5
TINJAUAN PUSTAKA
Status Gizi dan Pengukurannya Definisi status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa et al. 2001). Sedangkan Riyadi (1995) mendefinisikan status gizi sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu. Penilaian status gizi dapat diukur secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dapat berupa antropometri, pemeriksaan secara klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dilakukan dengan cara survei konsumsi makanan, melihat statistik vital dan faktor ekologi (Gibson 2005). Penilaian status gizi dengan antropometri paling banyak atau sering dilakukan oleh para peneliti karena lebih murah dan efisien, seperti mengukur tinggi badan (TB), berat badan (BB), lingkaran lengan atas (LLA), lingkar kepala (LK), lingkar dada (LD) dan tebal lemak bawah kulit (TLBK). Di Indonesia baku rujukan yang digunakan berdasarkan WHO-NCHS, sebagai pembanding dalam penelitian status gizi dan pertumbuhan perorangan maupun masyarakat (Supariasa et al. 2001). Berat badan merupakan salah satu ukuran tubuh yang paling banyak digunakan untuk memberi gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh. Berat badan sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan yang mendadak, seperti terkena penyakit infeksi atau diare, dan konsumsi makanan yang menurun. Sebagai indikator status gizi, berat badan dalam bentuk indeks berat badan menurut umur (BB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) memberikan gambaran keadaan masa kini. Kedua indeks tersebut mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan. BB/U lebih banyak digunakan karena hanya memerlukan satu alat ukur, namun sangat bergantung pada ketepatan umur. Indeks BB/TB memberikan gambaran proporsi relatif terhadap tinggi, sehingga dapat mencerminkan kekurusan dan baik digunakan untuk mengevaluasi dampak gizi dari berbagai intervensi dan untuk memantau perubahan status gizi dalam jangka panjang (Gibson 2005). Tinggi badan memberikan gambaran pertumbuhan tulang yang sejalan dengan pertambahan umur. Berbeda dengan berat badan, maka tinggi badan
6
tidak banyak terpengaruh oleh keadaan yang mendadak. Tinggi badan pada suatu waktu merupakan hasil pertumbuhan secara komulatif semenjak lahir, dan karena itu memberikan gambaran riwayat status gizi masa lalu. Indeks TB/U juga sangat tergantung pada ketepatan umur. Status Gizi Ibu Menyusui dan Pengukurannya Gizi ibu yang kurang ketika menyusui tidak berpengaruh besar terhadap mutu ASI, kecuali pada volumenya, meskipun kadar vitamin dan mineralnya lebih rendah (Kusharisupeni 2007). Hal ini senada dengan pendapat Bardosono (2006) yang menyatakan bahwa hanya dalam kondisi ekstrem malnutrisi yang berkepanjangan, kualitas dan kuantitas ASI dapat terpengaruh. Kondisi ini salah satunya disebabkan karena produksi ASI bukan proses yang terjadi sesaat tetapi merupakan proses yang sudah dimulai sejak kehamilan, sehingga gizi pada masa kehamilan pun turut berpengaruh, dengan demikian kekurangan gizi pada masa menyusui tidaklah terlalu mengkhawatirkan jika gizi pada waktu hamil tercukupi dengan baik (Sulistyoningsih 2011). Namun rendahnya status gizi ibu dapat mengakibatkan kualitas fisik yang rendah dan berpengaruh pada fungsi ibu dalam mengerjakan tugas rumah tangga dan pengasuhan terutama untuk anak balitanya, sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Bila status gizi ibu normal sebelum dan selama kehamilan, kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat badan normal. Ada beberapa pengukuran yang dapat digunakan untuk mengukur status gizi ibu, yaitu status haemoglobin untuk mengetahui kondisi ibu apakah menderita anemia gizi, mengukur lingkat lengan atas (LILA) dan mengukur BMI (Body Mass Index) atau IMT (Indeks Massa Tubuh) untuk mengetahui apakah ibu mengalami kurang energi kronis (KEK). IMT mempunyai rumus yaitu berat badan (kg) dibagi tinggi badan (m)². Berdasarkan nilai IMT dibuat klasifikasi status gizi yang sesuai yaitu dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1 Kategori Indeks Massa Tubuh Kurus
Kategori Kekurangan berat badan tingkat berat Kekurangan berat badan tingkat ringan
18.5 – 25.0
Normal Gemuk
IMT < 17.0 17.0 – 18.5
Kelebihan berat badan tingkat ringan Kelebihan berat badan tingkat berat
Sumber: Gibson (2005)
25.0 – 27.0 > 27.0
7
Status Gizi Bayi dan Pengukurannya Menurut Kusharisupeni (2007), tahun pertama setelah lahir merupakan salah satu perubahan besar yang dialami bayi. Bayi yang kecil; pertumbuhan yang lebih cepat dibanding dengan fase lain dalam daur kehidupan; imaturasi dari organ-organ tubuh dan kemampuannya dalam mencerna dan menyerap zat gizi dari ASI atau susu formula; serta perilaku makan yang berkembang tahap demi tahap; mengharuskan masukan gizi sangat diperhatikan, pemberian makanan tinggi dalam energi dan diet yang bersifat cair dengan jumlah air yang tinggi. Status gizi pada saat bayi dapat memberi andil terhadap status gizi anakanak bahkan masa dewasa (Winarno 1990). Mengingat pentingnya status gizi masa bayi, maka orangtua terutama ibu mempunyai peranan penting untuk dapat menjadikan status gizi anaknya mencapai optimal. Pencapaian status gizi yang baik, didukung oleh konsumsi pangan yang