TINJAUAN PUSTAKA Tanah Bekas Kebakaran Perubahan kondisi fisik dan kimia tanah akibat kebakaran akan berakibat terhadap organisme tanah, termasuk mikroba yang perperan sebagi dekomposisi dalam tanah. Mikroba ini mendegradasi senyawa-senyawa kompleks dalam tanah menjadi unsur yang lebih sederhana sehingga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan dan dekomposer lain sebagai sumber nutrisi. Dengan demikian peranan mikroba penting sebagai penunjang suksesi dalam hutan pasca kebakaran. Salah satu peranan mikroba tanah ini adalah mendegrasasi selulosa dan melarutkan phospat inorganik. Selulosa memegang peranan penting dalam siklus karbon di alam (Schwarz, 2001) dan merupakan senyawa terbesar. Dalam peristiwa biokimia, kebakaran cenderung dapat meningkatkan konsentrasi dan pergerakkan yang pasti dari elemen-elemen yang mudah larut, khususnya dari kation potassium, kalsium dan magnesium; mengurangi persen dari beberapa anion seperti fosfat dan sulfat; mengurangi jumlah dari nitrogen organik dan meningkatkan daripada nitrogen inorganik; menaikkan kadar pH dan membebaskan residu dari karbon dalam bentuk abu dan arang. Adapun kaitannya dalam intensitas dan pusat terjadi kebakaran, material-material ini akan hilang/lepas dari sistem yang disebabkan oleh angin, erosi oleh air dan proses leaching yang terjadi secara terus menerus pada profil tanah. Kondisi seperti ini mungkin saja terjadi pada profil tanah, sebagian pada beberapa tempat penting untuk cadangan makanan di permukaan tanah dan lainnya seperti pada lapisan Water Repellency dalam tanah (Priandi, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Peranan dan Sumber Fosfat
Fosfat merupakan nutrient essensial yang diperlukan oleh tanaman dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya. Fosfat sebenarnya terdapat dalam jumlah yang melimpah dalam tanah, namun sekitar 95-99% terdapat dalam bentuk fosfat tidak terlarut sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman. Peningkatan keterediaan fosfat bagi tanaman diusahakan dengan pengunaan pupuk fosfat anorganik maupun organik. Tetapi setelah aplikasi, ternyata sejumlah besar fosfat bentuk tersedia dari pupuk langsung diubah kedalam bentuk tidak terlarut Sehingga pemanfaatan pupuk tersebut kurang efektif sehingga memerlukan perlakuan yang berkelanjutan dan tentunya biaya yang tinggi (Lal, 2002). Normasari (2005), menjelaskan bahwa fosfor merupakan bagian integral tanaman di bagian penyimpanan (storage) dan pemindahan (transfer) energi. Fosfor terlibat pada penangkapan cahaya dari sebuah molekul klorofil. Begitu energi tersebut sudah tersimpan dalam ADP (adenosine diphosphate) atau ATP (adenosine triphosphate), maka akan digunakan untuk menjalankan reaksi-reaksi yang memerlukan energi, seperti pembentukan sukrosa, tepung dan protein. Fosfat selalu diserap oleh tanaman sebagai H2PO4-, HPO42- dan PO43yang terutama berada di dalam larutan tanah. Ada hubungan yang erat antara konsentrasi fosfor di dalam larutan tanah dengan pertumbuhan tanaman yang baik. Defisiensi fosfor selalu timbul akibat dari terlalu rendahnya konsentrasi H2PO4dan HPO42- di dalam larutan tanah. Senyawa fosfor dalam bentuk larut yang dimasukkan ke dalam tanah untuk mengatasi defisiensi fosfor cepat sekali mengendap dan terikat oleh matriks tanah. Elemen fosfor di dalam tanah kebanyakan ada dalam keadaan tidak larut, sehingga tidak mungkin masuk ke dalam
Universitas Sumatera Utara
sel-sel akar. Tetapi sebagai anion fosfat ia mudah bertukar dengan OH(Suprihadi, 2007). Fosfat di dalam tanah terdapat dalam bentuk fosfat anorganik dan fosfat organik. Menurut Rosmarkam dan Yuwono (2002), berdasarkan kation-kation yang bersenyawa dengan fosfor, fosfor anorganik dapat dikelompokkan ke dalam calcium-bonded phosphates (Ca-P), aluminium-bonded phosphates (Al-P), dan iron-bonded phosphates (Fe-P). Fosfor organik mengandung senyawa-senyawa yang berasal dari tanaman dan mikroba dan tersusun dari asam nukleat, fosfolipid dan fitin. Materi organik yang berasal dari sampah tanaman mati dan membusuk kaya akan sumber-sumber fosfor organik (Suprihadi, 2007). Bentuk fosfor yang dominan di dalam tanah tergantung pada tingkat pelapukan dan pH tanah. Yang jelas, ketiga bentuk P tersebut mengikat P, sehingga konsentrasi fosfor di dalam larutan tanah selalu rendah.
