TINJAUAN PUSTAKA Status Gizi dan Pengukurannya Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu (Riyadi 1995), sedangkan Almatsier (2006) mendefinisikan status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi disebut seimbang atau gizi baik bila jumlah asupan zat gizi sesuai yang dibutuhkan. Sedangkan status gizi tidak seimbang dapat dipresentasikan dalam bentuk kurang gizi yaitu bila jumlah asupan zat gizi kurang dari yang dibutuhkan dan dalam bentuk gizi lebih yaitu bila asupan melebihi dari yang dibutuhkan (Jus’at et al. 2000). Perkembangan kognitif anak juga turut di pengaruhi oleh status gizi. Gangguan gizi terjadi baik pada gizi kurang maupun status gizi lebih. Status gizi balita yang tidak seimbang menyebabkan pertumbuhan seorang anak akan terganggu, misalnya anak tersebut kurang gizi (underweight), kurus (wasted), pendek (stunted) dan gizi lebih (overweight). Gibson (2005) menyatakan bahwa penilaian status gizi dapat diukur secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat berupa antropometri, pemeriksaan secara klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dilakukan dengan cara survei konsumsi makanan, melihat statistik vital dan faktor ekologi. Ukuran fisik seseorang sangat erat hubungannya dengan status gizi. Indikator yang digunakan adalah tinggi badan (TB), berat badan (BB), lingkaran lengan atas (LLA), lingkar kepala (LK), lingkar dada (LD) dan tebal lemak bawah kulit (TLBK). Oleh sebab itu, banyak penelitian yang menggunankan metode antropometri sebagai alat untuk penilaian status gizi yang murah dan efisien. Standar
pengukuran
antropometri
untuk
menentukan
status
gizi
bermacam-macam, diantaranya Standar Boston atau Harvard, Standar Tanner, dan Standar National Center for Health Statistics (NCHS). World Health Organization (WHO) merekomendasikan menggunakan standar NCHS karena pengumpulan data NCHS lebih menggambarkan populasi yang sebenarnya dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII pada tahun 2000. Terdapat dua
8
cara penilaian dengan standar WHO-NCHS, yaitu persen terhadap median dan Z-score. Keuntungan menggunakan Z-score adalah hasil hitung telah dilakukan menurut simpangan baku, sehingga lebih akurat dan dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri. Untuk menilai status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversi ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri WHONCHS 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut: 1. Berdasarkan indikator BB/U : Kategori Gizi buruk
Z-score < - 3.0 SD
Kategori Gizi Kurang
Z-score ≥ - 3.0 SD s/d Z-score < - 2.0 SD
Kategori Gizi Baik
Z-score ≥ - 2.0 SD s/d Z-score ≤ 2.0 SD
Kategori Gizi Lebih
Z-score > 2.0 SD
2. Berdasarkan Indikator TB/U : Kategori Sangat Pendek
Z-score < - 3.0 SD
Kategori Pendek
Z-Score ≥ - 3.0 SD s/d Z-score < - 2.0 SD
Kategori Normal
Z-Score ≥ - 2.0 SD
3. Berdasarkan indikator BB/TB: Kategori Sangat Kurus
Z-score < - 3.0 SD
Kategori Kurus
Z-score ≤ - 2.0 SD s/d Z-score ≥ - 3.0 SD
Kategori Normal
Z-score ≥ - 2.0 SD s/d Z-score ≤ 2.0 SD
Kategori Gemuk
Z-score ˃ 2.0 SD
Indeks berat badan menurut umur (BB/U) merupakan salah satu cara pengukuran antropometri yang dapat memberikan Gambaran keadaan gizi pada masa kini. Tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang sangat mendadak misalnya penyakit yang mengakibatkan turunnya nafsu makan sehingga berkurang jumlah makanan yang dikonsumsi akan sangat berpengaruh terhadap berat badan (Reksodikusumo 1989). Indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) merupakan salah satu cara pengukuran antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan bertambah seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam jangka waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan terlihat dalam waktu yang relatif
9
