31
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. FUNGSI KOGNITIF II.1.1. Definisi Fungsi Kognitif merupakan aktifitas mental secara sadar seperti berpikir, mengingat, belajar dan kemampuan berbahasa. Fungsi kognitif meliputi
kemampuan
atensi
serta
kemampuan
eksekutif
seperti
merencanakan sesuatu, menilai, mengawasi dan melakukan evaluasi (Strub dkk. 2000).
II.1.2. Domain Fungsi Kognitif Fungsi kognitif terdiri dari: (Modul Neurobehaviour PERDOSSI, 2008) a. Atensi Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi terhadap satu stimulus dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik dan mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi merupakan kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama. Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori dan bahasa.
32
b. Bahasa Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Bila dijumpai adanya gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal dan fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak dapat dilakukan. Fungsi bahasa meliputi 4 parameter: 1. Kelancaran
yang
mengacu
pada
kemampuan
untuk
menghasilkan kalimat dengan panjang, ritme dan melodi yang normal. 2. Pemahaman
yang
mengacu
pada
kemampuan
untuk
memahami suatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan perintah tersebut. 3. Pengulangan yang merupakan kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau kalimat yang diucapkan seseorang. 4. Penamaan yang merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai suatu objek beserta bagian-bagiannya. Gangguan bahasa sering terlihat pada lesi otak baik lesi fokal maupun lesi difus, sehingga gangguan bahasa merupakan gejala patognomonik dari suatu disfungsi otak. Penting bagi klinisi untuk mengenal gangguan bahasa karena gangguan berbahasa memiliki hubungan yang spesifik antara sindroma afasia dengan lokasi lesi.
33
c. Memori Fungsi
memori
terdiri
dari
proses
penerimaan
dan
penyandian informasi, proses penyimpanan serta proses mengingat yang berpengaruh pada fungsi memori. Fungsi memori dibagi dalam tiga tingkatan bergantung pada lamanya rentang waktu antara stimulus dengan recall, yaitu: 1. Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara stimulus dengan recall hanya beberapa detik. Disini hanya dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat (attention) 2. Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama yaitu beberapa menit, jam, bulan bahkan tahun. 3. Memori lama (remote memory), rentang waktunya bertahuntahun bahkan selama hidup. Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien. Amnesia secara umum merupakan efek fungsi memori. Ketidakmampuan mempelajari materi baru setelah cedera otak disebut amnesia anterogard. Amnesia retrogard merujuk pada amnesia pada apa yang terjadi sebelum cedera otak. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada awal perjalanan
penyakitnya.
Tidak
semua
gangguan
memori
merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami gangguan memori.
34
d. Visuospasial Kemampuan
visuospasial
merupakan
kemampuan
konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi dengan lobus parietal hemisfer kanan berperan paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk screening kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal. e. Fungsi eksekutif Fungsi eksekutif dari otak dapat didefinisikan sebagai suatu proses kompleks seseorang dalam memecahkan masalah/persoalan baru. Proses ini meliputi kesadaran akan keberadaan suatu masalah, mengevaluasinya, menganalisa serta memecahkan/mencari jalan keluar suatu persoalan.
