BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Defenisi Kecacingan Kecacingan merupakan penyakit endemik dan kronik diakibatkan oleh cacing
parasit dengan prevalensi tinggi, tidak mematikan, tetapi menggerogoti kesehatan tubuh manusia sehingga berakibat menurunnya kondisi gizi dan kesehatan masyarakat.7 Infeksi kecacingan yang disebabkan oleh nematoda usus yang ditularkan melalui tanah atau disebut “soil transmitted helminths” yang terpenting bagi manusia yakni Ascaris lumbricoides, Necator
americanus,
Ancylostoma
duodenale,
Trichuris
trichiura,
Strongyloides
stercoralis, dan beberapa spesies Trichostrongylus.5 2.2
Jenis-jenis Nematoda Usus yang Ditularkan melalui Tanah Nematoda mempunyai jumlah spesies yang terbesar di antara cacing-cacing yang
hidup sebagai parasit. Cacing ini berbeda-beda dalam habitat, daur hidup dan hubungan hospes-parasit (host-parasite relationship).5 Nematoda usus di Indonesia lebih sering disebut sebagai cacing perut. Sebagian penularannya terjadi melalui tanah, maka mereka digolongkan dalam kelompok cacing yang ditularkan melalui tanah atau Soil Transmitted Helminths.13 Kelainan patologik akibat infeksi cacing usus dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa maupun oleh larvanya, tergantung siklus hidup cacing dan dipengaruhi oleh lokasi stadium cacing usus di dalam tubuh manusia. Cacing dewasa dapat menimbulkan gangguan pencernaan, perdarahan, anemia, alergi, obstruksi usus, iritasi usus, dan perforasi usus tergantung cara hidup cacing dewasa, sedangkan larvanya dapat menimbulkan reaksi alergik dan kelainan jaringan di tempat hidupnya.13
Universitas Sumatera Utara
2.2.1 Ascaris lumbricoides a.
Morfologi dan Daur Hidup Manusia merupakan satu-satunya hopses Ascaris Lumbricoides. Penyakit yang
disebabkannya disebut askariasis.5 Ascaris Lumbricoides jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan yang betina 22-35 cm. Stadium dewasa hidup di rongga usus muda. Ascaris Lumbricoides betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari; terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi.5 Telur yang dibuahi, besar kurang lebih 60 x 45 mikron dan yang tidak dibuahi 90 x 40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu.5 Cacing jantan mempunyai ujung posterior yang runcing, melengkung ke arah ventral, mempunyai banyak papil kecil dan juga terdapat 2 buah spikulum yang melengkung, masing-masing berukuran panjang sekitar 2 mm. Cacing betina mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat (conical) dan lurus.13
Gambar 2.1 Cacing Ascaris lumbricoides dewasa (A: betina dan B: jantan)14 Telur yang dibuahi berbentuk avoid dan berukuran 60-70 x 30-50
. Bila baru
dikeluarkan tidak infektif dan berisi satu sel tunggal. Sel ini dikelilingi membran vitelin yang tipis. Di sekitar membran ini ada kulit bening dan tebal yang dikelilingi lagi oleh
Universitas Sumatera Utara
lapisan albuminoid yang tidak teratur. lapisan albuminoid ini kadang-kadang hilang atau dilepaskan oleh zat kimia dan menghasilkan telur tanpa kulit (decorticated). Di dalam rongga usus, telur memperoleh warna kecokelatan dari pigmen empedu. Telur yang tidak dibuahi berukuran 88-94 x 40-44
dengan lapisan albuminoid yang kurang sempurna dan
isi nya tidak teratur. Larva Ascaris lumbricoides dapat terlihat di dalam paru-paru yang kena infeksi dan panjangnya dapat sampai 2 mm dengan diameter 75 . Larva mempunyai usus di bagian tengah, sepasang saluran ekskresi dan ala yang nyata.15
Gambar 2.2 Telur Ascaris lumbricoides14 Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 (tiga) minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus.5 Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esophagus, lalu menuju usus halus. Di usus halus berubah manjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2 (dua) bulan.5
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3 Daur Hidup Ascaris lumbricoides14
b.
