5
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
Tinjauan Pustaka Dalam buku Statistik Perikanan Tangkap yang dikeluarkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Sumatera Utara disebutkan bahwa perikanan merupakan kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau budidaya ikan/binatang air lainnya/tanaman air. Sedangkan penangkapan itu sendiri didefenisikan sebagai kegiatan penangkapan atau pengumpulan ikan/binatang air/tanaman air yang hidup di laut/perairan umum secara bebas dan bukan milik perseorangan. Pada umumnya penangkapan ditujukan pada ikan/binatang air/tanaman air yang hidup, termasuk di dalamnya pengumpulan kerang dan rumput laut. Dalam pembangunan perikanan nasional ada lima tujuan yang harus dicapai, yaitu: (1) pemenuhan kebutuhan konsumsi produk perikanan untuk dalam negeri; (2) peningkatan perolehan devisa; (3) peningkatan produksi perikanan sesuai dengan potensi lestari dan daya dukung lingkungan; (4) pemeliharaan kelestarian stok ikan dan daya dukung lingkungannya; dan (5) peningkatan kesejahteraan nelayan dan petani ikan (Mulyadi, 2005). Dari tujuan pembangunan perikanan seperti yang tertera dalam buku Ekonomi
Kelautan
(Mulyadi,
2005)
tersebut
jelas
disebutkan
bahwa
kesejahteraan nelayan dan petani ikan adalah salah satu sasarannya. Definisi nelayan itu sendiri sangat variatif artinya. Imron (2003) dalam buku ekonomi kelautan mendefenisikan nelayan sebagai suatu kelompok masyarakat yang 5 Universitas Sumatera Utara
6
kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juga disebutkan bahwa pengertian nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Sehingga nelayan ini adalah mereka yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di laut apakah dia sebagai yang pemilik langsung alat-alat produksi maupun sebaliknya. Nelayan dapat dibagi menjadi beberapa kategori menurut kepemilikan kapalnya (Mubyarto, 1984), yaitu: 1.
Nelayan pemilik, nelayan yang memilki kapal perahu atau kapal penangkap ikan dan dia sendiri ikut serta atau tidak ikut ke laut untuk memperoleh hasil laut.
2.
Nelayan juragan, nelayan yang membawa kapal orang lain tetapi ia tidak memiliki kapal.
3.
Nelayan buruh, nelayan yang hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja tanpa memiliki perahu penangkap ikan. Berdasarkan perahu/kapal penangkap ikan, nelayan pemilik dibagi
menjadi nelayan tradisional dan nelayan bermotor. Nelayan tradisional memakai perahu tanpa mesin/motor. Bila perahu mempunyai mesin yang ditempel di luar perahu disebut perahu motor tempel, bila perahu/kapal mempunyai mesin di dalam kapal maka disebut kapal motor. Berdasarkan besarnya mesin yang digunakan, diukur dengan GT (Gross Ton), kapal motor dibagi menjadi: •
kapal kecil, yaitu < 5GT – 10GT
Universitas Sumatera Utara
7
•
kapal sedang, yaitu 10GT – 30GT
•
kapal besar, yaitu > 30GT
(Tarigan, 2002). Dari buku Manajemen Agribisnis Perikanan (2006) tulisan I. Effendi dan W. Oktariza disebutkan bahwa daerah operasi penangkapan (fishing ground) di laut meliput i perairan dekat pantai hinggga laut lepas. Terdapat zona penangkapan sesuai dengan kondisi armada penangkapan. Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian tahun 1999 zona penangkapan tersebut meliputi jalur I hingga jalur III (Effendi dan oktariza, 2006). Daerah operasi penangkapan ikan di Indonesia yang dibedakan berdasarkan jarak dari pantai berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 392 Tahun 1999 adalah sebagai berikut: Tabel 1. Daerah Operasi Penangkapan Ikan di Laut Jalur penangkapan Jarak dari Pantai Peruntukan Jalur I
0-3 mil
Kapal nelayan tradisional Kapal tanpa mesin
3-6 mil
Kapal motor tempel <12 m Kapal <5 GT
Jalur II
6-12 mil
Kapal motor <60 GT
Jalur III
12-200 mil
Kapal motor <200 GT
Sumber : SK Menteri Pertanian No. 392 Tahun 1999
Dari Tabel 1 tersebut dapat dilihat bahwa untuk kapal motor berukuran kecil yaitu <5 GT daerah tangkapannya adalah di jalur I dengan jarak 3-6 mil dari garis pantai. Sedangkan untuk kapal yang berukuran lebih besar daerah tangkapannya termasuk dalam jalur II dan III hingga mencapai jarak 200 mil dari garis pantai.