II.1.3. Anatomi Fungsi Kognitif Masing-masing omain kognitif tidak bekerja sendiritetapi sebagai satu kesatuan, yang disebut sistem limbik. Sistem limbik terdiri dari amygdala, hipokampus, nukleus talamik anterior, girus subkalosus, girus cinguli,
girus
parahipokampus,
formasio
hipokampus
dan
korpus
mamilare. Alveus, fimbria, forniks, traktus mammilotalmikus dan striae terminalis berperan dalam memori, pembelajaran, emosi, dan motivasi
35
(Waxman 2007). Struktur otak berikut ini merupakan bagian dari sistem limbik (Markam, 2003; Devisnsky dkk. 2004) : 1. Amygdala terlibat dalam pengaturan emosi, dengan hemisfer kanan predominan dalam keadaan tidak sadar dan hemisfer kiri predominan pada saat sadar. 2. Hipokampus berperan dalam pembentukan memori jangka panjang dan pemeliharaan kognitif (proses pembelajaran). 3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori spasial. 4. Girus cinguli, berperan dalam salah satu domain fungsi kognitif yaitu atensi. 5. Forniks berperan dalam memori dan pembelajaran. 6. Hipothalamus, berfungsi mengatur perubahan memori baru menjadi memori jangka panjang. 7. Thalamus merupakan pusat pengaturan fungsi kognitif di otak/sebagai stasiun relay ke korteks serebri. 8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan pembelajaran. 9. Girus dentatus, berperan dalam memori baru. 10. Korteks enthorinal, penting dalam memori dan merupakan komponen asosiasi. Sedangkan lobus otak yang berperan dalam fungsi kognitif antara lain (Markam, 2003) :
36
1. Lobus frontalis mengatur motorik, perilaku, kepribadian, bahasa, memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisa dan sintesis. 2. Lobus parietalis berfungsi dalam membaca, persepsi, memori dan visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensorik dari berbagai modalitas
(input visual, auditori, taktil) dari area
asosiasi sekunder dan sering disebut korteks heteromodal. 3. Lobus
temporalis
berfungsi
mengatur
pendengaran,
penglihatan, emosi, memori, kategorisasi benda-benda dan seleksi rangsangan auditorik dan visual. 4. Lobus oksipitalis berfungsi mengatur penglihatan primer, visuospasial, memori dan bahasa.
II.2. TEST UNTUK MENILAI FUNGSI KOGNITIF Penilaian fungsi kognitif umumnya digunakan dalam screening gangguan fungsi kognitif, menilai derajat keparahan dari gangguan fungsi kognitif dan atau memantau perjalanan penyakitnya (Woodford, 2007). Ada banyak instrumen yang dapat digunakan dalam menilai fungsi kognitif. Instrumen-instrumen ini bervariasi dalam hal waktu pemeriksaan. Beberapa diantaranya dapat dilakukan dalam waktu singkat (kurang dari 1 menit) dan yang lain merupakan suatu penilaian neurofisiologi formal yang dapat memakan waktu hingga beberapa jam. Penggunaan keduanya
37
bergantung pada waktu pemeriksaan yang tersedia dan tujuan dari dilakukannya pemeriksaan (Woodford, 2007). Mild Cognitive Impairment (MCI) merupakan fenomena yang sering dijumpai dan berbeda dengan demensia. Keluhan dari MCI yang utama adalah gangguan fungsi memori. Evaluasi fungsi kognitif pada pasienpasien dengan MCI seringkali terbatas dengan menggunakan screening untuk demensia dan tidak tepat untuk mendeteksi MCI. Menurut Lonie dkk. ada beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk menilai MCI, demensia Alzheimer dan bentuk demensia lainnya pada fase dini diantaranya seperti Six Item Cognitive Impairment Test (6CIT) atau Abbreviated Mental Test (AMT), namun sering kali instrumen-instrumen tersebut tidak dapat membedakan penyebab dan outcome dari MCI (Lonie dkk. 2009). Sebagai satu penilaian awal, pemeriksaan MMSE adalah tes yang paling banyak dipakai. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah tes yang paling sering dipakai saat ini. Penilaian dengan nilai maksimal 30, cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognitif, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognitif dalam kurun waktu tertentu. Skor MMSE normal 24 – 30. Bila skor kurang dari 24 mengindikasikan gangguan fungsi kognitif (Folstein dkk. 1975; Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003). Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) ini awalnya dikembangkan untuk screening demensia, namun sekarang digunakan secara luas untuk pengukuran fungsi kogntif secara umum.