lama (Riyadi 1995). Indikator TB/U menggambarkan status gizi yang sifatnya kronis, artinya sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Maka indeks ini menggambarkan status gizi masa lampau, juga lebih erat kaitannya dengan status sosial-ekonomi. Indikator berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi karena BB/TB dapat memberikan gambaran proporsi berat badan relatif terhadap tinggi badan sehingga indeks ini menjadi indikator kekurusan. Demikian juga dalam penelitian Grantham Mc-Gregor (1995) menemukan bahwa anak yang memiliki status gizi baik akan memiliki tingkat perkembangan yang baik. Jalal (2009) menyatakan akibat dari kekurangan gizi berdampak pada perubahan perilaku sosial, kurang perhatian, kemampuan belajar, dan rendahnya hasil belajar. Dampak gizi buruk pada kemampuan kognitif ini tidak hanya terjadi pada anak yang mengalami gizi buruk tetapi juga pada anak yang tidak kekurangan gizi tetapi yang mengalami pertumbuhan tidak sempurna atau anak pendek (stunting). Anak yang memiliki derajat kesehatan dan gizi rendah cenderung untuk tidak berprestasi di sekolah karena mereka memiliki kemampuan yang rendah dalam konsentrasi dan menyerap pembelajaran yang diterima (Jalal 2009). Karakteristik Keluarga Keluarga merupakan lingkungan terdekat anak, yang peranannya penting dalam tumbuh kembang anak. Karakteristik keluarga adalah segala hal yang melekat pada keluarga tersebut dan sangat mempengruhi tumbuh kembang anak yang berada dalam keluarga tersebut. Karakteristik keluarga antara lain usia orang tua, besar keluarga, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, dan pendidikan orang tua. Usia Orang Tua Orang tua, terutama ibu cenderung memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam hal pengasuhan anak, sehingga umunya mereka mengasuh dan merawat anak didasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya, sehingga kualitas dan kuantitas pengasuhan kurang terpenuhi. Sebaliknya ibu yang tergolong dewasa
10
madya dan tua cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1998). Besar Keluarga Besarnya anggota keluarga merupakan jumlah semua anggota keluarga yang menjadi tanggungan kepala keluarga, tinggal satu atap dan makan dari satu dapur. Semakin besar suatu keluarga maka semakin sedikit yang diperoleh anak dari orang tua. Hal ini disebabkan semakin banyak anggota keluarga maka pembagian perhatian pada masing-masing anggota keluarga akan semakin sedikit. Oleh karena itu, hal ini akan mempengaruhi ibu dalam pengasuhan dan perawatan anak-anaknya terutama akan sangat berpengaruh pada anak balita. Besar keluarga dalam beberapa penelitian berhubungan dengan kualitas pengasuhan yang diberikan pada anak dan pada keadaan sosio-ekonomi yang kurang juga akan mempengaruhi konsumsi makanan (Soetjiningsih 1995). Hasil penelitian Sa’diyyah (1998), terhadap keluarga yang memiliki anak usia 24-59 bulan menyatakan bahwa curahan waktu ibu untuk anak di pengaruhi oleh besar keluarga, budaya dan wilayah tempat tinggal. Semakin besar keluarga maka semakin sedikit waktu yang dicurahkan ibu untuk anaknya. Ditambahkan Hajian-Tilaki et al. (2011) dalam penelitiannya di Iran terhadap 1000 anak sekolah dasar usia 7-12 tahun bahwa besar keluarga sangat berpengaruh pada jumlah makanan yang harus disediakan. Semakin sedikit jumlah anggota keluarga maka semakin mudah terpenuhi kebutuhan makanan seluruh anggota keluarga atau sebaliknya. Pekerjaan Orang Tua Pekerjaan orang tua berperan dalam kehidupan sosial ekonomi keluarga karena berhubungan dengan pendapatan yang diterima. Pada masyarakat tradisional, biasanya ibu tidak bekerja di luar rumah, melainkan hanya sebagai ibu rumah tangga. Di daerah pedesaaan anak yang orang tuanya bekerja akan diasuh oleh kakaknya atau sanak saudaranya sehingga pengawasan terhadap makanan dan kesehatan anak tidak sebaik jika orang tua tidak bekerja. Menurut Satoto (1990), ibu rumah tangga yang tidak bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah secara otomatis memiliki waktu yang lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Ibu yang bekerja di luar rumah akan meningkatkan nilai sosialnya,
