4
TINJAUAN PUSTAKA Dewasa Istilah dewasa (adult) berasal dari istilah latin adultus yang memiliki arti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. WHO (2009) mengklasifikasikan dewasa dalam usia 20 sampai 60 tahun. Masa dewasa terdiri dari tiga fase, yaitu dewasa dini, dewasa madya, dan dewasa lanjut (Hurlock 2004). Masa dewasa dini dimulai pada usia 18 tahun hingga 40 tahun, saat terjadi perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Masa dewasa madya dimulai pada umur 40 sampai 60 tahun, yakni saat menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang jelas nampak pada setiap orang. Masa dewasa madya, dilihat dari sudut posisi usia dan terjadinya perubahan fisik maupun psikologis, memiliki banyak kesamaan dengan masa remaja. Secara fisik, pada masa remaja terjadi perubahan yang sangat pesat yang berpengaruh pada kondisi psikologisnya, sedangkan masa dewasa madya perubahan kondisi fisik yang terjadi berupa penurunan/kemunduran, yang juga akan mempengaruhi kondisi psikologisnya. Masa dewasa lanjut dimulai pada umur 60 tahun keatas hingga kematian, saat kemampuan fisik dan psikologis cepat menurun (Hurlock 2004). Orang
dewasa
sangat
memperhatikan
tujuan
mereka
dalam
mengonsumsi suatu makanan, baik sebagai penghasil tenaga, kesenangan, kenyamanan, simbol tradisi, atau perayaan tertentu. Orang dewasa tidak luput dari permasalahan dalam upaya pemenuhan kebutuhan gizi. Permasalahan utama yang dihadapi orang dewasa adalah aktivitas dan kesibukan yang tinggi sehingga terkadang pemenuhan gizi untuk memenuhi kebutuhan sering terabaikan (Brown 2008). Status Gizi Status gizi seseorang dapat ditentukan melalui pengukuran antropometri. Pengukuran antropometri meliputi pengukuran berat dan tinggi badan, pengukuran lingkar bagian tubuh, serta pengukuran ketebalan kulit. Pengukuran berat dan tinggi badan digunakan untuk menghitung indeks massa tubuh (IMT) pada orang dewasa, dan sebagai indikator tubuh kurus (wasting) dan tubuh
5
pendek (stunting) pada anak. Pengukuran menggunakan IMT paling banyak digunakan karena paling sederhana, namun ukuran IMT memiliki kelemahan yaitu hubungan antara kelebihan berat dan deposit lemak mungkin tidak berlaku bagi individu berotot, serta pada lansia yang mengalami pengurangan tinggi badan dapat memberikan hasil pengukuran yang tidak tepat. Dewasa yang memiliki IMT<18.5 kg/m2 dapat menjadi indikator adanya defisiensi energi kronik karena kurang makan atau penyakit kronik, sedangkan IMT<17.0 kg/m 2 dapat berdampak pada kemampuan fisik yang berkurang serta memungkinkan peningkatan kerentanan terhadap penyakit (Barasi 2009). Air dalam Tubuh Air adalah salah satu zat gizi esensial. Tanpa makanan, tubuh manusia dapat bertahan selama berminggu-minggu, namun tidak dapat bertahan lebih dari 10 hari tanpa air (Barasi 2009). Air merupakan komponen utama pada tubuh manusia. Yuniastuti (2008) serta Whitney dan Rolfes (2008) menyatakan bahwa komposisi air pada tubuh manusia bervariasi, misalnya sekitar 80% dari berat badan (pada bayi dengan low birth weight), sekitar 70-75% dari berat badan (pada bayi neonatus), sekitar 65% dari berat badan (pada anak). Kandungan air di dalam tubuh menurut Almatsier (2009), berkurang selama proses penuaan, karena adanya kehilangan cairan ekstraseluler. Komposisi air pada tubuh dewasa menjadi sekitar 55-60% sedangkan pada usia tua sekitar 50% dari bagian tubuh tanpa lemak (lean body mass). Tabel 1 menunjukkan kadar air tubuh berdasarkan usia dan jenis kelamin. Selain usia, faktor lain yang mempengaruhi perbedaan komposisi air di dalam tubuh manusia adalah proporsi jaringan tubuh. Tubuh atlet misalnya, memiliki komposisi air lebih banyak di tubuhnya karena proporsi jaringan ototnya lebih tinggi. Kandungan air di dalam sel otot lebih tinggi dibandingkan di dalam sel lemak, sehingga total cairan tubuh pada individu obesitas lebih rendah daripada yang tidak gemuk (UPK-PKB 2007). Tabel 1 Kadar air tubuh total terhadap berat badan Usia