38
Pemeriksaan MMSE kini adalah instrumen screening yang paling luas digunakan untuk menilai status kognitif dan status mental pada usia lanjut (Kochhann dkk. 2009; Burns dkk. 2002). Selain MMSE, instrumen lain yang sering digunakan adalah Montreal Cognitive Assessment (MoCA) yang merupakan instrumen yang dikatakan baik untuk mendeteksi demensia. MoCA memiliki komponen penilaian beberapa domain fungsi kognitif seperti atensi, konsentrasi, memori, fungsi eksekutif dan reasoning. Seperti pada MMSE, instrumen ini memiliki komponen CDT untuk penilaian fungsi visual dan spasial. Sebagai tambahan, MoCA memiliki komponen trail-making test yang berfungsi untuk menilai fungsi eksekutif (Valcour, 2011). Untuk menilai demensia vaskular, dikenal satu instrumen yang disebut dengan Hachinski Ischemic Score (HIS). HIS dikenal sebagai suatu
instrumen
klinis
yang
sederhana
yang
digunakan
untuk
membedakan jenis-jenis mayor dari demensia, khususnya demensia vaskular dengan demensia lainnya. HIS berhubungan dengan penyakit serebrovaskular dan faktor-faktor penyebabnya. Komponen informasi yang dikumpulkan meliputi riwayat hipertensi dan stroke serta gejalagejala yang mengindikasikan suatu penyakit serebrovaskular. Pada pasien dengan demensia, nilai HIS yang tinggi mengindikasikan suatu kemungkinan demensia vaskular (Kim, 2014). HIS memiliki nilai cut-off point
≤ 4 untuk demensia Alzheimer dan nilai ≥ 7 untuk demensia
vaskular dengan sensitifitas 89% dan spesifisitas 90%. Namun, HIS tidak
39
dapat membedakan demensia campuran dengan jenis demensia lainnya (Moroney, 1997). Selain itu, ada 3 instrumen yang dikatakan sebagai instrumen yang paling ideal dalam fungsinya sebagai instrumen untuk screening dari poststroke dementia (Brodaty, 2006): II.2.1. Mini-Cog Mini-Cog merupakan suatu cara dalam screening untuk ada atau tidaknya suatu gangguan kognitif pada orang dewasa. Mini-Cog dikatakan lebih efektif, bahkan lebih baik untuk melakukan screening untuk suatu gangguan kognitif pada orang tua. Pada suatu test komparasi antara Mini-Cog dengan MMSE pada pasien demensia dijumpai pemeriksaan dengan Mini-Cog dapat dilakukan lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan MMSE dan tidak dipengaruhi oleh etnis, bahasa dan tingkat pendidikan. Mini-Cog menggunakan 3 metode dalam recall serta melakukan CDT, dimana CDT berperan sebagai penentu bila dijumpai hasil Mini-Cog yang intermediate (Woodford, 2007). Mini-Cog diciptakan sebagai suatu instrumen untuk screening awal demensia. Mini-Cog bisa dilakukan dalam waktu kurang dari 5 menit (ratarata 3.2 menit). Pemeriksaan dilakukan dengan suatu uji fungsi memori dengan mengulang 3 kata yang berbeda dan tidak berhubungan, mengingat gangguan memori merupakan ciri utama dari demensia. CDT dilakukan sebagai pengalihan perhatian subjek dari perintah mengingat sebelumnya (Lorentz, 2002).
40
Mini-Cog dilakukan dengan cara meminta pasien untuk mengulang 3 kata yang berbeda dan tidak berhubungan satu sama lain seperti “kapten”, “kebun” dan “gambar”. Perintah dapat diulang 3 kali. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan CDT dimana pasien diminta untuk menggambar jam mulai dari lingkaran, angka dan jarum jam yang menunjukkan waktu tertentu (11:10). Penilaian CDT adalah 2 untuk gambar yang utuh dan benar dan 0 untuk gambar yang tidak lengkap atau salah atau pada pasien yang menolak untuk menggambar. Kemudian minta pasien untuk mengulangi kata-kata yang sudah disebutkan sebelumnya. Skor 1 untuk setiap kata yang dapat diulang pasien. Skor untuk penilaian hasilnya adalah sebagai berikut: (Doerflinger, 2013) -
Mampu mengulang 3 kata dengan benar dikatakan negative screen for cognitive impairment.
