TINJAUAN PUSTAKA Gizi dan Kesehatan Kesehatan
dan
gizi
mempunyai
peranan
yang
penting
dalam
pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Untuk mewujudkan derajat kesehatan dan status gizi yang optimal diperlukan pelayanan kesehatan dan konsumsi gizi yang memadai. Istilah gizi dan kesehatan bagaikan satu keping uang logam yang tidak dapat dipisahkan, saling terikat seperti ikatan kimia yang saling mempengaruhi. Gizi baik mampu merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan fisik, perkembangan mental, melindungi kesehatan dan sebagai pondasi untuk masa depan anak (WHO, 1996). Seorang anak sehat setidaknya dapat dilihat dari ada atau tidaknya penyakit infeksi yang diderita. Salah satu penyebab infeksi adalah akibat dari defisiensi satu atau beberapa zat gizi mikro. Penyebab dan konsekuensi dini defisiensi zat gizi mikro pada anak balita berimplikasi pada masa remaja dan akan beresiko pada generasi mendatang (IFPRI, 2000). Anemia defisiensi besi yang berat selama masa kanak-kanak akan berdampak pada masa berikut nya. Anemia akibat defisiensi zat gizi besi (IDA) dan defisiensi vitamin A atau kurang vitamin A (VAD) pada kehamilan berimplikasi secara signifikan pada kelahiran anak dengan simpanan zat besi yang rendah. Dengan adanya defisiensi vitamin A pada anak-anak dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kema tian, selain berdampak pada penglihatan. Defisiensi zat gizi mikro juga dapat menyebabkan kehilangan berat badan, kegagalan tumbuh pada anak dan penyebab penurunan cadangan zat gizi yang berpengaruh terhadap penurunan imunitas (Tomkins dan Watson, 1993). Defisiensi ringan merupakan pertanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi. Defisiensi zat gizi mikro pada tingkat awal kehidupan anak akan berpengaruh di sepanjang kehidupannya (Gambar 1).
6 Gangguan Perkembangan Mental
AKB Tinggi
Peningkatan resiko penyakit Penurunan kapasitas Merawat bayi
Bayi Berat Badan Lahir Rendah
Masa Tua Kurang Gizi
Pangan, Kesehatan dan perawatan tidak memadai
Sering infeksi AKABA Tinggi
Pangan, Kesehatan dan Perawatan t idak memadai
Anak Kurang Gizi
Gizi fetus tidak memadai
Penurunan Kapasitas mental
Wanita Kurang Gizi
AKA Tinggi Pangan, Kesehatan dan perawatan tidak memadai
Wanita Hamil, pertambahan BB rendah
Remaja Kurang Gizi
AKI Tinggi Penurunan kapasitas mental Imunitas Rendah, Morbiditas Meningkat
Imunitas Rendah Morbiditas Meningkat
Imunitas Rendah, Morbiditas Meningkat
Pangan, Kesehatan Penurunan dan perawatan kapasitas mental tidak memadai
Gambar 1. Siklus Kurang Gizi Sepanjang Hidup yang Dimodifikasi (Allen dan Gillespie, 2001)
Lingkaran kurang gizi pada Gambar 1 menunjukkan beberapa masalah defisiensi gizi, yakni penyebab dan konsekuensinya berpengaruh terhadap rendahnya imunitas. Defisiensi zat gizi mikro pada tingkat ringan dapat mengganggu kemampuan belajar, dan mengurangi produktifitas kerja, bahkan dapat menyebabkan penyakit dan meningkatkan kematian, terutama bagi anak balita (Soekirman, 2000). Manifestasi defisiensi zat gizi mikro sering nampak kecil dan tidak spesifik, tetapi dapat merusak perkembangan dan meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas (Dijkhuizen dan Wieringa, 2001).
7 Integrasi gizi dan kesehatan tercermin dalam kecuk upan semua zat gizi dari intik konsumsi harian. Pada akhirnya kecukupan intik gizi turut menentukan status gizi dan derajat kesehatan masyarakat yang merupakan outcome dari kesehatan masyarakat (IFPRI, 2000). Anak-anak yang kurang gizi akan memiliki respons imun yang rendah. Kebutuhan gizi bayi yang tidak tercukupi akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan di masa balita, yakni anak balita kurang gizi dan masa remaja kurang gizi serta masa dewasa sampai tua pun akan tetap kurang gizi. Wanita hamil yang kurang gizi akan melahirkan anak yang kurang gizi juga dengan resiko bayi yang memiliki berat badan lahir rendah (BBLR). Dampak BBLR akan berlangsung disepanjang hidup anak, karena berat badan lahir yang rendah itu erat kaitannya dengan kesakitan dan kematian bayi, serta pengaruh buruk dari keadaan gizi tersebut pada usia selanjutnya. Kurang gizi di masa bayi dan balita tidak dapat dikejar pada masa-masa berikutnya. Akibat dari kurang gizi akan terjadi penurunan kapasitas mental, peningkatan resiko penyakit, gangguan pertumbuhan bahkan kematian. Status Gizi Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, absorpsi, dan utilisasi zat gizi makanan yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu. Status gizi (nutritional status) merupakan keadaan gizi seseorang atau tanda-tanda/penampilan yang diakibatkan oleh zat gizi dapat terlihat melalui variabel tertentu (Suhardjo dan Riyadi, 1990). Status gizi dapat diartikan sebagai keadaan kesehatan fisik seseorang atau sekelompok orang yang ditentukan dengan salah satu atau kombinasi dari ukuranukuran gizi tertentu (Soekirman, 2000). Status gizi tubuh dipengaruhi oleh kecukupan zat-zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Status gizi yang baik terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat- zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan penggunaan zat gizi tersebut untuk pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan
8 pemeliharaan kesehatan. Apabila terjadi gangguan kesehatan, maka pemanfaatan zat gizipun akan terganggu. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial, sehingga menimbulkan akibat yang membahaya-kan, yakni terjadinya gangguan/masalah gizi. Gangguan gizi menurut Almatsier (2002) disebabkan faktor primer dan sekunder. Faktor primer, yakni susunan makanan kurang berkualitas dan kurang kuantitasnya, dan faktor sekunder adalah semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi. Penilaian status gizi seseorang dapat dilakukan dengan cara pengukuran langsung dan tidak langsung. Pengukuran status gizi secara langsung menurut Supariasa, Bachtiar, dan Ibnu (2002) ada empat macam, yakni: secara antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik; sedangkan pengukuran tidak langsung seperti survei konsumsi makanan, statistik vital, dan faktor ekologi. Cara pengukuran status gizi yang paling sering dan umum digunakan adalah penilaian status gizi secara antropometri, ya itu menggunakan ukuran tubuh manusia. Parameter yang digunakan antara lain berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Indeks antropometri yang digunakan antara lain BB/U, TB/U, dan BB/TB. Perbedaan penggunaan indeks akan memberikan gambaran status gizi yang berbeda dan saling melengkapi keterbatasannya. Status gizi berdasarkan indikator indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) menunjukkan status gizi seseorang pada masa yang relatif lama, sedangkan berat badan menurut umur (BB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) menunjukkan status gizi seseorang pada masa kini dan relatif mudah berubah (Roedjito, 1989) Dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh dengan pertambahan umur. Pertambahan tinggi badan kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek, artinya pengaruh defisiensi gizi terhadap tinggi badan baru akan nampak pada saat yang cukup lama (Suharjo dan Riyadi, 1990). Kelebihan indeks BB/U adalah: (a) dapat lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum, (b) sensitif untuk melihat perubahan status
9 gizi jangka pendek, dan (c) dapat mendeteksi kegemukan (overweight). Kelemahannya adalah: (a) dapat mengakibatkan kekeliruan interpretasi status gizi jika terdapat pembengkakan atau edema, (b) memerlukan data umur yang akurat, dan (c) sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, misalnya pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat menimbang (Suhardjo dan Riyadi, 1990). Tinggi
badan
(TB)
merupakan
indikator
antropometri
yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam kondisi normal, TB tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Namun indeks TB/U relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam kurun waktu yang pendek. Namun terdapat kelebihan indeks TB/U yaitu: (a) baik untuk menilai status gizi masa lampau dan (b) alat ukur panjang badan dapat dibuat sendiri, murah, dan mudah dibawa. Sedangkan kelemahannya diantaranya adalah: (a) TB tidak cepat naik (b) pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga diperlukan lebih dari satu orang untuk pengukuran TB, dan (c) ketepatan umur sulit didapat (Suhardjo dan Riyadi, 1990). Pengukuran antropometri yang terbaik menurut Soekirman (2000) adalah menggunakan indikator BB/TB, karena ukuran ini dapat menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Artinya anak yang BB/TB kurang dikategorikan sebagai kurus (wasted). Diantara kelebihan indeks BB/TB adalah: (a) bebas dari pengaruh umur dan ras, dan (b) dapat memberi gambaran proporsi berat badan relatif terhadap tinggi badan. Sedangkan kelemahannya adalah: (a) sering terjadi kesulitan ketika mengukur panjang badan anak, dan (b) sering terjadi kesalahan membaca angka hasil pengukuran, terutama bila pembacaan dilakukan oleh tenaga non profesional (Soekirman, 2000). Dengan indikator BB/TB, berat badan berkorelasi linier dengan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan anak yang normal akan proporsional dengan tinggi badan anak. Hal ini terutama dapat dilihat setelah data hasil pengukuran BB dan TB diolah dan ditentukan nilai Z-skor.