Jenis kelamin Pria
Wanita
10-18
59%
57%
18-40
61%
51%
40-60
55%
47%
>60
52%
46%
Sumber: UPK-PKB (2007)
6
Distribusi Cairan Tubuh Cairan tubuh terdapat dalam dua kompartemen besar, yaitu cairan intrasel dan ekstrasel. Cairan intrasel adalah cairan yang terdapat dalam sel tubuh. Sekitar 60% dari cairan tubuh total berupa cairan intrasel. Persentase cairan intrasel pada usia dewasa lebih tinggi dibandingkan pada anak-anak karena jumlah sel semakin banyak dan ukuran sel lebih besar. Cairan intrasel berperan pada proses menghasilkan, menyimpan, penggunaan energi, serta proses perbaikan sel. Cairan intrasel juga berperan dalam proses replikasi serta sebagai cadangan air untuk mempertahankan volume dan osmolalitas cairan ekstrasel (UPK-PKB 2007). Cairan ekstrasel terletak di luar sel tubuh. Cairan ekstrasel terdiri dari cairan intersistium (cairan antar sel), cairan intravaskuler (cairan dalam pembuluh darah), serta cairan trans-sel (cairan dalam rongga khusus, seperti otak, bola mata, dan sendi). Cairan ekstrasel berperan sebagai pengantar semua keperluan sel, misalnya zat gizi dan oksigen. Cairan ekstrasel juga berperan sebagai pengangkut CO2, sisa metabolisme, serta bahan toksik (UPK-PKB 2007). Tingginya komposisi air dalam tubuh manusia menyebabkan cairan harus dikonsumsi setiap harinya untuk menjaga asupan tubuh dan mengganti cairan yang keluar dari tubuh berupa urin, keringat, uap air, maupun cairan yang keluar bersama tinja (Brown 2000 & Irianto 2007). Minuman, makanan, dan hasil metabolisme merupakan sumber air bagi tubuh manusia (Santoso et al 2011). Minuman memiliki kontribusi paling besar dalam pemenuhan kebutuhan cairan manusia (Brown 2000). Third National Health and Nutrition Survey (NHANES III) dalam Manz dan Wentz (2005) menyatakan bahwa sekitar 80% total asupan air diperoleh dari minuman, sedangkan sisanya diperoleh dari makanan. Regulasi Cairan Tubuh Keseimbangan air tubuh dikontrol dengan pengaturan masukan dan ekskresi cairan. Secara normal, masukan air dipengaruhi oleh rasa haus, yang merupakan pertahanan utama terhadap kekurangan cairan. Rasa haus merupakan keinginan yang sadar untuk minum air yang diatur oleh suatu pusat di midhipotalamus (Adelman & Solhung 1999). Namun, selain karena adanya rasa haus, manusia juga mengonsumsi cairan karena alasan kesukaan seperti saat mengonsumsi minuman manis dan alkohol (Popkin et al. 2010). Keseimbangan cairan tubuh diatur oleh mekanisme homeostatis yang dipengaruhi oleh status cairan tubuh. Defisiensi air meningkatkan konsentrasi
7
ionik pada kompartemen ekstraseluler yang meyebabkan sel-sel mengerut. Pengerutan sel dideteksi oleh dua sensor otak, yang satu mengontrol minum dan yang lain mengontrol ekskresi urin (Popkin et al. 2010). Ekskresi cairan atau kehilangan air tubuh dapat terjadi melalui paru-paru, kulit, traktus gastrointestinal, dan ginjal. Kehilangan wajib merupakan volume cairan minimum yang harus dicerna setiap hari untuk mempetahankan keseimbangan cairan (Adelman & Solhung 1999). Fungsi Air bagi Tubuh Air memiliki fungsi vital di dalam tubuh. Menurut Almatsier (2009) dan Barasi (2009), air di dalam tubuh berperan dalam melarutkan zat-zat gizi serta mengangkut zat gizi tersebut ke seluruh bagian tubuh. Air berperan dalam mengangkut sisa metabolisme untuk dikeluarkan dari tubuh melalui paru-paru, kulit, dan ginjal. Air juga berperan dalam upaya mempertahankan gradien osmotik. Menurut UPK-PKB (2007) air adalah media utama reaksi intrasel. Air merupakan katalisator dalam berbagai reaksi biologik dalam sel, termasuk dalam saluran cerna. Air merupakan pelarut terbaik pada solut polar dan ionik. Air merupakan
