TINJAUAN PUSTAKA Madu Madu adalah zat pemanis alami yang diproduski oleh lebah madu dari nektar tanaman atau sekresi bagian lain dari tanaman atau ekresi dari insekta pengisap tanaman, yang dikumpulkan, diubah dan dikombinasikan dengan zat tertentu dari lebah kemudian ditempatkan, dikeringkan, lalu disimpan dalam sarang hingga matang (Codex, 1989). Standar Nasional Indonesia (2004) mendefinisikan madu adalah cairan alami yang umumnya mempunyai rasa manis yang dihasilkan oleh lebah madu dari sari bunga tanaman (floral nektar) atau bagian lain dari tanaman (ekstra floral nektar) atau eksresi serangga. Lebah memproduksi madu dengan bahan nektar yang merupakan cairan mengandung gula yang disekresikan oleh kelenjar nektari tanaman. Selain nektar, lebah madu juga menggunakan nambur madu (honeydew) sebagai bahan baku madu. Nambur madu merupakan ekskreta serangga yang mengisap cairan floem (Sihombing, 2005). Madu biasanya digolongkan berdasarkan sumber nektarnya.
Madu
monoflora digolongkan sebagai madu yang bersumber dari nektar yang didominasi oleh satu jenis tanaman (bunga) seperti madu randu, madu karet, madu lengkeng dan madu kaliandra. Apabila sumber nektar dari berbagai jenis tanaman, maka madu yang dihasilkan digolongkan sebagai madu multiflora, misalnya madu Nusantara, madu Kalimantan dan madu Sumba. Perbedaan sumber nektar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi karakteristik madu (Sihombing, 2005) Madu memiliki sifat higroskopis yang tinggi, yaitu sangat mudah menyerap air dari lingkungan sekitar apabila terjadi kontak langsung dengan udara sehingga memicu peningkatan kadar air madu. Kadar air yang semakin tinggi dapat mempercepat pertumbuhan khamir dalam madu. Secara alami madu mengandung khamir yang bersifat osmofilik yang dapat tumbuh pada medium dengan aktivitas air rendah, yaitu 0,62-0,65 (Fardiaz, 1992). Semakin banyak madu menyerap air maka kualitas mutunya semakin rendah sehingga dapat dikategorikan sebagai madu afkir. Zat yang terkandung dalam madu sangat kompleks dan kini telah diketahui tidak kurang dari 181 macam zat atau senyawa dalam madu. Komposisi madu ditentukan dua faktor utama yakni, komposisi nektar asal madu bersangkutan dan
3
faktor-faktor eksternal seperti cuaca dan iklim (Sihombing, 2005). Komposisi kimia madu tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Madu No Komposisi
Satuan
Rataan
Kisaran Nilai
1
Air
%
22,9
16,6-37,0
2
Fruktosa
%
29,2
12,2-60,7
3
Glukosa
%
18,6
6,6-29,3
4
Sukrosa
%
13,4
1,4-53,0
5
Asam bebas
A
41,31
10,33-62,21
6
Lakton
A
1,80
0,0-8,98
7
Total asam
A
43,07
11,31-62,20
8
Abu
%
1,14
0,06-14,68
9
Nitrogen
%
0,113
0,0-0,668
10
pH
-
3,92
3,60-5,34
11
HMF
mg/kg madu
37,1
4,1-187,9
Sumber : Siregar (2002)
Jenis gula yang dominan dalam madu adalah levulosa dan dekstrosa. Levulosa dan dekstrosa mencakup 85-90% dari karbohidrat. Sisanya adalah komponen lain (protein, mineral, dan vitamin) dalam jumlah sedikit (5%). Protein yang terkandung dalam madu antara lain terdiri atas albumin, globulin, dan protease. Mineral dalam madu terdapat 18 unsur mineral esensial dan 19 unsur non-esensial. Mineral yang terkandung dalam madu adalah fosfor, kalium, kalsiun, besi dan natrium sebagai mineral yang dominan (Sihombing, 2005). pH madu dipengaruhi oleh kandungan asam organik dan asam non organik. Asam organik yang dominan dalam madu adalah asam glukonat yang merupakan hasil perombakan glukosa oleh enzim. Asam organik lainnya adalah asam asetat, butirat, sitrat, format, laktat, malat, oksalat, glukosa-6-fosfat, proglutamat, dan 2atau 3-fosfogliserat. Asam organik ini sangat menentukan citarasa, aroma dan daya tahan madu terhadap mikroorganisme (Sihombing, 2005). Setiap negara memiliki standar mutu madu tersendiri untuk layak dipasarkan dan dikonsumsi masyarakat. Standar mutu madu di Indonesia dicantumkan dalam Standar Nasional Indonesia 01-3545-2004 yang dapat dilihat pada Tabel 2.
