5
TINJAUAN PUSTAKA Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Ibu Hamil serta Berat dan Panjang Bayi Lahir Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Karakteristik sosial ekonomi keluarga yang mempengaruhi status gizi ibu hamil serta berat dan panjang bayi lahir, yaitu pendidikan, pekerjaan, pendapatan, dan besar keluarga. Uraian mengenai masing-masing faktor adalah sebagai berikut: Pendidikan dan Pekerjaan Pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia sehingga kualitas pendidikan sangat berpengaruh terhadap sumberdaya manusia. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, pendidikan adalah hak setiap warga negara yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga program pendidikan mempunyai andil yang besar terhadap kemajuan sosial ekonomi suatu bangsa. Tingkat pendidikan yang ditempuh merupakan salah satu indikator kualitas sumberdaya manusia. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin baik pula sumberdaya manusianya (BPS 1997). Faktor penting yang dapat menentukan keadaan gizi anak yaitu pendidikan orang tua. menyatakan Terdapat dua sisi kemungkinan hubungan tingkat pendidikan orangtua dengan keadaan gizi anak, yakni: (1) pendidikan kepala rumah tangga secara langsung atau tidak langsung menentukan keadaan ekonomi rumah tangga dan (2) pendidikan istri disamping modal utama dalam perekonomian rumah tangga juga berperan dalam menyusun pola makan rumah tangga. Tingkat pendidikan ibu hamil pun berperan dalam kepedulian ibu terhadap
janin
yang
dikandungnya
(Tarwodjo
dan
Soekirman
1988).
Demographic and Health Survey di Kamboja tahun 2005 mengungkapkan hasil penelitian bahwa pendidikan ibu yang berkaitan dengan status sosial ekonomi berhubungan terhadap status gizi dan kesehatan anak. Dalam analisis multivariat yang dilakukan pada penelitian tersebut, diketahui bahwa terdapat hubungan signfikan antara pendidikan ibu dengan kurangnya risiko melahirkan bayi dengan ukuran kecil (p < 0,01), OR = 0.68 untuk pendidikan sekolah dasar dan OR = 0,47 untuk pendidikan sekolah menengah (Miller dan Rodgers 2009).
6
Pendidikan sangat berkaitan dengan pekerjaan ibu karena semakin tinggi pendidikan maka akan semakin baik pekerjaan yang diperoleh. Pekerjaan yang baik akan menjamin pemenuhan terhadap akses pangan dan kesehatan serta proses keputusan pada konsumsi. Hal tersebut dikarenakan pekerjaan akan mempengaruhi pendapatan yang diperoleh. Menurut penelitian Ambarwati, Sulchan, dan Wardani (2005), status pekerjaan ibu akan memberikan pengaruh terhadap status gizi anak (p = 0,016). Pendapatan Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi sehingga terdapat hubungan erat antara pendapatan dan status gizi. Rendahnya pendapatan menyebabkan rendahnya daya beli terhadap makanan dan berkurangnya konsumsi pangan keluarga sehingga akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al 1990). Sementara itu, Miller dan Rodgers (2009) menyatakan bahwa pada level rumah tangga, tingkat pendapatan dan kekayaan akan berhubungan dengan akses terhadap pembelian makanan (daya beli) dan pelayanan kesehatan anak. Semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi pula aksesnya terhadap makanan yang bergizi, air bersih, pakaian, pengadaan ventilasi dalam rumah, bahan bakar untuk memasak, penyimpanan pangan, higienitas, dan pelayanan kesehatan. Menurut Martianto dan Ariani (2004), tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jumlah dan jenis bahan pangan yang dikonsumsinya. Sesuai dengan hukum bennet yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pagan yang dikonsumsi pun semakin baik, yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan dengan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, rendahnya pendapatan yang dimiliki oleh seseorang akan mengakibatkan terjadinya perubahan kebiasaan makan yang tercermin dari pengurangan frekuensi makan dari tiga kali menjadi dua kali dalam sehari. Selain itu, masyarakat berpendapatan rendah juga akan mengkonsumsi pangan dalam jumlah dan jenis yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang seperti mengkonsumsi tahu dan tempe sebagai pengganti daging. Dickute et al (2004) melakukan penelitian prospective case control yang dilakukan terhadap 581 bayi lahir dengan BBLR di Lithuania. Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa ibu yang memiliki pendapatan rendah memiliki
7
peningkatan risiko 2,5 kali untuk melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan ibu yang memiliki pendapatan tinggi (OR = 2,50; 95% CI: 2.07-3.07). Selain itu, diungkapkan bahwa ibu yang tinggal di wilayah pedesaan memiliki risiko 1,7 kali melahirkan dengan BBLR dibandingkan ibu yang tinggal di wilayah perkotaan (OR = 1,70; 95% CI: 1.35-2,04). Hal serupa juga diungkapkan oleh sebuah penelitian terhadap 106 orang ibu hamil di Kabupaten Batang yang melaporkan hasil
bahwa
tingkat
pendapatan
keluarga
berhubungan
dengan
BBLR
(p = 0,000). Selain itu, diungkapkan pula bahwa tingkat pendapatan merupakan faktor risiko terjadinya BBLR dengan OR untuk tingkat pendapatan < Rp 200.000 per bulan adalah 14,88 dan OR untuk tingkat pendapatan Rp 200.000-400.000 per bulan adalah 1,62 (Trisnani 2000). Besar Keluarga Banyaknya anggota keluarga sangat mempengaruhi konsumsi pangan dalam keluarga. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidaklah cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar. Besar keluarga juga berpengaruh pada pengeluaran rumah tangga. Menurut Sanjur (1982), banyaknya anggota dalam suatu keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Dalam hubungan antara besar keluarga dan konsumsi pangan, diketahui bahwa keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya dibandingkan dengan keluarga dengan jumlah anak yang lebih sedikit. Selain itu, diungkapkan pula bahwa keadaan keluarga dengan konsumsi pangan yang kurang maka ibu hamil dan menyusui serta bayi dan anak balitanya akan lebih sering menderita gizi kurang.
8
Karakteristik Ibu Hamil Karakteristik ibu hamil yang mempengaruhi status gizi ibu hamil serta berat dan panjang bayi lahir yaitu usia ibu hamil, paritas, jarak kelahiran, riwayat kesehatan, riwayat persalinan, pertambahan beran badan ibu hamil. Uraian mengenai masing-masing faktor adalah sebagai berikut: Usia Ibu Hamil Usia berhubungan dengan tahap reproduksi, ibu yang dianggap optimal untuk kehamilan adalah antara 20 sampai dengan 34 tahun. Sedangkan usia yang dibawah atau diatas usia tersebut akan meningkatkan risiko kehamilan dan persalinan (Kusumawati 2006). Usia ibu < 20 tahun belum cukup matang untuk menghadapi kehidupan sehingga belum siap secara fisik dan mental dalam menghadapi kehamilan dan persalinan. Pada umur tersebut, rahim dan panggul ibu belum berkembang dengan baik sehingga perlu diwaspadai kemungkinan mengalami persalinan yang sulit dan keracunan kehamilan atau gangguan lain karena ketidaksiapan ibu untuk menerima tugas dan tanggung jawabnya sebagai orangtua. Sebaliknya, jika usia ibu > 35 tahun cenderung mengalami perdarahan, hipertensi, obesitas, diabetes, myoma uteri, persalinan yang lama, dan penyakitpenyakit lainnya (Depkes 2001). Supriyati, Doeljachman, dan Susilowati (2000) mendapatkan temuan bahwa umur ibu hamil yang merupakan faktor risiko distorsia (penyulit persalinan) yang memerlukan tindakan. Ibu hamil yang berusia < 20 tahun atau ≥ 35 tahun memiliki risiko 4 kali lebih tinggi mengalami distorsia dibandingkan dengan ibu yang berusia 20-35 tahun. Penelitian yang dilakukan terhadap 236 kasus kehamilan remaja (usia < 20 tahun) di Indonesia, melaporkan hasil bahwa kehamilan pada usia remaja memiliki resiko 5,1 kali melahirkan bayi dengan berat bayi labir rendah (RR = 5,10; 95% CI: 3,60-7,40) (Dasuki dan Setiawan 1995). Selain itu, Sistiarani (2007) mengungkapkan hasil penelitiannya di Banyumas terhadap 23 kasus kehamilan dengan usia ibu hamil < 20 tahun dan > 35 tahun dan 46 kontrol, yaitu usia ibu hamil berpengarh terhadap kejadian berat bayi lahir rendah ()R = 4,28; 95% CI: 1,48-12,40).