Patologi dan Gejala Klinis Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis dapat disebabkan oleh cacing dewasa
dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam, eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat. Pada kasus ini sering terjadi kekeliruan diagnosis karena mirip dengan gambaran TBC, namun infiltrat ini menghilang dalam waktu 3 (tiga) minggu, setelah diberikan obat cacing pada penderita. Keadaan ini disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.5
Universitas Sumatera Utara
2.2.2 Trichuris trichiura a.
Morfologi dan Daur Hidup Trichuris trichiura termasuk nematoda usus yang biasanya dinamakan cacing
cemeti atau cambuk, karena tubuhnya menyerupai cemeti dengan bagian depan yang tipis dan bagian belakangnya yang jauh lebih tebal. Cacing ini pada umumnya hidup di sekum manusia, sebagai penyebab Trichuriasis dan tersebar secara kosmopilitan.16 Trichuris trichiura jauh lebih kecil dari Ascaris lumbricoides, anterior panjang dan sangat halus, posterior lebih tebal. Betina panjangnya 35-50 mm, dan jantan panjangnya 30-45 mm. Telur berukuran 50-54 x 32 mikron, bentuk seperti tempayan/tong, di kedua ujung ada operkulum (mukus yang jernih) berwarna kuning tengguli, bagian dalam jernih, dan dalam feses segar terdapat sel telur.17
Gambar 2.4 Cacing Trichuris trichiura dewasa14 Telur dengan ukuran 50-55 m x 22-24
m berbentuk seperti tempayan dengan
semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih.5
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5 Telur Trichuris trichiura14 Telur yang keluar bersama tinja penderita belum mengandung larva, oleh karena itu belum infektif. Jika telur jatuh di tanah yang sesuai, dalam waktu 3-4 minggu telur berkembang menjadi infektif. Bila telur yang infektif termakan manusia, di dalam usus halus dinding telur pecah dan larva cacing keluar menuju sekum untuk selanjutnya tumbuh menjadi dewasa. Untuk mengambil makanannya, cacing memasukkan bagian anterior tubuhnya ke dalam mukosa usus hospes. Satu bulan sejak masuknya telur ke dalam mulut, cacing dewasa telah mulai mampu bertelur. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun lamanya di dalam usus manusia.13
Gambar 2.6 Daur Hidup Trichuris trichiura14
Universitas Sumatera Utara
b.
Patologi dan Gejala Klinis Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat
juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya cacing ini mengisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.13 Gejala klinik hanya timbul jika terdapat infeksi yang berat. Penderita mengalami anemia yang berat dengan hemoglobin di bawah 3 %, diare disertai oleh tinja yang berdarah, nyeri perut dan muntah-muntah serta mual. Berat badan penderita akan menurun. Kadang-kadang pada anak dan bayi terjadi prolaps dari rektum dengan cacing tampak melekat pada mukosa.13 2.2.3 Hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) a.
Morfologi dan Daur Hidup Hospes parasit ini adalah manusia; cacing ini menyebabkan nekatoriasis dan
ankilostomiasis.5 Hookworm dewasa berbentuk silindris dengan kepala membengkok tajam ke belakang. Cacing jantan lebih kecil dari pada yang betina. Spesies Hookworm dapat dibedakan terutama karena rongga mulutnya dan susunan rusuk-rusuk pada bursa.15
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.7 Hookworm14 Namun telur-telurnya tidak dapat dibedakan. Telur-telurnya berbentuk ovoid dengan kulit yang jernih dan berukuran 74-76
x 36-40 . Bila baru dikeluarkan di dalam usus,
telurnya mengandung satu sel, tetapi bila dikeluarkan bersama tinja, sering sudah mengandung 4-8 sel, dan dalam beberapa jam tumbuh menjadi stadium morula dan kemudian menjadi larva rabditiform (stadium pertama).15
Gambar 2.8 Telur Hookworm14 Infeksi pada manusia di dapat melalui penetrasi larva filaform yang terdapat di tanah ke dalam kulit. Setelah masuk ke dalam kulit, pertama-tama larva dibawa aliran darah vena ke jantung bagian kanan dan kemudian ke paru-paru. Larva menembus alveoli, bermigrasi melalui bronki ke trakea dan faring, kemudian tertelan sampai ke usus kecil dan hidup di situ. Mereka melekat di mukosa, mempergunakan struktur mulut sementara, sebelum struktur mulut permanen yang khas terbentuk.18
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9 Daur Hidup Hookworm14 b.