10 Penilaian status gizi berdasarkan Z-skor dilakukan dengan melihat distribusi normal kurva pertumbuhan anak. Nilai tersebut menunjukkan jarak nilai baku median dalam unit simpangan baku (standar deviasi) dengan asumsi distribusi
normal.
Nilai
Z-skor
masing- masing
anak
dihitung
dengan
menggunakan rumus (Gibson, 1990) sebagai berikut:
(Xi – Mi) Zsci = ————— Sbi Keterangan: i = umur (bulan) Zsci = nilai Z-skor untuk nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i Xi = nilai antropometri hasil pengukuran pada umur bulan ke-i Mi = nilai baku median untuk umur bulan ke-i Sbi = nilai simpangan baku pada umur bulan ke-i Ada tiga nilai Z-skor yang diperoleh, yaitu Z-skor BB/U, Z-skor BB/TB, dan Z-skor TB/U. Penentuan Z-skor tersebut didasarkan pada referensi WHO/ NCHS. Hasil penentuan Z-skor terhadap masing- masing individu kemudian diband ingkan dengan distribusi baku rujukan WHO/NCHS (1983) dengan titik batas (cut-off point) Z-skor adalah -2. Klasifikasi status gizi berdasarkan nilai Zskor secara lengkap disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi berdasarkan Z-skor Menurut Standar WHO-NCHS (1983) Indikator BB/U
TB/U BB/TB
Kriteria Gizi Lebih Gizi Baik Gizi Kurang Gizi Buruk Normal Pendek/Stunted Gemuk Normal Kurus/Wasted Sangat Kurus
Sumber: Jahari dkk, 2000
Standar > 2,0 SD baku WHO-NCHS - 2,0 SD s/d 2 SD < - 2,0 SD < - 3,0 SD = - 2,0 SD < - 2,0 SD baku WHO-NCHS > 2,0 SD baku WHO-NCHS - 2,0 SD s/d 2 SD < - 2,0 SD < - 3,0 SD
11 Penggunaan penilaian status gizi berdasarkan Z-skor mempunyai keuntungan yaitu: (1) Batas ambang yang digunakan untuk masing- masing indeks antropometri sama, misalnya untuk kategori KEP batas ambangnya di bawah –2 SD; (2) Hasil perhitungan telah dibakukan menurut standar deviasi sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri; (3) Dapat dipergunakan untuk kebutuhan penilaian status gizi secara darurat untuk melihat perbandingan antar waktu, antar wilayah, antar kelompok umur dan jenis kelamin; (4) Dapat mengetahui populasi yang mengalami acute dan chronic undernutrition yakni wasting dan stunting (Jahari dkk, 2000). Sedangkan kelemahan penilaian dengan Z-skor adalah keadaan status gizi masing- masing indeks tidak sama. Imunitas Anak Balita Pengertian awal imunitas adalah perlindungan terhadap penyakit, dan lebih spesifik lagi adalah perlindungan terhadap penyakit infeksi (Kresno, 2001). Menurut Surono (2004), kondisi imunitas menentukan kualitas hidup. Lingkungan di sekitar manusia mengandung berbagai jenis unsur pathogen yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Infeksi yang terjadi pada anak normal umumnya singkat dan jarang meninggalkan kerusakan permanen karena tubuh memiliki sistem imun yang memberikan respons dan melindungi tubuh terhadap unsur-unsur pathogen tersebut. Dalam keadaan sehat, respons imun berfungsi secara efisien sehingga seseorang dapat terhindar dari dampak yang tidak menguntungkan akibat masuknya substansi asing (Kresno, 2001). Apabila ada kelainan dalam sistem pengaturan imunitas, seseorang mungkin tidak mampu melindungi tubuh denga n respons imun yang efisien, tetapi sebaliknya mungkin juga pada keadaan tertentu respons imun berlangsung secara berlebihan sehingga menimbulkan berbagai penyakit. Respons imun yang terjadi pada anak balita akan tergantung dari kondisi tubuh anak. Selama anak mempunyai masalah (gangguan) gizi maka respons imunnya juga akan terganggu. Defisiensi gizi termasuk gizi mikro dapat menyebabkan sangat berkurangnya reaktifitas seluler pada perumbuhan anak
12 (Bellanti dan Joseph, 1993). Menurut Kusmiyati dan Muis (2001), gizi mikro mempunyai peranan yang penting dalam proses imunologi sehingga adanya defisiensi zat gizi mikro akan berpengaruh terhadap respons imun. Defisiensi zat gizi mikro memicu timbulnya atau meningkatnya kejadian infeksi pada anak. Pada anak balita yang defisien zat gizi mikro, kejadian infeksi meningkat dan angka kematian lebih tinggi apabila dibandingkan dengan anak yang gizinya baik. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh anak mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi anak menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuhnya akan menurun, yang berarti kemampuan tubuh dalam mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa kematian anak akan lebih tinggi jika jumlah anak penderita gizi buruk meningkat. Infeksi cacing pada anak yang gizinya buruk akan jauh lebih parah dibandingkan dengan anak yang gizinya baik (Gopaldas, 2005). Gizi buruk mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap produksi antibodi di dalam tubuh (Kusmiyati dan Muis, 2001). Penurunan produksi antibodi akan mengakibatkan mudahnya mikro organisme patogen atau infeksi masuk ke dalam tubuh. Naiknya angka infeksi berhubungan langsung dengan bertambahnya pemaparan inang terhadap sumber patogen dan juga naiknya angka infeksi berhubungan dengan berkurangnya daya tahan akibat defisiensi salah satu atau beberapa zat gizi. Interaksi antara gizi dan kesehatan dipandang sebagai suatu siklus. Pertahanan tubuh dan kemampuan mikro organisme patogen yang dapat menimbulkan penyakit (virulensi) yang menghinggapi tubuh diilustrasikan sebagai dua kekuatan yang dapat berpengaruh terhadap morbiditas dan mortalitas. Pada anak yang defisiensi zat gizi mikro, pertahanan tubuh akan menurun dan tenaga virulensi patogen akan lebih kuat sehingga kesehatan anak terganggu dan anak menderita infeksi. Karenanya, gizi yang baik dapat merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan fisik dan perkembangan mental serta melindungi kesehatannya (ACC/SCN, 2000).