Mikroba Pelarut Fosfat
Salah satu alternatif untuk meningkatkan efisiensi pemupukan fosfat dalam mengatasi rendahnya fosfat tersedia dalam tanah adalah dengan memanfaatkan kelompok organisme pelarut fosfat, yaitu mikroba yang dapat melarutkan fosfat tidak tersedia menjadi tersedia sehingga dapat diserap oleh tanaman. Pemanfaatan mikroba pelarut fosfat diharapkan dapat mengatasi P pada tanah masam ( Saparatka, 2003). Mikroba pelarut fosfat terdiri atas bakteri, fungi dan sedikit aktinomisetes. Umumnya mikroorganisme pelarut fosfat secara alami berada ditanah berkisar 0,1-0,5 % dari total populasi mikroorganisme. Mikroba ini hidup terutama
Universitas Sumatera Utara
disekitar perakaran tanaman, yaitu di daerah permukaan tanah sampai kedalam 25 cm dari permukaan tanah. Keberadaan mikroba ini berkaitan dengan banyaknya jumlah bahan organik yang secara langsung mempengaruhi kehidupan mikroba dan secara fisiologis mikroba yang berada dekat dengan daerah perakaran akan lebih aktif daripada yang hidup jauh dari daerah perakaran. Keberadaan mikroba pelarut fosfat beragam dari satu tempat ke tempat lainnya karena perbedaan sifat biologis mikroba itu sendiri. Terdapat mikroba yang hidup pada kondisi masam dan ada pula yang hidup pada kondisi netral dan basa, ada yang hipofilik, mesofilik
dan
termofilik
ada
yang
hidup
aerob
maupun
anaerob
(Ginting dkk., 2006). Menurut Fitriatin dkk (2008), pelarutan fosfat oleh perakaran tanaman dan mikrob tergantung pada pH tanah. Pada tanah netral atau basa yang memiliki kandungan kalsium yang tinggi, terjadi pengendapan kalsium fosfat. Mikrob dan perakaran tanaman mampu melarutkan fosfat seperti itu dan mengubahnya sehingga dengan mudah menjadi tersedia bagi tanaman. Sebaliknya, tanah yang asam umumnya miskin akan ion kalsium, dan karenanya fosfat diendapkan dalam bentuk senyawa besi atau aluminium yang tidak dengan mudah dapat dilarutkan oleh perakaran tanaman atau oleh mikrob tanah. Apabila kondisi semacam ini terus-menerus berlangsung dalam tanah yang asam, maka akan terjadi pula defisiensi fosfor pada tanaman. Salah satu cara untuk memperbaiki defisiensi fosfor pada tanaman ialah dengan menginokulasi biji atau tanah dengan mikrob pelarut fosfat bersama-sama dengan pupuk berfosfat. Pelarutan senyawa fosfat oleh mikroba pelarut fosfat berlangsung secara kimia dan biologis baik untuk bentuk fosfat organik maupun anorganik. Mikroba
Universitas Sumatera Utara
pelarut fosfat membutuhkan adanya fosfat dalam bentuk tersedia dalam tanah untuk pertumbuhannya. Mekanisme kimia pelarutan fosfat dimulai saat mikroba pelarut fosfat mengekresikan sejumlah asam organik berbobot molekul rendah hasil metabolisme seperti asetat, propionat, glutamat, formiat, glikolat, fumarat, oksalat, suksinat, tartarat, sitrat, laktat, malat, fumarat dan α-ketoglutarat. Meningkatnya asam-asam organik tersebut diikuti dengan penurunan pH. Penurunan pH ini diduga akibat pembebasan sejumlah asam-asam organik oleh JPF. Hal ini merupakan bentuk adaptasi JPF terhadap media yang mengandung P terikat yang lebih tinggi dari P terlarut (Poeponegoro, 2005) Berdasarkan penelitian Nasution (2005), perubahan pH berperan penting dalam peningkatan kelarutan fosfat. Asam-asam organik tersebut akan bereaksi dengan bahan pengikat fosfat seperti Al3+, Fe3+, Ca2+ atau Mg2+ membentuk khelat organik yang stabil yang mampu membebaskan ion fosfat terikat sehingga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Mehrvarz dkk, 2008). Asam organik dapat meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah melalui beberapa mekanisme diantaranya adalah: (1) anion organik bersaing dengan ortofosfat pada permukaan tapak jerapan koloid tanah yang bermuatan positif, sehingga memperbesar peluang ortofosfat dapat diserap oleh tanaman; (2) pelepasan ortofosfat dari ikatan logam P melalui pembentukan kompleks logam organik dan (3) modifikasi muatan permukaan jerapan oleh ligan organik (Ginting dkk., 2006).