9
Paritas dan Jarak kehamilan Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu, baik kelahiran hidup maupun kelahiran mati. Seorang ibu yang sering melahirkan mempunyai risiko mengalami anemia pada kehamilan berikutnya apabila tidak memperhatikan kebutuhan gizi karena selama kehamilan zat-zat gizi akan terbagi untuk ibu dan untuk janin yang dikandungnya (Wibowo dan basuki 2006). Penelitian yang dilakukan terhadap 41 ibu hamil di Tegal mengungkapkan bahwa ibu yang memiliki paritas > 4 memiliki hubungan bermakna dengan BBLR dengan p=0,017 (Septarini 2003). Sedangkan, Farsi et al (2011) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa ibu yang memiliki paritas 8-9 memiliki risiko yang tinggi terhadap anemia selama kehamilan (RR = 9,98; 95% CI: 6,95-12,05). Jarak kelahiran adalah rentang waktu sejak kelahiran sebelumnya hingga kehamilan yang sedang dialami. Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan anemia. Hal ini disebabkan belum pulihnya kondisi ibu dan pemenuhan kebutuhan zat-zat gizi belum optimal tetapi tubuh sudah harus memenuhi kebutuhan gizi janin yang dikandungnya. Ibu hamil yang memiliki jarak kelahiran < 2 tahun memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita anemia (Wibowo dan Basuki 2006) Menurut Suharno et al (1992), jarak kelahiran yang dekat dan sering melahirkan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi cadangan zat besi pada ibu hamil, selain konsumsi dan absorpsi zat besi yang rendah. Apabila konsumsi gizi ibu hamil kurang dari yang dibutuhkan maka cadangan zat gizi di dalam tubuh ibu akan digunakan untuk menutupi kekurangan tersebut. Jika kehamilan berikutnya berdekatan dengan kehamilan sebelumnya maka ibu tidak memiliki cukup waktu untuk mengembalikan cadangannya dan akan berpotensi menyebabkan terjadinya kurang gizi. Pane dan Aritonang (2011) melaporkan hasil penelitiannya yang dilakukan pada 98 ibu hamil di Medan bahwa kejadian BBLR dan Kematian Janin Dalam Kandungan (KJDK) lebih banyak pada ibu yang memiliki jarak kehamilan < 2 tahun, dengan persentase 65,4%. Riwayat Kesehatan Masalah kehamilan bukan hanya merupakan masa-masa yang rawan akan gangguan kesehatan tetapi juga sangat menentukan kualitas sumberdaya manusia di masa depan. Hal ini dikarenakan tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Apabila keadaan
10
kesehatan ibu hamil baik maka janin yang dikandungnya akan baik pula serta keselamatan ibu saat melahirkan akan terjamin. Kondisi tersebut dapat direalisasikan dengan memenuhi kecukupan gizi bagi ibu hamil. Apabila kecukupan akan energi dan protein telah terpenuhi maka kecukupan zat-zat gizi lain umumnya akan terpenuhi atau setidaknya tidak terlalu sulit untuk memenuhinya (Khumaidi 1994). Rachmawati (2004) menyatakan bahwa banyak faktor yang akan menentukan kesehatan kehamilan seseorang. Salah satu dari faktor-faktor tersebut adalah riwayat kehamilan. Kehamilan yang pernah dilalui oleh seorang ibu hamil akan sangat menentukan kualitas kehamilan berikutnya. Selain itu, kebutuhan gizi antara orang sehat dan orang sakit terutama yang baru sembuh dari sakit berat tidak bisa disamakan. Sel-sel tubuh orang sakit sebagian telah mengalami kerusakan dan perlu digantikan. Oleh karena itu, orang tersebut membutuhkan zat gizi yang lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhan gizi yang biasanya guna membangun kembali sel-sel tubuh yang telah rusak, kemudian kelebihan zat gizi tersebut diperlukan untuk memulihkan tenaga. Selama periode kehamilan, banyak penyakit yang dapat diderita dan terkait dengan kesehatan kehamilan seorang ibu hamil. Penyakit-penyakit umum yang muncul selama periode kehamilan adalah anemia, hipertensi, diabetes, ambeien atau hemorrhoid (Thompson 2004). Penelitian yang dilakukan di Kendal terhadap 40 ibu hamil melaporkan bahwa kejadian BBLR dipengaruhi oleh riwayat kehamilan. Ibu hamil yang mempunyai riwayat kehamilan buruk (pernah abortus, prematur, melahirkan bayi mati, dan BBLR) memiliki probabilitas untuk kejadian BBLR sebesar 75,39% Riwayat Persalinan Hingga saat ini, angka kematian maternal di Indoensia masih sangat tinggi. World Summit for Children Goal (WSC Goal) memperkirakan 213 kejadian kematian maternal per 100.000 kelahiran hidup. Terdapat perbedaan yang cukup nyata antara angka kematian maternal di kawasan Jawa-Bali dan kawasan lainnya, misalnya angka kematian maternal di kawasan Sumatera dan Indonesia Timur sama yakni 2% sedangkan di kawasan Jawa-Bali hanya 0,7%. Hal ini mencerminkan adanya pola kematian berdasarkan segi geografis, akses dan kualitas pelayanan kesehatan serta sumberdaya manusia (Senewe dan Sulistiyowati 2004).
11
Lebih lanjut Senewe dan Sulistiyowati (2004) menyatakan bahwa komplikasi obstetrik sangat berpengaruh pada kematian maternal. Masalah kematian maternal merupakan masalah yang kompleks karena meliputi banyak hal yakni derajat kesehatan termasuk status kesehatan reproduksi dan status gizi ibu sebelum dan selama kehamilan. Kejadian komplikasi obstetrik terjadi pada 20% seluruh ibu hamil, namun komplikasi obstetrik yang tertangani kurang dari 10% seluruh ibu hamil. Komplikasi yang sering terjadi di Indonesia yakni perdarahan, partus lama, demam/infeksi, dan preeklamsia/eklamsia. Ibu hamil dikatakan mengalami komplikasi persalinan jika mengalami salah satu atau gabungan dari dua atau lebih komplikasi. Terdapat hubungan yang bermakna anatara komplikasi kehamilan (gabungan dari beberapa keluhan selama kehamilan) dengan komplikasi persalinan. Ibu yang mengalami komplikasi kehamilan memiliki risiko untuk mengalami komplikasi persalinan sebesar 2,9 kali dibandingkan ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan (Senewe dan Sulistiyowati 2004). Pertambahan Berat Badan Ibu Hamil Kenaikan berat badan wanita hamil selama kehamilan adalah 10-12,5 kg, termasuk penimbunan lemak ± 3,5 kg agar tidak terjadi kelahiran bayi dengan berat rendah. Pada trimester ketiga sekitar 90% dari kenaikan ini digunakan untuk pertumbuhan janin, plasenta, dan cairan amnion. Terdapat kenaikan berat badan antara ibu hamil yang cukup gizi dan tidak cukup gizi. Pola umum kenaikan berat badan ibu hamil yaitu, (1) Trimester I sebesar 1 kg (kenaikan minimal, hampir seluruhnya adalah bagian dari ibu); (2) Trimester II sebesar 3 kg (kenaikan sekitar 0,3 kg/minggu, sekitar 60% adalah bagian dari ibu); dan (3) Trimester 3 sebesar 6 kg (kenaikan sekitar 0,3-0,5 kg/minggu, sekitar 60% adalah bagian dari janin). Sementara itu, timbunan lemak di tubuh sekitar 3-3,5 kg, sehingga umumnya kenaikan berat badan ibu selama kehamilan di negara maju berkisar 10-12,5 kg dan 5-7 kg di negara berkembang (Soetjiningsih 1998 diacu dalam Zulaekah 2004). Selama trimwulan pertama, aspek kualitatif diet lebih penting daripada kuantitatifnya. Gangguan gizi selama triwulan pertama, terutama kekurangan mikronutrien tertentu untuk pembelahan sel seperti seng dan asam folat dapat menimbulkan
efek
teratogenik.
Pada
trimwulan
akhir,
pembesaran
sel
merupakan hal yang lebih penting, sehingga aspek kuantitatif diet lebih penting.