4
Tabel 2. Standar Nasional Mutu Madu Indonesia No
Jenis Uji
Satuan
Persyaratan
1
Aktivitas enzim diastase
Diastase Number
Maksimal 3
2
Hidroksimetilfurfural (HMF)
mg/kg
Maksimal 50
3
Air
%
Maksimal 22
4
Gula Pereduksi
% b/b
Maksimal 65
5
Sukrosa
% b/b
Maksimal 5
6
Keasaman
ml NaOH 1 N/kg
Maksimal 50
7
Padatan yang tak larut air
% b/b
Maksimal 0,5
8
Abu
% b/b
Maksimal 0,5
Sumber : SNI 01-3545-2004
Kadar HMF di Indonesia maksimal 50% tetapi sering ditemui madu dengan kadar HMF diatas standar. Hal ini disebabkan kadar air madu di Indonesia cukup tinggi sehingga diperlukan perlakuan untuk mengurangi kadar air madu tersebut dengan pemanasan. Pemanasan madu di masyarakat banyak yang tidak terkontrol sehingga memicu peningkatan kadar HMF yang berakibat penurunan kualitas madu dan tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Nata Istilah nata diduga berasal dari bahasa Spanyol yaitu nadir yang berarti berenang, Nata juga berasal dari bahasa Latin yaitu nature, yang berarti terapungapung. Nata merupakan
produk fermentasi dihasilkan oleh bakteri Acetobacter
xylinum pada substrat yang mengandung gula. Gula dimanfaatkan untuk aktivitas metabolisme dan membentuk polisakarida yang dikenal dengan extracellular sellulosa berbentuk gel (Setiani, 2007). Hidayat et al. (2006) menyatakan bahwa nata adalah suatu zat yang menyerupai gel, tidak larut dalam air dan terbentuk pada permukaan media fermentasi air kelapa dan beberapa sari buah masam. Sedangkan menurut Alaban (1961) nata adalah selulosa bakteri dengan tekstur agak kenyal padat dan mempunyai konsistensi yang tegas dan kokoh, hasil sintesa gula oleh A. xylinum dan berwarna putih dan transparan. Nata dapat dibuat dari air kelapa, nenas, whey susu, whey tahu, tomat, lidah buaya, rumput laut, ubi, dll. Nama dagang nata mengacu pada bahan baku yang digunakan (Saragih, 2004). Pemberian nama disesuaikan dengan bahan media
5
fermentasinya, seperti nata de coco untuk produk dari air kelapa, nata de pina dari limbah nenas, nata de soya dari limbah tahu dan dari limbah keju dikenal dengan nama nata de whey, nata de aloe dari lidah buaya, nata de tomato dari tomat, nata de gracillaria dari bahan dasar rumput laut (Suryani et al., 2007). Keberhasilan pembentukan nata dipengaruhi dari faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrisik berupa kemampuan hidup (viabilitas) A. xylinum dalam mengubah glukosa menjadi selulosa, pH, sumber nitrogen dan sumber karbon (Pambayun, 2006). Faktor ekstrinsik berupa kondisi fermentasi (suhu dan kelembapan) suhu optimum A.xylinum 28 °C, lama fermentasi, ketinggian media dalam wadah, luas permukaan wadah, ukuran wadah dan kebersihan lingkungan fermentasi. Semakin tinggi media dan semakin lama waktu inkubasi akan menghasilkan nata yang tebal (Darmajana, 2004). Kondisi optimum untuk memproduksi nata dari air kelapa tercantum pada Tabel 3. Tabel 3. Kondisi Optimum untuk Memproduksi Nata pada Media Air Kelapa Parameter
Alaban (1961)
Lapuz et al. (1967)
Sumber karbon
Sukrosa (5-8%)
Glukosa dan sukrosa (5%)
Sumber nitrogen
Nitrogen organik
Amonium fosfat
Keasaman (pH)
4–5
5,0 – 5,5
Suhu
28 – 32OC
28OC
Asam cuka glacial
2 – 4%
-
Starter