13 Peranan Vitamin A dan Kaitannya dengan Imunitas Di dalam tubuh vitamin A terdapat dalam tiga bentuk, yakni retinol (alkohol), retinal (aldehid), dan asam retinoat (asam). Struktur kimia vitamin A disajikan pada Gambar 2. Sebagian besar vitamin A disimpan di dalam hati dengan kisaran antara 100-1000 µg per gram jaringan (Olson, 1991).
Gambar 2. Struktur Vitamin A, ß-Carotene, dan Derivatnya (Stipanuk, 2000) Fungsi vitamin A adalah untuk penglihatan, diferensiasi sel, pertumbuhan, dan reproduksi (Linder, 1992). Vitamin A dapat mendorong diferensiasi sel epitel, mendorong kelangsungan hidup sistem reproduktif, utilisasi siklus penglihatan (Brody, 1994). Sel epithel yang melapisi permukaan mukosa merupakan benteng pertahanan mekanis yang penting terhadap antigen. Sel epithel memiliki peran penting dalam transport ion dan absorpsi serta sekresi cairan yang ditunjukkan pada Gambar 3 (Williams & Wilkins, 2006 ).
14 Berbagai studi yang telah dilakukan oleh Malaba et al. (2005), Cusick et al. (2005), Baeten et al. (2004), Villamor et al. (2002), dan High et al. (2002), menyimpulkan bahwa sel epithel merupakan komponen integral dari suatu jaringan komunikasi yang melibatkan interaksi antara sel epithel, mikroba, sel-sel imun, dan inflamatori host. Sel epithel pada permukaan mukosa berperan dalam menimbulkan dan menghantarkan sinyal antara mikroba pathogen baik yang invasif maupun non invasif dengan sel-sel yang terdapat di dalam mukosa atau yang berdekatan dengan mukosa. Karenanya vitamin A esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan dan pemeliharaan fungsi sel epitel.
Gambar 3. Transpor Vitamin A Intra Organ yang Dimodifikasi (Williams & Wilkins, 2006)
Stipanuk (2000) menyebutkan vitamin A dan metabolismenya dalam spektrum yang luas mempunyai fungsi biologis, antara lain: (1) esensial untuk penglihatan, (2) reproduksi, (3) fungsi imun, (4) berperan penting dalam diferensiasi seluler, proliferasi, dan pemberian isyarat (signaling). Vitamin A juga berperan penting dalam proliferasi dan aktivasi limfosid. Defisiensi vitamin A menyebabkan sekresi sel mukosa dan terjadinya penggantian sel epitel dengan lapisan tebal, bertanduk, lapisan epitelium di beberapa bagian tubuh, termasuk keratinisasi epitel kornea, paru-paru, kulit, dan mukosa intestin, dan dapat menurunkan sel goblet intestin dan permukaan vilus (Linder, 1992). Menurunnya sel goblet dalam usus dapat menurunkan
15 kemampuan sistem untuk menahan organisme patogen (Brody, 1994). Defisiensi vitamin A nampak pada perubahan penglihatan: squamos metaplasia pada konjungtiva dan kornea, berkurangnya/hilangnya sel goblet, keratinisasi dan keratomalasia. Sel epithel menjadi rata, melebar dan berkurang jumlahnya, sel-sel goblet berkurang dalam jumlah atau tidak ada (Muhilal, 2001). Defisiensi vitamin A juga berpengaruh terhadap pembentukan derivat asam retinoid, perubahan dalam keratin epidermis yang dapat meningkatkan infeksi kulit dan penyakit infeksi, apoptosis, kerusakan neutrophil, penurunan jumlah sel NK, aktivitas makrofag sebagai proses fagositosis, kerusakan limfosit T , limfosit B dan respons antibodi (Semba, 1998). Hasil studi meta-analisis dari 15 studi, menunjukkan bahwa defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap morbiditas dan kelangsungan hidup anak (Thurnham et al., 2003). Disimpulkan bahwa retinol serum dapat menurunkan infeksi klinis dan subklinis yang berpengaruh terhadap kesehatan anak. Defisiensi vitamin A penyebab terbesar kasus morbiditas dan mortalitas pada anak-anak balita di beberapa negara berkembang (Thurnham et al., 2003). Hal ini dapat dipahami
karena
vitamin A
esensial
untuk
kenormalan
fungsi
imun,
hematopoiesis, pertumbuhan, dan penglihatan (Maqsood et al., 2004). Defisiensi vitamin A yang sering terjadi pada anak yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah, merupakan faktor resiko terhadap infeksi, meningkatkan kejadian anemia, dan meningkatkan fase protein akut. Menurut Semba (1998), vitamin A dan yang berhubungan dengan retinoid memainkan peranan penting dalam pengaturan fungsi imun. Defisiensi vitamin A berhubungan dengan kekebalan tubuh (immunity), yang berakibat pada angka kesakitan (morbidity) dan kematian (mortality), misalnya kejadian pada buta senja (nightblindness) dan xerophthalmia serta penyakit infeksi. Pada studi meta analisis ditemukan konsep: sindrom defisiensi vitamin A berhubungan dengan penurunan imunitas dan peningkatan infeksi (Semba et al., 2000). Anak-anak yang defisiensi vitamin A akan mengalami perubahan pathologis dalam fungsi sel T dan sel B, dan imunitas mukosa menjadi rentan infeksi subklinis seperti penyakit diare (Semba, 2002). Infeksi subklinis sebagian besar terjadi pada anak
16 gizi kurang dari keluarga miskin (Thurnham et al., 2003). Sesuai dengan hasil penelitian tedahulu, hasil penelitian signifikan terhadap anak buta senja dengan konsentrasi retinol serum rendah dibandingkan dengan yang tidak buta senja. Defisiensi vitamin A berpengaruh terhadap kekebalan mukosa. Permukaan mukosa pada saluran tersebut merupakan rute paling penting untuk masuknya mikroba pathogen ke dalam tubuh host (inang). Infeksi mukosa dengan mikroba dapat mengakibatkan serentetan manifestasi penyakit yang bervariasi, dari infeksi yang ringan sampai berhenti sendiri (sembuh) ataupun infeksi parah yang bersifat kronis sehingga dapat melemahkan tubuh inang. Variasi manifestasi sangat ditentukan oleh virulensi pathogen yang menginfeksi dan keefektifan respons tubuh inang (Suyitno, 1985). Limfosit B dan aktivasinya termasuk produksi imunoglobulin, dan pertumbuhan membutuhkan retinol. Produksi imunoglobulin