11
namun pada saat yang sama ibu yang bekerja mengakibatkan menurunnya kesehatan anak-anak. Pendapatan Keluarga Menurut World Bank (2007) mengkategorikan kemiskinan menjadi dua, yaitu sangat miskin dan miskin. Kondisi sangat miskin ini ditandai hidup dengan pendapatan per kapita di bawah US$ 1/hari dan miskin ditandai dengan pendapatan di bawah US$ 2/hari. World Bank melaporkan penduduk Indonesia yang masih di bawah garis kemiskinan sebanyak 49% pada tahun 2007 atau berpendapatan di bawah US$ 2/hari. BAPPENAS dan UNDP (2008) dalam Laporan Pencapaian MDG’s menyatakan bahwa Indonesia yang digolongkan berpenghasilan menengah oleh PBB, sebaiknya menggunakan batas garis kemiskinan sebesar US$ 2/hari. Oleh karena itu, bila ukuran tersebut digunakan maka hampir separuh penduduk Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Perbedaan tingkat ekonomi keluarga menyebabkan adanya perbedaan nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga. Keadaan ekonomi keluarga dapat mempengaruhi pola pengasuhan orang tua terhadap anaknya. Status sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari besarnya pendapatan atau pengeluaran keluarga, baik pangan maupun non pangan selama satu tahun terakhir. Pendapatan keluarga merupakan besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan daripada kebutuhan nonpangan. Sebaliknya, jika pendapatan meningkat maka pengeluaran untuk nonpangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan pokok makanan sudah terpenuhi (Husaini et al. 2000). Menurut Miller dan Rodgers (2009), menyatakan bahwa pada level rumah tangga, tingkat pendapatan dan kekayaan akan berhubungan dengan akses terhadap pembelian makanan (daya beli) dan pelayanan kesehatan anak. Semakin tinggi pendapatan maka akan semakin tinggi aksesnya terhadap daya beli makanan yang bergizi, air bersih, pakaian, pengadaan ventilasi dalam rumah, bahan bakar untuk memasak, penyimpanan pangan dan higenitas dan pelayanan kesehatan. Di tambahakan Martianto dan Ariani (2004) menyatakan bahwa rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan
12
terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Beck (1998) menyatakan anak-anak dari golongan keluarga berstatus sosial rendah kurang memperoleh rangsangan mental, hal ini disebabkan orang tua sering kali sibuk atau terlalu dibebani oleh masalah ekonomi. Penelitian Faiza et al. (2007), menemukan terdapat hubungan bermakna antara status ekonomi dengan kejadian gizi buruk, dimana keluarga dengan status gizi yang rendah mempunyai peluang anaknya untuk menderita gizi buruk sebesar 3.5 kali dibandingkan dengan keluarga yang berstatus ekonomi yang tinggi. Latifah et al. (2010) menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan positif antara pendapatan per kapita keluarga dengan stimulasi psikososial. Pendidikan Orang Tua Salah satu faktor sosial ekonomi yang ikut mempengaruhi tumbuh kembang anak adalah pendidikan (Supariasa et al. 2002). Pendidikan yang tinggi diharapkan sampai kepada perubahan tingkah laku yang baik (Suhardjo 1989) dan akan menjamin diberikan stimulasi yang mendukung bagi perkembangan anak-anaknya dibandingkan orang tua dengan pendidikan rendah. Namun, pendidikan orang tua tidak berhubungan langsung dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Pendidikan orang tua ini akan melalui mekanisme hubungan lain seperti produktivitas, efisiensi penjagaan kesehatan yang kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak secara tidak langsung (Satoto 1990). Tingkat pendidikan itu sangat mempengaruhi kemampuan penerimaan informasi gizi. Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan lebih baik mempertahankan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga sulit menerima informasi baru bidang gizi (Suhardjo 1996). Hasil penelitian Madanijah (2003) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu dengan pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik. Hasil penelitian Latifah et al. (2010) menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara pendidikan ayah dengan stimulasi psikososial, demikian halnya dengan pendidikan ibu. Hasil penelitian Schady (2011) yang dilakukan pada 2118 anak di daerah pedesaan Ecuator secara longitudinal-cohort, bahwa pendidikan orang tua memiliki