12
Apabila terjadi gangguan gizi (baik kurang gizi maupun anemia) selama periode ini, maka akan mengakibatkan berat bayi lahir rendah. Upaya yang dilakukan untuk mecapai kenaikan berat badan selama kehamilan, yaitu meningkatkan asupan energi 300 kkal/hari atau sekitar satu porsi makan lebih banyak dari sebelum hamil. Selain itu, World Health Organization menganjurkan masukan protein untuk ibu hamil sekitar 1,01 gr/kg.BB/hari dan energi 46 kkal/kg.BB/hari untuk rata-rata ibu hamil dengan berat awal 55 kg (Zulaekah 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 55 ibu hamil di Semarang, diungkapkan bahwa pertamban berat badan ibu selama trimester II (p = 0,00; r = 0,69) dan trimester III (p = 0,00; r = 0,66) berhubungan dengan kelahiran bayi dengan berat rendah (Fitranti 2007). Hal tersebut senada dengan hasil penelitian yang melibatkan 270 ibu hamil di Iran, yakni bahwa ibu hamil yang memiliki pertambahan berat badan yang tidak normal cenderung melahirkan bayi dengan berat badan rendah (p < 0,05; OR = 2,37; 95% CI: 1,70-3,20) (Yekta et al 2006). Gaya Hidup Merokok Rokok telah dikenal sejak abad ke-15 dan mulai menyebar akibat persepsi yang salah yakni bahwa mengisap daun tembakau merupakan salah satu model pengobatan dengan tumbuhan dan dedaunan sehingga para tabib dan dokter pada masa itu memerintahkan pasiennya untuk merokok sebagai salah satu bentuk pengobatan bagi penyakit yang diderita. Oleh karena itu, hingga saat ini merokok merupakan kebiasaan turun-temurun (Husaini 2007). Tembakau merupakan kandungan rokok yang terdiri dari campuran ratusan zat kimiawi. Sebagian zat tersebut dapat ditemukan pada tanaman lain tetapi sebagian lainnya sudah menjadi ciri khas tembakau seperti nikotin dan eugenol yang berbahaya bagi kesehatan. Selain itu, tembakau telah berasimilasi dengan zat lain yakni pestisida sehingga asap yang dihasilkan dari perpaduan zat tersebut sangat berbahaya. Merokok berarti membakar tembakau dan daun tar, kemudian menghisap asap yang dihasilkannya. Apabila dianalisa asap dari pembakaran tersebut maka diketahui bahwa sekitar 60% kandungannya adalah gas dan uap yang terdiri dari 20 jenis gas diantaranya karbon monoksida, hidro sianida, nitric acid, nitrogen diokasida fluorocarbon, acetone, dan ammonia. Para peneliti mengungkapkan bahwa paling sedikit 9 dari keseluruhan gas yang ada dalam asap rokok merupakan gas yang berbahaya bagi paru-paru. Sebatang
13
rokok dengan ukuran normal umumnya mengandung 10-40 mg tar (racun) dan 1-2 mg nikotin. Sebuah penelitian mengemukakan bahwa asap rokok yang dihirup oleh perokok aktif selama 2-5 detik mampu menyerap 80-90% zat kimiawi yang kemudian menyusup dan merusak sistem pernafasan (Husaini 2007). Jenis rokok yang beredar di pasaran umumnya terbagi menjadi 2 yaitu rokok filter dan rokok kretek (non filter). Perbedaan antara kedua jenis rokok tersebut didasarkan atas kandungan nikotinnya. Pada rokok kretek, kandungan nikotin yang terkandung lebih besar dibandingan rokok filter. Hal tersebut dapat terjadi karena pada rokok kretek tidak dilengkapi dengan filter yang berfungsi untuk mengurangi asap yang keluar dari rokok seperti yang terdapat pada jenis filter (Susanna, Hartono, dan Fauzan 2003). Menurut Rose-Neil (2007), terdapat tiga zat yang membahayakan janin jika ibu hamil selama kehamilan memiliki kebiasaan merokok yakni karbon monoksida, sianida, dan nikotin. Karbon monoksida akan bercampur dengan hemoglobin dalam darah sehingga jumlah oksigen yang tersedia bagi janin akan berkurang. Sianida adalah zat yang beracun dan jika bercampur dalam makanan dapat mengurangi jumlah zat gizi bagi janin. Tubuh membutuhkan banyak vitamin B12 untuk dapat melepaskan sianida. Sedangkan, nikotin dapat mengurangi gerakan pernafasan fetus dan menyebabkan kontraksi pembuluh arteri pada plasenta dan tali pusar sehingga jumlah oksigen yang sampai ke janin akan berkurang. Pada saat yang bersamaan, jantung fetus berdetak lebih kuat untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada tubuhnya. Kurangnya oksigen dan makanan bergizi dapat menyebabkan cacat pada janin. Husaini (2007) pun menyatakan bahwa seorang ibu yang merokok selama kehamilan dapat mengakibatkan terjadinya BBLR, kematian prenatal, dan SIDS (Sudden Infant Death Syndrome), kelahiran prematur, dan keguguran. Chiolero, Bovet, dan Paccaud (2005) mengungkapkan hasil penelitian bahwa 19,9% dari 6284 kelahiran di Canton of Vaud (Switzerland) berasal dari ibu yang merokok selama kehamilan. Merokok dapat meningkatkan risiko kelahiran dengan BBLR 2,7 kali dibandingkan ibu yang tidak merokok (OR = 2,70; 95% CI: 2,10-3,50). Selain itu, diungkapkan pula bahwa sebanyak 22% kelahiran dari ibu yang merokok mengalami BBLR.
14
Ventura, Hamilton, dan Chandra (2003) melaporkan hasil sebuah studi yang melakukan pengamatan mengenai tren dan variasi kebiasaan merokok selama kehamilan dan BBLR. Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa wanita hamil yang merokok selama kehamilan menurun menjadi 12,2% pada tahun 2000 dibandingkan 1989 (19,5%). Populasi wanita yang merokok selama kehamilan umumnya adalah remaja dan wanita usia 20an. Insiden BBLR dari ibu yang merokok jumlahnya dua kali lipat dibandingkan ibu yang tidak merokok. Sebanyak 15,1% wanita yang merokok setidaknya 1,5 bungkus per hari melahirkan dengan BBLR. Angka tersebut ternyata lebih tinggi pada wanita yang merokok < 5 batang per hari, dengan persentase 9,7% dibandingkan wanita yang tidak merokok, dengan persentase 5,6%. Konsumsi Alkohol Konsumsi alkohol selama kehamilan dapat berpengaruh buruk pada janin. Rose-Neil (2007) menyatakan bahwa alkohol yang dikonsumsi ibu hamil akan terserap dari usus menuju ke hati. Kemudian, di dalam hati alkohol akan bercampur dengan zat-zat lainnya. Alkohol yang tidak dapat diolah oleh hati mengalir mengikuti aliran darah dan terbawa ke setiap sel tubuh, termasuk plasenta, dan langsung menuju janin. Sebuah penelitian yang melakukan percobaan dengan menyuntikan alkohol dalam jumlah banyak ke tubuh seekor kera hamil di Maryland (USA) melaporkan hasil bahwa mengecil dan memucatnya tali pusar dalam waktu lima belas menit setelah penyuntikan membutuhkan waktu satu jam untuk pulih pada kondisi seperti semula. Peristiwa tersebut menunjukan bahwa konsumsi alkohol berlebihan selama kehamilan menyebabkan terputusnya sirkulasi darah janin dalam waktu singkat, sehinga mengakibatkan keterlambatan mental pada anak-anak. Virji (1991) mengungkapkan penenlitian antara hubungan konsumsi alkohol dengan BBLR di Penssylvania, dimana diketahui konsumsi alkohol selama kehamilan berhubungan dengan BBLR (p < 0,02). Penelitian tersebut pun melaporkan bahwa peningkatan risiko BBLR seiring peningkatan konsumsi alkohol ditunjukan dengan perbedaan hubungan signifikan rata-rata BBLR pada berbagai tingkat konsumsi alkohol (p < 0,01). Penelitian lainnya yang dilakukan di Meksiko melaporkan bahwa wanita dengan Alcohol Dependence Syndrome memiliki risiko yang sangat tinggi terhadap BBLR dan Preterm Delivery (p = 0,026; OR = 12,10; 95% CI: 1,30-108,90) (Borges et al 1993).
15
Keluhan Kesehatan Keluhan ringan sering terjadi selama awal kehamilan, semakin tua usia kehamilan maka keluhan semakin berkurang kecuali varises dan kaki bengkak yang akan semakin meningkat. Keluhan ringan dapat diatasi dengan obat-obatan tertentu yang tidak membahayakan ibu dan janin. Beberapa keluhan dan gangguan yang sering terjadi selama kehamilan yaitu morning sickness, hipersalivasi, kram betis, varises, sinkope (pingsan), dan kaki bengkak (Bandiyah 2009).
Morning Sickness Keadaan tersebut terjadi pada pagi hari saat bangun tidur dengan tanda pening di kepala dan mual ringan sampai muntah yang disebabkan oleh gangguan metabolisme karbohidrat.
Hipersalivasi Pengeluaran air liur mulai meningkat pada beberapa orang sehingga menambah kesulitan untuk makan. Air liur dapat mengakibatkan gangguan “gigi” yakni pembengkakan gusi.
Kram betis Pada awal kehamilan sering terjadi keluhan kram betis karena defisiensi beberapa vitamin tertentu dan mineral seperti vitamin E dan vitamin B kompleks serta kalsium.
Varises Varises adalah pembengkakan pembuluh darah hingga tampak dari luar. Sebagian varises terjadi pada kehamilan berulang dan kehamilan > 3 kali. Varises disebabkan oleh hormon kehamilan dan sebagian besar terjadi karena keturunan. Pada kasus yang berat dapat terjadi infeksi dan bahaya yang paling penting adalah thrombosis yang dapat menyebabkan gangguan sirkulasi darah.
Sinkope (Pingsan) Keadaan ini ditandai dengan kepala ringan dan pening serta mata kabur sejenak akibat bangun secara mendadak. Pada keadaan tersebut, aliran darah ke pusat susunan saraf (otak) terhambat sehingga terjadi kekurangan darah menuju otak.
Kaki Bengkak Kaki bengkak sering terjadi pada usia kehamilan trimester ke III. Terdapat dua gangguan kaki bengkak yaitu retensi (penahanan) air dan garam
16
karena gestosis dan tertekannya pembuluh darah. Keadaan yang parah ditandai dengan sakit kepala, pandangan mata kabur, dan peningkatan kadar protein pada pemeriksaan urine. Beberapa Keluhan dan Gangguan lain yang terjadi selama kehamilan yaitu (Rose-Neil2007):
Bekas guratan Berupa alur hitam di perut, pantat, paha, dan payudara karena pecahnya serat-serat elastik bagian dalam kulit.
Sembelit Keadaan seperti ini berhubungan dengan efek pengenduran dari hormon kehamilan pada bagian usus yang diperburuk dengan pembesaran rahim yang menekan usus. Penyebab lainnya adalah kurangnya konsumsi makanan berserat dan pemberian TTD.
Mimisan Keadaan seperti ini sering terjadi selama kehamilan dan berhubungan dengan tingginya kadar hormon dan kongesti yang membuat pembuluh darah mudah rusak.
Kulit terasa kering dan gatal Hal tersebut biasa terjadi di seluruh tubuh tetapi biasanya terjadi di bagian perut, dimana kulit mengalami peregangan akibat adanya bayi dalam kandungan. Penyebab rasa kering dan gatal disebabkan oleh kurangnya aupan salah satu vitamin B.