media
transpor
pada
sistem
sirkulasi,
ruang
intravaskuler,
intersistium, dan intrasel. Menurut Almatsier (2009) dan Barasi (2009), air berperan dalam memecah atau menghidrolisis zat gizi kompleks menjadi bentuk-bentuk yang lebih sederhana. Air merupakan pelumas dalam cairan sendi-sendi tubuh. Sebagai bagian dari jaringan tubuh, air bahkan diperlukan untuk pertumbuhan sebagai zat pembangun. Sebagian panas yang dihasilkan dari metabolisme energi diperlukan untuk mempertahankan suhu tubuh pada 37 oC sehingga kerja enzim dapat didukung secara optimal. Kelebihan panas yang diperoleh dari metabolisme energi perlu segera disalurkan ke luar. Pengeluaran kelebihan panas ini dilakukan melalui keringat, yaitu proses penguapan air dari permukaan tubuh. Tubuh setiap waktu mendinginkan diri melalui penguapan air. Organ-organ tubuh terlindung dari benturan berkat air yang terkandung di dalam mata, jaringan saraf tulang belakang, dan kantung ketuban. Air berperan dalam
memelihara
kelembaban
membran
mukosa.
Air
mempengaruhi
osomolaritas jaringan melalui perannya dalam usaha mempertahankan volume dan hematokrit darah, volume cairan ekstraseluler dan intraseluler. Air juga berperan dalam fungsi ginjal yang bergantung pada tekanan perfusi yang
8
adekuat. Pada proses pencernaan makanan, air juga memiliki peran penting, mulai dari ingesti, pencernaan, sampai absorbsi makanan. Air juga berperan dalam produksi berbagai zat untuk disekresi, pergerakan di sepanjang saluran cerna, dan pembuangan sisa makanan. Sumber Asupan Air bagi Tubuh Manusia Manusia memenuhi kebutuhan air dari luar tubuh melalui minuman dan makanan. Minuman memiliki kontribusi tertinggi dalam pemenuhan kebutuhan air pada tubuh manusia. Penelitian Fauji (2011) di Indonesia yang dilakukan terhadap 1200 sampel di kota-kota tertentu, menunjukkan persentase konsumsi cairan yang berasal dari makanan dan metabolik pada pria dewasa sebesar 28.1%, dan pada wanita dewasa sebesar 26.2%, sedangkan persentase konsumsi cairan dari minuman pada pria dewasa 71.9%, dan wanita dewasa 73.8%. Studi yang dilakukan terhadap populasi dewasa di Amerika Serikat menunjukkan asupan air dari makanan sebesar 28%, sedangkan asupan air dari minuman sebesar 72%. Jenis minuman yang banyak dikonsumsi menurut IOM (2004) dalam Santoso et al. (2011) sebanyak 28% berupa air putih, sedangkan 44% berupa minuman lainnya seperti minuman bersoda, minuman new age (misalnya, minuman isotonik, nutraceutical, minuman berenergi, minuman untuk kecerdasan), minuman dari sayur dan buah (misalnya jus), minuman aromatik (kopi dan teh), susu, dan alkohol. Teh dan kopi merupakan sumber asupan air tertinggi setelah air putih. Teh dan kopi menyumbangkan 32% asupan air dari minuman berdasarkan studi di Singapura (AFIC 1998). Jumlah asupan air dari makanan sebanyak 700-1000 mL per hari, tergantung pada pola konsumsi makan. Jika seseorang banyak mengonsumsi makanan lembek atau cair, sayur dan buah termasuk salad, maka asupan cairan tubuh yang bersumber dari makanan akan lebih tinggi. Sebaliknya, jika seseorang lebih banyak mengonsumsi makanan dari produk serealia, tepung dan daging yang kering, maka asupan air dari makanan menjadi lebih rendah (Santoso et al. 2011). Makanan pokok orang Indonesia menyumbangkan 46% asupan air, sedangkan buah dan sayur menyumbangkan 30% asupan air. Makanan pokok orang Indonesia pada umumnya adalah nasi yang mengandung kadar air 25-35%, sementara buah meskipun kadar airnya tinggi, dikonsumsi dalam jumlah yang relatif sedikit (Hardinsyah et al. 2010).
