TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Kitolod (Laurentia longiflora (L). Peterm) Kitolod tergolong tanaman semak dan berbatang lurus yang banyak dikenal diberba gai suku da n daerah de ngan nama yang berbeda-beda. Nama tanaman kitolod untuk daerah Melayu adalah lidah payau, di daerah Sunda dikenal dengan nama daun kitolod atau jarojet, di daerah Jawa Tengah dikenal dengan nama kenda l atau sangkobak, di Inggris di dikenal dengan Star of Betlehem dan di Cina dikenal dengan tong ban cao (Dalimarta 2008). Tanaman Kitolod diklasifikasikan ke dalam divisi Magnoliophyta, Kelas Magnoliopsida, Sub Kelas Asterida e, Ordo Campanulales, Famili Campanu laceae, Genus Laurentia da n Spesies Laurentia longiflora (L). Peterm (Dalimarta 2008). Tanaman yang berasal dari Hindia Barat ini tumbuh liar di pinggir saluran air atau sungai, pematang sawah, sekitar pagar dan tempat-tempat lainnya yang lembab dan terbuka. Kitolod dapat ditemukan dari dataran rendah sampai 1.100 m di atas permukaan laut (Dalimarta 2008).
Gambar 1. Daun Kitolod Tumbuhan ini merupaka n terna tegak, seringkali mulai bercabang pada pangkal batang, tinggi mencapai 60 cm, bercabang dari pangkalnya, bergetah putih yang rasanya tajam dan mengandung racun. Daun tunggal, duduk, bentuknya lanset, permukaan kasar, ujung runcing, pangkal menyempit, tepi melekuk ke dalam, bergigi sampai melekuk menyirip. Panjang da un 5-17 cm, lebar 2-3 cm, warnanya hijau (Dalimarta 2008).
Gambar 2. bunga Kitolod Bunganya tegak, tunggal, keluar dari ketiak daun, bertangkai panjang, mahkota berbentuk bintang berwarna putih. Buahnya berupa buah kotak berbentuk lonceng, merunduk, merekah menjadi dua ruang, berbiji banyak. Perbanyakannya dengan biji, stek batang atau anakan (Dalimarta 2008). Menurut Dalimarta (2008) penggunaan daun dan bunga kitolod sendiri dapat digunakan dalam bentuk segar seperti tumbuka n, perasan, seduhan, dan rebusan, yang oleh masyarakat daun dan bunga kitolod dimanfaatkan sebagai obat mata, katarak, sakit gigi, asma, bronchitis, radang tenggorok, luka dan obat kanker. Kemampuannya sebagai obat karena daun kitolod mengandung zat bioaktif seperti senyawa alkaloid, flavonoid, dan saponin (Dalimarta 2008). Zat bioaktif adalah zat yang termasuk metabolit sekunder yang bersifat aktif secara biologis. Aktivitasnya antara lain sebagai antimikrob yaitu suatu zat yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikrob seperti bakteri, khamir, dan kapang yang dapat digunakan untuk industri pangan dan farmasi (Heyne 1987). Menurut Ismaylova (2008) daun kitolod mempunyai aktivitas sebagai anti bakteri pada pasien penderita konjungtivitis. Bakteri yang berhasil diisolasi teridentifikasi sebagai Stapylococcus hominis. Selain itu juga dilaporkan bahwa ekstrak seduhan daun kitolod memiliki aktivitas antibakteri lebih besar dibandingkan ekstrak refluks daun kitolodnya.
Konjungtivitis Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya inflamasi pada konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva (selaput bening yang menutupi bagian berwarna putih pada mata dan permukaan bagian dalam kelopak mata). Tanda-tanda konjungtivitis, yakni konjungtiva berwarna merah (hiperemi) dan membengkak, produksi air mata berlebihan, kelopak mata bagian atas nampak menggelantung (pseudoptosis) seolah akan menutup akibat pembengkakan konjungtiva dan peradangan sel-sel konjungtiva bagian atas, pembesaran pembuluh darah di konjungtiva dan sekitarnya sebagai reaksi yang tidak spesifik akibat peradangan, pembengkakan kelenjar (folikel) di konjungtiva dan sekitarnya,
terbentuknya membran oleh proses koagulasi fibrin (komponen
protein) serta dijumpainya sekret dengan berbagai bentuk (kental hingga bernanah) (Friedlaender 1995).