Fosfor juga mengalami mineralisasi dan immobilisasi. Proses tersebut dipengaruhi oleh persentase fosfor dari sisa tanaman yang terurai dan nutrien yang dibutuhkan oleh populasi mikroba. Bila terjadi kelebihan fosfor dibanding kebutuhan nutrisi mikroba akan terjadi akumulasi fosfat anorganik. Sebaliknya jika terjadi kekurangan fosfat dalam lingkungan akan terjadi immobilisasi fosfat
Universitas Sumatera Utara
anorganik. Pertumbuhan mikroba membutuhkan fosfor yang penting untuk pembentukan sel. Pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh ketersediaan senyawa fosfor siap pakai dalam habitatnya (Chapelle, 2001). Mikroba pelarut fosfat juga memiliki kemampuan dalam mensekresikan enzim fosfatase yang berperan dalam proses hidrolisasi P organik manjadi P anorganik. Beberapa kelompok fungi juga berperan aktif dalam melarutkan fosfat dalam tanah antara lain Aspergillus sp. dan Penicillium sp. mampu melarutkan AlP dan Fe-P. Penicillium sp. mampu melarutkan 26 % hingga 40 % Ca3(PO4)2, sedangkan Aspergillus sp melarutkan 18 % Ca3(PO4)2. Aktivitas mikroba pelarut fosfat perlu dimanfaatkan untuk penyediaan unsur hara bagi pertumbuhan dan hasil tanaman yang optimal. Aktivitas dan kepadatan populasi mikroba tanah ditentukan oleh perubahan kondisi fisika dan kimia tanah jenis tanaman yang dibudidayakan, nutrisi tanah, pH, kelembaban, bahan organik serta teknik budidaya yang diterapkan. Populasi MPF berbeda pada beberapa jenis tanah serta sesuai dengan keragaman tanaman yang dibudidayakan ( Fitriatin dkk., 2007).
Jamur Pelarut Fosfat Jamur pelarut fosfat merupakan salah satu anggota mikroba tanah yang dapat meningkatkan ketersediaan dan pengambilan P oleh tumbuhan. Bentuk ikatan P yang umum ditemui pada kondisi masam adalah AlPO4 dan FePO4. Jamur pelarut fosfat mampu melarutkan P dalam bentuk AlPO4 lebih baik dibanding BPF pada kondisi masam. Penelitian Lestari dan Saraswati (1997) melaporkan bahwa jamur pelarut P mampu meningkatkan kadar fosfat terlarut sebesar 27-47% di tanah masam. Penelitian Goenadi dan Saraswati (1994),
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan JPF mampu melarutkan fosfat 12-162 ppm di media Pikovskaya dengan sumber P dari AlPO4. Jamur pelarut fosfat memiliki 3 mekanisme dalam meningkatkan penyerapan P yaitu: (1) secara fisik dimana infeksi jamur pada akar tanaman dapat membantu pengambilan fosfor dengan memperluas permukaan sampai akar; (2) secara kimia jamur diduga mendorong perubahan pH perakaran. Jamur juga menghasilkan asam sitrat dan asam oksalat yang menggantikan posisi ion fosfat yang terfiksasi; (3) secara fisiologi, jamur menghasilkan hormon auksin, sitokinin dan giberelin yang mampu memperlambat proses penuaan akar sehingga memperpanjang masa penyerapan unsur hara (Premono, 1998). Prinsip dasar isolasi mikroba pelarut fosfat ialah menyeleksi mikroba dalam media pertumbuhan spesifik yang mengandung sumber P terikat. Kemampuan mikroba pelarut fosfat dalam melarutkan fosfat terikat dapat diketahui dengan mengembangkan biakan murni pada media Pikovskaya yang berwarna putih keruh, karena mengandung P tidak larut air seperti kalsium fosfat Ca3(PO4)2. Pertumbuhan mikroba pelarut fosfat dicirikan dengan zona bening (holozone) di sekeliling koloni mikroba. Mikroba pelarut fosfat yang potensial dapat diseleksi dengan melihat luas zona bening paling besar pada media padat. Pengukuran potensi pelarutan fosfat secara kualitatif ini menggunakan nilai indeks pelarutan (dissolving index), yaitu nisbah antara diameter zona jernih terhadap diameter koloni. Kemampuan pelarut fosfat terikat secara kuantitatif dapat diukur dengan membiakkan mikroba pada media Pikovskaya cair. Kandungan P terlarut dalam media cair tersebut diukur setelah masa inkubasi (Setiawati, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan mikroba pelarut fosfat dapat mensubstitusi sebagian atau seluruhnya kebutuhan tanaman akan pupuk P, tergantung pada kandungan P tanahnya dan memberikan hasil yang positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman ( Isgitani dkk., 2005).
Universitas Sumatera Utara