membutuhkan retinol, termasuk dalam pemulihan respons imunoglobulin G (Chun et al., 1992). Imunoglobulin pusat berperan dalam fungsi kekebalan dengan cara melekat pada pathogen dengan tenaga baru dari sel efektor imun kemudian menghancurkan pathogen tersebut. Asam retinoid trans dapat menambah produksi imunoglobulin G (IgG) pada sel mononuklear dalam darah (Ballow et al., 1996). Defisiensi vitamin A merusak kemampuan jumlah respons antibodi sel T melawan pathogen (Wiedermann et al., 1993 dan Semba et al., 1994). Pada percobaan yang dilakukan terhadap hewan, defisiensi vitamin A berpengaruh pada metabolisme, ditunjukkan dengan hambatan pertumbuhan, diferensiasi jaringan epithel sebagai fungsi sistem imun termasuk perubahan organ morfologi, menurunkan respons antibodi terhadap beberapa pathogen spesifik dan antigen, menurunkan CMI dan imunitas non-spesifik (IFPRI, 2000). Defisiensi vitamin A dapat menurunkan proliferasi sel-T dan berkurangnya produksi antibodi, khususnya pada perut (gut) dan paru-paru. Juga dapat menurunkan berat tymus yang dihubungkan dengan bentuk atrophy pada kekurangan vitamin A yang panjang durasinya (Suskind, 1984 dan Ross, 1992). Menurut studi dan observasi Ahmed et al (1990) pada tikus defisiensi vitamin A
17 dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur epithel dan saluran pernafasan, serta destruksi villus dan infeksi dengan rotavirus yang relevan tinggi. Sedangkan studi pada manusia, selama defisiensi vitamin A, respons host untuk melawan organisme infeksi atau menyingkirkan antigen menjadi menurun. Kondisi seperti ini dapat merusak respons imun host lebih besar dibandingkan dengan penyakit yang parah. Kerusakan epithelium intestinal selama infeksi pada anak defisien vitamin A lebih besar dibandingkan dengan anak yang cukup vitamin A. Produksi antibodi biasanya tidak hilang, hanya terjadi penurunan dalam merespons antigen. Penurunan respons antibodi terhadap tipe antigen tertentu, terutama sel heterologus, protein, dan polisakarida pada anak yang defisiensi vitamin A (Pasatiempo et al., 1990; Pasatiempo et al., 1991); penelitian Kinoshita et al., (1991), Pasatiempo et al., (1990), Lavasa et al., (1988), Gershwin et al., (1984), dan Krishnan et al., (1974) menyebutkan bahwa penurunan antibodi khususnya IgG dan IgM terhadap antigen tetanus toxoid terjadi pada anak yang defisiensi vitamin A. Walaupun respons antibodi rendah, tetapi produks kinetik antibodi normal (Kinoshita et al., 1991) dan memori imunologis (IgG dan IgM) berkembang secara normal selama defisien retinol serta sel memori diaktifkan setelah dapat pemulihan vitamin A. Sirkulasi imunoglobin rendah responsnya terhadap antigen disebabkan karena anak kurang gizi (Suskind, 1984). Akibat kerusakan respons tersebut, akan terjadi penurunan CMI, fungsi fagositosis, sel NK, dan limfosit. Penurunan respons host tersebut berhubungan dengan metabolik pertahanan dikarenakan kekurangan vitamin A, seperti utilisasi protein yang berhubungan dengan defisiensi vitamin A. Pendapat yang sejalan dikemukakan oleh Nauss (1986) dan Ross (1992), bahwa defisiensi vitamin A dapat menyebabkan perubahan dalam jumlah organ limfoid, jumlah sel, histologi, dan karakteristik limfosit. Namun hal tersebut sangat tergantung dari durasi defisiensi vitamin A tersebut. Keadaan vitamin A berpengaruh besar terhadap prevalensi infeksi atau dalam respons infeksi. Hal ini disebabkan karena defisiensi vitamin A berefek pada fungsi sel NK yang berperan mengatur formasi antibodi dan sekresi IFN. Pelepasan IFN dapat meningkatkan
18 aktivitas sitotoksik dari sel NK yang mengatur produksi imunoglobulin (Finkelman et al., 1990). Defisiensi vitamin A berhubungan dengan penurunan aktivitas sitotoksik sel NK pada limpa tikus (Bowman et al., 1990; Nauss and Newberne, 1985), Setelah tikus normal kembali, maka aktivitas sitotoksik sel NK limpa juga normal kembali (Bowman et al., 1990). Beberapa studi menunjukkan, vitamin A dosis tinggi dapat meningkatkan respons antibodi terhadap tetanus toxoid (Brown et al., 1980 dan Semba et al., 1992). Perbaikan status vitamin A dapat menurunkan angka kematian sebesar 23% pada populasi yang defisien (Bowman et al.,1990). Hal ini dapat dipahami karena perbaikan status vitamin A dapat memulihkan aktivitas IFN, dan aktivitas sel NK dalam darah mononuklear anak-anak yang terkena campak stadium parah (Griffin et al., 1990). Selain itu vitamin A berperan dalam penurunan infeksi melalui perannya dalam peningkat-an (enhancher) diferensiasi sel ephitel dan sebagai fungsi barier tubuh (Goldenberg, 2003). Vitamin A mengatur sintesis keratin dengan squamos cell dan tampil dalam pemeliharaan integritas permukaan ephitelial mukosa (Goldenberg, 2003). Studi klinis dan eksperimental oleh Green dan Mellanby pada tahun 1920 dan 1930 yang dikutip oleh Oppenheimer (2001) membuktikan bahwa vitamin A sebagai vitamin “anti infeksi”. Dalam jurnal yang sama, Scrimshaw tahun 1968 membuktikan bahwa ‘Tidak ada satupun defisiensi gizi yang konsisten sinergis dengan penyakit infeksi daripada vitamin A. Pada tahun 1993, Beaton et al. membuktikan secara klinis bahwa suplementasi vitamin A dapat menurunkan 2030% mortalitas anak. Vitamin A dan retinoid potensial untuk terapi terhadap imun. Penggunaan terapi dengan vitamin A diawali dalam bidang Dermatologi dan Onkologi. Vitamin A sebagai fungsi biologis penting untuk penglihatan, reproduksi dan fungsi imun serta berperan penting dalam diferensiasi seluler, dan proliferasi. Vitamin A berperan penting dalam meningkatkan respons imun dan defisiensi vitamin A dapat menyebabkan kerusakan respons imun dan fungsi limfosit (Stipanuk, 2000).