-
Mampu mengulang 1-2 kata dengan benar dan CDT yang normal (2) dikatakan negative screen for cognitive impairment.
-
Mampu mengulang 1-2 kata dengan benar CDT yang abnormal (0) dikatakan positive screen for cognitive impairment.
-
Sama sekali tidak mampu mengulang kata dikatakan positive screen for cognitive impairment.
II.2.2. General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG) Pemeriksaan
GPCOG
merupakan
salah
satu
bentuk
dari
Cambridge Cognitive (CAMCOG). Pemeriksaan CAMCOG merupakan
41
instrumen yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan demensia dan gangguan kognitif. Pengukuran ini dilakukan dengan menilai fungsi orientasi, bahasa, memori, atensi, kemampuan berpikir abstrak, persepsi dan
kalkulasi.
Kelebihan
GPCOG
adalah
kemampuannya
untuk
mendeteksi suatu gangguan kognitif ringan (Burns dkk. 2002). Pemeriksaan GPCOG terdiri atas pemeriksaan terhadap 9 soal untuk fungsi kognitif dan 6 soal untuk informasi. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu kurang dari 5 menit untuk dilakukan dan memiliki nilai akurasi yang relatif sama dengan MMSE dalam menilai demensia (Brodaty dkk. 2002). Dalam 9 soal yang diberikan untuk menilai fungsi kognitif termasuk dengan melakukan CDT dengan skor maksimum 9. Bila pada tahap ini pasien mendapat skor 9 berarti tidak dijumpai ada gangguan kognitif dan pemeriksaan tidak perlu dilanjutkan. Bila pasien mendapat skor 0-4 mengindikasikan suatu gangguan kognitif dan pemeriksaan juga tidak perlu dilanjutkan. Pemeriksaan dilanjutkan ke tahap untuk memperoleh informasi tambahan bila skor pasien 5-8 dimana pasien diberikan 6 pertanyaan tambahan dengan skor maksimal >6. Skor 0-3 mengindikasikan adanya gangguan kognitif (Brodaty dkk. 2002).
II.2.3. Memory Impairment Screen Memory
Impairment
Screen
merupakan
suatu
pemeriksaan
gangguan memori pada demensia yang dapat dilakukan dengan cepat, mudah dan valid. Memory Impairment Screen memiliki nilai akurasi yang
42
cukup tinggi pada screening demensia. Untuk moderate dementia, MIS memilki 92% sensitifitas untuk semua jenis demensia dan 95% (PPV ≥0.69 dan NPV 0.95) untuk demensia Alzheimer (Buschke dkk. 1999). Memory Impairment Screen dilakukan dengan meminta pasien mengulang 4 kata yang berbeda dan tidak berhubungan. Pasien diminta untuk mengelompokkan kata sesuai dengan kategori yang ditentukan. Dalam penilaiannya, MIS memiliki komponen free recall dan cued recall. Free recall adalah kemampuan untuk mengingat 4 kata yang diberikan dalam waktu kurang dari 5 detik (untuk masing-masing kata) dan cued recall adalah kemampuan pasien untuk mengingat sisa kata yang belum disebutkan setelah diberi petunjuk. Skor maksimum MIS adalah 8 dengan interpretasi nilai 5-8 dianggap normal atau tidak memilki gangguan kognitif dan skor ≤4 dikatakan sebagai possible cognitive impairment (Modrego, 2012). Pasien-pasien usia tua yang tidak memiliki gangguan memori bisa tetap memiliki kesulitan dalam mengingat satu atau dua kata. Cued recall berfungsi sebagai bantuan bagi pasien-pasien tersebut. Pasien-pasien dengan gangguan fungsi kognitif seperti demensia akan menunjukkan skor yang jelek baik pada free recall maupun cued recall (Ivanoiu 2005). Kelebihan pemeriksaan dengan MIS adalah aplikasinya yang mudah, pemeriksaan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat (kurang dari 5 menit) dan tingkat sensitifitas yang tinggi (Buschke dkk. 1999).