9
Menurut Muchtadi et al. (1993), selain asupan dari luar tubuh berupa minuman dan makanan, tubuh manusia juga memperoleh asupan air dari dalam tubuh yang diperoleh dari proses metabolisme, meskipun jumlahnya relatif sedikit. Menurut Verdu (2009) proses metabolisme air dapat digambarkan sebagai berikut: C6H12O6 (Glukosa)
+ O2
ATP + CO2 + H2O
CH3-(CH2)14-COOH (Asam palmitat)
+ O2
ATP + CO2 + H2O
H2N-CH-COOH | R (Asam amino)
+ O2
CH3-CH2OH (Etanol)
+ O2
NH2 ATP + CO2 + H2O+O=C NH2 ATP + CO2 + H2O
Jumlah air yang dihasilkan sangat ditentukan oleh banyaknya energi yang dihasilkan makanan. Semakin banyak energi dari karbohidrat maka semakin banyak pula air metabolik yang dihasilkan (Whitney & Rolfes 2008). Jumlah air yang dihasilkan dari proses metabolisme lemak sebanyak 1.07 mL/1 g, sedangkan pada metabolisme protein dan karbohidrat masing-masing sebanyak 0.41 mL/1 g dan 0.55 mL/1 g (Verdu 2009). Kebutuhan Air Orang Dewasa Manusia membutuhkan air untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh. Tubuh menjaga keseimbangan cairan dengan mengganti cairan yang hilang melalui urin, feses, kulit, dan paru-paru (Barasi 2009). Kebutuhan air dipengaruhi oleh
usia,
berat
badan,
asupan
energi,
dan
luas
permukaan
tubuh
(Praboprastowo & Dwiriani 2004). Suhu lingkungan turut mempengaruhi kebutuhan air. Kebutuhan cairan di daerah dengan suhu 40 oC dapat menjadi lebih tinggi daripada di daerah dengan suhu 20 oC (Sawka et al. 2005). Kebutuhan air meningkat seiring bertambahnya usia, kebutuhan cairan sebanyak 0.6 L pada bayi akan meningkat menjadi sekitar 1.7 L pada anak-anak. Selain faktor usia, kebutuhan cairan juga dipengaruhi oleh faktor aktivitas. Aktivitas fisik akan meningkatkan pengeluaran cairan akibat meningkatnya suhu tubuh (Sawka et al. 2005). Menurut Howard dan Bartram (2003), rekomendasi terhadap kebutuhan cairan pria dewasa pada kondisi normal adalah sebanyak 2.9 L per hari, dan menjadi 4.5 L per hari pada pekerja kasar yang bekerja di suhu tinggi.
10
Pada orang dewasa, kebutuhan air harian sekitar 2.5 L untuk aktivitas ringan, seperti duduk, dan meningkat hingga 3.2 L jika melakukan aktivitas sedang, sedangkan pada dewasa yang lebih aktif dan tinggal di daerah dengan suhu hangat kebutuhan airnya sekitar 6 L (Sawka et al. 2005). Kebutuhan air berdasarkan AKG (2004) sebanyak 2.5 L pada pria usia 19-29 tahun, 2.4 L pada pria usia 30-49 tahun, dan 2.3 L pada pria usia 50-64 tahun. Asupan air harian berdasarkan rekomendasi The National Research Council (NRC) diacu dalam Sawka et al. (2005) sebesar 1 mL/Kal energi yang dikeluarkan. Kebutuhan air 1 mL/Kal merupakan kebutuhan air yang berasal dari konsumsi air, yaitu air dari makanan dan air dari minuman. Kebutuhan air yang berasal dari total asupan air dari makanan, minuman dan air metabolik pada pria dewasa adalah sebesar 1.3 mL/Kal (Manz & Wentz 2005). Ketidakseimbangan Cairan Keseimbangan cairan tubuh adalah usaha untuk mempertahankan jumlah volume cairan yang terdapat dalam kompartemen ekstrasel dan intrasel selalu dalam keadaan tetap. Keseimbangan cairan tubuh dipengaruhi oleh jumlah cairan yang masuk dan keluar tubuh, proses difusi melalui membran sel, serta tekanan osmotik yang dihasilkan oleh elektrolit pada kedua kompartemen. Ketidakseimbangan cairan mengindikasikan hubungan yang tidak seimbang antara asupan cairan dan kehilangan cairan. Dehidrasi merupakan pertanda adanya keseimbangan negatif pada cairan tubuh atau menurunnya kandungan air tubuh hingga 2-6% (Messwati 2009). Gavin (2006) serta Mann dan Stewart (2007) menyatakan bahwa