13
hubungan yang kuat dengan perkembangan kognitif. Soedjatmiko (2008) menambahkan bahwa orang tua yang cerdas anaknya cenderung akan cerdas pula jika faktor lingkungan mendukung perkembangan kecerdasannya sejak di dalam kandungan, masa bayi, dan balita. Walaupun kedua orang tuanya cerdas tetapi
jika
lingkungannya
tidak
menyediakan
kebutuhan
pokok
untuk
perkembangan kecerdasannya, maka potensi kecerdasan anak tidak akan berkembang optimal. Sedangkan orang tua yang kebetulan tidak berkesempatan mengikuti pendidikan tinggi (belum tentu mereka tidak cerdas, mungkin karena tidak ada kesempatan atau hambatan ekonomi) anaknya bisa cerdas jika dicukupi kebutuhan untuk perkembangan kecerdasan sejak di dalam kandungan sampai usia sekolah dan remaja. Oleh karena itu, lama pendidikan ibu akan dijadikan faktor genetik dalam penelitian kali ini. Karakteristik Anak Usia Anak Prasekolah Anak merupakan generasi penerus bangsa, oleh karena itu diharapkan dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik dan maksimal sehingga kelak menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Masa-masa balita (bawah lima tahun), merupakan masa kritis, terlebih pada periode dua tahun pertama. Ini merupakan masa emas untuk pertumbuhan dan perkembangan otak yang optimum
(Jalal
2009).
Banyak
penelitian
yang
menunjukkan
bahwa
permasalahan gizi yang dialami pada masa balita akan berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan perkembangannya di masa mendatang. Penelitian Pollit et al. (1997), menemukan bahwa gizi berperan terhadap perkembangan kognitif anak. Anak yang mendapatkan makanan yang cukup, memiliki tingkat kognitif yang lebih baik dalam fungsi memori setelah 8 tahun kemudian. Masa prasekolah merupakan periode perkembangan yang dimulai dari usia 2-6 tahun (Santrock 2002). Ditambahkan oleh Santoso dan Ranti (2004) bahwa
Ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi, maka anak usia
prasekolah yaitu tiga sampai enam tahun, termasuk golongan masyarakat yang disebut masyarakat rentan gizi, yaitu kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi, sedangkan pada saat ini mereka mengalami proses pertumbuhan yang sangat pesat dan membutuhkan zat-zat gizi dalam jumlah yang relatif besar. Maka kesehatan yang baik ditunjang oleh keadaan gizi yang
14
baik, merupakan hal yang utama untuk tumbuh kembang yang optimal bagi seorang anak (Santoso & Ranti 2004). Masa usia prasekolah merupakan masa yang masih rawan, karena pada usia ini bila anak kekurangan makanan yang bergizi, maka akan mudah sekali terserang penyakit dan gangguan kesehatan lainnya yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan otak dan gangguan pada perkembangan intelegensinya. Berat Badan Bayi Lahir Beberapa penelitian menemukan ada hubungan yang signifikan antara berat badan bayi lahir dengan perkembangan kognitif. Hack et al. (1991) menyatakan bahwa berat badan lahir rendah (BBLR) berhubungan dengan fungsi kognitif yang rendah, prestasi akademik dan tingka laku pada anak usia delapan tahun. Penelitian lain juga menyatakan bahwa berat lahir menunjukan hubungan yang signifikan dengan hasil perkembangan anak di Amerika Serikat (Boardman et al. 2002). Hasil penelitian Welsch dan Zimmer (2010) menyatakan hal yang serupa, bahwa berat badan lahir signifikan akan mempengaruhi kognitif pada masa kecil. Kondisi anak yang memiliki berat badan lahir rendah dianggap belum terbentuk sempurna