10 – 20%
-
Lama inkubasi
15 hari
15 hari
Menurut Moat dan Foster (1988), pembentukan selulosa oleh A. xylinum memerlukan gula sebagai unsur utama, protein dan lemak sebagai senyawa perantara, serta mineral sebagai penstimulasi dalam pembentukan selulosa. Nata tergolong sebagai sumber makanan rendah energi untuk keperluan diet karena nilai gizi produk ini sangat rendah. Selain itu nata juga mengandung serat yang sangat dibutuhkan oleh tubuh dalam proses fisiologis sehingga dapat memperlancar pencernaan. Nata mengandung kalori yang rendah sehingga aman dikonsumsi oleh penderita diabetes (Hidayat et al., 2006).
6
Badan Standarisasi Nasional 01-4317-1996 menetapkan kriteria-kriteria mutu yang harus dipenuhi dalam produksi nata dalam kemasan sebagaimana disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Standar Mutu Produk Nata dalam Kemasan No 1
Komponen
Satuan
Persyaratan
Keadaan -
Bau
-
Normal
-
Rasa
-
Normal
-
Warna
-
Normal
2
Bobot tuntas
%
Min.50
3
Jumlah gula (dihitung sebagai sukrosa)
%
Min. 15
4
Serat makanan
%
Maks. 4,5
5
Pewarna tambahan
Sesuai SNI 01-0222-1995
6
Pengawet
Sesuai SNI 01-0222-1995
Sumber : SNI 01-4317-1996
Nata dipercaya dapat mencegah tubuh dari serangan kanker kolon karena erat kaitannya dengan sifat kimianya yaitu makanan berserat tinggi dan rendah kalori serta ampuh melangsingakan tubuh. Konsumsi serat yang teratur dan seimbang setiap hari di kolon akan difermentasi oleh bakteri kolon yang baik menjadi asam lemak rantai pendek yang berfungsi sebagai anti kanker, asam lemak ini akan mengikat asam empedu yang bersifat karsiogenik dan selanjutnya asam ini akan dibuang bersamaan dengan feses (Metcalfe, 1994). Panen nata dilakukan setelah 14 hari fermentasi. Hasbullah (2001) menyatakan bahwa nata akan mengalami kerusakan oleh mikroba pencemar jika fermentasi tetap dilanjutkan setelah batas akhir waktu optimum pertumbuhan nata. Bahan Pembuatan Nata Media Madu afkir. Madu afkir adalah madu yang telah menurun kualitasnya baik dari segi fisik dan kimia. Penurunan kualitas madu disebabkan adanya rekasi biokimia oleh mikroorganisme pada
madu seperti Zygosaccharomyces dan
penyimpanan madu yang sangat lama dengan kondisi suhu penyimpanan yang tidak terkontrol. Semakin panas suhu penyimpanan maka kadar hidoksimetifurfural (HMF) 7
meningkat (Damanhuri, 2005). Winarno (1982) menyatakan bahwa kadar HMF dapat menjadi indikator kerusakan madu oleh pemanasan yang berlebihan atau karena pemalsuan dengan gula invert. Semakin lama penyimpanan madu semakin tinggi kadar HMF madu tetapi kenaikan kadar HMF tergantung pada suhu penyimpanan. Air Kelapa. Air kelapa adalah bagian dari buah kelapa yang dihasilkan dari endosperma cair. Air kelapa yag berupa cairan jernih mengisi kurang lebih tiga per empat bagian rongga sebelah dalam buah kelapa (Freemond dan Ziller, 1996). Jumlah air kelapa yang terkandung di dalam satu buah kelapa tua sekitar 300 ml yang dipengaruhi oleh ukuran kelapa, varietas, kematangan dan kesegaran kelapa (Tenda, 1992). Air kelapa matang mempunyai nilai pH
4,88 ± 0,05 dengan Aw 0,995 ±
0,003 (Walter et al., 2009). Nilai pH akan menurun selama Berdasarkan penelitian Mashudi (1993),
penyimpanan.
