur secara umum dibedakan menjadi lima kategori yaitu Struktural, Statistik, Spektral, Stokastik dan Morfologi (Chen, 1995). Pendekatan statistik yang dikombinasikan dengan data spektral dapat digunakan untuk perbaikan klasifikasi penutup lahan. Pendekatan statistik menekankan pada perbandingan rona antara suatu piksel yang diamati dengan rona-rona yang dimiliki tetangganya, yang selanjutnya diadakan pengujian kemiripan (similarity) dengan piksel yang sedang diamati. Satu unit ketetanggaan piksel merupakan unit pembangun (unit analisis) tekstur yang diberi nama unit Texel (Texture Element). Salah satu algoritma yang digunakan dalam analisis tekstur berbasis statistik adalah Grey-Tone Spasial Dependence Matrix (GTSDM).
Pada
algoriitma ini pengaturan piksel dalam suatu texel ditentukan oleh jarak spasial tertentu dan sekaligus tergantung juga pada posisi piksel yang bertetanggaan. Posisi relatif terhadap piksel pusat dinyatakan dalam suatu sudut yang besarnya ditentukan berlawanan dengan arah putaran jarum jam.
Dalam ruang
ketetanggaan, kemiripan antara piksel pusat dengan piksel tetangga dihitung pada sudut-sudut tertentu, misalnya : oO,45O, go0, 135', dan seterusnya, dan dihitung dengan rumus-rumus sbb : P(i,j,d,@ ) = #{((k,I),(m,n)) 4 L y x Lx)
/
x(L,xLJ~~-~=o 11-n ,
=d,
l(k,l) = i,l(m,n) = j} p(i,j, d,4 9 ) = #i((k,I),(m,n)) 4 L yx L, ) X ( L , X L , ) / ~ - m = d , 11-n
I
=d,
Or (k-m = -d, I-n = d), l(k,l) = i, l(m,n) = jJ p(i,j,d,9@ ) = #i((k,I),(m,n)) 4,x Lx) x ( ~ , x ~ $ I k - m = d 11-n ,
I =0,
I(k,l) = i, I(m,n) = jJ P(;,j,d, 7350) = #i((k,11,(m,n)) 4 L yx Lx) x ( ~ , x ~ ~ ) / k - m =/ Id- n ,
I
=d)
or (k -m =-d, I-n =-d), l(k,l) = ;,l(m,n) = j} Dimana # menyatakan jumlah elemen dalam himpunan. Data kemiripan dalam seluruh citra dapat digunakan untuk membentuk sebuah matriks yang biasa disebut Matriks Ketergantungan (Dependence
Matrix), yang ukurannya ditentukan oleh tingkat keabuan yang digunakan pada citra digital, misalnya untuk tingkat keabuan 256 maka ukuran matriksnya adalah 256 baris x 256 kolom.
Ketelitian klasifikasi
Transformasi Divergensi Keterpisahan statistik (statistical separability) merupakan suatu analisis yang digunakan untuk menguji performansi dari sebuah pengklasifikasi. Pengklasifikasi yang baik memiliki kemungkinan kesalahan paling kecil di dalam membedakan antara kelas yang satu dengan yang lainnya. Suatu ukuran untuk menunjukkan keterpisahan statistik antar kelas dari training sample ialah harga transforrnasi divergensi.
Forrnulasinya diberikan sebagai berikut :
Dij = %[Tr{(Z, - Zj)( Zil
- z,-')} +
T~{(z;' + Zj-')( pi - pj)( pi - Ltj)T}]
TD, = 2000 * {I - exp(-D,,/8))
Keterangan : i,~
= pasangan kelaslsignature ke i dan j
D
= nilai divergensi
C
= matriks kovarian kelas berukuran NxN (N=jumlah kanal kombinasi)
P
= matriks rataan kelas ukuran N x l
Tr, -1, T = operasi trace, invers, dan transpose matrik TD
= Transformasi Divergensi
Divergensi tertransformasi memiliki nilai maksimum atau nilai saturasi sebesar 2000 dimana diperoleh kemungkinan kesalahan 0 %. Melalui harga TD ini dapat ditentukan apakah sebuah pasangan kelas memiliki keterpisahan yang baik atau kurang baik, yaitu : a. Jika TD,,
G
2000, keterpisahan kelas I dan j baik
b. Jika TDij << 2000, keterpisahan kelas I dan j kurang baik. Jika seluruh kombinasi pasangan kelas mempunyai harga TD, z 2000, maka diperolah sebuah pengklasifikasi dengan kemungkinan kebenaran yang tinggi. Harga TD,
dari seluruh kombinasi pasangan kelas, dapat dijadikan
ukuran untuk menentukan baik tidaknya sebuah pengklasifikasi.
Confusion Matrix Keakuratan hasil klasifikasi dapat dihitung dengan cara membandingkan citra hasil klasifikasi dengan data referensi. Data referensi yang dimaksud dapat berupa :
-
Data cek lapangan yang diambil secara acak pada areal yang dicakup citra satelit untuk masing-masing kelas
-
Areal data latih digital (training site) yang sudah dibuat sebelumnya dari hasil interpretasi secara visual diatas citra satelit dengan bantuan monitor komputer
-
Peta penutup lahan digital, yang merupakan data digital dengan ukuran data, resolusi spasial dan waktu pembuatannya mendekati tanggal perolehan data satelit yang akan dikelaskan
Keakuratan hasil klasifikasi biasanya ditunjukkan dalam bentuk confusion matrix yang menggambarkan hubungan antara data referensi dengan hasil klasifikasi dalam persen dan dari confusion matrix dapat dihitung keakuratan rata-rata hasil klasifikasi. Ketelitian pemetaan dapat dihitung dengan rumus :
"
crpr.w/
MA= X c r P'X"
Ket :
( Short, 1982)
+ X~pl.rt./+Xc~pLre/
MA
= Ketelitian pemetaan (mapping accurary)
&,
= jumlah kelas x yang terkoreksi
XO
= jumlah kelas x yang masuk ke kelas lain (omisi)
Xco
= jumlah kelas x tambahan dari kelas lain (komisi)
Hasil perhitungan kemudian diekspresikan dalam bentuk tabel yang dikenal sebagai confusion matrix, seperti diilustrasikan dalam Tabel 2.7 berikut :
Tabel 2.8. Confusion Matrix
Kelas pengecekkan lapangan C A B Kelas-kelas klasifikasi
hasil A B C Jumlah pixel hasil pengecekan lapang
35 (70%) 10 (20%) 5 (10%)
2 (5%) 37 (93%) 1 (2%)
(4%) (7%) 41 (89%)
50
40
46
Total 39 50 47
Persentase yang terdapat dalam tabel merepresentasikan proporsi dari pixel-pixel pengecekan lapangan dalam masing-masing kelas yang ditandai oleh pengklasifikasi yang termasuk benar dan yang salah. Ketelitian klasifikasi seringkali dihitung dari rata-rata seluruh persentasi yang benar.