sehingga dalam penelitian ini berat badan lahir anak akan menjadi bagian dari faktor genetik. Pengetahuan, Sikap dan Praktik Ibu terhadap Gizi dan Kesehatan Secara tidak langsung pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi status gizi anak, karena dengan pengetahuannya para ibu dapat mengasuh dan memenuhi kebutuhan zat gizi anak balitanya, sehingga keadaan gizinya terjamin Menurut Madanijah (2003) terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik juga. Penelitian Martianto et al. (2008), menemukan bahwa pengetahuan gizi ibu berhubungan positif dan signifikan dengan pendidikan ibu. Menurut Khomsan et al. (2009) menyatakan pengetahuan gizi merupakan prasyarat penting untuk terjadinya perubahan sikap gizi dan perilaku gizi. Pengetahuan gizi yang tepat akan mendorong ibu untuk mempraktikkan pemberian makan yang baik bagi anak-anaknya. Khomsan et al. (2009) menyatakan bahwa sikap gizi merupakan kecenderungan seseorang untuk menyetujui atau tidak menyetujui terhadap
15
suatu pernyataan yang diajukan terkait dengan pangan dan gizi. Sikap gizi seringkali terkait erat dengan pengetahuan gizi yaitu jika memiliki pengetahuan gizi baik maka cenderung sikap gizi baik pula. Asupan Energi dan Protein Anak Salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perseorangan atau kelompok adalah survey konsumsi makanan. Penilaian konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung, dengan cara melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Tujuan penilaian konsumsi makanan adalah mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada tingkat individu, kelompok dan rumah tangga serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap makanan tersebut (Supariasa 2002). Berdasarkan jenis data yang diperoleh maka pengukuran konsumsi makanan terdiri dari dua jenis yaitu: 1. Metode kualitatif yang diantaranya adalah frekuensi makan, deitary history, metode telepon, dan pendaftaran makanan (food list). 2. Metode kuantitatif diantaranya adalah metode recall 24 jam, perkiraan makanan, penimbangan makanan metode
food account, metode
inventaris (inventory method) dan pencatatan (household food records). Sedangkan metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu antara lain (Gibson 2005) : 1. Metode recall 24 jam 2. Estimated food records 3. Metode penimbangan makanan (food weighing) 4. Metode dietary history 5. Metode frekuensi makan (food frequency) Penilaian konsumsi pangan bertujuan untuk mengetahui konsumsi pangan seseorang atau sekelompok orang, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Penilaian
konsumsi
pangan
secara
kualitatif
biasanya
untuk
mengetahui frekuensi makan, frekuensi menurut jenis pangan yang di konsumsi dan menggali informasi tentang kebiasaan makan serta cara memperoleh pangan. Penilaian konsumsi pangan dengan metode recall 24 jam termasuk dalam metode kuantitatif.
16
Prinsip metode food recall 24 jam, dengan mencatat jenis dan jumlah makanan yang di konsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Penggukuran dengan metode recall ini kurang representatif, apabila hanya dilakukan satu kali 24 jam, sehingga perlu adanya pengulangan pengukuran konsumsi. Me-recall sebanyak dua kali 24 jam, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan member variasi yang lebih besar tentang intake harian individu (Supariasa 2002). Ada
kelebihan
dan
kelemahan
menggunakan
metode
food
recall
ini.
Kelebihannya adalah mudah, murah dan cepat, serta dapat memberi gambaran nyata yang benar-benar dikonsumsi individu sehingga dapat menghitung intake zat gizi sehari. Kelemahan food recall adalah ketepatannya sangat bergantung pada daya ingat responden, membutuhkan tenaga atau petugas terlatih (Supariasa 2002). Pola Asuh Lingkungan Pola asuh anak dapat berupa sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal
kedekatannya
kebersihan,
dan
dengan
memberikan
anak,
kasih
memberikan
sayang.