penundaan penggunaan air kelapa
berpengaruh terhadap mutu nata de coco yang dihasilkan. Penundaan pemakaian air kelapa lebih dari sembilan hari sudah tidak dapat menghasilkan nata sedangkan bila kurang dari sembilan hari masih memungkinkan menghasilkan nata tetapi sudah berkurang kualitasnya dibandingkan air kelapa segar. Hal ini diduga karena air yang telah ditunda terlalu lama komposisinya sudah banyak berkurang akibat telah mengalami fermentasi yang mengkontaminasi air kelapa. Selain itu air kelapa yang penggunaannya ditunda lama, pHnya akan semakin turun sehingga berada diluar selang yang memungkinkan A. xylinum untuk dapat hidup. Whey. Whey merupakan produk samping pembuatan keju yang masih mengandung komponen nutrisi berupa protein, laktosa dan mineral (Scott, 1986). Whey memiliki warna kuning kehijauan yang berasal dari riboflavin yakni pigmen yang larut dalam air yang terdapat dalam susu. Komposisi utama whey berupa laktosa (4-7%) dan protein (0,6-1,0%). Komposisi lainnya seperti, -laktalbumin, βlaktoglobulin dan mineral (Marshall, 2004). Media pembuatan nata tidak hanya dari air kelapa, whey sebagai hasil ikutan pengolahan keju juga dapat menghasilkan nata apabila difermentasikan dengan A. xylinum. Menurut Yoneda (2003), pemanfaatan whey melalui proses fermentasi
8
dengan starter A. xylinum dapat menghasilkan nata de whey.
Perbandingan
komposisi antara whey dan air kelapa dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi Whey dan Air Kelapa Komponen
Whey
Air Kelapa *
Whey **
----------------------------( % )--------------------------Air
93
91.23
94,35
Lemak
0,36
0.15
0,11
Abu/mineral
0,53
1.06
0,54
Protein
0,85
0.29
0,49
Gula pereduksi
-
2,08
1,15
Laktosa
5
-
-
Sumber : Pescuma et al. (2008), * Woodroof (1979), ** Walstra dan Jennes (1984)
Whey dapat digolongkan menjadi beberapa jenis asam atau enzim yang digunakan dalam pembuatan keju. Whey manis diperoleh dari metode koagulasi yang menggunakan enzim sedangkan whey asam diperoleh dari metode koagulasi yang menggunakan asam Starter Nata (Acetobacter xylinum) Starter merupakan syarat terpenting pada proses fermentasi. Demikian pula dengan pembuatan nata de madoe, penggunaan starter merupakan syarat mutlak. Starter adalah kultur mikroba yang diinokulasikan ke dalam medium fermentasi dengan kriteria sehat dan aktif, sifat yang sesuai, digunakan dalam jumlah rendah dibandingkan jumlah medium fermentasi dan bebas kontaminasi. Pembuatan nata de madoe menggunakan starter A. xylinum. Bakteri A. xylinum termasuk golongan acetobacter yang mempunyai ciri-ciri antara lain Gram negatif, berbentuk batang pada media asam, berbentuk kapsul pada media basa, panjang 2-10µm, lebar 0,5-1,0µm, obligat aerobik, nonmotil. Acetobacter xylinum tidak berspora, membentuk asam dari glukosa, mampu mengoksidasi asam asetat, dapat membentuk rantai ataupun tunggal, membentuk lendir yang menyelubungi sel dan tumbuh pada permukaan medium (Lapuz et al., 1967). Acetobacter xylinum tidak mampu mencairkan gelatin, tidak memproduksi H2S, tidak dapat hidup pada suhu 65-70 °C A. xylinum karena berada pada zona
9
suhu kematian (thermal death point) (Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatera Barat, 2002). Acetobacter xylinium memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan spesies lain, seperti: A. aceti, A. orleanensis dan A. liquefaciens. Acetobacter xylinum memiliki kelebihan dari spesies acetobacter lainnya yaitu jika ditumbuhkan pada media yang mengandung gula maka bakteri ini akan memecah gula untuk mensintesa suatu polisakarida yang dikenal dengan selulosa ekstraseluler (Brown, 1996). Thimann (1964) menyatakan bahwa A.