Konsumsi Pangan Ibu Hamil Kebutuhan Gizi Ibu Hamil Makanan ibu selama kehamilan hendaknya mengandung jumlah dan mutu gizi yang baik. Apabila ibu hamil mengkonsumsi makanan yang rendah jumlah dan mutu gizinya maka akan menyebabkan kemunduran kesehatan janin. Pada kondisi yang seperti ini, mula-mula janin yang berada dalam kandungan akan mengambil cadangan zat-zat gizi yang ada di dalam tubuh ibu dan apabila keadaan ini berlangsung cukup lama maka janin akan menggunakan zat-zat gizi yang ada di dalam jaringan tubuh ibunya. Akibat hal tersebut maka kesiapan ibu sewaktu melahirkan akan berkurang karena rendahnya cadangan gizi ibu. Kusharisupeni
(2008)
menyatakan
bahwa
gizi
pada
ibu
hamil
akan
mempengaruhi pertumbuhan janin. Perubahan fisiologis pada ibu mempunyai
17
dampak besar terhadap asupan ibu dan kebutuhan gizi karena ibu harus memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin yang sangat pesat selama kehamilan dan agar proses kelahiran dapat berjalan baik. Hardinsyah dan Martianto (1992) menyatakan bahwa peningkatan kebutuhan gizi terjadi selama kehamilan. Hal ini merupakan akibat dari proses anabolik dalam tubuh ibu hamil. Peningkatan kebutuhan ini digunakan untuk pembentukan sel-sel dan jaringan-jaringan baru, serta untuk memenuhi energi pertumbuhan dan aktivitas bagi ibu maupun energi pertumbuhan untuk janin yang dikandungnya. Makanan yang mencukupi zat gizi adalah makanan yang mencukupi kebutuhan semua zat gizi yang diperlukan tubuh, jumlah yang diperlukan berbeda-beda tergantung pada tahap perkembangannya. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004), peningkatan energi untuk ibu hamil adalah 180 kkal (trimester I) dan 300 kkal (trimester II dan III). Kebutuhan energi pada trimester I meningkat secara minimal. Pada trimester II dan III kebutuhan akan terus meningkat sampai pada akhir kehamilan. Energi tambahan pada trimester II diperlukan untuk peningkatan komponen dalam tubuh ibu seperti penambahan volume darah, pertumbuhan uterus dan payudara, serta penumpukan lemak. Sedangkan, energi tambahan pada trimester III diperlukan untuk pertumbuhan janin dan plasenta (Arisman 2004). Ibu hamil membutuhkan protein lebih banyak dari biasanya, minimal 60,0 g/hari. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004), peningkatan protein yaitu 17,0 g untuk kehamilan trimester I-III. Protein penting bagi pertumbuhan, hampir 70% protein dipakai untuk pertumbuhan janin. Protein diperlukan untuk membangun tubuh dari seukuran sel hingga mencapai 3,5 kg. Protein juga digunakan untuk membuat ari-ari serta pembuatan cairan ketuban dan penambahan jaringan tubuh ibu (Nadesul 2005). Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat, dan protein. Pangan sumber energi yang tinggi lemak antara lain lemak/gajih dan minyak, buah berlemak (alpukat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari, dan kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar air rendah (kacang tanah dan kacang kedelai) serta aneka produk turunannya. Pangan sumber energi tinggi karbohidrat antara lain beras, oat, jagung dan serealia lainnya serta umbiumbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar air rendah (pisang, kurma, dan sebagainya), dan aneka produk turunannya. Sedangkan, pangan sumber energi
18
tinggi protein antara lain daging, ikan, telur, susu, dan aneka produk turunannya (Hardinsyah dan Tambunan 2004). Menurut Depkes (2002), kelompok pangan sumber karbohidrat harus dikonsumsi enam porsi per hari secara beraneka ragam. Apabila vegetarian maka porsi ditambah menjadi 6-7 porsi per hari. Menurut Almatsier (2003), bahan pangan hewani merupakan sumber protein yang baik dalam jumlah maupun mutunya. Sumber protein hewani adalah telur, susu, daging, unggas, ikan, dan kerang. Sedangkan sumber protein nabati adalah kacang-kacangan dan olahannya (tempe, tahu, dan sebagainya). Depkes (2002) menyatakan bahwa kelompok pangan hewani seperti daging, ikan, ayam, dan alternatifnya dan kelompok pangan nabati seperti tempe, tahu, dan kacangkacangan harus dikonsumsi tiga porsi per hari. Tabel 1. Kebutuhan vitamin dan mineral selama kehamilan
Zat Gizi Vitamin C (mg) Thiamin (mg) Riboflavin (mg) Niacin (ng) Vitamin B-6 (mg) Asam Folat (µg) Vitamin B-12 (µg) Pantotenat (mg) Biotin (µg) Kolin (mg) Vitamin A (µg RE) Vitamin D (µg) Vitamin E (mg) Vitamin K (µg) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Magnesium (mg) Besi (mg) Seng (mg) Yodium (µg) Selenium (µg) Flouride (mg) Sumber: Picciano 2003
Anjuran Menurut DRI Wanita Ibu Dewasa Hamil 75 85 1,1 1,4 1,1 1,4 14, 18 1,3 1,9 400 600 2,4 2,6 5 6 30 30 425 450 700 770 5 5 15 15 90 90 1000 1000 700 700 310 350 18 27 8 11 150 220 55 60 3 3
Akumulasi 9 Bulan Wanita Dewasa 20250 297 297 3780 351 108000 648 1350 8100 114750 189000 1350 4050 24300 270000 189000 83700 4680 2160 40500 14850 810
Ibu Hamil 22950 378 378 4680 513 162000 702 1620 8100 121500 207000 1350 4050 24300 270000 189000 94500 7290 2970 59400 16200 810
% Kenaikan Selama Kehamilan 60,00 27,27 45,45 21,43 53,85 25,00 16,67 40,00 16,67 29,41 85,71 0,00 26,67 0,00 0,00 0,00 0,00 50,00 50,00 93,33 27,27 0,00
19
Peningkatan kebutuhan gizi ibu hamiil tidak hanya pada energi dan protein saja tetapi juga zat gizi lainnya seperti vitamin dan mineral. Apabila ibu hamil mengalami kekurangan vitamin maupun mineral maka pembentukan selsel tubuh janin akan terhambat. Anak yang dilahirkan dapat menderita kurang darah, cacat bawaan, atau keguguran (Nadesul 2005). Peningkatan kebutuhan vitamin dan mineral selama kehamilan ditunjukan pada Tabel 1. Kebutuhan zat besi ibu meningkat pada kehamilan trimester II dan III. Pada masa tersebut, dibutuhkan tambahan suplemen zat besi meskipun makanan yang dikonsumsi sudah banyak mengandung zat besi dan tinggi bioavailabilitasnya (Nadesul 2005). Hal senada diungkapkan oleh Arisman (2004), semakin bertambahnya usia kehamilan maka zat besi yang dibutuhkan semakin meningkat. Berdasarkan Yongki (2007), zat besi yang diperlukan selama kehamilan yaitu 30,0-44,0 mg elemen besi setiap hari, dapat berbentuk 150,0 mg besi sulfat, 300,0 mg besi glukonat, atau 100 mg besi fumarat. Almatsier (2003) menyatakan bahwa menjelang trimester II kebutuhan zat besi mulai meningkat karena terjadi pertambahan sel-sel darah merah yang akan terus berlanjut hingga trimester III. Pangan sumber zat besi yaitu pangan hewani seperti hati, daging, ayam, ikan, dan telur. Selain itu, sumber zat besi lain yaitu serealia, kacang-kacangan, sayuran hijau, dan beberapa jenis buah. Depkes (2002) menyatakan bahwa sayur/buah harus dikonsumsi 7 porsi perhari dan susu serta olahannya harus dikonsumsi 2 porsi per hari. Terkait anemia defisiensi besi, konsumsi zat gizi yang perlu diperhatikan selain zat besi yaitu protein, vitamin B6 (katalisator sintetsis hem), vitamin C (mempengaruhi absorpsi besi ke seluruh tubuh), vitamin E (mempengaruhi stabilitas sel darah merah), serta vitamin A dan vitamin B12 (pembentukan sel darah merah) (Almatsier 2003). Oleh karena itu, konsumsi pangan yang beragam, bergizi, dan berimbang sebaiknya juga mempertimbangkan densitas zat gizi. Menurut Drenowski (2005), densitas zat gizi adalah rasio antara kandungan zat gizi terhadap kandungan energi total bahan makanan tersebut. Jika suatu bahan makanan memiliki kandungan beberapa zat gizi yang tinggi densitas gizi dan cukup rendah kandungan energinya, maka bahan makanan tersebut disebut nutrient-dense atau padat gizi. Sebaliknya jika kandungan sedikit kandungan zat-zat gizinya dan tinggi kandungan energinya, maka digolongkan sebagai nutrient-sparse atau nutrient-thin atau miskin gizi.