dehidrasi disebabkan meningkatnya cairan tubuh yang hilang melalui ginjal dan pencernaan, berkurangnya asupan air, atau gabungan keduanya. Rasa haus adalah sinyal untuk mengonsumsi cairan tambahan. Rasa haus dipicu oleh menurunnya volume cairan tubuh, yang merupakan pertanda telah terjadi dehidrasi (Barasi 2009). Rasa haus tersebut harus segera direspon dengan meminum air dalam jumlah yang cukup, jika tidak keadaannya akan kian memburuk. Bertambahnya usia seseorang akan melemahkan respon terhadap rasa haus ini, akibatnya terjadi rasa lemah, lemas, letih, hilang kesadaran, bahkan kematian (Whitney & Rolfes 2008). Le Bellego (2009) diacu dalam Messwati (2009) menyatakan bahwa untuk menghindari dehidrasi volume cairan yang perlu diminum oleh setiap orang berbeda-beda jumlahnya. Kebijakan setiap negara terhadap anjuran konsumsi
11
cairan pun berbeda. WHO menganjurkan konsumsi cairan 1500 mL per hari, sementara Meksiko menganjurkan 2000 mL per hari, dan Kanada 3000 mL per hari. Dehidrasi dapat menimbulkan gejala yang bervariasi sesuai dengan tingkatan dehidrasinya. Dehidrasi ringan menimbulkan gejala haus, lelah, kulit kering, serta mulut dan tenggorokan kering. Dehidrasi tingkat sedang dapat mengakibatkan detak jantung menjadi cepat, pusing, tekanan darah rendah, lemas,
urin
pekat
dan
berkurang
volumenya.
Dehidrasi
tingkat
berat
mengakibatkan kejang, lidah membengkak, dan kegagalan fungsi ginjal (Mann & Stewart 2007). The Indonesian Regional Hydration Study (THIRST) pada tahun 2009 melakukan penelitian mengenai status hidrasi pada remaja dan dewasa dengan kondisi wilayah ekologi yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah remaja yang mengalami dehidrasi ringan lebih tinggi, yakni 49.5% dibandingkan dewasa 42.5%. Angka kejadian di dataran rendah lebih tinggi, yakni 52.9% lebih tinggi dibanding dataran tinggi 39.3%. Masalah ini terjadi akibat rendahnya pengetahuan sampel mengenai air minum (Hardinsyah et al. 2010). Kondisi lain yang mengindikasikan ketidakseimbangan cairan adalah asupan air yang berlebihan. Asupan cairan yang berlebih tidak dianjurkan pada kondisi tertentu, seperti peningkatan hormon ADH, penyakit ginjal kronik, gagal jantung, dan kadar albumin dalam serum rendah. Asupan air yang berlebihan juga tidak dianjurkan kelompok usia lanjut. Asupan air lebih dari 1500 mL/24 jam berpotensi menimbulkan hiponatremia pada usia lanjut (Siregar et al 2009 dalam Santoso et al 2011). Kecukupan Zat Gizi Kecukupan zat gizi merupakan nilai yang menggambarkan asupan zat gizi terhadap pemenuhan kebutuhan zat gizi. Asupan zat gizi yang tidak sesuai kebutuhan dapat menyebabkan malgizi, yang berujung pada kondisi kesehatan yang buruk dan penyakit terkait gizi (Barasi 2009). Gizi kurang dapat memberikan dampak fisiologis dan fungsional, seperti gangguan pertumbuhan, fungsi imun menurun dan risiko infeksi meningkat, perkembangan kognitif terganggu, kemampuan kerja menjadi terbatas, risiko penyakit kronik meningkat, cedera dan trauma sulit sembuh, serta pada kehamilan berdampak buruk bagi ibu dan bayi. Sebaliknya, kelebihan gizi juga memiliki dampak buruk bagi
12
