BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Madu 2.1.1 Definisi Madu Madu merupakan cairan kental seperti sirup bewarna cokelat kuning muda sampai cokelat merah yang dikumpulkan dalam indung madu oleh lebah Apis mellifera. Konstituen dari madu adalah campuran dekstrosa dan fruktosa dengan jumlah yang sama dan dikenal sebagai gula invert 50-90% dari gula yang tidak terinversi dan air. Madu biasa dipalsukan dengan gula invert buatan, sukrosa, dan glukosa cair perdagangan. Madu dapat pula dipalsukan dengan cara pemberian suatu asupan kepada lebah berupa larutan gula sukrosa yang bukan berasal dari nektar (Gunawan dan M.S, 2004). Madu murni menurut Farmakope Indonesia adalah madu yang diperoleh dari sarang lebah madu Apis mellifera dan spesies lainnya yang telah dimurnikan dengan pemanasan sampai 70°C. Setelah dingin kotoran yang mengapung disaring. Selanjutnya, madu dapat ditambah dengan air secukupnya untuk pengenceran sehingga bobot madu per ml memenuhi persyaratan yang telah dibakukan (Sarwono, 2001). Lebah madu menghasilkan madu yang dibuat dari nektar sewaktu musim tumbuhan berbunga. Sewaktu nektar dikumpulkan dari bunga oleh pekerja, bahan tersebut masih mengandung kadar air yang tinggi (80%) dan juga sukrosa yang
Universitas Sumatera Utara
tinggi. Setelah lebah mengubah nektar menjadi madu, kandungan air jadi rendah dan sukrosa diubah menjadi fruktosa dan glukosa (Sihombing, 1997). 2.1.2 Penggolongan Madu Madu berdasarkan asal nektarnya dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu : 1. Madu Flora adalah madu yang dihasilkan dari nektar bunga. Madu yang berasal dari satu jenis bunga disebut madu monoflora dan yang berasal dari aneka ragam bunga disebut madu poliflora. Madu poliflora dihasilkan dari beberapa jenis tanaman dari nektar bunga. 2. Madu Ekstraflora adalah madu yang dihasilkan dari nektar di luar bunga seperti daun, cabang, atau batang tanaman. 3. Madu Embun adalah madu yang dihasilkan dari cairan hasil suksesi serangga yang meletakkan gulanya pada tanaman, kemudian dikumpulkan oleh lebah madu dan disimpan dalam sarang madu. Sedangkan madu berdasarkan proses pengambilannya dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu : 1. Madu Ekstraksi (Extracted Honey) Diperoleh dari sarang yang tidak rusak dengan cara memusingkan atau memutarnya memakai alat ekstraktor. 2. Madu Paksa (Strained Honey) Diperoleh dengan merusak sarang lebah lewat pengepresan, penekanan atau lewat cara lainnya (Sarwono, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.1.3 Komposisi dan Kandungan Madu Madu tersusun atas beberapa molekul gula seperti glukosa dan fruktosa serta sejumlah mineral seperti magnesium, kalium, potasium, sodium, klorin, sulfur, besi, dan fosfat. Madu juga mengandung vitamin B1, B2, C, B3, dan B6 yang komposisinya berubah-ubah sesuai dengan kualitas madu bunga dan serbuk sari yang dikonsumsi lebah. Disamping itu, di dalam madu terdapat pula tembaga, yodium, dan seng dalam jumlah yang kecil, juga beberapa jenis hormon (Sarwono, 2001). Zat-zat yang terkandung dalam madu sangatlah kompleks dan kini telah diketahui tidak kurang dari 181 macam zat yang terkandung dalam madu. Karbohidrat merupakan komponen terbesar yang terkandung dalam madu, yaitu berkisar lebih dari 75%. Jenis karbohidrat yang paling dominan dalam hampir semua madu adalah dari golongan monosakarida yang biasanya terdiri levulosa dan dekstrosa. Levulosa dan dekstrosa mencakup 85%-90% dari total karbohidrat yang terdapat dalam madu, sisanya terdiri dari disakarida dan oligosakarida (Sihombing, 1997). Sedangkan enzim penting yang terdapat dalam madu adalah enzim diastase, invertase, glukosa oksidase, peroksidase, dan lipase. Enzim diastase adalah enzim yang mengubah karbohidrat kompleks (polisakarida) menjadi karbohidrat yang sederhana (monosakarida). Enzim invertase adalah enzim yang memecah molekul sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Sedangkan enzim oksidase adalah enzim yang membantu oksidasi glukosa menjadi asam peroksida. Enzim peroksidase
Universitas Sumatera Utara
melakukan proses oksidasi metabolisme. Semua zat tersebut berguna untuk proses metabolisme tubuh (Suranto, 2004). Asam utama yang terdapat dalam madu adalah asam glutamat. Sedangkan asam organik yang terdapat dalam madu adalah asam asetat, butirat, format, suksinat, glikolat, malat, proglutamat, sitrat, dan piruvat. Dalam madu juga terdapat hormon gonadotropin yang merangsang alat reproduksi lebah ratu dan membantu dalam proses pematangan telur (Suranto, 2004).