Patologi dan Gejala Klinis Gejala klinik Hookworm dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa maupun oleh
larvanya. Larva yang masuk ke dalam kulit akan menimbulkan gatal-gatal yang disebut ground-itch, sedang larva yang mengadakan migrasi paru (Lung migration) hanya menimbulkan gangguan yang ringan. Pemeriksaan darah menunjukkan eosinofili.13 Cacing dewasa yang menghisap darah penderita akan menimbulkan anemia hipokrom mikrositer. Seekor cacing Necator americanus dapat menimbulkan kekurangan darah sampai 0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale sampai 0,34 cc sehari. Akibat terjadi anemia, maka penderita akan mengalami gangguan perut, penurunan keasaman lambung, sembelit dan steatore. Penderita tampak pucat, perut buncit, rambut kering dan mudah lepas.13
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Strongyloides stercoralis a.
Morfologi dan Daur Hidup Manusia merupakan hospes utama cacing ini. Parasit ini dapat menyebabkan
strongiloidiasis.5 Strongyloides stercoralis betina berukuran 2,2 x 0,04 mm, tak berwarna, semi transparan dengan kutikula yang bergaris-garis. Cacing ini mempunyai rongga mulut yang pendek dan esofagus ramping, panjang dan silindris. Cacing betina badannya licin, lubang kelamin terletak diperbatasan antara 2/3 badan. Betina yang hidup bebas lebih kecil dari yang betina parasitik. Strongyloides stercoralis jantan mempunyai ekor yang melengkung. Telur dari yang parasitis berukuran 54 x 32 mikron.16
Gambar 2.10 Cacing Strongyloides stercoralis14 Strongyloides stercoralis mempunyai tiga macam daur hidup : i.
Siklus langsung Sesudah 2 sampai 3 hari di tanah, larva rhabditiform yang berukuran kira-kira 225 x
16 mikron berubah menjadi larva filariform dengan bentuk langsing dan merupakan bentuk yang infektif, panjangnya kira-kira 700 mikron. Bila larva filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena dan kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa menembus
Universitas Sumatera Utara
alveolus, masuk ke trakea dan laring. Setelah sampai di laring terjadi refleks batuk sehingga perasit tertelan kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur ditemukan kira-kira 28 hari sesudah infeksi. ii.
Siklus tidak langsung Pada siklus tidak langsung, larva rhabditiform di tanah berubah menjadi cacing
jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk-bentuk bebas ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing yang betina berukuran 1mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran 0,75 mm x 0,04 mm, mempunyai ekor melengkung dengan 2 buah spikulum. Sesudah pembuahan cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rhabditiform dan selama beberapa hari menjadi larva filariform yang infektif dan masuk dalam hospes baru atau larva rhabditiform dapat mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk hidup bebas parasit ini. iii.
Autoinfeksi Larva rhabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau di sekitar
anus, misalnya pada pasien yang menderita obstipasi lama sehingga bentuk rhabditiform sempat berubah menjadi filariform di dalam usus, pada penderita diare menahun dimana kebersihan kurang diperhatikan, bentuk rhabditiform akan menjadi filariform pada tinja yang masih melekat di sekitar dubur. Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis menahun pada penderita.5
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.11 Daur Hidup Strongyloides stercoralis14 b.