kesehatan. Gizi lebih dan tidak seimbang dapat menimbulkan penyakit tidak menular-terkait gizi, misalnya diabetes mellitus tipe II, penyakit kardiovaskuler, dan sindrom metabolik, yang dapat berujung pada peningkatan morbiditas dan mortalitas. Kecukupan Zat Gizi Makro Zat gizi dibedakan menjadi zat gizi makro dan zat gizi mikro. Zat gizi makro diperlukan dalam jumlah besar oleh tubuh, sedangkan zat gizi mikro diperlukan dalam jumlah yang sangat sedikit oleh tubuh. Karbohidrat, protein, dan lemak tergolong dalam zat gizi makro. Karbohidrat memiliki peran utama sebagai sumber energi dalam bentuk glukosa sementara protein berperan dalam pembekuan darah dan proses pertumbuhan dan pemeliharaan berbagai struktur tubuh (Barasi 2009). Kualitas protein suatu bahan pangan dapat dilihat dari komposisi asam amino esensial yang dikandungnya. Protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan adalah protein yang memiliki nilai biologi tinggi. Protein hewani, kecuali gelatin, merupakan protein yang memiliki nilai biologi tinggi. Sebagian protein mengandung asam amino esensial dalam jumlah terbatas, yang cukup untuk perbaikan jaringan tubuh, namun tidak mencukupi untuk pertumbuhan. Asam amino yang terdapat dalam jumlah terbatas disebut asam amino pembatas. Metionin adalah asam amino pembatas pada kacang-kacangan, sedangkan lisin adalah asam amino pembatas pada beras (Gibney et al 2002). Proporsi sumber asupan protein berbeda tergantung keadaan geografis, kondisi sosial ekonomi, serta faktor budaya. Di negara maju, protein hewani menyumbangkan
60-70%
total
asupan
protein,
sedangkan
di
negara
berkembang, sekitar 60-80% asupan protein berasal dari protein nabati, yang didominasi asupan serealia (Gibney et al 2002). Menurut Hardinsyah et al. (2001) dalam Hardinsyah dan Tambunan (2004) kontribusi energi dari protein hewani di Indonesia terhadap total energi relatif rendah, hanya sebesar 4%. Kontribusi energi dari protein terhadap total energi seharusnya sekitar 15% (FAO RAPA 1989 dalam Hardinsyah & Tambunan 2004). Zat gizi makro memiliki peran penting sebagai penghasil energi bagi tubuh. Lemak merupakan penyumbang energi terbesar yaitu sebanyak 9 Kal/g atau 2.5 kali lebih banyak dibandingkan jumlah energi yang dihasilkan karbohidrat dan lemak (Almatsier 2009). Hasil studi di Inggris menunjukkan
13
bahwa
kelompok
pangan
serealia
dan
produk
olahannya
merupakan
penyumbang energi utama pada diet (Barasi 2009). Kecukupan Zat Gizi Mikro Zat gizi mikro meliputi vitamin dan mineral. Vitamin merupakan zat organik yang diperlukan oleh tubuh dalam jumlah kecil agar tubuh dapat berfungsi normal. Vitamin dikelompokkan menjadi vitamin larut lemak (vitamin A, D, E, dan K) dan vitamin larut air (vitamin B kompleks dan vitamin C). Menurut Gibney et al. (2002) vitamin A memiliki fungsi utama dalam penglihatan, defisiensi vitamin A dapat menimbulkan penyakit rabun senja dan xeropthalmia. Defisiensi vitamin A merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia, dan salah satu upaya paling preventif untuk mencegah kebutaan. Pangan hewani, terutama hati merupakan sumber vitamin A yang tinggi dalam bentuk retinol (Muhilal & Sulaeman 2004). Vitamin B1 (tiamin) berperan dalam metabolisme yang menghasilkan energi, terutama metabolisme karbohidrat. Tiamin banyak ditemukan pada serealia dan berbagai jenis kacang, hati, jantung, ginjal, dan daging (Setiawan & Rahayuningsih 2004). Defisiensi tiamin dapat terjadi karena kurangnya konsumsi makanan, yang biasanya disertai kekurangan konsumsi energi. Defisiensi tiamin dapat menimbulkan penyakit yang mempengaruhi sistem saraf dan jantung. Penyakit tersebut dalam keadaan berat disebut beri-beri (Almatsier 2009). Defisiensi vitamin B2 (riboflavin) adalah masalah kesehatan masyarakat yang cukup signifikan di banyak tempat di dunia (Gibney et al. 2002). Menurut Setiawan dan Rahayuningsih (2004) defisiensi riboflavin ditandai oleh beberapa gejala seperti, gangguan pertumbuhan, hilangnya nafsu makan, serta luka pada kulit.