xylinum jika ditumbuhkan pada
media yang mengandung gula, dapat mengubah sampai 19% gula menjadi selulosa. A. xylinum mampu mensintesis selulosa dari gula yang tersedia dalam media dan dapat membentuk suatu lapisan yang mengambang di permukaan substrat. Acetobacter
xylinum
dapat membentuk suatu lapisan yang mencapai beberapa
sentimeter pada permukaan substrat cair tempat hidupnya, bakteri itu sendiri terperangkap di dalam massa fibril yang dibuatnya. Selulosa yang dihasilkan A. xylinum berbeda dengan selulosa yang dihasilkan tumbuhan. Selulosa dari A. xylinum merupakan selulosa murni tanpa ada campuran hemiselulosa, pektin dan lignin (Backdahl et al., 2006). Selulosa pada tumbuhan merupakan sintesis selulosa dengan glukosa-diphospat sedangkan
selulosa yang
dibentuk oleh A. xylinum merupakan sintesis selulosa dengan urasil diphospat. Pembentukan selulosa oleh A. xylinum
memerlukan gula sebagai unsur
utama, protein dan lemak sebagai senyawa perantara, serta mineral sebagai penstimulasi dalam pembentukan selulosa (Moat dan Foster, 1988). Keshk dan Someshima (2006) menyatakan selulosa yang dihasilkan oleh A. xylinum mempunyai kapasitas penyerapan air yang tinggi. Selulosa yang dihasilkan A. xylinum dibentuk dari glukosa menjadi glukosa 6-fosfat (Glu6P)
dengan bantuan enzim glukokinase, Glu6P diubah menjadi
glukosa-1-phospat (Glu1P) dengan enzim fosfoglukomutase, selanjutnya dengan bantuan enzim uridil transferas diubah menjadi uridin-5 diphospat glukosa (UDP5Glu) sehingga terbentuklah selulosa dengan bantuan enzim sintetase selulosa dalam mengubah UDP-5Glu menjadi 1,4-β-D glukosil transferase (Masaoka et al., 1993).
10
Mekanisme pembentukan selulosa yang dihasilkan A. xylinum dapat dilihat pada Gambar 1. Glukosa
ATP
Glu-6P
ADP (fosfoglukomutase)
Glu-1P
UTP
UDP-5Glu
P
Senyawa perantara (rantai lipid dan rantai protein) Selulosa (β-1, 4-D-Glu)n Gambar 1. Mekanisme Pembentukan Selulosa oleh Acetobacter xylinum (Moat dan Foster, 1998) Kondisi optimum untuk memproduksi nata pada media air kelapa membutuhkan starter A. xylinum sebanyak 10-20% (Alaban, 1961). Isti (2005) menyatakan bahwa kondisi optimum untuk memproduksi nata rumput laut. membutuhkan starter A. xylinum sebanyak 10%. Nilai pH medium pertumbuhan A. xylinum merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan pembentukan produk.