mengandung zat gizi cukup dan aman untuk dikonsumsi. bila terjadi gangguan kesehatan, maka pemanfaatan zat gizipun akan terganggu. Bayi yang berstatus gizi baik dan sehat, lebih berpeluang mempunyai kemampuan mental dan intelektual yang lebih baik dan mempunyai usia harapan hidup dan waktu produktif yang lebih tinggi. Ukuran pertumbuhan bayi yang paling mudah dilihat adalah berat badan atau tinggi badan (Tabel 2). Pemantauan pertumbuhan balita dapat dilakukan jika balita secara rutin dibawa ke Posyandu setiap bulannya. Penilaian pertumbuhan balita dapat dilakukan dengan menimbang berat badan, lalu nilai berat badan tersebut diplotkan pada Kartu Menuju Sehat (KMS). Tabel 2 Pertambahan berat badan dan tinggi badan bayi Umur (bulan) Lahir 0-1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Berat (g) Standar Standar 80% 3.400 2.700 4.300 3.400 5.000 4.000 5.700 4.500 6.300 5.000 6.900 5.500 7.400 5.900 8.000 6.300 8.400 6.600 9.000 7.000 9.300 7.300 9.600 7.700 9.900 7.900
Sumber: Depkes 2006
Tinggi (cm) Standar Standar 80% 50.5 40.5 55.0 43.5 58.0 46.0 60.0 48.0 62.5 49.0 64.5 51.0 66.0 52.5 67.5 54.0 69.0 55.5 70.5 56.5 72.0 57,5 73.5 58.5 74.5 60.0
8
Indeks pertumbuhan anak di Indonesia menggunakan baku standar antropometri WHO-2007, pembagian istilah status gizi berdasarkan kesepakatan pakar gizi Indonesia, dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Indeks, Status gizi dan Z-score antropometri Indeks BB/U
Status Gizi Gizi lebih Gizi baik Gizi kurang Gizi buruk
Z-score > +2 SD ≥ -2 SD sampai ≤ +2 SD ≥ -3 SD sampai < -2 SD < -3 SD
BB/TB
Gemuk Normal Kurus Kurus sekali
> +2 SD ≥ - 2 SD sampai ≤ +2 SD ≥ - 3 SD sampai < - 2 SD < - 3 SD
TB/U
Normal Pendek
≥ -2 SD < -2 SD
Perkembangan Bayi Perkembangan (development) adalah bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta sosialisasi dan kemandirian (Depkes 2006). Definisi yang lain adalah menyebutkan bahwa perkembangan adalah penampilan kemampuan (skill) yang diakibatkan oleh kematangan system syaraf pusat, khususnya di otak (Supariasa et al. 2001). Tiga dimensi perkembangan anak yang utama yaitu perkembangan mental, perkembangan psikomotor dan perkembangan sosial yang dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan anak atau perkembangan perilaku
anak
walaupun
tidak
menggambarkan
perkembangan
secara
keseluruhan. Namun masih ada dimensi-dimensi lain seperti perkembangan emosi, perkembangan bahasa, perkembangan moral dan lainnya yang berhubungan dengan perkembangan anak (Soetjiningsih 1995). Menurut
Direktorat
Bina
Kesehatan
Keluarga,
pencapaian
suatu
kemampuan pada setiap anak bisa berbeda-beda, namun demikian ada patokan umur tentang kemampuan apa saja yang perlu dicapai oleh seorang anak pada umur tertentu terutama untuk perkembangan motoriknya (Tabel 4). Adanya potakan tersebut dimaksudkan agar anak yang belum mencapai tahap kemampuan tertentu tersebut perlu dilatih berbagai kemampuan agar dapat
9
mencapai perkembangan yang optimal. Pada perkembangan anak ada beberapa aspek perkembangan yang perlu dipantau (Depkes 2006), yaitu: 1. Gerak kasar atau motorik kasar adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak melakukan pergerakan dan sikap tubuh yang melibatkan otot-otot besar seperti duduk, berdiri dan sebagainya. 2. Gerak halus atau motorik halus adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan oleh otot-otot kecil, tetapi memerlukan koordinasi yang cermat seperti mengamati sesuatu, menjimpit, menulis, dan sebagainya. 3. Kemampuan bicara dan bahasa adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan
untuk
memberikan
respon
terhadap
suara,
berbicara,
berkomunikasi, mengikuti perintah dan sebagainya. 4. Sosialisasi dan kemandirian adalah aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri anak (bayi menatap ibunya, makan sendiri), berpisah dengan
ibu/pengasuh
anak,
bersosialisasi
dan
berinteraksi
dengan
lingkungannya dan sebagainya. Pada perkembangan motorik bergantung pada kematangan otot dan syaraf.
Motorik
kasar
berkembang
terlebih
dahulu,
selanjutnya
diikuti
perkembangan motorik halus. Motorik kasar melibatkan sebagian besar bagian tubuh dan biasanya memerlukan tenaga karena itu dilakukan oleh otot-otot yang lebih besar, sedangkan motorik halus hanya melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan oleh otot-otot kecil, karena itu tidak begitu memerlukan tenaga (Rumini & Sundari 2004). Keadaan kurang gizi berhubungan dengan keterlambatan perkembangan motorik, hal ini dikarenakan keadaan kurang gizi dapat menyebabkan anak menjadi lesu dan pendiam sehingga anak tidak bisa bereksplorasi secara optimal dan anak tidak berkembang sehingga dapat menyebabkan keterlambatan perkembangan. Kurang gizi juga berakibat terhadap pertumbuhan fisik yang terlambat, anak menjadi lebih kecil, dan juga eksplorasi anak terhadap lingkungan
tidak
berkembang
sehingga
menyebabkan
keterlambatan
perkembangan (Martorell 1997; Anwar 2002). Penyakit dan kemiskinan akan menyebabkan perkembangan motorik anak terlambat. Lebih jauh lagi, kurang gizi akan menyebabkan terjadinya kerusakan otak permanen yang berakibat terjadinya keterlambatan perkembangan, akan tetapi terkadang dapat dipulihkan (sometime reversible).