2.2 Mutu dan Kualitas Madu Kualitas madu ditentukan oleh beberapa hal diantaranya waktu pemanenan madu, kadar air, warna madu, rasa, dan aroma madu. Waktu pemanenan madu harus dilakukan pada saat yang tepat, yaitu ketika madu telah matang dan sel-sel madu mulai ditutup oleh lebah. Selain itu, kadar air yang terkandung dalam madu juga sangat berpengaruh terhadap kualitas madu. Madu yang baik adalah madu yang mengandung kadar air sekitar 17-21 persen (Sihombing, 1997). Warna madu dipengaruhi oleh kandungan mineral, jenis tanaman asal, cara pengolahan madu seperti ekstraksi madu dan pemanasan. Madu yang berwarna putih harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan madu yang berwarna coklat gelap. Semakin gelap warna madu, semakin tajam dan keras aromanya (Suranto, 2004). Untuk cita rasa madu ditentukan oleh zat yang terdapat dalam madu diantaranya glukosa, alkaloid, gula, asam glukonat, dan prolin. Rasa dan aroma madu yang paling enak adalah ketika madu baru dipanen dari sarangnya. Sesudah
Universitas Sumatera Utara
itu, senyawa-senyawa yang terdapat dalam madu sedikit demi sedikit akan menguap. Hal ini disebabkan senyawa yang terdapat dalam madu bersifat volatil (mudah menguap). Karena itu, cara memanen dan menyimpan madu perlu diperhatikan untuk menjaga kualitas madu (Suranto, 2004). Di Indonesia, kualitas madu ditentukan berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 01-3543-2004 seperti yang tercantum pada Tabel 2.1. Dimana standar tersebut merupakan kriteria dari mutu madu yang telah ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dan merupakan hasil revisi dari SNI tentang syarat mutu madu tahun 1994. Tabel 2.1 Syarat Mutu Madu No
Jenis uji
Satuan
Persyaratan
DN
min. 3
mg/kg
maks. 50
%
maks. 22
1
Aktivitas enzim diastase
2
Hidroksimetilfurfural
3
Air
4
Gula reduksi (dihitung sebagai glukosa)
% b/b
min. 65
5
Sukrosa
% b/b
maks. 5
6
Keasaman
ml NaOH 1 N/kg
maks. 50
7
Padatan yang tak larut dalam air
% b/b
maks. 0,5
8
Abu
% b/b
maks. 0,5
9
Cemaran logam
10
-
Timbal (Pb)
mg/kg
maks. 1,0
-
Tembaga (Cu)
mg/kg
maks. 5,0
mg/kg
maks. 0,5
Cemaran Arsen
(BSN, 2004)
Universitas Sumatera Utara
2.2.1 Faktor-faktor Penentu Kualitas Madu 1. Glukosa Gula utama dari nektar adalah sukrosa, selama proses gula akan dihancurkan oleh enzim invertase. Selama proses pematangan, gula nektar akan dipecah oleh aktifitas enzim invertase menjadi bentuk gula sederhana yaitu glukosa dan fruktosa. Secara simultan dengan hancurnya sukrosa, gula baru terbentuk (fruktosa dan glukosa), jenis gula ini tidak terdapat pada nektar. 