Gambar 3. Mata dengan konjungtivitis Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai macam ha l seperti infeksi oleh bakteri, virus, alergi terhadap serbuk, bulu binatang, dan iritasi oleh angin, debu, asap, polusi udara, serta pemakaian lensa kontak (Friedlaender 1995). Konjungtiva yang mengalami iritasi akan tampak merah dan mengeluarkan kotoran. Konjungtivitis karena bakteri menyebabkan mata mengeluarkan kotoran yang kental dan berwarna putih, sedangkan konjungtivitis karena virus atau alergi menyebabkan mata mengeluarkan kotoran yang jernih. Kelopak mata bisa membengkak dan sangat gatal, terutama pada konjungtivitis karena alergi (Iroha et al. 1998). Konjungtivitis bisa berlangsung selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Konjungtivitis semacam ini bisa disebabkan oleh kelainan saluran air mata, kepekaan terhadap bahan kimia, pemaparan oleh iritan, da n infeksi oleh
bakteri tertentu terutama Chlamidia (Iroha et al. 1998). Beberapa jenis konjungtivitis dapat hilang dengan sendirinya, tapi ada juga yang memerlukan pengobatan (Friedlaender 1995). Konjungtivitis dapat menyerang bayi maupun orang dewasa. Konjungtivitis lebih banyak pada anak-anak dengan gizi kurang atau sering mendapat radang saluran napas, serta dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat. Pada orang dewasa juga dapat dijumpai tetapi lebih jarang. Meskipun sering dihubungkan dengan penyakit tuberkulosis paru, tapi tidak jarang penyakit paru tersebut tidak dijumpai pada penderita dengan konjungtivitis (Sandstrom et al. 1984). Konjungtivitis pada bayi baru lahir terjadi akibat infeksi konjungtiva gonokokus dari ibunya. Karena itu setiap bayi baru lahir mendapatkan tetes mata (biasanya perak nitrat, povidin iodin) atau salep antibiotik (misalnya eritromisin) untuk membunuh bakteri yang bisa menyebabkan konjungtivitis gonokoka (Di Bartolomeo et al. 2001). Pada usia dewasa bisa mendapatkan konjungtivitis melalui hubungan seksual (misalnya jika cairan yang terinfeksi masuk ke dalam mata). Biasanya konjungtivitis hanya menyerang satu mata. Dalam waktu 12 sampai 48 jam setelah infeksi, mata menjadi merah dan nyeri. Penyakit radang mata yang tidak segera ditangani/ diobati bisa menyebabkan kerusakan pada mata dan menimbulkan komplikasi. Beberapa komplikasi dari konjungtivitis yang tidak tertangani diantaranya ulkus kornea, abses, glaukoma, katarak, ablasi retina, dan kebutaan (Iroha et al. 1998). Pengobatan konjungtivitis tergantung dari identifikasi penyebabnya. Konjungtivitis karena bakteri dapat diobati dengan sulfonamida (sulfasetamida 15 %) atau antibiotik (Gentamisin 0,3%, kloramfenikol 0,5%). Konjungtivitis karena jamur sangat jarang, sedangkan pengobatan konjungtivitis karena virus terutama ditujukan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder. Konjungtivitis karena alergi di obati dengan antihistamin atau kortikosteroid (misalnya deksametazon 0,1%) (Sandstrom et al. 1984). Konjungtivitis tidak membahayakan, namun jika penyakit radang mata tidak segera ditangani/ diobati bisa menyebabkan kerusakan pada mata/gangguan dan menimbulkan komplikasi seperti Glaukoma, da n katarak (Friedlaender 1995).