20
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Konsumsi pangan adalah jumlah pangan tunggal atau beragam yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Konsumsi pangan akan mempengaruhi kesehatan ibu hamil, baik sebelum masa kehamilan. Jika konsumsi pangan sebelum hamil terpenuhi maka kemungkinan besar gangguan kesehatan tidak akan terjadi (Hardinsyah dan Martianto 1992). Meskipun pola makan ibu dapat mempengaruhi janin tetapi pada kehamilan akhir fetus mampu menghisap kebutuhan makanannya melalui plasenta sehingga bila seseorang ibu kekurangan makan maka dia bisa lebih menderita daripada bayi yang dikandungnya. Hal ini sangat berkebalikan dengan kehamilan awal, saat janin belum memiliki plasenta dan tergantung seluruhnya pada pasokan makanan dalam darah ibunya (Rose-Neil 2007). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi yaitu faktor endogen, faktor eksogen, dan persepsi/wawasan. Faktor endogen yaitu keturunan, jenis kelamin, dan usia. Sedangkan, faktor eksogen adalah sosial budaya, ciri masyarakat, dan sistem ekonomi. Persepsi/wawasan yang dapat mempengaruhi konsumsi meliputi pengetahuan, kepercayaan, menyenangkan, harga, prestige, familiarity, rasa atau selera, toleran, dan kesan menyenangkan (Susanto 1997). Masalah Konsumsi Pangan Masalah yang sering terjadi dalam konsumsi pangan ibu hamil antara lain ibu hamil tidak menyadari adanya peningkatan kebutuhan gizi selama masa kehamilan sehingga menimbulkan perilaku gizi salah. Dampaknya adalah ketidakseimbangan antara konsumsi gizi dibandingkan dengan kebutuhan. Selain itu, terdapat anggapan bahwa sebagian ibu hamil takut mengalami kesulitan melahirkan karena bayi yang dikandungnya menjadi besar apabila mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak sehingga ibu hamil cenderung mengurangi pangannya. Di beberapa daerah masih terdapat kebiasaan pantang atau tabu terhadap makanan tertentu selama kehamilan seperti ikan dan sebagainya. Padahal, makanan tersebut justru merupakan sumber zat gizi yang diperlukan (Depkes 2000). Penelitian yang dilakukan terhadap 11585 ibu hamil di Inggris melaporkan bahwa peningkatan konsumsi ikan dapat mengurangi kejadian IUGR (Intrauterine Growth Retardasion) atau hambatan pertumbuhan janin dibandingkan ibu yang tidak mengkonsumsi ikan, OR = 1,85; 95% CI: 1,44-2,38 (Rogers et al 2004).
21
Rao et al (2001) memaparkan sebuah studi prospektif terhadap 797 wanita hamil di pedesaan India yang memperoleh hasil bahwa berat lahir bayi dipengaruhi oleh konsumsi susu (p < 0,05), konsumsi sayuran hijau (p < 0,001), dan konsumsi buah (p < 0,01). Bukti status gizi yang baik akibat asupan pangan yang bergizi berpengaruh terhadap berat lahir bayi juga diungkapkan dalam sebuah hasil penelitian bahwa seluruh bayi lahir yang berasal dari ibu pada kelompok fortifikasi zat multigizi mikro memiliki berat > 2,5 kg, sedangkan pada kelompok kontrol terdapat kasus BBLR sebesar 3,6% dan pada kelompok tanpa fortifikasi 5,3% (Prihananto 2007). Fasilitas Kesehatan Langkah yang cukup penting dalam melaksanakan upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan adalah melakukan standarisasi. Standar yang berkaitan dengan proses pelayanan bagi ibu hamil meliputi standar pelayanan dasar 5T (penimbangan badan, pengukuran tekanan darah, pengukuran tinggi fundus, imunisasi Tetanus Toksoid (TT), dan pemberian TTD). Menurut Depkes (2009) standar pelayanan yang sesuai standar meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan), pemeriksaan laboratorium, serta intervensi sesuai dengan risiko yang ditemukan dalam pemeriksaan, dimana meliputi 10 T yaitu disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kegiatan pemeriksaan kesehatan ibu hamil 10 T No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kegiatan 10 T Penimbangan berat badan Pengukuran tinggi badan Pengukuran tekanan darah Pengukuran status gizi (LILA) Pengukuran tinggi fundus uteri Pemeriksaan USG Pemberian imunisasi TT Pemberian TTD Pemeriksaan Laboratorium Konseling (pra persalinan dan pasca persalinan)
Menurut Aviyanti (2005), pengukuran terhadap sejuah mana pelayanan kesehatan berhasil diterapkan sesuai standar dapat disebutkan beberapa hal yang membantu dalam penetapan masalah, yaitu kompetensi teknis, akses terhadap
pelayanan,
efektifitas,
hubungan
antar
kelangsungan pelayanan, keamanan, dan pelayanan.
manusia,
efisiensi,
22
Kompetensi teknis Terkait dengan kemampuan atau keterampilan petugas kesehatan, yakni apakah seorang petugas kesehatan mempu menerapkan 4 hal seperti dapat dipertanggungjawabkan, ketepatan, ketahanan uji, dan konsistensi.
Akses terhadap pelayanan Pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh faktor geografis, sosial, ekonomi, budaya, atau hambatan bahasa.
Efektifitas Kualitas pelayanan tergantung dari efektifitas yang menyangkut norma dan pelayanan kesehatan, dan petunjuk klinis.
Hubungan antar manusia Terkait antara hubungan petugas kesehatan dengan pasien seperti menumbuhkan kepercayaan, menjaga rahasia, menghormati, responsive, memberi perhatian, mendengarkan keluhan, dan berkomunikasi secara aktif.
Efisiensi Efisiensi akan mempengaruhi pelayanan kesehatan, pelayanan yang efisien akan memberikan perhatian optimal daripada memaksimalkan pelayanan kepada pasien dan msyarakat.
Kelangsungan pelayanan Paien dapat menerima pelayanan dengan lengkap sesuai dengan kebutuhan.
Keamanan Mengurangi risiko bahaya yang lain terkait dengan pelayanan.
Kenyamanan Kenyamanan meliputi penampilan fisik fasilitas kesehatan, personil, peralatan medis dan non medis, kebersihan, dan waktu. Berbagai alasan terkait dengan perilaku masyarakat terhadap pemilihan
pelayanan kesehatan yaitu, letak dan biaya fasilitas kesehatan yang tidak terjangkau, petugas kesehatan tidak ramah, mencari pertolongan fasilitas tradisional (dukun beranak), serta mencari fasilitas kesehatan yang diadakan oleh pemerintah (puskesmas, rumah sakit, dsb),
23
Pemeriksaan Kesehatan Pemeriksaan Kesehatan di Unit Pelayanan Kesehatan Pemeriksaan kesehatan selama kehamilan bermanfaat agar penyakitpenyakit dengan risiko tinggi dapat diketahui secara dini dan pengobatan dapat segera dilakukan sehingga komplikasi penyakit dapat dihindarkan atau dikurangi serta angka kesakitan maupun kematian ibu dan anak dapat dikurangi (Tanjung 2004). Menurut Wibowo dan Basuki (2006), perawatan kehamilan dapat menurunkan risiko kematian bayi dalam dua tahun pertama. Sementara itu, perawatan kehamilan oleh dokter akan menurunkan 1,2 kali risiko kematian bayi dibandingkan yang tidak pernah melakukan perawatan kehamilan. Sebuah penelitian yang mengamati beberapa faktor maternal, sosial ekonomi, dan pengetahuan serta praktek antenatal care pada ibu hamil di Magelang melaporkan bahwa praktek antenatal care berhubungan dengan kejadian BBLR (p = 0,02; OR = 4,33; 95% CI: 1,23-15,71) (Hidayati 2002). Penelitian di Makassar juga mengungkapkan bahwa ibu hamil yang rendah dalam kunjungan antenatal memiliki peningkatan risiko melahirkan bayi dengan BBLR, dengan OR = 2,70; 95% CI: 1,20-6,10 (Amiruddin dan Yusuf 2008). Sementara itu, Srivastava et al (2000) yang melakukan penelitian cross sectional terhadap 889 ibu hamil di Lucknow melaporkan bahwa insiden tertinggi BBLR (56,25%) dialami oleh ibu yang tidak menerima antenatal care dan insiden terendah BBLR (18,56%) dialami oleh ibu yang menerima antenatal care. Perbedaan keduanya dianalisis secara statistik dan diperoleh hasil yang signifikan (p < 0,001). Pemeriksaan kesehatan ibu hamil dilakukan oleh tenaga profesional yang meliputi pemeriksaan kehamilan sesuai dengan standar pelayanan yaitu minimal 4 kali pemeriksaan selama kehamilan, satu kali pada trimester I, satu kali pada trimester II, dan dua kali pada trimester III. Pemeriksaan kesehatan di unit pelayanan kesehatan yang umum dilakukan pada ibu hamil mencakup 5T, tetapi Depkes (2009) menyatakan bahwa pelayanan antenatal care yang sesuai standar meliputi kegiatan 10T, dimana seluruh kegiatan mencakup anamnesis, pengukuran fisik, pemeriksaan laboratorium, serta intervensi sesuai dengan risiko yang ditemukan dalam pemeriksaan. Berdasarkan Depkes (2010), cakupan pemeriksaan kesehatan ibu hamil mencapai 83,8%, jika ditinjau menurut kelengkapan frekuensi kunjungan pada trimester I hingga trimester III diketahui bahwa hanya 61,4% ibu yang
24
memeriksakan kesehatan ≥ 4 kali. Sedangkan, jenis pemeriksaan kehamilan terdiri dari 8T, yaitu pengukuran tinggi badan, berat badan, tekanan darah, tinggi fundus uteri, hemoglobin, serta pemberian TTD, imunisasi TT, dan pemeriksaan urine. Secara keseluruhan, hanya 61,8% ibu yang menerima 6-8 jenis pemeriksaan kehamilan, 35% ibu menerima 3-5 jenis pemeriksaan kehamilan dan
2,8%
menerima
1-2
jenis
pemeriksaan
kehamilan.