Patologi dan Gejala Klinis Kelainan patologik dapat ditimbulkan oleh larva pada waktu menembus kulit,
sehingga terjadi dermatitis disertai dengan pruritis dan urtikaria. Selain itu jika larva filaform yang menembus kulit banyak jumlahnya, maka akibat migrasi paru yang berat dapat menimbulkan kelainan pada paru penderita, misalnya pneumonia dan batuk berdarah. Cacing dewasa yang menembus mukosa usus dapat menimbulkan diare yang berdarah dan berlendir. Seperti halnya infeksi dengan cacing yang disertai dengan siklus migrasi paru, maka penderita pada pemeriksaan darah menunjukkan adanya eosinofili dan lekositosis. Infeksi yang berat pada penderita dapat menimbulkan kematian.13
Universitas Sumatera Utara
2.3
Epidemiologi Infeksi Kecacingan oleh Cacing yang Ditularkan melalui Tanah
2.3.1 Distribusi Frekuensi a.
Menurut orang Hasil survei kecacingan yang disebabkan nematoda usus di sekolah dasar di
beberapa propinsi pada tahun 1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60% - 80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40% - 60%.2 Hasil survei kecacingan 2009 di Indonesia oleh Ditjen P2PL menyebutkan 31,8 % siswa SD menderita kecacingan.10 Anak-anak lebih mudah terserang dari pada orang dewasa. Infeksi berat terjadi pada anak-anak yang suka bermain di tanah, karena mendapat kontaminasi dari pekarangan yang kotor.16 Menurut penelitian Siregar B tahun 2008 pada murid SD Negeri 06 Kecamatan Pinggir Kabupaten Bengkalis bahwa prevalensi infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah terbanyak pada kelompok umur 6-9 tahun sebesar 67,1% dan yang paling sedikit pada umur 10-13 tahun sebesar 32,9%.19 Menurut penelitian Ginting A tahun 2008 pada murid SD di desa tertinggal Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir bahwa prevalensi infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah menurut jenis kelamin responden laki-laki sebanyak 116 (57,4%) dan perempuan sebanyak 86 orang (42,6%).20 b.
Menurut tempat Penyakit kecacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun perkotaan. Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Hasil survei
Universitas Sumatera Utara
Subdit Diare pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 propinsi menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2% - 96,3%.3 Infeksi banyak terdapat di daerah curah hujan tinggi, iklim sub-tropis, dan di tempat yang banyak populasi tanah.16 Trichuris trichiura menyebar lebih sering di daerah yang beriklim panas.21 Pada tahun 2008 pemeriksaan tinja dilaksanakan di 8 propinsi, mempunyai range yang cukup tinggi yaitu antara 2,7% - 60,7%. Prevalensi terendah di Sulut (2,7%) dan tertinggi di Banten (60,7%).2 Menurut penelitian Damanik E tahun 2005 bahwa prevalensi infeksi kecacingan yang ditularkan melalui tanah pada anak SD terdapat 63 orang yang terkena terinfeksi STH di mana proporsi tertinggi bertempat tinggal di P. Sidamanik (S. Buntu) sebesar 65,08%, yang kedua adalah Afdeling yaitu 28,57% dan sedangkan di Parmahanan dari 2 orang yang diperiksa tidak ada yang terinfeksi STH.22 Cacing tambang terdapat di daerah tropis dan sub tropis kecuali Ancylostoma duodenale terdapat di daerah pertambangan Eropa Utara. Necator americanus tersebar di separuh belahan bumi sebelah barat, Afrika Tengah dan Selatan, Asia Selatan, Indonesia, Australia, dan di Kepulauan Pasifik. Strongiloides stercoralis mempunyai daerah geografi tertentu, di Afrika terdapat di Kenya, Mozambik dan Etiopia, di Amerika Selatan terdapat di Peru Utara yakni di Kolombia dan di Asia terdapat di Iran. Sebaliknya di Asia Timur dan Eropa Selatan hanya terdapat sedikit sekali serangan parasit ini.16
Universitas Sumatera Utara
c.