43
II.3. STROKE II.3.1. Definisi Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut yang disebabkan oleh iskemik ataupun perdarahan yang berlangsung selama 24 jam atau meninggal dan tidak memiliki bukti yang cukup untuk di klasifikasikan (Sacco, 2013).
II.3.2. Epidemiologi Stroke menempati urutan ketiga sebagai penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker di Amerika Serikat. Di Indonesia, data nasional stroke menunjukkan angka kematian tertinggi sebesar 15.4% (Misbach, 2011).
II.3.3. Patofisiologi Iskemik otak dapat bersifat fokal atau global. Pada iskemik global, aliran otak secara keseluruhan menurun akibat tekanan perfusi, misalnya karena perdarahan sistemik yang masif, fibrilasi atrial berat dan lain-lain. Sedangkan iskemik fokal terjadi akibat menurunnya perfusi otak regional yang disebabkan oleh sumbatan yang menutup aliran darah sebagian atau seluruh lumen pembuluh darah otak menyebabkan kerusakan pada fungsi, integritas fisik, dan susunan sel dan akan berakhir dengan kematian neuron. Aktifitas listrik otak akan terhenti bila aliran darah otak berkurang dan kematian neuron akan terjadi apabila aliran darah otak
44
kurang dari 10 cc/100 g otak/menit. Kematian sel akan terjadi beberapa jam setelah keadaan iskemik (Misbach, 2011). Penyebab paling sering dari stroke hemoragik adalah hipertensi arterial, dimana meningkatnya tekanan darah mengakibatkan kerusakan pada dinding sel arteri dan menyebabkan mikroaneurisma yang dapat ruptur secara spontan. Lokasi yang sering untuk terjadinya perdarahan adalah pada daerah ganglia basalis, talamus dan pons. Perdarahan lebih jarang terjadi pada daerah deep white matter (Baehr dkk. 2005).
II.4. DEMENSIA II.4.1. Definisi Demensia
adalah
suatu
sindroma
penurunan
kemampuan
intelektual yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktifitas sehari-hari
yang
dibuktikan
dengan
pemeriksaan
klinis
dan
tes
neuropsikologi (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).
II.4.2. Epidemiologi Dari WHO diperkirakan bahwa pada tahun 2050, populasi manusia berusia 60 tahun keatas akan berjumlah sekitar 2 milyar. Efek negatif dari peningkatan jumlah populasi ini adalah meningkatnya angka penderita demensia. Sekitar 2 hingga 10% dari seluruh kasus demensia dimulai pada usia 65 tahun. Jumlah ini akan meningkat setiap lima tahun dan
45
studi epidemiologi mengindikasikan bahwa jumlah ini akan meningkat setiap 20 tahun hingga diperkirakan akan mencapai 65.7 juta pada tahun 2030 dan 115.4 juta orang pada tahun 2050 di negara berkembang (WHO, 2012). Sebuah studi meta analisa yang dilakukan di negara-negara maju menjumpai bahwa angka kematian meningkat 2.5 kali pada pasien demensia (RR 2.63 95% ci 2.17-3.21). Studi lain menjumpai angka kematian pada penderita demensia Alzheimer mencapai 7.1% per tahun (95% CI 6.7-7.5 tahun) dan untuk demensia vaskular sebesar 3.9 tahun (3.5-4.2 tahun) (Saz, 2011; Fitzpatrick, 2005).