19 Peranan Zat Besi dan Imunitas Besi merupakan salah satu mineral yang dibutuhkan tubuh. Besi yang di konsumsi sehari- hari dalam bentuk ionnya, yaitu Fe++ (fero) dan Fe+++.(feri). Besi terdapat dalam semua sel tubuh dan memegang peranan penting pada beragam reaksi biokimia. Besi terdapat dalam enzim-enzim yang bertanggung jawab untuk pengangkutan elektron (sitokrom), untuk pengaktifan oksigen (oksidase dan oksigenase), dan untuk mengangkut oksigen (hemoglobin dan mioglobin). Sebagian besar zat besi berada pada hemoglobin (Hb) di dalam sel darah merah dan jaringan eritroid (Stipanuk, 2000). Fungsi Fe dalam tubuh adalah untuk pembentukan sel darah merah, pengangkutan O2 dan CO2 , yang berperan dalam metabolisme energi. Sebagian kecil besi terdapat dalam enzim jaringan yaitu sekitar 7 persen seperti sitokrom (Brody, 1999). Zat besi berperan sangat penting dalam fungsi seluler, yakni sintesis Hb dan metabolisme makrofag (Williams & Wilkins, 2006). Metabolisme Fe tampaknya memang unik karena kecilnya pertukaran Fe dengan lingkungan setiap harinya, yakni hanya 1 mg Fe yang harus diserap tubuh untuk mempertahankan keseimbangan Fe karena ekskresi. Tubuh sangat efisien dalam penggunaan Fe. Kurang lebih 1% sel darah merah yang didegradasi dan dibentuk kembali setiap hari dalam jangka waktu hidup 120 hari. (Linder, 1992). Skema metabolisme Fe pada manusia disajikan pada Gambar 4. Sebelum diabsorpsi sebagian besar Fe dalam bentuk ferri direduksi menjadi bentuk ferro. Absorpsi terutama terjadi di bagian atas usus halus dengan bantuan transferrin (transferrin mukosa dan reseptor). Transferrin mukosa mengangkut Fe dari saluran cerna ke dalam sel mukosa dan memindahkannya ke transferrin reseptor di dalam sel mukosa. Transferrin reseptor mengangkut Fe melalui darah ke semua jaringan tubuh. Sebagian besar transferrin darah membawa Fe ke sumsum tulang untuk membuat Hb yang merupakan bagian dari sel darah merah. Sisanya dibawa ke jaringan tubuh yang membutuhkan dan kelebihannya disimpan sebagai ferritin dan hemosiderin di dalam hati, sumsum tulang belakang, dan selebihnya di dalam limfa dan otot. Kekurangan besi akan mengganggu pembentukan Hb dan dapat menyebabkan anemia.
20
Fe dalam saluran pencernaan
Fe diangkut Transferrin mukosa
Sel mukosa usus halus: Fe melekat ke alat transport transferrin reseptor Kelebihan disimpan Sebagai Ferritin
Sebagian hilang melalui sel usus halus yang dibuang
Fe dalam alat transport transferrin reseptor
Kelebihan disimpan Sebagai Ferritin dan hemosiderin
Fe dibawa darah oleh transferrin
Hati & limfa mengeluarkan Fe dari sel darah merah & mengikatkan ke transferrin
Sebagian hilang melalui darah
Darah mengangkut Fe sebagai Hb sel darah merah
Sebagian hilang dalam keringat, kulit, urin
Sumsum tulang mengikatkan Fe ke Hb sel darah merah
Menyimpan kelebihan sebagai metalotionin
Gambar 4. Skema Perjalanan Fe di dalam Tubuh yang Dimodifikasi (Whitney & Rolfes, 1993:407)
Anemia adalah satu dari problem kesehatan masyarakat yang sebagian besar disebabkan karena defisiensi zat gizi besi. Salah satu penyebabnya adalah jumlah zat besi dalam konsumsi makanan sehari- hari tidak mencukupi kebutuhan tubuh karena bioavailability-nya rendah (Kodyat et al., 1991; Seshadri, 1997; Sari et al, 2001; Ma et al., 2002). Hasil beberapa studi baik pada hewan percobaan
21 maupun manusia menunjukkan bahwa ketidaknormalan metabolisme besi berhubungan dengan defisiensi vitamin dan inhibitor penyerapan besi dalam makanan (Staab et al., 1984; Brune et al., 1989). Masalah anemia gizi di Indonesia terutama yang berkaitan dengan defisiensi gizi besi masih terdapat sampai sekarang. Prevalensi anemia gizi besi nasional baru dikumpulkan pada tahun 1989 melalui Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Surve i secara nasional tahun 1992, bahwa anemia defisiensi besi pada balita sebesar 55,5 persen dan menurun menjadi 40,5 persen (SKRT, 1995). Sesuai dengan SKRT 1995 bahwa distribusi prevalensi defisiensi zat gizi bedsi di Indonesia tersebar merata pada semua kelompok umur dan jenis kelamin (Natakusuma, 1998). Anak-anak paling rawan terhadap masalah kurang gizi besi karena kebutuhan mereka akan zat gizi besi relatif lebih besar untuk keperluan akselerasi pertumbuhan kira-kira sampai usia dua tahun. Prevalensi anemia khususnya pada anak-anak kelompok rawan di Asia Tenggara sebesar 50-70 %. Satu penyebabnya karena jumlah zat besi yang diserap dalam makanan tidak mencukupi kebutuhan tubuh dan ketidakcukupan tersebut kemungkinan akibat dari tidak cukupnya intik zat besi dan rendah nilai biologisnya (Sari et al., 2001). Anemia gizi merupakan suatu keadaan dimana sel-sel darah merah tidak mampu membawa oksigen yang diperlukan untuk pembentukan energi (Chunningham, 1992). Anemia adalah suatu keadaan di mana kadar Hb dalam darah kurang dari normal, yang berbeda untuk setiap jenis kelompok umur dan jenis kelamin. Batas normal kadar Hb anak balita adalah 11 g/dL (WHO, 1996). Anemia defisiensi besi menurunkan perkembangan fisik, kerusakan fungsi imun, pertumbuhan lambat, dan meningkatkan kelelahan (Grantham dan Ani, 2001). Konsekuensi buruk akibat defisiensi besi pada anak balita antara lain: meningkatkan kematian dan kesakitan, meningkatkan resiko kerusakan fungsi kognitif, menurunkan imunitas seluler, gangguan pengaturan panas, defisit pertumbuhan anak, dan menurunkan prestasi belajar jika anak telah masuk sekolah, serta menurunkan produktifitas dan kapasitas fisik saat bekerja jika anak telah dewasa. Anemia defisiensi besi dapat merusak fungsi imun manusia pada