10
Tabel 4 Perkembangan motorik bayi Usia (dalam bulan) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 18 24
Perkembangan Motorik Gerakan reaksi (negatif = menangis, positif = senyum, dan spontan = menggerak-gerakkan tangan dan kaki) Memutar kekanan dan kekiri Menarik-narik selimut dan baju Menggerakkan kepala kearah dua belah tangan Dapat menelungkup beberapa menit Mengamati mainan yang dipegang Menarik kepala kedepan Duduk beberapa menit Dapat duduk sendiri Merangkak Berdiri sendiri Mulai dapat berjalan Dapat berjalan dengan baik, dan dapat menaiki kursi dan tangga Dapat naik turun tangga dan berlari
Sumber: Yusuf (2000)
Konsep Tumbuh Kembang UNICEF pada tahun 1990 mulai memperkenalkan model konseptual tentang tumbuh kembang anak (Gambar 1). Model UNICEF ini memperlihatkan berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan dan survival anak, diantaranya bagaimana peran pola asuh yang dilakukan oleh para perempuan terutama ibu terhadap tumbuh kembang anak. Tumbuh kembang anak ditentukan oleh faktor yang bersifat langsung, tidak langsung dan faktor penyebab dasar yang bersifat makro atau umum (Engle et al. 1997). Faktor penyebab yang bersifat langsung meliputi tingkat konsumsi dan status kesehatan anak. Faktor penyebab yang tidak langsung, meliputi pengasuhan, ketahanan pangan rumah tangga, dan akses pelayanan kesehatan serta kesehatan lingkungan yang nantinya akan mempengaruhi intake konsumsi anak dan kesehatan anak dan seterusnya mempengaruhi survival anak, pertumbuhan dan perkembangan anak. Pola asuh yang dilakukan yaitu meliputi pola asuh makan (pemberian ASI, intake gizi), pola asuh kesehatan (praktek hygiene, praktek kesehatan dirumah) dan pola asuh psikososial.
11
Tumbuh-kembang Anak
Kecukupan Makanan
Ketahanan Pangan keluarga
Manifestasi
Keadaan Kesehatan
Asuhan bagi ibu dan Anak
Pemanfaatan Yankes dan Sanitasi lingk.
Sebab Langsung
Sebab tak langsung
Pendidikan keluarga
Keberadaan dan kontrol Sumber Data keluarga: Manusia, ekonomi, dan organisasi
Stuktur Politik dan Ideologi Sebab dasar
Struktur Ekonomi
Potensi Sumber Daya
Gambar 1 Model interaksi tumbuh kembang anak (Unicef 1990 diacu dalam Engle et al. 1997)
12
Pola Pengasuhan Anak Untuk mencapai tumbuh kembang yang optimal, perhatian tidak hanya untuk pertumbuhan fisik saja tetapi perlu upaya peningkatan kualitas pengasuhan yang baik. Pola pengasuhan adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya secara fisik maupun mental (Depkes 2000). Menurut Soekirman (2000), pola asuh adalah dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Dalam mengasuh dan mendidik anak dibutuhkan peranan orangtua, yaitu ayah dan ibu (Engle et al. 1997). Pola asuh psikososial /Pola Asuh Lingkungan (HOME) Menurut Soetjiningsih (1995), pola asuh psikososial adalah perangsangan yang datang dari lingkungan luar diri anak dan merupakan hal penting dalam tumbuh kembang anak. Anak yang mendapat stimulus terarah dan teratur akan lebih cepat berkembang dibandingkan dengan anak yang kurang mendapat stimulus, sehingga dengan tingginya pemberian stimulus psikososial maka perkembangan anak khususnya tingkat perkembangan sosial akan lebih baik. Untuk mengukur pola asuh psikososial terutama dilingkungan rumah, pola asuh lingkungan (Home Observation for Measurement of the Environment Inventory (HOME)) dianggap sebagai pendekatan yang paling popular (Cadwell &Bradley 1979; Madanijah 2003), terdiri dari
45 butir yang menggambarkan
kualitas lingkungan anak. Masing-masing butir diberi skor satu (apabila sesuai dengan pertanyaan) atau nol (apabila tidak sesuai dengan pertanyaan). Pertanyaan yang berjumlah 45 butir tersebut dapat dikelompokkan dalam enam subskala yang umum. HOME terdiri dari dua versi yaitu untuk mengukur lingkungan pengasuhan yang diselenggarakan orang tua untuk kelompok usia bayi (0-3 tahun) dan anak usia prasekolah (3-6 tahun). Masing-masing versi terdiri dari enam sub-skala yaitu: 1. Penerimaan terhadap tanggap rasa dan kata-kata (11 pertanyaan) 2. Penerimaan terhadap perilaku anak (8 pertanyaan) 3. Pengorganisasian lingkungan anak (6 pertanyaan) 4. Penyediaan alat permainan (9 pertanyaan) 5. Keterlibatan ibu terhadap anak (6 pertanyaan)
13
6. Kesempatan yang diperoleh anak melalui stimulasi yang diberikan orang tua (5 pertanyaan) Pada umumnya semakin tinggi skor HOME, semakin baik perkembangan anak. Walaupun penemuan-penemuan masing-masing studi sangat bervariasi, namun
penemuan-penemuan
memperlihatkan
masing-masing
sub-skala
berkorelasi positif dengan IQ. Dimensi yang paling konsisten berkorelasi tinggi dengan IQ adalah keterlibatan ibu, alat bermain dan variasi stimulasi (Padmonodewo 1993 diacu dalam Anwar 2002).