Nurul
(2007)
mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa frekuensi pemeriksaan kesehatan selama kehamilan berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 26,8% ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kesehatan < 4 kali ternyata memiliki hubungan dengan kejadian BBLR (p = 0,001). Tablet Tambah Darah/TTD Pada Ibu Hamil Anemia merupakan masalah kesehatan terbesar di dunia terutama bagi kelompok wanita hamil. Defisiensi Fe berperan besar dalam kejadian anemia, namun defisiensi zat gizi lainnya seperti vitamin A, vitamin B12, dan asam folat juga berperan terhadap kejadian anemia. Defisiensi Fe terjadi saat jumlah Fe yang diabsorpsi tidak memenuhi kebutuhan tubuh. Hal ini disebabkan rendahnya asupan, penurunan bioavailabilitas dalam tubuh, peningkatan kebutuhan karena perubahan fisiologi seperti kehamilan, dan proses pertumbuhan. Anemia defisiensi Fe merupakan penyebab utama anemia pada ibu hamil dibandingkan defisiensi zat gizi lain, sehingga anemia selama kehamilan diidentikkan dengan anemia defisiensi besi (ADB). Pengukuran hemoglobin (Hb) sering digunakan dalam penentuan status ADB tetapi kesalahan klasifikasi sering terjadi karena overlap antara rentang nilai Hb pada orang normal dan defisiensi besi sehingga digunakan pengukuran lain untuk mendukung penentuan status anemia, misalnya serum feritin. Konsentrasi serum feritin paralel dengan penyimpanan zat besi karena konsentrasi 1 µg/L sama dengan 10 mg cadangan besi. Oleh karena itu, konsentrasi serum feritin merupakan satu-satunya pengukuran yang dapat menggambarkan status kekurangan zat besi, kelebihan zat besi, atau normal (Gibson 2005). Menurut WHO (2007), defisiensi zat besi pada ibu hamil ditandai dengan kadar Hb < 110 g/L dan serum feritin < 20 µg/L. ADB lebih sering terjadi pada kelompok berisiko tinggi tertentu seperti wanita dengan status sosial ekonomi rendah, memiliki keterbatasan pendidikan, paritas tinggi, memiliki sejarah menorrhagia atau beberapa kehamilan, diet rendah asam askorbat ataupun daging, mereka yang menyumbangkan darah
25
tiga kali per tahun, dan pengguna aspirin secara rutin (Feightner 2010). World Health Organization/WHO (2008) melaporkan bahwa prevalensi ibu-ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 41,8%. Sedangkan di Indonesia, prevalensi ADB masih mencapai angka 40,1% (Depkes 2007). Fatmah (2008) mengungkapkan bahwa persentase ADB pada wanita hamil yang berasal dari keluarga miskin akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia kehamilan (8% saat trimester I, 12% saat trimester II, dan 29% saat trimester III, dan 22% saat pascapersalinan). Anemia dapat menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin, baik sel tubuh maupun otaknya. Selain itu, anemia juga dapat mengakibatkan kematian janin dalam kandungan, abortus, cacat bawaan, dan berat bayi lahir rendah (BBLR). Sedangkan menurut Yongki (2007), pengaruh anemia selama kehamilan adalah (1) dapat terjadi abortus, (2) persalinan prematuritas, (3) hambatan tumbuh kembang janin dalam rahim, (4) mudah terjadi infeksi, (5) ancaman dekomposisi kordis jika Hb < 6 g/L, (6) mola hidatidosa, (7) hiperemesis gravidarum, (8) perdarahan antepartum, (9) ketuban pecah dini (KPD). Amiruddin dan Wahyuddin (2007) mengemukakan sebuah hasil penelitian yang menyatakan bahwa angka kematian ibu adalah 70% untuk ibu-ibu yang anemia dan 19,7% untuk mereka yang non anemia. ADB dapat dicegah dengan memelihara keseimbangan antara asupan Fe dengan kebutuhan dan kehilangan Fe. Jumlah Fe yang dibutuhkan untuk memelihara keseimbangan ini bervariasi tergantung pada riwayat reproduksi dan jumlah kehilangan darah selama masa menstruasi. Peningkatan konsumsi Fe selama kehamilan dilakukan melalui penigkatan konsumsi makanan yang mengandung
heme
iron,
bersifat
mempercepat
non-heme
iron,
dan
meminimalkan konsumsi makanan yang dapat ditambah dengan suplemen Fe terutama bagi wanita hamil dan nifas (Fatmah 2008). Kegiatan pencegahan dan penanggulangan masalah anemia yang telah dilaksanakan oleh pemerintah melalui pelaksanaan antenatal care yaitu berupa pemberian Tablet Tambah Darah (TTD). Menurut Depkes RI (1999), pemberian TTD dilakukan pada ibu hamil selama trimester I-III (Fe 1-3) dan dapat diteruskan hingga masa nifas. Dosis pencegahan yakni pemberian sehari 1 tablet (60 mg besi elemental dan 0,25 gram asam folat) berturut-turut selama minimal 90 hari masa kehamilannya hingga 42 hari setelah melahirkan. Sedangkan, dosis
26
pengobatan yakni pemberian 3 tablet sehari selama 90 hari masa kehamilan hingga 42 hari setelah melahirkan. Berdasarkan penelitian Palma et al (2008), diketahui bahwa pemberian suplementasi Fe ditambah dengan asam folat mampu mengurangi risiko berat bayi lahir rendah (OR = 0,58; 95% CI: 0,340,98). Sedangkan, Schmidt et al (2001) dalam penelitiannya memperoleh hasil bahwa suplementasi Fe yang dikombinasikan dengan vitamin A tidak berdampak pada berat bayi lahir (3.2±0.5 kg). Menurut Fatmah (2008), suplementasi besi-folat adalah salah satu strategi untuk meningkatkan asupan Fe yang berhasil hanya jika individu mematuhi aturan konsumsinya. Banyak faktor yang mendukung rendahnya tingkat kepatuhan tersebut, seperti individu sulit mengingat aturan minum setiap hari, minimnya dana untuk membeli suplemen secara teratur, dan efek samping yang tidak nyaman pasca konsumsi seperti sembelit dan gangguan lambung. Berdasarkan Depkes (2007), cakupan pemberian TTD sudah mencapai angka 92,2%. Meskipun demikian, kegiatan tersebut belum membuahkan hasil yang memuaskan karena rendahnya kepatuhan untuk mengkonsumsi TTD berkaitan dengan rasanya yang kurang disukai dan gangguan gastrointestinal yang sering terjadi pasca konsumsi. Perawatan Individu Perawatan kehamilan individu merupakan kegiatan dalam pemeliharaan kesehatan selama kehamilan melalui perawatan diri dan kesadaran untuk memeriksakan kehamilan. Hal tersebut merupakan salah satu upaya penting dalam menjaga kesehatan dan mencegah kesakitan serta kematian selama kehamilan.
Selain
itu,
pemeliharaan
kesehatan
juga
bertujuan
untuk
mempersiapkan kondisi ibu sehingga dapat melalui proses persalinan dengan selamat dan dapat melahirkan bayi yang sehat dengan berat badan yang cukup. Perawatan kehamilan individu dapat dilakukan melalui kegiatan seperti (1) perawatan diri yang terdiri dari perawatan payudara dan melakukan senam hamil,
konsumsi
suplemen,
jamu,
dan
susu
khusus
ibu
hamil
serta
(2) mengkonsumsi makanan yang bergizi dan sehat (Sokisno 1998). Selain itu, perawatan individu lainnya yang dapat dilakukan adalah menyesuaikan pekerjaan selama kehamilan, menghentikan atau mengurangi gaya hidup yang tidak baik seperti konsumsi alkohol, merokok, dan mengurangi konsumsi obatobatan yang dapat membahayakan kehamilan (Rose-Neil 2007).
27
Penyakit atau Infeksi Penyakit yang berhuungan langsung dengan kehamilan, misalnya perdarahan antepartum, trauma fisik dan psikologis, diabetes mellitus, dan penyakit infeksi menjadi salah sau penyebab berat bayi lahir rendah karena janin tumbuh lambat atau mempercepat usia kehamilan. Penyait infeksi akut antara lain disebabkan oleh masuknya mikroorganisme patogen dalam tubuh, kemudian dapat menyebabkan timbulnya gejala atau tanda-tanda penyakit. Mikroorganisme penyebab infeksi dapat berupa bakteri, protozoa, jamur, dan virus (rubella atau toksoplasma). Hal tersebut dapat menyebabkan kelainan dan penularan kongenital pada bayi, sehingga bayi yang dilahirkan prematur atau beratnya rendah. Disamping itu, patogenesis kejadian berat bayi lahir rendah juga diakibatkan oleh penyakit TB paru, malaria, penyakit non infeksi seperti jantung, asma, dan kurang gizi. Penyakit-penyakit tersebut dapat mengganggu proses fisiologis metabolisme dan pertukaran gas pada janin, sehingga berakibat pada resiko prematur dan berat bayi lahir rendah (Sistiarani 2008). Infeksi Mulut dan Gigi Terkait dengan infeksi, maka kebersihat mulut dan gigi memiliki peran penting karena dapat mengakibatkan timbuhlnya bebagai macam penyakit lokal maupun sistemik. Infeksi mulut dan gigi dipengaruhi oleh pola makan dan kebiasaan menggosok gigi, serta faktor-faktor lain seperti susunan gigi geligi, serta komposisi dan sekresi saliva. Infeksi yang terjadi pada jaringan periodontium secara langsung melalui aliran darah ke cairan amnion dapat menginfeksi plasenta dan secara tidak langsung bakteri mengeluarkan endotoksin dan mediator proinflamasi yang mempengaruhi perkembangan janin. Peningkatan mediator proinflamasi dianggap berhubungan dengan terjadinya berat bayi lahir rendah. Penelitian mengenai infeksi periodontium dilaporkan Aditya dan Santoso (2006), yang melakukan studi terhadap 20 ibu hamil di Semarang. Hasil dari penelitian tersebut adalah tidak adanya hubungan antara infeksi periodontium terhadap berat bayi lahir rendah (p > 0,05). Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian Collins et al (1996), dimana pada studi yang melibatkan 124 ibu hamil di Amerika dihasilkan bahwa infeksi periodontium berpengaruh terhadap berat bayi lahir rendah (OR = 7,9).