II.4.3. Klasifikasi Demensia WHO mengklasifikasikan demensia dalam kategori gangguan mental organik simptomatik kedalam 4 bentuk (ICD 10-WHO, 1993): 1. Demensia Alzheimer (DA) •
DA dengan early onset
•
DA dengan late onset
•
DA atipikal atau bentuk campuran
•
Unspecified Alzheimer’s Dementia
2. Demensia Vaskular (DVa) •
Demensia vaskular pada onset akut
•
Demensia multi infark
•
Demensia vaskular subkortikal
46
•
Demensia vaskular campuran kortikal dan subkortikal
•
Demensia vaskular lainnya
•
Unspecified vascular dementia
3. Demensia pada penyakit-penyakit lain •
Demensia pada Pick’s disease
•
Demensia pada Creutzfeldt-Jacob disease
•
Demensia pada Huntington’s disease
•
Demensia pada Parkinson’s disease
•
Demensia pada HIV
•
Demensia pada penyakit-penyakit lain
4. Unspecified dementia
II.5. POSTSTROKE DEMENTIA II.5.1. Definisi Poststroke dementia didefinisikan sebagai demensia yang timbul setelah serangan stroke terlepas dari apakah penyebabnya adalah demensia vaskular, degeneratif ataupun campuran (Pasi dkk. 2012). Diagnosis poststroke dementia ditegakkan setelah 3 bulan pasca serangan stroke (Misbach, 2011).
II.5.2. Epidemiologi Insidensi poststroke dementia adalah 6.7% pada penderita usia 6064 tahun dan 26.5% pada pasien-pasien dengan usia diatas 85 tahun
47
(Ballard, 2003). Poststroke dementia dikatakan memiliki angka prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan angka kekambuhan stroke. Vascular poststroke dementia terjadi pada 30% pasien dan insidensi demensia ini meningkat 7% setelah 1 tahun setelah stroke dan meningkat 48% setelah 25 tahun (Alvarez-Sabin dkk. 2011) Pasien stroke yang tidak mengalami demensia ataupun gangguan fungsi kognitif lain memiliki kemungkinan untuk mengalami poststroke dementia dan dapat terjadi pada 50% dari semua pasien stroke dan hal ini juga berhubungan dengan outcome (Gemmel dkk. 2012). Prevalensi dari poststroke dementia telah dilaporkan pada banyak penelitian. Pada 73 artikel yang mengumpulkan data kohort dari 21 rumah sakit dan 8 populasi (7511 pasien), dijumpai kejadian demensia dalam 1 tahun setelah stroke sebesar 7% hingga 41% (Douiri dkk. 2013).
II.5.3. Patofisiologi Etiologi poststroke dementia yang paling sering adalah demensia vaskular, demensia Alzheimer dan campuran (Leys, 2005). Demensia
vaskular
meliputi
semua
kasus
demensia
yang
disebabkan oleh gangguan serebrovaskuler dengan penurunan fungsi kognitif mulai dari yang ringan sampai yang paling berat dan tidak harus prominen gangguan memori serta bisa dengan atau tanpa disertai gangguan perilaku sehingga menimbulkan gangguan aktivitas harian yang
48
bukan
disebabkan
oleh
gangguan
fisik
karena
stroke
(Modul
Neurobehaviour PERDOSSI, 2008). Demensia vaskular timbul sebagai konsekuensi dari kerusakan jaringan otak. Untuk dapat bekerja dengan baik, otak membutuhkan asupan darah yang cukup. Darah dialirkan ke otak melalui suatu sistem perdarahan yang dibentuk oleh kumpulan pembuluh darah yang mana bila terjadi gangguan atau perubahan akan dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel neuron otak (Misbach, 2011). Kerusakan pembuluh darah kecil berhubungan dengan terjadinya infark lakunar dan perubahan pada white matter yang terjadi di daerah subkorteks dan dapat menimbulkan gangguan kognitif. Penyakit-penyakit pada arteri kecil yang sering menyebabkan
kerusakan
pembuluh
darah
lipohialinosis, cerebral amyloid angiopathy, dan
adalah
arteriosklerosis,
kalsifikasi pada basal
ganglia. Kerusakan pembuluh darah dapat terjadi akibat proses iskemik yang dan menyebabkan nekrosis fokal pada jaringan saraf. Dikatakan bahwa nekrosis fokal ini akan meluas melibatkan sel saraf lain (Iemolo dkk. 2009). Sinaps dan neuron pada regio otak yang berperan dalam proses belajar dan memori seperti di hipokampus, korteks, dan basal ganglia dijumpai mengalami degenerasi pada pasien-pasien demensia Alzheimer. Perubahan histologi yang dijumpai pada demensia Alzheimer meliputi deposit amiloid ß-peptida (Aß) di ekstraselular dan degenerasi neuron. Deposit Aß dan neurofibrillary tangles (NTFs) pada ekstraseluler ini
49
membentuk suatu plaque neuritik menyebabkan disfungsi mitokondria (Mattson, 2001).