Nilai pH
optimum untuk pertumbuhan A. xylinum adalah 5,4-6,3 (Pambayun, 2006). Hasil penelitian Embuscado et al. (1994) menemukan bahwa
hasil selulosa tertinggi
diperoleh pada pH 4,5 sedangkan menurut Masaoka et al. (1993) pH optimum untuk produksi selulosa adalah 4,0-6,0. Jumlah populasi starter
A. xylinum juga menetukan kualitas nata yang
dihasilkan. Jumlah bakteri yang dibutuhkan dalam pembuatan produk fermentasi yaitu 1,0 x 108 cfu/ml (Makinen dan Bigret, 1998). Saxenaa (2001) menyatakan bahwa starter dengan jumlah koloni 5,5 x 105 cfu/ml telah cukup untuk menumbuhkan nata dengan ketebalan 0,8 cm. Pertumbuhan A. xylinum diawali dengan timbulnya kekeruhan setelah fermentasi 24 jam pada suhu kamar. Di permukaan medium akan terbentuk suatu lapisan tembus cahaya setelah 36 sampai 48 jam fermentasi dan akan menebal secara
11
bertahap dan lapisannya akan lebih kompak. Apabila lapisan diganggu dengan guncangan maka lapisan akan terlepas dari dinding wadah fermentasi dan akan tenggelam, kemudian akan terbentuk lapisan baru pada permukaan media. Amonium Sulfat Amonium sulfat merupakan pupuk buatan berbentuk kristal dengan rumus kimia (NH4)2SO4 yang mengandung unsur hara nitrogen dan belerang, yang juga disebut sebagai pupuk Zwavelzuur Ammoniak (ZA). Indrarti dan Rahmi (2008) menyatakan bahwa amonium sulfat adalah sumber nutrisi yang diperlukan bakteri dalam proses fermentasi untuk membentuk selulosa. Amonium sulfat bersifat tidak higroskopis dan baru akan menyerap air bila kelembapan nisbi mencapai 80% pada suhu 30 °C.
Amonium sulfat sangat
membantu pertumbuhan A. xylinum pada proses pembuatan nata. Kandungan nitrogen dalam SNI 02-1760.2005 minimal 20,8%. Kandungan Nitrogen yang tinggi dapat dimanfaatkan A. xylinum untuk bertahan hidup dan mampu merombak gula menjadi selulosa lebih banyak. Menurut Wijaningsih (1999), ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen akan dipecah menjadi komponen yang lebih sederhana dan melalui transformasi aktif komponen ini akan masuk ke dalam sel untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan dasar untuk biosintesis protein, sehinggga pertumbuhan dan perkembangan A. xylinum dapat dipercepat. Penambahan amonium sulfat juga meningkatkan jumlah polisakarida yang terbentuk, merangsang aktivitas bakteri dalam mensintesis bioselulosa (selulosa yang dihasilkan dari bakteri), meningkatkan rendemen bioselulosa serta meningkatkan kekuatan tarik dan modulus elastisitas bioselulosa. Semakin meningkatnya kerapatan dari serat-serat selulosa dapat meningkatkan interaksi fibril selulosa yang terbentuk sehingga menghasilkan ikatan hidrogen intra dan interfibrilar yang kuat dan akan memberikan peningkatan sifat mekaniknya. Penambahan ammonium sulfat ini harus terkontrol karena apabila penggunaan amonium sulfat yang berlebihan akan menurunkan pH secara drastis sehingga menyebabkan kondisi fermentasi menjadi terlalu asam dan rendemen nata yang dihasilkan juga menurun (Rosario, 1978). Berbagai penelitian menyatakan bahwa persentase kadar penambahan amonium sulfat sebesar 0,5%. Berdasarkan hasil penelitian Setiani (2007) penambahan amonium sulfat 0,5% (w/v) menghasilkan rendemen dan ketebalan nata
12
gracilaria sp (nata rumput laut) tertinggi, dengan rendemen 43,80% dan ketebalan 1,97cm. Indrarti dan Rahmi (2008) juga menyatakan dalam penelitiannya menggunakan amonium sulfat 0,5%
untuk pertumbuhan dan sifat mekanik
bioselulosa dengan medium kulit pisang, ketebalan bioselulosa yang diperoleh sebesar 2,2 cm dan rendemen bioselulosa sebesar 57,15%. Ketebalan nata tertinggi dihasilkan oleh nata dengan penambahan ammonium sulfat 0,45%-0,5% (Jaganath et al., 2008). Nata dengan amonium sulfat