Susu
dan
produk
olahannya
merupakan
sumber
penting,
yang
menyediakan 25% atau lebih dari total asupan riboflavin dari diet. Pangan lain yang kaya akan riboflavin adalah telur, daging, dan ikan. Vitamin B3 (niasin) dapat disintesis di dalam tubuh dari asam amino tryptophan (Gibney et al. 2002). Sumber niasin di dalam bahan pangan adalah produk whole grain, roti, susu, telur, daging, dan sayuran berwarna (Setiawan & Rahayuningsih 2004). Jika defisiensi niasin berkaitan dengan pellagra, defisiensi vitamin B12 menimbulkan pernicious anemia, sementara defisiensi asam folat berkaitan dengan anemia megaloblastik. Menurut Gibney et al. (2002) defisiensi vitamin B12 ditemukan hanya pada vegan, karena vitamin ini didapatkan dari pangan hewani. Vitamin B6 (piridoksin) banyak ditemukan di dalam khamir, hati,
14
ginjal, serealia tumbuk, kacang-kacangan, kentang, dan pisang. Defisiensi piridoksin menimbulkan gejala yang berkaitan dengan gangguan metabolisme protein. Vitamin C (asam askorbat) ditemukan pada buah dan sayuran. Kurangnya asupan buah dan sayuran dapat menyebabkan asupan vitamin C ikut berkurang, yang mengakibatkan timbulnya gejala seperti scurvy. Kelebihan vitamin C dapat meningkatkan risiko terbentuknya batu ginjal (Setiawan & Rahayuningsih 2004). Fosfor dapat ditemukan pada hampir semua bahan pangan, baik hewani maupun nabati, sehingga hipofosfatemia, atau defisiensi fosfor jarang terjadi. Asupan fosfor yang berlebih (hiperfosfatemia) dapat mempengaruhi penyerapan besi, tembaga, dan seng. Kelebihan fosfor jarang terjadi karena kelebihannya dikeluarkan melalui urin (Soekatri & Kartono 2004). Zat gizi memiliki peran penting dalam metabolisme tubuh. Asupan zat gizi yang tidak mencukupi kebutuhan dapat mengakibatkan defisiensi atau penyakit kurang gizi. Asupan zat gizi yang kurang dapat menganggu fungsi sistem imun dan kemampuan respon tubuh (Barasi 2009), bahkan dalam keadaan ekstrim menyebabkan penyakit dan kematian. Mutu Gizi Asupan Pangan Undang-Undang No 7 tahun 1996 menyatakan bahwa pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Pangan adalah salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia Manusia membutuhkan pangan bukan hanya untuk untuk menghilangkan rasa lapar dan memenuhi selera, tetapi juga memenuhi kebutuhan energi dan bahan bakar metabolik (Bender 2002). Pangan juga memiliki fungsi sosial dalam menjaga hubungan manusia dengan lingkungannya mulai dari tingkat keluarga hingga tingkat masyarakat (Sediaoetama 1996). Peran pangan terhadap status gizi dan kesehatan individu dan masyarakat tidak terlepas dari mutu gizi asupan pangan (MGP) itu sendiri. MGP merupakan suatu gambaran yang memperlihatkan apakah suatu makanan dapat memenuhi kebutuhan dan tingkat ketersediaan biologis tubuh. MGP juga
15
diartikan sebagai presentase asupan zat gizi terhadap kecukupan atau kebutuhannya. Pengukuran MGP didasarkan pada jumlah zat gizi yang tersedia untuk dikonsumsi relatif terhadap kebutuhan dan nilai biologisnya (Hardinsyah & Atmojo 2001). Kandungan gizi dalam pangan yang dikonsumsi dihitung dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). DKBM adalah daftar yang menunjukkan kandungan zat gizi dari berbagai jenis pangan dalam 100 g bagian yang dapat dimakan (BDD). Setelah diperoleh kandungan zat gizi tertentu dalam bahan pangan, kemudian dihitung pula tingkat kecukupan zat gizi tersebut. Penggunaan nilai tingkat kecukupan gizi lebih rasional dan mudah digunakan untuk menghitung MGP (Hardinsyah & Atmojo 2001).