Universitas Sumatera Utara
8
Daerah penangkapan nelayan (fishing ground) tergantung pada besar kecilnya kapal, alat tangkap dan jenis ikan laut yang akan ditangkap. Nelayan yang
menggunakan kapal tanpa
motor
(perahu)
umumnya
melakukan
penangkapan ikan laut di pinggir pantai/sekitar pantai. Sedangkan nelayan yang menggunakan kapal motor <5 GT melakukan penangkapan setelah kapal berlayar ke arah tengah laut sejauh 100 meter dari pantai dan daerah penangkapan rata-rata sejauh 5.760 meter. Nelayan yang mengguanakan kapal motor >5 GT melakukan penangkapan setelah kapal bergerak ke tengah laut sejauh 500 m dari pantai dan daerah penangkapan rata-rata sejauh 28.800 meter (Simanjuntak, 2002). Nelayan-nelayan kecil/tradisional ini sangat bergantung dengan sumber pendapatan langsung dari laut yang dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Sehingga setiap pendapatan harian dari laut merupakan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan keluarga pada hari itu. Tidak mendapatkan penghasilan dari laut tiap mereka melaut berarti tidak mendapatkan hasil untuk memenuhi kebutuhan keluarga pada hari itu. Pendapatan dari melaut kini juga tidak selalu dapat mencukupi kebutuhan ekonomi harian keluarga. Nilai jual ikan tidak seimbang dengan harga kebutuhan pokok rumah tangga lainnya. Akibatnya nelayan berada pada posisi ekonomi yang lemah. Data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara jumlah penduduk miskin di Kota Medan per kecamatan pada tahun 2007 adalah sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
9
Tabel 2. Jumlah Penduduk Miskin di Kota Medan pada Tahun 2007 Kecamatan Jumlah Rumah Tangga Miskin Persenatase (KK) 1. Medan Tuntungan 2.696 3,23% 2. Medan Johor 4.838 5,79% 3. Medan Amplas 4.213 5,04% 4. Medan Denai 4.431 5,30% 5. Medan Area 2.413 2,89% 6. Medan Kota 2.456 2,94% 7. Medan Maimun 2.332 2,79% 8. Medan Polonia 1.773 2,12% 9. Medan Baru 553 0,66% 10. Medan Selayang 2.851 3,41% 11. Medan Sunggal 3.301 3,95% 12. Medan Helvetia 3.280 3,93% 13. Medan Petisah 1.165 1,39% 14. Medan Barat 3.144 3,76% 15. Medan Timur 3.392 4,06% 16. Medan Perjuangan 4.730 5,66% 17. Medan Tembung 4.672 5,59% 18. Medan Deli 4.369 5,23% 19. Medan Labuhan 6.272 7,51% 20. Medan Marelan 7.172 8,59% 21. Medan Belawan 12.170 14,57% Total
83.525
100%
(Sumber : BPS SumateraUtara 2008)
Dari Tabel 2 tersebut dapat dilihat bahwa jumlah penduduk miskin di Kota Medan paling banyak terdapat di Kecamatan Medan Belawan dengan jumlah rumah tangga miskin sebesar 12.170 atau sekitar 14,57% dari total penduduk miskin di Kota Medan dan dapat dipastikan di dalamnya terdapat juga para nelayan kecil yang menggunakan peralatan sederhana.