Bakteri Uji Bakteri adalah sel prokariot yang khas bersifat uniseluler dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya. Sel bakteri berbentuk khas seperti bola, batang, atau spiral yang umumnya berdiameter 0,51,0 µm dan panjang antara 1,5-2,5 µm de ngan struktur luarnya berupa flagella, pilus dan kapsul (Pelczar & Chan 1986). Flagella berbentuk seperti rambut tipis yang berfungsi sebagai alat gerak. Pilus mirip dengan flagella namun lebih pendek, kaku, dan berdiameter lebih kecil. Pilus berfungsi sebagai penghubung saat bakteri melakukan konjugasi (pertukaran materi genetik) da n pelekat antara sel bakteri yang satu dengan sel bakteri lainnya. Pilus hanya terdapat pada bakteri Gram negatif, contohnya Escherichia coli. Kapsul adalah lapisan lendir yang menyelubungi dinding sel bakteri dan merupakan pelindung sel serta berfungsi sebagai makanan cadangan. Bakteri dapat hidup berpasangan, bergerombol, membentuk rantai atau filamen (Cummins 1990). Bakteri melakukan reproduksi melalui pembelahan biner sederhana atau membentuk sel khusus yang disebut spora. Selang waktu khusus yang dibutuhkan bakteri untuk membelah diri agar pop ulasinya menjadi dua kali lipat disebut waktu generasi (Pelczar & Chan 1988). Berdasarkan sifat dan komposisi dinding sel, bakteri dibedakan menjadi dua yaitu bakteri Gram pos itif dan bakteri Gram negatif (Williams et al. 1996). Bakteri Gram positif memiliki struktur dinding sel yang tebal (15-80 nm) dan berlapis tunggal dengan komposisi dinding sel terdiri atas lipid peptidoglikan dan asam teikoat. Kandungan lipid pada bakteri gram positif antara 1-4%. Dinding selnya terdiri dari lapisan tunggal peptidoglikan yang mencapai lebih dari 50% berat kering sel bakteri. Asam teikoat sebagai bagian utama dinding sel yang hanya terdapat pada bakteri Gram positif adalah polimer linear yang diturunkan baik dari gliserol fosfat maupun dari ribitol fosfat. Bakteri Gram pos itif memiliki kompo sisi lipid pada dinding selnya lebih sedikit sehingga lebih sensitif terhadap pewarnaan ba sa diba ndingkan gram negatif. Bakteri Gram pos itif rentan terhadap gangguan fisik (Pelczar & Chan 1986; Cummins 1990; Williams et al. 1996). Bakteri Gram negatif memiliki struktur dinding sel yang lebih tipis dari bakteri Gram pos itif tetapi memiliki dinding sel yang berlapis tiga dengan
ketebalan 10-15 nm. Kompos isi dinding sel Gram negatif terdiri atas lipid (1122%) dan peptidoglikan (10% dari berat kering) yang berada dalam lapisan sebelah dalam dinding sel. Bakteri Gram negatif lebih tahan terhadap penisilin dibandingka n Gram pos itif (Myllyniemi 2004 ). Bakteri uji yang digunakan dalam menentukan aktivitas antibakteri suatu tanaman herbal adalah bakteri standar dan dapat juga tergantung pada khasiat tanaman tersebut terhadap organ tubuh yang diserang oleh bakteri. Mengingat akan kemampuan daun dan bunga kitolod yang dapat mengobati beberapa penyakit seperti sakit mata merah, katarak, sakit gigi, luka dan obat kanker, maka untuk itu digunakan bakteri yang hidup di permukaan kulit yaitu Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, da n Streptococcus pneumoniae (Sandstrom et al. 1984). Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan mikro flora normal yang terdapat pada permukaan tubuh seperti pada permukaan kulit, rambut, hidung, mulut dan tenggorokan. Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, berbentuk kokus dengan diameter 0,7-0,9 µm da n termasuk da lam suku Micrococcaceae. Bakteri ini tumbuh secara anaerobik fakultatif dengan membentuk kumpulan selsel dan sering ditemukan pada makanan yang mengandung protein tinggi, misalnya sosis, telur dan sebagainya (Fardiaz 1989). Staphylococcus aureus tahan garam dan tumbuh baik pada medium yang mengandung 7,5% NaCl serta dapat memfermentasi manitol, umumnya memproduksi pigmen kuning keemasan dan koagulasi, sehingga dapat dibedakan atas beberapa group berdasarkan sifat imunitas koagulasenya yaitu koagulase tipe I sampai VIII. Staphylococcus aureus membutuhkan suhu optimum pertumbuhan 35 0 C- 38 0 C. Bakteri Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada pH 4,0- 9,8 dengan pH optimum sekitar 7,0- 7,8. Pertumbuhan pada pH mendekati 9,8 hanya mungkin bila substratnya mempunyai komponen yang baik untuk pertumbuhan (Fardiaz & Jenie 1988). Bakteri ini menyebabkan berbagai penyakit seperti infeksi terhadap borok atau bisul yang bernanah, radang selaput otak, peracunan terhadap darah da n racun pada maka nan (Buchana n & Gibbo ns 1974).
Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas aeruginosa termasuk famili Pseudomonadaceae dan masuk kelompok bakteri Gram negatif. Bakteri ini bersifat patogen dapat menimbulkan kebusukan pada makanan, dapat tumbuh pada suhu 370 C, tidak tahan terhadap panas dan kondisi kering sehingga mudah dibunuh dengan pemanasan dan pengeringan (Todar 2004). Pseudomonas aeruginosa adalah bakteri batang dengan diameter 0,5-1,0 µm dan panjang 1,5-4,0 µm. Bakteri ini bersifat motil dan mudah tumbuh pada media yang umum. Selain itu bakteri ini tumbuh baik pada media nitrogen dengan bermacam- macam senyawa ka rbo n (Buchanan & Gibbo ns 1974). Menurut Todar (2004) bakteri ini dapat tumbuh pada perbenihan buatan, membentuk koloni bulat halus de ngan fluor esensi ke hijauan de ngan ba u aromatik yang enak. Bakteri ini hanya bersifat patogen dalam tubuh bila masuk kedaerah pertahanan normalnya atau berperan dalam infeksi campuran. Salah satunya penyebab penyakit infeksi mata. Streptococcus pneumoniae Streptococcus pneumoniae adalah bakteri Gram positif berbentuk bulat, secara khas terdapat berpasangan. Bagian ujung belakang tiap pasangan bakteri berbentuk tombak, tidak membentuk spora dan tidak bergerak tetapi galur yang ganas berkapsul, menghasilkan α-hemolisis pada agar darah dan akan terlisis oleh garam empedu dan deterjen (Johnson & Arthur 1994). Streptococcus pneumoniae terdapat pada saluran pernapasan bagian atas manusia dan dapat menyebabkan pneumonia, sinusitis, bronchitis, meningitis, dan proses infeksi lainnya. Streptococcus pneumoniae (pneumokokus) membe ntuk koloni bulat kecil, mula- mula berbentuk kubah dan kemudian timbul lekukan di tengah-tengahnya dengan pinggiran yang meninggi dan α-hemolisis pada agar darah. Pertumbuhan bakteri ditinggika n de ngan 5-10% CO2 . Energi yang diperoleh kebanyakan dari peragian glukosa yang diikuti oleh pembentukan asam laktat yang cepat, sehingga membatasi pertumbuhan (Jawetz 1996). Biaka n pneumokokus mengandung beberapa organisme yang tidak dapat membentuk polisakarida sehingga membentuk koloni kasar tetapi sebagian besar