II.5.4. Gejala Klinis Demensia merupakan suatu sindroma klinis yang bersifat progresif. Gangguan memori yang dijumpai dalam proses belajar, menyimpan dan mengingat kembali suatu bentuk informasi merupakan penanda utama dari demensia. Selain itu juga dijumpai gejala seperti penurunan daya berpikir, daya pertimbangan, kemampuan berkomunikasi, gangguan orientasi dan perubahan kepribadian (Pasi dkk. 2012). Gejala klinisnya dapat serupa dengan demensia lain (demensia Alzheimer,
demensia
vaskular
atau
campuran).
Gejala
demensia
poststroke dapat berupa gangguan daya pikir, konsentrasi dan komunikasi serta gangguan memori dengan gejala depresi dan ansietas yang mengikuti gejala stroke seperti kelemahan pada ekstremitas dan parese nervus kranialis (Pasi dkk. 2012). Gejala perilaku pada demensia dapat berupa disinhibisi dengan berperilaku impulsif, agitasi, wandering (seperti mengikuti, berjalan bolakbalik), ledakan amarah. Sementara gejala psikologis pada demensia bisa berupa mood depresi, apati dan ansietas serta dapat diikuti dengan atau tanpa gejala psikotik seperti disinhibisi, halusinasi, delusi, dan waham (Cilag, 2002). Gejala perilaku pada demensia bersifat kronik progresif karena merupakan manifestasi klinis dari perjalanan demensia dan harus
50
dibedakan dengan gangguan psikiatri yang bersifat akut yang timbul dan berkembang dalam waktu singkat (DSM-IV, 2000).
II.6. KERANGKA TEORI
Pasien Stroke
Lipton dkk. 2003 menunjukkan MIS memiliki sensitifitas 78% dan spesifisitas 93% (P<0.05) bila dibandingkan dengan CFT dan TICS.
Brodaty dkk. tahun 2002 didapatkan bahwa GPCOG reliable dan superior terhadap MMSE dengan 85% sensitifitas dan 86% spesifitas.
Verghese dkk. 2012 menunjukkan MIS memiliki nilai sensitifitas (95.4% 95%CI) dan spesifisitas (99.2% 95% CI) yang lebih tinggi dibandingkan dengan MMSE terutama pada pasien usia tua dengan latar belakang pendidikan yang rendah.
Burns dkk 2002. Kelebihan GPCOG adalah kemampuannya untuk mendeteksi suatu gangguan kognitif ringan.
GPCOG Brodaty 2006. Menunjukkan Mini-Cog merupakan salah satu pilihan yang terbaik untuk screening dementia dengan nilai spesifisitas >80% dengan 95% CI. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan MMSE yang lebih sering digunakan. Ebbel dkk. 2009 Mini-Cog memiliki sensitifitas 99% dan spesifisitas 93% (LR+ 14.1 dan LR- 0.01). Mini-Cog lebih superior dalam hal waktu pemeriksaan, kemudahan aplikasi dan tingkat akurasi yang tinggi.
Millian dkk 2013 Mini-Cog memiliki 79.6% spesifisitas pada pasien dengan depresi dan 100% pada pasien sehat. Angka ini tidak dipengaruhi oleh keparahan depresi. Ini menjadikan Mini-Cog lebih superior daripada MMSE yang nilai spesitifitasnya dipengaruhi oleh derajat keparahan depresi.
Mini-Cog
POSTSTROKE DEMENTIA
MIS
51
II.7. KERANGKA KONSEP
Pasien Stroke
GPCOG
Mini-Cog
Poststroke Dementia
MIS