Hal
makan,
tersebut
merawat, seluruhnya
berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, sifat pekerjaan seharihari, dan sebagainya (Soekirman 2000). Kejadian gizi kurang pada anak sangat ditentukan oleh praktik pengasuhan dalam keluarga. Penelitian yang dilakukan oleh Zeitlin et al. (2000) menunjukkan bahwa keluarga berpendapatan rendah dapat memiliki anak sehat dan bergizi baik bila ibu memberikan pengasuhan yang memadai dan tepat. Penelitian juga membuktikan bahwa kualitas pengasuhan yang diberikan ibu mempunyai peranan penting bagi tumbuh kembang anak. Anak-anak dengan kelompok keadaan gizi yang lebih baik berkaitan erat juga dengan pola pengasuhan, yaitu perilaku pemberian ASI (Jus’at, Jahari, Achadi, Putra dan Soekirman 2000). Stimulasi merupakan kegiatan bermain sejak bayi baru lahir yang dilakukan dengan penuh kasih sayang, setiap hari, bervariasi dan berkelanjutan untuk merangsang otak kiri dan kanan, melalui semua sistem indra untuk merangsang kemampuan berpikir, berkomunikasi, emosi, menikmati musik dan ruang serta berbagai kemampuan lain pada balita (Soedjatmiko 2008). Depdiknas (2002) mendefinisikan stimulasi psikososial sebagai stimulasi pendidikan dalam rangka
17
mengembangkan kemampuan kognitif, fisik dan motorik serta sosial-emosional anak. Pola asuh lingkungan HOME (Home Observation for Measurement of the Enviroment Inventory) dianggap sebagai pendekatan yang paling populer guna mengukur lingkungan pengasuhan di rumah berupa stimulasi psikososial baik secara kualitas maupun kuantitas, yang dirancang oleh Cadwell dan Bradley (1979). Instrumen ini terdiri dari 55 butir pertanyaan yang menggambarkan kualitas lingkungan anak. Masing-masing pertanyaan diberi skor 1 (apabila sesuai pertanyaan) dan 0 (apabila tidak sesuai pertanyaan). Instrumen HOME (Home Observation for Measurement of the Enviroment Inventory) ini terdiri dari 2 versi yaitu untuk mengukur lingkungan pengasuhan yang diselenggarakan orang tua untuk kelompok usia bayi (0-3 tahun) dan anak usia prasekolah (3-6 tahun) (Zevalkink, Walraven & Bradley 2008). Ditambahkan pula oleh Zevalkink, Walraven dan Bradley (2008), terdapat delapan dimensi dalam
instrumen
HOME
yang
biasa
digunakan
untuk
memprediksi
perkembangan kognitif anak usia prasekolah yaitu stimulasi belajar, stimulasi bahasa, stimulasi akademik, variasi stimulasi, hukuman positif, modeling, kehangatan dan penerimaan, serta lingkungan fisik. Selain untuk memprediksi perkembangan
kognitif,
instrumen
HOME
juga
bisa
digunakan
untuk
memprediksi pencapaian akademik, perkembangan bahasa, serta kualitas kesehatan yang telah diuji pada beberapa etnis di seluruh dunia (Zevalkink, Walraven & Bradley 2008). Anwar (2002) menyatakan semakin tinggi skor HOME, maka semakin baik pula perkembangan anak. Pengukuran stimulasi psikososial anak salah satunya dapat dilakukan dengan alat bantu HOME Inventory (Caldwell and Bradley), dimana kualitas lingkungan anak dilihat dari apakah orang tua memberikan reaksi emosi yang tepat, apakah orang tua memberikan dorongan positif kepada anak, apakah orang tua memberikan suasana yang nyaman kepada anak, menunjukkan kasih sayang, menyediakan sarana tumbuh kembang dan belajar bagi anak, turut berpartisipasi dalam kegiatan positif bersama anak, terlibat aktif dalam kegiatan bersama anak, dan juga apakah orang tua memberikan lingkungan fisik yang nyaman di rumah. Perkembangan Kognitif Perkembangan (development) ialah pola gerakan atau perubahan yang dimulai dari pembuahan dan terus berlanjut sepanjang siklus kehidupan.