2. Kadar Air Banyaknya air dalam madu menentukan keawetan madu. Madu yang mempunyai kadar air yang tinggi akan mudah berfermentasi. Fermentasi terjadi karena jamur yang terdapat dalam madu. Jamur ini tumbuh aktif jika kadar air dalam madu tinggi. Kandungan air dalam madu dapat diukur dengan suatu alat yang dinamakan hidrometer yang dilengkapi dengan termometer. Selain itu pengukuran air juga dapat menggunakan alat yang dinamakan refraktometer. Misalnya kadar air 17,4 % indeks refraktonya sebesar 1,493 pada 20o C (Sumoprastowo dan Suprapto, 1993). 3. Keasaman Dalam kandungan madu terdapat sejumlah asam organik yang memainkan peranan penting dalam proses metabolisme tubuh. Jenis-jenis asam tersebut adalah asam format, asam asetat, asam sitrat, asam laktat, asam butirat, asam oksalat, dan asam suksinat (Al Jamili, 2004).
Universitas Sumatera Utara
4. Padatan Tak Larut Bagian yang tidak dapat larut dalam air adalah zat-zat kotoran seperti pasir, potongan-potongan daun, serangga, dan lain-lain. 5. Warna, Aroma, dan Rasa Warna madu tergantung dari jenis tanaman asal dan sifat tanah, tetapi tingkatan pemanasan juga mempengaruhi warna. Pemanasan madu yang lama akan mempertua warna. Panas yang tinggi akan membentuk kerak gula yang bewarna coklat yang memberikan bau gosong pada madu. Aroma madu ada hubungannya dengan warnanya. Makin gelap warnanya, aromanya makin keras atau tajam. Tetapi aroma mudah menguap. Oleh karena itu madu harus dirawat dan ditutup rapat. Pemanasan menghilangkan sebagian aroma, sedangkan aroma mulai berkurang sepanjang proses ekstraksi. Sebaiknya madu tidak dipanaskan agar tidak banyak kehilangan aromanya (Sumoprastowo dan Suprapto, 1993). Warna dan rasa adalah yang paling penting dalam pemasaran madu dan dapat rusak selama pengolahan. Pemanasan madu harus tepat agar tidak merusak madu. Madu yang berlebihan dipanaskan warnanya semakin gelap dan rasanya seperti zat terbakar. Pemanasan yang berlebihan juga dapat menghilangkan aroma (Sihombing, 1997).
2.3 Manfaat Madu Madu mempunyai beberapa khasiat diantaranya adalah sebagai berikut (Suranto, 2004) :
Universitas Sumatera Utara
1.
Madu dapat menghasilkan energi, meningkatkan daya tahan tubuh, dan meningkatkan stamina
2.
Madu dapat memperlancar peredaran darah dan menurunkan tekanan darah, dimana dalam madu terdapat zat asetil kolin yang dapat melancarkan metabolisme
3.
Madu bisa meningkatkan pH lambung. Hal ini disebabkan karena madu mengandung mineral yang bersifat alkali dan berfungsi sebagai buffer. Semakin gelap warna madu, kandungan mineralnya semakin tinggi sehingga semakin tinggi pula alkalinitasnya
4.
Madu mengandung zat antibakteri sehingga baik untuk mengobati luka luar dan penyakit infeksi
5.
Madu sebagai bahan pengawet, karena madu mempunyai sifat osmolalitas yang tinggi sehingga bakteri sulit untuk hidup
6.
Madu dapat mengobati penyakit luar seperti luka bakar, bibir pecah-pecah, sariawan, dan penyakit kulit. Madu juga baik dikonsumsi ibu hamil untuk menambah daya tahan tubuh, mencegah keracunan kehamilan, dan baik bagi pertumbuhan anak.