Pola Asuh Pemberian Makan Bayi Menurut Karyadi (1985), pola asuh makan adalah praktek-praktek pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anaknya yang berkaitan dengan cara dan situasi pemberian makan. Pola asuh makan yang berkaitan dengan cara dan situasi pemberian makan itu antara lain meliputi cara pemberian makan, interaksi antara pengasuh dengan anak pada waktu makan, cara makan, peran pemberi
makan,
kebersihan
sebelum
makan,
pilihan
makanan,
cara
memperkenalkan makanan, perlakuan terhadap anak yang tidak mau makan, dan usaha mengatasi keadaan apabila anak tidak mau makan. Praktek pemberian makan yang dapat mempengaruhi konsumsi makanan terdiri atas (Engle et al. 1997): 1. Pemberian makanan yang sesuai umur dan kemampuan anak, 2. Kepekaan ibu/pengasuh untuk mengetahui saatnya anak harus makan (waktu makan anak), 3. Upaya menumbuhkan selara/nafsu makan anak, dan 4. Menciptakan situasi makan yang baik (seperti memberikan rasa nyaman) Pertumbuhan sel-sel otak anak sudah mencapai lebih dari 80 persen pada usia dua tahun. Periode ini masa kritis bagi komponen otak yang bertanggung jawab terhadap kecerdasan anak, yang hanya terjadi sekali seumur hidup dan tak akan berulang. Bila dalam periode ini anak mengalami kekurangan gizi yang dibutuhkan oleh otak, maka perkembangan otak dan kecerdasannya akan terpengaruh juga. Oleh karena itu, kecukupan gizi seimbang pada masa kehidupan ini perlu diperhatikan. Dengan pola makan gizi seimbang bayi akan tumbuh dan berkembang secara optimal, termasuk kecerdasanya. Jika orangtua tidak memperhatikan masa periode ini, maka kegagalan tumbuh kembang akan berlangsung permanen, yang akan terbawa terus sampai akhir hayat. Oleh
14
karena itu, pola pemberian ASI dan MP-ASI harus mencukupi kebutuhan zat gizi yang diperlukan tubuh (Kurniasih et al. 2010). Sebagian besar ibu menyusui bayinya sejak bayi dilahirkan, namun sebagian besar ibu juga memberi makanan/minuman lain selain ASI sejak dini (sebelum bayi berumur enam bulan). Pola menyusui yang dilakukan oleh ibu adalah menyusui eksklusif (proporsinya hanya sedikit), kemudian menyusui predominan dan yang terbanyak adalah menyusui parsial (WHO 2000). Pemberian ASI Air Susu Ibu (ASI) adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam anorganik yang disekresi oleh kelenjar mamae ibu, yang berguna sebagai bahan makanan terbaik bagi bayi walaupun ibu sedang sakit, hamil, haid, maupun kurang gizi (King 1991). Agar ASI dapat dikeluarkan, diperlukan hormon oxytocin yang diekskresi oleh glandula pituitaria bagian posterior atas rangsangan isapan bayi. Oxytocin ini menyebabkan jaringan muskuler sekeliling alveoli berkontraksi, yang dengan demikian mendorong air susu menuju ke duktus penampungan (let down reflex) (Kusharisepeni 2007). ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi, karena mengandung semua zat gizi yang diperlukan oleh bayi untuk pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan bayi sampai usia enam bulan. Beberapa keuntungan pemberian ASI pada bayi antara lain, ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi, mengurangi timbulnya elergi seperti asma, diare, bernilai ekonomis, segar, menjalin hubungan emosi antara ibu dan anak, mudah diberikan, dan mudah didapatkan karena tidak perlu dicampur dahulu (Riordan 2005). Komposisi dari ASI berbeda-beda tergantung dari waktu menyusui (pagi, siang, sore, malam) dan tahap dari pemberian ASI, jumlah lemak yang ada dalam ASI terakhir semakin meningkat artinya lemak pada ASI yang keluar pada tahap akhir menyusui lebih tinggi daripada waktu pemberian awal menyusui. Zat gizi makro pada ASI yang mature relatif konstan dan sedikit sekali terpengaruh oleh diet, kecuali ibu dalam keadaan gizi buruk (Kusharisepeni 2007). Protein pada ASI yang terdiri atas semua asam amino esensial yang lengkap mempunyai nilai protein yang mendekati 100, sehingga mudah dicerna dengan derajat cerna mencapai 100% (Tirtawinata 2006). Pemberian ASI eksklusif sejak lahir dapat menurunkan angka kesakitan bayi dan anak sebesar 10-20 kali dan kematian sebesar 1-7 kali (Depkes 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Villalpando dan Lopez-Alarco (2000) pada 170
15
bayi sehat di Kota Mecixo menunjukkan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif memiliki frekuensi yang lebih rendah terkena diare dan infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA)
dan mempunyai episode yang lebih pendek pula
dibandingkan dengan bayi menyusu parsial dan bayi yang diberi susu formula (masing-masing
untuk diare 0.37±1.0; 0.65±0.11 dan 0.64±0.13 sedangkan
untuk ISPA 1.3±0.15; 1.3±0.13; dan 1.8±0.17). Menurut Muchtadi (2002) ASI juga memberikan manfaat lainnya yaitu untuk mendukung pertumbuhan dan pembentukan psikomotor yang terjadi sangat cepat pada masa enam bulan pertama, sehingga pemberian ASI eksklusif akan sangat mendukung. Gangguan proses pemberian ASI pada prinsipnya bermula dari kurangnya pengetahuan, kurang rasa percaya diri, kurangnya dukungan keluarga serta kualitas dan kuantitas gizi. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak bisa menyusui, salah satunya adalah ASI tidak keluar. Air susu yang tidak keluar dapat dipengaruhi antara lain oleh stress mental sampai penyakit fisik, termasuk kekurangan gizi (tingkat berat) (Sulistyoningsih 2011). Penelitian lainnya dilakukan oleh Gómez-Sanchiz et al (2004) dengan desain
kohort
prospektif
dan
observasional
pada
238
bayi,
menilai
perkembangan kognitif bayi dengan menggunakan skala Bayley. Hasilnya menunjukkan bahwa bayi yang diberi ASI selama lebih dari 4 bulan mempunyai 4.3 poin lebih tinggi perkembangan mentalnya daripada yang menyusui untuk waktu yang lebih singkat. Hasil penelitian tentang hubungan pemberian ASI eksklusif dengan pertumbuhan bayi, menunjukkan bahwa berdasarkan pola pemberian ASI pada saat bayi usia tiga bulan, pertambahan berat badan bayi sejak lahir sampai tiga bulan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Rata-rata pertambahan berat badan perbulan sejak lahir sampai tiga bulan pada bayi yang diberi ASI eksklusif dan yang diberi MP-ASI masing-masing adalah 852±213 gram per bulan dan 924±208 gram per bulan (P>0,05). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sampai tiga bulan, bayi yang diberi MP-ASI cenderung tumbuh lebih cepat dari pada bayi yang diberi ASI eksklusif. Pertumbuhan lebih cepat pada bayi yang diberi MP-ASI diduga karena jenis MP-ASI yang diberikan adalah susu formula yang digunakan oleh sekitar 70% bayi yang diberi MP-ASI (Victora et al. 1998).