18
Kebanyakan perkembangan meliputi pertumbuhan. Pola gerakan adalah sesuatu hal yang kompleks karena merupakan produk dari beberapa proses biologis, kognitif dan sosial (Santrock 2002). Proses biologis meliputi perubahan pada sifat fisik individu. Plasma pembawa sifat keturunan diwarisi dari orang tua, perkembangan
otak,
pertambahan
tinggi
dan
berat,
perubahan
pada
keterampilan motorik, perubahan hormon pubertas ini semuanya mencerminkan peran proses biologis dalam perkembangan. Proses kognitif meliputi perubahan pada pemikiran, intelegensi, dan bahasa individu. Memandang benda berwarna yang berayun-ayun di atas tempat tidur bayi, merangkai satu kalimat yang terdiri atas dua kata, menghafal syair, membayangkan seperti apa rasanya menjadi bintang film, dan memecahkan teka-teki, ini semuanya mencerminkan prosesproses kognitif dalam perkembangan. Proses sosioemosional meliputi perubahan pada relasi individu dengan orang lain, perubahan pada emosi, dan perubahan kepribadian. Senyum seorang bayi dalam merespon sentuhan ibunya, serangan agresif seorang anak laki-laki kecil terhadap teman mainnya, perkembangan ketegasan seorang anak perempuan, semuanya mencerminkan peran prosesproses sosioemosional dalam perkembangan. Klasifikasi periode perkembangan yang paling sering digunakan, yaitu periode prakelahiran, masa bayi, masa awal anak-anak, masa pertengahan dan akhir anak-anak, masa remaja, masa awal dewasa, masa pertengahan dewasa, dan masa akhir dewasa (Santrock 2002). Masa awal anak-anak (early childhood) ialah periode perkembangan yang merentang dari akhir masa hingga usia kirakira lima atau enam tahun; periode ini kadang-kadang disebut tahun prasekolah. Selama masa ini anak-anak kecil belajar semakin mandiri dan menjaga diri mereka sendiri, mengembangkan keterampilan kesiapan bersekolah dan meluangkan waktu berjam-jam bermain dengan teman sebaya. Santrock (2002) menyatakan ada dua teori perkembangan kognitif, yaitu teori Piaget dan teori pemrosesan informasi. Teori Piaget menyatakan bahwa kita termotivasi untuk memahami dunia kita dan bahwa kita menggunakan prosesproses pengorganisasian dan penyesuaian diri. Ada empat tahap perkembangan kognitif
Piaget,
yaitu
tahap
sensorimotor,
tahap
praoperasional,
tahap
operasional konkret, dan tahap operasional formal. Tahap sensorimotor, berlangsung dari lahir hingga usia dua tahun. Tahap ini bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensor (seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan-tindakan motorik fisik.
19
Tahap praoperasional, berlangsung kira-kira dari usia 2-7 tahun. Tahap ini anakanak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Tahap operasional konkret, berlangsung pada usia 7-11 tahun. Tahap ini anak-anak dapat melaksanakan operasi dan penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat diterapkan ke dalam contoh-contoh yang spesifik dan konkret. Tahap operasional formal, berlangsung pada usia 11-15 tahun. Tahap ini merupakan tahap terakhir yang menyatakan bahwa individu melampaui dunia nyata, pengalaman-pengalaman konkret dan berpikir secara abstrak dan lebih logis. Sedangkan untuk teori pendekatan pemrosesan informasi, berkaitan dengan bagaimana individu memproses informasi tentang dunia mereka, yang meliputi bagaimana informasi masuk ke dalam pikiran, bagaimana informasi disimpan dan disebarkan dan bagaimana informasi diambil kembali untuk memungkinkan kita berpikir dan memecahkan masalah (Santrock 2002). Konsep perkembangan Piaget menyatakan adanya kemajuan berfikir simbolis ini diiringi dengan tumbuhnya pemahaman mengenai ruang, hubungan sebab akibat, identitas, kategorisasi, dan angka (Papalia, Olds & Fieldman 2008). Damayanthi et al. (2011) menyatakan instrument perkembangan Depdiknas 2004 memiliki lima pemahaman sesuai dengan konsep perkembangan Piaget meliputi pertama pemahaman tentang ruang dengan peta jalan untuk menemukan kucing. Kedua, pemahaman tentang hubungan sebab akibat digali dengan pertanyaan mengapa harus cuci tangan, mengapa harus mandi dan lain sebagainya. Ketiga, pemahaman tentang identitas digali dengan menanyakan jenis kelamin dirinya, ayah, ibu, kakak dan adiknya. Keempat, pemahaman tentang kategorisasi diamati dengan pengkategorian ukuran, warna dan bentuk. Kelima, pemahaman mengenai angka dengan menanyakan angka yang lebih besar, lebih kecil, tambah dan kurang. Pendidikan Anak Usia Dini Salah satu penyebab rendahnya sumber daya manusia Indonesia adalah kurang diperhatikannya pendidikan sejak usia dini. Depdiknas tahun 2002 melaporkan dari 26 juta anak usia dini (0-6 tahun), baru 17 % yang mengikuti pendidikan usia dini. Padahal, usia dini merupakan masa perkembangan dan pertumbuhan yang sangat menentukan bagi anak di masa depannya. Saat usia dini pulalah merupakan masa yang tepat utuk meletakkan dasar-dasar pengembangan kemampuan fisik, bahasa, sosial-emosional, konsep diri, seni,