2.4 Bahan Tambahan Pangan 2.4.1 Definisi Bahan Tambahan Pangan Menurut
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No.
722/Menkes/PER/IX/88, bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan bahan khas
Universitas Sumatera Utara
makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan, untuk menghasilkan, atau diharapkan menghasilkan
(langsung
atau
tidak
langsung)
suatu
komponen
atau
mempengaruhi sifat khas makanan tersebut. Suatu bahan dikatakan dalam kategori bahan tambahan pangan jika memiliki syarat-syarat sebagai berikut: a. Bahan tambahan pangan bersifat aman, dengan dosis yang tidak dibatasi, misalnya pati. b. Bahan tambahan makanan yang digunakan dengan dosis tertentu, dan dengan dosis maksimum penggunaannya juga telah ditetapkan. c. Bahan tambahan pangan yang aman dan dalam dosis yang tepat, serta telah mendapatkan izin beredar dari instansi yang berwenang, misalnya zat pewarna yang sudah dilengkapi dengan sertifikat aman (Yuliarti, 2007). 2.4.2 Penggolongan Bahan Tambahan Pangan Bahan tambahan pangan dikelompokkan berdasarkan tujuan penggunaannya di dalam pangan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 722/Menkes/PER/IX/88, bahan tambahan makanan yang diizinkan untuk digunakan pada makanan terdiri dari golongan : 1. Antioksidan (Antioxidant) 2. Antikempal (Anticaking Agent) 3. Pengatur keasaman (Acidity Regulator)
Universitas Sumatera Utara
4. Pemanis buatan (Artificial Sweeterner) 5. Pemutih dan pematang tepung (Flour Treatment Agent) 6. Pengemulsi, pemantap, dan pengental (Emulsifier, Stabilizer, Thickener) 7. Pengawet (Preservative) 8. Pengeras (Firming Agent) 9. Pewarna (Colour) 10. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (Flavour, Flavour Enhancer) 11. Sekuestran (Sequestrant) Beberapa bahan tambahan pangan yang dilarang digunakan dalam makanan, menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 diantaranya sebagai berikut : 1. Natrium tetraborat (Boraks) 2. Formalin (Formaldehyd) 3. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated Vegetable Oils) 4. Kloramfenikol (Chloramphenicol) 5. Kalium klorat (Potassium Chlorate) 6. Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate) Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988, selain bahan tambahan di atas masih ada bahan tambahan kimia yang dilarang seperti rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow (pewarna kuning), dulsin (pemanis sintetis), dan kalsium bromat (pengeras).
Universitas Sumatera Utara
2.4.3 Tujuan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Penggunaan bahan tambahan pangan bertujuan untuk membuat makanan lebih berkualitas, lebih menarik, dengan rasa tekstur lebih sempurna. Bahan tambahan pangan tidak hanya berfungsi sebagai pengawet, pewarna, penyedap maupun aroma pada berbagai jenis makanan dan minuman, tetapi juga pengemulsi (emulsifier) (Yuliarti, 2007).
2.5 Pemanis 2.5.1 Pengertian Pemanis Pemanis merupakan senyawa kimia yang sering ditambahkan dan digunakan untuk keperluan produk olahan pangan, industri, serta minuman dan makanan kesehatan. Berfungsi sebagai pengawet, meningkatkan citra rasa dan aroma, memperbaiki sifat-sifat fisik dan kimia sekaligus merupakan sumber kalori bagi tubuh, mengontrol program pemeliharaan, penurunan berat badan, mengurangi kerusakan gigi, dan sebagai bahan substitusi pemanis utama (Cahyadi, 2006). 2.5.2 Jenis Pemanis Pemanis (gula) terbagi menjadi 2 berdasarkan proses pembuatannya, yaitu gula alami dan gula sintetis (buatan). a. Gula alami/pemanis alami Pemanis alami biasanya berasal dari tanaman. Tanaman penghasil pemanis yang utama adalah tebu (Saccharum officinarum L) dan bit (Beta vulgaris L).