Universitas Sumatera Utara
10
Landasan Teori Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multi dimensi. Kemiskinan ditandai oleh keterbelakangan dan pengangguran yang selanjutnya meningkat menjadi pemicu ketimpangan pendapatan antar golongan penduduk. Penduduk miskin adalah yang paling rendah kemampuannya. Pada saat ini mereka terpusat di kantong kemiskinan, seperti di desa pantai dan kepulauan atau daerah pasang surut (Situmorang, 2009). Kemiskinan itu sendiri didefenisikan sebagai situasi serba kekurangan dari penduduk yang terwujud dalam dan disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksi orang miskin dan terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan. Ada dua macam konsep kemiskinan yang umum dikenal antara lain : 1. Kemiskinan Absolut Konsep kemiskinan ini selalu dikaitkan dengan pendapatan dan kebutuhan, kebutuhan tersebut hanya terbatas pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar (basic need). Kemiskinan dapat digolongkan dua bagian yaitu : a. Kemiskinan untuk memenuhi kebutuhan dasar. b. Kemiskinan untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. 2. Kemiskinan Relatif Kemiskinan ini tidak memiliki batas kemiskinan yang jelas. Sebagai analogi adalah seseorang yang tinggal di kawasan elit, yang sebenarnya memiliki income yang sudah cukup untuk memnuhi kebutuhan minimum, tetapi income-nya masih
Universitas Sumatera Utara
11
jauh lebih rendah dari rata-rata income masyarakat sekitarnya. Orang atau keluarga tersebut merasa dirinya masih miskin. Kemiskinan ini lebih banyak ditentukan oleh lingkungannnya. Menurut Sukanto (2000) dalam bukunya Ekonomi perkotaan,
ukuran
kemiskinan bermacam-macam; ada yang berdasarkan penghasilan, ada yang didasarkan pada konsumsi, dan ada pula yang yang didasarkan pada luas perumahan. Ukuran kemiskinan tersbut adalah jenis kemiskinan absolut. Namun kemiskinan pada hakikatnya merupakan perbedaan antara penghasilan dan standard hidup minimum. Sajogya dalam memandang batas kemiskinan adalah menggunakan ekuivalen konsumsi beras sebanyak 360 kg per kapita per tahun. Sedangkan standard Upah Minimum Provinsi yang berlaku sekarang adalah sebesar Rp 1.048.000,- per bulan. Ukuran kemiskinan yang dianut oleh banyak negara adalah dengan standard Bank Dunia. Bank Dunia (world bank) pada tahun 2007 menggunakan ukuran US$ 2 - PPP (purchasing power parity)/kapita/hari. Pengukuran kemiskinan dengan standard Bank Dunia ini didasarkan pada ukuran pendapatan (ukuran finansial), dimana batas kemiskinan dihitung dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sehari untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan. Adapun faktor yang menjadi penyebab kemiskinan masyarakat menurut Sutyastie Remi dan P. Tjiptoherijanto dalam bukunya Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia (2002) adalah pendapatan yang rendah. Jumlah tanggungan keluarga, pekerjaan lain, dan tingkat pendidikan merupakan karakteristik dari keluarga miskin yang berhubungan dengan kemiskinan
Universitas Sumatera Utara
12
masyarakat.
Jumlah
tanggungan
keluarga
yang
banyak
akan
semakin
memperparah kemiskinan yang dialami seseorang. Sementara pekerjaan akan mempengaruhi kemiskinan dimana konsekuensi logis dengan adanya pekerjaan tambahan di luar mata pencaharian utama maka akan memperkecil tingkat kemiskinan masyarakat dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan pendidikan akan memudahkan seseorang untuk memperoleh alternatif pekerjaan lain yang pada gilirannya akan memperkecil keparahan kemiskinan. Pendapatan dan ketimpangan pendapatan Pendapatan Pendapatan merupakan suatu gambaran tingkat kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan materinya dalam satuan waktu tertentu, biasanya per bulan. Tingkat pendapatan ini sering dihubungkan dengan suatu standard kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Pendapatan dapat diperoleh seseorang dari mata pencaharian utama dengan atau tanpa mata pencaharian lain. Dengan demikian seseorang diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Ongkos produksi dalam usaha nelayan terdiri dari dua kategori, yaitu ongkos berupa pengeluaran nyata (actual cost) dan ongkos yang tidak merupakan pengeluaran nyata (inputed cost). Dalam hal ini, pengeluaran nyata terdiri dari pengeluaran kontan dan pengeluaran tidak kontan. Pengeluaran kontan di antaranya adalah: 1. bahan bakar dan oli 2. bahan pengawet (es dan garam) 3. pengeluaran untuk makanan/konsumsi awak