22 semua tingkat kehidupan. Tinjauan dari 21 studi, menunjukkan bahwa anemia berhubungan erat dengan kematian anak dan infeksi (Allen dan Gillespie, 2001). Anemia defisiensi besi sangat luar biasa terjadi di beberapa negara berkembang, lebih dari 50% populasi dunia mempunyai tingkatan status gizi besi rendah berdasarkan hasil uji klinis (Chandra, 1973 dan Kuvibidila, 1980). Angka prevalensi anemia di Indonesia sekitar 20-30% pada balita, anak sekolah, dan buruh berpenghasilan rendah (Karyadi, Muhilal, dan Hermana., 1990). Prevalensi anemia gizi besi pada anak balita. yang dikumpulkan berdasarkan SKRT 2001 sebesar 47% (Depkes, 2003). Fakta membuktikan defisiensi besi memainkan peranan dalam kemampuan individu melawan infeksi (Kang dan Matsuo, 2004). Beberapa studi mengindikasikan bahwa dalam kondisi normal, status gizi besi berperan dalam menjaga/mempertahankan responss imun. Menurut Oppenheimer (2001), angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi lebih besar terjadi pada anak yang menderita defisiensi besi dibandingkan dengan anak yang normal. Insiden infeksi pada anak yang defisien zat besi menurun ketika anak diberikan suplemen zat gizi (Oppenheimer, 2001). Suplemen besi dapat meningkatkan status gizi besi (Hoa et al, 2005). Defisiensi besi memberikan kontribusi lanjut terhadap kerusakan fungsi imun. Beberapa kerusakan sistem imun akibat defisiensi besi terjadi secara bertahap. Tahap pertama cellular-synthesis, tahap kedua ketika terjadinya mekanisme pencernaan atau membunuh antigen oleh leukosit, dan tahap berikutnya waktu interaksi atau sinergisme antara sistem imun dan mikro organisme. Peranan besi terhadap respons imun nampak pada fagositosis (Ahluwalia et al, 2004), sel NK (Ravaglia et al, 2000) dan sel mediate respons imun (Thibault et al, 1993; Ahluwalia et al, 2004). Defisiensi besi berhubungan dengan ketidaknormalan respons imun dan memperburuk penyakit infeksi (Oppenheimer, 2001). Lima dari sembilan studi menunjukkan terjadi peningkatan angka malaria dan empat dari delapan studi mengatakan terjadi peningkatan morbiditas dan penyakit infeksi yang lain. Defisiensi besi merupakan penyebab kerusakan fungsional dari beberapa jaringan,
23 dan menurunkan erythropoiesis, transport oksigen seluler, dan metabolisme oksidatif dalam jaringan (Dijkhuizen dan Wieringa, 2001). Kekurangan zat besi pada anak dapat menyebabkan kerusakan fungsi imun, khususnya penurunan respons sel mediasi imunologik (Dijkhuizen & Wieringa, 2001), mempunyai efek yang kuat terhadap penurunan aktivitas sel NK dan neutrofil (Palafox et al., 2003) dan penurunan fungsi makrofag terhadap toksisitas mikro organisme (Sommer et al., 1980). Pencegahan dan penanggulangan defisiensi gizi besi dapat dilakukan dalam bentuk intervensi gizi yang bertujuan untuk menurunkan penderita anemia, meningkatkan kualitas produktifitas, meningkatkan prestasi sumberdaya manusia, dan meningkatkan menurunkan angka kesakitan serta kematian ibu dan bayi (Program Aksi, 2000). Program suplementasi besi diberikan kepada anak yang defisiensi besi karena zat besi berperan penting untuk perkembangan otak (Dijkhuizen dan Wieringa, 2001). Sebagian besar zat besi dalam tubuh digunakan untuk pembentukan hemoglobin (Hb) yang disuplai ke pool plasma transferrin melalui makrofag dengan sistem reticuloendothelial. Sinergisme Vitamin A dan Zat Besi Interaksi vitamin A dan zat besi dapat diketahui pada proses pembentukan sel darah merah dalam jaringan limfoid dan sumsum tulang (hematopoiesis). Defisiensi vitamin A merupakan penyebab kerusakan hematopoiesis (Erdman, 1988). Konsentrasi retinol plasma yang rendah merupakan penyebab rendahnya tingkat konsentrasi hemoglobin, serum ferritin, dan transferrin. Ketika intik besi cukup tidak ditemukan kondisi seperti ketika defisiensi besi. Beberapa studi menunjukkan indikasi terhadap efek defisiensi vitamin A terhadap kandungan besi dan Hb serum. Observasi yang dilakukan ketika intik besi cukup, tidak ditemukan korelasi seperti ketika intik besi rendah. Pada studi eksperimen defisiensi vitamin A pada manusia secara sukarela oleh Hodges (1978) ditemukan konsentrasi Hb menurun dalam pola yang serupa dengan plasma vitamin A dan selama kelebihan vitamin A, nilai Hb meningkat pada plasma vitamin A.
24 Defisiensi vitamin A pada hewan percobaan digambarkan, besi pada hati dan limpa menurun bersamaan dengan menurunnya Hb pada serum. Interaksi antara vitamin A dan besi nampak pada mekanisme, yakni terjadi kerusakan mobilisasi besi dari hati dan/atau penggabungan besi ke dalam eritrosit, rendahnya kadar retinol plasma pada anak dihubungkan dengan rendahnya hemoglobin, dan kejenuhan transferrin ketika intik besi cukup (Panth et al., 1990). Besi terakumulasi pada hati dan limpa pada defisiensi vitamin A (Staab et al., 1984 dan Rodenburg et al., 1994). Suplementasi vitamin A dapat memperbaiki anemia (Olson, 1991). Suplementasi vitamin A dapat meningkatkan status vitamin A dan metabolisme zat besi pada ibu hamil dan anak usia sekolah dasar (Cohen et al., 1973). Pada anak yang defisien vitamin A dan besi diberikan suplemen kombinasi (zat besi dan vitamin A) ditemukan efektif menurunkan 40% anemia dibandingkan suplementasi zat besi saja. Contoh penemuan lain yang tidak spesifik terhadap suplementasi vitamin A pada program fortifikasi gula dengan vitamin A di Guatemala berhasil meningkatkan status besi dari populasi (Cohen dan Elin, 1974) dan percobaan fortifikasi MSG dengan vitamin A di Indonesia meningkatkan tingkat hemoglobin anak-anak sebesar ~10 g (Muhilal, 1988). Respons Imun Berdasarkan responsnya, secara garis besar sistem pertahanan tubuh terbagi menjadi dua, yaitu respons imun non-spesifik, yakni mencegah invasi benda-benda asing melalui kulit, mukosa, dan permukaan tubuh; dan respons imun spesifik yang terdiri dari pertahanan humoral dan seluler. Komponen respons imun spesifik dan non-spesifik dapat dilihat pada Gambar 5. Respons imun sangat tergantung pada kemampuan sistem imun untuk mengenali antigen yang terdapat pada pathogen potensial dan kemudian membangkitkan reaksi yang tepat untuk menyingkirkan sumber antigen bersangkutan (Roitt, 1991). Respons imun adalah sistem interaksi komplek yang menyesuaikan inang (host) untuk membedakan substansi self dan non-self, kemudian menghancurkan
25 atau menghilangkan invasi organisme, produk toksik, dan substansi biologis lain yang berbahaya (Beisel, 1988). Respons imun menimbulkan interaksi antara organ limfoid dan produk yang dikeluarkan sel tersebut dengan organ.
STIMULUS Bakteri, Virus, Sel Kanker Bahan-bahan kimia
AKTIVASI RESPONS IMUN
NON-SPESIFIK Mukosal, Fagositosis, Inflamasi
SPESIFIK Humoral, Cell Mediated
PENGENALAN STIMULUS
PENGATURAN KEMBALI RESPONS IMUN
MEMORI
Gambar 5. Respons Imun Spesifik dan Non-spesifik (Chandra, 1988) Respons Imun Non-spesifik Apabila mikro organisme dapat masuk dalam jaringan, pertama akan dilawan oleh sistem imun non-spesifik, yang merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikro organisme dan dapat memberikan respons langsung. Pertahanan non-spesifik tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. Pertahanan tersebut telah ada dalam tubuh dan siap berfungsi sejak lahir yaitu kulit dan mukosa.