bakteri menghasilkan polisakarida dan membentuk koloni halus. Bentuk kasar akan banyak ditemui bila biakan ditumbuhkan pada serum antipolisakarida tipe spesifik. Streptococcus pneumoniae atau pneumokokus bisa mengakibatkan infeksi ringan sampai parah pada saluran pernafasan atas dan bawah, dari pertengahan telinga, hidung hingga paru-paru. Infeksi tersebut selanjutnya bisa menyebar ke or gan tubuh penting yang lain melalui aliran darah Streptococcus pneumoniae dapat menyebabkan penyakit pneumonia (Oswari 1995). Senyawa Antibakteri Senyawa antibakteri digambarkan sebagai produk alami (ba han organik) dengan berat molekul rendah dihasilkan oleh mikrob atau tumbuhan yang aktif melawan mikrob lain pada konsentrasi rendah. Pengembangan aktivitas ini melalui jumlah terbatas dari mekanisme antimikrob yang dapat mempengaruhi sintesis dinding sel, integritas membran sel, sintesis protein, replikasi perbaikan DNA, transkripsi dan reaks i yang terletak antara metabolisme primer serta sekunder sehingga menghasilkan energi untuk berlangsungnya suatu reaksi (metabolit intermediet) (Wax et al. 2008). Antimikrob meliputi antibakteri, antiprotozoa, antifungi dan antivirus. Antibakteri termasuk dalam antimikrob yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Schunack et al. 1990). Kriteria umum yang digunakan sebagai antibakteri antara lain tidak bersifat racun bagi bahan pangan, ekonomis, tidak menyebabkan perubahan aroma, cita rasa dan tekstur makanan, tidak menyebabkan timbulnya galur resisten, dan sebaliknya mempunyai kemampuan membunuh dibanding menghambat pertumbuhan bakteri (Frazier & Westhoff 1978). Kemampuan senyawa antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh kestabilan terhadap protein, lipid, dan tingkat keasaman (pH) dalam medium pertumbuhan (Nychas & Tassou 2000, diacu dalam Robinson & Patel 2005). Suhu dan waktu pemanasan mempengaruhi stabilitas senyawa antimikrob. Senyawa antimikrob yang bersifat volatil akan menguap dan hilang jika dipanaskan (Brannen & Davidson 1993). Edwald (1999) melaporkan bahwa aktivitas antibakteri kuersetin dan kamferol dari golongan flavonoid menurun sebesar 48% dan 68% dengan adanya pemanasan pada suhu 60 0 C selama 2 jam.
Berdasarkan aktivitasnya, zat antibakteri dibedakan menjadi dua yaitu anti bakteri yang memiliki aktivitas bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri) dan bakteriosida (membunuh bakteri). Antibakteri bakteriostatik bekerja dengan cara menghambat perbanyakan populasi bakteri dan tidak mematikan. Pada kadar yang tinggi, antibakteri bakteriostatik juga dapat bertindak sebagai bakteriosida dan sebaliknya bakteriosida pada konsentrasi rendah dapat bersifat bakteriostatik atau tidak bekerja sama sekali (Schunack et al. 1990). Mylliniemi (2004) membedakan antibakteri menjadi dua berdasarkan keefektifan kerjanya yaitu antibakteri berspektrum luas dan antibakteri berspektrum sempit. Antibakteri berspektrum luas bekerja efektif terhadap berbagai jenis bakteri sedangkan antibakteri berspektrum sempit hanya efektif terhadap bakteri tertentu. Berdasarkan mekanisme kerjanya, anti bakteri dibedakan dalam 5 kelompok yaitu: (1) Antibakteri yang bekerja mengganggu metabolisme sel mikrob, contoh: sulfonamid, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon; (2) antibakteri yang menghambat sintesis membran sel mikrob, contoh: penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisin dan sikloserin; (3) antibakteri yang mengganggu permeabelitas membran sel mikrob, contoh: polimiksin; (4) antibakteri yang menghambat sintesis protein sel mikrob, contoh: tetrasiklin