20
moral dan nilai-nilai agama sehigga dapat memberikan hasil yang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan anak (Direktorat PADU 2002). Pendidikan anak usia dini adalah salah satu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak usia mereka dini yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan dasar dan tahap kehidupan berikutnya. (Depdiknas 2002). Menurut Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 1990 tentang pendidikan anak prasekolah, pasal 4 ayat 1, dijelaskan bahwa satuan pendidikan prasekolah meliputi Taman Kanak-kanak, Kelompok bermain, Penitipan Anak dan bentuk lainnya. Aktivitas yang ada merupakan kegiatan bermain yang terencana, dimana kegiatan yang serius namun mengasyikkan. Tabel 2 Standar tingkat pencapaian perkembangan kognitif anak usia prasekolah Lingkup Perkembangan Mengenal Pengetahuan Umum
3-4 tahun 1. Menemukan/ mengenali bagian yang hilang dari suatu pola gambar seperti pada gambar wajah orang, mobil, dsb. 2. Menyebutkan berbagai nama makanan dan rasanya (garam, gula atau cabai). 3. Memehami perbedaan antara dua hal dan jenis yang sama seperti membedakan antara buah rambutan dan buah pisang, perbedaan antara ayam dan kucing.
4-5 tahun
1. Mengenal benda berdasarkan fungsi (pisau untuk memotong, pensil untuk menulis) 2. Menggunakan benda-benda sebagai permainan simbolik (kursi sebagai mobil). 3. Mengenal gejala sebab akibat yang terkait dirinya. 4. Mengenal konsep sederhana dalam kehidupan sehari-hari (gerimis, hujan, gelap, terang, temaram, dsb) 5. Mengkreasikan sesuatu sesuai dengan idenya sendiri. Mengenal konsep 1. Menempatkan benda dalam 1. Mengklasifikasikan benda ukuran, bentuk dan urutan ukuran (paling kecil dan berdasrkan bentuk atau pola. paling besar). warna atau ukuran. 2. Mulai mengikuti pola tepuk 2. Mengklasifikasikan benda ke tangan. dalam kelompok yang sama 3. Mengenal konsep banyak dan atau kelompok yang sejenis sedikit. atau kelompok berpasangan dengan 2 variasi. 3. Mengenal pola AB-AB dan ABC-ABC. 4. Mengurutkan benda berdasarkan 5 seri ukuran atau warna. Konsep bilangan, 1. Mengetahui konsep banyak lambang bilangan dan sedikit. dan huruf 2. Membilang banyak benda satu sampai sepuluh. 3. Mengenal konsep bilangan. 4. Mengenal lambang bilangan 5. Mengenal lambang huruf. Sumber : Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No 58 tahun 2009
21
Peraturan menteri pendidikan nasional tentang pendidikan anak usia dini menjelaskan standar tingkat pencapaian perkembangan. Ini menggambarkan pertumbuahan dan perkembangan yang diharapkan dapat dicapai anak pada rentang usia tertentu. Perkembangan anak yang dicapai merupakan integrasi aspek pemahaman nilai-nilai agama dan moral, fisik, kognitif, bahasa dan sosialekonomi. Tingkat pencapaian perkembangan disusun berdasarkan kelompok usia.
Tabel 2 menyajikan standar tingkat pencapaian perkembangan kognitif
anak pada usia prasekolah. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini maka pendidikan karakter di usia prasekolah merupakan hal yang perlu untuk dilakukan. Oleh karena itu, program pembekalan harus disusun sedemikian rupa dengan memberikan stimulasi-stimulasi psikososial yang tepat kepada anak, seperti pengajaran, memberi contoh, memberi kesempatan dan menyediakan fasilitas belajar dan bermain sehingga proses perkembangan anak dapat berjalan dengan lancer (Depdiknas 2002). Akan tetapi, keberhasilan pembentukan karakter anak tidak dapat dibebankan pada pihak sekolah saja. Keluarga dan masyarakat lingkungan sekitar juga memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak, dengan melibatkan peran pengasuhan ibu yang tepat.