26 Komponen-komponen utama sistem imun non-spesifik adalah pertahanan fisik dan kimiawi seperti ephitel dan substansi antimikroba yang diproduksi pada permukaan ephitel (Kresno, 2001). Determinan yang berperan pada mekanisme respons imun non-spesifik, adalah: (1) host/inang: ras, spesies, genetis individual, umur, jenis kelamin, hormonal, dan status gizi; (2) fisik: kulit, membran mukus, permukaan yang basah, perangkap anatomis, misalnya rongga nasal, pembersih mekanis misalnya silia; (3) antimikroba aktif: sekresi keringat, sekresi kulit yang bersifat antibakteri dan antifungus, sekresi membran mukus yang bersifat antibakteri dan antivirus, substansi-substansi antimikroba jaringan misalnya lisozim, dan sel-sel yang melakukan fagositosis (mikrofag dan makrofag); dan (4) determinan lain yang dapat berpengaruh: pemberian kortison, antibiotik, dan keadaan suhu. Salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap masuknya antigen, bakteri misalnya adalah dengan cara menghancurkan bakteri dengan proses fagositosis dan reaksi inflamasi. Untuk dapat terjadi proses fagositosis, bakteri perlu mengalami opsonisasi oleh imunoglobulin agar mudah ditangkap oleh fagosit. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator- mediator tertentu oleh beberapa jenis sel, seperti histamin yang dilepaskan oleh basofil dan mastosit; vasoactive amine yang dilepaskan oleh trombosit, dan anafilatoksin yang berasal dari komponen komplemen. Dalam sistem pertahanan fisik/mekanik; kulit, selaput lendir silia saluran pernafasan, batuk, dan bersin merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi. Lapisan epidermis kulit sehat, dan mukosa yang utuh tidak dapat ditembus oleh sebagian mikroba. Sebaliknya kulit yang rusak akibat luka bakar, dana selaput lendir yang rusak akibat asap rokok akan meningkatkan resiko infeksi. Tekanan oksigen di paru bagian atas dapat
membantu hidup kuman
seperti tubercolosis (Beissel, 1988).. Dalam pertahanan kimiawi, beberapa mikro-organisme dapat masuk lewat tubuh melalui kelenjar sebaseus dan folikel rambut, pH asam dari keringat dan sekresi sebaseus. Berbagai asam lemak yang dilepas kulit mempunyai efek denaturasi protein membran sel kuman sehingga dapat mencegah infeksi melalui
27 kulit. Zat-zat yang berperan dalam pertahanan ini umumnya antibodi, komplemen, interferon, dan CRP (C Reactive Protein) yakni sebagai zat pelindung yang bekerja secara non spesifik dalam pertahanan humoral. Antibodi dan komplemen ditemukan dalam serum darah normal, dan keduanya bekerjasama untuk dapat membunuh kuman dan menghancurkan beberapa bakteri. Komplemen terdiri dari sejumlah besar protein dan berperan dalam respons inflamasi. Komplemen diproduksi oleh hepatosit dan monosit dengan spektrum aktivasi yang luas. Komplemen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis dan menimbulkan lisis bakteri/parasit. Interferon (IFN) adalah sitokin yang berupa glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan dilepas untuk respons terhadap infeksi virus. Sel yang terinfeksi virus akan menunjukkan perubahan pada permukaannya, yang akan dikenal dan dihancurkan oleh sel NK sehingga penyebaran virus dapat dicegah. IFN dapat mengaktifkan Natural Killer Cell (sel NK), meningkatkan aktivasi sel T, makrofag, dan efek sitotoksik sel NK (Kresno, 2001). Respons Imun Spesifik Sistem imun spesifik dapat bekerja tanpa bantuan sistem imun non spesifik, tetapi pada umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi, komplemen, dan fagosit dengan sel- T makrofag. Antibodi akan muncul apabila ada antigen yang masuk ke dalam tubuh. Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing baginya. Dengan cara mengenal tersebut akan terjadi sensitasi sel-sel sistem imun. Bila sel imun yang sudah tersensitisasi tersebut terpapar dengan antigen yang sama, maka antigen terakhir akan dikenal lebih cepat, kemudian akan dihancurkan. Karenanya sistem ini disebut spesifik sebab hanya dapat menghancurkan antigen yang telah dikenalnya. Limfosid merupakan inti dalam proses respons imun spesifik karena sel-sel ini dapat mengenal setiap jenis antigen, baik antigen intraselular maupun ekstraselular misalnya dalam cairan tubuh atau dalam darah (Kresno, 2001). Mekanisme pertahanan respons imun spesifik banyak tergantung pada pembentukan respons imun terhadap mikro organisme tertentu yang memberi
28 rangsangan. Secara garis besar sistem imun terdiri dari dua macam mekanisme, yakni pertahanan selular dan humoral, dalam hal ini mukosa usus merupakan sisi terpenting yang berhubungan dengan mikroba (Surono, 2004). Kedua sistem tersebut berasal dari satu sistem limfoid yang terdiri dari (1) komponen sentral (sumsum tulang, timus, dan jaringan) yang terjadi peristiwa deferensiasi sel induk limfoid menjadi limfosit-limfosit yang mampu bereaksi dengan antigen, dan (2) komponen perifer (kelenjar limfe, limpa, dan jaringan limfoid di saluran cerna), yang terjadi reaksi antara sel-sel limfosit dengan antigen. •
Imunitas Selular Imunitas selular terdiri atas sel-sel limfoid yang mengalami sensitisasi
secara spesifik oleh antigen tertentu dan mampu bereaksi langsung dengan antigen sehingga menimbulkan peristiwa sitotoksik, misalnya terhadap sel-sel asing pada pencangkokan jaringan. Sel limfoid yang berperan adalah sel-T, yang dalam perkembangannya dipengaruhi oleh timus dan merupakan 80% sel yang beredar dalam tubuh. Sistem imun seluler mula- mula menjadi aktif karena stimulus antigen yang ditangkap oleh sel-T yang kemudian mengeluarkan limfokin dan mengadakan aktivasi makrofag. Sistem imunitas selular memegang peranan penting dalam pertahanan terhadap infeksi yang disebabkan oleh kuman-kuman intra sel, contohnya virus, riketsia, mikrobakteria, dan beberapa protozo a (Kresno, 2001). •
Imunitas Humoral Imunitas humoral terdiri atas kelompok sel- B yang berperan dalam sintesis
antibodi dan merupakan 20% dari seluruh limfosit tubuh. Bila sel B dirangsang oleh antigen, sel akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi ini berbentuk humoral (dalam cairan tubuh seperti darah, cairan getah bening, dan lain- lain). Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus, dan bakteri, serta menetralisasi toksik (Baratawidjaja dan Garna, 2002). Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum. Terjadinya respons imun humoral oleh karena infeksi, imunisasi aktif
29 dengan toksoid atau virus/bakteri yang dimatikan/dilemahkan. Integritas respons imun humoral pada manusia sering dinilai dengan cara mengukur kadar berbagai jenis kelas imunoglobolin di dalam serum atau mengukur naiknya titer antibodi setelah diberi stimulus antigenis yang cukup (Kresno, 2001). Dalam sistem imun humoral dikenal 5 kelas imunoglobulin (Ig), yakni: IgG, Ig A, Ig M, Ig D, dan Ig E. Komponen-komponen yang berperan dalam mekanisme sistem imun humoral, yakni: sel- B, antibodi, komplemen, dan leukosit polimorfonuklear. Antibodi sangat penting untuk pertahanan terhadap infeksi yang disebabkan ole h kuman ekstrasel, misalnya streptokok, pneumoko, dan kuman bakteri (Kresno, 2001). Antigen dan Antibodi Antigen adalah bahan yang dapat merangsang respons imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada. Secara fungsional antigen dibagi menjadi imunogen dan hapten. Imunogen adalah bahan yang dapat menimbulkan respons imun, sedangkan hapten adalah molekul yang dapat bereaksi dengan antibodi yang sudah ada (preformed) secara langsung tetapi tidak dapat merangsang pembentukan antibodi secara langsung (Bratawijaya dan Garna, 2002). Hapten dapat menjadi imunogen apabila sudah diikat oleh protein pembawa (carrier), dalam fungsinya. Hapten akan dikenal oleh sel-B sedangkan carrier oleh sel- T. Dalam imunisasi carrier sering digabung dengan hapten; hapten membentuk epitop pada molekul carrier yang dikenal sistem imun dan merangsang antibodi (Bratawijaya dan Garna, 2002). Antibodi
dapat
dikenali
dengan
cara
membekukan
darah
yang
meninggalkan serum dan mengandung berbagai bahan larut tanpa sel. Bahan larut tersebut adalah molekul antibodi yang digolongkan ke dalam protein yang disebut globulin. Imunoglobulin dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat kontak dengan antigen. Antibodi yang terbentuk secara spesifik ini akan mengikat antigen baru lainnya yang sejenis. Pembentukan antibodi diawali dengan pengenalan antigen, pengolahan antigen, pelepasan zat- zat perantara, dan pembuatan antibodi (Bernier, 1993).