dan kloramfenikol; dan (5) antibakteri yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikrob, contoh: rifampisin (Setiabudy & Gan 2007, diacu dalam Ganiswara et al. 2010). Lebih lanjut Lukman (1984) menjelaskan kinerja antibakteri antara lain sebagai berikut: merusak dinding sel, mengganggu permeabilitas membran sel, mendenaturasi protein sel, dan menghambat kerja enzim di dalam sel. Mekanisme kerusakan dinding sel bakteri dapat disebabkan oleh senyawa antibakteri yang dapat menembus lipopolisakarida dari dinding sel bakteri. Molekul- molekul yang bersifat hidrofilik lebih mudah melewati lipopo lisakarida dibandingkan dengan yang hidrofobik, sehingga menyebabkan perubahan komposisi penyusun dinding sel. Membran sitoplasma yang berperan pada keutuhan sel dapat terganggu permeabilitasnya oleh beberapa senyawa antibakteri yang dapat menyebabkan kebocoran isi sel sehingga transfer isi sel tidak terkontrol. Bocornya membran sitoplasma dapat dideteksi dengan adanya perubahan jumlah asam nukleat dan protein dalam medium seperti telah
dibuktikan oleh Bunduki et al. (1995). Kerusakan pada membran ini umumnya mengakibatkan peningkatan permeabilitas dan terjadi kebocoran sel yang diikuti dengan keluarnya materi intraseluler. Menurut Kanazawa et al. (1995), senyawa antimikrob dapat menghambat sintesis protein bakteri pada saat telah terdifusi ke dalam sel yaitu senyawa tersebut bereaksi dengan komponen sel Ribosom 50S yang membentuk kompleks pada tahap inisasi (tahap awal sintesis protein), sehingga menstimulasi translasi yang salah, selanjutnya terjadi penyimpangan dalam ribosom yang mengakibatkan sintesis protein dilanjutkan dengan pasangan yang tidak tepat da n akhirnya mengganggu protein. Umumnya antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi bakteri adalah molekul kecil yang menghambat sintesis makromolekul bakteri dengan target enzim yang terlibat di dalam sintesis protein dan dinding sel bakteri (Alberts et al. 2002). Obat yang bekerja terhadap dinding sel dan membran sitoplasma mempunyai cara kerja bakteriosida, karena tanpa dinding sel mikrob tidak dapat bertahan terhadap pengaruh luar demikian pula kerusakan membran dapat mengganggu pertukaran zat aktif yang penting untuk kehidupan mikrob seperti penisilin dan turunannya. Obat yang bekerja menghambat sintesis protein bekerja secara bakteriostatik, karena kekurangan protein mengakibatkan hambatan pertumbuhan mikrob seperti tetrasiklin, klorofenol, eritromisin, linko misin, rifampisin (Wattimena et al. 1991). Pada penelitian ini digunakan senyawa antibakteri kloramfenikol sebagai pembanding (kontrol pos itif). Kloramfeniko l merupakan kr istal putih yang sukar larut dalam air dan bersumber dari Streptomyces venezuelae. Kloramfeniko l terikat pada ribosom sub unit 50s. Cara kerjanya dengan jalan menghambat sintesis protein bakteri pada ribosom 50s bakteri. Yang dihambat adalah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatanikatan peptida pada proses sintesis protein bakteri, sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein bakteri (Kanazawa et al. 1995). Struktur kloramfenikol unik karena mengandung nitrobenzen dan derivat dari asam dikloroasetat, yang memiliki dua pusat asimetrik C1 dan C2 sehingga memiliki 4 stereoisomer (Myllyniemi et al. 2004).
Gambar 4. Struktur kimia kloramfenikol Kloramfenikol
dipakai
dalam
pengobatan
infeksi- infeksi
anaerob.
Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kadangkadang bersifat bakteriosida terhadap bakteri tertentu. Kloramfenikol digunakan sebagai antibakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif (Wattimena et al. 1991). Efek samping kloramfenikol adalah anemia, sakit kepala, depresi ringan, dan bingung. Reaksi hipersensitif terhadap obat ini meliputi demam dan anafilaksis (serangan alergi) (Kanazawa et al. 1995). Penentuan Aktivitas Antibak teri Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam uji antibakteri secara in vitro, yaitu tes difusi agar menggunakan cakram, silinder atau cekungan sebagai tempat antibiotik dan tes menentukan penghambatan pertumbuhan bakteri dengan menentuka n kekeruhan (turbidimetri) dalam media cair (Edward 1980). Jawekz et al. (1972) menambahkan metode bioautografi dapat juga digunakan dalam menguji aktivitas antibakteri. Masing- masing metode memiliki kekurangan dan ke lebihan. Dari ketiga metode di atas yang sering digunakan untuk uji anti mikrob adalah metode difusi. Metode ini dilakukan de ngan dasar proses difusi di dalam agar. Substansi antimikrob diletakkan pada media agar yang telah diinokulasi dengan bakteri uji sehingga anti bakteri dalam media agar akan berdifusi dan akan membentuk zona bening disekitar substansi yaitu zona pertumbuhan yang dihambat. Ada tiga teknik uji yang termasuk dalam kelompok tes difusi, yaitu disc diffusion, ditch technique, dan hole atau well technique. Tes dalam media cair
biasanya digunakan untuk menentukan nilai minimum inhibitory concentration (MIC). Metode disc diffusion adalah metode paling sederhana yang secara rutin digunakan dalam uji sensitivitas. Metode ini direkomendasikan oleh ko mite WHO dan Asosiasi Patologis Klinis. Dalam metode ini paper disc yang mengandung sejumlah tertentu zat antibakteri ditempatkan pada permukaan media agar yang sudah diinokulasi dengan bakteri uji. Ditch technique saat ini sudah jarang digunakan. Dalam metode tersebut, dilakukan pengambilan sebagian agar pada salah satu sisi pe tri unt uk diganti de ngan agar yang mengandung antibiotik atau zat uji. Dalam well technique, media agar padat dilubangi menggunakan corkborer kemudian diisi dengan sejumlah antibiotik atau obat yang digunakan dapat berbeda-beda serta dapat dibuat lubang dengan ukuran besar sehingga uji lebih kuantitatif. Uji menggunakan media cair adalah metode paling sederhana untuk menentuka n nilai MIC (Edward 1980). Menurut Edberg (1986), MIC merupakan konsentrasi terendah yang akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme makroskopik. Kadar minimal yang dibutuhkan untuk menghambat bakteri atau membunuhnya, masing- masing dikenal sebagai kadar hambat tumbuh minimal (KHTM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Menurut David da n Stout (1971) daya antibakteri berdasarkan diameter zona hambat, terdiri dari: sangat kuat (zona hambat lebih dari 20 mm), kuat (zona hambat 10- 20 mm), sedang (zona hambat 5-10 mm) da n lemah (zona hamba t kurang dari 5 mm). Suatu antibakteri dikatakan mempunyai aktivitas yang tinggi bila KHTM terjadi pada kadar antibiotik yang rendah tetapi mempunyai daya bunuh atau daya hambat yang tinggi. Pertumbuhan mikrob makroskopik dapat dilihat dalam batas 10-6 sampai 10-7 mikrob/ml. Jumlah bakteri pada kontrol dapat mencapai 109 sampai 10 10 mikrob/ml (Wattimena et al. 1991). Berdasarkan pada tujuan penggunaannya metode pengujian kepekaan senyawa antimikrob dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu difusi, dilusi dan kombinasi antara difusi dan dilusi (Lalitha 2004). Penentuan daya antibakteri dapat dilakukan dengan menentukan adanya daya hambat pertumbuhan bakteri atau
dilanjutkan
dengan
menentukan
potensi
daya
hambat
dengan
membandingkan antibiotik atau dengan menentukan koefisien fenol. Fenol sendiri merupakan zat pembaku (standar) daya antiseptik obat lain sehingga daya anti septik dinyatakan dengan koefisien fenol, walaupun fenol bukan antiseptik yang kuat (Estuningtyas et al. 2007).