Universitas Sumatera Utara
Kedua jenis tanaman ini sering disebut gula alam atau sukrosa. Selain sukrosa ada jenis pemanis alami lain yang sering digunakan antara lain: laktosa, maltosa, galaktosa, D-glukosa, D-fruktosa, sorbitol, manitol, gliserol, glisina (Cahyadi, 2006). b. Gula sintetis/pemanis buatan Gula sintetis adalah bahan tambahan yang dapat memberikan rasa manis dalam makanan tetapi tidak memiliki nilai gizi. Gula sintetis adalah gula yang dibuat dengan bahan-bahan kimia di laboratorium atau dalam suatu industri dengan tujuan memenuhi produksi gula yang belum cukup dipenuhi oleh gula alami khususnya gula tebu. Contohnya: sakarin, siklamat, aspartam, dulsin, sorbitol sintetis, dan nitropropoksi-anilin (Yuliarti, 2007). Menurut peraturan menteri kesehatan RI Nomor 208/Menkes/Per/IV/1985 di antara semua pemanis buatan hanya beberapa yang diizinkan penggunaannya. Pemanis buatan yang dimaksud adalah sakarin, siklamat, dan aspartam dengan jumlah yang dibatasi dengan dosis tertentu (Cahyadi, 2006). Pemanis buatan dan juga bahan kimia yang lain sesuai peraturan penggunaannya harus dibatasi. Alasannya, meskipun aman dikonsumsi dalam kadar kecil, tetap saja dalam batas-batas tertentu pemanis buatan akan menimbulkan
bahaya
bagi
kesehatan
manusia
maupun
hewan
yang
mengkonsumsinya. Pembatasan tersebut dikenal sebagai Acceptable Daily Intake (ADI) atau asupan harian yang dapat diterima. ADI merupakan jumlah maksimal pemanis buatan dalam g/kg berat badan yang dapat dikonsumsi tiap hari selama hidup tanpa menimbulkan efek yang merugikan kesehatan (Yuliarti, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.5.3 Fungsi Pemanis Buatan Penggunaan pemanis buatan sudah sangat banyak dimanfaatkan dalam hampir semua pangan baik dalam makanan atau minuman. Pemanis buatan ditambahkan ke dalam bahan pangan mempunyai beberapa tujuan antara lain: a. Sebagai pangan penderita diabetes melitus karena tidak menimbulkan kelebihan gula darah. b. Memenuhi kebutuhan kalori rendah untuk penderita kegemukan. Seseorang yang gemuk akan berusaha untuk mengindari makanan-makanan yang berasa manis. Gula dalam tubuh akan dimetabolisme dalam tubuh menjadi suatu energi atau kalori. Jika orang gemuk mengkonsumsi makananmakanan manis atau minuman manis maka akan menghasilkan energi atau kalori yang sangat banyak. Seandainya energi atau kalori ini tidak digunakan maka akan disimpan dalam tubuh dalam bentuk cadangan makanan yang biasanya berupa lemak. Kemudian jika konsumsi gula sudah dicukupi oleh zat lain maka energi sisa atau kalori sisa juga akan tetap disimpan dalam bentuk lemak. Agar orang gemuk tetap bisa menikmati rasa manis maka orang yang gemuk sebaiknya mengkonsumsi makanan atau minuman dengan gula pengganti yaitu berupa pemanis buatan. c. Sebagai penyalut/penutup obat Beberapa obat mempunyai rasa yang tidak enak, karena itu untuk menutupi rasa yang tidak enak dari obat tersebut biasanya dibuat obat yang bersalut dengan tambahan pemanis buatan. Pemanis buatan lebih sering digunakan
Universitas Sumatera Utara
untuk penyalut obat karena umumnya bersifat higroskopis dan tidak menggumpal. d. Menghindari kerusakan gigi Pemanis sintetis memiliki rasa manis yang lebih tinggi dari pemanis alami sehingga pemakaian pemanis sintetis lebih sedikit dari pemanis alami. Dengan jumlah pemanis sintetis yang digunakan lebih sedikit maka tidak merusak gigi. e. Pada industri pangan, minuman, termasuk industri rokok, pemanis sintetis digunakan dengan tujuan untuk menekan biaya produksi, karena pemanis sintetis mempunyai tingkat rasa manis yang lebih tinggi juga harganya lebih murah dibandingkan dengan gula yang diproduksi di alam (Cahyadi, 2006).