16
Pemberian Susu Formula Tidak semua ibu dapat menyusui bayinya sendiri, hal tersebut dapat disebabkan oleh kurangnya produksi air susu atau karena kesibukan pekerjaan sehingga tidak memungkinkan si ibu untuk menyusui bayi pada pagi dan siang hari, maupun kurangnya pemahaman mengenai manajemen laktasi. Sebab lainnya adalah ibu terkena penyakit menular yang berbahaya bagi bayinya (Woolridge 1996).
Dalam hal ini bayi perlu mendapat susu formula maupun
makanan buatan guna membantu pertumbuhan dan perkembangannya. Pada umumnya, susu formula untuk bayi yang beredar di pasaran berasal dari susu sapi yang diubah komposisinya hingga dapat dipakai sebagai pengganti ASI. European Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition (ESPGAN) Committee on Nutrition dalam publikasinya pada tahun 1977 membagi susu formula bayi (infant formula) dalam dua jenis, formula awal (starting formula) dan formula lanjutan (follow-up formula). Formula awal dibagi kembali dalam dua golongan, yaitu formula adaptasi untuk bayi usia baru lahir sampai enam bulan, dan formula lengkap untuk bayi usia enam bulan keatas (Pudjiadi 2005). Perbandingan komposisi kandungan zat gizi pada ASI dan susu sapi dapat dilihat di Tabel 5. Tabel 5 Perbandingan komposisi kandungan zat gizi pada ASI dan susu sapi Analisis Rata-rata
ASI tiap 100 ml
Susu Sapi tiap 100 ml
Protein (g) Kasein Whey Lemak (g) Karbohidrat (g) Abu (g) Energi (kkal) Natrium (mg) Kalium (mg) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Magnesium (mg) Besi (μg) Seng (μg) Mangan (μg) Tembaga (μg) Selenium (μg) Khlorida (μg) Iodium (mg)
1.1 0.4 0.7 4.5 6.8 0.2 72 16 51 34 14 4 50 300-500 0.7-1.5 40 1.3-5 39 3
3.3 2.7 0.6 3.7 4.9 0.7 66 51 137 117 92 12 50 300-500 2-4 30 0.5-5 103 4.7
Penelitian yang dilakukan oleh WHO tahun 2002 membuktikan bahwa bayi yang diberi susu selain ASI mempunyai risiko 17 kali lebih besar untuk
17
mengalami diare dan tiga sampai empat kali lebih besar kemungkinan berisiko lebih tinggi terkena ISPA dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI saja. Jurnal Paediatrics pada tahun 2006 yang dikutip Unicef menyebutkan, bayi yang diberi susu formula memiliki kemungkinan meninggal pada bulan pertama kehidupannya 25 kali lebih tinggi dibandingkan bayi yang disusui ibunya secara eksklusif. Selain itu, didapatkan bahwa anak yang tidak memperoleh ASI mempunyai risiko terkena gizi buruk lebih tinggi (WHO 2001). Penelitian yang lainnya yaitu yang dilakukan oleh Scariati et al (1997) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa bayi yang diberi susu formula mempunyai risiko lebih tinggi (5.4%) terkena diare dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI eksklusif pada usia 2-7 bulan. Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Pemberian makanan pendamping selain ASI (MP-ASI) mulai dilakukan setelah bayi berusia enam bulan. MP-ASI dapat berupa bubur, tim, sari buah, biskuit dan lain-lain. Pemberian MP-ASI baik jenis, porsi, dan frekuensinya harus tergantung dari usia dan kemampuan bayi (WHO 2001). Pemberian MP-ASI yang terlambat (tidak sesuai jadwal) pada usia bayi akan menyebabkan kebutuhan zat gizi tidak tercukupi, disamping rahang tidak terlatih mengunyah makanan padat, sehingga sistem pencernaan bayi pun tidak belajar menerima makanan padat. Ini akan berdampak pada masalah makan bayi, seperti salah satunya menolak makanan kasar. Selain itu sistem pencernaan yang tidak terlatih membuat bayi mengalami masalah-masalah, seperti muntah setiap disuapi, diare atau sembelit (Kurniasih et al. 2010). Disisi lain, pemberian MP-ASI pada usia dini (kurang dari enam bulan) juga dapat memberikan risiko yang tinggi anak terpapar oleh berbagai macam penyakit. Menurut WHO (2001), pola pemberian makan pada bayi yang terbesar adalah pola menyusui predominan yaitu ibu memberi ASI disertai MP-ASI berupa cairan (air, teh, sirup dan tidak memberi susu formula); dan menyusui parsial adalah ibu memberi ASI dan makanan atau minuman lain baik padat, semi padat maupun cairan. Kebiasaan memberi air putih dan cairan lain seperti teh, air manis, dan jus kepada bayi menyusui dalam bulan-bulan pertama, umum dilakukan di banyak negara, kebiasaan ini seringkali dimulai saat bayi berusia satu bulan. Hasil Riset Demografi dan Kesehatan yang dilakukan tahun 19901995 di pinggiran Kota Lima, Peru, menunjukkan bahwa 83% bayi menerima air putih dan teh dalam bulan pertama. Penelitian di masyarakat Gambia, Filipina,
18
Mesir, dan Guatemala melaporkan bahwa lebih dari 60% bayi baru lahir diberi air manis dan/atau teh. Di banyak masyarakat dan rumah sakit, saran dari petugas kesehatan juga mempengaruhi pemberian cairan ini. Sebagai contoh, penelitian di sebuah kota di Ghana menunjukkan 93% bidan berpendapat cairan harus diberikan kepada semua bayi sejak hari pertama kelahirannya. Di Mesir, banyak perawat menyarankan para ibu untuk memberi air manis kepada bayinya segera setelah melahirkan (LINKAGES 2002). Mengganti ASI dengan cairan yang sedikit atau tidak bergizi, berdampak buruk pada kondisi gizi bayi, daya tahan hidupnya, pertumbuhan dan perkembangannya. Konsumsi air putih atau cairan lain meskipun dalam jumlah yang sedikit, akan membuat bayi merasa kenyang sehingga tidak mau menyusu, padahal ASI kaya dengan gizi yang sempurna untuk bayi. Penelitian menunjukkan bahwa memberi air putih sebagai tambahan cairan sebelum bayi berusia enam bulan dapat mengurangi asupan ASI hingga 11%. Pemberian air manis dalam minggu pertama usia bayi berhubungan dengan turunnya berat badan bayi yang lebih banyak dan tinggal di rumah sakit lebih lama (LINKAGES 2002). Oleh karena itu, pola makan seseorang sangat ditentukan oleh pola makannya pada usia dini dan peranan orangtua sangat sangat penting dalam membentuk pola makan yang baik bagi kelangsungan hidup anak.