sebagai sumber nitrogen sebenarnya tidak
terlalu membahayakan karena ketika sudah menjadi nata, amonium sulfat tidak lagi berbentuk amonium sulfat. Unsur nitrogen yang terdapat pada amonium sulfat telah difermentasi oleh A. xylinum (Kholifa, 2010). Serat Makanan Serat kasar berbeda dengan serat makanan. Serat kasar adalah komponen sisa hasil hidrolisis suatu bahan pangan dengan asam kuat selanjutnya dihidrolisis dengan basa kuat sehingga terjadi kehilangan selulosa sekitar 50% dan hemiselulosa 85%. Sementara itu serat makanan adalah bahan makanan yang meliputi semua jenis polisakarida dan lignin serta beberapa jenis oligosakarida yang tahan terhadap yang enzim pencernaan manusia dan mampu mempengaruhi satu atau lebih fungsi tubuh sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesehatan (Diplock et al., 1999). Polisakarida terdiri atas polisakarida yang dapat dicerna dan tidak dapat dicerna. Polisakarida yang dapat dicerna biasanya terdapat pada pati dan beberapa jenis glikogen dalam daging. Polisakarida yang tidak dapat dicerna pada umumnya berupa pembentuk tekstur dalam bahan pangan, khususnya pangan nabati (Winarno, 2008). Beberapa contoh polisakarida yang tidak dapat dicerna antara lain selulosa, hemiselulosa dan inulin. Selulosa merupakan polimer rantai lurus dari glukosa dengan ikatan β (1-4) yang tidak dapat terhidrolisis oleh enzim amilase.
Meskipun selulosa bersifat
resistan terhadap pencernaan manusi, bakteri yang terdapat pada usus besar mampu memetabolisme serat dan menghasilkan asam lemak rantai pendek (asam asetat, propionate dan butirat) sebagai metabolit. Ikatan β (1-4) antar unit glukosa pada selulosa dapat dilihat pada Gambar 2.
13
Gambar 2. Ikatan β (1-4) antar Unit Glukosa pada Selulosa (Jalili et al., 2001) Serat makanan tidak dapat dicerna oleh enzim manusia, tetapi sebagian komponen serat larut air dapat difermentasi oleh bakteri usus menghasilkan produk yang dapat diserap dan dimetabolis menjadi energi (Bender, 2003). Serat makanan tidak tercerna dapat memperbesar volume feses dan menimbulkan efek laksatif serta mempercepat pembuangan feses sehingga mengurangi resiko pembentukan kanker kolon. Sistem Notasi Warna Sistem notasi warna adalah suatu cara sistematik dan objektif untuk menyatakan atau mendeskripsikan suatu jenis warna. Sistem notasi warna ini dinyatakan dalam notasi (simbol) huruf atau angka. Banyak sistem notasi warna yang telah dikembangkan diantaranya, yaitu sistem notasi International Commision on Illumination (I.C.I), sistem notasi Munsel dan sistem notasi Hunter (Andarwulan, 2011). Sistem notasi I.C.I didasarkan pada prinsip bahwa semua jenis warna dapat dibentuk dari tiga warna dasar, yaitu merah (λ = 720 nm), hijau (λ = 520 nm) dan biru (λ = 380 nm). Sistem notasi Munsel pengukuran warna didasarkan
pada
pengamatan warna secara subjektif, dimana notasi warna didasarkan pada tiga atribut subjektif warna, yaitu warna kromatik (hue), kecerahan (value) dan intensitas warna (chroma atau saturation). Warna kromatik meliputi warna monokromatik yang terdiri dari warna pelangi dan warna campurannya, seperti warna ungu-merah, ungu-biru, hijau mudah, biru muda dan lain-lain. Kecerahan (value) menyatakan warna akromatik yang berkisar dari warna hitam pekat sampai putih bersih. Nilai intensitas warna (chroma) berkisar dari nilai tidak berwarna sampai warna penuh (Andarwulan, 2011). 14