28
Pengetahuan Gizi Ibu Hamil Pengetahuan merupakan segala sesuatu yang meliputi ingatan akan halhal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Hal-hal ini dapat meliputi fakta, kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui. Menurut Berg (1986), pengetahuan gizi sangat diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat konsumsi gizi. Ibu sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap konsumsi makanan bagi keluarga harus memiliki pengetahuan tentang gizi baik diperoleh melalui pendidikan formal, maupun non formal serta melalui media massa seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Menurut Sediaoetama (2006), pengetahuan gizi akan membantu dalam mencari berbagai alternatif pemecahan masalah yang terkait kondisi gizi keluarga. Guna menanggulangi kekurangan konsumsi yang disebabkan oleh daya beli yang rendah, perlu diusahakan pemanfaatan pekarangan sekitar rumah. Dewasa ini, pemberian atau penyajian makanan keluarga di kota masih kurang mencukupi. Banyak keluarga yang merasa lega apabila sudah mengkonsumsi makanan pokok. Suhardjo (2005) menyatakan bahwa upaya peningkatan pengetahuan gizi terhadap konsumsi didasari atas tiga kenyataan, yaitu: -
Status gizi yang cukup merupakan hal yang penting bagi kesehatan dan kesejahteraan
-
Setiap orang hanya akan mencukupi gizi yang diperlukan, jika makanan yang dimakan dapat menyediakan zat gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, pemeliharaan, dan energi
-
Ilmu gizi memberikan fakta-fakta sehingga masyarakat dapat belajar menggunakan pangan yang baik bagi perbaikan gizi.
Sebuah penelitian mengenai hubungan antara pengetahuan gizi ibu hamil dan status gizi ibu hamil, dimana dalam penelitian yang melibatkan 55 ibu hamil di Karanganyar menghasilkan bahwa pengetahuan gizi ibu hamil berhubungan dengan status gizi ibu hamil ( p = 0,003) (Retnaningsih 2010). Selain itu, pada penelitian yang melibatkan 106 ibu hamil di Surakarta menghasilkan bahwa pendidikan dan pengetahuan gizi ibu berpengaruh terhadap berat bayi lahir, dengan masing-masing p = 0,006 dan p = 0,014 (Mutalazimah 2004).
29
Psikologis Ibu Hamil Kehamilan merupakan krisis maturasi yang dapat menimbulkan stres. Namun, jika krisis terebut dapat ditanggulangi, ibu hamil siap untuk mulai memasuki fase baru, yaitu mengemban tanggung jawab dan merawat kehamilannya. Perkembangan ini membutuhkan tugas perkembangan yang pasti dan tuntas, yaitu menerima kehamilan, mengindentifikasi peran sebagai ibu, membangun kembali hubungan dengan ibunya, dengan suami serta bayi yang dikandungnya. Dukungan suami secara emosional adalah faktor yang penting untuk keberhasilan tugas perkembangan ini. Disamping
itu, persalinan
merupakan ancaman yang menakutkan bagi ibu hamil seperti nyeri, kerusakan tubuh, dan bahkan kematian adalah resiko yang mengancam ibu hamil sehingga ketersediaan dukungan sosial untuk kesejahteraan psikososial ibu hamil adalah faktor penting. Lingkungan sosial seringkali digunakan sebagai sumber terbesar dalam memperoleh nasihat kehamilan (Susanti 2001). Stres pada ibu hamil dipengaruhi oleh emosi, sosiologi, latar belakang budaya, dan penerimaan atau penolakan terhadap kehamilannya. Respon emosi dan psikologis ibu hamil termasuk menolak, menerima, introversi, perasaan berubah, dan perubahan citra tubuh. Menurut David (1961) dan Crandon (1979) diacu dalam Susanti (2001), tingginya kecemasan pada ibu hamil berhubungan dengan kejadian abnormal sebelumnya, misalnya abortus dan kasus-kasus yang terjadi pada akhir kehamilan. Sementara itu Sher (1989) diacu dalam Susanti (2001) menyatakan bahwa tingkat kecemasan atau stres memiliki efek negatif terhadap kesehatan ibu hamil. Sebuah studi yang dilakukan di Afrika terhadap 86 ibu hamil, yakni 43 orang ibu hamil menerima dukungan psikososial dan 43 ibu hamil sebagai kontrol memperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara dukungan psikososial dengan berat bayi lahir (p = 0,008), dimana ibu hamil yang tidak menerima dukungan psikososial cenderung melahirkan dengan berat yang lebih rendah dibandingkan ibu yang menerima dukungan psikososial (Rothberg 1991). Hal serupa juga diungkapkan sebuah penelitian terhadap 865 ibu hamil di Brazil, dimana kondisi stres pada ibu hamil berpengaruh terhadap berat bayi lahir rendah (p = 0,019; RR = 1,97; 95% CI: 22,10-52,90) dan prematuitas (p = 0,015; RR = 2,32; 95% CI: 22,10-52,90) (Rondo et al 2003).
30
Faktor janin Menurut Sistiarani (2008), faktor janin yang dapat mempengaruhi berat bayi lahir rendah adalah hidraamnion/polihidramnion, kehamilan ganda/kembar, atau cacat bawaan.
Hidraamnion/polihidrammnion Suatu keadaan, dimana banyaknya air ketuban melebihi 2000 cc, sedangkan pada keadaan normal banyaknya ketuban hanya mencapai 1000 cc untuk kemudian menurun lagi setelah minggu ke 38, sehingga hanya akan tersisa beberapa ratus cc saja. Hidraamnion dianggap sebagai kehamilan resiko tinggi karena dapat membahayakan ibu dan janin karena keadaan tersebut dapat menyebabkan uterus regang sehingga mengakibatkan prematur. Keadaan seperti ini biasanya dialami pada kehamilan ganda.
Kehamilan ganda/kembar Berat badan janin pada kehamilan ganda lebih rendah dibandingkan kehamilan tunggal pada usia kehamilan yang sama. Berat badan bayi yang umumnya pada kelahiran bayi kembar yaitu kurang dari 2500 g.
Cacat bawaan Cacat
bawaan
akibat
kelainan
kromosom
atau
infeksi
dapat
menyebabkan berat bayi lahir rendah atau mati dalam kandungan. Berbagai
penelitian
telah
mengungkapkan
dampak
kehamilan
ganda/kembar terhadap berat bayi lahir. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan pada tahun 1980-1990 di Kanada, Inggris, Perancis, dan Amerika, dimana dihasilkan bahwa di daerah yang tinggi kelahiran gandanya, terjadi peningkatan kelahiran prematur dan berat bayi lahir rendah (Blondel et al 2002). Hal tersebut serupa dengan pernyatan Cuningham et al (1999), yakni sebagian besar bayi di negara maju memiliki berat bayi lahir rendah yang disebabkan karena terhambatnya pertumbuhan intrauterine sebagai dampak dari penyakit jantung, diabetes melits, hipertensi, dan kelahiran ganda/kembar.