Konsumsi Gizi Ibu Menyusui dan Bayi Tingkat konsumsi pada manusia sangat bervariasi sesuai dengan tahap perkembangan umur dan aktifitas tubuh. Kecukupan gizi adalah rata-rata asupan/intik gizi harian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi hampir semua orang sehat dalam kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu. Kebutuhan zat gizi berbeda berdasarkan kelompok umur, jenis kelamin dan fisiologis tertentu. Bila kebutuhan zat gizi mencukupi maka diharapkan status gizinya juga akan baik. Konsumsi Gizi Ibu Menyusui Pada ibu menyusui, hal yang harus diperhatikan dalam memenuhi kebutuhan gizi ibu menyusui adalah susunan menu yang seimbang, dianjurkan minum 8-12 gelas perhari, untuk memperlancar pencernaan hindari konsumsi alkohol, makanan yang banyak bumbu, terlalu panas/dingin, serta banyak mengkonsumsi sayuran berwarna dan buah-buahan. Selama ibu tidak memiliki penyakit yang mengharuskan ibu melakukan diet tertentu, tidak ada pantangan
19
makanan bagi ibu menyusui. Berikut ini kebutuhan gizi ibu menyusui dibandingkan kebutuhan wanita dewasa yang tidak menyusui. Tabel 6 Perbandingan kebutuhan gizi wanita menyusui dengan wanita dewasa tidak menyusui Zat Gizi Energi (kkal) Protein (gram) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg) Besi (gram) Yodium (μ) Kalsium (mg)
Wanita Dewasa Tidak Menyusui 1900 50 500 75 26 150 500
Ibu Menyusui 0-6 bulan 7-12 bulan + 500 + 550 + 17 + 17 + 350 + 350 + 45 + 45 +2 +2 + 50 + 50 + 150 + 150
Sumber: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (2004)
Konsumsi Gizi Bayi Sebagai bagian dari keluarga, bayi dalam mengkonsumsi pangan sangat tergantung pada konsumsi pangan keluarga. Kekurangan gizi pada konsumsi pangan keluarga akan turut menurunkan konsumsi gizi yang ditandai dengan menurunnya kemampuan fisik, terganggunya pertumbuhan, perkembangan dan kemampuan berfikir serta adanya angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Keadaan tersebut dapat terjadi karena konsumsi pangan mempunyai pengaruh langsung terhadap status gizi (Winarno 1990). Kebutuhan gizi bayi lebih sedikit dari kebutuhan orang dewasa, namun jika dibandingkan per unit berat badan maka kebutuhan gizi bayi jauh lebih besar dari usia perkembangan lain. Makanan bergizi menjadi kebutuhan utama bayi pada proses tumbuh kembangnya, sehingga kelengkapan unsur pada gizi hendaknya perlu diperhatikan dalam makanan sehari-hari yang dikonsumsi bayi (Sulistyoningsih 2011). Menurut Pudjiadi (2005), agar status gizi bayi berlangsung normal maka konsumsi makanan bayi harus memenuhi semua zat gizi yang dibutuhkan yaitu zat gizi esensial (energi, protein, vitamin, mineral dan air) harus tersedia dalam jumlah yang cukup. Bila hal tersebut tidak terpenuhi untuk jangka waktu tertentu, maka pertumbuhan akan terganggu dan bayi akan menderita penyakit gangguan gizi. Berikut adalah kebutuhan zat gizi bayi:
20
Tabel 7 Kebutuhan zat gizi bayi usia 0-12 bulan Zat Gizi
Umur Bayi 0-6 bulan 550 10 375 40 3 50 200
Energi (kkal) Protein (g) Vitamin A (RE) Vitamin C (mg) Besi (gram) Yodium (μ) Kalsium (mg)
7-12 bulan 650 16 400 40 5 70 400
Sumber: Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (2004)
Status Kesehatan Bayi Masalah gizi pada anak balita disebabkan oleh dua faktor utama yaitu asupan gizi yang rendah dan penyakit infeksi. Anak balita terutama bayi sangat rentan terhadap penyakit infeksi. Hal ini akhirnya akan mengakibatkan anak mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Daya tahan tubuh anak akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan disertai dengan konsumsi makan yang cukup (Satoto 1990). Penyakit yang sering terjadi pada bayi antara lain infeksi saluran pernafasan dan diare. Menurut Riskesdas Provinsi Jawa Barat tahun 2007, prevalensi ISPA pada bayi kurang dari satu tahun mencapai 25,9% (Depkes 2008). Apabila anak terkena infeksi saluran pencernaan seperti diare, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi. Sedangkan anak yang menderita infesi saluran pernafasan, maka nafsu makan anak akan menurun, sementara kebutuhannya meningkat karena anak mengalami demam. Akhirnya anak akan mengalami penurunan berat badan, karena cadangan makanan yang disimpan didalam kulit baik dalam bentuk glikogen maupun lemak dipecah oleh tubuh untuk memenuhi kebutuhan anak. Bila terjadi dalam waktu lama, maka anak akan menderita kurang gizi. Anak yang kurang gizi akan mudah terkena penyakit sehingga pertumbuhan dan perkembangannya terganggu (Supariasa et al.2001). Dukungan Suami Terhadap Pemberian ASI Menurut Roesli (2000), dari semua dukungan bagi ibu menyusui, dukungan sang ayah adalah dukungan yang paling berarti bagi ibu. Ayah dapat berperan aktif dalam keberhasilan pemberian ASI khususnya ASI eksklusif (Pisacane et al. 2005).