Sistem notasi Hunter dikembangkan oleh Hunter pada tahun 1952. Sistem notasi warna Hunter dicirikan dengan tiga parameter warna, yaitu warna kromatik (hue) yang ditulis dengan notasi a, intensitas warna dengan notasi b dan kecerahan dengan notasi L. Notasi L menyatakan parameter kecerahan (lightness) dari hitam (0) sampai putih (100). Nilai L menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik puith, abu-abu dan hitam (Andarwulan, 2011). Notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100 untuk warna merah, nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Notasi b menyatakan warna warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 dampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -80 untuk warna biru. Berdasarkan nilai a dan b dapat dihitung derajat Hue dengan rumus sebagai berikut : °Hue = tan -1 Kategori Warna Menurut Kisaran Nilai °Hue dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Kategori Warna Menurut Kisaran Nilai °Hue Warna
Kisaran nilai °Hue
Merah-ungu
342 – 18
Merah
18 – 54
Kuning – merah
54 – 90
Kuning
90 – 126
Kuning – hijau
126 – 162
Hijau
162 – 198
Hijau – biru
198 – 234
Biru
234 – 270
Biru – ungu
270 – 306
Ungu
306 – 342
Sumber : Hutching (1999)
Pengukuran warna dengan sistem notasi warna Hunter dilakukan secara objektif menggunakan kolorimeter fotoelektrik yang disebut dengan kolorimeter Hunter. Pengukuran warna dengan sistem ini mempunyai beberapa keuntungan, yaitu pengukuran dapat dilakukan secara objektif, prosedur pengukuran cepat dan
15
mudah, notasinya dapat diterjemahkan atau dikonversikan dengan sistem notasi lain, seperti I.C.I dan alat pengukur warna relatif sederhana sehingga harganya relatif rendah. Penilaian Sensori Cara penilaian suatu bahan pangan dibagi menjadi dua cara yaitu secara objektif dan subjektif. Pengujian objektif merupakan suatu pengujian menggunakan alat atau instrument dan faktor manusia dapat diabaikan, sehingga pengukurannya lebih objektif. Pengujian secara subjektif (uji organoleptik) adalah pengujian dengan bantuan panca indera manusia untuk menilai karakteristik mutu yang bertujuan mengetahui sifat-sifat cita rasa makanan serta daya terima terhadap masyarakat. Pengujian secara subjektif dapat dilakukan dengan menggunakan uji hedonik (kesukaan) dan uji mutu hedonik (Damayanthi dan Mudjajanto, 1998). Warna. Warna faktor utama yang sangat menentukan penilaian bahan pangan sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan secara visual. Penerimaan warna suatu bahan berbeda-beda tergantung dari faktor alam, geografis dan aspek sosial masyarakat penerima. Warna dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan (Winarno, 2008). Warna dapat berasal dari pigmen alami bahan pangan itu sendiri, reaksi Maillard, reaksi karamelisasi, reaksi senyawa organik dengan udara dan penambahan zat warna, baik alami maupun sintetik. Rasa. Tekstur dan konsistensi suatu bahan pangan akan mempengaruhi cita rasa yang timbul. Perubahan tekstur dan konsistensi bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap olfaktori dan kelenjar air liur. Gerakan lidah akan mempercepat timbulnya respon terhadap rasa. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interakasi dengan komponen rasa lain (Winarno, 2008). Aroma. Indera pembau berfungsi untuk menilai aroma suatu produk atau komoditi baik berupa pangan maupun nonpangan. Kepekaan pembauan lebih tinggi dari pencicipan. Aroma atau bau dapat dikenali apabila berbetuk uap dan molekulmolekul baunya menyentuh silia sel olfaktori dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls listrik oleh ujung-ujung syaraf olfaktori sehingga bau dapat dideteksi (Winarno, 2008).
16