31
Status Gizi Ibu Hamil Kondisi Fisiologis Ibu Hamil Proses kehamilan merupakan mata rantai yang berkesinambungan, terdiri atas (1) ovulasi, (2) migrasi spermatozoa dan ovum, (3) nidasi (implantasi) pada uterus, (4) pembentukan plasenta, dan (5) pertumbuhan dan perkembangan janin hingga kelahiran. Pertumbuhan dan perkembangan janin selama kehamilan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor ibu, faktor janin, dan faktor plasenta. Faktor ibu yang dimaksud adalah kesehatan ibu hamil, penyakit yang menyertai kehamilan, penyulit kehamilan, kelainan pada uterus, jenis kehamilan (kehamilan ganda, tunggal, atau triplet), merokok atau konsumsi alkohol, dan asupan gizi ibu. Semenara itu, faktor janin adalah jenis kelamin, penyimpangan genetik, dan infeksi intrauteri (Hidayati 2009). Tahap-tahap yang terjadi selama proses kehamilan dari trimester I hingga trimester III adalah sebagai berikut (Brown 2007):
Trimester I: -
Setelah pembuahan terjadi maka zigot mulai berkembang membentuk blaktokista
-
Blaktokista menempel di dinding rahim, kantung ketuban mulai terbentuk
-
Area yang akan membentuk otak dan sumsum tulang belakang mulai berkembang
-
Jantung dan pembuluh utama berkembang disertai pembentukan awal lengan dan kaki, detak jantung dapat dilihat melalui USG
-
Kerangka mulai terbentuk, terlihat perkembangan jari tangan dan kaki
-
Ginjal mulai berfungsi
-
Hampir semua organ terbentuk dan janin dapat merespon sentuhan
-
Perut ibu mulai membesar disertai sedikit pertambahan berat badan
Trimester II: -
Jenis kelamin dapat diidentifikasi dan janin dapat mendengar
-
Jari-jari mulai terlihat jelas dan pergerakkan janin lebih sering
-
Tubuh janin mulai berkembang dan muncul rambut di kepala dan kulit
-
Plasenta mulai terbentuk secara utuh
-
Janin memiliki kesempatan untuk bertahan hidup di luar rahim
-
Berat badan ibu bertambah dengan cepat
32
Trimester III: -
Janin lebih aktif dan sering berubah posisi
-
Paru-paru mulai mencapai kematangan
-
Kepala janin mulai bergerak pada posisi kelahiran
-
Rata-rata panjang janin mencapai 20 inchi dengan berat 2,5-3 kg
-
Perut ibu membesar sehingga pada pusar terlihat tonjolan
Kehamilan dapat memicu sekaligus memacu terjadinya perubahan tubuh, baik secara anatomis, fisiologis, maupun biokimiawi. Perubahan ini dapat terjadi secara sistemik atau lokal seperti pada sistem endokrin, saluran pencernaan, ginjal dan saluran kemih, sistem kardiovaskular, kantong empedu, dan hati (Arisman 2002). Oleh karena itu diperlukan perhatian khusus terhadap gizi dan kesehatan ibu agar janin dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Penilaian Status Gizi Ibu Hamil Penilaian status gizi pada wanita hamil meliputi evaluasi terhadap faktor risiko diet, pengukuran antropometrik, dan biokimiawi. Penilaian tentang asupan pangan dapat diperoleh melalui recall 24 jam atau metode lainnya. Faktor risiko diet terbagi ke dalam dua kelompok yaitu risiko selama hamil dan risiko selama perawatan (antenatal). Risiko yang pertama adalah usia dibawah 18 tahun, keluarga prasejahtera, food faddism, perokok berat, pecandu obat dan alkohol, terlalu sering hamil (> 8 kali dengan selang waktu < 1 tahun), riwayat obstetrik buruk, pernah mengalami kelahiran mati, dan tengah menjalani terapi gizi untuk penyakit sistemik (Arisman 2002). Menurut Kusharisupeni (2008), berat bayi lahir rendah diakibatkan oleh kurangnya gizi selama kehamilan yang dapat diukur melalui hal-hal berikut:
Kenaikan berat badan yang rendah
Indeks massa tubuh yang rendah
Tinggi badan ibu yang pendek
Defisiensi gizi mikro
Ibu hamil dengan usia muda
Menderita penyakit infeksi atau malaria selama hamil
Merokok
33
Sementara itu, Deshmukh (1998) menyatakan bahwa beberapa faktor yang berkaitan dengan berat bayi lahir rendah merupakan faktor maternal seperti sosial-ekonomi, paritas, usia ibu, tinggi badan ibu, anemia, jarak kelahiran, indeks masa tubuh, pertambahan berat badan ibu, dan merokok. Sebuah penelitian mengenai Pregnancy Risk Assessment Monitoring System (PRAMS) mengungkapkan bahwa perilaku dan pengalaman ibu dapat berisiko terhadap hasil kelahiran. Perilaku yang diukur yaitu kehamilan tidak disengaja (unintended pregnancy), prenatal care, dan merokok hingga 3 bulan terkahir kehamilan (Beck et al 2002). Sementara itu, Indonesian Maternal Health Assessment menyebutkan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu selama kehamilan yaitu sosial-ekonomi termasuk di dalamnya pekerjaan, pendidikan, pendapatan, dan akses dalam pemenuhan kebutuhan serta pelayanan kesehatan (Rokx 2010). Dampak Kurang Gizi Terhadap Hasil Kehamilan Kekurangan gizi sebelum dan selama kehamilan dapat menghasilkan berat bayi lahir rendah (BBLR) atau lahir mati, cacat bawaan, hambatan pertumbuhan otak dan janin, anemia pada bayi baru lahir, bayi mudah terkena infeksi, abortus, dan sebagainya. Anak yang lahir dari ibu yang gizinya kurang dan hidup di lingkungan dengan ekonomi rendah maka akan mengalami kurang gizi dan mudah terkena infeksi, sehingga manifestasi dari kejadian tersebut adalah dewasa yang berat dan tinggi badannya kurang. Keadaan ini merupakan lingkaran setan yang akan berulang dari generasi ke generasi selama kemiskinan tersebut tidak ditanggulangi (McMillan 1985). King (2003) mengemukakan hasil penelitiannya bahwa kurangnya asupan makanan selama kehamilan akan berakibat pada rendahnya status gizi ibu. Hal tersebut akan memicu kompetisi untuk pemenuhan zat gizi antara ibu dengan janin sehingga kondisi tersebut akan menimbulkan retardasi pertumbuhan janin. Pada penelitian lainnya dilaporkan bahwa 35,65% wanita usia subur yang menderita KEK akan mengalami retardasi pertumbuhan janin sehingga menimbulkan risiko kelahiran bayi dengan berat rendah. Pada penelitian tersebut juga diungkapkan hasil penelitian sebelumnya yang mengamati 216 wanita hamil di Boston menunjukan bahwa wanita yang menderita gizi kurang atau buruk dapat melahirkan bayi dengan kondisi fisik yang kurang. Sebagian besar bayi lahir mati dan meninggal beberapa hari setelah dilahirkan, banyak bayi yang
34
dilahirkan dengan kelainan bawaan, premature, dan functionally immature dilahirkan oleh ibu yang asupan sehari-harinya tidak terpenuhi (Setianingrum 2005). Berat dan Panjang Bayi Lahir Berat Bayi Lahir Berat bayi saat lahir merupakan prediktor kuat pertumbuhan bayi dan kelangsungan hidup. Berat bayi normal ketika dilahirkan adalah ≥ 2500 g, sedangkan bayi yang memiliki berat < 2500 g dikategorikan sebagai berat bayi lahir rendah (BBLR). WHO/UNICEF (2004) menyatakan bahwa bayi dengan BBLR memiliki 20 kali kemungkinan untuk meninggal dibandingkan bayi normal. Bayi dengan berat yang rendah merupakan hasil dari preterm birth (< 37 minggu usia kehamilan) dan akibat hambatan pertumbuhan janin (intrauterine). Menurut Yongki (2007), BBLR terbagi menjadi 2 golongan, yaitu prematuritas murni dan dismaturitas. Prematuritas murni terjadi apabila masa gestasinya < 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi itu atau biasa disebut dengan Neonatus Kurang Bulan-Sesuai Masa Kehamilan (NKBSMK). Angka insiden adalah 6-7% di negara maju dan angka kematian ± 3 kali lipat di negara berkembang. Di Indonesia, kejadian bayi prematur diperkirakan sekitar 22-24%. Dismaturitas adalah bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa gestasi tersebut sehingga dapat diartikan bahwa bayi yang mengalami retardasi pertumbuhan intrauterine merupakan bayi yang kecil untuk masa kahamilannya. Berdasarkan WHO/UNICEF (2004), sekitar 15,5% dari 20 juta kelahiran adalah BBLR dan 95,6% diantaranya berasal dari negara berkembang. Prevalensi BBLR di Indonesi berdasarkan Depkes (2010a) yaitu 11,1%. Prevalensi
tersebut
lebih
tinggi
berada
di
daerah
pedesaan
(12,2%)
dibandingkan perkotaan (10,8%). Prevalensi BBLR di Indonesia tersebut ternyata sebanding dengan prevalensi BBLR di Asia Tenggara yaitu 11,6%. Penyebab BBLR berkaitan dengan kondisi kesehatan dan gizi ibu hamil. Ibu dengan status sosial ekonomi rendah lebih sering memiliki bayi dengan BBLR. Faktor utama penyebab BBLR adalah rendahnya keadaan gizi dan kesehatan ibu selama kehamilan. Prevalensi tertinggi dikarenakan adanya penyakit, infeksi, dan komplikasi seperti hipertensi, preeklamsia atau eklamsia,
35
dan sebagainya, serta kemiskinan. Beban fisik yang berat selama kehamilan juga berdampak pada terhambatnya pertumbuhan janin (WHO/UNICEF 2004). Selain itu, dinyatakan pula bahwa gaya hidup ibu seperti konsumsi alkohol, merokok, dan narkoba serta penyakit seperti HIV atau syphilis dapat mengakibatkan BBLR. BBLR sangat berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas janin dan bayi baru lahir, hambatan pertumbuhan dan perkembangan kognitif, serta penyakit kronis saat dewasa. Muthayya (2009) menyatakan bahwa BBLR dapat meningkatkan morbiditas, menyebabkan gangguan perkembangan mental, meningkatkan risiko penyakit kronis. Lebih lanjut dinyatakan bahwa bayi dengan berat 2000-2499 g saat lahir memiliki risiko empat kali lipat lebih tinggi dari kematian neonatal dibandingkan mereka yang beratnya 2500-3499 g. Semakin parah BBLR maka akan semakin besar risiko kematian. Bayi yang lahir dengan BBLR akan lebih sulit untuk catch-up ke ukuran normal di kemudian hari sehingga dapat menyebabkan stunting pada masa remaja. Panjang Bayi Lahir Panjang bayi lahir merupakan pengukuran yang penting selain berat badan bayi lahir untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan bayi di tahap usia selanjutnya. Namun, masih jarang panjang bayi lahir dikaitkan sebagai manifestasi dari keadaan gizi pada masa kehamilan. Istilah panjang dinyatakan sebagai pengukuran yang dilakukan ketika anak terlentang. Pengukuran panjang badan digunakan untuk menilai status perbaikan gizi. Selain itu, panjang badan merupakan indikator yang baik untuk pertumbuhan fisik yang sudah lewat (stunting) dan untuk perbandingan terhadap pertumbuhan relatif seperti berat badan dan lingkar lengan atas (Sinaga 2011). Pengukuran panjang sangat mudah dilakukan untuk menilai gangguan dan pertumbuhan anak. Menurut Depkes (2010b), panjang bayi lahir normal adalah 48-52 cm dan berdasarkan kurva pertumbuhan National Center for Health Statistics (NCHS) bayi akan mengalami penambahan panjang sekitar 2,5 cm setiap bulannya. Penambahan tersebut akan berangsur-angsur berkurang sampai usia 9 tahun, yaitu hanya sekitar 5 cm/tahun dan penambahan ini akan berhenti pada usia 18-20 tahun (Sinaga 2011).