21
Penelitian yang dilakukan oleh Februhartanty tahun 2006 di DKI Jakarta dengan wawancara mendalam, menunjukkan peran ayah dapat dimulai sejak masa kehamilan, persalinan, dan berlanjut hingga masa pasca persalinan. Bentuknya dukungan dapat bersifat fisik dan non fisik. Dukungan fisik seperti mengantar dan ikut berdiskusi dengan dokter saat pemeriksaan kehamilan, mengantar dan ikut menyaksikan proses persalinan, dilanjutkan dengan membantu pekerjaan rumah, mengurus bayi dan atau mengasuh anak lainnya, termasuk mengurus diri sendiri. Sedangkan dukungan non fisik dapat berupa upaya berkesinambungan dalam mencari berbagai informasi tentang gizi dan kesehatan bayi/anak, kesiapan ayah untuk menjadi teman berdiskusi tentang halhal mengenai pola pemberian makan atau ASI bagi bayi, partisipasi ayah dalam pengambilan keputusan mengenai pola pemberian makan/ASI. Selanjutnya, pengetahuan yang benar tentang pola pemberian makan bayi selayaknya dapat menjadi acuan untuk saling meyakinkan antara ayah dan ibu bahwa setiap ibu dapat mempraktikkan pemberian ASI sesuai yang direkomendasikan.
Namun
seringkali
dengan
beranjaknya
usia
bayi,
kekhawatiran akan kecukupan produksi ASI sering muncul untuk segera menambah susu formula dalam pola makan bayi. Sebuah penelitian di Jakarta menemukan bahwa kecenderungan bayi diberi susu formula sebagai tambahan adalah saat menginjak usia tiga bulan. Pada ibu yang tidak bekerja, umumnya sang ayahlah yang berperan aktif memilih dan membelikan minuman/makanan pengganti ASI (PASI). Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan diri dan keterampilan menilai kecukupan produksi ASI harus dimiliki tidak hanya oleh ibu tapi juga ayah. Pada saat yang bersamaan, ayah juga berperan dalam memastikan asupan gizi ibu saat masa menyusui. Selain percaya diri dan cukup gizi, ibu menyusui juga harus diberikan kenyamanan dalam setiap proses menyusui. Kenyamanan baik secara fisik maupun psikologis sehingga ibu mempunyai cukup waktu untuk menyusui dan proses menyusui menjadi pengalaman yang menyenangkan. Ayah dapat berperan dengan memberikan bantuan fisik untuk meringankan beban tugas rumah tangga dan juga memberikan dukungan psikologis untuk meningkatkan kerja hormon yang berperan dalam produksi dan pengeluaran ASI (Sears & Sears 2003; Riordan 2005). Penelitian yang terkait dengan keterlibatan ayah dalam mempromosikan ASI sudah banyak dilakukan, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Susin
22
dan Giugliani (2008) di Brazil Selatan pada 586 keluarga, menunjukkan bahwa ayah yang ikut berpartisipasi dalam mempromosikan ASI secara signifikan meningkatkan cakupan pemberian ASI eksklusif oleh ibu kepada bayinya. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Pisacane et al. (2005) di Campania (Nepal), hasil menunjukkan ayah yang diberi pelatihan secara signifikan mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan menyusui, karena ibu lebih merasa percaya diri untuk memberikan ASI-nya dan mempunyai hambatan atau gangguan yang lebih rendah dibanding ayah yang tidak mendapatkan pelatihan.
Karakteristik keluarga Keluarga merupakan lingkungan terdekat dari anak yang peranannya penting dalam tumbuh kembang anak. Karakteristik keluarga adalah segala hal yang melekat pada keluarga tersebut dan sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak yang berada dalam keluarga tersebut, antara lain pendidikan orangtua, status pekerjaan ibu, pendapatan dan besar keluarga. Pendidikan Orangtua Pendidikan
merupakan
salah
satu
sarana
untuk
meningkatkan
kecerdasan dan keterampilan manusia sehingga kualitas sumber daya manusia sangat tergantung pada kualitas pendidikan. Latar belakang pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor penting yang ikut menentukan keadaan gizi anak.
Menurut Satoto (1990), tingkat pendidikan orangtua yang tinggi akan
menjamin diberikannya stimulasi yang mendukung perkembangan anak-anaknya dibandingkan orangtua dengan tingkat pendidikan yang rendah. Orangtua yang berpendidikan
rendah
memiliki
pengetahuan
tentang
kesehatan
dan
perkembangan anak yang kurang dan kebiasaan mengasuh anak sebagian besar didapat dari orangtuanya terdahulu atau tetangganya. Pendidikan
orangtua
terutama
pendidikan
ibu
berperan
dalam
penyusunan pola makan keluarga maupun dalam pola pengasuhan. Ibu yang memiliki pendidikan lebih rendah akan lebih semangat untuk mencari dan meningkatkan pengetahuan serta keterampilan dalam pengasuhan anaknya (Khomsan 2002). Ibu yang berpendidikan tinggi juga mempunyai sifat lebih terbuka terhadap hal-hal yang baru karena sering membaca artikel-artikel pemberitaan melalui surat kabar, majalah, maupun televisi mengenai anak, sehingga lebih mengerti perkembangan diri anak.