Menurut waktu Survei yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1970-1980 menunjukkan pada
umumnya prevalensi Ascaris lumbricoides 70% atau lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun 1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah dilakukan pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah dasar. Prevalensi Ascaris lumbricoides sebesar 16,8% di beberapa sekolah di Jakarta Timur pada tahun 1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000.5 Antara tahun 1972-1979 prevalensi cacing tambang di berbagai daerah pedesaan di Indonesia adalah sekitar 50%. Pada survei-survei yang dilakukan Departemen Kesehatan di sepuluh propinsi di Indonesia antara tahun 1990-1991 hanya didapatkan 0-24,7% sedangkan prevalensi sebesar 6,7% didapatkan pada pemeriksaan 2478 anak di sekolah dasar di Sumatera Utara. Pada tahun 1996 di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan infeksi Trichuris trichiura ditemukan sebanyak 60% di antara 365 anak sekolah dasar.5 2.3.2 Determinan a.
Faktor Kebersihan Perorangan Kebersihan diri yang buruk merupakan cerminan dari kondisi lingkungan dan
perilaku individu yang tidak sehat. Pengetahuan penduduk yang masih rendah dan kebersihan yang kurang baik mempunyai kemungkinan lebih besar terkena infeksi cacing.23 Menurut penelitian Yulianto tahun 2007 di SD N Rowosari 01 Kecamatan Tembalang kota Semarang bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan memotong kuku, mengkonsumsi makanan mentah, dan kepemilikan
Universitas Sumatera Utara
jamban dengan kejadian penyakit cacingan, sedangkan jenis lantai rumah dan ketersediaan air bersih tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian infeksi kecacingan.24 b.
Faktor Lingkungan Dalam penyebaran STH, pengertian sanitasi lingkungan yang baik sulit
dikembangkan dalam masyarakat yang mempunyai keadaan sosio ekonomi rendah. dengan keadaan sebagai berikut: rumah-rumah berhimpitan di daerah kumuh (slum area) di kotakota besar yang mempunyai sanitasi lingkungan buruk, khususnya tempat anak balita tumbuh, di daerah pedesaan anak berdefekasi dekat rumah dan orang dewasa di pinggir kali, di ladang dan perkebunan tempat ia bekerja, penggunaan tinja yang mengandung telur hidup untuk pupuk di kebun sayuran, dan pengolah tanah pertanian/perkebunan dan pertambangan dengan tangan dan kaki telanjang, tidak terlindung.5 Keadaan lingkungan yang menyebabkan faktor penyebab kejadian infeksi STH adalah i.
Sumber air Air merupakan sangat penting bagi kehidupan manusia. Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum, masak, mandi, mencuci (bermacam-macam cucian) dan sebagainya. Supaya air tetap sehat dan terhindar dari kuman maka air yang digunakan harus diolah terlebih dahulu. 25
ii.
Jamban Jamban adalah salah satu sarana dari pembuang tinja manusia yang penting, karena tinja manusia merupakan sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Penyebaran
Universitas Sumatera Utara
penyakit yang bersumber pada faeces dapat melalui berbagai macam jalan atau cara seperti air, tangan, lalat, tanah, makanan dan minuman sehingga menyebakan penyakit. Jadi bila pengolahan tinja tidak baik, jelas penyakit akan mudah tersebar. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain: tipus, kolera dan bermacam-macam cacing. Maka untuk menghindari penyebaran penyakit lewat tinja ini setiap orang diharapkan menggunakan jamban sebagai penampung tinjanya.25 2.4
Pencegahan Infeksi Kecacingan
2.4.1 Pencegahan Primer Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mengendalikan faktor resiko, yaitu meliputi kebersihan lingkungan, kebersihan pribadi, penyediaan air bersih yang cukup, semenisasi lantai rumah, pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai, menjaga kebersihan makanan, pendidikan kesehatan di sekolah baik untuk guru dan murid.3 2.4.2 Pencegahan Sekunder Pencegahan yang dapat dilakukan adalah pengobatan. Prinsip pengobatan ini adalah membunuh cacing yang ada dalam tubuh manusia yaitu dengan menggunakan obat yang aman berspektrum luas, efektif untuk jenis cacing yang ditularkan melalui tanah. Menurut berbagai pengalaman, frekuensi pengobatan dilakukan 2 kali dalam setahun.3 2.4.3 Pencegahan Tersier Pencegahan yang dapat dilakukan ketika seseorang telah sembuh dari penyakit ini adalah dengan pemberian makanan bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya.
Universitas Sumatera Utara