Universitas Sumatera Utara
13
4. pengeluaran untuk reparasi 5. pengeluaran retribusi dan pajak. Pengeluaran-pengeluaran yang tidak kontan adalah upah awak nelayan, pekerjaan yang umumnya bersifat bagi hasil dan dibayar setelah hasil dijual. Pengeluaranpengeluaran yang tidak nyata adalah penyusutan dari boat/sampan, mesin-mesin dan alat-alat penangkap (Mulyadi, 2005). Dalam sistem bagi hasil, bagian yang dibagi adalah pendapatan setelah dikurangi ongkos-ongkos eksploitasi yang dikeluarkan pada waktu beroperasi (ongkos bahan bakar, oli, es, dan garam, biaya makan para awak) ditambah dengan ongkos penjualan hasil (pembayaran retribusi). Sedangkan biaya lain yang masih termasuk ongkos eksploitasi seperti biaya reparasi seluruhnya tanggungan dari pemilik alat dan boat (Mulyadi, 2005). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Deasy Yunawati (2008) diketahui bahwa
pengalaman
melaut
dan
lama
melaut
merupakan
faktor
yang
mempengaruhi pendapatan nelayan. Selain itu faktor yang juga mempengaruhi pendapatan nelayan adalah jumlah tenaga kerja (nelayan buruh) dalam kapal. Dalam hal ini, semakin banyak jumlah awak maka bagian yang diterima oleh nelayan buruh semakin kecil. Karena bagian yang harus dibagi menjadi lebih banyak. Ketimpangan pendapatan Ketimpangan merupakan suatu keadaan yang menunjukkan adanya perbedaan seseorang terhadap orang lainnya. Perbedaan tersebut dapat diidentikkan dengan adanya variasi dan ketidakmerataan yang terdapat dalam berbagai unit tersebut. Jadi, ketimpangan pendapatan merupakan suatu kondisi
Universitas Sumatera Utara
14
yang menunjukkan adanya variasi atau ketidakmerataan pendapatan yang diterima oleh berbagai orang dalam kurun waktu tertentu. Berbagai macam alat ukur banyak digunakan dalam melihat tingkat ketimpangan pendapatan penduduk. Salah satu cara untuk menguraikan ketimpangan pendapatan serta melihat gambaran ketimpangan pendapatan yang diterima masyarakat adalah dengan Gini Rasio. Nilai Gini Rasio (GR) terletak antara nol sampai satu. Apabila Gini Rasio bernilai 0 maka ketimpangan pendapatan merata sempurna, berarti pendapatan yang diterima penduduk seluruhnya sama. Sebaliknya jika nilainya 1 maka ketimpangan pendapatan tidak merata sempurna yang berarti terdapat perbedaan pendapatan antar tiap penduduk dengan perbedaan yang sama. Dalam prakteknya tidak ada diperoleh nilai Gini Rasio sebesar 0 atau 1. Gini Rasio biasanya disertai dengan kurva Lorenz. Kurva ini diperoleh dari seorang ahli statistik Amerika yang bernama Conrad Lorenz yang berhasil menggunakan sebuah diagram yang memperlihatkan hubungan antara kelompokkelompok penduduk dan porsi pendapatan yang mereka terima. Pengukuran distribusi pendapatan yang diperoleh dengan menggunakan kurva Lorenz kemudian dijumlahkan dengan memberikan densitas relatif dari ketidakmerataan distribusi pendapatan atau yang dikenal sebagai Rasio Gini. Kurva ini digambarkan pada sebuah persegi bujur sangkar dengan bantuan garis diagonal. Semakin dekat kurva ini dengan diagonalnya, berarti ketimpangan yang terjadi semakin rendah dan sebaliknya semakin melebar kurva ini menjauhi diagonal berarti ketimpangan yang terjadi semakin tinggi. Bentuk kurva
Universitas Sumatera Utara
15
digambarkan berdasarkan data yang diperoleh, yang secara umum digambarkan sebagai berikut:
Y (Kumulatif % pendapatan) 1.2 1.0
A
0.8 0.6 0.4 0.2 0
B
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
X (Kumulatif % penduduk)
Gambar 1. Kurva Lorenz Dari Gambar 1 terlihat daerah kurva Lorenz yaitu daerah arsiran AB yang menggambarkan tingkat ketimpangan pendapatan masyarakat. Semakin tinggi tingkat ketimpangan pendapatan maka daerah kurva Lorenz akan semakin luas. Sedangkan garis lurus AB menunjukkan bahwa nilai GR = 0 yang artinya pendapatan diterima merata oleh penduduk.