23
Menurut Engle et al. (1997), ibu dengan pendidikan tinggi cenderung mempunyai komitmen untuk usaha penyediaan waktu yang lebih banyak dalam pengasuhan anak dibanding dengan yang berpendidikan rendah. Pendidikan rendah membuat ibu tidak banyak mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan dalam pengasuhan anak. Pendidikan dalam hal ini biasanya dikaitkan dengan pengetahuan yang akan berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan pemenuhan kebutuhan gizi (khususnya seorang ibu). Salah satu contohnya, prinsip yang dimiliki oleh seseorang dengan pendidikan rendah biasanya adalah ‘yang penting mengenyangkan’, sehingga porsi bahan makanan sumber karbohidrat lebih banyak dibandingkan dengan kelompok bahan makanan lain. Sebaliknya, kelompok orang dengan pendidikan tinggi memiliki kecenderungan memilih bahan makanan sumber protein dan akan berusaha menyeimbangkan dengan kebutuhan gizi lain (Setyoningsih 2011). Status Bekerja Ibu Pekerjaan orangtua berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi keluarga karena berhubungan dengan pendapatan yang akan diterima. Namun ada juga dampak negatif ibu bekerja antara lain ibu tidak selalu ada pada saatsaat yang penting dimana ia sangat dibutuhkan, tidak semua kebutuhan anggota keluarganya dapat dipenuhi, dan ibu yang bekerja menjadi lelah, sehingga ketika pulang kerja ia tidak mempunyai energi untuk bermain dengan anaknya (Yuliana 2002). Ibu yang bekerja juga dapat mempengaruhi pemberian ASI terutama ASI eksklusif. Peningkatan partisipasi perempuan dalam memasuki lapangan pekerjaan diluar rumah dari waktu kewaktu semakin meningkat. Meningkatnya partisipasi angkatan kerja perempuan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain peningkatan tuntutan ekonomi yang menyebabkan sebagian keluarga tidak dapat
mempertahankan kesejahteraannya
hanya
dari
satu
pendapatan.
Masuknya perempuan dalam dunia kerja akan mengubah peran ibu dalam mengasuh anak. Tingkat Pendapatan Salah satu ukuran tingkat ekonomi adalah tingkat pendapatan keluarga. Tingkat pendapatan yang tinggi memberikan peluang yang lebih besar bagi keluarga untuk memilih pangan yang baik berdasarkan jumlah maupun jenisnya, sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan menurunnya daya beli
24
pangan baik secara kualitas maupun kuantitas. Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun sekunder (Soetjiningsih 1995). Besar pendapatan keluarga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu keluarga. Krisis ekonomi membuat harga-harga kebutuhan dasar keluarga menjadi lebih tinggi, sehingga berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat bawah, yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Menurut BPS, jika keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, maka keluarga tersebut termasuk dalam kategori keluarga miskin (BPS 2007). Kemiskinan berhubungan dengan faktor
kurang
gizi
yang
pada
akhirnya
akan
berpengaruh
terhadap
perkembangan anak. Kemiskinan menyebabkan berkurangnya kesempatan dan kemampuan orangtua untuk merangsang perkembangan anak. Anak-anak dalam keluarga miskin yang paling rawan terhadap kekurangan gizi adalah anak yang paling kecil (Satoto 1990). Meningkatnya taraf hidup (kesejahteraan) masyarakat, pengaruh promosi iklan, serta kemudahan informasi, dapat menyebabkan perubahan gaya hidup dan timbulnya kebutuhan psikogenik baru dikalangan masyarakat ekonomi menengah keatas. Tingginya pendapatan yang tidak diimbangi dengan pengetahuna gizi yang cukup, akan menyebabkan seseorang menjadi sangat konsumtif dalam hal pola makannya sehari-hari, sehingga pemilihan suatu bahan makanan lebih didasarkan kepada pertimbangan selera dibandingkan aspek gizi, seperti
kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan impor, terutama jenis
siap santap (fast food) (Sulistyoningsih 2011). Besar Keluarga Besar keluarga sangat penting dilihat dari terbatasnya bahan makanan yang tersedia terutama pada keluarga yang berpendapatan rendah. Dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga, konsumsi pangan hewani akan berkurang dan makanan pokok diganti dengan yang lebih murah atau dapat pula berkurang (Suhardjo 1990). Menurut Soetjiningsih (1995), jumlah anak dalam suatu keluarga turut mempengaruhi perhatian dan kasih sayang yang diberikan, terlebih jika jarak anak terlalu dekat. Apabila keluarga memiliki tingkat sosial ekonomi kurang maka jumlah anak tidak hanya menyebabkan berkurangnya kasih sayang tetapi juga mempengaruhi konsumsi keluarga yang akan
25
berdampak pada status gizi anak. Dengan terbatasnya jumlah anak, anak akan mendapatkan kesempatan yang lebih baik untuk tumbuh dan berkembang. Lebih lanjut Gunarsa (2003) berpendapat, makin besar anggota keluarga, maka jumlah interaksi interpersonal semakin banyak dan kompleks. Semakin besar anggota keluarga akan semakin sedikit perhatian yang diperoleh anak dari orangtuanya. Hal ini disebabkan semakin banyak anggota keluarga maka pembagian perhatian pada masing-masing anggota keluarga juga akan semakin sedikit, sehingga hal ini akan mempengaruhi ibu dalam pengasuhan dan perawatan anak-anaknya dan terutama akan berpengaruh pada anak balita.