2.6 Siklamat Siklamat atau asam siklamat atau cyclohexylsulfamic acid (C6H13NO3S) sebagai pemanis buatan digunakan dalam bentuk garam kalsium dan natrium siklamat. Pertama kali ditemukan dengan tidak sengaja oleh Michael Sveda pada tahun 1937. Secara umum, garam siklamat berbentuk kristal putih, tidak berbau, tidak berwarna, dan mudah larut dalam air dan etanol serta berasa manis. Sejak tahun 1950, siklamat ditambahkan ke dalam pangan dan minuman biasanya dalam bentuk
garam
natrium
dari
asam
siklamat
dengan
rumus
molekul
C6H11NHSO3Na. Siklamat dikenal dengan nama assugrin, sucaryl, atau sucrosa (Cahyadi, 2006). Siklamat berasa manis tanpa rasa ikutan yang kurang disenangi, tidak seperti sakarin. Bersifat mudah larut dalam air dan intensitas kemanisannya ± 30 kali
Universitas Sumatera Utara
kemanisan sukrosa. Pada industri pangan natrium siklamat dipakai sebagai bahan pemanis yang tidak mempunyai nilai gizi (non-nutritive) untuk pengganti sukrosa. Bersifat tahan panas, sehingga sering digunakan dalam pangan yang diproses dalam suhu tinggi, misalnya pangan dalam kaleng (Cahyadi, 2006). 2.6.1 Batas Maksimum Penggunaan Siklamat Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang bahan tambahan makanan, batas maksimum penggunaan siklamat dapat dilihat pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Batas Maksimum Penggunaan Siklamat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis/Bahan Makanan Permen Karet Permen Saus Eskrim dan sejenisnya Es lilin Jem dan jeli Minuman ringan Minuman yoghurt Minuman fermentasi
Batas Maksimum Penggunaan Siklamat 500 g/kg 1 g/kg 3 g/kg 2 g/kg 3 g/kg 2 g/kg 3 g/kg 3 g/kg 500 g/kg
2.6.2 Pemerian Siklamat 1. Natrium siklamat
Gambar 2.1 Struktur kimia natrium siklamat Rumus molekul
: C6H11NHSO3Na
Rumus bangun
: -NH-SO3-Na
Universitas Sumatera Utara
Berat molekul
: 201,22
Kelarutan
: larut dalam 5 bagian air, dalam 250 bagian etanol (95 %) P dan dalam 25 bagian propilen glikol P, praktis tidak larut dalam kloroform P dan dalam eter P.
Pemerian
: hablur atau serbuk hablur; putih; tidak berbau atau hampir tidak berbau; rasa agak manis walaupun dalam larutan encer (Ditjen POM, 1979).
2.6.3 Toksisitas siklamat Siklamat memunculkan banyak gangguan bagi kesehatan, di antaranya tremor (penyakit syaraf), migrain dan sakit kepala, kehilangan daya ingat, bingung, insomnia, iritasi, asma, hipertensi, diare, sakit perut, alergi, impotensi dan gangguan seksual, kebotakan, dan kanker otak (Budianto, 2009). Siklamat memiliki tingkat kemanisan tinggi dan rasanya enak (tanpa rasa pahit) tetapi dapat membahayakan kesehatan. Campuran siklamat dengan sakarin akan menimbulkan gangguan kesehatan karena hasil metabolisme siklamat yang disebut sikloheksiamin bersifat karsinogenik sehingga ekskresi (pembuangannya) melalui urin dapat merangsang pertumbuhan tumor. Bahaya kesehatan ini tidak berlangsung seketika, tetapi bisa muncul bertahun-tahun setelah mengkonsumsi makanan tersebut (Yuliarti, 2007).
Universitas Sumatera Utara