Universitas Sumatera Utara
16
Kerangka Pemikiran Perikanan merupakan sumber mata pencaharian utama penduduk di daerah penelitian yang merupakan daerah kawasan pantai timur Sumatera Utara. Usaha perikanan tersebut dilakukan oleh nelayan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dengan cara menangkap ikan di laut dengan menggunakan kapal/perahu penangkap ikan sederhana atau tanpa menggunakan kapal/perahu. Dalam melakukan operasi penangkapan ikan di laut, nelayan akan menerapkan sistem bagi hasil tertentu antara pemilik dan awak yang menjalankan usaha penangkapan. Pemilik kapal dapat ikut melaut atau menyerahkan tanggung jawab kepada seseorang (tekong) dan dibantu oleh beberapa anak buah kapal (ABK). Dalam hal ini tekong dan anak buah kapal merupakan nelayan buruh yang menjalankan operasi penangkapan. Hasil tangkapan dijual sesuai dengan harga pasar yang berlaku. Penjualan hasil tangkapan dapat melalui Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan dapat pula langsung dijual pada pedagang besar. Dari hasil penjualan tersebut maka nelayan akan memperoleh
penerimaan sejumlah rupiah tertentu. Penerimaan tersebut
dikurangi dengan biaya melaut dengan sistem bagi hasil yang disepakati akan menghasilkan pendapatan yang siap digunakan masing-masing nelayan untuk pemenuhan hidupnya dan keluarganya. Pendapatan tersebut ditambah dengan pendapatan lain di luar usaha penangkapan ikan dan usaha lain dari anggota keluarga akan menghasilkan pendapatan keluarga yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Pendapatan yang diperoleh oleh seorang nelayan dapat sama dan berbeda satu sama lain bergantung dari faktor produksi yang mereka gunakan, baik yang
Universitas Sumatera Utara
17
milik pribadi maupun menumpang pada pemilik faktor produksi tersebut. Ketimpangan pendapatan
nelayan
ini akan
menunjukkan sejauh mana
ketidakmerataan pendapatan yang diperoleh antar nelayan khususnya nelayan yang masih tradisional dengan keterbatasan alat tangkap yang mereka miliki. Pada umumnya masyarakat nelayan tradisional hidup di bawah garis kemiskinan dan standard hidup yang layak. Faktor utam penyebab kemiskinan adalah rendahnya pendapatan yang diterima oleh keluarga. Adapun beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan semakin parahnya kemiskinan nelayan adalah jumlah anggota keluarga, usaha sampingan di luar usaha penangkapan ikan, dan tingkat pendidikan. Ukuran kemiskinan yang digunakan adalah berdasarkan pendapatan yang diterima nelayan dengan garis kemiskinan US$ 2 PPP (purchasing power parity)/kapita/hari. Ukuran ini adalah salah satu ukuran yang banyak digunakan oleh negara-negara di seluruh dunia dan menjadi acuan oleh World Bank (Bank Dunia). Selain itu batas kemiskinan yang juga digunakan adalah dengan kriteria Sjogyo, yaitu tingkat konsumsi yang ekivalen dengan 360 kg beras per orang per tahun. Serta dengan menggunakan standard Upah Minimum Provinsi yang berlaku di Sumatera Utara adalah sebesar Rp 1.048.000,per bulan.
Universitas Sumatera Utara
18
Secara skematis kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut: Nelayan Buruh Kapal Motor <5 GT
Usaha Sampingan
UsahaPenangkapan
Pendapatan
Anggota keluarga
Pendapatan
Pendapatan keluarga Faktor yang berhubungan: • Pengalaman melaut • Lama melaut • Jumlah tenaga kerja dalam kapal
Ketimpangan
Faktor yang berhubungan: • Jumlah tanggungan keluarga • Usaha sampingan • Pendidikan
Kemiskinan
Keterangan: : Ada hubungan
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran
Universitas Sumatera Utara
19
Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis penelitian yang dapat diajukan adalah sebagai berikut: 1. Persentase kemiskinan nelayan di atas 50% masing-masing berdasarkan Sayogjo, Upah Minimum Provinsi dan bank dunia. 2. Ketimpangan pendapatan nelayan di daerah penelitian adalah ketimpangan rendah. 3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kemiskinan nelayan adalah jumlah tanggungan keluarga, usaha sampingan, dan pendidikan. 4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan ketimpangan pendapatan nelayan adalah pengalaman melaut, lama melaut, jumlah tenaga kerja dalam kapal.
Universitas Sumatera Utara