30 Pengenalan antigen merupakan tahap pertama pembentukan antibodi, yakni diawali dari makrofag yang mula-mula mengenali antigen dengan perantara reseptor pada membran plasmanya, kemudian antigen bergabung dengan antibodi yang telah terbentuk sebelumnya untuk memulai peristiwa seluler yang mengarah pada respons imun. Tahap kedua, pengolahan antigen yakni: antigen yang dibawa ke sel-sel penginduksi dihancurkan oleh enzim-enzim lisozim dan beberapa bahan dari antigen tersebut lalu dipaparkan kembali pada membran plasma. Ketiga, pelepasan zat- zat perantara dengan cara makrofag dan sel-sel penginduksi lainnya dan limfosit T-helper bekerja bersama-sama dan terjadi pelepasan zat- zat perantara sehingga memicu terjadinya sel-sel jenis lain. Keempat, pembentukan antibodi yang memerlukan empat jenis sel yaitu makrofag, sel-sel penginduksi lainnya (sel dendreit dari kelenjar getah bening, limpa serta limfosit-B, limfosit Thelper) (Bernier, 1993). Pembentukan Respons Imun Apabila tubuh diberikan imunogen akan terjadi respons imun. Perkenalan pertama dengan suatu imunogen akan membangkitkan respons primer dan pemberian ini tidak segera dapat ditemukan oleh antibodi dalam serum. Masa antara pemberian imunogen dengan ditemukannya antibodi dalam serum disebut periode laten atau periode induksi (Bellanti dan Joseph, 1993). Selama waktu tersebut imunogen masih dikenal sebagai benda asing, selanjutnya diproses, dan isyarat dikirimkan ke sel-sel yang ditugaskan untuk membentuk antibodi. Bila antigen pertama kali masuk ke dalam tubuh, akan terjadi satu respons imun primer yang ditandai dengan munculnya imunoglobulin M (IgM) beberapa hari setelah pemaparan. Kadar IgM mencapai puncaknya setelah 7 hari. Tujuh hari setelah pemaparan muncul IgG dalam serum (dapat dideteksi), kemudian kadar IgM mulai menurun sebelum IgG mencapai puncaknya. Kadar IgG mencapai puncaknya antara 10-14 hari setelah pemaparan antigen (Tizard, 1988). Kadar antibodi kemudian berkurang tetapi biasanya IgG masih dapat dideteksi 4-5 minggu setelah pemaparan. Apabila pemaparan antigen yang sama tersebut di atas terjadi lagi untuk kedua kalinya, maka akan terjadi pembentukan respons imun sekunder (booster),
31 IgM dan IgG cepat meningkat. Puncak kadar IgM pada respons sekunder umumnya tidak melebihi puncaknya pada respons primer. Sebaliknya, kadar IgG akan meningkat jauh lebih tinggi dan berlangsung lebih lama (Gambar 6).
Gambar 6. Peningkatan Kadar IgG Saat Pemaparan Sumber : Wibawan et al., 2003 Menurut Kresno (2001) ada tiga keadaan yang mengakibatkan kegagalan sistem imun sebagai sistem pertahanan tubuh, yaitu: (1) respons yang tidak memadai terhadap pathogen yang berakibat kepekaan terhadap infeksi, (2) kegagalan dalam mengenal antigen, dan (3) respons berlebihan dan tidak terkendali yang berakibat hipersensitivitas. Imunoglobulin G (IgG) Integritas respons imun sering dinilai dengan cara mengukur kadar berbagai jenis kelas imunoglobulin di dalam serum seseorang atau dengan mengukur titer antibodi setelah diberi stimulus antigenis yang cukup. Sirisinha (1974) sebagaimana dikutip Suyitno (1985), telah mempelajari lima kelas serum imunoglobulin (IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE) pada sejumlah anak dengan KEP yang diikuti terus- menerus semenjak anak-anak dirawat di rumah sakit sampai keadaannya me njadi baik. Kadar rata-rata lima imunoglobulin itu naik di atas kadar rata-rata imunoglobulin populasi kontrol. Kemudian semua kelas imunoglobulin lambat- laun menurun kecuali IgG (Suyitno, 1985). Imunoglobulin G merupakan komponen utama imunoglobulin dalam serum dan IgG memiliki sifat opsonin yang efektif karena mempunyai reseptor untuk fraksi Fc dari IgG sehingga mempererat hubungan fagosit dengan sel-sel sasaran. IgG banyak ditemukan dalam serum dan kadar IgG meninggi dalam
32 infeksi kronis dan penyakit autoimun. Imunoglobulin G (Gambar 7), dalam keadaan normal menempati 80 persen dari semua imunoglobulin dalam serum manusia (Roitt, 1991).
Gambar 7. Struktur Imunoglobulin G (IgG) Sumber: Tizard, 1988
Pada Gambar 7 ditunjukkan bahwa setiap molekul imunoglobulin terdiri dari satu ekor rantai terminal-C (rantai peptida dengan gugus karboksil bebas) yang mempunyai susunan urutan asam amino yang relatif konstan dan dua lengan rantai terminal-N (gugus amino bebas) dengan susunan asam amino sangat berubah-ubah (bagian variabel). Karena perubahan susunan asam amino tersebut maka pada rantai ini merupakan tempat pengikatan antigen yang mengakibatkan setiap molekul IgG berfungsi bivalen (Tizard, 1988). Bagian variabel tersebut dibentuk oleh empat rantai polipeptida dasar yakni dua rantai berat dan dua rantai ringan. Setiap rantai ringan terikat pada rantai berat melalui ikatan disulfida. Imunoglobulin G adalah kelas imunoglobulin yang terdapat dalam konsentrasi tertinggi dalam serum darah; dan karena itu memainkan peran utama dalam mekanisme pertahanan yang diperantarai oleh antibodi (Tizard, 1988). IgG pada manusia disintesis kira-kira 35 ml/kg/hari dengan waktu paruh (half life) sekitar 23 hari. Karena ukurannya yang relatif kecil, maka IgG lebih mudah keluar dari pembuluh darah dibandingkan dengan molekul imunoglobulin yang lain. Karenanya IgG cepat mengambil bagian utama dalam mekanisme pertahanan pada ruang jaringan dan permukaan tubuh (Tizard, 1988).